2011-2-00074-AK BAB II

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    1/24

    9

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    II.1 Surat Ketetapan Pajak (SKP)

    Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (SKP) hanya terbatas kepada

    Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat

    Pemberitahuan (SPT) atau karena ditemukannya data fisik yang tidak dilaporkan

    oleh Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan setelah proses

     pemeriksaan selesai dilakukan dan belum dilakukan penyidikan. Surat Ketetapan

    Pajak (SKP) memiliki fungsi, yaitu sebagai:

    1.  Koreksi atas jumlah pajak terhutang menurut SPT Wajib Pajak;

    2.  Sarana untuk mengenakan sanksi;

    3.  Sarana untuk menagih pajak;

    4.  Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar;

    5. 

    Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terhutang.

    Surat Ketetapan Pajak terdiri atas enam macam, yaitu Surat Tagihan

    Pajak (STP), surat keterangan berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

    (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat

    Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN),

    dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    2/24

    10

    II.1.1 Surat Tagihan Pajak

    Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat yang diterbitkan untuk

    melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau

    denda. Surat Tagihan Pajak diatur dalam Pasal 14 UU No.6 Tahun 1983 tentang

    Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan

    UU No.6 Tahun 2000. Surat Tagihan Pajak dapat diterbitkan dalam hal-hal

    sebagai berikut:

    1.  Apabila PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;

    2.  Apabila dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat

    kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau

    salah hitung;

    3.  Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda

    dan/atau bunga;

    4.  Apabila pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN dan

     perubahannya tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan

    sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP);

    5.  Apabila pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena

    Pajak, tetapi membuat Faktur Pajak;

    6.  Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

    tidak membuat atau membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu

    atau tidak mengisi selengkapya Faktur Pajak.

    Penerbitan Surat Tagihan Pajak akan ditambah dengan sanksi

    administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    3/24

    11

    empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun pajak atau

    tahun pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.

    II.1.2 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah Surat Ketetapan

    Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak,

     jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan

     jumlah yang masih harus dibayar. SKPKB diterbitkan dalam hal-hal sebagai

     berikut:

    1.  Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak

    yang terhutang tidak atau kurang dibayar;

    2.  Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu

    yang telah ditetapkan dan setelah ditegur secara tertulis tidak

    disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat

    Teguran;

    3.  Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM

    ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau

    tidak seharusnya dikenakan tariff 0%;

    4.  Apabila Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan

    tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak, sehingga tidak

    dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

    Penerbitan SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi

    yang bisa berupa denda maupun berupa kenaikan. Sanksi administrasi

     berupa denda sebesar 2% sebulan akan dikenakan apabila

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    4/24

    12

     berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa Wajib Pajak tidak

    atau kurang membayar besarnya pajak yang terutang.

    II.1.3 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah Surat

    Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan tambahan atas jumlah pajak

    yang telah ditetapkan dalam SKPKBT. Penerbitan SKPKBT dilakukan apabila

    ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang dapat

    menyebabkan penambahan pajak yang terutang. SKPKBT diterbitkan untuk

    menampung beberapa kemungkinan yang terjadi seperti:

    1.  Adanya SKPKBT yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah

    daripada perhitungan yang sebenarnya;

    2.  Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam

    SKPLB yang seharusnya tidak dilakukan; dan

    3. 

    Adanya pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

    yang ditetapkan ternyata lebih rendah.

    II.1.4 Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

    Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang

    diterbitkan untuk menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena

     jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak

    seharusnya terutang. SKPLB diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari wajib

     pajak. Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) harus sudah menerbitkan SKPLB

     paling lambat 12 bulan sejak permohonan diterima, kecuali untuk kegiatan

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    5/24

    13

    tertentu akan ditetapkan lain oleh Direktur Jenderal Pajak. Apabila jangka 12

     bulan telah lewat, maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Wajib

    Pajak berhak memperoleh pengembalian atas kelebihan pajaknya. Apabila

     berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih

     besar dari kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan, maka SKPLB

    masih dapat diterbitkan lagi.

