24
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. GKPB, Jabatan Gerejawi & Jabatan Organisasi/Struktural Sinode Gereja Kristen Protestan di Bali (kemudian disingkat GKPB) berdiri pada tahun 1948. 1 Dalam tata gerejanya, GKPB mengakui lima jabatan gerejawi yaitu: penatua, penginjil, diaken, pendeta dan bishop. 2 Jabatan-jabatan ini diberikan kepada warga jemaat melalui peneguhan/penahbisan dalam kebaktian khusus. 3 Untuk menjadi pendeta, seseorang harus menjalani masa vikariat sekurang-kurangnya dua tahun. Sedangkan untuk menjadi bishop, seorang pendeta 4 harus mendapat suara terbanyak dalam sidang pemilihan anggota sinode sebagai Ketua Majelis Sinode Harian atau disebut Ketua Sinode GKPB. Ketua sinode secara otomatis menjadi bishop, dilantik oleh bishop sebelumnya (bishop emeritus). 5 Dalam tata gereja dan peraturan-peraturan GKPB lainnya, tidak mengatur soal jenis kelamin bagi jabatan-jabatan gerejawi. Namun melihat ditahbiskannya perempuan dan laki-laki ke dalam jabatan pendeta, secara tersirat/implisit GKPB menerima perempuan 6 dan laki-laki untuk memangku jabatan tersebut (dan secara otomatis menjadi ketua Majelis Jemaat). 7 1 I Nengah Ripa, dkk, Dinamika GKPB Dalam Perjalanan Sejarah, (Bali: MS GKPB, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), h. 266. Pada tahun 1948, GKPB melaksanakan sidang sinode yang pertama di Blimbingsari, Jembrana, Bali Barat, setelah melepaskan diri dari GKJW. Hal utama dalam sidang tersebut adalah mengesahkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) dengan melengkapi Badan Pekerja Sinode yang diketuai oleh pdt. Made Rungu sebagai ketua sinode pertama. 2 GKPB Tata Gereja, Bab XIII, Pasal 80, 81, 82, Penatua, Penginjil, Diaken, Pendeta, Bishop, 2006, h. 12,13. Tugas Utama jabatan-jabatan Gerejawi adalah mengupayakan terselenggaranya tugas Persekutuan, tugas Pemberitaan Injil, tugas Pelayanan Kasih, Pelayanan Firman, Sakramen, Pastoral bagi jemaat dan tugas Pastoral dari bishop kepada para pendeta dan jemaat-jemaat. 3 GKPB, Tata Gereja, Bagian C, Bab XIII, Pasal 78, Jabatan Gerejawi, 2006, h.12. 4 Calon pendeta/vikaris dan pendeta dapat diterima di GKPB apabila telah menamatkan studi teologi, lihat Tata Gereja , Bab XIII, Pasal 77, Vikaris dan Jabatan Gerejawi, 2006, h. 11. Sekolah teologi yang seasas dan diakui GKPB yaitu: STT Jakarata, UKDW Yogyakarta, UKSW Salatiga, STT INTIM Makassar, dll. lihat Keputusan dalam Peraturan- peraturan Kepegawaian GKPB. 5 GKPB, Tata Gereja, Bagian C, Bab XIII, Pasal 84, Jabatan Gerejawi, ayat 2, 3, 2006, h. 12. 6 Istilah yang dipakai dalam penulisan ini ialah perempuan bukan wanita. Istilah perempuan digunakan oleh kaum feminsi di Indonesia yang diambil dari kata Melayu dengan arti “empu”, ibu dan “puan” bentuk feminin dari tuan. Lihat, Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu, Pengantar Teologi Feminis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 9. 7 Ulrich Beyer, Bali-Fajar Pagi Dunia, Injil dan Gereja di pulau Bali , (Denpasar: GKPB, Malang: YPPII, 2001), h. 146. Beyer adalah mantan ketua sinode salah satu gereja mitra GKPB di Jerman. Karena kemitraan dengan GKPB, Beyer sering ke Bali sehingga cukup paham tentang GKPB. @UKDW

@UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120316/9ec173... · Selain jabatan gerejawi, GKPB memberikan jabatan organisasi atau struktural pada lembaga-lembaga sinode,

  • Upload
    lamminh

  • View
    250

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

1.1. GKPB, Jabatan Gerejawi & Jabatan Organisasi/Struktural

Sinode Gereja Kristen Protestan di Bali (kemudian disingkat GKPB) berdiri pada

tahun 1948.1 Dalam tata gerejanya, GKPB mengakui lima jabatan gerejawi yaitu: penatua,

penginjil, diaken, pendeta dan bishop.2 Jabatan-jabatan ini diberikan kepada warga jemaat

melalui peneguhan/penahbisan dalam kebaktian khusus.3 Untuk menjadi pendeta, seseorang

harus menjalani masa vikariat sekurang-kurangnya dua tahun. Sedangkan untuk menjadi

bishop, seorang pendeta4 harus mendapat suara terbanyak dalam sidang pemilihan anggota

sinode sebagai Ketua Majelis Sinode Harian atau disebut Ketua Sinode GKPB. Ketua sinode

secara otomatis menjadi bishop, dilantik oleh bishop sebelumnya (bishop emeritus).5 Dalam

tata gereja dan peraturan-peraturan GKPB lainnya, tidak mengatur soal jenis kelamin bagi

jabatan-jabatan gerejawi. Namun melihat ditahbiskannya perempuan dan laki-laki ke dalam

jabatan pendeta, secara tersirat/implisit GKPB menerima perempuan6 dan laki-laki untuk

memangku jabatan tersebut (dan secara otomatis menjadi ketua Majelis Jemaat).7

1 I Nengah Ripa, dkk, Dinamika GKPB Dalam Perjalanan Sejarah, (Bali: MS GKPB, Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2012), h. 266. Pada tahun 1948, GKPB melaksanakan sidang sinode yang pertama di Blimbingsari, Jembrana, Bali

Barat, setelah melepaskan diri dari GKJW. Hal utama dalam sidang tersebut adalah mengesahkan Anggaran Dasar (AD)

dan Anggaran Rumah Tangga (ART) dengan melengkapi Badan Pekerja Sinode yang diketuai oleh pdt. Made Rungu

sebagai ketua sinode pertama. 2 GKPB Tata Gereja, Bab XIII, Pasal 80, 81, 82, Penatua, Penginjil, Diaken, Pendeta, Bishop, 2006, h. 12,13. Tugas

Utama jabatan-jabatan Gerejawi adalah mengupayakan terselenggaranya tugas Persekutuan, tugas Pemberitaan Injil,

tugas Pelayanan Kasih, Pelayanan Firman, Sakramen, Pastoral bagi jemaat dan tugas Pastoral dari bishop kepada para

pendeta dan jemaat-jemaat. 3 GKPB, Tata Gereja, Bagian C, Bab XIII, Pasal 78, Jabatan Gerejawi, 2006, h.12.

4 Calon pendeta/vikaris dan pendeta dapat diterima di GKPB apabila telah menamatkan studi teologi, lihat Tata Gereja,

Bab XIII, Pasal 77, Vikaris dan Jabatan Gerejawi, 2006, h. 11. Sekolah teologi yang seasas dan diakui GKPB yaitu:

STT Jakarata, UKDW Yogyakarta, UKSW Salatiga, STT INTIM Makassar, dll. lihat Keputusan dalam Peraturan-

peraturan Kepegawaian GKPB. 5 GKPB, Tata Gereja, Bagian C, Bab XIII, Pasal 84, Jabatan Gerejawi, ayat 2, 3, 2006, h. 12.

6 Istilah yang dipakai dalam penulisan ini ialah perempuan bukan wanita. Istilah perempuan digunakan oleh kaum

feminsi di Indonesia yang diambil dari kata Melayu dengan arti “empu”, ibu dan “puan” bentuk feminin dari tuan.

Lihat, Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu, Pengantar Teologi Feminis, (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2011), h. 9. 7 Ulrich Beyer, Bali-Fajar Pagi Dunia, Injil dan Gereja di pulau Bali, (Denpasar: GKPB, Malang: YPPII, 2001), h.

146. Beyer adalah mantan ketua sinode salah satu gereja mitra GKPB di Jerman. Karena kemitraan dengan GKPB,

Beyer sering ke Bali sehingga cukup paham tentang GKPB.

@UKDW

2

Selain jabatan gerejawi, GKPB memberikan jabatan organisasi atau struktural pada

lembaga-lembaga sinode, yakni: Majelis Sinode (MS8) atau Majelis Sinode Harian (MSH

9),

Majelis Pertimbangan (MP10

), dan Badan Pengawas Perbendaharaan (BPP11

). Kemudian

MS12

memilih dan mengangkat pejabat-pejabat pada Departemen-departemen, Lembaga

8 GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Syarat-syarat MSH, Pasal 105, Ayat 1-14, 2006, h. 19-20.

Syarat Ketua Sinode/MSH ialah: 1). Seorang pendeta yang menjadi panutan dalam hidup bergereja. 2). Sehat jasmani

rahani dan mental. 3). Berstatus pegawai tetap GKPB, atau pegawai GKPB yang sudah memasuki masa pensiunan

dengan umur setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun. 4). Mempunyai masa pengabdian di lingkungan GKPB

sekurang-kurangnya 16 (enam belas) tahun. 5). Pernah melayani jemaat GKPB sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun.

Syarat Sekum ialah: 1). Seorang pendeta yang menjadi panutan dalam hidup bergereja. 2). Sehat jasmani rohani dan

mental. 3). Berstatus pegawai tetap GKPB. 4). Mempunyai masa pengabdian di lingkungan GKPB sekurang-kurangnya

12 (dua belas ) tahun. 5). Pernah melayani jemaat GKPB sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun.

Syarat Bendara dari seorang pendeta ialah: 1). Menjadi panutan dalam hidup bergereja. 2). Berstatus pegawai tetap

GKPB. 3). Sehat jasmani rohani dan mental. 4). Mempunyai masa pengabdian di lingkungan GKPB sekurang-

kurangnya 8 (delapan) tahun.

Syarat Bendahara bukan pendeta ialah: 1). Warga GKPB. 2). Menjadi panutan dalam hidup bergereja. 3). Sehat

jasmani rohani dan mental. 4). Pernah menjadi Majelis jemaat sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun. 5). Mempunyai

kemampuan di bidang perbendaharaan. 6). Umur setinggi-tingginya 60 tahun. 7). Harus mendapat rekomendasi dari

instansi tempat mereka bekerja. 9 GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Tugas dan wewenang MSH, Pasal 105, Ayat 1-11, 2006, h. 19.

