14
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang “Perempuan dan Keadilan Gender” selalu menjadi topik yang menantang untuk dibicarakan. Realitas yang kontras, di mana pada satu pihak, kaum feminis sangat vokal dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender bagi kaum perempuan dan laki-laki, namun di pihak lain realitas menunjukkan masih terjadi diskriminasi dan subordinasi peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bergereja, misalnya dalam hal pengambilan keputusan, yang didominasi oleh laki-laki. Kenyataan ini bukan disebabkan karena kaum perempuan tidak memiliki kemampuan sebagai pengambil keputusan. Potensi dan kemampuan tersebut dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, budaya patriarkhi membiasakan perempuan untuk diam. Perempuan tidak berhak menyampaikan pendapat, apalagi mengambil keputusan. Masyarakat yang telah terbentuk pola pikirnya dalam budaya ini menganggap bahwa mengeluarkan pendapat dan peran pengambil keputusan bukan merupakan peran perempuan tetapi laki-laki. Hal ini terlihat jelas dalam lingkup Gereja Protestan Maluku misalnya, jumlah perempuan dalam struktur pelayanan di tingkat Sinode, Klasis maupun Jemaat. Data pelayan dan pegawai Organik GPM tahun 2007 mencatat hanya ada 2 perempuan dari total 9 orang anggota Majelis Pengurus Harian Sinode. Data ini mengalami peningkatan tahun 2010, dari sisi kuantitas jumlah anggota perempuan ada 3 orang berbanding 6 jumlah laki-laki. Dari 26 ketua klasis, hanya 6 perempuan yang menduduki posisi ketua klasis. 1 Dari 18 Jemaat yang ada dalam Klasis Kota Ambon, tercatat hanya 3 pendeta perempuan yang menjadi Ketua Majelis Jemaat, dan 23 orang pendeta jemaat. 2 Sementara di Klasis Pulau Ambon, dari 63 Jemaat yang ada, hanya 14 orang pendeta perempuan yang menduduki jabatan Ketua Majelis Jemaat. 3 Komposisi perangkat pelayan dalam jemaat pun demikian. Pada Pemilihan Majelis Jemaat periode 2010-2015, secara kuantitas jumlah perempuan dan laki-laki hampir sama 4 , namun peran perempuan lebih banyak menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1 Data Pelayan dan Pegawai Organik GPM tahun 2010, Biro Dokumentasi dan Informasi, Sinode GPM. 2 Data MPK Kota Ambon tahun 2009. 3 Data MPK Pulau Ambon tahun 2009. 4 Pengamatan dilakukan pada proses pemilihan Majelis Jemaat periode 2010-2015 pada jemaat GPM Poka dan Jemaat GPM Imanuel OSM. @UKDW

@UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

  • Upload
    lamhanh

  • View
    235

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

“Perempuan dan Keadilan Gender” selalu menjadi topik yang menantang untuk

dibicarakan. Realitas yang kontras, di mana pada satu pihak, kaum feminis sangat vokal dalam

memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender bagi kaum perempuan dan laki-laki, namun di

pihak lain realitas menunjukkan masih terjadi diskriminasi dan subordinasi peran antara laki-laki

dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bergereja, misalnya dalam hal

pengambilan keputusan, yang didominasi oleh laki-laki. Kenyataan ini bukan disebabkan karena

kaum perempuan tidak memiliki kemampuan sebagai pengambil keputusan. Potensi dan

kemampuan tersebut dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, budaya

patriarkhi membiasakan perempuan untuk diam. Perempuan tidak berhak menyampaikan

pendapat, apalagi mengambil keputusan. Masyarakat yang telah terbentuk pola pikirnya dalam

budaya ini menganggap bahwa mengeluarkan pendapat dan peran pengambil keputusan bukan

merupakan peran perempuan tetapi laki-laki.

Hal ini terlihat jelas dalam lingkup Gereja Protestan Maluku misalnya, jumlah

perempuan dalam struktur pelayanan di tingkat Sinode, Klasis maupun Jemaat. Data pelayan dan

pegawai Organik GPM tahun 2007 mencatat hanya ada 2 perempuan dari total 9 orang anggota

Majelis Pengurus Harian Sinode. Data ini mengalami peningkatan tahun 2010, dari sisi kuantitas

jumlah anggota perempuan ada 3 orang berbanding 6 jumlah laki-laki. Dari 26 ketua klasis,

hanya 6 perempuan yang menduduki posisi ketua klasis.1 Dari 18 Jemaat yang ada dalam Klasis

Kota Ambon, tercatat hanya 3 pendeta perempuan yang menjadi Ketua Majelis Jemaat, dan 23

orang pendeta jemaat.2 Sementara di Klasis Pulau Ambon, dari 63 Jemaat yang ada, hanya 14

orang pendeta perempuan yang menduduki jabatan Ketua Majelis Jemaat.3 Komposisi perangkat

pelayan dalam jemaat pun demikian. Pada Pemilihan Majelis Jemaat periode 2010-2015, secara

kuantitas jumlah perempuan dan laki-laki hampir sama4, namun peran perempuan lebih banyak

menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam

1Data Pelayan dan Pegawai Organik GPM tahun 2010, Biro Dokumentasi dan Informasi, Sinode GPM.

2Data MPK Kota Ambon tahun 2009.

3Data MPK Pulau Ambon tahun 2009.