    II.1.5 Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

    Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah Surat Ketetapan Pajak yang

    diterbitkan untuk menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah

    kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

    II.1.6 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang

    diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak

    yang terutang kepada Wajib Pajak. SPPT merupakan dokumen yang berisi

     besarnya utang atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dilunasi oleh

    Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan. SPPT diterbitkan berdasarkan

    Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah disampaikan oleh Wajib

    Pajak atau berdasarkan data objek pajak yang telah ada di Kantor Pelayanan

    PBB.

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    6/24

    14

    II.2 Penagihan Pajak

    Tindakan penagihan pajak didasari oleh adanya Surat Ketetapan Pajak,

    yaitu Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

    (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat

    Keputusan Pembetulan, serta Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding

    yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar ditambah. Menurut Pasal 1

    ayat (9) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak

    dengan Surat Paksa, disebutkan bahwa:

    “Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak

    melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur ataumemperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,

    memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan

     penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita”.

    Dengan melihat definisi di atas maka penagihan pajak merupakan salah

    satu rangkaian atau tindakan dalam system perpajakan nasional, yaitu sebagai

    law enforcement   terhadap wajib pajak yang tidak atau belum melaksanakan

    kewajiban perpajakannya sebagaimana mestinya. Tindakan penagihan dilakukan,

     baik secara persuasif maupun secara represif. Artinya tindakan penagihan

    diawali dengan Surat Teguran, tetapi bila Wajib Pajak tidak mengindahkannya

     baru dilakukan tindakan secara paksa.

    II.2.1 Dasar Hukum Penagihan Pajak

    1.  Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak

    dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    7/24

    15

    Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak

    dengan Surat Paksa;

    2.  Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

    24/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

    Menteri Keuangan Nomor 85/PMK/2010 tanggal 13 April 2010

    Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa dan

    Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus;

    3.  Pasal 18 Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan

    Umum dan Tata Cara Perpajakan mengenai Dasar Penagihan Pajak.

    4.  Pasal 19 Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan

    Umum dan Tata Cara Perpajakan mengenai administrasi penagihan

     pajak;

    5.  Pasal 20 Undang-undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan

    Umum dan Tata Cara Perpajakan mengenai Surat Paksa dan

    Penagihan Seketika dan Sekaligus;

    6.  Pasal 21 Undang-undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan

    Umum dan Tata Cara Perpajakan mengenai Hak Mendahului Tagihan

    Pajak;

    7.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 03/PJ.04/2009

    tanggal 27 Mei 2009 Tentang Kebijakan Penagihan Pajak Tahun

    2009;

    8.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 50/PJ/2010 tanggal

    7 April 2010 Tentang Kebijakan Penagihan Pajak Tahun 2010;

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    8/24

    16

    9.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 36/PJ/2011 tanggal

    30 Mei 2011 Tentang Kebijakan Penagihan Pajak Tahun 2011.

    II.2.2 Pelaksana Penagihan Pajak

    Pelaksana yang berwenang dalam melaksanakan penagihan pajak adalah:

    1.  Pejabat

    Sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang

    Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, kewenangan untuk

    melaksanakan penagihan pajak diserahkan kepada pejabat tertentu

    sesuai dengan jenis pajak (pajak pusat atau pajak daerah). Pejabat

    yang berwenang melaksanakan penagihan pajak pusat antara lain

    Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak

    Bumi dan Bangunan, sedangkan pejabat yang berwenang

    melaksanakan penagihan pajak daerah adalah Kepala Dinas

    Pendapatan Daerah, yaitu Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi

    untuk penagihan pajak provinsi, Kepala Dinas Pendapatan Daerah

    Kabupaten untuk penagihan pajak kabupaten, dan Kepala Dinas

    Pendapatan Daerah Kota untuk penagihan pajak kota.

    Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 19

    Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Pejabat

     berwenang untuk:

    a.  Mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak;

     b.  Menerbitkan:

    1)  Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    9/24

    17

    2)  Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;

    3)  Surat Paksa;

    4)  Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;

    5) 

    Surat Perintah Penyanderaan;

    6)  Surat Pencabutan Sita;

    7)  Pengumuman Lelang;

    8)  Surat Penentuan Harga Limit;

    9)  Pembatalan Lelang; dan

    10) Surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan pajak.”

    2.  Jurusita Pajak

    Jurusita Pajak merupakan pelaksana tindakan penagihan pajak.

