203
KEPEMIMPINAN BERDASARKAN GENDER: EFEKTIVITAS & TANTANGAN (Studi Kasus pada Kelurahan Mugassari dan Kecamatan Tembalang Kota Semarang) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) Pada Program Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Disusun Oleh: INDRA DWI PUTRANTO NIM. 121010114140183 FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2018

kepemimpinan berdasarkan gender: efektivitas & tantangan

Embed Size (px)

Citation preview

KEPEMIMPINAN BERDASARKAN GENDER:

EFEKTIVITAS & TANTANGAN

(Studi Kasus pada Kelurahan Mugassari dan Kecamatan Tembalang

Kota Semarang)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1)

Pada Program Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro

Disusun Oleh:

INDRA DWI PUTRANTO NIM. 121010114140183

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2018

ii

PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama Penyusun : Indra Dwi Putranto

Nomor Induk Mahasiswa : 12010114140183

Fakultas/Jurusan : Ekonomika dan Bisnis / Manajemen

Judul Usulan Penelitian Skripsi : Kepemimpinan Berdasarkan Gender:

Efektivitas dan Tantangan (Studi Kasus pada

Kelurahan Mugassari dan Kecamatan

Tembalang)

Dosen Pembimbing : Mirwan Surya Perdhana, Ph.D

Semarang, 11 Juli 2018

Dosen Pembimbing,

(Mirwan Surya Perdhana, Ph.D)

NIP. 198509252008121003

iii

PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN

Nama Penyusun : Indra Dwi Putranto

Nomor Induk Mahasiswa : 12010114140183

Fakultas/Jurusan : Ekonomika dan Bisnis / Manajemen

Judul Usulan Penelitian Skripsi : Kepemimpinan Berdasarkan Gender:

Efektivitas dan Tantangan (Studi Kasus pada

Kelurahan Mugassari dan Kecamatan

Tembalang)

Telah dinyatakan lulus pada 18 Juli 2018

Tim penguji:

1. Mirwan Surya Perdhana, Ph.D (……………………..)

2. Drs. Fuad Mas’ud, MIR (……………………..)

3. Dra. Rini Nugraheni, MM (……………………..)

iv

PERNYATAN ORISINALITAS SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Linati Haida Alimi, menyatakan bahwa

skripsi dengan judul : Kepemimpinan Berdasarkan Gender: Efektivitas dan

Tantangan (Studi Kasus pada Kelurahan Mugassari dan Kecamatan Tembalang),

adalah hasil tulisan saya sendiri. Dengan ini saya menyatakan dengan

sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian

tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk

rangkaian kalimat atau simbol yang menunjukkan gagasan atau pendapat atau

pemikiran dari penulis lain, yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri,

dan/atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan yang saya salin itu, atau

yang saya ambil dari tulisan orang lain tanpa memberikan pengakuan penulis

aslinya.

Apabila saya melakukan tindakan yang bertentangan dengan hal tersebut di

atas, baik disengaja maupun tidak, dengan ini saya menyatakan menarik skripsi

yang saya ajukan sebagai hasil tulisan saya sendiri ini. Bila kemudian terbukti

bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-

olah pemikiran saya sendiri, berati gelar dan ijazah yang telah diberikan oleh

universitas batal saya terima.

Semarang, 11 Juli 2018

Yang membuat pernyataan,

Indra Dwi Putranto

NIM : 12010114140183

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“FOR INDEED, WITH HARDSHIP [WILL BE] EASE”

Ash-Sharh 94:5

Persembahan Sederhana

Untuk Kedua Orang Tua dan Keluarga Tercinta

vi

ABSTRAK

Gender bukan hanya perbedaan jenis kelamin, tetapi juga perbedaan karakter, peran sosial dan juga identitas di masyarakat. Kesetaraan gender belum terjadi dengan sempurna pada sektor pekerjaan maupun politik. Hal tersebut terjadi karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan. Namun pada banyak penelitian sebelumnya ditemukan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kualitas yang sama dalam kepemimpinan mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan gaya kepemimpinan, efektivitas dan juga tantangan yang terdapat pada pemimpin laki-laki maupun perempuan di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus. Objek utama pada

penelitian ini adalah pemimpin perempuan dan laki-laki pada organisasi pemerintah di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga meneliti pada persepsi bawahan, rekan kerja hingga atasan mengenai kepemimpinan para pemimpin tersebut.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pemimpin laki-laki dan

perempuan di organisasi pemerintah di Indonesia memiliki gaya kepemimpin yang mayoritas transformasional. Selain itu, para pemimpin tersebut juga dianggap memiliki efektivitas kepemimpinan yang sama baiknya, serta memiliki tantangan pada pekerjaan, komunikasi, dan juga kepemimpinan mereka.

Kata kunci: Gaya Kepemimpinan, Efektivitas Kepemimpinan, Tantangan

Kepemimpinan, Kepemimpinan Transformasional, Kepemimpinan Transaksional

vii

ABSTRACT

Gender is not only about type of sex, but it is more about character, social role and identity in the society. Gender equality has not perfectly happened in workplace and also political issue. It caused of the incredulity of people about women leadership. However, in previous research we found that women and men are equal on their leadership capability. Therefore, this research aimed to identify leadership style, leadership effectiveness, and also challenges of men and women leaders in Indonesia.

This research used qualitative method and case study approach. The main

object of this research are men and women leaders in Indonesian government organizations. Moreover, this research investigated on subordinate, counterpart, and superior about leadership of those leaders.

The result of this research revealed that men and women leaders are using

transformational leadership style. And then, those leaders are considered equal on leadership effectiveness, and also have common challenges on task, communication, and their leadership.

Key words: Leadership Style, Leadership Effectiveness, Leadership

Challenge, Transformational Leadership, Transactional Leadership

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan yang rahmat dan berkah yang telah

diberikan kepada penulis. Kepada-Nya penulis mengucapkan banyak syukur atas

izin-Nya penulis telah menyelesaikan skripsi dengan judul “Kepemimpinan

Berdasarkan Gender: Efektivitas dan Tantangan (Studi Kasus pada

Kelurahan Mugassari dan Kecamatana Tembalang)”. Adapun maksud dari

penyusunan skripsi ini adalah untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis mendapat

banyak bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan ucapan terimakasih atas segala bantuan, bimbingan dan dukungan

yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Ucapan ini ditujukan

kepada kepada :

1. Keluarga tercinta, Bapak Drs. Edy Kustoro dan Ibu Indriastuti, Kakak Deviana

Putri S.Marcom, dan Kakak ipar Wibowo Aji Utomo, SE, M.ak. yang tiada

henti-hentinya memberikan doa, semangat, perhatian, bimbingan dan kasih

sayang hingga saat ini yang sungguh berarti bagi penulis.

2. Bapak Dr. Suharnomo, S.E., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomika dan

Bisnis, Universitas Diponegoro, yang telah berdedikasi dalam memimpin

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro menuju kearah yang

lebih baik.

ix

3. Bapak Dr. Harjum Muharam, S.E, M.E, selaku Ketua Departemen Manajemen

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, yang telah

memberikan motivasi dan pembelajaran kepada penulis serta memimpin

Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas

Diponegoro dengan baik.

4. Bapak Mirwan Surya Perdhana, Ph.D selaku dosen perwalian sekaligus

pembimbing skripsi penulis, atas waktu, perhatian, kesabaran dan segala

bimbingan serta arahannya selama penulisan skripsi ini dan selama menempuh

pendidikan di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.

5. Dr. Fuad Mas’ud, MIR dan Dra. Rini Nugraheni, MM sebagai dosen penguji

skripsi yang telah memberi masukan bagi penelitian ini.

6. Ibu Eka Kriswati, SH., MM. yang telah memberikan jalan yang memperlancar

perjalanan penelitian ini.

7. Bapak Camat Kecamatan Tembalang dan Ibu Lurah Kelurahan Mugassari yang

telah memberikan izin untuk kepentingan penelitian ini.

8. Bapak serta Ibu Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro

yang telah memberikan bekal pengetahuan dan bimbingan selama kuliah dan

penyusunan skripsi.

9. Dina Mutiara Hadi yang selalu memberikan doa, kasih sayang, semangat dan

dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Seluruh teman-teman organisasi yang telah membangun kepribadian dan

mengembangkan potensi diri penulis baik KMW, BEM Universitas dan BEM

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.

x

11. Seluruh teman-teman Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Universitas Diponegoro yang telah membantu penulis dalam banyak hal

berkaitan tentang sosial, perkuliahan maupun organisasi.

12. Teman-teman perkuliahan yang selalu ada dan menghibur penulis dalam

kesedihan dan kesenangan, serta kasih sayang tiada henti yang diberikan oleh

Alfonsus Aristo W., Oktasadewa Putra S., Aulia Khairunisa, Emil Julius,

Kyendi Suramana, Muhammad Ilham, Nadya Restu Triani, Ratna Satutikirono,

Rissa Silvia, Salsabila Nadianisa, Suesty Sondyarini, Viasti Intan Permata,

Yoma Agustha, C. Bintang Saputra, Nana Adnan Rahmanto, Faizal Zulfikar,

Davin Hardian, dan Zulkifli Rakhman.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

penyelesaian skripsi ini secara langsung maupun tidak langsung.

Semarang, 11 Juli 2018

Penulis,

Indra Dwi Putranto

NIM : 12010114140183

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. i HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………. ii HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN ………………... iii PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI …………………………. iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………….. v ABSTRAK………………………………………………………………… vi ABSTRACT ……………………………………………………………............ vii KATA PENGANTAR ………………………………………………...... viii DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… xiv DAFTAR TABEL ………………………………………………............ xv DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………. xvi BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………. 1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………….. 9 1.3 Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian ……………….. 10

1.3.1 Tujuan Penelitian…………………………………… 10 1.3.2 Manfaat Penelitian…………………………………… 11

1.4 Sistematika Penulisan …………………………………….. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………… 13

2.1 Landasan Teori …………………………………………… 13 2.1.1 Implicit Leadership Theory ……………………….. 13 2.1.2 Pengertian Kepemimpinan………………………… 16 2.1.3 Perkembangan Gaya Kepemimpinan……………… 20

2.1.3.1 The Personality Leadership…………........... 20 2.1.3.2 The Influence Leadership…………………... 20 2.1.3.3 The Behaviour Leadership………………….. 21 2.1.3.4 The Situation Leadership…………………… 22 2.1.3.5 The Contingency Leadership……………….. 23 2.1.3.6 The Transactional Leaderhip………………. 24 2.1.3.7 The Anti-Leadership Leadership……………. 25 2.1.3.8 The Culture Leadership……………………... 26 2.1.3.9 The Transformational Leadership…………... 27 2.1.3.10 Future Leadership Theory: The Tenth Leadership………………………………………..… 28

2.1.4 Full Ranged Leadership Theory …………………… 32 2.1.5 Gender………………………………………………. 36

2.1.5.1 Definisi Gender……………………………. 36 2.1.5.2 Stereotip Gender……………………………. 38

2.1.6 Stereotip Kepemimpinan Perempuan………………. 42 2.1.6.1 Gaya Kepemimpinan Perempuan dan Laki-Laki Dari Sudut Pandang Karyawan………… 42 2.1.6.2 Efektivitas Kepemimpinan Perempuan dan Laki-laki dari Sudut Pandang Karyawan………….. 45

2.1.7 Tantangan Kepemimpinan………………………… 48

xii

2.2 Penelitian Terdahulu ……………………………………… 51 2.3 Kerangka Penelitian………………………………………. 67

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………. 69 3.1 Metode Penelitian…………………………………………. 69 3.2 Definisi Operasional……………………………………… 71 3.3 Informan Penelitian …………………………………........ 73 3.4 Sumberdata ……………………………………………… 75 3.5 Teknik Pengumpulan Data ……………………………… 75

3.5.1 Wawancara ………………………………………. 76 3.6 Objek Penelitian ………………………………………….. 77 3.7 Metode Pengolahan Data…………………………………. 77

3.7.1 Reduksi Data……………………………………….. 78 3.7.2 Teknik Analisis Data……………………………….. 78 3.7.3 Penyajian Data………………………………………. 80 3.7.4 Penarikan Kesimpulan………………………………. 80

BAB IV PEMBAHASAN……….…………………………………...... 81 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ……………………… 81

4.1.1 Kasus 1…………………………….………………. 81 4.1.2 Kasus 2………………………………….………….. 82

4.2 Hasil Penelitian……..…………………………………… 84 4.2.1 Kasus 1…………….………………………………... 84

4.2.1.1 Kepemimpinan…………………………….. 84 4.2.1.1.1 Paternalistik/maternalistik………… 84 4.2.1.1.2 Supportif…………………………… 87 4.2.1.1.3 Empati……………………………… 90 4.2.1.1.4 Pengembangan Kemampuan……… 92

4.2.1.2 Efektivitas Kepemimpinan…………………. 95 4.2.1.2.1 Keterlibatan/Involvement…………. 95 4.2.1.2.2 Motivation…………………………. 98 4.2.1.2.3 Fulfillment………………………… 101

4.2.1.3 Tantangan Kepemimpinan…………………. 104 4.2.1.3.1 Tantangan Pekerjaan……………… 104 4.2.1.3.2 Tantangan Komunikasi……………. 106

4.2.1.4 Rangkuman…………………………………. 108 4.2.2 Kasus 2………….………………………..…………. 110

4.2.2.1 Kepemimpinan……………………………… 110 4.2.2.1.1 Komunikasi………………………. 110 4.2.2.1.2 Direktif……………………………. 114 4.2.2.1.3 Pengembangan……………………. 117

4.2.2.2 Efektivitas Kepemimpinan…………………. 120 4.2.2.2.1 Encouragement……………………. 120 4.2.2.2.2 Fulfillment………………………… 123

4.2.2.3 Tantangan……………….………………….. 127 4.2.2.3.1 Tantangan Pekerjaan……………… 127 4.2.2.3.2 Tantangan Kepemimpinan………… 130

4.2.2.4 Rangkuman…………………………………. 132

xiii

4.3 Diskusi……………………………….. ………………….. 134 4.3.1 Apakah Terdapat Perbedaan Gaya Kepemimpinan Antara pemimpin Laki-laki dan Pemimpin Perempuan?….. 134 4.3.2 Bagaimana Persepsi Efektivitas Gaya Kepemimpinan Pimpinan Laki-laki dan pimpinan Perempuan pada Organisasi Pemerintah?....................................................... 139 4.3.3 Apakah Tantangan yang Dialami para Pemimpin (Perempuan dan Laki-laki) dalam Kepemimpinannya di Organisasi Pemerintah?....................................................... 142

BAB V KESIMPULAN ……………………………………………… 146 5.1 Temuan Kunci………… ………………………………… 146

5.1.1 Apakah Terdapat Perbedaan Gaya Kepemimpinan Antara pemimpin Laki-laki dan Pemimpin Perempuan?….. 146 5.1.2 Bagaimana Persepsi Efektivitas Gaya Kepemimpinan Pimpinan Laki-laki dan pimpinan Perempuan pada Organisasi Pemerintah?....................................................... 148 5.1.3 Apakah Tantangan yang Dialami para Pemimpin (Perempuan dan Laki-laki) dalam Kepemimpinannya di Organisasi Pemerintah?........................................................ 149

5.2 Implikasi Manajerial.……………………………………… 150 5.3 Keterbatasan Penelitian…………………………………… 151 5.4 Agenda Penelitian yang Akan Datang…………………… 152

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….... 154 LAMPIRAN……………………………………………………………… 158

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Perbandingan Paslon Kepala Daerah Laki-laki dan Perempuan……………………………………………… 3

Gambar 1.2 Reasearch Gap……………………………………………… 6 Gambar 2.1 Pohon Perkembangan Kepemimpinan……………………… 31 Gambar 2.2 Perbandingan Efektivitas Perilaku Gaya Kepemimpinan

Transaksional dan Transformasional………………………... 35 Gambar 2.3 Kerangka Penelitian…………………………………………. 68 Gambar 3.1 Skema Wawancara Kasus 1………………………………….. 74 Gambar 3.2 Skema Wawancara Kasus 2….……………………………… 74 Gambar 4.1 Struktur Organisasi Kelurahan Mugassari..…………………. 82 Gambar 4.2 Struktur Organisasi Kecamatan Tembalang………………… 83

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Penelitian Dengan Topik Kepemimpinan Berdasarkan Gender di Indonesia……………………………………………. 7

Tabel 1.2 Penelitian dan Objek Penelitian…………………………..……. 8 Tabel 2.1 Perbandingan Perilaku Gaya Kepemimpinan Transaksional

Dan Transformasional…............................................................ 33 Tabel 2.2 Kerangka Kerja Kepemimpinan Agentic dan Communal

Eagly dan Carly………………………………………………… 41 Tabel 2.3 Persepsi Kepemimpinan Efektif………………………………. 48 Tabel 2.4 Matriks Penelitian Terdahulu…………………………………. 56 Tabel 4.1 Identitas Responden Kasus 1…………………………………... 84 Tabel 4.2 Identitas Responden Kasus 2…………………………………… 110 Tabel 4.3 Temuan Penelitian……………………………………………… 144 Tabel 5.1 Persamaan dan Perbedaan Kepemimpinan Laki-laki dan

Perempuan……………………………………………………… 147 Tabel 5.2 Persepsi Efektivitas Kepemimpinan Laki-laki dan Perempuan… 148

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Daftar Pertanyaan untuk Objek Utama Daftar Pertanyaan untuk Atasan Daftar Pertanyaan untuk Rekan Kerja Daftar Pertanyaan untuk Bawahan Matriks Wawancara Kasus 1 Matriks Wawancara Kasus 2 Validasi Responden Kasus 1 Validasi Responden Kasus 2

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesetaraan dalam gender telah berkembang dengan pesat seiring dengan

perkembangan zaman. Gender bukanlah hanya sekedar perbedaan jenis kelamin

antara laki-laki dan perempuan, namun lebih pada bagaimana laki-laki dan

perempuan dibedakan dari karakternya, peran sosialnya atau identitasnya dalam

masyarakat (WHO, 2013). Maka kesetaraan gender adalah pandangan bahwa

semua orang harus diperlakukan secara setara dan tidak didiskriminasikan

berdasarkan identitas gender mereka (United Nations, 1948). Dengan berjalananya

waktu, persoalan mengenai kesetaraan gender juga sudah memasuki dunia

pekerjaan dan juga politik.

Kesetaraan gender yang belum berjalan sempurna di dunia kerja

ditunjukkan dengan bukti sebuah penelitian yang mengatakan pada tahun 2008 di

500 perusahaan Fortune hanya 30% perempuan yang menjadi jajaran teratas di

perusahaan dan hanya 12 perempuan yang berhasil menjadi CEO (Chief Executive

Officer) (Lublin, 2010). Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa kesetaraan gender

belum berjalan dengan sempurna di negara maju seperti Amerika. Apabila kita teliti

kembali pada negara-negara Asia ataupun Timur-Tengah, maka kesetaraan gender

akan lebih sulit untuk dijumpai.

Di Timur-tengah, khususnya di Arab perempuan sangat sulit untuk

mendapat pengakuan secara adil di tempat kerjanya masing-masing (Yaseen,

2

2010). Hal tersebut terjadi karena di Arab, perbedaan gender masih terasa sangat

jelas, hal tersebut dibuktikan dengan masih sedikitnya pekerja perempuan disana.

Para laki-laki di Arab masih menganut ajaran atau budaya yang menganggap bahwa

laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dan selalu berada diatas perempuan

dalam derajat hidup. Hal itu sangat menghambat perempuan Arab untuk menjadi

pemimpin dalam perjalanan karirnya.

Berbeda dengan Negara-negara Timur-Tengah, di Asia khususnya di

Malaysia posisi wanita dalam pekerjaan dan jabatan yang lebih tinggi telah

mendapat perhatian khusus dari Pemerintah mereka sejak tahun 2004 (Abdullah,

2014). Hal tersebut menunjukkan bahwa di Malaysia kesetaraan gender telah

mendapat dukungan berupa regulasi yang jelas, sehingga itu dapat memperkuat

posisi perempuan dalam pekerjaannya dan untuk mendapat jabatan yang lebih

tinggi. Abdullah (2014) menyebutkan bahwa telah 30% dari pemimpin-pemimpin

perusahaan di Malaysia di tempati oleh para perempuan. Akan tetapi, mayoritas

pemimpin-pemimpin perempuan tersebut memiliki hubungan kekerabatan dengan

pemilik perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan perempuan di

posisi kepemimpinan lebih karena hubungan persaudaraan dibandingkan dengan

hubungan komersial ataupun professional (Abdullah, 2014).

Selain bidang bisnis, ternyata kesetaraan gender juga masih sangat tabu di

dunia politik. Contohnya adalah, Hillary Clinton yang merupakan seorang

politikus, mantan senator dan menteri luar negeri, yang mencalonkan diri sebagai

Presiden perempuan pertama di Amerika (Supriadi, 2016). Hillary dikalahkan oleh

Donald Trump pada Pemilu 2016. Sedangkan di Indonesia terdapat Megawati

3

Soekarnoputri yang merupakan mantan Presiden RI dari proses aklamasi dan

mantan anggota DPR RI. Megawati maju sebagai Calon Presiden pada Pemilu

2004, namun dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada pilkada serentak yang dilakukan pada tahun 2015, terdapat 122 orang

perempuan yang mencalonkan diri dari total 1620 orang calon kepala dan wakil

kepala daerah. secara persentase hanya 7,32% dari total keseluruhan calon kepala

daerah yang terdaftar. Dari 123 orang perempuan, 35 orang diantaranya terpilih

untuk menjabat sebagai bupati, wakil bupati, walikota ataupun wakil walikota di

daerah pemilihannya masing-masing. Hal tersebut membuktikan ternyata

kemampuan politik yang dimiliki oleh Hillary Clinton, Megawati Soekarnoputri

dan perempuan lainnya belum mampu meyakinkan masyarakat untuk memilih

mereka sebagai pemimpin.

Belum percayanya publik mengenai kemampuan seorang perempuan dalam

memimpin sangat disayangkan. Karena ternyata, Eagly, et al (2003) telah

Gambar 1.1 Perbandingan Paslon Kepala

Daerah laki-laki dan perempuan Pemilu 2015

4

membuktikan bahwa kepemimpinan seorang perempuan dapat mengimbangi atau

bahkan mengungguli kemampuan para pemimpin laki-laki dalam berbagai sisi

(Eagly, Johannesen-Schmidt, & van Engen, 2003). Yaseen (2010) juga menemukan

fakta bahwa sebenarnya pemimpin perempuan di Arab memiliki sifat yang lebih

demokratis dibandingkan dengan para pemimpin laki-laki. Karena pada

prakteknya, pemimpin perempuan ternyata dapat memotivasi dan menginspirasi

bawahannya secara lebih baik. Dengan hal tersebut, maka pemimpin perempuan

akan lebih mudah membangun koneksi yang baik dengan bawahan, rekan kerja,

dan atasannya. Disamping itu pemimpin perempuan di Arab dapat mengungguli

pemimpin laki-laki dalam hal efektivitas kepemimpinan dan membangun hubungan

yang baik dengan para bawahannya (Yaseen, 2010).

Efektivitas kinerja organisasi secara keseluruhan dapat dipengaruhi oleh

hubungan yang dibangun pemimpin dengan para bawahannya dan gaya

kepemimpinan yang dibawanya (Bass, Avolio, & Atwater, 1996). Di Timur Tengah

misalnya, Yaseen (2010) menemukan fakta bahwa pemimpin perempuan memiliki

gaya kepemimpinan yang transformasional, sedangkan pemimpin laki-laki lebih

menggunakan gaya kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional

terkenal dengan ciri khas dimana pemimpin menanamkan kesadaran kepada para

bawahannya tentang tujuan utama organisasi, namun memberikan kebebasan bagi

bawahannya dalam melakukan tugas dan membimbing mereka untuk terus

berkembang. Sedangkan kepemimpinan transaksional berfokus agar bawahan

dapat menyelesaikan tugas secara sebaik-baiknya, dengan memberikan apa yang

5

mereka butuhkan (B. M. Bass, 1990). Dengan kata lain, terdapat perbedaan gaya

kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin perempuan dan laki-laki.

Dari fenomena-fenomena yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dilihat

bahwa terdapat glass ceiling yang membatasi karir perempuan. Berdasarkan

Bahasa, glass ceiling adalah Batasan yang tidak terlihat yang menghalangi kaum

minoritas (khususnya perempuan) untuk mendapatkan posisi pemimpin. Hal

tersebut tidak hanya terjadi di negara-negara Asia dan Timur-tengah, tetapi juga

negara maju seperti Amerika. Fenomena tersebut mungkin saja terjadi dikarenakan

asumsi bahwa kepemimpinan pria lebih baik dan efektif dibandingkan perempuan.

Padahal beberapa penelitian mengungkapkan bahwa gaya kepemimpinan

perempuan tidak kalah efektifnya dibandingkan laki-laki (B. M. Bass et al., 1996;

Yaseen, 2010). Efektif menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah

berhasil atau memiliki efek, maka secara Bahasa, kepemimpinan efektif adalah

kepemimpinan yang mampu memberikan hasil atau efek yang dapat dirasakan dan

dilihat.

Selain fenomena-fenomena tersebut, terdapat pula beberapa celah pada

penelitian terdahulu yang akan dillengkapi oleh penelitian ini. Celah penelitian atau

Research gap adalah pertanyaan atau masalah yang belum terselsaikan pada

penelitian sebelumnya dengan sempurna. Research gap akan menunjukkan

pengertian yang mendalam terdahap penelitian yang dilakukan dan akan dapat

menjelaskan apa saja yang akan dilakukan dalam penelitian ini, serta menunjukkan

hal-hal yang akan di lengkapi oleh penelitian ini. Alvesson & Sandberg (2011)

6

mengungkapkan bahwa research gap dapat dijadikan dasar yang kuat dalam

membangun penelitian baik.

Berdasarkan gambar 1.2, terlihat bahwa penelitian terdahulu mengenai

kepemimpinan dan gender belum banyak dilakukan di Indonesia, tetapi telah

banyak dilakukan di Amerika, Eropa, Timur-tengah, dan negara Asia (Brandt &

Laiho, 2013; Rhee & Sigler, 2015; Shapira, Arar, & Azaiza, 2010; Wang, Chiang,

Tsai, Lin, & Cheng, 2013; Wells, Peachey, & Walker, 2014). Penelitian mengenai

kepemimpinan dan gender ini penting untuk dilakukan di Indonesia, karena

Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi dan luas wilayah paling besar di

Asia Tenggara. Selain negara terbesar di Asia Tenggara, dengan populasi lebih dari

265 juta orang, Indonesia juga merupakan negara terbesar nomor 4 di dunia dilihat

dari populasi penduduknya (United Nations, 2018). sehingga tidak menutup

kemungkinan hasil penelitian ini dapat menggambarkan keadaan yang ada dalam

lingkup regional Asia Tenggara.

Penelitian sejenis sebelumnya berupa

literature review atau menggunakan

metode kuantitatif.

Penelitian ini dilakukan secara

empiris, menggunakan

metode kualitatif.

Penelitian sebelumnya banyak dilakukan di Eropa, Arab, dan Negara

Asia lainnya.

Penelitian ini dilakukan di

Indonesia, khusunya di Kota Semarang.

Penelitian sejenis sebelumnya dilakukan di

perusahan profit, lembaga pendidikan dan klub olahraga.

Penelitian ini

mengambil sampel padan organisasi

pemerintah. Gambar 1.2

Research Gap

7

Selain berdasarkan alasan-alasan diatas, penelitian mengenai

kepemimpinan berdasarkan gender ini juga perlu dilakukan di Indonesia

dikarenakan penelitian dengan tema yang sama belum banyak dilakukan di

Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dari data base Google Scholar dari tahun 2014

belum banyak memuat jurnal atau skripsi di Indonesia yang bertema kepemimpinan

berdasarkan gender, sesuai pada tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1 Penelitian Dengan Topik Kepemimpinan Berdasarkan Gender di Indonesia

judul tahun sumber Pengaruh Gaya Kepemimpinan Perempuan terhadap Kinerja Karyawan di PT. AIA Chandra Utama Agency Kupang

2018 Petra.ac.id

Analisis Gaya Kepemimpinan Perempuan pada Divisi Teknik di PT. Prambanan Dwipaka

2018 Petra.ac.id

Perbedaan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Laki-Laki Dan Wanita Hubungannya Dengan Kedisiplinan Guru Pada Sd Negeri Kecamatan Somba Opu Kabpaten Gowa

2018 Ojs.unm.ac.id

Analisis Pengaruh Kepemimpinan Dan Gender Terhadap Kinerja Karyawan Pt City Era Abadi

2017 Petra.ac.id

Pengaruh Gender, Pengalaman Kerja, Gaya Kepemimpinan, Kecerdasan Emosional, Motivasi Dan Independensi Terhadap Pengambilan Keputusan Etis Akuntan Publik (Studi Empiris Di KAP Semarang)

2016 Repository.unika.ac.id

Kajian Gender Leadership And Inequality Pada Perguruan Tinggi Di Indonesia

2017 Iaida.ac.id

8

Selain itu, Penelitian dengan tema yang sama belum banyak dilakukan pada

organisasi pemerintah, tetapi telah banyak dilakukan dibidang bisnis, pendidikan

dan olahraga (Mendez & Busenbark, 2015; Schuh et al., 2014; Wells et al., 2014),

seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.1. Penelitian ini mengambil organisasi

pemerintah sebagai objek penelitian, dikarenakan jumlah Pegawai Negeri Sipil

(PNS) yang mencapai 4,5 juta orang. Jumlah PNS di Indonesia menyerap 1,7% dari

populasi warga negara, sehingga penelitian mengenai kepemimpinan dan gender di

Organisasi Pemerintah dirasa perlu dilakukan untuk menampilkan bagaimana

gambaran tentang bagaiman kepemimpinan di Organisasi Pemerintah.

Tabel 1.2 Penelitian dan Objek Penelitian

Penelitian Objek Penelitian Mendez & Busenbark (2015), Brandt & Laiho (2013), Wang, Chiang, Tsai,

et al. (2013) Bisnis / organisasi profit

Schuh, et al (2014), Shapira, Arar & Azaiza (2010), Rhee & Sigler (2015),

Dunn, et al (2014) Pendidikan

Wells, et al (2014) olahraga

Dan terakhir, penelitian terdahulu mengenai tema yang sama belum banyak

dilakukan dengan metode kualitatif, tetapi telah banyak dilakukan dengan metode

kuantitatif (Rhee & Sigler, 2015; Strøm, D’Espallier, & Mersland, 2014; Wang et

al., 2013; Yaseen, 2010), dan dalam bentuk literature review (Dunn, Gerlach, &

Hyle, 2014; Lyle & MacLeod, 2016). Penelitian ini dilakukan dengan metode

kualitatif, sehingga diharapkan penelitian ini dapat mengeksplorasi mengenai topik

9

yang diangkat dengan lebih baik, dapat mempermudah dalam penelitian ini apabila

ditemukan masalah yang kompleks, dapat mengambil data langsung dari objek

yang dituju, dapat menjelaskan secara lebih detail mengenai hal-hal yang diteliti,

dan juga dapat menjelaskan alasan-alasan dibalik hasil penelitian nantinya

(Creswell, 2007).

1.2 Rumusan Masalah

Dilihat dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender

di sektor bisnis dan politik belum terjadi secara sempurna, bahkan di negara maju

seperti di Amerika Serikat, negara-negara Asia dan Timur-tengah. Walaupun pada

kenyataannya Eagly, et al (2003) & Yaseen (2010) mengungkapkan bahwa

perempuan memiliki gaya kepemimpinan dan kemampuan memimpin yang tidak

kalah dibandingkan laki-laki, bahkan cenderung lebih efektif.

Selain fenomena tersebut, terdapat pula celah dalam penelitian terdahulu

yang akan dilengkapi oleh penelitian ini. Mengingat masih jarangnya penelitian

mengenai kepemimpinan dan gender di Organisasi Pemerintahan, maka penelitian

ini akan melakukan investigasi terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia.

Penelitian kualitatif mengenai hal tersebut akan dilakukan menggunakan metode

penelitian kasus di studi kantor Kelurahan Mugassari dan kantor Kecamatan

Tembalang kota Semarang. Penggunaan metode tersebut dalam penelitian ini

diharapkan akan dapat mengeksplorasi, mambahas lebih dalam, serta dapat

menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang ditemui dalam penelitian ini.

10

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah, maka

rumusan masalah yang akan penelitian ini angkat adalah:

1. Apakah terdapat perbedaan gaya kepemimpinan antara Pemimpin Laki-laki

dan pemimpin perempuan?

2. Bagaimana persepsi efektivitas gaya kepemimpinan pemimpin laki-laki dan

pemimpin perempuan pada organisasi pemerintah?

3. Apakah tantangan yang dialami para pemimpin (perempuan dan laki-laki)

dalam kepemimpinannya di organisasi pemerintah?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini ialah:

1. Mengidentifikasi gaya kepemimpinan yang digunakan pemimpin laki-

laki dan perempuan pada organisasi pemerintah di Indonesia.

2. Menganalisis persepsi efektivitas gaya kepemimpinan pemimpin laki-

laki dan perempuan pada organisasi pemerintah di Indonesia.

3. Mengurai tantangan yang dihadapi pemimpin laki-laki dan perempuan

pada organisasi pemerintah di Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan manfaat pada pihak-

pihak dibawah ini sebagai berikut:

1. Bagi Akademik dan Penelitian Selanjutnya

11

Hasil dari penelitian ini diharapkan akan mampu memberi kontribusi pada

ilmu pengetahuan dan memberikan masukan bagi pembaca serta peneliti

lainnya. Penelitian ini diharapkan juga mampu menjadi referensi dasar bagi

pengembangan penelitian dan juga berkontribusi sebagai literatur.

2. Bagi Organisasi Pemerintahan

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan gambaran

bagi organisasi pemerintah bagaimana gaya kepemimpinan dan efektivitas

kepemimpinan pemimpin laki-laki dan perempuan, serta tantangan-tantangan

yang mereka hadapi. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan

masukan manajerial pada organisasi pemerintah di Indonesia.

1.4 Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun melalui sistematika yang terdiri dari beberapa Bab,

yaitu Bab I Pendahuluan, Bab II Tinjauan Pustaka, Bab II Metode Penelitian, Bab

IV Pembahasan, dan Bab V Kesimpulan.

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab I akan diuraikan mengenai latar belakang penelitian,

rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

serta sistematikan penulisan penelitian ini. Bab I ini adalah

ringkasan dari keselutuhan penelitian ini.

12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab II dari penelitian ini akan menguraikan landasan teori mengenai

gaya kepemimpinan, efektivitas kepemimpinan dan juga tantangan

kepemimpinan. Selain ini, bab ini juga berisi penelitian terdahuli

dan pemikiran teoritis.

BAB III METODE PENELITIAN

Pada Bab III penelitian ini akan diuraikan bagaimana metode yang

digunakan pada penelitian ini. Bab III ini akan berisikan Metode

penelitian, pendektan penelitian, Informan penelitian, sumber data

penelitian, Teknik pengumpulan data, objek penelitian, serta metode

pengolahan data pada penelitian ini.

BAB IV PEMBAHASAN

Pada Bab IV penelitian ini akan dipaparkan hasil dari wawancara

yang telah dilakukan, diskusi hasil penelitian, dan juga temuan

penelitian ini.

BAB V KESIMPULAN

Pada Bab V penelitian ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan

hasil penelitian ini, implikasi manajerial, keterbatasan penelitian dan

juga agenda penelitian yang akan datang.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

Pada bab kedua ini, akan dibahas mengenai landasan teori yang dipakai

dalam penelitian ini. Penelitian ini berfokus pada kepemimpinan dan gender, maka

teori-teori yang akan dipakai sebagai landasan teori penelitian ini tidak akan jauh

dari hal tersebut. Beberapa teori yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain:

Implicit Leadership Theory (ILT), teori kepemimpinan, evolusi gaya

kepemimpinan, definisi gender, stereotip gender, stereotip kepemimpinan

perempuan, efektivitas kepemimpinan, dan tantangan. Teori-teori tersebut akan

dibahas satu persatu pada sub-sub di bab 2 ini secara mendalam, sehingga penelitian

ini memiliki kerangka teori yang kuat.

2.1.1 Implicit Leadership Theory

Implicit Leadership Theory adalah sebuah teori kognitif tentang

kepemimpinan yang didasari oleh representasi individual mengenai dunia dan

menggunakan pemikiran tersebut untuk menginterpretasikan keadaan sekitar, serta

mengontrol perilaku mereka (Offermann, Kennedy, & Wirtz, 1994). Eden &

Leviathan (1975) mengemukakan bahwa setiap individu memiliki pemikiran

tersendiri tentang bagaimana seharusnya pemimpin dan kepemimpinan. Ternyata

persepsi untuk sebuah kepemimpinan tidaklah nyata, pada dasarnya orang-orang

terdahulu hanya menggunakan persepsi untuk menentukan seorang pemimpin itu

14

efektif ataupun tidak efektif (Lord & Maher, 1991). Dan sejauh ini Teori

Kepemimpinan Implisit (ILT’s) telah digunakan untuk menjelaskan atribusi dan

persepsi pada kepemimpinan. Pada penelitian lainnya mengatakan bahwa teori

implisit tentang kepemimpinan dapat dimengerti sebagai proses pengkatagorian

secara kognitif (Phillips & Lord, 1981). Proses kategorisasi dapat mengurangi

kompleksitas dengan mengorganisir informasi kedalam kelompok-kelompok

kategori yang lebih kecil. Hal tersebut merepresentasikan tanda-tanda khusus

secara simbolis terhadap kategori-kategori tersebut, sehingga memudahkan

pertukaran informasi mengenai kategori yang ada (Cantor & Mischel, 1979).

Lord dkk (1982; 1984) memberikan beberapa level hirarki dalam organisasi

tentang kategori pada kepemimpinan. Yang pertama adalah kategori pemimpin

utama yang memiliki atribut sesuai dengan yang diinginkan oleh atasan. Setelah

itu, terdapat kategori menengah yang lebih inklusif lagi dibandingkan dengan

kategori sebelumnya. Pada kategori ini memiliki informasi situasional atau

kontekstual, pada kategori ini pemimpin dapat dibedakan menjadi tipe pemimpin

tertentu, contohnya pemimpin agama, militer, politik, ataupun bisnis. Pada level

terendah, tipe pemimpin dibedakan berdasarkan konteksnya. Perbedaan yang

termasuk dalam konteks tersebut adalah hubungan antara pemimpin terendah

dengan pemimpin teratas. Contohnya adalah perbedaan pangkat pada pemimpin

militeratau posisi hirarki pada pemimpin bisnis.

Interpretasi lingkungan sosial mengenai sesuatu sangat dapat dipengaruhi

oleh kultur dasar yang ada pada seseorang. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa

atribut mengenai karakteristik atau prototip mengenai pemimpin juga dapat berbeda

15

pada kultur yang berbeda. Hunt, Boal, and Sorensen (1990) mengemukakan bahwa

kultur sosial memiliki dampak yang sangat kuat pada perkembangan prototip

kategori pemimpin and teori implisit kepemimpinan. Namun batasan pada katergori

pemimpin pada pemimpin dan bukan pemimpin terkadang sangat sulit dijelaskan.

Sebuah kategori dikatakan membingungkan ketika tidak ada hal spesifik yang

membedakan antara anggota atau bukan anggota dari kategori tersebut. Pada

konteks manajemen antar kultur, relevansi dari kategorikasi secara kognitif dapat

direpresentasikan sebagai perbedaan pengaruh kultur yang ada pada prototip

kepemimpinan (Shaw, 1990).

