183
KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUPU-KUPU (LEPIDOPTERA: PAPILIONOIDEA) PADA EMPAT PENGGUNAAN LAHAN DI LANSKAP BUKIT DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN, JAMBI, SUMATERA RAWATI PANJAITAN ENTOMOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2020

dan Kelimpahan Kupu-kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera” adalah benar karya saya dengan

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUPU-KUPU

    (LEPIDOPTERA: PAPILIONOIDEA) PADA EMPAT

    PENGGUNAAN LAHAN DI LANSKAP BUKIT

    DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN,

    JAMBI, SUMATERA

    RAWATI PANJAITAN

    ENTOMOLOGI

    SEKOLAH PASCASARJANA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2020

  • PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

    INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

    Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Keanekaragaman dan Kelimpahan Kupu-kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

    Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

    Bogor, Desember 2020

    Rawati Panjaitan NRP A361160021

  • RINGKASAN

    RAWATI PANJAITAN. Keanekaragaman dan Kelimpahan Kupu-kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera. Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT, DAMAYANTI BUCHORI, DJUNIJANTI PEGGIE, IDHAM SAKTI HARAHAP.

    Keberadaan kupu-kupu di alam sangat dipengaruhi oleh keberadaan pakan larva dan pakan imago. Perubahan fungsi hutan menjadi lahan pertanian memiliki dampak bagi keanekargaman hayati termasuk tumbuhan yang berhubungan erat dengan kehidupan kupu-kupu. Langkah konservasi yang dapat dilakukan oleh pelaku pertanian adalah dengan sistem agroforestri yang ramah lingkungan. Agroforestri dapat membantu kehadiran fauna yang lebih beragam dibandingkan dengan pertanian yang monokultur. Perubahan struktur habitat akan memengaruhi keanekaragaman spesies kupu-kupu, sehingga kupu-kupu juga sebagai salah satu bioindikator kerusakan lingkungan.

    Ordo Lepidoptera, terdiri atas 45 superfamili, dua diantaranya adalah Superfamili Papilionoidea dan Hesperioidea merupakan kupu-kupu. Superfamili Papilionoidea terdiri atas Famili Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae, dan Nymphalidae. Kupu-kupu dapat hidup pada berbagai kondisi lingkungan, tetapi pada umumnya, keanekaragaman kupu-kupu tinggi pada daerah hutan hujan tropis. Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan merupakan bagian dari hutan tropis yang terdapat di Jambi, Sumatera. Lanskap Bukit Duabelas memiliki beberapa tipe penggunaan lahan, yaitu hutan heterogen, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet. Lanskap Hutan Harapan merupakan salah satu kawasan bekas pembalakan kayu yang direstorasi menjadi hutan dimulai sejak tahun 2008, dengan maksud untuk mengembalikan kondisi hutan sehingga mampu untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan di kawasan Jambi. Hutan Harapan diharapkan menjadi kawasan plasma nutfah bagi sumber daya alam yang terdapat di Jambi. Dengan demikian kajian keanekaragaman kupu-kupu pada berbagai penggunaan lahan: hutan heterogen, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet yang terdapat pada lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan perlu dilakukan.

    Penelitian ini bertujuan mengkaji keanekaragaman dan kelimpahan kupu-kupu pada empat penggunaan lahan, yaitu hutan heterogen, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Penelitian ini juga mengkaji pengaruh fragmentasi habitat terhadap kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu. Fragmentasi habitat telah menyebabkan perubahan lanskap sehingga timbul “pulau-pulau ekologis” (ecological islands) diantara perkebunan kelapa sawit. Penelitian dilakukan dengan eksplorasi langsung pada plot pengamatan yang terdapat di lanskap Bukit Duabelas, lanskap Hutan Harapan, dan Biodiversity Enrichment Experiment Plots (BEEP) di kebun sawit lanskap hutan Harapan. Identifikasi kupu-kupu hasil eksplorasi dari lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan dilakukan juga secara molekuler dengan sekuens DNA gen Mitochondrial cytochrome c oxidase-1 (mtCO1) yang terdapat pada kupu-kupu Arhopala spp. untuk melengkapi hasil identifikasi secara morfologi.

    Penelitian pertama dilakukan di 16 plot pengamatan di lanskap Bukit Duabelas yang terdiri atas empat penggunaan lahan, yaitu hutan heterogen, hutan

  • karet, kebun sawit, dan kebun karet (masing-masing empat plot). Pengamatan di lanskap Hutan Harapan dilakukan pada 28 plot, yang terdiri atas 16 plot penggunaan lahan hutan heterogen, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet, dan penambahan khusus 12 plot riparian, yaitu: hutan riparian, kebun sawit riparian dan kebun karet riparian. Masing-masing penggunaan lahan terdiri atas empat plot. Setiap plot diamati sebanyak 2 hari. Pengamatan dilakukan dari pukul 08.00-17.00 WIB. Pengumpulan sampel dilakukan dengan menggunakan jaring serangga dan perangkap buah. Empat perangkap buah dipasang di setiap plot mulai dari pukul 08.00-17.00 WIB (2 hari) dengan menggunakan umpan buah pisang dan nenas yang telah difermentasi selama dua hari.

    Penelitian menghasilkan tangkapan 198 spesies dari 6.653 individu yang terdiri atas 106 genera, 19 subfamili dan 5 famili. Keanekaragaman spesies kupu-kupu berdasarkan indeks Shannon pada lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan tergolong tinggi (Hˈ=4,15). Berdasarkan penggunaan lahan, indeks keanekaragaman kupu-kupu tertinggi ditemukan di hutan heterogen (Hˈ=4,06) dibandingkan dengan hutan karet (Hˈ=3,88), kebun sawit (Hˈ=3,40), dan kebun karet (Hˈ=3,49). Perbedaan penggunaan lahan mengakibatkan perbedaan kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu yang ada di dalamnya.

    Identifikasi spesies kriptik secara molekuler dengan menggunakan sekuens DNA gen mtCO1 Arhopala spp. mempertegas hasil identifikasi secara morfologi. Hasil identifikasi Arhopala spp. secara morfologi dan molekuler menunjukkan terdapat lima spesies, yaitu: Arhopala agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, dan A. trogon. Hasil matriks identitas untuk semua spesies berkisar antara 94-99% dan didukung dengan kemiripan identitas yang terdapat di Genbank berkisar antara 94-99%. Khusus untuk spesies A. trogon belum ada sekuens DNA mtCO1 di Genbank. Data sekuens DNA mtCO1 dari spesies A. agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, dan A. trogon yang berasal dari Sumatera juga belum tersedia di Genbank, sehingga hasil penelitian ini merupakan data yang pertama masuk ke Genbank.

    Fragmentasi habitat menyebabkan munculnya “pulau-pulau ekologis”, dengan berbagai ukuran. Dalam penelitian ini ukuran yang diteliti adalah ukuran pulau (plot) 5m x 5m, 10m x 10m, 20m x 20m, dan 40m x 40m. Kelimpahan vegetasi dan kupu-kupu terlihat berbeda secara signifikan antara ukuran plot 5m x 5m dengan 40m x 40m. Korelasi kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu dengan vegetasi menunjukkan korelasi positif pada plot perlakuan dan plot kontrol. Analisa korelasi lebih lanjut menunjukkan bahwa luas plot berkorelasi positif dengan keberadaan spesies dan kelimpahan vegetasi dan kupu-kupu. Artinya semakin besar ukuran plot, akan semakin mendukung keberadaan kupu-kupu. Pembuatan “pulau-pulau ekologis” diantara kebun sawit dapat menjadi tempat “refugia” bagi berbagai spesies flora dan fauna, antara lain kupu-kupu, sehingga dapat mengurangi dampak negatif kebun sawit terhadap hilangnya keanekaragaman hayati.

    Kata kunci: Bukit Duabelas, Hutan Harapan, keanekaragaman, kupu-kupu, Sumatera.

  • SUMMARY

    RAWATI PANJAITAN. Diversity and Abundance of Butterflies (Lepidoptera: Papilionoidea) in Four Land Use in the Bukit Duabelas and Hutan Harapan Landscape, Jambi, Sumatera. Supervised by PURNAMA HIDAYAT, DAMAYANTI BUCHORI, DJUNIJANTI PEGGIE, IDHAM SAKTI HARAHAP.

    The existence of butterflies in nature is greatly influenced by the presence of larval food plants and adults nectar plants. Changes in the function of forests into agricultural have impacts on biodiversity, including plants that provide source of food for larvae and nectars for butterflies. Agroforestry offers a model of agriculture that includes conservation principles. A good agroforestry practice may help to preserve more diverse fauna than monoculture agriculture. Changes in habitat structures will affect the diversity of butterfly species, so that butterflies are also as a bioindicator of environmental damage.

    Lepidoptera consists of 45 superfamilies and two of them are Papilionoidea which together with Hesperioidea form the butterfly group. The Papilionoidea consists of the family Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae, and Nymphalidae. Butterflies can live in various environmental conditions. The most diverse habitats for butterflies are in tropical rainforests. Bukit Duabelas National Park and Hutan Harapan landscapes are part of tropical forest in Indonesia located in Jambi Province, Sumatera. The Bukit Duabelas NP landscape has several types of habitats, namely primary forest, secondary forest, rubber jungle, oil palm plantation and rubber plantation. Various habitats on the Bukit Duabelas landscape allow for a high diversity of butterfly species. Studies related to butterfly diversity in various habitats in Jambi tropical forests are still limited. The Harapan Forest landscape in Jambi is one of the former logging areas that has been restored to become a forest. The Harapan Forest in Jambi is a restoration forest in Indonesia, which began in 2008 and has been restored so that it can maintain the balance of the forest ecosystem in the Jambi region. Harapan Forest is expected to be a germplasm habitats for natural resources found in Jambi, Sumatera. Reports regarding the diversity of butterflies in various habitats in tropical forests in Jambi were still limited. Thus the study of butterfly diversity on various land functions: heterogeneous forests, jungle rubber, rubber, and palm plantations found in the Bukit Duabelas landscape and Harapan forest in Jambi needs to be done.

    This study aims to examine the diversity and abundance of butterfly populations on four land use systems, namely heterogeneous forests, jungle rubber, rubber plantations and oil palm plantations in the Bukit Duabelas landscape and Harapan Forest in Jambi, Sumatera. Molecular analysis with cytochrome c oxidase 1 (CO1) on the Mitochondrial DNA (mtDNA) in Arhopala spp. of the Lycaenidae was conducted to support morphological identification to obtain more accurate species identification results. This research has also examined the effect of habitat fragmentation on species richness and abundance of butterflies. Habitat fragmentation has led to changes in the landscape resulting in "ecological islands" between oil palm plantations. The research was carried out in direct exploration of the core plots found in the Bukit Duabelas landscape and the

  • Harapan Forest landscape and in the Biodiversity Enrichment Experiment Plots (BEEP) in the Harapan forest landscape oil palm plantation, Jambi.

    The study was carried out in 16 observation plots in the Bukit Duabelas landscape consisting of four land uses, namely forests, rubber forests, oil palm plantations, and rubber plantations (four plots each). Observations in the Harapan Forest landscape were conducted at 28 plots, consisting of 16 plots of heterogeneous forest, jungle rubber, oil palm plantation, and rubber plantation (four plot each), and additionally 12 riparian plots, i.e. riparian forests, riparian palm plantations, and riparian rubber plantations (four plots each). Each plot was observed for 2 days. Observations were made from 08.00-17.00 Western Indonesian time. Sample collection was carried out using insect nets and fruit traps. Fruit traps were placed in 4 traps in each observation plot using banana and pineapple baits that had been fermented for two days.

