Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Sampek Dayak Kenyah di Desa Pampang Dalam Samarinda Utara
Oleh: Eli Irawati1 dan Kustap2
Abstract
This study takes an object Sampek Dayak Kenyah village Pampang In Samarinda who is still alive and thriving in the middle of the bustle of the city of Samarinda. This study is focused on collecting research about the origin of the existence of Dayak Kenyah, trust Dayak Kenyah, the origin of existence Sampek music, musical relationship sampek with Kenyah Dayak community life in the village Pampang, and how to play music Sampek. Research using qualitative method with descriptive writing Analytical and using Ethnomusicologis approach. Results of the study revealed that the presence Sampek music is closely related to people's daily lives Pampang In that until now still believe in the strength of Bungan Malan as the ruler of the region. Sampek music creation can not be separated from the folklore Lawe which represented the musical element in the game Sampek.
Keywords: Sampek, Dayak Kenyah, Pampang Village, Ethnomusicologis.
Pendahuluan
Suku Dayak Kenyah merupakan termasuk dalam sub suku Dayak Apokayan yang
mendiami wilayah di Kalimantan Utara, Kalimantan Timur dan Malaysia bagian Timur. Dayak
sebagai suku mayoritas yang mendiami wilayah Kalimantan khususnya Kalimantan Timur
mempunyai jumlah sub suku yang beragam. Asal mula Penduduk Dayak Kenyah diperkirakan
berawal dari migrasi Pra-Melayu Asia Tengah ke Asia Tenggara pada tahun 2500 SM dan 1500 SM dan
migrasi Proto Melayu yang datang dari Annam di Daerah Cina selatan pada jaman perunggu abad ke-4 SM.
Jalur perpindahan penduduk Proto-Meiayu, melalui Kamboja, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia dan
berlanjut ke Filipina, Melanesia dan Polynesia.
Kata dayak sendiri berasal dari kata ’daya’ dalam bahasa Dayak Iban mempunyai arti
kekuatan, nama dayak digunakan masyarakat Kalimantan Timur untuk menyebut suku yang
tinggal di pedalaman/hulu sungai mahakam, orang yang ditinggal di gunung/bukit biasa juga di
sebut orang bukit, dan juga untuk menyebut penduduk asli yang bukan beragama Islam
1 Staf pengajar jurusan Etnomusikologi, FSP ISI Yogyakarta, email: [email protected] Staf pengajar jurusan Musik, FSP ISI Yogyakarta.
1319
(Coomans, 1982:2). Dayak Kenyah dibagi-bagi lagi menjadi beberapa sub-sub suku kecil
diantaranya adalah, Suku Lepo Tau, Lepo Tukung, Lepo Timay, Lepo Jalan, Lepo Kulit Uma
Baka dan Uma Lung. Suku ini mendiami beberapa wilayah Kota Madya dan Kabupaten yang
ada di Kalimantan Timur yaitu di Kota Madya Samarinda, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kabupaten Bulungan, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kabupaten lainnya di
Kalimantan Timur. Diantara wilayah tersebut di Kota Madya Samarinda khususnya Desa
Pampang terdapat Suku Dayak Kenyah dari berbagai sub-sub suku yang membaur hidup
bersama. Walaupun mereka dari sub-sub suku yang berbeda tetapi mereka menyadari bahwa
mereka memiliki rumpun dan leluhur yang sama, sehingga tetap menjunjung tinggi adat istiadat
yang diwariskan leluhur. Kesadaran sebagai penerus bagi perkembangan seni dan budaya leluhur
pedalaman Kalimantan Timur, khususnya suku Dayak Kenyah tetap mereka pertahankan
ditengah arus globalisasi.
Desa Pampang merupakan sebuah desa budaya yang masih melestarikan tata cara tradisi
turun temurun nenek moyang suku Dayak Kenyah, desa ini terletak di Kelurahan Sungai Siring,
Kecamatan Samarinda Utara. Desa Pampang terbagi menjadi dua desa yaitu desa Pampang Hulu
yang dihuni oleh suku pendatang dari Bugis, Banjar, Kutai, Jawa, dan pendatang lainnya.
Sedangkan Desa yang dihuni oleh suku Dayak Kenyah adalah desa Pampang Dalam. Pampang
sendiri berasal dari kata pampang (dari bahasa suku Dayak Benuaq) yang berarti Cabang. Hal
ini kemungkinan dilihat dari lokasi desa Pampang yang terletak di antara sungai Karang Mumus
dan sungai Pampang. Desa Pampang oleh pemerintah Kota Madya Samarinda dijadikan sebagai
salah satu desa budaya karena kehidupan masyarakatnya sangat menjunjung seni tradisi
khususnya seni pertunjukan dan seni rupa.
Kehidupan masyarakatnya masih menganut tradisi leluhur dan kepercayaan dari nenek
moyang, termasuk dalam hal berkesenian. Hal ini mereka lakukan agar keharmonisan dalam
hubungan dengan sang Pencipta/Bungan Malan yang menguasai seluruh penguasa baik itu
penguasa atas ataupun penguasa bawah dan juga dengan sesama dapat tercipta. Kepercayaan
Samanisme merupakan awal dari kepercayaan Bungan Malan Paselong Luan yang menyatu dalam segala
segi kehidupan suku Dayak Kenyah. Siklus kehidupan (kelahiran, dewasa, dan kematian) tergambar dalam
upacara-upacara ritual kepercayaan Bungan Malan. Musik merupakan bagian dari ritual yang merupakan
sarana untuk menghubungkan diri dengan yang Mutlak (Bungan Malan Paselong Luan). Totemisme
banyak kita jumpai sebagai perwujudan dari menghormati para penguasa jagad raya tersebut.
1320
Sebagai contoh penguasa atas mereka lambangkan dengan burung Enggang, sedangkan penguasa
bawah mereka lambangkan dengan naga. Perwujudan itu menjadikan menarik apabila kita lihat
dari visual instrumen Sampek yang penuh dengan totemisme.
