Upload
leanh
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan merupakan permasalahan utama yang dihadapi sebuah
negara dan harus segera ditanggulangi. Pembangunan sebuah negara tentu
akan terhambat dengan adanya kemiskinan. Pembangunan berwawasan
kependudukan sudah dideklarasikan semenjak tahun 1994 di Cairo dalam
International Conference on Population and Development (ICPD).
Paradigma ini meletakkan penduduk sebagai fokus dari pembangunan dalam
rangka memperluas pilihan hidup layak, kesehatan prima, serta memiliki
pendidikan dan/atau keterampilan yang berkelanjutan (BKKBN, 2016).
Penanggulangan kemiskinan menjadi perhatian utama dunia, terbukti dari
adanya target usaha penanggulangan kemiskinan dalam Millenium
Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Goals (SDGs).
Kemiskinan itu sendiri pada dasarnya menghambat pencapaian tingkat
pembangunan berkelanjutan sehingga menyempurnakan lingkaran setan
kemiskinan atau vicious circle. Contohnya adalah murid miskin berhadapan
dengan sekolah yang bermutu rendah, dan mudah berubah pendirian
tergantung human capital (Perry dkk, 2006). Indonesia merupakan negara
berkembang yang mempunyai permasalahan kemiskinan cukup serius. Pada
tahun 2012, penduduk miskin di Indonesia adalah 28.594.600 jiwa atau
sekitar 11,66 persen dari jumlah penduduk Indonesia saat itu (BPS, 2012).
Pendidikan menjadi suatu variabel yang erat dengan rantai
kemiskinan baik mempengaruhi maupun dipengaruhi. Perbaikan kualitas
pendidikan dan menambah jumlah sumberdaya manusia yang berpendidikan
menjadi suatu pemecahan masalah untuk memutus rantai kemiskinan.
Dengan pendidikan yang baik, maka seorang anak dapat menjadi sumberdaya
manusia yang berkualitas dan dapat menghasilkan ekonomi yang cukup atau
2
bahkan lebih sehingga membawa ia dan keluarganya keluar dari rantai
kemiskinan.
Pendidikan merupakan modal dasar untuk mencapai sumberdaya
manusia yang berkualitas, dan sumberdaya yang berkualitas merupakan
modal dasar dalam pembangunan suatu negara. Kemiskinan telah menjadi
masalah utama setiap negara dan daerah. Sekitar 96 persen anak usia 7-12
tahun bersekolah disekolah dasar. selain itu kemungkinan anak-anak keluarga
miskin tidak bersekolah lima kali lebih besar dari pada anak-anak keluarga
lebih mampu (UNICEF, 2013). Anak-anak dari rumahtangga termiskin empat
kali lebih mungkin putus sekolah dari pada anak-anak dari keluarga paling
sejahtera (UNICEF, 2012). Hal tersebut menunjukan bahwa kesempatan
memperoleh pendidikan antara satu anak dengan anak yang lain berbeda-
beda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan
ekonomi keluarga, perkembangan wilayah, ketersediaan fasilitas pendidikan,
minat anak akan pendidikan, serta tidak lepas dari dorongan orangtua atau
wali dalam menempuh pendidikan.
Pendidikan Nasional menurut UU No 20 Tahun 2003 adalah usaha
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran secara sadar dan
terencana agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa pembangunan
nasional di bidang pendidikan, adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur, serta memungkinkan para warganya
mengembangkan diri, baik berkenaan dengan aspek jasmaniah, maupun
rohaniah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Seorang anak
3
juga merupakan seorang manusia yang mempunyai hak asasi dan hak-hak
lain dalam hidupnya untuk melangsungkan kehidupan. Pendidikan
merupakan salah satu dari sekian banyak hak anak yang telah diatur dalam
undang undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Peraturan
tersebut menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran. Sedangkan pada Undang-undang RI No 35 Tahun 2014 tentang
perubahan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
Pasal 49 menyatakan bahwa Negara, pemerintah, pemerintah daerah,
keluarga dan orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas luasnya
kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Jadi berdasarkan peraturan-
peraturan tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan merupakan hak setiap
anak yang wajib diberikan dan diperjuangkan oleh berbagai pihak pemerintah
sekaligus keluarga dan orangtua atau wali. Maka, kesempatan pendidikan
yang disediakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan orangtua atau wali
dapat dikatakan sebagai akses pendidikan.
Akses pendidikan wajib diberikan kepada anak baik oleh
pemerintah maupun orangtua atau wali. Undang-undang RI No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal pasal 11 menyebutkan bahwa
pemerintah baik daerah maupun pusat wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin tersedianya dana dan terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun tanpa diskriminasi. Peran orangtua dan keluarga
disini mempengaruhi anak dalam mengenyam pendidikan. Dukungan secara
moral dan materiil sangat dibutuhkan dalam kebelerlangsungan pendidikan
anak. Banyaknya jumlah anak yang putus sekolah dan masih terdapatnya
anak yang tidak bersekolah menunjukan masih banyaknya hambatan-
hambatan yang dilalui anak untuk mengenyam pendidikan. Oleh karena itu
penelitian ini membahas tentang keadaan akses pendidikan yang terdapat di
sebuah daerah dari sisi pemerintah dan sisi keluarga sehingga akses tersebut
mendukung atau bahkan menghambat anak dalam mengenyam pendidikan.
4
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan obyek kajian yang
hanya tertuju pada pendidikan dasar. Berdasarkan pasal 17 UU RI No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud pendidikan
dasar adalah SD dan SMP atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan dasar
dijadikan batas dalam penelitian ini karena pendidikan dasar merupakan awal
dalam sistem pendidikan di Indonesia, sehingga dengan menganalisis akses
pada pendidikan dasar maka diharapkan akan lebih mudah mengembangkan
sistem pendidikan dasar dan pendidikan selanjutnya baik dalam jalur formal,
nonformal, maupun informal.
Gunungkidul mempunyai tingkat kemiskinan sebesar 22,05 persen
pada tahun 2011 yang merupakan kemiskinan tertinggi di Daerah Istimewa
Yogyakarta setelah Kulon Progo (BPS, 2011 dalam TNP2K, 2011). Namun,
Gunungkidul mempunyai garis kemiskinan terendah dan jumlah penduduk
miskin terbanyak di DIY. Jumlah penduduk miskin di Gunungkidul yaitu
sebanyak 148.683 jiwa pada tahun 2010 atau sekitar 57 persen dari jumlah
penduduk miskin di DIY (BPS, 2011 dalam TNP2K, 2011). Pada bidang
pendidikan, Kabupaten Gunungkidul juga mempunyai keadaan yang tidak
terlalu baik. Angka Melek Huruf dan rata-rata lama sekolah di kabupaten
Gunungkidul merupakan yang terendah di Provinsi DIY yaitu sebesar 82
persen dan 7,7 tahun (TNP2K, 2010). Hal tersebut menunjukan bahwa
Gunungkidul harus mendapatkan perhatian dalam pengentasan kemiskinan
dan perbaikan pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
1.2 Rumusan Masalah
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia. Akses pendidikan yang diperoleh pemerintah
maupun orangtua akan memberikan keterjangkauan anak sebagai obyek
pendidikan untuk memperoleh pendidikan sebagai haknya. Rendahnya
angka rata-rata lama sekolah di Gunungkidul menunjukan belum
terpenuhinya pendidikan dasar untuk semua penduduk. Adanya persoalan
ini tentu akan menghambat pembangunan sumberdaya manusia. Pendidikan
5
dasar sangat penting untuk diberikan kepada seluruh penduduk secara
merata agar pembangunan sumberdaya manusia meningkat. Pendidikan
dasar seharusnya adalah pendidikan minimal yang harus diterima oleh
semua anak karena sudah ditetapkan oleh pemerintah (ketetapan wajib
belajar 9 tahun) dan harus didukung oleh semua pihak. Melalui studi analisa
akses pendidikan dasar dapat dilihat keadaan kesempatan pendidikan yang
ada di Kecamatan Saptosari. Dari hal tersebut didapat rumusan masalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana peran pemerintah terhadap akses pendidikan dasar anak
keluarga miskin di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul?
