Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN BERPIKIR
KREATIF SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH ATAS KRISTEN I
SRIGANDI KURNIOMEGA TANDISAU
Diajukan Kepada Fakultas
Untuk
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
1
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN BERPIKIR
KREATIF SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH ATAS KRISTEN I
SALATIGA
OLEH
SRIGANDI KURNIOMEGA TANDISAU
802008102
TUGAS AKHIR
Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program StudiPsikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
1
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN BERPIKIR
KREATIF SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH ATAS KRISTEN I
Dari Persyaratan
2
3
4
5
6
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN
KREATIF SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH ATAS KRISTEN I
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN BERPIKIR
KREATIF SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH ATAS KRISTEN I
SALATIGA
Srigandi Kurniomega Tandisau
Chr. Hari Soetjiningsih
Ratriana Y. E. Kusumiati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
7
IBU DENGAN BERPIKIR
KREATIF SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH ATAS KRISTEN I
1
1
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan ibu
dengan berpikir kreatif siswa kelas XI Sekolah Menengah Atas Kristen I Salatiga.
Dalam penelitian ini menggunakan teknik random class dengan subjek penelitian
berjumlah 112 subjek di kelas XI SMA Kristen I Salatiga. Alat yang digunakan untuk
pengumpulan data adalah Tes Kreativitas Figural. Analisis data dengan menggunakan
teknik analisis Spearman rho dan diperolehhasil r= -0,028 dengan signifikansi 0,771
(p<0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubung anantara tingkat
pendidikan ibu dengan berpikir kreatif siswa.
Kata Kunci: berpikir kreatif, tingkat pendidikan ibu, siswa, SMA
2
Abstract
The main objective of the study was to find out the relationship between mother’s
educational level and student’s creative thinking at class XI of Christian Senior High
School Salatiga. A total number 112 students participated in the study. Participants were
selected using random class. Figural Creativity Test was used to measure creative
thinking potential of participants on four elements. Spearman rho was used to verify
hypothesis. The correlation coefficient between mother’s educational level and student’s
creative thinking at class XI of Christian Senior High SchoolSalatiga is r= -0,028 with a
significance 0,771 (p<0,05) which means that there is no significant correlation between
mother’s educational level and student’s creative thinking at class XI of Christian
Senior High School Salatiga.
Keywords: creative thinking, mother’s education level, students, high school
1
1
PENDAHULUAN
Dalam perkembangannya, seorang anak harus berkembang baik dalam semua
aspek, salah satunya adalah kreativitas.Setiap periode perkembangan manusia
membawa persyaratan kompetensi yang baru, tantangan dan peluang untuk
pertumbuhan pribadi.Periode yang berbeda dari kehidupan menghadirkan bentuk dasar
dari tantangan dan tuntutan kompetensi tertentu yang berfungsi untuk kesuksesan. Ada
banyak cara dalam menjalani kehidupan dan setiap periode tertentu, beragam orang
meletakkan dasar pada bagaimana mereka berhasil mengelola hidup mereka dalam
lingkungan di mana mereka dibesarkan (Bandura, dalam Trivedi & Bhargava, 2010).
Pada awal abad ke 19 kata kerja “to create” jarang digunakan.Sekarang ini
pentingnya kreativitas makin bertambah. Para ahli dari segala bidang menjadi sadar
akan pentingnya kreativitas dan perkembangan dari berpikir kreatif. Dalam pendidikan,
berpikir kreatif bermacam-macam mulai dari melengkapi ide-ide baru ke cara-cara baru
dari pemikiran dan pemecahan masalah.Hal itu menjelaskan bahwa kreativitas bukanlah
sebuah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang tidak ada artinya, melainkan
kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru melalui penggabungan, perubahan atau
mengggunakan kembali ide-ide yang telah ada (Anwar dkk, 2012).Kreativitas
merupakan aspek penting dari kehidupan seseorang dimulai dari kehidupan embrio
sampai dewasa.
Kreativitas adalah kemampuan untuk melihat sesuatu dengan cara yang baru,
untuk melihat dan memecahkan masalah dengan cara yang berbeda, yang belum dicoba
dan tidak biasa, dan untuk terlibat dalam pengalaman mental dan fisik yang baru, unik
atau berbeda (Trivedi & Bhargava, 2010).
2
Selain itu, Munandar (1999) juga menyatakan bahwa kreativitas adalah
kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi atau unsur-
unsur yang ada. Hasil yang diciptakan tidak selalu hal-hal baru, tetapi dapat juga
merupakan gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Lebih lanjut
Munandar (1999) menyatakan bahwa banyak orang menganggap kalau kreativitas
hanya dapat diajarkan jika dikaitkan dengan bidang subjek (mata ajaran) tertentu, dan
hal ini tidak benar. Kreativitas dapat diajarkan dalam konteks yang “content free”, lepas
dari bidang materi tertentu, atau dapat dilekatkan dengan konten atau bidang subjek
khusus.
Pada dasarnya, setiap orang dilahirkan dengan memiliki potensi kreatif. Namun,
kenyataannya seringkali orang tua mengabaikan akan pentingnya kreativitas bagi
seorang anak ataupun remaja. Kreativitas pada remaja dapat tumbuh dan berkembang
baik apabila lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah turut menunjang dalam
mengekspresikan kreativitasnya. Tetapi pada kenyataannya dunia pendidikan lebih
banyak menekankan pada aspek hafalan serta mencari satu jawaban yang benar
terhadap soal-soal yang diberikan pada peserta didik. Selain itu, orang tua juga hanya
menekankan pentingnya prestasi akademik saja, sehingga hal ini semakin menyebabkan
terjadinya kasus tawuran, kekerasan antar remaja, dan penggunaan narkoba yang saat
ini sudah semakin mengkhawatirkan (Sumarno, 2004).
