31
PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA DI TENGAH PRIVATISASI DAN CENGKRAMAN PEMERINTAH 1 SEKILAS PENDIDIKAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR Pendidikan merupakan bagian penting dari sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Berawal dari munculnya kelompok-kelompok terdidik karena adanya kesempatan mengakses pendidikan, maka perjuangan kemerdekaan mampu terorganisir dan mencapai keberhasilannya. Kemerdekaan kebangsaan Indonesia kemudian ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan tersebut tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang dirancang pada rapat besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 10 Juli 1945. Berikut pendidikan dalam konstitusi Indonesia: 1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 (1) Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapat pengajaran. (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undangundang. 2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat Pada Konstitusi RIS, pendidikan termasuk di dalam Bagian V tentang Hak-Hak Kebebasan Dasar Manusia pada Bab 1 tentang Negara Republik Indonesia Serikat. Berikut pasal-pasal pada Konstitusi RIS: 1 Catatan ini dibuat oleh Alghiffari Aqsa, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Disampaikan di Seminar Pendidikan Tinggi yang diadakan oleh Kastrat FKG UI pada 15 Mei 2012. Sebagian besar isi tulisan ini adalah revisi dari Kajian Komnas Pendidikan terhadap RUU Pendidikan Tinggi yang dibuat oleh Alghiffari Aqsa, Dinda Annissa Yura, Yura Pratama, Fajri Siregar, Fajri Nursyamsi, dan Sulaiman Sudjono.

alghif.files.wordpress.com file · Web viewDI TENGAH PRIVATISASI DAN CENGKRAMAN PEMERINTAH. SEKILAS PENDIDIKAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR. Pendidikan merupakan bagian penting dari

Embed Size (px)

Citation preview

PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

DI TENGAH PRIVATISASI DAN CENGKRAMAN PEMERINTAH1

SEKILAS PENDIDIKAN DALAM UNDANG-UNDANG DASARPendidikan merupakan bagian penting dari sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia

melawan penjajahan. Berawal dari munculnya kelompok-kelompok terdidik karena adanya kesempatan mengakses pendidikan, maka perjuangan kemerdekaan mampu terorganisir dan mencapai keberhasilannya. Kemerdekaan kebangsaan Indonesia kemudian ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan tersebut tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang dirancang pada rapat besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 10 Juli 1945.

Berikut pendidikan dalam konstitusi Indonesia:1) Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 31(1) Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapat pengajaran.(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undangundang.

2) Konstitusi Republik Indonesia SerikatPada Konstitusi RIS, pendidikan termasuk di dalam Bagian V tentang Hak-Hak Kebebasan Dasar Manusia pada Bab 1 tentang Negara Republik Indonesia Serikat. Berikut pasal-pasal pada Konstitusi RIS:

Bab I

NegaraRepublikIndonesiaSerikat

Bagian V

Hak-Hak Kebebasan Dasar Manusia

(1) Mengadjar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa jang dilakukan terhadap itu menurut peraturan-peraturan undang-undang.

(2) Memilih pengadjaran jang akan diikuti, adalah bebas.

Bagian VI

1 Catatan ini dibuat oleh Alghiffari Aqsa, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Disampaikan di Seminar Pendidikan Tinggi yang diadakan oleh Kastrat FKG UI pada 15 Mei 2012. Sebagian besar isi tulisan ini adalah revisi dari Kajian Komnas Pendidikan terhadap RUU Pendidikan Tinggi yang dibuat oleh Alghiffari Aqsa, Dinda Annissa Yura, Yura Pratama, Fajri Siregar, Fajri Nursyamsi, dan Sulaiman Sudjono.

Asas-Asas Dasar

Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan melindungi asas ini, maka penguasa memadjukan sekuat tenaganja perkembangan kebangsaan dan kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan.

(1) Penguasa wadjib memadjukan sedapat-dapatnja perkembangan rakjat baik rohani maupun djasmani, dan dalam hal ini teristimewa berusaha selekas-lekasnja menghapuskan buta-huruf.

(2) Di mana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan akan pengadjaran umum jang diberikan atas dasar memperdalam keinsjafan kebangsaan, mempererat persatuan Indonesia, membangun dan memperdalam perasaan peri-kemanusiaan, kesabaran dan penghormatan jang sama terhadap kejakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam djam-peladjaran untuk mengadjarkan peladjaran agama sesuai dengan keinginan orang-tua murid.

(3) Murid-murid sekolah partikulir memenuhi syarat-sjarat kebaikan-kebaikan menurut undang-undang bagi pengadjaran umum, haknja sama dengan hak murid-murid sekolah umum

(4) Terhadap pengadjaran rendah, maka penguasa berusaha melaksanakan dengan lekas kewadjiban belajar jang umum.2

Pada lampiran Konstitusi RIS terdapat pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat dan Daerah-Daerah Bagian, sesuai dengan bunyi Pasal 51 Konstitusi RIS. Dalam lampiran tersebut, yang terkait dengan pendidikan disebutkan sebanyak dua butir berikut ini:3

y. Institut dan organisasi ilmu-pengetahuan jang penting bagi Republik Indonesia serikat seluruhnya.

Kemudian pada butir selanjutnya:

d. Pengaturan pengadjaran tinggi dan djalan pengadjaran akademi jang berhubungan dengan itu, termasuk pedoman-pedoman tentang pendidikan-pendidikan jang memberi hak untuk masuk udjian-udjian akademi, dan akibat sipil idjazah pengadjaran tinggi.

3) Undang-Undang Dasar Sementara 1950Bunyi UUDS tersebut yang terkait pendidikan adalah sebagai berikut:

Bab I

2W.A. Engelbrecht, Kitab-kitab Undang-Undang, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Serta Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, (Leiden: A.W. Sijthoff’s Uitgeversmij N.V., 1954), hlm. 18-18c dalam Mahkamah Konstitusi, NASKAH KOMPREHENSIFPERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASARNEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002; Buku IX Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 27.

