Upload
unair
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Penurunan Minat Pemilih Muda Jepang Terhadap
Dunia Politik
Dibuat oleh:
Evelin Giovani (121113016)
Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
UNIVERSITAS AIRLANGGA
1
SURABAYA
2014
Abstrak Evelin Giovani Subagio. 2014. Penurunan Minat Pemilih
Pemuda Jepang Terhadap Dunia Politik. Makalah. Program
Studi Sastra Jepang, Program Sarjana
Japan through decline in the number of young voters whoturnout in vote. Besides in a country, young generationis change agent. They are the hope for the country tomake the better future. The number of abstentionsindicates the number of interest from young voters whoare not too high in the political world. They are lesslikely to discuss political matters with their peers.Young voters who turnout in vote takes the smallestpercentage among voters who are in middle-age voter andthe older voters. The differences of character andmindset in Japanese youth who compared with the oldergeneration is one of the factors which driving thegrowing number of voters who do not use their votingrights. Furthermore, youth’s pessimistic attitudetoward government candidates also makes them reluctantto vote. The government can increase the number ofvoters by giving political education to designatevoters. Changing the election day which usually fallson a weekday become during the holidays is also asolution to increase the number of voters.
Keyword: vote, turnout, political discuss
Jepang terus mengalami penurunan jumlah pemilih mudayang menggunakan hak pilihnya. Padahal dalam suatunegara, pemuda merupakan generasi perubahan dimanamereka adalah harapan bagi negara untuk mengubah masa
2
depan menjadi lebih baik. Jumlah abstain ini menujukanminat pemilih muda yang tidak terlalu tinggi dalamdunia politik. Mereka cenderung jarang berdiskusimengenai hal-hal berbau politik dengan teman-temansebaya mereka. Pemilih muda yang menggunakan hakpilihnya menempati presentase terkecil diantara pemilihyang berada di usia pertengahan dan pemilih berusiatua. Perbedaan watak dan pola pikir pemuda Jepangdengan generasi terdahulu merupakan salah satu faktorpendorong meningkatnya jumlah pemilih yang tidakmenggunakan hak pilihnya. Selain itu, sikap pesimispemuda terhadap kandidat pemerintahan juga membuatmereka enggan memilih. Pemerintah dapat meningkatkanjumlah pemilih dengan memberi pendidikan politik bagicalon pemilih. Mengubah hari pemilihan umum yangbiasanya jatuh pada hari kerja menjadi saat hari liburjuga merupakan solusi untuk menamabah jumlah pemilih.
Kata kunci: Hak Pilih, Tidak menggunakan hak pilih,
diskusi politik
3
Kata Pengantar
Puji syukur saya tujukan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ilmiah ini dengan baik dan
tepat waktu. Tak lupa saya ucapkan sholawat serta salam
untuk junjungan besar Nabi Muhammad SAW.
Terima kasih kepada Universitas Airlangga yang telah
memberi saya kesempatan membuat makalah ini. Serta
kepada Putri Elsy, S.S., M.Si sensei, selaku pembimbing
yang telah dengan sabar membimbing saya dalam
penyelesaian makalah ilmiah ini.
Saya mengangkat makalah yang berjudul “Penurunan Minat
Pemilih Pemuda Jepang Terhadap Dunia Politik” dengan
tujuan untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai
penurunan minat pemilih muda di Jepang terhadap dunia
politik dan faktor-faktor pendorongnya.
4
Surabaya, 11 Juli 2014
Penulis
BAB 1
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pada masa keshogunan, pengetahuan dan kebebasan rakyat
biasa dalam dunia politik diatur ketat oleh
pemerintahan Shogun. Untuk menyuarakan pendapat saja
tidak banyak orang berani melakukannya, karena mereka
yang tidak mematuhi Shogun akan dianggap sebagai
pemberontak dan hukumannya adalah mati. Selain itu
orang biasa saat itu tidak banyak yang terpelajar,
sehingga hanya kaum bangsawan yang menduduki kursi-
kursi pemerintahan.
