Upload
khangminh22
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pemblokiran Konten Pornografi di Internet: Peranan
Pembelajaran dalam Implementasi Kebijakan
Disusun Oleh:
NUKU NUGRAHA SALAM
07/256677/SP/22395
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
Pemblokiran Konten Pornografi di Internet: Peranan
Pembelajaran dalam Implementasi Kebijakan
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu
Politik pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta
Disusun Oleh:
NUKU NUGRAHA SALAM
07/256677/SP/22395
Disetujui:
Dosen Pembimbing
BAYU DARDIAS KURNIADI, S.IP, MA, M.PUB.POL
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan dan disahkan di depan Tim Penguji Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
pada :
Hari : Jumat
Tanggal : 8 Juni 2012
Pukul : 14.00
Tempat : S2 Polok UGM
Tim Penguji
Bayu Dardias Kurniadi, S. IP, MA, M.Pub.Pol.
Ketua Tim / Dosen Pembimbing
Prof. DR. Purwo Santoso, MA, Ph.D
Penguji Samping Bidang Metodologi
R. B. Abdul Gaffar Karim, S.IP, MA
Penguji Samping II Bidang Ilmu Pemerintahan
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : NUKU NUGRAHA SALAM
Nim : 07/256677/SP/22395
Angkatan : 2007
Jurusan : POLITIK DAN PEMERINTAHAN
Judul Skripsi :PEMBLOKIRAN KONTEN PORNOGRAFI DI INTERNET:
PERANAN PEMBELAJARAN DALAM IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh pihak lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan referensi dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia menerima
sanksi apabila kemudian hari diketahui tidak benar.
Yogyakarta, 8 Juni 2012
Yang membuat pernyataan,
Nuku Nugraha Salam
Persembahan...
Kepada ayahanda, Chaerul Salam, S. Pd, M. HumDan ibunda, Wiwi Winarti, A. Md
Segala puji hanya milik ALLAH, Rabb seru sekalian alam... Tiada daya, upaya, dankekuatan apapun kecuali atas izin-Nya...
Allahuma sholli ‘ala Muhammad...
Teruntuk kedua orang tua, yang selalu memberikan support lahir dan batin.Terima kasih sudah melahirkan anakmu yang pembangkang dan congkak ini, sertamembuatnya sadar bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa tanpa kalian.
Untuk Bapak, semoga Allah selalu bersamamu dan menyertai kesehatan kepadamu.Terima kasih sebesar-besarnya untuk segala support yang telah diberikan. Ilmu mu tentangkehidupan, kebudayaan, sejarah, dan segala seluk beluk politik jahat kota kita membuatkusemakin percaya, bahwa aku harus membenahi Kota Udang tercinta. Aku akan membuatmubangga, pak..
Untuk Mama, semoga Allah melimpahkan kesehatan dan kebahagiaan untukmuselalu. Terima kasih selalu mempercayai anakmu yang seringkali melupakan orang-orangdirumah. Terima kasih untuk semua kasihmu yang mungkin jika kutuliskan akan melebihijumlah halaman dari skripsi ini sendiri, terima kasih atas kasihmu yang tak terkira, mam..
Untuk kedua saudaraku, Iqbal dan Dipo. Terima kasih selalu memberikan supportdan membantu memberikan semangat. A’ Iqbal, terima kasih atas supportmu yg selalumengatakan “udah, hajar aja dulu..”. Dipo, terima kasih sudah selalu membantu dirumahmenggantikan tugasku. Jadilah kakak yang baik buat Ata..
Untuk kekasihku, Wina Astarina. Terima kasih atas segala support dan dukunganyang diberikan selama 7 tahun lebih kita bersama. Aku tahu banyaknya kata terima kasih takcukup atas segala yang kau berikan selama ini dalam segala bidang, maka akan kutambahkansatu kalimat. I love you..
Terima kasih juga tak terkira bagi keluarga besar Harun bin Muslim, atas dukungandan juga hiburannya dikala
Kepada dosen pembimbing, Mas Bayu Dardias. Terima kasih atas segalakesabarannya menghadapi saya yang sudah di overlap bahkan oleh adik angkatan sendiri.Semoga tetaplah menjadi dosen yang juga seorang kawan bagi setiap mahasiswanya.Tetaplah menulis di blog, karena hiburan intelektual ala anda sangat menghibur di kalahiburan lain hanya menyajikan semu-itas belaka, mas.
Kepada dosen penguji bidang pemerintahan, Mas Abdul Gaffar Karim. Terima kasihatas segala sikap nya yang menyejukkan hati. Kita tak bicara banyak, namun saya belajarbanyak melalui tulisan-tulisan mas Gaffar yang selalu menginspirasi. Terutama sebagaipribadi yang selalu memberikan kritik positif terhadap masalah Indonesia, saya hampir takpernah melewatkan komentar anda di Facebook, mas.
Kepada dosen penguji metodologi, Prof. Purwo Santoso. Terima kasih banyak atassegala bimbingan dan kepercayaannya selama ini. Semua semangat dan dukungan yangdiberikan di titik-titik akhir perjuangan ini tak akan pernah saya lupakan. Motivasi yang andaberikan lewat setiap kata yang terucap, membuat saya semakin yakin bahwa saya bisa. apayang bapak berikan selama ini pada saya bukanlah sebuah motivasi yang diberikan olehseorang dosen kepada mahasiswa nya. Anda adalah guru, bukan dalam jabatan, tapi dalamnilai yang sesungguhnya. Saya akan belajar menulis agar bisa lebih baik lagi, pak.
Teruntuk kawan-kawan di JPP, dan teman-teman terbaik tempat mengadu keluh,kesah, penat, bahkan lapar bersama. Aldis, Kiki, Nanang, Miranda, Bill, Sandy, Arzad,Azam, Boby, Dira, Ery, Rita, Azis, Wening, Cici, Adi, Dinihari, Afif, Yusron, Arya, Yuri,Idham, Belgys, Dico, Nandy, Intan, Zaki, Isep, dan kawan-kawan yang lain yang sangatberjasa dalam mengolah pemikiran ini untuk lebih terbuka. Terima kasih ataskebersamaannya selama ini, aku rindu sansiro, dan perbincangan kita di tangga plaza.
Teruntuk kawan-kawan HMI, terimakasih atas semangat perjuangan selama ini.Pandu, Agung, Yuri, Nicol, Angga, Dira, Dede, Vebi, Fauzan, Intan, Balqis, Adis, MbakNingrum, Mbak Gusti, Mbak Rani, Mbak Agiel, Bang Mc Rizal, dan Bang Haris. Terimakasih Bang, atas segala ilmu dan petuah yang diberikan selama ini mengenai, membukapikiran. YAKUSA!
Teruntuk kawan-kawan PARADAYS, Adit, Egar, Mas Budi, Mas Taufik, danbeberapa rekan kerja. Terima kasih atas sumbangsih pemikirannya untuk tetap berusaha, danbukan bekerja. Terima kasih kepada Aditya Pradana atas segala ilmunya tentang soul ofanything, Mas Budi yang selalu mengingatkan pentingnya ketekunan, dan juga Egar ataspengingatnya untuk tetap calm, “ayok, ngopi sik..”.
Teruntuk kawan-kawan Pantura Cruiser Community, Om Heri, Om Son, OmWiem, Om Iechie, Om Bot, dan om-om lainnya. Yes, we’re not a community, we’re family!
Kepada kawan-kawan terbaik, terimakasih juga atas dukungan dan supportnyaselama ini. Ikie, Dimas, Oman, Mas Awaluddin Norsandy, Aliph, Rendy, Upi, Rizky Akbar,Deiki, Dzaki, Capank, Upi, Feliks, Drg. Irwan, Tito, Bang Dimas, dll.. Tanpa kalian,mungkin hidupku sama seperti kedua mataku melihat dunia, tidak berwarna.
Dan akhirnya, karya ini dipersembahkan kepada mereka semua yang mau berusaha.Semoga ALLAH SWT membalas amal baik kita semua, Aamiin, Aamiin, Aamiin Ya RabbalAalamiin..
i
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................................... 1
MELIHAT SISI TERABAIKAN DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ....................... 1
A. Publik dan Pembelajaran Masalah Publik................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian.............................................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 6
D. Kerangka Teori: Peranan Lesson Drawing Dalam Implementasi Kebijakan ............ 7
D.1 Pergeseran Konsep Kebijakan............................................................................. 7D.2 Watak Kebijakan Konten Pornografi................................................................. 13
E. Definisi Konseptual ................................................................................................ 23
E. 1. Konten Pornografi ........................................................................................... 23E. 2. Implementasi Kebijakan.................................................................................. 24E. 3. Lesson Drawing .............................................................................................. 24
F. Definisi Operasional................................................................................................ 25
F. 1. Konten Pornografi ........................................................................................... 25F. 2. Implementasi Kebijakan .................................................................................. 25
G. Metode Penelitian................................................................................................... 25
BAB II................................................................................................................................ 29
DINAMIKA PORNOGRAFI DAN REGULASINYA DI INDONESIA ............................. 29
A. Pengantar................................................................................................................ 29
B. Implementer dan Pornografi: Lesson Learned ......................................................... 30
B.1. Pemerintah Dalam dua Linimasa ...................................................................... 31B. 2. Asosiasi Perusahaan Internet: Aktor Implementer Baru................................... 41C.3 ICT Watch sebagai Civil Society ....................................................................... 46
D. Penutup................................................................................................................. 47
BAB III............................................................................................................................... 49
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PORNOGRAFI DI INDONESIA.................................... 49
A. Pengantar................................................................................................................ 49
B. Konsekuensi Implementasi Terhadap Implementer ............................................... 50
B. 1 Pemblokiran Pornografi di Internet: Profit vs Implementasi Kebijakan............. 51
ii
B. 2. Sosialisasi Internet Sehat: Kerjasama Inter-Implementer ................................. 55C. Penutup................................................................................................................. 59
BAB IV .............................................................................................................................. 60
Lesson Learned dan Lesson Drawing dalam Kebijakan Publik Pornografi .......................... 60
A. Pengantar................................................................................................................ 60
B. Lesson Learned dan Lesson Drawing Dalam Implementasinya ............................... 61
B. 1 Lesson Learned Untuk Perkembangan Kebijakan Pornografi ........................... 62B. 2 Lesson Drawing dalam Kebijakan Blokir Internet ............................................ 66
C. Nawala Project: Produk Lesson Drawing ................................................................ 67
C.1 Kolaborasi Tiga Implementer: Meniru OpenDNS.............................................. 68D. Penutup .................................................................................................................. 75
BAB V................................................................................................................................ 76
KESIMPULAN................................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 79
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Siklus Kebijakan..............................................................................................12
Gambar 1.2. Implementasi Kebijakan Grindle......................................................................22
Gambar 1.3. Contoh Pemblokiran Situs di Warnet Yogyakarta.............................................44
Gambar 1.4. Contoh Pemblokiran Website di Black berry ....................................................55
Gambar 1.5. Sosialisasi INSAN di Universitas Bina Nusantara ............................................57
Gambar 1.6. Seminar dan Sosialisasi INSAN di Hotel Akmani ............................................58
Gambar 1.7. Sosialisasi Internet Sehat di ITB ......................................................................58
Gambar 1.8. Sosialisasi Internet Sehat Bersama XL .............................................................58
Gambar 1.9. Perbandingan DNS Nawala dan OpenDNS ......................................................70
iv
Intisari
Studi ini menjelaskan bagaimana proses learning ternyata hadir sebagai pergeserandalam konteks kebijakan publik. Selama ini, kebijakan publik seringkali dipahami sebagaisebuah proses dimana para stakeholder memegang kendali penuh dalam perumusankebijakan publik. Para pemegang kekuasaan dalam banyak literatur dianggap memahamipenuh akan masalah publik, termasuk pelaksanaannya secara mutlak. Pada kenyataannyajustru masalah publik selalu mengalami dinamika karena berkaitan erat dengan kehidupansosial manusia yang juga mengalami perubahan dari masa ke masa. Dibutuhkan dari sekedarkapabilitas dalam kekuasaan, namun juga kapabilitas atas penguasaan masalah publik.Penulis menemukan salah satu masalah publik yang mengalami dinamika; yang ternyatatanpa disadari mengalami sebuah mediamorfosis, sekaligus juga peningkatan distribusinya.Masalah itu adalah pornografi, yang kini bercokol pada media internet.
Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir learning untuk memahami bagaimanakebijakan publik yang ternyata tidak hanya sekedar melakukan perumusan sepihak, namunjuga membutuhkan sebuah pembelajaran. Proses learning ini kemudian dibagi lagi ke dalamdua sektor utama, yakni lesson learned dan lesson drawing, dimana keduanya memiliki nilaiyang sama pentingnya dalam proses memahami watak kebijakan publik. Kedua metodepembelajaran tersebut memiliki ruang lingkup masing-masing dalam melakukanpembelajaran. Namun, penelitian ini kemudian akan membawa kita untuk lebihmemfokuskan diri kepada proses terciptanya implementasi kebijakan dalam bentuk lessondrawing yang dikerucutkan lagi menjadi sebuah program dan juga instrumen kebijakan.
Penelitian ini menemukan bahwa dalam proses learning, ada sebuah dinamika yangmeliputi salah satu tahapan kebijakan publik. Tahapan itu ialah pada tataran implementasikebijakan. Implementasi kebijakan publik mengalami dinamika ketika ternyata dalam jalantempuhnya, ada proses learning yang secara terus menerus terangkat namun tidak terlihat.Dalam implementasi, proses learning tercapai ketika implementasi mengacu pada konten dankonteks kebijakan. Kedua hal ini membangun sebuah awalan atas dasar kebijakan yangbersifat inkremental, dimana kelemahan pada implementasi kebijakan sebelumnya dijadikandasar perbaikan untuk kebijakan berikutnya dalam ruang yang sama. Pornografi, mengalamimetamorfosis dalam bentuk media, distribusi, dan juga pergeseran nilai dan tingkat perilakumasyarakat dalam memaknainya sebagai sebuah konten atas media. Hal ini juga yangkemudian membuat ada pembelajaran yang dapat ditarik dari setiap proses learning dalammemahami apa saja yang mampu dilakukan implementer. Termasuk pemerintah, yangmelakukan proses learning dalam memaknai kebijakan publik dalam linimasa yang berbeda,yang kemudian melahirkan implementer dan program kebijakan yang berbeda atas perubahanyang terjadi dalam konteks kebijakan publik, sebagai subjek learning kebijakan.
Kata kunci: kebijakan publik, lesson learned, lesson drawing, implementasi, pornografi,internet
1
BAB I
MELIHAT SISI TERABAIKAN DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
“It's fine to celebrate success but it is more important to heed the lessons of failure.”(Bill Gates)
A. Publik dan Pembelajaran Masalah Publik
Menemukan lesson learned, dan melakukan adopsi lewat lesson drawing. Itulah dua
cara dalam membaca permasalahan dengan mengadopsi kekurangan, serta kelebihan atas
sebuah aturan yang telah dilakukan sebelumnya. Aturan baku mengenai lesson learned
sebenarnya tidak ada, seperti ukuran pasti akan hal yang kemudian ditiru, dimodifikasi, dan
atau diaplikasikan ulang dengan pembaharuan-pembaharuan. Namun, hal yang paling
mendasar ialah menemukan lesson learned melalui lesson drawing adalah cara dalam
mempelajari suatu hal berdasarkan apa yang sudah terjadi, dan apa yang dilakukan untuk
menanggapi sesuatu hal yang terjadi tersebut. Kedua lessons tersebut pun bisa
diimplementasikan dalam kebijakan publik.
Urgensi dan relevansi melakukan lesson drawing, segera kita rasakan jika kita ingat
Dewey (dalam Parsons, 2008) yang mengingatkan agar dalam memahami kebijakan publik
titikberatnya ada pada ‘publik’ bukan pada kewenangan pejabat yang memutuskannya. Oleh
karena publik melibatkan banyak orang, maka masalah yang ada di dalamnya tidak mudah
dimengerti secara sepihak, atau sekali tempuh. Masalah disusun, dan dikonstruksi, dan
didefinisikan secara berbeda-beda sejak diletakkan dalam agenda kebijakan.
Bicara tentang kebijakan publik, berarti bicara soal nasib publik yang tidak bisa diatur
secara mudah dalam legalitas. Apa yang hadir dalam publik tidak serta merta didefinisikan
menjadi sebuah agenda dalam penyelesaian masalah publik tersebut. Oleh karena ini
2
kesediaan untuk belajar menjadi penting. Apalagi masalah publik memiliki kaitan dengan
waktu, dan kebutuhan-kebutuhan manusia yang terus mengalami perubahan seiring dengan
kemajuan jaman. Dengan kata lain, ada semacam proses pembacaan yang menyeluruh dalam
pembentukan kebijakan publik.
Pembacaan masalah publik ini berkaitan dengan dinamika publik sendiri, dimana
publik tidak hanya dianggap sebagai pelaku, tapi juga penerima (Mulder, 1985). Menerima
apa? Tentunya menerima konsekuensinya sebagai sebuah publik dalam masalah publik, dan
diatur oleh para pembuat kebijakan publik yang berdasarkan pada poin-poin tertentu. Selama
ini kebijakan publik selalu dipandang sebagai sebuah produk ‘yang pasti berhasil’ karya para
stakeholders, dimana mereka lah yang memiliki kuasa untuk membuat sebuah kebijakan
publik. Bicara kekuasaan tak bisa terlepas dari subjectivity of persona, dimana petuah Baron
Acton alias Lord Acton pernah berkata bahwa: “Power tends to corrupt, absolute power
corrupt absolutely.”(Budiardjo, 2006: 107)
Pernyataan Lord Acton diatas adalah kunci dari sebuah pertanyaan jika kita kaitkan
dengan para stakeholders kebijakan publik. Dengan cara apa mereka membuat kebijakan?
Bagaimana menentukan preferensi yang mendetail atas sebuah masalah publik? Apakah
rasionalitas para stakeholders dapat menjamin kebijakannya mampu menjawab dinamika
masalah publik itu sendiri? Nyatanya, dalam aplikasi kebijakan tidak ada jaminan dalam
pembuatan kebijakan publik, dan teorisasi kebijakan publik, dimana suatu kebijakan memiliki
jaminan kemampuan dan kemapanan dalam menjawab permasalahan publik. Hal inilah
kemudian yang menjadi dasar, dimana setiap teorisasi kebijakan publik mengemukakan
tahapan-tahapan dalam kebijakan publik dimana semuanya memiliki akhir yang sama,
evaluasi kebijakan. Sekuens yang berakhir dengan evaluasi ini menandai pentingnya dimensi
pembelajaran yang dilakukan dalam kebijakan publik. Namun ironisnya, hal ini justru luput
dan dianggap tidak memiliki urgensi dalam studi kebijakan bahkan ditaruh dalam lini paling
3
belakang. Padahal, pembelajaran bisa dilakukan dalam banyak cara, bahkan sebelum
kebijakan tersebut diwujudkan sekalipun. Beberapa contoh yang bisa dilakukan dalam
pembelajaran, atau lesson learned disini ialah dengan melakukan studi banding. Studi
banding menjadi salah satu kajian dimana di dalamnya terdapat juga lesson drawing, dimana
di dalamnya kita bisa melakukan modifikasi kebijakan setelah kebijakan tersebut
diimplementasikan dan dievaluasi serta dibandingkan. Hal ini adalah suatu kesalahan cara
berpikir, dimana sebenarnya proses learning bisa dilakukan sebelum kebijakan itu
diemplementasikan.
A1. Pembelajaran Dalam Membaca Pornografi Internet
Salah satu contoh masalah publik yang menjadi perhatian penulis disini ialah
persebaran konten Pornografi di Internet. Untuk menunjukkan urgensi lesson drawing
kompleksitas implementasi kebijakan pelarangan Pornografi dipilih sebagi ilustrasi.
Fenomena pornografi di dalam jaringan internet sangatlah kompleks, dan mustahil dipahami
seluruh seluk-beluknya oleh para policy-makers, dan kemungkinan besar akan disalahpahami
oleh para implementor.
Pornografi adalah suatu hal yang dijatuhi oleh masyarakat pada umumnya dalam dua
nilai sekaligus, dia adalah sebuah sifat, sekaligus juga sebuah benda. Sebuah benda disebut
dilarang di beberapa negara karena memiliki muatan yang bersifat ‘porno’, atau sebuah
kegiatan seksualitas yang buruk (Christensen, 1990: 1). Berdasarkan sifat ini, muncul pula
media-media yang mengandung konten Pornografi yang kemudian menjadi sebuah target
yang di banned di beberapa negara. Dengan kata lain Pornografi mengalami transformasi
bentuk dari sebuah sifat, menjadi sebuah benda yang mengandung sifat. Situasi yang terjadi
pun semakin kompleks, ketika media yang terkena racun sifat Pornografi tersebut tidak
memiliki bentuk nyata, namanya adalah Internet.
4
Internet tidak memiliki bentuk pasti, dia hadir dalam ruang-ruang yang beraneka ragam
dibentuk dari kode-kode program komputasi. Jika pornografi tersebut memiliki bentuk yang
pasti seperti koran misalnya, maka bisa saya katakan secara pribadi adalah sangat mudah
menanggulangi hal ini. Negara memiliki kuasa untuk melakukan penghentian distribusi fisik.
Akan tetapi jika Internet yang menjadi media Pornografi, apakah distribusi komputer dan
distribusi Internet sebagai media juga harus ikut ter somasi sebagai pihak yang bersalah? Lalu
bagaimana hak manusia terhadap Informasi publik sebagai hak asasi?
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan
RI, perkembangan pornografi di Indonesia melesat jauh. Pada tahun 2007, Indonesia
menduduki peringkat tujuh dalam hal akses informasi pornografi di dunia, dan hanya dalam
kurun waktu tiga tahun, yakni pada tahun 2011 Indonesia berhasil mencetak rekor sebagai
negara dengan akses pornografi terbesar kedua di dunia.1 Pornografi menurut penulis
dianggap sebagai sebuah masalah, ketika Ia memiliki efek terhadap kehidupan masyarakat
Indonesia selaku bentuk publik.
Nampaknya kita harus kembali menarik ke belakang dan mengingat dinamika yang
terjadi dalam persebaran Pornografi. Persebaran Pornografi terletak pada sebuah kata kunci
yaitu, media. Media mengalami transformasi bentuk, dari bentuk cetak menuju bentuk digital,
serta transformasi aksesibilitas, dari yang pada awalnya tidak seluruh masyarakat bisa
memiliki kemampuan akses, kini aksesibilitas media berada dalam kedudukan yang setara.