3Ibid., hlm. 27

NegaraRepublikIndonesia

Bagian V

Hak-Hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia

(1) Tiap-tiap warga-negara berhak mendapat pengadjaran.

(2) Memilih pengadjaran jang akan diikuti, adalah bebas.

(3) Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa jang dilakukan terhadap itu menurut peraturan perundang-undangan.

Bagian VI

Azas-azas Dasar

Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan mendjundjung azas ini maka penguasa memadjukan sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan

(1) Penguasa wadjib memadjukan perkembangan rakjat baik rohani maupun djasmani.

(2) Penguasa teristimewa berusaha selekas-lekasnja menghapuskan buta-huruf

(3) Penguasa memenuhi kebutuhan akan pengadjaran umum jang diberikan atas dasar memperdalam

4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945Pengaturan pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai pendidikan

terdapat pada:

Pasal 22D

- Pasal 22D ayat (2) dimana Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

- Pasal 22D ayat (3) dimana Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai pendidikan dan menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Pasal 28C

1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmupengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitashidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknyasecara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Pasal 28E

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhakkembali.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikirandan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 31

1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang

meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

PENDIDIKAN BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA

Apabila buruh tidak mendapatkan upah yang layak maka mayoritas buruh akan menuntut haknya. Jika petani dirampas hak atas tanahnya, maka petani akan menuntut haknya. Begitupun juga dengan hak atas kesehatan, jaminan sosial dan hak lainnya, masyarakat akan mudah menuntut jika haknya dilanggar. Namun, hal tersebut berbeda dengan hak atas pendidikan dimana masyarakat lebih cenderung bungkam jika anaknya tidak bisa sekolah atau kuliah karena tidak ada biaya, atau mati-matian jual tanah, rumah, dan harta benda lainnya agar anaknya bisa sekolah. Tingkat pemahaman bahwa pendidikan bagian dari Hak Asasi Manusia masih rendah.

Pendidikan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, khususnya bagian dari Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 26 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005, Pasal 12, 16, 42, 48, 54, dan 60 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28C dan 28E Bab Hak Asasi Manusia UUD NRI 1945.

Berdasarkan hal tersebut, maka kemudian negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Atas Pendidikan. Dalam general comments Kovenan Ekosob (generalcomments E/C.12/1999/10) tertuang mengenai empat indikator untuk melihat

keberhasilan atau kegagalan sebuah Negara dalam mewujudkan hak atas pendidikan. Indikator tersebut antara lain:

a) Ketersediaan – menuntut berbagai lembaga dan program pendidikan harus menyediakan sarana dan prasarana dalam kuantitas yang memadai seperti, bangunan sebagai perlindungan fisik, fasilitas sanitasi untuk laki-laki dan perempuan, air minum yang sehat, guru-guru yang terlatih dengan gaji yang kompetitif, materi – materi pengajaran, serta tersedianya fasilitas perpustakaan,

b) Keterjangkauan - mengharuskan lembaga dan program pendidikan harus bisa diakses oleh setiap orang, tanpa diskriminasi, di dalam yurisdiksi pihak negara. Aksesibilitas mempunyai tiga dimensi umum yaitu :

- Non-diskriminasi – pendidikan harus bisa diakses oleh semua orang, terutama golongan paling rentan, dalam hukum dan faktual, serta tanpa diskriminasi terhadap bidang-bidang tertentu.

- Aksesibilitas fisik - pendidikan harus berada dalam jangkauan fisik yang aman, mudah dijangkausecara geografis (misalnya, sekolah disekitar lingkungan tempat tinggal) maupun teknologi informasi modern (misalnya, akses terhadap program belajar jarak jauh).

- Aksesabilitas ekonomi - pendidikan harus bisa dijangkau oleh semua orang. Dimensi aksesibilitas ekonomi ini meliputi : pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Mengingat pendidikan harus tersedia “gratis untuk semua kalangan’, pihak-pihak Negara perlu secara progresif mengusahakan pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi yang gratis.

c) Keberterimaan – menginginkan bentuk dan substansi pendidikan, termasuk kurikulum, dan metode pengajaran harus mudah diterima (misalnya, relevan, tepat secara budaya, dan berkualitas baik) untuk peserta didik dalam hal tertentu juga orang tua

d) Kebersesuaian – pendidikan harus fleksibel, supaya bisa mengadaptasi dengan kebutuhan masyarakat dan komunitas yang selalu berubah serta selalu bisa merespon kebutuhan peserta didik tanpa membedakan status sosial dan budayanya.

Khusus mengenai pendidikan tinggi, Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya pada Pasal 13 ayat (2) huruf c mengatakan sebagai berikut: pendidikan tinggi juga harus dilaksanakan dengan prinsip terbuka bagi semua orang atas dasar kemampuan, dengan segala upaya yang tepat, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap. Artinya negara-negara menyepakati bahwa pendidikan tinggi ke depannya harus diadakan secara cuma-cuma secara bertahap.

KONDISI FAKTUAL PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

Pendidikan Tinggi Sulit Diakses

Pendidikan tinggi masih menjadi barang mewah di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia. Pada tahun 2010 Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi sebesar 16.35, dan Angka Parsisipasi Murni Perguruan Tinggi adalah 11.01.4 Pada tahun 2011, jumlah mahasiswa Indonesia baru mencapai 4,8 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru 18,4 persen. Jumlah ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain, terutama negara maju.5 Rendahnya angka partisipasi tersebut menunjukkan rendahnya aksesibilitas untuk mendapatkan pendidikan tinggi, terutama aksesibilitas ekonomi. Hal tersebut dikarenakan biaya pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat mahal akibat telah diprivatisasinya pendidikan tinggi.

