27
MAKALAH PEMBAGIAN HADITS MENURUT KUALITASNYA Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Studi Hadits” Dosen Pembimbing : ISMAIL, M.Pd.I Oleh : RAMADIO DARWOTO NIM. 1148 1102 538 RAUDATUL JANNAH NIM. 1148 1202 577 RINO SUDIRMAN NIM. 1148 1102 523

MAKALAH STUDI HADIST ( PEMBAGIAN HADIST MENURUT KUALITASNYA )

Embed Size (px)

Citation preview

MAKALAH

PEMBAGIAN HADITS MENURUT KUALITASNYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Studi Hadits”

Dosen Pembimbing :

ISMAIL, M.Pd.I

Oleh :

RAMADIO DARWOTONIM. 1148 1102 538

RAUDATUL JANNAHNIM. 1148 1202 577

RINO SUDIRMANNIM. 1148 1102 523

FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKANPROGRAM STUDI PETERNAKAN

2014 / 2015BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

                 Bicara mengenai pembagian hadits dilihat

dari segi kualitasnya, tidak terlepas dari pembahasan

hadits ditunjau dari segi kualitasnya, yang telah

dibagi menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan hadits

ahad. Hadits mutawatir mempunyai pengertian bahwa

hadits tersebut Yaqin bi al-qath’i, artinya Nabi

Muhammad SAW. betul-betul bersabda, berbuat dan

menyetujuinya (iqrar) di hadapan para sahabat. Dengan

demikian maka dapat dikatakan hadits ini mempunyai

sumber yang kuat, disepakati dan keberadaannya dapat

dipercaya serta meyakinkan. Sehingga ia harus diterima

dan diamalkan dengan tanpa adanya penelitian ataupun

penyelidikan baik terhadap sanad atau matanya.

                 Sebaliknya yang kedua adalah hadits

ahad, dimana faedah yang diberikan bersifat zhonny

(prasangka yang kuat akan kebenarannya). Dengan

demikian maka mengharuskan kepada kita untuk mengadakan

pengkajian, penyelidikan terhadap hadits tersebut, baik

pada sanadnya ataupun matanya. Sehingga kejelasan

status hadits ini menjadi nyata, untuk dipergunakan

sebagai hijjah atau tidak.

Oleh karena itu. Dengan melihat persoalan ini maka

para ulama ahli hadits membagi hadits, ditinjau dari

segi kualitasnya, menjadi dua bagian yang hadits maqbul

dan hadits mardud.

II

PEMBAHASAN

A.  HADITS SHAHIH

1. Pengertian Hadits Shahih

Kata shahîh secara etimologi dari kata shahha,

yashihhu, shuhhan wa shihhatan wa shahhâhan. Yang

menurut bahasa berarti sehat, yang selamat, yang benar,

yang sah, dan yang sempurna yang merupakan lawan

dari saqim (sakit).

Menurut ‘ulama ahli hadits, definisi hadits shahih

secara terminologi adalah:

اذ� ر م�علل ولا ش�� ي� د غ� صل م�سن� ط م�ت� ت� ام ال�ض� م�ا رواه ع�دل ت��“Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil,

sempurna kedhabitannnya, bersambung terus sanadnya

kepada Nabi s.a.w., tidak ber-illat (ada sesuatu yang

cacat) dan tidak syadz (bersalahan riwayat itu dengan

riwayat yang lebih raih dari padanya).” 1

Al-‘Iraqi juga mengemukakan definisi yang hampir

sama, akan tetapi dalam dua syarat ia memberikan

penekanan khusus dengan menambahkan kata-kata lainnya,

yaitu: pertama, pada ke-dhabit-an ia menyebutkan dhabit

al-fuad (kekuatan ingatan/kecerdasan). Artinya ia

1 rauatul jannah. peternakkan .2014. hlm. 17

menekankan kekuatan menghafal hadits, yang berbeda

dengan dhabit al-kitab; dan kedua, pada ‘illat, ia

menyebutkan ‘illat qodihah (‘illat yang merusak atau

mencacatkan).

