16
Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 2: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

1

MEMBUKA BELANTARA MENJADI KOTA:

PEMBENTUKAN PALANGKARAYA SEBAGAI IBU KOTA

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH 1957—1965

Johan Candra Sasmita, Ita Syamtasiyah Ahyat

Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Jawa Barat,

Indonesia

E-Mail: [email protected]

Abstrak Ketika pemerintah membentuk Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun

1957, Pahandut yang dipilih sebagai ibu kota belum siap melaksanakan fungsinya tersebut karena belum dibangunnya

sarana dan prasarana yang representatif. Sambil menunggu pembangunan di Pahandut, untuk sementara waktu, ibu kota

berkedudukan di Banjarmasin. Pada 1959, kedudukan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dari Banjarmasin pindah

ke Palangkaraya, yaitu nama baru Pahandut. Sesuai dengan kedudukannya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan

Tengah, maka pemerintah daerah segera melakukan pembenahan Palangkaraya, dimulai dari pemekaran wilayah

administrasi, pembentukan kecamatan, dan penataan kampung-kampung. Sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1957, Palangkaraya merupakan kotapraja administratif, yaitu kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan wilayah

atau daerah tertentu. Oleh karena keinginan untuk mengatur rumah tangganya sendiri secara mandiri, pemerintah daerah

Kotapraja Administratif Palangkaraya berusaha meningkatkan statusnya menjadi kotapraja otonom. Usaha ini terwujud

pada 1965 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1965.

City of the Forest:

The Founding of Palangkaraya as the Capital of Province of Central Borneo 1957—1965

Abstract

When the government of Republic of Indonesia established the Province of Central Borneo by Emergency Law No. 10

Year 1957, Pahandut chosen as the capital is not ready to perform its function as the construction of facilities and

infrastructure has not representative. While waiting for construction in Pahandut, for a time, the capital located in

Banjarmasin. In 1959, the seat of the local government of Central Borneo moved to Palangkaraya, the new name for

Pahandut. In keeping with its position as the capital of Province of Central Borneo, the local government immediately

make city reform of Palangkaraya, starting from the expansion of administrative region, the formation of the district,

and the arrangement of the villages. As enumurated under Law No. 1 Year 1957, Palangkaraya is administrative

municipality, i.e. the city who serves as the administrative center of the region. Because of the people aspiration to set

up their own household independently, Administrative Municipality of Palangkaraya try to improve the status to a

autonomous municipality. This effort was realized in 1965 under Law No. 5 Year 1965.

Keywords: forest, city, capital, the founding of city, province, Palangkaraya, Central Borneo.

Pendahuluan Konsep perencanaan kota dapat disinergikan dengan

ilmu sejarah, khususnya sejarah kota. Menurut

Kuntowijoyo, permasalahan yang menjadi bidang

kajian sejarah kota sesungguhnya sangat luas sekali,

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 3: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

2

seluas sejarah sosial sendiri, sehingga kadang orang

menjadi heran apa saja yang tidak termasuk sejarah

kota (Kuntowijoyo, 2003: 63). Oleh karena keluasan

itu, kota hanya berfungsi sebagai lokasi bagi kajian

sejarah yang bermacam-macam, seperti sejarah lokal,

politik, ekonomi, demografi, dan sebagainya. Hal ini

dapat menimbulkan kekacauan dan tumpang tindih

antara sejarah kota dan bidang sejarah lainnya. Sebagai

solusinya, perlu dibuat pembatasan dalam bidang

garapan sejarah kota.

Kuntowijoyo membagi bidang garapan sejarah kota

menjadi lima, yaitu perkembangan ekologi kota,

transformasi sosial ekonomis, sistem sosial, problem

sosial, dan mobilitas sosial. Kelima bidang tersebut

hanya dapat diteliti secara lebih mendalam pada suatu

kota yang struktur sosialnya sudah terbentuk. Pada

penulisan ini, kota yang dikaji adalah kota baru yang

sengaja dibangun dari awal sehingga lebih berfokus

pada proses pembentukannya, yaitu Palangkaraya.

Sebelum dibentuk Palangkaraya, sudah terdapat embrio

kota yang memiliki struktur sosial, yakni Kampung

Pahandut yang masyarakatnya beretnis Dayak.

Meskipun demikian, pembangunan pusat kota

dilakukan di lokasi baru yang masih berupa hutan,

berjarak sekitar satu kilometer dari Kampung

Pahandut.

Sebagai daerah pemekaran dari Provinsi Kalimantan

Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah belum

membangun ibu kota di lokasi yang telah ditetapkan

Undang-Undang, yakni Pahandut, sehingga untuk

sementara, ibu kota berkedudukan di ibu kota provinsi

induknya, yaitu Banjarmasin. Sebelum Pahandut—

yang kemudian berganti nama menjadi Palangkaraya—

ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan

Tengah, tiga kabupaten (Kotawaringin, Barito, dan

Kapuas) pembentuk provinsi tersebut mengusulkan

daerahnya masing-masing sebagai lokasi calon ibu

kota. Dari hal tersebut, masalah yang hendak dikaji

adalah bagaimana kesukaran dan kemudahan dalam

pembentukan Palangkaraya sebagai ibu kota Provinsi

Kalimantan Tengah 1957—1965. Beberapa pertanyaan

penelitian seputar permasalahan tersebut adalah

sebagai berikut.

1. Bagaimana tata pemerintahan sebelum

pembentukan Palangkaraya?

2. Bagaimana cikal bakal dan perkembangan embrio

Palangkaraya?

3. Bagaimana pembangunan fisik dan struktur

pemerintahan Palangkaraya?

Pembentukan Palangkaraya tidak dapat dipisahkan dari

sejarah pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah.

Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk berdasarkan

Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957

tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi

Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-

Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Barat,

Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. UU

Darurat yang menjadi dasar pembentukan Provinsi

Kalimantan Tengah ini bertanggal 23 Mei 1957

sehingga setiap tanggal 23 Mei diperingati sebagai hari

jadi Provinsi Kalimantan Tengah.

Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa ibu kota

Provinsi Kalimantan Tengah adalah Pahandut.

Sebelum Pahandut ditetapkan sebagai ibu kota

provinsi, terdapat perselisihan pendapat mengenai

wilayah yang tepat untuk menjadi ibu kota provinsi.

Seluruh kabupaten yang nantinya akan membentuk

satu Provinsi Kalimantan Tengah mengusulkan

daerahnya masing-masing sebagai ibu kota provinsi.

Seluruhnya ada tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Barito

menghendaki lokasi ibu kota di Muarateweh atau

Buntok; Kabupaten Kapuas menghendaki lokasi ibu

kota di Kapuas atau Pulang Pisau; dan Kabupaten

Kotawaringin menghendaki lokasi ibu kota di Sampit

atau Pangkalanbun.

Melihat kondisi demikian, Gubernur Pembentuk

Propinsi Kalimantan Tengah yang dijabat Gubernur

Kalimantan, R.T.A. Milono, mengambil kebijakan

membentuk satu panitia untuk merumuskan dan

mencari di mana daerah atau tempat yang pantas dan

wajar untuk dijadikan ibu kota Provinsi Kalimantan

Tengah. Sungai Kahayan dijadikan sasaran penelitian

dan survei lapangan. Panitia juga mengadakan rapat-

rapat dengan para tokoh Kalimantan Tengah dan

pejabat tingkat Kalimantan, baik sipil maupun militer,

di Banjarmasin. Panitia memperoleh kesimpulan

sementara bahwa sekitar desa Pahandut, di kampung

Bukit Jekan dan sekitar Bukit Tangkiling ditetapkan

untuk calon ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah atas

dasar alasan politis, strategis, dan ekonomis

(Depdikbud, 1992: 58—59).

Awal rancangan kota tersebut dilaksanakan dengan

peletakan tiang pancang pembangunan ibu kota

Provinsi Kalimantan Tengah oleh Presiden Sukarno

pada 17 Juli 1957. Dengan dipancangnya tiang

tersebut, daerah yang tadinya hutan belantara kini

menjadi Kota Palangka Raya. Kedudukan tiang

pancang tersebut cenderung berada di tengah-tengah

wilayah Republik Indonesia.

Beberapa buku sangat membantu dalam penulisan ini.

Urban Planning (1988) yang dieditori Anthony J.

Catanese dan James C. Snyder (diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia oleh Wahyudi dan Tim Editor

Penerbit Erlangga menjadi Perencanaan Kota [Jakarta:

Penerbit Erlangga, 1989]) merupakan buku yang secara

komprehensif membahas segi teknis perencanaan kota.

Buku Sejarah Sosial Palangka Raya (Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 4: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

3

Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1992) memuat

uraian tentang sejarah Kota Palangka Raya berikut

mobilitas penduduknya. Buku Memperkenalkan

Kalimantan Tengah dan Pembangunan Kota Palangka

Raja (Palangka Raja: Percetakan Pemda Kalteng,

1962) disusun oleh Tjilik Riwut secara singkat

mengenai kondisi ekologi, geografi, demografi,

infrastruktur, dan kebudayaan masyarakat Dayak di

Kalimantan Tengah pada umumnya dan Palangkaraya

pada khusunya.

Tata Pemerintahan Sebelum Pembentukan

Palangkaraya

Dalam sejarahnya, masyarakat Dayak sudah memiliki

daerah pemerintahan sendiri sejak masa kolonialisme.

Kemudian, pada masa pasca-kemerdekaan, mereka

tetap menginginkan status pemerintahan tersebut

setelah pemerintah memutuskan hanya membentuk

satu provinsi di Pulau Kalimantan, yaitu Provinsi

Kalimantan. Keinginan ini semakin menguat ketika

Provinsi Kalimantan dimekarkan menjadi tiga, yaitu

Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan

Kalimantan Selatan. Dua etnis terbesar di Kalimantan

Selatan adalah etnis Banjar dan Dayak. Timbul

kesadaran etnis Dayak untuk membuat daerah

pemerintahan sendiri yang terpisah dari Kalimantan

Selatan yang sebagian besar pejabat pemerintahnya

berasal dari etnis Banjar. Pembentukan Provinsi

Kalimantan Tengah dan Palangkaraya sebagai ibu

kotanya adalah simbol usaha masyarakat Dayak dalam

memperjuangkan aspirasi politik mereka.