Tugas dan wewenang MSH ialah: 1). Mewakili GKPB baik di luar maupun di dalam pengadilan. 2). Melaksanakan

Garis-Garis Besar Pelayanan GKPB. 3). Mengundang, menyelenggarakan sidang, dan menandatangani keputusan-

keputusan MS. 4). Menyampaikan hasil peninjauan Tata Gereja kepada MS. 5). Mengajukan rancangan peraturan-

peraturan/ketentuan-ketentuan kepada MS untuk disahkan. 6). Mengusulkan perubahan dan pencabutan peraturan-

peraturan di lingkungan GKPB kepada MS dalam sidang MSL. 7). Mengusulkan pengangkatan, pemberhentian,

pemindahan, pemensiunan dan pendesiplinan pejabat-pejabat/pegawai-pegawai GKPB sesuai dengan peraturan

kepegawaian GKPB kepada MS dalam sidang MSL. 8). Melaksanakan pelantikan, pemindahan, pendisiplinan, dan

pemberhentian pejabat-pejabat gerejawi sesuai dengan keputusan MS dalam sidang MSL. 9). Menyampaikan laporan

pertanggungjawaban pelaksanaan program kerja serta anggaran pendapatan dan belanja GKPB kepada MS. 10).

Mengajukan rancangan Garis-Garis Besar Pelayanan GKPB kepada MS. 11). Mengundang dan menyelenggarakan

sidang serta menandatangani keputusan-keputusan MS dalam sidang MSL. 10

GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Tugas dan wewenang MP, Pasal 105, Ayat 1-14, 2006, h. 21.

Tugas dan Wewenang MP ialah: 1). Memberikan pertimbangan/nasehat, baik berdasarkan permintaan maupun tidak,

kepada MS, termasuk MSH, dan BPP. 2). Memberikan pertimbangan untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan

yang terjadi dalam MS, MSH, dan BPP. 3). Semua pertimbangan MP itu bersifat konsultatif, artinya, tidak mengingat

yang diberikan pertimbangan. 4). Semua kegiatan MP dibiayai melalui angaran yang disusun oleh MSH. 11

GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Tugas dan wewenang BPP, Pasal 105, Ayat 1-14, 2006, h. 22.

Tugas dan Wewenang BPP ialah: 1). Mengadakan pembinaan terhadap para pengelola perbendaharaan GKPB secara

kesinambungan. 2). Melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap perbendaharaan GKPB. 3). Menyampaikan hasil

pembinaan, pemeriksaan, dan pengawasan dalam sidang MSL dan sinode. 4). Mengusulkan penggunaan jasa angkutan

publik kepada MS, bila dipandang perlu. 5). Mengusulkan pengangkatan tenaga penuh waktu untuk melaksanakan

tugas-tugasnya kepada MS dalam sidang MSL. 6). Semua kegiatan BPP dilayani melalui anggaran yang disusun oleh

MSH. 12

GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Wewenang MS, Pasal 99, Ayat 1-14, 2006, h. 17-18.

Wewenang MS yaitu: 1). Menetapkan pelaksanaan Garis-Garis Besar Pelayanan GKPB. 2). Menetapkan Program

Kerja Tahunan dan Anggaran Pendapatan Belanjanya sesuai Garis-Garis Besar Pelayanan GKPB. 3). Menetapkan

penyelenggaraan sinode. 4). Mengajukan hasil peninjauan Tata Gereja kepada sinode. 5). Menetapkan peraturan-

peraturan/ketentuan-ketentuan untuk melaksanakan Tata Gereja. 6). Menetapkan tentang tidak berlakunya lagi

peraturan-peraturan/ketentuan-ketentuan. 7). Menetapkan pengangkatan, pemberhentian/pemensiunan, pemindahan, dan

pendesiplinan pejabat dan pegawai GKPB. 8). Menetapkan penahbisan, pelantikan, dan pemberhentian pejabat-pejabat

gerejawi. 9). Memberikan pertanggungjawaban atas segala tugasnya kepada sinode. 10). Mengajukan rancangan Garis-

Garis Besar Pelayanan Gereja kepada sinode. 11). Menjalankan dan mengembangkan penyelenggaraan,

pengorganisasian Gereja yang sesuai dengan bentuk kelembagaan dan struktur GKPB. 12). Memberdayakan dan

menggali sumber daya-sumber daya Gereja dan mengelola harta milik Gereja sesuai dengan peraturan dan ketentuan

GKPB. 13). Membina, menjaga, dan mengembangkan persekutuan, pelayanan, dan kesaksian GKPB. 14).

@UKDW

3

Perguruan Tinggi Kristen, Badan Usaha Milik Gereja, dan Yayasan-yayasan, serta Lembaga

Kategorial.13

Sedangkan untuk Kepengurusan Pelayanan Wilayah, dipilih oleh semua

mejelis jemaat yang ada di wilayah tersebut. Ketua Wilayah, secara otomatis menjadi

Anggota MS.14

Semua jabatan organisasi di atas disebut sebagai Majelis Sinode Lengkap

(kemudian disingkat MSL). Jabatan MSL oleh penulis disebut dengan “jabatan strategis”

dalam penulisan ini.

1.2. Jabatan Strategis Sinode GKPB

Istilah jabatan strategis tidak disebutkan dalam tata gereja maupun peraturan-

peraturan GKPB lainnya. Istilah ini digunakan oleh penulis untuk menunjukan posisi

pengambil keputusan15

, dan kebijakan kepemimpinan di tingkat sinode GKPB”. MSL

disebut jabatan strategis, hal itu dapat dilihat pada tugas dan wewenangnya di dalam tata

gereja yang menunjukan bahwa posisi atau jabatan tersebut sangat menentukan ‘langkah’

GKPB seperti yang ditegaskan oleh Ulrich Beyer, “walaupun GKPB menganut struktur

presbiterial-sinodal, namun posisi dan peran MSL sangat menentukan kebijakan dalam

perjalanan bersinode di Bali.”16

Hal ini terlihat jelas dalam sidang lembaga-lembaga

sinode.17

Sebagai seorang pendeta di GKPB, penulis memiliki beberapa pengalaman di

mana hasil keputusan sidang sinode kemudian berubah dengan alasan tertentu setelah

dibahas ulang dalam sidang MSL, sehingga menimbulkan protes dari jemaat-jemaat.18

Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Garis-Garis Besar Pelayanan GKPB, program kerja dan Anggaran

Pendapatan dan Belanja (APB), Tata Gereja, dan peraturan dan ketentuan Tata Gereja. 13

Buku Direktorat, Periode 2008-2012, Edisi Kelima (Revisi), Bali: Deplitdakom, (Percetaka GKPB, 2009), h. 1-32. 14

Kesimpulan: semua jabatan organisasi maupun jabatan gerejawi, kecuali pendeta memakai sistem pemilihan dengan

suara terbanyak, artinya semua jabatan organisasi/struktural di GKPB pasti dikompetisikan. 15

Menurut Eddy Gibbs, kepemimpinan adalah bagaimana para pemimpin menghadapi berbagai tantangan baru dan

karena itu harus membuat keputusan-keputusan. Eddy Gibbs, Pemimpin Gereja Masa Mendatang, (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2011), h. 1-9. 16

Ulrich Beyer, Bali-Fajar Pagi Dunia, Injil dan Gereja di pulau Bali, h. 146. 17

GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Sidang Lembaga-lembaga Sinode, Pasal 105, Ayat 1-14, 2006, h. 23.

Sidang lembaga-lembaga Sinode ialah: 1). Sidang Majelis Sinode (MS)/Majelis Sinode Harian (MSH), Majelis

Pertimbangan (MP) dan Badan Pemeriksa Perbendaharaan (BPP) disebut sidang Majelis Sinode Lengkap. 2). Dalam

sidang Majelis Sinode Lengkap, dilakukan koordinasi, evaluasi dan pengambilan keputusan. 3). Sidang Majelis Sinode

Lengkap dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 4 (empat) bulan atas undangan MSH. 4). Sidang itu sah jika

dihadiri oleh sekurang-kurangnya ½ (setengah) ditambah seorang anggota MS. 5). Rapat MSH bersama staf sekurang-

kurangnya sekali 1 (satu) bulan. 6). Pengambilan keputusan dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal 75 tata gereja ini. 18

Salah satu keputusan Sinode ke 43 bulan Juni 2012 adalah, GKPB harus mengelola hotel Dhyana Pura secara

mandiri, namun kemudian sidang MSL memutuskan untuk mengontrak hotel tersebut kepada pihak lain, mengakibatkan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada puluhan anggota jemaat yang bekerja di Hotel tersebut. Hal ini

menimbulkan polemik di GKPB, beberapa gereja memohon untuk diadakan sidang istimewa namun hal tersebut tidak

terwujud. Walapun demikian harus diakui bahwa perubuhan keputusan sidang sinode tersebut adalah sebuah kebijakan

MSL dalam merespon persoalan tanah hotel tersebut yang masih diperkarakan hak kepemilikannya di pengadilan,

@UKDW

4

Protes tersebut dilakukan karena MSL dianggap otoriter dalam pengambilan keputusan,

misalnya mengenai kasus hotel Dhyana Pura (hotel milik GKPB) yang masih menjadi

persoalan sampai saat ini di GKPB. Walaupun demikian harus diakui bahwa banyak

keputusan dan kebijakan MSL yang cukup efektif dalam dinamika pelayanan ber-GKPB

baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Sama seperti jabatan gerejawi, jabatan organisasi/struktural atau jabatan strategis

memberi tempat kepada perempuan dan laki-laki, dari kalangan pendeta maupun non

pendeta. Selanjutnya, penulis menggambarkan dinamika perempuan pendeta dan data para

pendeta serta calon pendeta dalam hubungan dengan jabatan strategis dimaksud.

1.3. Perempuan Pendeta, Data Pendeta & Calon Pendeta/Vikaris GKPB

Setelah 16 tahun berdirinya sinode GKPB, barulah ada penahbisan perempuan

pendeta19

tepatnya tahun 1964 yakni ibu Siluh Ketut Nyeneng dan ibu Siluh Rai Nestari

bersama lima orang laki-laki. Jumlah pendeta sudah mencapai dua puluh tiga orang. Adapun

perempuan GKPB yang Sekolah Teologi (sering disebut sekolah pendeta) sangat sedikit

bahkan hampir tidak ada. Sampai dengan tahun 1985 atau 21 tahun kemudian baru ada

tambahan satu orang perempuan pendeta. Total perempuan pendeta saat itu tiga orang dari

lima puluh sembilan orang pendeta aktif maupun yang pensiun/emeritus.20

Kalau

dipresentase; 5% perempuan dan 95% laki-laki.

Data selanjutnya, pendeta aktif GKPB sampai pertengahan tahun 2013 berjumlah

lima puluh dua orang, laki-laki tiga puluh delapan dan perempuan empat belas orang.

