Upload
khangminh22
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEPEMIMPINAN BERDASARKAN GENDER:
EFEKTIVITAS & TANTANGAN
(Studi Kasus pada Kelurahan Mugassari dan Kecamatan Tembalang
Kota Semarang)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1)
Pada Program Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
Disusun Oleh:
INDRA DWI PUTRANTO NIM. 121010114140183
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
ii
PERSETUJUAN SKRIPSI
Nama Penyusun : Indra Dwi Putranto
Nomor Induk Mahasiswa : 12010114140183
Fakultas/Jurusan : Ekonomika dan Bisnis / Manajemen
Judul Usulan Penelitian Skripsi : Kepemimpinan Berdasarkan Gender:
Efektivitas dan Tantangan (Studi Kasus pada
Kelurahan Mugassari dan Kecamatan
Tembalang)
Dosen Pembimbing : Mirwan Surya Perdhana, Ph.D
Semarang, 11 Juli 2018
Dosen Pembimbing,
(Mirwan Surya Perdhana, Ph.D)
NIP. 198509252008121003
iii
PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN
Nama Penyusun : Indra Dwi Putranto
Nomor Induk Mahasiswa : 12010114140183
Fakultas/Jurusan : Ekonomika dan Bisnis / Manajemen
Judul Usulan Penelitian Skripsi : Kepemimpinan Berdasarkan Gender:
Efektivitas dan Tantangan (Studi Kasus pada
Kelurahan Mugassari dan Kecamatan
Tembalang)
Telah dinyatakan lulus pada 18 Juli 2018
Tim penguji:
1. Mirwan Surya Perdhana, Ph.D (……………………..)
2. Drs. Fuad Mas’ud, MIR (……………………..)
3. Dra. Rini Nugraheni, MM (……………………..)
iv
PERNYATAN ORISINALITAS SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Linati Haida Alimi, menyatakan bahwa
skripsi dengan judul : Kepemimpinan Berdasarkan Gender: Efektivitas dan
Tantangan (Studi Kasus pada Kelurahan Mugassari dan Kecamatan Tembalang),
adalah hasil tulisan saya sendiri. Dengan ini saya menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian
tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalimat atau simbol yang menunjukkan gagasan atau pendapat atau
pemikiran dari penulis lain, yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri,
dan/atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan yang saya salin itu, atau
yang saya ambil dari tulisan orang lain tanpa memberikan pengakuan penulis
aslinya.
Apabila saya melakukan tindakan yang bertentangan dengan hal tersebut di
atas, baik disengaja maupun tidak, dengan ini saya menyatakan menarik skripsi
yang saya ajukan sebagai hasil tulisan saya sendiri ini. Bila kemudian terbukti
bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-
olah pemikiran saya sendiri, berati gelar dan ijazah yang telah diberikan oleh
universitas batal saya terima.
Semarang, 11 Juli 2018
Yang membuat pernyataan,
Indra Dwi Putranto
NIM : 12010114140183
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“FOR INDEED, WITH HARDSHIP [WILL BE] EASE”
Ash-Sharh 94:5
Persembahan Sederhana
Untuk Kedua Orang Tua dan Keluarga Tercinta
vi
ABSTRAK
Gender bukan hanya perbedaan jenis kelamin, tetapi juga perbedaan karakter, peran sosial dan juga identitas di masyarakat. Kesetaraan gender belum terjadi dengan sempurna pada sektor pekerjaan maupun politik. Hal tersebut terjadi karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan. Namun pada banyak penelitian sebelumnya ditemukan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kualitas yang sama dalam kepemimpinan mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan gaya kepemimpinan, efektivitas dan juga tantangan yang terdapat pada pemimpin laki-laki maupun perempuan di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus. Objek utama pada
penelitian ini adalah pemimpin perempuan dan laki-laki pada organisasi pemerintah di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga meneliti pada persepsi bawahan, rekan kerja hingga atasan mengenai kepemimpinan para pemimpin tersebut.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pemimpin laki-laki dan
perempuan di organisasi pemerintah di Indonesia memiliki gaya kepemimpin yang mayoritas transformasional. Selain itu, para pemimpin tersebut juga dianggap memiliki efektivitas kepemimpinan yang sama baiknya, serta memiliki tantangan pada pekerjaan, komunikasi, dan juga kepemimpinan mereka.
