Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian terdahulu
Bersandarkan penelaahan yang peneliti lakukan lewat data pustaka,
didapati riset serupa dengan yang diteliti oleh peneliti. Daftar penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini sebagai berikut:
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Peneliti & Judul Penelitian
Hasil Penelitian Relevansi & Perbedaan
1. Djadu Ramadhan (2018). MAKNA PESAN BUDAYA DALAM FILM (Analisis Semiotik Budaya Bugis-Makassar dalam Film UANG PANAI’ MAHA(R)L)
Pada penelitian Djadu, menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa budaya Bugis-Makassar dalam film Uang Panai’ Maha(r)l diwujudkan melalui penggunaan setting, wardrobe, gesture, ekspresi, dialog dan musik yang dimunculkan lewat sejumlah adegan. Kemudian makna pesan budaya pada film ini merantau dan berdagang didasari agar memperoleh kehidupan yang lebih baik lagi, pernikahan harus dipikirkan secara matang karena harus siap mental, jasmani, rohani, dan uang panai’ yang nominalnya besar, siri’ merupakan harga diri
Relevansi yang ada pada riset ini dan yang hendak dianalisis oleh peneliti yakni memfokuskan pada isu budaya yang terdapat di dalam Film. Bedanya dengan penelitian yang hendak dianalisis oleh penulis yakni pada riset ini lebih memfokuskan budaya Bugis-Makassar, sedangkan peneiti mengkaji budaya Jawa.
6
untuk mempertahankan kehormatan (Ramadhan, 2019).
2. Dewi Inrasari (2015). “Representasi Nilai Budaya Minangkabau Dalam Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Analisis Semiotika Film)”
Pada penelitian Dewi, menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa simbol-simbol budaya Minangkabau dalam film Tenggelamnya Kapar Van Der Wijck diwujudkan melalui penggunaan bahasa, pakaian, dan adat yang dimunculkan lewat sejumlah adegan. Kemudian makna pesan budaya pada film ini budaya Minangkabau sangat kental dengan nilai-nilai kebudayaannya, menjadikan budaya dan materi sebagai pedoman dan tolak ukur dalam menilai segala sesuatu, sebagai perwujudan sebuah budaya, dan Minangkabau menganut sistem matrilineal dan materialistis (Inrasari, 2015).
Relevansi yang ada pada riset ini dan yang hendak dianalisis oleh peneliti yakni memfokuskan pada isu budaya yang terdapat di dalam Film. Bedanya dengan penelitian yang hendak dianalisis oleh penulis yakni pada riset ini lebih memfokuskan budaya Minangkabau, sedangkan peneiti mengkaji budaya Jawa. Kemudian pada riset ini menggunakan semiotik Charles Sanders Pierce, sedangkan peneliti menggunakan semiotik Roland Barthes.
3. Alvin Marina (2020). RITUAL PERNIKAHAN ADAT JAWA SEBAGAI SIMBOL EKSISTENSI DOA (Analisis Semiotik pada Film "Mantan-Manten" Karya Farishad Latjuba)
Tujuan penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa ritual pernikahan adat Jawa dalam film Mantan-Manten yang akan diwujudkan melalui penggunaan setting, wardrobe, gesture, ekspresi, dialog dan musik yang dimunculkan lewat sejumlah adegan. Kemudian makna simbol
Penelitian yang akan dikaji oleh peneliti adalah berfokus pada isu budaya yang terdapat di dalam Film dan menggunakan semiotika Roland Barthes. Perbedaan penelitian dengan yang akan dikaji oleh penulis dengan
7
ritual pernikahan adat Jawa pada film ini merupakan simbol dari eksistensi doa.
kedua penelitian diatas adalah dalam penelitian ini penulis ingin mengkaji ritual pernikahan adat Jawa sebagai simbol eksistensi doa.