Hal ini oleh Severin dan Tankard (2007) diperkenalkan kepada publik dengan istilah
“mediamorfosis”. Transformasi ini melibatkan proses adaptif dalam menggeluti persoalan
yang kompleks. Dengan kata lain, pemerintah pun harus bisa mengejar konteks media yang
selalu adaptif terhadap tekanan kompetitif, politis, serta inovasi-inovasi sosial. Kita dapat
1 Disarikan dari artikel berjudul : “Indonesia duduki peringkat kedua di dunia pengakses situs porno”(http://www.perempuan.com/indonesia-duduki-peringkat-kedua-di-dunia-pengakses-situs-porno/ ). DiaksesKamis, 14 Juli 2011 pukul 19.45 WIB
5
melihat disini bahwa dalam masalah publik ini ada semacam adegan kejar mengejar konteks
media yang bersifat adaptif-inovatif.
Dua kata kunci yang menjadikan persebaran pornografi ini menjadi urgensi kebijakan
publik, yakni media dan dinamika. Kedua hal inilah yang sebenarnya menurut penulis harus
diperhatikan dengan seksama. Dinamika media yang adaptif dan inovatif, membuat
persebaran Pornografi yang ‘menumpang’ padanya membuat Pemerintah harus melakukan
metode-metode tertentu yang mampu mengejar konteks media yang menyesuaikan dengan
perubahan sosial. Ada poin-poin tertentu di dalam implementasi kebijakan publik ini yang
kemudian mengalami proses inkrementasi, yang nantinya akan dibahas dalam bab-bab
berikutnya. Ia mengalami proses pembelajaran, ketika melihat bahwa masalah yang dihadapi
sangatlah dinamis karena sifatnya yang sangat adaptif akan perubahan-perubahan, dan juga
tuntutan sosial dan politis, yakni media. Disamping lesson learned, metode lesson drawing
juga terlihat dalam tindak tanduk kebijakan itu sendiri. Bukan dalam bentuk substansial,
namun lebih kepada implementasi seperti pemblokiran situs yang mengandung konten
Pornografi.
Kebijakan publik dengan melakukan pemblokiran situs ini bukan hal yang baru di
dunia. Negara-negara lain pernah menerapkannya dengan porsi dan dalam tataran yang
berbeda, namun dalam tujuan yang sama, yakni mereduksi media dalam pencapaian suatu
hasil atas tujuan kebijakan yang berdasarkan pada keputusan yang politis tentunya. Beberapa
negara seperti Cina dan Vietnam contohnya, melakukan pemblokiran terhadap informasi
yang dapat mencemarkan nama negara. Sedangkan Thailand, melakukan pemblokiran
terhadap segala informasi yang berkaitan dengan penghinaan keluarga kerajaan.2
Menurut penulis, langkah inilah yang disebut sebagai policy-transfer. Kebijakan ini
2 Artikel Berjudul : “ Thailand Blokir 5.000 Laman Penghina Kerajaan” diakses dari :http://www.republika.co.id/berita/trendtek/internet/12/03/14/m0vpvr-thailand-blokir-5000-laman-penghina-kerajaan Diakses Senin, 4 April 2012 pukul 22.20 WIB
6
digerakkan oleh keinginan untuk mengadopsi kebijakan pornografi di negara lain; dan
kemungkinan tidak digerakkan oleh pendalam akan masalah pornografi itu sendiri. Sejak
awal perlu disadari bahwa kebijakan pemblokiran, menyimpan permasalahan, setidaknya
keraguan. Pemblokiran pornografi yang digerakkan oleh motif meniru kebijakan negara lain
ini menjadikan implementasi kebijakan ini merupakan arena menarik untuk mempelajari
keseksamaan proses lesson-drawing yang dilakukan oleh pemerintah.
Idealnya, para stakeholder mampu melakukan pembelajaran mengenai apa saja
perubahan serta kemajuan yang sudah dicapai dalam pelanggaran pornografi ini. Mereka
diharapkan ikut ke dalam titik bersarangnya masalah, karena kapasitas adaptif-inovatif yang
dimilikinya. Bayangkan, ketika implementasi kebijakan ini membutuhkan sumber daya yang
begitu banyak. Pemerintah ternyata tidak mampu mengatasi semuanya sendirian dan
dibutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk korporasi yang bergerak dalam jasa
telekomunikasi. Disini pemerintah harus belajar bekerjasama kelompok-kelompok civil
society yang memiliki concern di bidang ini. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah
pemerintah memiliki program kerja yang mau tidak mau, turut mengajak bagian di luar
pemerintah menjadi implementer program. Dan dari hal inilah kemudian pemerintah
seharusnya melakukan harmonisasi dengan mengajak aktor non negara tersebut sebagai sebua
implementer kebijakan.
B. Pertanyaan Penelitian
“Seberapa jauh pemerintah melakukan lesson drawing untuk mengoptimalkan
implementasi kebijakan pornografi dalam media Internet di Indonesia? ”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditulis untuk menunjukkan bahwa implementer kebijakan tidak dapat
7
bekerja dengan baik untuk mencapai misi kebijakan yang ditetapkan jika tidak secara aktif
melakukan pembelajaran mengenai watak permasalahan publik yang kemudian menjadi
watak dan konteks kebijakan yang diimplementasikannya.
D. Kerangka Teori: Peranan Lesson Drawing Dalam Implementasi Kebijakan
Peranan lesson drawing dapat dipahami, jika dipahami pula adanya pergeseran dalam
memaknai kebijakan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini ada baiknya dipaparkan
pergeseran konsep yang terjadi, sebelum dibicarakan lesson drawing itu sendiri.
D.1 Pergeseran Konsep Kebijakan
Sebelumnya kebijakan dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan. Dengan begitu,
implementasi adalah pelaksanaan secara patuh pada pemegang otoritas yang menentukan isi
kebijakan. Implementasi kebijakan menjadi sangat sulit ketika isi kebijakan ternyata sangat
sulit dipahami dan memiliki penampakan yang berubah-ubah. Kebijakan pornografi sangat
erat kaitannya dengan perubahan teknologi komunikasi, pemahaman secara kaku terhadap
rumusan yang telah ditetapkan secara yuridis pada gilirannya justru menjadi penghambat
keberhasilan implementasi itu sendiri.
Dalam mencari pergeseran ini, ada suatu usaha implementasi kebijakan yang disebut
policy oriented learning. Hal ini menjelaskan kondisi dimana para implementer kebijakan
berusaha untuk mencari pemahaman yang sejalan dalam mencapai objektifitas kebijakan.
Heclo (1974) mengemukakan bahwa proses ini dilakukan melalui pembelajaran behavioral
yang dihasilkan berdasarkan pengalaman. Pengalaman dijadikan pemahaman, dan
pemahaman kemudian menjadi dasar dalam proses kebijakan publik.
Berikut ini akan dipaparkan pergeseran makna kebijakan publik, dari pemahaman
administratif yang mengedepankan aspek kewenangan menjadi pemahaman pembelajaran
yang lebih mengedepankan penggunaan pengetahuan. Kebijakan sebagai sebuah hasil
8
diskursus para stakeholders dan penggunaan kekuasaan dapat dipetakan kedalam empat
pendekatan dalam studi kebijakan publik, yakni :
Kebijakan Publik sebagai Decision Making.Thomas Dye (1981) dalam pendekatan
ini berusaha memahami kebijakan publik sebagai apa-apa saja yang dilakukan, dan tidak
dilakukan oleh pemerintah. Pendekatan ini tidak begitu jelas dan komprehensif dalam
menelaah kebijakan publik sebagai sesuatu yang seharusnya mengikuti dinamika persoalan
publik, karena memfokuskan diri terhadap kebijakan yang hadir sebagai sebuah bentuk hal
yang hadir semata, dan tidak ada eksplanasi bentuk tentang hal yang hadir tersebut.
Kebijakan Publik sebagai rangkaian fase kerja para pejabat publik. Dua pemikir
besar, Woll (1966) dan Quade (1975) memiliki argumen yang sama dalam memahami
kebijakan publik sebagai sebuah aktivitas pemerintah. Aktivitas ini hadir dalam rangkaian
fase kerja pemerintah dalam berusaha mengatasi persoalan publik dan menghasilkan sebuah
implikasi. Implikasi tersebut dinilai oleh Anderson sebagai sebuah fase. Sedangkan, menurut
Woll implikasi tersebut tidak terlalu menonjol, yang penting ialah aktivitas pemerintah yang
bersifat langsung, maupun tidak langsung.
Kebijakan Publik sebagai sebuah intervensi sosio-kultural untuk mengatasi
persoalan publik. Charles O’Jones (1977) mendefinisikan kebijakan publik kedalam 2
proses, yakni proses penyaluran persoalan publik, refleksi mengenai masyarakat bereaksi
terhadap masalah-masalah terhadap kebijakan negara. Ada bentuk intervensi negara disini,
karena refleksi akan muncul ketika negara berusaha melakukan intervensi atas hal yang
dinyatakan sebagai persoalan publik.
Kebijakan publik sebagai sebuah bentuk interaksi antara negara dan rakyat.
Pendekatan ini berusaha mendefinisikan kebijakan publik dalam tataran yang demokratis.
9
Saluran kepentingan rakyat dan negara berusaha dinegosiasikan dalam bentuk interaksi yang
membuahkan hasil berupa kebijakan publik. Easton (1969) berusaha mendefinisikan
kebijakan publik sebagai bentuk alokasi kekuasaan negara untuk masyarakat yang bersifat
mengikat. Tindakan ini berdasarkan kepada alokasi nilai yang ada di masyarakat.
Dari keempat pendekatan diatas, dapat kita cermati bahwa kebijakan publik dinilai
sebagai sebuah bentuk, tindakan, intervensi, dan juga bentuk interaksi antara negara dengan
rakyat. Lebih tepatnya, adalah sebagai bentuk legitimasi kekuasaan dimana kebijakan
menjadi salah satu instrumen kekuasaan yang bisa mengatur publik. Akan tetapi, pergeseran
terjadi ketika konsep kebijakan berubah tidak lagi menjadi instrumen kekuasaan namun lebih
kepada proses ilmu pengetahuan yang lebih dikedepankan dalam penyusunan kebijakan
publik. Kebijakan Pornografi ialah salah satunya, dimana kebijakan ini memerlukan
pembacaan terhadap watak masalah yang dihadapinya. Watak pornografi seperti yang
dipaparkan dalam sub-bab sebelumnya yakni memiliki metamorfosa dalam persebarannya
tidak cukup jika dikaji dalam bentuk legitimasi kekuasaan semata. Empat pendekatan tersebut
tidak berusaha menjawab bahwa alokasi nilai dan kebutuhan masyarakat membutuhkan
sebuah dinamika, sebagaimana yang terjadi dalam nilai-nilai masyarakat itu sendiri.
Memang, pendekatan interaksi menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat dapat
terakomodasi oleh kebijakan publik melalui interaksi yang terjadi. Akan tetapi, diperlukan
sebuah pendekatan yang lebih mendetail lagi disamping memperhatikan kebijakan hanya
sebagai sebuah bentuk yang timbul atas interaksi.
Kebijakan publik timbul sebagai sebuah proses pembelajaran atas persoalan-persoalan
publik yang memiliki dinamika seiring dengan berkembangnya juga nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat. Hal inilah yang kemudian luput dari studi kebijakan publik yang
lebih mengedepankan kebijakan publik sebagai sebuah produk pemerintah. Disamping
mempelajari dinamika masyarakat, pemerintah pun memiliki kemampuan untuk mempelajari
10
kebijakan, serta intervensi di masa lalu. Hal ini mempengaruhi terhadap pembuatan kebijakan
berikutnya sebagai sebuah produk negara yang mampu mengakomodasi persoalan publik,
tanpa harus mengulang kesalahan, maupun kekurangan di masa lalu, serta bersifat adaptif
terhadap persoalan kekinian.
Dalam teori sistem, David Easton mengatakan bahwa kebijakan publik terlaksana
dalam tiga tahap besar, yakni input, proses, dan output. Dalam tahapan-tahapan ini terjadi
pula tahapan-tahapan dalam skala yang lebih kecil, seperti monitoring, analisis, evaluasi
awal, dan lain-lain.
Sebelum kebijakan publik dibentuk, ada proses pematangan mengenai agenda setting di
dalamnya. Agenda setting ini masuk ke dalam masalah yang paling krusial dalam pembuatan
kebjiakan publik. Agenda setting bertujuan untuk mendiskusikan mengenai isu yang akan
diangkat ke dalam kebijakan publik. Urgensitas isu sangatlah penting, dimana akan terjadi
diskusi, dan perdebatan-perdebatan mengenai prioritas utama atas terjadinya sebuah
kebijakan publik. Isu mengenai kebijakan ini termasuk sebagai produk atas terjadinya
perdebatan, baik mengenai perumusan, maupun penilaian atas sebuah masalah (Dunn, 1990 :
24). Di dalam proses inilah kemudian diperlukan learning yang nantinya bisa digunakan
dalam membaca watak kebijakan yang berusaha membaca permasalahan publik yang terus
berkembang.
Kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap:
Penyusunan Agenda. Tahap pertama ialah penyusunan agenda. Dalam penyusunan
agenda ini kemudian ada sebuah proses dimana memainkan urgensitas atas sebuah isu,
dimana isu ini kmudian nantinya akan ditentukan menjadi sebuah isu yang penting atau tidak
nantinya. Isu sendiri memiliki banyak kriteria, dan yang bisa dijadikan agenda kebijakan
publik ialah isu yang elah mencapai titik kritis, isu yang telah mencapai tingkat partikularitas,
menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak, memiliki dampak luas,
11
mempermasalahkan kekuasaan dalam masyarakat, dan menyangkut persoalan orang banyak.
Suatu isu tidak bisa terlepas dari masalah konteks ruang dan waktu. Konteks sebuah isu
memiliki sebuah urgensitas haruslah memiliki sebuah nilai kekinian, dan kiranya juga mampu
menjawab permasalahan kekinian dan tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Dalam
penyusunan agenda ini diperlukan sebuah aspek pembelajaran atas kebijakan publik yang
sudah dimiliki sebelumnya, baik formulasi, maupun instrumen dan implementasi kebijakan
yang sudah dilakukan.
Formulasi Kebijakan. Yang kedua ialah formulasi kebijakan. Formulasi kebijakan
ialah mengenai pembahasan mengenai langkah-langkah yang terbaik yang akan ditempuh
dalam kebijakan publik. Tahapan ini juga menjelaskan betapa pentingnya pembelajaran atas
kebijakan yang pernah ditentukan, mengingat kebijakan publik memiliki sebuah tantangan
untuk menyelesaikan suatu masalah, dan juga sebagai pertaruhan untuk tidak melakukan
kesalahan dengan menutup kekurangan-kekurangan yang terjadi di dalam formulasi
kebijakan sebelumnya.
Adopsi Kebijakan. Adopsi kebijakan ialah sebuah konsensus yang lahir atas
kesepakatan dari sekian banyak alternative yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan.
Kebijakan yang diambil berdasarkan konsensus ini diadopsi dengan dukungan mayoritas
legislatif, direktur lembaga, atau keputusan peradilan.
Implementasi Kebijakan. Yang berikutnya ialah implementasi kebijakan.
Implementasi adalah mengenai penentuan tujuan dan tindakan dalam kebijakan publik
(Parsons, 2006: 466), langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan, dan tidak dilakukan
dalam kebijakan. Implementasi membutuhkan monitoring atau pengawasan. Pengawasan ini
membutuhkan banyak tenaga dan kerjasama yang solid antara masyarakat selaku
implementor, dan pemerintah selaku implementator atau pelaku. Oleh karena itu banyak
terjadi variasi-variasi di dalamnya, karena implementasi juga sebagai sebuah pengembangan
12
atas program kontrol, yang bertujuan meminimalisir konflik dari tujuan awal (Parsons, 2006 :
468). Implementasi kebijakan ibarat kaki dari sebuah tubuh kebijakan. Dengan implementasi,
sebuah kebijakan tersebut mampu berjalan. Namun, diperlukan sebuah kehati-hatian dalam
melakukan implementasi, karena diperlukan harmonisasi antara konten kebijakan, dengan
konteks masyarakat. Disamping itu diperlukan juga penguatan pembelajaran dalam
implementasi. Hal ini diperlukan karena implementasi bersentuhan langsung dengan para
penerima kebijakan yang memiliki dinamika tersendiri. Proses learning dapat dilakukan
dengan cara menganalisis watak kebijakan dalam konten implementasinya, dan juga konteks
dimana kebijakan tersebut diimplementasikan.
Evaluasi Kebijakan. Sedangkan yang terakhir adalah evaluasi. Evaluasi seringkali
dinilai berdasarkan hasil akhir dari sebuah proses implementasi yang panjang. Namun,
evaluasi pun bisa dikerjakan bersamaan ketika proses kebijakan publik sedang berjalan dalam
masa penerapannya. Hal inilah yang kemudian menjadi sebuah proses belajar atas kebijakan
publik. Oleh karena itu proses belajar juga menjadi salah satu titik kunci atas sebuah
kebijakan publik.
Gambar 1.1 : Siklus Kebijakan
Sumber: (Winarno, 2004: 28)
13
Fokus pembahasan penelitian ini pada dasarnya ialah mengkaji kebijakan pada tahap
implementasi, yaitu implementasi kebijakan pemblokiran konten pornografi di Internet.
Implementasi adalah tahapan kebijakan dimana di dalamnya memiliki bentuk bernama
program kebijakan. Rose (2005) mengutarakan mengenai program, dimana di dalamnya
adalah kombinasi dari software dan hardware yang memiliki urgensi tinggi atas keberhasilan
suatu kebijakan. Hardware dalam suatu program, ialah struktur yang sudah tertata, serta
menunjang program dalam bentuk fisik seperti, uang, personil, dan sumber daya
organisasional yang dibutuhkan dalam peluncuran suatu program. Inilah yang kemudian
dikenal sebagai implementer. Software di indikasi kan dalam bentuk pelatihan dari para
implementer terhadap permasalahan baru yang dihadapi oleh program kebijakan tersebut.
Dalam poin software tidak hanya terjadi dalam peningkatan dalam sisi legal-formal semata,
namun juga terjadi peningkatan prosedur informal dalam rangka mengintegrasikan
implementasi kebijakan sebagai bentuk penyempurnaan kebijakan. Proses learning yang
dilakukan oleh para implementer sebagai salah satu subjek atas watak kebijakan,
mengindikasikan bahwa memang terjadi learning process dalam imple\mentasi kebijakan
publik.
D.2 Watak Kebijakan Konten Pornografi
Kebijakan yang memiliki watak yang berbeda mengharuskan adanya proses
implementasi yang berbeda pula. Kebijakan pornografi memiliki watak tertentu, dan
mengharuskan implementor belajar hal-hal penting agar dapat mengimplementasikan dengan
baik. Bennett dan Howlett (1992) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran dalam
lesson-learned dan lesson drawing dalam kebijakan publik memiliki signifikansi yang cukup
serius, namun dalam konseptualisasinya tidak bisa memberikan perlindungan menyeluruh
14
dalam hal definisi kebijakan. Mereka melakukan formulasi tiga poin mendasar mengenai
pendekatan pembelajaran, yaitu subjek dan objek kebijakan, serta kontribusi yang diberikan
dalam pendekatan pembelajaran. Ketiganya adalah perspektif dalam memandang watak
kebijakan.
Kebijakan pornografi berusaha membaca watak pornografi itu sendiri sebagai objek
dari pendekatan learning yang dapat dibagi ke dalam dua hal. Yang pertama ialah watak
pornografi melalui media nya, dan yang kedua ialah watak pornografi sebagai masalah publik
yang hadir dalam persoalan moral. Hal ini menarik, dimana biasanya kebanyakan kebijakan
publik berbicara mengenai masalah-masalah yang bersifat fisik, seperti pembangunan,
maupun masalah strukturasi dalam pengaturan publik. Para implementor diupayakan untuk
bisa menangani masalah pornografi yang sejatinya adalah masalah moral, namun kemudian
kebijakannya dapat diimplementasikan dalam hal yang bersifat physical.
Watak pornografi dalam media nya mengalami banyak perubahan dalam berbagai
macam media. Sebagaimana yang dipaparkan di poin awal bab ini, bahwa terjadi sebuah
“mediamorfosis” yang juga menjadikan pornografi memiliki dinamika dalam cara
persebarannya. Banyak perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, dimana
kemudian konten Pornografi memiliki banyak keragaman jenis, dan media nya. Pornografi
dapat dibagi ke dalam banyak jenis selain dalam format audio-visual, maupun teks, di
antaranya adalah sex discussion, live sex act, arrange sexual activities from computer scenes(
Rohas Nagpal, 2008: 34). Perbedaan jenis konten ini melahirkan diversifikasi produk dan
jenis pornografi yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat melalui berbagai jenis media, dan
juga sifatnya. Sifat pornografi yang beragam ditambah dengan bantuan teknologi multimedia,
kini pornografi tidak hanya berjalan sebagai sebuah informasi yang berjalan satu arah, namun
juga dua arah. Rohas Nagpal menyebut salah satu konten pornografi dua arah tersebut dengan
istilah live sex chat, obrolan sexualitas langsung, dimana para penikmat pornografi dapat
15
berinteraksi langsung dengan “lawan tanding” nya secara audio, visual, maupun audio visual.
Beberapa modus live sex chat di Indonesia sendiri sudah berlangsung cukup lama pada awal
tahun 2000-an, dimana banyak majalah panas menyediakan slot iklan untuk telepon yang
akan dilayani dengan wanita, dengan tarif premium.
Media pornografi yang variatif ini terjadi tidak hanya di negara-negara maju saja.
Negara dunia ketiga seperti Thailand, India, dan beberapa negara lainnya pun mengalami
masalah media pornografi ini. Negara- negara inilah yang kemudian menjadi subjek daripada
proses learning, dimana subjek di dalamnya termasuk masyarakat dan juga implementer dari
kebijakan pornografi itu sendiri. Konten yang beragam sebagai objek atas watak kebijakan
yang dihadapkan pada masyarakat beserta nilai-nilai di dalamnya sebagai subjek watak
kebijakan, melahirkan semacam probabilitas persamaan sikap antara negara satu dengan yang
lainnya. Ada peran pembelajaran yang bisa dilakukan dengan megadopsi kebijakan
Pornografi ini dengan meniru, atau melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh
negara maupun institusi lainnya. Ada watak yang berbeda dalam memandang pornografi,
yang berimplikasi pada watak kebijakan pornografi.
