Click here to load reader
Upload
haque
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Gender and Sexual Identities(Mass Media and Identity Politicics in Urban Societies)*
Netty Dyah Kurniasari, S,Sos, M.Med.KomJurusan Ilmu Komunikasi,FISIB, Universitas Trunojoyo Bangkalan Madura
ABSTRACTThis study looks at how the notions of mass media and identity politics of urban societies have been articulated in the Pond`s advertising. The object of this research is Pond`s advertising titled ‘Kekuatan Cinta’. The aims of this research are to analyze image identity politics in that advertising. I use mass media as construction reality and gender perspective to unpack the meaning lies behind the creation of the advertisingc in terms of identity politics. Methods this research is a textual analysis, a tradition used in media studies. The result shows that Pond`s advertising have been utilized as a form of constructing political identity in urban societies.
Key words: media,, political identiys, advertising
Saat ini, televisi telah menjadi bagian penting dari aktifitas manusia. Jadwal dan rutinitas
kehidupan kita tidak akan pernah terlepas dari televisi melalui tawaran program acara yang
setiap hari menjejali otak kita. Sesungguhnya realitas yang ditampilkan di televisi adalah realitas
simbolik, yaitu realitas yang bukan sebenarnya. (Kurniasari, 2010)
Menurut Rahayu (2003), selanjutnya, ketika iklan merambah media televisi, maka pesan -
pesan yang disampaikan media televisi semakin bersifat informatif, persuasif bahkan
transformatif, pesan dikemas dalam bentuk audio visual sedemikian rupa dalam rangka
menjaring konsumen demi kepentingan pasar. Melalui medium televisi pesan-pesan iklan
menjadi semakin hidup, bergairah, dan memenuhi sasaran secara lebih efektif bila dibandingkan
dengan iklan melalui medium lainnya. Hal ini dapat diterima, mengingat televisi memiliki
kemampuan audio sekaligus kemampuan visual yang tidak dimiliki medium lain, sehingga dapat
lebih mudah menggambarkan image-image dengan lebih konkret yang selanjutnya meninggalkan
kesan di dalam pikiran pemirsanya.( Kurniasari, 2010)
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
Ditambahkan oleh D. Smythe (1981), ketika individu menghadapi kotak ajaib bernama
TV, individu sesungguhnya tidak hanya berhadapan dengan informasi an sich, tetapi juga sedang
berhadapan dengan kebudayaan yang dipaketkan atau kebudayaan kemasan (Ibrahim,1997:350).
Di dalam budaya kemasan, citra menjadi lebih penting dari makna. Untuk membangun citra,
produk barang yang diiklankan atau komoditas itu perlu dikemas dan diperindah dengan begitu
memukau. Tidak lain untuk memenuhi prasyarat komoditas tontonan yang akan dipajangkan di
etalase kebudayaan pop. Iklan sebagai salah satu bentuk tayangan televisi, juga merupakan
tempat pencitraan, khususnya bagi produk yang diwakilinya.(Kurniasari, 2010)
Politik Identitas Sebagai Konstruksi Sosial
Politik identitas identitas berkaitan secara erat dengan gagasan atau ide tentang terjadinya
penindasan terhadap kelompok-kelompok sosial berkaitan dengan identitas mereka (baik
berdasarkan ras, etnis, gender, seksualitas, kelas, dll).
Artinya, identitas seseorang sebagai seorang wanita atau sebagai seorang penduduk asli
Amerika misalnya, membuatnya rentan terhadap imperialisme kultural (termasuk terjadinya
stereotipe atau penyalahgunaan identitas kelompok, kekerasan, eksploitasi,serta marjinalisasi
atau ketidakberdayaaan (Rahayu,2003:3).
