Upload
annik-erni-irawati
View
24
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ekofisiologi
Citation preview
EFISIENSI PEMASARAN KAYU JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria)
(Studi Kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)
Purwanto
PROGAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2011 M
EFISIENSI PEMASARAN KAYU JENIS SENGON (Paraserianthes falcataria)
(Studi Kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)
Oleh: Purwanto
106092002995
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Progam Studi Agribisnis
PROGAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011 M
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul ” Efisiensi Pemasaran Kayu Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) Studi Kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor”, yang ditulis oleh Purwanto NIM 106092002995. Telah diuji dan dinyatakan lulus dalam Sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Jum’at Tanggal 10 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis.
Menyetujui,
Penguji I Penguji II
Dr. Ir. Edmon Daris, MS Ir. Junaidi, M.Si
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Elpawati, MP Ir. Iwan Aminudin, M.Si
Mengetahui,
Dekan Ketua Fakultas Sains dan Teknologi Program Studi Agribisnis
Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis Drs. Acep Muhib, MMA NIP. 19680117 2001121 1 001 NIP. 19690605 20112 1 001
SURAT PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR –
BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Juni 2011
PURWANTO
Daftar Riwayat Hidup
Data Diri
Nama Lengkap : Purwanto
Alamat : Kp. Bulak RT 03/13 No.19 Kemirimuka, Depok 16423
Telepon : 085232978136
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 29 Juli 1988
Agama : Islam
Email : [email protected]
Motto Hidup : Dont Be Strong But Do Your Best Always
Riwayat Pendidikan
1992-1994 TK An-Nuriyah Depok
1994-2000 SD Negeri Depok Jaya 1
2000-2003 SMP Negeri 2 Depok
2003-2006 SMA Negeri 5 Depok
2006-2011 Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Riwayat Organisasi
2007-2008 Anggota Forum Lingkar Pena Ciputat
2008-2009 Staf CIC (Campus Interpreuner Comunity)
Staf Olahraga dan Seni Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan
Agribisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Kegiatan Pelatihan
2005 Pelatihan Komputer LPK Mahasin
2007 Pelatihan Kewirausahaan Campus Interpreuner Community
Training Organization Platform Badan eksekutif mahasiswa agribisnis
Training Organisasi dan Motivasi yang diselenggarakan BEM FST UIN Jakarta.
Seminar Sainstek Muslim “Urgensi Cyber Community Bagi perkembangan Masyarakat Islam”
2008 Pendidikan Dasar (Diksar) Perkoperasian dan Kewirausahaan yang diselenggarakan Koperasi Mahasiswa (KOPMA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2010 Training Etnomark Consulting “Metode Riset Kualitatif via Etnography”
2011 Training BBC School of Kahfi “Be Powerfull Speaker Trough Great Communication”
Riwayat Pekerjaan
2007 Magang dalam Penyusunan Outlook Perkebunan Kapas, Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian
2010 Praktek Kerja Lapang Bagian Tanaman Produksi PT Rajawali Nusantara Indonesia PG Unit II Subang
2009-2010 Monitoring Badan Pelaksana Progam Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Indonesia
2010 - sekarang Field Risecher di Etnomark Consulting
RINGKASAN
PURWANTO. 106092002995. Efisiensi Pemasaran Kayu Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) Studi Kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor. (Dibawah bimbingan Elpawati dan Iwan Aminudin)
Salah satu Kecamatan pemasok kayu jenis sengon di kabupaten bogot
adalah Kecamatan Leuwisadeng. Sebagian besar petani sengon di kecamatan ini belum mampu maksimal dalam mengumpulkan informasi pasar sehingga mereka kurang memiliki daya saing dalam menawarkan kayu sengon. Akibatnya volume kayu dan keuntungan dari hasil penjualan yang didapat menjadi sedikit. Harga kayu dijual lebih ditentukan oleh para perantara dan memposisikan petani sebagi penerima harga (price-taker). Posisi tersebut mengakibatkan peranan perantara lebih menonjol dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan petani. Walaupun kondisi tersebut adalah kondisi yang pada umumnya terjadi dalam suatu usahatani, akan tetapi perlu dikaji lebih jauh mengenai efisiensi pemasaran yang sedang terjadi saat ini sehingga dapat diketahui apakah sistem pemasaran tersebut sudah efisien atau belum.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi pemasaran kayu jenis sengon berdasarkan (1) Saluran dan lembaga pemasaran kayu jenis sengon, (2) Struktur pasar kayu jenis sengon, (3) Fungsi pemasaran petani, perantara dan sawmill kayu jenis sengon, (4) Marjin pemasaran perantara dan sawmill kayu jenis sengon, (5) Farmer’s share petani Kecamatan Leuwisadeng. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, sedangkan dalam menganalisis data digunakan analisis saluran pemasaran, analisis struktur pasar, analisis fungsi pemasran, analisis marjin pemasaran dan analisis farmer’s share
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa saluran pemasaran yang terbentuk pada pemasaran kayu jenis sengon kecamatan leuwisadeng yaitu Saluran Pemasaran 1 terdiri dari Petani – Perantara – Sawmill - Material, Saluran Pemasaran 2 terdiri dari Petani – Sawmill - Material dan Saluran Pemasaran 3 terdiri dari Petani – Perantara – Sawmill - Indutri Luar Daerah. Struktur pasar yang dihadapi oleh pemasaran kayu sengon dari Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor adalah pasar persaingan tidak sempurna. Berdasarkan perbandingan jumlah petani dan jumlah perantara, sawmill ataupun material, struktur pasar yang terbentuk dari sisi petani adalah oligopsoni. Jumlah petani yang lebih banyak daripada perantara, sawmill maupun material menyebabkan petani menjadi penerima harga (price taker). Pada tingkat pemasaran selanjutnya jumlah perantara lebih banyak daripada jumlah sawmill. Dengan demikian struktur pasar yang terbentuk adalah monopsoni
Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan lembaga pemasaran adalah: Fungsi pemasaran petani yaitu Pembelian, Penjualan, Pengambilan Pasar dan Penelitian Pasar. Fungsi pemasaran perantara yaitu Pembelian, Penjualan, Pengangkutan, Biaya Pemasaran, Pengambilan Resiko, Penelitian Pasar, Demand Creation. Fungsi pemasaran sawmill yaitu Pembelian, Penjualan, Penyimpanan,
Pengangkutan, Standarisasi dan Grading, Pengambilan Resiko, Penelitian Pasar dan Demand Creation.
Marjin Pemasaran yang diperoleh lembaga pemasaran yang terlibat adalah: Marjin Pemasaran perantara untuk saluran pemasaran 1 adalah sebesar Rp.297.223/m3, dan untuk saluran pemasaran 3 sebesar Rp.324.107/m3. pada saluran pemasaran 2 tidak ada nilai marjinnya karena pada saluran ini petani tidak melalui perantara dalam pendistribusian kayu ke sawmill. Marjin pemasaran sawmill untuk pemasaran kayu sengon pada saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing-masing Rp.248.661/m3, Rp.298.214/m3 dan Rp.334.920/m3. Total marjin pemasaran yang diperoleh dari saluran pemasaran kayu sengon Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor untuk saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing-masing Rp Rp.548.661/m3, Rp.301.191/m3 dan Rp.657.619/m3. sehingga dipastikan bahwa marjin pemasaran tertinggi dihasilkan oleh saluran pemasaran 3 dan terendah saluran pemasaran 2. Sehingga saluran pemasaran 2 dinilai lebih efisien dibandingkan saluran pemasaran lainnya.
Persentase bagian yang diperoleh petani (farmer’s share) atas pemasaran kayu sengon saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing 55,66%, 74,9% dan 50,67% dari harga jualnya. Hal ini berarti farmer’s share tertinggi dihasilkan dari saluran pemasaran 2 dan terendah saluran pemasaran 3. hasil perhitungan menunjukan bahwa pemasaran kayu sengon saluran pemasaran 2 lebih efisien dibandingkan saluran pemasaran lainnya
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka disarankan (1) Petani seharusnya mampu menjual pohon sengonnya dalam bentuk kayu tebangan bukan dalam keadaan berdiri, sehingga hasil atau keuntungan yang diterima petani lebih besar lagi. (2) Seharusnya ada pihak yang mengontrol dalam hal ini Pemerintah untuk memastikan agar petani menggunakan saluran pemasaran 2. Nilai farmer share yang dimiliki saluran pemasaran 2 sebesar 74,9 % lebih tinggi dibandingkan saluran pemasaran lainnya (3) Dinas Kehutanan seharusnya turun langsung ke petani lewat penyuluh menyampaikan informasi-informasi yang berkaitan dengan pemasaran sengon, agar petani memiliki bargaining position dalam menentukan harga (4) Petani mampu mendapatkan bibit sengon yang unggul yang mampu mengatasi keragaman bibit sengon tersebut.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya. Atas Ridho-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih karena kau telah
meciptakan seorang pemimpin besar yang mulia, Muhammad SAW, kutahurkan
salam dan salawat baginya. Penulis menyadari tanpa bimbingan dan dorongan dari
semua pihak, maka penelitian dan penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan
lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini, izinkan penulis menyampaikan
terima kasih sebesar – besarnya kepada :
1. Ibunda Tarni dan Ayahanda Junaidi, kedua orang tua tercinta yang penuh
kasih sayang. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada
penulis untuk membalas semua pengorbanan dan kasih sayangnya. Adikku
Muhammad Iqbal, terimakasih atas segala bantuan tenaga dan doanya.
Alhamdullilah karena aku lahir di tengah keluarga yang penuh kehangatan
2. Bapak Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Drs. Acep Muhib, MMA selaku ketua Program Studi Agribisnis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Ir. Elpawati, M.P selaku dosen pembimbing I yang telah
membimbing, memberikan saran, motivasi, nasihat dan arahan serta
meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran disela-sela kesibukannya dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Ir. Iwan Aminudin, M.si selaku dosen pembimbing II yang telah
membimbing, memberikan saran, motivasi, nasihat dan arahan serta
meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran disela-sela kesibukannya dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Dr. Ir. Edmon Daris, M.S selaku dosen penguji I yang telah
meluangkan waktu dan tenaganya untuk menguji skripsi penulis serta
memberikan saran dan arahan.
7. Bapak Ir. Junaidi, M.Si selaku dosen penguji II yang telah meluangkan
waktu dan tenaganya untuk menguji skripsi penulis serta memberikan
saran dan arahan.
8. Bapak dan Ibu dosen pengajar Progam Studi Agribisnis, atas ilmu-ilmu
yang diajarkan kepada kami.
9. Dewi Rochmawati, SP atas bimbingan, motivasi, kritik, dan saran serta
bantuan dalam hal administrasi kepada penulis.
10. Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor atas bantuannya memberikan
informasi-informasi yang terkait dalam penelitian ini
11. Terima kasih untuk pegawai BPP Leuwiliang yang memberikan penulis
sebuah inspirasi untuk selalu bersemangat dalam menghadapi ujian ini
dengan sabar dan keikhlasan, semoga perhatiannya tidak cukup sampai
disini dan tali silaturahmi kita tetap terjaga.
12. Seluruh petani dan perantara kayu jenis sengon di kecamatan Leuwisadeng
yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, atas kesediaan waktu
menjawab semua pertanyaan penulis.
13. Perwakilan dari Industri Pengolahan kayu (sawmill), atas waktu dan
bantuannya memberikan informasi-informasi penting yang dibutuhkan
dalam penelitian ini terhadap penulis.
14. Ibu Amalia E. Maulana, Phd atas ilmu ilmu yang diberikan merupakan
sumber inspirasi dalam penelitian ini dan tidak lupa rekan-rekan di
Etnomark Consulting atas motivasi, semangat, masukan, kritikan dan
sarannya semoga tetap kompak dan sukses.
15. Sahabat-sahabatku Andi Asmara, Hamzah Ali, Budi Imami, Sri Ajeng dan
teman Agribisnis Angkatan 2006 semoga dikemudian hari kita tetap dapat
saling menyemangati dan membantu serta selalu erat dalam ikatan
silahurahmi.
16. Kawan-kawan Agribisnis Angkatan 2001-2011 terima kasih untuk
masukan, semangat dan motivasinya, mudah-mudahan tali silaturahmi
tetap terjaga.
17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Jakarta, Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 6
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................. 7
1.4. Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian ................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 10 2.1. Landasan Teori................................................................................... 10
2.1.1. Kayu Sengon ........................................................................... 10 2.1.1.1. Botani dan Ekologi ..................................................... 10 2.1.1.2. Penanaman ................................................................. 11 2.1.1.3. Kegunaan ................................................................... 12
2.1.2. Pemasaran ............................................................................... 13 2.1.3. Manajemen Pemasaran ............................................................ 15 2.1.4. Lembaga Pemasaran ................................................................ 16 2.1.5. Saluran Pemasaran ................................................................... 17 2.1.6. Fungsi Pemasaran .................................................................... 22 2.1.7. Marjin Pemasaran .................................................................... 23 2.1.8. Struktur Pasar .......................................................................... 25 2.1.9. Farmer’s Share........................................................................ 27 2.1.10. Efisiensi Pemasaran ................................................................ 27
2.2. Penelitian Terdahulu .......................................................................... 28
2.3. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 29
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 33
3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. 33
3.2. Jenis dan Pengumpulan Data .............................................................. 33
3.3. Penentuan Responden......................................................................... 34
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................................ 34 3.4.1. Analisis Lembaga dan Saluran Pemasaran ................................ 35 3.4.2. Analisis Fungsi Pemasaran ....................................................... 35 3.4.3. Analisis Struktur Pasar ............................................................. 36 3.4.4. Analisis Marjin Pemasaran ....................................................... 36 3.4.5. Analisis Farmer’s Share ........................................................... 38
3.5. Definisi Operasional ........................................................................... 38
BAB IV LOKASI PENELITIAN .......................................................................... 41
4.1. Letak dan Luas Wilayah ..................................................................... 41
4.2. Tata Guna Lahan ................................................................................ 42
4.3. Sosial Ekonomi Masyarakat ............................................................... 42 4.3.1. Menurut Usia ............................................................................ 43 4.3.2. Menurut Mata Pencaharian ....................................................... 43 4.3.3. Menurut Jenis Kelamin ............................................................. 44 4.3.4. Menurut Latar Belakang Pendidikan ......................................... 45
4.4. Karakteristik Responden .................................................................... 46
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 48
5.1. Analisis Lembaga dan Saluran Pemsaran Kayu Sengon ...................... 48
5.2. Analisis Fungsi Pemasaran Kayu Sengon ........................................... 52 5.2.1. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Petani ............................ 53 5.2.2. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Perantara ....................... 54 5.2.3. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Sawmill ......................... 57
5.3. Analisis Struktur Pasar Kayu Sengon ................................................. 60 5.3.1. Pembeli dan Penjual ................................................................. 60 5.3.2. Keadaan Produk ....................................................................... 61 5.3.3. Kondisi Keluar Masuk Pasar ..................................................... 64 5.3.4. Jenis Transaksi ......................................................................... 65 5.3.5. Informasi Pasar ......................................................................... 68 5.3.6. Harga dan Sttruktur Pasar ......................................................... 68
5.4. Marjin Pemasaran .............................................................................. 70 5.4.1. Analisis Marjin Pemasaran di Tingkat Perantara ....................... 70 5.4.2. Analisis Marjin Pemasaran di Tingkat Sawmill ......................... 71
5.5. Analisis Nilai Farmer’s Share ............................................................ 72
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 76
6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 76
6.2. Saran .................................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 80
LAMPIRAN ............................................................................................................ 83
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Produksi Kayu Bulat berdasarkan Sumbernya Tahun 2004-2009 ...................... 3
2. Karakteristik Struktur Pasar............................................................................ 36
3. Data Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009 .......... 42
4. Data Pengelompokan Usia di Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009 ................ 43
5. Data Pengelompokan Pekerjaan Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009 ........... 44
6. Data Pengelompokan Jenis Kelamin Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009 ..... 44
7. Data Pengelompokan Jenjang Pendidikan Kec. Leuwisadeng tahun 2009 ....... 45
8. Tabulasi Responden Penelitian ...................................................................... 46
9. Fungsi pelaku pemasaran kayu Sengon Kecamatan Leuwisadeng ................... 53
10. Marjin, Keuntungan dan Biaya Pemasaran Ditingkat Perantara ...................... 56
11. Marjin, Keuntungan dan Biaya Pemasaran Ditingkat Sawmill ........................ 59
12. Bentuk dan Jenis kayu Olahan Kec. Leuwisadeng Tahun 2011 ....................... 63
13. Sistem Pembayaran Kayu Sengon Kec. Leuwisadeng 2011 ............................ 67
14. Lembaga Pemasaran Kayu Sengon Kec. Leuwisadeng Tahun 2011 ................ 69
15. Harga Rata-rata kayu Sengon di Kec. Leuwisadeng Tahun 2011 .................... 70
16. Marjin Pemasaran Kayu Sengon ditingkat Perantara ...................................... 70
17. Marjin Pemasaran Kayu Sengon Ditingkat Sawmill ....................................... 72
18. Farmer’s Share Kayu Sengon Menurut Saluran Pemasarannya ....................... 73
19. Analisis Efisiensi Pemasaran Kayu Sengon Secara Ekonomis menurut
Saluran Pemasarannya .................................................................................. 75
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Konsep-konsep pokok pemasaran .................................................................. 13
2. Tingkat saluran pemasaran ............................................................................. 20
3. Nilai-nilai marjin pemasaran .......................................................................... 24
4. Kerangka pemikiran penelitian ....................................................................... 32
5. Saluran pemasaran kayu sengon di Kecamatan Leuwisadeng ......................... 50
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Database responden dan harga jual di tingkat petani
kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) …........…………… 83
2. Database responden harga beli dan harga jual di tingkat perantara
kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) ……......................... 84
3. Database responden harga beli dan harga jual di tingkat sawmill
kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) …........................… 85
4. Biaya Produksi, Penjualan, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di
tingkat petani Kecamatan Leuwisadeng Februari
2011(rupiah/m3)................................................................................... 86
5. Marjin Pemasaran, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di tingkat perantara
Kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) …….............. 87
6. Marjin Pemasaran, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di tingkat sawmill
Kecamatan Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) ……................... 88
7. Perbandingan Marjin dan Keuntungan Tiap Saluran Pemasaran Kecamaran
Leuwisadeng Februari 2011(rupiah/m3) …………...…................. 89
8. Biaya pemasaran ditingkat perantara Kecamatan Leuwisadeng
Februari 2011(rupiah/m3)………………………………..................... 90
9. Biaya pemasaran ditingkat sawmill Kecamatan Leuwisadeng
Februari 2011(rupiah/m3) …………………………………................... 91
10. Daftar Nama Responden Penelitian ………………………................. 92
11. Biaya Produksi di Tingkat Petani Kecamatan Leuwisadeng
Februari 2011………………………………………………........... 94
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam dengan
keanekaragaman hayati dan tingkat keunikan (endemisme) yang sangat tinggi
sehingga dimasukkan ke dalam salah satu negara mega-biodiversity.
Keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya jenis-jenis satwa dan tumbuhan
serta ekosistemnya telah memberikan manfaat bagi manusia, salah satunya adalah
hutan. Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki peranan sangat penting
bagi kehidupan makhluk di dunia. Hutan memiliki fungsi tangible (dapat diukur
dari segi ekonomi) dan intangible (sulit diukur dari segi ekonomi). Fungsi
tangible adalah sebagai penghasil bahan baku untuk berbagai keperluan
masyarakat seperti kayu gergajian, kayu lapis, kayu pertukangan, pulp, dan kayu
energi. Sedangkan fungsi intangible hutan adalah sebagai pengatur siklus
hidrologi, penyeimbang ekosistem, pencegah bencana alam (erosi, longsor,
banjir), tempat rekreasi, serta habitat bagi tumbuhan dan satwa.
Pada masa awal pembangunan Indonesia, eksploitasi sumber daya hutan
hanya berorientasi pada timber based management yang menitikberatkan pada
manfaat untuk devisa negara. Memasuki abad 21, pembangunan kehutanan
Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang makin komplek yaitu Indonesia
dikenal sebagai negara dengan laju pengurangan luas hutan terbesar di dunia. Data
menunjukan laju pengurangan luas hutan tersebut di Sumatera mencapai 2 persen
per tahun, di Jawa mencapai 0,42 persen per tahun, di Kalimantan mencapai 0,94
persen per tahun, di Sulawesi mencapai 1 persen per tahun dan di Papua mencapai
0,7 persen per tahun. Pengurangan luas hutan tersebut terjadi akibat proses laju
penurunan mutu hutan (degradasi) dan penggundulan hutan (deforestasi).
Beberapa studi menunjukan laju degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia
mencapai 1-1,5 juta hektar per tahunnnya. Hal tersebut telah memberikan
implikasi yang sangat luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan.
Fungsi-fungsi lingkungan yang mendukung kehidupan manusia terabaikan.
Keranekaragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai
kehidupan menjadi rusak dan hilang, yang terjadi saat ini adalah banjir di
beberapa daerah serta kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap. Selain itu
laju kerusakan yang tinggi mengakibatkan sumber daya hutan Indonesia
mengalami penurunan potensi kayu yang sangat berarti dari tahun ke tahun. Disisi
lain permintaan untuk kebutuhan kayu perumahan, pulp, gergajian, energi, dan
bahan baku lainnya meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk
Indonesia, dampaknya adalah persedian kayu yang ada tidak dapat mencukupi
kebutuhan.
Berdasarkan data mengenai produksi kayu bulat berdasarkan sumber
produksi tahun 2004-2008 pada Tabel 1, besarnya produksi kayu diambil dari tiga
sumber, yakni: hutan alam, hutan tanaman dan izin lainnya yang sah. Produksi
kayu dari hutan alam didapat melalui penebangan di sejumlah hutan yang telah
melalui proses tebang pilih. Produksi kayu dari hutan ini semakin tahun semakin
menurun. Pada tahun 2004 jumlahnya mencapai 5.142.637 meter kubik,
selanjutnya di tahun 2005 jumlahnya menjadi 9.334.862 meter kubik dan jumlah
produksinya semakin menurun hingga pada tahun 2008 menjadi 7.374.092 meter
kubik.
Tabel 1. Produksi Kayu Bulat berdasarkan Sumbernya Tahun 2004-2008
(m3)
Tahun Hutan Alami Hutan Tanaman Ijin Lainnya
Yang Sah Total Perhutani Hutan Rakyat
2004 5.142.637 923.632 7.329.028 153.640 13.548.937 2005 9.334.862 757.993 12.818.199 1.311.584 24.222.638 2006 9.020.903 337.797 11.451.249 982.195 21.792.144 2007 9.501.292 48.034 20.614.209 1.328.050 31.491.585 2008 7.374.092 96.954 22.321.885 2.191.511 31.984.442 Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia
Menurunnya produksi kayu bulat yang bersumber pada hutan alam
merupakan kebijakan untuk mengurangi dampak kerusakan alam yang disebabkan
menurunnya daya dukung alam bagi lingkungan sekitarnya, sehingga terjadi
bencana alam seperti tanah longsor, banjir dan kekeringan. Produksi kayu bulat
yang bersumber dari hutan tanaman merupakan hasil produksi dari Perhutani dan
hutan rakyat. Produksi dari perhutani semakin tahun menunjukan penurunan tapi
disisi lain produksi hutan rakyat menunjukan kenaikan. Sebagai contoh pada
tahun 2004 produksi perhutani sebesar 923.632 meter kubik dan di tahun 2008
produksinya turun drastis menjadi 96.954 meter kubik. Disisi lain produksi hutan
rakyat meningkat dari tahun 2004 sebesar 7.329.028 meter kubik dan di tahun
2008 menjadi 22.321.885 meter kubik.
Secara keseluruhan produksi kayu bulat di Indonesia meningkat tiap
tahunnya mulai dari tahun 2004 yang hanya menghasilkan kayu bulat sebesar
13.548.937 meter kubik dan di tahun 2008 meningkat lebih dari dua kali lipatnya
sebesar 31.984.442 meter kubik. Hal ini menunjukan bahwa produksi kayu bulat
di Indonesia terus meningkat pada tiap tahunnya
Sumber daya hutan memiliki keterbatasan untuk memperbaharui alam
yang ada didalamnya. Daya regenerasi hutan lebih rendah apabila dibandingkan
dengan tingkat pemanfaatan sumber daya kayu untuk pemenuhan kebutuhan
hidup manusia. Semakin tinggi kebutuhan akan sumber daya hutan, maka akan
semakin berkurang potensi sumber daya hutan tersebut. Apabila kondisi ini
semakin hari semakin tidak terkendali maka kondisi ekosistem hutan akan
menjadi rusak dan luas kawasan hutan akan semakin berkurang karena adannya
kegiatan eksploitasi dan konversi areal hutan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya
(Soerianegara, 1996;24).
Berdasarkan hasil paduserasi Tata Guna Hutan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), luas potensi sumber daya hutan di Propinsi
Jawa Barat seluas 784.119 ha, atau sekitar 22,57 % dari luas daratan Jawa Barat.
Luas tersebut sendiri dari hutan produksi 295.635 ha, hutan lindung 210.138 ha.
Selain kawasan hutan hasil paduserasi, di Jawa Barat terdapat hutan milik atau
hutan rakyat seluas 98.127,78 ha. Berdasarkan aspek pengelolaan, kawasan hutan
seluas 792.467 ha atau sekitar 79,19 persen dari luas kawasan hutan Jawa Barat
sepenuhnya dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Sisanya berupa
kawasan konservasi seluas 208.267 ha atau sekitar 20,81 persen dari luas kawasan
hutan Jawa Barat yang terdiri dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam yang dikelola oleh unit-unit pengolalaan Taman Nasional. (RTRWP, 2009:2)
Pertimbangan ekonomi dalam hal eksploitasi, produksi dan konsumsi
harus diimbangi dengan pertimbangan ekologi dalam hal regenerasi, rehabilitasi
dan konservasi. Kecepatan eksploitasi sumber daya hutan tersebut banyak
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, salah satunya adalah untuk bahan
baku kayu gergajian. Di daerah pedesaan dan perkotaan telah banyak tersebar
industri-industri kayu gergajian dengan menggunakan jenis bahan baku kayu yang
berbeda. Didaerah pedesaan seperti Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor,
salah satu jenis bahan baku yang umum digunakan adalah jenis kayu sengon
(Paraserianthes falcataria).
Berdasarkan hasil riset sosial budaya dan ekonomi kehutanan oleh Badan
Litbang Departemen Kehutanan (2004) disebutkan bahwa keengganan masyarakat
dalam mengembangkan hutan rakyat adalah akibat tidak tersedianya informasi
pasar yang lengkap. Rentabilitas usaha pengelolaan hutan rakyat sengon diduga
sebagian besar tidak diterima petani, tetapi diterima oleh perantara, sebab skenario
pemasaran masih dikendalikan oleh perantara dan jaringannya. Kendala tersebut
diperburuk dengan belum berfungsinya kelembagaan pemasaran di tingkat petani
secara optimal sehingga tidak mampu mengantisipasi perkembangan pasar
(Achmad et al, 2004)
Selanjutnya banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran
kayu sengon akan mempengaruhi panjang pendeknya saluran pemasaran dan
besarnya biaya pemasaran. Besarnya biaya pemasaran akan mengarah pada
semakin besarnya perbedaan harga antara petani produsen dengan konsumen.
Hubungan antara harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar
oleh konsumen sangat bergantung pada struktur pasar yang menghubungkannya
dan biaya transfer. Apabila semakin besar marjin pemasaran ini akan
menyebabkan harga yang diterima petani produsen menjadi semakin kecil dan
semakin mengindikasikan sebagai sistem pemasaran yang tidak efisien (Tomek
and Robinson, 1990).
1.2. Rumusan Masalah
Kayu sengon terkenal murah dan mudah dalam penggunaannya sebagai
kayu gergajian. Di wilayah Kecamatan Leuwisadeng, harga kayu sengon sangat
tergantung terhadap kualitas dan kuantitasnya di alam. Dengan meningkatnya
jumlah industri penggergajian kayu, kebutuhan pasokan bahan baku kayu sengon
akan semakin meningkat. Berdasarkan pengamatan awal di lokasi penelitian,
kondisi hutan rakyat Kecamatan Leuwisadeng memiliki kondisi lingkungan alam
yang subur dengan kondisi topografi lahan yang berbukit. Kondisi lingkungan ini
sangat sesuai untuk tanaman sengon sehingga dapat tumbuh dengan baik. Akan
tetapi kondisi tersebut belum didukung oleh sistem budidaya yang baik oleh
petani sebagai produsen.
Karakteristik produk kayu sengon berbeda dengan karakteristik produk jati
misalnya, selain tergolong kayu yang mudah untuk dibudidayakan, kayu sengon
juga memiliki keunggulan mudah dalam proses izin penebangan. Kayu jenis jati
untuk memanennya selain jangka produksi yang lebih lama juga memiliki
perizinan yang cukup rumit antara lain harus mengajukan izin penebangan ke
departemen kehutanan sedangkan kayu sengon cukup surat izin dari kepala desa
atau setingkat kelurahan, penebangan sudah bisa dilakukan.
Terbatasnya kemampuan petani dalam mengumpulkan informasi pasara
menjadi salah satu penyebab mereka kurang memiliki daya saing dalam
menawarkan kayu sengon, sehingga volume kayu dan keuntungan dari hasil
penjualan yang didapatnya sedikit. Harga kayu dijual lebih ditentukan oleh para
perantara dan memposisikan petani sebagai penerima harga (price taker). Posisi
tersebut mengakibatkan peranan perantara lebih menonjol dan mendapatkan
keuntungan yang lebih besar dibandingkan petani. Walaupun kondisi tersebut
adalah kondisi yang pada umumnya terjadi dalam suatu usahatani, akan tetapi
perlu dikaji lebih jauh mengenai efisiensi pemasaran yang sedang terjadi saat ini
sehingga dapat diketahui apakah sistem pemasaran tersebut sudah efisien atau
belum.
Berdasarkan judul, latar belakang dan uraian tersebut, perumusan
penelitian ini adalah: Bagaimana efisiensi pemasaran kayu jenis sengon hutan
rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan
penelitian ini adalah menganalisis efisiensi pemasaran kayu jenis sengon hutan
rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor berdasarkan:
Saluran dan Lembaga Pemasaran yang terbentuk pada pemasaran kayu jenis
sengon hutan rakyat di Kecamatan Leuwisadeng
Fungsi Pemasaran yang dilakukan para pelaku pemasaran
Struktur Pasar yang dihadapi para pelaku pemasaran
Marjin Pemasaran perantara dan industri pengolahan kayu (sawmill)
Nilai farmer’s share petani kayu jenis sengon di Kecamatan Leuwisadeng
1.4. Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi kegiatan efisiensi pemasaran kayu
sengon hutan rakyat di Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor. Termasuk
analisis data mengenai jumlah dan fungsi saluran serta lembaga pemasaran yang
terlibat, fungsi pemasaran, struktur pasar, nilai marjin pemasaran dan Farmer’s
Share.
Dari hasil penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat
dan informasi penting baik secara langsung ataupun tidak langsung:
1. Bagi Akademis
Memberikan kontribusi ilmiah terutama bidang disiplin kelimuan
manajemen agribisnis dalam aspek pemasaran, sehingga dapat menambah
wawasan, pengetahuan, pengalaman serta pemahaman dalam mengkaji
penerapan konsep dan teori. Selain itu juga sebagai referensi untuk
penelitian mengenai sistem pemasaran kayu sengon selanjutnya.
2. Bagi Perusahaan dan Pemerintah Daerah
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
dalam segala keterangan dari penulis dan menjadi bahan masukan bagi
pengusaha, sehingga pelaksanaan pemasaran kayu sengon dapat mendorong
investasi pada usahatani kayu sengon. Bagi Pemerintah Daerah dapat
menjadi acuan dalam rangka pengembangan budidaya sengon secara
terpadu di hutan rakyat
3. Untuk Penulis
Diharapkan dapat menyempurnakan dan mempelajari manajamen agribisnis
secara lebih baik khususnya dalam bidang pemasaran kayu sengon, serta
ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama masa perkuliahan dan
membandingkan kenyataan yang terjadi di lingkungan dunia usaha. Dalam
teori maupun praktek dan memperluas wawasan berfikir serta pengetahuan
dan pengalaman terhadap aspek yang di teliti yaitu mengenai pelaksanan
pemasaran kayu sengon.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)
Budi (1992;10) menyatakan bahwa sengon merupakan salah satu jenis
tanaman yang tumbuh dengan cepat di daerah tropis. Untuk pertama kalinya pada
tahun 1871, Teysmann menemukan tanaman sengon di pedalaman Pulau Banda,
yang kemudian dibawa ke Kebun Raya Bogor. Dari kebun inilah kemudian
sengon tersebar ke berbagai daerah dari mulai pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, sampai Irian Jaya. Pada saat ini sengon juga dijumpai di Negara
Filipina, Malaysia, Srilanka, India. Dengan nama biasa atau nama ilmiah apapun
yang dikenal, kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) merupakan
pohon serbaguna yang berharga untuk daerah tropis beriklim lembab. Spesies ini
juga merupakan salah satu species yang dapat digunakan sebagai kayu pulp, kayu
bakar, pohon hias, naungan (kopi, teh, dan ternak sapi) dan produk kayu lainnya.
Pemanfaatan potensial yang sedang diuji coba dalam penanaman hutan adalah
dengan sistem tumpang sari.
2.1.1.1. Botani dan Ekologi
Paraserianthes falcataria termasuk keluarga Leguminose (sub-keluarga
Mimosoideae). Jenis ini sudah dikenal luas dengan nama yang lamanya, Albizia
falcataria, atau juga pernah disebut A. moluccana dan A. Falcata “Falcate”
artinya melengkung seperti sabit sesuai dengan bentuk daunnya. Ranting daun
berpasang-pasangan, panjangnya antara 23-30 cm. bunganya berwarna putih
gading, polongnya tipis, rata, panjang 10-13 cmm dengan lebar 2 cm. Falcataria
termasuk pohon besar sehingga mencapai ketinggian 24-30 m, dengan diameter
80 cm. jika di tempat terbuka akan membentuk tajuk yang besar berbentuk
payung. Pada penanaman sebanyak 1000-2000 pohon/ha, tajuk akan menyempit,
karena membutuhkan cahaya. Setelah berumur 3-4 tahun akan memproduksi biji
secara teratur dalam jumlah banyak. sengon tumbuh secara alami di Indonesia,
Papua Nugini dan Kepulauan Solomon dari 10˚LS-30˚LU. Dalam habitat
alamiahnya bisa tumbuh dari permukaan laut sampai 1200 m. dengan curah hujan
2000-4000 mm, serta musim kemarau kurang dari dua bulan dengan suhu antara
22˚C-34˚C. meski lebih menyukai tanah basa (NAS 1983 dalam Budi 1992),
namun dapat pula tumbuh dengan baik di tanah yang masam.
Akar sengon relatif menguntungkan dibandingkan akar pohon lainnya.
Akar tunggangnya cukup kuat menembus ke dalam tanah sementara itu akar
rambutnya tidak terlalu besar, dan tidak semrawut. Akar rambut tersebut akan
dimanfaatkan oleh pohon induknya untuk menyimpan zat nitrogen, oleh sebab itu
tanah di sekitar pohon sengon akan menjadi subur (Budi 1992;12)
2.1.1.2. Penanaman
Pada umumnya tanaman sengon diperbanyak dengan biji. Biji tersebut
dapat dibeli di penangkar benih, kios-kios pertanian, ataupun dicari dibawah
pohon induk. Jumlah biji sengon sebanyak 42000 per kg dengan perkecambahan
biji mudah dan hanya membutuhkan perendaman air semalam. Agar
perkecambahan seragam, biji-biji tersebut dapat dimasukan dalam air panas atau
dalam masam belerang pekat (H2SO4) selama 10 menit, dilanjutkan dengan
perendaman dalam air selama 15 menit. Anakan sengon ditanam setelah tiga
bulan dipersemaian dan akan tumbuh dengan cepat di lahan (NAS, 1983 dalam
NFTA World Education. 1991;31)
Penanaman sengon diawali dengan pengaturan jarak tanam dan pembuatan
lubang tanam. Jarak tanam untuk produksi kayu pulp dengan waktu rotasi antara
6-8 tahun adalah 3m x 3m. jika diinginkan kayu tebangan untuk papan, pada umur
6-8 tahun tegakan dapat dijarangkan sampai 6m x 6m dan dipanen pada umur 15
tahun. Pada lahan yang lebih subur, umumnya jarak tanaman untuk produksi kayu
pulp 4m x 4m. dari penelitian tentang jarak tanam yang lebih rapat ditemukan
bahwa pertumbuhan dengan jarak 2m x 2m secara signifikan lebih cepat
dibandingkan dengan jarak 1m x 1m. Adapun ukuran lubang tanam panjang 30cm
x 30cm x 30cm. (Budi 1992;17)
2.1.1.3 Kegunaan
Bagian terpenting yang bernilai ekonomis pada tanaman sengon adalah
kayunya. Sengon lebih dikenal sebagai tanaman pulp. Kegunaan lainnya, yaitu
sebagai serat dan bahan papan, peti kemas, kotak kemasan, korek api, sumpit dan
mebel ringan. Kayunya sukar di gergaji dan tidak kuat atau tidak tahan lama.
Tajuknya yang jarang memberikan naungan untuk tanaman kopi, teh, dan cokelat.
Di samping itu, berfungsi sebagai tanaman penahan angin bagi pohon pisang
(Budi 1992;21)
Sengon juga berpotensi dalam alley farming. Di Indonesia, pada percobaan
di tanah asam (pH 4,2) yang ditanam dalam larikan-larikan dengan jarak 4 meter,
menghasilkan pupuk hijau (bahan kering) 2-3 ton/ha/tahun. Penggunaannya
sebagai pupuk hijau akan meningkatkan produksi kopi 4 kali lipat, apabila
dibandingkan dengan plot pembanding. (Budi 1992;27)
2.1.2 Pemasaran
Pengertian pemasaran banyak didefinisikan oleh para pakar dengan sudut
pandang yang berbeda-beda. Kotler dan Amstrong (2004;6) berpendapat bahwa
pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dimana individu dan
kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui
penciptaan dan pertukaran produk serta nilai dengan produk lain. Definisi
pemasaran tersebut bertumpu pada konsep pokok sebagai berikut:
Gambar 1. Konsep-Konsep Pokok Pemasaran Sumber: Philip Kotler 1994
Menurut Stanton (1997;7) pemasaran adalah suatu sistem total dari
kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga,
mempromosikan dan mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan
keinginan barang dan jasa baik kepada para konsumen saat ini maupun konsumen
potensial. Secara sistematis dapat dikatakan bahwa pemasaran mencakup kegiatan
untuk mengetahui keinginan konsumen, merencanakan dan mengembangkan
Kebutuhan, keinginan,
permintaan
Produk dan jasa
Nilai dan
kepuasan
Jual beli dan
transaksi
Pasar dan
pemasar
produk yang memenuhi keinginan kemudian memutuskan cara terbaik untuk
menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan produk.
