33
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. INDUSTRI PANGAN JASA BOGA 2.1.1. Definisi dan Karakteristik Saat ini usaha jasa penyediaan makanan dan minuman atau jasa boga atau katering adalah usaha yang memberikan prospek yang baik jika dilakukan dengan benar, karenanya banyak sekali bermunculan usaha jasa boga di kota-kota besar di Indonesia. Setiap usaha jasa boga haruslah memiliki izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan setempat. Berbagai persyaratan harus dipenuhi oleh usaha jasa boga, tergantung dari kriteria atau golongan usaha tersebut. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 715/Menkes/SK/V/2003, yang mengatur tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Pada tahun 2011 Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes RI No. 1096/Menkes/PER/VI/2011 guna menyempurnakan Kepmenkes No. 715/Menkes/SK/V/2003 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum. Untuk usaha jasa boga yang telah memiliki Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 715/Menkes/SK/V/2003, sertifikat tersebut masih berlaku sampai habis masa berlakunya. Sedangkan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi yang sedang dalam proses sebelum Permenkes 2011 diberlakukan, maka pelaksanaannya sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga. Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 ditetapkan pada tanggal 7 Juni 2011, dan untuk selanjutnya akan menjadi acuan yang digunakan dalam penelitian ini. Sesuai definisi Jasa Boga menurut Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011, usaha jasa boga termasuk di dalamnya usaha katering adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Sedangkan pengolahan dari jasa boga itu sendiri adalah kegiatan yang meliputi penerimaan bahan mentah atau makanan terolah, pembuatan, pengubahan bentuk, pengemasan, pewadahan, pengangkutan dan penyajian. Usaha jasa boga dibagi menjadi tiga golongan, yakni golongan A, B, dan C dimana golongan tersebut didasarkan pada luasnya jangkauan pelayanan dan kemungkinan besarnya risiko

2.1. INDUSTRI PANGAN JASA BOGA Definisi dan Karakteristik · perusahaan Jasa Boga atau Usaha Katering yang telah lolos, diberikan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha

  • Upload
    donhi

  • View
    405

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. INDUSTRI PANGAN JASA BOGA

2.1.1. Definisi dan Karakteristik

Saat ini usaha jasa penyediaan makanan dan minuman atau jasa boga atau

katering adalah usaha yang memberikan prospek yang baik jika dilakukan dengan

benar, karenanya banyak sekali bermunculan usaha jasa boga di kota-kota besar di

Indonesia. Setiap usaha jasa boga haruslah memiliki izin yang dikeluarkan oleh

pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan setempat. Berbagai persyaratan harus

dipenuhi oleh usaha jasa boga, tergantung dari kriteria atau golongan usaha

tersebut. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 715/Menkes/SK/V/2003,

yang mengatur tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Pada tahun 2011

Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes RI No. 1096/Menkes/PER/VI/2011

guna menyempurnakan Kepmenkes No. 715/Menkes/SK/V/2003 yang dianggap

sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum. Untuk usaha jasa

boga yang telah memiliki Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi berdasarkan

Kepmenkes RI Nomor 715/Menkes/SK/V/2003, sertifikat tersebut masih berlaku

sampai habis masa berlakunya. Sedangkan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi yang

sedang dalam proses sebelum Permenkes 2011 diberlakukan, maka

pelaksanaannya sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga.

Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 ditetapkan pada tanggal 7 Juni

2011, dan untuk selanjutnya akan menjadi acuan yang digunakan dalam penelitian

ini.

Sesuai definisi Jasa Boga menurut Permenkes RI Nomor

1096/Menkes/PER/VI/2011, usaha jasa boga termasuk di dalamnya usaha katering

adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan

makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Sedangkan

pengolahan dari jasa boga itu sendiri adalah kegiatan yang meliputi penerimaan

bahan mentah atau makanan terolah, pembuatan, pengubahan bentuk,

pengemasan, pewadahan, pengangkutan dan penyajian. Usaha jasa boga dibagi

menjadi tiga golongan, yakni golongan A, B, dan C dimana golongan tersebut

didasarkan pada luasnya jangkauan pelayanan dan kemungkinan besarnya risiko

8

yang dilayani. Jasa boga golongan A adalah usaha yang melayani kebutuhan

masyarakat umum, yang terdiri dari A1, A2, dan A3. Sedangkan golongan B

yakni jasa boga yang melayani kebutuhan khusus seperti asrama penampungan

jemaah haji, perusahaan, pengeboran lepas pantai, angkutan umum dalam negeri,

dan sarana pelayanan rumah sakit. Untuk golongan C yakni jasa boga yang

melayani kebutuhan untuk alat angkutan umum internasional dan pesawat udara.

Sedangkan beberapa kriteria serta persyaratan yang harus dipenuhi pengusaha saat

memulai usaha di bidang jasa boga adalah sebagai berikut :

1. Golongan A, yang terdiri dari :

1.1. Golongan A1 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat

umum, menggunakan dapur rumah tangga dan dikelola keluarga,

serta kapasitas pengolahan yang kurang dari 100 porsi.

1.2. Golongan A2 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat

umum, menggunakan dapur rumah tangga dan memperkerjakan

tenaga kerja (karyawan), dan kapasitas pengolahan antara 101-500

porsi.

1.3. Golongan A3 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat

umum, menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga

kerja (karyawan) dan kapasitas pengolahan yang lebih dari 500

porsi.

2. Golongan B dengan kriteria melayani kebutuhan khusus untuk asrama

seperti asrama penampungan jemaah haji, asrama transito, pengeboran

lepas pantai, perusahaan, angkutan umum dalam negeri dan sebagainya,

menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja (karyawan).

3. Golongan C dengan kriteria melayani kebutuhan alat angkutan umum

internasional dan pesawat udara, menggunakan dapur khusus dan

mempekerjakan tenaga kerja (karyawan).

Untuk persyaratan usaha jasa boga termasuk katering, Permenkes No.

1096/Menkes/PER/VI/2011 memberikan persyaratan sebagai berikut :

1. Golongan A, yang terdiri dari :

1.1. Golongan A1 :

9

1.1.1. Ruang pengolahan makanan tidak boleh dipakai sebagai

ruang tidur.

1.1.2. Menyediakan ventilasi yang cukup.

1.1.3. Pembuangan udara kotor/asap tidak menimbulkan gangguan

terhadap lingkungan.

1.1.4. Tersedia tempat cuci tangan yang permukaannya halus dan

mudah dibersihkan.

1.1.5. Tersedia sedikitnya satu buah lemari es sebagai tempat

penyimpanan makanan mudah basi.

1.2. Golongan A2 :

1.2.1. Memenuhi persayaratan jasaboga golongan A1.

1.2.2. Ruang pengolahan makanan harus dipisahkan dengan ruang

lain.

1.2.3. Dilengkapi alat pembuangan asap dari dapur.

1.2.4. Tersedia sedikitnya satu buah lemari es untuk menyimpan

makanan yang cepat busuk.

1.2.5. Tersedia tempat penyimpanan dan ganti pakaian.

1.3. Golongan A3 :

1.3.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan A2.

1.3.2. Ruang pengolahan makan terpisah dengan bangunan tempat

tinggal.

1.3.3. Pembuangan asap dari dapur dilengkapi dengan alat

pembuangan asap dan cerobong asap.

1.3.4. Tempat memasak terpisah secara jelas dengan tempat

penyiapan makanan.

1.3.5. Tersedia lemari pendingin yang dapat mencapai suhu -5o

Celcius.

1.3.6. Tersedia kendaraan pengangkut makanan yang khusus dan

hanya digunakan untuk mengangkut makanan jadi.

1.3.7. Alat atau tempat angkut makanan harus tertutup sempurna,

dibuat dari bahan kedap air dan mudah dibersihkan.

