1
SUARAKARYA o Selasa o Rabu • Kamis o Jumat o Sabtu o Minggu (t) 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 OJan OPeb o Mar OApr OMei OJun .Jul OAgs OSep OOkt ONov ODes Fokus Ariel-Luna &. UU ·Pornografi Romli Atmasasmita Guru Besar Universitas Padji:lpjaran M embiiat undang-undang- (UU) . telah ada pakemnya secara nor- matif, diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pem- bentukan Perundang-undangan. Dari naskah akademik sampai naskah ran- cangan undang-undang (RUU), pemba- hasannya di DPR--melalui rapat dengar pendapat (RDP)--melibatkan akademisi, masyarakat, dan pemangku kepentingan (stakeholdel}. . Pengalaman penulis, sejak naskah akademik sampai pembahasan di DPRRl, memakan waktu antara 3 sampai 6 bulan, tidak mungkin penyelesaian pembahasan RUU mendekati akhir tahun anggaran. Sebab, sekitar bulan Ok- tober tahun berjalan, setiap departemen telah memasukkan rencana program dan anggaran untuk legislasi. Proses legis- lasi yang berprinsip harus selesai dalam waktu satu tahun anggaran itu bukan keputusan yang tepat. Sebab, pem- buatan dan .pembahasan naskah RUUbukan semata-mata merangkaikan kalimat normatif, melainkan berdampak ter- 'hadap nilai-nilai kehidupan masyarakat luas yang pluralis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRl). Oleh karena itu, ahli hukum pidana Indonesia, Sudarto (aim) menegaskan bahwa pembuatan UU harus memper- timbangkan ongkos sosial (social cos!) dan, sisi kegunaan jangka panjang dari efek pemberlakuannya, UU Pornograsi sejak pembahasan sampai diundan- gkannya telah menyita perhatian masyarakat, dan terjadi pengajuan hak uji materiel ke M,ahkamah Konstitusi (~K!. Kemudian MKtetap menyatakan sah berlakunya UU im, walaupun politik hukum di balik UU ini belum mencer- minkan semua nilai-nilai yan hiduR dalam masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam pembentuk UU Pornografi adalah agama dan nilai kesusilaan masyarakat Indonesia yang dikenaf masyarakat agamis. Namun, per- bandingan hukum yang digunakan merujuk kepada UU yang sama di negara lain, terutama dari Barat yang men:u- liki perbedaan kultur dan nilai-nilai kehidupan sosial dengan kutur dan nilai kehidupan masyarakat Indonesia. Masih kuatnya faham liberalisme dan individualisme dalam UU ini tidak dapat diingkari sebagaimana tampak dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 UU Nomor 44 Tahun 2008yang disahkan pada 26 November 2008. Penjelasan kedua pasal tersebut menegaskan pemisahan (bukan perbedaan) antara aktivitas di ruang publik dan aktivitas di ruang privat(si). Itu terbukti dengan kalimat, "...untuk diri sendiri dan kepentingan diri sendiri" yang telah ditentukan sebagai pengecualian pemberlakuan ketentuan pidana di dalam UU ini. Pengecualian inijelas dipengaruhi oleh falsafah liberal- isme dan individualisme yang tidak sejalan dengan konsep hak asasi manusia (HAM)sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 huruf J Bab XAUUD 1945. Pasal ini rnenegaskan negara dapat membatasi hak 'dan 'kebebasan setiap orang untuk semata-mata menjamin pengakuan serta penghor- matan atas hak dan kebebasan orang lain" dan untuk memenuhi tuntutan yang' adil sesuai dengan pertimban- gan moral nilai-nilai agama, UU Pornografi telah mengutamakan hak dan kebebasan setiap orang, tetapi mengabaikan hak dan kebebasan orang lain demi pertimbangan moral dan agama. Akibatnya penje- lasan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 UU Pornografi justru menghambat efektivitas ketentuan pidana yang tercantum dalam Pasal29 yang merujuk Pasal4 ayat (1). UU adalah produk politik, akan tetapi produk politik yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama serta pandangan hidup masyarakat Indonesia, bu~ masyarakat Barat. UU Pornografi, dari dua ketentuan bermasalah tersebut, merupakan produk hukum yang caeat hukum karena bertentangan dengan Pasal 28 J UUD 1945. Hal ini berdampak dalam penuntasan kasus Ariel-Luna atas dasar UU Pornografi. Jadi, bukan karena kinerja polisi yang tidak profesional tetapi karena pembentuk UU tidak konsis- ten menerjemahkan semangat dan jiwa bunyi Pasal 28 J UUD 1945 dalam penyusunan UU Pornografi.••• Kliping Humas Unpad 2010

SUARAKARYApustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/... · 2010-07-01 · Indonesia yang dikenaf masyarakat agamis. Namun, per-bandingan hukum yang digunakan merujuk kepada UU

