21
6 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Mangrove Asal kata "mangrove" menurut Macnae (1968) dalam Noor et al. (1999) menyebutkan kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Sementara itu, menurut Mastaller (1997) dalam Noor et al. (1999) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi- mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur. Melana et al. (2000) mendefenisikan mangrove adalah sebuah tipe hutan yang tumbuh disepanjang pantai, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, berada pada wilayah pantai yang dangkal serta meluas sampai pada sungai yang kadar airnya agak asin, serta saling berinteraksi dan berasosiasi dengan aquatic fauna, faktor-faktor sosial dan fisik dari lingkungan pantai. Kathiresan dan Bingham (2001) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Pada dasarnya, menurut Wightman (1989) yang lebih penting untuk diketahui tentang komunitas mangrove adalah menentukan mana yang termasuk dan mana yang tidak termasuk mangrove. Dia menyarankan seluruh tumbuhan vaskular yang terdapat di daerah yang dipengaruhi pasang surut termasuk mangrove. Selain itu Nybakken (1988), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove disebut juga “Coastal Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest” (hutan pasang surut) hutan bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat di daerah tropika.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Mangrove · yang tumbuh disepanjang pantai, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, ... disebut juga “Coastal Woodland” (hutan pantai) atau

Embed Size (px)

Citation preview

6

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Mangrove

Asal kata "mangrove" menurut Macnae (1968) dalam Noor et al. (1999)

menyebutkan kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis

mangue dan bahasa Inggris grove. Sementara itu, menurut Mastaller (1997)

dalam Noor et al. (1999) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-

mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan

sampai saat ini di Indonesia bagian timur.

Melana et al. (2000) mendefenisikan mangrove adalah sebuah tipe hutan

yang tumbuh disepanjang pantai, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

berada pada wilayah pantai yang dangkal serta meluas sampai pada sungai yang

kadar airnya agak asin, serta saling berinteraksi dan berasosiasi dengan aquatic

fauna, faktor-faktor sosial dan fisik dari lingkungan pantai.

Kathiresan dan Bingham (2001) mendefinisikan hutan mangrove sebagai

hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara

sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon

Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria,

Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Pada dasarnya, menurut

Wightman (1989) yang lebih penting untuk diketahui tentang komunitas

mangrove adalah menentukan mana yang termasuk dan mana yang tidak termasuk

mangrove. Dia menyarankan seluruh tumbuhan vaskular yang terdapat di daerah

yang dipengaruhi pasang surut termasuk mangrove.

Selain itu Nybakken (1988), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan

umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang

didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang

mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove

disebut juga “Coastal Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest” (hutan pasang

surut) hutan bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang

karakteristiknya terdapat di daerah tropika.

7

2.2. Fungsi dan Manfaat Mangrove

Menurut Mukhtasor (2007) secara ekologis hutan mangrove mempunyai

banyak fungsi dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak

langsung. Ekosistem mangrove bagi bermacam biota perairan (ikan, udang, dan

kerang-kerangan) berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara

juvenil, dan berkembang biak. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis

satwa, baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara, penghasil

sejumlah detritus, dan perangkap sedimen. Dari segi ekonomis, vegetasi ini dapat

dimanfaatkan sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan

kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain, seperti

tannin dan pewarna. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung

pantai dari hempasan gelombang air laut serta penyerap logam berat dan pestisida

yang mencemari laut.

Akar mangrove, jenis Avicennia marina (biasa disebut dengan pohon api-

api), dapat digunakan sebagai indikator biologis pada lingkungan yang tercemar

logam berat terutama tembaga (Cu), timbal (Pb), dan seng (Zn) melalui

monitoring secara berkala (MacFarlane et al. 2003). Spesies Avicennia

menunjukkan toleransi yang lebih besar dan dapat mengakumulasi banyak jenis

logam berat daripada spesies mangrove yang lain (Thomas dan Eong, 1984; Peng,

et al., 1997; dalam MacFarlane et al. 2003).

Lebih lanjut dikatakan oleh MacFarlane et al. (2003), bahwa peningkatan

akumulasi logam ini dikarenakan adanya translokasi penyerapan udara melalui

lenti sel ke akar. Selain itu, penurunan pH sedimen ditemukan dapat

meningkatkan akumulasi logam pada akar avicennia. Peningkatan konsentrasi

logam berat pada sedimen menghasilkan tingkat akumulasi logam berat yang

lebih besar juga pada akar dan daun avicennia. Yim dan Tam (1999) dalam

MacFarlane et. al (2003), menemukan bahwa hanya sedikit logam berat yang

terakumulasi pada daun dan banyak yang terserap dan terakumulasi di batang dan

akar avicennia. Pada akar, Cu dapat terakumulasi 1,66 kali lebih besar daripada

yang terkandung pada sedimen. Sedangkan Zn terakumulasi pada akar 1,21 kali

lebih besar dari pada yang terkandung pada sedimen.