Privatisasi

Privatisasi PTN sebenarnya berawal dari krisis ekonomi yang mendera bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi memaksa Indonesia bekerja sama dengan lembaga keuangan internasional (IMF). IMF bersedia member pinjaman dengan syarat adanya berbagai macam kenaikan harga, seperti tarif listrik, bahan bakar minyak, yang lalu diikuti melambungnya berbagai macam kebutuhan harian masyarakat. Bagi dunia pendidikan, paling nyata adalah privatisasi PTN. Privatisasi PTN dituangkan dalam PP 61/1999 dan PP 153/2000 yang Mengubah status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Privatisasi berarti pencabutan subsidi pendidikan secara bertahap lima tahun terhitung semenjak 1999. Sejak itu perguruan tinggi dituntut mencari dana secara mandiri untuk membiayai pendidikannya. Di dalam perkembangannya persoalan ini kemudian menjadi pangkal atas persoalan komersialisasi dunia pendidikan dan menjadikan dunia pendidikan semakin mahal untuk diakses warga ekonomi kelas rendah.6 Privatisasi ini berdalih otonomi.

Privatisasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya berbagai program telah diberikan

oleh Bank Dunia agar institusi pendidikan lebih siap dalam penyesuaian diri menjadi sebuah

institusi sektor jasa, seperti Higher Education for Compt Project (HECP) yang pada akhirnya

dirubah menjadi Indonesia Managing Higher Education for Relevance dan Efficiency (IMHERE).

Bila kita melihat secara sepintas judul dari program tersebut maka tujuan dari program tersebut

4http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=1 diunduh pada 3 Februari 2012

5 http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/26/13202052/Mahasiswa.di.Indonesia.Cuma.4.8.Juta diunduh pada 3 Februari 2012

6 Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional, Cet. I. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Hal, 265

adalah terbentuknya sebuah pendidikan yang efisien. Dalam Dokumen Bank Dunia, Project

Apprissal Document on a Proposed Loan In the Amount of $50 millions, and a Propose Credit os

SDR 19,85 millions ($ 0 millions equivalent) to the Republic Indonesia for a Managing Higher

Education for Relevant and efficiency Project, terdapat beberapa hal yang menyebut-nyebut

Badan Hukum Pendidkan.

Kisruh pengelolaan perguruan tinggi.

Adanya kisruh di Universitas Indonesia menunjukkan kegagalan BHMN. Persoalan mahalnya

biaya pendidikan, tidak adanya sistemnya check and balances, tidak adanya kemerdekaan

akademis dan tidak adanya status kepegawaian yang jelas, akhirnya memberikan dampak

terhadap pengelolaan UI sebagai BHMN. Puncaknya adalah ketika Rektor UI memberikan gelar

Dr Honoris Causa kepada Raja Arab. Majelis Wali Amanat tidak diakui, bahkan di UI muncul

kubu-kubu yang saling menggugat.

Perguruan Tinggi Rentan Intervensi

Di institusi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kandidat rektor dinominasikan oleh senat.

Tiga kandidat yang menduduki peringkat paling tinggi akan dihadapkan ke Majelis Wali Amanat

untuk dilakukan pemilihan, tetapi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ikut di dalamnya dan

memiliki hak suara yang cukup besar, yaitu sebesar 35%. Sedangkan di institusi non BHMN,

kandidat dinominasikan oleh senat universitas yang kemudian dikirim dan direkomendasikan ke

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.7

Pemilihan rektor universitas sangat dipengaruhi oleh jaringan sosial politik. Setiap calon

rektor harus mendekati kekuasaan dan pengambil keputusan. Seringkali rektor harus

mendekati partai-partai yang dominan untuk menjadi mendapatkan posisi rektor, selain itu juga

dipengaruhi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang saat itu menjabat berasal dari

partai politik mana. Jika ada calon rektor yang berkualitas, namun tidak memiliki jaringan politik

yang bagus, maka jangan harap ia akan terpilih menjadi rektor. Akibat dari kondisi tersebut,

rektor menjadi tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah dan justru jadi corong pemerintah

dengan mengabaikan kebenaran akademisnya.7 Heru Nugroho, The Political Economy of Higher Education: The University As An Arena For The Struggle For Power. Hal.150

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan cenderung otoriter dalam kebijakannya, misalnya

adanya Surat Edaran No. 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari perihal publikasi karya ilmiah untuk

mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berlaku mulai kelulusan Agustus 2012. Isinya adalah mewajibkan

mahasiswa S-1 untuk menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, mahasiswa S-2

menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal nasional, dan mahasiswa S-3 wajib menghasilkan

makalah yang terbit pada jurnal internasional. Demi meningkatkan produktivitas, Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan tidak memperhatikan bagaimana implementasi surat edaran

tersebut dan bagaimana kualitas makalah yang diterbitkan. Jika setiap tahunnya terdapat

100.000 calon lulusan S-1, S-2, dan S-3, perlu disediakan sejuta halaman jurnal ilmiah. Kalau

satu jurnal rata-rata 150 halaman dan terbit 12 kali setahun, yang harus disediaka adalah 555

jurnal ilmiah baru. Selain itu apakah Dikti bisa mengecek 1000.000 halaman makalah tersebut.

Dalam tulisannya Franz Magnis Suseno SJ mengkritisi kewajiban makalah, ia mengatakan

perguruan tinggi di Indonesia dipermainkan birokrat-birokrat yang wawasannya kadang-kadang

berkesan beyond hope, melampaui harapan.8

Perguruan Tinggi Rentan Penyimpangan Anggaran

Di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, perguruan tinggi justru menjadi bagian dari

masalah. Otonomi yang diberikan berpotensi besar menimbulkan penyimpangan anggaran

sehingga memang diperlukan tata keuangan yang tersendiri terhadap perguruan tinggi. Kasus

dugaan penyimpangan tersebut dapat terlihat antara lain dalam beberapa kampus sebagai

berikut:

Universitas Gadjah Mada (UGM)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap pengadaan barang dan jasa

serta rekening UGM. BPK menemukan 9 permasalahan signifikan dalam pengelolaan anggaran

di UGM dalam rentang tahun 2008-2010. Hal tersebut sesuai dengan surat BPK kepada Rektor

UGM dengan nomor 42/S/VIII/12/2011 per tanggal 30 Desember 2011. Sembilan permasalahan

tersebut adalah sebagai berikut:9

8 Franz Magnis Suseno SJ, Dikti di Seberang Harapan?, Kompas, 8 Februari 2012, Hal. 6.

9 http://www.detiknews.com/read/2012/02/02/100308/1832128/10/9-Temuan-BPK-Soal-Masalah-Keuangan-UGM diakses 3 Februari 2012

1) Penetapan volume pekerjaan dalam RAB tidak berdasar data faktual dan gambar

rencana pembangunan RSA UGM tahap II TA 2010 mengakibatkan kelebihan

pembayaran sebesar Rp 479.679.261,10.

