112
i STUDI LABORATORIUM FLUIDA PEMBORAN OIL BASE MUD BERBAHAN DASAR VICOIL BOPANPROG PADA TEMPERATURE 25C, 50C, 75C, 100C SKRIPSI Diajukan guna memenuhi syarat penulisan Skripsi untuk meraih gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Teknik Perminyakan Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta Oleh : MIFTAHUL IRHAMI 113160189/TM JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA 2021

studi laboratorium fluida pemboran oil base mud

Embed Size (px)

Citation preview

i

STUDI LABORATORIUM FLUIDA PEMBORAN OIL BASE MUD

BERBAHAN DASAR VICOIL BOPANPROG PADA TEMPERATURE

25⁰ C, 50⁰ C, 75⁰ C, 100⁰ C

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi syarat penulisan Skripsi

untuk meraih gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Teknik Perminyakan

Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Yogyakarta

Oleh :

MIFTAHUL IRHAMI

113160189/TM

JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

YOGYAKARTA

2021

ii

STUDI LABORATORIUM FLUIDA PEMBORAN OIL BASE MUD

BERBAHAN DASAR VICOIL BOPANPROG PADA TEMPERATURE

25⁰ C, 50⁰ C, 75⁰ C, 100⁰ C

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi syarat penulisan Skripsi

untuk meraih gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Teknik Perminyakan

Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Yogyakarta

Oleh :

MIFTAHUL IRHAMI

113160189/TM

Disetujui untuk Jurusan Teknik Perminyakan,

Fakultas Teknologi Mineral

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta,

Oleh Dosen Pembimbing:

Pembimbing I Pembimbimg II

Dr. Ir. H. KRT. Nur Suhascaryo, M.T Hariyadi, ST.,MT

iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa judul dan

keseluruhan isi Skripsi ini yang berjudul “STUDI LABORATORIUM FLUIDA

PEMBORAN OIL BASE MUD BERBAHAN DASAR VICOIL BOPANPROG

PADA TEMPERATURE 25⁰ C, 50⁰ C, 75⁰ C, 100⁰ C” adalah asli karya ilmiah

saya, dan saya menyatakan bahwa dalam rangka menyusun, berkonsultasi dengan

dosen pembimbing hingga menyelesaikan Skripsi ini tidak pernah melakukan

penjiplakan (plagiasi) terhadap karya orang atau pihak lain baik karya lisan maupun

tulisan, baik sengaja maupun tidak disengaja.

Saya menyatakan bahwa apabila dikemudian hari terbukti bahwa Skripsi

saya ini mengandung unsur penjiplakan (plagiasi) dari karya orang atau pihak lain,

maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya, diluar tanggung jawab Dosen

Pembimbing saya. Oleh karena itu saya, sanggup bertanggung jawab secara hukum

dan bersedia dibatalkan/dicabut gelar kesarjanaan saya oleh Otoritas/Rektor

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat. Terima kasih.

Yogyakarta, 09 Juli 2021

Yang menyatakan

Miftahul Irhami

NIM: 113160189

No.Telepon/HP : 081229775348/082277889712

Alamat e-Mail : [email protected]

Nama/Alamat Orang Tua : M. Thahir / Jln. Tower Gang Keluarga LK. VII,

Mutiara, Kota Kisaran Timur, Sumatera Utara

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada kedua orangtua saya tercinta,

terimakasih atas segala do’a dan dukungannya selama ini, terimakasih juga saya

sampaikan kepada saudara dan saudari saya, dan semua keluarga yang telah

mendukung dan mendo’akan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Kepada Bapak Nur dan Bapak Hariyadi yang selalu membimbing saya dan

selalu mengarahkan saya selama dalam penyusunan skripsi ini

Untuk sahabat dan teman-teman saya “SPEARHEADS16” yang telah banyak

berkontribusi dalam penyusunan skripsi ini.

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan berkat-Nya, Penulis

dapat menyelesaikan Skripsi di Jurusan Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi

Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta, dengan judul Skripsi “STUDI

LABORATORIUM FLUIDA PEMBORAN OIL BASE MUD BERBAHAN

DASAR VICOIL BOPANPROG PADA TEMPERATURE 25⁰ C, 50⁰ C,

75⁰ C, 100⁰ C”.

Perkenankan Penulis untuk memberikan rasa hormat dan terima kasih

kepada:

1. Dr. Mohhamad Irhas Effendi, M.S selaku Rektor UPN “Veteran” Yogyakarta.

2. Dr. Ir. Sutarto, MT. selaku Dekan Fakultas Teknologi Mineral UPN “Veteran”

Yogyakarta.

3. Dr. Boni Swadesi, ST.,MT. selaku Ketua Jurusan Teknik Perminyakan UPN

“Veteran” Yogyakarta.

4. Hariyadi, ST.,MT. selaku Koordinator S1 Program Studi Teknik Perminyakan

dan Pembimbing II Skripsi.

5. M.TH.Kristiati EA.,ST.,MT. selaku Sekertaris Jurusan Teknik Perminyakan

UPN ”Veteran” Yogyakarta.

6. Dr. Ir. H. KRT. Nur Suhascaryo, MT. selaku Pembimbing I Skripsi.

7. Kedua Orangtua yang telah memberikan dukungan moral maupun material.

8. Semua pihak yang telah membantu.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun.

Akhir kata penulis mengharapkan agar laporan ini sangat berguna baik bagi pribadi

maupun bagi pembaca sekalian.

Yogyakarta, 09 Juli 2021

Penulis

Miftahul Irhami

vi

RINGKASAN

Sifat lumpur yang berperan untuk mengangkat cutting adalah viskositas.

Selama operasi pemboran berlangsung, sering kita jumpai masalah-masalah di

dalam lubang sumur yang berkaitan dengan sifat fisik batuan yang sedang dibor.

Adapun masalah yang dihadapi diantaranya yaitu temperature yang bervariasi dari

suatu reservoir minyak dan gas berhubungan dengan kedalaman dari reservoir itu

sendiri. Hal ini mengikuti prinsip gradienthermal berkisar (1-2)º/100 m, artinya

untuk setiap penambahan kedalaman sebesar 100 m ke dalam perut bumi, terjadi

kenaikan temperature sebesar 1-2℃. Adanya perubahan temperature yang semakin

meningkat sangat berpengaruh terhadap karakteristik dan sifat fisik lumpur

pemboran. Semakin tinggi temperature yang mengenai lumpur pemboran akan

mengakibatkan turunnya viskositas lumpur tersebut. Penurunan nilai viskositas

lumpur pemboran akan mengakibatkan pengangkatan serpih pemboran (cutting) ke

permukaan kurang baik. Oil base mud dengan mengggunakan VICOIL sebagai fasa

cairnya diharapkan mampu menjadi material alternatif bagi oil based mud dalam

operasi pemboran.

Metodologi penelitian yang digunakan untuk Tugas Akhir ini adalah uji

laboratorium, Analisa dan Kesimpulan hasil penelitian. Dalam uji laboratorium ini

dilakukan dengan membuat tiga jenis lumpur Oil Base Mud VICOIL

BOPANPROG dengan perbedaan konsentrasi pada komposisi VICOIL dan Air

yaitu lumpur A (70% VICOIL:30% Air), lumpur B (80% VICOIL:20% Air),

lumpur C (90% VICOIL:10% Air) sedangkan untuk jenis dan komposisi additive

yang digunakan sama yaitu 15 gr CaCl + 8 gr H.Lime + 50 gr barite + 4 gr geltone

+ 6 gr carbotrol HT + 8 cc invermul + 2 cc ez mul . Selanjutnya, masing-masing

lumpur tersebut diukur mud properties-nya pada berbagai temperature (25℃, 50℃,

75℃, dan 100℃). Dari uji laboratorium ini akan terlihat perbedaan perubahan mud

properties masing-masing lumpur ketika terjadi kenaikan temperature. Kenaikan

temperature dapat mengurangi kualitas properties lumpur oil base mud VICOIL

BOPANPROG, bahkan pada temperature tertentu beberapa properties lumpur

sudah tidak sesuai dengan standar yang diinginkan.

Dari hasil uji laboratorium, gel strength sangat sensitif terhadap kenaikan

temperature, penurunan nilai gel strength sangat tinggi setelah mencapai

temperature 75 ℃ pada lumpur A. Sehingga pada temperature 75 ℃ gel strength

lumpur A sudah tidak memenuhi standar. Namun, untuk lumpur B dan C masih

memenuhi standar. Dari semua parameter mud properties belum ada lumpur yang

mampu bertahan pada temperature 100 ℃, lumpur A hanya memenuhi standar pada

temperature 50 ℃, lumpur B dan lumpur C hanya bertahan sampai temperature 75

℃. Jadi, untuk pemboran dengan temperature formasi lebih kecil dari 50 ℃,

formulasi lumpur A sudah bisa digunakan. Sedangkan, pemboran dengan

temperature lebih besar dari 75 ℃, formulasi lumpur harus diperbaiki.

Kata Kunci : Lumpur Pemboran, Oil Base Mud, VICOIL,Temperature

vii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ............................................. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

RINGKASAN ...................................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii

DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2

1.3. Maksud dan Tujuan .......................................................................................... 2

1.4. Metodologi ....................................................................................................... 2

1.5. Sistematika Penulisan........................................................................................ 3

BAB II. DASAR TEORI ....................................................................................... 5

2.1. Fungsi Lumpur Pemboran ................................................................................ 5

2.1.1. Mengangkat Cutting ke Permukaan ....................................................... 6

2.1.2. Menahan Tekanan Formasi .................................................................... 6

2.1.3. Mendinginkan dan Melumasi Bit dan Drillstring .................................. 7

2.1.4. Melindungi Dinding Lubang Bor Dengan Mud Cake ............................. 8

2.1.5. Mengurangi Efek Negatif pada Caving Formasi ................................... 9

2.1.6. Menahan Cutting dan Material Pemberat pada Suspensi Jika

Sirkulasi Lumpur Dihentikan Sementara ............................................. 10

2.1.7. Menahan Sebagian Berat Drillstring dan Casing ................................. 10

2.1.8. Mendapatkan Informasi dari Mud Logging .......................................... 10

2.1.9. Media Logging ...................................................................................... 11

2.2. Komponen Lumpur Pemboran ....................................................................... 11

2.2.1. Fasa Cair .............................................................................................. 11

2.2.1.1. Air ............................................................................................ 11

2.2.1.2. Emulsi ...................................................................................... 12

2.2.1.2.1. Oil in Water Emulsion .............................................. 12

viii

DAFTAR ISI

(lanjutan)

Halaman

2.2.1.2.2. Water in Oil Emulsion ............................................... 12

2.2.1.3. Minyak ..................................................................................... 12

2.2.2. Fasa Padat ............................................................................................ 13

2.2.2.1. Reactive Solid .......................................................................... 13

2.2.2.2. Innert Solid .............................................................................. 17

2.2.3. Fasa Kimia (Additive) .......................................................................... 17

2.2.3.1. Material Pemberat (Weighting Agent) ...................................... 18

2.2.3.2. Pengental (Viscosifier) .............................................................. 18

2.2.3.3. Pengencer (Thinner) ................................................................. 18

2.2.3.4. Fluid Loss Control Agent ......................................................... 18

2.2.3.5. Emulsifier ................................................................................. 19

2.2.3.6. Lost Circulation Material ......................................................... 19

2.2.3.7. Additive Khusus ........................................................................ 20

2.2.3.7.1. Flocculant ................................................................. 20

2.2.3.7.2. Corrosion Control Agent .......................................... 20

2.2.3.7.3. Defoamer .................................................................. 20

2.2.3.7.4. Pengatur pH (pH Adjuster) ....................................... 20

2.2.3.7.5. Pelumas Lumpur (Mud Lubricant) ........................... 21

2.3. Sifat-sifat Lumpur Pemboran .......................................................................... 22

2.3.1. Sifat Fisik Lumpur Pemboran .............................................................. 22

2.3.1.1. Densitas .................................................................................. 23

2.3.1.2. Sand Content............................................................................. 26

2.3.1.3. Viskositas Lumpur ................................................................... 27

2.3.1.4. Gel strength .............................................................................. 29

2.3.1.5. Volume Filtrat Dan Mud Cake ................................................. 30

2.3.2. Sifat Kimia Lumpur Pemboran ............................................................ 31

2.3.2.1. pH ............................................................................................ 32

2.3.2.2. Kesadahan ................................................................................. 32

2.3.2.3. Alkalinitas ................................................................................. 33

2.3.2.4. Salinitas .................................................................................... 34

2.4. Jenis – Jenis Lumpur Pemboran ..................................................................... 35

2.4.1. Water Based Mud ................................................................................. 35

2.4.1.1. Fresh Water Mud ...................................................................... 36

2.4.1.2. Salt Water Mud ........................................................................ 39

ix

DAFTAR ISI

(lanjutan)

Halaman

2.4.2. Oil Based Mud ..................................................................................... 40

2.4.2. Oil in Water Emulsion Mud (Emulsion Mud) ....................................... 42

2.4.3.1. Fresh Water in Water Emulsion Mud ....................................... 43

2.4.3.2. Salt Water Oil in Water Emulsion Mud ................................... 44

2.4.4. Gaseous Drilling Fluid ........................................................................ 44

2.5. Komponen Oil Base Mud ............................................................................... 44

2.5.1. Diesel Oil atau Mineral Oil (Continous Phase) ................................... 44

2.5.2. Air (Discontinous Phase) ..................................................................... 45

2.5.3. Emulsifier ............................................................................................. 45

2.5.4. Viscosifier ............................................................................................ 46

2.5.5. Filtrat Reducer ..................................................................................... 46

2.5.6. Lime ...................................................................................................... 47

2.5.7. Material Pemberat ................................................................................ 47

2.6. Cara Pembuatan Oil Base Mud ....................................................................... 47

2.7. Fungsi Oil Base Mud ...................................................................................... 48

2.8. Sifat-sifat Oil Base Mud ................................................................................. 48

2.8.1. Aniline Number yang tinggi ................................................................. 48

2.8.2. Flash Point yang tinggi ........................................................................ 49

2.8.3. Pour Point yang tinggi ......................................................................... 49

2.8.4. Molekul Minyak yang Stabil ............................................................... 49

2.8.5. Mempunyai Bau dan Fluoresensi ........................................................ 49

2.9. Keuntungan dan Kelemahan Penggunaan Oil Base Mud .............................. 50

2.10. Penggunaan Virgin Coconut Oil (VICOIL) Sebagai OBM ......................... 51

2.10.1. Metode Pengolahan Virgin Coconut Oil (VICOIL) ........................... 52

2.10.2. Pembuatan Virgin Coconut Oil (VICOIL) Secara Tradisional .......... 54

BAB III. PROSEDUR DAN HASIL PENELITIAN ........................................ 57

3.1. Alat dan Bahan yang Digunakan .................................................................... 57

3.2. Aditif Yang Digunakan ................................................................................... 62

3.3. Perencanaan Sifat Fisik Lumpur Desain ........................................................ 63

3.4. Formulasi ....................................................................................................... 65

3.5. Tahapan Pengujian di Laboratorium .............................................................. 67

3.5.1. Pembuatan Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG ................ 67

x

DAFTAR ISI

(lanjutan)

Halaman

3.5.2. Pengukuran Sifat Fisik Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG

Pada Berbagai Temperature ........................................................................... 67

3.5.2.1. Pengukuran Densitas ................................................................ 68

3.5.2.2. Pengukuran Plastic Viscosity.................................................... 68

3.5.2.3. Pengukuran Yield Point ............................................................ 68

3.5.2.4. Pengukuran Gel strength .......................................................... 68

3.5.2.5. Pengukuran Volume Filtrat ...................................................... 69

3.5.2.6. Pengukuran Tebal Mud Cake ................................................... 69

3.5.2.7. Pengukuran pH ......................................................................... 69

3.6. Hasil Pengujian Laboratorium ....................................................................... 70

BAB IV. PEMBAHASAN ................................................................................... 79

4.1. Uji Laboratorium ............................................................................................. 80

4.2. Analisa Laboratorium...................................................................................... 80

BAB V. KESIMPULAN ...................................................................................... 85

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 86

LAMPIRAN .......................................................................................................... 87

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1. Diagram Alir Penelitian .................................................................... 4

Gambar 2.1. Kondisi Kesetimbangan antara Clay Montmorillonite dengan

Partikel Air ..................................................................................... 14

Gambar 2.2. Hubungan Tekanan Hidrostatik Lumpur Terhadap Laju

Pemboran ......................................................................................... 25

Gambar 2.3. Mixer Santan yang Sudah Dibuat .................................................... 56

Gambar 2.4. VICOIL Setelah Didiamkan 12 jam ................................................ 56

Gambar 3.1. Gelas Ukur....................................................................................... 57

Gambar 3.2. Timbangan Digital........................................................................... 58

Gambar 3.3. Thermometer ................................................................................... 58

Gambar 3.4. Thermo Cup ..................................................................................... 59

Gambar 3.5. Mud Mixer & Cup ........................................................................... 59

Gambar 3.6. Mud Balance ................................................................................... 60

Gambar 3.7. Fann VG Meter................................................................................ 60

Gambar 3.8. Filter Press ...................................................................................... 61

Gambar 3.9. Jangka Sorong ................................................................................. 62

Gambar 3.10. pH Paper Strip ................................................................................ 62

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel II-1 Spesifikasi Bentonit dari API .............................................................. 16

Tabel II-2 Material – Material Pemberat ............................................................. 21

Tabel II-3 Additive Lumpur Pemboran ................................................................ 22

Tabel II-4 Bahan Dasar dan Pelengkap ................................................................ 42

Tabel III-1 Additive yang Digunakan .................................................................... 63

Tabel III-2 Target Sifat Fisik Lumpur Oil Base Mud ........................................... 63

Tabel III-3 Formulasi Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG ............... 65

Tabel III-4 Hasil Penelitian Lumpur A ................................................................. 70

Tabel III-5 Hasil Penelitian Lumpur B ................................................................. 71

Tabel III-6 Hasil Penelitian Lumpur C ................................................................ 72

xiii

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 3.1. Densitas vs Temperature ..................................................................... 73

Grafik 3.2. Plastic Viscosity vs Temperature......................................................... 74

Grafik 3.3. Yield Point vs Temperature ................................................................ 75

Grafik 3.4. Gel strength 10” vs Temperature ....................................................... 75

Grafik 3.5. Gel strength 10’ vs Temperature ........................................................ 76

Grafik 3.6. Diagram Batang Volume Filtrat Vs Temperature .............................. 77

Grafik 3.7. Mud Cake Vs Temperature .................................................................. 77

Grafik 3.8. pH vs Temperature .............................................................................. 78

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada operasi pemboran, lumpur pemboran adalah bahan yang sangat vital.

Pemilihan dan penggunaan lumpur bor yang tepat sangat diperlukan, karena

kecepatan pemboran, efisiensi, dan biaya pemboran sangat tergantung pada

pemilihan dan penggunaan lumpur pemboran yang tepat.

Fungsi lumpur pemboran sangat bergantung pada sifat fisik dan sifat kimia

lumpur yang dirancang. Pengontrolan sifat fisik lumpur seperti densitas, plastic

viscosity, gel strength, yield point, dan filtrate loss sangat penting dilakukan supaya

fungsi lumpur pemboran sesuai dengan apa yang diharapkan. Sifat kimia lumpur

pada umumnya berkaitan erat dengan sifat fisik lumpur. Salah satu tantangan dalam

dunia teknik perminyakan adalah bagaimana menentukan komposisi lumpur

pemboran yang murah, ramah lingkungan, dan dapat berfungsi dengan baik sesuai

dengan karakteristik formasi yang ditembus.

Selama operasi pemboran berlangsung, sering kita jumpai masalah-masalah

didalam lubang sumur yang berkaitan dengan sifat fisik batuan yang sedang dibor.

Adapun masalah yang dihadapi diantaranya yaitu temperature yang bervariasi dari

suatu reservoir minyak dan gas berhubungan dengan kedalaman dari reservoir itu

sendiri. Hal ini mengikuti prinsip gradienthermal berkisar (1-2)º/100 m, artinya

untuk setiap penambahan kedalaman sebesar 100 m ke dalam perut bumi, terjadi

kenaikan temperature sebesar 1-2 ℃.

Adanya perubahan temperature yang semakin meningkat sangat

berpengaruh terhadap karakteristik dan sifat fisik lumpur pemboran. Untuk sumur-

sumur yang memiliki temperature tinggi, kita tidak bisa menggunakan lumpur pada

temperature rendah karena dengan meningkatnya temperature maka sifat rheology

lumpur pemboran akan mengalami perubahan. Semakin tinggi temperature yang

mengenai lumpur pemboran akan mengakibatkan turunnya viskositas lumpur

tersebut. Penurunan nilai viskositas lumpur pemboran akan mengakibatkan

2

pengangkatan serpih pemboran (cutting) ke permukaan kurang baik.

Keadaan ini mengakibatkan terendapkannya cutting di dasar lubang bor

yang mengakibatkan terjepitnya pipa pemboran (pipe sticking). Untuk menjamin

tetap berlangsungnya operasi pemboran, sekalipun menembus kedalaman yang

tinggi maka diupayakan untuk mencari alternatif yang tepat dalam pemilihan

lumpur dan aditifnya.

Untuk mengatasi perubahan kenaikan temperature dapat digunakan oil base

mud sebagai fluida pemboran. Namun, penggunaan oil base mud dapat

menimbulkan dampak lingkungan yang kurang baik sehingga di beberapa negara

sudah diberlakukan regulasi terkait penggunaannya. Penggunaan vegetable oil

berupa VICOIL sebagai bahan dasar oil base mud diharapkan bisa menjadi

alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut.

Penulis akan melakukan uji terhadap satu jenis lumpur berbahan dasar

minyak, yaitu VICOIL.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh penggunaan VICOIL terhadap sifat fisik dan rheology

oil base mud yang memenuhi standar API?

2. Bagaimana pengaruh penggunaan VICOIL sebagai lumpur oil base

terhadap variasi temperature.

1.3. Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti penggunaan VICOIL

sebagai lumpur oil base mud dengan komposisi lumpur yang di desain terhadap

variasi temperature yang diteliti.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui performa VICOIL

sebagai lumpur oil base mud terhadap variasi temperature yang di teliti, sehingga

dapat diketahui batasan penerapan temperature minimum dan maksimum dari

komposisi lumpur yang di desain.

3

1.4. Metodologi

Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah uji

laboratorium dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Penentuan Komposisi Lumpur Pemboran

Penentuan komposisi lumpur pemboran dilakukan dengan

mengidentifikasikan variasi temperature dan juga sifat fisik lumpur pemboran

yang ingin dicapai.

2. Pengujian sifat fisik lumpur oil based mud menggunakan VICOIL meliputi

pengujian rheology, filtration loss, dan pH.

