69
MIKROENKAPSULASI PROBIOTIK Lactobacillus plantarum MENGGUNAKAN ENKAPSULAN MALTODEKSTRIN YANG DIKOMBINASIKAN DENGAN GUM ARAB DAN CMC SKRIPSI Oleh: NADHIRA SALSABILA ADAWIYAH NIM 155100501111010 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019

MIKROENKAPSULASI PROBIOTIK Lactobacillus plantarum

Embed Size (px)

Citation preview

MIKROENKAPSULASI PROBIOTIK Lactobacillus plantarum

MENGGUNAKAN ENKAPSULAN MALTODEKSTRIN YANG

DIKOMBINASIKAN DENGAN GUM ARAB DAN CMC

SKRIPSI

Oleh:

NADHIRA SALSABILA ADAWIYAH

NIM 155100501111010

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019

MIKROENKAPSULASI PROBIOTIK Lactobacillus plantarum

MENGGUNAKAN ENKAPSULAN MALTODEKSTRIN YANG

DIKOMBINASIKAN DENGAN GUM ARAB DAN CMC

Oleh:

NADHIRA SALSABILA ADAWIYAH

NIM 155100501111010

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Bioteknologi

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Brawijaya

Jl. Veteran Malang, 65145

\

ii

iii

iv

RIWAYAT HIDUP

Nadhira Salsabila Adawiyah lahir di Malang, 7 Mei 1997 yang

merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari Bapak Sigit

Djunianto Nugroho dan Ibu Siti Zulaeha. Pada tahun 2003

penulis masuk di Sekolah Dasar Islam Terpadu YABIS Bontang

hingga tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi di Sekolah

Menengah Pertama SMP Negeri 1 Bontang. Pada tahun 2012, penulis

melanjutkan studi di Sekolah Menengah Atas Yayasan Pendidikan Vidya Dahana

Patra Bontang, hingga pada tahun 2015 penulis melanjutkan studi strata 1 (S1)

di Universitas Brawijaya Malang dengan Program Studi Bioteknologi, Jurusan

Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Pada masa pendidikannya di Program Studi Bioteknologi, Jurusan

Teknologi Hasil Pertanian, penulis aktif dalam organisasi ARSC FTP UB

(Agritech Research and Studi Club) sebagai staf Humas (Hubungan Masyarakat)

(2016/2018), Paguyuban Duta FTP sebagai Duta FTP 2017 (2017/2019), dan

Paguyuban PPB (Putra Putri Brawijaya) sebagai Ketua PSDM (Pengembangan

Sumber Daya Manusia) (2017/2018). Penulis juga aktif dalam beberapa

kepanitiaan seperti Koordinator Divisi Seminar (2017) dalam Scientific Great

Moment (SGM) 8, Wakil Koordinator Divisi Seminar (2017) dalam SIENTESA

2017, Ketua Pelaksana (2017) dan Koordinator Acara (2016) dalam Visitasi

ARSC, Wakil Koordinator Divisi HPDD (Humas, Publikasi, Dekorasi, dan

Dokumentasi) dalam Himalogista Anniversary. Penulis juga meraih beberapa

prestasi selama masa studinya sebagai Duta FTP 2017, Top 4 Putra Putri

Brawijaya 2017, Top 20 Kakang Mbakyu Kota Malang, dan Top 25 Joko Roro

Kabupaten Malang.

Malang, 15 Juli 2019

Penulis

v

vi

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Nadhira Salsabila Adawiyah

NIM 155100501111010

Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas : Teknologi Pertanian

Judul Skripsi : Mikroenkapsulasi Probiotik Lactobacillus plantarum

Menggunakan Enkapsulan Maltodekstrin yang

Dikombinasikan dengan Gum Arab dan CMC

Menyatakan bahwa,

Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut di atas.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, saya bersedia

dituntut sesuai hukum yang berlaku.

Malang, 15 Juli 2019

Pembuat Pernyataan,

Nadhira Salsabila Adawiyah

NIM 1551005011111010

vii

NADHIRA SALSABILA ADAWIYAH. 155100501111010. Mikroenkapsulasi

Probiotik Lactobacillus plantarum Menggunakan Enkapsulan Maltodekstrin

yang Dikombinasikan dengan Gum Arab dan CMC. SKRIPSI. Pembimbing:

Agustin Krisna Wardani, S.TP., M.Sc., Ph.D

RINGKASAN

Penggunaan bakteri probiotik sebagai suplemen pada pakan ternak terus

meningkat dalam dekade terakhir, terutama sejak penggunaan antibiotic growth

promoter dalam ternak dilarang penggunaannya. Strain probiotik harus mampu

bertahan dalam kondisi ekstrim di dalam perut dan usus halus. Mengenkapsulasi

sel probiotik dengan enkapsulan yang tepat dapat membantu melindungi sel

probiotik dari kondisi tersebut. Penelitian ini menggunakan spray drying sebagai

metode enkapsulasi dalam pemeliharaan kultur probiotik untuk meningkatkan

stabilitas dan viabilitasnya dalam aplikasinya sebagai suplemen pakan ternak.

Umumnya bahan yang digunakan sebagai enkapsulan dalam proses

mikroenkapsulasi adalah maltodekstrin. Namun, penggunaan enkapsulan secara

mandiri tidak memiliki karakteristik yang lengkap untuk melindungi probiotik.

Sehingga kombinasi dari beberapa jenis enkapsulan secara bersamaan dapat

memperbaiki karakteristik mikrokapsul dalam melindungi probiotik.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kombinasi enkapsulan

maltodekstrin dengan Gum Arab dan CMC yang tepat agar dihasilkan viabilitas

dan karakteristik mikrokapsul Lactobacillus plantarum yang terbaik untuk

meningkatkan stabilitasnya. Metode penelitian yang digunakan adalah

Rancangan Acak Kelompok dengan 9 perlakuan dan 2 ulangan. Perlakuan yang

dilakukan adalah jenis enkapsulan yang digunakan dan konsentrasi enkapsulan

yang ditambahkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroenkapsulasi

bakteri Lactobacillus plantarum dengan penggunaan kombinasi enkapsulan 95%

Maltodekstrin dan 5% Gum Arab menghasilkan viabilitas dan karakteristik terbaik,

yaitu viabilitas sel 18,2x104 CFU/ml, rendemen 18,48%, kadar air 6,15%, daya

serap uap air 7,08%, dan densitas kamba 0,31 g/cm3.

Kata Kunci: Bakteri probiotik, CMC, Gum Arab, Maltodekstrin, Mikroenkapsulasi,

Spray drying

viii

NADHIRA SALSABILA ADAWIYAH. 155100501111010. Probiotic

Microencapsulation of Lactobacillus plantarum Using Maltodextrin

Encapsulating Agent Combined with Gum Arabic and CMC. SKRIPSI.

Supervisor: Agustin Krisna Wardani, S.TP., M.Sc., Ph.D

SUMMARY

The use of probiotics as feed supplements in animal production has

increased considerably over the last decade, particularly since the ban on

antibiotic growth promoters in the livestock sector. Probiotics strain must be able

to survive the harsh condition in the stomach and small intestine. Encapsulating

probiotic cells with suitable encapsulant helps them resist such adverse

conditions. In this study spray drying was used as an encapsulating method for

the preservation of probiotic cultures to enhance it stability and viability as feed

supplements in animal production. Generally, the material used as an

encapsulant in the microencapsulation process is maltodextrin. However, the use

of encapsulant independently does not have complete characteristics to protect

probiotics. So that a combination of several types of encapsulant simultaneously

can improve the characteristics of microcapsules in protecting probiotics.

The aim of this study was to determine the combination of maltodextrin

encapsulation with Arabic Gum and CMC to produce the best viability and

characteristics of Lactobacillus plantarum microcapsules to improve its stability.

The research method used was a Randomized Block Design with 9 treatments

and 2 replications. The treatment is the type of encapsulant used and the

concentration of encapsulant added. The results showed that microencapsulation

of Lactobacillus plantarum bacteria with the combination of 95% of Maltodextrin

and 5% Arabic Gum produced the best viability and characteristics, namely cell

viability 18.2x104 CFU/ml, yield 18.48%, moisture content 6.15%, hygroscopicity

7.08%, and bulk density 0.31 g / cm3.

Kata Kunci: CMC, Gum Arabic, Maltodextrin, Microencapsulation, Probiotic

bacteria, Spray drying

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

yang berjudul Mikroenkapsulasi Lactobacillus plantarum Menggunakan

Enkapsulan Maltodekstrin yang Dikombinasikan dengan Gum Arab dan

CMC. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar kesarjanaan strata 1 (S1) pada Program Studi Bioteknologi, Jurusan

Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya

Malang.

Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan hikmat, pengetahuan,

dan pengharapan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan

penelitian ini

2. Kedua orang tuaku dan adikku terkasih yang telah memberikan doa

dan dukungan penuh untuk terselesaikannya skripsi ini

3. Ibu Agustin Krisna Wardani, STP., M.Si., PhD, selaku pembimbing

utama yang telah sabar, tulus dan ikhlas memberi bimbingan, arahan

serta motivasi yang memacu penulis untuk segera menyelesaikan

skripsi ini

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Yunianta, DEA dan Bapak Mokhamad Nur, STP.,

M.Sc selaku dosen penguji skripsi atas kritik dan sarannya dalam

menyempurnakan skripsi ini

5. Ibu Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, STP., MP selaku Ketua Jurusan

Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya

6. Bapak Tunjung Mahatmanto STP., M.Si., PhD selaku Ketua Program

Studi Bioteknologi, Universitas Brawijaya

7. Semua Dosen pengajar Program Studi Bioteknologi dan laboran

laboratorium Teknologi Hasil Pertanian yang telah memberikan dasar-

dasar keilmuan yang menjadi bakal penulis menyelesaikan studi S1

8. Teman seperjuangan penelitian, Nicholle, Segha, Tasya, Wulan,

Yunita, dan Ayik, yang dengan sabar mendengarkan segala keluh

kesah, membantu, dan memberi semangat penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini

x

9. Teman-teman Paguyuban Putra Putri Brawijaya dan Paguyuban Duta

FTP yang telah memberikan dukungan dan sukacita selama

menyelesaikan skripsi ini

10. Seluruh teman-teman Bioteknologi 2015 FTP-UB yang memberikan

semangat dan dukungan yang sangat banyak.

Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu secara moril dan materiil dalam penyelesaian skripsi ini. Menyadari

adanya keterbatasan pengetahuan, referensi, dan pengalaman, penulis sangat

terbuka untuk menerima saran dan masukan yang membangun terkait dengan

skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Malang, 15 Juli 2019

Penulis

xi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN .................................... Error! Bookmark not defined.

LEMBAR PENGESAHAN ..................................... Error! Bookmark not defined.

RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .................................................................. vi

RINGKASAN ...................................................................................................... vii

SUMMARY ........................................................................................................ viii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xiv

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 4

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Manfaat Penelitian 4

1.5 Hipotesis Penelitian 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5

2.1 Mikroenkapsulasi 5

2.1.1 Kelebihan dan Kekurangan Mikroenkapsulasi .................................... 6

2.1.2 Tujuan Mikroenkapsulasi 7

2.1.3 Komponen Mikrokapsul 7

2.1.4 Pembuatan Mikrokapsul dengan Metode Spray Drying .................... 11

2.1.5 Analisis Mikroenkapsulasi ................................................................ 14

2.1.6 Aplikasi Mikroenkapsulasi ................................................................ 16

2.2 Probiotik 17

xii

2.2.1 Fungsi Probiotik 18

2.2.2 Karakteristik Probiotik 18

2.2.3 Mekanisme Kerja Probiotik ............................................................... 19

BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 20

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 20

3.2 Alat dan Bahan 20

3.2.1 Alat 20

3.2.2 Bahan 20

3.3 Metode Penelitian 21

3.4 Pelaksanaan Penelitian 22

3.5 Pengujian dan Analisis Data ................................................................ 23

3.5.1 Pengujian 23

3.5.2 Analisis Data 23

3.6 Diagram Alir Penelitian 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 25

4.1 Rendemen 25

4.2 Kadar Air 29

4.3 Daya Serap Uap Air 34

4.4 Densitas Kamba 37

4.5 Viabilitas 40

4.6 Mikrostruktur Mikrokapsul .................................................................... 44

4.7 Pemilihan Mikrokapsul Terbaik ............................................................ 50

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 52

5.1 Kesimpulan 52

5.2 Saran 52

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 54

LAMPIRAN ........................................................................................................ 63

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan Tahap 2 Menggunakan RAK 21

Tabel 4.1 Rerata Total Rendemen Akibat Jenis Enkapsulan 26

Tabel 4.2 Rerata Total Rendemen Akibat Konsentrasi Enkapsulan 28

Tabel 4.3 Rerata Kadar Air Mikrokapsul Akibat Jenis Enkapsulan 31

Tabel 4.4 Rerata Kadar Air Mikrokapsul Akibat Konsentrasi Enkapsulan 33

Tabel 4.5 Rerata Daya Serap Uap Air Akibat Jenis Enkapsulan 35

Tabel 4.6 Rerata Daya Serap Uap Air Akibat Konsentrasi Enkapsulan 36

Tabel 4.7 Rerata Densitas Kamba Mikrokapsul Akibat Jenis Enkapsulan 38

Tabel 4.8 Rerata Densitas Kamba Mikrokapsul Konsentrasi Enkapsulan 39

Tabel 4.9 Rerata Viabilitas Mikrokapsul Akibat Jenis Enkapsulan 42

Tabel 4.10 Rerata Viabilitas Mikrokapsul Akibat Konsentrasi Enkapsulan 43

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Mikrokapsul 5

Gambar 2.2 Morfologi Beberapa Jenis Mikrokapsul 6

Gambar 2.3 Struktur Maltodekstrin 8

Gambar 2.4 Struktur Gum Arab 9

Gambar 2.5 Struktur CMC 10

Gambar 2.6 Alat Spray Dryer 11

Gambar 2.7 Mekanisme Kerja Spray Dryer 12

Gambar 3.1 Prosedur Mikroenkapsulasi menggunakan Spray Dryer 24

Gambar 4.1 Rendemen Mikrokapsul 25

Gambar 4.2 Kadar Air Mikrokapsul 30

Gambar 4.3 Daya Serap Uap Air Mikrokapsul 34

Gambar 4.4 Densitas Kamba Mikrokapsul 37

Gambar 4.5 Viabilitas Mikrokapsul 41

Gambar 4.6 Mikrostruktur Globula Mikrokapsul 45

Gambar 4.7 Mikrostruktur Globula Mikrokapsul 45

Gambar 4.8 Mikrostruktur Globula Mikrokapsul 47

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis ........................................................................... 63

Lampiran 2. Diagram Alir Penelitian ................................................................... 67

Lampiran 3. Spesifikasi Alat dan Bahan ............................................................. 73

Lampiran 4. Komposisi Enkapsulan ................................................................... 76

Lampiran 5. Skema dan Kondisi Spray Drying ................................................... 77

Lampiran 6. Analisis Data Rendemen Mikrokapsul ............................................ 78

Lampiran 7. Analisis Data Kadar Air Mikrokapsul ............................................... 80

Lampiran 8. Analisis Data Daya Serap Uap Air Mikrokapsul ............................ 882

Lampiran 9. Analisis Data Densitas Kamba Mikrokapsul .................................... 83

Lampiran 10. Analisis Data Viabilitas Mikrokapsul .............................................. 85

Lampiran 11. Pemilihan Perlakuan Terbaik ........................................................ 86

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Necrotic enteritis (NE) adalah penyakit paling umum dan merugikan pada

ayam pedaging modern yang disebabkan bakteri patogen. Antibiotik tertentu

diberikan sebagai Antibiotic Growth Promoter (AGP) untuk mencegah penyakit

pada unggas. Namun penggunaannya menyebabkan dampak negatif yang

berhubungan dengan keseimbangan mikroflora normal usus halus dalam saluran

pencernaan. Kondisi ini menyebabkan beberapa negara telah melarang

penggunaan dari Antibiotic Growth Promoter (AGP). Sehingga, ditemukan solusi

lain bahwa salah satu cara mengatasi keseimbangan mikroflora yang terganggu

yaitu dengan memberikan penambahan probiotik pada pakan ternak, karena

probiotik dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam saluran

pencernaan (Zalni, Syukur, Purwati, 2013).