Seperti yang terjadi di beberapa negara, negara-negara timur tengah misalnya yang
berbasis mayoritas agama islam memiliki perbedaan pemahaman mengenai pornografi
dipandang dari segi aurat3, yang menjadi salah satu tolak ukur sensualitas dalam hukum
islam yang dianut di Arab Saudi. Arab Saudi sendiri memiliki diferensiasi antara pemahaman
erotis dan pornografi. Kedua hal yang kedengarannya serupa yakni masih berkutat pada poin
sexualitas manusia namun memiliki pandangan yang berbeda mengenai nilai atas sebuah
3Aurat adalah pemahaman mengenai bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang dengan jenis kelaminyang berbeda dan bukan mukhrim, yakni orang yang bukan merupakan keluarganya, serta pasangan lawan jenisnya yang sah melalui jalur pernikahan. Konsep aurat diperkenalkan sejak era kepemimpinan Muhammad dalammembangun pondasi hukum Islam yang kini diterapkan di beberapa Negara di timur tengah, khususnya ArabSaudi.
16
materi. Menurut Adil Mustafa Ahmad, nilai erotis suatu materi di Arab disamakan dengan
nilai pornografi yang hanya sebatas berkutat pada insting dasar lelaki semata (British Journal
of Aesthetics, Vol. 34: 278). Pemahaman yang berbeda ini diterapkan di Uni Emirat Arab,
dimana negara tersebut kini sedang terjadi westernisasi besar-besaran dan juga semakin dekat
dengan nilai-nilai liberal dalam rangka menyambut kesiapannya dalam hubungan dengan
dunia internasional, termasuk barat.
Hal yang berbeda dengan Arab, di Asia justru terjadi diferensiasi mengenai
pemberlakukan aturan ketat mengenai praktek-praktek pornografi dan eksotisme terselubung.
Salah satu contohnya yakni di China, seorang wanita ditangkap pada tahun 2004 karena telah
melakukan striptease show di internet. Dalam usaha penanganan pornografi, negeri tirai
bambu ini berhasil mematikan sebanyak 700 website, dan menangkap sebanyak 220 orang
yang terlibat dalam usaha xxx show ini. Salah satu statement pemerintah China mengenai
pornografi yang cukup menjadi pecut utama sebagai pemberantasan pornografi internet di
China ialah “Porn severely damaged social style, polluted the social environment, and
harmed the physical and psychological health of young people.”4
India tidak memiliki definisi yang pasti mengenai kategorisasi suatu konten dianggap
sebagai konten pornografi. Akan tetapi, peredaran dan penyebaran konten pornografi Internet
di India sudah ditetapkan melalui undang-undang bernama IT Act. Hal yang berkaitan
dengan pornography ini sudah jelas termaktub dalam Section 67 IT Act yang berbunyi :
“Whoever publishes or transmits or causes to be published in the electronicform, any material which is lascivious or appeals to the prurient interest or if itseffect is such as to tend to deprave and corrupt persons who are likely, having regardto all relevant circumstances, to read, see or hear the matter contained or embodiedin it, shall be punished on first conviction with imprisonment of either descriptionfor a term which may extend to five years and with fine which may extend to onelakh rupees and in the event of a second or subsequent conviction withimprisonment of either description for a term which may extend to ten years and also
4Berita Berjudul : “China jails woman in porn crackdown”http://www.theregister.co.uk/2004/08/16/china_jail_xxx diakses 9 Februari 2012 pukul 17.25 WIB
17
with fine which may extend to two lakh rupees.”-(IT ACT India, Section 67).
Dari perbedaan cara pandang pornografi di tiap negara, ada satu garis yang bisa ditarik
persamaannya yaitu watak pornografi sebagai objek yang dilarang karena mengalami
benturan dengan nilai masyarakat sebagai subjek kebijakan, dan berusaha untuk dikendalikan
dalam metode media persebarannya. Pornografi tidak bisa dibendung karena ia bercampur
dengan nilai-nilai yang lain dan juga merupakan sebuah persoalan yang sifatnya personal.
Dalam pembacaan subjek, objek, dan manfaat atau kontribusi atas proses learning terhadap
watak kebijakan, dapat kita lihat bahwa pornografi sebagai objek memiliki dampak yang
berbeda terhadap diferensiasi subjek. Hal ini terkait dengan nilai pada masing-masing kultur
negara sebagai subjek atas pembacaan watak kebijakan. Kontribusi atas proses learning
dapat dirasakan, ketika proses learning mampu membaca negara sebagai subjek kebijakan
dan mengalami benturan dengan objek kebijakan, maka ada suatu nilai perubahan yang bisa
dirangkai secara utuh tanpa harus kehilangan identitas subjek, atau pun kalah atas kesalahan
pembacaan watak pornografi sebagai objek atas watak kebijakan.
D.3 Sukses Implementasi Kebijakan Publik: Dimensi Pembelajaran Analisis Watak
Kebijakan
Studi ini akan mengacu pada masalah, dan pada saat yang sama memodifikasi model
yang populer digunakan oleh Grindle (1980). Modifikasi dilakukan untuk megedepankan
aspek learning yang tidak dengan sengaja dikedepankan oleh dia. Menurut Grindle,
keberhasilan implementasi kebijakan publik ditentukan oleh dasar implementasi itu sendiri
yang mengacu pada content of policy dan context of implementation. Content of Policy
mengacu pada muatan-muatan yang terdapat dalam kebijakan yang dihasilkan melalui
perumusan itu sendiri. Sedangkan Context of Implementation adalah kondisi lingkungan di
mana kebijakan tersebut diimplementasikan, termasuk di dalamnya dinamika-dinamika yang
18
ada dalam ruang kerja kebijakan tersebut. Dinamika inilah yang kemudian menjadi bahan
pembelajaran para perumus kebijakan dalam menentukan jenis implementasi kebijakan yang
dilakukan. Proses inkrementasi kebijakan bisa menjadi salah satu hal yang dilakukan dalam
menanggapi dinamika yang terjadi dalam masyarakat dan berbagai perubahan lainnya yang
terjadi.
Pada sub-bab sebelumnya sudah dijelaskan mengenai watak kebijakan pornografi yang
didasarkan pada 3 aspek learning yakni, subjek, objek, dan manfaat learning process dalam
kebijakan tersebut. Hal ini kiranya sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Grindle
mengenai content of policy dan context of implementation. Content of policy sejalan dengan
learning pada pembacaan watak objek kebijakan, dimana pada pembacaan watak, objek
kebijakan dikenal berdasarkan nilainya. Hal ini diungkap secara tidak sengaja oleh Grindle
dalam poin Interest Affected, dimana nilai sebuah objek kebijakan mempengaruhi
kepentingan tertentu. Sedangkan dari sisi pembacaan subjek kebijakan juga terkait dengan
poin konten implementasi, dimana di dalamnya terdapat implementer program, dan sumber
daya pendukung implementasi kebijakan, yang sesuai juga dengan aspek hardware dalam
program kebijakan sebagai produk learning. Tidak hanya berkaitan dengan sumberdaya,
proses learning sebagai pembacaan dalam watak kebijakan juga berusaha mengilhami context
of implementation sebagai subjek atas watak kebijakan, dimana di dalamnya terdapat institusi
dan karakteristik rezim, serta aktor-aktor yang terlibat dalam proses implementasi.
Paparan diatas adalah proses lesson learned, dimana pembelajaran yang dilakukan pada
watak kebijakan berdasarkan implementasi menjadi sebuah pijakan awal dalam melakuan
lesson drawing ketika melakukan implementasi kebijakan dalam bentuk program.
Berikut adalah penjabaran mengenai content of policy dan context of implementation:
1. Content of Policy adalah :
a. Interest Affected
19
Interest Affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu
implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam
pelaksanaannya memang melibatkan banyak kepentingan. Ada banyak kepentingan dalam
suatu kebijakan, dan memerlukan suatu proses pembelajaran dalam mencari kepentingan-
kepentingan siapa saja kah yang kemudian terlibat dalam proses implementasi kebijakan
publik. Suatu masalah publik seperti Pornografi yang mengalami metamorfosis, memberikan
implikasi terhadap kepentingan aktor-aktor baru yang tentunya menjadikan implementasi
kebijakan menjadi lebih kompleks dan melibatkan banyak implementor di beberapa sektor.
Tidak hanya pemerintah dan masyarakat, namun juga media dan para pengusaha di bidang
media.
b. Type of Benefits
Content of policy menunjukkan serta menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus
terdapat beberapa manfaat yang memberikan dampak positif yang dihasilkan oleh
pengimplementasian kebijakan yang dilaksanakan. Agar implementasi bisa berjalan dengan
optimal, pembelajaran harus dilakukan agar manfaat kebijakan bisa lebih baik dan optimal
sehingga kebijakan bisa memberikan manfaat yang sesuai dengan yang direncanakan, serta
siap menghadapi perubahan masalah publik sehingga bisa meminimalisir inefektifitas
kebijakan.
c. Extent of Change Envision
Setiap kebijakan memiliki derajat perubahan yang ingin dicapai. Poin ini berusaha
menjelaskan mengenai seberapa besar perubahan yang menjadi tujuan pencapaian atas
implementasi kebijakan. Sama seperti manfaat kebijakan, derajat perubahan yang ingin
dicapai juga mengalami proses pembelajaran di mana di dalamnya perubahan dimaknai
sebagai hasil kebijakan. Dalam implementasi kebijakan, proses pembelajaran dilakukan
ketika kadar perubahan yang ingin dicapai berbanding lurus dengan dinamika dalam masalah
20
publik tersebut.
d. Site of Decision Making
Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan yang penting dalam
pelaksanaan kebijakan. Poin ini menjelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu
kebijakan yang diimplementasikan, misalnya dengan instrumentasi kebijakan. Dalam
kebijakan pemblokiran konten pornografi, instrument kebijakan memegang andil yang cukup
kuat karena kebijakan ini berupaya mengatur media. Dan sirkulasi media itu pun memerlukan
pengawasan yang membutuhkan alokasi sumber daya tertentu. Sirkulasi media memerlukan
pembelajaran, dimana media juga mengalami perkembangan dalam hal persebarannya
sebagai implikasi perkembangan teknologi. Perkembangan ini tentunya menjadi sebuah
tantangan bagi kebijakan dalam melakukan implementasi yang benar agar tepat sasaran
sesuai hasil yang ingin dicapai.
e. Program Implementer
Dalam implementasi kebijakan dibutuhkan pelaksana kebijakan yang kompeten dan memiliki
kapabilitas yang mumpuni demi tercapainya tujuan kebijakan. Terkait dengan sumber daya,
kebijakan pemblokiran konten pornografi membutuhkan sumber daya implementer program
yang memiliki kapabilitas mengenai teknologi dan juga memiliki ruang gerak dalam hal
teknologi informasi. Konten kebijakan yang hadir sebagai sebuah batasan atas pornografi,
membutuhkan sebuah proses belajar dari para implementer program dalam
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Pornografi yang menyebar secara sporadis melalui
Internet menuntut program Implementer harus memiliki kapabilitas mengenai aksesibilitas
informasi dan teknologi informasi dalam rangka menguatkan implementasi kebijakan.
Pembelajaran juga dilakukan tidak hanya dalam kapabilitasnya dalam melakukan
implementasi, namun juga mampu membaca pergerakan masalah yang terus berkembang.
21
f. Resources Committed
Implementasi kebijakan harus didukung sumber daya-sumber daya yang mampu mendukung
pelaksanaan kebijakan secara penuh. Masalah yang kian berkembang seperti Pornografi,
memerlukan pembelajaran sumber daya agar implementasi berjalan optimal. Hal ini harus
dipahami ketika ada perkembangan dalam masalah publik, harus ada pemenuhan sumber
daya yang lebih jelas dalam membaca watak kebijakan yang berusaha menanggulangi
masalah publik yang kian berkembang.
2. Context of Implementation adalah :
a. Power. Interest, and Strategy of Actor Involved
Kekuatan, kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh aktor pelaksana dan
perumus kebijakan yang terlibat memiliki peran yang penting dalam implementasi kebijakan.
Penelitian ini akan menguraikan bagaimana aktor-aktor yang terlibat dan strategi mereka
dalam tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan ini. Termasuk latar belakang ideology
politik perumus kebijakan yang juga memiliki pengaruh besar terhadap munculnya kebijakan
pemblokiran konten pornografi ini. Ada pembacaan konteks implementasi yang harus
dilakukan sebagai bahan pembelajaran. Peta politik yang dinamis, membuat konteks
kekuasaan dan kepentingan juga memiliki dinamika tersendiri. Hal ini lah yang kemudian
menjadi bahan pembelajaran bagi implementasi kebijakan.
b. Institution and Regime Characteristic
Karakter institusi dan rezim disini lebih menjelaskan mengenai lingkungan dimana suatu
kebijakan juga dipengaruhi oleh lingkungan dimana kebijakan itu diimplementasikan. Faktor
karakteristik lembaga juga akan turut menunjang tingkat keberhasilan suatu kebijakan.
Karakteristik lembaga yang merumuskan kebijakan memiliki tingkat pengaruh dan posisi
tawar yang cukup tinggi. Institusi dan karakter rezim melahirkan sebuah arena baru dalam
22
implementasi kebijakan terkait dengan dinamika atmosfir politik yang hadir dalam rezim dan
institusi tersebut, pembelajaran adalah suatu hal yang menjadi perlu dalam membaca karakter
tiap rezim dan institusi yang memiliki peranan dalam konteks implementasi kebijakan.
c. Compliance and Responsiveness
Kepatuhan dan respon dari para pelaksana kebijakan merupakan hal penting yang juga
mempengaruhi keberhasilan kebijakan. Tingkat kepatuhan ini kemudian dapat dipengaruhi
dengan sebuah bentuk represifitas dalam koridor instrumentasi kebijakan, seperti dengan
membatasi ruang gerak perangkat elektronik melalui saluran yang dimiliki dengan tujuan
memblokir konten pornografi. Dalam konteks implementasi kebijakan, kepatuhan dan respon
dari para implementer memiliki dinamika tersendiri terkait dengan kondisi di lapangan. Hal
ini dijadikan pembelajaran bagi perumusan kebijakan publik berikutnya dalam membaca
respon para implementer terkait dengan sumberdaya dan juga kepentingan mereka.
Gambar 1.2 : Implementasi Kebijakan Grindle (1980:11)
23
Dalam analisis kebijakan, menurut Hogwood dan Gunn (1989) ada dua perspektif
umum yang dapat digunakan, yakni dengan menggunakan perspektif top-down dan bottom-
up. Kemudian mengacu kepada dua perspektif tersebut, analisis juga bisa dilakukan dengan
pendekatan yang lebih terstruktur lagi. Dalam penelitian ini, Penulis berusaha menggunakan
pendekatan secara top-down dengan menggunakan perspektif politik. Hal ini diyakini sebagai
cara yang tepat karena implementasi yang dilakukan dalam kebijakan pornografi ini
berlangsung dan sudah direncanakan, seperti penggunaan instrumen kebijakan yang berupa
program, dan juga pola kekuasaan antar organisasi.
Dengan menggunakan pendekatan top-down dalam penggunaan perspektif politik,
pembacaan learning pun akan semakin lebih terlihat. Dalam perspektif politik ini akan
dimasukkan lagi ke dalam kaidah governance. Perspektif ini melibatkan banyak perubahan
dalam bentuk yang faktual, berbanding terbalik dengan kebanyakan penulis literatur politik
justru membatasi fokus kajian lebih pada kaidah desain institusional dan proses
pemerintahan. Perubahan yang dinilai sebagai wujud ekstraksi atas implementasi kebijakan
diamati dalam cara yang dominan antara relasi negara dan masyarakat yang dipahami,
ditindaklanjuti, dan datang sebagai perubahan dalam lembaga-lembaga di ranah masyarakat,
dan politik (Grin and Loeber, 2007). Inilah, fungsi learning sebenarnya.
E. Definisi Konseptual
E. 1. Konten Pornografi
Adalah konten yang memiliki muatan materi seksualitas yang dibuat oleh manusia
dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,
kartun, syair, percakapn, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai
bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan
hasrat seksualitas (sesuai dengan yang tercantum dalam UU Pornografi Pasal 1 Ayat 2).
24
Konten Pornografi terdapat dalam suatu wadah bernama media, dan disalurkan oleh media
yang kemudian dapat diakses.
E. 2. Implementasi Kebijakan
Adalah tahapan kebijakan yang ketiga setelah penyusunan agenda dan formulasi
kebijakan. Implementasi kebijakan adalah a delivery policy system, yakni bermakna
mengantarkan kebijakan itu dari sebuah aturan tertulis, menjadi sebuah perbuatan yang
dilakukan oleh pemerintah, yang juga bekerja sama dengan berbagai pihak dan disebut
sebagai implementer. Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh dua poin
mendasar, yakni yang pertama adalah content of policy yang mengacu pada muatan-muatan
yang terdapat dalam kebijakan yang dihasilkan. Dalam content of policy terdapat beberapa
hal yang pada intinya berisikan tentang kebijakan itu sendiri, yakni kepentingan, tujuan dan
capaian kebijakan, implementer program, termasuk di dalamnya sumber daya yang
dikerahkan dalam rangka implementasi kebijakan. Sedangkan yang kedua ialah context of
implementation yang mengacu pada kondisi-kondisi lingkungan dimana kebijakan itu
diterapkan. Kondisi-kondisi ini tidak hanya terpaku pada kondisi pemerintahan, seperti rezim,
namun juga kondisi masyarakat yang dinamis sehingga ada dinamika di dalam kebijakan itu
sendiri dalam menghasilkan siklus kebijakan yang baru. Kedua hal ini memiliki keterkaitan
dalam hal implementasi yang memerlukan sebuah kapabilitas atas implementer kebijakan
dalam mengaitkan kedua hal tersebut. Dalam implementasi kebijakan secara tidak langsung
terjadi sebuah proses learning yang didasari oleh beberapa faktor. Pembelajaran ini akan
bermanfaat dimana nantinya akan berfungsi sebagai sebuah pijakan awal dalam memulai
langkah implementasi kebijakan berikutnya
E. 3. Lesson Drawing
Adalah sebuah proses pembelajaran terhadap suatu masalah dengan menelaah dan
25
melihat proses penyelesaian masalah yang pernah dilakukan oleh orang lain, yang juga
mengalami permasalahan yang sama. Lesson drawing merupakan sebuah proses yang lahir
setelah dilakukannya proses lesson learned, dan juga bisa bersamaan, dimana proses lesson
learned melahirkan suatu pemahaman atas watak suatu permasalahan, termasuk
permasalahan publik. Lesson drawing lahir dalam bentuk ide yang lebih aplikatif, tidak
terbatas pada sebuah bentuk nilai yang substantif dan lebih kepada suatu bentuk program
yang digunakan sebagai produk implementasi kebijakan.
F. Definisi Operasional
F. 1. Konten Pornografi
Konten pornografi dilihat dengan menggunakan indikator:
1. Muatan materi seksualitas
2. Materi seksualitas berupa gambar, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh,
bentuk pesan Komunikasi.
F. 2. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan akan dilihat menggunakan indikator:
1. Program yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan yang telah disepakati
atau yang telah dibuat.
2. Memiliki muatan kebijakan, dan tujuan pencapaian kebijakan, serta motif pembelajaran.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian
kualitatif adalah sebuah jenis penelitian dimana prosedur penelitian menghasilkan data yang
deskriptif berupa kata-kata, baik lisan, maupun tulisan dari orang-orang serta perilaku yang
26
dapat diamati. Data yang didapat tidak berupa angka, namun lebih kepada data yang bersifat
non-numerik, seperti narasi, deskripsi, dokumen tertulis, termasuk gambar dan skema.
(Bogdan and Taylor, dalam Moleong, 2007).
Penelitian deskriptif sendiri adalah sebuah metode yang akan menggambarkan serta
menginterpretasikan objek sesuai dengan apa adanya (Best, 1982: 119). Penelitian hubungan
antar variable, menguji hipotesis, dan pengembangan teori yang memiliki validitas secara
universal akan dapat dilakukan dalam metode ini (West, 1982).
Studi kasus juga dipilih karena keadaan ini terjadi nyata di kehidupan sehari-hari, serta
penelitian ini akan dilihat seluruh unit secara total. Selain itu penelitian ini berdasarkan
kepada eksplanasi peneliti atas sebuah masalah dengan menggunakan bentuk pertanyaan
How, dimana menurut Yin (2005:9) penelitaian studi kasus lazimnya menggunakan basis
pertanyaan mengenai “bagaimana” (how), dan “mengapa” (why) atas sebuah penelitian.
Fokus penelitian pada studi kasus biasanya mengenai peristiwa kontemporer. Dalam
penelitian ini, peneliti memberikan batasan pada konten pornografi yang beredar di internet,
dan dapat diakses di Indonesia.
Penelitian ini mengambil unit analisis yakni kebijakan yang dikeluarkan oleh
menkominfo, yang menyangkut mengenai penggunaan Internet dan juga pornografi. Ada pun
mengenai implementasi kebijakan, tidak hanya dianalisis berdasarkan kinerja pihak
pemerintah saja, namun bagaimana pemerintah mampu bersikap dan bekerjasama dengan
banyak elemen, termasuk elemen non- pemerintah.
Sumber data dalam penelitian ini akan berisi data sekunder yang berasal dari media,
literatur, serta menggunakan data yang berbasis hasil opini berupa tulisan yang
terdokumentasikan. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data-data yang dibutuhkan
dengan cara Dokumentasi Literatur dan Berita. Dokumentasi dilakukan dengan mempelajari
dokumen-dokumen yang diperoleh dari berbagai media, seperti: majalah, koran, situs-situs
27
internet dan berbagai sumber lainnya. Data yang diperoleh kemudian digunakan untuk
melengkapi data yang diperoleh dari hasil wawancara, sehingga hasil penelitian bisa
dipertanggungjawabkan.
Teknik analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan mengkolaborasi
dokumentasi, literatur, serta regulasi pemerintah yang telah dilakukan serta dijalankan. Data
kemudian akan diinterpreasikan dengan kerangka konseptual yang sebelumnya sudah disusun
dan kemudian akan ditarik kepada sebuah kajian yang lebih mendalam lagi dalam menelaah
kapasitas Negara dalam implementasi kebijakan Internet mengenai Pornografi Internet.
Penulisan hasil penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa bab, sebagai berikut. Bab kedua
akan berisi mengenai pornografi dan perkembangannya melalui media internet di Indonesia,
serta respon pemerintah dalam menanggulangi peredaran konten pornografi di Indonesia.
Dalam Bab ini nantinya akan ada penjelasan pembelajaran dalam dua linimasa, dimana
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai implementer terpengaruh oleh
karakteristik rezim. Tak hanya pemaparan dari pemerintah sebagai implementer, penulis juga
memaparkan dua implementer kebijakan lainnya, yakni korporasi, dan juga civil society yang
masing-masing dipaparkan mengenai pembelajaran apa yang telah dilakukan untuk
melakukan implementasi kebijakan Pornografi ketika mulai merambah dunia Internet.