Kata kunci: Gaya Kepemimpinan, Efektivitas Kepemimpinan, Tantangan
Kepemimpinan, Kepemimpinan Transformasional, Kepemimpinan Transaksional
vii
ABSTRACT
Gender is not only about type of sex, but it is more about character, social role and identity in the society. Gender equality has not perfectly happened in workplace and also political issue. It caused of the incredulity of people about women leadership. However, in previous research we found that women and men are equal on their leadership capability. Therefore, this research aimed to identify leadership style, leadership effectiveness, and also challenges of men and women leaders in Indonesia.
This research used qualitative method and case study approach. The main
object of this research are men and women leaders in Indonesian government organizations. Moreover, this research investigated on subordinate, counterpart, and superior about leadership of those leaders.
The result of this research revealed that men and women leaders are using
transformational leadership style. And then, those leaders are considered equal on leadership effectiveness, and also have common challenges on task, communication, and their leadership.
Key words: Leadership Style, Leadership Effectiveness, Leadership
Challenge, Transformational Leadership, Transactional Leadership
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan yang rahmat dan berkah yang telah
diberikan kepada penulis. Kepada-Nya penulis mengucapkan banyak syukur atas
izin-Nya penulis telah menyelesaikan skripsi dengan judul “Kepemimpinan
Berdasarkan Gender: Efektivitas dan Tantangan (Studi Kasus pada
Kelurahan Mugassari dan Kecamatana Tembalang)”. Adapun maksud dari
penyusunan skripsi ini adalah untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis mendapat
banyak bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih atas segala bantuan, bimbingan dan dukungan
yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Ucapan ini ditujukan
kepada kepada :
1. Keluarga tercinta, Bapak Drs. Edy Kustoro dan Ibu Indriastuti, Kakak Deviana
Putri S.Marcom, dan Kakak ipar Wibowo Aji Utomo, SE, M.ak. yang tiada
henti-hentinya memberikan doa, semangat, perhatian, bimbingan dan kasih
sayang hingga saat ini yang sungguh berarti bagi penulis.
2. Bapak Dr. Suharnomo, S.E., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomika dan
Bisnis, Universitas Diponegoro, yang telah berdedikasi dalam memimpin
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro menuju kearah yang
lebih baik.
ix
3. Bapak Dr. Harjum Muharam, S.E, M.E, selaku Ketua Departemen Manajemen
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, yang telah
memberikan motivasi dan pembelajaran kepada penulis serta memimpin
Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas
Diponegoro dengan baik.
4. Bapak Mirwan Surya Perdhana, Ph.D selaku dosen perwalian sekaligus
pembimbing skripsi penulis, atas waktu, perhatian, kesabaran dan segala
bimbingan serta arahannya selama penulisan skripsi ini dan selama menempuh
pendidikan di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.
5. Dr. Fuad Mas’ud, MIR dan Dra. Rini Nugraheni, MM sebagai dosen penguji
skripsi yang telah memberi masukan bagi penelitian ini.
6. Ibu Eka Kriswati, SH., MM. yang telah memberikan jalan yang memperlancar
perjalanan penelitian ini.
7. Bapak Camat Kecamatan Tembalang dan Ibu Lurah Kelurahan Mugassari yang
telah memberikan izin untuk kepentingan penelitian ini.
8. Bapak serta Ibu Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
yang telah memberikan bekal pengetahuan dan bimbingan selama kuliah dan
penyusunan skripsi.
9. Dina Mutiara Hadi yang selalu memberikan doa, kasih sayang, semangat dan
dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Seluruh teman-teman organisasi yang telah membangun kepribadian dan
mengembangkan potensi diri penulis baik KMW, BEM Universitas dan BEM
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.
x
11. Seluruh teman-teman Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro yang telah membantu penulis dalam banyak hal
berkaitan tentang sosial, perkuliahan maupun organisasi.