b. Bagaimana peran orangtua terhadap akses pendidikan dasar anak
keluarga miskin di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul?
c. Bagaimana akses pendidikan dasar bagi anak miskin di Kecamatan
Saptosari, Kabupaten Gunungkidul?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. peran pemerintah terhadap akses pendidikan dasar anak keluarga
miskin di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.
b. Mengeksplorasi terkait peran orangtua terhadap akses pendidikan dasar
anak keluarga miskin di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.
c. Mengeksplorasi terkait pendidikan dasar bagi anak keluarga miskin di
Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.
1.4 Keaslian Penelitian
Telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang
akses pendidikan. Namun belum ada penelitian yang membahas secara
khusus akses pendidikan dasar. Penelitian tentang akses pendidikan telah
berkembang meski memiliki fokus maupun metode yang berbeda.
Penelitian yang terkait penelitian ini diringkas dalam Tabel 1.1.
6
Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu tentang Akses Pendidikan
Judul, Tahun Nama Penulis Tujuan Metode Hasil Penelitian
Globalisasi dan
Akses
Pendidikan
Untuk Rakyat
Miskin, 2009
Hudan
Midaris
Menganalisa
pengaruh
globalisasi
terhadap
pendidikan dalam
berbagai macam
kelas ekonomi
Kualitatif Globalisasi ekonomi berpengaruh
buruk terhadap pendidikan,
terutama menyangkut
kesempatan akses dan
pemerataan pendidikan. Oleh
karena sangat dibutuhkan
kebijakan yang lebih berpihak
kepada kaum miskin.
Determinants of
Acces and
Equity in
Tertiary
Education: The
Case of
Indonesia, 2010
Keiichi
Ogawa
Dan Kosuke
Iimura
menganalisa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
akses pendidikan
tinggi di
Indonesia dari
sisi kebutuhan
individu
menggunakan
model multi-
nominal logit
untuk mengetahui
faktor yang
mempengaruhi
keputusan
seseorang
memilih kuliah
program sarjana
strata-1, diploma,
atau bekerja
setelah dia lulus
dari SMA.
(1) tingkat pendidikan kepala
rumahtangga dan total
pendapatan anggota keluarga
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap putusan
seseorang meneruskan
pendidikan tinggi; (2) adanya
hubungan positif yang signifikan
antara tingkat pendidikan suami-
istri dengan nilai ujian anak pada
tingkat SMA/SMK, terutama
pada keluarga di kota; (3)
domisili di kota tidak berkorelasi
dengan keputusan masuk
pendidikan tinggi; (4) akses
terhadap program strata-1 untuk
penduduk kota lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor latar
belakang keluarga; (5) dengan
hal-hal lainnya tetap sama,
perempuan cenderung memilih
masuk program diploma, tapi
tidak berlaku demikian untuk
program strata-1.
Pemerataan
Kesempatan
Memperoleh
Pendidikan di
Daerah
(Analisis
Aksesibilitas
Pendidikan Bagi
Masyarakat
Desa Terpencil
di Kecamatan
Bayung Lencir
Kabupaten Musi
Banyuasin),
2011
Zailani
Marpaung
dan Dwi
Mirani
1. Melakukan
studi analisis
terhadap
aksesibilitas
pendidikan bagi
masyarakat desa
terpencil
2. Untuk
memberikan
masukan atas
temuan masalah
yang dihadapi
dalam
aksesibilitas
pendidikan bagi
masyarakat desa
terpencil di
Kecamatan
Bayung Lencir
Kabupaten Musi
kualitatif a. Penyelenggaraan Pendidikan
yang berorientasi pada
peningkatan aksesibilitas
Pendidikan
b. Prilaku dan Kemampuan
Masyarakat dalam
Aksesibilitas pendidikan,
meliputi persepsi
masyarakat terhadap
pendidikan, faktor yang
mempengaruhi motivasi
masyarakat untuk
memperoleh pendidikan dan
kemampuan masyarakat
dalam pembiayaan
pendidikan.
7
Banyuasin.
Implementasi
Kebijakan
Perluasan Akses
Pendidikan di
Kabupaten
Sumba Timur
Tahun 2010-
2012, 2013
Gracevanty
E.
Kondatama
Mendeskripsikan
proses dan hasil
implementasi
kebijakan
pendanaan
perluasan akses
pendidikan di
Kabupaten
Sumba Timur
dan
mendeskripsikan
hambatan yang
dihadapi dan
membatasi
pelaksanaan
implementasi
kebijakan
pendanaan
perluasan akses
pendidikan di
Simba Timur
kualitatif Implementasi kebijakan
perluasan akses pendidikn di
Kabupaten Sumba Timur
membawa perubahan positif bagi
perkembangan pendidikan.
Hambatan yang dihadapi dalam
implementasi kebijakan
perluasan akses pendidikan
adalah kesadaran masyarakat
yang relatif rendah tentang
pendidikan, topografi yang
berbukit, masih banyaknya
sekolah yang belum bersetifikat,
rendahnya penguasaan dan
penerapan IPTEK dalam
pengelolaan lingkungan.
Mudaris (2009) pernah meneliti tentang globalisasi dan akses
pendidikan untuk rakyat miskin. Tujuannya adalah untuk menganalisa
pengaruh globalisasi terhadap pendidikan dalam berbagai macam kelas
ekonomi. Melalui pendekatan kualitatif didapatkan hasil penelitian bahwa
globalisasi ekonomi memiliki pengaruh buruk terhadap pendidikan,
terutama menyangkut kesempatan akses dan pemerataan pendidikan. Oleh
karena itu sangat dibutuhkan kebijakan yang lebih berpihak kepada kaum
miskin.
Dua orang peneliti Jepang juga melakukan penelitian yang berkaitan
dengan akses pendidikan di Indonesia. Fokus penelitiannya adalah faktor
yang mempengaruhi akses pada pendidikan tersier. Pendidikan tersier yang
dimaksud disini adalah perguruan tinggi/sekolah tinggi/akademi. Tujuan
dari penelitian ini adalah menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi
akses pendidikan tinggi di Indonesia dari sisi kebutuhan individu. Metode
yang digunakan yaitu menggunakan model multi-nominal logit untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang memilih kuliah
8
program sarjana strata-1, diploma, atau bekerja setelah dia lulus dari SMA.
