24

Click here to load reader

(1) Fatwa Majma

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: (1) Fatwa Majma

Silahkan download e-book ini di halaman download pada situs

www.tinyurl.com/syariahJudul : Fatwa Majma’ al Buhuts al Islamiyah tidak Berlaku terhadap Bank Bank konvensionalJudul asli : Fatwa Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah la Tanthabiqu ‘ala Wada’i al-Bunuk al-IslamiyahPenulis : Dr. Husein Hamid Hasan (Guru Besar fakultas hukum Universitas Kairo)Sumber : Majalah Iqtishad al-Islami (edisi 260 – 261)Penerjemah : Tim Pakeis

Beberapa mas media memberitakan tentang fatwa bunga bank konvensional yang dikeluarkan oleh Majma’ al Buhuts al Islamiyah (Lembaga Riset Islam).

Fatwa ini telah menyalahi keputusan yang dikeluarkan oleh Majma’ al Buhuts al Islamiyah (Lembaga Riset Islam) sendiri pada tahun 1965, juga menyalahi keputusan seluruh lembaga fiqh dan ekonomi dalam setiap konferensi dan seminar yang membahas bunga bank konvensional.

Pada waktu yang sama, obyek fatwa Majma’ al Buhuts al Islamiyah (Lembaga Riset Islam) tersebut adalah bank–bank yang menerima dana dari para nasabah sebagai wakil mereka untuk menginvestasikannya secara langsung dalam usaha-usaha yang dibolehkan oleh syara’. Dan jenis ini tidak terjadi pada bank-bank konvensional baik bank komersial ataupun bank-bank khusus, karena bank-bank tersebut menerima dana dari para nasabah sebagai peminjam dan harus mengembalikannya kepada para pemiliknya. Sedangkan undang-undang yang berlaku melarang bank-bank ini untuk menginvestasikan secara langsung simpanan tersebut. Dan satu-satunya jalan bagi bank ini adalah adalah meminjamkannya kepada para nasabah dalam bentuk kredit berbunga.

Oleh karena itu saya berinisiatif untuk menjelaskan secara terperinci fatwa ini dan saya yakin bahwa bank yang disebutkan dalam fatwa adalah khayalan dan tidak ada dalam kenyataan.

Dan jika bank-bank seperti itu ada dengan merubah undang-undang yang berlaku sehingga undang-undang mengizinkan bank-bank tersebut untuk menerima dana nasabah sebagai wakil dari mereka untuk diinvestasikan secara langsung dalam usaha yang dihalalkan, maka itu berarti bank-bank tersebut sudah islami, dengan syarat hukum dan ketentuan wakalah (mewakilkan) diterapkan, yaitu seorang mudi’ (penyimpan dana) adalah pemilik dana tersebut, ia berhak mendapatkan seluruh keuntungannya dan bertanggung jawab terhadap resiko investasinya dan seorang wakil berhak mendapatkan upah tertentu (ajr ma’lum) atau dengan presentase dari dana investasi.

Oleh karena itu, tulisan singkat ini bermaksud menjelaskan fatwa ini, obyeknya dan pelanggarannya terhadap hukum syara’.

Pertanyaan dan fatwa Fatwa tersebut berkenaan dengan pertanyaan yang diajukan oleh

Dr. Hasan Abbas Zaki kepada Syekh al Azhar. Isi pertanyaannya sebagai berikut:Kepada yang terhormat

Page 2: (1) Fatwa Majma

Dr. Muhammad Sayyid Thonthowi Syekh al AzharAssalamualaikum wr. wb.Perlu diketahui bahwa para nasabah The Exange of Arabic International Coorforation Bank (Bank Syarikah al Masyrifiyah al ‘arabiyah ad dauliyah) menyimpan dananya pada bank ini untuk diinvestasikan dalam usaha-uaha yang masyru’ (dibolehkan) dengan keuntungan yang telah ditetapkan di muka dalam jangka waktu yang telah disepakati antara pihak bank dengan nasabah. Oleh karena itu kami mengharapakan pandangan syar’i (hukum islam) terhadap masalah ini.

Kemudian Syekh Azhar melimpahkan pertanyaan ini kepada Majma’ al Buhuts al Islamiyah untuk dikaji, yang kemudian mengeluarkan jawabannya sebagai berikut :

Para nasabah yang berhubunagan dengan The Exange of Arabic International Coorforation Bank (Bank Syarikah al Masyrifiyah al ‘arabiyah ad dauliyah) atau dengan bank lain, di mana para nasabah menyimpan dananya pada bank ini sebagai wakil mereka untuk diinvestasikan dalam usaha-usaha yang masyru’ (dibolehkan) dengan keuntungan yang telah ditetapkan di muka untuk untuk mereka dalam jangka waktu yang telah disepakati antara pihak bank dengan nasabah. Kegiatan ini hukumnya halal tidak diragukan karena tidak ada dalil dari kitab dan sunnah yang melarang suatu muamalah yang keuntungan usahanya ditetapkan dimuka selama kedua belah pihak ridha dengan muamalah ini.

********Saya akan menjawab fatwa ini dalam tiga bagian, yaitu pertama

dasar – dasar keuangan dalam islam, kedua jawaban global terhadap fatwa dan ketiga jawaban terperinci terhadap fatwa dan kesimpulannya.

Bagian Pertama : Dasar-dasar keuangan dalam Islam1. Kewajiban bekerja

Islam menganjurkan untuk bekerja dan berusaha dan menjadikan bekerja sebagai amal ibadah, usaha produksi sebagai keta’atan, dan kesejahteraan sebagai kewajiban karena hal tersebut adalah kekuatan yang diperintahkan oleh Allah swt untuk memerangi mu’tadin (orang yang melakukan kejahatan).

Seorang muslim menggunakan hasil usahanya untuk memenuhi kebutuhannya yang masyru’ (dibolehkan) dan menggunaknnya dalam hal-hal thoyyibat (baik) bukan pada hal-hal muharromat (yang diharamkan). Begitu pula ia harus menggunakannya dalam batas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan sehingga seorang muslim bisa menyimpan sisa hasil usahanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang lain.2. Kewajiban menginvestasikan simpanan.

Menabung harta (tidak diinvestasikan) termasuk penimbunan walaupuan dikeluarkan zakatnya karena harta tesebut tidak beredar, tidak dikelola untuk proses pembangunan dan tidak menambah produksi barang dan jasa.

Oleh karena itu seorang muslim harus menginvestasikannya dan secara langsung oleh dirinya sendiri, dengan begitu ia berhak mendapatkan keuntungan (gunm) harta yang diinvestasikan dan menanggung kerugian usaha (gurm) sesuai kesepakatan para ulama. Karena hasil harta itu menjadi hak pemiliknya begitu pula dengan kerugiannya menjadi tanggung jawab pemilik –sesuai dengan hukum kepemilikan- selama tidak ada orang lain yang menyebabkan kerugian ini karena kelalaian terhadap harta tersebut (ta’addi) atau

Page 3: (1) Fatwa Majma

kecerobohannya dalam mengelolanya dan menjaganya (taqshir) sesuai dengan ketentuan akad dalam syari’at.

Jika pemilik modal tersebut tidak bisa mengelolanya sendiri karena tidak ada keahlian, keterbatasan waktu atau usahanya kurang menguntungkan karena minimnya modal, maka Islam mewajibkannya untuk memilih beberapa alternatif usaha di bawah ini :a. Mengupahkan (isti’jar) kepada orang lain untuk mengelola modal

ini. Ia menjadi pemilik usaha tersebut, sedangakan invistor menjadi pengelolanya dengan transaksi ijarah. Dalam hal ini pemilik usaha menanggung kerugian usaha dan berhak mendapatkan keuntungan, sedangkan pengelolanya akan mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan bersama baik usaha yang dijalankan itu untung ataupun rugi selama kerugian itu terjadi di luar kemampuannya sesuai dengan hukum kepemilikan.

b. Menyerahkan modal ini kepada pihak lain –seperti bank misalnya- untuk mengelolanya dengan akad wakalah (mewakilkan) dengan upah tertentu yang dijamin oleh pemilik modal, baik usaha tersebut beruntung ataupun rugi yang terjadi di luar kemampuan wakil (yang diwakilkan). Dalam usaha ini pemilik berhak mendapatkan keuntungan dan menanggung kerugian usaha sesuai dengan hukum kepemilikan, karena hasil harta itu untuk pemiliknya begitu pula dengan kerugiannya menjadi tanggung jawab pemilik selama tidak ada orang lain yang menyebabkan kerugian ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

c. Menyerahkan modal ini kepada pihak lain –seperti bank misalnya- untuk mengelolanya dengan akad mudharabah (sistem bagi hasil) di mana mudharib (pengelola) mendapatkan bagian dari keuntungan riil bukan keuntungan perkiraan. Jika tidak ada keuntungan, maka mudharib tidak mendapatkan apa-apa karena ia telah melakukan mukhatarah (spekulasi) dengan kerjanya begitu pula dengan pemilik modal telah melakukan mukhatarah (spekulasi) dengan modalnya.

