31
1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan utama yang dihadapi sebuah negara dan harus segera ditanggulangi. Pembangunan sebuah negara tentu akan terhambat dengan adanya kemiskinan. Pembangunan berwawasan kependudukan sudah dideklarasikan semenjak tahun 1994 di Cairo dalam International Conference on Population and Development (ICPD). Paradigma ini meletakkan penduduk sebagai fokus dari pembangunan dalam rangka memperluas pilihan hidup layak, kesehatan prima, serta memiliki pendidikan dan/atau keterampilan yang berkelanjutan (BKKBN, 2016). Penanggulangan kemiskinan menjadi perhatian utama dunia, terbukti dari adanya target usaha penanggulangan kemiskinan dalam Millenium Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Goals (SDGs). Kemiskinan itu sendiri pada dasarnya menghambat pencapaian tingkat pembangunan berkelanjutan sehingga menyempurnakan lingkaran setan kemiskinan atau vicious circle. Contohnya adalah murid miskin berhadapan dengan sekolah yang bermutu rendah, dan mudah berubah pendirian tergantung human capital (Perry dkk, 2006). Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan kemiskinan cukup serius. Pada tahun 2012, penduduk miskin di Indonesia adalah 28.594.600 jiwa atau sekitar 11,66 persen dari jumlah penduduk Indonesia saat itu (BPS, 2012). Pendidikan menjadi suatu variabel yang erat dengan rantai kemiskinan baik mempengaruhi maupun dipengaruhi. Perbaikan kualitas pendidikan dan menambah jumlah sumberdaya manusia yang berpendidikan menjadi suatu pemecahan masalah untuk memutus rantai kemiskinan. Dengan pendidikan yang baik, maka seorang anak dapat menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas dan dapat menghasilkan ekonomi yang cukup atau

1 BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/108527/potongan/S1-2017... · Paradigma ini meletakkan penduduk sebagai fokus dari pembangunan

  • Upload
    leanh

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan merupakan permasalahan utama yang dihadapi sebuah

negara dan harus segera ditanggulangi. Pembangunan sebuah negara tentu

akan terhambat dengan adanya kemiskinan. Pembangunan berwawasan

kependudukan sudah dideklarasikan semenjak tahun 1994 di Cairo dalam

International Conference on Population and Development (ICPD).

Paradigma ini meletakkan penduduk sebagai fokus dari pembangunan dalam

rangka memperluas pilihan hidup layak, kesehatan prima, serta memiliki

pendidikan dan/atau keterampilan yang berkelanjutan (BKKBN, 2016).

Penanggulangan kemiskinan menjadi perhatian utama dunia, terbukti dari

adanya target usaha penanggulangan kemiskinan dalam Millenium

Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Goals (SDGs).

Kemiskinan itu sendiri pada dasarnya menghambat pencapaian tingkat

pembangunan berkelanjutan sehingga menyempurnakan lingkaran setan

kemiskinan atau vicious circle. Contohnya adalah murid miskin berhadapan

dengan sekolah yang bermutu rendah, dan mudah berubah pendirian

tergantung human capital (Perry dkk, 2006). Indonesia merupakan negara

berkembang yang mempunyai permasalahan kemiskinan cukup serius. Pada

tahun 2012, penduduk miskin di Indonesia adalah 28.594.600 jiwa atau

sekitar 11,66 persen dari jumlah penduduk Indonesia saat itu (BPS, 2012).

Pendidikan menjadi suatu variabel yang erat dengan rantai

kemiskinan baik mempengaruhi maupun dipengaruhi. Perbaikan kualitas

pendidikan dan menambah jumlah sumberdaya manusia yang berpendidikan

menjadi suatu pemecahan masalah untuk memutus rantai kemiskinan.

Dengan pendidikan yang baik, maka seorang anak dapat menjadi sumberdaya

manusia yang berkualitas dan dapat menghasilkan ekonomi yang cukup atau

2

bahkan lebih sehingga membawa ia dan keluarganya keluar dari rantai

kemiskinan.

Pendidikan merupakan modal dasar untuk mencapai sumberdaya

manusia yang berkualitas, dan sumberdaya yang berkualitas merupakan

modal dasar dalam pembangunan suatu negara. Kemiskinan telah menjadi

masalah utama setiap negara dan daerah. Sekitar 96 persen anak usia 7-12

tahun bersekolah disekolah dasar. selain itu kemungkinan anak-anak keluarga

miskin tidak bersekolah lima kali lebih besar dari pada anak-anak keluarga

lebih mampu (UNICEF, 2013). Anak-anak dari rumahtangga termiskin empat

kali lebih mungkin putus sekolah dari pada anak-anak dari keluarga paling

sejahtera (UNICEF, 2012). Hal tersebut menunjukan bahwa kesempatan

memperoleh pendidikan antara satu anak dengan anak yang lain berbeda-

beda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan

ekonomi keluarga, perkembangan wilayah, ketersediaan fasilitas pendidikan,

minat anak akan pendidikan, serta tidak lepas dari dorongan orangtua atau

wali dalam menempuh pendidikan.

Pendidikan Nasional menurut UU No 20 Tahun 2003 adalah usaha

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran secara sadar dan

terencana agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa pembangunan

nasional di bidang pendidikan, adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa

dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur, serta memungkinkan para warganya

mengembangkan diri, baik berkenaan dengan aspek jasmaniah, maupun

rohaniah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Seorang anak

3

juga merupakan seorang manusia yang mempunyai hak asasi dan hak-hak

lain dalam hidupnya untuk melangsungkan kehidupan. Pendidikan

merupakan salah satu dari sekian banyak hak anak yang telah diatur dalam

undang undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Peraturan

tersebut menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan

pengajaran. Sedangkan pada Undang-undang RI No 35 Tahun 2014 tentang

perubahan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak

Pasal 49 menyatakan bahwa Negara, pemerintah, pemerintah daerah,

keluarga dan orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas luasnya

kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Jadi berdasarkan peraturan-

peraturan tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan merupakan hak setiap

anak yang wajib diberikan dan diperjuangkan oleh berbagai pihak pemerintah

sekaligus keluarga dan orangtua atau wali. Maka, kesempatan pendidikan

yang disediakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan orangtua atau wali

dapat dikatakan sebagai akses pendidikan.

Akses pendidikan wajib diberikan kepada anak baik oleh

pemerintah maupun orangtua atau wali. Undang-undang RI No 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal pasal 11 menyebutkan bahwa

pemerintah baik daerah maupun pusat wajib memberikan layanan dan

kemudahan, serta menjamin tersedianya dana dan terselenggaranya

pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara berusia tujuh sampai

dengan lima belas tahun tanpa diskriminasi. Peran orangtua dan keluarga

disini mempengaruhi anak dalam mengenyam pendidikan. Dukungan secara

moral dan materiil sangat dibutuhkan dalam kebelerlangsungan pendidikan

anak. Banyaknya jumlah anak yang putus sekolah dan masih terdapatnya

anak yang tidak bersekolah menunjukan masih banyaknya hambatan-

hambatan yang dilalui anak untuk mengenyam pendidikan. Oleh karena itu

penelitian ini membahas tentang keadaan akses pendidikan yang terdapat di

sebuah daerah dari sisi pemerintah dan sisi keluarga sehingga akses tersebut

mendukung atau bahkan menghambat anak dalam mengenyam pendidikan.