2) Penetapan harga satuan pekerjaan dalam addendum kontrak pembangunan RSA UGM

tahap II TA 2010 melebihi harga penawaran mengakibatkan kelebihan pembayaran

sebesar Rp 2.066.210.452,50

3) Volume pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai kontrak minimal senilai Rp 262.464.789,40

4) Pelaksanaan pekerjaan pembangunan gedung RSA UGM tahap I dan II serta Fisipol tahap

II terlambat dan belum dikenakan sanksi denda sebesar Rp 3.489.722.071,00

5) Hasil pengadaan peralatan RSA UGM TA 2009 dan 2010 belum dapat dimanfaatkan dan

tidak dapat dilaksanakan uji fungsi sebagai syarat penyelesaian pekerjaan

mengakibatkan denda keterlambatan sebesar Rp 1.383.655.450,00

6) Prosedur pengadaan tanah untuk pembangunan RSA UGM tidak sesuai ketentuan

7) Pembayaran biaya langsung non personil atas pelaksanaan kontrak konsultan tidak

didukung bukti senilai Rp 1.102.790.000,00

8) Penilaian penawaran penyedia jasa pembangunan RSA UGM tahap II TA 2010 tidak

berdasarkan dokuen lelang mengakibatkan indikasi kerugian negara sebesar Rp

22.846.000.000,00

9) Penerimaan pendidikan dan non pendidikan UGM TA 2010 tidak disetorkan ke rekening

rektor sebesar Rp 336.832.693.470,38.

Institut Teknologi Bandung (ITB)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap pengadaan barang dan jasa

serta rekening Institut Teknologi Bandung (ITB), dan menemukan BPK 5 permasalahan

signifikan dalam pengelolaan anggaran di ITB dalam rentang tahun 2008-2010. Hal tersebut

sesuai dengan surat BPK kepada Rektor ITB dengan nomor 35/S/VIII/12/2011 per tanggal 30

Desember 2011. Lima permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:10

1) Penyedia barang TA 2008,2009,2010 tidak dapat melaksanakan pekerjaan sesuai

kontrak dan tidak dikenakan sanksi senilai Rp 122.759.797,00

2) Addendum pengurangan volume pekerjaan tidak sesuai ketentuan sehingga tujuan

pengadaan barang tidak tercapai dan ITB tidak memperoleh barang yang dibutuhkan

senilai Rp 1.445.322.780,00

3) Addendum perubahan volume kotrak dan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan

pekerjaan pada empat kontra senilai Rp 3.959.241.932,93 dibuat setelah jangka waktu

kontrak berakhir dan mendahului surat peringatan/teguran I

4) Pekerjaan pengadaan barang yang berasal dari sumber dana APBN terlambat

diselesaikan dan belum dikenakan denda keterlambatan Rp 191.560.560,00

5) Pekerjaan pengadaan barang yang berasal dari sumber dana masyarakat (DM) terlambat

diselesaikan dan belum dikenakan denda keterlambatan senilai Rp 29.763.515,00

Universitas Indonesia (UI)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menduga telah terjadi tindakan korupsi dengan potensi

kerugian negara sejumlah Rp. 41 miliar. Dugaan tersebut terkait alih fungsi lahan bekas asrama

Pegangsaan Timur (PGT) di daerah Cikini seluas 23.583 meter tanpa sepengetahuan Kementrian

Keuangan.11 Selain itu, Universitas Indonesia juga dinilai tidak transparan. Hal tersebut

tercermin dengan adanya permintaan informasi pengelolaan keuangan yang dimohonkan oleh

Indonesia Corruption Watch (ICW), namun tidak ditanggapi secara transparan. ICW pun

melakukan gugatan ke Komisi Informasi Publik (KIP).12

10 http://www.detiknews.com/read/2012/02/02/103743/1832153/10/5-Temuan-BPK-Soal-Masalah-Keuangan-ITB diakses pada 3 Februari 2012

11http://www.bisnis.com/articles/korupsi-bpk-temukan-dugaan-korupsi-ui-rp41-miliar diakses 3 Februari

2012

12 http://nasional.vivanews.com/news/read/277158-icw-gugat-rektor-ui-ke-kip diakses pada 3 Februari 2012

Anggaran yang minim untuk perguruan tinggi

Di tengah keterpurukan pendidikan tinggi di Indonesia, kebijakan negara justru tidak terlihat

untuk menyelamatkannya. Salah satu indikatornya, yaitu terlihat jelas dari postur anggaran

pendidikan tinggi dari tahun ke tahun. Walaupun anggaran pendidikan di Indonesia dinyatakan

telah melebihi 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ternyata anggaran untuk

pendidikan tinggi justru sangat minim. Untuk tahun anggaran 2012, anggaran pendidikan

adalah 285 Triliun. Kurang lebih 137 Triliun dari 285 Triliun adalah untuk gaji. Sebanyak 100