12. Teman-teman perkuliahan yang selalu ada dan menghibur penulis dalam
kesedihan dan kesenangan, serta kasih sayang tiada henti yang diberikan oleh
Alfonsus Aristo W., Oktasadewa Putra S., Aulia Khairunisa, Emil Julius,
Kyendi Suramana, Muhammad Ilham, Nadya Restu Triani, Ratna Satutikirono,
Rissa Silvia, Salsabila Nadianisa, Suesty Sondyarini, Viasti Intan Permata,
Yoma Agustha, C. Bintang Saputra, Nana Adnan Rahmanto, Faizal Zulfikar,
Davin Hardian, dan Zulkifli Rakhman.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini secara langsung maupun tidak langsung.
Semarang, 11 Juli 2018
Penulis,
Indra Dwi Putranto
NIM : 12010114140183
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. i HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………. ii HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN ………………... iii PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI …………………………. iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………….. v ABSTRAK………………………………………………………………… vi ABSTRACT ……………………………………………………………............ vii KATA PENGANTAR ………………………………………………...... viii DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… xiv DAFTAR TABEL ………………………………………………............ xv DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………. xvi BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………. 1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………….. 9 1.3 Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian ……………….. 10
1.3.1 Tujuan Penelitian…………………………………… 10 1.3.2 Manfaat Penelitian…………………………………… 11
1.4 Sistematika Penulisan …………………………………….. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………… 13
2.1 Landasan Teori …………………………………………… 13 2.1.1 Implicit Leadership Theory ……………………….. 13 2.1.2 Pengertian Kepemimpinan………………………… 16 2.1.3 Perkembangan Gaya Kepemimpinan……………… 20
2.1.3.1 The Personality Leadership…………........... 20 2.1.3.2 The Influence Leadership…………………... 20 2.1.3.3 The Behaviour Leadership………………….. 21 2.1.3.4 The Situation Leadership…………………… 22 2.1.3.5 The Contingency Leadership……………….. 23 2.1.3.6 The Transactional Leaderhip………………. 24 2.1.3.7 The Anti-Leadership Leadership……………. 25 2.1.3.8 The Culture Leadership……………………... 26 2.1.3.9 The Transformational Leadership…………... 27 2.1.3.10 Future Leadership Theory: The Tenth Leadership………………………………………..… 28
2.1.4 Full Ranged Leadership Theory …………………… 32 2.1.5 Gender………………………………………………. 36
2.1.5.1 Definisi Gender……………………………. 36 2.1.5.2 Stereotip Gender……………………………. 38
2.1.6 Stereotip Kepemimpinan Perempuan………………. 42 2.1.6.1 Gaya Kepemimpinan Perempuan dan Laki-Laki Dari Sudut Pandang Karyawan………… 42 2.1.6.2 Efektivitas Kepemimpinan Perempuan dan Laki-laki dari Sudut Pandang Karyawan………….. 45
2.1.7 Tantangan Kepemimpinan………………………… 48
xii
2.2 Penelitian Terdahulu ……………………………………… 51 2.3 Kerangka Penelitian………………………………………. 67
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………. 69 3.1 Metode Penelitian…………………………………………. 69 3.2 Definisi Operasional……………………………………… 71 3.3 Informan Penelitian …………………………………........ 73 3.4 Sumberdata ……………………………………………… 75 3.5 Teknik Pengumpulan Data ……………………………… 75
3.5.1 Wawancara ………………………………………. 76 3.6 Objek Penelitian ………………………………………….. 77 3.7 Metode Pengolahan Data…………………………………. 77
