Click here to load reader
Upload
duongthuy
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Subjek Penelitian
Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah presiden, menteri kabinet, dan para
ketua partai politik. Presiden, menteri-menteri kabinet, dan ketua partai politik itu adalah
sebagian dari individu-individu yang dalam istilah Erickson disebut dengan "penjaga
gerbang" (gatekeepers), yaitu individu-individu yang sudah diberikan autoritas untuk
membuat keputusan-keputusan atas nama lembaga atau institusi yang akan mempengaruhi
mobilitas orang lain atau masyarakat pada umumnya (Scollon dan Scollon, 1983: 157).
Autoritas yang dimiliki oleh para penjaga gerbang tersebut diperoleh secara resmi melalui
prosedur formal dalam institusi yang bersangkutan. Presiden yang dibantu oleh sejumlah
menteri kabinet sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif memperoleh autoritas dan
pemegang kedaultan rakyat tertinggi, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan
mufakat atau voting suara terbanyak. Ketua partai politik memperoleh autoritasnya dan
anggota partai politik yang bersangkutan melalui prosedur pemilihan tertentu.
Para "penjaga gerbang" itu memegang jabatan politik. Dengan demikian, segala
perilakunya, baik verbal maupun nonverbal, sengaja maupun tidak sengaja, akan selalu
diarahkan untuk kepentingan-kepentingan politiknya. Dalam penelitian ini, yang menjadi
fokus amatan adalah perilaku verbal, yaitu penggunaan bahasa lisan para "penjaga ger-
bang" itu. Ketiga penjaga gerbang tersebut adalah penghasil wacana "resmi" kekuasaan
174
yang dianggap sebagai wacana kebenaran dari suatu institusi. Untuk melihat dinamika
suatu kekuasaan diperlukan kajian yang mendalam terhadap bentuk-bentuk wacana
resmi yang menjadi produk kekuasaan itu (Sudibyo, 1999:32). Untuk tahap selanjutnya,
istilah "penjaga gerbang" yang kurang begitu lazim diganti dengan istilah "elit politik"
yang sudah lebih lazim digunakan dalam kamus-kamus ilmu sosial politik.
3.2 Pendekatan dan Jenis Penelitian
3.2.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut. Pertama, penelitian
ini sangat memanfaatkan konteks secara keseluruhan, baik konteks situasi maupun kon-
teks sosial dan budaya. Data linguistis yang tertangkap haruslah menyertakan konteks-
konteks tersebut. Penyertaan konteks-konteks tersebut ke dalam data linguistis sebaiknya
dilakukan waktu pengumpulan data di lapangan. Untuk menggali sejumlah konteks yang
bersifat segera itu diperlukan peranan peneliti yang bersifat adaptif dan responsif dalam
menggali dan menganalisis data itu. Oleh karena itu, ciri pertama dari penelitian ini ialah
bahwa "peneliti sebagai instrumen kunci", baik dalam pengumpulan data maupun peng-
analisisan data.
Kedua, penelitian ini berusaha menggali sejumlah karakteristik penggunaan bahasa
dalam wacana politik bahasa Indonesia. Data linguistis yang dianalisis lebih berupa gejala
atau fenomena penggunaan atau pilihan bahasa. Hasil analisis linguistisnya juga berbentuk
fenomena penggunaan bahasa, yakni bagaimana kosakata, gramatika, dan struktur tekstual
didayagunakan dalam wacana politik bahasa Indonesia. Secara lebih soesifik, hasil
analisisnya berupa deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi terhadap pendayagunaan
kosakata, gramatika, dan struktur tekstual dalam wacana politik. Oleh karena itu, ciri ke-
175dua dari penelitian ini ialah "data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk
deskripsi fenomena", bukan berupa angka atau koefisien hubungan antarvariabel.
Keberadaan angka dalam penelitian ini lebih merupakan pelengkap analisis.