Peningkatan jumlah perempuan pendeta terlihat pada jumlah vikaris perempuan yang lebih

banyak dari laki-laki. Vikaris yang diterima di akhir tahun 2012 berjumlah sebelas orang,

enam diantaranya perempuan, lima laki-laki. Di tahun 2010 dan 2012, GKPB menahbiskan

sebelas orang vikaris ke dalam jabatan pendeta, tiga laki-laki dan delapan perempuan.21

Total pendeta aktif dan vikaris sampai dengan awal tahun 2013 berjumlah enam puluh tiga

sehingga keputusan ini cukup positif karena dari sisi bisnis GKPB sangat diuntungkan dengan jumlah kontrakan yang

lebih besar ketimbang dikelolah sendiri. 19

Perempuan pendeta yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah perempuan yang berjabatan sebagai seorang pendeta

di GKPB. Pengalamannya sebagai seorang perempuan dan sekaligus sebagai seorang pendeta menjadi aspek penting

dalam kajian ini. Pengalaman perempuan yang dipahami di sini ialah pengalaman yang muncul pada saat perempuan

menyadari pengalaman menyesatkan dan pengasingan yang dipaksakan kepada mereka oleh kebudayaan yang

didominasi oleh laki-laki, Lihat Rosemary R. Ruether, ‘Penafsiran Feminis-Suatu Metode Korelasi’, dalam (editor).

Letty M. Russel, Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 123. 20

Deplitdakom, GKPB, Profil Pendeta dan Vikaris, (Bali: Percetakan GKPB, 2012), h 6-31. 21

Ibid, h. 26-56.

@UKDW

5

orang; dua puluh perempuan atau 32% dan empat puluh tiga laki-laki atau 68%. Kemudian

di awal bulan Maret 2014, jumlah vikaris sebelas orang, laki-laki empat orang, perempuan

tujuh orang. Jumlah pendeta aktif lima puluh tiga orang, laki-laki empat puluh orang,

perempuan tiga belas orang. Dengan demikian, total pendeta aktif dan calon pendeta/vikaris

GKPB per Maret 2014 adalah enam puluh empat orang, laki-laki empat puluh empat,

sedangkan perempuan berjumlah dua puluh orang (atau laki-laki 68%, perempuan 32%).22

Data di atas menunjukkan peningkatan jumlah perempuan pendeta yang signifikan.

Mungkin saja realita tersebut merupakan aplikasi dari keputusan Sidang Raya PGI23

, atau

hasil dari upaya-upaya yang dilakukan GKPB, atau ada hal-hal pendukung lainnya. Namun

demikian harus diakui bahwa secara kuantitatif belum menunjukkan keseimbangan (jika

melihat data jumlah anggota jemaat GKPB sampai dengan pertengahan tahun 2014, menurut

Made Kertiyana, kepala bidang administrasi dan kepegawaian GKPB, di mana anggota

GKPB perempuan lebih banyak dari laki-laki, yaitu 6561 berbanding 6253). Penulis melihat

hal ini menjadi menarik untuk diteliti. Selanjutnya, penulis memperlihatkan data para

pemimpin, posisi perempuan pendeta pada jabatan strategis sinode GKPB dalam beberapa

periode pelayanan GKPB.

1.4. Data Para Pemimpin, Posisi Perempuan Pendeta Di Jabatan Strategis Sinode GKPB

Data yang dicatat dalam buku Profil Pendeta dan Vikaris GKPB sampai tahun 2012

sebagai berikut: jabatan Ketua Sinode dari periode pertama tahun 1948-1952 sampai dengan

periode tahun 2012-2016, berjumlah sembilan orang, semuanya laki-laki. Jabatan Sekretaris

Umum dan Bendahara (bendahara dari kalangan pendeta maupun non pendeta) semuanya

laki-laki. Anggota MSL periode 2008-2012, berjumlah tiga puluh dua orang24

; laki-laki dua

puluh sembilan dan hanya tiga orang perempuan (dua orang non pendeta dan satu orang

pendeta), sehingga hanya ada satu perempuan pendeta yang menduduki jabatan strategis saat

itu, sama seperti periode-periode sebelumnya. Pada periode terakhir, 2012-2016, dari tiga

puluh satu anggota MSL (ada pengurangan satu departemen), hanya satu perempuan, non

22

Data yang penulis terima dari Kepala Administrasi Umum dan Kepegawaian kantor Sinode GKPB, Made Kertiyana,

tertanggal 5 Maret 2014. 23

Seperti Sidang Raya PGI di Surabaya pada bulan Oktober tahun 1989 telah disarankan 30% jabatan-jabatan gerejawi

harus diduduki oleh perempuan. Lihat, Anne Hommes, Perubahan peran pria & wanita dalam gereja & masyarakat,

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, Yogyakarta: Kanisius, 1992), h.124.

24 Data Anggota MSL: MSH 3 orang (semuanya laki-laki), MS 8 orang (hanya 1 perempuan non pendeta), MP orang

(semua laki-laki), BPP 3 orang (1 perempuan non pendeta), Utusan atau Ketua Wilayah 8 orang (1 perempuan pendeta),

dan Staf MSH atau Kepala Departemen/Lembaga 7 orang (semua laki-laki).

@UKDW

6

pendeta yang terpilih. Data ini menegaskan bahwa pada periode 2012-2016 tidak ada

satupun perempuan pendeta yang menduduki jabatan strategis sinode GKPB. Kenyataan ini

dikomentari oleh beberapa perempuan pendeta GKPB, salah satunya ibu pendeta Triasih

Widhyati (biasa dipanggil ibu Wid).

Menurut ibu Wid, “kenyataan di atas disebabkan gereja-gereja di GKPB yang

diwakili oleh majelis jemaat/presbiter, mengusulkan sedikit sekali nama perempuan pendeta

sebagai bakal calon anggota MSL kepada panitia verifikasi untuk kemudian dipilih oleh

peserta sidang sinode.25

Buktinya hanya ada satu perempuan pendeta yang diusulkan oleh

beberapa gereja sebagai calon sekretaris umum yakni saya sendiri (ibu Wid26

), dan

‘bersaing’ dengan lima orang pendeta laki-laki”, demikian tutur beliau.27

Pendeta Wid

hanya mendapat 29 suara dari 202 surat suara sebagai posisi ke-dua, sedangkan suara

terbanyak menjadi milik pendeta laki-laki dengan 107 suara.28

Komentar ini senada dengan

pengalaman penulis, pada saat rapat dengan majelis jemaat di salah satu jemaat GKPB untuk

mengirimkan bakal calon anggota MSL pada bulan Mei 2008. Ketika penulis (dalam

kapasitas sebagai pendeta, ketua majelis jemaat) mengusulkan salah satu nama perempuan

pendeta, respon dari seorang majelis laki-laki sangat mengagetkan. Majelis tersebut

mengatakan:“mengapa perempuan pendeta yang dicalonkan? Selama ini tidak pernah

perempuan menjadi anggota MSL, apalagi jabatan ketua, itu tidak biasa”.29

Berdasarkan komentar yang disampaikan oleh pendeta Wid serta pengalaman

penulis, dapatlah disimpulkan bahwa GKPB dalam hal ini para mejelis jemaat/presbiter

belum bisa mempercayakan posisi jabatan strategis sinode kepada perempuan pendeta

karena selama ini, dalam sejarah perjalanan sinode gereja, hal itu tidak/belum terjadi.

Tentunya ada alasan-alasan di balik itu. Namun kondisi ini bisa dinalisa bahwa jabatan yang

diterima tanpa sebuah kompetisi atau pemilihan/suara sangat mungkin bagi perempuan,

buktinya jabatan pendeta (satu-satunya jabatan gerejawi yang tidak dipilih) cukup banyak

diemban oleh perempuan, dan cenderung meningkat tahun-tahun terakhir ini di GKPB.

25

Panitia verifikasi dibentuk oleh MSH yang bertugas untuk menampung dan memverifikasi usulan bakal calon dari

masing-masing jemaat. Lihat, Peraturan GKPB Nomor 08, Pasal 2, tertanggal 3 Agustus 2007, dalam Peraturan-

Peraturan GKPB, (Bali: Percetakan GKPB, 2007), h. 25. 26

Pdt. Ibu Wid adalah perempuan ke tiga yang ditahbiskan oleh GKPB pada tahun 1985. Karirnya, usia dan

pengalaman menjabat di departemen dan lembaga GKPB sangat banyak. Beberapa kali ia ditugaskan oleh GKPB ke

luar negeri, seperti gereja Baden di Jerman sebagai mitra GKPB selama 5 tahun, dari tahun 1992-1997. 27

Wawancara penulis dengan ibu pendeta Wid pada tanggal 11 Juli 2012, di Mengwi Bali, pukul 13.00 WITA. 28

MSH GKPB, Notulen Sinode ke-43 GKPB, 2012, h.72. 29

Konteks GKPB berbeda dengan beberapa gereja yang sudah dipimpin oleh perempuan atau gereja tertentu yang

memberi kuota bagi perempuan. Misalnya Gereja Protestan Maluku, dalam tata gerejanya memberikan kuota 40% bagi

perempuan, baik di tingkat Majelis Jemaat, Klasis bahkan Sinodal. Hal ini disampaikan oleh salah seorang pendeta

GPM yang sementara studi S-2 Teologi UKDW saat ini (Angkatan 2012).

@UKDW

7

Sedang jabatan MSL atau jabatan strategis sinode, menjadi sulit bagi perempuan karena

dipilih. Analisa ini bisa keliru, namun sangat mungkin terjadi dalam tatanan budaya

patriarkal di Bali di mana posisi pemimpin ada di tangan laki-laki. Sebelum penulis

memaparkan hal itu lebih mendalam (dengan berbagai alasan-alasan lain yang terkait

dengannya), terlebih dahulu menjelaskan tentang gaya kepemimpinan di jabatan strategis

sinode GKPB berdasarkan pengamatan penulis. Paparan singkat ini bertujuan untuk melihat

kekurangan-kekurangan sebagai sebuah realita yang sangat mungkin terjadi.

