27
14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjanjian jual-beli kapal merupakan jenis perjanjian timbal balik yang melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat. Sebagaimana umumnya, perjanjian merupakan suatu lembaga hukum yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi jenis perjanjian yang mereka buat. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan perjanjian sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Suatu perjanjian didefinisikan sebagai hubungan hukum karena didalam perjanjian itu terdapat dua perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yaitu perbuatan penawaran (offer, aanbod) dan perbuatan penerimaan (acceptance, aanvaarding) 1 . Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian jual beli adalah perjanjian dimana ikatan bahwa penjual memindahkan hak miliknya atas barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut harga. Undang-Undang membedakan antara Sell dan Agreement to SellSell adalah jual beli dan hak milik atas barang seketika berpindah kepada pembeli, misalnya jual beli tunai, 1 Martokusumo, Sudikto, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1999, hal 103

Perjanjian Jual Beli

Embed Size (px)

Citation preview

14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian jual-beli kapal merupakan jenis perjanjian timbal balik yang

melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang membuat

perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan

isi perjanjian yang mereka buat. Sebagaimana umumnya, perjanjian merupakan suatu

lembaga hukum yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana para pihak

bebas untuk menentukan bentuk dan isi jenis perjanjian yang mereka buat.

Sudikno Mertokusumo mendefinisikan perjanjian sebagai hubungan hukum

antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat

hukum. Suatu perjanjian didefinisikan sebagai hubungan hukum karena didalam

perjanjian itu terdapat dua perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih

yaitu perbuatan penawaran (offer, aanbod) dan perbuatan penerimaan (acceptance,

aanvaarding)1.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian jual beli adalah perjanjian

dimana ikatan bahwa penjual memindahkan hak miliknya atas barang kepada

pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut harga. Undang-Undang

membedakan antara “Sell dan Agreement to Sell” Sell adalah jual beli dan hak

milik atas barang seketika berpindah kepada pembeli, misalnya jual beli tunai,

1 Martokusumo, Sudikto, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1999, hal

103

15

sedangkan agreement to sell adalah jual beli barang dimana pihak-pihak setuju

barangnya berpindah kepada pembeli pada waktu yang akan datang.2

Dalam pasal 1457 KUHPerdata disebutkan bahwa jual-beli adalah suatu

persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan

suatu kebendaan,dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.3

Jadi pengertian jual-beli menurut KUHPerdata adalah suatu perjanjian bertimbal

balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak

miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan pihak lain,

membayar harga yang telah disetujuinya4.

Perjanjian jual-beli dalam KUHPerdata menentukan bahwa objek perjanjian

harus tertentu, atau setidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan

diserahkan hak milik atas barang tersebut kepada pembeli.

Kewajiban penjual menyerahkan barang dan menanggungnya, adalah

merupakan jaminan bagi pembeli bahwa barang yang dibelinya dapat dinikmati

sesuai dengan kegunaannya. Dimama jual beli ini selanjutnya diatur mengenai hak

dan kewajiban, ini yang mengisyaratkan bahwa jual beli dilindungi oleh undang-

undang dan oleh karena jual beli ini merupakan dilakukan berdasarkan persetujuan,

maka jual beli harus disesuaikan dengan syarat-syarat sahnya persetujuan.

Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, menentukan untuk sahnya suatu

perjanjian harus memenuhi 4 syarat yaitu :

2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2006, hal 24

3 Lihat pasal 1457 KUHPerdata

4 Subekti , Hukum Perjanjian, PT. Internasa, Jakarta, 2002 hal 79

16

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

Di zaman era globalisasi sekarang ini hubungan jual beli yang dilakukan

antar negara telah mengalami kemajuan yang harus diikuti dengan aturan-aturan

hukum dinegara kita termasuk juga di dalamnya jual beli kapal yang didalamnya

melibatkan unsur asing, baik penjual ataupun sipembelinya yang mempunyai

kewarganegaraan yang berbeda.

Perjanjian jual beli kapal berbendera asing merupakan salah satu dari

ketentuan perundang-undangan yang masuk pengaturan Hukum Perdata

Internasional Indonesia. Jadi disini yang ditekankan adalah perbedaan dalam

lingkungan kuasa, tempat dan soal-soal serta pembedaan dalam sistem hukum suatu

negara dengan lain negara, artinya adanya unsur luar negerinya ( Foreign element )5

Untuk memudahkan terjadinya proses jual beli antar negara seperti halnya

dalam transaksi jual beli kapal-kapal asing, atau kapal kapal berbendera Indonesia

yag dibeli oleh orang atau badan hukum asing perlu adanya suatu payung hukum

yang jelas karena hanya sedikit sekali aturan hukum yang mengatur tentang jual beli

kapal yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia, baik itu yang berkaitan dengan

5 S. Gautama, Pengantar Hukum Internasional Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1987,

hal 21

17

tata cara pelaksanaan jual beli kapal maupun dalam hal terjadinya sengketa terhadap

jual beli kapal yang melibatkan unsur asing.