Dalam akad ini setiap kerugian mentadi tanggung jawab pemilik modal atau dinamakan deposan dan begitu pula dengan keuntungannya kecuali jika ada bagian dari keuntungan yang diberikan –sesuai dengan transaksi- kepada bank sebagai mudharib. Sebab deposan adalah pemilik modal dan mudharib adalah wakil yang diberikan wewenang untuk mengelola dengan keuntungan yang diketahui (ribh ma’lum) bukan dengan upah yang diketahui (ajr ma’lum) seperti halnya wakil yang tidak diserahi wewenang tesebut.

Hukum ini berlaku baik bank tersebut menginvestasikannya dengan akad mudharabah ataupun wakalah. Maka simpanan tetap mejadi milik deposan yaitu muwakkil (yang mewakilkan) dalam akad wakalah dan pemilik modal dalam akad mudharabah, oleh karena itu simpanan itu menjadi jaminan pemiliknya bukan jaminan wakil atau mudharib karena keduanya di berikan dana tersebut bukan sebagai pinjaman (ghoiru madin).

Hal ini sesuai dengan kaidah syar’iyyah yang qoth’i yaitu bahwa kerusakan dan kerugian harta menjadi tanggung jawab pemiliknya selama kerugian dan kerusakan ini tidak disebabkan oleh wakil atau mudharib (pengelola). Sebagai imbalannya pemilik menanggung resiko usaha juga berhak mendapatkan keuntungan setelah membayar upah wakil atau keuntungan mudharib.

Page 4: (1) Fatwa Majma

Tetapi jika pemilik modal atau pemilik simpanan meminjamkan dana tersebut kepada bank dengan akad wadi’ah naqdiyah (deposito uang) atau disebut wadi’ah naqishah, maka bank menjadi pemilik dana tersebut. Oleh karena itu –sesuai dengan hukum kepemilikan- bank berhak mendapatkan keuntungan dari dana tersebut dan menanggung kerugiannya karena ia bertanggung jawab untuk mengembalikan dana tersebut pada waktu yang ditentukan. Maka mudi’ (deposan) tidak berhak mendapatkan kelebihan dari jumlah deposito tersebut artinya tidak berhak mendapatkan keuntungan.

Karena syariat islam melarang seorang muqtaridh (peminjam) untuk mendapatkan keuntungan sementara ia tidak menanggung resiko kerugian usaha. Maka dalam Islam kaidah qardh sangat adil karena seorang muqtaridh (peminjam) memiliki harta pinjaman (wadi’ah/deposito) dan menjaminnya -sesuai dengan kaidah kepemilikan- untuk kemudian diserahkan kembali kepada muqridh (yang meminjamkan) atau (mudi’/deposan). Jadi Tidak ada alasan bagi muqridh (yang meminjamkan) untuk mendapatkan keuntungan, oleh karena itu syari’at Islam menganggap setiap tambahan dari harta yang dipinjamkan adalah riba.

Jika muqridh (yang meminjamkan) atau (mudi’/deposan) ingin mendapatkan keuntungan dari hartanya, maka ia harus menanggung resiko kerugian usahanya yaitu dengan menyerahkannya untuk dikelola kepada bank sebagai wakil dengan upah yang ditentukan atau sebagai mudharib (pengelola) dengan bagian dari keuntungan.

Jika bank-bank konvensional merubah sistemnya dengan memposisikan bank sebagai wakil atau mudharib dari harta yang disimpan oleh pemiliknya dengan upah tertentu dalam akad wakalah dan bagian keuntungan dalam akad mudharabah, kemudian deposito ini dinvestasikan dengan akad-akad investasi yang syar’i -bukan dengan meminjamkannya kepada pihak lain dengan kredit berbunga- dan membuat akuntansi keuangan dalam setiap investasi deposito secara terpisah, maka seluruh sistem perbankan akan berubah menjadi sistem perbankan islami.

Pendanaan usaha-usaha pembangunan

Pembangunan membutuhakan 2 unsur inti yaitu modal dan keahlian. Dan sudah menjadi sunatullah bahwa sebagian anggota masyarakat memiliki simpanan berupa kelebihan dari kebutuhan primernya atau kebutuhan tertiernya, sedangkan ia tidak bisa menginvestasikannya sendiri karena minimnya keahlian atau tidak adanya waktu atau tidak prosfektifnya usaha karena minimnya modal.

Dalam kondisi seperti ini, ia tidak boleh menyimpannya karena itu termasuk penimbunan yang diharamkan seperti yang telah disebutkan di muka, maka yang dilakukan adalah menyerahkannya kepada pihak lain baik itu individu, bank ataupun perusahaan.

Di samping itu ada juga sebagian masyarakat yang tidak memiliki harta tetapi dikaruniai keahlian dan ilmu. Ia tidak memiliki harta yang cukup untuk membiayai proyek-proyek investasi yang mendukung pembangunan. Dan pada umumnya kelompok yang memiliki keahlian ini mengandalkan keahliannya dalam mencari rizkinya.

Dan sesuai dengan keadilan syari’at ini bahwa kedua kelompok ini (pemilik harta lebih dan para ahli yang tidak mempunyai harta) bersama-sama bertanggung jawab terhadap resiko pembangunan dan

Page 5: (1) Fatwa Majma

kesejahteraan. Pemilik modal melakukan spekulasi dengan hartanya dan pemilik keahlian melakukan spekulasi dengan usaha dan keahlian mereka. Dan hasil usaha tersebut menjadi hak mereka sesuai denga kesepakatan sebagaimana resiko juga menjadi tanggung jawab mereka.

Hal ini ini berlandaskan hadits Nabi saw :الغنم بالغرم

Yang artinya “setiap hak keuntungan harus sesuai dengan tanggung jawabnya terhadap kerugian”.

Hadits ini dalil qoth’i yang bermuatan hukum global yang menjadi pondasi dalil-dalil syar’i yang lain yang tidak terhitung. Kadang-kadang dasar ini dinamakan al khorroj bi ad dhaman yaitu hak mendapatkan keuntungan sebanding dengan tanggung jawabnya dalam menanggung kerugian. Prinsip ini telah menjadi aturan dalam agama-agama samawi sebelum Islam karena prinsip ini menciptakan keseimbangan, keadilan diantara lapisan masyarakat.

Sesuai dengan prinsip ini, deposito dalam bank adalah milik para deposan yang menggung resiko kerugian usaha ini dan sebagai imbalannya ia berhak mendapatkan keuntungan kecuali yang syaratkan untuk bank berupa upah tertentu atau persentase (nisbat) jika bank sebagai wakil istitsmar, atau berupa presentase dari keuntungan jika bank sebagai mudharib. Baik wakil ataupun mudharib kedua-duanya menginvestasikan dana ini secara langsung oleh mereka dengan akad-akad syar’i sepeti al bai’ bi ats tsaman al ajil (jual beli denga pembayaran tempo), bai al murabahah, as salam, istishna’, ijarah, musyarakah, mudharabah, dan wakalah.

Dan keuntungan riil yang di capai pada akhir masa usaha dibagikan kepada para deposan (setelah dikurang upah bank sebagai wakil istitsmar atau bagian keuntungannya sebagai mudharib) sesuai dengan jumlah simpanannya dan masa investasinya.

Prinsip ini berlaku dalam setiap agama samawi terdahulu seperti yang telah kami sampai kemudian orang-orang yahudi merubah keadilan ini menjadi tatanan ekonomi dunia yang rapuh dan menjadi penyebab timbulnya krisis dan ketidak stabilan.