3.7.1 Reduksi Data……………………………………….. 78 3.7.2 Teknik Analisis Data……………………………….. 78 3.7.3 Penyajian Data………………………………………. 80 3.7.4 Penarikan Kesimpulan………………………………. 80
BAB IV PEMBAHASAN……….…………………………………...... 81 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ……………………… 81
4.1.1 Kasus 1…………………………….………………. 81 4.1.2 Kasus 2………………………………….………….. 82
4.2 Hasil Penelitian……..…………………………………… 84 4.2.1 Kasus 1…………….………………………………... 84
4.2.1.1 Kepemimpinan…………………………….. 84 4.2.1.1.1 Paternalistik/maternalistik………… 84 4.2.1.1.2 Supportif…………………………… 87 4.2.1.1.3 Empati……………………………… 90 4.2.1.1.4 Pengembangan Kemampuan……… 92
4.2.1.2 Efektivitas Kepemimpinan…………………. 95 4.2.1.2.1 Keterlibatan/Involvement…………. 95 4.2.1.2.2 Motivation…………………………. 98 4.2.1.2.3 Fulfillment………………………… 101
4.2.1.3 Tantangan Kepemimpinan…………………. 104 4.2.1.3.1 Tantangan Pekerjaan……………… 104 4.2.1.3.2 Tantangan Komunikasi……………. 106
4.2.1.4 Rangkuman…………………………………. 108 4.2.2 Kasus 2………….………………………..…………. 110
4.2.2.1 Kepemimpinan……………………………… 110 4.2.2.1.1 Komunikasi………………………. 110 4.2.2.1.2 Direktif……………………………. 114 4.2.2.1.3 Pengembangan……………………. 117
4.2.2.2 Efektivitas Kepemimpinan…………………. 120 4.2.2.2.1 Encouragement……………………. 120 4.2.2.2.2 Fulfillment………………………… 123
4.2.2.3 Tantangan……………….………………….. 127 4.2.2.3.1 Tantangan Pekerjaan……………… 127 4.2.2.3.2 Tantangan Kepemimpinan………… 130
4.2.2.4 Rangkuman…………………………………. 132
xiii
4.3 Diskusi……………………………….. ………………….. 134 4.3.1 Apakah Terdapat Perbedaan Gaya Kepemimpinan Antara pemimpin Laki-laki dan Pemimpin Perempuan?….. 134 4.3.2 Bagaimana Persepsi Efektivitas Gaya Kepemimpinan Pimpinan Laki-laki dan pimpinan Perempuan pada Organisasi Pemerintah?....................................................... 139 4.3.3 Apakah Tantangan yang Dialami para Pemimpin (Perempuan dan Laki-laki) dalam Kepemimpinannya di Organisasi Pemerintah?....................................................... 142
BAB V KESIMPULAN ……………………………………………… 146 5.1 Temuan Kunci………… ………………………………… 146
5.1.1 Apakah Terdapat Perbedaan Gaya Kepemimpinan Antara pemimpin Laki-laki dan Pemimpin Perempuan?….. 146 5.1.2 Bagaimana Persepsi Efektivitas Gaya Kepemimpinan Pimpinan Laki-laki dan pimpinan Perempuan pada Organisasi Pemerintah?....................................................... 148 5.1.3 Apakah Tantangan yang Dialami para Pemimpin (Perempuan dan Laki-laki) dalam Kepemimpinannya di Organisasi Pemerintah?........................................................ 149
5.2 Implikasi Manajerial.……………………………………… 150 5.3 Keterbatasan Penelitian…………………………………… 151 5.4 Agenda Penelitian yang Akan Datang…………………… 152
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….... 154 LAMPIRAN……………………………………………………………… 158
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Perbandingan Paslon Kepala Daerah Laki-laki dan Perempuan……………………………………………… 3
Gambar 1.2 Reasearch Gap……………………………………………… 6 Gambar 2.1 Pohon Perkembangan Kepemimpinan……………………… 31 Gambar 2.2 Perbandingan Efektivitas Perilaku Gaya Kepemimpinan