Triliun lebih anggaran ditransfer ke daerah untuk BOS, dana bagi hasil, gaji guru, dan

pembangunan sekolah. Sebanyak 50 Triliun untuk kementrian lainnya. Sebanyak 57,8 Triliun

anggaran dikelola Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara anggaran untuk

pendidikan tinggi hanya 5 Triliun.13

Anggaran 5 Triliun sangatlah sedikit jumlahnya, karena jumlah perguruan tinggi di Indonesia

adalah 3150 perguruan tinggi. Tidak heran perguruan tinggi kemudian berlomba-lomba

membuat berbagai program pendidikan dan juga ujian masuk perguruan tinggi agar dapat

memenuhi kebutuhan belanjanya. Uang pangkal 5 s/d 250 juta rupiah setiap mahasiswa

menjadi lumrah. Mahasiswa/masyarakat kemudian menjadi korban dari kebijakan tersebut dan

dihadapkan oleh setidaknya tiga pilihan, yaitu tidak melanjutkan jenjang pendidikan tinggi,

membayar mahal untuk masuk perguruan tinggi dengan kemampuan ataupun memaksakan

kemampuan, atau masuk perguruan tinggi dengan mengharapkan beasiswa yang minim akses

dan jumlahnya.

TANGGAPAN TERHADAP DRAFT RUU PENDIDIKAN TINGGI

1. Kekacauan Sistem Pendidikan Nasional

Dasar pemikiran munculnya RUU Pendidikan Tinggi ini adalah untuk merespon adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, yang salah satu implikasinya adalah

menjadikan Undang-undang No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) secara

keseluruhan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahkan ada anggapan bahwa pasca UU 13 Paparan Ketua Panja RUU Pendidikan Tinggi pada Audiensi Komnas Pendidikan Tinggi 5 Desember 2011 di Komisi X DPR RI.

BHP “dibatalkan”, perguruan tinggi tidak memiliki dasar hukum dalam melakukan segala

aktivitasnya. Namun anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena pada dasarnya pengaturan dalam

UU BHP didasari oleh pengaturan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional.

Pemerintah kemudian mengeluarkan PP 66/2010 sebagai transisi untuk mengisi kekosongan

hukum. Solusi yang ditawarkan oleh PP 66/2010 ternyata tidak memuaskan semua pihak atau

stakeholder yang ada. Titik ketidaksepahaman ada pada pengaturan mengenai perubahan status

dari perguruan tinggi yang saat ini berstatus BHMN menjadi perguruan tinggi yang

diselenggarakan oleh Pemerintah, yang diatur dalam Pasal 220A ayat (4). Pergantian status itu

dianggap akan mengurangi otonomi yang dimiliki oleh perguruan tinggi saat ini.

Pengaturan mengenai sistem pendidikan nasioanl dalam UUD 1945 secara khusus diatur dalam

Pasal 31. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam ran gka mencerdaskan kehidupan ba gsa, yang diatur dengan undang-undang”

Dari Pasal terebut dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai sistem pendidikan nasional

diatur secara terpusat pada satu UU saja, dan UU tersebut sudah ada, yaitu UU 20/2003. Dalam

Pasal 24 ayat (3) UU 20/2003 disebutkan bahwa “Ketentuan mengenai penyelenggaraan

pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut

dengan peraturan pemerintah”. Jika substansi RUU PT yang banyak mengatur mengenai sistem

pendidikan dalam satu undang-undang terdapat ketentuan-ketentuan mengenai sistem pendidikan

yang setingkat dengan undang-undang, tentunya akan menimbulkan kerancuan. Belum lagi UU

Sisdiknas rencananya akan direvisi.

2. Kastanisasi Dan Otonomi Kebablasan

Bahwa otonomi keilmuan dalam pengelolaan pendidikan merupakan harga mati dan

menjadi bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diatur oleh Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya. Namun kami melihat otonomi yang diatur dalam RUU Pendidikan Tinggi merupakan

otonomi yang kebablasan dan menimbulkan kastanisasi perguruan tinggi. Bahkan dalam pasal

77 RUU PT draft sebelum 9 April 2012 otonomi justru seperti kastanisasi pendidikan yang

mengatur adanya otonom terbatas, semi otonom, dan otonom dalam pendidikan tinggi. Saat ini

Pasal 77 tersebut sudah dihapus, namun ancaman terhadap kastanisasi dan otonomi yang

kebablasan masih terlihat dalam ketentuan pasal sebagai berikut:

Pasal 66:

(1) Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat

penyelenggaraan Tridharma.

(2) Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan tinggi.

(3) Dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan tinggi untuk melaksanakan otonomi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi oleh menteri.

Otonomi berdasarkan kemampuan tersebut tidak ubahnya pembedaan PTN dan BHMN.

Akhirnya hanya segelintir perguruan tinggi yang menonjol. Otonomi keilmuan adalah hak

seluruh perguruan tinggi, sedangkan otonomi pengelolaan harus diberikan dengan catatan

tidak mengekang otonomi keilmuan dan tidak mengarah ke privatisasi pendidikan.

Ancaman terhadap kemerdekaan akademis atau otonomi keilmuan juga terlihat pada

pasal 68 dan 69 draft RUU PT dimana otonomi diberikan secara selektif oleh pemerintah dan

pengelolaan keuangan diberikan dengan menerapkan Badan Layanan Umum atau dengan

membentuk badan hukum. Pasal 69 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69(1) Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja olehMenteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu.(2) PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(3) PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:a. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;b. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;

c. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;d. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan;e. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi;f. wewenang untuk menyelenggarakan dan menutup Program Studi; dang. wewenang untuk mengelola kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah.(4) Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

3. Tenaga Kependidikan

Naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi mengatakan sebagai berikut:

Pegawai perguruan tinggi Pemerintah, baik dosen maupun tenaga kependidikan yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) merupakan hambatan bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan dosen sebagai professional. Sebagian besar unsur manajemen sumber daya manusia mulai dari pengangkatan, penugasan, mutasi/promosi/demosi, hingga pemberhentian harus mengikuti manajemen pegawai negeri sipil yang dirancang bagi aparatur pemerintah, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan kepegawaian di perguruan tinggi.