Salah satu Sekolah Menengah Atas yang mempunyai misi dalam
mengembangkan kreativitas yaitu SMA Kristen I Salatiga.Berdasarkan hasil wawancara
yang telah dilakukan oleh penulis dengan Kepala Sekolah SMA Kristen I Salatiga
diketahui bahwa sekolah juga mendukung dalam mengembangkan kreativitas peserta
3
didik, mereka tidak hanya mendukung tetapi mereka juga memasukkan kreativitas
sebagai salah satu misi sekolah.
Kreativitas dapat diidentifikasi (ditemukenali) dan dipupuk melalui pendidikan
yang tepat (Munandar, 1999). Pendidikan menjadi salah satu hal yang sangat penting,
karena dalam pendidikan terkandung pembinaan, pengembangan, dan peningkatan.
Aktivitas pendidikan dapat berlangsung di dalam keluarga (informal), dalam sekolah
(formal), dan dalam masyarakat (non formal), dari ketiganya memberikan sumbangan
tertentu terhadap perkembangan anak ataupun remaja.
Menurut Santrock (2012), masa remaja adalah masa yang paling sederhana
karena tidak berlakunya aturan. Remaja selalu mencoba banyak hal, berusaha mencari
yang cocok dengan dirinya. Pada akhirnya, hanya dua hal yang dapat diwariskan orang
tua kepada remajanya, yaitu akar (dasar yang kuat) dan sayap (kebebasan). Selain itu,
Gunarsa dan Gunarsa (1983) mengungkapkan bahwa ciri utama remaja adalah
berkeinginan besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui dan mempunyai
keinginan menjelajah ke alam yang lebih luas yang berkaitan erat dengan ciri-ciri
kreativitas.
Orang tua dapat berperan penting sebagai manajer terhadap peluang-peluang
yang dimiliki remaja, mengawasi relasi sosial remaja, dan sebagai inisiator dan pengatur
kehidupan sosial (Parke & Buriel, dalam Santrock, 2007). Visi yang lebih akurat
mengenai masa remaja adalah saat untuk mengevaluasi, mengambil keputusan,
berkomitmen, dan mengukir tempat di dunia. Sebagian besar masalah remaja saat ini
bukanlah pada remaja itu sendiri. Yang dibutuhkan oleh remaja adalah akses terhadap
berbagai kesempatan serta dukungan jangka panjang dari orang dewasa yang sangat
memerhatikan mereka (Balsano, Theokas, Bobek, Lerner dkk, Swanson, Edwards,
4
&Spencer, dalam Santrock, 2012). Selain itu, Youniss dan Ruth (dalam Santrock, 2007)
menyatakan bahwa untuk membantu remaja mencapai potensi seutuhnya, salah satu
peran orang tua yang penting adalah menjadi manajer yang efektif, yang menemukan
informasi, membuat kontak, membantu pilihan-pilihannya, dan memberikan bimbingan.
Dalam kebanyakan kasus, orang tua yang bertanggung jawab untuk merangsang
dan mengarahkan minat anak(Csikszentmihalyi, 1996).Salah satu contoh klasik yang
sangat kreatif dan sangat berbakat yang tidak dilakukan dengan baik di lingkungan
sekolah adalah Albert Einstein. Einstein mendapatkan nilai umumnya baik di SMA
Munich yang sangat tradisional, tapi ia membencinya karena kesuksesan tergantung
pada hafalan dan ketaatan pada otoritas yang sewenang-wenang. Einstein menimbulkan
begitu banyak masalah dan guru menyarankan Einstein untuk keluar dari sekolah karena
kehadirannya sangat menghancurkan dan membuat murid lain tidak hormat akan
otoritas. Akhirnya pada usia 15 tahun, Einstein dipindahkan ke sekolah yang baru di
Swiss di mana ide-idenya bisa dibebaskan (Kim, 2008).
Menjadi individu yang kreatif bukanlah produk instan, melainkan sebuah proses
pembelajaran yang terus menerus dan dimulai sejak dini. Menurut Zunlynadia (2010),
dalam proses kreatif tersebut, seringkali pendidik terutama orang tua mendapati anak
mereka berlaku aktif merugikan bagi orang dewasa, sehingga bagi orang dewasa
menyebut perlakuan anak tersebut sebagai bentuk kenakalan. Seorang anak berperilaku
kreatif biasanya selalu bersifat ingin tahu, eksploratif, tidak puas dengan satu jawaban
dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru.
Dalam menyikapi perilaku anak, orang tua ataupun individu dewasa perlu
berhati-hati. Jangan sampai ada kekeliruan dalam memberikan penilaian terhadap
perilaku mereka. Lebih lanjut Zunlynadia (2010) menjelaskan bahwa orang tua atau
5
orang dewasa perlu lebih teliti dalam melihat apakah perilaku yang muncul merupakan
bentuk kenakalan ataukah wujud dari pemikiran kreatif anak. Perilaku kreatif pada
dasarnya muncul sebagai cerminan dari rasa ingin tahu yang besar dan didorong oleh
adanya keberanian untuk mencoba. Berbeda dengan perilaku kreatif, perilaku nakal
pada dasarnya muncul ketika memang ada kesengajaan untuk tujuan yang kurang baik.
Namun, seringkali orang tua atau orang dewasa hanya memfokuskan diri pada perilaku
yang muncul tanpa menelusuri sebab-sebab dari perilaku yang muncul tanpa menelusuri
sebab-sebab dari perilaku yang ditampakkan. Ketika ada perilaku yang tidak diharapkan
muncul, orang tua atau orang dewasa kerap secara langsung memfokuskan pada
perilakunya dalam memberikan label “nakal” dengan cepat.