Setelah negara Barat datang, Jepang mulai pelan-pelan
belajar bagaimana sistem pemerintahan dan politik ala
negara Barat. Hingga kemudian Jepang mengadaptasi
sistem pemerintahan yakni sistem pemerintahan mornarki
5
konstituonal yang artinya negara dipimpin oleh Kaisar
yang berbagi kekuasaan dengan perdana menteri. Karena
‘konstituonal sendiri terdiri dari 3 cabang: Hak Asasi
Manusia, demokrasi, dan kekuasaan tertinggi dari
peraturan konstitusi serta pengaturannya.’ (Junji
2002:564). Sehingga tidak mengherankan jika negara
Jepang tetap menganut sistem demokrasi dalam pemilihan
dewan perwakilan rakyat. Rakyat dapat memilih calon-
calon dewan perwakilan rakyat untuk menduduki kursi
legislatif atau shugi-in (house of representitaive) melalui
pemilu (Pemilihan Umum) terbuka.
‘Gerakan pertama menuju demokrasi atau kebebasan
bersuara muncul pada Januari 1874 ketika pembaharu
liberal bernama Itagaki Taisuke memperkenalkan petisi
untuk kemantapan dari pemilihan majelis secara
demokratis dan membentuk partai politik Jepang yang
pertama kali.’ (Koichi 1977:12). Sedangkan ‘pemilihan
umum yang pertama diselenggarakan pada 1 Juli 1890,
untuk persiapan pemilihan majelis legislatif
kekaisaran’ (Koichi 1977:62). Meskipun begitu pemilihan
umum tersebut masih bersifat terbatas karena hanya pria
saja yang memiliki hak pilih, wanita baru memiliki hak
pilih setelah ada revisi dalam undang-undang pemilihan
umum yang diresmikan pada akhir tahun 1945. Revisi
undang-undang tersebut juga merevisi usia minimal
6
pemilih yang awalnya minimal berusia 25 tahun kemudian
diturunkan menjadi minimal 20 tahun. Usia 20 tahun
tersebut hingga saat ini menjadi usia minimal untuk
bisa memiliki hak pilih di Jepang.
Dalam pemilihan umum calon dewan perwakilan rakyat,
pemilih muda merupakan calon pemilih yang diincar. Hal
ini dikarenakan jumlah pemilih muda yang dapat
diperhitungkan sehingga dapat memengaruhi jumlah suara
yang didapat. Jika calon anggota pemerintahan mampu
menarik pemuda dalam kubu mereka, dapat dipastikan
mereka akan memeroleh banyak suara. Sayangnya, pemilih
muda di Jepang yang menggunakan hak pilihnya saat ini
jumlahnya terus menurun. Karena terlalu sedikitnya
suara pemuda Jepang, hal tersebut berdampak terhadap
sedikitnya porsi pemuda Jepang dunia politik. ‘…
pemilih muda memiliki sedikit dampak dalam kebijakan
nasional’ (Maeda, 2011:1).
Penurunan jumlah suara dari pemilih muda tersebut cukup
mengejutkan. Padahal Pharr dalam skripsi Raffaele De
Mucci berpendapat, di Jepang ‘pada generasi awal seusai
perang dunia melihat bahwa memberi suara merupakan
kewajiban dibanding sebuah hak’ (Mucci, 2008: 73).
Selain itu Dalam salah satu survei yang dilakukan
Richardson setelah masa pemilihan pada tahun 1964
7
terdapat fakta bahwa ‘… tiga per empat dari pemilih
percaya bahwa politik itu penting bagi hidup mereka,
dan banyak dari orang-orang ini –hampir setengah dari
seluruh pemilih– merasa politik sangat berhubungan
dengan hidup mereka’ (Richardson, 1974:32). Artinya
memberikan hak suara saat itu dirasa merupakan sebuah
kewajiban sebagai warga negara Jepang dan mereka merasa
itu bagian dari dari hidup mereka.