Gerakan -gerakan yang dipandang sebagai politik identitas, memandang telah terjadi
penindasan dan berusaha merekomendasikan dilakukannya klaim ulang, deskripsi ulang, atau
transformasi ulang terhadap catatan-catatan keanggotaan kelompok yang sebelumnya
distigmatisasikan. Stuart Hall menjelaskan identity politics sebagai the politics of location (Hall,
1996:1) artinya politik menempatkan individu-individu pada lokasi-lokasi (realitas sosial)
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
tertentu yang telah dengan sengaja dikonstruksi. Politik identitas selalu berhubungan dengan the
definition of self/subject dalam konstruksi tersebut. Dengan kata lain, politik identitas merupakan
pemahaman bahwa identitas-identitas individu didasarkan pada tempat atau posisi dimana
individu tersebut diletakkan (place-based identity).(Kurniasari)
Sedangkan menurut Madan Sarup, politik identitas merupakan politik tentang produksi
identitas -identitas, penciptaan-penciptaan subyek beserta tindakan dan nilai yang dipandang
baik dan seharusnya dijalani subyek tersebut sebagai sebuah kehidupan yang tidak bisa
dipertanyakan. Dalam perspektif social construction of reality, politik identitas dipandang
sebagai konstruksi sosial,usaha penciptaan identitas yang dilakukan secara sadar dan melaui
berbagai cara, bukan dipandang sebagai sesuatu yang secara alami dianugerahkan oleh Tuhan
maupun sesuatu yang sifatnya anatomis. Sebagaimana dikemukakan Madan Sarup:
“all identities, whether based on class, ethnicity, religion or nation, are social constructions...Though identity may be constructed in many different ways, it is always constructed in the symbolic, that is to say, in language.” (Sarup, 1996: 48).
Jika pandangan Stuart Hall ini dikaitkan dengan pandangan Madan Sarup, maka politik
identitas dapat dipahami sebagai produksi identitas -identitas melalui penciptaan tempat –tempat
atau posisi-posisi subyek dalam lingkungan sosial beserta tindakan -tindakan yang seharusnya
dilakukan subyek sesuai dengan tempat dan posisinya tersebut.Dalam pandangan postmodern,
budaya manusia saat ini menunjukkan bahwa identitas individu lebih cenderung dimediasi
melalui image-image atau citra-citra yang ditampilkan individu tersebut, baik melalui fashion,
kosmetik, gaya bicara maupun style (Kellner, 1999:231).Sehingga media massa, termasuk
tayangan iklan di dalamnya yang mengandalkan teknologi pencitraan, memiliki peran yang besar
dalam proses konstruksi identitas individu. (Kurniasari, 2010)
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
Maka dengan demikian tayangan iklan selain mengkonstruksi identitas melalui citra -
citra, juga sekaligus memberikan mutual recognition atas identitas tersebut. Sehingga iklan
merupakan salah satu bentuk tayangan televisi yang menjadi sumber atau rujukan bagi individu
untuk melakukan kategorisasi, identifikasi dan pembandingan sosial ( Social Identity Theory)
dalam proses konstruksi identitas. Konstruksi identitas melalui image-image atau citra-citra,
khususnya dalam iklan diatas merupakan politik identitas, yaitu produksi identitas-identitas
tentang perempuan yang dianggap ideal. Penciptaan perempuan ideal melalui penciptaan tubuh
yang ideal.(Kurniasari, 2010)
Konstruksi sosial atas identitas, menurut Seyla Benhabib merupakan proses pertarungan
politik, sosial dan budaya untuk saling bersaing menghegemoni diantara kelompok-kelompok
sosial, masing-masing berusaha mendominasi atau membebankan definisi-definisi identitas
tertentu terhadap kelompok sosial lain, (Rahayu, 2003:4).
Media Massa dan Konstruksi Identitas
Saat ini, kebebasan yang besar dalam mengakses media telah memberikan pengaruh
besar dalam proses konstruksi identitas individu, terutama bagi kalangan remaja dan anak -anak.
Sebagaimana dikemukakan Grodin dan Lindlof sebagai berikut:
“With a simple flip of the television chann el or radio station, or turn of the newspaper or magazine page, we have at our disposal an enormous array of possible identity models.” (www.aber.ac.uk dalam Rahayu,2003:5)
Identitas, saat ini dimediasi melalui images yang ditampilkan media. Sehingga tidak
mungkin lagi identitas individu dikonstruksi hanya oleh komunitas kecil ( peer group) atau
hanya dipengaruhi oleh keluarga saja. Proses terjadinya pengaruh media terhadap konstruksi
identitas dijelaskan oleh Brown sebagai berikut, bahwa individu secara aktif dan kreatif
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
mencontoh simbol - simbol budaya, dongeng, dan ritual yang tersedia di media selama mereka
membangun identitas diri mereka. Media memegang peranan penting dalam proses ini, karena
dipandang sebagai sumber pilihan budaya yang tidak menyusahkan (Rahayu, 2003:5 ).