Hasilnya adalah (1) tingkat pendidikan kepala rumahtangga dan total
pendapatan anggota keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap
putusan seseorang meneruskan pendidikan tinggi; (2) adanya hubungan
positif yang signifikan antara tingkat pendidikan suami-istri dengan nilai
ujian anak pada tingkat SMA/SMK, terutama pada keluarga di kota; (3)
domisili di kota tidak berkorelasi dengan keputusan masuk pendidikan
tinggi; (4) akses terhadap program strata-1 untuk penduduk kota lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor latar belakang keluarga; (5) dengan hal-hal
lainnya tetap sama, perempuan cenderung memilih masuk program diploma,
tapi tidak berlaku demikian untuk program strata-1.
Berbeda dengan penelitian mengenai akses pendidikan yang dilakukan
oleh Marpaung dan Mirani (2011), penelitian mereka mengambil objek
masyarakat desa terpencil di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi
Banyuasin. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan studi analisis
terhadap aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat desa terpencil dan
memberikan masukan atas temuan masalah yang dihadapi dalam
aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat desa terpencil di Kecamatan
Bayung Lencir. Melalui pendekatan kualitatif diketahui bahwa
penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada peningkatan
aksesibilitas pendidikan. Perilaku dan kemampuan masyarakat dalam
aksesibilitas pendidikan, meliputi persepsi masyarakat terhadap pendidikan,
faktor yang mempengaruhi motivasi masyarakat untuk memperoleh
pendidikan dan kemampuan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan.
Kondatama (2013) melakukan penelitian yang berjudul implementasi
kebijakan perluasan akses pendidikan di Kabupaten Sumba Timur Tahun
2010-2012. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan proses dan hasil
implementasi kebijakan pendanaan perluasan akses pendidikan di
Kabupaten Sumba Timur dan mendeskripsikan hambatan yang dihadapi dan
membatasi pelaksanaan implementasi kebijakan pendanaan perluasan akses
pendidikan di Sumba Timur. Sama dengan penelitian lainnya tentang akses
9
pendidikan, penelitan ini juga menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil
dari penelitian ini adalah Implementasi kebijakan perluasan akses pendidikn
di Kabupaten Sumba Timur membawa perubahan positif bagi
perkembangan pendidikan. Hambatan yang dihadapi dalam implementasi
kebijakan perluasan akses pendidikan adalah kesadaran masyarakat yang
relatif rendah tentang pendidikan, topografi yang berbukit, masih banyaknya
sekolah yang belum bersetifikat, rendahnya penguasaan dan penerapan
IPTEK dalam pengelolaan lingkungan.
Berdasarkan uraian tentang penelitian sebelumnya terkait akses
pendidikan, maka dapat di ketahui persamaan dan perbedaan dengan
penelitian akses pendidikan dasar untuk keluarga miskin ini. Persamaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama
menggunakan metode kualitatif dalam pengambilan data maupun
analisisnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah
cara pandang peneliti melihat definisi sebuah akses. Pada penelitian
sebelumnya, peneliti memiliki pandangan tersendiri terhadap akses
pendidikan. Namun dalam penelitian ini akses pendidikan dianggap sebagai
segala yang diberikan dan disediakan oleh pemerintah dan orangtua atau
wali untuk memperluas kesempatan pendidikan dasar anak, khususnya bagi
anak dari keluarga miskin.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu dapat memberikan
kontribusi konsep pengembangan pendidikan melalui penilaian akses
pendidikan dasar untuk anak keluarga miskin sehingga memberikan
sumbangan kajian terhadap pengembangan wilayah khususnya dalam
bidang ilmu geografi manusia, geografi penduduk, kebijakan
kependudukan, dan perencanaan kependudukan.
10
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat penelitian secara praktis adalah:
a. Sebagai masukan bagi pemerintah khususnya dinas pendidikan
Kabupaten Gunungkidul dalam penyusunan program yang berkaitan
dengan pemerataan pendidikan dengan mengetahui hambatan antara
dalam akses pendidikan dasar.
b. Sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan
penilaian pemenuhan hak anak atas pendidikan dan atau akses
pendidikan dasar.
c. Memberikan gambaran pengetahuan baru bagi pemerintah (pusat
maupun daerah), lembaga swadaya msyarakat, kalangan akademisi dan
masyarakat secara umum mengenai pemenuhan hak anak atas
pendidikan dan akses pendidikan.
1.6 Tinjauan Pustaka
1.6.1 Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah pokok nasional menjadi prioritas
utama penanggulangannya dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan
sosial. Terdapat dua jenis faktor penyebab terjadinya kemiskinan yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang
berasal dari dalam individu itu sendiri sehingga menyebabkan terjadinya
kemiskinan antara lain berupa kekurangmampuan dalam hal fisik,
intelektual spriritual, sosial psikologis, keterampilan, dan asset (BPS DIY,
2006).
Kekurangan dalam hal fisik misalnya seperti cacat, kurang gizi,
sakit-sakitan, dan lain-lain. Kekurangan dalam intelektual misalnya kurang
pengetahuan, kebodohan, kekurangtahuan informasi, dan lain-lain.
Kekurangan dalam mental emosional misalnya adalah malas, mudah
menyerah, putus asa, temperamental. Kekurangmampuan dalam hal
spiritual misalnya seperti tidak jujur, penipu, serakah, tidak disiplin.
11
Kekurangmampuan dalam hal sosial psikologis misalnya yaitu kurang
motivasi, kurang percaya diri, depresi/stress, kurang relasi, kurang mampu
mencari dukungan. Kekurangan keterampilan yang dimaksud adalah tidak
memiliki keahlian yang sesuai dengan permintaan lapangan kerja.
Sedangkan kekurangan asset yaitu tidak memiliki stok kekayaan berupa
tanah, harta, tabungan maupun benda lainnya (BPS DIY, 2006).
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar individu
maupun keluarga yang menyebabkan kemiskinan. Faktor eksternal yaitu
pelayanan sosial dasar, tidak terlindunginya hak atas kepemilikan tanah,
lapangan pekerjaan sektor formal terbatas dan usaha-usaha sektor informal
kurang terlindungi, kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro
dan tingkat bunga yang tidak mendukung untuk usaha mikro, belum
terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil, belum
optimalnya sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat,
budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesehatan, kondisi
geografis yang sulit, tandus, terpencil, atau daerah rawan bencana,
pembangunan yang berorientasi fisik material, pembangunan ekonomi
antar daerah yang belum merata, dan kebijakan publik yang belum
sepenuhnya berpihak pada penduduk miskin.
1.6.1.1 Teori Chambers
Chambers (1983) mengemukakan bahwa kemiskinan berjalin erat
dengan suatu mata rantai. Mata rantai ini dapat disebut lingkaran setan,
sindrom kemiskinan atau perangkap kemiskinan.
Sumber: Chambers (1983)
Gambar 1.1 Jebakan Kemiskinan
Gambar 1.2 Jebakan Kemiskinan
12
Hubungan antar lima faktor penyebab kemiskinan tergambar
pada Gambar 1.1 terdapat 20 pola kemungkinan hubungan antara faktor
penyebab. Hubungan-hubungan tersebut membentuk semacam jaringan
untuk memerangkap orang dalam kemelaratan.
