26
8 BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengertian Umum Tentang Pajak II.1.1 Definisi Pajak Salah satu sumber penerimaan negara yang paling potensial untuk membiayai pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak. Sehingga sangat diperlukan adanya pemahaman akan pengertian pajak oleh masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan taat dan patuh. Banyak ahli dalam bidang perpajakan yang mengemukakan pengertian atau definisi yang berbeda-beda mengenai pajak, namun pada dasarnya berbagai definisi tersebut mempunyai inti dan tujuan yang sama. Definisi pajak tersebut antara lain adalah sebagai berikut : Menurut Adriani dalam buku Waluyo (2008), “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarkannya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali. Yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelengarakan pemerintahan” (h.2). Menurut Soemitro dalam buku Waluyo (2008), “Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h.3). Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, adalah sebagai berikut :

2009-2-00020-Ak Bab 2.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    II.1 Pengertian Umum Tentang Pajak

    II.1.1 Definisi Pajak

    Salah satu sumber penerimaan negara yang paling potensial untuk membiayai

    pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak.

    Sehingga sangat diperlukan adanya pemahaman akan pengertian pajak oleh masyarakat

    untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan taat dan patuh. Banyak ahli dalam

    bidang perpajakan yang mengemukakan pengertian atau definisi yang berbeda-beda

    mengenai pajak, namun pada dasarnya berbagai definisi tersebut mempunyai inti dan

    tujuan yang sama. Definisi pajak tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

    Menurut Adriani dalam buku Waluyo (2008), Pajak adalah iuran kepada negara

    (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarkannya menurut

    peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali. Yang langsung dapat

    ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum

    berhubung dengan tugas negara untuk menyelengarakan pemerintahan (h.2).

    Menurut Soemitro dalam buku Waluyo (2008), Pajak adalah iuran kepada kas

    negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa

    timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk

    membayar pengeluaran umum (h.3).

    Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang

    melekat pada pengertian pajak, adalah sebagai berikut :

  • 9

    1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang

    sifatnya dapat dipaksakan.

    2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual

    oleh pemerintah.

    3. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari

    pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public

    investment.

    4. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.

    II.1.2 Fungsi Pajak dan Jenis Pajak

    Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak,

    Waluyo (2008) menjelaskan terdapat adanya dua fungsi pajak yaitu sebagai berikut :

    1. Fungsi Budgeter (Sumber Keuangan Negara /Fungsi Penerimaan Negara)

    Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai

    pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara,

    pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara.

    Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi

    pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti

    Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Pertambahan Nilai atas

    Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain.

    2. Fungsi Reguler (Fungsi Mengatur)

    Pajak selain berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat,

    juga berfungsi untuk mengatur. Dalam hal ini, pajak berfungsi sebagai alat untuk

    mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi dan mencapai

  • 10

    tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Contoh : dikenakannya pajak yang

    lebih tinggi terhadap minuman keras.

    Terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu

    pengelompokkan menurut golongannya, menurut sifatnya, dan menurut lembaga

    pemungutnya.

    1. Menurut Golongannya

    Menurut golongannya, pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu Pajak Langsung

    dan Pajak Tidak Langsung.

    a. Pajak Langsung

    Adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak

    dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak

    lain. Contoh: Pajak Penghasilan.

    b. Pajak Tidak Langsung

    Adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan

    kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat

    suatu kegiatan, peristiwa, perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak,

    misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa. Contoh: Pajak Pertambahan

    Nilai.

    2. Menurut Sifatnya

    Menurut sifatnya, pajak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu Pajak Subjektif

    dan Pajak Objektif.

  • 11

    a. Pajak Subjektif

    Adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada keadaan pribadi

    wajib pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya.

    Contoh: Pajak Penghasilan.

    b. Pajak Objektif

    Adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada objeknya baik berupa

    benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya

    kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi subjek

    pajak (wajib pajak) maupun tempat tinggal. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai

    dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan.