RUU Pendidikan Tinggi draft 9 April 2012 mengatur mengenai ketenagaan khususnya pada Pasal 73 sebagai berikut: (1) Pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan oleh Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.(2) Pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan oleh badan penyelenggara dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(3) Badan penyelenggara atau Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.(4) Menteri menempatkan dosen yang diangkat oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di PTN untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi.(5) Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dirotasi pada PTN yang berbeda.(6) Pemerintah memberikan insentif kepada dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (4).(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pemberian insentif kepada dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal tersebut memperjelas bahwa perguruan tinggi direncakan layaknya perguruan tinggi

swasta/privat sehingga dosen tenaga kependidikannya bukan lagi Pegawai Negeri Sipil, bahkan

tidak menutup kemungkinan untuk tenaga kependidikan perguruan tinggi akan menggunakan

tenaga outsourcing. Terkait status tersebut tentunya memiliki implikasi bahwa hak-hak yang

diterima oleh tenaga kependidikan menjadi minim dan jauh lebih rendah dari pada PNS, bahkan

lebih buruk jika menggunakan tenaga outsourcing. Selain itu ketentuan ayat (5) dapat

mengancam dosen dirotasi karena kekritisannya, hal tersebut sudah terjadi kepada guru-guru

PNS yang dirotasi atau mutasi karena memprotes kebijakan pemerintah.

4. Kerja Sama Dunia Usaha Dan Industri

Pasal 90:(1) Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan

dana kepada Perguruan Tinggi.(2) Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota

masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan pendidikan tinggi dan Perguruan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tidak ada batasan yang jelas mengenai hal tersebut di atas. Saat ini yang terjadi justru

kerjasama perguruan tinggi dengan pelaku industri dan juga daerah industri yang memasuki

bidang akademis. Misalnya UI yang melakukan kerjasama dengan pelaku industri dan daerah

industri dengan menerima perwakilan mahasiswa dari dua pihak tersebut. Hal ini tentunya

sangat kebablasan, dimana di satu sisi mahasiswa menempuh tes yang sangat ketat masuk

perguruan tinggi, namun di sisi lain karena alasan kerja sama yang sifatnya ekonomis seseorang

dapat masuk dengan mudah di UI. Akibatnya tentu kualitas yang sangat rendah. Tidak jarang

kerja sama dengan daerah industri justru banyak diisi oleh anak atau kerabat kepala daerah.

Ketentuan ini bisa jadi ancaman jika tidak ada pembatasan dan pengawasan.

5. Tidak Jelasnya Perlindungan Akses Terhadap Pendidikan Tinggi

Bahwa dalam RUU Pendidikan Tinggi memang terdapat ketentuan mengenai standar biaya

operasional pendidikan tinggi yang menurut Panja mampu melindungi mahasiswa yang tidak

mampu untuk tetap dapat menikmati pendidikan tinggi. Kedepan maka akan ada indeks

kemahalan biaya kuliah sesuai dengan Upah Minimum Provinsi setempat. Hal tersebut terdapat

dalam pasal 79 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.(2) Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:a. beasiswa kepada mahasiswa berprestasi;b. bantuan atau membebaskan biaya pendidikan; dan/atauc. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.(3) Perguruan Tinggi atau penyelenggara perguruan tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Namun, kami kembali mengingatkan bahwa Pasal 13 ayat 2 huruf c Kovenan Hak-Hak

Ekonomi Sosial dan Budaya mengatur bahwa pendidikan tinggi mengarah ke cuma-cuma. Hal

tersebut tidak terlihat dalam RUU Pendidikan Tinggi, bahkan Undang-Undang No. 11 Tahun

2005 tentang Pengesahan Kovenan Ekosob tersebut sama sekali tidak dicantumkan oleh DPR.

Padahal Komnas Pendidikan pada 5 Desember 2011 dalam audiensinya dengan Panja Komisi X

telah mengingatkan Panja untuk memasukkan Kovenan Ekosob sebagai pertimbangan.

Ketentuan mengenai standar satuan biaya operasional diatur dalam Pasal 92 yang

berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi secara periodik berdasarkan: a. standar nasional pendidikan tinggi;b. jenis program studi; danc. indeks kemahalan wilayah perguruan tinggi.

(2) Standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam APBN kepada PTN

(3) Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa.

(4) Biaya yang ditanggung oleh seluruh mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai kemampuannya dari biaya operasional PTN.

(5) Penetapan biaya pendidikan tinggi yang ditanggung oleh mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dengan persetujuan Menteri.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Kontradiksi kembali ditemukan di RUU Pendidikan Tinggi ini dengan munculnya ketentuan

mengenai pinjaman dana pendidikan. Pada penjelasan Pasal 93 ayat (1) dikatakan bahwa

Pinjaman dana pendidikan dengan bunga rendah tanpa agunan yang diterima oleh mahasiswa

untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan pendidikan tinggi dengan kewajiban membayar

kembali setelah lulus dan mendapatkan pendapatan yang cukup.

Kontradiksi tersebut terlihat pada ketentuan untuk memberikan bantuan biaya pendidikan

bagi mahasiswa yang memiliki keterbatasan ekonomi. Namun di sisi lain terdapat ketentuan

mengenai pinjaman dana pendidikan bagi mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan

pendidikan tinggi dengan kewajiban membayar kembali setelah lulus dan mendapatkan

pendapatan yang cukup. Jadi mahasiswa yang tidak mampu bisa tidak digratiskan melainkan

diberikan hutang yang harus dibayar ketika ia bekerja. Sistem pinjaman seperti ini merupakan

bentuk lepas tanggungjawab negara/pemerintah untuk menjamin akses terhadap pendidikan

tinggi dan merupakan adopsi sistem pembiayaan pendidikan yang digunakan oleh negara

seperti Amerika Serikat atau negara ekonomi liberal yang terbukti telah gagal untuk

menegakkan hak atas pendidikan warga negaranya. Kredit bagi mahasiswa seharusnya

hanyalah digunakan untuk membangkitkan jiwa wirausaha mahasiswa dan menunjang

pendidikan, tapi tidak untuk pembiayaan operasional pendidikan.