8

Liyanage (2004) mengemukakan bahwa nilai keuntungan (manfaat) tidak

langsung dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan manfaat langsungnya,

antara lain menurunkan tingkat erosi dipantai dan sungai, mencegah banjir,

mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi pencemaran produksi bahan

organik, sebagai sumber makanan, sebagai daerah asuhan, pemijahan, dan

mencari makan beberapa biota jenis biota laut.

Menurut Melana et al. (2000) terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove

ditinjau dari ekologi dan ekonomi yaitu :

1) Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan ,udang dan kepiting serta

mendukung produksi perikanan diwilayah pesisir.

2) Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang

berguna sebagai bahan makanan hewan hewan estuari dan peraira pesisir.

3) Mangrove melindungi daerah sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan

masyarakat didalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan.

4) Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan

menurunkan polusi bahan organik didaerah tepi dengan menjebak dan

menyerap berbagai polutan yang masuk kedalam air.

5) Dari segi estetika mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan

burung, dan pengamatan jenis satwa-satwa lainnya.

6) Mangrove merupakan sumber untuk bahan bakar kayu dan atap dari nipah

untuk bahan bangunan serta tambak untuk budidaya perikanan. Benih dapat

dipanen dan dijual, ikan, udang dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem

mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung pada untuk

perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu mangrove juga sebagai

sumber tannin, alkohol dan obat-obatan.

2.3. Zonasi dan Struktur Vegetasi Mangrove

Menurut Noor et al. (1999) mangrove pada umumya tumbuh dalam 4

(empat) zona yaitu, pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki

sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang

memiliki air tawar. Lebih jelasnya masing - masing zona diuraikan sebagai

berikut :

9

a) Mangrove Terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.

Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada

substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi

daerah berpasir sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata

cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur.

b) Mangrove tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini

biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang

ditemukan adalah Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora

mucronata, Xylocarpus granatum dan X moluccensis.

c) Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir

tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia.

Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung

dengan vegetasi yang terdiri atas Cerbera sp., Gluta renghas, Stenochlaena

palustris, dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas

Sonneratia-Nypa lebih sering ditemukan.

d) Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di

belakang jalur hijau mangrove sebenamya. Zona ini memiliki kekayaan jenis

yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum

ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, Ficus retusa, Intsia

bijuga, Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp., dan Xylocarpus

moluccensis.

Menurut Bengen (2001) penyebaran dan zonasi hutan mangrove

tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan

mangrove di Indonesia :

- Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir,

sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi

Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya

bahan organik.

- Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh

Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan

Xylocarpus spp.

- Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

10

- Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa

ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

2.4. Peranan Mangrove Bagi Biota Laut

Clark (1996) mengemukakan bahwa secara ekologis, ekosistem

mangrove memainkan peran penting di daerah pesisir. Peran yang sangat

menonjol adalah mangrove dapat memproses makanan yang merupakan suplai

pangan dari dataran lumpur ke bentuk yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh

berbagai jenis hewan laut seperti ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang dapat

dimakan oleh manusia. Mangrove disamping melengkapi pangan untuk biota laut,

juga mampu menciptakan iklim yang cocok untuk biota tersebut, dimana

sebagaian besar biota laut (ikan, udang dan kepiting) yang bernilai ekonomis

penting hidup di daerah mangrove.

Menurut Parawansa (2007) gambaran umum mengenai peranan suatu

habitat mangrove bagi biota laut dapat dilihat dari suatu model jaringan pangan

(food web). Pada dasarnya sumbangsih mangrove terhadap kehidupan biota laut

adalah melalui guguran serasah vegetasi (termasuk kotoran sisa/ tubuh fauna yang

mati) ke lantai hutan. Serasah ini akan terdekomposisi oleh cendawan dan bakteri

menjadi detritus, yang mana detritus tersebut merupakan makanan utama bagi

konsumer primer. Selanjutnya konsumen primer ini akan menunjang kehidupan

biota tingkat konsumer sekunder dengan top-konsumer di suatu habitat mengrove.