1.5. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Skripsi ini yang berjudul, "STUDI

LABORATORIUM FLUIDA PEMBORAN OIL BASE MUD BERBAHAN

DASAR VICOIL BOPANPROG PADA TEMPERATURE 25⁰ C, 50⁰ C,

75⁰ C, 100⁰ C " terdiri dari lima (5) Bab, yaitu

Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, permasalahan,

maksud dan tujuan, metodologi, hasil yang diperoleh, dan sistematika penulisan

yang digunakan;

Bab II Tinjauan Pustaka yang berisi teori dasar lumpur pemboran.

Bahasan ini menyangkut tentang komposisi lumpur pemboran, jenis lumpur

pemboran, fungsi lumpur pemboran dan sifat-sifat lumpur pemboran;

Bab III Hasil Penelitian Laboratorium yang berisi tentang pengujian

rheology lumpur oil based desain;

Bab IV Pembahasan menguraikan pembahasan analisa hasil uji

laboratorium lumpur yang telah diperoleh;

Bab V Kesimpulan menjabarkan beberapa hal yang dapat disimpulkan dari

hasil analisis.

4

Diagram alir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1

Gambar 1.1. Diagram Alir Penelitian

5

BAB II

DASAR TEORI

Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting dalam operasi pemboran.

Kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pemboran sangat tergantung

dari lumpur pemboran yang dipakai. Lumpur pemboran diperkenalkan pertama kali

dalam pemboran putar pada sekitar awal tahun 1900. Pada mulanya orang hanya

menggunakan air untuk mengangkat serbuk bor (cutting) secara kontinyu. Dengan

berkembangnya teknologi pemboran, lumpur mulai digunakan. Fungsi lumpur pun

menjadi semakin kompleks, dan untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur tersebut

ditambahkan bahan-bahan kimia (aditif).

2.1. Fungsi Lumpur Pemboran

Meskipun hingga saat ini sangat banyak diperoleh berbagai merk lumpur

pemboran yang dikomersilkan untuk tujuan pemboran dalam berbagai kondisi,

fungsi utama lumpur adalah sebagai fluida yang berperan untuk keberhasilan suatu

program penyelesaian sumur. Sifat-sifat lumpur pemboran harus dapat memberikan

keamanan dan rate pemboran serta mampu mencapai komplesi sumur dengan

kapasitas produksi maksimum. Penggunaan lumpur dikontrol oleh sifat-sifat yang

sering dijumpai di lapangan yang akan menjadi obyek untuk proyek pemboran

dengan pertimbangan tersedianya biaya yang akan dianggarkan untuk penggunaan

dan perawatan lumpur. Dimana pengeluaran harus sesuai dengan perencanaan dan

efisien jika dilakukan penggunaan lumpur dengan fungsi yang dibutuhkan.

Walaupun semua lumpur memiliki fungsi yang sama, sifat-sifat lumpur

sangat dipengaruhi oleh pertimbangan untuk memfasilitasi keperluan rate,

keamanan dan program penyelesaian suatu sumur. Fungsi lumpur meliputi :

1. Mengangkat cutting ke permukaan.

2. Menahan tekanan formasi.

3. Mendinginkan dan melumasi bit dan drillstring.

4. Melindungi dinding lubang bor dengan mud cake.

6

5. Mengurangi efek negatif pada formasi.

6. Menahan Cutting dan Material Pemberat pada Suspensi jika Sirkulasi Lumpur

Dihentikan Sementara

7. Menahan sebagian berat drillstring dan casing

8. Mendapatkan informasi dari mud logging.

9. Media logging.

Diharapkan semua fungsi lumpur diatas dapat berjalan sesuai dengan tujuan

pemboran dan kondisi formasi yang akan dibor, karena program pemboran

dikatakan berhasil jika fungsi lumpur bisa memberikan hasil optimum dan dapat

mengatasi segala kendala selama proses pemboran.

2.1.1. Mengangkat Cutting ke Permukaan

Salah satu yang sangat penting dan mempunyai fungsi utama lumpur

pemboran adalah mengangkat cutting dari lubang sumur ke permukaan. Lumpur

yang mengalir keluar dari nozzle bit yang ditekan oleh tenaga jet akan

membersihkan permukaan lubang dan membawa cutting ke permukaan. Meskipun

gaya gravitasi cenderung menarik cutting kembali ke bawah (slip velocity), jika

kecepatan dari volume lumpur dan annular velocity yang mendorong ke arah atas

mencukupi atau lebih besar terhadap slip velocity maka cutting akan dapat diangkat

ke permukaan oleh lumpur. Annular velocity merupakan perbandingan antara pump

output (bbl/min) dibagi annular volume (bbl).

2.1.2. Menahan Tekanan Formasi

Pada formasi yang permeable, fluida yang berada disekitarnya akan

mendapat tekanan sebagai fungsi kedalaman sumur. Sehingga diperlukan lumpur

pemboran dengan densitas yang memadai untuk mengatasi tekanan formasi dan

juga untuk menahan influks fluida agar tidak menghambur ke dalam lubang sumur.

Disini lumpur harus mampu memberikan suatu tekanan hidrostatik yang cukup

untuk mengimbangi tekanan formasi. Kondisi pemboran overbalanced dilakukan

apabila tekanan yang terjadi disebabkan oleh tekanan kolom lumpur melebihi

tekanan formasinya. Sedangkan pemboran underbalanced biasanya dilakukan

7

untuk mendiskripsikan tekanan yang terjadi disebabkan oleh tekanan kolom lumpur

terlalu kecil untuk menahan tekanan formasinya.

Tekanan formasi umumnya adalah sekitar 0.465 psi/ft untuk salt water dan

0.433 psi/ft untuk fresh water. Pada tekanan yang normal, air dan padatan pemboran

telah cukup untuk Manahan tekanan formasi ini. Untuk tekanan yang lebih kecil

dari normal (subnormal), beberapa sumur dibor menggunakan lumpur dengan

densitas sekitar 9.5 ppg, densitas lumpur diperkecil agar lumpur tidak hilang masuk

ke formasi. Sebaliknya untuk tekanan lebih besar dari normal (abnormal), sumur

biasanya dibor menggunakan lumpur dengan densitas sekitar 18 ppg dengan

menambahkan barite untuk memperberat lumpur. Suatu situasi memerlukan

lumpur berdensitas besar untuk kedalaman dangkal dengan tekanan formasi yang

tinggi dan mengandung gas, dan kemungkinan terjadi kebocoran casing sehingga

menyebabkan tekanan diatas normal. Lumpur dengan densitas yang memadai

diharapkan mampu menahan tekanan formasi selama proses pemboran untuk

mencegah terjadinya blowout. Untuk itu perlu diperhitungkan keperluan tekanan

kolom lumpur agar bisa mengimbangi tekanan formasi, yaitu dengan memakai

persamaan :

𝑃𝑚 = 0.052 × 𝜌𝑚 × 𝐷 ......................................................................... .(2-1)

Keterangan :

Ph = Tekanan statik lumpur, psi.

𝜌𝑚 = Densitas lumpur, ppg.

D = Kedalaman, ft.

Perlu diketahui, bahwa tekanan pada formasi yang diakibatkan oleh fluida

pada saat mengalir (rumus diatas untuk keadaan statik) adalah tekanan yang

dihitung dengan rumus diatas ditambah dengan pressure loss (kehilangan tekanan)

pada annulus diatas formasi yang bersangkutan.

2.1.3. Mendinginkan dan Melumasi Bit dan Drillstring

Dengan pertimbangan bahwa sejumlah panas terjadi selama perputaran bit

dan drillstring yang dihasilkan oleh friksi pada bit dan beberapa titik dimana

8

drillstring berhubungan dengan dinding formasi. Dinding formasi hanya sebagian

kecil saja mampu menyerap panas karena keterbatasan secara fisik. Seda ngkan

kontak panas terbesar terjadi di sepanjang titik-titik sirkulasi lumpur hingga ke

permukaan.

Sifat lubricant (pelumas) lumpur dengan membentuk dinding film yang

tipis (mud cake) akan menjadi sangat penting karena pertimbangan penghematan

waktu dan biaya perawatan peralatan pemboran yaitu dengan mereduksi kerusakan

premature akibat panas friksi. Resistansi friksi oleh bit dalam pemboran dan

drillstring dalam berputar menentang bagian lubang sumur, jika tanpa adanya

lumpur, akan memberikan efek bit menjadi cepat panas dan tumpul dan drillpipe

menjadi abrasi. Dengan adanya lumpur mereduksi faktor friksi pada bit dan

drillpipe, juga menyerap panas yang terjadi. Resistansi film lumpur juga dapat

mengurangi beban friksi saat pipa dicabut. Semua lumpur yang disirkulasikan

merupakan lumpur yang mempunyai kriteria resitan terhadap panas dan cukup

mampu melumasi untuk mendinginkan bit dan drillstring.

2.1.4. Melindungi Dinding Lubang Bor dengan Mud Cake

Lumpur akan membuat mud cake atau lapisan zat padat tipis pada dinding

lubang bor. Pembentukan mud cake ini akan menyebabkan tertahannya aliran fluida

masuk ke formasi selanjutnya, adanya aliran yang masuk yaitu cairan dan padatan

yang akan menyebabkan padatan tersebut tersaring atau tertinggal yang disebut

sebagai mud cake. Cairan yang masuk kedalam formasi disebut filtrate.

Jika formasi terdapat belahan (cracked, fissured) dan bergua-gua

(cavernous) dengan tekanan overburden yang terjadi, maka menyebabkan volume

lumpur dan padatan akan terinvasi dari lubang sumur ke area sekitar formasi, ini

disebut sebagai lost circulation, dimana permeabilitas formasi terlalu besar untuk

suspensi lumpur yang masuk. Sedangkan jika permeabilitas formasi terlalu kecil

untuk suspensi padatan lumpur, hanya sebagian fluida saja yang lolos hilang masuk

disekitar dinding formasi, disebut dengan filtration loss. Sehingga dengan

mengontrol sifat-sifat lumpur, dampak negatif yang disebabkan adanya hilangnya

fluida dapat diatasi dengan membuat mud cake pada dinding lubang bor. Mud cake

9

dikehendaki yang tipis karena dengan demikian lubang bor tidak terlalu

dipersempit dan cairan tidak banyak yang hilang.

2.1.5. Mengurangi Efek Negatif pada Caving Formasi

Pada zona permeable, impermeable cake dibentuk pada permukaan dinding

lubang sumur saat pemboran. Lapisan ini biasanya disebut dengan mud cake yang

merupakan hasil invasi inisial dari fasa liquid lumpur pemboran ke dalam zona

permeable dan meninggalkan lapisan padatan, biasanya berupa plate clay, pada

permukaan formasi. Dengan meningkatnya invasi dan lamanya waktu, ketebalan

mud cake juga akan bertambah hingga menghasilkan impermeable cake yang kasar

membatasi invasi liquid lumpur. Mud cake juga membantu menguatkan dinding

lubang sumur sehingga dapat mencegah terjadinya caving pada formasi.

Caving formasi merupakan hasil dari perubahan faktor hidrasi dari shale

yang rentan oleh pengaruh air sehingga permukaan formasi mengembang dan

mudah rapuh akibat proses hidrasi dan akibat lebih lanjut menyebabkan terjadinya

filtration loss. Lapisan vertikal pada dinding sumur cenderung akan mudah runtuh

dan terjatuh dalam lubang dasar sumur jika diberikan tekanan yang besar atau

terdapat perbedaan densitas yang cukup besar antara formasi dengan lumpur

pemboran. Dalam kasus ini densitas lumpur harus dinaikkan dari satu hingga

beberapa pound per gallon. Gel strength lumpur juga sebaiknya dinaikkan untuk

menguatkan dan memberikan efek plastering di sepanjang permukaan dinding yang

mudah rapuh atau runtuh. Mud cake juga bisa dinaikkan dengan menambahkan

koloid atau dengan treatment kimiawi yang lainnya.

Sifat lumpur yang dapat membentuk mud cake sangat bermanfaat, karena

dapat mereduksi filtration loss akibat caving formasi lebih lanjut. Namun jika

ketebalan mud cake terlalu tebal akan menyebabkan kesulitan dalam menurunkan

atau mencabut drillstring atau run casing. Keberadaan mud cake yang terlalu tebal

juga menyebabkan mengurangi efektifitas sidewall coring

10

2.1.6. Menahan Cutting dan Material Pemberat pada Suspensi jika Sirkulasi

Lumpur Dihentikan Sementara

Salah satu hal terpenting dalam pemilihan lumpur yang baik adalah

kemampuannya untuk menahan dan membawa cutting dan material-material

pemberat lainnya saat sirkulai diberhentikan untuk sementara waktu. Selama proses

pemboran sirkulasi bisa diberhentikan hingga beberapa kali. Dalam pemboran

sumur yang dalam, penggantian bit memakan waktu beberapa jam. Jika padatan

pada saat itu tidak diperhatikan, maka pengendapannya akan mengalami sirkulasi

lagi (recirculation) dan akan menempel di sekitar bit yang dapat menyebabkan

stuck.

Sifat lumpur yang berfungsi untuk menahan cutting pada saat sirkulasi

dihentikan adalah gel strength. Sifat gel strength yang dapat menahan cutting agar

tidak jatuh kedasar lubang bor yang dapat menyebabkan regranding hingga dapat

menyebabkan stuck. Untuk memecahkan gel strength pada saat sirkulasi dilakukan

kembali membutuhkan tekanan yang besar, akan tetapi perlu diperhitungkan juga

karena apabila tekanan hidrostatik terlalu besar akan menyebabkan formasi pecah

juga.

2.1.7. Menahan Sebagian Berat Drillstring dan Casing

Drillstring dan casing di borehole akan mengalami gaya Buoyance yang

mendorong ke atas harus sebanding dengan berat yang dipindahkan oleh lumpur.

Perhitungan tersebut mendasari pertimbangan untuk mereduksi beban peralatan dan

struktur yang harus ditopang. Gaya Buoyance meningkat dengan bertambahnya

densitas lumpur dan mereduksi tegangan akibat beban drillstring dan casing pada

kedalaman sumur.

2.1.8. Mendapatkan Informasi dari Mud Logging

Mud logging adalah kegiatan mengumpulkan, merekam, dan menganalisa

data yang ada pada lumpur yang disirkulasikan. Dalam mud logging ini, lumpur

dianalisa untuk diketahui apakah mengandung hidrokarbon atau tidak (mud log),

sedangkan sampel log adalah menganalisa daripada cutting yang naik ke

permukaan, untuk menentukan formasi apa yang di bor.

11

2.1.9. Media Logging

Pada penentuan adanya minyak atau gas serta zona-zona air dan juga untuk

korelasi dan maksud-maksud lain, diadakan logging (memasukkan sejenis alat

antara lain alat listrik atau gamma ray / neutron) seperti misalnya electric logging,

yang mana memerlukan media penghantar arus listrik di lubang bor. Jenis lumpur

yang digunakan juga berpengaruh terhadap log yang digunakan, karena setiap jenis

log mempunyai keadaan, batasan pengukuran, dan optimasi masing-masing.

Misal untuk jenis lumpur water base mud (WBM), alat log yang dapat

digunakan antara lain SP log, Lateralog, Microlateralog, Microlog, induction log,

dll. Sedangkan untuk jenis lumpur oil base mud, alat log yang dapat digunakan

Gamma ray log. Ada juga alat log yang dapat digunakan untuk semua jenis lumpur

yakni neutron log. Selain jenis lumpur, kondisi lubang bor (open hole atau cased

hole) juga berpengaruh terhadap pemakaian alat log yang akan digunakan.

2.2. Komponen Lumpur Pemboran

Secara umum lumpur pemboran dapat dibagi menjadi tiga komponen atau

fasa, yaitu fasa cair, fasa padat dan fasa kimia. Proporsi dari masing-masing fasa

tersebut memberikan berbagai variasi sifat-sifat lumpur, sehingga komponen-

komponennya merupakan faktor penting dalam mengontrol fungsi lumpur

pemboran. Dimana formulasi komponen yang akan digunakan untuk lumpur

tergantung pada daerah operasi dan tipe formasi yang akan dibor.

2.2.1. Fasa Cair

Fasa cair dari lumpur bor merupakan komponen dasar dari lumpur yang

mana dapat berupa air dan minyak ataupun keduanya yang disebut dengan emulsi.

Emulsi ini dapat terdiri dari dua jenis emulsi minyak di dalam air atau emulsi air di

dalam minyak.

2.2.1.1. Air

Lebih dari 75% Lumpur pemboran menggunakan air, yang dapat dibagi

menjadi dua, yaitu air tawar dan air asin. Dengan rincian sebagai berikut :

Dikatakan air tawar dengan (kalau ada) kadar garam yang kecil (kurang dari

10000 ppm = 1 % berat garam).

12

Untuk air asin sendiri dapat dibagi menjadi dua, air asin jenuh (brine) dan

air asin tak jenuh.

Untuk pemilihan air hal ini tentu disesuaikan dengan lokasi setempat,

manakah yang mudah didapat dan disesuaikan juga dengan formasi yang akan

ditembus.

2.2.1.2. Emulsi

Invert emulsions adalah pencampuran minyak dengan air dimana emulsi

terdiri dari dua macam, yaitu :Water in oil Emulsion dan Oil in water emulsion.

2.2.1.2.1. Oil in Water Emulsion

Disini air merupakan fasa yang kontinyu dan minyak sebagai fasa yang

terelmusi. Air bisa mencapai 70 % volume sedangkan minyak sekitar 30 % volume.

2.2.1.2.2. Water in Oil Emulsion

Disini fasa kontinyu yang dimaksud adalah minyak sedangkan fasa yang

terelmusi adalah air. Minyak bisa mencapai sekitar 50 – 70% volume (sebagai fasa

kontinyu) sedangkan air 30 – 50% volume (sebagai fasa diskontinyu).

2.2.1.3. Minyak

Fasa cair yang berupa minyak, maka minyak yang digunakan merupakan

minyak yang diolah (refined oil). Minyak yang digunakan harus mempunyai sifat-

sifat sebagai berikut:

Aniline number yang tinggi. Aniline number merupakan suatu besaran yang

menunjukkan kemampuan untuk melarutkan karet. Makin tinggi aniline number

suatu minyak maka kemampuan melarutkan karet makin kecil. Dalam operasi

pemboran banyak peralatan yang dilewati lumpur berupa karet, seperti pada

pompa lumpur, packer, plug untuk penyemenan dan lain-lain.

Flash point yang tinggi. Flash point atau titik nyala adalah keadaan dimana

minyak akan menyala. Makin rendah flash point suatu minyak, maka penyalaan

akan cepat terjadi, atau minyak makin cepat terbakar.

Pour point yang rendah. Pour point adalah suatu keadaan diamana

menunjukkan pada temperature berapa minyak akan membeku. Jadi kita tidak

menginginkan lumpur bahan dasar minyak yang cepat membeku.

13

Molekul minyak yang stabil, dengan kata lain tidak mudah terpecah-pecah.

Mempunyai bau serta fluorencensi yang berbeda dengan minyak mentah (crude

oil). Kalau tidak demikian maka akan sulit untuk menyelidiki apakah minyak

berasal dari formasi yang ditembus atau berasal dari bahan dasar dari lumpur.

2.2.2. Fasa Padatan

Fasa solid merupakan fasa padatan yang ditambahkan dalam lumpur yang

berfungsi untuk memberikan kenaikan berat jenis dan untuk membuat lumpur

mempunyai kekentalan tertentu. Secara garis besar, berdasarkan daya

kerekatifannya terhadap komponen-komponen dalam lumpur dan kondisi

formasinya, fasa solid lumpur pemboran dikelompokkan menjadi dua, yaitu :inert

solid dan reactive solid.

2.2.2.1. Reactive Solid

Reactive solid atau fasa padatan yang bereaksi dengan sekelilingnya

membentuk koloid yang merupakan suspensi yang reaktif terdispersi dalam fasa

kontinyu (sifat koloid lumpur yang merupakan lembaran clay yang berukuran 10-

20 Amstrong dan terdispersi dalam fasa kontinyu air). Dalam hal ini clay akan

menghisap fasa cair air dan memperbaiki lumpur dengan meningkatkan densitas,

viskositas, gel strength serta mengurangi fluid loss. Mud engineer biasanya

membagi clay yang digunakan untuk lumpur menjadi tiga, yaitu: montmorillonite,

kaolinite dan illite.

Montmorillinite yang paling sering digunakan karena kemampuannya yang

mudah swelling menghasilkan clay yang homogenous bercampur dengan fresh

water. Dalam literatur pemboran manual, montmorillonite direferensikan dengan

bentonit, karena bentonit identik dengan clay montmorillonite. Montmorillonite

merupakan material berbentuk seperti plat atau lempengan tipis dengan ukuran

partikelnya lebih kecil dari 0.1 mikron. Semakin kecil ukuran partikelnya, maka

semakin luas bidang kontak antara partikel solid dengan media cairannya, sehingga

interconnected properties (sifat saling berhubungan) dengan medianya besar, maka

reaktifitasnya menjadi lebih tinggi terhadap fasa cair lumpur pemboran.

14

Bentonit merupakan koloid yang sangat reaktif yang mempengaruhi sifat

fisik dan kimiawi lumpur pemboran. Sedangkan clay attapulgite, yang dapat

swelling dalam air asin, biasanya digunakan dalam kondisi lumpur salt water. Clay

yang merupakan reactive solid dapat didefinisikan sebagai padatan yang

diameternya kurang lebih 2 mikron yang mampu menyerap air sehingga

mempunyai kemampuan swelling. Kemampuan swelling ini dipengaruhi oleh gaya

diferensial yang bekerja pada partikel clay, yang merupakan hasil dari gaya tolak-

menolak antara ion-ion sejenis dan gaya tarik-menarik antara ion-ion tak sejenis di

permukaan plat clay.

Gambar 2.1.

Kondisi Kesetimbangan antara

Clay Montmorillonite dengan Partikel Air

(Rudi Rubiandini, “Teknik Operasi Pemboran”, 2004)

Distribusi gaya-gaya tersebut ditentukan oleh sifat water-based mud yang

dikontrol oleh jenis elektrolit yang terlarut dan derajat pH pada fasa gas, yaitu

dengan menambahkan zat-zat additive lumpur pemboran. Kemampuan bentonit

untuk hidrasi kemudian terdispersi akan mengurangi keberadaan elektrolit dalam

air. Ketika bentonit ditambahkan fresh water terjadi empat kondisi kesetimbangan

antara bentonit dengan air, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1., yaitu:

aggregation (penggumpalan), flocculation, dispersion (menyebar), dan

deflocculation.