Transaksional dan Transformasional………………………... 35 Gambar 2.3 Kerangka Penelitian…………………………………………. 68 Gambar 3.1 Skema Wawancara Kasus 1………………………………….. 74 Gambar 3.2 Skema Wawancara Kasus 2….……………………………… 74 Gambar 4.1 Struktur Organisasi Kelurahan Mugassari..…………………. 82 Gambar 4.2 Struktur Organisasi Kecamatan Tembalang………………… 83
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Penelitian Dengan Topik Kepemimpinan Berdasarkan Gender di Indonesia……………………………………………. 7
Tabel 1.2 Penelitian dan Objek Penelitian…………………………..……. 8 Tabel 2.1 Perbandingan Perilaku Gaya Kepemimpinan Transaksional
Dan Transformasional…............................................................ 33 Tabel 2.2 Kerangka Kerja Kepemimpinan Agentic dan Communal
Eagly dan Carly………………………………………………… 41 Tabel 2.3 Persepsi Kepemimpinan Efektif………………………………. 48 Tabel 2.4 Matriks Penelitian Terdahulu…………………………………. 56 Tabel 4.1 Identitas Responden Kasus 1…………………………………... 84 Tabel 4.2 Identitas Responden Kasus 2…………………………………… 110 Tabel 4.3 Temuan Penelitian……………………………………………… 144 Tabel 5.1 Persamaan dan Perbedaan Kepemimpinan Laki-laki dan
Perempuan……………………………………………………… 147 Tabel 5.2 Persepsi Efektivitas Kepemimpinan Laki-laki dan Perempuan… 148
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Daftar Pertanyaan untuk Objek Utama Daftar Pertanyaan untuk Atasan Daftar Pertanyaan untuk Rekan Kerja Daftar Pertanyaan untuk Bawahan Matriks Wawancara Kasus 1 Matriks Wawancara Kasus 2 Validasi Responden Kasus 1 Validasi Responden Kasus 2
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesetaraan dalam gender telah berkembang dengan pesat seiring dengan
perkembangan zaman. Gender bukanlah hanya sekedar perbedaan jenis kelamin
antara laki-laki dan perempuan, namun lebih pada bagaimana laki-laki dan
perempuan dibedakan dari karakternya, peran sosialnya atau identitasnya dalam
masyarakat (WHO, 2013). Maka kesetaraan gender adalah pandangan bahwa
semua orang harus diperlakukan secara setara dan tidak didiskriminasikan
berdasarkan identitas gender mereka (United Nations, 1948). Dengan berjalananya
waktu, persoalan mengenai kesetaraan gender juga sudah memasuki dunia
pekerjaan dan juga politik.
Kesetaraan gender yang belum berjalan sempurna di dunia kerja
ditunjukkan dengan bukti sebuah penelitian yang mengatakan pada tahun 2008 di
500 perusahaan Fortune hanya 30% perempuan yang menjadi jajaran teratas di
perusahaan dan hanya 12 perempuan yang berhasil menjadi CEO (Chief Executive
Officer) (Lublin, 2010). Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa kesetaraan gender
belum berjalan dengan sempurna di negara maju seperti Amerika. Apabila kita teliti
kembali pada negara-negara Asia ataupun Timur-Tengah, maka kesetaraan gender
akan lebih sulit untuk dijumpai.
Di Timur-tengah, khususnya di Arab perempuan sangat sulit untuk
mendapat pengakuan secara adil di tempat kerjanya masing-masing (Yaseen,
2
2010). Hal tersebut terjadi karena di Arab, perbedaan gender masih terasa sangat
jelas, hal tersebut dibuktikan dengan masih sedikitnya pekerja perempuan disana.
Para laki-laki di Arab masih menganut ajaran atau budaya yang menganggap bahwa
laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dan selalu berada diatas perempuan
dalam derajat hidup. Hal itu sangat menghambat perempuan Arab untuk menjadi
pemimpin dalam perjalanan karirnya.
