Click here to load reader
Upload
dolien
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REINTERPRETASI TERHADAP HADITS TANTANG ZAKAT HASIL BUMI
MELALUI PENALARAN BAYANI
Oleh : M. Nawawi
ABSTRAK : Ibnu Umar menuturkan pernyataan Nabi saw bahwa produksi pertanian yang menggunakan siraman air hujan atau air sumber secara alami dikenakan pungutan zakat sebesar 10% , sedangkan yang menggunakan pengairan melalui tenaga / biaya dikenai pungutan zakat 5 %. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami pernyataan Nabi saw ini. Sebagian memahaminya secara umum, sehingga mencakup semua jenis hasil pertanian dan perkebunan, namun sebagian yang lain memahaminya secara husus, sehingga hanya berlaku bagi sebagian produk pertanian tertentu. Melalui pendekatan pola penalaran bayani , pernyataan Nabi saw tersebut dapat diperluas mencakup pendanaan dan biaya produksi pertanian secara umum. Demikian pula bentuk pungutan zakatnya dapat diperluas bukan hanya dalam bentuk materi yang sama dengan komoditas pertanian yang dizakati.
Kata Kunci : Zakat, Produk Pertanian , Penalaran Bayani
A. Pendahuluan
Dalam kitab Shahih Bukhori bab Zakat terdapat penuturan hadist sebagai
berikut :1
Drs.M. Nawawi, M.Ag, adalah dosen pada Fakultas Tarbiyah IAIN Surabaya dan STAI Qomaruddin Bungah Gresik
1Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Matan al-Bukhary, ( Bandung: Syirkah al-Ma’arif, tth), juz I, h. 259. Lihat pula pada Mausu’at al-Hadits al-Syarif, Versi Sakhr, bab Zakat, nomor 1388
1
قال وهب بن عبدالله حدثنا مريم أبي بن سعيد حدثنا عبدالله بن سالم عن الزهري عن يزيد بن يونس أخبرني
عليه اللهم صلى النبي عن عنهم اللهم رضي أبيه عن العشر عثريا كان أو والعيون السماء سقت فيما قال وسلم
العشر نصف بالنضح سقي وماArtinya : Telah bercerita kepada kami Sa’id bin Abi Maryam, bercerita kepada kami
Abdullah bin Wahab, telah memberi kabar kepadaku Yunus bin Yazid, dari
al-Zuhri, dari Salim bin Abdullah dari ayahnya (Abdullah bin Umar bin al-
Khattab), semoga Allah meridloi mereka, dari Nabi saw bersabda ; “Hasil
pertanian yang diproses siraman air hujan dan air sumber (yang mengalir
dengan sendirinya), atau air yang telah tersedia pada lahan pertanian
tersebut, dikenai pungutan zakat sepuluh persen. Sedangkan hasil
pertanian yang disirami dengan menggunakan tenaga dikenai pungutan
zakat lima persen”.
Hadist riwayat Ibnu Umar di atas , jika dilihat dari keumuman maknanya
secara lahir menjelaskan dua hal.
Pertama, bahwa kewajiban membayar zakat hasil bumi tidak disyaratkan harus
terlebih dahulu mencapai nisab.2 Kedua. bahwa kewajiban dimaksud mencakup
semua semua jenis tanaman ; 10 % bagi tanaman yang diairi oleh curah hujan, dan
5% bagi tanaman yang diairi dengan menggunakan bantuan tenaga.
Apabila kandungan makna hadits tersebut, kita pahami sebagaimana
kesimpulan di atas, maka hasil bumi yang dikenai wajib zakat akan mencakup
2 Lafadz “ ma “ dalam kalimat hadits “ Fima saqat al-Sama’u”, adalah termasuk lafadz Am yang mencakup semua jenis tanaman. Lihat pada Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid fi Nihayat al-Muqtashid ( Indonesia : Dar ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tth), juz I, h. 185
2
semua jenis tanaman, tidak pandang bulu, apakah tanaman itu di budi-dayakan atau
tumbuh dengan sendirinya, dan tidak hanya terbatas pada jenis tanaman yang
menjadi qut al-balad saja. Sementara itu terdapat penjelasan dari keterangan hadits
lain yang menyatakan bahwa hasil pertanian itu akan dikenai pungutan zakat, jika
telah memenuhi beberapa persyaratan, seperti telah mencapai batas nisab dan
sebagainya.