Dengan kapal-kapal timbul juga masalah Hukum Perdata Internasional,

karena bendera dari kapal ini berbeda dari orang-orang yang mengadakan

hubungan dengan kapal itu. Untuk kapal, bendera adalah seperti kewarganegaraan

untuk orang dewasa. 6

Kaitannya dalam Hubungan Hukum Perdata Internasional titik taut pertalian

primer (foreign element) mencakup beberapa hal yaitu : kewarganegaraan, bendera

kapal, domisili, tempat kediaman, tempat kedudukan dan hubungan hukum di dalam

hubungan intern. 7

Para pihak yang terlibat dalam pembuatan kontrak bisnis internasional

pada dasarnya tidak menghendaki adanya sengketa dikemudian hari, namun tidak

seorangpun dapat meramalkan akan terjadinya suatu kerugian yang mungkin timbul

dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Jika timbul suatu sengketa mengenai kontrak

bisnis Internasional dengan kata lain sengketa mana mengandung unsur asing

(foreign element) maka timbul persoalan mengenai hukum dari negara mana yang

harus diterapkan yaitu apakah hukum negara dari pihak penjual atau hukum negara

dari pihak pembeli, atau hukum dari forum sengketa dimana sengketa itu diajukan

atau hukum yang dipilih oleh para pihak (choice of law by the parties). Terhadap

proses jual beli kapal dapat dilakukan oleh manusia sebagai subyek hukum dan

6 S. Gautama, Op cit , hal 26

7 www. Anneahira.com/hukum-perdata-internasional.htm, diakses tanggal 10 Februari 2012

pukul 21.00 WIB

18

dapat juga dilakukan oleh badan hukum, baik itu badan hukum yang hukum yang

didirikan dan berdomisili di Indonesia maupun terhadap badan hukum asing yang

diakui oleh Hukum Perdata Internasional. Permasalahan yang timbul untuk

menetukan pilihan hukum mana yang harus dipakai seandainya terjadi sengketa

diantara pihak sesuai dengan ketentuan hukum berlaku dalam hubungan Hukum

Perdata Internasional karena adanya unsur asing dalam perjanjian yang dibuat.

Masalah lain yang timbul dalam sengketa perjanjian jual beli internasional

adalah apabila terjadinya wanprestasi dari salah satu pihak maka masalah forum mana

yang berwenang untuk mengadili seandainya terjadi sengketa diantara pihak. Karena

dalam sengketa internasional terbuka kemungkinan timbulnya banyak jurisdiksi yang

mempunyai kewenangan atas sengketa tersebut, sebab kegiatan bisnis, termasuk jual

beli internasional termasuk jual beli kapal melibatkan banyak negara dan masing-

masing negara mempunyai hukum acara yang berbeda satu lainnya dalam menangani

kasus bisnis internasional tersebut.8

Karena para pihak yang terlibat dalam kontrak jual beli internasional termasuk

berasal dari negara yang berbeda, dan jika timbul sengketa maka terbuka

kemungkinan bahwa sengketa tersebut dapat diajukan pada pengadilan dari masing-

masing pihak. Selain itu pengadilan dari negara ke tiga dapat juga mempunyai

8 www.fh.unair.ac.id/opini.hukum.php?id=5&respon=0 diakses tanggal 4 maret 2012 pukul

22.00 WIB

19

kewenangan untuk memeriksa suatu sengketa, jika tempat terjadinya kerugian berada

dalam yurisdiksi pengadilan dari negara tersebut. 9

Dalam pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2002, secara

tegas dinyatakan bahwa terhadap kapal yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri

dan sudah terdaftar dinegara asalnya harus dilengkapi dengan surat penghapusan

dari daftar kapal yang diterbitkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan.10

Sering ketentuan ini berseberangan dengan keinginan para pihak, sebab dengan

dilakukannya penghapus kebangsaan kapal di negara asalnya sebelum

dilakukannya transaksi jual beli, sangat memungkinkan terjadinya resiko bagi

pihak si penjual seandainya terjadinya pembatalan pembelian dari pihak si

pembeli ataupun sebaliknya.