Kusmana (2000) mengemukakan bahwa Produktivitas primer habitat

mangrove akan diperkaya oleh komunitas alga di lumpur dan akar, komunitas

lamun, komunitas fitoplankton dan laut, dan limbah organik terlarut (dissolved-

organic compound) dari laut dan daratan. Kesemua fenomena ini akan

mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove. Tingginya produktivitas

primer hutan mangrove salah satunya dapat dilihat dari produktivitas serasah

hutan tersebut yang umumnya beberapa kali lipat produktivitas- Serasah tipe

hutan daratan, yakni sekitar 5,7 sampai 25,7 ton/ha per tahun. Kondisi habitat

mangrove seperti ini mengakibatkan ekosistem mangrove berperan sebagai

feeding, spawning dan nursery ground bagi berbagai jenis biota laut (khususnya

ikan dan udang) untuk menghabiskan sebagian bahkan seluruh siklus hidupnya.

11

Sebagian besar hutan mangrove mempunyai toleransi yang rendah terhadap

garam, tetapi pada daerah mangrove mengalami setidaknya dua kali sehari pasang

naik air asin. Bahkan ada spesies yang tahan sampai kadar garam 90%. Akar

mangrove dapat melakukan fitrasi untuk dapat beradaptasi dari fluktuasi kadar

garam (Ball et al. 1997)

2.5. Asosiasi Mangrove Dengan Biota Laut

Menurut Saravanan et al. (2008) mangrove adalah daerah perikanan yang

lebih subur, mangrove dapat memproses makanan yang merupakan suplai pangan

dari dataran lumpur dan dapat dimanfaatkan oleh hewan-hewan laut seperti ikan

kepiting dan kerang-kerangan yang dapat dimakan oleh manusia. Mangrove selain

melengkapi kebutuhan pangan untuk biota laut, juga mampu untuk menciptakan

iklim yang cocok untuk biota tersebut. Sebagian besar jenis biota laut (ikan udang

dan kepiting) yang bernilai ekonomis penting hidup didaerah mangrove.

Nontji (2007) juga mengemukakan bahwa daun mangrove yang gugur

segera menjadi bahan makanan berbagai jenis hewan air atau dihancurkan terlebih

dahulu oleh bakteri dan fungi (jamur) dan kemudian menjadi bahan penting bagi

cacing, krustasea. Selain itu beberapa produk perikanan di indonesia yang

mempunyai nilai ekonomis penting berhubungan erat dengan ekosistem

mangrove, seperti udang (Penaeus), kepiting (Scylla serrata) dan tiram

(Crassostrea) selain itu ikan komersial juga mempunyai kaitan dengan mangrove,

misalnya bandeng dan belanak

2.6. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove

Dahuri (2003) mengindentifikasi beberapa faktor penyebab kerusakan

ekosistem hutan mangrove yaitu:

1) Konversi kawasan hutan mangrove secara tak terkendali menjadi tambak,

pemukiman, dan kawasan industri.

2) Terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan mangrove untuk

berbagai kegiatan pembangunan.

3) Penebangan mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan dan kegunaan

lainnya melebihi kemampuan untuk pulih (renewable capacity).

4) Pencemaran akibat buangan limbah minyak, industri, dan rumah tangga.

12

5) Pengendapan akibat pengelolaan kegiatan lahan atas yang kurang baik.

6) Proyek pengairan yang dapat mengurangi aliran masuk air tawar (unsur

hara) ke dalam ekosistem hutan mangrove.

7) Proyek pembangunan yang dapat menghalangi atau mengurangi sirkulasi

arus pasang surut.

Sedangkan Kusmana (2005) bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang

mendukung ekosistem mangrove (struktur, fungsi, komposisi dan distribusi

spesies, dan pola pertumbuhan) yakni sebagai berikut:

1) Fisiografi pantai

Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik

struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan

ukuran serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang

surut maka semakin lebar mangrove yang tumbuh.

2) Iklim

a. Cahaya

Umumnya tanamaan mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari

yang tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat

ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk

pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari. Pada saat

masih kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Beberapa

hasil penelitian menunjukkan:

– Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit

Rhizopora mucronata dan Rhizophora apiculata.

– Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera

gymnorrhiza.

– Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit

Rhizopora mucronata, Rhizophora apiculata dan Bruguiera

gymnorrhiza.

b. Curah hujan

Curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara,

salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies

13

mangrove. Dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah curah hujan

rata-rata 1500 – 3000 mm/thn.

c. Suhu udara

Suhu penting dalam proses fisiologi seperti fotosintesis dan respirasi.

d. Angin

Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat

menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan

evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan

menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian

diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.

3) Pasang surut

Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi

pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal

mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu

faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi

horizontal. Pada area yang selalu tergenang hanya Rhizophora Mucronata

yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang

mendominasi daerah yang sering tergenang.