Penelitian mengenai kepemimpinan pada setengah abad kebelakang banyak

dilakukan di Amerika, Eropa Barat dan Kanada (Yukl, 1998). Terdapat beberapa

ide pada kepemimpinan di Amerika yang belum tentu sinkron dengan belahan

dunia lainnya. Beberapa dasar pemikiran pada kepemimpinan Amerika adalah:

penekanan pada proses pasar, penekanan pada individual, dan lebih berfokus pada

pemimpin bukan pekerja (Cantor & Mischel, 1979). Karena secara psikologi,

sosiologi dan antropologi pemikiran tersebut belum tentu sama, maka diperlukan

pemikiran-pemikiran baru yang memiliki dasar empiris tentang perilaku pemimpin

dan keefektivan pemimpin yang cocok untuk berbagai budaya.

Teori Implisit kepemimpinan memiliki tujuan utama untuk membentuk

prototip dari kepemimpinan. Teori tesebut sangat berguna untuk mengetahui

perilaku pemimpin di Amerika, dan tidak ditemukan alasan pasti kenapa teori

tersebut tidak dapat di Negara lain. Pada sebuah penelitian, Bryman (1987)

menemukan bahwa teori kepemimpinan implisit ini dapat digunakan di Britania

16

Raya. Namun penelitian lainnya mengemukakan bahwa budaya memiliki pengaruh

yang kuat dalam prototip kepemimpinan (Lord & Maher, 1991). Penelitian terakhir

yang meneliti mengenai kepemimpinan antar budaya adalah milik Gerstner & Day

(1994). Penelitian itu meneliti siswa di Amerika yang benar-benar berasal dan yang

berasal dari luar Amerika sebagai sampelnya, hasilnya mereka menemukan bahwa

sifat dari pemimpin sebuah perusahaan bervariasi bergantung pada darimana dan

bagaimana budaya responden berasal. Namun penelitian tersebut masih memiliki

batasan karena hanya menggunakan siswa yang ada di Amerika sebagai responde,

diperlukan penelitian yang bersifat lebih global untuk menemukan jawaban yang

lebih baik mengenai perbedaan prototip kepemimpinan di berbagai budaya.

2.1.2 Pengertian Kepemimpinan

Pemimpin adalah kata dasar dari kepemimpinan, pemimpin pada dasarnya

adalah orang memiliki kekuasaan yang lebih daripada bawahannya untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan melalui orang lain. Sehingga pemimpin memiliki

wewenang untuk memberikan intruksi kepada bawahannya untuk melaksanakan

suatu kegiatan tertentu untuk kepentingan tujuan organisasi. Secara luas

kepemimpinan adalah proses untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan

dengan cara mengajak orang lain bekerjasama, dalam hal ini kepemimpinan dapat

dilihat dari beberapa sisi, yaitu pola hubungan, kemampuan koordinasi, memotivasi

dan mempengaruhi orang lain (Kirkpatrick, Locke, Executive, & May, 1991).

Sedangkan menurut Hasibuan, kepemimpinan adalah bagaimana cara seorang

pemimpin untuk berusaha membujuk orang lain agar mau bekerjasama sehingga

17

tujuan organisasi dapat tercapai secara maksimal. Sehingga kepemimpinan yang

baik oleh seorang pemimpin sangatlah dibutuhkan agar terjadi hubungan yang baik

antar pekerja sehingga tugas yang dilaksanakan dapat diselesaikan.

Pada penelitiannya Implicit Leadership Theories mengemukakan bahwa

pemimpin dapat dibedakan dengan bagaimana mereka berperilaku di dalam

kelompoknya (Kenney, Blascovich, & Shaver, 1994). Secara luas, Kenney,

Blascovich, & Shver (1994) mengatakan bahwa pemimpin akan cenderung

berbicara lebih banyak didalam kelompoknya dibanding anggota lainnya, dan

secara nyata dapat mempengaruhi anggota kelompok lainnya secara pemikiran

maupun tindakan. Namun, kekuatan dari pemimpin juga dipengaruhi oleh anggota

kelompoknya atau bawahannya, apabila anggota kelompoknya cenderung responsif

terhadap apa yang dilakukan oleh pemimpinnya, maka semakin tinggi pengaruh

pemimpin tersebut terhadap anggota kelompoknya dan sebaliknya. Namun

keefektivan seorang pemimpin sangat bergantung pada bagaimana pemimpin

tersebut dapat mempengaruhi persepsi para bawahannya, sehingga Ia memiliki

power yang lebih terhadap para bawahannya.

French & Raven (1959) mengemukakan terdapat 5 dasar kekuasan atau

power, yaitu; yang pertama Reward Power yaitu menggunakan balas jasa untuk

kekuasan, lalu Coercive Power yaitu kekuasan yang menggunakan ancaman, lalu

Referent Power yaitu kekuasan atas dasar kekaguman, Legitimate Power kekuasan

yang berasal dari posisi resmi, Expert power yaitu kekuasaan yang berasal dari

kemampuan dan pengetahuan seseorang. Untuk dapat mempengaruhi seseorang

atau sekelompok orang untuk dapat bekerjasama dibawah arahan pemimpin

18

bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan

dibutuhkan kemampuan dari seorang pemimpin untuk mengerti para bawahannya

secara lebih detail. Dengan mengerti para bawahannya, pemimpin yang baik akan

mengetahui bagaimana Ia harus bertindak terhadap para bawahannya, dan

bagaiman untuk memancing para bawahannya untuk dapat bekerja semaksimal

mungkin untuk kepentingan organisasi atau perusahaan. Maka semakin baik

kemampuan seorang pemimpin, semakin baik pula Ia dalam mempengaruhi

seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan sesuatu yang bahkan secara

pribadi tidak disenangi oleh bawahannya (Siagian, 2002).

Untuk mencapai target perusahaan, diperlukan kinerja yang maksimal dan

disiplin dari setiap setiap sisi atau lini di organisasi ataupun perusahaan. Oleh

karena itu, pemimpin yang baik dalam kepemimpinan harus dapat menjadi inspirasi

dan contoh yang sebaik-baiknya bagi para bawahannya dalam hal kinerja,

komitmen, dan juga mampu memotivasi para bawahannya untuk mencapai tujuan

perusahaan (Armstrong, 2003). Dalam sumber lainnya mengatakan bahwa

kepemimpinan adalah salah satu proses untuk mencapai tujuan perusahaan yang

telah ditetapkan diawal dengan cara berusaha mempengaruhi aktivitas seseorang

atau sekelompok orang lainnya, sehingga dapat bekerja sesuai dengan keinginan

pemimpin (Bernard M. Bass & Avolio, 2013).

Menurut Siagian (2003) terdapat 5 fungsi kepemimpinan, yang pertama

adalah penentu arah yang akan ditempuh oleh organisasi dalam usaha mencapai

tujuan dan berbagai sasarannya. Kedua, sebagai wakil dan juru bicara organisasi

dalam hubungan dengan berbagai pihak luar organisasi, terutama dengan yang

19

tergolong stakeholder. Lalu yang ketiga, sebagai komunikator yang efektif bagi

organisasi. Yang keempat adalah sebagai mediator khususnya dalam konflik yang

muncul diantara individu yang dalam satu kelompok kerja atau dalam organisasi,

serta yang terakhir sebagai integrator yang rasional dan objektif.

Dari definisi yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat ditemukan beberapa

unsur-unsur yang harus dipenuhi seorang pemimpin dalam melaksanakan

kepemimpinannya. Tanpa memenuhi unsur-unsur tersebut, maka pekerjaan seorang

pemimpin tidak akan terlaksana dengan baik. Unsur-unsur tersebut diantaranya

adalah kemampuan untuk mempengaruhi, seorang pemimpin yang baik haruslah

memiliki kemampuan komunikasi yang baik, terutama dengan para bawahannya

agar mereka mau mengikuti apa yang diinstruksikan oleh pemimpinnya. Unsur

yang harus dipenuhi oleh para pemimpin adalah kemampuan untuk mengarahkan

tingkah laku, yaitu bagaimana pemimpin dalam memberikan pengertian kepada

bawahannya tentang bagaimana perilaku yang diinginkan oleh perusahaan terhadap

para pekerjanya. Kemampuan ini dianggap penting untuk menjaga kestabilan yang

ada di perusahaan agar para pekerja tidak berperilaku diluar kendali, dan tugas

pemimpinlah untuk menyebarkan atau menularkan perilaku-perilaku yang

diingikan oleh perusahaan kepada para bawahannya. Dan yang paling penting dari

semua unsur tersebut, semua hal diatas haruslah dilakukan oleh seorang pemimpin

untuk menunjang kinerja para bawahannya dengan tujuan untuk memenuhi tujuan

perusahaan.

20

2.1.3 Perkembangan Gaya Kepemimpinan

2.1.3.1 The Personality Leadership

Era personalitas atau personality Era ini adalah waktu pertama kali teori

tentang kepemimpinan dibahas secara formal. Era ini dibedakan menjadi dua, yaitu

the Great Man Period and the Trait Period. Pada masa ini, peneliti berfokus pada

orang-orang yang sangat berpengaruh pada masa itu (laki-laki maupun perempuan)

dan mempelajari perilaku mereka, yang dianggap sebagai kunci kepemimpinan

yang kuat (Borgatta, Bales, & Couch, 1954; Galton, 1869). Penelitian mengenai

kepemimpinan di masa ini mengalami kebingungan karena pemimpin yang efektif

pada masa itu memiliki sifat yang cenderung berbeda.

Di era yang sama kepemimpinan juga berkembang dengan penelitian pada

sifat dasar pemimpin atau disebut dengan Trait Period. Pada masa ini penelitian

mengenai kepemimpinan mencoba untuk mengembangkan beberapa sifat dasar

yang apabila diterapkan dapat berpengaruh pada potensi kepemimpinan dan kinerja

kepemimpinan. Namun hal tersebut gagal, karena tidak ditemukan suatu sifat dari

sekelompok karakteristik yang secara empiris berpengaruh pada kepemimpinan

yang baik (Jenkins, 1947). Hal lain yang membuat era ini gagal adalah fakta bahwa

sifat tidak dapat dipelajari, sehingga pada akhirnya sifat hanya sebagai variabel

penjelas pada penelitian selanjutnya.

2.1.3.2 The Infuence Leadership

Masa ini adalah perkembangan dari era sebelumnya yang berfokus pada

personality seorang pemimpin. Pada Infulence Era ini peneliti mulai menyadari

21

bahwa kepemimpinan membutuhkan hubungan antar personal, bukan hanya

tentang seorang pemimpin. Pada era ini muncullah aspek power dan pengaruh, yang

pada akhirnya berhubungan dengan Power Relations Period dan Persuasion

Period. Periode pertama berfokus pada keefektivan seorang pemimpin dalam

memanfaatkan sumber dan besar power yang mereka miliki. Pada masa sekarang,

pengaruh kekuatan masih umum digunakan oleh pemimpin (Pfeffer, 1981), namun

kepemimpinan yang bersifat diktator sudah dirasa tidak efektif dan tidak cocok

dengan dunia bisnis saat ini (French, 1956).

Pada Persuasion Period, kepemimpinan tidak lagi menggunakan paksaan,

namun pemimpin dianggap sebagai faktor dominan dalam hubungannya dengan

bawahannya (Schenk, 1928). Pendekatan kepemimpinan secara dominan masih

digunakan pada manajemen kontemporer, namun mulai ditinggal karena terdapat

batasan dari power yang dimiliki oleh bawahan (Mechanic, 1962).

2.1.3.3 The Behaviour Leadership

Sebagai lawan dari sifat dan sumber power, pada era ini lebih berfokus pada

apa yang seorang pemimpin lakukan. Kepemimpinan adalah bagian dari perilaku

manusia (Hunt & Larson, 1977). Pada masa ini teori kepemimpinan mengalami

kemajuan pesat karena penelitian didukung oleh bukti empiris dan juga dapat

diimplementasikan oleh manajer untuk meningkatkan keefektivan

kepemimpinannya (Fleishman & Harris, 1962). Pada periode perilaku awal, pada

dasarnya pengembangan dari sifat , tetapi bukan sifat personal, namun lebih pada

sifat perilaku. Menurut penelitian Ohio State dan Michigan terdapat dua perilaku

22

penting dari pemimpin, yaitu: penekanan pada penyelesaian tugas dan pemimpin

memperhatikan kepaduan antar individu serta kelompok.

Pada periode akhir, berkembang teori X yang mengatakan bahwa manusia

itu adalah makhluk yang pasif, harus diarahkan dan harus dimotivasi untuk

memenuhi kebutuhan organisasi. Dan di sisi lain juga ada teori Y yang mengatakan

bahwa manusia pada dasarnya telah termoativasi secara intrinsik dan hanya

membutuhkan kondisi kerja yang layak (McGregor, 1966). Pada akhir periode ini,

ditemukan bahwa perilaku pemimpin tidak mempengaruhi perilaku bawahan secara

langsung, namun dapat membangkitkan stimulus dan kondisi yang diharapkan

(Bernard M. Bass, 1981).

2.1.3.4 The situational Leadership

Era ini membuat suatu langkah besar dalam perkembangan teori

kepemimpinan, karena penelitian mulai memperhatikan pentingnya sesuatu antara

pemimpin dan bawahannya. Contohnya adalah tipe tugas, status sosial dari

pemimpin dan bawahan, dan bawaan lingkungan eksternal lainnya (Bernard M.

Bass, 1981). Aspek situasional tersebut kemudian dapat menggambarkan sifat,

kemampuan, pengaruh dan perilaku yang dapat megakomodasi kepemimpinan

yang efektif. Pada Environtment Period, peneliti berpikir pemimpin hanya akan

dapat timbul dan tumbuh pada waktu yang tepay, tempat yang tepat, dan pada

keadaan yang tepat. Ada banyak bukti empiris untuk pendekatan ini, dan banyak

peneliti lainnya yang memperkenalkan variabel lingkungan yang lebih banyak,

23

contohnya faktor ekonomi dalam konteks kepemimpinan (McCall & Lombardo,

1977).

Selanjutnya, pada Social Status Period memiliki ide dasar bahwa sebagai

anggota kelompok yang bekerja pada tugas tertentu, mereka memiliki ekspektasi

bahwa setiap individu akan bertindak sesuai dengan perilaku sebelumnya. Pada

dasarnya, pemimpin dan bawahannya memiliki suatu ekspektasi yang saling

mereka berikan untuk dapat berkontribusi dalam grup (Stogdill, 1959). Pada

periode selanjutnya terdapat perkembangan lagi, karena peneliti mulai menyadari

pengaruh grup.

2.1.3.5 The Contingency Leadership

Pada masa ini merepresentasikan kemajuan besar dalam evolusi dari teori

kepemimpinan. Hal tersebut dikarenakan peneliti telah menemukan bahwa

kepemimpinan yang efektif bergantung pada satu atau lebih dari faktor perilaku,

personality, pengaruh, dan situasi. Banyak peneliti meyakinkan bahwa sumber dari

kepemimpinan yang efektif telah ditemukan bersamaan dengan berkembangnya

dengan teori kemungkinan (contingency theories). Pada masa ini berkembang tiga

teori yang dianggap paling penting, yang pertama adalah Contingency Theory, yang

mengemukakan kebutuhan untuk menempatkan pemimpin pada situasi yang paling

cocok dengan mereka atau melatih pemimpin untuk merubah situasi sesuai dengan

gaya dari pemimpinnya (Fielder, Chemers, & Mahar, 1976). Yang kedua adalah

Path-Goal Theory yang tidak berfokus pada situasi ataupun perilaku pemimpin,

namun lebih pada menciptakan kondisi untuk kesuksesan bawahan (House, 1971).

24

Dan yang terakhir Normative Model yang lebih memberikan petunjuk bagi

pemimpin mengenai perilaku dalam pembuatan keputusan yang paling cocok

dengan situasi dan kebutuhan keputusan (Vroom and Yetton, 1973).

Pendekatan kontingensi dengan banyak kelebihannya ternyata juga banyak

memiliki kekurangan dan kontroversi. Teori yang berkembang pada era ini sangat

berbeda satu dengan lainnya sehingga sulit untuk membedakan periode di era

tersebut. Setiap teori memiliki bagian untuk menjawab permasalahan dalam

kepemimpinan, tetapi tidak ada yang memiliki semua jawaban atas suatu masalah.

Pemimpin sudah terlalu sibuk dalam membuat keputusan dan mengurusi masalah

organisasinya, sehingga tidak sempat untuk menganalisis situasi yang terjadi

dengan model yang kompleks (Bass, 1981).

2.1.3.6 The Transactional Leadership

Pembelajaran mengenai kepemimpinan bukan hanya bekutat pada orang

dan situasi, tetapi juga pada pebedaan peran dan interaksi sosial. Pemikiran tersebut

melahirnya era transaksional yang merupakan perkembangan dari era pengaruh

atau Influence era. Terdapat dua periode dalam era ini, yaitu Exchange period dan

Role Development Period. Pada Exchange Period, terdapat transaksi yang terjadi

antara pemimpin dan bawahannya yang mempengaruhi hubungan mereka. Setiap

pemimpin memiliki tipe transaksi yang berbeda dengan bawahan yang berbeda

pula. Dalam konteks ini, kepemimpinan hanya akan terjadi apabila telah diketahui

oleh anggota kelompok lainnya (Bass, 1981). Pemimpin bekerja untuk

meningkatkan partisipasi dari anggota yang kurang berpatisipasi, menerima

25

personality yang berbeda-beda, dan sangat toleran dengan penyimpangan (Bass,

1981). Teori kepemimpinan ini tetap bisa hidup dalam beberapa era kepemimpinan

dan memiliki tempat yang kuat dalam teori kepemimpinan saat ini.

Pada Role Development Period masih terdapat elemen pada perubahan

tetapi lebih spesifik pada peran relative dari pemimpin dan bawahnnya. Pada

periode ini muncul kondisi dimana grup memberikan penghargaan dan status lebih

pada pemimpin, dengan harapan kemampuan pemimpin untuk membimbing grup

mencapai tujuan. Dalam hal ini kepemimpinan menjadi hubungan pertukaran yang

adil, karena tidak ada dominasi dari satu pihak (Bass, 1981). Pemimpin bertindak

sebagai contoh dan pencipta ekspektasi yang positif, sehingga perilaku pemimpin

dapat menjadi reaksi pada kedewasaan, kemampuan interpersonal, kompetensi dari

bawahan (Crowe, Bochner and Clark, 1972; Lowin and Craig, 1968). Namun pada

perkembangannya, dengan teori ini kepemimpinan dapat terjadi di dalam bawahan,

bukan pada pemimpin. Hal tersebut membuat keraguan pada penelitian mengenai

teori kepemimpinan saat itu.

2.1.3.7 The Anti-Leadership Leadership

Dengan berjalannya waktu banyak penelitian yang telah meneliti mengenai

kepemimpinan, dan telah banyak variabel yang diangkat sebagai bagian dari

kepemimpinan. Tetapi dari sekian banyak penelitian tersebut belum ada yang dapat

memberikan kesimpulan dan konsep mengenai kepemimpinan mulai diragukan.

Pada Ambiguity Period, muncul pemikiran bahwa kepemimpinan adala “fenomena

perseptual dari pikiran peneliti” (Mitchell, 1979). Pemikiran tersebut juga didukung

26

oleh Meindl et al. (1985) yang mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu

bagian dari proses perubahan organisasional yang tidak dapat dimengerti. Bahkan

Miner (1985) menyatakan bahwa seharusnya penelitian mengenai kepemimpinan

ditinggalkan saja.

Pada periode selanjutnya, yaitu Substitute Period lebih merusak kemajuan

yang telah ditemukan pada era situasional. Tugas dan karakteristik dari bawahan

dan organisasi dapat menghambat kepemimpinan dalam mempengaruhi kinerja

bawahan (Kerr and Jermier, 1978). Pada periode ini, pemimpin hanya dianggap

sebagai wakil atau penertalisir didalam situasi kerja. Tetapi terdapat pemikiran

bahwa peran tersebut bukanlah sebuah kegagalan dalam kepemimpinan, hanya saja

situasi tersebut dibangun sendiri oleh pemimpin dan hal tersebutlah kepemimpinan

yang terjadi tingkatan awal.

2.1.3.8 The Culture Leadership

Pada ini sinisme mengenai kepemimpinan mulai hilang dan digantikan

dengan pemikiran baru bahwa sebenarnya kepemimpin bukanlah hanya fenomena

individual, hubungan antar atasan bawahan, ataupun kelompok kecil, namun lebih

pada budaya yang ada di keseluruhan organisasi. Pada era ini, fokus kepemimpinan

berubah dari jumlah pekerjaan yang dapat diselesaikan (produktivitas dan efisiensi)

menjadi peningkatan kualitas (melalui ekspektasi dan nilai-nilai). Secara luas hal

tersebut juga mencakup 7-S Framework (Pascale and Athos, 1981), atribut In

Reasearch of Excellence (Peters and Waterman, 1982) dan juga Teori Z (Ouchi,

1981; Ouchi and Jaeger, 1978).

27

Era ini adalah perkembangan dari era sebelumnya yang mengatakan apabila

dapat membentuk budaya yang kuat didalam organisasi, makan para karyawan akan

secara tidak langsung megikuti (Manz and Sims, 1987). Pemikiran tersebut juga

merupakan turunan dari era transaksional, yang mengatakan apabila budaya dapat

dibangun dari pemimpin terendah di organisasi dan diarahkan ke puncak

kepeminan organisasi. Tetapi, paradigm mengenai kepemimpinan yang

berkembang masih bersifat pasif, dan kepemimpinan hanya terjadi apabila diinisiasi

dan dalam proses perubahan. Dan masih dianggap ada hal yang hilang dari ekuasi

kepemimpinan.

2.1.3.9 The Transformational Leadership

Era ini adalah era yang paling menjajikan dalam perkembangan teori

kepemimpinan, karea pada masa ini kepemimpinan yang tadinya berdasarkan pada

hal intrinsic, diubah menjadi ekstrinsi, yaitu motivasi. Pada era ini pemimpin

dituntut untuk lebih proaktif dibandingkan reaktif dalam pemikiran, lebih radikal

dibandingkan konservatif, lebih inovatif dan kreatif, serta terbuka dengan

pemikiran baru (Bass, 1985). Tichy dan Ulrich (1984) mengatakan bahwa

kepemimpinan transformasional sangat penting dalam proses transisi, dengan

membangun visi dan membanguan komitmen bawahan untuk berubah. Pada era ini

terdapat dua periode, yaitu Charisma Period dan Self-Fulfilling Prophecy Period.

Pada dasarnya pada periode Karisma, pemimpin haruslah visioner dan

mampun menguatkan siapapun yang menerima visi tersebut, serta lebih peka

terhadap tujuan yang dimaksud. Kepemimpinan dianggap harus dapat lebih

28

menimbulkan kesadaran, bukan sekedar sifat dan kemampuan seseorang (Adams,

1984). Kepemimpinan transformasional membutuhkan kepemimpinan yang lebih

aktif berkontribusi terhadap organisasi, mampu membangun visi dan menguatkan

bawahan untuk mencapai visi tersebut. Dalam Charisma Period, terdapat teori

kepemimpinan karisma, yaitu teori komprehensif mengenai sifat pemimpin,

perilaku, pengaruh dan faktor situasional yang digabungkan untuk meningkatkan

kemampuan bawahan untuk menerima ideology baru (Conger and Kanungo, 1987;

House, 1977).

Pada periode Sefl-Fulfilling Prophecy berdasarkan teori fenomena

pemenuhan keinginan diri oleh Field (1989). Kepemimpinan SFP ini dapat

dibentuk dari pemimpin tingkat atas kebawah dan juga sebaliknya, bukan hanya

terjadi pada hubungan antar individu tetapi juga dalam konteks organisasi. Kunci

keberhasilan dari tipe kepemimpinan ini adalah dengan membangun ekspektasi

yang positif. Dalam teori ini, pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang dapat

menyelesaikan tugas, menjaga fokus strategi, dan memfasilitasi kepaduan

kelompok. Dengan situasi itu tujuan bawahan berubah dari mencari keaman dan

afiliasi, menjadi aktualisasi diri, pengakuan dan penghargaan.

2.1.3.10 Future Leadership Theory: The Tenth Leadership

Pada era-era sebelumnya, kepemimpinan berkembang dari satu dimensi,

yaitu internal dan proses individual, dan yang menjadi fokus adalah personality,

sifat ataupun perilaku pemimpin. Selanjutnya hubungan antara pemimpin dan

bawahannya menjadi fokus penelitian, hingga sampai hubungannya dalam proses

29

kelompok. Dalan Contingency Era, teori kepemimpinan berubah dari satu

dimensional menjadi multi-dimensional. Sehingga pada perkembangannya

hubungan pemimpin, bawahan, and semua situasi sangat penting dalam

menjelaskan kepemimpinan. Pada akhirnya, di era transformasional kepemimpinan

dilihat dari semua level organisasi, mempengaruhi keterlibatan orang, situasi

mereka, pengaruh mereka pada satu sama lainnya.

Setiap era berubah setelah menyadari bahwa era yang ada belum memadai

untuk mengerti dan menjelaskan fenomena kepemimpian secara jelas, dan

bagaimana dapat diadaptasikan untuk kegunaan dalam prakteknya. Untuk dapat

terus berkembang dan memberikan aplikasi praktek pada para manajer, peneliti

harus menyadari bahwa kepemimpinan itu adalah hal yang kompleks dalam

hubungannya dengan perilaku, hubuangan dan elemen situasional. Kepemimpinan

tidak hanya berdasarkan pada individu, tetapi hubungan antar individu, kelompok

dan juga level organisasi. Dapat diaplikasikan dari level terendah organisasi ke

puncak kepemimpinan dan juga sebaliknya, serta terjadi secara internal dan juga

eksternal. Kepemimpinan juga harus dapat memotivasi secara intrinsic dengan

mengembangkan ekspektasi dan bukan hanya ekstrinsik dengan system

penghargaan.

Dalam beberapa tahun kedepan akan diterjadi era integrative yang dapat

menjelaskan teori kepemimpinan dengan faktor structural organisasi, teknologi

yang lebih kompleks, perubahan yang sangat cepat, pemberian keputusan secara

bertahap, konteks multi budaya, dan juga aktivitas politik (Hunt, Hosking,

Schreisheim and Stewart, 1984). Dan juga harus disadari bahwa kepemimpinan

30

yang efektif tidak dapat dilihat dari satu pendekatan saja, tetapi lebih pada interaksi

beberapa tipe variabel. Bahkan Clark (1984) mengatakan bahwa kita membutuhkan

teori yang sangat tebal (kuat) untuk menjelaskan kepemimpinan sebagaimana

seharusnya, denga kognitif yang kompleks dan politik perusahaan.

31

Sesuai dengan berbagai Era mengenai teori tentang kepemimpinan diatas,

telah dijelaskan perkembangan teori kepemimpinan dari masa ke masa, dari

Gambar 2.1 Pohon Perkembangan Kepemimpinan

(sumber: Van Seters & Field, 1990)

Leadership

Leadership

Leadership

Leadership

Leadership

Leadership

Leadership

Leadership

Leadership

Leadership

32

Personality Era hingga harapan peneliti tentang masa depan perkembangan teori

kepemimpinan. Dari berbagai gaya kepemimpinan yang dijelaskan diatas,

penelitian ini mengambil dua gaya kepemimpinan atau era yang dianggap paling

sesuai dengan pembahasan mengenai kepemimpinan dimasa sekarang, yaitu gaya

kepemimpinan Transaksional dan Transformasional. Kedua gaya kepemimpinan

ini diambil karena pada penelitian mengenai kepemimpinan kedua gaya

kepemimpinan inilah yang menjadi bahasan utama. Selain itu kedua gaya

kepemimpinan ini lebih mudah untuk dibanding dalam konteks aplikasinya pada

kehidupan nyata. Kedua gaya kepemimpinan ini juga merupakan gaya

kepemimpinan yang dibahas dalam penelitian-penelitian yang dijadikan acuan oleh

penelitian ini.

2.1.4 Full Ranged Leadership Theory

Full Ranged Leadership Theory (FRLT) ini adalah sebuah model teori

kepemimpinan yang didasarkan pada lebih dari 100 tahun penelitian tentang teori

kepemimpinan. FRLT ini mengidentifikasi perilaku dari gaya kepemimpinan

transaksional dan transformasional secara lebih mendalam. Pada perilaku

Transaksional, akan dibahas mengenai laissez-faire (hands-off leadership),

management-by-exception (putting out the fires) dan juga contingent rewards (let’s

make a deal). Sedangkan pada perilaku Transformasional akan dibahas lebih lanjut

tentang individualized consideration (compassionate leadership), intellectual

stimulation (thinking outside of “the box”), inspirational motivation (exciting the

masses/sharing the vision), dan juga idealized influence (walking the walk). Pada

33

sebuah penelitian di Nebraska menunjukkan bahwa pemimpin yang mampu

mempraktekan keempat perilaku diatas mendapatkan usaha lebih dari para

karyawannya, mengalami tingkat kepuasan karyawan yang lebih tinggi,

produktivitas yang lebih tinggi, dan juga keefektivan secara organisasi (Barbuto &

Cummins-Brown, 2007).

Apabila dijabarkan dalam bentuk tabel, maka perbedaan perilaku tersebut

dapat dibedakan menjadi:

Tabel 2.1 Perbandingan perilaku gaya kepemimpinan transaksional dan

transformasional

Transaksional Transformasional 1. Laissez-Faire (Hands-off

leadership) • Ketiadaan kepemimpinan • Menolak mengambil sikap

atas sebuah isu • Tidak menekankan pada hasil • Menahan diri dari campur

tangan ketika isu timbul • Tidak peduli terhadap kinerja

karyawan • “pemimpin itu tidak peduli

apakah kita melakukan pekerjaan ataupun tidak.”

1. Individualized Consideration (Compassionate leader) • Berempati pada kebutuhan

individual • Membuat hubungan

interpersonal dan karyawan • Secara tulus memberikan

perhatian dan menunjukkannya melalui tindakan

• Mendorong perkembangan dan pertumbuhan dari karyawan secara terus-menerus

• Mengirimkan pesan, “aku peduli tentang mu dan aku mencari apa yang kau inginkan.”

2. Management-By- Exception (Putting out the fires) • Mengambil tindakan

perbaikan • Memiliki standar, tetapi baru

bergerak ketika masalah muncul

• Menekankan pada apa yang salah dilakukan

2. Intellectual Stimulation (Thinking outside of the box) • Mendorong imajinasi dari

karyawan • Mencari cara terbaik untuk

melakukan sesuatu • Melawan cara lama dalam

menjalankan sesuatu • Mendorong bawahan untuk

tidak berpikir seperti dia

34

Transaksional Transformasional • Menegakkan aturan, tidak

menyukai perlawanan atas status quo

• Hanya mendengarkan dari pemimpin apabila terjadi kesalahan

• “oh tidak, dia datan!”

• Berani mengambil resiko untuk keuntungan potensial

• Mengirim pesan, “bila kita mengubah asumsi kita, maka…”

3. Contingent Rewards (let’s make a deal!) • Mengaplikasikan transaksi

yang membangun • Membuat ekspektasi yang

jelas mengenai hasil dan penghargaan

• Memberikan penghargaan dan pengakuan untuk keberhasilan

• Secara aktif memonitor kemajuan karyawan dan memberikan ‘umpan balik’ yang suportif.

• “apabila kamu melakukan sesuai perjanjian, kamu akan mendapat penghargaan.”

3. Inspirational Motivation (Exciting the masses/Sharing the vision) • Menginspirasi orang lain untuk

perform • Menjelaskan dengan baik

bagaimana organisasi dimasa depan

• Menciptakan tujuan yang kuat diantara para karywan

• Menyamakan kebutuhan organisasi dan individu

• Membantu karyawan untuk meraih lebih dari apa yang mereka pikirkan

• Mengirim pesan, “apabila kita berfokus pada apa tujuan organisasi, maka kita dapat memperoleh apapun yang kita inginkan!”

4. Idealized Influence (Action speak louder than words) • Mendemonstrasikan visi yang

inklusif • Menjalankan apa yang harus

dijalankan • Memperlihatkan komitmen

yang kuat dan kegigihan dalam mencapai tujuan

• Menunjukkan kepercayaan diri dalam visi organisasi

• Mengembangkan kepercayaan dan kepercayaan diri karyawan

• Menyimbolkan tujuan dan misi dari organisasi

• Mengirimkan pesan, “aku percaya bahwa ini lah hal yang benar-benar harus dilakukan.”

(Barbuto & Cummins-Brown, 2007)

35

Selain terdapat perbedaan perilaku antara gaya kepemimpinan transaksional

dan transformasional, ternyata perilaku-perilaku tersebut juga dapat dibandingkan

tingkat keefektivitasannya, seperti pada gambar berikut:

Grafik diatas menggambarkan tingkat efektivitas perilaku kepemimpinan

pada Full Range Leadership Theory (FRLT). Dapat dilihat bahwa Lassez-Faire

(LF) adalah perilaku pemimpin yang paling tidak efektif dan tidak aktif. Penelitian

menunjukkan pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan ini jarang sekali

dilihat sebagai yang efektif dalam pekerjaannya. Management-By-Exception

(MBE) memiliki tingkat efektivitas diatas LF, tetapi secara umum masih dianggap

Gambar 2.2 Perbandingan Efektivitas Perilaku Gaya Kepemimpinan

Transaksional dan Transformasional (Barbuto & Cummins-Brown, 2007)

36

bukan kepemimpinan yang efektif. Perilaku MBE sering dihubungkan dengan

tingkat turnover yang tinggi pada karyawan dan keabsenan, serta kepuasan kerja

yang rendah dan tingkat keefektivan organisasi yang rendah. Contingent Reward

(CR) merupakan gaya kepemimpinan yang cuku efektif, tetapi tidak banyak yang

dapat diperoleh dari pengaplikasian gaya kepemimpinan ini (Barbuto & Cummins-

Brown, 2007).

Dan dilain sisi, Individualized consideration (IC), Intellectual Stimulation

(IS), inspirational motivation (IM) dan Idealized Influence (II) dapat menghasilkan

usaha yang ekstra dari para bawahannya, tingkat produktivitas yang tinggi, moral

yang lebih tinggi, kepuasan kerja, tingkat efektivitas organisasi yang lebih tinggi,

tingkat turnover yang lebih rendah, dan meningkatkan kemampuan adaptif

organisasi pada lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian pemimpin akan paling

efektif apabila secara regular menggunakan setiap dari empat perilaku

transformasional untuk membangun Contingent Rewards (Barbuto & Cummins-

Brown, 2007).

2.1.5 Gender

2.1.5.1 Definisi Gender

Terdapat perbedaan mendasar yang membedakan manusia yang hidup di

dunia ini, salah satu perbedaan tersebut adalah perbedaan gender atau jenis kelamin.

Perbedaan gender ini sering dijadikan pertimbangan oleh manusia dalam

hubungannya dengan manusia lainnya, tak terkecuali dalam hal hubungan di tempat

kerja. Hal tersebut dikarenakan peran gender ini memiliki kekuatan atau peranan

37

yang cukup penting dalam hubungan sosial manusia. Pada dasarnya, gender

merupakan sifat dasar yang dibawa oleh manusia sesuai dengan jenis kelaminnya

dan memiliki hubungan dengan budaya yang ada. Hubungan antara laki-laki dan

perempuan sangat dapat dipengaruhi oleh budaya yang ada dan juga kesenjangan

sosial, dan hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan yang kental antar gender

yang ada. Pengaruh budaya dan kesenjangan dalam gender menimbulkan

perbedaan dalam sosial dalam bentuk perbedaan fungsi, tanggung jawab, peran, dan

juga memperngaruhi ruang aktivitas laki-laki dan perempuan di masyarakat.

Perspektif mengenai gender telah dikemukakan oleh salah satu dari bagian

dari PBB atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (dalam Bahasa Inggris disebut United

Nations atau UN) yang mendalami masalah Perempuan dan pengembangannya

dalam UNIFEM (The United Nations Development Fund for Women). UNIFEM

menguraikan bahwa gender adalah hal yang berbeda dengan seks. Pada dasarnya

seks adalah perbedaan yang terdapat pada manusia secara biologis dan secara

kodrat alam. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan seks ini

contohnya adalah perbedaan bagian-bagian yang terdapat pada tubuh laki-laki dan

perempuan, contohnya adalah adanya payudara pada perempuan dan penis pada

laki-laki, atau dalam pula berdasarkan contoh biologis lainnya seperti adanya haid

pada perempuan dan sperma pada laki-laki.

Dilain sisi, gender adalah perbedaan peran, perilaku, sikap dan atribut yang

dianggap pantas oleh masyarakat yang dimiliki atau yang dibawa oleh perempuan

dan laki-laki secara sosial. Contoh perbedaan menurut gender itu adalah anggapan

masyarakat bahwa laki-laki itu makhluk yang maskulin, kecocokannya untuk

38

memikul pekerjaan yang berat, dan lain-lain. Sedangkan perempuan dianggap

sebagai makhluk yang feminin dan lemah, yang tidak memiliki hak untuk dapat

bekerja diluar rumah atau untuk mencari nafkah. Selain itu terdapat pula perbedaan

status dan kedudukan laki-laki dan perempuan dimata masyarakat yang tentu saja

melemahkan peran perempuan di masyarakat secara sosial. Perbedaan gender ini

juga dapat mempengaruhi interaksi yang terjadi antara gender yang ada, dan juga

kategori sosial lainnya seperti kelas, suku, ras dan lainnya.

Selain penjabaran mengenai gender dan seks oleh UNIFEM diatas, terdapat

pula teori-teori dasar mengenai gender. Teori-teori dasar tersebut dibagi dalam

menjadi empat bagian atau empat teori dasar, yang pertama adalah teori gender

berdasarkan kodrat alam, teori gender berdasarkan kebudayaan, teori gender

berdasarkan fungsional structural, dan juga teori evolusi tentang gender. Teori-teori

tersebut di jabarkan oleh Suryadi & Idris pada penelitiannya ditahun 2004.

2.1.5.2 Stereotip Gender

kelompok-kelompok dan kategori yang terdapat pada manusia dapat

dibedakan dalam suatu tingkat kualitas tertentu oleh pikiran atau persepsi manusia,

dan hal tersebut dikatakan sebagai stereotip (Schneider, 2004). Terdapat banyak

kategori utama dalam kehidupan manusia seperti agama, kasta, hingga gender yang

telah dijadikan sebagai objek penggunaan stereotip oleh pikiran manusia. Karena

pada dasarnya stereotip adalah pemikiran manusia mengenai suatu kategori tertentu

dan anggapan mereka mengenai hal tersebut, yang pada akhirnya diyakini sebagai

suatu hal yang nyata. Penggunaan stereotip pada gender, agama dan kasta telah

39

terjadi pada manusia sejak abad ke-20, dengan kata lain stereotip bukanlah hal yang

baru bagi kehidupan manusia.

Menurut Robbins pada salah satu penelitiannya ditahun 2015, stereotip

digunakan oleh manusia untuk menggambarkan secara pikiran atau kognitif

mengenai tujuan seseorang, alasan seseorang, perilaku seseorang, atau bahkan

kemampuan seseorang secara umum. Pada kenyataannya, penggunaan stereotip ini

oleh sebagian besar orang karena dianggap lebih mudah dalam menggambar suatu

keadaan kelompok atau kategori tertentu dibandingkan dengan harus mencari

secara aktual. Mills (2012) mengungkapkan bahwa stereotip juga dipakai seseorang

dalam menggambarkan suatu gender berdasarkan atribut-atribut yang dibawanya

serta perannya dalam masyarakat, pekerjaan dan keluarga. sehingga mengakibatkan

masyarakat memiliki persepsi tersendiri mengenai peran suatu gender tertentu

dikehidupan sosialnya.