    The results showed that there were 198 species of 6,653 individuals consisting of 106 genera, 19 subfamilies, and 5 families of butterflies found in the field. The diversity index based on the Shannon index on the Bukit Duabelas and Harapan Forest landscapes was high (Hˈ=4.15). Based on land use, the highest butterfly diversity index was found in heterogenous forests (Hˈ=4.06) compared to jungle rubber (Hˈ=3.88), oil palm plantations (Hˈ=3.40), and rubber plantations (Hˈ=3.49). The difference in land use results in differences in species richness and abundance of butterflies. The complexity and transformation of land functions have an impact on butterfly diversity.

    Molecular identification of cryptic species by using the mtDNA character of CO1 gen from Arhopala spp. is able to confirm morphological identification. The identification of Arhopala spp. based on morphological and molecular resulted in five species, namely: Arhopala agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, and A. trogon. The results of the identity matrix for all species between 94-99% and supported by similar identities found in Genbank ranging from 94-99%. Specifically for A. trogon species, there is no mtCO1 sequence in Genbank. Data mtCO1 DNA sequence from A. agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, and A. trogon species from Sumatera are not available in Genbank, so the results of this study are the first record of gene sequence in the Genbank.

    Habitat fragmentation leads to the emergence of "ecological islands" of varying sizes. In this study, the size studied was the size of the island (plot) 5m x 5m, 10m x 10m, 20m x 20m, and 40m x 40m. Vegetation and butterfly abundance was seen to differ significantly between the 5m x 5m and the 40m x 40m plot sizes. The correlation of species richness and abundance of butterflies with vegetation showed a positive correlation on the treatment and control plots. Further, correlation analysis showed that plot area was positively correlated with vegetation and butterfly abundance. This means that the larger the plot size, the more it will support the presence of butterflies. The creation of "ecological islands" between oil palm plantations can become a place of "refugia" for various species of flora and fauna, including butterflies, thereby reducing the negative impact of oil palm plantations on the loss of biodiversity.

    Keywords: Bukit Duabelas, butterflies, diversity, Harapan Forest, Sumatera.

  • © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2020

    Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

    Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

    atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

    penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

    tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

    IPB

    Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

    dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

  • KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUPU-KUPU

    (LEPIDOPTERA: PAPILIONOIDEA) PADA EMPAT

    PENGGUNAAN LAHAN DI LANSKAP BUKIT

    DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN,

    JAMBI, SUMATERA

    RAWATI PANJAITAN

    Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Doktor pada Program Studi Entomologi

    ENTOMOLOGI

    SEKOLAH PASCASARJANA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2020

  • Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Sih Kahono, M.Sc 2. Dr. Drs. Tri Atmowidi, M.Si Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi: 1. Dr. Keliopas Krey, S.Pd, M.Si 2. Dr. Drs. Tri Atmowidi, M.Si

  • PRAKATA

    Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan atas tuntunan dan kasih-Nya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak tahun 2017 sampai tahun 2019 ini ialah, dengan judul “Disertasi ini berjudul “Keanekaragaman dan kelimpahan kupu-kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera”.

    Penyusunan disertasi ini diarahkan oleh komisi pembimbing. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada ketua komisi pembimbing Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc, atas waktu, ilmu, dan bimbingan yang sangat berarti bagi saya dalam meneliti, menulis ilmiah dan menjadi seorang yang profesional. Penghargaan dan terima kasih juga saya ucapkan kepada anggota komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc, Djunijanti Peggie, M.Sc, Ph.D, dan Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si yang sudah memberikan ilmu, waktu, mengarahkan penulis dengan sabar dan tulus untuk menyusun disertasi ini dan menyelesaikan studi saya.

    Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Sih Kahono, M.Sc dan Dr. Drs. Tri Atmowidi, M.Si atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi doktor. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Keliopas Krey, S.Pd, M.Si atas kesediannya sebagai penguji pada sidang promosi doktor. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Ketua Departemen Proteksi Tanaman (PTN), Ketua Program Studi Entomologi, Staf pengajar Program Studi Entomologi, serta staf administrasi PTN dan Pascasarjana atas dukungan dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan.

    Terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Unipa yang telah memberikan izin tugas belajar. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kemenristek Dikti atas beasiswa yang telah diberikan melalui LPDP BUDI-DN. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan CRC 990 EFForTS yang telah memberikan bantuan dana penelitian. Terimakasih juga saya sampaikan kepada Prof. Dr. Stefan Scheu dan Dr. Jochen Drescher (Tim Z02 CRC 990, Georg-August-Universitat Gottingen) yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian.

    Terima kasih penulis sampaikan kepada Keluarga besar Laboratorium Biosistematika Serangga, Ibu Aisyah, Ibu Ati, Lia Nurul Alya, M.Si, Lindung Tri Puspasari, Kiki Marceria, Mahindra Dewi, Bettari, Kiki Simamora, Basten, Dedi, Fathan, Faiz, Rohimatun, Sawaluddin, Ciptadi, Rizki Firmansyah dan teman-teman lainnya atas bantuan dan kebersamaannya. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Keluarga besar Laboratorium Virologi Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB, Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Sc, Prof. Dr. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Teman-teman: Ibu Latifah, Hani, Reva, Nurul yang selalu memberikan dukungan, waktu, tenaga dan persaudaraan yang indah selama penulis berada di Bogor. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Juwita Sri Maranatha Sihombing, Davig Darusman, Norman Tambunan, dan Somad atas bantuannya selama penelitian di Jambi. Terima kasih saya sampaikan juga kepada keluarga Hendra Tampubolon, keluarga Dika, dan keluarga Bang Sahroji yang telah memberikan fasilitas tempat tinggal selama penelitian di Jambi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Herlina Panjaitan dan Nurbetty Tampubolon yang telah membantu saat penelitian di Jambi. Terima kasih juga penulis

  • vi sampaikan kepada Bapak Endang Cholik (teknisi senior Laboratorium Entomologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI Cibinong) yang telah membantu penulis dalam penelitian.

    Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada orangtua terkasih, Bapak S. Panjaitan (alm) dan mama R. Siagian yang telah mencurahkan kasih sayang yang tulus dan doa yang tidak pernah putus sehingga saya bisa berdiri hingga saat ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada abang, kakak dan adikku serta keluarga besar Panjaitan yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan doa kepada penulis. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Ibu mertua Ny. Toga Dance Tampubolon br Gultom dan keluarga besar Tampubolon atas dukungannya kepada penulis.

    Penulis menyampaikan terima kasih kepada suami terkasih, Jeckson Kennedy Tampubolon atas doa, cinta, kesabaran dan dukungan semangat yang telah diberikan khususnya selama saya menempuh pendidikan ini. Saya menyampaikan terima kasih kepada anada tercinta Rachel Easter Berliana Tampubolon dan Teresa Ratu Juliana Tampubolon atas doa, pengertiannya dan pengorbanannya selama mama menempuh pendidikan. Semoga kalian dapat bertumbuh seperti tunas pohon zaitun yang tumbuh di tepi aliran sungai, berbuah untuk kesejahteraan umat manusia.

    Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian pendidikan ini, semoga Bapak/Ibu dan saudara diberkati Tuhan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

    Bogor, Desember 2020

    Rawati Panjaitan

  • DAFTAR ISI

    DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN ix 1 PENDAHULUAN UMUM 1

    Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 Kebaruan Penelitian 4 Ruang lingkup Penelitian 5

    2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Biologi Kupu-kupu 7 Klasifikasi dan Deskripsi Kupu-kupu 9 Biodiversitas Kupu-kupu pada Lanskap yang Berbeda 10

    3 KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUPU-KUPU PADA EMPAT TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI LANSKAP BUKIT DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN, JAMBI, SUMATERA

    17

    Abstrak 17 Abstract 17 Pendahuluan 18

    Rumusan Masalah 19 Tujuan Penelitian 19

    Metode 20 Metode Penelitian 20 Preservasi dan Identifikasi Spesimen Kupu-kupu 21

    Analisis Data 22 Hasil dan Pembahasan 23

    Keanekaragaman Kupu-kupu pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi

    23

    Keanekaragaman Kupu-kupu di Lanskap Bukit Duabelas

    23

    Keanekaragaman Kupu-kupu di Lanskap Hutan Harapan 38 Keanekaragaman Kupu-kupu dengan Metode Perangkap Buah pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi

    54

    Simpulan 59 4 IDENTIFIKASI KUPU-KUPU Arhopala spp. (LYCAENIDAE: THECLINAE) DI LANSKAP BUKIT DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN, JAMBI BERDASARKAN MORFOLOGI DAN GEN mtCO1

    61

    Abstrak 61 Abstract 61 Pendahuluan 62

  • vi

    Rumusan Masalah 63 Tujuan Penelitian 63

    Metode 64 Metode Penelitian 64 Preservasi Sampel Kupu-kupu 64 Identifikasi Kupu-kupu Berdasarkan Karakter Morfologi 64 Identifikasi Kupu-kupu Berdasarkan Karakter Molekuler

    64

    Analisis Data 65 Hasil dan Pembahasan 65

    Spesies Arhopala spp. yang Ditemukan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan

    65

    Identifikasi Arhopala spp. Berdasarkan Morfologi dan Gen mtCO1

    66

    Simpulan 77 5 FRAGMENTASI HABITAT DAN PENGARUHNYA PADA STRUKTUR DAN KOMPOSISI KUPU-KUPU DI DALAM “PULAU-PULAU EKOLOGIS” (ECOLOGICAL ISLAND) DI JAMBI, SUMATERA

    79

    Abstrak 79 Abstract 79 Pendahuluan 80

    Rumusan Masalah 81 Tujuan Penelitian 82 Manfaat Penelitian 82

    Metode 82 Analisis Data 84 Hasil dan Pembahasan 85

    Keanekaragaman Kupu-kupu pada Empat Tipe Ukuran Plot BEEP

    87

    Pengaruh Ukuran dan Jenis Vegetesi Terhadap Keanekaragaman Kupu-kupu di Dalam Plot Perlakuan dan Plot Kontrol BEEP

    87

    Korelasi Kekayaan Spesies dan Kelimpahan Antara Kupu-kupu dan Tumbuhan pada “Pulau-pulau Ekologis”

    93

    Simpulan 101 6 PEMBAHASAN UMUM 103 7 SIMPULAN DAN SARAN 105

    Simpulan 105 Saran 105

    DAFTAR PUSTAKA 107 LAMPIRAN 113 RIWAYAT HIDUP 161

  • vii

    DAFTAR TABEL

    3.1 Kekayaan dan indeks keanekaragaman kupu-kupu pada empat tipe

    penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas 23

    3.2 Estimasi kekayaan kupu-kupu pada empat penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas

    25

    3.3 Nilai rata-rata (Mean) dan standar deviasi (SD) spesies kupu-kupu yang ditemukan pada empat penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas

    30

    3.4 Kekayaan dan indeks keanekaragaman kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan dan riparian di lanskap Hutan Harapan