4

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan obyek kajian yang

hanya tertuju pada pendidikan dasar. Berdasarkan pasal 17 UU RI No. 20

tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud pendidikan

dasar adalah SD dan SMP atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan dasar

dijadikan batas dalam penelitian ini karena pendidikan dasar merupakan awal

dalam sistem pendidikan di Indonesia, sehingga dengan menganalisis akses

pada pendidikan dasar maka diharapkan akan lebih mudah mengembangkan

sistem pendidikan dasar dan pendidikan selanjutnya baik dalam jalur formal,

nonformal, maupun informal.

Gunungkidul mempunyai tingkat kemiskinan sebesar 22,05 persen

pada tahun 2011 yang merupakan kemiskinan tertinggi di Daerah Istimewa

Yogyakarta setelah Kulon Progo (BPS, 2011 dalam TNP2K, 2011). Namun,

Gunungkidul mempunyai garis kemiskinan terendah dan jumlah penduduk

miskin terbanyak di DIY. Jumlah penduduk miskin di Gunungkidul yaitu

sebanyak 148.683 jiwa pada tahun 2010 atau sekitar 57 persen dari jumlah

penduduk miskin di DIY (BPS, 2011 dalam TNP2K, 2011). Pada bidang

pendidikan, Kabupaten Gunungkidul juga mempunyai keadaan yang tidak

terlalu baik. Angka Melek Huruf dan rata-rata lama sekolah di kabupaten

Gunungkidul merupakan yang terendah di Provinsi DIY yaitu sebesar 82

persen dan 7,7 tahun (TNP2K, 2010). Hal tersebut menunjukan bahwa

Gunungkidul harus mendapatkan perhatian dalam pengentasan kemiskinan

dan perbaikan pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.2 Rumusan Masalah

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan

kualitas sumberdaya manusia. Akses pendidikan yang diperoleh pemerintah

maupun orangtua akan memberikan keterjangkauan anak sebagai obyek

pendidikan untuk memperoleh pendidikan sebagai haknya. Rendahnya

angka rata-rata lama sekolah di Gunungkidul menunjukan belum

terpenuhinya pendidikan dasar untuk semua penduduk. Adanya persoalan

ini tentu akan menghambat pembangunan sumberdaya manusia. Pendidikan

5

dasar sangat penting untuk diberikan kepada seluruh penduduk secara

merata agar pembangunan sumberdaya manusia meningkat. Pendidikan

dasar seharusnya adalah pendidikan minimal yang harus diterima oleh

semua anak karena sudah ditetapkan oleh pemerintah (ketetapan wajib

belajar 9 tahun) dan harus didukung oleh semua pihak. Melalui studi analisa

akses pendidikan dasar dapat dilihat keadaan kesempatan pendidikan yang

ada di Kecamatan Saptosari. Dari hal tersebut didapat rumusan masalah

sebagai berikut:

a. Bagaimana peran pemerintah terhadap akses pendidikan dasar anak

keluarga miskin di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul?

b. Bagaimana peran orangtua terhadap akses pendidikan dasar anak

keluarga miskin di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul?

c. Bagaimana akses pendidikan dasar bagi anak miskin di Kecamatan

Saptosari, Kabupaten Gunungkidul?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. peran pemerintah terhadap akses pendidikan dasar anak keluarga

miskin di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.

b. Mengeksplorasi terkait peran orangtua terhadap akses pendidikan dasar

anak keluarga miskin di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.

c. Mengeksplorasi terkait pendidikan dasar bagi anak keluarga miskin di

Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.

1.4 Keaslian Penelitian

Telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang

akses pendidikan. Namun belum ada penelitian yang membahas secara

khusus akses pendidikan dasar. Penelitian tentang akses pendidikan telah

berkembang meski memiliki fokus maupun metode yang berbeda.

Penelitian yang terkait penelitian ini diringkas dalam Tabel 1.1.

6

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu tentang Akses Pendidikan

Judul, Tahun Nama Penulis Tujuan Metode Hasil Penelitian

Globalisasi dan

Akses

Pendidikan

Untuk Rakyat

Miskin, 2009

Hudan

Midaris

Menganalisa

pengaruh

globalisasi

terhadap

pendidikan dalam

berbagai macam

kelas ekonomi

Kualitatif Globalisasi ekonomi berpengaruh

buruk terhadap pendidikan,

terutama menyangkut

kesempatan akses dan

pemerataan pendidikan. Oleh

karena sangat dibutuhkan

kebijakan yang lebih berpihak

kepada kaum miskin.

Determinants of

Acces and

Equity in

Tertiary

Education: The

Case of

Indonesia, 2010

Keiichi

Ogawa

Dan Kosuke

Iimura

menganalisa

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

akses pendidikan

tinggi di

Indonesia dari

sisi kebutuhan

individu

menggunakan

model multi-

nominal logit

untuk mengetahui

faktor yang

mempengaruhi

keputusan

seseorang

memilih kuliah

program sarjana

strata-1, diploma,

atau bekerja

setelah dia lulus

dari SMA.

(1) tingkat pendidikan kepala

rumahtangga dan total

pendapatan anggota keluarga

berpengaruh positif dan

signifikan terhadap putusan

seseorang meneruskan

pendidikan tinggi; (2) adanya

hubungan positif yang signifikan

antara tingkat pendidikan suami-

istri dengan nilai ujian anak pada

tingkat SMA/SMK, terutama

pada keluarga di kota; (3)

domisili di kota tidak berkorelasi

dengan keputusan masuk

pendidikan tinggi; (4) akses

terhadap program strata-1 untuk

penduduk kota lebih banyak

dipengaruhi oleh faktor latar

belakang keluarga; (5) dengan

hal-hal lainnya tetap sama,

perempuan cenderung memilih

masuk program diploma, tapi

tidak berlaku demikian untuk

program strata-1.

Pemerataan

Kesempatan

Memperoleh

Pendidikan di

Daerah

(Analisis

Aksesibilitas

Pendidikan Bagi

Masyarakat

Desa Terpencil

di Kecamatan

Bayung Lencir

Kabupaten Musi

Banyuasin),

2011

Zailani

Marpaung

dan Dwi

Mirani

1. Melakukan

studi analisis

terhadap

aksesibilitas

pendidikan bagi

masyarakat desa

terpencil

2. Untuk

memberikan

masukan atas

temuan masalah

yang dihadapi

dalam

aksesibilitas

pendidikan bagi

masyarakat desa

terpencil di

Kecamatan

Bayung Lencir

Kabupaten Musi

kualitatif a. Penyelenggaraan Pendidikan

yang berorientasi pada

peningkatan aksesibilitas

Pendidikan

b. Prilaku dan Kemampuan

Masyarakat dalam

Aksesibilitas pendidikan,

meliputi persepsi

masyarakat terhadap

pendidikan, faktor yang

mempengaruhi motivasi

masyarakat untuk

memperoleh pendidikan dan

kemampuan masyarakat

dalam pembiayaan

pendidikan.

7

Banyuasin.

Implementasi

Kebijakan

Perluasan Akses

Pendidikan di

Kabupaten

Sumba Timur

Tahun 2010-

2012, 2013

Gracevanty

E.

Kondatama

Mendeskripsikan

proses dan hasil

implementasi

kebijakan

pendanaan

perluasan akses

pendidikan di

Kabupaten

Sumba Timur

dan

mendeskripsikan

hambatan yang

dihadapi dan

membatasi

pelaksanaan

implementasi

kebijakan

pendanaan

perluasan akses

pendidikan di

Simba Timur

kualitatif Implementasi kebijakan

perluasan akses pendidikn di

Kabupaten Sumba Timur

membawa perubahan positif bagi

perkembangan pendidikan.

