Upload
robby-nurhariansyah
View
256
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Evidence-based Case Report (EBCR)
Indah Suci Widyahening, Nastiti Kaswandani
Pendahuluan
Evidence-based Case Report (EBCR) merupakan bentuk penulisan laporan kasus yang
baru berkembang seiring dengan makin meningkatnya penerapan Evidence-based
Medicine. Bentuk penulisan ini pertama kali muncul di British Medical Journal tahun
1998 dengan tujuan untuk membantu para praktisi meningkatkan keterampilan mereka
menerapkan hasil penelitian (evidence) dalam praktik sehari-hari. Klinisi seringkali
mengeluhkan bahwa hasil penelitian yang dipublikasi di jurnal tidak valid, tidak relevan
dengan situasi praktis di klinik, atau dipenuhi dengan angka-angka statistik yang
membingungkan. Penulisan EBCR akan mempermudah aplikasi klinis dengan
menyuguhkan hasil penelitian yang valid didasarkan atas pertanyaan klinis yang timbul
dari pasien yang nyata.
Manfaat EBCR
Evidence-based Case Report memperlihatkan bagaimana hasil penelitian dapat
diterapkan pada semua tahapan penatalaksanaan pasien. Informasi mengenai
kekekerapan berbagai macam keadaan klinis yang diperoleh melalui studi kohort dapat
membantu mengarahkan kepada diagnosis tersering yang mungkin. Pada saat mengambil
keputusan mengenai uji diagnosis yang mana yang akan disarankan kepada pasien,
informasi mengenai sensitivitas dan spesifisitas berbagai pemeriksaan dapat disajikan.
Bahkan bila pemeriksaan bersifat invasif, EBCR dapat memberikan informasi mengenai
efek sampingnya dan bagaimana penerimaan pasien terhadap pemeriksaan tersebut.
Informasi yang membantu pengambilan keputusan mengenai tata laksana/intervensi
terhadap pasien diperoleh dari penelitian yang berbentuk randomized controlled trial dan
systematic reviews. EBCR intervensi dapat membandingkan efektivitas, keamanan dan
penerimaan berbagai pilihan intervensi. Informasi mengenai efek samping jangka
panjang maupun jarang dapat diperoleh melalui studi kohort maupun kasus kontrol yang
dilakukan secara baik. Apabila setelah dilakukan pencarian literatur secara menyeluruh
tidak diperoleh bukti berkualitas baik yang sesuai, penulis laporan kasus diharapkan juga
melaporkannya sehingga diketahui bahwa kesenjangan terdapat pada kurang tersedianya
bukti bukan pada pengetahuan yang dimiliki.
Evidence-based Case Report tidak bertujuan untuk menyajikan suatu penemuan baru
melainkan menggambarkan proses pengambilan keputusan. Laporan kasus ini dibuat
berdasarkan kasus yang benar-benar ditemui dalam praktik, sehingga diharapkan dapat
memberikan pengetahuan terbaru yang bisa dipercaya mengenai penatalaksanaan kasus
klinis yang sering ditemui.
Komponen Evidence-based Case Report
Mengingat bahwa EBCR dibuat untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan saat
menghadapi pasien di praktek yang sesungguhnya, EBCR diawali dengan deskripsi kasus
yang dihadapi, kemudian pertanyaan klinis yang timbul, dan setelah dilakukan
penelusuran dan telaah literatur maka dalam kesimpulannya diharapkan EBCR ini dapat
menjawab pertanyaan klinis tersebut.
Untuk lebih rinci EBCR disusun dalam komponen-komponen sebagai berikut:
1. Ilustrasi kasus
Ilustrasi kasus harus menggambarkan karakteristik pasien dan berbagai temuan atau
keadaan yang dianggap penting dan relevan. Dalam ilustrasi kasus juga dijelaskan
mengenai motivasi penulisan laporan kasus yaitu adanya kesenjangan pengetahuan baik
di dalam pendidikan sebelumnya, buku pedoman/teks yang ada maupun dalam praktik
selama ini. Kesenjangan klinis ini dapat berupa etiologi, diagnosis, terapi maupun
prognosis. Selain itu juga diceritakan mengapa kasus ini dianggap penting.