1.5. Gaya Kepemimpinan Pada Jabatan Strategis Sinode GKPB

Sebagaimana penulis uraikan di awal, jabatan strategis di sinode memiliki wewenang

yang cukup besar sebagaimana diatur dalam tata gereja. Jabatan yang secara tersirat

diberikan kepada laki-laki maupun perempuan, namun faktanya didominasi oleh pendeta

laki-laki. Dengan demikian, gaya kepemimpinan maskulin menjadi dominan. Hal itu telihat

dari sifat otoriter (salah satu sifat maskulin) yang muncul dalam menanggapi beberapa

persoalan di GKPB. Salah satu persoalan yang telah penulis kemukakan di atas ialah

keputusan MSL merubah hasil sidang sinode ke-43 (Juli 2012) tentang pengelolaan hotel

Dhyana Pura. Hal tersebut bukanlah wewenang MSL, sehingga menunjukkan gaya otoriter

yang ditunjukan oleh kepemimpinan laki-laki. Sifat maskulin yang lain ialah agresif yang

ditunjukan oleh laki-laki (khususnya para pendeta). Hal ini sangat terlihat ketika memasuki

masa pencalonan anggota MSL dimana pendeta laki-laki berusaha mencari dukungan

suara/massa dengan berbagai cara dan hal itu tidak dilakukan oleh perempuan pendeta.30

Kedua hal ini paling tidak memperlihatkan sifat maskulin yang mempengaruhi gaya

kepemimpinan laki-laki sebagai pihak yang dominan di jabatan strategis sinode GKPB

sampai saat ini. Hal itu tentu berbeda dengan gaya kepemimpinan perempuan yang

dipengaruhi oleh sifat feminin, yakni cenderung tidak otoriter, tidak ambisius, tidak

dominan, tidak/kurang agresif, suka berjejaring, dan senang sharing/berbagi.31

Dengan

demikian, di satu sisi, karena gaya maskulin menjadi dominan maka perempuan (pendeta)

tidak senang/suka, sehingga sangat mungkin mereka menolak untuk dicalonkan. Di sisi lain,

karena konteks seperti itu, justru perempuan merasa nyaman untuk dipimpin oleh laki-laki

sehingga tidak akan ada upaya untuk bisa duduk di jabatan strategis, jabatan yang

30

Cara yang dilakukan oleh pendeta laki-laki tidak salah, apalagi dalam konteks sebuah kompetisi. Namun

kenyataannya cara yang dipakai tersebut sering menimbulkan kelompok atau pengkotak-kotakan di lingkungan GKPB. 31

http://www-psikoterapis.com/?en-apakah-maskulin-dan-feminin-itu, (diakses tanggal 20 September 2014, pukul

07.30 WIB).

@UKDW

8

dikompetisikan itu. Itu artinya kepemimpinan pada jabatan strategis di sinode GKPB

menjadi sesuatu yang sulit diraih oleh perempuan pendeta, berbeda dengan jabatan pendeta

di jemaat-jemaat.

Dari semua realita di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada satu sisi ada

ruang dan kesempatan bagi perempuan untuk menjadi pendeta, namun sepertinya tidak atau

belum untuk jabatan-jabatan strategis sinode GKPB. Mungkin pertanyaan yang muncul soal

kualitas, jika indikatornya pada tingkat pendidikan32

, sesungguhnya tidak jauh berbeda.

Banyak perempuan pendeta GKPB yang telah mendapatkan gelar S2 (master teologi,

sebanyak 5 orang) dan studi S3 (studi doktoral, 1 orang) tidak jauh berbeda dengan pendeta

laki-laki. Kalau demikian, mungkinkah ada persoalan lain seperti budaya, agama atau

persoalan gender33

atau sebab-sebab lain termasuk dari dalam diri perempuan pendeta itu

sendiri (kurang percaya diri, tidak berani, dan lain-lain).

1.6. Persoalan Gender, Ajaran Agama & Budaya Patriarkal

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan

yang dikonstruksi secara sosial maupun budaya. Gender adalah bagaimana cara

memandang, menilai dan menentukan sikap baik laki-laki maupun perempuan dalam

masyarakat dan kebudayaan. Menurut Mansour Fakih, perbedaan gender tidaklah menjadi

masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan (gender inequalities) namun

kenyataannya terjadi berbagai ketidakadilan baik kepada laki-laki terutama perempuan.34

Salah satu manifestasi dari ketidakadilan gender ialah stereotipe yang kemudian

menstigmatisasi posisi perempuan (istri) oleh masyarakat sebagai ‘pelayan suami’, ‘pekerja

domestik’. Pada akhirnya peraturan pemerintah, aturan keagamaan, budaya dikembangkan

karena stereotipe ini. Kenyataan ini secara tidak sadar dijalankan oleh budaya patriarki,

yakni ideologi kelelakian.35

Pertentangan terhadap pembagian peran perempuan dalam

ruang publik (gereja maupun masyarakat) dan ruang domestik, pada dasarnya mengacu pada

32

Salah satu indikator tentang kualitas manusia adalah tingkat pendidikan yang diperolehnya. Kalau dulu banyak

perempuan Indonesia yang buta huruf karena tidak diberi kesempatan untuk sekolah, maka wajar kalau mereka sulit

mendapat kesempatan menjadi pemimpin. Tentu berbeda dengan kondisi saat ini. Namun masih ada anggapan bahwa,

keterlibatan perempuan sering dipahami sebagai yang negatif, yaitu persaingan dengan laki-laki. Lihat Mely G. Tan,

Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan?, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), h. xi, 19. 33

Menurut Banawiratma, salah satu indikator ketidakadilan gender adalah adanya dominasi dan subordinasi, adanya

pembakuaan ciri gender. Lihat, J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, Menuju pemberdayaan Kaum

Miskin, dengan Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkunan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 61. 34

Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 8, 12. 35

Ibid, h. 13, 17, 74, 128, 149, 151.

@UKDW

9

ideologi gender yang berakar pada budaya patriarki.36

Beberapa teks dan tradisi gereja

sering digunakan untuk mendukung pemapanan atau status quo budaya, termasuk misalnya

tema-tema (dalam PB) yang berkata bahwa perempuan harus tutup mulut dalam gereja, bdn.

I Kor 14; I Tim 2.37

Walaupun demikian ada teks dan penafsiran lain yang menunjukan

kesetaraan laki-laki dan perempuan misalnya tafsiran Emanuel Gerrit Singgih terhadap

Kejadian 2:18 yang menyimpulkan bahwa perempuan diciptakan oleh Allah untuk menjadi

yang setara dengan laki-laki.38

Kemudian, dalam masyarakat patriarki, laki-laki sering berkuasa atas semua anggota

masyarakat yang lain (perempuan) dan mempertahankan kuasa sebagai milik yang ”sah”.39

Pandangan androsentris (andros=laki-laki dan sentris=berhubungan dengan inti) kemudian

menentukan budaya, yakni segala peristiwa dilihat dari sudut pandang laki-laki.40

Menurut

Luh Debora Murthy (salah satu Sekretaris Bidang yang mengurusi soal Perlindungan

Perempuan dan Anak di GKPB) hal ini menjadi sumber ketidakadilan bagi perempuan di

Bali seperti diskriminasi di dalam keluarga, tempat kerja, masyarakat, pemerintah dan

peradilan bahkan di tempat ibadah yang pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi kaum

perempuan karena dinilai tidak sanggup dalam hal memimpin.41

Walaupun demikian,

perempuan Bali (khususnya dalam masyarakat Hindu) telah memerankan peran yang sangat

penting seperti dalam ranah keagamaan sebagai seorang rohaniawati yang dikenal dengan

istilah pedande istri42

dan pada jabatan-jabatan kepemerintahan.43

Berdasarkan pengamatan, pengalaman penulis di Bali dan di GKPB, perempuan Bali

sudah mampu meraih posisi-posisi kepemimpinan. Hal itu terlihat di kantor-kantor

pemerintahan, swasta, dunia pendidikan, perusahaan-perusahaan khususnya di bidang

pariwisata yang banyak di Bali. Namun untuk di lingkup pemerintahan Adat, perempuan

36

Margaretha M. Ririmasse, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian-Sebuah refleksi telogis feminis, (Jakarta:

Yakoma-PGI, PERSETIA, Departemen Perempuan dan Anak, Mission 21, 2009), h. 23. 37

Katherina Doob Sakenfeld, “Beberapa Pendekatan Feminis Terhadap Kitab Suci”, dalam Letty M. Russel (editor)

Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h. 53. 38

Emanuel Gerrit Singgih, Dari Eden ke Babel, Sebuah Tafsir Kejadian 1-11, (Jogyakarta: Kanisius, 2011), h. 93. 39

Menurut Julia Cleves Mosse, patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting

dalam masyarakat dan pemerintah, baik sebagai militer, pendidik, pemimpin industry, bisnismen, dan pemimpin-

pemimpin agama. Lihat, Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Centre

dan Pustaka Pelajar, 1996), h. 65. 40

Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu, Pengantar Teologi Feminis, (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2011), h. 8-9. 41

Luh Debora Murthy, “GKPB dalam Gender dan Kekerasan di Bali”, dalam K. Suyaga Ayub, Gereja Yang Hidup,

kumpulan refleksi hamba-hamba Tuhan, (Bali: Percetakan GKPB, 2004), h. 196. 42

Ketut Wiana, Tjok Raka Krisna, Kade Sindhu, Acara III, (Jakarta: Mayasari, 1985), h. 34. 43

Salah satu bukti ialah Bupati kabupaten Tabanan-Bali saat ini adalah seorang perempuan, selain itu dalam

kepengurusan PHDI (Parisade Hindu Dharma Indonesia) Bali saat ini bahwa perempuan telah menduduki jabatan-

jabatan tinggi, hasil wawancara dengan pendeta Triasih Widhyati (ibu Wid), tanggal 11 Juli 2013, di Mengwi, Bali

pukul 14.00-15.00.

@UKDW

10

tidak diberikan kesempatan untuk memimpin. Hal serupa terlihat di bidang keagamaan,

yang pada umumnya diemban oleh kaum laki-laki. Pengaruh budaya patriarkal sangat kuat

mempengaruhi hal tersebut, pemimpin dominan laki-laki, kemudian menjadi sesuatu yang

membudaya, sehingga perempuan merasa nyaman, menjadi pasif, tidak merasa

penting/perlu untuk menduduki kursi kepemimpinan yang sangat mungkin diraihnya.

Menurut penulis hal itu menjadi salah satu kendala dari dalam diri perempuan di Bali,

termasuk di dalam Gereja/GKPB. Penulis memiliki beberapa pengalaman di jemaat, di mana

ketika ada pencalonan majelis jemaat, atau panitia tertentu, banyak perempuan yang

menolak diri kemudian mempercayakan kesempatan itu kepada laki-laki dalam hal ini suami

atau saudara laki-laki mereka. Kondisi ini menurut penulis menjadi kompleks bagi

kepemimpinan perempuan di jabatan strategis sinode walaupun kemajuan dari sisi kuantitas

perempuan pendeta sedang terjadi saat ini di GKPB.

Paparan singkat di atas menunjukkan bahwa pada umumnya kaum perempuan,

(termasuk di Bali/GKPB) khususnya di ranah keagamaan, sangat ditentukan oleh budaya

dan agama (teologi dan penafsiran atas Kitab Suci). Budaya patriarki yang dianut

masyarakat Bali, dan beberapa teologi gereja/GKPB serta interpretasi jemaat atas beberapa

teks Kitab Suci yang patriarki, mengakibatkan posisi dan peran perempuan menjadi tidak

setara dengan laki-laki. Kepemimpinan, khususnya pada jabatan strategis sinode menjadi

dominan laki-laki dengan gaya maskulin. Hal ini tentu melahirkan ketidakadilan gender di

dalam gereja sebagaimana yang ditegaskan oleh Singgih. Menurut Singgih, ketidakadilan

gender menjadi salah satu konteks di Indonesia, termasuk di dalam gereja.44

Menyadari

konteks tersebut, muncul berbagai upaya yang dilakukan oleh gereja, salah satunya oleh

aliran feminis termasuk para teolog feminis, dan oleh GKPB.