Pada 1787, Sultan Banjarmasin Tahmidullah II

menyerahkan kemerdekaan dan kedaulatan kerajaan

kepada VOC yang ditandai dengan ―akta penyerahan‖

(acte van afstand) tertanggal Kayutangi, 17-8-1787.

Akta penyerahan tersebut ditandatangani oleh Sultan

Tahmidullah II di depan Residen Walbeck. Hal ini

terjadi setelah Sultan Tahmidullah II berhasil

menguasai takhta kerajaan dengan bantuan VOC.

Sebagai imbalannya, Kerajaan Banjarmasin menjadi

daerah taklukan VOC (Depdikbud, 1978: 27).

Berdasarkan akte penyerahan tersebut, Sultan juga

menyerahkan status wilayah kekuasaannya termasuk

Daerah Dayak (Dajaksche Provintien), yang kini

menjadi wilayah Provinsi Kalimantan Tengah ke

bawah kekuasaan VOC.

Berdasarkan Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1938

No. 68, dibentuk Gubernemen Borneo yang terdiri dari

dua keresidenan, yaitu Westerafdeling van Borneo

(Kalimantan Barat) yang beribu kota di Pontianak dan

Zuider en Oosterafdeling van Borneo (Kalimantan

Selatan dan Timur) yang beribu kota di Banjarmasin.

Khusus untuk Zuider en Oosterafdeling van Borneo

dibagi atas lima afdeeling, yaitu Banjarmasin (4

onderafdeeling), Hulu Sungai (5 onderafdeeling),

Kapuas Barito (6 onderafdeeling), Samarinda (5

onderafdeeling), dan Bulungan Berau (5

onderafdeeling).

Ketika kemerdekaan Republik Indonesia

diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, wilayah

Republik Indonesia yang disepakati oleh PPKI (Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia) meliputi bekas

wilayah kolonial Hindia-Belanda sebelum Perang

Dunia II. Wilayah itu pada 19 Agustus 1945 ditetapkan

secara administratif dibagi atas delapan provinsi, yaitu

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera,

Sulawesi, Sunda Kecil, Kalimantan, dan Maluku

(Setneg RI, 1995: 510).

Pada 1953 keluar Undang-Undang Darurat Nomor 2

Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Otonom

Propinsi Kalimantan dan Undang-Undang Darurat

Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan (Resmi)

Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat

Kabupaten dan Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi

Kalimantan. Pada 1956, Provinsi Kalimantan

dimekarkan menjadi tiga provinsi berdasarkan Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan

Daerah-daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat,

Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Selain bentuk pemerintahan formal, masyarakat Dayak

menerapkan sistem Pemerintahan tradisional

masyarakat Dayak yang disebut ―kedamangan‖ (Tabat,

2008: 7). Kedamangan ini sudah ada sejak sebelum

masa kolonialisme dan merupakan warisan budaya asli

suku Dayak di Kalimantan Tengah. Pada umumnya

suatu kedamangan dipimpin oleh perangkat kepala adat

yang disebut ―damang‖, yaitu pejabat yang mengurusi

soal-soal adat. Kedamangan merupakan lembaga adat

tradisional yang bercorak sosial religius dan

mempunyai pemerintahan yang bersifat otonom

berdasarkan hak asal usul. Dalam melaksanakan

tugasnya seorang damang didampingi oleh let adat

(pembantu damang) dan dibantu jurutulis (sekretaris).

Kampung Pahandut

Kampung Pahandut merupakan salah satu kampung

tertua di daerah aliran sungai Kahayan bagian hilir,

seperti halnya kampung Maliku, Pulang Pisau, Buntoi,

Penda Alai, dan Gohong. Oleh karena keadaan tanah

lahan bertani dan berkebun di Lewu Rawi tidak cocok,

pasangan suami istri Bayuh dan Kambang memutuskan

untuk mencari kawasan lain. Mereka kemudian milir

(mendayung perahu ke arah hilir) menyusuri Sungai

Kahayan hingga akhirnya menemukan tempat yang

cocok untuk kegiatan pertanian. Kabar tentang tanah

yang cocok untuk kegiatan pertanian serta perbaikan

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 5: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

4

kehidupan suami istri tersebut terdengar oleh warga

masyarakat Lewu Rawi yang lain sehingga banyak

sanak keluarga yang berasal dari kampung tersebut

bahkan bahkan warga dari kampung lain mengikuti

jejak Bayuh dan Kambang pindah ke daerah baru itu

(Depdikbud, 1992: 59).

Dalam perkembangannya, tempat tersebut berubah

menjadi kawasan memetik hasil hutan (bahasa Dayak

Ngaju: eka satiar, sekaligus membuka lahan untuk

bertani, yang disebut eka malan) kemudian

berkembang menjadi tempat berusaha bertani dan

berkebun lalu menjadi tempat permukiman. Dalam

bahasa Dayak Ngaju, hal yang demikian dinamakan

eka badukuh. Warga menyebutnya Dukuh ain Bayuh,

singkatnya permukiman itu disebut Dukuh Bayuh.

Dengan semakin ramainya Dukuh Bayuh, maka

namanya kemudian berubah menjadi Lewu

(kampung/desa) Bayuh dengan Bayuh sebagai kepala

kampung (pembakal).

Terdapat seorang tokoh yang disegani oleh seluruh

warga masyarakat Lewu Bayuh karena mempunyai

kelebihan yang sangat menonjol. Sang tokoh dianggap

memiliki ―kesaktian‖ dan ―ilmu‖ serta oleh masyarakat

setempat dipercaya sebagai ―orang pintar‖. Masyarakat

Lewu Bayuh bahkan masyarakat dari daerah lain sering

minta pertolongan pada sang tokoh tentang berbagai

hal. Sang tokoh tersebut mempunyai anak sulung laki-

laki yang bernama Handut. Sesuai adat orang Dayak

Ngaju yang menganut teknonimi, yakni sepasang

suami istri yang sudah berumah tangga dan sudah

mempunyai anak, biasa disapa (dipanggil) secara akrab

memakai nama anak sulung, maka tokoh Lewu Bayuh

itu sering disapa ―Bapak Handut‖. Ketika usianya

sudah lanjut, Bapak Handut sering sakit-sakitan. Warga

Lewu Bayuh merasa cemas dan prihatin atas

penderitaan sang tokoh yang mereka hormati.

Akhirnya, wafatlah Bapak Handut diiringi kesedihan

warga. Guna mengenang dan menghormati sang tokoh

yang sangat berpengaruh tersebut, semua warga

masyarakat menyetujui Lewu Bayuh diubah namanya

menjadi Lewu Pahandut (yang berasal dari kata Bapak

Handut, panggilan akrab sang tokoh). Siapa nama asli

Bapak Handut itu belum diketahui.

Menurut KMA Usop, pada 1894 ketika diadakan rapat

Tumbang Anoi, di kampung Pahandut telah berdiri

sebanyak delapan buah rumah panjang (betang, rumah

adat suku Dayak) yang seluruhnya menghadap Sungai

Kahayan. Jika satu rumah betang berisi lima keluarga,

maka paling sedikit Kampung Pahandut pada waktu itu

telah dihuni oleh 40 keluarga (Usop, 1996: 21). Ini

menandakan bahwa kampung itu sudah cukup ramai

Awal Pembentukan Provinsi Kalimantan

Tengah

Keinginan masyarakat Dayak untuk mempunyai daerah

otonom sendiri sudah muncul sejak lama, jauh sebelum

Indonesia Merdeka. Sejalan dengan tingkat perjuangan

pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia

yang sangat bergelora menjelang abad ke-20

(mendekati Perang Dunia II) dan secara nasional

ditandai dengan tuntutan ―Indonesia Berparlemen’’.

Suku Dayak Kalimantan Tengah melalui organisasi

Pakat Dayak (PD) mengeluarkan resolusi mendukung

tuntutan Gabungan Partai-partai Politik Indonesia

(GAPKI) demi terlaksananya Indonesia Berparlemen

itu (Pemprop Dati I Kalteng, 1997: 27).

Resolusi itu disampaikan langsung kepada anggota

Volksraad/Tim Komisi Visman pimpinan R.A.A.

Soejoeno ketika datang di Banjarmasin pada akhir

tahun 1940. Resolusi Pakat Dayak yang disampaikan

oleh Ketua Pengurus Besar PD, Mahir Mahar,

didampingi oleh Sekretaris E.S. Honduran juga berisi

tuntutan terbentuknya daerah otonom bagi Tanah

Dayak. Namun, tidak ada tanggapan konkret atas

resolusi tersebut. Hanya diberikan janji akan dibentuk

Kantoor Adviseur Voor Dajakse Zaken di Banjarmasin

yang dikatakan sebagai langkah pertama untuk

persiapan menuju terbentuknya suatu provinsi otonom

Dayak di Kalimantan. Namun, janji tersebut tidak

terlaksana sampai Pemerintah Hindia Belanda

menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret

1942).

Pada masa kemerdekaan, yakni sesudah penyerahan

kedaulatan 27 Desember 1949, pemerintah Republik

Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 yang menetapkan

pembagian wilayah RIS atas sepuluh provinsi yang

salah satunya adalah Provinsi Kalimantan. Provinsi

Kalimantan terdiri dari tiga keresidenan, yaitu

Keresidenan Kalimantan Barat, Keresidenan

Kalimantan Selatan, dan Keresidenan Kalimantan

Timur (Kementerian Penerangan, 1953: 88).

Eks Daerah Otonom Dayak Besar dan Swapraja

Kotawaringin dibentuk menjadi tiga kabupaten,

Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito, dan Kabupaten

Kotawaringin yang bersama dengan Daerah Otonom

Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara

digabungkan ke dalam Keresidenan Kalimantan

Selatan. Setelah dibentuk Provinsi Kalimantan itu,

maka sejak tahun 1952 telah muncul tuntutan dari

rakyat di tiga kabupaten, yaitu Kapuas, Barito, dan

Kotawaringin, agar tiga kabupaten tersebut dibentuk

menjadi satu provinsi otonom dengan nama Propinsi

Kalimantan Tengah. Tuntutan yang demikian terus

disampaikan baik kepada pemerintah daerah

Kalimantan maupun kepada pemerintah pusat (Riwut,

1958: 100—120).