Di Indonesia ada begitu banyak karya-karya kreatif yang telah dihasilkan oleh
anak-anak Indonesia, salah satunya adalah mobil Esemka Digdaya. Esemka Digdaya
adalah proyek mobil nasioal siswa SMK 1 Singosari Malang. Mobil double kabin ini
menggunakan kerangka Isuzu Panther dengan suspensi dari Mitsubishi L300.
Sayangnya, mobil karya anak bangsa ini tidak mendapatkan perhatian lebih dari
pemerintah. Mereka bahkan tidak dapat tempat atau stand khusus dalam ajang pameran
otomotif terbesar di tanah air yaitu Indonesia Internasional Motor Show (Efendi, 2012).
Selain itu, sebuah karya kreatif juga dihasilkan oleh Hibar Syahrul Gafur,
banyaknya kasus pemerkosaan yang terjadi membuat siswa SMPN 1 Bogor ini
membuat sebuah inovasi baru, yaitu sepatu yang dapat melindungi pemakainya dari
kekerasan seksual atau pemerkosaan.Sungguh membanggakan, karya anak bangsa ini
mendapat penghargaan di Malaysia. Seperti yang diberitakan melalui Merdeka.com,
pemuda cerdas ini menciptakan sebuah sepatu antikekerasan seksual. Sepatu ini tidak
berbeda dengan sepatu wanita tipe wedges. Di dalam hak sepatu yang tebal, ada
6
rangkaian listrik yang dirancang khusus. Jika wanita merasa dalam bahaya, wanita
tersebut hanya perlu menginjak tombol yang ada dibelakan sepatu. Listrik yang ada
pada sepatu tersebut bertenaga 450 watt. Inovasi baru yang dikerjakan bersama sang
guru ini mendapatkan penghargaan di Malaysia. Sepatu antikekerasan seksual yang
diciptakan Hibar mendapat tiga medali emas dan dua perak dalam ajang International
Exhibition of Young Inventors (IEYI) 2013 di Kuala Lumpur. Inovasi baru ini tentu bisa
dikembangkan untuk melindungi para wanita. Sebuah prestasi yang membanggakan,
karena diciptakan oleh anak bangsa (Vemale.com).
Dari beberapa penjelasan atas hasil-hasil kreatif yang telah dihasilkan dapat
dijelaskan bahwa remaja membutuhkan wadah untuk menyalurkan bakat non akademik
yang terpendam akibat tekanan kurikulum sekolah yang terlalu berat dan tuntutan yang
terlalu tinggi dari orang tua dan lingkungannya. Saat ini kurangnya sarana yang
memadai untuk menyalurkan kreativitas remaja, sehingga yang memiliki potensi non
akademik tidak memiliki wadah (Mulyadi, dalam Anggadha, 2007).
Kreativitas merupakan suatu konstruk yang multidimensi, terdiri dari berbagai
dimensi, yaitu dimensi kognitif (berpikir kreatif), dimensi afektif (sikap dan
kepribadian), dan dimensi psikomotor (keterampilan kreatif). Masing-masing dimensi
meliputi berbagai kategori, misalnya dimensi kognitif dari kreativitas – berpikir
divergen – mencakup antara lain kelancaran, kelenturan, orisinalitas dalam berpikir dan
kemampuan untuk memerinci (elaboration), dan lain-lain (Munandar, 1999).Oleh
karena itu, kreativitas tidak terjadi di dalam kepala orang, tetapi dalam interaksi antara
pikiran seseorang dan konteks sosial budaya (Csikszentmihalyi, 1996).
Menurut Olson (1996), berpikir kreatif terdiri dari 2 unsur, yaitu kefasihan dan
keluwesan. Kefasihan ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan sejumlah besar
7
gagasan pemecahan masalah secara lancar dan cepat. Untuk mengetahui kefasihannya,
seseorang dapat diminta menyebutkan seluruh kemungkinan kegunaan dari gantungan
jas, batu bata, atau penjepit kertas selama jangka waktu tertentu. Sedangkan, keluwesan
pada umumnya mengacu pada kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbeda-
beda dan luar biasa untuk memecahkan suatu masalah. Misalnya, gagasan pemecahan
masalah yang berlainan untuk memperbaiki metode membuka pintu dapat dilakukan
dengan cara menempatkan pegangan pintu pada dinding yang berdekatan dengan pintu
dan bukan menempatkan pegangan tersebut di pintu itu sendiri. Berpikir luwes juga
ditunjukkan oleh kemampuan untuk menemukan kegunaan produk yang ada. Misalnya,
seorang pemikir yang luwes mungkin mengenal bahwa kegunaan sebuah penjepit kertas
akan lebih banyak apabila dapat dipergunakan untuk menjepit benda-benda lain, atau
apabila dapat dipergunakan menggaruk, memetik, dan mengaduk.
Ada banyak faktor yang memengaruhi perkembangan kreativitas individu yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal yang memengaruhi perkembangan
kreativitas yaitu jenis kelamin, status sosial ekonomi, urutan dalam keluarga, besar
kecilnya keluarga, dan inteligensi. Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi
perkembangan kreativitas yaitu waktu, kesempatan menyendiri, dorongan, sarana,
lingkungan yang merangsang, hubungan anak-orang tua yang tidak posesif, cara
mendidik anak, kesempatan memeroleh pengetahuan (Munandar, 1999).