Bakteri probiotik merupakan bakteri hidup yang dikonsumsi dalam jumlah

cukup untuk memberikan efek yang menguntungkan bagi tubuh yaitu

menciptakan keseimbangan mikroflora usus (Firmansyah, 2001). Bakteri

probiotik umumnya dari golongan bakteri asam laktat (BAL), khususnya genus

Lactobacillus dan Bifidobacterium yang merupakan mikroflora normal pada

saluran pencernaan manusia. Salah satu bakteri probiotik dari genus

Lactobacillus yang telah banyak dimanfaatkan di bidang industri pakan ternak

yaitu Lactobacillus plantarum. Menurut Surono (2004), Lactobacillus plantarum

merupakan isolat unggul bakteri asam laktat asal usus ayam yang telah terbukti

berpotensi sebagai bakteri probiotik, dan terbukti secara in vitro bersifat probiotik

seperti tahan asam, tahan garam empedu, memiliki kemampuan tumbuh dan

menempel pada sel epitel usus, mampu berkompetisi, dan menghambat bakteri

patogen tertentu, terutama bakteri Escherichia coli.

Manfaat bakteri probiotik dalam meningkatkan kesehatan dapat terjadi

bila kultur dikonsumsi dalam keadaan hidup dan mampu bertahan dalam saluran

pencernaan. Bakteri probiotik juga harus mampu bertahan selama proses

pengolahan dan penyimpanan. Probiotik yang beredar dipasaran kebanyakan

dalam bentuk sediaan cair, namun kurang efisien dalam hal stabilitas

(kadaluarsa dan penyimpanan) maupun dalam pengemasan. Penyimpanan

kultur dalam keadaan segar tidak dapat dilakukan untuk jangka waktu yang lama,

2

dengan demikian perlu suatu metode pengawetan yang dapat mempertahankan

viabilitas bakteri probiotik tersebut.

Salah satu komponen penting yang perlu diperhatikan pada probiotik

adalah viabilitasnya. Viabilitas adalah kemampuan atau daya hidup sel untuk

tumbuh secara normal pada kondisi optimal. Jumlah mikroba hidup harus cukup

untuk memberikan efek positif bagi kesehatan dan mampu berkolonisasi

sehingga dapat mencapai jumlah yang diperlukan selama waktu tertentu, dengan

demikian pemberian kultur probiotik selalu mengacu pada dosis yang dikonsumsi

dan jumlah mikroba hidup. Viabilitas sel bakteri dalam produk probiotik harus

berkisar antara 107-109 CFU/g (Adib et al., 2013). Salah satu cara untuk

memperbaiki ketahanan dan viabilitas bakteri probiotik yaitu dengan enkapsulasi.

Metode murah untuk melindungi bakteri dari faktor-faktor tersebut dapat

mencakup penggunaan gusi polimer baik sebagai pembawa atau agen

mikroenkapsulasi. Teknik ini memberikan perlindungan dari lingkungan yang

tidak menguntungkan, sehingga dapat meningkatkan stabilitasnya (Hernández et

al., 2011).

Mikroenkapsulasi adalah suatu proses pembungkusan (coating) suatu

bahan inti, dalam hal ini adalah bakteri probiotik, menggunakan bahan

enkapsulasi tertentu yang bermanfaat untuk mempertahankan viabilitas dan

melindungi bakteri probiotik dari kerusakan akibat kondisi lingkungan yang tidak

menguntungkan, seperti panas, bahan kimia, asam lambung, dan garam empedu.

Sebelum enkapsulasi, perlu dibuat suspensi bakteri probiotik dalam suatu media

pertumbuhan. Media pertumbuhan diharapkan menjadi sumber nutrisi bagi

bakteri probiotik sehingga jumlah bakteri hidup memenuhi syarat untuk

diaplikasikan dalam produk pangan. Menurut Pasifico, Wu, dan Fraley (2001)

dikutip Rizqiati (2008), untuk komponen yang bersifat peka seperti mikroba,

dapat dienkapsulasi untuk meningkatkan viabilitas dan umur simpannya.

Teknologi mikroenkapsulasi yang dikembangkan pada kultur probiotik mampu

untuk melindungi sel-sel bakteri probiotik dari kerusakan yang diakibatkan oleh

proses pengolahan, pengaplikasian pada produk makanan kering, proses

penyimpanan, serta pH dan garam empedu yang dihasilkan oleh saluran

pencernaan. Keuntungan bakteri probiotik terenkapsulasi adalah dapat tahan

lebih lama karena sudah berbentuk serbuk dan lebih mudah dalam

penggunaannya.

3

Metode yang umum digunakan dalam proses enkapsulasi adalah

pengeringan semprot (spray drying), pengeringan beku (freeze drying), dan

teknik emulsi. Menurut Tamime (1981) dikutip Puspawati, Nuraida, dan Adawiyah

(2010), freeze drying merupakan teknik yang umumnya digunakan untuk

mengawetkan kultur. Kerusakan sel bakteri probiotik akibat proses freeze drying

dapat diminimumkan dengan penambahan enkapsulan tertentu sebelum proses

pembekuan dan pengeringan dilakukan. Namun, dalam aplikasinya metode

freeze drying tidak dapat dilakukan produksi dalam skala industri dikarenakan

biaya yang terlalu tinggi, sehingga spray drying menjadi metode yang dilakukan

oleh industri.

Enkapsulan yang umum digunakan dapat berasal dari gum, karbohidrat,

dan protein seperti susu skim, laktosa, sukrosa, maltodekstrin, alginat, gum arab,

pati, agar, gelatin, karagenan, albumin, dan kasein. Enkapsulan merupakan

bahan yang digunakan untuk melapisi bahan inti (bakteri probiotik) dengan tujuan

tertentu seperti menutupi rasa dan bau yang tidak enak, perlindungan terhadap

pengaruh lingkungan, meningkatkan stabilitas, dan mencegah penguapan.

Penggunaan enkapsulan untuk enkapsulasi perlu dipertimbangkan, karena

masing-masing bahan mempunyai karakter yang berbeda dan belum tentu cocok

dengan bahan inti yang akan dienkapsulasi.

Menurut Rizqiati (2008), penggunaan protein sebagai enkapsulan dapat

mempertahankan ketahanan bakteri probiotik, sedangkan penggunaan

karbohidrat sebagai enkapsulan dapat memperbaiki tekstur pada mikrokapsul

serta dapat mempertahankan ketahanan bakteri probiotik. Maltodekstrin memiliki

kelarutan yang tinggi dalam air serta melindungi bahan inti dari reaksi oksidasi

(Robert et al., 2015). Penggunaan satu jenis enkapsulan secara mandiri tidak

memiliki karakteristik yang lengkap untuk melindungi bahan inti.

Mengkombinasikan beberapa jenis enkapsulan secara bersamaan dapat

memperbaiki karakteristik mikrokapsul dalam melindungi bahan inti (Mahdavi et

al., 2016; Dewi et al., 2016). Chen et al., (2013) melakukan mikroenkapsulasi

Bacillus cereus C1L dengan polimer alami (maltodekstrin dan arang gusi) dan

menemukan bahwa mikroenkapsulasi meningkatkan aktivitas bakteri ini karena

perlindungan dari kondisi buruk.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai

mikroenkapsulasi bakteri probiotik Lactobacillus plantarum dengan penambahan

Gum Arab yang berbahan dasar protein dan maltodekstrin sebagai enkapsulan

4

dengan berbagai konsentrasi untuk memperoleh viabilitas dan karakteristik hasil

mikrokapsul yang terbaik.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh jenis dan konsentrasi enkapsulan terhadap karakteristik

fisik mikrokapsul yang dihasilkan dengan metode spray drying ?

2. Bagaimana pengaruh spray drying terhadap viabilitas mikrokapsul probiotik hasil

mikroenkapsulasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi enkapsulan terhadap karakteristik

fisik mikrokapsul yang dihasilkan dengan metode spray drying.

2. Mengetahui pengaruh spray drying terhadap viabilitas mikrokapsul probiotik hasil

mikroenkapsulasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi industri untuk mendapatkan formulasi

mikroenkapsulasi yang dapat menghasilkan mikrokapsul dengan karakteristik

terbaik.

1.5 Hipotesis Penelitian

Jenis dan konsentrasi enkapsulan yang dikombinasikan dengan tepat akan

memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap karakteristik mikrokapsul yang

dihasilkan dengan metode spray drying.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikroenkapsulasi

Mikroenkapsulasi adalah teknologi untuk menyalut atau melapisi suatu

zat inti dengan suatu lapisan dinding polimer, sehingga menjadi partikel-partikel

kecil berukuran mikro. Dengan adanya lapisan dinding polimer ini, zat inti akan

terlindung dari pengaruh lingkungan luar (Zaidel et al., 2014). Dengan adanya

teknik enkapsulasi ini bahan inti dapat dilepas dalam kondisi tertentu yang dapat

dikontrol (Nedovic et al., 2011). Bahan inti dapat berupa padatan, cairan, atau

gas. Dalam industri makanan, mikroenkapsulasi kini diteliti secara mendalam

untuk melindungi zat terhadap lingkungan dari kemungkinan

terjadinya oksidasi, penguapan kelembaban dan udara, melindungi komponen

makanan dari bau dan rasa yang tidak enak, untuk formulasi makanan serta

mengubah bentuk cair menjadi padatan yang mudah penanganannya (Muchtadi,

et al., 1997).

Struktur suatu produk mikroenkapsulasi terdiri dari dua bagian, yaitu core/inti

yang terdapat di bagian dalam dan shell/kulit yang terdapat di bagian luar.

Shell/kulit berfungsi melindungi core/inti secara permanen atau sementara dari

lingkungan luar. Struktur suatu produk mikroenkapsulasi dapat dilihat pada

Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Skema Mikrokapsul (Ghosh, 2006).

Sifat fisiko kimia bahan inti, komposisi enkapsulan, dan teknik

mikroenkapsulasi mempengaruhi bentuk partikel yang dihasilkan. Morfologi

partikel produk enkapsulasi terdiri dari beberapa jenis, yaitu berbentuk

simple/Mononuclear (suatu partikel bahan inti dilingkupi oleh kulit dengan

6

ketebalan yang sama), irregular (mengandung bahan inti yang memilki bentuk

tidak beraturan), multi-core/nuclear (beberapa partikel bahan inti menempel di

dalam suatu matriks kulit), multi-wall (mikrokapsul yang terdiri dari beberapa lapis

kulit), dan matrix (partikel bahan inti terdistribusi secara homogen di dalam kulit)

(Gharsallaoui et al., 2007). Morfologi beberapa jenis produk mikroenkapsulasi

dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Morfologi Beberapa Jenis Mikrokapsul (Gharsallaoui et al., 2007).

Berdasarkan ukuran partikelnya, produk enkapsulasi dibagi menjadi tiga jenis.

Yang pertama adalah makrokapsul/makropartikel, memiliki ukuran lebih dari

1000 um. Yang kedua adalah mikrokapsul, memiliki ukuran 1-1000 um. Yang

ketiga adalah nanokapsul, memiliki ukuran kurang dari 1 um (Nazzaro et al.,

2012; Jyothi et al., 2008). Mikrokapsul yang terbentuk dapat berupa partikel

tunggal atau bentuk agregat dan biasanya memiliki rentang ukuran partikel

antara 5-5000 mikrometer. Ukuran tersebut bervariasi tergantung metode dan

ukuran partikel bahan inti yang digunakan (Lachman et al., 1994).

2.1.1 Kelebihan dan Kekurangan Mikroenkapsulasi

Teknik mikroenkapsulasi dapat menggunakan berbagai cara yaitu

pembentukan polimer dengan reaksi kimia, spray drying, tray drying, co-

extrusion, layer by layer deposition, coating dan sebagainya. Kelebihan dari

teknik mikroenkapsulasi ini yaitu masa simpan yang cukup lama, praktis untuk di

campurkan dengan bahan lain, memiliki kadar air rendah sehingga terhindar dari

pertumbuhan jamur penyebab kerusakan. Namun, kekurangan dari teknik

mikroenkapsulasi ini adalah proses yang cukup rumit dan biaya yang relatif

7

mahal serta penampakan flavor yang sedikit berbeda dari bahan alaminya

(Champagne and Fustier, 2007). Proses atau teknik mikroenkapsulasi dapat

diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti industri makanan, industri minuman

dan bidang farmasi. Proses enkapsulasi juga dapat diterapkan untuk berbagai

jenis flavor alami seperti minyak atsiri dan oleoresin atapun flavor sintetik.

2.1.2 Tujuan Mikroenkapsulasi

Tujuan umum dari proses mikroenkapsulasi adalah untuk membuat zat cair

menjadi padat, memisahkan bahan reaktif dan melindungi komponen secara fisik,

memberikan perlindungan kepada bahan inti dari pengaruh lingkungan dan

mengontrol pelepasan karakteristik dari bahan-bahan tersalut.

Tujuan lainnya dari proses mikroenkapsulasi yaitu untuk meningkatkan

kestabilan dan daya larut suatu bahan, untuk mengendalikan pelepasan

senyawa aktif, untuk menghasilkan partikel-partikel padatan yang dilapisi oleh

enkapsulan tertentu dan meminimalisir kehilangan nutrisi. Prinsip

mikroenkapsulasi yaitu pencampuran antara fase air, fase zat inti, dan fase

enkapsulan sampai terbentuk emulsi yang stabil kemudian proses penempelan

enkapsulan pada permukaan bahan inti dan proses pengecilan ukuran partikel

(Dubey et al., 2009).

2.1.3 Komponen Mikrokapsul

1. Bahan Inti

Inti adalah bahan spesifik yang akan disalut, dapat berupa zat padat, cair,

ataupun gas. Komposisi material inti dapat bervariasi, misalnya pada bahan inti

cair dapat terdiri dari bahan terdispersi atau bahan terlarut. Sedangkan bahan inti

padat dapat berupa zat tunggal atau campuran zat aktif dengan bahan pembawa

lain seperti stabilisator, pengencer, pengisi, penghambat, atau pemacu

pelepasan bahan aktif, dan sebagainya. Selain itu, bahan inti yang digunakan

sebaiknya tidak larut atau tidak bereaksi dengan enkapsulan yang digunakan

(Lachman et al., 1994).

2. Enkapsulan

Enkapsulan adalah bahan yang digunakan untuk melapisi inti dengan tujuan

tertentu seperti memberikan perlindungan terhadap pengaruh lingkungan,

meningkatkan stabilitas, mencegah penguapan, kesesuaian dengan bahan inti

maupun bahan lain yang berhubungan dengan proses enkapsulasi serta sesuai

8

dengan metode mikroenkapsulasi yang digunakan. Enkapsulan harus mampu

memberikan suatu lapisan tipis yang kohesif dengan bahan inti, dapat bercampur

secara kimia, tidak bereaksi dengan inti (bersifat inert), dan mempunyai sifat

yang sesuai dengan tujuan enkapsulasi. Enkapsulan yang digunakan dapat

berupa polimer alam, semi sintetik, maupun sintetik. Jumlah enkapsulan yang

digunakan antara 1-70%, dan pada umumnya digunakan 3-30% dengan

ketebalan dinding enkapsulan 0,1 - 60 mikrometer (Lachman et al., 1994).