10

1.3.8. Kotak yang digunakan sekali pakai untuk mewadahi

makanan harus mencantumkan nama perusahaan, nomor izin

usaha, serta laik hygiene sanitasi.

1.3.9. Jasaboga yang tidak mempunyai kotak dalam penyajiannya,

harus mencantumkan nama perusahaan, nomor izin usaha

serta laik hygiene sanitasi di tempat penyajian yang mudah

diketahui umum.

2. Golongan B yakni :

2.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan A3.

2.2. Pembuangan air kotor dilengkapi grease trap (penangkap lemak).

2.3. Pertemuan lantai dan dinding tidak terdapat sudut mati agar tidak

menjadi tempat berkumpulnya kotoran.

2.4. Memiliki ruang kantor dan ruang untuk belajar yang terpisah dari

ruang pengolahan makanan.

2.5. Dilengkapi penangkap asap (hood), alat pembuangan asap dan

cerobong asap.

2.6. Fasilitas pencucian dari bahan yang kuat, permukaan halus dan

mudah dibersihkan.

2.7. Setiap peralatan dibebas hamakan dengan larutan kaporit atau air

panas selama 2 menit.

2.8. Setiap tempat pengolahan makanan dilengkapi tempat cuci tangan

yang diletakkan didekat pintu.

2.9. Ruang pengolahan makanan terpisah dengan ruangan tempat

penyimpanan bahan makanan mentah.

2.10.Tersedia lemari penyimpanan dingin yang dapat mencapai suhu

-10oC sampai -5

oC.

3. Golongan C yakni :

3.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan B.

3.2. Dilengkapi penangkap asap (hood), alat pembuang asap, cerobong

asap, saringan lemak yang dapat dibuka dan dipasang untuk

dibersihkan secara berkala.

3.3. Dilengkapi alat pengatur suhu ruangan.

11

3.4. Tempat pencucian alat dan bahan terbuat dari bahan logam tahan

karat seperti stainless steel.

3.5. Air untuk pencucian peralatan dan cuci tangan harus mempunyai

tekanan sedikitnya 5ps.

3.6. Tersedia lemari penyimpanan dingin untuk makanan secara terpisah

sesuai dengan jenis makanan/bahan makanan yang digunakan.

3.7. Tersedia gudang tempat penyimpanan makanan untuk bahan kering,

makanan terolah dan bahan yang tidak mudah membusuk.

3.8. Rak penyimpanan makanan harus mudah dipindah dengan

menggunakan roda penggerak.

2.1.2. Persyaratan Hygiene dan Sanitasi

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

1096/Menkes/PER/VI/2011, tentang persyaratan hygiene sanitasi jasa boga atau

usaha katering yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan, setiap usaha jasa

boga atau usaha katering harus memiliki izin usaha dari Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor risiko

terjadinya kontaminasi terhadap pangan, baik yang berasal dari bahan makanan,

orang, tempat dan peralatan agar aman dikonsumsi. Pengelolaan makanan oleh

jasaboga harus memenuhi higiene sanitasi dan dilakukan sesuai cara pengolahan

makanan yang baik.

Untuk memiliki izin usaha jasa boga atau usaha katering, pengusaha harus

memiliki sertifikat hygiene sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota setempat. Dalam hal jasaboga akan menyajikan hasil olahan

makanan di wilayah pelabuhan, bandar udara, pos pemeriksaan lintas batas, harus

memperoleh rekomendasi dari Kepala KKP. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi

Jasaboga untuk jasaboga yang berada di wilayah pelabuhan, bandar udara, pos

pemeriksaan lintas batas, dikeluarkan oleh Kepala KKP atau Kantor Kesehatan

Pelabuhan. KKP adalah unit pelaksana teknis Kementerian Kesehatan di wilayah

pelabuhan, bandara dan pos lintas batas darat. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi

Jasaboga dikeluarkan sesuai golongan jasaboga.

12

Berkaitan langsung dengan bahan makanan dan kesehatan masyarakat

dalam usaha jasa boga atau usaha katering, perolehan Sertifikat Laik Hygiene

Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering merupakan persyaratan mutlak

berjalannya usaha. Untuk memperoleh Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga

atau Usaha Katering, pengusaha dapat mengajukan permohonan kepada Kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota/Pelabuhan setempat (Lampiran 2). Untuk

perusahaan Jasa Boga atau Usaha Katering yang telah lolos, diberikan Sertifikat

Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering yang berlaku selama 3

(tiga) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi syarat. Sertifikat Laik

Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering yang diperoleh oleh perusahaan

harus dipasang di dinding yang mudah dilihat oleh petugas atau masyarakat

umum.

Pengajuan permohonan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasaboga oleh

pengusaha kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat disertai

lampiran-lampiran yang diwajibkan.

Dalam rangka pemberian Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga,

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP membentuk Tim

Pemeriksa Uji Kelaikan Jasa Boga yang bertugas melakukan penilaian terhadap

kelengkapan persyaratan. Tim Pemeriksa terdiri dari orang-orang yang memiliki

pengetahuan di bidang higiene sanitasi dan bertugas melakukan pemeriksaan

lapangan dan menilai kelaikan higiene sanitasi jasaboga.

Pemeriksaan Hygiene Sanitasi Jasa Boga menggunakan formulir uji

kelaikan fisik hygiene sanitasi jasaboga (Lampiran 6) dan formulir pengambilan

atau pengiriman contoh dan spesimen (lampiran 4). Penilaian Hygiene Sanitasi

Jasa Boga didasarkan kepada nilai pemeriksaan yang dituangkan di dalam berita

acara kelaikan fisik (Lampiran 3) dan berita acara pemeriksaan contoh atau

specimen (Lampiran 5), sebagai berikut :

1. Pemeriksaan fisik

1.1. Golongan A1, minimal nilai 65 maksimal 70, atau rangking

65 – 70%

1.2. Golongan A2, minimal nilai 70 maksimal 74, atau rangking

70 – 74%

13

1.3. Golongan A3, minimal nilai 74 maksimal 63, atau rangking

74 – 83%

1.4. Golongan B, minimal nilai 83 maksimal 92, atau rangking

83 – 92%

1.5. Golongan C, minimal nilai 92 maksimal 100, atau rangking

92 – 100%

2. Pemeriksaan laboratorium

2.1. Angka kuman E.coli pada makanan 0/gr contoh makanan

2.2. Angka kuman pada alat makan dan minum 0 (nol)

2.3. Tidak diperoleh adanya carrier (pembawa kuman patogen) pada

penjamah makanan yang diperiksa.

2.4. Cemaran kimia pada makanan negatif

Jika hasil pemeriksaan fisik yang telah memenuhi syarat, tetapi belum

didukung dengan hasil laboratorium, maka pemberian Rekomendasi Laik Hygiene

Sanitasi kepada Pengusaha Jasa Boga ditunda sampai hasil laboratorium

memenuhi syarat.

Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha jasa boga juga diatur dalam

Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011, Dinas Kesehatan sewaktu-

waktu dapat melakukan uji petik audit hygiene sanitasi dan pengujian mutu jasa

boga untuk menilai kondisi fisik, fasilitas dan lingkungan Tempat Pengelolaan

Makanan (TPM), tingkat cemaran makanan dan atau dalam hal ada kejadian luar

biasa atau wabah dan keadaan yang membahayakan lainnya. Uji petik

dilaksanakan dalam rangka pemantapan pelaksanaan pengawasan dan untuk

tujuan pembinaan dan pengembangan pengawasan jasa boga. Biaya pelaksanaan

uji petik dibebankan pada anggaran Pemerintah.

2.2. BATASAN KEAMANAN PANGAN SIAP SAJI

2.2.1. Bahaya Keamanan Pangan

Pangan siap saji dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat

memuaskan konsumen dalam hal rasa, penampakan dan keamanannya.

Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak menjadi faktor penentu pemilihan

jenis pangan, kecuali bagi konsumen yang sangat memperhatikan segi kesehatan

14

dan berat badan. Faktor keamanan pangan yang umumnya tidak dapat diketahui

atau dideteksi langsung oleh konsumen biasanya dihubungkan dengan segi

kebersihan pangan tersebut. Pangan yang terlihat bersih, baik penampakannya,

cara penjualannya maupun lingkungan tempat penjualan, biasanya dianggap aman

oleh konsumen untuk dikonsumsi. Hal ini seringkali menimbulkan kekeliruan,

karena pangan yang terlihat bersih pada waktu penyajiannya, belum tentu baik

dalam pengolahan atau persiapannya, sehingga masih mungkin mengandung jasad

renik atau bahan berbahaya yang dapat menyebabkan keracunan.

Bahan-bahan berbahaya yang mungkin mencemari pangan dapat berupa

bahaya biologis seperti bakteri, virus, kapang, parasit dan protozoa, bahaya kimia

seperti logam berat, pestisida, bahan tambahan berbahaya, dan racun, atau bahaya

fisik seperti pecahan gelas, potongan tulang, kerikil, kawat, dan sebagainya.

Bahan-bahan berbahaya tersebut dapat masuk ke dalam pangan melalui udara, air,

bahan pangan, pekerja, hewan, serangga, atau alat-alat memasak. Pekerja dapat

mencemari pangan dengan bakteri patogen melalui hidung, kotoran (feses) dan air

ludah.

Beberapa sumber pencemaran utama pada pangan siap saji adalah sebagai

berikut:

1. Cemaran biologis

Beberapa penyebab terjadinya cemaran biologis pada pangan misalnya:

penggunaan bahan mentah dan air yang tercemar jasad renik dalam jumlah

tinggi, lingkungan pengolahan dan penjualan/penyajian yang tidak bersih

(udara kotor, dekat tempat pembuangan sampah), pekerja yang kotor atau

menderita sakit infeksi, peralatan wadah yang tidak bersih, dan kontaminasi

silang antara pangan yang telah dimasak dengan bahan mentah.

2. Cemaran kimia

Adanya cemaran kimia pada pangan dapat disebabkan oleh beberapa

faktor, misalnya: penggunaan bahan mentah yang tercemar logam berat,

pestisida, atau racun, penggunaan peralatan atau wadah dari bahan beracun,

dan penggunaan bahan tambahan kimia yang tidak tepat.

15

3. Cemaran fisik

Cemaran fisik dapat disebabkan oleh kecerobohan dalam pengolahan, atau

penggunaan bahan mentah yang tidak bersih/kotor. Cemaran fisik tidak

menimbulkan penyakit atau keracunan tetapi dapat menimbulkan bahaya,

menandakan rendahnya sanitasi dan hygiene, serta memberi citra buruk bagi

pangan yang disajikan.

4. Pemantauan Terhadap Proses Pemasakan

Variabel proses pemasakan pangan siap saji yang memerlukan pemantauan

khusus terutama adalah suhu, waktu, kadar keasaman (pH) makanan, dan

penambahan bahan-bahan pembantu.

Pangan yang dipersiapkan dalam jumlah besar mungkin mendapatkan

risiko bahwa pemasakan yang dilakukan tidak merata sehingga setiap bagian

pangan tidak mendapatkan perlakuan panas yang sama. Akibatnya pada beberapa

bagian pangan mungkin masih ditemukan jasad renik dalam jumlah tinggi dan

menyebabkan pangan menjadi mudah busuk/basi, atau menyebabkan keracunan.

Tabel 1 menyajikan pemanasan minimal pada beberapa makanan.

Tabel 1. Pemanasan minimal pada beberapa makanan*

Jenis makanan

Pemanasan minimal

Suhu (oC) Waktu

Daging potongan tebal (>5cm)

107-135 4-8 jam

Daging potongan tipis (<5cm) Macam-macam saus (tergan-tung pH/keasamannya)

121-204

93

2-40 menit

2 menit-6 jam

Buah-buahan, sayuran, makanan berpati

100-21 10 menit

Roti, adonan kue 177 5-40 ment

•Snyder(1986)

Dari segi mikrobiologi, pangan yang baik untuk dihidangkan adalah

pangan yang tidak basi atau busuk atau berbau menyimpang, dan aman untuk

16

dikonsumsi. Jasad renik pembusuk yang terdapat di dalam pangan, termasuk

bakteri, kapang maupun khamir, dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan

perubahan-perubahan pada pangan misalnya menimbulkan bau basi/busuk, bau

tengik, bau dan rasa asam, pelendiran, perubahan wama, atau menimbulkan

gas/busa.

Pangan siap saji sebenanarnya bukan merupakan pangan yang steril karena

tidak dikemas secara rapat, oleh karena itu tidak pernah bebas dari pencemaran

oleh jasad renik pembusuk. Tabel 2 menyajikan jumlah minimal setiap bakteri

patogen untuk menimbulkan gejala sakit atau keracunan, dan jumlah yang

diperbolehkan di dalam bahan mentah sebelum pemasakan.

Tabel 2. Jumlah minimal beberapa bakteri yang dapat menyebabkan sakit

atau keracunan

Penyebab Makanan yang

sering tercemar

Jumlah minimal

yang

menyebabkan

sakit pada orang

dewasa sehat (sel)

Jumlah yang

diperbolehkan pada

bahan mentah

sebelum dimasakb

(sel/g)

Salmonella Telur, daging

unggas < 10

5 < 10

Staphylococcus Makanan

berprotein 10

6 < 100

Clostridium

perfringens

Makanan

berprotein 10

6 < 100

Bacillus cereus Beras/nasi >106 < 100

Vibrio

parahaemolyticus

Makanan hasil laut 10

5 - 10

7 < 100

Vibrio cholera* Air, makanan

mentah 10

5 < 10

Shigefla Air, makanan

mentah 10

1 – 10

2 < 1

Listeria

monocytogenos

Susu, daging 10

5 < 1

Eschrichia coli Air, makanan

mentah 10

6 < 10

b 1-10 sel untuk bayi dan manula. Sumber : Fardiaz, S (1994)

Meskipun pangan siap saji biasanya telah mengalami proses pemanasan

atau pemasakan sehingga jumlah jasad renik patogen telah berkurang sampai pada

jumlah yang sangat kecil, tetapi jika kondisi penyimpanan makanan tersebut,

terutama suhu dan kelembaban, menyebabkan jasad renik dapat berkembang biak

17

dengan cepat, maka memungkinkan terjadinya kebusukan sebelum pangan sampai

ke tangan konsumen, atau menyebabkan keracunan jika kebetulan terdapat bakteri

patogen yang dapat berkembang biak dengan baik. Untuk mencegah terjadinya hal

tersebut, maka Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan bahwa untuk

menjamin suatu pangan siap saji tidak busuk dan aman untuk dikonsumsi, maka

sebaiknya pangan disimpan pada suhu lemari es yaitu maksimal 5oC untuk pangan

yang dikonsumsi dalam keadaan dingin seperti berbagai macam salad dan

minuman dingin, atau pada suhu di atas 60oC untuk pangan yang dikonsumsi

dalam keadaan panas/hangat. Suhu di antara 5°C dan 60°C merupakan suhu kritis

(danger zone) karena jasad renik dapat berkembang biak dengan cepat dan

menyebabkan kebusukan atau keracunan pangan. Di Indonesia, pangan siap saji

yang disajikan dalam keadaan hangat (hotfood) belum mendapat pengawasan

khusus mengenai suhu yang diterapkannya, sehingga kemungkinan risiko bahwa

penyimpanan hangat justru menjadi inkubator bagi pertumbuhan jasad renik dapat

terjadi.

