1.Buku.skola.lipu.Bab II Alas Hak Pendidikan (1)

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II ALAS HAK PENDIDIKAN DAN KONSEP SEKOLAH ALTERNATIF Pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat. Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan. 2.1. Konsep Pendidikan A. Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah. Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat . Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, menegaskan bahwa: "Setiap orang memiliki hak untuk pendidikan", oleh karenanya pada tanggal 59 Maret 1990 di Jomtien, Thailand, 115 negara dan 150 oragnisasi saling bertemu dan mengadakan Konferensi Dunia membahas Education for All (EFA) atau Pendidikan Untuk Semua (PUS). Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, perlu koalisi yang luas dari

pemerintah nasional, masyarakat sipil kelompok, dan lembaga pembangunan seperti UNESCO dan Bank Dunia. Mereka berkomitmen untuk mencapai enam tujuan pendidikan yaitu: 1. Memperluas dan meningkatkan perawatan anak usia dini yang komprehensif dan pendidikan, terutama bagi yang paling rentan dan anak-anak yang kurang beruntung. 2. Memastikan bahwa pada 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, yang dalam keadaan sulit, dan mereka yang termasuk etnik minoritas, memiliki akses lengkap dan bebas ke wajib pendidikan dasar yang berkualitas baik. 3. Memastikan bahwa kebutuhan belajar semua pemuda dan dewasa dipenuhi melalui akses yang adil untuk pembelajaran yang tepat dan program ketrampilan hidup. 4. Mencapai 50% peningkatan dalam keaksaraan orang dewasa pada tahun 2015, khususnya bagi perempuan, dan akses ke pendidikan dasar dan pendidikan berkelanjutan bagi semua orang dewasa secara adil. 5. Menghilangkan perbedaan gender pada pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005, dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan dengan tahun 2015, dengan fokus pada perempuan bahwa mereka dipastikan mendapat akses penuh dan sama ke dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik. 6. Meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulan semua sehingga diakui dan diukur hasil pembelajaran yang dicapai oleh semua, khususnya dalam keaksaraan, berhitung dan kecakapan hidup yang esensial. Setelah satu dekade, karena lambatnya kemajuan dan banyaknya negara yang jauh dari keharusan untuk mencapai tujuan tersebut, masyarakat internasional menegaskan kembali komitmennya terhadap Pendidikan Untuk Semua di Dakar, Senegal, pada 26-28 April 2000 dan sekali lagi pada bulan September tahun itu. Pada pertemuan terakhir, 189 negara dan mitra mereka mengadopsi dua dari delapan tujuan Pendidikan Untuk Semua yang dikenal dengan nama Millenium Development Goals (MDG) yaitu MDG 2 mengenai pendidikan dasar dan universal serta MDG 3 mengenai kesetaraan jender dalam pendidikan pada tahun 2015. Dalam konferensi tersebut mereka berjanji untuk mencapai "Pendidikan untuk Semua" pada 2015. Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk

menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri. Sementara itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in these case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut: as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities, determined by their personal, social, econornic and political need. Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka. Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dalam UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan sebagai berikut: 1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan

2.

3.

4.

5.

kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dari kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta dasar dari pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya. Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat. Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain . B. Pendidikan Nonformal Berbasis Masyarakat Model pendidikan berbasis masyarakat untuk konteks Indonesia kini semakin diakui keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang digunakan bisa formal dan atau nonformal. Dalam hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi

sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis. Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi. C. Pinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat Menurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumbersumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut. 2. Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri. 3. Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok

sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terusmenerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat. 4. Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup. 5. Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik. 6. Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan. 7. Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitasaktifitas kemasyarakatan. 8. Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan. 9. Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat. Dalam perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkemang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Dengan sendirinya, manajemen penndidikan yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan lima hal (Sudjana. 1984). Pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat. Teknologi yang canggih

yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata. Keempat, program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan. Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program. D. Pendidikan Berbasis Masyarakat Dalam upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan. Pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan. Pengembangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila dibandingkan dengan daerah perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan, sehingga memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencoba lebih seimbang diantara keduanya. pengembangan masyarakat, pengembangan sosial

atau pembangunan masyarakat tersebut menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan diorganisasi untuk memajukan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya yang dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah. Kesatuan wilayah itu bisa terdiri dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan. Upaya pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa, daerah ataupun di tingkat nasional. Dengan demikian maka isi, kegiatan dan tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional. TR Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961). Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensipotensi yang mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka, menginventarisasi kebutuhankebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan, kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka. Tahap kedua, mereka menjajagi kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah sesuai dengan sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama. Tahap ketiga, mereka menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan terdapat masalah yang menuntut pemecahan.

Pemecahan masalah itu dilakukan setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima, penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan terhadap pengaruh kegiatan itu. Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur yang terjadi pada masyarakat. Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat. Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan keterlibatannya dalam pembangunan. Dengan kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975). Dalam makna yang lebih luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pengembangan demokratisasi, dinamisasi dan modernisasi (Suryadi, 1971). Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan, berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip keserasian diterapkan pada program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri.

Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka. Dalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya1 2.2. Pendidikan Alternatif dalam Hukum Pendidikan A. UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Konstitusi kita beramanat sebagaimana yang tercermin dalam pembukaan sebagai orginal intent yang berbunyi: Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,.... Kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan hak bagi semua warga negara tanpa terkecuali yang kemudian disebut hak atas pendidikan. Hak memperoleh pendidikan diatur dalam Pasal 28C yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

1

http://uharsputra.wordpress.com/pendidikan/pendidikan-nonformal/

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 31 (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. B. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) UU ini secara tegas menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh jaminan pendidikan yang kualitas, sebagaimana diataur dalam Pasal 5: 1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu 2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. 3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. 4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. 5. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Dalam sistem pendidikan nasional ada 3 (tiga) jalur pendidikan yang diatur, yaitu:

1. 2.

3.

formal: SD-SMP-SMU non formal: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan sejenis. informal: pendidikan oleh keluarga dan lingkungan secara mandiri (salah satunya pendidikan berbasis komunitas sebagai pendidikan alternatif)

Pendidikan alternatif masuk dalam kategori jalur pendidikan informal, dimana pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan informal kecuali standar penilaian apabila akan disetarakan dengan pendidikan jalur formal dan nonformal sebagaimana yang ditegaskan pada pasal 13 dan 27. Pasal 13 ayat (1) menyebutkan: Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya . Sedangkan pada ayat (2): Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan system terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh . Demikian pula pada Pasal 27 ayat (1): Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan dan belajar secara mandiri . Sedangkan pada ayat (2): Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan . C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional Pasal 90, ayat 1: Peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi mandiri/profesi sesuai ketentuan yang berlaku . Ayat 2: Peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijazah yang setara dengan ijazah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggrakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi sesuai ketentuan yang berlaku .

D. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 116 Pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Pasal 117 (1) Hasil pendidikan informal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan nonformal dan formal setelah melalui uji kesetaraan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. Uji kesetaraan yang berlaku bagi peserta didik pendidikan nonformal sebagaimana diatur dalam Pasal 115; dan b. Uji kesetaraan yang diatur dengan Peraturan Menteri untuk hasil pendidikan informal lain yang berada di luar lingkup ketentuan dalam Pasal 115. Istilah pendidikan informal sebagaimana yang digunakan dalam UU Sisdiknas dan PP No. 19/2005, didefinisikan sebagai jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri2. Adapun satuan penyelenggara jalur pendidikan ini, yaitu keluarga dan lingkungan. Diantara model pendidikan yang termasuk dalam kategori pendidikan informal adalah Sekolah Rumah (homeschooling). Dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa salah satu hak peserta didik pendidikan informal adalah dibolehkan pindah ke jalur dan satuan pendidikan yang setara baik jalur pendidikan formal maupun non formal. Hal ini seperti ditegaskan dalam Pasal 12 ayat 1 huruf e. Ini artinya, peserta didik dijalur pendidikan informal memiliki kesempatan untuk masuk ke jalur pendidikan formal dan non formal jika mereka menginginkannya. 2.3. Model Penyelenggaraan Pendidikan Alternatif Pendidikan alternatif adalah sebuah istilah generic yang meliputi sejumlah besar program atau cara pemberdayaan peserta didik yang dilakukan berbeda dengan cara tradisional.3 Dilihat dari

2

3

Dikutip dari Ensiklopedia Bebas Wikipedia, www.wikipedia.org. Departemen Pendidikan Nasional mendefinisikan istilah pendidikan informal sebagai jalur pendidikan keluarga dan lingkungan, www.depdiknas.go.id. Artikel Kuliah Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Pendidikan Alternatif: Sebuah Agenda Reformasi, Universitas Negeri Jakarta, 1999.

bentuknya, pendidikan alternatif memiliki keberagaman model dengan karasteristik dan kekhususan,meski pada sisi lain secara umum mempunyai tiga kesamaan utama, yaitu: pertama, pendekatannya lebih bersifat individual. Kedua, memberikan perhatian lebih besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik. Ketiga, dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman. Di Indonesia, pendidikan alternatif telah lama hadir. Wujud pendidikan alternatif tertua itu adalah pesantren yang diperkirakan sudah ada sejak abad 15 yang didirikan oleh Raden Rahmat atau dikenal sebagai Sunan Ampel. Keberhasilan pensantren4 di Ampel ini kemudian disusul dengan munculnya pesantren baru seperti pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Fatah, dan pesantren Tuban oleh Sunan Bonang. Selain pesantren, model pendidikan alternatif yang juga sudah lama berdiri adalah Perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara5. Perguruan Taman Siswa mengembangkan kurikulum termasuk bahan pengajarannya dikembangkan berdasarkan kebudayaan nasional, sesuai dengan misi pendidikan nasional6. Pendidikan akhlak (budi pekerti) mendapat perhatian yang besar sebagai dasar pembentukan kepribadian anak didik. Pendidikan kesenian juga