Maltodekstrin

Maltodekstrin merupakan salah satu jenis polisakarida yang diperoleh

dengan cara hidrolisis parsial. Maltodekstrin diperoleh dengan cara

menghidrolisis pati menggunakan asam atau enzim. rumus umum maltodekstrin

adalah (C6H10O6)nH2O. Struktur dari Maltodekstrin dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Maltodekstrin adalah polimer dari alfa-D-glukosa dengan ikatan 1,4 dan 1,6

glikosidik, serta tersusun dari struktur amilosa (linear) dan amilopektin

(bercabang) (Saavedra-Leos et al., 2015).

Gambar 2.3. Struktur Maltodekstrin (Rowe et al., 2009)

Maltodekstrin memiliki ciri-ciri berwarna putih, tidak berbau, dan menunjukkan

rasa yang netral. Maltodekstrin diklasifikasikan menurut tingkatan hidrolisisnya,

yang dinyatakan dengan Dextrose Equivalent atau DE. Maltodekstrin memiliki

nilai DE < 20 (Wandrey et al., 2010). Nilai DE memiliki pengaruh yang signifikasi

terhadap hasil pengeringan.

9

Maltodekstrin banyak digunakan dalam proses mikroenkapsulasi karena

memiliki kelarutan yang tinggi dalam air (Robert et al., 2015). Selain itu

maltodekstrin dapat melindungi bahan inti dari reaksi oksidasi (Dewi et al., 2016).

Hal ini dikarenakan maltodekstrin memiliki kemampuan untuk menurunkan

permeabilitas oksigen terhadap matriks dinding (Gharsallaoui et al., 2007 ;

Sansone et al., 2011).

Maltodekstrin sebagai enkapsulan memiliki beberapa kelemahan,

diantaranya memulai pembentukan kristal seiring dengan peningkatan suhu,

kurang bagus dalam stabilitas emulsi. Serta dapat membentuk aglomerasi pada

bubuk mikrokapsul. Hal ini menyebabkan bahan inti yang terkandung di dalam

enkapsulan dapat lepas (release) serta proses oksidasi dapat terjadi selama

proses penyimpanan (Sansone et al., 2011).

Gum Arab

Gum arab atau gum akasia merupakan polisakarida yang berasal dari

getah pohon Acacia senegal dan Acacia seyal (Dauqan dan Abdullah, 2013).

Gum arab dapat dimanfaatkan dalam bidang pangan seperti berperan sebagai

zat pengemulsi (emulsifier) dan penstabil (Dauqan dan Abdullah, 2013). Struktur

dari Gum arab dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Struktur Gum Arab (Dauqan and Abdullah, 2013).

Gum dapat dimanfaatkan di dalam proses mikroenkapsulasi karena memiliki

karakteristik dapat membentuk film. Selain itu gum arab juga berperan dalam

menstabilkan emulsi. Hal ini didukung karena adanya fraksi protein di dalam

struktur gum arab. Komponen penyusun gum arab adalah D-asam glukuronat 2%

10

(Gharsallauoi et al., 2007; Badreldin et al., 2008). Gum arab tersusun dari tiga

fraksi utama, antara lain (Yael et al., 2006) :

1. Fraksi utama adalah polisakarida bercabang yang terdiri dari galaktosa yang

berikatan dengan arabinosa dan rhamnosa, dengan ujung asam glukuronat.

2. Fraksi yang lebih kecil adalah arabinogalactan-protein complex (GAGP-GA

glycoprotein) dimana rantai arabinogalactan berikatan kovalen dengan rantai

protein (seperti serin dan hidroksiprolin).

3. Fraksi yang paling kecil mengandung protein (glikoprotein) dengan komposisi

asam amino yang berbeda.

Gum arab dapat larut di dalam air dingin atau panas dengan baik

(konsentrasi sampai 50%). Gum arab merupakan agen enkapsulasi yang efektif

karena kelarutan dalam air yang tinggi, viskositas rendah, dan memiliki sifat

emulsifikasi (Dauqan dan Abdullah, 2013). Kombinasi antara gum arab dengan

polisakarida jenis lain seperti maltodekstrin dapat memberikan nilai efisiensi

enkapsulasi yang lebih tinggi daripada penggunaan gum arab secara individual.

CMC (Carboxymethyl Cellulose)

CMC merupakan turunan dari selulosa yang diperoleh dengan cara

modifikasi kimia selulosa alami. Reaksi antara basa selulosa dengan

monokloroasetat atau dengan garam sodiumnya di dalam suatu media organik

akan menghasilkan CMC. Struktur dari CMC dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Struktur CMC (Boruckova and Wiener, 2011; Rani et al., 2014)

CMC dapat diaplikasikan sebagai enkapsulan, membentuk emulsi dan

suspensi, serta untuk menyimpan air. CMC juga digunakan sebagai pengental

11

pada produk pangan. CMC dapat larut di dalam air (Boruckova and Wiener,

2011). Karakteristik CMC adalah berupa bubuk berwarna putih, tidak memiliki

rasa, dan tidak memiliki bau. CMC dapat larut dengan cepat di dalam air dingin

dan menghasilkan larutan yang jernih. Viskositas larutan akan menurun selama

proses pemanasan (Wandrey et al., 2010). CMC dapat membentuk film yang

kuat, transparan, dan fleksibel (Tabari, 2017; Rani et al., 2014). Struktur CMC

terdiri dari rantai samping polisakarida yang bersifat hidrofobik serta memiliki

banyak gugus karboksil yang bersifat hidrofilik. Oleh karena itu CMC memiliki

sifat ampifilik (Rani et al., 2014).

2.1.4 Pembuatan Mikrokapsul dengan Metode Spray Drying

Metode pembuatan mikrokapsul cukup beragam, diantara adalah koaservasi

pemisahan fase, spray drying, semprot beku, penguapan pelarut, suspensi udara,

proses multi lubang sentrifugal, enkapsulanan di dalam panci, polimerisasi, dan

lain-lain (Lachman et al., 1994). Pada penelitian ini digunakan metode

pembuatan mikrokapsul secara spray drying.

Spray drying adalah satuan operasi dimana didalamnya produk cair

diatomisasi dalam aliran gas panas untuk secara instan mendapatkan bubuk.

Gas yang digunakan umumnya adalah udara atau terkadang gas inert seperti

nitrogen. Cairan yang dimasukkan ke dalam pengering semprot dapat berupa

larutan, emulsi atau suspensi. Pengeringan semprot menghasilkan bubuk sangat

halus (10-50 μm) atau partikel berukuran besar (2-3 mm) (Gharsallaoi et al.

2007). Alat pengering semprot atau spray dryer dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Alat Spray Dryer

Teknik pengeringan semprot didasarkan pada prinsip dimana produk

disemprotkan ke dalam suatu kamar (ruangan) yang diisi dengan udara panas

12

sehingga suhu permukaannya meningkat dan prosesnya terjadi secara cepat.

Butiran-butiran ini kemudian dibawa udara panas dan disirkulasi, sehingga

menyerap panas yang dibutuhkan untuk terjadinya evaporasi. Uap air hasil

evaporasi diserap oleh udara dan dikeluarkan dari alat pengering semprot.

Serbuk kering kemudian jatuh ke bawah dan ditampung dalam wadah tertentu

(Speer, 1998). Mekanisme kerja dari spray dryer dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Mekanisme kerja Spray Dryer

Pengeluaran air dengan menggunakan pengering semprot sudah umum

dilakukan. Pengering semprot umumnya digunakan pada industri pangan untuk

memastikan stabilitas mikrobiologi produk, penurunan kadar air dan aktivitas air,

menghindari resiko degradasi kimia dan atau biologi, mengurangi biaya

transportasi dan penyimpanan, dan mendapatkan produk dengan sifat spesifik

misalnya kelarutan instan. Proses pengeringan semprot telah banyak

dikembangkan pada pengolahan susu bubuk (Gharsallaoi et al., 2007).

Pembentukan hasil semprotan yang seragam dan pendistribusiannya

melalui udara panas adalah hal penting dalam kesuksesan proses pengeringan

semprot. Pembentukan hasil semprot ini dipengaruhi oleh proses atomisasi.

Terdapat tiga tipe utama alat pengatomisasi yang digunakan dalam pengering

semprot yaitu: pressure nozzle, centrifugal atomizer dan two fluid nozzle. Ruang

pengeringan merupakan bagian pengering semprot dimana udara panas dan

material pemasukan bertemu, sehingga terjadilah pengeringan. Penelitian pada

skala pilot plant atau skala industri merupakan satu-satunya metode yang paling

tepat untuk menentukan tipe pengering untuk keperluan tertentu. Beberapa jenis

13

sistem pengering semprot yaitu: 1) horizontal co-current; 2) simple vertical

downward co-current with straight line flow; 3) simple vertical downward co-

current; 4) complex vertical downward co- current; 5) vertical upward co-current;

6) vertical counter current (Brenan et al., 1981).

Pengering semprot bekerja mengeringkan produk dengan pemanfaatan

udara tersirkulasi seperti dijelaskan sebelumnya. Suhu inlet berkisar antara 180-

230oC dan suhu outlet 70-95oC dan produk akhirnya memiliki kadar 2-5% (total

padatan 95-98%). Selama operasi, kontrol dari sejumlah parameter dibutuhkan

untuk memastikan konsistensi kualitas dan menghasilkan bubuk dengan

karakteristik yang diinginkan (Varnam dan Sutherland, 1994).

Keunggulan pengering semprot antara lain adalah sifat dan mutu produk

dapat terkontrol secara efektif, dapat digunakan pada makanan yang peka

terhadap panas, produk biologi dan farmasi dapat dikeringkan pada suhu

atmosfer dan suhu rendah, menghasilkan produk yang relatif seragam, partikel-

partikelnya berbentuk bulat mendekati proporsi yang sama (Widodo, 2016).

Menurut Singh and Heldman (2001), keuntungan dari penggunaan alat

pengering semprot adalah siklus pengeringannya yang cepat, retensi dalam

ruang pengeringan (residence time) singkat dan produk akhir siap dikemas ketika

selesai proses dengan kadar air produk sekitar dibawah 5%. Residence time

pada alat pengering semprot antara 5-100 detik dan partikel yang dihasilkan

mempunyai ukuran 10-500 μm.

Menurut Dwiari (2008), alat pengering semprot terdiri atas pemasukan

udara (air inlet), pemanas udara (air heater), drying chamber, inlet atomizer,

cyclone chamber, tempat penampungan produk yang sudah dikeringkan, hot air

inlet and outlet, kipas, motor pengering, dan alat pengontrol. Tahapan

pengeringan dengan pengering semprot adalah (1) atomisasi bahan yang dapat

membentuk semprotan sangat halus, (2) kontak antara partikel hasil atomisasi

dengan udara pengering, (3) penguapan air bahan, (4) pemisahan bubuk kering

dengan aliran udara yang membawanya.

Parameter penting yang mempengaruhi proses spray drying diantaranya

adalah (Patel et al., 2009):

1. Suhu udara inlet

Semaking tinggi suhu udara yang digunakan pada udara inlet, maka

semakin cepat pula proses penguapan air atau pengeringan pada produk.

14

Namun pemaparan suhu tinggi terhadap produk dapat merusak karakteristik

fisik atau kimia dari produk yang sensitive terhadap panas.

2. Suhu udara outlet

Suhu udara outlet yang digunakan akan mengatur ukuran bubuk yang

dihasilkan. Semakin tinggi suhu udara outlet maka akan semakin besar

ukuran bubuk yang dihasilkan. Selain itu suhu udara outlet juga akan

mengatur kandungan kadar air akhir pada produk.

3. Viskositas

Nilai viskositas yang tinggi dapat mempengaruhi proses pembentukan

droplet yang dihasilkan oleh nozzle. Apabila nilai viskositas diturunkan, akan

dibutuhkan energi yang lebih rendah pula untuk tekanan yang digunakan

dalam proses.

4. Solid content

Pada umumnya harus diperhatikan bahwa solid content yang

dimasukkan ke dalam proses ada dibawah 30% untuk mempertahakan

proses atomisasi agar membentuk droplet yang sempurna.

5. Feed temperature

Apabila larutan yang akan melalui proses spray drying memiliki suhu

yang lebih tinggi, larutan tersebut akan lebih mudah mengalami proses

pengeringan karena ada lebih banyak energi yang dibawa ke dalam sistem.

2.1.5 Analisis Mikroenkapsulasi

Pembuatan suatu probiotik khususnya mikrokapsul, tidak lepas dari

berbagai evaluasi untuk mengontrol kualitas produk dan mengetahui layak

tidaknya mikrokapsul yang diperoleh untuk digunakan dan dipasarkan. Evaluasi

yang dilakukan pada mikrokapsul meliputi pemeriksaan morfologi mikrokapsul,

pengukuran partikel, berat mikrokapsul yang diperoleh, pengukuran kadar air,

penentuan kandungan zat inti, penentuan persentasi zat inti yang tersalut, uji

pelepasan in vitro (Sutriyo et al., 2004).

1. Rendemen

Rendemen digunakan untuk menentukan efisiensi dan efektivitas dari

proses mikroenkapsulasi. Semakin tinggi nilai rendemen maka semakin

efisien proses pengeringan yang berjalan (Hasrini dkk., 2017).

2. Kadar air

15

Mikrokapsul diukur kadar airnya menggunakan alat pengukur kadar

lembab (moisture balance).

3. Daya Serap Uap Air

Pengukuran daya serap uap air bertujuan untuk mengetahui produk

setelah dikontakkan dengan udara yang umumnya mempunyai kadar air

yang relatif lebih tinggi, sehingga dapat dilakukan usaha untuk

mempertahankan mutu produk. Parameter ini umumnya diujikan pada

produk yang memiliki kadar air relatif rendah (kurang dari 14%) seperti

biskuit, keripik, kerupuk, produk instan (jahe instan, kopi instan), dan susu

bubuk (Yuwono and Susanto, 2001).

4. Densitas Kamba

Nilai densitas kamba suatu bahan pangan penting untuk diketahui

karena berkaitan dengan penyimpanan, pengemasan, dan transportasinya.

Semakin besar nilai densitas kambanya, maka tempat yang dibutuhkan

suatu bahan pangan tersebut lebih kecil (Setiawati et al., 2014). Densitas

kamba suatu produk bubuk merupakan perbandingan berat bubuk dengan

volume yang ditempati bubuk tersebut. Satuan dari densitas kamba adalah

g/mL atau kg/L, disisi lain untuk satuan internasional umumnya satuan yang

digunakan adalah 1000 kg/m3 (WHO, 2016).

5. Viabilitas

Efisiensi enkapsulasi adalah salah satu parameter yang digunakan

untuk menentukan keberhasilkan proses enkapsulasi. Parameter ini

menunjukkan berapa persen senyawa aktif yang berhasil dilindungi dalam

enkapsulan (Ali et al., 2014). Jumlah senyawa aktif yang terlindung di dalam

enkapsulan dapat diketahui dari selisih total senyawa aktif dengan senyawa

aktif yang ada di permukaan mikrokapsul (Vergara et al., 2014).

Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya efisiensi enkapsulasi

adalah karakteristik enkapsulan (Mahdavi et al., 2016). Mengkombinasikan

enkapsulan yang satu dengan yang lain dapat menghasilkan nilai efisiensi

enkapsulasi yang lebih tinggi daripada menggunakan satu jenis

enkapsulansaja (Mahdavi et al., 2016; Dewi et al., 2016). Tingginya nilai

efisiensi enkapsulasi berkaitan dengan interaksi antara polimer dengan

16

komponen bahan inti seperti interaksi elektrostatik atau adanya ikatan

hidrogen (Vergara et al., 2014).

