Upload
khangminh22
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
STUDI LABORATORIUM FLUIDA PEMBORAN OIL BASE MUD
BERBAHAN DASAR VICOIL BOPANPROG PADA TEMPERATURE
25⁰ C, 50⁰ C, 75⁰ C, 100⁰ C
SKRIPSI
Diajukan guna memenuhi syarat penulisan Skripsi
untuk meraih gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Teknik Perminyakan
Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta
Oleh :
MIFTAHUL IRHAMI
113160189/TM
JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2021
ii
STUDI LABORATORIUM FLUIDA PEMBORAN OIL BASE MUD
BERBAHAN DASAR VICOIL BOPANPROG PADA TEMPERATURE
25⁰ C, 50⁰ C, 75⁰ C, 100⁰ C
SKRIPSI
Diajukan guna memenuhi syarat penulisan Skripsi
untuk meraih gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Teknik Perminyakan
Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta
Oleh :
MIFTAHUL IRHAMI
113160189/TM
Disetujui untuk Jurusan Teknik Perminyakan,
Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta,
Oleh Dosen Pembimbing:
Pembimbing I Pembimbimg II
Dr. Ir. H. KRT. Nur Suhascaryo, M.T Hariyadi, ST.,MT
iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa judul dan
keseluruhan isi Skripsi ini yang berjudul “STUDI LABORATORIUM FLUIDA
PEMBORAN OIL BASE MUD BERBAHAN DASAR VICOIL BOPANPROG
PADA TEMPERATURE 25⁰ C, 50⁰ C, 75⁰ C, 100⁰ C” adalah asli karya ilmiah
saya, dan saya menyatakan bahwa dalam rangka menyusun, berkonsultasi dengan
dosen pembimbing hingga menyelesaikan Skripsi ini tidak pernah melakukan
penjiplakan (plagiasi) terhadap karya orang atau pihak lain baik karya lisan maupun
tulisan, baik sengaja maupun tidak disengaja.
Saya menyatakan bahwa apabila dikemudian hari terbukti bahwa Skripsi
saya ini mengandung unsur penjiplakan (plagiasi) dari karya orang atau pihak lain,
maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya, diluar tanggung jawab Dosen
Pembimbing saya. Oleh karena itu saya, sanggup bertanggung jawab secara hukum
dan bersedia dibatalkan/dicabut gelar kesarjanaan saya oleh Otoritas/Rektor
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat. Terima kasih.
Yogyakarta, 09 Juli 2021
Yang menyatakan
Miftahul Irhami
NIM: 113160189
No.Telepon/HP : 081229775348/082277889712
Alamat e-Mail : [email protected]
Nama/Alamat Orang Tua : M. Thahir / Jln. Tower Gang Keluarga LK. VII,
Mutiara, Kota Kisaran Timur, Sumatera Utara
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada kedua orangtua saya tercinta,
terimakasih atas segala do’a dan dukungannya selama ini, terimakasih juga saya
sampaikan kepada saudara dan saudari saya, dan semua keluarga yang telah
mendukung dan mendo’akan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
Kepada Bapak Nur dan Bapak Hariyadi yang selalu membimbing saya dan
selalu mengarahkan saya selama dalam penyusunan skripsi ini
Untuk sahabat dan teman-teman saya “SPEARHEADS16” yang telah banyak
berkontribusi dalam penyusunan skripsi ini.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan berkat-Nya, Penulis
dapat menyelesaikan Skripsi di Jurusan Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi
Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta, dengan judul Skripsi “STUDI
LABORATORIUM FLUIDA PEMBORAN OIL BASE MUD BERBAHAN
DASAR VICOIL BOPANPROG PADA TEMPERATURE 25⁰ C, 50⁰ C,
75⁰ C, 100⁰ C”.
Perkenankan Penulis untuk memberikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. Dr. Mohhamad Irhas Effendi, M.S selaku Rektor UPN “Veteran” Yogyakarta.
2. Dr. Ir. Sutarto, MT. selaku Dekan Fakultas Teknologi Mineral UPN “Veteran”
Yogyakarta.
3. Dr. Boni Swadesi, ST.,MT. selaku Ketua Jurusan Teknik Perminyakan UPN
“Veteran” Yogyakarta.
4. Hariyadi, ST.,MT. selaku Koordinator S1 Program Studi Teknik Perminyakan
dan Pembimbing II Skripsi.
5. M.TH.Kristiati EA.,ST.,MT. selaku Sekertaris Jurusan Teknik Perminyakan
UPN ”Veteran” Yogyakarta.
6. Dr. Ir. H. KRT. Nur Suhascaryo, MT. selaku Pembimbing I Skripsi.
7. Kedua Orangtua yang telah memberikan dukungan moral maupun material.
8. Semua pihak yang telah membantu.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun.
Akhir kata penulis mengharapkan agar laporan ini sangat berguna baik bagi pribadi
maupun bagi pembaca sekalian.
Yogyakarta, 09 Juli 2021
Penulis
Miftahul Irhami
vi
RINGKASAN
Sifat lumpur yang berperan untuk mengangkat cutting adalah viskositas.
Selama operasi pemboran berlangsung, sering kita jumpai masalah-masalah di
dalam lubang sumur yang berkaitan dengan sifat fisik batuan yang sedang dibor.
Adapun masalah yang dihadapi diantaranya yaitu temperature yang bervariasi dari
suatu reservoir minyak dan gas berhubungan dengan kedalaman dari reservoir itu
sendiri. Hal ini mengikuti prinsip gradienthermal berkisar (1-2)º/100 m, artinya
untuk setiap penambahan kedalaman sebesar 100 m ke dalam perut bumi, terjadi
kenaikan temperature sebesar 1-2℃. Adanya perubahan temperature yang semakin
meningkat sangat berpengaruh terhadap karakteristik dan sifat fisik lumpur
pemboran. Semakin tinggi temperature yang mengenai lumpur pemboran akan
mengakibatkan turunnya viskositas lumpur tersebut. Penurunan nilai viskositas
lumpur pemboran akan mengakibatkan pengangkatan serpih pemboran (cutting) ke
permukaan kurang baik. Oil base mud dengan mengggunakan VICOIL sebagai fasa
cairnya diharapkan mampu menjadi material alternatif bagi oil based mud dalam
operasi pemboran.
Metodologi penelitian yang digunakan untuk Tugas Akhir ini adalah uji
laboratorium, Analisa dan Kesimpulan hasil penelitian. Dalam uji laboratorium ini
dilakukan dengan membuat tiga jenis lumpur Oil Base Mud VICOIL
BOPANPROG dengan perbedaan konsentrasi pada komposisi VICOIL dan Air
yaitu lumpur A (70% VICOIL:30% Air), lumpur B (80% VICOIL:20% Air),
lumpur C (90% VICOIL:10% Air) sedangkan untuk jenis dan komposisi additive
yang digunakan sama yaitu 15 gr CaCl + 8 gr H.Lime + 50 gr barite + 4 gr geltone
+ 6 gr carbotrol HT + 8 cc invermul + 2 cc ez mul . Selanjutnya, masing-masing
lumpur tersebut diukur mud properties-nya pada berbagai temperature (25℃, 50℃,
75℃, dan 100℃). Dari uji laboratorium ini akan terlihat perbedaan perubahan mud
properties masing-masing lumpur ketika terjadi kenaikan temperature. Kenaikan
temperature dapat mengurangi kualitas properties lumpur oil base mud VICOIL
BOPANPROG, bahkan pada temperature tertentu beberapa properties lumpur
sudah tidak sesuai dengan standar yang diinginkan.
Dari hasil uji laboratorium, gel strength sangat sensitif terhadap kenaikan
temperature, penurunan nilai gel strength sangat tinggi setelah mencapai
temperature 75 ℃ pada lumpur A. Sehingga pada temperature 75 ℃ gel strength
lumpur A sudah tidak memenuhi standar. Namun, untuk lumpur B dan C masih
memenuhi standar. Dari semua parameter mud properties belum ada lumpur yang
mampu bertahan pada temperature 100 ℃, lumpur A hanya memenuhi standar pada
temperature 50 ℃, lumpur B dan lumpur C hanya bertahan sampai temperature 75
℃. Jadi, untuk pemboran dengan temperature formasi lebih kecil dari 50 ℃,
formulasi lumpur A sudah bisa digunakan. Sedangkan, pemboran dengan
temperature lebih besar dari 75 ℃, formulasi lumpur harus diperbaiki.
Kata Kunci : Lumpur Pemboran, Oil Base Mud, VICOIL,Temperature
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ............................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
RINGKASAN ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... xiii
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3. Maksud dan Tujuan .......................................................................................... 2
1.4. Metodologi ....................................................................................................... 2
1.5. Sistematika Penulisan........................................................................................ 3
BAB II. DASAR TEORI ....................................................................................... 5
2.1. Fungsi Lumpur Pemboran ................................................................................ 5
2.1.1. Mengangkat Cutting ke Permukaan ....................................................... 6
2.1.2. Menahan Tekanan Formasi .................................................................... 6
2.1.3. Mendinginkan dan Melumasi Bit dan Drillstring .................................. 7
2.1.4. Melindungi Dinding Lubang Bor Dengan Mud Cake ............................. 8
2.1.5. Mengurangi Efek Negatif pada Caving Formasi ................................... 9
2.1.6. Menahan Cutting dan Material Pemberat pada Suspensi Jika
Sirkulasi Lumpur Dihentikan Sementara ............................................. 10
2.1.7. Menahan Sebagian Berat Drillstring dan Casing ................................. 10
2.1.8. Mendapatkan Informasi dari Mud Logging .......................................... 10
2.1.9. Media Logging ...................................................................................... 11
2.2. Komponen Lumpur Pemboran ....................................................................... 11
2.2.1. Fasa Cair .............................................................................................. 11
2.2.1.1. Air ............................................................................................ 11
2.2.1.2. Emulsi ...................................................................................... 12
2.2.1.2.1. Oil in Water Emulsion .............................................. 12
viii
DAFTAR ISI
(lanjutan)
Halaman
2.2.1.2.2. Water in Oil Emulsion ............................................... 12
2.2.1.3. Minyak ..................................................................................... 12
2.2.2. Fasa Padat ............................................................................................ 13
2.2.2.1. Reactive Solid .......................................................................... 13
2.2.2.2. Innert Solid .............................................................................. 17
2.2.3. Fasa Kimia (Additive) .......................................................................... 17
2.2.3.1. Material Pemberat (Weighting Agent) ...................................... 18
2.2.3.2. Pengental (Viscosifier) .............................................................. 18
2.2.3.3. Pengencer (Thinner) ................................................................. 18
2.2.3.4. Fluid Loss Control Agent ......................................................... 18
2.2.3.5. Emulsifier ................................................................................. 19
2.2.3.6. Lost Circulation Material ......................................................... 19
2.2.3.7. Additive Khusus ........................................................................ 20
2.2.3.7.1. Flocculant ................................................................. 20
2.2.3.7.2. Corrosion Control Agent .......................................... 20
2.2.3.7.3. Defoamer .................................................................. 20
2.2.3.7.4. Pengatur pH (pH Adjuster) ....................................... 20
2.2.3.7.5. Pelumas Lumpur (Mud Lubricant) ........................... 21
2.3. Sifat-sifat Lumpur Pemboran .......................................................................... 22
2.3.1. Sifat Fisik Lumpur Pemboran .............................................................. 22
2.3.1.1. Densitas .................................................................................. 23
2.3.1.2. Sand Content............................................................................. 26
2.3.1.3. Viskositas Lumpur ................................................................... 27
2.3.1.4. Gel strength .............................................................................. 29
2.3.1.5. Volume Filtrat Dan Mud Cake ................................................. 30
2.3.2. Sifat Kimia Lumpur Pemboran ............................................................ 31
2.3.2.1. pH ............................................................................................ 32
2.3.2.2. Kesadahan ................................................................................. 32
2.3.2.3. Alkalinitas ................................................................................. 33
2.3.2.4. Salinitas .................................................................................... 34
2.4. Jenis – Jenis Lumpur Pemboran ..................................................................... 35
2.4.1. Water Based Mud ................................................................................. 35
2.4.1.1. Fresh Water Mud ...................................................................... 36
2.4.1.2. Salt Water Mud ........................................................................ 39
ix
DAFTAR ISI
(lanjutan)
Halaman
2.4.2. Oil Based Mud ..................................................................................... 40
2.4.2. Oil in Water Emulsion Mud (Emulsion Mud) ....................................... 42
2.4.3.1. Fresh Water in Water Emulsion Mud ....................................... 43
2.4.3.2. Salt Water Oil in Water Emulsion Mud ................................... 44
2.4.4. Gaseous Drilling Fluid ........................................................................ 44
2.5. Komponen Oil Base Mud ............................................................................... 44
2.5.1. Diesel Oil atau Mineral Oil (Continous Phase) ................................... 44
2.5.2. Air (Discontinous Phase) ..................................................................... 45
2.5.3. Emulsifier ............................................................................................. 45
2.5.4. Viscosifier ............................................................................................ 46
2.5.5. Filtrat Reducer ..................................................................................... 46
2.5.6. Lime ...................................................................................................... 47
2.5.7. Material Pemberat ................................................................................ 47
2.6. Cara Pembuatan Oil Base Mud ....................................................................... 47
2.7. Fungsi Oil Base Mud ...................................................................................... 48
2.8. Sifat-sifat Oil Base Mud ................................................................................. 48
2.8.1. Aniline Number yang tinggi ................................................................. 48
2.8.2. Flash Point yang tinggi ........................................................................ 49
2.8.3. Pour Point yang tinggi ......................................................................... 49
2.8.4. Molekul Minyak yang Stabil ............................................................... 49
2.8.5. Mempunyai Bau dan Fluoresensi ........................................................ 49
2.9. Keuntungan dan Kelemahan Penggunaan Oil Base Mud .............................. 50
2.10. Penggunaan Virgin Coconut Oil (VICOIL) Sebagai OBM ......................... 51
2.10.1. Metode Pengolahan Virgin Coconut Oil (VICOIL) ........................... 52
2.10.2. Pembuatan Virgin Coconut Oil (VICOIL) Secara Tradisional .......... 54
BAB III. PROSEDUR DAN HASIL PENELITIAN ........................................ 57
3.1. Alat dan Bahan yang Digunakan .................................................................... 57
3.2. Aditif Yang Digunakan ................................................................................... 62
3.3. Perencanaan Sifat Fisik Lumpur Desain ........................................................ 63
3.4. Formulasi ....................................................................................................... 65
3.5. Tahapan Pengujian di Laboratorium .............................................................. 67
3.5.1. Pembuatan Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG ................ 67
x
DAFTAR ISI
(lanjutan)
Halaman
3.5.2. Pengukuran Sifat Fisik Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG
Pada Berbagai Temperature ........................................................................... 67
3.5.2.1. Pengukuran Densitas ................................................................ 68
3.5.2.2. Pengukuran Plastic Viscosity.................................................... 68
3.5.2.3. Pengukuran Yield Point ............................................................ 68
3.5.2.4. Pengukuran Gel strength .......................................................... 68
3.5.2.5. Pengukuran Volume Filtrat ...................................................... 69
3.5.2.6. Pengukuran Tebal Mud Cake ................................................... 69
3.5.2.7. Pengukuran pH ......................................................................... 69
3.6. Hasil Pengujian Laboratorium ....................................................................... 70
BAB IV. PEMBAHASAN ................................................................................... 79
4.1. Uji Laboratorium ............................................................................................. 80
4.2. Analisa Laboratorium...................................................................................... 80
BAB V. KESIMPULAN ...................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 86
LAMPIRAN .......................................................................................................... 87
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1. Diagram Alir Penelitian .................................................................... 4
Gambar 2.1. Kondisi Kesetimbangan antara Clay Montmorillonite dengan
Partikel Air ..................................................................................... 14
Gambar 2.2. Hubungan Tekanan Hidrostatik Lumpur Terhadap Laju
Pemboran ......................................................................................... 25
Gambar 2.3. Mixer Santan yang Sudah Dibuat .................................................... 56
Gambar 2.4. VICOIL Setelah Didiamkan 12 jam ................................................ 56
Gambar 3.1. Gelas Ukur....................................................................................... 57
Gambar 3.2. Timbangan Digital........................................................................... 58
Gambar 3.3. Thermometer ................................................................................... 58
Gambar 3.4. Thermo Cup ..................................................................................... 59
Gambar 3.5. Mud Mixer & Cup ........................................................................... 59
Gambar 3.6. Mud Balance ................................................................................... 60
Gambar 3.7. Fann VG Meter................................................................................ 60
Gambar 3.8. Filter Press ...................................................................................... 61
Gambar 3.9. Jangka Sorong ................................................................................. 62
Gambar 3.10. pH Paper Strip ................................................................................ 62
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel II-1 Spesifikasi Bentonit dari API .............................................................. 16
Tabel II-2 Material – Material Pemberat ............................................................. 21
Tabel II-3 Additive Lumpur Pemboran ................................................................ 22
Tabel II-4 Bahan Dasar dan Pelengkap ................................................................ 42
Tabel III-1 Additive yang Digunakan .................................................................... 63
Tabel III-2 Target Sifat Fisik Lumpur Oil Base Mud ........................................... 63
Tabel III-3 Formulasi Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG ............... 65
Tabel III-4 Hasil Penelitian Lumpur A ................................................................. 70
Tabel III-5 Hasil Penelitian Lumpur B ................................................................. 71
Tabel III-6 Hasil Penelitian Lumpur C ................................................................ 72
xiii
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 3.1. Densitas vs Temperature ..................................................................... 73
Grafik 3.2. Plastic Viscosity vs Temperature......................................................... 74
Grafik 3.3. Yield Point vs Temperature ................................................................ 75
Grafik 3.4. Gel strength 10” vs Temperature ....................................................... 75
Grafik 3.5. Gel strength 10’ vs Temperature ........................................................ 76
Grafik 3.6. Diagram Batang Volume Filtrat Vs Temperature .............................. 77
Grafik 3.7. Mud Cake Vs Temperature .................................................................. 77
Grafik 3.8. pH vs Temperature .............................................................................. 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada operasi pemboran, lumpur pemboran adalah bahan yang sangat vital.
Pemilihan dan penggunaan lumpur bor yang tepat sangat diperlukan, karena
kecepatan pemboran, efisiensi, dan biaya pemboran sangat tergantung pada
pemilihan dan penggunaan lumpur pemboran yang tepat.
Fungsi lumpur pemboran sangat bergantung pada sifat fisik dan sifat kimia
lumpur yang dirancang. Pengontrolan sifat fisik lumpur seperti densitas, plastic
viscosity, gel strength, yield point, dan filtrate loss sangat penting dilakukan supaya
fungsi lumpur pemboran sesuai dengan apa yang diharapkan. Sifat kimia lumpur
pada umumnya berkaitan erat dengan sifat fisik lumpur. Salah satu tantangan dalam
dunia teknik perminyakan adalah bagaimana menentukan komposisi lumpur
pemboran yang murah, ramah lingkungan, dan dapat berfungsi dengan baik sesuai
dengan karakteristik formasi yang ditembus.
Selama operasi pemboran berlangsung, sering kita jumpai masalah-masalah
didalam lubang sumur yang berkaitan dengan sifat fisik batuan yang sedang dibor.
Adapun masalah yang dihadapi diantaranya yaitu temperature yang bervariasi dari
suatu reservoir minyak dan gas berhubungan dengan kedalaman dari reservoir itu
sendiri. Hal ini mengikuti prinsip gradienthermal berkisar (1-2)º/100 m, artinya
untuk setiap penambahan kedalaman sebesar 100 m ke dalam perut bumi, terjadi
kenaikan temperature sebesar 1-2 ℃.
Adanya perubahan temperature yang semakin meningkat sangat
berpengaruh terhadap karakteristik dan sifat fisik lumpur pemboran. Untuk sumur-
sumur yang memiliki temperature tinggi, kita tidak bisa menggunakan lumpur pada
temperature rendah karena dengan meningkatnya temperature maka sifat rheology
lumpur pemboran akan mengalami perubahan. Semakin tinggi temperature yang
mengenai lumpur pemboran akan mengakibatkan turunnya viskositas lumpur
tersebut. Penurunan nilai viskositas lumpur pemboran akan mengakibatkan
2
pengangkatan serpih pemboran (cutting) ke permukaan kurang baik.
Keadaan ini mengakibatkan terendapkannya cutting di dasar lubang bor
yang mengakibatkan terjepitnya pipa pemboran (pipe sticking). Untuk menjamin
tetap berlangsungnya operasi pemboran, sekalipun menembus kedalaman yang
tinggi maka diupayakan untuk mencari alternatif yang tepat dalam pemilihan
lumpur dan aditifnya.
Untuk mengatasi perubahan kenaikan temperature dapat digunakan oil base
mud sebagai fluida pemboran. Namun, penggunaan oil base mud dapat
menimbulkan dampak lingkungan yang kurang baik sehingga di beberapa negara
sudah diberlakukan regulasi terkait penggunaannya. Penggunaan vegetable oil
berupa VICOIL sebagai bahan dasar oil base mud diharapkan bisa menjadi
alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut.
Penulis akan melakukan uji terhadap satu jenis lumpur berbahan dasar
minyak, yaitu VICOIL.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh penggunaan VICOIL terhadap sifat fisik dan rheology
oil base mud yang memenuhi standar API?
2. Bagaimana pengaruh penggunaan VICOIL sebagai lumpur oil base
terhadap variasi temperature.
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti penggunaan VICOIL
sebagai lumpur oil base mud dengan komposisi lumpur yang di desain terhadap
variasi temperature yang diteliti.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui performa VICOIL
sebagai lumpur oil base mud terhadap variasi temperature yang di teliti, sehingga
dapat diketahui batasan penerapan temperature minimum dan maksimum dari
komposisi lumpur yang di desain.
3
1.4. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah uji
laboratorium dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penentuan Komposisi Lumpur Pemboran
Penentuan komposisi lumpur pemboran dilakukan dengan
mengidentifikasikan variasi temperature dan juga sifat fisik lumpur pemboran
yang ingin dicapai.
2. Pengujian sifat fisik lumpur oil based mud menggunakan VICOIL meliputi
pengujian rheology, filtration loss, dan pH.
1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Skripsi ini yang berjudul, "STUDI
LABORATORIUM FLUIDA PEMBORAN OIL BASE MUD BERBAHAN
DASAR VICOIL BOPANPROG PADA TEMPERATURE 25⁰ C, 50⁰ C,
75⁰ C, 100⁰ C " terdiri dari lima (5) Bab, yaitu
Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, permasalahan,
maksud dan tujuan, metodologi, hasil yang diperoleh, dan sistematika penulisan
yang digunakan;
Bab II Tinjauan Pustaka yang berisi teori dasar lumpur pemboran.