4

5

6

Pendidikan di pesantren pada dasarnya bertujuan untuk menanamkan loyalitas kepada Islam yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku yang benar dan penerimaan norma-norma dan pola hidup secara Islam, serta loyalitas kepada masyarakat Islam. Tujuan pendidikan ini tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati (Zamakhsyari Dofier,1994:19-21) Taman Siswa yang didirikan pada tahun 1922 pada awalnya dapat dikategorisasikan sebagai suatu pendidikan alternatif, yaitu sekolah swasta yang programnya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan pada waktu itu, yaitu perjuangan melawan penjajahan/penindasan. Azas-azas pendidikan di Taman Siswa seperti yang telah disebutkan di muka, dijabarkan menjadi dasar program yang diberi nama Panca Darma. Panca Darma ini meliputi : kemanusiaan, kodrat hidup alam dan Illahi, kebudayaan, kebangsaan dan kemerdekaan. Berdasarkan Panca Darma ini maka pendidikan di Taman Siswa merupakan corak pendidikan nasional yang bermaksud mendidik anak agar menjadi nasionalis sejati yang mencintai bangsanya, dan selalu berusaha demi kemajuan bangsa dan negara. (Soemanto & Soeyarno, 1983:64-66). Pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir akan perkembangan pendidikan yang bercirikan nasionalisme dan yang memperjuangkan kemerdekaan ini. Maka pada tahun 1932 dikeluarkan peraturan yang isinya mengatur pendidikan swasta, yaitu bahwa isi pelajarannya harus sesuai dengan sekolah negeri (yang dibiayai dan dikelola oleh pemerintahan kolonial), dan para guru harus memperoleh ijin mengajar dari aparat penguasa. Berkat perjuangan Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh nasionalis lain, peraturan itu dicabut pada tahun 1933, tetapi tidak berarti bahwa oleh karena itu diberi kebebasan kepada setiap orang/lembaga untuk menyelenggarakan pendidikan.

dikembangkan sebagai salah satu unsur untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan. Tokoh pendidikan lain yang mengembangkan pendidikan alternatif pada jaman penjajahan adalah Mohammad Syafei. Dia membuka sekolah di Kayutanam dengan semboyan carilah sendiri dan kerjakanlah sendiri . Para siswa diberikan ketrampilan praktikal seperti membuat sendiri meja dan kursi yang digunakannya. Pendidikan yang berorientasi pada perkembangan kepribadian dan kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat ini mengalami masa pasang surut7. Sejak Negara Indonesia berdiri, pemerintah terus berupaya membangun bidang pendidikan khususnya sektor pendidikan formal mulai dari jenjang TK, SD, SMP, SMA/SMK, sampai perguruan tinggi. Namun, seiring perjalanan waktu dan perkembangan masyarakat, keberadaan pendidikan formal ternyata belum mampu menjangkau seluruh lapisan kelas social masyarakat. Masih banyak anak-anak usia sekolah yang tidak dapat menikmati pendidikan terutama pendidikan dasar; baik dikarenakan oleh factor ketidakmampuan menjangkau biaya pendidikan maupun karena faktor keterbatasan layanan pendidikan yang tersedia. Selain itu, sistem pendidikan formal yang ada saat ini dipandang oleh sebagian masyarakat belum memenuhi apa yang menjadi ekspektasi masyarakat terhadap dunia pendidikan. Berbagai persoalan tersebut kemudian memunculkan keprihatinan dari sejumlah pihak; baik pribadi maupun kelompok untuk mengembangkan gagasan dan inisiatif untuk menyelenggarakan pendidikan sederhana yang berbeda dengan system pendidikan formal 8. Kondisi-kondisi seperti inilah yang melatarbelakangi munculnya model-model pendidikan seperti: 1. Universitas Tikyan yang didirikan Yayasan Humana untuk anak jalanan dan girli (pinggir kali) di Yogyakarta97

8

9

Pada masa Perang Dunia II pendidikan ini terhenti karena kampusnya diduduki oleh tentara Hindia Belanda, dan kemudian diganti dengan masuknya Jepang. Bahkan pada waktu perjuangan kemerdekaan, tentara Belanda telah membumi hanguskan kampus Kayutanam. Pendidikan alternatif ini lahir karena sekelompok pemerhati pendidikan tidak puas terhadap layanan pendidikan yang ada. Pembelajaran di sekolah umum sebagian besar masih bersifat konvensional dan kaku yang membatasi kreativitas serta kekhasan alamiah anak-anak yang ingin bermain sambil belajar. Sekolah Komnunitas ini memberikan kesempatan belajar kepada anak-anak jalanan dan girli (pinggir kali), agar mereka mampu mandiri, berkarya dan bekerjasama dengan saling menghargai. Istilah Tikyan merupakan singkatan dari sitik-sitik lumayan (meskipun sedikit tetapi lumayan). Anak-anak didik bebas untuk memilih pelajaran yang ingin diambilnya serta