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 6: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

5

Tuntutan pembentukan provinsi otonom Kalimantan

Tengah yang meliputi tiga kabupaten itu menjadi

semakin kuat dan jelas karena keinginan rakyat yang

sangat kuat. Pada awal tahun 1954, para warga asal tiga

kabupaten itu membentuk Panitia Penyalur Hasrat

Rakyat Kalimantan Tengah (PPHRKT) yang

berkedudukan di Banjarmasin. PPHRKT dipimpin oleh

C.C. Brahim sebagai ketua umum dan J.M. Nahan

sebagai sekretaris umum. Langkah ini kemudian diikuti

dengan pembentukan PPHRKT daerah pada setiap

kabupaten yang bersangkutan. Selanjutnya, PPHRKT

menjadi pusat penyaluran aspirasi partai politik,

organisasi massa, dan berbagai golongan yang

menghendaki pembentukan provinsi otonom

Kalimantan Tengah.

Ternyata aspirasi rakyat Kalimantan Tengah belum

dapat dipenuhi oleh pemerintah pusat maupun oleh

parlemen. Ini diketahui saat berlangsungnya

pembahasan RUU tentang pembentukan tiga provinsi

di Kalimantan. Alasan yang dikemukakan atas

penolakan tersebut di antaranya adalah potensi

ekonomi wilayah di tiga kabupaten yang diusulkan

untuk dijadikan Propinsi Kalimatan Tengah itu masih

belum mampu untuk membiayai urusan rumah tangga

daerah sebagai daerah otonom; keadaan keuangan

negara saat itu belum mengizinkan untuk membentuk

propinsi baru; dan masih kekurangan sumber daya

manusia di daerah itu terutama yang terampil dan

terdidik untuk tugas penyelenggaraan pemerintah dan

pembangunan daerah (Riwut, 1993: 58).

Dengan disahkannya UU No. 25 Tahun 1956 tentang

Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Propinsi

Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan

Timur itu, rakyat Kalimantan Tengah merasa kurang

puas dan tetap mendesak pemerintah pusat agar

pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah segera

direalisasikan. Aspirasi rakyat Kalimantan Tengah

yang tidak memperoleh perhatian dari pemerintah

pusat akhirnya berlarut-larut tanpa ada kepastian.

Akhirnya, timbullah pergolakan dan tindakan

kekerasan yang menjurus pada perlawanan fisik berupa

gerakan bersenjata yang menimbulkan gangguan

keamanan. Gerakan perlawanan yang paling kuat

adalah Gerakan Mandau Telawang Pantjasila Sakti

(GMTPS ) yang dipimpin oleh Christian Simbar.

Sementara itu, di samping gerakan bersenjata,

perjuangan secara politis juga ditempuh oleh tokoh

pejuang saat itu dari berbagai golongan masyarakat

dari berbagai aliran yang hidup di dalam masyarakat

untuk mencapai status provinsi sendiri. Puncaknya

adalah pelaksanaan Kongres Rakyat Kalimantan

Tengah yang dilangsungkan di Banjarmasin dari 2—5

Desember 1956. Kongres tersebut dipimpin oleh Ketua

Presidium M. Mahar dan tokoh masyarakat Kalimantan

Tengah lainnya serta dihadiri oleh 600 orang utusan

yang mewakili segenap rakyat dari seluruh Kalimantan

Tengah.

Kongres berhasil melahirkan resolusi yang dikeluarkan

pada 5 Desember 1956. Resolusi itu berbunyi,

―Mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia

agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, dengan

pengertian sebelum terlaksananya Pemilihan Umum

untuk Dewan Perwakilan Rakyat, Kalimantan Tengah

sudah dijadikan suatu Propinsi Otonom‖ (Riwut, 1993:

61).

Untuk menindaklanjuti keputusan kongres terutama

tentang resolusi mendesak segera terbentuknya

provinsi otonom Kalimantan Tengah, dibentuk Dewan

Rakyat Kalimantan Tengah. Dewan Rakyat

Kalimantan Tengah mengirim utusannya menghadap

Gubernur Kalimantan Raden Tumenggung Aria (RTA)

Milono. Selanjutnya, utusan Dewan Rakyat

Kalimantan Tengah bersama dengan Gubernur

Kalimantan RTA Milono menghadap pemerintah pusat

untuk menyampaikan keputusan tuntutan Kongres

Rakyat Kalimantan Tengah. Bersama Gubernur,

Dewan Rakyat Kalimantan Tengah memberikan

penjelasan-penjelasan guna memperoleh pengertian

dan persesuaian pendapat dengan pihak pemerintah

pusat c.q. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.

Perlu disampaikan di sini, bahwa UU No. 25 Tahun

1956 belum berlaku sehingga pada waktu itu hanya ada

satu gubernur untuk seluruh Kalimantan, yaitu R.T.A.

Milono.

Pada 10 Desember 1956, Ketua Koordinasi Keamanan

Daerah Kalimantan/Gubernur Kalimantan, R.T.A.

Milono, menyampaikan pengumuman tentang

terbentuknya Propinsi Kalimantan Tengah yang

meliputi daerah-daerah Kabupaten Barito, Kabupaten

Kapuas, dan Kabupaten Kotawaringin. Dengan

demikian, tuntutan rakyat Kalimantan Tengah

dianggap telah tercapai (Riwut, 1993: 61).

Dalam pada itu, sebagai tindak lanjut atas adanya

saling pengertian dan persesuaian pendapat antara

utusan Dewan Rakyat Kalimantan Tengah dengan

pemerintah pusat, maka pada 28 Desember 1956,

Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan

Nomor U.P.34/41/24, yang antara lain menyatakan

terbentuknya Kantor Persiapan Pembentukan Propinsi

Kalimantan Tengah yang berkedudukan langsung di

bawah Kementerian Dalam Negeri. Kantor persiapan

tersebut untuk sementara ditempatkan di Banjarmasin

serta ditunjuk 21 orang personel sebagai pelaksana dan

sementara berkantor di Kantor Gubernur Kalimantan.

Gubernur RTA Milono ditunjuk sebagai Gubernur

Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah. Pelaksanaan

tugas-tugas yang menyangkut urusan pemerintah pusat

bertanggung jawab langsung kepada Menteri Dalam

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 7: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

6

Negeri, sedangkan urusan daerah otonom bertanggung

jawab kepada Gubernur Kepala Daerah Kalimantan

Selatan. Selanjutnya Tjilik Riwut (pada waktu itu

menjabat sebagai residen pada Kementerian Dalam

Negeri) dan G. Obus, Bupati Kepala Daerah Kapuas,

ditugaskan membantu Gubernur Pembentuk Propinsi

Kalimantan Tengah di Banjarmasin, sekaligus Bupati

G. Obus diangkat sebagai Kepala Kantor Persiapan

Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah. Drs.

F.A.D. Patianom ditunjuk sebagai sekretaris Kantor

Persiapan Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah.

Residen Tjilik Riwut dan Bupati G. Obus membantu

Gubernur RTA Milono agar pembentukan Propinsi

Otonom Kalimantan Tengah dapat terlaksana dalam

waktu secepatnya.

Pencarian Lokasi Ibu Kota Provinsi

Gubernur R.T.A. Milono selaku Gubernur Pembentuk

Propinsi Kalimantan Tengah beserta para pembantunya

serta tokoh-tokoh masyarakat Kalimantan Tengah pada

umumnya mempunyai keinginan untuk selekas

mungkin berada di tengah-tengah rakyat Kalimantan

Tengah sendiri. Namun, ibu kota provinsi yang baru

dibentuk itu belun ditetapkan. Seluruh kabupaten yang

nantinya akan membentuk satu Provinsi Kalimantan

Tengah mengusulkan daerahnya masing-masing

sebagai ibu kota provinsi. Seluruhnya ada tiga

kabupaten, yaitu

a. Kabupaten Barito menghendaki lokasi ibu kota di

Muarateweh atau Buntok;

b. Kabupaten Kapuas menghendaki lokasi ibu kota

di Kuala Kapuas atau Pulang Pisau; dan

c. Kabupaten Kotawaringin menghendaki lokasi ibu

kota di Sampit atau Pangkalanbun.

Melihat kondisi demikian, RTA Milono mengambil

kebijakan membentuk satu panitia untuk merumuskan

dan mencari di mana daerah atau tempat yang pantas

dan wajar untuk dijadikan ibu kota Provinsi

Kalimantan Tengah. Panitia yang dibentuk pada 23

Januari 1957 itu terdiri dari

a. Mahir Mahar (Ketua Kongres Rakyat Kalimantan

Tengah), sebagai ketua panitia merangkap

anggota;

b. C. Mihing (pegawai/pejabat pada Jawatan

Penerangan Propinsi Kalimantan Tengah di

Banjarmasin), sebagai sekretaris merangkap

anggota;

c. Tjilik Riwut (residen pada Kementerian Dalam

Negeri diperbantukan pada Gubernur Pembentuk

Propinsi Kalimantan Tengah), sebagai anggota;

d. G. Obus (Bupati Kapuas dan Kepala Kantor

Persiapan Pembentukan Propinsi Kalimantan

Tengah diperbantukan pada Gubernur Pembentuk

Propinsi Kalimantan Tengah), sebagai anggota;

dan

e. E. Kamis (pensiunan Korps Pamong Praja),

sebagai anggota.

Sebagai penasihat ahli, ditetapkan:

a. R. Moenasier, Kepala Dinas Pekerjaan Umum

Persiapan Propinsi Kalimantan Tengah;

b. Ir. D.A.W. van Der Pijl, Kepala Bagian Gedung-

gedung, Dinas Pekerjaan Umum Persiapan

Propinsi Kalimantan Tengah (Riwut, 1979: 98).

Survei lapangan, antara lain dilakukan dengan

menggunakan helikopter. Sungai Kahayan dijadikan

sasaran penelitian. Panitia juga mengadakan rapat-rapat

dengan para tokoh Kalimantan Tengah dan pejabat

tingkat Kalimantan, baik sipil maupun militer, di

Banjarmasin. Panitia memperoleh kesimpulan

sementara bahwa sekitar desa Pahandut, di kampung

Bukit Jekan dan sekitar Bukit Tangkiling ditetapkan

untuk calon ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.

Masyarakat Pahandut sendiri tidak mengusulkan

daerahnya untuk dijadikan lokasi calon ibu kota

provinsi. Mahir Mahar-lah yang mengusulkan

Pahandut kepada panitia sebagai jalan tengah.