Makalah ini ditulis sebagai pengantar untuk mendiskusikan bagaimana
seharusnya hadits di atas mesti dipahami , hususnya jika dikaitkan dengan hadits-
hadits lainnya, dan tentu saja dalam bingkai al-Qur’an sebagai sumber utamanya,
dengan melalui penalaran bayani 3 .
B. Pendapat Para Ulama
Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dikehendaki oleh kandungan makna
hadits riwayat Ibnu Umar tersebut, hanya dimaksudkan sebagai penjelasan adanya
perbedaan kadar yang mesti dikeluarkan antara hasil bumi yang diproduksi dengan
tampa biaya pengairan dan hasil bumi yang diproduksi dengan bantuan pengairan
yang memerlukan biaya.4
Jadi Hadist tersebut tidak bisa disimpulkan hanya berdasar keumuman
dilalahnya saja. bahkan menurut pendapat jumhur ulama tersebut, hadits ini pada
3 Penalaran bayani pada dasarnya adalah penalaran yang bertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan (semantik). Dalam term Ushul Fiqh biasanya disebut dengan istilah Qawa’id al-lughawiyah, Lihat al-Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fiqih Madzhab,( Yogyakarta: Desertasi, IAIN Sunan Kalijaga,1989) h. 14-15
4 Bandingkan dengan penjelasan Ibnu Hajar al-Atsqalany, Fath al-Bary bi Syarhi al-Bukhary, (Bairit : Dar al-Fikr, tth), juz IV, h. 115. Lihat pula pada Al-Shan’any, Muhammad bin Isma’l, Subul al-Salam.( Indonesia: Dahlan, tth), juz II, h. 132
3
suatu sisinya berfungsi sebagai bayan atas ketentuan hadits yang lain, dan pada
sisinya yang lain, ia memerlukan penjelasan hadits yang lain lagi.
Dalam konteks ini terdapat suatu riwayat dari Rasulullah yang dituturkan
Abu Sa'id al-Khudlri, bahwa hasil bumi yang kurang dari lima wasaq, tidak
dikenai beban zakat5. Dengan begitu, maka keumuman hadist Ibnu Umar di atas
bisa di tahsis dengan hadits riwayat Abu Sa'id ini.
Terhadap kesimpulan yang disepakati jumhur ulama' di atas, dapat diajukan
satu pertanyaan; bagaimana seandainya jika terdapat lahan pertanian yang diairi
dengan menggunakan dua macam cara (cara campuran, misalnya lahan dimaksud
diairi dari air sungai secara langsung dan juga menggunakan alat bantu diesel).
Terhadap Pertanyaan ini al-Baihaqi menyatakan bahwa menurut kesepakatan
para ahli, apabila kadar kedua macam siraman tersebut sama, maka wajib
mengeluarkan zakat sebanyak 3/40 ( العشر ارباع ثالثة ) dari hasil
produksi yang diperoleh.6 Sebaliknya, apabila kadar siraman tersebut tidak sama,
maka menurut al-Tsawri, Abu Hanifah dan salah satu pendapat al-Syafi'i, kadar
zakat yang harus dikeluarkan adalah mengikuti cara pengairan (penyiraman) yang
paling dominan7; artinya apabila yang lebih banyak adalah penyiraman tanpa biaya,
maka zakatnya 10%. Sebaliknya apabila yang lebih banyak adalah pengairan dengan
biaya, maka zakat yang harus dikeluarkan adalah 5%. Akan tetapi menurut pandapat
al-Syafi'i yang kedua, kadar zakatnya harus diperhitungkan secara lebih adil; artinya
5 Al- Bukhari, loc. cit6 Wahbah al-Zuhaily, Zakat, Kajian Berbagai Madzhab, ( Bandung : Remaja Rosda
Karya,1995, h. 197-1987Lihat pada al-Syaukany, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Awthar Syarh
Muntaqa al-Akhbar,( Bairut : Dar al-Fikr, tth), juz III, h. 189
4
bila memungkinkan untuk dilakukan perhitungan secara rinci prosentase cara
penyiramannya, maka kadar zakatnya adalah sesuai dengan perhitungan yang lebih
adil itu.