2. Pertanyaan klinis
Pertanyaan klinis berupa satu kalimat yang menyatakan secara singkat rumusan masalah
terkait penatalaksanaan pasien sesuai yang digambarkan pada ilustrasi kasus. Pertanyaan
klinis umumnya terdiri atas problem (P), indicator (I), comparator/pembanding (C) dan
outcome (O). Sifat dari pertanyaan klinis adalah spesifik dan dapat dijawab dan
bertujuan untuk mendapatkan kejelasan dan kepastian atas penatalaksanaan terbaik bagi
pasien.
3. Metoda
Bagian metoda memuat:
3.1. Pencarian literatur
Langkah-langkah pencarian literatur telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Langkah-
langkah pencarian literatur perlu dijelaskan secara terperinci dan transparan sehingga
pembaca mendapat gambaran yang cukup jelas bahwa penyusun EBCR telah berupaya
semaksimal mungkin menemukan evidence yang diperlukan. Dalam bagian ini selain
strategi pencarian yang meliputi kata kunci dan kombinasinya (AND, OR, NEAR dan
lain-lainnya) serta database yang digunakan, juga perlu disebutkan mengenai jumlah
sitasi yang dihasilkan dalam langkah-langkah tersebut. Langkah-langkah pencarian
literatur secara singkat biasanya digambarkan dalam tabel, seperti contoh di bawah ini.
Tabel 1. Strategi pencarian literatur
Database Strategi pencarian (search terms) Hasil Literatur terpilih
Pubmed Calcium AND (post-menopaus* OR
elderly) AND women AND (fracture
OR osteoporosis)
529
Cochrane Calcium AND osteoporosis 96
EMBASE Calcium AND (post-menopaus* OR
elderly) AND women AND (fracture
OR osteoporosis)
134
3.2. Cara pemilihan literatur
Artikel jurnal yang dihasilkan umumnya tidak semuanya terdiri atas artikel yang relevan.
Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk memilih artikel yang relevan
dengan masalah. Langkah-langkah tersebut berupa skrining judul, skrining abstrak dan
bila perlu skrining full-teks hingga diperoleh sejumlah artikel yang relevan. Sebelum
dilakukan skrining perlu ditetapkan dahulu kriteria inklusi dan eksklusi artikel yang akan
dipilih. Saringan terhadap artikel jurnal biasanya meliputi :
Jenis studi, misalnya yang diinginkan adalah randomized control trial maka selain
dari itu akan dieksklusi
Karakteristik subyek, misalnya yang diinginkan adalah subyek anak
Bahasa yang digunakan
Ketersediaan artikel dalam bentuk fulltext
Pada metoda biasanya dapat juga ditampilkan suatu bagan alur (flow chart) yang
menggambarkan seluruh proses pencarian literatur hingga diperoleh artikel yang relevan.
Berikut ini contoh alur pencarian terhadap artikel mengenai nilai prognosis riwayat
keluhan pada bahu sebelumnya dalam memprediksi lama nyeri pada episod nyeri bahu
yang akut.
EmbasePubmed 2689
33
2689
3545
63
Keluhan bahu
Prognosis Nyeri
A
N
D
A
N
D
4361
Saringan artikel yang sama
Skrining judul / abstrak
Skrining judul / abstrak
Skrining full-text
5
Kriteria eksklusi
- Studi terapi, diagnosis, etiologi
- Anak < 18 tahun- Studi hewan- Studi post
mortem- Kelainan non
bahu
Kriteria inklusi
- Studi prognostik
- Bahasa Inggris, Belanda, Jerman
- Belum dioperasi
- Tersedia full-text
Kriteria seleksi
- Keluhan bahu sebagai faktor prognosis
- Outcome: nyeri
Skrining artikel dan artikel yang berhubungan : 2 *
Artikel yang relevan : 0 *
* : keputusan diambil berdasarkan konsensus dari minimal 2 penulis
3.3 Telaah Kritis Jurnal
Setelah diperoleh sejumlah artikel yang relevan, langkah berikutnya adalah melakukan
telaah kritis (critical appraisal) untuk menilai kualitas artikel yang dipergunakan.