Berbeda dengan Negara-negara Timur-Tengah, di Asia khususnya di
Malaysia posisi wanita dalam pekerjaan dan jabatan yang lebih tinggi telah
mendapat perhatian khusus dari Pemerintah mereka sejak tahun 2004 (Abdullah,
2014). Hal tersebut menunjukkan bahwa di Malaysia kesetaraan gender telah
mendapat dukungan berupa regulasi yang jelas, sehingga itu dapat memperkuat
posisi perempuan dalam pekerjaannya dan untuk mendapat jabatan yang lebih
tinggi. Abdullah (2014) menyebutkan bahwa telah 30% dari pemimpin-pemimpin
perusahaan di Malaysia di tempati oleh para perempuan. Akan tetapi, mayoritas
pemimpin-pemimpin perempuan tersebut memiliki hubungan kekerabatan dengan
pemilik perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan perempuan di
posisi kepemimpinan lebih karena hubungan persaudaraan dibandingkan dengan
hubungan komersial ataupun professional (Abdullah, 2014).
Selain bidang bisnis, ternyata kesetaraan gender juga masih sangat tabu di
dunia politik. Contohnya adalah, Hillary Clinton yang merupakan seorang
politikus, mantan senator dan menteri luar negeri, yang mencalonkan diri sebagai
Presiden perempuan pertama di Amerika (Supriadi, 2016). Hillary dikalahkan oleh
Donald Trump pada Pemilu 2016. Sedangkan di Indonesia terdapat Megawati
3
Soekarnoputri yang merupakan mantan Presiden RI dari proses aklamasi dan
mantan anggota DPR RI. Megawati maju sebagai Calon Presiden pada Pemilu
2004, namun dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada pilkada serentak yang dilakukan pada tahun 2015, terdapat 122 orang
perempuan yang mencalonkan diri dari total 1620 orang calon kepala dan wakil
kepala daerah. secara persentase hanya 7,32% dari total keseluruhan calon kepala
daerah yang terdaftar. Dari 123 orang perempuan, 35 orang diantaranya terpilih
untuk menjabat sebagai bupati, wakil bupati, walikota ataupun wakil walikota di
daerah pemilihannya masing-masing. Hal tersebut membuktikan ternyata
kemampuan politik yang dimiliki oleh Hillary Clinton, Megawati Soekarnoputri
dan perempuan lainnya belum mampu meyakinkan masyarakat untuk memilih
mereka sebagai pemimpin.
Belum percayanya publik mengenai kemampuan seorang perempuan dalam
memimpin sangat disayangkan. Karena ternyata, Eagly, et al (2003) telah
Gambar 1.1 Perbandingan Paslon Kepala
Daerah laki-laki dan perempuan Pemilu 2015
4
membuktikan bahwa kepemimpinan seorang perempuan dapat mengimbangi atau
bahkan mengungguli kemampuan para pemimpin laki-laki dalam berbagai sisi
(Eagly, Johannesen-Schmidt, & van Engen, 2003). Yaseen (2010) juga menemukan
fakta bahwa sebenarnya pemimpin perempuan di Arab memiliki sifat yang lebih
demokratis dibandingkan dengan para pemimpin laki-laki. Karena pada
prakteknya, pemimpin perempuan ternyata dapat memotivasi dan menginspirasi
bawahannya secara lebih baik. Dengan hal tersebut, maka pemimpin perempuan
akan lebih mudah membangun koneksi yang baik dengan bawahan, rekan kerja,
dan atasannya. Disamping itu pemimpin perempuan di Arab dapat mengungguli
pemimpin laki-laki dalam hal efektivitas kepemimpinan dan membangun hubungan
yang baik dengan para bawahannya (Yaseen, 2010).