2. Syarat-syarat Hadits Shahih

Berdasarkan beberapa definisi hadits shahih maka

sebagaimana dikemukakan oleh para ‘ulama hadits,

diketahui ada lima syarat yang harus dipenuhi,

diantaranya:

a. د ص'''''''''ال ال�س'''''''''ن� artinya ات�� hadits shahih adalah hadits yangmusnad (hadits yang langsung marfu’ kepada

Nabi saw).

b. artinya ال�ع''''''''دل  diriwayatkan oleh tokoh sanad haditsyang bersifat adil.

c. ط  ت� semua perawinya dhabith, artinya perawi hadits ال�ض'''''�tersebut memiliki ketelitian dalam menerima hadits,

memahami apa yang ia dengar, serta mampu mengingat

dan menghafalnya sejak ia menerima hadits.

d.   اذ� ر ش'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''�� ي� hadits غ'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''� shahih bukanlah hadits

yang syadz (kontroversial) atau sejahtera dari

keganjilan (tidak bertentangan dengan riwayat yang

lebih rajih).

e. ي�ر م�ع'''''''''''''''''''''''''''ال  hadits غ'''''''''''''''''''''''''''� shihih bukan hadits yang

terkena ‘illat (cacat)

3.  Macam-macam Hadits Shahih

Para ‘ulama membagi hadits shahih menjadi dua,

yaitu Shahih Lidzatihi dan Shahih Lighairihi.

a. Shahih Lidzatihi

Hadits Shahih Lidzatihi adalah hadits yang dirinya

sendiri telah memenuhi kriteria ke-shahih-an sebagaiman

disebutkan di atas, dan tidak memerlukan penguat dari

yang lainnya.

Contoh hadits Shahih Lidzatihi:

Diberitahukan oleh Ibn Umar bahwasannya Nabi s.a.w.

bersabda:

ان, وال�حج, ك�اه� وص�وم رم�ص� اء ال�ز� ن� ام ال�صلاه� واي�8 وان, م�حمدا رس�ول ال�له واق��b. Shahih Lighairihi

Hadits Shahih Lighairihi adalah hadits yang

keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain.

Hadits kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan

pada aspek ke-dhabit-an perawinya (qalil adh-dhabth).

Di antara perawinya ada yang kurang sempurna

kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat

untuk dikategorikan untuk menduduki derajat

hadits Shahih Lidzatihi.

Contoh hadits Shahih Lighairihi diberitakan oleh

Abu Hurairah r.a:

د ك�ل ص�لاه� ال�سواك�E ع�ن� هم ت�� ى لامرت�8 ق� ع�لى ام�ت� ال: ل�ولا ان, اس�� ان, رس�ول ال�له ص م ق��Contoh di atas merupakan hasil penelitian para

‘ulama yang dinukil oleh Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-

Shiddieqy dalam bukunya Pokok-pokok Ilmu Dirayah

Hadits.

4. Hukum dan Ke-hujjah-an Hadits Shahih

Para ‘ulama hadits, demikian juga para ‘ulama Ushul

Fiqh dan Fuqaha, sepakat menyatakan bahwa hukum hadits

shahih adalah wajib untuk menerima dan mengamalkannya.

Hadits shahih adalah hujjah  dan dalil penetapan

hukum syara’, oleh karenanya tidak ada alasan bagi

setiap muslim untuk meninggalkannya.

B. HADITS HASAN

1. Pengertian Hadits Hasan

Hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu, yang

berarti baik. Menurut Ath-Thibi Hadits hasan adalah:

وذ� وع�له� د� ه وش�لم م�ن, ش�� ر وج� ي� ه� وروي� ك�لاه�ما م�ن, غ� ق� ه اومرش�ل ث�� ق� ه� ال�ث� �زب� م�ن, ذرج� د م�ن, ق� م�سن�“Hadits musnad (muttasil dan marfu’) yang sanad-

sanadnya mendekati derajat tsiqah, atau hadits mursal

yang sanadnya tsiqah, akan tetapi pada keduanya ada

perawi lain. Hadits itu terhindar dari syudzudz dan

‘illat.”