Pada bab ketiga, penulis akan memaparkan mengenai implementasi regulasi berbasis ,
diawali dengan implementasi kebijakan publik dalam mengatur pornografi internet dalam
koridor Negara, dan diakhiri dengan kerjasama pemerintah dengan pihak masyarakat dan
swasta. Pada bab ini pula akan diberikan sebuah penjelasan mengenai pemetaan kerjasama
pemerintah dengan implementer kebijakan non-negara, dimana proses learning dilakukan
oleh pemerintah yang nampaknya sadar akan kondisinya yang tidak mampu lagi menjadi
implementer tunggal dalam menangani masalah ini.
28
Pada bab keempat, penulis memaparkan mengenai proses lesson learned serta lesson
drawing yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia mengenai kebijakan pemblokiran
pornografi di Internet. Proses lesson learned diambil dari keputusan pemerintah dalam
melakukan pembaharuan kebijakan lewat penambahan keterangan lewat Undang-Undang
mengenai pornografi dan persebarannya. Sedangkan proses lesson drawing dilakukan
pemerintah di level instrumen kebijakan. Di bab ini juga dijelaskan beberapa negara yang
menerapkan kebijakan pemblokiran pornografi Internet. Pada bab kelima, sekaligus bab
terakhir dalam penelitian ini, penulis menyampaikan kesimpulan.
29
BAB II
DINAMIKA PORNOGRAFI DAN REGULASINYA DI INDONESIA
A. Pengantar
Menurut Charles O’ Jones (1975), masalah publik tidak hanya hadir sebagai sebuah
bentuk respon atas kebijakan, namun lebih kepada respon terhadap keadaan. Hal inilah yang
menyebabkan bahwa kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah, seharusnya lebih bisa
menjawab keadaan, bukan menjawab kebijakan yang sebelumnya. Bab ini akan memaparkan
tentang dinamika yang terjadi dalam pornografi, dalam bentuk substansi dan juga regulasinya
yang terus menerus mencoba membaca keadaan yang dinamis. Dinamika ini adalah tantangan
tersendiri yang harus dipahami dan disiasati oleh para implementor kebijakan. Paparan pada
bab ini diawali dengan dinamika yang terjadi dalam level implementer kebijakan publik
dimana pemerintah yang tidak bisa melakukan implementasi sendiri, dan kemudian
melakukan lobi dan mengajak para korporasi untuk menjadi bagian dari implementer
kebijakan pornografi.
Dinamika ini terjadi tidak hanya dalam bentuk inkrementasi substansi, namun juga
inkrementasi yang berusaha dilakukan oleh para implementer kebijakan. Kebutuhan-
kebutuhan pembelajaran akan diidentifikasi pada bab ini melalui watak kebijakan pornografi
yang mengikuti tren pornografi itu yang berbeda sesuai dengan kemajuan teknologi dan juga
karakteristik rezim. Inkrementasi ini melalui proses konten kebijakan yang dihadapkan pada
konteks masyarakat dan pemerintahan pada masa itu dalam pemahaman Pornografi sebagai
sebuah konten terlarang yang menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat. Disamping itu, jenis
manfaat yang diperoleh serta konflik-konflik yang terjadi dalam proses inkrementasi ini akan
dihadapkan pada juga pada konteks kekuasaan. Tentunya pergantian rezim dari rezim Orde
Baru ke Reformasi menjadikan kebijakan yang mengatur Pornografi pun mengalami
30
beberapa perubahan, baik itu dalam masalah implemensi yang dilakukan, maupun dalam
kaidah nilai pelanggaran yang dilakukan. Hal ini terjadi sebagai bentuk pemebelajaran yang
kemudan diadaptasikan dalam sebuah bentuk inkrementasi kebijakan. Inkrementasi yang
terjadi di ranah implementer program berusaha di deskripsikan dalam dinamika mengenai
kebijakan Pornografi. Dalam hal ini implementer kebijakan memiliki tanggung jawab yang
besar, tidak hanya bertanggung jawab terhadap konten kebijakan saja, namun juga
bertanggung jawab mengimplementasikan konten kebijakan tersebut kepada konteks
masyarakat, serta rezim yang berkuasa pada masa yang berbeda.
B. Implementer dan Pornografi: Lesson Learned
Dalam kebijakan Pornografi terjadi semacam hubungan antara pemerintah, korpora si,
dan juga civil society. Pemerintah memiliki kepentingan dalam implementasi kebijakan,
begitu pun dengan civil society yang memiliki concern di dalam bidang Informasi dan
Teknologi. Sedangkan di level korporasi, kepentingan mereka yang memiliki orientasi
terhadap profit tidak memiliki kepentingan apapun selain mendukung kebijakan pemerintah
secara logika kepatuhan, yang juga memiliki motif demi kelancaran bisnis. Dalam logika
yang sederhana, hubungan yang harmonis antara ketiga aktor ini akan melahirkan
harmonisasi juga dalam kepentingan lainnya. Seperti kemudahan berinvestasi contohnya.
Dinamika yang terjadi dalam pornografi, melahirkan watak kebijakan pornografi yang
berbeda dibandingkan dengan kebijakan lainnya. Dari awal mula kemunculannya di
Indonesia, pornografi memiliki bentuk yang berkembang dalam wataknya sebagai sebuah
konten yang hadir dalam sebuah media. Kebijakan Pornografi pun kemudian berusaha
menutupi kekurangannya dengan bersifat inkremental, atau tambal sulam. Inkrementasi
menurut Lindblom (dalam Winarno, 2007:108), adalah kondisi dimana sebuah kebijakan
diarahkan lebih banyak terhadap ketidaksempuranaan sosial yang nyata sekarang, dibanding
31
mempromosikan tujuan sosial di masa depan. Konteks sosio-kultural masyarakat dijadikan
sebagai sebuah tolak ukur pembelajaran demi kebijakan publik sebagai salah satu pokok
konteks implementasi kebijakan. Dalam rangka inkrementasi ini, ada beberapa tindakan yang
dilakukan oleh masing-masing aktor diantaranya ialah dengan melakukan implementasi
kebijakan dalam cara yang berbeda, namun dengan tujuan yang sama, yakni mengurangi
jumlah persebaran konten pornografi di Internet.
B.1. Pemerintah Dalam dua Linimasa
Sikap pemerintah dalam mengatasi konten pornografi di Internet ditempuh dengan
melakukan pembelajaran terhadap perkembangan yang terjadi dalam pornografi. Proses
pembelajaran dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan kemampuannya membaca
dinamika Pornografi yang mengalami metamorfosis dalam bentuk media nya dan juga
persebarannya. Pembelajaran ini dilakukan dalam bentuk nyata, dimana pemerintah
mengeluarkan produk kebijakan yang memaparkan lebih jelas mengenai definisi Pornografi
dan juga media persebaran nya. Tidak hanya dalam perumusan kebijakan, pembelajaran pun
dilakukan oleh pemerintah dalam koridor implementasi kebijakan. Implementasi ini dapat
dilihat pembentukan tim khusus yang bekerja dalam koridor sosialisasi Internet, maupun
filterisasi konten pornografi di Internet. Dasar hukum pemerintah dalam melarang konten
pornografi di Internet berbasis pada tiga undang-undang, yaitu :
A. KUHP BAB XIV Tentang Kejahatan Mengenai Kesusilaan
B. Undang-Undang no 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
C. Undang-Undang no 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Namun, sebelum beranjak kepada Pornografi di Internet, sebaiknya kita mundur ke
beberapa dekade yang lalu untuk menelaah pembelajaran dalam implementasi yang dilakukan
32
oleh pemerintah pada waktu dimana Internet belum hadir menemani kehidupan masyarakat
Indonesia.
a. Orde Baru
Ada hal unik dalam karakteristik rezim pemerintahan orde baru, yakni ketika
masyarakat pada masa tersebut mengalami tindak represi yang tinggi dari pemerintah yang
secara legitimasi adalah pemerintahan yang demokratis. Sepanjang pencarian penulis, tidak
ada protes maupun reaksi yang menunjukkan perlawanan dari masyarakat mengenai tindakan
yang dilakukan pemerintah mengenai pelarangan Pornografi dan juga tindak pidana yang
dijatuhkan kepada pelaku penyebaran Konten Pornografi. Orde baru memiliki kekuatan
represifitas yang unik, Ia membuat tekanan-tekanan tersebut bersifat “desublimasi represif”,
atau membuat penindasan itu seolah-olah tidak terasa dan mengalami konstruksi bahwa
tekanan tersebut sebagai sebuah kewajiban yang harus diterima oleh masyarakat (Marcuse:
1964). Ada estetisasi nilai, dan pemakluman yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru
dalam melakukan implementasi kebijakan Pornografi melalui pembredelan dan
penghukuman secara langsung kepada pelaku penyebar konten Pornografi. Dinamika yang
terjadi pada implementasi kebijakan Pornografi terletak pada watak kebijakan pornografi
yang masih lekat dengan karakteristik rezim orde baru. Pelaku pornografi, termasuk
distributor, sama-sama ditindak tegas oleh pemerintah. Penindakan tegas ini langsung
dihadapkan dengan KUHP sebagai dasar hukum pidana tertinggi. Hal ini menyebabkan pada
era orde baru, pemerintah sebagai implementer kebijakan dapat bekerja sendiri tanpa ada
campur tangan pihak lain dalam menangani masalah pornografi.
Kasus Pornografi yang terjadi pada kurun waktu dimana rezim orde baru berkuasa
masih memiliki keterbatasan pada media cetak, Ia memiliki jenis bentuk media yang
beragam. Pada awalnya konten pornografi di Indonesia beredar dalam bentuk tulisan tanpa
gambar, hanya berupa sebuah narasi yang menceritakan kisah panas, dan dinilai memiliki
33
unsur cabul di dalamnya. Pada era orde baru ini pun kemudian terjadi dinamika dimana
konten pornografi dari bentuk bacaan kemudian beranjak menjadi bentuk fotografi.
Pornografi yang hadir dalam bentuk bacaan yang tertuang dalam kertas ini tidak hanya
berasal dari dalam negeri, namun juga banyak buku-buku selundupan dari luar negeri.
Salah satu kasus yang mencuat menurut catatan Lembaga Pers dan Pendapat Umum di
Jakarta (sekarang lembaga ini sudah tidak ada), pada tahun 1953 tercatat ada beberapa buku-
buku dan bacaan cabul dari luar negeri yang berhasil masuk ke Indonesia dengan bebas.
Sejak itu lah pemerintah kemudian melakukan tindakan untuk menyeret penanggung jawab
penerbitan ke pengadilan (Tjipta Lesmana, 1995: 4). Setahun setelah terbongkarnya praktik
penyelundupan bacaan cabul tersebut, Polisi Bagian Kesusilaan yang bertugas dalam
menangani masalah kesusilaan di Indonesia mengirimkan sejumlah buku yang dinilai
mengandung unsur Pornografi kepada Kejaksaan Agung. Judul-judul buku tersebut antara
lain: Rahasia Sorga Dunia, Sundal terhormat, Gadis Lobang Kubur, Wanita Sepanjang
Zaman, Dacameron I dan II, dan Usia Dewasa.
Tak lama berselang pada tahun 1955, Majalah “Tjermin” edisi 16 dan 23 dituntut
dengan dakwaan memuat tulisan “panas” dengan judul “Gara-Gara buah dada ter...buka dan
Panitia Penyewaan Sontoloyo. Tidak hanya di ibukota, pun di Yogyakarta pernah terjadi
kasus serupa ketika Pengadilan Negeri Yogyakarta memberikan hukuman denda kepada
Pemimpin Redaksi Majalah “Bikini” karena memuat cerita pendek yang berbau cabul. Kasus
yang sama terjadi pada tahun 1957, dimana Pemimpin Redaksi majalah “Roman” dijatuhi
hukuman denda karena judul cerita pendek “Tinah dan Induk Semang” dinilai bersifat cabul
(Ajat Sudrajat)
Pada tahun 1960-an kasus mengenai konten pornografi mengalami dinamika dari
tulisan, menjadi sebuah gambar. Cover majalah yang pada mulanya menggunakan foto
wanita berpakaian sopan dan rapih, kini berganti dengan foto wanita wanita dengan pakaian
34
dan pose yang menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang seharusnya tertutup. Seperti
majalah Varia No. 539, edisi 14 Agustus 1968 dengan cover wanita asing yang memakai
bikini.5 Kemudian setahun setelah edisi tersebut, pada tahun 1969 terdapat kembali cover
majalah dengan sampul foto gadis Indonesia dengan menggunakan pakaian mandi. Foto
cover ini mencuat pada majalah Varia No. 577, edisi 7 April 1969. Fenomena cover majalah
seksi ini berlanjut pada tahun 1970 misalnya, majalah viva dan varia pada edisi No. 15
tanggal 16 Februari 1971 memuat sejumlah gambar beserta tulisan dimana sampul muka
majalah tersebut menggunakan foto wanita berpakaian minim, dimana (maaf) buah dada
sebelah kanan terlihat jelas. Masih pada majalah yang sama, pada halaman 8 terdapat gambar
laki-laki dan wanita telanjang dalam posisi tidur sedang berciuman. Dalam kasus ini, majalah
Viva dan Varia telah melakukan pelanggaran pasal 282 KUHP ayat (1) jo. Pasal 283 jo. Pasal
533 KUHP. Kasus yang kurang lebih sama, namun dalam bentuk yang berbeda mencuat
kembali pada tahun 1984, dimana enam artis Indonesia yakni Yanti Prianti Kosasih, Dewi
Anggraini Kusuma, Rina Susan, Sylvia Karenzo, Retno alias Susan, dan Dewi Noverawati
alias Vera dibawa ke Pengadilan karena dianggap telah mempertontonkan kemolekan
tubuhnya. Kasus ini didakwa primer melanggar pasal 282 (1) yo pasal 55 (1) ke-1 yo pasal 56
KUHP dan dakwaan Subsidair melanggar pasal 282 (2) yo asal 55 (1) ke-1 yo pasal 56
KUHP. Akan tetapi, tidak ada putusan vonis oleh majelis hakim mengenai kasus ini.
Berbeda dengan media cetak, pornografi pun kemudian merambah pada media audio-
visual. Dimulai pada tahun 1984-1985 dimana laporan Badan Sensor Film Indonesia telah
melakukan sensor terhadap 60 film pada semester pertama tahun tersebut. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 44 film, atau 67,3 % diantaranya harus mengalami pemotongan akibat
gambar porno. Film-film yang berjudul seperti Cinta di Balik Noda, Tergoda Rayuan, Midah
5 Sejenis pakaian renang dengan model terbuka pada bagian perut dan terdiri dari dua buah bagian.
35
Gadis Buronan, Kawin Kontrak, Pengantin Pantai Biru, dan lain lain harus mengalami
sensor film akibat terdapat adegan porno dalam filmnya.
Dari poin yang telah dipaparkan diatas, dinamika yang dapat dilihat ialah bahwa konten
kebijakan Pornografi juga mengalami perubahan dalam bentuk konten dan media. Pemerintah
tidak menutup mata dan berhasil melakukan pembelajaran atas pembaharuan media
pornografi. Hampir tanpa masalah, pemerintah menangani masalah pornografi dengan
langsung membawanya ke pengadilan tanpa membutuhkan bantuan pihak non-negara lain.
Kebijakan pornografi yang masih berlandaskan kepada KUHP seakan menyuapi masyarakat
secara paksa bahwa Pornografi adalah suatu hal yang harus diberangus. Ada kepentingan
pemerintah yang bermain disini dalam melakukan penghukuman kepada orang yang
menyebarkan Pornografi melalui konten kebijakan yang ditelurkan, serta kaitannya dengan
konteks rezim dan kekuasaan yang otoritatif. Implementer kebijakan pada era Orde Baru
dapat melakukan pekerjaannya secara sederhana karena konten kebijakan tersebut berada
dalam tataran kepentingan pemerintah, dan konteks implementasi tersebut jika dipandang
secara rezim kekuasaan, selaras dengan pemerintahan yang otoritatif. Tidak ada penolakan,
karena implementasi tersebut juga berjalan dalam tekanan yang bersifat desublimasi represif.
b. Orde Reformasi
Pornografi mengalami perkembangan dalam media persebarannya seiring berjalannya
waktu dalam perkembangan teknologi, dan kali ini melalui Internet. Tidak hanya itu,
perkembangan rezim juga dialami oleh Pemerintah, dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Tentu
saja hal ini menjadikan pemerintah selaku implementer program kebijakan pornografi
memerlukan suatu upaya dan juga gerakan yang baru, karena perbedaan rezim tersebut
melahirkan konteks masyarakat yang lebih demokratis dan tidak bisa ditindak secara represif
lagi.
36
Pemerintah melalui kementrian Komunikasi dan Informasi melakukan terobosan yang
berkenaan dengan penyebaran konten pornografi di Internet. Terobosan yang pertama
dilakukan oleh pemerintah ialah dengan mengeluarkan 2 buah undang-undang, yakni UU ITE
dan UU Pornografi. UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan UU Pornografi adalah
salah satu bentuk inkrementasi kebijakan yang dirasa memungkinkan untuk menjawab
kebutuhan pemerintah akan kontekstualisasi kekuasaan yang lebih demokratis, dan konteks
masyarakat yang lebih “melek” teknologi dalam menangani Pornografi yang merambah di
dunia maya. Kedua UU tersebut memiliki fungsi yang berbeda, UU ITE berperan
memperjelas permasalahan mengenai Pornografi Internet dalam koridor penyebarannya
melalui media elektronik, termasuk Internet. Sedangkan UU Pornografi berperan untuk
menegaskan watak atas pornografi yang memiliki dimensi serta persebaran media yang
berbeda.
Dengan kata lain, UU ITE hadir sebagai salah satu rumusan sikap pemerintah atas
persebaran pornografi termasuk ke dalam sebuah pengembangan kebijakan publik dengan
basis teknologi, sedangkan UU Pornografi adalah sikap penegasan Pornografi sebagai sebuah
hal yang mutlak dan memiliki legitimasi, tidak sekedar batasan substantif. Melalui kedua
undang-undang inilah pemerintah menyesuaikan kondisi kekinian Pornografi dalam bidang
teknologi dan informasi. Berikut adalah salah satu penegasan mengenai pornografi dalam
kaidah yang legitimate dalam bentuk undang-undang:
Pasal 4(1) Ruang lingkup Undang-undang tentang pornografi merupakan regulasi
pornografi termasuk yang berkaitan dengan pornoaksi baik sebagaisebab maupun akibat dari pornografi.
(2) Ruang lingkup pornografi yang diatur sebagaimana dimaksud padaAyat(1) meliputi:
a. pembuatan meliputi kegiatan atau serangkaian kegiatanmemproduksi materi media massa cetak, mediamassa elektronik, alatkomunikasi medio, atau media komunikasi lainnya seperti merekammelalui hand phone atau video yang di dalamnya ada unsur
37
pornografi dan barang-barang pornografi;
b. penggandaan meliputi kegiatan atau serangkaian kegiatan untukmemperbanyak materi media massa,media massa elektronik, alatkomunikasi medio, atau media komunikasi lainnya seperti merekammelaluihand phone atau video yang di dalamnya ada unsurpornografi dan barang-barang pornografi;
c. penyebarluasan meliputi kegiatan atau serangkaian kegiatan yangbertujuan untuk mengedarkan materimedia massa cetak, mediamassa elektronik, alat komunikasi medio, atau media komunikasilainnya yangdi dalamnya ada unsur pornografi dan mengedarkanbarang-barang yang mengandung sifat pornografidengancaramemperdagangkan,memperlihatkan,memperdengarkan,mempertontonkan,mempertunjukkan, menyiarkan, menempelkandan/atau menuliskan;
d. penggunaan mencakup segala kegiatan yang memakai materi mediamassa cetak, media massaelektronik, alat komunikasi medio, ataumedia komunikasi lainnya seperti merekam melalui hand phone atauvideo yang di dalamnya ada unsur pomografi, barang dan/atau jasapomografi; dane. penyandang dana (sponsor), prasarana, sarana,media dalam penyelenggaraan pornografi.
Pasal 5(1)Jenis-jenis pornografi terdiri dari:
a. pornografi ringan;b. pornografi berat; dan/atauc. pornografi anak.
(2) Pornografi ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputisegala bentuk pornografi yangmenggambarkan secara implisitkegiatan seksual termasuk bahan-bahan yang menampilkanketelanjangan,adegan-adegan yang secara sugestif yang bersifatseksual atau meniru adegan seks.
(3) Pornografi berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputisegala bentuk pornografi yangmenggambarkan tindakan seksualsecara eksplisit seperti alat kelamin, penetrasi dan hubungan seksyangmenyimpang dengan pasangan sejenis, anak-anak, orang yangtelah meninggal dan/atau hewan.
(4) Pornografi anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputisegala bentuk pornografi yangmelibatkan anak atau citra anak atau ibuhamil sebagai subyek ataupun obyek yang diproduksi baiksecaramekanik atau elektronik atau bentuk sarana lainnya.
Selain undang-undang, pemerintah juga turut melakukan beberapa program yang
menjadikan kedua undang-undang tersebut sebagai acuan dasar atas implementasi kebijakan
pornografi. Program-program pemerintah ini dibentuk dalam tujuan menggapai penggunaan
internet yang sehat, aman, serta bersih dari konten berbahaya yang kiranya dapat membawa
38
dampak buruk terhadap masyarakat yang melakukan akses Internet. Ada dua jenis
implementasi yang dilakukan oleh pemerintah, yakni dengan melakukan program sosialisasi,
dan juga membentuk semacam tim khusus dalam penanganan cyber crime yang termasuk di
dalamnya juga penanganan Pornografi. Berikut adalah Implementasi yang dilakukan oleh
pemerintah :
è INSAN (Internet Sehat dan Aman)
Internet Sehat Aman (INSAN) adalah program nasional yang diprakarsai oleh
Menkominfo, yang memiliki misi untuk mensosialisasikan penggunaan internet secara sehat
& aman ke berbagai kalangan sehingga internet dapat memberi manfaat dan nilai tambah.
Belajar dari pengalaman, bahwa Internet sebagai media yang tidak bisa dibendung secara
legalitas konten, pemerintah melakukan sosialisasi ini agar Internet tidak disalahgunakan.
Atas dasar misi itulah yang menjadi motor penggerak INSAN dalam mensosialisasikan
Internet Sehat dan Aman kepada masyarakat dalam berbagai program. INSAN sebenarnya
adalah sebuah program sosialisasi yang dijalankan oleh tiim yang bernama TSIS (Tim
Sosialisasi Internet Sehat), yang dibentuk sesuai dengan lampiran keputusan Menteri
Komunikasi dan Informatika dalam Keputusan No. 28/KEP/M/Kominfo/1/2009. Tim
Pelaksana Sosialisasi dan Promosi INSAN terbaru dibentuk berdasarkan lampiran Keputusan
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika No:10/KEP/DJAI/KOMINFO/03/2011 pada 1 Maret
2011.