Terdapat beberapa alasan yang menjadi dasar

pemilihan tempat tersebut menjadi lokasi ibu kota

calon Provinsi Kalimantan Tengah.

a. Alasan politis. Pahandut dipilih karena demi

keadilan dan menjaga agar jangan sampai terjadi

keributan di antara tokoh dan masyarakat yang

telah mengusulkan daerahnya sebagai ibu kota

Provinsi Kalimantan Tengah;

b. Alasan geografis. Panitia berpendapat bahwa

alangkah baiknya jika calon ibu kota berada di

tengah-tengah masyarakat Kalimantan Tengah

seluruhnya sehingga memberikan kemudahan

dalam pelaksanaan pimpinan dan koordinasi pada

masa yang akan datang. Masyarakat Kalimantan

Tengah diharapkan memiliki satu kota baru yang

dibangun di tengah-tengah hutan rimba dengan

kekuatan bangsa sendiri di alam merdeka. Secara

geografis, Pahandut yang berada di tengah-tengah

Pulau Kalimantan relatif aman dari ancaman

bencana alam seperti gempa.

c. Alasan ekonomis. Oleh karena Pahandut terletak

di tengah-tengah, maka biaya pengawasan,

pengendalian, dan perjalanan ke daerah lainnya di

Kalimantan Tengah menjadi tidak begitu tinggi,

demikian pula bagi penghematan waktu dan

tenaga. Lahan di sekitar Pahandut yang cukup

luas, rata, dan keras—dibandingkan dengan

kondisi tanah di Kalimantan yang umumnya

berupa tanah gambut—memudahkan

dilaksanakannya pembangunan fisik seperti

pembuatan jalan raya dan perluasan kota.

Tentunya hal ini akan berdampak ekonomi

terhadap masyarakat (Depdikbud, 1992: 58—59).

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 8: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

7

Setelah Pahandut terpilih oleh panitia sebagai lokasi

ibu kota calon Provinsi Kalimantan Tengah,

pemerintah pada 23 Mei 1957 mengeluarkan Undang-

Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang

Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan

Tengah dan Perubahan Undang-Undang Nomor 25

Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah

Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan

Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara

Tahun 1957 Nomor 53). Dalam pasal 1 ayat (1)

disebutkan bahwa Kabupaten Barito, Kapuas, dan

Kotawaringin dipisahkan dari lingkungan Provinsi

Kalimantan Selatan untuk dibentuk menjadi daerah

swatantra tingkat ke-1 dengan nama ―Propinsi

Kalimantan Tengah‖.

Mengenai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, diatur

dalam pasal 2, yaitu ayat (1): Ibukota Propinsi

Kalimantan Tengah adalah Pahandut. Untuk sementara

waktu pemerintah daerah Swatantra Propinsi

Kalimantan Tengah berkedudukan di Banjarmasin;

ayat (2): Jika perkembangan keadaan di daerah

menghendakinya, maka atas usul Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Propinsi dengan keputusan Presiden,

ibukota tempat kedudukan pemerintah daerah Propinsi

Kalimantan Tengah dapat dipindahkan ke lain tempat

dalam wilayahnya; ayat (3): Dalam keadaan darurat

tempat kedudukan pemerintah daerah Propinsi untuk

sementara waktu oleh Kepala Daerah yang

bersangkutan dapat dipindahkan ke lain tempat.

Dalam bagian penjelasan Undang-Undang Darurat

tersebut, disebutkan bahwa Pahandut dipilih sebagai

ibu kota tempat kedudukan pemerintah daerah Provinsi

Kalimantan Tengah karena dipandang dari segi

pemerintahan letaknya menguntungkan dibandingkan

dengan tempat-tempat lain di daerah itu, dari Pahandut

dapat dipelihara perhubungan dengan bagian-bagian

lainnya dari provinsi dengan lebih cepat. Selain itu,

Pahandut lebih menguntungkan dilihat dari sudut

kepentingan pembangunan dan perluasan kota serta

kesehatan rakyat. Namun, oleh karena pembangunan

gedung-gedung untuk kantor-kantor dan perumahan

pegawai di Pahandut dan lain-lain persiapan yang perlu

untuk membuat tempat tersebut dapat dipakai sebagai

ibu kota provinsi membutuhkan waktu yang agak lama,

maka untuk sementara waktu tempat kedudukan

pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah

ditetapkan di Banjarmasin, ibu kota provinsi induk

Kalimantan Selatan.

Setelah Pahandut resmi ditetapkan sebagai ibu kota

Provinsi Kalimantan Tengah, RTA Milono

menugaskan panitia yang sama dengan panitia yang

mencari dan merumuskan calon ibu kota Provinsi

Kalimantan Tengah untuk mencari nama bagi ibu kota

Provinsi Kalimantan Tengah agar sesuai dengan

maksud dan tujuan dari pembangunan kota tersebut

(Riwut, 1979: 114). Panitia mengumpulkan berbagai

pendapat dari bermacam-macam kalangan, antara lain

para tokoh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah

seperti Damang H.S. Tundjan, Damang Saililah, dan

Tjilik Riwut, termasuk saran dan pandangan dari RTA

Milono sebagai Gubernur Pembentuk Propinsi

Kalimantan Tengah.

Akhirnya, nama ibu kota itu berhasil disepakati dan

disetujui sepenuhnya oleh Gubernur RTA Milono.

Kepastian tentang nama itu akan diumumkan sendiri

olehnya. Dengan didahului upacara adat dari suku

Dayak yang bertempat di lapangan Bukit Ngalangkang,

Pahandut, pada 18 Mei 1957 diumumkan nama ibu

kota Provinsi Kalimantan Tengah. RTA Milono dalam

pidatonya, antara lain mengemukakan cita-cita beliau

bahwa untuk memberi nama ibu kota Provinsi

Kalimantan Tengah harus disesuaikan dengan jiwa

pembangunan dan tujuan suci. Nama yang dipilih

adalah ―Palangka Raya‖. Menurut kepercayaan leluhur

suku Dayak, nenek moyang suku Dayak diturunkan

dengan memakai wahana Palangka Bulau. Palangka

berarti tempat yang suci, Bulau berarti emas atau

logam mulia, sedangkan Raya berarti besar. Dengan

demikian, ―Palangka Raya‖ berarti tempat suci dan

mulia yang besar. Nama Pahandut sendiri hingga kini

tidak menghilang, dengan menjadi salah satu

kecamatan di Kota Palangkaraya.

Setelah R.T.A Milono resmi mengumumkan

penggantian nama Pahandut menjadi Palangkaraya,

pemerintah pun merespons dengan mengeluarkan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang

Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun

1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi

Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-

daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan

Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara

Tahun 1957 Nomor 53) sebagai Undang-Undang

(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 62). Dalam

pasal 2 ayat (1) disebutkan, ―Ibukota Daerah Swatantra

Tingkat I Kalimantan Tengah adalah Palangkaraya.

Untuk sementara waktu Pemerintah Daerah Swatantra

Tingkat I Kalimantan Tengah berkedudukan di

Banjarmasin‖.

Pelaksanaan Pembangunan Kota

Palangkaraya

Provinsi Kalimantan Tengah sewaktu dibentuk (1957)

adalah provinsi ke-17 dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Pada tahap awal perguliran roda

pemerintahan, pelayanan masyarakat maupun

pembangunan daerah menghadapi keadaan yang serba

kekurangan dan serba keterbatasan baik prasarana,

sarana, tenaga, maupun dana. Salah satu keterbatasan

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 9: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

8

tersebut adalah belum terbangunnya ibu kota provinsi

sebagai tempat berpijak pemerintah daerah. Di lain

pihak, tuntutan untuk dapat mengatur urusan rumah

tangga daerah secara mandiri sangat kuat, baik tuntutan

dari para penyelenggara pemerintahan sendiri maupun

dari seluruh masyarakat Provinsi Kalimantan Tengah.

Hal ini berbeda dengan provinsi tetangganya, yaitu

Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan

Kalimantan Barat yang telah mempunyai ibu kota

provinsi yang sudah terbangun dengan berbagai

fasilitasnya.

Di samping itu, Kalimantan Tengah juga tidak

menerima pembagian warisan inventaris/barang milik

Provinsi Kalimantan Selatan sebagai provinsi induknya

karena kegiatan pemerintahan lebih terpusat di

Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Dengan

demikian, pemerintah daerah dalam melaksanakan

pembangunan daerah, menjalankan kegiatan roda

pemerintahan dan memberi pelayanan kepada

masyarakat, baik dalam arti kiasan maupun dalam

kenyataan yang sesungguhnya sering dinyatakan oleh

Tjilik Riwut dengan ungkapan ―memulai dari yang

tiada supaya menjadi ada‖. Ungkapan lain yang juga

sering digunakan adalah ―ciptakan dari yang tiada

menjadi ada‖ (Riwut, 1963: 7).

Sejak diterbitkannya UU Darurat No. 10 Tahun 1957

yang kemudian disahkan dengan UU No. 21 Tahun

1958, yang menyatakan berdirinya Propinsi

Kalimantan Tengah dengan ibu kota Palangka Raya,

maka pemerintah daerah dengan dipelopori Ir. P.M.

Noor, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik

(mantan gubernur Kalimantan yang pertama) membuat

perencanaan awal pembangunan kota Palangka Raya

meliputi luas 10 km x 10 km. Pada area seluas itu

direncanakan pembangunan gedung-gedung, toko-toko,

rumah-rumah yang dibutuhkan untuk umum,

perumahan pegawai, sekolah-sekolah, poliklinik,

rumah sakit, sentral listrik dan lain-lain. Biaya yang

disediakan untuk kegiatan tersebut sebesar Rp

25.000.000,00 (Nasional, 23 April 1957).

Rencana awal pembangunan kota Palangkaraya

menurut cerita yang berkembang di kalangan

pemerintahan dan masyarakat, dibuat oleh Ir. D.A.W.

Van der Pijl atas masukan-masukan yang diberikan

Tjilik Riwut. Pembuatan rencana tersebut dilakukan di

atas kapal yang membawa mereka berdua dari

Banjarmasin ke Palangka Raya. Perjalanan

Banjarmasin-Palangka Raya kedua pejabat tersebut

dilakukan beberapa kali antara Jamuari 1957 sampai

Juli 1957. Dalam beberapa kesempatan, R. Moenasir

ikut dalam survei tersebut. Ini berarti, rencana tersebut

disusun dengan cukup matang serta

mempertimbangkan berbagai aspek geomorfologi

calon ibu kota Propinsi Kalimantan Tengah.