Mengenai istilah, telah terjadi perselisihan di

antara para ‘ulama, karena hadits hasan terletak di

antara hadits shahih dan hadits dha’if. Hadits hasan

ialah hadits yang sanadnya bersambung, yang

diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit

dhabith, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan

dan tidak juga terdapat cacat.

2.  Syarat-syarat Hadits Hasan

Syarat-syarat hadits hasan sama seperti halnya

hadits shahih, dengan melihat pengertian hadits hasan

itu sendiri, yang berbeda hanya bidang hafalannya.

Untuk hadits hasan, hafalan rawi ada yang kurang

sedikit bila dibandingkan dengan hadits shahih.

3. .Macam-macam Hadits Hasan

Seperti halnya hadits shahih, hadits hasan dibagi

menjadi dua, yaitu: hadits hasan lidzatihi dan

hadits hasan lighairihi.

a. Hadits hasan lidzatihi

Hadits hasan lidzatihi ialah hadits yang

bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang

kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya

syudzudz dan ‘illat.

Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-

Turmudzi dan Abu Hurairah, bahwasannya Rasul bersabda:

د ك�ل ص�لاه� ال�سواك�E ع�ن� هم ت�� ى لا مرت�8 ق� ع�لى ام�ت� ل�ولا ان, اس��

“Sekiranya tidak aku memberatkan umatku, tentulah aku

memerintahkan mereka beristiwak di tiap-tiap shalat”.

b. Hadits hasan lighairihi

Hadits hasan lighairihi adalah hadits yang di

dadalam isnadnya terdapat orang yang tidak diketahui

keadaannya, tidak bisa dipastikan kelayakan atau

tidaknya. Namun ia bukan orang yang lengah yang banyak

berbuat salah dan tidak pula berbuat dusta. Sedangkan

matannya didukung oleh muttabi’ atau syahidz.

Contoh hadits hasan lighairihi :

ار� اج�� عم ق�� : ث�� ال�ت� ؟ ق�� ن, علي� ث� سكE وم�ال�كE ي�� ف� ت� م�ن, ث�� ي� ارض��“Apakah engkau suka menyerahkan diri engkau dan harta

engkau dengan hanya sepasang sepatu? Perempuan tersebut

menjawab: ya, maka Nabi s.a.w. membernarkannya”.

Dalam keterangan beberapa buku  ada yang

mempersingkat bahwa hadits hasan lidzatihi (hasan

dengan sendirinya) dan hadits hasan lighairihi (hasan

dengan topangan hadits lain).

4.  Hukum dan Kehujjahan Hadits Hasan

Para Imam ahli hadits mengatakan, bahwa hadits

hasan sama dengan hadits shahih, walaupun hadits hasan

itu lebih kurang dari hadits shahih dari segi kekuatan.

Karena itu, segolongan ‘ulama mengatakan, bahwa hadits

itu berada di bawah hadits shahih. Dan walaupun

demikian hadits hasan dapat diterima dan dipergunakan

sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan dibidanghukum atau bidang aqidah, pendapat inilah yang paling

banyak dianut.

C.  HADITS DHA’IF

1. Pengertian Hadits Dha’if

Hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam

pembagian hadits menurut kualitas haditsnya. Atau yang

paling tepat hadits yang padanya tidak terdapat ciri

hadits shahih dan hasan.

Kata dha’if secara bahasa adalah lawan dari al-

Qowiy, yang berarti lemah, Hadis Dha’if ini adalah

Hadis mardud, yaitu Hadis yang diolak dan tidak dapat

dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu

hukum.

Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan

definisi :

اب� ال�حسن, ج ولاص�ف� اب� ال�صحي� مع ص�ف� ح� م�ا ل�م ي�� “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-

sifat hasan”.

Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi

tersebut kelebihan kalimat yang seharusnnya

dihindarkan, menurut dia cukup:

مع ح� اب� ال�حسن,م�ا ل�م ي�� ص�ف� “yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”

Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat

hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-

syarat hadits shahih.