    38

    3.5 Estimasi kekayaan kupu-kupu pada beberapa tipe penggunaan lahan di lanskap Hutan Harapan

    40

    3.6 Spesies kupu-kupu yang ditemukan di lanskap Hutan Harapan 45 3.7 Keanekaragaman kupu-kupu yang ditangkap dengan perangkap

    buah di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan 55

    4.1 Identifikasi sampel Arhopala spp berdasarkan data NCBI BLASTn dan identitas matrix

    67

    4.2 Homologi sekuens DNA mtCO1 Arhopala sampel 8D, 9A, 10A dan F2

    69

    4.3 Homologi sekuens DNA mtCO1 Arhopala sampel Gc, Ga dan A1 72 4.4 Homologi sekuens DNA mtCO1 Arhopala sampel 12b dan 8A 73 4.5 Homologi sekuens DNA mtCO1 Arhopala sampel 14A 75 5.1 Kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu di plot perlakuan dan plot

    kontrol BEEP Jambi 87

    5.2 Daftar spesies kupu-kupu yang ditemukan pada plot BEEP 92 5.3 Korelasi antara kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu

    dengan tumbuhan pada plot perlakuan dan plot kontrol 95

    5.4 Tumbuhan yang dikunjungi kupu-kupu di dalam plot BEEP 97

    DAFTAR GAMBAR

    1.1 Alur penelitian 5 3.1 Peta lokasi penelitian di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan

    Harapan Jambi 20

    3.2 Kekayaan spesies kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas

    24

    3.3 Kelimpahan kupu-kupu pada empat penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas

    24

    3.4 Kurva akumulasi spesies di lanskap Bukit Duabelas 26 3.5 Kemiripan komposisi kupu-kupu berdasarkan analisis Bray Curtis

    di lanskap Bukit Duabelas 27

    3.6 Jumlah spesies kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan yang ditemukan di lanskap Bukit Duabelas

    28

  • viii 3.7 Spesies kupu-kupu Trogonoptera brookiana dan Troides

    amphrysus 29

    3.8 Kekayaan spesies pada empat penggunaan lahan dan riparian di lanskap Hutan Harapan

    39

    3.9 Kelimpahan individu kupu-kupu pada empat penggunaan lahan dan riparian di lanskap Hutan Harapan

    40

    3.10 Kurva akumulasi spesies di lanskap Hutan Harapan 41 3.11 Kemiripan komposisi kupu-kupu di lanskap Hutan Harapan 42 3.12 Kekayaan dan kemiripan spesies kupu-kupu pada empat tipe

    penggunaan lahan yang ditemukan di lanskap Hutan Harapan 43

    3.13 Kekayaan dan kemiripan spesies kupu-kupu pada riparaian dan tidak riparian (hutan, kebun sawit, dan kebun karet) di lanskap Hutan Harapan

    44

    4.1 Kelimpahan individu Arhopala spp. yang ditemukan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi

    66

    4.2 Hasil visualisasi DNA mtCO1 dengan primer LepF1 dan LepR1 dengan marker 1kb (thermo scientific US), (F2,7D, 8D,10A: sampel A. paraganesa), (A1, Ga, Gc: A. agesias), (8A, 12b: A.agesilaus), (9A) A.trogon, dan (14A) A. pseudocentaurus.

    67

    4.3 Sayap dan genitalia pada jantan A. paraganesa 68 4.4 Filogeni sampel 7D, 8D, 9A, 10A, dan F2 menggunakan

    perangkat lunak MEGA 7 dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1000x

    69

    4.5 Sayap dan genitalia pada jantan A. trogon 70 4.6 Sayap dan genitalia pada jantan A. agesias 71 4.7 Filogeni sampel Gc, Ga dan A1 menggunakan perangkat lunak

    MEGA 7 dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1000x

    72

    4.8 Sayap dan genitalia pada jantan A. agesilaus 73 4.9 Filogeni sampel 12b dan 8A menggunakan perangkat lunak

    MEGA 7 dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1 000x

    74

    4.10 Sayap dan genitalia pada jantan A. pseudocentaurus 75 4.11 Filogeni sampel 14A menggunakan perangkat lunak MEGA 7

    dengan metode Neighbor-Joining dengan bootstrap 1000x 76

    5.1 Sketsa plot pengamatan di antara kebun kelapa sawit di Jambi 83 5.2 Kurva akumulasi spesies pada plot perlakuan dan kontrol BEEP;

    a) plot perlakuan; b) plot kontrol. 86

    5.3 Kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu pada empat tipe plot perlakuan BEEP

    88

    5.4 Kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu pada empat tipe plot kontrol BEEP

    89

    5.5 Korelasi antara luas plot dengan jumlah spesies dan jumlah individu kupu-kupu pada plot BEEP

    90

    5.6 Komposisi spesies kupu-kupu pada tiap plot berdasarkan Bray Curtis di BEEP

    91

    5.7 Korelasi antara luas plot dengan jumlah spesies dan jumlah 94

  • ix

    individu pada plot BEEP 5.8 Korelasi antara kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu

    dengan tumbuhan di dalam plot perlakuan 96

    5.9 Korelasi antara kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu dengan tumbuhan di dalam plot kontrol

    96

    5.10 Penyebaran kekayaan spesies kupu-kupu pada plot perlakuan BEEP

    99

    5.11 Penyebaran kekayaan spesies kupu-kupu pada plot kontrol BEEP 100

    DAFTAR LAMPIRAN

    1 Daftar spesies kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera.

    114

    2 Gambar spesies kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera.

    120

    3 Kunci identifikasi untuk lima spesies Arhopala dari Subfamili Theclinae.

    156

    4 Vegetasi yang terdapat di dalam plot perlakuan BEEP 158 5 Vegetasi yang terdapat di dalam plot kontrol BEEP 160

  • 1 PENDAHULUAN UMUM

    Latar Belakang

    Keanekaragaman hayati penting untuk dilindungi guna menjaga keseimbangan kehidupan di alam. Hutan tropis telah mengalami gangguan manusia dari kondisi ringan hingga berat (Laurance et al. 2001). Gangguan yang paling umum adalah perburuan, penebangan, dan pembukaan lahan untuk pertanian (Whitworth et al. 2018). Perubahan penggunaan hutan menjadi lahan pertanian memiliki dampak buruk bagi keanekaragaman hayati (Koh et al. 2009). Semua lapisan masyarakat diperlukan kerjasamanya untuk melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati (Kareiva & Marvier 2012). Salah satu langkah nyata konservasi dilakukan melalui interaksi antara manusia dengan ekosistem pada strategi konservasi. Langkah konservasi yang dapat dilakukan oleh pelaku pertanian adalah dengan sistem agroforestri yang ramah lingkungan. Agroforestri yang ramah lingkungan dapat membantu kehadiran fauna yang lebih beragam dibandingkan dengan pertanian yang monokultur (Tscharntke et al. 2005).

    Hutan yang tersisa perlu dijaga untuk mendukung keanekaragaman hayati, terutama di daerah tropis dimana laju konversi lahan yang tinggi (Daily & Ehrlich 1995). Perubahan habitat alami menjadi semi alami menyebabkan beberapa spesies hilang dari habitat tersebut, sehingga dibutuhkan langkah konservasi (Laurance et al. 2001). Salah satu langkah konservasi di lanskap pertanian adalah dengan membuat “pulau-pulau ekologis” (ecological islands). Pulau-pulau ekologis yang dimaksudkan adalah plot dengan beberapa ukuran di dalam dan diantara lanskap pertanian.

    Percobaan pengayaan keanekaragaman hayati (Biodiversity Enrichment Experiment Plots/BEEP) di PT. Humusindo Jambi dengan mengggunakan “pulau-pulau ekologis” telah dilakukan. Percobaan dilakukan berupa plot yang merupakan “pulau-pulau ekologi” dengan berbagai ukuran plot yang ditanami bermacam-macam tanaman perkebunan sejak tahun 2013 (Teuscher et al. 2016). Tanaman perkebunan ditanam di antara kebun sawit. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menemukan tanaman yang dapat bergabung ditanam bersamaan dengan kelapa sawit. Manfaat dari percobaan BEEP diharapkan dapat menjadi habitat tumbuhan dan hewan termasuk kupu-kupu, sebagai sumber penghasilan yang beragam dan memberikan keuntungan secara tidak langsung kepada manusia karena dengan adanya keberagaman tumbuhan maka akan dapat mengendalikan hama secara alami dan juga sebagai penyimpan air (Teuscher et al. 2016). Penelitian keanekaragaman kupu-kupu juga perlu dilakukan di dalam BEEP.

    Sistem agroforestri dapat diterapkan di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan yang kini telah didominasi oleh perkebunan kelapa sawit dan karet. Lanskap Bukit Duabelas merupakan bagian dari salah satu taman nasional yang terdapat di Indonesia, yaitu Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Lanskap Bukit Duabelas memiliki beberapa penggunaan lahan, yaitu: hutan heterogen, hutan karet, kebun kelapa sawit, dan kebun karet. Penggunaan lahan yang beragam ini memungkinkan keanekaragaman spesies kupu-kupu yang terdapat di lahan tersebut juga beranekaragam. Pada tahun 2001 Badan Informasi Kehutanan melaporkan 12 spesies kupu-kupu di TNBD (Balai Taman Nasional Bukit

  • 2

    Duabelas 2001). Jumlah tersebut dianggap terlalu sedikit untuk sebuah taman nasional di Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi data kupu-kupu.

    Lanskap Hutan Harapan merupakan salah satu kawasan bekas pembalakan kayu yang direstorasi menjadi hutan (Origia et al. 2012). Hutan Harapan Jambi merupakan hutan restorasi tertua di Indonesia yang dimulai sejak tahun 2008, dengan maksud untuk mengembalikan kondisi hutan lebih baik untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan di kawasan Jambi. Hutan Harapan diharapkan menjadi kawasan plasma nutfah bagi sumber daya alam yang terdapat di Jambi. Hal ini dikarenakan banyaknya wilayah yang mengalami perubahan penggunaan lahan dari hutan primer menjadi lahan perkebunan. Penelitian yang sudah dilakukan adalah tentang keanekaragaman semut di kawasan Hutan Harapan oleh Alamsari (2014) yang melaporkan 66 spesies semut di area tersebut. Penelitian keanekaragaman kadal juga telah dilakukan dan berhasil menemukan 14 spesies (Origia et al. 2012). Hingga saat ini belum ada data tentang keanekaragaman kupu-kupu di kawasan Hutan Harapan.

    Lepidoptera terdiri atas 45 superfamili dan satu di antaranya adalah superfamili Papilionoidea, yang bersama Hesperioidea merupakan kupu-kupu (Kristensen et al. 2007). Superfamili Papilionoidea terdiri atas Famili Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae, dan Nymphalidae (Kristensen et al. 2007). Identifikasi kupu-kupu hingga tingkat spesies memerlukan data karakter morfologi, dan juga molekuler, sehingga hasil identifikasi lebih akurat. Pada beberapa spesies kriptik, seperti Genus Arhopala, karakter molekuler seperti fragmen DNA mitochondria yaitu cytocrome c oxidase subunit 1 gen (mtCO1) akan menambah akurasi hasil identifikasi (Megens et al. 2004a).

    Keberadaan kupu-kupu di alam sangat dipengaruhi oleh keberadaan tanaman inang atau host plant. Beberapa spesies kupu-kupu memiliki jenis tanaman inang yang spesifik untuk meletakkan telurnya. Keberadaan tanaman inang sangat dipengaruhi oleh kondisi habitat (Peggie & Harmonis 2014). Habitat kupu-kupu adalah hutan primer, hutan sekunder, dan daerah perkebunan yang heterogen. Perubahan struktur habitat akan memengaruhi keanekaragaman spesies kupu-kupu (Nidup et al. 2014). Oleh karena itu kupu-kupu dapat dijadikan bioindikator kerusakan lingkungan (Brown & Freitas 2000).

    Kupu-kupu memiliki penyebaran yang luas, termasuk wilayah tropis. Penyebaran kupu-kupu tergantung pada iklim dan kondisi fisik yang memengaruhi distribusi dan perkembangan tumbuhan. Kupu-kupu dapat hidup pada berbagai kondisi lingkungan, tetapi paling banyak di daerah hutan hujan tropis (D‟Abrera 1990). Penyebaran kupu-kupu di suatu kawasan dipengaruhi oleh keadaan geografis, kemampuan spesies untuk menyebar dan preferensi habitat yang berbeda. Umumnya, kupu-kupu lebih menyukai daerah yang terbuka atau tipe habitat dengan tutupan kanopi yang tidak rapat. Kupu-kupu membutuhkan cahaya matahari untuk membantu pergerakan sayap. Perpindahan (migrasi) populasi kupu-kupu dari suatu tempat ke tempat yang lain dapat disebabkan oleh faktor iklim yang kurang sesuai di habitat lama atau jumlah makanan yang berkurang pada musim tertentu. Beberapa spesies dapat berkembang biak selama dalam perjalanan (Parsons 1999).

