29
Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap Draft RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri 1. Pendapat Umum Pada 12 April 2012, DPR RI secara resmi meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan semua hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990). Kemudian Pemerintah secara resmi menerbitkannya menjadi undang-undang Nomor 6 tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers and Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya). Dengan demikian, setiap aturan dan perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah terkait dengan pekerja migran dan keluarganya, semestinya merujuk pada Konvensi tersebut. Konvensi Migran 1990 merupakan standar baku bagi perlindungan pekerja migrant dan anggota keluarganya. Konvensi ini komprehensif karena memuat standar baku hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, baik hak sipil dan politik, hak ekonomi social dan budaya, kewajiban negara asal dan tujuan pekerja migrant. Konvensi ini juga “istimewa” karena berlaku bagi semua pekerja migran dari berbagai status migrasi (berdokumen dan tidak berdokumen), setiap tahapan migrasi (persiapan migrasi, masa bekerja dan kepulangan) dan area migrasi (Negara asal, transit dan tujuan kerja). Komnas Perempuan berpendapat bahwa : a. RUU PPILN ini belum sepenuhnya merujuk pada standard baku perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya sebagaimana tercantum dalam Konvensi Migran 1990. b. RUU PPILN ini belum menggunakan analisis jender dalam penyusunan pasal-perpasal, padahal persoalan pekerja migran Indonesia, lebih umum lagi persoalan migrasi internasional tenaga kerja Indonesia tidak bisa lepas dari persoalan ketidakadilan jender. c. RUU PPILN masih memandang pekerja migran sebagai satu entitas yang terpotong, semata pekerja, belum melihat sebagai manusia utuh yang berkeluarga, memiliki hasrat dan kebutuhan manusiawi yang perlu dipenuhi selain kebutuhan dan hak sebagai pekerja. d. Terdapat ketimpangan antara naskah akademik RUU PPILN ini dengan isi RUU PPILN. Sehingga persoalan dan kebutuhan perbaikan kebijakan yang diuraikan dalam naskah akademik tidak terejawantahkan dengan komprehensif dalam muatan materi RUU PPILN. 1

17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap

Draft RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri

1. Pendapat UmumPada 12 April 2012, DPR RI secara resmi meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan semua hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990). Kemudian Pemerintah secara resmi menerbitkannya menjadi undang-undang Nomor 6 tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers and Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya). Dengan demikian, setiap aturan dan perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah terkait dengan pekerja migran dan keluarganya, semestinya merujuk pada Konvensi tersebut.Konvensi Migran 1990 merupakan standar baku bagi perlindungan pekerja migrant dan anggota keluarganya. Konvensi ini komprehensif karena memuat standar baku hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, baik hak sipil dan politik, hak ekonomi social dan budaya, kewajiban negara asal dan tujuan pekerja migrant. Konvensi ini juga “istimewa” karena berlaku bagi semua pekerja migran dari berbagai status migrasi (berdokumen dan tidak berdokumen), setiap tahapan migrasi (persiapan migrasi, masa bekerja dan kepulangan) dan area migrasi (Negara asal, transit dan tujuan kerja).Komnas Perempuan berpendapat bahwa :

a. RUU PPILN ini belum sepenuhnya merujuk pada standard baku perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya sebagaimana tercantum dalam Konvensi Migran 1990.

b. RUU PPILN ini belum menggunakan analisis jender dalam penyusunan pasal-perpasal, padahal persoalan pekerja migran Indonesia, lebih umum lagi persoalan migrasi internasional tenaga kerja Indonesia tidak bisa lepas dari persoalan ketidakadilan jender.

c. RUU PPILN masih memandang pekerja migran sebagai satu entitas yang terpotong, semata pekerja, belum melihat sebagai manusia utuh yang berkeluarga, memiliki hasrat dan kebutuhan manusiawi yang perlu dipenuhi selain kebutuhan dan hak sebagai pekerja.

d. Terdapat ketimpangan antara naskah akademik RUU PPILN ini dengan isi RUU PPILN. Sehingga persoalan dan kebutuhan perbaikan kebijakan yang diuraikan dalam naskah akademik tidak terejawantahkan dengan komprehensif dalam muatan materi RUU PPILN.

e. RUU PPILN masih berorientasi bisnis. Peran PPPILN/PPTKIS, Asuransi, Perbankan, masih dominan. Pengaturan dan pengetatan terhadap PPPILN/PPTKIS tidak jauh berbeda dengan UU 39/2004 tentang PPTKILN.

f. Pembagian peran dan kewenangan masih rancu, baik antara kementrian dan lembaga pemerintah terkait, maupun antara pemerintah dan pihak swasta dalam mengemban tanggung jawab perlindungan.

2. Langkah Maju dalam Draft RUU PPILN

1

Page 2: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat adanya langkah maju dalam RUU PPILN ini jika dibandingkan dengan UU 39/2004 tentang PPTKILN. Beberapa langkah maju yang patut diapresiasi adalah :

1. RUU PPILN ini sudah lebih mengarah pada perlindungan2. Isu-isu spesifik seperti Pendidikan dan Pelatihan mendapat perhatian3. Upaya pembagian peran dan tanggung jawab antar kementrian sudah

ada meskipun perlu mendapat catatan4. Peran Pemerintah daerah meningkat

3. Kelemahan & Poin-poin Krusial yang Harus DirevisiA. JudulJudul undang-undang Perlindungan Pekerja Indonesia di luar negeri, secara umum masih belum menunjukan cara pandang yang komprehensif terhadap pekerja migran sebagai manusia utuh, bukan semata pekerja, namun juga manusia yang berjenis kelamin, memiliki atau menjadi anggota keluarga, sehingga entitas pekerja migran semestinya tidak dilepaskan dari hal-hal tersebut. Komnas Perempuan mengusulkan agar judul RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di luar negeri diubah menjadi RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan anggota keluarganya.

Draft RUU PPILN Usulan Komnas PerempuanRANCANGAN UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIANOMOR ...TAHUN ...

TENTANGPERLINDUNGAN PEKERJA INDONESIA

DI LUAR NEGERI

RANCANGAN UNDANG-UNDANGREPUBLIK INDONESIANOMOR ...TAHUN ...

TENTANGPERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN

INDONESIA DAN ANGGOTA KELUARGANYA

B. Definisi & Ruang LingkupTerkait definisi dan ruang lingkup pekerja migran dan anggota keluarganya, Komnas Perempuan berpendapat agar RUU ini langsung merujuk pada Konvensi Migran 1990.