Sebuah penelitian mengenai kreativitas telah dilakukan oleh Trivedi dan
Bhargava (2010) yang menyatakan bahwa prestasi akademik mempunyai hubungan
yang positif dengan kreativitas pada remaja. Selain itu, berdasarkan penelitiannya
terhadap remaja dan keluarganya, Larson (dalam Brooks, 2011) meyakini bahwa, untuk
perkembangan positif di tahun-tahun ini, remaja harus mengembangkan inisiatif,
8
“kemampuan memotivasi diri sendiri untuk mengarahkan perhatian dan usaha meraih
tujuan yang menantang.” Selain menjadi kualitas yang penting, inisiatif juga berperan
sebagai landasan bagi kualitas penting lain seperti kreativitas dan kepemimpinan.
Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Kisti dan Fardana (2012) yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan
kreativitas pada siswa SMK, semakin tinggi self efficacy yang dimiliki siswa SMK
maka semakin tinggi juga kreativitas pada siswa SMK. Self efficacy sendiri merupakan
keyakinan individu akan kemampuan mereka untuk melewati tantangan yang mereka
hadapi.
Kreativitas tidak dapat dipaksa tetapi harus dipelihara dan didorong untuk
kemunculannya secara penuh dan nyata. Oleh karena itu, untuk memelihara dan
mendorong potensi internal, upaya dalam mengembangkan lingkungan eksternal sangat
diperlukan dan sangat penting. Dengan menyiapkan kondisi keamanan psikologis serta
kebebasan, keluarga dapat menciptakan lingkungan yang paling bertahan bagi
munculnya kreativitas yang membangun. Faktor lingkungan memiliki dampak besar
pada potensi kreatif (Trivedi & Bhargava, 2010).
Basri(dalam Tarnoto & Purnamasari, 2012) mengemukakan salah satu faktor
yang memengaruhi kreativitas adalah kondisi dan situasi rumah tangga. Adapun yang
termasuk dalam faktor kondisi dan situasi rumah tangga antara lain: hubungan ayah dan
ibu, hubungan orang tua dan anak-anaknya, taraf kesibukan ayah dan ibu di luar rumah,
kehangatan dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, serta tingkat pendidikan orang
tua, baik ibu maupun ayah. Sikap orang tua tidak hanya memberi pengaruh kuat pada
hubungan di dalam keluarga tetapi juga pada sikap dan perilaku anak.
9
Hurlock (1993) berpendapat bahwa kebanyakan anak berhasil, setelah menjadi
dewasa, berasal dari keluarga dengan orang tua yang bersifat positif dalam hubungan
mereka. Oleh karena itu, pola asuh yang digunakan orang tua sebagai metode
pendidikan anak sebagian tergantung pada cara mereka sendiri dibesarkan dan sebagian
lagi pada apa yang didapat dari pengalaman pribadi atau pengalaman bersama teman
mereka.
Selain itu, Munandar (1999) juga mengemukakan bahwa kreativitas anak akan
berkembang apabila orang dewasa maupun anak mempunyai kebiasaan-kebiasaan
kreatif, misalnya kebiasaan memertanyakan apa yang dilihat, mempunyai pandangan
baru, menemukan cara lain untuk melakukan sesuatu, dan bersibuk diri secara kreatif
sebanyak mungkin. Orang tua dapat membantu anak menemukan minat-minat mereka
paling mendalam dengan mendorong anak melakukan kegiatan yang beragam dan
menunjukkan kesempatan pada anak.Minat anak berkembang dan dapat berubah dengan
berselangnya waktu.
Sebuah penelitian yang telah dilakukan di India (Sidhu, Malhi & Jerath, dalam
Shahzada, 2011) menyatakan bahwa anak-anak yang memiliki ibu yang hanya
mengenyam pendidikan lebih dari 8 tahun secara signifikan memiliki IQ lebih tinggi
dibandingkan dengan anak-anak yang mempunyai ibu yang hanya mengenyam
pendidikan kurang dari 8 tahun. Orang tua yang telah menyelesaikan pendidikan yang
tinggi ditemukan lebih mempunyai kedekatan hubungan secara pribadi dengan bayi
ataupun anak-anak mereka dibandingkan dengan orang tua yang tidak menyelesaikan
pendidikan yang tinggi (Sclafani, dalam Gratz, 2006).Yang dimaksud dengan tingkat
pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan dan kesesuaian yang ditetapkan berdasarkan
tingkat perkembangan siswa/mahasiswa, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan
10
yang dikembangkan, terdiri dari pendidikan dasar (jenjang pendidikan awal 9 tahun
pertama masa sekolah anak-anak), pendidikan menengah (jenjang pendidikan lanjutan
pendidikan dasar), dan pendidikan tinggi (jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program sarjana, magister, doktor dan spesialis yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi (UU SISDIKNAS No. 20, 2003).
Penelitian terdahulu lainnya menunjukkan bahwa keunikan dari pendidikan ibu
secara signifikan mempunyai pengaruh yang kuat pada proses belajar anak-anak
mereka. Ann (dalam Gratz, 2006) mengatakan bahwa kapanpun itu pendidikan ibu
adalah salah satu faktor yang paling penting untuk memengaruhi kemampuan membaca
anak dan penghargaan/prestasi akademik lainnya. Anak-anak yang mempunyai ibu
dengan tingkat pendidikan yang tinggi tinggal di sekolah lebih lama dibandingkan
dengan anak-anak yang mempunyai ibu dengan pendidikan rendah. Orang tua yang
telah menyelesaikan tingkat pendidikan yang lebih tinggi itu lebih mempunyai pengaruh
dalam pendidikan anak-anak mereka.
Hasil penelitian lainnya juga telah dilakukan oleh Karimi (dalam Naderi dkk,
2009) tentang hubungan kreativitas, jenis kelamin dan prestasi akademik pada siswa
kelas 2 Sekolah Dasar yang menunjukkan bahwa perbandingan antara laki-laki dan
perempuan dalam kreativitas merupakan indikasi dari perbedaan yang signifikan antara
kedua jenis kelamin, disamping itu, tingkat pendidikan orang tua mempunyai hubungan
yang signifikan pada kreativitas.
Hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan pada penelitian yang telah dilakukan
oleh Nori (dalam Naderi dkk, 2009), hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara kreativitas dengan prestasi akademik. Behroozi (dalam Naderi
dkk, 2009) juga telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara fitur pribadi dan
11
kreativitas dan juga antara kreativitas dan prestasi akademik pada 187 mahasiswa
melalui kuesioner kreativitas Cattel, hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
tidak ada hubungan yang signifikan antara kreativitas dan variabel-variabel lainnya.
Sebuah penelitian telah dilakukan oleh Munandar (1999) pada tahun 1977
terhadap siswa kelas 6 SD dan siswa SMP, yang menyimpulkan bahwa pendidikan ibu
lebih mempunyai hubungan positif dengan prestasi sekolah, kreativitas, dan inteligensi
daripada pendidikan ayah. Selain itu, Munandar (1999) juga mengemukakan bahwa
tingkat pendidikan ibu lebih berkaitan dengan prestasi sekolah dan kreativitas anak
daripada tingkat pendidikan ayah. Berdasarkan hasil penelitian Dacey (Munandar,
1999) pada tahun 1989, remaja yang kreatif lebih banyak melakukan identifikasi
terhadap figur ibu daripada ayah. Ikeda (dalam Munandar, 1999) juga berpendapat,
bahwa ibu mempunyai peranan utama dalam pengembangan kreativitas keluarganya
dan kehidupan kreatif ibu secara alamiah akan tertanam dalam pikiran anak-anaknya
menjadi bagian yang hidup dari pemikiran anak-anaknya. Hasil penelitian berbeda
ditunjukkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayati (2011), hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
orang tua dengan kreativitas remaja.
Berpikir kreatif kadang-kadang digambarkan sebagai suatu kemampuan untuk
membentuk ulang kenyataan untuk menemukan keperluan-keperluan dan aspirasi-
aspirasi manusia (Brofenbrenner, dalam Meintjes & Grosser, 2010). Berpikir kreatif
adalah sebuah proses pemikiran yang kompleks yang mengerahkan berbagai perbedaan
fungsi-fungsi kognitif dan melibatkan berbagai perbedaan wilayah distribusi pada
seluruh otak. Berpikir secara kreatif mungkin tergantung pada kemampuan kita
menggunakan suatu jarak dari proses kognitif dalam cara-cara yang berbeda dan hal
12
yang penting adalah untuk berpindah diantara cara-cara ini dengan tepat (Howard &
Jones, 2008). Di sisi lain menurut Anwar dkk (2012), berpikir kreatif juga didefinisikan
sebagai sebuah cara yang menghasilkan ide-ide yang dapat diaplikasikan dalam
beberapa cara di seluruh dunia. Hal ini biasanya melibatkan penyelesaian masalah dan
memanfaatkan aspek-aspek dari kecerdasan, contohnya seperti linguistik, matematika,
dan hubungan antar pribadi.Berpikir kreatif juga melibatkan penciptaan sesuatu yang
baru atau asli.Hal itu melibatkan keahlian dari kelenturan, keaslian, penggambaran,
berpikir asosiatif, daftar sifat-sifat, berpikir metafora dan hubungan yang kuat.
Torrance (dalam Anwar, 2012) menyatakan bahwa berpikir kreatif adalah
sebuah cara pandang yang baru dan melakukan hal-hal yang dikarakteristikkan melalui
4 komponen yaitu: (a) kelancaran (mengembangkan kelancaran jawaban untuk
menghasilkan banyak gagasan dan kemungkinan jawaban terhadap suatu
permasalahan), (b) kelenturan (kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam
pemecahan atau pendekatan masalah), (c) keaslian (kemampuan untuk mencetuskan
gagasan-gagasan yang asli, jadi tidak hanya menciptakan gagasan dalam jumlah yang
banyak saja tetapi juga gagasan baru), (b) elaborasi (kemampuan untuk menguraikan
ide-ide secara terperinci).
Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil-hasil penelitian sebelumnya baik itu
penelitian yang pro dan penelitian yang kontra yang telah dilakukan mengenai
hubungan antara kreativitas dengan prestasi akademik dan juga penelitian mengenai
pengaruh tingkat pendidikan ibu dengan inteligensi anak, serta penelitian mengenai
hubungan antara tingkat pendidikan orang tua terlebih khusus tingkat pendidikan ibu
dengan kreativitas remaja, maka perumusan masalahdalam penelitian ini adalah apakah
ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kreativitas pada remaja dalam hal
13
ini yaitu terutama kemampuan berpikir kreatif, karena salah satu hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Munandar (1999) pada tahun 1977 menunjukkan bahwa
pendidikan ibu mempunyai hubungan yang positif dengan kreativitas, akan tetapi pada
penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayati (2011) menunjukkan hasil yang berbeda
yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan orang tua dengan
kreativitas remaja.
Oleh karena itu, berdasarkan paparan yang telah diuraikan, penulis
menyimpulkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan
berpikir kreatif siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen I Salatiga namun belum
bisa menentukan apakah hubungannya positif atau negatif.
14
METODE
A. Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa/i kelas XI SMA Kristen I Salatiga
dengan jumlah 112 sampel . Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel dilakukan
dengan cararandom classdan sesudah diundi didapatkan 5 kelas, yaitu kelas XI MIA 2,
XI IIS 1, XI IIS 2, XI IIS 3, XI IBBUD.