4 Pengamatan dilakukan pada proses pemilihan Majelis Jemaat periode 2010-2015 pada jemaat GPM Poka dan

Jemaat GPM Imanuel OSM.

@UKDW

Page 2: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

2

panitia-panitia kerja, dll). Sementara untuk peran-peran pengambil keputusan lebih didominasi

oleh kaum laki-laki (ketua, wakil ketua, sekretaris).

Pada satu sisi, ada ruang untuk partisipasi perempuan dalam struktur pelayanan gereja,

tetapi di sisi lain, hal tersebut masih sangat terbatas dan cenderung domestikasi peran. Dari sisi

kuantitas dan peran, hal tersebut menunjukkan ketimpangan relasi kekuasaan antara laki-laki dan

perempuan disebabkan cara pandang yang dibentuk oleh budaya patriarkhi. Peran kepemimpinan

lebih banyak dipercayakan kepada kaum laki-laki. Pandangan dualistis-hierarkis telah membatasi

peran sosial perempuan dalam masyarakat. Jabatan-jabatan dalam organisasi masyarakat

sebagian besar dipegang oleh laki-laki, demikian juga di dalam konteks gereja.

Benar bahwa gereja telah berusaha untuk menanamkan paradigma kesetaraan gender bagi

anggota gereja, misalnya dengan melakukan sosialisasi kemitraan laki-laki dan perempuan GPM,

di tingkat sinode, klasis dan jemaat. Akan tetapi, fakta yang ada menunjukkan bahwa masih

terjadi ketimpangan relasi gender dalam masyarakat. Pada satu pihak, pandangan dualistis

hierarkis yang kuat berakar dalam masyarakat kurang memberi ruang bagi potensi perempuan di

wilayah publik, tetapi pada pihak lain, perempuan sendiri merasa tidak mampu untuk menerobos

batas-batas patriarkhi dan stereotipe yang telah dilekatkan padanya, sehingga mereka menolak

untuk berkiprah di wilayah publik.

Hal ini seakan kontras jika melihat pengalaman konflik kemanusiaan yang terjadi di

Maluku selama periode 1999-2004 menunjukkan keterlibatan perempuan yang secara aktif

memberi kontribusi positif dalam usaha rekonsiliasi antara komunitas Kristen dan Islam. Oleh

karena itu, penelitian ini juga penting dikaji dari perspektif postconflict untuk melihat sejauh

mana keterlibatan perempuan khususnya perempuan pendeta dalam aspek kepemimpinan mereka

dalam menggumuli realitas kejemaatan pasca konflik kemanusiaan tersebut. Perempuan pendeta

yang dimaksud dalam kajian ini adalah perempuan yang juga memiliki jabatan sebagai seorang

pendeta. Pengalamannya sebagai seorang perempuan dan sekaligus sebagai seorang pendeta

menjadi aspek penting dalam kajian ini.

Margaretha Ririmasse mengemukakan bahwa dalam konteks GPM, kepemimpinan

perempuan pendeta dan keterlibatannya dalam forum-forum pengambilan keputusan bukan

berorientasi pada kekuasaan, melainkan orientasi pelayanan, sebab struktur dan forum tersebut

pada dasarnya adalah penggerak sistem sekaligus pelaksana pelayanan. Disadari bahwa ada

perempuan pendeta yang diberi peluang menduduki posisi pemimpin namun menolaknya.

@UKDW

Page 3: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

3

Karena itu, semestinya perempuan berani mengambil peluang yang tersedia tanpa terjebak dalam

stereotipe “kelemahan” yang selama ini berlaku. Pertentangan terhadap pembagian peran

perempuan dalam ruang publik (baik dalam lingkup gereja maupun masyarkat) dan ruang

domestik, pada dasarnya mengacu pada ideologi gender yang berakar pada budaya Patriarkhi.5

Gereja mesti mengupayakan pembaruan teologi gereja dan pandangan-pandangan dalam

masyarakat yang menyebabkan perempuan selalu dilekatkan dengan stereotipe perasa, lebih

gampang dikuasai, lebih suka dipimpin daripada memimpin. Pengalaman-pengalaman

diskriminasi yang dialami oleh perempuan harus mendorong mereka mendekonstruksi teologi

kekerasan, dan kemudian mengembangkan spiritualitas yang memampukannya bergiat

mentransformasikan masyarakat menjadi lebih adil, setara dan damai.6

Di dalam Perjanjian Baru, banyak ditemui tema yang menunjukkan perempuan yang

inferior (lebih rendah, lemah, dan gampang dikuasai). Di masa lalu, kanonisasi Alkitab hampir

dikuasai oleh laki-laki dan dengan demikian mengesampingkan ide-ide kepemimpinan

perempuan dalam penilaian laki-laki sebagai penerjemah Kitab Suci.7 Gambaran laki-laki dan

perempuan yang terbaca lewat teks-teks Alkitab memiliki dua ciri yang berbeda.Umumnya,

gambaran perempuan dalam Alkitab tidak mencerminkan perempuan secara murni, tetapi

menunjukkan potret perempuan dari sudut pandang laki-laki. Katherine Doob Sakenfeld

mengemukakan bahwa teks dan tradisi biasa digunakan untuk mendukung kemapanan atau

status quo budaya, termasuk misalnya tema-tema yang berkata bahwa perempuan harus tutup

mulut dalam gereja (1 Korintus 14:34-35).8

Dalam kajian ini saya lebih memfokuskan pada teks 1 Korintus 14:34-35 dan Galatia