Jika jumlah jasad renik pembusuk dan patogen di dalam pangan cukup

kecil dan dipertahankan supaya tidak berkembang biak selama penyimpanan maka

pangan tersebut masih dapat diterima dan aman untuk dikonsumsi. Dengan kata

lain pangan tidak mengalami perubahan yang menyimpang atau menyebabkan

keracunan atau penyakit karena jumlah bakteri patogen masih di bawah jumlah

minimmal yang dapat menimbulkan penyakit.

Berbeda dengan industri pangan olahan dalam kemasan pada umumnya,

industri jasa boga yang menyediakan pangan siap saji merupakan suatu sistem

yang sangat kompleks karena menyangkut bahan baku yang bermacam-macam

dalam usaha penyediaannya. Oleh karena itu sampai sekarang belum ada standar

yang diterapkan untuk pangan semacam ini. Sebagai pegangan untuk

menghasilkan pangan yang bermutu dan aman terutama perlu diperhatikan segi

kebersihan dan sanitasi dalam pengolahan dan penyajiannya, serta tetap mengikuti

peraturan-peraturan yang ada mengenai penggunaan bahan tambahan yang

diijinkan di dalam makanan.

18

2.2.2. Permasalahan Keamanan Pangan Pada Industri Jasa Boga

(Katering)

Perkembangan industri yang bergerak dalam pengolahan dan penyajian

makanan siap santap yang disebut industri jasa boga atau katering telah

berkembang dengan pesat pada saat ini. Industri semacam ini banyak

dimanfaatkan untuk penyediaan makanan di berbagai tempat dan untuk berbagai

keperluan, seperti penyajian makanan-makanan di suatu pesta, seminar, atau

untuk karyawan pabrik dan perkantoran. Data sampai tahun 2004, di Bali saja

tercatat ada 326 usaha jasa katering, 1498 usaha restoran atau rumah makan, dan

145 hotel berbintang yang menyediakan jasa boga (Antara, 2005). Menjamurnya

usaha jasa boga ini terjadi karena kebutuhan akan makanan yang praktis dan siap

dikonsumsi oleh konsumen yang serba sibuk, sehingga konsumen tidak perlu

membuang waktu terlalu lama hanya untuk mempersiapkan dan menyajikan

pangan.

Namun demikian, usaha jasa boga yang menyediakan pangan siap saji

mempunyai resiko kemunginan dapat terjadinya penyakit yang ditularkan melalui

pangan (foodborne disease) apabila tidak dilakukan penanganan yang baik. Dari

laporan-laporan di berbagai media massa diketahui bahwa pangan yang berasal

dari katering sering menimbulkan masalah keracunan yang meminta korban cukup

banyak. Kasus keracunan pangan yang dilaporkan di media massa umumnya yang

menyerang sekelompok orang dalam jumlah besar, misalnya yang menyerang

karyawan-karyawan di suatu pabrik yang mengkonsumsi pangan yang dipesan

dari pengusaha jasa boga atau katering. Terdapat pula kasus keracunan pangan

tetapi tidak dilaporkan, biasanya terjadi pada kelompok kecil konsumen atau yang

konsumennya menyebar.

Dalam sepuluh tahun terakhir, kasus keracunan pangan 31% berasal dari

produk pangan katering, 20% dari produk olahan pangan, dan 13% lainnya

berasal dari jajanan. Berdasarkan data Badan Perlindungan Konsumen (BPKN)

bidang pangan, Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus keracunan pangan setiap

tahunnya selalu meningkat baik dari jumlah korban maupun yang sakit. Tahun

2005 terjadi 184 KLB, dimana dari 23.864 orang yang mengkonsumsi pangan

tercatat 8.949 orang jatuh sakit dan 49 orang di antaranya meninggal. Sementara

19

tahun 2006, dalam kurun waktu 8 bulan terjadi 62 KLB. Dari 11.745 orang yang

mengkonsumsi pangan, 4.235 di antaranya jatuh sakit dan 10 di antaranya

meninggal dunia (BPKN, 2011).

Kejadian Luar Biasa (KLB) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28

tahun 2004 adalah adanya 2 orang penderita atau lebih dengan gejala-gejala yang

sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi pangan dan adanya dugaan pangan

sebagai sumber keracunan yang dibuktikan secara epidemilogis (menunjukkan

hubungan sebab akibat).

Hasil penelitian Sparingga (2011) menunjukkan bahwa dugaan penyebab

KLB keracunan pangan paling banyak disebabkan oleh mikroba yaitu sebesar 21

persen, sedangkan bahan kimia 13 persen dan sisanya tidak ada sampel.

Sedangkan kasus-kasus keracunan pangan penyebab kejadian luar biasa diperoleh

data karena beberapa hal yaitu : (1) pangan rumah tangga (562 kasus); (2) pangan

olahan (205 kasus); (3) pangan jasa boga atau jasa katering (271 kasus); (4)

pangan jajanan (186 kasus); (5) lain-lain (15 kasus); (6) tidak dilaporkan (25

kasus).

Menurut Fardiaz (1994) dari Bryan (1988) yang dilaporkan oleh Ganowiak

(1992), di negara Amerika Serikat, sebanyak 11% kasus keracunan pangan yang

terjadi disebabkan oleh pangan yang dipersiapkan oleh industri jasa boga

(katering dan restoran), 20% kasus disebabkan oleh pangan yang dimasak di

rumah, dan hanya 3% kasus disebabkan oleh makanan yang diproduksi oleh

industi pangan. Hal ini menunjukkan bahwa di negara-negara yang sudah

majupun pangan jasa boga atau katering memegang peranan penting sebagai

penyebab keracunan pangan. Dengan kata lain, pangan siap saji merupakan

pangan berisiko tinggi dari segi keamanannya jika tidak dipersiapkan dengan baik.

Menurut data Center for Disease Control and Prevention, faktor-faktor

penyebab keracunan pangan di negara Amerika Serikat ternyata yang terbanyak

(37%) disebabkan oleh suhu penyimpangan yang tidak tepat seperti praktek

pendinginan yang tidak tepat. Hal ini disebabkan di negara-negara tersebut banyak

pangan yang disajikan dan dikonsumsi dalam keadaan dingin, misalnya berbagai

salad, baik yang berasal dari bahan nabati maupun hewani. Selain suhu

pendinginan, penyimpanan hangat yang tidak tepat juga menjadi faktor.

20

Penyebab-penyebab keracunan lain yang cukup tinggi yaitu higiene pekerja

pengolah makanan yang tidak baik (19%), peralatan yang tercemar (16%), proses

pemasakan yang kurang termasuk pemanasan kembali yang tidak cukup (11%),

bahan baku dari sumber tercemar (6%), dan penyebab-penyebab lain seperti

menyiapkan makanan terlalu lama (lebih dari 12 jam) sebelum dikonsumsi (11%).

Di Indonesia diperkirakan penyebab utama kasus keracunan dari pangan

katering diantaranya adalah penggunaan bahan mentah yang tercemar

mikroorganisme patogen, pangan didiamkan cukup lama sebelum dikonsumsi,

dan proses pemanasan kembali yang tidak cukup. Seringkali pangan katering

tersebut dipersiapkan pada malam hari dan baru dihidangkan untuk makan siang

pada hari berikutnya, sedangkan proses pemanasan kembali mungkin tidak cukup

karena jumlah pangan yang dipersiapkan terlalu banyak. Selain itu jika selama

waktu menunggu tersebut telah terbentuk racun bakteri yang relatif tahan panas,

misalnya enterotoksin Staphylococcus aureus, kemungkinan pemanasan yang

diberikan tidak cukup untuk menginaktifkan racun tersebut. Penggunaan bahan

tambahan pangan yang berbahaya dan cemaran kimia sukar untuk dideteksi secara

langsung karena gejalanya pada umumnya tidak bersifat akut (Fardiaz, 1994).