2. SD Mangunan yang didirikan oleh Romo Mangunwijaya untuk anak-anak pinggir kali condet di Yogyakarta; 3. SMP Qoryah Thayyibah untuk anak-anak petani kurang mampu di Kalibening Salatiga Jateng; 4. Sanggar Akar untuk anak-anak tukang becak, pemulung dan pengasong di Cipinang Jakarta; 5. Homeschooling atau sekolahrumah yang diprakarsai oleh Seto Mulyadi, dan masih banyak lagi model-model pendidikan serupa. 6. Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS) yang memiliki layanan pendidikan dari kelompok bermain, taman kanak-kanak, SD, dan SMP sekitar sembilan tahun ini memberikan layanan pendidikan alternatif dengan konsep belajar yang menyenangkan dan belajar sambil bermain. Kondisi sekolah dibuat alamiah yang memungkinkan anak belajar di sudut mana pun saat berada dilahan pada realitas kehidupan yang sesungguhnya.10 7. Majelis Taklim Nurul Hidayah di Desa Pasir Mukti, Kec. Telagasari Kab. Karawang Jawa Barat yang memiliki TV dan radio siaran11 dengan Menyuarakan kehidupan keagamaan dan budaya lokal, serta pemberdayaan komunitas majlis ta lim. Selain itu, mata pelajaran yang diberikan mampu diaplikasikan

10

11

dengan penampilan seadanya. Berbagai macam ketrampilan usaha diajarkan dalam kampus ini seperti membuat kerajinan tangan, membatik, membuat kertas daur ulang, kerajinan kayu, melukis dan lain-lain. Kampus ini baru mulai beroperasi pada tahun 1996, meskipun kegiatan pendidikan telah dimulai pada tahun 1988 dan lembaga penyelenggaranya (Yayasan Humana) telah dibentuk pada tahun 1991. Pendidikan alternatif seperti yang diselenggarakan di kampus Tikyan ini tentu banyak terdapat di Indonesia, dan karena itu tidak mungkin untuk dipaparkan satu persatu. Kegiatan kampus Tikyan ini sengaja ditampilkan karena dinilai unik. Pendidikan kita itu menawarkan belajar hanya untuk belajar. Padahal, seharusnya belajar itu untuk bekal kehidupan, kata Moh Sulthon Amien, Ketua Pembina Yayasan Insan Mulia yang menaungi Sekolah Alam Insan Mulia di Surabaya. Aziz Badiansyah, Kepala SD SAIMS, mengatakan, dalam pembelajaran guru mesti mampu membawa anak mencapai kompetensi yang harus dipenuhi. Di sekolah ini, siswa SD tidak belajar sesuai mata pelajaran, tetapi mata pelajaran yang diwajibkan dalam kurikulum nasional itu diramu sedemikian rupa ke dalam suatu topik. Dengan membawa anak mengaplikasikan langsung setiap topik belajar di alam sekitarnya, mereka jadi senang belajar. Mereka tidak sadar sedang belajar karena dibuat dengan cara bermain dan merasakan langsung. Pembelajaran dengan cara itu membuat mereka mudah ingat apa yang dipelajari, ujar Aziz. Maksud pendirian komunitas Nurul Hidayah oleh Rohmat Sarman adalah: Menjadi wahana informasi bebas dan bertanggungjawab yang dapat meningkatkan martabat kehidupan masyarakat. Sementara, tujuannya adalah: Membuka kesempatan bagi masyarakat lokal untuk menyalurkan diri secara sosial, kultural, politis dan spiritual. Menciptakan masyarakat lokal supaya lebih interaktif dan mandiri dalam mengendalikan sumber daya lokal Menjadi katalisator pembangunan sosial, politik, moral, budaya dan agama agar dapat menjaga keseimbangan antar anggota masyarakat.;

lewat pembelajaran tematik dengan membawa anak-anak Komunitas Nurul Hidayah. 8. Sekolah Orang Rimba (Suku Kubu) di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Provinsi Jambi oleh Butet Manurung yang menerapkan sistem pendidikan dasar dengan metode Silabel. Metode ini adalah sebuah cara yang diolah oleh Butet untuk mengajarkan anak-anak rimba mengenal bahasa Indonesia selama dia berada di pedalaman Bukit Tujuh Belas, Jambi, Sumatera Timur pada tahun 1999. Di sinilah ia memulai perjalanannya untuk menjadi guru orang Rimba di sekolah yang didirikannya sendiri, yang bernama Sokola Rimba . Metode pendidikan yang dilakukan oleh Butet selalu mencari cara-cara baru, inovatif, sampai menemukan cara yang tepat. Dan itu membuat anak-anak Rimba senang. Inspirasi dia mendirikan Sokola Rimba tersebut adalah solusi memajukan pendidikan nasional di daerah terpencil dan menyebarkan ilmu pengetahuannya kepada anakanak di dalam rimba.; 9. Sekolah Alam Kandang Jurank Doank oleh Dik Doank; 10. Komunitas Rumah Belajar Samoja Bandung; 11. Plus Lendo Novo dengan jaringan Sekolah Alamnya (sekolah formal rasa alternatif). Model penyelenggaraan sekolah yang demikian inilah yang dikategorikan sebagai pendidikan alternative karena system dan metode belajarnya yang berbeda dengan pendidikan formal. Meskipun demikian, pendidikan alternative tidak bisa dipandang sebelah mata12. Karena terbukti banyak anak-anak usia sekolah yang tidak dapat duduk di sekolah-sekolah formal baik dikarenakan oleh ketidakmampuan biaya, keterbatasan layanan pendidikan yang tersedia, maupun karena berada di daerah terpencil13 justru dapat merasakan pendidikan melalui pendidikan atau sekolah alternatif. Karenanya pendidikan-pendidikan alternative patut mendapat apresiasi dari negara. Sayangnya, perhatian pemerintah terhadap model-model pendidikan alternative masih sangat minim. Namun12