Hambatan yang dihadapi dalam

implementasi kebijakan

perluasan akses pendidikan

adalah kesadaran masyarakat

yang relatif rendah tentang

pendidikan, topografi yang

berbukit, masih banyaknya

sekolah yang belum bersetifikat,

rendahnya penguasaan dan

penerapan IPTEK dalam

pengelolaan lingkungan.

Mudaris (2009) pernah meneliti tentang globalisasi dan akses

pendidikan untuk rakyat miskin. Tujuannya adalah untuk menganalisa

pengaruh globalisasi terhadap pendidikan dalam berbagai macam kelas

ekonomi. Melalui pendekatan kualitatif didapatkan hasil penelitian bahwa

globalisasi ekonomi memiliki pengaruh buruk terhadap pendidikan,

terutama menyangkut kesempatan akses dan pemerataan pendidikan. Oleh

karena itu sangat dibutuhkan kebijakan yang lebih berpihak kepada kaum

miskin.

Dua orang peneliti Jepang juga melakukan penelitian yang berkaitan

dengan akses pendidikan di Indonesia. Fokus penelitiannya adalah faktor

yang mempengaruhi akses pada pendidikan tersier. Pendidikan tersier yang

dimaksud disini adalah perguruan tinggi/sekolah tinggi/akademi. Tujuan

dari penelitian ini adalah menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi

akses pendidikan tinggi di Indonesia dari sisi kebutuhan individu. Metode

yang digunakan yaitu menggunakan model multi-nominal logit untuk

mengetahui faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang memilih kuliah

8

program sarjana strata-1, diploma, atau bekerja setelah dia lulus dari SMA.

Hasilnya adalah (1) tingkat pendidikan kepala rumahtangga dan total

pendapatan anggota keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap

putusan seseorang meneruskan pendidikan tinggi; (2) adanya hubungan

positif yang signifikan antara tingkat pendidikan suami-istri dengan nilai

ujian anak pada tingkat SMA/SMK, terutama pada keluarga di kota; (3)

domisili di kota tidak berkorelasi dengan keputusan masuk pendidikan

tinggi; (4) akses terhadap program strata-1 untuk penduduk kota lebih

banyak dipengaruhi oleh faktor latar belakang keluarga; (5) dengan hal-hal

lainnya tetap sama, perempuan cenderung memilih masuk program diploma,

tapi tidak berlaku demikian untuk program strata-1.

Berbeda dengan penelitian mengenai akses pendidikan yang dilakukan

oleh Marpaung dan Mirani (2011), penelitian mereka mengambil objek

masyarakat desa terpencil di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi

Banyuasin. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan studi analisis

terhadap aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat desa terpencil dan

memberikan masukan atas temuan masalah yang dihadapi dalam

aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat desa terpencil di Kecamatan

Bayung Lencir. Melalui pendekatan kualitatif diketahui bahwa

penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada peningkatan

aksesibilitas pendidikan. Perilaku dan kemampuan masyarakat dalam

aksesibilitas pendidikan, meliputi persepsi masyarakat terhadap pendidikan,

faktor yang mempengaruhi motivasi masyarakat untuk memperoleh

pendidikan dan kemampuan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan.

Kondatama (2013) melakukan penelitian yang berjudul implementasi

kebijakan perluasan akses pendidikan di Kabupaten Sumba Timur Tahun

2010-2012. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan proses dan hasil

implementasi kebijakan pendanaan perluasan akses pendidikan di

Kabupaten Sumba Timur dan mendeskripsikan hambatan yang dihadapi dan

membatasi pelaksanaan implementasi kebijakan pendanaan perluasan akses

pendidikan di Sumba Timur. Sama dengan penelitian lainnya tentang akses

9

pendidikan, penelitan ini juga menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil

dari penelitian ini adalah Implementasi kebijakan perluasan akses pendidikn

di Kabupaten Sumba Timur membawa perubahan positif bagi

perkembangan pendidikan. Hambatan yang dihadapi dalam implementasi

kebijakan perluasan akses pendidikan adalah kesadaran masyarakat yang

relatif rendah tentang pendidikan, topografi yang berbukit, masih banyaknya

sekolah yang belum bersetifikat, rendahnya penguasaan dan penerapan

IPTEK dalam pengelolaan lingkungan.

Berdasarkan uraian tentang penelitian sebelumnya terkait akses

pendidikan, maka dapat di ketahui persamaan dan perbedaan dengan

penelitian akses pendidikan dasar untuk keluarga miskin ini. Persamaan

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama

menggunakan metode kualitatif dalam pengambilan data maupun

analisisnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah

cara pandang peneliti melihat definisi sebuah akses. Pada penelitian

sebelumnya, peneliti memiliki pandangan tersendiri terhadap akses

pendidikan. Namun dalam penelitian ini akses pendidikan dianggap sebagai

segala yang diberikan dan disediakan oleh pemerintah dan orangtua atau

wali untuk memperluas kesempatan pendidikan dasar anak, khususnya bagi

anak dari keluarga miskin.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu dapat memberikan

kontribusi konsep pengembangan pendidikan melalui penilaian akses

pendidikan dasar untuk anak keluarga miskin sehingga memberikan

sumbangan kajian terhadap pengembangan wilayah khususnya dalam

bidang ilmu geografi manusia, geografi penduduk, kebijakan

kependudukan, dan perencanaan kependudukan.

10

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat penelitian secara praktis adalah:

a. Sebagai masukan bagi pemerintah khususnya dinas pendidikan

Kabupaten Gunungkidul dalam penyusunan program yang berkaitan

dengan pemerataan pendidikan dengan mengetahui hambatan antara

dalam akses pendidikan dasar.

b. Sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan

penilaian pemenuhan hak anak atas pendidikan dan atau akses

pendidikan dasar.

c. Memberikan gambaran pengetahuan baru bagi pemerintah (pusat

maupun daerah), lembaga swadaya msyarakat, kalangan akademisi dan

masyarakat secara umum mengenai pemenuhan hak anak atas

pendidikan dan akses pendidikan.

1.6 Tinjauan Pustaka

1.6.1 Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah pokok nasional menjadi prioritas

utama penanggulangannya dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan

sosial. Terdapat dua jenis faktor penyebab terjadinya kemiskinan yaitu

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang

berasal dari dalam individu itu sendiri sehingga menyebabkan terjadinya

kemiskinan antara lain berupa kekurangmampuan dalam hal fisik,

intelektual spriritual, sosial psikologis, keterampilan, dan asset (BPS DIY,

2006).

Kekurangan dalam hal fisik misalnya seperti cacat, kurang gizi,

sakit-sakitan, dan lain-lain. Kekurangan dalam intelektual misalnya kurang

pengetahuan, kebodohan, kekurangtahuan informasi, dan lain-lain.

Kekurangan dalam mental emosional misalnya adalah malas, mudah

menyerah, putus asa, temperamental. Kekurangmampuan dalam hal

spiritual misalnya seperti tidak jujur, penipu, serakah, tidak disiplin.

11

Kekurangmampuan dalam hal sosial psikologis misalnya yaitu kurang

motivasi, kurang percaya diri, depresi/stress, kurang relasi, kurang mampu

mencari dukungan. Kekurangan keterampilan yang dimaksud adalah tidak

memiliki keahlian yang sesuai dengan permintaan lapangan kerja.

Sedangkan kekurangan asset yaitu tidak memiliki stok kekayaan berupa

tanah, harta, tabungan maupun benda lainnya (BPS DIY, 2006).

