Upload
universitaspancasila
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Strategic Communications untuk Kampanye Kesadaran “Berbuat Baik” : Ide untuk Mendukung Brand Destinasi Indonesia :
Fitria AngeliqaDosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, IndonesiaTel/Fax: (021)787 0451 | E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tingginya kompetisi pasar yang didukung oleh kemajuan teknologi yang sangatpesat seperti saat ini, mengemas nilai produk menjadi suatu keharusan.Segala hal memerlukan proses ‘pengemasan’ tersebut jika ingin mempertahankankeberadaan dan memenangkan pasar. Bahkan perusahaan-perusahaan modernberlomba-lomba mendefinisikan produk atau jasanya dalam sebuah brand dengankarakternya yang unik, sehingga membedakannya dengan pesaing. Namunmengemas brand sehingga memiliki nilai lebih menjadi tidak berarti tanpadikomunikasikan.
Indonesia sebagai Negara terbesar di ASEAN dengan potensi pariwisata yangsangat besar, justru tertinggal dalam pengemasan ‘nilai’-nya, sehinggaterkesan kurang unggul dibandingkan Negara-negara tetangganya. Sangat sulitmenemukan gimmick yang memperlihatkan semangat, nilai-nilai, dan keunggulanyang dimiliki Indonesia. Jika Malaysia, memiliki tagline yang diperbaharuitiap tahunnya, di Indonesia tagline tersebut justru jarang ditemui.
Mengemas nilai dan mengkomunikasikan suatu destinasi seperti Indonesia,memerlukan berbagai aspek yang saling terkait dengan strategi yangintegratif. Mulai dari tampilan iklan, bentuk cinderamata, hingga kualitaslayanan dari sumber daya manusianya, tentunya dengan mempertimbangkankeragaman dan karakter unik bangsa Indonesia. Segmen targetnya meliputipublic internal, yaitu masyarakat Indonesia. Tulisan ini merupakan langkahawal yang menyajikan ide mengemas nilai Indonesia dalam suatu kampanye untuk“berbuat baik” untuk “Indonesia yang lebih baik”. Menggunakan pendekatankualitatif dan didasarkan pada konsep-konsep strategic communications, terutamaperiklanan, tulisan ini juga mencoba memberikan sumbangan akademis tentangbagaimana suatu destinasi menjadi bernilai dan penting karena kesadaran dandukungan untuk “berbuat baik” dari masyarakatnya.
Keyword : brand, strategic communications, kampanye periklanan, kesadaran berbuatbaik
2
I. PENDAHULUAN
Saat ini, pariwisata bukan saja merupakan kunjungan wisatawan ke suatu
daerah semata. Pariwisata meliputi berbagai hal, diantaranya lokasi,
infrastruktur, kebijakan, keindahan alam, masyarakat, budaya, dan terutama
adalah pengalaman. Pengalaman dalam pariwisata bagaikan candu bagi banyak
orang penyuka perjalanan. Mengenali budaya baru, bahasa yang berbeda, serta
keindahan lokasi yang indah tentunya menjadi magnet yang dapat menarik
banyak wisatawan untuk datang dan datang kembali. Oleh karena itu, mengemas
destinasi wisata sudah seharusnya dilakukan dengan serius dan profesional.
Destinasi tidak lagi dapat dianggap sebagai lokasi dan budaya lokal semata.
Banyak elemen penting yang melekat di dalamnya.
Saat ini, tidak sedikit Negara yang memikirkan pengemasan destinasinya
dengan sangat serius demi menaikkan devisa Negara melalui sektor pariwisata.
Di wilayah ASEAN saja, menurut www.suarapembaharuan.com yang diakses pada
Rabu 23 Januari 2013, pada tahun 2012 Singapura menempati urutan pertama,
dan urutan kesepuluh di dunia dengan Swiss sebagai Negara tujuan utama
wisatawan dunia. Sementara sebagaimana dirilis oleh www.kompas.com, Malaysia
ada di urutan ke-35 dunia, Thailand (41), dan Brunai (67). Sementara
Indonesia (74), Vietnam (80), Filipina (94), dan Kamboja (109), tertinggal
jauh di belakang.
Dengan demikian, Indonesia jauh tertinggal dengan tiga Negara
tetangganya. Yaitu Singapura, Malaysia, dan Thailand. Padahal, pendapatan
3
Negara yang berasal dari pariwisata mencapai 8,554 milliar dollar pada tahun
2012, dan merupakan pengeruk devisa nomor empat lima minyak dan gas, kelapa
sawit, batubara dan karet, seperti yang dilansir oleh www.detik.com dan
www.bisnis.com.
Fakta ini menunjukan, Indonesia dengan 34 propinsi, yang memiliki
lebih dari 116 bahasa daerah dengan berbagai potensi alam daerah, dan budaya
yang berbeda ternyata tidak cukup menjadi magnet penarik wisatawan.