Critical appraisal dilakukan sesuai dengan jenis permasalahan yang diajukan (diagnosis,
terapi, prognosis atau etiologi). Pada critical appraisal terutama yang dinilai adalah
relevansi dan validitas artikel. Relevansi dinilai dengan cara membandingkan antara
PICO pada artikel dengan PICO pada permasalahan yang diajukan. Validitas dinilai
berdasarkan sejauh mana penelitian tersebut memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.
Apabila terdapat lebih dari satu artikel maka perlu dibuat sistem skor untuk
membandingkan penelitian mana yang paling relevan dan paling valid. Skor dari masing
artikel kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel seperti di bawah ini.
Tabel. Hasil critical appraisal
Article Relevance Score Validity Score
Represent
ativeness
Allocation Maintenance Measurement
P I C O Ra
nd
om
Simi
lar
Acco
unted
for
Equal
treat
ment
Blind
(subjective) or
objective
standardized
1
2
3
etc
4. Hasil
Pada bagian hasil dilaporkan evidence terbaik yang tersedia (best available evidence)
yang berhasil ditemukan oleh penyusun EBCR. Hasil penelitian yang tercantum pada
artikel yang digunakan untuk menjawab masalah disajikan dalam bentuk tabel dengan
mempertimbangkan kualitas artikel tersebut dari segi relevansi dan validitas. Selain
pengukuran outcome, presisi hasil juga harus dicantumkan. Bila ditemukan lebih dari
satu artikel, dilihat juga apakah hasil penelitian tersebut konsisten satu sama lain.
Bila perlu dapat juga ditetapkan level of evidence artikel yang dipergunakan hasil
berdasarkan critical appraisal.
Tabel. Level of evidence (Oxford Centre for Evidence-based Medicine Levels of
Evidence)
Grade Type of study Level
A1 Meta-analysis containing at least some trials of level A2
and of which the results of individual trials are consistent
Level 1
A2 Randomized comparative clinical trials of good quality
(randomized double-blind controlled trials) of sufficient
size and consistency
Level 1
B Randomized clinical trials of moderate (weak) quality of
insufficient size or other comparative trials (non-
randomized, cohort studies, patient-control studies)
Level 2
C Non-comparative trials Level 3
D Expert opinion Level 4
5. Diskusi
Bagian diskusi memuat interpretasi hasil penelitian terbaik yang tersedia (best available
evidence) yang diperoleh. Bagian ini mendiskusikan juga rekomendasi penatalaksanaan
atau alat diagnosis yang dipilih untuk menyelesaikan masalah beserta alasan yang jelas.
Rekomendasi disusun dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan literatur
yang dipergunakan berdasarkan relevansi dan validitasnya.
6. Kesimpulan
Pada kesimpulan dinyatakan jawaban atas pertanyaan/permasalahan yang diceritakan
pada laporan kasus (EBCR) atau bisa juga dinyatakan bahwa saat ini tidak diperoleh
jawaban untuk pertanyaan/permasalahan tersebut.
Daftar Pustaka
1. Godlee F. Applying research evidence to individual patients - Evidence based case
reports will help. BMJ 1998;316:1621-2
2. BMJ.com [homepage on the internet]. London: BMJ Publishing Group Ltd; 2009.
(Cited 2009 Aug 18). Evidence-based case reports. Available from:
http://resources.bmj.com/bmj/authors/types-of-article/practice
3. Browman GP. Essence of Evidence-Based Medicine: A case report. J Clin Oncol
1999;17:1969-1973.
4. De Brun C, Perce-Smith N. Building a search strategy. Dalam: Heneghan C, Perera R,
Badenoch D, penyunting. Searching Skills Toolkit. Finding the evidence. Oxford UK:
Wiley-Blackwell 2009. h.38-48.
