Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
SKRIPSI
ANALISIS YURIDIS TERHADAP ASAS ACTUS NON FACIT REUM NISI
MENS SIT REA DAN ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS
DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN
(Studi Pendekatan Perundang-undangan Dan Yurisprudensi)
OLEH :
H.M. INSAN ANSHARI AL ASPARY
B 111 07 671
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM
BAGIAN HUKUM PIDANA
MAKASSAR
2011
i
SKRIPSI
ANALISIS YURIDIS TERHADAP ASAS ACTUS NON FACIT REUM NISI
MENS SIT REA DAN ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS
DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN
(Studi Pendekatan Perundang-undangan Dan Yurisprudensi)
OLEH :
H.M. INSAN ANSHARI AL ASPARY
B 111 07 671
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM
BAGIAN HUKUM PIDANA
MAKASSAR
2011
iii
PENGESAHAN SKRIPSI
ANALISIS YURIDIS TERHADAP ASAS ACTUS NON FACIT REUM NISI
MENS SIT REA DAN ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN
(Studi Pendekatan Perundang-undangan Dan Yurisprudensi)
Disusun dan diajukan oleh
H.M. INSAN ANSHARI AL ASPARY B 111 07 671
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi yang Dibentuk dalam rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Pada hari Senin Tanggal Juli 2011
Dan Dinyatakan Diterima
Panitia Ujian
Ketua
Sekretaris
H.M. Imran Arief, S.H., M.S. NIP. 194709151979011001
Kaisaruddin Kamaruddin, S.H. NIP. 196603201991031005
An. Dekan Wakil Dekan Bidang Akademik,
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,M.H. NIP. 19630419 198903 1003
iv
iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa Skripsi mahasiswa :
Nama : H.M. INSAN ANSHARI AL ASPARY
No. Pokok : B111 07 671
Program : ILMU HUKUM
Bagian : HUKUM PIDANA
Judul Skripsi : ANALISIS YURIDIS TERHADAP ASAS ACTUS
NON FACIT REUM NISI MENS SIT REA DAN
ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI
GENERALIS DALAM TINDAK PIDANA
PERPAJAKAN (Studi Pendekatan Perundang-
undangan Dan Yurisprudensi).
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam seminar ujian skripsi
sebagai akhir ujian program studi.
Makassar, April 2011
Pembimbing II,
Kaisaruddin Kamaruddin, S.H. NIP. 196603201991031005
Pembimbing I,
H.M. Imran Arief, S.H., M.S. NIP. 194709151979011001
v
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI
Diterangkan bahwa Skripsi mahasiswa :
Nama : H.M. INSAN ANSHARI AL ASPARY
No. Pokok : B111 07 671
Program : ILMU HUKUM
Bagian : HUKUM PIDANA
Judul Skripsi : ANALISIS YURIDIS TERHADAP ASAS ACTUS
NON FACIT REUM NISI MENS SIT REA DAN
ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI
GENERALIS DALAM TINDAK PIDANA
PERPAJAKAN (Studi Pendekatan Perundang-
undangan Dan Yurisprudensi).
Telah memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi akhir program studi
Makassar, Mei 2011
a.n. Dekan
Pembantu Dekan I,
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H.
NIP. 196304191989031003
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : H.M. INSAN ANSHARI AL ASPARY
NIM : B111 07 671
Program Studi : Ilmu Hukum / Hukum Pidana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan skripsi ini hasil karya orang lain,
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 2011
Yang membuat pernyataan,
H.M. INSAN ANSHARI AA
vi
ABSTRAK
H.M. INSAN ANSHARI AL ASPARY (B111 07 671). Analisis Yuridis Terhadap Asas Actus Non Facit Reum Nisi Men Sit Rea Dan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis Dalam Tindak Pidana Perpajakan: Studi Pendekatan Perundang-undangan Dan Yurisprudensi (dibimbing oleh H.M. Imran Arief dan Kaisaruddin Kamaruddin)
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan menganalisis perumusan tindak pidana, bentuk, dan jenis kejahatan dibidang undang-undang perpajakan maupun di luar perpajakan; mengetahui metode penerapan unsur actus reus dan mens rea dalam putusan pengadilan; dan memperoleh pemahaman serta memberikan pemecahan terhadap masalah yang timbul dengan banyaknya undang-undang pidana khusus di bidang perpajakan.
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta dan Banten, khususnya pada instansi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Kejaksaan Negeri Tangerang. Instrumen pengumpulan data melalui penelitian pustaka dan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara langsung terhadap nara sumber dari instansi terkait. Data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1). Kebijakan hukum pidana positif di bidang perpajakan tergolong telah mencapai hasil sebagai produk perundang-undangan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi perekonomian Indonesia terutama dalam upaya proteksi bagi sektor perpajakan sebagai sumber utama pendapatan Negara serta penggunaan stelsel kumulatif pidana dapat mencegah terjadinya tindak pidana perpajakan serta memulihkan kembali kerugian Negara baik tingkat pusat maupun daerah. (2). Implementasi asas actus non facit reum nisi mens sit rea dalam tindak pidana perpajakan dapat diketahui melalui apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim pada perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel. Pertimbangan majelis hakim mengenai unsur actus reus adalah sektor perpajakan merupakan sumber pendapatan negara yang terbesar, oleh karena itu maka orang yang mengabaikan kewajiban-nya dengan cara tidak mendaftarkan diri sebagai wajib pajak berpotensi merugikan pendapatan Negara. Sedangkan unsur mens rea bahwa terpidana adalah orang yang berpengalaman bekerja di beberapa perusahaan, sudah tahu dan sudah seharusnya tahu bahwa setiap perusahaan atau bentuk usaha tetap (BUT) yang telah memperoleh keuntungan diharuskan mendaftarkan dan melaporkan badan usahanya ke direktorat jenderal pajak untuk perhitungan pembayaran pajak yang telah berjalan, namun hal itu tidak dilakukan terpidana dalam kurun waktu antara 2002 sampai 2005 yang dimana kurun waktu tersebut cukup lama bagi terpidana untuk mendaftarkan dan melaporkan perhitungan pajak ke direktorat jenderal pajak. (3). Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun perundang-undangan lainnya yang mengatur ketentuan pidana di bidang keuangan Negara (lex specialis) tidak serta - merta berlaku di bidang perpajakan, melainkan harus diberlakukan ketentuan pidana yang terdapat di dalam undang-undang perpajakan (lex specialis systematic). Oleh karena undang – undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan undang-undang perpajakan tunduk pada rezim hukum yang berbeda. Undang-undang Perpajakan (lex Specialis Systematic) berlaku untuk subjek hukum tertentu yaitu para wajib pajak sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan undang – undang perpajakan. Sedangkan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lex specialis terhadap KUHP yang ditujukan kepada setiap orang yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
vii
lex specialis systematic = ��� + ��� + �� � + ���
vii
ABSTRACT
H.M. INSAN ANSHARI AL ASPARY (B111 07 671). The Legal Analysis of the
Principle Against Actus Non Facit Reum Nisi Men Sit Rea And the Principle of Lex
Specialis derogat Legi Generalis In Tax Crime Offense: Study Approach Legislation
And Jurisprudence (supervised by H.M. Imran Arief and Kaisaruddin Kamaruddin)
This study aims to examine and analyze the formulation of a criminal act, shape, and type of crime in the sector of tax laws as well as outside of taxation; know the actus reus element method and the application of mens rea in court decisions, and gain an understanding and providing solutions to problems that arise with number of specific criminal legislation in the sector of taxation.
The research was conducted in Jakarta and Banten province, especially in the
South Jakarta District Court agencies and the Tangerang District Attorney. Instruments collecting data through library research and field research by conducting interviews of resource persons from relevant institutions. The data were treated with qualitative analysis.
The study showed that (1). Positive penal law policy in the sector of taxation has achieved the results classified as a product of good legislation in accordance with the circumstances and the economic situation of Indonesia, especially in protection efforts for the taxation sector as the main source of State revenue and the use of cumulative penal stelsel can prevent crime and restore the tax return loss to the State both national and local levels. (2). Implementation of the principle of actus non facit reum nisi mens sit rea in tax crime offense can be determined through a consideration of what the judges in the criminal case No. 2065/Pid.B/2007/PN. South Jakarta. Consideration of the judges regarding the actus reus element of the taxation sector was the largest source of state revenue, therefore the people that neglect his duty by not registering as a taxpayer could potentially harm the State's revenue. While the element of mens rea that the convicted is a person with experience working in several companies, already know and should know that any company or permanent establishment (PE) who have benefited are required to register and report its loss to the directorate general of taxes for the calculation of tax payments has been running, but it was not done convicted in the period between 2002 and 2005 for which time period long enough for the convicted person to register and report the tax calculation to the directorate general of taxes. (3). Law eradication of corruption as well as other laws governing the criminal provisions in the State Finance (lex specialis) does not - necessarily apply in the field of taxation, but must apply the criminal provisions contained in the tax laws (lex specialis systematic). Because of laws - laws eradication of corruption and tax laws are subject to different legal regimes. Taxation Law (lex Specialist Systematic) applies to a specific legal subject of the taxpayer as defined in the applicable legislation - tax laws. While the law on the eradication of corruption is a lex specialis to the Penal Code is addressed to every person who meets the elements of corruption.
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanah
Wata’ala atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Sekalipun, penulis menyadari
bahwa di dalamnya masih banyak kekurangan-kekurangan, karena
keterbatasan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan berbagai
masukan atau saran dari para penguji untuk penyempurnaannya.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan
dan motivasi dari berbagai pihak, terutama oleh Bapak H.M. Imran Arief,
S.H., M.S., selaku Pembimbing I dan Bapak Kaisaruddin Kamaruddin, S.H.
selaku Pembimbing II oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan terima kasih yang tulus
kepada pembimbing I dan II, yang telah memberikan kesempatan lebih luas
bagi penulis untuk mengadakan kajian ilmiah yang sangat intensif dalam
pengerjaan skripsi ini.
Kepada keluarga penulis, yaitu kedua orang tua yang sangat saya
hormati ayahanda Drs.H. Yuppar, M.Pd dan ibunda Hj. Hamdani Amir serta
adik penulis H.M. Nasser yang tidak henti-hentinya memberikan support
dengan penuh kasih sayang mendampingi hingga skripsi ini dapat
viii
terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini pula penulis
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang
tulus, serta terimalah hasil karya ilmiah ini sebagai salah satu rahmat dan
prestasi yang kelak dapat bermanfaat dalam perjalanan kehidupan keluarga.
Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih yang terhingga
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A Paturusi, Sp.B., Sp.Bo selaku Rektor
Universitas Hasanuddin Makassar beserta para pembantu rektor lain-nya.
2. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H., DFM selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin beserta para pembantu dekan lain-nya.
3. Para penguji penulis Prof. Dr. H.M. Said Karim, S.H., M.H.,
Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., dan Abd. Asis, S.H., M.H., serta
Dara Indrawati, S.H., M.H.
4. Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H., selaku Penasihat Akademik
penulis selama mengikuti kegiatan perkuliahan.
5. Bapak Ida Bagus Dwiyantara, S.H. M.Hum., selaku Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan yang telah memberikan pemahaman-pemahaman
tentang ilmu hukum dan bagaimana hukum itu dimasyarakat.
6. Bapak Ramadhan, S.H., yang telah banyak membantu penulis selama
mengadakan penelitian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
ix
7. Bapak Dr. Chaerul Amir, S.H., M.H. Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang
yang telah menyediakan berbagai macam fasilitas selama penulis
mengadakan penelitian ini.
8. Bapak Semeru, S.H., M.Hum Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan
Negeri Tangerang yang memberikan pemahaman tentang ilmu hukum
pidana dalam dunia praktik kepada penulis .
9. Rumah Tamu Galery 678 sebagai tempat penginapan penulis sewaktu
mengadakan penelitian di Jakarta Selatan dan Tangerang
10. Ibu Hj. Rosmalania Mappiare, S.H, M.H., selaku Dosen Pembimbing
Lapangan (DPL) dan Ibu Husriah Yusuf, S.H., sebagai Mitra Pengendali
Lapangan (MPL) KKN-PH Angkatan IV Fakultas Hukum Unhas 2010
Lokasi Kejaksaan Negeri Makassar.
11. Teman-teman KKN-PH 2010 Lokasi Kejaksaan Negeri Makassar : Dika,
K’ Antho, K’ Rezka, K’ Cici, Ramdhan, Mami, Dhede, Cici, Rany, Rina,
Dewi, Ali, Fathe, Eril, Arnan.
12. Pegawai dan staf Kejaksaan Negeri Makassar yang telah memberikan
bimbingan ilmu kepada penulis sewaktu ber-KKN.
13. Senior-senior penulis; H. Hendro Adipurna, S.H., Muh. Ardiansyah
Arafah, S.H., Sherly Andarias, S.H., Herman B, S.H., Nur Fajar Said,
S.H., Zulfah Ruslan, S.H., Irfan Idham, S.H.
14. Sahabat – sahabat Legalitas 07: Haeriani, S.H., Haging S.H., Andi
Mallombasi, S.H. Andi Kharmadani, S.H., Evy Kusumawati, S.H.,
x
Astuti Nur Fadillah, S.H., Ana Afriana, S.H., Mawar Hidayati, S.H.,
Fadhila, S.H., Samang, Anshar Nugraha, Ali Akbar, Jeni, Tiara,
Aliyah Sriwahyuni, Fatmawati S, Idham Halik, Nadia Natasia,
Compaqnero TM dan semua teman-teman angkatan legalitas 07.
15. Keluarga Besar Penulis: Kr. Situju Mappanganro dan Amir Djunaid
16. Prof. Dr. Said Sampara, S.H., M.H., Anwar Sampara, S.H., Nisma
Amir, S.H., Iskandar Amir yang telah memberikan pengarahan dan
dorongan dalam proses pengerjaan skripsi ini.
17. Seluruh Warga Kompleks Kodam Gunung Sari yang telah banyak
membantu keluarga penulis.
18. Sahabat-sahabat Alumni 2007 SMA Negeri 3 Takalar; Alumni 2004
SMP Negeri 2 Takalar; Alumni 2000 SD Inpres Takalar Kota No. 234;
Alumni 1994 TK Pertiwi Kab. Takalar yang telah menemani dan
menyayangi penulis
19. Seluruh Jemaah Haji Kloter 33 Kab. Takalar dan Kab. Bulukumba
Musim Haji 2010, banyak kenangan yang sangat sulit dilupakan oleh
penulis. Terkhusus untuk Bapak Drs. H. Suryanto, MM dan H. Haedar,
S.Sos, MM. yang telah membagi ilmu-nya bagi penulis selama menjalani
ibadah.
20. Special Thank’s untuk Ing. Abdul Khalik Khaswan yang telah banyak
membantu penulis sewaktu menjalani rangkaian ibadah haji di tanah suci
Makkah Al-Mukarramah.
xi
21. Para dosen dan staf akademik Fakultas Hukum Unhas yang telah banyak
membantu penulis selama mengikuti pendidikan .
22. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu dalam
lebaran ucapan terima kasih ini, penulis mengucapkan terima kasih atas
segala bantuannya.
Semoga Allah SWT, memberikan limpahan rahmat dan hidayah
kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis, sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan. Amin!
Makassar,
H.M. Insan Anshari AA
xii
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING iv
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI v
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
UCAPAN TERIMA KASIH viii
DAFTAR ISI xii
DAFTAR SKEMA xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 17
C. Tujuan Penelitian 18
D. Manfaat Penelitian 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 20
A. Tinjauan Umum Terhadap Asas-Asas Hukum 20
B. Tinjauan Umum Terhadap Delik 27
1. Pengertian Delik 27
2. Unsur Delik Sebagai Syarat Pemidanaan 30
3. Pengertian Pidana dan Pemidanaan 34
C. Tinjauan Umum Terhadap Dasar-Dasar Perpajakan 38
1. Definisi Pajak 38
2. Penggolongan Pajak dan Retribusi 39
3. Fungsi Pajak dan Retribusi 45
4. Asas-Asas Pemungutan Pajak 46
5. Sistem Pemungutan Pajak 51
6. Tindak Pidana Perpajakan 53
xiii
BAB III METODE PENELITIAN 58
A. Tipe Penelitian 58
B. Pendekatan Masalah 58
C. Lokasi Penelitian 59
D. Jenis dan Sumber Data 60
E. Teknik Pengumpulan Data 61
F. Analisis Data 61
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA POSITIF DALAM
PENGATURAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN 62
A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana 62
B. Pengertian Dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Pajak 76
C. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Menurut UU No. 28
Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas UU No. 6 Tahun
1983 Tentang KUP 77
D. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Menurut UU No. 19
Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 19 Tahun
1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa 93
E. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Menurut UU No. 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 96
F. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Menurut UU No. 13
Tahun 1985 Tentang Bea Materai 100
G. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Menurut KUHP 103
H. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Dalam Kaitan UU
No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi 115
I. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Dalam Kaitan UU
No. 15 Tahun 2006 Tentang BPK 119
J. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Dalam Kaitan UU
No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara 121
K. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Dalam Kaitan UU Drt.
No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi 122
xiv
L. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Dalam Kaitan UU No.
11 (PNPS) Tahun 1963 Tentang Tindak Pidana Subversi 131
M. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Dalam Kaitan UU
No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15
Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang 135
BAB V PERBUATAN KRIMINAL (ACTUS REUS)
DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (MENS REA)
DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN 162
A. Penerapan Hukum Pidana Materill Dalam
Tindak Pidana Perpajakan Pada
Perkara Pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel 162
1. Kasus Posisi 162
2. Perbuatan Kriminal (Actus Reus) 171
3. Pertanggungjawaban Pidana (Mens Rea) 201
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan Pidana
Terhadap Terdakwa Pada Perkara Pidana
No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel 211
1. Pertimbangan Hakim Mengenai Unsur
Perbuatan Kriminal (Actus Reus) 215
2. Pertimbangan Hakim Mengenai Unsur
Pertanggungjawaban Pidana (Mens Rea) 229
BAB VI UNDANG-UNDANG KHUSUS (LEX SPECIALIS) DAN
UNDANG-UNDANG UMUM (LEX GENERALIS) DALAM
TINDAK PIDANA PERPAJAKAN 237
A. Sejarah Kodifikasi 237
1. Hukum Romawi Di Zaman Kuno 237
2. Sumber-Sumber Hukum Romawi 252
3. Gerakan Kodifikasi 267
B. Kodifikasi Hukum Pidana 270
C. Lex Specialis Systematic Dalam Tindak Pidana Perpajakan 275
xv
BAB VII PENUTUP 320
A. Kesimpulan 320
B. Saran 322
DAFTAR PUSTAKA 323
LAMPIRAN
xvi
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Kebijakan Hukum Pidana 160
Skema 2. Kebijakan Hukum Pidana Positif Dalam Pengaturan
Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan 161
Skema 3. Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea 234
Skema 4. Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea Dalam
Tindak Pidana Perpajakan 235
Skema 5. Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea Dalam Perkara
No : 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel 236
Skema 6. Sejarah Kodifikasi 315
Skema 7. Kodifikasi Hukum Pidana 316
Skema 8. Lex Specialis Derogat Legi Generalis Dalam
Tindak Pidana Perpajakan 317
Skema 9. Lex Specialis Systematic Dalam Tindak Pidana
Perpajakan (Bagian 1) 318
Skema 10. Lex Specialis Systematic Dalam Tindak Pidana
Perpajakan (Bagian 2) 319
Skema 11. Lex Spesialis Systematic 320
xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat orang di berbagai penjuru dunia bangun setiap pagi
untuk menyongsong hari yang baru, masing-masing dari mereka
melakukannya dalam kondisi yang sangat berlainan. Sebagian hidup
di rumah yang indah dan nyaman dengan sekian kamar berukuran
luas, plus aneka perlengkapannya. Mereka memiliki persediaan
pangan yang lebih cukup, pakaian yang serba bagus, kondisi
kesehatan yang prima, dan kondisi keuangan yang serba
berkecukupan. Sebagian lainnya, yang berjumlah lebih dari separuh
penduduk dunia yang kini mencapai sekitar 6,4 milyar jiwa, nasibnya
jauh kurang beruntung karena sehari-harinya harus hidup dalam
kondisi serba kekurangan. Mereka tidak memiliki rumah sendiri, dan
kalaupun punya, ukurannya begitu kecil. Persediaan makanan yang
ada juga acap kali tidak memadai. Kondisi kesehatan mereka pada
umumnya tidak begitu baik atau bahkan buruk, dan banyak dari
mereka yang buta huruf, serta menganggur1.
1 Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, 2006, Economic Development/Ninth Edition, Diterjemahkan oleh Drs.
Haris Munandar, M.A.; Puji A.L. S.E., Erlangga, Jakarta, hlm. 3.
2
Masa depan mereka untuk mencapai suatu kehidupan yang
lebih baik biasanya suram, atau sekurang-kurangnya tidak menentu.
Hampir setengah dari populasi dunia hidup dengan kurang dari $2 per
hari2.
Apabila disimak dengan seksama paragraf diatas tadi dapat
diambil satu benang merah bahwa kemiskinan merupakan suatu
fenomena yang menjadi sorotan pembicaraan pada beberapa kurun
waktu terakhir. Kemiskinan laiknya sebuah panu yang hampir dimiliki
oleh semua negara yang ada pada belahan planet bumi ini.
Kemiskinan merupakan embrio awal terjadinya sesuatu yang
sangat menyedihkan. Diantaranya adalah tingkat kesehatan penduduk
yang rendah atau bahkan lebih dibawahnya, kelaparan yang disertai
dengan gizi buruk, dan masa depan yang tak menentu diakibatkan
oleh tidak diperolehnya pendidikan formal maupun informal yang
sebagaimana mestinya.
Negara-negara kawasan Asia dan Afrika merupakan kawasan
yang sangat akrab akan penyakit kronis kemiskinan ini. Mengapa
demikian, kesenjangan antara si kaya dan si miskin begitu jauh.
Pembangunan yang tidak merata antara daerah yang satu dan daerah
yang lain adalah termasuk salah satu biang keroknya.
2 Ibid, hal. 100
3
Negara Republik Indonesia adalah salah satu negara yang
berada pada kawasan Asia Tenggara juga mengalami problema yang
sama yakni kemiskinan. Kelaparan, kesehatan yang rendah, dan daya
beli masyarakat yang rendah serta problema gizi buruk telah hampir
menjadi headnews di banyak media.
Sebagaimana layaknya setiap bangsa, bangsa ini punya cita-
cita. Cita-cita untuk menjadi negeri yang sejahtera, demokratis, dan
adil. Indonesia adalah negeri yang sedang berusaha untuk menjadi
sebuah negara yang demokratis, dari negara yang porak-poranda
karena korupsi menjadi negara dengan tata kelola pemerintahan
menuju masyarakat sejahtera yang lebih bersih3.
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera,
demokratis, dan adil dalam upaya menghilangkan atau paling tidak
mengurangi tingkat kemiskinan dibutuhkan biaya yang sangat besar
bagi pemerintah sebagai unsur pelaksana.
Republik Indonesia sebagaimana halnya negara-negara yang
ada di belahan planet bumi ini juga mempunyai sumber pendanaan
untuk itu. Sumber pendanaan itu tak lain dan tak bukan berasal dari
sektor penerimaan pajak.
3 Nota Keuangan dan RAPBN 2010, 2009, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 1
4
Pajak4 adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum5.
Pemerintah mempunyai modal yang sangat besar dalam
mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan
adil yang telah lama di dambakan. Pajak6 adalah alat atau instrument
yang dapat mewujudkan impian tersebut apabila dipergunakan secara
maksimal.
Hanya sekedar informasi bahwa penerimaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara 2009 telah menembus angka 1000
triliun lebih yang hampir sebagian besar berasal dari sektor pajak. Hal
ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
sebagaimana materi perkuliahan hukum pajak yang dibawakan oleh
Ruslan Hambali7, yang antara lain menyatakan :
“Untuk mendanai anggaran belanja negara dalam tahun 2009, dalam RAPBN tahun 2009, pendapatan negara dan hibah direncanakan mencapai Rp. 1.022,6 triliun, yang
4 Supramono & Theresia Woro Damayanti,2005, Perpajakan Indonesia Mekanisme dan Perhitungan, Penerbit
Andi, Yogyakarta, hlm, 2. Bahwa dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan negara bersumber dari penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan dari sektor pajak menempati persentase yang paling tinggi dibandingkan sumber penerimaan negara yang lain. Hal ini menggeser dominasi penerimaan minyak dan gas, yang pada dekade 1970 sampai tahun 1980-an menempati porsi yang paling tinggi dari penerimaan negara. Oleh sebab itu saat ini pajak merupakan tulang punggung penerimaan negara. 5 Mardiasmo,2008, Perpajakan Edisi Revisi 2008, Penerbit Andi, Jakarta, Hlm. 1
6 Lihat Pasal 23 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
7 Ruslan Hambali,2009, Materi Perkuliahan Hukum Pajak, Hlm. 4
5
berarti mengalami peningkatan sebesar Rp. 127,6 triliun atau 14,3 persen dari APBN-P 2008. Jumlah tersebut direncanakan berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp. 726,3 trillun, penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp. 295,3 trilliun, dan hibah sekitar Rp 0,9 trilliun. Rencana penerimaan perpajakan sebesar Rp. 726,3 trilliun dalam tahun 2009, berarti naik sekitar Rp. 117 trilliun atau 19,2 persen dari APBN-P 2008. Peningkatan penerimaan perpajakan dalam tahun 2009 tetap ditargetkan meskipun tariff pajak diturunkan dari 30 persen menjadi 28 persen untuk PPh Badan, dan 35 persen menjadi 30 persen untuk PPh Orang Pribadi sesuai UU PPh baru. Bahkan untuk Usaha Kecil dan Menengah tariff pajak hanya sebesar 15 persen atau diberikan keringanan sebesar 50 persen lebih rendah dari tariff PPh Badan. Selain itu, ditetapkan kenaikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari saat ini, sebesar Rp. 13,2 juta menjadi sebesar Rp. 15, 8 juta untuk wajib pajak Orang Pribadi, sehingga dapat meringankan wajib pajak menengah kebawah. Ini semua, saudara-saudara, adalah bentuk keadilan dalam kebijakan perpajakan kita, keadilan yang disertai dengan tanggungjawab. Kami akan terus melakukan langkah-langkah perluasan basis pajak dan perbaikan sistem administrasi perpajakan untuk mencapai target yang terus meningkat tersebut”.
Ditambah lagi, penerimaan negara diatas tadi adalah yang
terbesar semenjak Republik Indonesia meraih kemerdekaan pada
tahun 1945. Hal tersebut adalah langkah konkrit demi mewujudkan
masyarakat Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan adil dengan
cara memanfaatkan momen tersebut.
Namun, dibalik kesuksesan tersebut terdapat satu problem atau
bahkan bisa menjadi batu sandungan dalam upaya memaksimalkan
6
pendapatan pajak tersebut yakni timbulnya kejahatan dibidang
perpajakan.
Selain penegakan hukum administrasi yang menggunakan
sanksi administrasi sebagai instrumennya, dalam bidang pajak juga
dikenal penegakan hukum pidana. Penegakan hukum pidana dalam
bidang pajak tentunya juga mempunyai tujuan tertentu, yaitu agar
ketentuan hukum di bidang pajak tersebut dapat dijalankan
sebagaimana mestinya sehingga dapat mewujudkan keadilan,
kepastian, dan keseimbangan antara para pihak yang terlibat
didalamnya.
Mengapa demikian, oleh karena urusan pajak sangat identik
dengan uang atau segala macamnya. Karena itu, tidak mengherankan
jika pajak selalu diincar oleh para penjahat kelas atas yang tergiur
akan sumber pendapatan yang perolehannya didasarkan atas
peraturan perundang-undangan tersebut, tetapi tanpa mau berusaha
untuk mendapatkannya secara halal dan wajar. Di sepanjang sejarah
sejak saat manusia mengenal sistem perpajakan, sejak saat itu pula
kejahatan perpajakan sudah terdeteksi dan modus operandi kejahatan
perpajakan terus menerus berkembang mengikuti kecanggihan dunia
perpajakan itu sendiri. Dewasa ini kejahatan perpajakan banyak
modelnya, yang tentu sebagian besar merupakan golongan white
collar crime, meskipun kejahatan perpajakan yang konvensional,
7
seperti tidak mendaftarkan diri sebagai wajib pajak secara sengaja
masih tetap saja terus terjadi.
Beberapa modus operandi kejahatan perpajakan yang akhir –
akhir ini menjadi tantangan bagi penegak hukum semakin meningkat
kalitasnya. Menurut Darussalam dan Danny Septriadi8 bahwa terdapat
berbagai modus operandi penghindaran pajak yaitu:
1. Transfer Pricing
Transfer pricing biasanya dilakukan dengan cara memperbesar
harga beli dan memperkecil harga jual antara perusahaan dalam
satu grup dengan tujuan akhir mentransfer laba tersebut kepada
grup perusahaan yang berkedudukan di negara yang menetapkan
tarif pajak yang rendah (tax haven country).
2. Thin Capitalization
Thin capitalization dilakukan melalui pemberian pinjaman oleh
perusahaan induk kepada anak perusahaannya yang
berkedudukan di negara lain. Perusahaan induk lebih suka
memberikan dana kepada anak perusahaannya yang
berkedudukan di negara lain. Perusahaan induk lebih suka
memberikan dana kepada anak perusahaannya dengan cara
pemberian pinjaman daripada dalam bentuk setoran modal.
8 Hutagaol, John dan Darussalam,2006, Kapita Selekta Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta, Hlm. 271-
271.
8
Alasannya karena biaya bunga (biaya yang timbul atas pinjaman)
dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak anak perusahaan.
Sedangkan dividen (biaya yang berkaitan dengan modal) tidak
dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
3. Controlled Foreign Corporation/CFC
Controlled Foreign Corporation/CFC adalah menahan laba di
negara tax haven untuk menunda pemajakan di negara domisili.
4. Treaty Shopping
Treaty shopping adalah memanfaatkan fasilitas tax treaty negara
lain oleh perusahaan yang tidak berhak.
Menurut pengertian umum, yang dimaksud dengan tindak
pidana perpajakan atau yang disebut juga dengan kejahatan pajak
(Taxing Crime) adalah tindakan yang melanggar ketentuan mengenai
pertanggungjawaban dibidang pajak dan persyaratan yang telah diatur
di dalam undang-undang pajak9. Di Indonesia perkembangan
kejahatan perpajakan ini sangat mengkhawatirkan teutama dalam
kurun waktu tahun 2000-2010 tepatnya setelah pasca reformasi,
setiap tahun negara dirugikan terutama oleh konglomerat-konglomerat
hitam, yang melakukan penggelapan pajak. Hal tersebut tentunya
menjadi hambatan besar yang tidak dinginkan dalam era
pembangunan saat ini. Atau dengan kata lain, tindak pidana
9 Edi Setiadi & Rena Yulia,2010, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hlm. 51.
9
perpajakan adalah suatu jenis kejahatan yang secara melawan hukum
pidana dilakukan, baik sengaja maupun tidak disengaja, yang ada
hubungannnya di bidang perpajakan, sehingga menimbulkan kerugian
negara berupa materiil maupun immateriil.
Bahwa ternyata terjadinya kejahatan perpajakan sering kali
diawali dengan adanya pelanggaran ketentuan yang berlaku di bidang
perpajakan. Persoalan apakah wajib pajak mengetahui atau tidak
akan peraturan tersebut sekiranya bukan alasan yang tepat
mengingat adanya asas yang mengatakan bahwa “apabila parlemen
telah menyetujui pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang
dibentuk bersama pemerintah maka hari itu juga peraturan tersebut
diketahui oleh warga masyarakat”10.
10
Bagi undang-undang, ada fiksi hukum yang diberlakukan, yaitu bahwa setiap orang dianggap mengetahui akan undang-undang. Dikatakan bahwa itu hanya fiksi, karena tidak mungkin orang awam mengetahui seluruh undang-undang yang berlaku dinegaranya. Di Indonesia, menurut ketentuan pasal 7 dan pasal 8 UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2004, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah :
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang, a. mengatur lebih lanjut ketentuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: HAM; hak dan kewajiban negara; pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; wilayah negara dan pembagian daerah; kewarganegaraan dan kependudukan; keuangan negara, b. diperintahkan oleh UU untuk diatur dengan UU)
Peraturan Pemerintah (materi muatan peraturan pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya)
Peraturan Presiden (materi muatan peraturan presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah)
Peraturan Daerah (materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi)
10
Berita mengenai kejahatan perpajakan akhir-akhir ini sangat
mengejutkan. Gayus Halomoan Tambunan yang bekerja di kantor
pusat pajak dengan menjabat bagian Penelaah Keberatan Direktorat
Jenderal Pajak, posisi yang sangat strategis, sehingga dituduh
bermain sebagai makelar kasus. Kasus pun berlanjut karena diduga
banyak pejabat penegak hukum yang terlibat dalam kasus tersebut.
Setelah dilakukan pemeriksaan, dari uang total Rp. 25 miliiar, uang
sejumlah Rp. 395 juta disita, dan sisanya sebesar Rp. 24,6 miliiar pun
hilang entah kemana dan tidak ada pembahasan lanjut mengenai
uang sebesar itu.
Sedangkan beberapa kejahatan perpajakan yang ditangani
oleh Direktorat jenderal Pajak yakni11 :
a. dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa
PPN (SPT Masa PPN) dan atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap oleh PT. BAM dan PT. MNU Masa
Pajak Januari 2006 s.d. Desember 2006;
b. penerbitan faktur pajak tidak sah melalui transaksi penjualan
tanpa disertai dengan transaksi ekonomi berupa penyerahan
barang oleh PT SI ;
c. tidak mendaftarkan diri dan tidak melaporkan kegiatan usaha
dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan oleh ABIL .
11
http:///www. Kementerian Keuangan RI. go.id
11
Persoalan pertama yang berkaitan dengan masalah kejahatan
perpajakan adalah perlunya gerakan antisipatif dalam upaya
menanggulangi kejahatan tersebut. Mengapa demikian, oleh karena
pajak merupakan salah satu item pendapatan negara yang teramat
sangat penting sehingga diperlukan upaya proteksi yang kuat.
Marc Ancel dalam Barda Nawawi Arief12 pernah menyatakan,
bahwa “modern criminal science” terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu
“Criminology”, “Criminal Law” dan ”Penal Policy”. Dikemukakan
olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang
pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
member pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,
tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan
juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Lebih lanjut, pengertian penal policy/politik hukum pidana
menurut Sudarto adalah13 :
“Politik Hukum Pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang”.
12
Barda Nawawi Arief,2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 21 13
Ibid, Hal. 24-25
12
Dengan demikian, apabila dihubungkan terhadap masalah
kejahatan dibidang perpajakan, maka politik hukum pidana
mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan
merumuskan suatu perundang-undangan pidana dibidang perpajakan
yang tepat dan baik. Pengertian ini pula yang diharapkan apabila
dihubungkan dengan pendapat Marc Ancel yang secara singkat dapat
dinyatakan sebagai “sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan
untuk memungkinkan peraturan hukum positif (dibidang perpajakan)
dirumuskan secara lebih baik”.
Menurut A. Mulder14, strafrechtspolitiek atau politik hukum
pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan :
1. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu
diubah atau diperbaharui;
2. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak
pidana;
3. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan
pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
14
Ibid, Hal. 25-26
13
Apabila rumusan politik hukum pidana menurut A. Mulder
direformulasikan terhadap kejahatan dibidang perpajakan maka :
1. seberapa jauh ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku
perlu diubah atau diperbaharui;
2. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak
pidana perpajakan;
3. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan
pelaksanaan mengenai perpajakan harus dilaksanakan.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana
dibidang pajak pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
penanggulangan kejahatan terkhusus pada masalah perpajakan.
Usaha penanggulangan kejahatan perpajakan dengan hukum
pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha
penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh
karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum
pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (Law
enforcement policy).
Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan dibidang
pajak lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada
hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
14
bagi masyarakat terkhusus yang menjadi wajib pajak (social defence)
dan usaha mencapai kesehjateraan masyarakat dalam rangka
menghapus serta mengurangi tingkat kemiskinan (social welfare).
Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum
pidana termasuk alat atau instrumen dalam upaya proteksi terhadap
pajak yang merupakan sumber utama pendapatan negara.
Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dalam
perspektif perpajakan mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang
hukum pidana pajak materiel dan di bidang hukum pidana pajak
formal. Namun, pada penelitian ini hanya menitik beratkan pada
kebijakan hukum pidana pajak materiilnya saja (subtantif).
Persoalan kedua yang cukup menjadi kontroversi adalah
banyaknya peraturan yang saling tumpang tindih, seakan-akan
peraturan yang satu juga terdapat pada peraturan perundang-
undangan lainnya begitupun sebaliknya sehingga menimbulkan silang
pendapat pada praktiknya.
Kenyataannya penyakit diatas tersebut telah menjadi sebuah
polemik yang pada hakikatnya merupakan sesuatu tantangan para
ahli hukum untuk merumuskan suatu perundang-undangan yang baik.
Baik dalam hal perumusan teori maupun pada praktiknya.
15
Sebagai contoh, salah satu kasus menarik yang pernah muncul
di media massa dan menimbulkan kerugian keuangan negara adalah
kasus manipulasi Faktur Pajak Fiktif15. Kasus ini terjadi karena Wajib
Pajak terbukti menggunakan dokumen Faktur Pajak yang tidak benar
alias palsu, seolah-olah Wajib Pajak benar-benar telah menerbitkan
Faktur Pajak sesuai transaksi yang sebenarnya. Wajib Pajak yang
menerbitkan Faktur Pajak tetapi tidak diikuti dengan adanya transaksi
jual beli barang yang sebenarnya adalah fiktif. Penerbit Faktur Pajak
yang tidak diikuti dengan transaksi jual beli yang benar tentu saja
akan merugikan negara dari sisi penerimaan pajak.
Menariknya kasus ini karena adanya silang pendapat antara
Jaksa Penuntut Umum dengan Penasihat Hukum tersangka dalam hal
penerapan ketentuan hukum yang berlaku. Jaksa Penuntut Umum
dalam tuntutannya menerapkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi16. Sedangkan Penasihat
Hukum tersangka berpendapat bahwa untuk mengadili persoalan
manipulasi pajak agar menggunakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan17. Dalam
15
Bambang Waluyo,1989, Tindak Pidana Perpajakan. 16
Undang-Undang tersebut telah mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan
diubah lagi terakhir dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 17
Undang-Undang ini telah mengalami perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 lalu
mengalami perubahan melalui UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP.
16
kasus tersebut Penasihat Hukum berpendapat sebaiknya digunakan
Undang-Undang KUP sesuai dengan asas hukum lex specialis
derogat lex generalis. Artinya, penerapan untuk kasus perpajakan
lebih tepat menggunakan Undang-Undang KUP dan dapat
mengkesampingkan Undang-Undang Korupsi, karena Undang-
Undang KUP telah mengatur secara khusus dan jelas akan persoalan
pajak termasuk sanksi yang dapat diterapkan.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
menyebutkan bahwa apabila seseorang dengan sengaja
memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang
palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Sedangkan menurut Undang-Undang Korupsi, walaupun pelakunya
telah memenuhi unsur merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara, ancaman hukumannya bervariasi, ada yang 1
(satu) tahun dan ada yang 7 (tujuh) tahun.
17
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana positif dalam
pengaturan tindak pidana di bidang perpajakan dengan
menggunakan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai acuan ?
2. Bagaimanakah penerapan unsur Actus Reus dan Mens Rea
yang termuat pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
Tentang Ketentuan Umum Perpajakan maupun peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang pajak (in
abstracto) dalam putusan/yurisprudensi pengadilan (in
concreto) ?
3. Bagaimanakah kedudukan dan penerapan hukum antara
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum
Perpajakan maupun peraturan perundang-undangan lainnya
yang mengatur tentang pajak dan UU No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 yang
diperbaiki dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus tindak
pidana pajak yang mengakibatkan adanya kerugian negara ?
18
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menelaah dan menganalisis perumusan tindak pidana,
bentuk dan jenis kejahatan di bidang perpajakan, baik yang
diatur dalam Undang-Undang Perpajakan maupun di luar
perpajakan.
2. Guna mengetahui penerapan unsur Actus Reus dan Mens Rea
yang termuat pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
Tentang Ketentuan Umum Perpajakan maupun peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang pajak (in
abstracto) dalam putusan/yurisprudensi pengadilan (in
concreto).
3. Guna mengetahui kedudukan dan penerapan hukum antara
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum
Perpajakan dan UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dalam kasus tindak pidana pajak yang
mengakibatkan adanya kerugian Negara.
19
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritik yang diharapkan dengan penelitian ini dapat
menjadi pelopor dalam upaya mengembangkan kajian hukum
pidana ekonomi konsentrasi perpajakan sekaligus menciptakan
Undang-Undang Tindak Pidana Perpajakan tersendiri, sebagai
upaya pembaharuan hukum di bidang perpajakan yang akhir-
akhir ini marak dibicarakan oleh publik.
2. Manfaat praktis yaitu diharapkan dengan penelitian ini dapat
memberikan masukan dan kontribusi dalam upaya penegakan
hukum serta dapat dijadikan item khusus dalam pengambilan
kebijakan hukum pidana khususnya dalam bidang hukum
pidana perpajakan yang terkait dengan tindak pidana
perpajakan.
3. Manfaat teoritik dan praktis sebagai konstribusi dan masukan
berharga bagi penegak hukum (Polisi/Penyidik, PPNS,
Jaksa/PenuntutUmum, Hakim) dalam penanganan perkara
pidana di bidang perpajakan.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Terhadap Asas-Asas Hukum
Menurut terminologi bahasa18, yang dimaksud dengan istilah
asas ada dua pengertian. Arti asas yang pertama adalah dasar, alas
pondamen. Sedangkan arti asas yang kedua adalah sesuatu
kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir atau
berpendapat, dan sebagainya.
Sedangkan menurut R.H. Soebroto Brotodirejo19, asas
(prinsip) adalah suatu sumber atau sebab yang menjadi pangkal tolak
sesuatu; yang inherent dalam segala sesuatu yang menentukan
hakikatnya; sifat esensial.
Bagi hukum, asas (hukum) menurut G.W. Paton dalam A
Textbook of Jurisprudence adalah, “….the road reason which lies at
the base of rule of law”. Sedangkan menurut J.H.P. Bellefroid dalam
Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland asas adalah, “Aturan
18
Boediono, 2005, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Agung, Surabaya, hlm. 62. 19
Dudu Daswara Machmudin, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, hlm. 67-68.
21
pokok (hoofdregel) yang didapatkan dengan generalisasi daripada
sejumlah aturan-aturan hukum.
Lebih jauh Bellefroid mengatakan20:
“Asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum merupakan pengendapan dari hukum positif”.
Pendapat terakhir adalah dari Satjipto Rahardjo21. Ia
mengatakan bahwa:
“Asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah sebagai ratio legisnya peraturan hukum”.