Kebijakan, peraturan dan kepedulian terhadap lingkungan hidup ternyata
menjadi tolok ukur nomor satu dalam menentukan suatu Negara menjadi diminati
atau tidak. Keselamatan, keamanan, kebersihan, serta infrastruktur menjadi
faktor lainnya. Tidak heran, dengan elemen penentu tersebut, Singapura
berhasil menduduki peringkat pertama sebagai Negara yang paling diminati di
wilayah ASEAN. Seperti diketahui, Negara yang terkenal dengan sebutan “fine
city” ini memiliki keunikan layaknya Negara di ASEAN lainnya, namun memiliki
keteraturan berkelas dunia. Semua elemen penting dalam produk wisata, mulai
dari kebijakan, infrastruktur hingga pelayanan dikemas secara serius.
Penduduknya dibiasakan untuk hidup teratur dan tunduk pada hukum.
Indonesia yang merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, dengan
luas wilayah 3.977 mil, sebenarnya bukan tandingan Singapura atau Negara
lainnya di ASEAN, terutama dalam keragaman budayanya. Namun dalam hal
penegakan hukum, tidak mudah bagi pemerintah Indonesia menerapkan
4
keteraturan ala Singapura dengan memasang kamera di berbagai sudut jalan
untuk mendisiplinkan warganya, mengingat luas wilayah Indonesia tersebut.
Masalahnya adalah, beban sosial yang dipikul Indonesia sudah
terstruktur membentuk lapisan-lapisan yang sulit diretas karena kebiasaan-
kebiasaan kurang baik yang dilakukan mulai dari aparat hingga masyarakatnya.
Belum lagi aksi terorisme di beberapa daerah yang membuat devisa Indonesia
dari sektor pariwisata sempat anjlok pada tahun 2001 (www.liputan6.com).
Tidak heran, jika keragaman budaya dan keindahan daerah wisata di Indonesia
yang sebenarnya sangat layak dibanggakan justru seperti ‘dikebiri’ oleh
fakta tersebut. Selain itu, ketidakseriusan pemerintah dalam mengemas
potensi pariwisata Indonesia, terbentang mulai dari kondisi bandara yang apa
adanya, fasilitas dan infrastruktur menuju daerah wisata yang sangat
terbatas (www.the-marketeers/archive/mempromosikan-bromo-lewat-acara-musik),
pungli yang sering terjadi di lokasi wisata, hingga kualitas layanan yang
biasa saja.
Mengemas value sebuah destinasi sudah selayaknya mengemas brand
komersial. Artinya ia memiliki nilai, diferensiasi, identitas, dan karakter
yang membedakannya dengan kompetornya. Jika nilai diwujudkan dalam norma
yang dianut masyaraktnya, identitas dapat diwujudkan dalam symbol dan bukti
fisik, diferensiasi melalui keunikan, maka karakter dapat tercermin melalui
tindakan warga negaranya. Karena mendongkrak potensi wisata seharusnya bukan
menjadi kewajiban pemerintah semata. Masalahnya, pengembangan potensi wisata
5
sejauh ini hanya terfokus pada obyek-obyek wisata semata, dan seringkali
melupakan factor manusia sebagai elemen terpentingnya.
Kebanggaan menjadi warga Negara yang dikenal memiliki keindahan alam
dan keramahan, tentunya memberikan tanggung jawab bagi tiap orang Indonesia
untuk membuktikan hal tersebut dalam perilaku kesehariannya. Masalahnya,
saat ini banyak individu yang abai tentang hal tersebut. Program-program
perbaikan dari pemerintah pusat maupun daerah, seringkali menjadi ‘angin
lalu’ karena tidak ada dukungan dan keinginan warga untuk mentaati dan
terlibat di dalamnya.
Strategic communications adalah disiplin ilmu dalam ranah komunikasi yang
mempelajari bagaimana program bukan saja hasil olahan pemilik kepentingan
yang kemudian disosialisasikan ke target, namun merupakan rumusan yang
menyatukan seluruh usaha entitasnya (Wilson & Ogden, 2000:5). Pada strategic
communications, target adalah partner atau mitra yang paling penting, terutama
dalam memberikan pemikiran-pemikirannya. Dalam industry periklanan modern,
melibatkan target sebagai mitra penting adalah hal biasa. Djito Kasilo
(2008) bahkan menyebutnya dengan istilah ‘menikah dengan target’. Pemikiran.
harapan, dan keinginan target diserap dalam tahapan strategic planning, sebelum
merumuskan strategi kreatif secara keseluruhan.