15

a. Aggregation (Agregasi)

Agregasi mengarah pada pembentukan plat yang lebih tebal, terjadi bila

antara muka dengan muka lempeng clay saling berkaitan satu dengan lainnya

dan tersebar di dalam fasa cairnya. Karena adanya gaya atraksi yang kuat antara

plat-plat clay maka yield point-nya menjadi tinggi (tertinggi dari keempat

sistem), gel strength-nya tinggi tapi non-progressive. Agregasi dapat disebabkan

oleh masuknya kation divalen ke cairan pengeboran, seperti Ca2+. Ini bisa terjadi

akibat dari penambahan kapur atau gipsum atau oleh pengeboran anhidrit atau

semen. Setelah peningkatan awal, viskositas akan berkurang seiring

bertambahnya waktu dan kenaikkan temperature ke beberapa nilai yang lebih

rendah dari yang semula.

b. Dispersion (Dispersi)

Pada sistem dispersi, lempengan-lempengan yang tersuspensi di dalam

larutan dalam keadaan tersebar merata dan tidak terdapat ikatan antara

permukaan maupun tepi dari lempengan-lempengan. Karena jumlah dari partikel

yang tersuspensi besar, maka akan mengakibatkan kenaikan pada viskositas dan

gel strength. Derajat terdispersinya tergantung kandungan elektrolit dalam fasa

cair, waktu, temperature, ion-ion yang dapat saling dipertukarkan serta

konsentrasi clay. Sistem penyebaran ini memberikan ukuran partikel-partikel

clay yang terkecil, sehingga viskositas plastik sistem ini adalah yang tertinggi.

Yield point cukup tinggi, gel strength rendah tapi progressive.

c. Flokulation (Flokulasi)

Flokulasi terjadi bila lempengan clay bergabung satu dengan lainnya,

dimana di dalam sistem akan terdapat ikatan muka dengan tepi lempeng, tepi

dengan tepi lempeng yang tidak tersebar secara merata di dalam fasa cairannya.

Flokulasi akan menyebabkan peningkatan viskositas, gelasi, dan fluid loss.

Tingkat keparahan dari peningkatan ini adalah fungsi dari gaya yang bekerja

pada partikel terkait dan jumlah partikel yang tersedia untuk dihubungkan.

Keadaan penyebaran ini bisa didapatkan dengan menambahkan garam

monovalent ke dalam lumpur. Yield point dan gel strength memiliki sifat

progressive tinggi karena adanya gaya atraksi antara plat-plat clay-nya.

16

d. Deflokulation (Deflokulasi)

Dalam sistem deflokulasi ini, plat-plat clay tersebar dalam kumpulan plat-plat

pada bidang permukaanya. Sistem ini bisa didapatkan dengan menambahkan

garam-garam divelent ke dalam sistem disperse. Plastic viscosity sistem ini

rendah, karena luas bidang singgung plat clay dengan fasa kontinyunya kecil.

yield point rendah dan gel strength memiliki sifat non progressive rendah.

Standar spesifikasi untuk lumpur berbahan dasar clay bentonit ditunjukkan

seperti pada Tabel II-1. berikut ini:

Tabel II-1

Spesifikasi Bentonit dari API

(American Petroleum Institute, 2010)

Requirement Standard

Viscometer dial reading at 600 RPM 30 cp, minimum

Plastic Viscosity, cp 8 cp, minimum

Yield point, lb/100 ft2 3 x PV, maksimum

Filtrate Volume 15 ml, maksimum

Residue of diameter greater than 75 µm Maksimum mass fraction 4 %

Bentonit kurang begitu mampu menghidrasi pada kondisi dimana air

mengandung elektrolit yang tinggi, sehingga clay jenis lainnya harus digunakan

untuk memberikan sifat reologi lumpur. Larutan elektrolit menghambat pertukaran

antara ion-ion positif dengan negatif pada fasa gas. Clay attapulgate dipakai

sebagai pengganti bentonit untuk memperbaiki sifat reologi lumpur saat menemui

air dengan kandungan elektrolit yang tinggi. Jenis clay ini berbeda dengan bentonit

dalam hal bentuk partikel-partikelnya, yang kecil silindris dan menyerupai jarum

daripada menyerupai plat. Viskositas yang dibentuk attapulgite sepenuhnya

tergantung pada pertalian jalinan dari partikel-partikel menyerupai jarum tersebut.

Pada permukaan formasi yang porous deposisi partikel tersebut akan mencegah

pergerakan air.

2.2.2.2. Innert Solid

Inert solid merupakan zat yang tidak bereaksi. Inert solid dengan berat jenis

rendah terdiri dari, pasir, chert limestone, dolomite, berbagai macam shale, dan

17

campuran dari berbagai macam mineral. Padatan-padatan ini dapat berasal dari

formasi yang dibor dan terbawa oleh lumpur, dan biasanya mempunyai ukuran

lebih besar dari 15 mikron, dan bersifat abrasif, sehingga dapat merusak peralatan

sirkulasi lumpur seperti liner pompa. Oleh karena itu padatan tersebut harus cepat

dibuang. Menurut klasifikasi API, pasir adalah setiap padatan yang berukuran lebih

besar dari 74 mikron, meskipun demikian setiap padatan yang berukuran lebih kecil

dari pasir dapat juga merusak peralatan.

Padatan dengan berat jenis tinggi (high-gravity solid) ditambahkan ke dalam

lumpur untuk menaikkan densitas. Padatan tersebut biasanya disebut sebagai

material pemberat (weighting material) dan lumpur pemboran yang mengandung

padatan tersebut disebut sebagai “lumpur berat”. Ada beberapa jenis high - gravity

solid yang pada saat ini banyak digunakan, yaitu:

a) Barite (Barium sulfat atau BaSO4) yang mempunyai specific gravity 4,2 dan

digunakan untuk membuat lumpur dengan berat jenis sampai 10 ppg (1,19

Kg/lt). Barite lebih banyak digunakan dibanding dengan bahan pemberat

yang lain, karena harganya murah dan tingkat kemurniannya cukup baik.

b) Lead sulphide, seperti galena yang digunakan sebagai material pemberat

karena specific gravitynya tinggi, yaitu antara 6,5 sampai 7, dan dapat

menghasilkan densitas lumpur sampai 35 ppg (4,16 Kg/lt).

c) Bijih besi, mempunyai specific gravity 5, tetapi lebih erosif dibanding

dengan bahan pemberat lainnya. Selain itu, bijih besi juga mengandung

bahan – bahan yang beracun.

2.2.3. Fasa Kimia (Additive)

Fasa kimia lazim dikenal dengan zat-zat aditif untuk lumpur pemboran.

Didalam lumpur pemboran selain terdiri atas komponen pokok lumpur, maka

ditambahkan additif yang berfungsi mengontrol dan memperbaiki sifat-sifat lumpur

agar sesuai dengan keadaan formasi yang dihadapi selama operasi pemboran.

Dalam memilih bahan kimia (aditif) lumpur pemboran untuk menentukan

komposisi dan perawatan sistem lumpur, harus mempertimbangkan beberapa hal

seperti fungsi dari aditif, batasan-batasan maksimum dari setiap aditif (seperti

temperature, range penambahan aditif). Bahan aditif tersebut meliputi : weighting

18

agent, viscosifier , thinner, filtration reducer, loss circulation material, viscosity

reducer, Emulsifier dan additive khusus lainnya. Additive yang digunakan untuk

mengontrol sifat lumpur dapat dibagi menjadi:

2.2.3.1. Material Pemberat (Weighting Agent)

Material pemberat adalah material yang memiliki specific gravity tinggi

yang ditambahkan kedalam lumpur untuk menaikkan densitas fluida guna

mengontrol tekanan formasi. Material pemberat yang digunakan dalam uji

laboratorium ini adalah Barite. Barite adalah batuan mineral yang memiliki

senyawa barium sulfat (BaSO4). Barite mempunyai specific gravity antara 4,2

sampai 4,6.

2.2.3.2. Pengental (Viscosifier)

Viscosifier adalah additive yang berfungsi untuk menaikkan viscositas dan

untuk menurunkan fluid loss. Ada beberapa macam bahan yang bisa digunakan

sebagai viscosifier, yaitu bentonite, geltone, attapulgite, asbestos, polimer, dan lime

atau semen.

2.2.3.3. Pengencer (Thinner)

Thinner merupakan senyawa yang berfungsi untuk menurunkan viscositas

dan gel strength lumpur pemboran. Viscositas berhubungan dengan seluruh

konsentrasi padatan atau interaksi antar partikel padatan. Contoh dari additive yang

berfungsi sebagai pengencer adalah quobracho, phosphate, sodium tannate dan

lignites.

2.2.3.4. Fluid Loss Control Agent

Fungsi dari Fluid Loss Control Agents adalah untuk:

a. Menjaga integritas lubang:

- Melindungi shale yang sensitif dengan air.

- Meminimalkan shale washout untuk mencapai casing-cement job yang lebih

baik.

b. Mengurangi fluid loss dalam formasi yang produktif:

- Mengurangi problem analisa Log.

19

- Meminimalkan kerusakan formasi yang dapat menurunkan produksi.

Didalam formasi yang permeabel, terjadinya filtration loss tergantung

pada kandungan distribusi ukuran partikel yang relatif tinggi dalam range 60%

kandungan padatan lumpur dalam ukuran diameter 0 – 1 mikron. Misal dalam

dispersi lumpur bentonite pada suatu sumur akan mempengaruhi kehilangan filtrat

yang lebih sedikit, sebab konsentrasinya lebih besar dari ukuran partikel-partikel

koloid dibanding dengan lumpur kaolinite atau attapulgite clay. Akan tetapi clay

tidak dapat digunakan hanya untuk mengontrol fluid loss karena merusak lumpur,

dimana viscositas fluida akan naik dengan naiknya kandungan clay.

2.2.3.5. Emulsifier

Emulsifier memungkinkan terjadinya dispersi mekanis dari dua macam

fluida yang tidak saling bercampur, membentuk fasa internal dan eksternal dan

secara kimiawi membentuk emulsi yang stabil. Pada prinsipnya Emulsifier adalah

additive yang mempunyai sifat:

- Heavy molecular weight soap.

- Menaikkan tegangan permukaan.

- Menghasilkan emulsi yang stabil.

- Cairan Emulsifier bekerja lebih cepat, tetapi tidak membentuk emulsi yang

ketat.

- Harus mempunyai stabilitas listrik 350 – 400 volt.

2.2.3.6. Lost Circulation Material

Merupakan material yang ditambahkan baik untuk mencegah lost

circulation atau untuk mendapatkan kembali sirkulasi setelah terjadi hilang

sirkulasi. Pada umumnya material ini digunakan tanpa banyak pertimbangan, yang

penting dapat menanggulangi problem hilang lumpur. Lost circulation material

berbentuk butiran kecil (granular), serpih (flakes), atau serat (fibrous), dan

diklasifikasikan mulai dari kasar, sedang dan halus. Campuran dari bahan – bahan

granular, flakes dan fibrous dirancang untuk menutup rekahan – rekahan kecil,

lapisan gravel dan zona yang permeabilitasnya tinggi.

20

2.2.3.7.Aditif Khusus

Aditif khusus dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu : flocculant,

corrosion control agent, defoamer, pH control, mud lubricant dan anti differential

sticking chemical.

2.2.3.7.1. Flocculant.

Flocculant merupakan polimer yang digunakan untuk mengikat padatan

yang berasal dari serbuk bor agar menggumpal, sehingga mudah diambil dengan

cara penyaringan atau pengendapan. Flokulasi adalah metode untuk memisahkan /

mengambil padatan serbuk bor yang berukuran koloid.

2.2.3.7.2. Corrosion Control Agent

Corrosion control agent diklasifikasikan sebagai:

- Inhibitor, misalnya: amine yang membentuk lapisan film

- Oxygen scavenger, misalnya: sodium sulfide

- Hydrogen sulfide scavenger, misalnya: copper carbonate, zinc compound atau

iron derivative.

2.2.3.7.3. Defoamer

Defoamer adalah surface active agent yang digunakan untuk memecah busa

dalam lumpur pemboran. Bahan kimia ini berupa aluminium stearate, octyl alcohol,

tributylophosphate, pine oil dan organic silicon.

2.2.3.7.4. Pengatur pH (pH Adjuster)

Penambahan bahan – bahan yang berfungsi untuk merubah pH sangat

diperlukan, karena beberapa additive memiliki harga pH yang rendah dan

pengoperasian optimum range pH sistem lumpur. Pada umumnya additive secara

alamiah bersifat asam, maka sebaiknya pH yang terlalu rendah harus dinaikan.

Pengaturan pH harus ditangani secara hati-hati, dengan menggunakan suatu

chemical barrel. Tidak menggunakan hopper atau dump secara langsung ke dalam

sistem. Secara umum, ada tiga macam pH ajuster, yaitu Sodium Hydroxide (Caustic

Soda), Potassium Hydroxide, dan Calsium Hydroxide. Sodium Hydroxide adalah

merupakan pH ajuster yang umum digunakan, sedangkan yang lainnya biasanya

digunakan untuk tujuan khusus.

21

2.2.3.7.5. Pelumas Lumpur (Mud Lubricant)

Lumpur juga digunakan sebagai pelumas bagi pahat dan drillstring akibat

adanya gesekan dengan batuan. Sebagai contoh adalah emulsified-oil, surfactant,

graphite, fine nutt shell dan synthetic plasticized material.

2.2.3.7.6. Anti Differential Sticking Additive

Dapat digunakan untuk mencegah atau mengatasi problem jepitan pipa

dengan cara menambahkan sejumlah bahan additive kedalam lumpur pemboran

sebelum mencapai zona yang diperkirakan terjadi jepitan pipa atau digunakan

sebagai fluida perendam (spotting fluid) untuk melepaskan jepitan. Bahan – bahan

yang biasa digunakan antara lain:

- Minyak – biasanya diesel oil.

- Surfanctant – oil wetting purpose.

- Suspension material to support barite.

Tabel II-2

Material – material Pemberat

(Amoco Production Company,2000)

Nama Nama Kimia Specific Gravity

rata - rata

Densitas

Lumpur

Maksimum

Barite

Galena

Calcium

Carbonate

Bar – Gain

Densimix

Barium Sulfate

Lead Sulfide

Calcium Carbonate

Ilmenite

Hematite (Itabrite ore)

4.25

6.6

2.7

4.5

5.1

20 – 22

28 – 32

12

21 – 23

24 – 26

22

Tabel II-3

Additive Lumpur Pemboran

(Amoco Production Company,2000)

Viscosifier

Bentonite

Attapulgite

Asbestos

Polymer

Lime or cement

Geltone

Weighting Material

Barite

Iron Oxide

Galena

Calcium Carbonate

Dissolved salt

Viscosity reducing chemical

Phosphate

Tannate

Lignite

Lignosulfonate

Sodium polyacrylate

Loss Circulation Material

Granular

Fibrous

Flaked

Slurry

Duratone

Emulsifier

Oil in water

Water in oil

Additif Khusus

Flocculant

Corrosion Control

Defoamer

pH control

Mud lubricant

Anti defferential sticking

material

2.3. Sifat-sifat Lumpur Pemboran

Komposisi dan sifat-sifat lumpur sangat berpengaruh pada pemboran.

Perencanaan casing, drilling rate dan completion dipengaruhi oleh lumpur yang

digunakan saat itu. Sifat-sifat lumpur terbagi menjadi dua yaitu sifat fisik dan sifat

kimia.

2.3.1. Sifat Fisik Lumpur Pemboran

Komposisi dari lumpur pemboran akan menentukan sifat-sifat fisik dan

performance dari lumpur itu sendiri. Sifat fisik lumpur memerlukan perhatian

23

dalam pemonitoran dan pengontrolan untuk menjaga fungsi-fungsi tertentu dalam

operasi pemboran.

2.3.1.1. Densitas

Densitas lumpur pemboran atau berat lumpur didefinisikan sebagai

perbandingan berat per unit volume lumpur. Sifat ini berpengaruh terhadap

pengontrolan tekanan subsurface dari formasi, sehingga dalam operasi pemboran

densitas lumpur harus selalu dikontrol terhadap kondisi formasinya agar diperoleh

performance atau kelakuan lumpur yang sesuai dengan fungsi yang diharapkan

terhadap formasi yang dibor.

Pengontrolan densitas lumpur dapat dilakukan dengan jalan penambahan

zat-zat aditif yang umum dipakai untuk memperbesar harga densitas antara lain

yaitu : barite (SG = 4.3), limestone (SG = 3.0), galena (SG = 7.0) dan bijih besi

(SG = 7.0). Sedangkan untuk memperkecil atau mengurangi densitas lumpur pada

umumnya dipakai aditif seperti air dan minyak. Cara lain untuk memperkecil

densitas adalah dengan jalan pengurangan kadar padatan lumpur di pemukaan.

Penambahan densitas lumpur dilakukan pada satu siklus sirkulasi

viskositasnya harus kecil karena dengan penambahan berat lumpur ini akan terjadi

kenaikan viskositas. Densitas lumpur dipengaruhi oleh temperature, densitas akan

turun jika temperaturenya naik. Satuan densitas dapat pula dinyatakan dalam

gradien tekanan dengan satuan-satuan yang umum dipakai adalah :

Pounds per gallon, ppg (lb/gallon)

Pounds per cubic feet (lb/cuft)

Psi per 100 feet depth (psi/1000ft)

Specific gravity (SG)

Perbedaan jenis lumpur pemboran memiliki range dalam penggunaan

densitas yang merupakan fungsi densitas dasar lumpur dan sifat gel strenght pada

pencampuran mixture lumpur. Gel stenght mempunyai hubungan secara langsung

dengan kemampuan fluida dalam menahan berat material dan cutting pemboran

ketika sirkulasi dihentikan.

24

Besarnya densitas akan menentukan tekanan hidrostatik kolom lumpur

pemboran seperti ditunjukkan pada persamaan berikut :

Depth4330338

P mm .

.

..................................................................... .(2-2)

Depth0520P mm . ..................................................................... .(2-3)

Keterangan :

Pm = Tekanan hidrostatik kolom lumpur, psi.

m = Densitas lumpur, ppg.

D = Depth, ft.

ppgW

ppgWSG

freshwater

mudmud ........................................................................ .(2-4)

Densitas air tawar adalah konstan, yaitu 8.33 ppg sehingga persamaan diatas

dapat berubah menjadi :

mudmud SG338W . ............................................................................ .(2-5)

Keterangan :

SGmud = Spesific gravity lumpur.

Wmud = Densitas lumpur, ppg.

Wfresh water = Densitas air, ppg.

Berat jenis Lumpur pemboran diukur dengan alat timbangan Lumpur (mud

balance), yaitu semacam alat penimbang yang disatu ujungnya berskala dan ujung

yang lainnya terdapat mangkok tempat lumpur yang akan ditentukan densitasnya.

Kalibrasi alat tersebut dapat dilakukan dengan air biasa harus menunjukan angka

8,33 lb/gal (ppg).

Di lapangan, densitas lumpur harus dikontrol agar dapat memberikan

tekanan hidrostatik yang cukup untuk mencegah masuknya cairan formasi ke dalam

25

lubang bor sehingga bisa menyebabkan kick bahkan blow out, tetapi tekanan

tersebut jangan terlalu besar sehingga menyebabkan formasi pecah dan lumpur

hilang ke dalam formasi. Oleh karena itu densitas lumpur pemboran perlu

direncanakan sebaik-baiknya dan disesuaikan dengan keadaan tekanan formasi.

Tekanan hidrostatik lumpur di dasar lubang akan mempengaruhi

kemampatan formasi di bawahnya yang akan dibor. Makin besar ρL , lapisan akan

makin mampat sehingga merupakan hambatan tambahan terhadap kemampuan

pahat untuk mengkoreknya, sehingga kemajuan pahat akan makin lambat.

Hubungan antara kecepatan pemboran dengan tekanan hidrostatik lumpur

di dasar lubang dapat dilihat pada Gambar 2.2. Dari gambar tersebut dapat dilihat,

bahwa makin besar tekanan hidrostatik, kecepatan atau laju pemboran semakin

kecil, dengan demikian untuk mencapai laju pemboran yang lebih cepat, dapat

begitu saja menurunkan berat jenis, tetapi hal ini harus mengingat akan

kemungkinan-kemunkinan yang dapat terjadi. API telah memberikan suatu

perkiraan untuk menentukan berat jenis lumpur pembora agar tidak terjadi suatu

kesuliatan, yaitu menambahkan batas faktor keselamatan sebesar 0.012 kg/cm

untuk tiap meter kedalaman.

Gambar 2.2.

Hubungan Tekanan Hidrostatik Lumpur Terhadap Laju Pemboran

(Adam T. Bourgoyne Jr., et.al., “Applied Drilling Engineering”, 1986)

26

2.3.1.2. Sand Content

Tercampurnya serpihan-serpihan formasi (cutting) ke dalam lumpur

pemboran akan dapat membawa pengaruh pada operasi pemboran. Serpihan-

serpihan pemboran yang biasanya berupa pasir dapat mempengaruhi karakteristik

lumpur yang disirkulasikan, dalam hal ini akan menambah densitas lumpur yang

telah mengalami sirkulasi. Bertambahnya densitas lumpur yang tersirkulasi ke

permukaan akan menambah beban pompa sirkulasi lumpur. Oleh karena itu setelah

lumpur disirkulasikan harus mengalami proses pembersihan untuk menghilangkan

partikel-partikel yang masuk ke dalam lumpur selama sirkulasi. Alat - alat ini, yang

biasanya disebut “Conditioning Equipment", adalah:

1) Shale Saker

Fungsinya membersihkan lumpur dari serpihan-serpihan atau cutting yang

berukuran besar.

2) Degasser

Untuk membersihkan lumpur dari gas yang masuk.

3) Desander

Untuk membersihkan lumpur dari partikel-partikel padatan yang berukuran kecil

yang bisa lolos dari shale shaker.

4) Desilter

Fungsinya sama dengan desander, tetapi desilter dapat membersihkan lumpur

dari partikel-partikel yang berukuran lebih kecil.

Sand content dari lumpur pemboran adalah adalah persen volume dari

partikel-partikel dengan diameternya lebih besar dari 74 mikron. Pengukuran sand

content dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan saringan tertentu.

Rumus untuk menentukan kandungan pasir (sand content) pada lumpur pemboran

adalah :

100m

s

V

Vn ....................................................................................... .(2-6)

Keterangan :

n = Kandungan pasir, %

27

sV = Volume pasir dalam lumpur, bbl

mV = Volume lumpur, bbl

Pengukuran Sand content di lapangan untuk mengetahui kontaminasi pasir

dalam lumpur pemboran. Kandungan pasir yang terlalu banyak dapat menaikkan

densitas lumpur. Kandungan pasir yang besar bisa menyebabkan kerja pompa

menjadi berat, serta bisa merusak pipa karna sifatnya yang abrasive.

2.3.1.3. Viskositas lumpur

Viskositas adalah tahanan fluida terhadap aliran. Viskositas merupakan sifat

fisik yang mengontrol besarnya shear stress akibat adanya pergeseran antar lapisan

fluida. Viskositas dapat pula didefinisikan sebagai perbandingan antara shear stress

(tekanan penggeser) dan shear rate (laju penggeseran).