3:28. Para ahli Perjanjian Baru menjelaskan bahwa nasihat Paulus dalam 1 Korintus 14:34-35

agar perempuan berdiam diri merupakan nasihat khusus untuk mengatasi kekacauan di dalam

jemaat Korintus. Namun bagi saya, pertanyaan yang muncul adalah apakah Paulus ambigu

dalam teologi dan pemikiran dalam surat-suratnya ini? Apakah Paulus inkonsisten dengan

pemikirannya yang pada satu sisi melarang perempuan bersuara ketika mengikuti pertemuan

5 Margaretha Ririmasse, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian - Sebuah Refleksi Teologis Feminis, (Jakarta:

Yakoma PGI & Mission 21 2009), h.23 6 Margaretha Ririmasse, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian - Sebuah Refleksi Teologis Feminis, (Jakarta:

Yakoma PGI & Mission 21 2009), h.23 7 Margaret Howe, Women and Church Leadership, (Michigan: The Zondervan Grand Rapids, 1983), h. 29-31.

8 Katherine Doob Sakenfeld, ‘Beberapa Pendekatan Feminis terhadap Kitab Suci’, dalam Perempuan dan Tafsir

Kitab Suci. Ed.Letty M. Russel, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h. 53

@UKDW

Page 4: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

4

jemaat (1 Korintus 14:34-35) namun pada sisi lain, Paulus menyuarakan kesetaraan antara laki-

laki dan perempuan (Galatia 3:28).

Banyak teolog feminis Kristen yang melandaskan pandangannya tentang kedudukan

perempuan dalam keluarga, masyarakat dan gereja berdasarkan Galatia 3:28.9 Jika kedua teks ini

diperhadapkan dengan realitas konteks GPM yang telah dipaparkan di atas, bagaimana

perempuan pendeta membaca kembali kedua teks ini dalam hubungan dengan pengalaman dan

pola relasi kepemimpinan antara perempuan pendeta dengan sesamanya yang laki-laki?

Teks-teks Alkitab yang bernada misoginis (mis. 1 Kor 14:34-35) terhadap perempuan ini,

diakui telah digunakan oleh gereja selama berabad-abad untuk melegitimasi larangan

kepemimpinan perempuan dalam agama, dan ruang publik dan hanya mengijinkan peran mereka

sebagai istri dan ibu. Karena itu, penting untuk melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks

Alkitab seperti ini, yang terindikasi memiliki nilai-nilai patriarkhi yang mengsubordinasi

perempuan dengan melakukan rekonstruksi dan reinterpretasi terhadap teks maupun juga untuk

secara kritis mempertanyakan pandangan-pandangan dalam masyarakat dan gereja yang

melanggengkan nilai budaya patriarkhi yang membatasi dan mempengaruhi kiprah

kepemimpinan perempuan dalam gereja dan masyarakat tersebut; tetapi sekaligus memperkuat

visi dan makna teologis dari teks Alkitab yang mengapresiasi kesetaraan peran dan kedudukan

antara laki-laki dan perempuan yang adil gender.

2. Rumusan masalah

Uraian latar belakang di atas telah memberi gambaran bahwa penelitian ini berfokus pada

dua hal, yaitu bagaimana pemahaman perempuan pendeta di Klasis Kota dan Pulau Ambon

terhadap 1 Korintus 14:34-35 dan Galatia 3:28, dan apa sesungguhnya visi teologis dari kedua

teks ini yang relevan dengan konteks pengalaman dan pergumulan perempuan pendeta saat ini.

3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan utama yang ingin dibangun dalam penelitian ini ialah: Bagaimana perempuan

pendeta di Klasis Kota dan Pulau Ambon memahami 1 Korintus 14:34-35 dan Galatia 3:28

serta bagaimana hal tersebut dipahami dalam perspektif feminis yang memberi kontribusi bagi

9 Katherine Doob Sakenfeld, ‘Beberapa Pendekatan Feminis terhadap Kitab Suci’, dalam Perempuan dan Tafsir

Kitab Suci. Ed.Letty M. Russel, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h. 54

@UKDW

Page 5: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

5

relasi dan pengalaman kepemimpinan perempuan dan laki-laki yang adil gender dalam

kehidupan bergereja?

Pertanyaan utama ini kemudian akan dijabarkan dalam sub pertanyaan sebagai berikut:

a. Sejauh mana perempuan pendeta di kedua klasis yang akan menjadi lokus penelitian tersebut

terlibat dan dilibatkan dalam kehidupan bergereja – baik gereja sebagai institusi maupun

kehidupan komunitas yang bersekutu – terutama dalam aspek pengambilan keputusan?

b. Bagaimana 1 Korintus 14:34-34 dan Galatia 3:28 dibaca dan direinterpretasi oleh perempuan

pendeta di GPM dalam pengalamannya?

c. Apa kontribusi 1 Korintus 13:34-35 dan Galatia 3:28 bagi keterlibatan perempuan dalam

pengambilan keputusan?

4. Tujuan penelitian

Bertolak dari pertanyaan utama, maka tujuan penelitian ini ialah: untuk mengetahui

bagaimana pemahaman perempuan pendeta terhadap 1 Korintus 14:34-35 dan Galatia 3:28

serta melakukan kajian hermeneutis dengan menggunakan perspektif feminis sehingga dapat

memberi kontribusi bagi relasi dan pengalaman kepemimpinan perempuan dan laki-laki yang

adil gender dalam gereja.