Draft RUU PPILN Usulan Komnas Perempuan

2

Page 3: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

BAB III PEKERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

Bagian Kesatu Umum

Pasal 5Bidang pekerjaan Pekerja Indonesia di Luar Negeri antara lain meliputi:a. sektor domestik;b. sektor pertanian, perkebunan, dan

kehutanan;c. sektor kelautan dan perikanan;d. sektor konstruksi;e. sektor pertambangan;f. sektor jasa dan entertain;g. sektor keuangan dan perbankan;h. sektor perhubungan dan

transportasi;i. sektor pariwisata;j. sektor pendidikan;k. sektor kesehatan; l. sektor industri; m. sektor informasi dan teknologi; dann. sektor olahraga dan kesenian.

BAB III PEKERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

Bagian Kesatu Umum

Pasal 5(1) Pekerja Migran Indonesia

termasuk : a. Pekerja Lintas Batas yaitu

Pekerja Migran Indonesia yang bertempat tinggal di suatu Negara tetangga yang pulang setiap hari atau setidaknya sekali dalam seminggu;

b. Pekerja Musiman yaitu Pekerja Migran Indonesia yang sifat pekerjaannya bergantung pada kondisi musiman dan dilakukan hanya dalam sebagian waktu setiap tahunnya;

c. Pelaut yaitu Pekerja Migran Indonesia yang dipekerjakan di atas kapal yang terdaftar di suatu Negara;

d. Pekerja pada instalasi lepas pantai yaitu Pekerja Migran Indonesia yang dipekerjakan pada suatu instalasi lepas pantai yang berada dibawah yurisdiksi suatu Negara;

e. Pekerja Keliling mengacu pada seorang pekerja migran yang harus bepergian ke Negara atau negara-negara lain untuk waktu singkat sehubungan dengan sifat pekerjaannya, sedang ia bertempat tinggal sehari-hari di suatu Negara;

f. Pekerja proyek mengacu pada seorang pekerja migran yang diterima di suatu Negara tujuan kerja untuk jangka waktu kerja tertentu semata-mata untuk proyek tertentu yang dilaksanakan di Negara tersebut oleh majikannya;

g. Pekerja mandiri mengacu pada pekerja migran yang melakukan aktivitas yang dibayar dan tidak berada di bawah perjanjian kerja, mencari nafkah melalui kegiatan ini seorang diri atau bersama anggota keluarganya, serta pekerja migran lain yang

3

Page 4: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

diakui sebagai pekerja mandiri menurut ketentuan hukum yang berlaku di negara tujuan bekerja atau menurut perjanjian bilateral atau multilateral;

h. Pekerja rumah tangga tangga; dan

i. Pekerja dengan pekejaan tertentu mengacu pada pekerja migran yang:

i. Dipekerjakan oleh majikannya untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu ke suatu Negara tujuan kerja, untuk melakukan tugas atau pekerjaan tertentu;

ii. Untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu melakukan pekerjaan yang memerlukan keahlian, profesional, komersial, teknis, atau keahlian sangat khusus lain, atau;

iii. Atas permintaan majikannya di Negara tujuan kerja, untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu, melakukan pekerjaan yang bersifat sementara atau singkat; dan diharuskan untuk meninggalkan Negara tujuan kerja, baik pada saat berekhir ijin tinggalnya atau sebelumnya, apabila ia tidak lagi melakukan tugas atau kewajiban tertentu yang diperintahkan kepadanya.

C. Hak & Kewajiban Pekerja Migran & Keluarganya

Perihal hak dan kewajiban pekerja migran dan anggota keluarganya, Komnas Perempuan berpendapat agar hak-hak yang tertulis dalam konvensi secara eksplisit dirujuk oleh undang-undang ini.

Draft RUU PPILN Usulan Komnas Perempuan

4

Page 5: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

Bagian KeduaHak dan Kewajiban

Paragraf 1Hak dan Kewajiban Pekerja Indonesia di

Luar Negeri

Pasal 6Setiap Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri berhak:a. mendapatkan pekerjaan yang

layak di luar negeri dan memilih jenis pekerjaan;

b. memperoleh peningkatan kapasitas diri baik melalui pendidikan formal dan nonformal;

c. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri, lokasi tempat kerja, calon pengguna, prosedur penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri, kondisi kerja serta budaya, jaminan sosial dan program asuransi di dalam dan luar negeri, serta peraturan perundang-undangan tentang tenaga kerja di negara penerima;

d. memperoleh pelayanan yang profesional dan manusiawi, serta perlakuan yang sama selama prapenempatan, masa penempatan, dan pascapenempatan;

e. memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinan, serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianut;

f. memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara penerima;

g. memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara penerima;

h. memperoleh jaminan perlindungan hukum atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan

Bagian KeduaHak dan Kewajiban

Paragraf 1Hak dan Kewajiban Pekerja Indonesia di

Luar Negeri

Pasal 6Setiap Pekerja Migran Indonesia berhak :1. Bekerja di luar negeri dan memilih

jenis pekerjaan;2. Bebas untuk bergerak diwilayah

Negara tempatnya bekerja dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut;

3. Masuk dan tinggal di negara tempat PMI bekerja;

4. Atas hidup yang harus dilindungi oleh hukum;

5. Bebas dari sasaran penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat;

6. Tidak diperbudak;7. Bebas dari kerja paksa;8. Kebebasan dan keamanan berpikir,

berpendapat, berkeyakinan, dan beragama sesuai hati nurani;

9. Atas kemerdekaan dan keamanan;10. Perlindungan yang efektif oleh

negara terhadap tindak kekerasan, kerugian fisik, ancaman dan intimidasi, baik yang dilakukan oleh pejabat publik maupun perseorangan, kelompok ataupun lembaga;

11. Bebas dari sasaran penangkapan atau penahan yang sewenang-wenang, kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum;

12. Menguasai paspor, dokumen yang setara dengan paspor, dan dokumen pribadi lainnya;

13. Bebas dari sasaran pengusiran atau deportasi misal dan diproses sesuai kasus yang dialami;

14. Memperoleh perlindungan dan bantuan pejabat konsuler atau diplomatik dari pemerintah;

15. Diakui sebagai pribadi di muka hukum;

5

Page 6: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

martabat sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan di negara penerima;

i. memperoleh perlindungan keselamatan dan keamanan selama prapenempatan, masa penempatan, dan pascapenempatan;

j. mengetahui hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kerja;

k. memperoleh naskah Perjanjian Kerja yang asli, serta dapat menyimpan dokumen pribadi;

l. berkomunikasi dengan keluarga; dan

m. bersosialisasi, berserikat dan/atau berorganisasi dengan komunitas Pekerja Indonesia di Luar Negeri di negara penerima

