22
1 Strategic Communications untuk Kampanye Kesadaran “Berbuat Baik” : Ide untuk Mendukung Brand Destinasi Indonesia : Fitria Angeliqa Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Indonesia Tel/Fax: (021)787 0451 | E-mail: [email protected] ABSTRAK Tingginya kompetisi pasar yang didukung oleh kemajuan teknologi yang sangat pesat seperti saat ini, mengemas nilai produk menjadi suatu keharusan. Segala hal memerlukan proses ‘pengemasan’ tersebut jika ingin mempertahankan keberadaan dan memenangkan pasar. Bahkan perusahaan-perusahaan modern berlomba-lomba mendefinisikan produk atau jasanya dalam sebuah brand dengan karakternya yang unik, sehingga membedakannya dengan pesaing. Namun mengemas brand sehingga memiliki nilai lebih menjadi tidak berarti tanpa dikomunikasikan. Indonesia sebagai Negara terbesar di ASEAN dengan potensi pariwisata yang sangat besar, justru tertinggal dalam pengemasan ‘nilai’-nya, sehingga terkesan kurang unggul dibandingkan Negara-negara tetangganya. Sangat sulit menemukan gimmick yang memperlihatkan semangat, nilai-nilai, dan keunggulan yang dimiliki Indonesia. Jika Malaysia, memiliki tagline yang diperbaharui tiap tahunnya, di Indonesia tagline tersebut justru jarang ditemui. Mengemas nilai dan mengkomunikasikan suatu destinasi seperti Indonesia, memerlukan berbagai aspek yang saling terkait dengan strategi yang integratif. Mulai dari tampilan iklan, bentuk cinderamata, hingga kualitas layanan dari sumber daya manusianya, tentunya dengan mempertimbangkan keragaman dan karakter unik bangsa Indonesia. Segmen targetnya meliputi public internal, yaitu masyarakat Indonesia. Tulisan ini merupakan langkah awal yang menyajikan ide mengemas nilai Indonesia dalam suatu kampanye untuk “berbuat baik” untuk “Indonesia yang lebih baik”. Menggunakan pendekatan kualitatif dan didasarkan pada konsep-konsep strategic communications, terutama periklanan, tulisan ini juga mencoba memberikan sumbangan akademis tentang bagaimana suatu destinasi menjadi bernilai dan penting karena kesadaran dan dukungan untuk “berbuat baik” dari masyarakatnya. Keyword : brand, strategic communications, kampanye periklanan, kesadaran berbuat baik

Strategic Communications untuk Kampanye Kesadaran “Berbuat Baik” : Ide untuk Mendukung Brand Destinasi Indonesia :

Embed Size (px)

Citation preview

1

Strategic Communications untuk Kampanye Kesadaran “Berbuat Baik” : Ide untuk Mendukung Brand Destinasi Indonesia :

Fitria AngeliqaDosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila

Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, IndonesiaTel/Fax: (021)787 0451 | E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tingginya kompetisi pasar yang didukung oleh kemajuan teknologi yang sangatpesat seperti saat ini, mengemas nilai produk menjadi suatu keharusan.Segala hal memerlukan proses ‘pengemasan’ tersebut jika ingin mempertahankankeberadaan dan memenangkan pasar. Bahkan perusahaan-perusahaan modernberlomba-lomba mendefinisikan produk atau jasanya dalam sebuah brand dengankarakternya yang unik, sehingga membedakannya dengan pesaing. Namunmengemas brand sehingga memiliki nilai lebih menjadi tidak berarti tanpadikomunikasikan.

Indonesia sebagai Negara terbesar di ASEAN dengan potensi pariwisata yangsangat besar, justru tertinggal dalam pengemasan ‘nilai’-nya, sehinggaterkesan kurang unggul dibandingkan Negara-negara tetangganya. Sangat sulitmenemukan gimmick yang memperlihatkan semangat, nilai-nilai, dan keunggulanyang dimiliki Indonesia. Jika Malaysia, memiliki tagline yang diperbaharuitiap tahunnya, di Indonesia tagline tersebut justru jarang ditemui.

Mengemas nilai dan mengkomunikasikan suatu destinasi seperti Indonesia,memerlukan berbagai aspek yang saling terkait dengan strategi yangintegratif. Mulai dari tampilan iklan, bentuk cinderamata, hingga kualitaslayanan dari sumber daya manusianya, tentunya dengan mempertimbangkankeragaman dan karakter unik bangsa Indonesia. Segmen targetnya meliputipublic internal, yaitu masyarakat Indonesia. Tulisan ini merupakan langkahawal yang menyajikan ide mengemas nilai Indonesia dalam suatu kampanye untuk“berbuat baik” untuk “Indonesia yang lebih baik”. Menggunakan pendekatankualitatif dan didasarkan pada konsep-konsep strategic communications, terutamaperiklanan, tulisan ini juga mencoba memberikan sumbangan akademis tentangbagaimana suatu destinasi menjadi bernilai dan penting karena kesadaran dandukungan untuk “berbuat baik” dari masyarakatnya.