B. Instrumen
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Tes
Kreativitas Figural (TKF) dari Munandar (1999), di mana tes ini merupakan tes
kreativitas yang merupakan adaptasi dari circle test dari Torrance (dalam Munandar,
1999), pertama digunakan di Indonesia pada tahun 1977, kemudian tahun 1988
dilakukan penelitian Standardisasi Tes Figural (untuk umur 10-18 tahun) oleh Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia, bagian Psikologi Pendidikan (dalam Munandar,
1999).Penelitian standarisasi Tes Kreativitas Figural dilaksanakan pengambilan datanya
yaitu antara bulan Oktober 1985 sampai dengan Januari 1986, dan telah menghasilkan
norma-norma baku untuk usia 10 sampai dengan 18 tahun. Makna dan manfaat dari Tes
Kreativitas Figural ialah bahwa tes ini dapat digunakan dengan baik untuk anak-anak,
remaja dan orang dewasa.
Tes Kreativitas Figural mengukur aspek kelancaran, kelenturan, orisinalitas, dan
elaborasi dari kemampuan berpikir kreatif. Karena alat ukur TKF sudah terstandarisasi
maka penulis tidak melakukan uji coba ulang. Nilai tambah dari TKF adalah bahwa di
samping aspek-aspek tersebut di atas, TKF juga memungkinkan mendapat ukuran
kreativitas sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi antar unsur-unsur yang
15
diberikan, yaitu dengan memberikan skor untuk “bonus orisinalitas” jika subyek mampu
menggabung dua lingkaran atau lebih menjadi satu objek. Makin banyak lingkaran yang
dapat digabung, makin tinggi nilai (skor) yang diperoleh.
D. Analisis Data
Teknik statistik yang digunakan adalah korelasi Product Moment dari Pearson
apabila data berdistribusi normal, namun apabila data tidak berdistribusi normal maka
teknik statistik yang digunakan adalah Spearman rho dengan bantuan program
komputer SPSS version 16.0. Secara empirik, tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan
oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam
rentang dari 0 sampai dengan 1,00 (Azwar, 2012).
16
HASIL
Uji Normalitas
Penelitian ini menggunakan uji normalitas dilihat melalui Kolmogorov-Smirnov
untuk melihat apakah residual berdistribusi normal atau tidak. Residual berdistribusi
normal jika nilai signifikansi lebih dari 0,05 (Priyatno, 2010). Berdasarkan hasil
pengujian normalitas, kedua variabel memiliki hasil yang berbeda. Variabelberpikir
kreatif memiliki nilai koefisien Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,602 dengan nilai
signifikansi sebesar 0,861 (p>0,05) sedangkan variabel tingkat pendidikan ibu memiliki
nilai koefisien Kolmogorov-Smirnov sebesar 3,553dengan nilai signifikansi sebesar
0,000 (p<0,05). Karena salah satu variabel memiliki signifikansi kurang dari 0,05 jadi
data tingkat pendidikan ibu dan kreativitas dinyatakan tidak berdistribusi normal.
Uji Linieritas
Hasil uji linieritas dilakukan untuk mengetahui linieritas hubungan antara
variabel bebas dengan variabel terikat dan untuk mengetahui signifikansi penyimpangan
dari linieritas hubungan tersebut.Dalam penelitian ini hubungan tingkat pendidikan ibu
dan berpikir kreatif adalah linier karena memiliki nilai signifikansi untuk deviation from
linearity sebesar 0,197 (p>0,05) (Widiarso, 2010)
17
Analisis Deskriptif
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa rata-rata siswa memiliki ibu yang
mempunyai pendidikan akhir yaitu SMA, hal itu dapat dilihat dari jumlah siswa pada
kategori SMA yang berjumlah 65 siswa yang memiliki ibu dengan pendidikan akhir
SMA dengan persentase tertinggi yaitu 58% dan disusul kategori pendidikan S1 yang
berjumlah 20 siswa yang memiliki ibu dengan pendidikan akhir S1 dengan persentase
17,9%. Setelah itu disusul oleh jumlah siswa yang memiliki ibu dengan pendidikan
akhir Diploma yang berjumlah sebanyak 11 siswa dengan persentase yaitu 9,8%, lalu
sebanyak 10 siswa dengan persentase sebesar 8,9 memiliki ibu dengan pendidikan akhir
SMP. Selain itu, sebanyak 4 siswa dengan persentase 3,6% memiliki ibu dengan
pendidikan akhir SD. Hanya 1 siswa dengan persentase 0,9% memiliki ibu dengan
pendidikan akhir S2 dan hanya 1 siswa dengan persentase 0,9% memiliki ibu dengan
pendidikan akhir S3.
Tabel 1
Pendidikan Terakhir Ibu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid SD 4 3.6 3.6 3.6
SMP 10 8.9 8.9 12.5
SMA 65 58.0 58.0 70.5
Diploma 11 9.8 9.8 80.4
S1 20 17.9 17.9 98.2
S2 1 .9 .9 99.1
S3 1 .9 .9 100.0
Total 112 100.0 100.0
18
Tabel 2
Kategori TKF
Frequency Percent Valid Percent
Valid Sangat Rendah (<79) 4 3.6 3.6
Rendah (80-89) 24 21.4 21.4
Agak Rendah (90-99) 32 28.6 28.6
Cukup (100-110) 33 29.5 29.5
Agak Tinggi (111-120) 16 14.3 14.3
Tinggi (121-130) 3 2.7 2.7
Total 112 100.0 100.0
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa rata-rata siswa berada pada kategori
cukup dan agak rendah dalam berpikir kreatif, hal itu dapat dilihat dari jumlah siswa
pada kategori cukup pada tabel 2 yang berjumlah 33 siswa dengan persentase tertinggi
yaitu 29,5% dan disusul pada kategori agak rendah dengan jumlah siswa yaitu 32 siswa
dengan persentase 28,6%. Setelah itu disusul oleh jumlah siswa pada kategori rendah
yang berjumlah sebanyak 24 siswa dengan persentase yaitu 21,4%, lalu sebanyak 16
siswa dengan persentase sebesar 14,3% berada pada kategori agak tinggi. Hanya 4 siswa
dengan persentase 3,6% berada pada kategori sangat rendah dan hanya 3 siswa dengan
persentase 2,7% berada pada kategori tinggi.