Pada intinya dalam sistem ribawi itu setiap resiko pembangunan dalam masyarakat menjadi tanggung jawab satu golongan saja yaitu para ahli yang mengelola usaha ini. Sementara mereka itu tidak memiliki modal yang cukup untuk mendanainya, akhirnya mereka mendatangi para pemilik modal yang tidak bisa menginvestasikannya secara langsung.

Para para ahli tersebut meminta mereka untuk mendanai proyek usaha ini, kemudian para pemilik modal meminta mereka untuk menjamin modal tersebut beserta tambahan yang disyaratkan baik hasil investasi tersebut untung ataupun rugi.

Dengan begitu mereka telah menyerahkan kepada para para ahli beban pembangunan dalam masyarakat, sementara mereka (pemilik modal) bertambah kekayaannya karena modalnya dijamin oleh muqtaridh beserta bunga yang disepakati bersama.

Orang-orang yahudi telah membangun sebuah lembaga bernama bank yang berfungsi menerima simpanan sekaligus memilikinya serta menjamin dana tersebut juga menjamin bunga yang ditetapkan di muka sesuai dengan besarnya jumlah simpanan dan masa usaha kemudian diserahkan kepada para deposan sesuai kesepakatan pada akhir masa penyimpanan. Kemudian lembaga ini yang kedudukannya sebagai perantara, meminjamkan ulang simpanan ini kepada pihak lain dengan

Page 6: (1) Fatwa Majma

syarat peminjam mengembalikan simpanan yang dipinjam beserta bunganya terlepas untung atau rugi hasil investasi tersebut.

Dengan begitu resiko usaha ini hanya menjadi tanggung jawab kelompok yang lemah yaitu para ahli dan pengelola yang tidak mempunyai modal yang cukup untuk membiayai proyek-proyek usahanya. Dalam waktu yang sama para pemilik modal menyerahkan resiko kesejahteraan ekonomi masyarakat kepada mereka. Dan bank dalam hal ini sebagai perantara terjadinya pelangaran dan kedzoliman yang merendahkan kemuliaan manusia dan melanggar prnsip-prinsip keadian, kerjasama, solidaritas antar anggota masyarkat.

Oleh karena itu Allah swt mengharamkan riba dalam setiap ajaran melalui lisan para Nabi, juga mengumumkan perang terhadap orang-orang yang terlibat dalam kedzoliman baik secara langsung ataupun tidak langsung. Hal ini dikatakan oleh Rasulallah saw dalam haditsnya :

لعن الله اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديهYang artinya “Allah melaknat orang yang memakan riba, yang mewakilkan, penulisnya dan kedua saksinya”.

Dan tidak ada pelanggaran yang dilakukan terhadap kemanusiaan dalam sejarahnya yang panjang seperti perbuatan riba yang melanggar prnsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, kerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan yang digantikan dengan kedzoliman, dosa dan kejahatan.

Dan sebelum menjawab fatwa, ada baiknya kita mengetahui beberapa transaksi dan ungkapan yang dipakai dalam fatwa tersebut yang menyalahi syari’ah.

1. Definisi qardh (simpan pinjam)Qardh adalah sebuah transaksi yang melahirkan pemindahan

kepemilikan uang atau benda mitsli (yang ada sejenisnya) yang lain dari seorang muqridh kepada muqtaridh untuk digunakan dan bertanggung jawab untuk mengembalikannya kepada muqridh pada waktu penagihan atau pada akhir masa pinjaman.

Definisi ini menunjukan bahwa wadi’atu an nuqud (deposito uang) dalam bank-bank konvensional itu qhard karena deposito tersebut menjadi milik bank dan digunakannya untuk kepentingannya, maka ia berhak mendapatkan keuntungannya sebagaimana juga menanggung kerugiannya dan bertanggung jawab mengembalikan nya kepada deposan pada waktunya. Itulah yang dinamakan wadi’atu an nuqud (deposito uang) seperti yang jelaskan dalam undang-undang.

Sudah ada ijma para ulama bahwa setiap tambahan yang di syaratkan di muka oleh muqridh dengan imbalan waktu atau perpanjangan waktu pembayaran itu adalah riba yang diharamkan. Sebagaimana hadits Rosulullah saw :

كل قرض جر نفعا فهو رباSetiap pinjaman yang menimbulkan manfaat itu adalah riba.

Hukum ini adalah penerapan dari landasan dalam syariat Islam yang qath’i yaitu :

الغنم بالغرمYaitu bahwa setiap hak keuntungan harus sesuai dengan tanggung jawab kerugian.

Dan ketika muqridh tidak menanggung kerugian karena muqtaridh telah menjaminnya terlepas dari hasil investasinya, maka muqridh tidak berhak mendapatkan keuntungan baik sedikit ataupun banyak, tetap ataupun berubah terlepas itu dinamakan bunga, keuntungan, hadiah ataupun sumbangan.

Page 7: (1) Fatwa Majma

2. Definisi wakalah dalam investasi.Wakalah adalah sebuah transaksi di mana seoran muwakkil (yang

mewakilkan) mewakilkan kepada wakil (yang diwakilkan) untuk menginvestasikan modal muwakkil dengan imbalan upah yang ditentukan pada waktu transaksi dengan jumlah yang pasti atau dengan presentasi dari modal yang diinvestaasikan.

Dan telah terjadi ijma’ ulama bahwa muwakkil memiliki harta tersebut, ia berhak mendpatkan keuntungannya sebagaimana juga menaggung kerugiannya dan wakil berhak mendapatkan upah yang ditentukan dalam akad wakalah jika akad ini disertai dengan upah.

Oleh karena itu bank bukan wakil dari para deposan untuk meng-investasikan dananya karena deposito bukan milik para deposan tetapi sudah berubah menjadi milik bank dan di idzinkan untuk digunakannya serta bertangung jawab utuk mengembalikannya kepada pemiliknya.

3. Definisi mudharabahMudharabah adalah sebuah transaksi di mana seorang pemilik

modal memberikan wewenang kepada mudharib (pengelola) untuk mengembangkan modalnya dengan tarnsaksi-transaksi yang dibolehkan oleh syara’ dengan imbalan keuntungan dari modal yang diinvestaasikan.

Dan telah terjadi ijma’ ulama bahwa harta tersebut adalah milik pemilik modal, ia menanggung kerugiannya yang terjadi di luar kemampuan bank dan berhak mendpatkan keuntungannya. Hukum ini adalah penerapan dari landasan dalam syariat Islam yang qath’i yaitu :

الغنم بالغرمYaitu bahwa setiap hak keuntungan harus sesuai dengan tanggung jawab kerugian. Karena pemilik modal berbeda dengan dengan muqridh (peminjam), ia (pemilik modal) menanggung kerugian usaha karena modal itu adalah miliknya, maka ia berhak mendapatkan keuntungannya kecuali disepakati bahwa bank yang telah mengeluarkan tenaga dan keahliannya mendapatkan bagian keuntungan.

Sedangkan bank-bank Islam menerima deposito dan mengelolanya untuk kepentingan deposan dan menjadi tanggung jawabnya sebagai mudharib, maka ia menanggung kerugian investasi dari deposito ini yang terjadi di l uar kemampuan bank dan berhak mendpatkan keuntungannya kecuali disepakati bahwa bank mendapatkan bagian keuntungan yang telah mengeluarkan tenaga dan keahliannya.

4. Definisi wadi’atu an nuqudh (defosito uang).Wadi’atu an nuqudh adalah sebuah transaksi di mana seoran

muwaddi’ (yang menitip dana) menitipkan sejumlah uang kepada bank (muda’) dan menjadi milik bank untuk digunakan untuk kepentingannya dan menjadi tanggung jawabnya untuk mengembalikan sejenis barang tersebut pada akhir masa penitipan. Wadi’atu an nuqudh disebut juga dengan wadi’ah naqishah.

Dan para ahli hukum konvensional telah sepakat bahwa deposito uang di bank itu adalah pinjaman yang menjadi milik bank untuk digunakan bagi kepentingannya dan menjadi tanggung jawabnya untuk mengembalikan sejenis barang tersebut pada akhir masa penitipan.