2.2 Film sebagai media komunikasi massa
Menurut John R. Wenburg dan William W. Wilmot, komunikasi diartikan
sebagai usaha untuk memperoleh makna. Sedangkan Stewart L Tubbs dan
Sylvia Moss berpendapat jika komunikasi yakni proses pembentukan makna
diantara dua orang atau lebih (Mulyana, 2008, hal. 76).
Selain itu, komunikasi juga diklasifikasikan berdasarkan konteksnya.
Menurut Joseph A. Devito, konteks komunikasi dibagi menjadi komunikasi
intrapersonal, komunikasi antarpersonal, komunikasi publik, serta komunikasi
massa (Cangara, 2005, hal. 29). Dalam penelitian ini konteks komunikasi yang
terjadi adalah komunikasi massa dimana pembuat film sebagai komunikator
menyampaikan pesan kepada khalayak melalui film Mantan-Manten sebagai
media massa.
Josep A. Devito mendefinisikan komunikasi massa sebagai komunikasi
yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya.
Dan yang kedua, komunikasi massa ia artikan sebagai komunikasi yang
disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi
massa didefinisikan berdasarkan bentuknya, seperti televisi radio, surat kabar,
majalah, film, buku, serta pita (Nurudin, 2007, hal. 12).
Dari pemaparan diatas sebagai salah satu media komunikasi massa, film
8
merupakan media komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan
suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat
tertentu (Effendy O. U., 1986, hal. 134).
2.3 Film sebagai media komunikasi kebudayaan
Menurut Raymond William dalam buku James Lull, budaya diartikan
sebagai “suatu cara hidup tertentu” yang dibentuk oleh nilai, tradisi,
kepercayaan, objek material, dan wilayah (territory) (Lull, 1998, hal. 77).
Sedangkan kebudayaan menurut pendapat Roucek dan Warren dalam buku
Sukidin, bukan hanya seni dalam hidup, namun juga benda-benda yang ada
disekitar manusia yang dibuat manusia. Dengan demikian ia mendefinisikan
kebudayaan sebagai cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya agar bisa bertahan hidup, meneruskan
keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya (Sukidin, 2005).
Dari pemaparan tersebut bisa dilihat jika budaya serta kebudayaan
merupakan dua hal yang saling melengkapi satu sama lain. Jika dilakukan
secara terus-menerus, budaya akan menjadi sebuah kebudayaan. Seperti
tradisi sungkem kepada orang tua sebagai tanda bakti dan rasa hormat, jika
dilakukan secara terus-menerus hingga anak cucu maka nantinya menjadi
suatu kebudayaan.
Didalam film Mantan-Manten sendiri, menampilkan budaya tradisional
dan budaya modern. Budaya tradisional ditunjukkan dengan adegan-adegan
pernikahan adat Jawa seperti pasang tarub, siraman, ngerik, paes, balangan
gantal, wiji dadi, mijiki, kacar-kucur, dulangan, serta sungkeman. Selain itu
juga terdapat tokoh dukun manten serta lifestyle orang Jawa. Sedangkan
9
budaya modern ditunjukkan dengan adegan kehidupan modern di Jakarta
yang glamour.
2.4 Macam-macam genre film
Dalam bukunya, Heru Effendy berpendapat film terbagi menjadi berbagai
jenis, yaitu:
1. Film dokumenter (documentary films)
Film dokumenter menyajikan realita lewat berbagai cara serta
dibuat untuk berbagai macam tujuan. Yaitu memiliki tujuan
penyebaran informasi, pendidikan, serta propaganda bagi orang
maupun kelompok tertentu.
2. Film cerita pendek (short films)
Durasi dari film cerita pendek ini biasanya kurang dari 60 menit.
Biasanya yang memproduksi ialah sekelompok orang yang ingin
berlatih membuat film dengan baik. Namun ada pula yang khusus
memproduksi film pendek untuk dipasok ke rumah produksi maupun
saluran televisi.