13

Pendidikan alternatif, seperti homeschooling atau sekolah rumah dan sekolah alam, kini semakin berkembang dan diminati di Tanah Air. Pendidikan alternatif ini pola pendidikannya membawa anak tidak berjarak dengan realitas kehidupan. Pendidikan alternatif ini lahir karena sekelompok pemerhati pendidikan tidak puas terhadap layanan pendidikan yang ada. Pembelajaran di sekolah umum sebagian besar masih bersifat konvensional dan kaku yang membatasi kreativitas serta kekhasan alamiah anak-anak yang ingin bermain sambil belajar. Loula Maretta dari Green Education mengatakan, alam semesta ini bisa menjadi sumber belajar yang kaya bagi anak-anak. Belajar pun tidak terbatas dalam sekat-sekat dinding yang dirasakan tidak nyaman bagi sebagian anak. Belajar secara formal bisa dilaksanakan di luar ruangan yang memberi kebebasan bagi tumbuhnya kreativitas dan kemampuan mengeksplorasi ilmu dari alam sekitar.

demikian, upaya yang mengarah kepada pemberian pengakuan terhadap pendidikan alternative sudah mulai nampak14. Hal ini misalnya terlihat dari pemberian pengakuan terhadap homeschooling atau sekolah rumah. Model sekolah rumah atau yang popular disebut homeschooling secara etimologis disebut sebagai sekolah yang diadakan di rumah 15. Meski disebut sekolahrumah, namun dalam proses belajar mengajar tidak terus menerus dilakukan di rumah, belajar di mana saja dan kapan saja asal situasi dan kondisinya benar-benar nyaman dan menyenangkan seperti layaknya berada dirumah. Saat ini, homeschooling mulai menjadi salah satu model pilihan orang tua dalam mengarahkan anak-anaknya dalam bidang pendidikan. Pilihan ini muncul karena adanya pandangan para orang tua tentang kesesuaian minat oleh anak-anaknya. Saat ini homeschooling ini banyak dilakukan di kota-kota besar seperti, Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta dan lain-lain. Sehubungan dengan makin menjamurnya model homeschooling diberbagai tempat terutama dikota-kota besar, maka muncul inisiatif dari para pegiat pendidikan homeschooling untuk meminta legalitas dari pemerintah terhadap keberadaan homeschooling sebagai sebuah model pendidikan alternatif. Setelah melalui berbagai proses, akhirnya Depdiknas dalam hal ini Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bersama para pegiat homeschooling yang tergabung dalam sebuah wadah yang bernama Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (ASAHPENA) yang dipimpin oleh Dr. Seto Mulyadi bersepakat menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang pengakuan homeschooling pada 10 Januari 2007. Bagaimana dengan model Skola Lipu Komunitas Masyarakat Adat Tau Taa Wana Bulang?

14

15

Wardiman Djojonegoro, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengatakan perlu terus dicari upaya supaya belajar di sekolah jangan membebani anak dan guru. Para pendidik mesti mampu mengubah pembelajaran yang menyenangkan sehingga anak menikmati saatsaat belajar dan mampu memahami pelajaran. Dikutip dari artikel PNFI Depdiknas yang berjudul Homeschooling: Model Pengembangan Sistem Pendidikan , www.pnfi.depdiknas.go.id. Sementara itu menurut Direktur Pendidikan Masyarakat Depdiknas Ella Yulaelawati, homeschooling adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana yang kondusif. Adapun menurut Margaret Martin, homeschooling adalah situasi pembelajaran atau pengajaran di lingkungan rumah, sebagai pengganti kehadiran atau waktu belajar di sekolah konvensional.