Keyword : brand, strategic communications, kampanye periklanan, kesadaran berbuatbaik

2

I. PENDAHULUAN

Saat ini, pariwisata bukan saja merupakan kunjungan wisatawan ke suatu

daerah semata. Pariwisata meliputi berbagai hal, diantaranya lokasi,

infrastruktur, kebijakan, keindahan alam, masyarakat, budaya, dan terutama

adalah pengalaman. Pengalaman dalam pariwisata bagaikan candu bagi banyak

orang penyuka perjalanan. Mengenali budaya baru, bahasa yang berbeda, serta

keindahan lokasi yang indah tentunya menjadi magnet yang dapat menarik

banyak wisatawan untuk datang dan datang kembali. Oleh karena itu, mengemas

destinasi wisata sudah seharusnya dilakukan dengan serius dan profesional.

Destinasi tidak lagi dapat dianggap sebagai lokasi dan budaya lokal semata.

Banyak elemen penting yang melekat di dalamnya.

Saat ini, tidak sedikit Negara yang memikirkan pengemasan destinasinya

dengan sangat serius demi menaikkan devisa Negara melalui sektor pariwisata.

Di wilayah ASEAN saja, menurut www.suarapembaharuan.com yang diakses pada

Rabu 23 Januari 2013, pada tahun 2012 Singapura menempati urutan pertama,

dan urutan kesepuluh di dunia dengan Swiss sebagai Negara tujuan utama

wisatawan dunia. Sementara sebagaimana dirilis oleh www.kompas.com, Malaysia

ada di urutan ke-35 dunia, Thailand (41), dan Brunai (67). Sementara

Indonesia (74), Vietnam (80), Filipina (94), dan Kamboja (109), tertinggal

jauh di belakang.

Dengan demikian, Indonesia jauh tertinggal dengan tiga Negara

tetangganya. Yaitu Singapura, Malaysia, dan Thailand. Padahal, pendapatan

3

Negara yang berasal dari pariwisata mencapai 8,554 milliar dollar pada tahun

2012, dan merupakan pengeruk devisa nomor empat lima minyak dan gas, kelapa

sawit, batubara dan karet, seperti yang dilansir oleh www.detik.com dan

www.bisnis.com.

Fakta ini menunjukan, Indonesia dengan 34 propinsi, yang memiliki

lebih dari 116 bahasa daerah dengan berbagai potensi alam daerah, dan budaya

yang berbeda ternyata tidak cukup menjadi magnet penarik wisatawan.

Kebijakan, peraturan dan kepedulian terhadap lingkungan hidup ternyata

menjadi tolok ukur nomor satu dalam menentukan suatu Negara menjadi diminati

atau tidak. Keselamatan, keamanan, kebersihan, serta infrastruktur menjadi

faktor lainnya. Tidak heran, dengan elemen penentu tersebut, Singapura

berhasil menduduki peringkat pertama sebagai Negara yang paling diminati di

wilayah ASEAN. Seperti diketahui, Negara yang terkenal dengan sebutan “fine

city” ini memiliki keunikan layaknya Negara di ASEAN lainnya, namun memiliki

keteraturan berkelas dunia. Semua elemen penting dalam produk wisata, mulai

dari kebijakan, infrastruktur hingga pelayanan dikemas secara serius.

Penduduknya dibiasakan untuk hidup teratur dan tunduk pada hukum.

Indonesia yang merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, dengan

luas wilayah 3.977 mil, sebenarnya bukan tandingan Singapura atau Negara

lainnya di ASEAN, terutama dalam keragaman budayanya. Namun dalam hal

penegakan hukum, tidak mudah bagi pemerintah Indonesia menerapkan

4

keteraturan ala Singapura dengan memasang kamera di berbagai sudut jalan

untuk mendisiplinkan warganya, mengingat luas wilayah Indonesia tersebut.

Masalahnya adalah, beban sosial yang dipikul Indonesia sudah

terstruktur membentuk lapisan-lapisan yang sulit diretas karena kebiasaan-

kebiasaan kurang baik yang dilakukan mulai dari aparat hingga masyarakatnya.

Belum lagi aksi terorisme di beberapa daerah yang membuat devisa Indonesia

dari sektor pariwisata sempat anjlok pada tahun 2001 (www.liputan6.com).

Tidak heran, jika keragaman budaya dan keindahan daerah wisata di Indonesia

yang sebenarnya sangat layak dibanggakan justru seperti ‘dikebiri’ oleh

fakta tersebut. Selain itu, ketidakseriusan pemerintah dalam mengemas

potensi pariwisata Indonesia, terbentang mulai dari kondisi bandara yang apa

adanya, fasilitas dan infrastruktur menuju daerah wisata yang sangat

terbatas (www.the-marketeers/archive/mempromosikan-bromo-lewat-acara-musik),

pungli yang sering terjadi di lokasi wisata, hingga kualitas layanan yang

biasa saja.

Mengemas value sebuah destinasi sudah selayaknya mengemas brand

komersial. Artinya ia memiliki nilai, diferensiasi, identitas, dan karakter

yang membedakannya dengan kompetornya. Jika nilai diwujudkan dalam norma

yang dianut masyaraktnya, identitas dapat diwujudkan dalam symbol dan bukti

fisik, diferensiasi melalui keunikan, maka karakter dapat tercermin melalui

tindakan warga negaranya. Karena mendongkrak potensi wisata seharusnya bukan

menjadi kewajiban pemerintah semata. Masalahnya, pengembangan potensi wisata

5

sejauh ini hanya terfokus pada obyek-obyek wisata semata, dan seringkali

melupakan factor manusia sebagai elemen terpentingnya.