Sedangkan menurut pendapat Ibnu al-Qasim (rekan Imam Malik), kadar zakat
yang harus dikeluarkan adalah berpedoman kepada cara pengairan yang paling
signifikan; artinya, apabila penyiraman dengan menggunakan biaya, merupakan
penyiraman yang paling menentukan terhadap pertumbuhan tanaman, maka kadar
zakatnya ialah 5%. Sebaliknya jika penyiraman tanpa biaya yang lebih signifikan,
maka zakat yang harus dikeluarkan adalah 10% 8
Ungkapan ( سقت فيما ) dalam hadits riwayat Ibnu Umar di atas
adalah lafadl 'Am, yang mencakup hasil bumi (pertanian) yang telah mencapai batas
nisab dan hasil bumi yang belum mencapai nisab. Akan tetapi terdapat hadits lain
yang diriwayatkan Abu sa'id al-Khudlri:" اوسق خمسة دون فيما ليس
قة صد “ ,
yang kandungan maknanya dinyatakan sebagai ketentuan khas; Artinya hasil bumi
yang belum mencapai nisab tidak dikenai pungutan zakat.
Menanggapi kedua hadits tersebut, para ulama tidak memiliki kata sepakat.
Menurut sebagian ulama Hanafi, suatu lafadz bisa dinyatakan sebagai tahsis, apabila
penjelasan yang diberikan cocok dengan yang dijelaskan; artinya tidak menambah
dan tidak mengurangi makna yang dijelaskan. Atas pendirian pendapatnya ini
ulama' Hanafi menganggap kedua hadist tersebut (hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu
8 Ibid, h. 190
5
Sa'id) tidak berkedudukan sebagai lafdz yang saling menjelaskan. Oleh karena itu
bagi mereka, kedua hadist tersebut dapat diamalkan keduanya dalam konteks yang
berbeda. Hasil Bumi yang dapat ditakar - sebagai mana diisyaratakan hadits riwayat
Abu Sa'id - pungutan zakatnya berdasarkan nisab. Sedangkan hasil bumi/ pertanian
yang tidak dapat ditakar bisa menggunakan dasar ke-umuman hadits Ibnu Umar9.
Jadi pungutan zakatnya tidak disyaratka menunggu batas nisab.
Berbeda dengan pendapat sebagian ulama Hanafi di atas, Jumhur Ulama
menyatakan bahwa yang dapat dipedomani adalah hadits riwayat Abu Sa'id.10
Alasannya, karena terdapat hadits riwayat Daraquthni dari jalur Ali bin Abi Thalib,
Thalhah dan Mu'adz, yang menyatakan bahwa sayur-mayur tidak dikenai pungutan
zakat.11
Tambahan lagi terdapat pernyataan Imam Malik dan al-Syafi’i, bahwa hasil
bumi yang dikenai zakat hanyalah janis yang dapat dijadikan makanan pokok dan
dapat ditimbang12. Atas dasar dua riwayat yang tersebut terahir ini, maka hadits
riwayat Abu Sa'id di atas tidak hanya untuk hasil bumi yang ditakar saja, tetapi
berlaku juga untuk jenis tanaman (produk pertanian ) yang lain.