Perilaku abai masyarakat seharusnya dapat berubah, mengingat manusia
dibekali akal untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidupnya. Peran
serta masyarakat untuk meningkatkan potensi pariwisata seharusnya bukan lagi
6
himbauan untuk bersikap ramah, membuang sampah pada tempatnya, tidak merusak
terumbu karang, atau menjaga lingkungan, tapi seharusnya menjadi kesadaran
diri sendiri yang bersifat alamiah bahwa berbuat hal-hal tersebut adalah
merupakan kebiasaan yang common sense. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan
secara kolektif tentunya akan menjadi fenomena bola salju, jika setiap
individu memiliki tanggung jawab untuk menularkannya pada orang lain yang
lebih banyak lagi.
Tulisan ini mencoba memberikan telaah awal tentang bagaimana suatu
kampanye komunikasi, dalam hal ini strategic communications dengan pendekatan
periklanan mempersuasi warga negaranya sehingga memiliki kesadaran kolektif
untuk ‘berbuat baik’ yang terus menular, sehingga menghasilkan ‘people
movement´ untuk menjadikan Indonesia lebih baik dan menarik banyak wisatawan.
II. LANDASAN KONSEP
II.1. Elemen Rencana Periklanan Sebagai Implementasi Strategic Communications
Strategic Communications diartikan sebagai pendekatan komunikasi yang
terkoordinasi untuk mencapai tujuan bersama. Komunikasi stratejik juga
meliputi usaha dari seluruh anggota atau partisipannya serta berbagai elemen
pendukung lainnya dalam meraih tujuan tersebut. Dalam konteks organisasi,
komunikasi dianggap stratejik ketika suatu organisasi berhasil menyatukan
dan mengkoordinasikan seluruh entitasnya untuk mencapai tujuan bersama dalam
usaha dan perilaku yang konsisten (Wilson & Ogden, 2000:5). Dengan kata
7
lain, komunikasi stratejik merupakan program menyeluruh yang melibatkan
usaha dan parisipasi dari seluruh anggota suatu system untuk mencapai tujuan
bersama.
Merumuskan komunikasi strategis bukan perkara mudah. Karena ia masih
berada dalam area yang banyak diperdebatkan. Dalam tulisan ini, penulis
mengimplementasikannya dengan pendekatan dalam elemen rencana periklanan
menurut Wells, Burnett, dan Moriarty (2003:189) , yaitu;
1. Analisis Situasi
Analisis situasi diartikan sebagai evaluasi terhadap produk/brand.
Meliputi keunggulan, keunikan, kelemahan, dan posisinya saat ini, serta
bagaimana jika produk dibandingkan dengan kompetitornya. Pada tahapan ini
juga dimanfaatkan untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya pendapat, keinginan,
dan harapan target --atau yang disebut dengan consumer’s insight-- akan suatu
produk atau jasa.
2. Penentuan Tujuan Komunikasi
Pada tahap penentuan tujuan periklanan, akan dirumuskan apakah iklan
yang dihasilkan bertujuan strategis yang berjangka panjang atau sekedar
taktis dengan jangka waktu yang lebih pendek, tergantung pada karakter
produknya.
3. Profil Target
Tahapan selanjutnya adalah menentukan segmentasi khalayak sasaran.
Segmentasi diartikan sebagai proses mengkotak-kotakkan pasar yang heterogen
8
ke dalam kelompok-kelompok potential customers yang memiliki kesamaan kebutuhan
dan kesamaan karakter, serta memiliki respon yang sama dalam membelanjakan
uangnya (Kasali, 1998). Kelompok konsumen yang memiliki kesamaan karakter
inilah yang akan menjadi target audience kampanye.. Kelompok segmentasi
terdiri atas beberapa kriteria, yaitu demografis, psikografis, geografis,
behavioristik, cohort dan sebagainya (Kasali, 1998). Wells, Burnett, dan
Moriarty (2003:114) bahkan membagi kembali segmentasi psikografis dalam
delapan kriteria yang lebih beragam dan menunjukan nilai dan gaya hidup
(values and lifestyle system -- VALS) yang lebih spesifik, berdasarkan prinsip,
status, dan orientasi tindakannya. Kriteria gaya hidup tersebut diantaranya
adalah actualizers, fulfilleds, achievers, experiencers, believers, strivers, makers, dan strugglers.
4. Menentukan Positioning
Positioning merupakan salah satu bentuk strategi komunikasi untuk
menempatkan persepsi tentang brand di benak target, yang membedakannya
dengan kompetitor (Dhar. 2007:5). Pernyataan positioning mewakili citra yang
hendak dicetak dalam benak konsumen. Citra merupakan hubungan asosiatif yang
mencerminkan karakteristik produk. Dan positioning yang baik harus dapat
membalik hubungan itu, sehingga memperkuat posisi pasarnya.
5. Strategi Kreatif
Strategi kreatif didefinisikan sebagai pesan apa yang akan disampaikan
pada target yang dapat menyelesaikan masalah atau kebutuhan yang
dihadapinya. Strategi kreatif terdiri atas tujuh pendekatan (generic, preemptive,
9
unique selling propositions, positioning, brand image, resonance, dan emotional) (Shimp,
2001:265).