Pengertian pemasaran dapat dilihat dengan pendekatan aspek manajerial
dan aspek ekonomi. Berdasarkan aspek manajerial, pemasaran merupakan analisis
perencanaan organisasi, pelaksanaan dan pengendalian untuk menentukan
kedudukan pasar. Sedangkan berdasarkan aspek ekonomi, pemasaran merupakan
distribusi fisik dan aktivitas ekonomi yang memberikan fasilitas-fasilitas untuk
bergerak, mengalir dan pertukaran komponen barang dan jasa dari produsen ke
konsumen. Selain itu pemasaran merupakan kegiatan produktif karena
meningkatkan, menciptakan nilai guna bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan.
Dengan demikian pemasaran pertanian dapat diartikan sebagai semua bentuk
kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik
dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertaniaan dari tangan
produsen ke konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang
menghasilkan perubahan bentuk dari barang untuk mempermudah penyalurannya
dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumen (Limbong,
1987;11)
2.1.3 Manajemen Pemasaran
Definisi manajemen pemasaran menurut Khols (2002;17) adalah
keragaaan dari semua aktivitas bisnis dalam upaya menyalurkan produk atau jasa
mulai dari titik produksi sampai ke tangan konsumen. Manajemen pemasaran
merupakan proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penetapan harga,
promosi dan distribusi gagasan, barang dan jasa untuk menghasilkan pertukaran
yang memenuhi sasaran perorangan dan organisasi (Kotler, 1994;28)
Dalam menganalisis manajemen pemasaran Khols (2002;21), selanjutnya
mengemukakan beberapa pendekatan yang digunakan yaitu:
1. Pendekatan Fungsi (the fungsional approach)
Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi pemasaran
apa saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam pemasaran. Fungsi-
fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi
fisik (penyimpanan, transportasi dan pengolahan) dan fungsi fasilitas
(standarisasi, resiko, pembiayaan dan informasi pasar)
2. Pendekatan Kelembagaan (the institusional appoarch)
Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui berbagai macam
lembaga atau pelaku yang terlibat dalam pemasaran. Pelaku-pelaku ini adalah
pedagang perantara (merchant middleman) yang terdiri dari pedagang
pengumpul, pedagang pengecer, pedagang spekulatif, agen, manufaktur, dan
organisasi lainnya yang terlibat.
3. Pendekatan Sistem (the behavior system appoarch)
Merupakan pelengkap dari pendekatan fungsi kelembagaan, untuk
mengetahui aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses pemasaran, seperti
perilaku lembaga yang terlibat dalam pemasaran dan kombinasi dari fungsi
pemasaran. Pendekatan ini terdiri dari the input-output system, the power
sistem dan the communication system.
2.1.4 Lembaga Pemasaran
Hanafiah dan Saefudin (2006;21), menjelaskan bahwa lembaga pemasaran
adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran
dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Lembaga pemasaran
ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi
jasa. Kotler dan Amstrong (2001;7) mengartikan istilah lembaga perantara sebagai
pihak yang berperan secara ekonomis dalam mentransformasikan bauran komoditi
atau produk yang dibuat oleh produsen ke dalam bauran produk yang dibutuhkan
konsumen.
Stern dan El-Ansary dalam Kotler (2002;559) menambahkan bahwa
perantara memperlancar arus barang dan jasa karena menghubungkan
ketidaksesuaian antara berbagai barang dan jasa yang dihasilkan produsen dan
berbagai macam barang yang diminta konsumen, sedangkan ketidaksesuaian
tersebut ditimbulkan dari kenyataan bahwa produsen menghasilkan sejumlah
besar barang dengan keragaman terbatas sedangkan konsumen hanya
menginginkan jumlah terbatas dari banyaknya ragam.
Sesuai dengan peran yang dilakukan, lembaga pemasaran akan berkaitan
langsung degan barang yang akan diperjualbelikan. Secara umum lembaga
pemasaran dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan pengusaan terhadap barang.
Yaitu terdiri dari:
1. Lembaga pemasaran yang tidak dimiliki namun mengusai barang, misalnya
agen, perantara, dan broker
2. Lembaga pemasaran yang memiliki dan mengusai barang, contohnya pedagang
pengumpul, pedagang pengecer, grosir dan eksportir/importer
3. Lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan tidak mengusai barang, yaitu
fasilitas pengangkutan, pergudangan, asuransi dan lain-lain.
2.1.5 Saluran Pemasaran
Saluran pemasaran adalah rute dan status kepemilikan yang ditempuh oleh
suatu produk ketika produk ini mengalir dari penyedia bahan mentah melalui
produsen sampai ke konsumen akhir. Saluran ini terdiri dari semua lembaga atau
pedagang perantara yang memasarkan produk atau barang/jasa dari produsen
sampai ke konsumen. Beragam pertukaran produk, pembayaran, kepemilikan dan
informasi terjadi di sepanjang saluran pemasaran. Saluran pemasaran diperlukan
karena produsen menghasilkan produk dengan memberikan kegunaan bentuk
(form utility) bagi konsumen setelah sampai ke tangannya, sedangkan lembaga
penyalur memberntuk atau memberikan kegunaan waktu, tempat dan
kepemilikian dari produk itu (Kotler dan Susanto. 2001;59). Anggota pemasaran
memiliki fungsi utama yaitu, antara lain:
1. Informasi: Pengumpulan dan penyebaran informasi riset pemasaran mengenai
pelanggan, pesaing, dan pelaku lain serta kekuatan dalam lingkungan
pemasaran yang potensial dan yang ada saat ini.
2. Promosi: Pengembangan dan penyebaran penawaran untuk menarik
pelanggan
3. Negoisasi: Usaha untuk mencapai persetujuan akhir
4. Pemesanan: Komunikasi terbalik dari anggota saluran pemasaran dengan
produsen mengenai minat membeli
5. Pembiayaan: Perolehan dan alokasi dana untuk membiayai persedian
6. Pengambilan resiko: Asumsi resiko yang berhubungan dengan kegiatan
pemasaran
7. Kepemilikan fisik: Kesinambungan penyimpanan dan pergeseran produk fisik
dari bahan mentah sampai ke konsumen akhir
8. Pembayaran: Transfer pemilikan
Saluran pemasaran merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan
produk dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran sangat penting terutama
untuk melihat tingkat harga pada masing-masing lembaga pertanian dan harga jual
produk di pasaran. Panjang pendeknya saluran lembaga pemasaran suatu produk
pertanian tergantung kepada beberapa faktor yaitu:
1. Jarak dari produsen ke konsumen
Semakin jauh jarak antara produsen dengan konsumen maka akan cenderung
menciptakan saluran pemasaran yang panjang dengan aktifitas dan pelaku
bisnis yang lebih banyak.
2. Sifat komoditas
Produk yang cepat rusak membutuhkan saluran pemasaran yang relatif
pendek agar dapat segera sampai ke konsumen untuk diolah atau dikonsumsi.
3. Skala produksi
Skala produksi yang semakin besar menyebabkan saluran pemasaran akan
semakin banyak melibatkan sejumlah saluran pemasaran. Dengan demikian
kehadiran pedagang perantara diharapkan dalam penyaluran produk sehingga
saluran yang akan dilalui cenderung lebih panjang.
4. Kekuatan modal yang dimiliki
Produsen dengan kekuatan modal yang besar cenderung memiliki saluran
pemasaran yang pendek karena fungsi pemasaran yang dapat dilakukan lebih
banyak dibandingkan produsen yang modalnya lemah. Dengan kata lain,
pedagang dengan modal yang besar cenderung memperpendek saluran
pemasaran.
Saluran pemasaran dapat dibedakan menurut jumlah tingkatan. Perbedaan
tingkatan dimaksudkan untuk mengetahui panjang sebuah saluran. Saluran
pemasaran dapat dibedakan menjadi saluran nol tingkat, satu tingkat, dua tingkat
dan tiga tingkat. Saluran nol tingkat merupakan saluran yang didalamnya hanya
ada produsen dan konumen. Saluran tingkat satu menggunakan bantuan pedagang
pengecer untuk menyalurkan produk dari produsen ke konsumen. Saluran dua
tingkat menambahkan fungsi pedagang besar diantara produsen dan pedagang
pengecer, sedangkan saluran tiga tingkat merupakan saluran terpanjang karena
ditambahkan fungsi pemborong pada jalur pemasaran. Gambar 2 di bawah ini
menggambarkan saluran pemasaran yang umum digunakan dalam pemasaran
barang konsumen atau pertanian (Kotler dan Susanto, 2001;95)
Saluran 0 tingkat Saluran 1 tingkat Saluran 2 tingkat Saluran 3 tingkat
Gambar 2. Tingkat Saluran Pemasaran Sumber: Kotler dan AB Susanto (2001)
Saluran tingkat nol/saluran distribusi langsung. Disini produsen menjual
barangnya langsung kepada konsumen akhir, konsumen akhir dapat berupa perorangan
yang membeli barangnya secara langsung atau dapat juga perusahaan lain yang
menggunakan barang-barangnya secara tidak langsung. Artinya barang-barang tersebut
diolah dahulu (bahan baku) atau digunakan dalam proses produksi. Saluran ini
merupakan saluran yang kurang efektif karena tidak mungkin bagi sekian banyak
produsen untuk mengadakan kontrak langsung secara ekonomis dengan berjuta-juta
pembeli hasil produksi mereka. Saluran tingkat satu disini produsen hanya menggunakan
PRODUSEN
konsumen konsumen konsumen konsumen
Pengecer Pengecer Pengecer
Pedagang besar
Pedagang besar
Agen
satu mata rantai saja, yaitu menggunakan lembaga pengecer. Produsen langsung
menghubungi pengecer yang dianggap cocok untuk menyalurkan barangnya kepada
konsumen akhir, biasanya barang yang dijual melalui pengecer adalah: Barang yang
cepat rusak, beda harga produsen dan pengecer tidak banyak, pengawasan
pendistribusian barang-barang dapat dilakukan lebih cermat. Saluran dua tingkat adalah
saluran distribusi yang menggunakan lembaga-lembaga saluran distribusi dua tingkat,
yaitu grosir dan pengecer. Faktor-faktor yang menyebabkan arus barang dipasarkan
sering melalui jasa-jasa, seperti: Pengumpulan & penyebaran, pemilikan barang,
pemberian kredit, pengiriman dan pengangkutan. Saluran tiga tingkat menyalurkan
barang melalui beberapa lembaga saluran distribusi, misalnya untuk memasarkan
barang-barangnya ke seluruh wilayah Indonesia, maka perusahaan menetapkan agen
untuk tiap-tiap propinsi, grosir untuk tiap-tiap kota dan akhrinya pada pengecer untuk
konsumen akhir. Perusahaan mengangkat agen yang diberikan kuasa atau ijin untuk
mendistribusikan produk pada daerah tertentu, lalu agen mengangkat pedagang besar
atau grosir pada tiap-tiap daerah agar dapat disalurkan lagi oleh para pengecer.
2.1.6 Fungsi Pemasaran
Fungsi pemasaran merupakan kegiatan atau tindakan dalam proses
pemasaran. Anindita (2004;19) menjelaskan bahwa fungsi pemasaran adalah
kegiatan utama yang khusus dilakasanakan untuk menyelesaikan proses
pemasaran. Downey & Erickson (1992;282) menambahkan bahwa beberapa
kegiatan atau fungsi khusus membentuk langkah-langkah yang akan dilakukan,
namun dalam pelaksanaanya tidak perlu berurutan tetapi mencakup semuanya
agar proses pemasaran berhasil dicapai.
Anindita (2004;19) menjelaskan bahwa fungsi pemasaran dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Fungsi Pertukaran
Fungsi pertukaran dengan perpindahan hak milik dari barang dan jasa
yang dipasarkan. Fungsi tersebut didapat melalui proses penjualan dan
pembelian antar lembaga yang bersangkutan
b. Fungsi Fisik
Fungsi fisik merupakan tindakan yang berhubungan langsung dengan
barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan
waktu. Fungsi fisik ini meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan dan
pengangkutan
c. Fungsi Fasilitas
Fungsi fasilitas adalah semua tindakan yang bertujuan untuk
memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan
konsumen. Fungsi faslitias ini meliputi fungsi standarisasi dan grading,
fungsi penanggungan resiko, resiko pembiayaan dan fungsi informasi
pasar.
2.1.7 Marjin Pemasaran
Hanafiah dan Saefuddin (2006;99) mendefinisikan marjin pemasaran
sebagai perbedaan harga yang dibayarkan oleh penjual pertama (produsen) dan
harga yang dibayar oleh pembeli terakhir. Berdasarkan pengertian tersebut
menunjukan selisih harga dari dua tingkat rantai pemasaran yang saling
berinteraksi. Marjin pemasaran juga dinyatakan sebagai dari jasa-jasa pelaksanaan
kegiatan sejak tingkat produsen sampai tingkat konsumen.
Komponen marjin pemasaran terdapat dua yaitu komponen biaya
pemasaran dan komponen keuntungan lembaga pemasaran. Besarnya biaya
pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran berbeda-beda untuk setiap jenis
produk dan tingkat lembaga pemasaran. Perbedaan waktu dilakukan
kegiatan/aktivitas pemasaran juga merupakan salah satu faktor yang menimbulkan
perbedaan pada biaya dan marjin keuntungan dan yang didapatkan oleh lembaga
pemasaran.
Marjin pemasaran dapat digambarkan melalui gambar yang dikemukan
oleh Limbong dan Sitorus (1985;74) yang menunjukan keterkaitan antara
permintaan, penawaran dan harga. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat
besarnya nilai marjin pemasaran yang merupakan hasil perkalian dari perbedaan
harga pada dua tingkat lembaga pemasaran dengan jumlah produk yang
dipasarkan.
Besarnya nilai marjin pemasaran ditunjukan oleh daerah M antara
(Pr dan Pf). Pr merupakan harga ditingkat pengecer dan Pf adalah harga ditingkat
petani. Sedangkan kurva turunan adalah suplai ditingkat pengecer dan kurva
penawaran primer merupakan suplai di tingkat petani. Kurva permintaan primer
merupakan permintaan di tingkat pengecer sedangkan kuerva permintaan adalah
permintaan ditingkat petani. Q merupakan jumlah keseimbangan ditingkat petani
dan pengecer, sehingga dapat dirumuskan bahwa rumus marjin pemasaran adalah
Marjin pemasaran = (Pr-Pf). Q
Gambar 3. Nilai Marjin Pemasaran Sumber: Hammond dan Dahl (1997)
Keterangan:
Limbong dan Sitorus (1985;75) menyatakan bahwa marjin pemasaran
memiliki tiga sifat umum yaitu:
a. Marjin pemasaran pada setiap komoditi pertanian adalah berbeda-beda
dikarenakan perbedaan jasa yang diberikan
b. Marjin pemasaran produk hasil pertanian cenderung akan naik dalam
jangka panjang dengan menurunnya bagian harga yang diterima petani
akibat dari efek upah buruh dalam jangka panjang dan bertambah
tingginya pendapatan masyarakat karena kemajuan pembangaunan
ekonomi
c. Marjin pemasaran relatif stabil dalam jangak pendek terutama dalam
hubungannya dengan berfluktuasinya harga-harga produk hasil pertanian.
2.1.8 Struktur Pasar
Anindita (2004;24) menyatakan bahwa pendekatan struktur pasar dan
tingkah laku dilakukan untuk mengetahui bagaimana pasar berjalan secara adil
dan efisien dalam system pemasaran dengan menggunakan beberapa kriteria
berikut:
a. Tingkat konsentrasi pembeli dan penjual
b. Tingkat diferensiasi produk
c. Barriers to entry
d. Tingkat pengetahuan pasar
e. Tingkat integrasi dan diversifikasi
Ditambahkan pula oleh Anindita (2004;26), berdasarkan kondisi kriteria
diatas maka struktur pasar dapat diklarifikasikan menjadi pasar kompetitif,
oligopolistik, monopoli atau monopolistik. Winardi (1992;20) menegaskan bahwa
struktur pasar yang dihadapi oleh penjual akan berpengaruh terhadap penentuan
harga produknya.
Struktur pasar (market structure) adalah suatu dimensi yang menjelaskan
pengambilan keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam
suatu pasar, distribusi perusahaaan menurut berbagai ukuran seperti size atau
concentration, deskripsi produk dan diferensiasi produk, syarat-syarat entry dan
sebagainya Hammond dan Dahl (1997;27). Sruktur pasar dicirikan oleh
konsentrasi pasar, diferensiasi produk, dan kebebasan keluar masuk pasar. Dalam
analisis sitem pemasaran, struktur pasar sangat diperlukan karena secara otomatis
akan dijelaskan bagaimana perilaku penjual dan pembeli yang terlibat (market
conduct) dan selanjutnya akan menunjukan keragaan yang terjadi dari struktur dan
perilaku pasar (market performance) yang ada dalam sistem pemasaran tersebut.
Hammond dan Dahl (1997;44), menetapkan empat faktor penentu dari
karakteristik struktur pasar, yaitu: jumlah atau ukuran perusahaan, kondisi atau
keadaaan komoditas, kondisi keluar masuk perusahaan, dan tingkat pengetahuan
yang dimiliki oleh patisipan dalam pemasaran. Berdasarkan strukturnya, pasar
digolongkan menjadi dua yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan
tidak sempurna. Pasar persaingan sempurna jika terdapat banyak pembeli dan
penjual, setiap pembeli dan penjual hanya mengusai sebagian kecil dari barang
dan jasa, sehingga tidak dapat mempengaruhi harga pasar (price taker), barang
atau jasa homogeni serta pembeli dan penjual bebas keluar masuk pasar (freedom
to entry and to exit). Sedangkan pasar persaingan tidak sempurna dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu sisi penjual dan pembeli. Dari sisi pembeli terdiri dari pasar
monopsoni, oligopsoni dan sebagainya. Dari sisi penjual terdiri dari pasar
persaingan monopolipstik, monopoli, oligopoli dan sebagainya.
2.9 Farmer’s Share
Tomek dan Robinson (1990;114) menjelaskan bahwa bagian harga yang
diterima petani (farmer’s share) adalah suatu nilai hasil perbandingan antara
harga jual di petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen dan dinyatakan
dalam persentase. Tomek dan Robinson (1990;116) menambahkan bahwa
farmer’s share dan harga di tingkat petani memiliki kecenderungan untuk
bergerak naik atau turun bersama-sama, saat harga di tingkat petani menurun
maka farmer’s share akan menghasilkan persentase yang rendah, ini berarti
pemasaran terselenggara kurang baik. Farmer’s share mempunyai hubungan
negatif dengan marjin pemasaran maka bagian yang akan diperoleh petani
semakin rendah
2.1.10 Efisiensi Pemasaran
Setiap pelaku pemasaran menginginkan proses pemasaran dapat berjalan
seefisien mungkin, sedangkan terjadinya proses pemasaran yang tidak efisien
dikarenakan panjangnya saluran pemasaran, tingginya biaya pemasaran dan
kegagalan pasar (Anindita, 2004:22). Ada dua pengukuran efisiensi pemasaran
yaitu efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis.