4) Gelombang dan arus

Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab

penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur,

gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar

atau kasar akan mengendap terakumulasi membentuk pantai pasir. Mangrove

akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.

5) Salinitas

Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dari

pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove

tumbuh subur didaerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies

dapat tumbuh didaerah dengan salinitas yang tinggi.

6) Oksigen terlarut

Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove

(terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan

14

dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan

mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen

terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan dan organisme akuatik.

Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan

terendah pada malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di mangrove berkisar

antara 1,7 - 3,4 mg/l, lebih rendah di banding diluar mangrove yang besarnya

4,4 mg/1.

7) Tanah

Tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai

dan erosi hulu sungai. Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun

berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah

berkerikil bahkan tanah gambut.

8) Nutrient

Nutrient mangrove dibagi atas nutrient in-organik dan detritus organic.

Nutrient in-organic penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta

K, Mg dan Na (selalu cukup). Sumber nutrient in-organik adalah hujan, aliran

permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus

organic adalah nutrient organic yang berasal dari bahan-bahan biogenic

melalui beberapa tahap degradasi microbial. Detritus organic berasal dari

authochathonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan

kotoran organisme) dan allochathaonous (partikulat dari air, limpasan sungai,

partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati

di zona pantai dan laut).

9) Proteksi

Mangrove berkembang baik di daerah pesisir yang terlindungi dari

gelombang, yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah

yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dll. Beberapa ahli

ekologi mangrove berpendapat bahwa factor-faktor lingkungan yang paling

berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase

dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh fenomena

pasang surut dan ketinggian tempat dari rata-rata muka air laut.

15

Zonasi mangrove berdasarkan salinitas, menurut De Hann (1981) dalam

Bengen (2004) dibagi sebagai berikut:

a) Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air

pasang berkisar antara 10-30 ppt:

- Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam

sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh.

- Area yang terendam 10-19 kali/bln, ditemukan Avicennia (Avicennia alba,

Avicennia marinna), Sonneratia sp. dan Dominan Rhizophora sp.

- Area yang terendam kurang dari 9 kali/bulan, ditemukan Rhizophora sp,

Bruguiera sp.

- Area yang tergenang hanya beberapa dalam setahun, Bruguiera

gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apikulata masih dapat hidup.

b) Zona air tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0 -10 ppt :

- Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut, asosiasi

Nipah.

- Area yang terendam secara musiman, Hibiscus dominan.

2.7 . Faktor Pembatas Ekosistem Mangrove

Menurut Supriharyono (2000) bahwa faktor-faktor pembatas lingkungan

mangrove diantaranya adalah berupa faktor fisika kimia dan adanya aktivitas

manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya yaitu:

2.7.1. Faktor Fisika Kimia

Mangrove memiliki daya adaptasi fisiologi yang tinggi. Mereka tahan

terhadap lingkungan dengan suhu perairan tinggi, fluktuasi salinitas yang

luas dan tanah yang anaerob (tanpa udara). Salah satu faktor yang penting

dalam adaptasi fisiologis tersebut adalah sistem pengudaraan di akar-

akarnya. Tidak semua tumbuhan memperoleh oksigen untuk akar-akarnya

dari tanah yang mengandung oksigen, mangrove tumbuh di tanah yang tidak

mengandung oksigen dan harus memperoleh hampir seluruh oksigen untuk

akar-akar mereka dari atmosfer. Walaupun tumbuhan mangrove dapat

berkembang pada kondisi lingkugan yang buruk, akan tetapi mangrove

16

mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap

kondisi lingkungan fisik kimia di lingkungannya.

2.7.2. Aktivitas Manusia

a. Pencemaran

Pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama disebabkan

oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal

mangrove ini merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran,

industri serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam

pengangkutan.

b. Konversi Lahan Hutan

(1) Budidaya Perikanan

Konversi mangrove untuk bididaya perikanan, terutama untuk

tambak ikan menyebabkan terdegradasinya mangrove yang subur

dalam skala yang cukup luas.

(2) Pertanian

Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas sawah dan

perkebunan kelapa. Ini dilakukan oleh penduduk dikawasan

pesisir.

(3) Jalan Raya, Industri serta Jalur dan Pembangkit Listrik

Area mangrove banyak yang dikonversi untuk pembuatan jalan

raya, pembangunan pembangkit dan jalur listrik guna mendukung

arus transportasi hasil industri, perdagangan, penduduk dan hasil

hasil lainnya yang melewati kawasan mangrove. Industri

perikanan, industri tanaman dan hasil hutan kayu, pengeringan

udang dan sebagainya yang didirikan di kawasan mangrove juga

telah mengkonversi hutan ini dalain areal yang cukup luas.