Viskositas dan karakteristik reologi dari lumpur pemboran memiliki

pengaruh yang penting dalam kegiatan hole cleaning. Pada lumpur pemboran

berviskositas rendah cutting akan cepat mengendap sehingga sulit untuk

disirkulasikan ke permukaan. Umumnya, lumpur pemboran berviskositas tinggi

memiliki kemampuan lebih baik dalam mengangkat cutting.

Kebanyakan dari lumpur pemboran bersifat thixotropy, yang berarti lumpur

pemboran akan membentuk gel dalam kondisi statis. Karakteristik ini meyebabkan

lumpur pemboran dapat menahan cutting, seperti ketika sedang melakukan

penyambungan pipa dan situasi lain dimana lumpur tidak disirkulasikan. Lumpur

pemboran dengan shear rate rendah serta viskositas tinggi pada kondisi aliran

laminar, telah terbukti memiliki efisiensi yang paling baik dalam kegiatan hole

cleaning.

Viskositas lumpur pemboran dapat dihitung secara cepat dengan

menggunakan marsh funnel. Pengukuran lebih tepat di laboratorium menggunakan

alat viskometer. Alat yang biasa digunakan adalah Fann VG meter. Alat ini dapat

digunakan untuk mengukur plastic viscosity (PV) dan yield point (YP) dan gel

strength (GS). Plastic Viscosity adalah tahanan terhadap aliran fluida yang

disebabkan oleh gesekan antara benda padat di dalam lumpur. Yield Point adalah

28

tahanan terhadap aliran yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik antara partikel

dalam lumpur.

Untuk menentukan plastic viscosity (p) dan yield point (Yp) digunakan

persamaan berikut :

p = C600 – C300 ................................................................................(2-7)

Yp = C300 – p ....................................................................................(2-8)

Keterangan :

p = Plastic Viscosity, cp

Yp = Yield Point Bingham, lb/100 ft2

C600 = Dial reading pada 600 RPM, derajat

C300 = Dial reading pada 300 RPM, derajat

Penentuan harga shear stress dan shear rate didapatkan dari penyimpangan

skala penunjuk (dial reading) dan kecepatan rotasi (RPM) dari Fann VG

Viscometer yang diolah menjadi harga shear stress (dyne/cm2) dan shear rate (sec-

1). Dari harga shear rate dan shear stress tersebut maka akan didapatkan harga

apparent viscosity dalam satuan cp (centipoise).

Adapun persamaan tersebut sebagai berikut :

C 077.5 ...................................................................................... ...(2-7)

N 704.1 .................................................................................... ...(2-8)

Keterangan :

= Shear stress, dyne/cm2

= Shear rate, detik-1

C = Dial reading, derajat

N = Rotation per minute RPM dari rotor

Penentuan viskositas nyata ( a ) untuk setiap harga shear rate dihitung

berdasarkan hubungan:

100

a

...................................................................................... ...(2-9)

29

N

Ca

300

.................................................................................... .(2-10)

2.3.1.4. Gel strength

Gel strength merupakan sifat statik lumpur pemboran yang merupakan

suatu bentuk padatan dalam lumpur yang sirkulasinya dihentikan. Faktor penyebab

terbentuknya gel strength yaitu adanya gaya tarik-menarik dari partikel-partikel plat

clay sewaktu tidak ada sirkulasi. Gel strength didefinisikan sebagai gaya dalam

gram yang diperlukan untuk memecah standar gel menjadi lumpur. Sistem satuan

yang umum yang digunakan untuk gel strength adalah :

Gram dyne/cm2, dyne/cm2.

Gram pound/sqft, lb/100ft2.

Komponen-komponen pembentuk atau komponen aktif pembentuk lumpur

yang dapat menyebabkan gel strength antara lain : clay, shale dan bentonit yang

sudah memilki gaya tarik-menarik partikel platnya. Dalam suatu operasi pemboran,

gel strength dikontrol agar mendapatkan suatu performance lumpur yang sesuai

dengan fungsi yang diharapkan terhadap formasi yang dibor. Untuk standarisasi

pengukuran gel strength dilakukan dua kali, yaitu pada initial time yaitu 0 menit

atau tepat pada saat setelah sirkulasi lumpur dihentikan dan yang kedua yaitu

setelah 10 menit sirkulasi dihentikan. Hubungan gel dengan thixotropic, yaitu sifat

adanya gejala gel yang pecah dan menjadi lumpur pemboran kembali, kondisi ini

bersifat reversible.

Diwaktu lumpur bersikulasi yang berperan adalah viskositasnya. Sedangkan

diwaktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gel strenght. Lumpur

akan mengagar atau menjadi gel apabila tidak ada sirkulasi, hal ini disebabkan oleh

gaya tarik menarik antara partikel-partikel padatan lumpur. Gaya mengagar inilah

yang disebut dengan gel strenght.

Diwaktu lumpur berhenti melakukan sirkulasi, lumpur harus mempunyai

gel strenght yang dapat menahan cutting dan material pemberat lumpur agar jangan

30

turun. Akan tetapi kalau gel strenght terlalu tinggi akan menyebabkan terlalu berat

kerja lumpur untuk memulai sirkulasi kembali.

Walau pompa mempunyai daya yang kuat, pompa tidak boleh

memompakan lumpur dengan daya yang besar karena formasi bisa pecah. Misalnya

sirkulasi berhenti untuk penggatian bit. Agar formasi tidak pecah di dasar lubang

bor, maka sirkulasi dilakukan secara bertahap, dan sebelum melakukan sirkulasi

rotary table diputar lebih dahulu untuk memecah gel.

Tahap yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut: turunkan rangkaian

sepertiga kedalaman, lakukan sirkulasi dengan memutar rotay table terlebih dahulu.

Kemudian lakukan hal yang sama untuk dua pertiga kedalaman. Yang terakhir

lakukan hal yang sama bila bit sudah mencapai hampir ke dasar lubang. Biasanya

dengan cara tersebut gel sudah pecah dan tenaga yang diperlukan untuk sirkulasi

kembali dari lumpur tidak begitu besar, dan formasi tidak pecah.

2.3.1.5. Volume Filtrat Dan Mud Cake

Ketika terjadi kontak antara lumpur pemboran dengan batuan porous,

batuan tersebut akan bertindak sebagai “saringan” yang memungkinkan fluida dan

partikel-partikel kecil melewatinya. Fluida yang hilang ke dalam batuan tersebut

disebut "filtrate". Sedangkan lapisan partikel-partikel besar tertahan dipermukaan

batuan disebut filter cake atau mud cake. Proses filtrasi diatas hanya terjadi apabila

terdapat perbedaan tekanan positif ke arah batuan. Pada dasarnya ada dua jenis

filtration yang terjadi selama operasi pemboran yaitu static filtration dan dynamic

filtration. Static filtration terjadi jika lumpur berada dalam keadaan diam dan

dynamic filtration terjadi ketika lumpur disirkulasikan.

Persamaan yang umum digunakan untuk static filtration loss adalah:

5.0

1

212

t

tQQ

............................................................................... .(2-11)

Keterangan :

1Q = Fluid loss pada waktu t1, cm3

31

2Q = Fluid loss pada waktu t2, cm3

t = waktu filtrasi, menit

Apabila filtration loss dan pembentukan mud cake tidak dikontrol maka ia

akan menimbulkan berbagai masalah, baik selama operasi pemboran maupun

dalam evaluasi formasi dan tahap produksi. Mud cake yang tipis akan merupakan

bantalan yang baik antara pipa pemboran dan permukaan lubang bor. Mud cake

yang tebal akan menjepit pipa pemboran sehingga sulit diangkat dan diputar

sedangkan filtrat yang masuk ke formasi dapat menimbulkan damage pada

formasi.

Pembentukan mud cake dan filtration loss adalah dua kejadian dalam

pemboran yang berhubungan erat, baik waktu maupun kejadiannya maupun sebab

dan akibatnya. Oleh sebab itu maka pengukurannya dilakukan secara bersamaan

dengan menggunakan filter press.

Aplikasi lapangan dari percobaan ini adalah pada saat operasi pemboran,

yaitu membuat lumpur yang bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah selama

operasi pemboran berlangsung seperti pipa terjepit. Parameter mud cake yang tepat

adalah 0,08 cm sampai 0,2 cm. bila mud-nya tipis maka bisa menjadi bantalan

yang baik pipa pemboran dan mencegah masuknya formasi dalam sumur. Namun

jika terlalu besar atau tebal (>0.2 cm) maka akan menyebabkan pipa terjepit (pipe

sticking).

2.3.2. Sifat Kimia Lumpur Pemboran

Sifat kimia lumpur pemboran merupakan tingkat reaktifitas lumpur terhadap

kondisi formasi yang ditembus, terutama berkaitan dengan kandungan kimiawi

partikel-partikelnya. Seperti sifat fisik lumpur, sifat kimia juga sangat menentukan

fungsi lumpur, karena performance lumpur dapat berubah dengan adanya pengaruh

dari efek kimia partikelnya. Perubahan sifat kimia yang tidak sesuai maksud tujuan

pemboran akan menyulitkan pengontrolan lumpur sehingga treatment terhadap

sifat kimia harus selalu diperhatikan selama sirkulasi dilakukan. Semua sifat kimia

diharapkan mempu memberikan keuntungan yang menunjang fungsi lumpur

pemboran.

32

2.3.2.1. pH

pH sebagai salah satu sifat kimia lumpur pemboran merupakan penting di

dalam treatment pada suatu operasi pemboran. Untuk mengukur pH suatu lumpur

ada dua cara, yaitu Modified colorimetric method dan Electrometric method.

Modified colorimetric method dengan menggunakan paper strip. Cara

menggunakannya adalah celupkan kedalam filtrat lumpur yang akan diuji selama 3

detik, kemudian lihat perubahan warna pd kertas pH, cocokkan dengan tabel warna

yg ada di kotak dan segera diketahui pH dalam cairan tersebut.

Paper strip method tak dapat dipercaya apabila konsentrasi garam dari

contoh sangat tinggi, sedangkan electrometic method akan mempunyai kesalahan

besar untuk larutan yang mengandung ion Na dalam konsentrasi yang tinggi, selain

itu duperlukan koreksi temperature yang harus dilakukan dengan pengukuran pH

secara electrometric.

Konsentrasi ion hidrogen lumpur pemboran lebih tepatnya digambarkan

sebagai harga pH yang menunjukkan harga konsentrasi antara 1–14. pH dapat

mempengaruhi viskositas, bentonit dapat berfungsi dengan baik jika pH berada

dalam kisaran 7 sampai 9.5. Untuk meminimalisi shale problem pH 8.5 hingga 9.5

merupakan pH yang paling baik. Jika pH lebih dari 10 dapat menyebabkan shale

problem.

2.3.2.2. Kesadahan

Kesadahan lumpur adalah tingkat mineral yang terkandung dalam lumpur.

Lumpur dengan kandungan mineral yang tinggi disebut dengan total hardness.

Mineral yang terkandung dalam lumpur biasanya berupa ion, seperti ion kalsium

dan ion magnesium.

Kesadahan lumpur pemboran dilakukan dengan menyelidiki ion Ca dalam

lumpur, dimana kesadahan total lumpur adalah keadaan dimana berlaku sebagai

total hardness. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadahan total lumpur yaitu

terkontaminasinya lumpur dengan Ca dan Mg sebagai berikut :

33

Pemboran memasuki formasi anhidrat gipsum.

Penambahan hard make up water.

Persenyawaan dengan partikel yang mengandung Ca.

Influx air formasi memiliki kandungan Ca yang tinggi.

Kesadahan lumpur berkaitan erat dengan pH atau derajat keasaman air.

Diketahui, bahwa ion kalsium dan magnesium memiliki sifat basa, sehingga lumpur

yang memiliki tingkat kesadahan yang tinggi tentu akan membuat lumpur

cenderung memiliki sifat basa atau pH yang tinggi.

Apabila kesadahan lumpur tinggi maka akan mengakibatkan yield point

rendah, terjadinya water loss yang tinggi dan gel strength rate yang terlalu besar

sehingga untuk mengatasinya memerlukan banyak bentonit untuk membentuk gel

lumpur yang memadai.

2.3.2.3. Alkalinitas

Alkalinitas atau yang dikenal dengan total alkalinitas adalah konsentrasi

total unsur basa yang terkandung didalam lumpur. Alkalinitas berkaitan dengan

kemampuan suatu larutan untuk bereaksi dengan suatu asam. Dari analisa

alkalinitas ini kita bisa mengetahui konsentrasi hidroksil (OH-), bikarbonat (HCO3-

) dan karbonat (CO3-2

).

Pengetahuan tentang konsentrasi ion-ion ini diperlukan misalnya untuk

mengetahui kelarutan batu kapur yang masuk ke sistem lumpur pada waktu

pemboran menembus formasi limestone. Berdasarkan pengalaman diketahui ada

korelasi antara sumber alkalinitas di dalam lumpur terhadap sifat-sifat lumpur yang

bersangkutan.

Jika sumbernya hanya bersal dari OH-, menunjukkan lumpur stabil dan

kondisinya baik.

Jika sumbernya berasal dari OH- dan CO3-2, menunjukkan lumpur stabil dan

kondisinya baik.

Jika sumbernya hanya berasal dari CO3-2, menandakan lumpur tidak stabil tetapi

masih bisa dikontrol.

34

Jika sumbernya berasal dari CO3-2 dan HCO3

-, berarti lumpur tidak stabil dan

sulit untuk dikontrol.

Jika sumbernya hanya berasal dari HCO3-, kondisi dari lumpur sangat jelek dan

sulit untuk dikontrol.

Penentuan alkalinitas menggunakan sampel filtrat yang diambil sebesar 3

ml dan masukkan kedalam Erlenmeyer, lalu tambahkan 2 tetes phenol pyhtaloin

(pp). Goyangkan Erlenmeyer sampai larutannya tercampur,dan berwarna merah

muda. Kemudian titrasi dengan menggunkan buret yang sudah diisi dengan H2SO4

sampai warna berubah menjadi bening kembali. Catat volume H2S04 yang terpakai

sebagai P. Kemudian tambahkan indikator Mo sebanyak dua tetes, warna menjadi

jingga. Catat volume H2SO4 yang terpakai sebagai M.

Dengan melihat kandungan ion OH-, CO32- dan ion HCO3-. Kita dapat

mengetahui seberapa buruk kandungan lumpur pemboran kita, apakah masih bisa

dikontrol atau tidak. Apabilai terdapat OH- berarti lumpur masih stabil. Sedangkan

bila terdapat kandungan HCO3-,berarti lumpur sudah sangat sulit untuk dikontrol.

Sehingga solusi yang tepat adalah bisa dengan mengganti lumpur bor secara

bertahap dengan lumpur baru.

2.3.2.4. Salinitas

Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam lumpur.

Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Penentuan

salinitas (kadar Cl) dalam lumpur diperlukan terutama jika pemboran melalui

daerah yang mana garam dapat terkontaminasi dengan fluida pemboran yaitu

daerah yang terdapat kubah-kubah garam. Jika terjadi kandungan chlor melebihi

6000 ppm sebaiknya program penggunaan lumpur diubah sesuai dengan keasaman.

Kandungan Cl yang terlalu besar juga mempengaruhi dalam operasi logging

karena harus diadakan koreksi untuk menginterpretasi logging-nya. Kandungan Cl

di dalam lumpur dibedakan menjadi dua, yaitu :

Salt mud jika kandungan Cl antara 10000 – 31500 ppm.

Saturated salt mud jika kandungan Cl lebih dari 31500 ppm.

Analisa kandungan Cl-. dilakukan dengan cara ambil filtrate lumpur dasar

sebanyak 2 ml lalu masukkan ke dalam Erlenmeyer dan tambahkan aquades

35

sebanyak 25 ml, lalu tambahkan 3 tetes K2CrO4. Kemudian titrasi dengan AgNO3

sampai warna jingga atau orange muncul dan gak ilang pertama kali. Catat volume

yang dipakai pada AgNO3 diburet.

Pada operasi pemboran, ion klor yang berasal dari NaCl ketika menembus

kubah garam (salt dome) pada formasi akan bereaksi dengan ion OH- yang berasal

dari momposisi lumpur itu sendiri, dan menghasilkan NaOH + Cl-. Kontaminasi ion

klor tersebut dapat menurunkan pH Lumpur, membuat filtration loss menjadi lebih

besar sehingga mud cake menjadi tebal,dan dapat menyebabkab kenaikan gel

strength dan viscositas, serta dapat mengakibatkan suspensi padatan sukar bereaksi

dengan additive lumpur.

Aplikasi lapangan dari analisa kandungan kimia lumpur adalah mengotrol

kualitas lumpur pemboran agar tetap stabil, meskipun adanya kontaminasi dari

formasi yang dapat merubah sifat fisik lumpur. Apabila lumpur memang sudah

tidak bisa lagi dikontrol maka harus diganti dengan yang baru pada saat sirkulasi

berlangsung.

2.4. Jenis-Jenis Lumpur Pemboran

Penamaan lumpur pemboran yang diberikan oleh Zaba dan Doherty (1970)

merupakan klasifikasikan berdasarkan fasa fluidanya, yaitu:

a. Water Base Drilling Mud.

b. Oil Base Drilling Mud.

c. Emulsion Drilling Mud.

d. Gasseous Drilling Mud.

Gasseous drilling mud masih belum umum digunakan sangat sulit dalam

penggunaan dan perawatannya.

2.4.1. Water Based Mud

Bila bahan dasar lumpur adalah air maka lumpur disebut dengan water base

mud. Air yang digunakan dapat berupa air tawar maupun air asin. Lumpur yang

mempunyai bahan dasarnya air tawar disebut dengan Fresh Water Mud dan jika

bahan dasarnya adalah air asin lumpur tersebut disebut Salt Water Mud. Water base

mud lebih stabil pada temperature tinggi dan pH tinggi (diatas 11.0).

36

2.4.1.1. Fresh Water Mud

Fresh water muds adalah lumpur yang fase cairannya adalah air tawar

dengan (kalau ada) kadar garam yang kecil (kurang dari 10000 ppm = 1 % berat

garam). Fresh water mud dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain :

a. Spud Mud

Spud mud digunakan untuk membor formasi bagian atas bagi conductor

casing. Fungsi utamanya mengangkat cutting dan membuka lubang

dipermukaan (formasi atas). Volume yang diperlukan biasanya sedikit dan dapat

dibuat dari air dan bentonit (yield 100 bbl/ton) atau clay air tawar yang lain (yield

35-50 bbl/ton). Tambahan clay atau bentonit perlu dilakukan untuk menaikkan

viskositas dan gel strenght bila membor pada zona-zona loss. Kadang-kadang

perlu lost circulation material. Density yang diperlukan juga kecil.

b. Natural Mud

Natural mud dibentuk dalam bentuk pecahan-pecahan cutting dalam fase

air. Sifat-sifatnya bervariasi tergantung dari formasi yang dibor. Umumnya tipe

lumpur ini digunakan untuk pemboran yang cepat seperti pemboran pada surface

casing (permukaan). Dengan bertambahnya kedalaman pemboran sifat-sifat

lumpur yang lebih baik diperlukan dan natural mud ini di treated dengan zat-zat

kimia dan additive koloidal. Beratnya sekitar 9.1 – 10.2 ppg, dan viskositasnya

35-40 detik.

c. Bentonit – Treated Mud

Lumpur jenis ini mencakup hampir semua jenis lumpur air tawar.

Bentonit adalah material yang paling umum digunakan untuk membuat koloid

anorganik untuk mengurangi filter loss dan mengurangi ketebalan mud cake.

Bentonit juga menaikkan viskositas dan gel strength yang dapat dikontrol

dengan thinner.

d. Phospate –Ttreated Mud

Mengandung polyphospate untuk mengontrol viskositas dan gel

strength. Penambahan zat ini akan berakibat terdispersinya fraksi-fraksi clay

colloid padat sehingga densitas lumpur cukup besar tetapi viskositas dan gel

37

strength-nya rendah. Ia mengurangi filter loss dan mud cake dapat tipis. Tannim

biasa ditambahkan bersama-sama polyphospate untuk pengontrolan lumpur.

Polyphospate tidak stabil pada temperature tinggi (sumur-sumur dalam) dan

akan kehilangan efeknya sebagai thinner (polyphonspate) akan rusak pada

kedalaman 10.000 ft dan temperature 160-180 oF, karena berubah ke

orthophospate yang malah menyebabkan terjadinya flokulasi). Phospate mud

juga sulit dikontrol pada densitas lumpur tinggi (yang sering berhubungan

dengan pemboran dalam). Dengan penambahan zat-zat kimia dan air, densitas

lumpur dapat dijadikan 9-11 ppg. Polyphospate mud juga menggumpal jika

terkena kontaminasi NaCl, Calcium sulfate dan kontaminasi semen dalam

jumlah cukup banyak.

e. Organic Colloid Treated Mud

Terdiri dari penambahan pregelatinized starch atau Carboxy Methyl

Cellulose pada lumpur. Karena organic colloid tidak terlalu sensitif terhadap

flokulasi seperti clay, maka kontrol filtratnya pada lumpur yang terkontaminasi

dapat dilakukan dengan organic colloid ini baik untuk mengurangi filtration loss

pada fresh water mud. Dalam kebanyakan lumpur penurunan filter loss lebih

banyak dilakukan dengan organic colloid daripada inorganic.

f. Red Mud

Red mud mendapatkan warnanya dari warna yang dihasilkan dari

treatment dengan cautic dan guobracho (merah tua). Istilah ini tetap digunakan

walaupun nama-nama koloid yang dipakai mungkin menyebabkan warna abu-

abu kehitaman. Umumnya istilah ini digunakan untuk lignin-lignin tertentu dan

hunic thinner selain untuk tannim di atas. Suatu jenis lumpur lain ini adalah

alkaline tannate treatment dengan penambahan polyphospate untuk lumpur-

lumpur dengan pH di bawah 10. perbandingan alkaline, organic dan

polyphospate dapat diatur dengan kebutuhan setempat. Alkaline-tannate treated

mud mempunyai range pH 8-11. Alkaline-tannate dengan pH kurang dari 10

terhadap flokulasi karena kontaminasi garam. Dengan menaikkan pH maka

sukar untuk flokulasi. Untuk pH lebih dari 11.5, pregelatinized starch dapat

digunakan tanpa bahaya fermentasi. Di bawah pH ini, preservative harus

38

digunakan untuk mencegah fermentasi (meragi) pada fresh water mud. Jika

diperlukan densitas lumpur yang tinggi lebih murah bila digunakan treatment

yang menghasilkan calcium treated mud dengan pH 12 atau lebih.

g. Calcium Mud

Lumpur ini mengandung larutan calcium (disengaja). Calcium bisa

ditambah dengan slaked lime (kapur mati), semen plaster (CaSO4) dipasaran atau

CaCl2, tetapi dapat pula karena pemboran semen, anhydite dan gipsum.