Dalam Undang-undang perdata Mesir pasal 726 menyebutkan bahwa “jika deposito itu berupa uang atau benda lain yang rusak jika dipakai dan pihak yang dititipi mendapat izin untuk menggunakannya maka itu adalah qardh (pinjaman).”

Page 8: (1) Fatwa Majma

Oleh karena itu setiap tambahan yang disyaratkan oleh bank kepada deposan itu riba yang diharamkan baik itu dinamakan keuntungan, aid, hadiah karena yang menjadi standar dalam muamalat bukan penamaan tetapi konsekuensi hukum yang ditimbulkannya.

5. Definisi riba Riba menurut etomologi adalah tambahan. Dan menurut istilah

syara’ adalah setiap tambahan yang disyaratkan oleh peminjam kepada yang meminjam dalam akad dengan tempo atau ketika jatuh tempo dengan tambahan. Ini yang dinamakan riba jahiliyah yang disepakati keharamannya sesuai dengan nash-nash al qur’an yang menunjukan keharamannya secara qoth’i, dan menjadi al ma’lum min ad dini bi ad dharurah.

Dan undang-undang telah menjelaskan bahwa deposito dalam bank adalah qardh (pinjaman), maka setiap tambahan yang ditentukan di muka oleh bank kepada para pemilik deposito adalah riba yang diharamkan.

Jawaban singkat terhadap fatwaPertama-tama kami mengingatkan bahwa pertanyaan tersebut

tidak menjelaskan mekanisme penghimpunan dana dan investasinya oleh bank. Fatwa ini menjelaskan bahwa bank menerima deposito sebagai wakil dari para deposan untuk menginvestasikannya, seakan-akan fatwa telah menambahkan satu syarat bolehnya menentukan keuntungan di muka bagi para deposan tersebut.

Di sisi lain pertanyaan tersebut khusus berkenaan dengan bank The Exange of Arabic International Coorforation Bank (Bank Syarikah al Masyrifiyah al ‘arabiyah ad dauliyah) tetapi jawaban fatwa itu menggeneralisasi hukum yang ada dalam fatawa terhadap seluruh bank tanpa kecuali, bahkan terhadap selain bank seperti yang termaktub dalam ringkasan fatwa.

Maka menurut sumbernya, fatwa ini berlaku terhadap bank-bank komersial dan khusus seperti bank-bank perumahan, industri dan investasi juga berlaku terhadap lembaga lain dan individu.

Idealnya jawaban fatwa ini terbatas pada muamalah yang dijelaskan oleh bank dalam pertanyaan bukan seluruh bank sehingga sumber fatwa ini mengetahui mekanisme kerja dalam bank-bank yang lain.

Adapun jawaban singkat terhadap fatwa tersebut sebagai berikut :Substansi fatwa tidak terjadi, maka hukumnyapun tidak berlaku

bagi bank-bank konvensional. Substansinya adalah bank-bank konvensional yang menerima deposito sebagai wakil dari para deposan untuk menginvestasikannya dalam usaha-usaha yang dihalalkan. Bank-bank seperti ini tidak ada dalam kenyataan dan tidak dibolehkan menurut undang-undang yang berlaku di Mesir bahkan juga undang-undang di negara arab dan barat jika kita kecualikan bank-bank Islam. Sebabnya adalah :

a. Bank-bank konvensional bukan wakil dari para nasabah.Bank-bank konvensional menerima deposito bukan sebagai wakil

para deposan untuk menginvestasikannya tetapi taransaksi yang terjadi adalah akad wadi’ah naqdiyah yang dijelaskan oleh undang-undang sebagai qardh (pinjaman).

Akad wakalah dalam investasi berbeda dengan akad pinjaman, dalam akad pinjaman kepemilikan deposito berpindah kepada peminjam dan berhak untuk menggunakannya untuk kepentingannya

Page 9: (1) Fatwa Majma

dan menjadi tanggung jawabnya. Dan bank menjadi yang meminjam (madin) yang harus mengembalikan deposito kepada deposan ketika jatuh tempo. Sementara dalam akad wakalah deposito tetap menjadi milik deposan, dan ia menyerahkan hak kepada wakil untuk menginvestasikannya dengan upah tertentu untuk kepentingan muwakkil (yang mewakilkan) dan dalam tanggung jawabnya.b. Bank-bank konvensional tidak dibolehkan melakukan invenstasi

lansung.Jika memang benar transaksi yang mengikat antar bank dan

nasabah adalah transaksi wakalah dalam investasi, tetapi bank-bank konvensional tidak dibolehkan melakukan invenstasi lansung baik dalam bentuk perdagangan, mendirikan perusahaan dan memiliki sahamnya dan bentuk-bentuk investasi yang lain seperti yang dilakukan oleh bank-bank Islam seperti bai al- murabahah, as- salam, istishna’, musyarakah, mudharabah, muzaraah dan musaqah. c. Bank-bank konvensional tidak menggunkannya dalam usaha-usaha

yang halalSecara global Bank-bank konvensional tidak menggunkannya dalam

usaha-usaha yang halal, tetapi meminjamkkannya kembali kepada pihak lain dengan bunga yang lebih besar dari pada bunga yang diberikan kepada para deposan. Dan perbedaan antara jumlah bunga peminjam dan jumlah bunga kreditor itu menjadi bagian para pemilik saham bank. Bank sekedar perantara antara pihak deposan dan peminjam dana, ia mengambil bunga dari para peminjam dana kemudian memberikan bunga yang lebih sedikit kepada deposan dan sisanya dibagikan kepada para pemilik saham.d. Maka kesimpulannya substansi fatwa tersebut tidak berlaku bagi Bank-bank konvensional dan tidak pula dalam usaha-usaha yang dijalankannya. Bank menerima deposito dengan tranaksi wakalah dan tidak menginvestasikannya secara langsung dan tidak menggunakannya dalam usaha-usaha yang dibolehkan oeh syara. Tetapi fatwa ini berlaku pada bank-bank yang tidak ada wujudnya menurut undang-undang dan realita.

Maka saya berharap pemerintah bisa merubah undang-undang perbankan sehingga membolehkan Bank-bank konvensional untuk menerima deposito dengan akad wakalah dan mencabut larangan terhadap bank untuk melakukan investasi langsung dalam usaha-usaha yang dibolehkan oleh syara -sebagai alternatif dari kredit berbunga- dan keuntungan dari deposito itu untuk pemiliknya dan kerugian ditanggung oleh mereka. Hal ini dengan alasan bahwa merka adalah pemilik modal tersebut, dan bank berhak mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan dalam akad wakalah seperti halnya yang dibolehkan bagi bank-bank Islam.e. Jika memang terjadi –misalnya- bank-bank konvensional menerima deposito sebagai wakil dan berhak menginvestasikannya dalam usaha-usaha yang dibolehkan oleh syara’. Akan tetapi tidak ada satupun bank konvensional yang melakukan hal ini karena transaksi wakalah seperti yang disebutkan dalam pertanyaan dan jawabannya itu tidak sah karena tidak mmenuhi syarat sah wakalah dan transakasi yang ada menyalahi substansi transaksi wakalah serta hukum yang ditimbulkan oleh trnsaksi wakalah tidak terjadi.

Syarat tarnsaksi wakalah adalah menentukan upah yang pasti atau dengan presentase dari deposito yang diinvestasikan jika wakalah nya dengan upah.

Page 10: (1) Fatwa Majma

Dalam wakalah deposito adalah milik deposan, ia yang berhak mendapatkan keuntungan dan juga menanggung kerugiannya kecuali bank mendapatkan bagian sesuai dengan perannya sebagai wakil. Wakil juga harus memegang hisab secara berkala dan tersendiri yang membatasi pemasukan dan biayanya hingga mendapatkan keuntungan riil yang menjadi hak muwakkil (yang mewakilkan) atau deposan, sedangakan wakil berhak mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan. Seluruh syarat-syarat ini tidak ada dalam fatwa tersebut bahkan yang ada sebaliknya. Karena bank yang memiliki deposito dan mengambil keuntungannya sekaligus menanggung kerugiannya itu tidak mendapatkan upah. Bahkan bank yang menentukan bunga muwakkil (deposan) terlepas apakah bank untung atau rugi juga jumlah keuntungan tersebut.

