004 Uc Kebudayaan Definisi Hd

Embed Size (px)

Citation preview

004 UC Definisi Kebudayaan menurut Ilmu Antropologi LHadipurnomo Kebudayaan adalah mencakup seluruh pola kehidupan dari masyarakat yang mana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup masyarakat itu kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak ada sangkut pautnya dengan keterampilan main piano atau membaca novel karya terkenal. Untuk seorang ahli ilmu sosial. kegiatan seperti main piano itu, hanya merupakan elemen-elemen belaka dalam kebudayaan kita. Keseluruhan ini mencakup kegiatan duniawi seperti mencuci piring atau menyetir mobil, dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan, hal ini sama derajatnya dengan "hal-hal yang lebih halus dalam kehidupan". Karena itu. bagi seorang ahli ilmu sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu ataupun dalam masyarakat perkotaan yang bersifat kompleks dan setiap manusia adalah mahluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam unsur kebudayaan" Jadi, kebudayaan itu menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Kata itu meliputi semua perilaku, kepercayaan, cara bersikap dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Kita masing-masing dilahirkan ke dalam suatu kebudayaan yang bersifat kompleks dan kebudayaan itu kuat sekali pengaruhnya terhadap cara hidup serta cara berperilaku yang akan kita ikuti selama hidup kita. Hukum adat, aturan-aturan adat, tradisi atau juga dikenal dengan istilah konvensi sosial merupakan sub-budaya yang berlaku dalam masyarakat tradisional. Semua jenis aturan-aturan adat ini ada dan berlaku karena ada masyarakat pendukungnya dan segala akan tetap berlaku selama kesepakatan itu belum dirubah oleh masyarakat yang bersangkutan. Pada umumnya aturan-aturan adat yang tidak tertulis itu biasanya hanya berupa kalimat verbal yang kadang-kadang dalam bahasa simbolis yang diturunkan melalui pantun bertutur atau media non verbal yang ditulis pada daun lontar, seperti yang berlaku di Bali, atau buku berbentuk wiru yang dinamakan Pustaha dan naskah yang menggambarkan dewa Pane na Bolon di Batak Toba. Kebudayaan itu Hasil Proses Belajar Kebudayaan merupakan semua perilaku yang dipelajari: kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan unsur genetik. Perlu ditegaskan hal itu di sini agar dapat dibedakan perilaku budaya dari manusia dan primat yang lain dari tingkah laku yang hampir selalu digerakkan oleh naluri.

1

Semua manusia dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakkan oleh intuisi dan naluri yang walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan, namun mem- pengaruhi kehudayaan. Misalnya, orang mencari makanan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk pengertian kebudayaan melainkan kebutuhan. Tetapi bagaimana kebutuhan-kebutuhan itu dipenuhi - apa yang kita makan dan bagaimana cara kita makan itu adalah bagian dari kebudayaan kita. Contoh yang kita biasa melihat adalah cara makan dengan sumpit, sendok-garpu, atau sederet sendok-garpu-pisau di kanan-kiri ataupun langsung dengan tangan. Jadi, semua orang makan, tetapi kebudayaanlah yang membuat beda melakukan kegiatan dasar itu dengan cara-cara yang sangat berbeda pula. Pada jaman Richard-the Lion-Hearted (1157-1199), misalnya, alat-alat makan tidak menghiasi meja makan orang Inggris. Kalau mereka telah berkumpul pada waktu makan, makanan hanya diletakkan di tengah meja dalam panci-panci dan tiap orang mengambil sesukanya. dan makan dengan tangan. Secara berangsur-angsur, orang-orang Inggris mulai makan dengan menggunakan alat-alat kayu atau sendok logam. Pola makan itu tidak jauh berbeda dengan pola masyarakat pedesaan dan kota di Indonesia hingga saat ini. Kita makan karena kita harus makan: tetapi penggunaan alat-alat untuk makan adalah kebiasaan yang dipelajari, termasuk sopan-santun, dengan demikian menjadi bagian dari kebudayaan kita. Sebaliknya, kelakuan yang intuitif tidak dipelajari. Banyak jenis hewan akan tidur selama musim dingin, walaupun dia terasing dari hewan sejenis lain dari kelompoknya dan tidak dapat meniru (artinya belajar) tingkah laku nenek moyangnya. Pola kelakuan yang diwarisi secara fisiologis memaksa hewan itu berlaku demikian. Oleh sebab hewan-hewan tidur selama musim dingin bukan kelakuan yang dipelajari, hal itu tidak dapat dianggap sebagai suatu sifat budaya yang umum dilakukan oleh sekelompok hewan itu. Begitu pula, semut-semut yang kita kenal bersifat sosial, tidak dapat dikatakan memiliki suatu budaya kebersamaan, walaupun mereka memiliki tingkah laku yang teratur. Mereka membagi pekerjaannya, membuat sarangnya dan membentuk barisan penyerbunya, semua berbuat begitu tanpa pernah diajar cara melakukannya dan tanpa meniru kelakuan semut-semut lain. Tetapi berbeda dengan monyet-monyet, yang banyak belajar dari induknya dan bapanya atau dari monyet sesamanya yang lebih berpengalaman. Misalnya, sejumlah sarjana pada Pusat Penelitian Monyet di Jepang dapat mengamati-amati bagaimana suatu kelakuan yang baru menular dari satu monyet ke yang lain dan pada akhirnya menjadi bagian dari "budaya kelompok" para monyet, lepas dari faktor-faktor keturunan. Para sarjana peneliti itu, meninggalkan beberapa ubi rambat di pantai, di dekat pemukiman monyet-monyet itu. Tertarik oleh makanan itu, seekor monyet muda mulai dengan mencuci pasir dari ubi tersebut dengan menyemplungkan ubi-ubi tersebut dalam kali kecil di dekatnya. Sebelum itu, monyet-monyet menggosok