Para ‘ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :

ي�qت� اب� ال�حد ج ولا ص�ف� ي�qت� ال�صحي� اب� ال�حد مع ص�ف� ح� ي� ل�م ي�� ي�qت� ال�د� ف� ه�و ال�حد عث� ي�qت� ال�ض� ال�حد“hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun

sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun

sifat-sifat hadits hasan”.

Hadits dha’if juga dikatakan hadits mardud (yang

ditolak) karena tidak adanya sesuatu syarat-syarat yang

menerimanya. Tegasnya hadits dha’if adalah hadits yang

didapati padanya sesuatu yang menolaknya. Definisi

hadits dha’if adalah: “hadits yang kehilangan satu

syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau

hadits hasan”.

2.  Macam-macam Hadits Dha’if

Jenis Hadis Dha’if sangat banyak dan tidak cukup

jika dijelaskan secara keseluruhan dalam makalah ini,

untuk itu penulis berusaha untuk memilah menjadi tiga

macam hadits dha’if berdasarkan:

1. Hadits Mursal

Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata

“irsal” yang berarti “Melepaskan”, adapun pengertian

hadits mursal secara terminologi ialah hadits yang

dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi Saw. Artinya,

seorang tabi’in secara langsung mengatakan, “bahwasanya

Rasulullah Saw bersabda…..”

Maksud dari definisi diatas dapat dipahami bahwa

seorang tabi’in mengatakan Rasulullah saw berkata

demikian, dan sebagainya, sementara Tabi’in tersebut

jelas tidak bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam hal

ini Tabi’in tersebut menghilangkan sahabat sebagai

generasi perantara antara Rasulullahh saw dengan

tabi’in.

Definisi seperti inilah yang banyak digunakan oleh

ahli Hadits, hanya mereka tidak memberikan batasan

antara tabi’in kecil dan besar. Namun ada juga sebagian

‘ulama hadits yang memberikan batasan Hadits Mursal ini

hanya dimarfu’kan kepada tabi’i besar saja karena

periwayatan tabi’i besar adalah sahabat dan Hadits yang

dimarfu’kan kepada tabi’i yang kecil termasuk Hadits

Munqati’.

Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan

oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwqaththa’, dari Zaid

bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, bahwasanya Rasulullah

Saw bersabda:

م هن� ج ج�� ي� ان, ش�ده� ال�حر م�ن, ف��

“sesungguhnya cuaca yang sangat panas itu bagian dari

uap neraka Jahannam”

Contoh yang lain adalah, Hadits yang diriwayatkan

oleh Muslim dalam kitab Shahihnya pada bagian “jual

beli” (kitab al-buyu’) dia berkata : “telah

menceritakan kepadaku Muhammad Ibnu Rafi’, telah

menceritakan kepada kami Hujjain, telah menceritakan

kepada kami al-Laits, dari Uqail dari Ibnu Shihab dari

Ibnu Ssaid ibnu Musayyab, bahwa Rasulullah saw melarang

menjual kurma yang masih berada dipohon, dengan kurma

yang sudah dikeringkan.”

Said bin Musayyab adalah seorang tabi’i besar. Dia

meriwayatkan Hadits ini tanpa menyebutkan perawi

(sahabat) yang menjadi perantara antara dirinya dengan

Rasulullah saw. Dalam hal ini Ibnu Musyayyab telah

menggugurkan akhir dari perawinya yaitu sahabat. Bisa

saja selain dari sahabat yang digugurkannya ada tabi’i

lain yang juga digugurkannya.