1.7. Kesetaran Gender; Gerakan Feminis, Teologi Feminis, & Upaya GKPB

Menurut Maria Josephine Mantik45

(dosen dan ketua program studi, fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia) dalam bukunya Mengapa perempuan

44

Emanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 58. Istilah ‘konteks’

yang diapakai oleh Singgih memiliki konotasi ‘masalah’. Karena itu hal yang penting dan yang pertama adalah ‘sadar

akan konteks’ tersebut. Sadar bahwa ada terjadi kediakadilan gender di sekitar kita. 45

Maria Josephine Mantik menulis disertasi dengan judul Kepemimpinan Perempuan Pendeta (Studi Eksplanatori dan

Konfirmatori di GPIB pada Musyawarah Pelayanan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta). Saat ini ia aktif sebagai dosen

tetap dan ketua program studi Indonesia, fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia. Menjadi

pengajar di Universitas Pelita Harapan, Harvest International Theological Seminary, Program Pascasarjana dan Tim

pengajar Applied Approach (AA) Universitas Kristen Papua. Lihat Maria J. Mantik, Mengapa perempuan dipersulit

menjadi pemimpin?, (Jakarta: Grasindo, 2012), h. 193-194.

@UKDW

11

dipersulit menjadi pemimpin? mengatakan bahwa masalah kesetaran dan keadilan gender

tidak dapat dipisahkan dari proses perjuangan hak-hak asasi manusia. Pada tahap awal, hak-

hak asasi manusia hanya menekankan pentingnya perlindungan tehadap hak-hak individu

setiap warga Negara dalam hidup berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Titik perhatian

tahap pertama lebih kepada hak-hak politik, yang selanjutnya sesuai dengan perkembangan

zaman meliputi hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya seseorang. Pelaksanaan hak-hak asasi

inilah yang memberikan aspirasi bagi perempuan untuk memperjuangkan hak-hak

reproduksi sebagai suatu proses aktualisasi dari perempuan dalam mengatasi kepincangan

dan ketidakadilan perlakuaan terhadap laki-laki dan perempuan.46

Mantik menegaskan, ketidakadilan yang dirasakan sebagai diskriminasi yang

menempatkan perempuan di bawah laki-laki justru memacu perempuan untuk berjuang

memperbaiki status, peran, dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Bahwa

penolakan terhadap masuknya perempuan dalam profesi dan pekerjaan lebih diajukan

karena dia seorang perempuan, bukan karena kemampuannya. Kondisi semacam itu terjadi

karena adanya citra baku (stereotipe) mengenai perempuan dan laki-laki, di mana

masyarakat menempatkan perempuan lebih banyak pada peran reproduktif dalam sektor

domestik dan laki-laki bekerja di sektor publik yang produktif untuk menopang ekonomi

rumah tangga. Karena pembakuan peran itulah laki-laki lebih diutamakan untuk

memperoleh pendidikan dan ketrampilan dibandingkan perempuan.47

Hal senada disampaikan oleh Anne M. Clifford (dalam konteks di Eropa dan

Amerika), yang masih menekankan bahwa budaya patriarki telah sekian lama membatasi

kemampuan masyarakat untuk mendayagunakan berbagai talenta kaum perempuan. Dalam

konteks ini kemudian melahirkan gerakan kaum feminis. Misalnya aliran feminis liberal

dengan ciri khas yang menekankan pada kesetaraan sosial, khususnya untuk mencapai

kesetaraan hak-hak ekonomi dan politik bagi kaum perempuan. Apa yang dikemukakan oleh

Clifford, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama gerekan/aliran feminis adalah bagaimana

memajukan kesetaran semua pribadi, laki-laki dan perempuan.48

46

Ibid, h. 100-101. 47

Ibid, h. 101. 48

Di Amerika Serikat, feminisme liberal merupakan bentuk feminisme yang paling umum. Ia tampil pada gelombang

pertama feminisme dalam gerakan menuntut hak pilih bagi kaum perempuan pada pertengahan abad ke-19 hingga awal

abad ke-20. Sambil setia kepada akar-akarnya pada politik liberal abad ke-19, ia memusatkan perhatian pada ilhwal

mengamankan hak-hak perorangan serta memajukan kesetaraan semua pribadi. Sejak tahun 1960-an, perjuangan demi

kesetaraan yang penuh itu nyata dalam beragam cara, termasuk pengesahan perundang-undangan yang menjamin upah

yang adil bagi kaum perempuan serta memperoleh peluang yang sama bagi kaum ini dalam peran-peran kepemimpinan

yang secara tradisional tertutup bagi mereka, seperti memegang jabatan politik, menjadi CEO dari sebuah pabrik

raksasa, atau rektor sebuah universitas besar. Feminisme liberal jaga menekankan kebebasan individual kaum

perempuan. Feminisme liberal mengkampanyekan hak-hak kaum perempuan untuk mengambil keputusan sendiri atas

@UKDW

12

Letty M. Russell dengan bahasa sederhana mengatakan bahwa feminis adalah suatu

kata yang bernuansa advokasi/pembelaan. Hal ini tidak bermaksud melawan laki-laki, tapi

lebih kepada kebutuhan kaum perempuan, dan tanpa mengubah kehidupan bersama antara

perempuan dan laki-laki. Walaupun demikian, feminisme memiliki banyak bentuk yang

berbeda dan diekspresikan dengan banyak cara. Mengenai teologi feminis, Russell

menjelaskan, dasarnya ialah bagaimana mempresentasikan suatu pencarian kebebasan dari

semua bentuk dehumanisasi dalam hal ras, kelas, seks, orientasi seksual, kemampuan, dan

umur. Ini berarti bahwa laki-laki dapat juga menjadi feminis jika ia tergerak untuk

memperjuangkan perempuan.49

Rosemarie Putnam Tong dalam bukunya Feminist Thought,

pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis, menyimpulkan

bahwa lahirnya aliran feminis sangat dilatarbelakangi oleh persoalan patriarki, kapitalisme,

dan penyebab-penyebab lainnya.50

Persoalan-persoalan tersebut menindas kaum perempuan

di berbagai tempat dan masa. Tong menegaskan bahwa opresi atau penindasan terhadap

perempuan berakar pada struktur politik maupun ekonomi masyarakat, atau pada hubungan,

peran, dan praktek reproduksi dan seksual manusia.51

Menyadari akan budaya patriarkal yang masih kuat di Bali, GKPB melakukan

beberapa hal terkait dengan kesetaraan gender di lingkup GKPB. Penulis melihat hal itu

dalam bentuk seminar-seminar yang dilakukan departemen Pembinaan Warga Geraja,

Persekutuan Kaum Ibu, baik di tingkat sinodal, wilayah, maupun di jemaat-jemaat. Upaya

tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi posisi dan peran perempuan

GKPB di dalam keluarga, gereja, dan masyarakat. Namun kenyataannya, sampai saat ini

upaya tersebut belum menunjukan sebuah perkembangan terkait dengan kepemimpinan di

sinode. Itu artinya, pengaruh budaya patriarkal masih cukup kuat di GKPB, disamping hal-

hal lain yang tidak mendukung. Penulis melihat bahwa jabatan startegis sinode sebagai

jabatan yang dikompetitif menjadi sangat sulit bagi perempuan pendeta dalam konteks yang

demikian.

Dengan demikian, kepemimpinan pada jabatan strategis sinode GKPB menjadi

dominan laki-laki (dengan gaya maskulin yang cenderung otoriter, agresif), menunjukkan

sebuah konteks ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan pendeta di GKPB. Menyikapi

hasil ihwal yang bertalian dengan kesehatan seksual dan reproduksinya. Lihat Anne M. Clifford, Memperkenalkan

Teologi Feminis, (Maumere: Ledalero, 2002), h. 37-39. 49

Letty M. Russell, Church in the Round, Feminist interpretation of the Church, (Louisville, Kentucky:

Westmister/John Knox Press, 2003), h. 22. 50

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, Pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis,

(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 6. 51

Ibid, h. 188.

@UKDW

13

pergumulan tersebut, maka salah satu pandangan yang menurut penulis perlu

dipertimbangkan adalah kepemimpian feminis, sebuah gaya kepemimpinan perempuan yang

adil gender (menghargai kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan memungkinkan adanya

kerjasama/mutualitas) dari kaum feminis yakni: Letty M. Russell, yang didukung oleh

Elizabeth F. Fiorenza, Anne Hommes, dll. Pokok tersebut menjadi landasan teori bagi

penulisan ini, sebagaimana diringkaskan seperti berikut.

1.8. Mempertimbangkan Kepemimpinan Feminis Menurut Kaum Feminis

1.8.1. Ekklesiologi Feminis

Penulis memilih pandangan kaum feminis yakni Russell52

dan teman-teman karena

pandangan ini menunjukkan bagaimana kepemimpinan feminis menawarkan gaya/model

kepemimpinan yang menghargai kesetaraan, dan menentang adanya dominasi dari pihak

tertentu. Russell memulai pandangan ini dengan menyajikan konsep ekklesiologi

feminis yang menekankan soal hubungan mereka yang ada di dalam komunitas

iman/gereja tersebut, kemudian menjalin hubungan yang lebih luas (lintas agama,

budaya, ras, kelas, gender, dan orientasi seksual) sehingga gereja dan dunia menjadi

terhubung dalam satu lingkaran.53

Penulis memahami hal ini sebagai upaya (kaum

feminis) untuk merespon tatanan budaya di mana ada pihak yang termarjinalkan karena

hal-hal tertentu oleh pihak lain. Oleh sebab itu, dengan menjalin hubungan yang besar

dan kuat, persoalan tersebut dapat diatasi.

1.8.2. Kepemimpinan “Meja Bundar” sebagai Model & Prinsip Kepemimpinan Feminis

Dalam konteks GKPB seperti di atas, penulis memandang pentingnya sebuah

gaya/model kepemimpinan feminis. Kaum feminis menggambarkan hal itu dengan

metafora “meja bundar” untuk menjelaskan sebuah gaya/model kepemimpinan duduk

melingkari meja, tanda kesetaraan (laki-laki dan perempuan). Metafora “meja bundar”

52

Letty M. Russell menjadi guru besar di bidang Teologi Praktika di sekolah teologi Yale setelah ditahbiskan menjadi

pendeta pada tahun 1958 oleh Gereja Presbiterian USA. Ia aktif di komisi Faith and Order Dewan Gereja Nasional dan

Dewan Gereja Dunia, menulis banyak buku, seperti The Future of Patrnership, Growth in Patnership dan Becoming

Human, dan lain-lain. Lihat Letty M. Russell, “Daftar para penulis”, dalam Letty M. Russell (ed), Perempuan & Tafsir

Kitab Suci, h. 153, 182. 53

Letty M. Russell, Church in the Round, Feminist interpretation of the Church, h. 18,19.