1) Lime Treatted Mud

Komposisi lumpur ini terdiri dari cautic soda, organic dispersant,

lime dan fluid loss additive. Lumpur ini menghasilkan viskositas dan gel

strength yang rendah, baik digunakan untuk pemboran dalam serta untuk

memperoleh densitas yang besar. Tetapi lumpur ini mempunyai

kecenderungan untuk memadat pada temperature tinggi, sehingga tidak boleh

tertinggal dalam annulus casing dan tubing pada saat dilakukan

penyeleseaian sumur (well completion). Maka diperlukan zat kimia tertentu

untuk mengurangi efek dari padatan lumpur tersebut.

2) Gypsum Treated Mud

Digunakan untuk membor formasi gypsum dan anhydrite, terutama

bila formasinya inter bedded (selang-seling antara garam dan shale).

Treatment-nya adalah dengan mencampur base mud (lumpur dasar) dengan

plaster (CaSO4) sebelum formasi anhydite dan gipsum di bor. viskositas dan

gel strength yang berhubungan dengan formasi ini dapat dibatasi, yaitu

dengan mengontrol rate penambahan plaster. Lumpur gypsum chrome

lignosulfonate ini mempunyai sifat yang sama baik dengan lime treated mud,

karena itu dapat digunakan pada daerah yang sama baik dengan lime treated

mud. Penggunaan non-ionic surfactant dalam gypsum chrome lignosulfonate

mud menghasilkan pengontrolan yang lebih baik pada filter loss dan low

properties-nya. Selain toleransinya yang besar terhadap kontaminasi garam.

3) Calcium Salt

Selain hydrate salt dan gipsum telah digunakan tetapi tidak meluas,

juga zat-zat kimia yang memberi suplai kation multivalent untuk base

39

exchange clay (pertukaran ion-ion pada clay) seperti Ba (OH)2 telah

digunakan.

2.4.1.2. Salt Water Mud

Lumpur ini digunakan untuk membor garam massive (salt dome) atau salt

stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang bila ada aliran garam yang

terbor. Filtrate loss-nya besar dan mud cake-nya tebal bila tidak ditambah organic

colloid. pH lumpur dibawah 8, karena itu perlu dipresentatif untuk mencegah

fermentasi starch. Jika salt mud-nya mempunyai pH yang lebih tinggi, fermentasi

terhalang oleh basa. Suspensi ini dapat diperbaiki dengan penggunaan antapulgate

sebagai pengganti bentonite.

a. Unsaturated Salt Water Mud

Air laut dari laut lepas atau teluk sering digunakan untuk lumpur yang

jenuh kegaramannya (unsaturated salt water mud). Kegaraman (salinity) lumpur

ini ditandai dengan :

Filtrate loss besar kecuali di-treated dengan organic colloid.

Medium sampai tinggi pada gel strength kecuali di-treated dengan thinner.

Suspensi yang tinggi kecuali di-treated dengan attapulgite atau organic

colloid.

Lumpur ini biasa mengalami “foaming”, yaitu berbusa (gas

menggelembung) yang bisa diredusir dengan :

Menambah soluble surface active agent.

Menambah zat kimia untuk menurunkan gel strength

b. Saturated Salt Water Mud

Fasa cair lumpur ini dijenuhkan dengan NaCl. Garam-garam lain dapat

pula berada disitu dalam jumlah yang berlainan. Saturated salt water mud dapat

digunakan untuk membor formasi-formasi garam di rongga-rongga yang terjadi

karena pelarutan garam dapat menyebabkan hilangnya lumpur, dicegah dengan

penjenuhan garam terlebih dahulu pada lumpurnya. Lumpur ini juga dibuat

dengan menambahkan air garam yang jenuh untuk pengenceran dan pengaturan

volume.

40

Filtrate loss yang rendah pada saturated salt organik colloid mud

menyebabkan tidak perlunya memasang casing di atas salt beds (farmasi garam).

Filtrate loss-nya bisa dikontrol sampai 1 cc API dengan organic colloid.

Saturated salt water mud dapat dibuat berdensitas lebih dari 19 ppg. Dengan

menambahkan organic colloid agar filtration loss-nya kecil, lumpur ini bisa

untuk membor formasi dibawah salt beds, walaupun restivitinya yang rendah

buruk untuk electical log.

Saturated salt water mud dapat pula dibuat dari fresh water atau brine

mud. Jika dari fresh water mud maka paling tidak separuh dari lumpur harus

dibuang, diperlukan untuk pengenceran dengan air tawar dan penambahan lebih

kurang 125 Ibs garam/bbl lumpur. Jika dikehendaki pengontrolan filtration loss,

suatu organic colloid dan presentatif dapat ditambahkan.

Jika lumpur dibuat dari saturated brine (air garam yang jenuh) sekitar 20

Ib/bbl attapulgite ditambahkan bersama dengan organic colloid dan mungkin

presentatif. Densitas lumpur ini 10 ppg dan akan naik sekitar 11 ppg selama

pemboran berlangsung.

Pemeliharaannya jenis lumpur ini, termasuk penambahan air asin untuk

mengurangi viskositas, attapulgite untuk menambah viskositas, gel dan filtrasi

dapat diperoleh dengan penambahan alkaline-tannate solution atau sedikit lime

(kapur).

c. Sodium Silicate Mud

Fasa cair Na-Silicate mud mengandung sekitar 65% volume larutan Na

silicate dan 35% larutan garam jenuh. Lumpur ini digunakan untuk pemboran

heaving shale, tetapi telah terdesak penggunaannya oleh lime treated mud,

gypsum lignosilfonate, shale control dan surfactant muds (lumpur yang diberi

DAS dan DME) yang lebih baik, murah dan mudah dikontrol sifat-sifatnya.

2.4.2. Oil Based Mud

Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinyunya. Komposisinya

diatur agar kadar airnya rendah (3-5% volume). Relatif lumpur ini tidak sensitif

terhadap kontaminan. Tetapi airnya adalah kontaminan karena memberi efek

negatif bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol viskositas, menaikan gel

41

strength, mengurangi efek kontaminan air dan mengandung filtare loss, perlu

ditambahkan zat-zat kimia.

Fungsi oil based mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah

minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik

terhadap formasi biasa maupun formasi produktif (juga untuk completion mud).

Biasanya oil based mud digunakan pada formasi shale ataupun pada formasi yang

mengandung garam. Fungsi terbesar adalah pada completion dan work over sumur.

Kegunaan lain adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit, mempermudah

pemasangan casing dan liner. Oil base mud ini harus ditempatkan pada suatu tanki

besi untuk menghindarkan kontaminasi air. Rig harus dipersiapkan agar tidak kotor

dan mengurangi bahaya api.

Teknologi oil based mud sangat berbeda dengan water based mud.

Pemantauan terhadap sifat-sifat lumpur bukan sebagai sesuatu yang dapat

diprediksi, terutama jika pengguna lumpur (mud user) tidak memahami atau

mengetahui sifat-sifat kimia dari produk yang digunakan ataupun produk yang

digunakan berbeda suppliernya. Keanekaragaman bahan kimia yang digunakan

pada oil based mud tampaknya sedikit, akan tetapi sebenarnya dapat merusak

sistem lumpur jika penggunaanya tidak sesuai. Dalam sistem water based mud,

pada umumnya dapat diprediksi pengaruh treatment kimia dan kontaminan

terhadap sifat-sifat fisik lumpur, namun untuk oil based mud tida selalu demikian.

Meskipun sistem lumpur oil based mud relatif mahal dibanding dengan

lumpur bahan dasar air (water based mud), penggunaannya telah meningkat pada

tahun-tahun belakangan ini. Secara umum penggunaan lumpur oil based adalah

untuk:

1. Pemboran yang mengalami problem shale.

2. Pemboran dalam dan temperature tinggi.

3. Fluida komplesi.

4. Fluida workover.

5. Sebagai fluida packer.

6. Fluida perendam untuk pipa terjepit.

7. Pemboran zona garam yang masif.

42

8. Fluida coring.

9. Pemboran yang mengandung H2S dan CO2.

Oil base emultion dan lumpur oil base mempunyai minyak sebagai fasa

kontinu dan air sebagai fasa tersebar. Umumnya oil base emulsion mud mempunyai

faedah yang sama seperti oil base mud, yaitu filtratnya minyak dan karena

menghidratkan shale / clay yang sensitif. Perbedaan utamanya dengan oil base mud

bahwa air ditambahkan sebagai tambahan yang berguna (bukan kontaminasi). Air

yang teremulsi dapat antara 15 - 50% volume, tergantung densitas dan temperature

yang diinginkan (dihadapi dalam pemboran). Karena air merupakan bagian dari

lumpur ini, maka lumpur-lumpur ini mempunyai sifat – sifat lain dari oil base mud

yaitu ia dapat mengurangi bahaya api , toleran terhadap air, dan pengontrolan flow

propertisnya dapat seperti pada water base mud.

Produk dasar dan pelengkap yang diperlukan untuk formulasi baik oil based

ataupun emulsion system adalah sebagai berikut:

Tabel II-4

Bahan Dasar dan Pelengkap

(Rudi Rubiandini, 1983

Bahan dasar; Pelengkap;

1) Diesel oil atau nontoxic mineral oil.

2) Air (water).

3) Emulsifier.

4) Wetting agent.

5) Oil-wettable organophilic clay.

6) Lime.

7) Barite / Hematite.

a) Calcium chloride / sodium

chloride

b) Asphaltenes.

c) Oil-wettable lignite.

d) Calcium carbonate.

e) Thinner.

2.4.3. Oil in Water Emulsion Mud (Emulsion Mud)

Untuk lumpur jenis ini, minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air

sebagai fasa kontinu. Jika pembuatannya baik, filtratnya hanya air. Sebagai dasar

dapat digunakan baik fresh maupun salt water. Sifat-sifat fisik yang dipengaruhi

emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebal mud cake dan pelumasan.

43

Segera setelah emulsifikasi, filtrate loss berkurang, filter cake menjadi tipis dan

torsi putaran drillstring banyak berkurang.

Keuntungannya adalah bit yang lebih tahan lama, penetration rate baik,

pengurangan korosi pada drill string, perbaikan pada sifat-sifat lumpur (viskositas

dan tekanan pompa boleh/dapat dikurangi, water loss turun, mud cake turun (mud

cake tipis) dan mengurangi balling (terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drill

string. Viskositas dan gel lebih mudah dikontrol bila Emulsifiernya juga bertindak

sebagai thinner. Umumnya oil in water emultion mud dapat bereaksi dengan

penambahan zat dan adanya kontaminasi sama seperti lumpur aslinya. Semua

minyak (crude) dapat digunakan, tetapi lebih baik bila digunakan minyak refinery

(refinery oil) yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

Uncracked (tidak perpecah-pecah molekulnya) supaya stabil.

Flash point tinggi, untuk mencegah bahaya api.

Aniline number tinggi (lebih dari 155) agar tidak merusakan karet – karet pompa

/ circulation equipment.

Pour point rendah, agar bisa digunakan untuk bermacam – macam temperature.

Keuntungan lainnya adalah bahwa karena bau serta fluorecensinya lain

dengan crude oil (mungkin yang berasal dari formasi), maka ini berguna untuk

pengamatan cutting oleh geolog dalam menentukan adanya minyak di pemboran

tersebut. Adanya karet-laret yang rusak dapat dicegah dengan penggunaan karet

sintesis.

2.4.3.1. Fresh Water in Water Emulsion Mud

Fresh water oil in water emulsion mud adalah lumpur yang mengandung

NaCl sampai sekitar 60.000 ppm. Lumpur emulsi ini dibuat dengan menambahkan

Emulsifier (pembuat emulsi) ke water base mud diikuti dengan sejumlah minyak

yang biasanya 5-25% volume. Jenis Emulsifier bukan sabun lebih disukai karena

itu dapat digunakan dalam lumpur yang mengandung larutan Ca tanpa memperkecil

Emulsifiernya dalam hal effisiensi. Emulsifikasi minyak dapat bertambah dengan

agitasi (diaduk) dan penjagaannya secara periodic ditambahkan minyak dan

Emulsifier. Jika sebelum emulsifikasi lumpurnya mengandung persentase clay yang

44

tinggi, pengenceran dengan sejumlah air perlu dilakukan untuk mencegah kenaikan

viskositas.

2.4.3.2. Salt Water Oil in Water Emulsion Mud

Salt water oil in water emulsion mud mengandung paling sedikit 60.000

ppm NaCl dalam fasa cairnya. Emulsifikasi dilakukan dengan Emulsifier agent-

organic. Lumpur ini biasanya mempunyai pH dibawah 9, dan cocok untuk

digunakan pada daerah dimana perlu dibor garam masif atau lapisan-lapisan garam.

Emulsi ini mempunyai keuntungan-keuntungan seperti juga pada fresh water

emultion; pertama densitasnya kecil, kedua filtration loss sedikit dan mud cake tipis

dan pelumasan lebih baik. Lumpur demikian mempunyai tendensi untuk foaming

yang bisa dipecahkan dengan penambahan surface active agent tertentu.

Maintenance lumpur ini sama dengan salt mud biasa kecuali perlunya menambah

Emulsifier, minyak dan surface active defoamer (anti foam).

2.4.4. Gaseous Drilling Fluid

Digunakan pada daerah-daerah dengan formasi keras dan kering.Gas atau

udara nantinya dipompakan pada annulus. Namun cara ini tidak dapat digunakan

pada pengeboran wild cat atau eksplorasi. Keuntungan cara ini adalah rate of

penetration yang besar, tetapi adanya formasi air dapat menyebabkan bit balling

(bit terlapisi cutting/padatan) dan pipe sticking. Pada tekanan formasi yang besar

tidak dibenarkan menggunakan cara ini.

Udara dan gas adalah drilling fluid yang lebih baik dibandingkan dengan

cairan seperti lumpur, dalam hal rate of penetration, maupun dalam menanggulangi

lost circulation dan juga untuk well completion. Penggunaan gas alami

membutuhkan pengawasan yang ketat pada bahaya api. Lumpur jenis ini juga baik

untuk komplesi pada zona–zona bertekanan rendah.

2.5. Komponen Oil Base Mud

Komponen – komponen dalam membuat oil base mud antara lain:

2.5.1. Diesel oil atau mineral oil (continous phase)

Beberapa macam minyak sudah dicoba sebagai fasa kontinyu lumpur

minyak. Beberapa diantaranya memberi sifat – sifat yang lebih baik dibandingkan

45

dengan yang lain. Kinerja, ketersediaan serta harga merupakan criteria dalam

pemilihan minyak. Berikut adalah minyak yang biasanya mudah didapat dan

banyak dipakai:

o Base crude oil

o Refined oil (diesel, kerosin, heavy fuel oil, dll)

Di Indonesia umumnya digunakan solar atau Non – Toxic Oil, sedangkan

air yang digunakan adalah air tawar.

2.5.2. Air (Discontinous Phase)

Walau keberadaan air tidak dikehendaki di dalam lumpur minyak sejumlah

air umumnya ditambahkan untuk beraksi dengan sejumlah additive dengan maksud

untuk memperbaiki sifat rheology dan filtration control dari lumpur minyak. Air

didalam lumpur minyak berbentuk butiran kecil, homogen dan tersebar. Butir –

butir air ini biasa disebut droplet. Jarak antara droplet akan meningkat jika ukuran

droplet semakin kecil dan seragam sehingga memerlukan waktu yang lebih lama

untuk bergabung dimana memperlihatkan pemisahan air bebas dari lumpur minyak.

Jika droplet air besar dan tidak seragam maka jarak antara droplet menurun, hal ini

menyebabkan penggabungan droplet terjadi dengan cepat dan memperlihatkan

ketidakstabilan emulsi. Jumlah air yang teremulsi dalam minyak didefinisikan

sebagai oil – water ratio, dimana untuk pengukuran digunakan retort test dengan

alat ini dapat ditentukan % volume dari kandungan minyak, air dan padatan.

2.5.3. Emulsifier

Emulsi adalah suatu campuran dari dua cairan dimana satu cairan yang lebih

sedikit melarut di dalam cairan lain yang lebih banyak, tetapi tersebar merata dan

merupakan butiran – butiran halus (droplets). Ada dua jenis emulsi, yaitu emulsi

minyak dalam air dan emulsi air dalam minyak.

Sistem emulsi minyak dalam air biasanya dijumpai dalam lumpur emulsi

(emulsion mud), biasanya fasa air berjumlah 60% atau lebih. Jumlah ini tidak pasti

benar karena dalam kondisi tertentu emulsi minyak dalam air dapat dibuat dengan

20% air.

46

System emulsi air dalam minyak juga disebut emulsi inverse (inverted

emulsion), seperti umumnya lumpur dasar minyak. Untuk menjaga agar air tetap

berbentuk droplets, maka kedalam lumpur minyak ditambahkan Emulsifier.

Emulsifier tersebut digunakan untuk mengikat air dengan minyak, sehingga

terbentuk dan terjaga kestabilan lumpur selama pemboran berlangsung.

Pengemulsian dan kestabilan lumpur tergantung dari jumlah konsentrasi yang

dipakai dari Emulsifier serta pengadukan lumpur. Kestabilan emulsi ini akan

tercapai apabila:

- Tiap droplet air didalam minyak terlapisi oleh film Emulsifier.

- Semakin kecil dan seragam droplets maka semakin stabil emulsinya, oleh sebab

itu diperlukan pengadukan.

- Semakin besar jarak antara droplets semakin stabil emulsinya, untuk itu perlu

dijaga perbandingan komposisi minyak dan air.

2.5.4. Viscosifier

Viscosifier berfungsi untuk membantu adanya viskositas yang stabil dari

suatu sistem lumpur. Karena sistem lumpur minyak dengan droplet air yang

tersebar merata mempunyai tahanan lair (resistance to flow) yang lebih besar jika

dibandingkan fasa kontinyu (minyak) maka viskositas akan naik dengan naiknya

kadar air dalam lumpur minyak. Naiknya kadar air ini bila diikuti dengan

bertambahnya konsentrasi viscosifier dapat meningkatkan harga viskositas dan

yield strength dari lumpur, sehingga sistem lumpur minyak dapat memiliki variasi

harga viskositas dan yield strength yang lebih luas dimana berguna untuk

memudahkan transportasi cutting ke permukaan serta untuk menyanggah bahan –

bahan pemberat dan cutting ketika sirkulasi dihentikan.

2.5.5. Filtrat Reducer

Filtrate reducer adalah additive yang digunakan sebagai pengontrol filtrasi

dimana additive tersebut berukuran koloid dan terdispersi di dalam minyak. Filtrate

reducer ini akan membentuk ampas (filter cake) pada lapisan porous permeable

dan ketika droplet air yang teremulsi didalam minyak menjadi bulatan yang keras

47

(bertindak sebagai padatan) akan tersaring oleh serat – serat filter cake sehingga

filtrate yang dihasilkan hanya berupa minyak.

2.5.6. Lime

Lime adalah salah satu bahan yang digunakan dalam oil muds dimana

berfungsi sebagai pengontrol alkalinitas dari lumpur. Seperti telah diketahui bahwa

lumpur harus berada pada kondisi basa (pH > 7) agar tidak merusak peralatan dan

juga tidak merusak lumpur itu sendiri (emulsi akan pecah).

Lime juga berfungsi untuk mengatasi kontaminasi carbon dioxide dan hydrogen

sulfide dari formasi yang ditembus.

2.5.7. Material Pemberat

Material pemberat adalah bahan – bahan yang mempunyai specific gravity

tinggi yang ditambahkan ke dalam cairan untuk menaikkan densitas fluida.

Biasanya, material pemberat ditambahkan ke dalam lumpur pemboran untuk

mengontrol tekanan formasi. Jika densitas lumpur yang terlalu kecil akan

mengakibatkan terjadinya kick (fluida formasi masuk ke dalam lubang sumur), dan

jika densitas lumpur terlalu besar akan mengakibatkan lost circulation. Material

pemberat yang biasa digunakan yaitu barite, calcium carbonat, galena, oksida besi.

2.6. Cara Pembuatan Oil Base Mud

Pada dasarnya cara pembuatan oil base mud adalah sebagai berikut:

1. Fasa minyak, masukkan sejumlah volume minyak yang telah dihitung menurut

kebutuhan, ke dalam cup mixer.

2. Komponen lain seperti clay komersial (bentonite), Emulsifier, viscosifier

dimasukkan.

3. Fasa air, campurkan air yang telah dihitung.

4. Bahan pemberat (additive).

Pengadukan secara kontinyu dengan mixer bisa dilakukan untuk

mendapatkan emulsi yang stabil. Setelah selesai semua pencampuran, maka oil

base mud tersebut harus diperiksa apakah sudah memenuhi sifat – sifat lumpur yang

dikehendaki. Pada umumnya, cara pemeriksaan lumpur minyak sama dengan yang

dilakukan pada lumpur air (water base mud). Hanya karena lumpur minyak adalah

48

suatu emulsi, maka diperlukan suatu bahan pemecah emulsi (emulsion breaker)

sehingga dapat dilakukan pemeriksaan sifat – sifat kimianya.

2.7. Fungsi Oil Base Mud

Umumnya oil base mud mempunyai beberapa fungsi khusus dibandingkan

dengan water base mud, antara lain:

1. Untuk pemboran pada lapisan shale yang sangat sensitive terhadap filtrat air.

2. Untuk pemboran sumur dalam dan temperaturee tinggi, sebab additive – nya

bersifat lebih stabil pada hi – temp dibandingkan dengan additive pada water

base mud; bahan – bahan kimianya tidak terionisasikan di dalam minyak dan

reaksi kimia yang terjadi akan lebih sedikit jika dibandingkan pada water base

mud.

3. Pemboran pada formasi garam, gypsum, anhydrite dan lapisan yang

mengandung gas CO2 dan H2S tidak menjadi masalah.

4. Sebagai fluida pengintian (coring), penyusupan filtrate sangat sedikit.

5. Mengurangi torsi, drag dan friksi pada lubang – lubang miring/berarah serta

dapat mengurangi dan menanggulangi terjadinya jepitan.

6. Mengurangi korosi peralatan pemboran, sebab minyak adalah non – konduktif.

7. Dapat digunakan sebagai packer fluida.

8. Digunakan sebagai fluida perforasi, penyelesaian sumur dan kerja ulang (work

over).

9. Dapat digunakan kembali (re – used) setelah dibersihkan dari sisa – sisa

cutting dan kotoran lainnya.