Permasalahan lain juga kekurang telitian dari pihak pembeli terhadap

pembelian kapal yang berbendera asing, kemungkinan kapal yang akan di

transaksikan tersebut masih terikat hipotik kapal di negara asalnya, hal ini tentu

akan menimbulkan resiko bagi pihak pembeli.

Terhadap hal jual beli kapal berbendera asing dalam ketentauannya masuk

kedalam hukum maritim indonesia yang dapat kita lihat dalam perundangan nasional

seperti : Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran, Peraturan

pemerintah nomor 51 tahun 2002 tentang perkapalan, KUHPerdata, KUHDagang,

serta perjanjian-perjanjian internasional oleh negara-negara seperti UNCLOS 1982,

9 www.fh.unair.ac.id/opini.hukum.php?id=5&respon=0 diakses tanggal 4 maret 2012 pukul

22.00 WIB 10

Lihat pasal 24 PP nomor 51 tahun 2002

20

konvensi-konvensi yang dihasilkan dalam International Maritime Organization

(IMO) atau konvensi-konvensi dalam hukum maritime internasional perdata,

perjanjian-perjanjian perdata yang dibuat oleh pelaku-pelaku aktivitas kemaritiman

atau kontrak-kontrak dalam bidang transportasi dan kebiasaan-kebiasaan yang

berlaku dalam dunia pelayaran. 11

Sehubungannya dengan kenyataan itu maka penelitian ini akan menyoroti

salah satu aspek hukum yang berkaitan dengan perjanjian jual beli kapal

berbendera asing dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008

tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan,

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan

Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai Serta Pengawasan Atas Pemasukan dan

Pengeluaran Barang Ke dan Dari Serta Berada di Kawasan Yang Telah Ditunjuk

Sebagai Kawasan Perdangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, guna untuk mengetahui

dasar hukum, asas-asas, prinsip-prinsip serta ketentuan-ketentuan konvensi

internasional yang mengatur tentang pelaksanan jual beli internasional dalam

kaitannya dengan kapal berbendera asing yang pelaksanaannya dilakukan di wilayah

Batam, guna mengtahui siapa yang berhak melakukan pengikatan terhadap

perjanjian jual beli kapal berbendera asing tersebut dalam wilayah hukum Indonesia

(khususnya Batam) dan sebagai acuan, apa-apa yang menjadi ketentuan hukum bagi

11

Aktieva Tri Tjirawati, Problema Penyeragaman Hukum Maritim Perdata dan

Penyelarasan kedalam Hukum Nasional , Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya,

2010, hal 141.

21

seorang notaris dalam melakukan pengikatan perjanjian jual beli kapal berbendera

asing yang dilakukan di wilayah Batam.

Dalam permasalahan tersebut diatas, penulis menitik beratkan terhadap

perjanjian jual beli kapal berbendera asing yang dilakukan di Batam, baik yang

dilakukan oleh pribadi maupun yang dilakukan oleh badan hukum terhadap kapal

yang mempunyai ukuran 20 M3 /tonase 7 (GT 7) atau lebih yang menjadi keharusan

untuk dilakukan balik nama atau didaftarkan sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1

huruf a) Peraturan Menteri Perhubungan nomor : KM. 26 tahun 2006 tentang

Penyederhanaan Sistem dan Prosedur Pengadaan Kapal dan Penggunaan/

Penggantian Bendera Kapal.

Hal ini juga sangat ditunjang dengan banyaknya perusahaan-perusahaan asing

maupun nasional yang ada di Batam yang bergerak di bidang pembuatan kapal

(shipyard) untuk terjadinya transaksi jual beli kapal di Batam, baik kapal Bendera

Kebangsaan Indonesia (BKI ) maupun kapal yang berbendera asing Batam seperti

halnya kapal-kapal negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Selain itu juga penulis akan sedikit menyoroti dalam hubungan jual beli kapal

berbendera asing dengan posisi Batam sebagai salah satu daerah yang mendapatkan

priotas perdagangan bebas atau Free Trade Zone (FTZ) oleh Pemerintah Pusat

sebagaimana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Kawasan

Perdangangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ( Lembaran Negara Republik Indonesia

22

Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4775 ).

Untuk itulah maka penulis memilih judul “ ANALISIS YURIDIS

PERJANJIAN JUAL BELI KAPAL BERBENDERA ASING DI BATAM “

B. Perumuan Masalah

1. Bagaimana ketentuan pelaksanaan perjanjian jual beli kapal antar negara yang

digunakan di Batam.