Bahasan ini menyangkut tentang komposisi lumpur pemboran, jenis lumpur
pemboran, fungsi lumpur pemboran dan sifat-sifat lumpur pemboran;
Bab III Hasil Penelitian Laboratorium yang berisi tentang pengujian
rheology lumpur oil based desain;
Bab IV Pembahasan menguraikan pembahasan analisa hasil uji
laboratorium lumpur yang telah diperoleh;
Bab V Kesimpulan menjabarkan beberapa hal yang dapat disimpulkan dari
hasil analisis.
4
Diagram alir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1
Gambar 1.1. Diagram Alir Penelitian
5
BAB II
DASAR TEORI
Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting dalam operasi pemboran.
Kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pemboran sangat tergantung
dari lumpur pemboran yang dipakai. Lumpur pemboran diperkenalkan pertama kali
dalam pemboran putar pada sekitar awal tahun 1900. Pada mulanya orang hanya
menggunakan air untuk mengangkat serbuk bor (cutting) secara kontinyu. Dengan
berkembangnya teknologi pemboran, lumpur mulai digunakan. Fungsi lumpur pun
menjadi semakin kompleks, dan untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur tersebut
ditambahkan bahan-bahan kimia (aditif).
2.1. Fungsi Lumpur Pemboran
Meskipun hingga saat ini sangat banyak diperoleh berbagai merk lumpur
pemboran yang dikomersilkan untuk tujuan pemboran dalam berbagai kondisi,
fungsi utama lumpur adalah sebagai fluida yang berperan untuk keberhasilan suatu
program penyelesaian sumur. Sifat-sifat lumpur pemboran harus dapat memberikan
keamanan dan rate pemboran serta mampu mencapai komplesi sumur dengan
kapasitas produksi maksimum. Penggunaan lumpur dikontrol oleh sifat-sifat yang
sering dijumpai di lapangan yang akan menjadi obyek untuk proyek pemboran
dengan pertimbangan tersedianya biaya yang akan dianggarkan untuk penggunaan
dan perawatan lumpur. Dimana pengeluaran harus sesuai dengan perencanaan dan
efisien jika dilakukan penggunaan lumpur dengan fungsi yang dibutuhkan.
Walaupun semua lumpur memiliki fungsi yang sama, sifat-sifat lumpur
sangat dipengaruhi oleh pertimbangan untuk memfasilitasi keperluan rate,
keamanan dan program penyelesaian suatu sumur. Fungsi lumpur meliputi :
1. Mengangkat cutting ke permukaan.
2. Menahan tekanan formasi.
3. Mendinginkan dan melumasi bit dan drillstring.
4. Melindungi dinding lubang bor dengan mud cake.
6
5. Mengurangi efek negatif pada formasi.
6. Menahan Cutting dan Material Pemberat pada Suspensi jika Sirkulasi Lumpur
Dihentikan Sementara
7. Menahan sebagian berat drillstring dan casing
8. Mendapatkan informasi dari mud logging.
9. Media logging.
Diharapkan semua fungsi lumpur diatas dapat berjalan sesuai dengan tujuan
pemboran dan kondisi formasi yang akan dibor, karena program pemboran
dikatakan berhasil jika fungsi lumpur bisa memberikan hasil optimum dan dapat
mengatasi segala kendala selama proses pemboran.
2.1.1. Mengangkat Cutting ke Permukaan
Salah satu yang sangat penting dan mempunyai fungsi utama lumpur
pemboran adalah mengangkat cutting dari lubang sumur ke permukaan. Lumpur
yang mengalir keluar dari nozzle bit yang ditekan oleh tenaga jet akan
membersihkan permukaan lubang dan membawa cutting ke permukaan. Meskipun
gaya gravitasi cenderung menarik cutting kembali ke bawah (slip velocity), jika
kecepatan dari volume lumpur dan annular velocity yang mendorong ke arah atas
mencukupi atau lebih besar terhadap slip velocity maka cutting akan dapat diangkat
ke permukaan oleh lumpur. Annular velocity merupakan perbandingan antara pump
output (bbl/min) dibagi annular volume (bbl).
2.1.2. Menahan Tekanan Formasi
Pada formasi yang permeable, fluida yang berada disekitarnya akan
mendapat tekanan sebagai fungsi kedalaman sumur. Sehingga diperlukan lumpur
pemboran dengan densitas yang memadai untuk mengatasi tekanan formasi dan
juga untuk menahan influks fluida agar tidak menghambur ke dalam lubang sumur.
Disini lumpur harus mampu memberikan suatu tekanan hidrostatik yang cukup
untuk mengimbangi tekanan formasi. Kondisi pemboran overbalanced dilakukan
apabila tekanan yang terjadi disebabkan oleh tekanan kolom lumpur melebihi
tekanan formasinya. Sedangkan pemboran underbalanced biasanya dilakukan
7
untuk mendiskripsikan tekanan yang terjadi disebabkan oleh tekanan kolom lumpur
terlalu kecil untuk menahan tekanan formasinya.
Tekanan formasi umumnya adalah sekitar 0.465 psi/ft untuk salt water dan
0.433 psi/ft untuk fresh water. Pada tekanan yang normal, air dan padatan pemboran
telah cukup untuk Manahan tekanan formasi ini. Untuk tekanan yang lebih kecil
dari normal (subnormal), beberapa sumur dibor menggunakan lumpur dengan
densitas sekitar 9.5 ppg, densitas lumpur diperkecil agar lumpur tidak hilang masuk
ke formasi. Sebaliknya untuk tekanan lebih besar dari normal (abnormal), sumur
biasanya dibor menggunakan lumpur dengan densitas sekitar 18 ppg dengan
menambahkan barite untuk memperberat lumpur. Suatu situasi memerlukan
lumpur berdensitas besar untuk kedalaman dangkal dengan tekanan formasi yang
tinggi dan mengandung gas, dan kemungkinan terjadi kebocoran casing sehingga
menyebabkan tekanan diatas normal. Lumpur dengan densitas yang memadai
diharapkan mampu menahan tekanan formasi selama proses pemboran untuk
mencegah terjadinya blowout. Untuk itu perlu diperhitungkan keperluan tekanan
kolom lumpur agar bisa mengimbangi tekanan formasi, yaitu dengan memakai
persamaan :
𝑃𝑚 = 0.052 × 𝜌𝑚 × 𝐷 ......................................................................... .(2-1)
Keterangan :
Ph = Tekanan statik lumpur, psi.
𝜌𝑚 = Densitas lumpur, ppg.
D = Kedalaman, ft.
Perlu diketahui, bahwa tekanan pada formasi yang diakibatkan oleh fluida
pada saat mengalir (rumus diatas untuk keadaan statik) adalah tekanan yang
dihitung dengan rumus diatas ditambah dengan pressure loss (kehilangan tekanan)
pada annulus diatas formasi yang bersangkutan.
2.1.3. Mendinginkan dan Melumasi Bit dan Drillstring
Dengan pertimbangan bahwa sejumlah panas terjadi selama perputaran bit
dan drillstring yang dihasilkan oleh friksi pada bit dan beberapa titik dimana
8
drillstring berhubungan dengan dinding formasi. Dinding formasi hanya sebagian
kecil saja mampu menyerap panas karena keterbatasan secara fisik. Seda ngkan
kontak panas terbesar terjadi di sepanjang titik-titik sirkulasi lumpur hingga ke
permukaan.
Sifat lubricant (pelumas) lumpur dengan membentuk dinding film yang
tipis (mud cake) akan menjadi sangat penting karena pertimbangan penghematan
waktu dan biaya perawatan peralatan pemboran yaitu dengan mereduksi kerusakan
premature akibat panas friksi. Resistansi friksi oleh bit dalam pemboran dan
drillstring dalam berputar menentang bagian lubang sumur, jika tanpa adanya
lumpur, akan memberikan efek bit menjadi cepat panas dan tumpul dan drillpipe
menjadi abrasi. Dengan adanya lumpur mereduksi faktor friksi pada bit dan
drillpipe, juga menyerap panas yang terjadi. Resistansi film lumpur juga dapat
mengurangi beban friksi saat pipa dicabut. Semua lumpur yang disirkulasikan
merupakan lumpur yang mempunyai kriteria resitan terhadap panas dan cukup
mampu melumasi untuk mendinginkan bit dan drillstring.
2.1.4. Melindungi Dinding Lubang Bor dengan Mud Cake
Lumpur akan membuat mud cake atau lapisan zat padat tipis pada dinding
lubang bor. Pembentukan mud cake ini akan menyebabkan tertahannya aliran fluida
masuk ke formasi selanjutnya, adanya aliran yang masuk yaitu cairan dan padatan
yang akan menyebabkan padatan tersebut tersaring atau tertinggal yang disebut
sebagai mud cake. Cairan yang masuk kedalam formasi disebut filtrate.
Jika formasi terdapat belahan (cracked, fissured) dan bergua-gua
(cavernous) dengan tekanan overburden yang terjadi, maka menyebabkan volume
lumpur dan padatan akan terinvasi dari lubang sumur ke area sekitar formasi, ini
disebut sebagai lost circulation, dimana permeabilitas formasi terlalu besar untuk
suspensi lumpur yang masuk. Sedangkan jika permeabilitas formasi terlalu kecil
untuk suspensi padatan lumpur, hanya sebagian fluida saja yang lolos hilang masuk
disekitar dinding formasi, disebut dengan filtration loss. Sehingga dengan
mengontrol sifat-sifat lumpur, dampak negatif yang disebabkan adanya hilangnya
fluida dapat diatasi dengan membuat mud cake pada dinding lubang bor. Mud cake
9
dikehendaki yang tipis karena dengan demikian lubang bor tidak terlalu
dipersempit dan cairan tidak banyak yang hilang.
2.1.5. Mengurangi Efek Negatif pada Caving Formasi
Pada zona permeable, impermeable cake dibentuk pada permukaan dinding
lubang sumur saat pemboran. Lapisan ini biasanya disebut dengan mud cake yang
merupakan hasil invasi inisial dari fasa liquid lumpur pemboran ke dalam zona
permeable dan meninggalkan lapisan padatan, biasanya berupa plate clay, pada
permukaan formasi. Dengan meningkatnya invasi dan lamanya waktu, ketebalan
mud cake juga akan bertambah hingga menghasilkan impermeable cake yang kasar
membatasi invasi liquid lumpur. Mud cake juga membantu menguatkan dinding
lubang sumur sehingga dapat mencegah terjadinya caving pada formasi.
Caving formasi merupakan hasil dari perubahan faktor hidrasi dari shale
yang rentan oleh pengaruh air sehingga permukaan formasi mengembang dan
mudah rapuh akibat proses hidrasi dan akibat lebih lanjut menyebabkan terjadinya
filtration loss. Lapisan vertikal pada dinding sumur cenderung akan mudah runtuh
dan terjatuh dalam lubang dasar sumur jika diberikan tekanan yang besar atau
terdapat perbedaan densitas yang cukup besar antara formasi dengan lumpur
pemboran. Dalam kasus ini densitas lumpur harus dinaikkan dari satu hingga
beberapa pound per gallon. Gel strength lumpur juga sebaiknya dinaikkan untuk
menguatkan dan memberikan efek plastering di sepanjang permukaan dinding yang
mudah rapuh atau runtuh. Mud cake juga bisa dinaikkan dengan menambahkan
koloid atau dengan treatment kimiawi yang lainnya.
Sifat lumpur yang dapat membentuk mud cake sangat bermanfaat, karena
dapat mereduksi filtration loss akibat caving formasi lebih lanjut. Namun jika
ketebalan mud cake terlalu tebal akan menyebabkan kesulitan dalam menurunkan
atau mencabut drillstring atau run casing. Keberadaan mud cake yang terlalu tebal
juga menyebabkan mengurangi efektifitas sidewall coring
10
2.1.6. Menahan Cutting dan Material Pemberat pada Suspensi jika Sirkulasi
Lumpur Dihentikan Sementara
Salah satu hal terpenting dalam pemilihan lumpur yang baik adalah
kemampuannya untuk menahan dan membawa cutting dan material-material
pemberat lainnya saat sirkulai diberhentikan untuk sementara waktu. Selama proses
pemboran sirkulasi bisa diberhentikan hingga beberapa kali. Dalam pemboran
sumur yang dalam, penggantian bit memakan waktu beberapa jam. Jika padatan
pada saat itu tidak diperhatikan, maka pengendapannya akan mengalami sirkulasi
lagi (recirculation) dan akan menempel di sekitar bit yang dapat menyebabkan
stuck.
Sifat lumpur yang berfungsi untuk menahan cutting pada saat sirkulasi
dihentikan adalah gel strength. Sifat gel strength yang dapat menahan cutting agar
tidak jatuh kedasar lubang bor yang dapat menyebabkan regranding hingga dapat
menyebabkan stuck. Untuk memecahkan gel strength pada saat sirkulasi dilakukan
kembali membutuhkan tekanan yang besar, akan tetapi perlu diperhitungkan juga
karena apabila tekanan hidrostatik terlalu besar akan menyebabkan formasi pecah
juga.
2.1.7. Menahan Sebagian Berat Drillstring dan Casing
Drillstring dan casing di borehole akan mengalami gaya Buoyance yang
mendorong ke atas harus sebanding dengan berat yang dipindahkan oleh lumpur.
Perhitungan tersebut mendasari pertimbangan untuk mereduksi beban peralatan dan
struktur yang harus ditopang. Gaya Buoyance meningkat dengan bertambahnya
densitas lumpur dan mereduksi tegangan akibat beban drillstring dan casing pada
kedalaman sumur.
2.1.8. Mendapatkan Informasi dari Mud Logging
Mud logging adalah kegiatan mengumpulkan, merekam, dan menganalisa
data yang ada pada lumpur yang disirkulasikan. Dalam mud logging ini, lumpur
dianalisa untuk diketahui apakah mengandung hidrokarbon atau tidak (mud log),
sedangkan sampel log adalah menganalisa daripada cutting yang naik ke
permukaan, untuk menentukan formasi apa yang di bor.
11
2.1.9. Media Logging
Pada penentuan adanya minyak atau gas serta zona-zona air dan juga untuk
korelasi dan maksud-maksud lain, diadakan logging (memasukkan sejenis alat
antara lain alat listrik atau gamma ray / neutron) seperti misalnya electric logging,
yang mana memerlukan media penghantar arus listrik di lubang bor. Jenis lumpur
yang digunakan juga berpengaruh terhadap log yang digunakan, karena setiap jenis
log mempunyai keadaan, batasan pengukuran, dan optimasi masing-masing.
Misal untuk jenis lumpur water base mud (WBM), alat log yang dapat
digunakan antara lain SP log, Lateralog, Microlateralog, Microlog, induction log,
dll. Sedangkan untuk jenis lumpur oil base mud, alat log yang dapat digunakan
Gamma ray log. Ada juga alat log yang dapat digunakan untuk semua jenis lumpur
yakni neutron log. Selain jenis lumpur, kondisi lubang bor (open hole atau cased
hole) juga berpengaruh terhadap pemakaian alat log yang akan digunakan.
2.2. Komponen Lumpur Pemboran
Secara umum lumpur pemboran dapat dibagi menjadi tiga komponen atau
fasa, yaitu fasa cair, fasa padat dan fasa kimia. Proporsi dari masing-masing fasa
tersebut memberikan berbagai variasi sifat-sifat lumpur, sehingga komponen-
komponennya merupakan faktor penting dalam mengontrol fungsi lumpur
pemboran. Dimana formulasi komponen yang akan digunakan untuk lumpur
tergantung pada daerah operasi dan tipe formasi yang akan dibor.
2.2.1. Fasa Cair
Fasa cair dari lumpur bor merupakan komponen dasar dari lumpur yang
mana dapat berupa air dan minyak ataupun keduanya yang disebut dengan emulsi.
Emulsi ini dapat terdiri dari dua jenis emulsi minyak di dalam air atau emulsi air di
dalam minyak.
2.2.1.1. Air
Lebih dari 75% Lumpur pemboran menggunakan air, yang dapat dibagi
menjadi dua, yaitu air tawar dan air asin. Dengan rincian sebagai berikut :
Dikatakan air tawar dengan (kalau ada) kadar garam yang kecil (kurang dari
10000 ppm = 1 % berat garam).
12
Untuk air asin sendiri dapat dibagi menjadi dua, air asin jenuh (brine) dan
air asin tak jenuh.
Untuk pemilihan air hal ini tentu disesuaikan dengan lokasi setempat,
manakah yang mudah didapat dan disesuaikan juga dengan formasi yang akan
ditembus.
2.2.1.2. Emulsi
Invert emulsions adalah pencampuran minyak dengan air dimana emulsi
terdiri dari dua macam, yaitu :Water in oil Emulsion dan Oil in water emulsion.
2.2.1.2.1. Oil in Water Emulsion
Disini air merupakan fasa yang kontinyu dan minyak sebagai fasa yang
terelmusi. Air bisa mencapai 70 % volume sedangkan minyak sekitar 30 % volume.
2.2.1.2.2. Water in Oil Emulsion
Disini fasa kontinyu yang dimaksud adalah minyak sedangkan fasa yang
terelmusi adalah air. Minyak bisa mencapai sekitar 50 – 70% volume (sebagai fasa
kontinyu) sedangkan air 30 – 50% volume (sebagai fasa diskontinyu).
2.2.1.3. Minyak
Fasa cair yang berupa minyak, maka minyak yang digunakan merupakan
minyak yang diolah (refined oil). Minyak yang digunakan harus mempunyai sifat-
sifat sebagai berikut:
Aniline number yang tinggi. Aniline number merupakan suatu besaran yang
menunjukkan kemampuan untuk melarutkan karet. Makin tinggi aniline number
suatu minyak maka kemampuan melarutkan karet makin kecil. Dalam operasi
pemboran banyak peralatan yang dilewati lumpur berupa karet, seperti pada
pompa lumpur, packer, plug untuk penyemenan dan lain-lain.
Flash point yang tinggi. Flash point atau titik nyala adalah keadaan dimana
minyak akan menyala. Makin rendah flash point suatu minyak, maka penyalaan
akan cepat terjadi, atau minyak makin cepat terbakar.
Pour point yang rendah. Pour point adalah suatu keadaan diamana
menunjukkan pada temperature berapa minyak akan membeku. Jadi kita tidak
menginginkan lumpur bahan dasar minyak yang cepat membeku.
13
Molekul minyak yang stabil, dengan kata lain tidak mudah terpecah-pecah.
Mempunyai bau serta fluorencensi yang berbeda dengan minyak mentah (crude
oil). Kalau tidak demikian maka akan sulit untuk menyelidiki apakah minyak
berasal dari formasi yang ditembus atau berasal dari bahan dasar dari lumpur.
2.2.2. Fasa Padatan
Fasa solid merupakan fasa padatan yang ditambahkan dalam lumpur yang
berfungsi untuk memberikan kenaikan berat jenis dan untuk membuat lumpur
mempunyai kekentalan tertentu. Secara garis besar, berdasarkan daya
kerekatifannya terhadap komponen-komponen dalam lumpur dan kondisi
formasinya, fasa solid lumpur pemboran dikelompokkan menjadi dua, yaitu :inert
solid dan reactive solid.
2.2.2.1. Reactive Solid
Reactive solid atau fasa padatan yang bereaksi dengan sekelilingnya
membentuk koloid yang merupakan suspensi yang reaktif terdispersi dalam fasa
kontinyu (sifat koloid lumpur yang merupakan lembaran clay yang berukuran 10-
20 Amstrong dan terdispersi dalam fasa kontinyu air). Dalam hal ini clay akan
menghisap fasa cair air dan memperbaiki lumpur dengan meningkatkan densitas,
viskositas, gel strength serta mengurangi fluid loss. Mud engineer biasanya
membagi clay yang digunakan untuk lumpur menjadi tiga, yaitu: montmorillonite,
kaolinite dan illite.
Montmorillinite yang paling sering digunakan karena kemampuannya yang
mudah swelling menghasilkan clay yang homogenous bercampur dengan fresh
water. Dalam literatur pemboran manual, montmorillonite direferensikan dengan
bentonit, karena bentonit identik dengan clay montmorillonite. Montmorillonite
merupakan material berbentuk seperti plat atau lempengan tipis dengan ukuran
partikelnya lebih kecil dari 0.1 mikron. Semakin kecil ukuran partikelnya, maka
semakin luas bidang kontak antara partikel solid dengan media cairannya, sehingga
interconnected properties (sifat saling berhubungan) dengan medianya besar, maka
reaktifitasnya menjadi lebih tinggi terhadap fasa cair lumpur pemboran.
14
Bentonit merupakan koloid yang sangat reaktif yang mempengaruhi sifat
fisik dan kimiawi lumpur pemboran. Sedangkan clay attapulgite, yang dapat
swelling dalam air asin, biasanya digunakan dalam kondisi lumpur salt water. Clay
yang merupakan reactive solid dapat didefinisikan sebagai padatan yang
diameternya kurang lebih 2 mikron yang mampu menyerap air sehingga
mempunyai kemampuan swelling. Kemampuan swelling ini dipengaruhi oleh gaya
diferensial yang bekerja pada partikel clay, yang merupakan hasil dari gaya tolak-
menolak antara ion-ion sejenis dan gaya tarik-menarik antara ion-ion tak sejenis di
permukaan plat clay.
Gambar 2.1.
Kondisi Kesetimbangan antara
Clay Montmorillonite dengan Partikel Air
(Rudi Rubiandini, “Teknik Operasi Pemboran”, 2004)
Distribusi gaya-gaya tersebut ditentukan oleh sifat water-based mud yang
dikontrol oleh jenis elektrolit yang terlarut dan derajat pH pada fasa gas, yaitu
dengan menambahkan zat-zat additive lumpur pemboran. Kemampuan bentonit
untuk hidrasi kemudian terdispersi akan mengurangi keberadaan elektrolit dalam
air. Ketika bentonit ditambahkan fresh water terjadi empat kondisi kesetimbangan
antara bentonit dengan air, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1., yaitu:
aggregation (penggumpalan), flocculation, dispersion (menyebar), dan
deflocculation.
