95
Pemblokiran Konten Pornografi di Internet: Peranan Pembelajaran dalam Implementasi Kebijakan Disusun Oleh: NUKU NUGRAHA SALAM 07/256677/SP/22395 JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012

Pemblokiran Konten Pornografi di Internet

Embed Size (px)

Citation preview

Pemblokiran Konten Pornografi di Internet: Peranan

Pembelajaran dalam Implementasi Kebijakan

Disusun Oleh:

NUKU NUGRAHA SALAM

07/256677/SP/22395

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

Pemblokiran Konten Pornografi di Internet: Peranan

Pembelajaran dalam Implementasi Kebijakan

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu

Politik pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta

Disusun Oleh:

NUKU NUGRAHA SALAM

07/256677/SP/22395

Disetujui:

Dosen Pembimbing

BAYU DARDIAS KURNIADI, S.IP, MA, M.PUB.POL

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dan disahkan di depan Tim Penguji Jurusan Ilmu

Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,

pada :

Hari : Jumat

Tanggal : 8 Juni 2012

Pukul : 14.00

Tempat : S2 Polok UGM

Tim Penguji

Bayu Dardias Kurniadi, S. IP, MA, M.Pub.Pol.

Ketua Tim / Dosen Pembimbing

Prof. DR. Purwo Santoso, MA, Ph.D

Penguji Samping Bidang Metodologi

R. B. Abdul Gaffar Karim, S.IP, MA

Penguji Samping II Bidang Ilmu Pemerintahan

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : NUKU NUGRAHA SALAM

Nim : 07/256677/SP/22395

Angkatan : 2007

Jurusan : POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Judul Skripsi :PEMBLOKIRAN KONTEN PORNOGRAFI DI INTERNET:

PERANAN PEMBELAJARAN DALAM IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan

oleh pihak lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan referensi dalam naskah ini dan

disebutkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia menerima

sanksi apabila kemudian hari diketahui tidak benar.

Yogyakarta, 8 Juni 2012

Yang membuat pernyataan,

Nuku Nugraha Salam

Persembahan...

Kepada ayahanda, Chaerul Salam, S. Pd, M. HumDan ibunda, Wiwi Winarti, A. Md

Segala puji hanya milik ALLAH, Rabb seru sekalian alam... Tiada daya, upaya, dankekuatan apapun kecuali atas izin-Nya...

Allahuma sholli ‘ala Muhammad...

Teruntuk kedua orang tua, yang selalu memberikan support lahir dan batin.Terima kasih sudah melahirkan anakmu yang pembangkang dan congkak ini, sertamembuatnya sadar bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa tanpa kalian.

Untuk Bapak, semoga Allah selalu bersamamu dan menyertai kesehatan kepadamu.Terima kasih sebesar-besarnya untuk segala support yang telah diberikan. Ilmu mu tentangkehidupan, kebudayaan, sejarah, dan segala seluk beluk politik jahat kota kita membuatkusemakin percaya, bahwa aku harus membenahi Kota Udang tercinta. Aku akan membuatmubangga, pak..

Untuk Mama, semoga Allah melimpahkan kesehatan dan kebahagiaan untukmuselalu. Terima kasih selalu mempercayai anakmu yang seringkali melupakan orang-orangdirumah. Terima kasih untuk semua kasihmu yang mungkin jika kutuliskan akan melebihijumlah halaman dari skripsi ini sendiri, terima kasih atas kasihmu yang tak terkira, mam..

Untuk kedua saudaraku, Iqbal dan Dipo. Terima kasih selalu memberikan supportdan membantu memberikan semangat. A’ Iqbal, terima kasih atas supportmu yg selalumengatakan “udah, hajar aja dulu..”. Dipo, terima kasih sudah selalu membantu dirumahmenggantikan tugasku. Jadilah kakak yang baik buat Ata..

Untuk kekasihku, Wina Astarina. Terima kasih atas segala support dan dukunganyang diberikan selama 7 tahun lebih kita bersama. Aku tahu banyaknya kata terima kasih takcukup atas segala yang kau berikan selama ini dalam segala bidang, maka akan kutambahkansatu kalimat. I love you..

Terima kasih juga tak terkira bagi keluarga besar Harun bin Muslim, atas dukungandan juga hiburannya dikala

Kepada dosen pembimbing, Mas Bayu Dardias. Terima kasih atas segalakesabarannya menghadapi saya yang sudah di overlap bahkan oleh adik angkatan sendiri.Semoga tetaplah menjadi dosen yang juga seorang kawan bagi setiap mahasiswanya.Tetaplah menulis di blog, karena hiburan intelektual ala anda sangat menghibur di kalahiburan lain hanya menyajikan semu-itas belaka, mas.

Kepada dosen penguji bidang pemerintahan, Mas Abdul Gaffar Karim. Terima kasihatas segala sikap nya yang menyejukkan hati. Kita tak bicara banyak, namun saya belajarbanyak melalui tulisan-tulisan mas Gaffar yang selalu menginspirasi. Terutama sebagaipribadi yang selalu memberikan kritik positif terhadap masalah Indonesia, saya hampir takpernah melewatkan komentar anda di Facebook, mas.

Kepada dosen penguji metodologi, Prof. Purwo Santoso. Terima kasih banyak atassegala bimbingan dan kepercayaannya selama ini. Semua semangat dan dukungan yangdiberikan di titik-titik akhir perjuangan ini tak akan pernah saya lupakan. Motivasi yang andaberikan lewat setiap kata yang terucap, membuat saya semakin yakin bahwa saya bisa. apayang bapak berikan selama ini pada saya bukanlah sebuah motivasi yang diberikan olehseorang dosen kepada mahasiswa nya. Anda adalah guru, bukan dalam jabatan, tapi dalamnilai yang sesungguhnya. Saya akan belajar menulis agar bisa lebih baik lagi, pak.

Teruntuk kawan-kawan di JPP, dan teman-teman terbaik tempat mengadu keluh,kesah, penat, bahkan lapar bersama. Aldis, Kiki, Nanang, Miranda, Bill, Sandy, Arzad,Azam, Boby, Dira, Ery, Rita, Azis, Wening, Cici, Adi, Dinihari, Afif, Yusron, Arya, Yuri,Idham, Belgys, Dico, Nandy, Intan, Zaki, Isep, dan kawan-kawan yang lain yang sangatberjasa dalam mengolah pemikiran ini untuk lebih terbuka. Terima kasih ataskebersamaannya selama ini, aku rindu sansiro, dan perbincangan kita di tangga plaza.

Teruntuk kawan-kawan HMI, terimakasih atas semangat perjuangan selama ini.Pandu, Agung, Yuri, Nicol, Angga, Dira, Dede, Vebi, Fauzan, Intan, Balqis, Adis, MbakNingrum, Mbak Gusti, Mbak Rani, Mbak Agiel, Bang Mc Rizal, dan Bang Haris. Terimakasih Bang, atas segala ilmu dan petuah yang diberikan selama ini mengenai, membukapikiran. YAKUSA!

Teruntuk kawan-kawan PARADAYS, Adit, Egar, Mas Budi, Mas Taufik, danbeberapa rekan kerja. Terima kasih atas sumbangsih pemikirannya untuk tetap berusaha, danbukan bekerja. Terima kasih kepada Aditya Pradana atas segala ilmunya tentang soul ofanything, Mas Budi yang selalu mengingatkan pentingnya ketekunan, dan juga Egar ataspengingatnya untuk tetap calm, “ayok, ngopi sik..”.

Teruntuk kawan-kawan Pantura Cruiser Community, Om Heri, Om Son, OmWiem, Om Iechie, Om Bot, dan om-om lainnya. Yes, we’re not a community, we’re family!

Kepada kawan-kawan terbaik, terimakasih juga atas dukungan dan supportnyaselama ini. Ikie, Dimas, Oman, Mas Awaluddin Norsandy, Aliph, Rendy, Upi, Rizky Akbar,Deiki, Dzaki, Capank, Upi, Feliks, Drg. Irwan, Tito, Bang Dimas, dll.. Tanpa kalian,mungkin hidupku sama seperti kedua mataku melihat dunia, tidak berwarna.

Dan akhirnya, karya ini dipersembahkan kepada mereka semua yang mau berusaha.Semoga ALLAH SWT membalas amal baik kita semua, Aamiin, Aamiin, Aamiin Ya RabbalAalamiin..

i

DAFTAR ISI

BAB I ................................................................................................................................... 1

MELIHAT SISI TERABAIKAN DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ....................... 1

A. Publik dan Pembelajaran Masalah Publik................................................................ 1

B. Pertanyaan Penelitian.............................................................................................. 6

C. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 6

D. Kerangka Teori: Peranan Lesson Drawing Dalam Implementasi Kebijakan ............ 7

D.1 Pergeseran Konsep Kebijakan............................................................................. 7D.2 Watak Kebijakan Konten Pornografi................................................................. 13

E. Definisi Konseptual ................................................................................................ 23

E. 1. Konten Pornografi ........................................................................................... 23E. 2. Implementasi Kebijakan.................................................................................. 24E. 3. Lesson Drawing .............................................................................................. 24

F. Definisi Operasional................................................................................................ 25

F. 1. Konten Pornografi ........................................................................................... 25F. 2. Implementasi Kebijakan .................................................................................. 25

G. Metode Penelitian................................................................................................... 25

BAB II................................................................................................................................ 29

DINAMIKA PORNOGRAFI DAN REGULASINYA DI INDONESIA ............................. 29

A. Pengantar................................................................................................................ 29

B. Implementer dan Pornografi: Lesson Learned ......................................................... 30

B.1. Pemerintah Dalam dua Linimasa ...................................................................... 31B. 2. Asosiasi Perusahaan Internet: Aktor Implementer Baru................................... 41C.3 ICT Watch sebagai Civil Society ....................................................................... 46

D. Penutup................................................................................................................. 47

BAB III............................................................................................................................... 49

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PORNOGRAFI DI INDONESIA.................................... 49

A. Pengantar................................................................................................................ 49

B. Konsekuensi Implementasi Terhadap Implementer ............................................... 50

B. 1 Pemblokiran Pornografi di Internet: Profit vs Implementasi Kebijakan............. 51

ii

B. 2. Sosialisasi Internet Sehat: Kerjasama Inter-Implementer ................................. 55C. Penutup................................................................................................................. 59

BAB IV .............................................................................................................................. 60

Lesson Learned dan Lesson Drawing dalam Kebijakan Publik Pornografi .......................... 60

A. Pengantar................................................................................................................ 60

B. Lesson Learned dan Lesson Drawing Dalam Implementasinya ............................... 61

B. 1 Lesson Learned Untuk Perkembangan Kebijakan Pornografi ........................... 62B. 2 Lesson Drawing dalam Kebijakan Blokir Internet ............................................ 66

C. Nawala Project: Produk Lesson Drawing ................................................................ 67

C.1 Kolaborasi Tiga Implementer: Meniru OpenDNS.............................................. 68D. Penutup .................................................................................................................. 75

BAB V................................................................................................................................ 76

KESIMPULAN................................................................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 79

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Siklus Kebijakan..............................................................................................12

Gambar 1.2. Implementasi Kebijakan Grindle......................................................................22

Gambar 1.3. Contoh Pemblokiran Situs di Warnet Yogyakarta.............................................44

Gambar 1.4. Contoh Pemblokiran Website di Black berry ....................................................55

Gambar 1.5. Sosialisasi INSAN di Universitas Bina Nusantara ............................................57

Gambar 1.6. Seminar dan Sosialisasi INSAN di Hotel Akmani ............................................58

Gambar 1.7. Sosialisasi Internet Sehat di ITB ......................................................................58

Gambar 1.8. Sosialisasi Internet Sehat Bersama XL .............................................................58

Gambar 1.9. Perbandingan DNS Nawala dan OpenDNS ......................................................70

iv

Intisari

Studi ini menjelaskan bagaimana proses learning ternyata hadir sebagai pergeserandalam konteks kebijakan publik. Selama ini, kebijakan publik seringkali dipahami sebagaisebuah proses dimana para stakeholder memegang kendali penuh dalam perumusankebijakan publik. Para pemegang kekuasaan dalam banyak literatur dianggap memahamipenuh akan masalah publik, termasuk pelaksanaannya secara mutlak. Pada kenyataannyajustru masalah publik selalu mengalami dinamika karena berkaitan erat dengan kehidupansosial manusia yang juga mengalami perubahan dari masa ke masa. Dibutuhkan dari sekedarkapabilitas dalam kekuasaan, namun juga kapabilitas atas penguasaan masalah publik.Penulis menemukan salah satu masalah publik yang mengalami dinamika; yang ternyatatanpa disadari mengalami sebuah mediamorfosis, sekaligus juga peningkatan distribusinya.Masalah itu adalah pornografi, yang kini bercokol pada media internet.

Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir learning untuk memahami bagaimanakebijakan publik yang ternyata tidak hanya sekedar melakukan perumusan sepihak, namunjuga membutuhkan sebuah pembelajaran. Proses learning ini kemudian dibagi lagi ke dalamdua sektor utama, yakni lesson learned dan lesson drawing, dimana keduanya memiliki nilaiyang sama pentingnya dalam proses memahami watak kebijakan publik. Kedua metodepembelajaran tersebut memiliki ruang lingkup masing-masing dalam melakukanpembelajaran. Namun, penelitian ini kemudian akan membawa kita untuk lebihmemfokuskan diri kepada proses terciptanya implementasi kebijakan dalam bentuk lessondrawing yang dikerucutkan lagi menjadi sebuah program dan juga instrumen kebijakan.

Penelitian ini menemukan bahwa dalam proses learning, ada sebuah dinamika yangmeliputi salah satu tahapan kebijakan publik. Tahapan itu ialah pada tataran implementasikebijakan. Implementasi kebijakan publik mengalami dinamika ketika ternyata dalam jalantempuhnya, ada proses learning yang secara terus menerus terangkat namun tidak terlihat.Dalam implementasi, proses learning tercapai ketika implementasi mengacu pada konten dankonteks kebijakan. Kedua hal ini membangun sebuah awalan atas dasar kebijakan yangbersifat inkremental, dimana kelemahan pada implementasi kebijakan sebelumnya dijadikandasar perbaikan untuk kebijakan berikutnya dalam ruang yang sama. Pornografi, mengalamimetamorfosis dalam bentuk media, distribusi, dan juga pergeseran nilai dan tingkat perilakumasyarakat dalam memaknainya sebagai sebuah konten atas media. Hal ini juga yangkemudian membuat ada pembelajaran yang dapat ditarik dari setiap proses learning dalammemahami apa saja yang mampu dilakukan implementer. Termasuk pemerintah, yangmelakukan proses learning dalam memaknai kebijakan publik dalam linimasa yang berbeda,yang kemudian melahirkan implementer dan program kebijakan yang berbeda atas perubahanyang terjadi dalam konteks kebijakan publik, sebagai subjek learning kebijakan.

Kata kunci: kebijakan publik, lesson learned, lesson drawing, implementasi, pornografi,internet

1

BAB I

MELIHAT SISI TERABAIKAN DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

“It's fine to celebrate success but it is more important to heed the lessons of failure.”(Bill Gates)

A. Publik dan Pembelajaran Masalah Publik

Menemukan lesson learned, dan melakukan adopsi lewat lesson drawing. Itulah dua

cara dalam membaca permasalahan dengan mengadopsi kekurangan, serta kelebihan atas

sebuah aturan yang telah dilakukan sebelumnya. Aturan baku mengenai lesson learned

sebenarnya tidak ada, seperti ukuran pasti akan hal yang kemudian ditiru, dimodifikasi, dan

atau diaplikasikan ulang dengan pembaharuan-pembaharuan. Namun, hal yang paling

mendasar ialah menemukan lesson learned melalui lesson drawing adalah cara dalam

mempelajari suatu hal berdasarkan apa yang sudah terjadi, dan apa yang dilakukan untuk

menanggapi sesuatu hal yang terjadi tersebut. Kedua lessons tersebut pun bisa

diimplementasikan dalam kebijakan publik.

Urgensi dan relevansi melakukan lesson drawing, segera kita rasakan jika kita ingat

Dewey (dalam Parsons, 2008) yang mengingatkan agar dalam memahami kebijakan publik

titikberatnya ada pada ‘publik’ bukan pada kewenangan pejabat yang memutuskannya. Oleh

karena publik melibatkan banyak orang, maka masalah yang ada di dalamnya tidak mudah

dimengerti secara sepihak, atau sekali tempuh. Masalah disusun, dan dikonstruksi, dan

didefinisikan secara berbeda-beda sejak diletakkan dalam agenda kebijakan.

Bicara tentang kebijakan publik, berarti bicara soal nasib publik yang tidak bisa diatur

secara mudah dalam legalitas. Apa yang hadir dalam publik tidak serta merta didefinisikan

menjadi sebuah agenda dalam penyelesaian masalah publik tersebut. Oleh karena ini

2

kesediaan untuk belajar menjadi penting. Apalagi masalah publik memiliki kaitan dengan

waktu, dan kebutuhan-kebutuhan manusia yang terus mengalami perubahan seiring dengan

kemajuan jaman. Dengan kata lain, ada semacam proses pembacaan yang menyeluruh dalam

pembentukan kebijakan publik.

Pembacaan masalah publik ini berkaitan dengan dinamika publik sendiri, dimana

publik tidak hanya dianggap sebagai pelaku, tapi juga penerima (Mulder, 1985). Menerima

apa? Tentunya menerima konsekuensinya sebagai sebuah publik dalam masalah publik, dan

diatur oleh para pembuat kebijakan publik yang berdasarkan pada poin-poin tertentu. Selama

ini kebijakan publik selalu dipandang sebagai sebuah produk ‘yang pasti berhasil’ karya para

stakeholders, dimana mereka lah yang memiliki kuasa untuk membuat sebuah kebijakan

publik. Bicara kekuasaan tak bisa terlepas dari subjectivity of persona, dimana petuah Baron

Acton alias Lord Acton pernah berkata bahwa: “Power tends to corrupt, absolute power

corrupt absolutely.”(Budiardjo, 2006: 107)

Pernyataan Lord Acton diatas adalah kunci dari sebuah pertanyaan jika kita kaitkan

dengan para stakeholders kebijakan publik. Dengan cara apa mereka membuat kebijakan?

Bagaimana menentukan preferensi yang mendetail atas sebuah masalah publik? Apakah

rasionalitas para stakeholders dapat menjamin kebijakannya mampu menjawab dinamika

masalah publik itu sendiri? Nyatanya, dalam aplikasi kebijakan tidak ada jaminan dalam

pembuatan kebijakan publik, dan teorisasi kebijakan publik, dimana suatu kebijakan memiliki

jaminan kemampuan dan kemapanan dalam menjawab permasalahan publik. Hal inilah

kemudian yang menjadi dasar, dimana setiap teorisasi kebijakan publik mengemukakan

tahapan-tahapan dalam kebijakan publik dimana semuanya memiliki akhir yang sama,

evaluasi kebijakan. Sekuens yang berakhir dengan evaluasi ini menandai pentingnya dimensi

pembelajaran yang dilakukan dalam kebijakan publik. Namun ironisnya, hal ini justru luput

dan dianggap tidak memiliki urgensi dalam studi kebijakan bahkan ditaruh dalam lini paling

3

belakang. Padahal, pembelajaran bisa dilakukan dalam banyak cara, bahkan sebelum

kebijakan tersebut diwujudkan sekalipun. Beberapa contoh yang bisa dilakukan dalam

pembelajaran, atau lesson learned disini ialah dengan melakukan studi banding. Studi

banding menjadi salah satu kajian dimana di dalamnya terdapat juga lesson drawing, dimana

di dalamnya kita bisa melakukan modifikasi kebijakan setelah kebijakan tersebut

diimplementasikan dan dievaluasi serta dibandingkan. Hal ini adalah suatu kesalahan cara

berpikir, dimana sebenarnya proses learning bisa dilakukan sebelum kebijakan itu

diemplementasikan.

A1. Pembelajaran Dalam Membaca Pornografi Internet

Salah satu contoh masalah publik yang menjadi perhatian penulis disini ialah

persebaran konten Pornografi di Internet. Untuk menunjukkan urgensi lesson drawing

kompleksitas implementasi kebijakan pelarangan Pornografi dipilih sebagi ilustrasi.

Fenomena pornografi di dalam jaringan internet sangatlah kompleks, dan mustahil dipahami

seluruh seluk-beluknya oleh para policy-makers, dan kemungkinan besar akan disalahpahami

oleh para implementor.

Pornografi adalah suatu hal yang dijatuhi oleh masyarakat pada umumnya dalam dua

nilai sekaligus, dia adalah sebuah sifat, sekaligus juga sebuah benda. Sebuah benda disebut

dilarang di beberapa negara karena memiliki muatan yang bersifat ‘porno’, atau sebuah

kegiatan seksualitas yang buruk (Christensen, 1990: 1). Berdasarkan sifat ini, muncul pula

media-media yang mengandung konten Pornografi yang kemudian menjadi sebuah target

yang di banned di beberapa negara. Dengan kata lain Pornografi mengalami transformasi

bentuk dari sebuah sifat, menjadi sebuah benda yang mengandung sifat. Situasi yang terjadi

pun semakin kompleks, ketika media yang terkena racun sifat Pornografi tersebut tidak

memiliki bentuk nyata, namanya adalah Internet.

4

Internet tidak memiliki bentuk pasti, dia hadir dalam ruang-ruang yang beraneka ragam

dibentuk dari kode-kode program komputasi. Jika pornografi tersebut memiliki bentuk yang

pasti seperti koran misalnya, maka bisa saya katakan secara pribadi adalah sangat mudah

menanggulangi hal ini. Negara memiliki kuasa untuk melakukan penghentian distribusi fisik.

Akan tetapi jika Internet yang menjadi media Pornografi, apakah distribusi komputer dan

distribusi Internet sebagai media juga harus ikut ter somasi sebagai pihak yang bersalah? Lalu

bagaimana hak manusia terhadap Informasi publik sebagai hak asasi?

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan

RI, perkembangan pornografi di Indonesia melesat jauh. Pada tahun 2007, Indonesia

menduduki peringkat tujuh dalam hal akses informasi pornografi di dunia, dan hanya dalam

kurun waktu tiga tahun, yakni pada tahun 2011 Indonesia berhasil mencetak rekor sebagai

negara dengan akses pornografi terbesar kedua di dunia.1 Pornografi menurut penulis

dianggap sebagai sebuah masalah, ketika Ia memiliki efek terhadap kehidupan masyarakat

Indonesia selaku bentuk publik.

Nampaknya kita harus kembali menarik ke belakang dan mengingat dinamika yang

terjadi dalam persebaran Pornografi. Persebaran Pornografi terletak pada sebuah kata kunci

yaitu, media. Media mengalami transformasi bentuk, dari bentuk cetak menuju bentuk digital,

serta transformasi aksesibilitas, dari yang pada awalnya tidak seluruh masyarakat bisa

memiliki kemampuan akses, kini aksesibilitas media berada dalam kedudukan yang setara.