2. Bagaimana proses perjanjian jual beli kapal berbendera asing serta perlindungan

hukum bagi para pihak terhadap perjanjian jual beli tersebut yang transaksinya

dilakukan di Batam.

3. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa yang terjadi dalam perjanjian jual beli

kapal berbendera asing yang transaksinya dilakukan di Batam.

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan uraian permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui peraturan-peraturan tentang perjanjian atau kontrak dalam

jual beli yang di dalamnya adanya unsur asing menurut sistem hukum Indonesia.

2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan jual beli kapal berbendera asing serta

perlindungan hukum bagi para pihak dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban

yang dibebani terhadap pelaksanaan jual beli kapal berbendera asing.

23

3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa dalam perjanjian jual beli kapal

berbendera asing yang transaksinya dilakukan di wilayah hukum Indonesia

khususnya Batam.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai tinjauan hukum

terhadap perjanjian jual beli kapal berbendera asing di Indonesia khususnya yang

dilaksanakan di Batam dapat membantu praktisi hukum khususnya Notaris, pelaku

transaksi dapat mengetahui tatacara pelaksanaan perjanjian jual beli kapal

berbendera asing dan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak

sebelum penandatanganan kontrak perjanjian jual beli dan apa saja yang harus di

tuangkan didalam suatu akta kontrak perjanjian jual beli khususnya mengenai

transaksi kapal asing tersebut.

2. Secara Praktis

Pembahasan tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi kalangan

praktisi hukum, pengusaha nasional dalam kaitannya dengan transaksi perjanjian

jual beli kapal berbendera asing.

24

E. Keaslian Penelitian

Penulisan ini berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli

Kapal Berbendera Asing di Batam” yang diajukan ini adalah dalam rangka

memenuhi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk memperoleh gelar Magister

Konoktariatan.

Penulisan tesis ini mengenai tinjauan yuridis terhadap Jual Beli Kapal

Berbendera Asing belum pernah dibahas dan diangkat dalam tesis. Akan tetapi

apabila ada kesamaan dengan milik orang lain, bukanlah suatu kesengajaan dan

pastilah memiliki isi, permasalahan, riset yang berbeda pula. Dengan demikian

penulisan tesis ini, tidak sama dengan penulisan tesis yang pernah ada, karena tesis

ini dibuat sendiri dengan menggunakan literatur-literatur, sehingga tesis ini masih

asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang

berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan

mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah sarana yang ringkas untuk

berpikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.12

Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakekatnya

tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan masalah keadilan.

12

HR. Otje Salman S dan Anton F Sutanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal 22

25

Kontrak sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak

dengan pihak lain menurut bentuk pertukaran kepentingan yang adil. Oleh karena

itu, sangat tepat dan mendasar apabila dalam melakukan analisis tentang azas

proporsionalitas dalam kontrak justru dimulai dari aspek filosofis keadilan

berkontrak. 13

Menurut L.J. Van Apeldoorn, bahwa keadilan itu memperlakukan sama

terhadap hal yang sama dan memperlakukan tidak sama sebanding dengan

ketidaksamaannya.14

Sehubungan dengan hakekat keadilan dalam kontrak , beberapa sarjana

mengajukan pemikirannya tentang keadilan yang berbasis kontrak, antara lain John

Locke, Rosseau, Immanuael Kant, serta John Rawls. Para pemikir tersebut

menyadari bahwa tanpa kontrak serta hak dan kewajiban yang ditimbulkannya,

maka masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Oleh karena itu tanpa adanya

kontrak orang tidak akan bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak

lain. Kontrak memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing

individu akan memenuhi janjinya, dan selanjutnya hal ini memungkinkan

terjadinya transaksi diantara mereka. 15

Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak

bebas, pacaran dari hak asasi manusia yang perberkembangannya dilandasi oleh

13

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionallitas Dalam Kontrak Komersil,

Kencana, Jakarta, 2010, hal 47 14

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Ketakan XXX, Pradya Paramita, Jakarta, 2004, hal

11 15

Agus Yudha Hernoko, Ibid, hal 52

26

semangat liberalisme yang mengagungkan kekebasan individu.16

Menurut paham

indivudualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki yang di

dalam perjanjian diwujudkan di dalam asas kebebasan berkontrak.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif, dan oleh karena

itu kerangka teori yang diarahkan secara khas oleh ilmu hukum, dimana

penelitian ini berusaha untuk memahami ketentuan yang mengatur serta masalah

yang timbul dari perjanjian jual beli kapal asing yang dilakukan di Batam.