2.8. Sifat – Sifat Oil Base Mud

Semua minyak dapat digunakan tetapi lebih baik bila digunakan minyak

yang mempunyai sifat-sifat berikut:

2.8.1. Aniline Number yang tinggi

Aniline number adalah angka yang menunjukkan kemampuan minyak untuk

melarutkan karet. Makin tinggi aniline number suatu lumpur minyak, maka

kemampuan melarutkan karet semakin kecil. Mengingat peralatan pemboran yang

49

banyak terbuat dari karet maka untuk menjaga ketahanan peralatan tersebut,

dibuatlah angka aniline yang tinggi pada system oil base mud.

2.8.2. Flash Point yang tinggi

Flash point menunjukkan angka dimana minyak akan menyala (mudah

terbakar). Makin rendah flash point suatu minyak, maka semakin cepat terjadi

pembakaran, untuk itu flash point minyak yang digunakan haruslah tinggi.

2.8.3. Pour point yang tinggi

Pour point adalah angka yang menunjukkan pada temperaturee berapa

minyak akan membeku. Dalam pemboran yang menggunakan oil base mud, tidak

diinginkan adanya bahan dasar minyak yang mempunyai pour point rendah.

2.8.4. Molekul minyak yang stabil

Dengan kata lain tidak mudah terpecah- pecah.

2.8.5. Mempunyai bau & fluoresensi

Memiliki karakteristik bau dan fluoresensi yang berbeda dengan minyak

mentah. Dengan demikian akan mudah menyelidiki minyak yang berasal dari

formasi dengan minyak yang berasal dari bahan dasar lumpur.

Pada pemboran sumur dalam, lumpur yang sedang disirkulasi mengalami

perubahan temperature akibat pengaruh gradient temperaturee (±1.5oF/100 ft).

Semakin dalam lumpur mengalami sirkulasi maka temperature akan semakin

bertambah besar. Pada temperature tinggi lumpur seringkali mempunyai masalah

terhadap perubahan bentuk (deformasi) dan aliran, terutama sifat fisiknya yang

mana hal tersebut membuat kemampuan lumpur dalam melaksanakan fungsinya

berkurang.

Flow properties lumpur di bawah kondisi downhole sangat berbeda dari

sifat flow properties lumpur yang diukur pada tekanan dan temperature permukaan.

Tekanan dan temperature yang tinggi akan mempengaruhi sifat rheology lumpur

dalam beberapa cara, yaitu:

a. Secara fisik

Penurunan temperaturee dan peningkatan tekanan akan berdampak pada

mobilitas system lumpur dan akan memperbesar apparent viscosity dan waktu

50

relaksasi viskoelastik. Efek tekanan diharapkan lebih besar pada oil base mud

karena kaitannya dengan kompresibilitas dengan fasa minyak.

b. Secara elektrokimia

Peningkatan temperaturee menyebabkan aktivitas ionic dari elektrolit dan

kelarutan sebagian partikel garam (salt) yang mungkin terjadi dalam lumpur. Hal

ini dapat mempengaruhi kesetimbangan antara interaksi interpartikel dan gaya tolak

– menolak dan juga derajat disperse dan flokulasi dalam sistem lumpur. Kadang –

kadang, hal ini juga dapat menyebabkan efek yang besar pada stabilitas emulsi oil

base mud.

c. Secara kimia

Semua reaksi hidroksida dengan mineral clay pada temperature di atas

90oC. Pada berbagai jenis lumpur, ini akan menghasilkan perubahan struktur dan

juga akan mempengaruhi perubahan sifat rheology lumpur.

2.9. Keuntungan dan Kelemahan Penggunaan Oil Based Mud.

Oil base mud biasanya digunakan karena adanya dua alasan, yaitu:

1. Sumur tidak dapat dibor sampai ke kedalaman total dengan menggunakan water

base mud.

2. Untuk mengurangi biaya total pemboran.

Seperti di Indonesia misalnya karena di wilayah ini memiliki gradient

geothermal yang tinggi dan memiliki geopressure yang tinggi pula, lapisan shale

yang sensitif terhadap air. Problem pemboran yang mungkin muncul karena kondisi

ini adalah swelling shale, tight hole, bridging dan stuck pipe. Untuk menyelesaikan

persoalan ini diperlukan lumpur dengan densitas tinggi dan salah satu solusinya

adalah dengan menggunakan oil base mud.

Adapun keuntungan dari penggunaan oil base mud antara lain:

1. Mencegah kerusakan reservoar yang water – sensitive.

2. Mengontrol water – sensitive shale.

3. Tahan terhadap temperaturee dasar sumur yang tinggi.

4. Membor gauge hole.

5. Mengontrol area garam.

6. Bisa melakukan underbalance drilling pada lapisan shale.

51

7. Memperpanjang umur bit.

8. Memperbesar lubrikasi drill string, dengan mengurangi torsi karena putaran dan

meminimalkan beban dari wall – sticking.

9. Mengurangi korosi pada drillstring dan tubular.

Hal terpenting dari keuntungan penggunaan oil base mud adalah

kemampuannya untuk mencegah swelling lapisan clay dan shale yang sensitif

terhadap air.

Sedangkan kelemahan dari oil base mud, antara lain:

1. Sangat sensitif terhadap pencemaran lingkungan.

2. Solid control sulit dilakukan bila dibandingkan dengan water base mud

3. Elektrik logging tidak dapat dilakukan.

4. Harganya relatif lebih mahal.

2.10. Penggunaan Virgin Coconut Oil (VICOIL) sebagai OBM

Kelapa (Cocos nucifera) merupakan tanaman perkebunan berupa pohon

batang lurus dari famili Palmae. Kelapa merupakan tanaman tropis yang telah lama

dikenal masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari penyebaran tanaman kelapa di

hampir seluruh wilayah Nusantara. Kelapa merupakan tanaman perkebunan dengan

areal terluas di Indonesia, lebih luas dibanding karet dan kelapa sawit, dan

menempati urutan teratas untuk tanaman budi daya setelah padi.

Tanaman kelapa merupakan tanaman serbaguna atau tanaman yang

mempunyai nilai ekonomi tinggi. Seluruh bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan

untuk kepentingan manusia, sehingga pohon ini sering disebut pohon kehidupan

(tree of life) karena hampir seluruh bagian dari pohon, akar, batang, daun dan

buahnya dapat dipergunakan untuk kebutuhan manusia sehari- hari.

Virgin Coconut Oil merupakan produk olahan dari daging kelapa yang

berupa cairan berwarna jernih, tidak berasa, dengan bau khas kelapa. Pembuatan

Virgin Coconut Oil ini tidak membutuhkan biaya yang mahal, karena bahan baku

mudah didapat dengan harga yang murah dan pengolahan yang sederhana. Virgin

Coconut Oil mengandung asam lemak jenuh rantai sedang dan pendek yang tinggi,

yaitu sekitar 92%. Pada saat ini telah dikembangkan berbagai cara pengolahan

52

minyak kelapa seperti pengasaman, penambahan minyak (pancingan), penambahan

garam (penggaraman), pemanasan, dan lain sebagainya.

Minyak kelapa murni memiliki sifat kimia-fisika antara lain organoleptis

(tidak berwarna dan berbentuk kristal seperti jarum) dan bau (ada sedikit berbau

asam ditambah bau caramel). Kelarutan dari VCO yaitu tidak larut dalam air, tetapi

larut dalam alcohol (1:1). Berat jenis 0,883 pada suhu 20⁰ C. Persentase penguapan

yaitu VCO tidak menguap pada suhu 21⁰ C (0%). Titik cair 20-25⁰ C, titik didih :

225⁰ C, dan kerapatan udara (Udara = 1): 6,91. Tekanan uap (mmHg) yaitu 1 pada

suhu 121⁰ C

Selain berbagai macam manfaat dari minyak kelapa murni atau virgin

coconut oil juga dapat dimanfaatkan dalam industri perminyakan sebagai mineral

oil dalam fasa cair oil base mud. Penggunaan virgin coconut oil sebagai fasa cair

oil base mud memiliki berbagai keuntungan yaitu:

1. Dapat digunakan dalam pemboran bertemperature tinggi.

2. Memiliki kemampuan melumasi yang baik.

3. Tidak menimbulkan korosi.

4. Dapat digunakan dalam menembus formasi yang reaktif dengan air

5. Dapat mengatasi problem shale swelling.

6. Lebih ramah lingkungan dibanding diesel oil.

2.10.1. Metode Pengolahan Virgin Coconut Oil (VICOIL)

Buah kelapa tua varietas dalam (berumur 11-12 bulan) dikeluarkan sabut

dan tempurungnya. Kemudian testanya (bagian yang berwarna coklat) dikeluarkan

dengan sikat agar tidak mempengaruhi warna santan. Daging kelapa bersih diparut

dengan mesin pemarut kelapa. Untuk mendapatkan santan kental, hasil parutan

dilakukan dengan pemerasan langsung menggunakan kain saring tanpa

penambahan air (Ahmad dkk., 2013). Krim yang diperoleh dipisahkan dari air,

kemudian dipanaskan sampai terbentuk minyak dan blondo. Selanjutnya dilakukan

penyaringan dengan beberapa metode pengolahan VCO. Metode tersebut adalah

metode fermentasi, pemanasan bertahap, sentrifugasi, pengasaman dan pancingan.

53

a. Metode Fermentasi

Fermentasi merupakan kegiatan mikroba pada bahan pangan sehingga

dihasilkan produk yang dikehendaki. Mikroba yang umumnya terlibat dalam

fermentasi adalah bakteri, khamir dan kapang. Santan yang diperoleh

dimasukkan ke dalam wadah dan didiamkan selama 1 jam sehingga terbentuk

dua lapisan, yaitu krim santan pada bagian atas dan air pada bagian bawah.

Kemudian krim santan difermentasi dengan menambah ragi tempe dengan

perbandingan 5:1 (5 bagian krim santan dan 1 bagian ragi tempe). Fermentasi

selesai ditandai dengan terbentuknya 3 lapisan yaitu lapisan minyak paling atas,

lapisan tengah berupa protein dan lapisan paling bawah berupa air. Pemisahan

dilakukan dengan menggunakan kertas saring (Cahyono dan Untari, 2009;

Setiaji dan Surip, 2006).

b. Pemanasan Bertahap

Cara pembuatan dengan metode ini sama dengan cara pembuatan dengan

cara tradisional, yang berbeda terletak pada suhu pemanasan. Dimana, pada

pemanasan bertahap suhu yang digunakan sekitar 60⁰ C-75⁰ C. Bila suhu

mendekati angka 75⁰ C matikan api dan bila suhu mendekati angka 60⁰ C

nyalakan lagi api (Sutarmi dan Rozaline, 2005).

c. Sentrifugasi

Sentrifugasi merupakan cara pembuatan VCO dengan cara mekanik.

Masukkan krim santan ke dalam alat sentrifuse. Kemudian nyalakan alat

sentrifuse lalu atur pada kecepatan putaran 20.000 rpm dan waktu pada angka

15 menit. Ambil tabung dimana di dalam tabung terbentuk 3 lapisan. Ambil

bagian VCO dengan menggunakan pipet tetes (Darmoyuwono, 2006; Setiaji dan

Surip, 2006).

d. Cara Pengasaman

Cara ini tidak memerlukan pemanasan sehingga minyak yang dihasilkan

bening, tidak cepat tengik, dan daya simpannya sekitar 10 tahun. Diamkan

santan sampai terbentuk krim dan skim. Buang bagian skim kemudian

tambahkan beberapa ml asam cuka ke dalam krim santan. Ambil kertas lakmus,

celupkan kedalam campuran santan-cuka, kemudian di cek pHnya. Jika kurang

54

dari 4,3 maka, tambahkan lagi asam cuka. Jika lebih dari 4,3 maka, tambahkan

lagi air. Jika pH sudah cocok diamkan campuran tersebut selama 10 jam hingga

terbentuk minyak, blondo, dan air. Buang bagian air dan ambil bagian minyak

kemudian lakukan penyaringan.

e. Pancingan

Santan di diamkan sampai terbentuk krim dan air. Krim tersebut dicampur

dengan minyak pancingan dengan perbandingan 1:3 sambil terus diaduk hingga

rata, lalu diamkan 7-8 jam sampai terbentuk minyak, blondo dan air. Ambil VCO

dengan sendok. (Darmoyuwono, 2006; Sutarmi dan Rozaline, 2005).

2.10.2. Pembuatan Virgin Coconut Oil (VICOIL) secara Tradisional

Pembuatan Virgin Coconut Oil dilakukan dengan cara tradisional yakni

memanfaatkan alat-alat dapur, proses pembuatan VCO secara tradisional dijelaskan

sebagi berikut ini.

1. Peralatan

Toples plastik besar

Mixer

Panci

Penyaring

Kapas

Kain Mori

Botol Air Mineral Bekas

10 Botol Plastik 100

2. Bahan

Kelapa tua (10-15 kelapa untuk 1 liter VCO)

Air

3. Proses Pembuatan

Menyiapkan dan memilih daging kelapa yang sudah tua.

Mengupas kulit kelapa dari dagingnya.. Memarut daging kelapa.

Memarut danging kelapa.

55

Menambahkan air ke dalam parutan kelapa dengan perbandingan kelapa dan

air 4 liter air dengan 3 kg kelapa.

Memeras daging kelapa parut diatas saringan hingga diperoleh santan.

Menyaring semua santan yang dihasilkan.

Mengendapkan santan yang telah disaring selama 30 menit sehingga terbentuk

dua lapisan yaitu lapisan bawah berupa air dan lapisan atas berupa krim/kanil.

Memisahkan krim dan air dan membuang air yang tidak diperlukan.

4. Pembuatan Minyak VICOIL

Menampung krim/kanil kedalam wadah.

Menambahkan garam yang sudah dilarutkan dengan aquades kedalam kanil

sedikit demi sedikit.

Mengaduk campuran tersebut.

Mendiamkan campuran tersebut selama 12 jam, hingga terbentuk 2 lapisan.

Memisahkan minyak kelapa murni tersebut dari air dan blondo dan melakukan

penyaringan pada minyak.

56

Gambar 2.4.

VCOIL Setelah Didiamkan 12 jam

Gambar 2.3.

Mixer Santan yang Sudah Dibuat

57

BAB III

PROSEDUR DAN HASIL PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan yang Digunakan

Dalam uji laboratorium ini dibutuhkan peralatan untuk membuat lumpur

dan mengukur sifat fisik dan reologi lumpur. Alat dan bahan yang digunakan adalah

sebagai berikut:

a. Gelas Ukur

Gelas ukur digunakan untuk mengukur berapa banyak air yang akan

digunakan pada pembuatan lumpur. Gambar alat ini dapat dilihat pada Gambar

3.1.

Gambar 3.1.

Gelas Ukur

(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)

b. Timbangan Digital

Timbangan digital digunakan untuk menimbang berapa banyak bahan

dan aditif yang akan digunakan untuk membuat lumpur dengan ketelitian 0.01

gram. Gambar alat ini dapat dilihat pada Gambar 3.2.

58

Gambar 3.2.

Timbangan Digital

(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)

c. Thermometer

Thermometer digunakan untuk mengukur temperature dari lumpur.

Gambar thermometer yang digunakan dalam uji laboratorium ini bisa dilihat

pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3.

Thermometer

(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)

d. Thermo Cup

Thermo Cup digunakan untuk menaikkan temperature pada lumpur yang

akan diukur reologinya. Gambar thermo cup bisa dilihat pada Gambar 3.4.

59

Gambar 3.4.

Thermo Cup

(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)

Gambar 3.5.

Mud Mixer & Cup

(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)

e. Mud Mixer dan Cup

Mud Mixer digunakan untuk mengaduk lumpur sehingga seluruh

komposisi dapat tercampur sempurna. Cup digunakan sebagai wadah ketika

60

lumpur diaduk. Memasukkan bahan dan aditif lumpur harus dilakukan secara

perlahan agar lumpur tercampur dengan baik dan tidak menggumpal. Gambar

alat ini dapat dilihat pada Gambar 3.5.

f. Mud Balance

Mud Balance digunakan untuk mengetahui densitas dari lumpur atau

dikenal dengan mud density, dengan satuan SG (spesific gravity) gr/cc atau

dalam satuan pound per gallon (lb/gal). Gambar alat Mud Balance dapat dilihat

pada Gambar 3.6.

Gambar 3.6.

Mud Balance

(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)

Gambar 3.7.

Fann VG Meter

(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)

61

g. Fann VG Meter

Fann VG meter digunakan untuk mengukur sifat fisik lumpur atau

dikenal dengan rheology seperti plastic viscosity (PV) dengan satuan centipoise

(cp), yield point (YP) dengan satuan pound per 100 feet kuadrat (lb/100ft2), gel

strength 10” dengan satuan pound per 100 feet kuadrat (lb/100ft2), dan gel

strength 10’dengan satuan pound per 100 feet kuadrat (lb/100ft2). Gambar alat

ini dapat dilihat pada Gambar 3.7.

h. Filter Press

Filter Press digunakan untuk mengetahui volume filtrat dan mud cake

dari lumpur. Gambar alat Filter Press dapat dilihat pada Gambar 3.8.

Gambar 3.8.

Filter Press

(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)

62

Gambar 3.9.

Jangka Sorong

(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)

i. Jangka Sorong

Jangka sorong digunakan untuk mengukur ketebalan mud cake yang

dihasilkan dari alat filter press. Gambar alat ini dapat dilihat pada Gambar 3.9.

j. pH Tes Paper Strips

pH Tes Paper Strips digunakan untuk mengukur besarnya pH. Gambar

pH Tes Paper Strips yaitu pada Gambar 3.10.

Gambar 3.10.

pH Paper Strip

(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)

3.2. Aditif Yang Digunakan

Aditif yang akan digunakan untuk membuat lumpur oil base mud vicoil

BOPANPROG bisa dilihat pada Tabel III-1.

63

Tabel III-1

Additive yang Digunakan

No Produk Fungsi

1 Vicoil Base Fluid

2 Water Pollar Additive

3 H Lime Alkalinity

4 Barite Weighting Material

5 Geltone Viscosifier

6

Carbotrol

HT Filtration Reducer

7 CaCl Shale Control Agent

8 Invermul Primary Emulsifier

9 Ez Mul Secondary Emulsifier

3.3. Perencanaan Sifat Fisik Lumpur Desain

Adapun target sifat fisik lumpur pemboran desain pada Tabel III-2.

Tabel III-2

Target Sifat Fisik Lumpur Oil Base Mud

(API (13B) specifications for oil base drilling fluids

properties,Darley & Gray, 1998; Mohammed,2012)

Mud Properties

Mud Density 8-9 ppg

Plastic Viscosity < 65 cp

Yield Point 15-45 lb/100ft2

API Fluid Loss 15.00 (max) ml/30min

Gel Strength

(10detik/10menit)

3-20 / 8-30 lb/100ft2

Filter Cake

Thickness

< 0.2 cm

pH 8.5-10

Pada lumpur desain dibutuhkan penambahan beberapa aditif guna untuk

mempertahankan serta mencapai sifat fisik lumpur pemboran yang diharapkan. Ada

7 (tujuh) aditif yang digunakan pada penelitian ini yang terdiri dari Geltone,

Carbotrol HT, INVERMUL, EZ MUL, H- Lime, CaCl, dan Barite.

64

1. GELTONE

Geltone yang diproduksi oleh NL BAROID. Inc adalah Organophilic Clay

yang berfungsi sebagai Gelling Agent, selain itu juga digunakan untuk membuat

suspensi dan menjaga kapasitas dari suspensi itu sendiri dalam lumpur oil base.

Geltone membutuhkan pollar additive dalam hal ini yang dibutuhkan adalah air

untuk mencapai yield point yang maximum. Konsentrasi normal yang biasa

digunakan pada geltone adalah sebesar 2 – 20 ppb dengan waktu pencampuran

selama 10 – 12 menit.

2. CARBOTROL HT

CARBOTROL HT yang diproduksi oleh MILPARK DRILLING FLUIDS,

Baker Hughes. Inc adalah high temperature softening point gilsonit yang berfungsi

sebagai filtrate reducer dan temperaturee stability. Penambahan konsentrasi

Carbotrol HT yang biasa digunakan sebesar 2 - 6 ppb dengan waktu pencampuran

selama 10 - 12 menit.

3. INVERMUL

INVERMUL yang diproduksi oleh NL BAROID. Inc merupakan primary

emulsifier yang mampu membentuk water in oil emulsions yang stabil, mengontrol

fitration rates tetap rendah, dan memberikan stabilitas terhadap oil based fluids

pada temperaturee tinggi. Konsentrasi INVERMUL yang biasa digunakan sebesar

4- I2 cc dengan waktu pencampuran selama 10 - 15 menit.

4. EZMULS

EZMULS yang diproduksi oleh NL BAROID. Inc yaitu low toxic fatty

polyamide termasuk surfactant dan secondary emulsifier yang stabil pada sebagian

besar water in oil emulsion dibanding dengan emulsi yang biasanya. EZMULS

merupakan emulsifier yang cepat bereaksi pada oil wetting agent dalam membentuk

treatment pada water wet solids dan sistem emulsi yang rendah kadar racunnya (low

toxic). Konsentrasi EZMULS yang biasa digunakan sebesar 2 - I5 cc dengan waktu

pencampuran selama 10 - 15 menit.

5. H. LIME (Hydrate Lime)

H.Lime (Hydrate Lime) yang digunakan diproduksi oleh PT. Elnusa

digunakan untuk mengaktitkan emulsifier dan mengontrol kadar alkalinitas pada

65

fasa air dalam invert emulsion mud. Konsentrasi H. Lime yang biasa digunakan

tergantung dari kebutuhan dengan waktu pencampuran selama 10 - 15 menit.

6. Calcium Chloride (CaCl)

Calcium Cloride digunakan untuk bahan pencampur didalam fasa cair pada

invert emulsion mud, CaCl mampu memberikan tekanan osmotik untuk

menghindari beberapa masalah yang terjadi pada formasi khusunya zona kubah

garam dan zona shale. Penggunaan utama aditif ini yaitu sebagai shale control

agent. Konsentrasi CaCl yang biasa digunakan tergantung dari kebutuhan dengan

waktu pencampuran selama 10 - 15 menit.

7. Barite

Barite yang digunakan diproduksi oleh PT. Elnusa yang berfungsi sebagai

weighting material atau sebagai bahan pemberat untuk mendapatkan harga densitas

yang diinginkan. Konsentrasi barite yang digunakan tergantung dari kebutuhan

dengan waktu pencampuran selama 10 – 15 menit.

3.4. Formulasi

Pada uji laboratorium ini menggunakan tiga desain lumpur VICOIL

BOPANPROG dengan perbedaan jumlah base oil. Lumpur pertama bernama

Lumpur A (70%VICOIL:30%Air), lumpur kedua bernama Lumpur B

(80%VICOIL:20%Air), lumpur ketiga bernama Lumpur C (90%VICOIL:10%Air).

Masing-masing komposisi lumpur dapat dilihat pada Tabel III-3.