15
a. Aggregation (Agregasi)
Agregasi mengarah pada pembentukan plat yang lebih tebal, terjadi bila
antara muka dengan muka lempeng clay saling berkaitan satu dengan lainnya
dan tersebar di dalam fasa cairnya. Karena adanya gaya atraksi yang kuat antara
plat-plat clay maka yield point-nya menjadi tinggi (tertinggi dari keempat
sistem), gel strength-nya tinggi tapi non-progressive. Agregasi dapat disebabkan
oleh masuknya kation divalen ke cairan pengeboran, seperti Ca2+. Ini bisa terjadi
akibat dari penambahan kapur atau gipsum atau oleh pengeboran anhidrit atau
semen. Setelah peningkatan awal, viskositas akan berkurang seiring
bertambahnya waktu dan kenaikkan temperature ke beberapa nilai yang lebih
rendah dari yang semula.
b. Dispersion (Dispersi)
Pada sistem dispersi, lempengan-lempengan yang tersuspensi di dalam
larutan dalam keadaan tersebar merata dan tidak terdapat ikatan antara
permukaan maupun tepi dari lempengan-lempengan. Karena jumlah dari partikel
yang tersuspensi besar, maka akan mengakibatkan kenaikan pada viskositas dan
gel strength. Derajat terdispersinya tergantung kandungan elektrolit dalam fasa
cair, waktu, temperature, ion-ion yang dapat saling dipertukarkan serta
konsentrasi clay. Sistem penyebaran ini memberikan ukuran partikel-partikel
clay yang terkecil, sehingga viskositas plastik sistem ini adalah yang tertinggi.
Yield point cukup tinggi, gel strength rendah tapi progressive.
c. Flokulation (Flokulasi)
Flokulasi terjadi bila lempengan clay bergabung satu dengan lainnya,
dimana di dalam sistem akan terdapat ikatan muka dengan tepi lempeng, tepi
dengan tepi lempeng yang tidak tersebar secara merata di dalam fasa cairannya.
Flokulasi akan menyebabkan peningkatan viskositas, gelasi, dan fluid loss.
Tingkat keparahan dari peningkatan ini adalah fungsi dari gaya yang bekerja
pada partikel terkait dan jumlah partikel yang tersedia untuk dihubungkan.
Keadaan penyebaran ini bisa didapatkan dengan menambahkan garam
monovalent ke dalam lumpur. Yield point dan gel strength memiliki sifat
progressive tinggi karena adanya gaya atraksi antara plat-plat clay-nya.
16
d. Deflokulation (Deflokulasi)
Dalam sistem deflokulasi ini, plat-plat clay tersebar dalam kumpulan plat-plat
pada bidang permukaanya. Sistem ini bisa didapatkan dengan menambahkan
garam-garam divelent ke dalam sistem disperse. Plastic viscosity sistem ini
rendah, karena luas bidang singgung plat clay dengan fasa kontinyunya kecil.
yield point rendah dan gel strength memiliki sifat non progressive rendah.
Standar spesifikasi untuk lumpur berbahan dasar clay bentonit ditunjukkan
seperti pada Tabel II-1. berikut ini:
Tabel II-1
Spesifikasi Bentonit dari API
(American Petroleum Institute, 2010)
Requirement Standard
Viscometer dial reading at 600 RPM 30 cp, minimum
Plastic Viscosity, cp 8 cp, minimum
Yield point, lb/100 ft2 3 x PV, maksimum
Filtrate Volume 15 ml, maksimum
Residue of diameter greater than 75 µm Maksimum mass fraction 4 %
Bentonit kurang begitu mampu menghidrasi pada kondisi dimana air
mengandung elektrolit yang tinggi, sehingga clay jenis lainnya harus digunakan
untuk memberikan sifat reologi lumpur. Larutan elektrolit menghambat pertukaran
antara ion-ion positif dengan negatif pada fasa gas. Clay attapulgate dipakai
sebagai pengganti bentonit untuk memperbaiki sifat reologi lumpur saat menemui
air dengan kandungan elektrolit yang tinggi. Jenis clay ini berbeda dengan bentonit
dalam hal bentuk partikel-partikelnya, yang kecil silindris dan menyerupai jarum
daripada menyerupai plat. Viskositas yang dibentuk attapulgite sepenuhnya
tergantung pada pertalian jalinan dari partikel-partikel menyerupai jarum tersebut.
Pada permukaan formasi yang porous deposisi partikel tersebut akan mencegah
pergerakan air.
2.2.2.2. Innert Solid
Inert solid merupakan zat yang tidak bereaksi. Inert solid dengan berat jenis
rendah terdiri dari, pasir, chert limestone, dolomite, berbagai macam shale, dan
17
campuran dari berbagai macam mineral. Padatan-padatan ini dapat berasal dari
formasi yang dibor dan terbawa oleh lumpur, dan biasanya mempunyai ukuran
lebih besar dari 15 mikron, dan bersifat abrasif, sehingga dapat merusak peralatan
sirkulasi lumpur seperti liner pompa. Oleh karena itu padatan tersebut harus cepat
dibuang. Menurut klasifikasi API, pasir adalah setiap padatan yang berukuran lebih
besar dari 74 mikron, meskipun demikian setiap padatan yang berukuran lebih kecil
dari pasir dapat juga merusak peralatan.
Padatan dengan berat jenis tinggi (high-gravity solid) ditambahkan ke dalam
lumpur untuk menaikkan densitas. Padatan tersebut biasanya disebut sebagai
material pemberat (weighting material) dan lumpur pemboran yang mengandung
padatan tersebut disebut sebagai “lumpur berat”. Ada beberapa jenis high - gravity
solid yang pada saat ini banyak digunakan, yaitu:
a) Barite (Barium sulfat atau BaSO4) yang mempunyai specific gravity 4,2 dan
digunakan untuk membuat lumpur dengan berat jenis sampai 10 ppg (1,19
Kg/lt). Barite lebih banyak digunakan dibanding dengan bahan pemberat
yang lain, karena harganya murah dan tingkat kemurniannya cukup baik.
b) Lead sulphide, seperti galena yang digunakan sebagai material pemberat
karena specific gravitynya tinggi, yaitu antara 6,5 sampai 7, dan dapat
menghasilkan densitas lumpur sampai 35 ppg (4,16 Kg/lt).
c) Bijih besi, mempunyai specific gravity 5, tetapi lebih erosif dibanding
dengan bahan pemberat lainnya. Selain itu, bijih besi juga mengandung
bahan – bahan yang beracun.
2.2.3. Fasa Kimia (Additive)
Fasa kimia lazim dikenal dengan zat-zat aditif untuk lumpur pemboran.
Didalam lumpur pemboran selain terdiri atas komponen pokok lumpur, maka
ditambahkan additif yang berfungsi mengontrol dan memperbaiki sifat-sifat lumpur
agar sesuai dengan keadaan formasi yang dihadapi selama operasi pemboran.
Dalam memilih bahan kimia (aditif) lumpur pemboran untuk menentukan
komposisi dan perawatan sistem lumpur, harus mempertimbangkan beberapa hal
seperti fungsi dari aditif, batasan-batasan maksimum dari setiap aditif (seperti
temperature, range penambahan aditif). Bahan aditif tersebut meliputi : weighting
18
agent, viscosifier , thinner, filtration reducer, loss circulation material, viscosity
reducer, Emulsifier dan additive khusus lainnya. Additive yang digunakan untuk
mengontrol sifat lumpur dapat dibagi menjadi:
2.2.3.1. Material Pemberat (Weighting Agent)
Material pemberat adalah material yang memiliki specific gravity tinggi
yang ditambahkan kedalam lumpur untuk menaikkan densitas fluida guna
mengontrol tekanan formasi. Material pemberat yang digunakan dalam uji
laboratorium ini adalah Barite. Barite adalah batuan mineral yang memiliki
senyawa barium sulfat (BaSO4). Barite mempunyai specific gravity antara 4,2
sampai 4,6.
2.2.3.2. Pengental (Viscosifier)
Viscosifier adalah additive yang berfungsi untuk menaikkan viscositas dan
untuk menurunkan fluid loss. Ada beberapa macam bahan yang bisa digunakan
sebagai viscosifier, yaitu bentonite, geltone, attapulgite, asbestos, polimer, dan lime
atau semen.
2.2.3.3. Pengencer (Thinner)
Thinner merupakan senyawa yang berfungsi untuk menurunkan viscositas
dan gel strength lumpur pemboran. Viscositas berhubungan dengan seluruh
konsentrasi padatan atau interaksi antar partikel padatan. Contoh dari additive yang
berfungsi sebagai pengencer adalah quobracho, phosphate, sodium tannate dan
lignites.
2.2.3.4. Fluid Loss Control Agent
Fungsi dari Fluid Loss Control Agents adalah untuk:
a. Menjaga integritas lubang:
- Melindungi shale yang sensitif dengan air.
- Meminimalkan shale washout untuk mencapai casing-cement job yang lebih
baik.
b. Mengurangi fluid loss dalam formasi yang produktif:
- Mengurangi problem analisa Log.
19
- Meminimalkan kerusakan formasi yang dapat menurunkan produksi.
Didalam formasi yang permeabel, terjadinya filtration loss tergantung
pada kandungan distribusi ukuran partikel yang relatif tinggi dalam range 60%
kandungan padatan lumpur dalam ukuran diameter 0 – 1 mikron. Misal dalam
dispersi lumpur bentonite pada suatu sumur akan mempengaruhi kehilangan filtrat
yang lebih sedikit, sebab konsentrasinya lebih besar dari ukuran partikel-partikel
koloid dibanding dengan lumpur kaolinite atau attapulgite clay. Akan tetapi clay
tidak dapat digunakan hanya untuk mengontrol fluid loss karena merusak lumpur,
dimana viscositas fluida akan naik dengan naiknya kandungan clay.
2.2.3.5. Emulsifier
Emulsifier memungkinkan terjadinya dispersi mekanis dari dua macam
fluida yang tidak saling bercampur, membentuk fasa internal dan eksternal dan
secara kimiawi membentuk emulsi yang stabil. Pada prinsipnya Emulsifier adalah
additive yang mempunyai sifat:
- Heavy molecular weight soap.
- Menaikkan tegangan permukaan.
- Menghasilkan emulsi yang stabil.
- Cairan Emulsifier bekerja lebih cepat, tetapi tidak membentuk emulsi yang
ketat.
- Harus mempunyai stabilitas listrik 350 – 400 volt.
2.2.3.6. Lost Circulation Material
Merupakan material yang ditambahkan baik untuk mencegah lost
circulation atau untuk mendapatkan kembali sirkulasi setelah terjadi hilang
sirkulasi. Pada umumnya material ini digunakan tanpa banyak pertimbangan, yang
penting dapat menanggulangi problem hilang lumpur. Lost circulation material
berbentuk butiran kecil (granular), serpih (flakes), atau serat (fibrous), dan
diklasifikasikan mulai dari kasar, sedang dan halus. Campuran dari bahan – bahan
granular, flakes dan fibrous dirancang untuk menutup rekahan – rekahan kecil,
lapisan gravel dan zona yang permeabilitasnya tinggi.
20
2.2.3.7.Aditif Khusus
Aditif khusus dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu : flocculant,
corrosion control agent, defoamer, pH control, mud lubricant dan anti differential
sticking chemical.
2.2.3.7.1. Flocculant.
Flocculant merupakan polimer yang digunakan untuk mengikat padatan
yang berasal dari serbuk bor agar menggumpal, sehingga mudah diambil dengan
cara penyaringan atau pengendapan. Flokulasi adalah metode untuk memisahkan /
mengambil padatan serbuk bor yang berukuran koloid.
2.2.3.7.2. Corrosion Control Agent
Corrosion control agent diklasifikasikan sebagai:
- Inhibitor, misalnya: amine yang membentuk lapisan film
- Oxygen scavenger, misalnya: sodium sulfide
- Hydrogen sulfide scavenger, misalnya: copper carbonate, zinc compound atau
iron derivative.
2.2.3.7.3. Defoamer
Defoamer adalah surface active agent yang digunakan untuk memecah busa
dalam lumpur pemboran. Bahan kimia ini berupa aluminium stearate, octyl alcohol,
tributylophosphate, pine oil dan organic silicon.
2.2.3.7.4. Pengatur pH (pH Adjuster)
Penambahan bahan – bahan yang berfungsi untuk merubah pH sangat
diperlukan, karena beberapa additive memiliki harga pH yang rendah dan
pengoperasian optimum range pH sistem lumpur. Pada umumnya additive secara
alamiah bersifat asam, maka sebaiknya pH yang terlalu rendah harus dinaikan.
Pengaturan pH harus ditangani secara hati-hati, dengan menggunakan suatu
chemical barrel. Tidak menggunakan hopper atau dump secara langsung ke dalam
sistem. Secara umum, ada tiga macam pH ajuster, yaitu Sodium Hydroxide (Caustic
Soda), Potassium Hydroxide, dan Calsium Hydroxide. Sodium Hydroxide adalah
merupakan pH ajuster yang umum digunakan, sedangkan yang lainnya biasanya
digunakan untuk tujuan khusus.
21
2.2.3.7.5. Pelumas Lumpur (Mud Lubricant)
Lumpur juga digunakan sebagai pelumas bagi pahat dan drillstring akibat
adanya gesekan dengan batuan. Sebagai contoh adalah emulsified-oil, surfactant,
graphite, fine nutt shell dan synthetic plasticized material.
2.2.3.7.6. Anti Differential Sticking Additive
Dapat digunakan untuk mencegah atau mengatasi problem jepitan pipa
dengan cara menambahkan sejumlah bahan additive kedalam lumpur pemboran
sebelum mencapai zona yang diperkirakan terjadi jepitan pipa atau digunakan
sebagai fluida perendam (spotting fluid) untuk melepaskan jepitan. Bahan – bahan
yang biasa digunakan antara lain:
- Minyak – biasanya diesel oil.
- Surfanctant – oil wetting purpose.
- Suspension material to support barite.
Tabel II-2
Material – material Pemberat
(Amoco Production Company,2000)
Nama Nama Kimia Specific Gravity
rata - rata
Densitas
Lumpur
Maksimum
Barite
Galena
Calcium
Carbonate
Bar – Gain
Densimix
Barium Sulfate
Lead Sulfide
Calcium Carbonate
Ilmenite
Hematite (Itabrite ore)
4.25
6.6
2.7
4.5
5.1
20 – 22
28 – 32
12
21 – 23
24 – 26
22
Tabel II-3
Additive Lumpur Pemboran
(Amoco Production Company,2000)
Viscosifier
Bentonite
Attapulgite
Asbestos
Polymer
Lime or cement
Geltone
Weighting Material
Barite
Iron Oxide
Galena
Calcium Carbonate
Dissolved salt
Viscosity reducing chemical
Phosphate
Tannate
Lignite
Lignosulfonate
Sodium polyacrylate
Loss Circulation Material
Granular
Fibrous
Flaked
Slurry
Duratone
Emulsifier
Oil in water
Water in oil
Additif Khusus
Flocculant
Corrosion Control
Defoamer
pH control
Mud lubricant
Anti defferential sticking
material
2.3. Sifat-sifat Lumpur Pemboran
Komposisi dan sifat-sifat lumpur sangat berpengaruh pada pemboran.
Perencanaan casing, drilling rate dan completion dipengaruhi oleh lumpur yang
digunakan saat itu. Sifat-sifat lumpur terbagi menjadi dua yaitu sifat fisik dan sifat
kimia.
2.3.1. Sifat Fisik Lumpur Pemboran
Komposisi dari lumpur pemboran akan menentukan sifat-sifat fisik dan
performance dari lumpur itu sendiri. Sifat fisik lumpur memerlukan perhatian
23
dalam pemonitoran dan pengontrolan untuk menjaga fungsi-fungsi tertentu dalam
operasi pemboran.
2.3.1.1. Densitas
Densitas lumpur pemboran atau berat lumpur didefinisikan sebagai
perbandingan berat per unit volume lumpur. Sifat ini berpengaruh terhadap
pengontrolan tekanan subsurface dari formasi, sehingga dalam operasi pemboran
densitas lumpur harus selalu dikontrol terhadap kondisi formasinya agar diperoleh
performance atau kelakuan lumpur yang sesuai dengan fungsi yang diharapkan
terhadap formasi yang dibor.
Pengontrolan densitas lumpur dapat dilakukan dengan jalan penambahan
zat-zat aditif yang umum dipakai untuk memperbesar harga densitas antara lain
yaitu : barite (SG = 4.3), limestone (SG = 3.0), galena (SG = 7.0) dan bijih besi
(SG = 7.0). Sedangkan untuk memperkecil atau mengurangi densitas lumpur pada
umumnya dipakai aditif seperti air dan minyak. Cara lain untuk memperkecil
densitas adalah dengan jalan pengurangan kadar padatan lumpur di pemukaan.
Penambahan densitas lumpur dilakukan pada satu siklus sirkulasi
viskositasnya harus kecil karena dengan penambahan berat lumpur ini akan terjadi
kenaikan viskositas. Densitas lumpur dipengaruhi oleh temperature, densitas akan
turun jika temperaturenya naik. Satuan densitas dapat pula dinyatakan dalam
gradien tekanan dengan satuan-satuan yang umum dipakai adalah :
Pounds per gallon, ppg (lb/gallon)
Pounds per cubic feet (lb/cuft)
Psi per 100 feet depth (psi/1000ft)
Specific gravity (SG)
Perbedaan jenis lumpur pemboran memiliki range dalam penggunaan
densitas yang merupakan fungsi densitas dasar lumpur dan sifat gel strenght pada
pencampuran mixture lumpur. Gel stenght mempunyai hubungan secara langsung
dengan kemampuan fluida dalam menahan berat material dan cutting pemboran
ketika sirkulasi dihentikan.
24
Besarnya densitas akan menentukan tekanan hidrostatik kolom lumpur
pemboran seperti ditunjukkan pada persamaan berikut :
Depth4330338
P mm .
.
..................................................................... .(2-2)
Depth0520P mm . ..................................................................... .(2-3)
Keterangan :
Pm = Tekanan hidrostatik kolom lumpur, psi.
m = Densitas lumpur, ppg.
D = Depth, ft.
ppgW
ppgWSG
freshwater
mudmud ........................................................................ .(2-4)
Densitas air tawar adalah konstan, yaitu 8.33 ppg sehingga persamaan diatas
dapat berubah menjadi :
mudmud SG338W . ............................................................................ .(2-5)
Keterangan :
SGmud = Spesific gravity lumpur.
Wmud = Densitas lumpur, ppg.
Wfresh water = Densitas air, ppg.
Berat jenis Lumpur pemboran diukur dengan alat timbangan Lumpur (mud
balance), yaitu semacam alat penimbang yang disatu ujungnya berskala dan ujung
yang lainnya terdapat mangkok tempat lumpur yang akan ditentukan densitasnya.
Kalibrasi alat tersebut dapat dilakukan dengan air biasa harus menunjukan angka
8,33 lb/gal (ppg).
Di lapangan, densitas lumpur harus dikontrol agar dapat memberikan
tekanan hidrostatik yang cukup untuk mencegah masuknya cairan formasi ke dalam
25
lubang bor sehingga bisa menyebabkan kick bahkan blow out, tetapi tekanan
tersebut jangan terlalu besar sehingga menyebabkan formasi pecah dan lumpur
hilang ke dalam formasi. Oleh karena itu densitas lumpur pemboran perlu
direncanakan sebaik-baiknya dan disesuaikan dengan keadaan tekanan formasi.
Tekanan hidrostatik lumpur di dasar lubang akan mempengaruhi
kemampatan formasi di bawahnya yang akan dibor. Makin besar ρL , lapisan akan
makin mampat sehingga merupakan hambatan tambahan terhadap kemampuan
pahat untuk mengkoreknya, sehingga kemajuan pahat akan makin lambat.
Hubungan antara kecepatan pemboran dengan tekanan hidrostatik lumpur
di dasar lubang dapat dilihat pada Gambar 2.2. Dari gambar tersebut dapat dilihat,
bahwa makin besar tekanan hidrostatik, kecepatan atau laju pemboran semakin
kecil, dengan demikian untuk mencapai laju pemboran yang lebih cepat, dapat
begitu saja menurunkan berat jenis, tetapi hal ini harus mengingat akan
kemungkinan-kemunkinan yang dapat terjadi. API telah memberikan suatu
perkiraan untuk menentukan berat jenis lumpur pembora agar tidak terjadi suatu
kesuliatan, yaitu menambahkan batas faktor keselamatan sebesar 0.012 kg/cm
untuk tiap meter kedalaman.
Gambar 2.2.
Hubungan Tekanan Hidrostatik Lumpur Terhadap Laju Pemboran
(Adam T. Bourgoyne Jr., et.al., “Applied Drilling Engineering”, 1986)
26
2.3.1.2. Sand Content
Tercampurnya serpihan-serpihan formasi (cutting) ke dalam lumpur
pemboran akan dapat membawa pengaruh pada operasi pemboran. Serpihan-
serpihan pemboran yang biasanya berupa pasir dapat mempengaruhi karakteristik
lumpur yang disirkulasikan, dalam hal ini akan menambah densitas lumpur yang
telah mengalami sirkulasi. Bertambahnya densitas lumpur yang tersirkulasi ke
permukaan akan menambah beban pompa sirkulasi lumpur. Oleh karena itu setelah
lumpur disirkulasikan harus mengalami proses pembersihan untuk menghilangkan
partikel-partikel yang masuk ke dalam lumpur selama sirkulasi. Alat - alat ini, yang
biasanya disebut “Conditioning Equipment", adalah:
1) Shale Saker
Fungsinya membersihkan lumpur dari serpihan-serpihan atau cutting yang
berukuran besar.
2) Degasser
Untuk membersihkan lumpur dari gas yang masuk.
3) Desander
Untuk membersihkan lumpur dari partikel-partikel padatan yang berukuran kecil
yang bisa lolos dari shale shaker.
4) Desilter
Fungsinya sama dengan desander, tetapi desilter dapat membersihkan lumpur
dari partikel-partikel yang berukuran lebih kecil.
Sand content dari lumpur pemboran adalah adalah persen volume dari
partikel-partikel dengan diameternya lebih besar dari 74 mikron. Pengukuran sand
content dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan saringan tertentu.
Rumus untuk menentukan kandungan pasir (sand content) pada lumpur pemboran
adalah :
100m
s
V
Vn ....................................................................................... .(2-6)
Keterangan :
n = Kandungan pasir, %
27
sV = Volume pasir dalam lumpur, bbl
mV = Volume lumpur, bbl
Pengukuran Sand content di lapangan untuk mengetahui kontaminasi pasir
dalam lumpur pemboran. Kandungan pasir yang terlalu banyak dapat menaikkan
densitas lumpur. Kandungan pasir yang besar bisa menyebabkan kerja pompa
menjadi berat, serta bisa merusak pipa karna sifatnya yang abrasive.
2.3.1.3. Viskositas lumpur
Viskositas adalah tahanan fluida terhadap aliran. Viskositas merupakan sifat
fisik yang mengontrol besarnya shear stress akibat adanya pergeseran antar lapisan
fluida. Viskositas dapat pula didefinisikan sebagai perbandingan antara shear stress
(tekanan penggeser) dan shear rate (laju penggeseran).