Resusitasi Inisial pada Anak dengan Sindrom Syok Dengue:
Kristaloid Isotonis atau Koloid?
Nikmah Salamia Idris
Sindrom syok dengue merupakan manifestasi terberat infeksi virus denguedengan
angka fatalitas kasus (case fatality rates)mencapai 20%.iKelainan ini ditandai oleh
peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan kebocoran plasma dari
kompartemen intravaskular ke ruang ekstravaskular. Terapi utama sindrom syok
dengue adalah resusitasi segera dengan cairan parenteral untuk mengembalikan
dan mempertahankan volume sirkulasi secara adekuat selama periode peningkatan
permeabilitas vaskular.ii
Pilihan cairan resusitasi yang optimal untuk sindrom syok dengue masih
menjadi perdebatan. Rekomendasi the World Health Organization (WHO) adalah
memberikan larutan kristaloid untuk resusitasi inisial diikuti oleh koloid atau
plasma untuk pasien dengan syok berat atau refrakter. Di sisi lain, secara teoritis,
larutan koloid memberikan keuntungan lebih untuk mengatasi syok secara lebih
cepat dan efektif mengingat distribusi cairan yang terkonsentrasi di rongga
intravaskular dan adanya tekanan onkotik yang dapat menarik cairan dari ruang
intersitial ke dalam kompartemen intravaskular.2
Kasus
Seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun datang dengan keluhan utama kaki
dan tangan dingin sejak 2 jam sebelum masuk ke rumah sakit. Keluhan disertai
dengan demam selama empat hari yang timbul mendadak hingga suhu 39,5C dan
mulai turun pada satu hari terakhir. Pasien juga mengeluh sakit kepala, mual, dan
pegal di otot serta persendian; tidak ada keluhan batuk, pilek, maupun nyeri
tenggorokan. Buang air besar normal, sedangkan buang air kecilsedikit dan
berwarna pekat sejak satu hari terakhir. Buang air kecil terakhir empat jam
sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh nyeri di daerah perut kanan
atas, tidak ditemukan adanya tanda perdarahan.
Pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara, berasal dari keluarga
golongan sosial ekonomi menengah. Adik pasien baru sembuh dari sakit demam
berdarah dua minggu sebelumnya. Riwayat kehamilan, persalinan, dan tumbuh
CONTOH EBCR TERAPI
kembang normal, saat ini pasien duduk di kelas 5 sekolah dasar. Imunisasi dasar
lengkap, asupan nutrisi kesan berlebih.
Pada pemeriksaan fisis saat datang ke Instalasi Gawat Darurat Anak, pasien kompos
mentis, tidak sesakmaupun sianosis, berat badan 52 kg dan tinggi badan 153 cm
(gizi lebih). Pasien mengalami takikardia (frekuensi nadi 120x/menit pada suhu
tubuh 37,5°C) dengan isi nadi kurang disertai penyempitan tekanan nadi (TD 110/95
mmHg). Akral teraba dingin dengan waktu pengisian kapiler lebih dari 3 detik.
Selain nyeri tekan di daerah hipokondriak kanan, tidak ditemukan kelainan lain
pada pemeriksaan fisis. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan empat jam
sebelum pasien ke rumah sakit, menunjukkan peningkatan hematokrit dibandingkan
satu hari sebelumnya (39,4 dibandingkan 35,9%), leukopenia (2100/µL) dengan
dominasi sel limfosit (79%), dan trombositopenia (86000/µL)
Pasien didiagnosis mengalami sindrom syok dengue, mendapat loading cairan
ringer laktat 20 ml/kgBB bersamaan dengan gelafusin 20 ml/kg BB yang dihitung
terhadap berat badan ideal 42,5 kg dan diberikan selama 30 menit. Pasca loading
pertama, masih didapatkan isi nadi kurang dengan tekanan nadi 20 mmHg (TD
110/90 mmHg) sehingga diberikan kembali loading cairan ringer laktat 20 ml/kg BB
bersamaan dengan gelafusin 10 ml/kg BB. Pasca loading kedua, syok teratasi, tanda
vital normal, dan selanjutnya pasien dirawat di unit perawatan intensif anak.