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

SUARAKARYAo Selasa o Rabu • Kamis o Jumat o Sabtu o Minggu

(t) 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1517 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31OJan OPeb oMar OApr OMei OJun .Jul OAgs OSep OOkt ONov ODes

Fokus

Ariel-Luna &. UU ·PornografiRomli Atmasasmita

Guru Besar Universitas Padji:lpjaran

M embiiat undang-undang- (UU). telah ada pakemnya secara nor-matif, diatur dalam UU Nomor

10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pem-bentukan Perundang-undangan. Darinaskah akademik sampai naskah ran-cangan undang-undang (RUU), pemba-hasannya di DPR--melalui rapat dengarpendapat (RDP)--melibatkan akademisi,masyarakat, dan pemangku kepentingan

(stakeholdel}. .Pengalaman penulis, sejak naskah akademik sampai

pembahasan di DPRRl, memakan waktu antara 3 sampai 6bulan, tidak mungkin penyelesaian pembahasan RUUmendekati akhir tahun anggaran. Sebab, sekitar bulan Ok-tober tahun berjalan, setiap departemen telah memasukkanrencana program dan anggaran untuk legislasi. Proses legis-lasi yang berprinsip harus selesai dalam waktu satu tahunanggaran itu bukan keputusan yang tepat. Sebab, pem-buatan dan .pembahasan naskah RUUbukan semata-matamerangkaikan kalimat normatif, melainkan berdampak ter-'hadap nilai-nilai kehidupan masyarakat luas yang pluralisdalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRl).

Oleh karena itu, ahli hukum pidana Indonesia, Sudarto(aim) menegaskan bahwa pembuatan UU harus memper-timbangkan ongkos sosial (social cos!) dan, sisi kegunaanjangka panjang dari efek pemberlakuannya,

UU Pornograsi sejak pembahasan sampai diundan-gkannya telah menyita perhatian masyarakat, dan terjadipengajuan hak uji materiel ke M,ahkamah Konstitusi (~K!.Kemudian MK tetap menyatakan sah berlakunya UU im,walaupun politik hukum di balik UU ini belum mencer-minkan semua nilai-nilai yan hiduR dalam masyarakat.

Pendekatan yang digunakan dalam pembentuk UUPornografi adalah agama dan nilai kesusilaan masyarakatIndonesia yang dikenaf masyarakat agamis. Namun, per-bandingan hukum yang digunakan merujuk kepada UUyang sama di negara lain, terutama dari Barat yang men:u-liki perbedaan kultur dan nilai-nilai kehidupan sosialdengan kutur dan nilai kehidupan masyarakat Indonesia.

Masih kuatnya faham liberalisme dan individualismedalam UU ini tidak dapat diingkari sebagaimana tampakdalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 UU Nomor44 Tahun 2008yang disahkan pada 26 November 2008.Penjelasan kedua pasal terse but menegaskan pemisahan(bukan perbedaan) antara aktivitas di ruang publik danaktivitas di ruang privat(si). Itu terbukti dengan kalimat,"...untuk diri sendiri dan kepentingan diri sendiri" yangtelah ditentukan sebagai pengecualian pemberlakuanketentuan pidana di dalam UU ini.

Pengecualian ini jelas dipengaruhi oleh falsafah liberal-isme dan individualisme yang tidak sejalan dengan konsephak asasi manusia (HAM)sebagaimana tercantum dalamPasal 28 huruf J Bab XAUUD 1945. Pasal ini rnenegaskannegara dapat membatasi hak 'dan 'kebebasan setiap oranguntuk semata-mata menjamin pengakuan serta penghor-matan atas hak dan kebebasan orang lain" dan untukmemenuhi tuntutan yang' adil sesuai dengan pertimban-gan moral nilai-nilai agama,

UU Pornografi telah mengutamakan hak dan kebebasansetiap orang, tetapi mengabaikan hak dan kebebasan oranglain demi pertimbangan moral dan agama. Akibatnya penje-lasan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 UU Pornografi justrumenghambat efektivitas ketentuan pidana yang tercantumdalam Pasal29 yang merujuk Pasal4 ayat (1).

UU adalah produk politik, akan tetapi produk politikyang tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agamaserta pandangan hidup masyarakat Indonesia, bu~masyarakat Barat. UU Pornografi, dari dua ketentuanbermasalah tersebut, merupakan produk hukum yang caeathukum karena bertentangan dengan Pasal 28 J UUD 1945.Hal ini berdampak dalam penuntasan kasus Ariel-Luna atasdasar UU Pornografi. Jadi, bukan karena kinerja polisi yangtidak profesional tetapi karena pembentuk UU tidak konsis-ten menerjemahkan semangat dan jiwa bunyi Pasal 28 JUUD 1945 dalam penyusunan UU Pornografi.•••

Kliping Humas Unpad 2010