Viskositas dan karakteristik reologi dari lumpur pemboran memiliki
pengaruh yang penting dalam kegiatan hole cleaning. Pada lumpur pemboran
berviskositas rendah cutting akan cepat mengendap sehingga sulit untuk
disirkulasikan ke permukaan. Umumnya, lumpur pemboran berviskositas tinggi
memiliki kemampuan lebih baik dalam mengangkat cutting.
Kebanyakan dari lumpur pemboran bersifat thixotropy, yang berarti lumpur
pemboran akan membentuk gel dalam kondisi statis. Karakteristik ini meyebabkan
lumpur pemboran dapat menahan cutting, seperti ketika sedang melakukan
penyambungan pipa dan situasi lain dimana lumpur tidak disirkulasikan. Lumpur
pemboran dengan shear rate rendah serta viskositas tinggi pada kondisi aliran
laminar, telah terbukti memiliki efisiensi yang paling baik dalam kegiatan hole
cleaning.
Viskositas lumpur pemboran dapat dihitung secara cepat dengan
menggunakan marsh funnel. Pengukuran lebih tepat di laboratorium menggunakan
alat viskometer. Alat yang biasa digunakan adalah Fann VG meter. Alat ini dapat
digunakan untuk mengukur plastic viscosity (PV) dan yield point (YP) dan gel
strength (GS). Plastic Viscosity adalah tahanan terhadap aliran fluida yang
disebabkan oleh gesekan antara benda padat di dalam lumpur. Yield Point adalah
28
tahanan terhadap aliran yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik antara partikel
dalam lumpur.
Untuk menentukan plastic viscosity (p) dan yield point (Yp) digunakan
persamaan berikut :
p = C600 – C300 ................................................................................(2-7)
Yp = C300 – p ....................................................................................(2-8)
Keterangan :
p = Plastic Viscosity, cp
Yp = Yield Point Bingham, lb/100 ft2
C600 = Dial reading pada 600 RPM, derajat
C300 = Dial reading pada 300 RPM, derajat
Penentuan harga shear stress dan shear rate didapatkan dari penyimpangan
skala penunjuk (dial reading) dan kecepatan rotasi (RPM) dari Fann VG
Viscometer yang diolah menjadi harga shear stress (dyne/cm2) dan shear rate (sec-
1). Dari harga shear rate dan shear stress tersebut maka akan didapatkan harga
apparent viscosity dalam satuan cp (centipoise).
Adapun persamaan tersebut sebagai berikut :
C 077.5 ...................................................................................... ...(2-7)
N 704.1 .................................................................................... ...(2-8)
Keterangan :
= Shear stress, dyne/cm2
= Shear rate, detik-1
C = Dial reading, derajat
N = Rotation per minute RPM dari rotor
Penentuan viskositas nyata ( a ) untuk setiap harga shear rate dihitung
berdasarkan hubungan:
100
a
...................................................................................... ...(2-9)
29
N
Ca
300
.................................................................................... .(2-10)
2.3.1.4. Gel strength
Gel strength merupakan sifat statik lumpur pemboran yang merupakan
suatu bentuk padatan dalam lumpur yang sirkulasinya dihentikan. Faktor penyebab
terbentuknya gel strength yaitu adanya gaya tarik-menarik dari partikel-partikel plat
clay sewaktu tidak ada sirkulasi. Gel strength didefinisikan sebagai gaya dalam
gram yang diperlukan untuk memecah standar gel menjadi lumpur. Sistem satuan
yang umum yang digunakan untuk gel strength adalah :
Gram dyne/cm2, dyne/cm2.
Gram pound/sqft, lb/100ft2.
Komponen-komponen pembentuk atau komponen aktif pembentuk lumpur
yang dapat menyebabkan gel strength antara lain : clay, shale dan bentonit yang
sudah memilki gaya tarik-menarik partikel platnya. Dalam suatu operasi pemboran,
gel strength dikontrol agar mendapatkan suatu performance lumpur yang sesuai
dengan fungsi yang diharapkan terhadap formasi yang dibor. Untuk standarisasi
pengukuran gel strength dilakukan dua kali, yaitu pada initial time yaitu 0 menit
atau tepat pada saat setelah sirkulasi lumpur dihentikan dan yang kedua yaitu
setelah 10 menit sirkulasi dihentikan. Hubungan gel dengan thixotropic, yaitu sifat
adanya gejala gel yang pecah dan menjadi lumpur pemboran kembali, kondisi ini
bersifat reversible.
Diwaktu lumpur bersikulasi yang berperan adalah viskositasnya. Sedangkan
diwaktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gel strenght. Lumpur
akan mengagar atau menjadi gel apabila tidak ada sirkulasi, hal ini disebabkan oleh
gaya tarik menarik antara partikel-partikel padatan lumpur. Gaya mengagar inilah
yang disebut dengan gel strenght.
Diwaktu lumpur berhenti melakukan sirkulasi, lumpur harus mempunyai
gel strenght yang dapat menahan cutting dan material pemberat lumpur agar jangan
30
turun. Akan tetapi kalau gel strenght terlalu tinggi akan menyebabkan terlalu berat
kerja lumpur untuk memulai sirkulasi kembali.
Walau pompa mempunyai daya yang kuat, pompa tidak boleh
memompakan lumpur dengan daya yang besar karena formasi bisa pecah. Misalnya
sirkulasi berhenti untuk penggatian bit. Agar formasi tidak pecah di dasar lubang
bor, maka sirkulasi dilakukan secara bertahap, dan sebelum melakukan sirkulasi
rotary table diputar lebih dahulu untuk memecah gel.
Tahap yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut: turunkan rangkaian
sepertiga kedalaman, lakukan sirkulasi dengan memutar rotay table terlebih dahulu.
Kemudian lakukan hal yang sama untuk dua pertiga kedalaman. Yang terakhir
lakukan hal yang sama bila bit sudah mencapai hampir ke dasar lubang. Biasanya
dengan cara tersebut gel sudah pecah dan tenaga yang diperlukan untuk sirkulasi
kembali dari lumpur tidak begitu besar, dan formasi tidak pecah.
2.3.1.5. Volume Filtrat Dan Mud Cake
Ketika terjadi kontak antara lumpur pemboran dengan batuan porous,
batuan tersebut akan bertindak sebagai “saringan” yang memungkinkan fluida dan
partikel-partikel kecil melewatinya. Fluida yang hilang ke dalam batuan tersebut
disebut "filtrate". Sedangkan lapisan partikel-partikel besar tertahan dipermukaan
batuan disebut filter cake atau mud cake. Proses filtrasi diatas hanya terjadi apabila
terdapat perbedaan tekanan positif ke arah batuan. Pada dasarnya ada dua jenis
filtration yang terjadi selama operasi pemboran yaitu static filtration dan dynamic
filtration. Static filtration terjadi jika lumpur berada dalam keadaan diam dan
dynamic filtration terjadi ketika lumpur disirkulasikan.
Persamaan yang umum digunakan untuk static filtration loss adalah:
5.0
1
212
t
tQQ
............................................................................... .(2-11)
Keterangan :
1Q = Fluid loss pada waktu t1, cm3
31
2Q = Fluid loss pada waktu t2, cm3
t = waktu filtrasi, menit
Apabila filtration loss dan pembentukan mud cake tidak dikontrol maka ia
akan menimbulkan berbagai masalah, baik selama operasi pemboran maupun
dalam evaluasi formasi dan tahap produksi. Mud cake yang tipis akan merupakan
bantalan yang baik antara pipa pemboran dan permukaan lubang bor. Mud cake
yang tebal akan menjepit pipa pemboran sehingga sulit diangkat dan diputar
sedangkan filtrat yang masuk ke formasi dapat menimbulkan damage pada
formasi.
Pembentukan mud cake dan filtration loss adalah dua kejadian dalam
pemboran yang berhubungan erat, baik waktu maupun kejadiannya maupun sebab
dan akibatnya. Oleh sebab itu maka pengukurannya dilakukan secara bersamaan
dengan menggunakan filter press.
Aplikasi lapangan dari percobaan ini adalah pada saat operasi pemboran,
yaitu membuat lumpur yang bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah selama
operasi pemboran berlangsung seperti pipa terjepit. Parameter mud cake yang tepat
adalah 0,08 cm sampai 0,2 cm. bila mud-nya tipis maka bisa menjadi bantalan
yang baik pipa pemboran dan mencegah masuknya formasi dalam sumur. Namun
jika terlalu besar atau tebal (>0.2 cm) maka akan menyebabkan pipa terjepit (pipe
sticking).
2.3.2. Sifat Kimia Lumpur Pemboran
Sifat kimia lumpur pemboran merupakan tingkat reaktifitas lumpur terhadap
kondisi formasi yang ditembus, terutama berkaitan dengan kandungan kimiawi
partikel-partikelnya. Seperti sifat fisik lumpur, sifat kimia juga sangat menentukan
fungsi lumpur, karena performance lumpur dapat berubah dengan adanya pengaruh
dari efek kimia partikelnya. Perubahan sifat kimia yang tidak sesuai maksud tujuan
pemboran akan menyulitkan pengontrolan lumpur sehingga treatment terhadap
sifat kimia harus selalu diperhatikan selama sirkulasi dilakukan. Semua sifat kimia
diharapkan mempu memberikan keuntungan yang menunjang fungsi lumpur
pemboran.
32
2.3.2.1. pH
pH sebagai salah satu sifat kimia lumpur pemboran merupakan penting di
dalam treatment pada suatu operasi pemboran. Untuk mengukur pH suatu lumpur
ada dua cara, yaitu Modified colorimetric method dan Electrometric method.
Modified colorimetric method dengan menggunakan paper strip. Cara
menggunakannya adalah celupkan kedalam filtrat lumpur yang akan diuji selama 3
detik, kemudian lihat perubahan warna pd kertas pH, cocokkan dengan tabel warna
yg ada di kotak dan segera diketahui pH dalam cairan tersebut.
Paper strip method tak dapat dipercaya apabila konsentrasi garam dari
contoh sangat tinggi, sedangkan electrometic method akan mempunyai kesalahan
besar untuk larutan yang mengandung ion Na dalam konsentrasi yang tinggi, selain
itu duperlukan koreksi temperature yang harus dilakukan dengan pengukuran pH
secara electrometric.
Konsentrasi ion hidrogen lumpur pemboran lebih tepatnya digambarkan
sebagai harga pH yang menunjukkan harga konsentrasi antara 1–14. pH dapat
mempengaruhi viskositas, bentonit dapat berfungsi dengan baik jika pH berada
dalam kisaran 7 sampai 9.5. Untuk meminimalisi shale problem pH 8.5 hingga 9.5
merupakan pH yang paling baik. Jika pH lebih dari 10 dapat menyebabkan shale
problem.
2.3.2.2. Kesadahan
Kesadahan lumpur adalah tingkat mineral yang terkandung dalam lumpur.
Lumpur dengan kandungan mineral yang tinggi disebut dengan total hardness.
Mineral yang terkandung dalam lumpur biasanya berupa ion, seperti ion kalsium
dan ion magnesium.
Kesadahan lumpur pemboran dilakukan dengan menyelidiki ion Ca dalam
lumpur, dimana kesadahan total lumpur adalah keadaan dimana berlaku sebagai
total hardness. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadahan total lumpur yaitu
terkontaminasinya lumpur dengan Ca dan Mg sebagai berikut :
33
Pemboran memasuki formasi anhidrat gipsum.
Penambahan hard make up water.
Persenyawaan dengan partikel yang mengandung Ca.
Influx air formasi memiliki kandungan Ca yang tinggi.
Kesadahan lumpur berkaitan erat dengan pH atau derajat keasaman air.
Diketahui, bahwa ion kalsium dan magnesium memiliki sifat basa, sehingga lumpur
yang memiliki tingkat kesadahan yang tinggi tentu akan membuat lumpur
cenderung memiliki sifat basa atau pH yang tinggi.
Apabila kesadahan lumpur tinggi maka akan mengakibatkan yield point
rendah, terjadinya water loss yang tinggi dan gel strength rate yang terlalu besar
sehingga untuk mengatasinya memerlukan banyak bentonit untuk membentuk gel
lumpur yang memadai.
2.3.2.3. Alkalinitas
Alkalinitas atau yang dikenal dengan total alkalinitas adalah konsentrasi
total unsur basa yang terkandung didalam lumpur. Alkalinitas berkaitan dengan
kemampuan suatu larutan untuk bereaksi dengan suatu asam. Dari analisa
alkalinitas ini kita bisa mengetahui konsentrasi hidroksil (OH-), bikarbonat (HCO3-
) dan karbonat (CO3-2
).
Pengetahuan tentang konsentrasi ion-ion ini diperlukan misalnya untuk
mengetahui kelarutan batu kapur yang masuk ke sistem lumpur pada waktu
pemboran menembus formasi limestone. Berdasarkan pengalaman diketahui ada
korelasi antara sumber alkalinitas di dalam lumpur terhadap sifat-sifat lumpur yang
bersangkutan.
Jika sumbernya hanya bersal dari OH-, menunjukkan lumpur stabil dan
kondisinya baik.
Jika sumbernya berasal dari OH- dan CO3-2, menunjukkan lumpur stabil dan
kondisinya baik.
Jika sumbernya hanya berasal dari CO3-2, menandakan lumpur tidak stabil tetapi
masih bisa dikontrol.
34
Jika sumbernya berasal dari CO3-2 dan HCO3
-, berarti lumpur tidak stabil dan
sulit untuk dikontrol.
Jika sumbernya hanya berasal dari HCO3-, kondisi dari lumpur sangat jelek dan
sulit untuk dikontrol.
Penentuan alkalinitas menggunakan sampel filtrat yang diambil sebesar 3
ml dan masukkan kedalam Erlenmeyer, lalu tambahkan 2 tetes phenol pyhtaloin
(pp). Goyangkan Erlenmeyer sampai larutannya tercampur,dan berwarna merah
muda. Kemudian titrasi dengan menggunkan buret yang sudah diisi dengan H2SO4
sampai warna berubah menjadi bening kembali. Catat volume H2S04 yang terpakai
sebagai P. Kemudian tambahkan indikator Mo sebanyak dua tetes, warna menjadi
jingga. Catat volume H2SO4 yang terpakai sebagai M.
Dengan melihat kandungan ion OH-, CO32- dan ion HCO3-. Kita dapat
mengetahui seberapa buruk kandungan lumpur pemboran kita, apakah masih bisa
dikontrol atau tidak. Apabilai terdapat OH- berarti lumpur masih stabil. Sedangkan
bila terdapat kandungan HCO3-,berarti lumpur sudah sangat sulit untuk dikontrol.
Sehingga solusi yang tepat adalah bisa dengan mengganti lumpur bor secara
bertahap dengan lumpur baru.
2.3.2.4. Salinitas
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam lumpur.
Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Penentuan
salinitas (kadar Cl) dalam lumpur diperlukan terutama jika pemboran melalui
daerah yang mana garam dapat terkontaminasi dengan fluida pemboran yaitu
daerah yang terdapat kubah-kubah garam. Jika terjadi kandungan chlor melebihi
6000 ppm sebaiknya program penggunaan lumpur diubah sesuai dengan keasaman.
Kandungan Cl yang terlalu besar juga mempengaruhi dalam operasi logging
karena harus diadakan koreksi untuk menginterpretasi logging-nya. Kandungan Cl
di dalam lumpur dibedakan menjadi dua, yaitu :
Salt mud jika kandungan Cl antara 10000 – 31500 ppm.
Saturated salt mud jika kandungan Cl lebih dari 31500 ppm.
Analisa kandungan Cl-. dilakukan dengan cara ambil filtrate lumpur dasar
sebanyak 2 ml lalu masukkan ke dalam Erlenmeyer dan tambahkan aquades
35
sebanyak 25 ml, lalu tambahkan 3 tetes K2CrO4. Kemudian titrasi dengan AgNO3
sampai warna jingga atau orange muncul dan gak ilang pertama kali. Catat volume
yang dipakai pada AgNO3 diburet.
Pada operasi pemboran, ion klor yang berasal dari NaCl ketika menembus
kubah garam (salt dome) pada formasi akan bereaksi dengan ion OH- yang berasal
dari momposisi lumpur itu sendiri, dan menghasilkan NaOH + Cl-. Kontaminasi ion
klor tersebut dapat menurunkan pH Lumpur, membuat filtration loss menjadi lebih
besar sehingga mud cake menjadi tebal,dan dapat menyebabkab kenaikan gel
strength dan viscositas, serta dapat mengakibatkan suspensi padatan sukar bereaksi
dengan additive lumpur.
Aplikasi lapangan dari analisa kandungan kimia lumpur adalah mengotrol
kualitas lumpur pemboran agar tetap stabil, meskipun adanya kontaminasi dari
formasi yang dapat merubah sifat fisik lumpur. Apabila lumpur memang sudah
tidak bisa lagi dikontrol maka harus diganti dengan yang baru pada saat sirkulasi
berlangsung.
2.4. Jenis-Jenis Lumpur Pemboran
Penamaan lumpur pemboran yang diberikan oleh Zaba dan Doherty (1970)
merupakan klasifikasikan berdasarkan fasa fluidanya, yaitu:
a. Water Base Drilling Mud.
b. Oil Base Drilling Mud.
c. Emulsion Drilling Mud.
d. Gasseous Drilling Mud.
Gasseous drilling mud masih belum umum digunakan sangat sulit dalam
penggunaan dan perawatannya.
2.4.1. Water Based Mud
Bila bahan dasar lumpur adalah air maka lumpur disebut dengan water base
mud. Air yang digunakan dapat berupa air tawar maupun air asin. Lumpur yang
mempunyai bahan dasarnya air tawar disebut dengan Fresh Water Mud dan jika
bahan dasarnya adalah air asin lumpur tersebut disebut Salt Water Mud. Water base
mud lebih stabil pada temperature tinggi dan pH tinggi (diatas 11.0).
36
2.4.1.1. Fresh Water Mud
Fresh water muds adalah lumpur yang fase cairannya adalah air tawar
dengan (kalau ada) kadar garam yang kecil (kurang dari 10000 ppm = 1 % berat
garam). Fresh water mud dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain :
a. Spud Mud
Spud mud digunakan untuk membor formasi bagian atas bagi conductor
casing. Fungsi utamanya mengangkat cutting dan membuka lubang
dipermukaan (formasi atas). Volume yang diperlukan biasanya sedikit dan dapat
dibuat dari air dan bentonit (yield 100 bbl/ton) atau clay air tawar yang lain (yield
35-50 bbl/ton). Tambahan clay atau bentonit perlu dilakukan untuk menaikkan
viskositas dan gel strenght bila membor pada zona-zona loss. Kadang-kadang
perlu lost circulation material. Density yang diperlukan juga kecil.
b. Natural Mud
Natural mud dibentuk dalam bentuk pecahan-pecahan cutting dalam fase
air. Sifat-sifatnya bervariasi tergantung dari formasi yang dibor. Umumnya tipe
lumpur ini digunakan untuk pemboran yang cepat seperti pemboran pada surface
casing (permukaan). Dengan bertambahnya kedalaman pemboran sifat-sifat
lumpur yang lebih baik diperlukan dan natural mud ini di treated dengan zat-zat
kimia dan additive koloidal. Beratnya sekitar 9.1 – 10.2 ppg, dan viskositasnya
35-40 detik.
c. Bentonit – Treated Mud
Lumpur jenis ini mencakup hampir semua jenis lumpur air tawar.
Bentonit adalah material yang paling umum digunakan untuk membuat koloid
anorganik untuk mengurangi filter loss dan mengurangi ketebalan mud cake.
Bentonit juga menaikkan viskositas dan gel strength yang dapat dikontrol
dengan thinner.
d. Phospate –Ttreated Mud
Mengandung polyphospate untuk mengontrol viskositas dan gel
strength. Penambahan zat ini akan berakibat terdispersinya fraksi-fraksi clay
colloid padat sehingga densitas lumpur cukup besar tetapi viskositas dan gel
37
strength-nya rendah. Ia mengurangi filter loss dan mud cake dapat tipis. Tannim
biasa ditambahkan bersama-sama polyphospate untuk pengontrolan lumpur.
Polyphospate tidak stabil pada temperature tinggi (sumur-sumur dalam) dan
akan kehilangan efeknya sebagai thinner (polyphonspate) akan rusak pada
kedalaman 10.000 ft dan temperature 160-180 oF, karena berubah ke
orthophospate yang malah menyebabkan terjadinya flokulasi). Phospate mud
juga sulit dikontrol pada densitas lumpur tinggi (yang sering berhubungan
dengan pemboran dalam). Dengan penambahan zat-zat kimia dan air, densitas
lumpur dapat dijadikan 9-11 ppg. Polyphospate mud juga menggumpal jika
terkena kontaminasi NaCl, Calcium sulfate dan kontaminasi semen dalam
jumlah cukup banyak.
e. Organic Colloid Treated Mud
Terdiri dari penambahan pregelatinized starch atau Carboxy Methyl
Cellulose pada lumpur. Karena organic colloid tidak terlalu sensitif terhadap
flokulasi seperti clay, maka kontrol filtratnya pada lumpur yang terkontaminasi
dapat dilakukan dengan organic colloid ini baik untuk mengurangi filtration loss
pada fresh water mud. Dalam kebanyakan lumpur penurunan filter loss lebih
banyak dilakukan dengan organic colloid daripada inorganic.
f. Red Mud
Red mud mendapatkan warnanya dari warna yang dihasilkan dari
treatment dengan cautic dan guobracho (merah tua). Istilah ini tetap digunakan
walaupun nama-nama koloid yang dipakai mungkin menyebabkan warna abu-
abu kehitaman. Umumnya istilah ini digunakan untuk lignin-lignin tertentu dan
hunic thinner selain untuk tannim di atas. Suatu jenis lumpur lain ini adalah
alkaline tannate treatment dengan penambahan polyphospate untuk lumpur-
lumpur dengan pH di bawah 10. perbandingan alkaline, organic dan
polyphospate dapat diatur dengan kebutuhan setempat. Alkaline-tannate treated
mud mempunyai range pH 8-11. Alkaline-tannate dengan pH kurang dari 10
terhadap flokulasi karena kontaminasi garam. Dengan menaikkan pH maka
sukar untuk flokulasi. Untuk pH lebih dari 11.5, pregelatinized starch dapat
digunakan tanpa bahaya fermentasi. Di bawah pH ini, preservative harus
38
digunakan untuk mencegah fermentasi (meragi) pada fresh water mud. Jika
diperlukan densitas lumpur yang tinggi lebih murah bila digunakan treatment
yang menghasilkan calcium treated mud dengan pH 12 atau lebih.
g. Calcium Mud
Lumpur ini mengandung larutan calcium (disengaja). Calcium bisa
ditambah dengan slaked lime (kapur mati), semen plaster (CaSO4) dipasaran atau
CaCl2, tetapi dapat pula karena pemboran semen, anhydite dan gipsum.