Identitas bukanlah sesuatu yang stagnan, identitas dikonstruksi sepanjang waktu dan
dapat secara konstan diperbaharui atau dirubah secara total. Jadi, pengaruh media populer dalam
konstruksi identitas tidak berlangsung dalam kurun waktu sesaat saja, melainkan terus -menerus,
sepanjang individu tersebut berinteraksi dalam lingkungan sosialnya dan sepanjang terdapat
terpaan media pada individu.
Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis salah satu iklan
Ponds yang syarat dengan kontruksi politik identitas, yaitu ‘Kekuatan Cinta’. Dalam rangka
mengkaji hal tersebut, metode penelitian yang oleh penulis dipandang cocok untuk diterapkan
adalah analisis tekstual kualitatif. Dalam rangka mengetahui makna-makna implisit dan ideologis
di balik teks dan transkrip tertulis yang tampak, analisis tekstual kualitatif menerapkan beberapa
aspek pendekatan ilmu linguistik untuk mengkaji struktur verbal teks dan juga melakukan
interpretasi teks menggunakan dimensi kognitif peneliti serta makna yang beredar dan berasal
dari konstruksi sosial budaya masyarakat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Iklan Pond `s terbaru Pond`s Flawless White ini mengambil tema baru yaitu tentang
Kekuatan Cinta. Dengan setting sebuah desa yang diawali dengan sepasang insan muda yang
sedang dirundung cinta, Tom dan Rose.Tom adalah anak dari seorang penguasa properti yang
tengah menjalin hubungan dengan Rose. Saat itu Tom malu-malu memberikan cincin yang
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
terbuat dari bunga Daisy dan menyematkan ke jari manis Rose. Di tengah-tengah keindahan
cinta tersebut, tiba-tiba datang Ibunda Tom yang mengacaukan semua. (Kurniasari, 2010)
Tampaknya Ibunda Tom tidak merestui hubungan mereka. Dengan cepat, Ibu Tom
meminta anak buahnya untuk menggusur rumah sederhana milik Rose. Rose mencoba untuk
menghentikan proses penggusuran rumhanya tersebut tapi malah dipukul oleh para petugas
penggusuran, sedangkan Tom dipaksa untuk masuk mobil mewah milik ibunya. Proses
penggusuran pun berjalan sampai rumah tersebut benar-benar hancur. Ibu Tom membawa Tom
ke kota. Tinggallah Rose dalam kepedihannya.(Kurniasari,2010)
Enam tahun kemudian mereka bertemu kembali. Saat itu baik Tom maupun Rose telah
tumbuh dewasa. Sayangnya pertemuan mereka tidak tepat. Tom datang saat akan membongkar
sekolah tempat Rose mengajar. Tujuh hari lagi, sekolah itu akan dibongkar untuk dibangun
lapangan golf. Rose memutar otak bagaimana cara menghentikan pembongkaran tersebut. Di
tengah kebingungannya, ia melihat iklan Pond’s Flawless White. Rose pun akhirnya mencoba
Pond’s Flawless White untuk menghilangkan bintik hitam di wajahnya. (Kurniasari,2010)
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
Semakin hari, bintik di wajah Rose berkurang. Ia pun kembali akrab dengan Tom seperti
dulu. Mereka bagai menelusuri masa lalu dan kembali merajut cinta. Sayangnya, kedekatan
mereka diawasi oleh mata-mata Ibunda Tom. Berita kedekatan mereka sampai di telinga sang
Ibunda. Tanpa kompromi, sang Bunda mengirim anak buah ke sekolah tempat Rose mengajar,
dan membakar sekolah SD yang tanahnya akan dipakai untuk lapangan golf. (Kurniasari,2010)
Belum puas menghancurkan gedung sekolah, ia memerintahkan anak buahnya untuk
menghancurkan pohon kenangan tempat Tom dan Rose memadu kasih. Rose yang tidak rela
segera berlari untuk menghalangi buldozer yang akan menghancurkan pohon tersebut. Melihat
hal itu, Tom ikut berlari untuk melindungi Rose. Anak-anak menangis dan orang-orang miskin
berbondong-bondong pergi meninggalkan tempat itu. Rose lari untuk menyelamatkan pohon
tersebut disusul oleh Tom. Karena ibunya Tom tahu kalau itu berbahaya, dia melarang Tom
untuk mengikuti Rose. Tom tidak menghiraukan ibunya. Dia tetap berlari menyalamatkan Roose.