Skola Lipu dalam kerangka model pendidikan nasional, harus diakui melalui proses diskurs prespektif secara kritis dengan melibatkan banyak pihak yang difasilitasi oleh Yayasan Merah Putih. Pada perkembangan diskursus tersebut diperoleh gambaran-gambaran yang menunjukkan adanya aspek pembeda antara pendidikan informal dan formal: Tabel. Aspek pembeda antara pendidikan informal dan formal NO INDIKATOR PERBEDAAN JALUR PENDIDIKAN PENDIDIKAN LUAR PENDIDIKAN INTRA SEKOLAH SEKOLAH INFORMAL FORMAL Warga belajar Rentang usia warga Rentang usia setiap belajar heterogen jenjang lebih homogen (10-44 tahun) Latar Belakang Latar Belakang pendidikan lebih pendidikan warga homogen belajar heterogen Motivasi belajar untuk Motivasi belajar prestasi jangka panjang karena kebutuhan Siswa bertindak sebagai mendesak anak didik Warga belajar dapat Siswa tidak dapat berfungsi sebagai memilih program sesuai sumber belajar kebutuhannya Warga belajar lebih Penerapan siswa Mandiri dalam berdasarkan nilai yang memilih program diperoleh yang dibutuhkan Selesai sampai jenjang Penerapan warga tertentu baru mencari belajar berdasarkan pekerjaan sasaran Ada yang sudah bekerja baru ikut belajar Tutor / sumber Biasanya disebut Disebut guru belajar tutor Ditekankan pada Pemilihan tutor lebih kemampuan akademis ditekankan pada segi Bersifat tertutup (latar keterampilan yang Belakang akademik) dimilikinya Bersifat sebagai nara Bersifat terbuka sumber utama (siapapun dapat Ada jenjang karir menjadi tutor) Digaji pemerintah /

1.

2.

3.

Pamong belajar / penyelenggara

4. Sarana belajar

5.

Tempat Belajar

Bertindak sebagai fasilitator Tidak ada perjenjangan karir Tidak digaji pemerintah Lebih bersifat sukarela / nobenefit (kecuali untuk program khusus) Perseorangan, LSM atau instansi Bertindak sebagai fasilitator Sarana belajar berbentuk variatif (modul, leaflet, booklet, poster, dsb) sesuai dengan kebutuhan belajar Materi bahan belajar dikembangkan sesuai program yang dikembangkan Sarana belajar/learning kit sangat variatif Bahan belajar dapat disusun oleh siapa saja (termasuk warga belajar itu sendiri) Memanfaatkan sarana belajar yang ada Pengalaman warga belajar dimanfaatkan untuk bahan belajar Memanfaatkan bangunan prasarana yang ada Mengoptimalkan sarana yang tersedia

swasta

Mendapat gaji Diselenggarkan oleh pemerintah atau lembaga / yayasan berbadan hukum Bertindak sebagai pengelola Sarana / learning kit yang dibutuhkan sudah baku Materi bahan belajar homogen (berdasarkan kurikulum nasional) Jenis bahan belajar kurang variatif (bentuk buku atau modul) Bahan belajar disusun oleh para ahli Sering berubah-ubah Kurang mengakomodasi pengalaman siswa / peserta didik

Dilakukan di gedung sekolah sendiri Mengadakan sarana yang dibutuhkan (Sengaja diadakan untuk mendukung proses belajar)

6.

Dana

7.

Ragi belajar

8.

Kelompok belajar

9.

Program belajar

Swadaya masyarakat/ warga belajar Bantuan pemerintah, LSM, badan swasta lainnya Pengelolaan dana bersifat terbuka Pemberian ragi belajar disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar Jumlah kelompok 1020 orang Pembentukan kelompok berdasarkan minat yang sama (melibatkan warga belajar) Ikatan kelompok bersifat informal Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan pasar Kurikulum lebih menekankan kemampuan praktis Memungkinkan perubahan kurikulum lebih fleksibel sesuai dengan perubahan keadaan tempat. Program belajar boleh tidak berjenjang Persyaratan keikutsertaan program belajar relatif terbuka (usia latar Belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dsb) Program dikembangkan untuk mengatasi masalah riil yang dirasakan mendesak/ jangka

Swadaya Bantuan pemerintah Dibebankan pada negara Pengelolaan dana tertutup Pemberian ragi belajar dalam bentuk Ijazah

Jumlah kelompok bisanya 30 lebih Pembentukan kelas ditentukan oleh penyelenggara Ikatan kelompok bersifat formal

Kurikulum disusun di pusat (sentralisasi) Lebih menekankan kemampuan teoretis akademis Kurikulum lebih bersifat baku (sulit berubah) kurang dinamis tidak adaftif dengan perkembangan Perjenjangan bersifat baku Persyaratan keikutsertaan program bersifat baku dan berlaku menyeluruh (secara nasional) Program dikembangkan untuk menyiapkan peserta untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi Program disusun sepenuhnya oleh

10.