Ketiga, dalam penelitian ini peneliti tidak mencari data untuk memperkuat atau me-
nolak hipotesis yang sudah dirumuskan peneliti sebelum memulai penelitian, tetapi pene-
liti melakukan abstraksi setelah rekaman fenomena-fenomena tertentu dikelompokkan
menjadi satu. Teori yang dikembangkan berasal dari bawah, yakni dari data di lapangan.
Dari data yang berserakan itu kemudian diklasifikasikan berdasarkan kesamaan datanya.
Dari data yang saling berhubungan itu kemudian dirumuskan ke dalam suatu pernyataan
umum yang disebut dengan teori substantif Dari berbagai teori substantif yang saling
berhubungan kemudian dirumuskan sebuah abstraksi yang disebut dengan teori formal.
Oleh karena itu, ciri ketiga penelitian ini ialah "data dianalisis secara induktif'.
Keempat, penelitian ini bertujuan menggali nilai ideologi yang tersembunyi di
balik struktur linguistis dan mengkritisi pemanfaatan struktur-struktur linguistis yang
dihasilkan oleh para elit politik. Penelitian ini memandang bahwa tidak ada wacana yang
dihasilkan oleh para elit politik itu yang netral dari politik. Tujuan akhir dari penelitian
ini ialah memberikan pencerahan melalui pengondisian kesadaran berbahasa kritis agar
masyarakat awam dapat mengkritisi setiap wacana politik yang ada di depan dirinya.
Oleh karena itu, ciri keempat dari penelitian ini ialah bahwa "penelitian ini dibangun dari
asumsi-asumsi: ideologis secara tcrus terang, kritis secara social, politis pada hakikatnya,
dan pembebasan dalam orientasi nya"
Kelima, penelitian ini berangkat dari pandangan bahwa (a) masyarakat sebagai
konstruksi manusia yang dapat diubah melalui pemahaman progresif tentang proses-pro-
176
ses dan struktur-struktur tertentu secara historis, (b) pengetahuan mampu memunculkan
"persoalan" penyimpangan sistematis (problematic and capable of systematic distortion),
(c) pengetahuan itu tidak pernah dapat bebas nilai, tetapi selalu mengacu kepada kepen-
tingan-kepentingan kelompok atau institusi tertentu dalam masyarakat, dan (d) ilmu
pengetahuan memiliki sejumlah potensi untuk menindas (oppressive) atau membebaskan
(emancipatory). Oleh karena itu, ciri kelima dari penelitian ini ialah bahwa " penelitian ini
bersumber dan paradigma ilmu sosial kritis".
Keenam, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan penya-
daran kritis kepada masyarakat awam yang menjadi objek politik. Dengan pemahaman
terhadap pendayagunaan bahasa dalam wacana politik tersebut, masyarakat banyak dapat
memunculkan emansipasi dirinya melalui (1) cara berpikir kritis terhadap konsepsi yang
beku secara ideologis, (2) pengembangan proses pencerahan diri, serta (3) tindakan politis
penyadaran diri. Dengan kesadaran berbahasa kritis, masyarakat awam tidak lagi men-
jadi "objek politik yang terjajah secara linguistis", tetapi lebih menjadi "subjek yang
merdeka secara linguistis". Oleh karena itu, ciri keenam dari penelitian ini ialah bahwa
"hasil penelitian yang diharapkan adalah tindakan sosial yang memperbaiki kualitas
kehidupan manusia".
Atas dasar keenam karaktetistik di atas, penelitian ini menggunakan pendekatan
penelitian "kualitatif-kritis", atau menggunakan istilah Connote, Smith, dan Wiseman
(1993) penelitian ini menggunakan "penelitian kritis" (critical research), atau
penelitian dengan menggunakan "pendekatan kritis" (critical approach). Penelitian
kualitatif kritis dibedakan dari penelitian "kualitatif-interpretif'. Yang pertama
bersumber dari ilmu sosial kritis, yang kedua bersumber dari ilmu sosial positif.