Selain dari teori, peran perempuan dan laki-laki dalam perannya di

masyarakat juga telah diatur oleh regulasi atau hokum yang jelas. Di Indonesia,

terdapat Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur hak-hak normatif tenaga

kerja dalam hal kesetaraan gender, yaitu Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor

13 tahun 2003. Sehingga, pada dasarnya di Indonesia laki-laki dan perempuan

memiliki derajat yang sama dalam pekerjaannya. Meskipun begitu, anggapan-

anggapan negatif mengenai kepemimpinan perempuan masih tersebar luas di

masyarakat Indonesia, khususnya yang masih berpegang teguh pada adat istiadat

dan kebiasaan yang ada. Hal-hal tersebut tentu saja menimbulkan ketidakadilan

40

karena diskriminasi yang diterima oleh kaum hawa dapat menghambat mereka

dalam karirnya.

Mengenai diskriminasi ini, ada penelitian yang mengemukakan bahwa

konflik peran adalah diskriminasi dalam dunia kerja yang lebih sering dialami oleh

seorang manajer perempuan dibanding rekan kerja laki-lakinya yang memiliki

tingkatan yang sama (Ashkanasy, Zerbe, & Härtel, 2014). Ditemukan anggapan

berbeda antara pemimpin laki-laki ataupun pemimpin perempuan dari segi

kepemimpinan serta peran gender, yaitu kemepimpinan itu dianggap bersifat

agentic, namun perempuan ternyata memiliki peranan yang bersifat communal, hal

ini disebut sebagai role congruity theory (Li Kusterer, Lindholm, & Montgomery,

2013). Menurut teori tersebut, laki-laki memiliki karakteristik agentic yang bersifat

lebih pandai dalam mengatur, percaya diri, dan juga lebih tegas, sedangkan

sebaliknya perempuan memiliki karakteristik communal yang bersifat dasar lebih

simpatik kepada orang lain, peka, dan rela berkorban demi orang lain. Sehingga,

anggapan bahwa manajer atau pemimpin laki-laki dianggap lebih cocok atau

sejalan dengan karakteristiknya, dan dilain sisi pemimpin perempuan yang

memiliki karakter agentic dianggap menyalahi peran dasar gendernya.

Karakteristik kepemimpinan agentic dan communal memiliki kerangka

kerja, dan hal tersebut telah dikemukakan oleh Eagly dan Carly pada penelitian

sebelumnya. Menurut mereka, laki-laki dianggap memiliki karakteristik agentic

dan perempuan memiliki karakter sebaliknya, yaitu communal. Dan kerangka kerja

tersebut dapat ditampilkan dalam table berikut:

41

Tabel 2.2

Kerangka Kerja Kepemimpinan Agentic dan Communal Eagly dan Carly

Agentic Communal Agresif Suportif

Penuh tekad Interpersonal Kompetitif Empatik Pendorong Bersahabat Ambisius Sensitif

Tegas Compassionate Mandiri Baik hati

Fokus pada pekerjaan Suka membantu Tegas Lembut

Suka mengatur Pengasih Bergantung pada diri sendiri Simpatik

(Patterson, 2012)

Dapat dilihat pada table tersebut sifat-sifat yang dimiliki oleh karakteristik

agentic lebih dapat diterima sebagai sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh

seorang pemimpin, dan secara tidak langsung anggapan tersebut mengerucut pada

kesimpulan bahwa pemimpin yang ideal adalah yang ber-gender laki-laki. Namun

ketika terdapat pemimpin perempuan yang memiliki karakteristik agentic, akan

dianggap sebagai penyimpangan dan akan dipandang negatif meskipun mereka

berhasil mencapai kesuksesan. Adanya norma deskriptif (keyakinan atas

perempuan) dan norma perspektif (perilaku perempuan seharusnya) membuat

penyimpangan tersebut lebih terasa, dan menyebabkan evaluasi ulang mengenai

posisi perempuan dalam kepemimpinan.

42

2.1.6 Stereotip Kepemimpinan Perempuan

2.1.6.1 Gaya Kepemimpinan Perempuan dan Laki-laki dari Sudut Pandang

Karyawan

Dalam usahanya untuk membantu perekonomian keluarga dan

mengaktualisasikan dirinya, perempuan lambat laun bergerak maju dalam hal

pekerjaan dan karir. Bukan hanya ingin mendapatkan materi dari hasil kerjanya,

tetapi perempuan juga mulai memikirkan mengenai perkembangan karirnya di

pekerjaan tersebut. Dalam banyak sektor seperti publik, privat, hingga non-profit,

banyak perempuan telah menyiapkan dirinya untuk mulai mengejar posisi-posisi

teratas yang memiliki gengsi yang tinggi (Burke, Koyuncu, Singh, Alayoglu, &

Koyuncu, 2012). Walaupun pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa

pemimpin haruslah memiliki karakteristik yang tegas, fokus, ambisius dan lain-lain,

pada kenyataannya pemimpin perempuan mampu memberikan dampak yang

berbeda dari para rekan kerja laki-lakinya. Dampak tersebut secara nyata

ditunjukkan dengan menampilkan gaya kepemimpinan yang berbeda dari

pemimpin laki-laki. Bahkan dalam penelitian pada tahun 2014 mengatakan bahwa

gaya kepemimpinan perempuan memiliki karakteristik yang membawa dirinya dan

para bawahannya pada kinerja yang jauh lebih efektif dibandingkan pemimpin laki-

laki (Baker, 2014).

Gaya kepemimpinan tradisional yang berfokus pada tugas dan perintah

bukanlah lagi menjadi gaya kepemimpinan yang diinginkan oleh sebuah

perusahaan ataupun organisasi pada jaman modern ini. Gaya kepemimpinan

tersebut juga diyakini tidak lebih efektif dibandingkan gaya kepemimpinan yang

43

pada umumnya dibawa oleh perempuan yang mengedepankan sifat simpati dan

empati (Rhee & Sigler, 2015). Pada penelitiannya lainnya disebutkan bahwa

perempuan yang memiliki sifat lembut, simpati, empati dan berperan sebagai

pendukung lebih banyak menggunakan gaya kepemimpinan demokratis, sedangkan

laki-laki dengan segala karakteristik agentic-nya memiliki gaya kepemimpinan

yang lebih transaksional (Yaseen, 2010). Jadi, pada dasarnya perempuan tidak perlu

memiliki atau menggunakan karakteristik yang bersifat agentic untuk menjadi

seorang pemimpin yang baik, tetapi dengan sifat asli dan alamiah mereka ternyata

dapat membentuk gaya kepemimpinan terbaru yang tidak kalah efektif, yaitu gaya

kepemimpinan transformasional.

Karakteristik dasar perempuan yang bersifat suportif, empatik, bersahabat,

sensitive, lembut, pengasih dan lain-lain ternyata dapat menjadikan mereka

pemimpin dengan karakteristik yang berbeda pula. Pada umumnya pemimpin

perempuan akan lebih bersikap sebagai sistem pendukung bagi para bawahannya.

Dengan gaya kepemimpinan transformasional yang dibawanya, pemimpin

perempuan akan memberikan keleluasaan dan kebebasan lebih bagi para

bawahannya dalam melaksanakan tugasnya dan juga dalam berpendapat. Pemimpin

perempuan akan bertindak sebagai mentor bagi para bawahannya apabila

diperlukan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Pemimpin perempuan akan lebih

membuka dirinya dan pikirannya bagi para bawahannya agar mereka dapat

termotivasi, sehingga para karyawannya secara sadar akan lebih peduli terhadap

tujuan dari organisasi ataupun perusahaan (Handoko, 2012).

44

Kouzes dan Pousner (2003) dalam penelitian sebelumnya telah memberikan

pemikiran mereka mengenai dimensi-dimensi yang dapat menunjukkan bahwa

seorang pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang transformasional atau tidak.

Terdapat lima dimensi yang diajukan oleh Kouzes dan Pousner, yaitu; Challenging,

dimensi pertama adalah dimana pemimpin akan lebih berani dalam mengambil

resiko dalam kepemimpinannya. Tujuan dari tersebut adalah untuk

mengembangkan perusahaan. Selanjutnya adalah visioning, dimensi selanjutnya

adalah ketika pemimpin memiliki pandangan jauh mengenai masa depan

perusahaan secara jelas kepada para bawahannya. Pemimpin harus mampu

memberikan nilai-nilai dasar yang kuat mengenai cara menjalankan perusahaan

dengan cara terbaik. Lalu enabling, yaitu pemimpin harus mampu meningkatkan

kepercayaan diri para karyawannya dengan cara memberikan ruang untuk

mengambil keputusan. Dengan begitu, bawahan akan merasa lebih dihargai dan

memiliki andil yang signifikan terhadap perusahaan. Modelling, pemimpin mampu

untuk memberikan kepercayaan lebih kepada karyawan dalam menjalankan nilai-

nilai perusahaan secara tepat. Selain itu, pemimpin diharapkan dapat membuat

perencanaan dan tujuan yang jelas, serta memiliki filosofi yang kuat dalam

kepemimpinannya. Dan yang terakhir adalah rewarding, pemimpin juga harus

memberikan penghargaan dan mengakui setiap hal-hal positif yang dilakukan oleh

bawahannya, sehingga bawahan akan lebih merasa usahanya dihargai.

Selain dimensi diatas, dalam penelitian terdahulu telah menemukan

beberapa perbedaan antara kepemimpinan perempuan dan laki-laki (Bernard M.

Bass & Avolio, 2013). Berdasarkan fenomena yang ada, perbedaan-perbedaan

45

tersebut adalah; Interpersonally Concern, Pemimpin perempuan yang pada

dasarnya memiliki simpati dan empati yang lebih daripada pemimpin perempuan

akan memiliki kesuksesan lebih dalam hal hubungannya dengan karyawan. Namun

pemimpin laki-laki akan lebih memfokuskan pemikiran mereka untuk dapat

menyelesaikan pekerjaan secara baik. Differences Idealized Leadership, pemimpin

laki-laki dalam hal ini lebih bersifat dewasa, memiliki kompeten yang baik, dan

berusaha mendorong karayawannya untuk bekerja. Sedangkan kebalikannya,

pemimpin perempuan akan lebih demokratis dalam kepemimpinannya dan bersifat

lebih terbuka secara personal maupun professional. Differences in Leadership

Behaviour, berdasarkan hasil tes menggunakan kuesioner Leader Behavior

Description Questionanaire for 12 atau LBDQ-XII, menurut karyawan laki-laki

maupun perempuan, seorang pemimpin perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi

daripada pemimpin laki-laki dalam hal representasi, persuasi dan juga empati.

Differences in Involvement, dalam sebuah tes laboratirium mengungkapkan bahwa

pemimpin perempuan lebih sering berhubungan langsung dengan tugas-tugas yang

diberikan kepada karyawannya dibandingkan dengan pemimpin laki-laki.

2.1.6.2 Efektivitas Kepemimpinan Perempuan dan Laki-laki dari Sudut

Pandang Karyawan

Pada dasarnya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

keefektivitasan kepemimpinan antara pemimpin perempuan dan laki-laki. Namun

hal yang membedakan adalah kepercayaan karyawan tentang gender dan perilaku

pemimpinnya dalam berbagai variasi budaya (Jonsen, Maznevski, & Schneider,

46

2010). Namun kepercayaan atau persepsi terhadap gender dan perilakunya ini

berpengaruh pada keputusan manajerial dalam peningkatan karir, promosi,

penempatan, dan juga pelatihan yang diterima oleh seorang pemimpin.

Berdasarkan hal diatas, posisi perempuan sebagai pemimpin selalu

dianggap negatif oleh banyak kalangan. Dalam suatu kondisi, apabila seorang

pemimpin perempuan mengalami sebuah kesuksesan, orang-orang lebih melihat

tersebut disebabkan oleh faktor eksternal dibandingkan dari keefektivitasan

kepemimpinan pemimpin tersebut. Pemimpin perempuan yang

mengimplementasikan karakterisktik agentic dalam kepemimpinannya

diperusahaan atau organisasi dan mendapatkan kesuksesan atas itu, akan tetap

dianggap sebagai pemimpin yang tidak berkompeten dan tidak sesuai dengan

karakter asli dari gendernya (Eilenn, 2014).

Dibalik hal-hal diatas, pada penelitian lainnya mengungkapkan bahwa

pemimpin perempuan memiliki efektivitas yang tidak kalah atau sama dengan

rekan kerja laki-lakinya. Namun dalam kepemimpinan, seorang pemimpin

perempuan akan lebih memperhatikan para bawahannya dalam hal pribadi maupun

pekerjaan. Hal tersebut membuat para karyawan yang bekerja dibawah

kepemimpinan seorang pemimpin perempuan akan memliki moral dan komitmen

organisasi yang lebih tinggi, karena pada dasarnya pemimpin perempuan akan

berusaha mempertahankan para pekerjanya untuk jangka panjang perusahaan.

Dengan bukti diatas, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan strategi yang

digunakan oleh pemimpin perempuan dan pemimpin laki-laki, tetapi secara umum

47

terdapat beberapa kesamaan dalam penggunaan startegi dalam memimpin (Alonso-

Almeida & Bremser, 2015).

Dalam penelitian sebelumnya, telah dikemukakan beberapa karakteristik

untuk mengetahui apakah seorang pemimpin itu efektif dalam menjalankan

kepemimpinannya dari sudut padang karyawan atau bawahan (Muchiri, Cooksey,

Milia, & Walumbwa, 2011). Karakteristik-karakteristik tersebut adalah sebagai

berikut; Pemimpin yang efektif akan senantiasa menjunjung tinggi keadilan,

kesetaraan dan kejujuran diantara para bawahannya, selalu memberikan timbal

balik yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para bawahannya, selalu

meranuh simpati dan empati kepada para bawahannya, serta yang terakhir,

pemimpin yang efektif akan selalu membuka diri bagi para bawahannya untuk

setiap pertimbangan dan juga konsultasi.

Namun dari sudut pandang yang berbeda, terdapat pula karakteristik-

karakteristik pemimpin yang dianggap efektif oleh para pemimpin. Para pemimpin

menganggap diri mereka sebagai pemimpin yang efektif apabila mereka dapat

membangun komunikasi yang baik dengan para bawahannya. Untuk menjadi

pemimpin yang efektif, mereka akan berusaha terlihat karismatik didepan para

bawahannya. Pemimpin yang efektif bagi para atasan, memiliki sikap rendah hati

untuk mendengarkan masukan dan menanggapinya dengan positif, selain itu

mereka juga berusaha mendorong bawahnnya untuk terus berkembang. Dari segi

kompetensi, pemimpin yang dianggap efektif oleh para pemimpin yaitu mereka

yang dapat memberikan pelatihan yang mumpuni, serta memberikan motivasi dan

inspirasi bagi mereka. Tentu saja untuk menjadi pemimpin yang efektif, para atasan

48

menganggap diri mereka harus memiliki kompetensi yang lebih baik dari

bawahannya, namun tidak terkesan sombong dan menggurui (Muchiri et al., 2011).

Tabel 2.3 Persepsi Kepemimpinan efektif

Persepsi kepemimpinan Efektif sudut pandang kepada karyawan

Persepsi kepemimpinan efektif sudut pandang kepada atasan

Fairness, equality & honesty communication contingent reward Leader assist & supports

emphaty leader listens to employees employee investment staff development

consultation & consideration (Muchiri et al., 2011)

2.1.7 Tantangan Kepemimpinan

Perubahan era yang terjadi pada dunia hingga saat ini membuat

kepemimpinan menjadi suatu hal yang menantang. Selain terdapat evolusi pada

gaya kepemimpinan dari satu zaman ke zaman lainnya, ternyata tantangan yang

dihadapi kepemimpinan juga berubah-ubah pada setiap zamannya. Pada era

globasasi seperti ini, maka tantangan yang dihadapi oleh pemimpin masa kini

berbeda dengan para pemimpin dimasa lalu (Kartasasmita, 1997). Dibutuhkan

sebuah kepemimpinan yang kuat dan tangguh untuk dapat mengatasi setiap

tantangan yang ada, khususnya yang ada di Indonesia

Dalam bukunya “Leadership Challenge”, Kouzes & Posner (2003)

mengemukan terdapat lima praktek dalam kepemimpinan yang dianggap sebagai

tantangan dalam memimpin. Yang pertama adalah bagaiman seorang dapat

mengetahui bagaimana seharusnya mereka memperlakukan orang-orang

disekitarnya dan bagaimana untuk mencapai tujuan. Yang kedua, seorang

49

pemimpin harus dapat menginspirasi para bawahannya dengan menyebarkan visi

yang jelas. Yang ketiga, pemimpin tentu saja tidak dapat terpaku pada satu cara saja

dalam mengejar tujuan organisasi, tetapi mereka harus lebih inovatif. Sedangkan

yang keempat, seorang pemimpin harus dapat mendorong para bawahannya untuk

bergerak menjalankan tugasnya masing-masing. Dan yang terakhir adalah

bagaimana seorang pemimpin untuk dapat meyakinkan para bawahannya untuk

melakukan yang terbaik (Posner & Kouzes, 2003). Maka dengan kelima praktek

tersebut, seorang pemimpin dapat melakukan hal yang luar biasa dalam memimpin

organisasinya.

Untuk membuat hal yang luar biasa, pemimpin harus memiliki prinsip yang

jelas dalam kepemimpinannya, sehingga setiap orang merasa diperlakukan dengan

baik dan setiap orang mengerti tujuan yang harus dicapai. Pemimpin yang baik

harus dapat membuat sebuah standar yang dapat diikuti oleh semua orang dan setiap

lapis di organisasi (Posner & Kouzes, 2003). Hal tersebut akan menjadi petunjuk

bagi semua orang didalam organisasi dalam kompleksitas perubahan yang ada,

sehingga ada hal-hal kecil yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan yang lebih

besar. Pemimpin diharapkan bisa menjadi petunjuk arah bagi para bawahannya dan

juga menciptakan kesempatan untuk berhasil. Dalam usahanya untuk menjadi

petunjuk bagi para bawahannya, maka pemimpin harus dapat membuat perbedaan

didalam kepemimpinannya. Mereka harus dapat memperlihatkan gambaran yang

unik dan ideal tentang masa depan organisasi. Pemimpin harus dapat mengajak para

bawahannya untuk masuk kedalam mimpinya tentang organisasi. Namun, bukan

hal yang mudah untuk dapat membuat orang-orang disekitarnya untuk tertarik

50

mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ada dimasa depan (Posner & Kouzes,

2003)

Agar para bawahannya dapat tertarik dengan apa yang diimpikan oleh

pemimpin mengenai masa depan organisasi, maka pemimpin harus dapat

melakukan hal-hal yang baru dalam kepemimpinannya. Pemimpin diharapkan

dapat berinovasi dalam proses kepemimpinannya untuk memberikan kemajuan

dalam organisasi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan eksperimen

dan mengambil lebih banyak resiko. Walaupun resiko dapat menimbulkan

kesalahan dan kekecewaan, tetapi pemimpin harus dapat meyakinkan bahwa ada

hal yang dapat dipelajari dari segala kegagalan. Dalam pencapaikan tujuan

organisasi, seorang pemimpin yang baik saja dianggap tidak akan cukup, tetapi

dibutuhkan sebuah tim yang bekerja bahu-membahu (Posner & Kouzes, 2003).

Maka pemimpin diharapkan dapat membentuk suatu tim yang dapat berkolaborasi

dengan baik satu sama lainnya. Pemimpin harus dapat menciptakan atmosfer yang

positif dan menanamkan kepercayaan yang kuat disetiap individu bawahannya,

sehingga mereka merasa lebih kuat dan mampu melakukan hal-hal dengan lebih

baik lagi.

Yang terakhir, tantangan terbesar dalam kepemimpinan adalah untuk

membuat hal-hal yang luar biasa didalam organisasi. Untuk dapat membuat hal

yang luar biasa, tentu diperlukan usaha yang luar biasa pula (Posner & Kouzes,

2003). Pemimpin harus dapat hadir disetiap proses dalam mencapai tujuan

organisasi. Mereka harus dapat menjaga harapan dan determinasi tetap hidup

dilingkungan organisasi yang dipimpinnya. Dalam setiap prosesnya, pemimpin

51

harus dapat mengapresiasi hal-hal yang dicapai oleh para bawahannya, sehingga

setiap orang merasa diri mereka sangat berguna dalam proses pencapaian tujuan

utama organisasi.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai kepemimpinan dan gender telah banyak

dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu, terutama yang dilakukan di Amerika,

Eropa dan negara-negara Asia lainnya. Penelitian mengenai topik tersebut juga

telah banyak dilakukan di negara-negara Timur-tengah seperti yang dilakukan

Shapira (2010) yang meneliti kepemimpinan pada kepala sekolah perempuan yang

ada di Israel. Fenomena tersebut bukanlah hal yang lumrah di Timur-tengah

terutama di Israel, namun seiring berjalannya waktu pendidikan perempuan yang

meningkat juga menimbulkan fenomena kepemimpinan wanita disana. Penelitian

tersebut mengambil subjek penelitian 4 (empat) orang kepala sekolah perempuan

bersuku Arab di Israel dan menggunakan metode interview atau wawancara secara

mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah perkembangan pada dunia

kepemimpinan perempuan di Israel, dan membuktikan bahwa kepemimpinan

perempuan Israel tidaklah kalah jika dibandingkan pemimpin perempuanya

(Shapira et al., 2010). Selain itu penelitian ini membuktikan mengubah norma-

norma yang selama ini membelenggu suku Arab di Israel sacara menyeluruh.

Penelitian mengenai kepemimpinan dan gender juga telah dilakukan oleh

Rhee (2015), penelitian tersebut bertujuan untuk mempelajari secara empiris

52

persepsi dari kepemimpinan yang efektif dan juga preferensinya dengan gender

serta gaya kepemimpinan. Sampel dari penelitian ini adalah 166 mahasiswa yang

diputarkan video mengenai kepemimpinan. Penelitian ini menghasilkan

kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan tradisional yang menggunakan paksaa

bukan lagi menjadi yang paling efektif untuk digunakan dalam memimpin

organisasi dimasa sekarang ini (Rhee & Sigler, 2015). Penelitian ini juga

mengemukakan bahwa perlu waktu bagi pemimpin perempuan untuk mendapatkan

pengakuan atas kemampuannya dalam memimpin dan juga keefektivan

kepemimpinannya.

Penelitian lainnya mengenai gaya kepemimpinan dari pemimpin perempuan

dan laki-laki, telah pula dilakukan oleh Yaseen (2010). Penelitian ini dilakukan

karena masih banyaknya perdebatan tentang gaya kepemimpinan yang dibawa oleh

pemimpin perempuan dan keefetivitasan pemimpin perempuan bila dibandingkan

dengan pemimpin laki-laki. Peneliti tersebut membuat hipotesis bahwa perbedaan

cara perempuan Arab dalam bekerja juga dapat membuat perbedaan dalam gaya

kepemimpinannya, apabila mereka menjadi pemimpin. Penelitian yang mengambil

sampel 100 orang yang terdiri dari 60 orang pria dan 40 orang perempuan ini

menghasilkan kesimpulan bahwa perempuan Arab memiliki gaya kepemimpinan

yang lebih demokratis. Walaupun dalam prakteknya pemimpin perempuan masih

mendapat diskriminasi dan pembatasannya dalam dunia pekerjaa, tetapi dibuktikan

bahwa kepemimpinan mereka lebih efektif dibandingkan dengan pemimpin laki-

laki di Arab (Yaseen, 2010).

53

Penelitian lain mengenai kepemimpinan dan gender ini juga pernah

dilakukan oleh Mendez (2015), yang meneliti representasi perempuan pada posisi

pemimpin. Penelitian tersebut masih menemukan ketidak setaraan bahkan ketika

seorang perempuan telah menjadi pemimpin. Penelitian tersebut mengacu pada

penlitian sebelumnya yang mengatakan bahwa dalam kepemimpinan bersama akan

mendistribusikan kepemimpinan secara lebih setara, dan dalam hal ini diperkirakan

bahwa dalam kepemimpinan bersama pemimpin perempuan akan memiliki peran

lebih. Namun pada kesimpulannya penelitian ini gagal dalam membuktikan dan

mendukung pernyataan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa dalam

kepemimpinan bersama dapat meningkatkan partisipasi dan meningkatkan

kontribusi pemimpin perempuan. kepemimpinan bersama tetap gagal mengurangi

gap yang ada antar pemimpin laki-laki dan pemimpin perempuan dalam pembuatan

keputusan (Mendez & Busenbark, 2015).

Kepemimpinan mengenai kepemimpinan dan gender juga telah pernah

dilakukan di bidang olahraga oleh Wells et al. (2014). Penelitian ini bertujuan untuk

mendalami pengaruh perbedaan gender pada kepemimpinan transformasional,

keefektivitasan pemimpin dan tingkat turnover yang ada di National Collegiate

Athletic Association (NCAA). Penelitian dilakukan pada 294 asisten pelatih, terdiri

dari 193 orang perempuan dan 101 orang laki-laki. Instrument yang dipakai dalam

penelitian ini adalah Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) dari Bass dan

Avolio. Penelitian tersebut menemukan bahwa pemimpin yang efektif adalah

pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan transformasional, dan tidak

berhubungan dengan gender pemimpin (Wells et al., 2014). Dan penemuan lainnya

54

penelitian ini adalah bahwa laki-laki lebih memiliki kemungkinan besar

meninggalkan pemimpin yang mereka anggap tidak efektif dibandingkan

perempuan.

Berhubungan dengan penelitian diatas, Brandt & Laiho (2013) juga telah

melakukan penelitian mengenai gaya kepemimpinan transformasional

dihubungkan dengan efektivitas kepemimpinan. Penelitian tersebut juga meneliti

tentang stereotip pada gender yang ada pada kepemimpinan dan gaya

kepemimpinan yang dibawa oleh faktor gender tersebut. Pemimpin laki-laki

dianggap lebih baik pada hal asertif, independensi, dan dalam pengambilan

keputusan, sedangkan pemimpin perempuan lebih unggul dalam hubungannya

dengan bawahan dan gaya kepemimpinan yang dibawa. Penelitian tersebut

memiliki pertanyaan utama mengenai hal-hal yang dinyatakan diatas, namun

dengan melibatkan personaliti dari pemimpin tersebut, bukan hanya faktor gender.

Dan pada kesimpulannya, penelitian tersebut menemukan bahwa gender dan

personaliti memiliki pengaruh kuat pada perilaku pemimpin, serta gaya

kepemimpinan yang dibawanya (Brandt & Laiho, 2013). Sampel dari penelitian

diatas adalah 459 pemimpin dan 378 bawahan.

Berbeda dengan penelitian diatas, Wang et al. (2013) menemukan hal

berbeda pada penelitiannya. Penelitian tersebut dilakukan untuk menjelaskan

secara komprehensif mengenai pengaruh pemimpin pada kinerja bawahannya, gaya

kepemimpinan yang dibawa oleh gender pemimpin dan juga pandangan bawahan

mengenai pemimpinnya. Penelitian ini dilakukan melalui dua studi dengan sampel

pabrik elektronik dan juga bank komersial di Taiwan. Penelitian ini menemukan

55

bahwa gender tidak terlalu berpengaruh pada gaya kepemimpinan seorang

pemimpin dan juga mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan otoritarian tidak

begitu efektitf pada pemimpin perempuan (Wang et al., 2013). Menurut Wang dan

rekan-rekannya, pemimpin perempuan memerlukan gaya kepemimpinan yang

lebuh eksklusif daripada gaya kepemimpinan yang telah ada.

Penelitian tentang kepemimpinan dan gender dalam bidang pendidikan

lainnya juga pernah dilakukan oleh de Lourdes, Machado-Taylor, White (2014).

Penelitian tersebut meneliti apakah dalam Institusi pendidikan tinggi perempuan

memiliki batasan dalam gaya kepemimpinan mereka dan peran mereka dalam

kultur organisasi akademik. Peneilitian tersebut dilakukan karena pada Institusi

Pendidikan Tinggi memiliki komplekstas tersendiri karena hubunganya dengan

pendidikan. Subjek dari penelitian ini adalah 44 orang manajer senior perempuan

dan laki-laki di Australia dan Portugal. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa

perempuan tidak mengalami hambatan atau batasan dalam mengembangkan gaya

kepemimpinan mereka. Perbedaan aturan tentang tenaga kerja di Australia dan

Portugal memberikan perbedaan yang signifikan dalam pengaruh peran

kepemimpinan di dua Negara tersebut (de Lourdes, Machado-Taylor, & White,

2014). Australia telah memiliki pergerakan kesetaraan perempuan dalam bekerja,

sehingga membuka peluang lebih besar bagi para pemimpin perempuan di Institusi

Pendidikan Tinggi di negara tersebut untuk menempati posisi manajemen senior.

Tabel 2.4 Matriks Penelitian Terdahulu

No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan 1. Arab Women

principals’ empowerment and leadership in Israel (Shapira, Arar, & Azaiza, 2010)

Meningkatkan peran wanita di Arab dan meningkatnya tingkat pendidikan wanita di Arab menyebabkan fenomena baru, yaitu timbulnya pemimpin wanita. Para pemimpin wanita ini memiliki tantangan tersendiri dan membawa gaya kepemimpinan tersendiri yang khas. Fenomena itu juga terjadi pada dunia pendidikan, timbulnya kepala sekolah wanita mulai menjadi perbincangan yang hangat.

4 orang kepala sekolah wanita di Israel

Interview secara mendalam (kualitatif)

Para kepala sekolah perempuan dari suku Arab memberikan peluang besar bagi para perempuan lainnya untuk mengembangkan diri bahkan dalam keadaan minoritas. Para kepala sekolah ini membuktikan bahwa perempuan memiliki potensi yang tidak kalah dari laki-laki, serta dapat mengubah norma yang membatasi kehidupan suku Arab di Israel secara menyeluruh.

2. Women, leadership, and education as change (Lyle & MacLeod, 2016)

Wanita telah tergabung dalam dunia dalam setengah abad, namun, hanya 26% dari mereka yang menempati posisi pemimpin dengan pendidikan lebih tinggi, 2,2% CEO di lebih dari 500 perusahaan, dan kurang dari 10% posisi pemimpin di seluruh Negara yang berdaulat di PBB. Para pemimpin wanita ini menghadapi beberapa batasan dalam kepemimpinannya. Para pemimpin wanita membawa gaya tersendiri dalam kepemimpinannya, tidak hanya berfokus pada objektif dari perusahaan tetapi juga membagi konsentrasi mereka secara personal kepada para karyawannya.

Golda Meir (pemimpin perempuan)

Evaluasi literature (literature review)

Dari contoh yang diambil dari Golda Meir, menunjukkan bahwa Ia membawa kemanusiaan, kemantapan, dan visi pada populasi yahudi dan pada dunia. Dia memberlakukan kepemimpinan dengan perhatian dan tanpa ketakutan pada orang-orang yang dipimpinnya untuk mengejar keadilan sosial. Dia tidak takut pada tantangan dan tidak hilang harapan dalam menghadapi kesulitan. Dari kisah kehidupannya, dia menyontohkan kepemimpinan yang berani dan tak tertandingi.

56

No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan 3. Untangling the

relationship between gender and leadership (Rhee & Sigler, 2015)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari secara empirik persepsi dari kepemimpinan yang efektif dan preferensi pada gender dan gaya kepemimpinan

Sampel pilihan video dari pemimpin yang di dramatisir. Serta 166 mahasiswa.

Pemeriksaan interaksi antara otoritarian dan kepemimpinan partisipatif dan peran gender untuk keefektivan dan pilihan. (kuantitatif)

Dari penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan tradisional bukan lagi menjadi yang paling efektif dalam memimpin dan menanajemen oganisasi yang dinamik di masa sekarang ini. Perusahaan sekarang lebih mengganti dari berbagai jenis kepemimpinan. Dari empat dekade penelitian mengenaai kepemimpinan perempuan menunjukkan bahwa perlu waktu dalam persepsi orang-orang untuk kepemimpinan efektif untuk menyamai kinerja sebenarnya dari pemimpin wanita.

4. Leadership styles of men and women in the Arab world (Yaseen, 2010)

Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam cara dan keefektivan dalam kepemimpinan masih dalam argument yang belum terselesaikan. Dalam dunia Arab, perempuan telah berjuang selama beberapa dekade untuk posisi mereka di dunia kerja. Gaya dan cara yang berbeda dari perempuan perempuan Arab dalam bertindak akan memberikan input bagi penulis untuk menentukan apakah perempuan Arab dapat menjadi pemimpin yang efektif.

100 responden, 60 pria dan 40 perempuan.

Multifactor leadership questionnaire (MLQ) (Kuantitatif)

Perempuan Arab mengalami diskriminasi dan mengalami pembatasan atas hak dan kebebasannya. Gaya kepemimpinan perempuaan Arab lebih demokratik dari laki-laki Arab. Pemimpin perempuan Arab melebihi laki-laki Arab dalam hal efektivitas dilihat dalam hubungan dengan gaya kepemimpinan transformasional, transaksional dan ‘laissez-faire’.

5. Shared leadership and gender: all members are

representasi perempuan pada posisi pemimpin terus berkembang, namun dalam tingkat tanggung jawab yang lebih rendah. Ketidaksetaraan dalam

231 partisipan dari 28 komite

Kuesioner (kuantitatif)

Hasil dari tes ini gagal dalam mendukung bukti bahwa kepemimpinan bersama dapat meningkatkan kesempatan pemimpin wanita untuk berpartisipasi dan

57

No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan equal … but some more than others (Mendez & Busenbark, 2015)

gender selalu ditemukan dalam kepemimpinan. Pada penelitian sebelumnya, memprediksi kepemimpinan bersama akan mendistribusikan bentuk kepemimpinan secara lebih setara. Pada grup yang kepemimpinannya dilakukan bersama membuka peluang bagi perempuan untuk memiliki peran lebih.

meningkatkan kontribusi mereka. Kemimpinan bersama gagal untuk mengurangi gap antar pemimpin dalam perilaku intruksi pemimpin dan perilaku suportif pemimpin.

6. The Relationship Between Transformational Leadership, Leader Effectiveness, and Turnover Intentions: Do Subordinates Gender Differences Exist? (Wells, Peachey & Walker, 2014)

Penelitian ini bertujuan untuk mendalami pengaruh perbedaan gender pada kepemimpinan transformasional, keefektivan pemimpin dan tingkat turnover pada National Collegiate Athletic Association (NCAA).

294 asisten pelatih pada divisi I basket, softball dan volley pada NCAA. 193 perempuan dan 101 laki-laki.

Kuesioner (Kuantitatif)

Peneltian ini menemukan bahwa kepemimpinan trasformasional lebih berpengaruh pada efektivitas kepemimpinan dibandingkan dengan faktor lainnya, termasuk gender. Dengan kata lain, laki-laki maupun perempuan bisa menjadi pemimpin yang efektif apabila menggunakan kepemimpinan transformasional. Untuk tingkat turnover terhadap gender dan gaya kepemimpinan Transformasional, ternyata laki-laki lebih mudah untuk meninggalkan seorang pemimpin yang dianggap tidak efektif dibandingkan dengan perempuan.

7. Gender and personality in transformational leadership context (Brandt & Laiho, 2013)

Penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa pemimpin yang menggunakan kepemimpinan transformasional memiliki keunggulan bagi bisnis yang dipimpinnya. Namun pemimpin

Penelitian dilakukan pada 459 pemimpin yang MBTI nya telah

Interview (kualitatif)

Penelitian menemukan bahwa gender dan personaliti memiliki dampak pada perilaku pemimpin dan penelitian ini mendukung hasil bahwa gaya kepemimpinan dapat dibedakan melalui gender.

58

No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan terkadang dinilai dari stereotip yang dibawa oleh gender mereka. Pemimpin laki-laki dinyatakan lebih baik dalam hal asertif, independen, dan lebih baik dalam mengambil keputusan. Namun disis lain, pemimpin perempuan memiliki keunggulan dari segi hubungannya dengan para bawahannya dan lebih banyak menggunakan gaya kepemimpinan transformasional. Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah apakah semua penemuan di penelitian sebelumnya diatas dapat berlaku apabila personality dari pemimpin dipakai dalam penelitian?

diukur, dan 378 penilaian bawahan pada pemimpinnya.

8. Gender makes the difference: The moderating role of leader gender on the relationship between leadership styles and subordinate performance (Wang, Chiang, Tsai, et al., 2013)

Penelitian ini mencoba untuk melebarkan penelitian sebelumnya oleh Kelley, untuk menawarkan kerangka yang lebih komrehensif untuk menjelaskan bagaimana pemimpin dapat mempengaruhi kinerja bawahnnya, melengkapi bagaimana pemimpin laki-laki dan perempuan memperlihatkan gaya kepemimpinan mereka atau perbedaan bagaimana pemimpin laki-laki dan perempuan dari sisi bawahannya.

Untuk study 1, sampel yang digunakan adalah sekelompok teknisi R&D dan supervise langsungnya pada 15 pabrik elektronik. Untuk study 2, sampel

Kuesioner (Kuantitatif)

Penelitian ini menemukan bahwa gender pemimpin tidak terlalu berpengaruh pada gaya kepemimpinannya, otoritarian ataupun benevolent serta kinerja bawahannya. Namun kedua gaya kepemimpinan ini tidak terlalu efektif bila digunakan oleh pemimpin perempuan. Pemimpin perempuan memerluka gaya kepemimpinan yang lebih eksklusif dari yang telah ada.

59

No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan yang digunakan adalah bagian CS dan para supervisinya pada 72 cabang Bank Komersial dia Taiwan.

9. Gender and Leadership: Reflections of Women in Higher Education Administration (Dunn, Gerlach & Hyle, 2014)

Penelitian yang telah ada saat ini sangat berfokus pada kepemimpinan yang dilakukan oleh laki-laki, sehingga memberikan batasan pada perempuan untuk memiliki aspirasi mengenai kepemimpinan. Terlebih lagi kepemimpinan perempuan pada posisi senior administrative dalam bidang akademik. Penelitian refleksi ini bertujuan untuk mengidentifikasi informasi yang general untuk menjadikan pemimpin perempuan mentor yang lebih efektif di kampus.

Jurnal atau penelitian terdahulu

Reflection Research (literature review)

Penelitian refleksi ini merupakan perubahan metode bagi setiap penulis. Penulis menyadari refleksi diri yang dilakukan secara sistematik dan dianalisis dapat memberikan tambahan pengertian bagaimana karir seseorang, sehingga dapat membimbing serta menjadi mentor bagi yang lainnya. Hasilnya, gender merupakan pola variable yang lebih penting bagi karir seseorang dibandingkan dengan bagi organisasi. Kesimpulan dari penelitian ini membawa kesadaran diri dan kepercayaan diri dalam hal peran bahwa seorang perempuan dapat menjadi pemimpin dibidang admistrasi.

10. Women in Academic Leaderhip (de Lourdes, Machado-Taylor & Kate White, 2014)

Penelitian ini memeriksa apakah perempun di HEIs (Higher Education Institution) terbatasi oleh gaya kepemimpinan mereka dan apakah kultur organisasi membuat mereka kurang bernilai di tim manajemen senior. Kepemimpinan pada HEIs

44 senior manajer laki-laki dan perempuan di Australia dan Portugal.

Interview (kualitatif)

Penelitian ini hamper semua perempuan tidak membatasi diri mereka dalam pengembangan gaya kepemimpinan pada HEI. Dan hampir semua narasumber perempuan menyetujui bahwa pemimpin pada universitas akan mengadaptasi gaya kepemimpinan mereka dangan kultur dari

60

No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan memiliki kompleksitas yang berbeda karena menyangkut kontek pendidikan. Seorang pemimpin atau rector diangkat berdasarkan otoritas, disiplin ilmu, pengalaman, dan profesionalitas. Dan penelitian terdahulu mengatakan bahwa HEI selalu di dominasi oleh laki-laki dan perempuan kurang ditampilkan dalam kepemimpinan universitas.

institusi pendidikan. Hasil penelitian menemukan bahwa banyak kemungkinan untuk transformasi pada akademi apabila mereka lebih menghargai peran kepemimpinan perempuan. Setiap negara memiliki persepsi yang berbeda menganai efektivitas kepemimpinan perempuan pada HEI. Australia sudah memiliki pergerakan kesetaraan perempuan pada kepemimpinan, sehingga memiliki nilai lebih pada tim manajemen senior. Sedangkan Portugal yang belum memiliki program seperti diatas, masih menjadi penghalang bagi perempuan untuk memiliki peran kepemimpinan pada HEI.