Untuk melancarkan aktifitasnya dalam sosialisasi Internet sehat, INSAN melakukan
jejaring dengan beberapa elemen, yang terdiri dari beberapa golongan, diantaranya adalah
jejaring pemerintah, perusahaan, organisasi, serta melakukan jejaring dengan sekolah dan
kampus. Pada jejaring pemerintahan, kementrian KOMINFO menjadi salah satu basis
jejaring INSAN sebagai pemberi status legal-formal kehadiran INSAN sebagai sebuah
program, sekaligus sebuah tim sosialisasi program.
39
Kemudian pada ranah swasta, INSAN melakukan jejaring dengan media teknopreneur,
media Biskom, perusahaan ISP IM2 Broadband, Telkomsel, Telkom Indonesia, serta
perusahaan yang berbasis situs forum bernama KASKUS. Pada jejaring organisasi, INSAN
didukung oleh YPEI (Yayasan Pendidikan Eropa Indonesia) yang bergerak di bidang sosial
pendidikan, ICT Watch, MIKTI (Masyarakat Industri Kreatif Teknologi & Komunikasi
Indonesia), AWARI (Asosiasi Warung Internet Indonesia), serta Yayasan Kita dan Buah
Hati. Sedangkan pada level jejaring sekolah dan kampus, hingga saat ini dalam halaman yang
disediakan oleh INSAN, hanya Universitas Bina Nusantara (BINUS) saja yang menjadi
partner kerjasama program INSAN.
Dalam perjalanannya sebagai sebuah tim yang dibentuk dengan tujuan sosialisasi
Internet sehat, INSAN melakukan banyak sosialisasi baik secara online, maupun secara
langsung terjun ke lapangan. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan bervariasi, mulai dari
seminar dengan mengundang para tenaga pendidik, INSAN goes to campus, hingga
sosialisasi di sekolah-sekolah menengah maupun sekolah dasar.
Tidak hanya di pulau jawa, INSAN juga melakukan kegiatan sosialisasi Internet sehat
di beberapa kota di luar jawa. Kota-kota tersebut ialah, Palangkaraya, Pontianak, Lampung,
Palembang, Jambi, Padang, Manado, Makassar, dan tak ketinggalan juga di Jayapura.
INSAN melakukan tugas pada level sosialisasi dan juga promosi tentang Internet sehat, dan
tidak melakukan pelarangan serta pemblokiran konten. Oleh karena itu INSAN menjadi
bagian program pemerintah dalam penanggulangan penyebaran konten pornografi di Internet
menggunakan cara yang lebih soft dan persuasif dengan mengajak masyarakat untuk
menggunakan Internet dengan tidak menyalahgunakannya sebagai media yang dimanfaatkan
untuk melakukan tindak kejahatan dan melanggar Undang-Undang.
40
• ID-SIRTII (Indonesia Security Incident Response Team on Internet)
Selain masalah penipuan dan juga pornografi, pemerintah memiliki sebuah sarana yang
diasuh oleh Departemen Komunikasi dan Informasi dalam pengelolaan terhadap serangan
Internet, atau Hacking. Tim yang dibentuk oleh Depkominfo ini bernama Indonesia Security
Incident Response Team on Internet (ID-SIRTII), yang bertugas menjaga keamanan hacking
oleh website-website penting, sebagai contohnya adalah website milik negara (Gatra, Dalam
Nawala : 2011). ID-SIRTII ini dibentuk dengan latar belakang atas munculnya
ketidakamanan dalam penggunaan internet sebagai sarana komunikasi dan informasi serta
arus lalu-lintas data dalam berbagai pengelolaan infrasturktur Internet, seperti perbankan
misalnya.
ID-SIRTII bekerja dibawah pengawasan pemerintah secara langsung yang dilatar
belakangi oleh bayaknya kasus cybercrime yang sudah hadir di Indonesia sejak tahun 2002
silam. Tercatat setidaknya ada 71 kasus cybercrime pada tahun 2003. Angka ini terhitung
besar untuk Indonesia yang pada masa itu belum memiliki infrasturktur internet dengan
jaringan luas dan aksesibilitas yang besar seperti sekarang. Dalam kurun waktu 4 tahun
kemudian, pemerintah mengeluarkan peraturan menteri bernomor
26/PER/M.KOMINFO/5/2007 yang menugaskan ID-SIRTII sebagai salah satu lembaga yang
bertugas melakukan pengawasan keamanan jaringan dan juga jaringan telekomunikasi
berbasis internet.
Termasuk di dalamnya tugas umum ID SIRTII yakni melakukan content filtering, atau
penyaringan konten. Dalam hal ini, yakni konten atau isi dari sebuah situs di Internet yang
memiliki dampak yang dianggap berbahaya bagi masyarakat. Meskipun tidak ada pernyataan
secara jelas di website ID-SIRTII bahwa tim ini bergerak hanya berdasarkan UU no 36 tahun
1999 tentang Telekomunikasi, serta peraturan pemerintah dan menteri komunikasi pada tahun
41
2007, atau setahun sebelum pengesahan UU APP dan UU ITE, ID-SIRTII juga mengurus
filterisasi konten pornografi.
ID SIRTII juga memiliki kewenangan selain sosialisasi, namun juga asistensi dan juga
kerjasama dengan tiap inisiatif baik dari dalam dan luar negeri. ID SIRTII berfungsi sebagai
single point of contact, dimana koordinasi teknis mengenai segala ide dan juga tindakan
teknis terhadap penyelenggaraan keamanan Internet berada pada lingkup kerja ID SIRTII.
Selain itu, ID SIRTII juga memiliki kewenangan dan mampu menyelenggarakan penelitian
dan pengembangan di bidang pengamanan dan teknologi informasi/ sistem informasi, dengan
segala fasilitas yang dimiliki, seperti laboratorium, serta penyelenggaraan proyek content
filtering.6
Dengan kata lain ID SIRTII menjadi perwakilan langsung pihak pemerintah dalam
implementasi kebijakan yang bersifat teknis mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik.
ID SIRTII bergerak dibawah payung hukum undang-undang, peraturan pemerintah, serta
peraturan menteri komunikasi, dan Ia melakukan pekerjaan di bidang teknis.
B. 2. Asosiasi Perusahaan Internet: Aktor Implementer Baru
Dalam kaidah sumber daya sebagai konten kebijakan yang akan di implementasikan,
campur tangan para pengusaha sebagai pemegang kendali privatisasi sinyal komersial sangat
diperlukan. Berbeda dengan pemerintah sebagai implementer kebijakan yang terbagi kedalam
dua linimasa, korporasi internet hanya bekerja ketika pada orde reformasi saja. Hal ini
dikarenakan pornografi internet mulai menyebar secara sporadis mulai pada tahun 2000-an
saja. Pihak swasta pun penulis anggap termasuk sebagai implementer program kebijakan
6Profil ID SIRTII dalam website nya : http://idsirtii.or.id/profil-id-sirtii/ Diakses pada hari Minggu 8 Agustus2011 pukul 20.05 WIB
42
pornografi karena langkah mereka yang turut mendukung penegakkan UU Pornografi dan
UU ITE di Indonesia dengan melakukan kerjasama bersama pemerintah dalam beberapa hal.
Hal yang paling utama dilakukan oleh para pengusaha ini dalam melakukan tugasnya
sebagai implementer ialah melakukan pemblokiran konten Pornografi di Internet melalui
jaringan dan lingkup kekuasaannya masing-masing. Kerjasama implementasi ini dilakukan
oleh pengusaha skala besar dan skala kecil yang bergerak di bidang Informasi dan
telekomunikasi, terutama di bidang Internet Servic Provider (ISP), dan telekomunikasi
selular.
Pembelajaran yang dilakukan oleh para pengusaha dalam melakukan implementasi
kebijakan pornografi disini dapat dilihat dari bentuk dukungan yang mereka lakukan masih
memiliki kaitan dengan pornografi Internet, dengan melakukan aplikasi yang sama dengan
beberapa negara lain yang juga melakukan pemblokiran Internet. Pemblokiran konten
Pornografi Internet dirasa menjadi salah satu cara terbaik dibandingkan dengan membatasi
Internet secara sepenuhnya, karena Internet sebagai media masih tetap dapat diakses dan
dikondisikan sebagai media informasi dan komunikasi. Kalimat yang paling mudah dalam
menjabarkan filterisasi konten ini ialah, hal ini layaknya sensor dalam sebuah film, dimana
intisari dari internet sebagai sebuah media tidak hilang dan hanya mengalami pemotongan di
beberapa sisi saja.
Adapun perusahaan yang turut bergabung dalam membantu content filtering ialah
perusahaan yang tergabung dalam APJII, atau Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia.
Ketua APJII, Roy Rahajasa Yamin, mengatakan bahwa Ia menghimbau kepada seluruh
anggota APJII untuk mengikuti perintah untuk memfilter konten pornografi sesuai dengan
perintah Menkominfo. Untuk melakukan filtering ini sendiri, investasi yang dilakukan
ditanggung oleh masing-masing anggota APJII sendiri, dan besarannya bisa mencapai
puluhan, hingga ratusan juta rupiah, tergantung topografi jaringan, filtering, dan jumlah
43
pelanggan.7 Adapun anggota APJII sendiri hingga pada tahun 2011berjumlah sebanyak 26
perusahaan, yaitu8 :
1. Cergis Network (PT Centra Global Investama.)
2. Auston Networking (PT Austin Technology Telematika.)
3. HAWK Teknologi Solusi (PT Hawk Teknologi Solusi.)
4. HyperMedia (PT Hyperindo Media Perkasa)
5. Polaris (PT Jaring Semesta Infosolusi)
6. Jet-Flash (PT Cikarang Cyberindo)
7. Gastra Net (PT Graha Anugerah Sejahtera)
8. SAB Net (PT Semesta Asa Bersama)
9. LYNK Net (PT Lynx Mitra Asia)
10. PGASCOM Net (PT Pgas Telekomunikasi Nusantara)
11. I-NAP Net ID (PT Kreatif Pasific)
12. MLINK Net (PT Jawa Pos National Network Medialink)
13. WIFIAN-ID (PT Wifian Solution)
14. SKI-ID (PT Sumber Koneksi Indotelematika)
15. JLM-ID (PT Jala Lintas Media)
16. NARAYA-ID (PT Naraya Telematika)
17. SDI-ID (PT Sumber Data Indonesia)
18. SOLNET-ID (PT Solnet Indonesia)
19. CYBERPLUS-ID (PT Cyberplus Media Pratama)
20. MEDIA Net (PT Media Akses Global Indo)
7 Berita Berjudul : “Tutup Akses Konten Esek-esek” http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=60237. Diakses pada hari Rabu, 8 Februari 2012 pada pukul 17.25 WIB.
8 Data diunduh dari :http://www.apjii.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=106%3A2011&catid=36%3Aanggota&Itemid=11 Diakses pada hari Sabtu, 11 Februari 2012 pada pukul 15.35
44
21. LDP Net (PT Lintas Data Prima)
22. Mango Net (PT Matrixnet Global Indonesia)
23. NEXCOM Net (PT nexcom Indonesia)
24. ITECH Net (PT Intelex Technet Global)
25. TERABIT (PT Selaras Citra Terabit)
26. PALAPA MEDIA (PT Palapa Media Indonesia)
Kebijakan pemblokiran konten pornografi yang turut digalakkan oleh beberapa
perusahaan ISP membuahkan hasil, dan penulis menemukan realita di lapangan tentang
contoh situs yang diblokir oleh salah satu ISP di sebuah warnet di Yogyakarta. Situs yang
diblokir mengandung unsur konten pornografi di dalamnya, penulis mengambil contoh
sebuah situs dengan alamat www.playboy.com. Berikut adalah hasil rekam gambarnya :
Gambar 1.3. Contoh pemblokiran situs di sebuah warnet di Yogyakarta9
Berbeda dengan APJII yang secara gamblang mendukung program pemerintah, asosiasi
pengusaha lain yang berkaitan dengan Internet, yakni Asosiasi Telekomunikasi Seluler
Indonesia (ATSI), dan Asosiasi Warung Internet Indonesia (AWARI), terkesan agak
9 Gambar diambil di Warnet Platinum-Net Jl. Kaliurang KM 5, SLeman, Yogyakarta pada hari Kamis, 8 Maret2012 pada pukul 23.07
45
menyayangkan keputusan pemerintah yang terkesan mendadak ini. Menurut Sarwoto
Atmosutarno, Ketua ATSI, kebijakan content filtering ini akan memerlukan tambahan
investasi bagi semua operator. Ditambah lagi, akses internet melalui perangkat mobile
memang menjadi sebuah tren di masa sekarang ini. Sarwoto berkata bahwa pemerintah harus
melihat bisnis Internet ini secara holistik, dengan demikian tidak hanya operator seluler saja
yang dikenakan kewajiban, namun juga penyedia konten. Operator seluler menurutnya dalam
menyikapi hal ini hanya akan menggunakan solusi yang ada, dan jika akses Internet
melambat, itu akan memerlukan investasi tambahan.
Sikap yang sama dinyatakan oleh ketua AWARI, Irwin Day, yang mengungkapkan
bahwa pemblokiran konten porno akan berdampak juga pada pendapatan warnet itu sendiri,
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, akan terjadi
penurunan omzet warnet hingga 30%. Namun, hal yang terjadi sebaliknya dalam jangka
panjang, yakni akan terjadi penghematan bandwidth10, karena konten porno sangat haus akan
bandwidth. Dari keterangan ATSI dan AWARI diatas, terjadi sebuah ketidakjelasan ukuran
dan tujuan atas kebijakan publik yang dicanangkan oleh pemerintah kepada aktor-aktor yang
diajak bekerjasama. Oleh karena itu, ATSI dan AWARI menyatakan bahwa langkah content
filtering ini memerlukan sebuah tambahan investasi yang akan berdampak pada bisnis
anggotanya sendiri dari sisi permodalan.
Akan tetapi hingga tulisan ini dibuat, tidak ada penolakan berarti dari para pengusaha
jasa internet mengenai pemblokiran situs pornografi melalui jaringan mereka. Dengan kata
lain pemerintah sukses dalam melakukan mediasi dan lobi-lobi dalam rangka meningkatkan
10Bandwidth (disebut juga Data Transfer atau Trafik) adalah data yang keluar+masuk/upload+download keaccount anda. Misalnya anda menerima/mengirim email, asumsikan besarnya email yang diterima/dikirimadalah 4 KB, berarti secara teori, untuk bandwidth 1.000 MB (1.000.000 KB) anda bisa *kirim* 250.000 emailatau berbagai variasi antara kirim/terima, 100.000 kirim, 150.000 terima. Disadur dari artikel Materi Telkom :Definisi Bandwidth http://www.sentra-edukasi.com/2009/07/materi-telkom-definisi-bandwidth.html. Diaksespada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada pukul 19.35 WIB
46
kinerja implementasi dan mengurangi gesekan kepentingan antar implementer kebijakan.
Terbukti, cukup sukses dengan banyaknya para pengusaha jasa Internet yang juga
menggalakan pemblokiran pada beberapa situs di dalam jaringan mereka. Proses learning
dalam kaidah subjek kebijakan pornografi berjalan di titik ini.
C.3 ICT Watch sebagai Civil Society
Beberapa tahun sebelum pemerintah memiliki kepedulian atas betapa pentingnya
memberdayakan Internet secara baik dan benar, masyarakat sudah hadir dan membentuk
sebuah organisasi non-profit dengan nama ICT Watc, (Information and Communication
Technology-Watch). ICT Watch didirikan pada tahun 2002 dengan tujuan awal untuk
memperluas dan memperdalam kegiatan pengembangan kemampuan dan potensi masyarakat
madani di Indonesia dengan berbasiskan pada pemberdayaan teknologi informasi dan
komunikasi (ICT). Visi ICT Watch sendiri ialah
“Every person, without exception, has the right to access, produce, distributeand / or utilize any useful information for life through a variety of new mediasafely and wisely, without having a sense of fear and worry”.
ICT Watch ingin memberikan pendampingan, pelatihan, serta pengawasan kepada
masyarakat mengenai teknologi informasi dan komunikasi dengan berlandaskan pada hak
asasi manusia dalam hal akses, produksi, distribusi, dan penggunaan informasi secara aman
dan bijaksana tanpa rasa cemas dan takut. ICT Watch merasa bahwa Internet kini bukanlah
lagi sebuah hal yang hanya dapat dikuasai oleh beberapa orang yang memiliki concern di
bidang komputerisasi saja. Kini Internet bisa dinikmati semua kalangan dan juga memberikan
dampak yang luas bagi masyarakat. Akan tetapi, dampak ini juga memiliki sisi positif dan
negatif nya masing-masing. Hal ini lah yang kemudian dijadikan sebuah pembelajaran bagi
ICT Watch dalam upaya nya menciptakan sebuah pelatihan, pendampingan, serta saran bagi
orang-orang yang masih awam agar tidak terjebak dalam hitam-putih nya dunia maya.
47
Organisasi ini memiliki sebuah program yang bisa dibilang, mirip dengan program
pemerintah, yakni program Internet Sehat. Jika pemerintah memiliki TSIS (Tim Sosialisasi
Internet Sehat) pada tahun 2011, maka ICT Watch memiliki program Internet Sehat pada
tahun 2002, meski pada waktu itu hanya baru sebatas slogan. Akan tetapi, Internet Sehat
menjadi sebuah terobosan baru di bidang teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia
yang fokus pada pengawasan Internet secara baik dan benar. Program Internet Sehat ICT
Watch sudah diwacanakan sejak 10 Maret 2002. Langkah awal yang dilakukan oleh ICT
Watch dalam pewacanaan Internet Sehat ini, ialah dengan menelurkan draft berupa lima
langkah Internet Sehat. Hingga pada akhirnya dicetuskan pada 29 April 2002, dengan
meluncurkan situs resmi dan brosur hardcopy Internet Sehat edisi perdana. Pada akhirnya
kemudian program Internet Sehat yang dicanangkan oleh ICT Watch ini adalah memiliki
basis dasar untuk mengedepankan kebebasan berekspresi di Internet secara aman dan bijak,
dengan tiga pendekatan, yakni :
1. Self-censorship hanya di level keluarga dan sekolah
2. Peningkatan konten lokal yang positif dan menarik
3. Pemberdayaan masyarakat madani tentang teknologi informasi dan komunikasi.
D. Penutup
Dalam hal pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik, baik dalam bentuk
Undang-Undang, maupun implementasi kebijakan, pemerintah, korporasi, dan juga civil
society selaku para implementer program memiliki kapasitas dan kapabilitasnya masing-
masing dalam mengantarkan kebijakan ini ke tangan publik. Hal inilah yang kemudian
dipelajari oleh pemerintah sebagai salah satu kelemahan mereka, bahwa implementasi
kebijakan pornografi tidak bisa lagi dilakukan dengan one man show seperti yang dilakukan
ketika masa orde baru. Ketiga implementer kebijakan tersebut mampu melakukan
pembelajaran yang baik dalam menganalisis watak pornografi sebagai sebuah permasalahan
48
publik. Pemerintah melakukan pembelajaran yang baik dengan tidak hanya mengatasi
Pornografi dalam lingkup ruang hukum tata negara semata melalui proses perundangan, akan
tetapi juga ikut andil dalam pembentukan tugasnya yang lebih concern ke dalam persebaran
Pornografi. Begitu pula yang dilakukan oleh korporasi informasi dan komunikasi yang juga
melakukan pembelajaran dengan berusaha melihat poin-poin dasar apa saja yang tidak
merugikan mereka dalam mencapai profit, namun juga ikut andil dalam suksesi implementasi
kebijakan pornografi dengan mengambil jalan tengah untuk melakukan pemblokiran konten
dibanding memblokir Internet itu sendiri. ICT Watch sebagai civil society juga melakukan
pembelajaran yang sama melalui pemahaman Internet itu sendiri sebagai sebuah media yang
memiliki dualisme di dalamnya, dan kemudian berusaha memberikan sebuah pelajaran atas
pemahaman mereka terhadap Internet.
Pembelajaran yang dilakukan oleh ketiga aktor implementer ini selalu ditunjukkan
dalam bentuk yang lebih aplikatif, dan bukan dalam bentuk dukungan semu ataupun makna
simbolis. Hal ini merepresentasikan bahwa pembenahan permasalah Pornografi bukanlah
suatu hal yang lagi bisa dikendalikan melalui perundangan semata, namun juga
membutuhkan sebuah aksi konkret yang solutif, dan dapat direalisasikan melalui proses
pemahaman melalui pembelajaran.
Secara teoritis, proses pembelajaran ini memang tidak banyak diungkapkan dalam
kebanyakan literature kebijakan publik yang lebih banyak berkata mengenai proses kuasa.
Namun fakta berkata lain, dimana proses kebijakan Pornografi berlangsung melalui sikap
pembelajaran pemerintah, dan juga aktor implementer lain yang harus dilakukan dalam
menyikapi Pornografi yang memiliki dinamika di dalam media pergerakannya.
49
BAB III
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PORNOGRAFI DI INDONESIA
A. Pengantar
Bab dua telah memaparkan mengenai dinamika Pornografi, dan juga inkrementasi yang
terjadi di level kebijakan, serta menjelaskan siapa saja implementer kebijakan. Dari kedua hal
yang bersifat inkremental tersebut telah terlihat upaya pemerintah dalam menanggapi konteks
yang terjadi dalam perkembangan pornografi dalam dua linimasa. Namun, upaya
implementasi secara nyata dalam bentuk proses masih belum terlihat dengan jelas.
Pemerintah dan juga para aktor implementer kebijakan pornografi mulai melakukan
pembelajaran dengan membaca kekurangan-kekurangan apa saja yang dapat dibenahi dan
dalam jangkauan kapasitas mereka.
Pornografi bukanlah sebuah masalah yang dapat ditelaah dengan sebuah perundangan
saja, namun ia membutuhkan suatu aksi nyata dalam implementasinya. Mulai dari
penanggulangan melalui sosialisasi Internet sehat, serta pemblokiran situs dilakukan dengan
kerjasama antara pemerintah, masyarakat, beserta korporasi yang membuka jasa layanan
internet di Indonesia dalam rangka implementasi kebijakan publik untuk menanggulangi
masalah penyebaran konten pornografi di Internet. Dalam telaah implementasi kebijakan, hal
ini dilihat sebagai resources commited, yakni para implementer kebijakan harus memiliki
kapasitas dan kapabilitas dalam mengantarkan kebijakan tersebut ke tangan publik.
Resources ini berhadapan dengan konteks compliance and responsiveness, dimana para
implementer kebijakan yang memiliki kapabilitas dalam mengimplementasikan kebijakan
juga memiliki responsi atas kebijakan itu sendiri yang berdampak kepada kepentingan
mereka. Hal ini tentunya akan berimplikasi pada kesuksesan implementasi.