6. Pemeriksaan morfologi mikrokapsul

Pemeriksaan morfologi mikrokapsul dengan menggunakan scanning

electron microscopy (SEM) untuk mengetahui karakteristik permukaan dan

adanya pori-pori pada permukaan mikrokapsul.

2.1.6 Aplikasi Mikroenkapsulasi

Teknik enkapsulasi dalam industri pangan sudah dimulai sejak 1956 oleh

Scultz et al., Pada penelitian tersebut, dilakukan pengkapsulan minyak sitrus ke

dalam sukrosa dan dekstrosa. Proses tersebut menghasilkan produk yang

memiliki stabilitas yang baik dan selama penyimpanan citara rasa dapat bertahan

hingga enam bulan. Proses ini kemudian berkembang menjadi mikroenkapsulai

dan lebih lanjut menjadi nanoenkapsulasi. Pemanfaatan Teknik enkapsulasi

dapat diaplikasikan pada bidang pangan seperti pada penyedap rasa/perasa,

pewarna, lemak dan minyak. Pada bidang kesehatan teknik ini dimanfaatkan

pada enzim dan asam. Pada bidang pakan ternak dilakukan aplikasi pada

mikroorganisme.

Hasil-hasil penelitian metode mikroenkapsulasi dilakukan pada berbagai

pakan ternak, diantaranya ada pada ternak babi, ternak broiler, dan ternak sapi

perah. Pada ternak babi, Meunier (2007) melakukan proses mikroenkapsulasi

pada capsicum oleorasin dengan metode spray cooling dimana bahan aktif yang

akan dikapsul adalah capcaisin (zat aktif pada tanaman yang efektif sebagai

antibakteri) dengan bahan pelapis minyak rapeseed.

Pada ternak broiler Grilli (2007) melakukan penelitian yang membandingkan

pakan kontrol (CTR) dan pakan yang ditambah campuran asam sitrat dan

organik (fumarat, malat, sitrat dan sorbat) yang dibuat dengan teknologi

mikroenkapsulasi sebanyak 400 ppm (TRT). Tujuannya adalah mengamati

konsentrasi asam sitrat dan organik yang tertinggal pada gizard, usus halus dan

sekum. Semakin banyak yang tertinggal di usus maka indikasi meningkatnya

degradasi dan penyerapan nutrien dan dapat menurunkan kolonisasi bakteri

patogen dan produksi racun metabolit.

Pada ternak sapi perah, perusahaan kesehatan dan nutrisi ternak (Balchem,

2003) melalukan penelitian terhadap keefektifan produk yang dihasilkan yaitu

17

“AminoShure-L” (mikroenkapsulasi asam amino lysin). Lisin merupakan salah

satu asam amino pembatas produksi dan kandungan protein susu, sehingga

ketersediaan dalam pakan sangat penting. Beberapa hasil melaporkan bahwa

terdapat hubungan langsung antara penambahan lisin dengan usus halus dan

produksi protein susu, semakin tinggi penambahan lisin maka lisin dalam usus

halus dan protein susu meningkat. Penambahan lisin dalam bentuk mikrokapsul

sebesar 80% mampu melindungi lisin dari degradasi rumen.

Di Indonesia sendiri, teknik mikroenkapsulasi aktif digunakan oleh PT. Nugen

Bioscience Indonesia untuk memproduksi AGP replacer. Produk yang dihasilkan

tersebut selanjutnya akan diaplikasikan pada ternak PT. Charoen Pokphan

Indonesia untuk mencegah adanya penyakit pada ternak dengan pemberian

probiotik pada pakan ternak tersebut yang akan menurunkan angka kematian

pada ternak.

2.2 Probiotik

Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang diaplikasikan secara oral

dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan unggas dengan cara

memanipulasi komposisi bakteri yang ada dalam saluran pencernaan unggas.

Sumber probiotik dapat berupa bakteri atau kapang yang berasal dari

mikroorganisme saluran pencernaan hewan. Beberapa bakteri yang telah

digunakan sebagai probiotik yaitu Lactobacillus dan B. subtilis, sedangkan

kapang atau jamur yang dipergunakan sebagai probiotik adalah S. cerevisiae

dan A. oryzae (Irianto, 2005). Probiotik tidak menimbulkan residu, probiotik tidak

diserap oleh saluran pencernaan inang, dan tidak menyebabkan mutasi pada

mikroorganisme yang lain (Irianto, 2005).

Mikroba yang digunakan sebagai probiotik dapat menghasilkan

antimikroba yang mampu menurunkan populasi bakteri Escherichia coli dan

Salmonella sp (Sumardi et al., 2010). Kemampuan karakteristik tersebut apabila

digabungkan akan mendatangkan keuntungan yakni mikroba patogen yang akan

menyerang pada usus ayam kampung (Sumardi et al., 2010). Menurut Kurtini et

al., (2013), mikroba lokal yang dapat dijadikan probiotik diantaranya S. cerevisiae,

Rhyzophus sp., dan Bacillus sp. Haetami et al., (2008) menyatakan bahwa

Lactobacillus sp. merupakan salah satu jenis bakteri yang diyakini mampu untuk

meningkatkan daya cerna.

18

2.2.1 Fungsi Probiotik

Sjofjan et al., (2011) menyatakan bahwa pemberian probiotik berguna dalam

meningkatkan produktivitas, mencegah penyakit, dan mengurangi penggunaan

antibiotik bahkan dapat mengurangi bau amonia di dalam kandang. Beberapa

keuntungan dari penggunaan probiotik pada unggas antara lain adalah dapat

memacu pertumbuhan, memperbaiki konversi pangan, mengontrol kesehatan

antara lain dengan mencegah terjadinya gangguan pencernaan terutama pada

hewan-hewan muda, faktor-faktor anti nutrisi seperti penghambat trypsin, asam

phitat, glukosinolat dan lain-lain (Havenaar et al., 1992). Penggunaan probiotik

juga merupakan suatu cara pendekatan untuk mengurangi atau mencegah

terjadinya kontaminasi penyakit terutama penyakit thypus terhadap produk-

produk unggas yaitu daging dan telur, sehingga daging dan telur yang dihasilkan

higienis dan aman untuk dikonsumsi sesuai dengan standar kesehatan

(Patterson and Burkholder, 2003).

2.2.2 Karakteristik Probiotik

Karakteristik probiotik yang baik adalah mengandung bakteri atau sel

kapang (yeast) hidup dalam jumlah yang besar, strain yang spesifik dari inang,

satu atau lebih strain yang berspektrum luas, bakteri atau kapang harus dapat

mencapai dan berkolonisasi di dalam saluran pencernaan, tahan terhadap cairan

gastrik dan asam empedu dan ketika di dalam saluran pencernaan, bakteri atau

kapang cepat menjadi aktif dan mampu memberikan manfaat peningkatan

performa inang serta stabil dan dapat disimpan dalam waktu panjang pada

kondisi lapangan (Fuller, 1989).

Pemanfaatan Bakteri Asam Laktat (BAL) oleh manusia telah dilakukan

sejak lama, yaitu untuk proses fermentasi makanan salah satunya pada daging

yang difermentasi sebagai contoh sosis fermentasi atau salami. Bakteri asam

laktat yang paling banyak ditemukan dalam daging fermentasi adalah strain

Lactobacillus sp., Leuconostoc sp., Pediococcus sp., dan Streptococcus sp.

Mikroorganisme ini merupakan bakteri yang bisa terdapat dimana saja dan

bersifat sangat kompetitif. Mikroorganisme ini membutuhkan banyak nutrisi untuk

tubuh, daging dapat meyediakan kebutuhan tersebut. Mikroorganisme ini bisa

tumbuh dengan atau tanpa udara, tetapi sangat cepat menghasilkan asam tanpa

kehadiran udara. Bakteri asam laktat juga sangat tahan terhadap garam dan

tumbuh baik pada formulasi sosis (Fuller, 1989.

19

2.2.3 Mekanisme Kerja Probiotik

Mekanisme kerja probiotik jika diberikan pada ayam akan berkolonisasi di

dalam usus, yang dapat dimodifikasi untuk sistem kekebalan/imunitas hewan

inang. Kemampuan menempel yang kuat pada sel-sel usus akan menyebabkan

mikroba-mikroba probiotik berkembang dengan baik dan mikroba patogen

tereduksi dari sel-sel hewan inang sehingga perkembangan organisme-

organisme patogen yang menyebabkan penyakit tersebut, seperti E. coli, S.

thyphimurium dalam saluran pencernaan akan mengalami hambatan. Mikroba

probiotik menghambat organisme patogenik dengan berkompetisi untuk

mendapatkan sejumlah terbatas substrat bahan makanan untuk difermentasi

(Budiansyah, 2004).

Bifidobacteria dan kultur probiotik lainnya yang berkontribusi terhadap

kesehatan manusia dan unggas melalui mekanisme seperti kompetisi dengan

bakteri patogen, menstimulasi sistem imun, meningkatkan produksi asam lemak

rantai pendek, mengontrol fungsi usus, mencegah kanker dan meningkatkan

pencernaan dan penyerapan zat-zat nutrisi (Ziggers, 2000; Jung et al., 2008).

Dampak probiotik yang bervariasi di berbagai lokasi atau sistem

pemeliharaan dimungkinkan karena probiotik merupakan faktor tunggal, tetapi

banyak faktor yang memengaruhi kinerjanya. Faktor-faktor yang memengaruhi

kinerja probiotik antara lain adalah (1) komposisi mikrobiota inang, (2) cara

pemberian probiotik, (3) umur dan jenis inang, serta (4) kualitas dan jenis

probiotik yang digunakan (Kompiang, 2009).

20

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2019 sampai dengan April 2019.

Tempat pelaksanaan penelitian antara lain:

a. Laboratorium Bioteknologi, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas

Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.

b. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.

c. Laboratorium Biologi, Universitas Muhammadiyah Malang.

d. PT. Nugen Bioscience Indonesia, Jatiuwung, Tangerang.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi timbangan analitik

(Denver Instrumen M 310), refrigerator (Sharp), Shaker waterbath (Memmert),

Spray dryer Custom-made PT. Nugen Bioscience Indonesia, stirrer (Chijiu),

peristaltic pump (Longer Pump BT100-2J), oven listrik (Memmert), inkubator

(Memmert), Vortex mixer (Corning), Laminar Air Flow Cabinet (Magnehelic),

Hotplate stirrer (Fisher scientific), kompor listrik (Maspion), Autoclave (Tomy), air

filter, glassware, bola hisap D&N, mikropipet, mikrotip, Bunsen, loyang, wadah

aluminium foil, spatula kaca, pengaduk, botol semprot, wadah larutan, dan

spatula besi.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi probiotik Lactobacillus

plantarum (ProGrowth) yang merupakan produk milik PT. Nugen Bioscience

Indonesia sebagai bahan inti, Maltodekstrin DE 18 (food grade), Gum Arab, dan

CMC sebagai bahan enkapsulan, media MRS (deMan Rogosa Sharpe) Agar dan

MRS (deMan Rogosa Sharpe) Broth (Merck), pepton, NaCl fisiologis 0,85%,

kertas payung, kapas, clingwrap, plastik PE, alkohol 70%, aquades, aluminium

foil, kertas saring, kertas label, wadah kertas, selotip, gelas plastik, tutup gelas

plastik, plastik ziploc, masker, dan sarung tangan.

21

3.3 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh jenis dan

konsentrasi enkapsulan terhadap karakteristik bubuk mikrokapsul. Penelitian ini

menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari dua faktor.

Faktor 1 adalah jenis enkapsulan dan faktor 2 adalah konsentrasi enkapsulan

dibanding probiotik.

Faktor 1 terdiri dari 3 level dan faktor 2 terdiri dari 3 level, sehingga diperoleh

9 kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 2 kali sehingga

terdapat 18 unit percobaan. Berikut kombinasi perlakuan dari ketiga kelompok

tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Faktor 1. Jenis enkapsulan (Mahdavi et al., 2016 dan Ferrari, 2013)

P1 = Maltodekstrin (100%)

P2 = Maltodekstrin-Gum Arab (3:1 b/b)

P3 = Maltodekstrin-CMC (3:1 b/b)

Faktor 2. Konsentrasi enkapsulan dalam probiotik (Yunilawati, 2018)

R1 = 5% (v/v)

R2 = 10% (v/v)

R2 = 15% (v/v)

Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan Menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)

Jenis Konsentrasi Enkapsulan Ulangan

Enkapsulan dalam Probiotik I II

P1 R1

R2

R3

P1R1

P1R2

P1R3

P1R1

P1R2

P1R3

P2

R1

R2

R3

P2R1

P2R2

P2R3

P2R1

P2R2

P2R3

P3

R1

R2

R3

P3R1

P3R2

P3R3

P3R1

P3R2

P3R3

22

3.4 Pelaksanaan Penelitian

Dalam proses mikroenkapsulasi probiotik Lactobacillus plantarum, langkah

awal yang dilakukan adalah perbanyakan kultur. Tahapan perbanyakan kultur

adalah sebagai berikut (Tareq, 2013 dan Anthony, 2009 dengan modifikasi):

1. Inokulasi strain Lactobacillus plantarum dalam 25 ml MRS Broth.

2. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam

3. 25 ml diinokulasikan ke dalam 500 ml MRS Broth dalam shake flask

4. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam dengan shaker

5. 500 ml diinokulasikan ke dalam 5000 ml MRS Broth feed fermentor

6. Diinkubasi pada suhu 37oC (±0.5) selama 24 jam dengan agitasi 160 rpm

7. Feed fermentor kemudian diinokulasi ke dalam production fermentor

8. Diinkubasi pada suhu 37oC dengan agitasi 160 rpm selama 16 jam

Setelah kultur yang akan dienkapsulasi telah diperbanyak, selanjutnya

dilakukan proses preparasi bahan enkapsulan. Tahapan preparasi bahan

enkapsulan adalah sebagai berikut:

1. Membuat campuran maltodekstrin dengan Gum arab (3:1 b/b)

2. Membuat campuran maltodekstrin dengan CMC (3:1 b/b)

Setelah proses preparasi Enkapsulan selesai selanjutnya dilakukan proses

mikroenkapsulasi probiotik Lactobacillus plantarum. Tahapan proses

mikroenkapsulasi adalah sebagai berikut:

1. Bahan enkapsulan dicampur dengan ±500 ml probiotik Lactobacillus

plantarum dan diaduk hingga homogen.

2. Diberi penambahan probiotik hingga volume 1 liter. Konsentrasi enkapsulan

dengan probiotik sesuai dengan perlakuan.

3. Probiotik diletakkan dalam constant stirring selama proses berlanjut dengan

bantuan stirrer dalam kecepatan 120 rpm.

4. Dilakukan proses pengeringan menggunakan spray dryer dengan kondisi

proses optimum (Lampiran 5) sampai diperoleh massa berbentuk serbuk

yang kemudian disimpan dalam plastik gelap pada suhu ruang.

5. Kemudian dilakukan analisis pada bubuk mikrokapsul, meliputi: kadar air,

densitas kamba, daya serap uap air, viabilitas, serta morfologi dan ukuran

bubuk mikrokapsul untuk menentukan mikrokapsul dengan kualitas terbaik.

23

Diagram alir proses mikroenkapsulasi probiotik Lactobacillus plantarum dapat

dilihat pada Gambar 3.2.