Masih banyaknya kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh pangan

yang disediakan oleh industri jasa boga disebabkan pengusaha atau pedagang

makanan, termasuk pengusaha katering dan restoran, pada umumnya tidak

mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam praktek sanitasi yang baik

dalam pengolahan dan penyajian makanan sehingga makanan yang dihidangkan

cukup terjamin keamanannya. Menurut survei yang dilakukan di Indonesia,

sebanyak 87,5% dari manager katering dan 19,7% dari perusahaan katering belum

pernah mendapatkan petunjuk atau pengetahuan mengenai sanitasi pangan

(Purawidjaja, 1992).

Di negara-negara yang telah maju pada umumnya telah dilakukan inspeksi

secara rutin terhadap kesehatan dan praktek sanitasi di industri-industri jasa boga.

Akan tetapi kegiatan inspeksi tersebut umumnya hanya dapat digunakan untuk

mendeteksi masalah yang dihadapi, sedangkan untuk mencegah supaya pangan

tersebut tidak terkontaminasi oleh bakteri patogen diperlukan suatu sistem

managemen yang baik. Pengawasan pangan yang mengandalkan pada uji produk

21

akhir tidak dapat mengimbangi kemajuan yang pesat dalam industri pangan dan

tidak dapat menjamin keamanan makanan yang beredar di pasaran, karenanya

dibutuhkan suatu tindakan preventif yang efektif untuk mengidentifikasi berbagai

bahaya sejak tahap awal persiapan, pengolahan sampai penyajian makanan,

menilai risiko-risiko yang terkait dan menentukan kegiatan dimana prosedur

pengendalian akan berdaya guna. Sehingga, prosedur pengendalian lebih

diarahkan pada kegiatan tertentu yang penting dalam menjamin keamanan

makanan.

Jumlah inspektur pangan yang masih sangat terbatas di Indonesia

menyebabkan prioritas inspeksi terutama hanya dilakukan terhadap industri

pangan, sedangkan industri jasa boga yang jumlahnya semakin banyak belum

mendapat inspeksi yang memadai. Cara yang terbaik untuk mengatasi hal ini

adalah dengan memberikan penyuluhan dan pembinaan kepada pengusaha-

pengusaha pangan, baik pengusaha katering, restoran, hotel, maupun pedagang

pangan jajanan mengenai praktek sanitasi yang baik dalam mengolah dan

mempersiapkan serta menyajikan pangan, serta pengetahuan mengenai

kemungkinan bahaya yang timbul jika praktek pengolahan dan persiapan pangan

tidak dilakukan dengan benar.

2.3. JAMINAN KEAMANAN PANGAN UNTUK JASA BOGA

Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan

telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu

dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu

dan gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta terciptanya

perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab. Beberapa peraturan antara

lain : Permenkes No. 23/MenKes/SK/I/78 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan

yang Baik (CPPB), Kepmenkes RI Nomor 1096 Tahun 2011 tentang Persyaratan

Hygiene Sanitasi Jasaboga, Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996

tentang keamanan pangan, Pedoman Hygiene Makanan Tahun 1996 dan Peraturan

Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi

pangan (Badan POM, 2004).

22

Selain peraturan-peraturan tersebut, sejak akhir tahun 2003, Badan POM

telah mengembangkan program keamanan pangan terpadu yaitu Program Piagam

Bintang Keamanan Pangan. Program ini terdiri dari tiga tingkatan piagam bintang

keamanan pangan yaitu Piagam Bintang Satu, Piagam Bintang Dua, dan Piagam

Bintang Tiga.

Namun demikian, di Indonesia telah diakui beberapa sertifikasi keamanan

pangan yang menyangkut pengadaan pangan oleh jasa boga. Beberapa sertifikasi

tersebut bersifat wajib dimiliki oleh jasa boga sebagai ijin usahanya yang tertuang

dalam peraturan pemerintah, dan beberapa yang lain bersifat sukarela, atau

merupakan persyaratan kerjasama dari rekan bisnis usaha jasa boga itu sendiri.

Beberapa jenis sertifikasi keamanan pangan untuk usaha jasa boga yang diakui di

Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Sertifikasi Laik Hygiene Sanitasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1096/Menkes/PER/VI/2011, Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi merupakan

persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh setiap usaha jasa boga, dengan

demikian sertifikat ini bersifat wajib (mandatory).

Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga adalah bukti tertulis yang

dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang terhadap jasaboga yang telah

memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sertifikat ini diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota daerah

setempat dimana usaha jasa boga tersebut beroperasi. Sertifikat Laik Higiene

Sanitasi Jasaboga dikeluarkan sesuai golongan jasaboga serta berlaku selama 3

(tiga) tahun dan untuk selanjutnya dapat diperpanjang jika memenuhi syarat.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP membentuk

Tim Pemeriksa yang bertugas melakukan penilaian, kunjungan dan

pemeriksaan untuk menilai kelaikan persyaratan bangunan, peralatan,

ketenagaan, dan bahan makanan baik fisik, kimia, maupun bakteriologis dan

seluruh rangkaian proses produksi pangan.

Pemeriksaan terhadap bahan pangan harus dilakukan melalui uji

laboratorium terhadap sampel pangan di laboratorium yang memiliki

kemampuan.

23

Tim Pemeriksa melaporkan hasil pemeriksaan kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP yang telah menugaskannya

dalam berita acara kelaikan fisik (Lampiran 3), berita acara pemeriksaan

sampel makanan (Lampiran 5), dan surat rekomendasi laik higiene sanitasi

(Lampran 6). Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga dapat dikeluarkan

setelah pemohon dinyatakan telah memenuhi persyaratan oleh Tim Pemeriksa

yang melihat langsung ke lokasi pengolahan pangan (Lampran 7).

2. Program Piagam Bintang Keamanan Pangan

Pada akhir tahun 2003, Badan POM menyelenggarakan Pilot Project

program Piagam Bintang Keamanan Pangan. Program ini merupakan salah

satu kegiatan dari Sistem Keamanan Pangan Terpadu yang terdiri dari tiga

tingkatan piagam bintang keamanan pangan, yaitu Piagam Bintang Satu,

Piagam Bintang Dua, dan Piagam Bintang Tiga.

Piagam Bintang Satu diberikan kepada industri pangan yang telah

menerapkan prinsip-prinsip dasar keamanan pangan. Piagam Bintang Dua

diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan Cara Produksi

Pangan yang Baik (CPPB) dan mengembangkan prosedur serta mengisi lemar

kerja. Piagam Bintang Tiga diberikan kepada industri pangan yang telah

menerapkan manajemen Keamanan Pangan berdasarkan prinsip Hazard

Analysis and Critical Control Point (HACCP). Namun demikian, sifat dari

Program Piagam Bintang Keamanan Pangan ini adalah sukarela (voluntary)

sebagai penghargaan Pemerintah kepada industri pangan atas usaha mereka

menerapkan keamanan pangan di industrinya.

3. Program CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik)

Program persyaratan kelayakan dasar merupakan suatu ukuran untuk

mengetahui suatu unit pengolahan pangan sudah memenuhi persyaratan, baik

dalam segi/aspek sanitasi dan higiene maupun dalam aspek cara berproduksi.

Program persyaratan kelayakan dasar sebaiknya terdokumentasi dengan baik

dalam standard operating procedures (SOP) yang tertulis dan sebaiknya

dimengerti dan dihayati oleh setiap karyawan yang bekerja di industri pangan

yang bersangkutan. Bahkan program persyaratan kelayakan dasar ini jika

24

diperlukan dapat ditinjau ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri

pangan guna menjamin bahwa program yang didesain dan direncanakan,

diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang

hendak dicapai (NACMCF, 1998).

Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua

bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good

manufacturing practice (GMP) dan standar prosedur operasional sanitasi atau

sanitation standard operation procedures (SSOP). Di Indonesia, BPOM telah

menerbitkan pedoman CPPB atau GMP sesuai Surat Keputusan Kepala Badan

POM No. HK.00.05.5.1639 tahun 2003. Surat Keputusan ini menetapkan

bahwa seluruh aspek dan rangkaian kegiatan pengolahan pangan wajib

berpedoman pada CPPB. Hanya saja SK BPOM No. HK 00.05.5.1639

berlaku wajib untuk industri rumah tangga. Untuk usaha jasa boga, belum ada

pedoman CPPB yang khusus disusun untuk pengolahan pangan siap saji jasa

boga, namun demikian prinsip-prinsip hygiene sanitasi dapat diadaptasi pada

usaha jasa boga. Pedoman penerapan GMP disusun berdasarkan pedoman

umum higiene pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan,

terutama yang mengatur mengenai produksi pangan. Pada Usaha jasa boga,

penerapan GMP lebih ditekankan pada GHP (Good Hygiene Practice).

Menurut Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan (Ditjen POM,

1996), tujuan penerapan CPPB adalah menghasilkan produk akhir pangan

yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan

konsumen, baik lokal maupun internasional. Sedangkan tujuan khusus

penerapan GHP adalah : (1) memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting

dalam produksi pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan untuk

menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi;

(2) mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi,

seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan,

proses, mutu produk akhir serta persyaratan higiene personal; (3)

mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara

untuk meningkatkan keamanan pangan.

25

Pedoman penerapan CPPB ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar

untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara

produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) melindungi konsumen dari

penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi

persyaratan; (2) memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang

dikonsumsi merupakan pangan yang layak; (3) mempertahankan dan

meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara

internasional; (4) memberikan bahan acuan dalam program pendidikan

kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen.

Standar prosedur operasional sanitasi atau sanitation standard operation

procedures (SSOP) juga merupakan salah satu unsur/komponen program

persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan

menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses.

Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang

perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan

sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau

CAC (2003) dalam General Principles of Food Hygiene mencakup : desain

bangunan, fasilitas dan peralatan produksi, pengendalian proses produksi

(pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan

mentah, pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi

dan rekaman), pemeliharaan dan sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan,

program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular,

pengelolaan dan pengolahan limbah, dan keefektifan pemantauan),

higiene/kebersihan personil/karyawan (status kesehatan karyawan, kebersihan

personil, prosedur penerimaan tamu/pengunjung), transportasi (persyaratan,

penggunaan dan pemeliharaan), informasi produk, serta pelatihan.

Dalam penerapan CPPB untuk industri jasa boga, untuk menyajikan

pangan siap saji yang bermutu baik dan aman, perlu diketahui variabel yang

memerlukan pemantauan khusus. Yang perlu diketahui oleh pengusaha jasa

boga adalah sumber pencemaran bahan berbahaya yang mungkin masuk ke

dalam pangan, pemantauan terhadap proses pemasakan, dan kondisi

penyimpanan atau penyajian yang aman. Tempat atau wadah penyimpanan

26

harus sesuai dengan jenis bahan pangan contohnya bahan pangan yang cepat

rusak disimpan dalam lemari pendingin dan bahan pangan kering disimpan

ditempat yang kering dan tidak lembab. Penyimpanan bahan pangan harus

memperhatikan suhu seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Suhu penyimpanan bahan makanan

No Jenis bahan makanan

Digunakan dalam waktu

3 hari atau

kurang

1 minggu atau

kurang

1 minggu atau

lebih

1 Daging, ikan, udang

dan olahannya -5

o s/d 0

oC -10

o s/d -5

oC > -10

oC

2 Telor, susu dan

olahannya 5

o s/d 7

oC -5

o s/d 0

oC > -5

oC

3 Sayur, buah dan

minuman 10

oC 10

oC 10

oC

4 Tepung dan biji 25

oC atau

suhu ruang

25oC atau

suhu ruang

25oC atau

suhu ruang Permenkes No.1096/2011

Selain itu, penyimpanan pangan yang telah masak atau jadi tidak dicampur

dengan bahan pangan mentah. Tabel 4 menyajikan suhu penyimpanan pangan

jadi/masak.

Tabel 4. Suhu penyimpanan pangan jadi /masak

No Jenis pangan

Suhu penyimpanan

Disajikan

dalam waktu

lama

Akan segera

disajikan

Belum segera

disajikan

1 Makanan kering 25o s/d 30

oC

2 Makanan basah

(berkuah) > 60

oC -10

oC

3 Makanan cepat basi

(santan, telur, susu) ≥ 65,5

oC -5

o s/d -1

oC

4 Makanan disajikan

dingin 5

o s/d 10

oC < 10°C

Permenkes No.1096/2011

Pengangkutan makanan jadi/masak/siap saji tidak boleh bercampur dengan

bahan berbahaya dan beracun (B3), menggunakan kendaraan khusus

pengangkut makanan jadi/masak dan harus selalu higienis, setiap jenis

makanan jadi mempunyai wadah masing-masing dan bertutup, wadah harus

utuh, kuat, tidak karat dan ukurannya memadai dengan jumlah makanan yang

27

akan ditempatkan, isi tidak boleh penuh untuk menghindari terjadi uap

makanan yang mencair (kondensasi).

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan pemanasan terhadap

suatu pangan adalah pH/keasaman, dan komposisi makanan. Makanan

berasam tinggi (pH rendah) memerlukan pemanasan yang lebih sedikit

dibandingkan makanan netral (pH sekitar 7). Makanan yang mengandung

garam, gula, protein dan lemak dalam jumlah tinggi memerlukan pemanasan

yang lebih tinggi dibandingkan makanan dengan kandungan bahan-bahan

tersebut dalam jumlah lebih rendah.

4. Sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)

Pemerintah melalui BSN (Badan Standarisasi Nasional) telah mengadopsi

sistem HACCP (CAC HACCP System : Guidlines for application ) menjadi

SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik

Kritis,HACCP-serta Pedoman Penerapannya) dan telah menetapkan

panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-2002 tentang panduan penyusunan

rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACCP

(Suprapto, 1999). Di Indonesia, penerapan HACCP masih bersifat sukarela

(voluntary) dan biasanya karena kebutuhan sebagai persyaratan perdagangan.

HACCP atau Hazard Analysis Critical Control Point adalah suatu

pendekatan sistem manajemen yang bersifat sistematis untuk

mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan

pangan (NACMCF, 1998). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

intinya adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya

masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap

penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk

manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan

dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan

jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen.

Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk

mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu

pangan guna memenuhi tututan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem

pengendalian mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir

28

Prinsip 1

Prinsip 2

Prinsip 7

Prinsip 6

Prinsip 5

Prinsip 4

Prinsip 3

diproduksi, didistribusikan, dan disajikan. Oleh karena itu dengan

diterapkannya sistem HACCP akan mencegah resiko komplain karena adanya

bahaya pada suatu produk pangan.