Kebanggaan menjadi warga Negara yang dikenal memiliki keindahan alam

dan keramahan, tentunya memberikan tanggung jawab bagi tiap orang Indonesia

untuk membuktikan hal tersebut dalam perilaku kesehariannya. Masalahnya,

saat ini banyak individu yang abai tentang hal tersebut. Program-program

perbaikan dari pemerintah pusat maupun daerah, seringkali menjadi ‘angin

lalu’ karena tidak ada dukungan dan keinginan warga untuk mentaati dan

terlibat di dalamnya.

Strategic communications adalah disiplin ilmu dalam ranah komunikasi yang

mempelajari bagaimana program bukan saja hasil olahan pemilik kepentingan

yang kemudian disosialisasikan ke target, namun merupakan rumusan yang

menyatukan seluruh usaha entitasnya (Wilson & Ogden, 2000:5). Pada strategic

communications, target adalah partner atau mitra yang paling penting, terutama

dalam memberikan pemikiran-pemikirannya. Dalam industry periklanan modern,

melibatkan target sebagai mitra penting adalah hal biasa. Djito Kasilo

(2008) bahkan menyebutnya dengan istilah ‘menikah dengan target’. Pemikiran.

harapan, dan keinginan target diserap dalam tahapan strategic planning, sebelum

merumuskan strategi kreatif secara keseluruhan.

Perilaku abai masyarakat seharusnya dapat berubah, mengingat manusia

dibekali akal untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidupnya. Peran

serta masyarakat untuk meningkatkan potensi pariwisata seharusnya bukan lagi

6

himbauan untuk bersikap ramah, membuang sampah pada tempatnya, tidak merusak

terumbu karang, atau menjaga lingkungan, tapi seharusnya menjadi kesadaran

diri sendiri yang bersifat alamiah bahwa berbuat hal-hal tersebut adalah

merupakan kebiasaan yang common sense. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan

secara kolektif tentunya akan menjadi fenomena bola salju, jika setiap

individu memiliki tanggung jawab untuk menularkannya pada orang lain yang

lebih banyak lagi.

Tulisan ini mencoba memberikan telaah awal tentang bagaimana suatu

kampanye komunikasi, dalam hal ini strategic communications dengan pendekatan

periklanan mempersuasi warga negaranya sehingga memiliki kesadaran kolektif

untuk ‘berbuat baik’ yang terus menular, sehingga menghasilkan ‘people

movement´ untuk menjadikan Indonesia lebih baik dan menarik banyak wisatawan.

II. LANDASAN KONSEP

II.1. Elemen Rencana Periklanan Sebagai Implementasi Strategic Communications

Strategic Communications diartikan sebagai pendekatan komunikasi yang

terkoordinasi untuk mencapai tujuan bersama. Komunikasi stratejik juga

meliputi usaha dari seluruh anggota atau partisipannya serta berbagai elemen

pendukung lainnya dalam meraih tujuan tersebut. Dalam konteks organisasi,

komunikasi dianggap stratejik ketika suatu organisasi berhasil menyatukan

dan mengkoordinasikan seluruh entitasnya untuk mencapai tujuan bersama dalam

usaha dan perilaku yang konsisten (Wilson & Ogden, 2000:5). Dengan kata

7

lain, komunikasi stratejik merupakan program menyeluruh yang melibatkan

usaha dan parisipasi dari seluruh anggota suatu system untuk mencapai tujuan

bersama.

Merumuskan komunikasi strategis bukan perkara mudah. Karena ia masih

berada dalam area yang banyak diperdebatkan. Dalam tulisan ini, penulis

mengimplementasikannya dengan pendekatan dalam elemen rencana periklanan

menurut Wells, Burnett, dan Moriarty (2003:189) , yaitu;

1. Analisis Situasi

Analisis situasi diartikan sebagai evaluasi terhadap produk/brand.

Meliputi keunggulan, keunikan, kelemahan, dan posisinya saat ini, serta

bagaimana jika produk dibandingkan dengan kompetitornya. Pada tahapan ini

juga dimanfaatkan untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya pendapat, keinginan,

dan harapan target --atau yang disebut dengan consumer’s insight-- akan suatu

produk atau jasa.

2. Penentuan Tujuan Komunikasi

Pada tahap penentuan tujuan periklanan, akan dirumuskan apakah iklan

yang dihasilkan bertujuan strategis yang berjangka panjang atau sekedar

taktis dengan jangka waktu yang lebih pendek, tergantung pada karakter

produknya.

3. Profil Target

Tahapan selanjutnya adalah menentukan segmentasi khalayak sasaran.