Hal ini oleh Severin dan Tankard (2007) diperkenalkan kepada publik dengan istilah

“mediamorfosis”. Transformasi ini melibatkan proses adaptif dalam menggeluti persoalan

yang kompleks. Dengan kata lain, pemerintah pun harus bisa mengejar konteks media yang

selalu adaptif terhadap tekanan kompetitif, politis, serta inovasi-inovasi sosial. Kita dapat

1 Disarikan dari artikel berjudul : “Indonesia duduki peringkat kedua di dunia pengakses situs porno”(http://www.perempuan.com/indonesia-duduki-peringkat-kedua-di-dunia-pengakses-situs-porno/ ). DiaksesKamis, 14 Juli 2011 pukul 19.45 WIB

5

melihat disini bahwa dalam masalah publik ini ada semacam adegan kejar mengejar konteks

media yang bersifat adaptif-inovatif.

Dua kata kunci yang menjadikan persebaran pornografi ini menjadi urgensi kebijakan

publik, yakni media dan dinamika. Kedua hal inilah yang sebenarnya menurut penulis harus

diperhatikan dengan seksama. Dinamika media yang adaptif dan inovatif, membuat

persebaran Pornografi yang ‘menumpang’ padanya membuat Pemerintah harus melakukan

metode-metode tertentu yang mampu mengejar konteks media yang menyesuaikan dengan

perubahan sosial. Ada poin-poin tertentu di dalam implementasi kebijakan publik ini yang

kemudian mengalami proses inkrementasi, yang nantinya akan dibahas dalam bab-bab

berikutnya. Ia mengalami proses pembelajaran, ketika melihat bahwa masalah yang dihadapi

sangatlah dinamis karena sifatnya yang sangat adaptif akan perubahan-perubahan, dan juga

tuntutan sosial dan politis, yakni media. Disamping lesson learned, metode lesson drawing

juga terlihat dalam tindak tanduk kebijakan itu sendiri. Bukan dalam bentuk substansial,

namun lebih kepada implementasi seperti pemblokiran situs yang mengandung konten

Pornografi.

Kebijakan publik dengan melakukan pemblokiran situs ini bukan hal yang baru di

dunia. Negara-negara lain pernah menerapkannya dengan porsi dan dalam tataran yang

berbeda, namun dalam tujuan yang sama, yakni mereduksi media dalam pencapaian suatu

hasil atas tujuan kebijakan yang berdasarkan pada keputusan yang politis tentunya. Beberapa

negara seperti Cina dan Vietnam contohnya, melakukan pemblokiran terhadap informasi

yang dapat mencemarkan nama negara. Sedangkan Thailand, melakukan pemblokiran

terhadap segala informasi yang berkaitan dengan penghinaan keluarga kerajaan.2

Menurut penulis, langkah inilah yang disebut sebagai policy-transfer. Kebijakan ini

2 Artikel Berjudul : “ Thailand Blokir 5.000 Laman Penghina Kerajaan” diakses dari :http://www.republika.co.id/berita/trendtek/internet/12/03/14/m0vpvr-thailand-blokir-5000-laman-penghina-kerajaan Diakses Senin, 4 April 2012 pukul 22.20 WIB

6

digerakkan oleh keinginan untuk mengadopsi kebijakan pornografi di negara lain; dan

kemungkinan tidak digerakkan oleh pendalam akan masalah pornografi itu sendiri. Sejak

awal perlu disadari bahwa kebijakan pemblokiran, menyimpan permasalahan, setidaknya

keraguan. Pemblokiran pornografi yang digerakkan oleh motif meniru kebijakan negara lain

ini menjadikan implementasi kebijakan ini merupakan arena menarik untuk mempelajari

keseksamaan proses lesson-drawing yang dilakukan oleh pemerintah.

Idealnya, para stakeholder mampu melakukan pembelajaran mengenai apa saja

perubahan serta kemajuan yang sudah dicapai dalam pelanggaran pornografi ini. Mereka

diharapkan ikut ke dalam titik bersarangnya masalah, karena kapasitas adaptif-inovatif yang

dimilikinya. Bayangkan, ketika implementasi kebijakan ini membutuhkan sumber daya yang

begitu banyak. Pemerintah ternyata tidak mampu mengatasi semuanya sendirian dan

dibutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk korporasi yang bergerak dalam jasa

telekomunikasi. Disini pemerintah harus belajar bekerjasama kelompok-kelompok civil

society yang memiliki concern di bidang ini. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah

pemerintah memiliki program kerja yang mau tidak mau, turut mengajak bagian di luar

pemerintah menjadi implementer program. Dan dari hal inilah kemudian pemerintah

seharusnya melakukan harmonisasi dengan mengajak aktor non negara tersebut sebagai sebua

implementer kebijakan.

B. Pertanyaan Penelitian

“Seberapa jauh pemerintah melakukan lesson drawing untuk mengoptimalkan

implementasi kebijakan pornografi dalam media Internet di Indonesia? ”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditulis untuk menunjukkan bahwa implementer kebijakan tidak dapat

7

bekerja dengan baik untuk mencapai misi kebijakan yang ditetapkan jika tidak secara aktif

melakukan pembelajaran mengenai watak permasalahan publik yang kemudian menjadi

watak dan konteks kebijakan yang diimplementasikannya.

D. Kerangka Teori: Peranan Lesson Drawing Dalam Implementasi Kebijakan

Peranan lesson drawing dapat dipahami, jika dipahami pula adanya pergeseran dalam

memaknai kebijakan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini ada baiknya dipaparkan

pergeseran konsep yang terjadi, sebelum dibicarakan lesson drawing itu sendiri.

D.1 Pergeseran Konsep Kebijakan

Sebelumnya kebijakan dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan. Dengan begitu,

implementasi adalah pelaksanaan secara patuh pada pemegang otoritas yang menentukan isi

kebijakan. Implementasi kebijakan menjadi sangat sulit ketika isi kebijakan ternyata sangat

sulit dipahami dan memiliki penampakan yang berubah-ubah. Kebijakan pornografi sangat

erat kaitannya dengan perubahan teknologi komunikasi, pemahaman secara kaku terhadap

rumusan yang telah ditetapkan secara yuridis pada gilirannya justru menjadi penghambat

keberhasilan implementasi itu sendiri.

Dalam mencari pergeseran ini, ada suatu usaha implementasi kebijakan yang disebut

policy oriented learning. Hal ini menjelaskan kondisi dimana para implementer kebijakan

berusaha untuk mencari pemahaman yang sejalan dalam mencapai objektifitas kebijakan.

Heclo (1974) mengemukakan bahwa proses ini dilakukan melalui pembelajaran behavioral

yang dihasilkan berdasarkan pengalaman. Pengalaman dijadikan pemahaman, dan

pemahaman kemudian menjadi dasar dalam proses kebijakan publik.

Berikut ini akan dipaparkan pergeseran makna kebijakan publik, dari pemahaman

administratif yang mengedepankan aspek kewenangan menjadi pemahaman pembelajaran

yang lebih mengedepankan penggunaan pengetahuan. Kebijakan sebagai sebuah hasil

8

diskursus para stakeholders dan penggunaan kekuasaan dapat dipetakan kedalam empat

pendekatan dalam studi kebijakan publik, yakni :

Kebijakan Publik sebagai Decision Making.Thomas Dye (1981) dalam pendekatan

ini berusaha memahami kebijakan publik sebagai apa-apa saja yang dilakukan, dan tidak

dilakukan oleh pemerintah. Pendekatan ini tidak begitu jelas dan komprehensif dalam

menelaah kebijakan publik sebagai sesuatu yang seharusnya mengikuti dinamika persoalan

publik, karena memfokuskan diri terhadap kebijakan yang hadir sebagai sebuah bentuk hal

yang hadir semata, dan tidak ada eksplanasi bentuk tentang hal yang hadir tersebut.

Kebijakan Publik sebagai rangkaian fase kerja para pejabat publik. Dua pemikir

besar, Woll (1966) dan Quade (1975) memiliki argumen yang sama dalam memahami

kebijakan publik sebagai sebuah aktivitas pemerintah. Aktivitas ini hadir dalam rangkaian

fase kerja pemerintah dalam berusaha mengatasi persoalan publik dan menghasilkan sebuah

implikasi. Implikasi tersebut dinilai oleh Anderson sebagai sebuah fase. Sedangkan, menurut

Woll implikasi tersebut tidak terlalu menonjol, yang penting ialah aktivitas pemerintah yang

bersifat langsung, maupun tidak langsung.

Kebijakan Publik sebagai sebuah intervensi sosio-kultural untuk mengatasi

persoalan publik. Charles O’Jones (1977) mendefinisikan kebijakan publik kedalam 2

proses, yakni proses penyaluran persoalan publik, refleksi mengenai masyarakat bereaksi

terhadap masalah-masalah terhadap kebijakan negara. Ada bentuk intervensi negara disini,

karena refleksi akan muncul ketika negara berusaha melakukan intervensi atas hal yang

dinyatakan sebagai persoalan publik.

Kebijakan publik sebagai sebuah bentuk interaksi antara negara dan rakyat.

Pendekatan ini berusaha mendefinisikan kebijakan publik dalam tataran yang demokratis.

9

Saluran kepentingan rakyat dan negara berusaha dinegosiasikan dalam bentuk interaksi yang

membuahkan hasil berupa kebijakan publik. Easton (1969) berusaha mendefinisikan

kebijakan publik sebagai bentuk alokasi kekuasaan negara untuk masyarakat yang bersifat

mengikat. Tindakan ini berdasarkan kepada alokasi nilai yang ada di masyarakat.

Dari keempat pendekatan diatas, dapat kita cermati bahwa kebijakan publik dinilai

sebagai sebuah bentuk, tindakan, intervensi, dan juga bentuk interaksi antara negara dengan

rakyat. Lebih tepatnya, adalah sebagai bentuk legitimasi kekuasaan dimana kebijakan

menjadi salah satu instrumen kekuasaan yang bisa mengatur publik. Akan tetapi, pergeseran

terjadi ketika konsep kebijakan berubah tidak lagi menjadi instrumen kekuasaan namun lebih

kepada proses ilmu pengetahuan yang lebih dikedepankan dalam penyusunan kebijakan

publik. Kebijakan Pornografi ialah salah satunya, dimana kebijakan ini memerlukan

pembacaan terhadap watak masalah yang dihadapinya. Watak pornografi seperti yang

dipaparkan dalam sub-bab sebelumnya yakni memiliki metamorfosa dalam persebarannya

tidak cukup jika dikaji dalam bentuk legitimasi kekuasaan semata. Empat pendekatan tersebut

tidak berusaha menjawab bahwa alokasi nilai dan kebutuhan masyarakat membutuhkan

sebuah dinamika, sebagaimana yang terjadi dalam nilai-nilai masyarakat itu sendiri.

Memang, pendekatan interaksi menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat dapat

terakomodasi oleh kebijakan publik melalui interaksi yang terjadi. Akan tetapi, diperlukan

sebuah pendekatan yang lebih mendetail lagi disamping memperhatikan kebijakan hanya

sebagai sebuah bentuk yang timbul atas interaksi.

Kebijakan publik timbul sebagai sebuah proses pembelajaran atas persoalan-persoalan

publik yang memiliki dinamika seiring dengan berkembangnya juga nilai-nilai yang

berkembang di masyarakat. Hal inilah yang kemudian luput dari studi kebijakan publik yang

lebih mengedepankan kebijakan publik sebagai sebuah produk pemerintah. Disamping

mempelajari dinamika masyarakat, pemerintah pun memiliki kemampuan untuk mempelajari

10

kebijakan, serta intervensi di masa lalu. Hal ini mempengaruhi terhadap pembuatan kebijakan

berikutnya sebagai sebuah produk negara yang mampu mengakomodasi persoalan publik,

tanpa harus mengulang kesalahan, maupun kekurangan di masa lalu, serta bersifat adaptif

terhadap persoalan kekinian.

Dalam teori sistem, David Easton mengatakan bahwa kebijakan publik terlaksana

dalam tiga tahap besar, yakni input, proses, dan output. Dalam tahapan-tahapan ini terjadi

pula tahapan-tahapan dalam skala yang lebih kecil, seperti monitoring, analisis, evaluasi

awal, dan lain-lain.

Sebelum kebijakan publik dibentuk, ada proses pematangan mengenai agenda setting di

dalamnya. Agenda setting ini masuk ke dalam masalah yang paling krusial dalam pembuatan

kebjiakan publik. Agenda setting bertujuan untuk mendiskusikan mengenai isu yang akan

diangkat ke dalam kebijakan publik. Urgensitas isu sangatlah penting, dimana akan terjadi

diskusi, dan perdebatan-perdebatan mengenai prioritas utama atas terjadinya sebuah

kebijakan publik. Isu mengenai kebijakan ini termasuk sebagai produk atas terjadinya

perdebatan, baik mengenai perumusan, maupun penilaian atas sebuah masalah (Dunn, 1990 :

24). Di dalam proses inilah kemudian diperlukan learning yang nantinya bisa digunakan

dalam membaca watak kebijakan yang berusaha membaca permasalahan publik yang terus

berkembang.

Kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap:

Penyusunan Agenda. Tahap pertama ialah penyusunan agenda. Dalam penyusunan

agenda ini kemudian ada sebuah proses dimana memainkan urgensitas atas sebuah isu,

dimana isu ini kmudian nantinya akan ditentukan menjadi sebuah isu yang penting atau tidak

nantinya. Isu sendiri memiliki banyak kriteria, dan yang bisa dijadikan agenda kebijakan

publik ialah isu yang elah mencapai titik kritis, isu yang telah mencapai tingkat partikularitas,

menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak, memiliki dampak luas,

11

mempermasalahkan kekuasaan dalam masyarakat, dan menyangkut persoalan orang banyak.

Suatu isu tidak bisa terlepas dari masalah konteks ruang dan waktu. Konteks sebuah isu

memiliki sebuah urgensitas haruslah memiliki sebuah nilai kekinian, dan kiranya juga mampu

menjawab permasalahan kekinian dan tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Dalam

penyusunan agenda ini diperlukan sebuah aspek pembelajaran atas kebijakan publik yang

sudah dimiliki sebelumnya, baik formulasi, maupun instrumen dan implementasi kebijakan

yang sudah dilakukan.

Formulasi Kebijakan. Yang kedua ialah formulasi kebijakan. Formulasi kebijakan

ialah mengenai pembahasan mengenai langkah-langkah yang terbaik yang akan ditempuh

dalam kebijakan publik. Tahapan ini juga menjelaskan betapa pentingnya pembelajaran atas

kebijakan yang pernah ditentukan, mengingat kebijakan publik memiliki sebuah tantangan

untuk menyelesaikan suatu masalah, dan juga sebagai pertaruhan untuk tidak melakukan

kesalahan dengan menutup kekurangan-kekurangan yang terjadi di dalam formulasi

kebijakan sebelumnya.

Adopsi Kebijakan. Adopsi kebijakan ialah sebuah konsensus yang lahir atas

kesepakatan dari sekian banyak alternative yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan.

Kebijakan yang diambil berdasarkan konsensus ini diadopsi dengan dukungan mayoritas

legislatif, direktur lembaga, atau keputusan peradilan.

Implementasi Kebijakan. Yang berikutnya ialah implementasi kebijakan.

Implementasi adalah mengenai penentuan tujuan dan tindakan dalam kebijakan publik

(Parsons, 2006: 466), langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan, dan tidak dilakukan

dalam kebijakan. Implementasi membutuhkan monitoring atau pengawasan. Pengawasan ini

membutuhkan banyak tenaga dan kerjasama yang solid antara masyarakat selaku

implementor, dan pemerintah selaku implementator atau pelaku. Oleh karena itu banyak

terjadi variasi-variasi di dalamnya, karena implementasi juga sebagai sebuah pengembangan

12

atas program kontrol, yang bertujuan meminimalisir konflik dari tujuan awal (Parsons, 2006 :

468). Implementasi kebijakan ibarat kaki dari sebuah tubuh kebijakan. Dengan implementasi,

sebuah kebijakan tersebut mampu berjalan. Namun, diperlukan sebuah kehati-hatian dalam

melakukan implementasi, karena diperlukan harmonisasi antara konten kebijakan, dengan

konteks masyarakat. Disamping itu diperlukan juga penguatan pembelajaran dalam

implementasi. Hal ini diperlukan karena implementasi bersentuhan langsung dengan para

penerima kebijakan yang memiliki dinamika tersendiri. Proses learning dapat dilakukan

dengan cara menganalisis watak kebijakan dalam konten implementasinya, dan juga konteks

dimana kebijakan tersebut diimplementasikan.

Evaluasi Kebijakan. Sedangkan yang terakhir adalah evaluasi. Evaluasi seringkali

dinilai berdasarkan hasil akhir dari sebuah proses implementasi yang panjang. Namun,

evaluasi pun bisa dikerjakan bersamaan ketika proses kebijakan publik sedang berjalan dalam

masa penerapannya. Hal inilah yang kemudian menjadi sebuah proses belajar atas kebijakan

publik. Oleh karena itu proses belajar juga menjadi salah satu titik kunci atas sebuah

kebijakan publik.

Gambar 1.1 : Siklus Kebijakan

Sumber: (Winarno, 2004: 28)

13

Fokus pembahasan penelitian ini pada dasarnya ialah mengkaji kebijakan pada tahap

implementasi, yaitu implementasi kebijakan pemblokiran konten pornografi di Internet.

Implementasi adalah tahapan kebijakan dimana di dalamnya memiliki bentuk bernama

program kebijakan. Rose (2005) mengutarakan mengenai program, dimana di dalamnya

adalah kombinasi dari software dan hardware yang memiliki urgensi tinggi atas keberhasilan

suatu kebijakan. Hardware dalam suatu program, ialah struktur yang sudah tertata, serta

menunjang program dalam bentuk fisik seperti, uang, personil, dan sumber daya

organisasional yang dibutuhkan dalam peluncuran suatu program. Inilah yang kemudian

dikenal sebagai implementer. Software di indikasi kan dalam bentuk pelatihan dari para

implementer terhadap permasalahan baru yang dihadapi oleh program kebijakan tersebut.

Dalam poin software tidak hanya terjadi dalam peningkatan dalam sisi legal-formal semata,

namun juga terjadi peningkatan prosedur informal dalam rangka mengintegrasikan

implementasi kebijakan sebagai bentuk penyempurnaan kebijakan. Proses learning yang

dilakukan oleh para implementer sebagai salah satu subjek atas watak kebijakan,

mengindikasikan bahwa memang terjadi learning process dalam imple\mentasi kebijakan

publik.

D.2 Watak Kebijakan Konten Pornografi

Kebijakan yang memiliki watak yang berbeda mengharuskan adanya proses

implementasi yang berbeda pula. Kebijakan pornografi memiliki watak tertentu, dan

mengharuskan implementor belajar hal-hal penting agar dapat mengimplementasikan dengan

baik. Bennett dan Howlett (1992) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran dalam

lesson-learned dan lesson drawing dalam kebijakan publik memiliki signifikansi yang cukup

serius, namun dalam konseptualisasinya tidak bisa memberikan perlindungan menyeluruh

14

dalam hal definisi kebijakan. Mereka melakukan formulasi tiga poin mendasar mengenai

pendekatan pembelajaran, yaitu subjek dan objek kebijakan, serta kontribusi yang diberikan

dalam pendekatan pembelajaran. Ketiganya adalah perspektif dalam memandang watak

kebijakan.

Kebijakan pornografi berusaha membaca watak pornografi itu sendiri sebagai objek

dari pendekatan learning yang dapat dibagi ke dalam dua hal. Yang pertama ialah watak

pornografi melalui media nya, dan yang kedua ialah watak pornografi sebagai masalah publik

yang hadir dalam persoalan moral. Hal ini menarik, dimana biasanya kebanyakan kebijakan

publik berbicara mengenai masalah-masalah yang bersifat fisik, seperti pembangunan,

maupun masalah strukturasi dalam pengaturan publik. Para implementor diupayakan untuk

bisa menangani masalah pornografi yang sejatinya adalah masalah moral, namun kemudian

kebijakannya dapat diimplementasikan dalam hal yang bersifat physical.

Watak pornografi dalam media nya mengalami banyak perubahan dalam berbagai

macam media. Sebagaimana yang dipaparkan di poin awal bab ini, bahwa terjadi sebuah

“mediamorfosis” yang juga menjadikan pornografi memiliki dinamika dalam cara

persebarannya. Banyak perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, dimana

kemudian konten Pornografi memiliki banyak keragaman jenis, dan media nya. Pornografi

dapat dibagi ke dalam banyak jenis selain dalam format audio-visual, maupun teks, di

antaranya adalah sex discussion, live sex act, arrange sexual activities from computer scenes(

Rohas Nagpal, 2008: 34). Perbedaan jenis konten ini melahirkan diversifikasi produk dan

jenis pornografi yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat melalui berbagai jenis media, dan

juga sifatnya. Sifat pornografi yang beragam ditambah dengan bantuan teknologi multimedia,

kini pornografi tidak hanya berjalan sebagai sebuah informasi yang berjalan satu arah, namun

juga dua arah. Rohas Nagpal menyebut salah satu konten pornografi dua arah tersebut dengan

istilah live sex chat, obrolan sexualitas langsung, dimana para penikmat pornografi dapat

15

berinteraksi langsung dengan “lawan tanding” nya secara audio, visual, maupun audio visual.

Beberapa modus live sex chat di Indonesia sendiri sudah berlangsung cukup lama pada awal

tahun 2000-an, dimana banyak majalah panas menyediakan slot iklan untuk telepon yang

akan dilayani dengan wanita, dengan tarif premium.

Media pornografi yang variatif ini terjadi tidak hanya di negara-negara maju saja.

Negara dunia ketiga seperti Thailand, India, dan beberapa negara lainnya pun mengalami

masalah media pornografi ini. Negara- negara inilah yang kemudian menjadi subjek daripada

proses learning, dimana subjek di dalamnya termasuk masyarakat dan juga implementer dari

kebijakan pornografi itu sendiri. Konten yang beragam sebagai objek atas watak kebijakan

yang dihadapkan pada masyarakat beserta nilai-nilai di dalamnya sebagai subjek watak

kebijakan, melahirkan semacam probabilitas persamaan sikap antara negara satu dengan yang

lainnya. Ada peran pembelajaran yang bisa dilakukan dengan megadopsi kebijakan

Pornografi ini dengan meniru, atau melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh

negara maupun institusi lainnya. Ada watak yang berbeda dalam memandang pornografi,

yang berimplikasi pada watak kebijakan pornografi.

