27
MANUSIA DAN KECERDASAN TRANSENDENTAL DALAM ISLAM Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Komunikasi Dosen : Prof. Dr. Nina Syam, MS. Disusun Oleh : Rd. Laili Al Fadhli 20080013047 Kelas B PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2013

MANUSIA DAN KECERDASAN TRANSENDENTAL

  • Upload
    unisba

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

MANUSIA DAN KECERDASAN TRANSENDENTAL

DALAM ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Komunikasi

Dosen : Prof. Dr. Nina Syam, MS.

Disusun Oleh :

Rd. Laili Al Fadhli

20080013047

Kelas B

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2013

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya dan

dengan pertolongan serta atas izin-Nya pula penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.

Shalawat serta salam tak lupa untuk disampaikan dan semoga tetap tercurah limpahkan

kepada uswatuna wa qudwatuna, nabiyullah wa rasulullah Muhammad shallallahu

‘alayhi wa sallam. Serta kepada keluarganya (ahlul baiyt), para shahabat, para tabi’in,

tabi’ tabi’in hingga umatnya yang tetap istiqamah di seluruh penjuru dunia, penyusun

ungkapkan sebuah ucapan terindah yang merupakan sunnah Rasulullah,

Assalamu’alaykum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Dalam prakata ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua

atas segala doa dan dukungannya, Ibu Prof. Dr. Nina Syam, M.Si. selaku dosen mata

kuliah Psikologi Komunikasi atas segala arahannya, serta kepada seluruh pihak yang telah

membantu penyusun dalam menyelesaikan makalah ini, syukran katsiran, jazakumullah

khayr.

Bandung, Desember 2013

Penyusun

DAFTAR ISI

PRAKATA ……………………………………………………………...

DAFTAR ISI ……………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………

1.1 Latar Belakang …………………………………………

1.2 Rumusan Masalah ……………………………………...

1.3 Tujuan Penelitian……………………………………….

1.4 Metode Penelitian ...........................................................

BAB II MANUSIA DAN KECERDASAN TRANSENDENTAL

DALAM ISLAM ……………………………...........................................

2.1 Jiwa Manusia ……. …………………............................

2.2 Fithrah Jiwa ....................................................................

2.3 Pertarungan dalam Jiwa .................................................

2.4 Kecerdasan Transendental ……..……………...............

Kecerdasan Ruhiyah Cerminan Pribadi Taqwa .............

Cinta ...............................................................................

Benci ...............................................................................

BAB III PENUTUP …………………………………………………….

3.1 Simpulan ………………………………………………...

3.2 Saran …………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..

i

ii

1

1

3

3

3

4

4

5

9

10

13

16

17

22

22

23

24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Berbicara tentang manusia, maka kita akan membicarakan makhluk yang begitu

sempurna dan kompleks. Allah berfirman di dalam Al-Qur`an :

في ا ٱإلنسان

نق

لد خ

ق

ل ويم

ق

حسن ت

أ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-

baiknya.” [QS. At Tiin, 95 : 4]

Bila kita mengurai manusia, maka tampak bagi kita bahwa manusia tidak hanya

sekedar terdiri atas unsur yang bersifat jasmani belaka. Manusia merupakan gabungan

dari unsur jasmani dan rohani.

Gambar 1.1 Unsur Manusia

Unsur jasmani manusia merupakan jasad atau fisik yang tersusun dari materi.

Unsur jasmani bersifat fana dan tidak bernilai tanpa unsur yang lainnya. Sedangkan unsur

rohani manusia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Berfungsi sebagai

penyempurna unsur yang lain dan merupakan hakikat manusia.

Selanjutnya, para pemikir muslim berbeda pendapat tentang unsur rohani yang

ada pada diri manusia. Pembahasan dalam hal ini berputar dalam permasalahan ruh, nafs

(jiwa), fithrah, akal, hawa, dan al-qalbu (hati).

Manusia, selain membawa aspek-aspek bawaan dan berbagai potensi yang ada

saat ia dilahirkan ke dunia, juga telah ditanamkan “multiple intelligence quotient”.

Dengan kata lain, kecerdasan yang ada pada manusia tidaklah tunggal, melainkan jamak.

2

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

Tetapi kejamakan kecerdasan itu hendaknya menghasilkan pemikiran, sikap, tindakan,

dan perilaku yang tunggal setelah seseorang bersentuhan dengan fenomena tertentu.1

Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan

emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ditambah dengan kecerdasan

transendental (TQ), yang merupakan pengembangan dari kecerdasan spiritual.

Kecerdasan Intelektual (IQ) adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis,

logika, dan rasio seseorang. IQ merupakan kecerdasan otak untuk menerima, menyimpan,

dan mengolah informasi menjadi fakta. Kecerdasan Emosional (EQ) adalah kemampuan

mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,

serta kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri dan orang lain.

Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan

memberi makna pada apa yang di hadapi dalam kehidupan, sehingga seseorang akan

memiliki fleksibilitas dalam menghadapi persoalan di masyarakat.2 Sementara itu,

kecerdasan transendental merupakan kemampuan seseorang memaknai hidup dan

kehidupannya dalam perspektif Allah subhanahu wa ta’ala.3

Posisi kecerdasan transendental (TQ) dalam, termasuk di dalamnya adalah

perbedaannya dengan kecerdasan spiritual menjadi perbincangan yang sangat menarik.

Apalagi bila kita menilik permasalahan ini dari sudut pandang Islam. Karena

sesungguhnya para pemikir muslim juga telah menyinggung esensi dari kecerdasan ini

walaupun tidak menyebutkan konsep tersebut secara eksplisit.

Apa yang dipaparkan dalam tulisan ini bukan merupakan hasil final dari penelitian

yang berkaitan dengan hakikat manusia. Apa yang dihadirkan di sini berangkat dari uraian

para pemikir muslim yang dikombinasikan, dicari titik temunya, dan disimpulkan secara

sederhana untuk mendapatkan gambaran konsep yang disepakati bersama. Namun, bukan

berarti simpulan ini merupakan simpulan mutlak, karena bisa jadi apa yang dipaparkan di

sini merupakan luapan kebingungan penulis sehingga memilih untuk berhenti pada

sebuah titik yang dianggap bisa menyederhanakan permasalahan agar bisa lebih mudah

dipahami, minimal bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca sekalian.

1 Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient, http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html 2 Silvi Astrilyani, Pengertian IQ, EQ, dan SQ, http://silviastrilyani.wordpress.com/2013/02/11/pengertian-iq-eq-dan-sq/ 3 Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient, http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html

3

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

1.2. Perumusan Masalah

1.3.1. Bagaimana konsep manusia dalam Islam.

1.3.2. Bagaimana konsep Kecerdasan Transendental (TQ) dalam perspektif Islam.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Mengetahui konsep manusia dalam Islam.