Berbeda dengan riwayat yang tersebut terakhir , Imam Ahmad menuturkan
( dan ini juga pendapat Abu Yusuf ) bahwa hasil pertanian yang dikenai pungutan
zakat tidak disyaratkan sebagai makanan pokok.13 Sementara itu pada saat yang
sama, ketika mengomentari riwayat Ibnu Mundzir, bahwa hasil bumi yang belum
9 ? Ibnu Hajar al-Atsqalany, op-cit, h. 116 1010 Bandingkan dengan penjelasan al-Syawkani, ibid, h. 19011 Lihat Wahbah al-Zahaily, op-cit, h. 189-19012 Ibnu Hajar al-Atsqalany, loc-cit.13Bandingkan dengan penjelasan Drs Saichul Hadi Permono dalam Tafsir al-Qur’an Tentang
Sumber-Sumber Penggalian Zakat, ( Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 1980), h. 50
6
mencapai lima wasaq tidak dikenai pungutan zakat, Imam Abu Hanifah menyatakan
bahwa semua hasil pertanian (yang diupayakan sebagai pengembangan nilai tanah)
wajib dikenai pungutan zakat, kecuali kayu bakar, rumput dan tanaman non
produktif.14
Selanjutnya masih dalam konteks ini, Qadli Iyadl menceritakan bahwa
setiap hasil bumi yang dapat ditimbang, terdapat ketentuan batas nisab. Sedangkan
hasil bumi yang tidak dapat ditimbang, maka sedikit ataupun banyak tetap dikenai
pungutan zakat.15
Demikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan
memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu Arabi,
pendapat yang paling kuat adalah pendapat Abu Hanifah yang berpegang pada ke-
umuman hadits Ibnu Umar. Sementara Al-Juwaini menganggap bahwa hadits Ibnu
Umar tersebut dimaksudkan hanya untuk membedakan kadar zakat antara hasil
bumi yang biaya prodoksinya murah/rendah dan hasil bumi yang dikelola dengan
biaya produksi cukup tinggi 16. Atau dengan ungkapan lain, bila produksi pertanian
jauh labih kecil dibanding hasil yang dicapai, maka zakatnya 10%, sebaliknya
apabila biaya produksi tidak efisien dibanding hasil yang dicapai, maka zakat yang
harus dikeluarkan adalah 5 %.
C. Analisis dalam Perspektif Penalaran Bayani
Melalui penalaran Bayani, kandungan makna hadist Ibnu Umar di atas, akan
dianalisis dengan menggunakan pendekatan kaidah kebahasaan yang berlaku 14 Ibnu Hajara al-Atysqalany, loc-cit.15 Lihat pada al-Syawkany, op-cit, h. 19116 Ibnu Jahar al-Atsqalany, loc-cit.
7
dikalangan ahli usul, yaitu mengungkapkan makna lafadz yang dipergunakan dari
aspek-aspek berikut:17
a. Dari aspek cakupan isinya. akan diketahui apakah apakah lafadz yang
dipergunakan oleh redaksi hadits riwayat Ibnu Umar tersebut sebagai 'lafadh
Am, Khas, Mutlaq atau Muqaiyad.18
b. Dari segi hakikat tidaknya. akan diketahui apakah lafadz yang dipergunakan
sebagai ungkapan hakiki atau majazi.
c. Dari segi jelas tidaknya. akan diketahui apakah lafadz yang digunakan oleh
redaksi hadits tersebut merupakan kalimat yang sharih atau tidak.