Kemiskinan merupakan faktor yang paling berpengaruh
dibandingkan faktor-faktor lainnya. Kemiskinan mengakibatkan
kelemahan jasmani akibat kurangnya asupan gizi dan makanan yang pada
akhirnya mengakibatkan kerentanan pada penyakit, padahal penduduk
miskin ini tidak punya biaya untuk berobat ke pelayanan kesehatan
ataupun rumah sakit sehingga kalangan ini menjadi tersisihkan (Chambers,
1983).
Kelemahan jasmani membuat suatu rumahtangga ke arah
kemiskinan melalui beberapa cara seperti tidak mampu bekerja lebih lama,
tidak mampu menggarap lahan yang luas, lebih rentan sakit. Kelemahan
jasmani juga membuat seseorang menjadi tersisih karena dengan tubuh
yang lemah ruang gerak seseorang untuk mendapatkan informasi menjadi
terbatas. Jasmani yang lemah membuat seseorang memperpanjang
kerentanannya karena terbatasnya kemampuan untuk mengatasi situasi
kritis dan darurat, misalnya dengan bekerja lebih keras, mencari kegiatan
baru atau mencari bantuan (Chambers, 1983).
Isolasi terjadi karena penduduk tidak berpendidikan dan tempat
tinggalnya yang jauh terpencil atau di luar jangkauan komunikasi. Isolasi
mengakibatkan bantuan yang diberikan oleh pemerintah tidak dapat
menjangkau daerah tersebut, akibat lainnya menjauhkan penduduk dari
kesempatan pendidikan dan kesempatan ekonomi sehingga kemungkinan
adanya penduduk buta huruf tinggi. Penduduk yang buta huruf akan lebih
sukar dalam melakukan keadministrasian seperti pembagian tanah,
pencatatan sipil dan lain-lain sehingga lebih mudah ditipu. Isolasi
berhubangan langsung dengan kelemahan jasmani karena dengan adanya
isolasi membuat terbatasnya aksesbilitas bantuan yang datang apabila
terjadi wabah penyakit, kelaparan, dan sebagainya. Adanya isolasi juga
13
berarti kurang terhubungnya para pemimpin politik atau bantuan hukum
terhadap penduduk miskin (Chambers, 1983).
Kerentanan merupakan suatu mata rantai yang mempunyai jalinan
paling banyak. Kerentanan berkaitan dengan kemiskinan karena seseorang
harus menjual kekayaanya. Kerentanan berkaitan dengan kelemahan
jasmani karena waktu dan tenaga harus ditukarkan dengan uang untuk
menangani keadaan darurat. Kerentanan berkaitan dengan isolasi karena
akibat guncangan kejadian yang mendadak, ada sikap menyingkirkan
diri secara fisik maupun sosial (Chambers, 1983).
Ketidakberdayaan mendorong proses kemiskinan dalam berbagai
bentuk seperti pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Kaum yang tidak
berdaya mempunyai akses yang lebih kecil terhadap bantuan pemerintah,
terhalang oleh bantuan hukum, berada ditempat yang selalu dirugikan
dalam setiap transaksi jual beli. Faktor ini mempengaruhi faktor
kelemahan jasmani karena waktu dan tenaga tercurah untuk mendapatkan
akses. Isolasi berkaitan dengan ketidakberdayaan karena tidak mampunya
penduduk menarik bantuan pemerintah, sekolah, dan sumberdaya lainnya.
Ketidakberdayaan membuat penduduk miskin semakin rentan terhadap
tuntutan membayar hutang, ancaman hukuman atau denda, atau
penyalahgunaan wewenang yang merugikan (Chambers, 1983).
Anthony Giddens dalam Mudaris (2009) menyatakan bahwa
seringkali pendidikan mempunyai masalah yang sangat kompleks dalam
hal pemerataan. Pendidikan seringkali malah menghasilkan ketidakadilan
dan mempertajamnya. Seorang anak dapat dikatakan miskin menurut
Standar Internasional apabila setiap harinya tidak mampu menghasilkan 1
dollar.
Kurang lebih tiga perlima (60 persen) penduduk Indonesia berada
dibawah garis kemiskinan, dan 10%-20% diantaranya termasuk dalam
kemiskinan absolut. Kemiskinan secara ekonomi juga mempunyai akibat
terhadap kemiskinan yang lain yaitu kemiskinan fisik, intelektual, sosial
14
dan emosional. Secara fisik anak yang hidup dalam keluarga miskin sering
sakit sakitan, kurang bersemangat, mengantuk dan lusuh. Secara sosial
mereka kurang bersahabat, agresif dan atau sebaliknya pemalu, malas, dan
rendah diri. Secara kognitif mereka lemah, kemampuan belajarnya lambat,
prakarsanya kurang dan sulit berkonsentrasi (Mudaris, 2009). Sach (2005)
dalam Ustama (2009) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan
pengembangan human capital terutama dalam pendidikan dan kesehatan.
Hasil Susenas tahun 2012 menunjukan bahwa jumlah anak miskin
di Indonesia sebesar 15 persen, dan anak-anak di pedesaan lebih terkena
dampaknya dibandingkan anak-anak di perkotaan (18 persen berbanding
11 persen) apabila dihitung menggunakan garis kemiskinan nasional.
Indonesia tergolong negara berpenghasilan menegah, namun garis
kemiskinannya sangat rendah untuk ukuran negara berpenghasilan
menengah yaitu sekitar USD 1 per hari yang disesuaikan dengan
perbedaan biaya hidup (UNICEF,2014).
Komite Penanggulangan Kemiskinan (2005) menyatakan bahwa:
“Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan, dan
persatuan”
“Penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang sungguh-
sungguh, terus menerus, dan terpadu dengan mengutamakan
pendekatan hak-hak dasar”
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan
seperti penyediaan kebutuhan pangan, layanan kesehatan pendidikan,
perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana
bergulir, pembangunan sarana dan prasarana, dan pendampingan.
Kemiskinan merupakan sebuah masalah yang multidimensi. Kemiskinan
bukan hanya berbicara tentang pendapatan, namun juga terkait kerawanan,
kerentanan, dan keterbatasan akses masyarakat miskin dalam penentuan
kebijakan publik. Pemecahan masalahan kemiskinan perlu didasarkan pada
15
pemahaman suara masyarakat dan adanya penghormatan, perlindungan
dan pemenuhan atas hak-hak dasar penduduk miskin yaitu hak sosial,
budaya, ekonomi, dan politik (Komite Penanggulangan Kemiskinan,
2005).
Khandker dan Haughton (2012) menyebutkan bahwa terdapat tiga
penyebab utama, atau paling tidak berhubungan dengan kemiskinan antara
lain:
a. Karekateristik wilayah, mencakup kerentanan terhadap bencana,
keterpencilan, kualitas pemerintahan, serta hak milik dan
pelaksanaanya.
b. Karakteristik masyarakat, mencakup ketersediaan infrastruktur (jalan,
air, listrik) dan layanan (kesehatan dan pendidikan), kedekatan dengan
pasar, dan hubungan sosial.
c. Karakteristik rumahtangga dan individu, mencakup karakteristik
demografi, ekonomi, dan sosial.