Segmentasi diartikan sebagai proses mengkotak-kotakkan pasar yang heterogen

8

ke dalam kelompok-kelompok potential customers yang memiliki kesamaan kebutuhan

dan kesamaan karakter, serta memiliki respon yang sama dalam membelanjakan

uangnya (Kasali, 1998). Kelompok konsumen yang memiliki kesamaan karakter

inilah yang akan menjadi target audience kampanye.. Kelompok segmentasi

terdiri atas beberapa kriteria, yaitu demografis, psikografis, geografis,

behavioristik, cohort dan sebagainya (Kasali, 1998). Wells, Burnett, dan

Moriarty (2003:114) bahkan membagi kembali segmentasi psikografis dalam

delapan kriteria yang lebih beragam dan menunjukan nilai dan gaya hidup

(values and lifestyle system -- VALS) yang lebih spesifik, berdasarkan prinsip,

status, dan orientasi tindakannya. Kriteria gaya hidup tersebut diantaranya

adalah actualizers, fulfilleds, achievers, experiencers, believers, strivers, makers, dan strugglers.

4. Menentukan Positioning

Positioning merupakan salah satu bentuk strategi komunikasi untuk

menempatkan persepsi tentang brand di benak target, yang membedakannya

dengan kompetitor (Dhar. 2007:5). Pernyataan positioning mewakili citra yang

hendak dicetak dalam benak konsumen. Citra merupakan hubungan asosiatif yang

mencerminkan karakteristik produk. Dan positioning yang baik harus dapat

membalik hubungan itu, sehingga memperkuat posisi pasarnya.

5. Strategi Kreatif

Strategi kreatif didefinisikan sebagai pesan apa yang akan disampaikan

pada target yang dapat menyelesaikan masalah atau kebutuhan yang

dihadapinya. Strategi kreatif terdiri atas tujuh pendekatan (generic, preemptive,

9

unique selling propositions, positioning, brand image, resonance, dan emotional) (Shimp,

2001:265).

6. Perencanaan Media

Penempatan iklan di media juga membutuhkan perencanaan media yang

sinergi dengan strategi kreatif iklan. Dalam menyusun perencanaan media,

perlu dipertimbangkan tiga elemen utama yaitu: Media Objective yang

diindikasikan dengan jangkauan media (reach), frekuensi, dan bobot media;

Media Strategy, yaitu pengalokasian bujet media berdasarkan geografi dan season;

Media Tactic, merupakan pemilihan media vehicle berdasarkan target audience,

efisiensi biaya, lingkungan editorial, kategori media, kualitas reproduksi,

dan posisi iklan (Wells, Burnet, Moriarty, 2003:208).

II.2. Brand Destinasi

Ike Janita Dewi dalam menuliskan bahwa model branding atas sebuah

destinasi wisata diadaptasi dan dikembangkan dari model-model branding

konvensional untuk produk-produk komersil (Antisipasi/Vol.10 No.2 Tahun 2007

dalam isjpd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal). Brand komersil merupakan

sekumpulan persepsi, perngalaman, harapan terhadap produk, jasa, pengalaman,

personal, ataupun organisasi. Ia juga gabungan dari berbagai atribut baik

nyata maupun tidak nyata, disimbolisasikan dalam merek dagang, dan apabila

dikelola dengan baik akan menciptakan nilai pengaruh (Wiryawan, 2002:21).

Dengan kata lain, brand destinasi juga harus memiliki serangkaian persepsi,

identitas, atribut, dan karakter yang membedakannya dengan destinasi

10

lainnya. Brand destinasi juga menyangkut suatu wilayah atau Negara, atau

teritori tertentu dengan kebijakan pemerintahan tertentu.

Fan (2008) dalam Scott, dkk (2011:229) menuliskan bahwa brand destinasi

meliputi citra bangsa (nation’s image) dan nation branding.. Nation’s image adalah

sekumpulan asosiasi tentang suatu bangsa yang ada di benak stakeholder

internasional, yang berhubungan dengan kondisi politik, ekonomi, dan

lingkungan budaya dari bangsa tersebut. Sementara nation branding merujuk pada

aplikasi proses branding dan teknik komunikasi pemasaran dalam mempromosikan

dan mengemas nation’s image. Dimana image tersebut tentu merupakan suatu image

yang diinginkan (desired image). Scott dkk. (2011:229) juga menjelaskan bahwa

melakukan proses branding pada suatu Negara sangatlah kompleks dan menyangkut

berbagai elemen pendukung yang sangat luas dan seringkali tidak dapat

dikuantifikasi. Seperti sejarah yang berhubungan dengan ideologi, rasa

memiliki, sistem Negara, dan lain sebagainya.

II.3. Konsep Kesadaran untuk Berbuat Baik Dalam Konstruksi Realitas Sosial

Konsep kesadaran berbuat baik yang digunakan dalam penulisan ini tidak

terbatas pada awareness sebagaimana banyak diadopsi dalam riset-riset iklan.

Ia meliputi banyak aspek yang menjadikannya suatu tindakan nyata hingga

sosialisasi kembali pada orang lain.

Kesadaran selalu intensional. Ia selalu selalu terarah kepada obyek.