(4) Produksi Garam

Garam dihasilkan dari air laut yang pembuatannya banyak

dilakukan di areal mangrove. Tempat pembuatan garam ini

17

merupakan areal mangrove yang dikonversi yang tingkat

kerusakannya bersifat bersifat irreversible.

(5) Perkotaan

Urbanisasi menyebabkan terjadinya konversi mangrove yang

lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Selain dijadikan lokasi

pemukiman, mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan

jalan raya, tambak, pelabuhan, pembuangan limbah dan lain-lain.

(6) Pertambangan

Pertambangan, terutama minyak bumi cukup banyak dilakukan di

areal mangrove. Lahan diperlukan untuk tempat penggalian sumur

bor, tempat penyimpanan minyak mentah, pipa, pelabuhan,

perkantoran dan pemukiman pekerja. Minyak yang mencemari

mangrove dalam berbagai cara juga menyebabkan degradasi

mangrove.

(7) Penggalian Pasir

Penggalian pasir menyebabkan kerusakan pada ekosistem

mangrove. Penambangan pasir dalam skala luas

c. Penebangan (Pemanenan Hasil Hutan) Yang Berlebihan

Penebangan kayu mangrove secara legal maupun illegal dilakukan

untuk produksi kayu bakar, arang, chips dan sebagainya telah

berlangsung lama. Eksploitasi tersebut dilakukan secara berlebihan,

sehingga telah menimbulkan kerusakan yang berat dan menurunkan

fungsi serta potensi produksi sebagian besar mangrove.

Uraian secara ringkas dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove

dapat dilihat pada tabel 1:

18

Tabel 1. Ikhtisar dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove

No Kegiatan Dampak potensial

1.

Tebang habis

a. berubah komposisi tumbuhan mangrove

b. tidak berfungsi daerah mencari makanan

dan pengasuhan

2. Penggalian alian air tawar,

misalnya pada

pembangunan irigasi

a. peningkatan salinitas mangrove

b. menurun tingkat kesuburan hutan

3. Konversi menjadi lahan a. mengancam regenerasi stok ikan dan

pertanian, perikanan,

pemukiman dan lain-lain. udang di perairan lepas pantai yang

memerlukan mangrove

b. terjadi pencemaran laut oleh bahan

pencemar yang sebelumnya diikat oleh

substrat mangrove

c. pendangkalan perairan pantai

d. erosi garis pantai dan intrusi garam.

4.

Pembuangan sampah cair a. Penurunan kandungan oksigen terlarut,

timbul gas H2S

5.

Pembuangan sampah padat a. Kemungkinan terlapisnya pneumatofora

yang mengakibatkan matinya pohon

mangrove

b. Perembesan bahan-bahan pencemar dalam

sampah padat

6.

Pencemaran minyak

tumpahan

a. Kematian pohon mangrove

7. Penebangan dan ekstraksi a. Kerusakan total ekosistem mangrove

mineral, baik didalam sehingga memusnahkan fungsi ekologis

hutan maupun didaratan mangrove (daerah mencari makanan dan

sekitar mangrove asuhan).

b. Pengendapan sedimen yang dapat

mematikan pohon mangrove.

Sumber: Bengen, (2001)

19

2.8. Kerusakan Ekosistem Mangrove

Menurut Saparinto (2007) Beberapa hal utama yang menyebabkan

terjadinya kerusakan ekosistem mangrove adalah:

a. Tekanan penduduk yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga

semakin tinggi.

b. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dimasa lalu yang bersifat

sangat sektoral

c. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem

mangrove

d. Kemiskinan masyarakat pesisir.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Saparinto (2007) tingkat kerusakan

ekosistem mangrove dapat dibagi dalam tiga kondisi yaitu:

a. Rusak berat, yaitu ditandai dengan habisnya hutan mangrove dalam suatu

wilayah, rusaknya keseimbangan ekologi, intrusi air laut yang tinggi dan

menurunnya kualitas tanah.

b. Rusak sedang, yaitu ditandai dengan masih sedikit hutan mangrove dalam

suatu wilayah, keseimbangan ekologi dalam tingkatan sedang dan intrusi air

laut yang terjadi tidak terlalu parah.

c. Tidak rusak, yaitu kondisi hutan mangrove masih terjaga dengan baik dan

lestari.