Menurut informasi W.A. Gara, rencana kota

Palangkaraya dibuat oleh seorang keturunan Tionghoa,

Ir. The (tidak jelas nama lengkapnya). Sementara,

Tjilik Riwut (1963) sendiri menyatakan ―pembangunan

Palangka Raya adalah perpaduan rencana nasional, dari

otak nasional, dari Presiden-nya dan Menteri-

menterinya serta pemikir-pemikir lainnya‖, tetapi juga

dinyatakan, ―dengan memperhatikan pertimbangan-

pertimbangan juga dari kami‖. Rencana bangunan-

bangunan penting, rumah gubernur, kompleks

perkampungan pelajar, penentuan blok-blok terpenting

disetujui oleh Presiden, sedang pelaksanaan

selanjutnya dilaksanakan oleh Menteri Pekerjaan

Umum, gambarnya dibuat oleh Jawatan Tata Kota dan

Tata Daerah, tetapi tetap mempertimbangkan aspirasi

masyarakat melalui Residen Tjilik Riwut.

Berdasarkan informasi tersebut, dapat ditarik

kesimpulan bahwa proses pembuatan rencana

pembangunan kota Palangkaraya dilakukan oleh

Departemen Pekerjaan Umum yang dilakukan oleh Ir.

The, seorang pegawai dari Jawatan Tata Kota dan Tata

Daerah. Ir. Van der Pijl membantu Residen Tjilik

Riwut dalam merumuskan aspirasi masyarakat

Kalimantan Tengah untuk disampaikan kepada Menteri

Pekerjaan Umum, Ir. P.M. Noor. Dalam hal ini,

Presiden Sukarno sendiri juga ikut terlibat dalam

memikirkan rencana pembangunan Kota Palangkaraya.

Namun, berdasarkan susunan tata ruang yang mirip

dengan kota-kota di Eropa, pengaruh Ir. Van der Pijl

dalam rancangan tersebut sangat besar, apalagi Ir. Van

der Pijl adalah perancang seluruh bangunan kantor-

kantor pemerintah yang akan dibangun dengan gaya art

deco. Art deco merupakan gaya global yang populer

pada dekade 1920-an dan 1930-an, terutama digunakan

dalam desain bangunan, desain interior, furnitur, dan

perhiasan. Art deco ditandai dengan karakteristiknya

yang halus, berbentuk garis lurus, berpola geometris,

dan bereksperimen dengan material industri seperti

logam, plastik, dan kaca.

Rencana awal pembangunan Kota Palangkaraya

mengacu pada konsep sarang laba-laba (spider

concept) seperti kota-kota tua di Eropa. Namun, tidak

seluruh konsep tersebut dapat direalisasikan,

khususnya jaring-jaring melingkar yang berpusat pada

bundaran besar. Dalam rencana pembangunan kota

Palangkaraya telah dimuat rencana untuk membuka

jaringan perhubungan jalan darat (jalan raya)

Palangkaraya–Pulang Pisau/Mintin, Palangkaraya–

Tangkiling–Kasongan–Sampit–Pangkalan Bun–

Sukamara, Palangkaraya–Kuala Kurun–Tewah–Muara

Teweh–Puruk Cahu–Ampah dan lain-lain. Sesudah

rencana pembangunan disetujui, segera dilakukan

langkah-langkah persiapan berupa inventarisasi segala

peralatan yang diperlukan. Di bawah koordinasi Dinas

Pekerjaan Umum, semua dinas/instansi terkait

melakukan persiapan yang diperlukan untuk

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 10: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

9

mewujudkan rencana tersebut. Peresmian dimulainya

pelaksanaan pembangunan kota Palangkaraya

direncanakan akan dilakukan oleh Presiden Sukarno

sewaktu berkunjung ke Kalimantan (Depdikbud, 1992:

64).

Rancangan Skematik Kota Palangkaraya

Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah,

Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang

Indonesia: 1948–2000 (Jakarta, 2003), hlm. 446.

Rencana Tata Ruang Kota Palangkaraya,

dengan pusat kota berada di Bundaran Besar.

Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah,

Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang

Indonesia: 1948–2000 (Jakarta, 2003), hlm. 446.

Kunjungan Presiden Sukarno ke

Palangkaraya

Sebagai presiden Republik Indonesia, Sukarno

melakukan kunjungan kerja ke Palangkaraya sebanyak

dua kali, yaitu pada tahun 1957 dan 1959. Kunjungan

kerja tahun 1957 berlangsung dari 14—20 Juli dengan

menggunakan armada kapal laut, sedangkan kunjungan

kerja tahun 1959 berlangsung dari 8—10 September

dengan menggunakan armada pesawat capung

(Wijanarka, 2006: 4).

Dalam kunjungan tahun 1957, rombongan Sukarno

bertolak dari Jakarta ke Banjarmasin dengan

menggunakan pesawat. Ditambah dengan beberapa

tentara pengawal dari Banjarmasin, rombongan ini

berjumlah sekitar 40 orang yang terdiri dari menteri-

menteri dan pejabat lainnya, dua orang duta besar

(Amerika Serikat dan Uni Soviet), pegawai istana

kepresidenan Jakarta, dan beberapa wartawan.

Sebelum berlayar ke Palangkaraya dari Banjarmasin,

Sukarno menghadiri rapat umum di Kuala Kapuas pada

15 Juli. Pada 16 Juli pagi, Sukarno dan rombongan

menuju Palangkaraya menggunakan kapal laut dan tiba

di Kampung Pahandut pada jam 2 dini hari. Pada 17

Juli pagi, Sukarno disambut dengan upacara adat

manetek pantan memakai mandau.

Manetek pantan, manetek hompong, atau manetek

batang jarau berarti memotong kayu penghalang yang

disediakan khusus untuk menyambut kedatangan tamu

yang dihormati dan disegani. Kayu tersebut dipasang

pada pintu gerbang, diletakkan melintang menutupi

arah jalan masuk. Kayu yang dipasang berjumlah

ganjil, bisa satu, tiga, lima, dan seterusnya. Setelah

sampai di depan pantan, hompong, atau batang jarau,

tamu diminta memotong kayu penghalang tersebut

dengan menggunakan mandau. Sebelumnya diawali

komunikasi akrab antara tamu dan tuan rumah. Setelah

kayu berhasil dipotong dengan iringan lahap, berarti

penghalang telah tidak ada lagi dan tamu yang datang

dipersilakan memasuki kampung tuan rumah. Sebelum

para tamu melangkahkan kaki untuk memasuki

kampung, para gadis remaja kampung menyambut

kedatangan tamu dengan tari dan nyanyian yang

diiringi musik.

Setelah upacara adat, Sukarno dan rombongan menuju

ke tempat upacara yang merupakan tempat

pemancangan tiang pertama pembangunan kota yang

berjarak sekitar tiga km. Sukarno menggunakan mobil

jeep, sedangkan rombongan yang lain berjalan kaki,

termasuk para menteri dan duta besar. Uniknya, mobil

jeep ini tidak dihidupkan, tetapi mobil tersebut ditarik

dan didorong oleh rakyat secara beramai-ramai atas

keinginan rakyat sendiri.

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 11: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

10

Sesampai di lokasi pemancangan tiang pertama

pembangunan kota Palangkaraya, dilaksanakan prosesi

acara. Diawali dengan acara gunting pita yang

diikatkan pada gapura sederhana sebagai simbolisasi

gerbang kota. Kemudian, Gubernur Kalimantan R.T.A.

Milono memberikan sambutan. Setelah itu, acara

dilanjutkan dengan sambutan presiden. Inti dari

sambutan Sukarno adalah menceritakan maksud

kedatangannya untuk meresmikan Kota Palangkaraya.

Setelah sambutan presiden, acara dilanjutkan dengan

prosesi pemancangan tiang pertama pembangunan

kota. Dalam prosesi ini, Sukarno memotong rotan pada

tiga tiang kayu yang disusun seperti kuda-kuda rumah

sebagai formalitas peresmian kota. Prosesi upacara

pemancangan tiang pertama tersebut adalah

penancapan balok kayu ulin ke dalam tanah yang

sebelumnya tergantung pada seutas rotan. Dan ujung

rotan tersebut diikat pada tonggak yang didukung oleh

tiga tiang, yang ditancapkan kurang lebih tiga meter

dari tempat lubang penancapan. Antara tiang yang akan

dipancang dengan ujung rotan pada tonggak diletakkan

balok bundar yang dipasang vertikal tinggi setengah

meter dari tanah, yang gunanya tempat bantalan waktu

memotong rotan. Dan rotan tersebut dipotong oleh

Bung Karno dengan mandau, maka jatuhlah balok ulin

tersebut ke dalam lubang yang disediakan. Dan balok

kayu ulin tersebut tertancap sampai sekarang di bawah

tugu peringatan pendirian Kota Palangkaraya, yang ada

sekarang (Wijanarka, 2006: 8—9).

Dua tahun setelah kunjungan pertama, Sukarno

berkeinginan meninjau pembangunan Kota

Palangkaraya. Hal ini didasarkan pada laporan singkat

pertemuan delegasi Kalimantan Tengah dengan

pemerintah pusat di Jakarta saat penyerahan Piagam

Palangkaraya tanggal 30 Desember 1958. Dalam

kunjungan tahun 1959 ini, Sukarno sampai di

Palangkaraya tanggal 8 September. Sukarno datang ke

Palangkaraya bersama Menteri Pekerjaan Umum

beserta pejabat tinggi lainnya yang berjumlah sekitar

20-an. Sukarno dan para ajudannya bersama Menteri

PU datang ke Palangkaraya dengan menggunakan

pesawat capung dari Banjarmasin. Rombongan lain

datang lebih awal ke Palangkaraya dari Banjarmasin

dengan transportasi air.