Menurut Hanafiah & Saefuddin (2006:100), efisiensi teknis adalah upaya
pengendalian fisik produk dengan tujuan mengurangi kerusakan produk,
mencegah merosotnya mutu produk, dan menghemat tenaga kerja sehingga
mengakibatkan pengurangan biaya pemasaran. Efisiensi ekonomis bertujuan
penggunaan biaya yang serendah mungkin untuk memperoleh keuntungan.
Ditambahkan pula bahwa banyaknya lembaga perantara yang terlibat dalam
saluran pemasaran yang secara vertikal akan menambah biaya pemasaran dans
ebaliknya makin sedikit perantara maka pendistribusian makin cepat, makin
murah dan makin efisien produk.
2.2. Studi Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai kayu sengon (Paraserianthes falcataria),
kayu gergajian dan sistem pemasaran produk pertanian pernah dilakukan
sebelumnya. Beberapa judul penelitian yang pernah diteliti adalah:
Firman, N.S (1998), melakukan penelitian mengenai Analisis Efisiensi
Tataniaga Mangga Cengkir, Arumanis dan Gedong. Hasil penelitian menunjukan
marjin pemasaran di lokasi penelitian tidak merata dengan marjin terbesar pada
pengumpul dan Pedagang Antar Kota (PAK). Struktur pasar di tingkat petani,
tengkulak dan PAK dari sisi pembeli termasuk ke pasar oligopsoni. Sedangkan
sistem pasar di tingkat pengepul dan pedagang grosir dari sisi penjual adalah pasar
oligopoli. Dari hasil analisis marjin pemasaran dan keterpaduan pasar disimpulkan
sistem pemasaran di lokasi penelitian belum efisien.
Maryatun (1999), melakukan penelitian mengenai Analisis Biaya dan
Pemasaran (Marketing Marjin) kayu gerjgajian di DKI dengan studi kasus di
daerah Kalibaru. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan gambaran
tentang profil perdagangan yang berada di wilayah Kalibaru, mengidentifikasi
lembaga-lembaga yang terlibat dan menentukan efisiensi saluran pemasarannya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui lembaga pemasaran yang terlibat dalam
pemasaran kayu gergajian di Kalibaru adalah; distributor, pedagang besar dan
pengecer. Tingkat pengecer pada kayu Borneo Kalimantan merupakan tingkat
pemasaran yang efisien secara ekonomi, sedangkan kayu Keruing pada tingkat
distributor adalah jenis kayu yang efisien secara operasional
2.3 Kerangka Pemikiran
Hutan sebagai salah satu sumber daya alam memiliki manfaat bagi
kehidupan makhluk di dunia, manfaat tersebut sesuai dengan fungsi hutan yang
dapat diukur dengan nilai ekonomi (fungsi tangiable) dan tidak dapat diukur
dengan nilai ekonomis (fungsi intangiable). Dengan fungsi ekonomisnya, hutan
telah memberikan mafaat berupa hasil hutan dan non kayu. Hasil hutan berupa
kayu bulat (gelondongan atau log) dan berbagai hasil hutan lainnya. Hasil hutan
kayu tersebut digunakan sebagai bahan baku terhadap indutri kayu gergajian, yang
kemudian dimanfaatkan untuk bahan baku kayu pertukangan dan juga kayu
energy. Kayu pertukangan umumnya digunakan untuk pembuatan tiang, papan,
palang, bahan baku mebel serta berbagai macam jenis kebutuhan kayu lainnya.
Kebutuhan dan permintaan bahan baku kayu gergajian sangat bergantung terhadap
kualitas, kuantitas dan harga kayu. Berdasarkan kualitas, bahan baku kayu harus
sesuai dengan bentuk fisik yang diinginkan. Berdasarkan kuantitas, bahan baku
kayu tersbut harus tersedia dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat mendadak. Sedangkan berdasarkan harga, bahan baku
kayu tersebut harus memiliki harga yang terjangkau oleh konsumen. Salah satu
bahan kayu yang digunakan untuk indutri kayu gergajian di wilayah kecamatan
Leuwisadeng, kabupaten Bogor yaitu jenis kayu sengon (Paraserianthes
falcataria) atau dikenal dengan naman kayu Albisia atau Jeungjen. Banyaknya
kayu sengon yang tumbuh alami di wilayah kecamatan Leuwisadeng menjadikan
kayu sengon sebagai pilihan utama untuk industri gergajian. Hal ini yang
menjadikan kebutuhan kayu di wilayah tersebut semakin meningkat dari hari ke
hari. Akan tetapi disisi lain peningkatan kebutuhan kayu tersebut tidak dapat
diimbangi oleh pasokan bahan baku yang tersedia di alam yang semakin dari
jumlahnya semakin menurun.
Berdasarkan pengamatan awal di wilayah penelitian masih sedikit
(diperbaiki) jumlah petani sebagai produsen kayu yang mengelola kebun
sengonnya dengan baik. Sebagian petani beranggapan bahwa hasil penjualan kayu
sengon hanya merupakan pendapatan sampingan sehingga mereka enggan untuk
mengeluarkan biaya tambahan untuk pemeliharaan kebun. Kurangnya motivasi
petani untuk membudidayakan tanaman sengon secara terpadu di wilayah
Kecamatan Leuwisadeng dan adanya penurunan jumlah permintaan bahan baku
kayu sengon dari awal menjadi hal yang menarik untuk melakukan kajian lebih
jauh mengenai prospek pengembangan kayu sengon di kebun-kebun milik
masyarakat. Selain itu juga untuk mengetahui kondisi sistem pemasaran kayu
sengon di wilayah penelitian, perlu juga dikasi lebih jauh mengenai bagaimana
tingkat efisiensi sistem pemasaran kayu sengon yang sedang terjadi saat ini.
Pengukuran tingkat efisiensi pemasaran tersebut dilakukan dengan
pendekatan marjin pemasaran dan sistem pemasaran yang ada, yaitu dengan
mengidentifikasi lembaga pemasaran dan jalur pemasaran kayu sengon serta
kondisi harga yang berlaku ditingkat produsen dan konsumen di wilayah
penelitian. kajian mengenai efisiensi sistem pemasaran dan prospek
pengembangan kayu sengon tersebut dirasakan penting sebagai salah satu cara
meningkatkan produktivitas hasil panen kayu petani sehingga dapat memberikan
keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Dengan
diketahuinya tingkat efisiensi sistem pemasaran kayu yang terjadi, maka
selanjutnya diharapkan dapat dirumuskan beberapa alternatif pengembangan
pertanian sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraaan masyarakat
setempat. Untuk lebih jelas mengenai kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat
pada Gambar 4
Gambar 4 Kerangka Pemikiran Penelitian
SUMBER DAYA HUTAN
Fungsi tangiable (dapat diukur dengan nilai ekonomi Fungsi intangiable
(sulit diukur dengan nilai ekonomi
Hasil Hutan Non Kayu Rekreasi,getah,air,rotan, buah,dll
Hasil Hutan kayu Sengon
Pemasaran Petani sebagai price-taker
Industri kayu gergajian Suplai kayu pertukangan dan energi
Efisiensi pemasaran
1. Analisis Saluran dan lembaga pemasaran
2. Analisis Fungsi Pemasaran 3. Analisis Struktur Pasar 4. Analisis Marjin Pemasaran 5. Analisis Farmer’s Share
Hasil Perumusan Saluran Distribusi yang tepat
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan Februari
2011 di Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi ini
dipilih dengan pertimbangan kedekatannya terhadap bahan baku kayu, dan
banyaknya industri gergajian yang tersebar di sekitar wilayah penelitian
3.2. Jenis dan Pengumpulan Data
Data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung di lapangan. Wawancara
dilakukan berdasarkan kuesioner yang meliputi pertanyaan mengenai karakteristik
petani, jenis kayu, harga beli, harga jual, jumlah kebutuhan kayu, jumlah
produksi, sumber pembelian, arah penjualan, tujuan pembelian, dan teknik
pengangkutan. Kuesioner tersebut diberikan kepada individu atau kelompok yang
terlibat dalam saluran pemasaran kayu Sengon di wilayah Kecamatan
Leuwisadeng, yaitu meliputi petani sebagai produsen kayu, pengusaha seperti
pemilik material ataupun pemilik industri gergajian kayu, lembaga Pemerintah
yang terlibat seperti Perum Perhutani ataupun Penyuluh Kehutanan dan
masyarakat sekitar sebagai konsumen. Sedangkan data sekunder meliputi
informasi mengenai keadaan umum, letak geografis dan informasi lain yang
berkaitan dengan objek penelitian yang diperoleh dari Badan Statistik Kabupaten
Bogor, Dinas kehutanan Jawa Barat, Kantor Kecematan Leuwisadeng, Kantor
Kelurahan dan Perpustakaan.
3.3. Penentuan Responden
Responden penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan
melakukan penelusuran saluran pemasaran mulai dari tingkat petani sampai ke
tingkat sawmill. Penentuan responden diambil berdasarkan informasi dari
responden sebelumnya sehingga jalur pemasaran tersebut tidak terputus. Total
responden petani berjumlah 32 orang diambil di wilayah sekitar Kecamatan
Leuwisadeng, meliputi petani yang memiliki kebun yang sedang atau telah
ditanami kayu sengon dan petani yang memproduksi bibit sengon untuk
digunakan sendiri atau untuk dijual. Responden perantara informasinya diambil
dari responden petani, jumlah responden perantara sebesar 18 orang. Sedangkan
jumlah responden sawmill meliputi 11 industri pengolahan kayu yang melakukan
pembelian kayu sengon dari petani maupun petani di wilayah penelitian. Total
responden sebanyak 61 orang yang terdiri dari 32 petani, 18 perantara dan 11
sawmill
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis
kualitatif dilakukan dengan pengamatan terhadap keadaan lokasi, karakteristik
petani, struktur pasar, perilaku pasar, saluran pemasaran, lembaga pemasaran,
aspek pasar dan pemasaran, dan fungsi pasar.. Sedangkan analisis kuantitatif
dilakukan untuk melihat keragaan pasar dengan pendekatan analisis marjin
pemasaran dan Farmer’s Share.
3.4.1. Analisis Lembaga dan Saluran Pemasaran
Analisis ini ditujukan untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga dan
saluran pemasaran yang digunakan dalam pemasaran kayu sengon. Identifikasi
tersebut meliputi identitas, fungsi dan tata cara lembaga-lembaga tersebut dalam
rangka memasarkan kayu Sengon sampai kepada konsumen akhir. Analisis
lembaga dan saluran pemasaran dilakukan dengan mengamati proses pemasaran
yang melibatkan semua pihak yang terlibat didalamnya mulai dari petani Sengon
hingga konsumen akhir.
3.4.2. Analisis Fungsi Pemasaran
Analisis fungsi pemasaran dilakukan dengan mengamati fungsi-fungsi
pemasaran yang dilakukan oleh lembaga pemasaran yang terlibat dalam satu
saluran pemasaran, diantaranya fungsi penjualan, pembelian, penyimpanan,
pengolahan, pengangkutan, standardisasi dan grading, pembiayaan, penanggungan
resiko, pembayaran dan informasi. Dalam analisis ini akan diketahui apakah
fungsi pemasaran yang dilakukan dapat mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan
pemilikan yang memisahkan produk dari orang yang membutuhkan atau
menginginkan.
3.4.3. Analisis Struktur Pasar
Analisis struktur pasar diperoleh dari pengamatan terhadap transaksi
penjualan dan pembelian kayu Sengon selama penelitian untuk memperoleh
informasi mengenai jumlah pembeli dan penjual yang terlibat, jenis transaksi yang
terjadi (keberadaan kontak transaksi), penentuan harga, informasi pasar, keadaan
produk dan kondisi keluar masuk pasar. Analisis struktur pasar ditujuan untuk
mengetahui kondisi persaingan diantara produsen dan konsumen kayu yang
terdapat di wilayah penelitian. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur pasar dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Struktur Pasar
KARAKTERISTIK STRUKTUR PASAR Jumlah
Partisipan Sifat Produk Sisi Penjual Sisi Pembeli
Banyak Standar Persaingan Murni
Persaingan Murni
Banyak (homogen) Diferensiasi
Persaingan Monopolistik
Persaingan Monopolistik
Beberapa Standar Oligopoli Murni
Oligopsoni Murni
Beberapa Diferensiasi Oligopoli Diferensiasi
Oligopsoni Diferensiasi
Satu Unik Monopoli Monopsoni Sumber : Hammond dan Dahl, 1997
3.4.4. Analisis Marjin Pemasaran
Marjin pemasaran dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan
dengan pembelian pada setiap tingkat lembaga yang terlibat dalam pemasaran
kayu Sengon. Besarnya marjin pemasaran pada dasarnya merupakan penjumlahan
dari biaya-biaya pemasaran dan keuntungan yang diterima lembaga pemasaran.
Secara matematis hubungan antara marjin pemasaran, biaya pemasaran dan
keuntungan lembaga pemasaran dapat dinyatakan sebagai berikut:
Mi = Hji - Hbi, dan
Mi = Bi + πi, sehingga
Hji – Hbi = Bi + πi
Keterangan :
Mi = Marjin pemasaran pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Hji = Harga penjualan pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Hbi = Harga pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Bi = Biaya pemasaran pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
πi = Keuntungan pemasaran pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
i = 1,2,3…n
Penyebaran marjin Pemasaran kayu Sengon dapat juga dilihat berdasarkan
persentase keuntungan terhadap biaya pemasaran pada masing-masing lembaga
pemasaran. Perhitungan dilakukan dengan mempergunakan rumus:
Rasio Biaya – Keuntungan (%) =
Keterangan :
πi = Keuntungan pemasaran lembaga ke-i (Rp/kg)
Bi = Biaya pemasaran lembaga ke-i (Rp/kg)
3.4.5. Analisis Farmer’s Share
Anindita (2004 : 113) menyatakan bahwa bagian harga yang diterima
petani (Farmer’s Share) adalah
Pp FS = x 100% Pe
Keterangan:
FS = Bagian yang diterima petani
Pp = Harga jual ditingkat petani
Pe = Harga yang dibayarkan konsumen
3.5. Definisi Operasional
1. Jenis kayu sengon yang menjadi objek penelitian adalah jenis
Paraserianthes falcataria atau biasa disebut masyarakat sekitar dengan
Jeungjing atau Albizia.
2. Saluran pemasaran adalah saluran yang terbebntuk dari kegiatan
pemasaran kayu sengon Kecamatan Leuwisadeng
3. Lembaga pemasaran adalah pelaku yang terlibat dalam kegiatan
pemasaran kayu sengon Kecamatan Leuwisadeng.
4. Fungsi pemasaran adalah kegiatan yang dilakukan lembaga pemasaran
selama proses pemasaran berlangsung
5. Petani Sengon adalah pelaku pemasaran yang berfungsi membudidayakan
pohon sengon kemudian yang menjualnya ke perantara ataupun sawmill.
6. Perantara adalah pelaku pemasaran yang berfungsi mempertemukan atau
memfasilitasi petani dengan sawmill. Merupakan pedagang yang membeli
pohon berdiri dan menjualnya dengan merubah bentuk atau masih bentuk
gelondongan (log). Kayu-kayu tersebut dikumpulkan dan diletakkan di
tepi jalan, dikenal juga sebagai “pengepul”.
7. Sawmill adalah Indutri yang memiliki alat gergajian untuk mengolah kayu
log menjadi kayu ukuran tiang, papan, kusen,reng, palet atau bentuk
lainnya yang diinginkan
8. Material adalah Pedagang yang membeli kayu olahan (tiang, papan, reng,
kaso) dari Industri Penggergajian Kayu yang kemudian dikumpulkan di
sebuah tempat (toko) untuk dijual
9. Harga per meter kubik ditingkat sawmill diasumsi untuk kayu olahan jenis
Kaso.
10. Harga jual lembaga pemasaran adalah harga rata-rata produk yang
dibayarkan oleh lembaga pemasaran selanjutnya dinyatakan dalam satuan
per meter kubik
11. Harga beli lembaga pemasaran adalah harga rata-rata produk yang
dibayarkan oleh lembaga pemasaran sebelumnya dinyatakan dalam satuan
per meter kubik
12. Biaya pemasaran adalah semua biaya yang dibayarkan oleh lembaga
pemasaran dalam pemasaran kayu sengon dan dinyatakan dalam satuan
per meter kubik
13. Marjin pemasaran adalah perbedaan antara herga yang dibayarkan
lembaga pemasaran dengan yang diterima oleh petani dan dinyatakan
dalam satuan per meter kubik
14. Farmer’s Share adalah bagian harga yang diterima petani dari
perbandingan antara harga yang diterima petani dengan harga jual
sawmill.
BAB IV LOKASI PENELITIAN
Wilayah Kabupaten Bogor terbagi menjadi 3 wilayah yakni Bogor Timur,
Bogor tengah dan Bogor Barat. Diantara ketiga wilayah tersebut, Bogor Barat
adalah wilayah yang memiliki potensi Hutan rakyat terbesar diantara ketiga
wilayah tersebut. Luas Areal hutan rakyat di Kabupaten Bogor tercatat 10.791,28
ha pada tahun 2005. Dari luas arela tersebut luas areal hutan sengon adalah
sebanyak 2.745,02 ha.
Berdasarkan sebaran arealnya, Bogor Barat merupakan wilayah kabupaten
Bogor yang memiliki areal hutan rakyat terluas hampir untuk semua jenis tanaman
yakni sekitar 7.362,27 ha atau sekitar 67,4% dari seluruh luas hutan rakyat di
kabupaten Bogor. Total luas lahan tersebut sebanyak 3.311,98 ha adalah hutan
rakyat yang ditanami Sengon
4.1. Letak dan Luas Wilayah
Kecamatan Leuwisadeng merupakan daerah pemekaran dari Kecamatan
Leuwiliang. Kecamatan Leuwisadeng memiliki luas sekitar 4.010,03 ha dan
ketinggian 500-1000 meter dpl. Kecamatan Leuwisadeng berbatasan dengan
Kecamatan Rumpin di sebelah utara, Kecamatan Nanggung di sebelah selatan,
Kecamatan Leuwiliang disebelah timur, Kecamatan Nanggung dan Leuwiliang di
sebelah barat. Kecamatan Leuwisadeng terdiri dari 8 desa atau kelurahan, yaitu
Babakan Sadeng, Kalong I, Kalong II, Leuwisadeng, Sadeng, Sadengkolot,
Sibanteng dan Wangun Jaya
4.2. Tata Guna Lahan
Kecamatan Leuwisadeng memiliki luas lahan sebesar 3.258,35 ha. Dari
penggunaan lahan tersebut diketahui bahwa luas areal pertanian, dalam hal ini
meliputi sawah, ladang dan kehutanan sebesar 2.519,6 ha atau sekitar hampir
77,33 %. Sisanya meliputi pekarangan, perumahan, empang, kuburan, tanah
kosong, jalan dan lainnya. Perbandingan luas lahan dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Tabel 3. Data Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Leuwisadeng tahun
2009
No Jenis Penggunaan Lahan Luas Persentasi
1 Lahan Pertanian 2.519,6 77,33
2 Pekarangan 140,9 4,32
3 Perumahan 545,2 16,73
4 Lainnya 52,65 1,62
Jumlah 3.258,35 100 Sumber : BPS Bogor 2009 data diolah
4.3. Sosial Ekonomi Masyarakat
Dalam laporan per Kecamatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor,
Kecamatan Leuwisadeng terdapat sebanyak 15.594 KK (kepala keluarga), 267 RT
(rukun tetangga), 57 RW (rukun warga) dan 8 Kelurahan.