19
Analisis Korelasi
Perhitungan analisis data dilakukan setelah uji normalitas.Perhitungan dalam
analisis ini dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 16.0. Hasil korelasi antara
tingkat pendidikan ibu dengan kreativitas siswa dapat dilihat dari tabel 3
Tabel 3
Hasil Uji Korelasi antara Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kreativitas siswa
Correlations
Pendidikan
Terakhir Kreativitas_TKF
Spearman's rho Pendidikan ibu Correlation Coefficient 1.000 -.028
Sig. (2-tailed) . .771
N 112 112
Kreativitas_TKF Correlation Coefficient -.028 1.000
Sig. (2-tailed) .771 .
N 112 112
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi dapat diketahui hubungan antara
tingkat pendidikan ibu dengan kreativitas siswa menunjukkan korelasi sebesar -0,028
dengan signifikansi 0,771 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif siswa.
PEMBAHASAN
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan antara variabel tingkat
pendidikan ibu dengan berpikir kreatif siswa didapatkan hasil bahwa tidak terdapat
hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif siswa.
20
Banyak faktor yang memengaruhi siswa dalam mengembangkan kemampuan
mereka dalam berpikir kreatif. Berpikir kreatif dipengaruhi oleh banyak hal dan tidak
terlepas dari proses interaksi antara faktor psikologis (internal) seperti motivasi,
kepribadian dan faktor lingkungan. Suharnan (2002) mengemukakan bahwa
kecenderungan kreatif akan muncul dari seseorang dengan motivasi intrinsik yang
tinggi, karena dalam aktivitas kreatif tersebut sangat dibutuhkan keleluasaan untuk
bertindak, sehingga kehendak orang lain (kondisi eksternal) justru dapat menimbulkan
hambatan dan penuangan ide kreatif, artinya tugas-tugas kreatif justru akan berhasil
diwujudkan tanpa mengharapkan penilaian atau penghargaan dari orang lain. Pekerjaan
yang bersifat eksplorasi seperti pada kreativitas, bermula dari adanya kemauan dari diri
sendiri, dan tidak dapat dipaksakan oleh orang lain serta lebih membutuhkan motivasi
dalam diri seseorang daripada lingkungan.
Hasil penelitian ini menolak hasil penelitian yang dilakukan oleh Munandar
(1999) pada tahun 1977 yang menyatakan bahwa di SD maupun SMP kelompok anak
yang pendidikan ibunya SMA ke atas skornya nyata lebih tinggi pada kreativitas,
inteligensi, dan prestasi sekolah, daripada kelompok anak yang pendidikan ibunya lebih
rendah dari SMA. Selain itu juga, hasil penelitian ini menolak hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Karimi (dalam Naderi dkk, 2009) yang menyatakan bahwa tingkat
pendidikan orang tua mempunyai hubungan yang signifikan pada kreativitas.Sebaliknya
hasil penelitian ini menambahkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2011)
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan orang tua
dengan kreativitas remaja.Penelitian ini juga mendukung hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Tarnoto dan Purnamasari (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada
21
perbedaan kreativitas antara siswa yang memiliki ibu berpendidikan tinggi dengan siswa
yang memiliki ibu berpendidikan rendah.
Hasil dan pembahasan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu bukan
merupakan faktor yang dapat memengaruhi berpikir kreatif siswa. Banyak faktor-faktor
lain yang dapat memengaruhi remaja seperti: lingkungan pergaulan, sikap orang tua,
jumlah anggota keluarga, urutan kelahiran, pola asuh orang tua, lingkungan sekolah dan
lain sebagainya. Dari hasil yang telah didapatkan dapat dijelaskan bahwa kemungkinan
salah satu faktor yang menyebabkan tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan
ibu dengan berpikir kreatif pada siswa salah satunya yaitu karena adanya visi mengenai
pengembangan kreativitas pada siswa yang dimiliki oleh sekolah di mana tempat
penulis mengambil data, selain itu subjektivitas penulis dalam memberi skor pada alat
ukur juga kemungkinan menjadi penyebabnya. Di sisi lain, Widhiarso (dalam Wahyu,
2011) menyatakan bahwa ada beberapa penyebab yang menyebabkan hasil uji statistik
tidak menunjukkan ada hubungan yaitu adanya outliers yang artinya terdapat data yang
‘aneh’, bisa jadi ke’aneh’an ini karena salah dalam mengentri data, bisa jadi karena
individu yang memang unik, berbeda dengan orang kebanyakan, selain itu juga
penyebab lainnya yaitu ukuran sampel kecil, masalah data, juga masih menyisahkan
banyak hal jika dieksplorasi lebih lanjut.
22
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara tingkat pendidikan ibu
dengan berpikir kreatif remaja, diperoleh kesimpulan yaitu tidak ada hubungan antara
tingkat pendidikan ibu dengan berpikir kreatif remaja.
Saran
Berdasarkan hasil dari penelitian dan kesimpulan di atas maka peneliti
menyarankan hal-hal sebagai berikut:
a. Bagi Orang Tua
Orang tua hendaknya membimbing, mengarahkan dan memberi fasilitas yang
memadai bagi anak-anaknya dalam mengembangkan kemampuan berpikir
kreatif mereka.Hal ini diharapkan meningkatkan berpikir kreatif remaja.
b. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan dan mengembangkan
disarankan untuk meneliti mengenai faktor-faktor lain yang memengaruhi.yaitu
faktor internal yang terdiri dari faktor pribadi, jenis kelamin, status sosial
ekonomi, dan urutan kelahiran, sedangkan faktor eksternal terdiri dari sarana,
dorongan, lingkungan yang merangsang, dan cara mendidik anak.