    3. Menurut Lembaga Pemungutnya

    Menurut lembaga pemungutnya, pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu Pajak

    Negara (Pajak Pusat) dan Pajak Daerah.

    a. Pajak Negara (Pajak Pusat)

    Adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk

    membiayai rumah tangga negara pada umumnya. Contoh: Pajak Penghasilan,

    Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak

    Bumi dan Bangunan.

    b. Pajak Daerah

    Adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I

    maupun daerah tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tangga

    daerah masing-masing (h.6-12).

  • 12

    II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak

    Menurut Waluyo (2008), dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem

    pemungutan, yaitu: official assessment system, self assessment system, dan withholding

    system.

    1. Official Assessment System

    Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

    pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.

    Ciri-ciri Official Assessment System adalah sebagai berikut :

    a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus.

    b. Wajib Pajak bersifat pasif.

    c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

    2. Self Assessment System

    Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,

    kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,

    memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus

    dibayar.

    3. Withholding System

    Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

    pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh

    wajib pajak (h.17).

  • 13

    II.2 Pajak Penghasilan

    Sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-undang

    Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Dalam sejarah

    perkembangannya, Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilakukan perubahan pada

    tahun 1990 (Undang-undang No. 7 Tahun 1991), tahun 1994 (Undang-undang No. 10

    Tahun 1994), tahun 2000 (Undang-undang No. 17 Tahun 2000) dan yang terakhir

    dilakukan perubahan pada tahun 2008 (Undang-undang No. 36 Tahun 2008) yang

    digunakan sebagai Dasar Hukum Pemungutan Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan

    dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya

    dalam tahun pajak.

    II.2.1 Subjek Pajak Penghasilan

    Subjek Pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh Undang-undang untuk

    dikenakan pajak, yang meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu

    kesatuan, badan, dan Bentuk Usaha Tetap. Yang menjadi Subjek Pajak menurut pasal 2

    ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2000 adalah:

    i. a. Orang Pribadi (dapat bertempat tinggal di Indonesia ataupun di luar Indonesia)

    b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

    ii. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik

    yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan

    Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara

    (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan bentuk apa

    pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,

  • 14

    organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan

    bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap.

    iii. Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi

    yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari

    183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan

    dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau

    melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

    a. Tempat kedudukan manajemen;

    b. Cabang perusahaan;

    c. Kantor perwakilan;

    d. Gedung kantor;

    e. Pabrik;

    f. Bengkel;

    g. Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang

    digunakan untuk eksplorasi pertambangan;

    h. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;

    i. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

    j. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain,

    sepanjang lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)

    bulan;

    k. Orang atau Badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak

    bebas;

  • 15

    l. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak

    bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau

    menanggung resiko di Indonesia.

    Bentuk Usaha Tetap ini ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri terpisah dari

    badan. Perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

    Pengenaan Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap ini mempunyai eksistensi

    sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.

    Berdasarkan lokasi geografis, subjek pajak dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

    1. Subjek Pajak Dalam Negeri

    Yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri menurut pasal 2 ayat (3)

    Undang-undang No. 17 Tahun 2000 adalah :

    a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang

    berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam

    jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu

    tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal

    di Indonesia;

    b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;

    c. Warisan yang belum terbagi sebagi satu kesatuan, menggantikan yang

    berhak.

    2. Subjek Pajak Luar Negeri

    Yang dimaksud subjek pajak luar negeri menurut pasal 2 ayat (4) Undang-

    undang No. 17 Tahun 2000 adalah :

    a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di

    Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka

  • 16

    waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak

    bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan

    kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

    b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di

    Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka

    waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak

    bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh

    penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan

    kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

    Yang tidak termasuk sebagai subjek pajak penghasilan, menurut pasal 3 Undang-

    undang No. 17 Tahun 2000 adalah:

    1. Badan perwakilan negara asing

    2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat atau pejabat-pejabat lain dari

    negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja

    pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga

    negara Indonesia dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar

    jabatan atau pekerjaannya tersebut.