3. Film cerita panjang (feature-lenght films)
Durasi dari film ini yakni lebih dari 60 menit, lazimnya ialah 90-
100 menit. Film dengan jenis ini biasanya ialah yang diputar di
bioskop. Dalam penelitian ini film yang digunakan termasuk dalam
jenis film cerita panjang, karena film Mantan-Manten ini berdurasi
102 menit.
10
4. Film-film jenis lain
a. Profil perusahaan (corporate profile)
Film jenis ini fungsinya sebagai alat bantu presentasi, yang
diproduksi demi kepentingan institusi tertentu berkaitan dengan
kegiatan yang mereka kerjakan.
b. Iklan televisi (TV commercial)
Film ini diproduksi untuk menyebarkan informasi produk maupun
layanan masyarakat.
c. Program televisi (TV program)
Program ini diproduksi untuk dikonsumsi pemirsa televisi, dan
secara umum dibagi menjadi dua jenis yaitu cerita dan noncerita.
Jenis cerita dibagi menjadi fiksi, yang memproduksi seperti film
serial, FTV, film pendek, dan nonfiksi yang memproduksi program
pendidikan, film dokumenter maupun profil tokoh tertentu. Lalu
program noncerita memproduksi liputan berita, talkshow, kuis, dll.
d. Video klip (music video)
Yakni sarana produser musik untuk memasarkan produknya lewat
televisi.dan dipopulerkan pertama kali lewat MTV pada 1981.
2.5 Sifat pesan komunikasi dalam film
Pesan yakni segala bentuk komunikasi baik verbal maupun nonverbal.
Komunikasi verbal ialah komunikasi lisan, dan komunikasi nonverbal adalah
komunikasi dengan menggunakan simbol, isyarat, sentuhan perasaan dan
penciuman (Priyono, 1987). Menurut Lasswell, pada film terdapat tahapan
11
dalam menyampaikan pesannya kepada penonton dengan memainkan emosi
dan persuasi penontonnya, yaitu dengan babak cerita:
1. Babak 1
Pada babak ini, terdapat opening film untuk mengenalkan kepada
penonton siapa pemainnya, bagaimana tokoh si pemain, biasanya juga
pada babak ini sudah memunculkan sedikit tentang permasalahan
dalam film nantinya.
2. Babak 2
Pada babak ini pesan yang ingin disampaikan mulai muncul. Dari
babak sini lah cerita biasanya dimulai. Babak ini menampilkan klimaks
pada cerita dan mulai memainkan emosi penonton.
3. Babak 3
Babak ini merupakan babak penyelesaian masalah atau klimaks.
Babak ini merupakan bagian ending dari film setelah melewati tahapan
klimaks, dalam tahapan inilah penonton dapat menyimpulkan pesan
dalam cerita. Pesan didefinisikan sebagai seperangkat simbol verbal
dan nonverbal yang mewakili gagasan, nilai, perasaan atau maksud
komunikator (Mulyana, 2007, hal. 63).
Pesan verbal ialah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau
lebih. Suatu sistem kode verbal disebut dengan bahasa. Sedangkan bahasa dapat
didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk dipahami suatu
komunitas. Bahasa verbal jadi sarana utama untuk menyatakan pikiran,
perasaan, serta maksud kita. Bahasa verbal memakai kata-kata yang
12
merepresentasikan berbagai aspek realitas individu (Mulyana, 2008, hal. 260-
261).
Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal
mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) yang dihasilkan oleh
individu yang punya nilai potensial bagi pengirim atau penerima pesan
(Mulyana, 2008, hal. 343).
Larry dan Richard mengkategorikan pesan nonverbal dalam berbagai
bentuk. Bentuk yang pertama adalah perilaku yang bersumber dari penampilan
dan pakaian, eskpresi wajah, postur tubuh dan gerakan, sentuhan, para-bahasa,
kontak mata, dan bau-bauan. Bentuk yang kedua yaitu waktu, ruang, dan diam
(Mulyana, 2008, hal. 352). Konsep inilah yang nantinya dapat membantu
peneliti dalam menganalisis pesan nonverbal dalam film Mantan-Manten karya
Farishad Latjuba.