Sukarno melakukan inspeksi pada beberapa bangunan

pemerintah yang sedang dibangun. Pada umumnya

Sukarno puas akan kualitas bangunan. Namun,

Sukarno juga kecewa akan pengadaan bahan bangunan,

terutama pasir. Sukarno mengetahui dari laboratorium

di Bogor bahwa pasir yang digunakan dalam

pembangunan di Palangkaraya adalah jenis pasir

kuarsa yang daya rekatnya kurang jika dicampur

dengan semen. Untuk mendapatkan jenis pasir yang

sesuai harus didatangkan dari Martapura, Kalimantan

Selatan. Atas hal ini, Sukarno beranggapan bahwa

pembangunan Palangkaraya akan berjalan lamban.

Pada 10 September, Sukarno meninggalkan

Palangkaraya dengan rute dan armada yang sama saat

menuju Palangkaraya (Wijanarka, 2006: 12).

Menarik untuk diteliti mengenai alasan Sukarno

berkunjung ke Palangkaraya sampai dua kali,

kunjungan pertama (1957) untuk meresmikan dan

kunjungan kedua untuk meninjau pembangunan

(1959). Dasar hukum yang kuat yang menyatakan

Jakarta sebagai ibu kota negara RI adalah UU Nomor

10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Raya Tetap sebagai Ibukota Negara

Republik Indonesia dengan Nama Jakarta. Rencana

induk pembangunan Jakarta dibuat pada 1956 yang

diilhami oleh ide-ide Sukarno dari hasil kunjungan

kenegaraannya pada tahun yang sama ke berbagai

negara seperti India, Amerika Serikat, Kanada, Rusia,

Italia, Jerman, Swis, dan Tiongkok. Namun, karena

struktur kota Jakarta telah terbentuk sejak masa

kolonial, ide-ide Sukarno tersebut tidak dapat

diimplementasikan secara maksimal dalam rencana

induk itu.

Pada era yang sama, masyarakat Dayak di Provinsi

Kalimantan Selatan menginginkan terbentuknya

Provinsi Kalimantan Tengah. Rencana pembentukan

ibu kota provinsi baru ini menjadi kesempatan emas

bagi Sukarno dalam menuangkan ide-idenya tentang

perencanaan tata ruang kota. Hal ini berdasarkan

pengamatannya pada desain ibu kota dari berbagai

negara yang telah dikunjunginya. Selain sebagai ibu

kota provinsi, rancangan skematik Palangkaraya yang

ia buat juga dipersiapkan sebagai rancangan skematik

ibu kota RI. Dimulai dari tiang pertama pembangunan

Palangkaraya yang ia pancang sendiri, Palangkaraya

dibangun dengan membuka hutan belantara. Kegiatan

ini berakibat ditinggalkannya pembangunan di Jakarta.

Dengan demikian, pembangunan Palangkaraya lebih

dulu dilaksanakan daripada Jakarta.

Pada 1959, Sukarno sekali lagi berkunjung ke

Palangkaraya untuk meninjau kemajuan pembangunan.

Dalam kunjungannya itu, ia melihat pembangunan

kurang lancar karena sulitnya pengadaan bahan

bangunan, terutama pasir. Sukarno yang memiliki

ambisi mempromosikan RI ke luar negeri, antara lain

melalui seni bangunan dan seni tata kota yang khas

Indonesia, dan lebih khususnya lagi adalah melalui

agenda internasional yang ia rencanakan, yaitu Ganefo

dan Conefo, akhirnya mengeluarkan Penetapan

Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang intinya

mengarahkan Jakarta sebagai ibu kota RI. Dengan

dikeluarkannya penpres ini, lambat laun pembangunan

Palangkaraya mulai tertinggal dari Jakarta. Proyek-

proyek untuk menyukseskan penyelenggaraan Ganefo

dan Conefo dibangun di Jakarta, antara lain Gelora

Bung Karno, Jalan M.H. Thamrin-Jenderal Sudirman,

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 12: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

11

Jembatan Semanggi, Monumen Nasional, dan Gedung

Conefo. Juga, dengan keluarnya penpres tersebut,

keputusan Mendagri tentang pemindahan kedudukan

Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dari

Banjarmasin ke Palangkaraya dikeluarkan pada

Desember 1959. Sejak inilah Palangkaraya berangsur-

angsur berfungsi sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan

Tengah.

Dari Kotapraja Administratif Menjadi

Kotapraja Otonom

Sesuai dengan kedudukannya sebagai ibu kota Provinsi

Kalimantan Tengah, maka pemerintah daerah

(gubernur dan DPRD) segera melakukan pembenahan

Palangkaraya, dimulai dari pemekaran wilayah

administrasi, pembentukan kecamatan, dan penataan

kampung-kampung. Perkembangan selanjutnya,

Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Tengah melalui

surat keputusan Nomor 3/Pem. 170-C-2-3 tanggal 24

April 1961 membentuk Kecamatan Palangka Khusus

Persiapan Kotapraja Administratif Palangka Raya

terhitung 1 Mei 1961. Kecamatan Palangka Khusus

Persiapan Kotapraja Administratif Palangka Raya

kemudian ditingkatkan menjadi Kotapraja Palangka

Raya pada tanggal 19 Juni 1961 dengan Surat

Keputusan Gubernur yang memperbaiki surat

keputusan tanggal 24 April tersebut.

Dalam sistem pemerintahan saat itu yang berdasarkan

UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok

Pemerintah di Daerah, kotapraja administratif

merupakan kota yang berfungsi sebagai pusat

pemerintahan wilayah atau daerah tertentu. Kotapraja

administratif dikepalai oleh seorang walikota yang

bertanggung jawab kepada wilayah kabupaten yang

bersangkutan. Kotapraja administratif juga tidak

memiliki DPRD sendiri. Dalam hal ini, wilayah

Kotapraja Administratif Palangkaraya mengambil

sebagian wilayah Kabupaten Kapuas. Akan tetapi,

Palangkaraya bukanlah pusat pemerintahan atau ibu

kota Kabupaten Kapuas (Kabupaten Kapuas sudah

memiliki ibu kota sendiri, yaitu Kuala Kapuas),

melainkan pusat pemerintahan dan ibu kota Provinsi

Kalimantan Tengah. Dengan peningkatan statusnya

menjadi kotapraja, Palangkaraya dapat mengatur rumah

tangganya sendiri secara mandiri dan otonom.

W. Coenraad ditunjuk sebagai Kepala Pemerintah

Kotapraja Administratif Palangkaraya dengan sebutan

wali kota dan sekretaris ditunjuk M.D. Pakiding, B.A.,

dengan tugas mengurus segala sesuatu yang berkaitan

dengan rumah tangga kotapraja. Semua dinas, jawatan,

instansi tingkat Provinsi Kalimantan Tengah juga

diperintahkan untuk membentuk unit satuan kerja

―Urusan Kotapraja Administratif Palangkaraya‖.

Pelaksanaan pembentukan unit satuan kerja tersebut

dikoordinasikan dengan Kantor Persiapan Kotapraja

Administratif Palangkaraya.

Kotapraja Administratif Palangkaraya meliputi tiga

kecamatan, yaitu (1) Kecamatan Palangka, dengan ibu

kota Pahandut; (2) Kecamatan Petuk Katimpun, dengan

ibu kota Marang Nganduruh Langit; dan (3)

Kecamatan Bukit Batu, dengan ibu kota Tangkiling.

Pada bulan Februari 1964, Kecamatan Palangka

dimekarkan menjadi dua kecamatan, yaitu (1)

Kecamatan Pahandut, berkedudukan di Pahandut; dan

(2) Kecamatan Palangka, berkedudukan di

Palangkaraya (Depdikbud, 1992: 65).

Upaya pemekaran wilayah tersebut dilakukan untuk

memenuhi persyaratan menjadi kotapraja otonom.

Dengan adanya pemekaran dan penataan wilayah

administratif di lingkup Kotapraja Administratif

Palangkaraya tersebut, maka pada tahun 1964,

Kotapraja Administratif Palangkaraya terdiri atas 4

kecamatan dan 17 kampung. Ini berarti ketentuan-

ketentuan dan persyaratan menuju terbentuknya

Kotapraja Otonom telah dapat dipenuhi. DPRD-GR

Tingkat I Kalimantan Tengah telah menyetujui

Pembentukan Kotapraja Palangkaraya yang dituangkan

dalam Surat Keputusan tanggal 8 April 1963 Nomor

Perny. /005/DPRD-GR/KT/1963.

Perkembangan selanjutnya, Komisi B Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong Republik Indonesia

(DPR-GR RI) pada tanggal 12 Desember 1964

menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU)

tentang Pembentukan Kotapraja Palangkaraya kepada

Pimpinan DPR-GR RI (Karim, 2004: 42). Setelah

dilakukan pembahasan sesuai mekanisme dan

ketentuan yang berlaku, maka RUU tentang

Pembentukan Kotapraja Palangkaraya disetujui oleh

DPR-GR RI untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang tersebut akhirnya ditandatangani

Presiden RI pada 12 Juni 1965, yang secara lengkap

berjudul, ―Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965

tentang Pembentukan Kotapraja Palangka Raya dengan

Mengubah Undang-Undang No. 27 Tahun 1959

Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 3

Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di

Kalimantan‖, Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 48

(TLN Nomor 2753) tanggal 12 Juni 1965.

Peresmian Kotapraja Otonom

Palangkaraya

Peresmian Palangka Raya menjadi Kotapraja Otonom

dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri RI Mayjen TNI

Dr. Soemarno Sosroatmodjo di lapangan Bukit

Ngalangkang, halaman Balai Kota, pada tanggal 17

Juni 1965. Upacara tersebut juga dihadiri oleh Ketua

Komisi B DPR-GR RI, I.S. Handokowidjojo (bersama

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 13: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

12

dengan 11 Anggota DPR-GR yang lain), para pejabat

Departemen Dalam Negeri, sejumlah pejabat tinggi

pemerintah pusat, Deputi Wilayah Komando Antar

Daerah Kalimantan Brigjen TNI M. Panggabean,

utusan-utusan pemerintah tingkat Kalimantan, Konsul

RRC dan Konsul Uni Soviet, serta para pejabat sipil

dan militer.

Sebelum upacara dilangsungkan, pada jam 08.00

diadakan demonstrasi penerjunan payung dengan

membawa lambang Kotapraja Palangka Raya yang

dipelopori oleh Wing Pendidikan II Pangkalan Udara

RI Margahayu, Bandung, sebanyak 14 orang di bawah

pimpinan Ketua Tim Letnan Udara M. Dachlan.