    3. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri

    Keuangan dengan syarat:

    a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.

    b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan

    dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya

    berasal dari iuran para anggota

  • 17

    4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan

    Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan

    tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh

    penghasilan dari Indonesia.

    II.2.2 Objek Pajak Penghasilan

    Objek Pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk

    menghitung pajak terutang. Berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun

    2000 yang menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan

    kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari

    Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk

    menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk

    apa pun.

    Dilihat dari mengalirnya (inflow) tambahan kemampuan ekonomis kepada subjek

    pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

    1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,

    honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara,

    dan sebagainya;

    2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;

    3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta bergerak atau pun harta tidak bergerak

    seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang

    tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;

    4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.

  • 18

    Selanjutnya dilihat dari penggunaannya (outflow), penghasilan dapat dipakai

    untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan wajib pajak.

    Sesuai pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2000 yang termasuk

    penghasilan sebagai objek pajak dengan nama dan bentuk apa pun termasuk:

    a) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau

    diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,

    uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam

    Undang-undang Pajak Penghasilan;

    b) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;

    c) Laba usaha;

    d) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk:

    - Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, atau

    badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

    - Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya

    karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;

    - Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

    pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan

    dalam bentuk apa pun;

    - Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,

    kecuali diberikan kepada keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan

    langsung satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau

    badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh

    Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,

    kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

  • 19

    e) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;

    f) Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan lain karena jaminan

    pengembalian utang;

    g) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari

    perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha

    koperasi;

    h) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

    i) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

    j) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

    k) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu

    yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

    l) Keuntungan selisih kurs mata uang asing;

    m) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

    n) Premi asuransi;

    o) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari

    Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

    p) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak.

    Sesuai pasal 4 ayat (3) Undang-undang No.17 tahun 2000, terdapat penghasilan

    yang tidak termasuk kategori penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan, yaitu:

    a) 1). Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat

    atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan yang

    diterima oleh para penerima zakat yang berhak;

    2). Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus

    satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial

  • 20

    atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

    sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha pekerjaan, kepemilikan, atau

    penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

    b) Warisan;

    c) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham

    atau sebagai pengganti penyertaan modal;

    d) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima

    atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau

    Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang

    dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma

    penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

    Undang-undang Pajak Penghasilan;

    e) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan

    asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, auransi jiwa, asuransi dwiguna, dan

    asuransi beasiswa;

    f) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai

    Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara atau badan usaha

    milik daerah, dari peyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat

    kedudukan di Indonesia, dengan syarat:

    a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

    b. Bagi Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan

    Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menerima dividen, kepemilikan saham

    pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima

  • 21

    persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di

    luar kepemilikan saham tersebut;

    g) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan

    oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

    h) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana

    dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan

    Keputusan Menteri Keuangan;

    i) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang

    modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan

    kongsi;

    j) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima)

    tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;

    k) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian

    laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau

    kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

    1) Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan

    dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

    Menteri Keuangan; dan

    2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

    II.2.3 Tarif Pajak Penghasilan

    Pungutan pajak tidak terlepas dari keadilan. Dengan keadilan dapat menciptakan

    keseimbangan sosial yang sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam

    penetapan tarif harus mendasarkan pada keadilan. Dalam perhitungan pajak yang

  • 22

    terutang digunakan tarif pajak. Tarif pajak merupakan tarif untuk menghitung besarnya

    pajak terutang (pajak yang harus dibayar). Besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam

    persentase. Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang diperlukan dua unsur yaitu

    tarif pajak dan dasar pengenaan pajak. Berdasarkan ketentuan pasal 17 Ayat (1) Undang-

    undang No. 17 Tahun 2000, besarnya tarif pajak penghasilan yang diterapkan atas

    penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak Badan dalam

    negeri, sebagai berikut :