3.5 Pengujian dan Analisis Data

3.5.1 Pengujian

Analisis sifat fisik bubuk mikrokapsul adalah sebagai berikut:

1. Analisis Kadar air (Muzaffar, Dinkarrao, and Kumar, 2016)

2. Analisis Daya serap uap air (Rauf, 2015)

3. Analisis Densitas kamba (Venil et al., 2016)

4. Analisis Viabilitas (Vergara et al., 2014)

5. Analisis Morfologi dan ukuran partikel bubuk mikroenkapsulasi dengan SEM

(Scanning Electron Microscope) (Otálora et al., 2015)

3.5.2 Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan analisis keragaman Analysis of

variance (ANOVA) dengan taraf nyata (alfa) = 5%. Apabila hasil analisis

berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey dengan taraf nyata (alfa)

= 5%. Pemilihan perlakuan terbaik menggunakan metode Zeleny (1982). Analisis

data menggunakan software Minitab 17 dan Numbers version 5.2.

24

Bubuk mikrokapsul perlakuan terbaik

3.6 Diagram Alir Penelitian

Diaduk

Dikering-semprotkan dengan spray

dryer

Gambar 3.1 Prosedur Mikroenkapsulasi menggunakan Spray dryer (Modifikasi dari

Chranioti et al., 2015)

Analisis : Rendemen Kadar air Daya serap uap air Densitas Kamba Viabilitas Morfologi mikrokapsul

Bubuk mikrokapsul

Jenis enkapsulan: Maltodekstrin Maltodekstrin-Gum arab (3:1 b/b) Maltodekstrin-CMC (3:1 b/b)

Konsentrasi enkapsulan dalam probiotik : 5% (v/v) 10% (v/v) 15% (v/v)

Kondisi:

Stirring: 120 rpm; Suhu inlet: 200oC; Suhu outlet: 60oC; Feed flowrate 7 rpm; In-air flow: 1320 m3/jam; Pressure feed 4 bar; Out-air flow: 430 m3/jam.

Probiotik Lactobacillus plantarum

25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Rendemen

Rendemen digunakan untuk menentukan efisiensi dan efektivitas dari

proses mikroenkapsulasi. Semakin tinggi nilai rendemen maka semakin efisien

proses pengeringan yang berjalan (Hasrini dkk., 2017). Hasil rerata rendemen

yang dihasilkan mikrokapsul probiotik Lactobacillus plantarum pada perlakuan

penambahan enkapsulan terhadap probiotik (5%, 10% dan 15%) dengan jenis

enkapsulan Maltodekstrin, Maltodekstrin-CMC dan Maltodekstrin-Gum Arab

disajikan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Enkapsulan terhadap Rendemen

Mikrokapsul

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa rendemen yang didapatkan cenderung

meningkat seiring dengan semakin tinggi konsentrasi enkapsulan yang

ditambahkan dan jenis enkapsulan Maltodekstrin memiliki rendemen yang lebih

tinggi dibanding dengan Maltodekstrin-Gum Arab dan Maltodekstrin-CMC secara

berurutan. Rendemen yang didapatkan berkisar antara 3,29% hingga 49,41%.

Secara umum rendemen mikrokapsul akan menurun seiring dengan semakin

tinggi konsentrasi bahan inti yang digunakan (Hasrini dkk., 2017).

Hasil analisa ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa jenis enkapsulan,

konsentrasi enkapsulan, dan interaksi antara jenis dan konsentrasi enkapsulan

0

10

20

30

40

50

60

5% 10% 15%

Ren

dem

en (%

)

Konsentrasi Enkapsulan (%)

Maltodekstrin

Maltodeksin-CMC

Maltodekstrin-Gum Arab

26

memberikan pengaruh nyata (P-value < 0,05) terhadap rendemen yang

didapatkan.

Rerata total rendemen akibat perbedaan jenis enkapsulan yang

digunakan disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Rerata Total Rendemen Akibat Jenis Enkapsulan Jenis Enkapsulan Rerata Total Rendemen (%) Maltodekstrin 32,33 ± 16,27 a Maltodekstrin - CMC 1,10 ± 1,90 c Maltodekstrin - Gum Arab 25,76 ± 7,96 b Nilai yang ditampilkan merupakan rataan ± standar deviasi Nilai pada kolom yang didampingi huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf (P-value < 0,05) Maltodekstrin: 100% (b/b); Maltodekstrin-CMC: 75%-25% (b/b); Maltodekstrin-Gum Arab: 75% - 25% (b/b).

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa penggunaan jenis enkapsulan

Maltodekstrin memiliki rendemen yang lebih tinggi dibanding dengan jenis

enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab. Sedangkan jenis enkapsulan

Maltodekstrin-CMC memiliki rendemen yang paling rendah.

Pada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin didapatkan nilai

rendemen yang paling tinggi dibanding dengan jenis enkapsulan lain yaitu

32,33%. Hal ini dipengaruhi oleh nilai viskositas dari larutan sebelum proses

spray drying yang paling rendah dibanding jenis enkapsulan lain sehingga proses

pengeringan dapat berjalan lebih sempurna dan banyak mikrokapsul yang jatuh

ke cyclone. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap nilai

viskositas larutan sebelum proses spray drying, namun menurut Bird (1987)

salah satu faktor yang mempengaruhi viskositas ialah berat molekul, besarnya

berat molekul suatu bahan menyebabkan meningkatnya viskositas bahan

tersebut. Berdasarkan pernyataan Gardjito et al., (2006) bahwa berat molekul

maltodekstrin (kurang dari 4.000) lebih rendah dibandingkan dengan berat

molekul Gum Arab (± 500.000). Sehingga dapat disimpulkan bahwa enkapsulan

Maltodekstrin akan memiliki viskositas yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan

proses spray drying yang sudah dilaksanakan dimana seluruh larutan dapat

melalui nozzle dengan lancar dan tanpa hambatan.

Pada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin-CMC didapatkan nilai

rendemen yang paling rendah yaitu 1,10%. Rendemen yang sangat rendah pada

jenis enkapsulan Maltodekstrin-CMC disebabkan oleh tingkat viskositas yang

27

sangat tinggi. Viskositas yang tinggi disebabkan oleh kemampuan CMC sebagai

pengental (Kelco, 2009). Selain itu seluruh proses dilakukan pada suhu ruang,

menurut Singh (2007), jenis enkapsulan CMC harus melalui proses pemanasan

untuk dapat larut dengan sempurna dengan tingkat viskositas yang rendah. Pada

saat enkapsulan mulai dilarutkan ke dalam probiotik, larutan mulai mengental

dan membentuk gumpalan. Selama proses mikroenkapsulasi, larutan melalui

proses pengadukan secara terus menerus menggunakan magnetic stirrer

dengan kecepatan 120 rpm dan mengakibatkan tingkat viskositas dari larutan

terus meningkat. Hal ini menyebabkan proses Spray drying harus dihentikan

pada saat tertentu karena larutan mulai menyumbat nozzle dan tekanan yang

digunakan tidak cukup kuat untuk menekan larutan melalui nozzle sehingga

proses Spray drying tidak dapat dilanjutkan.

Pada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab didapatkan

nilai rendemen yang lebih rendah dari jenis enkapsulan Maltodekstrin yaitu

25,76%. Hal ini disebabkan adanya Gum Arab sebagai bahan enkapsulan

menyebabkan pembentukan gel yang mengakibatkan viskositas meningkat

(Khasanah dkk., 2015). Berdasarkan pernyataan Gardjito et al., (2006) bahwa

berat molekul Gum Arab (±500.000) lebih besar dibandingkan dengan berat

molekul maltodekstrin (kurang dari 4.000), sehingga besarnya berat molekul

Gum Arab tersebut menyebabkan banyaknya air yang diserap, sehingga

viskositasnya menjadi tinggi. Viskositas yang tinggi menyebabkan pengeringan

tidak berjalan sempurna yaitu lebih banyak mikrokapsul yang menempel pada

chamber spray dryer daripada jatuh ke cyclone yang berarti mikrokapsul tersebut

tidak terhitung sebagai rendemen (Khasanah dkk., 2015), sehingga terjadi

penurunan rendemen mikrokapsul pada bahan enkapsulan yang menggunakan

Gum Arab dalam jumlah besar.

Hasil penelitian jenis enkapsulan Maltodekstrin dan Maltodekstrin-Gum

Arab sesuai dengan literatur. Pada penelitian yang dilaksanakan oleh Khasanah

dkk. (2015), diketahui bahwa sampel dengan rasio enkapsulan maltodekstrin dan

gum arab sebesar 1:2 memiliki nilai TPT sebesar 21.8 Brix, sedangkan rasio

enkapsulan tanpa Gum Arab lebih rendah yaitu 19.8 Brix. Hal ini mempengaruhi

rendemen yang didapatkan, dimana viskositas yang lebih tinggi memiliki

rendemen sebanyak 14,34% dan viskositas yang lebih rendah mendapatkan

enkapsulan sebanyak 23,56%. Menurut Srihari, dkk. (2010) semakin banyak

28

kandungan padatan terlarut maka semakin besar viskositas suatu larutan.

Viskositas yang tinggi menyebabkan rendemen semakin menurun.

Hasil penelitian jenis enkapsulan Maltodekstrin-CMC berbeda dengan

literatur, dimana Li et al., (2010), menunjukkan bahwa proses mikroenkapsulasi

menggunakan enkapsulan Maltodekstrin-CMC dapat dilakukan. Keberhasilan

dari penelitian tersebut mungkin dipengaruhi oleh faktor mesin Spray dryer

dengan spesifikasi yang berbeda dengan penelitian ini sehingga kemungkinan

flow rate feed hingga pressure feed yang digunakan dalam mesin berbeda.

Selain itu penanganan terhadap sampel mungkin menggunakan perlakuan yang

berbeda dengan penelitian ini. Perbedaan spesifikasi alat dalam proses Spray

drying sangat mempengaruhi tingkat keberhasilkan karena dapat menangani

rentang viskositas larutan yang berbeda-beda pula.

Rerata total rendemen akibat perbedaan konsentrasi enkapsulan yang

ditambahkan disajikan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Rerata Total Rendemen Akibat Konsentrasi Enkapsulan Konsentrasi Enkapsulan Rerata Total Rendemen (%) 5% 12,93 ± 8,38 c 10% 18,36 ± 16,18 b 15% 27,89 ± 25,31 a Nilai yang ditampilkan merupakan rataan ± standar deviasi Nilai pada kolom yang didampingi huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf (P-value < 0,05) 5%: 5% enkapsulan + 95% probiotik (v/v); 10%: 10% enkapsulan + 80% probiotik (v/v); 15%: 15% enkapsulan + 85% probiotik (v/v).

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi enkapsulan 15%

(v/v) memiliki rendemen yang lebih tinggi dibanding dengan 10% dan 5% secara

berurutan. Rerata total rendemen akan menurun seiring dengan banyaknya

konsentrasi probiotik yang digunakan.

Pada penggunaan konsentrasi enkapsulan 5% (5% enkapsulan + 95%

probiotik), didapatkan rerata total rendemen yang terendah yaitu 12,93%.

Kemudian pada penggunaan konsentrasi enkapsulan 10% (5% enkapsulan + 90%

probiotik), didapatkan rerata total rendemen yang lebih tinggi yaitu 18,36%. Pada

penggunaan konsentrasi enkapsulan 15% (5% enkapsulan + 85% probiotik),

didapatkan rerata total rendemen yang tertinggi yaitu 27,89%.

29

Hal ini berhubungan dengan banyaknya jumlah probiotik yang ada di

dalam larutan. Probiotik dalam penelitian ini berbentuk cair dan memiliki kadar air

yang sangat tinggi. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan mikrokapsul tidak

dapat diseparasi sehingga tertinggal pada tabung pengering dan rendemen yang

didapatkan akan rendah (Febriyanti, 2014). Apabila diberikan penambahan

enkapsulan, maka kadar air emulsi akan lebih rendah karena persentase

probiotik sebagai bahan inti yang digunakan juga lebih rendah. Menurut Hasrini

dkk., (2017), rendemen mikrokapsul akan meningkat seiring dengan semakin

rendah konsentrasi bahan inti yang ditambahkan. Dalam penelitian ini bahan inti

yang digunakan lebih rendah, sehingga proses penguapan dapat berjalan dan

mikrokapsul dapat diseparasi dengan lebih baik.

Penambahan enkapsulan semakin banyak akan meningkatkan viskositas

emulsi yang didapat hingga menjadi lengket. Dibutuhkan konsentrasi yang tepat

agar memiliki viskositas yang cukup untuk proses spray drying yang sempurna

namun tidak cukup tinggi untuk menyumbat nozzle. Hal ini sesuai dengan Young

et al., (1993) yang menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi enkapsulan

menyebabkan rekoveri mikrokapsul dari pengering semprot menjadi sulit karena

bersifat lengket. Kelengketan akan menghambat proses mikroenkapsulasi. Hal

tersebut akan menyebabkan mikrokapsul tidak dapat diseparasi sehingga

tertinggal pada tabung pengering.

4.2 Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas

mikrokapsul. Kadar air yang rendah dapat mencegah timbulnya mikroba yang

dapat merusak produk (Khasanah, 2015). Menurut Yuliani dkk. (2007), kisaran

kadar air yang baik untuk produk mikrokapsul yang diperoleh dari spray drying

sebesar 2-6%. Hasil rerata kadar air yang dihasilkan mikrokapsul probiotik

Lactobacillus plantarum pada perlakuan penambahan konsentrasi enkapsulan

terhadap probiotik (5%, 10% dan 15%) dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin,

Maltodekstrin-CMC dan Maltodekstrin-Gum Arab disajikan pada Gambar 4.2.

30

Gambar 4.2. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Enkapsulan terhadap Kadar Air

Mikrokapsul

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa kadar air mikrokapsul yang didapatkan

cenderung menurun seiring dengan semakin tinggi konsentrasi enkapsulan yang

ditambahkan dan mikrokapsul dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin memiliki

kadar air yang cenderung lebih tinggi dibanding dengan Maltodekstrin-Gum Arab

dan Maltodekstrin-CMC. Kadar air mikrokapsul yang didapatkan berkisar antara

4,44% hingga 6,17%. Secara umum kadar air mikrokapsul akan menurun seiring

dengan semakin tinggi konsentrasi enkapsulan yang ditambahkan (Purnomo dkk.,

2014).

Hasil analisa ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa jenis enkapsulan,

konsentrasi enkapsulan dan interaksi antara jenis enkapsulan dan konsentrasi

enkapsulan memberikan pengaruh nyata (P-value < 0,05) terhadap nilai kadar air

mikrokapsul.

Rerata kadar air mikrokapsul akibat perbedaan jenis enkapsulan yang

digunakan pada probiotik disajikan pada Tabel 4.4.

0

1

2

3

4

5

6

7

5% 10% 15%

Kada

r air

(%)

Konsentrasi Enkapsulan (%)

Maltodekstrin

Maltodekstrin-CMC

Maltodekstrin-Gum Arab

31

Tabel 4.4 Rerata Kadar Air Akibat Jenis Enkapsulan

Jenis Enkapsulan Rerata Kadar Air (%) Maltodekstrin 5,35 ± 0,85 a Maltodekstrin - CMC 0 ± 0,00 b Maltodekstrin - Gum Arab 5,22 ± 0,87 a

Nilai yang ditampilkan merupakan rataan ± standar deviasi Nilai pada kolom yang didampingi huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf (P-value < 0,05) Maltodekstrin: 100% (b/b); Maltodekstrin-CMC: 75%-25% (b/b); Maltodekstrin-Gum Arab: 75% - 25% (b/b).