1.3.2. Mengetahui konsep Kecerdasan Transendental (TQ) dalam perspektif Islam.

1.4. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang dilakukan adalah menggunakan metode peneltian

kualitatif dengan melakukan studi pustaka.

BAB II

MANUSIA DAN KECERDASAN TRANSENDENTAL

2.1 Jiwa Manusia (An-Nafs)

Para pemikir muslim tidak menemukan kesepakatan mengenai konsep jiwa. Satu

sama lain saling mengeluarkan pendapatnya yang bertolak belakang. Masing-masing

pihak saling menguatkan pendapatnya dengan argumen-argumen yang bersumber dari

Al-Qur`an, as-Sunnah, serta para pemikir terdahulu.

Dalam permasalahan ini, para pemikir terpecah ke dalam beberapa golongan,4

antara lain:

1. Golongan yang menyatakan bahwa jiwa merupakan substansi rohani yang

memancar kepada raga dan menghidupkannya lalu menjadikannya alat untuk

mendapatkan pengetahuan dan ilmu. Ini merupakan pemikiran Ibn Sina dan

para filosof muslim yang mengikutinya.5

2. Golongan yang menyatakan bahwa jiwa sama dengan ruh, yaitu fisik halus

yang menempati fisik kasar (jasad), mempunyai panjang, lebar, dan dalam,

mengambil tempat di badan, mengarahkan dan mengatur badan. Pendapat ini

dikemukakan oleh Ibn Hazm dan Ibn al-Qayyim.6

3. Golongan yang menyatakan bahwa jiwa berbeda dengan ruh. Ruh adalah

sumber kebaikan karena bersifat ilahiyah, sedangkan jiwa (nafs) sumber

segala keburukan. Ini merupakan pendapat yang berkembang di kalangan

sufi.7

4. Golongan yang menyatakan bahwa jiwa merupakan batin manusia, tetapi ia

tidak terpisah secara eksklusif dari raga. Pendapat ini dikemukakan oleh

Fazlur Rahman. Menurut penafsirannya, nafs yang sering diterjemahkan

menjadi jiwa (soul), sebenarnya berarti pribadi, perasaan, atau aku. Adapun

predikat yang beberapa kali disebut dalam Al-Qur`an hanyalah dan

seharusnya dipahami sebagai kaidah-kaidah, aspek-aspek, watak-watak, dan

4 Perbedaan pendapat para pemikir ini lebih jauh disinggung oleh Ibn Qayyim Al Jawziyyah, dalam Roh hal. 300-356 5 Syah Reza, Makalah Konsep Jiwa Menurut Islam, http://inpasonline.com/new/konsep-jiwa-menurut-islam/ diakses tanggal 22 Oktober 2013. 6 Ibn Qayyim Al Jawziyyah, 2012, Roh cet. 29, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, hal. 303 7 Jalaludin Rakhmat dalam Budhy Munawar-Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (e-book), http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Nurani.html diakses tanggal 22 Oktober 2013

5

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

kecenderungan-kecenderungan yang ada pada pribadi manusia. Hal ini

seharusnya dipahami sebagai aspek mental, sebagai lawan dari aspek fisik,

tetapi tidak sebagai substansi yang terpisah.

Bila kita cermati, pendapat yang dikemukakan terakhir mencoba mencari titik

temu antara pendapat golongan pertama dan kedua. Adapun pendapat kaum sufi yang

menyatakan bahwa jiwa merupakan sumber segala keburukan perlu dikritisi kembali,

karena realitanya Al-Ghazali yang merupakan pendukung konsep ini juga menyatakan

bahwa jiwa dapat berpotensi positif dan negatif. Sehingga pernyataan mereka yang

membedakan antara ruh dan jiwa pada akhirnya hanya terbatas pada perbedaan dalam

sifat, bukan dalam dzat. Hal ini tidak terlalu berbeda dengan yang disampaikan oleh

golongan kedua.

Jika diperhatikan dari penjelasan tersebut, barangkali istilah jiwa yang

dimaksudkan kaum sufi lebih mengarah pada istilah hawa nafsu (al-hawa) yang

merupakan salah satu fithrah (bawaan) dari konsep jiwa (nafs) secara umum. Sedangkan

yang dimaksud ruh oleh kaum sufi sebagai sumber segala kebaikan karena bersifat

ilahiyah merupakan bawaan lain dari jiwa (nafs) itu sendiri. Karenanya Al-Ghazali

menggunakan istilah lain untuk ruh, yaitu an-nafs an-nathiqah (jiwa yang rasional),

sedangkan jiwa yang merupakan sumber segala keburukan dinamakan an-nafs al-

hayawanat (jiwa hewani).8 Jadi, dalam pengertian ini kita dapat memahami bahwa jiwa

memiliki potensi kebaikan dan juga memiliki potensi keburukan.

Dari pemaparan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa jiwa adalah totalitas daya-

daya rohani berikut internalisasi dan aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Jiwa

berarti pribadi seseorang (person), bersifat netral, dan membawa fithrah ketika dilahirkan

ke dunia sebagaimana yang akan dibahas kemudian.

2.2 Fithrah Jiwa

Fithrah dapat diartikan sebagai “sifat asal, kesucian, bakat, dan pembawaan”.

Setiap manusia yang dilahirkan dari rahim sang Ibu, telah membawa sesuatu yang

langsung ditanamkan di dalam jiwanya oleh Sang Khaliq. Firman-Nya,

8 Jalaludin Rakhmat dalam Budhy Munawar-Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (e-book), http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Nurani.html diakses tanggal 22 Oktober 2013

6

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

ين حن قم وجهك للد

أين ف

لك ٱلد ه ذ

ق ٱلل

لبديل لخ

ت

يها ال

اس عل

ر ٱلن

ط

تى ف

ه ٱل

ٱلل

رة

فط

يفا

مون

يعل

اس ال

ر ٱلن

ثك

كن أ

ـم ول

ي ق

ٱل

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)

fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan

pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak

mengetahui, [Ar-Ruum, 30: 30]

Fithrah yang Allah tanamkan pada jiwa manusia sangat kompleks. Di dalamnya

ada bagian yang merupakan sumber segala kebaikan, cahaya penerang jiwa. Bagian jiwa

inilah yang mungkin oleh kalangan sufi disebut sebagai ruh. Firman-Nya,

وحى فيه من ر

تخ

ف

ه ون

يت ا سو

إذ

ف

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan

kepadanya ruh-Ku.” [QS. Al-Hijr, 15: 29]

Ayat di atas menjadi sandaran kaum sufi bahwa ruh bersifat ilahiyah, merupakan

pencitraan dari sifat-sifat ketuhanan yang luhur, yang selalu mengajak kepada kebaikan

dan ketaatan kepada Sang Khaliq. Ruh ini pula yang menggiring manusia untuk memiliki

kecenderungan beragama, bertauhid, dan melakukan berbagai jenis kebaikan. Fithrah

inilah yang dimaksud oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam

haditsnya,

فأبواه يهودانه, أو ينصرانه, أو -رواية على هذه امللة و في –كل مولود يولد على الفطرة

يمجسانه

Setiap bayi dilahirkan di atas fithrah -dalam riwayat lain : di atas agama ini-.