16. Bebas dari perlakuan yang berbeda di negara tempat bekerja dalam hal: a. Pembayaran gaji;b. Kondisi-kondisi kerja lainnya,

yakni uang lembur, jam kerja, istirahat mingguan, liburan dengan gaji, keselamatan, kesehatan, pemutusan hubungan kerja, dan kondisi-kondisi apapun yang menurut hukum dan praktek nasional dicakup dalam istilah ini; dan

c. Persyaratan kerja lainnya, yakni usia minimum untuk bekerja, pembatasan pekerjaan rumah, dan hal-hal lain yang menurut hukum dan praktek nasional dianggap sebagai persyaratan kerja;

17. Berserikat, berkumpul dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan serikat buruh;

18. Mendapatkan layanan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi;

19. Mengirim dan menyimpan uang melalui lembaga keuangan;

20. Berlibur; 21. Cuti;22. Mendapatkan hak politik, memilih

dan dipilih pada pemilihan umum di Indonesia, dan berpartisipasi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

23. Persamaan perlakuan dengan warganegara dari negara tempat bekerja terkait dengan:a. Kedudukan yang sama dimuka

hukum;b. Akses pada lembaga-lembaga dan

pelayanan pendidikan sesuai dengan persyaratan penerimaan dan ketentuan lain dari lembaga atau pelayanan tersebut;

c. Akses pada bimbingan pelatihan kejuruan dan pelayanan untuk penempatan;

d. Akses pada pelatihan kejuruan dan fasilitas dan lembaga pelatihan kembali;

e. Akses pada perumahan, termasuk rencana perumahan sosial, dan perlindungan terhadap eksploitasi dalam hal uang sewa;

f. Akses pada pelayanan sosial dan

6

Page 7: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

kesehatan, asalkan persyaratan-persyaratan untuk ikut serta dalam rencana-rencanatersebut dipenuhi;

g. Akses pada perusahaan koperasi dan swakelola (usaha kesejahteraan) yang tidak mengakibatkan perubahan dalam status migrasi mereka, dan tunduk pada aturan dan ketentuan dari badan yang bersangkutan;

h. Akses dan partisipasi pada kehidupan budaya;

i. Perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja sepihak; dan

j. Memperoleh tunjangan pengangguran.

24. Tempat tinggal, fasilitas umum dan mempertahankan identitas sosial-budaya di Negara tempat bekerja;

25. Peningkatan kapasitas diri, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal;

26. Menikah atau bebas memilih pasangan hidup;

27. Difasilitasi untuk penyatuan PMI dengan pasangan mereka atau orang-orang yang mempunyai hubungan dengan PMI, yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mempunyai akibat yang setara dengan perkawinan, dan juga dengan anak-anak mereka yang belum menikah dan dibawah umur; dan

28. Menikmati kemudahan-kemudahan dalam bea dan pajak impor dan ekspor, berkenaan dengan milik pribadi mereka dan juga peralatan yang diperlukan untuk bekerja yang dibayar yang menyebabkan mereka diijinkan masuk ke dalam Negara tempat bekerja, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Negara-negara yang bersangkutan dan juga perjanjian internasional yang relevan, serta kewajiban Negara-negara tersebut yang muncul dari keikutsertaan mereka dalam persatuan bea cukai dalam hal :a. Pada saat keberangkatan

mereka dari Negara asal atau dari Negara tempatnya menetap

7

Page 8: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

sehari-hari;b. Pada saat pertama kalinya

mereka memasuki Negara tempatnya bekerja;

c. Pada saat keberangkatan terakhir dari Negara tempatnya bekerja;

d. Pada saat kembalinya mereka ke Negara asal atau Negara tempatnya menetap sehari-hari.

Hak Berkumpul & Berserikat

Di beberapa Negara tujuan kerja pekerja migrant seperti Hongkong, Taiwan dan Belanda, hak pekerja untuk berkumpul dan berserikat, dilindungi dan dijamin oleh hukum Negara setempat. Namun, hal tersebut tidak berlaku di Negara-negara tujuan kerja seperti Malaysia, Singapura, Arab Saudi dan beberapa Negara lain di Timur Tengah.

Meskipun situasi social politik Negara tujuan tidak mendukung pekerja migrant untuk berserikat dan berkumpul, namun upaya-upaya memfasilitasi dan memenuhi hak pekerja migran tersebut harus tetap dilakukan. Dampak positif yang paling praktis dari berorganisasi dan berkumpul antara lain, meningkatnya posisi tawar pekerja migrant dan adanya proses transfer pengetahuan dan pengalaman terkait penyelesaian masalah-masalah di Negara tujuan kerja.

Komnas Perempuan berpandangan bahwa, untuk Negara-negara tujuan kerja tertentu yang tidak memungkinkan pekerja migran berkumpul dan berorganisasi, Perwakilan RI harus mengambil langkah-langkah aktif dan inovatif agar pekerja migran dapat berkumpul dan berserikat, misalnya memfasilitasi pertemuan-pertemuan komunitas pekerja migrant, memasukan hak pekerja migran untuk bersosialisasi atau setidaknya berkumpul di perwakilan RI dalam periode waktu tertentu dalam kesepakatan dengan Negara tujuan kerja.

Kontrak MandiriDi beberapa Negara tujuan kerja seperti Hongkong dan Taiwan, pekerja migran yang telah berpengalaman dan memiliki informasi untuk mendapatkan dan memilih pengguna jasa/majikan, memilih melakukan kontrak mandiri, yaitu kontrak langsung antara pekerja migrant dengan pengguna jasa tanpa menggunakan perantara/jasa agen, perekrutan secara tradisional atau melalui keluarga yaitu model lama yang dijadikan PRT dalam perekrutan. Hal tersebut penting menjadi perhatian. Namun, hal tersebut terkendala oleh aturan yang tetap mewajibkan pekerja migran menggunakan jasa agen. Dalam RUU PPILN ini Komnas Perempuan mengusulkan adanya pengaturan hak pekerja migrant yang ingin melakukan kontrak mandiri.

Draft RUU PPILN Usulan Komnas Perempuan

8

Page 9: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

Pasal 85Orang perseorangan dilarang melaksanakan penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri.

1. Orang perseorangan dilarang melaksanakan penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri.

2. Pekerja migran boleh melakukan kontrak mandiri.

D. Informasi & Pendaftaran

Salah satu persoalan mendasar dalam proses migrasi pekerja migran Indonesia adalah terbatasnya informasi yang dimiliki oleh pekerja migran tentang bagaimana cara bermigrasi yang aman. Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, sumber informasi utama yang menjadi rujukan pekerja migran adalah sponsor/calo yang merupakan petugas lapangan perekrut dari Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Swasta (PPTKIS). Sementara peran pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja belum optimal menjangkau dan bahkan tidak sama sekali menyebarluaskan informasi mengenai tata cara dan persyaratan mengenai migrasi aman hingga ke desa-desa. Selain itu persoalan lain yang terkait dengan informasi adalah pendaftaran menjadi pekerja migran yang masih terpusat di Jakarta atau ibu kota propinsi.