d. Dari segi cara memahaminya. akan diketahui apakah kandungan (dalalah)
maknanya merupakan dalalah nash, dalalah ibarah, dalalah isyarah, atau
dalalah iqtidla’.19
Secara umum penjelasan yang telah diberikan oleh para ulama tersebut di
atas cukup memadai. Mereka telah mengungkapkan kandungan maknanya sesuai
dengan kaidah-kaidah kebahasaan. Telah dijelaskan bahwa kandungan lafadz "ما
“ adalah 'Am yang maknanya mencakup semua hasil bumi, baik yang telah
mencapai batas nisab atau belum. Bahkan diungkapkan pula pelbagai pandangan
17 Dr. al-Yasa Abu Bakar, Ushul Fiqh, II, ( Banda Aceh : IAIN Ar-Raniri, 1993), h. 3618 Lafadz Am adalah yang menunjuk kepada semua satuan yang menjadi isi dari sutu lafadz,
sedangkan lafadz Khas merupakan lafadz yang menunjuk kepada makna tertentu yang jelas dan terbatas. Termasuk lafadz Am antara lain seperti isim mufrad yang dima’rifatkan dengan AL al-jinsiyah dan isim mausshul. Adapun lafadz muthlaq menunjuk kepada makna yang isinya tidak dibatasi dengan sifat atau keterangan tertentu, sedangkan lafadz Muqayyad menunjuk kepada makna yang isinya telah dibatasi oleh sifat atau keterangan tertentu. Lihat pada misalnya Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, ( Kairo : Dar al-Ma’arif, tth), h. 224, 233
19 Dilalah Ibarat adalah kandungan makna tersurat dari suatu teks, sedangkan Dilalah Isyarat adalah makna perluasan dari makna tersurat. Adapun Dilalah Iqtidla’ pemahaman terhadap nash dengan cara menyelipkan kata lain agar nash tersebut bisa dipahami dengan baik.. Lihat misanya pada penjelasan Dr. Al-Yasa Abubakar, Ushul Fiqih II, op-cit, , h. 76-80 atau pada Ali Hasaballah, op-cit, h. 272- 278
8
sebagai tambahan wawasan. Demikian pula telah diungkapkan bahwa atas ke-
umuman redaksi " السماع سقت فيما " mencakup seluruh jenis hasil
bumi yang diproduksi.
Dalam kaitannya dengan pemahaman ini para ulama telah menyampaikan
berbagai pandangan yang tidak seragam dengan berbagai alasannya, baik yang
berpegang pada ke-umuman redaksi hadits, ataupun alasan mereka yang berpegang
pada qarinah yang mentahsis.
Dalam pada itu mereka juga telah memaparkan kandungan maknanya dari
aspek dilalatul 'ibarat hadist bersangkutan. Hanya saja masih terdapat kemusykilan
berkaitan dengan banyaknya hadist-hadits yang bervariasi, yang dinyatakan sebagai
tabyin (penjelas) hadits riwayat Ibnu Umar. Di samping hadits Abi Sa'id, penjelasan
tahsis hadits Ibnu Umar ini juga terdapat penjelasan lagi dari hadits riwayat Imam
Daraquthni melalui jalur Ali, Thalhah dan Mu'adz, yang menyatakan bahwa hasil
bumi jenis sayuran tidak dikenai kewajiban zakat. Demikian pula riwayat Imam
Turmudzi dari jalur Musa bin Thalhah yang menyatakan bahwa jenis hasil bumi yang
dikenai zakat, hanyalah jenis tanaman yang dapat dijadikan makanan pokok dan
dapat ditimbang.
Sebagaimana telah dipaparkan dalam penjelasan dan pandangan para ulama
didepan, dapat di simpulkan bahwa komentar mereka yang paling dominan adalah
menyangkut pemaknaan redaksi " سقت فيما ". Agaknya mereka hanya
menjawab sekitar pertanyaan : "Apa saja hasil bumi yang wajib dikenai pungutan
zakat, kemudian apakah dalam hal ini diperlukan persyaratan nisab atau tidak. Jika
9
diperlukan persyaratan nisab, apakah untuk semua jenis hasil bumi (mesti
diperlukan nisab), atau hanya berlaku pada sebagian jenis saja". Di samping itu
mereka juga berusaha menjawab berapa besarnya kadar pungutan yang mesti
dikeluarkan dengan ketentuan sebagaimana dijelaskan hadits Ibnu Umar ( 10 %
bagi yang diairi dengan tanpa biaya, dan 5 % bagi hasil bumi yang di airi dengan
menggunakan biaya ). Akan tetapi dalam memberikan jawaban pertanyaan yang
terakhir ini, mereka belum menyinggung apakah kadar pungutan 5 - 10% itu harus
dibayar berupa jenis yang sama dengan jenis hasil bumi yang dizakati, atau bisa di
bayar berupa jenis (bentuk) lain yang senilai.