Bab ini akan memaparkan lebih detil lagi mengenai implementasi jenis apa saja yang
dilakukan atas dasar kerjasama antar aktor yang memiliki pengaruh yang cukup besar, ketika
50
kepentingan para pengusaha di bidang ISP yang memiliki tendensi besar berorientasi pada
profit, kemudian harus mengeluarkan dana ekstra utk mendukung kebijakan pemerintah.
Serta konteks kepatuhan para aktor non-negara dalam aksinya mendukung kebijakan ini pun
cenderung cepat. Nampaknya lobi pemerintah dalam menggandeng pihak non-negara cukup
kuat sehingga mampu mempengaruhi pihak swasta kelas Internasional sekalipun, seperti RIM
(Research In Motion) asal Kanada yang dikecam harus memblokir pornografi.
B. Konsekuensi Implementasi Terhadap Implementer
Implementasi kebijakan pornografi Internet digambarkan dalam situasi yang lebih
koheren antar organisasi dalam koridor pelaksanaannya. Pemerintah selaku stakeholder
memiliki kemampuan dalam melakukan rancangan kebijakan dengan menetapkan UU ITE
dan UU Pornografi dalam kaidah yang sudah terencana. Dengan mengajak komponen diluar
pemerintah yang memiliki kompetensi dalam bidang telekomunikasi, implementasi pun
berjalan dengan implementer yang memiliki beberapa kepentingan yang berbeda.
Kepentingan ini pastinya mengalami tabrakan, atau ketidak sesuaian dalam hal substantif.
Namun dalam pelaksanaannya yang terjadi justru sinergitas antar organisasi terbentuk dalam
pelaksanaan secara komprehensif.
Berbeda dengan masa Orde Baru dimana pemerintah selaku implementer tunggal bisa
berlaku semaunya dan dapat melakukan implementasi tanpa harus ada saluran-saluran lain
yang dibutuhkan bantuannya dalam melakukan implementasi, Pemerintah kali ini mengajak
korporasi selaku organisasi non-pemerintah yang memiliki kapasitas dalam menangani hal
yang berkaitan dengan Internet dan jaringannya. Bicara tentang kapasitas, berbicara juga
dengan seberapa jauh para implementer bisa melakukan proses learning dalam rangka
peningkatan kapasitasnya. Mengingat, watak pornografi yang memiliki dinamika harus
diiringi juga dengan peningkatan kapasitas dalam menangani masalah yang kian berkembang.
51
Dalam logika sederhana, tentu ada konsekuensi yang diterima oleh masing-masing
organisasi. Pemerintah memiliki konsekuensi untuk menerima keterbatasannya dalam
pengelolaan jaringan seluler yang menjadi salah satu basis jaringan Internet. Inilah latar
belakang Pemerintah turut mengajak korporasi dalam melakukan kerjasama dalam rangka
implementasi kebijakan pornografi. Dalam sisi yang lain, korporasi juga memiliki
konsekuensi untuk menuruti kebijakan publik sesuai dengan logika kepatuhan yang berlaku.
Dan hal ini tentunya menambah daya beban bagi mereka dalam rangka membantu jalannya
implementasi kebijakan.
Berikut ini akan dijelaskan dua jenis implementasi kebijakan pornografi, yakni dengan
melakukan pemblokiran pornografi Internet, dan sosialisasi Internet sehat. Kedua
implementasi ini memiliki cara yang berbeda dalam upaya penanggulangan pornografi di
Internet. Pemblokiran pornografi di Internet adalah cara pemaksaan menutup aksesibilitas
pornografi yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan korporasi penyedia jasa layanan
Internet. Sedangkan sosialisasi Internet Sehat lebih kepada cara pemerintah dalam melakukan
persuasi secara halus dengan pengenalan penggunaan Internet sejak usia dini. Kedua
implementasi ini adalah wujud kerjasama pemerintah dengan korporasi, dan juga civil society
yang memiliki concern di bidang teknologi informasi sebagai wujud dari adopsi
pembelajaran atas watak objek kebijakan pornografi yang mengalami pergeseran.
B. 1 Pemblokiran Pornografi di Internet: Profit vs Implementasi Kebijakan
Pemerintah yang pada awalnya hadir sebagai implementer tunggal kebijakan, berusaha
menaikkan lobi-lobi terhadap aktor non-negara dalam rangka peningkatan kapasitasnya untuk
dapat melakukan implementasi agar dapat lebih baik dari sebelumnya. Dengan melakukan
learning terhadap pornografi, pemerintah sadar betul bahwa banyak arena yang tidak bisa
mereka kuasai secara penuh. Ini adalah kondisi yang dilematis, ketika pemerintah memiliki
52
kewenangan penuh terhadap pengadaan investasi internet, namun justru pemerintah tidak bisa
memblokir internet itu sendiri dalam rangka implementasi kebijakan pornografi karena akan
berdampak pada citra pemerintahan yang demokratis. Tindakan berikutnya yang kemudian
dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi pornografi secara teknis ialah dengan
melakukan filterisasi konten internet. Hal ini dilakukan Secara teknis filterisasi konten
Internet ini dilakukan dengan cara memblokir situs-situs yang terindikasi berisi konten yang
dilarang berdasarkan undang-undang. Pemerintah kemudian menggandeng perusahaan-
perusahaan ISP dan juga operator seluler yang berperan dalam perkembangan Internet di
Indonesia, sekaligus turut mendukung pemerintah juga memikirkan dampak jangka pendek
dan jangka panjang mengenai fokus content filtering atau filterisasi konten Internet. Namun,
tak hanya memikirkan efeknya, para operator seluler pada khususnya, memikirkan efek
filterisasi konten pornografi ini dalam hal investasi.
Pada bulan agustus 2010, tercatat sebanyak enam operator seluler sudah melakukan
filterisasi konten pornografi. Pemblokiran tersebut dilakukan oleh beberapa operator seluler
yang menguasai hampir 87 persen pangsa pasar internet di tanah air. Pemblokiran yang
dilakukan pun bersifat permanen, bukan temporer, dimana pada pemblokiran tidak hanya
dilakukan pada bulan dimana tepat jatuhnya bulan suci ramadhan bagi umat islam saja yakni
apda agustus 2010, namun juga bersifat seterusnya. Operator seluler yang melakukan langkah
filterisasi konten tersebut ialah Bakrie Telecom, Indosat, Indosat Mega Media (IM2), Telkom,
Telkomsel, dan XL Axiata.11
Pada akhir tahun 2010 hingga tahun 2011, sebuah perangkat pintar, atau dikenal dengan
istilah smartphone yang dikeluarkan oleh pabrikan RIM (Research In Motion) dari Kanada
menuai masalah baru yang cukup pelik. Blackberry sebagai sebuah perangkat pintar,
11Berita berjudul : “Situs Playboy dkk Sudah Diblokir Operator”http://teknologi.vivanews.com/news/read/170239-situs-playboy-dkk-sudah-diblokir-operator. diakses padahari Rabu, 24 Januari 2012, pada pukul 15.30 WIB.
53
memiliki sistem yang berbeda dibanding dengan Handphone kebanyakan. Hal ini akhirnya
membuat pemerintah berpikir bagaimana caranya agar filterisasi konten pun masih bisa
berjalan di dalam perangkat Blackberry. Oleh karena itu, pemerintah melalui Menteri
Komunikasi dan Informasi, Tifatul Sembiring menyerukan tujuh tuntutan kepada RIM selaku
produsen Blackberry, yaitu12 :
1. RIM harus menghormati dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Ada tiga undang-undang yang terkait, yakni Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang
kemudian secara teknis melalui pemblokiran website porno yang dapat diakses melalui
server internet Blackberry.
2. RIM diminta membuka perwakilannya di Indonesia sebab pelanggan RIM di Tanah Air
sudah mencapai lebih dari 2 juta.
3. RIM diminta membuka service center di Indonesia untuk melayani dan memudahkan
pelanggan.
4. RIM diminta merekrut dan menyerap tenaga kerja Indonesia secara layak dan
proporsional.
5. RIM diminta sebanyak mungkin menggunakan konten lokal Indonesia, khususnya
mengenai software.
6. RIM diminta memasang software blocking terhadap situs porno, sebagaimana yang
telah dilakukan oleh operator-operator lain di Indonesia.
7. RIM diminta membangun server/repeater di Indonesia agar aparat penegak hukum
12Berita berjudul : “Ini Dia 7 Tuntutan Tifatul untuk RIM!”http://tekno.kompas.com/read/2011/01/09/1459284/Ini.Dia.7.Tuntutan.Tifatul.untuk.RIM. diakses pada hariJum’at 9 Maret 2012 , pada pukul 22.55 WIB.
54
dapat melakukan penyelidikan terhadap pelaku kejahatan, termasuk koruptor.
Pada poin ke enam dapat dicermati bahwa pemerintah menginginkan keseriusan dari
RIM sebagai pemegang merek Blackberry menyatakan keseriusannya dalam menghadapi
pornografi. Akan tetapi, memblokir konten pornografi Internt di perangkat Blackberry tidak
semudah memblokir konten di Handphone biasa. Febriati Nadira, Head of Corporate
Communication PT XL Axiata kepada Kompas.com mengatakan penyebabnya. Untuk
melakukan browsing internet via BB, tidak melalui operator, tetapi langsung melalui RIM.
Dan, hingga saat ini (10 Januari 2011-red) RIM tidak memiliki kebijakan untuk filtering
seperti yang diminta oleh Menkominfo.13 namun, RIM tidak kehilangan akal, kekurangan
yang disampaikan oleh pihak operator ini kemudian dijawab dengan optimis oleh RIM
dengan menggunakan DNS Nawala, sebagai salah satu solusi teknis yang memenuhi
persyaratan Kementrian Kominfo.14
DNS Nawala sendiri adalah sebuah produk teknologi berupa DNS (Domain Name
System), yakni sebuah sistem yang digunakan dalam Internet untuk memetakan host name
sebuah komputer ke IP Address (Ardiantoro, 2008). Jika diterjemahkan ke dalam pemahaman
umum, DNS berfungsi untuk mengarahkan komputer menuju situs-situs yang terdapat dalam
database tertentu. Gambar dibawah berikut adalah salah satu contoh pemblokiran yang
dilakukan oleh RIM dengan menggunakan DNS Nawala:
13Berita Berjudul : “Operator Akui, Susah Membendung Konten BB”http://tekno.kompas.com/read/2011/01/10/11433269/Operator.Akui.Susah.Membendung.Konten.BB. Diaksespada hari Jum’at, 9 Maret 2012 pada pukul 23.00 WIB
14Berita berjudul : “Kenapa RIM Sensor BlackBerry Pakai Nawala?”http://tekno.kompas.com/read/2011/01/20/13232242/Kenapa.RIM.Sensor.BlackBerry.Pakai.Nawala. Diaksespada hari jum’at 9 Maret 2012 pada pukul 23.20 WIB
55
Gambar 1.4 Contoh pemblokiran website di Blackberry15
B. 2. Sosialisasi Internet Sehat: Kerjasama Inter-Implementer
Internet Sehat sebenarnya adalah program sosialisasi yang memfokuskan diri pada
penggunaan internet secara baik dan aman. Berkaca pada watak kebijakan subjek pornografi,
dimana internet harus diwaspadai sebagai salah satu sarana informasi yang bisa
disalahgunakan sebaga. Internet sehat pada awalnya sudah digagas oleh ICT Watch pada
tahun 2002. Internet Sehat ini digagas dengan tujuan awal sebagai sebuah gerakan sosialisasi
penggunaan Internet secara bijak kepada masyarakat. Internet Sehat ICT Watch
menggunakan sistem pendekatan secara bottom-up dalam melaksanakan misinya. Pemerintah
kemudian juga mengeluarkan program dengan nama yang sama, dan juga menggunakan
pendekatan yang kurang lebih sama pula, yakni Internet Sehat dan Aman dengan tim khusus
bernama TSIS (Tim Sosialisasi Internet Sehat), dan memiliki domain dengan alamat situs
www.insan.or.id. Adapun yang membedakan antara Internet Sehat ICT Watch dengan milik
Kementrian Kominfo ialah berdasarkan dasar hukumnya, dan keduanya tidak saling
berkaitan satu sama lain.
TSIS beranggotakan sebanyak 65 orang terdiri atas komponen pemerintah, swasta,
lembaga kemasyarakatan, lembaga keagamaan, kepolisian dan perseorangan. Di dalam TSIS
terbagi atas: pengarah, panel judikasi, pokja publikasi dan sosialiasi, pokja penerima dan
klarifikasi aduan konten, pokja teknis, bidang advokasi dan sekretariat. Sedangkan Internet
15Gambar diambil dari berita berjudul : “Situs-situs Porno Sudah Diblokir di BlackBerry http://tekno.kompas.com/read/2011/01/19/16213757/Situssitus.Porno.Sudah.Diblokir.di.BlackBerry. Diaksespada hari Selasa, 13 Maret 2012 pada pukul 22.45 WIB
56
Sehat ICT Watch tidak memiliki tim khusus dalam mengurus soal pornografi Internet, dan
Internet Sehat hanyalah salah satu dari sekian banyak program dari ICT Watch. Persoalan
mengenai perbedaan ini tidak menuai banyak masalah, justru membuat hubungan antara
pemerintah bersama dengan ICT Watch menjadi lebih harmonis. Untuk lebih menegaskan
lagi perbedaan antara Internet Sehat ICT Watch, dan TSIS milik pemerintah, maka pada tahun
2008 ICT Watch mengadakan diskusi bersama Depkominfo (Dirjen Aplikasi Telematika
Cahyana Ahmadjayadi, Direktur Sistem Informasi Perangkat Lunak dan Konten Lolly Amalia
Abdullah, dan Direktur Pemberdayaan Telematika Bambang Soeprijanto, serta jajarannya), di
kantor Depkominfo. Dari hasil diskusi tersebut, didapat beberapa poin utama yang di-
notulensi-kan sebagai berikut16 :
1). Depkominfo memahami bahwa “Internet Sehat(www.internetsehat.org)” adalah sebuah konsep sosialisasi yang digagaspertama kali oleh ICT Watch pada 2002 silam, yang merupakan kegiatannon-profit dan harus dijaga bersama agar tetap non-profit, tidak dijadikanajang bisnis/komersialiasi oleh pihak-pihak tertentu.
2). Tidak ada hubungannya antara “Tim Sosialisasi Internet Sehat”(TSIS) yang dibentuk oleh Depkominfo (berdasarkan SK menteri/dirjen)dengan “program/komunitas Internet Sehat” yang dijalankan oleh ICTWatch. Meskipun demikian ada sebagian semangatnya yang sama yaitumenyosialisasikan penggunaan internet yang aman dan nyaman bagi anak,siswa, keluarga dan pendidikan.
3). Dari sejumlah kegiatan yang menjadi keunggulan masing-masing,baik ICT Watch maupun Depkominfo akan mengupayakan adanya beberapakegiatan di antaranya yang dapat dilakukan secara bersama dan sinergis.Jika diperlukan, maka tidak menutup kemungkinan akan dilakukankerjasama formal (dalam bentuk MoU) antara Depkominfo dengan ICTWatch.
4). Sebagai pencetus awal nama, konsep dan ide “Internet Sehat”, ICTWatch telah mendaftarkan hak cipta dan hak merek “Internet Sehat” keDirjen HaKI agar tidak ada pihak yang menyalahgunakannya demikeuntungan bisnis / komersialisasi semata.
5). Meskipun sudah didaftarkan ke Ditjen HaKI, untuk berbagaibentuk penggunaan (dan oleh siapapun yang menjalankan) bagi kegiatanpendidikan dan sosialiasi non-profit atas “Internet Sehat”, ICT Watch akanmenggunakan “Creative Common License” (CC), dengan biaya lisensi Rp0,- (tidak berbayar!)
16Notulensi Diskusi diperoleh dari : http://ictwatch.com/internetsehat/2009/02/16/internet-sehat-antara-ict-watch-dan-depkominfo-notulen-diskusi/. Diakses pada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada pukul 21.30 WIB
57
6).Penggunaan nama “Tim Sosialisasi Internet Sehat” dan situs“www.internetsehat.web.id dan/atau www.insan.or.id” oleh Depkominfo,telah disampaikan kepada ICT Watch, dan dari pihak ICT Watchmenyatakan tidak berkeberatan sama sekali mengenai hal itu.
7). Jika memungkinkan, bisa saja dirintis kerjasama sinergisberdasarkan kompetensi masing-masing terkait dengan pengembangankonten pada situs www.internetsehat.org yang dikelola oleh ICT Watch dansitus yang dikelola oleh Depkominfo.
8). Untuk setiap program komunikasi / kampanye “Internet Sehat”yang akan dijalankan oleh Depkominfo ke berbagai media,konten/materinya akan dikonsultasikan terlebih dahulu kepada ICT Watchagar makin memperkuat “ruh” (spirit) dari pesan yang ingin disampaikantersebut
Berbekal dukungan dari berbagai pihak, tak hanya dari masyarakat, dan ICT Watch,
sosialisasi Internet Sehat yang dilakukan oleh pemerintah ini pun didukung penuh oleh
perusahaan operator seluler. PT XL Axiata Tbk (XL) dengan tegas mendukung kampanye
internet sehat dari pemerintah yang dijalankan oleh pemerintah. Pihak XL Axiata sendiri
Sejak 6 tahun silam, bersama ICT Watch, telah mengkampanyekan pemanfaatan internet
secara sehat dan positif bagi seluruh kalangan masyarakat, terutama pelajar. Kampanye
dilakukan baik melalui pelatihan, maupun juga penerbitan buku panduan bagi pelajar dan
orang tua. Berikut ini adalah beberapa dokumentasi kegiatan INSAN :
Gambar 1. 6 Sosialisasi INSAN di Universitas Bina Nusantara
58
Gambar 1.6 Seminar dan sosialisasi INSAN di Hotel Akmani
Gambar 1.7 Sosialisasi Internet Sehat di ITB, Maret 2010
Gambar 1.8 Sosialisasi Internet Sehat bersama XL17
17Gambar diambil dari : http://teknologi.inilah.com/read/detail/1845584/xl-dukung-kampanye-internet-sehat-pemerintah. diakses pada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada pukul 22.30 WIB
59
C. Penutup
Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, mengenai pornografi ini melahirkan
implementasi yang cukup detail dengan menggandeng aktor-aktor non-negara lainnya. Di
sinilah letak pembelajaran yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah sadar, bahwa kini
mereka tidak bisa berjalan sendiri sebagai implementer tunggal. Ada banyak sumberdaya
yang harus dikerahkan, dan sumberdaya itu adalah para aktor non-negara. Responsifitas
terhadap keadaan ini tentu tidak dapat dilakukan jika sebelumnya tidak ada proses
pembelajaran terhadap keadaan yang terdahulu.
Dalam koridor konten kebijakan, pengerahan sumber daya yang dilakukan oleh para
implementer kebijakan ini memang serius. Meskipun disinyalir mengurangi profit para
perusahaan swasta yang bergerak di jasa komunikasi karena harus mengeluarkan extra cost
untuk pembenahan jaringan komunikasi Internet dalam rangka pemblokiran, semua
komponen tetap bisa bersinergi dalam mendukung kebijakan ini. Dukungan tersebut
diwujudkan dalam implementasi yang berbentuk teknis, tidak sebatas pada bantuan moral dan
juga pencitraan semata.
60
BAB IV
Lesson Learned dan Lesson Drawing dalam Kebijakan Publik Pornografi
A. Pengantar
Dalam bab dua, dan tiga, telah dijelaskan mengenai relasi antar implementer yang
memiliki keterkaitan fungsi dan juga kepentingan dalam koridor implementasi kebijakan,
dimana di dalamnya terdapat sebuah pembelajaran yang dilakukan oleh masing-masing
implementer, terutama pemerintah. Namun hal ini tidak cukup dalam menganalisis
implementasi kebijakan tanpa melihat respon yang telah dicapai melalui kerjasama yang telah
dilakukan melalui pemblokiran yang dilakukan oleh korporasi, dan juga sosialisasi Internet
Sehat saja. Pemerintah juga harus melakukan responsi dengan melakukan beberapa metode
dalam membenahi instrumentasi kebijakannya. Diantaranya yang dilakukan oleh pemerintah
ialah dengan melakukan lesson learned dan lesson drawing sebagai salah satu metode
implementasi kebijakan. Dalam penerapan Lesson Learned dan Lesson Drawing, langkah
yang dilakukan pemerintah ialah dengan berusaha menanggapi pornografi dengan metode
pembaharuan mengikuti kemajuan teknologi secara faktual, dan juga aktual berbasis pada
metode-metode baru dalam persebaran pornografi. Tidak hanya dengan menggunakan
pembelajaran pada kebijakan yang telah dikeluarkan, namun juga pemerintah mencoba
mencontoh program yang sudah dilakukan oleh sebuah organisasi lain.
Pemerintah melihat potensi baru pada Internet sebagai media yang mampu menyalurkan
informasi sekaligus juga media persebaran Pornografi. Di titik inilah pemerintah melakukan
kebijakan blokir konten, atau filterisasi konten pornografi dengan menggunakan teknologi
DNS Nawala, yang memiliki kemiripan cara kerja dengan OpenDNS yang dimiliki oleh
NGO di luar negeri. Yang unik, adalah ternyata DNS Nawala adalah produk yang pada
awalnya diebmabngkan oleh Irwin Day, seorang pakar Internet Sehat dari kalangan Civil
61
Society. Ini menarik karena ternyata ada kealpaan yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah
dalam melakukan pemblokiran Internet, sehingga justru menggunakan Nawala sebagai salah
satu basis data utama atas situs-situs yang memiliki konten pornografi. Jika pemerintah
melakukan proses lesson learned dalam ranah substansi kebijakan, maka Nawala hadir,
sebagai sebuah produk atas lesson drawing yang lebih aplikatif
B. Lesson Learned dan Lesson Drawing Dalam Implementasinya
Lesson learned dalam kebijakan pornografi, lahir dalam bentuk inkrementasi kebijakan
atas instrumentasi kebijakan. Sedangkan lesson drawing lahir sebagai bentuk proses
pembelajaran yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan sebuah aktualisasi kebijakan
dan berdasarkan pada kenyataan faktual di lapangan. Dalam kebijakan pornografi, kedua
proses learning tersebut berusaha mendekati media persebaran pornografi dan cara-cara
penyebarannya yang mengalami evolusi digital dalam sisi yang lebih aplikatif.