@UKDW

14

(meja makan dengan kaki maupun di lantai, seperti budaya megibung54

di Bali)

mengisyaratkan kebebasan dan inklusivitas dalam kepemimpinan, dalam komunitas

iman/gereja.55

Perspektif ini mengindikasikan sebuah gaya/model kepemimpinan di

mana otoritas dibagikan dalam komunitas sehingga memungkinkan adanya kerja sama

(relasi dan mutualitas). Penulis meyakini prinsip mutualitas yang dimunculkan oleh

kepemimpinan “meja bundar” adalah implikasi dari pandangan tentang kesetaraan laki-

laki dan perempuan sebagai manusia yang utuh, sebagaimana tujuan (utama) dari kaum

feminis. Hal tersebut menjadi penegasan dari Russell, karena itu seorang pemimpin

feminis haruslah menjadi pemimpin yang menginspirasi orang lain, khususnya mereka

yang terpinggirkan dalam gereja dan masyarakat (karena ras, kelas, seks, dan lain-lain),

untuk menjadi pemimpin.56

Kepemimpinan “meja bundar”, sebuah metafora dari

kepemimpinan feminis menjadi konsep bagi kepemimpinan yang adil gender,

kepemimpinan dalam komunitas yang menentang adanya dominasi dari pihak manapun

(sebagaimana hakekat dari ekklesiologi feminis, seperti di atas).

Dalam konteks kepemimpinan pada jabatan strategis di sinode GKPB, di mana

perempuan pendeta sulit meraihnya dengan alasan budaya patriarkal dan kendala-

kendala lainnya, maka pandangan kepemimpinan feminis (dari kaum feminis) menjadi

suatu model kepemimpinan yang relevan dan kontekstual di GKPB. Pandangan

kepemimpinan tersebut menyajikan sebuah konsep dari gaya/model kepemimpinan yang

setara, antara laki-laki dan perempuan. Itu artinya bagi mereka (dalam hal ini

perempuan pendeta) yang selama ini terpinggirkan dalam jabatan strategis sinode

GKPB, maka gaya/model kepemimpinan feminis (didukung oleh ekklesiologi feminis),

sangat memungkinkan mereka untuk meraih jabatan tersebut, demi sebuah kemajuan

bersama dalam hal ini di lingkungan gereja, khususnya di GKPB.57

54

Megibung adalah budaya makan bersama dalam acara-acara besar di Bali, dan perayaan ulang tahun gereja di GKPB.

Pokok ini akan dibahas di bab III. 55

Metafora ini banyak dipakai oleh para teolog gereja, kaum feminis, dan para pendidik Kristen di dalam gereja dalam

menyikapi konteks kemajemukan yang sering melahirkan diskriminasi baik ras, kelas, seks, maupun gender. 56

Ibid, h. 57. 57

Menurut Asnath Natar, posisi kepemimpinan perlu dijabat oleh perempuan bukan untuk meperjuangkan kepentingan

perempuan melaikan kepentingan bersama, laki-laki dan perempuan (khususnya mereka yang menjadi korban

ketidakadilan gender). Lihat, Asnath Niwa Natar, “Apa kata laki-laki tentang perempuan dan gerakan mereka, suatu

tanggapan terhadap pandangan E. G. Singgih”, dalam Victorius Hamel dkk., Gerrit Singgih Sang Guru dari Labuan

Baji, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm.198. Dalam tema yang sama, Fiorenza mengatakan bahwa, kekehadiran

perempuan di dalam kepemimpinan gereja bisa terjadi karena mereka didukung oleh kualitas, dalam hal ini karunia-

karunia Roh. Lihat, Elizabeth Schussler Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu, Rekonstruksi Teologis Feminis

tentang asal-usul Kekristetan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), h. xlvi-xlvii. Itu artinya, tidak ada alasan untuk

tidak memberikan jabatan strategis di sinode GKPB bagi perempuan pendeta.

@UKDW

15

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis ingin menggali lebih dalam

bagaimana pandangan kaum feminis tentang kepemimpinan feminis (sebuah gaya/model

kepemimpinan perempuan yang adil gender) dapat menjadi landasan bagi pengembangan

kepemimpinan perempuan pendeta di jabatan strategis sinode GKPB.

3. Pertanyaan Penelitian

Penulis memunculkan pertanyaan utama yaitu: mengapa perempuan pendeta sulit

meraih/menduduki posisi jabatan strategis sinode GKPB?

Untuk meneliti lebih jauh, penulis merumuskan beberapa sub pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

3.1. Bagaimana pengaruh budaya patriarkal, interpretasi/penafsiran Kitab Suci dan teologi

GKPB terhadap kepemimpinan perempuan pendeta di jabatan strategis sinode GKPB?

3.2. Apakah upaya GKPB (sacara sinodal) tentang kesetaraan gender mendukung

kepemimpinan perempuan pendeta di jemaat dan di jabatan strategis sinode GKPB?

3.3. Apa saja yang dilakukan perempuan pendeta agar mereka dapat menduduki jabatan

strategis sinode GKPB?

3.4. Apa kelebihan yang dimiliki perempuan pendeta bagi sebuah gaya/model kepemimpinan

pada jabatan strategis sinode GKPB?

3.5. Apa respon narasumber terhadap kepemimpinan perempuan pendeta di jemaat, serta usulan

dan rekomendasinya dalam kaitan dengan kepemimpinan di jabatan strategis sinode?

3.6. Bagaimana gaya/model kepemimpinan yang adil gender dari kaum feminis menjadi dasar

atau acuan bagi keterlibatan perempuan pendeta di jabatan strategis sinode GKPB?

4. Tujuan Penelitian

Bertolak dari pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian adalah:

4.1. Mengetahui sejauh mana pengaruh budaya patriarkal, interpretasi/penafsiran Kitab Suci dan

teologi GKPB, untuk kemudian dianalisa dalam rangka mencari solusi sehingga perempuan

pendeta bisa duduk di jabatan strategis sinode GKPB.

4.2. Mengevaluasi upaya kesetaraan gender yang dilakukan GKPB secara sinodal agar lebih

efektif dalam memberikan dukungan bagi kepemimpinan perempuan pendeta di GKPB.

@UKDW

16

4.3. Mengetahui hal-hal apa yang harus dilakukan perempuan pendeta untuk melawan kendala-

kendala dari dalam maupun dari luar, agar bisa menduduki jabatan strategis di sinode

GKPB.

4.4. Mengenal dan memahami kelebihan atau keunikan yang dimiliki perempuan pendeta

GKPB untuk dapat berkontribusi bagi gaya/model kepemimpinan pada jabatan strategis

sinode.

4.5. Mengetahui apa dan bagaimana respon GKPB (narasumber), usulan atau rekomendasi

mereka terkait dengan kepemimpinan perempuan pendeta di jabatan strategis untuk dapat

dipertimbangkan secara bersama di sinode GKPB.

4.6. Mepertimbangkan dengan bijaksana gaya/model kepemimpinan yang adil gender (dengan

konsep ekklesiologi feminis yang ramah dengan semua yang ada dalam komunitas) untuk

menjadikannya gaya/model kepemimpinan yang relevan bagi GKPB di jabatan strategis

sinodenya.

5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk:

5.1. Memberikan perspektif kepemimpinan feminis yang adil gender sebagai bagian dari teologi

feminis bagi gereja-gereja dalam memahami kepemimpinan perempuan pendeta pada

jabatan strategis di sinode-sinode gereja.

5.2. Memperkaya khazanah teologi kontekstual bagi pengembangan kepemimpinan gereja yang

adil gender.

6. Metodologi Penelitian

Penulis akan menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan induktif.

Dalam pengumpulan data, penulis melakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan studi

lapangan dengan menggali informasi yakni pandangan, pemahaman dan pengalaman dari

para Pendeta dan Majelis jemaat (sebagai representasi GKPB) seputar hal-hal yang

mempengaruhi sehingga perempuan pendeta sulit meraih jabatan strategis sinode GKPB,

kemudian bagaimana kelebihan dan keunikan yang dimiliki perempuan pendeta sebagai

gaya kepemimpinan feminis serta upaya kesetaraan dan keadilan gender yang dilakukan

GKPB memungkinkan perempuan pendeta menduduki jabatan strategis tersebut.

@UKDW

17

Studi lapangan akan penulis lakukan di kantor Sinode GKPB, Jln. Raya Kapal, nomor

20, Mengwi, Badung, Bali dan di beberapa tempat tugas pelayanan para pendeta (gedung

gereja, pastori/rumah pendeta) dan rumah-rumah majelis jemaat, di seputar Bali. Penulis

melakukan penelitian pada bulan Maret sampai April 2014. Unit penelitian adalah para

pendeta dan majelis jemaat GKPB (dengan kriteria sebagaimana dituangkan dalam Desain

Penelitian Lapangan, tentang Unit Penelitian, di Lampiran 2, halaman 1), yang berjumlah

dua puluh (20) orang. Penulis menggunakan metode wawancara, yakni tipe wawancara

terbuka.58

Penulis memilih wawancara perorangan, sehingga lebih bersifat rahasia, dan

diharapkan informan atau narasumber dapat memberikan informasi yang lebih terbuka.59

Kedua, penulis melakukan studi pustaka terkait dengan pokok-pokok tentang pengaruh-

pengaruh kepemimpinan perempuan di Bali dan kepemimpinan feminis yang adil gender,

sebagai pustaka utama.

Dalam rangka memberi kontribusi bagi konteks kepemimpinan perempuan pendeta pada

jabatan strategis di sinode GKPB, penulis mengkaji kemudian menawarkan pandangan

kepemimpinan feminis (sebuah gaya/model kepemimpinan perempuan yang adil gender)

dalam komunitas iman, dari kaum feminis yang bisa efektif dan relevan bagi pergumulan di

GKPB (dan banyak gereja di Indonesia maupun di dunia). Kemudian, apa yang ditemukan

penulis setelah menganalisa data lapangan, diangkat dalam rangka memperkaya pandangan

kepemimpinan feminis dari kaum feminis tersebut. Hal ini bermaksud agar pandangan

kepemimpinan feminis dari kaum feminis yang berasal dari Barat/Eropa bisa menjadi

relevan dan kontekstual di Asia, khususnya di Indonesia/Bali, dan di tempat-tempat lain dari

belahan dunia.

7. Kerangka Teori

7.1. Jabatan Strategis Sinode GKPB

Sebagai jabatan strategis, dengan tujuan agar GKPB tetap eksis (sesuai dengan Visi,

Misi, dan Tujuan) maka kepemimpinan (dalam hal ini MSL) sangat memegang peran

58

John Mansford Prior, Meneliti Jemaat, Pedoman Riset Partisipatoris, (Jakarta: PT Grasindo, 1997), h. 95-96, 103.