Menurut Dudu Daswara Machmudin22 ada beberapa asas
hukum yang merupakan dasar berlakunya norma hukum yakni sebagai
berikut :
a. Audi et alteram atau audiatur et altera pars, adalah bahwa para
pihak harus didengar Contohnya : apabila persidangan sudah
dimulai, maka hakim harus mendengar dari kedua belah pihak
yang bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja.
20
Ibid, hlm 67-68 21
Ibid, hlm 67-68 22
Ibid, hlm.67-68.
22
b. Asas actus non facit reum nisi mens sit rea, an act does not make a
person guilty unless his mind guilty. Suatu perbuatan tak dapat
menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tak bersalah.
c. Bis de eadem re ne sit actio atau Ne bis in idem, mengenai perkara
yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua
kalinya. Contohnya periksa pasal 76 KUH Pidana.
d. Clausa rebus sic stantibus, suatu syarat dalam hukum internasional
bahwa suatu perjanjian antar negara masih tetap berlaku, apabila
situasi dan kondisinya tetap sama:
Cogitationis poenam nemo patitur, tiada seorang pun dapat
dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya;
Concibatus facit nuptias, perkawinan terjadi karena
hubungan kelamin.
e. De gustibus non est dispotandum, mengenai selera tidak dapat
disengketakan.
f. Errare humanum est turpe, in errore perseverare, membuat
kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk
mempertahankan terus kekeliruan.
g. Fiat justia ruat coelum atau Fiat justitia pereat mundus, sekalipun
esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus
tetap ditegakkan.
23
h. Geen straf zonder schuld, tiada hukuman tanpa kesalahan.
i. Hodi mihi cras tibi, ketimpangan atau ketidakadilan yang
menyentuh perasaan, tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat.
j. In dubio pro reo, dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan
yang paling menguntungkan bagi si terdakwa.
k. Juro suo uti nemo cogitur, tak ada seorang pun yang diwajibkan
menggunakan haknya. Contohnya orang yang berpiutang tidak
mempunyai kewajiban untuk menagih terus.
l. Koop breekt geen huur, jual beli tidak memutuskan sewa-
menyewa. Perjanjian sewa-menyewa tidak berubah, walaupun
barang yang disewanya beralih tangan. Lebih jelas periksa Pasal
1576 KUH Perdata.
m. Lex dura sed ita scipta atau Lex dura sed tamente scripta, undang-
undang adalah keras tetapi ditulis demikian. Contohnya Pasal 11
Kitab Undang-undang Hukum Pidana:
Lex niminem cogit ad impossibilia, undang-undang tidak
memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak
mungkin. Contohnya periksa Pasal 44 KUHP;
Lex posterior derogat legi priori atau Lex posterior derogat
legi anteriori, undang-undang yang lebih baru
mengenyampingkan indang-undang yang lama, Contohnya
24
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Undang-
Undang Lalu lintasdan Angkutan Jalan mengesampingkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965;
Lex spesialis derogat legi generali, undang-undang yang
khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang
yang umum, Contohnya pemberlakuan Kitab Undang-
undang Hukum Dagang terhadap Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dalam hal perdagangan;
Lex superior deragot legi inferiori, undang-undang yang
lebih tinggi mengeyampingkan undang-undang yang lebih
rendah tingkatannya.
n. Matrimonium ratum et non consummatum, perkawinan yang
dilakukan secar formal, namun belum dianggap jadi mengingat
belum terjadi hubungan kelamin. Contoh yang identik yaitu dalam
perkawinan suku Sunda, yang disebut Randa Bengsat;
Melius est acciepere quam facere injuriam, lebih baik
mengalami ketidakadilan, daripada melakukan ketidakadilan;
Modus Vivendi, cara hidup bersama.
o. Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet, tak seorang pun
dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia memiliki.
25
p. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, tiada suatu
perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketantuan pidana
dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada
perbuatan itu. Asas ini dipopulerkan oleh seorang yang bernama
Anselem von Feuerbach. Lebih jelas periksa Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
q. Opinio necessitates, keyakinan atas sesuatu menurut hukum
adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan,
r. Pacta sunt servanda, setiap perjanjian itu mengikat para pihak lain
harus ditaati dengan itikad baik. Lebih jelas periksa Pasal 1338
KUH Perdata;
Podor est qui prior est, siapa yang datang pertama, dialah
yang beruntung;
Presumption of innocence, biasa juga disebut asas praduga
tidak bersalah, yaitu bahwa seseorang dianggap tidak
bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia
bersalah sebelum ada putusan hakim tersebut telah
mempunyai kekuatan yang tetap. Lebih jelas lihat
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP butir 3 c;
Primus inter pares, yang pertama (utama) di antara sesama;
26
Princeps legibus solutus est, kaisar tidak terkait oleh
undang-undang atau para pemimpin sering berbuat
sekehendak hatinya terhadap anak buahnya.
s. Quiquid est in territorio, etiam est de territorio, asas dalam hukum
internasional yang menyatakan bahwa apa yang berada dalam
batas-batas wilayah Negara tunduk kepada hukum negara itu;
Qui tacet consentire videtur, siapa yang berdiam diri
dianggap menyetujui.
t. Res nullius credit occupant, benda yang ditelantarkan pemiliknya
dapat diambil untuk dimiliki.
u. Summum ius summa injuria, keadilan tertinggi dapat berarti
ketidakadilan tertinggi;
Similia similibus, dalam perkara yang sama harus diputus
dengan hal sama pula, tidak pilih kasih.
v. Testimonium de auditu, kesaksian dapat didengar dari orang lain.
w. Unus testis nullus testis, satu orang saksi bukanlah saksi. Lebih
jelas periksa Pasal 185 Ayat (2) KUHAP;
Ut sementem feceris ita metes, siapa yang menanam
sesuatu dialah yang akan memetik hadilnya. Siapa yang
menabur angin dialah yang akan manuai badai;
27
x. Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan; Verba Volant
scripta manent, kata-kata biasanya tidak berbekas sedangkan apa
yang ditulis tetap ada.
B. Tinjauan Umum Terhadap Delik
1. Pengertian Delik
Dalam hukum pidana delik dikenal dalam beberapa istilah
seperti perbuatan pidana, peristiwa pidana ataupun tindak pidana.
Menurut kamus hukum23 yang tertera bahwa :
Delik adalah perbuatan yang melanggar undang-undang pidana
dan karena itu bertentangan dengan undang-undang yang
dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Dengan kata lain delik adalah perbuatan yang diancam
dengan hukuman. Dalam undang-undang sendiri dikenal beberapa
istilah untuk delik seperti peristiwa pidana (Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950), perbuatan pidana (Undang-Undang No. 1
Tahun 1951 Tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan
Sipil), perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang
23
Ilham Gunawan, 2002, Kamus Hukum, CV. Restu Agung, Jakarta, hlm. 75.
28
Darurat No.2 Tahun 1951 Tentang perubahan Ordonantie Tijdelijke
Byzondere Strafbepalingen, tindak pidana (Undang-Undang Darurat
No.7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum).
Pada dasarnya istilah-istilah di atas, merupakan istilah yang
berasal dari kata strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata yaitu
straf, baar, dan feit. Straf dapat diterjemahkan dengan pidana dan
hukum, baar dapat diterjemahkan dengan dapat dan boleh sedangkan
kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan
perbuatan.
Menurut Adami Chazawi24 untuk kata delik sebenarnya tidak
punya hubungan dengan kata strafbaar feit. Kata delik berasal dari
bahasa latin yaitu delictum, namun dalam sisi pengertiannya tidak ada
perbedaan mengenai pengertiannya.
Tongat25 membagi pengertian tindak pidana menjadi dua
pandangan, pembagian ini didasarkan pada doktrin. Pandangan yang
pertama adalah pandangan monitis.
Pandangan monitis adalah suatu pandangan yang melihat
keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan
24 Adami Chazawi 2005, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta . hlm. 70.
25 Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan,UMM Press, Malang, hlm. 104.
29
sifat dari perbuatan. Para ahli yang menganut pandangan ini antara
lain adalah Simons yang telah memberikan defenisi tindak pidana
adalah26
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-
undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.
Ahli yang juga berpandangan monistis adalah J.Bauman yang
memberikan defenisi tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi
rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan
kesalahan. Wiryono Prodjodikoro memberikan defenisi tindak pidana
adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
Pandangan yang kedua, disebut dengan pandangan dualistic.
Pandangan ini berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana harus dipisahkan. Salah satu ahli yang
berpandangan dualistik adalah Moeljatno27 yang memberikan rumusan
tindak pidana :
a. Adanya perbuatan manusia
26
Ibid, hlm. 105. 27
Muladi et al, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana, hlm. 64-65.
30
b. Perbuatan tersebut memenuhi rumusan dalam undang-
undang
c. Bersifat melawan hukum
Pengertian Moeljatno diatas memang tidak memasukkan
unsur pertanggung jawaban pidana, namun Moeljatno juga
menegaskan bahwa agar terjadinya tindak pidana tidaklah cukup
dengan terjadinya tindak pidana itu sendiri, tetapi juga mengenai
apakah orang yang melakukan tindak pidana dapat mempertanggung
jawabkan perbuatan pidananya.
2. Unsur Delik Sebagai Syarat Pemidanaan
Unsur tindak pidana secara garis besar dapat dibedakan
menjadi dua sudut pandang yaitu sudut pandang teoritik dan sudut
pandang undang-undang. Sudut pandang teoritik memisahkan unsur-
unsur pidananya menurut pandangannya masing-masing. Pandangan
yang pertama yakni pandangan monolistik, seperti unsur yang
diberikan oleh Simons dan Bauman.
Pandangan dualistik seperti yang dianut oleh Moeljatno yang
memberikan unsur delik adalah adanya perbuatan manusia, perbuatan
tersebut memenuhi rumusan dalam undang-undang dan bersifat
melawan hukum.
31
Unsur rumusan tindak pidana dari sudut pandang undang-
undang dapat dirumuskan sebagai berikut28 :
a. Unsur Tingkah laku
Tingkah laku harus dimasukkan dalam unsur tindak pidana
atau unsur delik karena, tindak pidana berbicara mengenai
larangan berbuat sesuatu.
b. Unsur Melawan Hukum
Melawan hukum berarti adalah suatu sifat yang tercela
atau terlarang perbuatannya. Tercelanya suatu perbuatan dapat
lahir dari undang-undang ataupun dari masyarakat.
c. Unsur Kesalahan
Unsur kesalahan ini bersifat subjektif, karena unsur ini
melekat pada diri pelaku. Unsur kesalahan adalah unsur yang
menghubungkan perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum
perbuatan pelaku.
d. Unsur Akibat Konstitutif
Unsur kesalahan konstitutif terdapat pada tindak pidana
dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, tindak
pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat
28
Ardiansyah Arafah Putra, 2010, Analisis Yuridis Terhadap Concursus Realis Dalam Delik Penganiyaan (Studi
Kasus Putusan No. 1041/Pid.B/2008/PN.Mks), Makassar, Unhas.
32
pidana dan tindak pidana dimana akibat merupakan syarat
dipidananya pembuat.
e. Unsur Keadaan yang Menyertai
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak
pidana berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana
perbuatan dilakukan.
f. Unsur Syarat Tambahan
Unsur syarat tambahan dapatnya dituntut pidana. Hanya
terdapat pada delik aduan. Artinya unsur ini hanya timbul jika delik
tersebut diadukan, seperti delik persidangan.
g. Unsur Syarat Tambahan Untuk Memperberat Pidana
Unsur ini merupakan alasan diperberatnya pidana, bukan
unsur atau syarat selesainya tindak pidana.
h. Unsur Syarat Tambahan Untuk Dapatnya di Pidana
Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah
unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan
dilakukan yang menentukan apakah pebuatannya dapat dipidana
atau tidak.
33
i. Unsur Objek Hukum Tindak Pidana
Unsur ini sangat terkait dengan unsur tingkah laku. Unsur
ini adalah unsur kepentingan hukum yang harus dilindungi dan
pertahankan dalam rumusan tindak pidana.
j. Unsur Kualitas Subjek Hukum Tindak Pidana
Maksud dari unsur ini adalah sejauh mana kualitas subjek
hukum dalam melakukan tindak pidana, karena dalam berapa
tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh subjek-subjek tertentu
saja, seperti Pasal 375 dan Pasal 267 KUHP dan lain-lain.
k. Unsur Syarat Tambahan Memperingan Pidana
Unsur ini dibagi atas dua yaitu yang bersifat objektif seperti
pada nilai atau harga objek tindak pidana secara ekonomis dalam
pasal-pasal tertentu seperti pencurian ringan, penggelapan ringan
dan lain-lain. Bersifat subjektif artinya faktor yang memperingan
pelaku tindak pidana terletak pada perilaku pelaku tindak pidana itu
sendiri.
Unsur-unsur delik juga dibagi yakni unsur subjektif dan
unsur objektif.Unsur Subjektif adalah unsur yang berasal dari diri
pelaku. Artinya, suatu perbuatan pidana tidak mungkin ada tanpa
adanya kesalahan. Unsur Objektif adalah unsur yang berasal dari
34
luar diri pelaku seperti perbuatan atau act, akibat atau result,
keadaan-keadaan sifat yang dapat dihukum dan sifat melawan
hukum.
3. Pengertian Pidana dan Pemidanaan
Wirjono Prodjodikoro menjelaskan hukum pidana materiil dan
formil sebagai berikut29 :
“ Isi hukum pidana adalah :
1. Penunjukan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana
2. Penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan yang pembuatnya dapat dihukum pidana
3. Penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya
hukum pidana, oleh karena itu merupakan suatu rangkaian
peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan
pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan bertindak guna mencapai tujuan negara dengan
mengadakan hukum pidana.
Tirtaamidjaja menjelaskan hukum pidana materiil dan fomil
sebagai berikut30 :
“ Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum yang
menentukan pelanggaran pidana ; menetapkan syarat-syarat bagi
pelanggaran pidana untuk dapat dihukum ; menunjukkan orang
29
Leden Marpaung, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 21 30
Ibid, hlm. 2
35
yang dapat dihukum dan menetapkan hukuman atas pelanggaran
pidana.
Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang
mengatur cara mempertahankan hukum pidana materiil terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, atau
dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana
materiil diwujudkan sehingga diperoleh keputuan hakim serta
mengatur cara melaksanakan keputusan hakim “.
Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa hukum
pidana materiil yang berisi larangan atau perintah yang jika tidak
dipenuhi diancam dengan sanksi. Sedangkan hukum pidana formil
adalah aturan hukum yang mengatur cara menegakkan hukum pidana
materiil.
Menurut Van Hamel31 arti dari pidana itu atau straf menurut
hukum positif dewasa ini adalah suatu penderitaan yang bersifat
khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk
menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab
dari ketertiban umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata
karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan yang harus
ditegakkan oleh negara.
Menurut Simons32 bahwa pidana adalah suatu penderitaan
yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran
31
P.A.F. Lamintang, 1984, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 47 32
Ibid, hlm. 48
36
terhadap suatu norma, yang dengan satu putusan hakim yang telang
dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. Begitu pula dengan
ALGRANJANSSEN33 telah merumuskan pidana atau straf sebagai alat
yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan
mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat
dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali
sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana
atas nyawa, kebebasan, dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia
telah tidak melakukan suatu tindak pidana.
Dari ketiga rumusan mengenai pidana diatas dapat diketahui,
bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan
atau suatu alat belaka.
Sedangkan dalam kamus hukum, pidana adalah hukuman, hal
ini ada hubungannya dengan Pasal 5 KUHP, yaitu :
(1). Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan : 1. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku
Kedua dan Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan Pasal 451. 2. Salah satu perundangan yang oleh suatu ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai suatu kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
33
Ibid, hlm. 48
37
(2). Penuntutan perkara sebagaiman dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara Indonesia sesudah melakukan perintah.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang
penjahat, dapar dibenarkan secara normal bukan terutama karena si
terpidana telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan itu
mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana,
korban juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut
juga sebagai teori konsekuensialisme. Dengan kita mengetahui
maksud dari pidana dan pemidanaan serta siapa yang berwenang
melakukan atau menjatuhkan hukum pidana tersebut, maka kita dapat
menjelaskan apa tujuan dari pemidanaan tersebut. Menurut ketentuan
di dalam Pasal 10 KUHP, Hukum Pidana Indonesia hanya mengenal 2
(dua) jenis pidana, yaitu :
a. Pidana pokok 1. Pidana Mati 2. Pidana penjara 3. Pidana Denda 4. Pidana Kurungan 5. Pidana Tutupan
b. Pidana tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim
Pidana jenis tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok
dijatuhkan, kecuali dalam hal tertentu.
38
C. Tinjauan Umum Terhadap Dasar-Dasar Perpajakan
1. Definisi Pajak
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Pasal 1 Ayat 1 KUP).
Sedangkan menurut Soemitro pajak didefinisikan sebagai :
“Iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran umum”.
Dari definisi yang diberikan oleh Soemitro di atas dapat
diuraikan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
pajak merupakan iuran dari rakyat kepada negara, baik melalui
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Iuran yang
dibayarkan berupa uang, bukan barang;
pajak dipungut berdasarkan undang-undang, sifat pemungutan
pajak adalah dipaksakan berdasarkan kewenangan yang diatur
oleh undang-undang beserta aturan-aturan pelaksanaannya;
39
dalam pembayaran pajak tidak ada kontraprestasi secara
langsung oleh pemerintah;
digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.
2. Penggolongan Pajak dan Retribusi
Menurut Munawir34 cara penggolongan pajak dan retribusi
dapat didasarkan atas sifat-sifat maupun ciri-ciri tertentu yang terdapat
dalam masing-masing pajak dan retribusi.
Berdasarkan penggolongannya pajak terdiri dari :
a. pajak dalam arti luas dan pajak dalam arti sempit;
Pajak dalam arti luas adalah semua jenis pajak yang dipungut
oleh pemerintah pusat, termasuk bea materai, bea dan cukai, dan
pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Pajak dalam arti sempit adalah
pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (bea tanpa materai, bea
masuk dan cukai) dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang
pajak daerah.
34
Muhammad Djafar Saidi, 2007, Pembaruan Hukum Pajak, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 27-32
40
b. Pajak Negara dan Pajak Daerah35;
Pajak negara adalah pajak yang diadakan oleh negara serta
penagihannya dlakukan oleh pejabat pajak yang ditugasi mengelola
pajak-pajak negara. Yang menjadi ukuran pembedaan antara pajak
negara dan pajak daerah adalah aspek penagihannya bukan pada
aspek pemungutannya karena ada pajak negara, tetapi
pemungutannya dilakukan oleh aparat kelurahan atau desa, misalnya
pajak bumi dan bangunan. Jumlah objek pajak negara relative tidak
terbatas, tetapi negara harus diteliti dalam menentukan objek pajak
yang dapat dikenakan pajak. Pajak yang tergolong sebagai pajak
negara adalah :
1. pajak penghasilan;
2. pajak pertambahan nilai barang dan jasa;
3. pajak penjualan atas barang mewah;
4. pajak bumi dan bangunan;
5. bea materai;
6. bea perolehan hak atas tanah dan bangunan;
7. bea masuk; dan
8. cukai;
35
Soemitro, Rochmat, 2004, Asas Dan Dasar Perpajakan Edisi Revisi 1, Bandung, hlm 55-94.
41
Pajak daerah adalah pajak yang diadakan oleh daerah serta
penagihannya dilakukan oleh pejabat pajak yang ditugasi mengelola
pajak-pajak daerah. Objek pajak daerah terbatas jumlahnya karena
objek yang telah menjadi objek pajak negara tidak boleh digunakan
oleh daerah. Pajak daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dan ayat (2) UU PDRD meliputi pajak daerah provinsi dan pajak
daerah kabupaten/kota. Pajak daerah provinsi sebagai kewenangan
daerah provinsi untuk ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah terdiri
dari :
1. pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air;
2. bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di
atas air;
3. pajak bahan bakar kendaraan bermotor; dan
4. pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah
dan air permukaan.
Sementara itu, pajak daerah kabupaten/kota sebagai
kewenangan kabupaten/kota untuk ditetapkan dalam bentuk peraturan
daerah terdiri dari :
1. pajak hotel;
2. pajak restoran;
42
3. pajak hiburan;
4. pajak reklame;
5. pajak penerangan jalan;
6. pajak pengambilan bahan galian golongan c; dan
7. pajak parkir.
c. pajak langsung dan pajak tidak langsung
Pajak langsung adalah pajak yang penagihannya dilakukan
secara berkala (periodik) berdasarkan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pejabat pajak menerbitkan surat tagihan pajak, surat
ketetapan kurang bayar dan surat ketetapan kurang bayar
tambahan. Pengenaan pajak langsung terkait dengan adanya
taatbestand oleh wajib pajak dalam jangka waktu tertentu (satu
tahun takwim), seperti pajak penghasilan, pajak bumi dan
bangunan, serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Pajak tidak langsung adalah pajak yang penagihannya
dilakukan secara tidak berkala (insidentil) dan pada umumnya tidak
berdasarkan surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang
bayar, dan surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan.
Dikatakan demikian karena ada pula pajak tidak langsung yang
ditagih dengan menggunakan surat tagihan pajak, surat ketetapan
pajak kurang bayar, dan surat ketetapan pajak kurang bayar
43
tambahan. Sebagai contoh, pajak pertambahan nilai barang dan
jasa dan penjualan atas barang mewah.
Berdasarkan penggolongan retribusi, pada dasarnya
berbeda dengan penggolongan pajak karena pada retribusi terdapat
imbalan langsung kepada pihak yang menggunakan objek retribusi
yang telah ditentukan. Objek retribusi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 18 ayat (1) UU PDRD terdiri dari :
1. Jasa umum;
a. retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan
retribusi jasa usaha atau retribusi perizinan tertentu.
Misalnya, pelayanan kesehatan dan pelayanan
persampahan.
b. jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Misalnya,
penyewaan asset yang dimiliki atau dikuasai oleh
pemerintah daerah, penyediaan tempat penginapan, usaha
bengkel kendaraan, tempat pencucian mobil, dan penjualan
bibit.
c. jasa tersebut member manfaat khusus bagi orang pribadi
atau badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping
untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum.
44
d. jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi.
e. retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional
mengenai penyelenggaraannya.
f. retribusi dapat dipungut secara selektif dan efisien, serta
merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang
potensial.
g. pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa
tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang
baik.
2. Jasa usaha; dan
a. retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan
jasa atau perizinan tertentu.
b. jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial
yang seyogianya disediakan oleh sektor swasta, tetapi
belum memadai atau terdapatnya harta yang
dimiliki/dikuasai derah yang belum dimanfaatkan secara
penuh oleh pemerintah daerah.
3. Perizinan tertentu
a. perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan
yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas
desentralisasi.
45
b. perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi
kepentingan umum.
c. biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan
izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak
negatif dari pemberian izin tersebut telah ditetapkan.
3. Fungsi Pajak dan Retribusi
a. Fungsi Pajak
1. Fungsi anggaran (budgeter)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam
bidang sosial dan ekonomi.
3. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana
untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan
dengan stabilitas harga sehinggga inflasi dapat
dikendalikan, hal ini bisa dilakukan antara lain dengan
jalan mengatur peredaran uang di masyarakat,
pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif
dan efisien.
46
4. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan
digunakan untuk membiayai semua kepentingan
umum, termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan
kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat.
b. Fungsi Retribusi
1. Fungsi anggaran (budgeter)
Sumber dana bagi pemerintah untuk mengisi kas
negara maupun daerah sebagai penggantian yang
telah dikeluarkan dalam upaya penyediaan sarana
pelayanan kepada masyarakat.
4. Asas-Asas Pemungutan Pajak
a. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan
(domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara
akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila
untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut
merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara
47
itu apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di
negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana
penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah
sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam
sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan
mengembangkan asas domisili (kependudukan) dengan
konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang
diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh
di luar negeri (world-wide income concept).
b. Asas sumber yaitu negara menganut asas sumber akan
mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima
atau diperoleh orang pribadi atas suatu penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya
apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu
diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang
bersangkutan dari sumber-sumber yang berada dinegara itu.
Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan
apa status dari orang atau badan yang memperoleh
penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan
pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau
berasal dari negara itu. Contoh: tenaga kerja asing bekerja
48
di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di
Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
c. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga
asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).
Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak
adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang
memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah
menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan
dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas
domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas
nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan
asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas
world wide income.
d. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan
atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh
negara haru sesuai dengan kemampuan dan penghasilan
wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif
terhadap wajib pajak.
e. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan
pajak harus berdasarkan Undang-Undang, sehingga bagi
yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
49
f. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak
yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus
dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang
paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
g. Asas Effeciency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya
pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan
sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil
pemungutan pajak.
h. Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus
berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak.
Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang
dibebankan.
i. Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus
digunakan untuk kegiatan-keiatan yang bermanfaat untuk
kepentingan umum.
j. Asas kesehjateraan: pajak yang dipungut oleh negara
digunakan untuk meningkatkan kesehjateraan rakyat.
k. Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib
pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak
yang sama (diperlakukan sama).
50
l. Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak
diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika
dibandingkan dengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak
memberatkan para wajib pajak.
m. Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya
memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong
semua kegiatan negara.
n. Asas ekonomi: penentuan objek pajak harus tepat, agar
pemungutan pajak jangan sampai menghalangi produksi
dan perekonomian rakyat. Misalnya: pajak pendapatan,
pajak untuk barang-barang mewah.
o. Asas keadilan : yaitu pungutan pajak berlaku secara umum
tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan
sama pula.
p. Asas administrasi : menyangkut masalah kepastian
perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak),
keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan
besarnya biaya pajak.
q. Asas yuridis : segala pungutan pajak harus berdasarkan
Undang-Undang.
51
Lalu bagaimana dengan Indonesia, dari ketentuan-ketentuan
yang dimuat dalam peraturan perundang-perundangan di bidang
pajak, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek
pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili
dan asas sumber sekaligus dalam sietem perpajakannya. Indonesia
juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus
dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek
pajak orang pribadi.
5. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara
bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak
dapat mengalir ke kas negara. Dalam sistem perpajakan suatu negara
biasanya dikenal beberapa sistem, yaitu :
a. self assessment system yaitu suatu sistem perpajakan yang
memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi
dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak
perpajakannya;
b. withholding tax system yaitu suatu sistem perpajakan di
mana pihak ketiga diberi kepercayaan (kewajiban), atau
diberdayakan (empowerment) oleh undang-undang
perpajakan untuk memotong pajak penghasilan sekian
52
persen dari penghasilan yang dibayarkan kepada wajib
pajak;
c. official assement system adalah suatu sistem perpajakan
dalam mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan
berada di pihak fiskus.
Lalu bagaimana dengan Indonesia, dari ketentuan-ketentuan
yang dimuat dalam Pasal 2 Jo.Pasal 3 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuam Umum Dan
Tata Cara Perpajakan yang berbunyi :
Pasal 2 “Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok wajib Pajak”.
Lebih lanjut,
Pasal 3 “Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”
53
Teranglah, bahwa berdasarkan ketentuan diatas tersebut
Indonesia menganut sistem self assessment system yaitu suatu
sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak
untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak
perpajakannya.
6. Tindak Pidana Perpajakan
Penegakan hukum pidana di bidang pajak tidak terlepas dari
ketentuan pidana, baik yang diatur dalam Undang-Undang di bidang
perpajakan maupun dalam undang-undang yang lain, seperti KUHP.
Dari sisi pelaku, pengenaan sanksi pidana di bidang pajak dapat
dikenakan terhadap fiskus, wajib pajak atau penanggung pajak, serta
pihak ketiga. Hukum pidana di bidang pajak berkaitan dengan adanya
tindak pidana di bidang pajak. Oleh karena itu, penting untuk
mengetahui tindak pidana apa saja yang ada di bidang pajak serta
cakupan dari penegakan hukum pidana di bidang pajak tersebut36.
Berikut dibawah ini berbagai macam tindak pidana di bidang
pajak yakni sebagai berikut :
a. Tindak Pidana oleh Aparat Pajak
Tindak pidana yang dapat dilakukan oleh pihak fiskus dan diancam
dengan sanksi pidana terdapat dalam :
36
Y. Sri Pudyatmoko, 2007, Penegakan Dan perlindungan Hukum Di Bidang Pajak, Salemba Empat, Jakarta, hlm.
26-38.
54
1. Pasal 34 UU KUP
Ketentuan ini memuat larangan bagi pejabat untuk
memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang di
ketahui atau di beritahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam
rangka jabatan atau pekerjaannya guna menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Larangan tersebut
juga berlaku bagi tenaga ahli yang ditunjuk oleh direktur
jenderal pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut diatur dalam pasal 41 UU KUP
yang menyatakan bahwa pejabat yang karena kealpaannya
tidak memenuhi Kewajiban merahasiakan sebagaimana
dimaksud, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahunandan denda paling banyak Rp 4.000.000. pejabat yang
dengan sengaja tidak memenuhi kewajibanya sebagaimana
dimaksud diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahuna dan denda paling banyak Rp. 10.000.000. tetapi,
pejabat dan tenaga ahli dalam sidang pengadilan, maupun
pejabat dan tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada
pihak lain yang di tetapkan oleh menteri keuangan, dikecualikan
dari ketentuan ini.
55
2. Pasal 36 UU KUP
Apabila petugas pajak dalam menghitung atau menetapkan
pajak tidak sesuai dengan undang-undang perpajakan yang
berlaku sehingga merugikan negara, maka petugas pajak yang
bersangkutan dapat dikenakan peraturan perundang-undangan
yang beraku. Tidak di jelaskan apakah hal ini berkaitan tindak
pidana atau bukan, akan tetapi, karena menurut pasal tersebut
tindakan semacam itu dikenakan sanksi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku maka harus
dilihat ketentuan yang lain terlebih dahulu.
b. Tindak pidana oleh wajib pajak atau penanggung pajak
Tindak pidana yang dapat di lakukan oleh wajib pajak dan
penanggung pajak dan diancam dengan sanksi pidana dapat dilihat
dalam :
1. Pasal 38 UU KUP
Pasal ini mengatur mengenai tindak pdana yang dilakukan oleh
orang, yang kealpaanya tidak menyampaikan surat
pemberitahuan, atau menyampaikan surat pemberitahuan
tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isi-nya tidak benar sehingga menimbulkan
kerugian negara.
56
c. Tindak pidana oleh pihak ke-3
Selain tindak pidana yang dapat di lakukan oleh aparat pemerintah
selaku fiskus dan anggota masyarakat selaku wajib pajak ataupun
penanggung pajak, terdapat kemungkinan tindak pidana di lakukan
oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, yang dimaksud sebagai pihak
ketiga adalah pihak selain fiskus dan wajib pajak atau penanggung
pajak. Beberapa tindak pidana yang dapat di lakukakan oleh pihak
ketiga tersebut antara lain meliputi :
a. Tindak pidana yang diatur dalam pasal 41A jo. Pasal 35
Undang-Undang Tentang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan. Menurut ketentuan tersebut, apabila dalam
menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank,
akuntan publik, notaris, konsultan, pajak , kantor administrasi,
dan pihak ketiga lainya yang mempunyai hubungan dengan
wajib pajak yang diperiksa atau disidik, atas permintaan tertulis
dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib
memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
b. Tindak pidana di bidang pajak yang dapat dilakukan oleh pihak
ketiga, khususnya berkaitan dengan ketentuan Bea Meterai.
Misalnya saja, meniru atau memalsukan meterai tempel dan
kertas meterai; dengan sengaja menyimpan dengan maksud
57
untuk mengedarkan atau memasukkan ke negara Indonesia
berupa meterai palsu, yang dipalsukan, atau yang dibuat
dengan melawan hak; dengan sengaja menggunakan, menjual,
menawarkan,menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau
memasukkan ke negara Indonesia berupa meterai yang
mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya, atau tanda
waktu mempergunakannya telah dihilangkan, seolah-olah
meterai itu belum dipakai dan/atau menyuruh orang lain
menggunakannya dengan melawan hak; atau menyimpan
bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya dapat
di gunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru
dan memalsukan benda meterai.
58
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis
normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum
doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah
atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang
dianggap pantas.
B. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni
yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan (statute-approach) dan
pendekatan sejarah (historical-approach) serta pendekatan kasus
(case-approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan
digunakan untuk menelaah, meneliti, dan menganalisis aturan-
aturan ketentuan pidana di bidang perpajakan maupun undang-
undang lainnya yang mengatur tentang pajak dengan
menggunakan kegiatan inventarisasi undang-undang. Pendekatan
59
sejarah digunakan untuk memahami asas-asas hukum umum
maupun asas-asas hukum pidana yang nantinya digunakan untuk
membantu menganalisis ketentuan perundang-undangan oleh
menurut berbagai pakar khususnya pakar hukum pidana saling
tumpang tindih. Sedangkan pendekatan kasus (case-approach)
dilakukan untuk menganalisis beberapa putusan pengadilan pada
perkara tindak pidana di bidang perpajakan dan beberapa kasus
dugaan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan yang akhir-
akhir ini menjadi sorotan publik.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah suatu tempat, daerah, atau wilayah
dimana penelitian tersebut akan dilaksanakan. Adapun tempat atau
lokasi penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini yaitu di Kota
Makassar.
Sehubungan dengan data yang diperlukan dalam rencana
penulisan skripsi ini, maka penulis menetapkan beberapa lokasi
yakni pada instansi :
1. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
2. Kejaksaan Negeri Tangerang
3. Pusat Dokumentasi & Informasi Hukum laboratorium Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Unhas.
60
D. Jenis dan Sumber Data
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil
wawancara langsung, dalam hal ini berupa data yang
terhimpun dari pihak terkait.
2. Data sekunder, yaitu terdiri dari bahan hukum primer;
bahan hukum sekunder; bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer digunakan peraturan
perundang-undangan (pendekatan perundang-
undangan/statute-approach) yang berkaitan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan, antara lain: UUD
NRI 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Kompilasi Undang-Undang Perpajakan.
b. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah
rancangan undang-undang dan hasil-hasil penelitian
serta pendapat pakar hukum.
c. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus-
kamus hukum dan buku ensiklopedia yang fungsinya
sebagai penjelas terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.
61
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Penelitian Pustaka (Library Research)
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan data dan
landasan teoritis dengan mempelajari buku-buku, karya
ilmiah, artikel-artikel serta sumber bacaan lainnya yang
memiliki relevansi terhadap permasalahan yang diteliti. Data
primer dan data sekunder yang diperoleh dari lokasi
penelitian.
2. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian ini dilakukan langsung dilokasi penelitian dengan
melakukan wawancara untuk mengumpulkan data primer
pada instansi atau pihak yang berkaitan langsung dengan
penelitian ini.
F. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari lapangan (data primer) dan
beberapa putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan,
buku-buku teks hukum, jurnal-jurnal hukum, kamus hukum, dan
bahan-bahan referensi (data sekunder) kemudian dianalisis dengan
menggunakan teknik analisis kualitatif untuk kemudian
dideskripsikan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis akan
ditarik suatu kesimpulan pembahasan rumusan masalah dan
dilengkapi dengan saran-saran untuk perkembangan hukum pidana
pada umumnya dan hukum pidana ekonomi pada khususnya.
62
BAB IV
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA POSITIF DALAM PENGATURAN TINDAK
PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Pengertian kebijakan hukum pidana tidak terlepas dari pengertian
apa yang dinamakan dengan politik hukum. Politik hukum hukum terdiri
atas rangkaian kata politik dan hukum. Istilah politik dipakai dalam
berbagai arti, yaitu37:
a. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang
berhubungan dengan Negara;
b. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang
berhubungan dengan Negara.
Fungsi-fungsi hukum hanya mungkin dilaksanakan secara optimal,
jika memiliki kekuasaan dan ditunjang oleh kekuasaan dan ditunjang oleh
kekuasaan politik. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik, salah
satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum
ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat politik lain seperti
polisi, penuntut umum dan pengadilan.
37
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatulllah, 2005, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.
11
63
Kekuasaan politik memiliki karakteristik tidak ingin dibatasi,
sebaliknya hukum memiliki karakteristik untuk membatasi segala sesuatu
melalui aturan-aturannya. Dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan
politik , seyogianya hukum membatasi politik, agar tidak timbul
penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan , sebaliknya
kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan
menyuntikkan kekuasaan pada hukum, yaitu dalam wujud sanksi hukum,
baik itu sanksi perdata, pidana, dan administrasi.
Makna lain dari politik adalah kebijakan yang merupakan sinonim
dari policy. Dalam pengertian ini, dijumpai kata-kata seperti politik
ekonomi, politik kriminal, politik hukum, dan politik hukum pidana.
Dengan kata lain, politik hukum merupakan kebijakan Negara
melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-
peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan.
Dari pengertian tersebut di atas, maka tergambarlah bahwa untuk
melaksanakan kebijakan hukum pidana berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil ketentuan perundang-undangan pidana yang paling
baik dalam arti memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Untuk
melaksanakan politik hukum pidana berarti berusaha mewujudkan
64
peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Salah satu produk hasil oleh kebijakan hukum pidana adalah
terwujudnya konsep yang dinamakan pembaharuan hukum pidana.
Pembaharuan hukum pidana (penal form) merupakan bagian dari
kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat
pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan
urgensi diadakannya pembaharuan hukum itu sendiri. Latar belakang dan
urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari
aspek sosio-politik, sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek
kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan
penegakan hukum). Ini berarti, makna dan hakikat pembaharuan hukum
pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek tersebut.
Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan
kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian
dari suatu langkah kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik
hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan
politik sosial). Didalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula
pertimbangan nilai. Jadi , pembaharuan hukum pidana harus pula
berorientasi pada pendekatan-nilai. Oleh karena itu dapat disimpulkan
makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah sebagai berikut :
65
a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan :
Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk
mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah
kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan
nasional (kesehjateraan masyarakat dan sebagainya);
Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari
upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya
penanggulangan kejahatan);
Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum,
pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan
bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal
substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan
hukum.
b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai
sosio=politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural yang melandasi dan
memberi isi terhadap muatan normatif dan subtantif hukum pidana
yang dicita-citakan.
66
Pada hakikanya kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat
difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap,
yaitu tahap formulasi atau kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau
kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif atau kebijakan administratif.
Tahap formulasi atau kebijakan legislatif sebagai tahap
perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana.
Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari
ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar.
Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan
dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan tahap awal
yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses
fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap formulasi atau
kebijakan legislatif tersebut menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi
tahap-tahap fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana
berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Kesalahan atau
kelemahan tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan kesalahan
strategis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap berikutnya
dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), yaitu tahap aplikasi dan
tahap eksekusi.
67
Faktanya, terdapat dua masalah dalam kebijakan kriminal dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar
Penganalisisan terhadap 2 (dua) masalah sentral ini tidak dapat
dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan
kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti
pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-politik yang telah
ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana termasuk pula
kebijakan dalam menangani 2 (dua) masalah sentral di atas, harus pula
dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy
oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan, kebijakan yang
integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pada
pembangunan hukum pada umumnya.
Bertolak dari pendekatan kebijakan tersebut, bahwa dalam
menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang disebut masalah
kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata materill spiritual berdasarkan Pancasila;
68
sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan terhadap tindakan demi
kesehjateraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian
(materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip
biaya dan hasil (cost and benefit principle).
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,
yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Terkhusus mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi,
untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal, perlu
memperhatikan kriteria umum sebagai berikut :
a. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat
karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban
atau dapat mendatangkan korban.
b. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang
akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawas
dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban,
69
pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan
situasi tertib hukum yang akan dicapai.
c. Apakah akan menambah beban aparat penegak hukum yang tidak
seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan
yang dimilikinya.
d. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi
cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan
masyarakat.
Lebih lanjut, pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi
pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si
pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai
pergaulan hidup bermasyarakat. Sehubungan dengan hal terakhir ini,
patut kiranya dikemukakan konsepsi kebijakan pidana dari aliran sosial
defense (the penal policy of social defence) yang bertolak pada konsepsi
pertanggungjawaban yang bersifat pribadi.
Pertanggungjawaban yang didasarkan pada kebebasan individu
merupakan kekuatan penggerak yang utama dari proses penyesuaian-
sosial (the main driving force of the process of social readaption). Telah
menjadi persoalan klasik, bahwa masalah determinisme dan
indeterminisme merupakan problem filosofis yang berada di luar lingkup
kebijakan pidana dan hukum pidana. Akan tetapi, bahwa kebijakan pidana
yang modern hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan individu.
70
Tujuan utama setiap perlakuan readaptasi-sosial harus diarahkan
pada perbaikan terhadap penguasaan diri sendiri. Oleh karena itu,
masalah pertanggungjawaban seharusnya tidak boleh diabaikan,
melainkan diperkenalkan kembali sebagai suatu pertanggungjawaban
pribadi. Reaksi terhadap perbuatan anti-sosial justru harus dipusatkan
pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi. Pertanggungjawaban tadi
berlainan dengan pandangan klasik yang mengartikannya sebagai
pertanggungjawaban moral secara murni (the purely moral responbility),
dan berbeda pula dengan pandangan positivis yang mengartikannya
sebagai pertanggungjawaban menurut hukum atau pertanggungjawaban
objektif (legal or objective view of responsibility).
Pertanggungjawaban pribadi (individual responsibility) menekankan
pada perasaan kewajiban moral pada diri individu dan oleh karena itu
mencoba untuk merangsang ide tanggungjawab atau kewajiban sosial
terhadap anggota masyarakat yang lain dan juga mendorongnya untuk
menyadari moralitas sosial.
Berdasarkan uraian diatas terlihat, bahwa pendekatan nilai
humanistik menuntut pula diperhatikannya ide “individualisasi pidana”
dalam kebijakan/pembaharuan hukum pidana. Ide individualisasi pidana
antara lain mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut :
a. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas
personal)
71
b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas
culpabilitas: tiada pidana tanpa kesalahan);
c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si
pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim
dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringan-nya
sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana
(perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.
Selain itu, kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik
tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya
merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum
pidana) oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan penegakan hukum. Kebijakan penanggulangan kejahatan
melalui pembuatan undang-undang pidana merupakan bagian integral
dari kebijakan perlindungan masyarakat., serta merupakan bagian integral
dari politik sosial. Politik sosial ini dapat diartikan sebagai segala usaha
yang rasional untuk mencapai kesehjateraan masyarakat dan sekaligus
mencakup perlindungan masyarakat. Dengan demikian jika politik kriminal
dengan menggunakan sarana hukum pidana, maka harus merupakan
langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan
menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi
kejahatan haruslah benar-benar telah memperhitungkan semua faktor
72
yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana
dalam kenyataan.
Pada umumnya strategi pencegahan kejahatan terdiri atas tiga
kategori, yang didasarkan pada public health model, yakni pertama
pencegahan (primary prevention) adalah strategi yang melalui kebijakan
sosial, ekonomi dan kebijakan lain, yang secara khusus mencoba
mempengaruhi situasi kriminogenik dari akar permasalahan kejahatan.
