13
Bank: 1. BCACabang Matrarnan rtAY LEMBAGA PTTEOLOGIJAKARTA).No. 342 302 2635 2. Bank MANDIRI Cabang Cikini (LEMBAGA PERGURUANTINGGI TEOLOGI),No. 123 000 5625431 Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta lstia Lakawa. Ih.D. Jakarta, 1 Maret 2020 untuk menjadi pembicara dalam kegiatan Kursus Ekstensi dengan judul "Pneumatologi Karl Barth" yang diselenggarakan pada 5 Maret 2020 di STFDriyarkara. Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Jabatan Prof. [oas Adiprasetya, Th.D. Dosen Tetap Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta Nama Pemimpin Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta melalui surat ini menugaskan: SURATTUGAS No. :078a/Ketua/111/2020 Hal :Penugasan Mewakili STFTJakarta Jalan Proklamasi 27 Jakarta 10320, Indonesia Tel. +62-21-3904237 Fax. +62-21-3906096 Email: [email protected] http.Z/www.sttjakarta.ac.id/

SURATTUGASrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2020/08/... · 2020. 8. 14. · Bank: 1.BCACabangMatrarnan rtAY LEMBAGAPTTEOLOGIJAKARTA).No.3423022635 2.BankMANDIRI CabangCikini(LEMBAGAPERGURUANTINGGITEOLOGI),No.123000

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • Bank: 1.BCACabangMatrarnan rtAY LEMBAGA PTTEOLOGIJAKARTA).No. 342 302 26352. Bank MANDIRI CabangCikini (LEMBAGA PERGURUANTINGGI TEOLOGI),No. 123 000 5625431

    Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

    lstia Lakawa. Ih.D.

    Jakarta, 1Maret 2020

    untuk menjadi pembicara dalam kegiatan Kursus Ekstensi dengan judul "Pneumatologi

    Karl Barth" yang diselenggarakan pada 5 Maret 2020 di STFDriyarkara. Demikian surat ini

    dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

    Jabatan

    Prof. [oas Adiprasetya, Th.D.

    Dosen Tetap Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

    Nama

    Pemimpin Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta melalui surat ini menugaskan:

    SURATTUGAS

    No. : 078a/Ketua/111/2020

    Hal : Penugasan Mewakili STFTJakarta

    Jalan Proklamasi 27Jakarta 10320, IndonesiaTel. +62-21-3904237Fax. +62-21-3906096Email: [email protected]/www.sttjakarta.ac.id/

  • 1

    PNEUMATOLOGI KARL BARTH

    JOAS ADIPRASETYA1

    iptaan membutuhkan Sang Pencipta untuk dapat hidup. Karena itu diperlukan hubungan dengan-Nya. Tapi ia tak dapat menciptakan hubungan ini. Allah menciptakannya dengan kehadiran-Nya sendiri di dalam ciptaan dan karenanya

    sebagai suatu hubungan dari diri-Nya sendiri kepada diri-Nya sendiri. Roh Allah adalah Allah dalam kebebasan-Nya untuk hadir dalam ciptaan, dan karena itu untuk menciptakan hubungan ini, dan karenanya untuk menjadi kehidupan dari ciptaan. Dan Roh Allah, Roh Kudus, khususnya dalam wahyu, adalah Allah sendiri sampai-sampai Ia tidak hanya dapat datang kepada manusia tetapi juga di dalam manusia, dan dengan demikian membuka manusia dan menjadikannya mampu dan siap untuk diri-Nya sendiri, dan dengan demikian menggapai wahyu-Nya dalam dirinya … Inilah realitas Allah di mana Allah sendiri menjadi hadir bagi manusia tidak hanya secara eksternal, namun juga dari dalam, dari bawah, secara subjektif.2

    HIDUP DAN KARYA

    Karl Barth adalah seorang raksasa teologi Reformed abad ke-20. Ruang cakup pemikirannya seluas teolog Katolik besar seperti Karl Rahner dan Hans Urs von Balthasar. Maka, nyaris tidak mungkin mengautopsi pemikiran Barth secara ringkas tanpa melakukan sebuah simplifikasi berlebihan. Namun, tampaknya, tak ada pilihan lain buat saya. Sebab, dugaan saya, Anda semua tidak terlampau familiar dengan pemikiran Barth, sehingga sebuah perkenalan awal terhadap pemikiran utamanya sangat dibutuhkan. Barulah setelah itu, kita dapat mempercakapkan pandangan teologi Roh Kudus atau pneumatologi Barth.

    Karl Barth lahir di Basel, Swiss, pada 10 Mei 1886. Ia studi di bawah Adolf von Harnack dan Wilhelm Herrmann, dua teolog liberal Jerman pada masa itu. Ketertarikan Barth pada Bapa Liberalisme, Friedrich Schleiermacher, sangat jelas pada usia mudanya. Setelah Perang Dunia I berawal pada tahun 1914, Barth mengalami keterkejutan karena menyaksikan banyak sekali teolog sezamannya yang mendukung rencana perang Jerman.