Lambang Kotapraja Palangka Raya dibawa dengan

parade jalan kaki oleh demonstran terjun payung

menuju lapangan upacara. Pada hari itu, Menteri

Dalam Negeri menyerahkan lambang kotapraja

Palangka Raya kepada penguasa Kotapraja Palangka

Raya yang juga Gubernur Kalimantan Tengah, Tjilik

Riwut. Dalam upacara peresmian tersebut, Tjilik Riwut

menyerahkan anak kunci emas seberat 170 gram

sebagai lambang kunci gerbang kota kepada Presiden

Sukarno melalui Menteri Dalam Negeri.

Menteri Dalam Negeri Soemarno Sosroatmodjo

mengikuti semua acara yang dilaksanakan pada pagi

hingga petang hari, antara lain menerima laporan dari

Gubernur Kalimantan Tengah, khususnya tentang

perkembangan pembangunan Kota Palangkaraya mulai

saat pemancangan tiang pertama sampai saat

diresmikan sebagai kotapraja otonom. Hal ini meliputi

penyusunan tata kota serta peruntukan kawasan untuk

berbagai kepentingan seperti pasar, pemukiman,

perkantoran, dan lain-lain. Menteri Dalam Negeri juga

melakukan peninjauan ke lokasi yang akan dibangun

kantor wali kota.

Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Kalimantan

Tengah juga menyampaikan harapan agar Palangka

Raya menjadi ―kota modal‖ dan ―kota model‖. Kota

modal, yaitu kota yang dibangun dengan perjuangan

sekuat tenaga, dari tidak ada sampai menjadi ada. Kota

Palangkaraya tidak dibangun di atas tempat atau kota

yang sudah ada, melainkan dibangun dalam suasana

pedalaman hutan Kalimantan, jauh dari pengaruh

paham-paham dan aliran-aliran yang merusak serta

bebas dari sisa-sisa peninggalan kolonial Belanda. Oleh

karena keuletan dan kerja keras tersebut serta karena

perencanaannya yang matang, Kota Palangkaraya ingin

menjadi kota model, yaitu kota yang menjadi contoh

dan teladan dari kota-kota lain di Indonesia.

Pada malam hari (Kamis malam) Menteri Dalam

Negeri menghadiri malam resepsi dalam rangka

peresmian Kotapraja Palangka Raya pukul 20.30

WITA bertempat di Balai Tunjung Nyaho Jalan

Sukarno-Hatta (sekarang Jalan Yos Sudarso). Dalam

sambutan serta wejangannya, ia memuji dan sangat

menghargai semangat dan keuletan para perintis

pembangunan Kota Palangkaraya yang dipimpin oleh

Gubernur Tjilik Riwut. Semangat itu pantas dijadikan

teladan. Salah satu ucapannya adalah, ―Kita

membangun Kota Palangkaraya sebagai ibu kota

Kalimantan Tengah, dengan kiat kota Palangkaraya

sebagai kota modal dan kota model, sangat dihargai‖.

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa pembangunan harus

terus dilanjutkan dengan tetap berdasarkan

perencanaan tata kota yang baik ke arah terwujudnya

Kota Palangkaraya yang modern. Dengan demikian,

lahirlah visi pembangunan Palangkaraya sebagai ―Kota

3 M‖, yakni Palangkaraya sebagai kota modal, model,

dan modern.

Peresmian Kotapraja Administratif Palangkaraya

menjadi kotapraja otonom disambut gembira dan

meriah warga kota. Warga kota menghiasi jalan-jalan

dalam kota dengan umbul-umbul, pengibaran bendera

Merah Putih, dan spanduk-spanduk yang menyatakan

kegembiraan mereka atas peresmian Kotapraja

Palangkaraya. Secara spontan, warga masyarakat di

setiap kampung menyelenggarakan berbagai

pertunjukan kesenian dan hiburan serta pawai keliling

kota. Selain itu, diadakan pasar malam selama lima

hari berturut-turut dilapangan olahraga Sanaman

Mantikei. Biaya bagi pelaksanaan kegiatan tersebut

ditanggung oleh masyarakat sendiri secara gotong

royong. Sumbangan-sumbangan dari berbagai kalangan

masyarakat Kalimantan Tengah untuk upacara

peresmian Kotapraja Palangkaraya juga disampaikan

kepada Gubernur Kalimantan Tengah, baik dalam

bentuk dana maupun material untuk menghiasi Kota

Palangkaraya agar terlihat cantik, hidup, dan semarak.

Pembentukan Struktur Pemerintahan

Tjilik Riwut sebagai gubernur Kalimantan Tengah

yang ditunjuk sebagai penguasa Kotapraja

Palangkaraya melaksanakan tugas pemerintahan

sampai dengan terbentuknya DPRD Kota, pemilihan

Wali Kota Kepala Daerah Kotapraja Palangka Raya,

serta pengangkatan Badan Pemerintah Harian (BPH)

yang membantu tugas-tugas wali kota.

Tahap pertama pembentukan pemerintahan Kotapraja

Palangkaraya dilakukan dengan membentuk Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD-

GR) Kota Palangka Raya. Pada tanggal 23 Juli 1965,

Pangdak (Panglima Daerah Kepolisian) Kalimantan

Tengah Srimardji selaku Anggota Pantja Tunggal

Kalimantan Tengah atas nama Gubernur Kepala

Daerah Kalimantan Tengah meresmikan dan melantik

Keanggotaan DPRD-GR Kotapraja Palangkaraya di

ruang DPRD-GR (masih dalam Lingkungan Kantor

Walikota).

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 14: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

13

Semula Keanggotaan Kotapraja Palangka Raya

sebanyak 17 orang, kemudian sesuai ketentuan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang

Pokok-Pokok Pemeritahan Daerah, maka Anggota

DPRD-GR Kotapraja Palangkaraya ditambah menjadi

25 orang. Kedudukan Ketua DPRD-GR dipisahkan dari

jabatan Kepala Daerah. Pimpinan DPRD-GR Kotapraja

Palangkaraya sebanyak 3 orang, yaitu 1. Ketua: Mudji

Adjam (dari partai politik IP-KI; 2. Wakil Ketua I:

Fachrul Dirun ( partai politik NU); 3. Wakil Ketua II:

Ny. Bertha A. Koetin (Golkar Wanita). DPRD-GR

selanjutnya melaksanakan pemilihan Walikota Kepala

Daerah dan terpilihlah Janti Saconk (mantan Sekretaris

Kotapraja Administratif Palangka Raya) menjadi

Walikota Kepala Daerah Kotamadya Palangka Raya.

Pengangkatan tersebut selanjutnya diusulkan ke

Departemen Dalam Negeri untuk mendapat persetujuan

Presiden RI yang kemudian dituangkan dalam Surat

Keputusan Presiden.

Pada tanggal 18 September 1965, bertempat di Balai

Tunjung Nyaho, Gubernur Kepala Daerah Kalimantan

Tengah Tjilik Riwut atas nama Menteri Dalam Negeri,

melantik Janti Saconk sebagai Walikota Kepala Daerah

Kotamadya Palangkaraya yang pertama. Kemudian,

pada akhir bulan September 1965 itu pula, telah dapat

ditunjuk/diangkat Anggota Badan Pelaksana Harian

(BPH) Kotamadya sebanyak 3 orang. Dengan

selesainya pembentukan DPRD-GR,

pemilihan/pelantikan Walikotamadya serta Anggota

BPH Kotamadya Palangkaraya itu, maka selesilah

tugas Tjilik Riwut, Gubernur Kepala Daerah

Kalimantan Tengah selaku Penguasa Kotapraja

Palangka Raya.

Selain membentuk struktur pemerintahan berupa

walikota dan DPRD-GR, instansi pemerintah dan

badan-badan lainnya yang bertempat di Palangkaraya

dalam kedudukannya sebagai kotapraja otonom

maupun ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, antara

lain kantor gubernur Kalimantan Tengah, Kodam

(Komando Daerah Militer) XI/Tambun Bungai,

Pembentukan Polisi Komisariat (kini Polda)

Kalimantan Tengah mulai Maret 1961, Dinas

Pekerjaan Umum dan Tenaga Provinsi Kalimantan

Tengah, Syahbandar Palangkaraya, Kantor pos

Palangkaraya, Kantor telepon Palangkaraya, Kantor

telegraf Palangkaraya, Perusahaan Daerah Air Minum

Palangkaraya, dan Rumah Sakit Umum Daerah

Palangkaraya (Riwut, 1962: 9—12).

Kesimpulan

Sejarah pembentukan Palangkaraya merupakan bagian

tak terpisahkan dari sejarah pembentukan Provinsi

Kalimantan Tengah. Pembentukan kota ini didahului

dengan terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah

berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun

1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi

Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-

daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan

Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara

Tahun 1957 Nomor 53). Jika ditarik lebih jauh,

pembentukan Palangkaraya pada khususnya dan

pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah pada

umumnya merupakan bentuk kesadaran etnis

masyarakat Dayak untuk memiliki daerah

pemerintahan sendiri yang otonom. Dalam sejarahnya,

masyarakat Dayak memang sudah memiliki daerah

pemerintahan sendiri sejak masa kolonialisme. Selain

pemerintahan formal, mereka juga menerapkan sistem

pemerintahan tradisional, yang dinamakan sebagai

―kedamangan‖.

Awal terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah

bermula dari berdirinya Serikat Dayak, disusul Pakat

Dayak, dan lebih nyata lagi pada Penyalur Hasrat

Rakyat Kalimantan Tengah. Klimaks dari kebulatan

tekad rakyat Kalimantan Tengah dimanifestasikan

dalam ―Ikrar Bersama‖ oleh peserta Kongres Rakyat

Kalimantan Tengah, sampai terbentuknya Kantor

Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah di

Banjarmasin yang diresmikan oleh Menteri Dalam

Negeri.

Dalam usaha untuk merealisasikan berdirinya Provinsi

Kalimantan Tengah, terdapat perbedaan pendapat

mengenai lokasi yang akan dijadikan ibu kota.

Kabupaten Barito menghendaki lokasi ibu kota di

Muarateweh atau Buntok. Kabupaten Kapuas

menghendaki lokasi ibu kota di Kuala Kapuas atau

Pulang Pisau. Lalu, Kabupaten Kotawaringin

menghendaki lokasi ibu kota di Sampit atau

Pangkalanbun. Dapat dicatat bahwa Pahandut pada

waktu itu belum disebut-sebut. Atas penilaian dari

beberapa tokoh terkemuka Kalimantan Tengah, di

antaranya Mahir Mahar, Pahandut diusulkan menjadi

ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.