Kedua pencegahan sekunder (secondary pravention) dapat ditemukan di
dalam sistem peradilan pidana yang penerapannya secara praktis seperti
terlihat peranan polisi dalam melakukan pencegahan kejahatan yang telah
melakukan tindakan atau cenderung melanggar ketentuan. Ketiga
pencegahan tersier (tertiary prevention) adalah terutama diarahkan
kepada residivisme yang telah melakukan kejahatan, adalah menjadi
tugas polisi atau lembaga penegak hukum lainnya dalam sistem peradilan
pidana untuk menindakinya.
Kebijakan hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan
juga merupakan instrumen yang sangat penting dalam upaya
meminimalisir apa yang dinamakan tindak pidana perpajakan yang akhir-
akhir ini marak dibicarakan oleh publik.
Tindak pidana yang dilakukan dalam bidang perpajakan dapat di
kategorikan dalam Tindak Pidana Fiskal. Dalam penelusuran pustaka,
tindak pidana fiskal dapat diberi dalam arti luas maupun sempit. Fiskal
73
dalam arti luas bertalian dengan keuangan Negara. Oleh karena itu,
segala sesuatu yang bertalian dengan keuangan Negara termasuk dalam
pengertian fiskal. Adapun tindak pidana yang ada hubungannya dengan
keuangan Negara seperti bertalian dengan retribusi, dan bertalian dengan
penerimaan Negara, termasuk tindak pidana fiskal dalam arti sempit
adalah berupa tindak pidana yang dilakukan dalam bidang perpajakan
saja. Pengertian tindak pidana fiskal adalah perbuatan yang melanggar
peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian
keuangan Negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana.
Tindak pidana perpajakan memiliki pengertian yakni suatu
perbuatan yang berhubungan dengan tindak kejahatan di bidang
perpajakan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana sesuai
ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Pada umumnya kejahatan
perpajakan ini dilakukan tanpa kekerasan, sehingga kejahatan ini masuk
dalam kelompok kejahatan jenis Concursus Idealis (Pasal 63, 64, 65, 66,
dan 67 KUHP), artinya memiliki basis dasar dari kejahatan tertentu
seperti: penggelapan, penipuan, pemalsuan dan pencurian dsb.
Kejahatan perpajakan dapat disebut pula kejahatan luar biasa
(Extra Ordinary Crimes), atau lebih familiar disebut pula kejahatan kerah
putih (White Collar Crime), yang mana kejahatan/pidana perpajakan ini
agak sulit dideteksi karena dilakukan oleh orang-orang yang sangat
piawai (skiil person), kadang kala kejahatan ini dilakukan oleh orang-
74
orang diluar institusi perpajakan itu sendiri, atau juga dapat dilakukan
bersama-sama (berkolusi) dengan orang-orang yang terkait dengan
institusi perpajakan dengan berselimut yuridis formil baik bersama-sama
dengan permufakatan jahat dengan wajib pajak, baik sebagai pelaku
utama, pelaku pembantu, pelaku penyuruh maupun pelaku intelektualnya.
Di samping itu hasil dari kejahatan perpajakan ini, nilainya sangat besar,
yang diperkirakan kerugian Negara akibat kejahatan/pidana perpajakan
bias mencapai puluhan bahkan ratusan trilyun rupiah, suatu nilai yang
sangat fantastis bagi pembiayaan suatu Negara seperti Indonesia ini
sangat memerlukan dana untuk pembangunan.
Kegiatan perpajakan baik itu tingkat pusat (APBN) maupun daerah
(APBD) di Indonesia merupakan sesuatu yang terkait dengan unsur tulang
punggung penerimaan Negara yang nilainya cukup besar, jika hal ini tidak
ditangani dengan serius maka kejahatan di bidang perpajakan ini jelas-
jelas akan mengurangi potensi penerimaan Negara di Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) bahkan bisa mengganggu kestabilan Negara
nantinya. Banyak kalangan yang sampai dengan saat sekarang masih
mempunyai pemikiran bahwa kejahatan (khususnya KKN) bisa terjadi
karena adanya penyelewengan/penggelapan dari sisi pengeluaran
keuangannya saja, padahal banyak hal dari kejahatan/KKN tersebut
terjadi/bersumber dari penyelewengan dari sisi penerimaannya yakni
75
hilangnya suatu potensi penerimaan negara atau potensi penerimaan
negara belum tergali dan diselewengkan/dikorupsi oleh oknum-oknum
yang bermain dalam kegiatan perpajakan, sehingga potensi penerimaan
Negara khususnya dari aspek pajak ini akhirnya tidak masuk ke kas
Negara sebagai mana mestinya. Sebaliknya potensi penerimaan Negara
ini mengalir ke kantong-kantong pribadi oknum pejabat yang terkait
masalah perpajakan ini.
Berdasarkan penguraian pengertian tindak pidana perpajakan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana dibidang perpajakan
dipergunakan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar
hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan perpajakan baik
tingkat pusat maupun daerah, dimana pajak dijadikan objek dalam hal
sasaran dan sarana tindak pidana yang melanggar ketentuan-ketentuan
pidana, dalam peraturan perundang-undangan perpajakan (baik yang
terdapat dalam undang-undang perpajakan ataupun di luar undang-
undang perpajakan). Dari deskripsi pengertian ini, maka kiranya jelas
terdapat dua unsur pokok dalam tindak pidana perpajakan yang harus
dibuktikan yakni unsur objektif adanya perbuatan yang melanggar hukum
dan tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf, serta unsur subjektif
pelaku tindak pidana itu dilakukan dengan sengaja atau kelalaiannya
untuk merugikan orang lain dan tidak ada alasan pemaaf serta pelakunya
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana menurut hukum
76
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Pajak
Hukum pidana pajak adalah hukum yang mengatur tentang upaya-
upaya perlawanan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak dan perbuatan-
perbuatan yang dilakukan oleh fiskus serta pihak ketiga yang
dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan beserta ancaman sanksi pidana dan
prosedur penegakannya38. Dengan demikian, ruang lingkup hukum
pidana pajak mencakup bentuk-bentuk, antara lain :
a. perlawanan pajak dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
WP, fiskus, dan pihak ketiga yang dikriminalisasikan berdasarkan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. sanksi-sanksi yang dapat diterapkan; dan
c. prosedur penegakan ketentuan-ketentuan pidana di bidang
perpajakan.
Sementara itu, berkaitan dengan jenis pajak yang dicakup dalam
hukum pidana pajak, hukum pidana pajak mencakup seluruh ketentuan
pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pungutan Negara yang memiliki karakteristik sebagai pajak, baik
yang dipungut oleh pemerintah pusat dan menjadi penerimaan negara
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu : PPh;
PPN; PBB; BPHTB; Bea materai; Bea keluar; dan Cukai; maupun pajak
38
Adrianto Dwi Nugroho, 2010, Hukum Pidana Pajak Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 16-18.
77
yang dipungut oleh pemerintah daerah yang terhimpun dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
C. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Menurut Undang-Undang No.
28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No.
6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
a. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal sengaja tidak
melakukan kewajiban perpajakan
Diatur dalam Pasal 39 Ayat (1) dan (2) yang unsur-unsur
tindak pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang; dan
2) Yang dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak39 atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak40;
39
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya (Pasal 1 Ayat (5) UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang KTUP). 40
Pengusaha kena pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan Kepmen Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (Pasal 1 Ayat (4) UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang KTUP)
78
2) Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor
Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak;
3) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan41;
4) Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
5) Menolak untuk dilakukan pemeriksaan42 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29;
6) Memperlihatkan pembukuan43, pencatatan, atau dokumen
lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau
tidak menggambarkan keadaaan yang sebenarnya;
7) Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di
Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan
buku, catatan, atau dokumen lain;
41
Surat Pemberitahuan adalah surat oleh WP digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran
pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 1 Ayat (10) UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang KTUP) 42
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan PerUU perpajakan (Pasal 1 Ayat (24) UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang KTUP). 43
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir (Pasal 1 Ayat (26) UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang KTUP)
79
8) Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen
lain yang termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan
yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara
program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1);
9) Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
Negara.
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 6 (enam) tahun; dan
2) Pidana denda : paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar
b. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal mengulangi tidak
melakukan kewajiban perpajakan (residivisme)
Diatur dalam Pasal 39 Ayat (1) dan (2) yang unsur-unsur
tindak pidana-nya adalah sebagai berikut:
Unsur Subjektif
1) Setiap orang;
80
2) Yang karena sengaja.
Unsur Objektif
Melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat
1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara
yang dijatuhkan
Sanksi Pidana
Ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (kali) sanksi pidana
c. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal percobaan
menyalahgunakan NPWP atau PKP
Diatur dalam Pasal 39 Ayat (3) yang unsur-unsur tindak
pidana-nya sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor
Pokok Wajib Pajak atau pengukuhan pengusaha kena pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b;
2) Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan
81
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak
atau pengkreditan pajak.
Sanksi Pidana
1) Pidana Penjara : paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 2 (dua) tahun; dan
2) Pidana denda : paling sedikit 2 (dua) kali dan paling banyak
4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan
d. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal sengaja menerbitkan
faktur pajak tidak sesuai ketentuan
Diatur dalam Pasal 39A yang unsur-unsur tindak pidana-nya
adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang;
2) Yang dengan sengaja.
Unsur Objektif
1) Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti
setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang
sebenarnya; atau
2) Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak
82
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 6 (enam) tahun
2) Pidana denda : paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak
dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, dan paling
banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak pajak,
bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau
bukti setoran pajak.
e. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal tidak memberikan
keterangan bagi pihak yang punya hubungan saat diperiksa
atau disidik
Diatur dalam Pasal 41A yang unsur-unsur tindak pidana-nya
adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Tidak memberi keterangan atau bukti; atau
2) Member keterangan atau bukti yang tidak benar
Sanksi Pidana
1) Pidana kurungan : paling lama 1 (satu) tahun; dan
83
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 25.000.000.00 (dua
puluh lima juta rupiah)
f. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal mempersulit atau
menghalangi penyidikan
Diatur dalam Pasal 41B yang unsur-unsur tindak pidana-nya
adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang
2) Yang dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Menghalangi; atau
2) Mempersulit penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 3 (tiga) tahun; dan
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 75.000.000.00 (tujuh
puluh lima juta rupiah)
g. Jenis tindak pidana perpajakan menyuruh melakukan tindak
pidana perpajakan (deelneming)
Diatur dalam Pasal 43 Ayat (1) dan (2) yang unsur-unsur
tindak pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Wakil;
84
2) Kuasa;
3) Pegawai dari wajib pajak; atau pihak lain
Unsur Objektif
1) Menyuruh melakukan;
2) Turut serta melakukan;
3) Menganjurkan;
4) Membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
5) Menyuruh melakukan, menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : Dikenakan pidana yang sama dengan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang melakukan
2) Pidana denda : Dikenakan pidana yang sama dengan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang melakukan
h. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal alpa menyampaikan
SPT tidak lengkap atau tidak benar
Diatur dalam Pasal 38 yang unsur-unsur tindak pidana-nya
adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang;
2) Yang karena kealpaannya
85
Unsur Objektif
1) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
2) Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak
benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan Negara dan perbuatan tersebut merupakan
perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A44.
Sanksi Pidana
1) Pidana denda : paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2
(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar; atau
2) Pidana kurungan : paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling
lama 1 (satu) tahun
i. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal sengaja tidak
memberikan data berkaitan kewajiban instansi pemerintah,
lembaga, asosiasi
44
WP yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benarsehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh WP dan WP tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (Pasal 13A UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang KTUP).
86
Diatur dalam Pasal 41C Ayat (1) yang unsur-unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang;
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
Tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35A Ayat (1)45
Sanksi Pidana
1) Pidana kurungan : paling lama 1 (satu) tahun
2) Pidana denda : paling banyak 1.000.000.000.00 (satu milliar
rupiah)
j. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal sengaja
menyebabkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi tidak
memberikan data
Diatur dalam Pasal 41C Ayat (2) yang unsur-unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang;
45
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang
berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 35A UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang KTUP).
87
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
Menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A Ayat (1)
Sanksi Pidana
1) Pidana kurungan : paling lama 10 (sepuluh) bulan; atau
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 800.000.000.00 (delapan
ratus juta rupiah)
k. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal sengaja tidak
memberikan data
Diatur dalam Pasal 41C Ayat (3) yang unsur-unsur tindak
pidana-nya sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang;
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
Tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 35A Ayat (2)46
46
Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur jenderal Pajak
berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan Negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan pemerintah (Pasal 35A Ayat (2) UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang KTUP).
88
Sanksi Pidana
1) Pidana kurungan : paling lama 10 (sepuluh) bulan; atau
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 800.000.000.00 (delapan
ratus juta rupiah)
l. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal sengaja
menyalahgunakan data
Diatur dalam Pasal 41C Ayat (4) yang unsur-unsur tindak
pidanya-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang;
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga
menimbulkan kerugian kepada Negara
Sanksi Pidana
1) Pidana kurungan : paling lama 1 (satu) tahun;
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 500.000.000.00 (lima ratus
juta rupiah)
m. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal alpa membuka
rahasia wajib pajak
Diatur dalam Pasal 41 Ayat (1) yang unsur-unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
89
Unsur Subjektif
1) Pejabat
2) Karena kealpaannya
Unsur Objektif
Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3447
Sanksi Pidana
1) Pidana kurungan : paling lama 1 (satu) tahun; dan
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh
juta rupiah)
n. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal sengaja membuka
rahasia wajib pajak
Diatur dalam Pasal 34 Ayat (1) dimana unsur- unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Pejabat;
2) Dengan sengaja
47
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan
kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 34 Ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang KTUP)
90
Unsur Objektif
Tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan
tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34.
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 2 (dua) tahun; dan
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh
juta rupiah)
o. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal menetapkan pajak
tidak sesuai dengan undang-undang
Diatur dalam Pasal 36A ayat (1) dimana unsur- unsur tindak
pidanya-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Pegawai pajak
2) Karena kelalaiannya; atau
3) Sengaja
Unsur Objektif
Menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan
undang-undang perpajakan
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara
2) Pidana denda
91
3) Pidana kurungan
p. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal bertindak diluar
kewenangannya
Diatur dalam Pasal 36A ayat (2) dimana unsur- unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Pegawai pajak;
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
Dalam melakukan tugas bertindak diluar kewenangannya yang
diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan, dapat
diadukan ke unit Internal Departemen Keuangan yang berwenang
melakukan pemeriksaan dan investigasi
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara
2) Pidana denda
3) Pidana Kurungan
q. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal petugas pajak yang
melakukan pemerasan
Diatur dalam Pasal 36A ayat (3) dimana unsur- unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
92
Unsur Subjektif
Pegawai pajak
Unsur Objektif
Dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan
pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri
sendiri secara melawan hukum
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 9 (sembilan) tahun (Pasal 368 Ayat
(1) KUHPidana)
r. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal petugas pajak yang
menguntungkan diri sendiri
Diatur dalam Pasal 36A ayat (4) dimana unsur- unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
Pegawai pajak
Unsur Objektif
Munguntungkan diri sendiri secara melawan hokum dengan
menyalahgunakan untuk memberikan sesuatu, untuk membayar
atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri
93
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : pidana penjara seumur hidup atau paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun; dan
2) Pidana denda : paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu
milyar rupiah). (Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
D. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Menurut Undang-Undang No.
19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Diatur dalam Pasal 41A Ayat (1) yang unsur-unsur tindak
pidananya, sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Penanggung Pajak
Unsur Objektif
Dilarang :
1) Memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan,
meminjamkan, menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak
barang yang telah disita;
94
2) Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak
tanggungan untuk pelunasan utang tertentu;
3) Membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau
digunakan untuk pelunasan utang tertentu; dan atau
4) Merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan
Berita Acara Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang
sitaan
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 4 (empat) tahun
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 12.000.000.00 (dua
belas juta rupiah)
Diatur dalam Pasal 41A Ayat (2) yang unsur-unsur tindak
pidananya, sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Pihak-Pihak (Pasal 25 Ayat (3) huruf b,c,d,e, dan f)
Unsur Objektif
a. Tidak melaksanakan kewajiban berupa:
b. Deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke
Kas Negara atau Kas Daerah atas permintaan Pejabat kepada
Bank yang bersangkutan;
95
c. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan
di bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan pejabat;
d. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak
diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Pejabat;
e. Piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan
hak menagih dari penunggang Pajak kepada Pejabat;
f. Penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte
persetujuan pengalihan hak menjual dari Penanggung Pajak
kepada Pejabat.
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua)
minggu
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 10.000.000.00 (sepuluh
juta rupiah)
Diatur dalam Pasal 41A Ayat (3) yang unsur-unsur tindak
pidananya, sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut
undang-undang; atau
96
2) Dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan tindakan dalam melaksanakan ketentuan undang-
undang yang dilakukan oleh Jurusita Pajak
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta
rupiah)
E. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Menurut Undang-Undang No.
28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
a. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal alpa tidak melakukan
kewajiban perpajakan
Diatur dalam Pasal 174 ayat (1) dimana unsur- unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Wajib pajak
2) Kealpaan
Unsur Objektif
1) Tidak menyampaikan SPTPD48; atau
48
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah (Pasal 1 Ayat (50) Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah).
97
2) Mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap; atau
3) Melampirkan keterangan yang tidak benar;
4) Sehingga merugikan keuangan Daerah
Sanksi Pidana
1) Pidana kurungan : paling lama 1 (satu) tahun; atau
2) Pidana denda : paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar
b. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal sengaja tidak
melakukan kewajiban perpajakan
Diatur dalam Pasal 174 ayat (2) dimana unsur- unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Wajib pajak;
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Tidak menyampaikan SPTPD; atau
2) Mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap; atau
3) Melampirkan keterangan yang tidak benar
4) Sehingga merugikan keuangan daerah
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 2 (dua) tahun; atau
98
2) Pidana denda : paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang
terutang yang tidak atau kurang dibayar
c. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal Wajib Retribusi tidak
melaksanakan kewajiban perpajakan
Diatur dalam Pasal 176 dimana unsur- unsur tindak pidana-nya
adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
Wajib Retribusi
Unsur Objektif
1) Tidak melaksanakan kewajibannya;
2) Sehingga merugikan keuangan daerah
Sanksi Pidana
1) Pidana kurungan : paling lama 3 (tiga) bulan; atau
2) Pidana denda : paling banyak 3 (tiga) kali jumlah retribusi
terutang yang tidak atau kurang dibayar
d. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal alpa membuka rahasia
Wajib Pajak
Diatur dalam Pasal 177 ayat (1) dimana unsur- unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Pejabat; atau
2) Tenaga ahli yang ditunjuk oleh kepala daerah;
99
3) Karena kealpaannya
Unsur Objektif
Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 177 Ayat (1) dan Ayat (2)
Sanksi Pidana
1) Pidana kurungan : paling lama 1 (satu) tahun; dan
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 4.000.000.00 (empat juta
rupiah)
e. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal sengaja membuka
rahasia Wajib Pajak
Diatur dalam Pasal 177 ayat (2) dimana unsur- unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Pejabat; atau
2) Tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah
3) Dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Tidak memenuhi kewajibannya; atau
2) Seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban
pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 Ayat (1) dan
(2)
100
Sanksi Pidana
1) Pidana kurungan : paling lama 2 (dua) tahun; dan
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta
rupiah)
F. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Menurut Undang-Undang No.
13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai
a. Pasal 13 huruf a dimana unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
Barang siapa
Unsur Objektif
1) Meniru atau memalsukan materai tempel dan kertas materai;
atau
2) Memalsukan tandatangan yang perlu untuk mensahkan materai
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 7 (tujuh) tahun
b. Pasal 13 huruf b dimana unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Barang siapa;
2) Dengan sengaja
101
Unsur Objektif
1) Menyimpan;
2) Dengan maksud untuk diedarkan; atau
3) Memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang
dipalsukan;
4) Yang dibuat dengan melawan hak
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 7 (tujuh) tahun
c. Pasal 13 huruf c dimana unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Barang siapa
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Menggunakan; menjual; menawarkan; menyerahkan;
menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara
Indonesia materai yang mereknya, capnya, tandatangannya,
tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah
dihilangkan seolah-olah materai itu belum dipakai; dan atau
2) Menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan hak
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 4 (empat) tahun
102
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 300 (tiga ratus rupiah)
d. Pasal 13 huruf d dimana unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
Barang siapa
Unsur Objektif
Menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya
digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan
memalsukan benda materai.
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 9 (sembilan) bulan; atau
2) Pidana denda : paling banyak Rp. 300 (tiga ratus rupiah)
e. Pasal 14 Ayat (1) dimana unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Barang siapa;
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
Menggunakan cara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat
(2) huruf b tanpa izin Menteri Keuangan.
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 7 (tujuh) tahun
103
G. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP)
a. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal pemalsuan surat
Pasal 263 Ayat (1) yang unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
Barang siapa
Unsur Objektif
1) Membuat secara tidak benar; atau
2) Memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan
atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai
bukti dari sesuatu hal;
3) Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu;
4) Diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian,
karena pemalsuan surat
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 6 (enam) tahun
Pasal 263 Ayat (2) yang unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
104
Unsur Subjektif
1) Barang siapa;
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu,
seolah-olah benar;
2) Jika pemakaian surat itu menimbulkan kerugian
Sanksi Pidana
Ketentuan pidana Pasal 263 Ayat (2) mengacu pada Pasal 263 Ayat
(1)
Pasal 264 Ayat (1) yang unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
Barang siapa
Unsur Objektif
Pemalsuan terhadap:
1. Akta-akta otentik;
2. Surat hutang dan sertifikasi hutang dari suatu Negara atau
bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari
suatu perkumpulan yayasan, perseroan atau maskapai;
105
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat
yang diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang dipergunakan untuk
diedarkan;
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 8 (delapan) tahun
Pasal 264 Ayat (2) yang unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Barang siapa
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Memakai surat dalam Pasal 264 Ayat (1), yang isinya tidak
benar atau yang dipalsu seolah-olah benar dan tidak dipalsu;
2) Jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian
Sanksi Pidana
Ketentuan pidana Pasal 264 Ayat (2) mengacu pada Pasal 264 Ayat
(1)
106
Pasal 266 Ayat (1) yang unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
Barangsiapa
Unsur Objektif
1) Menyuruh masukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannnya harus
dinyatakan oleh akta itu;
2) Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
pakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan
kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan
kerugian
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 7 (tujuh) tahun
Pasal 266 Ayat (2) yang unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Barangsiapa
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan
kebenaran;
107
2) Jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian
Sanksi Pidana
Ketentuan pidana Pasal 266 Ayat (2) mengacu pada Pasal 266 Ayat
(1)
Pasal 274 Ayat (1) yang unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Barangsiapa
Unsur Objektif
1) Membuat secara tidak benar atau memalsu surat keterangan
seorang pejabat selaku penguasa yang sah, tentang hak milik
atau hak lainnya atas sesuatu barang;
2) Dengan maksud untuk memudahkan penjualan atau
penggadaiannya atau untuk menyesatkan pejabat kehakiman
atau kepolisian tentang asalnya
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 2 (dua) tahun
Pasal 274 Ayat (2) yang unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
Barangsiapa
108
Unsur Objektif
1) Membuat secara tidak benar atau memalsu surat keterangan
seorang pejabat selaku penguasa yang sah, tentang hak milik
atau hak lainnya atas sesuatu barang;
2) Dengan maksud untuk memudahkan penjualan atau
penggadaiannya atau untuk menyesatkan pejabat kehakiman
atau kepolisian tentang asalnya
Sanksi Pidana
Ketentuan pidana Pasal 274 Ayat (2) mengacu pada Pasal 274 Ayat
(1)
Pasal 275 Ayat (1) yang unsur-unsur tindak pidana-nya adalah
sebagai berikut :
Unsur Subjektif
Barangsiapa
Unsur Objektif
1) Menyimpan bahan;
2) Benda yang diketahui bahwa diperuntukkan untuk melakukan
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 264 No. 2-
5.
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 9 (sembilan) bulan; atau
2) Pidana denda: paling banyak Rp. 300 (tiga ratus rupiah)
109
b. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal rahasia jabatan
Diatur dalam Pasal 322 Ayat (1) KUHP yang unsur-unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Barangsiapa
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
Membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 9 (Sembilan) bulan; atau
2) Pidana denda : paling banyak enam ratus rupiah
c. Jenis tindak pidana perpajakan dalam hal kejahatan jabatan
Diatur dalam Pasal 415 KUHP yang unsur-unsur tindak pidana-
nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Seorang pejabat;
2) Orang lain
Unsur Objektif
1) Ditugasi menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau
untuk sementara waktu menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya;
110
2) Membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau
digelapkan oleh orang lain;
3) Menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan
tersebut
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 7 (tujuh) tahun
Diatur dalam Pasal 416 KUHP yang unsur-unsur tindak pidana-
nya adalah sebagai berikut
Unsur Subjektif
1) Seorang pejabat;
2) Orang lain
Unsur Objektif
1) Yang ditugasi menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus
atau untuk sementara waktu;
2) Membuat secara palsu atau memalsu buku-buku atau daftar-
daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 4 (empat) tahun
Diatur dalam Pasal 417 KUHP yang unsur-unsur tindak pidana-
nya adalah sebagai berikut
Unsur Subjektif
1) Seorang pejabat;
111
2) Orang lain
Unsur Objektif
1) Ditugasi menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau
untuk sementara waktu;
2) Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin
tak dapat dipakai barang-barang yang diperuntukkan guna
meyakinkan atau membuktikan dimuka penguasa berwenang,
akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasainya
karena jabatan-nya;
3) Membiarkan orang lain meghilangkan, menghancurkan,
merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang
itu;
4) Menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan itu
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 5 (lima) tahun
Diatur dalam Pasal 418 KUHP yang unsur-unsur tindak pidana-
nya adalah sebagai berikut
Unsur Subjektif
Seorang pejabat
Unsur Objektif
112
1) Menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya
harus diduga, bahwa itu diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya;
2) Menurut pikiran orang yang member hadiah atau janji-janji itu
ada hubungannnya dengan jabatannya
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 3 (tiga) tahun
2) Pidana denda : paling sedikit Rp 300 (tiga ratus rupiah)
Diatur dalam Pasal 419 Ke-1 dan ke-2 KUHP yang unsur-unsur
tindak pidana-nya adalah sebagai berikut
Unsur Subjektif
Seorang pejabat
Unsur Objektif
1) Menerima hadiah atau janji; padahal diketahui, bahwa itu
debrikan untuk menggerakkan dia supaya melakukan atau tidak
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan-nya,
yang bertentangan dengan kewajibannya;
2) Menerima hadiah padahal diketahui bahwa itu diberikan
sebagai akibat atau oleh karena dia telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya
Sanksi Pidana
113
Pidana penjara : paling lama 5 (lima) tahun
Diatur dalam Pasal 421 KUHP yang unsur-unsur tindak pidana-
nya adalah sebagai berikut
Unsur Subjektif
Seorang pejabat
Unsur Objektif
Menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan,
tidak melakukan atau membiarkan sesuatu
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan
Diatur dalam Pasal 423 KUHP yang unsur-unsur tindak
pidanya-nya adalah sebagai berikut
Unsur Subjektif
1) Seorang pejabat
Unsur Objektif
1) Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
serta melawan hukum;
2) Menyalahgunakan kekuasaannya;
3) Memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk
membayar atau menerima pembayaran dengan potongan;
4) Untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri
114
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 6 (enam) tahun
d. Jenis tindak pidana perpajakan dalam kejahatan penggelapan
Diatur dalam Pasal 372 KUHP yang unsur-unsur tindak pidana-
nya adalah sebagai berikut
Unsur Subjektif
1) Barangsiapa
2) Dengan sengaja
Unsur Objektif
1) Dengan melawan hokum mengaku sebagai milik sendiri barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain;
2) Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan;
3) Diancam karena penggelapan
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling lama 4 (empat) tahun
2) Pidana denda : paling banyak Rp 60 (enam puluh rupiah)
Diatur dalam Pasal 374 KUHP yang unsur-unsur tindak pidana-
nya adalah sebagai berikut
Unsur Subjektif
Setiap orang
115
Unsur Objektif
Penggelapan yang dilakukan oleh karena penguasaannya terhadap
barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena
pencariannya atau karena mendapat upah untuk itu
Sanksi Pidana
Pidana penjara : paling lama 5 (lima) tahun
H. Perumusan tindak Pidana Perpajakan dalam Kaitan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Korupsi
Diuraikan dalam Pasal 2 Ayat 1 yang unsur unsur tindak pidana-
nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang
Unsur Objektif
1) Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
2) Yang dapat merugikan keuangan Negara49 atau perekonomian
Negara
49
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 Ayat 1 UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara).
116
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (duapuluh) tahun
2) Pidana denda : paling sedikt Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliar
rupiah)
Diuraikan dalam Pasal 3 yang unsur-unsur tindak pidana-nya
adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Setiap orang
Unsur Objektif
1) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
2) Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (duapuluh) tahun; dan/atau
2) Pidana denda : paling sedikit Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliar
rupiah)
117
Diuraikan dalam Pasal 12 yang unsur unsur tindak pidana-nya
adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Pegawai negeri;
2) Penyelenggara Negara;
3) Hakim;
4) advokat
Unsur Objektif
1) Menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan
agar tidak melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
2) Menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
3) Menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
4) Menerima janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau
118
pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
5) Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu ,
membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
6) Pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau
memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara Negara yang lain atau kepada kas umum,
seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang
lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
7) Pada waktu menjalan tugas, meminta atau menerima
pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan
utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
8) Pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah
Negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-lah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang
yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
119
9) Turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan,
yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau
sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(duapuluh) tahun
2) Pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000.00 (sau miliyar rupiah)
I. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan dalam Kaitan Undang-Undang
No. 15 tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Diuraikan dalam Pasal 36 Ayat (1) yang unsur-unsur tindak pidana-
nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Anggota BPK
Unsur Objektif
Memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang
mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a
120
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun; dan/atau
2) Pidana denda : paling sedikit Rp. 3.000.000.000.00 (tiga milyar
rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.00 (sepuluh milliar
rupiah)
Diuraikan dalam Pasal 36 Ayat (2) yang unsur-unsur tindak pidana-
nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Anggota BPK
Unsur Objektif
Mempergunakan keterangan bahan, data, informasi dan/atau
dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas
BPK dengan melampaui batas wewenangnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 huruf b
Sanksi Pidana
1) Pidana penjara : paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun; dan/atau
2) Pidana denda : paling sedikit Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliard
rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000.00 (lima milliard
rupiah)
121
J. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan dalam Kaitan Undang-Undang
No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Diuraikan dalam Pasal 34 Ayat (1) yang unsur-unsur tindak pidana-
nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
1) Menteri;
2) Pimpinan lembaga;
3) Gubernur;
4) Bupati;
5) Walikota
Unsur Objektif
Terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan
dalam Undang-Undang Tentang APBN/Perda Tentang APBD
Sanksi Pidana
Ketentuan sanksi pidana Pasal 34 Ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara mengacu pada UU No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
122
Diuraikan dalam Pasal 34 Ayat (2) yang unsur unsur tindak
pidana-nya adalah sebagai berikut :
Unsur Subjektif
Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja
Perangkat Daerah
Unsur Objektif
Terbukti melakukan peyimpangan kegiatan anggaran yang telah
ditetapkan dalam undang-undang APBN/peraturan daerah tentang APBD
Sanksi Pidana
Ketentuan sanksi pidana Pasal 34 Ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara mengacu pada UU No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
K. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan dalam Kaitan Undang-Undang
Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, bentuk perumusan tindak
pidana-nya terbagi atas tiga golongan :
a. Golongan pertama, sesuai yang tercantum dalam Pasal 1 sub.1 yang
menunjuk ketentuan Rechten Ordonnantie Stbld 1931 No. 471 (yang
telah dirubah dan ditambah) meliputi:
123
1) Ordonantie gecontroleerde goerderen 1948 (Staatsblad 1948 No.
144);
2) Prijsbeheersing-ordonantie 1948 (Staatsblad 1948 No. 295);
3) Undang-Undang penimbunan barang 1951 (Lembaran Negara
Tahun 1951 No.4);
4) Ristodonnantie 1948 (Staatsblad 1948 No. 253) ;
5) Undang-undang darurat kewajiban penggilingan padi (Lembaran
Negara Tahun 1952 No. 33);
6) Divizien ordonnantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 205);
b. Golongan kedua yang tercantum dalam Pasal 26, Pasal 32, dan Pasal
33 UUTPE;
c. Golongan ketiga adalah undang-undang yang dibuat dalam kategori
undang-undang pelanggaran delik ekonomi, termasuk seperti Undang-
Undang No. 8 Tahun 1962 Tentang Pengawasan barang-barang dan
PP No. 11 Tahun 1962 sebagai perauran pelaksanaannya.
Adapun perumusan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Bab-
II tentang pidana dan tindakan tata-tertib (pada urutan No.6 yang telah
dirubah dengan LN No. 1958-158) menentukan ancaman pidana atas
perbuatan-perbuatan yang dilarang :
1) Barangsiapa yang melakukan tindak pidana ekonomi :
Dalam hal kejahatan yang termasuk dalam Pasal 1 Ayat (1) sub. 1e
dipidana, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan
124
hukuman denda setingi-tingginya Rp. 1 juta, atau dengan salah satu
dari hukuman pidana itu;
Dalam hal kejahatan yang termasuk dalam pasal 1 Ayat (1) sub. 2e
dan berdasar sub. 3e dipidana, dengan hukuman penjara selama-
lamanya dua tahun dan hukuman benda setingi-tingginya Rp. 100 ribu
atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu;
Dalam hal pelanggaran yang tersebut dalam pasal sub. 1e dipidana
dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan hukuman
denda setinggi-tingginya Rp. 100 ribu, atau dengan salah satu dari
hukuman pidana itu.
2) Jika harga barang, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana
itu dilakukan atau yang diperoleh baik seluruhnya maupun sebagian,
karena tindak pidana ekonomi itu, lebih tinggi dari pada seperempat
bagian pidana denda tertinggi yang disebut dalam ayat (1) sub.a
sampai dengan d, hukuman denda itu dapat ditentukan setinggi-
tingginya empat kali harga barang itu;
3) Lain daripada itu, dapat dijatuhi hukuman tambahan tersebut dalam
Pasal 7 Ayat (1) atau tindakan tata tertib tersebut, dalam hal-hal yang
memungkinkan dijatuhkannya tindakan tatatertib yang ditentukan
dalam peraturan lain; ancaman pidana terutama denda diperberat
dengan Perpu No. 21 Tahun 1959, LN. 1959-130, mulai berlaku
tanggal 16 Nopember 1959).
125
Dengan demikian undang-undang tindak pidana ekonomi dalam hal
penjatuhan pidana, di samping pidana pokok dan tambahan, maka diatur
pula hukuman tindakan tata-tertib.
Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi merupakan suatu
kumpulan dari berbagai peraturan perundang-undangan di bidang
ekonomi yang berlaku positif dan yang memuat ketentuan pidana. Dengan
kata lain, undang-undang Tindak Pidana Ekonomi mengatur semua tindak
pidana yang memiliki karakteristik ekonomi serta dikualifisir sebagai tindak
pidana yang mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan
perekonomian dan keuangan Negara.
UUTPE (UU No. 7 Drt. Tahun 1955) memuat ketentuan-ketentuan
yang menyimpang dari hukum pidana umum (KUHP dan KUHAP).
Penyimpangan dari asas-asas atau ketentuan-ketentuan umum hokum
pidana, yang merupakan ciri dari hukum pidana khusus, dimaksudkan
untuk mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
persidangan di pengadilan tindak pidana ekonomi.
Permasalahan yang sama dihadapi oleh kejahatan perpajakan.
Meskipun wujudnya (bentuk hukumnya) mungkin sederhana, seperti :
pemalsuan surat , sengaja tidak membayar pajak, dan lain-lain, akan
tetapi “cara kerja” para pelakunya dan akibat serta kerugian yang diderita
126
sering sangat rumit. Diperlukan pengetahuan tentang cara kerja sistem
perpajakan (nasional maupun internasional) dan dimana juga
pengetahuan sistem komputer (apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan
serta cara pengamanan yang dipergunakan) untuk memperoleh
gambaran yang jelas tentang peristwa tersebut.
Kerumitan semacam inilah ditambah dan diperlukannya
pengetahuan “ilmu ekonomi, politik ekonomi dan politik perekonomian”
untuk mengetahui kepentingan-kepentingan nasional apa saja yang
terancam, yang mengharuskan adanya “penanganan khusus” melalui
undang-undang pidana khusus dalam menghadapi kejahatan perpajakan
tersebut. Terlebih dalam hal modus operandi kejahatan perpajakan makin
hari makin canggih.
Kekhususan penanganan yang diberikan oleh Undang-Undang
Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE) sebenarnya sudah cukup luas untuk
menangani kejahatan perpajakan. Yang diperlukan sekarang
penanggulangan kejahatan perpajakan. Yang diperlukan sekarang
penanggulangan kejahatan perpajakan ke dalam Pasal 1 UUTPE.
Latar belakang diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Drt. Tahun
1955, yang mulai berlaku pada tanggal 13 Mei 1955, karena kondisi
perekonomian Negara RI ketika itu sangat terpuruk dan tidak menentu,
127
sehingga tercipta keadaan-keadaan ynag sangat mendesak untuk
ditanggulangi dari segi perekonomiannya, sehingga dikeluarkanlah
undang-undang tindak pidana ekonomi untuk segera diberlakukan
sebagai upaya untuk mengatasi perekonomian Negara, sehingga
penentuan perumusan delik sebagaimana tercantum pada golongan
pertama, kedua dan ketiga tersebut diatas, adalah bertolak dari kondisi
perekonomian ketika itu.
Untuk lebih mengefektifkan UUTPE pada saat itu maka ketentuan
sanksi pidana dalam UUTPE perlu diperberat. Untuk itu, pemerintah
mengeluarkan Perpu No. 21 Tahun 1959 Tentang memperberat ancaman
pidana terhadap tindak pidana ekonomi. Adapun alas an perlunya
memperberat ancaman pidana yang diatur dalam UUTPE, karena
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam penjelasan umum Perpu No. 21
Tahun 1959, adalah didasarkan pada kenyataan di mana ancaman-
ancaman pidana terhadap tindak pidana ekonomi (UUTPE), dirasakan
masih sangat ringan bila dibandingkan dengan akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana ekonomi tersebut, yaitu berupa kekacauan
ekonomi dalam masyarakat. Sedangkan kebijakan pemerintah pada
waktu itu, difokuskan pada kemakmuran rakyat, sehingga segala bentuk
tindak pidana ekonomi yang dilakukan, baik dengan sengaja maupun
tidak dengan sengaja, yang menimbulkan kekacauan di bidang
128
perekonomian dalam masyarakat, harus dicegah atau setidak-tidaknya
dikurangi. Upaya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi itu, maka
satu-satunya jalan yang harus dilakukan, adalah dengan memperberat
ancaman pidana dalam UUTPE.
Implementasinya dituangkan ke dalam Pasal 1 Ayat (1) Perpu No.
21 Tahun 1959, yang pada intinya ancaman pidana dengan denda
UUTPE, dinaikkan menjadi setinggi-tingginya 30 kali jumlah yang
ditetapkan dalam UUTPE. Kemudian dalam Ayat (2) diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara sementara selama-lamanya 20 tahun
dan pidana denda sebesar 30 kali jumlah yang ditetapkan dalam UUTPE,
jika tindak pidana itu dapat menimbulkan kekacauan di bidang
perekonomian dalam masyarakat.
Kehendak untuk menjatuhkan pidana berat, terlihat pula dengan
adanya keharusan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana secara
kumulatif, karena menurut ketentuan UUTPE, hakim dapat memilih
hukuman badan atau denda atau menjatuhkan kedua-duanya (alternatif-
kumulatif).
Kebijakan pidana berikutnya, adalah Penetapan Presiden No. 5
Tahun 1959 Tanggal 27 Juli 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa
Tentara Agung, yakni memperberat ancaman hukuman terhadap tindak
129
pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang dan
pangan. Adapun latar belakang dikeluarkannya penetapan Presiden
(Penpres) ini, bahwa untuk memberantas perbuatan para pengacau
dalam bidang perekonomian dan keamanan, agar kepentingan rakyat
akan sandang dan pangan yang cukup dapat diamankan dan terpelihara,
maka perlu diadakan perubahan dalam hukum pidana dan hukum acara
pidana yang berlaku.
Landasan yang mendasari dibuatnya Penpres termaksud, telah
terimplementasi dalam Pasal 2 yang berbunyi: barang siapa melakukan
sesuatu tindak pidana ekonomi sebagaimana termaksud dalam UUTPE,
tindak pidana seperti termaksud dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi
(Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958) dan tindak
pidana yang termuat dalam title I dan II Buku Kedua KUHP, dengan
mengetahui atau patut harus menduga, bahwa tindak pidana itu akan
menghalang-halangi terlaksananya program pemerintah, yang meliputi:
a. Memperlengkapi sandang dan pangan rakyat dalam waktu sesingkat-
singkatnya;
b. Menyelenggarakan keamanan rakyat dan Negara; dan
c. Melanjutkan perjuangan menentang imprealisme ekonomi dan politik
(Irian Barat/Irian Jaya/Provinsi Papua), dihukum dengan hukuman
penjara selama sekurang-kurangnya satu tahun dan setingi-tingginya
130
dua puluh tahun, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman
mati.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Penpres No. 5 Tahun 1959 di atas,
bahwa ruang lingkup dari Penpres No. 5 Tahun 1959 termaksud, yang
mempercepat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang
membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang dan pangan
sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 2 Penpres No. 5 Tahun 1959
tersebut, meliputi tindak pidana ekonomi yang termaksud dalam Undang-
Undang No. 7 Drt tahun 1955, perbuatan pidana korupsi, seperti
termaksud dalam peraturan pemberantasan Korupsi (Peraturan Penguasa
Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/9158) dan tindak pidana yang
tercantum dalam titel I dan Buku II Kedua KUHP, yaitu kejahatan
melanggar kemanan Negara dan kejahatan melanggar martabat kepala
Negara. Menurut penjelasan Penpres No. 5 Tahun 1959, bahwa ketiga
golongan tindakan pidana itu, merupakan tindak pidana terpenting yang
berkaitan dengan ketiga program pemerintah termaksud.
Disamping itu, dalam penjelasan Penpres No. 5 Tahun 1959
tersebut, ditegaskan bahwa memang perlu sekali diadakan tindakan
keras, tegas dan cepat terhadap pengacau-pengacau dalam bidang
perekonomian dan keamanan, yang dengan perbuatan-perbuatannya
jelas dan nyata menghalang-halangi terlaksananya program pemerintah
131
tersebut. Apa yang telah ditegaskan dalam penjelasan Penpres ini,
sebenarnya merupakan cerminan dari “political wiil” pemerintah, yang
mana sejak terjadinya perubahan ketatanegaraan tanggal 5 Juli 1959,
maka upaya pencapaian masyarakat yang adil dan makmur menjadi
prioritas utama, karenanya terhadap orang-orang yang merintangi
program dimaksud, perlu diambil tindakan dengan menggunakan sarana
hukum pidana.
L. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan dalam Kaitan Undang-Undang
No. 11 (Pnps) Tahun 1963 Tentang Tindak Pidana Subversi.
UU No. 11 (PnPs) Tahun 1963 Tentang Tindak Pidana Subversi ini
telah dicabut dengan UU No. 26 Tahun 1999 dengan alas an perumusan
deliknya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi perkembangan hukum di
Indonesia, namun dapat menjadi sejarah untuk dikenang dan penulis
sengaja untuk menguraikan secara singkat mengenai hubungannya
dengan tindak pidana perpajakan dibawah ini.
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi,
bentuk perumusan deliknya diatur dalam Pasal 1 Ayat (1), sub. 1, sub.2,
sub.3, sub. 4 dan sub 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Subversi
dengan perumusan perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
132
Sub. 1 : melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud atau nyata-
nyata, dengan maksud atau diketahuinya atau patut diketahuinya
berupa :
a. Memutar balikkan, merongrong atau menyelewengkan Ideology
Negara Pancasila atau haluan Negara; atau
b. Menggulingkan, merusak atau merongrong kekuasaan Negara
atau kewajiban pemerintah yang sah atau aparatur Negara;
atau
c. Menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan
permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan,
kegoncangan atau kegelisahan di antara kalangan penduduk
atau masyarakat yang bersifat luas atau di antara Negara
Republik Indonesia dengan sesuatu Negara sahabat; atau
d. Menganggu, menghambat atau mengacaukan bagi industri,
produksi, distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan
yang diselenggarakan oleh pemerintah atau berdasarkan
keputusan pemerintah, atau yang mempunyai pengaruh luas
terhadap hajat hidup rakyat banyak.
Sub.2 : melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang menyatakan
simpatik bagi musuh Negara Republik Indonesia atau Negara yang
sedang tidak bersahabat dengan Negara Republik Indonesia.
133
Sub.3 : melakukan pengrusakan atau penghancuran bangunan yang
mempunyai fungsi untuk pentingan umum ataupun milik perseorangan
atau badan yang dilakukan secara luas
Sub. 4 : melakukan kegiatan mata-mata
Sub.5 : melakukan sabotase
Sehubungan dengan dikeluarkannya undang-undang subversi ini
(UU No. 11 PnPs Tahun 1963) yang mulai berlaku pada tanggal 16
Oktober 1963, secara yuridis ada dua hal pokok yang menjadi sasaran,
yakni (1) yang berkaitan dengan keamanan Negara; dan (2) yang
berkaitan dengan program pemerintah di bidang ekonomi, yang tercantum
dalam Pasal 1 Ayat (1) angka ke-1 huruf d UU No. 11 PnPs Tahun 1963,
dinyatakan : Dipersilahkan melakukan tindak pidana subversi :
menganggu, menghambat, atau mengacaukan perindustrian, produksi,
distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang
diselenggarakan oleh pemerintah atau berdasarkan keputusan
pemerintah atau yang mempunyai pengaruh luas terhadap hajat hidup
rakyat. Oleh karena itu, dalam Pasal 17 UU No. 11 PnPs Tahun 1963
mengatur mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat
diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang tindak pidana
subversi tersebut.
Pemerintah pada waktu itu menganggap hukum pidana sebagai
alat yang ampuh dibandingkan hukum perdata dan administrasi dalam hal
134
untuk menanggulangi kesulitan perekonomian dan kondisi keamanan
yang dialami sesudah revolusi fisik. Oleh karena itu, beberapa pejabat
pemerintah dalam berbagai kesempatan, selalu mengulang-ngulang
perlunya pidana mati bagi mereka yang melakukan pengacauan ekonomi
atau terjadinya tindak pidana ekonomi, namun demikian ancaman pidana
tersebut sangat berat itu ternyata juga perekonomian Indonesia pada
waktu itu tidak menjadi baik. Alasannya, bahwa agar kita tidak boleh
terlalu mengharapkan ketaatan orang pada suatu peraturan, hanya
dengan mengandalkan pada sanksi pidana semata, meskipun tidak boleh
mengatakan bahwa sanksi pidana tidak ada artinya sama sekali, sehingga
jalan eluarnya hendaklah menunjukkan kepada pembuat kebijakan,
bahwa sebenarnya untuk tidak dipidana ekonomi, selain sanksi-sanksi
pidana yang bermacam-macam jenisnya termaksud, mulai dari pidana
denda sampai dengan pidana mati, juga kiranya perlu diterapkan adanya
ketentuan hukuman tentang tindakan tata-tertib (Pasal 8 UUTPE). Sanksi
tindakan tata-tertib ini, adalah sesuai dengan sifat perekonomian sebagai
hukum yag mengatur ketertiban masyarakat.
Undang-Undang Tindak Pidana Subversi ini dalam hubungannya
dengan tindak pidana perpajakan haruslah memenuhi perumusan unsur-
unsur deliknya yang bersangkut –paut dengan keadaan-keadaan yakni:
a. Terjadinya kegoncangan politik/tidak stabilnya keadaan politik yang
dapat membahayakan Negara;
135
b. Terjadinya kegoncangan perekonomian dan keuangan;
c. Terjadinya keresahan yang dapat menimbulkan perpecahan,
permusuhan dan kegelisahan dikalangan penduduk atau
masyarakat luas.
Indikator-indikator tersebut di atas dapatlah dikualifisir sebagai
tindak pidana subversi yang pernah diberlakukan semasa pemerintah
orde lama dan orde baru, sehingga keadaan inilah sudah tidak
memungkinkan dan sudah tidak cocok di era reformasi sekarang ini.
M. Perumusan Tindak Pidana Perpajakan dalam Kaitan Undang-Undang
No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15
tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan
maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu Negara maupun yang
dilakukan melintasi batas wilayah Negara lain makin meningkat.
Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan
(bribery), penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja,
penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan
psikotropika,m perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan
senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan,
dan berbagai kejahatan kerah putih. Kejahatan-kejahatan tersebut telah
136
melibatkan atau menghasilkan Harta Kekayaan yang sangat besar
jumlahnya.
Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak
pidana tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau
digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan
akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya
harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu
mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan
tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke
dalam sistem perbankan. Dengan cara demikian, asal-usul harta tersebut
diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum. Upaya untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta Kekayaan yang
diperoleh dari tindak pidana, dikenal sebagai kegiatan pencucian uang
(money laundering)
Bagi organisasi kejahatan, harta kekayaan sebagai hasil kejahatan
ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran harta
kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan
diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama-kelamaan akan
menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena
itu, harta kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu
organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi
kejahatan melakukan pencucian uang agar asal-usul harta kekayaan yang
137
sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak
hukum.
Perbuatan pencucian uang di samping sangat merugikan
masyarakat, juga sangat merugikan Negara karena dapat mempengaruhi
atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan Negara
dengan meningkatnya berbagai kejahatan, termasuk juga kejahatan
perpajakan/tindak pidana perpajakan.
Kejahatan perpajakan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Di
Indonesia, Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan
mendefenisikan melalui ketentuan-nya paling sedikit 18 (delapan belas)
kategori kejahatan yang dapat dihukum, baik itu dalam bentuk hukuman
kurungan, penjara, dan denda. Beberapa bentuk kejahatan tersebut,
diantaranya :
1) Sengaja tidak menyampaikan SPT (Pasal 39 Ayat (1) UU KUP)
2) Mengulangi tindakan pidana perpajakan sebelum 1 tahun (Pasal 39
Ayat (2) UU KUP)
3) Mencoba menyalahgunakan NPWP dan PKP untuk restitusi dan
kompensasi (Pasal 39 Ayat (3) UU KUP)
4) Menerbitkan faktur pajak tidak sesuai ketentuan (Pasal 39A UU
KUP)
138
5) Tidak memberikan keterangan bagi yang punya hubungan dengan
Wajib Pajak (Pasal 41A UU KUP)
6) Mempersulit penyidikan (Pasal 41B)
7) Menyuruh, membantu Wajib Pajak melakukan tindak pidana
perpajakan (Pasal 43 UU KUP)
8) Setiap orang alpa tidak menyampaikan SPT atau SPT tidak benar
(Pasal 38 UU KUP)
9) Setiap orang sengaja tidak memenuhi data pada kewajiban
instansi, lembaga, asosiasi dan lainnya (Pasal 41C Ayat (1) UU
KUP)
10) Setiap orang sengaja menyebabkan data tidak memenuhi data
pada kewajiban instansi, lembaga, asosiasi dan lainnya (Pasal 41C
(2) UU KUP)
11) Setiap orang sengaja tidak memberikan data pada kewajiban
perbankan, notaris, akuntan publik, konsultan pajak dan lainnya
(Pasal 41C (3) UU KUP)
12) Setiap orang sengaja menyalahgunakan data dan informasi
perpajakan (Pasal 41C Ayat (4) UU KUP)
13) Kealpaan membuka rahasia Wajib Pajak (Pasal 41 Ayat (1) UU
KUP)
14) Sengaja membuka rahasia Wajib Pajak (Pasal 41 Ayat (2) UU
KUP)
139
15) Menetapkan pajak tidak sesuai dengan undang-undang (Pasal
36A Ayat (1) UU KUP)
16) Bertindak diluar kewenangan (Pasal 36A Ayat (2) UU KUP)
17) Petugas pajak yang melakukan pemerasan (Psasl 36A Ayat (3)
UU KUP)
18) Petugas pajak yang menguntungkan diri sendiri (Pasal 36A Ayat
(4), Pasal 43A Ayat (3) UU KUP)
Pola pelanggaran dalam kejahatan perpajakan pada umumnya
dilakukan oleh oknum aparat pajak, aparat hukum, hingga hakim di
pengadilan pajak. Dalam titik rawan pelanggaran biasanya dimulai pada
proses pemeriksaan, penagihan, komunikasi dengan account
representative, dan pengadilan pajak. Titik rawan pelanggaran juga terjadi
pada proses keberatan, banding pajak, pemeriksaan bukyi permulaan dan
penyidikan pajak, penuntutan oleh kejaksaan, dan saat persidangan di
pengadilan negeri. Dengan demikian, pola pelanggaran ini sudah seperti
tersusun rapi dan terorganisir dengan baik.
Bila dicermati pola kejahatan perpajakan ini sebagian masih
menggunakan pola lama atau pola konvensional. Namun dalam
perkembangannya, pola kejahatan perpajakan ini ternyata juga sudah
menggunakan modus baru dan modern, dimana kejahatan dilakukan
dengan melibatkan orang-orang yang sebenarnya sangat paham dan
terdidik dalam soal pajak. Juga dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak
140
diluar negeri. Dengan model kejahatan lintas Negara semacam ini
menuntut penegak hukum bekerja lebih keras untuk mengungkapkan
modus-modus yang mereka lakukan.
Kejahatan terjadi biasanya justru dilakukan oleh para pelaku yang
benar-benar telah paham tentang peraturan perpajakan. Pelaku kejahatan
tersebut berupaya mencari celah agar terhindar dari jerat hukum. Adapun
modus-modus kejahatan pajak, adalah sebagai berikut50 :
1) Saat Pemeriksaan
Proses pemeriksaan pajak, penyelewengan bisa terjadi pada
saat petugas pajak mengkonfirmasi surat setoran pajak (SSP) atau
surat pemberitahuan (SPT) tahunan dari wajib pajak. Permainan
pun terjadi pemeriksa bisa mengobral temuannya yang belum tentu
benar untuk mendapatkan fulus lewat negosiasi.
Jika nego gagal, maka pemeriksan akan memberikan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, artinya wajib pajak pun ditetapkan
punya utang pajak kepada Negara. Potensi “permainan” itu
dipermudah karena tak semua temuan yang dibuat-buat oleh
pemeriksa tercatat dalam Kertas Kerja dan proses formal lainnya.
Akibatnya, tindakan penyalahgunaan itu tidak bisa dilacak atau
dibuktikan. Modus seperti ini benar-benar merugikan Wajib Pajak,
50
Rochim, 2010, Modus Operandi Tindak Pidana Pajak, Solusi Publishing, Jakarta, hlm. 46-72.
141
terutama terhadap Wajib Pajak yang kurang memiliki pengetahuan
dan kemampuan tentang seluk beluk perpajakan.
Seringkali pemeriksa bertindak sewenang-wenang
menafsirkan pola/cara usaha Wajib Pajak yang mengakibatkan
dasar pengenaan pajak cenderung sesuai selera pemeriksa.
Bahkan para petugas dilapangan sering merujuk pada SK Menkeu
atau SK Dirjen Pajak, sekalipun bertentangan dengan UU.
Pada saat Wajib Pajak berargumentasi, pemeriksa atau
petugas di bagian keberatan selalu mengatakan : “silahkan lakukan
upaya banding”. Bahkan petugas tidak mau merujuk putusan
peradilan pajak sekalipun sudah diperlihatkan. Mereka selalu
berdalih bahwa yang dirujuk adalah SK Menkeu dan/atau Dirjen.
Akibatnya, apabila penetapan Dasar Pengenaan Pajak
mengakibatkan pajak terutang terlalu tinggi sedangkan mekanisme
prosedur yang harus ditempuh untuk memperjuangkan hak Wajib
Pajak terlalu rumit, akhirnya Wajib Pajak memilih berdamai saja.
Inilah celah permainan itu.
2) Saat Penagihan
Pada penagihan, pembayaran bisa saja masuk ke kantor
petugas pajak dengan menghilangkan surat ketetapan pajak
(kohir). Pada account representative bisa terjadi negosiasi
142
penegakan hukum secara lunak atau bahkan bisa juga terjadi jual
data.
3) Pengadilan Pajak
Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak (Pasal 2
Undang-Undang No. 14 Tahun 2002). Hal ini menandakan bahwa
Pengadilan Pajak merupakan lembaga peradilan yang dapat
digunakan sebagai sarana bagi rakyat selaku wajib pajak atau
penanggungjawab pajak untuk mendapatkan keadilan di bidang
perpajakan.
Permainan juga bisa terjadi diproses pengadilan pajak.
Caranya bisa dimulai dari kesengajaan wajib pajak untuk tidak
memberikan data ketika proses pemeriksaan dan keberatan. Data
yang lengkap disimpan dan baru diberikan pada proses banding di
Pengadilan Pajak.
Artinya, hasil pemeriksaan maupun keberatan tak akan
berdasarkan data yang valid. Jika dibanding-bandingkan, hasil
pemeriksaan seperti itu akan dengan mudah dtolak oleh
Pengadilan Pajak. Wajib Pajakpun akhirnya menang.
Masih di Pengadilan Pajak. “Permainan” bisa berupa
diulurnya penerbitan surat keputusan. Semakin lama putusan
keluar, makin besar bunga yang harus dibayar pihak yang kalah.
143
Dengan kans tipis Direktorat Jenderal Pajak bakal menang, maka
besar peluang Negara pun yang harus membayar bunga itu.
Sesuai ketentuan, bunga yang harus dibayar sebesar 2 persen dari
nilai pajak yang diputuskan oleh pengadilan.
Pola pelanggaran di Pengadilan Pajak yang lain adalah,
tidak tersedia adanya berita acara persidangan untuk konsumsi
publik atau Ditjen Pajak sehingga keputusan hakim dimungkinkan
berbeda dengan jalannya persidangan. Disini jelas memiliki titik
rawan untuk terbukanya peluang terjadinya transaksi untuk
mengubah berita acara. Nilai transaksi dalam kasus ini sudah pasti
tidak kecil. Pada proses penagihan, pelanggaran dilakukan dengan
memasukkan setoran pajak ke kantong petugas pajaknya.
Kerawanan berikutnya adalah karena perilaku wajib pajak
sendiri, oknum aparat pajak, oknum pengadilan pajak, pelaporan
dengan rekayasa akuntansi, memanipulasi fasilitas pajak, hingga
mempermainkan aturan pajak. Maka lengkaplah setiap tahap dan
proses mengandung titik rawan.
4) Saat Banding Pajak
Perkara banding ini diatur dalam Bab IV Bagian kedua, yakni
Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 Undang-Undang No. 14 Tahun
2002 dan diatur pula dalam Pasal 27 Undang-Undang No. 28
144
Tahun 2007. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002
disebutkan :
Pasal 35 :
1) Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa
Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
2) Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal diterima Keputusan yang disbanding, kecuali diatur
lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak
mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Pemohon
Banding.
Pasal 36 :
1) Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat
Banding
2) Banding diajukan dengan disertai alas an-alasan yang jelas,
dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang
dibanding
3) Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang
dibanding
145
4) Selain dari persyaratan sebagaiman dimaksud dalam Ayat
(1), Ayat (2) dan Ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal banding
diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang.
Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang
dimaksud telah dibayar sebesar 50%
Pasal 37 :
1) Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya,
seorang pengurus, atau kuasa hukumnya
2) Apabila selama proses Banding, Pemohon Banding
meninggal dunia, Banding dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya, kuasa hukum dan dari ahli warisnya, atau
pengampunya dalam hal Pemohon Banding pailit
3) Apabila selama proses banding pemohon banding
melakukan penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan
dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima
pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.
Kecurangan bisa juga dilakukan saat banding pajak. Oknum
petugas pajak bermain dengan cara membuat memori banding
yang kacau, dimana Ditjen Pajak sengaja tidak mengajukan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Ini semua ada harganya
146
dan diatur dalam satu paket. Permainan semacam ini biasanya
melibatkan oknum pejabat dengan tingkat kewenangan yang lebih
tinggi.
Biasanya, kerjasama melibatkan staf sekretariat, panitera
dan hakim. Semua yang mengisi pos tersebut tak lain adalah
orang-orang yang sudah “sepaham” sehingga tidak sulit bagi
oknum pajak atau konsultan pajak untuk masuk ke jaringan
mereka.
5) Saat Penuntutan
Modus kejahatan perpajakan kemudian bisA juga terjadi
dalam proses penuntutan di Kejaksaan, perpindahan dari status
penyidikan ke penuntutan bisA menjadi proses yang panjang dan
melelahkan. Sekali lagi celah proses yang panjang ini juga akan
memberi peluang untuk maksud-maksud jahat dalam melakukan
tindak pidana perpajakan. Perbedaan sudut pandang antara Ditjen
Pajak dan kejaksaan membuat berkas bolak-balik.
Dari sisi pelakunya, baik wajib pajak, oknum pejabat pajak,
maupun Pengadilan Pajak sama-sama memiliki pola pelanggaran
sendiri-sendiri. Pola pelanggaran yang dimaksud tentu meliputi
kerapihan jaringan dan juga keterlibatan berbagai oknum yang
menangani masalah tersebut sesuai dengan tingkat
kewenangannya. Wajib pajak juga kerap dibantu konsultan pajak
147
untuk menghindari pembayaran pajak secara lebih canggih.
Sementara pelanggaran yang dilakukan oknum pejabat pajak
adalah merangkap jabatan sebagai konsultan pajak. Maka
lengkaplah sudah pola pelanggaran oleh masing-masing pihak
dalam mencoba mengambil keuntungan dari masalah pajak ini.
Apalagi pensiunan pegawai Ditjen pajak eselon III ke atas
dapat memperoleh brevet konsultan pajak. Setelah pensiun,
mereka kembali menjalin pola kerja yang dilakukan sebelumnya
ketika mereka masih aktif sebagai pegawai pajak.
6) Pengaturan Nilai Pajak
Pada modus ini, berupa pola pengaturan nilai pajak. Pada
tahap ini, wajib pajak dengan bantuan konsultan pajak bekerja
sama dengan petugas pemeriksa dari Ditjen Pajak. Mereka
bersepakat melakukan kesepakatan menurunkan nilai pajak
dengan mengatur dokumen atau administrasi perpajakan sehingga
sebagai dukungan atas hasil pemeriksaan tersebut.
Ada fee kepada petugas pajak yang melakukan penurunan nilai
penghitungan pajak.
7) Saat Pengajuan Keberatan
Peraturan mengenai keberatan dimuat dalam Pasal 25 UU
KUP. Berikut aturan dalam Pasal 25 yang telah diubah terakhir
dalam UU No. 28 Tahun 2007 :
148
Ayat (1)
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur
Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan
Ayat (2)
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang
dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan
Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar
perhitungan.
Ayat (3)
Keberatan harus diajukan dalam Jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal
pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa
149
jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya.
Ayat (3a)
Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan
pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar
paling sedikit jumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan
disampaikan.
Ayat (4)
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), atau Ayat (3a) bukan
merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
Upaya keberatan merupakan upaya hukum yang diajukan
oleh wajib pajak atau penanggung pajak sebagai akibat dari
adanya perbedaan penafsiran mengenai ketentuan hukum di
bidang pajak terhadap suatu kasus tertentu. Perihal keberatan
perlu dipahami karena proses awal yang harus ditempuh jika terjadi
persengketaan di bidang pajak untuk pengajuan banding pajak
adalah upaya keberatan. Artinya, sebelum seorang wajib pajak ke
Pengadilan Pajak untuk mengajukan upaya hukum banding, ia
terlebih dahulu melakukan upaya keberatan ini. Apabila putusan
150
upaya keberatan ini ternyata tidak memuaskan wajib pajak bias
dilanjutkan ke upaya banding.
Pada modus ini, sangat mungkin terjadinya peluang
kongkalikong diproses penyelesaian keberatan wajib pajak pada
tingkat Direktorat keberatan dan banding. Pada modus ini, peluang
pengerukan pundi-pundi rupiah terjadi di dua tahapan. Pertama,
ditahapan keberatan yang ditolak. Dan kedua, saat keberatan
diterima.
Saat proses keberatan ditolak, pegawai pajak akan dimintai
bantuan untuk hukum mengurus sidang banding dengan melakoni
kolusi dengan hakim di pengadilan banding. Motifnya, agar putusan
banding diterima sehingga wajib paak tidak diwajibkan membayar
pajak atau nilai pajaknya menjadi menyusut dari nilai keberatan
pajak.
Selain modus tersebut, modus lain juga ditemui, yakni pada
modus saat proses penyelesaian keberatan pajak pada tingkat
pengadilan. Keberatan wajib pajak pada tingkat Direktorat Kebertan
dan Banding yang masuk ke pengadilan pajak bisa kongkalikong.
Memori banding atas SKP Pajak akan disusun sendiri, sehingga
wajib pajak akan menang mudah dan akhirnya tidak membayar
pajak kepada Negara.
151
8) Konsultan Pajak Gelap
Modus yang cukup merepotkan, adalah adanya praktek
konsultan pajak gelap. Konsultan pajak gelap ini merupakan
pegawai pajak yang menjadi konsultan terhadap wajib pajak yang
menjadi objek pemeriksaan. Konsultan gelap ini akan mengatur
dan mengurus proses dalam sidang banding di pengadilan pajak.
Mereka ini piawai dan lihai dalam bekerja sebab mereka
adalah orang-rang yang memang telah dikenal di lingkungan
tersebut. Sehingga sangat memudahkan mereka dalam
menjalankan aksinya.
9) Penahanan Surat Ketetapan Pajak
Modus yang sering digunakan terjadi pada proses
penahanan surat ketetapan pajak. Wajib pajak akan meminta
bantuan pegawai pajak agar SKP bisa dikeluarkan Irjen
Departemen Keuangan. Dengan penahanan surat ketatapan pajak
ini, pihak wajib pajak tidak memiliki kepastian. Maka peluang ini
dimanfaatkan oleh pegawai pajak untuk negosiasi agar surat
tersebut bisa segera diterima wajib pajak.
10) Pemerasan
Modus melakukan pemerasan biasanya dilakukan dengan
dalil pembayaran pajak tidak sesuai aturan atau dituduhkan
melakukan kesengajaan untuk menghindari pajak serta tidak lupa
152
disebutkan ancaman-ancaman hukum, denda hingga penyitaan.
Siapapun wajib pajak yang mendapatkan perlakuan seperti ini
sudah pasti merasa ketakutan dan khawatir. Setelah wajib pajak
terpojok seperti itu maka dilakukan “deal-deal” yang
menguntungkan aparatur pajak namun merugikan Negara dan
Wajib Pajak.
11) Manipulasi Faktur Pajak Fiktif
Modus ini terjadi karena wajib pajak sengaja menggunakan
dokumen faktur pajak yang tidak benar alias palsu, seolah-olah
wajib pajak benar-benar telah menerbitkan faktur pajak sesuai
transaksi sebenarnya. Wajib pajak yang menerbitkan faktur pajak
tetapi tidak diikuti dengan adanya transaksi jual beli barang yang
sebenarnya adalah fiktif. Penerbit faktur pajak yang tidak diikuti
dengan transaksi jual beli yang benar tentu saja akan merugikan
Negara dari sisi penerimaan pajak.
12) Merger perusahaan
Bahwa merger menjadi modus paling sering dilakukan
perusahaan untuk mengurangi beban pajak yang seharusnya
ditanggung perusahaan yang bersangkutan. Seperti diketahui
pengaturan merger antar perusahaan hingga saat ini didasarkan
pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dimana dalam aturan ini
ada celah untuk melakukan kejahatan perpajakan.
153
Sebagai contoh, ada satu perusahaan yang mendapatkan
keuntungan, misalnya sebesar Rp. 50 milliar, akan mencari
perusahaan yang mengalami kerugian misalnya Rp. 300 milliar.
Dengan merger, maka perusahaan yang untung Rp. 50 milliar akan
menjadi rugi setelah melakukan merger dengan perusahan yang
rugi Rp. 300 milliar sehingga terbebas dari kewajiban membayar
pajak. Tidak hanya itu, dengan kerugian hingga Rp. 250 milliar,
maka perusahaan yang bersangkutan mendapat keringanan,
bahkan pembebasan pajak hingga 5 tahun.
13) Transfer Pricing
Modus yang juga sering dilakukan perusahaan untuk
mengurangi beban pajak adalah dengan melakukan “transfer
pricing”. Contoh, satu perusahaan membentuk perusahaan di luar
negeri. Saat melakukan ekspor yang ditujukan ke perusahaan yang
dibentuk di luar negeri, harga yang ditetapkan adalah harga yang
sangat rendah sehingga kewajiban pajaknya juga rendah. Harga
itulah yang dilaporkan di Laporan KeAungan.
Sementara harga yang senyatanya dari anak perusahaan ke
konsumen akhir tidak ada laporannya.
14) Pinjaman Asing
Modus yang juga sering dilakukan, adalah dengan
melakukan pinjaman asing hingga ratusan juta dolar AS. Pinjaman
154
itu akan dibebankan kepada perusahaan lain dalam satu group
yang memiliki untung/laba paling besar. Dengan modus itu maka
perusahaan yang untung besar kewajiban pajaknya akan
berkurang karena ditutup dengan kewajiban pembayaran utang itu.
15) Restitusi fiktif
Praktik kejahatan di dalam dunia perpajakan, salah satunya
adalah terdapat beeberapa pola praktik penyimpangan yang
dilakukan Aparat Pajak dan Wajib Pajak terhadap restitusi pajak.
Pola yang pertama berkaitan dengan pembelian dokumen-
dokumen ekspor. Contoh, seorang pengusaha mendapatkan
pesanan ekspor dari pembeli diluar negeri sebanyak 5 kubik,
sementara itu, daya tampung satu kontainer adalah 20 kubik.
Berdasarkan pesanan tersebut, pengusaha itu memiliki bahan baku
dari pengusaha lokal. Tetapi, karena volumenya kecil, maka sejak
awal pengusaha tersebut tidak berniat meminta restitusi.
Dalam proses selanjutnya, barang dilaporkan kepada
perusahaan pelayaran untuk di angkut ke Negara tujuan ekspor.
Sebelum dikapalkan, barang tersebut diangkut ke pelabuhan untuk
dilakukan verifikasi oleh aparat Bea dan Cukai (BC). Apabila isi
dokumen benar, maka aparat Bea dan Cukai memberikan
persetujuan ekspor dan dokumen tersebut difiat. Kemudian, barang
dikapalkan dan terbitlah dokumen muat barang dari perusahaan
155
pelayaran atau yang biasa disebut B/L (Biil of Loading). Dengan
demikian, pengusaha tersebut memiliki B/L, invoice,packing list,
PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang), dan surat dari kedutaan
Negara tujuan ekspor. Tetapi, karena pengusaha tersebut tidak
mempunyai niat untuk meminta restitusi, maka tidak ada faktur
pajak yang ditertibkan.
Oleh eksportir fiktif, dokumen-dokumen yang dimiliki oleh
pengusaha tersebut dibeli dengan imbalan tertentu dan
dikumpulkan sampai mencapai jumlah yang signifikan. Setelah itu,
eksportir fiktif mencari perusahaan manufaktur atau perdagangan,
biasanya berkedudukan diluar Jakarta, yang bersedia menerbitkan
faktur pajak dengan imbalan berupa bagi hasil atas restitusi PPN
yang diperoleh. Setelah faktur diperoleh, si eksportir fiktif
mengajukan restitusi. Aparat pajak harusnya melakukan
pemeriksaan silang terlebih dahulu sebelum mencairkan restitusi
tersebut untuk mengetahui kebenaran data yang diajukan. Tetapi,
karena mereka juga memperoleh imbalan tertentu, maka
pemeriksaan tidak dilakukan, sehingga restitusi PPN dapat
dicairkan.
Dalam hal kaitan antara kejahatan perpajakan dan tindak pidana
pencucian uang, Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan
156
Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 :
“Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tinak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah”. Lebih lanjut Pasal 2 Ayat (1)
“Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana :
a. Korupsi; b. Penyuapan; c. Penyelundupan barang; d. Penyelundupan tenaga kerja; e. Penyelundupan imigran; f. Di bidang perbankan; g. Di bidang pasar modal; h. Di bidang asuransi; i. Narkotika; j. Psikotropika; k. Perdagangan manusia; l. Perdagangan senjata gelap; m. Penculikan; n. Terorisme; o. Pencurian; p. Penggelapan; q. Penipuan; r. Pemalsuan uang; s. Perjudian; t. Prostitusi; u. Di bidang perpajakan; v. Di bidang kehutanan; w. Di bidang lingkungan hidup; x. Di bidang kelautan; atau
Tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Republik Indonesia
157
dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Pasal 2 Ayat (2)
“Harta kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n “ Hasil tindak pidana di bidang perpajakan cukup banyak terjadi di
Indonesia bagi dari sisi kuantitas maupun kualitasnya dan akhir-akhir ini
telah menjadi pergunjiangan dan bahan telaah oleh masyarakat-termasuk
masyarakat internasional. Aktivitas penghindaran pajak misalnya, sebagai
salah satu tindak pidana kejahatan di bidang perpajakan yang begitu
menonjol dan mengundang perhatian banyak orang. Mengundang
perhatian karena dampak yang ditimbulkannya begitu besar, baik dari
aspek lingkungan itu sendiri maupun kerugian secara ekonomis yang
dialami oleh Negara.
Undang-undang tindak pidana pencucian uang (UU TPPU) ini
dapat dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum sebagai alas berpijak
untuk menjerat para pelaku, khususnya para aktor intelektual yang
melakukan tindak pidana perpajakan atau semacamnya. Lewat
pendekatan ini, tidak hanya secara fisik para pelaku dapat dideteksi, tetapi
juga harta kekayaan dari hasil-hasil kejahatan pajak dapat ditrasir. Dalam
konsep tindak pidana pencucian uang, hal yang utama dikejar adalah
uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan (dalam hal
158
ini hasil kejahatan pajak), dengan alasan. Pertama, jika mengejar
pelakunya, lebih rumit oleh karena ruwetnya sistem perpajakan. Kedua,
jika dibandingkan dengan mengejar pelaku, akan lebih mudah dengan
mengajar hasil dari kejahatan. Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah
yang menghidupi tindak pidana itu sendiri. Jika hasil kejahatan ini dikejar
dan disita untuk Negara, dengan sendirinya akan mengurangi tindak
kejahatan itu sendiri.
Dalam rangka mendeteksi tindak pidana pencucian uang, PPATK
menerima laporan, yaitu :
a. Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh
penyedia jasa keuangan (Pasal 1 angka 6 dan Pasal 13 UU TPPU).
b. Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan tentang
transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah
kumulatif Rp 500 juta atau lebih (Pasal 13 UU TPPU).
c. Laporan yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak mengenai
hasil tindak pidana perpajakan yang dikedalam atau ke luar wilayah
Negara Republik Indonesia sejumlah Rp. 100 juta atau lebih (Pasal 16
UU TPPU).
Disamping itu, menurut Keputusan Presiden No. 82 tahun 2003
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan, PPATK juga menerima informasi dari
masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian
159
uang (sumbernya berasal dari pajak). Laporan butir a dan c, terutama
dimaksudkan untuk mendeteksi proses placement pada perbuatan
pencucian uang, sementara laporan butir b terutama dimaksudkan untuk
mendeteksi proses layering. Atas dasar laporan tersebut dan informasi
lainnya, PPATK melakukan analisis, (mendeteksi tindak pidana pencucian
uang) kemudian menyerahkan laporannya kepada pihak penyidik dan
penuntut (Pasal 27).
160
SKEMA 1
161
SKEMA 2
162
BAB V
PERBUATAN KRIMINAL (ACTUS REUS) DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (MENS REA) DALAM TINDAK
PIDANA PERPAJAKAN
A. Penerapan Hukum Pidana Materiil Dalam Tindak Pidana
Perpajakan Pada Perkara Pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel.
1. Kasus Posisi
Adapun kasus posisi No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel pada
kurun waktu tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 Arden Bridge
Investment Limited/ABIL, badan hukum yang berkedudukan di British
Virgin Islands menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia dengan menempati kantor di Menara
DEA Mega Kuningan Jalan HR Rasuna Said Jakarta Selatan,
kemudian pindah lagi ke Kantor Taman Unit B6 Kuningan Jakarta
Selatan. Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha dan atau memperoleh
penghasilan di Indonesia dari transaksi penjualan piutang eks. BPPN
selama kurun waktu tersebut, namun tidak mendaftarkan diri dan tidak
melaporkan usahanya dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan
ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak.
163
Terdakwa An. Widjokongko Puspoyo, selaku direktur Arden
Bridge Investment Limited/ABIL di Indonesia dengan sengaja tidak
mendaftarakan badan usahanya tersebut untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak dan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan ke
Kantor Direktorat Jenderal Pajak selama Arden Bridge Investment
Limited/ABIL menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia. Akibat perbuatan terdakwa telah
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara sekurang-kurangnya
sebesar Rp. 5.005.469.360.- (lima miliar lima juta empat ratus enam
puluh Sembilan ribu tiga ratus enam puluh rupiah).
Surat dakwaan yang digunakan oleh penuntut umum dalam
Putusan Perkara Pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel didalamnya
terkandung jenis concursus realis, yang terjadi apabila pelaku tindak
pidana sekaligus merealisasikan beberapa perbuatan. Dalam
Putusan Perkara Pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel, Terdakwa
an. Widjokongko Puspoyo mewujudkan beberapa tindak pidana yang
telah diatur dalam ketentuan :
1) Pasal 11 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.
2) Pasal 39 Ayat (1) huruf a, b Undang-Undang No. 16 Tahun
2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6
164
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
Surat dakwaan dalam Putusan Perkara Pidana No.
2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel berbentuk kumulatif. Surat dakwaan
kumulatif merupakan dakwaan yang menuduhkan lebih dari satu
tindak pidana yang satu dengan yang lain tidak ada hubungan atau
berdiri sendiri. Putusan Perkara Pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN.
Jaksel terdiri atas tindak pidana gratifikasi dan tindak pidana
perpajakan yang tentunya satu dengan yang lain tidak ada hubungan
atau berdiri sendiri-sendiri.
Adapun dakwaan Penuntut Umum adalah sebagai berikut :
KESATU
Bahwa terdakwa WIDJOKONGKO PUSPOYO, pada tanggal 28 Maret 2003, 1 April 2003, 9 Juni 2003, 16 Maret 2004, 7 September 2004, dan tanggal 6 Oktober 2004 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu dalam tahun 2003 sampai dengan tahun 2004, bertempat di Gedung Bank Bukopin Jl. Haryono, MT Kavling 50-51 Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain dimana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili, dengan sengaja member bantuan pada waktu kejahatan dilakukan kepada WIDJARNAKO PUSPOYO selaku pegawai negeri atau penyelenggara Negara, baik dalam jabatan sebagai Kepala Badan Urusan Logistik (BULOG) ataupun sebagai Direktur Utama Perum BULOG (disidangkan dalam berkas perkara tersendiri) menerima hadiah atau janji padahal patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji ada hubungan dengan jabatannya, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut : Terdakwa WIDJOKONGKO PUSPOYO berdasarkan Head of
Agreement tanggal 17 Juli 2002 adalah Direktur Arden Bridge
165
Investment Limited (ABIL) dan bertindak selaku Representatives Office’s Excecutive di Indonesia, dengan kegiatan usaha utamanya berupa pembelian asset ex Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN);
Dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia Terdakwa selaku Direktur ABIL membuka rekening di Bank BUKOPIN baik dalam mata uang Dollar Amerika yaitu rekening no. 1015600-01-9 maupun dalam mata uang rupiah yaitu rekening No. 1015599-01-1;
Bahwa terdakwa menggunakan rekening ABIL untuk menampung uang pemberian hadiah dari Cheong Karm Chuen alias Steven alias Chuen perantara atau broker beras di Bulog sebesar US $ 1.602.583..28, yang ditransfer dari rekening atas nama bersama yaitu atas nama Cheong Karm Chuen dengan istrinya yang bernama Laksmi Setyanti Karmahadi nomor rekening 622-029924-888 di Bank HSBC Hongkong ke rekening ABIL di Bank Bukopin No. 1015600-01-9, dengan rician sebagai berikut : Tanggal 28 Maret 2003 menerima sebesar US $ 500.000.00 Tanggal 1 April 2003 menerima sebesar US $ 300.000.00 Tanggal 9 Juni 2003 menerima sebesar US $ 402.583.28 Tanggal 16 Maret 2004 menerima sebesar US $ 400.000.00
Setelah uang masuk ke rekening ABIL di Bank Bukopin , selanjutnya oleh Terdakwa WIDJOKONGKO PUSPOYO, uang tersebut ditransfer ke rekening milik WIDJARNAKO PUSPOYO di Bank ABN AMRO No. 3600069789, masing-masing pada tanggal 7 September 2004 sejumlah US $ 10.000.00 dan tanggal 6 Oktober 2004 sejumlah US $ 20.000.00, selain itu uang tersebut juga dipergunakan oleh WIDJANARKO PUSPOYO sebagai penyertaan modal di PT. Samudra Adidaya Sentosa (PT.SAS), dengan rincian : Tanggal 7 juli 2003 sejumlah US $ 250.000.00 dan tanggal 1
Agustus 2003 sejumlah US $ 118.203.30 ditransfer ke rekening PT SAS sebagai penyertaan modal WIDJARNAKO PUSPOYO beserta keluarga;
Tanggal 7 September 2004 sejumlah US $ 10.000.00 dan tanggal 15 September 2004 sejumlah US $ 2.500.00 ditransfer ke rekening anak WIDJANARKO PUSPOYO bernama Renaldy Puspoyo di Bank Wells Fargo Bank;
Tanggal 15 September 2004 ke rekening istri WIDJANARKO PUSPOYO yang bernama Endang Ernawati masing-masing di Bank HSBC sejumlah US $ 100.000.00 dan di Bank BII sejumlah US $ 9.470.00;
166
Bahwa selain transfer dalam bentuk mata uang dollar Amerika, Terdakwa WIDJOKONGKO PUSPOYO selaku Direktur ABIL, atas permintaan WIDJANARKO PUSPOYO juga telah mengirim uang melalui rekening ABIL di Bank Bukopin Nomor : 1015599-01-1 dalam bentuk mata uang rupiah kepada keluarga WIDJANARKO PUSPOYO yaitu :
Tanggal 29 September 2003, transfer ke menantu WIDJANARKO PUSPOYO bernama Andre Pasha Djuanda pada Bank BRI sebesar Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah);
Tanggal 16 Januari 2004 dan tanggal 17 Februari 2004 masing-masing ditransfer sebesar Rp. 3.000.000.000.00 (tiga milliard rupiah) dan sebesar Rp. 809.415.805.00 (delapan ratus Sembilan juta empat ratus lima belas ribu delapan ratus lima rupiah) kepada rekening Ade Kusmiati di Bank Panin sebagai pembayaran atas pembelian rumah WIDJARNAKO PUSPOYO di Jalan Darmawangsa VIII No. 75 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, yang sertifikatnya diatasnamakan anak WIDJANARKO PUSPOYO bernama Renaldy Puspoyo;
Tanggal 11 Juni 2004 transfer ke anak WIDJANARKO PUSPOYO bernama Winda Nindiaty sejumlah Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliard rupiah);
Perbuatan Terdakwa WIDJOKONGKO PUSPOYO sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-1 KUHP;
DAN KEDUA Bahwa Terdakwa WIDJANARKO PUSPOYO, pada tanggal 28
Agustus 2002 sampai dengan tanggal 5 September 2005 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 bertempat di Menara KADIN Indonesia, Penthause jalan HR Rasuna Said X-5, Kav 2-3, Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, Menara
167
DEA Mega Kuningan Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kantor Taman Unit B6 Kuningan Jakarta Selatan atau menurut ketentuan pasal 84 Ayat 2 KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadilinya, dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, atau tidak menyampaikan surat pemberitahuan, yang dilakukan oleh terdakwa sebagai berikut : Bahwa ARDEN BRIDGE INVESTMENT LIMITED (ABIL) adalah
badan hukum yang didirikan oleh Terdakwa bersama-sama dengan John Van Der Wal, yang berkedudukan di British Virgin Islands (BVI) pada tanggal 17 Juli 2002 dengan tujuan pendiriannya untuk bertransaksi dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN);
Dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia, Terdakwa selaku Direktur ABIL pada tanggal 28 Agustus 2002 membuka kantor representative ABIL di Indonesia yang beralamat di Menara KADIN Indonesia, Penthouse Jalan HR Rasuna Said X-5, Kav 2-3, Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi, Jakata Selatan, kemudian pindah alamat ke Menara DEA Mega Kuningan Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan dan terakhir pindah ke Kantor Taman Unit B6 Kuningan Jakarta Selatan, sehingga dengan demikian ABIL berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Pajak memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) menggantikan subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia;
Sesuai dengan tujuan pendirian ABIL, Terdakwa selaku Direktur ABIL telah menjalankan kegiatan usaha di Indonesia berupa pembelian piutang (cessie) BPPN atas 28 (dua puluh delapan) perusahaan, yaitu: 1. PT. Bukit Barisan permai sebesar Rp. 2.497.720.120.00; 2. PT. Bumi Permata Abadi Permai sebesar Rp. 5.626.797.600.00; 3. PT. Delimas Suryakanaka sebesar Rp. 5.220.904.637.50; 4. PT. Delta Komperta Perkasa sebesar Rp. 5.964.684.643.10; 5. PT Dwi Putra Sabaraya Kencana sebesar Rp. 4.099.594.678.92; 6. PT. Dwimanda Eltra Ind sebesar Rp. 2.450.000.000.00; 7. PT. Galvano Wahana Lestari sebesar Rp. 2.602.273.973.25; 8. PT. Griya Agung Mulatama sebesar Rp. 2.532.131.406.00; 9. PT.Inasa wahana Lestari sebesar Rp. 2.041.538.991.60; 10. PT Indobent Wijaya Mineral sebesar Rp. 2.658.450.433.40; 11. PT. Karya Arun Marine sebesar Rp. 2.696.296.771.39;
168
12. PT. Pinusa Dirgantara sebesar Rp.1.558.059.680.78; 13. CV. Sumber Makmur sebesar Rp. 2.274.679.872.00; 14. CV. Trio Jaya sebesar Rp. 2.000.000.000.00; 15. PT. Duta Graha Indah sebesar Rp. 8.516.006.871.00; 16. PT. Famili Jaya sebesar Rp. 6.027.422.331.79; 17. PT. Gaya Indah Kharisma sebesar Rp. 1.330.016.760.00; 18. PT. Inti Technodrilindo sebesar Rp. 2.138.500.000.00; 19. PT. Kawan Sejati sebesar Rp. 1.483.656.750.00; 20. PT. Kreasi Plastik Indotama sebesar Rp. 7.033.523.964.87; 21. PT. Laksana Kurnia Mandiri Sejati sebesar Rp. 2.693.428.911.23; 22. PT. Sinar Mandiri Alam Sejahtera sebesar Rp. 2.500.000.000.00; 23. PT. Gubah Nusa Semesta sebesar Rp. 2.587.206.793.05; 24. PT. Karyana Gita Utama sebesar Rp.22.400.000.000.00; 25. PT. Cipta Trampil Makmur sebesar Rp. 3.289.442.029.28; 26. PT. Dharma Pratama Sejati sebesar Rp. 4.492.542.037.55; 27. PT. Laksana Kurnia Sejati sebesar Rp. 2.059.146.880.79; 28. PT. Logam Sari Bearindo sebesar Rp. 7.100.000.000.00; Dengan total nilai pembelian hak tagih (cessie) BPPN oleh ABIL keseluruhannya sebesar RP. 117.874.026.137.50 (seratus tujuh belas milliard delapan ratus tujuh puluh empat juta dua puluh enam ribu seratus tiga puluh tujuh rupiah lima puluh sen);
Bahwa atas hutang-hutang tersebut diatas masing-masing perusahaan sanggup kepada ABIL selaku pemegang hak cessie untuk melakukan pembayaran sebagai berikut : 1. PT. Bukit Barisan permai sebesar Rp. 3.278.257.657.50; 2. PT. Bumi Permata Abadi Permai sebesar Rp. 7.033.497.000.00; 3. PT. Delimas Suryakanaka sebesar Rp. 6.430.626.443.75; 4. PT. Delta Komperta Perkasa sebesar Rp. 9.620.459.101.79 5. PT Dwi Putra Sabaraya Kencana sebesar Rp. 4.999.505.706.00; 6. PT. Dwimanda Eltra Ind sebesar Rp. 3.150.000.000.00; 7. PT. Galvano Wahana Lestari sebesar Rp. 3.345.780.822.75; 8. PT. Griya Agung Mulatama sebesar Rp. 3.331.751.850.00; 9. PT.Inasa wahana Lestari sebesar Rp. 2.551.923.739.00; 10. PT Indobent Wijaya Mineral sebesar Rp. 3.058.450.433.40; 11. PT. Karya Arun Marine sebesar Rp. 4.348.865.760.30; 12. PT. Pinusa Dirgantara sebesar Rp. 2.385.759.004.92; 13. CV. Sumber Makmur sebesar Rp. 2.890.607.633.00; 14. CV. Trio Jaya sebesar Rp. 2.250.000.000.00; 15. PT. Duta Graha Indah sebesar Rp.10.503.075.140.00; 16. PT. Famili Jaya sebesar Rp. 6.779.155.334.43; 17. PT. Gaya Indah Kharisma sebesar Rp. 2.574.225.954.00: 18. PT. Inti Technodrilindo sebesar Rp. 3.055.000.000.00: 19. PT. Kawan Sejati sebesar Rp. 1.703.934.000.00; 20. PT. Kreasi Plastik Indotama sebesar Rp. 8.033.523.995.47; 21. PT. Laksana Kurnia Mandiri Sejati sebesar Rp. 4.029.772.050.90; 22. PT. Sinar Mandiri Alam Sejahtera sebesar Rp. 3.273.266.425.95;
169
23. PT. Gubah Nusa Semesta sebesar Rp. 3.332.008.748.63; 24. PT. Karyana Gita Utama sebesar Rp.23.400.000.000.00; 25. PT. Cipta Trampil Makmur sebesar Rp. 3.789.442.029.28; 26. PT. Dharma Pratama Sejati sebesar Rp. 6.443.918.604.44; 27. PT. Laksana Kurnia Sejati sebesar Rp. 3.082.900.599.44; 28. PT. Logam Sari Bearindo sebesar Rp. 15.885.003.255.00; Berdasarkan sanggup masing-masing perusahaan tersebut diatas, ABIL memperoleh penghasilan sebesar Rp. 154.260.711.290.50 (seratus lima puluh empat milliar dua ratus enam puluh juta tujuh ratus sebelas ribu dua ratus Sembilan puluh rupiah lima puluh sen). Sehingga ABIL sebesar Rp. 36.660.960.153.00 (tiga puluh enam milliar enam ratus enam puluh juta Sembilan ratus enam puluh ribu seratus lima puluh tiga rupiah);
Meskipun ABIL memiliki management maupun kantor di Indonesia sehingga memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT), telah menjalankan kegiatan usahanya dan mendapatkan penghasilan serta memperoleh keuntungan dari kegiatannya tersebut, namun Terdakwa Widjokongko Puspoyo selaku Direktur ABIL di Indonesia dengan sengaja tidak pernah mendaftarkan ABIL sebagai Badan Usaha Tetap (BUT) ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tidak pernah melaporkan usahanya dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak, atas nama ABIL sehingga terdapat kewajiban perpajakan berupa PPh Badan dan PPh Pasal 26 Ayat (4) yang tidak dibayar sebesar Rp. 5.005.469.360.00 (lima milliar lima juta empat ratus enam puluh sembilan ribu tiga ratus enam puluh rupiah) terdiri dari: a. Pajak BUT (Income Tax) Rp. 3.412.138.200.00 (tiga milliard
empat ratus dua belas juta seratus tiga puluh delapan ribu dua ratus rupiah)
b. PPH Pasal 26 atas Branch Profit Rp. 1.593.331.160.00 (satu milliar lima ratus embilan puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh satu seratus enam puluh rupiah);
Perbuatan terdakwa menyebabkan timbulnya kerugian pada pendapatan Negara sebesar Rp. 5.005.469.360.00 (lima milliar lima juta empat ratus enam puluh Sembilan ribu tiga ratus enam puluh rupiah); Perbuatan Terdakwa WIDJOKONGKO PUSPOYO sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 39 Ayat (1) huruf a, b Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
170
Pembolehan untuk menggabungkan dakwaan menjadi satu
terdapat pada Pasal 141 KUHAP yang menentukan :
Penuntut umum dapa melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas dalam hal : a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang
sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut- paut satu dengan yang lain;
c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Putusan perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel,
dalam dakwaannya mengkumulasikan pasal tindak pidana korupsi
(Pasal 11 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Unadang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Pasal 15 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi) dengan pasal tindak pidana perpajakan (Pasal 39
Ayat (1) huruf a, b Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).