Seni pertunjukan tradisional mempunyai kaitan erat dengan aspek-aspek lain dalam
kehidupan mereka. Hal ini terlihat dari penggunaan musik Sampek di desa Pampang Dalam yang
dapat menopang aspek-aspek kehidupan tersebut diantaranya adalah aspek ekonomi, budaya,
agama, bahasa, politik, sosial dan lain. Kesenian yang dimiliki masyarakat Dayak Kenyah di
desa Pampang Dalam menjadi bagian dalam upacara adat dan keagamaan, dimana kedudukannya
terangkum dalam kesatuan utuh pada rangkaian upacara yang tidak pernah terlepas dari unsur-
unsur seni seperti halnya musik Sampek. Sampek bagi masyarakat Dayak Kenyah yang ada di
desa Pampang Dalam adalah merupakan salah satu instrumen petik khas suku Dayak Kenyah
yang mempunyai dawai serta dimainkan dalam setiap acara baik formal maupun informal.
Kegiatan apapun yang berhubungan dengan upacara atau hiburan tidak terlepas dari iringan
Sampek, seperti mengiringi tarian Hudoq untuk upacara melas tahun, hiburan pada saat panen
raya, menyambut tamu dan lain sebagainya. Salah satu keunikan yang dimiliki oleh Suku Dayak
Kenyah di desa Pampang Dalam adalah dapat kita jumpai permainan Sampek yang dimainkan
oleh para penduduk setempat dari anak-anak sampai dewasa. Penelitian ini lebih difokuskan
pada pencarian data tentang asal usul keberadaan musik sampek dayak kenyah, hubungan musik
sampek dengan kehidupan masyarakat dayak kenyah di desa Pampang, dan cara memainkan
musik Sampek. Penelitian ini tergolong ke dalam penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode penulisan secara deskriptif Analitik dan untuk mengupas permasalahan menggunakan
pendekatan Etnomusikologis.
Sekilas Tentang Suku Dayak Kenyah di Desa Pampang
Menurut penutur Pelaing La-ang, informan tertua dari suku Kenyah Lepo Tukung, dikatakan
bahwa nenek moyang mereka datang dari seberang laut yang mula-mula menetap di Telang Usan sungai
Baram Serawak, selama tujuh generasi, kemudian berpindah ke Apo Data di hulu sungai Iwan, menetap
selama delapan generasi, kemudian mereka pindah ke Apo Kayan setelah suku Bahau pindah ke pinggir
sungai Mahakam. Perpindahan Dayak Kenyah dari Apo Data sungai Iwan ke Apo Kayan terjadi sekitar
abad ke-18 (Devung, 1985: 24).
1321
Menurut Baya' U', nenek moyangnya datang dari seberang lautan, dan menetap di Sungai Baram
daerah Telang Usan di Serawak selama 12 generasi. Baya' U' menyebutkan bahwa ada 24 generasi setelah
penyebaran suku Kenyah dari seberang laut, yang terurut sebagai berikut: (1) Julang Awang dari laut, (2)
Ubang Julang menetap di sungai Baram, (3) Kelawa Ubang, (4) Gela Kelawa, (5) Aka Gela, (6) Lurek Aka,
(7) Apui Lurek, (8) Lecau Apui, (9) Masing Lecau, (10) Lafng Masing, (11) Batang alng, (12) Batu batang,
(13) Suhu batu (antara ±1700-1750), Apau Kayan menetap di sungai Iwan, (14) Lecau Suhu (±1730-1800)
di Laleng Bawal, (15) Kajan Lecau, (16) Bungan Kajan, (17) Asa (Tasa) Bungan, pindah ke Ikeng Iwan,
(18) Ngau Tasa, (19) Anye Ngau, Ungau Kayan (±1820-1825) pindah ke Apau Kayan, Usan Ngau, (20)
Surang Anye' (±1825-1890) menetap di Long Nawang, (21) Ingan Surang (±1865-1890) di Long Nawang,
(22) Lecau Ingan (±1893-1947), (23) LI'Lencau (±1949-1969), Bit Encuk (1970-1981) Pare' Lalng (1981-
1993) kepala adat di Apau Kayan saat Ini, dan (24) Baya Li' (Lawai, 1999: 341-350).
Perpindahan Suku Bakung (Lukas Lahang dan Bilung Njau, 1999: 260) diperkirakan berasal dari
Long Peyuen (gambar 6), yang terletak di sungai Belaga di bagian Serawak, kemudian mereka pindah lagi
ke Long Abung daerah sungai Baram di Serawak. Selanjutnya mereka pindah ke hulu sungai Bahau daerah
Alo Bakung, dan menetap di Lasan Adiu. Suku-suku Kenyah yang berada di daerah Lasan Adiu, masih
menggunaka bahasa dan nama suku yang sama yang disebut Kenyah. Setelah pindah dan berpencar dari
daerah Lasan Adiu, muncullah nama-nama suku dan bahasa yang baru yang disesuaikan dengan nama
tempat pemukiman yang baru. Di Lasan Adiu terjadi perpecahan yang menyebar berpindah ke dua daerah,
yaitu ke daerah Telang Usan (Sungai Baram) dan daerah sungai Iwan. Penduduk yang pindah ke daerah
Telang Usan, sejarahnya belum ditelusuri, sedangkan yang berpindah ke sungai Iwan terbagi-bagi lagi,
yang salah satunya berpindah ke sungai Pujungan dipimpin oleh Imo Apuy, dan menetap di Long Bakung,
yang kemudian kelompok ini disebut dengan Suku Bakung (Lukas Lahang dan Bilung Njau, 1999: 262).
Karena terjadi pengayauan (serangan) oleh suku Nyibun terhadap Imo Apuy, dan meninggal dunia, maka
kelompok Bakung pindah menuju daerah Apau Kayan yang dipimpin Imang Apuy adik dari Imo Apuy.
Perpindahan ini menempati tiga lokasi baru, yaitu: Long Ta'a Bu et# Long Ta'a Doa' dan Nana Janging yang
terletak di sungai Iwan berdekatan dengan Long Suhen (1830). Dari tempat inilah mereka menuju Long
Klasa di sungai Metun .