    Tabel II.1

    Tarif Pajak Penghasilan untuk Orang Pribadi Dalam Negeri

    Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

    Sampai dengan Rp 25.000.000,00 5%

    Diatas Rp 25.000.000,00 sampai dengan Rp 50.000.000,00 10%

    Diatas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 100.000.000,00 15%

    Diatas Rp 100.000.000,00 sampai dengan Rp 200.000.000,00 25%

    Diatas Rp 200.000.000,00 35%

    Tabel II.2

    Tarif Pajak Penghasilan untuk Badan Dalam Negeri

    Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

    Sampai dengan Rp 50.000.000,00 10%

    Diatas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 100.000.000,00 15%

    Diatas Rp 100.000.000,00 30%

  • 23

    Dalam penghitungan jumlah pajak yang terutang, maka penghasilan kena

    pajak akan dibulatkan hingga ribuan rupiah penuh sebelum dikalikan dengan tarif, sesuai

    dengan Pasal 17 ayat (4) Undang-undang No.17 Tahun 2000.

    II.3 Penghasilan dan Biaya Menurut Standar Akuntansi Keuangan dan

    Ketentuan Pajak

    Pada akuntansi komersial berbasis Standar Akuntansi Keuangan (SAK)

    menggunakan istilah Beban dan Pendapatan, tetapi dalam undang-undang Pajak

    Penghasilan menggunakan istilah Biaya dan Penghasilan.

    II.3.1 Pendapatan dan Beban Menurut Standar Akuntansi Keuangan

    II.3.1.1Pendapatan

    Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 23 (1994), Pendapatan

    adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal

    perusahaan selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas,

    yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.

    II.3.1.2Beban

    Pengertian biaya menurut akuntansi dikenal dengan istilah beban. Menurut

    Suandy (2008), Beban adalah Penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode

    akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya

    kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian

    kepada penanam modal (h.76).

    II.3.2 Penghasilan dan Biaya Menurut Ketentuan Pajak

    II.3.2.1Penghasilan

  • 24

    Yang menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan

    kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari

    Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk

    menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk

    apa pun. Penghasilan sebagai objek pajak dengan nama dan bentuk apa pun yang diatur

    dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2000, dapat dilihat pada sub bab

    II.2.2 Objek Pajak Penghasilan.

    II.3.2.2Biaya

    Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dapat pula dibedakan

    menjadi:

    1. Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya (deductible expenses).

    Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran yang

    mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,

    menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang

    pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa

    manfaat dari pengeluaran tersebut.

    2. Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deductible

    expenses).

    Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak

    dapat dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran untuk mendapatkan,

    menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak atau

    pengeluaran dilakukan tidak dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat

    kebiasaan pedagang yang baik. Oleh karena itu pengeluaran yang melampaui

  • 25

    batas kewajaran dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka pengeluaran

    tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

    Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2000 menyatakan bahwa untuk

    menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan

    Bentuk Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk

    mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk;

    A. Biaya pengeluaran yang lazim disebut biaya sehari-hari, yaitu: biaya untuk

    mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian

    bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan jasa termasuk upah, gaji, honorarium,

    bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa,

    royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya

    administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;

    B. Penyusutan dan amortisasi

    Berdasarkan penjelasan pada pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-undang Pajak

    Penghasilan; pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa

    manfaat lebih dari satu tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan,

    menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran

    tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan.

    Metode penyusutan yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah:

    1) Dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan

    bagi harta tersebut (metode garis lurus/ straight line method); atau

    2) Dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan

    atas nilai sisa buku (metode saldo menurun/ declining balance method)

  • 26

    Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud

    ditetapkan sebagai berikut:

    Tabel II.3

    Kelompok dan Tarif Penyusutan Aktiva Berwujud

    Kelompok Harta Berwujud

    Masa Manfaat

    Tarif Penyusutan Garis Lurus Saldo Menurun

    I. Bukan Bangunan Kelompok I 4 Tahun 25% 50% Kelompok II 8 Tahun 12,50% 25% Kelompok III 16 Tahun 6,25% 12,50% Kelompok IV 20 Tahun 5% 10% II. Bangunan Permanen 20 Tahun 5% - Tidak Permanen 10 Tahun 10% -

    C. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan

    boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana

    pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak

    boleh dibebankan sebagai biaya

    D. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta

    1) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula

    tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan

    dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan

    memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

    2) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak

    digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk

    mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tidak boleh dikurangkan

    dari penghasilan bruto.

