Upload
phunghanh
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Broiler
Ayam broiler adalah jenis unggas yang memiliki laju pertumbuhan yang
berbeda, pertambahan berat badan tiap minggu yang berbeda serta memiliki besar
konsumsi pakan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan
(North et al. 1990). Ayam broiler yang baik adalah ayam broiler yang
pertumbuhanya cepat, warna bulu putih, tidak terdapat bulu-bulu berwarna gelap,
serta memiliki ukuran dan bentuk tubuh yang seragam (Mountney 1978). Ayam
broiler dipasarkan pada bobot hidup antara 1.3-1.6 kg per ekor ayam yang
dilakukan pada umur ayam 5-6 minggu karena ayam broiler yang terlalu berat
akan sulit dipasarkan. Bahkan bila dipelihara sampai 8 bulan beratnya dapat
mencapai 2 kg (Rasyaf 2008).
Pertambahan bobot badan merupakan salah satu ukuran yang digunakan
untuk mengukur pertumbuhan. Menurut Rose (1997), pertumbuhan meliputi
peningkatan ukuran sel-sel tubuh akan peningkatan sel-sel individual dimana
pertumbuhan itu mencakup empat komponen utama yaitu adanya peningkatan
ukuran otot, peningkatan total lemak tubuh dalam jaringan adiposa dan
peningkatan ukuran bulu, kulit dan organ dalam. Ciri dari ayam broiler ini adalah
ukuran badan relatif besar, padat, kompak, dan berdaging penuh. Jumlah telur
sedikit, bergerak lambat, tenang, dan lebih lambat mengalami dewasa kelamin.
Adapun jenis ayam broiler ini antara lain Brahma Putra, Cochin China, Cornish
dan Sussex (Sudaryani dan Santosa 2002).
Gambar 1 Ayam broiler (sumber: Purba 2011)
2.2 Program Vaksinasi
Penyakit merupakan masalah besar yang cukup potensial yang telah
mengubah industri peternakan ayam untuk mengembangkan vaksin. Industri
vaksin berperan dalam pemeliharaan dan pengawasan kesehatan ayam. Program
vaksinasi termasuk usaha pencegahan masuknya infeksi penyakit, selain itu jika
dilihat dari kesehatan manusia, manusia akan terhindar dari residu obat yang
terdapat dalam daging ayam yang pernah diberi obat akibat terpapar penyakit
(Appleby 2004).
Menurut Leeson dan Summers (2000) vaksin berfungsi untuk
menstimulasi sistem imun unggas tanpa menyebabkan tanda-tanda penyakit yang
jelas. Banyak diantaranya berfungsi untuk melindungi unggas dari infeksi virus,
beberapa jenis vaksin lainnya telah dikembangkan untuk perlindungan terhadap
cekaman bakteri tertentu (lebih sering disebut bakterin dibanding vaksin) dan juga
untuk koksidiosis. Program vaksinasi bagi peternak bertujuan untuk melindungi
unggas muda dan dewasa dari infeksi, selain itu vaksinasi juga bertujuan untuk
mengoptimumkan antibodi maternal pada anak ayam broiler. Pada saat sejumlah
dosis vaksin diberikan, unggas akan memproduksi antibodi yang dilepaskan oleh
bursa Fabricius tergantung usia dari unggas tersebut.
Vaksin yang digunakan pada unggas dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu
vaksin hidup dan vaksin inaktif. Vaksin inaktif terdiri dari antigen yang
dipekatkan dikombinasikan dengan minyak emulsi atau adjuvant alumunium
hidroksida. Vaksin jenis ini memberikan ketahanan tubuh yang lebih lama,
terutama jika dikombinasikan dengan vaksin hidup. Vaksin ini dapat berisi dua
atau tiga jenis antigen dan diberikan secara parenteral. Sedangkan vaksin hidup
biasanya hanya berisi satu jenis antigen dan diaplikasikan secara aerosol, melalui
air minum, dan dalam beberapa kasus dapat diberikan secara injeksi. Antigen
dapat berupa penyakit yang telah dilemahkan sehingga tingkat virulensinya
rendah (Jordan 1994).