2

makanannya, supaya menjadi bersih, tetapi kelakuan mencuci ini menyebar dalam kelompok monyet dan akhirnya menggantikan kebiasaan yang dahulu. Setelah beberapa tahun, 80-90% monyet mencuci ubinya. Kebiasaan yang dipelajari itu menjadi bagian dari kebudayaan monyet. Melalui eksperimen para peneliti telah membuktikan, bahwa kera dan monyet mempelajari hanyak variasi kelakuan, ada yang meliputi kelakuan yang fundamental seperti hal-hal mengenai asuhan ibu dan tingkah-laku yang agak genit seperti kesukaan pada permen. Memang monyet pada hakekatnya mempunyai masa kanak-kanak yang relatif panjang kalau dibandingkan dengan binatang lain, dan mereka harus belajar banyak sebelum dapat berfungsi sebagai monyet dewasa. Proporsi dari kelakuannya yang diperoleh melalui proses belajar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan binatang lain. Mamusia mempunyai masa kanak-kanak yang paling panjang dari semua mahluk hidup. Mengenai jumlah dan rumitnya pola-pola kelakuan yang dipelajarinva dan yang diteruskannya kepada anaknya, manusia itu unik. Dan ia mernpunvai cara yang unik untuk meneruskan kebudavaan: yaitu melalui bahasa. Bahasa Suatu kenyataan yang tidak dapat luput dari perhatian setiap orang adalah pengalamannya bahwa dalam masyarakat manusia yang bagaimanapun bentuknya. selalu terdapat suatu bahasa yang cukup rumit susunannva. Tidak berbeda dalam berbagai bahasa dalam kelompok makhluk hewan, antara jeritan yang paling jelas dari hewan mengajak kawannya berkencan atau memberi peringatan atau menunjukkan marahnya. seperti perkataan manusia yang paling tak mengandung arti, terdapat .... tahapan evolusi yang luas. Bahasa berbeda sifatnya dari semua sistem komunikasi antara hewan. berhubung dengan bahasa bersifat simbolis, artinya suatu perkataan mampu melambangkan arti apa pun, walaupun yang terucap atau barang yang dilambangkan artinya oleh kata itu tidak tampak. Hal itu mengandung implikasi yang hebat untuk pewarisan kebudayaan. lni berarti bahwa orang tua manusia misalnya dapat mengatakan-kepada anaknya, setelah anak dapat mernahami percakapan sederhana bahwa ular itu berbahaya dan harus dihindari. Si orang tua itu dapat menjelaskan secara mendetil lewat buku gambar mengenai sifat-sifat ular, dia memerinci bagaimana panjangnya, besarnya, warnanya, bentuknya dan cara-caranya bergerak. Dia dapat menunjukkan tempattempat di mana anaknya mungkin menemukan ular dan menerangkan kepadanya bagaimana cara menghindar. Jadi tanpa pernah melihat ular. anak itu dapat menyimpan keterangan lisan itu dalam ingatannya. Sekiranya dia menemukan ular, ia mungkin teringat akan kata yang menjadi perlambang untuk binatang itu, dan juga teringat pada keterangan yang berhubungan dengan itu dan dengan demikian menjauhkan diri dari bahaya. Jika kita tidak mempunyai bahasa yang simbolis, ibu-bapa harus menunggu dahulu sampai anaknya benar-benar melihat seekor ular dan melalui contoh-contoh, barulah dapat ditunjukkannya bahwa mahluk semacam itu harus dijauhi. Tanpa bahasa kita tidak dapat meneruskan atau menerima keterangan-keterangan secara

3

simbolis dan dengan demikian tidak dapat menjadi pewaris dari suatu kebudayaan yang demikian kaya dan demikian aneka ragamnya. Kebudayaan Dimiliki Bersama Kalau hanya seorang yang memikirkan atau melakukan hal tertentu, maka hal itu adalah kebiasaan pribadi, bukan suatu pola kebudayaan. Agar dapat secara tepat tercakup dalam kebudayaan ia harus dimiliki bersama oleh suatu bangsa atau oleh sekelompok orang-orang, yaitu kesepakatan. Jadi, para antropolog barulah berpendapat bahwa suatu bangsa mempunyai kebudayaan, jika para warganya memiliki bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang didapat melalui proses belajar. Luas dan jenis kelompok yang dimiliki bersama ciri-ciri ini sangat berbeda. Dalam keluarga kita, dengan kawan-kawan kita misalnya, kita memiliki bersama nilai-nilai, kepercayaan dan cara berlaku tertentu (walaupun ahli antropologi tidak begitu memperhatikan kelompok budaya semacam ini). Pada bagian-bagian tertentu dari masyarakat kita yang mempunyai asal-usul etnis atau daerah atau agama, atau mempunyai pekerjaan yang sama dengan kita, kita miliki ciri-ciri bersama tertentu. Sebagai warga dari suatu suku-bangsa yang sama kita miliki hal-hal tertentu yang serupa sifatnya. Dan malahan melampaui batas-batas nasional kita, kita juga memiliki ciri-ciri tertentu yang sama sifatnya dengan bangsa-bangsa di luar negeri khususnya bangsa-bangsa yang mempunvai kepentingan yang sama dengan kita. Bila kita berbicara tentang kebiasaan bersama dalam suatu masyarakat, dan hal inilah yang menjadi pusat perhatian antropologi budaya, maka yang dimaksud adalah kebudayaan. Bila kita berbicara tentang kebiasaan yang dimiliki bersama oleh satu kelompok (sub group) dalam suatu masyarakat, dan hal inilah yang merupakan pusat perhatian ilmu sosial, maka yang dimaksud adalah suatu bagian khusus dari kebudayaan yang biasa disebut sebagai sub-culture. Dan bila kita mempelajari kebiasaan kelompok, dan kebiasaan itu dimiliki oleh kelompok-kelompok orang secara melampaui perbatasan nasional, maka untuk fenomena demikian kita belum mempunyai nama - suatu hal yang mencerminkan bagaimana jarangnya fenomena semacam itu dan bahwa ciri bersama demikian masih sangat baru. Fenomena semacam itu pada waktu ini kita beri istilah shared culture misalnya, kita berbicara tentang "kebudayaan bangsa Asia", dan kita tidak bisa begitu saja mengklaim bahwa kebudayaan itu adalah milik Indonesia. Jargon semacam itu seringkali terlontar tanpa kita sadari bahwa adanya lintas budaya yang terjadi selama berabad-abad di antara bangsa-bangsa dengan segala latar belakang budaya atau bisa disebut sebagai borderless transformations Sebagai contoh adalah produk kerajinan rakyat, kain batik, kain tenun ikat, jumputan, perabot kayu berukir, mengolah logam, pertanian bahkan sekian banyak seni tari banyak sekali terpengaruh dari kebudayaan bangsa lain, terutama dari Cina, India, Arab, Thailand, Burma dan Kamboja.

4

Mungkin sekali, penelitian baru akan menyarankan cara-cara pendekatan yang lain terhadap kebudayaan internasional. Misalnya, ada penelitian yang menyarankan bahwa suatu kebudayaan dapat saja dimiliki bersama oleh kelas ekonomi tertentu dalam arti umum dan secara internasional. Dalam kata pengantar untuk karyanya La Vida, Oscar Lewis menyatakan bahwa orang-orang yang hidup dalam kemiskinan memiliki kultur kemiskinan; kaum muda mereka mengalami masa kanak-kanak yang pendek dan penuh ketidak-pastian; sebagai perseorangan mereka cenderung merasa tidak berdaya dan putus asa, pada umumnya mereka tinggal di kampung-kota (slums) yang padat dan keadaan perumahannya serba kurang; kecuali dalam hidup keluarga dalam masyarakatnya terdapat sedikit organisasi; dan tingkat integrasi kaum miskin ke dalam masyarakat yang lebih luas, kemungkinan itu kecil sekali. Walaupun pemikiran-pemikiran Lewis itu orisinal, namun itu adalah hasil penggunaan metoda antropologi yang telah dikenal: dia melihat suatu kebudayaan dengan mencatat ciri-ciri bersama yang ada pada mereka. Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku (artinya kebiasaan) yang dipelajari yang pada umumnya dimiliki bersama oleh para warga dari suatu masyarakat; yang dimaksudkan dalam ilmu antropologi dengan masyarakat adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa umum yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya. Kemampuan dapat merumuskan kebudayaan secara demikian telah teruji dan bermanfaat. Untuk memahami bagaimana orang "melakukan" riset dengan ilmu antropologi, harus diketahui bagaimana seorang antropolog mengidentifikasikan pola-pola kelakuan, nilai-nilai dan gagasan yang mana yang sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan suatu suku-bangsa yang sedang dipelajari. Ragam Kebudayaan Menggambarkan suatu kebudayaan tertentu mula-mulanya tidak rumit; cukup saja diperhatikan apa-apa yang dilakukan oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat dan perilaku mereka, lalu dicatat atau direkam dengan perangkat visual. Siapa saja yang perlu diamati? Bagaimana memilih mereka itu? Dan kesimpulan apalagi yang Anda akan ambil jika dari selusin penduduk asli yang mula-mula dijumpai dan dipelajari, ternyata keduabelasnya berlainan sekali cara berlakunya dalam keadaan yang sama. Memang, dapatlah diramalkan bahwa Anda tidak akan menemui kelakuan yang demikian ekstrem perbedaannya, sebab seringkali perbedaan itu sangat tipis sehingga kehatian-hatian adalah mutlak perlu, tetapi dalam kenyataan-nya ada kecenderungan ke arah variasi perorangan yang menonjol dalam pola-pola kelakuan dari subyek-subyek Anda, juga jika mereka memberi reaksi pada keadaan umum yang sama dan juga bila mereka berlaku sesuai dengan nilai budaya yang ada. Apakah kita dapat menjelaskan berapa cara orang bersalaman?