6. SEMANGAT NKK/BKK

Semangat normalisasi kehidupan kampus sebagaimana yang ditanamkan oleh orde baru

dapat dilihat dari pasal berikut:

Pasal 14(1) Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, potensi, dan kemampuan melalui kegiatan

kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagai bagian dari proses pendidikan. (2) Kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.(3) Ketentuan mengenai kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dalam Statuta Perguruan Tinggi. Organisasi Kemahasiswaan

Pasal 91 (Pasal 80 draft 9 April)(1) Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan yang diselenggarakan oleh, dari,

dan untuk mahasiswa. (2) Organisasi kemahasiswaan berfungsi:

a. mewadahi kegiatan mahasiswa dalam mengembangkan bakat, minat, dan potensi mahasiswa;

b. mengembangkan kreatifitas, kepekaan, daya kritis, keberanian, dan kepemimpinan serta rasa kebangsaan mahasiswa; dan

c. memenuhi kepentingan dan kesejahteraan mahasiswa.(3) Organisasi mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan organisasi intra

perguruan tinggi.(4) Pengurus organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari,

oleh, dan untuk mahasiswa. (5) Perguruan tinggi menyediakan sarana dan prasarana serta dana untuk mendukung

kegiatan organisasi kemahasiswaan.(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi kemahasiswaan diatur dalam Anggaran

Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Kemahasiswaan.” menjadi “Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi kemahasiswaan diatur oleh Perguruan Tinggi.”

Ketentuan Pasal 14 ayat (3) RUU Pendidikan Tinggi dan Pasal 80 ayat (4) dan (6) merupakan

bentuk pembatasan dan control terhadap kegiatan organisasi mahasiswa layaknya era orde

baru dengan ketentuan normalisasi kehidupan kampus. Kita masih banyak menemukan

pemberangusan organisasi mahasiswa oleh kampus seperti pembekuan BEM UI oleh rektorat

UI pada tahun 2009 lalu, pemecatan 3 orang mahasiswa STIE Hidayatullah karena mengikuti

organisasi Himpunan Mahasiswa Islam, pelarangan kuliah 31 mahasiswa AMIK LAKSI karena

mengikuti kegiatan organisasi dan menggunakan logo Bendera Merah Putih di jaket

almamaternya, dan berbagai kasus lain yang tidak terekspose ke publik. Hal tersebut

merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan

berorganisasi sebagaimana diatur oleh Pasal 28 dan 28E UUD NRI 1945, Pasal 21 dan 22

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 24 UU No. 39 Tahun 1999 tentang

HAM.

7. INTERNASIONALISASI

RUU Pendidikan Tinggi mengatur mengenai internasionalisasi pada Pasal 52 yang berbunyi

sebagai berikut:

(1) Internasionalisasi merupakan proses bagi pendidikan tinggi di Indonesia untuk berperanan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan keindonesiaan guna meningkatkan kedaulatan dan martabat bangsa.

(2) Intenasionalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengintegrasian dimensi internasional dan lintas budaya ke dalam kegiatan akademik.

(3) Internasionalisasi pendidikan tinggi diselenggarakan dalam mengaktualisasikan prinsip bebas dan aktif, solidaritas, toleransi, dan rasa saling menghormati dengan

mempromosikan nilai-nilai dan standar keindonesiaan dan kemanusiaan yang memberikan manfaat bagi kesejahteraan, kemuliaan kehidupan dan peradaban.

(4) Internasionalisasi pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:a. pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal di Perguruan Tinggi di dalam

negeri dan di luar negeri; b. penyelenggaraan pembelajaran yang bertaraf internasional; c. kerja sama internasional antara lembaga penyelengara pendidikan tinggi Indonesia dan

lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain; d. Kerjasama internasional dilakukan dengan kerjasama formal dengan Perguruan Tinggi

yang terakreditasi di negara asalnya; dane. Kerjasama internasional menganut dengan bersifat resiprokal.

(5) Kebijakan nasional mengenai Internasionalisasi pendidikan tinggi ditetapkan oleh menteri; (6) Kebijakan nasional mengenai internasionalisasi pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud

pada ayat (5) paling sedikit memuat:a. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri;b. pemberian wawasan pada sivitas akademika sebagai bagian dari masyarakat

internasional; danc. pemajuan nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional.

Internasionalisasi bukanlah jawaban sebagai alat untuk meningkatkan kualitas dan daya

saing dalam tingkat global. Internasionalisasi, khususnya kerja sama dengan perguruan tinggi

asing justru akan menggerus budaya lokal dan menghambat akses masyarakat miskin untuk

menikmati pendidikan tinggi yang berkualitas. Tentunya kerja sama akan mengikuti sistem

pembiayaan dan akademis perguruan tinggi tersebut, terlebih lagi perguruan tinggi yang

otonom/liberal dan mendapatkan sumber daya keuangan dari biaya perkuliahan yang mahal.

8. Bisnis Penerimaan Mahasiswa Baru

Mengenai penerimaan mahasiswa baru diatur dalam Pasal 76 yang berbunyi sebagai

berikut:

(1) Penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional atau bentuk lain.

(2) Pemerintah menanggung biaya kepada calon mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan mahasiswa baru secara nasional.

(3) Calon mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang telah memenuhi persyaratan akademik wajib diterima oleh Perguruan Tinggi.

(4) Perguruan tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap program studi dan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya.

(5) Penerimaan mahasiswa baru PTS untuk setiap program studi diatur oleh masing-masing PTS atau dapat mengikuti pola penerimaan mahasiswa baru PTS dengan mengikuti pola penerimaan mahasiswa baru PTN secara nasional.