    Data kupu-kupu di Indonesia yang telah diketahui sebanyak lebih kurang 2000 spesies yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia (Peggie 2014). Jumlah

  • 3

    kupu-kupu diperkirakan yang terdapat di Jawa sekitar 640 spesies, di Kalimantan sekitar 800 spesies, Sulawesi sekitar 560 spesies, di Nusa Tenggara sekitar 350 spesies, di Maluku sekitar 400 spesies, di Papua sekitar 500 spesies dan di Sumatera sekitar 890 spesies yang sudah diketahui (Peggie 2014). Spesies endemik tertinggi terdapat di Sulawesi 239 spesies (42-43%) (Vane-Wright & de Jong 2003). Data jumlah spesies ini kemungkinan masih bertambah, mengingat masih banyak wilayah yang belum dilakukan penelitian kupu-kupu. Penelitian kupu-kupu di Jambi yang sudah dilakukan yaitu, di hutan kota Muhammad Sabki ditemukan 43 spesies (Estalita & Basukriadi 2012), dan di Taman Nasional Kerinci Seblat (sebagian dari Jambi) ditemukan 230 spesies (Helmiyetti et al. 2014). Sedangkan penelitian kupu-kupu di TNBD dan hutan Harapan belum pernah dilakukan.

    Kupu-kupu memiliki peranan penting dalam ekosistem sebagai polinator (Fukano et al. 2016). Kupu-kupu juga berperan sebagai indikator dalam perubahan ekologi (Brown & Freitas 2000). Kupu-kupu di Indonesia mempunyai keindahan warna dan corak sayap yang bervariasi sehingga banyak digemari oleh kolektor baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa kupu-kupu yang bernilai ekonomi dan dilindungi di Sumatera adalah kupu-kupu raja dari genus Troides dan Trogonoptera yang tergolong spesies yang dilindungi (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia 2018; IUCN 2020). Kupu-kupu juga mempunyai nilai estetika yang dapat dijadikan sebagai objek wisata dan objek studi yang menarik untuk dikunjungi oleh masyarakat umum dan pelajar di Jambi.

    Rumusan Masalah

    Kupu-kupu penting secara ekologi sebagai polinator dan indikator perubahan ekosistem. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan kupu-kupu adalah ketika terjadi transformasi penggunaan lahan. Transformasi hutan heterogen menjadi lahan perkebunan yang homogen berdampak negatif terhadap eksistensi dan keanekaragaman kupu-kupu. Salah satu kawasan hutan yang telah mengalami transformasi hutan yang ada di Sumatera terdapat di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Terkait dampak transformasi habitat yang terjadi di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan dari hutan menjadi lahan pertanian diperlukan suatu kajian ilmiah tentang keanekaragaman kupu-kupu yang ada di dalamnya. Perubahan penggunaan lahan berdampak pada kehilangan bahkan punahnya spesies kupu-kupu. Hingga saat ini, belum ada informasi tentang keanekaragaman kupu-kupu dari Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Penggunaan lahan yang terdapat di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan ada empat, yaitu: hutan heterogen, hutan karet, kebun karet dan kebun sawit. Dengan demikian perlu dikaji keanekaragaman kupu-kupu pada empat penggunaan lahan: hutan heterogen, hutan karet, kebun karet dan kebun sawit yang terdapat di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan.

    Proses identifikasi spesies kupu-kupu dilakukan dengan melihat karakter morfologi, yaitu pola warna dan venasi sayap. Namun, khususnya untuk beberapa spesies kriptik seperti Genus Arhopala, diperlukan data karakter molekuler untuk menambah akurasi hasil identifikasi. Salah satu karakter molekuler yang umum digunakan adalah fragmen DNA mitokondria yaitu mtCO1.

  • 4

    Menyikapi dampak kehilangan spesies kupu-kupu yang terdapat di Jambi, Sumatera, maka diperlukan kerjasama pihak pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Salah satu solusi yang dapat ditawarkan untuk mengurangi dampak negatif dari kebun sawit adalah dengan menyediakan “pulau-pulau ekologis” sebagai rumah bagi keanekaragaman flora dan fauna di antara kebun sawit. Kajian korelasi kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu dengan tumbuhan di dalam plot dengan berbagai ukuran di antara kebun sawit pada areal percobaan BEEP yang terdapat di kebun sawit perlu dilakukan.

    Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis keanekaragaman dan kelimpahan populasi kupu-kupu pada

    empat penggunaan lahan, yaitu hutan, hutan karet, kebun karet dan kebun sawit di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi, Sumatera.

    2. Mengidentifikasi spesies kriptik Arhopala spp. (Lycaenidae: Theclinae) berdasarkan karakter morfologi dan gen mtCO1 yang terdapat di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi, Indonesia.

    3. Menganalisis korelasi kekayaan spesies dan kelimpahan kupu-kupu dengan tumbuhan di dalam plot dengan berbagai ukuran pada “pulau-pulau ekologis” yang menjadi rekomendasi sebagai habitat keanekaragaman spesies kupu-kupu di antara kebun sawit pada area percobaan BEEP di Jambi, Sumatera.

    Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian ini dapat memberikan data baru tentang komunitas dan keanekaragaman kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi. Penelitian ini akan menambah informasi baru tentang penyebaran kupu-kupu di Jambi, Sumatera yang dapat digunakan untuk mendukung upaya dalam pengambilan kebijakan menyangkut konservasi kupu-kupu di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas dan Hutan Harapan bagi instansi pemerintah setempat. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan rekomendasi korelasi “pulau-pulau ekologis” terhadap kekayaan dan kelimpahan kupu-kupu sebagai habitat kupu-kupu dan spesies lainnya di dalam kebun kelapa sawit.

    Kebaruan Penelitian

    Penelitian yang dilakukan menghasilkan kebaruan dan sumbangan bagi perkembangan informasi dalam ilmu pengetahuan, yaitu:

    1. Informasi keanekaragaman kupu-kupu pada empat penggunaan lahan, yaitu hutan, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi, Sumatera sebanyak 198 spesies serta koleksi spesimennya.

    2. Keanekaragaman dan kelimpahan kupu-kupu lebih tinggi di hutan dibandingkan dengan di kebun sawit dan kebun karet. Penggunaan lahan yang berbeda menunjukkan perbedaan kekayaan spesies dan kelimpahan populasi kupu-kupu.

  • 5

    Studi Pustaka dan survei lokasi penelitian

    Pengambilan sampel kupu-kupu

    Pengambilan data mikrohabitat

    Mencatat data morfologi kupu-kupu

    Identifikasi kupu-kupu Arhopala spp. secara

    morfologi dan molekuler

    Variasi karakter molekuler kupu-kupu

    Preservasi dan perentangan sampel kering kupu-kupu

    Identifikasi kupu-kupu secara morfologi

    Verifikasi nama spesies

    Gambar karakter kupu-kupu

    Deskripsi, klasifikasi, dan kunci identifikasi

    kupu-kupu

    Pengamatan kunjungan kupu-kupu pada

    tumbuhan di BEE plot

    Pengukuran parameter ligkungan:

    suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan

    tutupan kanopi

    Analisis data

    3. Diperoleh data gen mtCO1 dari Genus Arhopala, sebanyak 5 spesies : yaitu Arhopala agesias, A. agesilaus, A. paraganesa, A. pseudocentaurus, dan A. trogon yang ditemukan di Lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera.

    4. Keberadaan “pulau-pulau ekologis” pada kebun sawit dapat dijadikan sebagai habitat bagi kupu-kupu.

    Ruang Lingkup Penelitian

    Secara umum alur penelitian keanekaragaman dan kelimpahan kupu-kupu yang terdapat pada empat penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan terdiri atas empat tahap kegiatan, yaitu: 1) pengambilan sampel kupu-kupu; 2) preservasi sampel; 3) identifikasi berdasarkan karakter morfologi; 4) identifikasi secara molekuler khusus genus Arhopala. Secara skematis alur penelitian disajikan pada Gambar 1.1.

    Gambar 1.1 Alur penelitian

  • 2 TINJAUAN PUSTAKA

    Biologi Kupu-kupu

    Kupu-kupu merupakan salah satu serangga dalam ordo Lepidoptera. Kata Lepidoptera berasal dari bahasa Latin yaitu lepido yang artinya sisik dan ptera dari bahasa Yunani yang berarti sayap, dengan demikian Lepidoptera berarti serangga yang memiliki sayap bersisik (Triplehorn & Johnson 2005). Jumlah spesies kupu-kupu yang telah diidentifikasi di dunia sekitar 17.500 spesies atau sekitar 12% dari total 155.000 spesies Lepidoptera yang sudah di identifikasi di dunia. Kupu-kupu lebih banyak dikenal secara umum karena aktif pada siang hari dan corak warnanya yang cantik dan menarik (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014).

    Tubuh kupu-kupu dewasa atau yang disebut dengan imago terdiri atas 3 bagian, yaitu: kepala, toraks (thorax), dan abdomen. Kepala kupu-kupu dilengkapi dengan sepasang mata majemuk (compound eyes), mata tunggal (ocellus), sepasang antena (antenna), sepasang palpi labialis (sebagai organ peraba), dan alat isap (proboscis). Mata majemuk umumnya lebih besar dan terdiri atas banyak mata faset (ommatidia). Fungsi mata majemuk yaitu untuk mengenali bentuk, warna dan gerakan. Mata tunggal berfungsi untuk mengetahui intensitas cahaya. Kupu-kupu memiliki ujung antena yang membesar, dan berbentuk seperti gada (clubbed) dan berbentuk filamen panjang (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014).

    Thorax terdiri atas 3 segmen, yaitu: prothorax, mesothorax, dan metathorax. Pada prothorax terdapat sepasang tungkai depan, sepasang tungkai kedua terdapat pada mesothorax dan sepasang tungkai ketiga terdapat pada metathorax (Triplehorn & Johnson 2005). Tungkai kupu-kupu terdiri atas 9 ruas, yaitu ruas pertama disebut koksa, ruas kedua disebut dengan trokanter, ruas selanjutnya disebut femur dan tibia, serta tarsus 5 ruas dengan dua cakar di ruas tarsus yang paling ujung (Peggie 2014). Pasangan tungkai kedua (tengah) dan ketiga (belakang) berkembang dengan sempurna, sedangkan tungkai pertama (depan) tidak berkembang dengan baik untuk beberapa suku kupu-kupu, sehingga dijadikan sebagai karakteristik untuk membedakan dan mengelompokkan kupu-kupu ke tingkat suku (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014).

    Tungkai terdapat di thorax sebanyak 3 pasang, 2 pasang sayap, dan sekumpulan otot yang digunakan untuk terbang (Triplehorn & Johnson 2005). Ukuran sayap depan dan sayap belakang kupu-kupu berbeda. Ukuran sayap depan biasanya lebih besar dari pasangan sayap belakang. Seluruh sayap kupu-kupu ditutupi oleh sisik yang berfungsi sebagai pengatur suhu tubuhnya. Posisi sayap pada saat hinggap vertikal atau tegak di atas tubuhnya. Umumnya kupu-kupu hinggap di atas daun atau ranting, kecuali dari genus Cyrestis sering hinggap di bawah permukaan bawah daun (Parson 1999). Pada saat istirahat umumnya sayap kupu-kupu dilipat secara horizontal di atas tubuhnya, namun ada beberapa kupu-kupu seperti dari genus Junonia sering merentangkan sayapnya secara vertikal dengan tubuhnya pada saat istirahat (Peggie 2014). Sisik yang terdapat pada sayap memberi warna yang berfungsi untuk perlindungan dengan melakukan kamuflase, mimikri dan juga sebagai alat komunikasi pada kupu-kupu. Warna sisik yang

  • 8

    dihasilkan berasal dari hasil metabolisme senyawa kimia tumbuhan yang dimakan oleh kupu-kupu tersebut (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Warna juga dihasilkan dari penyerapan cahaya oleh sel pembawa warna (chromophore) yang berisi pigmen yang terdapat di dalam sisik. Sayap memiliki bagian-bagian yang penting yang digunakan sebagai karakter untuk identifikasi, yaitu bagian tepi sayap dan venasi atau urat sayap (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014).