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar individu

maupun keluarga yang menyebabkan kemiskinan. Faktor eksternal yaitu

pelayanan sosial dasar, tidak terlindunginya hak atas kepemilikan tanah,

lapangan pekerjaan sektor formal terbatas dan usaha-usaha sektor informal

kurang terlindungi, kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro

dan tingkat bunga yang tidak mendukung untuk usaha mikro, belum

terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil, belum

optimalnya sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat,

budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesehatan, kondisi

geografis yang sulit, tandus, terpencil, atau daerah rawan bencana,

pembangunan yang berorientasi fisik material, pembangunan ekonomi

antar daerah yang belum merata, dan kebijakan publik yang belum

sepenuhnya berpihak pada penduduk miskin.

1.6.1.1 Teori Chambers

Chambers (1983) mengemukakan bahwa kemiskinan berjalin erat

dengan suatu mata rantai. Mata rantai ini dapat disebut lingkaran setan,

sindrom kemiskinan atau perangkap kemiskinan.

Sumber: Chambers (1983)

Gambar 1.1 Jebakan Kemiskinan

Gambar 1.2 Jebakan Kemiskinan

12

Hubungan antar lima faktor penyebab kemiskinan tergambar

pada Gambar 1.1 terdapat 20 pola kemungkinan hubungan antara faktor

penyebab. Hubungan-hubungan tersebut membentuk semacam jaringan

untuk memerangkap orang dalam kemelaratan.

Kemiskinan merupakan faktor yang paling berpengaruh

dibandingkan faktor-faktor lainnya. Kemiskinan mengakibatkan

kelemahan jasmani akibat kurangnya asupan gizi dan makanan yang pada

akhirnya mengakibatkan kerentanan pada penyakit, padahal penduduk

miskin ini tidak punya biaya untuk berobat ke pelayanan kesehatan

ataupun rumah sakit sehingga kalangan ini menjadi tersisihkan (Chambers,

1983).

Kelemahan jasmani membuat suatu rumahtangga ke arah

kemiskinan melalui beberapa cara seperti tidak mampu bekerja lebih lama,

tidak mampu menggarap lahan yang luas, lebih rentan sakit. Kelemahan

jasmani juga membuat seseorang menjadi tersisih karena dengan tubuh

yang lemah ruang gerak seseorang untuk mendapatkan informasi menjadi

terbatas. Jasmani yang lemah membuat seseorang memperpanjang

kerentanannya karena terbatasnya kemampuan untuk mengatasi situasi

kritis dan darurat, misalnya dengan bekerja lebih keras, mencari kegiatan

baru atau mencari bantuan (Chambers, 1983).

Isolasi terjadi karena penduduk tidak berpendidikan dan tempat

tinggalnya yang jauh terpencil atau di luar jangkauan komunikasi. Isolasi

mengakibatkan bantuan yang diberikan oleh pemerintah tidak dapat

menjangkau daerah tersebut, akibat lainnya menjauhkan penduduk dari

kesempatan pendidikan dan kesempatan ekonomi sehingga kemungkinan

adanya penduduk buta huruf tinggi. Penduduk yang buta huruf akan lebih

sukar dalam melakukan keadministrasian seperti pembagian tanah,

pencatatan sipil dan lain-lain sehingga lebih mudah ditipu. Isolasi

berhubangan langsung dengan kelemahan jasmani karena dengan adanya

isolasi membuat terbatasnya aksesbilitas bantuan yang datang apabila

terjadi wabah penyakit, kelaparan, dan sebagainya. Adanya isolasi juga

13

berarti kurang terhubungnya para pemimpin politik atau bantuan hukum

terhadap penduduk miskin (Chambers, 1983).

Kerentanan merupakan suatu mata rantai yang mempunyai jalinan

paling banyak. Kerentanan berkaitan dengan kemiskinan karena seseorang

harus menjual kekayaanya. Kerentanan berkaitan dengan kelemahan

jasmani karena waktu dan tenaga harus ditukarkan dengan uang untuk

menangani keadaan darurat. Kerentanan berkaitan dengan isolasi karena

akibat guncangan kejadian yang mendadak, ada sikap menyingkirkan

diri secara fisik maupun sosial (Chambers, 1983).

Ketidakberdayaan mendorong proses kemiskinan dalam berbagai

bentuk seperti pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Kaum yang tidak

berdaya mempunyai akses yang lebih kecil terhadap bantuan pemerintah,

terhalang oleh bantuan hukum, berada ditempat yang selalu dirugikan

dalam setiap transaksi jual beli. Faktor ini mempengaruhi faktor

kelemahan jasmani karena waktu dan tenaga tercurah untuk mendapatkan

akses. Isolasi berkaitan dengan ketidakberdayaan karena tidak mampunya

penduduk menarik bantuan pemerintah, sekolah, dan sumberdaya lainnya.

Ketidakberdayaan membuat penduduk miskin semakin rentan terhadap

tuntutan membayar hutang, ancaman hukuman atau denda, atau

penyalahgunaan wewenang yang merugikan (Chambers, 1983).

Anthony Giddens dalam Mudaris (2009) menyatakan bahwa

seringkali pendidikan mempunyai masalah yang sangat kompleks dalam

hal pemerataan. Pendidikan seringkali malah menghasilkan ketidakadilan

dan mempertajamnya. Seorang anak dapat dikatakan miskin menurut

Standar Internasional apabila setiap harinya tidak mampu menghasilkan 1

dollar.

Kurang lebih tiga perlima (60 persen) penduduk Indonesia berada

dibawah garis kemiskinan, dan 10%-20% diantaranya termasuk dalam

kemiskinan absolut. Kemiskinan secara ekonomi juga mempunyai akibat

terhadap kemiskinan yang lain yaitu kemiskinan fisik, intelektual, sosial

14

dan emosional. Secara fisik anak yang hidup dalam keluarga miskin sering

sakit sakitan, kurang bersemangat, mengantuk dan lusuh. Secara sosial

mereka kurang bersahabat, agresif dan atau sebaliknya pemalu, malas, dan

rendah diri. Secara kognitif mereka lemah, kemampuan belajarnya lambat,

prakarsanya kurang dan sulit berkonsentrasi (Mudaris, 2009). Sach (2005)

dalam Ustama (2009) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan

pengembangan human capital terutama dalam pendidikan dan kesehatan.

Hasil Susenas tahun 2012 menunjukan bahwa jumlah anak miskin

di Indonesia sebesar 15 persen, dan anak-anak di pedesaan lebih terkena

dampaknya dibandingkan anak-anak di perkotaan (18 persen berbanding

11 persen) apabila dihitung menggunakan garis kemiskinan nasional.

Indonesia tergolong negara berpenghasilan menegah, namun garis

kemiskinannya sangat rendah untuk ukuran negara berpenghasilan

menengah yaitu sekitar USD 1 per hari yang disesuaikan dengan

perbedaan biaya hidup (UNICEF,2014).

Komite Penanggulangan Kemiskinan (2005) menyatakan bahwa:

“Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan, dan

persatuan”

“Penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang sungguh-

sungguh, terus menerus, dan terpadu dengan mengutamakan

pendekatan hak-hak dasar”

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan

seperti penyediaan kebutuhan pangan, layanan kesehatan pendidikan,

perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana

bergulir, pembangunan sarana dan prasarana, dan pendampingan.

Kemiskinan merupakan sebuah masalah yang multidimensi. Kemiskinan

bukan hanya berbicara tentang pendapatan, namun juga terkait kerawanan,

kerentanan, dan keterbatasan akses masyarakat miskin dalam penentuan

kebijakan publik. Pemecahan masalahan kemiskinan perlu didasarkan pada

15

pemahaman suara masyarakat dan adanya penghormatan, perlindungan

dan pemenuhan atas hak-hak dasar penduduk miskin yaitu hak sosial,

budaya, ekonomi, dan politik (Komite Penanggulangan Kemiskinan,

2005).