Seperti yang terjadi di beberapa negara, negara-negara timur tengah misalnya yang

berbasis mayoritas agama islam memiliki perbedaan pemahaman mengenai pornografi

dipandang dari segi aurat3, yang menjadi salah satu tolak ukur sensualitas dalam hukum

islam yang dianut di Arab Saudi. Arab Saudi sendiri memiliki diferensiasi antara pemahaman

erotis dan pornografi. Kedua hal yang kedengarannya serupa yakni masih berkutat pada poin

sexualitas manusia namun memiliki pandangan yang berbeda mengenai nilai atas sebuah

3Aurat adalah pemahaman mengenai bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang dengan jenis kelaminyang berbeda dan bukan mukhrim, yakni orang yang bukan merupakan keluarganya, serta pasangan lawan jenisnya yang sah melalui jalur pernikahan. Konsep aurat diperkenalkan sejak era kepemimpinan Muhammad dalammembangun pondasi hukum Islam yang kini diterapkan di beberapa Negara di timur tengah, khususnya ArabSaudi.

16

materi. Menurut Adil Mustafa Ahmad, nilai erotis suatu materi di Arab disamakan dengan

nilai pornografi yang hanya sebatas berkutat pada insting dasar lelaki semata (British Journal

of Aesthetics, Vol. 34: 278). Pemahaman yang berbeda ini diterapkan di Uni Emirat Arab,

dimana negara tersebut kini sedang terjadi westernisasi besar-besaran dan juga semakin dekat

dengan nilai-nilai liberal dalam rangka menyambut kesiapannya dalam hubungan dengan

dunia internasional, termasuk barat.

Hal yang berbeda dengan Arab, di Asia justru terjadi diferensiasi mengenai

pemberlakukan aturan ketat mengenai praktek-praktek pornografi dan eksotisme terselubung.

Salah satu contohnya yakni di China, seorang wanita ditangkap pada tahun 2004 karena telah

melakukan striptease show di internet. Dalam usaha penanganan pornografi, negeri tirai

bambu ini berhasil mematikan sebanyak 700 website, dan menangkap sebanyak 220 orang

yang terlibat dalam usaha xxx show ini. Salah satu statement pemerintah China mengenai

pornografi yang cukup menjadi pecut utama sebagai pemberantasan pornografi internet di

China ialah “Porn severely damaged social style, polluted the social environment, and

harmed the physical and psychological health of young people.”4

India tidak memiliki definisi yang pasti mengenai kategorisasi suatu konten dianggap

sebagai konten pornografi. Akan tetapi, peredaran dan penyebaran konten pornografi Internet

di India sudah ditetapkan melalui undang-undang bernama IT Act. Hal yang berkaitan

dengan pornography ini sudah jelas termaktub dalam Section 67 IT Act yang berbunyi :

“Whoever publishes or transmits or causes to be published in the electronicform, any material which is lascivious or appeals to the prurient interest or if itseffect is such as to tend to deprave and corrupt persons who are likely, having regardto all relevant circumstances, to read, see or hear the matter contained or embodiedin it, shall be punished on first conviction with imprisonment of either descriptionfor a term which may extend to five years and with fine which may extend to onelakh rupees and in the event of a second or subsequent conviction withimprisonment of either description for a term which may extend to ten years and also

4Berita Berjudul : “China jails woman in porn crackdown”http://www.theregister.co.uk/2004/08/16/china_jail_xxx diakses 9 Februari 2012 pukul 17.25 WIB

17

with fine which may extend to two lakh rupees.”-(IT ACT India, Section 67).

Dari perbedaan cara pandang pornografi di tiap negara, ada satu garis yang bisa ditarik

persamaannya yaitu watak pornografi sebagai objek yang dilarang karena mengalami

benturan dengan nilai masyarakat sebagai subjek kebijakan, dan berusaha untuk dikendalikan

dalam metode media persebarannya. Pornografi tidak bisa dibendung karena ia bercampur

dengan nilai-nilai yang lain dan juga merupakan sebuah persoalan yang sifatnya personal.

Dalam pembacaan subjek, objek, dan manfaat atau kontribusi atas proses learning terhadap

watak kebijakan, dapat kita lihat bahwa pornografi sebagai objek memiliki dampak yang

berbeda terhadap diferensiasi subjek. Hal ini terkait dengan nilai pada masing-masing kultur

negara sebagai subjek atas pembacaan watak kebijakan. Kontribusi atas proses learning

dapat dirasakan, ketika proses learning mampu membaca negara sebagai subjek kebijakan

dan mengalami benturan dengan objek kebijakan, maka ada suatu nilai perubahan yang bisa

dirangkai secara utuh tanpa harus kehilangan identitas subjek, atau pun kalah atas kesalahan

pembacaan watak pornografi sebagai objek atas watak kebijakan.

D.3 Sukses Implementasi Kebijakan Publik: Dimensi Pembelajaran Analisis Watak

Kebijakan

Studi ini akan mengacu pada masalah, dan pada saat yang sama memodifikasi model

yang populer digunakan oleh Grindle (1980). Modifikasi dilakukan untuk megedepankan

aspek learning yang tidak dengan sengaja dikedepankan oleh dia. Menurut Grindle,

keberhasilan implementasi kebijakan publik ditentukan oleh dasar implementasi itu sendiri

yang mengacu pada content of policy dan context of implementation. Content of Policy

mengacu pada muatan-muatan yang terdapat dalam kebijakan yang dihasilkan melalui

perumusan itu sendiri. Sedangkan Context of Implementation adalah kondisi lingkungan di

mana kebijakan tersebut diimplementasikan, termasuk di dalamnya dinamika-dinamika yang

18

ada dalam ruang kerja kebijakan tersebut. Dinamika inilah yang kemudian menjadi bahan

pembelajaran para perumus kebijakan dalam menentukan jenis implementasi kebijakan yang

dilakukan. Proses inkrementasi kebijakan bisa menjadi salah satu hal yang dilakukan dalam

menanggapi dinamika yang terjadi dalam masyarakat dan berbagai perubahan lainnya yang

terjadi.

Pada sub-bab sebelumnya sudah dijelaskan mengenai watak kebijakan pornografi yang

didasarkan pada 3 aspek learning yakni, subjek, objek, dan manfaat learning process dalam

kebijakan tersebut. Hal ini kiranya sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Grindle

mengenai content of policy dan context of implementation. Content of policy sejalan dengan

learning pada pembacaan watak objek kebijakan, dimana pada pembacaan watak, objek

kebijakan dikenal berdasarkan nilainya. Hal ini diungkap secara tidak sengaja oleh Grindle

dalam poin Interest Affected, dimana nilai sebuah objek kebijakan mempengaruhi

kepentingan tertentu. Sedangkan dari sisi pembacaan subjek kebijakan juga terkait dengan

poin konten implementasi, dimana di dalamnya terdapat implementer program, dan sumber

daya pendukung implementasi kebijakan, yang sesuai juga dengan aspek hardware dalam

program kebijakan sebagai produk learning. Tidak hanya berkaitan dengan sumberdaya,

proses learning sebagai pembacaan dalam watak kebijakan juga berusaha mengilhami context

of implementation sebagai subjek atas watak kebijakan, dimana di dalamnya terdapat institusi

dan karakteristik rezim, serta aktor-aktor yang terlibat dalam proses implementasi.

Paparan diatas adalah proses lesson learned, dimana pembelajaran yang dilakukan pada

watak kebijakan berdasarkan implementasi menjadi sebuah pijakan awal dalam melakuan

lesson drawing ketika melakukan implementasi kebijakan dalam bentuk program.

Berikut adalah penjabaran mengenai content of policy dan context of implementation:

1. Content of Policy adalah :

a. Interest Affected

19

Interest Affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu

implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam

pelaksanaannya memang melibatkan banyak kepentingan. Ada banyak kepentingan dalam

suatu kebijakan, dan memerlukan suatu proses pembelajaran dalam mencari kepentingan-

kepentingan siapa saja kah yang kemudian terlibat dalam proses implementasi kebijakan

publik. Suatu masalah publik seperti Pornografi yang mengalami metamorfosis, memberikan

implikasi terhadap kepentingan aktor-aktor baru yang tentunya menjadikan implementasi

kebijakan menjadi lebih kompleks dan melibatkan banyak implementor di beberapa sektor.

Tidak hanya pemerintah dan masyarakat, namun juga media dan para pengusaha di bidang

media.

b. Type of Benefits

Content of policy menunjukkan serta menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus

terdapat beberapa manfaat yang memberikan dampak positif yang dihasilkan oleh

pengimplementasian kebijakan yang dilaksanakan. Agar implementasi bisa berjalan dengan

optimal, pembelajaran harus dilakukan agar manfaat kebijakan bisa lebih baik dan optimal

sehingga kebijakan bisa memberikan manfaat yang sesuai dengan yang direncanakan, serta

siap menghadapi perubahan masalah publik sehingga bisa meminimalisir inefektifitas

kebijakan.

c. Extent of Change Envision

Setiap kebijakan memiliki derajat perubahan yang ingin dicapai. Poin ini berusaha

menjelaskan mengenai seberapa besar perubahan yang menjadi tujuan pencapaian atas

implementasi kebijakan. Sama seperti manfaat kebijakan, derajat perubahan yang ingin

dicapai juga mengalami proses pembelajaran di mana di dalamnya perubahan dimaknai

sebagai hasil kebijakan. Dalam implementasi kebijakan, proses pembelajaran dilakukan

ketika kadar perubahan yang ingin dicapai berbanding lurus dengan dinamika dalam masalah

20

publik tersebut.

d. Site of Decision Making

Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan yang penting dalam

pelaksanaan kebijakan. Poin ini menjelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu

kebijakan yang diimplementasikan, misalnya dengan instrumentasi kebijakan. Dalam

kebijakan pemblokiran konten pornografi, instrument kebijakan memegang andil yang cukup

kuat karena kebijakan ini berupaya mengatur media. Dan sirkulasi media itu pun memerlukan

pengawasan yang membutuhkan alokasi sumber daya tertentu. Sirkulasi media memerlukan

pembelajaran, dimana media juga mengalami perkembangan dalam hal persebarannya

sebagai implikasi perkembangan teknologi. Perkembangan ini tentunya menjadi sebuah

tantangan bagi kebijakan dalam melakukan implementasi yang benar agar tepat sasaran

sesuai hasil yang ingin dicapai.

e. Program Implementer

Dalam implementasi kebijakan dibutuhkan pelaksana kebijakan yang kompeten dan memiliki

kapabilitas yang mumpuni demi tercapainya tujuan kebijakan. Terkait dengan sumber daya,

kebijakan pemblokiran konten pornografi membutuhkan sumber daya implementer program

yang memiliki kapabilitas mengenai teknologi dan juga memiliki ruang gerak dalam hal

teknologi informasi. Konten kebijakan yang hadir sebagai sebuah batasan atas pornografi,

membutuhkan sebuah proses belajar dari para implementer program dalam

mengimplementasikan kebijakan tersebut. Pornografi yang menyebar secara sporadis melalui

Internet menuntut program Implementer harus memiliki kapabilitas mengenai aksesibilitas

informasi dan teknologi informasi dalam rangka menguatkan implementasi kebijakan.

Pembelajaran juga dilakukan tidak hanya dalam kapabilitasnya dalam melakukan

implementasi, namun juga mampu membaca pergerakan masalah yang terus berkembang.

21

f. Resources Committed

Implementasi kebijakan harus didukung sumber daya-sumber daya yang mampu mendukung

pelaksanaan kebijakan secara penuh. Masalah yang kian berkembang seperti Pornografi,

memerlukan pembelajaran sumber daya agar implementasi berjalan optimal. Hal ini harus

dipahami ketika ada perkembangan dalam masalah publik, harus ada pemenuhan sumber

daya yang lebih jelas dalam membaca watak kebijakan yang berusaha menanggulangi

masalah publik yang kian berkembang.

2. Context of Implementation adalah :

a. Power. Interest, and Strategy of Actor Involved

Kekuatan, kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh aktor pelaksana dan

perumus kebijakan yang terlibat memiliki peran yang penting dalam implementasi kebijakan.

Penelitian ini akan menguraikan bagaimana aktor-aktor yang terlibat dan strategi mereka

dalam tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan ini. Termasuk latar belakang ideology

politik perumus kebijakan yang juga memiliki pengaruh besar terhadap munculnya kebijakan

pemblokiran konten pornografi ini. Ada pembacaan konteks implementasi yang harus

dilakukan sebagai bahan pembelajaran. Peta politik yang dinamis, membuat konteks

kekuasaan dan kepentingan juga memiliki dinamika tersendiri. Hal ini lah yang kemudian

menjadi bahan pembelajaran bagi implementasi kebijakan.

b. Institution and Regime Characteristic

Karakter institusi dan rezim disini lebih menjelaskan mengenai lingkungan dimana suatu

kebijakan juga dipengaruhi oleh lingkungan dimana kebijakan itu diimplementasikan. Faktor

karakteristik lembaga juga akan turut menunjang tingkat keberhasilan suatu kebijakan.

Karakteristik lembaga yang merumuskan kebijakan memiliki tingkat pengaruh dan posisi

tawar yang cukup tinggi. Institusi dan karakter rezim melahirkan sebuah arena baru dalam

22

implementasi kebijakan terkait dengan dinamika atmosfir politik yang hadir dalam rezim dan

institusi tersebut, pembelajaran adalah suatu hal yang menjadi perlu dalam membaca karakter

tiap rezim dan institusi yang memiliki peranan dalam konteks implementasi kebijakan.

c. Compliance and Responsiveness

Kepatuhan dan respon dari para pelaksana kebijakan merupakan hal penting yang juga

mempengaruhi keberhasilan kebijakan. Tingkat kepatuhan ini kemudian dapat dipengaruhi

dengan sebuah bentuk represifitas dalam koridor instrumentasi kebijakan, seperti dengan

membatasi ruang gerak perangkat elektronik melalui saluran yang dimiliki dengan tujuan

memblokir konten pornografi. Dalam konteks implementasi kebijakan, kepatuhan dan respon

dari para implementer memiliki dinamika tersendiri terkait dengan kondisi di lapangan. Hal

ini dijadikan pembelajaran bagi perumusan kebijakan publik berikutnya dalam membaca

respon para implementer terkait dengan sumberdaya dan juga kepentingan mereka.

Gambar 1.2 : Implementasi Kebijakan Grindle (1980:11)

23

Dalam analisis kebijakan, menurut Hogwood dan Gunn (1989) ada dua perspektif

umum yang dapat digunakan, yakni dengan menggunakan perspektif top-down dan bottom-

up. Kemudian mengacu kepada dua perspektif tersebut, analisis juga bisa dilakukan dengan

pendekatan yang lebih terstruktur lagi. Dalam penelitian ini, Penulis berusaha menggunakan

pendekatan secara top-down dengan menggunakan perspektif politik. Hal ini diyakini sebagai

cara yang tepat karena implementasi yang dilakukan dalam kebijakan pornografi ini

berlangsung dan sudah direncanakan, seperti penggunaan instrumen kebijakan yang berupa

program, dan juga pola kekuasaan antar organisasi.

Dengan menggunakan pendekatan top-down dalam penggunaan perspektif politik,

pembacaan learning pun akan semakin lebih terlihat. Dalam perspektif politik ini akan

dimasukkan lagi ke dalam kaidah governance. Perspektif ini melibatkan banyak perubahan

dalam bentuk yang faktual, berbanding terbalik dengan kebanyakan penulis literatur politik

justru membatasi fokus kajian lebih pada kaidah desain institusional dan proses

pemerintahan. Perubahan yang dinilai sebagai wujud ekstraksi atas implementasi kebijakan

diamati dalam cara yang dominan antara relasi negara dan masyarakat yang dipahami,

ditindaklanjuti, dan datang sebagai perubahan dalam lembaga-lembaga di ranah masyarakat,

dan politik (Grin and Loeber, 2007). Inilah, fungsi learning sebenarnya.

E. Definisi Konseptual

E. 1. Konten Pornografi

Adalah konten yang memiliki muatan materi seksualitas yang dibuat oleh manusia

dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,

kartun, syair, percakapn, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai

bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan

hasrat seksualitas (sesuai dengan yang tercantum dalam UU Pornografi Pasal 1 Ayat 2).

24

Konten Pornografi terdapat dalam suatu wadah bernama media, dan disalurkan oleh media

yang kemudian dapat diakses.

E. 2. Implementasi Kebijakan

Adalah tahapan kebijakan yang ketiga setelah penyusunan agenda dan formulasi

kebijakan. Implementasi kebijakan adalah a delivery policy system, yakni bermakna

mengantarkan kebijakan itu dari sebuah aturan tertulis, menjadi sebuah perbuatan yang

dilakukan oleh pemerintah, yang juga bekerja sama dengan berbagai pihak dan disebut

sebagai implementer. Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh dua poin

mendasar, yakni yang pertama adalah content of policy yang mengacu pada muatan-muatan

yang terdapat dalam kebijakan yang dihasilkan. Dalam content of policy terdapat beberapa

hal yang pada intinya berisikan tentang kebijakan itu sendiri, yakni kepentingan, tujuan dan

capaian kebijakan, implementer program, termasuk di dalamnya sumber daya yang

dikerahkan dalam rangka implementasi kebijakan. Sedangkan yang kedua ialah context of

implementation yang mengacu pada kondisi-kondisi lingkungan dimana kebijakan itu

diterapkan. Kondisi-kondisi ini tidak hanya terpaku pada kondisi pemerintahan, seperti rezim,

namun juga kondisi masyarakat yang dinamis sehingga ada dinamika di dalam kebijakan itu

sendiri dalam menghasilkan siklus kebijakan yang baru. Kedua hal ini memiliki keterkaitan

dalam hal implementasi yang memerlukan sebuah kapabilitas atas implementer kebijakan

dalam mengaitkan kedua hal tersebut. Dalam implementasi kebijakan secara tidak langsung

terjadi sebuah proses learning yang didasari oleh beberapa faktor. Pembelajaran ini akan

bermanfaat dimana nantinya akan berfungsi sebagai sebuah pijakan awal dalam memulai

langkah implementasi kebijakan berikutnya

E. 3. Lesson Drawing

Adalah sebuah proses pembelajaran terhadap suatu masalah dengan menelaah dan

25

melihat proses penyelesaian masalah yang pernah dilakukan oleh orang lain, yang juga

mengalami permasalahan yang sama. Lesson drawing merupakan sebuah proses yang lahir

setelah dilakukannya proses lesson learned, dan juga bisa bersamaan, dimana proses lesson

learned melahirkan suatu pemahaman atas watak suatu permasalahan, termasuk

permasalahan publik. Lesson drawing lahir dalam bentuk ide yang lebih aplikatif, tidak

terbatas pada sebuah bentuk nilai yang substantif dan lebih kepada suatu bentuk program

yang digunakan sebagai produk implementasi kebijakan.

F. Definisi Operasional

F. 1. Konten Pornografi

Konten pornografi dilihat dengan menggunakan indikator:

1. Muatan materi seksualitas

2. Materi seksualitas berupa gambar, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh,

bentuk pesan Komunikasi.

F. 2. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan akan dilihat menggunakan indikator:

1. Program yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan yang telah disepakati

atau yang telah dibuat.

2. Memiliki muatan kebijakan, dan tujuan pencapaian kebijakan, serta motif pembelajaran.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian

kualitatif adalah sebuah jenis penelitian dimana prosedur penelitian menghasilkan data yang

deskriptif berupa kata-kata, baik lisan, maupun tulisan dari orang-orang serta perilaku yang

26

dapat diamati. Data yang didapat tidak berupa angka, namun lebih kepada data yang bersifat

non-numerik, seperti narasi, deskripsi, dokumen tertulis, termasuk gambar dan skema.

(Bogdan and Taylor, dalam Moleong, 2007).

Penelitian deskriptif sendiri adalah sebuah metode yang akan menggambarkan serta

menginterpretasikan objek sesuai dengan apa adanya (Best, 1982: 119). Penelitian hubungan

antar variable, menguji hipotesis, dan pengembangan teori yang memiliki validitas secara

universal akan dapat dilakukan dalam metode ini (West, 1982).

Studi kasus juga dipilih karena keadaan ini terjadi nyata di kehidupan sehari-hari, serta

penelitian ini akan dilihat seluruh unit secara total. Selain itu penelitian ini berdasarkan

kepada eksplanasi peneliti atas sebuah masalah dengan menggunakan bentuk pertanyaan

How, dimana menurut Yin (2005:9) penelitaian studi kasus lazimnya menggunakan basis

pertanyaan mengenai “bagaimana” (how), dan “mengapa” (why) atas sebuah penelitian.

Fokus penelitian pada studi kasus biasanya mengenai peristiwa kontemporer. Dalam

penelitian ini, peneliti memberikan batasan pada konten pornografi yang beredar di internet,

dan dapat diakses di Indonesia.

Penelitian ini mengambil unit analisis yakni kebijakan yang dikeluarkan oleh

menkominfo, yang menyangkut mengenai penggunaan Internet dan juga pornografi. Ada pun

mengenai implementasi kebijakan, tidak hanya dianalisis berdasarkan kinerja pihak

pemerintah saja, namun bagaimana pemerintah mampu bersikap dan bekerjasama dengan

banyak elemen, termasuk elemen non- pemerintah.

Sumber data dalam penelitian ini akan berisi data sekunder yang berasal dari media,

literatur, serta menggunakan data yang berbasis hasil opini berupa tulisan yang

terdokumentasikan. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data-data yang dibutuhkan

dengan cara Dokumentasi Literatur dan Berita. Dokumentasi dilakukan dengan mempelajari

dokumen-dokumen yang diperoleh dari berbagai media, seperti: majalah, koran, situs-situs

27

internet dan berbagai sumber lainnya. Data yang diperoleh kemudian digunakan untuk

melengkapi data yang diperoleh dari hasil wawancara, sehingga hasil penelitian bisa

dipertanggungjawabkan.

Teknik analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan mengkolaborasi

dokumentasi, literatur, serta regulasi pemerintah yang telah dilakukan serta dijalankan. Data

kemudian akan diinterpreasikan dengan kerangka konseptual yang sebelumnya sudah disusun

dan kemudian akan ditarik kepada sebuah kajian yang lebih mendalam lagi dalam menelaah

kapasitas Negara dalam implementasi kebijakan Internet mengenai Pornografi Internet.

Penulisan hasil penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa bab, sebagai berikut. Bab kedua

akan berisi mengenai pornografi dan perkembangannya melalui media internet di Indonesia,

serta respon pemerintah dalam menanggulangi peredaran konten pornografi di Indonesia.

Dalam Bab ini nantinya akan ada penjelasan pembelajaran dalam dua linimasa, dimana

kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai implementer terpengaruh oleh

karakteristik rezim. Tak hanya pemaparan dari pemerintah sebagai implementer, penulis juga

memaparkan dua implementer kebijakan lainnya, yakni korporasi, dan juga civil society yang

masing-masing dipaparkan mengenai pembelajaran apa yang telah dilakukan untuk

melakukan implementasi kebijakan Pornografi ketika mulai merambah dunia Internet.