Sekitar tahun 1830, suku Bakung ditawarkan lokasi di daerah Long Klasa oleh suku Kenyah Lepo',
dan diterima. Di Long Klasa suku Bakung hidup bersama dengan suku-suku lainnya dengan cukup baik.
Namun demikian di Apau Kayan daerah Long Klasa pemimpin suku Bakung Imang Apuy tetap merasa
bermusuhan dengan suku-suku lain, yang akhirnya membawa pertikaian, sehingga beberapa suku lainnya
1322
pindah ke hulu sungai Kayan. Dari Long Klasa, suku Bakung terpencar ke lima daerah, yaitu ke Batu
Pelem, Long Tepayan, sungai Payau, Belahu Bali dan Long Keli'it. Pada sekitar tahun 1850, kelompok
Kenyah Bakung yang berada di Sungai Payau di bawah pimpinan Ilun La'ing diserang oleh beberapa suku
di sekitarnya, yang mengakibatkan kekalahan besar, bersama dengan itu Ilun La'ing meninggal dunia.
Sementara itu suku Bakung yang masih berada di daerah Tengah dan sungai Payau, dengan terpaksa hidup
berdampingan dengan suku-suku lainnya. Pada waktu berikutnya suku Bakung mulai berkumpul kembali
di Lalut Paro'. Setelah beberapa tahun kemudian terjadi perselisihan antara kaum paren (bangsawan),
sehingga suku bakung terpecah lagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama, kembali ke Long Keli'it yang dipimpin oleh Undau Ncuk dan sebagian
menetap di Tengah yang dipimpin oleh Lusat Encau. Kelompok yang berada di Long Keli'it kemudian
pidah ke daerah sungai Metun, dan menetap di Long Siliyai Apo Iman. Beberapa waktu kemudian
kelompok terpecah lagi ke dua lokasi, yaitu ke Long Metun (dipimpin oleh Undau Ncuk), dan sungai
Anai. Tahun 1983, masyarakat Long metun pindah ke Sajau Metun, sedangkan masyarakat Sungai
Anai pindah ke Long Unay ( Serawak ) pada tahun 1985-1995. Pada tahun 1992, sisa masyarakat sungai
Anai bergabung dengan Long Metun. Pada tahun 1900, di Tengah terjadi perpecahan suku Bakung
menjadi tiga kelomok, yaitu kelompok pertama pindah ke Long Payau, kelompok ke dua pindah ke Long
Ban di Sungai Anye', dan kelompok ke tiga pindah ke Long Poh yang dipimpin oleh La'ing Imang
melalui sunagi Metun. Menurut cerita, pada saat itu pimpinan suku Bakung Gung Ajang sempat
membanting sebuah gong kuno hingga hancur dengan maksud menyatakan, bahwa suku Bakung
hidupnya selalu berpencar-pencar.
Pada tahun 1930-1940, kelompok suku Bakung yang berada di Long Payau terpecah menjadi tiga
kelompok. Kelompok pertama, pindah ke Long Metulang di sungai Ogah, kelompok kedua, pindah ke
Mahak di sungai Bon, dan sisanya bertahan di Long Payau. Sekitar tahun 1940, kelompok di Long Ban
terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, pindah ke Long Metulang, dan kelompok kedua ke
Dumu cabang sungai Boh. Pada tahun 1970-1972, Masyarakat di Long Metulang menyebar berpindah ke
dua daerah. Sebagian pindah ke Long Singot di sungai Baleh (Serawak), dan sebagian lagi pindah ke Data
Bilang di sungai Mahakam.
Pada tahun 1990, masyarakat yang masih tinggal di Long metulang pindah ke Long Singot, dan
sebagian lagi pindah ke Data Bilang. Kelompok suku bakung yang berada di Dumu pindah ke Tubun
dan kemudian ke Mahak Baru. Pada tahun 1972, sebagian masyarakat Mahak Baru pindah ke Mekar
Baru di Sungai Mahakam. Pada tahun 1973, dari Long Payau keluarga Peleting Apuy dan warga suku
1323
Bakung lainnya, pindah ke Mahak Baru, dan selanjutnya pada tahun 1983 pindah ke desa Pampang.
Warga Pampang lainnya adalah suku Bakung dari Datah Bilang (Wawancara dengan Peleting Apuy di
desa Pampang, Juni 2015). Suku Kenyah mulai berpindah-pindah tempat sejak abad ke-18 yang berawal
dari daerah Serawak sampai ke Apau Kayan yang disebabkan empat alasan. Alasan pertama adalah
keamanan yang terganggu dengan ajaran adat puon dalam agama Bungan yang selalu melaksanakan
ngayau (perang) sebagai syarat dalam upacara mamat. Alasan kedua, kepercayaan dalam agama Bungan
tentang amen-amen (larangan-larangan) yang menyatakan isyarat-isyarat buruk di tempat mereka
bermukim.
Alasan ketiga, adalah tekanan penduduk yang menyebabkan lahan perladangan dan daerah
perburuan semakin sempit. Alasan keempat, persaingan antara paren (kaum bangsawan) dalam
mengambil keputusan untuk menentukan kebijakan (Uman Lawai, 1999: 351). Oleh karena itu
perpindahan penduduk suku Kenyah dikarenakan beberapa alasan yaitu lingkungan, sosial dan religius.
Lahan di daerah pemukiman tidak subur lagi, sengketa antara kepercayaan Bungan dan agama Kristen,
serta aspek ekonomi yang semakin sulit.
Kepercayaan Suku Kenyah di Desa Pampang
Kepercayaan orang Dayak bersifat sinkretisme; ada yang berasal dari kepercayaan Shamanisme
Asia, Hinduisme, Budhisme dan Islam. Mitos-mitos penciptaan merupakan salah satu warisan dari
kepercayaan Shamanisme, yang juga berkaitan dengan pemujaan arwah para leluhur. Shamanisme
merupakan istilah yang berasal dari Asia Utara dan Tengah, dari bangsa Tungus di Siberia. Kata shaman
muncul sebagai penomena psikologis dan juga religius. Kata shamanisme ini mula-mula diperkenalkan
dalam literatur-literatur oleh para ahli Eropa Timur dalam abad ke-17. Eliade mendefinisikan shamanisme
sebagai suatu teknik ekstase (Eliade, 1974: 4), dijelaskannya bahwa pelaku ekstase disebut sebagai shaman
yang dalam tindakannya adalah menari-nari, menyanyikan lagu-lagu pujian, dan mengucapkan mantra-
mantra terhadap roh-roh orang yang telah mati, dalam waktu yang cukup panjang. Kulminasi dari keadaan
ini, bahwa shaman kehilangan kesadaran, dan pada saat ini jiwanya meninggalkan tubuh menuju dunia atas
dan dunia bawah. Situasi yang demikian memberikan kesempatan pada roh-roh orang yang telah
meningggal untuk menempati tubuh si shaman.