Gambar 1. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem

HACCP dalam industri pangan menurut standar

NACMCF (National Advisory Committee on

Microbiological Criteria for Foods) dan CAC (Codex

Alimentarius Commission)

Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan Hazard Analysis

Critical Control Point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip

sebagai berikut : (1) Analisis bahaya dan penetapan resiko, (2) Identifikasi

titik kendali kritis atau CCP (critical control point), (3) Penetapan batas kritis

untuk setiap CCP yang telah diidentifikasi, (4) Penetapan prosedur

pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor, (5) Menentukan tindakan

koreksi yang harus diambil untuk memperbaiki sistem jika terjadi

penyimpangan pada batas kritisnya, (6) Penetapan dan pengembangan sistem

1.Menyusun Tim HACCP

2. Mendeskripsikan Produk

3. Identifikasi Penggunaan

Produk

4. Menyusun Diagram Alir

5. Melakukan Verifikasi

Diagram Alir di tempat

6. Mendaftar semua Bahaya Potensial

Melakukan Analisis Bahaya

Menentukan Tindakan Pengendalian

7. Menentukan CCP

8. Menetapkan Batas

Kritis untuk Setiap CCP

9. Menetapkan Sistem Monitoring

untuk Setiap CCP

10. Menetapkan tindakan koreksi

untuk penyimpangan yang

mungkin terjadi

11. Menetapkan Prosedur

Verifikasi

12. Menetapkan Cara

Penyimpanan Catatan dan

Dokumentasi

29

dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (record keeping) dan

merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP, (7) Penetapan prosedur

verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah berjalan dengan

baik.

Implementsi prinsip-prinsip di atas tergantung dari jenis perusahaannya.

Bagi perusahaan jasa boga, sistem HACCP tersebut dapat dilakukan dengan

cara yang sederhana dan mudah untuk diterapkan di lapangan.

Untuk menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP, tahap pertama

yang harus dipenuhi adalah adanya komitmen dari manajemen kepemimpinan

perusahaan dengan fokus keamanan pangan serta pemenuhan terhadap

persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP. Hal ini berarti dari pihak

manajemen puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat dalam proses

produksi pangan harus mendukung dan melaksanakan program keamanan

pangan yang dicanangkan dalam kebijakan perusahaan.

Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP (Hazard

Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan menurut standar

NACMCF (1997) dan CAC (1997) disajikan pada Gambar 1. Langkah 1

sampai 5 pada Gambar 1 merupakan lima tahap pendahuluan sedangkan

langkah 6 sampai 12 merupakan tujuh langkah prinsip penerapan dan

pengembangan sistem HACCP.

Langkah 1

Menyusun Tim HACCP

Langkah awal yang harus dilakukan dalam penyusunan rencana HACCP

adalah membentuk Tim HACCP yang melibatkan semua komponen dalam

usaha pangan jasa boga yang terlibat dalam menghasilkan produk pangan

yang aman.

Langkah 2

Mendeskripsikan Produk

Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau

uraian dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCPnya. Deskripsi

produk yang dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk,

30

termasuk jenis produk, komposisi, formulasi, proses pengolahan,

penyimpanan, cara penyajian, serta keterangan lain yang berkaitan dengan

produk. Semua informasi tersebut diperlukan Tim HACCP untuk melakukan

evaluasi.

Langkah 3

Identifikasi Penggunaan Produk

Dalam kegiatan ini, tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang

mungkin berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan produk

harus didasarkan pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat

berasal dari orang umum atau kelompok masyarakat khusus, misalnya

kelompok vegetarian, kelompok diet bahan pangan tertentu, kelompok

penderita penyakit tertentu, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus

dipertimbangkan kelompok populasi pada masyarakat beresiko tinggi.

Langkah 4

Menyusun Diagram Alir Proses

Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan

mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan

penyajian produk. Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk

menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain

bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya,

dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang

ingin mengerti proses dan verifikasinya.

Langkah 5

Melakukan Verifikasi Diagram Alir Proses

Diagram alir proses yang dibuat harus lengkap dan sesuai dengan

pelaksanaan di lapangan, sehingga tim HACCP harus kembal meninjau proses

produksinya untuk menguji dan membuktikan ketepatan serta kesempurnaan

diagram alir proses tersebut. Bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak

tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir

proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.

31

Langkah 6

Analisa Bahaya (Prinsip 1)

Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan

analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan

untuk mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan

terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan

produk, distribusi, hingga tahap penyajian ke konsumen. Tujuan analisis

bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi

dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen.

Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya,

penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori

resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan

daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram

alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk

yang mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya, cara

penyimpanan, dan lain sebagainya.

Tabel 5. Jenis-jenis bahaya

Jenis Bahaya Contoh

Biologi

Sel Vegetatif : Salmonella sp, Eschericia coli

Kapang : Aspergillus, Penicillium, Fusarium

Virus : Hepatitis A

Parasit : Cryptosporodium sp

Spora Bakteri :

Kimia Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak diijinkan,

residu pestisida, logam berat, bahan allergen

Fisik Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu atau

kerikil, rambut, kuku, perhiasan, plastic, serangga dan

kotorannya

Bahaya (hazard) adalah suatu kemungkinan terjadinya masalah atau

resiko secara fisik, kimia dan biologi dalam suatu produk pangan yang dapat

menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia dapat dilihat pada Tabel 5.

Bahaya-bahaya (hazard) tersebut di atas dapat dikategorikan ke dalam enam

kategori bahaya, yaitu bahaya A sampai F yang dapat dilihat pada Tabel 6.

32

Tabel 6. Karakteristik bahaya

Kelompok Bahaya Karakteristik Bahaya

Bahaya A

Produk-produk pangan yang tidak steril dan

dibuat untuk konsumsi kelompok beresiko

(lansia, bayi, immunocompromised )

Bahaya B Produk mengandung ingridient sensitif terhadap

bahaya biologi, kimia atau fisik

Bahaya C

Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang

terkendali yang secara efektif membunuh

mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya

kimia atau fisik

Bahaya D Produk mungkin mengalami rekontaminasi

setelah pengolahan sebelum pengemasan

Bahaya E

Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan

selama distribusi atau oleh konsumen yang

menyebabkan produk berbahaya

Bahaya F

Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah

pengemasan atau di tangan konsumen atau tidak

ada pemanasan akhir atau tahap pemusnahan

mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki

pabrik (untuk bahan baku) atau tidak ada cara

apapun bagi konsumen untuk mendeteksi,

menghilangkan atau menghancurkan bahaya

kimia atau fisik

Tindakan pencegahan ( preventive measure ) adalah kegiatan yang dapat

menghilangkan bahaya atau menurunkan bahaya sampai ke batas aman.

Beberapa bahaya yang ada dapat dicegah atau diminimalkan melalui

penerapan prasyarat dasar pendukung sistem HACCP seperti GHP ( Good

Hygiene Practices) , SSOP (Sanitation Standard Operational Procedure) ,

SOP (Standard Operational Procedure), dan sistem pendukung lainnya.

Untuk menentukan resiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya,

maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko. Dari beberapa banyak

bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, maka dapat diterapkan kategori

resiko I sampai VI ( Tabel 7 ). Selain itu, bahaya yang ada dapat juga

dikelompokkan berdasarkan signifikansinya (Tabel 8). Signifikansi bahaya

dapat diputuskan oleh tim dengan mempertimbangkan peluang terjadinya (

reasonably likely to occur) dan keparahan ( severity ) suatu bahaya.

33

Tabel 7. Penetapan kategori resiko

Karakteristik Bahaya Kategori Resiko Jenis Bahaya

0 0 Tidak mengandung bahaya A sampai F

(+) I Mengandung satu bahaya B sampai F

(+ +) II Mengandung dua bahaya B sampai F

(+ + +) III Mengandung tiga bahaya B sampai F

(+ + + +) IV Mengandung empat bahaya B sampai F

(+ + + + +) V Mengandung lima bahaya B sampai F

A+(kategori khusus)

dengan atau tanpa

bahaya B-F

VI Kategori resiko paling tinggi (semua

produk yang mempunyai bahaya A)

Tabel 8. Signifikansi bahaya

Tingkat Keparahan (Severity)

L M H

Peluang Terjadi

(Reasonable likely to occur)

l Ll Ml Hl

m Lm Mm Hm*

h Lh Mh* Hh*

*) Umumnya dianggap signifikan dan akan diteruskan/dipertimbangkan dalam

penetapan CCP

Keterangan : L=l= low, M=m= medium, H=h=high

Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam

penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka

mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau

beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya

yang signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan

dalam penetapan critical control point.