Formulasi pertanyaan klinis
Kontroversi mengenai penggunaan larutan kristaloid atau koloid untuk tata laksana
syok, terlepas apa penyebabnya, telah berlangsung sejak dahulu.iii,iv Sejauh ini,
pilihan cairan untuk tata laksana syok pada dengue masih banyak didasarkan atas
keputusan empiris, seperti halnya pada pasien ini. Untuk itu, diajukan pertanyaan
klinis sebagai berikut: “pada anak dengan sindrom syok dengue, apakah pemberian
cairan koloid pada resusitasi inisial akan memberikan respons terapi yang lebih baik
dibandingkan kristaloid isotonis?”
Metode/strategi penelusuran bukti
Penelusuran dimulai untuk mencari bukti sekunder berupa meta-analisis, telaah
sistematis, ataupun guidelinesberbasis bukti sistematis pada situs Cochrane
Systematic Database Review, Bandolier (http://www.medicine.ox.ac.uk/bandolier/),
dan ACP Journal Club (http://www.acpjc.org/) dengan memakai kata kunci “dengue”.
Pada ketiga situs tersebut, hanya ditemukan satu artikel mengenai penggunaan
kortikosteroid pada sindrom syok dengue yang tidak relevan dengan pertanyaan
klinis.
Penelusuran bukti primer dilakukan dengan mempergunakan mesin pencari TRIP
database (www.tripdatabase.com)dan Pubmed. Pada pencarian dengan TRIP
database mempergunakan kata kunci “dengue”, “shock”, dan “resuscitation”
dengan penyaring (filter)core primary research diperoleh satu artikel yang sesuai.
Penelusuran dengan Pubmed mempergunakan kata kunci “dengue”, “shock”,
“resuscitation”, dan “fluid” denganlimit ‘all child: 0-18 years’ menghasilkan 18
artikel. Setelah dilakukan penelaahan lebih lanjut terhadap judul dan abstrak, tiga
artikel (seluruhnya berupa uji klinis) dianggap relevan, sedangkan 15 lainnya
dieksklusi karena studidilakukan pada pasien dewasa, ketidakjelasan metodologi,
atau isi yang tidak relevan. .Levels of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi
yang dikeluarkan olehOxford Centre for Evidence-based Medicine Levels of
Evidence.v
Hasil penelusuran
Dalam jangka waktu 15 tahun terakhir (1995-sekarang), terdapat tiga uji klinis yang
mengevaluasi penggunaan cairan kristaloid dan koloid untuk resusitasi sindrom
syok dengue (Tabel 1). Outcome yang diteliti bervariasi, namun secara keseluruhan
tidak ada yang konsisten menunjukkan bahwa koloid lebih unggul dibandingkan
kristaloid.
Pada tahun 1998, Dung et alvi melakukan suatu uji klinis acak tersamar
ganda untuk membandingkan penggunaan cairan salin (NaCl 0,9%), ringer laktat,
dextran 70, dan gelafundin pada resusitasi awal 50 anak usia 5 hingga 15 tahun
dengan sindrom syok dengue (level of evidence: 1b). Pada penelitian tersebut
tidak ditemukan perbedaan pada jumlah episode maupun durasi syok, penurunan
rerata laju nadi, peningkatan tekanan nadi, dan indeks kardiak antar grup. Pada
i . WHO2008. Fact sheet no. 117. Dengue and dengue haemorrhagic fever, revised May 2008. Diunduh dari: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/.