171
2. Perbuatan Kriminal (Actus Reus)
Actus Reus, yaitu perbuatan kriminal (criminal act). Hal ini
sesuai dengan syarat-sayarat pemidanaan (Strafvoraussetzungen)
yang mendahulukan adanya perbuatan pidana. Barulah setelah
adanya perbuatan pidana sesuai dengan rumusan undang-undang,
lalu diselidiki tentang sikap batin pembuat (pertanggungjawaban
pidana).
Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi terdiri dari beberapa unsur yaitu :
a. Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
b. Menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduaga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan
hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya
c. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.
50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
172
Sedangkan, Pasal 15 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi terdiri dari beberapa unsur yaitu :
a. Setiap orang
b. Melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana korupsi
c. Pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14
Unsur barang siapa dalam perkara pidana No.
2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel, ini menunjuk kepada subjek hukum
atau pelaku tindak pidana yaitu Widjokongko Puspoyo. Unsur
barang siapa wajib dibuktikan oleh pengadilan untuk membuktikan
bahwa pelaku mampu bertanggungjawab atas perbuatannya.
Kemampuan seseorang untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya tidak diatur dalam KUHP, namun KUHP hanya
mengatur mengenai ketika seseorang tidak mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hal tersebut diatur
dalam Pasal 44 Ayat (1), yang menegaskan :
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”
173
Selama persidangan, terdakwa sehat secara fisik maupun
psikis sehingga dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
selaku subjek hukum.
Unsur kedua dari Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Korupsi adalah : Menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduaga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan
hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Dalam perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel,
unsur Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi dan pasal
15 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi telah digambarkan
dalam dakwaan penuntut umum, yakni sebagai berikut :
Bahwa terdakwa menggunakan rekening ABIL untuk menampung uang pemberian hadiah dari Cheong Karm Chuen alias Steven alias Chuen perantara atau broker beras di Bulog sebesar US $ 1.602.583..28, yang ditransfer dari rekening atas nama bersama yaitu atas nama Cheong Karm Chuen dengan istrinya yang bernama Laksmi Setyanti Karmahadi nomor rekening 622-029924-888 di Bank HSBC Hongkong ke rekening ABIL di Bank Bukopin No. 1015600-01-9, dengan rician sebagai berikut :
174
Tanggal 28 Maret 2003 menerima sebesar US $ 500.000.00
Tanggal 1 April 2003 menerima sebesar US $ 300.000.00
Tanggal 9 Juni 2003 menerima sebesar US $ 402.583.28
Tanggal 16 Maret 2004 menerima sebesar US $ 400.000.00
Setelah uang masuk ke rekening ABIL di Bank Bukopin , selanjutnya oleh Terdakwa WIDJOKONGKO PUSPOYO, uang tersebut ditransfer ke rekening milik WIDJARNAKO PUSPOYO di Bank ABN AMRO No. 3600069789, masing-masing pada tanggal 7 September 2004 sejumlah US $ 10.000.00 dan tanggal 6 Oktober 2004 sejumlah US $ 20.000.00, selain itu uang tersebut juga dipergunakan oleh WIDJANARKO PUSPOYO sebagai penyertaan modal di PT. Samudra Adidaya Sentosa (PT.SAS), dengan rincian :
Tanggal 7 juli 2003 sejumlah US $ 250.000.00 dan tanggal 1 Agustus 2003 sejumlah US $ 118.203.30 ditransfer ke rekening PT SAS sebagai penyertaan modal WIDJARNAKO PUSPOYO beserta keluarga;
Tanggal 7 September 2004 sejumlah US $ 10.000.00 dan tanggal 15 September 2004 sejumlah US $ 2.500.00 ditransfer ke rekening anak WIDJANARKO PUSPOYO bernama Renaldy Puspoyo di Bank Wells Fargo Bank;
Tanggal 15 September 2004 ke rekening istri WIDJANARKO PUSPOYO yang bernama Endang Ernawati masing-masing di Bank HSBC sejumlah US $ 100.000.00 dan di Bank BII sejumlah US $ 9.470.00;
Bahwa selain transfer dalam bentuk mata uang dollar Amerika, Terdakwa WIDJOKONGKO PUSPOYO selaku Direktur ABIL, atas permintaan WIDJANARKO PUSPOYO juga telah mengirim uang melalui rekening ABIL di Bank Bukopin Nomor : 1015599-01-1 dalam bentuk mata uang rupiah kepada keluarga WIDJANARKO PUSPOYO yaitu : o Tanggal 29 September 2003, transfer ke menantu
WIDJANARKO PUSPOYO bernama Andre Pasha
175
Djuanda pada Bank BRI sebesar Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah);
o Tanggal 16 Januari 2004 dan tanggal 17 Februari 2004 masing-masing ditransfer sebesar Rp. 3.000.000.000.00 (tiga milliar rupiah) dan sebsar Rp. 809.415.805.00 (delapan ratus Sembilan juta empat ratus lima belas ribu delapan ratus lima rupiah) kepada rekening Ade Kusmiati di Bank Panin sebagai pembayaran atas pembelian rumah WIDJARNAKO PUSPOYO di Jalan Darmawangsa VIII No. 75 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, yang sertifikatnya diatasnamakan anak WIDJANARKO PUSPOYO bernama Renaldy Puspoyo;
o Tanggal 11 Juni 2004 transfer ke anak WIDJANARKO PUSPOYO bernama Winda Nindiaty sejumlah Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliar rupiah);
Dalam dakwaan kedua yang dibuat oleh penuntut umum
yang mengenai tindak pidana perpajakan yang diatur dalam Pasal
39 Ayat (1) huruf a, b Undang-Undang No. 16 Tahun 2002 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terdiri dari
unsur-unsur berikut :
a. Unsur setiap orang
b. Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2; atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
atau menayampaikan Surat Pemberitahuan dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
176
menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29; atau memperlihatkan pembukuan, pencatatan,
atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah
benar; atau idak menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan
buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau tidak menyetorkan
pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara
c. Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
Oleh karena kajian terhadap putusan perkara pidana No.
2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel, ditilik dari sisi Actus Reus (perbuatan
kriminal)-nya maka, tolak ukur analisis didasarkan pada unsur
objektif tindak pidana, yaitu51 :
a. Perbuatan manusia
1) Act, yakni perbuatan aktif atau positif
2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif
b. Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan
51
Ledeng Marpaung, Loc. Cit
177
oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik,
kehormatan, dan sebagainya.
c. Keadaan-keadaan (circumstances)
1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan
d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan pelaku dari hukuman. Sedangkan melawan
hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan
hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
Unsur Kedua Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang No. 16
Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
yaitu Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2; atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang
isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau menolak untuk dilakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau
memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang
178
palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau tidak
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau
dokumen lainnya; atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong
atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan Negara dalam persidangan telah terpenuhi oleh hakim.
Unsur yang terpenuhi pada Pasal 39 Ayat (1) huruf a, b
Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
“…………….(a) tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2; atau (b) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan…………..”
Hal diatas tersebut dibuktikan dengan kesaksian Bimo
Ariwibowo, saksi Sigit Haryoko, Sumaryanti, Astera Primanto Bhakti,
dan keterangan terdakwa serta barang-barang bukti berupa surat-
surat dan lain-lain.
Perbuatan manusia dalam arti luas adalah mengenai apa
yang dilakukan, apa yang diucapkan, dan bagaimana sikapnya
terhadap suatu hal atau kejadian. Terhadap “apa yang dilakukan”
179
dan “apa yang diucapkan” disebut act, yang oleh sebagian pakar
disebut perbuatan positif. Adapun “bagaimana sikapnya terhadap
suatu hal atau kejadian “ disebut omission, yang oleh sebagian
pakar disebut dengan istilah “perbuatan negatif”. Dalam hukum
pidana umum yang tergambar pada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
a) Act : Pasal KUHP 362 yang rumusannya antara lain :
“Barangsiapa mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain…”
b) Ommision : Pasal KUHP 165 yang rumusannya antara lain :
“Barangsiapa mengetahui bahwa ada orang yang bermaksud
untuk melakukan suatu pembunuhan dan dengan sengaja tidak
memberitahukan hal itu dengan sepatutnya dan waktunya baik
kepada yang terancam, jika kejadian itu benar terjadi
dihukum…………..”
Pada umumnya, orang diancam pidana karena melakukan
suatu perbuatan (act). Namun bisa juga karena “tidak berbuat”
(omission), orang diancam dengan pidana. Terhadap Ommision
yang diancam pidana, para pakar terdapat beberapa pandangan
dalam memberi dasar atau alasan, antara lain sebagai berikut :
180
a. “Tidak melakukan sesuatu” itu pada umumnya tidak
bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, perilaku semacam itu
akan bersifat melanggar hukum apabila ada suatu “kewajiban
hukum yang bersifat khusus”. Kewajiban itu telah ditentukan oleh
suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa di
mana kelalaian untuk memenuhi kewajiban hukum itu telah
secara sukarela sebagai dimiliki oleh seseorang karena adanya
pengaruh dari suatu sanksi menurut undang-undang
b. Kelalaian untuk bertindak yang harus dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana itu hanyalah kelalaian untuk melakukan
suatu tindakan yang merupakan suatu kewajiban hukum.
Kewajiban hukum seperti itu dapat timbul karena ditentukan oleh
undang-undang, karena jabatan yang disandang oleh
seseorang, atau karena adanya suatu perikatan.
Perwujudan serta keterkaitan perbuatan aktif/positif dan
perbuatan pasif/negatif dalam ilmu hukum pidana pada perkara
pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel, terdapat dalam ketentuan
yang dilanggar yakni Pasal 39 Ayat (1) huruf a, b Undang-Undang
No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, dimana unsur-unsur-nya :
181
“..................tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;…………”
Ketentuan Pasal 39 Ayat (1) huruf a, b Undang-Undang No.
16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dalam perwujudan tindak pidana-nya didasarkan pada
perbuatan pasif/negatif/omission, yakni perbuatan yang
mendiamkan atau membiarkan. Legal opinion-nya adalah bahwa
sistem perpajakan Indonesia menganut system self assessment,
yaitu suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada
wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban
dan hak perpajakannya.
Pengaturan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai tindak
pidana pajak (Pasal 39 Ayat (1) huruf a, b Undang-Undang No. 16
Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan)
tidak terlepas dari system self assessment dari pemungutan PPh
sebagai pajak subjektif dan pajak langsung. Dalam pemungutan
PPh di Indonesia pada dasarnya berisi kewajiban-kewajiban Wajib
182
Pajak untuk menghitung dan membayar jumlah PPh yang terutang
padanya, serta melaporkan hitungan tersebut dalam suatu Surat
Pemberitahuan (SPT), baik SPT Masa maupun SPT tahunan.
Karakteristik pajak subjektif dan pajak langsung tidak menghendaki
kewajiban-kewajiban WP tersebut (baik kewajiban administratif
maupun kewajiban menanggung beban pajak) untuk dialihkan
kepada pihak lain, walaupun pengisian SPT itu sendiri dapat
dikuasakan pada pihak lain.
Dalam konteks tindak pidana pajak, penerapan system
pemungutan pajak secara self assessment dapat dengan mudah
diselewengkan oleh WP dengan cara-cara, seperti tidak mengakui
dan melaporkan penghasilan yang merupakan objek PPh, serta
mengakui komponen biaya yang lebih besar dari kenyataannya,
hanya untuk mengurangi jumlah penghasilan kena pajak dalam
menghitung PPh yang terutang.
Pada perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel,
Terdakwa (An. Widjokongko Puspoyo) terbukti telah memenuhi
unsur-unsur actus reus/perbuatan kriminal (dalam hal perbuatan
negatif/pasif) yang tercantum dalam Pasal 39 Ayat (1) huruf a, b
Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua
183
Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi :
“………….Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau……………..”
Hal diatas tersebut sesuai dengan keterangan Terdakwa (an.
Widjokongko Puspoyo) dalam perkara pidana No.
2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel, yang dalam persidangan
mengungkapkan :
Bahwa dari laba usaha sebesar Rp. 25.352.961.235.00 (dua puluh lima milliar tiga ratus lima puluh dua juta Sembilan ratus enam puluh satu dua ratus tiga puluh lima rupiah) tersebut dikurangi komitmen (janji) yang belum direalisasi Rp. 14.248.442.168.00 (empat belas milliar dua ratus empat puluh delapan juta empat ratus empat puluh dua ribu seratus enam puluh delapan rupiah), maka diperoleh perhitungan penghasilan bersih adalah sebesar Rp. 11.104.519.067.00 (sebelas milliar seratus empat juta lima ratus Sembilan belas ribu enam puluh tujuh rupiah);
Bahwa dengan demikian diperoleh perhitungan penghasilan kena pajak ABIL adalah sebesar Rp. 11.104.519.000.00 (sebelas milliar seratus empat puluh juta lima ratus sembilan belas ribu rupiah);
Bahwa dari perhitungan penghasilan kena pajak tersebut di atas maka ABIL harus membayar pajak PPh Badan adalah sebesar Rp. 3.313.855.700.00 (tiga milliar tiga ratus tiga belas juta delapan ratus lima puluh lima tujuh ratus rupiah) dan Pajak penghasilan (PPh) Pasal 26 Ayat (2) 4 UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1983 Pajak Penghasilan adalah sebesar Rp.
184
1.558.132.674.00 (satu milliar lima ratus lima puluh delapan juta seratus tiga puluh dua enam ratus tujuh puluh empat rupiah);
Bahwa total pajak yang harus dibayar ABIL adalah sebesar Rp. 4.871.988.373.00 (empat miliar delapan ratus tujuh puluh satu juta sembilan ratus delapan puluh delapan ribu tiga ratus tujuh puluh tiga rupiah);
Bahwa ketika melakukan transaksi dengan BPPN meupun melaksanakan penyelesaian pembayaran dengan debitur, ABIL belum mendaftarkan diri ke Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sehingga pada tahun 2007 Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan NPWP secara jabatan yaitu NPWP dengan No. 02.410.201.4-081.000;
Keterangan tersebut diperkuat oleh keterangan ahli Astera
Primanto Bhakti dalam perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN.
Jaksel :
Bahwa Undang-Undang Perpajakan yang berlaku di Indonesia terdiri dari :
Undang-Undang ketentuan formil dan tata cara perpajakan yang terakhir berlaku pada tanggal 1 Januari 2008;
Undang-Undang PPh; Undang-Undang PPn; Undang-Undang PBB; Undang-Undang Bea Materai
Bahwa yang dimaksud dengan subjek pajak mengacu pada Undang-Undang PPh No. 7 Tahun 1983 dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 yaitu bahwa subjek pajak terdiri dari badan, orang dan warisan yang belum terbagi;
Bahwa selain subjek pajak diatas, dikenal adaya subjek hukum dalam negeri dan subjek hukum luar negeri;
Bahwa yang disebut dengan subjek hukum dalam negeri terdiri dari badan dan orang, yang disebut dengan badan yaitu Incorporeted atau perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-Undang di Indonesia sedangkan
185
yang disebut dengan orang yaitu orang yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dan dalam waktu 12 bulan atau mempunyai ijin tinggal di Indonesia;
Bahwa yang dimaksud dengan subjek hukum luar negeri terdiri dari badan dan orang, yang pengertiannya acontrario dengan pengertian subjek hukum luar negeri, yaitu : perusahaan yang didirikan di luar negeri sedangkan yang disebut dengan orang yaitu orang luar negeri tetapi mempunyai penghasilan di Indonesia;
Bahwa yang dimaksud dengan Badan Usaha Tetap berdasarkan Undang-Undang KUP adalah Badan, sedangkan berdasarkan UU PPh untuk cara pengenaan pajak, maka dipersamakan dengan badan adalah orang atau badan yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari (untuk subjek pajak luar negeri) tetapi melakukan kegiatan di Indonesia secara fleksibel untuk orang luar negeri yang melakukan kegiatan di indonesia;
Bahwa Badan Usaha Tetap (BUT) mempunyai kriteria : Negara adalah penjamin Tax Treaty dengan
Indonesia (sesuai ketentuan pasal 5 KUP); Bukan Negara yang mempunyai Tax treaty (pasal
2 ayat 5 UU PPh) Bahwa secara umum BUT ada 3 hal, yaitu adanya asset
misalnya pabrik, adanya activity yaitu melakukan kegiatan di Negara yang bersangkutan dan adanya agency di Negara tersebut (agen yang tidak bebas);
Bahwa ABIL sepanjang memenuhi ketiga kriteria BUT di atas adalah termasuk dalam BUT (Badan Usaha Tetap);
Bahwa kalau sudah merupakan Badan usaha Tetap, maka harus memenuhi kewajiban pajak di Indonesia, yang implementasinya haruslah mendaftarkan diri, membuat SPT dan lain-lain;
Bahwa kewajiban yang harus dipenuhi yaitu oleh badan, bias diwakilkan oleh pengurus atau direksi, yang dimaksud dengan pengurus yaitu orang yang secara nyata melaksanakan kegiatan sehubungan dengan perusahaan, berdasarkan Pasal 32 KUP pasal 1,2,3,4 contohnya menanda-tangani suatu kontrak, mengambil kebijakan, dan lain-lain sehubungan dengan kegiatan perusahaan;
Bahwa apabila suatu perusahaan BUT tidak mendaftarkan diri, maka perusahaan tersebut
186
dianggap melakukan pidana sesuai dengan Pasal 39 KUP;
Bahwa wajib pajak harus melapor sendiri dan menghitung sendiri pajaknya sesuai asas Self Assigment. Dalam SPT wajib pajak harus menganulir apa saja yang dilakukan selama satu tahun. Hal ini berhubungan dengan pembukuan yang erat hubungannya dengan accounting;
Bahwa jika perusahaan sama sekali tidak membayar pajak sesuai ketentuan, harus tetap melakukan pembayaran dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pembayaran harus dilakukan bersama dengan pembayaran denda karena kekurangan atau juga keterlambatan;
Bahwa jika sama sekali tidak mendaftar maka padanya dapt dikenakan ketentuan Pasal 39 KUP;
Lebih lanjut saksi Sumaryanti dalam perkara pidana No.
2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel :
Bahwa sepengetahuan saksi Widjokongko Puspoyo terkait dengan kasus dugaan tindak pidana perpajakan;
Bahwa menurut ketentuan Pasal 39 Ayat (1) dijelaskan mengenai dugaan tindak pidana perpajakan karena yang bersangkutan tidak mendaftarkan diri sebagai wajib pajak;
Bahwa saksi bekerja di Kantor Pelayanan Pajak untuk badan dan orang asing 2;
Bahwa saksi mengetahui kasus ini berdasarkan adanya data yang dimiliki oleh Direktorat Pajak. Sedangkan mengenai tindak pidananya sendiri, itu berdasarkan surat dari kantor pusat mengenai adanya bukti permulaan. Disitu terdapat informasi bahwa ABIL belum memiliki NPWP/tidak mendaftarkan diri;
Bahwa ada data-data mengenai pendirian ABIL yang saksi lampirkan dalam BAP yaitu berupa foto copy Certificate Of Incumbency, foto copy legalisassi board of resolution, foto copy surat dari pengelola gedung Menara Kadin, foto copy letter of agreement antara PT. Madani Securities dengan ABIL, dan invoice. Dari dokumen-
187
dokumen tersebut saksi mengetahui bahwa ABIL sudah berdiri api tidak mendaftarkan diri sebagai wajib pajak di KPP;
Bahwa saksi bertugas di kantor pelayanan pajak di bagian Kasi pelayanan, salah satu tugasnya adalah menerbitkan NPWP dan pengukuhan TKP;
Bahwa untuk bisa diterbitkan NPWP kalau dia bisa disebutkan sebagai wajib pajak;
Bahwa dalam Pasal 1 butir 2 KUP UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dalam UU No. 16 Tahun 2000, disebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara maupun daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organiasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap (BUT), dan bentuk badan atau badan sebagaimana definisi Ayat (2), yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban pajak termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu;
Bahwa sebelum mendapatkan data NPWP ABIL belum terdaftar. Jadi NPWP ABIL ditetapkan secara jabatan, artinya NPWP ditetapkan oleh kantor pajak setelah ada kasus ini. Jadi sebagai wajib pajak ABIL tidak mendaftarkan diri;
Bahwa dasar diterbitkannya NPWP secara jabatan adalah sesuai ketentuan pasal 2 Ayat (1) bahwa setiap wajib pajak, wajib mendaftarkan diri kepada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi daerah tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak, dan kepadanya didirikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Pasal 2 Ayat (4) menyatakan bahwa direktur Jenderal Pajak menerbitkan NPWP dan atau mengukuhkan pengusaha kena pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagai mana dimaksud dalam Ayat (1) dan atau Ayat (2). Dalam penjelasan Ayat (4) dinyatakan bahwa terhadap wajib pajak atau pengusaha kena pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan
188
atau melaporkan usahanya, dapat diterbitkan NPWP dan atau pengukuhan wajib pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh kantor Direktorat Pajak ternyata orang pribadi atau badan pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP dan atau dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak;
Akibat perbuatan kriminal yang dilakukan oleh Terdakwa
dalam perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel, Negara
telah dirugikan sebesar Rp. 5.005.469.360.00 (lima milliar lima juta
empat ratus enam puluh sembilan tiga ratus enam puluh rupiah) dari
sektor penerimaan pajak
Selanjutnya, salah satu unsur-unsur tindak pidana dari sisi
objektif, yaitu keadaan-keadaan yang menyertai suatu perbuatan
pada waktu dilakukan dan keadaaan yang datang kemudian
sesudah perbuatan dilakukan.
Keadaan-keadaan yang menyertai suatu perbuatan pada
waktu perbuatan dilakukan merupakan “keadaaan penyerta’ yang
dirumuskan pada perbuatan pidana, sebagaimana yang telah
dimuat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), sebagai berikut :
a. Cara melakukan perbuatan atau sarana yang digunakan. Hal ini
dijumpai, antara lain pada Pasal 211, 285, dan 289 KUHP, yakni
189
“memaksa dengan kekerasan atau dengan ancaman
kekerasan”, Pasal 378 KUHP yakni dengan menggunakan nama
palsu.
b. Waktu dan tempat dilakukan. Hal ini antara lain dijumpai pada
Pasal 124 KUHP, yakni dalam keadaan perang.
c. Subjek dan objek tindak pidana yang ditentukan pada
perumusan. Hal ini dimuat antara lain dalam Pasal 302 KUHP,
yakni sebagai seorang ibu, Pasal 294 Ayat (2) sub. 2. E yakni
seorang dokter, pendidik, atau pengawas.
Dalam ketentuan tindak pidana perpajakan sebagaimana
diatur dalam UU No. 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU
No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
terdapat juga keadaan-keadaan yang menyertai tindak pidana
perpajakan itu sendiri. Sebagai contoh dalam Pasal 41A Ayat (1) :
“Penanggung Pajak yang melanggar ketentuan memindahkanhak,memindahtangankan,menyewakan,meminjamkan,menyembunyikan,menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita; membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk pelunasan utang tertentu; membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau digunakan untuk pelunasan utang tertentu; dan atau merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan dipidana dengan denda pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000.00 (dua belas juta rupiah)”.
190
Berdasarkan rumusan Pasal 41A Ayat (1) Undang-Undang
No. 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
tersebut jika perbuatan dilakukan oleh seseorang yang bukan
sebagai penanggung pajak, Pasal 41A Ayat (1) Undang-Undang
No. 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
tidak dapat diterapkan.
Dalam perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel,
Terdakwa (an. Widjokongko Puspoyo) didakwa dengan ketentuan
Pasal 39 Ayat (1) huruf a, b Undang-Undang No. 16 Tahun 2000
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang unsur-
unsurnya :
“………..Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau tidak menyampaikan surat pemberitahuan………….”
Mengamati rumusan Pasal 39 Ayat (1) huruf a, b Undang-
Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan
191
Tata Cara Perpajakan di atas, yang dapat dikenakan sanksi pidana
adalah subjek hukum yang telah memenuhi kriteria sebagai wajib
pajak.
Keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan terdakwa (an.
Widjokongko Puspoyo) adalah sebagai wajib pajak/pengusaha kena
pajak/Pengurus badan usaha tetap (BUT) namun tidak
melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana telah ditentukan
dalam ketentuan Undang-Undang Perpajakan.
Hal diatas tersebut telah digambarkan dalam dakwaan
penuntut umum pada perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN.
Jaksel , sebagai berikut :
Sesuai dengan tujuan pendirian ABIL, Terdakwa selaku Direktur ABIL telah menjalankan kegiatan usaha di Indonesia berupa pembelian piutang (cessie) BPPN atas 28 (dua puluh delapan) perusahaan, yaitu:
PT. Bukit Barisan permai sebesar Rp. 2.497.720.120.00;
PT. Bumi Permata Abadi Permai sebesar Rp. 5.626.797.600.00;
PT. Delimas Suryakanaka sebesar Rp. 5.220.904.637.50;
PT. Delta Komperta Perkasa sebesar Rp. 5.964.684.643.10;
PT Dwi Putra Sabaraya Kencana sebesar Rp. 4.099.594.678.92;
PT. Dwimanda Eltra Ind sebesar Rp. 2.450.000.000.00;
PT. Galvano Wahana Lestari sebesar Rp. 2.602.273.973.25;
192
PT. Griya Agung Mulatama sebesar Rp. 2.532.131.406.00;
PT.Inasa wahana Lestari sebesar Rp. 2.041.538.991.60;
PT Indobent Wijaya Mineral sebesar Rp. 2.658.450.433.40;
PT. Karya Arun Marine sebesar Rp. 2.696.296.771.39;
PT. Pinusa Dirgantara sebesar Rp.1.558.059.680.78;
CV. Sumber Makmur sebesar Rp. 2.274.679.872.00;
CV. Trio Jaya sebesar Rp. 2.000.000.000.00;
PT. Duta Graha Indah sebesar Rp. 8.516.006.871.00;
PT. Famili Jaya sebesar Rp. 6.027.422.331.79;
PT. Gaya Indah Kharisma sebesar Rp. 1.330.016.760.00;
PT. Inti Technodrilindo sebesar Rp. 2.138.500.000.00;
PT. Kawan Sejati sebesar Rp. 1.483.656.750.00;
PT. Kreasi Plastik Indotama sebesar Rp. 7.033.523.964.87;
PT. Laksana Kurnia Mandiri Sejati sebesar Rp. 2.693.428.911.23;
PT. Sinar Mandiri Alam Sejahtera sebesar Rp. 2.500.000.000.00;
PT. Gubah Nusa Semesta sebesar Rp. 2.587.206.793.05;
PT. Karyana Gita Utama sebesar Rp.22.400.000.000.00;
PT. Cipta Trampil Makmur sebesar Rp. 3.289.442.029.28;
PT. Dharma Pratama Sejati sebesar Rp. 4.492.542.037.55;
PT. Laksana Kurnia Sejati sebesar Rp. 2.059.146.880.79;
PT. Logam Sari Bearindo sebesar Rp. 7.100.000.000.00;
Dengan total nilai pembelian hak tagih (cessie) BPPN oleh ABIL keseluruhannya sebesar RP. 117.874.026.137.50 (seratus tujuh belas milliard delapan
193
ratus tujuh puluh empat juta dua puluh enam ribu seratus tiga puluh tujuh rupiah lima puluh sen);
Bahwa atas hutang-hutang tersebut diatas masing-masing perusahaan sanggup kepada ABIL selaku pemegang hak cessie untuk melakukan pembayaran sebagai berikut :
PT. Bukit Barisan permai sebesar Rp. 3.278.257.657.50;
PT. Bumi Permata Abadi Permai sebesar Rp. 7.033.497.000.00;
PT. Delimas Suryakanaka sebesar Rp. 6.430.626.443.75;
PT. Delta Komperta Perkasa sebesar Rp. 9.620.459.101.79
PT Dwi Putra Sabaraya Kencana sebesar Rp. 4.999.505.706.00;
PT. Dwiamanda Eltra Ind sebesar Rp. 3.150.000.000.00;
PT. Galvano Wahana Lestari sebesar Rp. 3.345.780.822.75;
PT. Griya Agung Mulatama sebesar Rp. 3.331.751.850.00;
PT.Inasa wahana Lestari sebesar Rp. 2.551.923.739.00;
PT Indobent Wijaya Mineral sebesar Rp. 3.058.450.433.40;
PT. Karya Arun Marine sebesar Rp. 4.348.865.760.30;
PT. Pinusa Dirgantara sebesar Rp. 2.385.759.004.92;
CV. Sumber Makmur sebesar Rp. 2.890.607.633.00;
CV. Trio Jaya sebesar Rp. 2.250.000.000.00;
PT. Duta Graha Indah sebesar Rp.10.503.075.140.00;
PT. Famili Jaya sebesar Rp. 6.779.155.334.43;
PT. Gaya Indah Kharisma sebesar Rp. 2.574.225.954.00:
PT. Inti Technodrilindo sebesar Rp. 3.055.000.000.00:
PT. Kawan Sejati sebesar Rp. 1.703.934.000.00;
194
PT. Kreasi Plastik Indotama sebesar Rp. 8.033.523.995.47;
PT. Laksana Kurnia Mandiri Sejati sebesar Rp. 4.029.772.050.90;
PT. Sinar Mandiri Alam Sejahtera sebesar Rp. 3.273.266.425.95;
PT. Gubah Nusa Semesta sebesar Rp. 3.332.008.748.63;
PT. Karyana Gita Utama sebesar Rp.23.400.000.000.00;
PT. Cipta Trampil Makmur sebesar Rp. 3.789.442.029.28;
PT. Dharma Pratama Sejati sebesar Rp. 6.443.918.604.44;
PT. Laksana Kurnia Sejati sebesar Rp. 3.082.900.599.44;
PT. Logam Sari Bearindo sebesar Rp. 15.885.003.255.00;
Berdasarkan sanggup masing-masing perusahaan tersebut diatas, ABIL memperoleh penghasilan sebesar Rp. 154.260.711.290.50 (seratus lima puluh empat milliar dua ratus enam puluh juta tujuh ratus sebelas ribu dua ratus Sembilan puluh rupiah lima puluh sen). Sehingga ABIL sebesar Rp. 36.660.960.153.00 (tiga puluh enam milliar enam ratus enam puluh juta sembilan ratus enam puluh ribu seratus lima puluh tiga rupiah);
Meskipun ABIL memiliki managemen maupun kantor di Indonesia sehingga memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT), telah menjalankan kegiatan usahanya dan mendapatkan penghasilan serta memperoleh keuntungan dari kegiatannya tersebut, namun Terdakwa Widjokongko Puspoyo selaku Direktur ABIL di Indonesia dengan sengaja tidak pernah mendaftarkan ABIL sebagai Badan Usaha Tetap (BUT) ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tidak pernah melaporkan usahanya dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak, atas nama ABIL sehingga terdapat kewajiban perpajakan berupa PPh Badan dan PPh Pasal 26 Ayat (4) yang tidak dibayar sebesar Rp. 5.005.469.360.00 (lima milliar lima juta empat ratus enam puluh sembilan ribu tiga ratus enam puluh rupiah) terdiri dari:
195
Pajak BUT (Income Tax) Rp. 3.412.138.200.00 (tiga milliard empat ratus dua belas juta seratus tiga puluh delapan ribu dua ratus rupiah)
PPH Pasal 26 atas Branch Profit Rp. 1.593.331.160.00 (satu milliard lima ratus embilan puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh satu seratus enam puluh rupiah);
Lalu diperkuat oleh saksi Bimo Ariwibowo :
“Bahwa saksi membuat presentasi di BPPN untuk membeli asset-asset kredit. Jumlah debitur yang dimenangkan oleh ABIL berjumlah 28 perusahaan/debitur”
Berikutnya, analisis mengenai sifat melawan hukum dalam
perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel, mengenai tindak
pidana perpajakan. Salah satu unsur objektif dari tindak pidana
adalah unsur melawan hukum.
Melawan hukum berarti apa yang bertentangan dengan hak
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
tindak pidana dan juga bertentangan baik dengan tata susila
maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat. Beberapa
pandangan membedakan unsur melawan hukum atas :
a. Melawan hukum dalam arti formil;
b. Melawan hukum dalam arti materiil;
196
Menurut ajaran melawan hukum dalam arti formil, suatu
perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat melawan hukum
apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat
dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang, sedangkan
menurut ajaran melawan hukum materiil, apakah suatu perbuatan
itu dapat dipandang sebagai melawan hukum atau tidak,
masalahnya bukan saja harus ditinjau sesuai dengan ketentuan
hukum yang tertulis melainkan juga harus ditinjau menurut asas-
asas hukum umum dari hukum tidak tertulis.
Dalam perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel,
perbuatan Terdakwa (An. Widjokongko Puspoyo) telah memenuhi
unsur melawan hukum baik dari segi formiil maupun materiil,
sebagaimana diuraikan dibawah ini :
a. Melawan hukum formil
Suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat
melawan hukum apabila perbuatan tersebut memenuhi semua
unsur yang terdapat dalam rumusan suatu delik menurut
undang-undang. Dalam perkara pidana No.
2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel, perbuatan Terdakwa (An.
Widjokongko Puspoyo) memenuhi rumusan ketentuan Pasal 39
Ayat (1) huruf a, b Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang
197
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
berbunyi :
1) Setiap orang
2) Dengan sengaja
3) Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau; tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29; atau memperlihatkan
pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar; atau tidak
meyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan,
atau dokumen lainnya; atau tidak menyetorkan pajak
yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara
198
4) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
b. Melawan hukum materiil
Perbuatan itu dapat dipandang sebagai melawan hukum atau
tidak, masalahnya bukan saja harus ditinjau sesuai dengan
ketentuan hukum yang tertulis melainkan juga harus ditinjau
menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis.
Dalam perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel,
perbuatan Terdakwa (An. Widjokongko Puspoyo) selain
memenuhi rumusan ketentuan Pasal 39 Ayat (1) huruf a, b
Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan juga akibat perbuatan
Terdakwa Negara dirugikan pada sektor penerimaan pajak.
Dimana pajak-pajak sebenarnya merupakan jiwa Negara, sebab
tanpa pajak Negara tidak akan atau sukar hidup. Kebutuhan
Negara adalah kelangsungan hidup lembaga-lembaganya, yang
mampu melakukan fungsinya masing – masing, yang lain
daripada kebutuhan manusia secara fisik. Singkatnya, pajak
199
merupakan sumber utama pendapatan Negara disamping
sumber alam.
Unsur objektif tindak pidana berikutnya adalah unsur sifat
dapat dihukum. Pada hakikatnya setiap delik/tindak pidana memiliki
sifat melawan hukum. Undang-undang yang memuat larangan atau
perintah membuat sanksi sebagai akibat tidak dipatuhinya larangan
atau perintah tersebut. Salah satu unsur perintah atau larangan itu
adalah melawan hukum. Jika unsur melawan hukum tidak terbukti,
sifat dapat dihukum menjadi hapus.
Alasan-alasan yang menghapuskan atau membebaskan
hukuman tersebut dalam ilmu hukum pidana disebut
Strafuitsluitingsgronden, yakni meskipun perbuatan telah memenuhi
semua unsur delik/tindak pidana, sifat dapat dihukum lenyap karena
terdapat alasan-alasan yang membebaskannya.
Berikut dibawah ini akan diuraikan alasan-alasan yang
menghapuskan pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, yaitu :
a. Kurang sempurna akal atau sakit ingatan
Hal ini diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP yang berbunyi
sebagai berikut :
200
“Tiada boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit ingatan”
b. Keadaan Memaksa (Overmacht/Compulsion)
Hal ini diatur dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut :
“Tiada boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan karena terdorong oleh suatu keadaan memaksa”
c. Pembelaan Darurat (Noodwer)
Noodweer diatur dalam Pasal 49 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut :
1) Tiada boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan,
yang terpaksa dikerjakan untuk membela dirinya sendiri
atau orang lain, membela perikesopanan sendiri atau
kesopanan orang lain atau membela harta benda
kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain, karena
serangan yang melawan hukum dan yang berlaku
seketika itu atau mengancam dengan seketika.