23
DAFTAR PUSTAKA
Anggadha, A. (2007). Bullying dipicu budaya feodal dan tekanan kurikulum sekolah. Diakses dari http://news.detik.com/read/2007/11/14/134129/852440/10/bullying-dipicu-budaya-feodal-tekanan-kurikulum-sekolah tanggal 24 Mei 2013
Anwar, N.M., Aness, M., Khizar, A., Naseer, M., & Muhammad, G. (2012).Relationship of creative thinking with the academic achievements of secondary school students.International Interdisciplinary Journal of Education, 1(3), 44-47.
Azwar, S. (2012).Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Brooks, J. (2011). The process of parenting. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Csikszentmihalyi, M. (1996).Creativity (1st Ed). New York: HarperCollins Publishers, Inc.
Efendi, P. (2012). Mobil-mobil karya anak Indonesia yang terabaikan. Diakses dari http://efendybloger.blogspot.com/2012/01/mobil-mobil-karya-anak-indonesia-yang.html tanggal 24 Mei 2013
Gratz, J. (2006). The impact of parent’s background on their children’s education.Educational Studies: Saving Our Nation, Saving Our Schools, 268, 1-11.
Gunarsa, S.D., & Gunarsa, Y.S. D. (1983).Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Hidayati, S. (2011).Kreativitas remaja ditinjau dari pola asuh dan tingkat pendidikan
orang tua pada SMU se-kota Palangkaraya.Skripsi (tidak diterbitkan).
Palangkaraya: STAIN-PLK
Howard, P., & Jones. (2008). Fostering creative thinking: co-constructed insights from neuroscience and education. UK: Higher Education Academy.
Hurlock, E.B. (1993). Perkembangan anak jilid 1 (Edisi ke-6). Jakarta: Erlangga
Kaufman, J.C., & Sternberg, R.J. (2010).The cambridge handbook of creativity. United States of America: Cambridge University Press.
Kim, K.H. (2008). Underachievement and creativity: are gifted underachievers highly creative?.Creativity Research Journal, 20(2),234-242.
_________. (2011). The creativity crisis: the decrease in creative thinking scores on the Torrance test of creative thinking. Creativity Research Journal, 23(4), 285-295.
24
Kisti, H.H., & Fardana, N.A.N. (2012).Hubungan antara self efficacy dengan kreativitas pada siswa SMK.Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1(02), 52-58.
Meintjes,H., & Grosser, M. (2010). Creative thinking in prospective teachers: the status quo and the impact of contextual factors. South African Journal of Education, 30, 361-386
Munandar, U.(1999). Kreativitas dan keberbakatan strategi mewujudkan potensi kreatif dan bakat. Jakarta: Gramedia.
Naderi, H., Abdullah, R., Aizan, H.T., Sharir, J., & Kumar, V. (2009).Creativity, age and gender as predictors of academic achievement among undergraduate students.Journal of American Science, 5(5), 101-112
Olson, R. W. (1996). Seni berfikir kreatif. Jakarta: Erlangga
Priyatno, D. (2010). Teknik mudah dan cepat melakukan analisis data penelitian dengan spss. Yogyakarta: Gava Media
Santrock, W.J. (2007). Remaja jilid 1 & 2 (Edisi 11). Jakarta: Erlangga ___________. (2012). Perkembangan masa hidup (Edisi 13). Jakarta: Erlangga. Shahzada, G. (2011). Mother’s education and student’s multiple intelligences.
Mediterranean Journal of Social Sciences, 2(2), 373-377.
Sugiyono.(2014). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Suharnan. (2002). Skala c.o.r.e. sebagai alternatif mengukur kreativitas: suatu pendekatan kepribadian. Anima Indonesian Psychology Journal, 18(1), 69-81
Sumarno, L. (2004). Septinus dan ikon remaja Indonesia. Republika 8 Juni 2004 Tarnoto, N., Purnamasari, A. (2009). Perbedaan kreativitas siswa SMP N Moyudan
ditinjau dari tingkat pendidikan ibu. Diakses dari http://eprints.uad.ac.id/96/1/Nissa_Tarnoto,_Alfi_Purnamasari_(PERBEDAAN_KREATIVITAS_SISWA_SMP_N_2_MOYUDAN_DITINJAU_DARI_TINGKAT_PENDIDIKAN_IBU).pdf tanggal 22 Maret 2012
Trivedi, K., & Bhargava, R. (2010).Relation of creativity and educational achievement in adolescence.J Psychology, 1(2):85-89.
UU SISDIKNAS No. 20 2003 Vemale.com. (2013).Inilah sepatu anti pemerkosaan karya anak Indonesia.Diakses
dari http://www.vemale.com/ragam/22065-inilah-sepatu-anti-pemerkosaan-karya-anakindonesia tanggal 24 Mei 2013.
Wahyu.(2011). Beberapa penyebab mengapa hasil uji statistic tidak signifikan. Diakses dari http://belajar-psikometri.blogspot.com/2011/06/beberapa-penyebab-mengapahasil-uji.html tanggal 2 Desember 2014
Widiarso, W. (2010).Uji linieritas hubungan.Manuskrip (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Diakses dari
25
http://www.widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/widhiarso_2010_-_uji_linieritas_hubungan.pdf tanggal 2 Desember 2014
Zunlynadia. (2010). Anak nakal = anak kreatif. Diakses dari http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/27/anak-nakal-anak-kreatif/tanggal 2 Juni 2014.