Dalam RUU PPILN ini, kewajiban menyebarluaskan informasi mengenai migrasi aman dan pendaftaran bagi warga yang berminat menjadi pekerja migran belum jelas. penyebaran informasi mengenai tata cara migrasi aman dan hingga ke desa-desa. Pihak yang menjadi kunci penyebaran informasi mengenai migrasi aman ini bukan lagi PPTKIS atau petugas lapangan, namun pemerintah daerah hingga ke desa-desa. Hal- hal yang sekurang-kurangnya harus disampaikan antara lain:

A. Secara Universal

a. lowongan, jenis, dan uraian pekerjaan yang tersedia beserta syarat jabatan;b. lokasi dan lingkungan kerja;c. waktu, tempat, dan syarat pendaftaran;d. tata cara dan prosedur pendaftaran;e. persyaratan; f. risiko yang mungkin dihadapi;g. kondisi dan syarat kerja yang meliputi gaji, waktu kerja, waktu istirahat/cuti,

lembur, jaminan perlindungan, dan fasilitas lain yang diperoleh;h. peraturan perundang-undangan, sosial budaya, situasi, dan kondisi negara

tujuan kerja;i. kelengkapan dokumen Pekerja migrant Indonesia;j. biaya yang dibebankan dan mekanisme pembayaran k. hak dan kewajiban Pekerja migrant Indonesia.Semantara itu terkait dengan pendaftaran untuk bekerja ke luar negeri, proses administrasi sebaiknya dimulai di tingkat kelurahan dan pendaftaran di dinas tenaga kerja kabupaten.

B. Ditambah dalam info Job Order yang terkait info tentang calon pengguna jasa

a.Identitas pengguna

9

Page 10: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

b.Situasic.Budaya/adat istiadatd.Anggota keluarga

E. Posisi & Tanggung Jawab Agen Penyalur

Peran sektor swasta dalam proses migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri selama ini masih sangat dominan. Mulai dari soal penyebaran informasi, perekrutan, pendidikan dan pelatihan, asuransi hingga pemberangkatan. Dalam penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi pekerja migran dan keluarganya, PPTKIS adalah tempat yang dirujuk pertama kali oleh pekerja migrant dan keluarganya, meskipun dalam hal penyelesaian masalah antar Negara. Kewajiban korporasi (sektor swasta) dalam konteks HAM sebagimana dalam Guiding Principles for the Implementation of the Protect, Respect and Remedy Framework1, antara lain :

1. Setiap tindakan korporasi untuk mencegah, mengukur dampak dan menghormati Hak Asasi Manusia harus sesuai dengan standar hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dan diterapkan secara internal dalam semua struktur korporasi.

2. Dalam rangka menjalankan kewajibannya korporasi harus memilki kebijakan untuk mengukur efek yang ditimbulkan oleh operasinya ataupun yang berhubungan aktifitasnya, dalam berbagai skala, dengan cara identifikasi, mencegah, mengurangi dan memulihkan berbagai pelanggaran HAM dan tindakan yang merugikan dan dapat mempertanggung jawabkannya.

3. Dalam rangka untuk mengidentifikasi, mencegah dan mengurangi dampak yang merugikan hak asasi manusia, Korporasi melakukan proses due diligence yang harus mencakup penilaian aktual dan potensial akan dampak hak asasi manusia, menanggapi sesegera mungkin atas temuan dan memepertanggungjawabkan kinerjanya. Penilaian aktual ini harus disadari terus menerus karena kondisi hak asasi manusia juga dapat berubah, dan juga harus diintegrasikan dalam upaya pemulihan dan operasional korporasi.

4. Keterlibatan dengan kelompok-kelompok yang berpotensi terkena dampak dan para pemangku kepentingan terkait lainnya , sesuai dengan ukuran, sifat dan konteks operasional.

5. Dalam rangka untuk mempertanggungjawabkan kinerja hak asasi manusia, Korporasi harus terbuka untuk kompalin atau suara kekhawatiran dari masryarakat yang potensial terkena dampak. Begitu pula memberi laporan secara berkala atas operasi yang dilakukan khususnya berkaitan dengan resiko.

Standar Internasional yang secara khusus terkait dengan posisi agen penyalur tenaga kerja adalah Konvensi ILO 181 tentang Penyalur Tenaga Kerja Swasta. Konvensi ini semestinya harus dijadikan pedoman dalam pelaksanaan penyalur tenaga kerja swasta. Komnas Perempuan berpandangan bahwa peran sektor swasta dalam sistem migrasi tenaga kerja tidak bisa dihapus begitu saja, namun tidak boleh juga mendapat peran besar sebagaimana yang terjadi sebelumnya. Prinsip-prinsip umum yang harus dijalankan penyalur tenaga kerja swasta sesuai Konvensi ILO 181 adalah :1. Badan penyalur tenaga kerja swasta memperlakukan para pekerja tanpa

diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, keturunan, kedudukan sosial, atau bentuk diskriminasi lainnya yang

1 Dokumen Guiding Principle on Business and Human Right Implementing the United nation “Protect, Respect and Remedy” Framework, diunduh dari http://www.ohchr.org/Documents/Issues/Business/A-HRC-17-31_AEV.pdf.

10

Page 11: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

diatur dalma undang-undang dan ketentuan umum di negara yang bersangkutan, seperti usia dan kecacatan.

2. Pengolahan data pribadi para pekerja oleh badan penyalur tenaga kerja swasta harus : (a) Dilaksanakan dengan cara yagn melindungi data ini dan menjamin kerahasiaan para pekerja sesuai hukum dan ketentuan umum di negara masing-masing;(b) Terbatas pada hal-hal yang menyangkut kualifi kasi dan pengalaman profesional dari pekerja yang bersangkutan serta informasi lainnya yang benar-benar berkaitan.

3. Badan Penyalur tenaga kerja swasta tidak boleh membebankan langsung maupun tidak langsung, seluruhnya atau sebagiannya, biaya dari para pekerja.

4. Pekerja anak tidak digunakan atau disediakan oleh badan penyalur tenaga kerja swasta.

5. Adanya perlindungan yang memadai atas pekerja yang diterima oleh badan penyalur tenaga kerja swasta sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1, ayat 1 (b) di atas yang menyangkut: a. Kebebasan berserikat;b. Perundingan kesepakatan kerja bersama;c. Upah minimum; d. Jam kerja dan kondisi kerja lainnya;e. Jaminan sosial berdasarkan undang-undang;f. Akses ke pelatihan;g. Keselamatan dan kesehatan kerja;h. Ganti rugi bila terjadi kecelakaan atau penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan;i. Ganti rugi bila terjadi ketidakmampuan pemberi kerja untuk membayar upah serta perlindungan atas tuntutan para pekerja; Perlindungan serta jaminan, terhadap pekerja wanita yang hamil, serta perlindungan dan jaminan mengasuh bayi.