2) Tiada boleh dihukum barangsiapa melampaui batas
pembelaan yang perlu jika perbuatan itu dilakukannya
karena sangat panas hatinya (guncang jiwanya),
disebabkan oleh serangan itu.
201
d. Pelaksanaan Peraturan Yang Berdasarkan Undang-Undang
Hal ini diatur dalam Pasal 50 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut :
“Tiada boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan”.
e. Pelaksanaan Perintah Jabatan Yang Sah
Hal ini diatur dalam Pasal 51 Ayat (1) KUHP yang berbunyi :
“Tiada boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan suatu perintah jabatan yang sah, yang diberikan oleh pembesar (penguasa) yang berhak untuk itu”.
Dalam perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel,
perbuatan Terdakwa (an. Widjokongko Puspoyo) dalam proses
persidangan tidak terdapat alasan-alasan yang menghapuskan
atau membebaskan hukuman yang dikenakan.
3. PertanggungJawaban Pidana (Mens Rea)
Jika actus reus menyangkut perbutan yang melawan hukum
(unlawful act), maka mens rea mencakup unsur-unsur pembuat
tindak pidana/delik, yaitu sikap batin atau keadaan psikis yang
wujudanya berupa kesalahan. Kesalahan yang dimaksud disini
adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan dan
kelalaian.
202
Kesengajaan sendiri terbagi atas 3 (Tiga) bentuk, yakni :
a) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
Kehendak untuk melakukan perbuatan atau mencapai
akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman
hukuman pidana. Atau dengan kata lain sengaja sebagai
maksud adalah dikehendaki dan dimengerti.
b) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als
zekerheidsbewustzijn);
Sengaja dengan keinsafan pasti adalah mengetahui pasti
atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan
terjadi suatu akibat lain.
c) Kesengajaan keinsafan akan kemungkinan (dolus
eventualis)
Mewujudkan perbuatan dengan tujuan menimbulkan
suatu akibat tertentu, akan tetapi ada kemungkinan akan
timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh
undang-undang
Sedangkan, kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih
ringan dari kesengajaan. Kealpaan terdiri atas (2) bentuk, yakni :
a) Tak berhati-hati;
Dalam hal ini, pelaku tindak pidana telah membayangkan
atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi
203
walaupun ia berusaha untuk mencegah, pada akhirnya
timbul juga akibat tersebut.
b) Dapat menduga akibat perbuatan itu
Dalam hal ini, pelaku tindak pidana tidak membayangkan
atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang
dan diancaman hukuman oleh undang-undang, sedang
ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu
akibat .
Dalam ketentuan pidana Undang-Undang No. 16 Tahun
2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
juga telah dirumuskan unsur kesalahan berupa kesengajaan dan
kelalaian pada ketentuannya, sebagaimana yang diuraikan
dibawah ini :
Pasal 38 Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, berbunyi
“Setiap orang yang karena kealpaannya : a) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
tidak b) Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
204
tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.
Pasal 39 Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja : a) Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau
menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau
b) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau c) Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
d) Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau
e) Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
f) Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
g) Tidak, menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.
Dalam perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel,
perbuatan Terdakwa (an. Widjokongko Puspoyo) mencocoki
rumusan Pasal 39 Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
205
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terutama
dalam unsur kesalahan (kesengajaan)
Hal tersebut sesuai keterangan terdakwa sendiri (An.
Wdjokongko Puspoyo) pada perkara pidana No.
2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel, sebagai berikut :
Bahwa terdakwa berada dalam keadaan sehat jasmani dan rohani;
Bahwa pada tahun 2002, ABIL belum punya NPWP;
Bahwa ABIL berkantor di Menara Kadin Indonesia; Bahwa terdakwa baru membayar, karena
sebelumnya tidak tahu; Bahwa kedudukan terdakwa sebagai direktur
investasi; Bahwa tugas terdakwa sebagai direktur investasi
melakukan analisis mengenai peluang investasi Indonesia. Namun apa yang dianalisa tersebut tidak selalu menjadi pertimbangan bagi ABIL dalam melakukan suatu tindakan, karena tetap tergantung kepada John Vander Wal;
Bahwa terdakwa pernah berurusan dengan BPPN yang ditanda-tangani oleh terdakwa, tidak melulu urusan John VanDer Wal;
Bahwa terdakwa juga ada menentukan bisnis ABIL; Bahwa terdakwa memperoleh keuntungan dan hasil
dari ABIL yang dijanjikan demikian, walaupun dalam kenyataannya belum;
Bahwa terdakwa mendapatkan NPWP jabatan, saat terdakwa disidik oleh Penyedik Ditjen Pajak di Rutan Kejagung, pada sekitar bulan Juni Tahun 2007;
Bahwa sebagai badan pribadi, tidak punya NPWP; Bahwa John Vander Wall pemilik ABIL John Taffe
adalah salah satu staf John Van Der Wal di ABIL, hubungan kerja antara terdakwa dengan Jhon tidak ada;
206
Bahwa secara pribadi, terdakwa tahu untuk pribadi harus daftar, demikian pun dengan kewajiban dari perusahaan;
Bahwa terdakwa membenarkan Berita Acara Pemeriksaannya pada point No. 7;
Bahwa terdakwa bekerja di Jhon Van Der Wal yang akan mengcounter pajak, terdakwa baru tahu, yang terdakwa tahu terdakwa menghormati head of agreement. Dima pajak akan dibayar John Van Der Wall;
Bahwa terdakwa tahu surat yang dibuat oleh John yang ditujukan kepada Menkeu, tgl. Agustus, tetapi baru diterima 9 Agustus 2007;
Bahwa terdakwa tidak pernah menerima teguran dan surat paksa dari Dirjen Pajak;
Bahwa tugas terdakwa untuk pembayaran pajak tidak ada di teapkan oleh Jhon Van Der Wal, karena merupakan tanggung jawabnya;
Jaksa Penuntut Umum memperlihatkan lampiran-lampiran dalam berkas perkara yang dibenarkan oleh terdakwa;
Bahwa dalam Certificate of Incumbency, alamat ABIL adalah di Gedung Menara Kadin Kuningan;
Bahwa terdakwa memperlihatkan surat yang diperlihatkan terdakwa dari John Van Der Wall yang ditujukan kepada terdakwa mengenai pembatalan pembelian pabrik drum;
Bahwa terdakwa memperlihatkan surat-surat dari John Van Der Wal, yang ditujukan kepada terdakwa yang menyatakan bahwa pajak adalah tanggung jawabnya;
Bahwa dalam perkara terdakwa, yang disita hanya dokumen-dokumen, dan membenarkannya;
Bahwa tidak ada barang bukti lain yang disita selain surat-surat;
Tergambar dari keterangan yang digambarkan oleh
Terdakwa (an. Widjokongko Puspoyo), yang olehnya kesalahan
tidak harus ditimpakan kepada dirinya, melainkan terhadap
207
pimpinan perusahaan induk ABIL yakni John Van Der Wall. Hal
demikian berdasarkan Head of Agreement tertanggal 17 Juni 2002
antara Widjokongko dengan John Van Der Wall , Direktur ABIL.
Dalam perjanjian tersebut, Direktur investasi hanya sebagai
penerima kuasa dari Van Der Wall dalam melakukan tindakan-
tindakan sesuai yang tercantum dalam power of attorney (surat
kuasa khusus). Yakni, untuk menandatangani perjanjian dan
dokumen administrasi yang berkaitan dengan kegiatan investasi
ABIL di Indonesia, membuka rekeing bank, serta menjadi
authorized signatory.
Sedangkan untuk melakukan pengeluaran dana dari
rekening ABIL, harus terlebih dahulu mendapat perintah dan
persetujuan John Van Der Wall. Dengan demikian terdakwa tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan transfer dana, singkatnya
kewenangan John Van Der Wal lebih luas terhadap ABIL termasuk
dalam hal pengurusan pajak.
Berdasarkan ketentuan sistem perpajakan Indonesia,
pengenaan unsur kesalahan kepada Terdakwa (An. Widjokongko
Puspoyo) perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel, secara
yuridis telah sesuai, oleh karena Pasal 32 Undang-Undang No. 16
Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.
208
6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, yaitu sebagai berikut :
“Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal : a. Badan oleh pengurus; b. Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau
badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan; c. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang
ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya;
d. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya”.
Pengenaan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang No. 16
Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.
6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, sama dengan keterangan ahli Astera Primanto Bhakti
dalam kesaksiannya pada perkara pidana No.
2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel, yaitu sebagai berikut :
Bahwa kewajiban yang harus dipenuhi yaitu oleh badan, bisa diwakilkan oleh pengurus atau direksi, yang dimaksud dengan pengurus yaitu orang yang secara nyata melaksanakan kegiatan sehubungan dengan perusahaan, berdasarkan pasal 32 KUP pasal 1,2,3,4 contohnya menanda-tangani suatu kontrak, mengambil kebijakan, dan lain-lain sehubungan dengan kegiatan perusahaan;
Bahwa yang disebut dengan Tax Treaty adalah jika penduduk suatu Negara yang dikenakan pajak Tax Resicende, dia melakukan kegiatan usaha di Negara lain, dalam hal perbedaan azas perpajakan antara suatu Negara dengan Negara lain, maka akan sangat
209
dimungkinkan adanya Double Taxation maka akan dikenakan pajak di negaranya dan dinegara lain. Untuk itu adalah hal biasa jika dua Negara melakukan negosiasi pembayaran hak pengalihan pajak yang diimplementasi dengan sebutan Tax Traty yang lebih dikenal di Ditjen Pajak dengan sebutan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
Bahwa BVA tidak ada tax treaty dengan Indonesia; Bahwa jika terjadi adanya suatu perusahaan asing
yang melakukan kegiatan di Indonesia, mempunyai dua orang direktur, satu berbangsa asing, satu berkebangsaan Indonesia, yang harus membayar pajak untuk Indonesia maka pasal 32 yaitu pengurus, pengurus yang bertanggung jawab dan jika yang membayar pajak adalah yang diluar negeri maka tidak ada maslah yang penting ada pembayaran pajak;
Bahwa NPWP tersebut diberikan karena ditetapkan secara jabatan, dan diberikan kepada wajib pajak. Hal ini terjadi jika ada fakta bahwa suatu perusahaan harus mendaftarkan pajaknya, kemudian ternyata tidak ada NPWP maka kepadanya diberikan NPWP;
Bahwa perjanjian antara para pihak tidak mengikat kepada DItjen Pajak, contoh : jika dua orang melakukan pencurian, tetapi karena ada perjanjian bahwa yang ditangkap seorang saja, maka berdasarkan ketentuan, tidak mungkin polisi hanya menangkap seorang saja, eduanya harus ditangkap karena telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang;
Bahwa implementasi dari penunjukan adalah surat kuasa;
Bahwa agreement yang dibuat oleh pihak-pihak, hanya ditanda-tangani oleh kedua belah pihak, Ditjen Pajak tidak ikut menanda-tangani. Dan dalam peraturan Ditjen Pajak, ketentuan pajak berlaku secara general;
Bahwa kepengurusan suatu perusahaan bila tidak ada ketentuan periodisasinya maka akan tetap akan dianggap sebagai pengurus. Komisaris saja bisa
210
diuber untuk dikenakan pajak, jika pajak belum juga dibayarkan;
Bahwa ahli memberikan pendapatnya sesuai dengan posisi undang-undang yang berlaku saat itu;
Demikian hal-nya keterangan yang disampaikan oleh Saksi
Sumaryanti pada perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel,
yaitu sebagai berikut :
Bahwa penerbitan NPWP secara jabatan itu tidak menghapus kesalahan atau apa yang belum dilakukan pada tahun sebelumnya. Karena menurut Pasal 2 Ayat (1) dalam penjelasannya dinyatakan bahwa terhadap wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, dikenakan sanksi sesuai dengan perundang-undangan perpajakan. Sampai saat ini ABIL tidak mendaftarkan diri, sehingga memperoleh NPWP secara jabatan;
Bahwa berdasarkan NPWP tersebut bisa diketahui siapa penanggungjawab ABIL di Indonesia. Berdasarkan UU KUP Pasal 1 butir 25 menyatakan bahwa penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggungjawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan. Dan disini terdakwa memenuhi syarat yang dimaksudkan tersebut;
211
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap
Terdakwa Pada Perkara Pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel.
Secara teoritik, hukum pidana dikenal adanya tiga teori system
pembuktian yaitu system pembuktian menurut undang-undang secara
positif, system pembuktian menurut keyakinan hakim, dan system
pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif
bergantung pada alat-alat bukti yang ada didalam undang-undang
tanpa adanya peranan dari keyakinan hakim. Dalam sistem ini, hakim
terikat pada undang-undang, tanpa harus mempertimbangkan
keyakinannya sendiri. Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim,
kesalahan terdakwa hanya dilihat semata-mata ditentukan oleh
keyakinan hakim belaka. Asal muasal dari mana hakim mengambil
kesimpulan bersalah atau tidaknya terdakwa, didalam sistem ini tidak
menjdai masalah.
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
pada prinsipnya menyatakan bahwa hakim hanya bisa menyatakan
Terdakwa bersalah jika terdapat alat-alat bukti yang terkandung
didalam undang-undang serta didukung oleh keyakinan hakim
berdasarkan alat-alat bukti tersebut. Indonesia menganut system ini,
hal tersebut jelas dapat dilihat dari Pasal 183 KUHAP yang
menyatakan bahwa :
212
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Putusan hakim dalam perkara pidana memiliki tiga bentuk,
antara lain :
a. Putusan bebas (Vrijspraak)
Putusan bebas diambil jika salah satu unsur dalam pasal yang
didakwakan tidak terbukti. Hal ini diatur dalam Pasal 191 Ayat (1)
KUHAPyang menegaskan bahwa :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle
rechtsvervolging); dan
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum jika perbuatan Terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi
perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana. Hal ini
diatur dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
213
c. Putusan pemidanaan (veroordeling)
Putusan pemidanaan diputuskan jika perbuatan terdakwa
sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum dalam surat
dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut
hukum.
Dalam Kasus perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel,
Terdakwa (an. Widjokongko Puspoyo) dituntut dengan 5 (lima) tahun
penjara dan denda sebesar Rp. 10.000.000.000.00.- (sepuluh milliar
rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan, adapun yang menjadi
tuntutan penuntut umum yakni sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa WIDJOKONGKO PUSPOYO bersalah melakukan :
a. Tindak Pidana Korupsi dalam member bantuan penerimaan hadiah oleh Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi jo. Pasal 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana KOrupsi jo. Pasal 56 ke-1 KUHP dalam dakwaan kesatu;
b. Tindak Pidana Perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Ayat (1) huruf a, b ndang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam dakwaan kedua;
2. Menghukum terdakwa WIDJOKONGKO PUSPOYO dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan; menetapkan agar Terdakwa membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.00,- (sepuluh milliard rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan ;
214
3. Menyatakan barang bukti berupa : 89 dokumen dijadikan sebagai Barang Bukti dalam perkara Widjanarko Puspoyo MA dan 80 dokumen Terlampir dalam berkas perkara;
4. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar Biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah);
Putusan dalam kasus perkara pidana No. 2065/Pid.B/2007/PN.
Jaksel, menghukum Terdakwa (an. Widjokongko Puspoyo) dengan
pidana penjara selama 4 (empat) tahun penjara dan denda sebesar
Rp. 7.500.000.000,- (tujuh milliar lima ratus juta rupiah), sebagaimana
amar putusannya yakni sebagai berikut :
MENGADILI
Menyatakan terdakwa Widjokongko Puspoyo, menurut hukum terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Membantu pegawai negeri menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah tersebut ada hubungan dengan jabatannya dan sengaja tidak mendaftarkan diri dan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Perhitungan dan/atau pembayaran pajak, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara”;
Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun;
Menetapkan bahwa pidana yang dijatuhkan tersebut dikurangi dengan waktu selama terdakwa dalam tahanan;
Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
215
Menghukum terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp. 7.500.000.00.00.,- (tujuh milliard lima ratus juta rupiah);
Menetapkan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan kurungan pengganti denda selama 6 (enam) bulan kurungan:
Menyatakan barang bukti berupa : 89 dokumen dijadikan sebagai Barang Bukti dalam perkara Widjanarko Puspoyo MA dan 80 dokumen Terlampir dalam berkas perkara;
Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (Lima ribu rupiah)
Hakim dalam putusannya No. 2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel
memberikan pertimbangan dalam penjatuhan putusan (terkhusus
mengenai masalah tindak pidana perpajakan yang diatur dalam Pasal
39 Ayat (1) huru a dan b Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) , yang oleh penulis
membaginya menjadi dua unsure, yang antara lain :
1. Pertimbangan Hakim Mengenai Unsur Perbuatan Kriminal
(Actus Reus)
Menimbang, bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa dalam dakwaan kedua adalah melakukan tindak pidana
sebagaimana Pasal 39 Ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang No.
6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan tata Cara
Perpajakan, yang memiliki unsur tindak pidana sebagai berikut :
216
Unsur Objektif
Tidak mendaftarkan diri atau; menyalahgunakan atau;
menggunakan tanpa Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; atau
Tidak menyampaikan Surat pemberitahuan;
Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
Unsur Subjektif
Dengan sengaja;
Menimbang, bahwa tetang unsur kesatu “tidak mendaftarkan
atau ,menyalahgunakan atau menggunakan tanpaNomor Pokok
Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak” adalah
terdiri dari beberapa perbuatan yang dirumuskan secara alternatif,
oleh karena itu maka apabila salah satu perbuatan itu telah terbukti
dilakukan terdakwa, maka unsur ini dianggap telah terpenuhi;
Menimbang, bahwa dari fakta yang diperoleh di persidangan
sebagaimana terurai di atas telah ternyata;
Bahwa Arden Bridge Investment Limited (ABIL) adalah
Badan Hukum yang didirikan terdakwa bersama John
Vander Wal pada tanggal 17 Juli 2002 berkedudukan di
British Virgin Islands (BVI) dengan tujuan untuk
melakukan transaksi dengan Badan Penyehatan
217
Perbankan Nasional (BPPN) atas piutang sejumlah
perusahaan;
Bahwa dalam menjalankan usahanya tersebut ABIL telah
membuka kantor di Indonesia pada tanggal 28 Agustus
2002 dan sesuai dengan keterangan saksi-saksi dan
barang bukti Head of agreement dan Certificate of
Incumbency, terdakwa Widjokongko Puspoyo adalah
sebagai Direktur dan juga sebagai Representative
Office’s Executive di Indonesia. Atas jabatan tersebut
terdakwa mempunyai wewenang mewakili dan bertindak
untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan
transaksi dan mengambil keputusan;
Bahwa kantor perwakilan ABIL di Indonesia sesuai
dengan Board Resolution dan Certificate of Incumbency
dan keterangan saksi-saksi adalah berkantor di gedung
Menara Kadin Indonesia Jl. HR. Rasuna Said X.5
Kapling 2-3 Jakarta Selatan, kemudian berkantor di
Menara DEA Mega Kuningan Jl. HR Rasuna Said
Jakarta Selatan dan terakhir di Taman Unit B.6 Kuningan
Jakarta Selatan;
Bahwa selanjutnya badan usaha ini pada tahun 2002
telah berhasil melakukan transaksi pembelian piutang
218
atas 28 (dua puluh delapan) perusahaan sebagaimana
terurai di atas dengan nilai seluruhnya adalah sebesar
Rp. 117.874.026.137.50 (seratus tujuh puluh tujuh rupiah
lima puluh sen);
Bahwa kemudian ABIL melakukan negosiasi dengan ke-
28 (dua puluh delapan) perusahaan tersebut dan berhasil
membuat kesepakatan penyelesaian pembayaran utang
bahwa masing-masing perusahaan selaku debitur
mengaku berhutang kepada ABIL dan akan membayar
seluruhnya sebesar Rp. 154.260.711.290.50 (seratus
lima puluh empat milliard dua ratus enam puluh juta tujuh
ratus sebelas juta dua ratus Sembilan puluh rupiah lima
puluh sen) ;
Bahwa dengan demikian maka ABIL telah memperoleh
laba kotor (bruto) yaitu : Rp. 154.260.711.290.50 (seratus
lima puluh empat milliard dua ratus enam puluh juta tujuh
ratus sebelas juta dua ratus Sembilan puluh rupiah lima
puluh sen) dikurang Rp. 117.874.026.137.50 (seratus
tujuh belas milliard delapan ratus tujuh puluh empat juta
dua puluh enam ribu seratus tiga puluh tujuh rupiah lima
puluh sen) adalah sebesar Rp. 36.386.685.153.00 (tiga
puluh enam milliar tiga ratus delapan puluh enam juta
219
enam ratus delapan puluh lima ribu seratus lima puluh
tiga rupiah;
Bahwa setelah dikurangi biaya-biaya :
Fee frontier ke Madani sebesar Rp.
800.000.000.00 (delapan ratus juta rupiah);
Imbalan jasa ke Yayasan Bina Sejahtera Warga
Bulog sebesar Rp. 10.233.723.928.00 (sepuluh
milliar dua ratus tiga puluh tiga juta tujuh ratus dua
puluh tiga ribu sembilan ratus delapan belas
rupiah) maka diperoleh laba usaha Rp.
25.352.961.235.00 (dua puluh lima milliar tiga
ratus lima puluh dua juta sembilan ratus enam
puluh satu ribu dua ratus tiga puluh lima rupiah);
Bahwa dari laba usaha ini setelah dikurangi komitmen
yang belum direalisasi Rp. 14.248.442.168.00 (empat
belas milliar dua ratus empat puluh delapan juta empat
ratus empat puluh dua ribu seratus enam puluh delapan
rupiah), maka penghasilan bersih yang diperoleh adalah
Rp.11.104.519.067.00 (sebelas milliar seratus empat juta
lima ratus sembilan belas ribu enam puluh tujuh rupiah) ;
Bahwa dengan demikian maka Penghasilan Kena Pajak
ABIL adalah sebesar Rp. 11.104.519.000.00 (sebesar
220
milliar seratus empat juta lima ratus sembilan belas ribu
rupiah)
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di atas maka ABIL
telah melakukan kegiatan dan memperoleh penghasilan di
Indonesia oleh karena itu maka sesuai Pasal 2 Ayat (5) Undang-
Undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah
dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 Tentang Pajak
Penghasilan, maka ABIL termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT)
yang menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang tersebut adalah
termasuk Wajib Pajak ;
Menimbang, bahwa selaku Wajib Pajak menurit Pasal 2 Ayat
(1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Tata Cara Perpajakan
wajib, mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak, sehingga kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak;
Menimbang bahwa dari fakta yang terungkap di persidangan
sebagaimana terurai di muka bahwa walaupun ABIL telah
melakukan kegiatannya di Indonesia sejak tahun 2002, bahkan
penghasilannya telah mencapai Penghasilan Kena Pajak, terdakwa
selaku Direktur ABIL dan juga selaku Representative Office’s
221
Executive tidak mendaftarkan ABIL ke Direktorat Jenderal Pajak,
sehingga Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2007 telah
menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak atas ABIL secara jabatan
dengan No. 02.410.201.4-801.000;
Menimbang, bahwa selanjutnya mengenai pembelaan
terdakwa dan Penasihat hukum terdakwa :
1. Tentang kantor ABIL di menara Kadin merupakan “Working
Station” untuk perluan korespondensi, menurut Majelis
haruslah ditolak, karena sesuai Board Resolution dan
Certificate of Incumbency yang diakui kebenarannya oleh
terdakwa telah jelas menyebutkan “representative office in
Indonesia” address atau beralamat :
a. Building : Gedung Menara Kadin Indonesia
b. Street : Jl. HR. Rasuna Said X-5 Kavling 2-3,
South Jakarta
c. Postal Code :12950
Demikian pula dari keterangan saksi Soeyono Mardiantoro,
BImo Ariwibowo bahwa ABIL meiliki perwakilan di Indonesia
dengan alamat sebagai di atas;
2. Tentang terdakwa tidak mempunyai tanggung jawab
perpajakan terhadap ABIL, juga harus ditolak, karena
kalaupun telah ada perjanjian antara terdakwa dengan John
222
Van Der Wal sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 Head of
Agreement yang ditandatangani John Van Der Wall dengan
terdakwa, perjanjian tersebut adalah merupakan perjanjian
antara John Van Der Wal dan terdakwa yang menurut Pasal
1338 KUHPerdata bahwa perjanjian yang dibuat adalah
mengikat bagi para pihak yang membuatnya saja dan tidak
mengikat kepada pihak ketiga, oleh karena itu menurut
Majelis, Direktorat Jenderal Pajak tidak ada kewajiban untuk
terikat dengan isi perjanjian tersebut, apalagi bila hal itu
diikuti dapat terjadi penghindaran pajak atau setidaknya
menimbulkan kesulitan yang sangat besar untuk melakukan
penagihan terhadap Wajib Pajak yang berada di luar negeri.
Halmana pada akhirnya dapat merugikan Negara;
3. Tentang terdakwa selaku Direktur Investasi ABIL telah
dibebaskan dari beban tanggungjawab ketika
mengundurkan diri. Pendapat ini harus ditolak, karena tindak
pidana perpajakan yang didakwakan kepada terdakwa
adalah peristiwa antara tahun 2002 hingga 2005, ketika
ABIL dipimpin oleh terdakwa dan mundurnya terdakwa dari
ABIL sejak tanggal 5 September 2005 sebagaimana surat
John Van Der Wal (T.3) yang kemudian ditindak lanjuti
dengan keluarkannya Settlement Agreement yang terlampir
223
bersama Letter of Indemnity (Surat Pembebasan (T.4))
menurut Majelis hal tersebut tidak menggurkan pidana atau
merupakan alasan pemaaf sehingga kepada terdakwa dapat
dituntut dan dijatuhi pidana;
4. Tentang tidak diterapkannya proses pembinaan terhadap
Wajib Pajak dalam perkara a quo, hal ini haruslah juga
ditolak, karena proses pembinaan berupaya adanya teguran
lebih dahulu sebagaimana Penjelasan Pasal 3 Ayat (5) huruf
a Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan
Terhadap Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Tata
Cara Perpajakan adalah untuk pelaku yang telah
mendaftarkan perusahaannya, tetapi tidak menyampaikan
pemberitahuannya ke Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini tidak
berlaku untuk orang yang tidak mendaftarkan
perusahaannya untuk memperoleh NPWP;
Menimbang, bahwa dengan menunjuk pada pertimbangan
tersebut di atas maka unsur kesatu dari dakwaan kedua telah
terpenuhi ;
Menimbang, bahwa unsur kedua yaitu : “tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan”;
Menimbang bahwa yang dimaksud Surat pemberitahuan
menurut Pasal 1 Ayat (10) KUP adalah surat yang oleh Wajib Pajak
224
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harga
kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Surat Pemberitahuan tersebut menurut Penjelasan Pasal 3 Ayat (6)
KUP adalah merupakan sarana wajib pajak antara lain untuk
melaporkan dan mempertanggung-jawabkan penghitungan jumlah
pajak dan pembayarannya;
Menimbang, bahwa penyampaian Surat Pemberitahuan
dilaksanakan setelah Wajib Pajak mendaftarkan diri atau badan
usahanya ke Direktorat Jenderal Pajak dan memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP);
Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap di
persidangan sebagaimana terurai di muka bahwa terdakwa selaku
Direktur dan juga sebagai Representative Office’s Executive di
Indonesia telah ternyata tidak mendaftarkan ABIL di Direktorat
Jenderal Pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), sehingga pada tahun 2007 terhadap ABIL Direktorat
Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara
jabatan;
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa tidak
mendaftarkan ABIL di Direktorat Jenderal Pajak, maka tidak
225
memungkinkan terdakwa untuk menyampaikan Surat
Pemberitahuan penghitungan dan atau pembayaran pajak;
Menimbang, bahwa dari fakta yang diperoleh di persidangan
telah ternyata terdakwa tidak pernah menyampaikan Surat
Pemberitahuan dimaksud kecuali setelah atas terdakwa diberikan
Surat Perintah Penyidikan tanggal 10 Juli 2007;
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur kedua dakwaan
kedua telah terpenuhi;
Menimbang bahwa tentang unsur ketiga yaitu : “dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara” menurut majelis
dengan adanya kata “dapat” mendahului kata (“menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara”) telah mengandung pengertian
bahwa terjadinya kerugian pada pendapatan Negara tidaklah perlu
seketika waktu perbuatan atau tindak pidana itu dilakukan, tetapi
cukup apabila perbuatan atau tindakan itu berpotensi atau
mengandung resiko untuk timbulnya kerugian pada pendapatan
Negara;
Menimbang, bahwa di indonesia sektor perpajakan adalah
merupakan sumber pendapatan dalam negeri yang terbesar, oleh
karena itu maka seseorang yang mengabaikan kewajibannya
dengan cara tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau
226
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan penghitungan dan atau
pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan
atau harta dan kewajiban, menurut majelis adalah berpotensi
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, karena
pemberitahuan merupakan sarana administrasi perpajakan
sekaligus sebagai kontrol untuk mencegah penghindaraan
pembayaran pajak;
Menimbang, bahwa dari fakta yang diperoleh di persidangan
dari keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa
serta barang bukti telah ternyata bahwa terdakwa selaku Direktur
dan sekaligus Representative’s Office’s Executive ABIL di
Indonesia pada tahun 2002 telah menjalankan usahanya berupa
pembelian hak tagih BPPN atas 28 (dua puluh delapan)
perusahaan debitur sebagaiman terurai di muka seluruhnya
sebesar Rp. 117.874.026.137.50 (seratus tujuh belas milliar
delapan ratus tujuh puluh empat juta dua puluh enam ribu seratus
tiga puluh tujuh rupiah lima puluh sen);
Menimbang bahwa selanjutnya setelah dilakukan negosiasi
terhadap ke 28 (dua puluh delapan) perusahaan debitur telah
diperoleh kesepakatan Penyelesaian Pembayaran hutang dengan
para debitur total sebesar Rp. 154.260.711.290.50 (seratus lima
puluh empat milliar dua ratus enam puluh juta tujuh ratus sebelas
227
ribu dua ratus sembilan puluh rupiah lima puluh sen). Dengan
demikian ABIL memperoleh laba kotor (bruto) adalah : Rp.
154.260.711.290.50 (seratus lima puluh empat milliar dua ratus
enam puluh juta tujuh ratus sebelas ribu dua ratus Sembilan puluh
rupiah lima puluh sen) dikurang Rp. 117.874.026.137.50 (seratus
tujuh belas milliar delapan ratus tujuh puluh empat juta dua puluh
enam ribu seratus tiga puluh tujuh rupiah lima puluh sen ) adalah
sebesar Rp. 36.386.685.153.00 (tiga puluh enam milliar tiga ratus
delapan puluh enam juta enam ratus delapan puluh lima ribu
seratus lima puluh tiga rupiah);
Menimbang bahwa setelah diperhitungkan biaya-biaya dan
komitmen yang belum direalisasi sebagaimana terurai di atas,
maka ABIL memperoleh penghasilan bersih dan Penghasilan Kena
Pajak adalah sebsar Rp. 11.104.519.000.00 (sebelas milliar
seratus empat juta lima ratus sembilan belas ribu rupiah). Atas
perhiungan tersebut maka ABIL dikenakan Pajak Bentuk Usaha
Tetap (BUT) sebesar Rp. 3.313.855.700.00 (tiga milliard tiga ratus
tiga belas juta delapan ratus lima puluh lima ribu tujuh ratus rupiah)
dan PPh Pasal 26 Ayat (4) sebesar Rp. 1.558.132.673.00 (satu
milliar lima ratus lima puluh delapan juta seratus tiga puluh dua ribu
enam ratus tujuh puluh tiga rupiah), sehingga total pajak terutang
ABIL adalah sebesar Rp. 3.313.855.700.00 (tiga milliar tiga ratus
228
tiga belas juta delapan ratus lima puluh lima ribu tujuh ratus rupiah)
ditambah Rp. 1.558.132.673.00 (satu milliar lima ratus lima puluh
delapan juta seratus tiga puluh dua ribu enam ratus tujuh puluh
satu juta sembilan ratus delapan puluh delapan ribu tiga ratus tujuh
puluh tiga rupiah);
Menimbang bahwa mengenai pembayaran pajak PPh Badan
Tahun Pajak 2002 dan pembayaran PPh Pasal 26 Ayat (4) Tahun
Pajak 2002 oleh ABIL pada bulan Agustus dan September 2007
seluruhnya berjumlah Rp. 801.350.086.00 (Delapan ratus satu juta
tiga ratus lima puluh ribu delapan puluh enam rupiah);
Menimbang bahwa dengan menunjuk pada fakta dan
pertimbangan di atas, maka pembayaran pajak yang dilakukan oleh
ABIL selain masih belum memenuhi jumlah Rp. 4.871.988.373.00
(empat milliard delapan ratus tujuh puluh satu juta Sembilan ratus
delapan puluh ribu tiga ratus tujuh puluh tiga rupiah) yang
merupakan pajak terutang ABIL juga dilakukan setelah terdakwa
dilakukan penyidikan;
Menimbang, bahwa selanjutnya mengenai pembelaan
terdakwa dan Penasihat hukum terdakwa tentang perhitungan
hutang pajak ABIL tidak didasarkan oleh data dan informasi yang
benar haruslah dikesampingkan, karena perhitungan pajak dalam
perkara ini telah dihitung oleh AHLI dari kantor Pajak bernama
229
Astera Primanto Bhakti dengan data-data yang diperoleh dan disita
Penyidik;
Menimbang bahwa dengan menunjuk pada pertimbangan
tersebut di atas maka unsur ketiga dari dakwaan kedua telah
terpenuhi telah terpenuhi;
2. Pertimbangan Hakim Mengenai Unsur Pertanggungjawaban
Pidana (Mens Rea).
Menimbang bahwa selanjutnya Majelis akan
mempertimbangkan tentang unsur “dengan sengaja”
Menimbang bahwa tentang unsur “dengan sengaja” ini baik
dalam KUHP sendiri maupun dalam Undang-Undang Perpajakan
tidak memberikan rumusan atau interprestasi secara otentik,
namun Prof Satochid Kartanegara dalam bukunya Hukum Pidana
Kumpulan Kuliah, Penerbit Balai Lektur Mahasiswa, hal 291
memberikan interpretasi “sengaja” atau “kesengajaan” atau “opzet”
atau “dolus” adalah “Willens En Weten” yaitu seseorang yang
melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki
(williens) perbuatan itu serta menginsyafi, mengerti (witen) akan
akibat dari perbuatan itu;
Menimbang bahwa berkenaan dengan kesengajaan ini Para
Ahli Hukum Pidana membagi atas :
230
Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan
Kesengajaan dengan tujuan yang pasti merupakan
keharusan dan
Kesengajaan bersyarat
Menimbang bahwa tentang kesengajaan sebagai tujuan
(doel) yang dimaksudkan di sini bila seseorang melakukan sesuatu
perbuatan sedangkan perbuatan itu dikehendaki dan menjadi
tujuan pelaku. Selanjutnya “Kesengajaan dengan tujuan yang pasti
atau merupakan suatu keharusan” bila seseorang melakukan suatu
perbuatan dengan maksud untuk menimbulkan sesuatu tertentu da
dengan dilakukannya perbuatan itu ia insyaf bahwa ia akan
menimbulkan akibat lain. Sedangkan “Kesengajaan” bersyarat atau
dolus eventualis, yaitu seseorang melakukan suatu perbuatan
dengan keinsyafan akan kemungkinan timbulnya akibat;
Menimbang bahwa dari fakta yang didapat di persidangan
bahwa Terdakwa selaku salah seorang Direktur ABIL dan sebagai
Representative Office’s Executive di Indonesia pada tahun 2002
telah menjalankan usaha berupa melakukan pembelian piutang
(cessie) atas 28 (dua puluh delapan) perusahaan melalui BPPN
dan selanjutnya melakukan pula transaksi dengan ke-28 debitur
dengan membuat perjanjian penyelesaian pembayaran hutang,
231
sehingga atas transaksi tersebut ABIL telah memperoleh
keuntungan;
Menimbang bahwa selaku bentuk usaha tetap (BUT) yang
memiliki penghasilan di Indonesia, ABIL sebagaimana terurai dan
dipertimbangkan di muka sudah seharusnya sesuai Pasal 2 Ayat
(1) KUP jo. Pasal 3 Ayat (1) KUP mendaftarkan ABIL, mengisi
Surat Pemberitahuan serta menyampaikannya ke Direktorat
Jenderal Pajak. Namun, hal tersebut tidak dilakukan terdakwa
kecuali setelah dilakukan Penyidikan tanggal 10 Juli 2007,
sehingga Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan NPWP atas ABIL
secara jabatan;
Menimbang bahwa terdakwa sebagaimana terurai di muka
adalah orang yang telah berpengalaman bekerja di beberapa
perusahaan, menurut majelis sudah tahu dan sudah seharusnya
tahu bahwa setiap perusahaan atau bentuk usaha tetap (BUT)
apalagi telah memperoleh keuntungan diharuskan mendaftarkan
dan melaporkan badan usahanya ke Direktorat Jenderal Pajak
untuk perhitungan pembayaran pajak yang telah berjalan, namun
hal itu tidak dilakukan terdakwa, padahal kurun waktu antara 2002
sampai sebelum dilakukan penyidikan adalah kurun waktu yang
cukup lama yang seharusnya merupakan kesempatan bagi
232
terdakwa untuk mendaftarkan dan melaporkan perhitungan pajak
ke Direktorat Jenderal Pajak;
Menimbang bahwa oleh karena hal tersebut idak dilakukan
terdakwa selaku penanggungjawab ABIL di Indonesia, maka
perbuatan terdakwa dapat dipandang sebagi kesengajaan;
Menimbang bahwa dengan menunjuk pada fakta dan
pertimbangan di atas, maka unsur ini juga telah terpenuhi;
Menimbang bahwa oleh karena perbuatan terdakwa telah
memenuhi semua unsur tindak pidana dalam Pasal 39 Ayat (1)
huruf a dan b Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka terdakwa telah terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kedua;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan diatas, maka terdakwa menurut hukum telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Kesatu dan Kedua yang
kualifikasinya akan disebut dalam amar putusan dibawah ini;
Menimbang bahwa karena terdakwa dinyatakan bersalah
dan selama pemeriksaan dipersidangan tidak ditemukan adanya
alasan pemaaf alasan pembenar maupun alasan penghapus
233
pidana maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya dan mendapat hukuman yang setimpal;
Menimbang bahwa karena baik dakwaan Kesatu maupun
Kedua ancaman hukumannya kumulasi antara pidana penjara dan
denda, maka cukup alasan bagi Pengadilan untuk menjatuhkan
pidana penjara sekaligus denda yang besarnya akan disebutkan
dalam amar putusan dibawah ini;
Menimbang bahwa sebelum Pengadilan menjatuhkan
pidana penjara dan denda kepada terdakwa perlu dipertimbangkan
hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan ;
Hal yang meringankan
Terdakwa bersikap sopan dipersidangan;
Terdakwa belum pernah dihukum;
Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga
Hal yang memberatkan
Perbuatan terdakwa merugikan pendapatan Negara;
234
SKEMA 3
235
SKEMA 4
236
SKEMA 5
237
52BAB VI
UNDANG-UNDANG KHUSUS (LEX SPECIALIS) DAN UNDANG-UNDANG
UMUM (LEX GENERALIS) DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN
A. Sejarah Kodifikasi53
1. Hukum Romawi Di Zaman Kuno
Sejarah hukum Romawi di Zaman kuno meliputi 12 abad
dari abad VII SM, periode Kerajaan sampai Abad VI, era Kaisar
Justianus. Sampai abad XV berlangsung kerajaan Romawi Timur
atau Byzantium. Di barat hukum romawi ini mengenal periode
kebangkitan kembali sejak abad XII (era resepsi); sampai saat ini
hal itu menggunakan pengaruhnya terhadap semua tatanan hukum
romanistis-germanistis.
Di dalam abad VIII SM bahwa menurut cerita legenda ,
Roma dibangun pada tahun 753 SM sebagai kota kecil, sepuluh
abad kemudian dalam abad-abad II dan III, ia telah menjadi ibu
kota seperti yang dikenal dengan “Imperium Romanium”, yang
terbentang dari inggris melalui Gallia, Jazirah Iberia dan Afrika
53
Jhon Glissen dan Frits Gorle, 2009, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Disadur Oleh Drs. Freddy Tengker, SH.,
CN, Refika Aditama, Bandung.
238
Utara sampai Timur Tengah bahkan bahkan berbatasan dengan
Kerajaan Persia.
Di bagian barat Kerajaan Romawi ini runtuh pada abad V
(476 Masehi), namun di bagian Timur Laut Tengah ia dapat survive
dengan Konstantinopel atau Bytzantium sebagai pusat kerajaan
Romawi Timur. Kerajaan Byzantium dapat bertahan sampai abad
XV (1453), tatkala Byzantium dikalahkan oleh bangsa Turki,
Konstantinopel diganti namanya menjadi Istambul.
Pada umumnya sejarah yang cukup panjang ini dibagi
menjadi tiga periode dengan berbagai rezim politik yang hampir
sama banyaknya: Kerajaan (sejak Roma didirikan sampai tahun
509 AD), Republik (509-27 SM) dan Kekaisaran. Dan yang disebut
terakhir ini pada gilirannya dibagi lebih lanjut ke dalam Prinsipat
(sampai sebelum pemerintahan Diocletianus pada tahun 248
Masehi) dan Dominat (dari Diocletianus sampai Justianus wafat
pada tahun 565). Setelah periode ini mulailah Negara Byzantium.
Periode ini berdasarkan bentuk pemerintahan nampaknya
sama sekali tidak sesuai dengan apa yang biasanya dipergunakan
untuk menyatakan evolusi hukum Romawi tersebut. Mengenai apa
yang disebut terakhir ini dapat dibedakan :
o Suatu periode dini, yang berlangsung sejak pertengahan
abad II SM. Ini adalah periode hukum Romawi kuno,
239
sebuah tatanan hukum primitif arkhaistis suatu
masyarakat setempat yang bertumpu pada solidaritas
klan-klan atau “gentes” yang ada.
o Suatu periode klasik, yang berlangsung kira-kira antara
tahun 150 SM sampai 248 Masehi. Apa yang dikenal
dengan periode hukum Romawi klasik ini adalah tatanan
hukum suatu masyarakat individulistis yang telah maju
dan yang dituangkan oleh para yuris ke dalam suatu ilmu
pengetahuan hukum rasional yang berkaitan satu
dengan yang lain.
o Suatu periode terlambat, yang berlangsung sejak hukum
pada era Dominat yang tumbuh dari krisis yang dialami
oleh Kekaisaran Romawi pada abad II, baik dalam
bidang politik, ekonomi, maupun keagamaan. Periode ini
ditandai dan diwarnai oleh pemerintahan absolutism
kekaisaran, dimana perundang-undangan Kaisar
merupakan sumber hukum terpenting dan pada sisi lain
oleh pengaruh umat Kristen yang sedang tumbuh pesat.