    1 Joas Adiprasetya ([email protected]) adalah Guru Besar Teologi Konstruktif di

    Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Jakarta. Paper ini merupakan bahan percakapan di kelas Extension Course Semester Genap 2019/2020 STF Driyarkara, 5 maret 2020.

    2 Karl Barth, Church Dogmatics: Volume I, Part 1: The Doctrine of the Word of God, ed. Geoffrey W. Bromiley and Thomas F. Torrance, trans. Geoffrey W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1975), 450–51.

    C

  • 2

    Hal itu ia pahami sebagai kegagalan kekristenan yang menyerah pada kebudayaan. Tragedi spiritual itu membuatnya beralih dari fase liberalisme ke fase neo-orthodoks dan teologi krisis, yang ditandai dengan diterbitkannya hasil studi Barth atas Surat Roma (Jer: Der Römerbrief; Eng: The Epistle to the Romans) pada tahun 1919. Buku ini berhutang pada pada pemikiran Kierkegaard, khususnya dalam menekankan perbedaan kualitatif yang tak terbatas antara Allah dan manusia. Ke-liyan-an Allah (Allah sebagai Wholly Other, totaliter aliter) sangat ditegaskan dan, konsekuensinya, teologi Kristen harus selalu bercuriga pada semua yang berbau natural dan kultural. Demikian pun, teologi tak boleh menjadi produk olah pikir manusia namun harus berbasis pada penyataan Allah yang diimani oleh Gereja. Itu sebabnya, ia menulis ulang dan mengembangkan bukunya yang berjudul Die Christliche Dogmatik (Dogmatika Kristen) dengan judul baru, Die Kirchliche Dogmatik (Dogmatika Gereja).

    Penolakannya pada teologi naturalis, sebagaimana ditunjukkan oleh liberalisme pada umumnya dan secara khusus pemikiran Schleiermacher, menjadi landasan sangat kuat dalam melawan Hitler sejak ia mulai berkuasa pada tahun 1933. Sementara sangat banyak gereja dan teolog Jerman yang mendukung Hitler dalam ketakutan, Barth bergabung dengan Gereja yang Mengaku (Bekennende Kirche) yang melakukan perlawanan gerilya terhadap Nazisme. Barthlah yang kemudian mendraf sebuah dokumen konfesional yang disebut “Deklarasi Barmen” yang sangat subversif itu, pada tahun 1934.3 Dokumen ini sangat jelas menunjukkan teologi dan etika Barth, yang baginya harus sepenuhnya mengabdi pada Firman Allah. Livingston mencatat, “etika sosial Barth merupakan sebuah etika dari perintah ilahi dan ketaatan manusiawi sebagaimana dipahami di dalam usaha menyimak Firman Allah di dalam konteks sebuah situasi yang konkret.” (Livingston 2000, 101). Akibatnya, Barth terusir dari universitas-universitas tempatnya mengajar dan ia harus berpindah ke Basel, Swiss, hingga masa hayatnya.

    Barth terus menulis magnum opus-nya, Church Dogmatics, yang dimulainya sejak 1932 hingga sesaat sebelum wafat pada 10 Desember 1968, pada usia 82. Ia menyelesaikan 13 jilid dari empat volume buku ini, yang terdiri atas lebih dari 9.257 halaman dan (diduga) lebih dari 6.000.000 kata.4 Dibutuhkan waktu 46.153 menit atau sekitar 32 hari tanpa henti

    3 Arthur C. Cochrane, The Church’s Confession Under Hitler (Philadelphia: Westminster Press,

    1962), 237–42. Versi online dokumen dapat dibaca di https://www.sacred-texts.com/chr/barmen.htm. 4 Bandingkan dengan trilogi Hans Urs von Balthasar sebanyak 16 volume yang terdiri atas

    7.511 halaman; atau jika seluruh koleksi tulisan Balthasar dikumpulkan akan mencapai 21 volume atau 9.453 halaman.