Menurut Marangon dan Busani (2006) faktor yang mempengaruhi
kemanjuran vaksin yang berkaitan dengan individu ayam adalah kekebalan
maternal dan imunosupresi, status sanitasi serta faktor genetis. Optimumnya
antibodi maternal disertai status sanitasi faktor genetik yang baik mendukung
program vaksinasi sedangkan imunosupresi dapat merusak organ kekebalan
sehingga menghambat program vaksinasi.
Program vaksin yang umum diberikan untuk ayam broiler antara lain
vaksin Marek’s disease yang diberikan kepada ayam umur 18 hari masa embrio
secara in-ovo. Vaksin Newcastle disease dan Infectious Bronchitis yang diberikan
pada ayam umur 1 hari atau setelah menetas dengan rute spray cabinet. Vaksin
ND dan IB kembali diberikan pada usia 14 hari melalui minuman. Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin adalah kejadian penyakit di
daerah tersebut, ketersediaan vaksin, periode stres, kondisi iklim, dan faktor lain
yang mempengaruhi program vaksinasi (North et al. 1990).
2.3 Respon Kekebalan Unggas
Tubuh melindungi dirinya sendiri melawan benda asing, seperti bakteri
dan virus, melalui aksi sistem kekebalan tubuh. Masuknya virus dan bakteri
merangsang aksi dari limfosit (sel darah putih) dan makrofag (scavangers) dalam
tubuh. Limfosit diproduksi dan diatur oleh bursa (sel B) dan timus (sel T). Sel B
bermigrasi ke limpa dan limfonodus, tempat antigen menstimulasi antibodi,
akivitas ini merujuk pada kekebalan humoral. Timus yang ditemukan di leher
ayam memproduksi sel T dibawah perintah hormon. Dewasa kelamin sangat
menentukan produksi sel T. Sel T bekerja sama dengan makrofag untuk
memusnahkan bakteri, virus dan benda asing lainnya. Aksi sel T tersebut merujuk
pada kekebalan seluler (Leeson dan Summers 2000).
Imunitas humoral (bursa) adalah pertahanan utama melawan bakteri,
sementara kekebalan seluler menjalankan fungsinya dalam melawan virus. Sel B
diinduksi untuk membagi dan menspesialisasi serta bersifat peka saat masuk ke
peredaran darah. Sel B memiliki masa hidup 3-5 hari dalam peredaran darah. Sel
B memiliki sistem memori sehingga sel B mampu melipatgandakan aksinya saat
ada infeksi dari antigen yang sudah dikenali, proses ini juga yang memengaruhi
kekebalan tubuh melalui vaksinasi. Sedangkan sel T dari timus merespon antigen
dengan cara menghasilkan sel efektor dan sel memori. Sel efektor bereaksi
langsung pada virus dan melepaskan zat kimia yang disebut limfokin yang
membantu menarik sel imun lain, seperti makrofag dan limfosit-limfosit lain ke
antigen yang berikutnya akan mengaktivasi sel-sel tersebut untuk tahap proses
kekebalan (Leeson dan Summers 2000).
Bangsa burung memproduksi tiga jenis antibodi, yaitu IgM, IgG, dan IgA.
Respon antibodi primer dimulai dengan perkembangan antibodi IgM. Setelah itu
IgG dan IgA diproduksi. Walaupun IgG unggas dan mamalia memiliki fungsi
biologi yang mirip, namun IgG unggas memiliki pasangan yang lebih panjang
dibandingkan milik mamalia dan tidak memiliki engsel molekul yang dikodekan.
Sehingga IgG unggas lebih sering disebut dengan IgY. IgA berperan dalam
kekebalan lokal di saluran respirasi dan pencernaan. Pada unggas IgA diangkut ke
hati kemudian disimpan di empedu (Schultz 1999).
Jaringan limfomieloid berkembang dari epitelial kubus sebaris (bursa
Fabricius dan timus) atau mesenkim (limpa, limfonodus, dan sumsum tulang)
yang didiami oleh sel-sel haematopoietik. Pada organ limfoid pusat, sel stem
haematopoietik memasuki bursa atau timus dan berkembang menjadi sel
imunokompeten B dan T. Sel-sel imun yang telah dewasa memasuki sirkulasi dan
mendiami organ limfoid perifer, diantaranya limpa, limfonodus, dan usus,
bronkhus dan jaringan limfoid yang bergabung dengan kulit (Davison 2003).