Dalam konteks pengaturan PPTKIS, beberapa prinsip yang harus menjadi pijakan antara lain :

1. Pengetatan Persyaratan Registrasi, akreditasi dan lisensi2. Pelaporan secara periodik 3. Komitmen mengoprasikan perusahaan sesuai aturan dan menghormati HAM4. Pengawasan5. Pemberian sanksi

Draft RUU PPILN Usulan Komnas Perempuan

Pasal 87(1) Untuk dapat memperoleh SIPPPILN

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, PPPILN harus memenuhi persyaratan:a. memiliki modal disetor yang

tercantum dalam akta pendirian perusahaan, paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);

b. menyetor uang kepada bank sebagai jaminan dalam bentuk deposito paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) pada bank pemerintah;

c. memiliki rencana kerja penempatan dan perlindungan Pekerja Indonesia di luar negeri paling singkat 3 (tiga) tahun

Pasal 87(3) Untuk dapat memperoleh SIPPPILN

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, PPPILN harus memenuhi persyaratan:a. Pendiri, pemilik, dan pengurus

PPILN adalah warga negara Indonesia;

b. Memiliki akte pendirian yang disahkan oleh notaris dan terdaftar di Kementrian Lembaga Hukum dan Hak Asasi Manusia;

e. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

f. Belum pernah melanggar tugas dan tanggung jawab sebagai pemilik, pengurus

11

Page 12: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

berjalan; dand. memiliki sarana dan prasarana

pelayanan penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri.

(2) Sesuai dengan perkembangan keadaan, besarnya modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan jaminan dalam bentuk deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat ditinjau kembali dan diubah dengan Peraturan Menteri.

ataupun pelaksana dari PPILN atau di cabut Surat Ijin Pendirian (SIPPPILN)

g. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan, paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);

h. menyetor uang kepada bank sebagai jaminan dalam bentuk deposito paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (1 milyar rupiah) pada bank pemerintah;

i. memiliki rencana kerja penempatan dan perlindungan Pekerja Indonesia di luar negeri paling singkat 3 (tiga) tahun berjalan; dan

j. memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri.

Pasal 89(1) PPPILN wajib menambah biaya

keperluan penyelesaian perselisihan atau sengketa Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri apabila deposito yang digunakan tidak mencukupi.

(2) Pemerintah mengembalikan deposito kepada PPPILN apabila masa berlaku SIPPPILN telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi atau SIPPPILN dicabut.

(3) Ketentuan mengenai penyetoran, penggunaan, pencairan, dan pengembalian deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.

Pasal 89(4) PPPILN wajib menambah biaya

keperluan penyelesaian perselisihan atau sengketa Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri apabila deposito yang digunakan tidak mencukupi.

(5) PPPILN wajib Membuat laporan periodic kepada Menteri dan menteri menyampaikan kepada public.

(6) Pemerintah mengembalikan deposito kepada PPPILN apabila masa berlaku SIPPPILN telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi atau SIPPPILN dicabut.

(7) Ketentuan mengenai penyetoran, penggunaan, pencairan, dan pengembalian deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.

F. Pembiayaan Migrasi

Perihal biaya penempatan (cost structure) pekerja migran merupakan salah satu persoalan yang belum diatur dengan jelas pada UU 39/2004 tentang PPTKILN. Baik itu komponen, besaran biaya dan pihak yang menanggung biaya tersebut. Dari hasil kajian Komnas Perempuan, dasar hukum mengenai biaya penempatan antara lain :

12

Page 13: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

1. Keputusan Direktur Jendral Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kep.186/PPTK/VII/2008 tentang biaya penempatan calon TKI PLRT, Perawat Bayi, dan Perawat Orangtua/ Jompo di Hongkong tanggal 10 Juli 2008 yaitu sebesar Rp.15.688.000

2. Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor: Per 02/KA/I/2012 tanggal 24 Januari 2012 tentang biaya penempatan TKI Eks Hongkong (yang sudah berpengalaman bekerja di Hongkong Sebelumnya), yaitu sebesar Rp 5.911.000.

3. Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor Per.003/KA/I/2012 tanggal 24 Januari tentang biaya penempatan TKI ke Singapura sebesar Rp 10.933.000 dan bagi yang pernah bekerja sebelumnya (TKI Eks Singapura) sebesar Rp 5.448.00.

4. Memorandum of Understanding (MoU) Indonesia – Malaysia mengenai Ketenagakerjaan Sektor Penata Laksana Rumah Tangga yang ditandatangani pada 30 Mei 2011 di Bandung, menyatakan bahwa biaya penempatan pekerja migran yang harus ditanggung pengguna jasa (majikan) sebesar RM 2.711 atau sebesar Rp 7.592.00, sedangkan biaya yang ditanggung pekerja migran sebesar RM 1800 atau setara Rp 5.040.000.

5. Biaya penempatan Negara tujuan kerja di kawasan Timur Tengah, tidak ada aturan khusus karena selama ini penentuan biaya penempatan berdasarkan harga pasar dan dibebankan kepada pengguna jasa/ majikan.

Pembebanan biaya migrasi kepada pengguna jasa sekilas nampak menguntungkan pekerja migran, namun praktek pembebanan biaya sepenuhnya pada pengguna jasa berkonotasi pada “pembelian” tenaga kerja yang siap diperkerjakan tanpa standar kerja yang layak. Komnas Perempuan berpandangan, pada prinsipnya, beban biaya migrasi dapat dibagi kepada para pihak, besaran biaya bekerja keluar negeri tidak boleh membebani pekerja migran terlalu berat dan tidak eksploitatif. Standar biaya penempatan (cost structure) pekerja migran harus ditentukan berdasarkan standard pada masing-masing Negara tujuan kerja. Sedangkan perihal siapa yang menanggung beban biaya, menurut Komnas Perempuan dapat dibagi sebagai berikut :

1. Pekerja migran menanggung biaya pengurusan dokumen pribadi seperti ; KTP, Paspor dan asuransi (yang bersifat sukarela)

2. Pemerintah menanggung biaya Pendidikan dan Pelatihan,ujian kompetensi (bila diperlukan),biaya perlindungan dan pemulihan.

3. Pengguna jasa/ majikan menanggung biaya visa, permit kerja, tiket pesawat PP, Asuransi.

Draft RUU PPILN Usulan Komnas PerempuanPasal 53

Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri wajib menanggung biaya: a. pemeriksaan kesehatan dan

psikologi; b. paspor;c. pelatihan kerja dan sertifikasi

kompetensi; dand. premi asuransi dan/atau jaminan

Pekerja Migran Indonesia wajib menanggung biaya:a. Pasporb. pemeriksaan kesehatan dan

psikologi; c. premi asuransi bila mengikuti

program asuransi tambahan

13

Page 14: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

sosial.