Roh-roh yang datang menempati tubuh shaman dapat berupa roh-roh baik atau roh-roh jahat.
Shaman yang telah ditempati roh-roh tersebut mempunyai kemampuan untuk mengucapkan kata-kata
dengan bunyi-bunyi suara yang bervariasi. Bunyi suara dalam perlakuan ekstase sering berlainan dari suara
1324
shaman dalam keadaan sadar diri. Ucapan-ucapan shaman dalam ekstase berbentuk mantra-mantra dan
ramalan-ramalan kesembuhan. Sementara shaman mengucapkan kata-kata, lidah dan bibir shaman
nampaknya tidak bergerak. Dalam keadaan demikian shaman berfungsi sebagai alat pembicara roh-roh
orang yang menempati tubuhnya. Karena itu ekstase biasanya dilaksanakan dalam upacara-upacara
penyembuhan. Upacara tradisi shamanisme mempergunakan gendang yang merupakan instrument musik
sakral. Penggunaan gendang-gendang dan instrument lain seperti gong, kecrek dalam musik magis ini tidak
terbatas pada saat kerasukan.
Pada suku Kenyah, shaman diartikan sebagai balian atau dayung (dukun). Dengan penjelasan,
bahwa balian atau dayung adalah orang yang bisa memelihara bali (roh) yang dapat menghubungkan
dunia kekinian dan dunia roh. Roh tersebut memasuki roh orang yang memilikinya (balian) dengan
perilaku yang seolah-olah bukan perilaku asli orang tersebut (kerasukan). Di waktu perilaku aneh ini,
roh menyampaikan pesan-pesan atau memberitahukan cara-cara pengobatan atau penghapusan segala
pengaruh dari roh-roh jahat. Pesan-pesan dalam upacara balian atau dayung, dalam keadaan bawah-sadar
diikuti oleh para keluarga yang meminta petunjuk. Upacara balian atau dayung, biasanya diiringi alat
musik jatung utang dan gong. (Ngindra, 1999: 383-384).
Dalam peradaban suku Kenyah, terdapat mitos yang menceritakan tentang dewi perempuan yang
bernama Bungan Malan, yang menciptakan manusia dari pohon ara. Pohon ara tercipta menjadi manusia
setelah dibuahi oleh angin yang masuk ke tanaman yang merambat melalui sebuah torehan pada pohon ara.
Dari mitos ini, pohon ara dilambangkan sebagai pohon kehidupan (kayu udep) bagi manusia (Ukur, 1994:
7). Sebelum memasuki uraian mengenai agama Bungan, perlu juga diketahui kepercayaan suku Kenyah
sebelum yaitu kepercayaan amen-amen (pantangan-pantangan) atau adat upon (pertanda-pertanda). Di
dalam amen-amen atau adat upon, secara garis besar mengajarkan bahwa semua benda yang masih hidup
maupun yang sudah mati mempunyai roh. Roh manusia yang masih hidup di dalam dunia kekinian disebut
berua, sedangkan roh manusia yang meninggal dengan tidak sewajarnya disebut jaka. Kepercayaan amen-
amen Ini muncul dari alam sekitar yang berupa bunyi burung elang, pelak! (heliastur Indu|arah terbang
sejenis burung, /s/r. (Arachnothera crassirostris)', bunyi isejenis burung kecil, kilng; bertemu sejenis
burung kecil lain, telajan; bertemu musang, buning (arctogalidia trivlrgata); bertemu dengan sejenis ular
kecil yang ekor dan kepalanya berwarna merah dan bergaris putih sepanjang tubuhnya, enjong ulei iban;
munculnya sejenis mamalia kecil, duk talon (nycticebus ccoucan); bunyi kijang, uca' (muntiacus muntjac);
bunyi rusa, payau (cervus unicofor). Kepercayaan amen-amen ini bertahan hingga tahun 1932 (Ngindra,
1999: 379.).
1325
Agama Bungan diperkenalkan oleh seorang suku Kenyah Lepo' Jalan bernama Jok Apuy, sekitar
tahun 1947 (Lawai, 1999: 337). Agama ini disebut agama Bungan Malan, yang merupakan reformasi dari
kepercayaan amen-amen atau adat upon. Inti pengajaran Bungan Malan adalah percaya kepada Bungan
Malan Paselong Lua (dewi-dewa pencipta tertinggi). Upacara ibadah langsung dilakukan dengan berdoa
kepada Bungan Malan Paseiong Luan dengan mempersembahkan sebutir telur ayam, sebagai pengganti
segala macam hewan kurban (Devung,1985: 33.)
Ada beberapa upacara ritual di dalam agama Bungan, berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
yaitu, kehidupan pertanian, pengobatan, perkawinan, kehamilan, pemberian nama anak, kematian, dan
upacara mamat. Biasanya dalam setiap upacara tadi menggunakan beragam musik tradisional seperti
halnya musik Sampek yang digunakan sebagai iringan dalam upacara perkawinan, menanam padi, dan
memanen hasil lading dan juga untuk keperluan hiburan lainnya.