Mereka berdua selamat dan pohon tersebut tidak jadi ditebang. Akhirnya ibunya Tom sadar
kalau anaknya dan Rose tidak dapat dipisahkan maka dia membatalkan proyek pembangunan
lapangan golf dan menyetujui hubungan Rose dan Tom.(Kurniasari,2010)
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
Dalam iklan kali ini pihak Unilever sebagai pemilik iklan Pond’s memperkenalkan cincin
bunga daisy sebagai simbol kekuatan cinta. Kenapa daisy? Bunga ini memiliki arti innocent. Bila
dikaitkan dengan cinta, daisy melambangkan cinta yang tulus dan kesetiaan.
Foto cincin daisy
Analisis Iklan Pond`s Fawless White
1. Perempuan Pasif dan Penurut
Dalam iklan tersebut Rose dipakaian cincin yang terbuat dari bunga Daisy oleh
Tom.Mengapa bukan Rose yang memakaian cincin kepada Tom? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan konstruksi sosial antara perempuan dan
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
laki-laki. Dalam pandangan penulis hal ini berkaitan dengan konteks masyarakat patriarkhi.
Dalam konstruksi masyarakat dimana penulis tinggal, terdapat sebuah nilai yang taken for
granted bahwa perempuan sebagai pihak yang pasif, penurut dan pihak yang diberi. Sedangkan
laki-laki sebagai pihak yang aktif.
Dalam masyarakat patriarki terdapat nilai -nilai sosial bahwa perempuan yang baik
adalah yang pasif, menerima, penurut dan pendiam. Perempuan yang banyak tingkah atau terlalu
aktif dinilai tidak pantas, bahkan lebih dari itu dapat dikenai sanksi sosial melalui keluarga. Nilai
-nilai ini diterima dalam masyarakat, bukan hanya oleh kelompok laki -laki bahkan diterima pula
oleh kelompok perempuan, yang dalam pandangan kritis diposisikan sebagai korban atau
mengalami penindasan.Karena konstruksi gender dalam masyarakat memposisikan laki-laki
sebagai pihak yang aktif, maka dia yang memberi, punya inisiatif. Sedangkan perempuan
dikonstruksi sebagai pihak yang pasif, maka dia yang diberi, tidak punya inisiatif. (Kurniasari)
2. Perempuan Jahat dan Culas
Tom adalah putra dari seorang penguasa properti. Namun yang digambarkan jahat adalah
ibunya Tom. Ibu Tom digambarkan sebagai seorang Ibu yang jahat sekali pada Ros. Yang
menjadi pertanyaan adalah kenapa yang digambarkan jahat bukan Bapak Tom? Kejahatan Ibu
Tom digambarkan dalam deskripsi iklan seperti di bawah ini:
“Di tengah-tengah keindahan cinta tersebut, tiba-tiba datang Ibunda Tom yang mengacaukan semua. Tampaknya Ibunda Tom tidak merestui hubungan mereka. Dengan cepat, sang Ibu memporak-porandakan rumah Rose, dan membawa Tom ke kota. Tinggallah Rose dalam kepedihannya.” (Iklan Pond`s Fawless White Versi ‘Kekuatan Cinta’)
Belum puas memporak-porandakan rumah Rose, ibu Tom mengirim anak buahnya untuk
membakar tempat Rose mengajar.
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
“Sayangnya, kedekatan mereka diawasi oleh mata-mata Ibunda Tom. Berita kedekatan mereka sampai di telinga sang Ibunda. Tanpa kompromi, sang Bunda mengirim anak buah ke sekolah tempat Rose mengajar, dan membakarnya” (Iklan Pond`s Fawless White Versi ‘Kekuatan Cinta’)
Belum puas membakar tempat Roes mengajar, Ibu tom menyuruh membakar pohon. Ia
memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan pohon kenangan tempat Tom dan Rose
memadu kasih. Rose yang tidak rela segera berlari untuk menghalangi buldozer yang akan
menghancurkan pohon tersebut.(Kurniasari,2010)
3. Laki-laki sebagai Pelindung Perempuan
Pada akhir episode iklan diceritakan bahwa Rose segera berlari untuk menghalangi
bulldozer yang akan menghancurkan pohon tersebut. Melihat hal tersebut Tom segera berlari
untuk melindingi Rose.Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa yang harus melindungi Tom,
bukan Rose. Kenapa dalam iklan tersebut Rose digambarkan mau berkorban untuk menghalangi
bulldozer yang akan menghancurkan poh tersebuit. Dalam iklan tersebut Rose digambarkan rela
berkorban, sedangkan Tom digambarkan menyelamatkan (melindungi) Rose. Dalam konstruksi
masyarakat yang patriarkhis, karena perempuan sebagai pihak yang lemah sebagai obyek, maka
dia yang selalu dikorbankan. Sedangkan laki-laki dikonstruksi sebagai pihak yang aktif, dia
harus melindungi perempuan. (Kurniasari, 2010)
4. Gaya Hidup dalam Iklan Ponds
Gaya hidup (lifestyle) dapat didefinisikan sebagai pola penggunaan ruang, waktu, dan
barang-barang karakteristik kelompok sosial tertentu. Gaya hidup, dengan demikian, adalah
bagaimana kelompok sosial tertentu menggunakan ruang, waktu dan barang dengan pola, gaya,
atau kebiasaan tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang di dalam ruang-waktu tertentu.