    Jurusita Pajak pusat diangkat dan diberhentikan oleh pejabat yang

    ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat

    sedangkan Jurusita Pajak daerah diangkat dan diberhentikan oleh

    Gubernur atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak daerah.

    Berdasarkan Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) serta

    ayat (5) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan

    Pajak dengan Surat Paksa, Jurusita Pajak bertugas :

    a.  Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;

     b.  Memberitahukan Surat Paksa;

    c.  Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak

     berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    10/24

    18

    d.  Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah

    Penyanderaan.

    Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya harus dilengkapi

    dengan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak dan harus diperlihatkan

    kepada Penanggung Pajak. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita

    Pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk

    membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita

    ditempat usaha, ditempat kedudukan, atau ditempat tinggal

     penanggung pajak, atau ditempat lain yang dapat diduga sebagai

    tempat penyimpanan objek sita.”

    II.2.3 Cara Penagihan Pajak

    Tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus terhadap Wajib

    Pajak atau Penanggung Pajak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

    1.  Penagihan Pajak Pasif

    Penagihan pajak pasif yakni penagihan yang dilakukan oleh

    fiskus sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran dari Surat Tagihan

    Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat

    Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat

    Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding

    yang mengakibatkan jumlah pajak yang kurang dibayar bertambah

    melalui imbauan, baik dengan surat maupun dengan telepon atau

    media lainnya.

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    11/24

    19

    2.  Penagihan Pajak Aktif

    Penagihan pajak aktif yakni penagihan yang dilakukan oleh

    fiskus setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dari Surat Tagihan

    Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat

    Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) atau

    sejenisnya, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,

    Putusan Banding yang mengakibatkan jumlah pajak yang kurang

     bayar tidak dilunasi oleh Wajib Pajak sehingga diterbitkan Surat

    Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan hingga

     pelaksanaan lelang.

    II.2.4 Tahapan Penagihan Pajak

    Tindakan penagihan pajak dapat dilaksanakan dalam beberapa tahapan

    yang diawali dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan diakhiri dengan

     pelaksanaan lelang. Tahapan penagihan pajak dapat digambarkan sebagai

     berikut:

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    12/24

    20

    Gambar 2.1

    Tahapan Penagihan Pajak

    II.2.5 Surat Teguran

    Sebagaimana telah diketahui bahwa yang menjadi dasar penagihan pajak

    adalah adanya Surat Ketetapan Pajak. Setelah dalam jangka waktu satu bulan

    sejak tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud

    tersebut Wajib Pajak tetap tidak melunasinya, maka dilakukan suatu tindakan

     penagihan aktif berupa penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau Surat

    Lain yang sejenis yang dimaksudkan untuk menegur atau memperingatkan Wajib

    Pajak untuk melunasi utang pajaknya.

    Surat Teguran sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak

    dilakukan segera setelah tujuh hari sejak saat jatuh tempo pembayaran yang

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    13/24

    21

    tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak. Penerbitan Surat Teguran dalam UU

    tidak diatur secara khusus dalam satu bagian tersendiri, tetapi hanya merupakan

     bagian dari bab mengenai Surat Paksa, seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal

    8 ayat (1) huruf a dan ayat (2) UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah

    dengan UU No. 19 Tahun 2000. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) menyatakan “Surat

    Paksa diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan

    kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain

    yang sejenis.” Sementara ayat (2) menyatakan “Surat Teguran, Surat Peringatan,

    atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi

    utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.”

    II.2.6 Penagihan Seketika dan Sekaligus

    Dalam melaksanakan tindakan penagihan pajak tidaklah selalu didahului

    dengan pelaksanaan Surat Paksa, tetapi dapat langsung dengan melakukan

    tindakan berupa penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus

    tanpa perlu menunggu jatuh tempo pembayaran. Penagihan seketika adalah

     penagihan yang dilakukan segera tanpa menunggu tanggal jatuh tempo

     pembayaran. Sementara itu, penagihan sekaligus adalah penagihan yang meliputi

    seluruh utang pajak dari semua jenis pajak dan tahun pajak.