Pada bab ketiga, penulis akan memaparkan mengenai implementasi regulasi berbasis ,

diawali dengan implementasi kebijakan publik dalam mengatur pornografi internet dalam

koridor Negara, dan diakhiri dengan kerjasama pemerintah dengan pihak masyarakat dan

swasta. Pada bab ini pula akan diberikan sebuah penjelasan mengenai pemetaan kerjasama

pemerintah dengan implementer kebijakan non-negara, dimana proses learning dilakukan

oleh pemerintah yang nampaknya sadar akan kondisinya yang tidak mampu lagi menjadi

implementer tunggal dalam menangani masalah ini.

28

Pada bab keempat, penulis memaparkan mengenai proses lesson learned serta lesson

drawing yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia mengenai kebijakan pemblokiran

pornografi di Internet. Proses lesson learned diambil dari keputusan pemerintah dalam

melakukan pembaharuan kebijakan lewat penambahan keterangan lewat Undang-Undang

mengenai pornografi dan persebarannya. Sedangkan proses lesson drawing dilakukan

pemerintah di level instrumen kebijakan. Di bab ini juga dijelaskan beberapa negara yang

menerapkan kebijakan pemblokiran pornografi Internet. Pada bab kelima, sekaligus bab

terakhir dalam penelitian ini, penulis menyampaikan kesimpulan.

29

BAB II

DINAMIKA PORNOGRAFI DAN REGULASINYA DI INDONESIA

A. Pengantar

Menurut Charles O’ Jones (1975), masalah publik tidak hanya hadir sebagai sebuah

bentuk respon atas kebijakan, namun lebih kepada respon terhadap keadaan. Hal inilah yang

menyebabkan bahwa kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah, seharusnya lebih bisa

menjawab keadaan, bukan menjawab kebijakan yang sebelumnya. Bab ini akan memaparkan

tentang dinamika yang terjadi dalam pornografi, dalam bentuk substansi dan juga regulasinya

yang terus menerus mencoba membaca keadaan yang dinamis. Dinamika ini adalah tantangan

tersendiri yang harus dipahami dan disiasati oleh para implementor kebijakan. Paparan pada

bab ini diawali dengan dinamika yang terjadi dalam level implementer kebijakan publik

dimana pemerintah yang tidak bisa melakukan implementasi sendiri, dan kemudian

melakukan lobi dan mengajak para korporasi untuk menjadi bagian dari implementer

kebijakan pornografi.

Dinamika ini terjadi tidak hanya dalam bentuk inkrementasi substansi, namun juga

inkrementasi yang berusaha dilakukan oleh para implementer kebijakan. Kebutuhan-

kebutuhan pembelajaran akan diidentifikasi pada bab ini melalui watak kebijakan pornografi

yang mengikuti tren pornografi itu yang berbeda sesuai dengan kemajuan teknologi dan juga

karakteristik rezim. Inkrementasi ini melalui proses konten kebijakan yang dihadapkan pada

konteks masyarakat dan pemerintahan pada masa itu dalam pemahaman Pornografi sebagai

sebuah konten terlarang yang menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat. Disamping itu, jenis

manfaat yang diperoleh serta konflik-konflik yang terjadi dalam proses inkrementasi ini akan

dihadapkan pada juga pada konteks kekuasaan. Tentunya pergantian rezim dari rezim Orde

Baru ke Reformasi menjadikan kebijakan yang mengatur Pornografi pun mengalami

30

beberapa perubahan, baik itu dalam masalah implemensi yang dilakukan, maupun dalam

kaidah nilai pelanggaran yang dilakukan. Hal ini terjadi sebagai bentuk pemebelajaran yang

kemudan diadaptasikan dalam sebuah bentuk inkrementasi kebijakan. Inkrementasi yang

terjadi di ranah implementer program berusaha di deskripsikan dalam dinamika mengenai

kebijakan Pornografi. Dalam hal ini implementer kebijakan memiliki tanggung jawab yang

besar, tidak hanya bertanggung jawab terhadap konten kebijakan saja, namun juga

bertanggung jawab mengimplementasikan konten kebijakan tersebut kepada konteks

masyarakat, serta rezim yang berkuasa pada masa yang berbeda.

B. Implementer dan Pornografi: Lesson Learned

Dalam kebijakan Pornografi terjadi semacam hubungan antara pemerintah, korpora si,

dan juga civil society. Pemerintah memiliki kepentingan dalam implementasi kebijakan,

begitu pun dengan civil society yang memiliki concern di dalam bidang Informasi dan

Teknologi. Sedangkan di level korporasi, kepentingan mereka yang memiliki orientasi

terhadap profit tidak memiliki kepentingan apapun selain mendukung kebijakan pemerintah

secara logika kepatuhan, yang juga memiliki motif demi kelancaran bisnis. Dalam logika

yang sederhana, hubungan yang harmonis antara ketiga aktor ini akan melahirkan

harmonisasi juga dalam kepentingan lainnya. Seperti kemudahan berinvestasi contohnya.

Dinamika yang terjadi dalam pornografi, melahirkan watak kebijakan pornografi yang

berbeda dibandingkan dengan kebijakan lainnya. Dari awal mula kemunculannya di

Indonesia, pornografi memiliki bentuk yang berkembang dalam wataknya sebagai sebuah

konten yang hadir dalam sebuah media. Kebijakan Pornografi pun kemudian berusaha

menutupi kekurangannya dengan bersifat inkremental, atau tambal sulam. Inkrementasi

menurut Lindblom (dalam Winarno, 2007:108), adalah kondisi dimana sebuah kebijakan

diarahkan lebih banyak terhadap ketidaksempuranaan sosial yang nyata sekarang, dibanding

31

mempromosikan tujuan sosial di masa depan. Konteks sosio-kultural masyarakat dijadikan

sebagai sebuah tolak ukur pembelajaran demi kebijakan publik sebagai salah satu pokok

konteks implementasi kebijakan. Dalam rangka inkrementasi ini, ada beberapa tindakan yang

dilakukan oleh masing-masing aktor diantaranya ialah dengan melakukan implementasi

kebijakan dalam cara yang berbeda, namun dengan tujuan yang sama, yakni mengurangi

jumlah persebaran konten pornografi di Internet.

B.1. Pemerintah Dalam dua Linimasa

Sikap pemerintah dalam mengatasi konten pornografi di Internet ditempuh dengan

melakukan pembelajaran terhadap perkembangan yang terjadi dalam pornografi. Proses

pembelajaran dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan kemampuannya membaca

dinamika Pornografi yang mengalami metamorfosis dalam bentuk media nya dan juga

persebarannya. Pembelajaran ini dilakukan dalam bentuk nyata, dimana pemerintah

mengeluarkan produk kebijakan yang memaparkan lebih jelas mengenai definisi Pornografi

dan juga media persebaran nya. Tidak hanya dalam perumusan kebijakan, pembelajaran pun

dilakukan oleh pemerintah dalam koridor implementasi kebijakan. Implementasi ini dapat

dilihat pembentukan tim khusus yang bekerja dalam koridor sosialisasi Internet, maupun

filterisasi konten pornografi di Internet. Dasar hukum pemerintah dalam melarang konten

pornografi di Internet berbasis pada tiga undang-undang, yaitu :

A. KUHP BAB XIV Tentang Kejahatan Mengenai Kesusilaan

B. Undang-Undang no 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

C. Undang-Undang no 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Namun, sebelum beranjak kepada Pornografi di Internet, sebaiknya kita mundur ke

beberapa dekade yang lalu untuk menelaah pembelajaran dalam implementasi yang dilakukan

32

oleh pemerintah pada waktu dimana Internet belum hadir menemani kehidupan masyarakat

Indonesia.

a. Orde Baru

Ada hal unik dalam karakteristik rezim pemerintahan orde baru, yakni ketika

masyarakat pada masa tersebut mengalami tindak represi yang tinggi dari pemerintah yang

secara legitimasi adalah pemerintahan yang demokratis. Sepanjang pencarian penulis, tidak

ada protes maupun reaksi yang menunjukkan perlawanan dari masyarakat mengenai tindakan

yang dilakukan pemerintah mengenai pelarangan Pornografi dan juga tindak pidana yang

dijatuhkan kepada pelaku penyebaran Konten Pornografi. Orde baru memiliki kekuatan

represifitas yang unik, Ia membuat tekanan-tekanan tersebut bersifat “desublimasi represif”,

atau membuat penindasan itu seolah-olah tidak terasa dan mengalami konstruksi bahwa

tekanan tersebut sebagai sebuah kewajiban yang harus diterima oleh masyarakat (Marcuse:

1964). Ada estetisasi nilai, dan pemakluman yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru

dalam melakukan implementasi kebijakan Pornografi melalui pembredelan dan

penghukuman secara langsung kepada pelaku penyebar konten Pornografi. Dinamika yang

terjadi pada implementasi kebijakan Pornografi terletak pada watak kebijakan pornografi

yang masih lekat dengan karakteristik rezim orde baru. Pelaku pornografi, termasuk

distributor, sama-sama ditindak tegas oleh pemerintah. Penindakan tegas ini langsung

dihadapkan dengan KUHP sebagai dasar hukum pidana tertinggi. Hal ini menyebabkan pada

era orde baru, pemerintah sebagai implementer kebijakan dapat bekerja sendiri tanpa ada

campur tangan pihak lain dalam menangani masalah pornografi.

Kasus Pornografi yang terjadi pada kurun waktu dimana rezim orde baru berkuasa

masih memiliki keterbatasan pada media cetak, Ia memiliki jenis bentuk media yang

beragam. Pada awalnya konten pornografi di Indonesia beredar dalam bentuk tulisan tanpa

gambar, hanya berupa sebuah narasi yang menceritakan kisah panas, dan dinilai memiliki

33

unsur cabul di dalamnya. Pada era orde baru ini pun kemudian terjadi dinamika dimana

konten pornografi dari bentuk bacaan kemudian beranjak menjadi bentuk fotografi.

Pornografi yang hadir dalam bentuk bacaan yang tertuang dalam kertas ini tidak hanya

berasal dari dalam negeri, namun juga banyak buku-buku selundupan dari luar negeri.

Salah satu kasus yang mencuat menurut catatan Lembaga Pers dan Pendapat Umum di

Jakarta (sekarang lembaga ini sudah tidak ada), pada tahun 1953 tercatat ada beberapa buku-

buku dan bacaan cabul dari luar negeri yang berhasil masuk ke Indonesia dengan bebas.

Sejak itu lah pemerintah kemudian melakukan tindakan untuk menyeret penanggung jawab

penerbitan ke pengadilan (Tjipta Lesmana, 1995: 4). Setahun setelah terbongkarnya praktik

penyelundupan bacaan cabul tersebut, Polisi Bagian Kesusilaan yang bertugas dalam

menangani masalah kesusilaan di Indonesia mengirimkan sejumlah buku yang dinilai

mengandung unsur Pornografi kepada Kejaksaan Agung. Judul-judul buku tersebut antara

lain: Rahasia Sorga Dunia, Sundal terhormat, Gadis Lobang Kubur, Wanita Sepanjang

Zaman, Dacameron I dan II, dan Usia Dewasa.

Tak lama berselang pada tahun 1955, Majalah “Tjermin” edisi 16 dan 23 dituntut

dengan dakwaan memuat tulisan “panas” dengan judul “Gara-Gara buah dada ter...buka dan

Panitia Penyewaan Sontoloyo. Tidak hanya di ibukota, pun di Yogyakarta pernah terjadi

kasus serupa ketika Pengadilan Negeri Yogyakarta memberikan hukuman denda kepada

Pemimpin Redaksi Majalah “Bikini” karena memuat cerita pendek yang berbau cabul. Kasus

yang sama terjadi pada tahun 1957, dimana Pemimpin Redaksi majalah “Roman” dijatuhi

hukuman denda karena judul cerita pendek “Tinah dan Induk Semang” dinilai bersifat cabul

(Ajat Sudrajat)

Pada tahun 1960-an kasus mengenai konten pornografi mengalami dinamika dari

tulisan, menjadi sebuah gambar. Cover majalah yang pada mulanya menggunakan foto

wanita berpakaian sopan dan rapih, kini berganti dengan foto wanita wanita dengan pakaian

34

dan pose yang menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang seharusnya tertutup. Seperti

majalah Varia No. 539, edisi 14 Agustus 1968 dengan cover wanita asing yang memakai

bikini.5 Kemudian setahun setelah edisi tersebut, pada tahun 1969 terdapat kembali cover

majalah dengan sampul foto gadis Indonesia dengan menggunakan pakaian mandi. Foto

cover ini mencuat pada majalah Varia No. 577, edisi 7 April 1969. Fenomena cover majalah

seksi ini berlanjut pada tahun 1970 misalnya, majalah viva dan varia pada edisi No. 15

tanggal 16 Februari 1971 memuat sejumlah gambar beserta tulisan dimana sampul muka

majalah tersebut menggunakan foto wanita berpakaian minim, dimana (maaf) buah dada

sebelah kanan terlihat jelas. Masih pada majalah yang sama, pada halaman 8 terdapat gambar

laki-laki dan wanita telanjang dalam posisi tidur sedang berciuman. Dalam kasus ini, majalah

Viva dan Varia telah melakukan pelanggaran pasal 282 KUHP ayat (1) jo. Pasal 283 jo. Pasal

533 KUHP. Kasus yang kurang lebih sama, namun dalam bentuk yang berbeda mencuat

kembali pada tahun 1984, dimana enam artis Indonesia yakni Yanti Prianti Kosasih, Dewi

Anggraini Kusuma, Rina Susan, Sylvia Karenzo, Retno alias Susan, dan Dewi Noverawati

alias Vera dibawa ke Pengadilan karena dianggap telah mempertontonkan kemolekan

tubuhnya. Kasus ini didakwa primer melanggar pasal 282 (1) yo pasal 55 (1) ke-1 yo pasal 56

KUHP dan dakwaan Subsidair melanggar pasal 282 (2) yo asal 55 (1) ke-1 yo pasal 56

KUHP. Akan tetapi, tidak ada putusan vonis oleh majelis hakim mengenai kasus ini.

Berbeda dengan media cetak, pornografi pun kemudian merambah pada media audio-

visual. Dimulai pada tahun 1984-1985 dimana laporan Badan Sensor Film Indonesia telah

melakukan sensor terhadap 60 film pada semester pertama tahun tersebut. Dari jumlah

tersebut, sebanyak 44 film, atau 67,3 % diantaranya harus mengalami pemotongan akibat

gambar porno. Film-film yang berjudul seperti Cinta di Balik Noda, Tergoda Rayuan, Midah

5 Sejenis pakaian renang dengan model terbuka pada bagian perut dan terdiri dari dua buah bagian.

35

Gadis Buronan, Kawin Kontrak, Pengantin Pantai Biru, dan lain lain harus mengalami

sensor film akibat terdapat adegan porno dalam filmnya.

Dari poin yang telah dipaparkan diatas, dinamika yang dapat dilihat ialah bahwa konten

kebijakan Pornografi juga mengalami perubahan dalam bentuk konten dan media. Pemerintah

tidak menutup mata dan berhasil melakukan pembelajaran atas pembaharuan media

pornografi. Hampir tanpa masalah, pemerintah menangani masalah pornografi dengan

langsung membawanya ke pengadilan tanpa membutuhkan bantuan pihak non-negara lain.

Kebijakan pornografi yang masih berlandaskan kepada KUHP seakan menyuapi masyarakat

secara paksa bahwa Pornografi adalah suatu hal yang harus diberangus. Ada kepentingan

pemerintah yang bermain disini dalam melakukan penghukuman kepada orang yang

menyebarkan Pornografi melalui konten kebijakan yang ditelurkan, serta kaitannya dengan

konteks rezim dan kekuasaan yang otoritatif. Implementer kebijakan pada era Orde Baru

dapat melakukan pekerjaannya secara sederhana karena konten kebijakan tersebut berada

dalam tataran kepentingan pemerintah, dan konteks implementasi tersebut jika dipandang

secara rezim kekuasaan, selaras dengan pemerintahan yang otoritatif. Tidak ada penolakan,

karena implementasi tersebut juga berjalan dalam tekanan yang bersifat desublimasi represif.

b. Orde Reformasi

Pornografi mengalami perkembangan dalam media persebarannya seiring berjalannya

waktu dalam perkembangan teknologi, dan kali ini melalui Internet. Tidak hanya itu,

perkembangan rezim juga dialami oleh Pemerintah, dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Tentu

saja hal ini menjadikan pemerintah selaku implementer program kebijakan pornografi

memerlukan suatu upaya dan juga gerakan yang baru, karena perbedaan rezim tersebut

melahirkan konteks masyarakat yang lebih demokratis dan tidak bisa ditindak secara represif

lagi.

36

Pemerintah melalui kementrian Komunikasi dan Informasi melakukan terobosan yang

berkenaan dengan penyebaran konten pornografi di Internet. Terobosan yang pertama

dilakukan oleh pemerintah ialah dengan mengeluarkan 2 buah undang-undang, yakni UU ITE

dan UU Pornografi. UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan UU Pornografi adalah

salah satu bentuk inkrementasi kebijakan yang dirasa memungkinkan untuk menjawab

kebutuhan pemerintah akan kontekstualisasi kekuasaan yang lebih demokratis, dan konteks

masyarakat yang lebih “melek” teknologi dalam menangani Pornografi yang merambah di

dunia maya. Kedua UU tersebut memiliki fungsi yang berbeda, UU ITE berperan

memperjelas permasalahan mengenai Pornografi Internet dalam koridor penyebarannya

melalui media elektronik, termasuk Internet. Sedangkan UU Pornografi berperan untuk

menegaskan watak atas pornografi yang memiliki dimensi serta persebaran media yang

berbeda.

Dengan kata lain, UU ITE hadir sebagai salah satu rumusan sikap pemerintah atas

persebaran pornografi termasuk ke dalam sebuah pengembangan kebijakan publik dengan

basis teknologi, sedangkan UU Pornografi adalah sikap penegasan Pornografi sebagai sebuah

hal yang mutlak dan memiliki legitimasi, tidak sekedar batasan substantif. Melalui kedua

undang-undang inilah pemerintah menyesuaikan kondisi kekinian Pornografi dalam bidang

teknologi dan informasi. Berikut adalah salah satu penegasan mengenai pornografi dalam

kaidah yang legitimate dalam bentuk undang-undang:

Pasal 4(1) Ruang lingkup Undang-undang tentang pornografi merupakan regulasi

pornografi termasuk yang berkaitan dengan pornoaksi baik sebagaisebab maupun akibat dari pornografi.

(2) Ruang lingkup pornografi yang diatur sebagaimana dimaksud padaAyat(1) meliputi:

a. pembuatan meliputi kegiatan atau serangkaian kegiatanmemproduksi materi media massa cetak, mediamassa elektronik, alatkomunikasi medio, atau media komunikasi lainnya seperti merekammelalui hand phone atau video yang di dalamnya ada unsur

37

pornografi dan barang-barang pornografi;

b. penggandaan meliputi kegiatan atau serangkaian kegiatan untukmemperbanyak materi media massa,media massa elektronik, alatkomunikasi medio, atau media komunikasi lainnya seperti merekammelaluihand phone atau video yang di dalamnya ada unsurpornografi dan barang-barang pornografi;

c. penyebarluasan meliputi kegiatan atau serangkaian kegiatan yangbertujuan untuk mengedarkan materimedia massa cetak, mediamassa elektronik, alat komunikasi medio, atau media komunikasilainnya yangdi dalamnya ada unsur pornografi dan mengedarkanbarang-barang yang mengandung sifat pornografidengancaramemperdagangkan,memperlihatkan,memperdengarkan,mempertontonkan,mempertunjukkan, menyiarkan, menempelkandan/atau menuliskan;

d. penggunaan mencakup segala kegiatan yang memakai materi mediamassa cetak, media massaelektronik, alat komunikasi medio, ataumedia komunikasi lainnya seperti merekam melalui hand phone atauvideo yang di dalamnya ada unsur pomografi, barang dan/atau jasapomografi; dane. penyandang dana (sponsor), prasarana, sarana,media dalam penyelenggaraan pornografi.

Pasal 5(1)Jenis-jenis pornografi terdiri dari:

a. pornografi ringan;b. pornografi berat; dan/atauc. pornografi anak.

(2) Pornografi ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputisegala bentuk pornografi yangmenggambarkan secara implisitkegiatan seksual termasuk bahan-bahan yang menampilkanketelanjangan,adegan-adegan yang secara sugestif yang bersifatseksual atau meniru adegan seks.

(3) Pornografi berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputisegala bentuk pornografi yangmenggambarkan tindakan seksualsecara eksplisit seperti alat kelamin, penetrasi dan hubungan seksyangmenyimpang dengan pasangan sejenis, anak-anak, orang yangtelah meninggal dan/atau hewan.

(4) Pornografi anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputisegala bentuk pornografi yangmelibatkan anak atau citra anak atau ibuhamil sebagai subyek ataupun obyek yang diproduksi baiksecaramekanik atau elektronik atau bentuk sarana lainnya.

Selain undang-undang, pemerintah juga turut melakukan beberapa program yang

menjadikan kedua undang-undang tersebut sebagai acuan dasar atas implementasi kebijakan

pornografi. Program-program pemerintah ini dibentuk dalam tujuan menggapai penggunaan

internet yang sehat, aman, serta bersih dari konten berbahaya yang kiranya dapat membawa

38

dampak buruk terhadap masyarakat yang melakukan akses Internet. Ada dua jenis

implementasi yang dilakukan oleh pemerintah, yakni dengan melakukan program sosialisasi,

dan juga membentuk semacam tim khusus dalam penanganan cyber crime yang termasuk di

dalamnya juga penanganan Pornografi. Berikut adalah Implementasi yang dilakukan oleh

pemerintah :

è INSAN (Internet Sehat dan Aman)

Internet Sehat Aman (INSAN) adalah program nasional yang diprakarsai oleh

Menkominfo, yang memiliki misi untuk mensosialisasikan penggunaan internet secara sehat

& aman ke berbagai kalangan sehingga internet dapat memberi manfaat dan nilai tambah.

Belajar dari pengalaman, bahwa Internet sebagai media yang tidak bisa dibendung secara

legalitas konten, pemerintah melakukan sosialisasi ini agar Internet tidak disalahgunakan.

Atas dasar misi itulah yang menjadi motor penggerak INSAN dalam mensosialisasikan

Internet Sehat dan Aman kepada masyarakat dalam berbagai program. INSAN sebenarnya

adalah sebuah program sosialisasi yang dijalankan oleh tiim yang bernama TSIS (Tim

Sosialisasi Internet Sehat), yang dibentuk sesuai dengan lampiran keputusan Menteri

Komunikasi dan Informatika dalam Keputusan No. 28/KEP/M/Kominfo/1/2009. Tim

Pelaksana Sosialisasi dan Promosi INSAN terbaru dibentuk berdasarkan lampiran Keputusan

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika No:10/KEP/DJAI/KOMINFO/03/2011 pada 1 Maret

2011.