Efektivitas kinerja organisasi secara keseluruhan dapat dipengaruhi oleh
hubungan yang dibangun pemimpin dengan para bawahannya dan gaya
kepemimpinan yang dibawanya (Bass, Avolio, & Atwater, 1996). Di Timur Tengah
misalnya, Yaseen (2010) menemukan fakta bahwa pemimpin perempuan memiliki
gaya kepemimpinan yang transformasional, sedangkan pemimpin laki-laki lebih
menggunakan gaya kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional
terkenal dengan ciri khas dimana pemimpin menanamkan kesadaran kepada para
bawahannya tentang tujuan utama organisasi, namun memberikan kebebasan bagi
bawahannya dalam melakukan tugas dan membimbing mereka untuk terus
berkembang. Sedangkan kepemimpinan transaksional berfokus agar bawahan
dapat menyelesaikan tugas secara sebaik-baiknya, dengan memberikan apa yang
5
mereka butuhkan (B. M. Bass, 1990). Dengan kata lain, terdapat perbedaan gaya
kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin perempuan dan laki-laki.
Dari fenomena-fenomena yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dilihat
bahwa terdapat glass ceiling yang membatasi karir perempuan. Berdasarkan
Bahasa, glass ceiling adalah Batasan yang tidak terlihat yang menghalangi kaum
minoritas (khususnya perempuan) untuk mendapatkan posisi pemimpin. Hal
tersebut tidak hanya terjadi di negara-negara Asia dan Timur-tengah, tetapi juga
negara maju seperti Amerika. Fenomena tersebut mungkin saja terjadi dikarenakan
asumsi bahwa kepemimpinan pria lebih baik dan efektif dibandingkan perempuan.
Padahal beberapa penelitian mengungkapkan bahwa gaya kepemimpinan
perempuan tidak kalah efektifnya dibandingkan laki-laki (B. M. Bass et al., 1996;
Yaseen, 2010). Efektif menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah
berhasil atau memiliki efek, maka secara Bahasa, kepemimpinan efektif adalah
kepemimpinan yang mampu memberikan hasil atau efek yang dapat dirasakan dan
dilihat.
Selain fenomena-fenomena tersebut, terdapat pula beberapa celah pada
penelitian terdahulu yang akan dillengkapi oleh penelitian ini. Celah penelitian atau
Research gap adalah pertanyaan atau masalah yang belum terselsaikan pada
penelitian sebelumnya dengan sempurna. Research gap akan menunjukkan
pengertian yang mendalam terdahap penelitian yang dilakukan dan akan dapat
menjelaskan apa saja yang akan dilakukan dalam penelitian ini, serta menunjukkan
hal-hal yang akan di lengkapi oleh penelitian ini. Alvesson & Sandberg (2011)
6
mengungkapkan bahwa research gap dapat dijadikan dasar yang kuat dalam
membangun penelitian baik.
Berdasarkan gambar 1.2, terlihat bahwa penelitian terdahulu mengenai
kepemimpinan dan gender belum banyak dilakukan di Indonesia, tetapi telah
banyak dilakukan di Amerika, Eropa, Timur-tengah, dan negara Asia (Brandt &
Laiho, 2013; Rhee & Sigler, 2015; Shapira, Arar, & Azaiza, 2010; Wang, Chiang,
Tsai, Lin, & Cheng, 2013; Wells, Peachey, & Walker, 2014). Penelitian mengenai
kepemimpinan dan gender ini penting untuk dilakukan di Indonesia, karena
Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi dan luas wilayah paling besar di
Asia Tenggara. Selain negara terbesar di Asia Tenggara, dengan populasi lebih dari
265 juta orang, Indonesia juga merupakan negara terbesar nomor 4 di dunia dilihat
dari populasi penduduknya (United Nations, 2018). sehingga tidak menutup
kemungkinan hasil penelitian ini dapat menggambarkan keadaan yang ada dalam
lingkup regional Asia Tenggara.
Penelitian sejenis sebelumnya berupa
literature review atau menggunakan
metode kuantitatif.
Penelitian ini dilakukan secara
empiris, menggunakan
metode kualitatif.
Penelitian sebelumnya banyak dilakukan di Eropa, Arab, dan Negara
Asia lainnya.
Penelitian ini dilakukan di
Indonesia, khusunya di Kota Semarang.
Penelitian sejenis sebelumnya dilakukan di
perusahan profit, lembaga pendidikan dan klub olahraga.