177
3.2.2 Jenis Penelitian
Penelitian ini berorientasi pada pemberdayaan dalam bentuk munculnya suatu ke-
sadaran pribadi atau politis dalam bidang kebahasaan dari masyarakat Indonesia penggu-
na bahasa Indonesia. Mengadaptasi pendapat Donmall tentang kesadaran bahasa (langu-
age awareness) (James dan Garret (1991:4) dan Fairclough (1995) tentang kesadaran
bahasa kritis (critical language awareness) secara konkret pemberdayaan dalam peneli-
tian ini berupa munculnya sensitivitas dan kesadaran pribadi terhadap hakikat bahasa-
dalam hal ini bahasa Indonesia—dan peranannya dalam kehidupan berbangsa, bernegara,
dan bermasyarakat manusia Indonesia. Jenis atau desain penelitian berupa pemerian, pe-
nafsiran, dan penjelasan tuturan-tuturan para "elit politik" di atas dan cara menyampaikan
tuturan-tuturan itu yang penuh dengan muatan ideologis-politis yang akan selalu
diperjuangkannya dengan mengandalkan kekuasaan yang dimilikinya.
Penelitian ini berjenis analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Penja-
baran analisis wacana kritis secara lengkap sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya.
Dan perspektif ini, tidak ada teks atau wacana yang dihasilkan oleh para elit politik di atas
yang netral secara politis. Analisis wacana kritis percaya bahwa bahasa tidak hanya
dikonstruksi secara sosial, tetapi secara esensial dikonstruksi oleh bagian-bagian dari ma-
syarakat yang tidak bersifat linguistis. Wacana adalah sebuah konstruksi sosial dan hasil
dari kondisi-kondisi historis serta politis. Tidak ada wacana yang vakum secara sosial.
Wacana adalah kreasi sosial yang merefleksikan kepentingan kelompok-kelompok sosial
tertentu. Dalam aplikasinya, analisis wacana kritis berupa analisis terhadap tiga dimensi
wacana secara simultan, yaitu (1) analisis teks-teks politik, (2) analisis praksis wacana
politik, dan (3) analisis praksis sosio-kultural.
ses produksi
Teks __
Proses interpretasi
Praksis Wacana
Deskripsi (anslisis teks)
brdespretasi(analisis pemrosesan)
Praksis Sosiokultural (situasi, institusi, masyarakat)
Eksplanasi (analisis sosial)
178
Analisis teks-teks politik berupa kegiatan pemerian linguistis dari bahasa teks.
Analisis praksis wacana berupa kegiatan penafsiran dari hubungan antara proses-proses
diskursif (produktif atau interpretatif) dari teks. Analisis praksis sosiokultural berupa
kegiatan penjelasan dari hubungan antara proses-proses diskursif dan proses-proses
sosial. Dengan demikian, analisis wacana kritis bukan semata-mata memandang
fenomena linguistis di atas kalimat atau klausa dengan mendasarkan pada intepretasi
lokal dalam teks, tetapi lebih merupakan suatu eksplorasi tentang bagaimana teks pada
semua tingkatan bekerja dalam performansi sosiobudaya yang melatarbelakangi subjek
dan kejadian-kejadian yang terdapat dalam teks.
Model analisis wacana kritis dari Fairclough (1995) seperti ini selanjutirya dapat
diperhatikan pada gambar 3.1 berikut.
Dimensi Wacana Dimensi Analisis Wacana
Gambar 3.1 Model Analisis Wacana Kritis Fairclough (Sumber: Fairclough, 1995:98)
Dari gambar 3.1 di atas diperoleh pemahaman bahwa tiga langkah analisis dalam
analisis wacana kritis (deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi) bersifat simultan sesuai
dengan asumsi dasar hubungan antara struktur mikro (teks) dan struktur makro
(institusi sosial dan masyarakat) yang bersifat dialektis_
1 7 9
3.3 Kehadiran Peneliti
Peneliti dalam penelitian ini bertindak sebagai instrumen sekaligus sebagai pe-
ngumpul data. Dalam proses pengumpulan data, peneliti berlaku sebagai pengamat,
baik dalam latar secara langsung maupun tidak langsung. Dalam latar yang bersifat
langsung, peneliti berada di tengah-tengah para partisipan komunikasi, sebaliknya
dalam latar yang tidak langsung, peneliti berada di luar peristiwa komunikatif itu.