    Bagian tepi sayap kupu-kupu meliputi: tepi atas pada sayap disebut sebagai costa, tepi luar disebut tepi distal, tepi bawah disebut sebagai tepi posterior atau tepi anal pada sayap belakang, sudut atas pada sayap disebut sebagai apex dan sayap belakang yang membentuk sudut bawah yang terbentuk oleh tepi distal dan tepi anal disebut sebagai tornus (Triplehorn & Johnson 2005). Venasi atau urat sayap pada kupu-kupu dinamakan berdasarkan letaknya yaitu, subcosta (Sc), radius (R), median (M), cubitus (Cu), dan vena anal (A). Pada sayap kupu-kupu juga terdapat 5 area lengkungan yang dimulai dari pangkal sayap ke arah luar yaitu, area basal, discal, postdiscal, submarginal dan marginal (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014).

    Bagian samping tubuh kupu-kupu terdapat spirakel yang tertutup sisik (Triplehorn & Johnson 2005). Spirakel berfungsi sebagai alat pernafasan berupa lubang yang terhubung dengan trachea di dalam tubuh yang membawa oksigen keseluruh tubuh kupu-kupu. Spirakel berjumlah 9 pasang yang terdapat pada ruas dada tengah (mesothorax), ruas dada terakhir (metathorax), dan pada ruas abdomen tubuh kupu-kupu (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Abdomen kupu-kupu terdiri atas 10 ruas yang di dalamnya terdapat alat pencernaan, pembuangan dan alat reproduksi. Alat reproduksi luar juga terdapat 3 ruas pada ujung tubuhnya (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Pada jantan berupua valva (clasper) di ujung dan kupu-kupu betina berupa lubang genitalia di ruas kedua sebelum ruas terakhir abdomen (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014).

    Siklus hidup kupu-kupu tergolong holometabola yaitu, metamorfosis lengkap yang diawali dengan telur, larva (ulat), pupa (kepompong) dan tahap terakhir yaitu imago (dewasa). Lama waktu siklus hidup kupu-kupu setiap spesies berbeda-beda tergantung spesies dan musim (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Contohnya kupu-kupu sayap burung yang terdapat di Papua dari Genus Ornithoptera siklus hidupnya dapat mencapai 108 hari dan Graphium agamemnon hanya 38 hari. Dengan demikian kupu-kupu dapat menyelesaikan siklus hidup hingga beberapa generasi dalam satu tahun (multivoltine) (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014).

    Telur kupu-kupu memiliki bentuk yang bervariasi tergantung spesiesnya, ada yang membulat dan memanjang (Peggie 2014). Kupu-kupu meletakkan telur satu per satu dan ada juga yang berkelompok di atas permukaan daun, ranting dan serasah yang terdapat di sekitar tanaman pakan larva (Triplehorn & Johnson 2005). Jumlah telur yang dihasilkan sekitar 30 butir hingga 200 butir (tergantung spesiesnya). Telur akan menetas menjadi larva setelah sekitar 7 – 10 hari (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014).

    Larva aktif makan dan memiliki bagian-bagian tubuh. Kepala larva terdapat mata dan alat mulut yang digunakan untuk menggigit dan mengunyah makanan (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Thorax terdapat 4 pasang kaki semu (prolegs) yang terletak pada ruas ke-3 sampai ruas ke-6 pada abdomen (Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Kaki semu juga terdapat pada ujung

  • 9

    abdomen yang disebut anal prolegs. Fase pergantian kulit dapat terjadi hingga 5 fase yang disebut sebagai instar. Larva kupu-kupu dari beberapa spesies juga terdapat duri atau bulu. Larva yang telah melewati instar terakhir maka akan berkembang menjadi pre-pupa yang melekat pada ranting, daun, batang atau substrat lainnya yang terdapat di sekitarnya pada saat instar terakhir (Peggie 2014). Fase pre-pupa akan berkembang menjadi pupa yang menggantung dengan menggunakan benang penyangga (Parsons 1999; Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014). Fase pupa sering disebut sebagai kepompong. Pada fase pupa terlihat diam dan istirahat, namun yang terjadi sesungguhnya adalah proses perubahan sehingga akan terbentuk kupu-kupu dewasa (imago) yang akan keluar dari kepompongnya setelah sekitar 10-12 hari (tergantung spesiesnya). Fase imago adalah fase terakhir pada perkembangan kupu-kupu. Setelah imago, aktivitas kupu-kupu adalah mencari nektar sebagai makanannya dan jantan akan mencari pasangannya kemudian melakukan perkawinan. Kemudian betina akan bertelur untuk kelanjutan siklus hidupnya (Parsons 1999; Triplehorn & Johnson 2005; Peggie 2014).

    Klasifikasi dan Deskripsi Kupu-kupu

    Kupu-kupu merupakan bagian dari ordo Lepidoptera yang terdiri atas dua subfamili yaitu, Hesperioidea dan Papilionoidea. Subfamili Hesperioidea hanya terdapat satu famili yaitu Hesperiidae. Papilionoidea terdiri atas famili Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae, dan Nymphalidae (Kristensen et al. 2007). Hesperiidae memiliki ukuran tubuh kecil hingga sedang, antena kiri dan kanan berjauhan dan memiliki siku pada ujungnya. Umumnya tubuh berwarna coklat dan terkadang bercak putih atau kuning. Hesperiidae aktif pada siang hingga sore hari (krepuskular). Karakter yang membedakan Hesperiidae dengan famili kupu-kupu yang lainnya adalah terdapat cakar pada tarsi depan (Kristensen et al. 2007; Peggie 2014).

    Famili Papilionidae memiliki karakteristik dengan warna yang menarik dan ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan famili yang lainnya (Kristensen et al. 2007; Peggie 2014). Beberapa spesies memiliki ekor pada ujung sayap belakang yang menyerupai sendok spatula yang disebut papil (Peggie 2014). Ukuran sayap kupu-kupu dapat mencapai 19 cm, misalnya dari genus Ornithoptera sehingga disebut sebagai kupu-kupu sayap burung (Parson 1999). Ciri khas dari Papilionidae adalah antena berdekatan, sayap depan dengan 2 vena yang bercabang setelah sel. Pada tibia belakang terdapat sepasang duri ujung (terminal spurs). Tibia depan dengan 1 duri median (epiphysis), sayap depan dengan vena 2A mencapai tepi bawah (posterior) (Peggie 2014). Karakteristik ini yang membedakan Papilionidae dengan Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae dan Nymphalidae. Famili Papilionidae terdiri atas 3 subfamili, yaitu Papilioninae (terdapat di seluruh dunia), subfamili Baroniinae (hanya 1 spesies di Meksiko) dan Subfamili Parnassiinae (terdapat di Eropa, Amerika Utara dan beberapa negara di Asia Tenggara, tidak terdapat di Indonesia) (Kristensen et al. 2007; Peggie 2014).

    Pieridae memiliki ukuran tubuh kecil hingga sedang dengan corak warna umumnya kuning dan putih (Parson 1999). Ciri khas dari Pieridae yang membedakannya dengan famili lainnya adalah tibia depan tanpa duri median,

  • 10

    sayap depan dengan vena 2A membentuk lengkung gabungan yang sangat pendek dengan vena 1A, tungkai depan berkembang dengan baik, dan tarsi dengan cakar bercabang dua. Famili Pieridae terdiri atas 4 subfamili, yaitu: Pierinae, Coliadinae, Dismorphiinae dan Pseudopontiinae (Triplehorn & Johnson 2005; Kristensen et al. 2007; Peggie 2014).

    Riodinidae memiliki ukuran tubuh kecil sampai sedang. Tarsus dari tungkai depan pada jantan seperti sikat (Triplehorn & Johnson 2005). Tarsus berkembang baik dengan 5 ruas pada betina. Pangkal antena dekat dengan tepi mata, ruas antena tanpa rigi memanjang, sayap belakang dengan vena humeral. Tungkai depan pada jantan mereduksi kurang dari setengah panjang tungkai tengah dan belakang, dengan koksa memanjang secara mencolok. Famili Riodinidae terdiri atas Subfamili Riodininae dan Nemeobiinae (Triplehorn & Johnson 2005; Kristensen et al. 2007; Peggie 2014).

    Famili Lycaenidae miliki karakteristik berukuran tubuh kecil, bewarna biru, ungu atau oranye dengan bercak metalik, hitam atau putih (Peggie 2014). Beberapa spesies mempunyai ekor sebagai perpanjangan sayap belakang. Tungkai depan pada kupu-kupu jantan tidak terlalu mengecil tetapi dengan tarsi yang pendek dan koksa tidak terlalu memanjang (Peggie 2014). Sayap belakang biasanya tanpa vena humeral. Keunikan dari famili Lycaenidae adalah pada fase ulat tidak semua memakan tumbuhan, namun ada yang memakan semut pohon (Subfamili Lyphyrinae), memakan kutu daun dan kutu sisik atau Coccidae (Subfamili Miletinae) (Peggie 2014). Famili Lycaenidae terdiri atas 8 subfamili, yaitu: Curetinae, Poritiinae, Lipteninae, Miletinae, Lyphyrinae, Lycaeninae, Theclinae dan Polyommatinae (Triplehorn & Johnson 2005; Kristensen et al. 2007; Peggie 2014).

    Famili Nymphalidae memiliki ukuran tubuh dari kecil hingga besar, dengan corak warna umumnya coklat, oranye, kuning, dan hitam Ciri khas Nymphalidae adalah pangkal antena terpisah dari tepi mata, ruas antena memiliki tiga rigi memanjang (tricarinate) pasangan tungkai depan pada kupu-kupu jantan dan betina biasanya tidak berkembang baik sehingga tidak berfungsi untuk berjalan (Peggie 2014). Pada kupu-kupu jantan, biasanya sepasang tungkai depan tertutup oleh kumpulan sisik yang padat menyerupai sikat, sehingga kupu-kupu ini juga dikenal sebagai kupu-kupu bertungkai sikat. Famili Nymphalidae terdiri atas 12 subfamili, yaitu Calinaginae (hanya terdapat di Himalaya dan Cina), Apaturinae, Biblidinae, Charaxinae, Cyrestinae, Danainae, Heliconiinae, Libytheinae, Limenitidinae, Nymphaliae, Pseudergolinae, dan Satyrinae (Triplehorn & Johnson 2005; Kristensen et al. 2007; Peggie 2014).

    Biodiversitas Kupu-kupu pada Lanskap yang Berbeda

    Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas yang tinggi, sehingga dikenal sebagai mega diversity country (Paknia et al. 2015). Biodiversitas mengacu kepada variasi sumber daya hayati yang dapat dilihat dari tingkat ekosistem (ecosystem biodiversity), spesies (species diversity), dan genetik (genetic diversity). Deforestasi menyebabkan kehilangan, kerusakan/degradasi dan fragmentasi habitat, yang memicu kepada penurunan biodiversitas. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan deforestasi, namun belum menunjukkan hasil yang optimal. Saat ini kawasan konservasi dan hutan lindung terfragmentasi

  • 11

    sehingga konektivitas habitat di dalam dan antara kawasan terganggu yang memicu penurunan biodiversitas. Inisiatif pengelola berbasis lanskap ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Upaya ini mencoba mengakomodasikan berbagai kepentingan dalam pengelolaan wilayah dalam skala lanskap (Wheeler et al. 2013).