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
Bila dikaitkan dengan geografi-waktu, maka gaya hidup adalah bagaimana pola, kebiasaan, dan
gaya kelompok sosial tertentu dalam melakukan rutinitas praktik sosial sehari-hari di dalam
ruang-waktu.Cara berpakaian, gaya makan, jenis bacaan dikatakan merupakan ekspresi dari cara
kelompok masyarakat mengkaitkan hidup mereka dengan kondisi eksistensi mereka yang
kombinasinya membentuk ideologi kelas sosial mereka. Gaya hidup, kata Nicos Hadjinicolaou,
merefleksikan kesadaran kelas kelompok masyarakat tertentu dan dengan demikian ia
merupakan satu bentuk ideologi kelas. Gaya hidup yang ditampilkan di iklan Ponds adalah gaya
hidup kelas menengah ke atas (dari pakaian yang dipakai Tom dan Ibunya).Dalam iklan
digambarkan Tom memakai jas sedangkan ibunya memakai jas mantel berbulu. Ibunya Tom
mempunyai anak buah yang banyak. (Kurniasari,2010)
5. Racism dalam Iklan Ponds
Ide tentang rasialisasi atau pembentukan ras mencakup argumen bahwa ras adalah suatu
konstruksi sosial dan bukan suatu kategori universal atau kategori esensial biologis atau kultural.
Ada yang menyatakan ras tidak berada di luar representasi melainkan dibentuk di dalam dan
olehnya dalam suatu proses pergumulan kekuasaan politik dan sosial (Hall, 1990, 1996d, 1997c).
Jadi, karakteristik yang dapat diamati ditransformasikan ke dalam penanda ras, termasuk
dorongan semu terhadap perbedaan biologis dan kultural (Barker, 2008: 203-204).
Iklan melalui media juga melakukan rasialisasi. Kebanyakan model iklan yang
ditampilkan media di Indonesia merupakan orang keturunan blasteran atau biasa dikenal dengan
sebutan indo. Padahal telah diketahui bahwa Indonesia memiliki beragam suku dan ras. Jangan
lupa, kebanyakan penduduk Indonesia merupakan keturunan ras Mongoloid. Sedangkan menurut
Prof. Josef Glinka SVD yang dikatakan penduduk pribumi Indonesia adalah mereka yang berada
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
di Indonesia bagian timur. Iklan Ponds ini juga menggunakan model blasteran. Mereka
divisualkan dengan berkulit putih, berbadan tegap, berhidung bangir dan ciri-ciri ras kaukasoid
lainnya.
Model tokoh Tom adalah artis berkulit putih, berbadan tegap, berhidung bangir.