Tabel III-3

Formulasi Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG

No Material A B C

1 Water 245 ml 280 ml 315 ml

2 Vicoil 105 gr 70 gr 35 gr

3 CaCl 15 gr 15 gr 15 gr

4 H Lime 8 gr 8 gr 8 gr

5 Barite 50 gr 50 gr 50 gr

6 Geltone 4 gr 4 gr 4 gr

7 Carbotrol HT 6 gr 6 gr 6 gr

66

Tabel III-3

Formulasi Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG

(lanjutan)

No Material A B C

8 Invermul 8 cc 8 cc 8 cc

9 EZ Mul 2 cc 2 cc 2 cc

Pada uji lumpur ini menggunakan skala laboratorium. VICOIL

BOPANPROG yang digunakan sebanyak 245 cc,280 cc,315 cc. Konsentrasi CaCl

yang digunakan adalah 15 gr. Penggunaan utama aditif ini yaitu sebagai shale

control agent. Konsentrasi CaCl yang biasa digunakan tergantung dari kebutuhan

dengan waktu pencampuran selama 10 - 15 menit. H Lime yang digunakan

sebanyak 8 gr digunakan untuk mengaktifkan emulsifier dan mengontrol kadar

alkalinitas pada fasa air dalam invert emulsion mud. Konsentrasi H. Lime yang

biasa digunakan tergantung dari kebutuhan dengan waktu pencampuran selama 10

- 15 menit. Barite yang digunakan sebanyak 50 gr berfungsi sebagai weighting

material atau sebagai bahan pemberat untuk mendapatkan harga densitas yang

diinginkan. Konsentrasi barite yang digunakan tergantung dari kebutuhan dengan

waktu pencampuran selama 10 – 15 menit. Geltone sebanyak 4 gr yang berfungsi

sebagai gelling agent. Konsentrasi normal yang biasa digunakan pada geltone

adalah sebesar 2 – 20 ppb dengan waktu pencampuran selama 10 – 12 menit.

Carbotrol HT digunakan sebanyak 6 gr yang berfungsi sebagai filtrate reducer atau

temperaturee stability. Penambahan konsentrasi Carbotrol HT yang biasa

digunakan sebesar 2 - 6 ppb dengan waktu pencampuran selama 10 - 12 menit.

Invermul sebanyak 5 cc berfungsi sebagai primary emulsifier mengontrol filtration

rates tetap rendah dan memberikan stabilitas terhadap oil base fluids pada

temperaturee tinggi. Konsentrasi INVERMUL yang biasa digunakan sebesar 4- I2

cc dengan waktu pencampuran selama 10 - 15 menit. Ezmul yang digunakan 2 cc

berfungsi sebagai secondary emulsifier. Konsentrasi EZMULS yang biasa

digunakan sebesar 2 - I5 cc dengan waktu pencampuran selama 10 - 15 menit.

67

3.5. Tahapan Pengujian di Laboratorium

Tahapan pengujian di laboratorium meliputi pembuatan lumpur dan uji sifat

fisik lumpur.

3.5.1. Pembuatan Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG

Dalam uji laboratorium lumpur Oil Base Mud VICOIL ini dibuat tiga jenis

lumpur dengan perbedaan pada konsentrasi VICOIL dan air. Komposisi masing-

masing lumpur dapat dilihat pada Tabel III.3. Prosedur pembuatannya adalah

sebagai berikut:

a. Mengukur semua bahan yang dibutuhkan sesuai Tabel III-3.

b. Masukkan Vicoil ke dalam mixer cup, lalu gantungkan di mud mixer, mixer akan

otomatis hidup.

c. Masukkan air secara perlahan.

d. Masukkan ezmul secara perlahan.

e. Masukkan invermul secara perlahan.

f. Masukkan geltone secara perlahan.

g. Masukkan barite secara perlahan.

h. Masukkan carbotrol HT secara perlahan.

i. Masukkan CaCl secara perlahan.

j. Masukkan H-Lime secara perlahan.

k. Pastikan urutannya sesuai seperti langkah di atas.

l. Pastikan semua bahan tercampur dengan sempurna.

m. Ambil mixer cup dari mud mixer untuk diukur sifat dan reologinya.

3.5.2. Pengukuran Sifat Fisik Lumpur Oil Base Mud VICOIL Pada Berbagai

Temperature

Pada uji lab ini lumpur akan diuji sifat dan reologinya (mud properties) pada

25 oC, 50 oC, 75 oC, dan 100 oC. sifat fisik dan reologi yang akan diuji yaitu densitas,

plastic viscosity, yield point, gel strength, volume filtrat, tebal mud cake, dan pH.

Berikut adalah prosedur pengukuran masing-masing mud properties.

68

3.5.2.1. Pengukuran Densitas

Pengukuran densitas di laboratorium menggunakan mud balance.

Pengukuran lumpur dengan temperature lebih besar dari temperature ruang harus

dipanasi menggunakan thermo cup, setelah lumpur mencapai temperature yang

diinginkan baru bisa diukur menggunakan mud balance. Berikut Prosedur

penggunaan alat dari mud balance :

1. Peralatan diletakkan dipermukaan datar

2. Mengkalibrasi mud balance dengan air, densitas air adalah 8.33 ppg.

3. Masukkan lumpur yang akan diukur densitasnya kedalam mud cup.

4. Menutup cup dan membersihkan lumpur yang melekat pada dinding bagian luar

dan penutup cup sampai bersih.

5. Meletakkan balance arm pada kedudukan semula, lalu mengatur rider hingga

seimbang dan membaca densitas yang ditunjukkan pada skala Keseimbangan

dicapai ketika bubble langsung dibawah garis tengah.

3.5.2.2. Pengukuran Plastic Viscosity

Pengukuran plastic viscosity menggunakan Fann VG Meter. Untuk

mengukur plastic viscosity, masukkan lumpur ke dalam cup, untuk temperature di

atas temperature kamar menggunakan thermo cup, kemudian rotor sleeve

ditenggelamkan dalam lumpur, putar sleeve sebesar 600 rpm sampai jarum

pembacaan menunjukkan angka yang konstan, dan dicatat angkanya. Lakukan

putaran 300 rpm, selisih pembacaan Dial Reading 600 rpm dan 300 rpm merupakan

plastic viscosity dari lumpur.

3.5.2.3. Pengukuran Yield Point

Pengukuran yield point juga menggunakan Fann VG Meter. Besarnya yield

point yaitu pembacaan Dial Reading 300 dikurang plastic viscosity.

3.5.2.4. Pengukuran Gel strength

Gel strenght dapat diukur dengan menggunakan Viscometer Fann VG,

dengan cara sebagai berikut:

1) Masukkan lumpur sesuai temperature yang diinginkan ke dalam tabung, aduk

dengan kecepatan 600 rpm selama sepuluh detik.

69

2) Diamkan selama 10 detik, aduk lagi dengan kecepatan 3 rpm, awasi kenaikan

pembacaan tertinggi.

3) Pembacaan merupakan gel strenght lumpur untuk 0 menit dengan satuan lb/100

ft2.

4) Aduk lagi lumpur dan diamkan selama 10 menit. Putar lagi sleeve 3 rpm, dan

lakukan pembacaan seperti diatas, dan laporkan sebagai gel strenght 10 menit.

3.5.2.5. Pengukuran Volume Filtrat

Pengukuran Volume filtrat menggunakan filter press sebagai berikut:

1) Pasang filter paper pada bagian tutup filter press dan memasang seal hingga

rapat, kemudian mengisi silinder filtration press dengan lumpur yang telah

dibuat.

2) Tutup dan pasang silinder pada alat filtration press dengan kencang dan letakkan

gelas ukur di bawah silinder untuk menampung filtrate.

3) Buka gas keran dengan tekanan 100 psia. Dipilih tekanan 100 psi karena itu

menggambarkan tekanan pada sumur bor dan merupakan tekanan yang aman

untuk skala laboratorium.

4) Lalu catat data hasil sampel yang tertampung dalam gelas ukur pada waktu 30

menit.

5) hentikan penekanan udara, buang tekanan udara dalam silinder (bleed off).

6) Tuangkan sisa lumpur ke dalam breaker.

7) Ambil filter paper dan tentukan tebalnya.

8) Lepas susunan peralatan pada silinder, cuci dengan air bersih dan keringkan.

3.5.2.6. Pengukuran Tebal Mud Cake

Pengukuran ketebalan mud cake, caranya yaitu ambil sampel mud cake pada

filter paper yang ada pada filtration press, lalu mengukur sampel lumpur yang ada

pada filter paper menggunakan jangka sorong.

3.5.2.7. Pengukuran pH

Pengukuran pH pada uji laboratorium ini adalah dengan menggunakan pH

Tes Paper Strips. Cara menggunakan pH Tes Paper Strips adalah celupkan paper

strips ke dalam filtrat lumpur yang akan diuji selama 3 detik, kemudian lihat

70

perubahan warna pada kertas pH, cocokkan dengan tabel warna yg ada di kotak dan

segera di ketahui pH dalam cairan tersebut.

3.6. Hasil Pengujian Laboratorium

Hasil pengujian laboratorium dapat dilihat pada Tabel III-4, Tabel III-5,

dan Tabel III-6. Pengujian yang dilakukan meliputi mud weight (ppg), funnel

viscosity dengan satuan second (s), pengujian rheology pada plastic viscosity

dengan satuan centipoise (cp), yield point dengan satuan pound per 100 feet kuadrat

(lb/100ft2), gel strength 10 detik dengan satuan pound per 100 feet kuadrat

(lb/100ft2), gel strength 10 menit dengan satuan pound per 100 feet kuadrat

(lb/100ft2), volume filtrat dengan satuan milliliter (ml), tebal mud cake dengan

satuan centimeter (cm), dan derajat keasaman (pH).

Tabel III-4

Hasil Penelitian Lumpur A

Temperature

no Mud properties Satuan 25 oC 50 oC 75 oC 100 oC

1 Densitas Ppg 8.7 8.6 8.6 8.4

4 Plastic Viscosity Cp 16 14 12 10

5 Yield Point lb/100ft2 24 22 18 14

6 Gel strength 10'' lb/100ft2 8 7 3 2

7 Gel strength 10' lb/100ft2 14 12 7 5

9 Volume Filtrat ml 8.8 10.6 11.2 12.5

10 Tebal Mud Cake cm 0.09 0.12 0.14 0.17

11 pH 9 9 9 8

Tabel III-4 menunjukkan hasil penelitian lumpur A. Dari Tabel III-4 dapat

dilihat bahwa densitas lumpur A mengalami penurunan seiring naiknya

temperature. Pada temperature ruang densitasnya 8.7 ppg, pada temperature 100

oC densitas mengalami penurunan hingga 0.3 ppg.

Plastic viscosity dan yield point juga mengalami penurunan seiring

meningkatnya temperature. Plastic viscosity berubah dari 16 cp pada temperature

ruang menjadi 10 cp pada temperature 100 oC. Yield point berubah dari 24 lb/100ft2

pada temperature ruang menjadi 14 lb/100ft2 pada temperature 100 oC. Gel strength

71

10 detik (10”) dan 10 menit (10’) juga mengalami penurunan seiring bertambahnya

temperature. Gel strength 10 detik (10”) dan 10 menit (10’) juga mengalami

penurunan seiring bertambahnya temperature. Gel strength 10” pada temperature

ruang 8 lb/100ft2 turun menjadi 2 lb/100ft2 pada temperature 100 oC, Gel strength

10’ pada temperature ruang 14 lb/100ft2 turun menjadi 5 lb/100ft2 pada temperature

100 oC.

Volume filtrat semakin banyak dengan bertambahnya temperature. Pada

temperature ruang volume filtrat hanya 8.8 ml, pada temperature 100 oC meningkat

menjadi 12.5 ml. Mud cake juga semakin tebal dengan semakin banyaknya volume

filtrat yang keluar. pH filtrat konstan pada angka 9 hingga pada temperature 75 oC

dan mengalami penurunan pada suhu 100 oC menjadi 8.

Tabel III-5.

Hasil Penelitian Lumpur B

Temperature

no Mud properties Satuan 25 oC 50 oC 75 oC 100 oC

1 Densitas Ppg 8.7 8.6 8.5 8.4

2 Plastic Viscosity cp 17 15 14 12

3 Yield Point lb/100ft2 26 24 22 20

4 Gel strength 10'' lb/100ft2 10 8 7 4

5 Gel strength 10' lb/100ft2 18 16 13 7

6 Volume Filtrat ml 8 9.5 11 12

7 Tebal Mud Cake cm 0.08 0.09 0.1 0.13

8 pH 9 9 9 8

Tabel III-5 menunjukkan hasil penelitian Lumpur B. Dari Tabel III-5

dapat dilihat bahwa densitas Lumpur B mengalami penurunan seiring naiknya

temperature. Pada temperature ruang densitasnya 8.7 ppg, pada temperature 100

oC densitas mengalami penurunan hingga 0.3 ppg. Perbedaan densitas lumpur A

dan lumpur B hanya pada temperature 75 oC, lumpur A memiliki densitas sebesar

8.6 sedangkan lumpur B sebesar 8.5 ppg.

Plastic viscosity dan yield point juga mengalami penurunan seiring

meningkatnya temperature. Harga plastic viscosity dan yield point lumpur B lebih

besar dari lumpur A. Plastic viscosity berubah dari 17 cp pada temperature ruang

menjadi 12 cp pada temperature 100 oC. Yield point berubah dari 26 lb/100ft2 pada

72

temperature ruang menjadi 20 lb/100ft2 pada temperature 100 oC. Gel strength 10

detik (10”) dan 10 menit (10’) juga mengalami penurunan seiring bertambahnya

temperature. Gel strength 10” pada temperature ruang 10 lb/100ft2 turun menjadi

4 lb/100ft2 pada temperature 100 oC, Gel strength 10’ pada temperature ruang 18

lb/100ft2 turun menjadi 7 lb/100ft2 pada temperature 100 oC.

Volume filtrat semakin banyak dengan bertambahnya temperature. Pada

temperature ruang volume filtrat hanya 8 ml, pada temperature 100 oC meningkat

menjadi 12 ml. Mud cake juga semakin tebal dengan semakin banyaknya volume

filtrat yang keluar. pH filtrat konstan pada angka 9 hingga pada temperature 75 oC

dan mengalami penurunan pada suhu 100 oC menjadi 8.

Tabel III-6.

Hasil Penelitian Lumpur C

Temperature

no Mud properties Satuan 25 oC 50 oC 75 oC 100 oC

1 Densitas Ppg 8.7 8.6 8.6 8.4

2 Plastic Viscosity Cp 21 18 15 14

3 Yield Point lb/100ft2 28 26 24 21

4 Gel strength 10'' lb/100ft2 14 10 9 3

5 Gel strength 10' lb/100ft2 27 23 17 7

6 Volume Filtrat ml 8.4 9 11.5 12

7 Tebal Mud Cake Cm 0.08 0.12 0.14 0.17

8 pH 9 9 9 8

Tabel III-6 menunjukkan hasil penelitian Lumpur C. Dari Tabel III-6

dapat dilihat bahwa densitas Lumpur C mengalami penurunan seiring naiknya

temperature. Pada temperature ruang densitasnya 8.7 ppg, pada temperature 100

oC densitas mengalami penurunan hingga 0.3 ppg. Lumpur A dan lumpur C

memiliki perubahan densitas sama setiap penambahan temperature yang sama.

Plastic viscosity dan yield point juga mengalami penurunan seiring

meningkatnya temperature. Harga plastic viscosity dan yield point lumpur C lebih

besar dari lumpur A. Plastic viscosity berubah dari 21 cp pada temperature ruang

menjadi 14 cp pada temperature 100 oC. Yield point berubah dari 28 lb/100ft2 pada

temperature ruang menjadi 21 lb/100ft2 pada temperature 100 oC. Gel strength 10

73

detik (10”) dan 10 menit (10’) juga mengalami penurunan seiring bertambahnya

temperature. Gel strength 10” pada temperature ruang 14 lb/100ft2 turun menjadi 3

lb/100ft2 pada temperature 100 oC, Gel strength 10’ pada temperature ruang 27

lb/100ft2 turun menjadi 7 lb/100ft2 pada temperature 100 oC.

Volume filtrat semakin banyak dengan bertambahnya temperature. Pada

temperature ruang volume filtrat hanya 8.4 ml, pada temperature 100 oC meningkat

menjadi 12 ml. Mud cake juga semakin tebal dengan semakin banyaknya volume

filtrat yang keluar. pH filtrat konstan pada angka 9 hingga pada temperature 100

oC.

Pada Grafik 3.1 menunjukkan perbedaan perubahan densitas pada lumpur

A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik 3.1

dapat dilihat bahwa nilai densitas lumpur A, lumpur B, dan lumpur C sama pada

setiap perubahan temperature, kecuali lumpur B pada temperature 75 oC. Pada

temperature 75 oC, besar densitas lumpur B yaitu 8.5 ppg sedangkan lumpur A dan

lumpur C memiliki nilai yang sama yaitu 8.6 ppg.

Grafik 3.1.

Densitas vs Temperature

8,4

8,5

8,6

8,7

8,8

8,9

9

25 50 75 100

Den

sita

s (p

pg)

Temperature (C)

Densitas vs Temperature

Lumpur A

Lumpur B

Lumpur C

74

Grafik 3.2.

Plastic Viscosity vs Temperature

Pada Grafik 3.2. menunjukkan perbedaan perubahan plastic viscosity pada

lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik

3.2. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan plastic

viscosity untuk setiap kenaikkan temperature.

Pada Grafik 3.3. menunjukkan perbedaan perubahan yield point pada

lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik

3.3. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan yield point

untuk setiap kenaikkan temperature. Penurunan yield point untuk setiap perubahan

temperature cenderung konstan.

0

5

10

15

20

25

25 50 75 100

Pla

stic

Vis

cosi

ty (

cp)

Temperature (C)

Plastic Viscosity vs Temperature

Lumpur A

Lumpur B

Lumpur C

75

Grafik 3.3.

Yield Point vs Temperature

Grafik 3.4.

Gel strength 10” vs Temperature

Pada Grafik 3.4. menunjukkan perbedaan perubahan gel strength 10 detik

(10”) pada lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature.

Dari Grafik 3.4. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan

gel strength 10” untuk setiap kenaikkan temperature.

0

5

10

15

20

25

30

25 50 75 100

Pla

stic

Vis

cosi

ty (

lb/1

00ft

2)

Temperature (C)

Yield Point vs Temperature

Lumpur A

Lumpur B

Lumpur C

0

2

4

6

8

10

12

14

16

25 50 75 100

Gel

Str

ength

10''

(lb

/100ft

2)

Temperature (C)

Gel Strength 10" vs Temperature

Lumpur A

Lumpur B

Lumpur C

76

Grafik 3.5.

Gel strength 10’ vs Temperature

Pada Grafik 3.5. menunjukkan perbedaan perubahan gel strength 10 menit

(10’) pada lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature.

Dari Grafik 3.5. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan

gel strength 10’ untuk setiap kenaikkan temperature.

Pada Gambar 3.6. menunjukkan perbedaan perubahan volume filtrat pada

lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari

Gambar 3.6. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami kenaikkan

volume filtrat untuk setiap kenaikkan temperature. Dari Gambar 3.6 dapat kita

lihat juga bahwa masing-masing lumpur cenderung memiliki volume filtrat yang

sama pada setiap perubahan temperature.

0

5

10

15

20

25

30

25 50 75 100

Gel

Str

ength

10'

(lb

/100ft

2

Temperature (C)

Gel Strength 10' vs Temperature

Lumpur A

Lumpur B

Lumpur C

77

Grafik 3.6.

Volume Filtrat vs Temperature

Pada Grafik 3.6. menunjukkan perbedaan perubahan tebal mud cake pada

lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik

3.7. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur cenderung mengalami kenaikkan

ketebalan mud cake untuk setiap kenaikkan temperature.

Grafik 3.7.

Mud Cake vs Temperature

6

7

8

9

10

11

12

13

25 50 75 100

Volu

me

Fil

trate

(m

l)

Temperature (C)

Volume Filtrate vs Temperature

Lumpur A

Lumpur B

Lumpur C

0

0,02

0,04

0,06

0,08

0,1

0,12

0,14

0,16

0,18

25 50 75 100

Mu

d C

ake

(cm

)

Temperature (C)

Mud Cake vs Temperature

Lumpur A

Lumpur B

Lumpur C

78

Grafik 3.8.

pH vs Temperature

Pada Gambar 3.8. menunjukkan perbedaan perubahan pH pada lumpur A,

lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Gambar 3.8. dapat

dilihat bahwa pH masing-masing lumpur konstan di angka sembilan sampai

temperature 75 oC dan mengalami penurunan menjadi 8 pada temperature 100 oC.

7

8

9

10

0 20 40 60 80 100 120

pH

Temperature (C)

pH vs temperature

Lumpur A

Lumpur B

Lumpur C

79

BAB IV

PEMBAHASAN

Lumpur oil base mud mengandung minyak sebagai fasa kontinyunya.

Komposisinya diatur agar kadar airnya rendah. Relatif lumpur ini tidak sensitif

terhadap kontaminan. Tetapi airnya adalah kontaminan karena memberi efek

negatif bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol viskositas, menaikan gel

strength, mengurangi efek kontaminan air dan mengandung filtaration loss, perlu

ditambahkan zat-zat kimia.

Fungsi oil based mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah

minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik

terhadap formasi biasa maupun formasi produktif (juga untuk completion mud).

Biasanya oil based mud digunakan pada formasi shale ataupun pada formasi yang

mengandung garam.

Temperature reservoir bervariasi dari suatu tempat ke tempat lain

tergantung dari kedalaman dan gradien temperature (geothermal gradient)

setempat. Semakin dalam pemboran yang dilakukan maka temperature juga akan

meningkat. Dari berbagai penelitian selama ini gradien temperature berkisar antara

1-2 oF/100 ft.

Temperature dapat mempengaruhi sifat lumpur pemboran, sehingga apabila

sifat lumpur ini turun maka akan mengakibatkan lumpur tidak dapat memenuhi

fungsinya untuk mengangkat cutting, sehingga dapat menyebabkan masalah dalam

pemboran. Dari hal ini perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar

perubahan properties lumpur terhadap temperature.

Pada pembahasan ini akan membahas tentang pengaruh temperature

terhadap kestabilan properties lumpur oil base mud VICOIL BOPANPROG, mulai

dari tahapan pengujian laboratorium hingga analisa hasil dari uji laboratorium.

80

4.1. Uji Laboratorium

Dalam uji laboratorium lumpur oil base mud VICOIL BOPANPROG ini

dibuat tiga jenis lumpur dengan perbedaan pada konsentrasi perbandingan jumlah

VICOIL BOPANPROG dan air. Konsentrasi perbandingan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah 245 cc, 280 cc, dan 315 cc VICOIL BOPANPROG dan 105

cc, 70 cc dan 35 cc air. Komposisi masing-masing lumpur dapat dilihat pada Tabel

III.3. Ketiga jenis lumpur tersebut masing-masing diukur mud properties-nya

(densitas, plastic viscosity, yield point, gel strength 10”, gel strength 10’, volume

filtrate, tebal mud cake, pH) pada temperature 25 oC, 50 oC, 75 oC, dan 100 oC.