Tujuan dari sub-pertanyaan ialah:

1. Mengetahui sejauh mana keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan

dan apa saja tantangan yang dihadapinya.

2. Menemukan pemahaman perempuan pendeta di klasis Kota dan Pulau Ambon terhadap 1

Korintus 14:34-35 dan Galatia 3:28.

3. Mengetahui apa visi dan makna teologis dalam 1 Korintus 14:34-35 dan Galatia 3:28.

4. Menemukan kontribusi teks bagi relasi dan pengalaman kepemimpinan perempuan

pendeta di GPM.

5. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini menjadi penting karena beberapa alasan berikut:

1. Legitimasi terhadap teks Alkitab yang membatasi, meng-subordinasi dan memarginalkan

peran dan kedudukan perempuan dalam gereja telah menjadikan perempuan sebagai

korban penindasan dan ketidakadilan selama berabad-abad. Pengalaman perempuan tidak

@UKDW

Page 6: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

6

mendapatkan tempat dalam hirarki gereja yang didominasi oleh laki-laki. Teks-teks yang

bernada misoginis maupun teks yang mengapreasiasi dan yang memberi penguatan

terhadap perempuan, terutama 1 Korintus 14:34-35 dan Galatia 3:28 perlu ditafsirkan

kembali dengan menggunakan perspektif feminis sehingga dapat memberi kontribusi

bagi relasi yang adil gender antara laki-laki dan perempuan.

2. Perempuan pendeta di kedua klasis yang akan menjadi lokus penelitian ini berada dalam

konteks gumul pelayanan dan relasi kepemimpinan yang sangat dekat dengan kekuasaan

dualistis hierarkis sinode GPM. Pola relasi ini tentu dipengaruhi oleh pandangan teologi

tertentu mengenai kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Pengkajian ini menjadi

penting sehingga dapat menawarkan pemahaman yang adil gender, dan sekaligus menjadi

landasan teologis bagi perjumpaan dan interaksi itu.

3. Secara umum, penelitian ini akhirnya memberi kontribusi pikiran tentang visi-visi

teologis teks 1 Korintus 14:34-35 dan Galatia 3:28 bagi gereja, terutama GPM, dalam

membangun teologi dan praksis bergereja yang adil gender, yang dapat memberi makna

baru dalam menghargai peran dan pengalaman perempuan dalam rangka pengembangan

kehidupan persekutuan bergereja.

6. Ruang Lingkup dan Batasan

Penelitian ini hanya dibatasi untuk mengetahui bagaimana kedua teks ini dipahami dalam

perspektif feminis, yang diawali dengan upaya menemukan pemahaman perempuan pendeta di

klasis kota dan pulau Ambon yang dilakukan melalui pembacaan dan reinterpretasi terhadap

teks-teks tersebut dari pengalaman mereka. Pilihan lokus penelitian terhadap perempuan pendeta

di Klasis Kota dan Pulau Ambon ini penting, oleh karena kedua klasis ini terletak di pusat dan

pinggiran kota Ambon yang menurut saya sangat strategis dalam menggambarkan pola relasi dan

interaksi kekuasaan dengan pucuk pimpinan sinodal GPM – yang masih didominasi oleh laki-

laki.

7. Metodologi penelitian

Dalam penelitian ini, ada beberapa proses yang akan dilakukan:

1. Melakukan penelitian lapangan dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif.

Tahapan ini diperlukan dalam rangka menemukan informasi terkait dengan pemahaman

Perempuan Pendeta di Klasis Kota Ambon dan Klasis Pulau Ambon tentang 1 Korintus

14:34-35 dan Galatia 3:28

@UKDW

Page 7: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

7

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan ialah wawancara mendalam

dengan beberapa pertanyaan terkait.

Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di 3 jemaat yang termasuk dalam Klasis Kota Ambon,

yaitu Jemaat GPM Petra, Jemaat GPM Getsemani, dan Jemaat GPM Hok Im Tong,

dan 3 jemaat pada Klasis Pulau Ambon, yaitu Jemaat GPM Gideon, Jemaat GPM

Mahanaim dan Jemaat GPM Imanuel Galala-Hative Kecil.

Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama 4 minggu ( 11 Februari – 11 Maret 2013) pada lokasi

penelitian yang disebutkan di atas.

Sumber Data

Sumber data ialah perempuan pendeta di Klasis Kota dan klasis Pulau Ambon.

Sampel akan disesuaikan dengan jumlah perempuan pendeta yang ada dan akan

diklasifikasikan berdasarkan kapasitas informan, misalnya berdasarkan posisi dan

jabatan dalam Klasis maupun jemaat dimana mereka melayani, dan latar belakang

pendidikan.

2. Analisa, Pengolahan, dan Interpretasi Data

Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan analisa, pengolahan, dan interpretasi

data. Proses ini akan terfokus pada hasil wawancara dengan informan. Untuk proses

ini, dibutuhkan waktu satu bulan.

Oleh karena tesis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemahaman perempuan

pendeta terhadap 1 Korintus 14:34-35 dan Galatia 3:28, maka penulis menggunakan

pendekatan hermeneutika feminis dalam menafsir kedua teks tersebut. Selain itu,

penulis juga menggunakan teori Cinderella Complex Collete Dowling untuk

menganalisis pemahaman perempuan pendeta mengenai pelayanannya di dalam

gereja. Teori cinderella complex didefinisikan Dowling sebagai suatu jaringan sikap

dan rasa takut yang sebagian besar tertekan sehingga perempuan tidak bisa dan tidak

berani memanfaatkan kemampuan otak dan kreativitas secara optimal.10

Dengan

demikian, maka paradigma yang akan digunakan dalam keseluruhan proses penelitian

ini ialah Kesetaraan Gender.