Kerangka teori itu akan digunakan sebagai landasan berfikir untuk

menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini yaitu mengenai Analisis

Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Kapal Berbendera Asing di Batam. Dalam

hal ini teori yang digunakan adalah Teori Keadilan, hal ini dipergunakan untuk

memperoleh kepastian hukum terhadap para pihak dalam perjanjian jual beli

kapal yang dalam prosesnya dibebankan kewajiban-kewajiban bagi para pihak.

Asas yang dianut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dalam membuat

suatu perjanjian, yaitu:

a. Asas Konsensualisme yaitu bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada suatu kata

sepakat dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum

lain, kecuali perjanjian itu bersifat formil. Ini berarti bahwa perjanjian itu telah

dianggap ada dan mempunyai akibat hukum yang mengikat sejak tercapainya

kata sepakat.

b. Asas Kekuatan Mengikat (asas Pacta Sunt Servanda) merupakan asas dalam

perjanjian yang berhubungan dengan keterikatan suatu perjanjian oleh para

16

Agus Yudha Hernoko, Op cit, hal 109

27

pihak. Jadi, setiap perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan

mengikat bagi mereka yang membuatnya.

c. Asas Kebebasan Berkontrak (Partij Autonomie) Asas ini mengandung beberapa

unsur, yaitu:

1. seseorang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian,

2. seseorang bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun juga,

3. isi, syarat, dan luasnya perjanjian bebas ditentukan sendiri oleh para

pihak.

Asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam Pasal 1338 alinea ke satu

KUHPerdata para pihak yang sepakat melakukan perjanjian dianggap mempunyai

kedudukan yang seimbang serta berada dalam situasi dan kondisi yang bebas

menentukan kehendaknya untuk melakukan perjanjian. Pasal 1338 alinea ke satu

tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat

perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-

undang.17

Asas kebebasan berkontrak juga ditegaskan dalam Pasal 1321 KUH Perdata

yang mana menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu dibuat harus bersifat bebas.

Kesepakatan tidaklah sah apabila diberikan berdasarkan kekhilafan, atau

diperolehnya dengan penipuan atau paksaan.

Ketentuan mengenai klausula kontrak merupakan konsekuensi dari upaya

kebijakan untuk memposisikan para pihak supaya dalam kondisi yang seimbang,

17

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Rajagrafindo

Persada, Jakarta, 2003, hal. 34.

28

yakni terdapatnya suatu hubungan kontraktual antara penjual dan pembeli dalam

prinsip kebebasan berkontrak.“Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa

yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti pasal-pasal itu boleh

disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu

perjanjian.”18

Para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam

perjanjian-perjanjian yang diadakannya.

Kebebasan berkontrak adalah bila para pihak dikala melakukan perjanjian

berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya dalam konsep

atau rumusan perjanjian yang disepakati. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan

perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang

mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan

harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan.

Ada 2 (dua) prinsip hukum yang harus diperhatikan dalam mempersiapkan

suatu perjanjian atau kontrak, yaitu:

a. Beginselen der contractsvrijheid atau partij autonomie

b. Pacta sunt servanda

Beginselen der contractsvrijheid atau partij autonomie, yaitu para pihak bebas

untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan dengan syarat tidak bertentangan

dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Sedangkan pacta sunt

servanda berarti bahwa “setiap janji harus ditepati (ini berarti mengikat)”.19

18

Subekti (1), Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, 2005, hal. 13. 19

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Aneka Ilmu, Semarang, 1977, hal.648.

29

Asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk

membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, menentukan bentuk

kontrak, memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan. “Jika asas

konsensualisme berkaitan dengan lahirnya kontrak, asas kekuatan mengikatnya

kontrak berkaitan dengan akibat hukum, maka asas kebebasan berkontrak berkaitan

dengan isi kontrak.”20

Subekti, sebagaimana dikutip oleh Felix O. Subagjo memberikan pendapat

mengenai kebebasan berkontrak sebagai:

“Tuntutan akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak,

memang tidak dapat dipertahankan lagi dalam zaman moderen ini. Pernyataan

yang menjadi dasar sepakat adalah pernyataan yang secara objektif dapat

dipercaya. Adanya perjumpaan kehendak (consensus) sudah tepat jika diukur

dengan pernyataan yang bertimbal balik yang telah dikeluarkan. Hakim dapat

mengkonstruksikan adanya sepakat dari perjanjian dengan adanya pernyataan

bertimbal balik” 21

Pendapat yang sama juga diberikan Rutten terhadap asas kebebasan

berkontrak, sebagaimana dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad,. Dalam asas

kebebasan berkontrak setiap orang bebas untuk:

a. Mengadakan perjanjian atau tidak mengadakan perjanjian;

b. Memilih mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c. Menentukan isi, syarat-syarat, dan bentuk perjanjian yang dibuat;

20

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 29. 21

Felix O. Subagjo, Perkembangan Asas-asas Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis, Badan

Pembinaan

Hukum Nasional, Jakarta 1994, hal. 57.

30

d. Menentukan ketentuan hukum mana yang berlaku bagi perjanjian yang

dibuatnya.”22

Hasanudin Rahman juga mengemukakan, adapun ruang lingkup dari asas

kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi:

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat

perjanjian;

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang

akan dibuat;

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian;

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang

yang bersifat opsional.23

PS. Atiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan Khairandy menyatakan

bahwa kontrak didasarkan pada kehendak bebas para pihak dalam berkontrak, tidak

hanya bagi terciptanya kontrak, tetapi juga definisi dan validitas isi kontraknya.

Kebebasan berkontrak menolak kebiasaan yang mengatur isi kontrak, dan juga

menolak ajaran bahwa “an objectively just price exist for any objects susceptible to

exchange.”

Menurut Sutan Remi Sjahdeini yang dikutip oleh Agus Yudha Hernoko, asas

kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup

sebagai berikut :

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat

perjanjian.

22

Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT. Citra

Aditya

Bakti, Bandung, 1982, hal 225. 23

Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 11

31

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang

akan dibuat.

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang

yang bersifat opsional (aanvullend, optional).24

Di dalam Pasal 1338 alinea ke tiga KUHPerdata, hakim diberi kekuasaan

untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, agar pelaksanaan perjanjan yang

dibuat sesuai dengan itikad baik dan agar jangan sampai perjanjian itu melanggar

“kepatutan dan keadilan”. Ini berarti hakim berkuasa menindak penyimpangan dari

isi perjanjian, manakala pelaksanaan perjanjian menurut klausula yang dicantumkan

oleh para pihak bertentangan dengan itikad baik sebagai suatu tuntutan keadilan

sesuai dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa :

suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau

apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Dalam lingkup KUHPerdata, contoh implementasi prinsip equity tampak

jelas dalam dalam rumusan pasal 1339 KUHPerdata berbunyi :

Perjanjian –perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan

tegas dinyatakan di dalamnya, tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut

24

Agus Yudha Hernoko,Op cit hal 110-111.

32

sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan (billijkheid), kebiasaan, atau

undang-undang.25

Substansi Pasal 1339 KUHPerdata ini mengarisbawahi pentingnya

kepatutan (equity, billijkeheid) dalam kaitannya dengan keterikatan kontraktual

para pihak, disamping apa yang telah disepakati dalam kontrak. Pasal 1339

KUHPerdata tersebut, khusus yang berhubungan dengan kepatutan pada

umumnya selalu dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata bahwa

“Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik”.

Dalam memutuskan suatu sengketa yang berhubungan dengan kontrak Hakim

semestinya harus memperhatikan terlebih dahulu apa yang diperjanjikan oleh para

pihak yang berkontrak, baru kemudian jika sesuatu hal tidak diatur dalam surat

perjanjian dan dalam undang-undang tidak terdapat suatu ketetapan mengenai hal

itu.26

Untuk itu disini hakim harus menyelidiki bagaimanakah biasanya hal yang

semacam itu diaturnya di dalam praktek. Jika ini juga tidak diketahuinya, karena

mungkin hal itu belum banyak terjadi, hakim harus menetapkannya menurut perasaan

keadilan.

Perjanjian itu menimbulkan suatu perikatan antara orang yang membuatnya.

Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung

janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dorongan pembatasan

25

Lihat Pasal 1339, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 26

Subekti (2), Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal 140.