Menurut Aughey dan Frye (2001), sistem limfoid Aves terdiri dari limpa, timus,
nodul lokal di dinding pembuluh dan mukosa limfatik serta bursa Fabricius
2.3.1 Bursa Fabricius
Bursa Fabricius adalah kelenjar limfoepitelial yang terdapat di dorsal
kloaka. Secara umum bursa Fabricius akan mengalami atropi setelah penetasan
namun pada beberapa jenis burung tergantung usia (contohnya burung dari genus
gallinae) (Freeman 1971). Menurut Davison (2008) bursa Fabricius ayam
memiliki bentuk dan ukuran seperti kastanye dan lokasinya diantara kloaka dan
sakrum. Saluran bursa yang menyerupai celah menghubungkan dengan lumen
bursa. Sebagai diverticulum kloaka, bursa memiliki struktur epitel silindris. Bursa
dikelilingi oleh permukaan otot yang tebal dan licin. Selama kontraksi otot,
tekanan folikel-folikel memperkuat aliran sel di dalam medula dan aktivitas
limfatik di setiap lipatan plika bursa.
Glick (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan bursa Fabricius dapat
dipelajari dalam tiga bentuk. Pertama pertumbuhan yang cepat dari ayam baru
menetas sampai tiga atau empat minggu. Kedua, periode plateu selama lima atau
enam minggu berikutnya. Ketiga, regresi yang terjadi sebelum pematangan
seksual.
Pertumbuhan maksimum bursa Fabricius dicapai saat ayam berumur 4-12
minggu dan mengalami regresi secara lengkap pada waktu mencapai kematangan
seksual yaitu pada umur 14 – 20 minggu. Pada tahap ini bursa akan mengkerut,
terjadi pembentukan jaringan ikat lebih intensif, deretan epitel menjadi berlipat-
lipat, parenkimnya digantikan dengan jaringan lemak dan sel-sel limfoid di dalam
folikel limfoid digantikan oleh kista (Riddel 1987).
Riddel kembali mengungkapkan struktur bursa Fabricius adalah
permukaan dalamnya terdiri dari lipatan longitudinal (plika) besar dan kecil.
Lipatan yang besar mencapai keseluruhan dari panjang lumen bursa sedangkan
lipatan yang kecil tidak mencapai lumen. Lipatan-lipatan ini terdiri dari folikel
bursa dan di bawahnya terdapat matriks jaringan ikat, dari lipatan bursa melalui
lumen untuk tiap folikel yang disebut lumen bursa. Jumlah total lipatan mukosa
pada bursa yang matang atau dewasa sekitar 10-15 plika (Cross 1987).
Menurut Tizard (1987) bursa adalah organ limfoid primer yang fungsinya
sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi bagi sel dari pembentuk antibodi.
Karena itu sel ini disebut sel B. Di samping itu, bursa juga berfungsi sebagai
organ limfoid sekunder yaitu, dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi.
Bursa juga mengandung sebuah pusat kecil sel T tepat di belakang lubang
salurannya.
Gambaran histopatologi pada bursa Fabricius diantaranya atropi.
Akumulasi stres yang tidak spesifik, seperti malnutrisi, manajeman kandang yang
buruk, dan infeksi dapat menginduksi atropi prematur dan imunosupresi pada
bursa Fabricius. Infeksi virus pada unggas dapat menyebabkan regresi bursa,
nekrosis folikel limfoid sampai limfositolisis. Badan inklusi virus baik
intranukleus maupun intrasitoplasma dapat ditemukan dalam makrofag dan
limfosit. Infeksi bakteri jarang menyerang bursa Fabricius. Namun jika terinfeksi,
organ akan membesar dan tidak beraturan serta terdapat abses yang dikelilingi
oleh makrofag dan sel raksasa. Infeksi jamur jarang ditemukan. Peradangan
gabungan heterofil, limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel raksasa dapat
ditemukan pada infeksi jamur. Sedangkan infeksi protozoa akan menyebabkan
bursa Fabricius edema. Paparan toxin dapat menyebabkan deplesi limfositik dan
limfositolisis. Malnutrisi dan kekurangan vitamin A menyebabkan atropi bursa.
Neoplasma atau limfosarkoma pada unggas diinduksi oleh retrovirus (Schmidt
2003).