  • 3

    untuk membaca seluruh Church Dogmatics dengan kecepatan membaca rata-rata 130 kata per menit. Berikut daftar ketigabelas jilid buku tersebut:

    Volume I Part 1 Doctrine of the Word of God: Prolegomena to Church Dogmatics Volume I Part 2 Doctrine of the Word of God Volume II Part 1 The Doctrine of God: The Knowledge of God; The Reality of God Volume II Part 2 The Doctrine of God: The Election of God; The Command of God Volume III Part 1 The Doctrine of Creation: The Work of Creation Volume III Part 2 The Doctrine of Creation: The Creature Volume III Part 3 The Doctrine of Creation: The Creator and His Creature Volume III Part 4 The Doctrine of Creation: The Command of God the Creator Volume IV Part 1 The Doctrine of Reconciliation Volume IV Part 2 Doctrine of Reconciliation: Jesus Christ the Servant As Lord Volume IV Part 3, 1st half Doctrine of Reconciliation: Jesus Christ the True Witness Volume IV Part 3, 2nd half Doctrine of Reconciliation: Jesus Christ the True Witness Volume IV Part 4 Doctrine of Reconciliation: The Foundation of the Christian Life

    (Baptism) (unfinished)

    Saya merasa perlu untuk memaparkan seluruh judul Church Dogmatics untuk menunjukkan bahwa proyek besar ini belum berhasil diselesaikan oleh Barth hingga akhir masa hayatnya. Secara alamiah kita menduga bahwa Barth berusaha berbicara selanjutnya tentang Roh Kudus, yang ternyata tak berhasil dikerjakannya.

    RANGKUMAN TEOLOGI

    Usaha merangkum pemikiran teologis Barth tentu merupakan sebuah usaha yang tak mudah, jika bukan tak mungkin. Akan tetapi, izinkanlah saya tetap melakukannya untuk memberi sebuah gambaran umum mengenai teolog Reformed besar ini. Untuk itu saya ingin mulai dengan apa yang kerap dituduhkan padanya, yaitu Kristomonisme.

    Banyak orang mengutip satu kalimat yang dipercaya muncul dari Barth. Sekalipun tak pernah terbukti benar berasal dari Barth, namun kalimat tersebut dianggap cukup untuk mencerminkan teologi Barth. “Barth” berkata, “Jesus is the answer, now what’s the question?” (“Yesus adalah jawabannya, nah sekarang apa pertanyaannya?”). Bagi Barth, Kitab Suci bukanlah pewahyuan Allah melainkan kesaksian terhadap Wahyu Allah satu-satunya, yaitu Kristus! Atas dasar itu, Barth mengkonstruksi teologinya sebagai penolakan tegas atas filsafat religius modern yang memusatkan diri pada perasaan dan humanisme, sebagaimana yang muncul, misalnya, dalam pemikiran Schleiermacher.

    Cara berpikir demikian menempatkan Barth sebagai penganjur neo-orthodoksi di kalangan Protestan abad ke-20. Teologi neo-orthodoks tersebut ingin kembali pada inti

  • 4

    keyakinan para Reformator dan Kitab Suci sendiri. Karena sifatnya yang menolak semua yang berbau natural dan menempatkan Kristus sebagai titik-penghakiman Allah atas dunia, maka teologi Barth juga bisa disebut sebagai teologi krisis. Ia menyarikan pemikirannya dalam tafsirnya atas Surat Roma:

    Di dalam kebangkitan, dunia baru dari Roh Kudus menyentuh dunia lama dari daging, tetapi menyentuhnya seperti sebuah garis singgung (tangent) yang menyentuh sebuah lingkaran, yaitu, tanpa menyentuhnya. Dan, justru karena ia tidak menyentuhnya, ia menyentuhnya sebagai perbatasannya: sebagai dunia baru. Kebangkitan ini dengan demikian merupakan sebuah peristiwa di dalam sejarah … Apa yang menyentuh kita—sekaligus belum menyentuh kita—dalam Yesus Kristus, merupakan Kerajaan Allah yang adalah Pencipta sekaligus Penebus. Kerajaan Allah telah menjadi aktual, sudah dekat (iii. 21, 22). Dan Yesus Kristus ini adalah–Tuhan kita. Melalui kehadiran-Nya di dunia dan dalam hidup kita, kita telah dibubarkan sebagai manusia dan diteguhkan dalam Allah. 5

    Kutipan ini sendiri sebenarnya secara otomatis menggugurkan tuduhan Kristomonisme Barth. Benarlah bahwa ia menempatkan Kristus sebagai satu-satunya Wahyu Allah, namun pewahyuan Allah melalui Kristus tidak pernah terjadi di luar karya dan kuasa Roh Kudus. Dengan kata lain, teologi Barth dapat didefinisikan bukan sebagai sebuah Kristomonisme, namun sebuah Trinitarianisme yang Kristosentris. Karya dan pewahyuan Allah hanya terjadi melalui Kristus, di dalam kuasa Roh Kudus.

    Kalimat berhuruf miring yang saya cantumkan dalam kutipan di atas merupakan wajah Trinitarianisme Kritosentris Barth yang sangat penting, yang kerap disebut aktualisme. Aktualisme menegaskan bahwa siapa Allah hanya dapat dikenali dari karya (actus) Allah bagi kita, bukan di dalam kebaikan apa pun dari pihak ciptaan. Aktualisme ini mengakar di dalam pewahyuan objektif Allah bagi kita di dalam sejarah dunia melalui pribadi Kristus.