Sesuai dengan desain penelitian yang non-participatory, peneliti tidak terlibat secara
aktif dalam peristiwa komunikatif. Peneliti berdiri sebagai orang ketiga yang secara
objektif mengamati dan menganalisis data yang muncul. Peneliti tidak ikut campur
dalam pemunculan sebuah data. Peneliti tidak memberikan teknik elisitasi agar data
tertentu yang dikehendaki dapat muncul. Peneliti menanti data yang "diberikan" oleh
subjek penelitian dengan jalan "merekam" tuturan-tuturan para "elit politik" itu
3.4 Data dan Sumber Data Penelitian
Untuk menjawab masalah penelitian, seperti sudah dipaparkan dalam 12.1, diperlukan data
penelitian. Data penelitian berupa data-data: kosakata, gramatika, dan struktur tekstual diambil dari
teks-teks tuturan lisan yang dihasilkan oleh "elit politik" yang sudah dipaparkan pada subjek
penelitian. Setiap data penelitian tersebut selanjutnya dijabarkan secara lebih spesifik ke dalam sub-
subdata.
Data penelitian tersebut bersumber dari teks-teks tuturan yang bersifat alamiah.
Tuturan-tuturan itu berupa: (1) komentar langsung terhadap suatu peristiwa, (2) pidato,
wawancara dengan para wartawan, (4) dialog politik, (5) pemberian informasi tentang
kebijakan yang diambilnya, dan (6) kampanye politik. Data dan sumber data tersebut secara
lengkap ditampilkan dalam tabel 3.1 berikut.
1 8 0
Tabel 3.1 Data dan Sumber Data Penelitian
N o . D a t a
Kosakata
Subdata Sumber Data Penelitian
a pola klasifikasib.kata-kata yang diperjuangkanc.proses-proses leksikald relasi maknae. metafora nominatif £ metafora predikatif
g.metafora kalimath.ekspresi eufemistisi.kata-kata formal
j.kata-kata informalk.evaluasi positif 1. evaluasi negatif
Sejumlah teks politik para elit dari berbagai peristiwa komunikasi:a kampanye politikb. dialog politikc. pidatod. wawancara
2. Gramatika a.ketransitifanb.nominalisasic.kalimat aktif-pasifd.kalimat positif-negatife.kalimat deklaratiff.kalimat pertanyaang. kalimat perintah
modalitas relasionali.pronornina personaj.modalitas ekspresif
I d e m
3. Struktur Teks a. sistem gilir tutur Idemb. pengurutan teks
3.5 Prosedur Pengumpulan Data
Data penelitian diperoleh dengan menggunakan metode observasi, baik langsung
maupun tidak langsung. Data penelitian diperoleh dari teks-teks tuturan para elit politik
yang muncul, baik yang langsung disampaikan kepada masyarakat banyak maupun yang
muncul melalui media elektronik. Pada tahap pertama pengumpulan data dilakukan de-
ngan kegiatan merekam dengan alat bantu tape recorder terhadap tuturan-tuturan para
elit politik itu dari berbagai peristiwa komunikatif. Peneliti juga memerikan konteks
situasi peristiwa tuturan. Dalam merekam ini peneliti mencatat hal-hal penting yang re-
1 8 1
levan dengan data yang muncul yang dikehendaki. Catatan ini terdiri atas dua macam,
yaitu (1) catatan faktual yang berkaitan aspek-aspek social yang tidak dapat direkam
oleh alat perekam, dan (2) catatan reflektif peneliti, yaitu ulasan dan komentar peneliti
terhadap data-data yang muncul.