Sedangkan yang menjadi Rose adalah perempuan dengan kulit putih, badan langsing, rambut
panjang dan ciri-ciri ras kaukaoid lainnya. Iklan ini mempersuasif khalayak untuk berperilaku
dan memiliki hal-hal yang bersifat fisik layaknya model iklan tersebut. Artinya iklan ini
menempatkan orang yang memiliki ciri-ciri di atas pada kedudukan dan peran yang tinggi dalam
masyarakat.(Kurniasari,2010)
6. Penggusuran dan Hak Asasi Manusia
Keluarga Tom berasal dari kelas atas, sedangkan Rose dari keluarga miskin. Hal ini
tampak dari iklan tersebut yang menggambarkan bahwa Ibu Tom punya anak buah, mobil dan
ayah Tom seorang pengusaha properti. Ibu Tom menyuruh anak buahnya untuk menggusur
rumah sederhana Rose dan membakar sekolah tempat Rose mengajar.Penggusuran seringkali
dilihat sebagai proses pemindahan penduduk yang tidak mau mengikuti peraturan
pemerintah.Melalui cara pandang ini, penghuni permukiman illegal adalah pelanggar hukum dan
pemilik lahan adalah korban. Cara pandang tersebut tidak mampu menangkap realita dari
tindakan penggusuran yang begitu menyedihkan, penuh dengan kekerasan dan memiskinkan
penduduk yang tergusur. Dan juga tidak mampu menangkap sistem kepemilikan lahan dan
property yang tidak berkeadilan di sebuah negara, di mana hanya segelintir kelompok kecil saja
yang menikmati kekayaan di saat ada sekelompok orang yang tidak memiliki apa-apa.
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
Dalam konteks iklan Ponds, penggusuran dilakukan karena Ibu Tom tidak menyetujui
hubungan antara Tom dan Rose. Rose dalam hal ini adalah korban. Ibu Tom mewakili segelintir
kelompok kaya yang dengan ambisinya mau mendirikan lapangan golf dengan menggusur
gedung sekolah anak-anak miskin di desa. Rose dalam iklan Ponds ini digambarkan sebagai
seorang perempuan yang miskin dan tinggal desa. Sedangkan Tom sebagai laki-laki kaya dan
tinggal di kota.
7. Kapitalisme dalam Iklan Ponds
Perempuan, di dalam iklan Pond`s , ditempatkan dalam sebuah relasi “ekonomi-politik
tanda tubuh”. Di dalam relasi itu, seperti dikatakan Yasraf Amir Piliang, tubuh perempuan
dieksploitasi segala potensinya guna menghasilkan tanda atau citra tertentu. Di dalam iklan
Pond`s, citra yang ingin dihasilkan dari eksploitasi kelembutan, kesabaran dan kesetiaan
perempuan adalah citra tentang Ponds sebagai produk yang bisa memiliki ‘kekuatan cinta’. Di
dalam iklan tersebut, lagi-lagi perempuan adalah korban eksploitasi.
Dalam sudut kebudayaan, iklan Ponds mencerminkan kuatnya patriarki. Bagaimana
tidak?! Kebanyakan yang menjadi objek atau subjek adalah perempuan (Rose) . Asumsi bahwa
tanpa perempuan iklan tidak menarik, adalah perwujudan relasi hegemonik. Perempuan tanpa
sadar menyatakan bahwa tanpa dirinya, iklan memang tidak laku, sehingga ia rela tampil,
termasuk dalam kategori adegan yang melecehkan dan merendahkan dirinya sendiri. Biasanya
para pihak yang terlibat dalam pembuat sebuah iklan akan berkilah bahwa memang begitulah
tuntutan skenario bahwa perempuan lah yang membutuhkan uang dan banyak alasan klise
lainnya.Hegemoni seperti ini tidak memberikan kesempatan pada kemungkinan munculnya
alternative lain. Perempuan dalam iklan harus tampil dalam selera yang diciptakan oleh laki-laki.
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
Sekali lagi menjadi jelas bahwa kapitalisme, patriarki dan hegemoni kekuasaan dalam iklan telah
menyatu sedemikian rupa, sehingga sulit untuk memisahkannya. Apakah iklan benar –benar
sumber informasi atau sebaliknya, ia adalah suatu alat untuk melanggengkan status quo dan
dominasi ekonomi laki-laki atas perempuan.
Jika diamati lebih mendalam, sebagai alat dagang iklan seringkali memanfaatkan
perempuan sebagai catch-attention atau titik penarik perhatian, namun iklan memasang
perempuan hanya sebagai hiasan, dan cenderung menetapkannya dalam situasi yang tidak pernah
berubah.
Kapitalisme, tak pelak lagi telah menempatkan perempuan pada posisi inferior, menjadi
alat bagi berlangsungnya suatu kekuasaan penundukkan. Dalam hal ini, menurut Yasraf Amir
Piliang (Siregar, 2000) eksistensi perempuan dalam wacana ekonomi-politik di dunia komoditas
telah mengangkat paling tidak tiga persoalan, yakni tubuh, “tanda/sign” dan hasrat1. Artinya
penggunaan tubuh dan representasi tubuh yang ada dalam iklan tidak saja menyangkut relasi
ekonomi tetapi juga relasi ideologi, bahwa penggunaan tubuh dan citra yang dibentuk itu
menandakan suatu relasi sosial tertentu yang dikonstruksi berdasarkan system ideologi tertentu.