5

Kita akan heran melihat seorang anak berumur sekitar 10 tahun memegang kepala seorang kakek yang uzur inilah terjadi di masyarakat Batak Samosir untuk menghormati si Kakek, ternyata dalam budaya Batak Samosir,seorang anak yang punya posisi kekerabatan lebih tua memang begitu caranya sudah. Atau salaman yang dilakukan masyarakat Dani di Papua Barat yang dengan akrabnya akan menyodorkan satu jari telunjuk dan kita harus segera menyambutnya dengan menjepit jarinya. Lain lagi caranya masyarakat suku Maori di New Zealand yang saling menggosok ujung hidung sebagai penghormatan. Dengan memusatkan perhatian pada cara berlaku yang telah menjadi kebiasaan, dan tidak memusatkan diri pada variasi perseorangan; maka ahli antropologi akan sampai kepada penggambaran kebudayaan suatu kelompok. Misalnya, seorang ahli antropologi yang menaruh perhatian untuk menguraikan cara-cara berpacaran, di kota-kota misalnya pada mulanya akan melihat adanya bermacam-macam tingkah laku. Langkahnya yang pertama ialah menentukan urutan kejadian-kejadian yang mana yang dianggap biasa. Akan dilihatnya bahwa pada umumnya yang lelaki mulai mencari hubungan dengan perempuan pilihannya. Mula-mula ia berbicara dengan perempuan tersebut, sesudah itu ia mengajaknya bepergian. Jika mereka makin mengenal satu sama lain, maka mereka akan lebih sering bepergian bersama dan hubungannya menjadi makin formal. Mereka akan saling mengunjungi keluarga dan mungkin mereka memutuskan untuk "bertunangan" secara resmi dan kemudian sesudah memenuhi syarat undang-undang dan setelah menjalani berbagai upacara, maka keduanya kemudian dinyatakan sah perkawinannya. Setelah mendapatkan pola umum ini, ahli antropologi akan berusaha mengungkapkan berbagai variasi yang ada yang masih dianggap layak. Dia akan melihat bahwa ada pasangan-pasangan yang lebih suka pergi menonton pada perjanjian pertama, sedangkan pasangan-pasangan yang lain lebih suka pergi ke restoran; bahwa ada pasangan yang mempunyai masa pertunangan yang lama dan yang lain tidak bertunangan sama sekali; bahwa ada pasangan yang sangat mementingkan upacara-upacara perkawinan, sedangkan yang lain kawin tanpa banyak acara-acara pesta dan formalitas seterusnya. Namun, jika pola kebiasaan berpacaran sama sekali diabaikan apa yang diinginkan besar kemungkinan tidak tercapai. Misalnya, jika seorang laki melihat seorang perempuan di jalan dan memutuskan akan kawin dengannya, dan dia memilih cara yang lebih cepat dan lebih langsung daripada cara berpacaran yang lazim. Dia misalnya naik kuda ke rumah perempuan itu, merebutnya dan melarikannya. Kabarnya di Sisilia di Italia, sampai beberapa waktu yang lalu, pasangan semacam itu dianggap "telah kawin" dengan sah, walaupun perempuan itu sebelumnya tidak pernah berkenalan dengan laki itu. Di Amerika Serikat misalnya tiap laki yang bertindak demikian akan ditangkap dan dipenjarakan karena menculik dan boleh jadi pikiran sehatnya diragukan. Kelakuan seperti itu tidak dapat diterima dalam masyarakat itu, cara perilaku itu di situ tidak dapat dianggap tingkah laku budaya yang berlaku..

6

Ada lagi banyak contoh perilaku yang terjadi dalam masyarakat adat, antara lain seperti yang pernah berlaku dalam masyarakat adat Trunyan, di Danau Batur, Bali. Di tempat itu kita kenal istilah Ngerorot atau kawin lari. Yakni, seorang pemuda akan membawa lari perempuan pujaannya yang ia cintai dan kemudian 6 hari hidup bersama penuh cinta persetubuhan pun bukan tabu, lalu si pemuda mengirim utusan ke hadapan orang tua si gadis sebelum upacara perkawin diresmikan. Jelaslah bahwa seorang ahli antropologi yang dihadapkan dengan sejumlah perorangan yang semua perilaku berlainan, akan berusaha mengungkapkan polapola kelakuan yang umum dalam masyarakat yang dipelajari. Dia akan menentukan variabel mana yang termasuk ke dalam pola-pola umum itu dan mana yang jelas tidak dapat diterima. Yang dilakukannya bukanlah sekedar menggambarkan secara panjang lebar tentang perorangan dan tingkah laku mereka, tetapi dari tingkah laku perseorangan dia akan meningkat kepada perumusan pola budaya yang.umum. Generalisasi Pola-pola Kebudayaan Ada dua cara yang mendasar untuk menyimpulkan sifat-sifat umum mengenai pola-pola kebudayaan. Kalau dia mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang terungkap secara jelas atau gamblang dalam suatu masyarakat misalnya, kebiasaan ketata-negaraan untuk memilih penjabat pemerintah seperti Presiden melalui pemilihan maka si peneliti dapat menentukan dan mempelajari kebiasaankebiasaan itu dengan bantuan beberapa orang yang tahu seluk-beluknya. Sebaliknya, kalau dia mempelajari bidang kelakuan tertentu yang mencakup banyak variasi perseorangan, atau bila orang-orang yang dipelajari itu tidak sadar akan pola-pola kelakuannya sendiri, maka ahli antropologi harus mengumpulkan keterangan dari sejumlah warga masyarakat yang untuk tujuan itu ditentukan sebagai contoh untuk menjadi wakil dari penduduk yang dipelajari dan dari jawaban mereka disimpulkan apa yang merupakan jawaban rata-rata. Yang terakhir adalah suatu metoda statistik yang menunjukkan jawabanjawabannya yang paling sering ditemukan dalam suatu seri jawaban tertentu. Jadi ini adalah suatu cara lain untuk menggambarkan pola kebudayaan yang lazim. Andai-kata seorang antropolog ingin menguraikan tentang waktu-waktu makan malam yang merupakan kebiasaan warga suatu masyarakat. Jika catatan-catatannya tentang perilaku dari 50 orang menunjukkan bahwa ada yang makan malam pada pukul 17.45; yang lain pada pukul 18.00, yang lain lagi pada 18.30 atau pukul 19.00, tetapi sebagian besar dari mereka makan pada pukul 18.30, dia akan mengatakan saja, bahwa para warga masyarakat itu pada umumnya makan malam pada pukul 18.30, karena yang terakhir inilah yang mewakili kelakuan rata-rata mereka itu. Penyebaran frekuensi dapat juga dihitung berdasarkan jawabanjawaban yang diberikan oleh semua warga dari seluruh penduduk yang hendak dipelajari. Tentu sudah dapat digambarkan bahwa penyimpulan demikian