Setelah runtuhnya kekaisaran Romawi Barat, hukum
Romawi tetap berlaku di kekaisaran Romawi Timur atau kekaisaran
Byzantium, yang berlangsung sampai tahun 1453.
240
a. Kerajaan
Di dalam abad-abad VIII dan VII SM, saat dimana
Roma akan didirikan, maka populi (bangsa-bangsa) yang
mempergunakan bahasa Latin sebagai bahasa kesatuan
telah mendiami daerah Latium, wilayah di sebelah Timur
dan sebelah Selatan Sungai Tiber. Kaum nomad tersebut
yang tidak banyak memiliki sumber-sumber daya materil,
hanya sedikit sekali bergerak dalam bidang pertanian.
Mereka berdiam di Vici (desa-desa) atau ditempat-
tempat pengungsian (oppida) di hutan perbukitan-
perbukitan seputar daerah yang bakal kota Roma
didirikan dan yang menguasai wilayah yang
mengelilinginya (pagus). Desa-desa ini dihuni oleh
keluarga-keluarga patriakh besar, dalam kelompok
gentes (klan). Terkadang gerombolan-gerombolan dan
penyamun ini memilih di antara mereka seorang
pemimpin (rex=raja), yang karena kecerdikannya,
kharismanya atau dengan kekerasan telah merebut
posisi tersebut.
Kepala-kepala “patres” (keluarga-keluarga)
mengadakan musyawarah dan membentuk sebuah
dewan, yang kemudian disebut senat (senex=kaum tua-
241
tua). Sebaliknya “rex” nampaknya selalu orang asing
yang telah memaksakan kehadiran pribadinya melalui
jasa-jasanya dan sebagainya, memang raja disini tidak
turun-temurun. Calon pengganti diusulkan oleh senat,
yang mengambil-alih pimpinan selama interregnum
(pemerintahan selama periode antar-waktu), dan hanya
dinobatkan setelah disetujui oleh kekuatan-kekuatan
keagamaan, politik dan kerakyatan. Raja memerintah
(regere) kaula-kaulanya; ia adalah seorang majikan yang
memiliki kekuasaan untuk memerintah. Kendatipun raja
Romawi pada prinsipnya menyangkut soal-soal
keduniawian, namun sang raja ini memangku juga
jabatan-jabatan keagamaan; ia sekaligus adalah
“Pontitex maximus” (kepala alim ulama). Ia pada
hakekatnya tidak menjalankan fungsi yudikatif (ius
Licere), namun nampaknya dengan inspirasi ilahi ia bisa
saja menyelesaikan persoalan-persoalan hukum (ius
dare).
Sekitar tahun 575 SM kaum Etruskia, suatu
bangsa lain, menduduki Roma selama hampir satu abad.
Sejak saat itu raja-raja Romawi berasal dari keturunan
Etruskia. Etruskia pada saat itu adalah kekuatan politik
242
dan ekonomi terpenting di Italia, antara sungai-sungai
Tiber dan Arno. Akan tetapi mengenai tatanan politik dan
yuridis Kaum Etruskia tidak banyak diketahui. Kendati
pun demikian dapat diperkirakan bahwa ia mempunyai
pengaruh yang besar terhadap evolusi institusi-institusi
Romawi.
b. Republik
Peralihan dari kerajaan ke republik berlangsung
lambat dan berangsur-angsur, bahkan terjadi periode-
periode orang kembali ke situasi dan kondisi
sebelumnya. Lazimnya orang mengambil sebagai
penanggalan tahun 509 SM, saat manakala daftar
konsul-konsul mulai dibuat (walau pun banyak nama
yang tertera pada daftar periode awal dari legendaris
asli), satu dan lain hal karena pada saat itu dominasi
Etruskia kehilangan kekuatan dan kekuasaan raja-raja
melemah. Runtuhnya monarkhi diperkirakan terjadi
sekitar tahun 470 SM. Rezim politik yang baru dengan
dua orang konsul sebagai pimpinan pada hakikatnya
baru terselenggara secara definitif pada awal abad IV
SM, sekitar tahun 367 SM (Undang-Undang Lisinis).
243
Rezim baru ini ditandai dan diwarnai oleh
sejumlah besar dewan dan magistratur (jabatan-jabatan
publik). Pada prinsipnya kesemuanya ini bertugas
tahunan dan kolegial. Magistrat Romawi merupakan
badan kota dan selaku demikian adalah tertulis
kekuasaan (potetas). Dengan demikian mereka ini
berbeda dengan magistrat-magistrat Athena, yang pada
hakikatnya merupakan agen-agen “Ekklesia”.
Pada prinsipnya para magistrat Romawi diangkat
untuk jangka waktu satu tahun dan biasanya mereka
berjumlah dua orang, kadang-kadang lebih. Konsul-
konsul, titularis-titularis imperium tersebut memegang
komando pemerintahan dan militer. Mereka mengetuai
dewan-dewan dan dapat mengajukan rancangan-
rancangan Undang-undang dan barangkali pada awalnya
mereka juga mempunyai kewenangan yudikatif. Para
“praetor” terutama adalah magistrat-magistrat peradilan,
namun tidak semata-mata demikian karena mereka
mengatur jadwal persidangan-persidangan dan malahan
mengangkat para hakim. Selain itu masih ada pula
magistrat-magistrat lain, seperti “aedil-aedil kurulis” yang
diberi tugas-tugas kepolisian, tribun-tribun, kuaestor-
244
kuaestor dan sensor-sensor. Kesemuanya ini pada awal
abad III SM, dijumpai 28 magistrat yang dibantu oleh
sejumlah pejabat lainnya.
Berlawanan dengan di Athena, di mana hanya ada
satu dewan, “ekklesia”, maka di Roma terdapat sejumlah
permusyawaratan-permusyawaratan rakyat: sidang-
sidang kuriat , siding-sidang senturiat, sidang-sidang
tribute, concilia plebis, maupun senat.
Sidang-sidang kuriat ini berasal dari zaman
kerajaan dan pada zaman republik tidak lagi memainkan
peranan dalam bidang politik. Sidang senturiat
merupakan siding rakyat yang terpenting selama
sebagian besar masa republik, mereka dibentuk secara
sensiter, artinya berdasarkan pajak-pajak yang dibayar
dan memberikan suara untuk setiap senturi, (kelompok
seratus). Untuk 193 senturi, kelas yang paling kaya miliki
80 suara. Tambahan pada pemungutan suara dihentikan
segera setelah mayoritas tercapai dicapai. Jadi, sidang-
sidang ini mempunyai sifat tradisional dan aristokratis;
mereka ini nampaknya secara semi demokratis. Yang
termasuk wewenang-wewenangnya yang terpenting
adalah memilih konsul-konsul dan praetor-praetor, mau
245
pun menyetujui undang-undang. Para calon magistrat ini
diusulkan oleh para pendahulu mereka (kreasio),
sehingga sidang-sidang tersebut hanya dapat menolak
atau menerimanya. Dan menurut cara yang sama
dilangsungkan proses penolakan atau penerimaan
undang-undang.
Sidang-sidang tribut-tribut ini merupakan sidang-
sidang menurut suku-bangsa. Semua warga Negara
dijadikan salah satu “gentes” Romawi yang beraneka
ragam itu. Sejak tahun 241 dijumpai 35 suku bangsa, di
antaranya 4 berasal dari kota dan 31 dari lokasi
pedesaan. Sidang-sidang ini mencampuri pemilihan
magistrat-magistrat rendahan, maupun dalam hal ini
terutama terjadi salama abad-abad terakhir kehidupan
republik, pada saat menyetujui undang-undang.
Konsili plebis atau siding-sidang apa yang dineal
dengan “plebs” (=kelas rakyat yang terendah) memang
disediakan khusus untuk kaum plebeyer tersebut; kelas-
kelas yang lebih tinggi; kaum patrisier tidak ikut serta
disini,. Mereka memilih tibun-tribun rakyat dan ikut
membeikan persetujuan terhadap plebiskit-plebiskit,
artinya undang-undang yang dkhususkan untuk kaum
246
plebs. Sejak tahun 287 SM plebiskit-plebiskit disamakan
dengan leges, artinya dengan undang-undang yang
disetujui oleh siding-sidang kaum patrisia, sehingga hal-
hal tersebut karenanya dapat pula diterapkan terhadap
kaum patrisia ini.
Selama era kerajaan dan pada awal berdirinya era
republik senat hanya tersusun oleh patres-patres,
kepala-kepala keluarga; kemudian angota-anggotanya
dinamakan konsul-konsul dan bahkan lebih kemudian
lagi dikenal dengan julukan sensor-sensor yang disebut
terakhir memilih sensor-sensor dari mantan magistrat
yang ada. Pada zaman Sylla (abad I SM) jumlah senator
dirtingkatkan dari 300 sampai dengan 600. Mereka
memiliki sejumlah kewenangan. Yang termasuk monopoli
senator-senator patrisia, “auctoritas partum”, adalah
pengukuhan keputusan-keputusan semua sidang-sidang
lainnya, misalnya yang berhubungan dengan
pengangkatan seorang konsul atau persetujuan sebuah
undang-undang. Setelah tahun 339 pengukuhan tersebut
diganti oleh sebuah persetujuan yang diberikan
sebelumnya yang mempunyai arti yang sangat penting,
247
bahkan bilamana undang-undang tersebut tidak
mengikat bagi sidang dewan yang bersangkutan.
Bukankah dengan jalan ini senat dapat
menuangkan asas-asas sebuah undang-undang baru,
setelah dibicarakan dan disetujui, ke dalam suatu senat
konsul, yang setelah itu dapat dikukuhkan oleh para
magistrat. Demikian pula senat dapat mencampuri
urusan-urusan tentang pengeluaran-pengeluaran
Negara, tentang memobilisasi pasukan tentara, tentang
hubungan-hubungan luar negeri dan tentang
pengawasan korps magistrat.
Ungkapan Senatus Populusque Romanus
(S.P.Q.R.) dengan demikian mempunyai arti baik yang
yuridis mau pun politik. Res publica (=peristiwa publik)
bukanlah Negara mau pun republik dalam arti masa kini,
melainkan organisasi politik dan yuridis populous
(=rakyat), yang di dalamnya warga Negara meletakkan
kepentingan pribadinya (res privata) di bawah
kepentingan persekutuan.
Hanya para cives, warga-warga Negara Romawi
yang tunduk pada hukum Romawi, ius civile. Orang-
orang asing (perigrini) hanya tunduk pada ius gentium,
248
hukum bersama semua orang (ius commune omnium
hominum), yang dipandang sesuai dengan rasio
naturalis. Akan tetapi selama era republik orang-orang
Romawi ini menduduki wilayah-wilayah yang luas,
pertama-tama di Itali, selanjutnya Gallia, Spanyol, Afrika,
Yunani dan sebagainya. Ius civile Romawi ini tidak saja
diberikan kepada orang-orang tertentu, melainkan juga
kepada kelompok-kelompok. Pada masa akhir republik,
dalam abad I SM, hak kewarganegaraan diberikan
kepada semua penduduk Italia sampai di pegunungan
Alpen.
c. Kekaisaran
1) Prinsipat
Peralihan dari Republik ke Kaisaran pada
hakikatnya berlangsung pula secara berangsur-
angsur. Selama abad I SM perkembangan
ekonomi, kesulitan-kesulitan sosial dan
pendudukan-pendudukan wilayah yang serba luas
itu menyebabkan sebuah krisis politik. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan krisis
tersebut melaluyi reformasi-reformasi. Gracchen,
249
Sylla, Pompeius, dan Caesar gagal dalam usaha
mereka, sebaliknya Octavianus berhasil
mempersatukan semua kekuatan yang ada dalam
satu tangan bahkan bersamaan dengan itu
mempertahankan dan melanjutkan institusi-
institusi Republik. Senat memberikan kepadanya
gelar “Augustus” untuk seumur hidup, imperium
prokonsul dan kekuasaan tribun (tahun-tahun 27-
23 SM). Selain itu ia juga diteguhkan sebagai
imperator, artinya seorang jenderal yang menang
perang. Akhirnya ia tidak terikat pada undang-
undang (legibus solutus).
Sejak saa itu rezim politik adalah
Kekaisaran dan semua kekuatan terletak dalam
tangan sang kaisar. Ia memerintah dan mengurus
wilayah Kekaisaran yang terbentang luas melalui
pejabat-pejabat Negara, yang dapat hidup terus,
namun dengan pengertian bahwa susunan dan
keanggotaannya ditentukan oleh kaisar dan
wewenang-wewenangnya dibatasi. Seringkali
terjadi bahwa senat menunjuk seorang penganti
Kekaisaran dengan mengukuhkan pemilihan sang
250
mantan kaisar atau bahkan memilih seorang
kaisar baru, seperti halnya bagi Galba pada tahun
68 atau bagi Nerva pada tahun 92 tambahan pula
senat mencampuri hal-ikhwal yang berkaitan
dengan perundang-undangan.
Pada abad II Kekaisaran mengenal titik
kulminasi pada masa kaisar-kaisar Trayanus,
Hadrianus dan Marcus Aurelius. Dan periode ini
adalah juga periode hukum Romawi Klasik.
Bersamaan dengan ini nampaknya wilayah-
wilayah yang terbentang luas yang ditaklukkan itu
mulai dari inggris sampai dengan Asia kecil dan
Timur dekat mengalami proses Romanisasi,
namun sedikit banyak wilayah-wilayah tetap
mempertahankan kebiasaan-kebiasaan setempat
masing-masing. Pada tahun 212 dengan Edik
Karakalla kepada semua penduduk yang berada
di dalam wilayah Kekaisaran dianugrahi
kewarganegaraan Romawi. Di dalam dokumen
yang disebut di atas, yang masih tersimpan
dengan baik itu, prinisip umum tersebut diakui
oleh semacam pembatasan; dikecualikan melalui
251
deditiktii. Tetapi kata ini praktis tidak terbaca lagi
dan ruang lingkupnya pun sampai kini masih
diperdebatkan oleh para ahli sejarah.
2) Dominat
Krisis-krisis bidang-bidang politik, ekonomi
dan agama pada abad III telah mengakibatkan
perubahan-perubahan radikal di dalam struktur
politik kekaisaran. Setelah suatu periode anarkhi
militer belangsung suatu reorganiasi dalam
struktur politik dan administrasi oleh Deokletianus
(284-305) dan terutama oleh Constatinus (306-
337).
Kaisar tidak lagi merupakan Principes, yang
pertama di antara para warga Negara, melainkan
dominus atau master kekaisaran. Beginilah cara
dominat mengikuti atau menggantikan prinsipat.
Kekuasaan kaisar adalah absolut; ia dipandang
sebagai dewa dan personifikasi apa yang disebut
“res publica”. Ia menguasai semua kekuasaan
Negara, tanpa bantuan badan lain, kecuali para
penasehatnya; ia membuat sendiri undang-
undang.
252
Di bawah pemerintahan Constantinus,
kekaisaran diakui sebagai umat, antara lain
melalui Edik Milan tahun 313. Sejak saat itu gereja
mengorganisasikan diri dalam kerangka politik dan
administrasi kekaisaran Romawi.
Selain itu Constantinus mendirikan sebuah
ibu kota baru yang diberi nama konstantinopel,
yang terletak di lokasi Byzantium lama. Sejak saat
itu Kekaisaran Romawi dibagi ke dalam sebuah
Negara Romawi barat yang runtuh pada abad V
dan Negara Romawi Timur yang tetap bertahan
sampai abad XV.
Justianus (527-565) adalah kaisar terakhir
Dominat dan sekaligus kaisar pertama Negara
Romawi Timur atau Kekaisaran Byzantium.
2. Sumber-Sumber Hukum Romawi
a. Periode Dini
Sekitar abad-abad VIII SM Roma dikauasai oleh
“organisasi clan” dari keluarga-keluarga besar (gentes) yang
dapat dibandingkan dengan “klan-klan” Yunani. Kekuasaan
kepala keluarga praktis tidak terbatas dan angota-anggota gens
253
ini terikat oleh suatu solidaritas aktif dan pasif. Tanah,
sepanjang hal tersebut merupakan objek pemilikan tidak dapat
diasingkan.
Sejak awal Republik (abad V SM) evolusi hukum Romawi
dipercepat oleh peranan kaum plebeyer yang semakin
meningkat, yang kemungkinan besar adalah orang-orang asing-
kaum pedagang dan petani-yang hidup di luar organisasi
tradisional kaum gentes dan kaum plebeyer telah menjuruh ke
arah kesamaan politik, sosial dan keagamaan.
1) Kebiasaan (mos maiorum consuetudo)
Sebagaimana setiap hukum arkhaistis maka hukum
Romawi kuno tersebut berbasiskan kebiasaan, mos
maiorum atau Consuetudo (kebiasaan). Nampaknya disini
menyangkut kebiasaan-kebiasaan ini antara lain
menyangkut permasalahan-permasalahan perkawinan dan
nama. Dan kemudian pada zaman Republik terbentuklah
pula kebiasaan-kebiasaan kota-kota, yang di dalamnya akan
dimasukkan kebiasaan kaum gentes dahulu.
Hukum dan agama belum dipisahkan satu dengan
yang lain, setidak-tidaknya belum ada perbedaan antara
norma-norma hukum dan norma-norma agama. Formula-
formula ritual dan penafsirannya hanya dipahami oleh kaum
254
alim ulama tingkat atas yang merahasiakan maknanya
sampai sekitar tahun-tahun 300-250 SM.
Tentang isi hukum kebiasaan kuno ini sedikit sekali
diketahui orang, satu dan lain karena hal tersebut tidak
dicatat. Sampai sekarang tidak dijumpai jejak-jejak tentang
hal ini di dalam undang-undang kerajaan (leges regiae), di
dalam undang-undang dua belas prasasti, edik-edik
magistrat-magistrat dan di dalam tulisan-tulisan para
yuriskonsul (pakar-pakar hukum)
2) Undang-Undang (Lex)
Pada periode Kerajaaan dan pada saat Republik dini
nampaknya tidak ada kegiatan perundang-undangan yang
terjadi. Pada saat-saat tersebut aksara nyaris dikenal.
Undang-undang kerajaan (leges regiae) yang menurut
tradisi dianggap disusun oleh raja-raja Romulus dari Numa,
raja pembuat undang-undang, terutama adalah keputusan-
keputusan yang bersifat keagamaan, yang di ambil alih oleh
raja dalam kapasitasnya selaku Ponitifex Maximus (ulama
tertinggi). Selain ritual-ritual persembahan korban hal-hal itu
hanya berkaitan dengan beberapa aturan hukum privat dan
hukum pidana yang mempunyai akibat-akibat keagamaan.
Tambahan pula hal-hal tersebut idak menyangkut undang-
255
undang yang sebenarnya, melainkan menyangkut aturan-
aturan hukum kebiasaan, yang barangkali baru kemudian
pada abad pertama dicatat dan dianggap dibuat oleh raja-
raja legendaris tersebut.
Selama masa Republik undang-undang ini sebagai
sumber hukum mulai bersaing dengan kebiasaan. Istilah
“Lex” dipakai dalam arti yang sangat dekat dengan
pengertian undang=-undang masa kini.
“Lex” ini atau paling tidak lex publica (undang-undang
umum) adalah sebuah akta (surat) yang dikeluarkan oleh
penguasa umum yang membentuk aturan-aturan ini
dipandang sebagai suatu perintah umum rakyat atau kaum
plebs, yang dirumuskan atas permintaan magistrat (lex est
generale iussum populi aut plebs, rogente magistratu).
Hanya magistrat-magistrat tertinggi, konsul-konsul, praetor-
praetor, tribun-tribun atau diktatore-diktatore yang boleh
mengambil inisiatif untuk itu; mereka mengusulkan sebuah
naskah (rogasio) yang selalu suatu waktu tertentu digantung
pada papan pengumuman (promulgasio). Dan persetujuan
diberikan dalam salah satu rapat, lazimnya pada awal rapat
kuriat-kuriat, selama abad-abad V dan IV terutama pada
rapat senturiat-senturiat dan sejak Lex Hortensia (tahun 287)
256
di dalam rapat tribun-tribun magistrat yang mengajukan
rancangan undang-undang tersebut mempertahankannya
acapkali dalam bentuk yang telah diamendir di hadapan
sidang dewan. Yang disebut terakhir ini hanya dapat
menerima atau menolak-nya apabila rancangan undang-
undang ini untuk diberlakukan (renunsiasio).
Namun ia dapat pula menunda pemungutan suara
terutama berdasarkan alasan-alasan keagamaan dan
dengan cara ini mencegah pemberian persetujuannya
(abnunsiasio).
Jadi peranan magistrat di sini luar biasa pentingnya,
sedangkan peranan sidang-sidang juga penting, namun
hanya sebagai pelengkap. Tambahan pula pemberian
persetujuan oleh senator-senator merupakan syarat, yakni
auctoritas patrum, pada awalnya hal ini terselenggaranya
melalui suatu pengukuhan pemberian persetujuan tersebut
dan sejak tahun 339 SM melalui pemberian persetujuan
sebelumnya.
Plebeskit-plebeskit adalah akta-akta legislatif,
mempunyai kekuatan yang mengikat bagi kaum plebeyer.
Hal-hal ini diputuskan oleh dewan mereka, yakni konsilium
plebis. Setelah Lex Hortensia (287) atau barangkali
257
sebelumnya plebiskit-plebiskit tersebut dipersamakan
dengan leges sehingga berlaku bagi semua warga Negara.
Pada hakikatnya selama Republik ini tidak banyak
undang-undang yang dibuat. Nampaknya ada di sekitar
delapan ratus leges rogatae (yakni undang-undang yang di
usulkan oleh para magistrat) yang dibuat, terutama yang
menyangkut permasalahan-permasalahan dalam bidang
politik, ekonomi, dan sosial.
3) Undang-Undang Duabelas Prasasti
Dari semua undang-undang yang berasal dari periode
Republik nampaknya Undang-undang Duabelas Prasasti ini
yang menarik perhatian. Ia pada hakekatnya merupakan
salah satu fundamen ius civile. Dan signifikannya demikian
besar sehingga undang-undang ini masih saja diterapkan
pada zaman Justianus, bahkan kendatipun ia telah lama
diusulkan oleh sumber-sumber hukum lain.
Menurut legenda undang-undang ini dibuat atas
permintaan kaum Plebeyer, yang tidak mengenal kebiasaan-
kebiasaan kota berikut interpretasinya oleh kaum ulama
tertinggi dan yang menaruh kebenaran atas tindakan-
tindakan semena-mena magistrat-megistrat patrisia.
258
Pencatatan undang-undang tersebut konon telah
diserahkan kepada sepuluh orang komisaris yakni komisi
desemviri pada tahun-tahun 451-499 SM. Naskah original
yang diukir di atas dua belas prasasti (karenanya dijuluki
demikian), pernah dipamerkan pada forum (tempat umum)
namun pada sekitar tahun 390 SM musnah tatkala Roma
dijarah oleh kaum Gallia.
Malahan beberapa ahli sejarah hukum telah
menyangsikan adanya Undang-Undang Duabelas Prasasti
ini. Naskah ini betapa pun juga telah hilang lenyap, namun
suatu penyusunan kembali parsiil telah dimungkinkan berkat
adanya kutipan-kutipan yang dibuat oleh Civero dan oleh
Aulus-Gellius berikut komentar-komentar tertulis, antara lain
oleh Labeo dan Gaius, yang diambil alih dari Digesten (salah
satu jilid kodifikasi Justinianus). Namun, nampaknya
fragmen-fragmen tersebut berasal dari beraneka ragam
periode, antara tahun-tahun 450 dan 300 SM.
Bagaimanapun juga undang-undang duabelas
prasasti ini bukanlah sebuah kitab undang-undang menurut
arti yang sebenarnya, barang kali juga sama sekali bukan
himpunan undang-undang, melainkan lebih merupakan
suatu pencatatan-pencatatan kebiasaan dalam bentuk
259
formula-formula pendek namun penuh nilai. Adapun
pencatatan kebiasaan-kebiasaan tersebut pada hakekatnya
bertujuan menyelesaikan sejumlah perselisihan antara kaum
Patrisia dan kaum Plebeyer, akan tetapi penafsirannya
merupakan privilese kaum ulama tertinggi sehingga
karenanya hal-hal tersebut tetap tersimpan sebagai rahasia.
Secara global dapat dikatakan bahwa Undang-
undang duabelas prasasti ini memperlihatkan suatu derajat
perkembangan hukum publik yang dapat dibandingkan
dengan yang dimiliki oleh Athena pada zaman Undang-
undang Draco dan Solon. Solidaritas kekeluargaan telah
sirna, namun kekuasaan kepala keluarga yang nyaris tak
terbatas itu tetap berlangsung. Secara teoritis kesetaraan
yuridis diakui, dan main hakim sendiri (eigenrichting)
dilarang dari sebuah prosedur hukum pidana diberlakukan
dan bahkan tanah yang dimiliki oleh kaum Gentes dapat
diasingkan. Akhirnya hak membuat surat wasiat (hak untuk
memberikan melalui surat wasiat harta kekayaannya kepada
pihak lain) diakui.
Pencatatan undanag-undang tersebut konon telah
diserahkan kepada sepuluh orang komisaris
260
b. Periode Klasik
Periode hukum Romawi Klasik membentang dari abad II
SM sampai akhir abad III SM. Selama periode ini Roma secara
berangsur-angsur mempengaruhi semua Negara yang terletak
seputar Laut Tengah. Bersamaan dengan itu Roma membuka
pintu-pintu gerbangnya terhadap pengaruh-pengaruh luar
negeri, terutama atas hukum-hukum Yunani dan Mesir.
Selama periode Prinsipat hukum Romawi
memperlihatkan wajah tatanan hukum Romawi memperlihatkan
wajah tatanan hukum yang individualistis; sedangkan dalam
bidang politik nampaknya kebebasan para warga Negara makin
hari makin dibelenggu. Jurang pemisah antara hukum privat
dan hukum publik bahkan makin luas pula; penaklukan
terhadap kehendak kaisar makin memperlihatkan hal kontras
yang makin besar saja terhadap kebebasan para warga Negara
(civies) untuk menjamin hak privat untuk menguasai harta
kekayaannya.
Berlawanan dengan tatanan-tatanan hukum kuno lainnya
yang hanya meninggalkan sedikit sekali jejak-jejak tertulis, yang
menyebabkan pengetahuan kita tentang hal itu amat terbatas,
maka hukum Romawi klasik telah meninggalkan sejumlah
naskah yang amat besar. Nampaknya kaum Romawi adalah
261
bangsa pertama yang telah merasakan perlunya mencatat
aturan-aturan hukum; bahkan lebih dari itu mereka juga
adalah yang pertama menyelenggarakan studi atas karya-karya
hukum yang penting.
Sumber-sumber terpenting hukum Romawi klasik masih
tetap kebiasaan dan undang-undang, akan tetapi, makin lama
makin banyak peluang undang-undang untuk melampaui
kebiasaan dan menjadi sumber hukum terpenting. Namun
bagaimanapun juga periode ini ditandai oleh sumber-sumber
hukum Romawi spesifik: edik-edik para magistrat dan
jurisprudentia, ajaran hukum, yang dituangkan dalam tulisan-
tulisan para yuriskonsul.
1) Kebiasaan
Selama periode Klasik nampaknya kebiasaan
tersebut tetap merupakan sumber terpenting ius civile.
Beberapa pakar hukum seperti Gaius dan Papinianus
memandang kebiasaan bukan sebagai sumber hukum
melainkan sebagai suatu fakta. Dan kebiasaan ini tidak saja
terdesak oleh perundang-undangan, namun juga oleh edik-
edik para praetor dan oleh tulisan-tulisan para pakar hukum.
Dan bukankah yang disebut terakhir ini telah begitu
meningkat jumlahnya sehingga dalam hukum privat tinggal
262
sedikit sekali bidang-bidang yang di dalamnya dan orang
masih mengandalkan kebiasaan.
Dalam banyak wilayah Negara Romawi yang
terbentang luas itu belum juga ditembus oleh Ius Civile.
Setelah tahun 212 hukum Romawi diterapkan di Gallia,
Iberia (wilayah Spanyol dan Portugal pada masa sekarang),
Afrika Utara dan di daerah sungai Donau hanya di beberapa
kota atas warga-warga Negara Romawi. Walau pun edik
Caracalla pada prinsipnya telah memberikan hak
kewarganegaraan kepada semua penduduk Negara
Romawi. Di daerah-daerah pedalaman kebiasaan-kebiasaan
setempat, yakni consuetudines loci atau regionis, tetap
diterapkan. Tentang hukum kebiasaan lokal ini hanya sedikit
sekali yang diketahui, malahan untuk beberapa daerah tidak
mempunyai keterangan sedikitpun. Di dalam tulisan-tulisan
Romawi nampaknya mengenai hal tersebut hanya
ditemukan sentuhan dan sindiran yang serba langka
diocletianus malahan merencanakan untuk menghilangkan
sepenuhnya kebiasaan-kebiasaan setempat ini agar dapat
terselenggara kesatuan yuridis diseluruh Negara Romawi.
263
2) Perundang-undangan
Perundang-undangan memainkan peran yang
semakin meningkat sebagai sumber hukum. Meliputi leges,
konsul-konsul senat dan terutama konstitusi kekaisaran.
a) Leges
Pada akhir masa hidup Republik dan pada awal
Kekaikasaran, leges para magistrat dan dewan-dewan
rakyat merupakan bentuk satu-satunya perundang-
undangan. Dari zaman Kaisar Augustus masih
dijabarkan beberapa leges Julia yang amat penting
(adulterris et de fundo dotali, indiciis, maritandus
ordinibus, tutoribus dll). Dengan ditiadakannya sidang-
sidang, maka sirna pula leges ini setelah abad I tidak
dijumpai lagi bekas-bekasnya.
b) Konsul-konsul Senatus
Sejak saat itu kegiatan perundang-undangan
berlangsung dalam bentuk konsul-konsul senatus,
selama kedua abad pertama kekaisaran legislatif telah
beralih ke tangan senat. Selama periode Republik, senat
telah mencampuri prosedur perundang-undangan
dewan-dewan melalui auctoritas partum.
264
Pada akhir kehidupan Republik dan pada awal
Prinsipat maka senat masih memainkan peranan tak
langsung dalam urusan perundang-undangan. Ia
membatasi diri dengan menafsirkan hukum yang berlaku
dan mendorong para magistrat, terutama para praetor
untuk menggunakan ius edicendi-nya (hak untuk
mengeluarkan edik-edik) untuk mengintrodusir aturan-
aturan hukum baru.
Pada zaman Hadrianus (117-138) kewenangan
legislatif senat diakui secara resmi, namun pada saat
yang bersamaan senat ini berada di bawah kaisar. Senat
ini tidak mempunyai hak inisiatif pembentukan undang-
undang, hanya sang kaisar sendiri atau salah satu dari
magistratnya dapat mengajukan rancangan-rancangan
undang-undang melalui orato prmeipis (secara
harfiah:permintaan Raja). Senat hanya dapat
memberikan persetujuannya. Setelah abad II berakhir
maka untuk selanjutnya ia dikesampingkan. Kegiatan
perundang-undangan hanya berlangsung sangat singkat.
c) Constituties Kekaisaran
Secara berangsur-angsur kaisar menjadi satu-
satunya badan pembuat undang-undang. Kendatipun
265
Augustus dan para penggantinya yang pertama secara
formal menolak kekuasaan legislatif yang disodorkan
kepada mereka, namun pada hakikatnya mereka telah
menjalankannya; sejak tahun 13 AD senat telah
mengakui kekuatan-kekuatan mengikat edik-edik yang
diajukan Dewan Kekaisaran.
Selama berlakunya pada abad II perundang-
undangan kekaisaran yang akhirnya menentukan dasar
sesungguhnya dalam auctoritas principis (otoritas Kepala
Negara), nampaknya semakin meluas saja. Tak lama
setelah itu bahkan Ulpianus menyatakan bahwa sebuah
constituo kekaisaran mempunyai kekuatan yang sama
dengan undang-undang (dalam arti sebuh Lex dari
periode Republik); quod principi placuit, legis habet
vigorem (apa yang menyenangkan kepala Negara
mempunyai kekuatan undang-undang). Selama
menjelang akhir abad pertengahan dan zaman modern,
nampaknya ungkapan tersebut acapkali dijumpai kembali
di dalam perundang-undangan para kepala Negara.
Akan tetapi semua Constitutie Kekaisaran tidak
mempunyai ruang lingkup yang sama terdapat
perbedaan atas empat kategori :
266
1) Edikta-edikta : ketentuan-ketentuan yang
mempunyai ruang lingkup yang umum, dengan
beberapa kekecualian yang berlaku di seluruh
Negara.
2) Dekreta-dekreta : vonis-vonis yang diucapkan
oleh kaisar atau dewannya bertalian dengan
peristiwa-peristiwa yuridis. Hal ini berlaku
sebagai preseden-preseden yang harus diikuti
oleh hakim-hakim yang lebih rendah untuk
kepentingan otoritas badan yang
mengeluarkannya.
3) Reskripta-reskripta : jawaban-jawaban yang
diberikan kaisar atau dewannya kepada
seorang pejabat Negara, seorang magistrat
atau bahkan kepada seorang partikulir yag
memohon nasehat yang bertalian dengan
sebuah persoalan hukum. Berbasiskan otoritas
kaisar maka hal-hal tersebut memperoleh
kekuatan undang-undang dalam kasus-kasus
yang sama secara berangsur-angsur hal-hal ini
menggantikan responsa para yuriskonsul.
267
4) Mandata (instruksi-instruksi) yang diberikan
kaisar kepada gubarnur-gubernur propinsi,
terutama mengenai peristiwa-peristiwa yang
berhubungan dengan persoalan-persoalan
administrasi dan perpajakan
3. Gerakan Kodifikasi54
Hukum alam dan jalan pikiran era pencerahan, memberikan
ruang dan peluang bagi suatu gerakan kodifikasi, yang terutama
kepada usaha untuk menertibkan banyak sumber-sumber hukum
yang ada pada era Ancien Regime.
Salah seorang pembela utama pemikiran kodifikasi adalah
filsafat utilitaris Inggris Jeremy Bentham (1748-1832). Utilititarisme
ini berbasiskan pemikiran bahwa suatu perilaku adalah baik
bilamana hal itu bermanfaat ditinjau dari sudut pandang ikshtiar
untuk memperjuangkan kebahagian yang terbesar bagi jumlah
(orang) terbesar. Untuk itu diperlukan kepastian hukum, yang dapat
diwujudkan melalui kodifikasi.
Sejak sebelum abad XVIII di Negara –negara tertentu telah
diadakan upaya-upaya untuk memajukan bidang-bidang hukum
tertentu. Mengadakan peleburan sumber-sumber hukum yang ada
54
Ibid, Hal. 279 – 281.
268
menjadi satu kesatuan. Namun kitab undang-undang modern
pertama baru muncul pada bagian kedua abad XVIII di Bavaria
(Codex Maximilianus Bavarius Civilis Tahun 1756) dan di Prusia
(Allgemeines Landrecht fur die Preussischen Staaten tahun 1794).
Yang disebut terakhir ini memang disusun dengan bahasa yang
jelas, akan tetapi kitab undang-undang ini terlalu luas
jangkauannya dan bahkan sangat panjang lebar mengandung tidak
kurang dari 19.208 pasal dan ditandai serta diwarnai oleh kasuistik
yang berlebihan. Tambahan pula kitab ini adalah undang-undang
Ancien Regime, akan tetapi raja tergolong penguasa moderat yang
menjalankan pemerintahan dengan sewenang-wenang, dan yang
telah dipengaruhi oleh ahli-ahli filsafat yang beraliran paham-
paham era pencerahan, berhasrat untuk menginstrodusir
reformasi-reformasi, akan tetapi ia belum meninggalkan kekuasaan
absolutnya, sedangkan masyarakat tetap berbagi dalam kelas-
kelas dengan hak-hak dan kewajiban yang tidak sama.
Di Austria pun raja yang tergolong Verlichte despoot ini
seperti Maria-Theresia (1717-1780) dan Josef II (1780-1790)
berikhtiar untuk melaksanakan kodifikasi-kodifikasi. Suatu
rancangan Codex Thereseanus telah disusun pada tahun 1766,
namun nampaknya kitab undang-undang tersebut terlalu tebal
(8.367 Pasal) dan tidak berlakukan. Kemudian Josef II
269
memerintahkan untuk mengubahnya secara mendasar dan mulai
memberlakukan beberapa bagian antara lain di daerah-daerah
Belanda (sebagian) dan Belgia, namun hal ini telah menyebabkan
pecahnya Revolusi Brabant pada tahun 1789. Dibawah
pemerintahan Kaisar Frans I (1768-1835) maka di Austria pada
tahun 1812 terlaksanalah Allgemeines Burgerliche Gesetbuch
(ABGB) yang merupakan suatu sintetis yang lebih baik lagi dari
hukum kebiasaan Romawi dan sebagian kecil hukum kebiasaan
Germania, dengan suatu metode umum dan struktur juga sejumlah
gagasan-gagasan individualistis dan egaliter (prinsip persamaan
hak) yang diilhami oleh hukum alam. ABGB ini meliputi 1502
paragraf dan terdiri dari tiga bagian.
Sejak Code Civil des Francais (1804) yang sejak tahun 1807
disebut Code Napoleon, adalah kitab undang-undang yang liberal
lagi dan yang merupakan suatu tatanan yang tersusun seluruhnya
secara sistematis serta ditulis dengan jelas dan indah. Kitab
undang-undang ini adalah suatu sistesis yang bagus dari hukum
Romawi (terutama dalam bidang hukum keluarga), dengan
beberapa komponen yang diturunkan dari hukum kanonik
(perkawinan dengan pengangkatan sumpah) dan pada perundang-
undang kerajaan (pembaktian, hibah-hibah). Jadi tidak
mengherankan bahwa suatu karya yang berimbang dan berwibawa
270
seperti ini, selama abad XIX untuk seluruh dunia telah menjadi
teladan dan panutan. Orang menamakannya sebuah candi yang
didirikan demi Insan rasionalis.
Di Jerman sendiri Burgerliche Gesetbuch baru terselenggara
pada akhir abad XIX, tapi karena suatu hal sampai dengan tahun
1871 negara tersebut baik secara politis maupun hukum tetap
mengalami perpecahan.
Perundang-undangan kodifikasi sejak abad XIX tetap
merupakan sumber hukum terpenting di benua Eropa dan dibanyak
wilayah, yang membiarkan diri diilhami dan dipengaruhi oleh
Burgerliche gesetbuch Jerman dan terutama oleh code napoleon.
Perundang-undangan ini bukan lagi ungkapan atau kehendak sang
raja, melainkan sejak Revolusi Perancis adalah kemauan rakyat
melalui dewan perwakilan rakyat. Oleh karena itu hal ini dipandang
sebagai sumber hukum terpenting, bahkan pada mulanya hampir
sebagai satu-satunya sumber hukum.
B. Kodifikasi Hukum Pidana55
Pada tanggal 10 Februari 1866 telah berlaku dua Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana di Indonesia yakni :
55
Andi Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 60-65
271
1. Het Wetboek Strafrecht Voor Europeanen (S. 1866 No. 55)
yang berlaku bagi golongan Eropa mulai pada tanggal 1
Januari 1867. Kemudian dengan ordonansi tanggal 6 Mei
1872 ditetapkan pula berlakunya KUHP untuk golongan
Bangsa Indonesia dan Timur Asing, yaitu :
2. Het Wetboek Van Strafrecht Voor Inlands en Daarmede
Gelijgestelde S. 1872 No. 85) yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1873.
Dengan berlakunya dua macam KUHP tersebut yang masing-
masing untuk golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing, maka
dualisme hukum pidana di Indonesia tetap berlangsung sebagaimana
sebelumnya.
Setelah berlakunya KUHP tahun 1866 dan tahun 1872, maka
aturan hukum pidana yang lama yaitu tahun 1642 dan tahun 1848
tidak berlaku lagi, demikian pula Hukum Adat Pidana yang berlaku di
daerah-daerah yang dijajah itu dihapuskan dan semua orang-orang
Indonesia tunduk pada satu KUHP saja (kecuali di daerah-daerah
swapraja).
Berdasarkan Regeringsreglement Pasal 75 Ayat (1) dan (2),
maka sebenarnya KUHP yang ditetapkan dengan Koninklijk Besluit
tanggal 10 Februari 1866 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1867 khusus terhadap golongan Eropa, adalah copi atau turunan
272
KUHP yang berlaku pada waktu itu dinegeri Belanda, yakni Code
Penal Perancis karena Negeri Belanda pernah dijajah Perancis.
Perbedaannya ialah Code Penal Perancis terdiri atas empat buku,
sedangkan KUHP untuk golongan Eropa di Indonesia terdiri atas dua
buku saja.
Selanjutnya KUHP yang ditetapkan dengan ordonansi tanggal 6
Mei 1872 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1873 khusus
terhadap golongan Bumiputera adalah suatu turunan pula dari KUHP
yang berlaku untuk golongan Eropa dengan perubahan-perubahan
yang telah disesuaikan dengan agama dan lingkungan hidup golongan
Bumiputera. Adapun perbedaannya hanya terletak pada sanksinya
saja.
Untuk mengetahui pengaruh Code Penal Perancis terhadap
hukum pidana di Negeri Belanda, maka perlu diuraikan secara singkat
tentang perkembangan hukum pidana di Negeri Belanda, yaitu
kodiikasi yang mengatur hukum pidana yang disebut “Het Criminele
Wetboek Voor Het Koninkrijk Holland” yang berlaku sampai tahun
1811, karena pada tahun 1811 di negeri Belanda berlaku Code Penal
Perancis.
Pendudukan Perancis atas negeri Belanda berlangsung sampai
dengan tahun 1813, tetapi meskipun penjajahan Perancis berakhir
pada tahun itu, namun Code Penal Perancis tetap berlaku di Negeri
273
Belanda yang diterapkan dengan Koninkrijk Besluit yang menentukan
bahwa untuk sementara Code Penal masih tetap berlaku dengan
diadakan perubahan-perubahan. Di samping itu juga diusahakan untuk
membentuk kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional Negeri
Belanda, namun selalu gagal. Kemudian dengan
Gouvernementsbesluit dibentuk suatu panitia untuk merancang KUHP
(WvS) yang bersifat nasional pada tahun 1870.
Jadi sejak tahun 1813 sampai dengan tahun 1870 Code Penal
Perancis dengan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan
keadaan di Negeri Belanda masih tetap berlaku, bahkan sampai 1886.
Panitia yang telah dibentuk pada tahun 1870, lima tahun
kemudian, yaitu pada tahun 1875, telah dapat menyelesaikan
rancangan KUHP (WvS) nasional Negeri Belanda yang akan
menggantikan Code Penal yang masih berlaku. Rancangan ini selesai
disusun oleh Panitia pada tahun 1875, kemudian diserahkan kepada
Menteri Kehakiman dan diajukan kepada Tweede Kamer pada tahun
1879 dan dengan beberapa amandemen baru disetujui oleh Tweede
Kamer pada tanggal 3 maret 1881. Dengan demikian maka
terbentuklah KUHP Nasional Negeri Belanda yang baru dan mulai
berlaku pada tahun 1886 dengan nama Wetboek Van Strafrecht.