Gambar 2 Bursa Fabricius: (1) lumen, (2) pseudostratified columnar epitelial, (3) folikel, dan
(4) muskularis (sumber: Nassar 2008).
2.3.2 Timus
Timus adalah organ yang sangat penting pada hewan muda.
Perkembangannya dimulai dari saat sebelum pubertas sampai dewasa. Ukuran
timus akan semakin mengecil seiring dengan pertambahan umur hewan. Pada
permukaan timus dapat ditemukan lapisan lemak, elemen fibrosa dan jaringan
timus. Timus terbentuk dari kantung faringeal ketiga (Dyce et al. 2002). Menurut
Hammond (2005) Pembentukan timus pada masa embrional diinduksi oleh
kantong endodermal. Secara anatomis, timus ayam terletak pada sisi kanan dan
kiri saluran pernafasan (trakhea). Warnanya pucat kuning kemerah-merahan,
bentuknya tidak teratur dan berjumlah 3-8 lobi pada masing-masing leher. Tiap
lobus dihubungkan oleh jaringan ikat dan membentuk suatu untaian yang berada
dekat dengan vena jugularis (Getty 1975).
Tizard (1987) mengungkapkan bahwa timus tediri dari kortex dan medula.
Korteks terdiri dari limfosit dan epitel retikulum. Limfosit T (thymocytes) yang
telah meninggalkan sumsum tulang di bagian organ imunitas yang kompeten telah
bermigrasi dan menempati korteks. Pada titik ini, limfosit T telah terbagi menjadi
sel imun yang jauh lebih kompeten. Pada beberapa bagian lobus akan tampak
kegelapan akibat populasi dari sel-sel ini. Sedangkan di dalam medula terdapat
benda bulat yang dikenal sebagai badan timus (korpuskulus Hassal) yang
fungsinya tidak diketahui. Benda ini mengandung keratin dan mungkin sebagai
petunjuk adanya kegagalan keratinisasi oleh sel epitelial. Penyediaan darah ke
timus berasal dari arteri yang masuk melalui jaringan ikat pembatas dan menjulur
sebagai arteriol sepanjang pertemuan pertemuan kortiko-medula. Kapiler yang
terjadi dari arteriol ini memasuki korteks dan melingkar kembali ke medula.
Pada hewan umur muda, timus bersifat sangat aktif yang secara normal
mengalami involusi menjelang pubertas dan bertambahnya umur. Proses involusi
ditandai dengan berkurangnya secara bertahap limfosit terutama di daerah korteks,
pembesaran dari sel-sel epitel retikuler dan parenkim diganti oleh sel lemak. Pada
hewan dewasa, timus terdiri dari jalur-jalur tipis parenkim di mana banyak sel-sel
epitel retikuler membesar yang dikelilingi jaringan lemak (Dellman 1989).
Histopatologi yang sering terdapat pada timus unggas, diantaranya sistik,
atropi, dan neoplasia. Sistik pada timus unggas jarang ditemukan sebagai lesi
insidentil. Etiologi sistik tidak diketahui, namun sistik dapat terbentuk dari dilatasi
saluran timofaringeal persisten. Pada sistik dapat teramati sel-sel epitel squamosa
yang berlapis-lapis sehingga menjadi tebal dan material-material menyerupai
koloid. Atropi dicirikan dengan hilangnya populasi limfosit dan hilangnya batas
perbedaan antara medula dan korteks. Avian Influenza, virus Marek, serta
beberapa virus penyebab IBD (Infectious Bursal Disease) dapat menimbulkan lesi
yang serupa pada unggas. Stres akibat nutrisi dan paparan hormon kortison juga
dapat menyebabkan atropi. Neoplasia pada timus dapat tumbuh dari sel-sel epitel
atau limfosit. Tumor epitelial dapat diklasifikasikan sebagai thymoma sedangkan
tumor limfosit diklasifikasikan sebagai lymphosarkoma. Massa tumor dapat
terbentuk di semua bagian subkutis leher mulai dari mandibula sampai pangkal
dada. Massa dapat berupa sistik dan hemoragi (Schmidt et al. 2003).
Gambar 3 Organ timus terdiri medula dan korteks yang dibungkus oleh kapsula. Setiap
lobus timus dihubungkan oleh trabekula (sumber: Bellham 2011).