Khandker dan Haughton (2012) menyebutkan bahwa terdapat tiga

penyebab utama, atau paling tidak berhubungan dengan kemiskinan antara

lain:

a. Karekateristik wilayah, mencakup kerentanan terhadap bencana,

keterpencilan, kualitas pemerintahan, serta hak milik dan

pelaksanaanya.

b. Karakteristik masyarakat, mencakup ketersediaan infrastruktur (jalan,

air, listrik) dan layanan (kesehatan dan pendidikan), kedekatan dengan

pasar, dan hubungan sosial.

c. Karakteristik rumahtangga dan individu, mencakup karakteristik

demografi, ekonomi, dan sosial.

Pendekatan berbasis hak (right based approach) menghasilkan

hubungan yang lebih dekat antara negara dengan masyarakat, khususnya

masyarakat miskin. Pendekatan ini mengharuskan negara (pemerintah,

DPR, DPD, TNI/POLRI, dan lembaga tinggi negara lainnya) untuk

menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar penduduk

miskin secara bertahap dan progresif. Menghormati maksudnya adalah

negara mengedepankan dan memperhatikan hak-hak dasar masyarakat

miskin baik dalam perumusan kebijakan maupun penyelenggaraan

pelayanan publik. Melindungi maksudnya adalah negara akan melakukan

berbagai upaya untuk mencegah dan menindak setiap bentuk tindakan

pelanggaran hak-hak dasar masyarakat miskin secara sungguh-sungguh

dan nyata. Memenuhi maksudnya adalah negara berupaya menggunakan

sumberdaya dan sumberdana yang tersedia untuk memenuhi hak-hak

dasar masyarakat miskin (Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2005).

16

Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat

miskin sebagai hak mereka untuk menikmati kehidupan secara

bermatabat dan hak yang diakui oleh perundang-undangan. Hak-hak

dasar yang diakui secara umum yaitu terpenuhinya pangan, kesehatan,

pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya

alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman

tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial

dan politik. Pemenuhan satu hak mempengaruhi hak lainnya, sehingga

hak-hak dasar tidak dapat berdiri sendiri (Komite Penanggulangan

Kemiskinan, 2005).

Kemiskinan juga berhubungan erat dengan kualitas sumberdaya

manusia. Kemiskinan sendiri muncul akibat dari sumberdaya manusia

yang tidak berkualitas, dan sebaliknya. Sehingga, meningkatkan

sumberdaya manusia merupakan salah satu cara untuk mengatasi

kemiskinan. Tidaklah mungkin suatu peningkatan sumberdaya manusia

tercapai apabila masih terbelenggu kemiskinan. Salah satu strategi untuk

meningkatkan kualitas sumberdaya manusia adalah pendidikan (Effendi,

1993 dalam Nugroho, 2000)

1.6.2 Pendidikan

Pendidikan merupakan salah faktor yang sangat penting untuk

memerangi kemiskinan. Negara yang berhasil memerangi kemiskinan

adalah negara yang mampu memberikan pendidikan pada seluruh

bangsanya. Kunci sukses negara dalam mencapai kemakmuran dan

kesejahteraan adalah keberhasilan negara tersebut dalam menyediakan

pendidikan bagi warga bangsanya. Kesadaran akan pentingnya pendidikan

telah tumbuh sejak zaman penjajahan belanda. Pemerintah kolonial

menekankan kebijakan transmigrasi, pendidikan, dan pengairan untuk

mengatasi kemiskinan di Jawa (Singaribum dalam Zamroni, 2010).

Pendidikan biasanya merujuk pada konsep sekolah baik formal

maupun nonformal. Namun seharusnya pengertian pendidikan dilihat

17

secara lebih luas yakni sebagai bagian dari pembangunan sosial. Taylor,

Mehrota, Delamonica (1997) mengemukakan bahwa pada tahun 1080-an

efek positif khususnya di bidang pendidikan terhadap perkembangan di

bidang ekonomi mulai disadari. Asumsi yang bangun dalam hal ini adalah

cost untuk pendidikan. Pendidikan baik dalam lingkup publik maupun

privat akan menghasilkan pekerja yang lebih produktif (Minza, 2010). Hal

tersebut sejalan oleh human capital theory yang disampakan Becker pada

tahun 1975.

1.6.2.1 Teori Human Capital

Pendididikan dan pelatihan merupakan salah satu faktor penting

yang mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia. meskipun sistem

pendidikan sudah dikenal dari ribuan tahun lalu, namun hubungan antara

pendidikan dan latihan dengan peningkatan ekonomi baru diperkenalkan

pada tahun 1940an. Hal ini didukung fakta bahwa negara-negara yang

mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi memiliki pertumbuhan

ekonomi yang lebih cepat (Simanjuntak, 1985).

Studi John Kendrick menunjukan bahwa pada tahun 1919

sampai dengan tahun 1957 pendapatan Amerika Serikat bertambah 3,2

persen dalam setahun dengan pertambahan modal dan tenaga kerja hanya

1,1 persen setahun. Kemudian dapat disimpulkan bahwa sisanya yaitu 2,1

persen setahun merupakan hasil dari peningkatan produktivitas kerja

sebagai akibat dari perbaikan manajemen dan teknologi, perbaikan gizi

dan kesehatan, serta peningkatan kualitas karyawan dalam hal pendidikan

(Simanjuntak, 1985).

Perkembangan teori human capital dimulai dari tahun 1776

hingga tahun 1960. Teori human capital mengatakan bahwa seseorang dan

kelompok sosial akan mendapatkan manfaat ekonomi dari investasi

manusia. meskipun jenis investasi modal manusia umumnya adalah

kesehatan dan gizi, pendidikan secara konsisten muncul sebagai investasi

18

utama modal manusia untuk analisis empiris. Salah satu alasan pendidikan

dijadikan sebagai investasi utama dalam modal manusia adalah bahwa

pendidikan dianggap berkontribusi terhadap perbaikan kesehatan dan gizi,

alasan kedua dan lebih empiris penting adalah bahwa pendidikan dapat

diukur dalam biaya secara kuatitatif dan masa sekolah (Sweetland, 1996).

Asumsi dasar dari teori human capital adalah bahwa setiap orang

dapat meningkatkan pendapatannya dari pendidikannya. Setiap seseorang

menambah satu tingkat sekolahnya, disatu pihak akan meningkatkan

kempuan kerja dan pendapatannya, namun disisi lain akan menunda

penerimaan penerimaan penghasilan dalam masa sekolah tersebut. Selain

mengalami penundaan penerimaan penghasilan orang yang bersekolah

juga harus membayar biaya secara langsung seperti uang sekolah,

pembelian buku dan alat-alat sekolah, tambahan uang transport, dan lain-

lain (Sweetland, 1996). Artinya, opportunity cost telah dikeluarkan untuk

memperoleh penghasilan yang lebih tinggi di kemudian hari dari hasil

pendidikan yang telah dilakukan.

Selain harus harus membayar biaya individual untuk

meningkatkan pendidikan, masyarakat juga harus mengeluarkan biaya

sosial. Biaya sosial adalah opportunity cost yang harus ditanggung

masyarakat sebagai akibat dari adanya keinginan atau kesediaan untuk

membiayai perluasan pendidikan yang tinggi dan mahal dengan dana yang

mungkin akan menjadi lebih produktif pabila digunakan pada sektor-sektor

ekonomi lain (Atmanti, 2005).