Untuk melancarkan aktifitasnya dalam sosialisasi Internet sehat, INSAN melakukan

jejaring dengan beberapa elemen, yang terdiri dari beberapa golongan, diantaranya adalah

jejaring pemerintah, perusahaan, organisasi, serta melakukan jejaring dengan sekolah dan

kampus. Pada jejaring pemerintahan, kementrian KOMINFO menjadi salah satu basis

jejaring INSAN sebagai pemberi status legal-formal kehadiran INSAN sebagai sebuah

program, sekaligus sebuah tim sosialisasi program.

39

Kemudian pada ranah swasta, INSAN melakukan jejaring dengan media teknopreneur,

media Biskom, perusahaan ISP IM2 Broadband, Telkomsel, Telkom Indonesia, serta

perusahaan yang berbasis situs forum bernama KASKUS. Pada jejaring organisasi, INSAN

didukung oleh YPEI (Yayasan Pendidikan Eropa Indonesia) yang bergerak di bidang sosial

pendidikan, ICT Watch, MIKTI (Masyarakat Industri Kreatif Teknologi & Komunikasi

Indonesia), AWARI (Asosiasi Warung Internet Indonesia), serta Yayasan Kita dan Buah

Hati. Sedangkan pada level jejaring sekolah dan kampus, hingga saat ini dalam halaman yang

disediakan oleh INSAN, hanya Universitas Bina Nusantara (BINUS) saja yang menjadi

partner kerjasama program INSAN.

Dalam perjalanannya sebagai sebuah tim yang dibentuk dengan tujuan sosialisasi

Internet sehat, INSAN melakukan banyak sosialisasi baik secara online, maupun secara

langsung terjun ke lapangan. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan bervariasi, mulai dari

seminar dengan mengundang para tenaga pendidik, INSAN goes to campus, hingga

sosialisasi di sekolah-sekolah menengah maupun sekolah dasar.

Tidak hanya di pulau jawa, INSAN juga melakukan kegiatan sosialisasi Internet sehat

di beberapa kota di luar jawa. Kota-kota tersebut ialah, Palangkaraya, Pontianak, Lampung,

Palembang, Jambi, Padang, Manado, Makassar, dan tak ketinggalan juga di Jayapura.

INSAN melakukan tugas pada level sosialisasi dan juga promosi tentang Internet sehat, dan

tidak melakukan pelarangan serta pemblokiran konten. Oleh karena itu INSAN menjadi

bagian program pemerintah dalam penanggulangan penyebaran konten pornografi di Internet

menggunakan cara yang lebih soft dan persuasif dengan mengajak masyarakat untuk

menggunakan Internet dengan tidak menyalahgunakannya sebagai media yang dimanfaatkan

untuk melakukan tindak kejahatan dan melanggar Undang-Undang.

40

• ID-SIRTII (Indonesia Security Incident Response Team on Internet)

Selain masalah penipuan dan juga pornografi, pemerintah memiliki sebuah sarana yang

diasuh oleh Departemen Komunikasi dan Informasi dalam pengelolaan terhadap serangan

Internet, atau Hacking. Tim yang dibentuk oleh Depkominfo ini bernama Indonesia Security

Incident Response Team on Internet (ID-SIRTII), yang bertugas menjaga keamanan hacking

oleh website-website penting, sebagai contohnya adalah website milik negara (Gatra, Dalam

Nawala : 2011). ID-SIRTII ini dibentuk dengan latar belakang atas munculnya

ketidakamanan dalam penggunaan internet sebagai sarana komunikasi dan informasi serta

arus lalu-lintas data dalam berbagai pengelolaan infrasturktur Internet, seperti perbankan

misalnya.

ID-SIRTII bekerja dibawah pengawasan pemerintah secara langsung yang dilatar

belakangi oleh bayaknya kasus cybercrime yang sudah hadir di Indonesia sejak tahun 2002

silam. Tercatat setidaknya ada 71 kasus cybercrime pada tahun 2003. Angka ini terhitung

besar untuk Indonesia yang pada masa itu belum memiliki infrasturktur internet dengan

jaringan luas dan aksesibilitas yang besar seperti sekarang. Dalam kurun waktu 4 tahun

kemudian, pemerintah mengeluarkan peraturan menteri bernomor

26/PER/M.KOMINFO/5/2007 yang menugaskan ID-SIRTII sebagai salah satu lembaga yang

bertugas melakukan pengawasan keamanan jaringan dan juga jaringan telekomunikasi

berbasis internet.

Termasuk di dalamnya tugas umum ID SIRTII yakni melakukan content filtering, atau

penyaringan konten. Dalam hal ini, yakni konten atau isi dari sebuah situs di Internet yang

memiliki dampak yang dianggap berbahaya bagi masyarakat. Meskipun tidak ada pernyataan

secara jelas di website ID-SIRTII bahwa tim ini bergerak hanya berdasarkan UU no 36 tahun

1999 tentang Telekomunikasi, serta peraturan pemerintah dan menteri komunikasi pada tahun

41

2007, atau setahun sebelum pengesahan UU APP dan UU ITE, ID-SIRTII juga mengurus

filterisasi konten pornografi.

ID SIRTII juga memiliki kewenangan selain sosialisasi, namun juga asistensi dan juga

kerjasama dengan tiap inisiatif baik dari dalam dan luar negeri. ID SIRTII berfungsi sebagai

single point of contact, dimana koordinasi teknis mengenai segala ide dan juga tindakan

teknis terhadap penyelenggaraan keamanan Internet berada pada lingkup kerja ID SIRTII.

Selain itu, ID SIRTII juga memiliki kewenangan dan mampu menyelenggarakan penelitian

dan pengembangan di bidang pengamanan dan teknologi informasi/ sistem informasi, dengan

segala fasilitas yang dimiliki, seperti laboratorium, serta penyelenggaraan proyek content

filtering.6

Dengan kata lain ID SIRTII menjadi perwakilan langsung pihak pemerintah dalam

implementasi kebijakan yang bersifat teknis mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik.

ID SIRTII bergerak dibawah payung hukum undang-undang, peraturan pemerintah, serta

peraturan menteri komunikasi, dan Ia melakukan pekerjaan di bidang teknis.

B. 2. Asosiasi Perusahaan Internet: Aktor Implementer Baru

Dalam kaidah sumber daya sebagai konten kebijakan yang akan di implementasikan,

campur tangan para pengusaha sebagai pemegang kendali privatisasi sinyal komersial sangat

diperlukan. Berbeda dengan pemerintah sebagai implementer kebijakan yang terbagi kedalam

dua linimasa, korporasi internet hanya bekerja ketika pada orde reformasi saja. Hal ini

dikarenakan pornografi internet mulai menyebar secara sporadis mulai pada tahun 2000-an

saja. Pihak swasta pun penulis anggap termasuk sebagai implementer program kebijakan

6Profil ID SIRTII dalam website nya : http://idsirtii.or.id/profil-id-sirtii/ Diakses pada hari Minggu 8 Agustus2011 pukul 20.05 WIB

42

pornografi karena langkah mereka yang turut mendukung penegakkan UU Pornografi dan

UU ITE di Indonesia dengan melakukan kerjasama bersama pemerintah dalam beberapa hal.

Hal yang paling utama dilakukan oleh para pengusaha ini dalam melakukan tugasnya

sebagai implementer ialah melakukan pemblokiran konten Pornografi di Internet melalui

jaringan dan lingkup kekuasaannya masing-masing. Kerjasama implementasi ini dilakukan

oleh pengusaha skala besar dan skala kecil yang bergerak di bidang Informasi dan

telekomunikasi, terutama di bidang Internet Servic Provider (ISP), dan telekomunikasi

selular.

Pembelajaran yang dilakukan oleh para pengusaha dalam melakukan implementasi

kebijakan pornografi disini dapat dilihat dari bentuk dukungan yang mereka lakukan masih

memiliki kaitan dengan pornografi Internet, dengan melakukan aplikasi yang sama dengan

beberapa negara lain yang juga melakukan pemblokiran Internet. Pemblokiran konten

Pornografi Internet dirasa menjadi salah satu cara terbaik dibandingkan dengan membatasi

Internet secara sepenuhnya, karena Internet sebagai media masih tetap dapat diakses dan

dikondisikan sebagai media informasi dan komunikasi. Kalimat yang paling mudah dalam

menjabarkan filterisasi konten ini ialah, hal ini layaknya sensor dalam sebuah film, dimana

intisari dari internet sebagai sebuah media tidak hilang dan hanya mengalami pemotongan di

beberapa sisi saja.

Adapun perusahaan yang turut bergabung dalam membantu content filtering ialah

perusahaan yang tergabung dalam APJII, atau Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia.

Ketua APJII, Roy Rahajasa Yamin, mengatakan bahwa Ia menghimbau kepada seluruh

anggota APJII untuk mengikuti perintah untuk memfilter konten pornografi sesuai dengan

perintah Menkominfo. Untuk melakukan filtering ini sendiri, investasi yang dilakukan

ditanggung oleh masing-masing anggota APJII sendiri, dan besarannya bisa mencapai

puluhan, hingga ratusan juta rupiah, tergantung topografi jaringan, filtering, dan jumlah

43

pelanggan.7 Adapun anggota APJII sendiri hingga pada tahun 2011berjumlah sebanyak 26

perusahaan, yaitu8 :

1. Cergis Network (PT Centra Global Investama.)

2. Auston Networking (PT Austin Technology Telematika.)

3. HAWK Teknologi Solusi (PT Hawk Teknologi Solusi.)

4. HyperMedia (PT Hyperindo Media Perkasa)

5. Polaris (PT Jaring Semesta Infosolusi)

6. Jet-Flash (PT Cikarang Cyberindo)

7. Gastra Net (PT Graha Anugerah Sejahtera)

8. SAB Net (PT Semesta Asa Bersama)

9. LYNK Net (PT Lynx Mitra Asia)

10. PGASCOM Net (PT Pgas Telekomunikasi Nusantara)

11. I-NAP Net ID (PT Kreatif Pasific)

12. MLINK Net (PT Jawa Pos National Network Medialink)

13. WIFIAN-ID (PT Wifian Solution)

14. SKI-ID (PT Sumber Koneksi Indotelematika)

15. JLM-ID (PT Jala Lintas Media)

16. NARAYA-ID (PT Naraya Telematika)

17. SDI-ID (PT Sumber Data Indonesia)

18. SOLNET-ID (PT Solnet Indonesia)

19. CYBERPLUS-ID (PT Cyberplus Media Pratama)

20. MEDIA Net (PT Media Akses Global Indo)

7 Berita Berjudul : “Tutup Akses Konten Esek-esek” http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=60237. Diakses pada hari Rabu, 8 Februari 2012 pada pukul 17.25 WIB.

8 Data diunduh dari :http://www.apjii.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=106%3A2011&catid=36%3Aanggota&Itemid=11 Diakses pada hari Sabtu, 11 Februari 2012 pada pukul 15.35

44

21. LDP Net (PT Lintas Data Prima)

22. Mango Net (PT Matrixnet Global Indonesia)

23. NEXCOM Net (PT nexcom Indonesia)

24. ITECH Net (PT Intelex Technet Global)

25. TERABIT (PT Selaras Citra Terabit)

26. PALAPA MEDIA (PT Palapa Media Indonesia)

Kebijakan pemblokiran konten pornografi yang turut digalakkan oleh beberapa

perusahaan ISP membuahkan hasil, dan penulis menemukan realita di lapangan tentang

contoh situs yang diblokir oleh salah satu ISP di sebuah warnet di Yogyakarta. Situs yang

diblokir mengandung unsur konten pornografi di dalamnya, penulis mengambil contoh

sebuah situs dengan alamat www.playboy.com. Berikut adalah hasil rekam gambarnya :

Gambar 1.3. Contoh pemblokiran situs di sebuah warnet di Yogyakarta9

Berbeda dengan APJII yang secara gamblang mendukung program pemerintah, asosiasi

pengusaha lain yang berkaitan dengan Internet, yakni Asosiasi Telekomunikasi Seluler

Indonesia (ATSI), dan Asosiasi Warung Internet Indonesia (AWARI), terkesan agak

9 Gambar diambil di Warnet Platinum-Net Jl. Kaliurang KM 5, SLeman, Yogyakarta pada hari Kamis, 8 Maret2012 pada pukul 23.07

45

menyayangkan keputusan pemerintah yang terkesan mendadak ini. Menurut Sarwoto

Atmosutarno, Ketua ATSI, kebijakan content filtering ini akan memerlukan tambahan

investasi bagi semua operator. Ditambah lagi, akses internet melalui perangkat mobile

memang menjadi sebuah tren di masa sekarang ini. Sarwoto berkata bahwa pemerintah harus

melihat bisnis Internet ini secara holistik, dengan demikian tidak hanya operator seluler saja

yang dikenakan kewajiban, namun juga penyedia konten. Operator seluler menurutnya dalam

menyikapi hal ini hanya akan menggunakan solusi yang ada, dan jika akses Internet

melambat, itu akan memerlukan investasi tambahan.

Sikap yang sama dinyatakan oleh ketua AWARI, Irwin Day, yang mengungkapkan

bahwa pemblokiran konten porno akan berdampak juga pada pendapatan warnet itu sendiri,

baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, akan terjadi

penurunan omzet warnet hingga 30%. Namun, hal yang terjadi sebaliknya dalam jangka

panjang, yakni akan terjadi penghematan bandwidth10, karena konten porno sangat haus akan

bandwidth. Dari keterangan ATSI dan AWARI diatas, terjadi sebuah ketidakjelasan ukuran

dan tujuan atas kebijakan publik yang dicanangkan oleh pemerintah kepada aktor-aktor yang

diajak bekerjasama. Oleh karena itu, ATSI dan AWARI menyatakan bahwa langkah content

filtering ini memerlukan sebuah tambahan investasi yang akan berdampak pada bisnis

anggotanya sendiri dari sisi permodalan.

Akan tetapi hingga tulisan ini dibuat, tidak ada penolakan berarti dari para pengusaha

jasa internet mengenai pemblokiran situs pornografi melalui jaringan mereka. Dengan kata

lain pemerintah sukses dalam melakukan mediasi dan lobi-lobi dalam rangka meningkatkan

10Bandwidth (disebut juga Data Transfer atau Trafik) adalah data yang keluar+masuk/upload+download keaccount anda. Misalnya anda menerima/mengirim email, asumsikan besarnya email yang diterima/dikirimadalah 4 KB, berarti secara teori, untuk bandwidth 1.000 MB (1.000.000 KB) anda bisa *kirim* 250.000 emailatau berbagai variasi antara kirim/terima, 100.000 kirim, 150.000 terima. Disadur dari artikel Materi Telkom :Definisi Bandwidth http://www.sentra-edukasi.com/2009/07/materi-telkom-definisi-bandwidth.html. Diaksespada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada pukul 19.35 WIB

46

kinerja implementasi dan mengurangi gesekan kepentingan antar implementer kebijakan.

Terbukti, cukup sukses dengan banyaknya para pengusaha jasa Internet yang juga

menggalakan pemblokiran pada beberapa situs di dalam jaringan mereka. Proses learning

dalam kaidah subjek kebijakan pornografi berjalan di titik ini.

C.3 ICT Watch sebagai Civil Society

Beberapa tahun sebelum pemerintah memiliki kepedulian atas betapa pentingnya

memberdayakan Internet secara baik dan benar, masyarakat sudah hadir dan membentuk

sebuah organisasi non-profit dengan nama ICT Watc, (Information and Communication

Technology-Watch). ICT Watch didirikan pada tahun 2002 dengan tujuan awal untuk

memperluas dan memperdalam kegiatan pengembangan kemampuan dan potensi masyarakat

madani di Indonesia dengan berbasiskan pada pemberdayaan teknologi informasi dan

komunikasi (ICT). Visi ICT Watch sendiri ialah

“Every person, without exception, has the right to access, produce, distributeand / or utilize any useful information for life through a variety of new mediasafely and wisely, without having a sense of fear and worry”.

ICT Watch ingin memberikan pendampingan, pelatihan, serta pengawasan kepada

masyarakat mengenai teknologi informasi dan komunikasi dengan berlandaskan pada hak

asasi manusia dalam hal akses, produksi, distribusi, dan penggunaan informasi secara aman

dan bijaksana tanpa rasa cemas dan takut. ICT Watch merasa bahwa Internet kini bukanlah

lagi sebuah hal yang hanya dapat dikuasai oleh beberapa orang yang memiliki concern di

bidang komputerisasi saja. Kini Internet bisa dinikmati semua kalangan dan juga memberikan

dampak yang luas bagi masyarakat. Akan tetapi, dampak ini juga memiliki sisi positif dan

negatif nya masing-masing. Hal ini lah yang kemudian dijadikan sebuah pembelajaran bagi

ICT Watch dalam upaya nya menciptakan sebuah pelatihan, pendampingan, serta saran bagi

orang-orang yang masih awam agar tidak terjebak dalam hitam-putih nya dunia maya.

47

Organisasi ini memiliki sebuah program yang bisa dibilang, mirip dengan program

pemerintah, yakni program Internet Sehat. Jika pemerintah memiliki TSIS (Tim Sosialisasi

Internet Sehat) pada tahun 2011, maka ICT Watch memiliki program Internet Sehat pada

tahun 2002, meski pada waktu itu hanya baru sebatas slogan. Akan tetapi, Internet Sehat

menjadi sebuah terobosan baru di bidang teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia

yang fokus pada pengawasan Internet secara baik dan benar. Program Internet Sehat ICT

Watch sudah diwacanakan sejak 10 Maret 2002. Langkah awal yang dilakukan oleh ICT

Watch dalam pewacanaan Internet Sehat ini, ialah dengan menelurkan draft berupa lima

langkah Internet Sehat. Hingga pada akhirnya dicetuskan pada 29 April 2002, dengan

meluncurkan situs resmi dan brosur hardcopy Internet Sehat edisi perdana. Pada akhirnya

kemudian program Internet Sehat yang dicanangkan oleh ICT Watch ini adalah memiliki

basis dasar untuk mengedepankan kebebasan berekspresi di Internet secara aman dan bijak,

dengan tiga pendekatan, yakni :

1. Self-censorship hanya di level keluarga dan sekolah

2. Peningkatan konten lokal yang positif dan menarik

3. Pemberdayaan masyarakat madani tentang teknologi informasi dan komunikasi.

D. Penutup

Dalam hal pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik, baik dalam bentuk

Undang-Undang, maupun implementasi kebijakan, pemerintah, korporasi, dan juga civil

society selaku para implementer program memiliki kapasitas dan kapabilitasnya masing-

masing dalam mengantarkan kebijakan ini ke tangan publik. Hal inilah yang kemudian

dipelajari oleh pemerintah sebagai salah satu kelemahan mereka, bahwa implementasi

kebijakan pornografi tidak bisa lagi dilakukan dengan one man show seperti yang dilakukan

ketika masa orde baru. Ketiga implementer kebijakan tersebut mampu melakukan

pembelajaran yang baik dalam menganalisis watak pornografi sebagai sebuah permasalahan

48

publik. Pemerintah melakukan pembelajaran yang baik dengan tidak hanya mengatasi

Pornografi dalam lingkup ruang hukum tata negara semata melalui proses perundangan, akan

tetapi juga ikut andil dalam pembentukan tugasnya yang lebih concern ke dalam persebaran

Pornografi. Begitu pula yang dilakukan oleh korporasi informasi dan komunikasi yang juga

melakukan pembelajaran dengan berusaha melihat poin-poin dasar apa saja yang tidak

merugikan mereka dalam mencapai profit, namun juga ikut andil dalam suksesi implementasi

kebijakan pornografi dengan mengambil jalan tengah untuk melakukan pemblokiran konten

dibanding memblokir Internet itu sendiri. ICT Watch sebagai civil society juga melakukan

pembelajaran yang sama melalui pemahaman Internet itu sendiri sebagai sebuah media yang

memiliki dualisme di dalamnya, dan kemudian berusaha memberikan sebuah pelajaran atas

pemahaman mereka terhadap Internet.

Pembelajaran yang dilakukan oleh ketiga aktor implementer ini selalu ditunjukkan

dalam bentuk yang lebih aplikatif, dan bukan dalam bentuk dukungan semu ataupun makna

simbolis. Hal ini merepresentasikan bahwa pembenahan permasalah Pornografi bukanlah

suatu hal yang lagi bisa dikendalikan melalui perundangan semata, namun juga

membutuhkan sebuah aksi konkret yang solutif, dan dapat direalisasikan melalui proses

pemahaman melalui pembelajaran.

Secara teoritis, proses pembelajaran ini memang tidak banyak diungkapkan dalam

kebanyakan literature kebijakan publik yang lebih banyak berkata mengenai proses kuasa.

Namun fakta berkata lain, dimana proses kebijakan Pornografi berlangsung melalui sikap

pembelajaran pemerintah, dan juga aktor implementer lain yang harus dilakukan dalam

menyikapi Pornografi yang memiliki dinamika di dalam media pergerakannya.

49

BAB III

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PORNOGRAFI DI INDONESIA

A. Pengantar

Bab dua telah memaparkan mengenai dinamika Pornografi, dan juga inkrementasi yang

terjadi di level kebijakan, serta menjelaskan siapa saja implementer kebijakan. Dari kedua hal

yang bersifat inkremental tersebut telah terlihat upaya pemerintah dalam menanggapi konteks

yang terjadi dalam perkembangan pornografi dalam dua linimasa. Namun, upaya

implementasi secara nyata dalam bentuk proses masih belum terlihat dengan jelas.

Pemerintah dan juga para aktor implementer kebijakan pornografi mulai melakukan

pembelajaran dengan membaca kekurangan-kekurangan apa saja yang dapat dibenahi dan

dalam jangkauan kapasitas mereka.

Pornografi bukanlah sebuah masalah yang dapat ditelaah dengan sebuah perundangan

saja, namun ia membutuhkan suatu aksi nyata dalam implementasinya. Mulai dari

penanggulangan melalui sosialisasi Internet sehat, serta pemblokiran situs dilakukan dengan

kerjasama antara pemerintah, masyarakat, beserta korporasi yang membuka jasa layanan

internet di Indonesia dalam rangka implementasi kebijakan publik untuk menanggulangi

masalah penyebaran konten pornografi di Internet. Dalam telaah implementasi kebijakan, hal

ini dilihat sebagai resources commited, yakni para implementer kebijakan harus memiliki

kapasitas dan kapabilitas dalam mengantarkan kebijakan tersebut ke tangan publik.