Pada tahap kedua, pengumpulan data berupa kegiatan mentranskripsikan data yang
ada di dalam pita rekaman ke dalam data tulisan sesuai dengan kaidah pentranskripsian
dalam bidang linguistik, sosiolinguistik, dan analisis wacana. Pentranskripsian data di-
lakukan segera sesudah proses pengambilan data dengan perekaman selesai dilakukan
agar nuansa-nuansa konteks situasi dan sosialnya masih dapat diperikan dan dijelaskan.
Data penelitian ini juga diambil dari transkripsi wawancara para elit politik yang
dimuat di dalam media cetak, baik surat kabar, majalah, atau tabloid. Data penelitian
seperti ini pada hakikatnya adalah data lisan yang sudah ditranskripsikan oleh
wartawan ke dalam bentuk tulisan.
3.6 Analisis Data
3.6.1 Tahapan Analisis
Analisis data dilakukan selama pengumpulan data dan sesudah pengumpulan
data Mengikuti pendapat Miles & Huberman (1992:15), analisis data dalam penelitian
ini menggunakan "model alir" yang terdiri atas tiga tahap, yakni (1) reduksi data, (2)
penyajian data, dan (3) verifikasi dan penarikan kesimpulan.
Tahap reduksi data mencakup langkah-langkah pemerian aspek-aspek linguistik
teks politik, penatSiran praksis wacana, dan penjelasan praksis sosickultural. Tahap per-
tama berupa analisis teks-teks bahasa yang mengikuti langlcah-langkahr (1) mentransfor-
masikan dan mengintegrasikan data "kasar" dari catatan lapangan ke dalam data tulisan
1 8 2
hasil transkripsi, (2) mengidentifikasi data-data tersebut serta mengaitkannya dengan
rumusan masalah penelitian, dan (3) mengklasifikasi data-data tersebut ke dalam masa-
lah-masalah: (a) kosakata, (b) gramatika, dan (c) struktur tekstual sesuai dengan panduan
analisis data yang akan dipaparkan pada 3.6.2. Pada tahap (3) data diklasifikasi dengan
menggunakan kode tertentu. Misalnya, kode [Data 49.A.1.(1)] mengandung arti sebagai
berikut. Angka 49 adalah elit politik dari pihak pemerintah yang berkuasa, termasuk di
dalamnya dari TNI/ABRI. Angka 1 sampai 48 angka untuk elit politik sesuai dengan no-
mor partai politik dalam pemilihan umum 1999. Huruf A menunjukkan data kosakata.
Dua huruf yang lain, yakni B menunjukkan data gramatika dan C menunjukkan data
struktur tekstual. Angka 1 menunjukkan bahwa data itu berupa nilai pengalaman. Dua
angka lain, yakni 2 menunjukkan nilai relasional dan angka 3 menunjukkan nilai ekspre-
sif Angka dalam kurung, yakni (1) menunjukkan nomor urut data.. Tahap kedua berupa
analisis praksis wacana, yaitu menafsirkan hubungan konteks situasi dengan praksis wa-
cana politik. Tahap ketiga berupa analisis praksis sosial, yaitu memberikan penjelasan
tentang hubungan praksis wacana politik dengan praksis sosiokultural.
Tahap penyajian data mencakup langkah-langkah sebagai berikut. Pertama,
menyajikan kembali hasil klasifikasi ke dalam bentuk tabel, diagram, matriks, dan
grafik. Kedua, menyajikan "contoh" data yang representatif yang nantinya dituangkan
di dalam laporan penelitian dengan menggunakan urutan penomoran tertentu.
Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi mencakup langkah-langkah sebagai be-
rikut. Pertama, merumuskan generalisasi awal dari data-data awal yang memiliki ketera-
turan. Kedua, mencari data-data tambahan untuk menguji generalisasi itu—terdapat dua
kemungkinan: (a) jika data-data itu menentang generalisasi awal, generalisasi awal itu
183
perlu direvisi, dan (b) jika data itu mendukung generalisasi awal, generalisasi itu
diangkat menjadi teori substantif & teori formal yang nantinya dipaparkan pada
simpulan akhir
Analisis data dilakukan secara induktif. Temuan-temuan penelitian akan beranjak
dari data penelitian. Penganalisisan data dilakukan dengan mengikuti pandangan Kibtik
(1977) yang dimodifikasi dari pandangan Glaser & Straus (1967). Mengikuti pandangan
Kibrik (1977) yang dimodifikasi, analisis data dilakukan seperti gambar 3.2 berikut.
Data (1)--> Hipotesis (1) —> Data (2) —> Hipotesis (2) —> (Data [n])--> Pengetahuan yang Diperoleh
Gambar 3.2 Alur Analisis Data Model Kibrik yang Dimodifikasi (Sumber: Kibrik, 1977)
Kibrik (1977:51) merumuskan tahapan analisis yang diawali dengan hipotesis-1, selan-
jutnya diikuti oleh data-1, begitu seterusnya sampai pada tahap pemerolehan "pengetahu-
an yang diperoleh". Pertanyaan kritis yang dapat dimunculkan adalah "darimana kita da-
pat memunculkan hipotesis-1 tersebut". Dalam analisis data yang bersifat induktif, lebih
tepat merumuskan hipotesis-1 setelah kehadiran data-1, seperti yang dianut dalam peneli-
tian ini. Hal itu senada dengan pandangan Glaser & Straus (1967) yang melahirkan kon-
sep teori substantif, teori formal, dan grand theory seperti gambar 3.3 berikut.
Data (1) —> Teori Substantif —> Data (2) —> Teori Formal —> (Data [n]) —> Teori Aping
Gambar 3.3 Alur Analisis Data Model Glaser & Straus (Sumber: Glaser & Straus, 1967)
Dalam gambar 3.3 terdapat tiga istilah penting. Pertama, "teori substantif', yakni teori
yang langsung diturunkan dari data lapangan, sejajar dengan konsep hipotesis-1. Kedua,
"teori formal", yakni teori yang diturunkan dari beberapa teori substantif, sejajar dengan
hipotesis-2. Ketiga, "teori agung" sejajar dengan "pengetahuan yang diperoleh".
1 8 4
3.6.2 Panduan Analisis
Untuk memudahkan analisis, dalam penelitian ini digunakan tiga panduan
analisis data, yakni (1) panduan pemerian teks politik, (2) panduan penafsiran praksis
wacana politik, dan (3) panduan penjelasan praksis sosiokultural.
3.6.2.1 Pemerian Teks Politik
NO TOPIK JENIS (SUB) DATA CONTOH KETERANGAN
1 Kosakata n. pengalaman pola klasifikasi
kata yang diperjuangkan secara ideologic
leksika- lisasi
kelebihan leksikalikelcurangan leksikal
sinonimi
antonimi
hiponimi
metafora nominatit7predikatit7kalimat
n. relasional ekspresi eufemistik
kata-kata formal yang mencolok
kata-kata informal yang mencolok
n. ekspresif evaluasi positif
evaluasi negatif
2 Gramatika ii. pengalaman tipe proses & partisipan yang menonjol
jenis dan cars kehadnan agen
jenis proses yang tampak
pilihan nominalisasi
pilihan kalimat aktif-pasif
pilihan kalimat positif-negatif
n. relasional modus kalimat deklaratif
modus kalimat pertanyaan
modus kalimat imperatif
modalitas relasional
penggimaan pronomina persona