Gambar 1.2 (a) menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan yang dimiliki seseorang maka akan semakin tinggi pula

penghasilan yang diharapkan, sehingga biaya pribadi yang dikeluarkannya

lebih besar. Untuk memaksimalkan selisih antara pendapatan yang

diharapkan dengan biaya yang diperkirakan akan muncul, maka strategi

yang optimal bagi individu tersebut adalah menempuh pendidikan setinggi

mungkin.

19

(a) (b)

Sumber: Michael P. Todaro dalam Atmanti (2005)

Gambar 1.3 Manfaat dan Biaya Individual

Keterangan:

a : Pendidikan Dasar

b : Pendidikan Menengah

c : Pendidikan Tinggi

Gambar 1.2 (b) menunjukan bahwa terjadinya perbaikan tingkat

produktivitas dari mereka yang mempunyai pendidikan dasar. Hal ini

terlihat dari kurva manfaat sosial yang menanjak secara tajam. Kemudian

pada kurva manfaat sosial terus meningkat seiring naiknya tingkat

pendidikan meski dengan laju pertumbuhan yang semakin menurun,

sebaliknya kurva biaya sosial menunjukkan tingkat pertumbuhan yang

rendah pada awal tahun pendidikan dasar dan kemudian tumbuh semakin

cepat untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Modal manusia merupakan dana abadi bagi sebuah negara yang

menerapkan keterampilan dan kapasitas masyarakat dan untuk penggunaan

produkti dan dapat menjadi penentu yang lebih penting dari keberhasilan

ekonomi jangka panjang dari pada faktor sumberdaya lainnya. Sumber

daya ini harus diinvestasikan dan dimanfaatkan secara efisien dalam

rangka untuk menghasilkan keuntungan bagi individu yang terlibat serta

dalam ekonomi secara keseluruhan (WEF, 2015). Sumberdaya manusia

sebagai pusat keunggulan manusia (human capital) merupakan salah satu

bagian dari proses “mencerdaskan bangsa”. Proses tersebut bukan hanya

berimplikasi terhadap individu melainkan berakhir pada bangsa (Moelek,

2013).

20

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan

bermasyarakat. Pendidikan berperan utuk meningkatkan kualitas hidup

masyarakat. semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin

menghasilkan sumberdaya yang berkualitas. Kecerdasan dan keterampilan

penduduk juga didapatkan dari pendidikan. Kecerdasan dan keterampilan

penduduk pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat pendapatan dan

pemenuhan kebutuhan hidup dalam suatu rumahtangga.

Salah satu program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan

melalui pendidikan antara lain dengan pemberian beasiswa kepada anak

usia 7-18 tahun, terutama anak yang berasal dari keluarga miskin, melalui

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar dan Program

Bantuan Khusus Murid (BKM) untuk pendidikan menengah (BPS, 2006).

1.6.2.2 Pendidikan sebagai Investasi

Atmanti (2005) menyebutkan bahwa pengembangan tingkat

pendidikan diperlukan dalam usaha membangun suatu perekonomian. Hal

tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

1. Pendidikan yang lebih tinggi akan memperluas pengetahuan dan

mempertinggi rasionalitas masyarakat. Hal ini memungkinkan

masyarakat untuk mengambil keputusan dan bertindak yang lebih

rasional.

2. Pendidikan memungkinkan masyarakat untuk mempelajari tentang

pengetahuan-pengetahuan teknis yang diperlukan untuk memimpin dan

menjalankan kegiatan modern lainnya.

3. Peningkatan pengetahuan yang diperoleh menjadi perangsang untuk

menciptakan pembaharuan-pembaharuan dalam berbagai aspek

kehidupan masyarakat.

Pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi

yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang

konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return) karena

Pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan menyokong

21

secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai balik

pendidikan merupakan perbandingan antara total biaya yang

dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan nilai total

pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki

dunia kerja (Nurkholis dalam Atmanti, 2005).

Investasi pendidikan memiliki banyak fungsi, selain fungsi

teknis ekonomis, investasi pendidikan juga memiliki fungsi sosial-

kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan.

Fungsi secara ekonomis, pendidikan dikaitkan dengan pertumbuhan

ekonomi (teori modal manusia). Fungsi investasi pendidikan dalam

sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap

perkembangan manusia dan hubungan sosial pada tingkat sosial yang

berbeda. Misalnya, dengan pendidikan seorang siswa dapat

memaksimalkan potensi dirinya secara psikologis, sosial, dan fisik.

Fungsi politis merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap

perkembangan politik pada tingkatan yang berbeda. Misalnya dengan

pendidikan seseorang dapat mengembangkan sikap keterampilan

kewarganegaraan yang positif dan bertanggung jawab. Orang yang

berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya

sehingga wawasan dan perilakunya semakin demokratis.

Fungsi budaya merujuk pada kontribusi pendidikan pada

peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang

berbeda. Pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan

kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan

norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Fungsi

kependidikan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap

perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang

berbeda. Pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan

membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan

memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning),

22

selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi

sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.

1.6.3 Akses Pendidikan Dasar

Konvensi Education for All (EFA) merupakan hasil

kesepakatan dari penyelenggaraan World Education Forum di Dakar

Senegal pada tahun 2000. Indonesia merupakan salah satu negara dari

164 negara yang menyetujui dan menandatangani konvensi tersebut.

Tujuan ke-4 dari Sustainable Development Goals (SDG’s) adalah

memastikan pendidikan inklusif dan berkulitas untuk semua dan

mendukung pembelajaran seumur hidup. Target dari tujuan ini salah

satunya adalah memastikan anak perempuan dan laki-laki mempunyai

akses dalam pendidikan dan tercapainya pendidikan dasar dan

pendidikan sekunder untuk semua (UN, 2015). Menurut PP RI No. 47

Tahun 2008 pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang

melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar

(SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat

serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah

(MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Peraturan Pemerintah No. 19

Tahun 2005 telah menyempurnakan standar nasional pendidikan guna

menjamin tersedianya pendidikan yang bermutu bagi seluruh

masyarakat. Kemudian, Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2008

bertujuan untuk memberikan pendidikan minimal bagi seluruh warga

Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat

hidup mandiri di dalam masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke

jenjang yang lebih tinggi.

Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan

merupakan salah satu permasalahan kemiskinan dilihat dari aspek

pemenuhan hak dasar, beban kependudukan, ketidakadilan, dan

ketidaksetaraan gender, permasalahan kemiskinan menurut Komite

Penanggulangan Kemiskinan (2005). Masyarakat miskin memiliki

23

akses yang rendah terhadap pendidikan baik formal maupun nonformal.

Rendahnya akses terhadap pendidikan tersebut disebabkan karena

tingginya biaya pendidikan, terbatasnya jumlah dan guru bermutu di

daerah miskin, terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses

belajar-mengajar, terbatasnya jumlah SLTP di daerah pedesaan, daerah

terpencil, dan kantong-kantong kemiskinan, serta terbatasnya jumlah,

sebaran dan mutu program kesetaraan pendidikan dasar melalui

pendidikan nonformal.

Terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap pendidikan

disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan yang tidak mampu

dipenuhi oleh masyarakat miskin. Meski pembayaran SPP untuk

jenjang SD/MI telah dihapuskan, akan tetapi realitanya masyarakat

harus tetap membayar berbagai iuran seperti pembelian buku, alat tulis,

seragam, trasportasi, dan uang saku. Berbagai pengeluaran inilah yang

menghambat masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya

(Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2005).