Fatwa ini beralasan tentang kebolehan menentukan keuntungan di muka bahwa ini adalah manfaat yang disepakati ( taradhi ) oleh kedua belah pihak dan kesepakatan ini tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Alasan ini tidak benar karena dengan pembatasan tersebut telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal yaitu bunga yang disyaratkan oleh peminjam (bank) kepada pihak yang meminjamkan (deposan) dan setiap pinjaman yang menimbulkan manfaat itu adalah riba.

Jika yang terjadi adalah transaksi wakalah, maka itu wakalah tidak sah karena tidak memenuhi syarat-syarat sahnya, tidak menimbulkan hukum-hukum wakalah, dan bertentangan dengan substansi wakalah karena menjamin muwakkil untuk mendapatkan keuntungan di muka. Syarat-syarat dan hukum ini telah menjadi kesepakatan (ijma’) ulama.

Jawaban terperinci terhadap fatwaa. Transaksi wakalah antara bank dan deposan itu tidak sah.

Dala isi fatwa ini hubungan antara bank dan deposan dianggap sebagai transaksi wakalah sedangkan kenyataannya sebaliknya. Karena transaksi yang mengikat keduanya adalah transaksi wadi’ah naqdiah yaitu transaksi qardh (pinjaman) menurut kesepakatan para ulama. Di mana bank berhak menggunakan dana itu dan mengembalikannya kepada pemiliknya.

Dalam undang-undang Mesir pasal 726 mengatakan : “Jika titipan berupa uang atau benda lain yang habis jika dipakai dan yang dititip diberi hak untuk menggunakannya, maka akad itu adalah qardh (pinjaman)”.

Dalam undang-undang perdagangan Mesir pasal 301 mengatakan : “Bahwa titipan uang adalah taransaksi dimana uang berpindah menjadi milik bank dan berhak menggunakannya sesuai dengan aktivitasnya dan mengembalikan sejenisnya sesuai dengan syarat-syarat transaksi”.

Dalam undang-undang Mesir pasal 300 menyebutkan : “Seluruh ketentuan ini berlaku – di antaranya ketentuan ini - dalam setiap usaha

Page 11: (1) Fatwa Majma

bank dengan para nasabahnya baik para pedagang ataupun yang lainnya dan apapun jenis usahanya.”

Seluruh undang-undang di negara-negara arab sepakat bahwa deposito uang di bank itu adalah pinjaman. (lihat undang-undang perdata Suria pasal 692, undang-undang perdata Libya pasal 726, undang-undang perdata Irak pasal 971, undang-undang perdata Libanon pasal 691, undang-undang perdata Yordania pasal 889, undang-undang perdata Sudan pasal 458).

Para ahli hukum juga menegaskan hal yang sama, diantaranya seperti yang dikatakan oleh Dr. Sanhuri dalam al Wasith (jilid 7 hal. 754), ia mengatakan : “Wadi’ah naqishah lebih banyak diterapkan dalam deposito uang di perbankan karena uang berubah menjadi milik bank dan harus mengembalikannnya ketika ada permintaan atau setelah jatuh tempo bahkan bank kadang-kadang membayar bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi pinjaman. oleh karena itu undang-undang Mesir mengkategorikan Wadi’ah naqishah sebagai pinjaman”.

Kemudian ia menambahkan (hal. 757) : “Tidak ada perbedaan antara Wadi’ah naqishah (deposito uang) dengan pinjaman karena deposan dalam Wadi’ah naqishah memberikan hak milik titipan kepada pihak yang dititip dan menjadi peminjam serta wajib mengembaliknnya.”

Jika deposito uang itu adalah pinjaman, maka diterapkam hukum – hukum syar’i yang menegaskan bahwa setiap tambahan yang disyaratkan di muka adalah riba terlepas dari besar bunga, cara penghitungan dan penamaannya baik itu dinamakan keuntungan, hadiah karena yang menjadi standar adalah hukum-hukum yang ditimbulkannya.

Hukum ini telah menjadi ijma’ para ulama berdasarkan hadits Rasulullah saw :

كل قرض جر نفعا فهو رباSetiap pinjaman yang menimbulkan manfaat itu adalah riba.

Ibnu Quddamah mengatakan (al-Mughni juz 4 hal 36) mengatakan: “Setiap tambahan yang disyaratkan dalam pinjaman itu adalah haram tanpa ada perbedaan”.

Ibnu al-Mundzir mengatakan : “seluruh ulama ijma’ bahwa setiap kreditor yang mensyaratkan tambahan atau hadiah terhadap peminjam kemudian atas dasar itu ia meminjamkan, maka mengambil tambahan itu adalah riba.”

Imam Bukhori dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Abi Burdah bin Abi Musa, ia berkata :

قدمت المدينة فلقيت عبد الله بن سالم فقال لي : إنك بأرض فيها الربا حمل تبن أو حمل شعير أوكفاش، فإذا كان لك على رجل حق فأهدي إلي

حمل قت فال تأخذه فإنه ربا.Saya datang ke Madinah dan bertemu dengan Abdullah Bin Salam,

ia mengatakan kepada saya : Anda berada di daerah yang penuh dengan riba, jika anda punya piutang pada seseorang kemudian ia menghadiahkan kepada anda untuk membawakah tibn atau sya’ir atau qut, maka jangan mengambilnya karena itu riba”.

Imam Bukhori dalam tarikhnya meriwayatkan dari sahabat Anas r.a dari Nabi saw, ia mengatakan :

إذا أقرض فال يأخذ هدية(Jika seseorang meminjamkan sesuatu, maka jangan mengambil

hadiah) b. Anggapan bahwa bank-bank konvensional menginvenstasikan secara langsung dana tersebut tidak benar.

Page 12: (1) Fatwa Majma

Jika –misalnya-- bank-bank konvensional menerima deposito atas dasar wakalah, tetapi bank-bank konvensional dilarang oleh undang-undang untuk melakukan investasi langsung dalam perdagangan, pemilikan saham-saham perusahaan dan bentuk-bentuk usaha-usaha perdagangan yang lain.

Dalam undang-undang no. 163 tahun 1957 dan perubahannya menyebutkan bahwa bank-bank komersial, perumahan, industri dan bank--bank investasi di larang untuk melakukan usaha jual beli atau muqoyadhah terkecuali bangunan-bangunan yang dikhususkan untuk bank dan karyawannya juga bangunan atau barang-barang milik bank untuk menutupi hutangnya kepada pihak lain dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang bank harus menjualnya setelah itu. (lihat undang-undang no. 163 tahun 1957 dan perubahannya pasal 26, 38, 39 dan 45).

Dari undang-undang tersebut jelaslah bahwa bank-bank komersial dan bank-bank khusus tidak dibolehkan melakukan investasi langsung dengan transaksi-transaksi syar’iyyah (yang dibolehkan) misalnya memmbeli dengan cash, menjual dengan tempo, bai al-murabahah, salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, wakalah dan transaksi syari’ah yang lain.

Bahkan bank konvensional hanya sekedar perantara di mana undang-undang membolehkannya untuk meminjamkan ulang kepada pihak lain dengan bunga yang lebih besar dari bunga yang diberikan kepada para deposan. Dan perbedaan jumlah bunga antara kreditor dan peminjam adalah keuntungan bank setelah dikurangi pengeluaran-pengeluarannya.c. Anggapan bahwa bank menginvestaskannya dalam usaha-usaha yang halal itu tidak benar.

Jika –misalnya- bank menerima deposito sebagai wakil dari para deposan dan memiliki hak untuk menginvestaskannya dengan sendiri, tetapi ini tidak terjadi seperti yang sudah dijelaskan.

Hal ini karena usaha-usaha yang dilakukan oleh bank tidak dibenarkan oleh syara’ sebab bank meminjamkan ulang deposito tersebut dengan bunga yang lebih tinggi dari bunga yang diberikan kepda para deposan hingga mendapatkan keuntungan dari perbedaan jumlah bunga tersebut. Dan tidak ada perbedaan diantara para ulama bahwa pinjaman bank dengan bunga itu adalah riba, maka keuntungan yang ditentukan oleh bank di muka adalah riba karena bank adalah mewakili deposan untuk meminjamkan depositonya dengan bunga. Dan ulama sepakat bahwa hukum transaksi kembali kepada ashil walaupun hak-hak transaksi seperti serah terima kembali kepada wakil menurut sebagian puqaha. Oleh karena itu deposan adalah kreditor dengan bunga karena bank sebagai wakil dari deposan atau perantara meminjamkan dananya.