    Cara penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, secara

    tegas disebutkan dalam pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan No.24/

    PMK.03/2008 tanggal 6 Februari 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan

    Dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus, yaitu

    diterbitkan dalam hal:

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    14/24

    22

    1.  Sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;

    2.  Tanpa didahului dengan adanya Surat Teguran;

    3.  Sebelum jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran

    diterbitkan; atau

    4.  Sebelum penerbitan Surat Paksa.

    Adanya tindakan penagihan seketika dan sekaligus ini tidak lain

    dimaksudkan agar Wajib Pajak tetap harus mendahului kepentingan Negara

    untuk melunasi utang pajak sebelum kepentingan-kepentingan lain diselesaikan.

    Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tanggal

    6 Februari 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa

    dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus menegaskan bahwa tindakan

     penagihan seketika dan sekaligus dapat dilaksanakan oleh Jurusita Pajak apabila:

    a.  Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-

    lamanya atau berniat untuk itu;

     b. 

    Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau

    yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan

     perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;

    c.  Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan

     badan usaha, atau menggabungkan usaha, atau memekarkan usaha,

    atau memindahtangakan perusahaan yang dimiliki atau yang

    dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;

    d.  Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau

    e.  Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh Pihak ketiga

    atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    15/24

    23

    II.2.7 Surat Paksa (SP)

    Surat Paksa (SP) adalah surat perintah untuk membayar utang pajak dan

     biaya penagihan pajak. Ada tiga hal yang menyebabkan diterbitkannya Surat

    Paksa, yaitu :

    1.  Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan

    tanggal jatuh tempo dan telah diterbitkan Surat Teguran atau surat

     peringatan atau surat lain yang sejenis;

    2.  Bahwa terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penagihan

    seketika dan sekaligus;

    3.  Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan

     persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

    Surat Paksa yang akan disampaikan kepada Penanggung Pajak dilakukan

     paling lambat setelah lampau 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran atau

    surat peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan. Apabila Surat Paksa

    diterbitkan kurang dari 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran

    diterbitkan, maka Surat Paksa menjadi batal demi hukum. Surat Paksa yang telah

    diterbitkan haruslah disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Wajib

    Pajak/Penanggung Pajak. Setelah Surat Paksa diberitahukan kepada Wajib Pajak

    kemudian dibuat Berita Acara Penyampaian Surat Paksa.

    Pasal 10 ayat (3) UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah

    dengan UU No. 19 Tahun 2000 menegaskan bahwa untuk menyampaikan Surat

    Paksa kepada orang pribadi, Jurusita Pajak harus menyerahkan kepada:

    a.  Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat lain

    yang memungkinkan;

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    16/24

    24

     b.  Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja

    di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang

     bersangkutan tidak dapat dijumpai;

    c. 

    Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus

    harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan

    harta warisan belum dibagi; atau

    d.  Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta

    warisan telah dibagi.

    Sementara itu, Pasal 10 ayat (4) UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana

    telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000 menegaskan bahwa penyampaian

    Surat Paksa untuk Wajib Pajak badan, harus disampaikan oleh Jurusita Pajak

    kepada :

    a.  Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab,

     pemilik modal, baik ditempat kedudukan badan bersangkutan, di

    tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan;

    atau

     b.  Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang

     bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah

    seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

    Apabila Wajib Pajak sudah dinyatakan pailit, maka Surat Paksa harus

    disampaikan kepada Kurator, Hakim Pengawas, atau Balai Harta peninggalan.

    Bila Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa

    disampaikan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan

     pemberesan atau likuidator.

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    17/24

    25

    II.2.8 Penyitaan

    Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak untuk

    menguasai barang Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi

    utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyitaan

    merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah Surat Paksa yang hanya dapat

    dilakukan setelah batas waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan.

    Artinya, apabila Penanggung Pajak/ Wajib Pajak tetap tidak melunasi utang

     pajak sebagaimana yang tercantum dalam Surat Paksa, barulah penyitaan dapat

    dilaksanakan.

    Pada prinsipnya tujuan penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan

     pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak. Oleh karena itu, penyitaan dapat

    dilakukan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat

    tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat lain termasuk yang

     penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai

     pelunasan utang tertentu.

    Penyitaan dapat dilakukan terhadap barang bergerak maupun barang

    tidak bergerak. Termasuk penyitaan terhadap barang bergerak adalah mobil,

     perhiasan, uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro,

    atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat

     berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain.

    Sementara itu, yang termasuk barang tidak bergerak adalah tanah, bangunan, dan

    kapal dengan isi kotor tertentu. Namun demikian terdapat enam jenis barang

    yang dikecualikan dari penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU

     No.19 Tahun 1997, yaitu:

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    18/24

    26

    1.  Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan

    oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;

    2.  Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta

     peralatan memasak yang ada di rumah;

    3.  Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas;

    4.  Buku-buku yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan

    Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan,

    kebudayaan, dan keilmuan;

    5.  Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk

    melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah

    seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah);

    6.  Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak

    dan keluarga yang menjadi tanggungannya.

    Pada prinsipnya penyitaan dalam hukum pajak tidak mengubah status

    kepemilikan atas suatu barang. Barang yang telah disita dapat dititipkan kepada

    Penanggung Pajak atau dapat disimpan di tempat lain. Apabila pihak lain telah

    melakukan penyitaan, maka Jurusita Pajak hanya menyampaikan Surat Paksa

    kepasa instansi yang bersangkutan dan tidak melakukan penyitaan lagi. Artinya,

    terhadap suatu barang yang sudah disita oleh suatu instansi, tidak boleh

    dilekatkan sita lagi oleh instansi lainnya.

    II.2.9 Pelelangan

    Lelang adalah setiap penjualan barang dimuka umum yang dipimpin oleh

     pejabat lelang dengan cara penawaran harga secara terbuka/lisan dan/atau

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    19/24

    27

    tertutup/tertulis yang didahului dengan pengumuman lelang. Lelang dalam hal

    sita pajak merupakan salah satu bagian dari berbagai jenis lelang untuk

    melaksanakan eksekusi atas barang-barang milik Penanggung Pajak dalam

    rangka penagihan piutang pajak. Namun demikian, tidak semua objek yang telah

    disita oleh Jurusita Pajak dapat dilakukan lelang. Pasal 2 Peraturan Pemerintah

     No. 136 Tahun 2000 dengan tegas menyebutkan adanya objek sita yang

    dikecualikan dari lelang, yaitu berupa:

    1.  Uang tunai;

    2.  Surat-surat berharga berupa deposito berjangka, tabungan, saldo

    rekening koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang

    dan penyertaan modal pada perusahaan lain;

    3.  Barang yang mudah rusak atau cepat busuk.

    Karena atas barang-barang tersebut tidak dapat dilakukan pelelangan,

    maka tindakan penagihan yang dilakukan adalah dengan cara sebagai berikut:

    1. 

    Atas uang tunai tersebut maka akan disetor ke kas Negara;

    2.  Atas deposito, tabungan, saldo rekening koran akan dipindahbukukan

    ke kas Negara;

    3.  Atas obligasi, saham, atau surat berharga lainnya akan dijual di bursa

    efek;

    4.  Atas piutang akan dialihkan hak menagihnya; dan

    5.  Atas penyertaan modal akan dibuatkan akta persetujuan pengalihan

    hak menjual dari Wajib Pajak kepada pejabat (Kepala KPP/KPPBB)

    Sesuai aturan yang telah ditentukan, pelaksanaan lelang dilakukan

    sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang.

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    20/24

    28

    Pengumuman lelang itu sendiri dilakukan sekurang-kurangnya 14 (empat belas)

    hari setelah pelaksanaan penyitaan. Pengumuman lelang tersebut bertujuan untuk

    memberikan perlindungan kepada pihak ketiga yang berkepentingan dan juga

    dimaksudkan untuk member kesempatan kepada Penanggung Pajak untuk

    melunasi utang pajaknya sebelum lelang dilaksanakan dan sekaligus memberikan

     perlindungan hukum kepada pembeli atas objek barang yang dilelang dari

    kemungkinan adanya gugatan dari pihak-pihak lain dikemudian hari.