Sebagaimana diterangkan bahwa Hadits mursal adalah

hadits yang jalan sanadnya menggugurkan perawi yang

terakhir yaitu sahabat yang langsung menerima hadis

tersebut dari Rasulullah saw. Diitinjau dari segi siapa

yang menggugurkan dan dari sifat-sifatnya, maka hadis

mursal ini terdiri dari tiga bagian :

a. Mursal Shahabi

Mursal Shahabi yaitu Pemberitaan sahabat yang

disandarkan kepada Rasulullah saw tetapi ia tidak

mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia

beritakan, lantaran disaat Rasulullah saw masih hidup

ia masih kecil atau terbelakang masuk Islamnya. Hadis

Mursal shahabi ini tidak dipermasalahkan apabila

seluruh perawi dalam sanadnya termasuk dalam kategori

adil, sehingga kemajhulannya tidak bersifat negatif.

b. Mursal Khafi'

Mursal Khafi' yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh

tabi’i namun tabi’i yang meriwayatkan hadits tersebut

hidup sezaman dengan sahabat tetapi tidak pernah

mendengar ataupun menyaksikan hadits langsung dari

Rasulullah saw.

c. Mursal Jali

Mursal Jali yaitu apabila penggugurannya dilakukan

oleh rawi (tabi’i) dapat diketahui jelas sekali oleh

umum, bahwa orang yang menggugurkan tersebut tidak

pernah hidup sezaman dengan orang yang digugurkannya

atau yang menerima berita langsung dari Rasulullah saw.

 2.  Hadits Munqati

Hadits munqati menurut bahasa artinya terputus.

Menurut sebagian para ulama hadits, hadits munqati’

ialah hadits yang mana di dalam sanadnya terdapat

seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi,

misalnya perkataan seorang rawi, “dari seorang laki-

laki”. Sedang menurut para ‘ulama lain bahwa hadits

muntaqi’ ialah hadits yang dalam sanadnya terdapat

seorang rawi yang gugur (tidak disebutkan) dari rawi-

rawi sebelum sahabat, baik dalam satu atau beberapa

tempat, namun rawi yang gugur itu tetap satu dengan

syarat bukan pada permulaan sanad.

Definisi lain menyebutkan hadis munqati’ adalah

hadits yang dalam sanadnya gugur seorang perawi dalam

satu tempat atau lebih atau di dalamnya disebutkan

seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya perawi,

ia sama dengan hadits mursal hanya saja jika hadits

mursal dibatasi dengan gugurnya sahabat, sementara

dalam hadits munqati’ tidak ada batasan seperti itu.

Jadi bila terdapat gugurnya perawi baik diawal, di

tengah ataupun diakhir pada suatu hadits maka dia

disebut dengan hadits munqati’.

3. Hadits Mudallas

Hadits mudallas menurut bahasa, berarti hadits yang

sulit dipahami. Kata mudallas adalah isim maf’ul

dari dallasa yang berarti gelap atau berbaur dengangelap. Menurut ilmu hadits, mudallas adalah hadits yang

diriwayatkan seorang rawi dari orang yang hidup

semasanya, namun ia tidak pernah bertemu dengan orang

yang diriwayatkannya tersebut dan tidak mendengarnya

darinya karena kesamaran mendengarkannya”.

Para ‘ulama memberi batasan hadits mudallas adalah

hadits yang gugur dua orang rawinya atau lebih secara

beriringan dalam sanadnya, contohnya: “telah sampai

kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw

bersabda:

)Eال�معروف� )رواه م�ال�ك ه ت�� ل�لمملكE ط�عامه وك�سوت��

“Budak itu harus diberi makanan dan pakayan secara

baik”. (HR. Malik)

4.  Hadits Muallaq

Hadits muallaq menurut bahasa berarti hadits yang

tergantung. Dari segi istilah, hadits muallaq adalah

hadits yang gugur satu rawi atau lebih diawal sanad.

Contoh: Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari

Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah

bersabda:

اء ن� ب� ن�8 ي�ن, الا� لوان�� اص�� ف� لاث��“Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian

yang lain”. (HR. Bukhari)

5. Hadits mu’dhal

Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang

sanadnya atau lebih secara berturut-turut.

Menurut kesimpulan di atas tadi dapat diambil

kesimpulan bahwa hadits dha’if karena gugurnya rawi

artinya tidak adanya satu, dua, atau beberapa rawi,

yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada

permulaan, pertengahan, maupun diakhir sanad.