    Wajah Trinitaris dari teologi Barth membuat ia dikenal bersama-sama dengan Karl Rahner sebagai teolog yang bertanggung jawab atas revivalitas Teologi Trinitas pada abad ke-20 di dunia Barat. Dalam kata-kata Barth yang terkenal, “Allah mewahyukan Diri-Nya. Allah mewahyukan Diri-Nya melalui Diri-Nya. Allah mewahyukan Diri-Nya.”6 Dengan kata lain, Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah sekaligus Revealer, Revelation, dan Revealedness. Bagi Barth, Allah Sang Pewahyu (Revealer) identik dengan karya-Nya di dalam

    5 Karl Barth, The Epistle to the Romans, trans. Edwyn C. Hoskyns (London: Oxford University

    Press, 1968), 30; huruf miring dari saya. 6 Barth, CD I/1, 296; huruf miring dari penulis.

  • 5

    Pewahyuan (Revelation), dan identik pula dengan efeknya (Revealedness). Alar Laats menyimpulkan pemikiran Trinitaris Barth demikian,

    Tiga mode keberadaan Allah “berkembang” (evolve) dari satu sama lain di dalam cara yang sama seperti tiga momen berbeda dari satu peristiwa (event) pewahyuan. Sang Anak keluar dari Sang Bapa sebagai pewahyuan dan Roh Kudus keluar dari Sang Anak, dan karenanya juga dari Sang Bapa sebagai Pewahyuan yang keluar dari Sang Pewahyu, sebagai Yang Terwahyukan keluar dari Pewahyuan dan melalui itu dari Sang Pewahyu … Dan kesatuan dari Allah Trinitas merupakan kesatuan dari peristiwa pewayuan yang tunggal.7

    Dengan menempatkan Trinitas sebagai fokus percakapan sejak awal (bagian “Prolegomena”) seri Church Dogmatics ini, Barth memosisikan diri berseberangan secara frontal dengan Schleiermacher, yang menempatkan Trinitas di ujung akhir bukunya, The Christian Faith, yaitu di bagian “Appendix.” Bagi Schleiermacher, doktrin Trinitas hanya berfungsi sebagai “coping stone” (Schlußstein) bagi seluruh bangunan iman Kristen.8

    Saya secara khusus memusatkan pembahasan pada satu dari begitu banyak dimensi teologi Barth, yang saya yakin relevan bagi tema kita. Dapat saya simpulkan bahwa teologi Barth berpusat pada Sang Firman, yaitu Kristus, yang menjadi satu-satunya pewahyuan Allah Trinitas. Karena Ia adalah Sang Pewahyuan Allah, dalam karya Trinitas yang merupakan sebuah peristiwa tunggal, maka Ia secara dialektis menghadirkan sebuah krisis bagi ciptaan yang berdosa. Atas dasar itu, aktualisme Sang Firman menolak semua kemungkinan manusiawi dari teologi yang naturalistis dan humanistis. Allah di dalam Kristus adalah sekaligus YA dan TIDAK, walau semua demi YA Allah bagi manusia (bdk. 2Kor. 1:18-20)! Kutipan ini kiranya membantu penyimpulan saya, sekalipun secara khusus Barth tengah berbicara mengenai doktrin predestinasi:

    Ia bukanlah sebuah pesan yang bercampur dari sukacita dan teror, keselamatan dan penghukuman. Awalnya dan akhirnya ia tidaklah dialektis namun non-dialektis. Ia tidak memproklamasikan di dalam napas yang sama kebaikan dan kejahatan, pertolongan dan penghancuran, kehidupan dan kematian. Tentu saja, ia menghadirkan sebuah bayang-bayang. Kita tidak dapat mengabaikan sisi masalah ini. Namun, di dalam dirinya sendiri ia merupakan terang dan bukan kegelapan. Bagaimana pun, bahkan di bawah sisi ini, kata akhirnya tak pernah berupa peringatan, penghakiman, penghukuman, hambatan yang ditegakkan, kuburan

    7 Alar Laats, Doctrines of the Trinity in Eastern and Western Theologies: A Study with Special

    Reference to K. Barth and V. Lossky, Studies in the Intercultural History of Christianity; Studien Zur Interkulturellen Geschichte Des Christentums, vol. 114 (Frankfurt & New York: Peter Lang, 1999), 32.