7

banyaknya keterangan, akan menghabiskan banyak waktu. Ketimbang cara itu, ahli antropologi biasanya mendapatkan data pendukung dari sejumlah orang yang mewakili keseluruhan atau contoh yang representatif. Hal yang diidamkan adalah bahwa contoh itu terdiri dari orang-orang yang diambil secara acak dari masyarakat atau kelompok yang dipelajari artinya semua jenis warganya sama kesempatannya untuk terpilih. Kalau contoh diambil secara acak besar kemungkinan bahwa contoh itu akan mencakup semua contoh dari variasi kelakuan yang sering terdapat dalam masyarakat atau kelompok yang dipelajari dan perbandingan di antara variasi yang dijumpai dalam contoh akan tidak jauh berbeda dengan proporsi di antara variasi dalam kelompok yang dipelajari itu. Menurut teori, pengambilan contoh secara acak, adalah metoda yang berguna namun kenyataan adalah bahwa metoda itu belum digunakan secara luas dalam penelitian antropologi. Karena agak mudah juga untuk membuat kesimpulan umum atau generalisasi tentang aspek-aspek kebudayaan yang gamblang atau disadari, seperti saat makan malam dan prosedur berpacaran maka metoda penarikan contoh, sering tidak perlu. Tetapi dalam penelitian mengenai aspek-aspek kebudayaan yang terselubung atau yang tidak disadari. seperti pendapat masyarakat mengenai jarak yang wajar antara dua orang pada waktu berbicara, penarikan sample secara acak-acakan mungkin perlu, agar kesimpulan umum mengenai pola kebudayaan dapat dirumuskan dengan tepat. ini adalah karena sebagian besar orang-orang tidak sadar mengenai pola-pola kebudayaannya yang terselubung atau pola budaya yang tidak disadari. Lagipula, dalam usaha mengenali aspek-aspek kebudayaan yang terselubung, pendapat subyektif lebih besar pengaruhnya sehingga tanpa sampel acak-acakan maka interpretasi yang tidak tepat akan mudah terjadi. Mengapa kesukaran terjadi dalam usaha untuk mengenal cara berlaku rata-rata daripada budaya terselubung, maka mujurlah bahwa variasi kelakuan sekitar pola rata-rata pada umumnya tidaklah luas. Pembatasan-pembatasan Kebudayaan Faktor utama yang membatasi kemungkinan variasi dalam cara berlaku perseorangan adalah kebudayaan itu sendiri. Ahli sosiologi Perancis yang terkenal. Emile Durkheim, menekankan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang berada di luar kemauan kita, di luar kemampuan perseorangan dan memaksakan kehendaknya pada para individu. Kita tidak selalu merasakan pembatasan kebudayaan itu, karena pada umumnva kita mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang dituntutnya. Tetapi jika kita coba menentang pembatasan kebudayaan itu, kekuatannya menjadi nyata. Ada 2 macam pembatasan kebudayaan:.pembatasan langsung dan yang tidak langsung. Tentu saja pembatasan langsung yang paling jelas. Misalnya. jika Anda mengenakan pakaian yang tidak biasa dalam kebudayaan Anda, Anda mungkin dijadikan bahan ejekan dan mungkin agak dijauhi dalam masyarakat. Tetapi kalau Anda hanya memakai sekedar kain cawat. Anda akan mengalami suatu tekanan kebudayaan yang lebih keras dan lebih langsung

8

misalnya ditangkap karena memperlihatkan badan secara kurang sopan. Walaupun bentuk-bentuk pembatasan-pembatasan kebudayaan yang tidak langsung kurang nyata dibandingkan dengan yang langsung, efeknya tidak kurang. Durkheim menulis: Saya tidak wajib berbicara dalam bahasa Perancis dengan orang-orang setanah air saya, ataupun mempergunakan mata uang yang bertaku, tetapi tidak ada jalan lain untuk saya. Jika saya mencoba mengelakkan hal yang perlu ini, usaha saya akan gagal sama sekali. Dengan lain perkataan: Seandainya Durkheim memutuskan untuk berbicara dalam bahasa lain dan bukan dalam bahasa Perancis, tidak ada orang yang akan menghalanginya. Tetapi tidak ada seorang pun yang akan memahaminya. Dan, sekalipun dia tidak akan dipenjarakan karena mencoba membeli bahan makanan dan minuman dengan mata uang asing, dia akan mengalami banyak kesulitan dalam membujuk pedagang setempat untuk mau menjual bahan makanan kepadanya. Dalam serentetan eksperimen mengenai konformitas atau persesuaian, Solomon Asch mengungkapkan hingga berapa jauhnya tekanan dari pembatasan sosial itu. Asch melatih sebagian besar dari sekelompok mahasiswa untuk dengan sengaja memberi jawaban-jawaban yang salah atas pertanyaan-pertanyaan mengenai perangsang visual. Seorang "subyek yang kritis", yaitu seorang mahasiswa yang sengaja tidak dilatih, tidak menyangka bahwa peserta-peserta lain dari percobaan itu dengan sengaja akan memberi tafsiran yang salah atas perangsang visual yang disajikan pada mereka. Asch menemukan dalam sepertiga dari percobaan itu, subyek yang kritis itu secara tetap membiarkan pendapat-pendapatnya yang benar, diubah oleh pendapat orang lain yang nyata-nyata salah. Dan dalam 40% lagi dari percobaan-percobaan itu para subyek yang kritis kadang-kadang tunduk pada pendapat kelompok. Namun adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan atau tekanan-tekanan sosial, tidaklah bisa digolongkan bahwa itu harus bertentangan dengan individualitas. Memang kadang-kadang tekanan sosial sering menghalang-halangi kita melakukan hal-hal yang sebetulnya ingin kita lakukan tetapi tidak berarti bahwa kepribadian kita yang unik senantiasa mengalah pada kemauan mayoritas. Malahan, dalam eksperimen-eksperimen Asch sebenarnya telah nyata terungkap. bahwa sementara banyak individu mungkin sangat terpengaruh oleh pendapat sepakat yang secara umum dikemukakan oleh suatu kelompok orang-orang lain. namun peroranganperorangan yang memang mempunyai pendirian bebas (kira-kira seperempat dari jumlah subyek-subyek kritis) tetap mempertahankan pendapat-pendapat mereka yang bebas, sekalipun mereka sama sekali ditentang oleh pendapat mayoritas. Karena itu tidak mungkin rasanya, bahwa pembatasan-pembatasan kebudayaan sama sekali menghilangkan kepribadian perseorangan. Pola Budaya Ideal < > Pola Kelakuan Sebenarnya Dalam tiap-tiap masyarakat dikembangkan serentetan pola-pola budaya ideal dan pola-pola itu cenderung diperkuat dengan adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola budaya yang ideal itu memuat seperti hal-hal yang oleh sebagian besar dari suatu masyarakat, diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukannya dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola ideal seperti itu sering