Sedangkan sebab-sebab dan akibat perusakan mangrove yang terjadi secara fisik

dan kimia adalah :

a. Penambangan mineral

Penambangan mineral, telah berkembang di kawasan pesisir Penambangan

dalam ekosistem mangrove mengakibatkan kerusakan total, sedangkan

penambangan di daerah sekitarnya dapat menimbulkan berbagai macam efek

yang merusak. Efek yang paling mencolok adalah pengendapan bahan-bahan

yang dibawa air permukaan ke dan dalam mangrove. Pengendapan yang

berlebihan akan merusak mangrove karena terjadinya penghambatan

pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air di atasnya. Bila proses

pertukaran ini tidak berlangsung, kematian mangrove akan terjadi dalam

waktu singkat. Terhentinya sebagian proses pertukaran menimbulkan tekanan

20

pada mangrove, yang terlihat pada penurunan produktivitas dan kernampuan.

Selanjutnya jaringan makanan yang berlandaskan pada adanya detritus di

mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan dapat menurunkan pula

produktivitas ikan.

b. Pembelokan aliran air tawar

Mangrove untuk hidupnya tidak mutlak memerlukan air asin. Pada

kenyataannya perkembangan mangrove yang baik terjadi di daerah yang

mempunyai masukan air tawar yang cukup. Di daerah beriklim musiman

masukan air tawar ke mangrove juga musiman. Tetapi justru di daerah seperti

ini keperluan akan air tawar bagi manusia pun besar sekali. Aliran air tawar

ke mangrove mungkin diubah oleh berbagai kegiatan di daerah hulu.

Perubahan perubahan dalam pemanfaatan lahan pertanian dan lahan hutan

(misalnya pembalakan) dapat mengubah volume, waktu dan kualitas air yang

memasuki mangrove. Jalan - jalan yang dibuat tegak lurus terhadap arah

aliran air tawar dapat mengganggu proses-proses yang berjalan dalam

ekosistem mangrove. Efek yang paling merusak adalah pengurangan

masukan air secara besar-besaran yang disebabkan oleh penggunaan air oleh

manusia, seperti pembelokan aliran air dari daerah hulu melalui saluran

irigasi. Sama halnya kegiatan manusia yang menyebabkan perubahan volume

dan keteraturan aliran air secara besar-besaran (misalnya bendungan dan

pengatur banjir) mempunyai dampak yang merusak.

c. Eksploitasi Hutan

Eksploitasi hutan mangrove secara besar-besaran yang dilakukan untuk

keperluan kayu, tatal dan bubur kayu. Biasanya eksploitasi ini dilakukan

dengan tebang habis. Kegiatan eksploitasi hutan mangrove perlu dilakukan

secara hati-hati guna memperkecil kerusakan yang mungkin terjadi,

khususnya untuk menjamin kelangsungan mata rantai ekologi adalah

ekosistem mangrove sehingga fungsinya sebagai sumber keanekaragaman

hayati dan stabilisasi lingkungan dapat dipertahankan.

d. Konversi Lahan

Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu

dianggap daerah yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian

21

dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang

semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternatif.

Reklamasi seperti itu telah memusnahkan ekosistem mangrove dan juga

mengakibatkan efek-efek yang negatif terhadap perikanan di perairan pantai

dan sekitarnya. selain itu kehadiran saluran-saluran drainase dapat mengubah

sistem hidrologi air tawar didaerah mangrove yang masih utuh yang terletak

kearah laut dan hal ini dapat mengakibatkan dampak negatif.

e. Tumpahan Minyak

Angkutan minyak bumi dan hasil-hasil olahannya dengan kapal laut semakin

meningkat. Kebocoran, tumpahan dan pembuangan bahan tersebut ke laut

sudah sering terjadi. Di berbagai tempat, jalur-jalur angkutan ini berbatasan

dengan kawasan mangrove (misalnya Selat Malaka) dan kebocoran serta

pembuangan minyak dengan sengaja telah menunjukkan dampak negatif yang

nyata terhadap mangrove. Efek kehadiran minyak di mangrove dapat

dibedakan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah efek yang akut,

segera terlihat dan berkaitan dengan pelaburan oleh minyak pada permukaan

tumbuhan (pepagan, akar tunjang, akar napas) yang mempunyai fungsi dalam

pertukaran udara. Dalam kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat,

tumbuhan mangrove dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun dan

kematian pohon-pohon mangrove di tempat tempat yang paling berpengaruh

terjadi 4 - 5 minggu. Kategori kedua berkaitan dengan peracunan kronik

dalam jangka panjang tumbuhan mangrove dan fauna yang bersangkutan oleh

komponen racunyang terkandung dalam minyak.