Menurut penulis, kata " العشر " adalah lafadz yang umum. Oleh
karena itu bentuk pembayaran pungutan 5-10 % bisa dibayarkan dalam wujuad apa
saja yang nilainya sama dan memberikan manfaat. Berangkat dari pemahaman
seperti ini, maka dasar pengambilan kandungan maknanya, dilakuakn melalui
pendekatan dalalatul iqtidla', yaitu dengan menambahkan lafadz "qimah"
sebelum lafadz " usyur atau nisful usyur".
Kata " حالنض " oleh para ulama diperluas artinya mencakup bentuk
pengairan yang memerlukan biaya, seperti dengan menggunakan diesel dan lainnya.
Bagi penulis lafadz tersebut termasuk kategori lafadz yang khafi,20 sebab perluasan
20 Secara harfiyah Khafi artinya adalah tersembunyi, sedangkan makna istilahnya adalah suatu lafadz yang sebenarnya bisa dipahami dengan mudah, tetapi karena ada sebab-sebab lain, maka terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi apakah beberapa hal lain itu termasuk di dalamnya atau tidak. Misalnya dalam surat al-Maidah 38 dinyatakan bahwa Al-Sariq dan, Sariqah, , pencuri itu harus dipotong tangannya. Pada tingkat pertama pemahamannya tidak terdapat kesulitan , tetapi pada pemahaman tingkat selanjutnya terdapat kesulitan; apakah koruptor atau pencopet itu merupakan kejahatan yang sama persis dengan pencuri atau tidak. Cotoh lainnya adalah istilah Abawaini dalam surat al-Nisa’ 11. Pada tingkat pertama istilah orang tua adalah cukup jelas, yaitu bapak dan ibu. Pesoalannya lkemudian apakah kakek dan nenek itu termasuk dalam kategori term Abawaini atau tidak.
10
arti lafadz " النضح ", dari makna asalnya yang berarti tempat (alat) yang
dipergunakan memberi minum binatang, kepada makna penyiraman dengan
menggunakan tenaga / biaya21, adalah sangat relatif. Kenyataan yang terjadi di
lapangan menunjukkan bahwa perbedaan biaya pengairan memiliki tingkat
perbedaan yang sangat tinggi antara suatu lahan tertentu dengan lahan yang lain.
Bahkan sekarang telah terjadi perubahan yang amat besar dalam tehnologi
pengolahan tanah pertanian; di samping diairi dengan menggunakan biaya, juga
harus ditaburi dengan pupuk, yang harganya relatif mahal, dan pada saat yang sama
harga hasil produksi pertanian (hasil bumi) relatif murah. Pertanyaannya adalah
sampai sejauh mana cakupan dari makna “ لنضحا “. Apakah kandungan
maknanya hanya mencakup biaya pengairan saja atau bisa diprluas kepada biaya
produksi secara keseluruhan. Dalam konteks makna hadits yang diriwayatkan Ibnu
Umar ini penulis (pemakalah) sepakat dengan al-Juwaini bahwa yang dimaksud
dengan " بالنضح سقي ما " adalah usaha pertanian yang dikelola dengan
biaya tinggi, sedangkan yang dimaksud dengan " السماء سقت ما
adalah usaha pertanian dengan menggunakan biaya yang relatif " والعيون
rendah.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka dilalat al- nash hadits riwayat Ibnu
Umar di atas, harus ditakwil sedemikian rupa, supaya tetap zamani (aktual) dan dapat
mengakomodir perkembangan tehnologi pertanian (olah tani modern).
21 Lihat pada al-Shan’any, loc-cit. Lihat pula pada al-Syawkani, loc-cit.
11
Sebagai konsekuensi dari pemahaman tersebut, maka makna سقت ما
والعيون السماء " juga harus ditakwil, sehingga makna السماء " bukan
hanya sebagai air hujan, air sungai, atau pengairan tanpa biaya, tetapi lebih luas dari
itu semua, dan mencakup seluruh pengertian yang dikandung oleh istilah " produksi
pertanian biaya rendah". Sungguhpun demikian, pemaknaan ini masih menimbulkan
pertanyaan yang tidak sederhana, sebab istilah biaya rendah itupun sangat relatif;
berapa ukuran biaya rendah atau tingi yang dimaksud. Untuk itu sekali lagi, bahwa
kandungan makna lafadz " السماء " dan " النضح " dalam hadits riwayat
Ibnu Umar di atas, bagi penulis adalah termasuk kategori lafadz yang khafi, dan
karena itu perlu perenungan secara seksama dan ekstra hati-hati.