Di desa terdapat masalah lain yaitu kurangnya kalori dan

kekurangan gizi yang menyebabkan rendahnya daya tahan belajar dan

semangat belajar siswa. Dalam jangka panjang hal tersebut dapat

meningkatkan kemungkinan anak untuk putus belajar, mengulang kelas,

hingga tidak mau sekolah (Mudaris, 2009). Pendidikan formal hingga

saat ini belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Hal ini

dibuktikan dengan adanya kesenjangan Angka Partisipasi Sekolah

(APS) antara penduduk kaya dan penduduk miskin seperti yang terlihat

pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 menyajikan Angka Pertisipasi Sekolah (APS)

menurut tipe daerah, status ekonomi rumahtangga, jalur pendidikan dan

kelompok umur. Berdasarkan Tabel 1.2 tersebut dapat diketahui bahwa

peningkatan APS berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan

rumahtangga. Menurut tipe daerah, pola yang sama terjadi di perdesaan

24

maupun di perkotaan yaitu semakin tinggi pendapatan rumahtangga,

semakin tinggi pula APS anak usia sekolah.

Tabel 1.2 Angka Pertisipasi Sekolah (APS) menurut tipe daerah, Status Ekonomi

Rumahtangga, Jalur Pendidikan dan Kelompok Umur, 2012

Tipe Daerah/Status

Ekonomi

Rumahtangga

Angka Partisipasi Sekolah

Formal Formal dan Non Formal

7-12 13-15 16-18 19-24 7-12 13-15 16-18 19-24

Perkotaan

40% Rendah 98,11 86,96 53,32 11,54 98,20 87,02 54,07 11,63

40% Menengah 98,72 93,06 66,17 16,43 98,80 93,20 66,34 16,58

20% Tinggi 99,35 95,31 74,82 32,46 99,42 95,47 74,89 32,55

Perdesaan

40% Rendah 96,17 83,90 45,72 4,59 96,23 84,08 45,94 4,66

40% Menengah 97,98 89,45 60,68 11,09 98,06 89,61 60,79 11,23

20% Tinggi 98,67 92,71 68,20 21,83 98,71 92,77 68,37 21,98

Perkotaan+Pedesaan

40% Rendah 96,78 84,86 48,42 7,07 96,85 85,00 48,72 7,15

40% Menengah 98,35 91,21 63,53 14,02 98,43 91,36 63,67 14,16

20% Tinggi 99,17 94,62 73,24 30,13 99,23 94,75 73,34 30,24

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Salah satu faktor penunjang keberhasilan pembangunan

adalah Sumberdaya manusia yang berkualitas. Pendidikan merupakan

salah satu jalan untuk meningkatan kualitas sumberdaya manusia

tersebut. Pemerintah telah berupaya meningkatkan mutu pendidikan.

Mulai dari pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada

penduduk untuk mengecap pendidikan pada tingkat dasar hingga pada

peningkatan kualitas dan kuantitas. Salah satu program yang

dilaksanakan adalah program pendidikan gratis pada tingkat dasar di

seluruh wilayah Indonesia sehingga tidak ada hambatan dalam upaya

meningkatkan mutu pendidikan tersebut (BPS, 2015).

Akses pendidikan dasar dilihat dari berbagai faktor antara lain:

1. Faktor Ekonomi

Kesempatan memperoleh pendidikan dan pendapatan bagi

penduduk miskin bagaikan lingkaran yang tak berujung. Penduduk

miskin hanya dapat menyekolahkan anaknya sejak awal usia pada TK

25

atau SD yang berkualitas rendah. Sekolah yang memliki kualitas

rendah, umumnya juga hanya dapat mengantarkan lulusannya ke

sekolah lanjutan yang berkualitas rendah pula. Hal ini dikarenakan

untuk masuk sekolah lanjutan didasarkan pada nilai ujian sekolah

jenjang sebelumnya atau lewat tes masuk. Sehingga menjadi sulit

bagi anak-anak keluarga miskin untuk mendapatkan kesempatan

mengenyam sekolah yang bermutu. Sebalikya orang kaya yang

kebanyakan memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi

memiliki kesempatan menyekolahkan anak-anaknya sejak awal usia

ke sekolah yang bermutu. Pada akhirnya mengantarkan pada sekolah

lanjutan yang lebih bermutu dan menghasilkan lulusan yang

mendapatkan pendapatan dan penghasilan yang lebih tinggi. Vicious

circle ini memiliki arti bahwa sekolah merupakan proses yang disebut

sosial reproduction. Melalui proses pendidikan, kelompok orang-

orang miskin akan melahirkan keturunan yang juga miskin dan

berpendidikan relatif rendah. Sebaliknya, kelompok orang-orang

kaya akan menghasilkan keturunan yang berpendidikan dan kaya

juga. Hal ini dikenal dengan transgenerational poverty (Zamroni,

2010)

Dalam banyak kasus pada keluarga miskin banyak anak

yang tidak bersekolah dan bekerja sebagai gantinya guna memenuhi

kebutuhan hidup. Pekerja anak adalah anak yang melakukan segala

jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat

mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan

serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak.

Pada dasarnya banyak faktor yang menjadi penyebab seorang anak

bekerja antara lain (Depnakertrans RI, 2005):

a. Faktor Ekonomi

Salah satu penyebab utama timbulnya pekerja anak adalah

kemiskinan. Ketidakmampuan ekonomi keluarga berpengaruh

26

pada produktifitas kerja menjadi rendah, gizi kurang, perawatan

kesehatan kurang sehingga hal ini mengakibatkan berkurangnya

kapasitas kerja, cepat lelah, rentan terhadap kecelakaan dan

penyakit. Anak terpaksa mengikuti jejak orang tuanya untuk

bekerja meskipun tanpa mempunyai bekal ketrampilan

dikarenakan penghasilan orangtua yang rendah.

b. Faktor Budaya/Tradisi/Kebiasaan

Suatu budaya dalam keluarga bahwa anak sejak usia muda

sudah melakukan pekerjaan atau sebagai pekerja. Tanpa disadari

para orangtua beranggapan bekerja sebagai pekerja anak sudah

merupakan tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat, anak

diperintahkan bekerja sebagai pekerja dengan alasan untuk

mendapatkan pendidikan dan persiapan terbaik untuk menghadapi

kehidupan dimasyarakat nantinya apabila anak tersebut sudah

dewasa

c. Faktor Pendidikan

Tingkat pendidikan yang rendah dan ketidakberdayaan

ekonomi, orang tua cenderung berpikiran sempit terhadap masa

depan anaknya sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah

yang lebih tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan anak dimasa

datang. Situasi tersebut yang mendorong anak untuk memilih

menjadi pekerja anak.

Sedangkan White (2010) melihat fenomena pekerja anak

dalam ilmu sosial merupakan hal yang telah sejak zaman dahulu

terjadi dan menawarkan pendidikan menjadi salah satu cara

mengatasi persoalan pekerja anak di Indonesia.

“Di dalam pendidikan menyediakan sekolah yang berkualitas

dan gratis (dan didukung oleh beasiswa bersasaran)

setidaknya hingga usia 15 tahun, ketika anak-anak dapat

27

belajar kompetensi dan keterampilan hidup yang berguna

dengan cara-cara yang menyenangkan dan aman.”