Maka orangtuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. [HR. Al-

Bukhari dan Muslim]

Namun, hal tersebut bukan berarti bahwa sifat-sifat yang ada pada diri manusia

sama dengan apa yang ada pada Dzat Allah subhanahu wa ta’ala. Sungguh, aqidah Ahlus

Sunnah wal Jama’ah (Suni) telah menetapkan sifat mukhalafatu lil-hawadits (berbeda

dengan makhluk) bagi Allah, berdasarkan ayat dalam Al-Qur`an,

7

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

بصيرميع ٱل يء وهو ٱلس

له ش

مث

يس ك

ل

Tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha

Melihat. [QS. Asy-Syuura, 42 : 11]

Ruh yang ditanamkan kepada manusia berasal dari-Nya, namun Dia merupakan

Dzat yang terpisah dari makhluk-Nya. Ruh yang ditanamkan kepada manusia adalah

makhluk yang terpisah dari-Nya, sedangkan sifat-sifat-Nya melekat dengan Dzat-Nya.

Ruh membawa sifat yang selalu mengajak kepada kebaikan dan ketaqwaan yang telah

ditentukan oleh Allah sesuai dengan kehendak-Nya, bukan membawa sifat Allah itu

sendiri. Ini merupakan kesepakatan para ulama Suni dalam masalah aqidah yang

berkaitan dengan Dzat Allah subhanahu wa ta’ala.

Bahkan, ketetapan ini juga merupakan konsekuensi dari kalimat tauhid, Laa

ilaaha illallah. Bahwasanya tidak ada yang serupa dengan Allah dari sisi dzat-Nya, nama-

nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan kita diperintahkan untuk hanya

beribadah kepada-Nya saja, sedangkan Dia terpisah dari makhluk-Nya, berada di atas

‘arsy-Nya yang mulia dan tidak mungkin menyatu dengan makhluk-Nya. Pemahaman ini

akan menghindarkan kita dari pemahaman yang tidak sesuai dengan ketetapan para ulama

Ahlus Sunnah, serta menjauhkan kita dari jalan yang menyimpang dalam aqidah.

Adapun maksud sebuah ayat dalam Al-Qur`an, “Allah lebih dekat daripada urat

leher” tidaklah bermakna bahwa Allah menyatu dengan hambanya (Al-Hulul/ Wahdatul-

Wujud). Ini adalah aqidah yang tidak sesuai dengan pemahaman para ulama Suni. Makna

kedekatan dalam ayat tersebut adalah kedekatan pengawasan Allah terhadap manusia, di

mana Allah telah mengutus malaikat-Nya untuk selalu mendampingi manusia dan

mencatat setiap gerak langkah manusia. Hal ini dapat dilihat dari kelengkapan ayat

tersebut,

ي وريد* إذ

يه من حبل ال

رب إل

ق

حن أ

سه ون

ف

وسوس به ن

م ما ت

عل

ون

ا إلانسان

ن

ق

لد خ

ق

ل

ق

لى ت

يان عن ق

لت ا امل عيد * م

مال ق

يمين وعن الش

يه رقيب عتيدال

د

ل

ول إال

من ق

فظ

يل

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang

dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya; (yaitu)

ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, yang satu duduk di sebelah

kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan

8

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

(seseorang) melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” [QS. Qaaf

: 16-18].

Firman Allah [ يا ق

لت ى امل

ق

ل يت

نإذ ] : “(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat

amal perbuatannya” ; adalah dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat di

atas adalah dekatnya dua malaikat yang mencatat amal. Wallahu a’lam.

Fithrah yang diberikan oleh Allah kepada manusia bukan hanya ruh. Manusia juga

membawa kecenderungan berbuat buruk yang oleh kaum sufi disebut jiwa. Namun,

sepertinya penggunaan istilah ini kurang tepat karena jiwa bersifat umum, sedangkan

kecenderungan berbuat buruk yang ada pada diri manusia bukanlah sifat jiwa secara

keseluruhan, ia hanya merupakan sebagian dari sifat jiwa itu sendiri. Bagian ini lebih

tepat disebut dengan al-hawa (hawa nafsu). Hawa merupakan sumber dari segala

keburukan, pemadam cahaya jiwa. Hawa nafsu selalu bersanding dengan bisikan-bisikan

setan. Berbanding terbalik dengan ruh yang selalu bersanding dengan bisikan-bisikan

malaikat.

Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan,

مع إلانسان قرين من املالئكة يدله على الخير ، وقرين من الجن والشياطين يدله على الشر

غلب عليه سار معه ، ابتالء وامتحان من هللا سبحانه وتعالى فأيهما

Setiap manusia memiliki qorin (pendamping) dari malaikat yang

membimbingnya kepada kebaikan dan qorin dari kalangan jin dan setan yang

mengarahkannya kepada keburukan, yang mana yang lebih kuat maka dia yang berjalan

bersama manusia itu sebagai ujian dan cobaan dari Allah subhanahu wa ta’ala.9

Selain ruh dan hawa yang saling tarik menarik, Allah juga telah menganugerahi

manusia dengan gharizah thabi’iyah (sifat-sifat alamiah) berupa kemampuan untuk

tumbuh dan berkembang, naluri, watak, dan bakat; quwwatul ghadhab (daya defensif)

yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya;

quwwatusy syahawat (daya ofensif) yang mampu menginduksi obyek-obyek yang

menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun

rohaniah; akal (quwwatul ‘aqli) yang merupakan penasehat diri dan pengikat potensi-

potensi lainnya; serta hati (al-qalbu), yang merupakan raja diri. Bila hati ini baik, maka

9 http://sahab.net/forums/showthread.php?t=378513

9

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

baik pula seluruh diri manusia. Bila hati ini buruk, maka buruk pula keseluruhan diri

manusia.