Pasal 54(1) Pengguna melalui PPPILN wajib

menanggung biaya:a. akomodasi dan konsumsi selama

masapemberangkatan; b. tiket (pulang-pergi);c. kepulangan dari terminal

bandara atau pelabuhan ke daerah asal;

d. premi asuransi di luar negeri; dan

e. visa kerja; (2) Komponen biaya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak boleh dibebankan dari gaji Pekerja Indonesia di Luar Negeri.

(3) Pengguna wajib membayar komponen biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)kepada PPPILN setelah Perjanjian Penempatan ditandatangani oleh PPPILN dan Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri.

(4) PPPILN hanya dapat memungut jasa penempatan dari Pekerja Indonesia di Luar Negeri paling banyak 1 (satu) bulan gaji.

Pasal 55Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran komponen biaya penempatan diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 55Pemerintah menanggung biaya :1. Subsidi Pendidikan dan Pelatihan2. Pemulihan bagi Pekerja Migran yang menjadi korban

G. Pendidikan & Pelatihan

Selama ini pendidikan dan pelatihan bagi pekerja migran dilakukan di Balai Latihan Kerja (BLK) yang dikelola oleh pihak swasta. Sedangkan kurikulum pendidikan dan pelatihan disusun oleh pemerintah. Namun demikian, berdasarkan hasil Pemantauan Komnas Perempuan, kurikulum pendidikan hanya mencakup keterampilan dan bahasa dengan muatan yang belum memadai. Sementara pengetahuan mengenai hak-hak pekerja migran, kondisi social, hukum, kebiasaan dan budaya Negara tujuan kerja hanya diberikan saat proses Pemberangkatan Akhir Pemberangkatan (PAP). Sertifikasi profesi bagi pekerja migran selama ini digunakan sebagai mekanisme untuk pengawasan apakah proses pendidikan dan pelatihan sudah dilakukan sesuai dengan muatan materi dan ketentuan yang

14

Page 15: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

ditetapkan. Namun demikian, praktek manipulasi dan jual beli sertifikasi masih ditemukan, dari hasil pemantauan Komnas Perempuan masih ditemukan fakta bahwa masih banyak pekerja migran yang tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan kerja memadai tapi memiliki sertifikat dari badan sertifikasi.

Dampak dari lemahnya kurikulum pendidikan dan pelatihan dan manipulasi sertifikasi adalah berbagai persoalan yang dihadapi pekerja migrant misalnya keterbatasan pengetahuan pekerja migrant atas system hukum dan adat kebiasaan Negara tujuan mengakibatkan pekerja migrant terjerat kasus hukum.

Dalam perubahan atas UU 39/2004 tentang PPTKILN Komnas Perempuan mengusulkan agar Pendidikan dan Pelatihan bagi pekerja migrant dilakukan BLK-BLK milik pemerintah yang tersebar di daerah-daerah. Konsekuensi dari fungsionalisasi BLK-BLK milik pemerintah adalah rehabilitasi infrasturktur yang telah ada dan penambahan jumlah BLK di daerah-daerah yang merupakan daerah asal pekerja migran.

Sementara itu, perihal muatan materi pendidikan Komnas Perempuan mengusulkan beberapa materi wajib dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan antara lain :

1. Hak-Hak dan kewajiban pekerja migran sebagai pekerja dan sebagai pendatang di Negara tujuan.

2. Persiapan psikologis 3. Sistem hukum meliputi pengenalan terhadap berbagai peraturan dan

kebiasaan yang terkait dengan pekerja migran negara tujuan kerja.4. Tata cara pengaduan dan penyelesaian masalah baik dalam hal hubungan

kerja maupun masalah hukum lainnya.5. Kesehatan umum dan kesehatan reproduksi.6. Bahasa dan keterampilan penggunaan alat-alat bantu/pendukung pekerjaan7. Tata cara pengiriman dan pengelolaan remitensi.8. Penyelesaian bila terjadi perselisihan/konflik dengan pengguna jasa.

Draft RUU PPILN Usulan Komnas PerempuanPasal 19

Pendidikan dan pelatihan kerja bagi Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dimaksudkan untuk :a. membekali, meningkatkan, dan

mengembangkan kompetensi kerja;

b. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya, agama, dan risiko bekerja di luar negeri;

c. membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara penerima;

Pendidikan dan Pelatihan bagi Pekerja migrant Indonesia sekurang-kurangnya harus memuat :

a. Pendidikan dan pelatihan keterampilan sesuai dengan bidang kerja yang dituju

b. Pendidikan dan pelatihan bahasa Negara tujuan kerja

c. Pengetahuan dan pemahaman mengenai situasi, kondisi, adat istiadat, sistem hukum terkait pekerja migrant, dan resiko bekerja di luar negeri.

d. Pengetahuan mengenai hak dan kewajiban Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri;

e. pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan terkait

15

Page 16: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

d. memberi penjelasan tentang isi dari materi Perjanjian Kerja dan Perjanjian Penempatan;

e. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri;

f. memberi pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan di Indonesia dan negara penerima;

g. memberi informasi mengenai Perwakilan Republik Indonesia di negara penerima yang meliputi antara lain lokasi/alamat, nomor telepon dan jenis pelayanan bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri;

h. memberi informasi tentang lokasi dan cara mendapatkan pertolongan dan bantuan hukum ketika Pekerja Indonesiadi Luar Negeri mendapat masalah di negara penerima;

i. membekali tata cara keberangkatan, kedatangan dan kepulangan;

j. memberi pengetahuan tentang program remitansi tabungan dan asuransi perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri;

k. membekali pengetahuan kesehatan; dan

l. membekali tata cara perlindungan diri terhadap kemungkinan adanya kekerasan dari Pengguna termasuk melakukan simulasi.

ketenagakerjaan di Indonesia dan negara penerima;

m.penjelasan tentang isi dari materi Perjanjian Kerja dan Perjanjian Penempatan;

f. informasi mengenai Perwakilan Republik Indonesia di negara penerima yang meliputi antara lain lokasi/alamat, nomor telepon dan jenis pelayanan bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri;

n. informasi tentang lokasi dan cara mendapatkan pertolongan dan bantuan hukum ketika Pekerja Indonesiadi Luar Negeri mendapat masalah di negara penerima;

o. tata cara keberangkatan, kedatangan dan kepulangan;

p. pengetahuan tentang program remitansi tabungan dan asuransi perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri;

q. pengetahuan kesehatan; danr. membekali tata cara perlindungan

diri terhadap kemungkinan adanya kekerasan dari Pengguna termasuk melakukan simulasi dan tata cara penyelesaian konflik/perselisihan dengan pengguna jasa.

H. Pekerja Rumah Tangga MigranData menyebutkan kurang lebih 80% pekerja migran Indonesia bekerja pada sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga. Kerentanan bidang dan ruang kerja pekerja rumah tangga, membutuhkan perhatian dan aturan khusus dalam RUU PPILN ini. Komnas Perempuan mengusulkan agar ada Bab khusus dalam RUU PPILN ini yang membahas pekerja rumah tangga.

16

Page 17: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

Draft RUU PPILN Usulan Komnas PerempuanBAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1Tidak ada definis mengenai PRT

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Pekerja Rumah Tangga Migran adalah pekerja migran Indonesia yang terikat di dalam pekerjaan rumah tangga dalam suatu hubungan kerja.

BABPekerja RUmah Tangga Migran

Setiap Pekerja Rumah Tangga Migran berhak :a. bebas dari segala bentuk kekerasan,

intimidasi, tekanan, eksploitasi dan kerja berbahaya.

b. mendapatkan jaminan perlindungan keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja dalam menjalankan pekerjaan kerumahtanggaan;

c. Mendapatkan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kompetensi kerja

a. Mendapatkan dan memegang perjanjian kerja;

b. Menyimpan sendiri dokumen perjalanan dan dokumen identitas

c. Menikmati cakupan upah minimum berdasar upah minimum Negara tujuan

d. Libur mingguan sekurang-kurangnya 24 jam;

e. cuti yang dibayar;f. Hak berkomunikasi, berorganisasi,

berserikat

I. Pemenuhan Hak-hak Pekerja Migran yang Menjadi Korban

Dalam hal penanganan dan pemenuhan hak pekerja migran yang menjadi korban, Pemerintah harus menyediakan layanan untuk penyelesaian perselisihan, bantuan hukum dan pemulihan. Dalam proses migrasi persoalan yang dialami oleh pekerja migran dapat dibedakan menjadi perselisihan yang terkait dengan hubungan kerja atau hubungan industrial dan persoalan yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia. Berbagai perselisihan dan kasus tersebut dapat terjadi di setiap tahapan migrasi.

17

Page 18: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

Terkait dengan penyelesaian perselisihan dan Bantuan hukum, Komnas Perempuan mengusulkan agar dalam perubahan undang-undang 39/2004 tentang PPTKILN, memuat kewajiban pemerintah untuk membangun sistem terpadu penyelesaian perselisihan, bantuan hukum dan pemulihan bagi pekerja migran dan anggota keluarganya, baik di dalam dan di luar negeri. Penyediaan layanan Bantuan hukum dan penyelesaian perselisihan merupakan bagain dari upaya pemenuhan hak-hak pekerja migran sebagai warga Negara dan khususnya juga pemenuhan hak-hak pekerja migran yang menjadi korban, dalam hal ini hak atas keadilan, kebenaran dan pemulihan.

Sistem terpadu penyelesaian perselisihan, bantuan hukum dan pemulihan dimaksud antara lain:

1. Adanya desk khusus bagi pekerja migrant di perwakilan RI di luar negeri yang terpadu dan terkoordinasi dengan Lembaga/Kementrian terkait di dalam negeri sebagai rujukan utama pekerja migrant.

2. Adaya SOP penyelesaian perselisihan pekerja migran dan anggota keluarganya baik di dalam dan di luar negeri.

3. Adanya penyediaan Advokat dan Paralegal untuk mendampingi proses penyelesaian perselisihan dan kasus hukum yang dialami sampai tuntas.

4. Tersedianya layanan untuk rehabilitasi fisik, social dan ekonomi yang komprehensif hingga ke daerah asal.

5. Penyelesaian perselisihan,bantuan hukum dan pemulihan mencakup semua persoalan yang dihadapi pada tiap tahapan migrasi.

Draft RUU PPILN Usulan Komnas PerempuanPasal 50

(1) Pekerja Indonesia di Luar Negeri yang masih tersangkut permasalahan ditunda kepulangannya sampai permasalahan di negara penerima terselesaikan.

(2) Permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a. permasalahan hukum baik

pidana maupun perdata;b. sakit;c. luka dan/atau meninggal dunia

akibat tindak kekerasan;d. permasalahan kesehatan jiwa;

dane. penyelesaian hak-hak yang

seharusnya diterima Pekerja Indonesia di Luar Negeri.

(3) Pekerja Indonesia di Luar Negeri yang mengalami permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimasukkan ke dalam pusat perlindungan untuk mendapatkan pendampingan dan advokasi hukum.

(4) Pekerja Indonesia di Luar Negeri yang masih tersangkut permasalahan ditunda kepulangannya sampai permasalahan di negara penerima terselesaikan.

(5) Permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:f. permasalahan hukum baik

pidana maupun perdata;g. sakit;h. luka dan/atau meninggal dunia

akibat tindak kekerasan;i. Korban kekerasan seksual;j. permasalahan kesehatan jiwa;

dank. penyelesaian hak-hak yang

seharusnya diterima Pekerja Indonesia di Luar Negeri.

(6) Pekerja Indonesia di Luar Negeri yang mengalami permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimasukkan ke dalam pusat perlindungan untuk mendapatkan pendampingan dan pemenuhan hak-haknya sebagai korban.

18

Page 19: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

Pasal 51(1) Kepulangan Pekerja Indonesia di Luar

Negeri sampai ke daerah asal dalam pengawasan BNPPILN.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BNPPILN:a. menjamin kemudahan atau

fasilitas kepulangan Pekerja Indonesia di Luar Negeri;

b. melakukan upaya perlindungan terhadap Pekerja Indonesia di Luar Negeri dari kemungkinan adanya tindakan pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab, dan dapat merugikan pekerja dalam kepulangan; dan

c. melakukan pendataan terhadap kepulangan Pekerja Indonesia di Luar Negeri ke Indonesia.

(1) Proses pendampingan dan pemenuhan hak-hak pekerja migran yang menjadi korban harus dilakukan hingga kepulangan ke daerah asal.

(2) BNPPILN bertugas untuk memastikan proses sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terjadi, meliputi :

a. menjamin kemudahan atau fasilitas kepulangan Pekerja Indonesia di Luar Negeri;

b. Bekerjasama dengan lembaga terkait dan masyarakat lainnya melakukan tindak lanjut pendampingan dan pemulihan kepada pekerja migrant yang menjadi korban sesuai dengan jenis kasus yang dialami

c. melakukan upaya perlindungan terhadap Pekerja Indonesia di Luar Negeri dari kemungkinan adanya tindakan pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab, dan dapat merugikan pekerja dalam kepulangan; dan

d. melakukan pendataan terhadap kepulangan Pekerja Indonesia di Luar Negeri ke Indonesia.