  • 27

    E. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing

    Perlakuan PPh terhadap kerugian selisih mata uang asing telah diberikan penegasan

    dalam surat edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.31/1997 dimana kerugian selisih

    kurs mata uang asing akibat fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan

    pembukuan yang dianut oleh wajib pajak dan dilakukan pembukuan yang dilakukan

    oleh wajib pajak dan dilakukan secara taat azas, apabila wajib pajak menggunakan

    sistem pembukuan berdasarkan:

    1) Kurs tetap, pembebanannya dilakukan pada saat terjadinya realisasi perkiraan

    mata uang asing tersebut.

    2) Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir

    tahun pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs

    tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.

    F. Biaya penelitian dan pengembangan

    Perlakuan perpajakan atas biaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh

    perusahaan dapat dibebankan kepada penghasilan, pembebanannya berdasarkan pada

    Keputusan Menteri Keuangan No.769/KMK.04/1990 dibedakan menjadi 3

    kelompok:

    1) Harus disusutkan atau diamortisasikan, pembebanannya melalui penyusutan

    atau amortasasi.

    2) Jika merupakan biaya sehari-hari dapat dibebankan sebagai biaya tahunan

    yang bersangkutan.

    3) Biaya diluar butir 1) dan 2), antara lain misalnya biaya konsultan, perlakuan

    perpajakan sesuai dengan undang-undang akuntansi yang berlaku.

  • 28

    G. Biaya bea siswa, magang dan pelatihan

    Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan bea siswa, magang dan pelatihan dalam

    rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya

    perusahaan dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan.

    H. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:

    1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

    2) Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada

    Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan

    Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

    3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan

    Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis

    mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur

    yang bersangkutan;

    4) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus dan;

    I. Biaya Entertainment, dapat dibiayakan jika dapat menunjukan daftar nominatifnya.

    Daftar nominatif harus berisikan:

    1) Nomor urut

    2) Tanggal entertainment

    3) Nama dan Tempat entertainment

    4) Alamat entertainment

    5) Jenis entertainment

    6) Jumlah (Rp) entertainment

    7) Relasi usaha yang diberikan entertainment yang berisikan nama, posisi,

    nama perusahaan, jenis usaha

  • 29

    Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto

    (nondeductible expense) menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-undang No.17 Tahun 2000

    adalah:

    a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen yang

    dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa

    hasil usaha koperasi;

    b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang

    saham, sekutu atau anggota;

    c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak

    tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk

    usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang

    ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan;

    d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,

    dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika

    dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi

    Wajib Pajak yang bersangkutan;

    e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan

    dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman

    bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan

    kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan perkerjaan

    yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

    f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau

    kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan

    dengan pekerjaan yang dilakukan;

  • 30

    g. Harta yang dihibahkan bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas

    penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk

    agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau

    disahkan oleh pemerintah;

    h. Pajak Penghasilan;

    i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak

    atau orang yang menjadi tanggungannya;

    j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan

    komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.

    k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa

    denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang

    perpajakan.

    II.4 Rekonsiliasi Fiskal atas Laporan Keuangan Komersial

    Penyesuaian laporan keuangan komersial untuk kepentingan perpajakan pada

    akhir tahun sudah menjadi kewajiban bagi setiap perusahaan. Penyesuaian ini muncul

    karena terjadinya perbedaan pengakuan atas penghasilan dan biaya pada satu periode

    tertentu (tahun buku) antara pengakuan penghasilan berdasarkan Standar Akuntansi

    Keuangan (SAK) dan pengakuan penghasilan berdasarkan peraturan perundangan

    perpajakan. SAK hanya memberikan pedoman dalam menyusun laporan keuangan

    komersial dan tidak secara spesifik mengatur perlakuan akuntansi yang berkaitan dengan

    peraturan perundangan perpajakan. Sehingga muncullah rekonsiliasi fiskal atas laporan

    keuangan komersial untuk kepentingan perpajakan.