10

Collete Dowling, Cinderella Complex: Ketakutan Wanita akan Kemandirian, terj. Santi W. E. Soekanto, (New

York: Pocket Books, 1982, ©1981)

@UKDW

Page 8: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

8

3. Melakukan refleksi kritis sebagai tinjauan teologis terhadap pemahaman perempuan

pendeta mengenai teks-teks tersebut. Bagian ini akan mempertemukan kontribusi visi dan

makna teologis dari 1 Korintus 14:34-35 dan Galatia 3:28 dengan perjumpaan dan

interaksi relasi kepemimpinan perempuan pendeta di GPM. Proses ini juga akan disajikan

dalam bab tersendiri dari tesis ini.

8. Kerangka Teoritis

Kontradiksi dan perdebatan mengenai otentisitas 1 Korintus 14:34-35 sebagai tulisan

Paulus banyak dikemukakan oleh para penafsir Perjanjian Baru. Caroline Vander Stichele

berpendapat Paulus tidak semudah itu melarang dalam pasal 14 apa yang ia setujui dalam pasal

11 berkenaan dengan perempuan.11

Jouette Bassler mengemukakan bahwa 1 Korintus 14:34-35

mesti dilihat sebagai suatu interpolasi (penyisipan) di kemudian hari oleh redaktur.12

Willi Marxen menjelaskan tantangan yang dihadapi Paulus dalam pelayanannya kepada

jemaat-jemaat non-Yahudi yang terancam oleh ajaran gnostik, bahwa 1 Korintus 14:34-35 ini

merupakan bagian utama yang keempat (11:2-14:40) dalam struktur surat 1 Korintus yang

membahas masalah-masalah khusus mengenai ibadah dan terlebih khusus aturan mengenai

perempuan dalam pertemuan jemaat. Paulus menghadapi ajaran sesat yang diperkenalkan oleh

kelompok orang-orang di Korintus serta akibat-akibatnya di dalam jemaat terutama bagi

perempuan.13

Emanuel Gerrit Singgih mengemukakan bahwa konteks ayat ini adalah karunia

untuk menafsirkan nubuat oleh nabi-nabi. Waktu itu rupanya profesi nabi masih ada, hanya saja

perempuan tidak boleh bernubuat. Alasan dari larangan ini adalah “Hukum Taurat” yang

mengatakan bahwa perempuan harus menundukkan diri (BIS: “Mereka tidak boleh memegang

pimpinan, itu sesuai dengan hukum agama”), dan bahwa hal itu “tidak sopan”. Agak

mengherankan bahwa Paulus di sini mengacu pada hukum Taurat, padahal dalam tulisan-

tulisannya sendiri ia sering mengingatkan jemaat bahwa mereka hidup oleh anugrah dan bukan

di bawah kuk hukum Taurat. Tampaknya dalam soal-soal praktis yang memerlukan penerapan,

masih ada lubang antara teologi anugrah dengan petunjuk-petunjuk praktis dari Paulus.14

11

Caroline Vander Stichele, “Is Silence Golden? Paul and Women’s Speech in Corinth” Journal for the Study of the

New Testament 20 (1995):241-253. 12

Jouette M. Bassler, “1 Corinthians” dalam The Women’s Bible Commentary, Eds. Carol A. Newsom dan Sharon

H. Ringe, Cet. ke-10, (London/Louiseville: John Knox press, 2004), h.327-328. 13

Willi Marxen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan kritis terhadap Masalah-masalahnya, (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1994), h. 77. 14

Singgih, E.G., Dunia yang bermakna:Kumpulan karangan Tafsir PL, (Jakarta:1999), h. 110

@UKDW

Page 9: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

9

Marlene Crusemann menyatakan bahwa “hukum” yang dimaksud dalam ayat 34 belum

tentu merujuk pada Hukum Taurat. Crusemann mengemukakan bahwa tidak ada ditemukan

paralelitas hukum Yahudi terhadap kombinasi unsur-unsur spesifik yang ditemukan dalam 1

Korintus 14:34-35, di mana perempuan harus tunduk kepada laki-laki, dibatasi hanya dalam

wilayah domestik, dilarang berbicara di depan umum, dan hanya boleh bertanya kepada suami

mereka di rumah. Paralel yang sama justru ditemukan dalam kepengarangan Yunani-Romawi.15

Sejalan dengan Crusemann, Elisabeth Schussler Fiorenza berpendapat agaknya Paulus

mengambil argumen teologisnya dari tradisi misionaris Yahudi-Helenis, yang, sesuai dengan

catatan Yosefus, telah menerima anjuran-anjuran Yunani-Romawi untuk kedudukan perempuan

yang lebih rendah sebagai bagian dari “hukum”.16

Bagi Cruseman, kedua ayat ini mengandung suatu larangan yang komprehensif bagi

semua perempuan Kristen, lepas dari semua perdebatan mengenai otentisitas kedua ayat ini

sebagai tulisan Paulus. Alasannya adalah penggunaan kata kerja λαλείν (berbicara) yang terlihat

mulai dari pasal 11 hingga khusus pasal 14 dalam hubungan dengan semua jenis kotbah,

pembicaraan dan proklamasi. Berkata-kata dalam bahasa roh disebutkan dalam 14:2, 4-6, 9,13,