Hasil belajar

pendek Penyusunan program melibatkan masyarakat secara partisipatif Proses pembelajaran secara kelompok dan mandiri Pelaksanaan / waktu belajar fleksibel sesuai kesepakatan Penyelesaian program relative singkat Memberdayakan potensi sumber setempat Sistem evaluasi tidak baku (kecuali program pake A pake B and Kursus) Hasil belajar dapat dijadikan bekal untuk bermatapencaharian Hasil belajar berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat Dapat diterapkan sehari-hari Tak mengutamakan ijazah

pemerintah, masyarakat bersifat pasif / pengguna Pembelajaran dilakukan secara klasikal Waktu belajar sudah pasti Penyelesaian program lama Penekanan pada penguasaan pengetahuan akademis Mengabaikan nara sumber / potensi sekitar Sistem evaluasi baku

Berpotensi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi Hasil belajar untuk jenjang karir di masa datang Hasil belajar tidak dapat langsung diterapkan dalam dunia nyata Ijazah merupakan hasil akhir

Berdasarkan hasil gambaran tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya Skola Lipu dapat diposisikan atau diklasifikasikan sebagai sekolah informal. 2.4. Legalitas pengakuan pendidikan Skola Lipu Dalam konteks penyenglenggaraan pendidikan sangat penting memperhatikan pihan jenis penyenglenggaraan pendidikan. Berbagai jenis penyelenggaraan pendidikan terlah diatur dalam peraturan perundangan dibidang pendidikan. Jika memahami konteks Skola Lipu yang merupakan wujud semangat untuk berdaya atas pendidikan dari masyarakat hukum adat Tau Taa

Wana, maka basis penyelenggaraannya adalah pendidikan layanan khusus. Pendidikan layanan khusus merupakan sikap responsif penggagas peraturan perundangan untuk lebih memahami kondisi sosial kemasyarakatan masyarakat hukum adat yang bermukim di pedalaman. Sebagaimana secara tegas diatur dalam Pasal 128 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan yang menjelaskan bahwa: Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Kemudian di tegaskan kembali pada Pasal 139 yang berbunyi: (1) Pendidikan layanan khusus berfungsi memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik di daerah: a. terpencil atau terbelakang; b. masyarakat adat yang terpencil; c. yang mengalami bencana alam; d. yang mengalami bencana sosial; dan/atau e. yang tidak mampu dari segi ekonomi. (2) Pendidikan layanan khusus bertujuan menyediakan akses pendidikan bagi peserta didik agar haknya untuk memperoleh pendidikan terpenuhi. Dalam hal memilih menentukan jalur penyelenggaraan pendidikan maka pelaksanaan pendidikan layanan khusus dapat memilih jalur berdasarkan kebutuhan komunitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 140 yang berbunyi bahwa: (1) Pendidikan layanan khusus dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (2) Pendidikan layanan khusus pada jalur pendidikan formal diselenggarakan dengan cara menyesuaikan waktu, tempat, sarana dan prasarana pembelajaran, pendidik, tenaga kependidikan, dan/atau sumber daya pembelajaran lainnya dengan kondisi kesulitan peserta didik. Upaya dalam mendudukan bentuk pengakuan penyelenggaraan pendidikan Skola Lipu pada prosesnya dilalui dengan berbagai upaya pendekatan, antara lain: Pertama, dimulai dari assesment terhadap kebutuhan dasar masyarakat terkait dengan pemberantasan buta aksara. Proses tersebut kemudian berkembang menjadi proses belajar bersama mengenali huruf dan angka. Proses belajar bersama kemudian dirasakan sebagai kebutuhan yang mendasar guna memberdayakan komunitas agar tidak ketinggalan dalam mengikuti

perkembangan diluar komunitas. Dalam perkembangannya sangat dirasakan oleh komunitas bahwa proses belajar bersama sangat penting untuk dilembagakan agar proses belajarnya dapat berkembanga dan berlangsung secara konstan. Kelembagaan proses belajar tersebut juga harus tidak meninggalkan karakter maupun kekhasan sosio-kultural masyarakat hukum adat Tau Taa Wana. Dalam proses FGD yang berulang kali bersama komunitas kemudian menyepakati nama untuk lembaga penyelenggara proses belajar ala masyarakat hukum adat Tau Taa Wana. Pada akhirnya disepakati bersama komunitas nama kelembagaanya adalah Skola Lipu. Sedang struktur kelembagaan sebagai berikut: (1) Pu u Songka Skola Lipu adalah lembaga penanggungjawab umum atas penyelenggaraan Skola Lipu. (2) Tau Mangalo a Skola Lipu adalah lembaga pengawas penyelenggaraan Skola Lipu yang bertugas melakukan pengawasan internal serta melaksanakan fungsi komite Sekolah. (3) Tau Mangkongko Skola Lipu adalah pengelola pendidikan yang terdiri dari : a. Pangulu Skola Lipu merupakan koordinator atau pimpinan Sekolah, yang bertanggungjawab atas pegelolaan Skola Lipu baik di Lipu Vananga Bulang sebagai Pusat Skola Lipu maupun pada lipu lainnya sebagai wilayah layanan; b. Tau Mampatundek Skola Lipu merupakan tenaga kependidikan yang berfungsi sebagai pengajar dengan tugas pokok merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan latihan; c. To Lea Skola Lipu merupakan tenaga kependidikan yang memiliki tugas pokok mengkoordinir administrasi dan keuangan dalam menunjang pengelolaan pendidikan Skola Lipu. Kedua, proses diskusi bersama dengan para pemangku kepentingan bidang pendidikan yang ada di kabupaten Tojo Unauna. Diskusi bersama tersebut merupakan ajang untuk menyerap aspirasi semua para pemangku kepentingan terkait antara lain: 1. Sistem penyelenggaraan Skola Lipu; 2. Kelembagaan 3. Kurikulum 4. Sistem Evaluasi 5. Anggaran 6. Renstra Penyelengaraan Skola Lipu Dari proses diskusi yang berlangsung berulang kali dan terfokus dalam tematik yang ditetapkan menghasilkan beberapa masukan