    Setelah lelang dilaksanakan, secara hukum hak Penanggung Pajak atas

     barang yang dilelang berpindah kepada pembeli dan kepada pembeli diberikan

    dokumen Risalah Lelang yang memuat keterangan tentang barang sitaan telah

    terjual. Risalah Lelang ini merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran

    dan pengalihan hak, yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap hal

     pembeli lelang.

    II.2.10 Pencegahan dan Penyanderaan

    Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap

    Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia

     berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

     berlaku. Sedangkan penyanderaan adalah pengekangan untuk sementara waktu

    kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.

    Sesuai dengan Pasal 1 Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor Kep-

    218/PJ/2003 tanggal 30 Juli 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan

    dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera,

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    21/24

    29

    tempat tertentu tersebut adalah rumah tahanan Negara yang terpisah dari tahanan

    lain.

    Pencegahan dan penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap

    Penanggung Pajak yang memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

    1.  Syarat kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang

     pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah); dan

    2.  Syarat kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya iktikad baik

    Penanggung Pajak yang bersangkutan dalam melunasi utang

     pajaknya.

    Apabila telah dilakukan pencegahan terhadap Penanggung Pajak, tidaklah

     berarti utang pajaknya terhapus. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 UU

    Penagihan bahwa pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan

    hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.

    Masa pencegahan ditentukan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat

    diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. Sama halnya dengan jangka

    waktu penyanderaan yang hanya dapat dilakukan paling lama 6 (enam) bulan

    terhitung sejak Penanguung Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan

    dapat diperpanjang selama-lamanya 6 (enam) bulan. Jika Penanggung Pajak

    yang disandera melarikan diri dan tertangkap, maka yang bersangkutan

    dimasukkan ke rutan kembali berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang

    diterbitkan pertama kali dan selama masa pelarian tidak dihitung sebagai masa

     penyanderaan.

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    22/24

    30

    II.2.11 Gugatan

    Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan atas pelaksanaan

     penagihan pajak kepada pengadilan pajak. Sementara gugatan atas kepemilikan

     barang yang disita diajukannya kepada pengadilan negeri. Gugatan atas

     pelaksanaan penagihan pajak ke pengadilan pajak harus diajukan dalam waktu

    14 (empat belas) hari sejak Surat Paksa, sita, maupun lelang telah dilaksanakan.

    Hitungan 14 (empat belas) hari dihitung sejak dilakukannya pemberitahuan Surat

    Paksa kepada Penanggung Pajak. Sedangkan untuk sita dihitung sejak

     pembuatan Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan untuk lelang dihitung sejak

     pengumuman lelang. Apabila dalam jangka waktu yang dimaksud Penanggung

    Pajak tidak mengajukan gugatan, maka hak untuk menggugat tidak dapat

    diterima alias gugur.

    II.2.12 Daluwarsa Penagihan Pajak

    Daluwarsa penagihan merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan

    oleh Undang-undang bahwa fiskus tidak mempunyai hak lagi untuk melakukan

     penagihan terhadap utang pajak Wajib Pajak. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) dan

    ayat (2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan

    Tata Cara Perpajakan yang berbunyi sebagai berikut :

    1.  Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda,

    kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui

    waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak,

    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak

    Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    23/24

    31

    Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan

    Kembali.

    2.  Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    tertangguh apabila:

    a.  Diterbitkan Surat Paksa;

     b.  Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung

    maupun tidak langsung;

    c.  Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak

    Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

    ayat (4); atau

    d.  Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

    Mengacu pada Wirawan (2010) dalam bukunya Hukum Pajak,

    menjelaskan yang dimaksud dengan adanya pengakuan utang pajak dari Wajib

    Pajak, baik langsung maupun tidak langsung misalnya:

    1.  Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran atau penundaan

     pembayaran utang pajak sebelum jatuh tempo pembayaran. Dalam hal

    ini daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan

    angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh

    Direktur Jenderal Pajak.

    2.  Wajib Pajak mengajukan permohonan pengajuan keberatan. Dalam

    hal ini daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat keberatan

    Wajib Pajak diterima Direktur Jenderal Pajak.

  • 8/18/2019 2011-2-00074-AK BAB II

    24/24

    32

    3.  Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya.

    Dalam hal ini daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal

     pembayaran sebagian utang pajak tersebut.