Resources ini berhadapan dengan konteks compliance and responsiveness, dimana para

implementer kebijakan yang memiliki kapabilitas dalam mengimplementasikan kebijakan

juga memiliki responsi atas kebijakan itu sendiri yang berdampak kepada kepentingan

mereka. Hal ini tentunya akan berimplikasi pada kesuksesan implementasi.

Bab ini akan memaparkan lebih detil lagi mengenai implementasi jenis apa saja yang

dilakukan atas dasar kerjasama antar aktor yang memiliki pengaruh yang cukup besar, ketika

50

kepentingan para pengusaha di bidang ISP yang memiliki tendensi besar berorientasi pada

profit, kemudian harus mengeluarkan dana ekstra utk mendukung kebijakan pemerintah.

Serta konteks kepatuhan para aktor non-negara dalam aksinya mendukung kebijakan ini pun

cenderung cepat. Nampaknya lobi pemerintah dalam menggandeng pihak non-negara cukup

kuat sehingga mampu mempengaruhi pihak swasta kelas Internasional sekalipun, seperti RIM

(Research In Motion) asal Kanada yang dikecam harus memblokir pornografi.

B. Konsekuensi Implementasi Terhadap Implementer

Implementasi kebijakan pornografi Internet digambarkan dalam situasi yang lebih

koheren antar organisasi dalam koridor pelaksanaannya. Pemerintah selaku stakeholder

memiliki kemampuan dalam melakukan rancangan kebijakan dengan menetapkan UU ITE

dan UU Pornografi dalam kaidah yang sudah terencana. Dengan mengajak komponen diluar

pemerintah yang memiliki kompetensi dalam bidang telekomunikasi, implementasi pun

berjalan dengan implementer yang memiliki beberapa kepentingan yang berbeda.

Kepentingan ini pastinya mengalami tabrakan, atau ketidak sesuaian dalam hal substantif.

Namun dalam pelaksanaannya yang terjadi justru sinergitas antar organisasi terbentuk dalam

pelaksanaan secara komprehensif.

Berbeda dengan masa Orde Baru dimana pemerintah selaku implementer tunggal bisa

berlaku semaunya dan dapat melakukan implementasi tanpa harus ada saluran-saluran lain

yang dibutuhkan bantuannya dalam melakukan implementasi, Pemerintah kali ini mengajak

korporasi selaku organisasi non-pemerintah yang memiliki kapasitas dalam menangani hal

yang berkaitan dengan Internet dan jaringannya. Bicara tentang kapasitas, berbicara juga

dengan seberapa jauh para implementer bisa melakukan proses learning dalam rangka

peningkatan kapasitasnya. Mengingat, watak pornografi yang memiliki dinamika harus

diiringi juga dengan peningkatan kapasitas dalam menangani masalah yang kian berkembang.

51

Dalam logika sederhana, tentu ada konsekuensi yang diterima oleh masing-masing

organisasi. Pemerintah memiliki konsekuensi untuk menerima keterbatasannya dalam

pengelolaan jaringan seluler yang menjadi salah satu basis jaringan Internet. Inilah latar

belakang Pemerintah turut mengajak korporasi dalam melakukan kerjasama dalam rangka

implementasi kebijakan pornografi. Dalam sisi yang lain, korporasi juga memiliki

konsekuensi untuk menuruti kebijakan publik sesuai dengan logika kepatuhan yang berlaku.

Dan hal ini tentunya menambah daya beban bagi mereka dalam rangka membantu jalannya

implementasi kebijakan.

Berikut ini akan dijelaskan dua jenis implementasi kebijakan pornografi, yakni dengan

melakukan pemblokiran pornografi Internet, dan sosialisasi Internet sehat. Kedua

implementasi ini memiliki cara yang berbeda dalam upaya penanggulangan pornografi di

Internet. Pemblokiran pornografi di Internet adalah cara pemaksaan menutup aksesibilitas

pornografi yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan korporasi penyedia jasa layanan

Internet. Sedangkan sosialisasi Internet Sehat lebih kepada cara pemerintah dalam melakukan

persuasi secara halus dengan pengenalan penggunaan Internet sejak usia dini. Kedua

implementasi ini adalah wujud kerjasama pemerintah dengan korporasi, dan juga civil society

yang memiliki concern di bidang teknologi informasi sebagai wujud dari adopsi

pembelajaran atas watak objek kebijakan pornografi yang mengalami pergeseran.

B. 1 Pemblokiran Pornografi di Internet: Profit vs Implementasi Kebijakan

Pemerintah yang pada awalnya hadir sebagai implementer tunggal kebijakan, berusaha

menaikkan lobi-lobi terhadap aktor non-negara dalam rangka peningkatan kapasitasnya untuk

dapat melakukan implementasi agar dapat lebih baik dari sebelumnya. Dengan melakukan

learning terhadap pornografi, pemerintah sadar betul bahwa banyak arena yang tidak bisa

mereka kuasai secara penuh. Ini adalah kondisi yang dilematis, ketika pemerintah memiliki

52

kewenangan penuh terhadap pengadaan investasi internet, namun justru pemerintah tidak bisa

memblokir internet itu sendiri dalam rangka implementasi kebijakan pornografi karena akan

berdampak pada citra pemerintahan yang demokratis. Tindakan berikutnya yang kemudian

dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi pornografi secara teknis ialah dengan

melakukan filterisasi konten internet. Hal ini dilakukan Secara teknis filterisasi konten

Internet ini dilakukan dengan cara memblokir situs-situs yang terindikasi berisi konten yang

dilarang berdasarkan undang-undang. Pemerintah kemudian menggandeng perusahaan-

perusahaan ISP dan juga operator seluler yang berperan dalam perkembangan Internet di

Indonesia, sekaligus turut mendukung pemerintah juga memikirkan dampak jangka pendek

dan jangka panjang mengenai fokus content filtering atau filterisasi konten Internet. Namun,

tak hanya memikirkan efeknya, para operator seluler pada khususnya, memikirkan efek

filterisasi konten pornografi ini dalam hal investasi.

Pada bulan agustus 2010, tercatat sebanyak enam operator seluler sudah melakukan

filterisasi konten pornografi. Pemblokiran tersebut dilakukan oleh beberapa operator seluler

yang menguasai hampir 87 persen pangsa pasar internet di tanah air. Pemblokiran yang

dilakukan pun bersifat permanen, bukan temporer, dimana pada pemblokiran tidak hanya

dilakukan pada bulan dimana tepat jatuhnya bulan suci ramadhan bagi umat islam saja yakni

apda agustus 2010, namun juga bersifat seterusnya. Operator seluler yang melakukan langkah

filterisasi konten tersebut ialah Bakrie Telecom, Indosat, Indosat Mega Media (IM2), Telkom,

Telkomsel, dan XL Axiata.11

Pada akhir tahun 2010 hingga tahun 2011, sebuah perangkat pintar, atau dikenal dengan

istilah smartphone yang dikeluarkan oleh pabrikan RIM (Research In Motion) dari Kanada

menuai masalah baru yang cukup pelik. Blackberry sebagai sebuah perangkat pintar,

11Berita berjudul : “Situs Playboy dkk Sudah Diblokir Operator”http://teknologi.vivanews.com/news/read/170239-situs-playboy-dkk-sudah-diblokir-operator. diakses padahari Rabu, 24 Januari 2012, pada pukul 15.30 WIB.

53

memiliki sistem yang berbeda dibanding dengan Handphone kebanyakan. Hal ini akhirnya

membuat pemerintah berpikir bagaimana caranya agar filterisasi konten pun masih bisa

berjalan di dalam perangkat Blackberry. Oleh karena itu, pemerintah melalui Menteri

Komunikasi dan Informasi, Tifatul Sembiring menyerukan tujuh tuntutan kepada RIM selaku

produsen Blackberry, yaitu12 :

1. RIM harus menghormati dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia. Ada tiga undang-undang yang terkait, yakni Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang

kemudian secara teknis melalui pemblokiran website porno yang dapat diakses melalui

server internet Blackberry.

2. RIM diminta membuka perwakilannya di Indonesia sebab pelanggan RIM di Tanah Air

sudah mencapai lebih dari 2 juta.

3. RIM diminta membuka service center di Indonesia untuk melayani dan memudahkan

pelanggan.

4. RIM diminta merekrut dan menyerap tenaga kerja Indonesia secara layak dan

proporsional.

5. RIM diminta sebanyak mungkin menggunakan konten lokal Indonesia, khususnya

mengenai software.

6. RIM diminta memasang software blocking terhadap situs porno, sebagaimana yang

telah dilakukan oleh operator-operator lain di Indonesia.

7. RIM diminta membangun server/repeater di Indonesia agar aparat penegak hukum

12Berita berjudul : “Ini Dia 7 Tuntutan Tifatul untuk RIM!”http://tekno.kompas.com/read/2011/01/09/1459284/Ini.Dia.7.Tuntutan.Tifatul.untuk.RIM. diakses pada hariJum’at 9 Maret 2012 , pada pukul 22.55 WIB.

54

dapat melakukan penyelidikan terhadap pelaku kejahatan, termasuk koruptor.

Pada poin ke enam dapat dicermati bahwa pemerintah menginginkan keseriusan dari

RIM sebagai pemegang merek Blackberry menyatakan keseriusannya dalam menghadapi

pornografi. Akan tetapi, memblokir konten pornografi Internt di perangkat Blackberry tidak

semudah memblokir konten di Handphone biasa. Febriati Nadira, Head of Corporate

Communication PT XL Axiata kepada Kompas.com mengatakan penyebabnya. Untuk

melakukan browsing internet via BB, tidak melalui operator, tetapi langsung melalui RIM.

Dan, hingga saat ini (10 Januari 2011-red) RIM tidak memiliki kebijakan untuk filtering

seperti yang diminta oleh Menkominfo.13 namun, RIM tidak kehilangan akal, kekurangan

yang disampaikan oleh pihak operator ini kemudian dijawab dengan optimis oleh RIM

dengan menggunakan DNS Nawala, sebagai salah satu solusi teknis yang memenuhi

persyaratan Kementrian Kominfo.14

DNS Nawala sendiri adalah sebuah produk teknologi berupa DNS (Domain Name

System), yakni sebuah sistem yang digunakan dalam Internet untuk memetakan host name

sebuah komputer ke IP Address (Ardiantoro, 2008). Jika diterjemahkan ke dalam pemahaman

umum, DNS berfungsi untuk mengarahkan komputer menuju situs-situs yang terdapat dalam

database tertentu. Gambar dibawah berikut adalah salah satu contoh pemblokiran yang

dilakukan oleh RIM dengan menggunakan DNS Nawala:

13Berita Berjudul : “Operator Akui, Susah Membendung Konten BB”http://tekno.kompas.com/read/2011/01/10/11433269/Operator.Akui.Susah.Membendung.Konten.BB. Diaksespada hari Jum’at, 9 Maret 2012 pada pukul 23.00 WIB

14Berita berjudul : “Kenapa RIM Sensor BlackBerry Pakai Nawala?”http://tekno.kompas.com/read/2011/01/20/13232242/Kenapa.RIM.Sensor.BlackBerry.Pakai.Nawala. Diaksespada hari jum’at 9 Maret 2012 pada pukul 23.20 WIB

55

Gambar 1.4 Contoh pemblokiran website di Blackberry15

B. 2. Sosialisasi Internet Sehat: Kerjasama Inter-Implementer

Internet Sehat sebenarnya adalah program sosialisasi yang memfokuskan diri pada

penggunaan internet secara baik dan aman. Berkaca pada watak kebijakan subjek pornografi,

dimana internet harus diwaspadai sebagai salah satu sarana informasi yang bisa

disalahgunakan sebaga. Internet sehat pada awalnya sudah digagas oleh ICT Watch pada

tahun 2002. Internet Sehat ini digagas dengan tujuan awal sebagai sebuah gerakan sosialisasi

penggunaan Internet secara bijak kepada masyarakat. Internet Sehat ICT Watch

menggunakan sistem pendekatan secara bottom-up dalam melaksanakan misinya. Pemerintah

kemudian juga mengeluarkan program dengan nama yang sama, dan juga menggunakan

pendekatan yang kurang lebih sama pula, yakni Internet Sehat dan Aman dengan tim khusus

bernama TSIS (Tim Sosialisasi Internet Sehat), dan memiliki domain dengan alamat situs

www.insan.or.id. Adapun yang membedakan antara Internet Sehat ICT Watch dengan milik

Kementrian Kominfo ialah berdasarkan dasar hukumnya, dan keduanya tidak saling

berkaitan satu sama lain.

TSIS beranggotakan sebanyak 65 orang terdiri atas komponen pemerintah, swasta,

lembaga kemasyarakatan, lembaga keagamaan, kepolisian dan perseorangan. Di dalam TSIS

terbagi atas: pengarah, panel judikasi, pokja publikasi dan sosialiasi, pokja penerima dan

klarifikasi aduan konten, pokja teknis, bidang advokasi dan sekretariat. Sedangkan Internet

15Gambar diambil dari berita berjudul : “Situs-situs Porno Sudah Diblokir di BlackBerry http://tekno.kompas.com/read/2011/01/19/16213757/Situssitus.Porno.Sudah.Diblokir.di.BlackBerry. Diaksespada hari Selasa, 13 Maret 2012 pada pukul 22.45 WIB

56

Sehat ICT Watch tidak memiliki tim khusus dalam mengurus soal pornografi Internet, dan

Internet Sehat hanyalah salah satu dari sekian banyak program dari ICT Watch. Persoalan

mengenai perbedaan ini tidak menuai banyak masalah, justru membuat hubungan antara

pemerintah bersama dengan ICT Watch menjadi lebih harmonis. Untuk lebih menegaskan

lagi perbedaan antara Internet Sehat ICT Watch, dan TSIS milik pemerintah, maka pada tahun

2008 ICT Watch mengadakan diskusi bersama Depkominfo (Dirjen Aplikasi Telematika

Cahyana Ahmadjayadi, Direktur Sistem Informasi Perangkat Lunak dan Konten Lolly Amalia

Abdullah, dan Direktur Pemberdayaan Telematika Bambang Soeprijanto, serta jajarannya), di

kantor Depkominfo. Dari hasil diskusi tersebut, didapat beberapa poin utama yang di-

notulensi-kan sebagai berikut16 :

1). Depkominfo memahami bahwa “Internet Sehat(www.internetsehat.org)” adalah sebuah konsep sosialisasi yang digagaspertama kali oleh ICT Watch pada 2002 silam, yang merupakan kegiatannon-profit dan harus dijaga bersama agar tetap non-profit, tidak dijadikanajang bisnis/komersialiasi oleh pihak-pihak tertentu.

2). Tidak ada hubungannya antara “Tim Sosialisasi Internet Sehat”(TSIS) yang dibentuk oleh Depkominfo (berdasarkan SK menteri/dirjen)dengan “program/komunitas Internet Sehat” yang dijalankan oleh ICTWatch. Meskipun demikian ada sebagian semangatnya yang sama yaitumenyosialisasikan penggunaan internet yang aman dan nyaman bagi anak,siswa, keluarga dan pendidikan.

3). Dari sejumlah kegiatan yang menjadi keunggulan masing-masing,baik ICT Watch maupun Depkominfo akan mengupayakan adanya beberapakegiatan di antaranya yang dapat dilakukan secara bersama dan sinergis.Jika diperlukan, maka tidak menutup kemungkinan akan dilakukankerjasama formal (dalam bentuk MoU) antara Depkominfo dengan ICTWatch.

4). Sebagai pencetus awal nama, konsep dan ide “Internet Sehat”, ICTWatch telah mendaftarkan hak cipta dan hak merek “Internet Sehat” keDirjen HaKI agar tidak ada pihak yang menyalahgunakannya demikeuntungan bisnis / komersialisasi semata.

5). Meskipun sudah didaftarkan ke Ditjen HaKI, untuk berbagaibentuk penggunaan (dan oleh siapapun yang menjalankan) bagi kegiatanpendidikan dan sosialiasi non-profit atas “Internet Sehat”, ICT Watch akanmenggunakan “Creative Common License” (CC), dengan biaya lisensi Rp0,- (tidak berbayar!)

16Notulensi Diskusi diperoleh dari : http://ictwatch.com/internetsehat/2009/02/16/internet-sehat-antara-ict-watch-dan-depkominfo-notulen-diskusi/. Diakses pada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada pukul 21.30 WIB

57

6).Penggunaan nama “Tim Sosialisasi Internet Sehat” dan situs“www.internetsehat.web.id dan/atau www.insan.or.id” oleh Depkominfo,telah disampaikan kepada ICT Watch, dan dari pihak ICT Watchmenyatakan tidak berkeberatan sama sekali mengenai hal itu.

7). Jika memungkinkan, bisa saja dirintis kerjasama sinergisberdasarkan kompetensi masing-masing terkait dengan pengembangankonten pada situs www.internetsehat.org yang dikelola oleh ICT Watch dansitus yang dikelola oleh Depkominfo.

8). Untuk setiap program komunikasi / kampanye “Internet Sehat”yang akan dijalankan oleh Depkominfo ke berbagai media,konten/materinya akan dikonsultasikan terlebih dahulu kepada ICT Watchagar makin memperkuat “ruh” (spirit) dari pesan yang ingin disampaikantersebut

Berbekal dukungan dari berbagai pihak, tak hanya dari masyarakat, dan ICT Watch,

sosialisasi Internet Sehat yang dilakukan oleh pemerintah ini pun didukung penuh oleh

perusahaan operator seluler. PT XL Axiata Tbk (XL) dengan tegas mendukung kampanye

internet sehat dari pemerintah yang dijalankan oleh pemerintah. Pihak XL Axiata sendiri

Sejak 6 tahun silam, bersama ICT Watch, telah mengkampanyekan pemanfaatan internet

secara sehat dan positif bagi seluruh kalangan masyarakat, terutama pelajar. Kampanye

dilakukan baik melalui pelatihan, maupun juga penerbitan buku panduan bagi pelajar dan

orang tua. Berikut ini adalah beberapa dokumentasi kegiatan INSAN :

Gambar 1. 6 Sosialisasi INSAN di Universitas Bina Nusantara

58

Gambar 1.6 Seminar dan sosialisasi INSAN di Hotel Akmani

Gambar 1.7 Sosialisasi Internet Sehat di ITB, Maret 2010

Gambar 1.8 Sosialisasi Internet Sehat bersama XL17

17Gambar diambil dari : http://teknologi.inilah.com/read/detail/1845584/xl-dukung-kampanye-internet-sehat-pemerintah. diakses pada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada pukul 22.30 WIB

59

C. Penutup

Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, mengenai pornografi ini melahirkan

implementasi yang cukup detail dengan menggandeng aktor-aktor non-negara lainnya. Di

sinilah letak pembelajaran yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah sadar, bahwa kini

mereka tidak bisa berjalan sendiri sebagai implementer tunggal. Ada banyak sumberdaya

yang harus dikerahkan, dan sumberdaya itu adalah para aktor non-negara. Responsifitas

terhadap keadaan ini tentu tidak dapat dilakukan jika sebelumnya tidak ada proses

pembelajaran terhadap keadaan yang terdahulu.

Dalam koridor konten kebijakan, pengerahan sumber daya yang dilakukan oleh para

implementer kebijakan ini memang serius. Meskipun disinyalir mengurangi profit para

perusahaan swasta yang bergerak di jasa komunikasi karena harus mengeluarkan extra cost

untuk pembenahan jaringan komunikasi Internet dalam rangka pemblokiran, semua

komponen tetap bisa bersinergi dalam mendukung kebijakan ini. Dukungan tersebut

diwujudkan dalam implementasi yang berbentuk teknis, tidak sebatas pada bantuan moral dan

juga pencitraan semata.

60

BAB IV

Lesson Learned dan Lesson Drawing dalam Kebijakan Publik Pornografi

A. Pengantar

Dalam bab dua, dan tiga, telah dijelaskan mengenai relasi antar implementer yang

memiliki keterkaitan fungsi dan juga kepentingan dalam koridor implementasi kebijakan,

dimana di dalamnya terdapat sebuah pembelajaran yang dilakukan oleh masing-masing

implementer, terutama pemerintah. Namun hal ini tidak cukup dalam menganalisis

implementasi kebijakan tanpa melihat respon yang telah dicapai melalui kerjasama yang telah

dilakukan melalui pemblokiran yang dilakukan oleh korporasi, dan juga sosialisasi Internet

Sehat saja. Pemerintah juga harus melakukan responsi dengan melakukan beberapa metode

dalam membenahi instrumentasi kebijakannya. Diantaranya yang dilakukan oleh pemerintah

ialah dengan melakukan lesson learned dan lesson drawing sebagai salah satu metode

implementasi kebijakan. Dalam penerapan Lesson Learned dan Lesson Drawing, langkah

yang dilakukan pemerintah ialah dengan berusaha menanggapi pornografi dengan metode

pembaharuan mengikuti kemajuan teknologi secara faktual, dan juga aktual berbasis pada

metode-metode baru dalam persebaran pornografi. Tidak hanya dengan menggunakan

pembelajaran pada kebijakan yang telah dikeluarkan, namun juga pemerintah mencoba

mencontoh program yang sudah dilakukan oleh sebuah organisasi lain.

Pemerintah melihat potensi baru pada Internet sebagai media yang mampu menyalurkan

informasi sekaligus juga media persebaran Pornografi. Di titik inilah pemerintah melakukan

kebijakan blokir konten, atau filterisasi konten pornografi dengan menggunakan teknologi

DNS Nawala, yang memiliki kemiripan cara kerja dengan OpenDNS yang dimiliki oleh

NGO di luar negeri. Yang unik, adalah ternyata DNS Nawala adalah produk yang pada

awalnya diebmabngkan oleh Irwin Day, seorang pakar Internet Sehat dari kalangan Civil

61

Society. Ini menarik karena ternyata ada kealpaan yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah

dalam melakukan pemblokiran Internet, sehingga justru menggunakan Nawala sebagai salah

satu basis data utama atas situs-situs yang memiliki konten pornografi. Jika pemerintah

melakukan proses lesson learned dalam ranah substansi kebijakan, maka Nawala hadir,

sebagai sebuah produk atas lesson drawing yang lebih aplikatif

B. Lesson Learned dan Lesson Drawing Dalam Implementasinya

Lesson learned dalam kebijakan pornografi, lahir dalam bentuk inkrementasi kebijakan

atas instrumentasi kebijakan. Sedangkan lesson drawing lahir sebagai bentuk proses

pembelajaran yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan sebuah aktualisasi kebijakan

dan berdasarkan pada kenyataan faktual di lapangan. Dalam kebijakan pornografi, kedua

proses learning tersebut berusaha mendekati media persebaran pornografi dan cara-cara

penyebarannya yang mengalami evolusi digital dalam sisi yang lebih aplikatif.