Pendekatan berbasis hak (right based approach) menghasilkan
hubungan yang lebih dekat antara negara dengan masyarakat, khususnya
masyarakat miskin. Pendekatan ini mengharuskan negara (pemerintah,
DPR, DPD, TNI/POLRI, dan lembaga tinggi negara lainnya) untuk
menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar penduduk
miskin secara bertahap dan progresif. Menghormati maksudnya adalah
negara mengedepankan dan memperhatikan hak-hak dasar masyarakat
miskin baik dalam perumusan kebijakan maupun penyelenggaraan
pelayanan publik. Melindungi maksudnya adalah negara akan melakukan
berbagai upaya untuk mencegah dan menindak setiap bentuk tindakan
pelanggaran hak-hak dasar masyarakat miskin secara sungguh-sungguh
dan nyata. Memenuhi maksudnya adalah negara berupaya menggunakan
sumberdaya dan sumberdana yang tersedia untuk memenuhi hak-hak
dasar masyarakat miskin (Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2005).
16
Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat
miskin sebagai hak mereka untuk menikmati kehidupan secara
bermatabat dan hak yang diakui oleh perundang-undangan. Hak-hak
dasar yang diakui secara umum yaitu terpenuhinya pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya
alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman
tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial
dan politik. Pemenuhan satu hak mempengaruhi hak lainnya, sehingga
hak-hak dasar tidak dapat berdiri sendiri (Komite Penanggulangan
Kemiskinan, 2005).
Kemiskinan juga berhubungan erat dengan kualitas sumberdaya
manusia. Kemiskinan sendiri muncul akibat dari sumberdaya manusia
yang tidak berkualitas, dan sebaliknya. Sehingga, meningkatkan
sumberdaya manusia merupakan salah satu cara untuk mengatasi
kemiskinan. Tidaklah mungkin suatu peningkatan sumberdaya manusia
tercapai apabila masih terbelenggu kemiskinan. Salah satu strategi untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia adalah pendidikan (Effendi,
1993 dalam Nugroho, 2000)
1.6.2 Pendidikan
Pendidikan merupakan salah faktor yang sangat penting untuk
memerangi kemiskinan. Negara yang berhasil memerangi kemiskinan
adalah negara yang mampu memberikan pendidikan pada seluruh
bangsanya. Kunci sukses negara dalam mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan adalah keberhasilan negara tersebut dalam menyediakan
pendidikan bagi warga bangsanya. Kesadaran akan pentingnya pendidikan
telah tumbuh sejak zaman penjajahan belanda. Pemerintah kolonial
menekankan kebijakan transmigrasi, pendidikan, dan pengairan untuk
mengatasi kemiskinan di Jawa (Singaribum dalam Zamroni, 2010).
Pendidikan biasanya merujuk pada konsep sekolah baik formal
maupun nonformal. Namun seharusnya pengertian pendidikan dilihat
17
secara lebih luas yakni sebagai bagian dari pembangunan sosial. Taylor,
Mehrota, Delamonica (1997) mengemukakan bahwa pada tahun 1080-an
efek positif khususnya di bidang pendidikan terhadap perkembangan di
bidang ekonomi mulai disadari. Asumsi yang bangun dalam hal ini adalah
cost untuk pendidikan. Pendidikan baik dalam lingkup publik maupun
privat akan menghasilkan pekerja yang lebih produktif (Minza, 2010). Hal
tersebut sejalan oleh human capital theory yang disampakan Becker pada
tahun 1975.
1.6.2.1 Teori Human Capital
Pendididikan dan pelatihan merupakan salah satu faktor penting
yang mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia. meskipun sistem
pendidikan sudah dikenal dari ribuan tahun lalu, namun hubungan antara
pendidikan dan latihan dengan peningkatan ekonomi baru diperkenalkan
pada tahun 1940an. Hal ini didukung fakta bahwa negara-negara yang
mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi memiliki pertumbuhan
ekonomi yang lebih cepat (Simanjuntak, 1985).
Studi John Kendrick menunjukan bahwa pada tahun 1919
sampai dengan tahun 1957 pendapatan Amerika Serikat bertambah 3,2
persen dalam setahun dengan pertambahan modal dan tenaga kerja hanya
1,1 persen setahun. Kemudian dapat disimpulkan bahwa sisanya yaitu 2,1
persen setahun merupakan hasil dari peningkatan produktivitas kerja
sebagai akibat dari perbaikan manajemen dan teknologi, perbaikan gizi
dan kesehatan, serta peningkatan kualitas karyawan dalam hal pendidikan
(Simanjuntak, 1985).
Perkembangan teori human capital dimulai dari tahun 1776
hingga tahun 1960. Teori human capital mengatakan bahwa seseorang dan
kelompok sosial akan mendapatkan manfaat ekonomi dari investasi
manusia. meskipun jenis investasi modal manusia umumnya adalah
kesehatan dan gizi, pendidikan secara konsisten muncul sebagai investasi
18
utama modal manusia untuk analisis empiris. Salah satu alasan pendidikan
dijadikan sebagai investasi utama dalam modal manusia adalah bahwa
pendidikan dianggap berkontribusi terhadap perbaikan kesehatan dan gizi,
alasan kedua dan lebih empiris penting adalah bahwa pendidikan dapat
diukur dalam biaya secara kuatitatif dan masa sekolah (Sweetland, 1996).
Asumsi dasar dari teori human capital adalah bahwa setiap orang
dapat meningkatkan pendapatannya dari pendidikannya. Setiap seseorang
menambah satu tingkat sekolahnya, disatu pihak akan meningkatkan
kempuan kerja dan pendapatannya, namun disisi lain akan menunda
penerimaan penerimaan penghasilan dalam masa sekolah tersebut. Selain
mengalami penundaan penerimaan penghasilan orang yang bersekolah
juga harus membayar biaya secara langsung seperti uang sekolah,
pembelian buku dan alat-alat sekolah, tambahan uang transport, dan lain-
lain (Sweetland, 1996). Artinya, opportunity cost telah dikeluarkan untuk
memperoleh penghasilan yang lebih tinggi di kemudian hari dari hasil
pendidikan yang telah dilakukan.
Selain harus harus membayar biaya individual untuk
meningkatkan pendidikan, masyarakat juga harus mengeluarkan biaya
sosial. Biaya sosial adalah opportunity cost yang harus ditanggung
masyarakat sebagai akibat dari adanya keinginan atau kesediaan untuk
membiayai perluasan pendidikan yang tinggi dan mahal dengan dana yang
mungkin akan menjadi lebih produktif pabila digunakan pada sektor-sektor
ekonomi lain (Atmanti, 2005).
Gambar 1.2 (a) menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan yang dimiliki seseorang maka akan semakin tinggi pula
penghasilan yang diharapkan, sehingga biaya pribadi yang dikeluarkannya
lebih besar. Untuk memaksimalkan selisih antara pendapatan yang
diharapkan dengan biaya yang diperkirakan akan muncul, maka strategi
yang optimal bagi individu tersebut adalah menempuh pendidikan setinggi
mungkin.