11. Gender Differences in Leadership Role Occupancy: The Mediating Role of Power Motivation (Schuh, et al., 2014)

Peran wanita dalam dunia kerja telah meningkat secara pesat, di Amerika 47% pekernya dalah perempuan, namun hanya 14% yang berhasil mendapat posisi top manajer. Hal serupa juga dapat ditemukan di Inggris dan Jerman. Penelitian ini memiliki ambisi untuk mengetahui alasan mengapa perempuan kurang dapat bersaing dengan laki-laki untuk posisi pemimpin. Penelitian ini meletakkan variable motivasi sebagai perspektif dalam perbedaan gender untuk menempati posisi pemimpin. Pada intinya penelitian ini ingin melihat hubungan antara gender,

Studi 1: 240 mahasiswa bisnis di universitas jerman (125 perempuan dan 115 laki-laki). Studi 2: 61 mahasiswa jerman Studi 3: 382 pekerja

Kuesioner (kuantitatif)

Penelitan tersebut menemukan bahwa dari 4 studi yang dilakukan pada 4 sampel yang berbeda menunjukkan bahwa motivasi perempuan untuk ‘power’ lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal itu menunjukkan bahwa laki-laki memiliki keinginan yang lebih besar untuk menjadi pemimpin. Dari penelitian ini juga dapat dilihat bahwa kurangnya perempuan dalam penempati posisi pemimpin juga disebabkan motivasi mereka akan ‘power’ juga lebih rendah daripada laki-laki.

61

No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan motivasi untuk ‘power’, dan penempatan peran pemimpin.

(partisipasi via online) Studi 4: 861 pekerja (255 perempuan, 606 laki-laki dan partisipasi melalui email)

12. Female leadership, performance, and governance in microfinance institutions (Strom, D’Espallier & Mersland, 2014)

Institusi microfinance (MFI) merupakan sebuah bisnis yang memiliki tingkatan tinggi bagi bisnis perempuan. MFI juga adalah bisnis yang baik bagi perempuan, buktinya 27% CEO adalah perempuan, 23% pemimpinnya perempuan, dan 29% jajaran utamanya adalah perempuan. Pemimpin perempuan memiliki dampak yang positif bagi kinerja dari MFI, tetapi hasil ini tidak dipengaruhi oleh kepemerintahan yang baik.

329 Microfinance Institution pada 73 Negara.

(kuantitatif) Terdapat tiga konklusi dari penelitian ini. Yang pertama, Pemimpin perempuan meningkatkan misi MFI untuk menyuplai kredit pada perempuan dan bekerjasama dengan NGO. Yang kedua adalah hubungan antara pemimpin perempuan dan kepemerintahan korporasi. Pemimpin perempuan berhubungan dengan pemerintaha yang lemah karena pertemuan yang lebih sedikit. Dan yang ketiga, CEO perempuan memiliki kontribusi positif pada keuangan perusahaan.

13. Kepemimpinan dan Gender: Efektivitas & Tantangan

Keinginan perempuan untuk dapat di perlakukan setara dengan laki-laki dalam pekerjaan dan politik tidak mudah untuk diwujudkan. Banyak tantangan-tantangan dan fenomena-fenomena yang menghalangi mereka untuk mendapat pengakuan atas

2 orang pemimpin (laki-laki & perempuan), 2 orang bawahan langsung dari

Interview secara mendalam (kualitatif)

?

62

No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan kemampuan mereka, terutama dalam kepemimpinan. Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para perempuan itu datang dari berbagai sudut pandang, yaitu ekonomi, sosiologi, maupun budaya/kultur yang ada di berbagai tempat di dunia.

Dengan fakta tersebut, penelitian ini ingin menggali lebih dalam mengenai posisi perempuan dalam dunia kepemimpinan di Indonesia. Gaya kepemimpinan dan perbandingan efektivitas kepemimpinan laki-laki maupun perempuan akan menjadi bahasan utama dalam penelitian ini. Hal tersebut akan dilakukan dengan meneliti pada pemimpin perempuan, pemimpin laki-laki, dan juga bawahan langsung mereka sebagai pembanding.

masing-masing pemimpin (jumlah 4 orang), 2 orang rekan kerja dari masing-masing pemimpin (jumlah 4 orang). Penelitian studi kasus, masing-masing kasus 5 orang subjek penelitian.

63

64

Dari tabel yang telah disediakan sebelumnya, dapat diketahui bahwa seluruh

penelitian terdahulu yang penelitian ini jadikan dasar berasal dan dilakukan diluar

negeri. Beberapa penelitian terdahulu ini dilakukan di Eropa, Amerika, Timur-

tengah, dan juga di Negara-negara Asian selain Indonesia, atau bahkan ada yang

penelitian terdahulu yang dilakukan di lebih dari satu negara. Contonya saja,

terdapat penelitian yang dilakukan di Arab oleh Shapira, Arar dan Azaiza (2010)

dan Yaseen (2010). Selain Arab, terdapat juga penelitian yang dilakukan di Eropa,

contohnya Lyle & MacLeod (2016) dilakukan berdasarkan pemimpin perempuan

di Eropa, lalu Brandt & Laiho (2013) di Finlandia, dan yang terakhir adalah

penelitian Schuh, et al. (2014) di Inggris dan Jerman. Beberapa penelitian terdahulu

dari Amerika, contohnya penelitian yang dilakukan oleh Mendez & Busenbark

(2015), Wells, Peachey & Walker (2014), Gerlach, & Hyle (2014), serta Rhee &

Sigler (2015) yang dilakukan pada siswa di Amerika menggunakan video

pemimpin-pemimpin perempuan disana. Sedangkan untuk penelitian terdahulu di

Asia terdapat penelitian oleh Wang, Chiang, Tsai, et al. (2013) yang dilakukan di

Taiwan. Terdapat juga penelitian yang dilakukan di dua atau lebih negara sekaligus,

contohnya penelitian oleh De Lourdes, Machado-Taylor & White (2014) di

Australia dan Portugal dan Strom, D’Espallier & Mersland (2014) di 73 Negara.

Selain lokasi penelitian, dari tabel yang telah dilampirkan tersebut dapat

dilihat bahwa semua penelitian terdahulu memilih subjek penelitian dari berbagai

macam bidang. Berbagai bidang tersebut diantaranya adalah penelitian yang

mengambil subjek penelitian pada pemimpin perempuan di organisasi pendidikan

oleh Shapira, Arar & Azaiza (2010) pada kepala sekolah perempuan Arab di Israel,

65

Rhee & Sigler (2015) dan Schuh, et al. (2014) pada mahasiswa. Terdapat pula

penelitian yang dilakukan pada banyak perusahaan, seperti yang dikakukan oleh

Mendez & Busenbark (2015) dan Brandt & Laiho (2013) yang melakukan

penelitian komite pada banyak organisasi dan perusahaan. Penelitian dilakukan

pada organisasi olahraga oleh Wells, Peachey & Walker (2014). Dan yang terakhir

terdapat pula penelitian yang dilakukan pada organisasi profitable, seperti

penelitian oleh Wang, Chiang, Tsai, et al. (2013) yang melakukan penelitian di

perusahaan elektronik dan bank komersial.

Selain lokasi penelitian dan subjek penelitian, tabel tersebut juga

memberikan informasi mengenai motode penelitian yang pakai dalam berbagai

penelitian terdahulu tersebut. 10 dari 12 penelitian yang dijadikan dasar penelitian

ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan beberapa diantaranya berupa literature

review. Penelitian yang dilakukan oleh Rhee & Sigler (2015), Yaseen (2010),

Mendez & Busenbark (2015), Wells, Peachey, & Walker (2014), Wang, Chiang,

Tsai, et al. (2013), Schuh, et al. (2014), serta Strom, D’Espallier & Mersland (2014)

dilakukan dengan metode penelitian kuantitatif. Sedangkan penelitian yang berupa

literature review dilakukan oleh Lyle & MacLeod (2016) dan Dunn, Gerlach &

Hyle (2014).

Maka dari ketiga hal yang telah dijabarkan diatas, maka mengenai lokasi

penelitian, subjek penelitian, dan juga metode penelitian, telah didapatkan beberapa

gap atau kesenjangan penelitian yang akan ditutupi oleh penelitian ini. Dari sisi

lokasi penelitian, semua penelitian terdahulu yang jadikan dasar dalam penelitian

ini belum ada yang dilakukan di Indonesia, maka penelitian ini akan dilakukan di

66

Indonesia. Penelitian mengenai kepemimpinan dan gender ini penting untuk

dilakukan di Indonesia, karena Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi

dan luas wilayah paling besar di Asia Tenggara. Selain negara terbesar di Asia

Tenggara, dengan populasi lebih dari 265 juta orang, Indonesia juga merupakan

negara terbesar nomor 4 di dunia. sehingga tidak menutup kemungkinan hasil

penelitian ini dapat menggambarkan keadaan yang ada dalam lingkup regional Asia

Tenggara

Dari penelitian terdahulu, juga masih belum banyak penelitian yang

mengambil subjek penelitian pada organisasi pemerintah, maka penelitian ini akan

memilih pemimpin laki-laki dan perempuan pada organisasi pemerintah untuk

menjadi subjek penelitian. Hal tersebut dikarekan keunikan sistem pemilihan

pemimpin pada organisasi pemerintah, yaitu sistem pemilihan pemimpin yang

bukan hanya berdasarkan kompetensi, tetapi lebih didasari oleh tingkatan yang

berdasarkan lamanya bekerja. Penelitian ini mengambil organisasi pemerintah

sebagai objek penelitian, dikarenakan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang

mencapai 4,5 juta orang. Jumlah PNS di Indonesia menyerap 1,7% dari populasi

warga negara, sehingga penelitian mengenai kepemimpinan dan gender di

Organisasi Pemerintah dirasa perlu dilakukan.

Dan yang terakhir, sebagian besar penelitian terdahulu mengenai

kepemimpinan dan gender dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif

ataupun hanya berbentuk literature review, maka penelitian ini akan dilakukan

dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan metode ini, diharapkan penelitian

ini akan menyuguhkan hasil penelitian yang faktual dan juga dilengkapi dengan

67

alasan-alasan dibalik hasil penelitian. penelitian ini dilakukan dengan metode

kualitatif, sehingga diharapkan penelitian ini dapat mengeksplorasi mengenai topik

yang diangkat dengan lebih baik, dapat mempermudah dalam penelitian ini apabila

ditemukan masalah yang kompleks, dapat mengambil data langsung dari objek

yang dituju, dapat menjelaskan secara lebih detail mengenai hal-hal yang diteliti,

dan juga dapat menjelaskan alasan-alasan dibalik hasil penelitian nantinya.

2.3 Kerangka Penelitian

Terdapat sebuah kerangka pemikiran dalam penelitian ini yang sudah dibuat

untuk menjadi dasar penelitian ini. Kerangka penelitian ini juga dibuat agar

penelitian ini tidak keluar dari pokok bahasan yang menjadi fokus dalam penelitian

ini. Selain itu, kerangka penelitian ini juga berguna untuk memandu penelitian ini

agar sesuai dengan tujuan utama penelitian.

68

Perbedaan gaya kepemimpinan dan efektivitas kepemimpinan perempuan dan laki-laki, serta

tantangan kepemimpinan

1. Apakah terdapat perbedaan gaya kepemimpinan antara Pemimpin

Laki-laki dan pemimpin perempuan?

2. Bagaimana persepsi keefektivan gaya kepemimpinan pemimpin laki-

laki dan pemimpin perempuan pada Lembaga Kepemerintahan?

3. Apakah tantangan yang dialami para pemimpin (perempuan dan laki-

laki) dalam kepemimpinannya di Lembaga Kepemerintahan?

Gaya kepemimpinan Transaksional

Gaya Kepemimpinan Transformasional

Gender Efektivitas kepemimpinan Tantangan kepemimpinan

Pemimpin laki-laki / perempuan

Atasan / rekan kerja Bawahan

Akan diketahui: 1. Perbedaan gaya kepemimpinan menurut

gender 2. Persepsi efektivitas kepemimpinan

pemimpin laki-laki / perempuan 3. Tantangan dalam kepemimpinan

Gambar 2.3 Kerangka Penelitian

69

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang berfokus pada

kepemimpinan dan hubungannya dengan perbedaan gender pada Organisasi non-

profit. Penelitian ini ingin mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana gaya

kepemimpinan yang dipakai pemimpin yang berbeda gender. Untuk itu, penelitian

ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk dapat mengetahui lebih jelas

mengenai permasalahan tersebut.

Penelitian berawal dengan asumsi, sebuah pandangan, kemungkinan

penggunakan teori dan penggunaan permasalahan penelitian kedalam pengertian

individu atau kelompok yang dianggap sebagai masalah sosial atau masalah

manusia (Creswell, 2007).

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan

metode studi kasus. Creswell (2007) mengemukakan bahwa studi kasus adalah

penelitian kualitatif yang berfokus pada sebuah “kasus” tertentu pada kehidupannya

nyata secara kontemporer. Dengan kata lain, penelitian ini ingin mengetahui lebih

dalam mengenai pengalaman sekelompok individu dan dijadikan subjek penelitian.

Penelitian studi kasus meliputi studi mengenai sebuah masalah yang di

eksplor melalui satu atau beberapa kasus didalam system yang terbatas (Creswell,

2007). Metode penelitian studi kasus memiliki kesamaan dengan penelitian naratif,

70

khususnya apabila yang dipilih adalah satu kasus tertentu, tetapi terdapat beberapa

perbedaan. Pada umumnya studi kasus memilih pada satu individu, multi-individu,

suatu program ataupun aktivitas sesuai dengan yang dibutuhkan oleh penelitian

(Creswell, Hanson, Clark Plano, & Morales, 2007). Pada studi kasus, pendekatan

analisisnya haruslah mencakup penjelasan detail mengenai kasus tersebut

berdasarkan konteks kondisi asli kasus tersebut (Yin, 2003).

Dalam metode studi kasus, sebuah isu ditelusuri melalui satu atau banyak

kasus namun tetap dalam batasan tertentu yang ditentukan oleh peneliti. Penelitian

Studi kasus adalah suatu metode pada penelitian kualitatif yang dimana peneliti

menelusuri suatu kasus atau beberapa kasus dalam jangka waktu tertentu dan

dijelaskan secara detail, pengumpulan data secara mendalam dari berbagai sumber

(contohnya observasi, wawancara, documenter, ataupun reportase) dan ditampilka

dalam bentuk deskripsi kasus (Creswell, 2007).

Terdapat beberapa tipe dalam penelitian dengan metode studi kasus, tipe

tersebut dibedakan berdasarkan ukuran dari kasusnya, apakah itu satu individu,

beberapa individu, sekelompok, seluruh program, atau sebuah aktivitas (Creswell

et al., 2007). Variasi dalam studi kasus juga dapat dibedakan dari maksud

penelitian: studi satu kasus instrumental, studi multi-kasus, dan studi kasus

instrinsik. Dalam studi kasus instrumental, peneliti fokus pada satu masalah dan

memilih satu kasus terbatas untuk mengilustrasikan masalah tersebut. Dalam studi

kasus kolektif, peneliti tetap memilih sebuah kasus yang ingin difokuskan dan

memilih beberapa kasus untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dan yang terakhir,

71

studi kasus intrinsik dimana peneliti berfokus pada sebuah kasus dimana terdapat

situasi yang tidak biasa dan unik didalam kasus tersebut (Creswell, 2007).

Dari semua penjelasan diatas, maka penelitian ini dianggap cocok untuk

menggunakan studi kasus dibandingkan metode lainnya dalam penelitian kualitatif.

Tipe yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus kolektif, hal

tersebut dikarenakan penelitian ini akan membahas sebuah isu atau masalah dengan

membandingkan dua kasus berbeda. Untuk dapat mendapatkan hasil yang

diharapkan penelitian ini, maka informan yang dijadikan objek tidak berjumlah

banyak, agar bisa mendapatkan info yang lebih detail dan mendalam.

3.2 Definisi Operasional

Berdasarkan pertanyaan penelitian, terdapat beberapa hal yang menjadi

fokus bahasan dalam penelitian ini:

1. Gaya Kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pemimpin untuk

mempengaruhi bawahan agar sasaran tercapai. Pentingnya gaya kepemimpinan

adalah untuk dapat memaksimalkan produktivitas, kepuasan kerja, dan

pertumbuhan. Indikator dalam gaya kepemimpinan adalah:

a. Membangun hubungan, bagaimana pemimpin membangun hubungannya

dengan setiap lapisan organisasi.

b. Dalam bekerjasama, bagaimana pemimpin dalam bekerjasama dengan

bawahan.

c. Menyelesaikan masalah, bagaimana sikap pemimpin apabila terjadi

masalah dalam organisasinya.

72

d. Menularkan pemikiran, bagaimana cara pemimpin agar bawahan mengerti

ekspektasinya.

e. Meningkatkan kemampuan, bagaimana usaha pemimpin dalam

meningkatkan kemampuan bawahan.

f. Penghargaan, bagaimana respon pemimpin apabila bawahan melakukan

pekerjaan dengan baik.

g. Sanksi, bagaiman respon pemimpin apabila bawahan melakukan kesalahan.

h. Membuat keputusan, bagaimana pemimpin melibatkan bawahan dalam

membuat keputusan.

2. Efektivitas kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin mengarahkan,

mengorganisasi, dan menggerakkan bawahannya untuk mencapai tujuan

organisasi. Indikator dalam efektivitas kepemimpinan adalah:

a. Pemberian tugas, bagaimana pemimpin dalam memberikan tugas kepada

bawahan

b. Extra effort, bagaimana pemimpin membuat bawahan bekerja dengan lebih

keras.

c. Fulfilment, bagaimana pemimpin dalam memenuhi kebutuhan bawahan dan

organisasi.

d. Satisfaction, bagaiman kepuasan kepemimpinan seorang pemimpin.

3. Tantangan Kepemimpinan adalah hal-hal yang dianggap sebagai penghambat

atau hal yang menjadi tantangan di dalam kepemimpinan seorang pemimpin.

73

3.3 Informan Penelitian

Untuk sebuah penelitian yang menggunakan metode kualitatif, orang-orang

atau sekelompok orang yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh

penelitian ini disebut sebagai informan. Agar informasi yang didapat oleh

penelitian ini bersifat lengkap dan detail, maka penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling. Teknik sampling menggunakan purposive sampling ini adalah

dengan menentukan sampel sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh penelitian,

sehingga sampel yang diambil tidak keluar dari tujuan penelitian dan juga

permasalahan utama penelitian. Dengan teknik penentuan sampel seperti diatas,

diharapkan sampel yang dipilih dapat memberikan jawaban sesuai dengan

kebutuhan penelitian. Dalam penelitian ini telah ditentukan beberapa informan

yang diharapkan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan penelitian ini:

1. Pimpinan dari dua bagian tertentu di organisasi kepemerintahan di Kota

Semarang.

2. Bawahan langsung dari pimpinan bagian yang telah dipilih.

3. Rekan kerja atau pimpinan bagian lain yang setara dengan pimpinan yang telah

dipilih.

4. Atasan atau pimpinan langsung dari kepala bagian yang telah dipilih.

74

Pada kasus 2, informan yang dibutuhkan adalah:

1. Dua orang Ketua Seksi (Kasi) berbeda gender dari Kecamatan yang ada di Kota

Semarang.

2. Dua orang bawahan dari masing-masing Ketua Seksi (Kasi) di Kecamatan yang

ada di Kota Semarang.

Gambar 3.1 Skema wawancara

Kasus 1

Atasan

Rekan kerja

Narasumber 1

Narasumber 2

Bawahan 1

Bawahan 2

Bawahan 3

Gambar 3.2 Skema wawancara

Kasus 2

Narasumber 1

Bawahan 1

Bawahan 2

Narasumber 2

Bawahan 3

Bawahan 4

75

3.4 Sumber Data

Didalam sebuah penelitian, sumber data dapat berasal dari dua bagian, yaitu

data primer dan data sekunder (Sanusi, 2014), yaitu:

1. Data Primer

Data yang penelitian ini peroleh secara langsung dari informan melalui

interview maupun indentifikasi disebut dengan data primer. Dalam penelitian

ini, interview atau wawancara akan dilakukan kepada informan guna

memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan oleh penelitian ini.

Informasi-informasi tersebut antara lain adalah gaya kepemimpinan yang

dipakai pemimpin perempuan maupun laki-laki, keefektivitasan

kepemimpinan pemimpin laki-laki maupun perempuan, serta tantangan yang

mereka hadapi dalam memimpin pada organisasi kepemerintahan.

2. Data Sekunder

Selain data primer diatas terdapat pula data sekunder yang digunakan untuk

melengkapi informasi yang dibutuhkan oleh penelitian ini. Data yang dapat

mendukung informasi bagi penelitian ini dapat berupa dokumen yang

diperoleh dari berbagai sumber, gambar arsip ataupun gambar yang diperoleh

sendiri dan juga data-data lainnya yang dapat melengkapi informasi yang

dibutuhkan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Emzir (2011) teknik ataupun cara yang dilakukan seorang peneliti

untuk dapat melengkapi data atau informasi yang dibutuhkan oleh penelitiannya

76

disebut sebagai teknik pengumpulan data. Dalam penelitian dengan metode

kualitatif, data atau informasi yang diperoleh haruslah jelas, spesifik, dan

mendalam. Penelitian ini mengambil teknik pengumpulan data sebagai berikut:

3.5.1 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah melalui wawancara. Dengan teknik wawancara secara mendalam melalui

tanya jawab secara langsung dengan informan, diharapkan dapat menghasilkan data

yang diinginkan. Selain wawancara secara mendalam, untuk mendapat informasi

yang bersifat terfokus pada topik penelitian maka teknik pengumpulan data lainnya

adalah dengan wawancara terstruktur. Deddy (2014) menjelaskan bahkan

wawancara terstruktur adalah wawancara yang utama atau baku dengan

pertanyaan-pertanyaan yang sudah disusun terlebih dahulu oleh peneliti. Dalam

pelaksanaan wawancara juga dibutuhkan berbagai alat bantu yang bertujuan untuk

menunjang proses wawancara untuk mendapatkan informasi selengkap-

lengkapnya. Alat bantu tersebut antara lain adalam recorder atau perekam dan alat

tulis.

Agar narasumber mengerti apa maksud dan tujuan penelitian ini dan

jawaban seperti apa yang diharapkan dari penelitian ini, maka peneliti harus

menjelaskan terlebih dahulu inti atau tujuan dilakukannya penelitian. Setelah itu

agar proses wawancara dapar berjalan dengan lancar dan sesuai prosedur, maka

peneliti diharuskan untuk menjelaskan mekanisme wawancara sebelum wawancara

77

dimulai. Dan untuk mendapatkan data yang valid, maka peneliti akan mengulang

jawaban dari informan di akhir setiap pertanyaan.

3.6 Objek Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah gaya dan keefektivitasan kepemimpinan

pemimpin perempuan maupun laki-laki di organisasi kepemerintahan di Kota

Semarang. Peneliti mengambil topik tersebut dikarenakan masih belum jelasnya

apakah gender pemimpin dapat mempengaruhi gaya dan efektivitas

kepemimpinanya, serta mendalami tantangan-tantangan yang dihadapi oleh

pemimpin laki-laki maupun perempuan.

3.7 Metode Pengolahan Data

Dalam penelitian dengan metode kualitatif, pengolahan data tidak perlu

menunggu hingga seluruh data yang dibutuhkan terkumpul seluruhnya. Data yang

telah terkumpul dapat langsung diolah dan dilakukan analisis data oleh peneliti.

Data tambahan dapat diambil kembali apabila informasi atau data yang telah

diperoleh dirasa kurang lengkap atau tidak valid. Pengolahan data dalam penelitian

kualitatif bisa dilakukan dengan kategorisasi dan pengklasifikasian data

berdasarkan sub tema sesuai dengan kebutuhan penelitian (Bagong, Suyanto, &

Sutinah, 2006). Agar data dapat digunakan dengan sebaik-baiknya, maka penelitian

ini menggunakan metode pengolahan data: reduksi data, penyajian data dan

penarikan kesimpulan.

78

3.7.1 Reduksi Data

Proses pemilihan, pengabstrakan, pemusatan perhatian, merubah data

mentah dari proses penelitian disebut sebagai reduksi data (Miles & Huberman,

1992). Agar data dapat diproses dengan lebih baik, maka perlu dilakukan beberapa

langkah seperti mempertegas analisis, kategorisasi pada setiap permasalahan yang

ada, pengefektivan dan pengefisienan data dengan mengurangi yang tidak penting,

serta pengorganisasian data juga diperlukan agar data dengan mudah diverifikasi

dan diambil kesimpulan. Semua data yang berkaitan dengan inti atau topik dari

penelitian haruslah direduksi, karena dengan reduksi data peneliti akan lebih mudah

dalam memperoleh gambaran jelas mengenai permasalahan penelitian dan

memudahkan peneliti apabila diperlukan data tambahan. Proses reduksi data ini

akan mempermudah peneliti dalam menganalisis seluruh data yang diperoleh dari

lapangan

3.7.2 Teknik Analisis Data

Untuk dapat menganalisi penelitian kualitatif dengan metode studi kasus

bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, namun dengan strategi analisis yang

umum hal tersebut dapat diatasi. Dalam penelitian studi kasus, terdapat empat

bentuk yang telah diajukan oleh Stake (1995) mengenai analisis data dan

interprestasinya, diantaranya adalah:

1. Pengumpulan kategori, peneliti harus mampu untuk mengumpulkan contoh-

contoh yang berkaitan dengan kasus tersebut dan menemukan makna yang

relevan dengan isu yang diangkat.

79

2. Interpretasi langsung, peneliti menarik makna dari satu kasus secara terpisah

dari contoh lainnya. Namun pada akhirnya contoh-contoh yang terpisah tersebut

disatukan untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam.

3. Membentuk pola, peneliti mencari hubungan antara satu atau lebih kategori

yang telah ditentukan. Hal tersebut dapat digambarkan melalui tabel yang

mengintegrasi antar kategori-kategori yang ada.

4. Generalisasi naturalistik, peneliti harus dapat mengembangkan suatu makna

mengenai kasus-kasus secara general.

Tipe analisis dari studi kasus berupa analisis holistik, atau analisis yang

bersifat kesuluruhan kasus. Terdapat tiga teknis analisis yang diajukan oleh Yin

(1989), yang pertama adalah dengan penjodohan pola yaitu dengan mengaitkan

bukti empiris yang ada dengan pola yang diprediksikan, sehingga dapat

memperkuat validitas internal penelitian. Yang kedua, yaitu dengan membuat

eksplanasi, hal ini bertujuan untuk menganalisis serta menjelaskan mengenai kasus

yang terjadi secara detail. Dan yang terakhir, dengan analisis deret waktu, yaitu

digunakan untuk penelitian yang menggunakan pendekatan eksperimental. Maka

cara yang dianggap palin cocok untuk penelitian ini adalah analisis data

menggunakan teknik eksplanasi untuk menjelaskan secara mendetail dan

mendalam bagaimana masalah penelitian yang terjadi pada masing-masing kasus

yang diteliti berdasarkan data empiris.

80

3.7.3 Penyajian Data

Penyajian data adalah tahap kedua dari proses analisis data, menurut

Sugiyono (2013) penyajian data adalah memaparkan informasi yang telah

disimpulkan berbentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart,

dan lain-lain. Proses penyajian data ini dapat membantu menjelaskan lebih

terstruktur dan detail mengenai informasi yang diperoleh dari lapangan.

3.7.4 Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan tahapan terakhir dari analisis data, tahap

ini dilakukan dengan menarik suatu kesimpulan yang didapat dari seluruh informasi

yang telah diperoleh sepanjang proses penelitian. Informasi-informasi yang

penelitian ini peroleh harus dapat diolah menjadi sebuah kesimpulan yang jelas.

Dalam penelitian kualitatif, kesimpulan penelitian adalah sebuah temuan baru yang

belum ditemukan sebelumnya. Menurut Sugiyono (2013), temuan tersebut bisa

berbentuk pencerahan atau deskripsi atas suatu objek yang sebelumnya tidak pernah

diketahui atau suatu hal baru yang ditemukan oleh penelitian ini, temuan tersebut

dapat berupa hubungan kausal maupun interaktif, berbentuk teori baru ataupun

hipotesis.

81

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek penelitian

4.1.1 Kasus 1

Objek penelitian pada Kasus 1 penelitian ini adalah salah satu kelurahan

yang terdapat di pusat kota Semarang, yaitu Kelurahan Mugassari. Kelurahan

Mugassari adalah salah satu Kelurahan didalam wilayah Kecamatan Semarang

Selatan. Kelurahan Mugassari membawahi daerah seluas wilayah (-/+) 148.298 Ha,

dengan jumlah penduduk mencapai 7.671 jiwa. Dengan data tersebut, secara umum

kepadatan pada Kelurahan Mugassari ini adalah 51,7 jiwa/Ha. Secara umum, tugas

dari kontor Kelurahan Mugassari ini adalah melayani masyarakat yang berkaitan

dengan kepemerintahan dan kependudukan. Kelurahan Mugassari dipimpin oleh

seorang Lurah yang membawahi seorang Sekertaris Lurah, tiga orang Kepala Seksi

(Kasi), dan tiga orang staf PNS (Pegawai Negeri Sipil) maupun staf ASN (Aparatur

Sipil Negara). Sehingga total pegawai yang ada di Kelurahan Mugassari adalah 8

orang, dengan pembagian 6 orang PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan 2 orang ASN

(Aparatur Sipil Negara). Secara umum, struktur organisasi pada Kelurahan

Mugassari adalah sebagai berikut:

82

Pada penelitian di kasus 1 ini, kantor Kelurahan Mugassari yang dipimpin

oleh Bu Lurahnya sangat terbuka mengenai penelitian ini, sehingga penelitian ini

dipersilahkan untuk melakukan wawancara dengan seluruh lapisan yang ada pada

kantor Kelurahan Mugassari ini. Oleh karena itu, tidak ditemui masalah dalam

penelitian di kasus 1 ini.

4.1.2 Kasus 2

Pada kasus 2 dalam penelitian ini, objek penelitian yang dipilih adalah

kantor Kecamatan Tembalang. Kecamatan Tembalang merupakan salah satu

Kecamatan di Kota Semarang yang menaungi 145.991 orang dan membawahi 12

Kelurahan. Kantor Kecamatan Tembalang ini memiliki tugas pokok untuk

melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Walikota untuk

menangani sebagian urusan otonomi daerah dan peningkatan koordinasi

penyelenggaraan pemerintahan, pelayan publik dan pemberdayaan masyarakat

Lurah

Kasi Trantib dan umum

Kasi Pembangunan

& Pemerintahan

Sekertaris Lurah

Kasi Kessos

Bendahara Kelurahan

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Kelurahan Mugassari

83

kelurahan. Secara keseluruhan terdapat 98 orang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang

bekerja di Kantor Kecamatan tembalang, dan dipimpin oleh seorang Camat.

Terdapat 2 subbagian dan 5 Seksi di Kantor Kecamatan Tembalang, dan asing-

masing subbagian dan Seksi dipimpin oleh seorang Kepala Subbagian dan Kepala

Seksi. Secara umum, struktur organisasi pada Kecamatan Tembalang adalah

sebagai berikut:

Dikarenakan jenjang jabatan yang lebih beragam, jumlah personel yang

lebih banyak, banyaknya kegiatan dan birokrasi yang lebih rumit, menyebabkan

kasus 2 penelitian ini menemui kesulitan ketika harus melakukan wawancara. Oleh

karena itu, pada kasus 2 ini penelitian ini hanya dapat mewawancara 2 (dua) orang

Kasi dan 2 (dua) orang staff dari masing-masing Kasi yang berhasil diwawancara.

Camat

Sekertaris Kecamatan

Kasubbag perencanaan evaluasi

dan keuangan

KASI Pemerintah

an

Kelompok jabatan fungsion

al Kasubbag UM dan

kepegawaian

KASI Pembanguna

n

KASI Kessos

KASI Pelayanan

Publik

KASI Trantib Umum

Gambar 4.2 Struktur Organisasi Kecamatan Tembalang

84

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Kasus 1 Tabel 4.1

Identitas Responden Kasus 1

4.2.1.1 Kepemimpinan

4.2.1.1.1 Paternalistik / Maternalistik

Dalam memimpin, gaya kepemimpinan yang dipakai seorang pemimpin

dapat mempengaruhi kinerja organasasi ataupun bagian yang dipimpin. Gaya

kepemimpinan yang diterapkan setiap pemimpin dapat berbeda-beda sesuai dengan

apa yang dibawa pemimpin tersebut kedalam organisasi atau bagian yang dipimpin.

Dari hasil wawancara yang dilakukan, gaya kepemimpinan yang dibawa oleh

pemimpin perempuan dan laki-laki dalam kasus 1 ini memiliki unsur Paternalistik

atau Maternalistik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gaya kepemimpinan

Paternalistik/maternalistik adalah gaya kepemimpinan yang dilihat dari hubungan

antara pemimpin dan yang dipimpin, yang seperti hubungan ayah/ibu dan anaknya.

narasumber Posisi Nama 1. Kepala Seksi Ketentraman dan

Ketertiban (Pemimpin laki-laki)

Parjo

2. Kepala Seksi Pembangunan & pemerintahan (Pemimpin perempuan)

Neni

3. Sekertaris Lurah (Rekan kerja) Sukarni

4. Lurah (Atasan) Tina

5. Staf (Bawahan 1) Junaidi

6. Staf Teknologi Informasi (Bawahan 2) Robi

7.

Bendahara (Bawahan 3) Sri

85

Dengan kata lain pemimpin tersebut menganggap bawahan mereka sebagai anak

sendiri yang perlu dilindungi, diberikan waktu untuk berkembang.

Pada Kasus 1 ini dalam kepemimpinannya, Neni lebih menganggap

bawahan sebagai mitra kerja. Hal tersebut didukung oleh Sukarni, rekan kerjanya

yang menganggap bahwa Neni lebih banyak mengajak bawahannya untuk bekerja

secara bersama. Hal itu memang ditunjukannya dengan selalu mendampingi

bawahannya dalam mengerjakan setiap tugas yang diberika kepada bawahannya.

Selain itu, Neni dianggap sebagai pemimpin yang tidak pernah membeda-bedakan

orang berdasarkan jabatan, hal ini membuat bawahannya tidak pernah merasa

diremehkan oleh Neni dan juga membuat harga diri dari bawahannya meningkat.

Tetapi Robi sebagai bawahan yang bekerja langsung dibawah

kepemimpinannya merasa unsur keibuan yang dibawa Neni sangat kuat. Hal

tersebut diperlihatkan melalui perhatian yang diberikan kepada para bawahannya,

bukan hanya sekedar perhatian tetapi diikuti dengan kepedulian terhadap apa yang

dihadapi bawahannya. Tina sebagai atasan mengatakan bahwa Neni tidak segan

untuk berkomunikasi dengan para bawahannya bahkan diluar jam kerja. Contohnya

adalah penyataan Robi yang mengaku kerap mendapat pesan singkat dari Neni

ketika malam hari untuk sekedar mengingatkan agar Robi beristirahat, sembari

mengingatkan tugas untuk keesokan harinya.

“Kalau Bu Neni itu unsur keibuannya dapet, jadi ya kayak anak sendiri.” (Robi, 25 tahun, Staff IT)

86

Senada dengan pernyataan Neni tadi, Parjo sebagai pemimpin laki-laki juga

berusaha membangun hubungan yang dekat dengan para bawahan dan rekan

kerjanya, bahkan menganggap mereka sebagai teman. Tina sebagai atasan

menganggap Parjo merupakan seseorang yang mudah untuk bekerjasama dengan

rekan kerja dan bawahannya. Hal serupa juga diungkap oleh Sri yang menganggap

bahwa Parjo adalah seorang pemimpin yang cenderung santai. Kepemimpinan yang

santai disini maksudnya adalah Parjo tidak mempermasalahkan antara jabatan,

umur, serta tidak menuntut banyak hal dari bawahannya.

Namun Junaidi, staf yang banyak bekerja di lapangan bersama Parjo,

menganggap bahwa Parjo adalah pemimpin yang asik, lucu dan bisa memberikan

energi positif secara informal, baginya pendekatan itu tidak jauh berbeda dari

pendekatan seorang ayah kepada anaknya. Hal itu sangat disetujui oleh Robi yang

mengatakan bahwa Parjo mudah membaur dengan para bawahannya dan memiliki

kemampuan untuk membangun hubungan informal yang baik, dan tidak segan

membahas hal-hal yang bersifat pribadi. Contoh yang diceritakan Robi adalah

seringkali Parjo mengajak keluar makan siang bersama dengan para staf laki-laki,

dan disela-sela itu sembari berbincang urusan diluar pekerjaan. Sukarni

mengatakan bahwa pendekatan informal tersebut dapat mencairkan suasana

didalam organisasi menjadi sangat dekat, bahkan seperti keluarga.

“Kalo Parjo sih dia lebih terbuka ya sama siapa aja, terutama yang cowo-cowo. Tapi Neni itu dia lebih perhatian sama bawahan.” (Sukarni, 50 tahun, Sekertaris Lurah)

87

Rekan kerja dari kedua pemimpin tersebut pun mengatakan bahwa

lingkungan yang dibangun dalam organisasi itu adalah lingkungan yang bernuansa

kekeluargaan, sehingga tidak terdapat celah antar personal yang ada didalam

organisasi. Tidak hanya kepada bawahannya saja, kedua pemimpin itu juga dapat

membangun hubungan kekeluargaan dengan para rekan kerjanya dan bahkan

atasannya. Sukarni mengatakan bahwa Parjo dapat membangun hubungan informal

yang baik, sehingga membuat komunikasi antar personal di dalam organisasi

menjadi lebih terbuka bahkan tidak terlalu formal. Sedangkan Sri berpendapat

bahwa sifat perhatian yang ada pada Neni membuat para bawahannya merasa lebih

diperhatikan dan juga merasa nyaman, sehingga dapat bekerja dengan lebih baik.

4.2.1.1.2 Supportif

Selain terdapat unsur paternalistik/maternalistik dalam kepemimpinannya,

sebagian besar narasumber mengatakan bahwa kedua pemimpin dalam Kasus 1 ini

sama-sama memiliki unsur supportif. Yang dimaksud dengan dengan supportif

adalah kedua pemimpin ini mampu untuk mendukung, dan bahkan membantu para

bawahannya dalam hal penyelesaian masalah ataupun tugas. Dengan unsur

tersebut, membuat kinerja dari para bawahan dapat terdorong menjadi lebih baik,

dan membuat bawahan bekerja lebih percaya diri karena tidak akan merasa

disalahkan ketika mereka melakukan kesalahan. Namun dibalik itu semua, terdapat

perbedaan bentuk dukungan yang diberikan kedua pemimpin ini kepada

bawahannya.

88

Sukarni menyatakan bahwa Neni merupakan pemimpin yang lebih banyak

mengajak bawahannya untuk bekerja bersama, hal tersebut menggambarkan bahwa

Neni tidak hanya pemimpin yang hanya memberikan tugas lalu mengkoreksi. Robi

juga mendukung pernyataan tersebut, Robi merasa bahwa Neni selalu

mendampinginya saat pengerjaan tugas atau bahkan saat harus mengikuti pelatihan.