Berdasarkan informasi tersebut, terjadi pertentangan
antara nilai ‘memperggunakan hak suara’ pada jaman dulu
dan jaman sekarang. Sehingga faktor-faktor yang
menyebabkan perubahan tersebut sangat menarik untuk
diteliti
2. Permasalahan
Jumlah pemuda Jepang yang menggunakan hak suaranya
dalam pemilihan umum terus menurun. Padahal hak suara
dari pemilih muda juga turut memengaruhi hasil
pemilihan umum. Alasan dari pemilih muda tidak
menggunakan hak suaranya tersebut dapat diteliti.
3. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mencari tahu
alasan pemilih muda tidak menggunakan hak suaranya dan
relevansinya dengan minat pemuda Jepang terhadap dunia
politik.
8
4. Mafaat
Manfaat dari makalah ini bagi pembaca adalah untuk
mengetahui alasan pemilih muda tidak menggunakan hak
pilihnya.
4. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini
adalah metode desktiptif kualitatif yang data-datanya
bersumber dari studi pustaka. Bogdan dan Taylor
(1975:5) dalam Suwardi Endraswara (2006: 85) ‘kajian
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati’.
9
BAB 2
Pembahasan
1. Berkurangnya Jumlah Pemuda yang Menggunakan Hak
Pilih
Jepang adalah negara maju yang sukses dalah segala
bidang. Namun, dewasa ini Jepang mulai mengalami
berbagai masalah dalam negeri mulai dari penurunan
kelahiran, peningkatan jumlah lansia, stabilitas
ekonomi yang fluktuatif, begitu juga masalah-masalah
dalam dunia politik. Salah satu permasalahan dalam
dunia politik Jepang saat ini adalah menurunnya jumlah
suara dari pemuda Jepang dalam pemilihan umum.
Penurunan ini sudah mulai terlihat sejak tahun 1890, ‘…
setelah pembentukan Diet Nasional pada tahun 1980,
perhatian pemuda lambat laun dialihkan dari kegiatan
politik langsung’ (Naka, 1983: 65). Padahal pada
penghujung kekuasaan Tokugawa Yoshinobu, justru para
pemudalah yang menjadi pendorong keberhasilan restorasi
Meiji. Saat Jepang dan negara-negara lain masuk dalam
masa globalisasi, jumlah pemuda yang tidak menggunakan
hak pilih terus berangsur-angsur meningkat.
‘Angka abstain yang tinggi dikalangan pemuda menunjukan
bahwa perhatian terhadap partai politik yang ada sangat
10
kecil…’ (Naka, 1983:68). Hal tersebut dibuktikan
melalui survei Koumei dalam Richardson yang mendapatkan
kesimpulan, ‘pemilih di usia petengahan membicarakan
tentang politik di rumah, dengan para tetangga dan saat
meeting lebih sering dibanding dengan pemilih di usia
lain (muda dan tua), membaca koran atau mengikuti (info
politik) di radio lebih sering dibanding yang lain, dan
membaca pamflet pemilihan dan mengikuti pidato (calon)
lebih sering dibanding anak muda dan orang yang lebih
tua' (Richardson, 1974: 195). Selain itu, 'orang-orang
di usia dua puluhan umumnya kurang perhatian dan kurang
aktif berkomunikasi tentang politik banding mereka yang
diusia lebih tua' (Richarson, 1974:195). Dapat
disimpulkan bahwa intensitas pemuda Jepang dalam
membicarakan hal-hal berbau politik memang kurang
dibanding dengan orang Jepang yang berada diusia
pertengahan..