    8 Friedrich Schleiermacher, The Christian Faith, Third edition (London & New York: Bloomsbury T & T Clark, 2016), 739.

  • 6

    yang terbuka. Kita tak pernah berbicara mengenainya tanpa menyinggung semua ini. YA tidak dapat diperdengarkan kecuali TIDAK juga diperdengarkan. Namun TIDAK dikatakan demi YA dan bukan demi dirinya sendiri. Pada hakikatnya, dengan demikian, kata pertama dan terakhir adalah YA dan bukan TIDAK.9

    Berdasarkan pemikiran dialektis yang sekaligus Trinitaris dan Kristosentris ini, Barth berhasil memberi solusi menarik bagi para teolog Reformed dalam memahami berbagai doktrin. Saya akan memberikan dua contoh yang sangat aktual dalam konteks gerejawi saya.

    Contoh #1: Predestinasi

    Yang pertama adalah doktrin predestinasi. Karena Kristus adalah Sang Pewahyuan Allah satu-satunya, yang di dalam-Nya YA dan TIDAK Allah nyata, demi YA agung itu, maka Barth merumuskan doktrin predestinasi secara menarik. Bagi Barth,

    Yang pertama, Yesus adalah Allah yang memilih … Yang kedua, adalah bahwa Yesus adalah manusia yang dipilih … Pernyataan-pernyataan ini bersama-sama dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena keduanya berbicara mengenai satu Yesus Kristus, dan Allah dan manusia di dalam Yesus Kristus adalah baik Yang Memilih dan Yang Dipilih. Sejak awal bersama Allah adalah Satu ini, Yesus Kristus. Dan inilah predestinasi itu.10

    Karena kedua prinsip itu, yaitu bahwa Kristus adalah Allah yang memilih dan manusia yang dipilih (YA Allah), terhisab pula TIDAK Allah, bahwa Kristus adalah Allah yang menolak dan manusia yang ditolak.

    Solusi kreatif Barth ini menjadi alternatif bagi pemahaman predestinasi ganda dalam teologi Reformed yang menegaskan bahwa Allah memilih sebagian untuk diselamatkan dan memilih (bukan membiarkan) sisanya untuk dibinasakan. Di dalam predestinasi yang Kristosentris ini, YA agung Allah lebih menggema dibandingkan TIDAK Allah. Lebih jauh, kita melihat kedekatan doktrin predestinasi Barth dengan pemahaman para teolog Fransiskan, sebagaimana diwakili oleh Beat. John Duns Scotus dan St. Bonaventura., yang menegaskan bahwa Kristuslah yang dipredestinasi sejak awal oleh Sang Bapa.

    9 Karl Barth, Church Dogmatics: Volume II, Part 2: The Doctrine of God, ed. Geoffrey W.

    Bromiley and Thomas F Torrance, trans. Geoffrey W. Bromiley et al. (Edinburgh: T&T Clark, 2004), 13.

    10 Barth, 145.

  • 7

    Contoh #2: Tiga Lapis Firman Allah Contoh yang kedua adalah doktrin Firman Allah. Lazim dijumpai di dalam

    kekristenan Protestan pengutamaan (yang kerap berlebihan) pada Kitab Suci sebagai Firman Allah. Jarang dijumpai di kalangan umat (bahkan pendeta), pemahaman bahwa Firman Allah pertama-tama adalah Kristus itu sendiri. Barth merevisi cara berpikir ini dengan—sekali lagi—prinsip Kristosentrismenya.

    Kita telah berbicara tentang tiga bentuk berbeda dari Firman Allah dan bukan tiga Firman Allah yang berbeda. Dalam bentuk lapis-tiga ini dan bukan sebaliknya—tetapi juga sebagai satu-satunya Firman dalam bentuk lapis-tiga—Firman Allah diberikan kepada kita dan kita harus berusaha memahaminya secara konseptual. Adalah satu dan sama apakah kita memahaminya sebagai Wahyu, Kitab Suci, atau pewartaan. Tidak ada perbedaan derajat atau nilai antara ketiga bentuk. Sebab sejauh pewartaan itu benar-benar bersandar pada perenungan Wahyu yang dipersaksikan di dalam Kitab Suci dan dengan demikian merupakan pengulangan yang patuh dari kesaksian Kitab Suci, itu tidak lain adalah Firman Allah daripada Kitab Suci. Dan pada taraf Kitab Suci benar-benar mempersaksikan Wahyu, ia tidak lain adalah Firman Allah daripada Wahyu itu sendiri. Ketika Kitab Suci dan pewartaan menjadi Firman Allah dalam kebenaran aktualitas Wahyu, mereka adalah Firman Allah: satu-satunya Firman Allah yang di dalamnya tidak ada yang lebih dan tidak kurang. Kita juga tidak boleh mencoba untuk memahami ketiga bentuk Firman Allah secara terpisah. Yang pertama, Wahyu, adalah bentuk yang mendasari dua lainnya. Namun, ia tidak pernah menjumpai kita di mana pun dalam bentuk abstrak. Kita mengetahuinya hanya secara tidak langsung, dari Kitab Suci dan pewartaan. Firman Allah yang langsung bertemu dengan kita hanya dalam mediasi ganda ini. Tetapi Kitab Suci juga, untuk menjadi Firman Allah bagi kita, harus diberitakan di Gereja.11