2.3.3 Limpa
Limpa bangsa burung berbentuk bulat, berstruktur merah kecoklatan yang
berada di lambung bagian kanan. Perbedaan dengan limpa mamalia adalah dari
struktur anatomi dan fungsinya. Limpa pada ayam memiliki kapsul jaringan ikat
yang tebal dan kerangka yang tersusun atas sel retikular. Pulpa merah dan pulpa
putih melapisi bagian limpa dengan jumlah yang sama. Pulpa mengisi 80-90%
bagian limpa dan sisanya merupakan jaringan penghubung. Pulpa putih membaur
dan tidak tampak jelas batas-batasnya. Pulpa putih terdiri dari sel limfoid yang
berakumulasi di ujung cabang arteri limpa. Pulpa merah termasuk sinus venosus
dan jaringan spons terdiri dari limfosit, sel retikular, makrofag, sel plasma, dan sel
darah merah. Perbedaan pulpa merah dan pulpa putih pada ayam kurang jelas jika
dibandingkan dengan mamalia. Fungsi dari limpa pada unggas adalah (a)
memfagositosis sel darah merah oleh makrofag di pulpa merah, (b) limfositpoiesis
di pulpa putih, dan (c) menyerap antigen serta memproduksi antibodi oleh sel
limfoid di pulpa merah dan putih. Hal ini dapat dikatakan limpa sebagai gudang
penyimpanan darah (Herenda 1996).
Davison et al. (2008) menyatakan setelah proses haematopoiesis selesai
maka pulpa merah akan berubah fungsi menjadi penyaring sel-sel eritrosit yang
mengalami penuaan. Pengamatan imunohistokimia menunjukkan matriks
ekstraseluler limpa sangat kompleks, dengan setiap bagian memiliki bagian
spesifik yang berkontribusi dalam proses adhesi dan migrasi sel-sel leukosit. Sel
limfoid dan sel non-limfoid dapat dikenali oleh pulpa merah. Terdapat banyak
makrofag pada pulpa merah. Sedangkan sel-sel non-limfoid seperti heterofil
tersebar di sinus pulpa merah. Sturkie (2000) berpendapat pulpa putih terdiri atas
3 daerah, yaitu PALS (periarteoral lymphatic sheath), pusat germinal, dan daerah
periellipsoid white pulp (PWP). Arteri pusat yang masuk ke PWP menjadi
penicilliform capillary (PC). Daerah PC dikelilingi capillary sleeve (CS). CS
disulam oleh ellipsoid-associated cell (EAC) yang mengikat beragam substansi
yang memasuki CS melalui stomata oleh sel endothelial dari daerah PC. Pada
unggas daerah limpa terdiri dari CS yang diselaputi EAC beserta sel B dan
makrofag.
Limpa memiliki reaksi dengan antigen. Antigen yang masuk secara
intravena akan dijerat paling tidak sebagian, di dalam limpa yang diambil oleh
makrofag baik yang terdapat di zona pembatas maupun yang membatasi sinusoid
pulpa merah. Sel ini membawa antigen ke folikel primer dalam pulpa putih,
setelah itu sel penghasil antibodi akan bermigrasi. Sel penghasil antibodi ini
menempati zona pembatas dan pulpa merah, dan di daerah inilah produksi
antibodi ini pertama kali ditemukan. Pembentukan pusat germinal juga terjadi
dalam folikel primer dalam beberapa hari, walaupun hal ini tidak langsung
berkaitan dengan produksi antibodi. Pada hewan yang sudah memiliki antibodi
yang bersirkulasi, penjeratan antigen oleh sel dendrit dalam folikel sekunder
menjadi penting. Seperti halnya pada tanggap kebal primer, sel penghasil antibodi
berpindah dari folikel ini menuju ke pulpa merah dan zona pembatas, tempat
sebagian besar produksi antibodi berlangsung, walaupun sebagian antibodi bisa
juga diproduksi di dalam folikel sekunder yang hiperplastik (Tizard 1987).
Atropi dan pembesaran limpa sulit untuk dibedakan dengan ukuran normal
organ. Atropi dapat disebabkan oleh beberapapa mekanisme seperti
hemosiderosis, usia yang sudah tua, kelainan sekresi, dan kelanjutan dari kongesti.