9

disebut norma-norma. Kita semua tahu, bahwa orang tidak selalu berbuat sesuai dengan patokan-patokan yang mereka akui. Andaikata para warga masyarakat memang selalu mengikuti norma, maka tidak perlu ada pembatasan-pembatasah langsung atau tidak langsung. Sebagian dari pola-pola kita yang ideal berbeda dari perilaku sebenarnya, karena yang ideal itu dikesampingkan oleh cara yang telah dibiasakan oleh masyarakat. Pola-pola ideal yang lain mungkin belum pernah menjadi pola kelakuan yang diikuti dan karena itu mungkin hanya menggambarkan apa yang digambarkan oleh warga masyarakat. Adanya jurang antara pola ideal dan pola-pola kelakuan yang sebenarnya merupakan gejala yang umum dalam kebudayaan-kebudayaan manusia. Masyarakat suku Baduy yang hidup di ujung Barat pulau Jawa dapat menjadi contoh pola ideal dan pola-pola perilaku sebenarnya. Menurut mereka terutama yang tergolong Baduy Dalam banyak sekali larangan atau pemali. Baduy Dalam hingga hari ini menolak segala bentuk benda atau infrastruktur yang modern Sesuai dengan budaya mereka maka terciptalah kelompok lain yang disebut Baduy Luar, dan mereka inilah yang berperan sebagai buffer-budaya kebudayaan Baduy Dalam. Kelompok Baduy Luar sudah tidak ketat mengikuti aturan-aturan adat yang berlaku, mereka tidak mengisolir diri dan menerima benda modern kecuali listrik atau infrastruktur pedesaan. Antara suku-suku bangsa tertentu di Irian, misalnya pola-pola aktual dari hubungan lelaki-perempuan, agaknya berbeda sekali dari pola budaya yang ideal. Suku bangsa Mae Enga. di Pegunungan Barat Papua Nugini mempunyai gagasan untuk mempertahankan perpisahan yang hampir bersifat total antara kaum lelaki dan kaum perempuan. Mereka percaya bahwa. sesudah perempuan menjadi akil-balig, dia menjadi kotor, mempunyai kualitas yang luar biasa dan jahat, dan tiap lelaki yang berhubungan dengannya akan tercemar olehnya. Tidaklah mengherankan, bahwa pergaulan seksual dianggap suatu perbuatan sial yang menyedot sifat kejantanan seorang lelaki. Dengan demikian menurut suku Mae Enga, pola tingkah laku yang ideal adalah agar semua laki-laki selalu menghindari kaum perempuan. Tetapi untuk memungkinkan kelahiran anak-anak, orang Mae Enga harus berkompromi (menyimpang) dengan idealnya. Bagian terbesar dari kaum lelaki pada akhirnya menikah juga, walaupun mereka tetap hidup terpisah dari isteri mereka. Pergaulan seksual memang dilakukan, walaupun hanya sekali-sekali. Tetapi pada orang Kamanao dari Pegunungan Timur, Papua Nugini jurang antara pola-pola tingkah laku ideal dan pola kelakuan yang sebenarnya malahan lebih menonjol lagi. Orang Kamanao. seperti orang Mae Enga, mempunyai "peraturan" ketat yang melarang pergaulan seksual; tetapi dalam kenyataannya, kaum lelaki Kamanao sering memuaskan diri dalam pergaulan seksual dan mereka merasa bahwa aktivitas seksual meningkatkan kekuatan dan ke jantanan mereka. " .

10

Beberapa Anggapan Dasar Mengenai Kebudayaan dapal disesuaikan. Kenyataan bahwa hanyak kebudayaan bertahan dan malah berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh suatu masyarakat, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini tidak mengherankan, karena kalau sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu. kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Tiap aturan adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu merupakan adat yang dapat disesuaikan. Pada umumnya, kebudayaan dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan itu melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka sendiri, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis, maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak perilaku yang wajar dalam hubungan tertentu yang bagi seorang pengamat memberi kesan janggal, akan difahami jika dipandang dari sudut hubungan masyarakat dengan lingkungannya. Misalnya, kita akan heran karena adanya larangan pergaulan seksual bagi kaum ibu dalam masyarakat suku Dani di Lembah Baliem, Papua Barat, yang akan menyusui anak sampai anaknya berumur 3-4 tahun dan disapih. Tetapi di daerah-daerah tropis, di mana sering berlaku pantangan seperti itu, itu mungkin merupakan suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan fisik. Tanpa larangan seperti itu, sang ibu mungkin lekas hamil lagi, dan tidak dapat lagi menyusui anaknya. Tanpa susu ibu, si anak mungkin meninggal, karena dihinggapi penyakit, suatu penyakit berat yang disebabkan oleh kekurangan protein yang umum berjangkit di daerah tropis. Pantangan itu akan menolong anak itu untuk hidup lebih lama. Sebagaimana kebudayaan merupakan suatu penyesuaian pada lingkungan fisik dan kebutuhan-kebutuhan biologis, kebudayaan juga merupakan suatu penyesuaian pada lingkungan sosial. Misalnya, tidak diketahui pasti apa sebabnya suku Indian Hopi membangun pemukiman di puncak-puncak mesa (pegunungan bentuk meja); mereka tentu mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk itu, karena banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempat seperti itu - umpamanya kesulitan jauhnya mengangkut air ke pemukiman itu. Mungkin juga orang-orang Hopi memilih membangun kampungnya di puncakpuncak mesa, demi maksud-maksud pertahanan mereka, ketika kelompok Indian yang berbahasa Athapaskan (suku-suku pemburu Navajo dan Apache) berpindah ke daerah orang-orang Hopi. Dengan lain perkataan, suku Indian Hopi mungkin menyesuaikan kebiasaan hidup berkenaan dengan tekanan-tekanan sosial di luar kelompoknya. Kebiasaan yang ada dalam masyarakat suku Korowai, yang hidup di sekitar sungai Dairam dikenal sebagai Tree Dwellers di Papua Barat yang membangun tempat hunian di atas pohon setinggi 10-40 meter dari permukaan tanah, bagi mereka yang percaya bahwa tanah merupakan tempat roh jahat bersemayam. Itulah contoh