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa mikrokapsul yang menggunakan jenis

enkapsulan Maltodekstrin memiliki kadar air yang lebih tinggi dibanding dengan

jenis enkapsulan Maltodekstrin - Gum Arab. Sedangkan jenis enkapsulan

Maltodekstrin-CMC tidak didapatkan nilai kadar air mikrokapsul. Kondisi proses

pengeringan dengan spray dryer pada suhu yang sama dapat memberikan

perbedaan terhadap kadar air mikrokapsul. Hal ini berkaitan dengan pengaruh

adanya perbedaan berat molekul dan struktur molekul dari bahan enkapsulan

yang digunakan dalam proses enkapsulasi (Mahdavi et al., 2016).

Pada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin didapatkan nilai kadar

air mikrokapsul yang paling tinggi dibanding dengan jenis enkapsulan lain yaitu

sebesar 5,35%. Masing-masing bahan enkapsulan yang digunakan dalam

penelitian ini memiliki berat molekul yang berbeda-beda. Menurut Gardjito et al.,

(2006), Maltodekstrin memiliki berat molekul yang lebih rendah (kurang dari 4000)

dan struktur molekul yang lebih sederhana, sehingga dengan mudah air dapat

diuapkan ketika proses pengeringan. Semakin banyak air yang dapat diuapkan

maka semakin tinggi nilai kadar air yang dimiliki oleh mikrokapsul. Hal ini sesuai

dengan penelitian ini dimana nilai kadar air tertinggi dimiliki oleh mikrokapsul

dengan enkapsulan Maltodekstrin.

Pada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin-CMC tidak didapatkan

nilai kadar air mikrokapsul. Pada mikrokapsul dengan enkapsulan Maltodekstrin -

CMC tidak diilaksanakan proses penelitian karena keterbatasan mikrokapsul

yang dihasilkan selama proses Spray drying sehingga nilai kadar airnya sebesar

0%.

Pada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab didapatkan

nilai kadar air mikrokapsul yang lebih rendah dibanding dengan jenis enkapsulan

Maltodekstrin yaitu sebesar 5,22%. Masing-masing bahan enkapsulan yang

32

digunakan dalam penelitian ini memiliki berat molekul yang berbeda-beda. Gum

Arab memiliki berat molekul yang besar (±500.000) dan struktur yang lebih

kompleks sehingga ikatan dengan molekul air lebih kuat, maka ketika proses

pengeringan berlangsung, molekul air agak sulit diuapkan dan membutuhkan

energi penguapan yang lebih besar (Febriyanti, 2014). Perbedaan berat molekul

dan struktur inilah yang berperan penting dalam proses penguapan uap air

sehingga walaupun berada dalam suhu dan proses yang sama dapat terjadi

perbedaan dari nilai kadar air yang didapatkan. Hal ini sesuai dengan yang

disampaikan oleh Dickinson (2003), bahwa adanya penambahan Gum Arab yang

merupakan heteropolimer yang kompak serta memiliki berat molekul yang tinggi

dan struktur molekulnya kompleks menyebabkan air di dalam bahan lebih

banyak tertahan dan sulit diuapkan.

Hasil penelitian jenis enkapsulan Maltodekstrin dan Maltodekstrin-Gum

Arab sesuai dengan literatur. Febriyanti dan Setyowati (2014), menunjukkan

kadar air (%) mikrokapsul dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab

dengan rasio 3:1 memiliki nilai sebesar 7,10% dan mikrokapsul dengan jenis

enkapsulan Maltodekstrin memiliki nilai sebesar 7,16%. Hasil penelitian ini sesuai

dengan literatur dimana disampaikan bahwa jenis enkapsulan Maltodekstrin

menghasilkan mikrokapsul dengan kadar air yang lebih tinggi dari jenis

enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab. Adanya perbedaan nilai dengan hasil

penelitian ini disebabkan adanya perbedaan bahan inti yang dienkapsulasi.

Probiotik yang digunakan dalam proses mikroenkapsulasi adalah zat cair dengan

total padatan yang lebih banyak sedangkan dalam literatur merupakan Instan

Temulawak dengan bahan pelarut alkohol, sehingga semakin banyak jumlah zat

cair di dalam formulasi mikroenkapsulasi menyebabkan jumlah air yang diuapkan

pada saat proses pengeringan semakin banyak. Hal inilah yang menyebabkan di

dalam suhu dan waktu pengeringan yang sama dapat mengakibatkan jumlah

kadar air akhir mikrokapsul berbeda satu sama lain (Dewi dkk., 2016). Didalam

penelitian Dewi dkk. (2016), juga menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi

nilai kadar air adalah kondisi pengeringan dan komposisi enkapsulan. Perbedaan

kondisi pengeringan antara literatur dan penelitian ini pula dapat membedakan

hasil nilai kadar air mikrokapsul yang didapatkan.

Rerata kadar air mikrokapsul akibat perbedaan konsentrasi enkapsulan

yang ditambahkan pada probiotik disajikan pada Tabel 4.5.

33

Tabel 4.5 Rerata Kadar Air Akibat Konsentrasi Enkapsulan Konsentrasi Enkapsulan Rerata Kadar Air (%) 5% 4,11 ± 3,56 a 10% 3,49 ± 3,03 b 15% 2,97 ± 2,57 c

Nilai yang ditampilkan merupakan rataan ± standar deviasi Nilai pada kolom yang didampingi huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf (P-value < 0,05) 5%: 5% enkapsulan + 95% probiotik (v/v); 10%: 10% enkapsulan + 80% probiotik (v/v); 15%: 15% enkapsulan + 85% probiotik (v/v).

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi enkapsulan

sebesar 5% (v/v) memiliki kadar air yang lebih tinggi dibanding dengan

konsentrasi enkapsulan 10% (v/v) dan 15% (v/v) secara berurutan. Rerata nilai

kadar air akan menurun seiring dengan banyaknya total padatan bahan yang ada

di dalam komposisi proses mikroenkapsulasi.

Pada penggunaan konsentrasi enkapsulan 5% (5% enkapsulan + 95%

probiotik), didapatkan rerata nilai kadar air yang tertinggi yaitu 4,11%.

Kemudian pada penggunaan konsentrasi enkapsulan 10% (5% enkapsulan + 90%

probiotik), didapatkan rerata nilai kadar air yang lebih rendah yaitu 3,49%. Pada

penggunaan konsentrasi enkapsulan 15% (5% enkapsulan + 85% probiotik),

didapatkan rerata nilai kadar air yang terendah yaitu 2,97%.

Hal ini berkaitan dengan total padatan bahan yang ada di dalam

komposisi proses mikroenkapsulasi. Semakin besar konsentrasi enkapsulan

yang ditambahkan maka semakin tinggi total padatan bahan di dalam komposisi

mikroenkapsulasi. Peningkatan jumlah total padatan bahan tersebut sampai

batas tertentu saat proses pengeringan akan menghambat kecepatan

penguapan sehingga kadar air bahan menjadi lebih rendah (Purnomo dkk., 2014).

Selain itu, probiotik yang digunakan dalam proses mikroenkapsulasi ini adalah

dalam bentuk zat cair. Sehingga semakin banyak jumlah enkapsulan yang

ditambahkan berarti semakin rendah probiotik dalam komposisi mikroenkapsulasi.

Semakin banyak jumlah zat cair didalam komposisi mikroenkapsulasi

menyebabkan jumlah air yang diuapkan saat proses juga semakin banyak.

Sehingga nilai kadar air dapat berbeda walaupun suhu dan waktu pengeringan

yang dilakukan sama.

34

4.3 Daya Serap Uap Air

Daya serap uap air merupakan salah satu parameter yang menentukan

kualitas mikrokapsul. Nilai daya serap uap air sangat dipengaruhi oleh kadar air,

dimana kadar air yang lebih rendah akan mengindikasikan daya serap uap air

yang lebih tinggi (Tonon et al., 2008).

Hasil rerata daya serap uap air yang dihasilkan mikrokapsul probiotik

Lactobacillus plantarum pada perlakuan penambahan konsentrasi enkapsulan

terhadap probiotik (5%, 10% dan 15%) dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin,

Maltodekstrin-CMC, dan Maltodekstrin-Gum Arab disajikan pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Enkapsulan terhadap Daya Serap

Uap Air Mikrokapsul

Gambar 4.3 menunjukkan bahwa daya serap uap air mikrokapsul yang

didapatkan cenderung meningkat seiring dengan semakin tinggi konsentrasi

enkapsulan yang ditambahkan dan jenis enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab

memiliki nilai daya serap uap air yang lebih tinggi dibanding dengan

Maltodekstrin dan Maltodekstrin-CMC. Daya serap uap air mikrokapsul yang

didapatkan berkisar antara 6,9% hingga 7.79%. Secara umum daya serap uap

air mikrokapsul akan menurun seiring dengan semakin tinggi kadar air suatu

mikrokapsul (Tabib dkk., 1997).

Hasil analisa ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa jenis enkapsulan

yang digunakan memberikan pengaruh nyata (P-value < 0,05) terhadap nilai

daya serap uap air mikrokapsul. Sedangkan konsentrasi enkapsulan dan

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

5% 10% 15%

Day

a Se

rap

Uap

Air

(%)

Konsentrasi Enkapsulan (%)

Maltodekstrin

Maltodekstrin-CMC

Maltodekstrin-Gum Arab

35

interaksi antara jenis dan konsentrasi enkapsulan tidak berpengaruh nyata (P-

value > 0,05) terhadap nilai daya serap uap air mikrokapsul.

Rerata daya serap uap air mikrokapsul akibat perbedaan jenis

enkapsulan yang digunakan pada probiotik disajikan pada tabel 4.7. Tabel 4.7 Rerata Daya Serap Uap Air Akibat Jenis Enkapsulan Jenis Enkapsulan Rerata Total Daya Serap Uap Air (%)

Maltodekstrin 7,02 ± 0,14 a Maltodekstrin - CMC 0 ± 0,00 b Maltodekstrin - Gum Arab 7,41 ± 0,36 a

Nilai yang ditampilkan merupakan rataan ± standar deviasi Nilai pada kolom yang didampingi huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf (P-value < 0,05) Maltodekstrin: 100% (b/b); Maltodekstrin-CMC: 75%-25% (b/b); Maltodekstrin-Gum Arab: 75% - 25% (b/b).

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa penggunaan jenis enkapsulan

Maltodekstrin-Gum Arab memiliki daya serap uap air yang lebih tinggi dibanding

dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin. Sedangkan jenis enkapsulan

Maltodekstrin-CMC memiliki nilai daya serap uap air yang paling rendah.

Pada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin didapatkan nilai daya

serap uap air yang lebih rendah dibanding dengan jenis enkapsulan

Maltodekstrin-Gum Arab yaitu 7,02%. Tonon et al., (2009) menyatakan bahwa

semakin besar ukuran partikel maka semakin kecil area permukaan yang

terpapar dan semakin rendah pula daya serap uap penyerapan air dari udara.

Selain itu, jenis enkapsulan dengan massa molar yang lebih rendah dan rantai

yang lebih pendek akan memiliki nilai daya serap air yang lebih tinggi.

Pada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin-CMC tidak didapatkan

nilai daya serap uap air mikrokapsul. Pada mikrokapsul dengan enkapsulan

Maltodekstrin - CMC tidak dilaksanakan proses penelitian karena keterbatasan

mikrokapsul yang dihasilkan selama proses Spray drying sehingga nilai kadar

airnya sebesar 0%.

Pada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab didapatkan

nilai daya serap uap air yang paling tinggi dibanding dengan jenis enkapsulan

lain yaitu 7,41%. Hal ini dapat pula disebabkan oleh gugus hidrofil yang lebih

besar dibandingkan dengan maltodekstrin. Gum arab memilki lebih banyak

gugus hidrofil yang dapat menyerap uap air. Kenyon (1992) menyatakan bahwa

36

jumlah gugus hidrofil yang lebih besar pada struktur dekstrin menyebabkan

semakin tingginya sifat hidrofilik pada senyawa tersebut.

Rerata kadar air enkapsulan akibat perbedaan konsentrasi enkapsulan

yang ditambahkan pada probiotik disajikan pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Rerata Daya Serap Uap Air Akibat Konsentrasi Enkapsulan Konsentrasi Enkapsulan Rerata Total Daya Serap Uap Air (%) 5% 4,66 ± 4,04 a 10% 4,79 ± 4,15 a 15% 4,99 ± 4,33 a Nilai yang ditampilkan merupakan rataan ± standar deviasi Nilai pada kolom yang didampingi huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf (P-value < 0,05) 5%: 5% enkapsulan + 95% probiotik (v/v); 10%: 10% enkapsulan + 80% probiotik (v/v); 15%: 15% enkapsulan + 85% probiotik (v/v).

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi enkapsulan

sebesar 15% memilki daya serap uap air yang lebih tinggi dibanding dengan

konsentrasi enkapsulan 10% dan 5% secara berurutan. Hal ini berkaitan dengan

kadar air dari enkapsulan yang digunakan, semakin kering suatu produk maka

kemampuannya untuk menyerap dan menampung air akan lebih banyak

dibanding produk lembab. pada produk kering lebih banyak air yang dapat

ditampung sehingga lebih cepat reaksi yang terjadi (Tabib dkk., 1997). Data hasil

penelitian ini sesuai dengan kadar air dari mikrokapsul dengan perlakuan yang

sama bahwa semakin rendah kadar air mikrokapsul maka semakin tinggi daya

serap uap airnya.

Tabib dkk (1997), menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi

menyebabkan tingkat kepolaran mikrokapsul menjadi turun. Suatu zat non polar

tidak dapat memecahkan ikatan kovalen dan tidak dapat membentuk jembatan

hidrogen, sehingga menyebabkan produk yang dihasilkan menjadi kering

(Hildbrone, 2002). Diduga salah satu faktor yang mempengaruhi daya serap uap

air mikrokapsul adalah tingkat kepolarannya. Namun, hasil analisis data

menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi enkapsulan yang digunakan tidak

berbeda nyata (P > 0,05) sehingga tidak menyebabkan perbedaan kemampuan

mikrokapsul dalam pembentukan jembatan hidrogen sehingga daya serap uap

air yang dihasilkan tidak berbeda nyata.

37

4.4 Densitas Kamba

Densitas kamba merupakan salah satu parameter yang menentukan

kualitas mikrokapsul. Bahan dengan densitas kamba yang kecil akan

membutuhkan tempat yang lebih luas untuk berat yang sama sehingga tidak

efisien dari segi tempat penyimpanan dan kemasan (Ade et al., 2009). Densitas

kamba makanan berbentuk bubuk berkisar 0,30 - 0,80 g/mL (Wiranatakusumah,

1992). Hasil rerata densitas kamba yang dihasilkan mikrokapsul probiotik

Lactobacillus plantarum pada perlakuan penambahan konsentrasi enkapsulan

terhadap probiotik (5%, 10% dan 15%) dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin,

Maltodekstrin-CMC, dan Maltodekstrin-Gum Arab disajikan pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4 Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Enkapsulan terhadap Densitas

Kamba Mikrokapsul

Gambar 4.4 menunjukkan bahwa nilai densitas kamba yang didapatkan

cenderung menurun seiring dengan semakin tinggi konsentrasi enkapsulan yang

ditambahkan dan jenis enkapsulan Maltodekstrin memiliki nilai densitas kamba

yang yang lebih tinggi dibanding dengan Maltodekstrin-Gum Arab dan

Maltodekstrin-CMC secara berurutan. Nilai densitas kamba yang didapatkan

berkisar antara 0,27 g/mL hingga 0,33 g/mL. Secara umum densitas kamba

mikrokapsul akan meningkat apabila kadar air yang dimiliki juga tinggi (Venil et

al., 2016).