Pada polling yang dilakukan oleh Departemen Pemilihan
Dalam Negeri dan Komunikasi atau Soumushou Senkyoubu (総総
総総総総) pada tahun Taisho 25 (tahun 2013) untuk Pemilu
Majelis Tinggi, dari total pemuda-pemudi Jepang yang
berusia 20-24 tahun yakni 22.620 orang, hanya sekitar
7.053 orang atau 31.18% saja yang menggunakan hak
pilih. Pada usia 25-29 tahun dengan total pemilih
24.339, 35.54% menggunakan hak pilih mereka. Presentase
11
tersebut terus meningkat sesuai dengan usia pemilih.
Presentase pengguna hak pilih kelompok usia 20-24 tahun
adalah kelompok paling kecil diantara usia lainnya.
2. Berbagai Faktor Pendorong Pemuda Jepang Tidak
Menggunakan Hak Pilih
Ada berbagai macam faktor pendorong pemuda Jepang
enggan untuk menggunakan hak pilihnya. Antara lain
'perbedaan generasi, oleh watak baik dari pengungkapan
hal-hal mereka tentang proses sosialisasi atau berbagai
pengalaman dapat dilihat sebagai bentuk perwujudan
karakter dari subkultur politik.' (Richardson,
1974:190). Perbedaan generasi tentu saja menciptakan
perbedaan pola pikir manusia yang hidup pada jaman
masing-masing. Seperti yang telah disinggung pada bab
sebelumnya, bahwa pada tahun 1964, masyarakat Jepang
12
sebagain besar menganggap bahwa menggunakan hak pilih
merupakan kewajiban sebagai warga negara yang baik,
tetapi pemuda Jepang saat ini tidak berpikir demikian.
Bahkan dalam survei Zaidanhoujin Akarui Senkyousuishinkyoukai
(Yayasan Asosiasi Pemilu untuk kemajuan cerdas) tentang
Shuugiin Sousenkyo Zenkoku Ishiki Chousa (survei kesadaran
pemilu Anggota DPR) bulan Juli 2013, ditemukan fakta
bahwa sebanyak 23.2% pemilih antara usia 20-30 tahun
merasa ‘tidak memiliki banyak kepentingan dalam pemilu’
sehingga mereka memilih tidak menggunakan hak pilih
mereka. Pemilih muda cenderung berpikir bahwa mengikuti
pilihan hatinya adalah ungkapan dari kebebasan meski
itu berarti abstain.
Selain itu ‘…beban pelajaran bagi mahasiswa yang tidak
memberi waktu kepada mereka untuk berkecimpung dalam
dunia politik, rupanya telah menarik perhatian pemuda
dan menjauhkan mereka dari kegiatan politik’ (Naka,
1983:66). Bukan rahasia, jika calon mahasiswa di Jepang
memang menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk
belajar agar dapat diterima di perguruan tinggi yang
unggul. Setelah selesai menempuh bangku kuliah pun
pemuda Jepang dihadapkan dengan ketatnya persaingan
masuk ke perusahaan bonavit. Sehingga tidak heran jika
para pemuda kurang fokus terhadap dunia politik.
13
Alasan lainnya adalah sebagian besar pemilih muda
merasa tidak puas dengan pemerintahan yang sedang
berlangsung. Survei Kumamoto pada tahun 1960 dalam
Richardson mengemukakan bahwa 63% anak muda merasa
tidak puas dengan perintahan yang sedang berjalan saat
itu. Sikap pesimistis juga ditunjukan pemuda Jepang
terhadap kandidat yang akan duduk di kursi
pemerintahan. Hanya 31% pemuda Jepang yang optimis
kandidat yang akan dipilih dapat mewujudkan harapan dan
tuntutan rakyat. Sebanyak 30% merasa tidak yakin, dan
sisanya menjawab ‘tidak tahu’.
3. Solusi yang Dapat Dilakukan Untuk Meningkatkan
Jumlah Pemilih Muda
Meningkatkan jumlah pemuda Jepang untuk tertarik
menggunakan hak pilihnya tentu tidak mudah mengingat
pola pikir yang sudah terlanjur tertanam pada benak
pemuda Jepang mengenai pemerintah. Namun, jika keadaan
ini terus dibiarkan maka pada akhirnya generasi-
generasi muda mendatang akan semakin kurang peduli
terhadap dunia politik negaranya.