Hal itu berlaku baik kesadaran itu dialami sebagai sesuatu yang termasuk

duni fisik, lahiriah, atau dipahami sebagai suatu unsur kenyataan suatu

11

kenyataan subyektif batiniah (Berger & Luckman, 21012:29). Lebih lanjut,

menurut Berger dan Luckman (1966) dalam Calhoun dkk (2007:43) semua

aktivitas manusia adalah suatu subyek kebiasaan. Setiap tindakan merupakan

pengulangan yang terpola, bersifat rutin dalam stok pengetahuan individu,

diterima begitu saja dan menjadi panduan untuk tindakan berikutnya di masa

depan. Berger dan Luckman (2012:33) juga menjelaskan bahwa sesungguhnya

individu tidak dapat bereksistensi dalam kehidupan sehari-hari tanpa secara

terus-menerus berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.

Tindakan manusia oleh Berger dan Luckman (Calhoun dkk, 2007:46) akan

menghasilkan resiprokasi hubungan dengan orang lain dan menjadikan dunia

sosial sebagai produknya. Terus demikian, timbal-balik, yang oleh Berger

memenuhi tahapan: ekternalisasi-obyektivasi-internalisasi. Eksternalisasi

dianggap sebagai suatu keharusan antropologis. Keberadaan manusia harus

terus-menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas (Berger & Luckman,

2012:71).

Aktivitas dilembagakan sehingga memiliki nilai obyektif melalui

obyektivasi. Masyarakat merupakan produk manusia. Masyarakat merupakan

kenyataan obyektif. Manusia merupakan produk sosial (Berger & Luckman,

2012:83). Selanjutnya hubungan dialektis antara masyarakat dan individu ini

kemudian digambarkan dalam proses internalisasi. Internalisasi merupakan

pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa obyektif

sebagai pengungkapan suatu makna; artinya, sebagai suatu manifestasi dari

12

proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna

subyektif bagi orang yang lain lagi (Berger & Luckman, 2012:177).

III. METODOLOGI

Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara

mendalam sebagai pengumpulan datanya. Dalam pendekatan kualitatif, peneliti

merupakan instrumen kunci. Dengan beragam sumber data, peneliti mereviewnya,

memberikannya makan, dan mengolahnya ke dalam kategori-kategori atau tema-

tema yang melintasi semua sumber data (Creswell, 2010:261). Penelitian

kualitatif berpegang pada prinsip interpretif atau kritis, logika dibangun

selama penelitian berlangsung dan mengikuti alur penelitian yang nonlinier

(Neuman, 2011:167).

Wawancara mendalam digunakan sebagai teknik pengumpulan datanya, dan

dilakukan terhadap dua orang informan kunci. Edwin Aprihandono (34) seorang

Good Thing Implementer Manager ISBG (IdeSeniBriyanGita), suatu biro periklanan

yang menjalankan program ISR (Individual Social Responsibility) melalui kampanye ABBR

(Ayo Berbuat Baik Rame-rame). Informan kunci lainnya adalah Devi Roza K.

Kausar, PhD (37 tahun), Wakil Dekan Fakultas Pariwisata Universitas

Pancasila yang memiliki pengetahuan tentang brand destinasi.

IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN

13

Tulisan ini mencoba menawarkan ide tentang kampanye komunikasi untuk

brand destinasi Indonesia dengan pendekatan periklanan. Pemikirannya adalah

dengan sebuah gerakan kesadaran untuk berbuat baik, karakter bangsa sebagai

sesuatu yang intangible dapat membuat Indonesia menjadi lebih menarik di mata

wisatawan.

“Sebenarnya, itu (program tersebut-red) pernah ada di tahun 80 atau 90-an. Mungkin masih ingat ‘Sapta Pesona’, kayak bersih, indah, tertib,senyum hmmmm…apa lagi, aku lupa komponennya. Tapi kalau dilihat-lihat, tujuh komponen itu berasal dari common sense orang Indonesia.Artinya, kalau masyarakatnya sudah nyaman dengan dirinya, makawisatawan juga akan nyaman. Kalau masyarakat sudah rapi, tertib, makawisatawan juga senang untuk datang” (Devi Roza, 37)

Terlebih lagi, karena sejauh ini belum ini ada kebijakan pemerintah

dalam suatu konsep besar yang terbentang mulai dari infrastruktur hingga

amenities yang bersifat intangible.

Menurut Devi, “belum ada kebijakan dari pemerintah yang menyangkuthal-hal tersebut, semua hanya fokus pada pembangunan obyek-obyekwisata, tanpa memikirkan ‘manusianya’, apalagi gerakan”.

Berbuat baik memiliki konteks yang luas, namun berbuat baik tanpa

trigger adalah suatu bentuk kebiasaan yang menyangkut isu-isu keseharian yang

memang sudah sepatutnya dilakukan, sebuah common sense habit yang saat ini

sudah banyak terkikis.

“Berbuat baik kan luas ya mbak.. Ada orang yang ingin berbuat baik dibidang budaya, pendidikan, agama, dan lain-lain… Tapi sebenarnyaberbuat baik ini tertanam dalam core manusia, sudah ada. Karena manusiasebagai mahluk sosial, sejak kecil juga sudah diajarkan oleh orang

14

tuanya. Manusia itu punya ini (hati-red) dari Tuhan, modal untukberbuat baik”. (Edwin, 34).

Dengan kata lain, seringkali individu bahkan tidak merasa bahwa

perbuatannya adalah suatu kebaikan baik bagi dirinya maupun orang lain. Atau

bahkan sebaliknya. Berbuat baik biasanya berhubungan dengan orang lain.