6. Perencanaan Media
Penempatan iklan di media juga membutuhkan perencanaan media yang
sinergi dengan strategi kreatif iklan. Dalam menyusun perencanaan media,
perlu dipertimbangkan tiga elemen utama yaitu: Media Objective yang
diindikasikan dengan jangkauan media (reach), frekuensi, dan bobot media;
Media Strategy, yaitu pengalokasian bujet media berdasarkan geografi dan season;
Media Tactic, merupakan pemilihan media vehicle berdasarkan target audience,
efisiensi biaya, lingkungan editorial, kategori media, kualitas reproduksi,
dan posisi iklan (Wells, Burnet, Moriarty, 2003:208).
II.2. Brand Destinasi
Ike Janita Dewi dalam menuliskan bahwa model branding atas sebuah
destinasi wisata diadaptasi dan dikembangkan dari model-model branding
konvensional untuk produk-produk komersil (Antisipasi/Vol.10 No.2 Tahun 2007
dalam isjpd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal). Brand komersil merupakan
sekumpulan persepsi, perngalaman, harapan terhadap produk, jasa, pengalaman,
personal, ataupun organisasi. Ia juga gabungan dari berbagai atribut baik
nyata maupun tidak nyata, disimbolisasikan dalam merek dagang, dan apabila
dikelola dengan baik akan menciptakan nilai pengaruh (Wiryawan, 2002:21).
Dengan kata lain, brand destinasi juga harus memiliki serangkaian persepsi,
identitas, atribut, dan karakter yang membedakannya dengan destinasi
10
lainnya. Brand destinasi juga menyangkut suatu wilayah atau Negara, atau
teritori tertentu dengan kebijakan pemerintahan tertentu.
Fan (2008) dalam Scott, dkk (2011:229) menuliskan bahwa brand destinasi
meliputi citra bangsa (nation’s image) dan nation branding.. Nation’s image adalah
sekumpulan asosiasi tentang suatu bangsa yang ada di benak stakeholder
internasional, yang berhubungan dengan kondisi politik, ekonomi, dan
lingkungan budaya dari bangsa tersebut. Sementara nation branding merujuk pada
aplikasi proses branding dan teknik komunikasi pemasaran dalam mempromosikan
dan mengemas nation’s image. Dimana image tersebut tentu merupakan suatu image
yang diinginkan (desired image). Scott dkk. (2011:229) juga menjelaskan bahwa
melakukan proses branding pada suatu Negara sangatlah kompleks dan menyangkut
berbagai elemen pendukung yang sangat luas dan seringkali tidak dapat
dikuantifikasi. Seperti sejarah yang berhubungan dengan ideologi, rasa
memiliki, sistem Negara, dan lain sebagainya.
II.3. Konsep Kesadaran untuk Berbuat Baik Dalam Konstruksi Realitas Sosial
Konsep kesadaran berbuat baik yang digunakan dalam penulisan ini tidak
terbatas pada awareness sebagaimana banyak diadopsi dalam riset-riset iklan.
Ia meliputi banyak aspek yang menjadikannya suatu tindakan nyata hingga
sosialisasi kembali pada orang lain.
Kesadaran selalu intensional. Ia selalu selalu terarah kepada obyek.
Hal itu berlaku baik kesadaran itu dialami sebagai sesuatu yang termasuk
duni fisik, lahiriah, atau dipahami sebagai suatu unsur kenyataan suatu
11
kenyataan subyektif batiniah (Berger & Luckman, 21012:29). Lebih lanjut,
menurut Berger dan Luckman (1966) dalam Calhoun dkk (2007:43) semua
aktivitas manusia adalah suatu subyek kebiasaan. Setiap tindakan merupakan
pengulangan yang terpola, bersifat rutin dalam stok pengetahuan individu,
diterima begitu saja dan menjadi panduan untuk tindakan berikutnya di masa
depan. Berger dan Luckman (2012:33) juga menjelaskan bahwa sesungguhnya
individu tidak dapat bereksistensi dalam kehidupan sehari-hari tanpa secara
terus-menerus berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.
Tindakan manusia oleh Berger dan Luckman (Calhoun dkk, 2007:46) akan
menghasilkan resiprokasi hubungan dengan orang lain dan menjadikan dunia
sosial sebagai produknya. Terus demikian, timbal-balik, yang oleh Berger
memenuhi tahapan: ekternalisasi-obyektivasi-internalisasi. Eksternalisasi
dianggap sebagai suatu keharusan antropologis. Keberadaan manusia harus
terus-menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas (Berger & Luckman,
2012:71).