n. ekspresif modalitas ekspresif
1853 Strulctur Tekstual konvensi inter-
aksi yang digu-nakan
pengelolaan gilir tutu/
pengontrolan antarpartisipan
pengurutan teks dari penting ke yang tidak penting
dari keseluruhan ke bagian
dari besar ke kecil
dari melibatkan ke yang terlibat
dari pemilik ke yang dimiliki
dari umum ke khusus
dari luar ke yang di dalam
3.6.2.2 Penafsiran Praksis Wacana
NO TOPIK JENIS (SUB) DATA CONTOH KETERANGAN
1 Hubungan konteks situasi dengan tipe wacana
apa yang sedang terjadi
tipe-tipe aktivitas
topik
tujuan
siapa saja yang terlibat
pewawancara-terwawancarai
fungsinya dalam identitas sosial
posisi penutur dikaitkan dengan perbedaan situasi
dalam hubungan apa mereka terlibat
pemimpin x rakyat
ketua partai x kader partai
antarelit politik
atasan x bawahan
peran apa saja yang dimainkan bahasa
wadah informasi
pengontrol
penonjol identitas
pecan Iainnya
2 Hubungan konteks antarteks dengan presuposisi
hubungan teks satu dengan teks lainnya
artikel tertentu
klausa subordinasi
pertmayaan SW + 1H
klausa "bah a" sesudah vcrba dan adjektiva tertcntu
fungsi presuposisi sungguh-sunggub sebagai presuposisi
manipulatif
ideologis
1 8 6
3 Tinclak ujaran jenis tindak ujaran representalif
direktif
ekspresif
komisif
deklarasi
tindak ujaran dan pecan sosial
tindak ujaran personal
tindak ujaran kolektif
3.6.23 Penjelasan Praksis Sosiokultural
NO TOPIK JENIS (SUB) DATA CONTOH KETERANGAN
I Determinan sosial
jenis hubungan kekuasa-an yang membantu membentuk wacana
level situasi
level institusi
level masyarakat
2 Ideologi jenis elemen-elemen somber partisipan yang dibangkitkan
pengetahuan bahasa
representasi dunia alamiah dan sosial
nilai-nilai
kepercayaan
asumsi-asumsi
dan sebagainya
3 Penganth pengaruh wacana pada perebutan sosial
posisi wacana pada perjuangan dalam berbagai level
jelas tidaknya sebuah perjuangan sosial
keberadaan wacana normatif x wacana Icreatif
kedudukan wacana dalam kekuaasaan (penopang atau pen-transformasi
3.63 Contoh Analisis Data
Berikut ini ditampilkan salah satu contoh analisis kosakata dalam wacana politik
bahasa Indonesia, terutama analisis proses leksikal. Pertanyaannya adalah bagaimana
sebuah kosakata didayagunakan oleh institusi tertentu untuk merefleksikan dan
mengekpresikan kepentingan institusi tersebut. Perhatikan kutipan (a) berikut.
1 8 7
Kutipan (a):
KMI: Nomor peserta "5" bagi KAMI memiliki makna yang amat dalam. Pertama, angka "5" adalah simbol kemenangan bagi bangsa Indonesia, yakni ideologi negara Pancasila. Kedua, angka "5" adalah manifestasi rukun Islam yang jurnlahnya juga "5". Ketiga, angka "5" juga merupakan jumlah salat wajib bagi kaum muslimin setiap hari.
Tahap pertama yang dilakukan adalah memerikan kepemilikan aspek-aspek
linguistis kosakata dari teks politik tersebut pada tahap deskripsi, misalnya:
Terdapat ciri yang menonjol dalam kutipan (a) di atas, yakni pendayagunaan angka atau bilangan "5" sebagai kata yang memiliki signifikansi tertentu. Bilangan "5" bukan semata-mata angka sesudah empat, tetapi memiliki makna yang khusus. Bi-langan "5" memiliki tiga makna. Dengan demikian, bilangan "5" dalam perspektif politik ini termasuk ke dalam fenomena kekurangan leksikal (underlexicalization).