1) Lime Treatted Mud
Komposisi lumpur ini terdiri dari cautic soda, organic dispersant,
lime dan fluid loss additive. Lumpur ini menghasilkan viskositas dan gel
strength yang rendah, baik digunakan untuk pemboran dalam serta untuk
memperoleh densitas yang besar. Tetapi lumpur ini mempunyai
kecenderungan untuk memadat pada temperature tinggi, sehingga tidak boleh
tertinggal dalam annulus casing dan tubing pada saat dilakukan
penyeleseaian sumur (well completion). Maka diperlukan zat kimia tertentu
untuk mengurangi efek dari padatan lumpur tersebut.
2) Gypsum Treated Mud
Digunakan untuk membor formasi gypsum dan anhydrite, terutama
bila formasinya inter bedded (selang-seling antara garam dan shale).
Treatment-nya adalah dengan mencampur base mud (lumpur dasar) dengan
plaster (CaSO4) sebelum formasi anhydite dan gipsum di bor. viskositas dan
gel strength yang berhubungan dengan formasi ini dapat dibatasi, yaitu
dengan mengontrol rate penambahan plaster. Lumpur gypsum chrome
lignosulfonate ini mempunyai sifat yang sama baik dengan lime treated mud,
karena itu dapat digunakan pada daerah yang sama baik dengan lime treated
mud. Penggunaan non-ionic surfactant dalam gypsum chrome lignosulfonate
mud menghasilkan pengontrolan yang lebih baik pada filter loss dan low
properties-nya. Selain toleransinya yang besar terhadap kontaminasi garam.
3) Calcium Salt
Selain hydrate salt dan gipsum telah digunakan tetapi tidak meluas,
juga zat-zat kimia yang memberi suplai kation multivalent untuk base
39
exchange clay (pertukaran ion-ion pada clay) seperti Ba (OH)2 telah
digunakan.
2.4.1.2. Salt Water Mud
Lumpur ini digunakan untuk membor garam massive (salt dome) atau salt
stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang bila ada aliran garam yang
terbor. Filtrate loss-nya besar dan mud cake-nya tebal bila tidak ditambah organic
colloid. pH lumpur dibawah 8, karena itu perlu dipresentatif untuk mencegah
fermentasi starch. Jika salt mud-nya mempunyai pH yang lebih tinggi, fermentasi
terhalang oleh basa. Suspensi ini dapat diperbaiki dengan penggunaan antapulgate
sebagai pengganti bentonite.
a. Unsaturated Salt Water Mud
Air laut dari laut lepas atau teluk sering digunakan untuk lumpur yang
jenuh kegaramannya (unsaturated salt water mud). Kegaraman (salinity) lumpur
ini ditandai dengan :
Filtrate loss besar kecuali di-treated dengan organic colloid.
Medium sampai tinggi pada gel strength kecuali di-treated dengan thinner.
Suspensi yang tinggi kecuali di-treated dengan attapulgite atau organic
colloid.
Lumpur ini biasa mengalami “foaming”, yaitu berbusa (gas
menggelembung) yang bisa diredusir dengan :
Menambah soluble surface active agent.
Menambah zat kimia untuk menurunkan gel strength
b. Saturated Salt Water Mud
Fasa cair lumpur ini dijenuhkan dengan NaCl. Garam-garam lain dapat
pula berada disitu dalam jumlah yang berlainan. Saturated salt water mud dapat
digunakan untuk membor formasi-formasi garam di rongga-rongga yang terjadi
karena pelarutan garam dapat menyebabkan hilangnya lumpur, dicegah dengan
penjenuhan garam terlebih dahulu pada lumpurnya. Lumpur ini juga dibuat
dengan menambahkan air garam yang jenuh untuk pengenceran dan pengaturan
volume.
40
Filtrate loss yang rendah pada saturated salt organik colloid mud
menyebabkan tidak perlunya memasang casing di atas salt beds (farmasi garam).
Filtrate loss-nya bisa dikontrol sampai 1 cc API dengan organic colloid.
Saturated salt water mud dapat dibuat berdensitas lebih dari 19 ppg. Dengan
menambahkan organic colloid agar filtration loss-nya kecil, lumpur ini bisa
untuk membor formasi dibawah salt beds, walaupun restivitinya yang rendah
buruk untuk electical log.
Saturated salt water mud dapat pula dibuat dari fresh water atau brine
mud. Jika dari fresh water mud maka paling tidak separuh dari lumpur harus
dibuang, diperlukan untuk pengenceran dengan air tawar dan penambahan lebih
kurang 125 Ibs garam/bbl lumpur. Jika dikehendaki pengontrolan filtration loss,
suatu organic colloid dan presentatif dapat ditambahkan.
Jika lumpur dibuat dari saturated brine (air garam yang jenuh) sekitar 20
Ib/bbl attapulgite ditambahkan bersama dengan organic colloid dan mungkin
presentatif. Densitas lumpur ini 10 ppg dan akan naik sekitar 11 ppg selama
pemboran berlangsung.
Pemeliharaannya jenis lumpur ini, termasuk penambahan air asin untuk
mengurangi viskositas, attapulgite untuk menambah viskositas, gel dan filtrasi
dapat diperoleh dengan penambahan alkaline-tannate solution atau sedikit lime
(kapur).
c. Sodium Silicate Mud
Fasa cair Na-Silicate mud mengandung sekitar 65% volume larutan Na
silicate dan 35% larutan garam jenuh. Lumpur ini digunakan untuk pemboran
heaving shale, tetapi telah terdesak penggunaannya oleh lime treated mud,
gypsum lignosilfonate, shale control dan surfactant muds (lumpur yang diberi
DAS dan DME) yang lebih baik, murah dan mudah dikontrol sifat-sifatnya.
2.4.2. Oil Based Mud
Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinyunya. Komposisinya
diatur agar kadar airnya rendah (3-5% volume). Relatif lumpur ini tidak sensitif
terhadap kontaminan. Tetapi airnya adalah kontaminan karena memberi efek
negatif bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol viskositas, menaikan gel
41
strength, mengurangi efek kontaminan air dan mengandung filtare loss, perlu
ditambahkan zat-zat kimia.
Fungsi oil based mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah
minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik
terhadap formasi biasa maupun formasi produktif (juga untuk completion mud).
Biasanya oil based mud digunakan pada formasi shale ataupun pada formasi yang
mengandung garam. Fungsi terbesar adalah pada completion dan work over sumur.
Kegunaan lain adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit, mempermudah
pemasangan casing dan liner. Oil base mud ini harus ditempatkan pada suatu tanki
besi untuk menghindarkan kontaminasi air. Rig harus dipersiapkan agar tidak kotor
dan mengurangi bahaya api.
Teknologi oil based mud sangat berbeda dengan water based mud.
Pemantauan terhadap sifat-sifat lumpur bukan sebagai sesuatu yang dapat
diprediksi, terutama jika pengguna lumpur (mud user) tidak memahami atau
mengetahui sifat-sifat kimia dari produk yang digunakan ataupun produk yang
digunakan berbeda suppliernya. Keanekaragaman bahan kimia yang digunakan
pada oil based mud tampaknya sedikit, akan tetapi sebenarnya dapat merusak
sistem lumpur jika penggunaanya tidak sesuai. Dalam sistem water based mud,
pada umumnya dapat diprediksi pengaruh treatment kimia dan kontaminan
terhadap sifat-sifat fisik lumpur, namun untuk oil based mud tida selalu demikian.
Meskipun sistem lumpur oil based mud relatif mahal dibanding dengan
lumpur bahan dasar air (water based mud), penggunaannya telah meningkat pada
tahun-tahun belakangan ini. Secara umum penggunaan lumpur oil based adalah
untuk:
1. Pemboran yang mengalami problem shale.
2. Pemboran dalam dan temperature tinggi.
3. Fluida komplesi.
4. Fluida workover.
5. Sebagai fluida packer.
6. Fluida perendam untuk pipa terjepit.
7. Pemboran zona garam yang masif.
42
8. Fluida coring.
9. Pemboran yang mengandung H2S dan CO2.
Oil base emultion dan lumpur oil base mempunyai minyak sebagai fasa
kontinu dan air sebagai fasa tersebar. Umumnya oil base emulsion mud mempunyai
faedah yang sama seperti oil base mud, yaitu filtratnya minyak dan karena
menghidratkan shale / clay yang sensitif. Perbedaan utamanya dengan oil base mud
bahwa air ditambahkan sebagai tambahan yang berguna (bukan kontaminasi). Air
yang teremulsi dapat antara 15 - 50% volume, tergantung densitas dan temperature
yang diinginkan (dihadapi dalam pemboran). Karena air merupakan bagian dari
lumpur ini, maka lumpur-lumpur ini mempunyai sifat – sifat lain dari oil base mud
yaitu ia dapat mengurangi bahaya api , toleran terhadap air, dan pengontrolan flow
propertisnya dapat seperti pada water base mud.
Produk dasar dan pelengkap yang diperlukan untuk formulasi baik oil based
ataupun emulsion system adalah sebagai berikut:
Tabel II-4
Bahan Dasar dan Pelengkap
(Rudi Rubiandini, 1983
Bahan dasar; Pelengkap;
1) Diesel oil atau nontoxic mineral oil.
2) Air (water).
3) Emulsifier.
4) Wetting agent.
5) Oil-wettable organophilic clay.
6) Lime.
7) Barite / Hematite.
a) Calcium chloride / sodium
chloride
b) Asphaltenes.
c) Oil-wettable lignite.
d) Calcium carbonate.
e) Thinner.
2.4.3. Oil in Water Emulsion Mud (Emulsion Mud)
Untuk lumpur jenis ini, minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air
sebagai fasa kontinu. Jika pembuatannya baik, filtratnya hanya air. Sebagai dasar
dapat digunakan baik fresh maupun salt water. Sifat-sifat fisik yang dipengaruhi
emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebal mud cake dan pelumasan.
43
Segera setelah emulsifikasi, filtrate loss berkurang, filter cake menjadi tipis dan
torsi putaran drillstring banyak berkurang.
Keuntungannya adalah bit yang lebih tahan lama, penetration rate baik,
pengurangan korosi pada drill string, perbaikan pada sifat-sifat lumpur (viskositas
dan tekanan pompa boleh/dapat dikurangi, water loss turun, mud cake turun (mud
cake tipis) dan mengurangi balling (terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drill
string. Viskositas dan gel lebih mudah dikontrol bila Emulsifiernya juga bertindak
sebagai thinner. Umumnya oil in water emultion mud dapat bereaksi dengan
penambahan zat dan adanya kontaminasi sama seperti lumpur aslinya. Semua
minyak (crude) dapat digunakan, tetapi lebih baik bila digunakan minyak refinery
(refinery oil) yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
Uncracked (tidak perpecah-pecah molekulnya) supaya stabil.
Flash point tinggi, untuk mencegah bahaya api.
Aniline number tinggi (lebih dari 155) agar tidak merusakan karet – karet pompa
/ circulation equipment.
Pour point rendah, agar bisa digunakan untuk bermacam – macam temperature.
Keuntungan lainnya adalah bahwa karena bau serta fluorecensinya lain
dengan crude oil (mungkin yang berasal dari formasi), maka ini berguna untuk
pengamatan cutting oleh geolog dalam menentukan adanya minyak di pemboran
tersebut. Adanya karet-laret yang rusak dapat dicegah dengan penggunaan karet
sintesis.
2.4.3.1. Fresh Water in Water Emulsion Mud
Fresh water oil in water emulsion mud adalah lumpur yang mengandung
NaCl sampai sekitar 60.000 ppm. Lumpur emulsi ini dibuat dengan menambahkan
Emulsifier (pembuat emulsi) ke water base mud diikuti dengan sejumlah minyak
yang biasanya 5-25% volume. Jenis Emulsifier bukan sabun lebih disukai karena
itu dapat digunakan dalam lumpur yang mengandung larutan Ca tanpa memperkecil
Emulsifiernya dalam hal effisiensi. Emulsifikasi minyak dapat bertambah dengan
agitasi (diaduk) dan penjagaannya secara periodic ditambahkan minyak dan
Emulsifier. Jika sebelum emulsifikasi lumpurnya mengandung persentase clay yang
44
tinggi, pengenceran dengan sejumlah air perlu dilakukan untuk mencegah kenaikan
viskositas.
2.4.3.2. Salt Water Oil in Water Emulsion Mud
Salt water oil in water emulsion mud mengandung paling sedikit 60.000
ppm NaCl dalam fasa cairnya. Emulsifikasi dilakukan dengan Emulsifier agent-
organic. Lumpur ini biasanya mempunyai pH dibawah 9, dan cocok untuk
digunakan pada daerah dimana perlu dibor garam masif atau lapisan-lapisan garam.
Emulsi ini mempunyai keuntungan-keuntungan seperti juga pada fresh water
emultion; pertama densitasnya kecil, kedua filtration loss sedikit dan mud cake tipis
dan pelumasan lebih baik. Lumpur demikian mempunyai tendensi untuk foaming
yang bisa dipecahkan dengan penambahan surface active agent tertentu.
Maintenance lumpur ini sama dengan salt mud biasa kecuali perlunya menambah
Emulsifier, minyak dan surface active defoamer (anti foam).
2.4.4. Gaseous Drilling Fluid
Digunakan pada daerah-daerah dengan formasi keras dan kering.Gas atau
udara nantinya dipompakan pada annulus. Namun cara ini tidak dapat digunakan
pada pengeboran wild cat atau eksplorasi. Keuntungan cara ini adalah rate of
penetration yang besar, tetapi adanya formasi air dapat menyebabkan bit balling
(bit terlapisi cutting/padatan) dan pipe sticking. Pada tekanan formasi yang besar
tidak dibenarkan menggunakan cara ini.
Udara dan gas adalah drilling fluid yang lebih baik dibandingkan dengan
cairan seperti lumpur, dalam hal rate of penetration, maupun dalam menanggulangi
lost circulation dan juga untuk well completion. Penggunaan gas alami
membutuhkan pengawasan yang ketat pada bahaya api. Lumpur jenis ini juga baik
untuk komplesi pada zona–zona bertekanan rendah.
2.5. Komponen Oil Base Mud
Komponen – komponen dalam membuat oil base mud antara lain:
2.5.1. Diesel oil atau mineral oil (continous phase)
Beberapa macam minyak sudah dicoba sebagai fasa kontinyu lumpur
minyak. Beberapa diantaranya memberi sifat – sifat yang lebih baik dibandingkan
45
dengan yang lain. Kinerja, ketersediaan serta harga merupakan criteria dalam
pemilihan minyak. Berikut adalah minyak yang biasanya mudah didapat dan
banyak dipakai:
o Base crude oil
o Refined oil (diesel, kerosin, heavy fuel oil, dll)
Di Indonesia umumnya digunakan solar atau Non – Toxic Oil, sedangkan
air yang digunakan adalah air tawar.
2.5.2. Air (Discontinous Phase)
Walau keberadaan air tidak dikehendaki di dalam lumpur minyak sejumlah
air umumnya ditambahkan untuk beraksi dengan sejumlah additive dengan maksud
untuk memperbaiki sifat rheology dan filtration control dari lumpur minyak. Air
didalam lumpur minyak berbentuk butiran kecil, homogen dan tersebar. Butir –
butir air ini biasa disebut droplet. Jarak antara droplet akan meningkat jika ukuran
droplet semakin kecil dan seragam sehingga memerlukan waktu yang lebih lama
untuk bergabung dimana memperlihatkan pemisahan air bebas dari lumpur minyak.
Jika droplet air besar dan tidak seragam maka jarak antara droplet menurun, hal ini
menyebabkan penggabungan droplet terjadi dengan cepat dan memperlihatkan
ketidakstabilan emulsi. Jumlah air yang teremulsi dalam minyak didefinisikan
sebagai oil – water ratio, dimana untuk pengukuran digunakan retort test dengan
alat ini dapat ditentukan % volume dari kandungan minyak, air dan padatan.
2.5.3. Emulsifier
Emulsi adalah suatu campuran dari dua cairan dimana satu cairan yang lebih
sedikit melarut di dalam cairan lain yang lebih banyak, tetapi tersebar merata dan
merupakan butiran – butiran halus (droplets). Ada dua jenis emulsi, yaitu emulsi
minyak dalam air dan emulsi air dalam minyak.
Sistem emulsi minyak dalam air biasanya dijumpai dalam lumpur emulsi
(emulsion mud), biasanya fasa air berjumlah 60% atau lebih. Jumlah ini tidak pasti
benar karena dalam kondisi tertentu emulsi minyak dalam air dapat dibuat dengan
20% air.
46
System emulsi air dalam minyak juga disebut emulsi inverse (inverted
emulsion), seperti umumnya lumpur dasar minyak. Untuk menjaga agar air tetap
berbentuk droplets, maka kedalam lumpur minyak ditambahkan Emulsifier.
Emulsifier tersebut digunakan untuk mengikat air dengan minyak, sehingga
terbentuk dan terjaga kestabilan lumpur selama pemboran berlangsung.
Pengemulsian dan kestabilan lumpur tergantung dari jumlah konsentrasi yang
dipakai dari Emulsifier serta pengadukan lumpur. Kestabilan emulsi ini akan
tercapai apabila:
- Tiap droplet air didalam minyak terlapisi oleh film Emulsifier.
- Semakin kecil dan seragam droplets maka semakin stabil emulsinya, oleh sebab
itu diperlukan pengadukan.
- Semakin besar jarak antara droplets semakin stabil emulsinya, untuk itu perlu
dijaga perbandingan komposisi minyak dan air.
2.5.4. Viscosifier
Viscosifier berfungsi untuk membantu adanya viskositas yang stabil dari
suatu sistem lumpur. Karena sistem lumpur minyak dengan droplet air yang
tersebar merata mempunyai tahanan lair (resistance to flow) yang lebih besar jika
dibandingkan fasa kontinyu (minyak) maka viskositas akan naik dengan naiknya
kadar air dalam lumpur minyak. Naiknya kadar air ini bila diikuti dengan
bertambahnya konsentrasi viscosifier dapat meningkatkan harga viskositas dan
yield strength dari lumpur, sehingga sistem lumpur minyak dapat memiliki variasi
harga viskositas dan yield strength yang lebih luas dimana berguna untuk
memudahkan transportasi cutting ke permukaan serta untuk menyanggah bahan –
bahan pemberat dan cutting ketika sirkulasi dihentikan.
2.5.5. Filtrat Reducer
Filtrate reducer adalah additive yang digunakan sebagai pengontrol filtrasi
dimana additive tersebut berukuran koloid dan terdispersi di dalam minyak. Filtrate
reducer ini akan membentuk ampas (filter cake) pada lapisan porous permeable
dan ketika droplet air yang teremulsi didalam minyak menjadi bulatan yang keras
47
(bertindak sebagai padatan) akan tersaring oleh serat – serat filter cake sehingga
filtrate yang dihasilkan hanya berupa minyak.
2.5.6. Lime
Lime adalah salah satu bahan yang digunakan dalam oil muds dimana
berfungsi sebagai pengontrol alkalinitas dari lumpur. Seperti telah diketahui bahwa
lumpur harus berada pada kondisi basa (pH > 7) agar tidak merusak peralatan dan
juga tidak merusak lumpur itu sendiri (emulsi akan pecah).
Lime juga berfungsi untuk mengatasi kontaminasi carbon dioxide dan hydrogen
sulfide dari formasi yang ditembus.
2.5.7. Material Pemberat
Material pemberat adalah bahan – bahan yang mempunyai specific gravity
tinggi yang ditambahkan ke dalam cairan untuk menaikkan densitas fluida.
Biasanya, material pemberat ditambahkan ke dalam lumpur pemboran untuk
mengontrol tekanan formasi. Jika densitas lumpur yang terlalu kecil akan
mengakibatkan terjadinya kick (fluida formasi masuk ke dalam lubang sumur), dan
jika densitas lumpur terlalu besar akan mengakibatkan lost circulation. Material
pemberat yang biasa digunakan yaitu barite, calcium carbonat, galena, oksida besi.
2.6. Cara Pembuatan Oil Base Mud
Pada dasarnya cara pembuatan oil base mud adalah sebagai berikut:
1. Fasa minyak, masukkan sejumlah volume minyak yang telah dihitung menurut
kebutuhan, ke dalam cup mixer.
2. Komponen lain seperti clay komersial (bentonite), Emulsifier, viscosifier
dimasukkan.
3. Fasa air, campurkan air yang telah dihitung.
4. Bahan pemberat (additive).
Pengadukan secara kontinyu dengan mixer bisa dilakukan untuk
mendapatkan emulsi yang stabil. Setelah selesai semua pencampuran, maka oil
base mud tersebut harus diperiksa apakah sudah memenuhi sifat – sifat lumpur yang
dikehendaki. Pada umumnya, cara pemeriksaan lumpur minyak sama dengan yang
dilakukan pada lumpur air (water base mud). Hanya karena lumpur minyak adalah
48
suatu emulsi, maka diperlukan suatu bahan pemecah emulsi (emulsion breaker)
sehingga dapat dilakukan pemeriksaan sifat – sifat kimianya.
2.7. Fungsi Oil Base Mud
Umumnya oil base mud mempunyai beberapa fungsi khusus dibandingkan
dengan water base mud, antara lain:
1. Untuk pemboran pada lapisan shale yang sangat sensitive terhadap filtrat air.
2. Untuk pemboran sumur dalam dan temperaturee tinggi, sebab additive – nya
bersifat lebih stabil pada hi – temp dibandingkan dengan additive pada water
base mud; bahan – bahan kimianya tidak terionisasikan di dalam minyak dan
reaksi kimia yang terjadi akan lebih sedikit jika dibandingkan pada water base
mud.
3. Pemboran pada formasi garam, gypsum, anhydrite dan lapisan yang
mengandung gas CO2 dan H2S tidak menjadi masalah.
4. Sebagai fluida pengintian (coring), penyusupan filtrate sangat sedikit.
5. Mengurangi torsi, drag dan friksi pada lubang – lubang miring/berarah serta
dapat mengurangi dan menanggulangi terjadinya jepitan.
6. Mengurangi korosi peralatan pemboran, sebab minyak adalah non – konduktif.
7. Dapat digunakan sebagai packer fluida.
8. Digunakan sebagai fluida perforasi, penyelesaian sumur dan kerja ulang (work
over).
9. Dapat digunakan kembali (re – used) setelah dibersihkan dari sisa – sisa
cutting dan kotoran lainnya.