2.6 Macam-macam tanda dalam film
2.6.1 Pengertian tanda
Semua yang ada dalam kehidupan kita dipandang sebagai tanda, yakni
sesuatu yang harus kita maknai, dan ilmu yang mengkaji tanda tersebut ialah
semiotik (Hoed, 2011, hal. 3). Ferdinand de Saussure memahami bahwa tanda
sebagai pertemuan antara wujud yang tergambar pada penafsiran seseorang
serta maksudnya dimengerti pemakai tanda. Sedangkan Charles Sanders
Peierce berpendapat tanda menjadi sesuatu yang menggantikan sesuatu.
Kemudian, Roland Barthes mengembangkan teori tanda Ferdinand de
13
Saussure untuk menerangkan bagaimana konotasi mendominasi pada
kehidupan bermasyarakat (Hoed, 2011, hal. 3-5).
Semiotik Barthes dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu denotasi yakni
tingkat petanda yang menerangkan relasi penanda dan petanda pada kenyataan,
hasilnya menimbulkan maksud tersirat, tepat serta jelas. Kemudian konotasi
yakni tingkatan petanda yang menerangkan relasi penanda dengan petanda
yang didalamnya terdapat maksud tersurat, tidak langsung serta tak pasti
(Kusumarini, 2006, hal. 51).
Bagian lain yang dilihat Barthes dari penandaan ialah “mitos” sebagai ciri
kekhasan suatu masyarakat. Barthes berpendapat jika mitos berada di tingkat
kedua penandaan. Tanda tersebut akan nampak menjadi petanda baru,
selanjutnya punya petanda kedua yang membantu tanda baru sesudah
terbentuknya sistem sign-signifier-signified. Pada saat sebuah tanda yang
bermakna konotasi lalu berkembang jadi denotasi, sehingga makna denotasi
tadi jadi sebuah mitos (Hoed, 2011, hal. 13).
2.6.2 Tanda dalam film
Dalam film tanda semiotika ialah tanda-tanda yang ikonis, yaitu tanda-
tanda yang menggambarkan sesuatu (Sobur, 2012, hal. 128). Pada film
Mantan-Manten tanda-tanda ini ditunjukkan dengan setting tempat, wardrobe
yang dikenakan, properti yang digunakan, gesture, ekspresi, audio, serta jenis
shot yang digunakan.
Dalam film, secara langsung kedinamisan gambar sangat besar daya
14
tariknya, dan untuk dijelaskan terlalu jauh sangat sulit. Tak seluruh tanda bisa
tampak, bunyi, aroma, rasa serta bentuk bisa dikatakan tanda. Namun sejumlah
tanda punya aspek visual yang primer untuk mengerti ragam aspek visual
tanda, seperti:
1. Pemakaian warna, variasi warna tersebut menjurus timbulnya emosi yang
berbeda. Seperti pada pernikahan adat Jawa, paes berwarna hijau tentu akan
berbeda maknanya dengan paes berwarna hitam. Kebaya biru, juga akan
berbeda maknanya dengan pemakaian kebaya berwarna oranye.
2. Ukuran, yang diperhatikan bukan cuma terpusat pada aspek-aspek yang
disajikan, namun pada unsur-unsur sangkutan antara tanda dan sistem tanda
pula.
3. Ruang lingkup, disini kita diperkenalkan kaitan unsur-unsur di sistem
tanda sebagaimana film.
4. Kontras, diterapkan untuk ketepatan pemahaman, alhasil mengakibatkan
tampilan.
5. Bentuk, cukup berperngaruh untuk menampakkan makna dalam film.
6. Detail, suatu tanda dari beberapa fungsi maupun suatu simbol, contohnya
detail itu mengisyaratkan titik temu ibarat butiran-butiran di foto (Berger,
2000, hal. 39-42).