Aktivitas dilembagakan sehingga memiliki nilai obyektif melalui
obyektivasi. Masyarakat merupakan produk manusia. Masyarakat merupakan
kenyataan obyektif. Manusia merupakan produk sosial (Berger & Luckman,
2012:83). Selanjutnya hubungan dialektis antara masyarakat dan individu ini
kemudian digambarkan dalam proses internalisasi. Internalisasi merupakan
pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa obyektif
sebagai pengungkapan suatu makna; artinya, sebagai suatu manifestasi dari
12
proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna
subyektif bagi orang yang lain lagi (Berger & Luckman, 2012:177).
III. METODOLOGI
Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara
mendalam sebagai pengumpulan datanya. Dalam pendekatan kualitatif, peneliti
merupakan instrumen kunci. Dengan beragam sumber data, peneliti mereviewnya,
memberikannya makan, dan mengolahnya ke dalam kategori-kategori atau tema-
tema yang melintasi semua sumber data (Creswell, 2010:261). Penelitian
kualitatif berpegang pada prinsip interpretif atau kritis, logika dibangun
selama penelitian berlangsung dan mengikuti alur penelitian yang nonlinier
(Neuman, 2011:167).
Wawancara mendalam digunakan sebagai teknik pengumpulan datanya, dan
dilakukan terhadap dua orang informan kunci. Edwin Aprihandono (34) seorang
Good Thing Implementer Manager ISBG (IdeSeniBriyanGita), suatu biro periklanan
yang menjalankan program ISR (Individual Social Responsibility) melalui kampanye ABBR
(Ayo Berbuat Baik Rame-rame). Informan kunci lainnya adalah Devi Roza K.
Kausar, PhD (37 tahun), Wakil Dekan Fakultas Pariwisata Universitas
Pancasila yang memiliki pengetahuan tentang brand destinasi.
IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN
13
Tulisan ini mencoba menawarkan ide tentang kampanye komunikasi untuk
brand destinasi Indonesia dengan pendekatan periklanan. Pemikirannya adalah
dengan sebuah gerakan kesadaran untuk berbuat baik, karakter bangsa sebagai
sesuatu yang intangible dapat membuat Indonesia menjadi lebih menarik di mata
wisatawan.
“Sebenarnya, itu (program tersebut-red) pernah ada di tahun 80 atau 90-an. Mungkin masih ingat ‘Sapta Pesona’, kayak bersih, indah, tertib,senyum hmmmm…apa lagi, aku lupa komponennya. Tapi kalau dilihat-lihat, tujuh komponen itu berasal dari common sense orang Indonesia.Artinya, kalau masyarakatnya sudah nyaman dengan dirinya, makawisatawan juga akan nyaman. Kalau masyarakat sudah rapi, tertib, makawisatawan juga senang untuk datang” (Devi Roza, 37)
Terlebih lagi, karena sejauh ini belum ini ada kebijakan pemerintah
dalam suatu konsep besar yang terbentang mulai dari infrastruktur hingga
amenities yang bersifat intangible.
Menurut Devi, “belum ada kebijakan dari pemerintah yang menyangkuthal-hal tersebut, semua hanya fokus pada pembangunan obyek-obyekwisata, tanpa memikirkan ‘manusianya’, apalagi gerakan”.
Berbuat baik memiliki konteks yang luas, namun berbuat baik tanpa
trigger adalah suatu bentuk kebiasaan yang menyangkut isu-isu keseharian yang
memang sudah sepatutnya dilakukan, sebuah common sense habit yang saat ini
sudah banyak terkikis.
“Berbuat baik kan luas ya mbak.. Ada orang yang ingin berbuat baik dibidang budaya, pendidikan, agama, dan lain-lain… Tapi sebenarnyaberbuat baik ini tertanam dalam core manusia, sudah ada. Karena manusiasebagai mahluk sosial, sejak kecil juga sudah diajarkan oleh orang
14
tuanya. Manusia itu punya ini (hati-red) dari Tuhan, modal untukberbuat baik”. (Edwin, 34).
Dengan kata lain, seringkali individu bahkan tidak merasa bahwa
perbuatannya adalah suatu kebaikan baik bagi dirinya maupun orang lain. Atau
bahkan sebaliknya. Berbuat baik biasanya berhubungan dengan orang lain.
Dikenalkan di keluarga sejak kecil, menjadi warisan turun temurun, dan
diperkuat dalam kurikulum di sekolah.
”Kalau kata eyang saya, “kamu lahir dengan bantuan orang (lain-red),kamu mati juga dengan bantuan orang, maka selama kamu hidup, berbuatlahsesuatu untuk orang lain”. Dan seharusnya berbuat baik itu dalamradius terdekat. Karena sebelum kita bantu saudara-saudara kita diPalestina, sebaiknya bantu dulu lingkungan kita”. (Edwin, 34)
“Membentuk karakter memang paling baik di usia-usia awal, tiga sampaisembilan tahun deh. Itu membekas banget buat mereka. Saya lihat, anak-anak di Jepang juga diajarkan hal seperti itu, kayak memberi salamwaktu pulang, hormat sama manula… sederhana aja sih” (Devi, 37)
Artinya jika core untuk berbuat baik tersebut dibiasakan,
disosialisasikan (di setiap keluarga), maka memungkinkan terjadi suatu
pergerakan yang berasal dari masyarakat yang merupakan kesadaran secara
kolektif untuk berbuat baik seperti fenomena bola salju. Selain itu, karena
menyangkut individu lainnya, berbuat baik paling tepat menggunakan
sosialisasi dalam bentuk word of mouth (dari mulut ke mulut-red).