Asal Usul Musik Sampek Dayak Kenyah
Sejarah secara umum disebutkan bahwa pada abad ke-I M di teluk Persia dan laut Cina, dibuat
kapal-kapal besar yang membuat lalulintas menuju ke Indonesia semakin mudah, sehingga pada abad ke-
3 dan ke-4 M, pedagang India masuk ke Indonesia dan membawa pengaruh agama Hindu yang
memunculkan beberapa kerajaan, salah satunya kerajaan kutai di kalimantan timur. Begitu juga dengan
pengaruh agama Budha yang memunculkan beberapa kerajaan besar seperti di nusantara. pengaruh
agama yang dibawa oleh para pedagang dan juga kaum brahmana tersebut membawa imbas yang sangat
besar bagi kebudayaan di tanah air, baik itu yang berupa tangible maupun intangible.
Salahsatu peninggalan yang sangat tersohor sampai saat ini adalah beberapa buah candi seperti
prambanan, borubudur, boko, dan lain sebagainya. Seperti yang tampak pada bangunan Candi Borobudur
terdapat bermacam-macam relief alat musik, dan salah satunya adalah alat musik yang hampir mirip
dengan Sampek (Prier, 1991: 78). Beberapa wilayah Asia tenggara terdapat pula instrumen yang
menyerupai sampek misalnya di Kamboja terdapat alat yang disebut chap-pey, di Pilipina daerah Mindano
disebut kudyapi, dan di daerah Palawan disebut kusyapig (Maceda, 1980 : 643-647). Di Burma daerah Mon
terdapat alat musik yang disebut mi-gyaun bersenar tiga, sedangkan di Thailand disebut chakay bersenar
tiga. Begitu pula di Indonesia terdapat alat musik yang sejenis dengan sampek misalnya di Makasar
terdapat alat musik kacapi (bahasa Makasar) atau kacaping bahasa (bahasa bugis) yang memiliki dua senar
(Kartomi, 1985: 39). Di Jawa Barat terdapat beberapa alat musik sejenis; kacapi-indung yang memiliki
delapan belas senar, kacapi-rincih (kacapi anak) bersenar lima belas, kacapi-siter bersenar dua puluh
1326
sampai dengan dua puluh empat (Kartomi, 1985: 342-370). Di Aceh terdapat kacapi bambo (bahasa suku
alas) bersenar empat, dan faganing (bahasa suku gayo) bersenar tiga (Kartomi, 1985: 342-370). Di
Sumatera Utara, suku Batak Toba terdapat alat musik yang disebut hasapi bersenar dua, dan suku Batak
karo disebut kulcapi bersenar dua (Kartomi and Moore, 1984:447), demikian pula di Kalimantan Timur
terdapat alat musik yang sejenis dengan alat musik sampek Suku Dayak Bahau dan Dayak Lundaye
menyebutnya sampe' (dalam bahasa kayan), sedang suku Dayak Modang menyebutnya sempe, suku
Dayak Kenyah Lepo Ma'ut menyebutnya sambi', suku Dayak Kenyah yang tinggal di Pampang
menyebutnya Sampek. Di Kalimantan Tengah terdapat alat musik petik bersenar dua yang disebut kacapi,
sedangkan di Kalimantan Barat suku Dayak Iban menyebutnya Sampek (Wawancara dengan Ajang Alung,
2015).
Menurut salah seorang narasumber Dayak Kenyah suku bakung yaitu Ajang Alung disebutkan
bahwa proses penciptaan musik sampek terungkap dalam cerita rakyat (tekena) yang berjudul lawe. Pada
suatu malam seorang pemuka adat suku Dayak Kenyah bermimpi sedang berada di halaman lamin, ia
mendengar bunyi-bunyian yang indah dan merdu dari dalam lamin yang melantunkan urutan hitungan
dalam bahasa dayak kenyah yaitu se due telu lema nem (satu, dua, tiga, lima, enam) berulang selama lima
kali. Lalu dalam mimpi tersebut ia masuk ke dalam lamin dan melihat ada seseorang sedang memainkan
instrumen musik dan sang pemimpi tersebut bertanya alat musik apakah itu dan langsung dijawab orang
tersebut dengan lantang yaitu bermain Sampek.
Setelah terjaga lalu sang pemimpi berusaha mengingat-ingat mimpinya, bunyi-bunyi yang
didengarnya, dan bentuk alat yang dilihatnya. Lalu pemimpi tersebut membuat alat dari kayu lelutung dan
senarnya terbuat dari rotan. Pemimpi tersebut berusaha membuat bunyi se due telu lema nem berulang-
ulang dengan meletakkan potongan rotan di bawah senar rotan sambil membanding-bandingkan bunyi
hingga persis dengan lima bunyi dalam mimpinya. Akhirnya, pemimpi tersebut berhasil menciptakan alat
musik yang diberi nama sampek. Melihat sepintas dari apa yang dikemukakan di atas sangat sulit untuk kita
mengatakan bahwa sampek adalah instrumen asli dari dayak kenyah, mengingat di daerah lainnya juga
terdapat instrumen sejenis. Hanya saja sampek yang ada pada dayak kenyah berkembang sampai sekarang
sesuai dengan kreativitas yang dimiliki oleh para seniman setempat.
Hubungan Musik Sampek dengan kehidupan masyarakat Dayak Kenyah
Musik sampek dalam kehidupan masyarakat dayak kenyah di desa Pampang berkaitan dengan
salahsatu norma adat yaitu lima tingkatan suen dalam ajaran kepercayaan Bungan Malan Paselong Luan.
1327
Dalam kehidupan masyarakat suku dayak kenyah Kenyah terdapat mitos yang menceritakan tentang dewi
perempuan yang bernama Bungan Malan. Bagi suku Dayak Kenyah musik adalah seluruh bunyi-bunyian
yang berfungsi untuk menghubungkan tubuh dan jiwa-raga kepada yang yang maha kuasa. Musik, bagi
suku Dayak Kenyah sangatlah penting terutama dalam kehidupan mereka, menyangkut upacara adat dalam
kepercayaan Bugan Malan Paselong Luan. Sampek merupakan sarana untuk menyampaikan permohonan
kepada dewa-dewi tertinggi penguasa alam, menyampaikan rasa senang dan kegembiraan atas keberhasian
dalam panen, menyampaikan ungkapan kegembiraan atas kedatangan tamu, menyampaikan ungkapan rasa
sedih dan susah atas kematian dan bencana, dan juga untuk mengekspresikan rasa keindahan yang tertuang
dalam permainan musik sampek. Ada beberapa upacara ritual di dalam kepercayaan Bungan yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yaitu upacara yang berhubungan dengan kehidupan, pertanian,
pengobatan, perkawinan, kehamilan, pemberian nama anak, kematian, dan upacara mamat. Biasanya
dalam setiap upacara tadi menggunakan beragam musik tradisional seperti halnya musik Sampek yang
digunakan sebagai iringan dalam upacara-upacara tersebut. Adapun gambar tingkatan suen tersebut adalah.