‘Masyarakat harus fokus pada penambahan edukasi
(politik) bagi warga’ (Wattenberg, 2007:162). Edukasi
dalam bidang politik tentu saja penting. ‘seandainya
semua orang tiba-tiba menggunakan hak pilihnya, kami
14
tetap ingin menjalankan edukasi (politik) bagi warga’
(Wattenberg, 2007:162). Kekurangan dari sistem ini
adalah memakan waktu yang cukup lama untuk membangun
kesadaran akan pentingnya menggunakan hak pilih.
Selain itu ‘…dengan mengubah hari pemilihan’
(Wattenberg, 2007:165) dapat pula mengurangi jumlah
abstain saat pemilu. Maksud dari penyataan ini adalah
sebagian besar hari pemilihan jatuh pada hari kerja
yang artinya banyak orang enggan menggunakan hak
pilihnya karena khawatir meninggalkan kegiatan masing-
masing. Masih menurut survei Zaidanhoujin Akarui
Senkyousuishinkyoukai tahun 2013, sebanyak 30.7% pemilih
berusia 20-30 tahun enggan memilih dengan alasan ‘ada
perkerjaan’.
15
BAB 3
Simpulan
Mayoritas pemuda Jepang memang memilih untuk
menggunakan hak pilihnya. Dapat dilihat dari persentase
pemilih antara usia 20-24 tahun yang hanya 31.18% saja
yang menggunakan hak pilihnya. Kecilnya perhatian
pemuda Jepang terhadap dunia politik Jepang terlihat
dari kurangnya intensitas mereka membicarakan hal-hal
serta mengikuti kegiatan berbau politik.
Berbagai alasan pemuda Jepang tidak menggunakan hak
pilih adalah perbedaan persepsi mengenai nilai
‘menggunakan hak pilih’ dan kegiatan pemuda Jepang yang
terfokus dengan belajar (khususnya mahasiswa). Selain
itu sikap tidak puas dan pesimistis terhadap kemampuan
kandidat juga turut mengurangi minat pemilih muda
Jepang untuk menggunakan hak pilihnya.
Untuk menekan jumlah pemilih muda yang tidak
menggunakan hak pilihnya, pemerintah dapat melakukan
berbagai pencegahan. Antara lain dengan memberikan
edukasi politik sejak dini kepada calon-calon pemilih
di Jepang, selain itu dengan mengubah hari pemilihan
yang umumnya jatuh pada hari kerja menjadi diadakan
16
Daftar Pustaka
Endaswara, Suwadi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian
Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Widyatama
Junji, Annen. 2002. Constitutionalism As A Political Culture.
Pacific Rim Law & Policy Journal Association. 562,
564,
Koichi, Kishimoto. 1977. Politic In Modern Japan. Japan:
Japan Echo Inc.
Maeda, Masataka. 2011. Election System Dilutes Voice of Young
Voters. Japan Center for Economic Research. 1
Mucci, Raffaele De. 2008. Voting: A Citizen’s Right, or Duty?.
LUISS Guido Carli. 73
Naka, Hisao.1983. Kaum Muda Jepang Dalam Masa Perubahan.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press
Richardson, Bradley M. 1974. The Political Culture of Japan.
United States of America: University of California
Press
Soumushou Senkyoubu (総総総総総総 a.k.a Ministry of InternalAffairs and Communications Election Department).2013. 第 第第第第第第第第第第第第第第第第第第第第第23. Soumushou Senkyoubu: Japan
Wattenberg, Martin P. 2007. Is Voting for Young People?.United States of America: Pearson Longman
Zaidanhoujin Akaruisenkyosuishinkyoukai (総総総総 総総総総総総総総総
a.k.a Election Association for the Advancement of
bright Foundation), 第 46 第 第 第 第 第 第 第 第 第 第 第 第 第 第 第 ,
18