Jika dianalisis dengan menggunakan koridor konten dan konteks kebijakan, maka

inkrementasi dan instrumentasi kebijakan ini dapat dilihat sebagai aktualisasi diri pemerintah

dalam hal kebijakan publik yang berusaha mengikuti perkembangan masyarakat. Aktualisasi

diri ini dilakukan tidak hanya dalam bentuk yang simbolik, namun juga dalam bentuk yang

lebih realistis lewat instrumentasi kebijakan yang dihadirkan dalam rangka implementasi

kebijakan mengenai pornografi.

Pun begitu pula dalam analisis konteks kebijakan, dimana Kementrian Komunikasi dan

Informasi selaku lembaga pemerintah, memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan.

Kewenangan disini dapat dilihat sebagai sebuah bentuk power of actor involved, dimana

Kementrian Komunikasi dan Informasi memiliki sebuah kemampuan dalam melakukan

kerjasama dan memberlakukan logika kepatuhan kebijakan publik. Disamping itu,

pemerintah juga berusaha melakukan respon terhadap aktor-aktor implementer kebijakan.

62

Salah satunya kepada Nawala yang kemudian berusaha diaplikasikan oleh pemerintah dalam

rangka melakukan tindakan yang sinergi dalam upaya penanggulangan pornografi Internet.

B. 1 Lesson Learned Untuk Perkembangan Kebijakan Pornografi

Perkembangan kebijakan publik yang diterapkan oleh pemerintah dalam menyikapi

persebaran pornografi, adalah salah satu bentuk Lesson Learned dalam kebijakan publik.

KUHP yang dibentuk pada tahun 1945 mengalami kesulitan dalam membaca dinamika

pergerakan persebaran konten pornografi yang kini mulai merambah media digital. Hal ini

dapat ditandai, karena seperti yang tertera dalam KUHP bahwa tidak ada penjelasan secara

mendetail mengenai jenis media yang digunakan dalam menganalisis pelanggaran kesusilaan

yang terjadi. Perkembangan yang dilakukan oleh pemerintah ialah dengan melakukan

penambahan undang-undang. Pemerintah boleh jadi dikatakan melakukan hal itu sebagai

sebuah proses Lesson Learned, dimana pemerintah memadukan kebijakan publik dengan

berusaha membaca dinamika yang terjadi dari masyarakat. Dinamika yang terjadi dalam

masalah pornografi adalah mengenai media dan persebarannya. Dengan bermodalkan KUHP

saja, pemerintah tidak cukup membaca pelanggaran kesusilaan dalam koridor pornografi

Internet, namun juga harus membaca efek domino atas persebaran pornografi secara bebas

dan luas, serta dampaknya terhadap tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Dalam KUHP, konten pornorgrafi yang dilarang ialah konten yang disiarkan secara

luas, namun tidak ada definisi secara jelas mengenai jenis media maupun metode

persebarannya. Hal ini tercantum dalam Pasal 282 KUHP ayat (1), (2), dan (3) sebagai

berikut:

(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinyamelanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan,dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan,gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri,meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan,ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan

63

surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisadiperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulanatau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.(2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan,ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkanatau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalamnegeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memilikipersediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau denganmengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagaibisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk mendugabahwa tulisan, gambazan atau benda itu melanggar kesusilaan, denganpidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribulima ratus rupiah.(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertamasebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lamadua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima riburupiah.

Kalimat yang dicetak tebal dalam ayat diatas menunjukkan indikasi terhadap tidak

adanya penjelasan mendetail mengenai medium konten pornografi yang jelas. Hal ini

disebabkan oleh teknologi yang masih belum terlalu maju dalam persebaran pornografi ketika

KUHP ni dirumuskan. Pornografi masih berkutat pada media cetak, berupa gambar dan

tulisan, dan dengan keterangan di bahwa konten tersebut ditampilkan di muka umum. Hal ini

tidak bisa menjawab keluhan mengenai hadirnya konten pornografi di Internet yang sifatnya

bisa diakses oleh publik, namun dalam perolehan informasinya diperlukan usaha berupa

kemapuan mengoperasikan komputer, dan juga melakukan transfer file (Raharjo, 2002:200).

Internet kini hadir dengan platform Web 2.0 dimana masyarakat bisa menjadi pengisi

konten atas media itu sendiri. Masyarakat pengguna Internet bisa menjadi sumber berita dan

memiliki kemampuan untuk melakukan promosi dirinya sendiri. O’ Reilly (2005) dalam situs

pribadinya mengatakan bahwa platform Web 2.0 yang kini diadopsi, menjadikan komunikasi

terjalin dalam dua arah, dimana ini menjadi sebuah perkembangan dalam arsitektur aspirasi,

pemanfaatan intelegensi kolektif, pengalaman pengguna yang kaya, mempercayai pengguna

64

sebagai rekan pengembang, serta pemanfaatan kerumunan.18 Dari pernyataan O’Reilly

tersebut, dapat dilihat bahwa perkembangan Internet yang semata dinilai sebagai sebuah

media yang dapat diakses oleh publik adalah benar. Dan terjadi sebuah mata rantai antara

satu pengguna dengan pengguna yang lainnya. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan

teraksesnya banyak konten yang berada dalam luar lingkaran pengguna Internet itu sendiri,

karena terjadi pemanfaatan intelegensi secara kolektif, serta pemanfaatan kerumunan dari

sekian banyak pengguna Internet di seluruh dunia.

Menindaklanjuti perkembangan teknologi dengan platform yang lebih cerdas dalam

melakukan komunikasi dua arah, pemerintah merasa ada suatu kekurangan yang didasarkan

pada kelemahan KUHP dalam membaca kecakapan Internet sebagai sebuah media, bukan

hanya sekedar sebagai sebuah teknologi. Pemerintah kemudian berusaha menanggapi hal ini

dengan menelurkan kebijakan berupa Undang-Undang ITE yang melakukan penetrasi

terhadap media yang digunakan dalam persebaran pornografi. Dalam UU ITE tercatat lebih

detail dalam Bab VII mengenai Perbuatan yang Dilarang, dalam Pasal 27 yang berbunyi :

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ataumentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronikdan/atauDokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan

Dalam hal ini jelas, UU ITE bersifat mengatur tentang penggunaan alat elektronik, dan

dalam koridor ini, terdapat pelarangan terhadap distribusi, hingga dapat diaksesnya konten

yang melanggar kesusilaan dalam alat elektronik, sebagaimana yang diperjelas dalam KUHP

mengenai apa itu pelanggaran kesusilaan. Dengan demikian pemerintah semakin

mempertegas kapasitasnya dalam mengatur distribusi pornografi dengan menyatakan bahwa

konten Pornografi dilarang oleh Undang-Undang. Dari pengembangan regulasi yang

18 O’Reilly, T. (2005). What is web 2.0: Design patterns and business models for the next generation ofsoftware. Dapat diakses di http://www.oreilly.com/pub/a/oreilly/tim/news/2005/09/30/what-is-web-20.html.Diakses pada hari Jumat 10 Februari 2012, pada pukul 15.45 WIB.

65

dilakukan oleh pemerintah, terjadi penetrasi yang lebih ketat terhadap pengawasan distribusi

konten pornografi yang hadir di masyarakat. Dengan kata lain, pemerintah semakin

menguatkan eksistensi, serta kemampuannya dalam mengontrol negara dengan cara

mengontrol masyarakat dalam persebaran konten yang memiliki kecenderungan membawa

efek negatif kepada perkembangan moral masyarakat dalam hal kesusilaan.

Tak sampai setahun pasca dikeluarkannya UU ITE, dikeluarkanlah UU Pornografi. UU

Pornografi memberikan sebuah gambaran penjelas mengenai definisi pornografi beserta

media persebarannya yang dilarang. UU Pornografi terbukti lebih detail dalam memberikan

penetrasi lewat penggunaan kata “Pornografi” dalam Undang-Undang ini, bandingkan

dengan Undang-Undang sebelumnya yakni UU ITE yang masih menggunakan kata

“kesusilaan” tidak hanya pada pasal mengenai definisi pornografi, namun hingga pada pasal

yang mengatur ketentuan pidana (Lihat pada Undang-Undang No. 44 th 2008 Pasal 1, 2, 4,

5, 6, 13, 19, 20, 21, 29, 30).

Pembaharuan kalimat ini mengindikasikan bahwa pemerintah melakukan sebuah

metode yang sifatnya inkremental dalam bahasan pembatasan Pornografi. Pornografi lebih

dispesifikkan lagi dalam jenis dan juga persebarannya. Tidak hanya itu, Undang-Undang ini

juga turut menyertakan pasal mengenai peran serta masyarakat pada Pasal 20 dan 21 UU

Pornografi. Dengan kata lain, pemerintah juga memahami bahwa pornografi berpotensi lahir

dari masyarakat, dan pengentasan pornografi dibutuhkan juga peran serta masyarakat sebagai

pihak yang terkena dampak langsung atas terjadinya konsumsi konten pornografi.

Dari paparan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan sederhana, dimana Pemerintah

sebagai implementer kebijakan menggunakan analisis berdasarkan dinamika media sebagai

wadah konten Pornografi. Dinamika media, dan dinamika konsumtivitas media, serta

karakteristik rezim yang berubah dari otoritatif menjadi demokratis adalah tiga poin dasar

pemerintah dalam melakukan inkrementasi kebijakan. Belajar dari kekurangan di masa lalu,

66

kini pemerintah tidak bisa lagi bertindak otoriter seperti dulu, maka itu kemudian

inkrementasi kebijakan dilakukan dalam instrumen undang-undang. Instrumen undang-

undang ini memiliki nilai legitimasi yang lebih rendah dari KUHP. Hal ini secara tersirat

menyatakan bahwa pemerintah masih memiliki concern terhadap pornografi, namun dalam

kaidah yang lebih halus. Adalah penting mengingat bahwa dimensi lesson learned ini

berusaha mempelajari konteks implementasi kebijakan Pornografi, dimana objek kebijakan

terus menerus mengalami dinamika

B. 2 Lesson Drawing dalam Kebijakan Blokir Internet

Tidak hanya berupa lesson learned, pemerintah juga turut menerapkan sebuah langkah

yang berbasis kepada lesson drawing dalam kebijakan mengentaskan persebaran pornografi

Internet. Lesson drawing yang dilakukan oleh pemerintah dibagi ke dalam dua buah level,

yakni lesson drawing dalam hal substansi kebijakan, serta dalam hal instrument kebijakan.

Ada pun dalam hal substansi kebijakan, pemerintah melakukan implementasi berupa

kebijakan filterisasi Internet. Sedangkan dalam level instrumen kebijakan, pemerintah

menerapkan instrumen berupa pemblokiran situs internet dengan menggunakan teknologi

DNS.

Dalam level substansi, kebijakan mengenai pemblokiran Internet ini sudah bukan hal

yang baru di beberapa negara, di antaranya di Benua Asia. Negara-negara yang melakukan

implementasi kebijakan tersebut memiliki tujuan yang berbeda, dan melahirkan kebijakan

yang berbeda pula dalam hal instrumentasi kebijakan, dan implementasinya. Filterisasi

konten Internet melalui cara pemblokiran website dan konten Internet tak hanya dilakukan di

Indonesia, banyak Negara juga sudah melakukan hal tersebut. Merujuk pada penelitian yang

dilakukan oleh ONI (OpenNet Initiative)19, kebijakan pemblokiran Internet di negara-negara

19 OpenNet Initiative adalah kolaborasi dari empat institusi yang bergerak dalam penelitian Internet, Sosio-kultural, hukum, politik, dan kebijakan publik. Keempat institusi tersebut adalah The Citizen Lab (University ofToronto), The Oxford Internet Institute dari Oxford University, The Berkman Center for Internet & Society di

67

asia memang sudah diterapkan. ONI melakukan penelitian di beberapa negara yang

menggunakan pemblokiran internet terhadap konten-konten tertentu. China, Myanmar, dan

Vietnam memberlakukan pemblokiran internet secara menyeluruh dan mendalam dalam

masalah konten yang berbau politis, atau yang berkaitan dengan kondisi politik negara. Tidak

jauh berbeda dengan tiga negara tersebut, Thailand dan Pakistan juga melakukan hal yang

sama dalam memblokir konten yang berbau politik. Termasuk filterisasi berita mengenai

pemerintahan. Dalam substansi yang berbeda, beberapa negara lain di Asia juga melakukan

kebijakan mengenai pemblokiran Internet. Kali ini dalam koridor konten porografi, yang

dilakukan oleh negara-negara seperti Singapura, Thailand, China, dan Pakistan (Deibert:

2008: 155).

Sedangkan lesson drawing dalam instrumen kebijakan di Indonesia bernama Nawala

Project, sebuah instrumen kebijakan yang nyata hasil kerjasama pemerintah bersama

implementer lainnya. Nawala Project ini lahir dengan menggunakan teknologi yang kurang

lebih sama dengan OpenDNS, sebuah program yang memiliki kemampuan untuk memblokir

situs-situs yang dianggap dapat membahayakan bagi para pengguna Internet.

C. Nawala Project: Produk Lesson Drawing

Responsi pemerintah dalam implementasi kebijakan Pornografi diwujudkan dalam

bentuk instrumen kebijakan yang lahir atas inisiatif lesson drawing dalam koridor instrumen

kebijakan. Tersebut dikenal dengan nama Nawala Project. System pemblokiran ini

menggunakan cara pemblokiran di DNS, yakni dengan memblokir melalui pengalihan data ke

computer server DNS dan kemudian dilakukan penyaringan berdasarkan situs-situs yang

sebelumnya dilakukan pendataan layak akses, maupun tidak layak akses. Penggunaan DNS

Harvard Law School, dan University of Cambridge. Informasi selengkapnya bisa diakses melalui situshttp://www.opennet.net .

68

ini bias dikatakan cukup mudah dan tidak memakan biaya apapun, sehingga memudahkan

banyak pihak termasuk masyarakat dalam mengaplikasikannya. Kementerian Komunikasi

dan Informasi selaku pihak pemerintah yang memiliki kewenangan mengatur arus

komunikasi dan informasi di Indonesia memegang peranan yang cukup besar dalam

kebijakan pemblokiran Internet atau filterisasi konten ini. Oleh karena itu, proses Nawala

Project tidak hanya mengandalkan kemampuannya sendiri, namun dengan menggandeng

banyak aktor.

C.1 Kolaborasi Tiga Implementer: Meniru OpenDNS

OpenDNS, sebuah produk layanan gratis dalam bentuk yang kurang lebih sama seperti

DNS Nawala. OpenDNS bukanlah sebuah perangkat lunak, Ia adalah sebuah sistem yang

bekerja pada komputer siapa saja sebagai penterjemah sebuah situs, menjadi sebuah alamat

IP Address. Dari terjemahan itulah kemudian, DNS memiliki kemampuan untuk menyaring

sebuah website, ketika alamat IP Adderss nya diketahui memiliki potensi merugikan

pengguna Internet. Diluncurkan tahun 2006 oleh David Uletich, seorang hacker, sekaligus

entrepreneur, OpenDNS berkembang cepat dan dikenal cukup luas dikalangan para netizen.

Ia berhasil dikenal karena memiliki kemampuan yang berbeda dibandingkan dengan DNS

lainnya yang bersifat komersial. Biasanya, produk DNS lain memiliki kemampuan untuk

merubah alamat seseorang saja. Seseorang dengan menggunakan DNS bisa merubah alamat

IP Addressnya menjadi suatu tempat di tempat lain dimana server DNS itu berdiri. Namun,

OpenDNS memiliki kemampuan dalam melakukan pemblokiran, yang didasarkan pada

beberapa kategori, seperti :

ñ Filterisasi Konten

ñ Proteksi dari situs-situ phising/ jebakan

ñ Memblokir domain-domain tertentu

69

ñ Memblokir situs-situs dewasa

ñ Memblokir web proxy

ñ Dan lain-lain.

Kelebihan inilah yang membuat OpenDNS banyak digunakan oleh masyarakat di

seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia maupun negara-negara maju. Bermarkas di San

Fransisco, California, OpenDNS telah digunakan lebih dari 30 juta orang yang memiliki

koneksi ke Internet. Seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, satu dari tiga sekolah di

Amerika menggunakan OpenDNS sebagai alat filterisasi internet yang fasih.20 Tidak hanya

Amerika Serikat saja yang menggunakan OpenDNS sebagai alasan keamanan Internet,

beberapa Negara seperti Algeria, Mesir, dan Turki juga turut menggunakan OpenDNS,

namun bukan dalam taraf sensor, melainkan pada permasalahan yang berbeda. Meskipun

demikian OpenDNS memiliki tingkat kepercayaan publik secara global yang memungkinkan

Ia digunakan dan dipercaya oleh banyak pengguna Internet di seluruh dunia dalam rangka

menuju akses Internet yang bersih dan aman.21

Agak sedikit berbeda dengan OpenDNS, Nawala project adalah sebuah proyek yang

dilakukan oleh AWARI (Asosiasi Warung Internet Indonesia), dalam hal ini sebagai civil

society sebagai sikap mereka dalam mendukung pemerintah untuk menanggulangi arus

pornografi Internet. Nawala Project berhasil menelurkan sebuah produk teknologi dalam

bentuk DNS, yakni DNS Nawala. DNS Nawala, adalah produk yang lahir dalam rangka

menanggulangi pornografi melalui cara memblokir konten pornografi yang ada di Internet

dengan cara yang kurang lebih mirip dengan OpenDNS.

20 http://www.opendns.com/about/ . Diakses pada hari Jumat, 23 Maret 2012 pada pukul 22.00

21Artikel Berjudul: “The role of government in content filtering”. Disadur dari blog resmi OpenDNShttp://www.blog.opendns.com/2011/10/12/the-role-of-government-in-content-filtering/ Diakses pada hariJumat 23 Maret 2012 pada pukul 23.15 WIB

70

Tentunya, Nawala tidak sepenuhnya mirip dengan OpenDNS, Ia hanya mengambil poin

utama dari apa yang dilakukan oleh OpenDNS dalam rangka memfilter Internet agar layak

untuk dikonsumsi. Nawala dapat digunakan untuk umum, maupun untuk warnet, agak

berbeda dengan sistem blokir konten pornografi yang dilakukan oleh para penyedia jasa

internet. Berikut adalah perbedaan-perbedaan yang terdapat antara Nawala dan OpenDNS.

Gambar Perbandingan DNS Nawala dan OpenDNS22

Dari tabel diatas, dapat dijelaskan beberapa hal yang dapat digunakan sebagai bahan

penilai dan pembanding antara DNS Nawala dan OpenDNS, yaitu :

1. Tahapan Penggunaan

DNS Nawala tidak mengharuskan pengguna melakukan registrasi; sedangkan

OpenDNS mewajibkan proses registrasi. Pada DNS Nawala cukup merubah alamat DNS

Server menjadi 180.131.144.144 dan/atau 180.131.145.145. Lebih cepat dan langsung dapat

digunakan. Dalam hal ini DNS Nawala akan sangat mudah diaplikasikan oleh orang awam

sekalipun.

22 Gambar diambil dari : http://www.nawala.org/berita/artikel-teknologi/95-mengapa-saya-memilih-dns-nawala .Diakses pada hari sabtu, 24 Maret 2012, pada pukul 01.30 WIB.

71

2. Registrasi Pengguna

Registrasi pada OpenDNS diwajibkan agar pengguna dapat melakukan pengaturan pada

account yang dimilikinya, dengan demikian kategori apa saja yang harus dihadang dapat

ditetapkan sendiri oleh pengguna. Proses ini ditiadakan pada DNS Nawala karena dari awal

sudah ditetapkan bahwa DNS Nawala akan berfungsi menapis situs-situs yang berkandungan

negatif seperti pornografi, perjudian, malware, phising (penyesatan) dan proxy juga SARA.

3. Penggunaan Kategori Hadangan dan Pembagian Kategori

Pembagian kategori pada DNS Nawala dibuat sesedehana mungkin namun sangkil dan

mangkus, yaitu 6 kategori seperti yang telah disebutkan di atas. Jumlah ini hanya berkisar

11% dari kategori yang digunakan OpenDNS yaitu 55 kategori. Pembagian kategori

OpenDNS yang sedemikian besar terasa merepotkan dan juga membingungkan bagi

pengguna pemula. Kerepotan itu muncul ketika kita akan memilih kategori yang sesuai.

Sebagai contoh untuk 1 kategori (pornografi) pada DNS Nawala “diwakili” oleh 5 kategori

pada OpenDNS. Dilihat membingungkan karena fungsi Penapisan DNS adalah untuk

kandungan negatif (blacklist), namun kategori meluas sampai pada kategori whitelist. (DNS

Nawala 2 : OpenDNS 1)

4. Pelaporan Situs

Proses pelaporan situs pada DNS Nawala dapat dilakukan melalui situs DNS Nawala

secara langsung tanpa harus melakukan registrasi. Pelapor hanya diwajibkan mengisi

beberapa kolom data yang selanjutnya akan terekam sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dari pelapor. Jika pelaporan hanya satu situs saja, cara yang diterapkan DNS Nawala tidak

72

merepotkan. Tetapi jika sudah melakukan pelaporan dalam jumlah banyak baru akan terasa

merepotkan. Hal ini tidak terjadi pada OpenDNS. Meskipun mewajibkan registrasi,

selanjutnya proses pelaporan (submitted domain) justru lebih sederhana dan dapat dilakukan

sekaligus untuk banyak situs. Kelebihan dari OpenDNS yang mampu menerima pelaporan

berganda (multiple submitted) juga akan diadaptasi dalam DNS Nawala demi kenyamanan

pengguna dan/atau pelapor. (DNS Nawala 1 : OpenDNS 2)

5. Tanggapan Pelaporan

Tanggapan dari situs yang dilaporkan berjalan sangat cepat pada DNS Nawala. Waktu

maksimum tanggapan adalah 1 x 12 jam untuk situs yang termasuk kategori pornografi,

perjudian, malware, phising dan proxy. Untuk kategori SARA akan melalui proses

pertimbangan dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki pengetahuan lebih mendalam

terkait kategori tersebut. Sedangkan pada OpenDNS, tanggapan pelaporan dilakukan melalui

proses pilihan (voting) dan/atau langsung disetujui oleh moderator/admin jika sudah ada

dalam database. Tidak diketahui berapa banyak pemilih yang dibutuhkan untuk menyetujui

situs yang dilaporkan, karena salah satu situs yang masuk kategori pornografi pada DNS

Nawala masih “menggantung” statusnya pada OpenDNS setelah dilaporkan 2 tahun lalu.

6. Pelacakan Status Situs

Pelacakan status situs bermanfaat untuk mengetahui apakah ada situs yang salah dalam

pengkategorian ataupun untuk melihat apakah suatu situs sudah masuk dalam daftar

hadangan. Pada OpenDNS, pelacakan situs berjalan sangat baik, dan menyatu dengan

pelaporan salah kategori. Fungsi pelacakan pada DNS Nawala sementara berdasarkan

pertimbangan tertentu dinon-aktifkan; sementara fungsi pelaporan salah pengkategorian tetap

tersedia.