Dengan hal tersebut, membuat bawahan merasa selalu diperhatikan dalam

tugasnya, dan juga dapat menghindarkan dari kesalahan, yang secara tidak langsung

akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja bawahan karena tidak adanya

pengerjaan ulang.

“Kalo Pak Parjo sih kalo salah ya beliau langsung bilang, gak basa basi, langsung disuruh benerin. Tapi kali Bu Neni lebih dampingin sih kalo minta tolong ngerjain tugas, jadi salahnya dikit.” (Junaidi, 23 Tahun, Staf)

Disisi lain, ketika bawahannya bekerja dengan baik, Neni juga tidak segan

untuk memuji mereka dan memberikan insentif tambahan kepada mereka. Robi

mengatakan bahwa Neni selalu memberikan apresiasi dalam bentuk dukungan

moral dengan kata-kata yang membangun, layaknya seperti ibu kepada anaknya.

Hal tersebut tentu saja meningkatkan kepercayaan diri bawahan dalam

melaksanakan tugas-tugas selanjutnya. Selain itu Junaidi mengungkapkan bahwa

Neni selalu memberikan insentif dalam bentuk uang bensin atau sekedar mengajak

makan diluar. Junaidi mengatakan bahwa Neni seringkali mendapat tugas diluar

kantor, dan biasanya meminta bantuan dirinya untuk sekedar mengantarkan, lalu

biasanya apabila sudah waktu makan siang, Neni akan membayarkan makan siang

89

dan tetap mengganti uang bensin kendaraan Junaidi. Hal tersebut memang

sederhana, tetapi secara tidak langsung dapat meningkatkan semangat kerja

bawahan. Selain memberikan insentif.

Sebagai kontrasnya, apabila terdapat kesalahan dalam pekerjaan

bawahannya, Parjo akan secara terang memberitahu dimana kesalahannya dan akan

membantu dengan mengkoreksi serta memberi saran kepada bawahannya. Tina

mengatakan beberapa kali Parjo memberitahu kesalahan kepada bawahannya

dengan nada yang sedikit tinggi, namun hal itu dimaksudkan agar bawahannya

tidak mengulang kesalahan tersebut. Sri mengatakan bahwa dengan memberitahu

kesalahan secara langsung dapat membuat bawahan mengerti dimana kesalahannya

dan dapat sesegera mungkin memperbaiki kesalahan tersebut.

“kalau ada masalah atau kesalahan dalam pekerjaan saya, biasanya kita langsung diskusi tentang kesalahannya, dan langsung dibuat yang benarnya.” (Sri, 52 tahun, bendahara)

Namun apabila bawahannya bekerja dengan baik, Parjo sebagai pemimpin

juga tidak segan memberikan insentif lebih kepada bawahannya. Sukarni

mengatakan bahwa Parjo kerap mengajak Junaidi makan bersama sembari

berbincang ketika selesai mengerjakan tugas dilapangan. Tidak hanya insentif,

Junaidi, Robi dan Sri mengaku lebih banyak diberikan dukungan atau support

dalam bentuk kata-kata atau candaan yang membangun dalam bentuk apresiasi

kepada bawahannya. Contohnya, Robi mengatakan bahwa Parjo seringkali

memberikan pujian kepada dirinya dengan candaan dan biasanya candaan itu juga

diungkapkan didepan Kasi (Kepala Seksi) lain sebagai bukti bahwa Parjo benar-

90

benar mengapresiasi pekerjaannya. Dengan hal tersebut akan memperkuat

hubungan Parjo dengan para bawahannya, sehingga bawahannya tidak merasa ada

jarak antara dirinya dan Parjo.

Dalam penjelasan diatas dapat dilihat terdapat perbedaan yang jelas antara

Neni dan Parjo dalam hal memberi dukungan kepada bawahannya. Apabila Neni

cenderung mendampingin bawahannya sehingga terhindar dari kesalahan, disisi

lain Parjo lebih terbuka kepada bawahannya mengenai kesalahan yang mereka

lakukan didalam pekerjaannya. Namun dalam hal apresisasi kepada bawahan,

kedua pemimpin ini menggunakan cara yang tidak berbeda jauh, yaitu dengen

memberi pujian untuk membangun kepercayaan diri bawahan dan juga memberika

insentif sebagai usaha meningkatkan semangat kerja bawahannya.

4.2.1.1.3 Empati

Sejalan dengan kedua unsur gaya kepemimpinan yang telah dibahas

sebelumnya, empati adalah unsur selanjutnya yang dibawa oleh kedua pemimpin

ini. Empati adalah sikap peduli yang ditunjukkan oleh seseorang, tidak hanya

kepedulian yang ditunjukkan tetapi diikuti dengan usaha untuk merespon apapun

yang terjadi pada orang-orang disekitarnya. Walaupun keduanya menunjukkan rasa

empati dalam hal yang berbeda, mereka tetap memperdulikan bawahan dan rekan

kerja diluar hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan.

Neni mengatakan, apabila bawahannya terlihat tidak semangat dalam

bekerja atau bekerja dengan tidak maksimal, dirinya akan mencoba menanyakan

dan membahas apa hal yang menyebabkan hal tersebut. Selain membahas, Neni

91

akan berusaha mendiskusikan solusi yang dapat membantu apapun masalah yang

dihadapi bawahannya. Tetapi apabila tidak dapat terselesaikan, Neni akan

memberikan waktu kepada bawahannya untuk beristirahat. Pernyataan tersebut

didukung oleh Junaidi dan Sri yang selalu merasa diperhatikan dan diberikan saran

yang positif oleh Neni apabila sedang mengalami masalah yang berkaitan dengan

pekerjaan ataupun diluar pekerjaan, dan kerap diberikan waktu untuk beristirahat

apabila mereka tidak dapat melanjutkan pekerjaan. Sedangkan Robi mengaku

belum pernah mengalami hal tersebut karena Neni selalu mendampinginya dalam

pengerjaan tugas, sehingga dapat mengurangi beban yang ada.

“Iya, kalo keliatan gak semangat biasanya Bu Neni nanyain gitu, disuruh cerita. Tapi kalo pada Pak Parjo dia lebih dibecandain biar kita lupa sama masalahnya.” (Junaidi, 23 Tahun, Staf)

Disisi lain, apabila melihat bawahannya tidak bersemangat dalam

melaksanakan tugas, Parjo akan berusaha menghibur bawahannya dengan candaan-

candaan yang dapat menyemangati mereka. Namun apabila cara tersebut tidak juga

membuat bawahannya maksimal dalam bekerja, Parjo akan memberikan waktu

untuk istirahat kepada bawahannya. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Tina

sebagai atasan, melihat bahwa Parjo merupakan pemimpin yang selalu menyadari

apabila bawahannya tidak bersemangat dalam bekerja. Tina juga menyatakan

bahwa Parjo selalu berusaha menghibur bawahannya dengan candaan yang

bertujuan menyemangati. Junaidi dan Robi mengatakan bahwa Parjo tidak pernah

keberatan untuk memberikan waktu istirahat apabila mereka mengalami masalah

92

dalam bekerja. Junaidi mengatakan pernah suatu waktu dirinya tidak dapat bekerja

maksimal karena alasan pribadi, lalu Parjo datang bertanya dengan nada yang

semangat, namun setelah Junaidi menceritakan masalahnya, Parjo langsung

memberikan saran dan pendapatnya kepada Junaidi, selain itu Parjo memberikan

ijin untuk beristirahat pada hari tersebut.

“Baik, memperhatikan dan perhatian terhadap para stafnya” (Sri, 52 tahun, bendahara)

Dari penjabaran diatas, dapat dilihat bahwa kedua pemimpin ini merupakan

pemimpin yang memperhatikan tingkah laku para bawahannya dalam bekerja, dan

dapat menyadari apabila bawahannya tidak dapat bekerja ataupun sedang

mengalami masalah. Kedua pemimpin juga tidak lantas membiarkan atau berdiam

diri apabila hal tersebut terjadi kepada para bawahannya, mereka bahkan berusaha

sebisa mungkin membantu bawahannya dalam mengatasi masalahnya atau sekedar

meringankan masalahnya dengan membahas hingga hal-hal yang diluar pekerja

atau hanya memberikan semangat. Kedua pemimpin ini juga tidak ragu untuk

memberikan waktu istirahat kepada bawahannya sebagai bentuk perhatian mereka

terhadap masalah yang dihadapi oleh bawahan.

4.2.1.1.4 Pengembangan kemampuan

Sebagai pemimpin yang baik, tidak hanya memberikan tugas, tetapi

pemimpin juga bertanggung jawab dalam pengembangan kemampuan para

bawahannya. Pengembangan kemampuan berguna bagi bawahan untuk

93

penyelesaian tugas-tugas dan memperluas kemampuan atau pengetahuan bawahan,

serta memperdalam pengertian bawahan mengenai tugasnya. Berdasarkan hasil

wawancara, kedua pemimpin dalam kasus 1 ini berusaha mengembangkan

kemampuan bawahan dalam kepemimpinannya. Masing-masing pemimpin

memiliki cara tersendiri dalam usahanya dalam mengembangkan kemampuan para

bawahannya.

Neni sebagai atasan mengakatan dalam usahanya untuk meningkatkan

kemampuan bawahannya dengan mengajarkan mengenai hal-hal yang berkaitan

dengan pekerjaan bawahan. Tetapi Robi sebagai bawahan langsung Neni,

mengatakan bahwa atasannya sering mengajak dan mempromosikan dirinya untuk

mengikuti pelatihan-pelatihan. Hal tersebut juga didukung oleh Tina sebagai atasan

yang mengaku beberapa kali mendapat permintaan dari Neni untuk mengikutkan

bawahannya untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang penting untuk

pengembangan kemampuan bawahannya. Misalnya saja dalam tugasnya dalam

bidang pemerintahan yang banyak berhubungan dengan input data dan juga

aplikasi-aplikasi baru yang dapat membantu tugasnya. Contohnya adalah ketika ada

pelatihan mengenai aplikasi baru dari Pemkot (Pemerintah Kota) mengenai data

warga, Neni langsung merekomendasikan Robi untuk mengikuti pelatihan yang

berkaitan dengan hal itu untuk menunjang tugasnya.

Selain mempromosikan bawahannya untuk mengikuti pelatihan, ternyata

bagi Sri berdikusi dengan Neni mengenai tugas tertentu juga dapat menambah dan

memperdalam kemampuannya mengenai hal-hal tertentu. Sri mengatakan bahwa

dirinya seringkali diminta untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu oleh Neni, dan

94

ketika mengalami kesulitan, mereka berdua akan berdiskusi untuk menyelesaikan

masalah yang ada.

“kalau ningkatin kemampuan itu, biasanya suka promosiin. Misalnya diluar ada pelatihan apa gitu, dia pasti kasih tau, terus biasanya dia ikut nemenin juga. Ya secara gak langsung ngajak juga.” (Robi, 25 tahun, Staf IT)

Sedangkan Parjo mengaku belum pernah mengikutkan bawahannya dalam

pelatihan tertentu untuk mengembangkan kemampuan bawahannya. Namun Parjo

mengatakan bahwa dirinya senang membangun hubungan formal maupun informal

dengan para bawahannya, dan bertukar pikiran dengan mereka melalui obrolan yang

formal maupun informal. Bagi Parjo, hal tersebut secara tidak langsung dapat

mengembangkan dan menambah pengetahuan para bawahannya bahkan untuk hal-

hal diluar pekerjaan. Hal tersebut juga didukung oleh Robi yang mengatakan kerap

kali memiliki obrolan yang mendalam dengan Parjo, bahkan untuk hal-hal pribadi.

Robi mengaku sering menghabiskan waktu istirahat dengan berbincang dengan

parjo mengenai hobi mereka dibidang otomotif, maupun sekedar mendengar cerita

parjo mengenai pengalamannya.

Bagi Junaidi, dengan memberikan tugas yang beragam kepada bawahannya

Parjo dapat menambah pengalaman dirinya mengenai tugas-tugas baru. Robi juga

sepaham dengan Junaidi mengenai pemberian tugas beragam dapat menambah

pengalaman bawahan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan tugas mereka.

Secara tidak langsung hal tersebut akan memperluas pengetahuan bawahan

mengenai tugas-tugas yang ada didalam organisasi tersebut. Memang dalam

95

memberikan tugas, Parjo akan menjelaskan secara detail dan mendalam mengenai

bagaimana tugas harus diselesaikan, sehingga bawahan akan mudah mengerti apa

yang atasan inginkan dan apa yang harus dilakukan dalam penyelesaian tugas.

Dari penjelasan diatas, dapat kita lihat bahwa kedua pemimpin dalam kasus

1 ini memiliki andil dalam pengembangan diri dan kemampuan para bawahannya.

Walaupun hal tersebut ditempuh melalui cara yang berbeda, Parjo dengan

pendekatan informal dan Neni dalam bentuk pelatihan. Neni memang secara jelas

lebih baik dalam meningkatkan kemampuan teknis bawahannya, tetapi Parjo dapat

mengembangkan diri bawahan dari segi yang lebih informal. Jadi, pada dasarnya

sebagai pemimpin mereka tidak hanya mempekerjakan bawahannya untuk

menyelesaikan tugas-tugas, tetapi juga memberikan ilmu mengenai tugas organisasi

maupun hal-hal yang bersifat pribadi.

4.2.1.2 Efektivitas Kepemimpinan

4.2.1.2.1 Keterlibatan / Involvement

Salah satu tujuan dari kepemimpinan adalah untuk dapat menyelesaikan

suatu pekerjaan melalui orang lain. Di dalam sebuah organisasi, untuk mencapai

tujuan organisasi terdapat tugas-tugas yang harus diselaikan oleh divisi atau bagian

tertentu, oleh karena itu pemimpin yang memimpin bagian tertentu harus dapat

menggerakan bawahannya untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Setiap

pemimpin memiliki caranya masing-masing untuk membuat bawahannya

mengerjakan dan menyelesaikan suatu tugas tertentu dengan sebaik-baiknya.

Dalam kasus 1 ini, kedua pemimpin memiliki perbedaan dalam pemberian tugas

96

kepada para bawahannya. Neni sebagai pemimpin perempuan lebih berusaha untuk

mendampingi bawahannya dalam pemberian tugas, sedangkan Parjo lebih memilih

dan membagikan tugas mana yang harus dikerjakan sendiri dan mana yang harus

dilimpahkan kepada bawahannya.

Menurut Neni, sebagai pemimpin dia selalu berusaha mengerjakan segala

sesuatu bersama dengan para bawahannya. Maka dengan begitu, setiap tugas yang

dikerjakan bawahan akan lebih terkontrol, sehingga setiap kesalahan juga dapat

diperbaiki secara cepat. Hal tersebut diakui oleh Sukarni sebagai rekan kerja dan

Tina sebagai atasan, kedua melihat bahwa Neni adalah pemimpin yang tidak ragu

untuk ikut langsung dalam pengerjaan tugas bersama dengan para bawahannya. Hal

tersebut dapat berdampak positif dan negatif bagi bawahan, karena disatu sisi

bawahan akan lebih fokus dalam mengerjakan tugas, dan setiap kesalahan dapat

diperbaiki secara langsung tanpa pengerjaan dua kali. Namun disisi lain, hal

tersebut dapat menghambat atau membatasi kreativitas bawahan dalam

melaksanakan tanggung jawabnya, dan tidak baik apabila hal tersebut berlangsung

dalam jangka waktu yang lama.

“sejauh ini sih dalam tugas aku selalu didampingi, jadi ya alhamdulillah sejauh ini belum ada masalah sih mas, bagus-bagus aja dan diterima sama kecamatan.” (Robi, 25 tahun, staf IT)

Namun, menurut Robi sebagai bawahan langsung Neni, menganggap

bahwa pimpinannya selalu melihat situasi dan kondisi bawahan dalam memberikan

tugas. Robi mengatakan bahwa Neni tidak pernah memberikan tugas ketika dirinya

97

masih memiliki tugas lainnya dengan deadline yang sama, dan akan dikerjakan

langsung oleh Neni. Dengan kata lain, Neni tidak mengerjakan setiap tugas-tugas

yang ada dengan bawahannya, tetapi lebih bergantung pada situasi yang dihadapi.

Bagi staf lainnya, Neni merupakan sosok pemimpin yang santai dan sopan dalam

memberikan tugas, bahkan seperti meminta tolong. Sri mengatakan biasanya Neni

akan datang ke meja kerjanya, dan meminta tolong mengenai sesuatu. Dengan kata

lain, Neni bukanlah atasan yang ‘bossy’ dan memaksa bawahan untuk melakukan

sesuatu, tetapi pemimpin yang selalu berusaha untuk memahami bawahannya.

Sebagai kontras, Parjo akan membagi tugas yang akan dikerjakan sendiri

dan tugas yang akan dilimpahkan kepada bawahannya. Parjo menganggap apabila

suatu pekerjaan masih dapat dikerjakan sendiri, maka akan diselesaikan sendiri,

tetapi apabila tugas yang harus diselesaikan banyak, maka sebagian akan

dilimpahkan pada bawahannya. Hal tersebut didukung oleh Tina yang melihat

bahwa Parjo merupakan pemimpin yang cukup adil kepada bawahannya, tidak

selalu melimpahkan seluruh tugas kepada bawahannya, tetapi berusaha membagi

tugas-tugas yang ada.

Sukarni melihat bahwa Parjo adalah pemimpin yang lebih mengajak para

bawahannya dalam mengerjakan tugas. Pendapat itu digugurkan oleh pernyata

Junaidi dan Robi yang menganggap bahwa Parjo lebih sering memberikan tugas

kepada bawahannya, dibandingkan mengerjakan bersama. Keduanya berpendapat

bahwa Parjo selalu menjelaskan tugas yang harus dikerjakan secara detail dan

bagaiman proses penyelesaian yang diinginkan olehnya untuk mengurangi

kemungkinan kesalahan. Namun Junaidi mengatakan untuk tugas-tugas yang

98

bersifat kegiatan dilapangan, Parjo selalu mendampingi dan turun langsung dalam

pelaksanaan tugas tersebut. Contohnya adalah ketika ada penugasan pengamanan

PKL (Pedagang Kaki Lima), Parjo selalu mengajak Junaidi untuk membantunya di

lapangan.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kedua pemimpin tersebut

memiliki perbedaan dalam keterlibatannya didalam tugas bawahan. Sebagai

pemimpin, Neni lebih berusaha untuk mengerjakan tugas bersama dengan

bawahannya, namun tetap disesuaikan dengan kondisi yang ada. Sebagai kontras,

Parjo lebih memilih untuk membagi tugas dengan para bawahannya. seperti yang

telah dijelaskan, cara yang dipakai Neni lebih baik dalam hal kontrol pada bawahan

dan dapat menghindari kesalahan, tetapi cara yang dipakai Parjo akan lebih efisien

dari segi waktu pengerjaan. Tapi dari sudut pandang lain, cara yang dipakai Neni

dapat secara tidak langsung membatasi kreativitas bawahan, karena lebih banyak

kontrol oleh atasan.

4.2.1.2.2 Motivation

Sebagai pemimpin yang efektif, seorang pemimpin harus dapat membuat

bawahannya bekerja dengan lebih keras, terlebih apabila kinerja bawahan kurang

memuaskan. Untuk membuat bawahan bekerja dengan lebih keras, maka

dibutuhkan treatment tersendiri yang dilakukan oleh atasan untuk mendorong hal

tersebut. Dalam kasus 1 ini, kedua pemimpin memiliki beberapa kesamaan dan

perbedaan dalam usahanya untuk membuat bawahannya bekerja dengan lebih

keras. Parjo sebgai pemimpin laki-laki lebih memilih untuk memberikan motivasi

99

secara informal dengan candaan kepada bawahan, namun Neni sebagai pemimpin

perempuan lebih memilih untuk terus mendampingi bawahannya.

Neni mengatakan bahwa dirinya lebih memilih untuk mendampingi

bawahannya dalam pengerjaan tugas, karena menurutnya hal tersebut dapat

meningkatkan kepercayaan diri bawahan karena merasa dihargai. Menurut

pendapatnya ketika bawahan telah merasa dihargai, mereka akan lebih merasa

nyaman dan senang dalam melakukan apapun, tak terkecuali mengerjakan tugas.

Selain itu, menurut Neni dengan pendampingan, bawahan akan bekerja lebih serius

dan dapat menghindarkan dari kesalahan. Robi sebagai bawahan langsung juga

sependapat bahwa Neni selalu mendampinginya dalam pengerjaan tugas, bahkan

ketika mengikuti pelatihan, hal tersebut diakuinya dapat mendorong dirinya untuk

bekerja lebih keras karena selalu ada dibawah pantauan atasan.

“Kalo Bu Neni dia selalu dampingin tugas, jadi ya secara gak langsung itu jadi motivasi juga buat aku. Terus kalo Pak Parjo itu sering nasehatin pake candaan kalo lagi makan siang atau lagi kosong.” (Junaidi, 23 Tahun, Staf)

Selain pendampingan, Robi juga merasa selalu merasa ingin bekerja lebih

keras karena atasannya dapat membangun hubungan yang baik dengannya dan

selalu memberikan support, bahkan diluar jam kerja. Sri juga berpendapat bahwa

Neni selalu memberikan dukungan bagi dirinya dalam bentuk selalu

memperhatikan pekerjaanya dan memberikan masukan terhadap apa yang

dikerjakannya. Hal tersebut tentu saja akan memberikan dampak penaikan

kemampuan bawahan dalam mengerjakan suatu tugas dan meningkatkan kualitas

100

hasil pekerjaannya. Junaidi juga mengatakan bahwa Neni selalu mengingatkannya

untuk terus memperbaiki cara kerjanya untuk terus lebih baik dan lebih baik lagi.

Dilain sisi, Parjo mengatakan bahwa dirinya selalu berusaha membangun

hubungan dalam bentuk informal kepada bawahannya untuk dapat lebih dekat.

Hubungan informal yang dimaksud adalah dengan membangun kedekatan secara

personal dengan para bawahan dan rekan kerjanya, sehingga lebih seperti teman

dibandingkan hubungan atasan-bawahan. Kedekatan dengan bawahan inilah yang

digunakan Parjo sebagai alat untuk membuat bawahan bekerja dengan lebih keras,

misalnya dengan candaan-candaan yang secara tidak langsung menyindir bawahan

untuk bekerja lebih keras lagi. Contoh lainnya adalah ketika bawahannya bekerja

dengan tidak memuaskan, dia akan mengajak bawahannya mengobrol dan

memberikan contoh-contoh secara verbal, bagaimana hasil yang diharapkan

olehnya. Hal tersebut diakui oleh Robi dan Junaidi yang selalu mendapatkan

dukungan dari Parjo melalui pembicaraan yang informal.

Selain melalui pendekatan informal, Junaidi juga mengatakan bahwa Parjo

juga seringkali memeriksa hasil pekerjaannya dan selalu memberikan saran untuk

perbaikan. Parjo selalu memperlihatkan dimana letak kesalahan bawahannya,

sehingga bawahannya tau bagian mana yang harus diperbaiki dan harus dihindari

bawahannya ketika melakukan tugas yang sama dikemudian hari. Sri juga

mengatakan bahwa dirinya selalu diberikan teguran dan contoh-contoh yang baik

dalam mengerjakan suatu tugas, dan hal ini membuatnya mengerti bagaimana untuk

dapat memenuhi ekspektasi atasannya.

101

“beliau biasanya mengucapkan terimakasih. “mas ini terimakasih ya, hasilnya bagus lho!” menyanjung, dan membuat semangat bawahannya. Sehingga suasana kekeluargaan itu kental disini” (Tina, 50 tahun, Lurah)

Dapat dilihat dari penjelasan diatas, bahwa pendekatan yang dilakukan Neni

dengan mendampingi bawahannya berhasil untuk meningkatkan kepercayaan diri

bawahannya dalam bekerja dan menghindarkan bawahan dari kesalahan. Namun

pendekatan informal yang dilakukan Parjo juga berhasil membuat bawahannya

merasa nyaman bekerja dibawah perintahnya, dan secara tidak langsung membuat

bawahannya mau untuk bekerja dengan lebih baik dan lebih baik lagi. Kedua cara

yang dipakai oleh pemimpin-pemimpin ini dalam usahanya membuat bawahan

bekerja dengan lebih maksimal berdampak positif dari sisi bawahan, rekan kerja,

dan bahkan atasannya.

4.2.1.2.3 Fulfillment

Sebagai pemimpin, untuk dapat bekerja lebih efektif tentu saja terdapat

beberapa ekspektasi yang harus dipenuhi seorang pemimpin. Ekspektasi tersebut

datang dari berbagai sisi organisasi, contohnya saja kebutuhan dari sisi bawahan

dan juga dari sisi organisasi secara keselurahan. Berdasarkan hasil wawancara,

secara garis besar kedua pemimpin ini telah berhasil memenuhi kebutuhan bawahan

dan organisasi. Namun tentu saja masih ada beberapa hal yang belum terpenuhi

oleh kedua pemimpin ini karena ekspektasi yang beragam.

Neni mengatakan bahwa dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk

memenuhi seluruh kebutuhan bawahannya dan organisasi secara keseluruhan,

102

tetapi dirinya mengaku tidak bisa menilai dirinya sendiri sudah atau belum

memenuhi keseluruhan ekspektasi tersebut. Tetapi, seluruh bawahannya

menganggap bahwa Neni telah memenuhi kebutuhan mereka. Robi menilai Neni

mampu memenuhi kebutuhan bawahan melalui pendekatannya yang selalu

mendampingi bawahan ketika melaksanakan tugas. Sedangkan Junaidi dan Sri

menganggap sifat dan karakter yang selalu memperhatikan bawahanlah yang

membuat bawahan merasa terpenuhi kebutuhannya. Selain itu Neni juga secara

jelas membantu pengembangan diri bawahannya melalui berbagai pelatihan yang

direkomendasikannya.

Sedangkan untuk kebutuhan atau ekspektasi organisasi secara keseluruhan,

Neni juga tidak dapat menilai dirinya, tetapi dirinya selalu berusaha memenuhi

segala hal yang berkaitan dengan Tugas Pokok dan Fungsinya sebagai Kepala

Seksi. Tetapi Sukarni sebagai rekan kerja menganggap Neni sudah memenuhi

kebutuhan organisasi karena dalam penemuhan Tugas Pokok dan Fungsinya

(Tupoksi) selalu berdiskusi dengan atasan, rekan kerja dan bawahannya. Tina

sebagai atasan juga mengatakan hal yang senada dengan Sukarni bahwa Neni sudah

memenuhi kebutuhan organisasi karena Neni memliki keinginan belajar yang

sangat tinggi, sehingga dalam pemenuhan Tupoksinya selalu maksimal, walaupun

terkadang tetap ada beberapa hal yang tidak sempurna.

“Kalo Bu Neni memang beliau sangat baik dalam bekerja, selalu mau belajar kalau beliau. Pak Parjo juga baik dalam bekerja, tapi terkadang suka hilang di jam kerja, saya kadang suka bingung nyariin.” (Tina, 50 tahun, Lurah)

103

Sedangkan Parjo menilai dirinya telah dapat memenuhi kebutuhan

bawahannya karena dirinya mampu melakukan pendekatan secara formal dan

informal. Dirinya mampu mendekatkan dirinya dengan bawahan bahkan untuk

urusan yang tidak berkaitan dengan tugas organisasi. Junaidi, Robi dan Sri

sependapat dengan pernyataan Parjo diatas, bahwa Parjo telah dapat memenuhi

kebutuhan bawahan. Para bawahannya mengatakan Parjo dapat membangun

hubungan yang dekat dengan para bawahannya, Robi menggaris bawahi sifat Parjo

yang terbuka mengenai hal apapun membuat dirinya merasa kebutuhannya sebagai

bawahan terpenuhi. Selain membangun hubungan yang baik dengan bawahan,

Junaidi mengatakan bahwa Parjo dapat berkerja dengan cepat, sehingga dapat

memberikan contoh bagi dirinya bagaimana agar dapat bekerja dengan efektif dan

efisien.

Sedangkan dalam pemenuhan kebutuhan organisasi, Parjo telah berusaha

semaksimal mungkin untuk memenuhi Tugas Pokok dan Fungsinya (Tupoksi)

sebagai Kepala Seksi. Sukarni sebagai rekan kerja juga mengatakan memang Parjo

telah memenuhi Tupoksinya, tetapi dianggap belum maksimal. Hal tersebut juga

dikatakan Tina sebagai atasan mengatakan bahwa Parjo sudah bekerja sesuai

Tupoksi yang diberikan kepadanya. Namun ada beberapa hal yang dianggap Tina

belum memenuhi ekspektasinya sebagai atasan, misalnya adalah seringnya Parjo

meninggalkan kantor di jam kerja tanpa sepengetahuannya. Hal tersebut sangat

disayangkan oleh Tina, karena beberapa kali ketika dirinya membutuhkan Parjo,

namun Parjo sedang berada diluar kantor.

104

Dalam kesimpulan, kedua pemimpin ini telah berhasil memenuhi kebutuhan

para bawahannya melalui gaya kepemimpinan dan pendekatannya masing-masing.

Selain itu kedua pemimpin ini juga telah mampu memenuhi Tugas Pokok dan

Fungsinya (Tupoksi) sebagai Kepala Seksi di organisasi. Namun Parjo mendapat

sedikit ‘catatan merah’ dari atasannya karena terlalu sering meninggalkan kantor

dijam kerja. Namun secara keseluruhan, kedua pemimpin ini juga telah mampu

memenuhi kebutuhan organisasi.

4.2.1.3 Tantangan kepemimpinan

4.2.1.3.1 Tantangan Pekerjaan

Dalam kepemimpinan, tentu saja terdapat hal-hal yang menjadi tantangan

bagi pemimpin tersebut. Tantangan tersebut dapat berasal darimana saja, didalam

maupun diluar organisasi. Berdasarkan hasil wawancara, dalam kasus 1 ini secara

umum tantangan yang dialami kedua pemimpin ini lebih kepada tugas yang harus

mereka selesaikan. Namun keduanya memiliki tantangan yang berbeda dalam

pekerjaannya masing-masing.

Menurut Tina sebagai atasan, salah satu tantangan yang dihadapi oleh Neni

dalam pekerjaannya adalah tugas pokok yang sangat banyak dan beragam karena

memang posisinya menuntut hal seperti itu. Walaupun dihadapkan dengan tugas

yang sangat banyak dan beragam, tetapi Tina selalu dapat memenuhi seluruhnya

karena dirinya memiliki tingkat keinginan untuk selalu belajar yang tinggi. Sukarni

juga mengatakan bahwa Neni tidak segan untuk belajar dan berdiskusi dengan

105

Kepala Seksi dari kelurahan lain untuk dapat memenuhi dan menyelesaikan

tugasnya, terlebih lagi untuk tugas-tugas yang tergolong baru.

Selaras dengan tugas yang beragam, Neni juga memiliki tuntutan untuk

dapat bekerja didalam dan diluar ruangan. Posisinya menuntut dirinya untuk

terbiasa berhadapan dengan tugas-tugas administratif dan juga dapat berhadapan

dengan masyarakat secara langsung di lapangan. Tugas lapangan yang biasanya

harus dipenuhi oleh Neni adalah berdiskusi atau penyuluhan dengan warga

mengenai pembangunan yang ada di wilayah Kelurahan. Untuk menghadapi

masyarakat tentu saja diperlukan kemampuan komunikasi dan pembuatan

keputuasan yang baik serta cepat. Neni harus dapat menyelaraskan keinginan

masyarakat yang beragam dengan aturan yang ada, biasanya hal ini

ditanggulanginya dengan banyak berdiskusi dengan Tina sebagai atasannya.

“Sebagai Kasi, tugas saya ya di luar dan di dalam ruangan, jadi ya harus pinter-pinter bagi waktu. Kalau tidak ya bisa keteteran.” (Neni, 48 tahun, Kasi)

Tantangan yang sama juga dihadapi oleh Parjo, dimana tugasnya lebih

banyak berhubungan dengan masyarakat dan beragam kebutuhannya. Dalam

melaksanakan tugasnya, Parjo seringkali harus berhadapan dengan Pedagang Kaki

Lima (PKL) yang tidak mau mengikuti aturan yang sudah ada dengan berbagai

alasan. Dalam menjalankan tugasnya, sangat dibutuhkan kemampuan komunikasi

yang baik dan juga kesabaran ekstra. Bahkan seringkali Parjo harus berdiskusi

dengan Tina selaku atasan, atau terkadang Tina perlu ikut turun ke lapangan untuk

membantu Parjo menghadapi hal-hal yang dianggap rumit untuk diselesaikan.

106

Misalnya saja ketika PKL (Pekerja Kaki Lima) yang dimaksud tidak mau mengikuti

aturan, atau dalam menghadapi pedagang yang bergender perempuan, hal tersebut

dianggap lebih rumit oleh Parjo.

Dari penjabaran diatas, dapat dilihat bahwa tantangan yang dihadapi oleh

kedua pemimpin ini sangatlah kompleks. Namun keduanya juga memiliki caranya

masing-masing untuk menghadapi da menyelesaikan tantangan tersebut.

Kemampuan yang baik dalam komunikasi dan pembuatan keputusan sangat

dibutuhkan oleh kedua pemimpin ini. Selain itu, koordinasi dengan atasan, rekan

kerja dan bawahan juga sangat diperlukan dalam menyelesaikan berbagai

permasalahan yang ada.

4.2.1.3.2 Tantangan Komunikasi

Dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Seksi (Kasi) di Kelurahan, tentu

saja kedua pemimpin ini tidak dapat terhindar dari kewajiban untuk dapat bekerja

dengan baik bersama seluruh lapisan yang dalam organisasi tersebut. Komunikasi

dan koordinasi yang baik antar lapisan dalam organisasi dapat menjadi salah satu

indikator baik atau tidaknya kinerja suatu organisasi secara keseluruhan. Untuk

membangun komunikasi yang baik dengan semua orang bukanlah hal yang mudah

untuk dilakukan, karena setiap orang memiliki karakter yang berbeda, sehingga

untuk menghadapinya perlu cara yang berbeda pula. Hal tersebut ternyata juga

menjadi salah satu tantangan kepemimpinan yang dihadapi kedua pemimpin ini.

Karena menurut mereka, tidak mudah untuk dapat beradaptasi dengan masing-

masing individu secara sempurna, tentu saja masih akan terdapat kekurangan.

107

Neni sebagai pemimpin perempuan mengakui terkadang memiliki masalah

dalam berkomunikasi dengan rekan kerjanya, tertutama rekan kerja yang bergender

sama. Walaupun secara umum komuniasi yang terjalin di organisasi tersebut cukup

baik, tetapi itu tidak menutup kemungkinan terjadinya gesekan antar individu

ketika terjadi sesuatu. Neni merasa lebih sulit dalam menghadapi rekan kerja yang

bergender sama dan lebih senior dibandingkan dirinya. Misalnya saja apabila

terdapat suatu pekerjaan yang merupakan Tupoksi dari Seksi yang dipimpin oleh

Neni dan terdapat kesalahan, maka dirinya akan mendapat kritikan yang ‘pedas’

dari rekan kerjanya. Neni merasa diperlakukan seperti itu karena dirinya adalah

satu-satunya Kepala Seksi yang lebih junior di organisasi tersebut.

Sedangkan Parjo, sebagai pemimpin laki-laki ternyata juga tidak terhindar

masalah dalam komunikasi didalam organisasi. Parjo mengakui dirinya adalah

orang yang lebih suka berkomunikasi secara informal, dibandingkan secara formal,

contohnya melalui candaan. Namun untuk menjaga kerukunan, dirinya mengaku

lebih menjaga perkataannya terhadap atasan, rekan kerja dan bawahan yang

bergender perempuan. hal tersebut dilakukannya karena menyadari bahwa

perempuan cenderung lebih mudah tersinggung, sehingga untuk menghindari hal-

hal yang tidak diinginkan, maka dirinya lebih memilih untuk berhati-hati dalam

berkomunikasi dengan perempuan.

“ya sejauh ini sih tidak ada, ya paling saya lebih berhati-hati kalau ngomong dengan perempuan sih.” (Parjo, 50 tahun, Kepala Seksi)

108

Dari penjabaran diatas, dapat dilihat bahwa membangun komunikasi yang

baik dengan atasan, rekan kerja, ataupun bawahan bukanlah suatu hal yang mudah.

Terdapat banyak tantangan yang dihadapi oleh kedua pemimpin ini dalam menjaga

keharmonisan di organisasi tersebut. Meskipun begitu, kedua pemimpin ini

memiliki cara masing-masing untuk menghadapi tantangan tersebut. Neni mencoba

menghadapi tantangan tersebut dengan tidak mengambil secara personal apapun

yang dikatakan oleh setiap orang yang di organisasi, sedangkan Parjo

menghadapinya dengan lebih berhati-hati ketika akan berkomunikasi dengan

individu yang berbeda gender.

4.2.1.4 Rangkuman

Dalam bagian rangkuman ini, akan ditarik kesimpulan berdasarkan data-

data yang telah ditemukan dalam proses wawancara. Rangkuman ini akan dibagi

dalam tiga bagian umum, yaitu; gaya kepemimpinan, efektivitas kepemimpinan,

dan tantangan yang dihadapi oleh pemimpin-pemimpin yang dijadikan objek utama

penelitian pada kasus 1 ini.

Dari yang telah diuraikan sebelumnya, dari segi kepemimpinannya kedua

pemimpin dalam kasus 1 ini memiliki poin patenalistik/maternalistik, empati,

supportif, dan pengembangan. Dimana apabila dikembangkan, poin-poin tersebut

mangacu pada salah satu gaya kepemimpinan yang dijelaskan dalam Full Ranged

Leadership Theory (FRLT), yaitu Individualied Consideration. Hal tersebut

dikarenakan kedua pemimpin dalam kasus 1 ini memiliki poin-poin kepemimpinan

yang lebih menekankan pada sikap empati yang memperhatikan bawahan dan

109

sekitarnya. Selain itu terdapat juga sisi paternalisti/maternalistik dengan

menunjukkan sikap yang mengayomi para bawahannya dan kebutuhannya. Serta

selalu berusaha untuk mendukung dan mendorong bawahan untuk terus

berkembang secara terus menerus.

Bagian kedua yang akan dirangkum adalah efektivitas kepemimpinan dalam

kasus 1 ini. Berdasarkan sub-tema yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat tiga

poin yang menjadi sorotan, yaitu; involvement atau keterlibatan, motivasi, dan

fulfillment atau pemenuhan. Kedua pemimpin dalam kasus 1 ini diakui oleh rekan

kerja dan bawahannya memiliki efektivitas kepemimpinan yang baik. Hal tersebut

dikarenakan kedua pemimpin ini mampu membangun komunikasi yang baik

dengan para bawahannya dari sisi formal maupun informal. Selain itu, kedua

pemimpin ini jugas selalu melibatkan bawahannya dalam pembuatan keputusan.

Dan yang paling penting, kedua pemimpin ini secara aktif melakukan usaha-usaha

untuk mengembangkan para bawahannya dari segi kemampuan dan pengembangan

secara pribadi.

Dan terakhir, kedua pemimpin didalam kasus 1 ini memiliki tantangan yang

tidak jauh berbeda dalam kepemimpinannya. Kedua pemimpin ini mengakui bahwa

tantangan yang mereka hadapi adalah dari segi pekerjaan dan dalam komunikasi.