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

0,35

5% 10% 15

Den

sita

s Ka

mba

(g/m

L)

Konsentrasi Enkapsulan (%)

Maltodekstrin

Maltodekstrin-CMC

Maltodekstrin-Gum Arab

38

Hasil analisa ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa jenis enkapsulan,

konsentrasi enkapsulan, dan interaksi antara jenis dan konsentrasi enkapsulan

memberikan pengaruh nyata (P-value < 0,05) terhadap nilai densitas kamba

mikrokapsul.

Rerata densitas kamba akibat perbedaan jenis enkapsulan yang

digunakan pada probiotik disajikan pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Rerata Densitas Kamba Akibat Jenis Enkapsulan Jenis Enkapsulan Rerata Densitas Kamba (g/mL) Maltodekstrin 0,30 ± 0,02 a Maltodekstrin - CMC 0 ± 0,00 b Maltodekstrin - Gum Arab 0,29 ± 0,02 a Nilai yang ditampilkan merupakan rataan ± standar deviasi Nilai pada kolom yang didampingi huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf (P-value < 0,05) Maltodekstrin: 100% (b/b); Maltodekstrin-CMC: 75%-25% (b/b); Maltodekstrin-Gum Arab: 75% - 25% (b/b).

Tabel 4.10 menunjukkan bahwa penggunaan jenis enkapsulan

Maltodekstrin memiliki densitas kamba yang lebih tinggi dibanding dengan

Maltodekstrin dan Maltodekstrin - Gum Arab. Sedangkan jenis enkapsulan

Maltodekstrin-CMC memiliki nilai densitas kamba yang paling rendah.

Pada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin didapatkan nilai

densitas kamba yang paling tinggi dibanding dengan jenis enkapsulan lain yaitu

0,30 g/mL. Hal ini berkaitan dengan densitas dari bahan enkapsulan yang

digunakan. Menurut Freers (2000) densitas maltodekstrin 1.41 g/cm3 dan

densitas gum arab 1.35 g/cm3. Lewis (1987) menyatakan bahwa densitas

padatan dipengaruhi oleh kondisi proses terutama dehidrasi dan aglomerasi.

Proses tersebut dapat mempengaruhi pembentukan pori-pori bahan hasil

pengeringan.

Pada mikrokapsul dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin - CMC tidak

dilaksanakan proses penelitian karena keterbatasan mikrokapsul yang dihasilkan

selama proses Spray drying sehingga nilai daya serap uap airnya sebesar 0%.

Pada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab didapatkan

nilai densitas kamba yang lebih rendah dibanding dengan jenis enkapsulan lain

yaitu 0,29 g/mL. Dari ketiga jenis enkapsulan, yang memiliki berat molekul

tertinggi adalah gum arab (47.000 - 3.000.000 g/mol) dan yang terendah adalah

CMC (262,19 g/mol). Sedangkan berat molekul maltodekstrin adalah 1800 g/mol

39

(Mahdavi et al., 2016; Pubchem, 2008; Pubchem, 2017). Menurut Tonon et al.,

(2010), semakin tinggi berat molekulnya maka semakin mudah bahan tersebut

masuk ke dalam ruang antar partikel dan menempati ruang tersebut sehingga

menghasilkan nilai densitas kamba yang lebih tinggi. Densitas kamba yang

semakin besar akan menghasilkan produk yang fleksibilitasnya akan semakin

menurun yang dapat diamati berdasarkan elongasi yang semakin rendah (Cuq et

al., 2000). Heterogenitas densitas kamba tersebut juga dapat disebabkan adanya

perbedaan pengikatan air antar granula pati berkaitan dengan variasi ukuran

granula pati dan rasio amilosa-amilopektin antar granula (Yao et al., 2003).

Hasil penelitian ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Febriyanti dan

Setyowati (2014), dimana didapatkan nilai densitas kamba dari jenis enkapsulan

Maltodekstrin sebesar 0,38 g/ml dan jenis enkapsulan Maltodekstrin - Gum Arab

dengan nilai serupa dengan hasil analisis yang menunjukkan bahwa jenis

enkapsulan tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap densitas kamba instan

temulawak. Sedangkan dalam penelitian ini, jenis enkapsulan menunjukkan

pengaruh nyata (P < 0,05) pada densitas kamba dari mikrokapsul. Faktor yang

mempengaruhi densitas kamba menurut Lewis (1987) adalah densitas padatan,

geometri, ukuran, sifat permukaan, dan cara pengukuran.

Perbedaan dengan literatur mungkin berkaitan dengan kadar air

mikrokapsul. Kadar air mikrokapsul pada penelitian berkisar an tara 4,44 - 6,17%

dan literatur antara 2,57 - 3,09%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Venil et al.,

(2016) dan Mahdavi et al., (2016) bahwa produk dengan kadar air yang lebih

tinggi memiliki nilai densitas kamba yang lebih tinggi juga.

Rerata densitas kamba mikrokapsul akibat perbedaan konsentrasi

enkapsulan yang ditambahkan pada probiotik disajikan pada Tabel 4.11. Tabel 4.11 Rerata Densitas Kamba Akibat Konsentrasi Enkapsulan Konsentrasi Enkapsulan Rerata Densitas Kamba (g/mL) 5% 0,21 ± 0,18 a 10% 0,19 ± 0,17 a 15% 0,18 ± 0,16 a Nilai yang ditampilkan merupakan rataan ± standar deviasi Nilai pada kolom yang didampingi huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf (P-value < 0,05) 5%: 5% enkapsulan + 95% probiotik (v/v); 10%: 10% enkapsulan + 80% probiotik (v/v); 15%: 15% enkapsulan + 85% probiotik (v/v).

40

Tabel 4.11 menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi enkapsulan

sebesar 5% memiliki densitas kamba yang lebih tinggi dibanding dengan

konsentrasi enkapsulan 10% dan 15% secara berurutan. Rerata nilai densitas

kamba akan meningkat seiring dengan semakin meningkatnya kadar air

(Ghobadian, 2005).

Pada penggunaan konsentrasi enkapsulan 5% (5% enkapsulan + 95%

probiotik), didapatkan rerata nilai densitas kamba yang tertinggi yaitu 0,21 g/mL.

Kemudian pada penggunaan konsentrasi enkapsulan 10% (5%

enkapsulan + 90% probiotik), didapatkan rerata nilai densitas kambayang lebih

rendah yaitu 0,19 g/mL. Pada penggunaan konsentrasi enkapsulan 15% (5%

enkapsulan + 85% probiotik), didapatkan rerata nilai densitas kamba yang

terendah yaitu 0,18 g/mL.

Hal ini berkaitan dengan kadar air yang dimiliki oleh mikrokapsul.

Ghobadian (2005) menyatakan bahwa mikrokapsul dengan kadar air yang lebih

tinggi cenderung memiliki densitas kamba yang lebih tinggi pula. Hal ini

dipengaruhi oleh keberadaan air yang sifatnya lebih padat daripada padatan

kering. Menurut Apriliyanti (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi nilai

densitas kamba adalah kadar air bahan. produk dengan kadar air yang lebih

tinggi memiliki nilai densitas kamba yang lebih tinggi juga. hal ini disebabkan oleh

adanya air yang jauh lebih padat daripada padatan kering (Venil et al., 2016;

Mahdavi et al., 2016). Selain itu cairan yang tinggi menyebabkan partikel pada

mikrokapsul menjadi lebih berat sehingga volume pada rongga partikel menjadi

lebih kecil, karena partikel yang terbentuk semakin besar dan menyebabkan nilai

densitas kamba semakin besar (Prabowo, 2010). Data hasil pengamatan sesuai

dengan literatur, dimana semakin tinggi kadar air mikrokapsul maka rata-rata

nilai densitas kamba juga semakin tinggi

Febriyanti dan Setyowati (2014) menyatakan bahwa banyaknya rasio

penambahan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini dikarenakan

densitas gum arab dan maltodekstrin yang tidak berbeda dan hasil yang

didapatkan saling mendekati.

4.5 Viabilitas

Viabilitas adalah salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan

keberhasilkan proses enkapsulasi. Parameter ini menunjukkan berapa banyak

probiotik yang berhasil dilindungi dalam enkapsulan (Ali et al., 2014). Hasil rerata

41

viabilitas yang dimiliki mikrokapsul probiotik Lactobacillus plantarum pada

perlakuan penambahan enkapsulan terhadap probiotik (5%, 10% dan 15%)

dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin, Maltodekstrin-CMC dan Maltodekstri-

Gum Arab disajikan pada Gambar 4.5

Gambar 4.5. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Enkapsulan terhadap Viabilitas

Mikrokapsul

Gambar 4.5 menunjukkan bahwa viabilitas yang dimiliki cenderung

menurun seiring dengan semakin tinggi konsentrasi enkapsulan yang

ditambahkan dan jenis enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab memiliki nilai

viabilitas yang lebih tinggi dibanding dengan Maltodekstrin dan Maltodekstrin-

CMC. Viabilitas yang dimiliki mikrokapsul berkisar antara 1,49 x 104 CFU/ml

hingga 18,2 x 104 CFU/ml. Secara umum viabiltas yang dimiliki oleh mikrokapsul

akan menurun seiring dengan semakin tingi konsentrasi enkapsulan yang

ditambahkan ke dalam probiotik (Sumanti, 2016).

Hasil analisa ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa jenis enkapsulan,

konsentrasi enkapsulan, dan interaksi antara jenis dan konsentrasi enkapsulan

memberikan pengaruh yang tidak nyata (P-value > 0,05) terhadap viabilitas.

Rerata viabilitas yang dimiliki oleh mikrokapsul akibat perbedaan jenis

enkapsulan yang digunakan disajikan pada Tabel 4.13.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

5% 10% 15%

Viab

ilitas

(x10

4C

FU/m

L)

Konsentrasi Enkapsulan (%)

Maltodekstrin

Maltodekstrin-CMC

Maltodekstrin-Gum Arab

42

Tabel 4.13 Rerata Viabilitas Akibat Jenis Enkapsulan

Jenis Enkapsulan Rerata Total Viabilitas (x 104 CFU/mL)

Maltodekstrin 5,20 ± 5,11 a Maltodekstrin - CMC 0 ± 0,00 a Maltodekstrin - Gum Arab 9,28 ± 7,73 b

Nilai yang ditampilkan merupakan rataan ± standar deviasi Nilai pada kolom yang didampingi huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf (P-value < 0,05) Maltodekstrin: 100% (b/b); Maltodekstrin-CMC: 75%-25% (b/b); Maltodekstrin-Gum Arab: 75% - 25% (b/b).

Tabel 4.13 menunjukkan bahwa penggunaan jenis enkapsulan

Maltodekstrin - Gum Arab memiliki viabilitas yang lebih tinggi dibanding dengan

Maltodekstrin dan Maltodekstrin - CMC.

Penggunaan enkapsulan maltodekstrin memiliki nilai viabilitas

mikrokapsul terendah dibanding dengan perlakuan enkapsulan lainnya. hal ini

dapat disebabkan maltodektrin memiliki kapasitas membentuk film yang rendah

(Mahdavi et al., 2016).

Penggunaan enkapsulan Maltodekstrin - Gum Arab memiliki viabilitas

yang lebih tinggi disebabkan oleh karakteristik dari enkapsulan itu sendiri.

Karakteristik enkapsulan menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

viabilitas (Mahdavi et al., 2016). Hal ini berhubungan dengan struktur kimia

enkapsulan tersebut. Gum arab tersusun dari polisakarida bercabang (D-asam

glukuronat, L-rhamnosa, D-galaktosa, dan L-arabinosa) dan mengandung protein

dalam jumlah kecil. Protein tersebut (Serin dan hidroksiprolin) berikatan secara

kovalen dengan rantai karbohidrat (arabinogalactan) (Yael et al., 2006). Protein

inilah yang berperan dalam pembentukan film yang lebih baik serta juga dapat

menjebak molekul bahan inti dengan lebih baik (Mahdavi et al., 2016).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mahdavi et

al., 2016 dan Dewi dkk., 2016, didalam penelitian mereka diperoleh hasil bahwa

penggunaan enkapsulan maltodekstrin secara sendiri menghasilkan nilai

efisiensi enkapsulasi lebih rendah daripada yang dikombinasikan dengan

enkapsulan lain.

Di dalam literatur juga dijelaskan bahwa enkapsulasi yang menggunakan

jenis enkapsulan Maltodekstrin - CMC akan memiliki viabilitas yang lebih baik

daripada penggunaan jenis enkapsulan Maltodekstrin secara mandiri. CMC

43

merupakan polisakarida anionik yang tersusun dari rantai samping polisakarida

yang bersifat hidrofobik serta memiliki banyak gugus karboksil yang bersifat

hidrofilik (Rani et al., 2014). CMC memiliki karakteristik membentuk film yang

baik (Wandrey et al., 2010). Enkapsulan maltodekstrin yang dikombinasikan

dengan CMC dapat menghasilkan nilai efisiensi enkapsulasi yang lebih tinggi

daripada penggunaan maltodekstrin saja. Namun, dalam penelitian ini tidak

didapatkan mikrokapsul dari proses mikroenkapsulasi menggunakan jenis

enkapsulan Maltodekstrin - CMC dikarenakan terlalu tinggi tingkat viskositas dari

larutan sehingga tidak dapat terjadi proses mikroenkapsulasi.

Tabel 4.14 Rerata Viabilitas Akibat Konsentrasi Enkapsulan Konsentrasi Enkapsulan Rerata Total Viabilitas

(x 104 CFU/mL) 5% 9,74 ± 9,17 a 10% 2,56 ± 2,34 b 15% 2,18 ± 2,59 c Nilai yang ditampilkan merupakan rataan ± standar deviasi Nilai pada kolom yang didampingi huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf (P-value < 0,05) 5%: 5% enkapsulan + 95% probiotik (v/v); 10%: 10% enkapsulan + 80% probiotik (v/v); 15%: 15% enkapsulan + 85% probiotik (v/v).

Tabel 4.14 menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi enkapsulan 5%

memiliki viabilitas yang lebih tinggi dibanding dengan konsentrasi enkapsulan 10%

dan 15% secara berurutan.

Penggunaan konsentrasi enkapsulan sebesar 5% memiliki viabilitas yang

lebih tinggi disebabkan oleh jumlah total padatan yang terdapat pada proses

mikroenkapsulasi. Nilai viabilitas yang semakin rendah seiring dengan

meningkatnya konsentrasi enkapsulan yang ditambahkan menunjukkan bahwa

proses mikroenkapsulasi benar-benar terjadi. Dalam konsentrasi enkapsulan

yang rendah, jumlah padatan yang rendah akan berusaha memerangkap jumlah

probiotik lebih banyak dibanding dengan konsentrasi enkapsulan yang lebih

tinggi. Pada konsentrasi enkapsulan yang tinggi, probiotik akan terbagi dalam

jumlah besar pula sehingga pada masing-masing mikrokapsul akan

memerangkap probiotik dalam jumlah rendah. Hal inilah yang mengakibatkan

perbedaan konsentrasi enkapsulan dapat menyebabkan perbedaan nilai

viabilitas pada mikrokapsul.

Namun dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa nilai viabilitas dari

mikrokapsul sangat rendah dibanding dengan literatur. Hal ini mungkin

44

disebabkan oleh perbedaan jenis dari Spray dryer yang digunakan untuk proses

mikroenkapsulasi dan perbedaan waktu pengujian viabilitas dari mikrokapsul.

Dalam literatur tidak dijelaskan uji viabilitas dilakukan saat mikrokapsul berusia

berapa hari, sehingga perbedaan waktu pengujian viabilitas dapat

mempengaruhi nilai viabilitas yang didapatkan. Selain itu juga sudah diketahui

bahwa nilai viabilitas akan terus menurun seiring dengan waktu dan akan

mencapai titik 0 pada waktu tertentu. Hal ini mempengaruhi nilai viabilitas karena

uji viabilitas pada mikrokapsul dalam penelitian ini dilakukan pada hari ke-30

sejak proses mikroenkapsulasi.

Nilai viabilitas yang sangat rendah ini pula menunjukkan bahwa

mikrokapsul probiotik ini tidak memenuhi standar minimum probiotik pada

umumnya. Telah disepakati bersama bahwa produk yang dinyatakan termasuk

probiotik harus memiliki tingkat viabilitas minimal 106 CFU/ml atau gram. Maka

dari itu mikrokapsul ini disebut sebagai probiotik dan bukan probiotik, dimana

pada probiotik pada penelitian terdahulu membuktikan bahwa walaupun dalam

keadaan viabilitas rendah atau bahkan tidak sama sekali, mikrokapsul tersebut

masih dapat bermanfaat dan dapat digunakan.

4.6 Mikrostruktur Mikrokapsul

Kenampakan mikrostruktur suatu bahan dapat dilihat dengan

menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM). Selain itu, ukuran

mikrokapsul juga dapat diketahui. Profil SEM mikrokapsul yang disalut dengan

berbagai jenis enkapsulan (Maltodekstrin, Maltodekstrin-CMC, dan

Maltodekstrin-Gum Arab) dapat dilihat pada Gambar 4.6 hingga Gambar 4.8.

Secara umum bentuk dan ukuran partikel mikrokapsul akan sesuai

dengan bentuk ukuran globula emulsi. Hasil mikrokapsul yang baik adalah

berbentuk bulan tanpa kerutan yang berarti bahan aktif terkapsul dengan baik.

Apabila sistem emulsi terbentuk dengan baik (ditandai dengan ukuran dan

penyebaran globula yang merata), maka akan menghasilkan produk mikrokapsul

dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki ukuran partikel yang kecil,

penyebaran partikel merata, bentuk partikel seragam dan mampu melindungi

bahan inti terhadap kerusakan (Risch dan Reineccius dalam Sheu dan

Rosenberg, 1995).

45

A. Maltodekstrin dengan konsentrasi 5% dengan perbesaran (a) 400x; (b) 800x;

(c) 1200x; dan (d) 2000x

B. Maltodekstrin dengan konsentrasi 10% dengan perbesaran (a) 400x; (b) 800x; (c)

1200x; dan (d) 2000x

(a) (b)

(c) (d)

(a) (b)

(c) (d)

Permukan halus

Permukan halus

Bentuk tidak

beraturan

Lubang hitam Lubang hitam

46

C. Maltodekstrin dengan konsentrasi 15% dengan perbesaran (a) 400x; (b) 800x;

(c) 1200x; dan (d) 2000x Gambar 4.6. Mikrostruktur Mikrokapsul dengan enkapsulan Maltodekstrin

Maltodekstrin - CMC dengan konsentrasi 5% dengan perbesaran (a) 400x; (b) 800x; (c)

1200x; dan (d) 2000x Gambar 4.7. Mikrostruktur Mikrokapsul dengan enkapsulan Maltodekstrin –

CMC

(a) (b)

(c) (d)

(a) (b)

(c) (d)

Permukan halus

Mikrokapsul pecah Bentuk tidak

beraturan

Bentuk tidak

beraturan

Bentuk tidak

beraturan

47

A. Maltodekstrin - Gum Arab dengan konsentrasi 5% dengan perbesaran (a) 400x;

(b) 800x; (c) 1200x; dan (d) 2000x

B. Maltodekstrin - Gum Arab dengan konsentrasi 10% dengan perbesaran (a) 400x;

(b) 800x; (c) 1200x; dan (d) 2000x

(a) (b)

(c) (d)

(a) (b)

(c) (d)

Permukan halus

Permukan halus

Permukan kisut

Mikrokapsul pecah

Mikrokapsul pecah Mikrokapsul pecah

Bentuk tidak

beraturan

48

C. Maltodekstrin - Gum Arab dengan konsentrasi 15% dengan perbesaran (a) 400x;

(b) 800x; (c) 1200x; dan (d) 2000x Gambar 4.8. Mikrostruktur Mikrokapsul enkapsulan Maltodekstrin-Gum

Arab

Mikrostruktur dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin yang dapat dilihat

pada Gambar 4.6 sebagian besar memiliki bentuk mikrokapsul yang bulat

dengan permukaan yang halus (Gambar 4.6.A(b); Gambar 4.6.B(b); Gambar

4.6.C(b)). Namun, ukuran mikrokapsul yang terbentuk tidak merata dan pada

beberapa mikrokapsul bentuk terlihat tidak beraturan (Gambar 4.6.A(c); Gambar

4.6.C(d)) bahkan pecah (Gambar 4.6.C(c)). Terdapat pula beberapa mikrokapsul

yang permukaannya terlihat kisut, namun jumlahnya tidak mendominasi. Pada

mikrokapsul yang dihasilkan dengan konsentrasi enkapsulan 10% terlihat timbul

beberapa lubang hitam yang belum diketahui penyebabnya (Gambar 4.6.B(c)

dan (d)). Seiring dengan penambahan konsentrasi enkapsulan yang

ditambahkan dapat dilihat bahwa bentuk keriput pada mikrokapsul tidak

berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor yang menyebabkan

bentuk mikrokapsul yang tidak halus ini dikarenakan penggunaan maltodekstrin

sebagai enkapsulan. Maltodekstrin sebagai enkapsulan tidak memiliki

kemampuan yang baik sebagai pengemulsi. Sementara gum arab merupakan

pengemulsi yang baik karena adanya komponen protein dalam strukturnya

(Dickinson, 2003).

(a) (b)

(c) (d)

Permukan halus

Permukan kisut

Mikrokapsul pecah

49

Pada Gambar 4.7 di atas dapat dilihat bentuk dan ukuran pertikel

mikrokapsul yang tersalut oleh enkapsulan Maltodekstrin - CMC. Mikrostruktur

dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin - CMC yang dapat dilihat pada Gambar

4.7 memiliki bentuk yang tidak berbentuk bulat sempurna atau tidak beraturan

(Gambar 4.7(b) dan (c)) dan memilki banyak lubang hitam yang terbentuk

bahkan sobekan besar di permukaan mikrokapsul. Hal ini menunjukkan bahwa

proses mikroenkapsulan dengan penambahan enkapsulan CMC tidak dapat

mengenkapsulasi dan menjaga bahan inti dengan sempurna.

Pada Gambar 4.8 di bawah dapat dilihat bentuk dan ukuran partikel

mikrokapsul yang tersalut oleh enkapsulan Maltodekstrin - Gum Arab.

Mikrostruktur dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin - Gum Arab yang dapat

dilihat pada Gambar 4.8 memiliki bentuk bulat dengan permukaan yang halus

(Gambar 4.8.A(c); Gambar 4.8.B(c); Gambar 4.8.C(c)), meskipun masih terdapat

beberapa mikrokapsul yang memiliki permukaan yang terlihat kisut (Gambar

4.8.B(d); Gambar 4.8.C(d)). Hal ini diduga karena ketidakstabilan emulsi

enkapsulan. Gum arab merupakan pengemulsi yang lebih baik karena adanya

komponen protein dibandingkan dengan enkapsulan Maltodekstrin (Dickinson,

2003). Seiring dengan penambahan konsentrasi enkapsulan yang ditambahkan,

bentuk keriput pada mikrokapsul bertambah. Hal ini menunjukkan bahwa

kemungkinan faktor yang menyebabkan bentuk mikrokapsul yang tidak halus ini

dikarenakan penggunaan konsentrasi enkapsulan yang lebih tinggi. Dari

mikrokapsul yang pecah (Gambar 4.8.A(b) dan (c); Gambar 4.8.C(c)) dapat

dilihat bahwa enkapsulan dapat membentuk mikrokapsul dengan dinding yang

cukup tebal.

Berdasarkan pengamatan struktur luar mikrokapsul pada berbagai jenis

dan konsentrasi enkapsulan dengan menggunakan Scanning Electron

Microscope (SEM) dapat diketahui bahwa terjadi lekukan lekukan pada

permukaan partikel mikrokapsul, lekukan paling banyak terdapat pada

mikrokapsul dengan enkapsulan Maltodekstrin. Lekukan-lekukan terbentuk

karena sifat yang dimiliki material bahan enkapsulan yang digunakan seperti

sakarida (dekstrin dan maltodekstrin) (Sheu, 1998 dalam Thies, 2001). Menurut

Buma dan Henstra (1971) dalam Rosenberg et al., (1985) lekukan terjadi akibat

proses penyusutan/pengkerutan partikel yang terjadi saat proses pengeringan

dan pendinginan. Banyaknya lekukan pada permukaan mikrokapsul juga

berkaitan dengan jumlah probiotik yang tidak tersalutkan. Semakin banyak

50

jumlah probiotik yang tidak tersalutkan menyebabkan mikrokapsul semakin tidak

stabil, sehingga mempengaruhi kenampakan struktur luar mikrokapsul.

Kemampuan pembentukan film dan sifat plastis dari polimer yang

digunakan akan sangat menentukan mikrostruktur yang dihasilkan. Krishnan et

al., (2005) menyebutkan bahwa plastisitas yang lebih baik akan mencegah

keretakan matriks pelindung (dinding), begitu pula plastisitas yang kurang baik

akan menyebabkan keretakan matriks.

Pada mikrostruktur mikrokapsul probiotik Lactobacillus plantarum

terdapat keretakan, pecah, dan ada beberapa yang bentuknya mengempis. Hal

ini diduga akibat peristiwa ballooning selama spray drying. Ballooning merupakan

suatu peristiwa penggelembungan partikel mikrokapsul sebagai akibat

pembentukan uap air di dalamnya saat proses spray drying. Penggelembungan

ini dapat disebabkan oleh suhu spray drying yang terlalu tinggi atau

ketidaksesuaian antara bahan pengkapsul dengan kondisii spray drying.

Reineccius (2006), menyatakan bahwa ketika dinding kapsul tidak cukup

kuat untuk menahan tekanan di dalam partikel mikrokapsul, dinding akan pecah

dan partikel akan mengempis. Pengempisan ini dapat pula terjadi apabila

tekanan di dalam mikrokapsul tidak cukup kuat ditahan oleh dinding kapsul.

Ballooning dapat menyebabkan hilangnya komponen volatil dari dalam kapsul

karena adanya keretakan pada partikel mikrokapsul. Keretakan dapat

disebabkan suhu spray drying yang digunakan terlalu tinggi atau kemampuan

fisik dinding kapsul yang dibentuk oleh enkapsulan dengan cara membuat

lapisan film sangat rendah. Pada mikroenkapsul dengan konsentrasi enkapsulan

menghasilkan bentuk mikrostruktur terbaik yaitu berbentuk bulan utuh dengan

permukaan halus.

4.7 Pemilihan Mikrokapsul Terbaik

Kualitas dari mikrokapsul yang diperoleh dipengaruhi oleh berbagai

macam hal, diantaranya adalah bahan baku yang digunakan dan proses dari

mikroenkapsulasi. Dalam penelitian ini bahan baku yang digunakan adalah

probiotik Lactobacillus plantarum. Kualitas dari mikrokapsul probiotik

Lactobacillus plantarum dipengaruhi dari proses Spray drying yang akan

menghasilkan berbagai macam karakteristik. Melalui proses mikroenkapsulasi

dengan jenis dan konsentrasi enkapsulan yang berbeda diharapkan dapat

diketahui perlakuan mikroenkapsulasi terbaik untuk probiotik Lactobacillus

51

plantarum sebagai AGP replacer dalam bentuk bubuk yang memiliki shelf-life

lebih panjang.

Pemilihan perlakuan terbaik dalam penelitian ini menggunakan metode

multiple attribute (Zeleny, 1992). Parameter yang digunakan adalah rendemen,

kadar air, daya serap uap air, densitas kamba, dan viabilitas. Nilai yang

diharapkan untuk masing-masing parameter berbeda, ada nilai maksimal dan

minimal. Nilai yang diharapkan dari parameter rendemen dan viabilitas sebagai

perlakuan terbaik adalah yang memiliki nilai paling maksimum, sedangkan untuk

parameter kadar air, daya serap uap air, dan densitas kamba perlakuan terbaik

adalah yang memiliki nilai paling minimum. Perhitungan dan pemilihan perlakuan

terbaik dapat dilihat pada Lampiran 12.

Berdasarkan hasil perhitungan, perlakuan yang memiliki nilai L1, L2, dan

L3 paling minimal adalah perlakuan yang dianggap sebagai perlakuan terbaik.

Mikrokapsul probiotik Lactobacillus plantarum terbaik pada penelitian ini

didapatkan pada pengujian yang menggunakan jenis enkapsulan Maltodekstrin -

Gum Arab dengan konsentrasi sebesar 5% (Lampiran 12). Mikrokapsul terbaik

tersebut memiliki karakteristik fisik sebagai berikut: rendemen 18,48 gram; kadar

air 6,15%; daya serap uap air 7,08%; densitas kamba 0,31 g/cm3; dan viabilitas

0,31 x 104 CFU/ml.

52

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa interaksi antara jenis

enkapsulan (faktor 1) dan konsentrasi enkapsulan (faktor 2) berpengaruh nyata

(P-value < 0,05) terhadap Rendemen, Kadar air, dan Densitas kamba. Faktor 1

berpengaruh nyata terhadap Rendemen, Kadar air, Densitas Kamba, dan Daya

serap uap air, sedangkan faktor 2 berpengaruh nyata terhadap Rendemen,

Kadar air, dan Densitas kamba.

Nilai viabilitas yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa

jenis enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab memiliki nilai viabilitas yang lebih baik

dibanding dengan mikrokapsul dengan enkapsulan Maltodekstrin tunggal. Selain

itu, konsentrasi enkapsulan yang rendah akan mendapatkan tingkat viabilitas

yang lebih tinggi pula walaupun dengan rendemen yang rendah.

Hasil pengamatan morfologi mikrokapsul menunjukkan bahwa jenis

enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab menghasilkan mikrokapsul dengan

permukaan yang lebih halus dan berbentuk bulat. Ukuran mikrokapsul yang

dihasilkan lebih seragam dibanding dengan jenis enkapsulan Maltodekstrin

tunggal. Selain itu, permukaan mikrokapsul Maltodekstrin-Gum Arab memiliki

lebih sedikit lubang hitam yang timbul dipermukaan dibandingkan dengan jenis

enkapsulan lainnya.

Hasil analisis data tersebut menyatakan bahwa mikrokapsul probiotik

Lactobacillus plantarum terbaik pada penelitian ini didapatkan pada perlakuan

yang menggunakan jenis enkapsulan Maltodekstrin-Gum Arab dengan

konsentrasi sebesar 5% (Lampiran 11). Mikrokapsul terbaik tersebut memiliki

karakteristik fisik sebagai berikut: rendemen 18,48 gram; kadar air 6,15%; daya

serap uap air 7,08%; densitas kamba 0,31 g/cm3; dan viabilitas 0,31 x 104

CFU/ml.

5.2 Saran

1. Diperlukan pengukuran viskositas campuran (probiotik dan enkapsulan) sebelum

dilakukan proses enkapsulasi.

2. Diperlukan penambahan konsentrasi enkapsulan yang lebih tinggi dari 15%

untuk mengetahui kualitas mikrokapsul yang dihasilkan.

53

3. Pengukuran Total plate count untuk viabilitas dan pengamatan morfologi

mikrokapsul dengan SEM dilaksanakan setelah proses spray drying

dilaksanakan.

4. Diperlakuan penelitian lebih lanjut mengenai daya simpan mikrokapsul probiotik.