Dikenalkan di keluarga sejak kecil, menjadi warisan turun temurun, dan

diperkuat dalam kurikulum di sekolah.

”Kalau kata eyang saya, “kamu lahir dengan bantuan orang (lain-red),kamu mati juga dengan bantuan orang, maka selama kamu hidup, berbuatlahsesuatu untuk orang lain”. Dan seharusnya berbuat baik itu dalamradius terdekat. Karena sebelum kita bantu saudara-saudara kita diPalestina, sebaiknya bantu dulu lingkungan kita”. (Edwin, 34)

“Membentuk karakter memang paling baik di usia-usia awal, tiga sampaisembilan tahun deh. Itu membekas banget buat mereka. Saya lihat, anak-anak di Jepang juga diajarkan hal seperti itu, kayak memberi salamwaktu pulang, hormat sama manula… sederhana aja sih” (Devi, 37)

Artinya jika core untuk berbuat baik tersebut dibiasakan,

disosialisasikan (di setiap keluarga), maka memungkinkan terjadi suatu

pergerakan yang berasal dari masyarakat yang merupakan kesadaran secara

kolektif untuk berbuat baik seperti fenomena bola salju. Selain itu, karena

menyangkut individu lainnya, berbuat baik paling tepat menggunakan

sosialisasi dalam bentuk word of mouth (dari mulut ke mulut-red).

Edwin juga menjelaskan bahwa, program berbuat baik yang dijalankannya

menyangkut delapan pilar, yaitu: Pray (niat), People (pelaksana), Planet

(tempat), Profit (hasil yang diperoleh), Patron (acuan), Process (perbuatannya),

Play (dikerjakan dengan senang), Protect (menjamin perbuatan tersebut terlulang

15

kembali). Delapan pilar tersebut merupakan siklus yang beriringat. Pada

pilar profit dan protect Edwin, menunjukan bahwa perbuatan baik akan menghasilkan

resiprokasi yang timbal-balik atau merupakan ‘balasan’ yang baik pula. Lebih

lanjut menurutnya,

“Suatu perbuatan baik itu virus, pasti akan menular dan membawakebaikan yang lainnya, (bahkan –red) tanpa embel-embel agama, asalkanada niatnya”.

Menurut Edwin, perbuatan baik jika dilakukan secara kolektif dan

banyak orang menyadari untuk melakukannya, maka akan merubah (ke arah

positif-red) karakter bangsa Indonesia. Terutama kebiasaan gotong royong --

dan kebiasaan lain yang dipelajari waktu kecil-- yang sudah lama hilang.

Lebih lanjut menurutnya, hal tersebut memang sulit diwujudkan, namun bukan

berarti tidak mungkin.

“Kesadaran berbuat baik pada level ini sudah disebut kesadaran ilahiah,datangnya dari dalam hati, dan dilakukan tanpa disuruh, gak perludilihat orang lain juga”

Elemen Rencana Iklan untuk Kampanye Berbuat Baik

Berdasarkan masukan informan di atas, berikut adalah elemen rencana

kampanye periklanan yang menjelaskan bagaimana kampanye ini mungkin untuk

dilakukan;

1. Analisa Situasi dengan SWOT

Tabel.1Mengevaluasi Indonesia dalam Kuadran SWOT

internal STRENGTHS WEAKNESS

16

Eksternal

1. Memiliki berbagaipotensi wisata di tiapprovinsi, dan Kondisialam yang memungkinkanvariasi tujuan wisata(pantai, gunung, panas,dingin, ada semua diIndonesia).

2. Dikenal sebagai bangsayang ramah, stress-free,dan murah senyum.

3. Dikenal sebagai bangsayang taat beragama.

1. Ketidakmerataanpembangunaninfrastruktur.

2. Banyaknya masalahlingkungan hidup danmasalah sosial.

3. Tidak ada konsep besarpariwisata Indonesia.

4. Ketidakpedulianpemerintah daerahterhadap kekayaan budayadan kondisi alamnya.

OPPORTUNITIES1. Memiliki keanekaragaman

budaya dan keindahanalam yang belum tergaliseluruhnya.

2. Pertumbuhan jumlah obyekwisata yang tinggi.

3. Penentuan konsep jangkapanjang (seperti K-waveyang didukungpemerintah).

4. Turis mancanegara ASIAmeningkat

5. Pertumbuhan EDPmeningkat.

S-O1. Melibatkan professional

dan akademisi untukmenggali harapan dankeinginan wisatawanserta value Indonesia,dan kemudianditindaklanjuti dalamprogram-program wisatayang menarik.

2. Memanfaatkan jejaringsosial untukmengkomunikasikanpotensi wisata yang ada.

S-W1. Memperlakukan Indonesia

sebagai brand komersildan menyiapkan konsepbesar yang menangkupiseluruh potensi wisatadi Indonesia, terutamadalam hal komunikasinya.

2. Melakukan perubahanBukan pada aparatnya,namun pada warganegaranya. People movementsangat cepat dalammenghasilkan perubahan.

THREATS1. Negara lain melakukan

branding destinasi dengansangat serius denganinfrastruktur yangsangat memadai.