Jika dianalisis dengan menggunakan koridor konten dan konteks kebijakan, maka
inkrementasi dan instrumentasi kebijakan ini dapat dilihat sebagai aktualisasi diri pemerintah
dalam hal kebijakan publik yang berusaha mengikuti perkembangan masyarakat. Aktualisasi
diri ini dilakukan tidak hanya dalam bentuk yang simbolik, namun juga dalam bentuk yang
lebih realistis lewat instrumentasi kebijakan yang dihadirkan dalam rangka implementasi
kebijakan mengenai pornografi.
Pun begitu pula dalam analisis konteks kebijakan, dimana Kementrian Komunikasi dan
Informasi selaku lembaga pemerintah, memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan.
Kewenangan disini dapat dilihat sebagai sebuah bentuk power of actor involved, dimana
Kementrian Komunikasi dan Informasi memiliki sebuah kemampuan dalam melakukan
kerjasama dan memberlakukan logika kepatuhan kebijakan publik. Disamping itu,
pemerintah juga berusaha melakukan respon terhadap aktor-aktor implementer kebijakan.
62
Salah satunya kepada Nawala yang kemudian berusaha diaplikasikan oleh pemerintah dalam
rangka melakukan tindakan yang sinergi dalam upaya penanggulangan pornografi Internet.
B. 1 Lesson Learned Untuk Perkembangan Kebijakan Pornografi
Perkembangan kebijakan publik yang diterapkan oleh pemerintah dalam menyikapi
persebaran pornografi, adalah salah satu bentuk Lesson Learned dalam kebijakan publik.
KUHP yang dibentuk pada tahun 1945 mengalami kesulitan dalam membaca dinamika
pergerakan persebaran konten pornografi yang kini mulai merambah media digital. Hal ini
dapat ditandai, karena seperti yang tertera dalam KUHP bahwa tidak ada penjelasan secara
mendetail mengenai jenis media yang digunakan dalam menganalisis pelanggaran kesusilaan
yang terjadi. Perkembangan yang dilakukan oleh pemerintah ialah dengan melakukan
penambahan undang-undang. Pemerintah boleh jadi dikatakan melakukan hal itu sebagai
sebuah proses Lesson Learned, dimana pemerintah memadukan kebijakan publik dengan
berusaha membaca dinamika yang terjadi dari masyarakat. Dinamika yang terjadi dalam
masalah pornografi adalah mengenai media dan persebarannya. Dengan bermodalkan KUHP
saja, pemerintah tidak cukup membaca pelanggaran kesusilaan dalam koridor pornografi
Internet, namun juga harus membaca efek domino atas persebaran pornografi secara bebas
dan luas, serta dampaknya terhadap tatanan kehidupan sosial masyarakat.
Dalam KUHP, konten pornorgrafi yang dilarang ialah konten yang disiarkan secara
luas, namun tidak ada definisi secara jelas mengenai jenis media maupun metode
persebarannya. Hal ini tercantum dalam Pasal 282 KUHP ayat (1), (2), dan (3) sebagai
berikut:
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinyamelanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan,dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan,gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri,meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan,ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan
63
surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisadiperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulanatau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.(2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan,ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkanatau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalamnegeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memilikipersediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau denganmengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagaibisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk mendugabahwa tulisan, gambazan atau benda itu melanggar kesusilaan, denganpidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribulima ratus rupiah.(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertamasebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lamadua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima riburupiah.
Kalimat yang dicetak tebal dalam ayat diatas menunjukkan indikasi terhadap tidak
adanya penjelasan mendetail mengenai medium konten pornografi yang jelas. Hal ini
disebabkan oleh teknologi yang masih belum terlalu maju dalam persebaran pornografi ketika
KUHP ni dirumuskan. Pornografi masih berkutat pada media cetak, berupa gambar dan
tulisan, dan dengan keterangan di bahwa konten tersebut ditampilkan di muka umum. Hal ini
tidak bisa menjawab keluhan mengenai hadirnya konten pornografi di Internet yang sifatnya
bisa diakses oleh publik, namun dalam perolehan informasinya diperlukan usaha berupa
kemapuan mengoperasikan komputer, dan juga melakukan transfer file (Raharjo, 2002:200).
Internet kini hadir dengan platform Web 2.0 dimana masyarakat bisa menjadi pengisi
konten atas media itu sendiri. Masyarakat pengguna Internet bisa menjadi sumber berita dan
memiliki kemampuan untuk melakukan promosi dirinya sendiri. O’ Reilly (2005) dalam situs
pribadinya mengatakan bahwa platform Web 2.0 yang kini diadopsi, menjadikan komunikasi
terjalin dalam dua arah, dimana ini menjadi sebuah perkembangan dalam arsitektur aspirasi,
pemanfaatan intelegensi kolektif, pengalaman pengguna yang kaya, mempercayai pengguna
64
sebagai rekan pengembang, serta pemanfaatan kerumunan.18 Dari pernyataan O’Reilly
tersebut, dapat dilihat bahwa perkembangan Internet yang semata dinilai sebagai sebuah
media yang dapat diakses oleh publik adalah benar. Dan terjadi sebuah mata rantai antara
satu pengguna dengan pengguna yang lainnya. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan
teraksesnya banyak konten yang berada dalam luar lingkaran pengguna Internet itu sendiri,
karena terjadi pemanfaatan intelegensi secara kolektif, serta pemanfaatan kerumunan dari
sekian banyak pengguna Internet di seluruh dunia.
Menindaklanjuti perkembangan teknologi dengan platform yang lebih cerdas dalam
melakukan komunikasi dua arah, pemerintah merasa ada suatu kekurangan yang didasarkan
pada kelemahan KUHP dalam membaca kecakapan Internet sebagai sebuah media, bukan
hanya sekedar sebagai sebuah teknologi. Pemerintah kemudian berusaha menanggapi hal ini
dengan menelurkan kebijakan berupa Undang-Undang ITE yang melakukan penetrasi
terhadap media yang digunakan dalam persebaran pornografi. Dalam UU ITE tercatat lebih
detail dalam Bab VII mengenai Perbuatan yang Dilarang, dalam Pasal 27 yang berbunyi :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ataumentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronikdan/atauDokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan
Dalam hal ini jelas, UU ITE bersifat mengatur tentang penggunaan alat elektronik, dan
dalam koridor ini, terdapat pelarangan terhadap distribusi, hingga dapat diaksesnya konten
yang melanggar kesusilaan dalam alat elektronik, sebagaimana yang diperjelas dalam KUHP
mengenai apa itu pelanggaran kesusilaan. Dengan demikian pemerintah semakin
mempertegas kapasitasnya dalam mengatur distribusi pornografi dengan menyatakan bahwa
konten Pornografi dilarang oleh Undang-Undang. Dari pengembangan regulasi yang
18 O’Reilly, T. (2005). What is web 2.0: Design patterns and business models for the next generation ofsoftware. Dapat diakses di http://www.oreilly.com/pub/a/oreilly/tim/news/2005/09/30/what-is-web-20.html.Diakses pada hari Jumat 10 Februari 2012, pada pukul 15.45 WIB.
65
dilakukan oleh pemerintah, terjadi penetrasi yang lebih ketat terhadap pengawasan distribusi
konten pornografi yang hadir di masyarakat. Dengan kata lain, pemerintah semakin
menguatkan eksistensi, serta kemampuannya dalam mengontrol negara dengan cara
mengontrol masyarakat dalam persebaran konten yang memiliki kecenderungan membawa
efek negatif kepada perkembangan moral masyarakat dalam hal kesusilaan.
Tak sampai setahun pasca dikeluarkannya UU ITE, dikeluarkanlah UU Pornografi. UU
Pornografi memberikan sebuah gambaran penjelas mengenai definisi pornografi beserta
media persebarannya yang dilarang. UU Pornografi terbukti lebih detail dalam memberikan
penetrasi lewat penggunaan kata “Pornografi” dalam Undang-Undang ini, bandingkan
dengan Undang-Undang sebelumnya yakni UU ITE yang masih menggunakan kata
“kesusilaan” tidak hanya pada pasal mengenai definisi pornografi, namun hingga pada pasal
yang mengatur ketentuan pidana (Lihat pada Undang-Undang No. 44 th 2008 Pasal 1, 2, 4,
5, 6, 13, 19, 20, 21, 29, 30).
Pembaharuan kalimat ini mengindikasikan bahwa pemerintah melakukan sebuah
metode yang sifatnya inkremental dalam bahasan pembatasan Pornografi. Pornografi lebih
dispesifikkan lagi dalam jenis dan juga persebarannya. Tidak hanya itu, Undang-Undang ini
juga turut menyertakan pasal mengenai peran serta masyarakat pada Pasal 20 dan 21 UU
Pornografi. Dengan kata lain, pemerintah juga memahami bahwa pornografi berpotensi lahir
dari masyarakat, dan pengentasan pornografi dibutuhkan juga peran serta masyarakat sebagai
pihak yang terkena dampak langsung atas terjadinya konsumsi konten pornografi.
Dari paparan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan sederhana, dimana Pemerintah
sebagai implementer kebijakan menggunakan analisis berdasarkan dinamika media sebagai
wadah konten Pornografi. Dinamika media, dan dinamika konsumtivitas media, serta
karakteristik rezim yang berubah dari otoritatif menjadi demokratis adalah tiga poin dasar
pemerintah dalam melakukan inkrementasi kebijakan. Belajar dari kekurangan di masa lalu,
66
kini pemerintah tidak bisa lagi bertindak otoriter seperti dulu, maka itu kemudian
inkrementasi kebijakan dilakukan dalam instrumen undang-undang. Instrumen undang-
undang ini memiliki nilai legitimasi yang lebih rendah dari KUHP. Hal ini secara tersirat
menyatakan bahwa pemerintah masih memiliki concern terhadap pornografi, namun dalam
kaidah yang lebih halus. Adalah penting mengingat bahwa dimensi lesson learned ini
berusaha mempelajari konteks implementasi kebijakan Pornografi, dimana objek kebijakan
terus menerus mengalami dinamika
B. 2 Lesson Drawing dalam Kebijakan Blokir Internet
Tidak hanya berupa lesson learned, pemerintah juga turut menerapkan sebuah langkah
yang berbasis kepada lesson drawing dalam kebijakan mengentaskan persebaran pornografi
Internet. Lesson drawing yang dilakukan oleh pemerintah dibagi ke dalam dua buah level,
yakni lesson drawing dalam hal substansi kebijakan, serta dalam hal instrument kebijakan.
Ada pun dalam hal substansi kebijakan, pemerintah melakukan implementasi berupa
kebijakan filterisasi Internet. Sedangkan dalam level instrumen kebijakan, pemerintah
menerapkan instrumen berupa pemblokiran situs internet dengan menggunakan teknologi
DNS.
Dalam level substansi, kebijakan mengenai pemblokiran Internet ini sudah bukan hal
yang baru di beberapa negara, di antaranya di Benua Asia. Negara-negara yang melakukan
implementasi kebijakan tersebut memiliki tujuan yang berbeda, dan melahirkan kebijakan
yang berbeda pula dalam hal instrumentasi kebijakan, dan implementasinya. Filterisasi
konten Internet melalui cara pemblokiran website dan konten Internet tak hanya dilakukan di
Indonesia, banyak Negara juga sudah melakukan hal tersebut. Merujuk pada penelitian yang
dilakukan oleh ONI (OpenNet Initiative)19, kebijakan pemblokiran Internet di negara-negara
19 OpenNet Initiative adalah kolaborasi dari empat institusi yang bergerak dalam penelitian Internet, Sosio-kultural, hukum, politik, dan kebijakan publik. Keempat institusi tersebut adalah The Citizen Lab (University ofToronto), The Oxford Internet Institute dari Oxford University, The Berkman Center for Internet & Society di
67
asia memang sudah diterapkan. ONI melakukan penelitian di beberapa negara yang
menggunakan pemblokiran internet terhadap konten-konten tertentu. China, Myanmar, dan
Vietnam memberlakukan pemblokiran internet secara menyeluruh dan mendalam dalam
masalah konten yang berbau politis, atau yang berkaitan dengan kondisi politik negara. Tidak
jauh berbeda dengan tiga negara tersebut, Thailand dan Pakistan juga melakukan hal yang
sama dalam memblokir konten yang berbau politik. Termasuk filterisasi berita mengenai
pemerintahan. Dalam substansi yang berbeda, beberapa negara lain di Asia juga melakukan
kebijakan mengenai pemblokiran Internet. Kali ini dalam koridor konten porografi, yang
dilakukan oleh negara-negara seperti Singapura, Thailand, China, dan Pakistan (Deibert:
2008: 155).
Sedangkan lesson drawing dalam instrumen kebijakan di Indonesia bernama Nawala
Project, sebuah instrumen kebijakan yang nyata hasil kerjasama pemerintah bersama
implementer lainnya. Nawala Project ini lahir dengan menggunakan teknologi yang kurang
lebih sama dengan OpenDNS, sebuah program yang memiliki kemampuan untuk memblokir
situs-situs yang dianggap dapat membahayakan bagi para pengguna Internet.
C. Nawala Project: Produk Lesson Drawing
Responsi pemerintah dalam implementasi kebijakan Pornografi diwujudkan dalam
bentuk instrumen kebijakan yang lahir atas inisiatif lesson drawing dalam koridor instrumen
kebijakan. Tersebut dikenal dengan nama Nawala Project. System pemblokiran ini
menggunakan cara pemblokiran di DNS, yakni dengan memblokir melalui pengalihan data ke
computer server DNS dan kemudian dilakukan penyaringan berdasarkan situs-situs yang
sebelumnya dilakukan pendataan layak akses, maupun tidak layak akses. Penggunaan DNS
Harvard Law School, dan University of Cambridge. Informasi selengkapnya bisa diakses melalui situshttp://www.opennet.net .
68
ini bias dikatakan cukup mudah dan tidak memakan biaya apapun, sehingga memudahkan
banyak pihak termasuk masyarakat dalam mengaplikasikannya. Kementerian Komunikasi
dan Informasi selaku pihak pemerintah yang memiliki kewenangan mengatur arus
komunikasi dan informasi di Indonesia memegang peranan yang cukup besar dalam
kebijakan pemblokiran Internet atau filterisasi konten ini. Oleh karena itu, proses Nawala
Project tidak hanya mengandalkan kemampuannya sendiri, namun dengan menggandeng
banyak aktor.
C.1 Kolaborasi Tiga Implementer: Meniru OpenDNS
OpenDNS, sebuah produk layanan gratis dalam bentuk yang kurang lebih sama seperti
DNS Nawala. OpenDNS bukanlah sebuah perangkat lunak, Ia adalah sebuah sistem yang
bekerja pada komputer siapa saja sebagai penterjemah sebuah situs, menjadi sebuah alamat
IP Address. Dari terjemahan itulah kemudian, DNS memiliki kemampuan untuk menyaring
sebuah website, ketika alamat IP Adderss nya diketahui memiliki potensi merugikan
pengguna Internet. Diluncurkan tahun 2006 oleh David Uletich, seorang hacker, sekaligus
entrepreneur, OpenDNS berkembang cepat dan dikenal cukup luas dikalangan para netizen.
Ia berhasil dikenal karena memiliki kemampuan yang berbeda dibandingkan dengan DNS
lainnya yang bersifat komersial. Biasanya, produk DNS lain memiliki kemampuan untuk
merubah alamat seseorang saja. Seseorang dengan menggunakan DNS bisa merubah alamat
IP Addressnya menjadi suatu tempat di tempat lain dimana server DNS itu berdiri. Namun,
OpenDNS memiliki kemampuan dalam melakukan pemblokiran, yang didasarkan pada
beberapa kategori, seperti :
ñ Filterisasi Konten
ñ Proteksi dari situs-situ phising/ jebakan
ñ Memblokir domain-domain tertentu
69
ñ Memblokir situs-situs dewasa
ñ Memblokir web proxy
ñ Dan lain-lain.
Kelebihan inilah yang membuat OpenDNS banyak digunakan oleh masyarakat di
seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia maupun negara-negara maju. Bermarkas di San
Fransisco, California, OpenDNS telah digunakan lebih dari 30 juta orang yang memiliki
koneksi ke Internet. Seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, satu dari tiga sekolah di
Amerika menggunakan OpenDNS sebagai alat filterisasi internet yang fasih.20 Tidak hanya
Amerika Serikat saja yang menggunakan OpenDNS sebagai alasan keamanan Internet,
beberapa Negara seperti Algeria, Mesir, dan Turki juga turut menggunakan OpenDNS,
namun bukan dalam taraf sensor, melainkan pada permasalahan yang berbeda. Meskipun
demikian OpenDNS memiliki tingkat kepercayaan publik secara global yang memungkinkan
Ia digunakan dan dipercaya oleh banyak pengguna Internet di seluruh dunia dalam rangka
menuju akses Internet yang bersih dan aman.21
Agak sedikit berbeda dengan OpenDNS, Nawala project adalah sebuah proyek yang
dilakukan oleh AWARI (Asosiasi Warung Internet Indonesia), dalam hal ini sebagai civil
society sebagai sikap mereka dalam mendukung pemerintah untuk menanggulangi arus
pornografi Internet. Nawala Project berhasil menelurkan sebuah produk teknologi dalam
bentuk DNS, yakni DNS Nawala. DNS Nawala, adalah produk yang lahir dalam rangka
menanggulangi pornografi melalui cara memblokir konten pornografi yang ada di Internet
dengan cara yang kurang lebih mirip dengan OpenDNS.
20 http://www.opendns.com/about/ . Diakses pada hari Jumat, 23 Maret 2012 pada pukul 22.00
21Artikel Berjudul: “The role of government in content filtering”. Disadur dari blog resmi OpenDNShttp://www.blog.opendns.com/2011/10/12/the-role-of-government-in-content-filtering/ Diakses pada hariJumat 23 Maret 2012 pada pukul 23.15 WIB
70
Tentunya, Nawala tidak sepenuhnya mirip dengan OpenDNS, Ia hanya mengambil poin
utama dari apa yang dilakukan oleh OpenDNS dalam rangka memfilter Internet agar layak
untuk dikonsumsi. Nawala dapat digunakan untuk umum, maupun untuk warnet, agak
berbeda dengan sistem blokir konten pornografi yang dilakukan oleh para penyedia jasa
internet. Berikut adalah perbedaan-perbedaan yang terdapat antara Nawala dan OpenDNS.
Gambar Perbandingan DNS Nawala dan OpenDNS22
Dari tabel diatas, dapat dijelaskan beberapa hal yang dapat digunakan sebagai bahan
penilai dan pembanding antara DNS Nawala dan OpenDNS, yaitu :
1. Tahapan Penggunaan
DNS Nawala tidak mengharuskan pengguna melakukan registrasi; sedangkan
OpenDNS mewajibkan proses registrasi. Pada DNS Nawala cukup merubah alamat DNS
Server menjadi 180.131.144.144 dan/atau 180.131.145.145. Lebih cepat dan langsung dapat
digunakan. Dalam hal ini DNS Nawala akan sangat mudah diaplikasikan oleh orang awam
sekalipun.
22 Gambar diambil dari : http://www.nawala.org/berita/artikel-teknologi/95-mengapa-saya-memilih-dns-nawala .Diakses pada hari sabtu, 24 Maret 2012, pada pukul 01.30 WIB.
71
2. Registrasi Pengguna
Registrasi pada OpenDNS diwajibkan agar pengguna dapat melakukan pengaturan pada
account yang dimilikinya, dengan demikian kategori apa saja yang harus dihadang dapat
ditetapkan sendiri oleh pengguna. Proses ini ditiadakan pada DNS Nawala karena dari awal
sudah ditetapkan bahwa DNS Nawala akan berfungsi menapis situs-situs yang berkandungan
negatif seperti pornografi, perjudian, malware, phising (penyesatan) dan proxy juga SARA.
3. Penggunaan Kategori Hadangan dan Pembagian Kategori
Pembagian kategori pada DNS Nawala dibuat sesedehana mungkin namun sangkil dan
mangkus, yaitu 6 kategori seperti yang telah disebutkan di atas. Jumlah ini hanya berkisar
11% dari kategori yang digunakan OpenDNS yaitu 55 kategori. Pembagian kategori
OpenDNS yang sedemikian besar terasa merepotkan dan juga membingungkan bagi
pengguna pemula. Kerepotan itu muncul ketika kita akan memilih kategori yang sesuai.
Sebagai contoh untuk 1 kategori (pornografi) pada DNS Nawala “diwakili” oleh 5 kategori
pada OpenDNS. Dilihat membingungkan karena fungsi Penapisan DNS adalah untuk
kandungan negatif (blacklist), namun kategori meluas sampai pada kategori whitelist. (DNS
Nawala 2 : OpenDNS 1)
4. Pelaporan Situs
Proses pelaporan situs pada DNS Nawala dapat dilakukan melalui situs DNS Nawala
secara langsung tanpa harus melakukan registrasi. Pelapor hanya diwajibkan mengisi
beberapa kolom data yang selanjutnya akan terekam sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari pelapor. Jika pelaporan hanya satu situs saja, cara yang diterapkan DNS Nawala tidak
72
merepotkan. Tetapi jika sudah melakukan pelaporan dalam jumlah banyak baru akan terasa
merepotkan. Hal ini tidak terjadi pada OpenDNS. Meskipun mewajibkan registrasi,
selanjutnya proses pelaporan (submitted domain) justru lebih sederhana dan dapat dilakukan
sekaligus untuk banyak situs. Kelebihan dari OpenDNS yang mampu menerima pelaporan
berganda (multiple submitted) juga akan diadaptasi dalam DNS Nawala demi kenyamanan
pengguna dan/atau pelapor. (DNS Nawala 1 : OpenDNS 2)
5. Tanggapan Pelaporan
Tanggapan dari situs yang dilaporkan berjalan sangat cepat pada DNS Nawala. Waktu
maksimum tanggapan adalah 1 x 12 jam untuk situs yang termasuk kategori pornografi,
perjudian, malware, phising dan proxy. Untuk kategori SARA akan melalui proses
pertimbangan dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki pengetahuan lebih mendalam
terkait kategori tersebut. Sedangkan pada OpenDNS, tanggapan pelaporan dilakukan melalui
proses pilihan (voting) dan/atau langsung disetujui oleh moderator/admin jika sudah ada
dalam database. Tidak diketahui berapa banyak pemilih yang dibutuhkan untuk menyetujui
situs yang dilaporkan, karena salah satu situs yang masuk kategori pornografi pada DNS
Nawala masih “menggantung” statusnya pada OpenDNS setelah dilaporkan 2 tahun lalu.
6. Pelacakan Status Situs
Pelacakan status situs bermanfaat untuk mengetahui apakah ada situs yang salah dalam
pengkategorian ataupun untuk melihat apakah suatu situs sudah masuk dalam daftar
hadangan. Pada OpenDNS, pelacakan situs berjalan sangat baik, dan menyatu dengan
pelaporan salah kategori. Fungsi pelacakan pada DNS Nawala sementara berdasarkan
pertimbangan tertentu dinon-aktifkan; sementara fungsi pelaporan salah pengkategorian tetap
tersedia.