Edwin juga menjelaskan bahwa, program berbuat baik yang dijalankannya
menyangkut delapan pilar, yaitu: Pray (niat), People (pelaksana), Planet
(tempat), Profit (hasil yang diperoleh), Patron (acuan), Process (perbuatannya),
Play (dikerjakan dengan senang), Protect (menjamin perbuatan tersebut terlulang
15
kembali). Delapan pilar tersebut merupakan siklus yang beriringat. Pada
pilar profit dan protect Edwin, menunjukan bahwa perbuatan baik akan menghasilkan
resiprokasi yang timbal-balik atau merupakan ‘balasan’ yang baik pula. Lebih
lanjut menurutnya,
“Suatu perbuatan baik itu virus, pasti akan menular dan membawakebaikan yang lainnya, (bahkan –red) tanpa embel-embel agama, asalkanada niatnya”.
Menurut Edwin, perbuatan baik jika dilakukan secara kolektif dan
banyak orang menyadari untuk melakukannya, maka akan merubah (ke arah
positif-red) karakter bangsa Indonesia. Terutama kebiasaan gotong royong --
dan kebiasaan lain yang dipelajari waktu kecil-- yang sudah lama hilang.
Lebih lanjut menurutnya, hal tersebut memang sulit diwujudkan, namun bukan
berarti tidak mungkin.
“Kesadaran berbuat baik pada level ini sudah disebut kesadaran ilahiah,datangnya dari dalam hati, dan dilakukan tanpa disuruh, gak perludilihat orang lain juga”
Elemen Rencana Iklan untuk Kampanye Berbuat Baik
Berdasarkan masukan informan di atas, berikut adalah elemen rencana
kampanye periklanan yang menjelaskan bagaimana kampanye ini mungkin untuk
dilakukan;
1. Analisa Situasi dengan SWOT
Tabel.1Mengevaluasi Indonesia dalam Kuadran SWOT
internal STRENGTHS WEAKNESS
16
Eksternal
1. Memiliki berbagaipotensi wisata di tiapprovinsi, dan Kondisialam yang memungkinkanvariasi tujuan wisata(pantai, gunung, panas,dingin, ada semua diIndonesia).
2. Dikenal sebagai bangsayang ramah, stress-free,dan murah senyum.
3. Dikenal sebagai bangsayang taat beragama.
1. Ketidakmerataanpembangunaninfrastruktur.
2. Banyaknya masalahlingkungan hidup danmasalah sosial.
3. Tidak ada konsep besarpariwisata Indonesia.
4. Ketidakpedulianpemerintah daerahterhadap kekayaan budayadan kondisi alamnya.
OPPORTUNITIES1. Memiliki keanekaragaman
budaya dan keindahanalam yang belum tergaliseluruhnya.
2. Pertumbuhan jumlah obyekwisata yang tinggi.
3. Penentuan konsep jangkapanjang (seperti K-waveyang didukungpemerintah).
4. Turis mancanegara ASIAmeningkat
5. Pertumbuhan EDPmeningkat.
S-O1. Melibatkan professional
dan akademisi untukmenggali harapan dankeinginan wisatawanserta value Indonesia,dan kemudianditindaklanjuti dalamprogram-program wisatayang menarik.
2. Memanfaatkan jejaringsosial untukmengkomunikasikanpotensi wisata yang ada.
S-W1. Memperlakukan Indonesia
sebagai brand komersildan menyiapkan konsepbesar yang menangkupiseluruh potensi wisatadi Indonesia, terutamadalam hal komunikasinya.
2. Melakukan perubahanBukan pada aparatnya,namun pada warganegaranya. People movementsangat cepat dalammenghasilkan perubahan.
THREATS1. Negara lain melakukan
branding destinasi dengansangat serius denganinfrastruktur yangsangat memadai.
2. Negara lain memilikipemerintahan dan systemyang sangat kuat dandapat melakukan kontrolketat pada warganya.
3. Krisis negara Eropaberkepanjangan --> turisEropa turun.
4. Ketidakstabilan politikekonomi.
S-T1. Menggali difensiasi,
keunikan dan niche padatiap potensi wisata yangtidak dimiliki Negaralainnya.
2. Memanfaatkan media-mediabaru sebagai saranasosialisasi.
W-TAdanya terobosan yangmemungkinkan komponenintangible mengalahkantangible.