2. Negara lain memilikipemerintahan dan systemyang sangat kuat dandapat melakukan kontrolketat pada warganya.

3. Krisis negara Eropaberkepanjangan --> turisEropa turun.

4. Ketidakstabilan politikekonomi.

S-T1. Menggali difensiasi,

keunikan dan niche padatiap potensi wisata yangtidak dimiliki Negaralainnya.

2. Memanfaatkan media-mediabaru sebagai saranasosialisasi.

W-TAdanya terobosan yangmemungkinkan komponenintangible mengalahkantangible.

2. Tujuan Kampanye : Berbuat Baik Menjadi Karakter Bangsa Indonesia

Dalam Lima Tahun

17

Kampanye ini merupakan program strategis dan membutuhkan jangka

waktu yang panjang mulai dari eksekusi hingga diseminasinya. Walaupun

isunya dekat dengan kehidupan sehari-hari, namun pembiasaan

membutuhkan kesadaran.

3. Profil Target : Saya Orang Indonesia

Profil komunikan yang menjadi target kampanye ini secara garis

besar adalah warga Negara Indonesia kelas menengah, masuk kategori

believers, dan biasanya memiliki pemikiran tertentu tentang perubahan

yang bahkan oleh orang lain mungkin dianggap sebagai hal yang tidak

biasa. Target selalu ingin memiliki kontribusi positif untuk

lingkungannya, dan selalu mempunyai cara yang unik namun sederhana

dalam memecahkan masalahnya.

4. Positioning : Saya Berbuat Baik Karena Terbiasa

Positioning statement merupakan strategi komunikasi yang bertujuan

membangun persepsi dalam benak target. Karena kampanye ini merupakan

bentuk gerakan moril yang diharapakan memiliki efek domino untuk

pariwisata Indonesia pada akhirnya, maka statement bukan merupakan

ajakan, tapi seperti niatan. Bahwa Indonesia akan lebih baik jika

setiap orang berniat dan berbuat kebaikan karena kesadarannya sendiri.

5. Strategi Kreatif : Bayangkan Sepuluh Orang Berbuat Baik Bersama

Saya, Dan Sepuluh Lagi, Dan Seterusnya, Indonesia Pasti Akan Lebih

Baik

18

Strategi kreatif yang digunakan dalam kampanye ini adalah dengan

strategi resonance, yaitu menularkan konsep berbuat baik melalui

pengalaman individu yang pernah dan biasa melakukannya. Pengalaman

bukan merupakan rekayasa karena tidak menggunakan figur public sebagai

daya tariknya. Pendekatan pesannya menggunakan soft sell yang sangat

emosional, sehingga mempersuasi target untuk berefleksi, tergerak, dan

kemudian tertular melakukan perbuatan baik juga.

6. Perencanaan Media : Cerita Jauh Lebih Menarik Dibandingkan Media

Konvensional

Media konvensional seperti televisi, radio, koran, majalah,

maupun poster, sepertinya tidak mampu menjangkau ruang-ruang privat

target. Sifat media konvensional dengan feedback yang tertunda, akan

menjadikan kampanye ini lambat pergerakannya. Oleh karena itu, word of

mouth maupun jejaring sosial twitter dengan buzzer yang bukan figur

publik, namun memiliki follower yang banyak dan bernas dalam setiap

tweetnya.

PEMBAHASAN

Berbuat baik merupakan inti yang dimiliki individu. Keluarga

sebagai agen sosialisasi utama mengenalkannya dalam berbagai bentuk.

Bahkan sering diperkuat dalam kurikulum pendidikan. Dianggap umum, dan

dijadikan kebiasaan sehari-hari. Namun dalam perjalanan waktu,

perbuatan baik yang menjadi nilai ini banyak mengalami berbagai

19

perubahan, walaupun ada juga yang masih bertahan –ataupun

dipertahankan. Kemajuan jaman menjadikan individu akhirnya bersikap

abai, tidak peduli, dan individualistis. Bahwa nilai baik tersebut

pada akhirnya mencerminkan citra diri bangsa, sudah tidak menjadi

penting lagi. Citra diri bangsa dengan nilai baik tersebut selanjutnya

dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan, bahkan menjadi pemikiran yang

semakin jauh lagi.

Dengan fakta ini, tidak berlebihan jika tulisan ini mencoba

menawarkan sebuah ide untuk mendukung pariwisata Indonesia dengan

mengembalikan lagi nilai-nilai baik tersebut dalam kampanye kesadaran

untuk berbuat baik. Kesadaran berbuat baik berangkat dari pemikiran

bahwa individu sejak awal hidupnya memang telah memiliki nilai-nilai

perbuatan baik yang dieksternalisasikan oleh keluarganya, namun sejauh

mana individu tersebut dapat menularkan perbuatan baik tersebut

melalui proses internalisasi pada orang lain tanpa reward apapun selain

keyakinan bahwa semakin banyak orang yang berbuat baik maka akan

membuat Indonesia juga menjadi lebih baik pula.