11

perilaku bagaimana masyarakat adat menyesuaian itu terhadap lingkungannya; tetapi cara penyesuaian yang satu itu bukanlah mewakili semua cara penyesuaian yang mungkin diadakan. Masyarakat yang berlainan mungkin saja memilih caracara penyesuaian yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Demikianlah di Amerika Selatan, yang merupakan daerah kadar protein rendah juga, tidak ada pantang pergaulan seksual selama masa lama sesudah melahirkan, tetapi pengguguran kandungan merupakan perbuatan biasa. Hal ini mungkin saja mempunyai fungsi yang sama dengan menjarangkan kelahiran dan dengan demikian mencegah penyapihan bayi terlalu cepat. Demikian juga, suku Indian Hopi yang dengan mendadak dihadapi oleh suku-suku Navajo dan Apache yang bermusuhan dan bersifat ekspansionis, tentu mesti bertindak untuk melindungi diri. Tetapi, daripada membangun pemukiman mereka di puncak-puncak mesa yang mudah dipertahankan (seperti yang telah dicatat) mereka dapat mengembangkan beberapa kesatuan latihan militer untuk pertahanan. Alasan mengapa suatu masyarakat mengembangkan suatu jawaban tertentu terhadap suatu masalah dan bukan memberi jawaban lain yang sebenarnya dapat dipilihnya, masih memerlukan penjelasan. Tetapi hal lain harus kita ingat juga, yaitu suatu masyarakat tidak harus menyesuaikan diri pada keadaannya yang khusus. Walaupun pada umumnya orang memang mengubah tingkah laku sejalan dengan apa yang menurut perkiraan mereka akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu terjadi. Lagipula, apa yang dikira orang sebagai berguna, tidak selamanya dapat dicapai sebagai penyesuaian. Malahan ada masyarakat yang dengan pengembangan unsur budaya tertentu melakukan penyesuaian yang salah artinya, kebiasaan itu mengurangi ketahanan masyarakat yang menggunakannya atau mempertahankannya. Kita telah mengatakan, bahwa di Irian ada suku-suku bersahaja tertentu yang menganggap kaum perempuan sebagai individu yang pada hakekatnya kotor dan berbahaya dan hubungan fisik dengan mereka hendaknya dibatasi. Andaikata suatu suku semacam itu memutuskan untuk menerima homo seksualitas sebagai pola seksual yang dibiasakan, jelaslah dapat diramalkan, bahwa masyarakat dengan kebiasaan seperti itu tidak akan hidup lama. Dan memang ada bukti yang mengungkapkan bahwa beberapa masyarakat di jaman lampau telah punah karena memakai kebiasaan-kebiasaan yang merugikan." Masih ada unsur budaya yang lain seperti mode pakaian dan peraturan sopan santun yang mungkin bersifat "netral" dipandang dari sudut adaptasi. Artinya, hal itu mungkin tidak mempunyai hubungan langsung dengan kebutuhan biologis atau dengan keadaan lingkungan. Unsur-unsur lain lagi, mungkin merupakan peninggalan dari masa lalu; mungkin unsur itu mempunyai nilai adaptasi di jaman lampau, tetapi nilai tersebut tidak berlaku lagi. Umpamanya, kancing-kancing dan lengan baju jas lelaki, yang tidak terjahit di ujungnya; pernah mempunyai maksud tertentu agar lengan baju dikancing lebih ketat pada pergelangan tangan. Namun, walaupun mode menghendaki agar lengan baju jas laki harus longgar di pergelangan tangan, kancing-kancing dan pinggir yang terbelah tetap bertahan, pada waktu-waktu tertentu.

12

Kebudayaan Merupakan Suatu Integrasi Bila pada kita diceritakan tentang suatu pola budaya yang tidak kita kenal, reaksi yang lazim adalah untuk mencoba membayangkan apakah pola itu akan cocok dalam masyarakat kita sendiri. Misalnya kita mencoba membayangkan apa yang akan terjadi, seandainya kaum perempuan dalam masyarakat kita menjalankan pantang hubungan seks sesudah kelahiran misalnya pantang 3 tahun sesudah melahirkan anak. Pertanyaan seperti itu adalah tidak wajar, karena kebiasaan suatu kebudayaan tidak dapat dengan begitu saja dimasukkan ke dalam kebudayaan lain. Dalam kontak budaya yang bersangkutan larangan pergaulan seks selama waktu panjang digariskan karena tidak ada pengendali kelahiran yang efektif, sedangkan dalam masyarakat kita sudah dikenal metoda-metoda pengendalian kelahiran. Lagipula, bila larangan pergaulan seks untuk masa panjang diterima maka hal itu akan mempengaruhi beberapa segi penting yang lazim dari kebudayaan kita, seperti tradisi bahwa perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan suami-isteri. Ini berarti bahwa jika suatu larangan seperti itu dipaksakan ke dalam kebudayaan kita maka kebudayaan itu bukan lagi kebudayaan kita; tertalu banyak segi-segi lain harus diubah untuk menerapkan cara berlaku yang baru itu dalam kebudayaan yang ada. Hal itu disebabkan karena kebudayan kita mewujudkan suatu integrasi. Bila dikatakan, bahwa suatu kebudayaan merupakan suatu integrasi, maka yang dimaksud adalah bahwa unsur-unsur atau sifat-sifat yang terpadu menjadi suatu kebudayaan bukanlah sekumpulan kebiasaan-kebiasaan yang terkumpul secara acak-acakan saja. Satu alasan mengapa para ahli antropologi menduga bahwa kebudayaan merupakan satu integrasi kelihatannya adalah bahwa sifat itu dianggap bersumber pada sifat adaptif dari kebudayaan. Jika kebiasaan tertentu lebih adaptif dalam susunan tertentu, maka dapat diduga bahwa gumpalan unsur-unsur budaya itu akan ditemui dalam kaitan yang berhubungan bila ditempatkan dalam keadaan yang bersamaan. Umpamanya, suku Bushmen !Kung, hidup dengan memburu binatang buas dan mengumpulkan tanaman liar. Mereka juga merupakan suku pengembara hidup dalam kelompok kecil dengan sedikit jumlah penduduk, mempraktekkan sistem saling membagi makanan dan memiliki sedikit harta benda. Unsur-unsur budaya demikian umumnya terdapat secara berkaitan di antara sukusuku yang hidupnya tergantung dari berburu dan pengumpulan makanan. Asosiasi semacam ini menunjukkan bahwa kebudayaan-kebudayaan cenderung untuk berintegrasi. Alasan kedua untuk dugaan bahwa kebudayaan merupakan suatu integrasi ialah karena kebudayaan yang unsur-unsurnya bertentangan satu sama lain sukar, kalau tidak mustahil untuk secara bersamaan mempertahankan yang bertentangan itu. Dalam masyarakat modern juga banyak sekali kesepakatan yang menjadi baku, misalnya sudah merupakan kebiasaan bahwa seorang pengendara mobil atau motor akan berhenti jika lampu lalu lintas warna merah dan jalan terus pada waktu lampu warna hijau menyala.