Persoalan tubuh, tanda dan hasrat merupakan bagian dari sistem sosial, budaya dan psikis subjek
(baca:perempuan). Justru persoalan inilah yang tidak pernah disentuh, bahwa iklan telah
digunakan sebagai pencipta common sense dalam membentuk kebutuhan, nilai bahkan ideologi,
bahwa citra yang dibentuk lewat iklan, tidak saja melalui gambar, tetapi juga bahasa-verbal,
visual, digital-telah menempatkan perempuan dalam posisi the second sex.
8. Hegemoni Realitas dalam Iklan Pond`s
1
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
Realitas yang ditampilkan dalam iklan, bukanlah sebuah sebuah cermin realitas sosial
yang jujur. Tapi iklan adalah sebuah cermin yang cenderung mendistorsi realitas, atau Marchand
menyebutnya sebagai a hall of distorting mirrors. Iklan cenderung membangun realitas yang
cemerlang, melebih-lebihkan, dan melakukan seleksi tanda -tanda atau images, sehingga tidak
merefleksikan realitas akan tetapi mengatakan sesuatu tentang realitas. Iklan merangkum dilema
- dilema sosial atau aspek-aspek realitas sosial dan mempresentasikannya secara tidak jujur.
Iklan menjadi cermin yang mendistorsi realitas yang dipresentasikannya dan sekaligus
menampilkan images dalam visinya. Tidak ada iklan yang ingin menangkap kehidupan seperti
apa adanya, akan tetapi selalu ada maksud untuk memotret ideal-ideal sosial dan
menampilkannya sebagai sesuau yang normatif. Iklan tidak berbohong akan tetapi juga tidak
mengatakan yang sebenarnya. Dunia abstrak yang dipresentasikan iklan merupakan sebuah
usaha yang disengaja untuk mengkonstruksi asosiasi -asosiasi antara suatu produk dengan
imajinasi individu, dengan kelompok demografik maupun psikografik tertentu, atau dengan
dengan kebutuhan dan kesempatan tertentu.(Rahayu, 2003).
Sebagai contoh dalam iklan Pond`s, tadi dihadirkan cincin Daisy yang dihubungkan
dengan kekuatan cinta, ketulusan dan kesetiaan. Dalam hal ini telah diciptakan simbolisasi dan
asosiasi, di mana Pond`s tidak hanya diartikan untuk pemutih kulit namun juga menngandung
kekuatan cinta yang bisa mengalahkan halangan apapun. Ketika hubungan antara benda dengan
tanda terbentuk, individu akan memandang ponds (signifier) sebagai sebuah tanda yang
menunjuk kekuatan cinta dan kesetiaan (signified), benda yang mewakili perasaan. Iklan melalui
pesannya mempertukarkan nilai -nilai kemanusiaan yang dilekatkan pada produk.
Kesimpulan
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
Identitas dalam masyarakat urban saat ini lebih banyak ditentukan oleh konstruksi
tayangan media massa salah satunya iklan. Tayangan iklan selain mengkonstruksi identitas
melalui citra -citra, juga sekaligus memberikan mutual recognition atas identitas tersebut. Iklan
merupakan salah satu bentuk tayangan televisi yang menjadi sumber atau rujukan bagi individu
untuk melakukan kategorisasi, identifikasi dan pembandingan sosial dalam proses konstruksi
identitas. Konstruksi identitas melalui image-image atau citra-citra, khususnya dalam iklan diatas
merupakan politik identitas, yaitu produksi identitas-identitas tentang perempuan yang dianggap
ideal. Penciptaan perempuan ideal melalui penciptaan tubuh yang ideal. Hal ini ditangkap oleh
para produsen iklan kosmetik dengan memasarkan produk-produk kecantikan plus memproduksi
konstruksi identitas-identitas yang ideal bagi perempuan. Ujung dari semua itu adalah para
pemilik media dan produsen produk kosmetik mendapatkan keuntungan. (Kurniasari, 2010)
Sehingga, perempuan sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama (laki-laki),
tetapi musuh baru yang jauh lebih perkasa, yakni kapitalisme. Laki-laki bahkan telah
dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk bersama-sama untuk melestarikan struktur hubungan
gender yang timpang, Pelestarian ketimpangan hubungan itu tidak hanya menyebabkan
terjadinya subordinasi perempuan oleh perempuan sendiri. Hal ini tampak dari posisi yang
ditempati perempuan dalam iklan di mana di satu sisi perempuan merupakan alat persuasi di
dalam menegaskan citra sebuah produk dan di sisi lain perempuan merupakan konsumen yang
mengkonsumsi produk kapitalisme
Iklan sebagai ruang gerak baru bagi perempuan telah memungkinkan perempuan untuk
mengekspresikan dan mengaktualisasi diri. Keseluruhan konsep perempuan kemudian
mengalami transformasi dari perempuan sebagai orang yang terlibat dalam kegiatan domestik,
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
sebagai pekerja keluarga, atau sebagai masyarakat second class menjadi perempuan yang lebih
otonom dan penuh kebebasan.