2. Sarana dan Prasarana Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu akses pelayanan public dan lebih

dianggap sebagai public goods. Yaitu pemerintah memegang peranan

yang amat mendasar khususnya dalam penyediaan kesempatan belajar

dan tidak menutup kemungkinan untuk pihak swasta untuk

menyediakan tersebut (Marpaung, 2011).

Sarana dan sarana prasarana pendidikan harus disediakan secara

optimal baik sarana prasarana untuk pendidikan itu sendiri maupun

sarana prasana penunjang sehingga menunjang proses akses

masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Pembangunan prasarana

penunjang seperti jalan, listrik dan lain sebagainya yang mampu untuk

menambah pengetahuan masyarakat dan peningkatan ekonomi

masyarakat yang pada akhirnya akan menigkatkan akses masyarakat

untuk mendapatkan pendidikan (Marpaung, 2011).

3. Faktor Geografis

Faktor geografi dalam hal ini akan mempengaruhi faktor

penunjang lainnya. Keberadaan sebuah lokasi akan mempengaruhi

pembangunan secara fisik didaerah tersebut. Dalam hal ini faktor

geografis berbicara terkait jangkauan, jarak dan waktu terhadap

pelayanan pendidikan yang diberikan. Losch dalam Zahidy (2008)

mengemukakan tentang teori lokasi dan segi permintaan sebagai

variabel utama yang kemudian dikenal dengan teori keseimbangan

spasial. Keseimbangan spasial adalah melalui jauh dekat jaraknya,

Makin jauh jarak makin tinggi pula harganya dan makin tinggi harga

makin sedikit permintaannya.

Kondisi lokasi yang memiliki topografi berbukit dan derajat

kemiringan yang relatif tinggi memiliki persebaran pelayanan

28

pendidikan tidak merata dalam arti tidak setiap lokasi menjangkau

dengan mudah sarana pendidikan tersebut Zahidy (2008).

4. Faktor Motivasi

Mitogoro (1997) menyebutkan bahwa motif merupakan daya

dorong diri utama yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau

berperilaku. Motif dapat dikatakan sama dengan tujuan karena

mendorong seseorang untuk melakukan tujuan terterntu (Zahidy, 2008).

Sumber: Zahidy, 2008

Motif yang dimiliki oleh seseorang berbeda dengan orang lainnya.

Kadar motivasi yang dimiliki berbeda-beda tergantung subyeknya yaitu

ada yang kuat, lemah, dan ada juga yang paling kuat. Lebih lanjut

motivasi dapat diartikan sebagai keinginan seorang individu yang

merangsangnya untuk melakukan tindakan.

Sumber: Zahidy, 2008

Motivasi, menurut Abraham Maslow dalam Suryantini (2011)

mengacu pada lima kebutuhan yang disusun secara hirarkis yaitu:

a. Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah). Kebutuhan ini terlihat

dalam tiga hal pokok yaitu, sandang, papan, dan pangan.

Perilaku Motif/Kebutuhan Tujuan

Gambar 1.4 Hubungan Motif dan Kebutuhan

Paling kuat Agak kuat Lemah

Motif 1

1

Motif 2 Motif 3

Perilaku Tujuan

Gambar 1.5 Kadar Motivasi dalam Mencapai Tujuan

29

b. Kebutuhan keamanan dan kesalamatan kerja (Safety Needs). Kebutuhan

ini mengarah pada kesalamatan, ketentraman, dan jaminan seseorang

dalam kedudukan, status, wewenang, dan tanggungjawabnya.

c. Kebutuhan sosial (Sosial Needs). Kebutuhan ini mengarah pada

kebutuhan kasih sayang, bersahabat, kerjasama dalam suatu kelompok

atau antar individu.

d. Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs). Ketika ketiga kebutuhan

sebelumnya terpenuhi, maka timbulah kebutuhan harga diri untuk

seseorang mendapatkan penghargaan dari oranglain. Ketika kebutuhan

ini terpenuhi, orang tersebut akan percaya diri dan merasa berharga

sebgai individu di dunia ini.

e. Kebutuhan aktualisasi diri (Self actualization). Ketika empat kebutuhan

sebelumnya telah terpenuhi, maka hanya akan timbul kebutuhan

aktualisasi diri. Seseorang mengaktualisasikan dirinya, maksutnya

adalah seseorang melakukan apa yang yang memang harus ia lakukan

sebagai sesuatu. Misalnya adalah seorang pemusik harus bermain

musik, seorang penyair harus menulis, dan lain-lain.

Motivasi dalam pendidikan dapat dimiliki oleh orangtua, anak,

maupun, oleh pihak sekolah. Motivasi orangtua dalam memberikan

pendidikan anak dapat dilihat dari aspirasi pendidikan yang dimiliki.

Aspirasi orangtua dalam pendidikan anak adalah harapan atau

keinginan orangtua untuk mencapai tingkat pendidikan yang

diharapkan. Sedangkan Dimayati dan Mudjiono (1999) menyebutkan

bahwa aspirasi pendidikan disamakan dengan cita-cita, yaitu keinginan

yang ingin dicapai dan dapat berpengaruh pada kemauan dan semangat

belajar (Setyawati, 2015).

5. Faktor Budaya

Zahidy (2008) pada penelitiannya menemukan bahwa budaya yang

kurang mendukung terhadap pendidikan berasal dari keluarga dan

30

masyarakat. Budaya juga dapat berasal dari media baik cetak maupun

elektronik. Permasalahan budaya justru terjadi bila penyikapan

masyarakat tidak membedakan budaya yang sebenarnya tidak sesuai

dengan nilai dan norma. Hal tersebut akan berpangaruh terhadap

apresiasi masyarakat terhadap pendidikan.

Dalam suatu kasus di Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin,

ditemukan oleh Marpaung (2011) bahwa selain keharusan berkerja

yang menghambat aksesibilitas pendidikan kebudayaan yang mereka

anut juga membuat aksesibilitas terhadap pendidikan menjadi sangat

sulit, penghasilan yang mereka dapatkan banyak digunakan untuk

kepentingan menyenangkan sesaat dibandingkan dengan berinvestaasi

untuk mengantarkan anaknya kejenjang yang lebih tinggi terlihat dari

observasi ada keluarga yang anaknya tidak sekolah sementara

dirumahnya masih memiliki perlengkapan seperti televisi, VCD, tape

rekorder dan lainnya. Faktor kebudayaan menikahkan anaknya muda

menjadi faktor yang selalu menghambat anak untuk mendapatkan

pendidikan yang layak.

6. Faktor Lingkungan

Zahidy (2008) pada penelitiannya menemukan bahwa lingkungan

yang kurang mendukung pendidikan dalam arti sosial dimana sesama

teman (sebaya) banyak yang tidak sekolah, tingkat pendidikan

masyarakat rendah/tidak tamat SD, lingkungan yang miskin sehingga

orang tua kurang peduli terhadap pendidikan dan lebih fokus pada

pemenuhan fisiologis dan mempersepsikan sekolah sebatas kebutuhan

sosial.

1.6.4 Kerangka Pemikiran

Pemenuhan hak anak atas pendidikan merupakan dasar pemikiran

dari penelitian ini. Hak anak atas pendidikan merupakan salah satu hak

dari sekian banyak hak yang telah di atur dalam peraturan internasional

31

maupun nasional. Hasil akhir yang ingin didapatkan dari penelitian ini

adalah pengaruh akses yang diberikan oleh pemerintah dan orangtua atau

wali terhadap keadaan pendidikan yang dilihat dari indikator akses

pendidikan setempat. Berikut merupakan kerangka pemikiran penelitian

yang disajikan dalam Gambar 1.5.

Gambar 1.6 Kerangka Pikir Penelitian