18 23, 27, 39; mengenai nubuat disebutkan dalam 14:3, 6, 29; berbicara mengenai wahyu dan

pengetahuan dalam 14:6; berbicara secara umum sebagai suatu ungkapan nalar dan kemampuan

intelektual dalam 14:11, 19. Jika dalam 14:34, perempuan dilarang untuk berbicara maka hal ini

menunjukkan maksud penulis untuk mengeluarkan perempuan dari semua bentuk

pembicaraan/perkataan demokratis selama ibadah berlangsung, yang disebutkan dalam ayat-ayat

di atas.17

Mengenai Galatia 3:28, menurut Marxen, Galatia 1:6-9 menguraikan dengan singkat

situasi di jemaat tersebut. Paulus terkoyak antara kesedihan dan kemarahan karena memikirkan

orang-orang Galatia begitu cepat mundur. Mereka telah berbalik kepada injil yang lain, yang

sama sekali bukan injil. Orang-orang tertentu telah datang dan membingungkan orang-orang

Galatia.18

Menurut pembagian Marxen, Galatia 3:1-5:12 merupakan bagian utama kedua yang

memuat inti surat Paulus ini, di mana Paulus mengingatkan orang-orang Galatia bahwa

panggilan mereka sendiri datang dari pemberitaan iman, bukan hanya dari karya hukum Taurat.

15

Marlene Cruesemann, “Irredeemably Hostile to Women: Anti-Jewish Elements in the Exegesis of the Dispute

about Women’s Right to Speak (1 Cor. 14:34-35)” Journal for the Study of the New Testament 79 (2000):19-36. 16

Fiorenza, Elizabeth S., Untuk Mengenang Perempuan Itu: Rekonstruksi Teologis Feminis tentang Asal Usul

Kekristenan, terj. Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 305 17

Marlene Cruesemann, “Irredeemably Hostile to Women: Anti-Jewish Elements in the Exegesis of the Dispute

about Women’s Right to Speak (1 Cor. 14:34-35)” Journal for the Study of the New Testament 79 (2000):19-36. 18

Willi Marxen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan kritis terhadap masalah-masalahnya, h. 44

@UKDW

Page 10: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

10

Tetapi kalau kini mereka tunduk pada hukum Taurat, maka semuanya itu menjadi sia-sia. Hal ini

menunjukkan tema dari bagian utama ini: kemerdekaan injil, yang harus dipertahankan terhadap

bahaya tunduk lagi kepada hukum Taurat.19

Lebih lanjut, persoalan tunduk kepada hukum Taurat

ini menjadi masalah karena hal tersebut hanya dilakukan oleh orang Kristen-Yahudi di Galatia,

sementara orang Kristen non-Yahudi tidak mengenal dan melakukan tradisi hukum Taurat.

Olehnya, timbul pertentangan di antara mereka bahwa anugrah keselamatan yang hanya dapat

diterima oleh orang Kristen-Yahudi dan bukan orang Kristen non-Yahudi.

Penekanan Paulus mengenai kesetaraan dalam Galatia 3:28 juga dilatari oleh ancaman

gnostik, dan pertentangan antara orang Kristen Yahudi dan Yunani mengenai keutamaan

masing-masing. Namun demikian, Richard Hove mengemukakan bahwa ada perdebatan

mengenai teks Galatia 3:28 ini.20

Pada satu pihak, kaum feminis yang melandaskan perjuangan

pembebasan dan kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki berdasarkan teks ini

menganggap bahwa di antara semua teks Alkitab, teks inilah yang sangat menekankan

kesetaraan peran laki-laki dan perempuan.21

Namun, di pihak lain, para penafsir umumnya,

berpendapat bahwa Galatia 3:28 berbicara mengenai kesatuan (oneness) sebagai tubuh Kristus,

“karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” dan hanya sedikit berbicara tentang

kesetaraan peran laki-laki dan perempuan.22

Beberapa penafsir mengemukakan hal senada,

seperti Ronald Fung yang mengemukakan bahwa “pernyataan Paulus dalam Galatia 3:28 tidak

berhubungan dengan relasi peran laki-laki dan perempuan dalam tubuh Kristus, tetapi lebih

kepada integrasi mereka sebagai kesatuan melalui iman dan baptisan.”23

S. Lewis Johnson

mendukung hal tersebut ketika mengatakan, “tidak ada alasan untuk mengklaim Galatia 3:28

mendukung fungsi egaliter di dalam gereja. Galatia 3:28 semata-mata mengajarkan sebuah hak

istimewa yang egaliter dalam persatuan orang-orang yang percaya kepada Kristus.”24

Bagi kaum feminis, Alkitab adalah buku yang berbahaya karena sering digunakan untuk

menasihati kaum bawahan dan kaum perempuan agar mereka tunduk pada tuan-tuannya. Dengan

kata lain, di satu segi Alkitab ditulis dalam bahasa yang androsentris, berasal dari budaya

19

Willi Marxen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan kritis terhadap masalah-masalahnya, h.45-46. 20

Richard Hove, Equality in Christ? Galatians 3:28 and the Gender Dispute, (Illinois: Crossway, 1999), h. 16-17. 21

Richard memberi uraian kritis terhadap tafsiran Rebecca Grootuis mengenai bukunya Good News for Women:

Biblical Picture of Gender Equality, yang menulis bahwa dari semua teks yang berbicara mengenai kesetaraan

gender, Galatia 3:28 adalah ayat yang paling penting. 22

Richard Hove, Equality in Christ? Galatians 3:28 and the Gender Dispute, h. 16-17. 23

Ronald Y. K. Fung, “Ministry in the New Testament,” dalam The Church, the Bible and the World, Ed. D.A.