Nabi bersabda dalam hadits Ibn Mas’ud

اله أ

لجسد ك

ال

سد

ف

ت

سد

ا ف

ه وإذ

لجسد ك

ح ال

صل

حت

ا صل

إذ

ة

جسد مضغ

وإن في ال

ال

وهي أ

بلق

ال

Ketahuilah, sesungguhnya di dalam hati ada segumpal daging yang kalau dia

baik maka akan baik pula seluruh anggota tubuh, dan kalau dia rusak maka akan rusak

pula seluruh anggota tubuh, ketahuilah di adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibn Rajab Al-Hanbali berkata, “Dalam hadits ini ada isyarat yang menunjukkan

bahwa baiknya gerakan anggota tubuh seorang hamba, dia meninggalkan semua yang

diharamkan dan menjauhi semua syubhat, sesuai dengan baiknya gerakan hatinya.”10

2.3 Pertarungan dalam Jiwa

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa di antara fithrah manusia

terdapat ruh yang merupakan sumber kebaikan dan hawa nafsu yang merupakan sumber

keburukan. Keduanya selalu berperang di dalam jiwa dan berusaha untuk menguasai jiwa

manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

اها س وما سوف

واها ﴾ ٧﴿ون

ق

جورها وت

همها ف

لأ﴾٨﴿ف

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan

kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. [QS. Asy-Syams, 91 : 7-8]

Ayat di atas menegaskan bahwa Allah memberikan dua potensi ke dalam setiap

jiwa, yaitu potensi untuk melaksanakan kebaikan (taqwa) dan potensi untuk

melaksanakan keburukan (fujur). Segala bentuk kebaikan bersumber dari ruh dan segala

bentuk keburukan bersumber dari hawa.

10 Jami’ Al-Ulum Wa Al-Hikam: 1/210

10

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

Ilustrasi

Allah menjelaskan kepada kita bahwa mengikuti hawa nafsu hanya akan

membawa manusia pada kesesatan,

هن الل

ير هدى م بع هواه بغ

ن ات ل مم

ض

ومن أ

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya

dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. [QS. Al Qashshash, 28 : 50]

Karenanya Allah memerintahkan kita untuk tidak mengikutinya,

هك عن سبيل الل

يضل

هوى ف

بع ال

توال ت

Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu

dari jalan Allah. [QS. Shaad, 38 : 26]

Kemudian Allah menjanjikan bahwa siapa saja yang bisa mengalahkan hawa

nafsunya, ia akan mendapatkan kebaikan dan balasan surga.

س عف

هى ٱلن

ه ون

ام رب مق

اف

ا من خ م

هوى ﴿وأ

وى ﴿٠٤ن ٱل

أ هى ٱمل

ة

جن

إن ٱل

﴾٠٤﴾ ف

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan

diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).

[An-Naazi’aat, 79 : 40-41]

2.4 Kecerdasan Transendental

Manusia, selain membawa aspek-aspek bawaan dan berbagai potensi yang ada

saat ia dilahirkan ke dunia, juga telah ditanamkan “multiple intelligence quotient”.

Dengan kata lain, kecerdasan yang ada pada manusia tidaklah tunggal, melainkan jamak.

Al Qalbu

Quwwatul 'Aqli

Quwwatusy Syahawat

Quwwatul Ghadhab

11

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

Tetapi kejamakan kecerdasan itu hendaknya menghasilkan pemikiran, sikap, tindakan,

dan perilaku yang tunggal setelah seseorang bersentuhan dengan fenomena tertentu.11

Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan

emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ditambah dengan kecerdasan

transendental (TQ), yang merupakan pengembangan dari kecerdasan spiritual.

Kecerdasan Intelektual (IQ) adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis,

logika, dan rasio seseorang. IQ merupakan kecerdasan otak untuk menerima, menyimpan,

dan mengolah informasi menjadi fakta. Kecerdasan Emosional (EQ) adalah kemampuan

mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,

serta kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri dan orang lain.

Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan

memberi makna pada apa yang di hadapi dalam kehidupan, sehingga seseorang akan

memiliki fleksibilitas dalam menghadapi persoalan di masyarakat.12 Sementara itu,

kecerdasan transendental merupakan kemampuan seseorang memaknai hidup dan

kehidupannya dalam perspektif Allah subhanahu wa ta’ala.13

Sebagian orang seringkali keliru menggunakan istilah “spiritual” dan “ruhiyah”.

Dalam Islam, pengertian "ruhiyah" tidak sama dengan pengertian "spiritual" dalam

psikologi atau perspektif non Islam. "Spiritual" tidak berhubungan dengan religiusitas,

sedangkan "ruhiyah" sangat berhubungan erat dengan religiusitas.

Oleh karena itu, secara terminologi (peristilahan) istilah "ruhiyah" lebih dekat

kepada istilah "transendental" daripada istilah "spiritual". Danah Zohar dan Ian Marshal

(penulis "Spiritual Quotient", 2001) pada halaman 7-8 mengakui, bahwa spiritualitas

tidak berhubungan dengan religiusitas. Spiritualitas hanyalah sebatas pemaknaan hidup

dalam perspektif manusia yang bersangkutan.14

Nina Syam dalam diktat mata kuliah Psikologi Komunikasi untuk program studi

Magister Komunikasi Unisba menggambarkan kecerdasan transendental sebagai berikut,

11 Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient, http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html 12 Silvi Astrilyani, Pengertian IQ, EQ, dan SQ, http://silviastrilyani.wordpress.com/2013/02/11/pengertian-iq-eq-dan-sq/ 13 Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient, http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html 14 Aristiono Nugroho, Spiritual dan Transcendental, http://sosiologidakwah.blogspot.com/2008/03/spiritual-dan-transcendental.html

12

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

Kecerdasan Transendental

Gambar di atas dimaksudkan untuk melahirkan titik singgung (overlapping of

meaning) pada dua lingkaran, di mana garis yang saling bertindihan antara bidang

spiritual dan agama adalah kecerdasan transendental (Nina Syam).

Bila kita kaitkan dengan apa yang telah dibahas pada pemaparan sebelumnya,

maka kecerdasan transendental merupakan kemampuan ruh untuk selalu mendominasi

hawa dan mengendalikan hati, akal, ghadhab, dan syahwat. Karena sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya bahwa dalam diri manusia terjadi peperangan yang maha dahsyat

antara ruh dengan hawa, di mana pemenangnya kemudian akan memimpin jiwa manusia

dan mengarahkannya. Bila ruh berhasil mengalahkan hawa dan mendominasi jiwa, maka

jiwa manusia akan menjadi tenang, hatinya akan selamat, dan akal pikirannya menjadi

jernih.