Karena lokasi penelitian merupakan tempat tugas pelayanan penulis, maka pengamatan serta observasi sudah terjadi

sehingga penulis langsung masuk ke tahap wawancara. Menurut Shulamit Reinharz, wawancara terbuka sering

digunakan oleh kaum feminis, untuk mengeksplorasi pandangan orang tentang kenyataan dan memungkinkan peneliti

melahirkan teori. Biasanya peneliti menggunakan bentuk pertanyaan terbuka, untuk meminta responden memberi

jawaban dengan kata-katanya sendiri, lihat Shulamit Reinharz, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial,

(Jakarta: Wowan Research Institute, 2005), h. 21, 392. 59

John Mansford Prior, Meneliti Jemaat, Pedoman Riset Partisipatoris, h. 99.

@UKDW

18

penting. Sebagaimana penulis kemukakan di latar belakang, jabatan strategis sarat dengan

keputusan-keputusan dan kebijakan.60

Pada periode pelayanan 2012-2016, dari 31 anggota

MSL hanya ada 1 perempuan dari kaum profesional (non pendeta). Sisanya laki-laki yang

sebagaian besar berasal dari kalangan pendeta. Konteks GKPB seperti ini mengisyaratkan

bahwa posisi sebagai pendeta bagi kaum perempuan di GKPB adalah sesuatu yang sangat

mungkin. Hal itu terjadi karena jabatan tersebut tidak dipilih (tidak dikompetisikan),

berbeda dengan jabatan strategis sinode GKPB.

Realita ini memungkinkan penulis untuk menegaskan bahwa ada beberapa hal yang

menjadi kendala bagi keterlibatan perempuan pendeta pada kursi kepemimpinan tersebut.

Pertama, alasan budaya patriarki di Bali yang menilai perempuan tidak memiliki

kemampuan dalam kepemimpinan, demikian yang disampaikan oleh Debora Murthy.61

Kedua, interpretasi teks Alkitab yang memungkinkan posisi subordinasi perempuan di

dalam gereja. Terkait dengan ini, penulis mengutip pendapat Katherina Sakenfeld yang

memahami beberapa teks Kitab Suci, misalnya I Korintus 14: 34 dan 35 yang dapat

merendahkan posisi perempuan di dalam gereja.62

Dalam konteks di GKPB, penulis melihat

masih banyak teks-teks Kitab Suci lainnya (yang dipengaruhi oleh budaya penulisan yang

patriarkis) tidak menunjukkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Margaret A. Farley

mengatakan bahwa posisi dan peran perempuan tidak dihargai bahkan dilupakan.63

Menurut

pengalaman penulis, walaupun sudah cukup banyak perempuan pendeta di GKPB, namun

pemahaman jemaat (di beberapa gereja di GKPB) terhadap pendeta laki-laki dan perempuan

masih berbeda. Pendeta laki-laki dianggap lebih berwibawa, tegas, agresif, cepat dalam

bertindak, dan lebih kuat secara fisik. Sedang perempuan pendeta tidak seperti itu.

Pandangan tersebut sangat mungkin dilatarbelakangi oleh teks-teks tertentu, dan salah

satunya bacaan I Korintus 14: 34, 35.

Dari paparan di atas, penulis melihat bahwa persoalan yang dihadapi perempuan

pendeta terkait dengan tidak terwakilkan pada jabatan strategis sinode GKPB, salah satunya

diakibatkan oleh pandangan jemaat tentang posisi dan peran perempuan di dalam gereja dan

masyarakat dalam tatanan agama dan budaya yang patriarkal. Kemudian, sifat yang ada

pada diri perempuan (feminin) kurang mendukung untuk sebuah jabatan kepemimpinan

strategis sinode. Oleh karena itu penulis mempertimbangkan pandangan kepemimpinan

60

Menurut Beyer, posisi dan peran MSL sangat menentukan kebijakan dalam perjalanan bersinode di Bali. Lihat,

Ulrich Beyer, Bali-Fajar Pagi Dunia, Injil dan Gereja di pulau Bali, h. 146. 61

Luh Debora Murthy, “GKPB dalam Gender dan Kekerasan di Bali”, h. 196. 62

Katherina Doob Sakenfeld, “Beberapa Pendekatan Feminis Terhadap Kitab Suci”, h. 53 63

Margaret A. Farley, “Kesadaran Feminis dan Penafsiran Kitab Suci, dalam Perspektif Historis”, dalam Letty M.

Russell (ed), Perempuan & Tafsir Kitab Suci, (Yogyakarta: Kanisius, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 43.

@UKDW

19

feminis dengan ekklesiologi feminisnya yang bisa menghadirkan sebuah kepemimpinan

tanpa dominasi. GKPB sebagai komunitas/persekutuan iman, dengan mempertimbangkan

ekklesiologi feminis, maka otoritas diberikan kepada semua orang yang ada didalamnya

(perempuan dan laki-laki), kepada perempuan pendeta dan pendeta laki-laki, karena mereka

adalah setara. Sebelum penulis membahas pokok tersebut, terlebih dahulu penulis paparkan

secara singkat ekklesiologi GKPB. Pokok tersebut diuraikan seperti berikut.

7.2. Ekklesiologi GKPB

Penulis memahami ekklesiologi GKPB dari dua hal, yang pertama, dari literatur

GKPB (seperti Tata Gereja). Kedua, berdasarkan refleksi penulis (hasil pengamatan dan

pengalaman penulis). Ekklesiologi tersebut penulis jelaskan demikian.

Dalam Mukadimah, GKPB mengakui bahwa Allah Tritunggal (Bapa, Yesus Kristus,

dan Roh Kudus) telah memanggil orang-orang pilihan-Nya untuk percaya kepada Tuhan

Yesus Kristus. Panggilan ini diperuntukkan bagi karya penyelamatan Allah di dunia

khususnya di pulau Bali. Mereka yang dipanggil, menyebut dirinya sebagai GKPB yang

berperan sebagai tubuh Kristus, dan Kristus sebagai kepala-Nya.64

Dengan mencermati hal

tersebut, penulis melihat bahwa ekklesiologi GKPB yang diharapkan ialah adanya sebuah

komunitas (persekutuan umat) yang memiliki posisi yang sederajat sebagai anggota tubuh

Kristus.65

Konsep ini jelas terlihat pada hak dan kewajiban yang sama bagi semua anggota

sidi GKPB, baik di dalam jemaat, di tingkat wilayah, maupun di tingkat sinode (termasuk

pada jabatan strategis sinode). Hal ini menunjukkan bahwa GKPB tidak menerima adanya

dominasi di antara anggota-anggota (laki-laki dan perempuan) GKPB. Oleh karena itu,

sistem kepemimpinan yang tidak mengakui kesetaraan gender adalah sesuatu yang sangat

bertentangan.

Menurut penulis, dalam banyak hal posisi, peran laki-laki dan perempuan adalah

setara. Misalnya hak untuk menjabat sebagai majelis jemaat, pengurus wadah kategorial dan

posisi/jabatan lainnya. Walaupun realitanya posisi tersebut menjadi dominan laki-laki,

sehingga mayoritas kepemimpinan di dalam jemaat ada di tangan laki-laki. Hal ini terjadi di

sebagian besar jemaat-jemaat di GKPB. Hal tersebut tidak berbeda dengan jabatan pendeta

dan jabatan strategis di sinode. Kondisi ini terjadi karena jemaat pada umumnya lebih

memberikan kepercayaan kapada laki-laki ketimbang perempuan. Kemudian, banyak

64

GKPB, Tata Gereja, Mukadimah, 2006, h. v. 65

Lihat, Nyoman Suanda, Inti Pemahaman Iman GKPB, (Bali: Percetakan MBM, 2006), h. 33.

@UKDW

20

perempuan yang tidak siap untuk menerima kesempatan itu. Dengan demikian, dapatlah

penulis simpulkan bahwa ekklesiologi GKPB yang mengharapkan adanya kesetaraan laki-

laki dan perempuan belum dapat berjalan dengan baik. Dengan bahasa yang lain, komunitas

umat/GKPB yang diharapkan bisa mewujudkan kesetaraan dalam hal posisi kepemimpinan

masih didominasi oleh pihak tertentu. Artinya kesetaraan laki-laki dan perempuan yang

dapat diukur dengan keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan belum terwujud.

7.3. Mempertimbangkan Kepemimpinan Feminis Menurut Kaum Feminis

Dalam hal kepemimpinan feminis, penulis mengetengahkan beberapa pandangan

kaum feminis (seperti Letty Russell yang didukung oleh Elizabeth Fiorenza, Anne Hommes,

dll). Penulis melihat bahwa dalam pergumulan terhadap orang-orang yang dipinggirkan dari

gereja dan masyarakat terkhusus para perempuan, terkait dengan konteks kepemimpinan,

Russell, memunculkan sebuah gaya/model kepemimpinan perempuan yang adil gender yang

bisa mengakomodir semua orang dalam komunitas. Hal ini didasari oleh konsep kesetaraan

gender sebagai manusia yang utuh. Dalam rangka mewujudkan kepemimpinan feminis,

penulis melihat bagaimana Russell mempersiapkan sebuah komunitas iman yang bisa

mendukung gaya kepemimpinan tersebut. Komunitas iman yang demikian disebut sebagai

ekklesiologi feminis. Selain itu, untuk menggambarkan gaya/model kepimpinan feminis,

metafora “meja bundar” digunakan untuk menunjukan/menjelaskan sebuah kepemimpinan

yang egaliter sebagai implikasi dari kesetaraan dalam komunitas yang ada. Kemudian untuk

mengenali kepemimpinan feminis, para feminis mengangkat beberapa kisah perempuan di

dalam Alkitab. Sedangkan mengenai seperti apa gaya/model kepemimpinan tersebut, kaum

feminis memberikan beberapa pendekatan yang dapat membantu untuk mengenali dan

memahaminya. Pokok-pokok tersebut penulis uraikan secara singkat, seperti berikut.

7.3.1. Ekklesiologi Feminis

Berbicara tentang ekklesiologi feminis adalah soal hubungan di antara semua orang

dengan konteks di mana terjadi ketidakadilan dan keterpinggiran. Hubungan yang mau

dibangun sangat luas (lintas agama, budaya, gender, dan lain-lain), sehingga gereja dan

dunia menjadi terhubung dalam satu lingkaran persahabatan.66

Penekanannya adalah

66

Letty M. Russell, Church in the Round, Feminist interpretation of the Church, h. 19.

@UKDW

21

mereka yang oleh masyarakat dan agama dipinggirkan, kini duduk bersama melingkari

meja Allah yang penuh keramahtamahan.67

Dalam menjelaskan hal ini, Russell

menggunakan metafora “meja bundar” untuk menggambarkan suatu komunitas

iman/gereja termasuk soal kepemimpinan di dalamnya. Intinya ialah semua orang yang

ada di meja itu menjadi rekan kerja Allah, semua menjadi sederajat atau setara, laki-laki

dan perempuan.68

7.3.2. Kepemimpinan Feminis dalam Alkitab

Untuk mengusung pandangan kepemimpinan feminisnya, kaum feminis menjelaskan

kepemimpinan perempuan sebagaimana yang ditemukan di dalam Alkitab. Russell

melihat beberapa pemimpin perempuan di dalam PL maupun PB untuk menunjukkan

kehadiran kepemimpinan tersebut.69

Dalam PL, Allah telah memanggil dan mengutus

beberapa perempuan sebagai nabi untuk bertindak sebagai pembawa Firman-Nya.