Economic capital yang dimiliki perempuan menentukan hubungan-hubungan sosial
antara perempuan dan laki-laki dan antar perempuan sendiri. Dunia iklan bagi perempuan telah
menjadi basis politik emansipasi dalam usaha perempuan ke luar dari ikatan-ikatan tradisional
dan masa lalu. Namun demikian, dunia iklan berorientasi pada kelompok tertentu sehingga
kelompok (perempuan) yang tidak memiliki akses mengalami subordinasi.
Keberadaan perempuan dalam iklan ini sesungguhnya juga menggelisahkan perempuan
lain, karena produk yang ditawarkan oleh sebuah iklan telah membangkitkan fantasi begitu
banyak lain terhadap produk mengingat perempuan merupakan kelompok pembelanja terbesar.
Kegelisahan berawal dari kondisi ekonomi yang bervariasi antar orang yang menyebabkan
terjadinya proses konsumsi simbolik secara meluas. Kelompok yang tidak memiliki kapital
ekonomi dan yang tidak dapat mengkonversikan kapital sosial dan kapital kebudayaan menjadi
capital economy tidak terlibat dalam konsumsi real. Proses konsumsi simbolik yang diakibatkan
oleh iklan merupakan sesuatu yang membahayakan pada saat akumulasi hasrat (desire) terhadap
suatu produk mencapai tingkat yang tak terkendalikan sementara capital tidak tersedia dengan
cukup. Pemanfaatan fasilitas kredit pun tidak dapat dilakukan oleh kelompok yang tidak
memiliki akses.Kelompok yang tidak memiliki kekuatan kendali diri karenanya akan menjadi
kelompok masyarakat mengambang (floating mass).
Kehadiran perempuan dalam iklan juga telah mentransformasikan tatanan kehidupan
secara meluas : nilai tentang gaya dan cara berpakaian yang lebih bervariasi, seperti nilai
sexiness dari sebuah pakaian yang diiklankan, nilai kemewahan dalam gaya hidup nilai
kepribadian seperti percaya diri yang bisa ditimbulkan dengan memakai produk tertentu.
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013
Implikasi di atas muncul berkaitan dengan kecenderungan iklan memotret aspek tertentu dari
perempuan, yakni bentuk tubuh, keindahannya, dan kesegaran tubuh. Selain merupakan faktor
penting dalam seleksi sosial, keterlibatan perempuan dalam dunia periklanan juga menjadi faktor
dominant dalam sosialisasi nilai, khususnya nilai tentang “kewanitaan’.(Kurniasari,2010)
Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2008. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Hall, Stuart. 1996“Introduction: Who Needs ‘Identity’?”, dalam Stuart Hall dan Paul Du Gay, `(eds), Question of Cultural Identity, Penerbit: Sage Publication, London.
Kurniasari, Netty Dyah ,2010, Politik Identitas dalam Iklan Ponds, Makalah Pribadi. Surabaya
Rahayu, Titik Puji.2003.Politik Identitas Anak-Anak dalam Iklan Anak-Anak. Surabaya
Sarup, Madan. 1996.Identity, Culture and The Postmodern World (Athens: The University of Georgia Press.
Siregar, Ashadi,2001, Menyingkap Media Penyiaran, Membaca Televisi Melihat Radio , Yogyakarta: LP3Y
* Artikel dipresentasikan dalam Seminar Internasional ‘ Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya dan Masyarakat’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga April 2013