Sebaliknya, bila hawa berhasil memenangkan pertempuran dan mengalahkan ruh,

maka jiwa manusia akan selalu menyuruh berbuat keburukan, hati akan menjadi sakit,

bahkan mati, sedangkan akal pikiran akan menjadi keruh dan kotor.

Bila kita memahami hal ini, maka tentu kita akan berusaha untuk menjaga kondisi

ruh kita, mendidik dan membinanya sehingga ia bisa memenangkan pertempuran di

dalam jiwa. Usaha untuk menjaga kondisi ruhiyah seseorang biasa disebut sebagai

aktivitas tarbiyah ruhiyah (mendidik atau membina kondisi ruh). Aktivitas ini juga sering

disebut sebagai tazkiyatun nafs (pensucian jiwa) karena tujuan aktivitas ini adalah

Kecerdasan Spiritual

Agama (Islam)

•Jiwa yang tenang

•Hati yang bersih

•Akal yang jernih

Ruh mengalahkan Hawa

•Jiwa yang mengajak kepada keburukan

•Hati yang sakit/ mati

•Akal yang keruh

Hawa mengalahkan Ruh

13

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

mensucikan jiwa dari segala bentuk keburukan hawa nafsu dan dosa. Sedangkan

Abdullah Gymnastiar atau yang biasa disebut Aa Gym, lebih memilih istilah Manajemen

Qalbu, karena menurutnya kondisi ruhiyah seseorang sangat berkaitan erat dengan

kondisi hatinya (al-qalbu).

2.5 Kecerdasan Ruhiyah Cerminan Pribadi Taqwa

Taqwa didefinisikan sebagai sikap yang mengerjakan perintah Agama dan

menjauhi larangannya. Menurut Ibn Mas’ud, taqwa adalah engkau menaati Allah di atas

cahaya dari Allah, mengharapkan pahala Allah, dan engkau meninggalkan kemaksiatan

di atas cahaya dari Allah dan takut siksaan Allah.

Orang yang benar-benar bertaqwa adalah orang yang memiliki kecerdasan

ruhiyah yang tinggi, karena tidaklah seseorang dapat merealisasikan taqwa dalam

kehidupannya kecuali ruh dirinya telah berhasil memenangkan pertempuran yang terjadi

dalam jiwanya. Maka, taqwa merupakan indikator kecerdasan ruhiyah, dan kecerdasan

ruhiyah merupakan cerminan pribadi taqwa.

Untuk mencapai derajat taqwa yang hakiki, maka seseorang harus berusaha

mengendalikan keinginan hawa nafsu sekuat tenaga. Pertama, ia harus berusaha

meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, baik larangan tersebut

hukumnya haram atau makruh. Ini adalah taqwanya orang-orang awam. Sebagaimana

yang telah dipaparkan bahwa taqwa adalah mengerjakan apa-apa yang diperintahkan dan

menjauhi apa-apa yang dilarang.

Kedua, ia harus bisa berusaha meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya

(syubhat). Termasuk di dalamnya adalah meninggalkan sesuatu yang mubah sebagai

bentuk kehati-hatian. Ini adalah wara’, derajat ketaqwaan yang lebih tinggi daripada

taqwanya orang-orang awam.

سبأ

ا به ال

را مل

س به حذ

بأ

ما ال

ع

ى يد حت

قين

ت من امل

ون

يك

ن

عبد أ

ال

غ

يبل

ال

Seorang hamba belum mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan

sesuatu yg mubah (boleh) sebagai bentuk kehati-hatian dari sesuatu yang dilarang. [HR.

Ibnu Majah No.4205].

Ketiga, ia harus berusaha meninggalkan belenggu dunia yang fana dan

menetapkan akhirat sebagai tujuan hidupnya. Segala sesuatu yang tidak membawa

kebaikan bagi kehidupan akhirat ia tinggalkan, sedangkan untuk urusan dunia, ia hanya

14

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

memanfaatkannya untuk menempuh jalan menuju kehidupan akhirat yang abadi. Ini

adalah sifat zuhud, yaitu tidak berambisi terhadap dunia karena ambisinya hanya untuk

akhirat. Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

وا بالفاني للباقي... يا قوم.ومن أراد آلاخرة أضر بالدنيا.من أراد الدنيا أضر باآلخرة فأضر

Barangsiapa yang menginginkan akhirat, dia akan mengorbankan dunia. Dan

barangsiapa yang menginginkan dunia, dia akan mengorbankan akhirat. Wahai kaum,

korbankanlah yang fana (dunia) demi untuk yang kekal abadi (akhirat).15

Namun, bukan berarti zuhud selalu identik dengan hidup miskin, enggan mencari

nafkah, dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Karenanya, kita tidak

bisa hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai

orang yang zuhud. Abu Dzar mengatakan,

اعة امل

إض

ل وال

حال

حريم ال

بت

يست

يا ل

ن فى الد

هادة الز

ون

ك

ت

ال

ن

يا أ

ن فى الد

هادة كن الز

ال ول

ر بها أ

صبت

أ

ت

نا أ

صيبة إذ

واب امل

فى ث

ون

ك

ت

ن

ه وأ

ى الل

ا فى يد ق مم

وث

يك أ

ببما فى يد

فيها غ

ك ل

بقيت

ها أ ن

و أ

ل

Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga

menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin

terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud

juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari

musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.16

Pada masa tabi’in,17 Abdullah bin Al Mubarak (Ibnul Mubarak) pernah dikritik

oleh sahabatnya tentang gaya hidupnya yang dianggap jauh dari sifat zuhud.

Diriwayatkan bahwa Fudhail bin ‘Iyadh (sahabat Ibnul Mubarak) berkata pada Ibnul

Mubarak,

15 Adz Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala : 1/496 (e-book) 16 Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346, http://rumaysho.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/3067-memahami-arti-zuhud.html diakses tanggal 22 Oktober 2013 17 Masa tabi’in adalah kurun waktu setelah masa para sahabat. Para ulama tabi’in merupakan mereka yang pernah belajar langsung kepada para Sahabat Rasulullah.

15

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟

Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang

sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta.

Mengapa bisa begitu?

Ibnul Mubarak mengatakan,

يا أبا علي، إنما أفعل ذا الصون وجهي، وأكرم عرض ي، وأستعين به على طاعة ربي

Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini

hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Aku pun bekerja untuk

memuliakan kehormatanku. Aku bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku.