f. Pembuangan Limbah

Kegiatan pertanian, Agro industri, industri kimia dan rumah tangga

menghasilkan limbah yang beraneka dan kemudian dibuang ke sungai atau

pantai. Limbah cair terlarut akan membentuk suspensi dalam air. Sebagian

limbah cair ini berupa bahan anorganik, yang terdapat didalam juga, tetapi

kehadiran dalam jumlah yang berlebihan dalam lingkungan aquatik,

menyebabkan bahan itu tidak dapat terurai secara alami, dan

g. Kebakaran Hutan

22

2.9. Pentingnya Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Vannucci (2004) mengemukakan bahwa pengelolaan sumber daya

ekosistem mangrove secara berkelanjutan sangat signifikan untuk dilaksanakan

secara serius. Apabila hal ini tidak diperhatikan dengan baik maka akan

berdampak negatif tidak hanya pada ekosistem mangrove saja tetapi ekosistem

pesisir sekitarnya serta dapat memepengaruhi sistem pesisir secara keseluruhan.

Hal ini disebabkan karena mangrove merupakan komponen utama yang

melindungi pesisir tropis serta mempunyai peranan fisik, kimia dan biologi yang

sangat penting. Selanjutnya menurut Moberg dan Ronnback (2003) dalam

Alongi (2009), ekosistem mangrove menyediakan sejumlah besar barang dan jasa

bernilai sosial ekonomi yang dimanfaatkan oleh manusia, baik secara komersial

maupun untuk kepentingan langsung hidup manusia.

2.10. Masyarakat Pesisir

2.10.1.Karakteristik Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman

terhadap daerahnya menurut Purba (2002) dapat dibedakan menjadi tiga tipe

yaitu:

a) Masyarakat Perairan, yaitu kesatuan sosial yang hidup dari sumberdaya

perairan, cenderung terasing dari kontak dengan masyarakat lain, lebih banyak

hidup dilingkungan perairan daripada darat, berpidah- pindah dari satu

teritorial perairan tertentu. Golongan ini cenderung egaliter dan mengelompok

dalam kekerabatan setingkat dan kecil.

b) Masyarakat nelayan, golongan ini umumnya sudah bermukim secara tetap di

daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain, sistem

ekonominya bukan lagi subsistem tetapi sudah ke sistem perdagangan yaitu

hasil sudah tidak dikonsumsi sendiri namun sudah didistribusikan dengan

imbalan ekonomis kepada pihak lain. Meski memanfaatkan sumberdaya

perairan, namun kehidupan sosialnya lebih banyak dihabiskan di darat.

c) Masyarakat pesisir tradisional. Meski berdiam dekat perairan laut, tetapi

sedikit sekali menggantungkan hidupnya di laut. Mereka kebanyakan hidup

dari pemanfaatan sumberdaya di daratan sebagai petani, pemburu atau

23

peramu. Pengetahuan tentang lingkungan darat lebih mendominasi daripada

pengetahuan lautan.

Sedangkan pengertian masyarakat pesisir menurut Sunoto (1997) dibedakan

menjadi 2 kelompok berdasarkan jenis kegiatan utamanya, yaitu: nelayan

penangkap ikan dan nelayan petambak. Nelayan penangkap ikan adalah seseorang

yang pekerjaan utamanya di sektor perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan

sumberdaya ikan di alam bebas. Nelayan petambak didefeniskan sebagai nelayan

yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya

yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai.

Kusumastanto (2002) memberikan gambaran karakteristik umum

masyarakat pesisir adalah sebagai berikut: pertama, ketergantungan pada kondisi

ekosistem dan lingkungan. Keadaan ini berimplikasi pada kondisi sosial ekonomi

masyarakat pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya

pencemaran, karena dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi

masyarakat. Kedua, ketergantungan pada musim, ini karakteristik yang menonjol

di masyarakat pesisir, terutama bagi nelayan kecil. Pada musim paceklik kegiatan

melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur

dan ketiga, ketergantungan pada pasar. Karena komoditas yang mereka hasilkan

harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka

nelayan dan petambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera

agar tidak rusak.