    Jadi, Kristuslah satu-satunya Firman yang diwahyukan, yang berkat-Nya kita memiliki Firman yang tertulis (Kitab Suci) dan Firman yang diucapkan (pewartaan). Yang kedua dan yang ketiga menjadi tidak berarti ketika dilepaskan dari yang pertama. Namun, ketiganya menjadi satu kesatuan dalam aktualitas Pewahyuan Allah bagi manusia. Mungkin, sebuah komparasi menarik dapat dilakukan atas pandangan lapis-tiga Barth ini dengan kehadiran lapis-empat Kristus dalam teologi Katolik, yaitu melalui Firman Allah, elemen dari sakramen, imam, dan umat.12

    11 Barth, CD I/1, 120–21. 12 Paus Paulus IV, “Sacrosanctum Concilium: Constitution on the Sacred Liturgy,” Desember

    1963, par. 7, https://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_const_19631204_sacrosanctum-concilium_en.html.

  • 8

    PNEUMATOLOGI BARTH

    Semua peneliti Barth paham benar bahwa Barth wafat sebelum mampu menyelesaikan Church Dogmatics V yang rencananya membahas secara tuntas artikel ketiga Pengakuan Iman, yaitu Roh Kudus. Rencana ini dinyatakannya dalam banyak kesempatan sejak lama. Sejak 1978, saat membahas Schleiermacher, Barth sudah menegaskan,

    Apa yang telah saya katakan di sana-sini kepada para sahabat yang baik, adalah kemungkinan dari sebuah teologi mengenai artikel ketiga, dengan kata lain, suatu teologi yang terutama dan secara khusus mengenai Roh Kudus. Segala sesuatu yang perlu dikatakan, dipertimbangkan, dan dipercayai tentang Allah Bapa dan Anak Allah dalam pemahaman tentang artikel pertama dan artikel kedua dapat diperlihatkan dan diterangi dalam fondasinya melalui Roh Kudus, vinculum pacis inter Patrem et Filium [ikatan damai Sang Bapa dan Sang Anak] … Dalam CD IV/1-3, saya setidaknya memiliki insting yang baik untuk menempatkan gereja, dan kemudian iman, cinta, dan harapan, di bawah tanda Roh Kudus.

    Jadi, Barth tidak mengabaikan Roh Kudus. Sebaliknya, ia ingin menjadikan pneumatologi sebagai “gong” akhir dari seluruh konstruksi teologis yang dibangunnya selama beberapa dekade—walau akhirnya ia tak pernah sampai ke titik akhir itu. Maka, yang dilakukan oleh banyak ahli Barth adalah meneliti pneumatologi Barth melalui tulisan yang berserakan di sana-sini. Salah satu dari para ahli tersebut adalah kolega saya, Rebecca B. Young.13 Dan saya akan mempergunakan skema yang diperlihatkan oleh Young dalam memetakan pneumatologi Barth.

    Young memperlihatkan bahwa ada tiga tema yang selalu menggema di dalam pneumatologi Barth: kesatuan (unity), kebebasan (freedom), dan kehadiran di dalam kekinian (presence in the present). Ketiga tema tersebut kemudian menampilkan tiga “wilayah” karya Roh Kudus:

    1. Kesatuan Roh Pencipta (the Creator Spirit) 2. Kebebasan Roh Rahmat (the Spirit of Grace) 3. Kehadiran Roh Janji (the Spirit of Promise)

    Dari skema di atas tampaklah bahwa ketiga karya Roh tersebut tak terpisahkan satu sama lain. Ketiganya juga menampilkan sebuah struktur Trinitaris yang kokoh. Karya pertama terkait pada Allah Bapa Sang Pencipta yang menjadi dasar kesatuan dari seluruh realitas. Karya kedua terhubung dengan Kristus Sang Rahmat yang memberikan kebebasan

    13 Rebecca B. Young, “A Critical Inquiry into Karl Barth’s Doctrine of the Holy Spirit for

    Constructive Work in Feminist Pneumatology” (Dissertation, Fordham University, 2003).

  • 9

    dan keselamatan. Karya ketiga secara khusus menunjuk pada pribadi Roh Kudus sebagai Kehadiran ilahi pada ciptaan yang memberikan janji pembaruan bagi ciptaan.