Bila ruh telah terlatih, maka jiwa menjadi bersih dan suci, hidupnya merdeka

karena tidak lagi terbelenggu kehidupan dunia yang fana, maka hawa nafsu pun akan

tunduk di bawah kekuasaan ruh dan setan yang mengiringinya akan kelelahan dalam

membisikkan keburukan. Ibadah kepada Allah akan terasa lebih mudah dan khusyu’.

Sesungguhnya perumpamaan tazkiyatun nafs atau tarbiyah ruhiyah adalah seperti

membersihkan dan mengisi gelas. Jika gelas kita kotor, meskipun diisi dengan air yang

bening, airnya akan berubah menjadi kotor. Dan meskipun diisi dengan minuman yang

lezat, tidak akan ada yang mau minum karena kotor. Tetapi jika gelasnya bersih, diisi

dengan air yang bening akan tetap bening. Bahkan bisa diisi dengan minuman apa saja

yang baik-baik: teh, sirup, jus, dan sebagainya.18

Bila hakikat taqwa telah tertanam dalam diri seorang manusia, maka ia akan

merasakan kelezatan iman. Hal ini disebabkan, segala curahan cinta yang muncul dari

hatinya berasal dari kekuatan ilahiyah. Ia telah menempatkan cinta tertinggi kepada Allah

dan Rasul-Nya, sedangkan cinta kepada selainnya ia tempatkan di bawah keduanya.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

ثالث من كن فيه وجد بهن حالوة إلايمان : أن يكون هللا ورسوله أحب إليه مما سواهما ، وأن

يحب املرء ال يحبه إال هلل ، وأن يكره أن يعود في الكفر بعد إذ أنقذه هللا منه ، كما يكره أن

. يقذف في النار

18 Abdur Rosyid, Makna dan Pentingnya Tazkiyatun Nafs, http://menaraislam.com/content/view/127/1/ diakses tanggal 22 Oktober 2013

16

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

Ada tiga hal yang jika ada pada diri seseorang, maka orang tersebut akan

mendapatkan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain

keduanya, (2) Mencintai seseorang, yang dia tidak mencintai orang tersebut kecuali

karena Allah, (3) Membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan

dia dari kekufuran tersebut sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api

neraka.

2.6 Cinta (Al-Mahabbah)

Sebagaimana telah dipaparkan bahwa manisnya iman hanya akan dirasakan oleh

orang yang memiliki tiga sifat, yaitu :

1) Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya,

2) Mencintai seseorang, yang dia tidak mencintai orang tersebut kecuali karena

Allah,

3) Membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari

kekufuran tersebut sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api

neraka.

Puncak kelezatan iman akan diraih bila seseorang telah menyandarkan cintanya

hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mencintai selainnya di bawah kecintaan kepada

keduanya, sekaligus membenci apa-apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ibn Qayyim Al-Jawziyyah menyebutkan bahwa cinta (al-mahabbah) pada

dasarnya terbagi dua,

1) Al-Mahabbah asy-Syar’iyyah (cinta yang disyari’atkan), di mana landasan

dasarnya adalah keimanan, dan

2) Al-Mahabbah ghayrusy Syar’iyyah (cinta yang tidak disyari’atkan/ cinta

terlarang), yang landasan dasarnya adalah syahwat dan hawa.

Lebih jauh, Ibn Al-Qayyim menjelaskan bahwa sebagai seorang muslim, kita

diperintahkan untuk proporsional dalam mencintai sesuatu. Kadar cinta harus

ditempatkan sesuai dengan objeknya, karena kita tidak boleh mencintai semua hal dengan

kadar yang sama. Ibn Al-Qayyim sebagaimana dikatakan oleh Burhan Sodiq19

menyebutkan bahwa cinta terbagi pada enam tingkatan, di mana setiap tingkat harus

ditujukan pada objek yang sesuai dan diysari’atkan.

19 Ya Allah, Aku Jatuh Cinta, Mengelola Cinta Tanpa Harus Kena Dosa, 2008

17

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

1) At-Tatayyum (cinta menghamba), yang hanya ditujukan untuk Allah semata,

karena konsekuensi cinta ini adalah menyembah dan mengabdikan diri (QS.

2 : 21, 2: 165)

2) Al-‘Isyq (sangat mesra), ditujukan kepada Rasulullah dan Islam,

konsekuensinya adalah al-ittiba’ (mengikuti), yakni mengikuti perintah

dalam Al-Qur`an dan as-Sunnah.

3) Asy-Syauq (rasa rindu), ditujukan kepada orang-orang beriman dan orang-

orang shalih, termasuk di dalamnya orang tua dan keluarga yang beriman.

Kadar cinta ini akan memunculkan sifat rahmah dan mawaddah (saling

berkasih sayang dan saling mencintai).

4) Ash-Shababah (curahan hati), ditujukan kepada umat Islam secara umum,

untuk menumbuhkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam).

5) Al-‘Athf (simpati), yang ditujukan kepada manusia secara keseluruhan. Sikap

simpati ini akan mendorong kita untuk mengajak mereka kepada keindahan

Islam (dakwah).

6) Al-‘Alaqah (hubungan), yang ditujukan kepada seluruh materi/ dunia. Kadar

cinta kepada materi duniawi tidak boleh meninggi, karena kadar cinta ini

hanya sebatas keinginan untuk memanfaatkan segala macam materi dalam

rangka beribadah dan menjalankan aktivitas kehidupan.

Bila seseorang telah proporsional dalam menempatkan kadar cinta sesuai dengan

objeknya, maka ia telah berjalan di atas cinta yang disyari’atkan. Bila tidak, maka

sesungguhnya ia telah dikuasai oleh hawa dan syahwatnya sendiri. Dengan kata lain, ia

belum memiliki kecerdasan transendental.

2.7 Benci (Al-Karahah)

Sebagaimana cinta, benci juga terbagi menjadi dua: benci yang disyari’atkan dan

benci yang tidak diyari’atkan. Sehingga dalam Islam, kebencian tidak selalu bermakna

negatif. Bahkan, pada titik tertentu, benci merupakan bagian dari iman yang harus ada,

sebagaimana hadits manisnya iman yang telah diutarakan bahwa syarat ketiga untuk

meraih manisnya iman adalah membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah

selamatkan dia dari kekufuran tersebut sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke

dalam api neraka.