yang kemudian menjadi bahan perumusan draf kurikulum, sistem kelembagaan dan terakhir rancangan peraturan bupati. Ketiga, membangun diskusi intensif Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Tojo Una-una, dalam rangka mengkaji konsep perumusan regulasi daerah dalam bentuk kebijakan dalam bidang pendidikan. Pengkajian atas konsep regulasi terkait dengan proses legal drafting didasarkan pada diberikannya kewenangan kepada bupati untuk mengeluarkan pengaturan dan kebijakan hukum yang tertuang secara jelas dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan. Bentuk pengaturanya dapat tertuang dalam peraturan daerah maupun peraturan bupati yang mengatur bidang pendidikan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 29 ayat (2), (3) dan (4) yang berbunyi: (2) Kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam: a. rencana pembangunan jangka panjang kabupaten/kota; b. rencana pembangunan jangka menengah kabupaten/kota; c. rencana kabupaten/ strategis pendidikan kota; d. rencana kerja pemerintah kabupaten/kota; e. rencana kerja dan anggaran tahunan kabupaten/kota; f. peraturan daerah di bidang pendidikan; dan g. peraturan bupati/walikota di bidang pendidikan. (3) Kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan pedoman bagi: a. semua jajaran pemerintah kabupaten/kota; b. penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat di kabupaten/kota yang bersangkutan; c. satuan atau program pendidikan di kabupaten/kota yang bersangkutan; d. dewan pendidikan di kabupaten/kota yang bersangkutan; e. komite sekolah atau nama lain yang sejenis di kabupaten/kota yang bersangkutan; f. peserta didik di kabupaten/kota yang bersangkutan; g. orang tua/wali peserta didik di kabupaten/ kota yang bersangkutan; h. pendidik dan tenaga kependidikan di kabupaten/kota yang bersangkutan; i. masyarakat di kabupaten/kota yang bersangkutan; dan j. pihak lain yang terkait dengan pendidikan di kabupaten/kota yang bersangkutan. (4) Pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan anggaran pendidikan agar sistem pendidikan nasional di kabupaten/kota

yang bersangkutan dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan akuntabel sesuai dengan kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Sementara content regulasi daerah yang akan dirumuskan dalam pengaturan dan kebijakan daerah mengurai secara terfokus pada hal-hal yang terkait dengan akses layanan pendidikan terhadap masyarakat yang tidak mampu dan berada di wilayah khusus. Sebagaimana yang diatur pada Pasal 32 ayat (2) yang berbunyi: Bupati/walikota menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, dan/atau peserta didik di daerah khusus . Berangkat dari agumenasi hukum diatas, Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Tojo Una-una menyepakati pengaturan atas pengakuan dan perlindungan atas penyelenggaraan Skola Lipu dalam regulasi daerah. Kesepakatan tersebut kemudian dirumuskan dalam sebuah bingkai Nota Kesepahaman sebagai wujud komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una-una atas pengakuan dan perlindungan Skola Lipu untuk menjawab kebutuhan akan pendidikan pada masyarakat hukum adat Tau Taa Wana. Nota kesepahaman tersebut ditandatangani pada tanggal 14 Mei 2010 antara Bupati Tojo Una-una dengan Direktur Yayasan Merah Putih selaku NGO yang selama ini melakukan pendampingan terhadap masyarakat hukum adat Tau Taa Wana di wilayah kabupaten Tojo Una-una. Salah satu amanat dan sekaligus kewajiban Bupati segaimana yang termaktum pada Pasal 3 ayat (1) huruf b, yang berbunyi: Memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap penyelenggaraan Skola Lipu sebagai satuan pendidikan layanan khusus dengan jalur Informal yang berbasis komunitas dan lingkungan yang lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Bupati . Bebasis nota kesepahaman tersebut kemudian Bupati Tojo Una-una kemudian membentuk tim perumus peraturan bupati yang dikoordinir langsung oleh Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Tojo Una-una. Tim perumus kemudian menyusun rancangan peraturan bupati dan mensosialisasikan dan berdiskusi dengan para pemangku kepentingan di bidang pendidikan guna mendapatkan masukan dan kritikan. Dinamika diskusi dan berdebat yang begitu panjang kemudian pada tanggal 18 Juli 2011 Bupati Tojo Una-una menyetujui rancangan tersebut untuk ditetapkan sebagai Peraturan Bupati dengan nomor 13 tahun 2011 yang berjudul Pengakuan Dan Perlindungan Penyelenggaraan Skola Lipu Pada Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana. Perbup inilah yang

kemudian menjadi dasar hukum bagi perlindungan eksistensi Skola Lipu sebagai wahana belajar dan semangat baru untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana.