96
1.1 Latar Belakang Masalah Keunggulan daya saing perusahaan untuk memenangkan persaingan bisnis salah satunya melalui pencapaian kualitas produk / jasa yang memiliki kualitas unggulan dan mampu memuaskan pelanggan dengan segala atribut yang di-inginkan pelanggan. Kesuksesan kinerja organisasi tidak lagi semata- mata dilihat dari perspektif / indikator finansial, namun juga melalui perspektif kepuasan pelanggan, kinerja operasional maupun kapabilitas organisasi. Salah satu strategi bisnis yang banyak digunakan sebagai standar praktek global saat ini adalah implementasi inisiatif TQM (Total Quality Management) melalui berbagai bentuk variannya. Saat ini TQM dan alat manajemen serupa yang lain, misalnya Six Sigma, Lean Management System, diyakini merupakan alat peningkatan kinerja bisnis yang paling banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia, dan menjadi alat utama di dalam manajemen perubahan untuk menciptakan budaya perusahaan unggulan. Menurut Hansson (2003), TQM telah menjadi filosofi manajemen dan menjadi kunci dalam persaingan global, sebagai alat untuk mencapai keunggulan kompetitif jangka panjang. Namun demikian hingga saat ini belum ada penelitian yang mengembangkan model terpadu bagaimana pengaruh strategis praktek MSDM, budaya perusahaan dalam menunjang kinerja organisasi yang berbasis TQM, padahal secara operasional terdapat keterkaitan erat ketiga praktek manajemen tersebut, khususnya di dalam sebuah organisasi perusahaan yang berorientasi pada world class company. Clinton dkk (1994), menyatakan globalisasi saat ini mempersyaratkan mutu sebagai alat untuk memenangkan persaingan internasional. Filosofi TQM dalam perspektif korporasi adalah upaya mencapai kepuasan pelanggan melalui ”zero defects” produk dan jasa yang dihasilkan. Menurut Clinton dkk (1994) peran dominan quality engineer, product designers dan process engineers sangat dominan dalam upaya pencapaian ”zero defects”, namun pada sisi yang lain untuk keberhasilan jangka

Document1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Document1

1.1 Latar Belakang Masalah

Keunggulan daya saing perusahaan untuk memenangkan persaingan bisnis salah satunya melalui pencapaian kualitas produk / jasa yang memiliki kualitas unggulan dan mampu memuaskan pelanggan dengan segala atribut yang di-inginkan pelanggan. Kesuksesan kinerja organisasi tidak lagi semata-mata dilihat dari perspektif / indikator finansial, namun juga melalui perspektif kepuasan pelanggan, kinerja operasional maupun kapabilitas organisasi. Salah satu strategi bisnis yang banyak digunakan sebagai standar praktek global saat ini adalah implementasi inisiatif TQM (Total Quality Management) melalui berbagai bentuk variannya.

Saat ini TQM dan alat manajemen serupa yang lain, misalnya Six Sigma, Lean Management System, diyakini merupakan alat peningkatan kinerja bisnis yang paling banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia, dan menjadi alat utama di dalam manajemen perubahan untuk menciptakan budaya perusahaan unggulan. Menurut Hansson (2003), TQM telah menjadi filosofi manajemen dan menjadi kunci dalam persaingan global, sebagai alat untuk mencapai keunggulan kompetitif jangka panjang. Namun demikian hingga saat ini belum ada penelitian yang mengembangkan model terpadu bagaimana pengaruh strategis praktek MSDM, budaya perusahaan dalam menunjang kinerja organisasi yang berbasis TQM, padahal secara operasional terdapat keterkaitan erat ketiga praktek manajemen tersebut, khususnya di dalam sebuah organisasi perusahaan yang berorientasi pada world class company.

Clinton dkk (1994), menyatakan globalisasi saat ini mempersyaratkan mutu sebagai alat untuk memenangkan persaingan internasional. Filosofi TQM dalam perspektif korporasi adalah upaya mencapai kepuasan pelanggan melalui ”zero defects” produk dan jasa yang dihasilkan. Menurut Clinton dkk (1994) peran dominan quality engineer, product designers dan process engineers sangat dominan dalam upaya pencapaian ”zero defects”, namun pada sisi yang lain untuk keberhasilan jangka pendek maupun jangka panjang diperlukan peran MSDM dalam mengubah budaya organisasi sesuai kebutuhan TQM. Oleh karena itu dibutuhkan kerangka terpadu, baik teoritik dan praktis untuk memetakan upaya MSDM yang sejalan dengan pengembangan budaya perusahaan yang berorientasi TQM (Wilkinson dkk, 1996). Menurut Wilkinson dkk, masih sedikit penelitian yang menguji secara empirik dimensi SDM yang terkait dengan TQM, hampir sebagian besar riset yang dilakukan berfokus pada aspek ”hard” yang meliputi produksi dan operasi dan kurang menyentuh pada dimensi MSDM dan budaya perusahaan. Secara spesifik di dalam penelitian ini akan ditelaah praktek MSDM serta pengembangan budaya yang mendukung suksesnya implementasi TQM dan kinerja organisasi.

Pada dekade terakhir semakin banyak akademisi dan praktisi yang berupaya meneliti hubungan SDM dan kinerja organisasi, dimana SDM perusahaan ternyata mampu memberikan pengaruh terhadap nilai pasar perusahaan (firm’s market valuation), meskipun hal tersebut tidak terlihat secara langsung dalam laporan keuangan perusahaan (Lev, 2001). Porter (1985) menyatakan bahwa perusahaan akan memperoleh suatu keunggulan kompetitif bila mampu mendapatkan sumber daya yang sukar ditiru oleh kompetitornya, sehingga akan mengantarkan organisasi meraih kinerja unggulan dan

Page 2: Document1

menang dalam persaingan pasar. Pada kenyataannya aset-aset tradisional perusahaan seperti sumber daya alam, teknologi, skala ekonomis justru semakin menurun nilai kompetitifnya, dan SDM mampu menggantikannya sebagai sumber keunggulan kompetitif yang tidak habis dieksplorasi, tentu dalam kaitan ini adalah SDM yang tepat sesuai dengan kebutuhan perusahaan (Wright, McMahan, & Mc Williams, 1994). SDM yang bermutu akan menggerakan organisasi berkompetisi dalam kecepatan merespon pasar (market responsiveness), mutu produk dan jasa yang dihasilkan, diferensiasi produk serta inovasi teknologi (Ulrich, 1987). Oleh karena itu, praktek manajemen sumber daya manusia (MSDM) yang efektif akan membantu pengembangan tenaga kerja menjadi SDM yang berkualitas unggul, dan sudah pasti praktek MSDM yang demikian akan mendorong organisasi mencapai keunggulan kompetitif melalui SDM yang dimilikinya tersebut. Sebaliknya tenaga kerja yang tidak efisien akan berimplikasi pada peningkatan biaya (labor cost) dan menurunkan produktivitas perusahaan.

Penelitian-penelitian yang ada saat ini banyak menjelaskan adanya praktek MSDM yang berpengaruh positip pada kinerja organisasi, sejumlah studi telah membuktikannya secara empiris, misal penelitian yang dilakukan Becker & Huselid (1998), Huselid (1985), Terpstra & Rozell (1983). Lebih lanjut, para akademisi bahkan telah memunculkan argumentasi baru bahwa MSDM tradisional (traditional HRM) yang lebih bertumpu pada peran fungsionalnya tidak akan mampu mendukung secara optimal terhadap kesuksesan bisnis jangka panjang. Sebagai gantinya, perusahaan harus mampu melakukan transformasi MSDM kedalam praktek yang lebih stratejik. Beberapa penelitian bahkan telah menyimpulkan adanya lingkungan bisnis yang berubah cepat membutuhkan strategi perubahan MSDM yang semula berfokus pada fungsi, bergeser sebagai business partner dan menyelaraskannya dengan kepentingan organisasi bisnis (Lawler & Mohrman, 2003; Ulrich, 1997).

Riset yang berfokus pada MSDM telah mengungkapkan banyak bukti empiris adanya pengaruh positip praktek MSDM terhadap kinerja perusahaan, namun demikian terdapat alasan utama yang menjadi salah satu titik tolak penelitian ini adalah adanya inkonsistensi terkait cara pengukuran praktek MSDM yang efektif selaras dengan budaya perusahaan yang mendukung suksesnya implementasi TQM. Selain itu, sebagian besar penelitian yang dilakukan mempergunakan seperangkat alat ukur praktek MSDM dan indikator kinerja organisasi yang berbeda-beda (Cho & Mayer, 2003). Sehingga perlu telaah lebih lanjut terkait kesenjangan alat evaluasi praktek MSDM (Bamberger & Meshoulam, 2000; Huselid, 1995).

Salah satu keunggulan kompetitif perusahaan yang diyakini memiliki kontribusi secara organisasi dan sukar ditiru oleh kompetitor adalah budaya organisasi yang dibangun dan dikembangkan selaras dengan produktivitas. Terkait dengan hal tersebut, secara teoritis sesungguhnya praktek MSDM memiliki pengaruh secara langsung terhadap budaya perusahaan yang terbentuk, hal ini karena obyek MSDM adalah individu-individu organisasi. Semenjak awal proses staffing ataupun recruitment hingga orientasi karyawan baru terjadi proses adaptasi dan indoktrinasi budaya organisasi. Inilah yang disebut oleh Schein (1999) sebagai upaya pemahaman asumsi dan konsep budaya organisasi untuk mengantisipasi tindakan masa mendatang yang didasarkan pada aturan formal, norma,

Page 3: Document1

nilai dan keyakinan yang dimiliki individu organisasi. Salah satu alasan utama mengkaji budaya perusahaan sebagai bagian dari model utama praktek MSDM adalah adanya keterkaitan budaya perusahaan dengan kinerja organisasi (Berrio, 2003).

Di dalam konteks keunggulan kompetifif, budaya perusahaan dibangun melalui praktek MSDM yang sistematis dan terukur, selaras dengan sasaran strategis perusahaan. Schneider (1994) menjelaskan pentingnya budaya organisasi dengan menyatakan bahwa budaya organisasi meberikan konsistensi bagi anggota organisasi dan pemimpinnya berupa “internally reliable system” yang didasarkan pada kesuksesan-kesuksesan yang dicapai sebelumnya. Sathe (1983) mengungkapkan bahwa budaya merupakan ‘sesuatu yang sulit dipisahkan dan meresap di dalam kehidupan organisasi’, melalui pemahaman budaya organisasi yang utuh maka pemimpin organisasi dapat lebih efektif menjalankan roda organisasi sesuai budaya perusahaan yang ada, bahkan jika perlu mengubahnya mengikuti tuntutan bisnis organisasi. Cameron & Quinn (1999) setuju dengan pemikiran ini, dan menurut mereka, para pakar organisasi sudah menyadari budaya perusahaan memiliki efek kuat terhadap kinerja dan efektivitas jangka panjang suatu organisasi. Keunikan budaya organisasi ini pada akhirnya merupakan bagian dari sebuah keunggulan organisasi yang sulit ditiru oleh pesaing. Namun demikian, muncul sebuah pertanyaan mendasar, yaitu budaya organisasi seperti apa yang relevan dengan kinerja unggulan TQM dan menyokong pada kinerja perusahaan ? Inilah pertanyaan esensial yang harus dijawab melalui dukungan empiris untuk mendefinisikan budaya organisasi unggulan yang mampu mengantarkan perusahaan menjadi terbaik di kelasnya (best in class) dan kompetitif.

1.2. Fenomena Implementasi TQM di Industri Manufaktur

Laporan evaluasi pelaksanaan RPJM-N 2004-2009 di Provinsi Jawa Tengah yang di lakukan oleh Tim Independen Universitas Diponegoro (UNDIP) tahun 2008 bekerjasama dengan Bappenas menyimpulkan perlunya sasaran berkelanjutan untuk meningkatkan daya saing manufaktur di Provinsi Jawa Tengah. Tim Independen UNDIP melakukan penelitian terhadap 764 industri besar dan sebanyak 644.134 industri kecil, permasalahan utama hingga saat ini adalah lemahnya daya saing industri dimana sebagian besar industri belum memiliki kapabilitas kualitas proses yang menyangkut teknologi, SDM dan standard produksi. Sehingga permasalahan seputar daya saing industri pada gilirannya sangat berpengaruh terhadap rendahnya tingkat investasi maupun ekspor/impor non migas di Provinsi Jawa Tengah. Salah satu rekomendasi dari Tim Independen adalah perlunya fokus pengembangan SDM pelaku usaha manufaktur baik sistem maupun standar industri. Inisiatif yang dapat dilakukan misalnya melalu pusat layanan bisnis bisa berupa dukungan konsultansi SDM maupun konsultansi kualitas melalui penerapan sistem kualitas (ISO). Fokus pada praktek SDM dan penerapan standard mutu melalui TQM sesungguhnya dapat meningkatkan daya saing industri baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang seperti yang disampaikan Hanson (2004). Penelitian disertasi ini akan menggali praktek TQM di industri manufaktur di Jawa Tengah dan melakukan identifikasi faktor-faktor yang mendorong suksesnya implementasi TQM yang dapat meningkatkan kinerja organisasi.

Page 4: Document1

Penting bagi industri untuk memahami fenomena bisnis global yang terjadi pada saat dimana situasi bisnis tengah memasuki fase turbulen dan kondisi lingkungan bisnis yang semakin sukar diramalkan. Praktek bisnis yang dinilai sukses tidak menjadi jaminan untuk dapat digunakan seterusnya dan memberikan kesuksesan lebih lama (Hal, 1997). Organisasi korporasi bisnis Amerika selain sudah fokus pada strategic human capital, mereka sudah mempertimbangkan budaya organisasi sebagai faktor yang menentukan kesuksesan bisnis, meniru kesuksesan perusahaan-perusahaan Jepang (Dill, 1982; Hall, 1997), tanpa mengabaikan perencanaan stratejik dan kontrol pemasaran. Budaya organisasi perusahaan Jepang yang menekankan pada faktor budaya, membantu manajer dalam memprediksi dan mengontrol organisasi untuk mencapai kesuksesan bisnis.

Orientasi perusahaan budaya perusahaan sebagai salah satu faktor yang menentukan dalam kesuksesan organisasi jangka panjang, juga perlu diteliti dalam aspek khusus pengaruhnya terhadap implementasi TQM. Ada sebagian perusahaan yang memasukan sebagai agenda utama bersamaan dengan implementasi TQM, ada yang menempatkannya secara terpisah atau bahkan tidak dimasukan di dalam agenda manajemen. Fenomena persamaan dan perbedaan ini menarik perhatian peneliti untuk mencoba mengembangkan konsep yang dapat mengintegrasikan praktek MSDM, budaya perusahaan dan TQM kedalam sebuah model strategi bisnis terpadu sekaligus mengujinya dalam sebuah model penelitian empirik. Salah satu target penelitian ini untuk menemukan model generic dan repostioning praktek MSDM yang dapat memberikan kontribusi secara signifikan pada level organisasional, hal ini juga menjawab pertanyaan Ulrich (1987) agar peran MSDM berfokus pada mitra stratejik perusahaan.

Legge (1995) menegaskan peran penting top management dalam mengelola budaya perusahaan melalui praktek MSDM dan pembuatan policy yang harus dijalankan organisasi secara konsisten dan terintegrasi, meliputi rekruitmen, seleksi karyawan, pelatihan, pengembangan, sistem imbalan maupun komunikasi internal dan eksternal organisasi. Diperlukan praktek-praktek MSDM yang mampu mendukung terciptanya individu pekerja dan organisasi yang kompeten melalui serangkaian upaya sistematis yang selaras dengan sasaran bisnis perusahaan. Melalui model normatif MSDM tersebut maka nilai-nilai inti organisasi yang di-inginkan dapat ditanamkan ke seluruh SDM perusahaan. Cameron & Quin (1999) menyampaikan bahwa budaya organisasi merupakan idiologi, dimana setiap anggota organisasi “akan menanamkan doktrin idiologi tersebut pada kepalanya”. Sehingga secara otomatis budaya perusahaan akan menjadi identitas dan semacam ‘pola pikir, pola sikap dan pola tindak’ yang tidak disadari dan mampu menjadi pemelihara sistem sosial yang stabil di dalam lingkungan organisasi. Apabila budaya perusahaan yang berfokus pada TQM dan kapabilitas organisasi dapat diadopsi oleh perusahaan maka daya saing organisasi secara bertahap akan dapat ditingkatkan.

1.3. Research Gap

Penelitian ini dilandasi oleh beberapa perbedaan hasil kajian teoritis dan empiris dari berbagai studi di bidang praktek MSDM, budaya perusahaan dan TQM. Perbedaan yang ada menunjukan adanya kesenjangan penelitian yang dikelompokkan sebagai berikut :

Page 5: Document1

Research Gap 1 : Seputar keberagaman pengukuran praktek MSDM

Terdapat perbedaan dikalangan peneliti terkait dengan domain praktek MSDM yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur pengaruh MSDM terhadap kinerja organisasi. Pentingnya identifikasi praktek MSDM yang dapat dijadikan ukuran standar untuk melihat kontribusinya dalam mendukung pencapaian target bisnis yang lebih cepat, mendukung kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan dalam lingkungan yang sukar diprediksi (Cho, 2004). Lebih lanjut banyak akademisi dan profesional tidak sepakat “apa dan bagaimana mengukur praktek MSDM” yang efektif (Cho & Mayer, 2003). Ulrich (1997), Ulrich & Lake (1990) mengajukan beberapa domain praktek MSDM yang dapat berpengaruh positip bagi kinerja organisasi. Untuk menjawab kesenjangan masalah domain pengukuran praktek MSDM yang berkontribusi bagi kinerja organisasi, maka di dalam riset ini akan dikembangkan model dan pengukuran domain generic MSDM yang merupakan ‘best practices’, sehingga dapat dijadikan referensi bagi para akademisi. Selain itu secara spesifik belum ada riset terpublikasi yang menggagas penelitian secara spesifik praktek MSDM yang dapat mendukung manajemen perubahan dalam implementasi TQM, dengan demikian riset ini juga menjawab permasalahan tersebut.

Research Gap 2 : Perbedaan pendekatan riset budaya organisasi

Terdapat perbedaan pendekatan penelitian dalam budaya organisasi, dimana secara konseptual terdapat perbedaan antara perspektif fungsionalis dan perspektif semiotik (Burrel & Morgan, 1979; Smircich, 1983; Schein, 1985; Cameron & Ettington, 1988; Cameron & Quinn, 1999; Martin, 2002, Pierce 2004). Menurut perspektif fungsionalis, budaya organisasi menupakan komponen sistem sosial yang termanifestasi dalam perilaku organisasi (Cameron & Ettington, 1988), dimana melalui pendekatan ini dapat dikaji dari perspektif peneliti pada level organisasional. Perspektif semiotik melihat budaya sebagai sesuatu yang ‘mengendap’ dan menempel pada level individual yang hanya dapat di evaluasi pada “native’s perspective” dan pada level individual (Cameron & Ettington 1988; Cameron & Quinn, 1999). Selain itu dalam pendekatan fungsionalis lebih kearah studi kausalitas dimana menghubungkan dengan kontrol organisasi, manajemen, dan faktor-faktor lainnya yang dapat meningkatkan kinerja organisasi 9Schein, 1996; Martin, 2002). Riset yang dilakukan pada disertasi ini untuk memperkuat justifikasi pada level praktis, dimana pendekatan fungsionalis dengan menggunakan instumen penelitian akan lebih memudahkan dalam identifikasi dan intervensi budaya pada level organisasi dibandingkan menggunakan pendekatan semiotik. Pengujian kuantitatif dan pemodelan kausalitas budaya perusahaan baik sebagai variabel dependen & independen menggunakan structural equation model merupakan kontribusi nyata dalam riset budaya perusahaan dan akan memperkaya studi budaya perusahaan dengan menggunakan pendekatan fungsionalis.

Research Gap 3 : Kontradiksi manfaat kinerja unggulan TQM

Terdapat perbedaan hasil penelitian mengenai manfaat implementasi TQM dan kaitanya dengan kinerja organisasi. Meskipun implementasi TQM sudah banyak dilakukan

Page 6: Document1

industri sejak tahun 1990-an, namun diskusi di banyak literatur masih memperdebatkan hubungan implementasi TQM dan kinerja organisasi, khususnya kinerja finansial (Lawler dkk, 1995). Hasil publikasi sebagian besar menyatakan argumentasi bahwa investasi TQM akan menghasilkan kinerja keuangan bagi organisasi, misalnya Shetty (1993), Hendricks & Singhal (1997), Samson dan Terziovski (1999), Reed dkk (2000), Allen dan Kilmann (2001, Tena dkk (2001), Wrolstad dan Krueger (2001), Hansson (2004). Sedangkan sebaliknya menurut Bergquist dan Ramsing (1999) sangat sukar untuk menemukan hubungan antara TQM dan kinerja organisasi. Hasil publikasi penelitian lainnya mengemukakan gambaran lebih negatif yang diperoleh dari implementasi TQM, Eskildson (1994) menyatakan berdasarkan hasil survei yang dilakukannya ternyata banyak organisasi telah gagal dengan upaya-upaya TQM. Alasan utama kegagalan ini terkait kesalahan pemahaman TQM maupun implementasi yang tidak tepat. Sedangkan penelitian Harari (2003) menunjukan hanya 30% program TQM yang dapat memberikan peningkatan kinerja yang signifikan. Dengan demikian berdasarkan perbedaan hasil penelitian tersebut diperlukan investigasi lebih lanjut terkait kinerja unggulan TQM. Agar lebih memperjelas research gap dalam penelitian ini maka ditampilkan dalam Tabel 1.1 berikut:

Tabel 1.1 Rangkuman Research Gap dan Penelitian Terdahulu

NoPermasalahan Penelitian

Research GapJudul & Peneliti

Metodologi Penelitian, Variabel dan Instrumen Penelitian

Hasil

1. Terdapat perbedaan pandangan teoritis dan hasil penelitian terkait dengan cara pengukuran praktek-praktek MSDM yang dapat memberikan pengaruh terhadap pencapaian kinerja organisasi, termasuk

Inkonsistensi dalam pengukuran variabel praktek MSDM yang dapat berkontribusi pada kinerja organisasi di temukan dalam berbagai penelitian MSDM. Seperti yang dilakukan oleh Cho & Mayer (2003), Cho (2004).

Sedangkan sebagian penelitian lainnya memandang perlunya pemahaman yang sama dalam penelitian praktek

Measuring the Impact of HRM Practices on Organisational Perfromance, Cho & Mayer (2003)

Survai 489 Staf dan Manajer Hotel, menggunakan analisis faktor dan dan uji ANOVA.

Pengukuran 27 praktek MSDM, 5 variabel kinerja organisasi

Sebagian besar studi mempergunakan perangkat pengukuran domain MSDM dan namun menggunakan indikator kinerja yang berbeda-beda. Ada variabel TQM (Quality Circle) yang dikembangkan sebagai praktek baru MSDM.

Page 7: Document1

praktek MSDM spesifik terkait dengan strategi bisnis, misalnya TQM.

MSDM dengan mempertimbangkan manajemen strategis, Ulrich (1997), Chadwick, C., dan Cappelli, P. (1999), Capelli & Singh (1992).

Examining the impact of human resources management: a performance-based analytical model, Cho (2004)

Fokus pada exploratory, Survai 824 Certified Hotel Administrators dan Certified HR Manager Professional di North America, menggunakan SEM.

Domain Praktek MSDM, Kinerja SDM, Kinerja Organisasi dan Kinerja Finansial. Instrumen dikembangkan sendiri oleh peneliti.

Ada praktek MSDM yang memiliki pengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, ada sebagian praktek MSDM yang berpengaruh negatif terhadap kinerja organisasi. Terdapat perbedaan efektivitas praktek MSDM pada level Staf dan Non-Staf.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

NoPermasalahan Penelitian

Research GapJudul & Peneliti

Metodologi Penelitian, Variabel dan Instrumen Penelitian

Hasil

Terdapat hasil Measuring Exploratory & Rekomendasi

Page 8: Document1

penelitian yang inkonsistensi, dimana terdapat praktek MSDM yang memiliki pengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, namun ada sebagian praktek MSDM yang berpengaruh negatif terhadap kinerja organisasi, Cho (2004). Praktek MSDM yang memiliki keterkaitan erat dengan strategi utama bisnis yang memberikan pengaruh positip terhadap kinerja organisasi, sedangkan, Chadwick, C., & Cappelli, P. (1999), Capelli & Singh (1992).

Human Resource: An Overview of Practice and a Prescription for Results, Ulrich (1997)

case study, telaah jurnal dan pemikiran baru domain MSDM. Domain Praktek MSDM, mengembangkan instrumen penelitian.

bagi peneliti MSDM untuk mendefinisikan kembali domain MSDM sebagai variabel independen penelitian sehingga diperoleh konsistensi dalam penelitian MSDM berikutnya.

Alternatives to strategic generic - strategy typologies in strategic human resource management, Chadwick, C., & Cappelli, P. (1999)

Exploratory, telaah jurnal dan pemikiran baru domain MSDM. Memetakan praktek MSDM sesuai dengan strategi generic dan strategi tipologi perusahaan

Praktek MSDM perlu mempertimbangkan strategi bisnis secara keseluruhan, tidak bersifat generalisasi.

Integrating strategic

Exploratory, menggabungkan

Perlu peran MSDM yang terintegrasi

Page 9: Document1

human resources and strategic management Capelli & Singh (1992).

praktek MSDM dengan manajemen stratejik. Telaah pemikiran mendefinisikan ulang praktek MSDM Stratejik dalam ranah manajemen stratejik

dengan fungsi manajemen stratejik, sesuai dengan inisiatif perusahan (konfigurasional)

Lanjutan Tabel 1.2. …….

NoPermasalahan Penelitian

Research GapJudul & Peneliti

Metodologi Penelitian, Variabel dan Instrumen Penelitian

Hasil

2. Terdapat perbedaan pandangan teoritis maupun hasil penelitian empirik terkait cara yang paling tepat untuk melakukan penelitian budaya organisasi perusahaan maupun sub –budaya organisasi perusahaan pada level mikro, dimana sampai saat ini masih terdapat

Terdapat perbedaan pendekatan penelitian budaya, ada yang menggunakan kuatitatif dan juga dilakukan pendekatan kualitatif, disarankan untuk melakukan kedua pendekatan tersebut untuk saling melengkapi, Noronha (2002).

Sebagian besar

The Theory of

Culture-specific Total

Quality Management: Quality management in Chinese regions, Noronha, Carlos (2002)

Exploratoy, survai 395 industri servis dan manufaktur, juga dilengkapi dengan case study.

Memetakan variabel budaya menurut Hofstede typology di-adaptasikan dalam penelitian faktor budaya dalam implementasi TQM di China.

Terdapat perbedaan pendekatan penelitian budaya, ada yang menggunakan kuatitatif dan juga dilakukan pendekatan kualitatif dan studi kasus mendalam. Direkomendasikan untuk melakukan penelitian menggunakan kedua metode tersebut.

Page 10: Document1

dua mainstream pendekatan penelitian pendekatan budaya secara kualitatif maupun kuantitatif, demikian pula pada pemilihan instrumen penelitian. Lebih lanjut secara spesifik diperlukan penelitian identifikasi budaya organisasi yang dapat menunjang pencapaian kinerja TQM.

penelitian kuantitatif menggunakan adaptasi variabel budaya yang dikembangkan oleh Hofstede (1980), namun demikian terdapat pendekatan lain dalam memahami culture dalam kerangka organisasi dibandingkan global culture, yaitu menggunakan OCAI-MSAI, Cameron & Quin (1990, 1999, 2006)

Lanjutan Tabel 1.2. …….

NoPermasalahan Penelitian

Research GapJudul & Peneliti

Metodologi Penelitian, Variabel dan Instrumen Penelitian

Hasil

Rekomendasi penelitian menunjukan adanya keterkaitan budaya

Diagnosing and Changing

Organizational Culture

Based on the

Exploratory, longitudinal study, survai berbagai organisasi dan industri di Amerika sejak tahun 1990. Survai

Validitas dan reliabilitas instrument penelitian kuantitatif variabel

Page 11: Document1

organisasi (nilai-nilai organisasi) sangat menentukan sukses atau kegagalan implementasi TQM, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami fenomena ini dengan menggunakan model penelitian yang lebih reliabel, Corbett dan Rastrick (2000). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan instrument CVF, Cameron & Quin (1990, 1999, 2006).

Competing

Values Framework, Cameron & Quin (1990, 1999, 2006)

di perusahaan forestry and fishing, N=72;

finance, insurance, real estate, N=172; manufacturing, N=388; mining, N=21;

construction, N=9; public administration, N=43; service, N=127; retail and

wholesale, N=44; dan transportation, communications, electric, gas and sanitary

utilities, N=127). Mengembangkan konstruk pengukuran budaya organisasi, instumen yang disebut sebagai OCAI – MSAI, alternative yang lebih baik dalam memahami culture dlm kerangka organisasi dibandingkan global culture (Hofstede, 1980)

budaya yang cukup baik. Instrumen penelitian ini dapat dipergunakan untuk melakukan assessment budaya perusahaan dengan lebih baik sehingga dapat dipergunakan untuk mengelola manajemen perubahan dan pemetaan budaya organisasi yang lebih efektif.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

No Permasalahan Research Judul & Peneliti Metodologi Hasil

Page 12: Document1

Penelitian Gap

Penelitian, Variabel dan Instrumen Penelitian

Organizational Culture and Professionalism: An

Assessment of the Professional Culture of the U. S.

Army Senior Level Officer Corps, Pierce (2004)

Survai, terhadap 952 perwira angkatan darat (US ARMY). Menggunakan variabel dalam OCAI dan MSAI yang dikembangkan oleh Cameron & Quinn (1999, 2006). Diperlukan studi kasus untuk mengkompensasi pendekatan kualitatif.

Riset kuantitatif budaya organisasi lebih memudahkan dari sisi praktis dibandingkan penelitian kualitatif.

Penelitian ini telah menemukan hubungan yang erat antara budaya organisasi dan pengembangan profesional di dalam organisasi. Kinerja organisasi dapat meningkat bila budaya mendukung pengembangan profesional staf.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

NoPermasalahan Penelitian

Research Gap Judul & Peneliti

Metodologi Penelitian, Variabel dan Instrumen Penelitian

Hasil

Applying the CVF to Study

Survai terhadap 68 responden,

Terdapat perbedaan

Page 13: Document1

Organizational Subcultures and System-Wide Planning Effort in A Military University, Paparone (2003)

sekaligus studi kasus yang dilakukan secara kualitatif. Menggunakan variabel dalam OCAI yang dikembangkan oleh Cameron & Quinn (1999, 2006)

pendekatan dalam pengukuran sub-budaya organisasi. Implementasi Budaya organisasi dapat masuk dalam kerangka strategi Balanced Scorecard.

Quality performance and

organizational culture

A New Zealand study, Corbett dan Rastrick (2000)

Survai, dilakukan uji korelasi anatara konstruk budaya dalam OCI dengan praktek implementasi TQM, Sampel 63 Senior Manager di 21 manufaktur. Mengukur budaya organisasi menggunakan variabel dalam OCI (Org. Culture Inventory) dikembangkan oleh Cooke and Lafferty (1983)

Pengukuran kuantitatif lebih mudah dilakukan dalam penelitian bila dikaitkan dengan variabel penelitian yang lain. Diperlukan studi kasus agar hasil lebih valid.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

No Permasalahan Penelitian

Research Gap Judul & Peneliti

Metodologi Penelitian,

Hasil

Page 14: Document1

Variabel dan Instrumen Penelitian

3. Inkonsistensi manfaat (benefits) implementasi TQM, dan tantangan dalam proses implementasi (barriers) maupun faktor-faktor yang mendukung suksesnya implementasi TQM.

Sebagian peneliti menunjukan adanya manfaat (benefit) dari implementasi TQM, Shetty (1993). Namun demikian selain manfaat yang dapat dicapai melalui TQM, namun dalam beberapa hal, juga terdapat korelasi yang tidak signifikan antara kesuksesan implementasi TQM dengan kesuksesa kontrol biaya, Hendricks & Singhal (1997). Sedangkan Terziovski dan Samson (1999) menyebut beberapa perusahaan yang sukses tanpa TQM, meskipun dalam beberapa hal TQM membantu dalam pencapaian kinerja perusahaan.

The quest for quality excellence: Lessons from the Malcolm

Baldrige Quality Award. Shetty (1993)

Survai dan Analisis Regresi. Sampel penelitian para penerima Baldrige sejak 1987. Data menggunakan GAO (General Accounting Office).

Variabel utama Adalah Praktek TQM dan Kinerja Organisasi, menggunakan kriteria Baldrige.

TQM memberikan ‘benefit’ baik yang tangible maupun intangible.

Banyaknya tingkat kegagalan implementasi TQM yang memberikan efek negatif bagi organisasi.

Page 15: Document1

Lanjutan Tabel 1.2. …….

NoPermasalahan Penelitian

Research Gap

Judul & Peneliti

Metodologi Penelitian, Variabel dan Instrumen Penelitian

Hasil

Does Implementing an Effective TQM Program Actually Improve Operating Performance?, Hendricks & Singhal (1997)

Studi Longitudinal, dilakukan perbandingan selama 3, 6 dan 10 tahun sejak MBQNA Awards diadakan di Amerika, sampel adalah para penerima MBNQA.

Variabel TQM Program dan Operational Performance

Terdapat bukti signfikan para penerima MBQNA Awards memiliki kinerja operasional (sales, operating income) yang lebih baik dibandingkan sampel kontrol. Akan tetapi terkait dengan kontrol biaya terdapat bukti yang lemah bahwa perusahaan yang sukses implementasi TQM memiliki kinerja kontrol biaya yang lebih baik dibanding sampel kontrol.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

No Permasalahan Penelitian

Research Gap

Judul & Peneliti

Metodologi Penelitian,

Hasil

Page 16: Document1

Variabel dan Instrumen Penelitian

The Link between Total Quality Management practice and organizational performance, Terziovski dan Samson (1999)

Penelitian semua industri (mix) di Australia dan New Zealand, menggunakan analisis multivariat. Sampel yang diteliti sekitar 1300 perusahaan yang terdapat dalam AMC list, umumnya sudah mengaplikasikan QMS ISO 9001 dan sebagian tidak mengapilkasikan TQM.

40 Variabel Praktek TQM dan 14 variabel Kinerja Organisasi di identifikasi dan dijadikan variabel penelitian berdasarkan riset yang dilakukan AMC (Australian Manufacturing Center)

Terdapat pengaruh positip TQM pada kinerja operasional, employee relations

dan customer satisfaction.

Akan tetapi praktek TQM berdasarkan penelitian ini belum dapat menggaransi kinerja biaya, inovasi pengembangan produk baru maupun superior profitability. Terdapat sebagian perusahaan yang tidak mengaplikasikan TQM juga ada yang memiliki kinerja finansial yang cukup baik.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

No Permasalahan Penelitian

Research Gap Judul & Peneliti

Metodologi Penelitian, Variabel dan Instrumen

Hasil

Page 17: Document1

Penelitian

Pentingnya change management dalam mendorong suksesnya pencapaian kinerja TQM disertai struktur budaya organik yang lebih pas untuk implementasi TQM, Hanson (2004), Mosadegh (2006). Namun demikian praktek TQM berdasarkan penelitian Terziovski dan Samson (1999),

belum dapat menggaransi kinerja biaya, inovasi pengembangan produk baru maupun superior profitability

Total Quality Management-Aspects of Implementation and Performance: Investigations with Focus on Small Organisations, Hansson (2004)

Survai dan studi kasus (multiple case study), obyek penelitian pertama 3 perusahaan pemenang quality award (1997, 1998, 2001) di Swedia dan obyek penelitian kedua adalah 2 perusahaan SMEs di Swedia yang berhasil implementasi TQM. Digunakan Time series analysis.

Terdapat dua proyek penelitian, fokus pada Variabel Implementasi TQM, Kinerja Finansial . Sedangkan proyek penelitian kedua fokus pada SMEs , dimana variabel Manajemen Perubahan

Hasil studi menunjukan perusahaan yang sukses implementasi TQM memiliki kinerja yang jauh lebih baik dibandingkan rata-rata perusahaan yang belum implementasi TQM pada masa tersebut Pada SMEs yang berhasil implementasi, secara spesifik juga ditunjukan pentingnya change management untuk menghindari kegagalan.

Page 18: Document1

merupakan bagian yang dieliti sebagai salah satu pendukung suksesnya TQM di SMEs

The impact of organizational

culture on the successful

implementation of total quality

management, Mosadegh (2006)

Survai dan studi kasus menggunakan sampel seluruh rumah sakit di Isfahan, Iran. Melakukan pemetaan tingkat implementasi TQM dan kekuatan budaya organisasi.

Variabel yang diteliti meliputi budaya perusahaan, kinerja organisasi dan kesuksesan implementasi TQM. Faktor budaya berforkus pada organisasi organik vs mekanistik.

Hasil penelitian menunjukan berbagai level implementasi TQM yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Demikian pula terdapat kecenderungan organisasi yang memiliki tingkat implementasi yang tinggi dengan disertai struktur budaya yang organik kuat akan mendukung kinerja organisasi.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

Page 19: Document1

NoPermasalahan Penelitian

Research GapJudul & Peneliti

Metodologi Penelitian, Variabel dan Instrumen Penelitian

Hasil

Studi sebagian peneliti merekomendasikan pentingnya change management agar implementasi TQM dapat berjalan dengan baik.

What makes TQM work: A Study of obstacles and Outcomes, Hill (2008)

Survai, sebanyak 848 ASQ members dari distrik Raleigh, NC, menggunakan Web-based survey.

Analisis menggunakan analisis multivariat.

Variabel independen penelitian obstacles dan variabel dependen

potential outcomes.

Penelitian meng-identifikasi 5 faktor penghambat suksesnya implementasi TQM, dari analisis faktor 21 yang dikembangkan. Termasuk diantaranya tidak adanya change management dan peran HRD yang maksimal Penelitian berikutnya disarankan untuk fokus pada desain panduan dan arah implementasi TQM yang berfokus pada penghilangan hambatan.

Sumber: berbagai penelitian yang menjadi rujukan disertasi ini

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka ruang lingkup kajian penelitian ini akan berfokus pada penyederhanaan kompleksitas lingkungan sebuah organisasi. Domain utama yang diteliti adalah praktek MSDM, budaya perusahaan dan kinerja organisasi unggulan TQM, seperti yang ditunjukan pada Gambar 1.1.

Page 20: Document1

Gambar 1.1 Ruang Lingkup Kajian Penelitian

Budaya Perusahaan

Kinerja Organisasi

TQM

Praktek MSDM

Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini

Berdasarkan telaah pustaka, penelitian ini sekaligus merangkum 4 (empat) masalah utama yang disampaikan oleh para pemikir utama di area TQM, MSDM dan budaya perusahaan, sehinga menjadi salah satu alasan pentingnya riset yang akan dilakukan, yaitu :

1. Hansson (2003) : Kompetisi industri secara nasional maupun internasional telah menjadikan perusahaan mengadopsi berbagai ”improvement system”, dan TQM telah menjadi salah satu filosofi manajemen utama di berbagai perusahaan. Salah satu keuntungan nyata TQM adalah mampu meningkatkan daya saing organisasi dan mendukung pencapaian kinerja perusahaan. Apakah hal ini nyata-nyata terbukti ? dan bagaimana proses dalam implementasinya ?

2. Ulrich (1987) : Manajemen SDM yang maju dan profesional mampu membawa perusahaan memenangkan kompetisi, baik mutu dan kualitas produk, diferensiasi, maupun inovasi. Bagaimana ini bisa terjadi ? Praktek-praktek SDM apa saja yang disebut ”maju dan profesional” ? Bagaimana MSDM mampu mengembangkan budaya perusahaan unggul dan sejalan dengan inisiatif-inisiatif perubahan organisasi seperti halnya TQM ?

3. Berrio (2003) : Studi tentang budaya perusahaan (organisational culture) umumnya terkait dengan kinerja organisasi (organisational performance). Bagaimana konsep tersebut dapat dijelaskan ? Bagaimana aplikasi konsep ini dari tataran strategis ke praktis dalam mendukung pencapaian kinerja TQM ?

4. Bagaimanakah model pengembangan praktek MSDM yang efektif untuk menunjang terbentuknya budaya perusahaan unggulan yang selaras dengan inisiatif peningkatan kinerja bisnis berbasis TQM ? Bagaimana dengan praktek yang terjadi di perusahaan-perusahaan di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Tengah ?

1.4. Pernyataan Masalah (Problem Statement)

Page 21: Document1

Dari berbagai studi empiris yang dilakukan oleh para peneliti, diungkapkan bahwa praktek MSDM dapat berpengaruh positif bagi kinerja organisasi (Becker & Huselid, 1998; Huselid, 1995; Terpstra & Rozell, 1993). Namun demikian, sesuai dengan research gap dalam penelitian ini, perlu dilakukan pengkajian yang lebih luas tentang variabel atau domain praktek MSDM yang dapat mendukung kinerja organisasi. Kaitan antara praktek MSDM dan budaya perusahaan terhadap kinerja unggulan TQM akan diujikan dalam penelitian ini.

Dahlgaard dkk (1995) menyampaikan bahwa TQM adalah budaya organisasi yang berfokus pada pelanggan (customer) dan peningkatan kinerja yang berkelanjutan. Untuk memahami budaya perusahaan sebagai variabel yang berpengaruh pada kinerja diperlukan pendekatan riset kausalitas dan kuantitatif. Namun demikian, studi lainnya mengedepankan pendekatan kualitatif yang juga telah menjadi model penelitian budaya organisasi dan banyak digunakan pada level persepsi individual. Model intervensi manajemen perubahan yang umumnya dilakukan untuk melakukan perubahan budaya organisasi dan implementasi TQM menjadi titik tolak pentingnya kajian yang mampu menjelaskan seberapa jauh manajemen perubahan mampu menjadi katalisator suksesnya implementasi TQM. Secara empirik riset ini menggali lebih lanjut konsep Hellsten dan Klefsjo (2000) yang menyatakan TQM sebagai sistem manajemen perubahan terus menerus yang menyatukan nilai-nilai, teknik dan seperangkat ‘tools’ yang bertujuan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dan memperkecil pemanfaatan sumber daya. Melalui pendekatan fungsionalis, dalam penelitian ini akan dilakukan identifikasi nilai-nilai budaya perusahaan yang ‘fit’ dengan kinerja unggulan TQM.

Dalam penelitian ini akan dikembangkan sebuah model yang diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap keterkaitan praktek MSDM, pemetaan budaya organisasi dan pencapaian kinerja unggulan TQM. Berdasarkan research gap yang disampaikan maka pernyataan masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana praktek MSDM dan bentuk budaya organisasi yang dapat mendukung tercapainya kinerja unggulan TQM yang bermuara pada kinerja organisasional ?

Sehingga fokus masalah dalam penelitian ini seperti yang telah dirangkum dalam Tabel 1.2 adalah :

1. Pertama, terdapat perbedaan pandangan teoritis dan hasil pernelitian terkait dengan domain pengukuran praktek-praktek MSDM yang dapat memberikan pengaruh terhadap pencapaian kinerja organisasi. Selain itu diperlukan penjelasan lebih lanjut praktek-praktek MSDM spesifik yang dapat mendukung terciptanya budaya organisasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan kinerja organisasi yang berfokus pada TQM.

2. Kedua, terdapat perbedaan pandangan teoritis maupun hasil penelitian empirik terkait cara yang paling tepat untuk melakukan penelitian budaya organisasi perusahaan maupun sub –budaya organisasi perusahaan pada level mikro dimana sampai saat ini masih terdapat dua mainstream pendekatan penelitian pendekatan budaya secara kualitatif maupun kuantitatif, ataupun pemilihan instrumen penelitian. Lebih lanjut secara spesifik

Page 22: Document1

diperlukan penelitian identifikasi budaya organisasi yang dapat menunjang pencapaian kinerja TQM.

3. Ketiga, beberapa peneliti MSDM maupun TQM merekomendasikan pentingnya melakukan studi lebih mendetail terkait manfaat implementasi TQM, baik tantangan dalam proses implementasi (barriers) maupun faktor-faktor yang mendukung suksesnya implementasi TQM berupa keberhasilan kinerja unggulan TQM. Studi ini juga akan mengungkap ‘black box’ yang mempengaruhi suksesnya organisasi yang berfokus pada TQM, salah satunya adalah praktek manajemen perubahan (change management) yang ditangani secara serius.

Penggunaan structural equation modeling (SEM) pada penelitian ini untuk menguji direct & indirect relationship antara variable yang diteliti pada sebuah model kausalitas yang telah dikembangkan. Penggunaan SEM sangat tepat jika dilakukan untuk menguji hubungan multiple exogenous and endogenous variables (Guthrie dkk, 2004; Shook, Ketchen, Hult & Kacmar, 2004). Penelitian yang dilakukan Guthrie dkk (2004) yang menguji model kausalitas MSDM stratejik dan kinerja organisasi menggunakan SEM menunjukan keunggulan dalam analisis model terintegrasi secara simultan. Hal ini konsisten dengan Becker dan Gerhart (1996) yang merekomendasikan bidang penelitian MSDM stratejik harus menguji ”more complete structural models” yang menjelaskan keterkaitan praktek sistem MSDM dan kinerja perusahaan.

1.5.Pertanyaan Penelitian (Research Question)

Untuk dapat menjawab permasalahan penelitian di atas, maka penelitian ini diarahkan pada pertanyaan-pertanyaan, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah praktek-praktek MSDM yang mampu mendukung suksesnya organisasi perusahaan dalam implementasi TQM dan pencapaian kinerja unggulan TQM ?

2. Bagaimanakah praktek-praktek MSDM yang dapat mendorong terciptanya budaya organisasi spesifik yang mendukung organisasi dalam implementasi TQM ?

3. Apakah manfaat secara spesifik yang dicapai oleh perusahaan-perusahaan yang sukses dalam implementasi TQM ?

1.6.Definisi-Definisi Utama

Beberapa definisi utama dalam penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut:

Staffing (STF) didefinisikan sebagai praktek MSDM meliputi perencanaan, forecasting dan seleksi karyawan.

Training & Development (TND) didefinisikan sebagai proses sitematis dalam upaya meningkatkan kompetensi pekerja yang bertujuan untuk peningkatan kinerja.

Page 23: Document1

Performance Appraisal (PAP) didefinisikan sebagai proses evaluasi kinerja karyawan dibandingkan pada target atau standar kinerja yang diharapkan.

Rewards (RWD) didefinisikan sebagai sistem imbalan bagi pekerja yang terdiri dari imbalan finansial dan non finansial yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi, moral, komitmen, produktivitas dan teamwork.

Employee Relations (ERL) didefinisikan sebagai sistem yang menyediakan perlakuan fair dan adil secara konsisten bagi seluruh pekerja yang bertujuan untuk meningkatkan komitemen organisasi. Termasuk di dalamnya penyelesaian konflik, partisipasi, survai sikap dan perilaku karyawan.

Internal Communication (ICM) didefinisikan sebagai sistem komunikasi dua arah untuk menjelaskan visi, misi perusahaan, inisiatif-inisiatif manajemen, pengembangan produk baru maupun kondisi kinerja perusahaan.

Adhocracy Culture (ADC) didefinisikan sebagai budaya organisasi yang berorientasi pada kemampuan beradaptasi, fleksibilitas dan kreativitas (inovasi).

Market Culture (MKC) didefinisikan sebagai budaya perusahaan yang berorientasi pada output, kompetisi, sasaran, dan tuntutan memenangkan persaingan.

TQM Standard of Performance Excellence (Baldrige, BLD) didefinisikan sebagai standar keunggulan kinerja organisasi yang meliputi 7 standar kriteria utama Baldrige National Quality Award, yang terdisi dari aspek : (1) Leadership (LDS); (2) Information Analysis (IAN); (3) Strategic Planning (SPN); (4) Human Resources Focus (HRF); (5) Process Management (PMT); (6) Operating Results (OPR); and (7) Customer (CST).

1.7.Orisinalitas Penelitian (Originality of the Study)

Penelitian ini akan menggunakan Grand Theory Strategic Perspective dan berdasarkan Teori RBV (Resource-based View of the firm), dimana dijelaskan bahwa sebuah entitas bisnis digambarkan memiliki sejumlah sumber daya dan kapabilitas yang gilirannya akan menjadi sumber yang sangat penting bagi keunggulan kompetitif (Barney, 1991; Grant, 1996; Wernfelt, 1994). Potensi keunggulan kompetitif diturunkan dari kemampuan perusahaan dalam mengeksploitasi keunikan dari sumber daya dan kapabilitas yang dimilikinya. Keunikan yang sukar ditiru berupa sistem, orang dan budaya perusahaan merupakan “organisational binder” dan diyakini mampu berkontribusi pada kinerja perusahaan, ini sudah dibuktikan dalam riset terdahulu misalnya Arthur (1994), Batt (2002), Delery & Doty (1996), Guthrie (2001) dan masih banyak lagi. Namun demikian domain utama praktek MSDM yang mampu memberikan kontribusi bagai kinerja organidasi masih menjadi pertanyaan dan menjadi research gap utama dalam penelitian ini. Studi komprehensif soal ini sangat direkomendasikan oleh Becker dan Gerhart (1996) dan hasilnya akan mampu memberikan dukungan empiris terhadap variabel-variabel utama praktek MSDM yang memiliki kontribusi pada kinerja organisasi.

Page 24: Document1

Grant (1996) membedakan 3 (tiga) bentuk sumber daya organisasi, yaitu : (1). Tangible atau nampak; (2). Intangible atau tidak nampak dan (3). Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa praktek & sistem MSDM, budaya organisasi maupun keunggulan kinerja TQM merupakan bagian dari intangible resources. Inilah yang akan digali dan akan menjadi kajian yang orisinil dalam menguak karakteristik MSDM, budaya organisasi dan kinerja unggulan TQM kedalam sebuah model teoritis yang akan digali lebih detil pada Bab 2.

Kanji (2001) menyatakan bahwa pembentukan budaya yang selaras dengan TQM merupakan kunci sukses implementasi TQM dalam sebuah organisasi. Setiap organisasi memiliki kekhususan budaya perusahaan yang dimilikinya dan melekat pada individu sebagai sebuah kesatuan interaksi yang secara unik hanya ada didalamnya (Flanagan & Finger, 1998). Pengelolaan SDM yang berupaya menciptakan iklim sepsifik yang berujung pada budaya perusahaan TQM akan mendorong implementasi strategi manajemen dan pemahaman filosofi baru (Claver dkk, 2001). Wilton & Reavill (1995), menjelaskan bahwa budaya organisasi banyak dipengaruhi berbagai faktor, baik ukuran organisasi, lokasi geografis, jenis industri, maupun aspek-aspek psikologi industri, misalnya : kepemimpinan, pelatihan, penghargaan, komitmen dan sikap perilaku SDM organisasi. Apabila standar minimal budaya organisasi yang ‘selaras’ dengan TQM tidak terpenuhi (tidak ada), hal tersebut akan menjadi penyebab utama kegagalan transformasi TQM.

Menurut Martins (1989), menciptakan budaya TQM pada sebuah organisasi berarti melakukan ‘perubahan’ pada pola pikir dan perilaku orang. Perilaku orang ataupun pengambilan keputusan untuk bertindak dipengaruhi oleh 3 (tiga) dimensi utama (McAdam, 1995), yaitu : pengetahuan (berdasarkan rasionalitas), estetika (berdasarkan emosi), dan budaya / etika (berdasarkan nilai). TQM terkait dengan ketiga aspek tersebut yang menghasilkan tindakan, perilaku, nilai-nilai dan pandangan menyeluruh SDM perusahaan yang disebut sebagai budaya TQM. Sehingga dapat disimpulkan bahwa TQM mempersyaratkan perubahan budaya (cultural change) yang harus di ikuti perubahan perilaku (behaviour). Sampai saat ini riset untuk melihat sampai sejauh mana praktek MSDM yang terkait dengan pembentukan budaya TQM dan selaras dengan pencapaian kinerja unggulan TQM masih menjadi “black box” dan ini perlu dikaji lebih mendalam mengingat fenomena implementasi TQM di banyak organisasi, khususnya di Indonesia baik lokal maupun multi national company (MNC) telah berkembang dengan sangat pesat. Kecepatan, efektivitas dan efisiensi menjadi kunci keunggulan industri, dan implementasi TQM dengan berbagai tools yang dimiliki serta perkembangan system pendukungnya telah banyak dipilih dan dijadikan model binis yang saling berkaitan dan menyatu, sehingga banyak organisasi saat ini telah menggabungkan TQM dengan business tools lainnya semisal Balanced Scorecard (BSC), Six Sigma (SS), Lean Manufacturing, Total Productive Management (TPM) dan masih banyak lagi. Salah satu keunggulan dalam riset ini adalah pendekatan riset budaya secara kuantitatif untuk memudahkan eksplorasi, pemetaan dan generalisasi model pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, namun demikian riset ini juga mengakomodasi hal-hal yang bersifat kualitatif mengingat keterlibatan penuh peneliti pada sebuah proses transformasi organisasi TQM akan menjadi nilai tambah dalam penelitian ini. Dengan demikian

Page 25: Document1

perdebatan validitas riset budaya terkait pilihan metode kualitatif maupun kuantitatif dapat dijembatani oleh peneliti sendiri, seperti halnya yang direkomendasikan Pierce (2004).

Teori keunggulan berbasis sumber daya atau lebih dikenal sebagai Resource-Based View (RBV) of the firm menempatkan MSDM atau “human capital” sebagai sumber daya organisasi yang dapat berkontribusi pada kesuksesan keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Banyak studi empirik telah mendokumentasikan hubungan sistem dan praktek MSDM terhadap kinerja perusahaan. Misalnya Wright & McMahan (1992) meneliti aktivitas MSDM terkait dengan strategi organisasi, yang selanjutnya diperdalam oleh Chadwick & Cappelli (1999) dan Boxal (1993). Demikian pula Guest (1997), Dyer & Reeves (1995, Becker & Gerhard (1996) juga meneliti dan mengembangkan keterkaitan praktek dan sistem MSDM pada kinerja SDM, kinerja organisasional maupun kinerja finansial. Sementara itu penelitian-penelitian MSDM yang mengkaji keterkaitan praktek MSDM, budaya perusahaan dan kinerja unggulan TQM masih langka dan sampai saat ini di dialam literatur internasional maupun lokal masih sangat terbatas. Penelitian topik tersebut baik dalam kerangka pengembangan konsep maupun penelitian empirik sangat dibutuhkan di dalam mengembangkan praktek MSDM yang berkontribusi pada kinerja organisasional jangka panjang (source of competitive advangate). Selain itu, pada studi kali ini secara spesifik digunakan structural equation modelling untuk menguji model yang dikembangkan yang akan menunjukan hubungan kausalitas antar variabel-variabel yang diteliti dan dikembangkan secara terpadu sehingga akan memberikan gambaran strategis validitas model yang dikembangkan baik secara kajian teoritis maupun secara praktis. Lebih lanjut Tabel 1.2 merangkum matriks orisinalitas penelitian yang dilakukan.

Tabel 1.2 Matriks Orisinalitas Penelitian

Kinerja MSDM

TQMKinerja Organisasi

Kinerja Finansial

Budaya Perusahaan (Adhocracy & Market)

Penelitian

Praktek MSDM —

Sudah banyak,

Arthur’s (1994), Huselid

(1995), MacDuffie (1995), Guest (1997), Dyer &

Terbatas , Hanson (2003)

Sudah banyak,

Huselid (1995) &

Pfeffer (1994), (Arthur, 1994; Ichniowski dkk., 1994), Wright & McMahan

Terbatas,

Huselid and Becker (1995), Becker & Gerhardt, (1996), MacDuffie (1995), Guest (1997),

Belum ada,

Pierce (2004)

Page 26: Document1

Reeves (1995, Becker & Gerhard (1996)

(1992)

Penggunaan Analisa Statitistik SEM : Penelitian Praktek MSDM —

Terbatas,

Ehrnrooth (2002)

Belum ada

Terbatas, Guthrie, Datta, Wright (2004)

Belum ada Belum ada

Sumber: berbagai penelitian yang menjadi rujukan disertasi ini

1.8.Tujuan Penelitian (Purpose of the Research)

a. Tujuan Umum

1. Untuk membangun model hubungan praktek MSDM, budaya perusahaan dan kinerja unggulan TQM.

2. Untuk mendapatkan bukti-bukti empiris model hubungan praktek MSDM, budaya perusahaan dan kinerja unggulan TQM.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk menemukan bukti empiris bahwa praktek staffing (rekruitmen dan penempatan tenaga kerja), program pelatihan dan pengembangan SDM, performance appraisal (penilaian kinerja), rewards (sistem imbalan), employee relations (hubungan kekaryawanan), internal communication (komunikasi internal) berpengaruh secara signifikan terhadap implementasi dan pencapaian kinerja unggulan TQM.

2. Untuk menemukan bukti empiris bahwa praktek staffing (rekruitmen dan penempatan tenaga kerja), program pelatihan dan pengembangan SDM, performance appraisal (penilaian kinerja), rewards (sistem imbalan), employee relations (hubungan kekaryawanan), internal communication (komunikasi internal) berpengaruh pada terbentuknya budaya adhocracy dan market.

3. Untuk menemukan bukti empiris bahwa budaya adhocracy dan market berpengaruh secara signifikan terhadap pencapaian kinerja unggulan TQM.

1.9.Manfaat penelitian (Benefit of the Study)

a. Manfaat Teoritis

Page 27: Document1

Bagi dunia akademik diharapkan dapat mengambil manfaat sebagai literatur baru bagi penelitian yang berhubungan dengan praktek MSDM, budaya perusahaan dan analisis kinerja TQM. Diharapkan saran-saran, kesimpulan dan rekomendasi penelitian ini akan dapat mendorong penelitian lebih lanjut dan memperkaya riset dibidang MSDM Stratejik dan Total Quality Management.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi bagi Manajemen Perusahaan dalam meningkatkan kinerja organisasi melalui standar “Best Practices” praktek MSDM, budaya perusahaan dan implementasi TQM.

c. Manfaat bagi Kebijakan Pemerintah

Produktivitas regional maupun nasional secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh kesuksesan organisasi perusahaan di dalam membangun keunggulan kompetitifnya melalui praktek MSDM yang baik, pengembangan budaya perusahaan yang mendukung suksesnya implementasi TQM. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam mendukung industri manufaktur di provinsi Jawa Tengah, untuk semakin progresif di dalam meningkatkan daya saing industri melalui cara-cara yang sistematis dan berfokus jangka panjang. Organisasi yang memiliki praktek-praktek MSDM yang baik, berfokus pada pengembangan budaya perusahaan dan pencapaian kinerja TQM pada akhirnya akan dapat memberikan manfaat signifikan bagi para stakeholders.

1.10. Justifikasi Penelitian (Justification of the Study)

Justifikasi pertama penelitian ini berdasarkan adanya gap dalam penelitian-penelitian terdahulu maupun hasil olah intelektual peneliti yang meliputi gagasan-gagasan baru dalam domain praktek MSDM, pemetaan budaya perusahaan dan pemahaman terhadap manfaat implementasi TQM.

Justifikasi kedua adalah bangunan model teoritikal yang dikembangkan para peneliti terdahulu tidak memberikan pemahaman yang komprehensif tentang keselarasan praktek MSDM, pembentukan buaya perusahaan dan kinerja ungggulan TQM. Kebanyakan peneliti terdahulu hanya menguji beberapa salah satu aspek saja, sementara ketiga aspek tersebut sangatlah erat dan saling berkaitan, sehingga masih terbuka peluang untuk memberi kajian yang lebih luas tentang hubungan antara variabel-variabel MSDM, budaya perusahaan dan analisis kinerja unggulan TQM.

Justifikasi ketiga dalam penelitian ini juga merupakan tindak lanjut dari sisi akademik untuk lebih spesifik melakukan pemetaan praktek MSDM, budaya organisasi dan kinerja unggulan TQM industri manufaktur di Jawa Tengah yang berorientasi pada kinerja unggulan kelas dunia dan mengaplikasikan filosofi TQM dalam berbagai aktivitas improvement-nya. Dengan demikian penelitian ini akan berguna dalam memberikan gambaran “best practices” implementasi sistem TQM dalam perusahaan-perusahaan yang

Page 28: Document1

telah maju dan akan dapat memberikan referensi bagi perusahaan-perusahaan yang akan ataupun sedang menjalankan inisiatif TQM di Indonesia.

2.1. Pendahuluan

Pada Bab 2 akan dikaji bangunan teori yang dijadikan pijakan dalam pengembangan model penelitian disertasi, selanjutnya akan dibahas penelitian-penelitian terdahulu baik berupa konsep eksploratif maupun hasil penelitian empirik yang terdapat di dalam berbagai jurnal dan penelitian ilmiah. Kristalisasi gagasan berupa kerangka pemikiran teoritis, keterkaitan (asosiasi) antar konsep akan diwujudkan dalam proposisi penelitian.

Model teoritikal dasar yang dihasilkan dari kajian teori, sintesis antara konsep (proposisi) dan hasil penelitian empirik sebelumnya akan digunakan dalam menurunkan model penelitian utama sekaligus hipotesis-hipotesis penelitian untuk disertasi ini. Pada telaah pustaka akan difokuskan pada upaya penggalian 3 (tiga) konsep utama yang meliputi studi praktek MSDM, teori budaya organisasi, dan inisiatif aplikasi TQM untuk meningkatkan kinerja organisasi, serta 1 (satu) sintesis model penelitian terpadu penelitian.

Lingkup bahasan Bab 2 diorganisasikan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Pembahasan secara terperinci atas teori-teori dan konstruk-konstruk yang digunakan untuk penelitian ini diuraikan pada bagian-bagian berikut.

Gambar 2.1. Outline Telaah Pustaka

Sumber: dikembangkan untuk disertasi ini

2.2. Perspektif Teori MSDM

Pada sub-bab ini akan dijelaskan perspektif teori yang akan menguraikan “black box”, fenomena yang menjelaskan kontribusi MSDM terhadap kinerja perusahaan. Pendekatan Perspektif Stratejik (Strategic Perspective), MSDM berkontribusi terhadap kinerja melalui keselarasan MSDM dengan strategi bisnis. Selain itu akan dijelaskan pendekatan RBV (Resource Based View of the firm) yang berfokus pada keunikan, inimitable dan sumber daya internal perusahaan yang berkontribusi pada kinerja organisasi.

2.2.1. Perspektif Stratejik : Desain Sistem MSDM

Page 29: Document1

Ide utama yang mendasari Perspektif Stratejik adalah teori manajemen stratejik yang menekankan bahwa keberhasilan strategi perusahaan mempersyaratkan “kejelasan” strategi yang digunakan, Porter (1980, 1987, 1990) dan Miles & Snow (1984). Pemikiran MSDM Stratejik mengarah pada konsep dimana setiap strategi bisnis yang bersifat “generic” memberikan implikasi keselarasan pilihan sistem MSDM yang dapat menunjang pencapaian kinerja bisnis (Schuler & Jackson). Berkaitan dengan “black box”, konsep MSDM stratejik menekankan aspek ‘transformasi’ input MSDM yang menghasilkan desain spesifik praktek MSDM sesuai dengan pendekatan strategi bisnis yang ditetapkan. Dua alasan utama yang terkait dengan Perspektif Stratejik, pertama, bahwa MSDM dan strategi organisasional harus diselaraskan untuk meningkatkan efektifitas MSDM, kedua, bahwa MSDM harus diaplikasikan secara spesifik kepada kelompok-kelompok kerja / karyawan untuk mencapai sasaran organisasi.

Meski pentingnya integrasi stratejik MSDM dan strategi organisasional banyak ditekankan oleh literatur-literatur MSDM, akan tetapi masih terdapat ketidaksepakatan bagaimana proses interaksi MSDM dan strategi organisasi yang diterapkan. Torrington & Hall (1998) menggambarkan berbagai tingkat interaksi tersebut, dari hal yang terpisah sama sekali yang disebut sebagai “unstrategic personnel management” hingga keterkaitan yang sangat erat antara konsepsi MSDM yang berpengaruh pada strategi bisnis (Butler 1988, 1991). Dua konsep strategi bisnis akan dibahas dalam sub-bab selanjutnya, yaitu tipologi Miles & Snow (1984) dan Schuler & Jackson (1997), sebagai salah satu referensi utama dari bangunan teori yang akan dikembangkan. Prinsip kedua tipologi tersebut adalah setiap strategi bisnis hanya memiliki sejumlah pilihan terbatas praktek MSDM yang sesuai dengan karakteristik strategi yang dipilihnya (Mabey & Salaman 1995).

Lebih lanjut, sebelum membahas secara mendetail interaksi MSDM dan strategi bisnis, diperlukan pemahaman yang sama dan definisi yang sama tentang konsep strategi. Strategi, menurut Purcell & Ahlstrand (1994) : “strategy is associated with the long-term decision taken at the top of enterprise and distinguished from operational activities”. Hal ini sangat berbeda dengan Hill & Jones (1992) yang lebih mengarah ke pendekatan “tradisional” dalam mendefinisikan strategi, disebutnya sebagai pendekatan ‘hierarchy- & planning-based’. Menurut Purcell & Ahlstrand (1994), pendekatan tradisional terkesan terlalu sederhana, mengingat dengan model tradisional pimpinan di tingkat korporasi masih dapat dilibatkan pada aktivitas operasional seperti halnya staf bisnis di level unit yang diberikan otonomi untuk menyusun formula strategi bisnisnya ataupun kontribusi pada strategi korporat-nya. Dengan demikian, lebih tepat apabila strategi didefinisikan dengan melihat sebagai bentuk karakteristik pengambilan keputusan manajerial yang bersifat stratejik. Johnson (1987) menekankan bahawa keputusan manajerial harus fokus pada arah jangka panjang organisasi, ruang lingkup aktivitas organisasi, kesesuaian aktivitas organisasi dengan lingkungan bisnisnya, kesesuaian aktivitas organisasi dengan kapabilitas sumber daya yang dimilikinya.

Pemahaman konsep strategi dapat dilakukan dengan melihat tingkatan (level) strategi yang berbeda-beda (Hendry 1995). Quinn (1991) mengidentifikasi 5 (lima) tingkatan dalam level stratejik, yaitu : Sasaran (goals) sesuai dengan ruang lingkup dan spesifik,

Page 30: Document1

kebijakan (policies) yang merupakan aturan dan pedoman sebagai kerangka pelaksanaan / implementasi, rencana stratejik (strategic plans) berupa pola dan rencana yang mengintegrasikan sasaran dan kebijakan sebagai satu kesatuan yang konsisten, keputusan stratejik (strategic decisions) lebih kepada arah keseluruhan alokasi sumber daya organisasi dalam mencapai sasaran bisnis, program (programmes) yang disebutkan sebagai rangkaian ‘step-by-step’ implementasi untuk mencapai sasaran utama bisnis dengan memastikan alat ukur / indikator yang digunakan untuk menilai tingkat pencapaian sasaran. Keputusan stratejik (strategic decisions) berbeda dengan keputusan operasional ‘day-to-day’ karena dalam keputusan stratejik melibatkan tingkat ketidakpastian maupun resiko yang jauh lebih tinggi, membutuhkan integrasi manajemen lintas fungsional, melibatkan masalah perubahan seperti halnya mobilisasi sumber daya dan kekuatan dalam menghadapi ketidakpastian di masa depan.

Porter (1987) membedakan antara strategi di tingkat ‘unit bisnis’ dan strategi di tingkat ‘korporasi’, sedangkan Wheelen & Hunger (1990) menambahkan bahwa dalam penerapannya, strategi dibedakan menjadi level ‘fungsional’ atau ‘departemental’. Strategi korporat (corpoarete strategy) menurut Porter fokus pada jenis aktivitas bisnis dimana organisasi bersaing dan bagaimana ‘corporate office’ mengelola seluruh unit bisnis agar unit bisnis fokus pada ‘competitive strategy’ dengan tujuan untuk menghasilkan ‘competitive advantage’ di dalam satu unit bisnisnya. Secara nyata harus dipahami bahwa persaingan / kompetisi justru terjadi pada level unit bisnisnya, Porter (1980, 1990) menyatakan bahwa unit bisnis untuk memenangkan persaingannya harus berkonsentrasi pada : cost leadership yang bertujuan untuk menciptakan keunggulan pasar melalui harga lebih rendah dibandingkan pesaing, differentiation (peningkatan kualitas) dimana upaya unit bisnis dalam meraih keunggulan kompetitif melalui kualitas produk yang ditawarkan, focus sebagai strategi yang dapat melibatkan cost leadership atau differentiation dan berfokus pada market dan pelanggan yang spesifik, artinya kompetisi langsung dengan pesaing lain dapat dihindari dengan target pada pasar khusus / ceruk pasar (niche market) yang ada. Inovasi menurut Porter merupakan satu langkah kedepan dalam meraih keunggulan kompetitif dipasar. Sedangkan Schuler & Jackson (1987) menterjemahkan inovasi sebagai ‘a distinct strategy’, sesuai dengan Porter, menurutnya kerja dapat dipahami bukan sekedar mengikuti proses yang ada dan belajar untuk mencari cara baru berkompetisi, akan tetapi memanfaatkan kesempatan yang muncul dari dis-kontinyuitas struktur industrinya (Hendry 1995).

Pendekatan lain yang dikembangkan oleh Miles & Snow (1984) memunculkan 3 (tiga) strategi organisasi fundamental, yaitu :

Defenders : tipe organisasi ini beroperasi pada situasi pasar yang dapat diprediksi dengan jenis pasar dan produk tertentu, sasaran utama strateginya pertumbuhan melalui penetrasi pasar. Penelitian dan pengembangan (research and development, R & D) dikonsentrasikan pada pengembangan produk, produksi dengan volume cukup besar serta berorientasi pada penekanan biaya melalui efisiensi dan perbaikan rekayasa proses.

Prospectors : tidak seperti halnya defenders, tipe organisasi ini berorientasi pada perubahan pasar dengan diversifikasi produk dan memiliki sasaran pertumbuhan

Page 31: Document1

melalui pengembangan produk serta aktif mempengaruhi pasar dengan mencoba peluang-peluang baru. Perusahaan yang tergolong prospectors memiliki target utama pada R & D untuk selalu meluncurkan produk barunya. Orientasi produksi bersifat ‘customized’ dan ‘prototypical’, menekankan pada efektivitas dan desain produknya.

Analysers : tipe organisasi ini merupakan kecenderungan dari tipe defenders & prospectors, bertujuan pada efisiensi produksi dengan jenis produk tertentu serta mengadopsi trend pasar baru yang cukup menjanjikan dengan kemampuan inovasinya. R & D memiliki fokus trend spesifik yang muncul dan berpeluang dipasar yang dilihat dari prospectors–nya, menekankan pada strategi ‘second-to-market’. Produksi tergantung pada jenis produknya, berorientasi pada volume dan penekanan harga (low cost), selain itu tipe analysers juga berfokus pada rekayasa proses (process engineering) termasuk pada product / brand management-nya.

Secara singkat Miles & Snow juga megemukakan tipe keempat yang disebutnya sebagai ‘reactor’ yang bercirikan dengan strategy-environment inconsistency ataupun poor strategy-structure-process, tipe reactor menurut Miles & Snow lebih sulit berkembang dibandingkan dengan tipe lainnya. Tipologi organisasi menurut Miles & Snow (1984) ini secara umum konsisten dengan pendekatan Porter.

Mabey & Salaman (1995) menggunakan ‘open’ & ‘closed’ dalam pendekatan strategi SDM. Strategi ini dikarakterisasikan dengan mendefinisikan terlebih dahulu sasaran atau praktek-praktek yang mendukung tipe strategi bisnisnya, jelasnya sangat tergantung dengan strategi bisnisnya. Kesesuian diantara kebijakan-kebijakan SDM yang berbeda merujuk pada kesesuaian ‘internal’ dan ‘vertikal’, dan kesesuaian antara kebijakan SDM dan strategi organisasional yang juga sering disebut sebagai kesesuaian ‘eksternal’ ataupun ‘horizontal’ (Delery & Doty 1996, Huselid 1995). Pengelompokan pendekatan teoritis yang umum digunakan untuk mempelajari desain SDM stratejik banyak mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Delery & Doty (1996). Pertama, pendekatan universalistic atau ‘best practice’, didasarkan pada anggapan praktek terbaik SDM semisal HPWS (High Performance Work Sistem) akan selalu lebih baik dibandingkan yang lain (Pfeffer 1994, Huselid 1995). Kedua, contingency perspective, didasarkan pada ide bahwa kebutuhan efektivitas organisasi sangat dipengaruhi konsistensi antara elemen-elemen MSDM dengan aspek organisasional yang lain, khususnya dengan strategi bisnisnya (Schuler & Jackson 1987, Lengnick-Hall & Lengnick-Hall 1988). Secara umum pendekatan kontijensi ini dipahami sebagai ‘external fit’. Ketiga, configurational approach, didasarkan pada bentuk yang ideal berdasarkan prinsip equifinality, yaitu tiap bentuk organisasi yang berbeda dapat memiliki tingkat efektivitas yang berbeda pula (Doty dkk 1983, Doty & Glick 1994, Delery & Doty 1996). Pendekatan konfigurasional menyatukan praktek MSDM yang konsisten dengan alternatif strategi konfigurasi, misalnya kombinasi antara kesesuaian internal dan eksternal (Delery & Doty 1996).

Bentuk-bentuk pendekatan MSDM stratejik yang sama polanya juga disampaikan oleh Guest (1997) yang membedakannya menjadi internal fit, external fit dan configurational fit. Guest mendefinisikan kesesuaian eksternal dan internal serupa dengan deskripsi sebelumnya diatas, namun Guest mengajukan bahwa ‘internal fit’ sangat identik dengan

Page 32: Document1

‘HRM as an ideal set of practices’. Ilustrasi yang disampaikan oleh Guest ini kurang mampu menjelaskan konsep internal fit. Delery & Doty mengelompokan internal fit sebagai salah satu bagian dari pendekatan konfigurasional. Guest (1997) menginterpretasikan kesamaan dari internal fit dengan perspektif universalistic. Jadi perspektif universalistik memberikan implikasi dalam memperkaya pemahaman HPWP (High Performance Work Place), yang dinyatakan oleh Guest (1997) sebagai “the more of high performance HRM practices that are used, the better the performance”, pernyataan tersebut tidak menjelaskan ‘internal relationship’ diantara praktek MSDM yang ada. Pemahaman Guest sebenarnya didasarkan pada asumsi implisit bahwa praktek MSDM saling melengkapi satu sama lain. Dalam tataran konseptual, akan lebih berguna dengan memastikan perbedaan-perbedaan teoritis diantara konsep-konsep yang ada. Hoque (1999a) melengkapi tipologi Guest dengan mengusulkan konsep universal relevance. Tergantung pada situasi pasarnya, adopsi sebuah strategi bisnis yang pasti akan diperlukan jika kebutuhan organisasinya juga spesifik yang akan diikuti dengan pendekatan MSDM yang relevan secara universal (universally relevant HRM approach).

Menyimpulkan pendekatan desain MSDM yang telah dibahas sebelumnya, terlihat pandangan universalistik mempengaruhi praktek MSDM dan memiliki efek positip secara universal dalam berbagai situasi yang ada ; pandangan kontijensi yang mengajukan ‘fitting’ MSDM dengan strategi binis akan menghasilkan kinerja yang lebih baik ; pendekatan konfigurasional mampu memberikan prediksi kinerja yang lebih baik bila sistem SDM yang dipilih lebih ‘pas’ dengan tipe ideal organisasinya ; pandangan relevansi universal mengajukan bahwa sebuah koteks situasi dapat berimplikasi pada kepastian strategi yang harus didukung pilihan-pilihan praktek MSDM yang ada. Model-model yang diusulkan oleh Schuler & Jackson (1987) dan Miles & Snow (1984) banyak digunakan, salah satunya Boxall (1992) menyebut sebagai “matching model” untuk mendeskripsikan ‘external fit’ seperti yang telah disebutkan diatas. Didasarkan pada strategi Porter (1980, 1990), Schuler & Jackson (1987) mendefinisikan praktek MSDM dan perilaku SDM yang muncul didorong melalui prektek MSDM yang ‘matching’ dengan strategi generic yang diadopsi. Miles & Snow (1984) memasukan dalam kategorisasi kebijakan MSDM yang seharusnya mendukung strateginya. Berikut beberapa contoh yang ada :

Quality-enhancement – membutuhkan kebijakan SDM yang terdiri atas pelaksanaan job description yang ‘fixed & explicit’, partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi dan pekerjaannya, sistem penilaian kinerja individual dan kelompok yang berorientasi pada hasil dan bersifat jangka pendek, jaminan ‘job security’ dan pelatihan-pelatihan berjenjang.

Innovation strategies – membutuhkan praktek MSDM : interaksi pekerjaan dan koordinasi antar grup individu, sistem penilaian kinerja berdasarkan grup dan bersifat jangka panjang, orientasi kerja yang memberikan peningkatan skills buat pekerjaan / posisi yang lain, sistem kompensasi yang berfokus pada ‘internal-equity’, sistem upah dengan upah pokok yang lebih kecil namun diberikan alternatif ‘stock options’ dan sistem kompensasi yang fleksibel lainnya, sistem karir yang lebih luas.

Page 33: Document1

Cost-reduction strategies – difasilitasi dengan praktek MSDM yang bercirikan uraian kerja relatif ‘fixed’, eksplisit dan jelas, sistem karir dan job yang lebih sempit dan mendorong pada keahlian dan spesialisasi tertentu, sistem penilaian kinerja berorientasi hasil dan bersifat jangka pendek, sistem kompensasi yang selalu dipertimbangkan dengan memonitor pasar, minimal pelatihan dan pengembangan SDM.

Meski secara logika praktek-praktek MSDM dan ‘role behaviours’ dibutuhkan, Lee & Miller (1999) berpendapat bahwa sebuah proposal strategi yang akan diterapkan sangat tergantung dari organisasi yang akan menjalankannya. Strategi yang berbeda memerlukan program-program yang berbeda, misalnya target pada manajemen inventori, reduksi biaya operasi, keduanya akan berimplikasi pada pentingnya komitmen organisasi perusahaan terhadap eksistensi karyawan untuk mendapatkan komitmen dan dukungan karyawan demi kesuksesan pelaksanaan program.

Miles & Snow (1984) memasukan tipologi strategi bisnis serta orientasi SDM yang dibutuhkan secara jelas, tidak seperti halnya Porter yang tidak menjelaskan secara langsung. Defenders, akan berimplikasi penerapan strategi utama ‘building’ & ‘making’ SDM, misalnya berkurangnya strategi untuk melakukan rekruitmen pada level manajemen atas dan kecenderungan untuk melakukan pengembangan kompetensi karyawan melalui program pelatihan formal. Penilaian kinerja dilaksanakan dengan berorientasi pada proses, terintegrasi dengan identifikasi kebutuhan training dengan target pada individu dan kelompok karyawan serta mempergunakan time-series comparisons. Kompensasi karyawan berorientasi pada jabatan / pangkat / posisi individu karyawan, ada konsistesi pada situasi internal organisasi perusahaan serta bersifat ‘cash compensation’.

Prospectors, tidak seperti halnya defender, memiliki strategi ‘buy’ or ‘acquire’ SDM perusahaan. Strategi ini membutuhkan ‘spohisticated recruitment sistems’ dimana setiap level melibatkan penggunaan alat tes psikomterik. Sebagai konsekuensi kebutuhan training lebih terbatas, penilaian kinerja berorientasi pada hasil, lebih cenderung mengidentifikasi kebutuhan staf dibandingkan kebutuhan pelatihan, serta melakukan evaluasi kinerja divisional / koprorat dengan cross-sectional comparisons (misalnya dengan benchmarking perusahaan lain). Sistem kompensasi berorientasi pada kinerja dengan fokus pada insetif dan upah eksternal yang kompetitif.

Analysers, orientasi SDM melalui kontribusi dalam mengalokasikan orang dan proses manajemen sesuai dengan kebutuhan aktivitas bisnis yang berbeda. Jadi strategi “make” & “buy” dikombinasikan, sehingga proses seleksi & rekruitmen merupakan pendekatan dari kedua strategi tersebut. Pengembangan skills karyawan merupakan prioritas, performance appraisals berorientasi pada proses yang menekankan pada identifikasi staffing dan analisis kebutuhan training. Performance assessment dilaksanakan pada semua level, dengan menerapkan model time-series & cross-sectional. Sistem kompensasi cenderung hierarchy-oriented, dengan memasukan pertimbangan-pertimbangan kinerja. Selain itu konsistensi internal dan persaingan pasar tenaga kerja juga jadi dasar menentukan sistem kompensasinya, sehingga akan terdapat pula sistem pembayaran cash maupun insentif-nya.

Page 34: Document1

Pendekatan ‘matching model’ yang diajukan oleh Boxall (1992) seperti pada beberapa contoh diatas belum mengalami perubahan. Menurutnya, “it is the firm’s chosen path in the product market that is seen to determine HR strategy. Other aspects of the organizational context are more or less ignored”. Hal mendasar yang dibuat oleh Boxall adalah tidak ada satupun strategi SDM yang bersifat tunggal untuk semua karyawan dalam sebuah organisasi, hal ini sudah dikonfirmasikan secara empirik oleh Jackson dkk (1989) yang juga telah menemukan bahwa praktek SDM beraneka ragam tergantung dari teknologi produksi, sektor industri, struktur organisasi, ukuran maupun keberadaan serikat pekerja. Problem lain tentang ‘matching model’ adalah strategi bisnis seperti halnya Porter atau Miles & Snows merupakan hal yang kontroversial (Boxall 1992). Sebaliknya, Murray (1998), Hill (1988), Miller & Friesen (1986) dan Parnell (1997) mendapatkan bahwa strategi bisnis bersifat “mutually exclusive”.

Merujuk pada pemikiran Becker & Gerhart (1996), “HR sistems only have a sistematic impact on the bottom line when they are imbedded in a firm’s management infrastructure and help it solve real business problems such as product development cycle times, customer service, and so forth.” Menjadi sangat jelas bahwa pendekatan kontijensi dan perspektif universalistik juga bersifat “mutually exclusive”. Becker & Gerhart mencatat adanya tingkat kesulitan pada level analisisnya, mereka membedakan 3 (tiga) level sistem SDM, misalnya architecture (prinsip-prinsip utama secara menyeluruh), policies (kebijakan), dan practices (praktek SDM yang spesifik, misalnya sistem kompensasi, insentif, performance appraisal, dst). Sehingga hal utama adalah menentukan pengaruh praktek SDM yang paling tepat yang dapat dicapai pada level arsitektural, misalnya penentuan prinsip-prinsip utama penghargaan pada kinerja karyawan yang secara internal dan eksternal sesuai pada level kebijakan dan praktek SDM organisasinya.

Gambar 2.2 merangkum pendekatan teori Perspektif Stratejik, secara garis besar dapat dijelaskan bahwa strategic management sebagai dasar bagi sebuah organisasi di dalam mengambil keputusan strategi bisnis organisasi akan di-ikuti dengan pilihan strategi SDM (HR Strategy) yang akan diambil. Implikasi yang terjadi adalah praktek MSDM (HRM Practices) yang akan dilakukan pada level arsitektur, kebijakan dan praktek keseharian organisasi (day to day operations).

Gambar 2.2 Pendekatan Teori Strategic Perspective

Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini (2009)

2.2.2 Pendekatan Resource-Based View (RBV)

Page 35: Document1

Patut diketahui, karena sifat terapan dari MSDM Stratejik (Strategic Human Resources Management), maka bidang ini mengembangkan atau menggunakan model-model teori yang memungkinkan prediksi dan pemahaman pengaruh dari praktek praktek HR pada fungsi organisasi. Namun, sampai sekarang, salah satu dari kekurangan yang paling nyata dari MSDM Stratejik adalah kurangnya basis teori yang kuat untuk pengkajian fungsi MSDM (Mahoney & Deckop, 1986) didalam organisasi yang lebih besar. Referensi terkini dalam pembahasan teori manajemen sumber daya manusia stratejik berasal dari literatur manajemen stratejik dan ekonomi organisasi dan telah menghasilkan konsep Resource-Based View of the Firm yang sering disebut sebagai RBV (Barney 1991; Conner 1991; Penrose 1959; Wernerfelt, 1984). Sejak kemunculan “strategi” sebagai bidang yang penting dalam ilmu manajemen, para ahli strategi organisasi industri bergantung pada sebuah kerangka tunggal (SWOT Analysis) dalam melakukan penelitian mereka (Barney 1991). Kontribusi utama bagi literatur sangat terfokus dari model keunggulan kompetitif, misalnya yang digunakan oleh Porter (1980; 1985).

Grant (1991) menyatakan bahwa karena ketidakpuasan dengan model keseimbangan statis dari ekonomi organisasi industri yang mendominasi bidang strategi, maka para peneliti mengkaji kembali teori-teori lama tentang laba dan kompetisi yang berkaitan dengan tulisan Ricardo (1817), Schumpter (1934) dan Penrose (1959). RBV ini berbeda dari paradigma strategi tradisional dalam hal penekanan pada keunggulan kompetitif dalam konteks antara strategi dan sumber daya internal perusahaan. RBV berfokus pada internal perusahaan sedangkan paradigma analisa stratejik tradisional lebih berfokus pada industri-lingkungan.

Pandangan RBV didasarkan pada keunggulan kompetitif dan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Barney (1991) menggambarkan keunggulan kompetitif sebagai “when a firm is implementing a value creating strategy not simultaneously being implemented by any current or potential competitor”. Sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan hanya ada apabila upaya pihak lain gagal untuk meniru keunggulan tersebut (Barney, 1991). Menurut RBV, keunggulan kompetitif hanya dapat muncul dalam situasi heterogenitas sumber daya perusahaan dan immobilitas sumber daya perusahaan, dan asumsi inilah yang berfungsi untuk membedakan model berbasis sumber daya dari model manajemen stratejik tradisional. Heterogenitas sumber daya perusahaan mengacu pada sumber daya yang dimiliki sebuah perusahaan (modal fisik, modal manusia, dan modal organisasi) dan seberapa besar perbedaan sumber daya ini diantara perusahaan-perusahaan. Dalam model strategi tradisional, sumber daya perusahaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat homogen di semua perusahaan dalam industri. Immobilitas sumber perusahaan mengacu pada ketidakmampuan dari perusahaan perusahaan yang bersaing untuk memperoleh sumber dari perusahaan lain. Dalam model strategi tradisional, sumber dianggap mobile dalam hal perusahaan dapat membeli atau membuat sumber yang dimiliki oleh perusahaan pesaing. Agar sumber daya sebuah perusahaan memberikan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, empat kriteria harus dapat dikaitkan dengan sumber daya tersebut: (a) sumber daya harus menambah nilai positif bagi perusahaan, (b) sumber daya harus bersifat unik atau langka diantara calon pesaing dan pesaing yang ada sekarang ini, (c) sumber daya harus sukar ditiru, dan (d) sumber daya tidak dapat digantikan dengan sumber lainnya oleh perusahaan pesaing.

Page 36: Document1

Maka dengan heterogenitas sumber daya dan immobilitas sumber daya serta pemenuhan prasyarat nilai, kelangkaan, ketidakmampuan meniru secara sempurna, dan tidak adanya daya substitusi, maka sumber daya dari sebuah perusahaan dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang awet. Barney (1991) menyatakan bahwa dalam RBV – perusahaan tidak dapat berharap untuk membeli atau mengambil keunggulan kompetitif berkelanjutan yang dimiliki oleh suatu organisasi lain, karena keunggulan tersebut merupakan sumber daya yang langka, sukar ditiru, dan tidak tergantikan. Pemikiran bahwa sumber daya manusia dapat berfungsi sebagai keunggulan kompetitif bukanlah hal baru. Schuler dan MacMillan (1984) membahas potensi human capital yang dimiliki manajemen sumber daya manusia yang unggul sebagai sarana pencapaian dan pemeliharaan keunggulan kompetitif. Schuler dan MacMillan menyajikan matriks target/pendorong untuk menunjukan bagaimana MSDM dapat memberikan keunggulan kompetitif. Target dari praktek HR mengarah pada aktivitas semua level termasuk internal perusahaan itu sendiri, konsumennya, distributornya dan penyedia layanannya (servicer) bahkan para supliernya.

Ulrich (1991) secara parsial juga bergantung pada perspektif teori RBV dalam penggambaran sumber daya manusia sebagai keunggulan kompetitif. Dia memperluas model keunggulan kompetitif Porter (1985) untuk memasukkan budaya organisasi, kompetensi yang berbeda, dan kesatuan stratejik sebagai “mediator” dalam hubungan keunggulan kompetitif-strategi. Ulrich kemudian membahas bagaimana praktek sumber daya manusia dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengembangkan strategi-strategi yang akan menghasilkan keunggulan kompetitif yang terus menerus, yang menegaskan bahwa harus ada fokus pada hubungan antara sumber daya manusia, strategi dan keunggulan kompetitif. Baik Chule & MacMillan (1984) maupun Ulrich (1991) memberikan perspektif berorientasi praktek, yang menunjukkan bahwa HRM dapat berfungsi sebagai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Namun, tak satupun dari analisa mereka didasarkan pada resource-based view of the firm secara utuh. Mengingat fakta bahwa Barney (1991) tampak menyiratkan bahwa keunggulan kompetitif yang berkelanjutan sebenarnya lebih cenderung ditemukan bukan dikembangkan, maka terlebih dahulu perlu untuk mengkaji kondisi dimana sumber daya manusia dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dalam konteks resource-based view of the firm. Masalah tersebut telah dibahas oleh Wright, McMahan dan McWilliams (1992).

Wright dkk (1992) mendasarkan asumsinya pada empat kriteria untuk keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dan berupaya untuk mengevaluasi kondisi dimana sumber daya manusia memenuhi kriteria tersebut. Pemahaman tersebut melahirkan kosep :

· Pertama, agar sumber daya manusia ada sebagai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, mereka harus memberikan nilai bagi perusahaan. Kondisi ini mensyaratkan bahwa ada kebutuhan heterogen akan tenaga kerja (bahwa perusahaan memiliki pekerjaan yang memerlukan bermacam tipe ketrampilan) dan suplai tenaga kerja yang heterogen (individu individu berbeda dalam ketrampilan dan tingkat ketrampilan mereka). Dalam kondisi ini, sumber daya manusia dapat menambah nilai bagi perusahaan.

Page 37: Document1

· Kedua, sebuah sumber daya harus bersifat langka bila sumber daya itu akan menjadi sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Wright dkk (1992) mencatat bahwa karena distribusi kemampuan yang normal, sumber daya manusia dengan tingkat kemampuan tinggi, secara definisi tentu akan menjadikannya langka. Tujuan dari semua program seleksi jelas untuk memastikan bahwa organisasi hanya akan mempekerjakan individu dengan kemampuan tertinggi. Masalahnya kemudian, adalah validasi dari sistem seleksi dan apakah organisasi mampu atau tidak untuk menarik dan mempertahankan para pelamar tersebut yang dinggap memiliki kemampuan tertinggi. Maka, sebuah perusahaan dapat secara teori memperoleh karyawan dengan kemampuan unggul melalui kombinasi dari program seleksi yang valid dan sistem penghargaan yang menarik.

· Ketiga, agar sebuah sumber daya dianggap sebagai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, sumber daya manusia harus tidak dapat ditiru. Dalam pembahasan ini, Wright dkk (1992) menggunakan konsep kondisi historis yang unik, ketidakjelasan sebab akibat, dan kompleksitas sosial untuk menunjukkan ketidakmampuan untuk meniru dari keunggulan kompetitif yang berasal dari sumber daya manusia. Kondisi historis yang unik mengacu pada kejadian historis tertentu yang telah membentuk praktek, kebijakan dan budaya perusahaan. Ketidakjelasan sebab akibat menggambarkan situasi dimana sumber sebab akibat dari keunggulan kompetitif tidak mudah diidentifikasi. Kompleksitas sosial menunjukkan bahwa dalam banyak situasi (misal tim produksi) keunggulan kompetitif berasal dari hubungan sosial yang unik yang tidak dapat ditiru. Maka, Wright dkk menyatakan bahwa karena fakta bahwa banyak keunggulan kompetitif yang mungkin didasarkan dalam sumber daya manusia dari sebuah perusahaan dicirikan oleh kondisi historis yang unik, ketidakjelasan sebab akibat, dan kompleksitas sosial, sangat tidak mungkin bahwa sumber daya manusia yang dikembangkan dengan baik dapat dengan mudah ditiru.

· Keempat, sebuah sumber daya harus tidak dapat digantikan (substitusi) bila sumber daya tersebut dianggap sebagai sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Menurut Wright dkk (1992), seseorang dapat dengan mudah menggambarkan sebuah perusahaan tertentu memiliki individu-individu berkemampuan tertinggi yang menghasilkan keunggulan kompetitif. Namun, apa yang terjadi bila pesaing mengembangkan teknologi baru yang memberikan peningkatan produktivitas yang lebih besar dibandingkan perbedaan produktivitas dalam perusahaan karena kemampuan ? Bila teknologi dapat ditiru (yang memang demikian karena sebuah perusahaan dapat membeli teknologi di pasar), maka setelah perusahaan itu membeli teknologi baru tersebut, sumber daya manusia akan sekali lagi menjadi ada sebagai keunggulan kompetitif.

Teori resource-based view telah mendapatkan sejumlah perhatian yang signifikan dalam literatur manajemen stratejik (mis Barney 1991; Castanias & Helfat, 1991’ Conner 1991; Fiol 1991). Potensi besar untuk menggunakan teori tersebut menjadi sangat penting bagi para peneliti di bidang MSDM Stratejik, untuk mengkaji ‘cara perusahaan’ dalam mengembangkan sumber daya manusia sebagai sebuah keunggulan kompetitif. Saat ini kebutuhan untuk menyatukan praktek sumber daya manusia dalam tahap perumusan dari strategi sebuah perusahaan menjadi hal yang utama dalam kajian berkelanjutan MSDM stratejik. Pendekatan resource-based view memberikan kerangka dalam pengkajian

Page 38: Document1

fungsi sumber daya manusia yang berperan stratejik selama fase perumusan perencanaan strategi manajemen. Dengan demikian pendekatan resource-based view akan menunjukkan fakta bahwa strategi tidak secara universal dapat diterapkan, tetapi bersifat kontingen pada kepemilikan basis sumber daya manusia (karyawan) yang perlu untuk menerapkannya.

Sementara itu para ahli dari berbagai disiplin ilmu juga telah memberikan berbagai kerangka kerja konseptual sebagai penjelasan terhadap hubungan antara praktek manajemen SDM dan kinerja pada tingkat perusahaan. Jackson dan Schuler (1995) memberikan literatur tentang hal ini dan menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan yang berbeda seperti teori sistem umum, teori perilaku peran (Behavioral Approach), teori institusional (Institutional/Political Forces), teori ketergantungan sumber daya (Resource Dependence), teori modal manusia (Human Capital), ilmu ekonomi biaya transaksi (Transaction Costs), teori agensi (Agency) dan teori resource-based view, digunakan untuk meneliti peran-peran potensial SDM (praktek SDM) dalam menentukan kinerja perusahaan. Hasilnya secara umum menunjukan adanya hubungan yang positif antara berbagai praktek SDM yang berkualitas dan keunggulan organisasi, yaitu kinerja perusahaan. Gambar 2.2 menjelaskan kerangka konseptual teoritik yang menjelaskan pemikiran Jackson dan Schuler (1995) tersebut. Konsep tersebut juga mengambil dari kerangka konseptual yang telah dikembangkan oleh Wright dkk (1992).

Gambar 2.3 Perspektif MSDM berbasis Sumber Daya (RBV)

Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini (2009)

2.2.3 Strategi Organisasi dan Perilaku SDM

Banyak tipologi telah dikembangkan untuk menggambarkan bagaimana perusahaan membahas masalah dasar ini (tipologi strategi bisnis dan manajemen sumber daya manusia), tetapi tipologi yang dikembangkan oleh Porter (1980, 1985) tidak diragukan lagi merupakan yang paling umum dan digunakan secara luas oleh para peneliti industri dan kebijakan bisnis (Hambrick, 1983; Sorge & Streeck, 1988). Seperti yang dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, Porter menyatakan bahwa ada dua strategi bisnis generik yang berhasil yang sebuah perusahaan mungkin gunakan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang bertahan lama atas perusahaan lain dalam industri. Strategi itu adalah Cost Leadership Strategy (yaitu dengan menjadi produsen berbiaya terendah) dan

Page 39: Document1

Differentiation Strategy (yaitu dengan mendiferensiasi dirinya dari kompetitor pada beberapa basis selain biaya rendah misalnya kualitas produk atau jasa). Logika untuk hubungan antara strategi ini dan strategi manajemen SDM berakar dari perbedaan dalam ketidakpastian tugas produksi yang terlibat dalam implementasi strategi bisnis Cost Leadership dan Differentiation. Pemfokusan pada tujuan manajemen, praktek dan kebijakan SDM digunakan untuk membentuk karakteristik karyawan, sikap, dan perilaku untuk pelaksanaan efektif dari bermacam tipe tugas pekerjaan (Jackson, Schuler, & Rivero, 1989; Galbriath, 1977; Drazin & Van deVen, 1985; Govindarajab, 1988). Karakteristik strategi pengurangan biaya adalah kontrol ketat, minimalisasi biaya tak langsung / overhead, dan pencapaian skala ekonomis. Fokus utama pengukuran ini adalah peningkatan produktivitas, yaitu, biaya output per orang. Profil perilaku peran karyawan yang diperlukan untuk perusahaan yang berupaya untuk meraih keunggulan kompetitif dengan pencapaian pengurangan biaya adalah sebagai berikut :

(1) perilaku yang relatif berulang dan dapat diprediksikan,

(2) fokus agak jangka pendek,

(3) aktivitas individual atau bersifat otonom,

(4) cukup perhatian terhadap kualitas,

(5) perhatian tinggi terhadap kuantitas output (barang atau jasa),

(6) perhatian utama terhadap hasil,

(7) aktivitas beresiko rendah, dan

(8) tingkat kesesuaian yang relatif tinggi dengan stabilitas (Porter 1980, 1985).

Strategi diferensiasi menurut Piore dan Sable (1984) lebih dikaitkan dengan “spesialisasi fleksibel” melalui penggunaan teknologi yang lebih fleksibel untuk menghasilkan cakupan yang lebih luas dari produk yang relatif khusus dalam jumlah yang lebih kecil. Implikasi pengaturan sumber daya manusia yang mengupayakan strategi ini adalah bahwa diperlukannya pemilihan individu yang sangat terampil, yang memberikan karyawan lebih banyak peluang, penggunaan kontrol minimal, pembuatan investasi yang lebih besar dalam sumber daya manusia, penyediaan lebih banyak sumber untuk ber-eksprimen, pemberian kemudahan dan bahkan penghargaan terhadap “kegagalan tertentu”, dan penilaian kinerja untuk implikasi jangka panjang. Sehingga pencapaian strategi ini akan berimplikasi pada rasa kontrol pribadi yang meningkat dan moral yang lebih baik, sehingga meningkatkan komitmen yang lebih besar untuk diri sendiri dan profesi. Dengan demikian, profil tipe perilaku peran karyawan ini termasuk :

(1) tingkat perilaku kreatif yang tinggi,

(2) fokus jangka panjang,

Page 40: Document1

(3) tingkat kerja sama yang relatif tinggi, perilaku saling ketergantungan,

(4) tingkat perhatian terhadap kualitas yang tinggi,

(5) perhatian yang cukup terhadap kuantitas,

(6) tingkat perhatian setara untuk proses dan hasil,

(7) tingkat pegambilan resiko yang lebih tinggi, dan

(8) toleransi ketidakjelasan dan ketidakmampuan prediksi yang tinggi (DePree, 1986).

Teori manajemen SDM stratejik sering digunakan sebagai kerangka kerja dasar untuk investigasi strategi SDM dan kinerja perusahaan. Menurut Wan dkk (2000), seperti yang telah dibahas sebelumnya, saat ini terdapat tiga perbedaan utama dalam pendekatan teoritis untuk memahami teori SDM stratejik yang terdapat pada literatur manajemen SDM, antara lain pendekatan perspektif universalistic, contingency dan configurational. Ketiga pendekatan tersebut merupakan salah satu perspektif terintegrasi yang banyak digunakan untuk memahami praktek SDM, strategi organisasi dan kinerja perusahaan seperti yang di gunakan sebagai dasar peneltian yang dilakukan pula oleh Erras (2002). Praktek dan sistem SDM di desain berdasarkan permasalahan yang relevan, misalnya di dasarkan pada asumsi efektivitas pendekatan universalistic, contingency, configurational, maupun idiosyncratic. Namun demikian terdapat pula pendekatan obyek, dimana tergantung dari bagian karyawan yang dipilih dalam penerapan praktek SDM tersebut, di dalam istilah SDM sering disebut sebagai generalism (diberlakukan menyeluruh bagi seluruh individu organisasi) dan segmentation (diaplikasikan pada satu bagian atau beberapa bagian kelompok individu organisasi). Desain sistem SDM yang dirancang dan dilaksanakan umumnya dipengaruhi oleh strategi organisasi yang dipilih (pendekatan kontijensi). Dalam model yang dijelaskan pada gambar 2.3. pemahaman akan teori RBV (resource-based view of the firm) di adaptasikan untuk melihat sisi stratejik SDM dalam membangun keunggulan kompetitif maupun korelasi pengaruh strategi organisasi dan praktek SDM yang akan dipilih. Erras (2002) melihat adanya “HR Outcomes” dan “Organizational Performance” di dalam model ini sebagai konsekuensi logis yang saling berkaitan, dimana dari sisi perilaku SDM yang dihasilkan merupakan indikator kinerja organisasi yang menghasilkan indikator-indikator finansial.

Perspektif universalistik adalah bentuk paling sederhana dari model teoritis dalam literatur manajemen SDM strategik. Perspektif universalistik mengupayakan “praktek terbaik” manajemen SDM. Sehingga melalui pendekatan ini para peneliti ini yakin bahwa beberapa praktek manajemen SDM selalu lebih baik daripada praktek lainnya. Selain itu, perusahaan yang menerapkan praktek-praktek ini akan menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik. Dalam kelompok pemikiran ini, ada konsensus yang berkembang tentang praktek manajemen mana yang dianggap sebagai strategik. Tujuan praktek secara konsisten di identifikasi sebagai praktek SDM strategik (Osterman, 1987, Sonnerfeld dan Perperl 1988). Praktek pertama, peluang karir internal, mengacu pada penggunaan pasar internal. Organisasi dapat memilih untuk mempekerjakan karyawan secara dominan dari

Page 41: Document1

dalam atau dari luar. Praktek kedua, sistem pelatihan, mengacu pada jumlah pelatihan formal yang diberikan untuk karyawan. Hal ini dapat dilakukan melalui pemilihan dan sosialisasi. Ketiga, penghargaan dapat didasarkan pada hasil atau perilaku. Penghargaan berdasarkan perilaku terfokus pada perilaku individu yang diperlu kan untuk melaksanakan pekerjaan secara efektif, sedangkan penghargaan berorientasi hasil terfokus hanya pada konsekuensi perilaku tersebut. Keempat, rencana pembagian keuntungan, yang menghubungkan gaji dengan kinerja organisasi. Praktek kelima, berkaitan dengan sejauh manajemen karyawan diberi jaminan keamanan oleh perusahaan serta implikasinya. Keenam , mekanisme opini (voice mechanism), baik sistem keluhan formal dan partisipasi dalam pembuatan keputusan, telah muncul sebagai faktor utama. Ketujuh, sekaligus sebagai elemen terakhir adalah sejauh mana pekerjaan secara ketat atau secara sempit didefinisikan. Pekerjaan yang didefinisikan secara ketat adalah pekerjaan dimana karyawan tahu dengan sangat baik isi pekerjaan itu. Banyak penelitian telah mendukung prediksi universalistik. Leonard (1990) mendapati bahwa organisasi yang memiliki rencana insentif jangka panjang untuk para eksekutifnya memiliki peningkatan yang lebih besar dalam ROE selama periode empat tahun daripada organisasi lainnya. Abowd (1990) membuktikan bahwa sejauh mana kompensasi manajerial dikaitkan dengan kinerja finansial sebuah organisasi secara signifikan dikaitkan dengan kinerja finansial mendatang. Gerhart dan Milkovich (1990) menemukan bahwa pay mix berkaitan dengan kinerja finansial. Terpstra dan Rozell (1993) mengemukakan lima praktek staffing terbaik dan menyimpulkan bahwa penggunaan praktek praktek ini memiliki hubungan positif dengan hasil tingkat organisasi. Secara keseluruhan, tingkat dukungan yang diberikan untuk prediksi universalistik mengindikasikan bahwa perspektif universalistik adalah perspektif teoritis yang valid untuk manajemen SDM strategik.

Penerapan teoritik perspektif universal juga mendapat banyak kritikan dari praktisi dan peneliti. Kritikan-kritikan tersebut antara lain : pertama, organisasi yang tidak menerapkan praktek SDM terbaik ternyata juga menghasilkan return yang lebih besar. Huselid (1995) menunjukkan bahwa organisasi mungkin tidak dapat mempertahankan keunggulan kompetitif melalui penerapan apa yang disebut praktek terbaik karena praktek ini mudah ditiru. Maka, bahkan bila sebuah organisasi menerapkan praktek ‘terbaik’ ini, organisasi itu hanya mungkin meraih keunggulan kompetitif jangka pendek dan menikmati kinerja superior sementara waktu. Kedua, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Delery dan Doty (1996) menunjukkan bahwa ada hubungan yang lebih kompleks antara manajemen strategik SDM dan kinerja organisasi. Beberapa praktek SDM lebih sesuai dalam kondisi strategik tertentu dan kurang sesuai dalam kondisi strategik lainnya. Misalnya, hanya praktek pembagian keuntungan, penghargaan berorientasi hasil, dan keamanan karyawan yang memiliki hubungan universal yang relatif kuat dengan pengukuran kinerja akuntansi.

Teori teori kontingensi mengemukakan bahwa sebuah organisasi perlu menerapkan praktek/kebijakan SDM tertentu untuk bermacam strategi perusahaan. Maka, untuk menjadi efektif, kebijakan SDM dari sebuah perusahaan harus sesuai dengan aspek aspek organisasi lainnya. Strategi sebuah organisasi memerlukan prasyarat perilaku tertentu agar berhasil, dan penggunaan praktek SDM dalam organisasi dapat menghargai atau

Page 42: Document1

mengkontrol perilaku karyawan. Ada banyak cara dimana kebijakan dan praktek SDM dapat digunakan untuk mendapatkan perilaku karyawan yang sesuai dengan strategi organisasi. Karena perilaku merupakan fungsi kemampuan dan motivasi, sebuah organisasi dapat membentuk sistem dan praktek SDM yang memastikan bahwa individu individu dengan kemampuan yang diperlukan dipekerjakan dan dipertahankan. Mereka dapat menggunakan praktek praktek SDM untuk memastikan bahwa karyawan termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan strategi bisnis (Kerr & Jakosfy, 1989; Fama & Jensen, 1983).

Namun, menurut Delery dan (1996), perspektif ini juga mendapatkan kritik. Mereka menemukan hanya tiga praktek SDM (partisipasi, penghargaan berorientasi hasil, dan peluang karir internal) yang sesuai dengan perspektif kontingensi. Lebih banyak penelitian empiris dan teoritis diperlukan untuk mengkaji perspektif ini secara menyeluruh. Perspektif konfigurasional dalam manajemen SDM strategik dikaitkan dengan bagaimana pola aktivitas dan pengelompokan SDM yang terencana dan majemuk mencapai tujuan organisasi. Dengan sistim tersebut, sebuah organisasi harus mengembangkan sebuah sistem SDM yang mencapai kesesuaian horisontal dan vertikal (Becker & Gerhart, 1996). Kesesuaian horisontal mengacu pada konsistensi internal praktek atau kebijakan SDM organisasi, dan kesesuaian vertikal mengacu pada kongruensi sistem SDM dengan karakteristik organisasi lainnya, seperti strategi perusahaan.

Ada tiga prinsip utama yang mengarahkan perspektif konfigurasional ini. Pertama, perspektif ini berasumsi pada prinsip holistik investigasi untuk mengidentifikasi konfigurasi, atau pola unik faktor-faktor, yang diperkirakan secara maksimal akan efektif. Konfigurasi ini menunjukkan pengaruh sinergis nonlinier dan interaksi urutan yang lebih tinggi yang secara tidak normal ditunjukkan oleh teori-teori kontingensi bivarian tradisional (traditional bivariate contingency theories). Kedua, teori konfigurasional menyatukan asumsi ekuifinalitas (equifinality) dengan perkiraan bahwa banyak konfigurasi unik dari faktor faktor yang relevan dapat menghasilkan kinerja maksimal. Ketiga, konfigurasi ini diasumsikan menjadi tipe ideal yang merupakan elemen teoritis bukan fenomena yang secara empiris dapat diamati (Venkatraman & Prescott, 1990; Doty & Glick, 1994; Meyer, Tsui dan Hining, 1993).

Sejumlah penulis telah berupaya untuk mengembangkan tipologi sebelumnya dari sistem SDM yang efektif dan menghubungkan kinerja sistem SDM dengan strategi perusahaan. Miles dan Snow (1984) mengembangkan banyak kombinasi praktek manajemen SDM yang sama efektifnya dan menyatakan bahwa praktek SDM yang berbeda disesuaikan untuk strategi perusahaan yang berbeda pula. Arthur (1992) juga menyatakan bahwa semakin dekat praktek SDM sebuah organisasi mencerminkan sistem kepegawaian prototipe yang tepat (untuk strategi bisnisnya), semakin besar kinerjanya bagi perusahaan. Demikian juga, MacDuffie (1995) telah menurunkan konfigurasi khusus, berupa bundel praktek SDM untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Salah satu keterbatasan utama dari perspektif konfigurasional adalah bahwa meskipun konfigurasi ideal dapat menunjukkan pengaruh sinergis nonlinier dari dimensi yang digunakan untuk membentuk konfigurasi, akan tetapi secara empiris tidak dapat dibuat argumen kuat

Page 43: Document1

bahwa sinergi diantara praktek SDM yang sedang dikaji akan meningkatkan kinerja organisasi (Delery & Doty 1996). Kedua, meskipun sebagian besar ahli teori konfigurasi mengemukakan bahwa multiple konfigurasi efektif sesuai parameter yang relevan, namun penelitian yang dilakukan oleh Delery dan Doty (1996) hanya mengidentifikasi konfigurasi SDM tunggal yang menghasilkan kinerja yang lebih baik.Dengan kata lain, perspektif konfigurasi masih merupakan kerangka kerja yang sangat spekulatif tanpa banyak dukungan empiris. Maka pengembangan teori tambahan dan pengujian diperlukan untuk validasi efektivitas perspektif ini, Gambar 2.4 menjelaskan keterkaitan strategi bisnis dan perilaku SDM.

Gambar 2.4. Strategi Bisnis dan Perilaku SDM

Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini

2.2.4 Kerangka Analisis Hubungan MSDM dan Kinerja

Konsep manajemen sumber daya manusia (MSDM) memiliki sejarah panjang dan kompleks yang berkaitan dengan praktek-praktek ketenagakerjaan. Dalam era 1980-an ketertarikan yang luar biasa para akademisi semakin bertambah dengan kemunculan istilah dan model –model pengembangan MSDM (Purcell & Ahlstrand 1994). Model awal MSDM seperti yang dimunculkan oleh Beer dkk (1984), Fombrun dkk (1984), Guest (1989) masih merupakan gambaran konsep-konsep yang luas dan masih belum berdasarkan bukti-bukti empiris yang mendukung validitas model-model tersebut. Perluasan dari kosep MSDM menuju konsep MSDM Stratejik bahkan telah menjadi bidang khusus MSDM (Boxall 1992, Delery & Doty 1996, Huang 2000), sementara bagi pakar lainnya, MSDM Stratejik sudah menjadi disiplin ilmu manajemen baru (Wright & McMahan 1992). Topik-topik yang berkaitan dengan MSDM Stratejik umumnya berkaitan antara strategi organisasi dan MSDM, maupun hubungan MSDM dengan kinerja organisasi (Khatri 2000). Penelitian-penelitian empiris pada tahun 1990 dalam bidang MSDM sudah banyak yang meneliti topik-topik MSDM stratejik tersebut. Penelitian seperti yang dilakukan oleh Becker & Gerhart (1996) hingga Bae & Lawler (2000) merupakan salah satu dari sekian penelitian yang mengambil topik seperti yang ditegaskan oleh Khatri.

enurut Paauwee & Richardson (2001), fokus penelitian empirik yang menguji hubungan MSDM dan kinerja saat ini sudah berada pada tahap puncaknya. Sebagian besar dari penelitian yang dilakukan pada dasawarsa 1990-an mampu membuktikan secara statistik hubungan yang sangat kompleks antara MSDM dan kinerja organisasi (Misalnya : Arthur 1994, Huselid 1995, Ichniowski dkk., 1997). Meskipun penemuan-penemuan tersebut sangat “merangsang” bagi para peneliti untuk melakukan studi lebih lanjut seputar topik

Page 44: Document1

MSDM dan kinerja organisasi, akan tetapi masih menyisakan “kurangnya”–nya penelitian yang menekankan pada proses – proses yang terlibat di dalam keterkaitan hubungan sebab akibat – atau hipotesis hubungan MSDM terhdap kinerja orgaisasi, misalnya melalui kinerja karyawaan (employee outcomes) berupa sikap perilaku (attitudes) dan komitmen yang ada. Sebagian besar di dalam riset yang dilakukan sebelumnya masih berupa pendekatan perilaku yang cenderung sebagai asumsi daripada diuji secara empirik (Purcell 1999). Sebagai konsekuensinya, penelitian-penelitian selanjutnya direkomendasikan untuk melakukan studi lebih lanjut yang berfokus pada “proses yang terlibat”, proses dimana MSDM dapat berkontribusi secara langsung bagi kinerja organisasi (Becker & Gerhart 1996, Becker dkk 1997, Purcell 1999, Erras 2002). Proses-proses yang terlibat dalam hubungan antara MSDM dan kinerja organisasi tersebut masih sangat banyak. Proses-proses tersebut oleh sebagian besar peneliti MSDM disebut sebagai “black box” yang harus diungkap dan dikuak secara empiris, termasuk didalamnya keselarasan dengan budaya organisasi yang berorientasi pada kinerja TQM, yang saat ini banyak diaplikasikan organisasi perusahaan. Meskipun terdapat kemajuan dalam riset-riset terbaru yang ada, baik dalam desain penelitian (research design), metodologi dan pengujian kausalitas secara langsung, akan tetapi hal tersebut masih menyisakan kesenjangan penelitian (research gaps) yang dapat diuji secara empirik menyangkut “proses” yang mendukung hubungan positip MSDM dan kinerja organisasional.

Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah sebuah konsep disiplin ilmu yang memiliki akar tersendiri. Banyak akademisi yang tertarik pada konsep tersebut, yaitu apakah MSDM berbeda secara substansi dengan ’manajemen personalia’ ataukah hanya berbeda secara istilah, hal tersebut telah menjadi perdebatan dalam banyak literatur MSDM. Sehingga tidak mengherankan bila MSDM dijelaskan dengan bermacam-macam definisi, dan untuk menghindari perbedaan pemahaman, maka di dalam riset ini akan menggunakan definisi yang dikembangkan oleh Storey (1995) yang menjelaskan “HRM is a distinctive approach to employment management which seeks to achieve competitive advantage through the strategic deployment of a highly committed and capable workforce, using an integrated array cultural, structural and personnel techniques.”

Definisi dari Storey diatas memiliki keunggulan, yaitu : pertama, karakterisasi MSDM sebagai sebuah pendekatan khusus dalam mengelola orang, kedua, hasil yang dicapai berupa tenaga kerja yang memiliki komitmen dan kompeten, ketiga, adanya pengaruh positif sebagai keunggulan kompetitif organisasi ataupun pengaruh pada kinerja organisasi. Tiga muatan definisi yang disampaikan oleh Storey akan dijadikan karakterisasi pembahasan konseptual dan pengujian empiris MSDM. Definisi tersebut akan senantiasa muncul melalui pengulangan-pengulangan pada penjelasan model dan dan bangunan teori yang dikembangkan dalam riset ini.

Saat ini, telaah literatur penelitian SDM umumnya terbagi di dalam 2 (dua) area utama, yaitu :

1. Pengembangan alat ukur praktek MSDM yang efektif.

Page 45: Document1

2. Penerapan pengukuran kinerja organisasi terkait dengan praktek MSDM yang efektif.

Becker & Gerhart (1996) menemukan bahwa dari telaah 5 literatur penelitian yang mereka lakukan hanya menemukan praktek “problem-solving groups” dan “self-directed team” yang digunakan sebagai indikator praktek MSDM pada 4 riset yang dilakukan sebelumnya. Begitupula yang dilakukan oleh Dyer & Reeves (1995) yang mencatat dari 4 riset yang mereka review, hanya satu praktek MSDM yang menjadi indikator bersama, sementara 22 dari total 28 indikator praktek MSDM hanya muncul sekali dalam masing-masing riset-nya. Terlihat ada berbagai macam opini yang berkaitan dengan praktek MSDM, akan tetapi dalam riset yang dilakukan para peneliti cenderung dibatasi pada praktek-praktek tertentu. Misalnya Kalleberg & Moody (1994) menggunakan praktek MSDM berupa rekruitmen, Patterson dkk (2000) menguji efek interaksi sistem manufaktur terpadu (integrated manufacturing) dengan program “pemberdayaan” karyawan yang meliputi praktek seleksi karyawan, pembentukan teamwork, praktek penilaian kinerja – namun tidak memunculkan indikator praktek komunikasi maupun sistem kompensasi. Namun demikian terdapat peneliti lainnya seperti Huselid (1995), Ramsay dkk (2000) ataupun Khatri (2000) memberikan gambaran praktek MSDM secara lebih detail yang memberikan gambaran 24 praktek MSDM di dalam perusahaan.

Terkait dengan ruang lingkup penelitian ini untuk menggali domain praktek MSDM yang memberikan kontribusi bagi kinerja organisasional, maka telaah literatur penelitian terdahulu diperlukan untuk mengembangkan konsep praktek MSDM yang dapat diakui sebagai praktek signifikan yang secara umum telah berhasil diaplikasikan oleh sebagai besar perusahaan modern dan maju. Dari kajian literatur yang dilakukan, meskipun terdapat inkonsistensi terhadap konsep pendekatan studi yang dilakukan oleh para peneliti, akan tetapi terdapat kesepakatan dalam beberapa praktek MSDM yang ada di dalam perusahaan. Praktek MSDM tersebut misalnya : kerja tim, self-managed & self-directed teams, fleksibilitas dalam job design, program seleksi & rekruitmen, program pelatihan formal, problem-solving teams, program formal peningkatan partisipasi & keterlibatan karyawan, otonomi dalam pengambilan keputusan, penilaian kinerja secara formal (formal performance appraisals), kesempatan promosi internal, sistem insentif yang terkait dengan kinerja, upah yang lebih baik, sistem profit sharing & share options, komunikasi formal secara berkala antara manajemen & karyawan hingga survei perilaku karyawan dan jaminan keamanan dalam bekerja merupakan bukti empiris yang banyak digunakan. Dengan demikian dapat disimpulkan meski terdapat ketidaksepakatan praktek MSDM yang ada tetapi terdapat persamaan dalam banyak studi seperti halnya arah riset & prinsip-prinsip praktek MSDM lainnya yang dapat dijadikan sebagai rujukan pengembangan domain praktek MSDM di dalam penelitian ini. Penggalian domain dan praktek MSDM menjadi sangat signifikan, mengingat di daalam penelitian in bertujuan untuk mengembangkan model konseptual yang dapat digunakan sebagai referensi organisasi di dalam mengembangkan dan melaksanakan strategi bisnisnya. Praktek MSDM mencakup banyak aspek dari hal yang bersifat peran administratif, legal compliance hingga peran stratejik dalam manajemen perubahan, penciptaan nilai, TQM dan keunggulan kompetitif. Terdapat keterkaitan yang erat antara peran SDM terhadap penciptaan budaya, misalnya melalui penciptaan desain organisasi, pengembangan SDM

Page 46: Document1

yang kompeten, fleksibel dan inovatif bagi perusahaan maupun peran sentral dalam inisiatif implementasi improvement tools di dalam perusahaan.

Beer dkk (1984) telah mencoba mengembangkan model praktek SDM di dalam sebuah kerangka kerja yang mendeskripsikan peta MSDM yang dikaitkan dengan kinerja organisasi, Gambar 2.5. Model ini sering disebut sebagai ‘Harvard framework’ dan dijadikan rujukan dasar setiap pengembangan model konseptual penelitian MSDM. Meskipun demikian kritik atas model ini muncul karena ketidak jelasan antara praktek SDM dan kinerja organisasi yang mampu menghasilkan model yang dapat di uji secara langsung (testable) model. Guest (1987; 1997) menyempurnakan framework yang dikembangkan oleh Beer dkk (1984) dengan sebuah hubungan yang lebih jelas untuk pengujian setiap model penelitian praktek MSDM dan kinerja organisasi. Berikutnya setiap pengembangan model dalam penelitian SDM senantiasa menggunakan krangka Beer dan atau dari Guest. Guest (1987; 1997) merangkum sebuah model yang mudah dipahami terkait dengan variabel-variabel empririk yang mudah diuji dalam sebuah penelitian dan banyak peneliti yang mempergunakannya.

Gambar 2.5 Model Praktek MSDM Beer dkk (1984)

Sumber : Beer dkk (1984)

Namun demikian kritik senantiasa bekembang seiring dengan pesatnya penelitian dibidang SDM, yaitu perlunya kejelasan orientasi strategi pada tataran organisasi sebelum mendefinisikan model strategi SDM yang akan dikembangkan, Boxall (1992). Masih banyak aspek stratejik yang belum tersentuh pada banyak model penelitian yang sudah dikembangkan. Misalnya saja keterkaitan praktek MSDM, budaya perusahaan dan kinerja organisasi yang berfokus pada standar kinerja organisasi yang semakin banyak digunakan organisasi perusahaan saat ini, yaitu kriteria Baldrige. Tabel 2.1 menunjukan keterkaitan strategi MSDM, praktek MSDM dan kinerja organisasi.

Tabel 2.1 Keterkaitan MSDM dan Kinerja

Page 47: Document1

HRM Strategy HRM Practices

HRM Outcomes

Behaviour Outcomes

Performances Outcomes

Financial Outcomes

Differentiation

(Innovation)

Focus

(Quality)

Cost

(Cost Reduction)

Selection

Training

Appraisal

Rewards

Job Design

Involvement

Status and Security

Commitment

Quality

Flexibility

Effort/Motivation

Cooperation

Involvement

Organizational Citizenship

HIGH:

· Productivity

· Quality

· Innovation

LOW:

· Absence

· Turnover

· Conflict

· Customer complaint

PROFITS

ROI

Sumber : Guest (1987; 1997)

Praktek-praktek SDM dikatakan merupakan seperangkat terpadu (bundles), jika praktek tersebut muncul dalam jumlah yang cukup lengkap, secara mutual saling menekankan atau sinergis (Dyer & Holder, 1988). Dua faktor penting ditekankan, yaitu kesesuaian internal dan kesesuaian eksternal. Kesesuaian internal memerlukan koordinasi atau kongurensi diantara bermacam praktek manajemen SDM dalam sebuah organisasi (Schuler & Jackson, 1987; Wright & McMahan, 1992; Wright & Snell, 1991). Kesesuaian eksternal berarti bahwa praktek manajemen SDM dikaitkan dengan tujuan organisasi atau strategi bisnis (Lengnick-Hall & Lengnick-Hall, 1988; Wright & Mchahan, 1992). Berdasarkan konsep-konsep dasar yang telah dibahas sebelumnya serta penelitian-penelitian yang lain, diajukan Proposisi Satu berikut ini :

Proposisi Satu

Strategi Binis, Strategi SDM dan praktek MSDM

(1) Praktek manajemen sumberd daya manusia perusahaan sangat dipengaruhi oleh strategi manajemen sumberdaya manusia yang dipilih. Selanjutnya setiap strategi bisnis yang diambil sangat berpengaruh pada pilihan-pilihan strategi SDM yang akan diterapkan. Dengan demikian strategi MSDM dan praktek MSDM yang dijalankan harus konsisten dengan strategi bisnis yang diaplikasikan. Ketidak-sesuaian antara strategi binis,

Page 48: Document1

strategi MSDM dan praktek MSDM akan dapat berakibat pada kurang efektifnya roda organisasi.

Proposisi Satu ini disajikan secara piktografis disajikan dalam Gambar 2.6 berikut ini.

Gambar 2.6 Proposisi Satu

Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini

Untuk melengkapi telaah teoritis dan memperjelas praktel-praktek MSDM, pada sub-bab berikutnya akan dijelaskan domain MSDM dalam sisi praktis dan keterkaitannya di dalam implementasi TQM (Total Quality Management).

2.3 Domain MSDM

Para peneliti telah menekankan adanya pengaruh signifikan MSDM bagi kinerja organisasi, MSDM memiliki peran utama dalam pencapaian sasaran, memenangkan kompetisi dan mendukung kesuksesan jangka panjang dalam lingkungan bisnis yang sukar di prediksi. Lebih lanjut sejumlah peneliti bahkan telah berupaya untuk mengukur pengaruh praktek MSDM terhadap kinerja perusahaan, baik dari sisi kepuasan karyawan hingga ‘market value’ perusahaan (Beckel & Huselid, 1998; Kalleberg & Moody, 1994). Namun demikian ternyata banyak peneliti dan praktisi kurang sepakat seputar aspek-aspek dalam praktek MSDM yang harus diukur. Beberapa peneliti SDM merekomendasikan beberapa domain praktek MSDM yang dapat berpengaruh bagi kinerja organisasi (Ulrich 1997; Ulrich & Lake 1990; Watson Wyatt, 2001).

Ulrich dan Lake (1990) menyebutkan 6 domain praktek MSDM yang efektif, yaitu: penempatan tenaga kerja (staffing), pelatihan dan pengembangan (training & development), penilaian kinerja (performance appraisal), sistem imbalan kinerja (employee performance rewards), desain organisasi (organization design) dan komunikasi (internal communication). Menurut mereka staffing merupakan domain yang penting bila dibandingkan praktek manajemen lainnya mengingat kualitas SDM organisasi memiliki peran yang sangat signifikan pada kesuksesan jangka panjang organisasi. Pelatihan dan pengembangan karyawan memiliki peran penting ketika sebuah organisasi memutuskan untuk membangun kompetensi SDM organisasi. Upaya untuk meningkatkan sikap dan perilaku pekerja secara konsisten dengan kompetensi yang

Page 49: Document1

dikembangkan dilakukan melalui serangkaian aktivitas, mulai dari penilaian kinerja hingga pelaksanaan sistem imbalan (Ulrich & Lake, 1990). Ulrich dan Lake (1990) menyatakan bahwa desain organisasi dan komunikasi dibutuhkan dalam praktek MSDM untuk memastikan kompetensi organisasi tumbuh dan terpelihara selaras dengan praktek MSDM yang telah diaplikasikan, misalnya staffing, pelatihan dan pengembangan, penilaian kinerja dan praktek sistem imbalan.

Menurut Ulrich dan Lake (1990) untuk menganalisis praktek MSDM secara lebih rinci, sebuah organisasi perusahaan harus memulainya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan domain praktek MSDM yang ada, seperti dalam Tabel 2.2 dibawah.

Tabel 2.2. Pertanyaan Domain Praktek MSDM

No Domain Pertanyaan-Pertanyaan

1 Penempatan (Staffing)· Siapa yang direkruit ke dalam organisasi ?

· Siapa yang dipromosikan di dalam organisasi ?

· Siapa yang di “keluarkan” dari organisasi ?

2 Pelatihan dan Pengembangan (Training & Development)

· Bagaimanakah pelatihan mampu meningkatkan kompetensi karyawan ?

· Bagaimanakah kegiatan-kegiatan pengembangan lainnya dapat meningkatkan kompetensi karyawan ?

3 Penilaian Kinerja (Performance Appraisal)

· Apa standar kinerja individu, kelompok dan departemen di dalam organisasi ?

· Bagaimanakah mekanisme umpan balik bagi karyawan terkait “seberapa jauh” kinerjanya memenuhi target yang telah ditetapkan ?

4Sistem Imbalan

(Reward Sistem)

· Apa kriteria yang digunakan untuk memilih sistem imbalan yang digunakan ?

· Apa saja bentuk imbalan finansial/non finansial yang diaplikasikan untuk meningkatkan perilaku positip karyawan ?

5 Desain Organisasi (Organizational Design)

· Apa bentuk organisasi yang dipilih, berapa level (layer), bagaimana peran dan tanggung jawab, akuntabilitas karyawan ?

· Bagaimana sistem tata kelola ditetapkan di dalam organisasi untuk mengalokasikan tanggung jawab

Page 50: Document1

dan menjamin akuntabilitas ?

· Apa proses yang dilakukan untuk melakukan penilaian ulang desain organisasi secara berkala ?

6 Komunikasi (Internal Communicstion)

· Apa saja informasi yang disampaikan kepada karyawan ?

· Siapa saja yang terlibat dalam penyampaian informasi dan penerima informasi ?

· Bagaimanakah informasi dapat disampaikan secara efektif ?

Sumber: diadaptasikan dari Ulrich dan Lake (1990)

Watson Wyat (2001) mengembangkan indek SDM (human capital index) untuk meneliti hubungan antara SDM dan kinerja finansial perusahaan. Indeks SDM yang dikembangkan oleh Watson Wyat meliputi 6 praktek MSDM: sistem imbalan dan akuntabilitas, fleksibilitas kerja, rekruitmen, komunikasi, teknologi yang terkait MSDM dan penggunaan sumber daya secara efektif dan bijaksana (prudent). Sistem imbalan dan akuntabilitas merujukan pada keselarasan compensation & benefit dan sistem reward berbasis kinerja. Fleksibilitas di tempat kerja meliputi kepemimpinan manajemen, kepuasan kerja dan kerja tim. Rekruitmen terkait dengan praktek-praktek penerimaan pekerja, strategi penerimaan pekerja dan orientasi karyawan. Komunikasi menekankan pada saluran komunikasi dan sistem yang ada. Sedangkan teknologi yang terkait MSDM memiliki sasaran pada peningkatan akurasi, layanan dan efektivitas biaya operasional SDM. Efektifitas penggunaan sumber daya termasuk di dalamnya praktek manajemen kinerja, penilaian karyawan menggunakan sistem 360-feedback dan evaluasi karyawan. Menurut Watson Wyat, kelima praktek MSDM tersebut, terkecuali prudent, memiliki pengaruh positip terhadap nilai pasar organisasi (organizational market value). Prudent memiliki hubungan negatif terhadap nilai pasar.

Sebuah studi “best practices” yang dilakukan oleh Cornell University (1999) menyebutkan ada 6 (enam) praktek terbaik MSDM, yaitu : pengukuran dan peningkatan kepuasan dan loyalitas karyawan, desain sistem seleksi dan retension, peningkatan pelatihan dan pengembangan karyawan, desain sistem remunerasi dan imbalan, desain strategi penilaian karyawan dan standar kinerja, serta praktek manajemen keberagaman (diversity management).

Berdasarkan telaah literatur, ukuran-ukuran praktek MSDM dalam penelitian ini akan digolongkan menjadi 6 (enam) domain, yaitu: (1). Penempatan SDM (Staffing), (2). Pelatihan dan Pengembangan (Training & Development), (3). Penilaian Kinerja (Performance Appraisal), (4). Sistem Imbalan Kinerja (Performance Rewards), (5). Hubungan Karyawan (Employee Relations) dan (6). Sistem Komunikasi Internal (Internal Communication). Keenam domain tersebut selaras dengan kebutuhan dan peran

Page 51: Document1

MSDM di dalam membantu pencapaian bisnis perusahaan, juga memiliki kontribusi nyata dalam pengembangan ”soft factors” di dalam implementasi TQM perusahaan (Wilkinson dkk, 1996). MSDM sangat berperan dalam perubahan budaya organisasi menuju budaya TQM melalui praktek-praktek penempatan tenaga kerja, rekruitmen, appraisal, pengembangan sistem imbalan, pelatihan dan orientasi pekerja (Clinton dkk, 2001).

2.3.1. Penempatan Tenaga Kerja (Staffing)

Penempatan tenaga kerja termasuk di dalamnya aktivitas perencanaan (planning & forecasting), rekruitmen, dan seleksi karyawan. Rekruitmen SDM yang tepat merupakan fungsi MSDM yang paling penting (Crowley, 1999; Johnson, 2000). Jika perusahaan merekruit seseorang yang tepat pada saat pertama (first time right), maka perusahaan dapat memperkecil biaya, waktu dan upaya pengembangan-nya. SDM yang berkualitas bukan sekedar memenuhi kebutuhan ketika direkruit, tetapi dia harus mampu meningkatkan kapabilitas dirinya secara terus menerus seiring dengan kebutuhan dan tantangan perusahaan. Memilihi SDM yang tepat sesuai kebutuhan perusahaan akan berdampak pada penurunan keluar masuknya tenaga kerja (labor turn over) yang pada gilirannya akan meningkatkan retensi karyawan yang berkualitas. Lebih lanjut dapat ditegaskan bahwa praktek-praktek penempatan tenaga kerja akan mampu meningkatkan kinerja finansial, hasil ini secara otomatis akan meningkatkan kinerja orgnisasi secara keseluruhan (Tepstra dan Rozell, 1993). Sebagai contoh, Southwest Airlines, perusahaan penerbangan ini meyakini bahwa penerimaan SDM yang berkualitas adalah kunci sukses perusahaannya (Czaplewski, Ferguson, & Milliman, 2001), pertanyaannya adalah seberapa jauh perusahaan dapat mencari dan mengidentifikasi kandidat pelamar benar-benar tepat dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Suksesnya penempatan tenaga kerja dimulai dengan perencanaan tenaga kerja yang akurat. Perencanaan tenaga kerja mempertimbangkan kebutuhan mendatang terkait penawaran dan pemintaan (supply & demand). Perencanaan tenaga kerja juga meruapakan kunci utama pengambilan keputusan untuk menentukan standar SDM (core talents) yang akan direkruit. Standar SDM inilah yang menjadikan Southwest Airlines menetapkan minimal potensial yang harus dimiliki seoarang calon karyawan yang akan memberikan kontribusi bagi kesuksesan organisasi (Czaplewski, Ferguson, & Milliman, 2001).

Penempatan tenaga kerja untuk mengisi posisi kosong di dalam struktur organisasi dapat dilakukan melalui sumber internal maupun eksternal. Rekruitmen internal memiliki keuntungan berupa efisiensi biaya dan meningkatkan motivasi serta moral karyawan berupa apresiasi atas hasil kerja, hal ini dilakukan baik secara mutasi (horisontal) maupun promosi (vertikal). Teori Hygiene (Herzberg, 1966) menjelaskan bahwa internal rekruitment merupakan penghargaan atas kinerja yang baik dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan karyawan untuk kemajuan dan perkembangannya. Herzberg (1966) menyebutkan bahwa pemenuhan kebutuhan ini merupakan penghargaan bagi karyawan sehingga dapat menghasilkan kepuasan kerja, hal ini selaras dengan pernyataan “pekerja yang bahagia akan berkinerja lebih baik dibandingkan pekerja yang kurang bahagia” (Brayfield & Crockett, 1955; Iaffaldano & Muchinsky, 1985; Judge, Bono, Thoresen, & Patton, 2001). Namun demikian, rekruitmen internal memiliki beberapa kelemahan

Page 52: Document1

(Gomez-Mejia, Balkin, & Cardy, 2001), diantaranya menghasilkan organisasi yang lebih “tertutup” dan kecenderungan kandidat internal yang umumnya memiliki perspektif bisnis dan kemampuan manajemen yang terbatas. Rekruitmen internal juga berimplikasi pada investasi pelatihan dan pengembangan yang lebih intensif selain itu dapat berdampak pada problema politis diantara pekerja (political infighting). Menurut Saratoga Institute Report (2001), disebutkan bahwa kandidat sumber internal berimplikasi pada ekstra biaya yang lebih besar yang dapat berimplikasi pada penurunan profit.

Alternatif selain rekruitmen internal adalah melakukan rekruitmen kandidat yang memiliki potensi dari eksternal. Rekruitmen eksternal memiliki beberapa keunggulan dibandingkan rekruitmen internal (Gomez Meijia dkk, 2001). Kandidat dari eksternal lebih sering membawa ide-ide baru dan keunikan tersendiri (talent), memberikan “darah segar”, dan membantu pemenuhan praktek kesetaraan di tempat kerja (equal employment opportunity). Hal yang patut dipertimbangkan adalah rekruitmen secara eksternal akan dapat menyebabkan permasalahan bagi kandidat internal bilamana akhirnya yang terpilih justru kandidat eksternal, situasi ini mengakibatkan kekecewaan bagi kandidat internal dan akan menyalahkan manajemen bila terbukti kegagalan dalam pengisian posisi.

Pada saat perusahaan melakukan identifikasi jenis SDM yang dibutuhkan dan melakukan seleksi kandidat yang memiliki prospek, maka diperlukan metoda untuk memilih seorang kandidat lebih cocok dibandingkan kandidat pelamar lainnya. Gomez-Meija dkk (2001), merekomendasikan 11 (sebelas) alat yang dapat digunakan sebagai prediktor kinerja seorang kandidat, yaitu : surat rekomendasi, formulir aplikasi, tes keterampilan teknis (ability), tes personality, tes psikologi, wawancara, assessment center, tes kecanduan narkoba (drug test), tes kejujuran (honesty test), cek referensi, dan tes tulisan tangan (graphology). Secara umum, sebagian besar yang digunakan oleh perusahaan untuk melakukan screening adalah wawancara, cek data pribadi, cek referensi dan rekomendasi, Yancey (2000). Interview terstruktur mampu memberikan prediksi kinerja yang lebih valid dan paling banyak digunakan di berbagai organisasi perusahaan (Moscoso, 2000; Salgado, 1999). Namun demikian dalam tes awal biasanya dilakukan tes keterampilan, tes personality, dan tes psikologi karena dinilai memiliki prediksi kinerja yang cukup baik. Tes psikologi adalah teknik pengukuran potensi kandidat, kesesuaian antara potensi kandidat dan pekerjaan yang akan di-isi (Venne, 1987). Setelah perang dunia kedua, pemakaian alat tes psikologi di berbagai industri dan organisasi menjadi penting dalam rekruitmen di Amerika hingga tahun 1960-an (Berger & Ghei, 1995). Pemakaian alat tes ini kemudian berkurang setelah dikeluarkannya Civil Rights Act 1964, pada Bab VII yang membahas kesetaraan kerja (EEO). Penurunan penggunaan alat tes psikologi mengingat munculya praktek diskriminasi dan pemakaian alat tes yang tidak digunakan secara tepat pada waktu itu. Akan tetapi saat ini perkembangan penggunaan alat tes ini sudah sedemikian pesat, McHenry (1997) dalam penelitiannya menemukan pemakaian alat tes psikologi tumbuh hingga 65% dari tahun 1980 hingga 1990. Sedangkan menurut SHRM (Society for HRM), sekitar 22% perusahaan di Amerika mempergunakan tes psikologi untuk menyeleksi kandidat posisi managerial (Ciarmello, 1998). Sedangkan Shaffer & Schmidt (1999) mengindikasikan 40% dari Top 100 Companies mengaplikasikan tes psikologi untuk seleksi karyawan.

Page 53: Document1

Dalam studi yang dilakukan Cho & Woods’ (2000), menunjukan bahwa tes psikologi sangat efektif sebagai alat seleksi untuk menentukan kandidat yang tepat bagi organisasi. Tentunya apa yang ditemukan oleh Cho & Woods’ bukannya tanpa alasan, Terpstra dan Rozell (1993) meneliti hubungan praktek penempatan tenaga kerja terhadap laba tahunan, pertumbahan laba, pertumbuhan penjualan dan kinerja organisasi keseluruhan. Hasilnya menujukan hubungan yang sangat signifikan praktek penempatan tenaga kerja terhadap kinerja organisasi. Implementasi TQM membutuhan penempatan personalia yang kompeten baik secara individu maupun tim, oleh karena itu sebelum inisiatif-inisiatif di dalam TQM dilaksanakan – peran MSDM menjadi penting di dalam memetakan potensi pekerja sesuai dengan kebutuhan tim TQM. Kesalahan dalam penempatan personalia akan dapat mengakibatkan kegagalan implementasi TQM yang pada gilirannya akan dapat menyebabkan kegagalan organisasi.

2.3.2. Pelatihan dan Pengembangan (Training and Development)

Swanson (1995) mendefinisikan pelatihan dan pengembangan sebagai “sebuah proses yang secara sistematis mengembangkan keahlian individual yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja”. Organisasi perusahaan secara stratejik mengimplementasikan program pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan pekerja sesuai kebutuhan saat ini ataupun mempersiapkan SDM perusahaan untuk menghadapi tuntutan kerja mendatang. Pelatihan dan pengembangan dimulai dengan identifikasi kebutuhan training dan evaluasi atas hasil pelatihan yang telah dilakukan.

Analisis kebutuhan pelatihan adalah “proses menentukan kebutuhan pelatihan organisasi yang bertujuan untuk menjawab apakah kebutuhan organisasi, tujuan organisasi, dan masalah organisasi dapat diselesaikan melalui pelatihan” (Arthur & Bennett, 2003). Dengan demikian pengukuran kebutuhan pelatihan (needs assessment) adalah sebuah proses identifikasi “kesenjangan (gap) antara kinerja optimal dan kinerja aktual” (Breiter & Woods, 1997).

Pengukuran kebutuhan training merupakan langkah awal yang sangat penting bagi pelaksanaan pelatihan (Breiter & Woods, 1997) dan dapat mempengaruhi secara signifikan suksesnya sebuah pelatihan dan pengembangan (Goldstein & Ford, 2002; Sleerzer, 1993; Zemke, 1994). Disamping hal tersebut, pada kenyataannya masih sedikit perusahaan yang mengukur kebutuhan pelatihan untuk desain dan pengembangan program pelatihan (Breiter & Woods, 1997). Masih sedikit penelitian yang menguji hubungan pengukuran kebutuhan training (needs assessment) terhadap hasil-hasil pelatihan yang dijalankan.

Apabila profil pekerjaan dan SDM yang akan di training teridentifikasi, selanjutnya program pelatihan dikembangkan dan dilaksanakan. Berikutnya setelah program pelatihan dan pengembangan selesai dilakukan maka efektivitas-nya harus di ukur. Merujuk pada sebuah studi, perusahaan di industri jasa membelanjakan biaya pelatihan rata-rata USD 837 per karyawan pertahun pada tahun 2002 (“Training expenses”, 2002). Berdasarkan perkiraan ini, belanja pelatihan untuk 100 karyawan diperkirakan

Page 54: Document1

USD 83,700 per tahun. Biaya investasi pelatihan ini belum termasuk hilangnya jam kerja dan produktivitas. Oleh karena itu sangat dibutuhkan praktek manajemen untuk menghitung tingkat pengembalian pelatihan dan pengembangan (ROI on Training) bagi organisasi untuk meningkatkan profitnya.

Kirkpatrick (1956) merekomendasikan 4 (empat) level dalam mengukur efektivitas pelatihan. Empat level tersebut adalah mengukur reaksinya (reaction), pembelajaran (learning), perilaku (behavior) dan hasil (result). Pada pengukuran efektivitas pelatihan level reaksi, yang dikur adalah persepsi peserta pelatihan terkait “like & dislike” dari program pelatihan pelatihan yang di-ikuti. Pada tahap ini akan diperoleh informasi sebatas program pelatihan yang dilakukan, sedangkan ROI belum dapat di-ukur, atau dengan kata lain mengukur reaksi peserta pelatihan tidak mengungkapkan seberapa besar efektivitas pelatihan berkontribusi pada peningkatan nilai organisasi (organization’s value). Menurut Arthur dan Bennett (2003), evaluasi pelatihan pada level reaksi tidak menunjukan hubungan antara pelatihan dan efektivitasnya, namun pada kenyataannya paling banyak digunakan sebagai metoda evaluasi pelatihan. Pada penelitian yang lain (Van Buren & Erskine, 2002 dalam Arthur & Benett, 2003) – sebuah riset meta analysis yang dilakukan Van Buren & Erskine (2002) terkait desain dan evaluasi pelatihan di perusahaan-perusahaan di Amerika Utara diperoleh data sesuai Tabel 2.3. dibawah.

Tabel 2.3 Evaluasi Pelatihan Model Kirkpatrick

No Tahap Evaluasi Jumlah Perusahaan (%)

1. Reaksi (Reaction) 78

2. Pembelajaran (Learning) 32

3. Perilaku (Behavioral) 9

4. Hasil (Result) 7

Sumber : Van Buren & Erskine, 2002 dalam Arthur & Benett, 2003

Pengukuran efektivitas pelatihan level kedua adalah menilai hasil-hasil pembelajaran dari pelatihan yang dilakukan. Pada tahap ini di-ukur seberapa besar peningkatan pengetahuan, keterampilan sebelum dan sesudah pelatihan. Metoda ini dilakukan secara sederhana dengan melakukan pre-test dan post-test. Hasil-hasil pembelajaran yang diperoleh sangat dibutuhkan tetapi tidak menjamin “aplikasi pengetahuan yang diperoleh” (Tannenbaum & Yukl, 1992).

Level ketiga evaluasi pelatihan model Kirkpatrick adalah mengukur perilaku, melihat efeknya terhadap kinerja (Arthur & Benett, 2003). Pengukuran perilaku dilakukan dengan cara mengevaluasi perubahan perilaku kerja terkait dengan sebelum dan sesudah

Page 55: Document1

pelatihan. Meskipun pembelajaran dan perubahan perilaku belum secara langsung memberikan efek finansial, akan tetapi peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku akan di-ikuti kinerja individu dan organisasi. Garavan (1997) menemukan peningkatan yang sangat signifikan dalam kualitas layanan pelanggan setelah pelatihan dilakukan pada sebuah perusahaan jasa.

Level keempat efektivitas pelatihan model Kirkpatrick adalah mengukur seberapa jauh pelatihan dan pengembangan berpengaruh bagi pencapaian sasaran organisasi. Pengukuran level 1-2-3 lebih berfokus pada skala individual sedangkan level ke-empat lebih menekankan pada level organisasional, misalnya ROTI (Return on Training Investment). Pada level ini, biaya dan keuntungan yang dihasilkan dari pelatihan dan pengembangan di-bandingkan, ROTI yang positip bila keuntungan (benefit) lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan.

Teori self-efficacy sudah sering digunakan untuk menjelaskan hubungan positif antara pelatihan dan pengembangan terhadap kesuksesan organisasi. Self efficacy merujuk pada “keyakinan pada kapabilitas seseorang dalam menjalankan tugas khusus” (Bandura, 1986; dan Saks, 1996). Para pakar teori pembelajaran sosial (Bandura, 1982, 1989; Zimmerman, Bandura, & Martinez-Pons, 1992) menyatakan bahwa kepercayaan yang ada dalam diri manusia mempengaruhi perilaku, aktivitas, usaha, pembelajaran dan kinerjanya (Omrod, 1999). Di dalam teori self-efficacy menjelaskan seseorang yang memiliki self-efficacy yang tinggi senaniasa menetapkan target yang realistis, sukar dicapai namun dia tetap mencoba untuk meraihnya. Sebaliknya seseorang dengan self-efficacy yang rendah cenderung enggan dalam mendorong dirinya untuk pencapaian hasil yang maksimal. Penelitian menunjukan bahwa pelatihan dapat meningkatkan self-efficacy karyawan yang pada akhirnya akan bermuara pada kinerja (Gist, Stevens, & Bavetta, 1991; Martocchio, 1994). Tannenbaum, Mathieu, Salas, dan Cannon-Bowers (1991) dalam penenelitiannya menemukan peningkatan kinerja yang signifikan setelah selesai pelatihan. Tannenbaum dkk (1991) juga menemukan bahwa perilaku peserta pelatihan (post training attitude) dan kinerjanya memiliki keterkaitan yang sangat signifikan terhadap kadar self-efficacy peserta pelatihan.

Sejumlah studi menegaskan bahwa pelatihan dan pengembangan memegang peranan kunci di dalam pegembangan dan mempertahankan keunggulan kompetitif (Barret & O’Connel, 2001; Cho dkk, 2001; Saks, 1996). Pelatihan dan pengembangan memiliki peran signifikan secara langsung pada retensi karyawan (Panitz, 1999) dan secara signikan berpengaruh tidak langsung pada komitmen organisasi (Roel & Swerdlow, 1999). Saks (1996) menemukan keterkaitan pelatihan memiliki keterkaitan yang signikan bagi sikap perilaku karyawan baru (newcomers), misalnya keinginan untuk keluar (intention to quit), komitmen dan kepuasan kerja. Bahkan menurut Barret dan O’Connel (2001) lamanya training days meningkatkan produkstivitas pekerja. Sedangkan menurut Choe dkk (2001) pelatihan juga berpengaruh signifikan terhadap “turn over”, misalnya saja perusahaan yang membelanjakan pelatihan 218 USD per karyawan/tahun memiliki TO 16%, sedangkan perusahaan yang membelanjakan 273 USD memiliki TO kurang dari 7%.

Page 56: Document1

Terkait dengan pengaruh positif pelatihan dan pengembangan terhadap kinerja organisasi, semakin banyak perusahaan yang menempatkan pentingnya pelatihan dan pengambangan SDM untuk mempertahankan keunggulan bersaing, melalui peningkatan keterampilan (skills), pengetahuan (knowledge), dan kemampuan (ability). Pada tahun 2000, menurut Industry Report (2000), diperkirakan total belanja SDM (Training & Development) perusahaan-perusahaan Amerika yang memiliki karyawan 100 orang atau lebih sebesar 54 milyar USD per tahun. Sementara itu ASTD (American Society of Training and Development) menyampaikan rekomendasi anggaran pelatihan dan pengembangan SDM paling tidak 2,5% dari biaya upah pekerja (Kimmerling, 1993). Alasan sedikitnya belanja pelatihan dan pengembangan SDM mengingat pengukuran ROTI-nya tidak mudah dan tidak dirasakan langsung oleh perusahaan. Selain itu banyak studi menunjukan riset di bidang pelatihan dan pengembangan justru berfokus pada alat dan teknik pelatihan yang digunakan, kurang meneliti pada pengaruhnya bagi ROTI bagi individu maupun organisasi (Harris, 1997; Harris & Bonn, 2000; Harris & Cannon, 1994). Di dalam implementasi TQM, ROTI menjadi faktor utama yang harus diukur – sehingga pelaksanaan training harus berfokus pada ”losses” yang terkait dengan kompetensi dan metode kerja. Sehingga kesulitan dan keterbatasn sebagian besar organisasi perusahaan dalam mengukur ROTI dapat dipecahkan bila kebutuhan raining benar-benar terkait dengan reduksi ”losses” yang dapat didefinisikan sebagai ”cost”.

2.3.3. Penilaian Kinerja (Performance Appraisal)

Penilaian kinerja memiliki fokus pada upaya identifikasi, pengukuran, evaluasi dan peningkatan kierja karyawan. Mathis & Jackson (2003, p.342) mendefinisikan penilaian kinerja sebagai “sebuah proses evaluasi seberapa jauh karyawan mencapai kinerja dengan dibandingkan standar yang telah ditetapkan dan dikomunikasikan kepada karyawan yang dinilai”.

Menurut Cleveland, Murphy, dan Williams (1989), penggunaan penilaian kinerja dapat dikelompokan menjadi 4 hal, yaitu :

1. Antar individu (between individual), misalnya sebagai administrasi pengupahan, promosi dan identifikasi karyawan yang berkinerja rendah).

2. Dalam individu (within individual), misalnya untuk identifikasi kekuatan dan kelemahan individu, identifikasi kebutuhan pelatihan individu dan umpan balik bagi pekerja.

3. Pemeliharaan sistem (system maintenance), misalnya untuk identifikasi kebutuhan training organisasi, evaluasi pencapaian target dan sasaran organisasi, serta membantu identifikasi sasaran organisasi.

4. Dokumentasi, misalnya untuk dokumentasi keputusan personalia, penyediaan aspek legal personalia maupun validasi riset-riset yang terkait karyawan.

Sementara itu, Thomas dan Bretz’s (1994), mengemukakan 3 (tiga) hal penggunaan penilaian kinerja, yaitu untuk peningkatan kinerja, administrasi kenaikan upah dan umpan balik bagi pekerja dan perusahaan. Riset yang dilakukan oleh Shah & Murphy (1995), Smith, Hornsby & Shirmeyer (1996) juga memberikan gambaran praktek penilaian

Page 57: Document1

kinerja mampu meningkatkan kinerja karyawan. Sedangkan Wood, Sciarini dan Breiter (1998) dalam risetnya menemukan beberapa penggunaan penilaian kinerja oleh perusahaan, diantaranya untuk keputusan kompensasi (86,4%), penetapan sasaran pekerja (78%), analisa kebutuhan training (73%) dan promosi (65%). Studi ini juga menemukan bahwa 95% perusahaan yang diteliti memiliki persepsi bahwa penilaian kinerja sangat penting bagi suksesnya pencapaian bisnis perusahaan, namun sebaliknya riset yang dilakukan Shah dan Murphy (1995) justru menemukan 36% organisasi yang berpartisipasi dan dijadikan responden penelitian menyatakan bahwa mereka tidak memiliki prosedur standar penilaian kinerja.