    Lanskap dengan biodiversitas memiliki hubungan yang erat. Lanskap adalah sebuah area heterogen yang terbentuk dari berbagai tipe ekosistem yang saling berinteraksi (Forman & Godron 1986). Struktur lanskap berkaitan dengan tipe, distribusi, dimensi, dan bentuk komponen penyusun lanskap (Forman & Godron 1986). Fungsi lanskap berkaitan dengan barang dan jasa lingkungan yang disediakan oleh lanskap, meliputi fungsi produksi (pangan, sandang, papan, energi), habitat (tempat hidup biodiversitas), regulator (berbagai siklus di biosfer dan atmosfer) dan informasi (keindahan/rekreasi/kultural). Fungsi lanskap dalam hal distribusi energi, materi, dan spesies ditentukan oleh perbedaan struktur lanskap (Forman & Godron 1986).

    Perubahan lanskap adalah perubahan yang disebabkan oleh alterasi/gangguan (disturbance) pada struktur dan atau fungsi lanskap, baik berupa peristiwa alam ataupun gangguan manusia (Forman & Godron 1986). Gangguan terhadap fungsi tidak selalu mengubah struktur, namun gangguan pada struktur pasti akan mengubah fungsi lanskap (Forman & Godron 1986). Sebagai contoh, perubahan struktur lanskap melalui proses deforestasi hutan alam pasti akan mengubah penggunaan lanskap hutan (Forman & Godron 1986). Deforestasi tidak hanya menyebabkan pada penurunan biodiversitas dan kelimpahan flora dan fauna serta stok karbon, tetapi juga mengubah aliran permukaan/erosi (Prasetyo et al. 2009). Heterogenitas lanskap akan menurunkan keragaman spesies interior, sebaliknya akan meningkatkan keragaman edge spesies dan spesies yang membutuhkan dua atau lebih elemen lanskap (Forman & Godron 1986). Selain dari itu akan meningkatkan total potensi keberadaan spesies. Ekspansi dan kontraksi spesies diantara elemen lanskap dapat memengaruhi dan dipengaruhi oleh heterogenitas lanskap (Forman & Godron 1986). Laju distribusi/perpindahan hara mineral diantara elemen lanskap meningkat dengan adanya peningkatan intensitas gangguan (disturbance). Bila tidak terganggu, horisontal lanskap mempunyai kecenderungan untuk menjadi lebih homogen (Forman & Godron 1986). Sedangkan bila ada gangguan yang moderat, maka akan menjadi lebih heterogen, dan bila terjadi gangguan yang sangat besar maka akan dapat meningkatkan/menurunkan heterogenitas (Forman dan Godron 1986).

    Forman dan Godron (1986) mengungkapkan bahwa struktur lanskap dapat dibedakan menjadi patch atau fragmen, matriks dan koridor. Fragmen adalah area homogen yang dapat dibedakan dari daerah di sekitarnya, matriks adalah fragmen yang dominan sedangkan koridor adalah fragmen yang berbentuk memanjang (Forman & Godron 1986). Batas antara fragmen yang berbeda atau antara fragmen dan matriks disebut edge/tepi. Struktur lanskap dapat berubah karena adanya gangguan. Perubahan ini akan membawa konsekuensi pada perubahan komposisi spesies yang terdapat di dalamnya (Forman and Godron 1986).

    Edge adalah wilayah yang sangat istimewa, karena daerah ini dipengaruhi dua iklim mikro dari dua fragmen yang berbeda atau dari matriks (Forman & Godron 1986). Disturbance fragment adalah fragmen yang terbentuk sebagai hasil dari alterasi/gangguan pada matriks. Remnant fragment adalah fragmen yang

  • 12

    terbentuk dari matriks yang masih tersisa karena adanya gangguan (Forman and Godron 1986). Disturbance fragment akan mengubah sebagian kecil habitat asli menjadi habitat baru, yang memicu proses emigrasi, imigrasi spesies, tumbuhan dan satwa (Forman & Godron 1986). Spesies yang tidak bisa beradaptasi dengan habitat baru akan berpindah (emigrasi) atau menghilang (mati). Sebaliknya terbentuknya habitat baru mendorong kedatangan (imigrasi) spesies lain yang cocok dengan habitat baru (Forman & Godron 1986). Sebagian besar habitat asli pada remnant fragment telah hilang dan digantikan dengan habitat baru. Contoh dari pembentukan fragmen ini misalnya aktivitas pertambangan yang menyisakan sebagian kecil fragmen hutan, pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan luas puluhan ribu hektar menggantikan hutan alam (Forman & Godron 1986). Habitat asli berupa hutan alam hanya tersisa berupa fragmen-fragmen pada areal yang sangat sempit. Proses pembentukan remnant fragmen seperti ini menyebabkan kehilangan, fragmentasi dan isolasi habitat yang mendorong kepunahan spesies (Forman & Godron 1986).

    Fragment hutan mempunyai fungsi hidrologi di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), sekaligus mempunyai fungsi konservasi sebagai habitat satwa yang bisa bergerak melintas batas DAS, melintas batas administrasi wilayah, dan mempunyai fungsi ekonomi sebagai sumber nafkah masyarakat yang hidup di sekitarnya atau dari luar daerah, serta menyimpan karbon yang berperan pada siklus karbon global (Forman & Godron 1986). Dalam konteks tersebut, menjadi jelas bahwa struktur lanskap dapat dibatasi namun fungsi lanskap dapat melampui batas DAS, administrasi pemerintahan kabupaten, propinsi, negara bahkan kontinen (Forman & Godron 1986). Hal ini membawa konsekuensi bahwa menentukan batasan lanskap (landscape boundary) sangat tergantung dengan proses yang berkaitan dengan fungsi lanskap tersebut. Pemahaman mengenai proses (misalnya aspek hidrologi) dan bioekologi spesies kajian (movement, dispersal, homerange/minimum habitat) menjadi bagian penting dalam menentukan batas lanskap. Wilayah jelajah (Homerange) spesies dapat berkisar bebarapa meter persegi hingga ribuan km2 (Forman & Godron 1986).

    Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi menimbulkan permasalahan bagi konservasi biodiversitas, yaitu kehilangan habitat (habitat loss), fragmentasi dan isolasi spesies di dalam dan diantara kawasan konservasi/kawasan lindung/kawasan yang menjadi pusat biodiversitas (Wheeler et al. 2013). Akibatnya spesies interior terisolasi pada habitat sempit, yang dapat memicu kepunahan terutama spesies yang berbadan besar. Selain dari itu, spesies yang mempunyai wilayah jelajah luas mengalami kesulitan berpindah dari satu kawasan konservasi ke kawasan yang lain. Tidak jarang terjadi konflik dengan masyarakat karena satwa tersebut masuk ke perkampungan/perkebunan dan menyebabkan kematian. Tidak jarang spesies tersebut juga menjadi target perburuan karena bernilai ekonomi tinggi (Allen & Barnes 2009). Faktor yang mendorong deforestasi dan degradasi hutan secara langsung (pressure) diantaranya; kepadatan populasi/demografi (Allen & Barnes, 2009), kepadatan penduduk bermata pencarian petani (Rudel & Roper, 1997; Sulistiyono, 2015), perluasan lahan pertanian (Allen & Barnes 2009; Verbist et al. 2005). Faktor pendorong secara tidak langsung diantaranya; harga komoditas kayu dan kelapa sawit yang tinggi (Wheeler et al. 2013), krisis ekonomi, destabilisasi makro-ekonomi (Sunderlin 2001) dan kebijakan serta kelembagaan (Geist & Lambin

  • 13

    2002). Barier (penghalang) yang menjadi aspek fisik yang bisa menahan laju deforestasi misalnya lereng dan elevasi (Wheeler et al. 2013; Purwanto et al. 2015).

    Pendekatan lanskap adalah pendekatan yang mengakomodasikan berbagai kepentingan terkait dengan penggunaan lahan yang saling bertentangan, yaitu antara fungsi ekonomi yang ekstraktif dan jasa lingkungan yang konservatif (Forman & Godron 1986). Pendekatan ini melalui proses yang partisipatif, sehingga memakan waktu lama karena tarik ulur berbagai kepentingan. Pada akhirnya diharapkan akan terbentuk sebuah tata ruang dan tata kelola yang merupakan kompromi dari berbagai kepentingan, yang didukung oleh semua pihak yang berperan di dalam lanskap tersebut. Namun masih banyak yang belum mengetahui hakekat lanskap dan pengaruhnya pada konservasi biodiversitas (Wheeler et al. 2013).

    Berbagai pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi deforestasi dengan mengajukan konsep berbasis lanskap diantaranya: landscape approach dari WWF, Sustainable Landscape Approach (SLP) dari Conservation International (CI), Integrated Landscape Management (ILM) dari UNEP, integrated landscape approach dari CIFOR (Reed et al. 2016), sustainable landscape dari USAID, pengembangan konservasi bentang alam skala besar (Prasetyo 2017; Reed et al. 2016). Walaupun dengan terminologi berbeda-beda pendekatan tersebut di atas sepakat bahwa lanskap adalah multi fungsi, dan multi pihak sehingga pengelolaannya harus dilakukan secara partisipatif dan kolaboratif (Prasetyo 2017).

    Konsep menentukan batasan lanskap prioritas berdasarkan luas wilayah jelajah spesies dikenal dengan pendekatan menggunakan spesies payung (umbrella species) (Simberloff, 1998). Asumsi pendekatan ini adalah bahwa apabila spesies payung dilindungi maka spesies lain akan selamat. Hipotesa ini memiliki kelemahan, karena wilayah jelajah spesies lain tidak selalu sama dengan spesies payung (Fontaine et al. 2007). Apabila tidak ada habitat yang tumpang tindih (overlap) maka konsep ini tidak efektif, sehingga pengelolaan lanskap dengan menggunakan lebih dari satu spesies payung (multi-species umbrella) akan lebih baik (Lambeck 1997). Membedakan lanskap menjadi elemen penyusunnya pada dasarnya adalah pandangan anthropocentris (human centris), yaitu memilah struktur lanskap dari perspektif manusia. Hidupan liar memandang heterogenitas dan skala lanskap dengan cara yang berbeda. Persepsi lingkungan, heterogenitas dan skala burung elang dan kupu-kupu sangat berbeda (McGarigal & Marks 1994).

    Penelitian biodiversitas di habitat tepi di Indonesia masih sedikit. Walaupun habitat tepi mempunyai peranan yang sangat penting. Edge mempunyai kelimpahan jenis dan species yang besar, karena efek aditif dari fauna disebabkan adanya pertemuan fragmen/matriks yang berbeda (Chen et al. 1992). Primata yg umumnya adalah interior spesies, lebih membutuhkan interior area dari pada edge dan setiap spesies mempunyai respon yang berbeda terhadap edge (Malcolm 1994).