Kongesti pada limpa merupakan hal yang umum dan dapat terlihat adanya
akumulasi darah yang berwarna gelap saat diinsisi. Penyebab yang paling sering
adalah akibat ethanasia dengan barbituat. Kongesti juga dapat ditemukan pada
anemia hemolitik dengan eritrosit yang mengalami retensi dalam pulpa merah.
Pembesaran limpa dengan berbagai alasan cenderung berakibat thrombosis dan
infark. Adanya diskret pada nodul yang muncul saat permukaan limpa diinsisi
merupakan indikasi dari hiperplasia limfoid benign nodular (Carlton dan
McGavin 1995).
Menurut Schimidt et al. (2003) penyakit viral yang sering menyerang
organ limpa unggas adalah Avian Polyomavirus, Herpesvirus, dan Avipoxvirus.
Akibat agen ini, limpa unggas mengalami pembesaran atau splenomegali. Ayam
merupakan reservoir terbesar Salmonella khususnya Salmonella thypimurium
yang menyebabkan splenomegali dan infiltrasi limfosit, makrofag, dan heterofil.
Penyakit degeneratif yang biasa menyerang limpa adalah amiloidosis. Hal ini
disebabkan substansi protein yang bersifat patologis dan menjadi deposit di
jaringan serta organ. Umumnya limpa akan tampak pucat dan padat jika diinsisi.
Sedangkan karsinoma metastatik jarang ditemukan pada organ ini.
Gambar 4 Limpa ayam: (1) kapsula, (2) pulpa merah, (3) pulpa putih, (4) arteri, dan (5)
nodul limfatik (sumber: Nassar 2008).
2.4 Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan bagian dari hormon steroid yang diproduksi di
korteks adrenal. Kortikosteroid memiliki peran yang luas dalam sistem fisiologis
seperti respon stres, respon imun, dan regulasi dalam proses inflamasi,
metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, pengaturan level elektrolit darah
dan tingkah laku. Glukokortikoid dan mineralkortikoid merupakan jenis dari
kortikosteroid. Glukokortikoid contohnya kortisol berfungsi untuk mengatur
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Selain itu, kortisol juga berperan
sebagai anti inflamasi dengan mencegah pelepasan phospholipid, mengurangi
kerja eosinofil dan beberapa mekanisme lainnya. Sedangkan mineralkortikoid
contohnya aldosteron yang mengatur kadar air dengan menaikkan sodium di
ginjal (Kansky et al. 2000).
Kansky juga mengungkapkan struktur dasar kortikosteroid terdiri dari 21
cincin atom-karbon sterol. Aktivitas dari kortikosteroid meningkat dengan adanya
ikatan tak jenuh antara dua atom karbon pertama. Kortikosteroid yang pertama
kali dibuat untuk kepentingan klinis tidak mengandung halogen. Halogenisasi dari
struktur dasar steroid posisi 9 alpha tidak hanya dapat meningkatkan aktivitas tapi
juga meningkatkan efek samping.
Menurut Suherman (1987) kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan yang responsif
melalui membran plasma secara difusi pasif, kemudian bereaksi dengan reseptor-
steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju
nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA
dan sisntesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara
efek fisiologis steroid.
Gambar 5 Konfigurasi dasar kortikosteroid (sumber: Kansky 2000)
Prednisone merupakan glukokortikoid sintetis yang memiliki kekuatan 4
kali lebih poten dibandingkan glukokortikoid alami yang diproduksi dalam tubuh.
Tubuh yang terpapar stres akan menstimuli hipotalamus untuk memproduksi CRH
(Corticotropin Realeasing Hormon). CRH akan memberi sinyal kepada pituitari
anterior untuk memproduksi ACTH, yang kemudian merangsang korteks adrenal
untuk menseksresikan hormon glukokortikoid. Glukokortikoid dalam tubuh
diantaranya akan mempengaruhi organ hati, otot, lemak dan limfosit (Bowen
2006).