19
(a) (b)
Sumber: Michael P. Todaro dalam Atmanti (2005)
Gambar 1.3 Manfaat dan Biaya Individual
Keterangan:
a : Pendidikan Dasar
b : Pendidikan Menengah
c : Pendidikan Tinggi
Gambar 1.2 (b) menunjukan bahwa terjadinya perbaikan tingkat
produktivitas dari mereka yang mempunyai pendidikan dasar. Hal ini
terlihat dari kurva manfaat sosial yang menanjak secara tajam. Kemudian
pada kurva manfaat sosial terus meningkat seiring naiknya tingkat
pendidikan meski dengan laju pertumbuhan yang semakin menurun,
sebaliknya kurva biaya sosial menunjukkan tingkat pertumbuhan yang
rendah pada awal tahun pendidikan dasar dan kemudian tumbuh semakin
cepat untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Modal manusia merupakan dana abadi bagi sebuah negara yang
menerapkan keterampilan dan kapasitas masyarakat dan untuk penggunaan
produkti dan dapat menjadi penentu yang lebih penting dari keberhasilan
ekonomi jangka panjang dari pada faktor sumberdaya lainnya. Sumber
daya ini harus diinvestasikan dan dimanfaatkan secara efisien dalam
rangka untuk menghasilkan keuntungan bagi individu yang terlibat serta
dalam ekonomi secara keseluruhan (WEF, 2015). Sumberdaya manusia
sebagai pusat keunggulan manusia (human capital) merupakan salah satu
bagian dari proses “mencerdaskan bangsa”. Proses tersebut bukan hanya
berimplikasi terhadap individu melainkan berakhir pada bangsa (Moelek,
2013).
20
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Pendidikan berperan utuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat. semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin
menghasilkan sumberdaya yang berkualitas. Kecerdasan dan keterampilan
penduduk juga didapatkan dari pendidikan. Kecerdasan dan keterampilan
penduduk pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat pendapatan dan
pemenuhan kebutuhan hidup dalam suatu rumahtangga.
Salah satu program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan
melalui pendidikan antara lain dengan pemberian beasiswa kepada anak
usia 7-18 tahun, terutama anak yang berasal dari keluarga miskin, melalui
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar dan Program
Bantuan Khusus Murid (BKM) untuk pendidikan menengah (BPS, 2006).
1.6.2.2 Pendidikan sebagai Investasi
Atmanti (2005) menyebutkan bahwa pengembangan tingkat
pendidikan diperlukan dalam usaha membangun suatu perekonomian. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Pendidikan yang lebih tinggi akan memperluas pengetahuan dan
mempertinggi rasionalitas masyarakat. Hal ini memungkinkan
masyarakat untuk mengambil keputusan dan bertindak yang lebih
rasional.
2. Pendidikan memungkinkan masyarakat untuk mempelajari tentang
pengetahuan-pengetahuan teknis yang diperlukan untuk memimpin dan
menjalankan kegiatan modern lainnya.
3. Peningkatan pengetahuan yang diperoleh menjadi perangsang untuk
menciptakan pembaharuan-pembaharuan dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat.
Pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi
yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang
konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return) karena
Pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan menyokong
21
secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai balik
pendidikan merupakan perbandingan antara total biaya yang
dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan nilai total
pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki
dunia kerja (Nurkholis dalam Atmanti, 2005).
Investasi pendidikan memiliki banyak fungsi, selain fungsi
teknis ekonomis, investasi pendidikan juga memiliki fungsi sosial-
kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan.
Fungsi secara ekonomis, pendidikan dikaitkan dengan pertumbuhan
ekonomi (teori modal manusia). Fungsi investasi pendidikan dalam
sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap
perkembangan manusia dan hubungan sosial pada tingkat sosial yang
berbeda. Misalnya, dengan pendidikan seorang siswa dapat
memaksimalkan potensi dirinya secara psikologis, sosial, dan fisik.
Fungsi politis merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap
perkembangan politik pada tingkatan yang berbeda. Misalnya dengan
pendidikan seseorang dapat mengembangkan sikap keterampilan
kewarganegaraan yang positif dan bertanggung jawab. Orang yang
berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya
sehingga wawasan dan perilakunya semakin demokratis.
Fungsi budaya merujuk pada kontribusi pendidikan pada
peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang
berbeda. Pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan
kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan
norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Fungsi
kependidikan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap
perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang
berbeda. Pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan
membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan
memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning),
22
selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi
sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
1.6.3 Akses Pendidikan Dasar
Konvensi Education for All (EFA) merupakan hasil
kesepakatan dari penyelenggaraan World Education Forum di Dakar
Senegal pada tahun 2000. Indonesia merupakan salah satu negara dari
164 negara yang menyetujui dan menandatangani konvensi tersebut.
Tujuan ke-4 dari Sustainable Development Goals (SDG’s) adalah
memastikan pendidikan inklusif dan berkulitas untuk semua dan
mendukung pembelajaran seumur hidup. Target dari tujuan ini salah
satunya adalah memastikan anak perempuan dan laki-laki mempunyai
akses dalam pendidikan dan tercapainya pendidikan dasar dan
pendidikan sekunder untuk semua (UN, 2015). Menurut PP RI No. 47
Tahun 2008 pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar
(SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat
serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah
(MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2005 telah menyempurnakan standar nasional pendidikan guna
menjamin tersedianya pendidikan yang bermutu bagi seluruh
masyarakat. Kemudian, Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2008
bertujuan untuk memberikan pendidikan minimal bagi seluruh warga
Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat
hidup mandiri di dalam masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan
merupakan salah satu permasalahan kemiskinan dilihat dari aspek
pemenuhan hak dasar, beban kependudukan, ketidakadilan, dan
ketidaksetaraan gender, permasalahan kemiskinan menurut Komite
Penanggulangan Kemiskinan (2005). Masyarakat miskin memiliki
23
akses yang rendah terhadap pendidikan baik formal maupun nonformal.
Rendahnya akses terhadap pendidikan tersebut disebabkan karena
tingginya biaya pendidikan, terbatasnya jumlah dan guru bermutu di
daerah miskin, terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses
belajar-mengajar, terbatasnya jumlah SLTP di daerah pedesaan, daerah
terpencil, dan kantong-kantong kemiskinan, serta terbatasnya jumlah,
sebaran dan mutu program kesetaraan pendidikan dasar melalui
pendidikan nonformal.
Terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap pendidikan
disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan yang tidak mampu
dipenuhi oleh masyarakat miskin. Meski pembayaran SPP untuk
jenjang SD/MI telah dihapuskan, akan tetapi realitanya masyarakat
harus tetap membayar berbagai iuran seperti pembelian buku, alat tulis,
seragam, trasportasi, dan uang saku. Berbagai pengeluaran inilah yang
menghambat masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya
(Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2005).