2.10.2 Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Hutan Mangrove

Menurut Raharjo (1999) dalam Tuwo (2011) kemiskinan adalah ciri yang

sangat menonjol dari kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya

nelayan. Secara umum nelayan lebih miskin dibandingkan petani. Hal ini

terutama disebabkan oleh :

1) Tantangan alam yang dihadapai oleh nelayan sangat berat termasuk faktor

musim

2) Pola kerja yang homogen dan bergantung hanya pada satu sumber penghasilan

3) Keterbatasan penguasaan modal, perahu dan alat tangkap

4) Keadaan pemukiman perumahan yang tidak memadai

5) Karakteristik sosial ekonomi belum mengarah pada sektor jasa lingkungan

24

2.10.3 Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Menurut Wardojo (1992) partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat baik

dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk

sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok

masyarakat yang lain dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam

pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat

dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil

pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak

hanya diukur dengan kemauan masyarakat untuk menanggung pembangunan,

biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut

menentukan arah dan tujuan pembangunan di wilayah mereka. Ukuran lain yang

dipakai adalah ada tidaknya kemauan masyarakat untuk secara mandiri

melestarikan dan mengembangkan hasil dari pembagunan.

Tulungen et al. (2003) berpendapat bahwa dalam mengembangkan

pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat, rasa kepemilikan

dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya pesisir mereka perlu

dikembangkan. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa sistem

pengelolaan yang sentralistik tidaklah efektif dalam mengelola sumberdaya pesisir

pada suatu tatanan yang berkelanjutan. Kepemilikan dan tanggung jawab

masyarakat atas sumberdaya mereka sendiri. Pengelolaan sumberdaya wilayah

pesisir berbasis masyarakat juga merupakan satu proses pemberdayaan

masyarakat pesisir secara politik dan secara ekonomi sehingga mereka dapat

mempertegas haknya dan memperoleh akses yang benar dan kontrol dalam

pengelolaan atas sumberdaya pesisir mereka. Idealnya, prakarsa dan usaha

menggerakkan proses ini haruslah datang dari masyarakat itu sendiri. Biasanya,

dengan kondisi masyarakat yang tidak berdaya, mereka tidak memiliki

kemampuan untuk mengawali suatu proses perubahan dari diri mereka sendiri.

Beberapa contoh pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat dapat

dikenal di beberapa daerah di Indonesia seperti di beberapa desa pesisir di

Kabupaten Minahasa, yang telah mengembangkan rencana pengelolaan

sumberdaya pesisir berbasis masyarakat, daerah perlindungan laut dan daerah

perlindungan mangrove, serta aturan-aturan tingkat desa tentang pengelolaan

25

sumberdaya pesisir. Contoh lain juga dapat dikenal melalui pengelolaan mangrove

di Sinjai, Sulawesi Selatan.

2.11. Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Menurut Adrianto (2004) bahwa alternatif pengelolaan dapat diterapkan

kepada ekosistem mangrove dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi,

kemungkinan dan prioritas pembangunan, aspek teknis, politis dan sosial

masyarakat di kawasan mangrove. Alternatif dapat berupa kawasan preservasi

hingga kawasan penggunaan ganda (multiple uses) yang mernberlikan ruang

kepada pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan produktif. Contoh

alternatif pengelolaan ekosistem mangrove terlihat pada Tabel 2

Tabel 2. Contoh Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pilihan Pengelolaan

Deskripsi

Kawasan lindung Larangan pemanfaatan produktif

Kawasan kehutanan subsistem

Pengelolaan kawasan hutan

mangrove oleh masyarakat;

pemanfaatan hutan mangrove oleh

masyarakat

Kawasan hutan komersial

Pemanfaatan komersial produk hutan

mangrove

Akua-silvikultur

Konversi sebagian kawasan hutan mangrove untuk kolam ikan

Budidaya perairan semi-intensif

Konversi hutan mangrove untuk

budidaya perairan dengan teknologi

semi intensif

Budidaya perairan intensif

Konversi hutan mangrove untuk

budidaya perairan dengan teknologi

intensif

Pemanfaatan hutan komersial dan Pemanfaatan ganda dengan tujuan

budidaya perairan semi intensif

memaksimalkan manfaat dari hutan

mangrove dan perikanan

Pemanfaatan ekosistem mangrove Pemanfaatan ganda dengan tujuan

subsisten dan budidaya perairan semi memberikan manfaat mangrove

intensif kepada masyarakat lokal dan

perikanan

Konversi ekosistem mangrove

Konversi kawasan mangrove

menjadi peruntukan lain

Sumber : Adrianto (2004).

26

Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam

harus dirumuskan dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk optimasi fungsi

ekosistem/sistem/habitat dengan kondisi perairan. Secara garis besar, kegiatan

tersebut berupa kegiatan pelestarian, pengembangan dan rehabilitasi ekosistem.

Kegiatan pelestarian ekosistem ditujukan terhadap ekosistem yang fungsinya

dalam keadaan optimum agara fungsinya dapat lestari. Oleh sebab itu guna

mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan, untuk memenuhi kebutuhan manusia

terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat diwilayah

pesisir dan lautan.