Tahap kedua adalah menafsirkan hubungan konteks situasi dengan tipe
wacana, antara konteks antartekstual dan praanggapan, dan tindak ujaran pada
tahap interpretasi, misalnya:
Yang terjadi dalam kutipan itu adalah proses kegiatan kampanye politik dalam rangka pemilihan umum. Dalam kampanye tersebut topik yang diangkat adalah pe-nawaran program perjuangan jika partai KAMI memenangkan pemilu. Untuk itu, elit politik yang berkampanye mengharapkan para pendengamya, yakni masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam untuk dapat memilih partai dengan no-mor urut "5" tersebut. Angka "5" yang dipilih dapat dirumuskan sebagai penonjol identitas keislaman (rukun Islam dan jumlah salat wajib dalam sehari) dan keindo-nesiaan (ideologi Pancasila), selain sekedar sebagai informasi tentang nomor urut pemilu. Angka "5" mengandung fungsi direktif yang "mengarahkan" pendengar untuk memilih nomor tertentu dalam pemilu.
Tahap ketiga adalah menjelaskan determinan social, ideologi, dan
pengaruhnya pada tahap eksplanasi, misalnya:
Jenis elemen-elemen sumber partisipan yang dibangkitkan adalah kepercayaan ma-syarakat Indonesia yang berpancasila dan beragama Islam. Terutama dalam level institusi keislaman, angka "5" memiliki makna ideologis tertentu. Bahkan, lebih dari itu, angka "5" sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Pada level masyarakat Indonesia yang lebih luas, angka "5" memiliki keku-atan yang cukup signifikan dengan dirumuskan angka "5" dalam ideologi negara.
1 8 8
3.7 Pengecekan Keabsahan Temuan
Agar hasil penelitian ini memiliki nilai kredibilitas atau absah sebagai temuan se-
buah penelitian perlu dilakukan beberapa teknik pemeriksaaan keabsahan, yakni (1)
ketekunan pengamatan untuk menemukan kedalaman, (2) pemeriksaan teman sejawat
melalui pengadaan diskusi dan konsultasi, baik secara formal maupun informal dengan
para pakar yang berkaitan dengan bahasa atau wacana politik, yaitu bidang
sosiolinguistik, pragmatik, linguistik fungsional dan kritis, analisis wacana, dan ilmu-
ilmu sosial politik, serta (3) triangulasi.
Mengikuti pendapat Cohen & Manion (1986:254-270), dalam penelitian ini tria-
ngulasi yang dipilih adalah triangulasi teoretis, ruang, dan waktu. Triangulasi teoretis di-
lakukan dengan mengkonfirmasikan hasil analisis data dengan beberapa teori yang terkait
seperti yang sudah diuraikan dalam bab II Tujuannya adalah untuk mendapatkan pengu-
kuhan akan kredibilitas temuan penelitian. Triangulasi ruang dilakukan dengan cara me-
nentukan subjek penelitian dengan memperhatikan latar belakang budaya yang beragam.
Sementara itu, triangulasi waktu dilakukan dengan dua cara, yakni (1) mengamati subjek
yang sama dalam sampel waktu yang berbeda, dan (2) mengamati kecenderungan dengan
melihat proses-proses seleksi secara berkelanjutan sepanjang waktu.
3.8 Alur Kerja Penelitian
Alur kerja penelitian secara sistematik mulai dari pengumpulan data sampai
dengan tindak lanjut penelitian dapat divisualkan pada gambar 3.4 berikut.
_____ r B1 I-
A Hp_EL ji2_1_L B3
2
189
F3Analis is Data
Gambar 3.4 Alur Kerja Penelitian
Keterangan Gambar:
A = Pengumpulan dataB = Reduksi dataB1 = Deskripsi teks-teks politikB2 = 1ntetpretasi praksis wacanaB3 = Eksplanasi praksis sosiokulturalC = Penyajian dataD = Penarikan simpulan sementaraE = Simpulan akhirF (1,2,3)= Tindak lanjut penelitianG = Triangulasi