Glukokortikoid menyebabkan deplesi limfosit melalui mekanisme
apoptosis (programme cell death). Prinsip dari mekanisme ini adalah reseptor
glukokortikoid yang terdapat pada sitoplasma sel akan aktif saat menempel
dengan ligan. Saat berikatan, dalam sel akan terjadi peristiwa beruntun yang
melibatkan beberapa senyawa protein yang akhirnya akan menyebabkan sel
mengalami apoptosis. Peristiwa ini disebut cascade. Reseptor yang berikatan
dengan ligan akan menempuh 2 jalan, yakni genomik dan non-genomik. Genomik
terjadi saat ikatan reseptor-ligan merangsang gen dalam sel untuk memproduksi
senyawa pro-apoptosis yang kemudian akan bereaksi dalam membran
mitokondria. Sitokrom akan keluar dari mitokondria dan mengaktivasi enzim
caspase yang akan menginduksi apoptosis. Sedangkan jalur non-genomik terjadi
tanpa ada rangsangan perubahan gen. Namun pada mekanisme ini diketahui
terdapat protein Bcl-2 dan Bcl-xL yang merupakan senyawa anti-apoptosis yang
dalam keadaan tertentu akan menghambat kerja protein pro-apoptosis
(Schlossmaker et al. 2011).
Gambar 6 Mekanisme apoptosis akibat glukokortikoid (sumber: Schlossmaker et al.2011)
2.4.1 Terapi Kortikosteroid dan Efeknya
Kortikosteroid merupakan derivat dari kolesterol, termasuk Prednisone,
Prednisolone, dan Methylprednisolone. Agen inflamasi poten ini menimbulkan
efek yang bervariasi yaitu mereduksi jumlah dan aktivitas dari sel-sel sistem
imun. Senyawa kortikosteroid digunakan untuk terapi anti-inflamasi (Kuby 1992).
Suherman (1987) berpendapat bahwa penggunaan klinik kortikosteroid
sebagai anti inflamasi merupakan terapi paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit
tetap ada hanya gejalanya yang dihambat. Sebenarnya hal inilah yang
menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan sering
disebut life saving drug, tetapi juga kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi
yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering digunakan sebagai dasar
evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan glukokortikoid kadang-kadang
terjadi masking effect, dari luar penyakit nampak sudah sembuh tetapi infeksi di
dalam dapat terus menjalar.
Salah satu indikasi klinis utama dari kortikosteroid adalah efek anti
inflamasinya. Kortikosteroid memiliki kemampuan untuk memblok enzim
phospolipase, yang menimbulkan reaksi pembentukan prostaglandin, mediator
utama dari respon imun. Kortikosteroid juga menjaga sel dari trauma inflamasi
dengan beberapa mekanisme, diantaranya menstabilkan membran sel untuk
mencegah perombakan, menstabilkan membran lisosom sehingga tidak
melepaskan enzim rasa sakit, menghentikan sintesis histamin, menghambat
sintesis interleukin, dan mengurangi proses eksudasi (Wanamaker dan Massey
2004).
Efek samping lokal penggunaan kortikosteroid, antara lain atropi kulit,
eritema persisten, teleangiektasia, papula, dan pustula, steroid acne, gluteal
granuloma, hipertrichosis, perubahan pigmentasi, dan alergi. Sedangkan efek
samping sistemiknya adalah ketidakseimbangan elektrolit, diabetes steroid,
peningkatan katabolisme protein, hipertensi arteri, dan osteoporosis (Kansky
2000).
Terapi kortikosteroid menyebabkan menurunnya jumlah limfosit sebagai
induksi dari lisisnya limfosit (lympholisis). Seperti hormon steroid lainnya,
kortikosteroid bersifat lipofilik dan dapat menembus membran plasma dan
berikatan pada reseptor dalam sitosol. Kortikosteroid juga dapat mereduksi
kemampuan makrofag dan netrofil untuk memfagositosis benda asing. Efek inilah
yang memberikan kontribusi dalam aksi anti-inflamasi kortikosteroid. Selain itu,
kortikosteroid juga mereduksi kemotaksis, hal inilah yang membuat beberapa sel
inflamasi tertarik oleh aktivasi sel TH. Ekspresi dari molekul MHC II dan IL-1
yang diproduksi oleh makrofag otomatis juga akan tereduksi. Akhirnya
kortikosteroid juga akan menstabilisasi membran lisosom dari leukosit, sehingga
terjadi penurunan level dari enzim lisosom dilepaskan pada situs inflamasi (Kuby
1992).