Gambar 1. Lima Tingkatan Suen
Salahsatunya dalam upacara mamat yaitu upacara agung yang meliputi upacara penyucian desa,
panen raya, upacara pemenggalan kepala manusia (ngayau) sekarang sudah digantikan dengan kerbau,
upacara sehabis dari berburu di hutan, dan upacara penentuan kedewasaan seseorang. Setiap orang yang
baru pertama kali mengikuti upacara mamat, dilantik (dulus) dengan tingkatan pertama yang disebut lenjau
peti (harimau pisang), seorang yang sudah mengikuti upacara kedua kali, dilantik dengan tingkatan dua
disebut ulu tebengan (kepala burung enggang), seorang yang sudah mengikuti upacara ketiga kali, dilantik
dengan tingkatan ketiga disebut ting pinalungan, bila seseorang tersebut mampu dan menang dalam
berperang, maka suennya dinaikan menjadi tingkat ketiga yang disebut ca terga, dan selanjutnya jika masih
berprestasi akan meningkat ke tingkat empat yang disebut dua tingpinalungan. Tingkat suen tertinggi
1328
adalah tingkat lima yang disebut telu terga. Seorang yang mencapai tingkatan suen tertinggi diperkenankan
memakai bluko (topi yang dihiasi dengan dua helai bulu ekor burung enggang). Tingkatan pada suen tidak
mempengaruhi status sosial dalam masyarakat suku Kenyah. Lima tingkatan suen merupakan lambang
tingkat keberhasilan seseorang dalam dalam mengikuti upacara mamat.
Dari konsep kehidupan tadi dapat kita lihat pula dalam urutan nada dalam instrumen Sampek
dimana memiliki kemiripan dengan tingkatan suen tersebut. Mengingat proses dari keberadaan sampek
yang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat kenyah, dimana memainkan sampek untuk pemula harus
bermain di tingkat nada yang oktaf dan nada yang paling rendah, baru kemudian naik satu persatu tingkatan
nadanya. Apabila kita hubungkan konsep suen dengan urutan nada sampek maka akan terlihat, tingkat I
suen sama dengan nada ca pada sampek, tingkat II suen sama dengan nada due' pada sampek, tingkat III
suen sama dengan nada tlu pada sampek, tingkat IV suen sama dengan nada lema pada sampek, dan
tingkat V suen sama dengan nada nem pada sampek, yang apabila kita aplikasikan pada urutan nada dalam
instrumen sampek mirip dengan tingkatan nada solmisasi do, re, mi, sol, la.
Cara Memainkan Instrumen Sampek
Instrumen sampek berasal dari bahasa suku Dayak Kenyah yang berarti alat musik petik bersenar tiga.
Instrumen sampek dibuat secara handmade oleh masyarakat penggunanya sendiri, dalam hal ini seniman
setempat, sehingga antara instrumen yang satu dengan instrumen yang lain mempuyai perbedaan baik dari
segi detil visual maupun kualitas suara yang dihasilkan. Secara garis besar instrumen sampek menyerupai
miniatur perahu dengan ukiran berbagai macam bentuk totem yang diyakini masyarakat setempat memiliki
arti bagi kehidupan mereka. Adapun beberapa bentuk ukiran tadi seperti ornamen burung enggang, burung
isit dan juga naga. Berikut bagian-bagian dalam instrumen sampek.
Gambar 2. Instrumen Sampek
1329
Keterangan gambar:1. Kalong Ulu (Kepala Burung) 8. Laba (senar)2. Poreng (Pemutar) 9. Nden3. Batuk (leher) 10. Pen (ekor)4. Nden (penahan senar) 11. Udep (Kelulut/damar/lem)5. Osa (badan)6. Batek (perut)7. Nden
Sampek secara organologi termasuk jenis chordophone yang mana sumber bunyi yang dihasilkan
berasal dari dawai yang digetarkan. Bentuk ukuran instrumen sampek bervariasi dan biasanya terdiri dari
panjang antara 120 cm sampai dengan 140 cm dan lebar 20 cm sampai dengan 27 cm, dan badan bagian
belakang terbuka tidak diberi papan penutup (Gorlinski, 1988: 77). Badan sampek terbuat dari kayu aran
atau plantan (jelutung) dan bisa juga kayu merang, sekarang bahkan sudah banyak ditemui sampek yang
dibuat dari kayu nangka, sana keling, pule, dan lain sebagainya. Kayu-kayu tersebut digunakan
karena agak mudah dijumai, kualitas suara baik, lebih ringan dan awet. Sepanjang badan bagian
depan diukir dengan motif kepala (kalung ulu) atau ukiran akar bertaut (te/asak). Tiga Senar (nden) terbuat
dari ijuk pohon aren atau enau (iman) yang masing-masing disebut senar satu (taba-leka), senar dua (laba-
kedua), dan senar tiga (laba-tu). Pada abad XX senar sampek diganti dengan kawat baja dan sempat juga
memakai kawat pada rem sepeda. Seiring berkembangnya jaman senar sampek kemudian mengalami
perubahan lagi memakai senar gitar akustik, yaitu untuk senar satu dari bawah memakai nada mi atau E
dan untuk senar kedua dan senar ketiga dari bawah memakai sol atau G.