33

kebebasan berkontrak ini tampil kepermukaan guna lebih menyediakan ruang dan

peluang yang lebih besar pada pengertian-pengertian keadilan, kebenaran, kesusilaan,

serta ketertiban umum. Hal ini terjadi karena perjanjian merupakan dasar dari banyak

kegiatan bisnis dan hampir semua kegiatan bisnis diawali dengan adanya perjanjian

atau kontrak, meskipun dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun.27

Perjanjian yang memuat klausula eksonerasi muncul seiring dengan

perkembangan asas kebebasan berkontrak. Klausula eksonerasi ini tidak hanya

terdapat dalam perjanjian baku atau kontrak standar tetapi juga dalam perjanjian

kerjasama yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Sebelum masuknya konsep

welfare state, asas kebebasan berkontrak yang muncul bersamaan dengan lahirnya

paham ekonomi klasik yang dipelopori Adam Smith, mengagungkan laissez faire

(persaingan bebas).”28

Antara paham ekonomi klasik dan dan persaingan bebas saling

mendukung dan berakar pada paham hukum alam. Kedua paham tersebut melihat

individu mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya,

disebabkan karena manusia sebagai individu mempergunakan akalnya.

Menurut hukum alam individu-individu diberi kebebasan untuk menetapkan

langkahnya dengan sekuat akal dan tenaganya untuk mencapai kesejahteraan yang

optimal. Berhasilnya individu mencapai kesejahteraan maka masyarakat yang

merupakan kumpulan dari individu-individu tersebut akan menjadi sejahtera pula,

27

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 9. 28

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2004, hal 190

34

oleh karena itu untuk mencapai kesejahteraannya individu harus mempunyai

kebebasan bersaing dan negara tidak boleh ikut campur tangan. “Seiring dengan asas

laissez faire tersebut, freedom of contract merupakan pula prinsip umum dalam

mendukung berlangsungnya persaingan bebas tersebut.”29

2. Konsepsi

Para ahli memberikan pengertian mengenai klausula eksonerasi ini sebagai

berikut:

Sebagaimana yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman, Rijken

mengatakan bahwa: “klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam

suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi

kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena

ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum”.30

Sutan Remi Sjahdeini mengartikan klausula eksonerasi dengan “klausul

eksemsi”, yang dikatakan sebagai klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau

membatasi tanggungjawab salah satu pihak tehadap gugatan pihak lainnya dalam hal

yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya

yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.

Az. Nasution mengatakan klausula eksonerasi sebagai syarat-syarat yang

membebaskan seseorang tertentu dari beban tanggungjawab karena terjadinya sesuatu

29

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak

dalamPerjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Banking Indonesia, Jakarta 1993, hal. 8. 30

Mariam Darus Badrulzaman (3), Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal. 47.

35

akibat perbuatan. Dengan kata lain, dibebaskannya seseorang tertentu dari suatu

beban tanggungjawab.

Pasal 1313 KUHPerdata memberikan rumusan kontrak atau perjanjian adalah

“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.31

Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1313 KUH

Perdata tersebut mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

b. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus. Sebaiknya dipakai kata

“persetujuan”, bukan “perbuatan”, karena konsensus berarti sepakat atau

setuju. Suatu perjanjian dinamakan persetujuan di mana dua pihak sudah

setuju atau sepakat mengenai suatu hal.

c. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga

kelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum

keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan dalam lapangan hukum

kekayaan. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUH Perdata hanyalan

perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian personal.

d. Tanpa menyebutkan tujuan. Dalam rumusan pengertian tersebut tidak

disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak itu tidak jelas

mengikatkan diri untuk apa.”32

Atas dasar alasan-alasan diatas, Abdul Kadir Muhammad merumuskan

pengertian perjanjian yaitu: suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih

saling mengikatkan diri untuk hal dalam lapangan kekayaan.

31

Lihat pasal 1313 KUHPerdata 32

Abdul Kadir Muhammad, Op. cit., hal. 12

36

Menurut Wirjono Prodjodikoro, “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu

perbuatan hukum mengenai benda kekayaan antara dua pihak, dalam hal mana saja

satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut

pelaksanaan perjanjian itu.”33

Subekti menyatakan “perjanjian adalah suatu peristiwa

di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang itu saling

berjanji untuk melakukan suatu hal.

Menurut pendapat R. Setiawan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan

hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih.”34

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan yang terdapat dari literature buku-buku maupun ilmu teknologi. Hal ini

disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran

secaraa sistematika, metodologis, dan konsisten. Metode yang diterapkan harus

senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.35

1. Sifat dan Jenis Penelitian

a. Sifat Penelitian

33

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1983, hal. 5. 34

R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 49. 35

Soejono Soekanto dan Sri Mulyani, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal 7

37

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis.