ii . Wills B. Volume replacement in dengue shock syndrome. Dengue Bull. 2001;25:51-5.iii . Schierhout G, Roberts I. Fluid resuscitation with colloid or crystalloid solutions in critically ill
patients: a systematic review of randomised trials. Brit Med J. 1998;27:200-10.iv . Upadhyay M, Singhi S. Randomized evaluation of resuscitation with crystalloid (saline) and
colloid (polymer from degraded gelatin in saline) in pediatric septic shock. Indian J Pediatr.v . Oxford Centre of Evidence-based Medicine. Oxford Centre for Evidence-based Medicine Levels of Evidence (March 2009). Diunduh dari:
http://www.cebm.net/index.aspx?o=1025.
vi . Dung NM, Day NPJ, Tam DTH, Loan HT, Chau HTT, Minh LN, et al. Fluid replacement in dengue shock syndrome: a randomized, double-blind comparison of four intravenous-fluid regimens. Clin Infect Dis. 1999;29:787-94.
pooled analysis antara cairan kristaloid dan koloid, pasien yang mendapat infus
koloid mengalami perubahan lebih besar dalam penurunan nilai rerata hematokrit,
peningkatan tekanan darah sistolik, tekanan nadi, dan indeks kardiak pada dua jam
pertama dibandingkan subyek yang mendapat cairan kristaloid. Sayangnya studi ini
memiliki power yang kecil mengingat jumlah sampel yang sedikit.
Tabel 1. Studi yang ditemukan pada penelusuran dengan Pubmed dan TRIP database
Dung et al Nhan et al Wills et al
Desain Uji klinis acak tersamar ganda Uji klinis acak tersamar ganda Uji klinis acak tersamar ganda
Setting PICU pusat rujukan Vietnam PICU rumah sakit tersier PICU rumah sakit tersier
Subjek Anak usia 5-15 tahun Anak usia 1-15 tahun Anak usia 2-15 tahun
Stratifikasi subjek
Tidak Tidak; derajat syok tidak terdistribusi merata antar grup
Tingkat kebocoran plasma berdasarkan tekanan nadi saat masuk RS
Besar sampel
50 subyek terbagi dalam 4 grup 222 subyek terbagi dalam 4 grup
512 subyek terstratifikasi syok sedang (383) dan berat (129)
Intervensi cairan salin (NaCl 0,9%), ringer laktat, dextran 70, atau gelafundin
cairan salin (NaCl 0,9%), ringer laktat, dextran 70, atau gelafundin
Syok sedang: ringer laktat, dekstran, atau starch
Syok berat: dekstran atau starch
Jumlah cairan & laju infus
20 ml/kg untuk 1 jam pertama 10 ml/kg untuk 1 jam berikutnya
DBD gr III: 20 ml/kg untuk 1 jam pertama 20 ml/kg untuk 1 jam berikutnya
15 ml/kg BB selama satu jam 10 ml/kg selama 1 jam berikutnya
DBD gr IV: 20 ml/kg selama 15 menit 20 ml/kg untuk 1 jam berikutnya
Outcome primer
Durasi syok, jumlah episode syok
Waktu pemulihan tekanan nadi Kebutuhan intervensi tambahan dengan rescue colloid
Kejadian dan waktu terjadinya episode syok selanjutnya
Outcome sekunder
Perbaikan cardiac output, hematokrit, dan kebutuhan resusitasi lebih lanjut
Penurunan hematokrit dan laju nadi
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai stabilitas kardiovaskular (inisial dan sustained)
Total volume dekstran 70 yang diperlukan setelah jam pertama
Volume rescue colloid dan cairan parenteral total
Total cairan intravena hingga pemulihan penuh
Pola perubahan nilai hematokrit
Komplikasi terapi Jumlah hari perawatan RS
Hasil Tidak ditemukan perbedaan pada jumlah episode syok & durasi syok antar grup
Waktu pemulihan tekanan nadi grup RL lebih lama dibandingkan kelompok lain.
RR rescue colloid: 1,08 (95%CI 0,78-1,47) pada grup ringer laktat dibandingkan koloid
Dextran 70 berhubungan dengan penurunan nilai hematokrit yang lebih cepat
Tidak ada perbedaan dalam waktu terjadinya epiode reschock pertama.