Efektivitas sebuah penilaian kinerja harus diukur dan mampu mendorong pencapaian strategi bisnis perusahaan. Bretz, Milkovich dan Read (1992) menemukan fenomena pada perusahaan-perusahaan yang sudah maju menghabiskan waktu 7 jam bagi setiap karyawan eksekutif untuk mengukur kinerja yang telah dicapainya dan 3 jam bagi setiap karyawan pada level yang dibawahnya. Sementra itu Longenecker (1992 p.21) menemukan 3 (tiga) alasan mendasar ketidak-efektifan penilaian kinerja dari perspektif manajemen, yaitu :

1. Kurangnya informasi kinerja aktual /data catatan kinerja karyawan.2. Umpan balik yang buruk dari pihak karyawan yang menyangkut upaya pembelaan

diri dan terkait tingkah laku negatif (bad attitude).3. Persiapan waktu yang tidak cukup / minim.

Sebaliknya dari perspektif pekerja ditemukan alasan ketidak-efektifan penilaian kinerja diakibatkan “proses yang dijalankan oleh manajer tidak dilakukan secara serius, standar ukuran yang tidak jelas dan terlalu subyektif, dan kurangnya informasi kinerja karyawan secara lengkap”.

Sebagian besar perusahaan meyediakan waktu khusus bagi pelaksanaan review dan umpan balik kinerja sebagai bagian dari proses penilaian kinerja. Dorfman, Stephan dan Loveland (1986) menunjukan adanya waktu khusus untuk review dan umpan balik kinerja mampu meningkatkan kepuasan dan motivasi karyawan secara keseluruhan, lebih tegas lagi dalam penelitian lainnya ditemukan bukti bahwa umpan balik kinerja karyawan mampu meningkatkan kinerjanya (Kluger & DeNisi, 1996; London, Larsen & Thisted, 1999). Namun demikian menurut riset yang dilakukan Kluger dan DeNisi (1996), terdapat 33% literatur yang mereka review yang mengindikasikan adanya umpan balik justru berakibat pada penunurunan kinerja karyawan yang dinilai. Mereka merekomendasikan agar umpan balik harus diberikan dengan cara yang konstruktif untuk meningkatkan kinerja karyawan.

Mathis dan Jackson (2003) menyatakan bahwa penilaian kinerja merupakan proses manajerial dalam evaluasi kinerja karyawan dibandingkan dengan standar kinerja yang sudah disepakati sebelumnya antara pekerja dan pimpinannya. Sasaran yang ditetapkan sebelumnya akan dijadikan sumber motivasi dan “anchor” dalam proses pencapaian sasaran pada periode yang telah disepakati. Teori penetapan sasaran (goal setting theory) menjelaskan hal ini sebagai gambaran hubungan positip antara penilaian kinerja dan

Page 58: Document1

kinerja pekerjaan (job performance), dalam teori ini perilaku di pengaruhi oleh sasaran (goals) yang spesifik, sulit tetapi dapat di raih. Sejumlah studi telah menunjukan sasaran yang spesifik dan sulit, namun dapat diraih (achievable goals) mampu meningkatkan produktivitas karyawan secara signifikan (Latham & Saari 1982; Locke & Latham 1994, 2002). Terpstra dan Rozell (1994), melakukan studi antara teori penetapan sasaran dan profitabilitas organisasi, hasilnya medukung hipotesis perusahaan –perusahaan yang menetapkan sasaran berdasarkan goal setting theory untuk meningkatkan kinerja karyawannya ternyata memiliki profitabilitas yang lebih tinggi. Sebaliknya Locke dan Latham (1990) membantah hal ini dan menyatakan tidak adanya pengaruh terhadap kinerja bila memang penetapan sasaran tidak dilakukan, justru yang paling penting adalah umpan balik dari atasan yang konstruktif dan cerdas akan mampu merubah perilaku dan meningkatkan kinerja karyawan. TQM sangat membantu di dalam pendefinisian target baik secara individu maupun tim, model manajemen kinerja yang berbasis pada prioritas-prioritas KPI (Key Performance Indicator). Sistem kontrol dan pelaporan di dalam TQM akan memudahkan para pimpinan dan bawahan untuk memonitor pencapaian prioritas KPI.

2.3.4. Penghargaan Kinerja (Performance Reward)

Penghargaan kinerja bertujuan untuk peningkatan kinerja karyawan dan penghargaan atas kontribusi terbaik yang diberikan individu karyawan. Sistem penghargaan kinerja di desain untuk memotivasi pekerja, moral, komitmen, produktivitas dan kerja tim. Penghargaan yang diberikan organisasi atas kontribusi kinerja karyawan dapat diberikan secara finansial (monetary incentive) maupun non finansial (non-monetary reward). Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 1995 menunjukan bahwa perusahaan yang tergolong dalam Fortune 1000 menggunakan monetary reward plan (Lawler & Mohrman, 1995). Penelitian yang dilakukan Luthans & Stajkovic (1999) dengan menggunakan meta-analytic study mengindikasikan penghargaan finansial dapat meningkatkan kinerja karyawan sebesar 39% di industri manufaktur dan 14% di industri jasa. Sementara itu penghargaan non-finansial (social attention & recognition) berpengaruh 15% pada peningkatan kinerja di industri jasa. Banker, Potter dan Srinivasan (2000) melakukan studi longitudinal untuk melihat efektivitas incentive plan pada industri jasa, hasil studi menunjukan incentive plan memiliki pengaruh positif bagi peningkatan laba (revenue & profitability) dan menurukan biaya (cost). Sebaliknya penelitian yang dilakukan Medoff dan Abraham (1980) menunjukan insentif finansial tidak memiliki pengaruh yang kuat bagi kinerja karyawan, tidak sebagaimana sistem penghargaan yang terkait dengan kenaikan upah.

Program-program pengupahan berbasis kinerja seperti halnya program penyesuaian upah berdasarkan kinerja di desain untuk memberikan penghargaan bagi karyawan secara finansial (monetary terms) atas kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. Menurut Lawler (1987, p.255) sistem penghargaan bagi pekerja merupakan topik yang paling sering dibahas dalam manajemen sumber daya manusia. Sehingga dapat dikatakan sistem penghargaan (reward system) yang efektif merupakan tulang punggung dari praktek dan kebijakan SDM (Loery, Petty & Thompson, 1995). Penelitian yang telah dilakukan menunjukan hasil yang berbeda-beda terkait dengan pengupahan berbasis kinerja.

Page 59: Document1

Lowery, Petty dan Thompson (1995) dalam studinya menemukan bahwa incentive plan memiliki pengaruh positip bagi peningkatan perilaku kerja karyawan namun tidak memberikan efek pada produktivitas dan kualitas kerja. Heneman (1992) dalam studinya menunjukan adanya keterkaitan antara rencana pemberian insentif finansial dengan kinerja dan motivasi karyawan. Di dalam penelitian lain ditemukan bukti perusahaan yang berkinerja lebih baik memberikan penghargaan yang lebih dibandingkan dengan perusahaan berkinerja dibawahnya (Marler, Milkovich dan Yanadori, 2002). Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan pemberian insentif yang lebih tinggi tidak secara otomatis dibarengi dengan peningkatan kinerja perusahaan menjadi lebih baik, akan tetapi di sisi lain perusahaan-perusahaan yang berkinerja lebih baik biasanya memberikan insentif yang lebih tinggi. Hasil penelitian juga menunjukan perusahaan yang memiliki kinerja lebih baik justru memberikan insentif yang lebih sedikit bagi pekerjanya, pada level yang lebih rendah dalam liga pengupahan perusahaan yang dimasukinya.

Pengupahan berbasis kinerja diklasifikan dalam dua kategori, yaitu pada level individu dan pada level tim. Pada level individual termasuk didalamnya insentip produktivitas, upah jam kerja, kenaikan upah, bonus maupun komisi yang mengacu pada kinerja individual. Sedangkan pada level tim misalnya cost-saving plan, profit-sharing plan, dan kepemilikan saham (stock ownership) yang diberikan berdasarkan kinerja tim. Program insentip berbasis tim seperti halnya profit sharing dan stock ownership telah menjadi perhatian utama banyak organisasi disamping karena memang praktek ini dirasakan lebih fair dan memperkecil budaya individualisme di dalam organisasi (Baker, Jensen, dan Murphy, 1988). Beberapa riset menyatakan sebagian besar karyawan lebih menyukai pengupahan berbasis individual dibandingkan tim (Cable & Judge, 1994), namun demikian studi yang lain justru menyimpulkan adanya pengaruh yang kuat dalam pengupahan berbasis tim terhadap kinerja perusahaan (Ehrenberg & Milkovich, 1987; Gerhart & Milkovich, 1990; Welbourne & Andrews, 1996). Penelitian yang dilakukan Gerhart dan Milkovich (1990) melaporkan perusahaan yang memberikan 80% stock options kepada manajernya ternyata memiliki ROA (returns on assets) 25% lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang memberikan stock options sebesar 20%. Welbourne dan Andrews (1996) menemukan adanya fenomena perusahaan-perusahaan baru yang memiliki tingkat survival yang lebih tinggi ketika semakin banyak karyawan yang menerima pengupahan berdasarkan kinerja organisasional. Pada tulisan lainnya, Cooke (1994, p. 598) menegaskan pemikiran logika pengupahan secara tim, dimana jika karyawan memperoleh pendapatan berdasarkan kinerja tim, mereka akan berusaha lebih maksimal. Bonus yang diberikan pun didasarkan pada upaya keseluruhan, insentif diberikan atas kerjasama yang dilakukan. Pola tersebut sering disebut sebagai group based incentives, dan dengan logika ini fungsi kontrol supervisor dapat berkurang.

Teori perilaku organisasi telah banyak menjelaskan permasalahan efektivitas penghargaan kinerja. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow (1943) dan Teori Dua Faktor Herzberg (Two Factors Theory, Herzberg, 1966) paling sering dijadikan dasar untuk menjelaskan pengaruh penghargaan kinerja pada kinerja organisasi. Menurut Teori Maslow (1943), manusia memiliki lima tingkatan hirarki kebutuhan, yaitu : fisiologi, keselamatan dan keamanan, kebutuhan sosial, harga diri (self-esteem), dan aktualisasi diri. Berdasarkan teori ini, kebutuhan yang lebih tinggi tidak akan terpenuhi sebelum

Page 60: Document1

kebutuhan yang lebih rendah terpuaskan. Ketika kebutuhan fisiologi, keselamatan dan keamanan serta kebutuhan sosial terpenuhi di tempat kerja, setiap karyawan akan berusaha memenuhi kebutuhan harga dirinya (self-esteem). Kebutuhan harga diri merujuk pada kepuasan terhadap diri sendiri, perasaan berharga, atau keinginan untuk berprestasi. Pemenuhan harga diri dapat dicapai jika seseorang merasa puas dengan kemampuan yang dimiliki, orang lain menghargai atas kemampuan dan prestasi yang dimilikinya. Penghargaan kinerja merupakan salah satu cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhan self-esteem karyawan. Karyawan akan merasa dihargai melalui praktek promosi, penerimaan insentip, atau penghargaan non material lainnya seperti penghargaan karyawan berprestasi dan pemberian liburan ekstra.

Konsep yang disampaikan oleh Herzberg (1966), yaitu two factors menjelaskan perilaku manusia di tempat kerja yang disebut sebagai faktor hygiene dan motivator. Faktor hygiene tidak mengakibatkan kepuasan karyawan dengan pekerjaannya secara langsung, akan tetapi karyawan akan merasa kurang puas bila faktor hygiene berkurang atau tidak ada, misalnya kebijakan perusahaan tentang struktur pengupahan, hubungan dengan rekan sekerja, kehidupan pribadi, status pekerjaan (job status), dan keamanan kerja (job security). Faktor hygiene sering disebut sebagai penghargaan ekstrinsik karena bersumber dari perusahaan dan lingkungan kerja bukan berasal dari internal pekerja. Faktor kedua disebut sebagai motivator, faktor yang dapat memuaskan karyawan dengan pekerjaan dan memacu motivasi untuk berkinerja yang lebih baik. Motivator disebut sebagai faktor intrinsik dimana perasaan terpuaskan dan motivasi yang kuat ditimbulkan dari internal pekerja. Faktor hygiene tidak menjamin kepuasaan karyawan dan motivasi, akan tetapi dibutuhkan secara mutlak untuk memelihara karyawan untuk tetap bekerja dengan baik. Apabila beberpa faktor hygiene diabaikan maka akan memunculkan ketidakpuasan, karyawan akan mempertimbangkan untuk keluar dan memungkinkan produktivitasnya menurun. Di dalam implementasi TQM, faktor motivasi pekerja menjadi sasaran utama dan prasarat mutlak dan menjadi prioritas awal sebelum, selama proses implementasi. Pengkondisian organisasi termasuk didalamnya – menghubungkan sistem kompensasi dan penghargaan kinerja yang mendorong pencapaian kinerja bisnis melalui tools TQM.

2.3.5. Kekaryawanan – Hubungan Industrial (Employee Relations)

Hubungan industrial atau kekaryawanan adalah sebuah sistem yang menyediakan perlakukan adil dan konsisten bagi karyawan sehingga menjadikannya memiliki komitmen kepada organisasi (Gomez-Meija dkk, 2001). Para pekerja memiliki cara untuk menyelesaikan masalah, konflik mapun perlakukan yang kurang adil (unfair treatment) di tempat kerja melalui serikat pekerja (unions). Peningkatan partisipasi pekerja di dalam pengelolaan organisasi akan mengakibatkan kepuaan kerja yang lebih tinggi dan juga motivasi kerja yang lebih baik, sehingga pada gilirannya meningkatkan kualitas produk serta kinerja karyawan (Gittell, Nordenflycht, dan Kochan 2004; Hammer dan Stern 1986). Di Amerika terjadi kecenderungan menurunnya jumlah serikat pekerja di dalam perusahaan, hal ini terkait dengan aplikasi undang-undang kesetaraan pekerja (Equal Employment Opportunity Laws) sehingga semakin banyak perusahaan yang berfokus pada pengembangan program kekaryawanan misalnya mekanisme penyelesaian komplain, program peningkatan partisipasi pekerja dan survey perilaku pekerja yang

Page 61: Document1

secara rutin dilakukan untuk meningkatkan dan memelihara kepuasan kerja serta produktivitas organisasi.

Proses penyelesaian komplain secara formal ataupun sistem penanganan keluhan menjadi demikian penting untuk meningkatkan kepercayaan pekerja kepada manajemen (Fryxell & Gordon, 1991). Para pekerja meyakini keadilan di tempat kerja akan memiliki pengaruh positip bagi kinerja organisasional (Colquitt, Wesson, Porter, Conlon, dan Ng, 1986; Fryxell dan Gordon, 1991). Penelitian yang dilakukan Colquitt dkk (1986) menemukan keyakinan pekerja terhadap praktek ketenagakerjaan yang adil mempengaruhi perilaku karyawan seperti halnya komitmen organisasi, loyalitas, kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Fryxell dan Gordon (1989) meneliti pengaruh keadilan di tempat kerja dan kepuasan kerja dan menemukan pengaruh yang sangat kuat dimana keadilan di tempat kerja akan mampu meningkatkan kepuasan karyawan terhadap manajemen perusahaan.

Di dalam implementasi TQM, program partisipasi pekerja seperti halnya tim peningkatan kualitas (improvement team), tim pemecahan masalah (problem solving team), dan sistem sumbang saran (suggestion system) mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Hal tersebut di dasarkan pada proposisi bahwa para pekerja lini umumnya memiliki informasi dan pengetahuan yang akurat tentang pekerjaan dibandingkan manajernya (Levine & Tyson, 1990; Miller & Monge, 1986). Program partisipasi karyawan juga mampu memuaskan kebutuhan penghargaan diri (self esteem) melalui pemenuhan imbalan intrinsik, dimana pekerja memiliki suara dan berpartisipasi terkait tugas dan kerja serta berkontribusi pada pencapaian kinerja yang optimal (Hammer, 1988; Cooke, 1994). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, penghargaan-penghargaan intrinsik yang lebih besar akan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan memotivasi karyawan untuk mencapai sasaran-sasaran kerja (Miller & Monge, 1986; Hammer, 1988) dan pada gilirannya mampu menghasilkan produktivitas kerja yang lebih tinggi.

Survei perilaku pekerja dilakukan untuk mengukur aspek-aspek yang disukai maupun yang tidak disukai oleh pekerja terkait dengan pekerjaannya (Gomez-Mejia, dkk., 2001). Organisasi perusahaan mengimplementasikan survei perilaku pekerja untuk mendeteksi secara aktif problem-problem potensial yang mengakibatkan ketidakpuasan kerja dan menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tempat kerja. Kesselman (1994) berpendapat keuntungan penggunaan survei perilaku karyawan dengan memberikan contoh secara langsung misalnya survei perilaku mampu memberikan informasi mendasar bagi perusahaan untuk membangun ulang jenjang karir bagi para pekerja yang potensial, untuk mempertajam strategi operasional bisnis, untuk mengimplentasikan program-program peningkatan keselamatan kerja maupun peningkatan kondisi kerja, dan juga pengembangan manajemen sumber daya manusia yang meliputi uraian kerja, sistem penilaian kerja dan sistem penggajian. Contoh-contoh tersebut menunjukkan betapa pentingnya survei perilaku pekerja memiliki pengaruh yang signifikan bagi kinerja perusahaan. Di dalam TQM, sasaran utama keberhasilan pecapaian target bisnis yang bersifat jangka panjang adalah suasana hubungan kekaryawanan yang kondusif, iklim kerja dan sistem organisasi yang memacu produktivitas serta keadilan di tempat kerja (fairness).

Page 62: Document1

2.3.6. Sistem Komunikasi Internal (Internal Communication Sistem)

Setiap karyawan berusaha untuk meningkatkan diri satu sama lain dan membina hubungan dengan cara berkomunikasi dan melakukan aktivitasnya (Duncan& Moriarty, 1998). Menurut Thomson, Chernatony, Arganbright dan Khan (1999). Terdapat 3 jenis saluran komunikasi yaitu : komunikasi eksternal (company-customer), komunikasi internal (company-emlpoyee), dan komunikasi interaktif (customer-imployee). Para peneliti telah menekankan pentingnya komunikasi eksternal yang efektif yang secara umum terlihat secara positip pada ROI (Return On Investment) pemasaran. Pada sisi lainnya ada beberapa studi yang meneliti dan mengeksplorasi pentingnya komunikasi internal. Hal yang sangat tidak mungkin menciptakan hubungan antara organisasi dan karyawan tanpa adanya prose komunikasi yang baik (Duncan & Moriarty, 1998). Komunikasi internal yang efektif dapat dicapai ketika sebuah organisasi mampu mengkomunikasikan dengan baik tentang visi, misi, produk, proyek, status kinerja keuangan perusahaan dan lain-lain dengan baik kepada karyawan. Ada beberapa cara melakukan komunikasi pada pekerja misalnya berita-berita singkat (newsletter), papan pengumuman, pertemuan formal, intranet, memo secara formal dan lain lain, Klein (1994) menyatakan komunikasi secara langsung adalah cara yang paling efektif. Sedangkan menurut Brewer (1995), pekerja lebih merasakan efektivitas komunikasi melalui berita-berita singkat (newsletter). Komunikasi internal yang efektif mampu meningkatkan kepuasan kerja, moral, komitmen dan sebagai konsekwensinya akan memberikan pengaruh yang lebih besar bagi kinerja organisasi (Lievens, Monenaert, S’Jegers, 1997; Sprague & Brocco, 2002). Komunikasi sangat berperan dalam membangun mobilisasi dan komitmen karyawan dalam implementasi TQM, sehingga dapat dikatakan salah satu faktor keberhasilan pencapaian kinerja TQM organisasi adalah fondasi komunikasi internal organisasi yang baik.

2.4 TQM dalam Perspektif Stratejik dan RBV

Organisasi biasanya mengatur praktek SDM dalam sistem yang sesuai dengan budaya mereka dan strategi bisnis mereka (Osterman, 1987; Block, Kleiner, Roomkin & Salsburg, 1987). Seperangkat terpadu (bundles) praktek SDM adalah kombinasi dari praktek-praktek strategi bisnis yang dikaitkan dengan SDM dan budaya perusahaan, sehingga bukan praktek secara terpisah, yang akan membentuk pola interaksi antara dan diantara manajer dan karyawan (Cutcher-Gershenfeld, 1991). Selain itu, dikatakan bahwa penelitian yang terfokus pada dampak praktek SDM individual pada kinerja organisasi mungkin menghasilkan bukti empiris yang kurang tepat, mengingat sebuah praktek tunggal SDM akan dipengaruhi dari sistem SDM keseluruhan (Ichniowski, Shaw & Prennushi, 1993).

Pendekatan paling baru saat ini adalah yang dikembangkan oleh Paauwe dan Boselie (2002). Paauwe dan Boselie mencoba mengembangkan konsep yang lebih sepesifik yang diturunkan dari RBV (resource-based view), yang disebutnya sebagai Human Resource-based Theory of the Firm. Wright dkk (1994) dan Paauwe (1994) menyatakan bahwa sumber daya manusia stratejik memiliki asumsi dan kriteria sesuai dengan teori RBV (resource-based view), dimana memiliki nilai (value), langka (rare), sukar ditiru

Page 63: Document1

(inimitability) dan tidak tergantikan (non-substitution). Wright dkk (1994) menyatakan relevansinya penggunaan teori RBV, karena lebih spesifik dalam menjelaskan manajemen sumber daya manusia stratejik. Paauwe mengajukan sebuah konsep yang disebutnya sebagai Human Resource-based Theory of the Firm. Model tersebut berusaha mengakomodasi elemen-elemen pendekatan kontijensi dan konfigurasional (Delery & Doty, 1996), institutionalism (Dimagio & Powell, 1983) dan juga terinspirasi dengan model pendekatan Harvard (Beer dkk, 1984).

Di dalam model Pauwee, Total Quality Management (TQM) merupakan kebutuhan mutlak dan dapat berperan di dalam mendorong pencapaian efisiensi, efektivitas, fleksibilitas, kualitas, inovasi dan kecepatan yang akan mendorong kinerja organisasi unggulan. Dimensi MSDM memiliki peranan yang sangat penting dalam pencapaian kinerja unggulan TQM dengan berfokus pada aspek-aspek yang ”soft” (Wilkinson dkk, 1996). Faktor-faktor yang dominan dan berpengaruh tersebut misalnya: supervisory styles, sistem kompensasi, keterlibatan karyawan, kerja tim, sumbang saran, interaksi manajerial dan budaya perusahaan.