18

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

Diriwayatkan bahwa Abdullah ibn `Abbas radhiyallaahu ‘anhu berkata, "Siapa

yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi wala' (loyalitas) karena

Allah dan memusuhi karena Allah maka sesungguhnya dapat diperoleh pertolongan Allah

hanya dengan itu. Sedangkan seorang hamba itu tidak akan merasakan lezatnya iman,

sekali pun banyak salat dan puasanya, sehingga ia melakukan hal tersebut. Telah menjadi

umum persaudaraan manusia berdasarkan kepentingan duniawi, yang demikian itu

tidaklah bermanfaat sedikit pun bagi para pelakunya." [HR. Thabrani dalam Al-Kabir]

Karenanya, baik cinta maupun benci, harus dilandasi kekuatan iman. Cinta dan

benci dalam Islam bukanlah cinta dan benci yang lahir dari ghadhab dan syahwat yang

dikuasai hawa nafsu. Cinta dan benci dalam Islam lahir dari pemahaman yang benar

terhadap konsep tauhidullah yang merupakan inti dari ajaran Islam itu sendiri.

Dalam bab ‘aqidah, cinta dan benci karena Allah termasuk ke dalam pembahasan

Al Wala’ wal Bara’ (loyalitas dan anti loyalitas). Al-Wala' artinya loyalitas dan

kecintaan. Wala’ adalah kata mashdar dari fi’il “waliya” yang artinya dekat. Adapun yang

dimaksud dengan wala’ di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai

mereka, membantu dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan bertempat

tinggal bersama mereka.

Al-Bara' artinya berlepas diri dan kebencian. Bara’ adalah mashdar dari bara’ah

yang berarti memutus atau memotong. Maksudnya di sini ialah memutus hubungan atau

ikatan hati dengan orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu

dan menolong mereka202122 serta tidak tinggal bersama mereka.23

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam juga menegaskan hal ini, dengan

sabdanya,

حب في هللا وا في هللا، وال

عاداة

في هللا وامل

ةوالا

يمان: امل

ق عرى إلا

وث

ض في هللاأ

بغ

ل

20 Membantu dan menolong yang terlarang disini adalah di dalam membantu perbuatan kekafirannya, sedangkan menolong dalam hal kebaikan dan kemanusiaan bahkan Islam sangat menganjurkannya, Lihat fatwa Al-Lajnah;http://islamqa.info/id/1204 21 Fatawa Al-Lajnah, 25/380, Pertanyaan keenam dari fatwa no. 264) http://yaaukhti.wordpress.com/2011/03/09/hukum-menolong-orang-kafir-yang-kelaparan/ 22 Penjelasan rinci tentang hukum berhubungan dengan orang kafir; http://asysyariah.com/hukum-bekerja-dengan-orang-kafir/ 23 Shalih ibn Fauzan Al Fauzan, Kitab Tauhid (e-book), http://belajar-tauhid.blogspot.com/2005/05/al-wala-wal-bara.html

19

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

Tali keimanan yang paling kuat adalah bersikap loyal (setia) karena Allah dan

memusuhi karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah. [HR. ath-

Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir no.11537]

Oleh karenanya, benci terhadap kemaksiatan dan orang-orang yang memusuhi

Allah dan Rasul-Nya merupakan sebuah kewajiban syar’i yang lahir dari kecintaan

kepada Allah dan Rasul-Nya. Dari sini kita memahami bahwa berbagai bentuk

kemaksiatan, seperti kemusyrikan dan kekufuran, bid’ah, dan berbagai kemaksiatan

lainnya harus dibenci sebagai bukti kecintaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Lebih tegas, Allah berfirman dalam surat Al Mujaadalah,

ه

من حآد ٱلل

ون يوم ٱآلخر يوآد

ه وٱل

بٱلل

ون

من

يؤ

وما

جد ق

ت

و ال

آبآءهم أ

ا و

ان

و ك

ه ول

ورسول

ن هم بروح م

د ي

وأ

وبهم ٱإليمان

لب فى ق

تئك ك

ـول

هم أ

و عشيرت

هم أ

وان

و إخ

آءهم أ

بن

همأ

ه ويدخل

ى الدين فيها رض نهار خ

حتها ٱأل

جرى من ت

ات ت

إن جن

ال

ه أ

ئك حزب ٱلل

ـول

ه أ

عن

ه عنهم ورضوا

ٱلل

لحون

ف ه هم ٱمل

حزب ٱلل

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling

berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun

orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga

mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati

mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan[1462] yang datang daripada-Nya.

Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,

mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas

terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa

sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. [QS. Al-Mujaadalah, 58 :

22]

Juga firman-Nya,

ن م

اا برءآؤ

ومهم إن

لق

وا

ال

ق

ذين معه إذ

في إبراهيم وٱل

ة

حسن

سوة

م أ

ك

ل

ت

ان

د ك

ا ق م ومم

ك

ه من دون ٱلل

عبدون

ه ت

بٱلل

وا

من

ؤ

ى ت حت

بدا

آء أ

ض

بغ

وٱل

اوة

عد

م ٱل

ك

ا وبين

نا بين

م وبد

ا بك

رن

ف

ك

ه وحد

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan

orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:

20

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

"Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah

selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu

permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah

saja. [QS. Al-Mumtahanah, 60: 4]

Namun demikian, bukan berarti kita tidak boleh berbuat baik sama sekali kepada

orang-orang kafir. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa manusia secara

umum mendapatkan hak cinta berupa al-‘athf (simpati) yang akan mendorong kita untuk

mengajaknya kepada keindahan Islam. Tentang hal ini Allah subhanahu wa ta’ala

berfirman,

وه برن ت

م أ

ن ديارك

م م رجوك

م يخ

ين ول

م فى ٱلد وك

اتل

م يق

ذين ل

ه عن ٱل

م ٱلل

ينهاك

ال

ق

م وت

ا و

سط

يإل

سطين

ق يحب ٱمل

ه

م ﴾٨﴿ هم إن ٱلل

رجوك

خ

ين وأ

م فى ٱلد وك

لات

ذين ق

ه عن ٱل

م ٱلل

ما ينهاك

إن

ون

امل

ئك هم ٱلظ

ـول

أهم ف

ول

وهم ومن يت

ول

ن ت

م أ

راجك

ى إخ

عل

اهروا

م وظ

ن ديارك

﴾٩﴿ م

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-

orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari

negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya

Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang

memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang

lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka

mereka itulah orang-orang yang zalim. [QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9]

Ibn Qayyim Al-Jawziyyah sebagaimana dikutip oleh Muhammad bin Sa’id Al

Qahthani24 menggambarkan hubungan cinta kepada Allah dengan benci karena Allah

dalam sya’irnya,

رط

ة ش من توافق أن املحب حب

ته على ت عصيان بال محب

فإذا

له ادعيتة ما فك خال مع املحب بهتان ذو فأنت يحب

حبعي الحبيب أعداء أت وتد

اك ما له حبا

إمكان في ذ

عادي وكذا ت

أينأحبابه جاهدا

الشيطان أخا يا املحبة

24 Al Wala wal Bara fil Islam (e-book), hal 40-41

21

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

مع خضوع القلب وألاركانة غير توحيد املحبةداـالعب ليس

Syarat cinta adalah engkau sejalan dengan

orang yang kau cintai tanpa durhaka kepadanya

Bila kau mengaku mengaku mencintainya dan

menentangnya, maka engkau sedang berdusta

Pantaskah kau cintai musuh kasihmu dan kau katakan

mencintainya? tidak ada kemungkinannya

Engkau pun musuhi orang yang dicintainya

Ke manakah cinta itu wahai saudaranya setan?