    Yang menarik skema Young ini konsisten dengan tulisan Barth sendiri, The Holy Spirit and the Christian Life (1929).14 Buku ini terstruktur secara Trinitaris demikian:

    1. Roh Kudus sebagai Pencipta 2. Roh Kudus sebagai Penebus 3. Roh Kudus sebagai Pembebas

    Secara sistematis, Barth menjelaskan ketiga karya Roh Kudus tersebut melalui sebuah outline yang merangkum seluruh pneumatologinya (lihat Lampiran). Terlihat konsistensi struktur berpikir antara apa yang disajikan oleh Barth dan apa yang dipahami oleh Young. Secara sederhana, saya merangkumnya demikian: 1. Roh Pencipta yang Mempersatukan

    Sebagai Roh Pencipta, Roh Kudus menjadi ikatan penyatu di dalam Allah Trinitas. Dalam hal ini, Barth mengikuti tradisi klasik Kristen di Barat bahwa Roh Kudus adalah vinculum caritatis (ikatan kasih) Allah Trinitas. Pada saat bersamaan, Roh Kudus memungkinkan kesatuan Allah Trinitas dan ciptaan, sebab ikatan manusia di dalam gambar Allah memungkinkan kesatuan manusia dan Allah melalui kuasa Roh Kudus.

    2. Roh Penebus yang Merahmati

    Jika Kristus adalah satu-satunya pewahyuan Allah yang aktual, maka Roh Kudus memungkinkan manusia terbuka pada Kristus dan menerima-Nya. Dengan kata lain, Roh Kudus adalah dimensi subjektif dari pewahyuan Allah. Jika Kristus adalah satu-satunya garis singgung antara Allah dan ciptaan (baca: rahmat), maka relasi penuh rahmat yang membebaskan tersebut dimungkinkan hanya melalui Roh Kudus. Melalui Roh, keselamatan di dalam Kristus diperoleh oleh manusia sebagai rahmat melalui pembenaran dari keberdosaan manusia melalui pertobatan dan kehidupan baru.

    3. Roh Pembebas yang Memberi Janji dan Pengharapan

    Secara khusus, Roh Kudus berkarya dalam pembebasan (redemption) yang mengorientasikan manusia dan seluruh ciptaan kepada masa depan yang diperbarui

    14 Karl Barth, The Holy Spirit and the Christian Life, trans. Michael Raburn (np, 2002),

    https://www.academia.edu/11930438/Karl_Barth_The_Holy_Spirit_and_the_Christian_Life.

  • 10

    oleh Allah melalui Kristus. Masa depan tersebut menjadi janji Allah yang memberikan pengharapan kepada manusia. Pengharapan pada janji Allah itu dihidupi oleh gereja melalui hati nurani, pengucapan syukur, dan doa. Dengan cara itu, Allah di dalam Roh Kudus selalu hadir bagi ciptaan-Nya, khususnya bagi orang-orang percaya melalui kehidupan gereja.

    Selain tiga prinsip dasar yang khas dalam pemikiran Barth di atas, kita bisa melihat

    bahwa secara fundamental, pneumatologi Barth mengikuti tradisi Kristen pada umumnya. Ia bersifat Trinitaris; ia melekatkan pribadi dan karya Roh Kudus pada pribadi dan karya Kristus, Sang Wahyu satu-satunya; ia memusatkan karya Roh Kudus pada momen pembebasan (redemption); ia memperlihatkan karya Roh pada kesucian dan spiritualitas orang percaya dan gereja.

    BACAAN

    Barth, Karl. Church Dogmatics: Volume I, Part 1: The Doctrine of the Word of God. Edited by Geoffrey W. Bromiley and Thomas F. Torrance. Translated by Geoffrey W. Bromiley. Edinburgh: T&T Clark, 1975.

    ———. Church Dogmatics: Volume II, Part 2: The Doctrine of God. Edited by Geoffrey W. Bromiley and Thomas F Torrance. Translated by Geoffrey W. Bromiley, J.C. Campbell, Iain Wilson, J.S. McNab, Harold Knight, and R.A. Stewart. Edinburgh: T&T Clark, 2004.

    ———. The Epistle to the Romans. Translated by Edwyn C. Hoskyns. London: Oxford University Press, 1968.

    ———. The Holy Spirit and the Christian Life. Translated by Michael Raburn. np, 2002. https://www.academia.edu/11930438/Karl_Barth_The_Holy_Spirit_and_the_Christian_Life.

    Cochrane, Arthur C. The Church’s Confession Under Hitler. Philadelphia: Westminster Press, 1962. Laats, Alar. Doctrines of the Trinity in Eastern and Western Theologies: A Study with Special Reference

    to K. Barth and V. Lossky. Studies in the Intercultural History of Christianity; Studien Zur Interkulturellen Geschichte Des Christentums, vol. 114. Frankfurt & New York: Peter Lang, 1999.

    Paus Paulus IV. “Sacrosanctum Concilium: Constitution on the Sacred Liturgy,” Desember 1963. https://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_const_19631204_sacrosanctum-concilium_en.html.