Di desa terdapat masalah lain yaitu kurangnya kalori dan
kekurangan gizi yang menyebabkan rendahnya daya tahan belajar dan
semangat belajar siswa. Dalam jangka panjang hal tersebut dapat
meningkatkan kemungkinan anak untuk putus belajar, mengulang kelas,
hingga tidak mau sekolah (Mudaris, 2009). Pendidikan formal hingga
saat ini belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Hal ini
dibuktikan dengan adanya kesenjangan Angka Partisipasi Sekolah
(APS) antara penduduk kaya dan penduduk miskin seperti yang terlihat
pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 menyajikan Angka Pertisipasi Sekolah (APS)
menurut tipe daerah, status ekonomi rumahtangga, jalur pendidikan dan
kelompok umur. Berdasarkan Tabel 1.2 tersebut dapat diketahui bahwa
peningkatan APS berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan
rumahtangga. Menurut tipe daerah, pola yang sama terjadi di perdesaan
24
maupun di perkotaan yaitu semakin tinggi pendapatan rumahtangga,
semakin tinggi pula APS anak usia sekolah.
Tabel 1.2 Angka Pertisipasi Sekolah (APS) menurut tipe daerah, Status Ekonomi
Rumahtangga, Jalur Pendidikan dan Kelompok Umur, 2012
Tipe Daerah/Status
Ekonomi
Rumahtangga
Angka Partisipasi Sekolah
Formal Formal dan Non Formal
7-12 13-15 16-18 19-24 7-12 13-15 16-18 19-24
Perkotaan
40% Rendah 98,11 86,96 53,32 11,54 98,20 87,02 54,07 11,63
40% Menengah 98,72 93,06 66,17 16,43 98,80 93,20 66,34 16,58
20% Tinggi 99,35 95,31 74,82 32,46 99,42 95,47 74,89 32,55
Perdesaan
40% Rendah 96,17 83,90 45,72 4,59 96,23 84,08 45,94 4,66
40% Menengah 97,98 89,45 60,68 11,09 98,06 89,61 60,79 11,23
20% Tinggi 98,67 92,71 68,20 21,83 98,71 92,77 68,37 21,98
Perkotaan+Pedesaan
40% Rendah 96,78 84,86 48,42 7,07 96,85 85,00 48,72 7,15
40% Menengah 98,35 91,21 63,53 14,02 98,43 91,36 63,67 14,16
20% Tinggi 99,17 94,62 73,24 30,13 99,23 94,75 73,34 30,24
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Salah satu faktor penunjang keberhasilan pembangunan
adalah Sumberdaya manusia yang berkualitas. Pendidikan merupakan
salah satu jalan untuk meningkatan kualitas sumberdaya manusia
tersebut. Pemerintah telah berupaya meningkatkan mutu pendidikan.
Mulai dari pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada
penduduk untuk mengecap pendidikan pada tingkat dasar hingga pada
peningkatan kualitas dan kuantitas. Salah satu program yang
dilaksanakan adalah program pendidikan gratis pada tingkat dasar di
seluruh wilayah Indonesia sehingga tidak ada hambatan dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan tersebut (BPS, 2015).
Akses pendidikan dasar dilihat dari berbagai faktor antara lain:
1. Faktor Ekonomi
Kesempatan memperoleh pendidikan dan pendapatan bagi
penduduk miskin bagaikan lingkaran yang tak berujung. Penduduk
miskin hanya dapat menyekolahkan anaknya sejak awal usia pada TK
25
atau SD yang berkualitas rendah. Sekolah yang memliki kualitas
rendah, umumnya juga hanya dapat mengantarkan lulusannya ke
sekolah lanjutan yang berkualitas rendah pula. Hal ini dikarenakan
untuk masuk sekolah lanjutan didasarkan pada nilai ujian sekolah
jenjang sebelumnya atau lewat tes masuk. Sehingga menjadi sulit
bagi anak-anak keluarga miskin untuk mendapatkan kesempatan
mengenyam sekolah yang bermutu. Sebalikya orang kaya yang
kebanyakan memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi
memiliki kesempatan menyekolahkan anak-anaknya sejak awal usia
ke sekolah yang bermutu. Pada akhirnya mengantarkan pada sekolah
lanjutan yang lebih bermutu dan menghasilkan lulusan yang
mendapatkan pendapatan dan penghasilan yang lebih tinggi. Vicious
circle ini memiliki arti bahwa sekolah merupakan proses yang disebut
sosial reproduction. Melalui proses pendidikan, kelompok orang-
orang miskin akan melahirkan keturunan yang juga miskin dan
berpendidikan relatif rendah. Sebaliknya, kelompok orang-orang
kaya akan menghasilkan keturunan yang berpendidikan dan kaya
juga. Hal ini dikenal dengan transgenerational poverty (Zamroni,
2010)
Dalam banyak kasus pada keluarga miskin banyak anak
yang tidak bersekolah dan bekerja sebagai gantinya guna memenuhi
kebutuhan hidup. Pekerja anak adalah anak yang melakukan segala
jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat
mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan
serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak.
Pada dasarnya banyak faktor yang menjadi penyebab seorang anak
bekerja antara lain (Depnakertrans RI, 2005):
a. Faktor Ekonomi
Salah satu penyebab utama timbulnya pekerja anak adalah
kemiskinan. Ketidakmampuan ekonomi keluarga berpengaruh
26
pada produktifitas kerja menjadi rendah, gizi kurang, perawatan
kesehatan kurang sehingga hal ini mengakibatkan berkurangnya
kapasitas kerja, cepat lelah, rentan terhadap kecelakaan dan
penyakit. Anak terpaksa mengikuti jejak orang tuanya untuk
bekerja meskipun tanpa mempunyai bekal ketrampilan
dikarenakan penghasilan orangtua yang rendah.
b. Faktor Budaya/Tradisi/Kebiasaan
Suatu budaya dalam keluarga bahwa anak sejak usia muda
sudah melakukan pekerjaan atau sebagai pekerja. Tanpa disadari
para orangtua beranggapan bekerja sebagai pekerja anak sudah
merupakan tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat, anak
diperintahkan bekerja sebagai pekerja dengan alasan untuk
mendapatkan pendidikan dan persiapan terbaik untuk menghadapi
kehidupan dimasyarakat nantinya apabila anak tersebut sudah
dewasa
c. Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah dan ketidakberdayaan
ekonomi, orang tua cenderung berpikiran sempit terhadap masa
depan anaknya sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah
yang lebih tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan anak dimasa
datang. Situasi tersebut yang mendorong anak untuk memilih
menjadi pekerja anak.
Sedangkan White (2010) melihat fenomena pekerja anak
dalam ilmu sosial merupakan hal yang telah sejak zaman dahulu
terjadi dan menawarkan pendidikan menjadi salah satu cara
mengatasi persoalan pekerja anak di Indonesia.
“Di dalam pendidikan menyediakan sekolah yang berkualitas
dan gratis (dan didukung oleh beasiswa bersasaran)
setidaknya hingga usia 15 tahun, ketika anak-anak dapat
27
belajar kompetensi dan keterampilan hidup yang berguna
dengan cara-cara yang menyenangkan dan aman.”
2. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu akses pelayanan public dan lebih
dianggap sebagai public goods. Yaitu pemerintah memegang peranan
yang amat mendasar khususnya dalam penyediaan kesempatan belajar
dan tidak menutup kemungkinan untuk pihak swasta untuk
menyediakan tersebut (Marpaung, 2011).