Kampanye kesadaran berbuat baik merupakan gerakan moral yang

bersifat sporadic pada diri individu. Ia tidak bersifat himbauan,

tetapi menggambarkan refleksi diri tentang nilai kebaikan pada diri

seseorang yang tercermin pada orang lain. Bersifat timbal balik, dan

profit-nya tidak terukur. Target bukan merupakan obyek, tapi menjadi subyek

20

kampanye. Kata ‘anda’ yang menunjukan target, diganti menjadi ‘saya’.

Karena bersifat strategis dan menyangkut perubahan pola pikir, maka

kampanye ini tidak memberikan dampak segera. Oleh karena itu ia

disebut sebagai ‘kesadaran’. Bentuknya seperti gerakan ‘menyusun puzzle’

secara bersama. Jika saya memiliki satu potongan, maka puzzle tersebut

akan utuh dengan potongan yang dimiliki orang lain. Terus berlangsung

demikian pada orang lainnya. Jika meminjam istilah intelektual

kolektif versi Bourdieu kampanye ini macam gerakan yang memiliki

struktur bebas, jaringan informal dan tidak terkonsentrasi di satu

pusat (Mutahir, 2011:144).

Hingga pada akhirnya, berbuat baik menjadi suatu kebiasaan yang

kemudian menjadi karakter brand Indonesia dan berkontribusi dalam

mendongkrak minat wisatawan untuk datang ke Indonesia. Demikianlah

esensi strategic communications, ia tak mampu berdiri sendiri dan mencapai

tujuannya tanpa usaha dan dukungan dari seluruh stakeholdernya. Setiap

orang memainkan perannya masing-masing demi tercapai tujuan bersama.

V. KESIMPULAN

Mengemas brand destinasi sudah sewajarnya seperti memperlakukan

brand komersil. Nilai, identitas, dan karakter tidak dapat dilepaskan

daripadanya. Karakter tercermin dari perilaku warga negaranya. Oleh

karena itu, gerakan kesadaran untuk menumbuhkan dan membiasakan

21

perilaku baik dalam keseharian, adalah sebuah langkah sederhana yang

dapat dilakukan. Dengan banyak perbuatan baik yang menular, maka

masyarakat akan nyaman dengan hidupnya, dan kenyamanan akan mengundang

wisatawan untuk tertarik datang .

DAFTAR PUSTAKABuku:Berger, Peter L. Lucman, Thomas. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan : Sebuah Risalah

Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.Calhoun, Craig. 2007. Contemporary Sociological Theory. Malden: Blackwell

Publishing.Creswell, John W.2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Dhar, Mainak. 2007. Brand Management 101. Singapore: John Wiley & Sons.Kasali, Rhenald. 1998. Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting, dan Positioning.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Kasali, Rhenald. 2009. Manajemen Periklanan : Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.

Jakarta: Grafiti.Kasilo, Djito. 2008. Komunikasi Cinta: Menembus G-Spot Konsumen Indonesia. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.Mutahir, Arizal. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah gerakan Untuk Melawan

Dominasi. Bantul: Kreasi Wacana. Neuman, W. Lawrence. 2011. Social research Methods: Qualitative and Quantitative

Approaches. USA: Pearson.Shimp, Terence A. 2006. Advertising, Promotion and Other Aspects of Integrated Marketing

Communications. Ohio: South Western Educational Publishing.Wells, William. Burnett, John. Moriarty, Sandra. 2003. Advertising: Principle and

Practice. New Jersey: Pearson.Wilson, Laurie J. Ogden, Joseph D. 2008. Strategic Communications Planning. USA:

Kendall/Hunt Publishing Company.Wiryawan, Mendiola B. 2008. Kamus Brand A-Z. Jakarta: Red & White Publishing.

Jurnal:Dewi, Ike Janita. Antisipasi Vol.10 No.2 Tahun 2007 dalam

isjpd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal, diakes pada 24 Januari 2013,14.30.

22

Scott, Noel. Ashton, Ann Suwaree. Ding, Peiyi. Xu, Honggang. 2011. TourismBranding and Nation Building in China. International Journal of Culture,Tourism, and Hospitality Research. Vol. 5 Iss: 3.

Website:Oratmangun, Djauhari. Menjadikan Pariwisata Pilar Ekonomi,

http://news.detik.com/read/2012/08/01/085834/1980031/103/menjadikan-pariwisata-pilar-ekonomi, diakses 23 Januari 2013, 23.43.

Purba, Roberto. A. Pariwisata Indonesia Menjanjikan Tapi Banyak PR,http://www.bisnis.com/articles/pariwisata-indonesia-menjanjikan-tapi-banyak-pr, diakses 23 Januari 2013, 23.43.

Prakoso, Yudah. Gunawan, Iwan. Isu Teror Menurunkan Tingkat Hunian Hotel,http://news.liputan6.com/read/24646/isu-teror-menurunkan-tingkat-hunian-hotel, diakses 23 Januari 2013, 23.43.

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/319041-8-negara-terbaik-asean-di-sektor-pariwisata, diakses 23 Januari 2013, 23.43.

http://www.suarapembaruan.com/home/ukuran-asean-pariwisata-indonesia-tak-dianggap-memalukan/20716, diakses 23 Januari 2013, 23.43.

http://www.the-marketeers.com/archive/mempromosikan-bromo-lewat-acara-musik,diakses 23 Januari 2013, 23.43.