4.3.1. Menurut Usia
Jumlah penduduk di Leuwisadeng menurut Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bogor tahun 2009 adalah sebanyak 70.682 jiwa. Golongan usia
terbanyak ada diantara 15-29 tahun dengan presentase sebesar 29,63 % atau
sebanyak 20.946 jiwa.
Tabel 4. Data Pengelompokan Usia di Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009
No Usia (Tahun) Jumlah Jiwa Persentase 1 0-14 20.127 28,48 2 15-29 20.946 29,63 3 30-44 16.469 23,30 4 45-54 6.548 9,26 5 55+ 6.592 9,33 Jumlah 70.682 100
Sumber: BPS Bogor 2009 data diolah
Jika kita melihat tabel bahwa untuk usia 55 tahun keatas hanya sebesar
9,33 % atau sebanyak 6.592 jiwa. Sedangkan usia antara 0-14 tahun sebesar 28,48
% atau sebanyak 20.127 jiwa. Diluar itu semuanya adalah antara 15-55 tahun
jumlahnya lebih dominan dibandingkan yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa
tenaga kerja yang produktif masih tersedia.
4.3.2. Menurut Mata Pencaharian
Dari total jumlah penduduk yang tinggal di Leuwisadeng, hanya sekitar
20.312 orang yang terdaftar memiliki mata pencaharian. Distribusi mata
pencaharian warga kecamatan Leuwisadeng didominasi oleh Pedagang dan buruh.
Sedangkan untuk petaninya sendiri, yang terdaftar di Badan Pusat Statistik Bogor
tahun 2009 adalah sebanyak 744 jiwa.
Tabel 5. Data Pengelompokan Pekerjaan Kecamatan Leuwisadeng tahun
2009
No Pekerjaan Jumlah penduduk 1 PNS 606 2 TNI/POLRI 29 3 Pegawai/ Karyawan 1.981 4 Pedagang/ Wirausaha 7.110 5 Petani 744 6 Peternak 12 7 Jasa 1.637 8 Buruh 8.068 9 Lainnya 125 Jumlah 20.312
Sumber: BPS Bogor 2009 data diolah
4.3.3. Menurut Jenis Kelamin
Jumlah pendudukan berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Leuwisadeng
menunjukan bahwa berbandingan antara laki laki dan perempuan menunjukan
bahwa jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan. Berdasarkan
tabel dibawah ini menunjukan bahwa jumlah laki-laki sebesar 51,75 % atau
sebanyak 36.385 jiwa dan perempuan sebesar 48,25 % atau sebesar 34.101 jiwa.
Tabel 6. Data Pengelompokan Jenis Kelamin Kecamatan Leuwisadeng tahun 2009
Kecamatan Laki-laki Perempuan TOTAL jumlah Persentase Jumlah Persentase
Leuwisadeng 36.385 51,75 34.101 48,25 70.682 Sumber : BPS Bogor 2009 data diolah
4.3.4. Menurut Latar Belakang Pendidikan
Berdasarkan latar belakang pendidikan, dari total keseluruhan masyarakat
Leuwisadeng hanya sebesar 58.871 jiwa yang mengenyam pendidikan. Sisanya
memang tidak sekolah atau belum sekolah. Berdasarkan jenjang pendidikan,
SD/sederajat menempati mayoritas dengan nilai sebesar 61,14 % atau sebesar
35.993 jiwa. Dan diposisi selanjutnya ditempati SLTP/sederajat sebesar 29,48
persen atau sebanyak 17.355 jiwa.
Tabel 7. Data Pengelompokan Jenjang Pendidikan Kec. Leuwisadeng tahun 2009
No Jenjang pendidikan Jumlah Penduduk Persentase 1 SD/Sederajat 35.993 61,14 2 SLTP/Sederajat 17.355 29,48 3 SLTA/Sederajat 4.369 7,42 4 Diploma I/II 278 0,47 5 Akademi/ Diploma III 128 0,22 6 Strata I 274 0,47 7 Strata II 463 0,79 8 Strata III 11 0,02 TOTAL 58.871 100
Sumber : BPS Bogor 2009 data diolah
Berdasarkan tabel diatas untuk jenjang pendidikan Diploma dan Sarjana
total hanya sebanyak 1.154 jiwa atau sekitar 1,96 % dari total keseluruhan jenjang
pendidikan.hal ini menunjukan bahwa jenjang pendidikan masyarakat di
Leuwisadeng tergolong rendah.
4.4. Data Responden
Berdasarkan data responden yang didapat dilapangan, maka
pengelompokan responden dapat dibagi menjadi usia, pekerjaan dan
Pendidikannya. Pengelompokan usia dibagi menjadi rentang usia 38-42 tahun, 43-
47 tahun, 48-52 tahun dan 53-58 tahun. Pengelompokan pekerjaan dibagi menjadi
guru, petani, karyawan, PNS, buruh, pedagang dan wiraswasta. Pengelompokan
pendidikan dibagi menjadi SD, SLTP, SLTA dan S1
Tabel 8 Tabulasi Responden Penelitian
Latar Belakang Petani Perantara
Usia
38-42 9 0 43-47 8 4 48-52 4 7 53-58 11 7
Pekerjaan
Guru 5 2 Petani 17 3 Karyawan 2 4 PNS 4 0 Buruh 1 6 Pedagang 3 0 Wiraswasta 0 3
Pendidikan
SD 18 8 SLTP 3 5 SLTA 10 5 S1 1 0
Sumber: Data lapangan diolah
Berdasarkan tabel di atas rata-rata usia petani terdapat pada rentang usia
antara 53-58 tahun sebanyak 11 orang begitu pula dengan usia perantara terdapat
pada rentang usia 53-58 tahun sebanyak 7 orang. Berdasarkan rata-rata latar
belakang pekerjaan petani sebanyak 17 orang murni berprofesi sebagai petani dan
pekerjaan perantara didominasi oleh buruh sebanyak 6 orang. Berdasarkan tingkat
pendidikan, rata-rata petani hanya lulusan SD sebanyak 18 orang, sama halnya
dengan perantara yang hanya lulusan SD sebanyak 8 orang.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Lembaga dan Saluran Pemasaran Kayu Sengon
Lembaga Pemasaran yang terlibat dalam kegiatan Pemasaran kayu Sengon
pada wilayah penelitian adalah; Petani kebun sengon, Perantara Kayu, Industri
Penggergajian Kayu (Sawmill), Material, dan Industri luar Daerah
1. Petani Sengon
Produsen penghasil kayu yang berasal dari lahan milik sendiri atau sewa
2. Perantara Kayu
Merupakan pedagang yang membeli pohon berdiri dan menjualnya dengan
merubah bentuk atau masih bentuk gelondongan (log). Kayu-kayu tersebut
dikumpulkan dan diletakkan di tepi jalan, dikenal juga sebagai “pengepul”.
3. Industri Penggergajian Kayu (Sawmill)
Indutri yang memiliki alat gergajian untuk mengolah kayu log menjadi
kayu ukuran tiang, papan, kusen,reng, palet atau bentuk lainnya yang
diinginkan
4. Material
Pedagang yang membeli kayu olahan (tiang, papan, reng, kaso) dari
Industri Penggergajian Kayu yang kemudian dikumpulkan di sebuah
tempat (toko) untuk dijual
5. Industri Luar daerah
Merupakan industri yang letaknya diluar tempat penelitian yang membeli
kayu gelondongan atau kayu olahan untuk dijadikan barang lain yang
mempunyai nilai jual tinggi, seperti industri mebel dll
Saluran pemasaran pada penelitian ini adalah serangkaian Organisasi yang
terdiri dari Petani, Perantara, Sawmill, dan Material yang saling ketergantungan
dan terlibat dalam proses pemasaran. Berdasarkan hasil pengamatan selama
penelitian secara umum dapat dikelompokan menjadi 3 saluran pemasaran, yaitu:
Saluran 1 terdiri atas Petani, Perantara, Sawmill dan Material
Saluran 2 terdiri atas Petani, Sawmill, dan Material
Saluran 3 terdiri atas Petani, Perantara, Sawmill dan Industri Luar Daerah
Saluran Pemasaran yang paling dominan terjadi di daerah penelitian
adalah Saluran 1 yang terdiri atas Petani, Perantara, Sawmill dan Material.
Saluran pemasaran ini disajikan dalam gambar 5
Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3
PETANI
Gambar 5. Saluran Pemasaran Kayu Sengon di Kecamatan Leuwisadeng
Umumnya saluran pemasaran kayu Sengon yang terjadi di lokasi
penelitian merupakan suatu kebiasan yang telah mereka lakukan selama ini.
Seperti contohnya beberapa petani kayu telah memiliki pembeli atau langganan
khusus yang siap menampung hasil panen dari kebunnya. Beberapa hal yang
menjadi alasan petani untuk tidak berpindah langganan dalam menjual hasil
panennya adalah karena faktor kepercayaan antara para pelaku pemasaran. Hasil
pengamatan dan analisis data dilapangan, didapatkan bahwa saluran pemasaran
yang banyak dipilih oleh pelaku saluran pemasaran adalah saluran 1 yang terdiri
dari Petani-Perantara-Sawmill-Material. Data penunjukan bahwa sebesar 50%
atau 16 orang dari 32 petani memilih menyalurkan kayu sengon ke saluran
pemasaran 1, selanjutnya sebesar 31,25% atau 10 orang dari 32 petani
menyalurkan kayu sengon ke saluran pemasaran 3 dan sebesar 18,75% atau 6
orang dari 32 petani menyalurkan kayu sengon ke saluran pemasaran 2.
Saluran 1 paling banyak dipilih disebabkan karena petani di Kecamatan
Luewisadeng cenderung bersifat pasif sehingga hal ini membuka peluang bagi
Perantara Sawmill Perantara
Sawmill Material Sawmill
Material Industri Luar Daerah
para perantara untuk mencari bahan baku ke wilayah-wilayah desa yang kemudian
ditawarkan kepada sawmill. Selain itu keuntungan lainnya yang didapatkan oleh
para perantara adalah mereka hanya membeli kayu berbentuk gelondongan (log),
sehingga tidak memerlukan perlakuan khusus untuk merubah bentuk kayu. Hal ini
dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan perantara, disisi lain keuntungan dari
hasil penjualan kayu log lebih tinggi dan perputaran uangnya lebih cepat. Lebih
tinggi karena jumlah pelaku pemasaran lebih sedikit, dengan resiko yang sedikit
pula. Perputaran uang lebih cepat karena kayu log dapat cepat dibeli atau
ditampung oleh sawmill.
Saluran 2 merupakan saluran pemasaran kayu Sengon yang kondisi
didalamnya hampir mirip dengan Saluran 1, namun perbedaanya adalah pelaku
pemasaran tidak memerlukan perantara. Kondisi ini sebenarnya jarang dijumpai di
lokasi penelitian mengingat karekteristik petani yang pasif. Hanya sebagian petani
yang memiliki Inisiatif untuk menjual langsung ke sawmill. Atau bisa juga terjadi
bahwa perantara merupakan suruhan dari pihak sawmill, bukan individu yang
independen sebagai perantara. Namun jarang sekali sawmill yang seperti ini di
lokasi penelitian, kebanyakan antara perantara dan sawmill saling berdiri sendiri.
Saluran 3 merupakan trend yang sedang berkembang atau bisa dibilang
berpotensi akan menjadi saluran pemasaran utama di lokasi penelitian namun
belum banyak dillakukan, saluran pemasaran ini terdiri dari Petani-Perantara-
Sawmill-Industri Luar daerah. Mengingat sekarang kayu Sengon sudah menjadi
Primadona saat ini, permintaan kayu Sengon dari luar daerah cukup besar
terutama dari Industri perkayuan. Mulai dari saat ini sudah mulai banyak sawmill
yang mulai bekerja sama dengan pihak dari luar daerah untuk mengirimkan kayu
Sengon dalam satuan meter kubik untuk diolah menjadi barang-barang Industri
perkayuan seperti bangku, lemari dll.
5.2. Analisis Fungsi Pemasaran Kayu sengon
Lembaga pemasaran merupakan suatu lembaga atau organisasi yang
membantu produsen yaitu petani kayu Sengon menjalankan kegiatan fungsional
pemasaran yang tidak dapat dilakukannya. Kegiatan fungsional pemasaran adalah
kegiatan yang bertujuan memperlancar pemasaran kayu Sengon sehingga dapat
dinikmati konsumen secara efektif dan efisien. Pada tabel 9 dibawah menunjukan
fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh Petani, Perantara dan Sawmill
Tabel 9. Fungsi pelaku pemasaran kayu Sengon Kecamatan Leuwisadeng
Fungsi pemasaran Petani Perantara Sawmill
Pembelian √ √ √
Penjualan √ √ √
Penyimpanan - - √
Pengangkutan - √ √
Standarisasi dan grading - - √
Biaya Pemasaran - √ √
Pengambilan Resiko √ √ √
Penelitian Pasar (Market Research) √ √ √
Demand Creation - √ - Sumber: Data Lapangan diolah
5.2.1. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Petani
Proses pemasaran Kayu Sengon di Kecamatan Leuwisadeng dimulai dari
petani yang melakukan beberapa fungsi pemasaran, diantaranya pembelian,
penjualan dan pengambilan resiko. Fungsi pembelian yaitu petani membeli
kebutuhan produksi diantaranya bibit sengon, pupuk, obat, dll. Kebutuhan
produksi ini diperoleh melalui pembelian ke pedagang dengan sistem
pembayaran secara tunai dan kredit.
Fungsi penjualan yaitu petani menjual hasil pembesaran pohon sengonnya
ke perantara. Sistem pembayaran untuk penjualan kayu Sengon dari petani ke
perantara dilakukan secara tunai yaitu perantara membayar tunai sejumlah harga
yang disetujui.
Masa produksi hingga pemanenan diantara petani berbeda antara usia 4-5
tahun. Pemeliharan dan perawatan sengon yang dilakukan petani menetukan
tingkat kematian pohon Sengon yang berarti merugikan petani. Kerugian inilah
yang akhirnya menimbulkan fungsi penanggungan resiko di petani
Fungsi penelitian pasar yaitu petani mencari informasi kayu sengon dari
berbagai media maupun dengan ikut pelatihan dan penyuluhan dari dinas
kehutanan terkait informasi mengenai harga kayu sengon sesuai dengan kualitas
dan kuantitas. Tujuannnya agar petani tidak menjual harga kayu sengon di bawah
harga pasaran yang justru akan merugikan petani
5.2.2. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Perantara
Perantara sebagai pihak kedua setelah petani dalam saluran pemasaran
berperan sebagai perantara antara petani dan sawmill, serta bertugas mengirimkan
kayu Sengon dalam bentuk gelondongan ke sawmill untuk diolah menjadi bentuk
satuan meter kubik. Adapun fungsi pemasaran yang dilakukan perantara adalah
Pembelian, Penjualan, Pengangkutan, Pembiayaan Pemasaran, Pengambilan
resiko, Penelitian Pasar dan demand creation.
Fungsi pembelian yaitu perantara membeli kayu sengon dari petani sesuai
dengan jenis dan kualitas yang dibutuhkan untuk dijual ke sawmill. Perantara
mendatangi petani yang telah diketahui memiliki kebun Sengon yang siap panen.
Setelah itu hal yang biasa dilakukan adalah petani menjual ke perantara pohon
sengon dalam bentuk belum dipanen, atau biasa disebut “jual berdiri”. Petani
biasanya tidak mau repot, semua biaya memanenan ditanggung oleh perantara.
Fungsi Pengangkutan yaitu perantara menggunakan alat transportasi mobil
pick up atau truk untuk mengangkut kayu Sengon dari kebun petani ke sawmill.
Fungsi Penanggungan Resiko yaitu perantara mengalami kerugian apabila dalam
proses panen dan pengakutan kayu mengalami kerusakan. Atau kejadian lain
apabila mengalami keterlambatan pengiriman yang membuat sawmill menagih
biaya kompensasi keterlambatan ke perantara. Namun tingkat penanggungan
resiko di perantara tidak sebesar penanggungan resiko yang dialami petani karena
waktu kepemilikan perantara atas kayu sengon paling pendek diantara lembaga
pemasaran lainnya.
Fungsi penelitian pasar yaitu perantara aktif dalam mencari informasi kayu
Sengon baik dari berbagai media cetak manpun dari informasi yang berkembang
di lokasi penelitian. Penelitian pasar ini untuk mengetahui harga dari kuantitas dan
kualitas kayu sengon yang berlaku di pasar, serta informasi penting lain. Informasi
yang didapat selanjutnya disebar ke kelangan petani dengan tujuan petani
menghasilkan kayu sengon sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang diperlukan
sehingga secara langsung mendukung keberhasilan pemasaran pedagang.
Fungsi Demand Creation yaitu perantara menciptakan permintaan dari
sawmill ataupun pembeli baru untuk kayu sengon. Fungsi demand Creation
dilakukan dengan menawarkan kayu sengon ke beberapa pihak yang berpotensi
membelinya. Fungsi pembiayaan yaitu perantara mengalokasikan,
memperhitungkan dan mencari bantuan modal untuk membayar semua biaya yang
timbul dari pemasaran kayu sengon. Adapun biaya yang timbul akibat
pelaksanaan fungsi pemasaran tersebut adalah biaya tenaga kerja, chainsaw dan
biaya transportasi seperti yang disajikan pada tabel 10
Tabel 10. Marjin,Keuntungan dan Biaya Pemasaran Ditingkat Perantara
(Rupiah/m3)
Uraian Marjin Pemasaran
Biaya Keuntungan Tenaga
Kerja Chainsaw Transportasi
Harga 306.184 58.894 18.940 23.000 205.351 % 100 19.23 6.19 7.51 67.07
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada tabel diatas diketahui bahwa ada 3 komponen biaya pemasaran yang
dikeluarkan perantara yaitu tenaga kerja, chainsaw, dan transportasi. Biaya tenaga
kerja adalah biaya yang dibayarkan atas pelaksanaan kegiatan upah pekerja mulai
dari proses memanenan dikebun petani hingga kayu sampai di sawmill, biaya ini
sebesar Rp.58.894/m3. Biaya Chainsaw adalah biaya peralatan penebang kayu
sengon biaya ini sebesar Rp.18.940/m3. Biaya transportasi adalah biaya yang
dibayarkan perantara atas pelaksanaan fungsi pengakutan mulai dari sewa mobil
hingga bensinnya, biaya ini sebesar Rp.23.000/m3
Total biaya pemasaran ditingkat perantara dari ketiga kompenen biaya
yang dikeluarkan untuk pemasaran yaitu sebesar Rp.100.834/m3. Keuntungan
ditingkat perantara untuk pemasaran kayu sengon adalah sebesar Rp.205.351/m3
5.2.3. Analisis Fungsi Pemasaran di Tingkat Sawmill
Sawmill adalah sebagai pihak ketiga yang harus mengirimkan barang ke
material memiliki fungsi pemasaran yang lebih banyak dibandingkan perantara.
adapun fungsi pemasaran yang dilakukan sawmill, yaitu pembelian, penjualan,
penyimpanan, pengakutan, standarisasi dan grading,pembiayaan, pengambilan
resiko, penelitian pasar (market research) dan demand creation
Fungsi pembelian yaitu kegiatan sawmill dalam mendapatkan persediaan
kayu sengon dari perantara. Dalam menentukan kebutuhan persedian kayu
sengon, sawmill menggunakan perencanaan jumlah kayu sengon yang diminta.