Sarana dan sarana prasarana pendidikan harus disediakan secara
optimal baik sarana prasarana untuk pendidikan itu sendiri maupun
sarana prasana penunjang sehingga menunjang proses akses
masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Pembangunan prasarana
penunjang seperti jalan, listrik dan lain sebagainya yang mampu untuk
menambah pengetahuan masyarakat dan peningkatan ekonomi
masyarakat yang pada akhirnya akan menigkatkan akses masyarakat
untuk mendapatkan pendidikan (Marpaung, 2011).
3. Faktor Geografis
Faktor geografi dalam hal ini akan mempengaruhi faktor
penunjang lainnya. Keberadaan sebuah lokasi akan mempengaruhi
pembangunan secara fisik didaerah tersebut. Dalam hal ini faktor
geografis berbicara terkait jangkauan, jarak dan waktu terhadap
pelayanan pendidikan yang diberikan. Losch dalam Zahidy (2008)
mengemukakan tentang teori lokasi dan segi permintaan sebagai
variabel utama yang kemudian dikenal dengan teori keseimbangan
spasial. Keseimbangan spasial adalah melalui jauh dekat jaraknya,
Makin jauh jarak makin tinggi pula harganya dan makin tinggi harga
makin sedikit permintaannya.
Kondisi lokasi yang memiliki topografi berbukit dan derajat
kemiringan yang relatif tinggi memiliki persebaran pelayanan
28
pendidikan tidak merata dalam arti tidak setiap lokasi menjangkau
dengan mudah sarana pendidikan tersebut Zahidy (2008).
4. Faktor Motivasi
Mitogoro (1997) menyebutkan bahwa motif merupakan daya
dorong diri utama yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau
berperilaku. Motif dapat dikatakan sama dengan tujuan karena
mendorong seseorang untuk melakukan tujuan terterntu (Zahidy, 2008).
Sumber: Zahidy, 2008
Motif yang dimiliki oleh seseorang berbeda dengan orang lainnya.
Kadar motivasi yang dimiliki berbeda-beda tergantung subyeknya yaitu
ada yang kuat, lemah, dan ada juga yang paling kuat. Lebih lanjut
motivasi dapat diartikan sebagai keinginan seorang individu yang
merangsangnya untuk melakukan tindakan.
Sumber: Zahidy, 2008
Motivasi, menurut Abraham Maslow dalam Suryantini (2011)
mengacu pada lima kebutuhan yang disusun secara hirarkis yaitu:
a. Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah). Kebutuhan ini terlihat
dalam tiga hal pokok yaitu, sandang, papan, dan pangan.
Perilaku Motif/Kebutuhan Tujuan
Gambar 1.4 Hubungan Motif dan Kebutuhan
Paling kuat Agak kuat Lemah
Motif 1
1
Motif 2 Motif 3
Perilaku Tujuan
Gambar 1.5 Kadar Motivasi dalam Mencapai Tujuan
29
b. Kebutuhan keamanan dan kesalamatan kerja (Safety Needs). Kebutuhan
ini mengarah pada kesalamatan, ketentraman, dan jaminan seseorang
dalam kedudukan, status, wewenang, dan tanggungjawabnya.
c. Kebutuhan sosial (Sosial Needs). Kebutuhan ini mengarah pada
kebutuhan kasih sayang, bersahabat, kerjasama dalam suatu kelompok
atau antar individu.
d. Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs). Ketika ketiga kebutuhan
sebelumnya terpenuhi, maka timbulah kebutuhan harga diri untuk
seseorang mendapatkan penghargaan dari oranglain. Ketika kebutuhan
ini terpenuhi, orang tersebut akan percaya diri dan merasa berharga
sebgai individu di dunia ini.
e. Kebutuhan aktualisasi diri (Self actualization). Ketika empat kebutuhan
sebelumnya telah terpenuhi, maka hanya akan timbul kebutuhan
aktualisasi diri. Seseorang mengaktualisasikan dirinya, maksutnya
adalah seseorang melakukan apa yang yang memang harus ia lakukan
sebagai sesuatu. Misalnya adalah seorang pemusik harus bermain
musik, seorang penyair harus menulis, dan lain-lain.
Motivasi dalam pendidikan dapat dimiliki oleh orangtua, anak,
maupun, oleh pihak sekolah. Motivasi orangtua dalam memberikan
pendidikan anak dapat dilihat dari aspirasi pendidikan yang dimiliki.
Aspirasi orangtua dalam pendidikan anak adalah harapan atau
keinginan orangtua untuk mencapai tingkat pendidikan yang
diharapkan. Sedangkan Dimayati dan Mudjiono (1999) menyebutkan
bahwa aspirasi pendidikan disamakan dengan cita-cita, yaitu keinginan
yang ingin dicapai dan dapat berpengaruh pada kemauan dan semangat
belajar (Setyawati, 2015).
5. Faktor Budaya
Zahidy (2008) pada penelitiannya menemukan bahwa budaya yang
kurang mendukung terhadap pendidikan berasal dari keluarga dan
30
masyarakat. Budaya juga dapat berasal dari media baik cetak maupun
elektronik. Permasalahan budaya justru terjadi bila penyikapan
masyarakat tidak membedakan budaya yang sebenarnya tidak sesuai
dengan nilai dan norma. Hal tersebut akan berpangaruh terhadap
apresiasi masyarakat terhadap pendidikan.
Dalam suatu kasus di Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin,
ditemukan oleh Marpaung (2011) bahwa selain keharusan berkerja
yang menghambat aksesibilitas pendidikan kebudayaan yang mereka
anut juga membuat aksesibilitas terhadap pendidikan menjadi sangat
sulit, penghasilan yang mereka dapatkan banyak digunakan untuk
kepentingan menyenangkan sesaat dibandingkan dengan berinvestaasi
untuk mengantarkan anaknya kejenjang yang lebih tinggi terlihat dari
observasi ada keluarga yang anaknya tidak sekolah sementara
dirumahnya masih memiliki perlengkapan seperti televisi, VCD, tape
rekorder dan lainnya. Faktor kebudayaan menikahkan anaknya muda
menjadi faktor yang selalu menghambat anak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak.
6. Faktor Lingkungan
Zahidy (2008) pada penelitiannya menemukan bahwa lingkungan
yang kurang mendukung pendidikan dalam arti sosial dimana sesama
teman (sebaya) banyak yang tidak sekolah, tingkat pendidikan
masyarakat rendah/tidak tamat SD, lingkungan yang miskin sehingga
orang tua kurang peduli terhadap pendidikan dan lebih fokus pada
pemenuhan fisiologis dan mempersepsikan sekolah sebatas kebutuhan
sosial.
1.6.4 Kerangka Pemikiran
Pemenuhan hak anak atas pendidikan merupakan dasar pemikiran
dari penelitian ini. Hak anak atas pendidikan merupakan salah satu hak
dari sekian banyak hak yang telah di atur dalam peraturan internasional
31
maupun nasional. Hasil akhir yang ingin didapatkan dari penelitian ini
adalah pengaruh akses yang diberikan oleh pemerintah dan orangtua atau
wali terhadap keadaan pendidikan yang dilihat dari indikator akses
pendidikan setempat. Berikut merupakan kerangka pemikiran penelitian
yang disajikan dalam Gambar 1.5.
Gambar 1.6 Kerangka Pikir Penelitian