Dari sisi pekerjaan, kedua pemimpin ini dituntut untuk dapat bekerja di dalam dan

diluar ruangan, dimana mereka harus dapat mengimbangi pekerjaan yang bersifat

teori maupun teknis. Ketika harus bekerja dilapangan, kedua pemimpin ini harus

menghadapi masyarakat secara langsung dengan berbagai karakter, sifat dan

kebutuhannya. Selain itu, kedua pemimpin ini juga dihadapkan dengan tantangan

110

komunikasi didalam internal organisasinya. Kedua pemimpin ini mengatakan

bahwa untuk dapat berkomunikasi dengan baik dengan rekan kerja yang bergender

perempuan merupakan suatu tantangan tersendiri. Mereka mengatakan bahwa perlu

kehati-hatian khusus dalam berkomunikasi dengan para rekan kerja maupun

bawahan yang bergender perempuan karena dianggap lebih sensitive.

4.2.2 Kasus 2

Tabel 4.2 Identitas Responden Kasus 2

Narasumber Jabatan Nama 1. Kepala Seksi Pelayanan Publik

(Pemimpin Perempuan) Lina

2. Kepala Seksi Keterntraman dan Keamanan (pemimpina laki-laki)

Yanto

3. Staf mahasiswa PKL (bawahan pemimpin perempuan) Bunga

4. Staf (bawahan pemimpin perempuan) Sarwanto

5. Staf (bawahan pemimpin laki-laki) Doni

6. Staf (bawahan pemimpin laki-laki) Kris

4.2.2.1 Kepemimpinan

4.2.2.1.1 Komunikasi

Dalam sebuah organisasi, untuk mencapai tujuan organisasi terdapat orang-

orang yang memimpin dan dipimpin. Menjadi seorang pemimpin bukanlah sebuah

tugas yang mudah untuk dilakukan. Banyak hal yang menjadi tanggung jawab

seorang pemimpin terhadap para bawahannya, salah satunya adalah menjalin

hubungan yang baik. Cara untuk menjalin hubungan yang baik, salah satunya

111

adalah dengan membangun komunikasi yang baik antar individu didalam

organisasi. Kualitas komunikasi didalam sebuah organisasi tentu saja dapat

berpengaruh pada kinerja dan secara tidak langsung pada tercapai atau tidaknya

tujuan organisasi. Dalam kasus 2 ini, kedua pemimpin laki-laki dan perempuan ini

menerapkan cara yang berbeda untuk membangun komunikasi dengan para

bawahannya. Lina sebagai pemimpin perempuan lebih mengedepankan hubungan

interpersonal dengan bawahannya, sedangkan Yanto sebagai pemimpin laki-laki

lebih memadupadankan hubungan formal dan informal didalam hubungannya

dengan bawahan.

Lina mengatakan bahwa dirinya selalu berusaha untuk membangun

hubungan yang interpersonal yang baik dengan setiap individu yang ada di

organisasi, terutama para bawahannya. Hubungan interpersonal yang dimaksud

adalah Lina berusaha untuk memiliki ikatan yang kuat dan saling membutuhkan

dengan para bawahan dan rekan kerja, sehingga akan diketahui sifat dan karakter

masing-masing individu. Ikatan itu dibangun Lina melalui komunikasi yang intens

dengan para bawahannya, untuk masalah pekerjaan maupun diluar itu. Dengan

mengetahui karakter dan sifat para bawahannya, tentu saja akan lebih mudah bagi

Lina untuk mengetahui bagaimana cara terbaik untuk berkomunikasi dengan

masing-masing bawahannya. Hal yang sama juga diungkapkan para staf yang

bekerja dibawah kepemimpinan Lina, yaitu Bunga dan Yanto. Kedua setuju bahwa

Lina mampu membuat hubungan yang baik dengan para bawahannya, tidak

membeda-bedakan, memberi perhatian, dan juga tidak hanya terpaku pada hal-hal

yang berkaitan dengan pekerjaan.

112

“kalau saya, lebih berkomunikasi secara interpersonal ya. Selain itu, saya akan berupaya untuk memberikan arahan dan bimbingan.” (Lina, 50 tahun, Kasi Pelayanan Publik)

Selain itu, Lina juga berusaha berperan sebagai pembimbing dan pengarah

bagi para bawahannya, bukan sebagai atasan. Hal senada juga dikatakan oleh

Bunga dan Sarwanto sebagai staf yang bekerja dibawah Lina, dimana mereka

menganggap bahwa Lina tidak membuat jarak yang jauh antara dirinya dan

bawahannya. Bunga mengatakan bahwa Lina lebih terasa sebagai mentor yang

selalu memberikan arahan dan saran dalam setiap pekerjaannya. Sedangkan

Sarwanto mengatakan bahwa Lina selalu memberikan contoh-contoh yang baik,

yang ditiru atau diikuti oleh para bawahannya. keduanya sepakat bahwa Lina

berhasil dalam perannya sebagai pembimbing bagi para bawahannya.

Sedangkan Yanto sebagai pemimpin laki-laki mengaku lebih berusaha

memadukan pendekatan formal dan informal dalam membangun hubungan dengan

para bawahannya. Yanto mengatakan bahwa dirinya memakai pendekatan formal

kepada bawahannya disesuaikan dengan posisinya sebagai Kepala Seksi yang harus

memberi contoh dan perintah kepada para bawahannya sesuai dengan Tupoksi

(Tugas Pokok dan Fungsi) yang diembannya. Sedangkan pendekatan informal

dipakai dalam posisinya sebagai seorang individu didalam organisasi yang harus

berinteraksi dengan individu lainnya secara baik dan dekat. Yanto mengatakan

dalam organisasi Pemerintah, tidak dapat hanya terpaku dengan pendekatan formal,

karena hal tersebut akan membuat dirinya jauh dan tidak disukai oleh individu lain

di organisasi tersebut.

113

Kedua bawahan yang bekerja langsung dibawah kepemimpina Yanto juga

mengungkapkan bawah atasannya selalu dapat menempatkan diri secara baik dan

dirasa pas. Doni merasa bahwa Yanto dapat bertindak tegas dalam pengerjaan suatu

tugas, tetapi juga dapat bersikap santai diluar pekerjaan. Contohnya adalah ketika

mereka bersama-bersama bekerja dilapangan untuk mengamankan PKL (Pedagang

Kaki Lima), maka Yanto akan fokus dan serius menyelesaikan tugas hingga tuntas,

tetapi setelah itu Yanto tidak segan untuk duduk disebuah warung sembari bersenda

gurau dengan para bawahannya untuk melepas penat. Sedangkan Kris merasa

bahwa Yanto selalu dapat bekerjasama dengan baik dengan para bawahannya.

Mereka menganggap pendekatan yang digunakan oleh Yanto bukanlah suatu cara

yang negatif karena dapat membuat mereka bekerja dengan lebih profesional, tetapi

juga tidak merasa terdapat jarak yang jauh dalam hal kedekatan dengan atasannya

tersebut.

“Pak Yanto itu orangnya serius kalau dalam bekerja, tapi kalo di luaran juga baik ke kita-kita. Suka bercanda juga kadang kalo lagi diwarung.” (Doni, 35 tahun, staf)

Secara garis besar, memang terdapat perbedaan cara yang dilakukan oleh

kedua pemimpin diatas dalam membangun hubungannya dengan para bawahan.

Namun dari kedua pendekatan tersebut, tak ada satupun bawahan yang

menganggap cara tersebut negatif. Mereka menganggap bahwa para atasannya

dapat membangun komunikasi yang baik dengan mereka mengenai pekerjaan

ataupun hal-hal diluar itu, melalui caranya masing-masing. Peran pembimbing yang

dipakai oleh Lina, dan pendekatan formal yang digunakan Yanto dianggap

114

memudahkan para bawahan dalam pelaksanaan segala tugas yang diberikan oleh

para atasannya. Sedangkan pendekatan interpersonal yang ditekankan oleh Lina

dan pendekatan informal yang dipakai oleh Yanto dianggap membuat para bawahan

merasa lebih nyaman bekerja dibawah kepemimpina kedua pemimpin diatas.

4.2.2.1.2 Direktif

Selain harus dapat membangun hubungan yang baik dengan bawahan

melalui komunikasi, dalam tujuannya untuk mencapai tujuan organisasi, seorang

pemimpin juga harus bersifat direktif. Sifat direktif ini adalah kemampuan yang

harus dimiliki oleh seorang pemimpin untuk dapat mengarahkan para bawahannya

agar melaksanakan seluruh tugas yang diberikan dengan baik. Dalam kasus 2 ini,

kedua pemimpin laki-laki dan perempuan yang dijadikan objek utama memiliki

cara yang tidak berbeda jauh dalam menyampaikan tugas dan pemikiran yang

mereka inginkan. Dalam hal ini, Lina dan Yanto menggunakan pengarahan

langsung kepada para bawahannya dalam menularkan pemikirannya kepada para

bawahan.

Lina mengatakan bahwa dirinya selalu berperan sebagai pembimbing dan

pengarah bagi para bawahannya, maka untuk menularkan pemikirannya kepada

bawahan lebih dilakukan dalam komunikasi sehari-hari. Dalam kasus tertentu, Lina

akan menjelaskan secara detail kepada para bawahnnya mengenai seperti apa suatu

tugas harus diselesaikan dan bagaimana ekspektasinya dalam bentuk standar diawal

waktu. Namun dengan berjalannya waktu, untuk mengetahui apakah hal tersebut

berjalan baik atau tidak, dirinya akan melakukan evaluasi secara berkala. Melalui

115

evaluasi tersebut, Lina akan melihat kinerja bawahannya dan dibandingkan dengan

apa yang dijadikan standar dalam bekerja, maka dari situlah akan dapat dilihat

kinerja dari para bawahannya.

Bunga selaku staf yang bekerja dibidang pelayanan publik juga mengatakan

bahwa Lina selalu memberikan penjelasan mengenai SOP (Standard Operating

Procedure) mengenai suatu tugas tertentu sebelum dirinya dilepas dan menjalankan

tugasnya. Misalnya adalah ketika Bunga akan ditugaskan di meja pelayanan, maka

Lina sudah terlebih dahulu melatih dan menjelaskan apa saja yang harus dikerjakan

oleh Bunga dari beberapa hari sebelumnya. Sarwanto juga mengatakan bahwa Lina

seringkali menjelaskan tugas-tugas secara terperinci sebelum dikerjakan, hal

tersebut bertujuan agar bawahannya mengerti mengenai tugas yang akan

dilaksanakan. Selain itu, Bunga juga mengatakan bahwa Lina selalu melakukan

evaluasi secara berkala terhadap kinerja bawahannya. evaluasi tersebut dilakukan

melalui rapat bulanan Kecamatan maupun rapat berkala Seksi Pelayanan Publik.

“biasanya saya setiap akan melaksanakan tugas akan mengumpulkan semua anggota untuk memberikan pengarahan mengenai apa yang harus mereka lakukan. Itu wajib untuk dilakukan.” (Yanto, 52 tahun, Kasi Ketentraman dan Ketertiban)

Tidak jauh dari apa yang dilakukan Lina, Yanto juga selalu memberikan

pengarahan kepada para bawahannya. pengarahan ini dilakukan setiap sebelum

melaksanakan tugas, khususnya untuk tugas-tugas lapangan yang tidak selalu dapat

didampingin oleh Yanto. Melalui pengarahan ini, Yanto berharap para bawahannya

116

dapat mengerti apa yang harus mereka lakukan, apa wewenang mereka, dan apa

yang harus mereka hindari dalam melaksanakan suatu tugas. Dalam pelaksanaan

tugas pun, Yanto lebih sering membiarkan bawahannya untuk dapat bekerja secara

mandiri, dengan harapan mereka dapat berkembang dengan sendirinya. Namun

dibalik itu, Yanto juga tetap melakukan tindakan kontrol apabila terjadi kesalahan

atau kesulitan yang dihadapi bawahannya. Tindakan yang diberikan pun sesuai

dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Misalnya untuk tingkat kesalahan yang

dikarenakan oleh situasi dan kondisi maka Yanto akan memberikan dispensasi,

namun apabila kesalahan itu murni dari bawahan maka teguran dan peringatan

secara pribadi akan diberikan. Namun apabila kesalahan tersebut terjadi berulang,

maka Yanto tidak segan memberikan surat peringatan secara organisasional kepada

bawahannya

Kris mengatakan bahwa dirinya telah dijelaskan apa saja tugas pokok,

wewenang, dan fungsi dari Seksi tersebut, dari awal dirinya bekerja dibawah

kepemimpinan Yanto. Dengan begitu, pada dasarnya setiap staf yang bekerja

dibawah kepemimpinan Yanto sejatinya telah mengetahui apa yang harus mereka

lakukan. Namun, Kris dan Doni juga mengatakan bahwa Yanto selalu memberikan

pengarahan mengenai suatu tugas-tugas tertentu secara spesifik, khususnya tugas-

tugas lapangan. Selain pengarahan, Doni juga mengatakan bahwa atasannya juga

beberapa kali memberikan contoh cara bekerja dengan baik, sehingga dirinya

mengetahui bagaimana standar yang digunakan Yanto dalam bekerja.

Pada dasarnya, Yanto dan Lina memiliki sifat yang direktif dalam

kepemimpinannya, dimana mereka selalu memberikan petunjuk bagi para

117

bawahannya dalam bekerja atau melaksanakan tugas tertentu. Selain memberikan

petunjuk, keduanya juga secara tidak langsung memberikan standar bagaimana

mereka harus bekerja kepada bawahannya, serta mengambil tindakan kontrol atas

hal itu. Namun dalam teknisnya, mereka lebih membebaskan bawahannya dalam

melaksanakan tugasnya, hal ini dimaksudkan agar bawahannya dapat berkembang

secara mandiri.

4.2.2.1.3 Pengembangan

Sebagai seorang pemimpin, selain harus mampu berkomunikasi dengan

baik dan memberikan tugas secara jelas, mengembangkan kemampuan yang

dimiliki oleh bawahan juga sangat diperlukan. Pengembangan kemampuan

bawahan akan sangat berguna untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari

kinerja karyawan, yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya kinerja

organisasi secara keseluruhan. Pengembangan kemampuan juga sangat dibutuhkan

karyawan di era multimedia saat ini, dimana perkembangan teknologi berkembang

sangat pesat, tetntu saja secara tidak langsung akan berdampak pada pekerjaan

mereka. Maka apabila tidak dikembangkan akan menghambat kinerja dari

karyawan itu sendiri. Pada kasus 2 ini, kedua pemimpin memiliki peran vital dalam

pengembangan diri serta kemampuan bawahannya, dan cara yang dipakai kedua

pemimpin ini tidaklah jauh berbeda.

“Kalau untuk ngembangin kemampuan, menurut saya ya yang paling cocok itu ya ikutkan mereka ke pelatihan yang sesuai. Tapi biasanya emang udh ada jadwal dari Pemkot sih kalo untuk pelatihan gitu.” (Lina, 50 tahun, Kepala Seksi)

118

Lina mengatakan bahwa dalam usahanya untuk meningkatkan kemampuan

bawahannya, dia akan merekomendasikan bawahannya untuk mengikuti pelatihan-

pelatihan yang berkaitan dengan tugasnya masing-masing, atau bahkan diluar

tugasnya. Hal tersebut dilakukan agar setiap individu yang bekerja dibawahnya

memiliki kemampuan yang beragam. Namun untuk kasus tertentu, misalnya untuk

mahasiswa yang magang, Lina hanya menjelaskan secara mendalam mengenai SOP

(standard Operating Procedure) pelayanan publik dan memberikan tugas-tugas

yang beragam untuk menambah pengalaman mereka. Bunga juga mengungkapkan

hal yang sama, dimana dirinya kerap diberikan tugas-tugas yang beragam yang

berkaitan dengan pekerjaannya, maupun hal-hal diluar itu, contohnya adalah

mengurusi administrasi. Namun Sarwanto lebih menganggap bahwa contoh-contoh

yang diberikan Lina dalam bekerja pun sudah menjadi acuan tersendiri bagi

bawahannya untuk dapat mengembangkan diri. Menurut Sarwanto, dengan melihat

dan mengadaptasi contoh yang diperlihatkan Lina dalam melaksanakan tugasnya,

sudah menjadi ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan dirinya mengenai suatu hal

tertentu.

Yanto berpendapat bahwa banyak cara yang telah digunakan oleh dirinya

dalam usahanya untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan para

bawahannya. Hal yang paling sederhana untuk mengembangkan pengetahuan dan

kemampuan bawahan adalah dengan memberi kesempatan kepada bawahan untuk

mengikuti kegiatan-kegiatan tertentu diluar kantor, misalnya rapat di Pemkot

(Pemerintah Kota) atau Kecamatan lain, namun sesuai dengan derajat

119

kemampuannya. Dari situ, bawahan akan memperoleh tambahan informasi terbaru

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tugasnya, sehingga dapat

diimplementasikan dalam pekerjaannya. Selain itu, menurut Yanto pelatihan-

pelatihan yang berkaitan peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia juga

perlu diberikan kepada para bawahannya agar kemampuan mereka dilatih dan

ditingkatkan secara berkala sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.

“saya beberapa kali pernah diminta oleh bapak untuk menghadiri rapat di Pemkot, padahal disitu yang dateng Kasi-kasi dari Kecamatan atau Kelurahan, sedangkan saya hanya staf.” (Doni, 35 tahun, Staf ketentraman dan ketertiban)

Doni juga menyatakan bahwa dirinya beberapa kali diminta untuk mewakili

atasannya untuk menghadiri rapat atau acara yang notabene untuk sekelas para Kasi

(Kepala Seksi). Menurut Doni itu adalah kesempatan yang menarik karena dalam

acara seperti itu terdapat banyak hal baru yang dapat dipelajari olehnya yang

berkaitan dengan tugas dan bagiannya. Sedangkan Kris mengatakan bahwa Yanto

selalu memberikan tugas-tugas yang beragam tidak monoton kepada setiap individu

dibawah kepemimpinannya. Kris menganggap hal tersebut membuat para bawahan

ini dapat merasakan setiap tugas yang ada dan secara tidak langsung memaksa

mereka harus dapat melaksanakan berbagai tugas dengan baik.

Dari penjelasan diatas, dapat kita lihat bahwa kedua pemimpin ini memiliki

peran yang sangat vital dalam pengembangan dan peningkatan kemampuan serta

pengetahuan para bawahannya. kedua pemimpin ini memilih ini memberlakukan

penyebaran tugas kepada setiap individu, sehingga masing-masing individu

120

memiliki pengetahuan yang lebih luas mengenai berbagai pekerjaan. Selain itu,

kedua pemimpin ini juga aktif dalam mengikutkan para bawahannya untuk

mengikuti pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan kemampuan SDM (Sumber

Daya Manusia) yang diadakan Pemkot maupun instansi lainnya yang terkait. Hal

tersebut tentu saja dapat berdampak positif dalam pengembangan diri dan

kemampuan para bawahannya.

4.2.2.2 Efektivitas Kepemimpinan

4.2.2.2.1 Encouragement

Dalam sebuah organisasi, seorang pemimpin harus dapat bekerja dan

memimpin secara efektif agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan maksimal.

Salah satu hal yang harus dapat dilakukan oleh seorang pemimpin yang efektif

adalah dapat mendorong bawahannya untuk bekerja dengan lebih keras atau lebih

maksimal. Dorongan ini dapat berbentuk banyak hal, misalnya saja insentif apabila

bawahan melakukan hal yang dianggap prestasi, memberikan tekanan dalam

bekerja agar bawahan dapat bekerja lebih keras, atau memberikan standar tertentu

yang harus dilampaui oleh bawahan dalam bekerja.

Dalam kasus 2 ini, kedua pemimpin memiliki cara yang berbeda dalam

usahanya untuk membuat para bawahannya bekerja dengan lebih keras. Lina

(pemimpin perempuan) lebih memilih untuk memberikan pendekatan yang lebih

‘halus’ kepada bawahannya untuk dapat mencapai titik tertentu dalam bekerja.

Sedangkan Yanto secara terbuka menyatakan kepada bawahannya bahwa dirinya

menginginkan mereka untuk bekerja lebih keras dengan berbagai cara.

121

“Kalau menurut saya sih, bawahan saya sudah bekerja sangat baik ya. Jadi gaperlu lagi ditekan atau disuruh-suruh. Sudah pada ngerti tugasnya masing-masing.” (Lina, 50 tahun, Kepala Seksi)

Lina menganggap sejauh ini bawahannya telah bekerja dengan maksimal

dan sesuai dengan apa yang diharapkan dirinya, sehingga tindakan-tindakan untuk

memacu bawahan untuk bekerja lebih keras tidak perlu dilakukan. Namun dalam

penjelasana sebelumnya, Lina mengungkapkan bahwa seorang PNS (Pegawai

Negeri Sipil) memiliki sistem insentif yang sudah terkontrol secara organisasi

secara keseluruhan, namun atasan memiliki hak untuk memberikan penilaian

melalui sistem tersebut. Secara tidak langsung, apabila bawahan ingin mendapat

insentif lebih, maka mereka harus dapat ‘mengambil hati’ atasannnya dengan

bekerja lebih keras. Misalnya saja dengan selalu datang lebih pagi dari atasan,

menyelesaikan tugas sebelum deadline, atau tindakan-tindakan lain yang dapat

menarik perhatian atasan. Namun tindakan tersebut bukanlah tindakan yang

dilakukan secara pribadi oleh Lina dalam usahanya untuk membuat bawahan

bekerja dengan lebih keras.

Namun disisi lain, yanto menggunakan berbagai cara agar bawahannya

dapat bekerja lebih keras. Yanto mengatakana bahwa dirinya sesekali memberi

contoh dengan mengajak bawahannya untuk bekerja bersama, agar bawahannya

dapat melihat bagaimana cara kerjanya, dan bagaimana ekspektasinya terhadap

bawahan. Selain itu, Yanto juga secara berkala melakukan kunjungan dengan

tujuan benchmarking atau pembandingan ke Kecamatan-kecamatan lain untuk

122

membuka wawasan para bawahannya tentang bagaimana seharusnya mereka

bekerja. Dan yang paling penting, Yanto tidak segan menegur dan mengingatkan

bawahannya secara pribadi atau kedinasan ketika bawahannya bekerja dengan tidak

memuaskan. Tetapi Yanto juga tidak lupa memberitahukan apa saja keuntungan-

keuntungan dan timbal-balik apabila bawahannya dapat bekerja sesuai

ekspektasinya atau bahkan diatas itu. Hal-hal tersebut tentu saja membuat bawahan

yanto akan selalu merasa terpacu untuk bekerja dengan lebih baik lagi dan lagi.

“kalau bapak itu orangnya tegas, kalau kerjanya gak bener biasanya langsung ditegur, dibilangin. Terus diingetin terus biar gak ngelakuin kesalahan yang sama.” (Kris, 30 tahun, staf Ketentraman dan ketertiban)

Pernyataan Yanto tersebut juga diakui oleh kedua orang bawahannya, Doni

mengatakan bahwa Yanto adalah orang yang sangat profesional dalam bekerja.

Doni mengatakan bahwa Yanto selalu memberi contoh yang baik, memberikan

standar serta ekspektasi tertentu yang harus dirinya penuhi dalam bekerja. Lalu,

ketika Doni tidak berhasil memenuhi ekspektasi tersebut, maka dirinya akan ditegur

oleh atasannya tersebut. Kris juga mengatakan hal yang demikian, Kris

menganggap bahwa atasannya adalah pemimpin yang mampu memberikan contoh

yang baik dalam bekerja. Disamping itu, Kris mengungkapkan bahwa Yanto selalu

terbuka apabila tidak puas terhadap pekerjaan Kris, dan akan diberikan teguran.

Contohnya adalah ketika Kris ditugaskan untuk menyebar surat ke kelurahan, tetapi

ternyata terdapat beberapa kelurahan yang tidak mendapat surat tersebut karena

Kris lupa untuk menyampaikannya, maka keesokan hariny Kris langsung

123

mendapatkan teguran keras dari Yanto. Keduanya menganggap cara-cara yang

digunakan Yanto dalam memimpin sangat efektif dalam mendorong mereka untuk

bekerja dengan lebih baik lagi.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kedua pemimpin ini memiliki

cara yang berbeda dalam usaha meningkatkan kinerja para bawahannya. Contoh-

contoh cara kerja yang dipertunjukkan Lina kepada bawahannya memang akan

memberi gambaran bagaimana ekspektasi yang diberikan kepada bawahannya,

tetapi hal tersebut tidak dapat menjamin bahwa bawahannya akan bekerja keras

untuk mencapai ekspektasi tersebut. Disisi lain, Yanto secara lengkap memberikan

contoh dari internal maupun eksternal organisasi untuk memacu bawahannya dalam

bekerja lebih keras. Selain itu Yanto juga memberikan sistem punishment and

reward kepada para bawahannya agar mereka tetap menjaga dan terus

meningkatkan kinerjanya.

4.2.2.2.2 Fulfillment

Sebagai pemimpin di sebuah organisasi tertentu, tentu banyak hal yang

harus dipenuhi oleh pemimpin tersebut. Tuntutan tersebut dapat datang dari

organisasi dalam bentuk tugas-tugas untuk mencapai tujuan organisasi, dan juga

dapat datang dari kebutuhan bawahan yang dipimpin. Dalam pemenuhan tuntutan

tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, berbagai cara perlu dilakukan

oleh seorang pemimpin untuk memastikan seluruh kebutuhan tersebut terpenuhi

dengan maksimal. Kerena dengan pemenuhan kebutuhan tersebutlah dapat

ditentukan apakakah visi dan misi organisasi dapat tercapai atau tidak.

124

Dari hasil wawancara yang dilakukan dalam kasus 2 ini, secara keseluruhan

kedua pemimpin ini dianggap telah dapat memenuhi kebutuhan organisasi maupun

kebutuhan bawahan. Secara garis besar, kedua pemimpin telah berhasil memenuhi

Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) yang diberikan organisasi kepadanya. Hal

tersebut ditunjukkan dengan sudah terlaksananya berbagai tugas dengan baik.

Disisi lain kedua pemimpin ini juga sudah mampu memenuhi kebutuhan bawahan

secara umum. Kedua pemimpin ini sudah berusaha mengakomodir segala hal yang

dibutuhkan oleh bawahan dari segi pribadi maupun kinerja.

Untuk memenuhi kebutuhan organisasi, Lina sebagai pemimpin perempuan

telah berusaha memenuhi semua hal yang ditugaskan organisasi dan atasannya

secara maksimal. Lina mengatakan sejauh ini dirinya sudah berusaha memenuhi

fungsi bagiannya di Kecamatan yang telah tersemat dalam Perda (Peraturan

Daerah), serta memenuhi segala Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) yang

dilimpahkan kepadanya. Diluar itu, Lina juga berusaha selalu memenuhi apapun

yang atasannya (Camat) perintahkan kepadanya. Hal tersebut juga diakui oleh

Sarwanto (staf) yang mengatakan bahwa tugas sebagai Kasi Pelayanan Publik itu

sangat banyak dan kompleks, namun sejauh ini Lina sudah bisa melaksanakannya

dengan baik. Bunga juga sependapat tentang hal itu, dimana dirinya mengatakan

bahwa atasannya selalu dapat menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan

dengan pelayanan publik dengan baik. Menurut Bunga, masalah seperti warga yang

emosional atau warga yang tidak puas dengan pelayanan Kecamatan adalah

masalah yang sering muncul dalam hal pelayanan publik, namun Lina selalu

125

berhasil mencari solusi atas hal tersebut dengan langsung menghadapi warga

tersebut secara pribadi.

“biasanya aku kalau gatau tentang sesuatu, langsung nanya sama Ibu. Beliau gak marah walau sering ditanya ini itu. Orangnya santai dan baik banget, gak membedakan siapaun.” (Bunga, 20 tahun, staf pelayanan publik)

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan bawahan, Lina juga sudah berusaha

membangun hubungan interpersonal yang baik dengan para bawahannya dan

memberikan seluruh hal yang dibutuh oleh bawahan dalam bekerja. Kebutuhan itu

diantaranya adalah penjelasan mengenai tugas, pemberian reward, hingga

pemenuhan kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan bawahan. Bunga

menguatkan hal itu dengan berpendapat bahwa Lina selalu memenuhi segala

kebutuhan informasi, kemampuan, dan penjelasan yang dibutuhkannya dalam

menjalankan tugasnya di Kecamatan. Selain itu, Sarwanto juga berpendapat bahwa

Lina adalah pemimpin yang mampu dekat dengan para bawahannya secara pribadi

dan profesional. Dekat secara pribadi dan profesional maksudnya adalah dimana

Lina mampu membangun ikatan dan ketergantungan dengan para bawahannya

dalam hal pekerjaan maupun hal-hal diluar itu. Misalnya, Kecamatan juga

mempunyai kelompok arisan yang berisikan anggota organisasi, dan dilingkup

tersebut Lina juga dapat membangun hubungan yang baik diluar urusan pekerjaan.

Tidak jauh berbeda dengan Lina, Yanto juga sudah berusaha memenuhi

kebutuhan organisasi dengan melaksanakan segala tugas dan fungsi yang diberikan

kepadanya dan bagiannya. Selain memuhi segala hal tersebut, dirinya juga telah

126

mendedikasikan dirinya agar organisasinya memiliki kualitas yang lebih baik dari

sebelumnnya dengan memberikan hal-hal yang baru. Yanto mengatakan bahwa

dirinya telah mencotohkan cara kerja baru kedalam organisasinya agar dapat

bekerja lebih efektif, namun tetap manusiawi. Doni dan Kris sebagai bawahannya

juga berpendapat bahwa Yanto sudah melaksanakan seluruh fungsinya dengan

baik, diruangan maupun dilapangan. Bahkan, bawahannya menganggap Yanto

terus mengembangkan kinerja bagiannya dengan mengkomunikasikan keadaan

dilapangan kepada Camat, agar dapat menjadi evaluasi bagi Kecamatan

kedepannya.

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan bawahan, Yanto juga telah

melakukan semaksimal mungkin dengan membangun hubungan yang baik secara

formal maupun informal, mengembangkan bawahan secara skill maupun pribadi,

dan selalu memberikan contoh kinerja yang efektif namun tetap manusiawi. Sikap

profesionalitas dalam pekerjaan merupakan hal yang paling disukai Kris dari

kepemimpinan Yanto, karena dari sikap itulah Dirinya menganggap Yanto dapat

memenuhi kebutuhan dari para bawahannya. Kris menganggap contoh kerja yang

diperlihatkan Yanto membuat dirinya dapat terus berkembang karena standar kerja

tinggi yang diterapkan Yanto. Sedangkan Doni menganggap bahwa Yanto dapat

berlaku adil terhadap para bawahannya dalam hal pekerjaan, karena beliau

menerapkan sistem reward and punishment, serta memberikan jalan bagi para

bawahannya untuk terus bekembang secara pribadi maupun skill.

“Bapak orangnya profesional banget sih, aku suka banget cara kerja beliau. Tau caranya untuk memperlakukan bawahan

127

secara baik, tapi juga ngedorong untuk bekerja lebih keras.” (Kris, 30 tahun, Staf)

Dari paparan diatas, dapat dilihat bahwa kedua pemimpin ini telah berusaha

semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan kebutuhan para

bawahannya. segala hal telah mereka lakukan untuk memastikan bagiannya dapat

bekerja dengan maksimal, dari pemenuhan tugas pokok dan fungsi, hubungan

dengan bawahan, hingga pengembangan kemampuan bawahan. Semua hal tersebut

mereka lakukan dalam usahanya untuk membuat organisasi terus berkembang

kearah yang positif.

4.2.2.3 Tantangan

4.2.2.3.1 Tantangan Pekerjaan

Memimpin suatu organisasi atau suatu bagian dari sebuah organisasi

tertentu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Banyak hal yang harus

dipikirkan serta dipenuhi oleh seorang pemimpin untuk memastikan visi dan misi

organisasi dapat tercapai. Dalam usaha pencapaian visi dan misi organisasi juga

bukanlah hal yang mudah, karena akan terdapat banyak tantangan yang harus

dilewati oleh seorang pemimpin. Tantang tersebut dapat berasal dari berbagai sisi

dari kepemimpinan itu sendiri, misalnya pekerjaan, hubungan dengan bawahan atau

rekan kerja, atau bahkan dari keluarga. Namun sebagai seorang pemimpin yang

baik, segala tantangan tersebut harus dapat dilewati dan diatasi dengan baik.

Apabila dilihat dari hasil wawancara yang telah dilakukan dalam kasus 2

ini, kedua pemimpin ini juga memiliki beberapa tantangan dalam

128

kepemimpinannya. Dalam hal ini, tantangan yang pertama adalah tantangan

pekerjaan. Kedua pemimpin ini mendapat tantangan yang dianggap berarti dari

tugas dan fungsi mereka di organisasi, namun dalam hal yang berbeda. Bila Lina

berkutat dengan kuantitas pekerjaan, Yanto lebih menitik beratkan pada hal-hal

yang berada diluar wewenangnya.

Lina mengatakan setiap Seksi di Kecamatan memang memiliki tugas pokok

dan fungsi masing-masing yang harus dipenuhi, dan dengan kuantitas serta tingkat

kesulitan yang beragam. Namun dirinya menganggap bahwa sektor pelayanan

publik adalah bagian yang memiliki tugas dengan kuantitas lebih dibandingkan

dengan bagian lainnya. Hal ini dikarenakan salah satu fungsi Kecamatan adalah

untuk melayani masyarakat yang berkaitan dengan kependudukan dan segala seluk-

beluknya. Maka tidak heran apabila sektor pelayanan publik memiliki tugas pokok

dan fungsi yang lebih dibanding bagian lainnya.

Selain dalam hal kuantitas, dari segi kualitas pun, tugas-tugas dari sektor

tersebut tidak dapat dianggap mudah, karena setiap harinya akan ‘beresentuhan’

langsung dengan masyarakat dengan berbagai sifat dan karakternya serta

kebutuhannya. Ditambah lagi, diluar Tupoksi yang telah ditentukan oleh

Kecamatan, sektor ini kerap mendapat tugas tambahan langsung dari Pemerintah

Kota Semarang, yang tentu saja juga harus diselesaikan. Contohnya adalah ketika

terdapat aplikasi terbaru dalam bidang pelayanan publik, Lina dan bagiannya

diminta untuk melakukan penyuluhan ke kelurahan-kelurahan yang berada dalam

wilayah tugas Kecamatan. Maka bagi Lina, banyaknya dan sulitnya tugas-tugas

tersebut merupakan suatu tantangan tersendiri bagi dirinya.

129

“kita itu susahnya kalau harus mengamankan masyarakat atau PKL (Pedagang Kaki Lima). Kadang mereka itu keras kepala, bikin emosi. Kadang juga ada yang kasian banget, kadang gak tega juga. Tapi Namanya tugas, ya harus dilaksanakan.” (Yanto, 52 tahun, Kasi Ketentraman dan Ketertiban)

Sedangkan bagi disisi lain, Yanto sebagai Kepala Seksi Keamana dan

ketertiban bersama para bawahannya lebih banyak bekerja diluar lapangan yang

mana harus bersentuhan langsung dengan masyarakat. Karena tugasnya yang lebih

banyak berhubungan dengan masyarakat, Yanto mengatakan bahwa dirinya lebih

tahu apa yang terjadi lapangan dibandingkan dengan atasannya. Seringkali dirinya

mengkomunikasikan keadaan dilapangan kepada atasannya dan menyarankan

berbagai hal baru yang mungkin dapat menjadi solusi permasalahan di lapangan.

Namun, tidak semua saran tersebut diterima oleh atasannya, dan mengakibatkan

dirinya tidak dapat bergerak fleksibel untuk menyelesaikan masalah yang ada.

Menurut Yanto, hal-hal diluar wewenangnya tersebutlah yang terkadang menjadi

tantangan tersendiri dalam kepemimpinannya.

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa masing-masing pemimpin

memiliki masalah atau tantangan yang berbeda, bahkan dari sudut pandang yang

sama. Namun diluar tantangan tersebut, hal yang lebih penting adalah bagaimana

para pemimpin ini dapat mengatasi tantangan yang ada. Untuk kasus Lina, dirinya

berusaha mengatasi banyaknya tugas tersebut dengan memberikan tingkat prioritas

agar mengetahui mana tugas yang harus diselesaikan terlebih dahulu. sedangkan

untuk kasus Yanto, dirinya tidak dapat berbuat apapun mengenai masalah yang

130

dihadapinya, karena memang hal tersebut diluar wewenangnya untuk memutuskan

sesuatu.

4.2.2.3.2 Tantangan Kepemimpinan

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tantangan kepemimpinan dapat datang

dari pekerjaan, hubungan internal atau eksternal organisasi, dari keluarga, atau

bahkan datang dari kepemimpinan itu sendiri. Yang dimaksud tantangan yang

datang dari kepemimpinan itu sendiri adalah tantangan yang datangnya dari proses

memimpin orang dan sebagai seorang pemimpin. Tantangan ini bisa datang proses

memimpin seseorang atau organisasi, misalnya dalam membuat pandangan

kedepan organisasi, pengembangan kemampuan bawahan, dan lainnya. Setelah

melakukan wawancara, dalam kasus 2 ini kedua pemimpin ini mengalami

tantangan yang ternyata terjadi dari proses kepemimpinannya sendiri. Namun

apabila dilihat lebih dalam lagi, tantangan yang dialami oleh kedua pemimpin ini

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan tantangan keduanya adalah

berhubungan dengan masa depan organisasi.

“Soalnya saya kebanyakan staf yang kerja praktek ya, yang tetap cuma dikit. Jadi susah gitu kalo mau dipilih dan dilatih untuk masa depan. Pilihannya terbatas.” (Lina, 50 tahun, Kepala Seksi)

Dalam kasus yang dihadapi oleh Lina, dirinya mengatakan belum puas

dengan kepemimpinannya karena tidak dapat mendidik secara langsung orang-

orang yang dianggapnya memiliki kemampuan lebih. Orang-orang ini sebenarnya

131

akan Lina proyeksikan untuk dapat menggantikan posisinya atau siap untuk

ditempatkan diposisi yang setingkat dengan dirinya dimasa depan. Lina

mengatakan bahwa tantangannya adalah tantangan kaderisasi. Hal tersebut

dikarenakan saat ini dirinya hanya memiliki satu staf yang khusus bekerja dibawah

arahannya. Sedangkan dalam tugas sehari-hari Lina lebih banyak berinteraksi

dengan mahasiswa yang magang di Kecamatan, yang ditugaskan untuk sektor

pelayanan publik. Lina tidak bisa mengkader mereka, karena mahasiswa magang

ini sifatnya hanya temporer dan cenderung singkat, hanyak 2 sampai 3 bulan. Hal

tersebut sangan disesalkan oleh Lina, karena menurutnya dengan sistem kaderisasi

akan dapat menjaga atau bahkan mengembangkan kualitas sektor pelayan publik

khususnya.

“menurut saya, tantangan yang paling susah itu untuk menjadi pemimpin yang mampu berpikir kedepan, mampu membuat visi dan misi yang memenuhi kebutuhan masyarakat.” (Yanto, 52 tahun, Kasi Ketentraman dan Ketertiban)

Berbeda dengan Lina, Yanto mengatakan bahwa tantangan sesungguhnya

dari sebuah kepemimpinan itu adalah bagaimana untuk menjadi pemimpin yang

visioner, mampu mebuat visi dan misi organisasi untuk memenuhi kebutuhan

organisasi dan masyarakat, serta mengembangkan organisasi secara terus-menerus.

Dalam hal ini, menurutnya untuk menjadi pemimpin yang memilik pandangan

kedapan adalah bukan hal yang mudah, tetapi sangat diperlukan. Dengan pemikiran

yang visioner, maka akan terwujudlah visi dan misis organisasi yang mengacu pada

masa depan, bukan hanya dengan saat ini. Menurutnya, visi dan misi untuk

132

organisasi yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat, tentu saja harus dapat

memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan yang terakhir, dengan menjadi pemimpin

yang visioner, akan dapat membawa perkembangan yang positif bagi organisasi

secara keseluruhan.