73

7. Koreksi Kesalahan Domain

Kesalahan dalam pengetikan nama situs (domain) yang dapat menyesatkan pengguna

ke situs-situs palsu dapat dihindari dengan adanya fitur koreksi pengetikan pada OpenDNS.

Fitur serupa juga disediakan pada DNS Nawala, namun dinon-aktifkan sementara waktu

karena pertimbangan tertentu pula. (DNS Nawala 1 : OpenDNS 2)

DNS Nawala yang dikembangkan oleh AWARI, yang kemudian coba disosialisasikan

oleh pemerintah agar bisa diterapkan secara meluas di Indonesia. Dalam harapan pemerintah,

penerapan DNS Nawala tidak hanya sebatas di lingkungan kantor pemerintahan saja, namun

juga dilakukan di banyak tempat publik yag memiliki kemampuan untuk mengakses Internet,

seperti warnet, dan juga tempat-tempat hotspot di banyak lokasi.

Pada awal sosialisasinya, dalam waktu 3 bulan, DNS Nawala berhasil melakukan

filterisasi konten Internet yang dianggap berbahaya dalam jumlah besar. Konten yang

berhasil disaring tidak hanya berbau Pornografi, namun juga konten yang berupa malware,

atau berisi virus computer, dan berpotensi mencuri data-data pribadi. Dalam waktu 3 bulan

tersebut DNS Nawala berhasil menyaring sebesar 70ribu query per menit, hal ini tentunya

setara dengan 100,8 juta query per harinya. Dengan kata lain, DNS Nawala berhasil

melakukan penyaringan terhadap. Diungkapkan oleh Irwin Day dalam blog kompasiana nya,

bahwa angka itu tidak sedikit bagi sebuah sistem yang baru berjalan selama 3 bulan.

Disamping itu pula, pengguna DNS Nawala bisa dikatakan cukup besar. Sebanyak 12 juta

pengguna Internet sudah menggunakan produk ini.

Pemerintah menyambut positif hal ini dan kemudian meresmikan DNS Nawala pada

tanggal 17 November 2008. Pada tahun 2009 pun, pemerintah kemudian melakukan bantuan

74

dengan melaksanakan uji coba DNS Nawala pada server PT Telkom.23 Tidak hanya bantuan

berupa pelaksanaan uji oba, pemerintah pun menerapkan DNS Nawala di kantor

pemerintahan. Salah satunya yang memprakarsai program Nawala ini dipasang di kantor

pemerintahan adalah di Pemerintah Kota Bogor pada tahun 2010. Tidak hanya pkantor

pemerintahan, namun juga warnet-warnet diberikan pengarahan langsung untuk memasang

DNS Nawala pada jaringan yang mereka gunakan. Peraturan mengenai pemasangan DNS

Nawala ini bahkan hadir sebagai sebuah Peraturan Daerah.24

Dengan hasil kerjasama yang dilakukan bersama pemerintah, DNS Nawala juga

kemudian diterapkan di beberapa perusahaan penyedia jasa internet sebagai sumber data

situs-situs terbaru yang terdata sebagai situs dengan konten pornografi. Perkembangan

internet yang sangat pesat, dan pertumbuhan situs yang tinggi membuat proses pembaharuan

data diperlukan, dan Nawala menjadi salah satu sumber yang digerakkan oleh civil society

sebagai salah satu sumberdaya implementasi, sekaligus sumbery pengayaan yang terus

mengalami pembaruan data.

Penggunaan DNS Nawala memang menitikberatkan pada konten internet yang

memiliki tendensi pelanggaran yang terdapat dalam KUHP, UU ITE, maupun UU Pornografi.

Untuk situs Internet yang memiliki tendensi pelanggaran terhadap SARA, memerlukan tahap

diskusi lebih lanjut untuk dilakukan pemblokiran. Namun, Nawala adalah bukti nyata

pembelajaran yang dilakukan oleh para implementer, terutama pemerintah dalam melakukan

pemberantasan Pornografi tanpa harus memberikan hukuman terhadap pelanggaran

23Artikel berjudul: “Server DNS Nawala-Telkom” disadur dari blog penggagas DNS Nawala, sekaligus ketuaAWARI, Irwin Day, di : http://irwinday.web.id/2009/10/13/server-dns-nawala-telkom/. Diakses pada hariRabu, 29 Februari pada pukul 19.45 WIB

24Artikel berjudul: “Semua Warnet dan Kantor Pemerintah Wajib pakai Nawala” disadur dari berita di :http://tekno.kompas.com/read/2010/08/06/18533375/Semua.Warnet.dan.Kantor.Pemerintah.Wajib

.Pakai.Nawala. Diakses pada hari Rabu, 29 Februari pada pukul 22.57 WIB

75

Pornografi, namun lebih kepada mencegah orang untuk melakukan akses terhadap

Pornografi.

D. Penutup

Proses learning yang dilakukan oleh Pemerintah diaplikasikan di level substansi

kebijakan, dan juga instrumen kebijakan. Kedua hal ini penting dalam implementasi,

mengingat konten kebijakan tidak selalu berjalan sesuai dengan konteks implementasi nya.

Ada kecenderungan muncul sebuah gap antara konten dan konteks, karena konteks

masyarakat yang selalu memiliki dinamika. Langkah pemerintah dalam mengamankan

serangan dari dunia maya termasuk dalam hal konten Pornografi ditunjukkan dalam respon

dengan melakukan pembenahan instrumen kebijakan Pornografi melalui cara lesson learned

dan lesson drawing. Hal ini dilakukan demi menjawab tantangan jaman dan metode

persebaran pornografi yang semakin luas dan masif melalui Internet.

Ketiga implementer, pemerintah, swasta, maupun civil society, masing-masing

memiliki andil dalam mengimplementaskan kebijakan pornografi ini sendiri. Proses lesson

learned yang dilakukan oleh pemerintah, melalui proses pembacaan watak kebijakan

pornografi yang juga sekaligus membaca pergerakan watak pornografi berhasil membaca

langkah selanjutnya untuk kemudian, dilanjutkan dengan lesson drawing. Hal ini dilakukan

oleh para implementer dengan melakukan bantuan berupa pemblokiran pornografi sebagai

salah satu cara yang dirasa paling efektif dan efisien. Dengan meniru OpenDNS, ketiga

implementer ini berusaha dan bekerjasama untuk memberangus konten pornografi di internet

tanpa harus membunuh internet itu sendiri.

76

BAB V

KESIMPULAN

A. Dinamika Implementasi Kebijakan Pornografi

Pornografi, sebuah kisah lama akan degradasi moral manusia yang diumbar melalui

berbagai media. Pornografi dan Internet, sebuah perpaduan manis antara media dengan

sebuah jenis konten media yang mampu membuat banyak pihak pun khawatir akan dampak

konsumtivitasnya. Pemerintah membuat Undang-Undang, masyarakat pun mulai peduli untuk

menghadapinya secara serius. Bahkan korporasi yang berinvestasi dalam bidang sinyal

komersial pun turut mencari cara agar mereka bisa turut serta sekaligus mencari pencitraan.

Sudah bukan fenomena yang aneh lagi ketika pornografi Internet menyerang Indonesia

melalui situs-situs luar negeri yang menyediakan kemudahan aksesibilitas pornografi. Hanya

perlu beberapa klik, dan ketikan di keyboard, lalu voila! Muncullah imaji libido dan fantasi

sensualitas, bahkan seksualitas manusia. Pornografi Internet menjadi semakin banal seiring

dengan meleknya masyarakat Indonesia dengan Internet. Internet telah menjadi bagian rutin

dari kehidupan manusia, sebagaimana kehidupan fisik, kehidupan virtual ini pun

menunjukkan peningkatan integritas (Juris, 2005). Perkembangan yang pesat ini pun

membuahkan prestasi bagi Indonesia sebagai negara kedua pengakses pornografi terbesar di

dunia.

Inkrementasi dan pembelajaran, dua kata tersebut menjadi kunci dimana Pemerintah

bisa melakukan implementasi kebijakan Pornografi. Dinamika yang terjadi dalam kehidupan

masyarakat perihal media sebagai wadah pornografi membuat pemerintah melakukan banyak

perbaikan dalam Kebijakan Publik. Tak hanya masyarakat, namun juga masalah rezim yang

memiliki perubahan dari otoritatif menjadi demokratis memberikan implikasi secara langsung

kepada pemerintah bahwa perlu dilakukan tindakan yang inkremental sehingga mampu

77

menjawab tantangan Pornografi yang berkembang seiring dengan perkembangan teknologi

media. Dalam tinjauan konten kebijakan, kepentingan yang dipengaruhi, manfaat yang aktual,

pemanfaatan sumber daya, sudah dilakukan oleh pemerintah dalam hal implementasi

kebijakan pornografi ini. Terlihat dari bentuk kerjasama pemerintah dalam menggandeng

aktor non-negara dalam bersama-sama menggerakan tenaga terwujudnya implementasi

kebijakan melalui program yang teknis maupun substantif. Sedangkan dalam tinjauan konteks

kebijakan, pemerintah dalam hal ini memiliki karakteristik yang cenderung memberikan

batasan, namun berkiblat pada kaidah yang tetap harus dipatuhinya dengan tidak membatasi

arus informasi melalui Internet.

Dalam konten dan konteks kebijakan, proses pembelajaran atau learning ternyata

diperlukan dalam menelaah beberapa masalah publik. Salah satunya adalah masalah publik

pornografi ini. Pornografi sebagai masalah yang berkembang secara terus menerus

membutuhkan proses pembelajaran dari titik awal bagaimana dia melakukan metamorfosis

dalam wadah media nya. Ini penting, bahkan untuk semua masalah publik yang memiliki

metamorfosis, tidak hanya pornografi.

Paparan bab-bab sebelum ini, menunjukkan bahwa kealpaan pemerintah sebagai

implementer, sekaligus stakeholder dan juga perumus kebijakan, hanya mampu membaca

pornografi dalam ranah yang substantif. Padahal, masalah publik adalah masalah yang

aplikatif, faktual, dan aktual. Dibutuhkan sebuah tindakan yang juga bersifat aktif dan keluar

dari jalur-jalur yang bersifat nilai semata.

B. Kontribusi Studi Kebijakan Pornografi Terhadap Teori Kebijakan

Penelitian yang saya lakukan ini sebagai sebuah bentuk pertanyaan awal saya terhadap

kebijakan publik yang kurang mengedepankan masalah pembelajaran. Pembelajaran adalah

sebuah hal penting, bahkan founding father Indonesia yakni Soekarno pun berkata ”Jas

78

Merah“, Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah adalah suatu hal yang pernah terjadi,

dan pernah dialami, baik secara personal, maupun banal. Kajian studi kebijakan publik masih

jarang yang menggunakan lesson learned dan lesson drawing sebagai salah satu motivasi

pembentukan kebijakan publik. Pada realitasnya, persoalan publik mengalami dinamika terus

menerus. Pornografi hanyalah salah satu contoh persoalan publik yang mengalami dinamika

dalam metode persebaran, dan juga dalam konteks rezim yang memiliki dinamika kekuasaan

berbeda ketika Orde Baru dan Orde Reformasi. Ada penanganan yang berbeda dalam

penelaahan kasus pornografi. Jika dulu semua kasus pornografi mendapatkan tuntutan

berdasarkan KUHP, dan kini pemerintah lebih soft dengan mencegah Pornografi itu sendiri

melalui pemblokiran Internet.

Studi ini merupakan studi politik, karena memiliki fokus pada studi kebijakan publik

yang membahas mengenai dinamika kebijakan tersebut.

Tulisan ini memang masih memiliki banyak kekurangan dalam menganalisis kebijakan

publik pemerintah dalam mengatasi pornografi Internet. Masih banyak produk anti-pornografi

Internet yang dilakukan oleh banyak pihak. Namun, penulis berharap melalui tulisan ini

mampu mengingatkan bahwa selama ini pemerintah tidak menutup mata akan bahayanya

Pornografi Internet, dan kemudian berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi rakyatnya.

Meskipun berbagai kritik diluncurkan, pemerintah tetap maju dan terus berinovasi melalui tim

khusus yang dibentuknya untuk memantau perkembangan Internet di Indonesia, serta

sosialisasi Internet Sehat dengan tujuan masyarakat Indonesia yang cerdas, bijak, dalam

penggunaan teknologi dan media.

**********

79

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, dan Makalah :

Adji, Oemar Seno, Beberapa Aspek Dalam Hukum Pers, Jakarta. 1973

Ahmad, Mustafa Adil. The Erotic and The Pornographic in Arab Culture. British Journal of

Aesthetics vol. 4. 1994

Bonger, W. A. Pengantar Tentang Kriminologi. Jakarta. Pembangunan. 1982

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta. Gramedia. 2006

Deibert, Ronald, Palfrey, Rohozinski. Access Denied : The Practice and Policy of Global

Internet Filtering. Cambridge, Massachusetts. The MIT Press. 2008

Dunn, William. Merumuskan Kebijakan Publik. Yogyakarta. Gama Press. 2000

Fukuyama, Francis. Memperkuat Negara Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21.

Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 2005

Grindle, Merilee S. Politics and Policy Implementation in the Third World. Princeton

University Press. 1980

Hill. T, David, and Sen, Krishna. The Internet in Indonesia’s New Democracy. Routledge.

2005.

Lesmana, Tjipta. Pornografi Dalam Media Massa. Puspa Swara. Jakarta. 1995

Lounamaa. P. H, and March. James. G. Adaptive Coordination of Learning Team.

INFORMS. 1987.

80

Marcuse, Herbert. One Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial

Society. Routledge, London. 1964

Margetts, Hellen Z. The Internet and Public Policy. Policy and Internet. Vol. 1: ISS . 1

Article 1. 2009

McQuail, Dennis. McQuail’s Mass Communication Theory. London: Sage Publications. 2005

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Rosdakarya. 2007

Mulder, N. Pribadi dan Masyarakat Jawa. Jakarta. Sinar Harapan. 1985

Nahal, Rogpas. Cyber Crime &Digital Evidence – Indian Perspective. Asian School of

Cyberlaws. 2008

Parsons, Wayne. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta.

Kencana. 2006

Raharjo, Agus. CYBERCRIME. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2002

Rose, R. Lesson Drawing in Public Policy: A Guide to Learning time and Space. Chatam.

New Jersey. 1993

Rose, R. Learning From Comparative Public Policy: A Practical Guide. Routledge. New

York. 2005

Winarno, Budi. Kebijakan Publik : Teori dan Proses. Jakarta. Penerbit Media Pressindo.

2008

Berita dan Artikel :

“Indonesia duduki peringkat kedua di dunia pengakses situs porno”

(http://www.perempuan.com/indonesia-duduki-peringkat-kedua-di-dunia-pengakses-situs-porno/ ).

Diakses Kamis, 14 Juli 2011 pukul 19.45 WIB

81

“ ESET: Internet merupakan Ancaman Besar Bagi Anak”

http://techno.okezone.com/read/2011/08/26/55/496855/eset-internet-merupakan-

ancaman-besar-bagi-anak. Diakses Kamis, 9 Februari 2012 pukul 15.30 WIB

Artikel berjudul “Pornografi Internet Ancam Anak Indoneia”

http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/03/08/pornografi-internet-ancam-

anak-indonesia/. Diakses Kamis, 9 Februari 2012 pukul 16.00 WIB

Artikel berjudul “Cyber Pornography”

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b86b6c16c7e4/cyber-pornography-

%28pornografi-dunia-maya%29- . Diakses Kamis, 9 Februari 2012 pukul 17.00 WIB

Artikel Berjudul : “ Thailand Blokir 5.000 Laman Penghina Kerajaan” diakses dari :

http://www.republika.co.id/berita/trendtek/internet/12/03/14/m0vpvr-thailand-blokir-5000-

laman-penghina-kerajaan Diakses Senin, 4 April 2012 pukul 22.20 WIB

Berita ANTARA, 18 September 2008 berjudul: “UU Pornografi Intervensi Kebebasan dan

Kehidupan Pribadi” http://www.antaranews.com/view/?i=1221742471&c=NAS&s=. Diakses pada hari

Minggu, 12 Februari 2012 pukul 20.30 WIB

Berita Kompas, 22 September 2008 berjudul: “ RUU Pornografi Bnetuk Totalitarianisme

Negara”

http://nasional.kompas.com/read/2008/09/22/21151958/ruu.pornografi.bentuk.totalitarianisme.negara.

Diakses pada hari Senin, 13 Februari pukul 17.05 WIB

Berita detik, Rabu, 29 oktober 2008 berjudul: “8 Fraksi Teken Draft RUU Pornografi”

http://news.detik.com/read/2008/10/29/002128/1027546/10/8-fraksi-teken-draft-ruu-pornografi. Diakses

pada hari Sabtu, 3 Maret 2012 pukul 15.40 WIB

Situs resmi ID-SIRTII : www.idsrtii.or.id/profil-id-sirtii/tugas-dan-fungsi/. Diakses pada hari

82

Minggu, 8 Agustus 2011 pukul 20.05 WIB

Berita Berjudul : “Tutup Akses Konten Esek-esek” http://www.koran-jakarta.com/berita-

detail.php?id=60237. Diakses pada hari Rabu, 8 Februari 2012 pada pukul 17.25 WIB.

Anggota APJII:

http://www.apjii.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=106%3A2011&catid=36%3Aanggota

&Itemid=11 Diakses hari Sabtu, 11 Februari 2012 pada pukul 15.35 WIB

Definisi Bandwidth http://www.sentra-edukasi.com/2009/07/materi-telkom-definisi-bandwidth.html.

Diakses pada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada pukul 19.35 WIB

Struktur organisasi ICT Watch http://ictwatch.com/internetsehat/tentang-hubungi-kami/. Diakses

pada hari Kamis, 2 Februari 2012 pada pukul 21.15 WIB

Artikel berjudul : “ Sejarah Awal gerakan Internet Sehat di Indonesia”

http://ictwatch.com/internetsehat/2010/02/10/7-tahun-silam-kini-internet-sehat-rakyat-diakui-

internasional/. Diakses pada hari Senin, 30 Januari 2012 pada pukul 13.30 WIB.

Berita berjudul : “Situs Playboy dkk Sudah Diblokir Operator”

http://teknologi.vivanews.com/news/read/170239-situs-playboy-dkk-sudah-diblokir-operator. diakses pada

hari Rabu, 24 Januari 2012, pada pukul 15.30 WIB.

Berita berjudul : “Ini Dia 7 Tuntutan Tifatul untuk RIM!”

http://tekno.kompas.com/read/2011/01/09/1459284/Ini.Dia.7.Tuntutan.Tifatul.untuk.RIM. diakses pada

hari Jum’at 9 Maret 2012 , pada pukul 22.55 WIB.

Berita Berjudul : “Operator Akui, Susah Membendung Konten BB”

http://tekno.kompas.com/read/2011/01/10/11433269/Operator.Akui.Susah.Membendung.Konten.BB.

Diakses pada hari Jum’at, 9 Maret 2012 pada pukul 23.00 WIB

Berita berjudul : “Kenapa RIM Sensor BlackBerry Pakai Nawala?”

83

http://tekno.kompas.com/read/2011/01/20/13232242/Kenapa.RIM.Sensor.BlackBerry.Pakai.Nawala.

Diakses pada hari jum’at 9 Maret 2012 pada pukul 23.20 WIB

Gambar diambil dari berita berjudul : “Situs-situs Porno Sudah Diblokir di BlackBerry

http://tekno.kompas.com/read/2011/01/19/16213757/Situssitus.Porno.Sudah.Diblokir.di.BlackBerry.

Diakses pada hari Selasa, 13 Maret 2012 pada pukul 22.45 WIB

1Notulensi Diskusi diperoleh dari : http://ictwatch.com/internetsehat/2009/02/16/internet-sehat-

antara-ict-watch-dan-depkominfo-notulen-diskusi/. Diakses pada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada

pukul 21.30 WIB

Gambar diambil dari : http://teknologi.inilah.com/read/detail/1845584/xl-dukung-kampanye-internet-

sehat-pemerintah. diakses pada hari Kamis, 2 Februari 2012, pada pukul 22.30 WIB

Berita Berjudul : “Tifatul Klaim Hampir Sejuta Situs Porno Sudah Diblokir”

http://techno.okezone.com/read/2012/02/06/55/570236/tifatul-klaim-hampir-sejuta-situs-porno-sudah-

diblokir. diakses pada hari kamis, 2 februari 2012 pada pukul 23.45

Artikel Berjudul :”Studi: 20% Blokir Porno Internet Tidak Efektif

http://www.inilah.com/read/detail/1143432/studi-20-blokir-porno-internet-tidak-efektif. diakses pada hari

jum’at 9 februari 2012 pada pukul 22.55 WIB

Berita Berjudul : “Pemblokiran Situs Porno Takkan Berantas Pornografi”.

http://tekno.kompas.com/read/2012/03/18/00004172/Pemblokiran.Situs.Porno.Tak.Akan.Berantas.Pornograf

i. diakses pada hari jumat, 9 maret 2012 pada pukul 22.30 WIB

Berita Berjudul : “XL Dukung Internet Sehat” http://www.radar-

bogor.co.id/index.php?rbi=berita.detail&id=92174. Diakses pada hari kamis, 2 februari 2012 pada

pukul 23.05 WIB

Berita berjudul : “Pemblokiran Situs Porno Tidak Akan Dihentikan”

84

http://tekno.kompas.com/read/2011/11/25/08034369/Pemblokiran.Situs.Porno.Tidak.Akan.Dihentikan.

diakses pada hari Jumat, 30 Maret 2012 pada pukul 16.50 WIB.

O’Reilly, T. (2005). What is web 2.0: Design patterns and business models for the next

generation of software. http://www.oreilly.com/pub/a/oreilly/tim/news/2005/09/30/what-is-web-

20.html. Diakses pada hari Jumat 10 Februari 2012, pada pukul 15.45 WIB.

Artikel berjudul: “Server DNS Nawala-Telkom” disadur dari blog penggagas DNS Nawala,

sekaligus ketua AWARI, Irwin Day, di : http://irwinday.web.id/2009/10/13/server-dns-nawala-

telkom/. Diakses pada hari Rabu, 29 Februari pada pukul 19.45 WIB

Artikel Berjudul: “The role of government in content filtering”. Disadur dari blog resmi

OpenDNS http://www.blog.opendns.com/2011/10/12/the-role-of-government-in-content-filtering/

Diakses pada hari Jumat 23 Maret 2012 pada pukul 23.15 WIB

Peraturan Perundang-undangan

UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

SK Menkominfo No. 28/KEP/M/Kominfo/1/2009

Peraturan Menkominfo Nomor 27/PER/M.KOMINFO/9/2006 Tentang Pengamanan

Pemanfaatan Jaringan Telekomunikasi Berbasis Protokol Internet