Perencanaan ini berdasarkan permintaan dari material ataupun kapasitas produksi
sawmill.
Fungsi standarisasi dan grading yaitu kegiatan sawmill mengecek kembali
kayu sengon dari perantara, harus sesuai diameter dan panjang kayu. Karena
nantinya akan dibuat perencanaan dalam proses pengolahan, mau dijadikan
bentuk tiang, papan,kaso ataupun palang. Perencaan dibuat untuk meminimalisir
penyusutan yang terjadi.
Fungsi penyimpanan yaitu kegiatan sawmill menyimpan kayu sengon
yang telah diolah serta di standarisasi dan grading ke dalam gudang yang telah
disediakan. Tempat penyimpanan ini bertujuan sebagai tempat persinggahan
sementara dan juga mempersiapkan kondisi kayu sengon olahan untuk dikirim ke
material.
Fungsi penjualan yaitu segala kegiatan penjualan sawmill hingga kayu
sengon sampai ke material. Semua kegiatan penjualan dijalankan dengan bekerja
sama dengan material untuk menfolahan jenis kayu olahan berdasarkan pesanan
dari material dari ukuran, kualitas dan kuantitas kayu olahan.
Fungsi penanggungan resiko yaitu sawmill menanggung semua resiko
yang timbul saat pengolahan dan pemasaran hingga kayu olahan sampai ke
material. Adapun resiko yang ditanggung adalah kesalahan pada saat pengolahan,
kerusakan saat penyimpanan dan pengangkutan serta kerugian akibat biaya
pembelian dan perawatan.
Fungsi pengangkutan yaitu kegiatan pengiriman kayu olahan ke sawmill.
Dalam pengangkutan ke sawmill menggunakan alat transportasi mobil yang
tertutup guna meminimalisir kerusakan yg terjadi akibat proses pengiriman kayu
ke sawmill.
Fungsi penelitian pasar yaitu kegiatan yang menunjang pemasaran berjalan
secara efektif dan efisien. Adapun pelaksanaannya dilakukan dengan
mengumpulkan informasi dari berbagai media cetak ataupun informasi yang
berkembang ditempat penelitian. Lalu informasi ini diteruskan ke perantara guna
mendapatkan diameter, kualitas dan kuantitas yang diinginkan.
Fungsi pembiayaan yaitu kegiatan sawmill melakukan pembiayaan atas
biaya yang keluar untuk keperluan pengolahan dan biaya pemasaran. Biaya-biaya
pemasaran yang dikeluarkan sawmill disajikan pada tabel 11
Tabel 11. Marjin, Keuntungan dan Biaya Pemasaran Ditingkat Sawmill
(Rupiah/m3)
Uraian Marjin Pemasaran
Biaya Keuntungan Tenaga
Kerja Chainsaw Trans-portasi Bandsaw
Harga 281.169 69.091 22.273 33.636 33.182 122.987 % 100 24.57 7.92 11.96 11.8 43.74
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada tabel di atas diketahui bahwa ada 4 komponen biaya pemasaran
ditingkat sawmill yaitu biaya tenaga kerja, chainsaw, transportasi dan bandsaw.
Biaya tenaga kerja adalah meliputi semua biaya yang keluar akibat pembayaran
upah tenaga kerja untuk kegitan bongkar muat di sawmil, pemotongan kayu,
pengakutan, perawatan kayu selama di sawmill dll sebesar Rp.69.901/m3. Biaya
Chainsaw adalah biaya pemotongan kayu dalam bentuk Log kedalam bentuk yang
lebih kecil lagi agar dapat dibentuk ke dalam bentuk kotak didalam pemotongan
Bandsaw, biaya ini sebesar Rp.22.273/m3.
Biaya transportasi adalah biaya pengakutan dari sawmill ke lokasi pembeli
selanjutkany baik itu material ataupun industri lain baik dalam maupun luar kota,
biaya ini diperkirakan sebesar Rp.33.636/m3. Biaya Bandsaw adalah biaya yang
ditimbulkan dari proses pembentukan kayu dari log ke bentuk kotak persegi
panjang, biaya yang dikeluarkan untuk bandsaw meliputi biaya bahan bakar dan
baiaya asah gergaji yaitu sebesar Rp.33.182/m3.
Total biaya pemasaran ditingkat sawmill dari keempat kompenen
pemasaran yaitu sebesar Rp 158.182/m3. Keuntungan ditingkat perantara untuk
pemasaran kayu sengon adalah sebesar Rp 122.987/m3
5.3. Analisis Struktur Pasar Kayu Sengon
5.3.1. Pembeli dan Penjual
Pemasaran kayu sengon melibatkan beberapa penjual dan pembeli. Selama
penelitian berlangsung terhitung ada beberapa petani yang terlibat dalam
pemasaran kayu sengon. Mereka umumnya tergabung dalam kelompok tani.
Perantara yang ada di kecamatan Leuwisadeng terdiri dari individu dan beberapa
merupakan orang suruhan dari sawmill.
Jumlah sawmill sendiri di Kecamatan Leuwisadeng terdiri dari 11 sawmill,
yaitu UD Putra Mahkota, Cahaya Alam, Sipa Jaya, PD Permata Putra, Nanda
Jelambar, Salira Indah, PD Goa Putra, CV Karya Jaya, CV Dian Surya Gemilang,
Wande dan Dedi Hudaedi. Seluruh sawmill ini merupakan Pengolahan kayu yang
menjadikan Sengon sebagai produk utamanya, selain itu juga ada beberapa kayu
lain seperti Kayu Afrika, Jabon, Gmelina, Jati dan Durian.
Untuk Material sendiri jumlahnya tidak terlalu banyak di Kecamatan
Leuwisadeng, selama penelitian hanya ada satu material yang ada di Kecamatan
Leuwisadeng yaitu Toko Sinar Sakti. Toko material lain berada diluar kecamatan
Leuwisadeng yaitu didaerah Leuwiliang, Jasinga, Nanggung dan Bogor Kota.
5.3.2. Keadaan Produk
Umumnya jenis kayu yang diperdagangkan di wilayah penelitian
Kecamatan Leuwisadeng adalah jenis kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)
atau yang lebih dikenal masyarakat sekitar dengan sebutan kayu jeunjing. Jenis
kayu lain yang diperdagangkan di kecamaran Leuwisadeng antara lain: kayu
Afrika (Maesopsis eminii), kayu Jabon (Anthocephalus cadamba), kayu
Gmelina/Jati putih (Gmelina arborea), kayu Jati (Tectona grandis) dan kayu
Durian (Durio zibethinus)
Untuk jenis kayu Sengon pada tingkat Industri Penggergajian Kayu (IPK)
dapat dihasilkan bermacam-macam kayu olahan dengan berbagai macam ukuran
seperti; bentuk tiang, papan, kaso, kusen, palang, reng, palet. Untuk bentuk tiang
dapat dibuat 10 cm x 10 cm. Papan dibuat dengan ukuran 3 cm x 20 cm. Kaso
dengan ukuran 6 cm x 6 cm. Kusen bahan jendela dan pintu biasanya berukuran 7-
8 cm x 15 cm. Palang dada umumnya berukuran 5 cm x 10 cm. Reng berukuran 2
cm x 3 cm dan merupakan jenis olahan kayu yang paling kecil. Sedangkan palet
yang digunakan untuk bahan baku pembuat beraneka ragam meubel berukuran 3
cm x 8-10 cm. Semua jenis kayu olahan umumnya memiliki panjang ukuran kayu
yang sama yaitu 200 cm, 250 cm dan 300 cm. Kecuali jenis palet dapat dihasilkan
kayu dengan ukuran 100 cm, 120 cm dan 140 cm. Pada umumnya untuk industri
gergajian, selain menyediakan kayu dengan ukuran dan jenis tertentu, industri
juga menyediakan ukuran kayu pesanan berdasarkan kebutuhan konsumen.
Kayu olahan yang akan diperdagangkan umumnya diberikan perlakuan
terlebih dahulu dengan cara dikering anginkan dibawah terik sinar matahari
selama kurang lebih 3-7 hari. Kemudian kayu disusun berdasarkan jenis dan
ukurannya sehingga memudahkan dalam pengakutan
Di tingkat IPK (sawmill) selain dihasilkan kayu dengan jenis dan ukuran
tertentu, juga dihasilkan kayu sisa olahan (rendemen) yang berupa serbuk
gergajian, potongan-potongan kayu dan kulit kayu (bablir). Ketiganya dapat
dimanfaatkan dan memiliki nilai jual untuk digunakan sebagai kayu bakar. Pada
saat berlangsungnya penebangan, cabang dan ranting pohon yang sudah ditebang
hak kepemilikannya ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak penjual
(petani sengon) dengan pembeli (perantara). Kepemilikan cabang dan ranting ini
tidak mempengaruhi harga jual pohon yang bersangkutan.
Beberapa keuntungan yang didapatkan oleh industri gergajian apabila
mendapatkan pesanan dari material-material di sekitar kota Bogor seperti
Leuwiliang, Nanggung, Ciampea dan Dramaga ataupun luar daerah Bogor seperti
Jakarta, Tanggerang dan Bekasi , hal ini karena spesifikasi ukuran kayu olahan
yang lebih kecil dari seharusnya (potongan khusus). Untuk tiang berukuran 8 cm x
8 cm, papan berukuran 2 cm x 18 cm, kaso berukuran 4,5 cm x 4,5 cm dan palang
dada berukuran 4,5 cm x 8 cm. Sortimen khusus tersebut ditampung oelh material
material tersebut dengan standar harga yang sama. Sehingga walaupun bahan
baku yang tersedia di lokasi indutri kurang memadai akan tetapi tetap dapat
dimanfaatkan sehingga tidak ada bahan baku yang terbuang percuma. Data
selengkapnya tercantum pada tabel 12
Tabel 12. Bentuk dan Jenis kayu Olahan Kec. Leuwisadeng Tahun 2011
No Bentuk Kayu Ukuran Yang Dijual (cm) Ukuran Khusus (cm)
1 Tiang 10 x 10 x 200 10 x 10 x 250 10 x 10 x 300
8 x 8 x 200 8 x 8 x 250 8 x 8 x 300
2 Papan 3 x 20 x 200 3 x 20 x 250 3 x 20 x 300
2 x 18 x 200 2 x 18 x 250 2 x 18 x 300
3 Kaso 6 x 6 x 250
5 x 10 x 250 5 x 10 x 300
4,5 x 8 x 200 4,5 x 8 x 250 4,5 x 8 x 300
4 Palang 5 x 10 x 200 5 x 10 x 250 5 x 10 x 300
4,5 x 8 x 200 4,5 x 8 x 250 4,5 x 8 x 300
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada umumnya cabang dan ranting yang terbuang dijadikan bahan baku
kayu bakar oelh masyarakat untuk keperluan memasak dirumah ataupun bagi
industri kecil rumah tangga. Adanya cabang dan ranting yang digunakan sebagai
kayu bakar oleh masyarakat, dirasakan sebagainilai tambah bagi perantara, selain
hasil kayu gelondongan. Beberapa hal yang menjadi alasan perantara untuk
menjual kayu bakar atau menyerahkannya kepada pemilik kebun tergantung
lokasi penebangan. Apabila dirasakan biaya pemungutan kayu bakar lebih besar
dari harga jualnya maka perantara lebih baik memberikannya kepada petani
pemilik kebun. Selain itu juga tergantung cuaca pada saat pengakutan, apabila
cuca hujan maka kondisi jalan akan sedikit terhambat karena kondisi tanah yang
becek sehingga para kuli nagkut kayu akan kesulitan membawanya. Kesulitan
lainnya karena kondisi geografis daerah Leuwisadeng yang berbukit dan
bergunung sehingga umumnya kayu yang dipanen berada diatas lereng bukit yang
cukup tinggi dengan jalan yang masih berupa tanah
5.3.3. Kondisi Keluar Masuk Pasar
Kondisi keluar atau masuk ke suatu pasar diantara tingkat atau lembaga
pemasaran akan berbeda-beda. Pada tingkat petani hampir tidak ada halangan
untuk memasuki atau keluar dari pasar. Jika petani memiliki areal lahan yang
cukup dan memiliki modal produksi yang diperlukan untuk budidaya Sengon,
memiliki ketekunan dan kesabaran tinggi, maka setiap saat dapat bebas untuk
menentukan ikut serta atau tidak dalam pasar. Disamping itu juga menjadi petani
sengon tidak memerlukan suatu keahlian tertentu.
Pada tingkat perantara dan sawmill mungkin sedikit lebih sulit untuk
keluar masuk pasar sebagai pendatang baru ataupun masuk kembali setelah keluar
pasar. Adapun beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk turut serta dalam
pemasaran yaitu memiliki modal yang cukup besar, jaringan pemasaran yang luas,
jaminan konsistensi pasokan, serta kemampuan dalam melakukan transaksi atau
bernegoisasi.
Pada tingkat toko material karena hanya ada satu toko material yang saat
ini ada, hampir tidak ada halangan untuk masuk ke dalam pemasaran kayu
Sengon. Walaupun tergolong harus memiliki modal yang cukup besar, namun
karena diwilayah penelitian tidak banyak toko material yang menjadi pesaing.
Tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatian dari karakteristik user kayu
Sengon (pembeli akhir), mereka cenderung langsung membeli ke sawmill
ketimbang membeli di Material karena harganya lebih murah. Sehingga toko
material harus jauh dari sentra pengolahan kayu seperti sawmill.
5.3.4. Jenis Transaksi
Pada umumnya proses penjualan kayu Sengon dan jenis kayu lainnya
dilakukan petani dalambentuk pohon berdiri, akan tetapi ada juga yang
menawarkan kayu dalam bentuk sudah ditebang. Ada beberapa cara yang
digunakan dalam proses penjualan kayu di Kecamatan Leuwisadeng, diantaranya:
1. Petani menawarkan langsung kayu yang akan dijualnya kepada perantara
dengan menyebutkan kondisi fisik kayu seperti jenis, umur dan volume kayu
2. Perantara telah mengamati kebun-kebun kayu milik masyarakat sebelumnya.
Apabila ada jenis dan ukuran kayu yang dibutuhkan maka akan langsung
menanyakan apakah dijual atau tidak.
3. Perantara mendapatkan informasi dari pihak ketiga. Informasi tersebut
kemudian ditindak lanjuti dengan mensurvei langsung ke lokasi kebun kayu.
Umumnya pihak ketiga tersebut juga mendapat upah dari perantara yang
bersangkutan.
Setelah salah satu dari ketiga proses tersebut dilaksanakan, maka petani
dan perantara langsung melakukan tawar menawar harga sampai terjadinya
transaksi jual beli. Pada proses tersebut dibahas mengenai kesepakatan
pembayaran dengan sistem tunai atau tempo (mencicil). Perantara yang tidak
memiliki modal besar umumnya melakukan pembayaran dengan cara mencicil,
kadang kala para perantara ini meminjam modal terlebbih dahulu kepada sawmill
yang menjadi langganannya untuk menutupi kekurangan pembayaran. Kerjasama
antara sawmill dengan perantara terjalin karena adanya permintaan terhadap
kebutuhan kayu untuk industri, sehingga mereka memanfaatkan jasa perantara
untuk memenuhi kebutuhan kayu. Berdasarkan pengamatan di wilayah kecamatan
Leuwisadeng diperoleh data bahwa pada tingkat perantara yang menggunakan
sistem pembayaran tunai sebanyak 61,11 % dan 11,11 % dengan cara mencicil,
sisanya sebanyak 28,78 % menggunakan cara keduanya.
Sawmill yang ada di wilayah penelitian berjumlah 11 unit industri. Industri
tersebut hampir seluruhnya terletak di jalan Leuwiliang-Jasinga. Dari seluruh
industri tersebut tercatat sebanyak 54.55 persen industri membayar kontan,
sebanyak 27.27 persen dengan cara mencicil dan 18.17 persen dengan cara
keduanya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 13
Tabel 13. Sistem Pembayaran Kayu Sengon Kec. Leuwisadeng 2011
No Sistem Pembayaran
PELAKU PASAR
Perantara (orang) Persen (%) Sawmill
(unit) Persen (%)
1 Kontan 11 61.11 6. 54.55
2 Tempo 2 11.11 3. 27.27
3 Keduanya 5 27.78 2. 18.17
Total 18 100 11 100 Sumber: Data Lapangan diolah
Pembayaran dengan mencicil biasanya memakan waktu berkisar antara 2-
3 bulan setelah penebangan. Hal ini memang dirasakan memberatkan bagi petani
karena pada umumnya mereka menjual kayu untuk membayar kebutuhan-
kebutuhan penting yang bersifat mendadak seperti membayaran iuran sekolah
anak, membayar hutang piutang, membiayai hajatan seperti pernikahan, biaya
naik haji, ataupun kebutuhan mendesak lainnya.
Umumnya petani memprioritaskan penjualan kayunya kepada orang yang
sudah dipercaya akan membayar dengan lancar seperti kepada orang-orang yang
memiliki jabatan penting diwilayah desanya seperti; Guru, Petugas Kantor Desa,
ataupun Juragan-juragan tanah yang terkenal memiliki modal yang besar dan
memiliki sifat jujur.
5.3.5. Informasi Pasar
Informasi pasar yang berkenaan dengan kayu Sengon sangat dibutuhkan
oleh tiap pelaku pemasaran yang terlibat. Pemberian informasi yang lengkap
khususnya mengenai harga jual dan beli kayu Sengon hanya mungkin dilakukan
dengan pihak yang berada dalam tingkat atau kelompok lembaga pemasaran yang
sama, sehingga tidak pernah ada penyebaran informasi harga antara lembaga
pemasaran yang tidak satu tingkat. Hubungan diantara mereka hanyalah pada saat
terjadi transaksi jual beli kayu Sengon berlangsung. Lain halnya antara petani dan
perantara, umumnya diantara mereka sudah terjalin hubungan kekeluargaan
kerena memang diantara petani ada yang masih kerabat dekat, tetangga, atau
teman dekat sehingga tidak segan untuk saling berdiskusi dan bertukar informasi.
5.3.6. Harga dan Struktur Pasar
Salah satu indikator untuk melihat struktur pasar adalah lembaga
pemasarannya, umumnya komoditas pertanian memiliki jalur pemasaran yang
realtif panjang. Berdasarkan perbandingan jumlah petani dan jumlah perantara,
sawmill atapun Material, struktur pasar yang terbentuk dari sisi petani adalah
oligopsoni jumlah petani yang lebih banyak daripada perantara, sawmill maupun
material menyebabkan petani menjadi penerima harga (price taker). Lebih
jelasnya dapat dilihat di tabel 14.