Jadi, pesan disampaikan film secara tidak langsung lewat bahasa film yang
bermakna susunan gambar hidup dan juga diam, dicampur bunyi serta
running time lalu ditingkatkan lewat kode-kode khusus dan terbentuklah
gambar. Kemudian massa bisa memahami makna gambar-gambar yang
ditampilkan dalam film. Makanya, pembuat cerita film kudu mencermati tiga
15
unsur berikut:
1. Gambar
Untuk membentuk cerita pada film sarana utamanya ialah gambar. Unsur
pokok pada gambar ada enam, yakni:
a. Setting, untuk memunculkan hal yang diperlukan dalam cerita maka
dibangunlah susunan panggung. Pada sebuah film set dinilai penting,
jika set tidak sesuai dengan ide maka nilai dramatis pada film akan
rusak. Pada film Mantan-Manten terdapat berbagai setting yang
menunjukkan ritual pernikahan adat Jawa, seperti halam rumah yang
dipasangi tarub, tempat siraman, krobongan (kamar pengantin), serta
pelaminan.
b. Properti, dalam film Mantan-Manten terdapat berbagai properti
diantaranya tarub, kursi tamu, siwur, tempayan, gantal, dan sebagainya.
Dalam setting film juga menggunakan benda-benda penting dalam
menyusunnya dibutuhkan gabungan yang tepat, karena juga turut
bercerita kepada penonton. Seperti gantal yang dilemparkan, berarti
pada adegan tersebut menceritakan ritual balangan gantal dalam
pernikahan adat Jawa.
c. Cahaya, inilah aturan lampu pada film. Dalam produksi film terdapat
dua pencahayaan yang dipakai, natural light (matahari) serta artificial
light (buatan) seperti lampu. Kemudian ada juga beberapa jenis cahaya
yang dipakai, seperti key light (cahaya utama), fill light (cahaya
tambahan) dan back light (dari belakang) (Widagdo & Swajati , 2004,
hal. 90).
16
d. Obyek, sebuah properti yang memiliki nilai dramatik.
e. Aktor, dalam film Mantan-Manten aktor utamanya ialah Yasnina yang
dalam ceritanya akan memerankan asisten dukun manten diperankan
Atiqah Hasiholah, aktor pendukungnya ialah dukun manten Budhe
Marjanti diperankan Tutie Kirana, pengantun pria bernama Surya
diperankan Arifin Iskandar, ayah pengantin pria bernama Iskandar
diperankan Tyo Pakusadewo, asisten Yasnina diperankan Marthino Lio,
pengantin wanita bernama Salma diperankan Oxcel Paryana. Dan
terdapat juga aktor figuran seperti ibu pengantin pria, orang tua
pengantin wanita, pengacara, tamu undangan, dan masih banyak lagi.
Yang menjadi aktor dalam film tentu saja orang yang punya kemampuan
untuk memerankan orang lain.
f. Angle, untuk mengkespose suatu adegan diperlukan teknis
pengambilan gambar dari sudut pandang tertentu (Widagdo & Swajati ,
2004, hal. 64). Pembeda angle kamera berdasarkan karakterisitik hasil
gambar yaitu, straight angle (normal), low angle (lebih rendah dari
obyek) dan high angle (lebih tinggi dari obyek). dalam film Mantan-
Manten ini angle yang banyak digunakan ialah angle normal, seperti
pada ritual siraman, ngerik, memaes, balangan gantal, dsb.
2. Suara
Meskipun bisa mendukung gambar, tapi terkadang suara tidak
diperlukan. Hal tersebut tergantung bagaimana naskah skenario disusun
oleh penulis. Terdapat tiga pembagian suara, seperti berikut:
a. Dialog ataupun narasi, yakni kalimat dari sebuah naskah yang dilatih
17
oleh para aktor, sedangkan narasi menggambarkan tindakan atau jalan
cerita lewat suara pada soundtrack film (Effendy, 2004, hal. 134&143).