2. Tujuan Kampanye : Berbuat Baik Menjadi Karakter Bangsa Indonesia
Dalam Lima Tahun
17
Kampanye ini merupakan program strategis dan membutuhkan jangka
waktu yang panjang mulai dari eksekusi hingga diseminasinya. Walaupun
isunya dekat dengan kehidupan sehari-hari, namun pembiasaan
membutuhkan kesadaran.
3. Profil Target : Saya Orang Indonesia
Profil komunikan yang menjadi target kampanye ini secara garis
besar adalah warga Negara Indonesia kelas menengah, masuk kategori
believers, dan biasanya memiliki pemikiran tertentu tentang perubahan
yang bahkan oleh orang lain mungkin dianggap sebagai hal yang tidak
biasa. Target selalu ingin memiliki kontribusi positif untuk
lingkungannya, dan selalu mempunyai cara yang unik namun sederhana
dalam memecahkan masalahnya.
4. Positioning : Saya Berbuat Baik Karena Terbiasa
Positioning statement merupakan strategi komunikasi yang bertujuan
membangun persepsi dalam benak target. Karena kampanye ini merupakan
bentuk gerakan moril yang diharapakan memiliki efek domino untuk
pariwisata Indonesia pada akhirnya, maka statement bukan merupakan
ajakan, tapi seperti niatan. Bahwa Indonesia akan lebih baik jika
setiap orang berniat dan berbuat kebaikan karena kesadarannya sendiri.
5. Strategi Kreatif : Bayangkan Sepuluh Orang Berbuat Baik Bersama
Saya, Dan Sepuluh Lagi, Dan Seterusnya, Indonesia Pasti Akan Lebih
Baik
18
Strategi kreatif yang digunakan dalam kampanye ini adalah dengan
strategi resonance, yaitu menularkan konsep berbuat baik melalui
pengalaman individu yang pernah dan biasa melakukannya. Pengalaman
bukan merupakan rekayasa karena tidak menggunakan figur public sebagai
daya tariknya. Pendekatan pesannya menggunakan soft sell yang sangat
emosional, sehingga mempersuasi target untuk berefleksi, tergerak, dan
kemudian tertular melakukan perbuatan baik juga.
6. Perencanaan Media : Cerita Jauh Lebih Menarik Dibandingkan Media
Konvensional
Media konvensional seperti televisi, radio, koran, majalah,
maupun poster, sepertinya tidak mampu menjangkau ruang-ruang privat
target. Sifat media konvensional dengan feedback yang tertunda, akan
menjadikan kampanye ini lambat pergerakannya. Oleh karena itu, word of
mouth maupun jejaring sosial twitter dengan buzzer yang bukan figur
publik, namun memiliki follower yang banyak dan bernas dalam setiap
tweetnya.
PEMBAHASAN
Berbuat baik merupakan inti yang dimiliki individu. Keluarga
sebagai agen sosialisasi utama mengenalkannya dalam berbagai bentuk.
Bahkan sering diperkuat dalam kurikulum pendidikan. Dianggap umum, dan
dijadikan kebiasaan sehari-hari. Namun dalam perjalanan waktu,
perbuatan baik yang menjadi nilai ini banyak mengalami berbagai
19
perubahan, walaupun ada juga yang masih bertahan –ataupun
dipertahankan. Kemajuan jaman menjadikan individu akhirnya bersikap
abai, tidak peduli, dan individualistis. Bahwa nilai baik tersebut
pada akhirnya mencerminkan citra diri bangsa, sudah tidak menjadi
penting lagi. Citra diri bangsa dengan nilai baik tersebut selanjutnya
dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan, bahkan menjadi pemikiran yang
semakin jauh lagi.
Dengan fakta ini, tidak berlebihan jika tulisan ini mencoba
menawarkan sebuah ide untuk mendukung pariwisata Indonesia dengan
mengembalikan lagi nilai-nilai baik tersebut dalam kampanye kesadaran
untuk berbuat baik. Kesadaran berbuat baik berangkat dari pemikiran
bahwa individu sejak awal hidupnya memang telah memiliki nilai-nilai
perbuatan baik yang dieksternalisasikan oleh keluarganya, namun sejauh
mana individu tersebut dapat menularkan perbuatan baik tersebut
melalui proses internalisasi pada orang lain tanpa reward apapun selain
keyakinan bahwa semakin banyak orang yang berbuat baik maka akan
membuat Indonesia juga menjadi lebih baik pula.
Kampanye kesadaran berbuat baik merupakan gerakan moral yang
bersifat sporadic pada diri individu. Ia tidak bersifat himbauan,
tetapi menggambarkan refleksi diri tentang nilai kebaikan pada diri
seseorang yang tercermin pada orang lain. Bersifat timbal balik, dan
profit-nya tidak terukur. Target bukan merupakan obyek, tapi menjadi subyek
20
kampanye. Kata ‘anda’ yang menunjukan target, diganti menjadi ‘saya’.