2.8. Sifat – Sifat Oil Base Mud
Semua minyak dapat digunakan tetapi lebih baik bila digunakan minyak
yang mempunyai sifat-sifat berikut:
2.8.1. Aniline Number yang tinggi
Aniline number adalah angka yang menunjukkan kemampuan minyak untuk
melarutkan karet. Makin tinggi aniline number suatu lumpur minyak, maka
kemampuan melarutkan karet semakin kecil. Mengingat peralatan pemboran yang
49
banyak terbuat dari karet maka untuk menjaga ketahanan peralatan tersebut,
dibuatlah angka aniline yang tinggi pada system oil base mud.
2.8.2. Flash Point yang tinggi
Flash point menunjukkan angka dimana minyak akan menyala (mudah
terbakar). Makin rendah flash point suatu minyak, maka semakin cepat terjadi
pembakaran, untuk itu flash point minyak yang digunakan haruslah tinggi.
2.8.3. Pour point yang tinggi
Pour point adalah angka yang menunjukkan pada temperaturee berapa
minyak akan membeku. Dalam pemboran yang menggunakan oil base mud, tidak
diinginkan adanya bahan dasar minyak yang mempunyai pour point rendah.
2.8.4. Molekul minyak yang stabil
Dengan kata lain tidak mudah terpecah- pecah.
2.8.5. Mempunyai bau & fluoresensi
Memiliki karakteristik bau dan fluoresensi yang berbeda dengan minyak
mentah. Dengan demikian akan mudah menyelidiki minyak yang berasal dari
formasi dengan minyak yang berasal dari bahan dasar lumpur.
Pada pemboran sumur dalam, lumpur yang sedang disirkulasi mengalami
perubahan temperature akibat pengaruh gradient temperaturee (±1.5oF/100 ft).
Semakin dalam lumpur mengalami sirkulasi maka temperature akan semakin
bertambah besar. Pada temperature tinggi lumpur seringkali mempunyai masalah
terhadap perubahan bentuk (deformasi) dan aliran, terutama sifat fisiknya yang
mana hal tersebut membuat kemampuan lumpur dalam melaksanakan fungsinya
berkurang.
Flow properties lumpur di bawah kondisi downhole sangat berbeda dari
sifat flow properties lumpur yang diukur pada tekanan dan temperature permukaan.
Tekanan dan temperature yang tinggi akan mempengaruhi sifat rheology lumpur
dalam beberapa cara, yaitu:
a. Secara fisik
Penurunan temperaturee dan peningkatan tekanan akan berdampak pada
mobilitas system lumpur dan akan memperbesar apparent viscosity dan waktu
50
relaksasi viskoelastik. Efek tekanan diharapkan lebih besar pada oil base mud
karena kaitannya dengan kompresibilitas dengan fasa minyak.
b. Secara elektrokimia
Peningkatan temperaturee menyebabkan aktivitas ionic dari elektrolit dan
kelarutan sebagian partikel garam (salt) yang mungkin terjadi dalam lumpur. Hal
ini dapat mempengaruhi kesetimbangan antara interaksi interpartikel dan gaya tolak
– menolak dan juga derajat disperse dan flokulasi dalam sistem lumpur. Kadang –
kadang, hal ini juga dapat menyebabkan efek yang besar pada stabilitas emulsi oil
base mud.
c. Secara kimia
Semua reaksi hidroksida dengan mineral clay pada temperature di atas
90oC. Pada berbagai jenis lumpur, ini akan menghasilkan perubahan struktur dan
juga akan mempengaruhi perubahan sifat rheology lumpur.
2.9. Keuntungan dan Kelemahan Penggunaan Oil Based Mud.
Oil base mud biasanya digunakan karena adanya dua alasan, yaitu:
1. Sumur tidak dapat dibor sampai ke kedalaman total dengan menggunakan water
base mud.
2. Untuk mengurangi biaya total pemboran.
Seperti di Indonesia misalnya karena di wilayah ini memiliki gradient
geothermal yang tinggi dan memiliki geopressure yang tinggi pula, lapisan shale
yang sensitif terhadap air. Problem pemboran yang mungkin muncul karena kondisi
ini adalah swelling shale, tight hole, bridging dan stuck pipe. Untuk menyelesaikan
persoalan ini diperlukan lumpur dengan densitas tinggi dan salah satu solusinya
adalah dengan menggunakan oil base mud.
Adapun keuntungan dari penggunaan oil base mud antara lain:
1. Mencegah kerusakan reservoar yang water – sensitive.
2. Mengontrol water – sensitive shale.
3. Tahan terhadap temperaturee dasar sumur yang tinggi.
4. Membor gauge hole.
5. Mengontrol area garam.
6. Bisa melakukan underbalance drilling pada lapisan shale.
51
7. Memperpanjang umur bit.
8. Memperbesar lubrikasi drill string, dengan mengurangi torsi karena putaran dan
meminimalkan beban dari wall – sticking.
9. Mengurangi korosi pada drillstring dan tubular.
Hal terpenting dari keuntungan penggunaan oil base mud adalah
kemampuannya untuk mencegah swelling lapisan clay dan shale yang sensitif
terhadap air.
Sedangkan kelemahan dari oil base mud, antara lain:
1. Sangat sensitif terhadap pencemaran lingkungan.
2. Solid control sulit dilakukan bila dibandingkan dengan water base mud
3. Elektrik logging tidak dapat dilakukan.
4. Harganya relatif lebih mahal.
2.10. Penggunaan Virgin Coconut Oil (VICOIL) sebagai OBM
Kelapa (Cocos nucifera) merupakan tanaman perkebunan berupa pohon
batang lurus dari famili Palmae. Kelapa merupakan tanaman tropis yang telah lama
dikenal masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari penyebaran tanaman kelapa di
hampir seluruh wilayah Nusantara. Kelapa merupakan tanaman perkebunan dengan
areal terluas di Indonesia, lebih luas dibanding karet dan kelapa sawit, dan
menempati urutan teratas untuk tanaman budi daya setelah padi.
Tanaman kelapa merupakan tanaman serbaguna atau tanaman yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi. Seluruh bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan manusia, sehingga pohon ini sering disebut pohon kehidupan
(tree of life) karena hampir seluruh bagian dari pohon, akar, batang, daun dan
buahnya dapat dipergunakan untuk kebutuhan manusia sehari- hari.
Virgin Coconut Oil merupakan produk olahan dari daging kelapa yang
berupa cairan berwarna jernih, tidak berasa, dengan bau khas kelapa. Pembuatan
Virgin Coconut Oil ini tidak membutuhkan biaya yang mahal, karena bahan baku
mudah didapat dengan harga yang murah dan pengolahan yang sederhana. Virgin
Coconut Oil mengandung asam lemak jenuh rantai sedang dan pendek yang tinggi,
yaitu sekitar 92%. Pada saat ini telah dikembangkan berbagai cara pengolahan
52
minyak kelapa seperti pengasaman, penambahan minyak (pancingan), penambahan
garam (penggaraman), pemanasan, dan lain sebagainya.
Minyak kelapa murni memiliki sifat kimia-fisika antara lain organoleptis
(tidak berwarna dan berbentuk kristal seperti jarum) dan bau (ada sedikit berbau
asam ditambah bau caramel). Kelarutan dari VCO yaitu tidak larut dalam air, tetapi
larut dalam alcohol (1:1). Berat jenis 0,883 pada suhu 20⁰ C. Persentase penguapan
yaitu VCO tidak menguap pada suhu 21⁰ C (0%). Titik cair 20-25⁰ C, titik didih :
225⁰ C, dan kerapatan udara (Udara = 1): 6,91. Tekanan uap (mmHg) yaitu 1 pada
suhu 121⁰ C
Selain berbagai macam manfaat dari minyak kelapa murni atau virgin
coconut oil juga dapat dimanfaatkan dalam industri perminyakan sebagai mineral
oil dalam fasa cair oil base mud. Penggunaan virgin coconut oil sebagai fasa cair
oil base mud memiliki berbagai keuntungan yaitu:
1. Dapat digunakan dalam pemboran bertemperature tinggi.
2. Memiliki kemampuan melumasi yang baik.
3. Tidak menimbulkan korosi.
4. Dapat digunakan dalam menembus formasi yang reaktif dengan air
5. Dapat mengatasi problem shale swelling.
6. Lebih ramah lingkungan dibanding diesel oil.
2.10.1. Metode Pengolahan Virgin Coconut Oil (VICOIL)
Buah kelapa tua varietas dalam (berumur 11-12 bulan) dikeluarkan sabut
dan tempurungnya. Kemudian testanya (bagian yang berwarna coklat) dikeluarkan
dengan sikat agar tidak mempengaruhi warna santan. Daging kelapa bersih diparut
dengan mesin pemarut kelapa. Untuk mendapatkan santan kental, hasil parutan
dilakukan dengan pemerasan langsung menggunakan kain saring tanpa
penambahan air (Ahmad dkk., 2013). Krim yang diperoleh dipisahkan dari air,
kemudian dipanaskan sampai terbentuk minyak dan blondo. Selanjutnya dilakukan
penyaringan dengan beberapa metode pengolahan VCO. Metode tersebut adalah
metode fermentasi, pemanasan bertahap, sentrifugasi, pengasaman dan pancingan.
53
a. Metode Fermentasi
Fermentasi merupakan kegiatan mikroba pada bahan pangan sehingga
dihasilkan produk yang dikehendaki. Mikroba yang umumnya terlibat dalam
fermentasi adalah bakteri, khamir dan kapang. Santan yang diperoleh
dimasukkan ke dalam wadah dan didiamkan selama 1 jam sehingga terbentuk
dua lapisan, yaitu krim santan pada bagian atas dan air pada bagian bawah.
Kemudian krim santan difermentasi dengan menambah ragi tempe dengan
perbandingan 5:1 (5 bagian krim santan dan 1 bagian ragi tempe). Fermentasi
selesai ditandai dengan terbentuknya 3 lapisan yaitu lapisan minyak paling atas,
lapisan tengah berupa protein dan lapisan paling bawah berupa air. Pemisahan
dilakukan dengan menggunakan kertas saring (Cahyono dan Untari, 2009;
Setiaji dan Surip, 2006).
b. Pemanasan Bertahap
Cara pembuatan dengan metode ini sama dengan cara pembuatan dengan
cara tradisional, yang berbeda terletak pada suhu pemanasan. Dimana, pada
pemanasan bertahap suhu yang digunakan sekitar 60⁰ C-75⁰ C. Bila suhu
mendekati angka 75⁰ C matikan api dan bila suhu mendekati angka 60⁰ C
nyalakan lagi api (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
c. Sentrifugasi
Sentrifugasi merupakan cara pembuatan VCO dengan cara mekanik.
Masukkan krim santan ke dalam alat sentrifuse. Kemudian nyalakan alat
sentrifuse lalu atur pada kecepatan putaran 20.000 rpm dan waktu pada angka
15 menit. Ambil tabung dimana di dalam tabung terbentuk 3 lapisan. Ambil
bagian VCO dengan menggunakan pipet tetes (Darmoyuwono, 2006; Setiaji dan
Surip, 2006).
d. Cara Pengasaman
Cara ini tidak memerlukan pemanasan sehingga minyak yang dihasilkan
bening, tidak cepat tengik, dan daya simpannya sekitar 10 tahun. Diamkan
santan sampai terbentuk krim dan skim. Buang bagian skim kemudian
tambahkan beberapa ml asam cuka ke dalam krim santan. Ambil kertas lakmus,
celupkan kedalam campuran santan-cuka, kemudian di cek pHnya. Jika kurang
54
dari 4,3 maka, tambahkan lagi asam cuka. Jika lebih dari 4,3 maka, tambahkan
lagi air. Jika pH sudah cocok diamkan campuran tersebut selama 10 jam hingga
terbentuk minyak, blondo, dan air. Buang bagian air dan ambil bagian minyak
kemudian lakukan penyaringan.
e. Pancingan
Santan di diamkan sampai terbentuk krim dan air. Krim tersebut dicampur
dengan minyak pancingan dengan perbandingan 1:3 sambil terus diaduk hingga
rata, lalu diamkan 7-8 jam sampai terbentuk minyak, blondo dan air. Ambil VCO
dengan sendok. (Darmoyuwono, 2006; Sutarmi dan Rozaline, 2005).
2.10.2. Pembuatan Virgin Coconut Oil (VICOIL) secara Tradisional
Pembuatan Virgin Coconut Oil dilakukan dengan cara tradisional yakni
memanfaatkan alat-alat dapur, proses pembuatan VCO secara tradisional dijelaskan
sebagi berikut ini.
1. Peralatan
Toples plastik besar
Mixer
Panci
Penyaring
Kapas
Kain Mori
Botol Air Mineral Bekas
10 Botol Plastik 100
2. Bahan
Kelapa tua (10-15 kelapa untuk 1 liter VCO)
Air
3. Proses Pembuatan
Menyiapkan dan memilih daging kelapa yang sudah tua.
Mengupas kulit kelapa dari dagingnya.. Memarut daging kelapa.
Memarut danging kelapa.
55
Menambahkan air ke dalam parutan kelapa dengan perbandingan kelapa dan
air 4 liter air dengan 3 kg kelapa.
Memeras daging kelapa parut diatas saringan hingga diperoleh santan.
Menyaring semua santan yang dihasilkan.
Mengendapkan santan yang telah disaring selama 30 menit sehingga terbentuk
dua lapisan yaitu lapisan bawah berupa air dan lapisan atas berupa krim/kanil.
Memisahkan krim dan air dan membuang air yang tidak diperlukan.
4. Pembuatan Minyak VICOIL
Menampung krim/kanil kedalam wadah.
Menambahkan garam yang sudah dilarutkan dengan aquades kedalam kanil
sedikit demi sedikit.
Mengaduk campuran tersebut.
Mendiamkan campuran tersebut selama 12 jam, hingga terbentuk 2 lapisan.
Memisahkan minyak kelapa murni tersebut dari air dan blondo dan melakukan
penyaringan pada minyak.
57
BAB III
PROSEDUR DAN HASIL PENELITIAN
3.1. Alat dan Bahan yang Digunakan
Dalam uji laboratorium ini dibutuhkan peralatan untuk membuat lumpur
dan mengukur sifat fisik dan reologi lumpur. Alat dan bahan yang digunakan adalah
sebagai berikut:
a. Gelas Ukur
Gelas ukur digunakan untuk mengukur berapa banyak air yang akan
digunakan pada pembuatan lumpur. Gambar alat ini dapat dilihat pada Gambar
3.1.
Gambar 3.1.
Gelas Ukur
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)
b. Timbangan Digital
Timbangan digital digunakan untuk menimbang berapa banyak bahan
dan aditif yang akan digunakan untuk membuat lumpur dengan ketelitian 0.01
gram. Gambar alat ini dapat dilihat pada Gambar 3.2.
58
Gambar 3.2.
Timbangan Digital
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)
c. Thermometer
Thermometer digunakan untuk mengukur temperature dari lumpur.
Gambar thermometer yang digunakan dalam uji laboratorium ini bisa dilihat
pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3.
Thermometer
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)
d. Thermo Cup
Thermo Cup digunakan untuk menaikkan temperature pada lumpur yang
akan diukur reologinya. Gambar thermo cup bisa dilihat pada Gambar 3.4.
59
Gambar 3.4.
Thermo Cup
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)
Gambar 3.5.
Mud Mixer & Cup
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)
e. Mud Mixer dan Cup
Mud Mixer digunakan untuk mengaduk lumpur sehingga seluruh
komposisi dapat tercampur sempurna. Cup digunakan sebagai wadah ketika
60
lumpur diaduk. Memasukkan bahan dan aditif lumpur harus dilakukan secara
perlahan agar lumpur tercampur dengan baik dan tidak menggumpal. Gambar
alat ini dapat dilihat pada Gambar 3.5.
f. Mud Balance
Mud Balance digunakan untuk mengetahui densitas dari lumpur atau
dikenal dengan mud density, dengan satuan SG (spesific gravity) gr/cc atau
dalam satuan pound per gallon (lb/gal). Gambar alat Mud Balance dapat dilihat
pada Gambar 3.6.
Gambar 3.6.
Mud Balance
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)
Gambar 3.7.
Fann VG Meter
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)
61
g. Fann VG Meter
Fann VG meter digunakan untuk mengukur sifat fisik lumpur atau
dikenal dengan rheology seperti plastic viscosity (PV) dengan satuan centipoise
(cp), yield point (YP) dengan satuan pound per 100 feet kuadrat (lb/100ft2), gel
strength 10” dengan satuan pound per 100 feet kuadrat (lb/100ft2), dan gel
strength 10’dengan satuan pound per 100 feet kuadrat (lb/100ft2). Gambar alat
ini dapat dilihat pada Gambar 3.7.
h. Filter Press
Filter Press digunakan untuk mengetahui volume filtrat dan mud cake
dari lumpur. Gambar alat Filter Press dapat dilihat pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8.
Filter Press
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)
62
Gambar 3.9.
Jangka Sorong
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)
i. Jangka Sorong
Jangka sorong digunakan untuk mengukur ketebalan mud cake yang
dihasilkan dari alat filter press. Gambar alat ini dapat dilihat pada Gambar 3.9.
j. pH Tes Paper Strips
pH Tes Paper Strips digunakan untuk mengukur besarnya pH. Gambar
pH Tes Paper Strips yaitu pada Gambar 3.10.
Gambar 3.10.
pH Paper Strip
(Laboratorium Analisa Lumpur Pemboran UPNVYK)
3.2. Aditif Yang Digunakan
Aditif yang akan digunakan untuk membuat lumpur oil base mud vicoil
BOPANPROG bisa dilihat pada Tabel III-1.
63
Tabel III-1
Additive yang Digunakan
No Produk Fungsi
1 Vicoil Base Fluid
2 Water Pollar Additive
3 H Lime Alkalinity
4 Barite Weighting Material
5 Geltone Viscosifier
6
Carbotrol
HT Filtration Reducer
7 CaCl Shale Control Agent
8 Invermul Primary Emulsifier
9 Ez Mul Secondary Emulsifier
3.3. Perencanaan Sifat Fisik Lumpur Desain
Adapun target sifat fisik lumpur pemboran desain pada Tabel III-2.
Tabel III-2
Target Sifat Fisik Lumpur Oil Base Mud
(API (13B) specifications for oil base drilling fluids
properties,Darley & Gray, 1998; Mohammed,2012)
Mud Properties
Mud Density 8-9 ppg
Plastic Viscosity < 65 cp
Yield Point 15-45 lb/100ft2
API Fluid Loss 15.00 (max) ml/30min
Gel Strength
(10detik/10menit)
3-20 / 8-30 lb/100ft2
Filter Cake
Thickness
< 0.2 cm
pH 8.5-10
Pada lumpur desain dibutuhkan penambahan beberapa aditif guna untuk
mempertahankan serta mencapai sifat fisik lumpur pemboran yang diharapkan. Ada
7 (tujuh) aditif yang digunakan pada penelitian ini yang terdiri dari Geltone,
Carbotrol HT, INVERMUL, EZ MUL, H- Lime, CaCl, dan Barite.
64
1. GELTONE
Geltone yang diproduksi oleh NL BAROID. Inc adalah Organophilic Clay
yang berfungsi sebagai Gelling Agent, selain itu juga digunakan untuk membuat
suspensi dan menjaga kapasitas dari suspensi itu sendiri dalam lumpur oil base.
Geltone membutuhkan pollar additive dalam hal ini yang dibutuhkan adalah air
untuk mencapai yield point yang maximum. Konsentrasi normal yang biasa
digunakan pada geltone adalah sebesar 2 – 20 ppb dengan waktu pencampuran
selama 10 – 12 menit.
2. CARBOTROL HT
CARBOTROL HT yang diproduksi oleh MILPARK DRILLING FLUIDS,
Baker Hughes. Inc adalah high temperature softening point gilsonit yang berfungsi
sebagai filtrate reducer dan temperaturee stability. Penambahan konsentrasi
Carbotrol HT yang biasa digunakan sebesar 2 - 6 ppb dengan waktu pencampuran
selama 10 - 12 menit.
3. INVERMUL
INVERMUL yang diproduksi oleh NL BAROID. Inc merupakan primary
emulsifier yang mampu membentuk water in oil emulsions yang stabil, mengontrol
fitration rates tetap rendah, dan memberikan stabilitas terhadap oil based fluids
pada temperaturee tinggi. Konsentrasi INVERMUL yang biasa digunakan sebesar
4- I2 cc dengan waktu pencampuran selama 10 - 15 menit.
4. EZMULS
EZMULS yang diproduksi oleh NL BAROID. Inc yaitu low toxic fatty
polyamide termasuk surfactant dan secondary emulsifier yang stabil pada sebagian
besar water in oil emulsion dibanding dengan emulsi yang biasanya. EZMULS
merupakan emulsifier yang cepat bereaksi pada oil wetting agent dalam membentuk
treatment pada water wet solids dan sistem emulsi yang rendah kadar racunnya (low
toxic). Konsentrasi EZMULS yang biasa digunakan sebesar 2 - I5 cc dengan waktu
pencampuran selama 10 - 15 menit.
5. H. LIME (Hydrate Lime)
H.Lime (Hydrate Lime) yang digunakan diproduksi oleh PT. Elnusa
digunakan untuk mengaktitkan emulsifier dan mengontrol kadar alkalinitas pada
65
fasa air dalam invert emulsion mud. Konsentrasi H. Lime yang biasa digunakan
tergantung dari kebutuhan dengan waktu pencampuran selama 10 - 15 menit.
6. Calcium Chloride (CaCl)
Calcium Cloride digunakan untuk bahan pencampur didalam fasa cair pada
invert emulsion mud, CaCl mampu memberikan tekanan osmotik untuk
menghindari beberapa masalah yang terjadi pada formasi khusunya zona kubah
garam dan zona shale. Penggunaan utama aditif ini yaitu sebagai shale control
agent. Konsentrasi CaCl yang biasa digunakan tergantung dari kebutuhan dengan
waktu pencampuran selama 10 - 15 menit.
7. Barite
Barite yang digunakan diproduksi oleh PT. Elnusa yang berfungsi sebagai
weighting material atau sebagai bahan pemberat untuk mendapatkan harga densitas
yang diinginkan. Konsentrasi barite yang digunakan tergantung dari kebutuhan
dengan waktu pencampuran selama 10 – 15 menit.
3.4. Formulasi
Pada uji laboratorium ini menggunakan tiga desain lumpur VICOIL
BOPANPROG dengan perbedaan jumlah base oil. Lumpur pertama bernama
Lumpur A (70%VICOIL:30%Air), lumpur kedua bernama Lumpur B
(80%VICOIL:20%Air), lumpur ketiga bernama Lumpur C (90%VICOIL:10%Air).
Masing-masing komposisi lumpur dapat dilihat pada Tabel III-3.