    Schleiermacher, Friedrich. The Christian Faith. Third edition. London & New York: Bloomsbury T & T Clark, 2016.

    Young, Rebecca B. “A Critical Inquiry into Karl Barth’s Doctrine of the Holy Spirit for Constructive Work in Feminist Pneumatology.” Dissertation, Fordham University, 2003.

  • PRINSIP PENUNTUN

    Barth, Karl. The Holy Spirit and the Christian Life. Translated by Michael Raburn. np, 2002, 1-3. 1. Roh Kudus sebagai Pencipta 1. Roh Kudus, dalam peristiwa kehadirannya bagi manusia, adalah satu-satunya alasan

    bahwa manusia benar-benar ada di dalam gambar Allah. Dengan demikian gambar Allah bukan dan tidak akan menjadi sebuah atribut dari roh [manusia] yang diciptakan, sebaliknya ia adalah dan tetap merupakan karya bebas Sang Pencipta di dalam ciptaan-Nya, yang hanya dapat dipahami sebagai rahmat, dan yang selalu tidak dapat dipahami oleh umat manusia.

    2. Kehidupan Kristen adalah kehidupan manusia yang, melalui Roh Kudus, terbuka pada Firman Allah. Karena itu, Roh Kudus mewakili, dalam keberadaan dan karya-Nya, sisi subjektif dalam peristiwa pewahyuan. Wahyu itu, melalui Kitab Suci dan pengalaman, memberikan pengetahuan kepada manusia agar, sementara pengetahuan tentang apa yang dituntut oleh Penciptanya kepadanya bukanlah miliknya, itu dimungkinkan di dalam Roh Kudus (melalui apa yang diberikan dalam Firman).

    2. Roh Kudus sebagai Penebus 1. Roh Kudus, sebagai Roh rahmat, berjuang melawan permusuhan manusia terhadap

    rahmat—yaitu upaya untuk membenarkan diri sendiri melalui perbuatan, yang merupakan dosa yang tidak dapat disingkirkan manusia, atau bahkan membayangkan diri mereka tanpa itu.

    2. Kehidupan Kristen berarti bahwa melalui karya Roh Kudus dalam kehidupan manusia, mereka memperoleh pembenaran melalui Firman, demi Kristus; pembenaran melalui iman muncul sebagai pertobatan dan sebagai penyerahan diri.

    3. Roh Kudus sebagai Pembebas 1. Roh Kudus hadir bagi manusia dalam wahyu Allah sebagai Roh Janji. Dalam Roh Kudus,

    yaitu, dalam finalitas dan kemasadepanan dari prinsip keberadaan-Nya di kehidupan sesudah kematian, manusia adalah ciptaan baru: anak Allah.

    2. Kehidupan Kristen lahir dari Roh Kudus sebagai kehidupan baru dalam pengharapan. Setelah tersembunyi bersama Kristus di dalam Allah, manusia selalu memiliki Hati Nurani yang menuntunnya ke dalam seluruh kebenaran, dan karena di dalam kebebasan ia terikat selalu dalam rasa syukur kepada Allah, ia berdoa dan selalu didengarkan saat ia berdoa.

  • Demikian laporan yang dapat saya sampaikan.

    Jakarta, 6 Maret 2020

    Terdapat sekitar 75 peserta kursus ekstensi ini dan semua peserta sangat antusias dan penuh

    perhatian dalam menyimak pemaparan yang saya sampaikan. Setelah pemaparan selesai,

    dilangsungkan tanya-jawab yang berlangsung sekitar satu jam. Terdapat banyak pertanyaan

    yang mendalam dan menarik. Secara keseluruhan, kelas tersebut berhasil memunculkan minat di

    dalam diri peserta terhadap topik pembahasan.

    Pada 5 Maret 2020, saya diundang untuk menjadi salah satu pengajar di Kursus Ekstensi

    (Extension Course) STFDriyarkara. Extension Course STFDriyarkara telah berlangsung sebagai

    sebuah tradisi puluhan tahun yang bertujuan untuk mempopularkan filsafat ke masyarakat

    umum. Untuk kelas ini, saya mempresentasikan Pneumatologi Karl Barth. Barth adalah seorang

    teolog Reformed yang terkenal di abad-20 dan saya membahas pemikirannya mengenai Roh

    Kudus.

    "

    LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

    KELAS KURSUS EKSTENSI STF DRIYARKARA,

    STF Driyarkara, Jakarta,S Maret 2020

    Surat Tugas Pembicara Kursus Ekstensi STF Driyarkara.pdfNPSCN001(1).pdf

    SIBKD - Extension Course STFT Driyarkara 5 Maret 2020.pdfMateri Extension Course STFT Driyarkara 5 Maret 2020.pdfLaporan Kegiatan Pembicara Kursus Ekstensi STF Driyarkara.pdfNPSCN001(1).pdf