274
Dengan demikian sejak tahun 1811 sampai dengan tahun 1886
di Negeri Belanda berlaku Code Penal Perancis kurang lebih 75 tahun
lamanya.
Sesuai dengan asas konkordansi menurut Pasal 75
Regeringsreglement, maka KUHP yang berlaku di Negeri Belanda
harus pula disesuaikan dengan KUHP yang berlaku didaerah jajahan
Belanda.
Dengan Koninklijk Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WvS) yang khusus
berlaku untuk golongan Eropa di Hindia Belanda. Walaupun
rancangan KUHP tersebut telah disesuaikan, tetapi belum dapat
ditetapkan berlakunya karena Rancangan KUHP untuk golongan
Indonesia belum selesai. Dengan adanya dua macam rancangan
KUHP ini, maka keadaaan dualisme hukum pidana di Hindia Belanda
masih tetap dipertahankan sebagaimana sebelumnya.
Selama kedua rancangan KUHP ini yang telah disesuaikan
dengan KUHP Nasional Negeri belanda belum berlaku, maka yang
berlaku adalah tetap S. 1866 No. 55 untuk golongan Eropa dan S.
1872 No. 85 untuk golongan Indonesia dan Timur Asing, yang
berlangsung sampai dengan tahun 1918.
Ternyata setelah selesainya kedua rancangan KUHP tersebut
tetap dinyatakan tidak berlaku karena Menteri Daerah Jajahan yaitu
275
Mr. Idenburgh berpendapat lain, yaitu bahwa untuk Hindia Belanda
harus berlaku hanya satu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
dengan kata lain ia menganjurkan adanya unifikasi. Dengan demikian
maka pada tahun 1913 dibentuk-lah suatu panitia yang bertugas untuk
menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku untuk
seluruh penduduk Hindia Belanda. Setelah selesai, dengan koninklijk
Besluit Van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie, dinyatakan mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 1918.
Demikian pula setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
maka sesuai dengan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945, maka
dengan sendirinya S.1915 Nomor 732 tersebut di atas dinyatakan pula
tetap berlaku yang kemudian dengan Undang-Undang No. 1 Tahun
1946 diubah namanya menjadi Wetboek Van Strafrecht (WvS) atau
biasa disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
C. Lex Specialis Systematic Dalam Tindak Pidana Perpajakan
Dalam menganalisis serta memahami hubungan antara asas
lex specialis derogate legi generalis dan asas lex specialis systematic
dalam ketentuan tindak pidana perpajakan, maka penulis
menggunakan 2 (dua) metode pendekatan yakni pendekatan sejarah
276
(historical-approach)56 dan pendekatan perundang-undangan
(statute- approach). Pendekatan sejarah digunakan untuk memahami
asas-asas hukum umum maupun asas-asas hukum pidana
berdasarkan asal mula atau munculnya asas tersebut. Sedangkan
pendekatan perundang-undangan digunakan untuk menelaah,
meneliti, dan menganalisis aturan-aturan ketentuan pidana di bidang
perpajakan maupun undang-undang lainnya yang mengatur tentang
pajak sebagai bahan olah utama dalam mengkaji asas lex specialis
derogate legi generalis dan asas lex specialis systematic dalam
kaitannya dengan tindak pidana perpajakan. Ditilik dari sisi sejarah
asas lex specialis derogate legi generalis57 muncul setelah
berevolusinya kaidah/norma/hukum yang mula-mula berkembang di
zaman Romawi (zaman kuno) sampai pada munculnya gerakan
kodifikasi58 pada abad XVIII di Bavaria (Codex Maximilianus Bavarius
Civilis Tahun 1756).
56
Metode pendekatan sejarah telah diaplikasikan untuk sub bab sejarah kodifikasi dan kodifikasi hukum pidana
dengan dengan menggunakan analisa kepustakaan terhadap literatur-literatur terkait. 57
Asas lex specialis derogate legi generalis berdasarkan tata bahasa berasal dari bahasa latin. Bahasa latin
adalah sebuah bahasa Italik yang berasal dari Latium, sebuah daerah di Italia sekeliling kota Roma. Bahasa ini menjadi penting karena munculnya Kekaisaran Romawi dia mana bahasa latin adalah bahasa resminya. Pada puncak kejayaan kerajaan ini, bahasa latin dituturkan dari Pulau Britania di barat laut sampai Palestina di Ujung tenggara. Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi, sekitar akhir abad ke-5, bahasa latin tidak ikut runtuh tetapi malah justru berkembang. Bahasa ini dipakai sebagai bahasa lingua franca, bahasa liturgis gereja dan bahasa ilmu pengetahuan, bahkan juga didaerah-daerah yang tidak pernah ditaklukkan Roma. Hal ini juga dapat menegaskan bahwa sebagaian besar asas-asas hukum pidana baik formil maupun materiil berasal dari hukum Kerajaan Romawi. (www.Wikipedia.com, diakses tanggal 08/06/2011) 58
Himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang.(www.artikata.com. Diakses tanggal 08/06/2011)
277
Kodifikasi pada saat kemunculannya hanya berfokus
bagaimana mengakomodasi ketentuan-ketentuan privat kedalam satu
buku. Hal ini sangat lumrah oleh karena aturan-aturan hukum tersebut
diciptakan untuk mengatur (sifat mengatur) hak-hak penduduk dalam
suatu kerangka wilayah.
Lahirnya kodifikasi untuk hukum pidana dimulai ketika
meletusnya Revolusi Perancis antara tahun 1789-1799. Hal tersebut
makin memuncak ketika Napoleon Bonaparte menguasai puncak
pimpinan Negara Perancis. Pada masa pemerintahan napoleon itu
terbentuklah berbagai macam kodifikasi, seperti :
1) Code Civil 1804 (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
2) Code De Commerce 1803 (Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang)
3) Code de procedure civil 1807 (Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdata)
4) Code d’instruction criminelle 1808 (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana)
5) Code penal 1810 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Pada intinya kitab undang-undang tersebut dibentuk sebagai
wujud pandangan yang menitikberatkan kepada kepastian hukum
pada waktu itu. Kepastian hukum merupakan hal yang sangat
dijunjung tinggi sebagai reaksi terhadap keadaan pada zaman ancient
278
regim sebelum Revolusi Perancis, ketika rakyat sangat menderita
karena tiadanya kepastian hukum. Dalam kodifikasi itu dihimpun
segala aturan hukum dari bahan hukum tertentu, yang disusun secara
sistematis, lengkap, dan tuntas. Sistematis, karena dalam suatu sistem
di antara bagian-bagiannya yang berupa aturan-aturan hukum itu,
tidak boleh ada pertentangan satu sama lain. Lengkap dan tuntas,
karena demi kepastian hukum, di luar kodifikasi itu tidak diakui adanya
aturan hukum, sehingga hukum yang diterapkan oleh hakim hanya
apa yang tercantum dalam kitab undang-undang itu saja. Jadi undang-
undanglah yang dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum.
Sebagaimana diketahui bahwa kodifikasi dibentuk untuk
memuat suatu bahan hukum yang lengkap, akan tetapi faktanya
terbentuknya peraturan perundang-undangan pidana di luar kodifikasi
tidak dapat dihindarkan, mengingat pertumbuhan masyarakat,
terutama di bidang sosial dan ekonomi. W.v.S. atau KUHP dalam buku
keduanya memuat delik-delik dalam kategori kejahatan, sedangkan
buku ketiga-nya dimuat delik-delik dalam kategori pelanggaran.
Dalam hal membedakan hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan dari yang dikodifikasikan hanya menyangkut bentuk
legislatifnya saja. Sebagai contoh adalah :
“Hukum pidana yang dikodifikasikan adalah yang ditemui dalam W.v.S. atau KUHP. Sedangkan hukum pidana yang terdapat dalam undang-undang tersendiri mencakup UU No. 21 Tahun
279
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Kelompok undang-undang ini dapat disebut “undang-undang pidana khusus”.
Berkaitan dengan masalah hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan ini kiranya perlu juga ditunjukkan sifat hukum
pidananya dari berbagai peraturan perundang-undangan pidana.
Peraturan perundang-undangan pidana dapat pula dibagi
menurut sifatnya dalam :
1) Undang-undang pidana “dalam arti sesungguhnya”, ialah
“undang-undang, yang menurut tujuannya, bermaksud
mengatur hak memberi pidana dari negara, jaminan dari
ketertiban hukum”.
2) Peraturan-peraturan hukum pidana dalam undang-undang
tersendiri, ialah peraturan-peraturan, yang hanya
dimaksudkan untuk memberi sanksi pidana terhadap aturan-
aturan mengenai salah satu bidang yang berada di luar
hukum pidana.
Peraturan hukum pidana yang dimaksud dalam sub a telah
jelas, adalah KUHP, sedang peraturan yang dimaksud dalam sub b
misalnya, Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
280
Umum Dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang No. 17 Tahun
2003 Tentang Keuangan Negara.
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan terdapat bab yang
mengatur hukuman atau pidana, yang mengancam pidana terhadap
perintah atau larangan yang disebutkan dalam ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dalam aktivitas perpajakan. Demikian halnya dengan
undang-undang tentang keuangan negara terdapat pula bab yang
mengatur hukuman atau pidana, yang mengancam pidana terhadap
perintah atau larangan yang disebutkan dalam ketentuan-ketentuan
yang berhubungan dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara.
Oleh karena itu maka, peraturan perundang-undangan pidana yang
disebut dalam kelompok (b) dapat pula dimasukkan dalam pengertian
“undang-undang pidana khusus”.
Berdasar atas apa yang dikemukakan sebelumnya ada tiga
kelompok yang bisa dikualifikasikan sebagai undang-undang pidana
khusus, adalah :
1) Undang-undang yang tidak dikodifikasikan, misalnya :
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003
281
Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 21 Tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pidana
Perdagangan Orang.
2) Peraturan-peraturan hukum administratif yang memuat
sanksi pidana, misalnya: Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang No.
28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan
Tata Cara Perpajakan.
3) Undang-Undang yang memuat hukum pidana khusus (ius
singular, ius special), yang memuat delik-delik untuk
kelompok orang tertentu atau berhubungan dengan
perbuatan tertentu, misalnya Wetboek van Militair Strafrecht
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara)
Dalam terjadinya suatu tindak pidana perpajakan, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana sebagai ketentuan umum (lex
generalis) secara kontekstual pasal dan dihubungkan dengan kasus
yang terjadi dapatlah diterapkan dengan menerapkan beberapa pasal
pada Buku II Tentang Kejahatan. Berikut pasal-pasal tersebut adalah
sebagai berikut :
282
1) Pasal 263 Ayat (1) mengenai pemalsuan surat
“Barang siapa membuat secara tidak benar; atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal; dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu; diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dipidana paling lama 6 (enam) tahun penjara”.
Kemudian dipertegas oleh ketentuan Pasal 264 Ayat (1) :
“Barang siapa melakukan pemalsuan terhadap:
1. Akta-akta otentik; 2. Surat hutang dan sertifikasi hutang dari suatu Negara
atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum; 3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau
hutang dari suatu perkumpulan yayasan, perseroan atau maskapai;
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang dipergunakan untuk diedarkan;
Diancam dengan pidana penjara : paling lama 8 (delapan) tahun.”
Lebih lanjut Pasal 264 Ayat (2) :
“Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak benar atau yang dipalsu seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”
283
Salah satu bentuk tindak pidana perpajakan dalam hal
pemalsuan surat dimana KUHP dapat diakomodasi (lex generalis)
didalamnya adalah mengenai menggunakan tanpa hak Nomor
Pokok Wajib Pajak dan memperlihatkan pembukuan, pencatatan,
atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan sebagaimana yang
tercantum dalam rumusan Pasal 39 Ayat (1) huruf (b) dan (f) UU
KUP (lex specialis) :
“Setiap orang dan yang dengan sengaja : a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok
Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaaan yang sebenarnya;
g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain yang termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1);
284
i. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara.
diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda : paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
2) Pasal 322 Ayat (1) mengenai rahasia jabatan
“Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) bulan; atau pidana denda paling banyak enam ratus rupiah”.
Dalam ketentuan UU KUP (lex specialis) juga diatur
mengenai rahasia jabatan, yaitu sebagai berikut :
Pasal 21 Ayat (1) :
“Pejabat karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).”
Kemudian Pasal 34 Ayat (1) :
“Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda : paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah)”.
285
3) Pasal 415 mengenai kejahatan jabatan
“Seorang pejabat atau orang lain ditugasi menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut diancan dengan pidana penjara : paling lama 7 (tujuh) tahun”. Pasal 416 :
“Seorang pejabat atau orang lain yang ditugasi menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu; membuat secara palsu atau memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi diancam dengan pidana penjara : paling lama 4 (empat) tahun”.
Pasal 417 :
“Seorang pejabat atau orang lain ditugasi menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu; menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang yang diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan dimuka penguasa berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasainya karena jabatan-nya; membiarkan orang lain meghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang itu; menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan itu diancam dengan pidana pidana penjara : paling lama 5 (lima) tahun”. Pasal 418 :
“Seorang pejabat menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya menurut pikiran orang yang member hadiah atau janji-janji itu ada hubungannnya dengan
286
jabatannya diancam pidana penjara : paling lama 3 (tiga) tahun pidana denda : paling sedikit Rp 300 (tiga ratus rupiah)”. Pasal 419 ke-1 dan ke-2 :
“Seorang pejabat menerima hadiah atau janji; padahal diketahui, bahwa itu diberikan untuk menggerakkan dia supaya melakukan atau tidak melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan-nya, yang bertentangan dengan kewajibannya; menerima hadiah padahal diketahui bahwa itu diberikan sebagai akibat atau oleh karena dia telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”. Pasal 421 :
“Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu diancam dengan pidana penjara : paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan”. Pasal 423 :
“Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta melawan hokum menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan; untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri diancam dengan pidana penjara : paling lama 6 (enam) tahun”.
Dalam UU KUP (lex specialis) telah ditentukan mengenai
kejahatan jabatan yang termaktub dalam ketentuan :
Pasal 36A Ayat (1) :
“Pegawai pajak karena kelalaiannya; atau dengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan…………...”
287
Pasal 36A Ayat (2) :
“Pegawai pajak dengan sengaja dalam melakukan tugas bertindak diluar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit Internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi………”
Dalam menentukan suatu ketentuan peraturan perundang-
undangan apakah termasuk golongan undang-undang umum (lex
generalis) dan/atau undang-undang khusus (lex specialis) untuk suatu
kasus tindak pidana perpajakan dapat ditentukan melalui analisis
intensif terhadap unsur perbuatan kriminal (actus reus) dan unsur
pertanggungjawaban pidana (mens rea) suatu pasal dari peraturan
perundang-undangan.
Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan unsur tindak
pidana/delik yang terdapat pada Pasal 263 Ayat (1), 264 Ayat (1),
322 Ayat (1), 415, 416, 417, 418, 419 ke-1 dan ke-2, 421, 423 KUHP
(lex generalis) yang unsur actus reus-nya bersifat umum (memalsukan
dokumen/pencatatan/akta otentik) dan unsur mens rea ( seorang
pejabat) dalam suatu kegiatan administrasi yang tentunya bersifat
multi interpretasi.
Berbeda dengan ketentuan Pasal 39 Ayat (1) huruf (b) dan (f),
21 Ayat (1), 34 Ayat (1), 36A Ayat (1), 36A Ayat (2) yang mengatur
288
juga tentang kejahatan pemalsuan surat, rahasia jabatan, dan
penyalahgunaan jabatan dibidang aktivitas pajak yang tentunya lebih
spesifik baik dilihat dari unsur actus reus maupun mens rea-nya
dibandingkan rumusan delik yang tercantum dalam ketentuan Kitab-
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Berkaitan dengan masalah hukum yang dilematis yakni
masalah tindak pidana perpajakan yang dihubungkan dengan Undang-
Undang Pemberantasan Korupsi dalam penerapannya selama ini.
Untuk itu maka perlu dijelaskan posisi dan peran undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan undang-undang
perpajakan di satu sisi yang diperkuat dengan ketentuan pidana.
Di dalam KUHP, Pasal 63 Ayat (1) menegaskan :
“Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”. Pasal 63 Ayat (2) :
“Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan”. Untuk penentuan lex specialis derogat legi generalis antara
kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dengan undang-undang
perpajakan apabila terjadi tindak pidana perpajakan, pada intinya tidak
akan menemui kesulitan tertentu oleh karena perbedaan materiil atau
289
isi pasal mengenai actus reus, mens rea, sanksi pidana, dan tujuan
pembentukan kedua perundang -undangan tersebut sangat mencolok.
Untuk mengetahui sejauhmana tindak pidana perpajakan bisa
dikategorikan melanggar ketentuan undang-undang pemberantasan
korupsi atau ketentuan perpajakan itu sendiri, dapat diketahui dengan
jelas melalui apa yang menjadi unsur actus reus, mens rea, dan
sanksi pidana serta tujuan pembentukan peraturan perundang-
undangan tersebut. Actus reus, mens rea, dan sanksi pidana serta
tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan kemudian
dihubungkan dengan ketentuan undang-undang korupsi maupun
perpajakan.
Sebagaimana telah diketahui bahwa asas actus non facit reum
nisi mens sit rea memiliki beberapa unsur pembentuk, yaitu :
1. Perbuatan kriminal (actus reus)
2. Pertanggungjawaban pidana (mens rea)
3. Sanksi pidana
Secara terperinci perbuatan kriminal (actus reus) terbagi lagi
atas :
1. Perbuatan
a. Perbuatan aktif
b. Perbuatan negatif atau pasif, yaitu perbuatan yang mendiamkan
atau membiarkan
290
2. Akibat perbuatan
Akibat dari perbuatan yang dilakukan tersebut
membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum,
misalnya nyawa badan, kemerdekaan, hak milik, dan kehormatan.
3. Keadaan-keadaan
a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan
4. Sifat dapat dihukum
5. Sifat melawan hukum
Begitu pula untuk pertanggungjawaban pidana (mens rea) :
1. Barangsiapa :
a. Orang
b. Badan hukum (korporasi)
2. Kesengajaan
a. Kesengajaan sebagai maksud
b. Kesengajaan sadar akan kepastian
c. Kesengajaan sadar akan kemungkinan
3. Kealpaan
Untuk awal mula analisis, diambillah pasal-pasal/ketentuan-
ketentuan dalam undang-undang pemberantasan korupsi dan undang-
291
undang perpajakan yang paling dekat perumusan unsur tindak pidana-
nya, kemudian ditarik apa yang menjadi actus reus, mens rea, dan
sanksi pidana, serta tujuan pembentukan kedua peraturan tersebut.
Untuk undang-undang pemberantasan korupsi terdapat 2 (dua)
pasal yang dapat diterapkan apabila terjadi tindak pidana perpajakan,
kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun
1999;
b. Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Sebagai langkah pertama, terlebih dahulu menganalisis apa
yang menjadi unsur perbuatan kriminal (actus reus) dan
pertanggungjawaban pidana (mens rea) serta sanksi pidana dalam
Pasal 2 Ayat (1) UU No. 20 tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 Ayat (1) :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliar rupiah).”
292
1. Unsur perbuatan kriminal :
Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
2. Unsur pertanggungjawaban pidana :
Setiap orang
3. Sanksi pidana Pasal 2 Ayat (1) :
a. Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000.00 (satu milliar rupiah)
Kemudian Pasal 3 berbunyi :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliard rupiah).” 1. Unsur perbuatan kriminal :
Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
293
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara
2. Unsur pertanggungjawaban pidana :
Setiap orang
3. Sanksi pidana :
a. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun; dan/atau
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000.00 (satu milliar rupiah)
Dalam hukum pidana modern dikenal beberapa teknik
perumusan tindak pidana/delik. Teknik perumusan tindak pidana/delik
adalah suatu cara untuk menguraikan perbuatan melawan hukum
yang dilarang atau yang diperintahkan untuk dilakukan dan kepada
barangsiapa yang melanggarnya atau tidak menaatinya diancam
dengan pidana maksimum ditambah dengan unsur batin oleh si
pembuat.
294
Secara umum ada bebera macam teknik perumusan delik,
beberapa macam teknik tersebut adalah sebagai berikut59 :
1. Teknik perumusan dengan menerangkan atau menguraikan,
contohnya rumusan delik menurut Pasal 279, 281, 286, 242
KUHP.
2. Teknik perumusan dengan pasal undang-undang tertentu
menguraikan unsur-unsur delik, lalu ditambahkan pula
kualifikasi atau sifat dan gelar delik tersebut, contohnya
Pasal 263, 362, 372, 378 KUHP.
3. Pasal undang-undang tertentu hanya menyebut kualifikasi
(sifat/gelar) tanpa uraian unsur-unsur perbuatan lebih lanjut.
Uraian unsur-unsur tindak pidana-nya diserahkan kepada
yurisprudensi dan doktrin. Contohnya penganiayaan (Pasal
351 KUHP). Pasal tersebut tidak menjelaskan arti perbuatan
tersebut. Menurut teori atau yurisprudensi, penganiayaan
diartikan sebagai “menimbulkan nestapa atau derita atau
rasa sakit (pijn) pada orang lain.
4. Pasal undang-undang pidana yang dirumuskan hanya
perbuatan melawan hukum saja (delik formil), contohnya
Pasal 362 KUHP merumuskan kelakuan yang dilarang yaitu
mengambil barang yang seluruhnya atau sebagiannya
59
Andi Zainal Abidin Farid, op. cit, hlm. 346-350
295
kepunyaan orang lain. Namun kelakuan mengambil saja
tidak cukup untuk memidana seseorang diperlukan pula
keadaan yang menyertai pengambilan itu “adanya maksud
pengambil untuk memilikinya dengan melawan hukum”.
5. Pasal undang-undang yang dirumuskan hanya
menitikberatkan terwujudnya suatu akibat (delik materiil),
contohnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP) mensyaratkan
akibat menderita sakitnya korban.
6. Pasal undang-undang yang perumusannya mensyaratkan
adanya perbuatan dan akibat perbuatan itu (formil-materiil),
contohnya penggelapan (Pasal 378 KUHP).
Lalu bagaimana dengan teknik perumusan delik yang ada pada
Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 20 tahun 2001 jo. UU No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?. Dilihat
dari apa yang menjadi rumusan ketentuan tersebut diatas dapat
dikatakan bahwa teknik perumusan-nya disusun dengan metode
formil-materiil, yang berarti bahwa yang menjadi pokok bukan saja
caranya berbuat tetapi juga akibatnya. Berikut bunyi kedua pasal
tersebut :
Pasal 2 Ayat (1) :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara
296
atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliar rupiah).” Kemudian Pasal 3 :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliar rupiah).”
Akibat yang dilarang ialah bahwa setiap orang yang melakukan
perbuatan untuk memperkaya diri sendiri ataupun orang lain maupun
suatu korporasi sehingga dapat menimbulkan kerugian keuangan
Negara atau perekonomian Negara adalah jelas rumusan yang
materiil. Selama si pelaku tindak pidana ini memperkaya diri sendiri
ataupun orang lain maupun suatu korporasi sepanjang dari perbuatan
itu belum mengakibatkan kerugian pada keuangan Negara dan
perekonomian Negara bukanlah termasuk suatu delik korupsi menurut
rumusan undang-undang korupsi. Mungkin yang terwujud atau
dirumusi oleh si pelaku tindak pidana ini adalah pencurian (Pasal 362
KUHP), penggelapan (Pasal 372 KUHP), dan penipuan (Pasal 378
KUHP).
297
Dikatakan formil karena dalam perumusan tindak pidana-nya
(Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3) merumuskan unsur “melawan hukum”
yang merupakan ciri khas penyusunan secara formil. Hal ini kemudian
diperjelas dengan ditambahkannya beberapa perbuatan yaitu
“menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan” dalam unsur kedua pasal
tersebut.
Dari sisi pemidanaan, Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 dalam
rumusan pasal-nya menganut stelsel pemidanaan kumulatif dan
alternatif/kumulatif. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan kedua pasal
tersebut, yaitu :
Pasal 2 Ayat (1) :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliar rupiah).”
Untuk Pasal 2 Ayat (1) diatas berdasarkan perumusannya
menggunakan stelsel kumulatif. Stelsel kumulatif ditandai dengan cirri
khas adanya kata “dan” . UU Tipikor seperti dalam uraian pasal diatas
merupakan salah satu contohnya. Dengan adanya kata “dan”, maka
298
hakim harus menjatuhkan pidana dua-duanya, yakni penjara dan
denda.
Sedangkan Pasal 3 :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliard rupiah).”
Bagi Pasal 3 diatas berdasarkan perumusannya menggunakan
stelsel alternatif/kumulatif. Untuk stelsel alternatif/kumulatif ini, ditandai
dengan ciri “dan/atau”. Konsekuensinya adalah memberikan
kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana apakah alternatif
(memilih) ataukah kumulatif (menggabungkan) antara pidana penjara
dan denda.
Dibentuknya UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
UU No. 31 Tahun 1999 Pemberantasan Korupsi dalam arti formil
adalah dimaksudkan untuk menggantikan Undang-Undang No. 3
Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi agar
lebih mampu untuk memenuhi dan mengantisipasi perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan
memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi
299
yang sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Dari segi materiil
bahwa di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang,
aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk
penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam
kenyataannya adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian
Negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak
pada timbulnya kisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan
dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan
dintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kepentingan masyarakat.
Selanjutnya, untuk undang-undang perpajakan terdapat 2 (dua)
pasal yang juga dapat diterapkan apabila terjadi tindak pidana
perpajakan, kedua pasal tersebut yaitu :
a. Pasal 36A Ayat (4) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan;
b. Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
300
Seperti halnya undang-undang pemberantasan korupsi, terlebih
dahulu menganalisis apa yang menjadi unsur perbuatan kriminal
(actus reus) dan pertanggungjawaban pidana (mens rea) serta sanksi
pidana dalam Pasal 36A Ayat (4) dan Pasal 39 Ayat (1) UU No. 28
tahun 2007 jo. UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan
Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut :
Pasal 36A Ayat (4) :
“Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.” 1. Perbuatan kriminal
Menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan
menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang untuk
memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima
pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri,
2. Pertanggungjawaban pidana
Pegawai pajak
3. Sanksi pidana
301
a. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000.00 (satu milliar rupiah).
Pasal 39 Ayat (1) :
“Setiap orang yang dengan sengaja : a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau b. tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau c. menyampaikan Surat pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”. 1. Perbuatan kriminal :
a. Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau
menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor
Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau
302
b. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau
c. Menyampaikan Surat pemberitahuan dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
atau
d. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29; atau
e. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
f. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku,
catatan, atau dokumen lainnya; atau
g. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan Negara,
2. Pertanggungjawaban pidana :
a. Setiap orang;
b. Dengan sengaja
3. Sanksi pidana
a. Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun; dan
b. Pidana denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar”.
303
Dilihat dari apa yang menjadi rumusan ketentuan tersebut
diatas dapat dikatakan bahwa teknik perumusan-nya disusun dengan
metode formil dan formil-materiil. Berikut bunyi kedua pasal tersebut :
Pasal 36A Ayat (4) :
“Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.”
Kemudian Pasal 39 Ayat (1) :
“Setiap orang yang dengan sengaja : a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau b. tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau c. menyampaikan Surat pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.
304
Untuk Pasal 36A Ayat (4) berdasarkan bunyi pasal-nya dapat
dikategorikan dirumuskan secara formill. Oleh karena dalam unsur
tindak pidana-nya hanya menitikberatkan pada perbuatan yang
dilakukan oleh pegawai pajak berupa “dengan maksud
menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan
menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang untuk
memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran,
atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.”
Kemudian Pasal 39 Ayat (1) juga berdasarkan bunyi ketentuan-
nya dirumuskan dalam bentuk formil-materiil. Akibat yang dilarang
ialah bahwa setiap orang yang tidak menjalankan kewajiban
perpajakan dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara
Dikatakan formil karena dalam perumusan tindak pidana-nya
dititikberatkan oleh beberapa kriteria perbuatan yang dilarang dalam
kegiatan perpajakan yaitu : “tidak mendaftarkan diri, atau
menyalahgunakan atau menggunakan atau menggunakan tanpa hak
Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau Tidak menyampaikan
surat pemberitahuan; atau Menyampaikan Surat pemberitahuan dan
atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29; atau Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau
305
dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen
lainnya; atau Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut.”
Untuk sisi pemidanaan, Pasal 36A Ayat (4) dan Pasal 39 Ayat
(1) dalam rumusan pasal-nya menganut stelsel pemidanaan kumulatif
dan alternatif/kumulatif. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan kedua
pasal tersebut, yaitu :
Pasal 36A (4) :
“Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun; dan Pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliar rupiah).”
Pasal 36A Ayat (4) Untuk Pasal 2 Ayat (1) menggunakan stelsel
kumulatif. Stelsel kumulatif ditandai dengan ciri khas adanya kata
“dan”. Seperti dalam uraian pasal diatas merupakan salah satu
contohnya. Dengan adanya kata “dan”, maka hakim harus
menjatuhkan pidana dua-duanya, yakni penjara dan denda.
306
Pasal 39 Ayat (1) :
“Setiap orang yang dengan sengaja : a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau b. tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau c. menyampaikan Surat pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”. Pasal 39 Ayat (1) juga menggunakan stelsel kumulatif. Stelsel
kumulatif ditandai dengan ciri khas adanya kata “dan”. Seperti dalam
uraian pasal diatas merupakan salah satu contohnya. Dengan adanya
kata “dan”, maka hakim juga harus menjatuhkan pidana dua-duanya,
yakni penjara dan denda menurut ketentuan diatas.
Untuk masalah tujuan dibentuknya UU No. 28 Tahun 2007
Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dalam arti formil
bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan
kepada wajib pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum,
serta untuk meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan,
307
meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan, dan
meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Dalam arti materiil
undang-undang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
dilandasi dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak
warga Negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai
kewajiban Negara.
Secara garis besar UU No. 28 tahun 2007 Tentang Perubahan
Ketiga Atas . UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan
Tata Cara Perpajakan dan UU No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi memiliki perbedaan yang sangat subtansial apabila dilihat dari
sisi perumusan actus reus (perbuatan kriminal), mens rea
(pertanggungjawaban pidana), sanksi pidana, dan tujuan
pembentukan perundang-undangannya sehingga apabila terjadi tindak
pidana perpajakan mutlak UU No. 28 tahun 2007 Tentang Perubahan
Ketiga Atas . UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan
Tata Cara Perpajakan maupun perundang-undangan pajak lainnya
yang diberlakukan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan UU No. 20
tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dapat diterapkan apabila
terjadi tindak pidana perpajakan.
308
Mengapa demikian ?, oleh karena terdapat satu pasal dalam
UU No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang membuka
peluang untuk dapat diterapkan jika terjadi tindak pidana perpajakan.
Peluang tersebut ditegaskan dalam Pasal 14 Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”. Maka, penerapan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap pelanggaran
ketentuan pidana di dalam Undang-Undang Perpajakan masih
dimungkinkan jika dalam Undang-undang Perpajakan itu, ditegaskan
bahwa pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana korupsi.
Penerapan hukum a contrario atas ketentuan Pasal 14
mengandung makna bahwa, jika di dalam UU Perpajakan itu,
pelanggaran atas ketentuan pidana tidak ditegaskan sebagai tindak
pidana korupsi maka ketentuan pidana di dalam undang-undang
Perpajakan yang diberlakukan bukan UU pemberantasan korupsi.
309
Senada dengan penjelasan tersebut diatas UU No. 28 Tahun
2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Pasal 36A
Undang-Undang KUP Ayat (4), berbunyi:
“Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya”. Lebih lanjut Pasal 43A Ayat (3), berbunyi :
“Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum tindak pidana korupsi”. Logika hukum yang terjadi adalah, bahwa Pasal 14 Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jelas telah membatasi pemberlakuan Pasal 63 Ayat (1) dan (2) KUHP/
asas concursus idealis tersebut. Pasal 14 Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku
terhadap setiap dugaan tindak pidana korupsi atas suatu perbuatan
310
yang terjadi di dalam aktivitas yang dilindungi oleh undang-undang
perpajakan itu sendiri.
Pembatasan ini dimungkinkan, karena pertama Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan merupakan lex specialis, sedangkan KUHP
merupakan lege generali. Kedua, pembatasan ini sejalan dengan
bunyi Pasal 103 KUHP, yaitu :
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Ketentuan Pasal 103 KUHP menegaskan bahwa undang-
undang pidana khusus yang dibentuk dapat menyimpangi ketentuan
dalam Buku Kesatu KUHP termasuk asas hukum, concursus idealis,
sebagaimana dimuat dalam Pasal 63 Ayat (1) KUHP. Hal ini harus
diartikan bahwa ketentuan Pasal 14 Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenyampingkan
ketentuan Bab Kesatu, Pasal 63 Ayat (1) KUHP.
311
Pasal 103 KUHP merupakan dasar legitimasi berlakunya
penerapan kaidah-kaidah yang terdapat dalam Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang
No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Dimana kedua undang-undang tersebut berperan sebagai
lex specialis dari KUHP.
Sementara itu, penentuan akan Lex Specialis Systematic dalam
tindak pidana perpajakan dapat dilihat dalam perbandingan Pasal 2
Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliar rupiah)”. Lebih lanjut Pasal 3, berbunyi :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta
312
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milliar rupiah). Sedangkan Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun
2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 6 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja : a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau b. tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau c. menyampaikan Surat pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”. Singkatnya, penafsiran secara sistematis, historis dan a
contrario tidak membenarkan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi terhadap setiap kasus perpajakan (sepanjang
uu perpajakan itu sendiri tidak menentukan lain), sebelum ketentuan
pidana dalam undang-undang perpajakan diterapkan lebih dahulu.
313
Secara lebih terperinci bahwa diantara alat analisis yakni actus
reus (perbuatan kriminal), mens rea (pertanggungjawaban pidana),
sanksi pidana, dan tujuan pembentukan perundang-undangan,titik taut
yang paling dekat adalah unsur pertanggungjawaban pidana atau
unsur subjektif pelaku tindak pidana perpajakan dan apa yang menjadi
tujuan pembentukan perundang-undangan. Apabila yang melakukan
tindak pidana perpajakan adalah seorang pegawai pajak maka
ketentuan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
diberlakukan sebagaimana bunyi Pasal 36A Ayat (4) dan Pasal 43A
Ayat (4) UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU
No. 6 Tahun 1983 Tentang KUP.
Kemudian dipertegas kembali oleh apa yang menjadi tujuan
dibentuknya undang-undang perpajakan dan undang-undang
pemberantasan korupsi. UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan
Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang KUP dibentuk dengan
tujuan memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada wajib
pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta untuk
meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan
keterbukaan administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan
sukarela wajib pajak. Sedangkan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
314
Tindak Pidana Korupsi dibentuk untuk memenuhi dan mengantisipasi
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak
pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara pada khususnya serta masyarakat pada
umumnya.
315
SKEMA 6
316
SKEMA 7
317
SKEMA 8
318
SKEMA 9
319
SKEMA 10
320
SKEMA 11
321
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kebijakan hukum pidana positif di bidang perpajakan tergolong
telah mencapai hasil sebagai produk perundang-undangan yang
baik sesuai dengan keadaan dan situasi perekonomian Indonesia
terutama dalam upaya proteksi sektor perpajakan sebagai sumber
utama pendapatan Negara serta penggunaan stelsel kumulatif
pidana dapat mencegah terjadinya tindak pidana perpajakan serta
memulihkan kembali kerugian yang dialami oleh Negara baik
tingkat pusat maupun daerah.
2. Implementasi asas actus non facit reum nisi mens sit rea dalam
tindak pidana perpajakan dapat diketahui melalui apa yang menjadi
pertimbangan majelis hakim pada perkara pidana No.
2065/Pid.B/2007/PN. Jaksel. Pertimbangan majelis hakim
mengenai unsur actus reus adalah sektor perpajakan merupakan
sumber pendapatan negara yang terbesar, oleh karena itu maka
orang yang mengabaikan kewajiban-nya dengan cara tidak
mendaftarkan diri sebagai wajib pajak berpotensi merugikan
322
pendapatan Negara. Sedangkan unsur mens rea bahwa terpidana
adalah orang yang berpengalaman bekerja di beberapa
perusahaan, sudah tahu dan sudah seharusnya tahu bahwa setiap
perusahaan atau bentuk usaha tetap (BUT) yang telah
memperoleh keuntungan diharuskan mendaftarkan dan
melaporkan badan usahanya ke direktorat penderal pajak untuk
perhitungan pembayaran pajak yang telah berjalan, namun hal itu
tidak dilakukan terpidana dalam kurun waktu antara 2002 sampai
2005 yang dimana kurun waktu tersebut cukup lama bagi terpidana
untuk mendaftarkan dan melaporkan perhitungan pajak ke
direktorat jenderal pajak.
3. Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun
perundang-undangan lainnya yang mengatur ketentuan pidana di
bidang keuangan Negara (lex specialis) tidak serta - merta berlaku
di bidang perpajakan, melainkan harus diberlakukan ketentuan
pidana yang terdapat di dalam undang-undang perpajakan (lex
specialis systematic). Oleh karena undang – undang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan undang-undang
perpajakan tunduk pada rezim hukum yang berbeda. Undang-
undang Perpajakan (lex Specialis Systematic) berlaku untuk subjek
hukum tertentu yaitu para wajib pajak sebagaimana ditetapkan
dalam ketentuan undang – undang perpajakan. Sedangkan
323
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
merupakan lex specialis terhadap KUHP yang ditujukan kepada
setiap orang yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
B. Saran
1. Kebijakan hukum pidana positif di bidang perpajakan dapat
ditingkatkan kualitas-nya melalui hasil produk legislasi dan
mengembangkan kajian hukum pidana ekonomi konsentrasi
perpajakan sekaligus menciptakan Undang-Undang Tindak Pidana
Perpajakan terpisah dari sistem adminisrasi perpajakannya itu
sendiri.
2. Penanaman nilai-nilai moralitas bagi aparat penegak hukum
(Polisi/Penyidik, PPNS. Jaksa/Penuntut Umum, Hakim) sebagai
usaha untuk menghindari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) dalam proses penanganan perkara pidana di bidang
perpajakan.
3. Perlunya digiatkan pelatihan-pelatihan/kursus-kursus/seminar-
seminar mengenai tindak pidana perpajakan bagi aparat penegak
hukum (Polisi/Penyidik, PPNS. Jaksa/Penuntut Umum, Hakim)
dalam proses penanganan perkara pidana di bidang perpajakan.
324
324
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, 2002, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Kajian Sosiologis dan
Filosofis, Jakarta, Gunung Agung.
Arief, Barda Nawawi, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Bandung, PT Citra Aditya Bakti.
Asikin, Zainal dan Amiruddin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta, Rajawali Pers.
Atmasasmita, Romli, Lex Specialis Sytematic Dalam Tindak Pidana Korupsi,
Kompas
Budiono, 2005, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya, Karya Agung.
Chazawi, Adami, 2005, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada.
Chazawi, Adami, 2006, Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana,
Malang, Bayumedia Publishing.
Fuady, Munir, 2004, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti.
325
Glissen, Jhon dan Frits Gorle, 2009, Sejarah Hukum Suatu Pengantar,
Bandung, Refika Aditama.
Gunawan, Ilham, 2002, Kamus Hukum, Jakarta, CV. Restu Agung,
Hambali, Ruslan, 2009, Mata Kuliah Hukum Pajak, Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
Hamzah, Andi, 2005, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, PT. Rineka Cipta.
Hamzah, Andi, 2007, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.
Harahap, Yahya, 2006, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan Dan Penuntutan), Jakarta, Sinar Grafika.
Ibrahim, Jhony, 2008, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Surabaya, Bayumedia Publishing.
Lamintang, P.A.F., 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti.
Machmuddin, Dudu Duswara, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa,
Bandung, Refika Aditama.
Marpaung, Leden, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar
Grafika.
Moeljatno, 1985, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara.
326
Muladi, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana.
Muljono, Djoko, 2008, Ketentuan Umum Perpajakan Lengkap Dengan
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, Yogyakarta, Penerbit Andi.
Mulyadi, Lilik, 2007, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, Teori,
Praktik Penyusunan Dan Permasalahannya, Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti.
Nugroho, Adrianto Dwi, 2010, Hukum Pidana Pajak Indonesia, Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti.
Prajogo, Soesilo, 2007, Kamus Hukum Internasional & Indonesia, Jakarta,
Wippres.
Prakoso, Djoko, 1988, Hukum Penitensier Di Indonesia, Yogyakarta, Liberty.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana
Kajian Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung,
PT. Eresco.
Pudyatmoko, Y. Sri, 2007, Penegakan Dan Perlindungan Hukum Di Bidang
Pajak, Jakarta, Salemba Empat.
327
Putra, Ardiansyah Arafah, 2010, Analisis Yuridis Terhadap Concursus Realis
Dalam Delik Penganiayaan (Studi Kasus Putusan No.
1041/Pid.B/2008/PN. Mks), Makassar, Universitas Hasanuddin.
Rochim, 2010, Modus Operandi Tindak Pidana Pajak, Jakarta, Solusi
Publishing
Saidi, Muhammad Djafar, 2007, Pembaruan Hukum Pajak, Jakarta, Rajawali
Pers.
Saleh, Andi Abu Ayyub, 2003, Disertasi Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Tindak Pidana Perbankan, Universitas Airlangga.
Saleh, Roeslan, 1981, Perbuatan PIdana dan Pertanggungjawaban Pidana,
Jakarta, Aksara Baru.
Sampara, Said, 2009, Disertasi Fungsi Hukum Dalam Pengelolaan Perikanan
Laut Di Sulawesi Selatan, Universitas Hasanuddin.
Setia, Edi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Bandung, Graha
Ilmu.
Soemitro, Rochmat, et al, 2004, Asas Dan Dasar Perpajakan Edisi Revisi 1,
Bandung, Refika Aditama.
Subekti, R, 2005, Kamus Hukum, Jakarta, PT. Pradnya Paramita.
328
Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, PT. Alumni
Supromono dan Damayanti, Woro Theresia, Perpajakan Indonesia
Mekanisme dan Perhitungan, Yogyakarta, Penerbit Andi.
Sutedi, Adrian, 2008, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti.
Todaro, Michael P. dan Smith Stephen C Smith, 2006, Pembangunan
Ekonomi Edisi Kesembilan, Jakarta, Penerbit Erlangga.
Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang, UMM Press.
Zainal Abidin Farid, A, 2007, Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika.
Zainal Abidin Farid, A. dan Andi Hamzah, 2006, Bentuk-Bentuk Khusus
Perwujudan Delik (Percobaan Penyertaan, dan Gabungan Delik)
Dan Hukum Penitensier, Jakarta, Sumber Ilmu Jaya.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
329
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak daerah dan Retribusi
Daerah
Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat
Paksa.
Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai
Undang-Undang No. 15 tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana
Ekonomi.
Undang-Undang No. 11 (Pnps) Tahun 1963 Tentang Tindak Pidana
Subversi.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
330
Lain-Lain
http://www.google.com
http://www.Kemenkeu RI. go.id
http://www.Hukumonline.com
Harian Kompas
Harian Seputar Indonesia