Carson (Grand Rapids: 1987), h.183-184. 24

S. Lewis Johnson, “Role Distinctions in the Church,” dalam Recovering Bible Manhood and Womenhood, Eds.

John Piper dan Wayne Grudem (Wheaton: 1991), h. 164.

@UKDW

Page 11: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

11

patriarkhi zaman dulu dan digunakan sepanjang sejarah untuk meremehkan kaum perempuan

dan membenarkan penindasan terhadap mereka. Namun di pihak lain, kaum perempuan, laki-laki

dan kaum yang terpinggirkan lainnya mengalami Alkitab sebagai sumber inspirasi yang

mendukung perjuangannya melawan penindasan. Bersama para teolog pembebasan, teolog

feminis yakin bahwa Alkitab harus dibaca dari sudut pengalaman perempuan yang tertindas dan

yang menemui di dalamnya kekuatan untuk menentang ketidakadilan serta menemui makna

kehidupan dan spiritualitas yang menunjang hidup.25

Kaum feminis bertolak dari pengalaman perempuan yang beragam. Yang diutamakan

adalah kenyataan bahwa semua perempuan dinomorduakan, disingkirkan dari kesempatan untuk

menentukan kehidupannya sendiri ataupun diremehkan dan ditindas. Dengan demikian, hal baru

dari hermeneutik feminis adalah bahwa pengalaman perempuan kini turut diperhitungkan.26

Sikap kritis terhadap tradisi dalam konteks pengalaman perempuan bukan sekadar

menambahkan suatu sudut pandang baru kepada sudut pandang yang sudah ada. Pengalaman

perempuan adalah kekuatan kritis yang mampu membuktikan adanya kesalahan dalam teologi

klasik. Tentu saja tidak semua perempuan mempunyai pengalaman yang sama. Ada banyak

variasi dalam kesadaran perempuan karena dibentuk oleh konteks budaya dan pengalaman hidup

yang berbeda. Pengalaman perempuan yang dipahami di sini ialah pengalaman yang muncul

pada saat perempuan menyadari pangalaman penyesatan dan pengasingan yang dipaksakan

kepada mereka oleh kebudayaan yang didominasi oleh laki-laki.27

Fiorenza berpendapat bahwa bahasa teks-teks, terjemahan-terjemahan, tafsiran-tafsiran

dan kanonisasi Kitab Suci (Alkitab) bersifat androsentris dan dikuasai oleh laki-laki.28

Dalam

bukunya yang lain, The Power of the Word, Fiorenza mengungkapkan bagaimana kuasa tersebut

memiliki dua konotasi: power over dan power to. Oleh karena itu, setiap penafsiran terhadap

teks Alkitab mesti memperhatikan “what kind of power each scriptural text espouses and

25

Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: Pengantar Teologi Feminis, (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2003), h. 32. 26

Rosemary R. Ruether, ‘Penafsiran Feminis – Suatu Metode Korelasi’, dalam Perempuan dan Tafsir Kitab Suci,

Ed. Letty M. Russel, h. 120 27

Rosemary R. Ruether, ‘Penafsiran Feminis – Suatu Metode Korelasi’, dalam Perempuan dan Tafsir Kitab Suci,

Ed. Letty M. Russel, h. 120-123. 28

Elizabeth S. Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu: Rekonstruksi Teologis Feminis tentang Asal Usul

Kekristenan, h. 65-85. Androsentris berarti segala peristiwa dilihat dari sudut laki-laki (Andros = laki-laki, sentris =

berhubung dengan inti)

@UKDW

Page 12: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

12

authorizes, since Christian scriptures share in this rethoric of ‘power over’ and in that of the

‘power to’.29

Sebuah hermeneutika feminis yang kritis harus beralih dari teks-teks androsentrik kepada

konteks-konteks sosial-historis mereka. Sebuah rekonstruksi kritis tentang penindasan historis

kaum perempuan di dalam agama dan komunitas biblika yang patriarkhal, serta analisis tentang

pembenaran teologis, konseptualnya, harus didasarkan pada sebuah visi alternatif alkitabiah

feminis tentang interaksi historis-budaya-keagamaan antara kaum perempuan dan laki-laki di

dalam komunitas dan sejarah Kristen.30

Bahasa teks dan penafsiran Alkitab yang androsentris,

mengakibatkan kaum perempuan termarginalkan secara historis-teologis.31

Perempuan tidak

dianggap sebagai makhluk otonom. Laki-laki adalah subyek, yang mutlak; sedangkan

perempuan adalah mahkluk lain. Karena itu, struktur-struktur masyarakat dan ilmiah kita

mendefenisikan perempuan sebagai mahkluk yang muncul dari laki-laki dan menduduki tempat

kedua sesudahnya. Defenisi androsentris tentang kemanusiaan ini telah menentukan bukan hanya

persepsi ilmiah kaum lelaki, melainkan juga kaum perempuan. Oleh karena itu diperlukan

metode dan proses hermeneutika feminis untuk menggali sejarah dan penyataan feminis dalam

Alkitab.32

Perempuan dikategorikan dalam kelompok yang harus berdiam diri dan menerima ajaran

dengan patuh. Hal ini menggambarkan bahwa perempuan sangat dibatasi dalam perannya.