6.  Hadits Maudhu

Hadits maudhu’ ialah hadits yang bukan hadits

Rasulullah saw tapi disandarkan kepada beliau oleh

orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa

sengaja. Contoh:

اء ن� ع اي�8 ة� الي� س�ث� ن� ا ال�ح� ت�� ل ول�د ال�ز� دج�� لات��“Anak jin tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.

 7.  Hadits Matruk

Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh

seorang rawi, yang menurut penilaian seluruh ahli

hadits terdapat catatan pribadinya sebagai seorang rawi

yang dha’if. Contoh: hadits riwayat Amr bin Syamr, dari

Jabir Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr

termasuk orang yang haditsnya ditinggalkan.

Hadis matruk adalah hadits yang menyendiri dalam

periwayatan dan diriwayatkan oleh orang yang tertuduh

dusta dalam periwayatan hadits, dalam hadits nabawi,

atau sering berdusta dalam pembicaraannya atau terlihat

jelas kefasikannya, melalui perbuatan ataupun kata-

kata, serta sering kali salah atau lupa. Misalnya

hadits Amr bin Samar dari jabir al-Jafiy.

Yang dimaksud dengan rawi tertuduh dusta yaitu

seorang rawi yang dalam pembicaraan selalu berdusta,

tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia berdusta dalam

membuat hadits. Adapun orang yang berdusta di luar

pembuatan hadits ditolak periwayatannya.

8. Hadits Munkar

Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh

rawi yang dha’if yang berbeda dengan riwayat rawi yang

tsigah (terpercaya). Contoh:

ة� ن� ل ال�ح� ق� وذج�� ي� �زي� ال�ض� ك�اه� وح�ج, وص�ام وق� �ي� ال�ز� ام ال�صلاه� وات8 .م�ن, اق��“Barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat,

melakukan haji, berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia

masuk surga”.

Hadits munkar adalah hadits yang perawinya sangat

cacat dalam kadar sangat keliru atau nyata

kefasikannya. Para ‘ulama hadits memberikan definisi

yang berfariasi tentang hadits munkar ini. Di antaranya

ada dua definisi yang selalu digunakan, yaitu:

a. Hadits yang terdapat pada sanadnya seorang perawi

yang sangat keliru, atau sering kali lupa dan

terlihat kefasikannya secara nyata.

b. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if

yang hadits tersebut berlawanan dengan yang

diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh.

9. Hadits Muallal

Muallal menurut istilah para ahli hadits ialah

hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang

tersembunyi, yang bisa mengakibatkan cacatnya hadits

itu, namun dari sisi lahirnya cacat tersebut tidak

tampak. Contoh:

ا ف�رق�� ث� ار م�ال�م ي�� ن� ال�ح� عان, ت�� ث� ه وش�لم : ال�ب� ال رس�ول ال�له ص�لى� ال�له ع�لن� ق��“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh

berikhtiar, selama mereka masih belum berpisah”

Hadits Muallal adalah hadits yang cacat karena

perawinya al-Wahm, yaitu hanya persangkaan atau dugaan

yang tidak mempunyai landasan yang kuat. Umpamanya,

seorang perawi yang menduga suatu sanad adalah

muttashil (bersambung) yang sebenarnya adalah munqathi’

(terputus), atau dia mengirsalkan yang mutthasil, dan

memauqufkan yang maru’ dan sebagainya.

10.   Hadits Mudraj

Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan,

yang sebenarnya bukan bagian hadits itu. Contoh:

لم: ه وش'''� لى� ال�ل'''ه ع�لن'''� ول ال�ل'''ه ص'''� ال رس'''� لم ق'''�� ي� واش'''� م�ن, ت�� ل ل�من, ا� م ال�حمن'''� ع�ن� ز� م، وال'''� ع�ن� ا ر� ات'''��) ساي� ة� )رواه ال�ن� ن� ض� ال�ح� ى� رت�� ت� ف� ي� ب� ل ال�له ن�� ن� ى� ش�ب� اه�دف� وج��

“Rasulullah saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim

itu adalah penanggungjawab dari orang yang beriman

kepadaku, taat dan berjuang di jalan Allah, dia

bertempat tinggal di dalam surga.” (HR. Nasa’i)

Idraj berarti memasukkan Sesuatu kepada suatu yang

lainnya dan menggabungkannya kepada yang lain itu,

dengan kata lain hadits mudraj adalah hadits yang di

dalamnya terdapat kata-kata tambahan yang bukan dari

bagian hadits tersebut. Hadits mudraj ada dua yaitu :

Mudraj Isnad: seorang perawi menambahkan kalimat-

kalimat dari dirinya sendiri saat mengemukakan sebuah

hadits disebabkan oleh suatu perkara sehingga orang

yang meriwayatkan selanjutnya menganggap apa yang

diucapkannya adalah juga bagian dari hadits tersebut.

Mudraj Matan: sesuatu yang dimasukkan ke dalam

matan suatu hadits yang bukan merupakan matan dari

hadits tersebut, tanpa ada pemisahan di antaranya

(yaitu antara matan hadits dan sesuatu yang dimasukkan

tersebut). Atau memasukkan suatu perkataan dari perawi

kedalam matan suatu hadits, sehingga diduga perkataan

tersebut berasalah dari perkataan Rasulullah saw.

11. Hadits Maqlub

Hadits maqlub ialah hadits yang di dalamnya

terdapat perubahan, baik dalam sanad maupun matannya,

baik yang disebabkan pergantian lafadz lain atau

disebabkan susunan kata yang terbalik, contoh:

ه ن� ل وك�ب� ن� ه ف�� دت�� ع ت�� ض� ر' ول�ت� عي� ي�رك�E ال�ث� ت¥� ي�رك�E ك�ما لا ت�� د اج�دك�م ق�� ا س�ح� ذ� ا©“ Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum

seperti menderumnya seekor unta, melainkan hendaknya

meletakkan kedua tangannya sebelum meletakkan kedua

lututnya,” (HR. Al- Turmudji, dan mengatakannya hadits

ini gharib).

Hadits maqlub yaitu hadits yang lafadz matannya

tertukar pada salah seorang perawi pada salah seorang

perawi atau seseorang pada sanadnya. Kemudian

didahulukan dalam penyebutannya, yang seharusnya

disebut belakangan atau mengakhirkan penyebutannya,

yang seharusnya didahulukan atau dengan diletakkannya

sesuatu pada tempat yang lain.

 12. Hadits Syadz

Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh

seorang rawi yang terpercaya, yang berbeda dalam matan

atau sanadnya dengan riwayat rawi yang relatif lebih

terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan antara

keduanya. Contoh: hadits syadz dalam matan adalah

hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah

Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:

رب� ام' اك�ل وش� ق� ات�� ي¬� ر ش� ام ال�ن� ات��“Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”

13. Hadits Mudhtharib

Hadits Mudhtharib adalah Hadits yang diriwayatkan

dalam bentuk yang berbeda yang masing-masing sama kuat.

14. Hadits Mushahhaf

Hadis Mushahhaf yaitu hadits yang dirubah

kalimatnya, yang tidak diriwayatkan oleh para perawi

yang tsiqot, baik secara lafadz maupun makna hadits ini

ada yang berubah sanadnya dan adapula berubah matannya.

Jadi, kesimpulan bahwa hadits yang cacat rawi dan

matan atau kedua-duanya digolongkan hadits dha’if yang

terbagi menjadi tujuh, yaitu: hadits maudu’ (palsu),

hadits matruk (yang ditinggalkan) atau hadits matruh

(yang dibuang), hadits munkar (yang diingkari), hadits

muallal (terkena ‘illat), hadits mudraj (yang dimasuki

sisipan), hadits maqlub (yang diputar balik), dan

hadits syadz (yang ganjil), hadits Mudhtharib, dan

hadits mushahhaf.