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa kedua pemimpin memiliki

sudut pandang yang tidak jauh berbeda, yaitu keduanya lebih memikirkan keadaan

organisasi dimasa yang akan datang. Namun perbedaannya, Lina hanya berfokus

pada sumber daya manusianya, sedangkan Yanto lebih befikir secara organisasi

secara keseluruhan.

4.2.2.4 Rangkuman

Dalam kasus ke-2 ini, juga terdapat tiga hal yang dapat dijadikan sebuah

kesimpula. Ketiga hal tersebut adalah dari sisi gaya kepemimpin, efektivitas

kepemimpinan, dan juga tantangan. Secara umum tidak banyak hal yang berbeda

dari rangkuman di kasus 2 ini dibanding dengan kasus 1, namun tetap terdapat

beberapa perbedaan.

Dari sisi gaya kepemimpinan, terdapat tiga poin inti yang didapat dari hasil

penelitian, yaitu; komunikatif, direktif dan juga pengembangan. Secara detail kedua

pemimpin dalam kasus 2 ini menggunakan pendekatan yang berbeda, tetapi

outcome yang mereka berikan dalam kepemimpinnya tidak jauh dari tiga poin

tersebut. Namun, bila dilihat dari Full Ranged Leadership Theory (FLTR) kedua

pemimpin ini memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Lina sebagai pemimpin

perempuan lebih memiliki gaya kepemimpinan yang cenderung kepada

133

transformasional Individualized Consideration. Hal tersebut karena Lina lebih baik

dalam membangun hubungan interpersonal dengan para bawahannya dan

memperhatikan bawahannya secara personal, serta memberikan empati lebih

terhadap apa yang dihadapi bawahannya. sedangkan Yanto memiliki gaya

kepemimpinan yang cenderung transaksional Contingent Reward. Hal tersebut

ditandai dengan kepemimpinannya yang lebih terbuka mengenai ekspektasi kerja,

memandu perkembangan bawahannya, serta tidak ragu dalam memberikan timbal-

balik terhadap apa yang dilakukan oleh bawahannya.

Dari sudut pandang efektivitas, kedua pemimpin ini mendapat pengakuan

bahwa mereka telah efektif dalam memimpin para bawahannya. walaupun secara

detail, banyak hal-hal berbeda secara teknis yang dilakukan oleh kedua pemimpin

ini. Namun, secara umum apa yang mereka lakukan berujung pada encouragement

atau dorongan dan fulfillment atau pemenuhan. Dalam kasus 2 ini, kedua pemimpin

selalu mendorong bawahannya untuk dapat bekerja secara mandiri, namun selalu

mendorong para bawahannya untuk terus berkembang secara kemampuan dan

pribadi melalui treatment yang mereka berikan. Selain itu, keefektivitasan

kepemimpinan kedua pemimpin ini juga didukung oleh usahanya dalam memenuhi

kebutuhan bawahan dan organisasi secara umum.

Lalu yang terakhir, dari sudat pandang tantangan kepemimpinan, secara

umum kedua pemimpin ini menghadapi tantangan yang datang dari hal yang sama.

Tantangan yang dihadapi kedua pemimpin ini datang dari sisi pekerjaan dan

kepemimpinannya itu sendiri. Bagi Lina kuantitas dan kualitas tugas yang harus

diselesaikan oleh bagiannya merupakan salah satu tantangan tersendiri bagi dirinya.

134

Sedangkan Yanto menghadapi masalah apabila terdapat pekerjaan yang dianggap

harus diselesaikan namun hal tersebut berada diluar wewenangnya. Namun

tantangan yang dialami oleh kedua pemimpin ini dari sisi kepemimpinan lebih

bermuara pada bagaimana cara untuk mempertahankan dan memberikan kualitas

terbaik bagi organisasi dimasa depan.

4.3 Diskusi

4.3.1 Apakah terdapat perbedaan gaya kepemimpinan antara Pemimpin

laki-laki dan pemimpin perempuan?

Secara umum, dalam penelitian ini menemukan beberapa dimensi dari gaya

kepemimpin yang dianggap paling penting oleh para narasumber. Terdapat

beberapa persamaan dan perbedaan yang didapati penelitian ini dari para

narasumber. Yang pertama adalah komunikatif, dimensi ini dianggap penting

karena merupakan dasar dari hubungan antara bawahan dan atasan. Pemimpin

perempuan dan laki-laki dalam penelitian ini memakai pendekatan formal dan

informal dengan para bawahannya. Penelitian ini menemukan bahwa pemimpin

perempuan lebih cenderung memakai pendekatan informal dibanding formal untuk

mendekatkan diri para bawahannya.

Komunikasi yang dikapai pemimpin perempuan lebih pada komunikasi

interpersonal, dengan memberikan perhatian lebih terhadap para bawahan, dengan

cara ini bawahan merasa memiliki kedekatan lebih dengan para atasannya.

Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan

bahwa pemimpin perempuan lebih simpatik, peka, dan rela berkorban (Li Kusterer

135

et al., 2013). Sedangkan pemimpin laki-laki lebih memilih memadukan antara

hubungan formal dan informal. Pemimpin laki-laki akan memakai pendekatan

informal untuk membangun kedekatan dengan para bawahan, sedangkan hubungan

formal untuk mendukung hubungan mereka dengan bawahan dalam menjalankan

tugas. Dengan memadukan antara kedua pendekatan ini akan membangun

kedekatan dengan para bawahan, tetapi tetap memiliki sisi tegas dalam

kepemimpinannya. Dengan memadukan hubungan ini, bawahan akan lebih dapat

menghormati para pemimpin laki-laki dalam penelitian ini.

Dimensi gaya kepemimpinan kedua yang ditemukan dalam penelitian ini

adalah suportif. Sifat suportif ini sangat diperlukan dalam kepemimpin, karena

dengan sikap ini pemimpin akan dapat menunjukkan rasa menghargai bawahan dan

sebaliknya, bawahan akan merasa sangat dihargai oleh atasannya. Dalam penelitian

ini mayoritas dari keempat pemimpin menggunakan cara yang tidak jauh berbeda,

yaitu menunjukknya sikap suportifnya secara langsung kepada bawahan. Suportif

atau sikap dukungan yang diberikan para pemimpin ini ditunjukan melalui verbal

maupun tindakan. Pemimpin-pemimpin ini tidak segan untuk memuji bawahnnya

secara langsung atau bahkan memberikan insentif lebih ketika bawahannya bekerja

dengan baik, namun juga tidak ragu untuk mengomentari secara positif apabila

bawahannya melakukan kesalahan. Pemimpin-pemimpin secara aktif menunjukkan

bahwa mereka menghargai apa yang dilakukan bawahannya, dan juga tidak

menolak untuk memberikan tindakan perbaikan, untuk kebaikan bawahannya

dimasa yang akan datang. Dalam dimensi ini tidak ditemukan perbedaan yang

berarti dari kepemimpinan pemimpin laki-laki maupun perempuan.

136

Selain suportif, ternyata penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat sisi

empati didalam kepemimpinan para pemimpin ini. Mayoritas dari pemimpin yang

dijadikan objek utama penelitian ini (tiga dari empat pemimpin) memiliki empati

yang tinggi terhadap para bawahannya. Mereka bersikap lebih peduli pada

bawahannya dalam hal formal maupun informal, dalam pekerjaan maupun diluar

pekerjaan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya pada Alonso-Almeida

& Bremser (2015). Penelitian ini menemukan bahwa pemimpin perempuan lebih

aktif dalam menunjukkan sifat empatinya kepada para bawahannya. Sikap empati

ini terbukti sangat berarti bagi bawahan karena mereka merasa lebih dihargai dan

diperhatikan oleh atasannya. Dibalik itu, pemimpin laki-laki juga memiliki sifat

empati, namun tidak secara jelas ditunjukkan kepada para bawahannya dalam

keseharian. Melalui sikap empati ini pula, pemimpin dapat menunjukkan bahwa

mereka tidak hanya memikirkan sisi formal dari bawahannya, tetapi juga sisi

kebutuhan pribadi dari bawahannya.

Disamping memiliki empati, pemimpin yang dijadikan objek dalam

penelitian ini secara umum memiliki sifat direktif. Yang dimaksud dengan

kepemimpinan yang bersifat direktif dalam penelitian ini adalah para pemimpin ini

selalu memberikan instruksi yang jelas mengenai tugas-tugas yang harus dikerjakan

oleh para bawahannya. penelitian ini menemukan pemimpin laki-laki maupun

perempuan selalu memberikan tugas dan petunjuk secara jelas kepada bawahannya,

dan tidak hanya menunggu bawahan bertanya atau bahkan menganggap bawahan

mengetahui serta mengerti tugasnya masing-masing. Namun penelitian ini

menemukan bahwa para pemimpin laki-laki lebih banyak memberikan contoh agar

137

para bawahan dapat mengerti apa yang harus mereka lakukan. Dengan petunjuk

yang jelas dari atasan, bawahan pun merasa jelas mengenai apa yang harus mereka

lakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Hal tersebut juga telah

disebutkan dalam penelitian sebelumnya bahwa pemimpin laki-laki memiliki sifat

mengatur, percaya diri dan lebih tegas (Li Kusterer et al., 2013). Singkatnya,

dengan sikap direktif yang dimiliki oleh atasannya, membuat bawahan mengerti

seperti apa ekspektasi atasa terhadap pekerjaannya. Sehingga penelitian ini tidak

menemukan perbedaan yang siginifikan dalam dimensi ini didalam kepemimpinan

laki-laki dan perempuan.

Dimensi gaya kepemimpinan lainnya yang ditemukan oleh penelitian ini

adalah pengembangan. Pengembangan dalam penelitian ini maksudnya adalah

para pemimpin yang dijadikan objek penelitian memiliki keinginan untuk

mengembangkan bawahannya. pengembangan yang dilakukan oleh atasan ini

meliputi kemampuan dan juga secara pribadi. Tidak terdapat perbedaan yang

signifikan dari cara yang ditempuh oleh keempat pemimpin ini untuk

mengembangkan bawahannya secara kemampuan maupun pribadi. Secara umum,

para pemimpin ini akan merekomendasikan bawahannya untuk mengikuti suatu

pelatihan yang berkaitan dengan bidang kerjanya, serta memberikan pekerjaan yang

beragam kepada bawahannya agar memiliki pengetahuan yang luas mengenai

bidang kerjanya. Tetapi pendekatan secara personal juga dilakukan oleh mayoritas

pemimpin dalam penelitian ini untuk mengembangkan sisi pribadi dari

bawahannya. hal tersebut tentu saja berdampak sangat positif terhadap masa depan

bawahan.

138

Dari kelima sikap dalam kepemimpinan yang dijelaskan diatas, maka

penelitian ini dapat menarik sebuah kesimpulan yang lebih mendalam. Dari dua

pemimpin laki-laki dan dua pemimpin perempuan ini, secara umum

mempraktekkan dan memperlihatkan kecenderungan memeliki gaya

kepemimpinan yang lebih Transformasional. Hal ini sejalan dengan pendapat

penelitian terdahulu yang mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan gaya

kepemimpinan dengan gender pemimpin (Wells et al., 2014). Hal tersebut dapat

dilihat dari dimensi-dimensi yang para pemimpin bawa kepada masing-masing

bawahannya. Secara khusus, keempat pemimpin ini mempratekkan kepemimpinan

yang mengacu pada Individualized Consideration, dimana para pemimpin ini

memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan para bawahannya, berempati

pada kebutuhannya, serta secara aktif mendorong bawahan untuk berkembang

(Barbuto & Cummins-Brown, 2007).

Berkaitan dengan hal diatas, hanya satu pemimpin laki-laki yang

memadukan gaya kepemimpinan transformasional (Individualized

Consideration) dengan gaya kepemimpinan Transaksional, lebih spesifik lagi

Contingen Rewards, karena pemimpin tersebut secara jelas menggambarkan

ekspektasinya terhadap bawahan, memberikan penghargaan secara terbuka, serta

secara tidak langsung mengaplikasikan ‘transaksi’ antara bawahan dan atasan yang

bersifat membangun (Barbuto & Cummins-Brown, 2007). Maka apabila dilihat

secara umum, tidak terdapat perbedaan yang berarti dari gaya kepemimpinan yang

dipakai atau diterapkan oleh para pemimpin perempuan maupun laki-laki didalam

penelitian ini, hanya perbedaan dalam penerapannya saja. Hal tersebut sejalan

139

dengan pernyataan bahwa pemimpin perempuan dan laki-laki secara umum

memiliki persamaan dalam strategi kepemimpinannya (Alonso-Almeida &

Bremser, 2015).

4.3.2 Bagaimana persepsi efektivitas gaya kepemimpinan pemimpin laki-

laki dan pemimpin perempuan pada organisasi pemerintah?

Pada bab sebelumnya, telah diljelaskan beberapa hal yang menjadi bagian

dari efektivitas kepemimpinan dari perspektif, diantaranya ialah; communication,

leader assist & supports, leader listens to employees, dan staff development

(Muchiri et al., 2011). Berdasarkan hasil wawancara, penelitian ini menemukan

beberapa poin yang tekankan dari efektivitas kepemimpinan para pemimpin dari

kasus 1 dan kasus 2. Beberapa dari poin tersebut adalah Involvement, motivation &

encouragement, dan Fullfilment.

Pada poin involvement atau keterlibatan, dalam penelitian ini maksudnya

adalah keterlibatan pemimpin dalam kepemimpinan terhadap bawahan, serta

kesediaan pemimpin untuk melibatkan bawahannya. Dalam hal ini, mayoritas dari

keempat pemimpin dari 2 kasus dalam penelitian ini selalu berusaha melibatkan

diri dalam penugasan yang diberikan kepada bawahannya, meskipun terdapat

beberapa perbedaan dalam teknisnya. Para pemimpin dalam hal ini memberi contoh

kepada bawahan, mendampingi bawahan dalam penugasan, serta berkomunikasi

secara baik dengan para bawahan. Disamping itu, keempat pemimpin ini (laki-laki

maupun perempuan) dinilai tidak ragu dalam melibatkan bawahan dalam keputusan

yang mereka ambil. Keempat pemimpin ini tidak ragu meminta pertimbangan dari

140

bawahan atau memakai pendapat bawahan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Penemuan tersebut sejalan penelitian terdahulu yang mengatakan bahwa pemimpin

yang efektif adalah yang mampu membangun komunikasi yang baik dengan

bawahannya dan memiliki sikap rendah hati untuk menerima masukan (Muchiri et

al., 2011). Dalam poin ini, aspek communication dan leader listens to employees

telah dipebuhi oleh keempat pemimpin ini.

Poin selanjutnya yang ditemukan penelitian ini adalah motivation dan

encouragement. Dalam penelitian ini, maksudnya adalah keempat pemimpin yang

dijadikan objek utama penelitian telah selalu berusaha memberikan motivasi dan

mendorong bawahan untuk selalu bekerja dengan lebih baik dan lebih keras. Hal

tersebut juga sudah dikemukakan dalam penelitian sebelumnya, bahwa pemimpin

yang baik harus dapat memberikan motivasi dan inspirasi bagi para bawahannya

(Muchiri et al., 2011). Motivasi dan dorongan yang diberikan atasan ini dapat

berbentuk formal maupun informal. Dalam kasus 1 dorongan diberikan dengan

memberikan inspirasi secara informal dan pendampingan tugas, sedangkan dalam

kasus 2 berbentuk insentif dan tekanan dalam kerja.

Namun dalam hal tertentu, pemimpin laki-laki dinilai lebih baik dalam

mendorong bawahannya untuk bekerja lebih karena karena memiliki sifat yang

lebih tegas. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang

mengatakan bahwa pemimpin laki-laki memiliki karakteristik agentic yang

memiliki sifat tegas (Li Kusterer et al., 2013). Hal ini tentu saja akan membuat

bawahannya lebih bersemangat dalam bekerja dan juga bekerja dengan keras untuk

141

memenuhi ekspektasi atasan. Dalam poin ini, aspek leader assist & support telah

dipenuhi oleh keempat pemimpin ini, namun dengan caranya masing-masing.

Dan poin terakhir yang didapatkan oleh penelitian ini adalah fulfillment

atau pemenuhan. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah usaha keempat pemimpin

ini untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan bawahan. Kebutuhan bawahan ini

mencakup hubungan, komunikasi, hingga pengembangan diri dan kemampuan.

Penelitian ini menemukan bahwa keempat pemimpin dalam penelitian ini dianggap

telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut oleh bawahannya, terutama dalam

pengembangan diri dan kemampuan. hal tersebut berbanding lurus dengan

penelitian terdahulu yang mengatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah

pemimpin yang mampu memberika pelatihan yang mumpuni dan mendorong

mereka untuk terus berkembang (Muchiri et al., 2011). Berbagai cara digunakan

oleh para pemimpin ini, dari pemberian tugas yang beragam hingga

merekomendasikan pelatihan untuk bawahan. Hal tersebut tentu saja berdampak

positif bagi bawahannya, dimasa kini maupun dimasa depan. Dari poin ini, dapat

disimpulkan bahwa aspek staff development telah dipenuhi oleh keempat pemimpin

ini.

Secara umum keempat pemimpin ini telah memenuhi semua aspek

perspektif efektivitas kepemimpinan dari para bawahannya. Maka apabila dikaitkan

dengan penelitian yang dilakukan Muchiri et al (2011), keempat pemimpin ini

memiliki kepemimpinan yang efektif. sehingga dapat disimpulkan bahwa

pemimpin perempuan maupun pemimpin laki-laki dalam organisasi pemerintah ini

sama-sama memiliki kepemimpinan yang efektif. Yang berbeda hanyalah cara

142

keempat pemimpin ini dalam mencapai kepemimpinan yang efektif tersebut. Apa

yang ditemukan oleh penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian

sebelumnya yang menyebutkan bahwa pemimpin perempuan tidak kalah dengan

pemimpin laki-laki dalam hal efektivitas kepemimpinan (Yaseen, 2010).

4.3.3 Apakah tantangan yang dialami para pemimpin (perempuan dan laki-

laki) dalam kepemimpinannya di organisasi pemerintah?

Pertanyaan penelitian terakhir dalam penelitian ini adalah mengenai

tantangan yang dihadapi oleh pemimpin-pemimpin di orgnisasi pemerintah.

Penelitian ini menemukan tiga hal yang dianggap menjadi tantangan tersendiri

dalam kepemimpinan mereka. Poin-poin tersebut adalah tantangan pekerjaan,

tantangan komunikasi dan tantangan dalam kepemimpinan itu sendiri. Namun dari

dua kasus yang dibahas dalam penelitian ini ternyata terdapat perbedaan pendapat

dari kasus 1 dan kasus 2. Pada kasus 1, tantangan yang dihadapi adalah tantangan

pekerjaan dan komunikasi. Sedangkan pada kasus 2, tantangan pekerjaan dan

tantangan kepemimpinan dianggap lebih menjadi tantangan bagi para pemimpin.

Tantangan pekerjaan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah dari segi

kuantitas dan juga kualitas pekerjaan. Dari segi kuantitas, mayoritas pemimpin

perempuan mengalami tantangan dalam jumlah tugas yang dianggap sangat

banyak. Sedangkan dari segi kualitas, keempat pemimpin ini mengalami tantangan

karena mereka dihadapkan dengan tuntutan kerja diruangan maupun dilapangan,

yang tentu saja bersentuhan langsung dengan masyarakat. Namun keempat

pemimpin ini memiliki cara mereka masing-masing dalam menghadapi tantangan

143

pekerjaan ini, dan secara umum penelitian ini menemukan bahwa mereka dianggap

dapat menghadapi tantangan dengan baik. Hal tersebut sejalan dengan penelitian

sebelumnya yang mengatakan bahwa seorang pemimpin tidak boleh hanya terpaku

pada satu cara saja untuk mengejar tujuan organisasi (Posner & Kouzes, 2003).

Tantangan yang dihadapi oleh dua pemimpin dalam kasus 1 lebih pada

komunikasi mereka dengan bawahan dan rekan kerja, maupun atasan. Pemimpin

perempuan dan laki-laki dalam kasus 1 ini menganggap bahwa mereka harus

berhati-hati dalam berkomunikasi dengan bawahan, rekan kerja, maupun atasan

yang bergender perempuan. hal tersebut dikarenakan kedua pemimpin ini

menganggap gender tersebut lebih sensitif dalam menanggapi sesuatu dibanding

gender lawannya. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan pada

penelitian terdahulu bahwa salah satu tantangan seorang pemimpin adalah untuk

bagaimana memperlakukan orang-orang yang berada disekitarnya (Posner &

Kouzes, 2003).

Lalu yang terakhir, penelitian ini menemukan bahwa tantangan dalam

bidang kepemimpinan merupakan tantangan tersendiri bagi pemimpin laki-laki

maupun perempuan, khususnya pada kasus 2. Para pemimpin tersebut menganggap

bahwa kaderisasi merupakan suatu hal yang penting dalam kepemimpinan. Hal

tersebut merupakan suatu tantangan tersendiri bagi para pemimpin, karena akan

berpengaruh pada masa depan organisasi. Selain itu, pemimpin lainnya juga

mengatakan bahwa mewujudkan kepemimpinan yang visioner, visi & misi yang

berkelanjutan dan mencakup kebutuhan organisasi dan masyarakat, dan

mengembangkan organisasi secara berkelanjutan merupakan tantanga yang berat

144

bagi seorang pemimpin. Hal tersebut juga sudah disebutkan pada penelitian

sebelumnya, yang mengatakan bahwa tantangan seorang pemimpin adalah untuk

menjadi petunjuk arah bagi para bawahannya, melakukan inovasi dalam

kepemimpinannya dan membawa organisasi untuk mencapai tujuan yang lebih

besar (Posner & Kouzes, 2003).

Dapat disimpulkan bahwa masing-masing pemimpin dalam penelitian ini

memiliki tantangan tersendiri dalama kepemimpinannya. Tidak dapat di

generalisasikan tantangan yang dihadapi oleh pemimpin perempuan maupun

pemimpin laki-laki. Karena tantangan ini lebih bersifat pribadi dibandingkan

gender. Yang menarik adalah, kedua pemimpin perempuan dalam kepemimpinan

ini tidak menyebut bahwa keluarga atau glass ceiling sebagai tantangan bagi

mereka. Karena tidak sedikit literatur sebelumnya yang menyebut bahwa kedua hal

ini merupakan masalah utama atau tantangan utama dalam kepemimpinan seorang

perempuan. Hal tersebut tidak terjadi karena adanya sistem kenaikan pangkat bagi

PNS (Pegawai Negeri Sipil) setiap 4 tahun sekali, menyebabkan setiap PNS akan

terus mengalami kenaikan pangkat dan pasti menempati suatu jabatan tertentu

didalam masa baktinya.

Tabel 4.3 Temuan Penelitian

Temuan Penelitian keterangan Pemimpin Laki-laki Pemimpin Perempuan Menggabungkan hubungan formal dan informal, tetapi lebih mengutamakan hubungan formal

Menggabungkan hubungan formal dan informal, tetapi lebih cenderung hubungan informal

Sesuai dengan dengan penelitian Li Kusterer, et al (2013)

145

Temuan Penelitian keterangan Pemimpin Laki-laki Pemimpin Perempuan Pemimpin laki-laki memiliki sikap empati terhadap bawahan

Pemimpin perempuan memiliki sikap empati yang tinggi

Sesuai dengan penelitian Alonso-Almeida & Bremser (2015)

Pemimpin laki-laki memiliki ketegasan yang tinggi dalam kepemimpinan

Pemimpin perempuan memiliki ketegasan dalam kepemimpinan

Sesuai dengan dengan penelitian Li Kusterer, et al (2013)

Terdapat pemimpin laki-laki yang memadukan gaya kepemimpinan transformasional (Individual consideration) & transaksional (contingent rewards)

Pemimpin perempuan mempraktekkan gaya kepemimpinan transformasional

Sesuai dengan penelitian Bass (1990), Barbuto & Cummins-Brown (2007) dan Shapira, et al (2010)

Pemimpin laki-laki dan perempuan melibatkan bawahan dalam kepemimpinan

Sesuai dengan penelitian Muchiri, et al (2011)

Pemimpin laki-laki dan perempuan mampu mendorong perkembangan bawahan

Sesuai dengan penelitian Muchiri, et al (2011)

Pemimpin perempuan memiliki tingkat efektivitas kepemimpinan yang setara dengan pemimpin laki-laki

Sesuai dengan penelitian Yaseen (2010)

Pemimpin perempuan dan laki-laki memiliki tantangan yang kepemimpinan yang berbeda dan tidak dapat digeneralisasikan kapada gender

Penemuan baru

Pemimpin perempuan tidak menyebutkan adanya hambatan dari keluarga dan glass ceiling dalam tantangan kepemimpinannya

Penemuan baru

146

BAB V

KESIMPULAN

Secara keseluruhan, penelitian ini menemukan beberapa perbedaan dan persamaan

dari gaya kepemimpin, efektivitas dan tantangan yang dihadapi oleh pemimpin

bergender laki-laki maupun perempuan. penelitian ini menemukan bahwa gaya

kepemimpinan adalah cara masing-masing pemimpin dalam menggerakkan

bawahannya, dan hal tersebut berbeda antar satu dan yang lainnya berdasarkan sifat

dan karakter pemimpin itu sendiri. Apa yang penelitian ini temukan adalah sebagai

berikut.

5.1 Temuan Kunci

5.1.1 Apakah terdapat perbedaan gaya kepemimpinan antara Pemimpin

laki-laki dan pemimpin perempuan?

Penelitian ini menemukan beberapa poin penting yang terdapat pada

kepemimpin para pemimpin laki-laki dan pemimpin perempuan di kasus 1 maupun

kasus 2. Beberapa poin diantaranya adalah komunikatif, empati, direktif, dan

pengembangan. Secara umum, keempat sifat tersebutlah yang terdapat dalam

kepemimpinan para objek utama penelitian ini. Namun, hanya saja terdapat sedikit

perbedaan dalam praktek keempat sifat diatas dari masing-masing gender

pemimpin. Tetapi, dari sifat-sifat tersebut dapat disimpulkan bahwa keempat

pemimpin tersebut memiliki gaya kepemimpinan yang cenderung

transformasional, khususnya Individual consideration. Hanya satu pemimpin

147

laki-laki yang ditemukan mampu memadukan gaya kepemimpinan tersebut dengan

gaya kepemimpinan transaksional (contingent reward). Secara umum, tidak

terdapat perbedaan yang berarti dalam gaya kepemimpinan pemimpin laki-laki dan

perempuan dalam penelitian ini.

Tabel 5.1 Persamaan dan perbedaan kepemimpinan laki-laki dan perempuan

Sifat / gender Pemimpin laki-laki Pemimpin perempuan

Komunikatif

Pendeketakan interpersonal, keterikatan, kekeluargaan, cenderung informal

Memadukan antara hubungan formal dan informal, menganggap sebagai rekan kerja

Empati

Memiliki perhatian yang lebih pada bawahan didalam maupun diluar pekerjaan

Memperhatikan kebutuhan bawahan yang berkaitan dengan pekerjaan

Direktif Memberikan contoh yang jelas

Memberikan contoh, standar, serta bersikap lebih tegas

Pengembangan

Berusaha mengembangkan kemampuan bawahan dengan berbagai cara

Berusahan mengembangkan kemampuan dan pribadi bawahan dengan cara formal maupun informal, memberikan jalan untuk promosi

Gaya kepemimpinan

Transformasional (Individual

Consideration)

Transformasional (Individual

Consideration) Dipadukan

Transaksional (Contingent Reward)

148

5.1.2 Bagaimana persepsi efektivitas gaya kepemimpinan pemimpin laki-

laki dan pemimpin perempuan pada organisasi pemerintah?

Dalam kasus 1 kepemimpinan pemimpin laki-laki dan perempuan dinilai

dari 360 derata (atasan, rekan kerja, dan bawahan), tetapi pada kasus 2

kepemimpinan pemimpin laki-laki dan perempuan hanya dinilai dari sisi pribadi

dan bawahan, maka untuk persepsi efektivitas kepemimpinan laki-laki dan

perempuan yang penelitian ini ambil hanyalah dari sudut padang bawahan.

Penelitian ini menemukan bahwa keempat pemimpin telah memenuhi aspek-aspek

yang diharapkan bawahan dari atasannya yaitu; communication, leader assist &

supports, leader listens to employees, dan staff development. Penelitian ini

menemukan bahwa seluruh aspek tersebut telah diwujudkan oleh para atasan

melalui beberapa poin dalam kepemimpinannya, yaitu Involvement, motivation &

encouragement, dan Fullfilment. Maka dapat disimpulkan keempat pemimpin

(laki-laki dan perempuan) dalam penelitian ini dinyatakan memiliki kepemimpinan

yang sama-sama efektif, dan tidak ada perbedaan dalam segi efektivitas antara

pemimpinan laki-laki maupun perempuan.

Tabel 5.2 Persepsi efektivitas kepemimpinan laki-laki dan perempuan

kepemimpinan Pemimpin perempuan

Pemimpin laki-laki

Aspek yang dipenuhi

Involvement

Mendampingi bawahan dalam pekerjaan, melibatkan pendapat bawahan dalam

Melibatkan pendapat bawahan dalam pembuatan keputusan, melibatkan

leader listens to employees

149

pembuatan keputusan

bawahan dalam semua tugas

Motivation & Encouragement

Memberikan perhatian lebih pada pekerjaan bawahan, memberikan insentif secara pribadi maupun organisasi, pendampingan tugas

Memberikan inspirasi melalui contoh, memberikan insentif secara pribadi maupun organisasi, membuka peluang untuk promosi

Communication, leader assist & support

Fulfillment

Memiliki kedekatan interpersonal dengan bawahan, membantu pengembangan kemapuan dan pribadi bawahan

Menjalin hubungan yang baik dengan bawahan secara formal maupun informal, mengembangkan kemampuan bawahan melalui pelatihan, dan pemberian tugas beragam

staff development

5.1.3 Apakah tantangan yang dialami para pemimpin (perempuan dan laki-

laki) dalam kepemimpinannya di organisasi pemerintah?

Secara umum penelitian ini menemukan beberapa poin tantangan yang

ditemukan oleh para pemimpin (laki-laki dan perempuan) dalam kasus 1 dan kasus

2. Beberapa poin tersebut adalah tantangan pekerjaan, tantangan komunikasi,

dan tantangan kepemimpinan. Dalam hal ini dalam tantangan pekerjaan, yang

dianggap sebagai tantangan oleh para pemimpin ini adalah banyaknya kuantitas

tugas yang harus dihadapi oleh para pemimpin ini. Selain itu, keempat pemimpin

150

ini dituntut untuk bekerja dengan baik di ruangan maupun diluar lapangan, serta

harus mampu menghadapi keberagaman kebutuhan dan karakteristik masyarakat.

Maka dari itu, para pemimpin ini harus mampu berinovasi dalam pekerjaannya,

tidak dapat bertahan dengan cara yang sama terus menerus. Yang kedua, dalam

tantangan komunikasi yang dianggap sebagai tantangan adalah bagaimana untuk

dapat berkomunikasi dengan seluruh lapisan didalam organisasi (khususnya yang

bergender perempuan) dengan baik. Dan terakhir, yang dimaksud dengan tantangan

kepemimpinan oleh para pemimpin dalam penelitian ini adalah bagaimana untuk

terus dapat mengembangkan organisasi dimasa dengan melalui kaderisasi maupun

dengan cara menjadi pemimpin yang lebih visioner.

5.2 Implikasi Manajerial

Penelitian ini menemukan banyak hal detail yang berkaitan dengan

kepemimpinan pemimpin laki-laki dan perempuan di organisasi pemerintah. Dari

hasil yang telah didapat melalui wawancara dan dipaduka dengan teori, penelitian

ini memiliki beberapa hal yang dapat menjadi masukan kepada organisasi

pemerintah secara umum dan pemimpin (laki-laki dan perempuan) didalam

organisasi pemerintah secara khusus.

Penelitian ini menemukan bahwa para bawahan lebih menyukai pemimpin

yang mampu memiliki hubungan yang dekat dengan para bawahannya. hubungan

yang dekat dengan bawahab diakui dapat meningkatkan rasa percaya diri dan harga

diri bawahan didepan atasannya. Penelitian ini juga menemukan bahwa bawahan

memiliki respect yang lebih kepada pemimpin yang memiliki sifat empati yang

151

tinggi. Hal tersebut dikarenakan pemimpin yang memiliki empati tinggi dianggap

lebih pengertian terhadap apa yang dihadapi bawahan dan kebutuhan bawahan.

Namun penelitian ini juga menemukan fakta bahwa bawahan cenderung dapat

bekerja lebih keras dibawah pemimpin yang tegas, dapat menginspirasi dan mampu

memberikan timbal-balik yang ‘menarik’ atas kinerja bawahan. Maka, dengan

menggabungkan atau memadukan seluruh hal-hal diatas, secara tidak langsung

akan meningkatkan kinerja dari organisasi pemerintah secara umum.

Selain hal-hal diatas, sesuai dengan pertanyaan penelitian yang diajukan

didalam penelitian ini, ditemukan fakta tidak terdapat perbedaan yang signifikan

dari gaya kepemimpinan yang digunakan pemimpin laki-laki dan perempuan di

organisasi pemerintah. Tidak hanya gaya kepemimpinan, efektivitas kepemimpinan

yang ditunjukkan oleh para pemimpin laki-laki dan perempuan pada organisasi

pemerintah juga sama baiknya dari sudut pandang bawahan. Maka penelitian ini

menemukan bahwa kepemimpinan pemimpin laki-laki dan perempuan dalam

organisasi pemerintah secara umum memiliki kualitas yang sama baiknya.

Sehingga, diskriminasi gender dalam penempatan posisi pemimpin di organisasi

pemerintah tidak seharusnya terjadi.

5.3 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada penelitian-penelitian

terdahulu yang berhubungan dengan kepemimpin dan gender, namun pada

pelaksanaannya masih terdapat keterbatasan pada penelitian ini. Terdapat beberapa

152

batasan dalam penelitian ini, diantaranya adalah dari sisi instrumen penelitian dan

ruang lingkup penelitian.

Penelitian ini menggunakan instrumen MLQ (Multifactor Leadership

Questionaire) oleh Bass & Avolio (1995) dan instrument efektivitas kepemimpinan

yang terdapat pada penelitian oleh Muchiri et.al (2011) sebagai dasar pembuatan

daftar pertanyaan wawancara. Namun masih terdapat instrumen lainnya untuk

mengukur gaya kepemimpinan dan efektivitas kepemimpinan. Maka hasil dari

penelitian ini belum sempurna menggambarkan gaya kepemimpinan dan efektivitas

kepemimpinan dari pemimpin laki-laki dan perempuan di organisasi pemerintah.

Batasan penelitian selanjutnya adalah ruang lingkup dari penelitian ini.

Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana kepemimpinan dari

pemimpin laki-laki dan perempuan dilihat dari gaya kepemimpinan, efektivitas dan

tantanggannya. Namun, penelitian ini hanya dilakukan pada pemimpin-pemimpin

yang berada pada organisasi pemerintah yang berada di Kota Semarang, Jawa

Tengah. Sehingga hasil dari penelitian ini belum dapat menggambarkan

kepemimpinan laki-laki dan perempuan pada pada organisasi pemerintah secara

umum di Indonesia.

5.4 Agenda Penelitian yang Akan Datang

Berdasarkan dari keterbatasan penelitian diatas, penelitian selanjutnya

harus mampu melengkapi atau menyempurnakan hasil dari penelitian ini. Maka

untuk penelitian selanjutnya, dapat menggunakan instrumen lainnya seperti LBDQ

(Leader Behavior Description Questionnare). Atau menggunakan instrumen yang

153

sama, tetapi menggunakan metode campur atau mix method agar hasil penelitian

juga dapat dihitung secara statistik, tetapi juga dibahas secara mendalam melalui

pertanyaan terbuka.

Dan yang terakhir, pada penelitian selanjutnya, disarankan untuk

menggunakan Organisasi Pemerintah yang berada pada daerah yang berbeda dan

pada tingkatan organisasi yang berbeda untuk mendapat hasil penelitian yang lebih

luas. Dengan semua saran diatas, penelitian selanjutnya diharapkan dapat

menghasilkan hasil penelitian yang lebih kompleks dan dapat menggambarkan

kepemimpinan laki-laki dan perempuan dari segi gaya kepemimpinan, efektivitas

dan tantangan pada Organisasi Pemerintah di Indonesia secara lebih general.

154

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. N. (2014). The causes of gender diversity in Malaysian large firms. Journal of Management and Governance, 18(4), 1137–1159. https://doi.org/10.1007/s10997-013-9279-0

Alonso-Almeida, M. del M., & Bremser, K. (2015). Does gender specific decision making exist? EuroMed Journal of Business, 10(1), 47–65. https://doi.org/10.1108/EMJB-02-2014-0008

Ashkanasy, N. M., Zerbe, W. J., & Härtel, C. E. J. (2014). Emotions and the Organizational Fabric, 1–10. https://doi.org/10.1108/S1746-979120140000010010

Baker, C. (2014). Stereotyping and women’s roles in leadership positions. Industrial and Commercial Training, 46(6), 332–337. https://doi.org/10.1108/ICT-04-2014-0020

Barbuto, J. E., & Cummins-Brown, L. L. (2007). Full Range Leadership. October, 1406(October).

Bass, B. M. (1981). Stigdill’s Handbook of Leadership: A Survey of Theory and Research (revised and expanded version) (The Free P). New York.

Bass, B. M. (1990). From transactional to transformational leadership: Learning to share the vision. Organizational Dynamics, 18(3), 19–31. https://doi.org/10.1016/0090-2616(90)90061-S

Bass, B. M., & Avolio, B. J. (2013). Transformational Leadership and Organizational Culture, 17(1), 112–121.

Bass, B. M., Avolio, B. J., & Atwater, L. (1996). The transformational and transactional leadership of men and women. Applied Psychology: An International Review, 45(1), 5–34. https://doi.org/10.1111/j.1464-0597.1996.tb00847.x

Borgatta, E. F., Bales, R. F., & Couch, A. S. (1954). Some Findings Relevant to the Great Man Theory of Leadership. American Sociological Review, 19(6), 755–759.

Brandt, T., & Laiho, M. (2013). Gender and personality in transformational leadership context. Leadership & Organization Development Journal, 34(1), 44–66. https://doi.org/10.1108/01437731311289965

Burke, R. J., Koyuncu, M., Singh, P., Alayoglu, N., & Koyuncu, K. (2012). Gender differences in work experiences and work outcomes among Turkish managers and professionals. Gender in Management: An International Journal, 27(1), 23–35. https://doi.org/10.1108/17542411211199255

Cantor, N., & Mischel, W. (1979). Prototypes in Person Perception. Advances in Experimental Social Psychology, 12, 3–52.

155

Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches (2nd edition). California: SAGE Publications.

Creswell, J. W., Hanson, W. E., Clark Plano, V. L., & Morales, A. (2007). Qualitative Research Designs: Selection and Implementation. The Counseling Psychologist, 35(2), 236–264. https://doi.org/10.1177/0011000006287390

de Lourdes, M., Machado-Taylor, & White, K. (2014). Women in Academic Leadership. Gender Transformation in the Academy, 375–393.

Dunn, D., Gerlach, J., & Hyle, A. (2014). Gender and leadership: Reflections of women in higher education administration. International Journal of Leadership and Change, 2(1), 9–18. Retrieved from http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-84870386936&partnerID=40&md5=3a9ccd553c42adf848b2ddc67a9a4c12

Eagly, A. H., Johannesen-Schmidt, M. C., & van Engen, M. L. (2003). Transformational, transactional, and laissez-faire leadership styles: A meta-analysis comparing women and men. Psychological Bulletin, 129(4), 569–591. https://doi.org/10.1037/0033-2909.129.4.569

Fielder, F. E., Chemers, M. M., & Mahar, L. (1976). Improving Leadership Effectiveness: The Leader Match Concept. New York: Wiley.