Bagian berikutnya adalah penahan senar atau fret (nden) yang berfungsi untuk menahan pangkal
senar, dan menentukan posisi nada. Menentukan posisi nada dilakukan dengan cara menggeser nden yang
berada tepat di bawah senar. Nden terbuat dari rotan (uwe) atau bambu (buloq) dengan ukuran panjang 1
cm dan lebar 3 mm. Nden diletakan diatas papan pencet dilem (kelulut) Nden dapat dipindah-pindah
dengan menggeser nden ke posisi nada yang sesuai dengan steman sampek atau sesuai kebutuhan pemain
sampek. Seiring berkembangnya jaman, sekarang banyak kita jumpai sampek yang menggunakan empat
sampai enam dawai yang di stem seperti instrumen gitar. Hal ini dilakukan sebagai
pengembangan untuk mengakomodir kepentingan sebuah komposisi musik agar ciri khas dari
permainan sampek tidak hilang.
Tangga nada Sampek
Musik sampek bagi suku Dayak Kenyah merupakan sebuah sarana untuk mengungkapkan pandangan
hidup yang tertuang dalam nada-nada melodi dan juga syair lagu. Mereka tidak mengenal istilah
1330
tangganada, yang mereka lakukan selama ini adalah hanya tingkatan nada, dari yang rendah sampai ke yang
tinggi. Biasanya dalam sebuah instrumen Sampek memiliki urutan lima nada sesuai dengan konsep
kehidupan yang tertuang dalam papan suen. Musik yang dimainkan dalam instrumen sampek
kebanyaan menggunakan tangganada yang biasa disebut anhemitonik pentatonik. Tangganada ini
biasanya dimainkan untuk jenis lagu-lagu yang bersifat gembira, lincah dan suka cita. Berikut
adalah urutan tangganada anhemitonik pentatonik.
Gambar 3. Tangganada anhemitonik pentatonik pada instrumen sampek
Tetapi ada juga beberapa lagu sampek yang menggunakan tangganada hemitonik pentatonik,
terutama untuk suku dayak Kayan, Iban dan Mbaluh yang berdiam mayoritas di wilayah
Kalimantan Barat. Tangganada hemitonik pentatonik pada Sampek biasanya dimainkan untuk
jenis lagu yang lebih bersifat sedih, syahdu, rindu dan merasa sepi. Berikut adalah urutan
tangganada hemitonik pentatonik.
Gambar 4. Tangganada hemitonik pentatonik pada instrumen sampek
Cara Memainkan Instrumen Sampek
Sebelum memainkan sampek, hal yang pertama kali dilakukan adalah dengan melakukan
penalaan/penyeteman senar (laba) sampek dimulai dengan menentukan terlebih dulu senar satu (laba-leka)
sebagai bunyi (nada) patokan. Nada patokan disesuaikan dengan kebiasan pendengaran para pemain
sampek, tetapi biasanya yang menjadi patokan adalah senar satu lepas dimana nadanya adalah ca atau do.
Nada pada laba-kedua sama dengan nada pada laba-leka, sedangkan nada pada laba-tu berjarak lima dari
nada laba-leka, yaitu nada lema atau sol. Nada ca, due’, tlu, lema, nem atau do re mi sol la, pada sampek
yaitu senar satu lepas nada ca, kemudian memencet senar yang dibatasi oleh nden atau fret pertama
1331
menghasilkan nada due’, lalu memencet senar di fret kedua menghasilkan nada tlu, kemudian memencet
lagi fret ketiga menghasilkan nada lema, serta memencet lagi fret keempat menghasilkan nada nem.
Apabila ingin bermain ke oktaf berikutnya, sisa memencet senar yang berada di nden/fret selanjutnya.
Cara memencet laba atau senar sampek dilakukan memakai tangan kiri dengan cara tekidun yaitu teknik
untuk menghasilkan suara berkesinambungan atau tidak putus, sedangkan tangan kanan bertugas
memetik senar sampek dengan cara memakai jempol ibu jari tangan kanan dengan cara dipetik dengan
ritmis sesuai lagu yang dimainkan. Ritme dalam musik sampek sangat sederhana, dimulai dengan
hentakan kaki pada hitungan pertama dalam setiap birama. Hitungan dimulai dari satu hingga 4, dan
hetakan berat pada hitungan kesatu, hentakan kaki menentukan kecepatan gerakan kaki dalam kancet
(tarian) Dayak Kenyah. Sebagai contoh pada penggalan melodi lagu Datun Julut berikut.
Gambar 5. Salahsatu jenis ritmis musik instrumen sampek
Memainkan instrumen sampek tidak ada aturan baku, sehingga bisa dilakukan secara duduk ataupun
berdiri, tergantung pada acara untuk apa sampek tersebut dimainkan. Secara duduk bisa duduk di lantai atau
juga memakai kursi. Posisi memegang sampek adalah dengan meletakkannya di atas paha sebelah kanan,
memanjang ke samping kiri, dengan posisi miring sekitar 45 derajat. Siku tangan kanan menekuk berada di
bagian atas sampek sambil lengan dan jari-jari berada di depan sampek dalam posisi siap memetik senar.
Tangan kiri menjulur dari bawah menekuk ke atas, dan jari-jari siap menekan senar yang berada pada papan
jari. Sedangkan untuk posisi berdiri sampek dibuatkan tali pada osa/badan sampek, lalu dikalungkan ke
leher dengan posisi miring sekitar 45 derajat dengan cara yang sama dengan posisi duduk tadi.
Lima jenis musik Dayak Kenyah (Lawing, 1999: 512), yaitu musik lagu belian, lagu silun, lagu
londe', lagu uyau along, dan lagu melalo'. Lagu balian berfungsi untuk menghantarkan permohonan
penyembuhan terhadap penyakit kepada Bungan Malan Paselon Luan. Lagu silun berfungsi untuk meratapi
orang mati dan untuk memuji atas keberhasilan dan kehebatan seseorang. Lagu londe' berfungsi sebagai
sarana untuk kepuasan keindahan (estetis). Lagu uyau along berfungsi untuk mengungkapkan rasa sedih.