Dikatakan bersifat deskriptif karena dalam penelitian ini diharapkan memperoleh

gambaran yang menyeluruh, lengkap, dan sistematis mengenai bentuk-bentuk dan

pelaksanaan klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian jual beli kapal

berbendera asing di Batam

Bersifat analitis maksudnya bahwa penelitian ini tidak hanya memaparkan

apa yang telah diteliti, akan tetapi juga dianalisis terhadap aspek hukum dari

penggunaan klausula eksonerasi tersebut.

b. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang diterapkan adalah memakai metode pendekatan

yuridis normatif untuk mengkaji peraturan-peraturan yang berhubungan dengan

perjanjian jual beli kapal asing di Batam, sehingga diketahui apakah kontrak jual

beli di antara pihak telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku sesuai dengan

ketentuan Hukum Perdata Internasional Indonesia dan ketentuan Hukum Perdata

Internasional yang dianut oleh negara Internasional secara umumnya.

Maka dari itu dengan dilakukannya penelusuran terhadap ketentuan

peraturan perundang-undangan serta konvensi-konvensi internsional yang berkaitan

dengan jual beli antar negara dapat diketahui kebenaran dalam pelaksanaannya

baik secara teori maupun praktek.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Pengamatan atau Observasi, yaitu dengan mengamati peristiwa.

38

Observasi atau pengamatan yang dilakukan berupa observasi sistematis

yang terikat pada syarat-syarat sebagaimana yang disebutkan Claire Selltiz

sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, yaitu:

1. Pengamatan didasarkan pada suatu kerangka konsepsional dan teoritis.

2. Dilakukan secara sistematis, metodologis, dan konsisten.

3. Dilakukannya pencatatan data dari pengamatan.

4. Dapat diuji kebenarannya.”36

b. Melakukan wawancara dengan pihak pihak yang terkait dalam hal ini adalah

pihak yang membuat perjanjian jual beli yaitu Notaris, Syahbandar dan Kantor

Pelayanan Pajak.

c. Dalam pengumpulan data ini merupakan landasan utama penyusunan tesis,

penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) dan

penulis membaca literatur berupa Perundang-undangan dan sumber lain yang

berhubungan dengan perjanjian jual beli.

3. Sumber Data

Penulisan tesis ini memerlukan data primer maupun data sekunder,

dengan melakukan penelitian sebagai berikut :

a. Penelitian Lapangan (field research)

36

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI) Press, Jakarta, hal. 206

39

Penelitian lapangan ini bertujuan untuk memperoleh data primer yang

langsung diperoleh di lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait

dengan penulisan tesis ini seperti Notaris, Syahbandar, Kantor Pajak. Dalam

penelitian ini akan diwawancara langsung notaris, Kepala Syahbandar dan Kepala

Bagian Pelayanan Pajak di Batam.

b. Penelitian Kepustakaan (library research)

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan

melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan masalah

yang akan diteliti, dilakukan terhadap:

1. Bahan hukum primer, yaitu: bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat,

berupa peraturan perundang-undangan, diantaranya:

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata),

b. Kitab Undang Undang Hukum Dagang

c. Konvensi-konvensi Internasional tentang jual beli kemaritiman

d. Putusan-putusan Mahkamah Internasional

e. Perarturan Perundang-Undangan seperti : Undang-Undang Nomor 17 tahun

2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah momor 51 tahun 2002,

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 tentang

Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai Serta Pengawasan Atas

Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Serta Berada di Kawasan

Yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdangan Bebas dan Pelabuhan

Bebas, Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2008 tangga 7 Mei 2008 tentang

Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Peraturan

40

Menteri Perhubungan Nomor : KM. 26 Tahun 2006 tentang Penyederhanaan

Sistem dan Prosedur Pengadaan Kapal dan Penggunaan / Penggantian

Bendera Kapal dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-46/PJ/2010

tentang Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan

Nilai Atas Impor atau Penyerahan Kapal Untuk Perusahaan Pelayaran Niaga

Nasional.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu: bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, berupa buku atau karya ilmiah dari para ahli

hukum;

3. Bahan hukum tersier, yaitu: bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer

dan sekunder, seperti kamus hukum.

4. Analisis Data

Keseluruhan data atau bahan yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, yaitu

dengan memberi penilaian terhadap hasil penelitian berdasarkan peraturan

perundang-undangan, pendapat para ahli, dan akal sehat dengan uraian kalimat-

kalimat dan tidak menggunakan angka-angka. Analisis data ini bertolak dari teori-

teori dan konsep yang telah disusun dan dikemukakan dalam kerangka teoritis dan