Karena bersifat strategis dan menyangkut perubahan pola pikir, maka
kampanye ini tidak memberikan dampak segera. Oleh karena itu ia
disebut sebagai ‘kesadaran’. Bentuknya seperti gerakan ‘menyusun puzzle’
secara bersama. Jika saya memiliki satu potongan, maka puzzle tersebut
akan utuh dengan potongan yang dimiliki orang lain. Terus berlangsung
demikian pada orang lainnya. Jika meminjam istilah intelektual
kolektif versi Bourdieu kampanye ini macam gerakan yang memiliki
struktur bebas, jaringan informal dan tidak terkonsentrasi di satu
pusat (Mutahir, 2011:144).
Hingga pada akhirnya, berbuat baik menjadi suatu kebiasaan yang
kemudian menjadi karakter brand Indonesia dan berkontribusi dalam
mendongkrak minat wisatawan untuk datang ke Indonesia. Demikianlah
esensi strategic communications, ia tak mampu berdiri sendiri dan mencapai
tujuannya tanpa usaha dan dukungan dari seluruh stakeholdernya. Setiap
orang memainkan perannya masing-masing demi tercapai tujuan bersama.
V. KESIMPULAN
Mengemas brand destinasi sudah sewajarnya seperti memperlakukan
brand komersil. Nilai, identitas, dan karakter tidak dapat dilepaskan
daripadanya. Karakter tercermin dari perilaku warga negaranya. Oleh
karena itu, gerakan kesadaran untuk menumbuhkan dan membiasakan
21
perilaku baik dalam keseharian, adalah sebuah langkah sederhana yang
dapat dilakukan. Dengan banyak perbuatan baik yang menular, maka
masyarakat akan nyaman dengan hidupnya, dan kenyamanan akan mengundang
wisatawan untuk tertarik datang .
DAFTAR PUSTAKABuku:Berger, Peter L. Lucman, Thomas. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan : Sebuah Risalah
Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.Calhoun, Craig. 2007. Contemporary Sociological Theory. Malden: Blackwell
Publishing.Creswell, John W.2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Dhar, Mainak. 2007. Brand Management 101. Singapore: John Wiley & Sons.Kasali, Rhenald. 1998. Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting, dan Positioning.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Kasali, Rhenald. 2009. Manajemen Periklanan : Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Grafiti.Kasilo, Djito. 2008. Komunikasi Cinta: Menembus G-Spot Konsumen Indonesia. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.Mutahir, Arizal. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah gerakan Untuk Melawan
Dominasi. Bantul: Kreasi Wacana. Neuman, W. Lawrence. 2011. Social research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches. USA: Pearson.Shimp, Terence A. 2006. Advertising, Promotion and Other Aspects of Integrated Marketing
Communications. Ohio: South Western Educational Publishing.Wells, William. Burnett, John. Moriarty, Sandra. 2003. Advertising: Principle and
Practice. New Jersey: Pearson.Wilson, Laurie J. Ogden, Joseph D. 2008. Strategic Communications Planning. USA:
Kendall/Hunt Publishing Company.Wiryawan, Mendiola B. 2008. Kamus Brand A-Z. Jakarta: Red & White Publishing.
Jurnal:Dewi, Ike Janita. Antisipasi Vol.10 No.2 Tahun 2007 dalam
isjpd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal, diakes pada 24 Januari 2013,14.30.
22
Scott, Noel. Ashton, Ann Suwaree. Ding, Peiyi. Xu, Honggang. 2011. TourismBranding and Nation Building in China. International Journal of Culture,Tourism, and Hospitality Research. Vol. 5 Iss: 3.
Website:Oratmangun, Djauhari. Menjadikan Pariwisata Pilar Ekonomi,
http://news.detik.com/read/2012/08/01/085834/1980031/103/menjadikan-pariwisata-pilar-ekonomi, diakses 23 Januari 2013, 23.43.
Purba, Roberto. A. Pariwisata Indonesia Menjanjikan Tapi Banyak PR,http://www.bisnis.com/articles/pariwisata-indonesia-menjanjikan-tapi-banyak-pr, diakses 23 Januari 2013, 23.43.
Prakoso, Yudah. Gunawan, Iwan. Isu Teror Menurunkan Tingkat Hunian Hotel,http://news.liputan6.com/read/24646/isu-teror-menurunkan-tingkat-hunian-hotel, diakses 23 Januari 2013, 23.43.
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/319041-8-negara-terbaik-asean-di-sektor-pariwisata, diakses 23 Januari 2013, 23.43.
http://www.suarapembaruan.com/home/ukuran-asean-pariwisata-indonesia-tak-dianggap-memalukan/20716, diakses 23 Januari 2013, 23.43.
http://www.the-marketeers.com/archive/mempromosikan-bromo-lewat-acara-musik,diakses 23 Januari 2013, 23.43.