Tabel III-3
Formulasi Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG
No Material A B C
1 Water 245 ml 280 ml 315 ml
2 Vicoil 105 gr 70 gr 35 gr
3 CaCl 15 gr 15 gr 15 gr
4 H Lime 8 gr 8 gr 8 gr
5 Barite 50 gr 50 gr 50 gr
6 Geltone 4 gr 4 gr 4 gr
7 Carbotrol HT 6 gr 6 gr 6 gr
66
Tabel III-3
Formulasi Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG
(lanjutan)
No Material A B C
8 Invermul 8 cc 8 cc 8 cc
9 EZ Mul 2 cc 2 cc 2 cc
Pada uji lumpur ini menggunakan skala laboratorium. VICOIL
BOPANPROG yang digunakan sebanyak 245 cc,280 cc,315 cc. Konsentrasi CaCl
yang digunakan adalah 15 gr. Penggunaan utama aditif ini yaitu sebagai shale
control agent. Konsentrasi CaCl yang biasa digunakan tergantung dari kebutuhan
dengan waktu pencampuran selama 10 - 15 menit. H Lime yang digunakan
sebanyak 8 gr digunakan untuk mengaktifkan emulsifier dan mengontrol kadar
alkalinitas pada fasa air dalam invert emulsion mud. Konsentrasi H. Lime yang
biasa digunakan tergantung dari kebutuhan dengan waktu pencampuran selama 10
- 15 menit. Barite yang digunakan sebanyak 50 gr berfungsi sebagai weighting
material atau sebagai bahan pemberat untuk mendapatkan harga densitas yang
diinginkan. Konsentrasi barite yang digunakan tergantung dari kebutuhan dengan
waktu pencampuran selama 10 – 15 menit. Geltone sebanyak 4 gr yang berfungsi
sebagai gelling agent. Konsentrasi normal yang biasa digunakan pada geltone
adalah sebesar 2 – 20 ppb dengan waktu pencampuran selama 10 – 12 menit.
Carbotrol HT digunakan sebanyak 6 gr yang berfungsi sebagai filtrate reducer atau
temperaturee stability. Penambahan konsentrasi Carbotrol HT yang biasa
digunakan sebesar 2 - 6 ppb dengan waktu pencampuran selama 10 - 12 menit.
Invermul sebanyak 5 cc berfungsi sebagai primary emulsifier mengontrol filtration
rates tetap rendah dan memberikan stabilitas terhadap oil base fluids pada
temperaturee tinggi. Konsentrasi INVERMUL yang biasa digunakan sebesar 4- I2
cc dengan waktu pencampuran selama 10 - 15 menit. Ezmul yang digunakan 2 cc
berfungsi sebagai secondary emulsifier. Konsentrasi EZMULS yang biasa
digunakan sebesar 2 - I5 cc dengan waktu pencampuran selama 10 - 15 menit.
67
3.5. Tahapan Pengujian di Laboratorium
Tahapan pengujian di laboratorium meliputi pembuatan lumpur dan uji sifat
fisik lumpur.
3.5.1. Pembuatan Lumpur Oil Base Mud VICOIL BOPANPROG
Dalam uji laboratorium lumpur Oil Base Mud VICOIL ini dibuat tiga jenis
lumpur dengan perbedaan pada konsentrasi VICOIL dan air. Komposisi masing-
masing lumpur dapat dilihat pada Tabel III.3. Prosedur pembuatannya adalah
sebagai berikut:
a. Mengukur semua bahan yang dibutuhkan sesuai Tabel III-3.
b. Masukkan Vicoil ke dalam mixer cup, lalu gantungkan di mud mixer, mixer akan
otomatis hidup.
c. Masukkan air secara perlahan.
d. Masukkan ezmul secara perlahan.
e. Masukkan invermul secara perlahan.
f. Masukkan geltone secara perlahan.
g. Masukkan barite secara perlahan.
h. Masukkan carbotrol HT secara perlahan.
i. Masukkan CaCl secara perlahan.
j. Masukkan H-Lime secara perlahan.
k. Pastikan urutannya sesuai seperti langkah di atas.
l. Pastikan semua bahan tercampur dengan sempurna.
m. Ambil mixer cup dari mud mixer untuk diukur sifat dan reologinya.
3.5.2. Pengukuran Sifat Fisik Lumpur Oil Base Mud VICOIL Pada Berbagai
Temperature
Pada uji lab ini lumpur akan diuji sifat dan reologinya (mud properties) pada
25 oC, 50 oC, 75 oC, dan 100 oC. sifat fisik dan reologi yang akan diuji yaitu densitas,
plastic viscosity, yield point, gel strength, volume filtrat, tebal mud cake, dan pH.
Berikut adalah prosedur pengukuran masing-masing mud properties.
68
3.5.2.1. Pengukuran Densitas
Pengukuran densitas di laboratorium menggunakan mud balance.
Pengukuran lumpur dengan temperature lebih besar dari temperature ruang harus
dipanasi menggunakan thermo cup, setelah lumpur mencapai temperature yang
diinginkan baru bisa diukur menggunakan mud balance. Berikut Prosedur
penggunaan alat dari mud balance :
1. Peralatan diletakkan dipermukaan datar
2. Mengkalibrasi mud balance dengan air, densitas air adalah 8.33 ppg.
3. Masukkan lumpur yang akan diukur densitasnya kedalam mud cup.
4. Menutup cup dan membersihkan lumpur yang melekat pada dinding bagian luar
dan penutup cup sampai bersih.
5. Meletakkan balance arm pada kedudukan semula, lalu mengatur rider hingga
seimbang dan membaca densitas yang ditunjukkan pada skala Keseimbangan
dicapai ketika bubble langsung dibawah garis tengah.
3.5.2.2. Pengukuran Plastic Viscosity
Pengukuran plastic viscosity menggunakan Fann VG Meter. Untuk
mengukur plastic viscosity, masukkan lumpur ke dalam cup, untuk temperature di
atas temperature kamar menggunakan thermo cup, kemudian rotor sleeve
ditenggelamkan dalam lumpur, putar sleeve sebesar 600 rpm sampai jarum
pembacaan menunjukkan angka yang konstan, dan dicatat angkanya. Lakukan
putaran 300 rpm, selisih pembacaan Dial Reading 600 rpm dan 300 rpm merupakan
plastic viscosity dari lumpur.
3.5.2.3. Pengukuran Yield Point
Pengukuran yield point juga menggunakan Fann VG Meter. Besarnya yield
point yaitu pembacaan Dial Reading 300 dikurang plastic viscosity.
3.5.2.4. Pengukuran Gel strength
Gel strenght dapat diukur dengan menggunakan Viscometer Fann VG,
dengan cara sebagai berikut:
1) Masukkan lumpur sesuai temperature yang diinginkan ke dalam tabung, aduk
dengan kecepatan 600 rpm selama sepuluh detik.
69
2) Diamkan selama 10 detik, aduk lagi dengan kecepatan 3 rpm, awasi kenaikan
pembacaan tertinggi.
3) Pembacaan merupakan gel strenght lumpur untuk 0 menit dengan satuan lb/100
ft2.
4) Aduk lagi lumpur dan diamkan selama 10 menit. Putar lagi sleeve 3 rpm, dan
lakukan pembacaan seperti diatas, dan laporkan sebagai gel strenght 10 menit.
3.5.2.5. Pengukuran Volume Filtrat
Pengukuran Volume filtrat menggunakan filter press sebagai berikut:
1) Pasang filter paper pada bagian tutup filter press dan memasang seal hingga
rapat, kemudian mengisi silinder filtration press dengan lumpur yang telah
dibuat.
2) Tutup dan pasang silinder pada alat filtration press dengan kencang dan letakkan
gelas ukur di bawah silinder untuk menampung filtrate.
3) Buka gas keran dengan tekanan 100 psia. Dipilih tekanan 100 psi karena itu
menggambarkan tekanan pada sumur bor dan merupakan tekanan yang aman
untuk skala laboratorium.
4) Lalu catat data hasil sampel yang tertampung dalam gelas ukur pada waktu 30
menit.
5) hentikan penekanan udara, buang tekanan udara dalam silinder (bleed off).
6) Tuangkan sisa lumpur ke dalam breaker.
7) Ambil filter paper dan tentukan tebalnya.
8) Lepas susunan peralatan pada silinder, cuci dengan air bersih dan keringkan.
3.5.2.6. Pengukuran Tebal Mud Cake
Pengukuran ketebalan mud cake, caranya yaitu ambil sampel mud cake pada
filter paper yang ada pada filtration press, lalu mengukur sampel lumpur yang ada
pada filter paper menggunakan jangka sorong.
3.5.2.7. Pengukuran pH
Pengukuran pH pada uji laboratorium ini adalah dengan menggunakan pH
Tes Paper Strips. Cara menggunakan pH Tes Paper Strips adalah celupkan paper
strips ke dalam filtrat lumpur yang akan diuji selama 3 detik, kemudian lihat
70
perubahan warna pada kertas pH, cocokkan dengan tabel warna yg ada di kotak dan
segera di ketahui pH dalam cairan tersebut.
3.6. Hasil Pengujian Laboratorium
Hasil pengujian laboratorium dapat dilihat pada Tabel III-4, Tabel III-5,
dan Tabel III-6. Pengujian yang dilakukan meliputi mud weight (ppg), funnel
viscosity dengan satuan second (s), pengujian rheology pada plastic viscosity
dengan satuan centipoise (cp), yield point dengan satuan pound per 100 feet kuadrat
(lb/100ft2), gel strength 10 detik dengan satuan pound per 100 feet kuadrat
(lb/100ft2), gel strength 10 menit dengan satuan pound per 100 feet kuadrat
(lb/100ft2), volume filtrat dengan satuan milliliter (ml), tebal mud cake dengan
satuan centimeter (cm), dan derajat keasaman (pH).
Tabel III-4
Hasil Penelitian Lumpur A
Temperature
no Mud properties Satuan 25 oC 50 oC 75 oC 100 oC
1 Densitas Ppg 8.7 8.6 8.6 8.4
4 Plastic Viscosity Cp 16 14 12 10
5 Yield Point lb/100ft2 24 22 18 14
6 Gel strength 10'' lb/100ft2 8 7 3 2
7 Gel strength 10' lb/100ft2 14 12 7 5
9 Volume Filtrat ml 8.8 10.6 11.2 12.5
10 Tebal Mud Cake cm 0.09 0.12 0.14 0.17
11 pH 9 9 9 8
Tabel III-4 menunjukkan hasil penelitian lumpur A. Dari Tabel III-4 dapat
dilihat bahwa densitas lumpur A mengalami penurunan seiring naiknya
temperature. Pada temperature ruang densitasnya 8.7 ppg, pada temperature 100
oC densitas mengalami penurunan hingga 0.3 ppg.
Plastic viscosity dan yield point juga mengalami penurunan seiring
meningkatnya temperature. Plastic viscosity berubah dari 16 cp pada temperature
ruang menjadi 10 cp pada temperature 100 oC. Yield point berubah dari 24 lb/100ft2
pada temperature ruang menjadi 14 lb/100ft2 pada temperature 100 oC. Gel strength
71
10 detik (10”) dan 10 menit (10’) juga mengalami penurunan seiring bertambahnya
temperature. Gel strength 10 detik (10”) dan 10 menit (10’) juga mengalami
penurunan seiring bertambahnya temperature. Gel strength 10” pada temperature
ruang 8 lb/100ft2 turun menjadi 2 lb/100ft2 pada temperature 100 oC, Gel strength
10’ pada temperature ruang 14 lb/100ft2 turun menjadi 5 lb/100ft2 pada temperature
100 oC.
Volume filtrat semakin banyak dengan bertambahnya temperature. Pada
temperature ruang volume filtrat hanya 8.8 ml, pada temperature 100 oC meningkat
menjadi 12.5 ml. Mud cake juga semakin tebal dengan semakin banyaknya volume
filtrat yang keluar. pH filtrat konstan pada angka 9 hingga pada temperature 75 oC
dan mengalami penurunan pada suhu 100 oC menjadi 8.
Tabel III-5.
Hasil Penelitian Lumpur B
Temperature
no Mud properties Satuan 25 oC 50 oC 75 oC 100 oC
1 Densitas Ppg 8.7 8.6 8.5 8.4
2 Plastic Viscosity cp 17 15 14 12
3 Yield Point lb/100ft2 26 24 22 20
4 Gel strength 10'' lb/100ft2 10 8 7 4
5 Gel strength 10' lb/100ft2 18 16 13 7
6 Volume Filtrat ml 8 9.5 11 12
7 Tebal Mud Cake cm 0.08 0.09 0.1 0.13
8 pH 9 9 9 8
Tabel III-5 menunjukkan hasil penelitian Lumpur B. Dari Tabel III-5
dapat dilihat bahwa densitas Lumpur B mengalami penurunan seiring naiknya
temperature. Pada temperature ruang densitasnya 8.7 ppg, pada temperature 100
oC densitas mengalami penurunan hingga 0.3 ppg. Perbedaan densitas lumpur A
dan lumpur B hanya pada temperature 75 oC, lumpur A memiliki densitas sebesar
8.6 sedangkan lumpur B sebesar 8.5 ppg.
Plastic viscosity dan yield point juga mengalami penurunan seiring
meningkatnya temperature. Harga plastic viscosity dan yield point lumpur B lebih
besar dari lumpur A. Plastic viscosity berubah dari 17 cp pada temperature ruang
menjadi 12 cp pada temperature 100 oC. Yield point berubah dari 26 lb/100ft2 pada
72
temperature ruang menjadi 20 lb/100ft2 pada temperature 100 oC. Gel strength 10
detik (10”) dan 10 menit (10’) juga mengalami penurunan seiring bertambahnya
temperature. Gel strength 10” pada temperature ruang 10 lb/100ft2 turun menjadi
4 lb/100ft2 pada temperature 100 oC, Gel strength 10’ pada temperature ruang 18
lb/100ft2 turun menjadi 7 lb/100ft2 pada temperature 100 oC.
Volume filtrat semakin banyak dengan bertambahnya temperature. Pada
temperature ruang volume filtrat hanya 8 ml, pada temperature 100 oC meningkat
menjadi 12 ml. Mud cake juga semakin tebal dengan semakin banyaknya volume
filtrat yang keluar. pH filtrat konstan pada angka 9 hingga pada temperature 75 oC
dan mengalami penurunan pada suhu 100 oC menjadi 8.
Tabel III-6.
Hasil Penelitian Lumpur C
Temperature
no Mud properties Satuan 25 oC 50 oC 75 oC 100 oC
1 Densitas Ppg 8.7 8.6 8.6 8.4
2 Plastic Viscosity Cp 21 18 15 14
3 Yield Point lb/100ft2 28 26 24 21
4 Gel strength 10'' lb/100ft2 14 10 9 3
5 Gel strength 10' lb/100ft2 27 23 17 7
6 Volume Filtrat ml 8.4 9 11.5 12
7 Tebal Mud Cake Cm 0.08 0.12 0.14 0.17
8 pH 9 9 9 8
Tabel III-6 menunjukkan hasil penelitian Lumpur C. Dari Tabel III-6
dapat dilihat bahwa densitas Lumpur C mengalami penurunan seiring naiknya
temperature. Pada temperature ruang densitasnya 8.7 ppg, pada temperature 100
oC densitas mengalami penurunan hingga 0.3 ppg. Lumpur A dan lumpur C
memiliki perubahan densitas sama setiap penambahan temperature yang sama.
Plastic viscosity dan yield point juga mengalami penurunan seiring
meningkatnya temperature. Harga plastic viscosity dan yield point lumpur C lebih
besar dari lumpur A. Plastic viscosity berubah dari 21 cp pada temperature ruang
menjadi 14 cp pada temperature 100 oC. Yield point berubah dari 28 lb/100ft2 pada
temperature ruang menjadi 21 lb/100ft2 pada temperature 100 oC. Gel strength 10
73
detik (10”) dan 10 menit (10’) juga mengalami penurunan seiring bertambahnya
temperature. Gel strength 10” pada temperature ruang 14 lb/100ft2 turun menjadi 3
lb/100ft2 pada temperature 100 oC, Gel strength 10’ pada temperature ruang 27
lb/100ft2 turun menjadi 7 lb/100ft2 pada temperature 100 oC.
Volume filtrat semakin banyak dengan bertambahnya temperature. Pada
temperature ruang volume filtrat hanya 8.4 ml, pada temperature 100 oC meningkat
menjadi 12 ml. Mud cake juga semakin tebal dengan semakin banyaknya volume
filtrat yang keluar. pH filtrat konstan pada angka 9 hingga pada temperature 100
oC.
Pada Grafik 3.1 menunjukkan perbedaan perubahan densitas pada lumpur
A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik 3.1
dapat dilihat bahwa nilai densitas lumpur A, lumpur B, dan lumpur C sama pada
setiap perubahan temperature, kecuali lumpur B pada temperature 75 oC. Pada
temperature 75 oC, besar densitas lumpur B yaitu 8.5 ppg sedangkan lumpur A dan
lumpur C memiliki nilai yang sama yaitu 8.6 ppg.
Grafik 3.1.
Densitas vs Temperature
8,4
8,5
8,6
8,7
8,8
8,9
9
25 50 75 100
Den
sita
s (p
pg)
Temperature (C)
Densitas vs Temperature
Lumpur A
Lumpur B
Lumpur C
74
Grafik 3.2.
Plastic Viscosity vs Temperature
Pada Grafik 3.2. menunjukkan perbedaan perubahan plastic viscosity pada
lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik
3.2. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan plastic
viscosity untuk setiap kenaikkan temperature.
Pada Grafik 3.3. menunjukkan perbedaan perubahan yield point pada
lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik
3.3. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan yield point
untuk setiap kenaikkan temperature. Penurunan yield point untuk setiap perubahan
temperature cenderung konstan.
0
5
10
15
20
25
25 50 75 100
Pla
stic
Vis
cosi
ty (
cp)
Temperature (C)
Plastic Viscosity vs Temperature
Lumpur A
Lumpur B
Lumpur C
75
Grafik 3.3.
Yield Point vs Temperature
Grafik 3.4.
Gel strength 10” vs Temperature
Pada Grafik 3.4. menunjukkan perbedaan perubahan gel strength 10 detik
(10”) pada lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature.
Dari Grafik 3.4. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan
gel strength 10” untuk setiap kenaikkan temperature.
0
5
10
15
20
25
30
25 50 75 100
Pla
stic
Vis
cosi
ty (
lb/1
00ft
2)
Temperature (C)
Yield Point vs Temperature
Lumpur A
Lumpur B
Lumpur C
0
2
4
6
8
10
12
14
16
25 50 75 100
Gel
Str
ength
10''
(lb
/100ft
2)
Temperature (C)
Gel Strength 10" vs Temperature
Lumpur A
Lumpur B
Lumpur C
76
Grafik 3.5.
Gel strength 10’ vs Temperature
Pada Grafik 3.5. menunjukkan perbedaan perubahan gel strength 10 menit
(10’) pada lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature.
Dari Grafik 3.5. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan
gel strength 10’ untuk setiap kenaikkan temperature.
Pada Gambar 3.6. menunjukkan perbedaan perubahan volume filtrat pada
lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari
Gambar 3.6. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami kenaikkan
volume filtrat untuk setiap kenaikkan temperature. Dari Gambar 3.6 dapat kita
lihat juga bahwa masing-masing lumpur cenderung memiliki volume filtrat yang
sama pada setiap perubahan temperature.
0
5
10
15
20
25
30
25 50 75 100
Gel
Str
ength
10'
(lb
/100ft
2
Temperature (C)
Gel Strength 10' vs Temperature
Lumpur A
Lumpur B
Lumpur C
77
Grafik 3.6.
Volume Filtrat vs Temperature
Pada Grafik 3.6. menunjukkan perbedaan perubahan tebal mud cake pada
lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik
3.7. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur cenderung mengalami kenaikkan
ketebalan mud cake untuk setiap kenaikkan temperature.
Grafik 3.7.
Mud Cake vs Temperature
6
7
8
9
10
11
12
13
25 50 75 100
Volu
me
Fil
trate
(m
l)
Temperature (C)
Volume Filtrate vs Temperature
Lumpur A
Lumpur B
Lumpur C
0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
0,14
0,16
0,18
25 50 75 100
Mu
d C
ake
(cm
)
Temperature (C)
Mud Cake vs Temperature
Lumpur A
Lumpur B
Lumpur C
78
Grafik 3.8.
pH vs Temperature
Pada Gambar 3.8. menunjukkan perbedaan perubahan pH pada lumpur A,
lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Gambar 3.8. dapat
dilihat bahwa pH masing-masing lumpur konstan di angka sembilan sampai
temperature 75 oC dan mengalami penurunan menjadi 8 pada temperature 100 oC.
7
8
9
10
0 20 40 60 80 100 120
pH
Temperature (C)
pH vs temperature
Lumpur A
Lumpur B
Lumpur C
79
BAB IV
PEMBAHASAN
Lumpur oil base mud mengandung minyak sebagai fasa kontinyunya.
Komposisinya diatur agar kadar airnya rendah. Relatif lumpur ini tidak sensitif
terhadap kontaminan. Tetapi airnya adalah kontaminan karena memberi efek
negatif bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol viskositas, menaikan gel
strength, mengurangi efek kontaminan air dan mengandung filtaration loss, perlu
ditambahkan zat-zat kimia.
Fungsi oil based mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah
minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik
terhadap formasi biasa maupun formasi produktif (juga untuk completion mud).
Biasanya oil based mud digunakan pada formasi shale ataupun pada formasi yang
mengandung garam.
Temperature reservoir bervariasi dari suatu tempat ke tempat lain
tergantung dari kedalaman dan gradien temperature (geothermal gradient)
setempat. Semakin dalam pemboran yang dilakukan maka temperature juga akan
meningkat. Dari berbagai penelitian selama ini gradien temperature berkisar antara
1-2 oF/100 ft.
Temperature dapat mempengaruhi sifat lumpur pemboran, sehingga apabila
sifat lumpur ini turun maka akan mengakibatkan lumpur tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk mengangkat cutting, sehingga dapat menyebabkan masalah dalam
pemboran. Dari hal ini perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar
perubahan properties lumpur terhadap temperature.
Pada pembahasan ini akan membahas tentang pengaruh temperature
terhadap kestabilan properties lumpur oil base mud VICOIL BOPANPROG, mulai
dari tahapan pengujian laboratorium hingga analisa hasil dari uji laboratorium.