3. Hukum dan Kehujjahan Hadits Dha’if

Hadits dha’if ada kalanya tidak bisa ditolerir

kedha’iffannya, misalnya karena kemaudhu’annya, ada

juga yang bisa tertutupi kedha’iffannya (karena ada

faktor yang lainnya). Untuk yang pertama tersebut,

berdasarkan kesepakatan para ‘ulama hadits, tidak

diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan

hukum-hukum, akidah maupun fadhail al ‘amal.

Sementara untuk jenis yang kedua dalam hal

kehujjahannya hadits dha’if tersebut, ada yang

berpendapat menolak secara mutlak baik unuk penetapan

hukum-hukum, akidah maupun fadhail al ‘amal  dengan

alasan karena hadits dha’if ini tidak dapat dipastikan

datang dari Rosulullah saw. Di antara yang berpendapat

seperti ini adalah Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan

Abu Bakr ibnu al-‘Arabi.

Sementara bagi kelompok yang membolehkan beramal

dengan hadits dha’if ini secara mutlak adalah Imam Abu

Hanifah, an-Nasa’i dan juga Abu Daud. Mereka

berpendapat bahwa megamalkan hadits dha’if ini lebih

disukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada

akal pikiran atau qiyas. Imam ibnu Hambal, Abd al-

Rahman ibn Al-Mahdi dan Abdullah ibn al-mubarak

menerima pengalaman hadits dha’if sebatas fadhail

al-‘amal saja, tidak termasuk urusan penetapan hukum

seperti halal dan haram atau masalah akidah.

Sementara As-Suyuti sendiri cenderung membolehkan

beramal dengan hadits dha’if termasuk dalam masalah

hukum dengan maksud ikhtiyath. Ia mendasarkan pada

pendapat Abu Daud, Imam ibn Hambal yang berpendapat

bahwa itu lebih baik dibanding menggunakan akal atau

rasio atau pendapat seseorang.

Dalam keterangan lain, ada tiga pendapat ‘ulama

tentang pengamalan dan penggunaan hadits dha’if:

Hadits Dha’if tidak diamalkan secara mutlak, baik

mengenai fadhail maupun ahkam dan ini merupakan

pendapat kebanyakan ‘ulama termasuk Imam Bukhari dan

Muslim.

Hadits Dha’if bisa diamalkan secara mutlak, ini

merupakan pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad yang lebih

mengutamakan Hadis Dha’if dibandingkan ra’yu seseorang.

Hadits Dha’if dapat digunakan dalam masalah fadhail

mawa’iz atau sejenis dengan memenuhi kriteria yang ada.

IIIPENUTUP

( KESIMPULAN )

Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan

bahwa hadits ditinjau dari segi kualitasnya menjadi dua

bagian, yaitu :

1. hadits magbul (yang diterima)

2. hadits mardud (yang ditolak).

Dilihat dari diterima dan ditolaknya hadits

tersebut, maka dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

1.      Hadits Sahih

2.      Hadits Hasan

3.      Hadits Dho’if

            

DAFTAR PUSTAKA

 

Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002

as-Shalih, Subdi, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1995

Ahmad, Muhammad, M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung:

Pustaka Setia, 2000 102

Sya’roni, Usman, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadits

dan Kaum Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002

Rohman, Fatchur, Ikhtisar Mushtholahul Hadits, Bandung:

Alma’arif, 1991

Anwar, Moh., Ilmmu Mushtholahah Hadits, Surabaya: Al

Ikhlas, 1981

Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad

Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1995

Ahmad M. Mudzakir, Muhammad. ‘Ulumul Hadits. Bandung:CV. Pustaka Setia. 2000

Alwi Al-Maliki, Muhammad. Ilmu UshulHadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006

Ajjaj al-Khatib, Muhammad. Ushulul Hadis, Pokok-PokokIlmu Hadis. Judul asli: Ushul al-Hadis, terj. M.QadirunNur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama.1998

Rahman, Fathur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung:Al-Ma’arif. 1991

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. tt: Gaya Media Utama.1996

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits.Jakarta: Bulan Bintang. 1981

Yuslem, Nawir. ‘Ulumul Hadits. Jakarta: PT. MutiaraSumber Widya. 2001