    Proses fragmentasi adalah perubahan struktur lanskap dari lanskap homogen menjadi lanskap heterogen yang tersusun dari beragam tipe, ukuran dan bentuk fragmen membawa konsekuensi pada perubahan penggunaan lanskap (Forman & Godron 1986). Lanskap homogen/kompak (compact) mempunyai interior yang

  • 14

    luas namun area edge sempit, sebaliknya lanskap heterogen (fragmented) akan mempunyai interior area kecil dan edge yang sangat luas (Malcolm 1994). Sehingga akan terjadi perubahan komposisi spesies (Forman & Godron, 1986). Fragmentasi habitat akan meningkatkan biodiversitas dan kelimpahan edge spesies serta menurunkan interior spesies (Malcolm 1994). Lanskap yang terfragmentasi akan rentan dengan invasi spesies tumbuhan invasif, karena semakin banyak tempat yang terbuka (Forman & Godron, 1986). Perubahan lanskap dari homogen menjadi heterogen menyebabkan perubahan biodiversitas habitat yang membawa konsekuensi pada perubahan sumber daya (resources) (Forman & Godron, 1986). Dalam kaitannya dengan proses tersebut, ecologist membedakan spesies menjadi spesies specialis dan generalis (Forman & Godron, 1986). Spesies generalis dapat memanfaatkan lebih banyak resources dibandingkan dengan spesies spesialis (Forman & Godron, 1986). Spesies generalis mempunyai daya adaptasi yang lebih tinggi dan tidak terisolasi dibandingkan dengan spesialis karena keterbatasan sumber daya yang bisa dimanfaatkan (Forman & Godron, 1986). Konsekuensinya adalah spesies spesialis akan menghadapi kepunahan apabila terjadi perubahan lanskap (Forman & Godron, 1986).

    Kehadiran spesies interior spesialis hutan pada hutan yang sebelumya terganggu bisa menjadi indikasi bahwa ekosistem hutan tersebut telah membaik. Penelitian di Kalimantan Timur pada areal bekas kebakaran tahun 1998, dapat menemukan Maxomys whiteheadi dan Niniventre cremoriventer (Prasetyo et al., 2015), spesies mamalia kecil yang hanya dapat ditemukan di hutan. Pada level fragmen, proses fragmentasi akan menurunkan ukuran fragmen. Berdasarkan pada teori biogeografi pulau, biodiversitas spesies ditentukan oleh luas dan biodiversitas habitat (MacArthur & Wilson 1963). Biodiversitas juga dipengaruhi jarak dari pulau utama (main land). Semakin dekat dengan pulau utama maka semakin tinggi biodiversitasnya. Teori di atas diperkuat dengan penelitian Diamond (1975), menemukan jumlah spesies yang dapat ditampung oleh kawasan lindung dipengaruhi oleh luas kawasan lindung dan kedekatannya dengan kawasan lindung lain. Penelitian di Cianjur menemukan bahwa biodiversitas, kelimpahan, kemerataan spesies parasitoid Hymenoptera dipengaruhi oleh struktur lanskap (Yaherwandi et al. 2012). Ada kecenderungan semakin heterogen semakin tinggi biodiversitas parasitoid Hymenoptera (Yaherwandi et al. 2012).

    Pengelolaan biodiversitas pada sebuah lanskap membutuhkan informasi spasial berbagai aspek barkaitan dengan fisik, biologi, sosial dan ekonomi sebagai dasar untuk menentukan pilihan manajemen (Forman and Godron, 1986). Sebuah lanskap dengan jumlah Number Patch (NP) hutan yang tinggi dan Class Area (CA) yang kecil di lapangan akan tampak lebih terfragmentasi dibandingkan dengan sebuah lanskap dengan nilai NP rendah dan CA tinggi (Franklin 2010). Lanskap dengan nilai Shanon Diversity Index (SDI) tinggi akan lebih heterogen dibandingkan dengan yang bernilai lebih rendah (Franklin 2010). Kombinasi dua atau lebih nilai indeks akan dapat memberikan gambaran struktur lanskap secara lebih lengkap (Franklin 2010). Indeks lanskap ini juga dapat digunakan sebagai proxy untuk mengetahui kondisi biodiversitas (Franklin 2010). Nilai struktur lanskap dapat juga digunakan sebagai alternatif variabel bebas dalam analisis kuantitatif yang berhubungan dengan keberadaan spesies (presence/absence), kelimpahan dan biodiversitas spesies (Franklin 2010). Untuk objek yang bergerak,

  • 15

    diperlukan sebuah pendekatan dan biasanya menggunakan sebuah model spasial eksplisit (spatial explicit model), diantaranya Model Distribusi Spesies/Species Distribution Model (SDM), disebut juga species niche model atau ecological niche model atau niche theory model (Franklin, 2010). Model ini menghubungkan keberadaan spesies dengan berbagai komponen habitat yang memengaruhi keberadaan spesies (Franklin 2010).

    Mengingat laju konversi penggunaan lahan hutan alam di Pulau Sumatera menjadi peruntukkan perkebunan, hutan tanaman, lahan pertanian, transmigrasi, pertambangan, dan infrastruktur lain, sangat mungkin kehilangan bahkan punahnya spesies endemik di Pulau Sumatera, sehingga perlu diantisipasi sedini mungkin (Teuscher et al. 2016). Salah satu cara adalah dengan memadukan lanskap dengan fungsi ekologis (Franklin 2010).

  • 3 KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUPU-KUPU

    PADA EMPAT TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI LANSKAP

    BUKIT DUABELAS DAN HUTAN HARAPAN, JAMBI,

    SUMATERA

    Abstrak

    Transformasi habitat di hutan hujan dapat memengaruhi keanekaragaman hayati dan struktur komunitas kupu-kupu. Perubahan ini akan menyebabkan kualitas jasa ekosistem menjadi menurun. Penelitian ini mengkaji pengaruh transformasi hutan terhadap keanekaragaman kupu-kupu. Penelitian dilakukan pada empat jenis penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas: hutan heterogen, hutan karet, kebun karet, dan kebun sawit. Penelitian di lanskap Hutan Harapan juga terdapat empat penggunaan lahan, yaitu: hutan heterogen, hutan karet, kebun karet, dan kebun sawit, serta adanya tambahan plot riparian khususnya di hutan riparian, kebun karet riparian, dan kebun sawit riparian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metode: menangkap kupu-kupu menggunakan jaring serangga dan menggunakan perangkap buah. Jumlah plot pengambilan sampel di lanskap Bukit Duabelas adalah 16 plot dan di Hutan Harapan 28 plot dengan luas per plot adalah 50m x 50m. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode scan sampling untuk setiap penggunaan lahan. Kupu-kupu yang ditemukan dalam penelitian ini berjumlah 6.653 individu 198 spesies yang terdiri atas 106 genus, 19 subfamili, dan 5 famili (Lycaenidae, Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae dan Riodinidae). Keanekaragaman kupu-kupu lebih tinggi di lanskap Hutan Harapan (Hˈ=4,12; S=170, dan N= 3.310 individu) dibandingkan dengan di Bukit Duabelas (Hˈ=3,88; S=141, dan N=3.343 individu). Keanekaragaman kupu-kupu lebih tinggi pada penggunaan hutan (Hˈ=4,06) dibandingkan dengan penggunaan lahan hutan karet (Hˈ=3,88), kebun sawit (Hˈ=3,4), dan kebun karet (Hˈ=3,49). Pada plot pengamatan riparian dan tidak riparian tidak terdapat perbedaan keanekaraaman kupu-kupu yang signifikan.

    Kata kunci: bioindikator, hutan, kebun sawit, kebun karet, kupu-kupu, Sumatera

    Abstract

    Habitat transforming from the rainforest to other land use type can affect biodiversity and the structure of butterfly communities. This change will cause the quality of ecosystem services to decrease. This research aims to study the effect of rainforest transformation on butterfly diversity. Four types of land use in the Bukit Duabelas National Park and Hutan Harapan landscape were studied: forests, rubber forests, rubber plantations, and oil palm plantations. Riparian sites were also studied (riparian forest, riparian rubber plantation, and riparian oil palm plantation). The study was conducted using two methods: catching butterflies using insect nets and using fruit traps. The number of sampling plots in the Bukit Duabelas landscape are 16 plots and in Harapan Forest there are 28 plots with plot

  • 18

    size of 50m x 50m. Random sampling was carried out for each land use. The butterflies found in this study were 6,653 individuals from 198 species consisting of 106 genera of 19 subfamilies, and 5 families (Lycaenidae, Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae and Riodinidae). Butterfly diversity was higher in the Harapan Forest landscape (Hˈ=4.12; S=170, and N=3,310 individuals) compared to Bukit Duabelas (Hˈ=3.88; S=141, and N=3,343 individuals). Butterfly diversity was higher in forest (Hˈ=4.06) compared to land use for jungle rubber (Hˈ=3.88), oil palm plantations (Hˈ=3.4), and rubber plantations (Hˈ=3.49). In the riparian and non-riparian observation plots, there are no significant differences in the diversity of butterflies. Keywords: bioindicator, butterfly, forest, oil palm plantations, rubber, Sumatera

    Pendahuluan

    Daerah tropis merupakan habitat yang tepat untuk keanekaragaman hayati yang tinggi. Salah satu negara yang memiliki keanekargaman hayati yang kaya adalah Indonesia (Teuscher et al. 2016). Perubahan hutan tropis dalam skala besar menjadi lahan perkebunan berdampak pada berkurangnya dan bahkan hilangnya keanekaragaman hayati. Pembukaan hutan menjadi lahan perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit telah mengubah struktur komunitas ekosistem yang beranekaragam menjadi homogen (Sodhi et al. 2010; Teuscher et al. 2016). Perubahan lanskap dari heterogen menjadi homogen menyebabkan perubahan biodiversitas habitat yang membawa konsekuensi pada perubahan sumber daya. Perubahan ini berdampak bagi flora dan fauna yang ada di dalam ekosistem tersebut. Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi menimbulkan permasalahan bagi konservasi biodiversitas, yaitu kehilangan habitat (habitat loss), fragmentasi dan isolasi spesies di dalam dan diantara kawasan konservasi yang menjadi pusat biodiversitas (Wheeler et al. 2013). Salah satu dampak deforestasi dapat mengurangi populasi atau bahkan punahnya suatu spesies yang rentan terhadap perubahan habitat yang drastis yaitu spesies endemik (Sodhi et al. 2010). Hilangnya spesies endemik dari suatu habitat menandakan bahwa terjadi degradasi habitat. Dampak perubahan habitat berpengaruh pada tingkat populasi keanekaragaman hayati termasuk kupu-kupu.

    Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi ikut memengaruhi perubahan penggunaan lahan (Laurance 2007). Faktor pendorong perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung adalah harga komoditas kelapa sawit yang tinggi (Wheeleret al. 2013). Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit, akan memengaruhi populasi dan kelimpahan spesies kupu-kupu. Keanekaragaman kupu-kupu lebih tinggi ditemukan di hutan dibandingkan dengan habitat perkebunan (Spitzer et al. 1993; Panjaitan 2011). Habitat hutan memiliki struktur komunitas yang kompleks. Salah satu kriteria habitat kupu-kupu yang optimum adalah hutan karena mampu menyediakan ruang dan makanan yang cukup untuk keberlangsungan hidup kupu-kupu. Dengan demikian perlu dilakukan kajian pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap keanekaragaman kupu-kupu.

    Kupu-kupu digolongkan ke dalam superfamili Papilionoidea terdiri atas Famili Papilionidae, Pieridae, Riodinidae, Lycaenidae dan Nymphalidae (Borror et al. 1996; Kristensen et al. 2007). Kehadiran kupu-kupu sangat berkorelasi

  • 19

    dengan kehadiran tanaman inang tertentu, yang digunakan oleh imago untuk bertelur. Kehadiran tanaman inang tersebut, bergantung pada habitatnya. Dengan demikian, transformasi struktur habitat akan memengaruhi keanekaragaman hayati kupu-kupu (Nidup et al. 2014). Tanaman inang yang spesifik dan relatif mudah untuk diidentifikasi, membuat kupu-kupu menarik untuk dijadikan penilaian keanekaragaman hayati yang cepat di lapangan, dan sekaligus sebagai bio-indikator untuk perubahan lingkungan. Kupu-kupu penting secara ekologis sebagai polinator (Fukano et al. 2016). Laporan tentang populasi kupu-kupu disuatu areal juga penting untuk diketahui karena beberapa larva spesies kupu-kupu dapat menjadi hama pada lahan pertanian. Salah satu spesies kupu-kupu yang menjadi hama penting adalah Papilio demoleus yang dapat menurunkan produktivitas jeruk (Homziak & Homziak 2006).

    Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (2001) telah melakukan survei kupu-kupu di sebagian wilayah Taman Nasional Bukit Duabelas dan ditemukan 12 spesies kupu-kupu. Jumlah ini, mungkin merupakan perkiraan yang sedikit, mengingat 756 spesies telah dilaporkan terdapat di Sumatera pada tahun 1895 (de Nicéville & Martin 1895). Penelitian kekayaan spesies kupu-kupu juga pernah dilakukan di Hutan Kota Muhammad Sabki Kota Jambi, ditemukan 43 spesies (Estalita & Basukriadi 2012) dan di Taman Nasional Kerinci Seblat, ditemukan 230 spesies (Helmiyetti et al. 2014). Terlepas dari ketiga penelitian ini, belum ada data tentang kekayaan spesies dan keanekaragaman kupu-kupu yang mengkaji tentang perbedaan penggunaan lahan hutan, hutan karet, kebun sawit dan kebun karet di Jambi. Dengan demikian, perlu adanya kajian tentang keanekaragaman dan kelimpahan spesies kupu-kupu pada penggunaan lahan yang berbeda di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi.

    Rumusan Masalah

    Perubahan penggunaan lahan akan meyebabkan perubahan komposisi penyusun ekosistem suatu lanskap. Struktur komunitas kupu-kupu yang terdapat pada ekosistem hutan berbeda dengan komunitas kupu-kupu yang terdapat di areal lahan pertanian. Tingginya perubahan penggunaan lahan yang terjadi di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan akan berdampak pada komunitas kupu-kupu yang ada di kawasan tersebut. Perubahan penggunaan hutan sebagai habitat keanekaragaman flora dan fauna menjadi lahan perkebunan karet dan perkebunan sawit telah terjadi di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Hingga saat ini belum ada kajian keanekaragaman dan populasi kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Dengan demikian perlu ada penelitian untuk mengkaji keanekaragaman kupu-kupu pada lahan yang masih hutan, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet yang terdapat di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera.

    Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keanekaragaman dan kelimpahan populasi kupu-kupu pada lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi. Penelitian ini juga bertujuan menentukan keanekaragaman dan kelimpahan

  • 20

    kupu-kupu pada empat tipe penggunaan lahan, yaitu: hutan, hutan karet, kebun sawit, dan kebun karet.

    Metode

    Penelitian dilaksanakan di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi (Gambar 3.1) pada bulan Juli–Oktober 2017. Identifikasi dan preservasi spesimen dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB Bogor dan Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong.

    Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan

    Jambi (Drescher et al. 2016)

    Metode Penelitian

    Koleksi dan pengamatan keanekaragaman kupu-kupu dilakukan dengan survei langsung dengan menggunakan metode scan sampling (Martin & Bateson 1993) dan memasang banana trap (Daily & Ehrlich 1995). Metode scan sampling, dilakukan dengan mendata langsung spesies di sepanjang jalur yang sudah ada pada plot pengamatan. Plot pengamatan di lanskap Bukit Duabelas terdiri atas 4 tipe penggunaan lahan, yaitu hutan (4 plot), hutan karet (4 plot), kebun karet (4 plot), dan kebun kelapa sawit (4 plot). Plot pengamatan yang

  • 21

    terdapat di lanskap Hutan Harapan terdapat 7 tipe penggunaan lahan, yaitu hutan (4 plot), hutan riparian (4 plot), hutan karet (4 plot), kebun karet (4 plot), kebun karet riparian (4 plot), kebun kelapa sawit (4 plot), dan kebun kelapa sawit riparian (4 plot). Ukuran plot pengamatan 50m x 50m sebanyak 16 plot di lanskap Bukit Duabelas dan 28 plot di lanskap Hutan Harapan.

    Pengamatan kupu-kupu dilakukan dengan menghitung jumlah individu dan spesies kupu-kupu yang terlihat pada plot pengamatan (mengamati 10 m ke arah kiri dan ke kanan atau disesuaikan dengan jarak pandang dan keadaan lokasi pengamatan). Kupu-kupu dikoleksi dengan menggunakan pinset setelah dimatikan dengan memencet toraks kupu-kupu dan dimasukkan ke dalam amplop spesimen. Jumlah spesimen yang diambil mencakup 2 individu per spesies (sampel kering untuk keperluan identifikasi morfologi) dan 5 individu (bagian tungkai, toraks dan abdomen) ke dalam botol sampel yang telah diisi alkohol 98% (sampel basah untuk keperluan identifikasi secara molekuler). Kupu-kupu yang spesiesnya sama dengan yang telah dikoleksi, dihitung dan dilepaskan kembali ke luar plot pengamatan. Pengamatan keanekaragaman kupu-kupu dilakukan sebanyak 2 kali di setiap plot, pada dua periode, yaitu pagi dan siang hari. Periode pagi dilakukan pada pukul 08.00 – 12.00 WIB dan siang dilakukan pada pukul 13.00 – 17.00 WIB.

    Metode perangkap buah mengacu pada Daily dan Ehrlich (1995) yang dipasang di setiap plot yang sudah ditentukan. Perangkap sebanyak 2 buah dengan umpan pisang dan 2 buah perangkap dengan umpan nenas. Umpan yang dimasukkan ke dalam perangkap buah adalah buah pisang (untuk perangkap pisang) dan nenas (untuk perangkap nenas) yang telah difermentasi sebelumnya dengan menggunakan ragi selama 2 hari. Perangkap buah dipasang sebanyak 2 kali (2 hari) dan diamati setiap jam dari pagi (pukul 08.00 WIB) hingga sore hari dilepas (17.00 WIB), kemudian dipasang kembali pada hari kedua dan pada waktu yang sama. Kupu-kupu yang terperangkap di dalam perangkap buah dimasukkan ke dalam amplop spesimen untuk selanjutnya diidentifikasi.

    Preservasi dan Identifikasi Spesimen Kupu-kupu

    Preservasi kupu-kupu dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB dan di Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, LIPI Cibinong. Spesimen yang sudah dikoleksi dari lapangan dikeluarkan dari amplop spesimen, kemudian ditusuk pada bagian torak dengan menggunakan jarum serangga dengan posisi kupu-kupu tegak lurus dengan jarum. Jarum ditusuk kembali ke celah papan perentang dengan posisi sayap sejajar dengan kiri dan kanan papan perentang kemudian sayap, kepala, dan abdomen ditata sejajar dengan papan perentang dibantu dengan kertas papilot dan jarum pentul. Spesimen dan papan perentang dimasukkan ke dalam oven pada suhu 370C sampai spesimen kering sekitar satu minggu. Kemudian spesimen dikeluarkan dan dibuka dari papan perentang dan dimasukkan ke dalam kotak spesimen atau lemari penyimpanan spesimen. Spesimen kupu-kupu hasil penelitian disimpan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB, Bogor. Buku identifikasi yang digunakan adalah Parsons (1999), D‟Abrera (1990), Tsukada & Nishiyama (1981), Tsukada & Nishiyama (1982), Tsukada & Nishiyama (1985), Tsukada (1991), dan Seki et al. (1991).

  • 22

    Analisis Data

    Keanekaragaman kupu-kupu dihitung dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Hˈ), indeks Simpson (1-D) dan nilai Evenness (E) (Magurran 1988). Nilai dari indeks Shannon berkisar antara 1,5 – 3,5 dan jarang mencapai nilai 4.0 (Margalef 1972). Semakin tinggi nilai indeks H‟ maka semakin tinggi pula keanekaragaman spesies, produktivitas ekosistem, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem yang terdapat pada suatu lokasi. Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan nilai indeks Shannon-Wiener (Margalef 1972) adalah: Hˈ> 3= keragaman spesies tinggi; 1

  • 23

    Hasil dan Pembahasan

    Keanekaragaman Kupu-kupu pada Empat Penggunaan Lahan di Lanskap

    Bukit Duabelas dan Hutan Harapan Jambi

    Kupu-kupu yang ditemukan dalam penelitian ini berjumlah 6.653 individu dan 198 spesies yang terdiri atas 106 genus, 19 subfamili, dan 5 famili (Lycaenidae, Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae, dan Riodinidae) di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan, Jambi, Sumatera (Lampiran 1; Lampiran 2). Semua spesies tersebut tersebar pada penggunaan lahan hutan, hutan karet, kebun sawit dan kebun karet yang terdapat di lanskap Bukit Duabelas dan Hutan Harapan. Kupu-kupu yang paling banyak ditemukan dari Famili Nymphalidae (114 spesies), Lycaenidae (51 spesies), Papilionidae (16 spesies), Pieridae (11 spesies), dan Riodinidae (6 spesies). Keanekaragaman kupu-kupu lebih tinggi di lanskap Hutan Harapan (Hˈ=4,12; S=170, dan N=3.310 individu) dibandingkan dengan di Bukit Duabelas (Hˈ=3,88; S=141, dan N=3.343 individu). Secara keseluruhan keanaekaragaman kupu-kupu pada penelitian ini tergolong tinggi (Hˈ=4,15).

    Keanekaragaman Kupu-kupu di Lanskap Bukit Duabelas

    Jumlah kupu-kupu di lanskap Bukit Duabelas ditemukan sebanyak 5 famili, 17 subfamili, 85 genus, 141 spesies dan 3.343 individu (Tabel 3.1). Kelimpahan kupu-kupu yang ditemukan berbeda-beda dan terdapat perbedaan yang signifikan antara hutan dan kebun karet (p=0,001). Kupu-kupu ada yang ditemukan hanya 1 individu hingga 304 individu per spesies selama pengamatan pada 4 penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas.

    Tabel 3.1 Kekayaan dan indeks keanekaragaman kupu-kupu pada empat tipe

    penggunaan lahan di lanskap Bukit Duabelas

    Penggunaan

    Lahan Spesies

    Kelimpahan

    (Mean±SD)

    Indeks

    (Hˈ)

    Evenness

    (E)

    Indeks

    Simpson

    (1-D)

    Hutan 86 258,25±82,50 3,78 0,85 0,97 Hutan karet 85 210,75±34,99 3,70 0,83 0,96 Kebun sawit 74 246,5 ±46,88 3,15 0,73 0,92 Kebun karet 59 119,5 ±27,9 3,47 0,85 0,95 Total 141 208,75±73,21 3,89 0,78 0,96

    Ket: Mean±SD: nilai rata-rata dan standar deviasi

    Indeks keanekaragaman berdasarkan indeks Shannon-Wiener untuk lanskap Bukit Duabelas tergolong tinggi (Hˈ=3,89) (Tabel 3.1; Gambar 3.2). Indeks pada semua penggunaan lahan juga tergolong tinggi dengan nilai indeks di atas 3 dan mendekati nilai 4. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi dari ke empat penggunaan lahan terdapat pada hutan (Hˈ=3,78) dibandingkan dengan indeks

  • 24

    keanekaragaman pada penggunaan lahan hutan karet, kebun karet dan kebun sawit. Kekayaan spesies antara hutan dan hutan karet berbeda secara signifikan dengan kebun karet dan kebun sawit (p=0,001). Nilai evenness berkisar antara 0,73-0,85. Nilai indeks Simpson juga menunjukkan nilai yang tinggi dan medekati angka 1, artinya bahwa keanekaragaman spesies pada lanskap Bukit Duabelas tergolong tinggi.

    Gambar 3.2 Kekayaan spesies kupu-kupu pada emp