Stabilitas kardiovaskular inisial dicapai lebih lama pada grup ringer laktat dibanding koloid; tidak ada perbedaan waktu untuk mencapai stabilitas kardiovaskular sustained
Pooled analysis: koloid menghasilkan penurunan nilai hematokrit, peningkatan TD sistolik, tekanan nadi, dan indeks kardiak yang lebih besar dibandingkan kristaloid pada 2 jam pertama
Reduksi hematokrit maksimal dicapai oleh kelompok desktran sedangkan penurunan laju tekanan nadi paling besar didapatkan pada grup gelatin.
Pasien yang mendapat koloid mengalami penurunan hematokrit lebih cepat pada 2 jam pertama dibandingkan grup kristaloid, antara 2 -6 jam mengalami rebound sebesar 5%
Tidak ada perbedaan dalam outcome sekunder lainnya.
Tidak terdapat perbedaan dalam volume rescue colloid, cairan parenteral total, waktu pemulihan akhir, atau jumlah hari perawatan di RS.
Studi yang dilakukan oleh Nhan et al (level of evidence: 1b)viijuga
melaporkan keunggulan koloid dibandingkan kristaloid dalam waktu pemulihan
tekanan nadi dan reduksi hematokrit. Kelompok yang mendapat ringer laktat
memiliki waktu pemulihan paling lama dengan proporsi subjek yang membutuhkan
resusitasi tambahan lebih besar dibandingkan kelompok lainnya. Mayoritas subyek
yang membutuhkan resusitasi tambahan juga terbukti mengalami syok lebih berat,
ditandai tekanan nadi yang sangat rendah (<10 mmHg) saat awal presentasi
sehingga hal ini dapat menjadi perancu karena tingkat keparahan syok tidak
terdistribusi secara merata antar grup. Berdasarkan penelitian ini, penggunaan
koloid mungkin memberi keuntungan dalam resusitasi pasien syok yang memiliki
tekanan nadi lebih rendah saat awal presentasi. Pada studi ini, 6 subyek mengalami
vii . Nhan NT, Phuong CXT, Kneen R, Wills B, Van My N, Phuong NTQ, et al. Acute management of dengue shock syndrome: a randomized double-blind comparison of 4
intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis 2001;32:204-13.
reaksi alergi terhadap gelatin dan 2 subyek masing-masing dari grup gelatin serta
dekstran mengalami epistaksis dan hematoma berat.
Penelitian terbaru dilakukan oleh Wills et alviii (level of evidence:
1b)dengan sampel lebih besar dan desain lebih sempurna, yaitu melakukan
stratifikasi subyek berdasarkan beratnya syok menjadi syok sedang (tekanan nadi
>10 dan <20 mmHg) dan syok berat (tekanan nadi <10 mmHg). Cairan kristaloid
tidak dimasukkan dalam skema randomisasi pasien dengan syok berat. Pada studi
ini, tidak terdapat peningkatan risiko kebutuhan rescue colloid pada grup ringer
laktat dibandingkan kelompok lain. Reduksi hematokrit saat dua jam pertama
dicapai lebih cepat pada kelompok koloid dibandingkan kristaloid, namun terjadi
rebound sebanyak 5% pada grup koloid saat 2-6 jam berikutnya. Tidak terdapat
perbedaan dalam volume rescue colloid, cairan parenteral total, waktu pemulihan
akhir, atau jumlah hari perawatan di di rumah sakit. Manifestasi perdarahan,
gangguan koagulasi dan tingkat overload cairan tidak berbeda antar grup.
Pembahasan
Pemilihan cairan resusitasi untuk mengatasi syok bukan suatu hal yang mudah. Tata
laksana emergensi sindrom syok dengue agak berbeda karena hilangnya cairan
secara perlahan ke ruang interstitial akibat kebocoran kapilerdan
kemungkinanterdapatnya edema paru serta instabilitas jantung yang menghambat
penggantian cairan secara cepat.ix Perhatian khusus harus diberikan untuk
menghindari kelebihan cairan dengan segala komplikasinya. Untuk itu, diperlukan
pemilihan jenis cairan dengan laju pemberian yang tepat.