  • 31

    Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial

    dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena

    Pajak. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara akuntansi

    komersial yang mendasarkan laba pada konsep dasar akuntansi yaitu penandingan antara

    pendapatan dengan biaya-biaya terkait, sedangkan dari segi fiskal tujuan utamanya

    adalah penerimaan Negara. Dalam penyusunan laporan keuangan fiskal, Wajib Pajak

    harus mengacu kepada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang

    dibuat berdasarkan SAK harus disesuaikan atau dibuat koreksi fiskalnya terlebih dahulu

    sebelum menghitung besarnya penghasilan kena pajak.

    Akibat adanya perbedaan konsep pengakuan penghasilan dan biaya menurut

    akuntansi dan Undang-undang Pajak Penghasilan, akan menyebabkan terjadinya

    perbedaan dalam penentuan laba secara komersial dengan Penghasilan Kena Pajak.

    Perbedaan ini dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:

    1. Perbedaan tetap /permanen (permanent differences) adalah perbedaan yang terjadi

    karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan

    laba menurut Standar Akuntansi Keuangan tanpa ada koreksi dikemudian hari.

    Contohnya adalah pengakuan penghasilan yang bersifat Final; dalam akuntansi

    semua penghasilan diakui (tanpa mengenal istilah final atau tidak), namun dalam

    melakukan rekonsiliasi fiskal, penghasilan yang bersifat final tidak diakui lagi

    sebagai penghasilan dalam menghitung PPh Badan (Orang Pribadi) terutang.

    Koreksi Fiskal Laporan Keuangan Fiskal

    Laporan Keuangan Komersial

  • 32

    2. Perbedaan waktu (temporary differences); adalah suatu perbedaan yang bersifat

    sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban

    antara peraturan perpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan. Perbedaan

    tersebut akan hilang setelah seluruh nilai tercatatnya dipulihkan (recovered) atau

    dilunasi (settled).

    II.5 Kompensasi Kerugian

    Dalam konteks Pajak Penghasilan, keuntungan yang diperoleh adalah objek

    Pajak Penghasilan, sebaliknya kalau terjadi kerugian, maka Wajib Pajak tidak akan

    terkena Pajak Penghasilan. Bahkan kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak

    dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya sehingga

    pada tahun-tahun tersebut Pajak Penghasilannya menjadi lebih kecil atau tidak terutang

    sama sekali. Proses dari membawa kerugian dalam satu tahun pajak ke tahun-tahun

    pajak berikutnya ini dinamakan sebagai Kompensasi Kerugian (Carrying Loss). Hal ini

    diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000

    menyatakan bahwa apabila penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang

    boleh dikurangkan didapat kerugian maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan

    dengan penghasilan mulai tahun pajak yang berikutnya berturut-turut sampai dengan 5

    (lima) tahun. Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan apabila wajib pajak

    menggunakan pembukuan.

  • 33

    II.6 Aktiva Pajak Tangguhan

    Dari perbedaan temporer antara akuntansi dan pajak akan muncul dua hal yaitu:

    1. Hutang Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liability)

    Hutang pajak tangguhan timbul apabila nilai aktiva menurut laporan keuangan

    komersial lebih besar dari nilai aktiva menurut laporan keuangan fiskal. Hal ini

    disebabkan karena biaya menurut fiskal lebih besar dibanding biaya menurut

    komersial.

    2. Aktiva Pajak Tangguhan (Deferred Tax Assets)

    Sebaliknya, aktiva pajak tangguhan timbul apabila nilai Aktiva menurut laporan

    keuangan komersial lebih kecil dari nilai aktiva menurut laporan keuangan fiskal.

    Hal ini disebabkan karena biaya menurut fiskal lebih kecil dibanding biaya

    menurut komersial.

    Aktiva pajak tangguhan (deferred tax asset) adalah jumlah pajak penghasilan

    terpulihkan (recoverable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya:

    1) Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, dan

    2) Sisa kompensasi kerugian.