Forbes dan Altman (1998) berpendapat bahwa pada unggas kortikosteroid
dapat menjadi terapi untuk lesio polifolikuler. Lesi ini mengakibatkan pruritus.
Pemberian kortikosteroid atau NSAID, agen inflamasi dapat menghilangkan
pruritus. Sedangkan Tully (2000) berpendapat pemberian obat topikal pada
unggas harus diwaspadai dan tidak boleh terlalu banyak pemberiannya. Obat ini
dapat melekat di bulu dan akan termakan oleh unggas saat unggas melicinkan
bulunya dengan paruh sehingga berdampak toksisitas. Kortikosteroid topikal perlu
diwaspadai penggunaannya. Banyak dilaporkan terjadi kematian setelah
penggunaan kortikosteroid.
Prednisolone, salah satu golongan kortikosteroid yang digunakan untuk
penyakit rematik. Dosis rendah Prednisolone dapat menyebabkan kerusakan
persendian. Efek paling serius paparan kortikostreoid adalah penekanan pitutari-
adrenal. Kelenjar adrenal akan mengalami atropi lalu kehilangan kemampuan
untuk memproduksi kortikosteroid alami. Tubuh tidak akan dapat bertahan
menghadapi stres sehingga tubuh akan selalu berada di bawah cekaman. Anti-
inflamasi kortikosteroid menurunkan fungsi imun. Respon infeksi akan meningkat
seiring dengan berkurangnya jumlah limfosit. Berbagai infeksi seperti
tuberkulosis akan mudah menyebar bahkan sebelum terdiagnosa (Thorp 2008).
2.4.2 Residu Hormon Steroid pada Manusia
Agen anabolik digunakan pada ternak untuk meningkatkan pertumbuhan.
Terdapat dua macam steroid, yaitu steroid yang terdapat dan disintesis dalam
tubuh (steroid endogenus) dan steroid yang berasal dari luar tubuh (steroid
eksogenus). Steroid eksogenus mengandung ester dari steroid endogenus,
contohnya estradiol benzoat dan testosteron propionat. Senyawa-senyawa ini akan
masuk ke tubuh manusia melalui makanan. Steroid yang terkonsumsi manusia
memiliki kecenderungan akan menganggu produksi endokrin. Mengkonsumsi
daging yang terpapar senyawa ini meningkatkan level hormon dalam tubuh
manusia. Akumulasi steroid eksogenus dalam tubuh akan berselisih dengan
steroid endogenus dalam 3 cara. Pertama, aktivitas biologis steroid eksogenus
akan lebih kuat dibanding steroid endogenus. Kedua, steroid eksogenus
dimetabolis secara berbeda, dan ketiga, steroid eksogenus akan memberikan efek
berbeda dibanding steroid endogenus (Zeliger 2011).
Hormon steroid diberikan pada ayam dengan tujuan mempercepat
pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Selain itu hormon ini juga dapat
meningkatkan massa otot ayam sebelum disembelih. Hal ini membantu peternak
untuk meningkatkan keuntungan dan mempercepat panen ayam broiler tanpa
mengeluarkan banyak biaya. Namun kandungan hormon steroid tersebut masih
terdapat pada daging ayam bahkan setelah proses pemasakan, artinya saat
mengkonsumsi, manusia akan terpapar oleh hormon ini dan menimbulkan efek
negatif pada tubuh konsumen (Ankeny 2011).
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2009
tentang peternakan dan kesehatan hewan Pasal 58 ayat 1 menyebutkan bahwa
dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan
pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi
produk hewan.
Akumulasi senyawa steroid dalam daging berpotensi menimbulkan efek
yang buruk bagi manusia selaku konsumen. Efek yang ditimbulkan mencangkup
gangguan pertumbuhan, reproduksi, dan imunitas, seperti imunotoksisitas,
genotoksisitas, dan karsinogenisitas (Addis et al. 1999). Menurut Gandhi dan
Snedeker (2003) beberapa steroid sintetis, contohnya diethylstilbestrol (DES),
ditemukan dapat meningkatkan resiko kanker vagina. Paparan hormon steroid
yang berkepanjangan juga dapat meningkatkan resiko kanker payudara. Hormon
steroid yang terdapat pada makanan dilaporkan menyebabkan pubertas yang lebih