Tambahan pasal mengenai Bantuan Hukum untuk pekerja migrant dan anggota keluarganya dengan merujuk UU Bantuan Hukum

J. Asuransi Asuransi pekerja migran merupakan satu masalah yang cukup kompleks. Perlindungan pekerja migran seringkali disederhanakan dalam skema asuransi. Padahal, untuk beberapa resiko-resiko yang terkait dengan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan tidak dapat ditanggung oleh asuransi, misalnya kekerasan seksual, pemerkosaan dan penyiksaan. Terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja migran yang menjadi korban, sistem & pelaksanaan asuransi pekerja migran saat ini tidak memadai dan tidak bisa diletakkan sebagai satu-satunya skema perlindungan bagi pekerja migran.

19

Page 20: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia, terdapat tiga persoalan utama dalam asuransi pekerja migrant :

1. Desain dan konsep produk lemah. Mencampuradukkan risiko yang dapat diasuransikan oleh TKI, resiko operasional/manajemen PPTKIS dan resiko yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah seperti kekerasaan seksual, penyiksaan, pemerkosaan. 2. Tantangan operasional dan layanan. Asuransi tidak pekerja migran-friendly, khususnya bagi perempuan (>80% pekerja migran adalah perempuan) yang bekerja di sector domestic (PRT/babysitter/penjaga manula/tukang masak) dan sangat rentan. Kurang dari 20 persen dari “TKI yang kembali” dengan masalah memperoleh klaim asuransinya. Proses dan persyaratan pengajuan klaim asuransi yang sulit dan berbelit-belit. Terutama persyaratan penyediaan dokumen untuk membuktikan klaim, yang memberatkan pekerja migran, khususnya pada kasus pemutusan hubungan kerja dan kekerasan seksual. Ditambah rata-rata santunan per-klaim sangat rendah. 3. Adanya kesenjangan dalam cakupan layanan Asuransi TKI. Asuransi belum mencakup keseluruhan program perlindungan social bagi pekerja migran, misalnya layanan pekerja migran di Negara tujuan, program pendidikan dan keterampilan bagi pekerja migran dan anggota keluarganya dan pemberdayaan ekonomi2.

Komnas Perempuan berpandangan asuransi hanya salah satu bentuk perlindungan pekerja migran yang bersifat sekunder. Asuransi harus ditempatkan menjadi bagian dari skema besar perlindungan pekerja migran di mana penanggungjawab utamanya adalah pemerintah. Beberapa pelanggaran dan kekerasan yang dialami oleh pekerja migran seperti Kekerasan seksual, pemerkosaan, penganiayaan, kecacatan fisik, dan deportasi tidak dapat dimasukan dalam skema resiko yang ditanggung oleh Asuransi. Karena beberapa resiko tersebut masuk dalam kategori pelanggaran HAM. Pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak korban untuk keadilan, kebenaran dan pemulihan.

Sementara resiko-resiko yang merupakan dampak dari kelalaian dari PPTKIS dan agen seperti Kerja tidak sesuai kontrak, majikan bermasalah, dipindahkan kerjakan tanpa kesepakatan, gagal berangkat, dapat diletakan dalam skema Asuransi namun, beban pembiayaan premi asuransi harus ditanggungkan kepada PPTKIS. Sedangkan resiko lain seperti kecelakaan kerja, dan program asuransi kesehatan, asuransi jiwa dan pendidikan dapat dibebankan pada pengguna jasa.

2 The World Bank, International Finance Corporation, Indonesia, “Improving IOMW’s Protection Scheme: Review on Asuransi TKI, Paparan pada Seminar Nasional tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia Jakarta, Diselenggarakan oleh Kementrian Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan & Industri, Jakarta, 25 Juni 2012.

20

Page 21: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

K. Kewenangan, Tanggung Jawab & KelembagaanPerihal kewenangan & tanggung jawab Kementrian atau lembaga yang terkait dengan proses migrasi tenaga kerja, Komnas Perempuan berpendapat bahwa pembagian peran dan kewenangan harus lebih diperjelas untuk menghindari tumpang tindih dan kerancuan kewenangan. Peran-peran pelaksana perlindungan dan pengawasan tidak boleh dilakukan oleh lembaga yang sama, kecuali dalam hal pengawasan internal atas kinerja kementrian dan lembaga bersangkutan. Komnas Perempuan juga memberikan pandangan bahwa terkait dengan kewenangan dan tanggung jawab Kementrian Luar negeri dalam perlindungan pekerja migran Indonesia, peningkatan jumlah dan peran Atase tenaga kerja tidak akan berpengaruh signifikan karena kedudukan Atase hanya pada ibu kota Negara (di kantor kedutaan), yang bisa bekerja efektif adalah konsulat jendral diwilayah yang banyak pekerja migrannya. Juga pengawas di lintas batas agar disiapkan pos pengaduan untuk mengatasi masalah pekerja migrant.

L. Pengawasan & Partisipasi MasyarakatPengawasan terhadap penyelenggaraan layanan migrasi tenaga kerja dapat dilakukan dalam dua hal, yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga atau kementrian terkait secara internal untuk memantau proses pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab yang menjadi tugas kementrian atau lembaga tersebut. Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga atau kelompok atau masyarakat di luar kementrian atau lembaga yang menyelenggarakan layanan. Dalam hal pengawasan internal RUU PPILN sudah cukup memuat kewajiban tersebut, namun terkait

21

Page 22: 17. Tanggapan Komnas Perempuan Terhadap RUU PPILN

pengawasan eksternal, perlu diperjelas model pengawasan seperti apa agar pelayanan public terkait migrasi tenaga kerja ini dapat dilaksanakan dengan baik. Pengawasan oleh DPR terhadap pemerintah atas tanggung jawab menyelenggarakan dan member perlindungan.Dalam hal peran serta masyarakat dalam pengawasan, RUU PPILN perlu untuk menegaskan hal tersebut. Tidak hanya dalam hal pengawasan namun juga membuka ruang kepada publik untuk berperan dalam proses menciptakan migrasi aman, antara lain :

(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk seluas-luasnya berperan aktif dalam perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak-hak pekerja migran Indonesia dan keluarganya, yang meliputi : pengawasan terhadap proses perlindungan kepada pekerja migran dan anggota keluarganya, pemberian informasi, pemberian usul, saran, pengaduan, pendampingan kepada pekerja migran dan anggota keluarganya.

(2) Masyarakat berhak terlibat dalam setiap proses penyusunan pengambilan keputusan, dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan program, terkait perlindungan pekerja migran dan angggota keluarganya.

Jakarta, 27 Agustus 2012

22