Margareth Howe menyatakan bahwa peran kepemimpinan perempuan dalam gereja bukan saja

menjadi kabur dalam terjemahan Alkitab, tetap juga dalam berbagai catatan sejarah.33

Howe

mengutip Joan Morris, seorang pakar Inggris yang mengemukakan sebuah hasil studi yang

mencengangkan “Against Nature and God” pada tahun 1973. Moris menulis bahwa ada begitu

banyak prasangka terhadap kaum perempuan. Moris menunjukkan bagaimana kehadiran

perempuan dalam posisi-posisi kepemimpinan yang ditunjuk merupakan suatu fenomena baik di

29

Elizabeth S. Fiorenza, The Power of the Word: Scripture and the Rethoric of Empire, (Minneapolis: Fortess Press,

2007), h.59 30

Elizabeth S. Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu: Rekonstruksi Teologis Feminis tentang Asal Usul

Kekristenan, h. 60-64. 31

Elizabeth S. Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu: Rekonstruksi Teologis Feminis tentang Asal Usul

Kekristenan, h.68-70. 32

Elizabeth S. Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu: Rekonstruksi Teologis Feminis tentang Asal Usul

Kekristenan, h.67 33

Margareth Howe, Women and Church Leadership, h. 30

@UKDW

Page 13: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

13

Gereja Barat maupun di Timur. Walaupun sampai abad 18, kepemimpinan gereja di Inggris,

Perancis, Jerman, Italia, dan Spanyol masih diakui, tetapi data-data historisnya dikaburkan.34

Kwok Pui Lan menunjukkan bahwa kebanyakan jemaat dalam gereja-gereja di Asia

cenderung mengabadikan dan menguatkan dominasi laki-laki dalam ajaran maupun praktiknya.

Dalam banyak gereja Perjanjian Baru, perintah Paulus bahwa perempuan harus berdiam diri

dalam gereja (1 Kor. 14:34-35) dan tidak boleh memerintah atas laki-laki (1 Tim. 2:11-15) sering

digunakan secara berulang-ulang untuk menguatkan inferioritas perempuan dan menolak

partisipasi mereka dalam gereja.35

Kwok menyatakan bahwa kekuasaan dan otoritas perempuan

Asia tidak diakui dan dihargai oleh hirarkis laki-laki gereja, ataupun oleh perempuan yang

percaya pada ajaran androsentris gereja. Banyak gereja yang gagal untuk menghidupkan janji

bahwa laki-laki dan perempuan adalah patner dalam hidup dan pelayanan tubuh Kristus.36

Tafsiran feminis harus memperhatikan bahwa perempuan menderita karena berbagai macam

penindasan, karena kedudukan sosial, kelamin dan ras.

Kepemimpinan perempuan yang belum terlalu diakui dalam masyarakat, tak dapat

dipungkiri bahwa hal itu dikarenakan masyarakat melanggengkan nilai-nilai budaya Patriarkhi.

Oleh sebab itu, mesti ada upaya perubahan dan pembaruan paradigma. Masyarakat selama ini

menganut paradigma jender yang dualistis-hierarkis. Perlakuan tidak adil terhadap perempuan

tidak mungkin ditiadakan tanpa mencabut paradigm gender yang dualistis hierarkis tersebut,

yang memarginalkan kedudukan, fungsi dan peran perempuan, dan menggantinya dengan

paradigma yang adil gender.

9. Sistematika Penulisan

Tulisan ini disajikan penulis dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

1. Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan kerangka teoritik.

2. Bab II Perempuan Pendeta dan Realitas Kepemimpinan di GPM

Bab ini akan memuat deskripsi tentang lokasi penelitian, analisa, pengolahan, dan

interpretasi data hasil penelitian lapangan

3. Bab III Haruskah Perempuan Berdiam Diri dalam Pertemuan Jemaat?

34

Margareth Howe, Women and Church Leadership, h. 30. 35

Kwok Pui Lan, Introducing Asian Feminist Theology, (Ohio: 2000), h.99 36

Kwok Pui Lan, Introducing Asian Feminist Theology, h. 98

@UKDW

Page 14: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110290/a113d... · menunjukkan peran domestik mereka (diaken, bendahara, dan juga seksi konsumsi dalam 1Data ... Pandangan

14

Bab ini akan memuat penafsiran kembali 1 Korintus 14:34-35 dan Galatia 3:28 dari

perspektif kesetaraan gender. Metode hermeneutik yang digunakan dalam penafsiran ini

adalah metode hermeneutika feminis. Hal ini penting untuk melihat teks ini di dalam

konteksnya, untuk kemudiam mempertemukan visi teologis yang lebih adil gender dari

teks ini dengan konteks pengalaman perempuan pendeta di GPM pada bab selanjutnya.

4. Bab IV Perempuan Pendeta dan Kepemimpinan yang Transformatif, Egaliter dan Adil

Gender. Bab ini akan mempertemukan kontribusi visi dan makna teologis dari 1 Korintus

14:34-35 dan Galatia 3:28 dengan perjumpaan dan interaksi relasi kepemimpinan

perempuan pendeta di GPM

5. Bab V Penutup, terdiri dari Kesimpulan dan Saran

@UKDW