1332
Lagu melalo' berfungsi sebagai sarana untuk memberi semangat. Dalam bagian berikut ini akan dijelaskan
tentang lima jenis musik Dayak kenyah dan hubungan dengan fungsinya. Sedangkan dalam musik sampek
banyak menggunakan jenis Lagu londe', yang berarti lembut, Indah dan merdu yang biasa digunakan
untuk iringan tari datum. Lagu-lagu yang termasuk jenis londe' adalah lagu Leleng, Ayen Sae, Ayen Tikap,
Ayen Kanyak, Alem Ini, Pesak Paku, Busak Paku, Burung Kecincang, dan Nyahing Alaq. Berikut beberapa
lagu-lagu sampek dayak kenyah di desa Pampang Samarinda Utara.
Lagu Alem ini
Ayen Kanyak
Burung Kecincang
1333
Busak Paku
Arti Lirik:
Leleng
Penutup
Keberadaan musik sampek masyarakat dayak kenyah di desa Pampang sangat berhubungan erat
dengan sejarah secara universal dan juga tentang cerita rakyat yang berkembang di masyarakatnya. Music
sampek sangat berkaitan erat dengan salahsatu norma adat yaitu lima tingkatan suen dalam ajaran
kepercayaan Bungan Malan Paselong Luan. Dalam kehidupan masyarakat suku dayak kenyah Kenyah
terdapat mitos yang menceritakan tentang dewi perempuan yang bernama Bungan Malan. Bagi suku
1334
Dayak Kenyah musik adalah seluruh bunyi-bunyian yang menghubungkan tubuh dan jiwa-raga kepada
yang yang maha kuasa dan juga alam semesta.
Musik, bagi suku Dayak Kenyah sangatlah penting terutama dalam kehidupan mereka,
menyangkut upacara adat dalam kepercayaan Bugan Malan Paselong Luan. Musik sampek Dayak
Kenyah, memiliki lima nada yang disebut sebagai tangga nada pentatonik. Lima nada ini berhubungan
dengan lima tingkatan pada suen. Lima tingkatan pada suen merupakan simbol-simbol yang bermakna
bagi kehidupan suku Dayak Kenyah. Memainkan instrumen sampek terlebih dahulu kita mengenal bagian-
bagian instrumen sampek secara keseluruhan, tangganada yang digunakan serta juga jenis-jenis lagu yang
dimainkan. Memainkan sampek biasanya dilakukan dengan duduk maupun berdiri dengan menyesuaikan
acara yang digelar oleh masyarakat setempat, baik itu sebagai musik instrumental maupun sebagai iringan
tari.
Daftar Pustaka
Arikanto, Suharsini, 1993, Prosudur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Coomans, Michael, 1987, Manusia Dayak Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta: Gramedia.
Devung, G Simon. (1985), Penelitian Suku Terasing Kenyah Kalimantan Timur: Kelompok Suku Dayak Kenyah di Sungai Alan Suatu Kasus Perubahan Kebudayaan. Dept. P dan K Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Kalimantan Timur, Samarinda.
Eliade, Mircea. (1974), Shamanism: Archaic Technique of Ecstasy, Princeston University Press (Bollingen Series LXXXVI), Princeston.
Kartomi, Margaret. (1984), "Hasapi. Kacapi (i). Kacapi (li). Keledl", In Stanley Sadie, (ed.), New Grove Dlctlonari of Musical Instruments, MacMillan Press Umitied, London.
Kartomi, Margaret and Lyn Moore. (1984), In Stanley Sadie, (ed.) The New Grove Dictionary of Musical Instruments, MacMillan Press Umitied, London.
Kustap, Tesis S-2 Magister Seni Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Program Pascasarjana ISI Yogyakarta 2006, Makna Musik Sampek Dayak Kenyah Suatu Kajian Semiotik.
Lawai, Liman. (1999), "Sejarah Suku Kenyah Leppo' Tau dan Perkembangan Struktur Masyarakat di Kecamatan Kayan Hulu, Apau Kayan", Eghenter, Cristina dan Sellato, Bernard (ed.). Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. FF dan WWF Jakarta, Indonesia.
1335
Lahang, Lukas dan Enjau, Bilung. (1999), "Sejarah Perpindahan Suku Kenyah Bakung dan Leppo' Ma'ut dan Perubahan Hak atas Tanah dan Hasil Hutan", Eghenter, Cristina dan Sellato, Bernard (ed.). (1999), Kebudayaan dan Pelestarian Alam-Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. FF dan WWF Jakarta, Indonesia.
Maceda, Jose, Bandem, I Made and MacDonald, Nicole Revel. (1979), The Music of the Kenyah and Kodang in East Kalimantan, Indonesia. Record Notes accompanying phonodisk os some name. Quzon City UNESCO in corporation with the Departement of Music Researdh, College of Music, University of the Philipines.
Merriam, Alan P., 1964, The Anthropology of Music, Chicago: North Western University Press.
Moleong, Lexy J., 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Moeliono, Anton M., 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Merriam, Alan P, 1964, The Anthropology of Music University Press, Northwestern.
Nettl, Bruno, 1964, Theory and Method in Ethnomusicology, Newyork: The Free Press of Glencoe Collier-Macmillan Limited.
Ngindra, Fredrik. (1999), "Upacara Agama Bungan pada Masyarakat Kenyah Bakung di Long Apab Baru", Eghenter, Cristina dan Sellato, Bernard (ed.). (1999), Kebudayaan dan Pelestarian Alam-Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta: FF dan WWF Indonesia.
Prier, Karl-Edmund, 1991, Sejarah Musik, Jilid 1, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
Riwut, Tjilik, 1993, Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Sukanda, Al Yan, Alqadrie, Syarief Ibrahim, Dove, Michael R., Hoffman, Carl F., 1994, ”Tradisi Musikal dalam Kebudayaan Dayak” dalam buku Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. editor Michael R. Dove, Jakarta: PT.Grasindo.
Soedarsono, 2001, Metodologi Penelitian Seni pertunjukan dan Seni Rupa, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Nara Sumber
Nama : Peleting Apuy (72 tahun)Alamat : Desa Pampang Dalam Samarinda
Nama : Ajang Alung (80 tahun)Alamat : Desa Pampang Dalam Samarinda
1336
Nama : Simson (50 tahun)Alamat : Desa Pampang Dalam Samarinda
Nama : Elisar Lubit (55 tahun)Alamat : Desa Pampang Dalam Samarinda
1337