Dalam penelitian ini tidak menggunakan rolling oven sebagai pemanas

karena sedang tidak bisa digunakan, sebagai penggantinya digunakan thermo cup

sebagai pemanasnya. Pengukuran mud properties dilakukan sampai temperature

100 oC dan kebetulan alat di laboratorium juga hanya mendukung hingga

temperatiure tersebut. Walaupun lumpur oil base mud VICOIL BOPANPROG

berbahan dasar minyak, namun karena mengalami peningkatan temperaturee maka

lumpur akan menguap dan hal ini bisa mempengaruhi mud properties. Masing-

masing lumpur diukur mud properties-nya pada setiap kenaikan temperature 25 oC

atau empat kali percobaan karena sudah cukup untuk bisa melihat perubahan dari

mud properties-nya. Jika dilakukan kurang dari empat kali hasil kurang maksimum

atau kurang teliti. Jika dilakukan lebih dari empat kali, tingkat katelitian hasil

semakin besar, namun membutuhkan waktu yang lama dan merupakan suatu

pemborosan aditif lumpur dan VICOIL BOPANPROG.

4.2. Analisa Hasil Laboratorium

Densitas lumpur pemboran merupakan salah satu sifat lumpur yang sangat

berpengaruh karena perannya yang berhubungan langsung dengan fungsi lumpur

sebagai menahan tekanan formasi. Densitas lumpur yang terlalu besar dapat

menyebabkan hilangnya lumpur ke dalam formasi (loss circulation), sedangkan

jika terlalu kecil akan menyebabkan semburan liar (blow out), sehingga densitas

lumpur harus disesuaikan dengan keadaan formasi yang ditembus. Aditif yang

digunakan untuk meningkatkan densitas pada penelitian ini adalah barite.

81

Pada Grafik 3.1 menunjukkan perbedaan perubahan densitas pada lumpur

A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik 3.1.

dapat dilihat bahwa temperature dapat mempengaruhi besarnya nilai densitas

lumpur oil basemud VICOIL BOPANPROG dimana dengan naiknya temperature

lumpur maka nilai densitas mengalami penurunan. Pada percobaan dini dilakukan

12 kali pengukuran dan pembuatan lumpur karena pada setiap lumpur akan diukur

untuk satu temperature, kemudian setelah didapatkan mud properties nya maka

untuk suhu selanjutnya yang digunakan adalah lumpur baru kembali. Untuk lumpur

A dan lumpur C pada temperature 50 oC dan 75oC penurunan nilai densitas nya

relatif sama.

Pada Grafik 3.2. menunjukkan perbedaan perubahan plastic viscosity (PV)

pada lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari

Grafik 3.2. bisa dilihat bahwa lumpur A, lumpur B, dan lumpur C mengalami

penurunan plastic viscosity untuk setiap kenaikkan temperature. Berdasarkan

Standar API (2012), plastic viscosity yang baik minimal dibawah 65 cp. Dari hasil

uji laboratorium, lumpur A, B dan lumpur C bisa digunakan pada temperature 100

oC.

Pada Grafik 3.3. menunjukkan perbedaan perubahan yield point (YP) pada

lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik

3.3. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan yield point

untuk setiap kenaikkan temperature. Penurunan yield point untuk setiap perubahan

temperature cenderung konstan. Dari hasil uji laboratorium lumpur B dan lumpur

C memenuhi syarat standar API pada temperature ruang sampai temperature 100

oC namun lumpur A hanya memenuhi standar API pada temperature ruang sampai

temperature 75 oC. Apabila viskositas terlalu besar salah satu nya disebabkan oleh

kekentalan awal dari pemakaian emulsifier, aditif pengontrol filtrate serta

penggunaan viscosifier berlebihan. Pada Grafik 3.3. bisa dilihat bahwa masing-

masing lumpur mengalami penurunan yield point untuk setiap kenaikkan

temperature. Viscositas dan yield point saling berhubungan, untuk menaikkan nilai

yield point bisa dilakukan dengan cara menaikkan nilai plastic viscosity yaitu

82

menambahkan viscosifier maupun pengontrol filtrate karena selain tahan terhadap

temperature tinggi juga mampu menaikkan viskositas lumpur.

Dari hasil uji laboratorium, gel strength 10 menit selalu lebih besar atau

sama dengan gel strength 10 detik pada temperature ruang sampai 100 oC. Jika gel

strength terlalu besar maka pemompaan terlalu berat saat sirkulasi dijalankan, akan

tetapi menjadi mudah menahan cutting agar tidak jatuh ke dasar lubang bor saat

sirkulasi dihentikan dan apabila gel strength terlalu kecil maka cutting lebih mudah

jatuh ke dasar lubang bor sehingga terjadi regrinding atau menggerus kembali

cutting yang sudah di bor.

Pada Grafik 3.4. menunjukkan perbedaan perubahan gel strength 10 detik

(10”) pada lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature.

Dari Grafik 3.4. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan

gel strength 10” untuk setiap kenaikkan temperature. Gel strength 10” yang baik

berkisar antara 3-20 lb/100ft2 (Darley and Gray,1988;Mohammed, 2012).

Berdasarkan hasil uji laboratorium, gel strength lumpur A memenuhi standar hanya

pada temperature 75 oC, lumpur B memenuhi standar sampai temperature 100 oC.

dan lumpur C memenuhi standar sampai temperature 100 oC.

Pada Grafik 3.5. menunjukkan perbedaan perubahan gel strength 10 menit

(10’) pada lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature.

Dari Grafik 3.5. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan

gel strength 10’ untuk setiap kenaikkan temperature. Gel strength 10’ yang baik

berkisar antara 8-30 lb/100ft2 (Darley and Gray,1988;Mohammed, 2012).

Berdasarkan hasil uji laboratorium, gel strength lumpur A memenuhi standar hanya

pada temperature 50 oC, lumpur B dan lumpur C memenuhi standar sampai

temperature 75 oC.

Pada Grafik 3.6. menunjukkan perbedaan perubahan volume filtrat pada

lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik

3.6. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami kenaikkan volume filtrat

untuk setiap kenaikkan temperature. Dari Grafik 3.6. dapat kita lihat juga bahwa

masing-masing lumpur cenderung memiliki volume filtrat yang sama pada setiap

perubahan temperature. Harga volume filtrat Standar (Darley and

83

Gray,1988;Mohammed, 2012) maksimal 15 ml. Semua uji volume filtrat lumpur

A, lumpur B, dan lumpur C pada temperature ruang sampai temperature 100 oC

masih memenuhi syarat.

Pada Grafik 3.7. menunjukkan perbedaan perubahan tebal mud cake pada

lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik

3.7. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur cenderung mengalami kenaikkan

ketebalan mud cake untuk setiap kenaikkan temperature. Tebal mud cake

berbanding lurus dengan volume filtrat. Semakin banyak volume filtratnya, maka

mud cake juga semakin tebal, begitu juga sebaliknya, semakin sedikit volume

filtratnya maka mud cake juga semakin tipis. Tebal mud cake yang baik adalah 0,08-

0,2 cm (Bayu Satiyawira, 2018). Jika mud cake tipis bisa sebagai bantalan

drillstring pada proses pemboran, namun jika mud cake terlalu tebal bisa

menyebabkan penyempitan lubang bor yang dapat menyebabkan pipa terjepit. Hasil

uji laboratorium mud cake lumpur A, lumpur B, dan lumpur C pada temperature

ruang sampai temperature 100 oC masih memenuhi syarat.

Apabila viskositas terlalu besar salah satu nya disebabkan oleh kekentalan

awal dari pemakaian emulsifier, aditif pengontrol filtrate serta penggunaan

viscosifier berlebihan. Viscositas, yield point, gel strength 10”, gel strength 10,

volume filtrat dan mud cake saling berhubungan, untuk menaikkan nilai yield poin,

gel strength 10”, gel strength 10 bisa dilakukan dengan cara viscosifier maupun

pengontrol filtrate karena selain tahan terhadap temperature tinggi juga mampu

menaikkan viskositas lumpur apabila viskositas lumpur mengalami kenaikan maka

yield poin, gel strength 10”, gel strength 10 juga akan ikut berubah. Begitu juga

dengan volume filtrat dan mud cake, jika volume filtrate berkurang maka mud cake

juga akan berkurang.

Pada Grafik 3.8. menunjukkan perbedaan perubahan pH pada lumpur A,

lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik 3.8. dapat

dilihat bahwa pH masing-masing lumpur konstan di angka sembilan sampai

temperature 75 oC, namun pada temperature 100 oC pH mengalami penurunan

menjadi 8. Dari hasil ini menunjukkan bahwa pada temperature tinggi pH lumpur

juga bisa turun. pH yang baik bedarsarkan (Darley and Gray,1988;Mohammed,

84

2012) antara 8.5-10. Dari uji laboratorium ini semua pH turun menjadi 8 pada

temperature 100 oC.

Berdasarkan uji laboratorium ini, temperature berpengaruh terhadap

properties lumpur oil base mud VICOIL BOPANPROG. Dari hasil uji laboratorium

ini juga menunjukkan bahwa temperature sangat berpengaruh terhadap kestabilan

properties lumpur oil base mud VICOIL BOPANPROG. Semakin bertambahnya

temperature, maka kualitas lumpur akan berkurang dan bahkan pada temperature

yang sangat tinggi lumpur akan rusak sehingga diperlukan treatment yang rutin

terhadap lumpur.

84

BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan uji laboratorium yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hasil

sebagai berikut:

1. Kenaikan temperature dapat mengurangi kualitas properties lumpur oil base

mud VICOIL BOPANPROG, bahkan pada temperature tertentu beberapa

properties lumpur sudah tidak sesuai dengan standar yang diinginkan.

2. Dari hasil uji laboratorium, gel strength sangat sensitif terhadap kenaikan

temperature, penurunan nilai gel strength sangat tinggi setelah mencapai

temperature 75 oC pada lumpur A. Sehingga pada temperature 75 oC gel strength

lumpur A sudah tidak memenuhi standar. Namun untuk lumpur B dan C masih

memenuhi standart.

3. Dari semua parameter mud properties belum ada lumpur yang mampu bertahan

pada temperature 100 oC, lumpur A hanya memenuhi standar pada temperature

50 oC, lumpur B dan lumpur C hanya bertahan sampai temperature 75 oC. Jadi,

untuk pemboran dengan temperature formasi lebih kecil dari 50 oC, formulasi

lumpur A sudah bisa digunakan. Sedangkan pemboran dengan temperature lebih

besar dari 75 oC, formulasi lumpur harus diperbaiki.

85

DAFTAR PUSTAKA

1. (________), Amoco Production Company. 2000. Drilling Fluids Manual.

Chicago: Amoco Production Company.

2. Adam T. Bourgoyne Jr., et.al.,1986 Applied Drilling Engineering

3. American Petroleum Institute, "Specification for Drilling Fluids Specifications

and Testing", Dallas, 2010.

4. Gray, George Robert, 1907-1983. Composition and Properties of Oil Well

Drilling Fluids.

5. Handayani, Sri R. 2000. Studi Laboratorium Aditif Temperature Tinggi

Terhadap Sifat-Sifat Reologi Dengan Viscometer HPHT [Skripsi]. Yogyakarta:

UPN “Veteran” Yogyakarta.

6. Miftahul Irhami. 2018. Laporan Resmi Praktikum Analisa Lumpur Pemboran.

UPN “Veteran” Yogyakarta: Jurusan Teknik Perminyakan

7. Rubiandini Rudi R.S. Dr. Ir., "Teknik Operasi Pemboran", Jurusan Teknik

Perminyakan, ITB Bandung 2009

8. Rubiandini Rudi R.S. Dr. Ir., "Teknik Operasi Pemboran", Jurusan Teknik

Perminyakan, ITB Bandung 2009

9. Satiyawira, Bayu. 2018. Pengaruh Temperature Terhadap Sifat Fisik Sistem

Low Solid Mud Dengan Penambahan Aditif Biolpolimer dan Bentonit

Extender. Jurnal Petro. Volume VII No: 4.

10. Suhascaryo, Nur. KRT. Dr. Ir., "Proses Aktivasi dalam Peningkatan Kualitas

VICOIL BOPANPROG Desa Bojong, Kecamatan Panjatan, Kabupaten

Kulonprogo", Uwais Inspirasi Indonesia, DIY, 2019.Baker Hughes INTEQ.

1995. Drilling Engineering Workbook. Houston: 2520 WW Thorne.

11. Wongso, Andrew. 2020. Studi Laboratorium Pemanfaatan VICOIL Sebagai

Material Baru Untuk Oil Base Mud Dalam Mengatasi Problem Swelling Shale

[Skripsi]. Yogyakarta: UPN “Veteran” Yogyakarta.

12. Marikin. 2020. Pengaruh Polimer XCD Terhadap Mud Properties Lumpur

KCL-Polimer Pada Kenaikan Temperature [Skripsi]. Yogyakarta: UPN

“Veteran” Yogyakarta.

LAMPIRAN

LAMPIRAN A

LEGENDA

Ph : Tekanan statik lumpur, psi.

Ρm : Densitas lumpur, ppg.

D : Kedalaman, ft.

Ppm : parts per million

Pm : Tekanan hidrostatik kolom lumpur, psi.

m : Densitas lumpur, ppg.

SGmud : Spesific gravity lumpur.

Wmud : Densitas lumpur, ppg.

Wfresh water : Densitas air, ppg.

n : Kandungan pasir, %

sV : Volume pasir dalam lumpur, bbl

mV : Volume lumpur, bbl

PV : Plastic Viscosity

YP : Yield Point

p : Plastic Viscosity, cp

Yp : Yield Point Bingham, lb/100 ft2

C600 : Dial reading pada 600 RPM, derajat

C300 : Dial reading pada 300 RPM, derajat

: Shear stress, dyne/cm2

: Shear rate, detik-1

C : Dial reading, derajat

N : Rotation per minute RPM dari rotor

1Q : Fluid loss pada waktu t1, cm3

2Q : Fluid loss pada waktu t2, cm3

t : Waktu filtrasi, menit

LAMPIRAN B

CARA PERHITUNGAN OIL WATER RATIO

a) % oil in liquid phase = (% by volume oil x 100) ÷ (% by volume oil + % by

volume water)

b) % water in liquid phase = (% by volume water x 100) ÷ (% by volume oil + %

by volume water)

% by volume oil = 245 ml

% by volume water = 105 ml

a) % oil in liquid phase = (245 x 100) ÷ (245+105)

% oil in liquid phase = 70 ml

b) % water in liquid phase = (105 x 100) ÷ (245+105)

% water in liquid phase = 30 ml

LAMPIRAN C

LUMPUR DASAR OIL BASE MUD VICOIL BOPANPROG.

Gambar 1.

Electric Heating Cup

Electric Heating Cup digunakan untuk memanaskan lumpur dengan volume

yang lebih besar, karena thermo cup memiliki ukuran yang kecil. Pada temperature

100 oC air dalam lumpur mudah menguap sehingga digunakan aluminium foil untuk

menutup cup guna mencegah terjadinya penguapan air dalam lumpur.

Gambar 2.

Komponen Peralatan Filter Press

Gambar 3.

Filter Papers

Gambar 4.

Hasil Mud Cake OBM Dasar VICOIL

Gambar 4. Menunjukkan contoh hasil mud cake OBM dasar VICOIL

dalam uji laboratorium ini. Hasil mud cake setiap percobaan cenderung memiliki

tekstur dan ketebalan berbeda disetiap temperature.

Gambar 5.

Hasil Mud Cake

Gambar 5. Menunjukkan contoh hasil mud cake OBM yang telah dicampur

dengan additive dalam uji laboratorium ini. . Hasil mud cake setiap percobaan

cenderung memiliki tekstur dan ketebalan berbeda disetiap temperature.

Gambar 6.

Hasil pH

Gambar 6. Menunjukkan contoh hasil pH dalam uji laboratorium ini.

Gambar 6A menunjukkan pH 9, Gambar 6B. menunjukkan pH 8. Pada temperatur

25 oC sampai 75 oC pH lumpur 9, sedangkan pada temperatur 100 oC pH lumpur

turun menjadi 8 pada lumpur OBM yang telah dicampur dengan additive.

Sedangkan untuk lumpur OBM dasar VICOIL pH stabil pada angka 8 dari

temperatur 25 oC sampai temperatur 100 oC.

Tabel I.

Formulasi Lumpur Dasar Oil Base Mud VICOIL BUPANPROG

No Product Fungtion A B C

1 VICOIL Base Oil 245 ml

280

ml

315

ml

2 Water Pollar Additive 105 ml 70 ml 35 ml

3 Geltone Viscosifier 4 gr 4 gr 4 gr

4 Invermul Primary Emulsifier 8 cc 8 cc 8 cc

5 Ez Mul Secondary Emulsifier 2 cc 2 cc 2 cc

Tabel II.

Hasil Pengukuran Lumpur Dasar A Terhadap Perubahan Temperatur

Temperatur

⁰ C no Mud Properties Satuan 25 50 75 100

1 Densitas ppg 7.6 7.5 7.4 7.3

2 Plastic Viscosity cp 5 4 3 2

3 Yield Point lb/100ft2 5 3 4 3

4 Gel Strength 10'' lb/100ft2 4 2 1 0

5 Gel Strength 10' lb/100ft2 5 3 2 0

6 Filtrat ml 200 212 215 219

7 Tebal Mud Cake cm 0.01 0.012 0.013 0.014

8 pH 8 8 8 8

Tabel III.

Hasil Pengukuran Lumpur Dasar B Terhadap Perubahan Temperatur

no Mud Properties Satuan

Temperatur ⁰ C

25 50 75 100

1 Densitas ppg 7.7 7.5 7.4 7.3

2 Plastic Viscosity cp 4 3 2 2

3 Yield Point lb/100ft2 5 3 4 3

4 Gel Strength 10'' lb/100ft2 4 3 2 2

5 Gel Strength 10' lb/100ft2 5 4 1 0

6 Filtrat ml 208 217 219 223

7 Tebal Mud Cake cm 0.012 0.013 0.014 0.015

8 pH 8 8 8 8

Tabel IV.

Hasil Pengukuran Lumpur Dasar C Terhadap Perubahan Temperatur

no Mud Properties Satuan

Temperatur ⁰ C

25 50 75 100

1 Densitas ppg 7.7 7.6 7.4 7.3

2 Plastic Viscosity cp 5 4 3 2

3 Yield Point lb/100ft2 5 3 3 2

4 Gel Strength 10'' lb/100ft2 5 4 2 1

5 Gel Strength 10' lb/100ft2 4 5 3 1

6 Filtrat ml 205 213 216 300

7 Tebal Mud Cake cm 0.013 0.014 0.015 0.016

8 pH 8 8 8 8

Grafik 1.

Densitas Vs Temperatur

7,6 7,5 7,4 7,3

7,7 7,5 7,4 7,3

7,7 7,6 7,4 7,3

0

5

10

15

20

25

25 50 75 100

Den

sita

s

Temperature (C)

Densitas vs Temperatur Lumpur Dasar

Densitas vs TemperatureLumpur Dasar C

Densitas vs TemperatureLumpur Dasar B

Densitas vs TemperatureLumpur Dasar A

Grafik 2 .

Plastic Viscosity Vs Temperatur

Grafik 3.

Yield Point Vs Temperatur

54

32

4

3

22

5

4

3

2

0

5

10

15

25 50 75 100

Pla

stic

Vis

cosi

ty

Temperature (C)

Plastic Viscosity Vs Temperature

Plastic Viscosity vs

Temperatur Lumpur

Dasar C

Plastic Viscosity vs

Temperatur Lumpur

Dasar B

Plastic Viscosity vs

Temperatur Lumpur

Dasar A

5

3

4

3

5

3

4

3

5

3 3

2

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

5

0 50 100 150

Yie

ld P

oin

t

Temperature (C)

Yield Point vs Temperatur Lumpur Dasar

Yield Point vs Temperatur

Lumpur Dasar A

Yield Point vs Temperatur

Lumpur Dasar B

Yield Point vs Temperatur

Lumpur Dasar C

Grafik 4.

Trendline Gel strength 10 Detik Vs Temperatur

Grafik 5.

Gel strength 10 Menit Vs Temperatur

4

21

0

4

3

22

5

4

2

1

0

2

4

6

8

10

12

14

25 50 75 100

Gel

Str

ength

Temperature (C)

Gel Strength 10 Detik vs Temperatur Lumpur Dasar

Gel Strength 10 Detik vs

Temperatur Lumpur

Dasar C

Gel Strength 10 Detik vs

Temperatur Lumpur

Dasar B

Gel Strength 10 Detik vs

Temperatur Lumpur

Dasar A

5

32

0

5

4

1

0

4

5

3

1

0

2

4

6

8

10

12

14

16

25 50 75 100

Gel

Str

ength

10'

Temperature (C)

Gel Strength 10 Menit vs Temperatur Lumpur Dasar

Gel Strength 10 Menit

vs Temperatur

Lumpur Dasar C

Gel Strength 10 Menit

vs Temperatur

Lumpur Dasar B

Gel Strength 10 Menit

vs Temperatur

Lumpur Dasar A

Grafik 6.

Volume Filtrat Menit Vs Temperatur

Grafik 7.

Mud Cake Vs Temperatur

200 212 215 219

208 217 219 223

205213 216

300

100

200

300

400

500

600

700

800

25 50 75 100

Volu

me

Fil

trate

Temperature (C)

Volume Filtrat vs Temperatur Lumpur Dasar

Volume Filtrat vs

Temperatur Lumpur

Dasar C

Volume Filtrat vs

Temperatur Lumpur

Dasar B

Volume Filtrat vs

Temperatur Lumpur

Dasar A

0,01 0,012 0,013 0,014

0,0120,013 0,014 0,015

0,0130,014

0,0150,016

0

0,01

0,02

0,03

0,04

0,05

25 50 75 100

Mu

d C

ak

e

Temperature (C)

Mud Cake vs Temperatur Lumpur Dasar

Tebal Mud cake vs

Temperatur Lumpur

Dasar C

Tebal Mud cake vs

Temperatur Lumpur

Dasar B

Tebal Mud cake vs

Temperatur Lumpur

Dasar A

Grafik 8.

pH Vs Temperatur

8 8 8 8

8 8 8 8

8 8 8 8

6

8

10

12

14

16

18

20

22

24

26

25 50 75 100

pH

Temperature (C)

pH vs Temperatur Lumpur Dasar

pH vs Temperatur

Lumpur Dasar C

pH vs Temperatur

Lumpur Dasar B

pH vs Temperatur

Lumpur Dasar A