Tak ada ibadah tanpa kesatuan cinta

diiringi tunduk hati dan anggota badan

BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan

Apa yang telah dipaparkan memberikan penjelasan kepada kita bahwa manusia

dalam perspektif Islam merupakan makhluk yang kompleks, yang membawa berbagai

bawaan (fithrah) sejak ia dilahirkan di dunia ini. Di antara bawaan tersebut ada yang

senantiasa mengajak kepada kebaikan, yakni ar-ruh, juga ada yang senantiasa mengajak

kepada keburukan, yakni al-hawa.

Selain keduanya, manusia juga dibekali dengan daya berpikir (quwwatul ‘aqli),

daya mempertahankan diri (quwwatul ghadhab), daya ofensif (quwwatusy syahwat), hati

(al-qalbu) yang merupakan inti atau pusat berkumpulnya daya tersebut, serta gharizah

thabi’iyah (naluri alamiah) yang merupakan ciri makhluk hidup secara umum.

Kaitannya dengan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, ia merupakan

“multiple intelligence quotient”. Dengan kata lain, kecerdasan yang ada pada manusia

tidaklah tunggal, melainkan jamak. Tetapi kejamakan kecerdasan itu hendaknya

menghasilkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang tunggal setelah seseorang

bersentuhan dengan fenomena tertentu.25

Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan

emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ditambah dengan kecerdasan

transendental (TQ), yang merupakan pengembangan dari kecerdasan spiritual.

Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan

memberi makna pada apa yang di hadapi dalam kehidupan, sehingga seseorang akan

memiliki fleksibilitas dalam menghadapi persoalan di masyarakat.26 Sementara itu,

kecerdasan transendental merupakan kemampuan seseorang memaknai hidup dan

kehidupannya dalam perspektif Allah subhanahu wa ta’ala.27

Kecerdasan transendental (TQ) atau yang biasa disebut juga dengan istilah

kecerdasan ruhaniah/ ruhiyah merupakan ciri pribadi bertaqwa. Sedangkan taqwa

25 Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient, http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html 26 Silvi Astrilyani, Pengertian IQ, EQ, dan SQ, http://silviastrilyani.wordpress.com/2013/02/11/pengertian-iq-eq-dan-sq/ 27 Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient, http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html

23

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

merupakan indikator kecerdasan transendental. Pusat kecerdasan ini berada di inti jiwa,

yakni hati, sedangkan muaranya ada pada rasa cinta yang amat sangat kepada Allah dan

Rasul-Nya, serta hanya mencintai dan membenci karena Allah semata.

3.2. Saran

Dengan pemaparan ini, semoga pembaca bisa lebih memahami konsep manusia

dan kecerdasan transendental dalam perspektif Islam, sehingga sanggup menjalani

aktivitas hidupnya dengan pertimbangan-pertimbangan ilahiyah. Karena sesungguhnya,

kehidupan yang dijalani manusia merupakan ketentuan-Nya yang harus disusuri dengan

semangat taqwa dan ketaatan terhadap-Nya.

Selain itu, semoga penelitian ini dapat menjadi bahan yang akan ditindaklanjuti

oleh para peneliti lain sebagai upaya penelitian lanjutan. Hanya kepada Allah lah tempat

meminta pertolongan dan kebenaran mutlak hanya milik-Nya. Semoga shalawat dan

salam tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam.

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzahabi. Tanpa Tahun. Siyar A’lam An-Nubala (e-book).

Al-Jawziyyah, Ibn Qayyim. 2003. Penawar Hati yang Sakit. Jakarta : Gema Insani Press.

Al-Jawziyyah, Ibn Qayyim. 2012. Roh cet. 29. Jakarta : Pustaka Al Kautsar.

Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. Tanpa tahun. Fatawa Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan.

Terdapat di http://sahab.net/forums/showthread.php?t=378513.

Al-Qahtani, Muhammad bin Sa’id. Tanpa tahun. Al Wala’ wal Bara’ Fil Islam (e-book).

Astrilyani, Silvi. 2013. Pengertian IQ, EQ, dan SQ. Terdapat di

http://silviastrilyani.wordpress.com/2013/02/11/pengertian-iq-eq-dan-sq/.

Diakses tanggal 12 Desember 2013.

Munawar, Budhy dan Rachman. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (e-book),

http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Nurani.html. diakses tanggal

22 Oktober 2013.

Nugroho, Aristiono. 2008. Spiritual dan Transcendental. Terdapat di

http://sosiologidakwah.blogspot.com/2008/03/spiritual-dan-transcendental.html.

Diakses tanggal 22 Oktober 2013.

Nugroho, Aristiono. 2012. Multiple Intelligence Quotient. Terdapat di

http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-

quotient.html. Diakses tanggal 12 Desember 2013.

Reza, Syah. Tanpa tahun. Konsep Jiwa Menurut Islam. Terdapat di

http://inpasonline.com/new/konsep-jiwa-menurut-islam/. Diakses tanggal 22

Oktober 2013.

Rosyid, Abdur. Makna dan Pentingnya Tazkiyatun Nafs. Terdapat di

http://menaraislam.com/content/view/127/1/. Diakses tanggal 22 Oktober 2013.

Rumaysho. Tanpa Tahun. Memahami Arti Zuhud. http://rumaysho.com/belajar-

islam/manajemen-qolbu/3067-memahami-arti-zuhud.html. Diakses tanggal 22

Oktober 2013.

Sodiq, Burhan. 2008. Ya Allah, Aku Jatuh Cinta, Mengelola Cinta Tanpa Harus Kena

Dosa. Sukoharjoi : Samudera.

Syam, Nina. Tanpa Tahun. Diktat Kuliah Psikologi Komunikasi.

Yasmin, Ummu. 1424 H. Agenda Materi Tarbiyah, Panduan Kurikulum Da’i dan

Murabbi. Sukoharjo : Media Insani.