13

Tidak mungkin lagi dalam kebudayaan kita untuk merubah misalnya peraturan yang mengatakan bahwa kendaraan yang lebih dahulu sampai pada persimpangan jalan di mana ada lampu lalu lintas berhak berjalan lebih dulu. Karena peraturan tersebut saling bertentangan. Jadi, kebudayaan cenderung terdiri dari unsur-unsur yang dapat disesuaikan satu sama lain. Karena kebudayaan mewujudkan suatu integrasi, maka perubahan pada satu unsur sering menimbulkan benturan yang dahsyat dan kadang-kadang benturan itu terjadi pada bidang-bidang yang sama sekali tidak disangka semula. Seandainya seorang pejabat organisasi untuk perkembangan ekonomi menyimpulkan bahwa banyak orang India miskin, terlalu padat penduduknya, umumnya kurang makan, karena agama mereka tidak mengizinkan untuk membunuh dan memakan sapi yang berkeliaran di jatanan. Lalu dia mungkin saja menganjurkan penyembelihan sapi secara besar-besaran dan ternyata satu-satunya manfaat dari tindakan ini adalah pengetahuan bahwa penghapusan dari kebiasaan yang kelihatannya sederhana ini, sangat tidak diinginkan. Jumlah hewan pembajak yang tersedia untuk kaum petani India akan sangat berkurang. Orang-orang India tidak lagi akan mendapatkan kotoran sapi yang digunakan sebagai sumber utama dari bahan bakar untuk memasak dan digunakan sebagai pupuk. Kulit-kulit sapi, tanduk dan kuku sapi tidak dapat dipergunakan untuk membuat pakaian dan alat-alat lain yang diperlukan. Agaknya seandainya orang-orang Hindu tidak lagi dilarang membunuh sapi mungkin timbul masalah lain, yaitu belum cukupnya fasilitas di India pada waktu sekarang untuk mendirikan industri daging besar-besaran. Contoh ini jelas menunjukkan bahwa kebudayaan adalah lebih dari sekedar kumpulan acak-acakan dari kebiasaan-kebiasaan atau norma-norma. Kebudayaan itu merupakan suatu struktur yang tersusun sangat rapi di mana suatu komponen tertentu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan banyak komponen lain, dan diperlukan olehnya. Kebudayaan Selalu Berubah Walaupun unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukkan ke dalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu, kita harus mengingat, bahwa kebudayaan tidaklah bersifat statis ia selalu berubah. Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur budaya asing sekalipun suatu kebudayaan dalam masyarakat tertentu, pasti akan berubah dengan berlalunya waktu. Dalam setiap kebudayaan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada para individu dan kebebasan individu memperkenalkan variasi dalam cara-cara berlaku dan variasi itu yang pada akhirnya dapat menjadi milik bersama, dan dengan demikian di kemudian hari menjadi bagian dari kebudayaan. Atau mungkin beberapa aspek dari lingkungan akan berubah, dan memerlukan adaptasi kebudayaan yang baru.

14

Bahwa kebudayaan selalu berubah, ternyata itu suatu kenyataan kalau orang memperhatikan sebagian besar dari aturan adat kita. Cara-cara berpakaian, umpamanya, mengalami perubahan. Dan juga suatu aspek kebudayaan yang pada umumnya dianggap bertahan lama seperti tingkah laku berpacaran dapat berubah dengan waktu. Banyak kebiasaan berpacaran pada masa lalu oleh orang muda sekarang mungkin sudah dianggap "kuno". Jelaslah, bahwa kebudayaan manusia bukanlah suatu hal yang hanya timbul sekali atau yang bersifat sederhana. Tiap masyarakat mempunyai suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan masyarakat lain dan kebudayaan itu merupakan suatu kumpulan yang terintegrasi dari cara-cara perilaku yang dimiliki bersama dan kebudayaan yang bersangkutan secara unik mencapai penyesuaian kepada lingkungan tertentu. PERSPEKTIF BUDAYA DALAM ENTREPRENEURSHIP Bagaimana jika perspektif kebudayaan dapat diterapkan sebagai unsur daya-guna sosial marketing dalam dunia entrepreneur atau di daya-gunakan sebagai dasar ide kreatif dalam mencipta sesuatu untuk mengembangkan usaha. Jelas sangat membutuhkan kajian budaya mendalam terutama tentang perilaku kelompok masyarakat pengguna. Perilaku Konsumen Definisi perilaku konsumen pada prinsipnya ditentukan oleh beberapa unit, seperti kelompok keluarga atau individual dalam menentukan sesuatu langkah membeli atau ingin memperoleh layanan. Pengertian perilaku konsumen berkembang sebagai suatu disiplin ilmiah adalah mengacu pada berbagai macam tatanan sosial-budaya, teknologi dan juga pasar. Kendala-kendala perubahan perilaku tersebut juga ditentukan oleh adanya perubahan pandangan dari para konsumen. Misalnya, disebabkan oleh adanya perkembangan teknis, kebijaksanaan publik, ataupun karena kepedulian lingkungan. Atau karena munculnya produk-produk baru, pemasokan barang dari luar atau perubahan segmen pasar yang ada. Perubahan sikap Konsumen Sikap para konsumen dengan segala perilakunya selalu berubah sesuai situasi dan kondisi, beberapa tahun lalu bentuk satu keluarga terdapat sekian banyak anggotanya, kemudian berubah (karena KB) menjadi 4 orang - bahkan ada keluarga yang terdiri suami-istri tanpa anak. Semua ini akan mengubah gaya hidup mereka dan juga mengubah sikap dan perilakunya dalam menentukan pembelanjaan. Di Negara Barat atau mungkin juga sudah merambah di Indonesia, bahwa pemasaran kosmetik misalnya perlu menyesuaikan gaya-hidup saat ini, bahwa pembeli utama kosmetik yang terbanyak adalah perempuan yang hidup bersama laki-laki (tanpa anak) atau single parent dan para singles.

15

Kegiatan pemasarannya tentu harus menyesuaikan adanya pergeseran sikap dan perlaku sosial-budaya yang sedang berlaku. Penentuan untuk membeli sesuatu dalam keluarga pun berubah dari waktu ke waktu, tergantung pada strata sosial dan latar belakang budaya masing keluarga dan suku-bangsa asalnya. Dan sikap itu selalu berubah sesuai dengan adanya pergeseran nilai sosial-budaya yang berlaku. Membeli sesuatu, juga ditentukan oleh strata sosial yang bersangkutan misalnya; Masyarakat golongan bawah akan menentukan bersama (suami/istri) untuk membelanjakan sesuatu. Masyarakat golongan menengah-atas cendrung individualis. Latar belakang suku-bangsa juga sangat besar artinya dalam membuat suatu keputusan. Sebagai contoh kasus: di AS tentang sabun deterjen LUX Iklan promosi menekankan arti Kelembutannya (Gentleness) pada tangan, mereka meng-gunakan iklan yang sama di Jerman ternyata gagal, karena para Ibu rumah tangga di Jerman lebih mementingkan Kemampuan Sabun itu Membersihkan dan bukan kelembutannya. Iklan Pasta Gigi yang berbunyi Removes Particles from Between Teeth bagi masyarakat Perancis adalah sangat berarti, dibanding dengan kata-kata Freshens Mouth and Brightens Teeth yang berlaku di AS. Slogan bagi Coca Cola yang berbunyi Things Go Better with Coke lebih berhasil dibanding kata-kata Its the Real Things. Adapula kalimat yang humoristik atau sejenis yang umumnya ingin menambah atau merubah persepsi konsumen yang sangat sadar baca-tulis (literal-minded) seperti slogan produk BBM Esso yang berbunyi "A Tiger In Your Gas Tank" Iklan ini tidak berhasil menarik perhatian di Swiss, bahkan diragukan maksudnya karena kalimat itu asing dan tidak dapat dicerna oleh konsumen di sana. Contoh lain adalah merk Carlsberg Beer dengan gambar dua ekor gajah yang tidak dapat diterima oleh masyarakat di Afrika, sebab 2 ekor gajah merupakan simbol kesialan maka Carlsberg segera mengganti dengan tiga ekor gajah. Kasus di Indonesia : Iklan untuk perhiasan bermata Berlian dengan teks : Ungkapkan Cinta Anda dengan Berlian - tidak berhasil sebab kita pada umumnya tidak mengungkapkan cinta dengan benda itu yang relatif baru dikenal pada abad 19. ; melainkan ikatan lahir/bathin atau cukup dengan bentuk simbol-simbol seperti Kitab Suci atau barang hantaran lain yang mempunyai arti simbolis sebagai mas Kawin atau belis. Bahkan di beberapa daerah masih memberi tanda pengikat berupa hewan ternak. Iklan Berlian itu kemudian disarankan mengubah teksnya menjadi suatu simbol status atau gengsi. Iklan Susu Bayi Formula yang sangat agresif mendapat kritik dari YLKI dan BPK-ASI juga Dep-Kes. Pabrik Susu memang mengurangi bentuk promosi langsung kepada