Tabel 14. Lembaga Pemasaran Kayu Sengon Kec. Leuwisadeng Tahun 2011
No Pelaku Pasar Jumlah (orang) Persen (%) 1 Petani 32 51.61 2 Perantara 18 29.03 3 Sawmill 11 17.74 Total 62 100
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada tingkat pemasaran selanjutnya jumlah perantara lebih banyak
daripada jumlah sawmill. Dengan demikian struktur pasar yang terbentuk adalah
monopsoni. Hambatan untuk masuk sebagai pelaku pasar lebih tinggi karena
membutuhkan sejumlah modal yang besar dan proses penentuan harga didominasi
oleh sawmill sehingga menempatkan perantara sebagai penerima harga. Dengan
demikian struktur pasar yang terbentuk berdasarkan jumlah antara lembaga
pemasaran dan petani adalah struktur pesaingan tidak sempurna. Harga jual dan
beli kayu gelondongan jenis Sengon pada setiap tingkatan pelaku pemasaran di
Kecamatan Leuwisadeng berbeda beda, untuk harga beli rata-rata ditingkat
perantara sebesar Rp.682.308/m3 dengan harga jual rata-rata Rp.988.492/m3 dan
pada tingkat sawmill harga beli rata-rata Rp.975.649/m3 dengan harga jual rata-
rata sebesar Rp.1.256.818/m3 untuk lebih jelasnya disajikan dalam tabel 15
Tabel 15. Harga Rata-rata kayu Sengon (Rupiah/m3)
Pelaku Saluran Pemasaran
Rata-rata Harga Beli
Rata-rata Harga Jual
Petani
I - 688.839 II - 898.809 II - 675.714
Rata-rata - 724.107
Perantara I 687.897 985.119
III 671.131 995.238 Rata-rata 682.308 988.492
Sawmill
I 988.889 1.237.500 II 901.786 1.200.000 III 998.413 1.333.333
Rata-rata 975.649 1.256.818 Sumber: Data Lapangan diolah
5.4. Marjin Pemasaran
5.4.1. Analisis Marjin Pemasaran ditingkat Perantara
Marjin Pemasaran perantara diperoleh dari selisih antara harga pembelian
dari petani dengan harga penjualan ke sawmill. Harga beli dan harga jual yang
digunakan adalah harga yang berlaku ditingkat perantara. Marjin pemasaran
ditingkat perantara untuk pemasaran kayu sengon berdasarkan saluran pemasaran
disajikan pada tabel 16
Tabel 16. Marjin Pemasaran Kayu Sengon ditingkat Perantara (Rupiah/m3)
Saluran Pemasaran
Harga Beli
Harga Jual
Marjin Pemasaran
Biaya Pemasaran Keuntungan
SP 1 687.897 985.119 297.223 101.667 195.566
SP 2 - - - - -
SP 3 671.131 995.238 324.107 99.167 224.940 Sumber: Data Lapangan diolah
Pada tabel di atas diketahui marjin pemasaran ditingkat perantara pada
saluran pemasaran 1 sebesar Rp.297.223/m3 dan pada saluran pemasaran 3
sebesar Rp.324.107/m3 . Sedangkan pada saluran pemasaran 2 tidak ada marjin
pemasaran ditingkat perantara karena pada saluran ini petani menjual langsung ke
sawmill tanpa perantara. Harga pembelian kayu sengon dari petani sangat
dipengaruhi oleh lokasi panen kayu sengon itu sendiri, semakin susah medan
panennya semakin murah harga sengon tersebut, karena sengon dengan medan
panen yang sulit sangat menyulitkan perantara untuk memanennya. Faktor lainnya
adalah bentuk kayu sengon itu sendiri, apabila semakin melengkung batang pohon
sengonnya semakin besar penyusutannya dan semakin murah juga harganya
ditingkat petani.
Pada tingkat perantara keuntungan didapat dari selisih dari marjin
pemasaran dengan biaya pemasaran. Pada saluran pemasaran 1 keuntungan yang
didapatkan perantara sebesar Rp.195.556/m3 sedangkan untuk saluran
pemasaran 3 keuntungan yang didapatkan perantara sebesar Rp.224.940/m3.
5.4.2. Analisis Marjin Pemasaran Ditingkat Sawmill
Marjin pemasaran sawmill ditentukan oleh selisih harga jual kayu sengon
ke material atau industri luar daerah dengan harga beli ke perantara. Harga yang
digunakan adalah harga yang berlaku ditingkat sawmill. Marjin pemasaran
sawmill untuk pemasaran kayu sengon pada setiap saluran pemasarannya
disajikan pada tabel 17
Tabel 17. Marjin Pemasaran Kayu Sengon Ditingkat Sawmil (Rupiah/m3)
Saluran Pemasaran
Harga Beli
Harga Jual
Marjin Pemasaran
Biaya Pemasaran Keuntungan
SP 1 988.889 1.237.500 248.611 145.833 102.778
SP 2 901.786 1.200.000 298.214 147.500 150.714
SP 3 998.413 1.333.333 334.920 190.000 144.920 Sumber: Data Lapangan diolah
Pada tabel di atas diketahui bahwa marjin pemasaran ditingkat sawmill
pada saluran pemasaran 1 adalah sebesar Rp.248.661/m3, pada saluran pemasaran
2 adalah sebesar Rp.298.214/m3 dan pada saluran pemasaran 3 adalah sebesar
Rp.334.920/m3. Harga beli dari perantara dipengaruhi oleh bentuk batang kayu
sengon itu sendiri, karena semakin melengkung batang kayu sengon maka akan
semakin besar penyusutannya. Sehingga semakin melengkung semakin murah
harganya.
Selain biaya pemasaran ada juga biaya yang timbul akibat penyusutan.
Karena sawmill membeli dari perantara dalam bentuk Log meter kubik. Untuk
dijadikan kotak meter kubik penyusutan yang terjadi sebesar 30 persen.
Keuntungan sawmill pada saluran pemasaran 1 adalah sebesar Rp.102.778/m3,
pada saluran pemasaran 2 adalah sebesar Rp.150.714/m3 dan pada saluran
pemasaran 3 adalah sebesar Rp.114.940 /m3.
5.5. Analisis Nilai Farmer’s Share
Tomek dan Robinson (1981;114) menjelaskan bahwa bagian harga yang
diterima petani (farmer’s share) adalah suatu nilai hasil perbandingan antara
harga jual di petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen dan dinyatakan
dalam persentase. Nilai Farmer’s Share pemasaran kayu sengon ditiap saluran
pemasaran disajikan pada tabel 18
Tabel 18. Farmer’s Share Kayu Sengon Menurut Saluran Pemasarannya (Rupiah/m3)
Saluran Pemasaran
Harga Ditingkat Petani
Harga Di tingkat Sawmill
Farmer's Share (%)
SP1 688.839 1.237.500 55.66
SP2 898.809 1.200.000 74.90
SP3 675.714 1.333.333 50.67 Sumber: Data Lapangan diolah
Pada penelitian ini bagian yang diterima petani atau Farmer’s Share
adalah hasil perbandingan antara harga jual di petani dengan harga jual di
sawmill. Farmer’s Share atau bagian yang diterima petani untuk pemasaran kayu
sengon pada saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3
adalah masing 55,66%, 74,9% dan 50,67 % dari harga jual sawmill. Pada ketiga
saluran pemasaran yang diteliti diketahui bahwa pada saluran pemasaran 2
memberikan bagian harga terbesar bagi petani dibandingkan saluran pemasaran
lainnya, sedangkan saluran pemasaran 3 memberikan bagian harga petani yang
terkecil dari lainnya. Hal ini diakibatkan harga kayu sengon ditingkat petani lebih
tinggi dari jenis lainnnya. Hal ini disebabkan petani di saluran pemasaran 2
menjual kayu sengon tidak dalam kondisi “berdiri” melainkan kayu tersebut
dipanen sendiri dan diantarkan ke sawmill, sehingga bagian pemasaran perantara
diambil alih oleh petani sehingga keuntungan dan Farmer’s Share lebih tinggi
dibandingkan saluran pemasaran lainnya.
Efisiensi saluran pemasaran diukur secara teknis dan ekonomis bertujuan
untuk lebih meningkatkan keuntungan yang diterima lembaga pemasaran.
Efisiensi secara teknis dilihat dari upaya lembaga pemasaran dalam pengendalian
fisik produk untuk mengurangi kerusakan dan penyusutan produk serta
menghemat tenaga kerja. Pemasaran kayu sengon Kecamaran Leuwisadeng
memiliki jalur pemasaran utama yaitu dari Petani-Perantara-Sawmill. Sehingga
pemasaran kayu sengon Kecamatan Leuwisadeng dapat dikatakan efisien. Namun
dalam kenyataannya ada alternatif jalur pemasaran yang lebih efisien yang hanya
melibatkan Petani-Sawmill, karena semakin sedikit lembaga pemasaran yang
terlibat dalam saluran pemasaran membuat pendistribusian produk makin cepat,
makin murah dan makin efisien produk diantar ke tingkat selanjutnya dalam hal
ini material atau industri luar daerah. Namun saluran pemasaran yang hanya
melibatkan petani dan sawmill belum bisa diterapkan karena perantara
mempunyai peran besar dalam pendanaan biaya pemasaran. Apabila tidak melalui
perantara, maka petani harus menanggung biaya pemasaran yang biasanya
ditanggung perantara.
Tabel 19. Analisis Efisiensi Pemasaran Kayu Sengon Secara Ekonomis
menurut Saluran Pemasarannya (Rupiah/m3)
Uraian Saluran Pemasaran SP 1 SP 2 SP 3
Marjin Pemasaran 548.661 301.191 657.619
Farmer's Share (%) 55.66 74.9 50.67
Sumber: Data Lapangan diolah
Pada tabel di atas, marjin pemasaran kayu sengon diperoleh selama
prose pemasaran dari petani hingga ke sawmill untuk saluran pemasaran 1,
saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing-masing
Rp.548.661/m3, Rp.301.191/m3 dan Rp.657.619/m3. sehingga dipastikan bahwa
marjin pemasaran tertinggi dihasilkan oleh saluran pemasaran 3 dan terendah
saluran pemasaran 2.
Bagian yang diperoleh petani (farmer’s share) atas pemasaran kayu
sengon saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah
masing 55,66%, 74,9% dan 50,67% dari harga jualnya. Hal ini berarti farmer’s
share tertinggi dihasilkan dari saluran pemasaran 2 dan terendah saluran
pemasaran 3.
Secara ekonomis saluran pemasaran kayu sengon pada saluran
pemasaran 2 relatif lebih efisien dibandingkan saluran pemasaran lainnya karena
menhasilkan marjin pemasaran yang lebih rendah dan tentunya menhasilkan
bagian yang diterima petani lebih tinggi dibandingkan saluran pemasaran lainnya.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam pemasaran kayu
sengon pada periode bulan Februari hingga Maret 2011 di Kecamatan
Leuwisadeng Kabupaten Bogor , maka dapat disimpulkan bahwa:
Terdapat 3 (tiga) saluran pemasaran di lokasi penelitian pada pemasaran kayu
sengon yaitu Saluran Pemasaran 1 terdiri dari Petani – Perantara – Sawmill -
Material, Saluran Pemasaran 2 terdiri dari Petani – Sawmill - Material dan
Saluran Pemasaran 3 terdiri dari Petani – Perantara – Sawmill - Indutri Luar
Daerah. Sehingga yang paling efisien adalah Saluran Pemasaran 2 yang
terdiri dari Petani - Sawmill – Material karena semakin sedikit rantai
pemasaran semakin rendah biaya pemasarannnya
Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan lembaga pemasaran adalah:
o Fungsi pemasaran petani yaitu Pembelian, Penjualan, Pengambilan Pasar
dan Penelitian Pasar
o Fungsi pemasaran perantara yaitu Pembelian,Penjualan, Pengangkutan,
Biaya Pemasaran, Pengambilan Resiko, Penelitian Pasar, Demand
Creation
o Fungsi pemasaran sawmill yaitu Pembelian, Penjualan, Penyimpanan,
Pengangkutan, Standarisasi dan Grading, Pengambilan Resiko, Penelitian
Pasar dan Demand Creation
Struktur pasar yang dihadapi oleh pemasaran kayu sengon dari Kecamatan
Leuwisadeng Kabupaten Bogor adalah pasar persaingan tidak sempurna.
Berdasarkan perbandingan jumlah petani dan jumlah perantara, sawmill
ataupun material, struktur pasar yang terbentuk dari sisi petani adalah
oligopsoni. Jumlah petani yang lebih banyak daripada perantara, sawmill
maupun material menyebabkan petani menjadi penerima harga (price taker).
Pada tingkat pemasaran selanjutnya jumlah perantara lebih banyak daripada
jumlah sawmill. Dengan demikian struktur pasar yang terbentuk adalah
monopsoni.
Marjin Pemasaran yang diperoleh lembaga pemasaran yang terlibat adalah:
o Marjin Pemasaran perantara untuk saluran pemasaran 1 adalah sebesar
Rp.297.223/m3, dan untuk saluran pemasaran 3 sebesar Rp.324.107/m3.
pada saluran pemasaran 2 tidak ada nilai marjinnya karena pada saluran ini
petani tidak melalui perantara dalam pendistribusian kayu ke sawmill
o Marjin pemasaran sawmill untuk pemasaran kayu sengon pada saluran
pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing-
masing Rp.248.661/m3, Rp.298.214/m3 dan Rp.334.920/m3.
o Total marjin pemasaran yang diperoleh dari saluran pemasaran kayu
sengon Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor untuk saluran
pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran pemasaran 3 adalah masing-
masing Rp Rp.548.661/m3, Rp.301.191/m3 dan Rp.657.619/m3. sehingga
dipastikan bahwa marjin pemasaran tertinggi dihasilkan oleh saluran
pemasaran 3 dan terendah saluran pemasaran 2. Sehingga saluran
pemasaran 2 dinilai lebih efisien dibandingkan saluran pemasaran lainnya
Persentase bagian yang diperoleh petani (farmer’s share) atas pemasaran
kayu sengon saluran pemasaran 1, saluran pemasaran 2 dan saluran
pemasaran 3 adalah masing 55,66%, 74,9% dan 50,67% dari harga jualnya.
Hal ini berarti farmer’s share tertinggi dihasilkan dari saluran pemasaran 2
dan terendah saluran pemasaran 3. hasil perhitungan menunjukan bahwa
pemasaran kayu sengon saluran pemasaran 2 lebih efisien dibandingkan
saluran pemasaran lainnya.
5.2. Saran
Setelah penulis mengamati kegiatan pemasaran kayu sengon dari petani di
Kecamaran Leuwisadeng Kabupaten Bogor maka disarankan:
1. Jika dilihat dari tingkat efisiensi, seharusnya petani menjual pohon sengonnya
dalam bentuk kayu tebangan bukan dalam keadaan berdiri, sehingga hasil
atau keuntungan yang diterima petani lebih besar lagi. Untuk itu harus ada
sosialisasi dan penyuluhan dari dinas kehutanan agar hal tersebut dapat
terwujud
2. Saluran pemasaran yang dinilai efisien adalah saluran pemasaran 2 yaitu
dengan komposisi lembaga pemasaran Petani-Sawmill-Material, oleh karena
itu diharapkan ada pihak yang mengontrol dalam hal ini Pemerintah untuk
memastikan agar petani menggunakan saluran pemasaran 2. Nilai farmer
share yang dimiliki saluran pemasaran 2 sebesar 74,9 % lebih tinggi
dibandingkan saluran pemasaran lainnya
3. Fungsi pemasaran ditingkat petani menjelaskan bahwa dalam proses
penelitian pasar, petani kurang aktif dalam mendapatkan informasi pasar, oleh
karena itu diharapkan Dinas Kehutanan turun langsung ke petani lewat
penyuluh menyampaikan informasi-informasi yang berkaitan dengan
pemasaran sengon, agar petani memiliki bargaining position dalam
menentukan harga
4. Proses pengolahan kayu sengon umumnya dipengaruhi oleh tingkat kelurusan
batang kayu sengon, rata-rata konversi dari bentuk log ke kubikasi mengalami
penyusutan 30%. Tingkat kelurusan batang sengon itu dipengaruhi oleh bibit
sengon itu sendiri, kebanyakan petani belum mendapatkan bibit sengon yang
unggul, sehingga tingkat kelurusan batang sengon masih beragam. Oleh
karena itu, diharapkan para petani mendapatkan bibit sengon yang unggul
yang mampu mengatasi keragaman bibit sengon tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad B., S. Mulyana, U. Supriyadi dan D. S. Rachmat. Kajian tata niaga kayu rakyat di Kabupaten Kuningan. Prosiding Ekspose Terpadu Hasil-Hasil Penelitian dengan tema Menuju Pembangunan Hutan Tanaman Produktivitas Tinggi dan Ramah Lingkungan, Yogyakarta 11 - 12 Oktober 2004. (Kuningan: Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Litbang Kehutanan, 2004)
Anindita, Ratya. Pemasaran Hasil Pertanian. Katalog Perpustakaan Nasional Dalam Terbitan (KDT). (Surabaya: Papyrus, 2004)
Badan Pusat Statistik. Data Statistik Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor 2010 (Bogor: badan Pusat Statistik, 2010)
Budi, S.H. Budidaya Sengon. (Yogyakarta: Kanisius, 1992)
Departemen Kehutanan. Statistik Kehutanan Indonesia 2010. (Jakarta: Departemen Kehutanan, 2010)
Downey, W.D. & S.P. Erickson. Manajemen Agribisnis. (Jakarta: Erlangga, 1992)
Firman, N. Analisis Efisiensi Tataniaga Mangga Cengkir, Arumanis dan Gedong. Kasus di Desa Kebulen, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Fakultas Pertanian, 1998
Hammond, J.W & Dale C. Dahl. Market and Price Analysis. (New York : McGraw-Hill Book Company Inc, 1997)
Hanafiah & Saefudin. Tataniaga Hasil Perikanan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006)
Khols. R.L dan J.N Uhl. Marketing of Agricultural Product. Edisi Kesembilan. (New Jersey: Prentice Hall. 2002)
Kotler, Philip. Dasar-dasar Pemasaran (Jakarta: CV Intermedia, 1990)
Kotler, Philip. Manajemen Pemasaran Jilid 1. Ed ke-6 (Jakarta: Erlangga, 1994)
Kotler, Philip & Gary Amstrong. Dasar-dasar Pemasaran. Ed ke-9. (Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia, 2001)
Kotler, Philip. Manajemen Pemasaran. Jilid 2 (Jakarta: PT. Prehallindo, 2002)
Kotler, Philip & A.B. Susanto. Manajemen Pemasaran di Indonesia, Ed Pertama. (Jakarta: Salemba Empat, 2001)
Limbong, W.H & Panggabean Sitorus. Pengantar Tataniaga Pertanian. Ed pertama. (Bogor: Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, 1985)
Limbong, W.H. Pengantar Tataniga Pertanian (Bogor: Institut Pertanian bogor, 1987)
Maryatun, S. Analisis Biaya dan Pemasaran (Marketing Marjin), Kayu Gergajian di DKI Jakarta (Studi Kasus di Kalibaru [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Fakultas Pertanian, 1999
Mubyanto. Pengantar Ekonomi Pertanian. Edisi Ketiga (Jakarta: PT. Pusaka LP3S. 1994)
NFTA World Education. Paraserianthes falcataria: Juara Pertumbuhan di Asia Tenggara. Lembar Informasi Pohon Pengikat Nitrogen. Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. Nitrogen Fixing Tree Asociational (Jakarta: Studio Driya Media, 1991)
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP). (Bogor: RTRWP, 2009)
Soekartawi. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian (Teori dan Aplikasi). Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Soerianegara, I. Ekologi, Ekologisme, dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 1996)
Stanton, William. Fundamental of Marketing (Tokyo: Mc. Graw-Hill Book, 1997)
Tomek, W.G & Kenneth L. Robinson. Agricultural Product Prices. Ed ke-3. (London: Cornell University Press, 1990)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman Penulisan Skripsi. (Jakarta: UIN Press, 2004)
Winardi. Harga dan Penetapan Harga dalam Bidang Pemasaran. (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1992)
No Nama Responden Luas (ha) Saluran Pemasaran Harga Jual
1 Otang 2,00
SP1
714.286
2 Karna 1,00 742.857
3 Idis 0,71 714.286
4 Ato 0,85 742.857
5 Udin 2,14 628.571
6 H.Amin 0,29 642.857
7 Endin 0,05 742.857
8 H.Awang 0,71 700.000
9 Saepul 2,14 642.857
10 Iip 2,00 714.286
11 Adi 0,36 642.857
12 Sumarna 0,57 728.571
13 Ocim 0,28 678.571
14 Dadang 0,14 714.286
15 Eman 0,35 642.857
16 Atang 0,28 628.571
17 Asep 1,28
SP2
857.143
18 Umar 1,14 928.571
19 Solihin 1,50 928.571
20 H.Encu 1,00 857.143
21 Aep 1,00 892.857
22 Ahmad 0,71 928.571
23 H. Ahmad Sueb 3,00 SP3 785.714
Lampiran 2 Database Responden Harga Beli dan Harga Jual di Tingkat Perantara Kec. Leuwisadeng Februari 2011 (Rupiah/m3)
No Nama
Perantara
Beli dari
(petani) Harga Beli
Harga Beli Rata-rata
Saluran Pemasaran
Harga Jual
1 Untung Otang 714.286
728.571
SP1
971.429 Karna 742.857
2 Onih Idis 714.286 714.286 1.014.286
3 Rukayat Ato 742.857 742.857 964.286
4 Amru Atang 628.571 628.571 971.429
24 Yayat 0,57 678.571
25 Ocim 0,71 742.857
26 Badru 0,42 642.857
27 Rahmat 0,28 678.571
28 Mamat 0,71 714.286
29 Asep Saepuloh 0,43 685.714
30 Ali 0,50 642.857
31 Marwan 0,21 571.429
32 Aang 0,71 614.286
Total 23.171.429
Rata-rata 724.107
5 Tisna Eman 642.857 642.857 957.143
6 Atan Dadang 714.286 714.286 964.286
7 Suspendi
Ocim 678.571
683.333 1.035.714 Sumarna 728.571
Adi 642.857
8 Engkos Iip 714.286 714.286 1.000.000
9 Dadang H.Awang 700.000 671.428
1.014.286 Saepul 642.857
10 Dayat Endin 742.857 742.857 1.014.286
11 Parman H.Amin 642.857 642.857 971.429
12 Mamat Udin 628.571 628.571 942.857
13 Ismet Sopian
H Ahmad S 785.714
712.499
SP3
1.000.000 Yayat 678.571
Ocin 742.857
Badru 642.857
14 Udin Rahmat 678.571 678.571 1.000.000
15 H. Aceng Mamat 714.286 714.286 1.028.571
16 Umar Asep Sae 685.714 685.714 1.000.000
17 Komar Ali 642.857 642.857 971.429
18 Usep Marwan 571.429
592.857 971.429 Aang 614.286
Total 12.281.545 17.792.860
Rata-rata 682.308 988.492
No Nama
Sawmill Beli dari Ket.