Secara teoritis, koloid memiliki keuntungan dibandingkan kristaloid pada
resusitasi cairan karena bertahan lebih lama dalam rongga intravaskular dan
memiliki efek tekanan onkotik yang dapat menarik cairan dari ruang ekstravaskular
ke kompartemen intravaskular. Kendati demikian, terdapat kekhawatiran mengenai
efek buruk cairan ini, yaitu dengan adanya peningkatan permeabilitas vaskular pada
sindrom syok dengue, molekul koloid dapat bocor ke ruang interstitial dan
menimbulkan efek osmotik berlawanan dari yang diharapkan sehingga menambah
berat syok.x Selain itu, keamanan cairan ini pada pasien dengan hipovolemia yang
memiliki risiko nyata untuk mengalami gagal ginjal akut juga masih dipertanyakan.
viii . Wills BA, Dung NM, Loan HT, Tam DTH, Thuy TTN, Minh TT, et al. Comparison of three fluid solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med. 2005;353:877-89.
ix . Molyneux E, Maitland K. Intravenous fluids – getting the balance right. N Engl J Med. 2005;353:9.
x . Haupt MT, Kaufman BS, Carlson RW. Fluid resuscitation in patients with increased vascular permeability. Critical care clinics 1992;8:341-53.
Kekhawatiran lain berhubungan dengan potensi reaksi alergi dan koagulopati yang
ditemukan pula pada studi Nhan et al.7
Tidak ada satupun dari ketiga uji klinis di atas yang memberikan bukti konsisten
mengenai keunggulan koloid dibandingkan kristaloid isotonis pada resusitasi awal
sindrom syok dengue. Bahkan Wills et al menunjukkan bahwa pemberian ringer
laktat memberikan outcome yang sama dibandingkan koloid pada anak dengan syok
sedang. Pasien ini datang dengan tekanan nadi antara 10-20 mmHg sehingga
merujuk pada bukti yang ada, pemberian koloid tidak diperlukan pada awal
resusitasi. Untuk pasien dengan syok berat, belum terdapat bukti yang jelas
mengenai keunggulan koloid dibandingkan kristaloid. Sampai ada bukti yang lebih
valid, klinisi mungkin sebaiknya tetap mengandalkan penilaian personal, familiaritas
dengan produk tertentu, ketersediaan obat, dan harga.
Ketiga penelitian di atas memberikan loading cairan parenteral dengan laju yang
tidak terlalu cepat (15-20 ml/kg/jam), kecuali untuk sindrom syok dengue berat. Hal
ini mungkin didasari oleh adanya risiko overload cairan yang cukup besar pada
pasien dengue. Walaupun secara teoritis, kemungkinan overload akibat pemberian
kristaloid lebih besar dibandingkan koloid,2 namun pada studi Wills et al,6tidak
ditemukan perbedaan kejadian overload cairan antara grup ringer laktat dan koloid.
Sejauh ini belum ada studi yang meneliti laju pemberian infus optimal pada sindrom
syok, namun pemberian cairan dengan kecepatan 40 ml/kgBB selama 30 menit pada
pasien ini sangat berisiko untuk menimbulkan komplikasi overload cairan.
Kesimpulan
Belum terdapat bukti yang kuat mengenai keunggulan koloid dibandingkan
kristaloid dalam resusitasi inisial pasien dengan sindrom syok dengue. Sebagian
besar anak berespons baik terhadap pemberian cairan kristaloid isotonis secara
bijaksana. Menimbang ketersediaan dan harga yang lebih murah, cairan kristaloid
isotonis masih merupakan pilihan terbaik untuk resusitasi inisial sindrom syok
dengue. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menilai efektivitas cairan kristaloid
isotonis dibandingkan koloid pada syok berat dan untuk mengevaluasi laju
pemberian infus yang optimal.
Daftar Pustaka