16

konsumen. Tetapi kita melihat saat ini target mereka lebih tertuju pada masyarakat perkotaan yang tergolong strata menengah-atas - perusahaan susu itu berhasil sebab para ibu golongan ini memang sibuk dan banyak yang bekerja sehingga tidak ada waktu lagi untuk memberi ASI yang ideal itu. Tetapi ternyata di kota kecil/desa banyak ditemukan susu bayi kaleng tersebut sebagai panjangan di ruang tamu bukan untuk diberikan pada bayinya, melainkan untuk panjangan sebagai simbol status. Mereka tetap memberi ASI, susu kaleng itu bahkan tidak akan dibuka. Tempat Makan yang merupakan Franchise Asing ternyata berhasil karena masyarakat kita sedang mencari status atau gengsi dan bukan mencari makanan yang enak bergizi. Kita bisa mengamati perilaku mereka di Mc Donald, KFC, Starbuck Cafe atau di tempat lain sejenis. Masalah orang mencari status dan gengsi mungkin juga menarik dengan adanya satu kiosk di Pondok Indah Mall yang sangat exclusive, ada yang menjual baju-baju casual, kaos T-Shirt yang 300.000 atau celana jeans seharga 1,500.000 - pokoknya tidak ada duanya (kembaran). Mereka cukup menilpon langanan yang namanya sudah ada di dalam data base dan mendapat layanan pada waktu tertentu secara pribadi pula. Penelitian beberapa tempat di Jawa Barat tentang peranan Posyandu ternyata tidak semua berhasil mencapai sasaran. Sebab Instansi yang bersangkutan tidak memperhatikan perilaku para Ibu-Ibu terutama yang ada di desa-desa sebagai petani. Kampanye atau siaran akan hadirnya suatu kegiatan rutin Posyandu ternyata dilakukan pada saat para Ibu ada di ladang, jauh dari rumahnya. Ditambah lagi dengan perilaku para petugas yang kurang simpatik terhadap masyarakat itu sendiri. Sikap mereka katanya lebih banyak membentak daripada merayu (arogansi dan paternalistik). dan ini adalah ciri-ciri budaya feodal yang masih tetap berlaku dalam masyarakat kita. Social Marketing atau Market Survey sangat penting guna menentukan sasaran, dan Perilaku Konsumen itulah yang menjadi acuan pada setiap penelitian. Mengenai perilaku konsumen kita tidak dapat mengabaikan pada unsur-unsur latar belakang sosial-budaya masyarakat tersebut yang sangat complex sifatnya. 1. Bahasa 2. Sistem Pengetahuan 3. Organisasi sosial 4. Sistem Teknologi 5. Sistem mata pencarian hidup 6. Sistem Religi 7. Kesenian Definisi tentang kebudayaan menurut AL Kroeber dan C.Kluckhohn terdapat 165 jenis definisi dan semua itu tidak dapat hanya dirumuskan, melainkan perlu pengamatan dan pemahaman. .

17

Para konsumen sangat terpengaruh budaya asalnya dan budaya asalnya meski tidak mudah terlihat tetapi paling tidak manifestasi mereka dapat diamati. Sebab Kebudayaan adalah suatu totalitas pola hidup masyarakat itu dan tidak dapat di sama-ratakan. Dan polanya juga akan berubah menyesuaikan waktu. Setiap perubahan nilai budaya yang terjadi akan sangat berpengaruh terhadap perilakunya konsumen. Contoh kasus lain adalah pemesan minta dibuatkan rencana poster iklan rokok yang khusus akan beredar di Yogyakarta, dengan muatan bahasa lokal, kemudian kita buatkan kalimat: Ajining Dhiri Ana Ing Pucuking Lathi ungkapan bahasa Jawa kita plesetkan menjadi Ajining Dhiri Ana Ing Pucuking Lambe artinya, harga diri ada di ujung bibir ! Semua ini akan merubah persepsi seseorang karena adanya perbedaan latarbelakang sosial-budaya masyarakat konsumen. Apabila seseorang merencanakan untuk membeli mobil, misalnya, ia pasti memperhatikan banyak hal termasuk warna, lingkungan di mana ia tinggal, membaca banyak iklan, mengamati mobil-mobil yang ada di jalan-raya atau yang sedang di pamerkan oleh para dealers, dan lain-lain. Jika kebutuhan seseorang sangat mendesak, maka kecendrungannya untuk mengamati terhadap obyek yang relevan dengan kebutuhan itu akan meningkat seirama dengan rasa emosional yang ia miliki. Para konsumen yang berbelanja di Supermarket dalam keadaan lapar misalnya, mungkin akan cepat tanggap terhadap makanan yang dikemas merangsang meskipun barang itu masih asing baginya. Bahkan pernah disarankan oleh Lembaga Konsumen di AS, agar untuk menyesuaikan budget ekonomi anda - Jangan pergi ke Supermarket dalam keadaan lapar. Perangkat demikian berlaku juga pada individu konsumen sebagai unit terkecil dari suatu masyarakat. Para konsumen selalu cendrung melihat pada untung-rugi bagi lingkungannya dan mengkaitkan pada kebutuhan serta motivasi, nilai dan latar belakang kebudayaannya. Tahun 1970-an antropologi seringkali memakai cara FGD (focus group discussion) untuk memperoleh data tentang masyarakat yang diteliti, namun kemudian ditinggalkan dan diganti dengan wawancara mendalam (depth interview) - berbeda dengan para lembaga survey atau banyak agencies periklanan yang hingga saat ini masih percaya pada hasil FGD. L Antropologi memberi batasan terhadap pengertian kebudayaan dibanding dengan berbagai ilmu lain, karena kebudayaan menurut antropologi adalah seluruh istem gagasan dan rasa, tindakan, termasuk karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bernasyarakat. Adat-istiadat adalah sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi. HD April 20-09

18

Daftar PustakaAbraham Rosman & Paula G. Rubel The Tapestry of Culture, Scott, Foresman & co. 1981 Jorgenson, Danny L. Paticipant Observation, a methodology for human studies, vol.15 Sage Publication, USA, 1989 Danandjaja, James Daur Hidup di Trunyan-Bali Grafiti Pers, 1985 Cohen, Dorothy, Consumer Behavior Random House, 1981. Ihromi, T.O.ed. Antropologi Budaya Yayasan Obor 2006 Kroeber, A.L.: The Nature of Culture (Chicago: University of Chicago Press. 1952). L.L. Langness, The Study of Culture, UCLA, Chandle & Sharp Publ. 1975 Spindler. G. D. (ed.): Being an Antropologist: Fieldwork in Eleven Cultures (New York: Holt. Rinehart dan Winston. 1970). Soerjono Soekanto cs. Antropologi Hukum CV Rajawali 1984 White. L.A.: The Science of Culture: A study of Man and Civilization (Garden City, N.Y.: Doubleday. 1969: Whiting, J.W.M. dan LL. Child: Child Training and Personality (New Haven: Yale University Press, 1953). Williams, T.R.: Field Methods in the Study of Culture (New York: Holt. Rinehart and Winston. 1967).

7061 kata

19