Tjilik Riwut, gubernur pertama Kalimantan Tengah,

mengatakan bahwa pembentukan provinsi tersebut

tidak berjalan dengan lancar. Terjadi kesalahpahaman

rakyat terhadap pemerintah. Sempat sebagian rakyat

merasa kehilangan kepercayaannya kepada pemerintah,

yang ditandai dengan serangan bersenjata ke beberapa

pos pemerintah, seperti di Buntok dan Kuala Kayuan.

Bahkan salah satu tokoh utama serangan ini adalah

pejuang lokal pada masa kemerdekaan Indonesia,

seperti Christian Simbar. Namun, sebagai pejuang yang

mengerti hidup bermasyarakat dan bernegara, Christian

Simbar yang merupakan pemimpin Gerakan Mandau

Telawang Pancasila bersatu kembali dengan

pemerintah dan mengembalikan kepercayaannya.

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 15: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

14

Pada 18 Mei 1957, RTA Milono, Gubernur Pembentuk

Propinsi Kalimantan Tengah, mengadakan suatu

upacara di Pahandut. Dalam sambutannya, ia

mengatakan bahwa Pahandut telah dipilih untuk

menjadi ibu kota berdasarkan pilihan seluruh rakyat di

Kalimantan Tengah. Pemerintah telah berusaha untuk

membangun Kalimantan Tengah, berhasil tidaknya

misi ini adalah bukan hanya tanggung jawab

pemerintah saja, tetapi juga tanggung jawab rakyat

Kalimantan Tengah. Selanjutnya, Milono

mengumumkan nama baru bagi Pahandut, yaitu

―Palangka Raya‖, yang artinya tempat suci yang besar.

Tepatlah Palangka Raya dipilih sebagai ibu kota

Provinsi Kalimantan Tengah sebagai satu usaha

mempersatukan rakyat yang sedang mengisi

kemerdekaan untuk membangun Kalimantan Tengah.

Dengan demikian, konflik-konflik kepentingan dapat

dihindari.

Palangkaraya merupakan kota yang unik dalam hal

tidak ada sisa-sisa peninggalan kolonial dan memang

bukan kota warisan kolonial. Pembangunan kota itu

dengan membuka hutan melibatkan partisipasi aktif

masyarakat. Tata kota Palangkaraya dirancang dengan

mempertimbangkan aspek filosofi masyarakat Dayak.

Salah satu contoh dominan adalah kota ini

mengakomodasi pola permukiman masyarakat Dayak

yang berorientasi pada sungai. Masyarakat Dayak

percaya bahwa air adalah sumber kehidupan.

Produk rencana desain awal mula Kota Palangkaraya

merupakan buah pikir putra bangsa pertama kalinya

setelah Indonesia merdeka. Produk tersebut memiliki

peranan penting bagi sejarah planologi atau

perencanaan kota, terutama perencanaan kota pasca-

kemerdekaan. Dengan demikian, bekas desain tersebut

perlu dimaksimalkan kembali sesuai konsep awal

mulanya ke dalam kondisi Kota Palangkaraya masa

kini dan masa yang akan datang.

Berdasarkan kajian terhadap ideologi desain Kota

Palangkaraya diperoleh kesimpulan, (1) embrio Kota

Palangkaraya didesain dengan prinsip sumbu; (2)

secara bentuk, Kota Palangkaraya didesain dengan

bentuk radial; (3) bangunan-bangunan yang diletakkan

pada jalan yang menghubungkan embrio kota dan

kampung Pahandut didesain dengan arah orientasi ke

jalan penghubung tersebut, tanpa meninggalkan konsep

kota yang berorientasi pada sungai.

Daftar Acuan

Dokumen Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1946 No. 17,

Borneo, Groote Oost.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1946 No. 134,

Binnenlandsch Bestuur, Borneo, Groote Oost.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1947 No. 3,

Bestuur, Borneo.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1948 No. 14,

Binnenlandsch Bestuur, Zuid Borneo, Daerah

Bandjar.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1948 No. 58,

Commissie Generaal, Statut, West Borneo.

Surat-surat Perdjandjian antara Kesultanan

Bandjarmasin dengan Pemerintahan-

pemerintahan V.O.C., Bataafse Republik,

Inggeris dan Hindia-Belanda 1635—1860.

1965. Jakarta: Arsip Nasional Republik

Indonesia.

Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 tentang

Pembentukan Daerah Otonom Propinsi

Kalimantan.

Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957

tentang Pembentukan Daerah Swatantra

Propinsi Kalimantan Tengah dan Perubahan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956

tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom

Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan

Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran

Negara Tahun 1957 Nomor 53).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-

pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Tahun 1957 Nomor 6).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 tentang

Pembentukan Kotapraja Palangka Raya

dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 27

Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-

Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1959 tentang

Pembentukan Daerah Tingkat II di

Kalimantan.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang

Pembentukan Daerah-daerah Otonom Propinsi

Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan

Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun

1956 Nomor 65).

Surat Kabar Kalteng Pos, 18 September 2013.

Kompas, 19 Februari 2009.

Nasional, 23 April 1957.

Pemuda, 30 Juli 1957.

Buku Ardhiati, Yuke. 2005. Bung Karno Sang Arsitek:

Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang

Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana

dan Teks Pidato 1926–1965. Cetakan ke-1.

Depok: Komunitas Bambu.

Basry, Hasan. 2003. Kisah Gerilya Kalimantan.

Banjarmasin: Yayasan Bhakti Banua.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978.

Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen

Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2003.

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014

Page 16: 0HPEXNDEHODQWDUD -RKDQ&DQGUD6DVPLWD ),%8,

15

Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang

Indonesia: 1948–2000. Jakarta.

Gottschalk, Louis. 2008. Mengerti Sejarah.

Terjemahan Nugroho Notosusanto,

Understanding History: A Primer of

Historical Method (1969). Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press).

Karim, Sarbinnor (Editor). 2004. 45 Tahun Kiprah dan

Pengabdian DPRD Kalimantan Tengah.

Jakarta: Indomedia.

Kementerian Penerangan. 1953. Republik Indonesia:

Kalimantan. Jakarta.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta:

Tiara Wacana Yogya.

Laksono, P.M. et al. 2006. Pergulatan Identitas Dayak

dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut.

Cetakan ke-1. Yogyakarta: Galangpress.

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan

Tengah. 1997. Panca Windu Propinsi Daerah

Tingkat I Kalimantan Tengah. Palangkaraya.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho

Notosusanto (Editor Umum). 2008. Sejarah

Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan

Zaman Republik Indonesia. Edisi

Pemutakhiran. Jilid VI. Cetakan ke-2. Jakarta:

Balai Pustaka

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan

Daerah Direktorat Sejarah dan Nilai

Tradisional Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. 1982. Sejarah Pendidikan

Daerah Kalimantan Tengah. Jakarta

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah

Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai

Tradisional Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. 1992. Sejarah Sosial Palangka

Raya. Jakarta.

Riwut, Tjilik. 1953. Kalimantan Memanggil. Djakarta:

Endang.

-------. 1962. Memperkenalkan Kalimantan Tengah dan

Pembangunan Kota Palangka Raja. Palangka

Raja: Percetakan Pemda Kalteng.

-------. 1963. Amanat Gubernur Kepala Daerah

Kalimantan Tengah pada Peringatan Hari

Palangka Raya ke-VI Tanggal 17 Juli 1963.

Palangka Raya.

-------. 1979. Kalimantan Membangun. Jakarta:

Jayakarta Agung Offset.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1995. Risalah

Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

dan Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia. Jakarta.

Spiro, Kostof. 1991. The City Shaped, Urban Patterns

and Meanings Through History. London:

Thames and Hudson.

Suseno, Nila. 1996. Tjilik Riwut Berkisah: Sumpah

Setia Masyarakat Dayak Pedalaman

Kalimantan kepada Pemerintah Republik

Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Usop, K.M.A. 1996. Pakat Dayak: Sejarah Integrasi

dan Jati Diri Masyarakat Dayak Daerah

Kalimantan Tengah. Palangkaraya: Yayasan

Pendidikan dan Kebudayaan Batang Garing.

Wijanarka. 2006. Sukarno dan Desain Rencana Ibu

Kota RI di Palangkaraya. Yogyakarta:

Penerbit Ombak.

-------. 2008. Desain Tepi Sungai: Belajar dari

Kawasan Tepi Sungai Kahayan Palangka

Raya. Yogyakarta: Ombak.

Wawancara Abramsyah (51 tahun), camat Pahandut sejak 22

Januari 2014, pada 8 Februari 2014, via

telepon.

Nila Riwut (58 tahun), putri Tjilik Riwut yang aktif

memajukan kebudayaan Dayak, pada 22

Maret 2014, via surat elektronik.

S. Mutar (84 tahun), adik ipar Janti Saconk, Wali Kota

Palangkaraya pertama, pada 5 Januari 2014,

via telepon.

Sabran Achmad (83 tahun), Ketua Dewan Adat Dayak

Kalimantan Tengah, pada 4 Januari 2014 di

Kota Palangkaraya.

Stefanus Monong (68 tahun), damang Pahandut, pada 6

Januari 2014 di Kota Palangkaraya.

Internet http://www.kalteng.go.id/ogi/viewarticle.asp?ARTICL

E_id=215 (diakses pada 16 Januari 2014

pukul 20:23).

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-

daerah/kabupaten/id/62/name/kalimantan-

tengah/detail/6271/kota-palangka-raya

(diakses pada 25 Januari pukul 14:37).

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-

daerah/provinsi/detail/62/kalimantan-tengah

(diakses pada 24 Januari pukul 19:28).

http://www.palangkaraya.go.id/statis-5-

sejarahsingkatkotapalangkaraya.html (diakses

pada 18 Januari pukul 08:52).

CD dan DVD ROM Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite.

2010. Chicago: Encyclopædia Britannica.

Lestari, Dian. Keliling Kalimantan Yuk! 2011. Seri

Software Pendidikan. Jakarta: Elex Media

Komputindo.

Microsoft® Encarta® 2009. 2009. Redmond,

Washington: Microsoft Corporation.

Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014