73
7. Koreksi Kesalahan Domain
Kesalahan dalam pengetikan nama situs (domain) yang dapat menyesatkan pengguna
ke situs-situs palsu dapat dihindari dengan adanya fitur koreksi pengetikan pada OpenDNS.
Fitur serupa juga disediakan pada DNS Nawala, namun dinon-aktifkan sementara waktu
karena pertimbangan tertentu pula. (DNS Nawala 1 : OpenDNS 2)
DNS Nawala yang dikembangkan oleh AWARI, yang kemudian coba disosialisasikan
oleh pemerintah agar bisa diterapkan secara meluas di Indonesia. Dalam harapan pemerintah,
penerapan DNS Nawala tidak hanya sebatas di lingkungan kantor pemerintahan saja, namun
juga dilakukan di banyak tempat publik yag memiliki kemampuan untuk mengakses Internet,
seperti warnet, dan juga tempat-tempat hotspot di banyak lokasi.
Pada awal sosialisasinya, dalam waktu 3 bulan, DNS Nawala berhasil melakukan
filterisasi konten Internet yang dianggap berbahaya dalam jumlah besar. Konten yang
berhasil disaring tidak hanya berbau Pornografi, namun juga konten yang berupa malware,
atau berisi virus computer, dan berpotensi mencuri data-data pribadi. Dalam waktu 3 bulan
tersebut DNS Nawala berhasil menyaring sebesar 70ribu query per menit, hal ini tentunya
setara dengan 100,8 juta query per harinya. Dengan kata lain, DNS Nawala berhasil
melakukan penyaringan terhadap. Diungkapkan oleh Irwin Day dalam blog kompasiana nya,
bahwa angka itu tidak sedikit bagi sebuah sistem yang baru berjalan selama 3 bulan.
Disamping itu pula, pengguna DNS Nawala bisa dikatakan cukup besar. Sebanyak 12 juta
pengguna Internet sudah menggunakan produk ini.
Pemerintah menyambut positif hal ini dan kemudian meresmikan DNS Nawala pada
tanggal 17 November 2008. Pada tahun 2009 pun, pemerintah kemudian melakukan bantuan
74
dengan melaksanakan uji coba DNS Nawala pada server PT Telkom.23 Tidak hanya bantuan
berupa pelaksanaan uji oba, pemerintah pun menerapkan DNS Nawala di kantor
pemerintahan. Salah satunya yang memprakarsai program Nawala ini dipasang di kantor
pemerintahan adalah di Pemerintah Kota Bogor pada tahun 2010. Tidak hanya pkantor
pemerintahan, namun juga warnet-warnet diberikan pengarahan langsung untuk memasang
DNS Nawala pada jaringan yang mereka gunakan. Peraturan mengenai pemasangan DNS
Nawala ini bahkan hadir sebagai sebuah Peraturan Daerah.24
Dengan hasil kerjasama yang dilakukan bersama pemerintah, DNS Nawala juga
kemudian diterapkan di beberapa perusahaan penyedia jasa internet sebagai sumber data
situs-situs terbaru yang terdata sebagai situs dengan konten pornografi. Perkembangan
internet yang sangat pesat, dan pertumbuhan situs yang tinggi membuat proses pembaharuan
data diperlukan, dan Nawala menjadi salah satu sumber yang digerakkan oleh civil society
sebagai salah satu sumberdaya implementasi, sekaligus sumbery pengayaan yang terus
mengalami pembaruan data.
Penggunaan DNS Nawala memang menitikberatkan pada konten internet yang
memiliki tendensi pelanggaran yang terdapat dalam KUHP, UU ITE, maupun UU Pornografi.
Untuk situs Internet yang memiliki tendensi pelanggaran terhadap SARA, memerlukan tahap
diskusi lebih lanjut untuk dilakukan pemblokiran. Namun, Nawala adalah bukti nyata
pembelajaran yang dilakukan oleh para implementer, terutama pemerintah dalam melakukan
pemberantasan Pornografi tanpa harus memberikan hukuman terhadap pelanggaran
23Artikel berjudul: “Server DNS Nawala-Telkom” disadur dari blog penggagas DNS Nawala, sekaligus ketuaAWARI, Irwin Day, di : http://irwinday.web.id/2009/10/13/server-dns-nawala-telkom/. Diakses pada hariRabu, 29 Februari pada pukul 19.45 WIB
24Artikel berjudul: “Semua Warnet dan Kantor Pemerintah Wajib pakai Nawala” disadur dari berita di :http://tekno.kompas.com/read/2010/08/06/18533375/Semua.Warnet.dan.Kantor.Pemerintah.Wajib
.Pakai.Nawala. Diakses pada hari Rabu, 29 Februari pada pukul 22.57 WIB
75
Pornografi, namun lebih kepada mencegah orang untuk melakukan akses terhadap
Pornografi.
D. Penutup
Proses learning yang dilakukan oleh Pemerintah diaplikasikan di level substansi
kebijakan, dan juga instrumen kebijakan. Kedua hal ini penting dalam implementasi,
mengingat konten kebijakan tidak selalu berjalan sesuai dengan konteks implementasi nya.
Ada kecenderungan muncul sebuah gap antara konten dan konteks, karena konteks
masyarakat yang selalu memiliki dinamika. Langkah pemerintah dalam mengamankan
serangan dari dunia maya termasuk dalam hal konten Pornografi ditunjukkan dalam respon
dengan melakukan pembenahan instrumen kebijakan Pornografi melalui cara lesson learned
dan lesson drawing. Hal ini dilakukan demi menjawab tantangan jaman dan metode
persebaran pornografi yang semakin luas dan masif melalui Internet.
Ketiga implementer, pemerintah, swasta, maupun civil society, masing-masing
memiliki andil dalam mengimplementaskan kebijakan pornografi ini sendiri. Proses lesson
learned yang dilakukan oleh pemerintah, melalui proses pembacaan watak kebijakan
pornografi yang juga sekaligus membaca pergerakan watak pornografi berhasil membaca
langkah selanjutnya untuk kemudian, dilanjutkan dengan lesson drawing. Hal ini dilakukan
oleh para implementer dengan melakukan bantuan berupa pemblokiran pornografi sebagai
salah satu cara yang dirasa paling efektif dan efisien. Dengan meniru OpenDNS, ketiga
implementer ini berusaha dan bekerjasama untuk memberangus konten pornografi di internet
tanpa harus membunuh internet itu sendiri.
76
BAB V
KESIMPULAN
A. Dinamika Implementasi Kebijakan Pornografi
Pornografi, sebuah kisah lama akan degradasi moral manusia yang diumbar melalui
berbagai media. Pornografi dan Internet, sebuah perpaduan manis antara media dengan
sebuah jenis konten media yang mampu membuat banyak pihak pun khawatir akan dampak
konsumtivitasnya. Pemerintah membuat Undang-Undang, masyarakat pun mulai peduli untuk
menghadapinya secara serius. Bahkan korporasi yang berinvestasi dalam bidang sinyal
komersial pun turut mencari cara agar mereka bisa turut serta sekaligus mencari pencitraan.
Sudah bukan fenomena yang aneh lagi ketika pornografi Internet menyerang Indonesia
melalui situs-situs luar negeri yang menyediakan kemudahan aksesibilitas pornografi. Hanya
perlu beberapa klik, dan ketikan di keyboard, lalu voila! Muncullah imaji libido dan fantasi
sensualitas, bahkan seksualitas manusia. Pornografi Internet menjadi semakin banal seiring
dengan meleknya masyarakat Indonesia dengan Internet. Internet telah menjadi bagian rutin
dari kehidupan manusia, sebagaimana kehidupan fisik, kehidupan virtual ini pun
menunjukkan peningkatan integritas (Juris, 2005). Perkembangan yang pesat ini pun
membuahkan prestasi bagi Indonesia sebagai negara kedua pengakses pornografi terbesar di
dunia.
Inkrementasi dan pembelajaran, dua kata tersebut menjadi kunci dimana Pemerintah
bisa melakukan implementasi kebijakan Pornografi. Dinamika yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat perihal media sebagai wadah pornografi membuat pemerintah melakukan banyak
perbaikan dalam Kebijakan Publik. Tak hanya masyarakat, namun juga masalah rezim yang
memiliki perubahan dari otoritatif menjadi demokratis memberikan implikasi secara langsung
kepada pemerintah bahwa perlu dilakukan tindakan yang inkremental sehingga mampu
77
menjawab tantangan Pornografi yang berkembang seiring dengan perkembangan teknologi
media. Dalam tinjauan konten kebijakan, kepentingan yang dipengaruhi, manfaat yang aktual,
pemanfaatan sumber daya, sudah dilakukan oleh pemerintah dalam hal implementasi
kebijakan pornografi ini. Terlihat dari bentuk kerjasama pemerintah dalam menggandeng
aktor non-negara dalam bersama-sama menggerakan tenaga terwujudnya implementasi
kebijakan melalui program yang teknis maupun substantif. Sedangkan dalam tinjauan konteks
kebijakan, pemerintah dalam hal ini memiliki karakteristik yang cenderung memberikan
batasan, namun berkiblat pada kaidah yang tetap harus dipatuhinya dengan tidak membatasi
arus informasi melalui Internet.
Dalam konten dan konteks kebijakan, proses pembelajaran atau learning ternyata
diperlukan dalam menelaah beberapa masalah publik. Salah satunya adalah masalah publik
pornografi ini. Pornografi sebagai masalah yang berkembang secara terus menerus
membutuhkan proses pembelajaran dari titik awal bagaimana dia melakukan metamorfosis
dalam wadah media nya. Ini penting, bahkan untuk semua masalah publik yang memiliki
metamorfosis, tidak hanya pornografi.
Paparan bab-bab sebelum ini, menunjukkan bahwa kealpaan pemerintah sebagai
implementer, sekaligus stakeholder dan juga perumus kebijakan, hanya mampu membaca
pornografi dalam ranah yang substantif. Padahal, masalah publik adalah masalah yang
aplikatif, faktual, dan aktual. Dibutuhkan sebuah tindakan yang juga bersifat aktif dan keluar
dari jalur-jalur yang bersifat nilai semata.
B. Kontribusi Studi Kebijakan Pornografi Terhadap Teori Kebijakan
Penelitian yang saya lakukan ini sebagai sebuah bentuk pertanyaan awal saya terhadap
kebijakan publik yang kurang mengedepankan masalah pembelajaran. Pembelajaran adalah
sebuah hal penting, bahkan founding father Indonesia yakni Soekarno pun berkata ”Jas
78
Merah“, Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah adalah suatu hal yang pernah terjadi,
dan pernah dialami, baik secara personal, maupun banal. Kajian studi kebijakan publik masih
jarang yang menggunakan lesson learned dan lesson drawing sebagai salah satu motivasi
pembentukan kebijakan publik. Pada realitasnya, persoalan publik mengalami dinamika terus
menerus. Pornografi hanyalah salah satu contoh persoalan publik yang mengalami dinamika
dalam metode persebaran, dan juga dalam konteks rezim yang memiliki dinamika kekuasaan
berbeda ketika Orde Baru dan Orde Reformasi. Ada penanganan yang berbeda dalam
penelaahan kasus pornografi. Jika dulu semua kasus pornografi mendapatkan tuntutan
berdasarkan KUHP, dan kini pemerintah lebih soft dengan mencegah Pornografi itu sendiri
melalui pemblokiran Internet.
Studi ini merupakan studi politik, karena memiliki fokus pada studi kebijakan publik
yang membahas mengenai dinamika kebijakan tersebut.
Tulisan ini memang masih memiliki banyak kekurangan dalam menganalisis kebijakan
publik pemerintah dalam mengatasi pornografi Internet. Masih banyak produk anti-pornografi
Internet yang dilakukan oleh banyak pihak. Namun, penulis berharap melalui tulisan ini
mampu mengingatkan bahwa selama ini pemerintah tidak menutup mata akan bahayanya
Pornografi Internet, dan kemudian berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi rakyatnya.
Meskipun berbagai kritik diluncurkan, pemerintah tetap maju dan terus berinovasi melalui tim
khusus yang dibentuknya untuk memantau perkembangan Internet di Indonesia, serta
sosialisasi Internet Sehat dengan tujuan masyarakat Indonesia yang cerdas, bijak, dalam
penggunaan teknologi dan media.
**********
79
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal, dan Makalah :
Adji, Oemar Seno, Beberapa Aspek Dalam Hukum Pers, Jakarta. 1973
Ahmad, Mustafa Adil. The Erotic and The Pornographic in Arab Culture. British Journal of
Aesthetics vol. 4. 1994
Bonger, W. A. Pengantar Tentang Kriminologi. Jakarta. Pembangunan. 1982
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta. Gramedia. 2006
Deibert, Ronald, Palfrey, Rohozinski. Access Denied : The Practice and Policy of Global
Internet Filtering. Cambridge, Massachusetts. The MIT Press. 2008
Dunn, William. Merumuskan Kebijakan Publik. Yogyakarta. Gama Press. 2000
Fukuyama, Francis. Memperkuat Negara Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21.
Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 2005
Grindle, Merilee S. Politics and Policy Implementation in the Third World. Princeton
University Press. 1980
Hill. T, David, and Sen, Krishna. The Internet in Indonesia’s New Democracy. Routledge.
2005.
Lesmana, Tjipta. Pornografi Dalam Media Massa. Puspa Swara. Jakarta. 1995
Lounamaa. P. H, and March. James. G. Adaptive Coordination of Learning Team.
INFORMS. 1987.
80
Marcuse, Herbert. One Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial
Society. Routledge, London. 1964
Margetts, Hellen Z. The Internet and Public Policy. Policy and Internet. Vol. 1: ISS . 1
Article 1. 2009
McQuail, Dennis. McQuail’s Mass Communication Theory. London: Sage Publications. 2005
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Rosdakarya. 2007
Mulder, N. Pribadi dan Masyarakat Jawa. Jakarta. Sinar Harapan. 1985
Nahal, Rogpas. Cyber Crime &Digital Evidence – Indian Perspective. Asian School of
Cyberlaws. 2008
Parsons, Wayne. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta.
Kencana. 2006
Raharjo, Agus. CYBERCRIME. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2002
Rose, R. Lesson Drawing in Public Policy: A Guide to Learning time and Space. Chatam.
New Jersey. 1993
Rose, R. Learning From Comparative Public Policy: A Practical Guide. Routledge. New
York. 2005
Winarno, Budi. Kebijakan Publik : Teori dan Proses. Jakarta. Penerbit Media Pressindo.
2008
Berita dan Artikel :
“Indonesia duduki peringkat kedua di dunia pengakses situs porno”
(http://www.perempuan.com/indonesia-duduki-peringkat-kedua-di-dunia-pengakses-situs-porno/ ).
Diakses Kamis, 14 Juli 2011 pukul 19.45 WIB
81
“ ESET: Internet merupakan Ancaman Besar Bagi Anak”
http://techno.okezone.com/read/2011/08/26/55/496855/eset-internet-merupakan-
ancaman-besar-bagi-anak. Diakses Kamis, 9 Februari 2012 pukul 15.30 WIB
Artikel berjudul “Pornografi Internet Ancam Anak Indoneia”
http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/03/08/pornografi-internet-ancam-
anak-indonesia/. Diakses Kamis, 9 Februari 2012 pukul 16.00 WIB
Artikel berjudul “Cyber Pornography”
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b86b6c16c7e4/cyber-pornography-
%28pornografi-dunia-maya%29- . Diakses Kamis, 9 Februari 2012 pukul 17.00 WIB
Artikel Berjudul : “ Thailand Blokir 5.000 Laman Penghina Kerajaan” diakses dari :
http://www.republika.co.id/berita/trendtek/internet/12/03/14/m0vpvr-thailand-blokir-5000-
laman-penghina-kerajaan Diakses Senin, 4 April 2012 pukul 22.20 WIB
Berita ANTARA, 18 September 2008 berjudul: “UU Pornografi Intervensi Kebebasan dan
Kehidupan Pribadi” http://www.antaranews.com/view/?i=1221742471&c=NAS&s=. Diakses pada hari
Minggu, 12 Februari 2012 pukul 20.30 WIB
Berita Kompas, 22 September 2008 berjudul: “ RUU Pornografi Bnetuk Totalitarianisme
Negara”
http://nasional.kompas.com/read/2008/09/22/21151958/ruu.pornografi.bentuk.totalitarianisme.negara.
Diakses pada hari Senin, 13 Februari pukul 17.05 WIB
Berita detik, Rabu, 29 oktober 2008 berjudul: “8 Fraksi Teken Draft RUU Pornografi”
http://news.detik.com/read/2008/10/29/002128/1027546/10/8-fraksi-teken-draft-ruu-pornografi. Diakses
pada hari Sabtu, 3 Maret 2012 pukul 15.40 WIB
Situs resmi ID-SIRTII : www.idsrtii.or.id/profil-id-sirtii/tugas-dan-fungsi/. Diakses pada hari
82
Minggu, 8 Agustus 2011 pukul 20.05 WIB
Berita Berjudul : “Tutup Akses Konten Esek-esek” http://www.koran-jakarta.com/berita-
detail.php?id=60237. Diakses pada hari Rabu, 8 Februari 2012 pada pukul 17.25 WIB.
Anggota APJII:
http://www.apjii.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=106%3A2011&catid=36%3Aanggota
&Itemid=11 Diakses hari Sabtu, 11 Februari 2012 pada pukul 15.35 WIB
Definisi Bandwidth http://www.sentra-edukasi.com/2009/07/materi-telkom-definisi-bandwidth.html.
Diakses pada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada pukul 19.35 WIB
Struktur organisasi ICT Watch http://ictwatch.com/internetsehat/tentang-hubungi-kami/. Diakses
pada hari Kamis, 2 Februari 2012 pada pukul 21.15 WIB
Artikel berjudul : “ Sejarah Awal gerakan Internet Sehat di Indonesia”
http://ictwatch.com/internetsehat/2010/02/10/7-tahun-silam-kini-internet-sehat-rakyat-diakui-
internasional/. Diakses pada hari Senin, 30 Januari 2012 pada pukul 13.30 WIB.
Berita berjudul : “Situs Playboy dkk Sudah Diblokir Operator”
http://teknologi.vivanews.com/news/read/170239-situs-playboy-dkk-sudah-diblokir-operator. diakses pada
hari Rabu, 24 Januari 2012, pada pukul 15.30 WIB.
Berita berjudul : “Ini Dia 7 Tuntutan Tifatul untuk RIM!”
http://tekno.kompas.com/read/2011/01/09/1459284/Ini.Dia.7.Tuntutan.Tifatul.untuk.RIM. diakses pada
hari Jum’at 9 Maret 2012 , pada pukul 22.55 WIB.
Berita Berjudul : “Operator Akui, Susah Membendung Konten BB”
http://tekno.kompas.com/read/2011/01/10/11433269/Operator.Akui.Susah.Membendung.Konten.BB.
Diakses pada hari Jum’at, 9 Maret 2012 pada pukul 23.00 WIB
Berita berjudul : “Kenapa RIM Sensor BlackBerry Pakai Nawala?”
83
http://tekno.kompas.com/read/2011/01/20/13232242/Kenapa.RIM.Sensor.BlackBerry.Pakai.Nawala.
Diakses pada hari jum’at 9 Maret 2012 pada pukul 23.20 WIB
Gambar diambil dari berita berjudul : “Situs-situs Porno Sudah Diblokir di BlackBerry
http://tekno.kompas.com/read/2011/01/19/16213757/Situssitus.Porno.Sudah.Diblokir.di.BlackBerry.
Diakses pada hari Selasa, 13 Maret 2012 pada pukul 22.45 WIB
1Notulensi Diskusi diperoleh dari : http://ictwatch.com/internetsehat/2009/02/16/internet-sehat-
antara-ict-watch-dan-depkominfo-notulen-diskusi/. Diakses pada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada
pukul 21.30 WIB
Gambar diambil dari : http://teknologi.inilah.com/read/detail/1845584/xl-dukung-kampanye-internet-
sehat-pemerintah. diakses pada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada pukul 22.30 WIB
Berita Berjudul : “Tifatul Klaim Hampir Sejuta Situs Porno Sudah Diblokir”
http://techno.okezone.com/read/2012/02/06/55/570236/tifatul-klaim-hampir-sejuta-situs-porno-sudah-
diblokir. diakses pada hari kamis, 2 februari 2012 pada pukul 23.45
Artikel Berjudul :”Studi: 20% Blokir Porno Internet Tidak Efektif
http://www.inilah.com/read/detail/1143432/studi-20-blokir-porno-internet-tidak-efektif. diakses pada hari
jum’at 9 februari 2012 pada pukul 22.55 WIB
Berita Berjudul : “Pemblokiran Situs Porno Takkan Berantas Pornografi”.
http://tekno.kompas.com/read/2012/03/18/00004172/Pemblokiran.Situs.Porno.Tak.Akan.Berantas.Pornograf
i. diakses pada hari jumat, 9 maret 2012 pada pukul 22.30 WIB
Berita Berjudul : “XL Dukung Internet Sehat” http://www.radar-
bogor.co.id/index.php?rbi=berita.detail&id=92174. Diakses pada hari kamis, 2 februari 2012 pada
pukul 23.05 WIB
Berita berjudul : “Pemblokiran Situs Porno Tidak Akan Dihentikan”
84
http://tekno.kompas.com/read/2011/11/25/08034369/Pemblokiran.Situs.Porno.Tidak.Akan.Dihentikan.
diakses pada hari Jumat, 30 Maret 2012 pada pukul 16.50 WIB.
O’Reilly, T. (2005). What is web 2.0: Design patterns and business models for the next
generation of software. http://www.oreilly.com/pub/a/oreilly/tim/news/2005/09/30/what-is-web-
20.html. Diakses pada hari Jumat 10 Februari 2012, pada pukul 15.45 WIB.
Artikel berjudul: “Server DNS Nawala-Telkom” disadur dari blog penggagas DNS Nawala,
sekaligus ketua AWARI, Irwin Day, di : http://irwinday.web.id/2009/10/13/server-dns-nawala-
telkom/. Diakses pada hari Rabu, 29 Februari pada pukul 19.45 WIB
Artikel Berjudul: “The role of government in content filtering”. Disadur dari blog resmi
OpenDNS http://www.blog.opendns.com/2011/10/12/the-role-of-government-in-content-filtering/
Diakses pada hari Jumat 23 Maret 2012 pada pukul 23.15 WIB
Peraturan Perundang-undangan
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
SK Menkominfo No. 28/KEP/M/Kominfo/1/2009
Peraturan Menkominfo Nomor 27/PER/M.KOMINFO/9/2006 Tentang Pengamanan
Pemanfaatan Jaringan Telekomunikasi Berbasis Protokol Internet