Kemudian kapan pungutan zakat hasil bumi itu harus dibayarkan. Dalam hal
ini al-Qur'an telah menjelaskan sebagai mana tercantum pada ayat 141 al-An'am,
bahwa waktu pembayaran zakat produksi pertanian adalah pada saat memanen
(waktu panen).
والزرع والنخل معروشات وغير معروشات جنات أنشأ الذي وهو ثمره من كلوا متشابه وغير متشابها والرمان والزيتون أكله مختلفا
المسرفين يحب ال إنه تسرفوا وال حصاده يوم حقه وءاتوا أثمر إذاArtinya : “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang
tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
12
D. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, maka kandungan makna hadist riwayat Ibnu UUmar
tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari segi mantuqnya (dilalah ibarat) hadits tersebut menjelaskan perbedaan
pungutan zakat hasil bumi; 10 % bagi produk pertanian yang pengairannya
mengandalkan air hujan, air sungan dan sejenisnya yang disalurkan secara alami,
dan 5 % bagi produk pertanian yang diairi dengan menggunakan alat penyiraman.
Bagi yang berpedoman pada ke umuman teks, hadits tersebut dipahami sebagai
penjelasan bahwa hasil pertanian / bumi yang bisa dikenai pungutan zakat,
bukan jenis makanan pokok saja, atau jenis makanan yang hanya bisa
ditakar.Tetapi cakupannya sangat luas, mencakup seluruh jenis produksi
pertanian dan perkebunan. Sedangkan bagi orang yang berpegang pada kaidah
“setiap lafadz 'am pasti ada takhsisnya”, maka produk pertanian yang bisa
dikenai pungutan zakat, hanya terbatas pada jenis tertentu.
2. Dari segi mafhumnya (dilalah nash), perbedaan kadar pungutan zakat, bukan
hanya terjadi karena faktor penyiraman saja, tetapi dapat diperluas kepada
faktor pendanaan (perbedaan biaya produksi). Artinya produk pertanian yang
diproses dengan biaya tinggi dikenakan pungutan zakat 5 %, sedang produk
pertanian biaya rendak dikenai pungutan zakat 10 %.
3. Dari segi dilalah iqtidla', pungutan zakat 5-10 % dapat diperluas bukan hanya
berupa jenis yang sama dengan produk yang dizakati, tetapi dapat dibayarkan
13
dalam bentuk yang lain, dengan catatan nilainya sama dan lebih memberikan nilai
manfaat.
Wallahu A'lam bisshawab
14
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Atsqalany, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bary bi Syarhi Shahih al-Bukhary, ( Bairut : Dar- al-Fikr, tth.)
-- Al-Bukhary, Muhammad bin Isma’il, Matn al-Bukhary, (Bandung: al-Ma’arif,
tth)-- Al-Syawkani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Awthar Syarh
Muntaqa al-Akhbar, ( Bairut: Dar al-Fikr, tth)-- Al- Shan’any, Muhammad bin Isma’il, Subul al-Salam, ( Bandung : Dakhlan, tth)-- Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamy, ( Kairo, Dal-al-Ma’arif, tth)-- Al-Yasa Abubakar,Dr, Ushul Fuqih II, ( Banda Aceh : IAIN Ar-Raniry, 1993)-- ----------------- , Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fiqih Madzhab,( Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijogo, Disertasi, 1989)
-- Saichul Hadi Permono,Drs, Tafsir al-Qur’an Tentang Sumber-Sumber
Penggalian Dan Pendayagunaan Zakat Masa Kini, ( Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 1980)
-- Ibnu Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, Bidayat al-Mujtahid Wa
Nihayat al-Muqtashid, (Indonesia : Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tth)-- Wahbah Al-Zuhaily, Zakat, Kajian Berbagai Madzhab, (Bandung : Rosdakarya,
1995)
15