Misalnya, Hulda sebagai nabi perempuan pada zaman raja Yosia (2 Raja-raja 22:11

dst.). Sebelumnya Miryam, saudara perempuan Musa, yang disebut ‘nabiah’ (keluaran

15:20), sedangkan Debora lebih dari seorang nabiah, sebab ia juga ‘memerintah sebagai

hakim’ atas Isreal selama beberapa tahun, menyelesaikan perkara-perkara mereka dan

secara aktual memimpin mereka dalam perang melawan orang Kanaan (Hakim-hakim 4

dan 5).70

Di dalam PB, sejarah jemaat-jemaat, perempuan-perempuan seperti Priskila

mendirikan dan mendukung sebuah “jemaat di rumah mereka” ke mana pun mereka

pindah (bdn. Kisah Para Rasul 18:2). Jemaat rumah adalah permulaan jemaat di sebuah

kota atau distrik tertentu.71

Kemudian, Priskila menjadi misionaris dan pendiri jemaat

rumah yang paling terkemuka pada saat itu.72

Satu hal yang dapat disimpulkan adalah

kepemimpinan perempuan di sini menunjukkan peran ganda mereka baik dalam

67

Ibid, h. 25. 68

Ibid, h. 12. 69

Hal serupa dilakukan juga oleh Fiorenza, Hommes, dan lain-lain. Menurut Hommes, pada umumnya perempuan

dalam Alkitab dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu mereka yang menonjol sebagai pahlawan iman dan

mereka yang tertindas. Ia tambahkan, dalam membahas konteks penulisan Alkitab, kaum laki-laki menjadi normatif

bagi manusia, keadaan ini disebut patriarkis, sikap patriarkis ini menjadi bagian dari konteks Yahudi dan Yunani, atau

suasana dimana PL dan PB itu ditulis. Lihat, Anne Hommes, Perubahan Peran Pria & Wanita dalam Gereja &

Masyrakat, h. 68. 70

Lihat Maria J. Mantik, Mengapa perempuan dipersulit menjadi pemimpin?, h. 34. 71

Elizabeth Schussler Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu, Rekonstruksi Teologis Feminis tentang asal-usul

Kekristetan, h. 234. 72

Ibid, h. 238.

@UKDW

22

sumbangan yang berbentuk materi, maupun sebagai pelaku dalam mendirikan dan

mengembangkan jemaat mula-mula. Oleh kerena itu Fiorenza melihat bahwa dasar bagi

struktur organisasi yang terbangun pada saat itu adalah sebuah kultus keagamaan atau

perhimpunan pribadi jemaat setempat yang mengakui peran yang sederajat/setara bagi

semua anggota, laki-laki dan perempuan.73

Dengan mencermati apa yang menjadi bagian dari panggilan Allah bagi perempuan-

perempuan di dalam Alkitab seperti yang sudah digambarkan di atas, maka penulis

memahami bahwa kepemimpinan feminis yang dimaksudkan adalah bagaimana

keterlibatan perempuan-perempuan dalam berbagai bidang dan jabatan/profesi di zaman

itu. Itu artinya, kepemimpinan dimaksud bukan hanya soal gaya/model tertentu

melainkan bagaimana menunjukan kemampuan yang sama/setara dengan laki-laki. Hal

ini menjadi catatan penting dalam konteks budaya saat itu dimana perempuan tidak/sulit

diterima sebagai seorang pemimpin.

7.3.3. Kepemimpinan “Meja Bundar”

Kepemimpinan feminis yang dimetaforakan dengan kepemimpinan “meja bundar”,

sebagai visi feminis adalah sesuatu yang tidak mudah. Ia menekankan perlunya

keramahtamahan Allah untuk melawan sistem yang membatasi tempat duduk di antara

meja. Ini memerlukan upaya membongkar meja-meja di rumah tuan-tuan, sebagaimana

Yesus membongkar meja-meja para penukar uang dan pedagang merpati di bait suci

yang dikisahkan dalam injil Matius 21:12-17. Hal pokok yang ditekankan Russell

tentang kepemimpinan dalam lingkaran (meja bundar) adalah bagaimana bergerak ke

luar dari tradisi dan aturan dari otoritas yang dominan dan menekankan otoritas yang

dibagikan dalam komunitas. Ini tidak berarti menolak kebutuhan akan organisasi dalam

kehidupan gereja dan karunia-karunia Roh Kudus. Kuasa atau karunia yang Allah

berikan dalam gereja lokal, regional, nasional, internasional perlu diakui dan diorganisir

bagi pekerjaan Allah untuk keadilan dan pembebasan yang baru. Intinya bahwa

kepemimpinan akan sungguh-sungguh menjadi sebuah lingkaran ketika bisa berfungsi

membawa Panggilan Yesus untuk membuat semua orang diterima sebagaimana

mereka/bersama-sama mengelilingi meja Tuhan, sebagai ciptaan baru.74

Pada

prinsipnya, kepemimpinan “meja bundar” menegaskan sebuah situasi/kondisi dalam

73

Ibid, h. 240. 74

Letty M. Rusell, Church in the Round, Feminist interpretation of the Church, h. 73-74.

@UKDW

23

kepemimpinan dimana semua orang, laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan,

peluang yang setara/sederajat sehingga tidak ada yang dominan. Itulah konsep

kepemimpinan feminis.

7.3.4. Prinsip dari Gaya/model Kepemimpian Feminis

Pada bagian yang terakhir ini, Russell menyoroti soal “pemimpin feminis yang

sungguh-sungguh hidup”. Karena itu perlu untuk melihat model-model pemimpin yang

memiliki kepemimpinan terlatih yang dapat menunjukan suatu gaya dari kebiasaan

memimpin, tutur Russell.75

Sebelum melihat bagaimana Russell menjelaskan hal

tersebut, penulis terlebih dahulu menjelaskan (dengan sederhana) tentang apa itu

feminis, apa tujuannya, dan bagaimana menjadi seorang feminis. Feminis adalah suatu

kata yang bernuansa advokasi atau pembelaan.76

Pembelaan bagi mereka yang

didiskriminasikan dan diperlakukan tidak adil karena dominasi tertentu. Dengan

demikian, tujuan kaum feminis adalah bagaimana membebaskan baik laki-laki maupun

perempuan dari dominasi kaum laki-laki dan mengangkat pandangan serta nilai kaum

perempuan ke dalam kesadaran masyarakat agar berkembang suatu hubungan baru

berdasarkan kesamaan tingkat/kesederajatan (artinya, bagaimana memperjuangkan suatu

cara berpikir yang inklusif).77

Menurut Aquarini Priyatna Prabasmoro, menjadi seorang

feminis merupakan proses panjang yang muncul dari berbagai rasa sakit dan kepahitan

atas ketimpangan yang berlangsung di dalam tatanan masyarakat (baik di rana publik,

maupun di domestik/ rumah tangga).78

Dengan demikian, model kepemimpinan feminis

adalah kepemimpinan yang menunjukkan keberpihakan kepada semua orang dalam

komunitas, khususnya kepada mereka yang dipinggirkan, untuk dapat mewujudkan

sebuah keadilan (gender).

Russell memberikan tiga cara/pendekatan dalam mengenal model kepemimpinan

tersebut. Pendekatan pertama adalah berpikir tentang perempuan yang menjadi model

bagi kita dan apa yang mereka pikirkan tentang kita. Artinya pemimpin yang diharapkan

adalah yang dapat memikirkan mereka yang terpinggirkan dalam gereja. Inilah

pemimpin feminis sebagai sebuah model bagi komunitas iman secara umum maupun

75

Ibid, h. 67. 76

Ibid, h. 22. 77

Marie C. Barth Frommel, Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu, Pengantar Teologi Feminis, h. 9. 78

Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kata Pengantar, dalam Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, Pengantar paling

komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis, h. xiii.

@UKDW

24

bagi kaum feminis itu sendiri. Pendekatan kedua adalah menunjuk pada contoh-contoh

tentang kepemimpinan dimana otoritas dilatih melalui komunitas dalam solidaritas

dengan mereka yang terpinggirkan. Berbeda dengan pendekatan pertama, pemimpin

pada pendekatan kedua justru dibentuk oleh komunitas khususnya mereka yang

terpinggirkan. Dengan cara yang demikian pemimpin memiliki otoritas dalam

kepemimpinannya. Sedangkan pendekatan ketiga adalah berbicara tentang sifat feminin

dari kepemimpinan perempuan dan bagaimana kontribusi mereka terhadap gaya baru

kepemimpinan dalam gereja.79

Dengan demikian, prinsip dari gaya atau model

kepemimpinan feminis mendukung kepemimpinan feminis yang digambarkan dengan

kepemimpinan “meja bundar”. Kedua pokok ini menjadi inti landasan teori yang penulis

gunakan dalam penulisan (tesis) ini. Adapun penulisan ini dijabarkan dalam sitematika

penulisan sebagai berikut.

8. Sistematika Penulisan

Penulisan ini akan dirumuskan dalam kerangka sitematika penulisan sebagai berikut:

Bab I

Bagian ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, kerangka teori, dan sistematika

penulisan.

Bab II

Bagian ini berisi gambaran umum kepemimpinan perempuan di Bali (kepemimpinan secara

umum), kepemimpinan perempuan pendeta di dalam jemaat GKPB dan di jabatan strategis

sinode. Di sini akan disajikan hasil analisa lapangan seputar hal-hal yang mempengaruhi

(yang tidak mendukung atau sebaliknya) perempuan pendeta untuk meraih kursi jabatan

strategis di sinode GKPB.

Bab III

Bagian ini berisi teori tentang kepemimpinan berprespektif feminis (gaya kepemimpinan

perempuan yang adil gender), sebuah kontribusi bagi GKPB terhadap konteks dimana

kepemimpinan pada jabatan strategis di sinode sulit diraih oleh perempuan pendeta. Dan

bagaimana penemuan di lapangan bisa memperkaya pandangan kepemimpinan feminis dari

kaum feminis sehingga pandangan mereka menjadi relevan, tidak saja di Eropa/Barat.

Bab IV

Bagian ini berisi kesimpulan hasil penelitian dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian

serta beberapa rekomendasi bagi lembaga pendidikan teologi, gereja, dan pemerintah, serta

kaum perempuan (perempuan pendeta), dalam rangka menjawab pergumulan GKPB.

79

Letty M. Russell, Church in the Round, Feminist interpretation of the Church, h. 67.

@UKDW