Saluran Pemasaran
Harga Beli
Rata-rata
Harga Jual
1 Putra Mahkota
Untung Perantara
SP1
971.429 971.429 1.200.000
2 Cahaya Alam Onih Perantara 1.014.286
989.286 1.250.000 Rukayat Perantara 964.286
3 Nanda Jelambar
Amru Perantara 971.429
964.286 1.250.000 Tisna Perantara 957.143
Atan Perantara 964.286
4 Dian Surya Gemilang
Suspendi Perantara 1.035.714 1.017.857
1.250.000
Engkos Perantara 1.000.000
5 Wande Dadang Perantara 1.014.286 1.014.286 1.275.000
6 Dedi Hudaedi
Dayat Perantara 1.014.286
976.190 1.200.000 Parman Perantara 971.429
Mamat Perantara 942.857
7 Sipa Jaya
Asep Petani
SP2
857.143
892.857 1.200.000 Umar Petani 928.571
Solihin Petani 928.571
H.Encu Petani 857.143
8 Permata Putra
Aep Petani 892.857 910.714 1.200.000
Ahmad Petani 928.571
9 Salira Indah
Usep Perantara
SP3
971.429
980.952 1.300.000 Komar Perantara 971.429
Umar Perantara 1.000.000
10 Goa Putra H.Aceng Perantara 1.028.571
1.014.286 1.350.000 Udin Perantara 1.000.000
11 Karya Jaya Ismet Perantara 1.000.000 1.000.000 1.350.000
Lampiran 3 Database Responden Harga Beli dan Jual di Tingkat Sawmill Kec. Leuwisadeng Februari 2011 (Rupiah/m3)
Lampiran 4 Biaya Produksi, Penjualan, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di Tingkat Petani Kec. Leuwisadeng Februari 2011 (Rupiah/m3)
No Nama Biaya
Produksi Penjualan
Biaya Pemasaran
Keuntungan
1 Otang 255.000 714.286 0 459.286
2 Karna 243.000 742.857 0 499.757
3 Idis 237.000 714.286 0 477.136
4 Ato 255.000 742.857 0 487.857
5 Udin 230.000 628.571 0 398.221
6 H.Amin 243.000 642.857 0 399.757
7 Endin 218.000 742.857 0 524.407
8 H.Awang 237.000 700.000 0 462.850
9 Saepul 207.000 642.857 0 436.307
10 Iip 255.000 714.286 0 459.286
11 Adi 230.000 642.857 0 412.507
12 Sumarna 255.000 728.571 0 473.571
Sopian
Total 10.732.144 13.825.000
Rata-Rata 975.649 1.256.818
13 Ocim 243.000 678.571 0 435.471
14 Dadang 230.000 714.286 0 483.936
15 Eman 243.000 642.857 0 399.757
16 Atang 218.000 628.571 0 410.121
17 Asep 237.000 857.143 90.000 529.993
18 Umar 255.000 928.571 120.000 553.571
19 Solihin 291.000 928.571 120.000 517.871
20 H.Encu 230.000 857.143 90.000 536.793
21 Aep 224.000 892.857 115.000 553.457
22 Ahmad 224.000 928.571 120.000 584.171
23 H. Ahmad Sueb 255.000 785.714 0 530.714
24 Yayat 243.000 678.571 0 435.471
25 Ocim 213.000 742.857 0 530.357
26 Badru 243.000 642.857 0 399.757
27 Rahmat 237.000 678.571 0 441.421
28 Mamat 224.000 714.286 0 489.886
29 Asep Saepuloh 255.000 685.714 0 430.714
30 Ali 237.000 642.857 0 405.707
31 Marwan 243.000 571.429 0 328.329
32 Aang 255.000 614.286 0 359.286
Total 23.171.42
5 655.000 13.494.425
Rata-rata 724.107 109.166 421.700
Lampiran 5 Marjin Pemasaran, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di Tingkat Perantara Kec. Leuwisadeng Februari 2011(Rupiah/m3)
No Nama Harga Beli Harga Jual Marjin
Pemasaran Biaya
Pemasaran Keuntungan
1 Untung 728.571 971.429 242.858 110.000 132.858
2 Onih 714.286 1.014.286 300.000 105.000 195.000
3 Rukayat 742.857 964.286 221.429 100.000 121.429
4 Amru 628.571 971.429 342.858 115.000 227.858
5 Tisna 642.857 957.143 314.286 110.000 204.286
6 Atan 714.286 964.286 250.000 90.000 160.000
7 Suspendi 683.333 1.035.714 352.381 100.000 252.381
8 Engkos 714.286 1.000.000 285.714 110.000 175.714
9 Dadang 671.428 1.014.286 342.858 95.000 247.858
10 Dayat 742.857 1.014.286 271.429 90.000 181.429
11 Parman 642.857 971.429 328.572 115.000 213.572
12 Mamat 628.571 942.857 314.286 80.000 234.286
13 Ismet Sopian 712.499 1.000.000 287.501 105.000 182.501
14 Udin 678.571 1.000.000 321.429 85.000 236.429
15 H. Aceng 714.286 1.028.571 314.285 115.000 199.285
16 Umar 685.714 1.000.000 314.286 100.000 214.286
17 Komar 642.857 971.429 328.572 110.000 218.572
18 Usep 592.857 971.429 378.572 80.000 298.572
Total 12.281.544 17.792.860 5.511.316 1.815.000 3.696.316
Rata-rata 682.308 988.492 306.184 100.833 205.351
Lampiran 6 Marjin Pemasaran, Biaya Pemasaran dan Keuntungan di Tingkat Sawmill Kec. Leuwisadeng Februari 2011 (Rupiah/m3)
No Nama Harga Beli Harga Jual Marjin
Pemasaran Biaya
Pemasaran Keuntungan
1 Putra Mahkota 971.429 1.200.000 228.571 150.000 78.571
2 Cahaya Alam 989.286 1.250.000 260.714 150.000 110.714
3 Nanda Jelambar 964.286 1.250.000 285.714 145.000 140.714
4 Dian Surya Gemilang 1.017.857 1.250.000 232.143 150.000 82.143
5 Wande 1.014.286 1.275.000 260.714 140.000 120.714
6 Dedi Hudaedi 976.190 1.200.000 223.810 140.000 83.810
7 Sipa Jaya 892.857 1.200.000 307.143 155.000 152.143
8 Permata Putra 910.714 1.200.000 289.286 140.000 149.286
9 Salira Indah 980.952 1.300.000 319.048 180.000 139.048
10 Goa Putra 1.014.286 1.350.000 335.714 190.000 145.714
11 Karya Jaya 1.000.000 1.350.000 350.000 200.000 150.000
Total 10.732.143 13.825.000 3.092.857 1.740.000 1.352.857
Rata-Rata 975.649 1.256.818 281.169 158.182 122.987
Lampiran 7 Perbandingan Marjin dan Keuntungan Tiap Saluran Pemasaran Kec. Leuwisadeng Februari 2011(Rupiah/m3)
1. Saluran Pemasaran 1
Pelaku Harga Beli Harga Jual Marjin
Pemasaran Biaya
Pemasaran Keuntungan
Petani - 688.839 - - 409.399
Perantara 687.897 985.119 297.223 101.667 195.566
Sawmill 988.889 1.237.500 248.611 145.833 102.778
Material 1.237.500 - - - -
2. Saluran Pemasaran 2
Pelaku Harga Beli Harga Jual Marjin
Pemasaran Biaya
Pemasaran Keuntungan
Petani - 898.809 - 109.167 502.976
Sawmill 901.786 1.200.000 298.214 147.500 150.714
Material 1.200.000 - - - -
3. Saluran Pemasaran 3
Pelaku Harga Beli Harga Jual Marjin
Pemasaran Biaya
Pemasaran Keuntungan
Petani - 675.714 - - 392.714
Perantara 671.131 995.238 324.107 99.167 224.940
Sawmill 998.413 1.333.333 334.920 190.000 144.920
Industri Luar Daerah
1.333.333 - - - -
Lampiran 8 Biaya Pemasaran di Tingkat Perantara Kec. Leuwisadeng Februari 2011(Rupiah/m3)
No Nama Biaya Pemasaran
(dalam ribuan)
Total
(dalam ribuan)
Tenaga Kerja Chainsaw Transportasi
1 Untung 69.000 16.000 25.000 110.000
2 Onih 61.000 20.000 24.000 105.000
3 Rukayat 58.000 19.000 23.000 100.000
4 Amru 67.000 22.000 26.000 115.000
5 Tisna 64.000 21.000 25.000 110.000
6 Atan 52.000 18.000 20.000 90.000
7 Suspendi 58.000 19.000 23.000 100.000
8 Engkos 64.000 21.000 25.000 110.000
9 Dadang 55.000 18.000 22.000 95.000
10 Dayat 52.000 17.000 21.000 90.000
11 Parman 67.000 22.000 26.000 115.000
12 Mamat 47.000 15.000 18.000 80.000
13 Ismet Sopian 61.000 20.000 24.000 105.000
14 Udin 50.000 15.000 20.000 85.000
15 H. Aceng 67.000 22.000 26.000 115.000
16 Umar 58.000 19.000 23.000 100.000
17 Komar 64.000 21.000 25.000 110.000
18 Usep 46.000 16.000 18.000 80.000
Total 1.060.000 341.000 414.000 1815.000
Rata-rata 58.890 18.940 23.000 100.830
Persentase 55.87 17.91 21.82 100
Lampiran 9 Biaya Pemasaran di Tingkat Sawmill Kec. Leuwisadeng Februari 2011(Rupiah/m3)
No Nama
Biaya Pemasaran
Total
(dalam ribuan) Tenaga
Kerja Bandsaw Transportasi Chainsaw
1 Putra Mahkota 70.000 35.000 25.000 20.000 150.000
2 Cahaya Alam 75.000 25.000 25.000 25.000 150.000
3 Nanda Jelambar 60.000 35.000 30.000 20.000 145.000
4 Dian Surya Gemilang 75.000 30.000 25.000 20.000 150.000
5 Wande 60.000 30.000 25.000 25.000 140.000
6 Dedi Hudaedi 70.000 25.000 25.000 20.000 140.000
7 Sipa Jaya 80.000 25.000 25.000 25.000 155.000
8 Permata Putra 70.000 25.000 25.000 20.000 140.000
9 Salira Indah 70.000 30.000 55.000 25.000 180.000
10 Goa Putra 70.000 50.000 50.000 20.000 190.000
11 Karya Jaya 60.000 55.000 60.000 25.000 200.000
Total 760.000 365.000 370.000 245.000 1.740.000
Rata-Rata 69.091 33.182 33.636 22.273 158.182
Persentase 43.68 20.98 21.26 14.08 100
Lampiran 10 Daftar Nama Responden Penelitian
Nama Responden Usia Latar Belakang Pekerjaan Pendidikan
Petani
Otang
Karna
Idis
Ato
Udin
H.Amin
Endin
H.Awang
Saepul
Iip
Adi
Sumarna
Ocim
Dadang
Eman
Atang
Asep
Umar
Solihin
H.Encu
Aep
Ahmad
H.Ahmad Sueb
Yayat
Ocim
Badru
41
54
57
44
46
53
42
47
57
41
53
39
47
54
50
58
41
58
43
58
44
41
55
57
47
45
49
Guru
Petani
Petani
Karyawan
Petani
Guru
Karyawan
Petani
PNS
Petani
Buruh
Petani
Petani
Petani
PNS
Petani
Pedagang
Petani
Pedagang
Petani
Pedagang
Petani
PNS
Guru
Petani
PNS
Petani
SLTA
SD
SD
SLTP
SD
SLTA
SLTA
SD
S1
SD
SD
SLTP
SD
SD
SLTA
SD
SD
SLTA
SD
SLTP
SD
SD
SLTA
SLTA
SD
SLTA
SD
Lampiran 11 Biaya Produksi di Tingkat Petani Kec. Leuwisadeng Tahun 2011
Rahmat
Mamat
Asep Saepuloh
Ali
Marwan
Aang
Perantara
Untung
Onih
Rukayat
Amru
Tisna
Atan
Suspendi
Engkos
Dadang
Dayat
Parman
Mamat
Ismet
Sopian
Udin
H.Aceng
Umar
Komar
Usep
41
48
38
49
41
45
48
53
55
48
51
45
57
55
48
50
53
51
45
57
46
54
50
45
Guru
Petani
Petani
Petani
Guru
Petani
Wiraswasta
Karyawan
Buruh
Karyawan
Buruh
Wiraswasta
Petani
Karyawan
Karyawan
Buruh
Wiraswasta
Buruh
Guru
Guru
Buruh
Guru
Petani
Buruh
SLTA
SD
SD
SD
SLTA
SD
SLTA
SLTA
SLTP
SLTP
SD
SLTP
SD
SLTP
SLPA
SD
SLTP
SD
SLTA
SLTA
SD
SLTA
SD
SD
No Nama Total Biaya (Rupiah)
Jumlah Pohon
Volume Produksi
(m3)
Biaya Per pohon (Rupiah/Pohon)
Biaya per Volume
(Rupiah/m3)
1 Otang 1.785.000 28 7 63.750 255.000
2 Karna 4.254.250 70 17,5 60.775 243.000
3 Idis 3.320.100 56 14 59.288 237.000
4 Ato 892.500 14 3,5 63.750 255.000
5 Udin 644.980 11 2,75 57.588 230.000
6 H.Amin 850.850 14 3,5 60.775 243.000
7 Endin 2.140.810 39 9,75 54.613 218.000
8 H.Awang 664.020 11 2,75 59.288 237.000
9 Saepul 578.340 11 2,75 51.638 207.000
10 Iip 2.499.000 39 9,75 63.750 255.000
11 Adi 967.470 17 4,25 57.588 230.000
12 Sumarna 357.000 6 1,5 63.750 255.000
13 Ocim 510.510 8 2 60.775 243.000
14 Dadang 2.579.920 45 11,25 57.588 230.000
15 Eman 510.510 8 2 60.775 243.000
16 Atang 152.915 3 0,75 54.613 218.000
17 Asep 1.660.050 28 7 59.288 237.000
18 Umar 1.785.000 28 7 63.750 255.000
19 Solihin 2.441.880 34 8,5 72.675 291.000
20 H.Encu 1.289.960 22 5,5 57.588 230.000
21 Aep 1.256.640 22 5,5 56.100 224.000
22 Ahmad 942.480 17 4,25 56.100 224.000
23 H. Ahmad Sueb 3.570.000 56 14 63.750 255.000
24 Yayat 1.701.700 28 7 60.775 243.000
25 Ocim 1.338.750 25 6,25 53.125 213.000
26 Badru 340.340 6 1,5 60.775 243.000
27 Rahmat 332.010 6 1,5 59.288 237.000
28 Mamat 1.099.560 20 5 56.100 224.000
29 Asep Saepuloh 1.606.500 25 6,25 63.750 255.000
30 Ali 1.660.050 28 7 59.288 237.000
31 Marwan 680.680 11 2,75 60.775 243.000
32 Aang 2.142.000 34 8,5 63.750 255.000
Total 46.555.775 770 192,5 1.917.175 7.668.700
Rata-rata 1.454.868 24,06 6,01 59.912 239.647
Asumsi konversi yang digunakan adalah 1 m3 = 4 buah pohon