Syubhat-syubhat yang dijadikan landasan dalam fatwaSyubhat pertama, penentuan keuntungan deposito dimuka berlandaskan studi kelaikan.

Fatwa itu menyebutkan : “sudah maklum bahwa ketika bank menentukan di muka keuntungan ini untuk para nasabahnya, itu dilakukannnya setelah ada penelitian yang teliti terhadap pasar modal internasional ataupun setempat, situasi ekonomi masyarakat dan kondisi setiap usaha, jenisnya dan jumlah umum keuntungannya.”

Ini tidak benar karena penentuan keuntungan dimuka itu berdasarkan harga bunga yang berkembang di pasar nasional dan lokal,

Page 13: (1) Fatwa Majma

dan bukan berdasarkan pengkajian secara teliti terhadap keuntungan investasi yang dilakukan secara langsung oleh bank itu sendiri karena bank tidak melakukan investasi langsung, serta tidak pula menjadi standar kondisi setiap usaha, jenisnya dan jumlah umum keuntungannya.

Jika –misalnya- penentuan di muka keuntungan ini dilakukan setelah ada penelitian yang teliti terhadap pasar modal internasional dan kondisi ekonomi yang terjadi, maka cara penentuan seperti ini tidak merubah hukum syara’ karena bank menetukan untuk deposan keuntukangan di muka karena itu berarti tambahan terhadap pinjaman yaitu riba dan ini yang terjadi, atau keuntungan dari wakalah yang tidak sah karena wakil mensyaratkan bagi muwakkil keuntungan di muka.

Tetapi seharusnya deposan mendapatkan seluruh keuntungan dan menanggung seluruh kerugian yang terjadi diluar kemampuan wakil dan wakil mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan dalam transaksi wakalah.

Dan alasan ini sudah keluar dari substansi fatwa hukum sesuatu yang di berikan peminjam (bank) kepada kreditor (deposan) atau yang disyaratkan wakil kepada muwakkil dalam wakalah yang tidak sah terlepas dari jumlah keuntungan yang diberikan, cara penentuannya , dan penamaannya baik itu keuntungan ataupun hadiah.

Syubhat kedua, Presentase keuntungan berubah-rubahTidak ada perbedaan bahwa harga bunga (yang disebut dalam

fatwa keuntungan) itu tidak tetap tetapi berubah-rubah, kadang-kadang bertambah dan kadang bekurang sesuai dengan permintaan dan penawaran terhadap modal. Tetapi ini tidak mempengaruhi hukum keuntungan ini karena kauntungan yang didapat itu kadangkala berupa tambahan yang disyaratkan oleh peminjam (bank) kepada kreditor (deposan) dan ini hukumnya haram dengan tidak ada perbedaan karena dalam realita dan undang-undang posisi bank sebagai pihak yang meminjam (madin).

Atau kadang kala keuntungan yang disyaratkan oleh wakil kepada muwakkil dan seperti yang sudah dijelaskan ini hukumnya haran tanpa ada perbedaan karena menyalahi substansi transaksi wakalah bahwa seharusnya seluruh keuntungan untuk muwakkil (deposan) begitu pula dengan kerugian jika terjadi diluar kemampuan bank, dan bank mendapatkan upah seperti yang di sepakati dalam trasaksi. Dan hal ini terjadi jika transaksi yang ada adalah transaksi wakalah antara bank dan deposan, sesuatu yang yang sebenarnya tidak terjadi dan hanya pengandaian semata.

Dan alasan mengqiaskan pembolehan penentuan keuntungan di muka dengan syahadat al istitsmar itu tidak benar karena syahadat al istitsmar adalah pinjaman yang menimbulkan manfaat dan keuntungannya adalah riba. Tetapi sebenarnya obyek fatwa adalah hukum ssuatu yang diberikan oleh peminjam (bank) kepada kreditor (deposan) dengan disyaratkan dalam transaksi, atau keuntungan yang disyaratkan oleh wakil kepada muwakkil dan seperti yang sudah dijelaskan ini hukumnya haram baik keuntungan tersebut tetap dalam jangka waktu yang lama atau singkat, ataupun tidak tetap, baik bertambah ataupun berkurang karena yang menjadi standar adalah hukum syar’i terhadap sesuatu yang diberikan bukan pada jumlah atau kondisi fluktuatifnya.

Anggapan bahwa bank memberikan keuntungannya kepada deposan dalam setiap kondisi itu tidak benar karena bank sendiri kemungkinan mengalami kerugian dan ini dibenarkan oleh realita.

Page 14: (1) Fatwa Majma

Dan jika –misalnya- benar bahwa bank selalu untung, tetapi bank tidak akan memberikan seluruh keuntungannya kepada deposan dan jumlah keuntungan yang diberikanpun itu tidak bisa ditentukan serta bank tidak menyerahkan jumlah keuntungan dan kerugian deposito nasabah.

Jika bank melakukan ini berarti menentukan presentasi keuntungan untak para nasabah dalam transaksi wadi’ah, maka sudah pasti itu mudharabah syar’iyyah dan hukum-hukumnya diterapkan yaitu ketika tidak ada keuntungan maka tidak ada tanggung jawab terhadap bank dan deposan dan jika terjadi kerugian di luar kemampuan bank, maka yang menanggung adalah deposan serta jika ada keuntungan, maka dibagi antara bank dan deposan sesuai dengan kesepakatan. Dengan cara seperti terciptalah keadilan dan diterapkannya hukum Islam.

Anggapan bahwa ketika bank mengalami kerugian, maka ia berhak mengajukan hal tersebut ke pengadilan untuk meminta para deposan mengembalikan dana yang mereka tarik. Tetapi hal ini tidak membenarkan proses muamalah yang terjadi karena menyalahi undang-undang yang berlaku.

Bahkan masalahnya semakin rumit dan merusak hubungan antara bank dan para deposan dan negara akan mempunyai beban yang sangat besar karena bank sendiri tidak memiliki catatan investasi deposito atau saham secara terpisah.

Maka kerugian yang terjadi sulit dibuktikan secara terperinci. Kemudian bagaimana hukumnya jika deposito dalam bank mengalami kerugian apakah bank yang menanggungnya karena bank sebagai peminjam dan harus mengembalikan pinjaman sesuai dengan undang-undang?, atau yang menanggung adalah para deposan karena mereka adalah pemiliknya dan bank sebagai wakil yang amin (terpercaya); tidak menjamin kerugian kecuali jika ia ceroboh, salah dan lalai?, Dan bagaimana hukumnya jika deposito yang digunakan oleh bank tidak mengalami kerugian juga tidak ada keuntungan?, dan bagaimana hukumnya jika keuntungan yang dibagikan kepada para deposan itu melebihi jumlah keuntungan yang ada sehingga hak para pemilik saham tidak ada?. Sesungguhnya praktek wakalah dalam syari’ah itu menjaga kemashlahatan bank dan para deposan, menciptakan keadilan diantara mereka, menghindarkan terjadinya perselisihan yaitu dengan pembatasan upah wakil dalam transaksi wakalah (wadi’ah) dengan jumlah yang pasti atau presentase deposito. Kemudian bank memiliki catatan investasi deposito serta saham secara terpisah dengan transaksi yang syar’i kemudian keuntungan dibagikan -setelah dikurangi upah untuk wakil- kepada para deposan sesuai dengan jumlah deposito dan jangaka investasinya.

bahkan penerapan mudaharabah itu lebih bermanfaat jika deposito dalam jumlah banyak dan bermaksud untuk diinvestasikan dalam satu usaha secara tersendiri atau dicampur dengan saham. Karena bank berhak mendapatkan bagian dari presentase keuntungan dalam transaksi mudharabah (wadi’ah) karena ia telah mengelola investasi dan bagian keuntungan yang lain karena investasi deposito dan saham dalam satu usaha. Adapun sisa keuntungan dibagikan kepada para deposan sesuai dengan jumlah deposito dan jangka investasinya.