80
4.1. Uji Laboratorium
Dalam uji laboratorium lumpur oil base mud VICOIL BOPANPROG ini
dibuat tiga jenis lumpur dengan perbedaan pada konsentrasi perbandingan jumlah
VICOIL BOPANPROG dan air. Konsentrasi perbandingan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 245 cc, 280 cc, dan 315 cc VICOIL BOPANPROG dan 105
cc, 70 cc dan 35 cc air. Komposisi masing-masing lumpur dapat dilihat pada Tabel
III.3. Ketiga jenis lumpur tersebut masing-masing diukur mud properties-nya
(densitas, plastic viscosity, yield point, gel strength 10”, gel strength 10’, volume
filtrate, tebal mud cake, pH) pada temperature 25 oC, 50 oC, 75 oC, dan 100 oC.
Dalam penelitian ini tidak menggunakan rolling oven sebagai pemanas
karena sedang tidak bisa digunakan, sebagai penggantinya digunakan thermo cup
sebagai pemanasnya. Pengukuran mud properties dilakukan sampai temperature
100 oC dan kebetulan alat di laboratorium juga hanya mendukung hingga
temperatiure tersebut. Walaupun lumpur oil base mud VICOIL BOPANPROG
berbahan dasar minyak, namun karena mengalami peningkatan temperaturee maka
lumpur akan menguap dan hal ini bisa mempengaruhi mud properties. Masing-
masing lumpur diukur mud properties-nya pada setiap kenaikan temperature 25 oC
atau empat kali percobaan karena sudah cukup untuk bisa melihat perubahan dari
mud properties-nya. Jika dilakukan kurang dari empat kali hasil kurang maksimum
atau kurang teliti. Jika dilakukan lebih dari empat kali, tingkat katelitian hasil
semakin besar, namun membutuhkan waktu yang lama dan merupakan suatu
pemborosan aditif lumpur dan VICOIL BOPANPROG.
4.2. Analisa Hasil Laboratorium
Densitas lumpur pemboran merupakan salah satu sifat lumpur yang sangat
berpengaruh karena perannya yang berhubungan langsung dengan fungsi lumpur
sebagai menahan tekanan formasi. Densitas lumpur yang terlalu besar dapat
menyebabkan hilangnya lumpur ke dalam formasi (loss circulation), sedangkan
jika terlalu kecil akan menyebabkan semburan liar (blow out), sehingga densitas
lumpur harus disesuaikan dengan keadaan formasi yang ditembus. Aditif yang
digunakan untuk meningkatkan densitas pada penelitian ini adalah barite.
81
Pada Grafik 3.1 menunjukkan perbedaan perubahan densitas pada lumpur
A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik 3.1.
dapat dilihat bahwa temperature dapat mempengaruhi besarnya nilai densitas
lumpur oil basemud VICOIL BOPANPROG dimana dengan naiknya temperature
lumpur maka nilai densitas mengalami penurunan. Pada percobaan dini dilakukan
12 kali pengukuran dan pembuatan lumpur karena pada setiap lumpur akan diukur
untuk satu temperature, kemudian setelah didapatkan mud properties nya maka
untuk suhu selanjutnya yang digunakan adalah lumpur baru kembali. Untuk lumpur
A dan lumpur C pada temperature 50 oC dan 75oC penurunan nilai densitas nya
relatif sama.
Pada Grafik 3.2. menunjukkan perbedaan perubahan plastic viscosity (PV)
pada lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari
Grafik 3.2. bisa dilihat bahwa lumpur A, lumpur B, dan lumpur C mengalami
penurunan plastic viscosity untuk setiap kenaikkan temperature. Berdasarkan
Standar API (2012), plastic viscosity yang baik minimal dibawah 65 cp. Dari hasil
uji laboratorium, lumpur A, B dan lumpur C bisa digunakan pada temperature 100
oC.
Pada Grafik 3.3. menunjukkan perbedaan perubahan yield point (YP) pada
lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik
3.3. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan yield point
untuk setiap kenaikkan temperature. Penurunan yield point untuk setiap perubahan
temperature cenderung konstan. Dari hasil uji laboratorium lumpur B dan lumpur
C memenuhi syarat standar API pada temperature ruang sampai temperature 100
oC namun lumpur A hanya memenuhi standar API pada temperature ruang sampai
temperature 75 oC. Apabila viskositas terlalu besar salah satu nya disebabkan oleh
kekentalan awal dari pemakaian emulsifier, aditif pengontrol filtrate serta
penggunaan viscosifier berlebihan. Pada Grafik 3.3. bisa dilihat bahwa masing-
masing lumpur mengalami penurunan yield point untuk setiap kenaikkan
temperature. Viscositas dan yield point saling berhubungan, untuk menaikkan nilai
yield point bisa dilakukan dengan cara menaikkan nilai plastic viscosity yaitu
82
menambahkan viscosifier maupun pengontrol filtrate karena selain tahan terhadap
temperature tinggi juga mampu menaikkan viskositas lumpur.
Dari hasil uji laboratorium, gel strength 10 menit selalu lebih besar atau
sama dengan gel strength 10 detik pada temperature ruang sampai 100 oC. Jika gel
strength terlalu besar maka pemompaan terlalu berat saat sirkulasi dijalankan, akan
tetapi menjadi mudah menahan cutting agar tidak jatuh ke dasar lubang bor saat
sirkulasi dihentikan dan apabila gel strength terlalu kecil maka cutting lebih mudah
jatuh ke dasar lubang bor sehingga terjadi regrinding atau menggerus kembali
cutting yang sudah di bor.
Pada Grafik 3.4. menunjukkan perbedaan perubahan gel strength 10 detik
(10”) pada lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature.
Dari Grafik 3.4. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan
gel strength 10” untuk setiap kenaikkan temperature. Gel strength 10” yang baik
berkisar antara 3-20 lb/100ft2 (Darley and Gray,1988;Mohammed, 2012).
Berdasarkan hasil uji laboratorium, gel strength lumpur A memenuhi standar hanya
pada temperature 75 oC, lumpur B memenuhi standar sampai temperature 100 oC.
dan lumpur C memenuhi standar sampai temperature 100 oC.
Pada Grafik 3.5. menunjukkan perbedaan perubahan gel strength 10 menit
(10’) pada lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature.
Dari Grafik 3.5. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami penurunan
gel strength 10’ untuk setiap kenaikkan temperature. Gel strength 10’ yang baik
berkisar antara 8-30 lb/100ft2 (Darley and Gray,1988;Mohammed, 2012).
Berdasarkan hasil uji laboratorium, gel strength lumpur A memenuhi standar hanya
pada temperature 50 oC, lumpur B dan lumpur C memenuhi standar sampai
temperature 75 oC.
Pada Grafik 3.6. menunjukkan perbedaan perubahan volume filtrat pada
lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik
3.6. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur mengalami kenaikkan volume filtrat
untuk setiap kenaikkan temperature. Dari Grafik 3.6. dapat kita lihat juga bahwa
masing-masing lumpur cenderung memiliki volume filtrat yang sama pada setiap
perubahan temperature. Harga volume filtrat Standar (Darley and
83
Gray,1988;Mohammed, 2012) maksimal 15 ml. Semua uji volume filtrat lumpur
A, lumpur B, dan lumpur C pada temperature ruang sampai temperature 100 oC
masih memenuhi syarat.
Pada Grafik 3.7. menunjukkan perbedaan perubahan tebal mud cake pada
lumpur A, lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik
3.7. bisa dilihat bahwa masing-masing lumpur cenderung mengalami kenaikkan
ketebalan mud cake untuk setiap kenaikkan temperature. Tebal mud cake
berbanding lurus dengan volume filtrat. Semakin banyak volume filtratnya, maka
mud cake juga semakin tebal, begitu juga sebaliknya, semakin sedikit volume
filtratnya maka mud cake juga semakin tipis. Tebal mud cake yang baik adalah 0,08-
0,2 cm (Bayu Satiyawira, 2018). Jika mud cake tipis bisa sebagai bantalan
drillstring pada proses pemboran, namun jika mud cake terlalu tebal bisa
menyebabkan penyempitan lubang bor yang dapat menyebabkan pipa terjepit. Hasil
uji laboratorium mud cake lumpur A, lumpur B, dan lumpur C pada temperature
ruang sampai temperature 100 oC masih memenuhi syarat.
Apabila viskositas terlalu besar salah satu nya disebabkan oleh kekentalan
awal dari pemakaian emulsifier, aditif pengontrol filtrate serta penggunaan
viscosifier berlebihan. Viscositas, yield point, gel strength 10”, gel strength 10,
volume filtrat dan mud cake saling berhubungan, untuk menaikkan nilai yield poin,
gel strength 10”, gel strength 10 bisa dilakukan dengan cara viscosifier maupun
pengontrol filtrate karena selain tahan terhadap temperature tinggi juga mampu
menaikkan viskositas lumpur apabila viskositas lumpur mengalami kenaikan maka
yield poin, gel strength 10”, gel strength 10 juga akan ikut berubah. Begitu juga
dengan volume filtrat dan mud cake, jika volume filtrate berkurang maka mud cake
juga akan berkurang.
Pada Grafik 3.8. menunjukkan perbedaan perubahan pH pada lumpur A,
lumpur B, dan Lumpur C terhadap perubahan temperature. Dari Grafik 3.8. dapat
dilihat bahwa pH masing-masing lumpur konstan di angka sembilan sampai
temperature 75 oC, namun pada temperature 100 oC pH mengalami penurunan
menjadi 8. Dari hasil ini menunjukkan bahwa pada temperature tinggi pH lumpur
juga bisa turun. pH yang baik bedarsarkan (Darley and Gray,1988;Mohammed,
84
2012) antara 8.5-10. Dari uji laboratorium ini semua pH turun menjadi 8 pada
temperature 100 oC.
Berdasarkan uji laboratorium ini, temperature berpengaruh terhadap
properties lumpur oil base mud VICOIL BOPANPROG. Dari hasil uji laboratorium
ini juga menunjukkan bahwa temperature sangat berpengaruh terhadap kestabilan
properties lumpur oil base mud VICOIL BOPANPROG. Semakin bertambahnya
temperature, maka kualitas lumpur akan berkurang dan bahkan pada temperature
yang sangat tinggi lumpur akan rusak sehingga diperlukan treatment yang rutin
terhadap lumpur.
84
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan uji laboratorium yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hasil
sebagai berikut:
1. Kenaikan temperature dapat mengurangi kualitas properties lumpur oil base
mud VICOIL BOPANPROG, bahkan pada temperature tertentu beberapa
properties lumpur sudah tidak sesuai dengan standar yang diinginkan.
2. Dari hasil uji laboratorium, gel strength sangat sensitif terhadap kenaikan
temperature, penurunan nilai gel strength sangat tinggi setelah mencapai
temperature 75 oC pada lumpur A. Sehingga pada temperature 75 oC gel strength
lumpur A sudah tidak memenuhi standar. Namun untuk lumpur B dan C masih
memenuhi standart.
3. Dari semua parameter mud properties belum ada lumpur yang mampu bertahan
pada temperature 100 oC, lumpur A hanya memenuhi standar pada temperature
50 oC, lumpur B dan lumpur C hanya bertahan sampai temperature 75 oC. Jadi,
untuk pemboran dengan temperature formasi lebih kecil dari 50 oC, formulasi
lumpur A sudah bisa digunakan. Sedangkan pemboran dengan temperature lebih
besar dari 75 oC, formulasi lumpur harus diperbaiki.
85
DAFTAR PUSTAKA
1. (________), Amoco Production Company. 2000. Drilling Fluids Manual.
Chicago: Amoco Production Company.
2. Adam T. Bourgoyne Jr., et.al.,1986 Applied Drilling Engineering
3. American Petroleum Institute, "Specification for Drilling Fluids Specifications
and Testing", Dallas, 2010.
4. Gray, George Robert, 1907-1983. Composition and Properties of Oil Well
Drilling Fluids.
5. Handayani, Sri R. 2000. Studi Laboratorium Aditif Temperature Tinggi
Terhadap Sifat-Sifat Reologi Dengan Viscometer HPHT [Skripsi]. Yogyakarta:
UPN “Veteran” Yogyakarta.
6. Miftahul Irhami. 2018. Laporan Resmi Praktikum Analisa Lumpur Pemboran.
UPN “Veteran” Yogyakarta: Jurusan Teknik Perminyakan
7. Rubiandini Rudi R.S. Dr. Ir., "Teknik Operasi Pemboran", Jurusan Teknik
Perminyakan, ITB Bandung 2009
8. Rubiandini Rudi R.S. Dr. Ir., "Teknik Operasi Pemboran", Jurusan Teknik
Perminyakan, ITB Bandung 2009
9. Satiyawira, Bayu. 2018. Pengaruh Temperature Terhadap Sifat Fisik Sistem
Low Solid Mud Dengan Penambahan Aditif Biolpolimer dan Bentonit
Extender. Jurnal Petro. Volume VII No: 4.
10. Suhascaryo, Nur. KRT. Dr. Ir., "Proses Aktivasi dalam Peningkatan Kualitas
VICOIL BOPANPROG Desa Bojong, Kecamatan Panjatan, Kabupaten
Kulonprogo", Uwais Inspirasi Indonesia, DIY, 2019.Baker Hughes INTEQ.
1995. Drilling Engineering Workbook. Houston: 2520 WW Thorne.
11. Wongso, Andrew. 2020. Studi Laboratorium Pemanfaatan VICOIL Sebagai
Material Baru Untuk Oil Base Mud Dalam Mengatasi Problem Swelling Shale
[Skripsi]. Yogyakarta: UPN “Veteran” Yogyakarta.
12. Marikin. 2020. Pengaruh Polimer XCD Terhadap Mud Properties Lumpur
KCL-Polimer Pada Kenaikan Temperature [Skripsi]. Yogyakarta: UPN
“Veteran” Yogyakarta.
LAMPIRAN A
LEGENDA
Ph : Tekanan statik lumpur, psi.
Ρm : Densitas lumpur, ppg.
D : Kedalaman, ft.
Ppm : parts per million
Pm : Tekanan hidrostatik kolom lumpur, psi.
m : Densitas lumpur, ppg.
SGmud : Spesific gravity lumpur.
Wmud : Densitas lumpur, ppg.
Wfresh water : Densitas air, ppg.
n : Kandungan pasir, %
sV : Volume pasir dalam lumpur, bbl
mV : Volume lumpur, bbl
PV : Plastic Viscosity
YP : Yield Point
p : Plastic Viscosity, cp
Yp : Yield Point Bingham, lb/100 ft2
C600 : Dial reading pada 600 RPM, derajat
C300 : Dial reading pada 300 RPM, derajat
: Shear stress, dyne/cm2
: Shear rate, detik-1
C : Dial reading, derajat
N : Rotation per minute RPM dari rotor
1Q : Fluid loss pada waktu t1, cm3
2Q : Fluid loss pada waktu t2, cm3
t : Waktu filtrasi, menit
LAMPIRAN B
CARA PERHITUNGAN OIL WATER RATIO
a) % oil in liquid phase = (% by volume oil x 100) ÷ (% by volume oil + % by
volume water)
b) % water in liquid phase = (% by volume water x 100) ÷ (% by volume oil + %
by volume water)
% by volume oil = 245 ml
% by volume water = 105 ml
a) % oil in liquid phase = (245 x 100) ÷ (245+105)
% oil in liquid phase = 70 ml
b) % water in liquid phase = (105 x 100) ÷ (245+105)
% water in liquid phase = 30 ml
LAMPIRAN C
LUMPUR DASAR OIL BASE MUD VICOIL BOPANPROG.
Gambar 1.
Electric Heating Cup
Electric Heating Cup digunakan untuk memanaskan lumpur dengan volume
yang lebih besar, karena thermo cup memiliki ukuran yang kecil. Pada temperature
100 oC air dalam lumpur mudah menguap sehingga digunakan aluminium foil untuk
menutup cup guna mencegah terjadinya penguapan air dalam lumpur.
Gambar 2.
Komponen Peralatan Filter Press
Gambar 3.
Filter Papers
Gambar 4.
Hasil Mud Cake OBM Dasar VICOIL
Gambar 4. Menunjukkan contoh hasil mud cake OBM dasar VICOIL
dalam uji laboratorium ini. Hasil mud cake setiap percobaan cenderung memiliki
tekstur dan ketebalan berbeda disetiap temperature.
Gambar 5.
Hasil Mud Cake
Gambar 5. Menunjukkan contoh hasil mud cake OBM yang telah dicampur
dengan additive dalam uji laboratorium ini. . Hasil mud cake setiap percobaan
cenderung memiliki tekstur dan ketebalan berbeda disetiap temperature.
Gambar 6.
Hasil pH
Gambar 6. Menunjukkan contoh hasil pH dalam uji laboratorium ini.
Gambar 6A menunjukkan pH 9, Gambar 6B. menunjukkan pH 8. Pada temperatur
25 oC sampai 75 oC pH lumpur 9, sedangkan pada temperatur 100 oC pH lumpur
turun menjadi 8 pada lumpur OBM yang telah dicampur dengan additive.
Sedangkan untuk lumpur OBM dasar VICOIL pH stabil pada angka 8 dari
temperatur 25 oC sampai temperatur 100 oC.
Tabel I.
Formulasi Lumpur Dasar Oil Base Mud VICOIL BUPANPROG
No Product Fungtion A B C
1 VICOIL Base Oil 245 ml
280
ml
315
ml
2 Water Pollar Additive 105 ml 70 ml 35 ml
3 Geltone Viscosifier 4 gr 4 gr 4 gr
4 Invermul Primary Emulsifier 8 cc 8 cc 8 cc
5 Ez Mul Secondary Emulsifier 2 cc 2 cc 2 cc
Tabel II.
Hasil Pengukuran Lumpur Dasar A Terhadap Perubahan Temperatur
Temperatur
⁰ C no Mud Properties Satuan 25 50 75 100
1 Densitas ppg 7.6 7.5 7.4 7.3
2 Plastic Viscosity cp 5 4 3 2
3 Yield Point lb/100ft2 5 3 4 3
4 Gel Strength 10'' lb/100ft2 4 2 1 0
5 Gel Strength 10' lb/100ft2 5 3 2 0
6 Filtrat ml 200 212 215 219
7 Tebal Mud Cake cm 0.01 0.012 0.013 0.014
8 pH 8 8 8 8
Tabel III.
Hasil Pengukuran Lumpur Dasar B Terhadap Perubahan Temperatur
no Mud Properties Satuan
Temperatur ⁰ C
25 50 75 100
1 Densitas ppg 7.7 7.5 7.4 7.3
2 Plastic Viscosity cp 4 3 2 2
3 Yield Point lb/100ft2 5 3 4 3
4 Gel Strength 10'' lb/100ft2 4 3 2 2
5 Gel Strength 10' lb/100ft2 5 4 1 0
6 Filtrat ml 208 217 219 223
7 Tebal Mud Cake cm 0.012 0.013 0.014 0.015
8 pH 8 8 8 8
Tabel IV.
Hasil Pengukuran Lumpur Dasar C Terhadap Perubahan Temperatur
no Mud Properties Satuan
Temperatur ⁰ C
25 50 75 100
1 Densitas ppg 7.7 7.6 7.4 7.3
2 Plastic Viscosity cp 5 4 3 2
3 Yield Point lb/100ft2 5 3 3 2
4 Gel Strength 10'' lb/100ft2 5 4 2 1
5 Gel Strength 10' lb/100ft2 4 5 3 1
6 Filtrat ml 205 213 216 300
7 Tebal Mud Cake cm 0.013 0.014 0.015 0.016
8 pH 8 8 8 8
Grafik 1.
Densitas Vs Temperatur
7,6 7,5 7,4 7,3
7,7 7,5 7,4 7,3
7,7 7,6 7,4 7,3
0
5
10
15
20
25
25 50 75 100
Den
sita
s
Temperature (C)
Densitas vs Temperatur Lumpur Dasar
Densitas vs TemperatureLumpur Dasar C
Densitas vs TemperatureLumpur Dasar B
Densitas vs TemperatureLumpur Dasar A
Grafik 2 .
Plastic Viscosity Vs Temperatur
Grafik 3.
Yield Point Vs Temperatur
54
32
4
3
22
5
4
3
2
0
5
10
15
25 50 75 100
Pla
stic
Vis
cosi
ty
Temperature (C)
Plastic Viscosity Vs Temperature
Plastic Viscosity vs
Temperatur Lumpur
Dasar C
Plastic Viscosity vs
Temperatur Lumpur
Dasar B
Plastic Viscosity vs
Temperatur Lumpur
Dasar A
5
3
4
3
5
3
4
3
5
3 3
2
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
0 50 100 150
Yie
ld P
oin
t
Temperature (C)
Yield Point vs Temperatur Lumpur Dasar
Yield Point vs Temperatur
Lumpur Dasar A
Yield Point vs Temperatur
Lumpur Dasar B
Yield Point vs Temperatur
Lumpur Dasar C
Grafik 4.
Trendline Gel strength 10 Detik Vs Temperatur
Grafik 5.
Gel strength 10 Menit Vs Temperatur
4
21
0
4
3
22
5
4
2
1
0
2
4
6
8
10
12
14
25 50 75 100
Gel
Str
ength
Temperature (C)
Gel Strength 10 Detik vs Temperatur Lumpur Dasar
Gel Strength 10 Detik vs
Temperatur Lumpur
Dasar C
Gel Strength 10 Detik vs
Temperatur Lumpur
Dasar B
Gel Strength 10 Detik vs
Temperatur Lumpur
Dasar A
5
32
0
5
4
1
0
4
5
3
1
0
2
4
6
8
10
12
14
16
25 50 75 100
Gel
Str
ength
10'
Temperature (C)
Gel Strength 10 Menit vs Temperatur Lumpur Dasar
Gel Strength 10 Menit
vs Temperatur
Lumpur Dasar C
Gel Strength 10 Menit
vs Temperatur
Lumpur Dasar B
Gel Strength 10 Menit
vs Temperatur
Lumpur Dasar A
Grafik 6.
Volume Filtrat Menit Vs Temperatur
Grafik 7.
Mud Cake Vs Temperatur
200 212 215 219
208 217 219 223
205213 216
300
100
200
300
400
500
600
700
800
25 50 75 100
Volu
me
Fil
trate
Temperature (C)
Volume Filtrat vs Temperatur Lumpur Dasar
Volume Filtrat vs
Temperatur Lumpur
Dasar C
Volume Filtrat vs
Temperatur Lumpur
Dasar B
Volume Filtrat vs
Temperatur Lumpur
Dasar A
0,01 0,012 0,013 0,014
0,0120,013 0,014 0,015
0,0130,014
0,0150,016
0
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
25 50 75 100
Mu
d C
ak
e
Temperature (C)
Mud Cake vs Temperatur Lumpur Dasar
Tebal Mud cake vs
Temperatur Lumpur
Dasar C
Tebal Mud cake vs
Temperatur Lumpur
Dasar B
Tebal Mud cake vs
Temperatur Lumpur
Dasar A