Alias, untuk memperlihatkan maupun menerangkan hal-hal yang
ditunjukkan secara visual objektif maka digunakanlah dialog. Kemudian
di film dokumenter menggunakan narasi. Pada film Mantan-Manten,
tidak terdapat narasi sama sekali, namun terdapat dialog. Pada saat
melakukan ritual pernikahan adat Jawa dalam film ini yang berdialog
ialah dukun manten.
b. Noise, koleksi rekaman suara selain manusia serta musik yang
digunakan dalam film.
c. Background musik atau musik yang dipakai pada film yang dapat
memberikan informasi kepada massa berkaitan dengan situasi yang
muncul di film. Kemudian juga tekanan pada adegan tertentu juga bisa
ditandai lewat musik. Pada film Mantan-Manten background musik yang
digunakan ialah suara gending Jawa, suara instrumental serta lagu Sal
Priadi yang berjudul Ikat Aku di Tulang Belikatmu.
3. Running time
Yakni batasan waktu lamanya sebuah film diputar, yang lazimnya mulai
90 hingga 105 menit. Film Mantan-Manten ini memiliki durasi 102 menit.
Kemudian kisaran 5 hingga 30 menit untuk film dokumenter. Batas durasi
tersebut sebagai pengikat juga pembatas dua sarana bahasa tadi. Maka dari
itu penting ditekankan jika dalam memberikan penjelasan hanya pokoknya
saja.
18
2.7 Definisi konseptual
2.7.1 Film
Film merupakan media komunikasi yang bersifat audio
visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang
yang berkumpul di suatu tempat tertentu (Effendy O. U., 1986, hal.
134).
2.7.2 Semiotik
Yakni ilmu yang mengkaji tanda (Hoed, 2011, hal. 3).
Menurut Ferdinand de Saussure tanda sebagai pertemuan antara
wujud yang tergambar pada penafsiran seseorang serta maksudnya
dimengerti pemakai tanda. Sedangkan menurut Charles Sanders
Peierce tanda menjadi sesuatu yang menggantikan sesuatu.
Kemudian, Roland Barthes membagi tanda menjadi dua tingkatan,
yaitu denotasi dan konotasi (Kusumarini, 2006, hal. 51). Bagian
lain yang dilihat Barthes dari penandaan ialah “mitos” sebagai ciri
kekhasan suatu masyarakat yang berada di tingkat kedua
penandaan. Tanda tersebut akan nampak menjadi petanda baru,
selanjutnya punya petanda kedua yang membantu tanda baru
sesudah terbentuknya sistem sign-signifier-signified. Pada saat
sebuah tanda yang bermakna konotasi lalu berkembang jadi
denotasi, sehingga makna denotasi tadi jadi sebuah mitos (Hoed,
2011, hal. 13).
19
2.7.3 Pernikahan adat Jawa
Didalam budaya Jawa, ketika dipersatukannya seorang
pria dan seorang wanita pada sebuah jalinan pernikahan, ada
prosesi adat yang mesti dijalankan. Perkawinan menjadi agung,
adiluhung dan suci karena dalam upacara perkawinan dua jiwa
disatukan menjadi sebuah keluarga dengan akad yang diatur
agama (Hariwijaya, 2004, hal. 1). Dalam pelaksanaan pernikahan
adat Jawa, terdapat tiga bagian tata cara, yaitu tata cara pra
pernikahan, tata cara hari pelaksanaan pernikahan, serta tata cara
pasca pernikahan (Pratama & Wahyuningsih, 2018, hal. 20-21).
Tata cara sebelum pelaksanaan pernikahan ini dimulai dengan
babat alas atau nakokake, kemudian upacara nontoni, upacara
nglamar, upacara srah-srahan atau asok tukon, pasang tarub,
upacara siraman, upacara ngerik, dan upacara midodareni.
Sedangkan tata cara hari pelaksanaan har pernikahan ini terdiri
dari ijab kabul, serta upacara panggih kemanten, dan diakhiri
dengan tata cara pasca pernikahan dengan upacara sepasaran atau
ngundhuh mantu (Bangunjiwo, 2019, hal. 93-95).