Langkah 7

Menentukan Critical Control Point (Prinsip 2)

CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah

atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan

pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat

diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses

sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu

bahaya dapat dikendalikan.

34

Gambar 2. Diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis (CCP) atau CCP

decision tree

Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah

ditetapkan diuji dengan menggunakan diagram alir pohon penentuan titik

kendali kritis (CCP) atau CCP decision tree yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Decision tree ini berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang mungkin

muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan pada bahan

baku untuk mengidentifikasi bahan baku yang sensitif terhadap bahaya atau

35

untuk menghindari kontaminasi silang. Suatu CCP dapat digunakan untuk

mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP secara

bersama-sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan

mikrobiologi.

Langkah 8

Penetapan Critical Limit (Prinsip 3)

Critical limit (CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus

dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk

menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan

memisahkan antara "yang diterima" dan "yang ditolak", berupa kisaran

toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP

dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis haruslah dapat

disesuaikan, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut digunakan

dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan

serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan berdasarkan

studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di bidang mikrobiologi maupun

kimia, CODEX dan lain sebagainya.

Suatu CCP mungkin memiliki berbagai komponen yang harus

dikendalikan untuk menjamin keamanan produk. Secara umum batas kritis

dapat digolongkan ke dalam batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar

garam).

Tabel 9. Contoh Critical Limit (Batas Kritis) pada CCP

Critical Control Point Komponen Kritis

Proses Penerimaan Udang

Segar

Suhu

Pemasakan Rendang Daging

Sapi

Suhu pemasakan

Waktu pemasakan

Penambahan asam ke

minuman asam

pH produk akhir

Deteksi logam pada

pengolahan biji-bijian

Kalibrasi detektor

Sensitivitas detektor

Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya)

sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali

36

jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut. Tabel 9 menunjukkan

contoh batas kritis suatu proses dalam industri pangan.

Langkah 9

Menetapkan Sistem Monitoring CCP (Prinsip 4)

Kegiatan pemantauan (monitoring) adalah pengujian dan pengamatan

terencana dan terjadwal terhadap efektifitas proses mengendalikan CCP dan

CL untuk menjamin bahwa CL tersebut menjamin keamanan produk. CCP dan

CL dipantau oleh personel yang terampil serta dengan frekuensi yang

ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan, misalnya kepraktisan.

Pemantauan dapat berupa pengamatan (observasi) yang direkam dalam suatu

checklist atau pun merupakan suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu

data sheet. Pada tahap ini, tim HACCP perlu memperhatikan mengenai cara

pemantauan, waktu dan frekuensi, serta hal apa saja yang perlu dipantau dan

orang yang melakukan pemantauan.

Langkah 10

Menetapkan Tindakan Koreksi (Prinsip 5)

Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas

kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi penyimpangan,

sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk pangan

berisiko tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa penghentian proses

produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk

ditahan/tidak disajikan dan diuji keamanannya. Tindakan koreksi yang dapat

dilakukan selain menghentikan proses produksi antara lain mengeliminasi

produk dan kerja ulang produk.

Langkah 11

Menetapkan Prosedur Verifikasi (Prinsip 6)

Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk

menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang

ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program

HACCP dapat diperiksa dan efektifitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin.

Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin

37

bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga

dilakukan jika ada informasi baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi

keracunan pangan oleh produk tersebut.

Langkah 12

Menetapkan Cara Penyimpanan Catatan dan Dokumentasi

(Prinsip 7)

Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh

program HACCP sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan

dipertahankan selama periode waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua

catatan mengenai CCP, CL, rekaman pemantauan CL, tindakan koreksi yang

dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang verifikasi dan sebagainya.

Oleh karena itu dokumen ini dapat ditunjukkan kepada inspektur pengawas

makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat juga digunakan oleh

operator.

Pendataan tertulis seluruh program HACCP menjamin bahwa program

tersebut dapat diperiksa kembali dan dipertahankan selama periode waktu

tertentu. Dokumentasi program HACCP termasuk juga catatan mengenai

seluruh CCP kritis yang telah ditetapkan di dalam proses produksi pangan.

Verifikasi yaitu metode, prosedur atau uji yang digunakan untuk menentukan

bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan.

2.4. Implementasi Sistem HACCP Dalam Industri Jasa Boga

(Katering)

Penerapan HACCP bersifat spesifik untuk setiap produk pangan dan setiap

proses. HACCP dapat diterapkan dalam pengolahan dan penyajian berbagai

pangan siap saji atau katering, sehingga keamanan pangan tersebut lebih terjamin.

Untuk pangan semacam ini, yang hanya memerlukan waktu beberapa jam dari

mulai pemasakan pangan sampai pangan siap dikonsumsi, maka kegiatan

pengawasan mutu secara konvensional yang hanya mengandalkan hasil

pengamatan produk akhir saja mulai dirasa tidak cukup apalagi jika kemudian

terjadi kasus keracunan akibat mengkonsumsi pangan. Oleh karena itu penerapan

38

HACCP menjadi perlu diimplementasikan oleh pengusaha jasa boga atau

katering.

Penyusunan rencana HACCP untuk pangan jasa boga dapat

disederhanakan dengan menggunakan pendekatan tiga jenis diagram alir yang

disajikan pada Gambar 3. Penyusunan rencana HACCP dapat mempertimbangkan

hal-hal sebagai berikut yaitu langkah 2 sampai 5, produk dapat dikelompokkan

berdasarkan tiga jenis diagram alir proses yang disajikan pada Gambar 3.

Pada langkah 6 (Prinsip 1), analisis bahaya dilakukan dengan

mempertimbangkan frekuensi produk melewati danger zone (suhu kritis), yaitu

suhu di antara 5°C dan 60°C yang merupakan suhu kritis karena jasad renik dapat

berkembang biak dengan cepat dan menyebabkan kebusukan atau keracunan

pangan. Langkah 7 (Prinsip 2), CCP (Critical Control Point) umumnya berupa

penerimaan, persiapan (thawing, sortasi, pencucian), pemasakan, reheating, dan

penyajian. Langkah 8 (Prinsip 3) CL (Critical Limit) atau batas kritis pada pangan

siap saji umumnya berupa kombinasi suhu dan waktu.

(A) :

Penerimaan Bahan Baku (receive)

Penyimpanan Produk (hold)

Penyiapan (prepare)

Penyimpanan Bahan Baku (store)

Penyajian Produk (serve)

39

(B) :

(C) :

Gambar 3. Pendekatan tiga jenis diagram alir produk untuk pangan jasa boga;

(A) Diagram Alir I : Pangan yang tidak melalui proses pemanasan,

(B) Diagram Alir II : Pangan yang diolah dan disajikan pada hari yang sama,

(C) Diagram Alir III : Pangan dengan pengolahan kompleks (USFDA,1998)

Penyiapan (prepare)

Penyimpanan Bahan Baku (store)

Penyajian Produk (serve)

Penyimpanan Produk (hold)

Penerimaan Bahan Baku (receive)

Pemasakan (Cook)

Penyiapan (prepare)

Penyimpanan Bahan Baku (store)

Pemanasan Kembali Produk (reheat)

Pendinginan Produk (cool)

Penyimpanan panas Produk (hot hold)

Penyajian Produk (serve)

Penerimaan Bahan Baku (receive)

Pemasakan (cook)