Fleishman, E. A., & Harris, E. F. (1962). Patterns of leadership behavior related to employee grievance and turnover. Personnel Psychology, 15, 43–56.

French, J. R. P. (1956). A Formal Theory of Social Power. Psychological Review, 63(3), 181–194.

Galton, F. (1869). Hereditary genius: An inquiry into its laws and consequences (viii). London: Macmillan and Co.

Hunt, J., & Larson, L. (1977). Leadership: The Cutting Edge. Illinois: Southern Illinois University Press.

Jenkins, W. O. (1947). A review of leadership studies with particular relevance to military problems. Psychological Bulletin.

Jonsen, K., Maznevski, M. L., & Schneider, S. C. (2010). Gender differences in leadership – believing is seeing: implications for managing diversity. Equality, Diversity and Inclusion: An International Journal, 29(6), 549–572. https://doi.org/10.1108/02610151011067504

Kartasasmita, G. (1997). Tantangan Kepemimpinan Abad ke-21 (pp. 1–6). Jakarta.

Kenney, R. A., Blascovich, J., & Shaver, P. R. (1994). Implicit Leadership Theories: Prototypes for New Leaders. Basic and Applied Social Psychology, 15(4), 409–437. https://doi.org/10.1207/s15324834basp1504_2

Kirkpatrick, S. A., Locke, E. A., Executive, S. T., & May, N. (1991). Leadership : do traits matter ?, 5(2), 48–60.

156

Li Kusterer, H., Lindholm, T., & Montgomery, H. (2013). Gender typing in stereotypes and evaluations of actual managers. Journal of Managerial Psychology, 28(5), 561–579. https://doi.org/10.1108/JMP-01-2013-0012

Lord, R. G., & Maher, J. (1991). Leadership and Information Processing. Routledge.

Lublin, J. S. (2010). Most Big-Company Women CEOs Are Also Mothers, Book Finds; “You Plan Not to Have Guilt.” Retrieved September 16, 2017, from https://www.wsj.com/articles/SB10001424052748704763904575549842261018652

Lyle, E., & MacLeod, D. (2016). Women, Leadership, and Education as Change. Racially and Ethnically Diverse Women Leading Education: A Worldview, 25, 5–75. https://doi.org/doi:10.1108/S1479-366020160000025005

McCall, M., & Lombardo, M. M. (1977). Leadership, Where Else can We Go? North Carolina: Duke University Press.

McGregor, D. (1966). Leadership and Motivation. Massachusetts: MIT Press, Cambridge.

Mechanic, D. (1962). Sources of Power of Lower Participants in Complex Organizations. Administrative Science Quarterly, 7(3), 349–364.

Mendez, maria J., & Busenbark, john R. (2015). Shared leadership and gender: all members are equal... but some more than others. Leadership & Organization Development Journal, 36(1), 17–34. https://doi.org/10.1108/09574090910954864

Muchiri, michael K., Cooksey, R. W., Milia, L. V. Di, & Walumbwa, F. O. (2011). Gender and Managerial Level Differences in Perceptions of Effective Leadership. Leadership & Organization Development Journal, 32(5), 462–492. https://doi.org/10.1108/JFM-03-2013-0017

Offermann, L. R., Kennedy, J. K., & Wirtz, P. W. (1994). Implicit leadership theories: Content, structure, and generalizability. The Leadership Quarterly, 5(1), 43–58. https://doi.org/10.1016/1048-9843(94)90005-1

Phillips, james S., & Lord, R. G. (1981). Causal Attributions and Perceptions of Leadership. Organizational Behavior and Human Performance, 28(2), 143–163.

Posner, J. M., & Kouzes, B. Z. (2003). The Leadership Challenge Workbook (1st ed.). Hoboken: John Wiley & Sons.

Rhee, kenneth S., & Sigler, T. H. (2015). Untangling the Relationship between Gender and Leadership. Gender in Management: An International Journal, 30(2), 109–134.

Schuh, S. C., Hernandez Bark, A. S., Van Quaquebeke, N., Hossiep, R., Frieg, P., & Van Dick, R. (2014). Gender Differences in Leadership Role Occupancy:

157

The Mediating Role of Power Motivation. Journal of Business Ethics, 120(3), 363–379. https://doi.org/10.1007/s10551-013-1663-9

Shapira, T., Arar, K., & Azaiza, F. (2010). Arab women principals’ empowerment and leadership in Israel. Journal of Educational Administration, 48(6), 704–715. https://doi.org/10.1108/09578231011079566

Shaw, J. B. (1990). A cognitive categorization model for the study of intercultural management. Academy of Management Review, 15(4), 626–645.

Stogdill, R. M. (1959). Individual Behavior and Group Achievment. New York: Oxford University Press.

Strøm, R. Ø., D’Espallier, B., & Mersland, R. (2014). Female leadership, performance, and governance in microfinance institutions. Journal of Banking and Finance, 42(1), 60–75. https://doi.org/10.1016/j.jbankfin.2014.01.014

Supriadi, A. (2016). Hillary Clinton Resmi jadi Calon Presiden AS Wanita Pertama. Retrieved February 14, 2018, from https://www.cnnindonesia.com/internasional/20160727003209-134-147267/hillary-clinton-resmi-jadi-calon-presiden-as-wanita-pertama

United Nations. (1948). Universal Declaration of Human Rights. General Assembly Resolution, 217 A(10), 1–6. https://doi.org/10.1111/1468-2451.00161

United Nations. (2018). World Population Prospects: The 2017 Revision. Retrieved March 11, 2018, from www.worldometers.info/world-population

Wang, A. C., Chiang, J. T. J., Tsai, C. Y., Lin, T. T., & Cheng, B. S. (2013). Gender makes the difference: The moderating role of leader gender on the relationship between leadership styles and subordinate performance. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 122(2), 101–113. https://doi.org/10.1016/j.obhdp.2013.06.001

Wells, J. E., Peachey, J. W., & Walker, N. (2014). The relationship between transformational leadership, leader effectiveness, and turnover intentions: Do subordinate gender differences exist? Journal of Intercollegiate Sport, 7, 64–79.

WHO. (2013). Pengertian gender. Retrieved January 30, 2018, from http://www.who.int/gender-equity-rights/understanding/gender-definition/en/

Yaseen, Z. (2010). Leadership styles of men and women in the Arab world. Education, Business and Society: Contemporary Middle East, 3(1), 63–70.

158

LAMPIRAN

List pertanyaan untuk objek utama

Pertanyaan general

1. Bisakah anda ceritakan pengalaman anda selama berkarir sebagai PNS?

- Jabatan atau posisi sebelumnya

- Jabatan atau posisi paling menarik atau menantang

Gaya kepemimpinan

2. Bisakah bapak/ibu ceritakan bagaimana kepemimpinan anda?

- Dalam membangun hubungan dengan bawahan

- Dalam bekerja sama

- Dalam menyelesaikan masalah

- Cara Menularkan pemikiran

- Usaha untuk meningkatkan kemampuan anda & bagaimana bentuknya

- Apabila menghadapi otoritas yang lebih tinggi

- Ketika bawahan bekerja dengan baik

- Bila bawahan kesulitan dalam pekerjaan

- Dalam membuat keputusan

Efektivitas kepemimpinan

3. Seperti apakah kepemimpinan yang efektif menurut anda? Apakah anda telah

memenuhi hal-hal itu?

- Pemberian tugas

- membuat bawahan ingin bekerja lebih keras

- Ketika kinerja bawahan tidak memuaskan

- Memenuhi kebutuhan karyawan

- Memenuhi kebutuhan organisasi

159

Tantangan kepemimpinan

4. Menurut anda apa tantangan terbesar dalam karir anda?

- Tantangan dalam mimpin lawan jenis atau orang yang berbeda usia

160

List Pertanyaan untuk atasan

Pertanyaan general

a. Sudah berapa lama menjadi atasan objek utama A & B?

b. Sudah kenal dengan objek utama A & B sebelumnya?

Gaya kepemimpinan

1. Bisakah bapak/ibu ceritakan bagaimana kepemimpinan bawahan anda?

- Dalam membangun hubungan dengan bawahan

- Dalam membangun hubungan dengan rekan kerja

- Dalam bekerja sama

- Dalam menyelesaikan masalah

- Cara Menularkan pemikiran

- Usaha untuk meningkatkan kemampuan anda & bagaimana bentuknya

- Apabila menghadapi otoritas yang lebih tinggi

- Ketika bawahan bekerja dengan baik

- Bila bawahan kesulitan dalam pekerjaan

- Dalam membuat keputusan

Efektivitas kepemimpinan

2. Seperti apakah kepemimpinan yang efektif menurut anda? Apakah objek utama

A & B telah memenuhi hal-hal itu?

- Pemberian tugas

- membuat bawahan ingin bekerja lebih keras

- Ketika kinerja bawahan tidak memuaskan

- Memenuhi kebutuhan karyawan

- Memenuhi kebutuhan organisasi

- Dibandingkan dengan objek utama A/B

Tantangan kepemimpinan

3. Menurut anda apa saja tantangan yang dihadapi oleh objek utama A&B?

161

- Tantangan dalam mimpin

- Tantangan dalam memimpin lawan jenis/ perbedaan usia

162

List pertanyaan untuk rekan kerja

Pertanyaan general

a. Sudah berapa lama menjadi rekan kerja objek utama A?

b. Sudah kenal dengan objek utama A?

Gaya kepemimpinan

1. Bisakah bapak/ibu ceritakan bagaimana kepemimpinan rekan kerja anda?

- Dalam membangun hubungan dengan bawahan

- Dalam membangun hubungan dengan rekan kerja

- Dalam bekerja sama

- Dalam menyelesaikan masalah

- Cara Menularkan pemikiran

- Usaha untuk meningkatkan kemampuan anda & bagaimana bentuknya

- Apabila menghadapi otoritas yang lebih tinggi

- Ketika bawahan bekerja dengan baik

- Bila bawahan kesulitan dalam pekerjaan

- Dalam membuat keputusan

Efektivitas kepemimpinan

2. Seperti apakah kepemimpinan yang efektif menurut anda? Apakah objek utama

A telah memenuhi hal-hal itu?

- Pemberian tugas

- membuat bawahan ingin bekerja lebih keras

- Ketika kinerja bawahan tidak memuaskan

- Memenuhi kebutuhan karyawan

- Memenuhi kebutuhan organisasi

- Dibandingkan dengan objek utama B

Tantangan kepemimpinan

3. Menurut anda apa saja tantangan yang dihadapi oleh objek utama?

163

- Tantangan dalam mimpin

- Tantangan dalam memimpin lawan jenis/ perbedaan usia

164

List pertanyaan untuk bawahan

Pertanyaan general

a. Sudah berapa lama berada dibawah kepemimpinan atasan?

b. Sebelumnya sudah kenal atau tidak dengan atasan sekarang?

c. Apakah sebelumnya pernah dipimpin oleh orang yang berbeda gender?

Gaya kepemimpinan

1. Bisakah bapak/ibu ceritakan bagaimana kepemimpinan atasan anda?

- Dalam membangun hubungan dengan bawahan

- Dalam bekerja sama

- Dalam menyelesaikan masalah

- Cara Menularkan pemikiran

- Usaha untuk meningkatkan kemampuan anda & bagaimana bentuknya

- Apabila menghadapi otoritas yang lebih tinggi

- Ketika bawahan bekerja dengan baik

- Bila bawahan kesulitan dalam pekerjaan

- Dalam membuat keputusan

- Ketika anda mengalami masalah / tidak dapat bekerja

Efektivitas kepemimpinan

2. Seperti apakah kepemimpinan yang efektif menurut anda? Apakah atasan anda

telah memenuhi hal-hal itu?

- Pemberian tugas

- membuat anda ingin bekerja lebih keras

- Ketika kinerja anda tidak memuaskan

- Memenuhi kebutuhan karyawan

- Memenuhi kebutuhan organisasi

- Perbandingan dengan atasan lainnya yang bergender sama/beda

- Kepuasan dalam kepemimpinan

165

Tantangan kepemimpinan

3. Kira-kira apa saja masalah yang dihadapi atasan anda dalam memimpin?

- Menghadapi otoritas yang lebih tinggi

- Menghadapi bawahan lawan jenis

- Menghadapi bawahan dengan usia berbeda

Peratanyaan Narasumber 1

Narasumber 2

Narasumber 3 (rekan kerja 1)

Narasumber 4 (atasan)

Narasumber 5

(bawahan 1)

Narasumber 6

(bawahan 2)

Narasumber 7

(bawahan 3) 1. Membangu

n hubungan dengan bawahan?

Pendekatan seperti teman biasa

Menganggap bawahan sebagai mitra kerja

N1: berhubungan dekat seperti keluarga N2: lebih banyak mengajak kerja secara bersama-sama

N1: selau bekerjasama dengan baik N2: banyak koordinasi dan hubungan diluar jam kerja baik

N1: asik, lucu, dan bisa memberikan semangat N2: asik dan tidak pernah membeda-bedakan

N1: mudah membaur dan pendekatan informal baik N2: punya unsur keibuan yang sangat kuat

N1: atasan yang santai N2:perhatian dan memperhatikan staffnya

2. Dalam bekerjasama dengan rekan kerja?

Saling kerjasama dengan rekan kerja

Saling bekerjasama dengan para rekan kerja

N1: menganggap seperti keluarga, hubungan informal juga terbangun dengan baik N2: banyak bekerjasama dan berdiskusi

N1: tidak formal dan terkesan santai N2: bekerjasama dengan baik dan saling mengisi dengan rekan kerjanya

N1: N2:

N1: N2:

N1: N2:

3. Dalam penyelesaian masalah?

Lebih banyak diskusi

Saling diskusi dengan

N1: banyak bertanya

N1: lebih menghadapi

N1: cenderung

N1: lebih banyak bercerita

N1: lebih menutupi

Tabel Matriks Wawancara Kasus 1

167

dengan atasan atau rekan kerja yang setara

rekan kerja atau atasan

dengan rekan kerja N2: bertanya pada bu lurah atau Seklur, atau dengan rekan kerja dari Kelurahan lainnya

masalah secara langsung N2: koordinasi dan konsultasi dengan atasan atau rekan kerja

diam dan tertutup N2: lebih banyak berdiskusi atau bercerita dengan rekan kerja

bahkan tentang masalah pribadi N2: biasanya diam, tetapi tetap akan cerita pada akhirnya. Dan cukup terlihat.

dan terkesan diam N2: lebih banyak bercerita

4. Usaha meningkatkan kemampuan bawahan

Lebih dengan membangun hubungan formal dan informal, bertukar pikiran dan ngobrol.

Mengajarkan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan bawahan

N1: tidak pernah memberi pelatihan, tetapi biasanya akan memberitahu hal yang salah dari bawahan N2: -

N1: tidak pernah N2: merekomendasikan untuk mengikuti pelatihan yang sesuai dengan tugasnya.

N1: dengan memberikan tugas-tugas yang berbeda untuk memberikan pengalaman. N2: belum pernah

N1: memberikan tugas-tugas yang beragam untuk memberikan pengalaman. N2: mengajak untuk mengikuti pelatihan tertentu

N1: memberitahu mengenai kesalahan dan memeritahu yang benar N2: saling berdiskusi tentang tugas-tugas yang ada

5. Dalam menghadapi otoritas

Menghadapi dengan sopan santun dan

Lebih mencoba melindungi kinerja

N1: menghadapi dengan halus dan lembut

N1: terkadang nadanya agak tinggi apabila

N1: apabila suka ya akan baik, namun apabila tidak

N1: santai, sopan dan terbuka. Atasan dan

N1: dengan santai N2: sopan

168

yang lebih tinggi

melihat kondisi atasan

bawahan dari atasan.

N2: sangat halus dan sopan

emosinya tidak terkontrol N2: lebih banyak diskusi dan koordinasi

suka akan menunjukkan N2: sangat tertutup

bawahan sudah seperti keluarga, jadi ya terbuka N2: santai, kalem dan lebih sopan

6. Ketika bawahan bekerja dengan baik

Memberikan pujian dan memberikan insentif dalam bentuk ajakan makan bersama

Memberikan pujian dan memberikan insentif (berupa ajakan makan dan uang)

N1: lebih sering mengajak makan atau jajan bersama N2: mengajak makan siang bersama

N1: berterimakasih dan memberikan insentif dalam bentuk makan bersama N2: berterimakasih, menyanjung, dan memberikan semangat pada bawahannya. Penuh dengan Suasana kekeluargaan.

N1: memberikan semangat lebih N2: memberikan insentif dalam bentuk makan atau uang bensin

N1: memberikan support N2: memberi apresiasi dalam bentuk dukungan secara moral dengan kata-kata yang membangun seperti ibu kepada anaknya

N1: memberikan pujian terhadap staffnya N2: memberikan dukungan

7. Ketika bawahan melakukan

Mengoreksi, memberikan saran,

Memberitahu dimana kesalahannya dan

N1: memberitahu secara terbuka kesalahannya

N1: memberitahu dengan nada yang agak tinggi

N1: memberitahu dan mengajari

N1: menanggapi dengan santai, membantu

N1: memberitahu dan

169

kesalahan dalam tugas

dan memberitahu bagaimana yang semestinya

membantu memperbaiki

dan memberitahukan yang benar N2: memberitahu kesalahan dan membantu bawahan untuk melakukan pekerjaan dengan benar

N2: memberikan solusi, bahkan akan konsultasi dengan atasan untuk membatu bawahan

N2: memberitahu dan mengingatkan

membenarkan yang salah N2: memberitahu secara langsung dan berusaha membantu membenarkan

membenarkan N2: berdiskusi mengenai kesalahan yang ada

8. Dalam membuat keputusan

Kalau butuh keputusan yang cepat, akan diputuskan sendiri. Tetapi apabila tidak, akan lebih berdiskusi dengan rekan kerja atau atasan

Lebih banyak berdiskusi karena perlu koordinasi dengan atasan juga untuk beberapa masalah, karena kaitannya dengan masyarakat

N1: biasanya langsung memutuskan sendiri, tetapi apabila kesulitan akan diskusi dengan rekan kerja yang berkaitan dengan masalah N2: lebih banyak

N1: berdiskusi dengan rekan kerja N2: banyak berkonsultasi dengan atasan

N1: banyak mengambil keputusan sendiri, tapi terkadang diskusi juga N2: terkadang terlihat bimbang, banyak berpikir sendiri

N1: mengambil keputusan sendiri tetapi akan diskusi apalabila dalam konteks kerjasama N2: banyak diskusi dengan atasan atau orang-orang yang berkaitan

N1: diskusi dengan staffnya N2: berdiskusi

170

diskusi dengan atasan atau yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi

dengan masalah, biasanya hasilnya menguntungkan semua pihak

9. Ketika bawahan mengalami masalah atau tidak dapat bekerja

Memberikan perhatian dalam bentuk kata-kata yang membuat semangat

Dibicarakan dan mencari solusi bersama atau memberikan waktu untuk beristirahat

N1: membantu sebisanya N2: bertanya dan mencoba memberikan solusi

N1: memberikan semangat dengan candaan dan memberi waktu isrirahat N2: sejauh ini belum terjadi dengan staffnya

N1: bertanya dan memberikan istirahat N2: memberikan saran untuk istirahat terlebih dahulu

N1: menaggapi dengan santai, memberikan keleluasaan untuk beristirahat N2: cenderung mendampingi, sehingga pekerjaan akan terasa lebih ringan

N1: memberikan saran N2: memperhatikan dan memberikan ruang untuk istirahat

10. Dalam pemberian tugas

Membagi tugas dengan bawahan, dan mengerjakan yang

Mengerjakan bersama dengan bawahan

N1: mengajak melakukan tugas bersama N2: mengajak bekerja bersama dan

N1: membagi pekerjaan dengan bawahan, tidak memberikan semua tugas kepada bawahan

N1: menyampaikan seperti apa tugas yang harus dikerjakan dan

N1: menjelaskan bagaiaman tugas yang harus saya kerjakan dengan detail

N1: meminta secara sopan dan membantu menyelesaikan

171

dapat dikerjakan sendiri

selalu mendampingi

N2: ikut melaksanakan bersama dengan bawahan

bagaimana penyelesaiannya N2: memberi tugas secara lebih santai

N2: memberikan tugas sesuai dengan keadaan bawahan

N2: meminta dengan sopan

11. Membuat bekerja lebih keras

Memberikan pengertian secara informal (candaan) kepada bawahan untuk bekerja lebih baik lagi

Mengerjakan bersama dengan bawahan. Membuat bawahan merasa senang dan merasa lebih dihargai.

N1: memberikan contoh secara informal agar bawahan bekerja lebih baik N2: banyak mencari ilmu dari rekan kerja di Kelurahan lain, untuk kepentingan bawahan

N1: belum pernah melihat N2: memberikan dorongan moral kepada bawahannya.

N1: memberikan semangat dalam bentuk informal (candaan). N2: belum pernah menghadapi hal seperti itu dari Bu Peny

N1: memberikan semangat dengan obrolan-obrolan yang informal. N2: mengingatkan dan memberikan support. Bahkan sampai berhubungan diluar jam kerja untuk mengingatkan kerjaan.

N1: memberikan semangat dengan candaan N2: memperhatikan pekerjaan dan memberikan support dalam bentuk masukan.

172

12. Ketika kinerja bawahan tidak memuaskan

Pendekatan secara informal dan memberikan contoh secara verbal agar bekerja lebih baik

Dalam tugas dengan bawahan selalu dikerjakan bersama, sehingga meminimalisir ketidak puasan atau kesalahan.

N1: ditegur, tetapi secara informal. Jadi kesannya seperti bercanda tetapi serius. N2: sejauh ini belum pernah melihat

N1: terkadang membiarkan, terkadang memberikan candaan untuk memberikan semangat N2: bawahannya belum pernah tidak memuaskan

N1: memberikan masukan dan memeriksa pekerjaan, serta memberitahukan kesalahan N2: memberitahu dan selalu mengingatkan untuk memperbaiki

N1: sejauh ini memberikan support dalam bentuk yang tidak formal, atau sekedar mengajak ngopi. N2: selalu mendampingi ketika pengerjaan tugas. Jadi sejauh ini masih memuaskan.

N1: memberikan contoh yang baik dan memberikan semangat. N2: banyak berdiskusi dengan bawahan mengenai pekerjaan.

13. Memenuhi kebutuhan bawahan

Memuaskan karena bisa dekat dengan bawahan secara formal maupun informal

Tidak dapat menilai diri sendiri, tetapi sudah memberikan usaha yang paling maksimal.

N1: dengan bawahan dia sangat dekat dan tidak ada jarak, karena pendekatan yang lebih informal. N2: sudah, karena beliau

N1: sudah memuaskan tetapi belum maksimal. N2: sudah, karena selalu mendampingi dalam setiap penyelesaian tugas

N1: sudah, karena diluar dapat menyelasaikan pekerjaan dengan cepat, beliau juga dekat dengan bawahannya.

N1: sudah, karena pendekatan yang informal, jadi bawahan merasa lebih dekat. Terbuka dalam hal apa saja, sehingga mudah dalam

N1: sudah, karena sifatnya yang tidak membedakan siapapun. N2: sudah, sifatnya yang perhatian membuat

173

selalu mendampingin bawahan ketika mengerjakan tugas, dengan kata lain beliau selalu ada ketika bawahan membutuhkan

N2: sudah, karena sifat dan karakternya membuat bawahan merasa nyaman.

mengkoreksi diri N2: sudah banget, semangatnya dapet, supportnya dapet, kekeluargaannya dapet dan sikap keibuan membuat nyaman bekerja.

pekerjaan lebih mudah.

14. Memenuhi kebutuhan organisasi

Sudah karena bekerja sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi)

Tidak dapat menilai diri sendiri, tetapi sudah berusaha memenuhi tupoksi dan ekspektasi atasan

N1: sudah memenuhi tupoksi (tugas pokok dan Fungsi), tetapi belum maksimal. N2: bekerja sesuai Tupoksi dan banyak diskusi

N1: sudah, tetapi belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi atasan. Karena masih sering keluar di jam kerja N2: sudah, dengan pekerjaan yang

N1: sudah karena segala tugas yang ada dapat dikerjakan dengan cepat (efektif) N2: -

N1: - N2: sudah, beliau berani turun ke lapangan walaupun perempuan, dan bagus dalam memberikan solusi ke masyarakat.

N1 dan N2: sejauh yang diketahui pekerjaan selalu selesai.

174

dengan rekan kerja dari Kelurahan lain,

banyak beliau sudah memenuhi dan sangat ingin belajar

15. Kepuasan dalam memimpin

Ada sisi memuaskan dan tidak. Memuaskan karena bisa dekat dangan bawahan dan rekan kerja, serta tidak ada masalah.

Secara keseluruhan sudah bekerja semaksimal mungkin, untuk memenuhi ekspektasi atasan dan memenuhi kebutuhan bawahan

16. Tantangan dalam kepemimpinan

Pekerjaan lapangan yang harus berinteraksi dengan masyarakat luas dan banyak ekspektasi.

Rekan kerja dari gender yang sama. Kemungkinan karena merupakan Kasi (Kepala Seksi) paling baru.

N1: terkadang mudah lupa, sehingga harus sering diingatkan N2: tidak masalah sejauh ini, semua

N1: lebih tantangan dalam pekerjaannya dalam menangani masyarakat khususnya PKL (Pekerja Kaki Lima). Selebihnya tidak.

N1: dalam memimpin selama ini tidak ada masalah yang berarti, baik dan lancer. N2: tidak mengalami masalah

N1: masalahnya sekitar pekerjaan yang berhubungan dengan masyarakat. Dalam kepemimpina

N1: sejauh ini tidak ada, baik-baik saja dengan semua elemen di Kelurahan. N2: tidak ada, pembawaan

175

hubungannya berjalan baik.

N2: lebih tantangan dengan tugas yang banyak, dalam kepemimpinan tidak ada masalah, sudah seperti ibu bagi bawahannya.

dalam menghadapi atasan, rekan kerja ataupun bawahan.

n baik-baik saja. N2: tidak ada, karena tidak ada masalah yang dibahas disini. Tapi untuk masalah pribadi tidak tahu.

yang penuh kekeluargaan membuat nyaman semua orang.

17. Perbandingan efektivitas kepemimpinan

Sama saja, keduanya sama-sama baik dalam pekerjaan maupun kepemimpinan.

Lebih efektif Bu Peny (N2), karena tugasnya lebih banyak tapi dapat terselesaikan dengan baik.

Lebih efektif Pak Pujo (N1), karena walaupun keras kepala beliau cepat dalam mengerjakan tugas.

Sama baik dan efektif-nya. Pendekatan dengan atasan, rekan kerja, dan bawahan seperti keluarga. tugas juga dapat terselesaikan dengan baik.

Sama saja, sama baiknya. Semua tindakan disesuaikan dengan kondisi yang ada.

176 Pertanyaan NARASUMBER 1

(pemimpin perempuan)

Narasumber 3 (staf N1)

Narasumber 4

(staf N1)

NARASUMBER 2

(pemimpin laki-laki)

Narasumber 5 (staf N2)

Narasumber 6 (staf N2)

1. Membangun hubungan dengan bawahan

Membangun hubungan interpersonal yang baik, membimbing dan mengarahkan

Pendekatan secara pribadi, tidak membedakan antar bawahan atau atasan, karyawan atau mahasiswa PKL. Lebih bersikap seperti mentor

Baik dengan bawahan, selalu memberi contoh yang baik. Perhatian terhadap bawahan. Tidak hanya terpaku pada pekerjaan, tetapi juga hal-hal diluar itu

Memadukan hubungan formal dan informal, bersifat komunikatif

Beliau baik, bisa menempatkan diri dengan baik sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Terbuka dengan bawahan mengenai tugas.

Dapat bekerjasama dengan bawahan. Selalu memberikan contoh yang baik bagi bawahan.

2. Bekerjasama dengan rekan kerja

Membangun koordinasi yang baik dengan rekan kerja. Saling membantu dalam penugasan

Tidak begitu tahu, tetapi berhubungan baik dengan Kasi lainnya

Sangat baik dengan karyawan dan Kasi yang lain. Saling membantu dan berdiskusi

Selalu berkoordinasi menganai tugas-tugas, saling membantu mengenai beberapa tugas terntu

Beliau selalu berkomunikasi dengan baik dengan Kasi lainnya. Selalu membantu Kasi lainnya yang berkaitan

Beliau selalu berkoordinasi dengan para Kasi, terutama yang berhubungan dengan tupoksi beliau. Dengan Kasi yang lain,

Tabel Matriks Wawancara Kasus 2

177

dengan Kasi lain mengenai tugas-tugas.

dengan tupoksi beliau.

juga memiliki hubungan yang baik.

3. Cara menularkan pemikiran

Melalui komunikasi dan evaluasi secara berkala

Memberitahu diawal kerja apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya, dan dievaluasi secara berkala

Setiap memberikan tugas selalu dijelaskan secara rinci seperti apa beliau ingin tugas tersebut diselesaikan.

Memberikan pengarahan secara formal apa yang harus dikerjakan

Setiap melakukan tugas, selalu mengumpulkan bawahan untuk diberi penjelasan mengenai keseluruhan tugas.

Beliau menjelaskan tugas dari Seksi yang dipimpin, apa saja tugas, apa saja wewenang kami, dikantor maupun dilapangan. Setiap pelaksanaan tugas, beliau selalu memberi petunjuk pengerjaan.

4. Usaha meningkatkan kemampuan

Mengikutkan bawahan dalam berbagai pelatihan dan menjelaskan SOP dengan baik (Standard Operating Procedur)

Lebih dengan memberitahu bagaimana mengerjakan berbagai pekerjaan yang berbeda

Tidak begitu paham, tetapi beliau selalu memberikan contoh bagi karyawan lainnya, sehingga itu

Mengikutkan pelatihan, memberikan kesempatan untuk mengikuti tugas luar sesuai derajatnya

Beliau selalu memberikan tugas yang beragam, tidak monoton. Bisanya saya juga diminta untuk

Selalu memberikan tugas sesuai dengan kamampuan bawahan, bahkan yang diluar

178

bisa dijadikan panutan untuk bekerja dan bisa dicontoh.

menghadiri acara yang seharusnya beliau hadiri, untuk mewakili beliau.

kemampuan bawahan. Dengan hal itu, kami dipaksa untuk terus berkembang.

5. Menghadapi otoritas yang lebih tinggi

Menghormati atasan, selalu berusaha untuk membantu melakukan tugas-tugas yang ada

Baik, banyak keluar untuk menggantikan pak camat menghadiri acara diluar

Sesuai dengan tugasnya sebagai Kasi. Biasanya banyak diskusi dengan pak Camat mengenai permasalahan yang dihadapi.

Sesuai tupoksi, koordinatif. Memberikan saran sesuai dengan keadaan dilapangan.

Beliau selalu berkoordinasi dan berkomunikasi dengan atasan. Hubungannya baik.

Selalu berkomunikasi dengan baik dengan atasan. Berusaha memenuhi ekspektasi atasan.

6. Ketika bawahan bekerja dengan baik

Memberikan pujian untuk hal-hal yang sesederhana mungkin.

Berterimakasih, terkadang sekedar membelikan jajanan untuk menambah semangat kerja

Beliau selalu berterimakasih apabila saya menyelesaikan tugas.

Memberikan ucapan terimakasih, pengakuan, makan bersama, mengusulkan untuk promosi

Beliau sangat friendly, kalau sedang bekerja dilapangan biasanya beliau menyempatkan waktu untuk makan bersama kami.

Beliau selalu menghargai setiap usaha yang kami lakukan, simpelnya memberikan ucapan terimakasih.

179

Diluar itu, terkadang makan bersama ketika jam istirahat.

7. Ketika bawahan melakukan kesalahan

Menyelesaikan permasalahan yang ada dengan bersama-sama

Ditegur tetapi membantu dalam menyelesaikan masalah

Biasanya dikasih tau bagian mana yang salah atau kurang. Lalu memberikan saran bagaimana yang seharusnya.

Melihat situasi dan kondisi. Memberikan peringatan dan contoh. Apabila masih terjadi lagi, punishment

Sangat tegas, biasanya ditegur. Tetapi setelah itu diberikan contoh atau diberitahu secara lisan bagaimana cara menyelesaikan sesuai yang beliau harapkan.

Beliau sangat sensitif dengan kesalahan, pasti akan ditegur dan diminta untuk memperbaiki sesegera mungkin. Beliau juga selalu berusaha memberikan contoh yang baik.

8. Dalam membuat keputusan

Berkomunikasi dengan yang berhubungan dengan keputusan yang akan dibuat. Meminta saran.

Kalau ada hubungannya, biasanya akan minta penjelasan mengenai permasalahannya. Tapi lebih sering

Kurang paham, tapi untuk hal-hal yang bersifat umum, belaiu selalu mendengarkan pendapat orang lain

Sesuai dengan kapasitas keputusan yang harus diambil. Konsultasi dengan atasan. Memakai semua sumber yang berhubungan

Kalau dilapangan, kebanyakan beliau mengambil tindakan sendiri. Kalau berhubungan dengan

Lebih sering mengambil tindakan sendiri, atau berdiskusi dengan atasan, terutama tugas-tugas yang berkaitan

180

berdiskusi dengan rekan kerja

dahulu baru memutuskan suatu hal.

dengan permasalahan sebagai dasar.

bawahan, biasanya diminta pendapat

dengan nama kecamatan di masyarakat. Dengan bawahan biasanya meminta informasi untuk memutuskan suatu hal.

9. Ketika bawahan mengalami masalah/tidak dapat bekerja

Menanyakan permasalahan, membantu menyelesaikan

Biasanya ditanyakan apa masalahnya, memberikan saran dan semangat agar tetap dapat bekerja

Sejauh ini, setiap beliau butuh bantuan, saya selalu bisa. Jadi belum pernah mengalami hal tersebut. Tapi ketika saya terlihat tidak seperti biasanya, beliau akan tanya kenapa atau ada apa.

sesuai tingkat urgensi permasalahan, memberikan waktu untuk masalah yang urgen. Lebih profesional.

Beliau sangat professional, memisahkan urusan lain dengan tugas, begitu pula dengan bawahannya. untuk beberapa masalah beliau memberi kelonggaran.

Beliau selalu bekerja dengan professional. Namun tetap diimbangi dengan pengertian terhadap bawahan. Ketika memang kami tudak dapat melakukan tugas, beliau akan memberi kelonggaran.

181

10. Dalam pemberian tugas

Secara langsung meminta tolong kepada bawahan

Kalau tugasnya diluar yang sudah ditugaskan kecamatan, biasanya beliau meminta tolong secara langsung

Meminta secara langsung dengan sopan. Tidak seperti menyuruh. Selalu dijelaskan terlebih dahulu tugasnya, atau saya tanya duluan tugasnya seperti apa.

Pemberian tugas, sesuai kemampuan dan karakter. Melakukan pertukaran tugas

Kami bekerja sesuatu tugas dari kecamatan dan dari pemkot. Untuk tugas yang dilapangan biasanya beliau mengajak. Tetapi untuk tugas diluar itu, biasanya beliau meminta tolong secara langsung.

Semua tugas yang kami lakukan sudah tercantum di tupoksi dan sudah ada jadwalnya. Kamu diminta untuk bekerja professional tanpa harus disuruh. Namun untuk tugas diluar itu, beliau selalu meminta tolong.

11. Membuat bekerja dengan lebih keras

Sejauh ini bawahan telah bekerja dengan baik dan sesuai yang diinginkan

Memberikan contoh dalam menyelesaikan tugas. Memberikan dukungan dalam bentuk semangat

Biasanya sih diberi contoh bagaimana seharusnya dalam bekerja.

Pendekatan personal dan memberikan contoh kerja. Benchmarking, membuka wawasan yang bersangkutan.

Belaiu orang yang sangat professional, dengan pemberian contoh beliau secara tidak langsung memberikan standard dan ekspektasi

Dengan melihat cara kerja beliau saja sudah membuat kami terpacu untuk bekerja dengan lebih. Biasanya ditambah dengan kunjungan ke

182

tertentu yang harus dipenuhi.

kecamatan lain untuk perbandingan dan memberikan contoh.

12. Ketika kinerja bawahan tidak memuaskan

Memberikan contoh bagaimana seharusnya suatu pekerjaan diselesaikan

Biasanya ditanya kesulitannya dimana. Diingatkan untuk tidak mengulangi

Sejauh ini belum pernah, tetapi apabila ada yang salah langsung diberitahu dan langsung minta dibenarkan

Mengingatkan secara personal, hingga batas terntentu. Lalu tindakan kedinasan.

Lebih banyak menegur secara langsung dan memberitahu letak kesalahan. Setelah itu mengingatkan utk tidak mengulang.

Apabila belia utidak puas dengan pekerjaan saya, maka beliau akan jujur memberitahu. Biasanya diikuti dengan contoh dan saran.

13. Memenuhi kebutuhan bawahan

Tidak dapat menilai diri sendiri, tetapi sudah berupaya semaksimal mungkin

Sejauh ini sudah, karena memang hanya PKL, beliau selalu memberi ilmu dan info yang saya butuhkan.

Bagi saya sih sudah, karena beliau baik, bisa dekat dengan semua karyawan bukan hanya yang bekerja dibawah beliau.

Sudah karena sejauh ini sudah berusaha untuk mengembangkan kemampuan bawahan, meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan

Sudah, dengan kinerja beliau membuat kami sebagai bawahan selalu berkembang secara skill maupun pribadi.

Sudah, beliau memberikan contoh yang baik bagi bawahan untuk dapat bekerja secara professional. Mengembangkan pengetahuan kami, memberi

183

contoh kinerja yang baik.

14. Memenuhi kebutuhan organisasi

Sudah, karena telah mengikuti peraturan daerah dan memenuhi tupoksi

Sudah, karena menurut saya beliau sangat serius dalam mengerjakan semua pekerjaan

Sudah sangat memenuhi, karena setau saya tugas beliau itu sangat banyak. Tetapi sejauh dapat terselesaikan, artinya tidak masalah.

Sudah, karena sudah mendedikasikan kualitas, memberikan sesuatu yang baru, efektif dan manusiawi. Membangun komunikasi yang baik

Sangat sudah, tugas beliau sangat banyak tetapi sejauh ini sudah dilaksanakan dengan sangat baik. Beliau selalu mengamati apa yang terjadi dilapangan untuk memberikansaran kepada atasan.

Sudah, karena beliau selalu berusaha melaksanakan tugas sesuai tupoksi dan arahan atasan.

15. Kepuasan dalam memimpin

Belum puas, karena tidak dapat membangun kader-kader untuk generasi selanjutnya

Belum puas, karena sejauh ini ada hal-hal diluar kewenangan yang masih mengganjal.

184

16. Tantangan dalam kepemimpinan

Banyaknya tugas-tugas yang dari Pemerintah Kota (Pemkot) yang harus diselesaikan dan disebar kekelurahan

Bagaimana cara membuat kepemimpinan yang visioner, mampu membuat visi yang mencakup keseluruhan tujuan organisasi, kebutuhan masyarakat dan mampu kinerja mengembangkan organisasi

185

Validasi Responden Kasus 1 Kelurahan Mugassari

Jabatan Narasumber TTD

Lurah N4

Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban N1

Kepala Seksi Pembangunan dan Pemerintahan N2

Sekertaris Lurah N3

Bendahara N7

Staf IT N6

Staf N5

186

Validasi Responden Kasus 2 Kecamatan Tembalang

Jabatan Narasumber TTD

Kepala Seksi Pelayanan Publik N1

Kepala Seksi Ketentraman dan Keamanan N2

Staf Mahasiswa PKL N3

Staf N4

Staf N5

Staf N6