(6) Penerimaan mahasiswa baru merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan mahasiswa PTN diatur dalam Peraturan Menteri.

Kata bentuk lain dalam ayat (1) Pasal diatas melanggengkan praktek seleksi penerimaan

mahasiswa baru secara mandiri oleh Perguruan Tinggi Negeri sebagaimana kami ungkap di bab

sebelumnya di atas. Namun kami mengapresiasi bahwa pemerintah akan menanggung biaya

seleksi masyarakat yang tidak mampu dan penerimaan mahasiswa baru tidak untuk tujuan

komersil.

Ketentuan Pasal 77 yang mewajibkan PTN untuk menjaring mahasiswa yang kurang mampu

secara ekonomi paling sedikit 20% dapat diapresiasi sepanjang tidak menjadi dasar pembenar

jika saja terdapat lebih 20% mahasiswa tidak mampu terjaring maka PTN dapat lepas tangan.

9. Sanksi

Setelah mendapatkan kritikan yang cukup tajam pada draft awal karena tidak adanya sanksi

yang tegas terhadap perguruan tinggi yang melanggar peraturan, DPR akhirnya mengatur

mengenai sanksi pada pasal 96. Namun tidak terdapat sanksi atas pelanggaran Pasal 92,

khususnya mengenai indeks kemahalan wilayah perguruan tinggi.

TANGGAPAN TERHADAP KEBEBASAN AKADEMIK DAN OTONOMI

Saat ini praktis perdebatan mengenai pendidikan tinggi terbagi ke dalam empat kelompok. Pertama adalah pemerintah yang menginginkan pengesahan RUU Pendidikan Tinggi. Kedua adalah kelompok PT BHMN dan para akademisi yang mengusung kebebasan akademik dan otonomi penuh pendidikan tinggi. Sebagian menuntut agar RUU Pendidikan Tinggi tidak masalah disahkan, sebagian lain menginginkan agar tetap ada peraturan atau undang-undang

yang menjamin badan hukum pendidikan tinggi layaknya BHP. Ketiga adalah kelompok yang menolak pengesahan RUU Pendidikan Tinggi karena berbagai permasalahan dan berpendapa perbaikan harus dimulai dari UU Sisdiknas. Keempat adalah kelompok yang menerima RUU PT karena dinilai sudah cukup baik memberikan akses kepada masyarakat miskin.

Kelompok kedua beranggapan bahwa kelompok pertama adalah kelompok yang akan menjadikan Pendidikan Tinggi kembali menjadi Satuan Kerja Kementrian dan mengekang kebebasan akademis layaknya orde baru. Untuk kebebasan akademik haruslah ada otonomi penuh terhadap pendidikan tinggi kecuali masalah pembiayaan. Selain itu kelompok ketiga yang terdiri dari organisasi mahasiswa, LSM, organisasi guru, dosen, dan pekerja juga dinilai sebagai kelompok yang ingin menguatkan cengkraman Negara dan tidak memperdulikan kebebasan akademik.

Dalam kesempatan ini Saya ingin memberikan beberapa penjelasan sebagai berikut:

Bahwa kelompok ketiga yang disebutkan diatas membela kebebasan akademik. Hal tersebut dikarenakan kebebasan akademik merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia dan sangat erat kaitannya dengan kebebasan berfikir, berekspresi, dan berpendapat. Dalam UUD Sementara 1950 dan UUD RIS dianggap sebagai kebebasan dasar manusia. Dalam UUD NRI 1945 kita merasakan semangat tersebut dalam Pasal 28 E ayat (2) yang berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Bahwa terdapat kesalahan berfikir kebebasan akademik sama dengan otonomi pengelolaan perguruan tinggi. Hal tersebut keliru karena kebebasan akademik adalah hak dasar sementara otonomi pengelolaan merupakan cara dan tidak mutlak kebebasan akademik hanya bisa dicapai dengan otonomi pengelolaan. Bahkan tidak mutlak membutuhkan badan hukum sendiri. Misalnya di Jerman atau Australia sebagian besar perguruan tinggi merupakan Perguruan Tinggi Negeri, namun bukan berarti mereka tidak otonom dan rentan dalam pelanggaran kebebasan akademis.

Kebebasan akademik membutuhkan otonomi, tetapi bukan otonomi yang kebablasan, lepas dari pemerintah dan mengarah ke privatisasi pendidikan. Otonomi tersebut disebutkan dalam Komentar Umum Pasal 13 mengenai Hak Atas Pendidikan dari Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang berbunyi sebagai berikut:

“The enjoyment of academic freedom requires the autonomy of institutions of higher education. Autonomy is that degree of self-governance necessary for effective decision making by institutions of higher education in relation to their academic work, standards, management and related activities. Self-governance, however, must be

consistent with systems of public accountability, especially in respect of funding provided by the State. Given the substantial public investments made in higher education, an appropriate balance has to be struck between institutional autonomy and accountability. While there is no single model, institutional arrangements should be fair, just and equitable, and as transparent and participatory as possible.”

Berdasarkan hal tersebut, saya ingin menyampaikan bahwa kebebasan akademik mutlak diperlukan, namun penikmatan terhadap kebebasan akademik tersebut tidak mutlak diwujudkan dengan otonomi sepenuhnya yang mengarah kepada privatisasi pendidikan.

SOLUSI

Berdasarkan catatan singkat di atas, maka mengusulkan beberapa solusi untuk kita diskusikan, yaitu:

Membatalkan pengesahan RUU Pendidikan Tinggi dan segera merevisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi sumber masalah.

Mendorong regulasi kebebasan akademik.

Mendorong demokratisasi di perguruan tinggi dan membatalkan Permendiknas No. 24 Tahun 2010 dimana pemerintah dominan dalam pemilihan Rektor dan mampu mempengaruhi kebijakan perguruan tinggi.

Membuat regulasi baru untuk mengakselerasi perguruan tinggi melaksanakan penelitian.

Menambah anggaran untuk pendidikan tinggi.