Dan wakalah adalah transaksi yang sesuai dengan deposito khusus, di mana pemiliknya bermaksud untuk menginvestasikannya dalam usaha-usaha tertentu. Dalam hal ini bank berhak mendapatkan upah yang pasti dalam transaksi atau dengan presentase dari deposito. Adapun

Page 15: (1) Fatwa Majma

keuntungan itu menjadi hak para deposan sebagai mbalan dari tanggungjawabnya dalam menaggung kerugian.

Ringkasnya dalam investasi melalui mudharabah dan wakalah, deposito tetap menjadi milik para deposan. Mereka yang menanggung kerugian yang terjadi di luar kemampuan bank dan mereka berhak mendapatkan keuntungan setelah dikurangi upah bank atau keuntungan yang menjadi bagiannya, dan ini yang dilakukan oleh oleh bank-bank Islam.

Adapun upah wakil dan bagian keuntungan mudharib yang tidak ditentukan, hal ini selain menyalahi hukum syari’ah juga tidak menimbulkan kemashlahatan dan keadilan bahkan sebaliknya menimbulkan perselisihan.

Adapun pengadilan sebagai solusi untuk mengembalikan keuntungan -yang telah ditentukan di muka- yang diberikan kepada para deposan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku karena yang diserahkan oleh bank adalah bunga tetap yang tidak bisa di minta kembali. Dan sekali lagi fatwa ini berbicara tentang bank-bank yang tidak ada dan tidak dibolehkan oleh undang-undang.

Kami barharap undang-undang perbankan dirubah dan mengizinkan bank-bank konvensional untuk menerima deposito dengan transaksi wakalah atau mudharabah kemudian melakukan investasi langsung dengan transaksi yang dibolehkan seperti bai al-muajjal (jual beli dengan pembayaran tempo), murabahah, salam, istishna, mudharabah, musyarakah, muzara’ah, mugarasah, musaqah, wakalah dan bentuk-bentuk investasi yang lain yang dibolehkan dengan menentukan upah jenis transaksi yaitu wakalah ataupun mudharabah, upah bank sebagai wakil atau bagian keuntungan bank sebagai mudharib, kemudian melakukan pencatatan secara terpisah investasi deposito atau dengan saham seperti yang sudah dijelaskan setelah dikurangi upahnya sebagai wakil atau bagiannya sebagai mudharub dengan presentase setiap deposito dan jangka waktu investasinya.

Sedangkan saat ini bank-bank yang ada di Mesir juga di negara-negara arab dan Islam menerima deposito uang yaitu pinjaman menurut undang-undang, dan bank tidak memiliki hak untuk melakukan investasi langsung dengan transaksi Islami. Bahkan pada dasarnya bank konvensional harus meminjamkan kembali dana tersebut dengan bunga yang lebih besar dari bunga yang ditentukan untuk deposan dan bank mengambil jumlah perbedaan antara bunga kreditor dan bunga peminjam.

Maka bank sudah meminjam dana dengan bunga dan meminjamkan kembali dengan bunga karena bank sebagai perantara. Jika dikatakan bank sebagai wakil dari para deposan maka konsekuensi hukumnya berpindah pada muwakkil, ia menanggung dosa wakil. Dan jika dikatakan transaksi yang mengikat antara bank dengan deposan itu transaksi wakalah dan bank melakukan investasi langsung dalam usaha-usaha yang dibolehkan, maka ini adalah anggapan yang salah yang dilarang oleh undang-undang yang berlaku dan tidak ada dalam kenyataan.

Syubhat yang kedua : penentuan keuntungan di muka berdasarkan mashlahat mursalah.

Dalam fatwa disebutkan : bahwa penentuan keuntungan dimuka bagi para nasabah yang menginvestasikan dananya dengan transaksi wakalah di bank atau yang lainnya itu halal dan tidak ada syubhat dan

Page 16: (1) Fatwa Majma

muamalat ini termasuk mashlahat mursalah dan bukan termasuk masalah akidah dan ibadah yang tidak boleh dirubah atau diganti.

Ada dua hal yang terkandung dalam fatwa ini yaitu :Pertama : Yang menjadi obyek fatwa adalah wakil menentukan keuntungan muwakkil di muka itu termasuk mashlahat murasalah dan ini salah, karena mashlahat mursalah itu yang tidak dijelaskan (maskut ‘anhu) oleh nash-nash syar’i baik dalam bentuk pengakuan ataupun pelarangan. Sedangkan transaksi wakalah bukan kawasan maskut ‘anhu tetapi syari’ah telah mengaturnya, menentukan syarat-syaratnya, hukumnya dan konsekuensi hukumnya. Dan tidak ada seorang ahli fikihpun yang mengatakan bahwa wakalah termasuk maskut ‘anhu.

Obyek wakalah terkadang jual beli dan terkadang investasi tetapi pada akhirnya wakalah itu adalah seorang muwakkil yang menyerahkan wewenang kepada wakil untuk melakukan sesuatu yang menjadi wewenang wakil.

Andaikan syari’ah tidak menjelaskan hukum transaksi ini, tetapi penentuan keuntungan di muka bagi para nasabah itu adalah maslahat yang tidak di akui (mashlahat mulgah) dengan dalil nash-nash yag tidak terhitung.

Sudah jelas bahwa wadi’ah tersebut adalah transaksi qardh, di mana bank memiliki deposito di bank dan berhak untuk menggunakannya dan mengembalikannya ketika jatuh tempo. Dan bank menjadi peminjam dengan deposito tersebut sampai ia membayarnya.

Ijma’ ulama sudah menegaskan bahwa “kullu qordin jarro naf’an fahua riba” (Setiap pinjaman yang menimbulkan manfaat itu adalah riba), Dan setiap tambahan yang disyaratkan dalam pinjaman dengan tempo.

Dan sudah dijelaskan bahwa dalil syar’i yang qath’i –yang diambil dari beberapa dalil yang menunjukan dalil ini qath’i- menjelaskan bahwa setiap keuntungan (al ghunmu) itu diperoleh dengan menanggung kerugian (al gurmu). Juga bahwa al khorroj bi ad dhaman (setiap pengahasilan itu dengan menjamin kerugian) seperti yang dikatakan oleh Rasulullah saw.

Bank sebagai tempat deposito adalah peminjam yang memiliki deposito tersebut dan menggunakannya sekaligus menanggung resiko penggunaannya dan bertanggung jawab mengembalikan sejenisnya beserta bunga dalam setiap kondisi, maka bank yang berhak mendapatkan seluruh keuntungannya sesuai dengan “al gunmu bi al gurmi” dan “kaidah al khorroj bi ad dhaman”.

Adapun kreditor sama sekali tidak menanggung kerugiannya dan juga tidak mendapatkan keuntungannya.

Sebenarnya bank konvensional bisa untuk tidak meminjamkan kembali depsito nasabah di bank konvesnional, tetapi menyerahkannya kepada bank Islam dengan transaksi mudharabah dan menentukan bagian keuntungan kedua belah pihak jika ada keuntungan, jika tidak ada, maka deposan kehilangan sebagian hasil depositonya atau kehilangan sebagian deposito, sedangkan bank kehilangan tenaganya dengan begitu ada keadilan.

Di samping itu bank konvensional juga bisa menyerahkannya kepada bank Islam dengan transaksi wakalah dan menentukan upahnya dalam jumlah pasti atau presentase dari deposito untuk diinvestasikan oleh bank dalam catatan keuangan terpisah atau dengan dana-dana lain yang diterima oleh bank islam karena posisinya sebagai wakil. Kemudian bank berhak mendaptkan upah yang tertentu baik deposito tersebut untung ataupun rugi. Dan jika ada keuntungan, maka keuntungan menjadi

Page 17: (1) Fatwa Majma

hak deposan setelah dikurangi upah bank, dan jika terjadi kerugian maka deposan yang menanggungnya.

Saya dan orang-orang ikhlas dengan bangsa dan agama berharap agar undang-undang memuat hukum-hukum fatwa dengan menambah hal-hal berikut :

1. Bank-bank menerimpa simpanan sebagai mudharib atau sebagai wakil dan berrhak menginvestasikannnya secara terpisah atau dengan saham untuk kepentingan pemiliknya dan menjadi tanggung jawabnya dengan keuntungan dan kerugian yang terjadi diluar kemampuan bank ada pada mereka. Dan bank berhak mendapatkan presentase keuntungan sesuai dengan kesepakatan jika perannya sebagai mudharib, atau upah yang ditentukan dalam transaksi wadi’ah jika perannya sebagai wakil. Dan simpanan yang diinvestasikan itu milik para deposan.

2. Investasi yang dilakukan oleh bank dengan melalui transaksi-transaksi yang dibolehkan oleh syara’ seperti jual beli, murabahah, salam, istishna’, ijarah, mudharabah, musyarakah, muzara’ah, mugarasah, musaqah (musyarakah ziro’iyah), dan bank dilarang untuk meminjamkan simpanan dengan bunga.

3. Bank-bank memegang sirkulasi keuangan secara teratur dalam menginvestasikan depositonya secara terpisah atau dengan saham. Kemudian keuntungan rii dibagikan –setelah dikurangi bagian mudharib dan upah wakalah- kepada para deposan dan pemilik saham sesuai presentase harta yang diinvestasikan dalam satu bidang usaha dan kemudian keuntungan para deposan dibagikan kepada mereka sesuai dengan jumlah deposito dan jangka investasi.

4. Bank mengatur sirkaulasi keuangan deposito khusus secara terpisah dan bank sebagai wakil berhak mendapatkan upah yang telah disepakati atau sebagai mudharib berhak mendapatkan presentase dari keuntungan riil. Kemudian saldo keuntungan deposito khusus ini diserahkan kepada para deposan dan sebaliknya deposan menanggung kerugian yang terjadi diluar kemampuan bank.

5. Bank tidak boleh menjamin keuntungan di muka baik berupa presentase dari harta yang diinvestasikan atau dalam jumlah yang pasti. Tetapi bank dibolehkan menentukan upah baik berupa presentase dari harta yang diinvestasikan atau dalam jumlah yang pasti jika transaksinya wakalah. Dalam hal ini bank berhak mendapatkan upah walaupun usaha yang dijalankan tidak untung dan jaminan keuntungan ini tidak boleh dilakukan jika bank sebagai mudharib.

Yang kedua : Hukum-hukum syari’ah yang berkenaan dengan selain akidah dan ibadah boleh diganti dan dirubah jika yang merubah memandang hal itu maslahat. dari sini fatwa menegaskan bahwa menjamin keuntungan deposan dimuka halal hukumnya, maksudnya hukum kebolehan ini qath’i bukan dzonniy. Dan sudah kami jelaskan bahwa hukum muamalah ini haram sesuai dengan dalil-dalil qath’i dan ijma para ulama dulu dan sekarang.

Deposito uang itu adalah transaksi pinjaman sesuai dengan undang-undang dan para ahli hukum tidak hanya di Mesir tetapi juga di negara-negara arab dan yang lainnya bahkan telah menjadi tradisi internasional. Dan sudah kita sebutkan nash-nash syar’i yang menjelaskan secara qath’i bahwa setiap pinjaman yang menimbulkan manfaat itu riba

Page 18: (1) Fatwa Majma

sebagaimana dikuatkan dengan ijma ulama, maka bagaimana sesuatu yang telah disepakati keharamannya menjadi halal?.

Jika yang terjadi adalah transaksi wakalah antara bank dengan deposan, maka wakil tidak dibolehkan menjamin keuntungan muwakkil di muka karena jaminan ini bertentangan dengan substansi wakalah dan hukum-hukum dasar wakalah yang telah disepakati (ijma’) oleh para ulama. Yaitu bahwa seluruh keuntungan menjadi hak muwakkil sedangkan wakil mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan dalam transaksi wakalah. Di samping itu kerugian menjadi tanggungan muwakkil begitu pula dengan keuntungannya kecuali bagian yang disyaratkan untuk bank karena telah menginvestasikannya. Maka bagaimana sesuatu yang telah disepakati keharamannya menjadi halal?.

Pada kenyataanya hukum deposito uang dan peran bank yang meninvestasikannya mempunyai dua kemungkinan, yaitu :Yang pertama, deposito ini adalah pinjaman bank yang wajib untuk dilunasi kepada deposan ketika jatuh tempo –walaupun dalam fatwa ini dinamakan keuntungan- , dengan bunga yang disyaratkan. Ulama telah sepakat (ijma’) bahwa ini adalah riba. Kenyataan ini dilandasi oleh undang-undang dan para ahli hukum juga diterapkan dalam pengadilan-pengadilan di negara Mesir dan yang lainnya.

Hukum ini tidak berubah walaupun undang-undang mengganti kata bunga dengan keuntungan karena standar hukum syari’ah yang berkenaan dengan haram dan halal adalah bukan dengan nama yang diharamkan tetapi standarnya hukum yang ditimbulkan pihak-pihak akad dalam transaksi.

Jika qardh (pinjaman) itu yang menjadi konsekuensi hukum dari deposito uang, maka yang diberikan kepada deposan adalah riba yang diharamkan baik pemberian ini dinamakan bunga, keuntungan atau hadiah.

Keharaman zina, pencurian, judi tidak bisa berubah walaupun diganti dengan nama lain. Karena syara’ tidak mengharamkan khomr karena namanya tetapi kerusakan akal yang disebabkannya. Begitu pula dengan zina bahwa syara’ tidak mengharamkannya karena namanya tetapi karena pelanggaran kehormatan yang ditimbulkannya. Ungkapan hadits itu berbunyi kullu qardhin jarro naf’an fahua riba. Hadits ini menggunakan kata manfaat yaitu tambahan milik peminjam dan berpindah menjadi milik kreditor yang kemudian memanfaatkannya. Baik tambahan ini dinamakan keuntungan, bunga atau hadiah. Bahkan terdapat nash-nash yang mengharamkan pemberian hadiah kepada kreditor oleh peminjam.

Pendapat seperti ini sering dinisbatkan kepada Imam at Thufi yaitu mengganti hukum syari’at selain akidah dan ibadah karena adanya mashlahat. Madzhab ini -dikatakan- mendahulukan mashlahah mursalah dari nash dan ijma’ dalam masalah muamalat. Karena pendapat ini, at-Thufi mendapatkan tuduhan yang tidak layak ditujukan terhadap seorang mujtahid yang salah dalam berijtihad.

Guru kami Syekh muhmmad Abu Zahrah mengatakan bahwa at-Thufi mendahulukan mashlahah dari ijma’ dan nash yang qath’i dari sisi sanad dan matannya. Kemudian syekh Abu Zahrah megatakan : “sikap at thufi yang melangkahi nash dan menggantinya dengan mashlahat adalah prilaku orang syiah”. (Ibnu Hanbal hal. 311-312).

Syekh Zahid Kautsari mnyebutkan bahwa at-Thufi dengan pikirannya ini: “adalah orang yang pertama kali membuka pintu kejelekan, dan yang dikatakannya salah dan menyesatkan serta pendapatnya dalam

Page 19: (1) Fatwa Majma

mashlahat adalah kekafiran secara terbuka. Barang siap yangmendengarkannya, ia tidak akan mendapatkan ilmu dan agama. Madzhabnya tidak sekedar salah yang dilakukan oleh seorang yang berhati baik yang menimbulkan penta’wilan tetapi juga fitnah yang dialkukan oleh tukang fitnah”. (lihat Ibnu Hanbal karangan Syekh Imam Abu Zahrah hal. 312)

Saya yakin bahwa at-Thufi tidak berpendapat boleh mengganti hukum-hukum syariat dalam muamalat dengan mashlahat mursalah dan tidak pula mendahulukan mashlahat ini dari ijma’ dan nash yang qath’i dari sisi sanad dan matannya. walaupun ungkapannya menunjukan hal itu.

Yang benar adalah bahwa at-Thufi melihat bahwa mendahulukan mashlahat dari ijma’ dan nash yang dzonni dari sisi matan dan sanadnya dengan cara takhsish dan bayan bukan dengan merusaknya.

Jika terjadi -misalnya- salah dalam berijtihad, saya dan orang-orang yang sependapat dengan saya tidak setuju jika at-Thufi dituduh dengan tuduhan yang jelek karena kesalahannya dalam berijtihad.