Penelitian ini
mengambil sampel padan organisasi
pemerintah. Gambar 1.2
Research Gap
7
Selain berdasarkan alasan-alasan diatas, penelitian mengenai
kepemimpinan berdasarkan gender ini juga perlu dilakukan di Indonesia
dikarenakan penelitian dengan tema yang sama belum banyak dilakukan di
Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dari data base Google Scholar dari tahun 2014
belum banyak memuat jurnal atau skripsi di Indonesia yang bertema kepemimpinan
berdasarkan gender, sesuai pada tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1 Penelitian Dengan Topik Kepemimpinan Berdasarkan Gender di Indonesia
judul tahun sumber Pengaruh Gaya Kepemimpinan Perempuan terhadap Kinerja Karyawan di PT. AIA Chandra Utama Agency Kupang
2018 Petra.ac.id
Analisis Gaya Kepemimpinan Perempuan pada Divisi Teknik di PT. Prambanan Dwipaka
2018 Petra.ac.id
Perbedaan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Laki-Laki Dan Wanita Hubungannya Dengan Kedisiplinan Guru Pada Sd Negeri Kecamatan Somba Opu Kabpaten Gowa
2018 Ojs.unm.ac.id
Analisis Pengaruh Kepemimpinan Dan Gender Terhadap Kinerja Karyawan Pt City Era Abadi
2017 Petra.ac.id
Pengaruh Gender, Pengalaman Kerja, Gaya Kepemimpinan, Kecerdasan Emosional, Motivasi Dan Independensi Terhadap Pengambilan Keputusan Etis Akuntan Publik (Studi Empiris Di KAP Semarang)
2016 Repository.unika.ac.id
Kajian Gender Leadership And Inequality Pada Perguruan Tinggi Di Indonesia
2017 Iaida.ac.id
8
Selain itu, Penelitian dengan tema yang sama belum banyak dilakukan pada
organisasi pemerintah, tetapi telah banyak dilakukan dibidang bisnis, pendidikan
dan olahraga (Mendez & Busenbark, 2015; Schuh et al., 2014; Wells et al., 2014),
seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.1. Penelitian ini mengambil organisasi
pemerintah sebagai objek penelitian, dikarenakan jumlah Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang mencapai 4,5 juta orang. Jumlah PNS di Indonesia menyerap 1,7% dari
populasi warga negara, sehingga penelitian mengenai kepemimpinan dan gender di
Organisasi Pemerintah dirasa perlu dilakukan untuk menampilkan bagaimana
gambaran tentang bagaiman kepemimpinan di Organisasi Pemerintah.
Tabel 1.2 Penelitian dan Objek Penelitian
Penelitian Objek Penelitian Mendez & Busenbark (2015), Brandt & Laiho (2013), Wang, Chiang, Tsai,
et al. (2013) Bisnis / organisasi profit
Schuh, et al (2014), Shapira, Arar & Azaiza (2010), Rhee & Sigler (2015),
Dunn, et al (2014) Pendidikan
Wells, et al (2014) olahraga
Dan terakhir, penelitian terdahulu mengenai tema yang sama belum banyak
dilakukan dengan metode kualitatif, tetapi telah banyak dilakukan dengan metode
kuantitatif (Rhee & Sigler, 2015; Strøm, D’Espallier, & Mersland, 2014; Wang et
al., 2013; Yaseen, 2010), dan dalam bentuk literature review (Dunn, Gerlach, &
Hyle, 2014; Lyle & MacLeod, 2016). Penelitian ini dilakukan dengan metode
kualitatif, sehingga diharapkan penelitian ini dapat mengeksplorasi mengenai topik
9
yang diangkat dengan lebih baik, dapat mempermudah dalam penelitian ini apabila
ditemukan masalah yang kompleks, dapat mengambil data langsung dari objek
yang dituju, dapat menjelaskan secara lebih detail mengenai hal-hal yang diteliti,
dan juga dapat menjelaskan alasan-alasan dibalik hasil penelitian nantinya
(Creswell, 2007).
1.2 Rumusan Masalah
Dilihat dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender
di sektor bisnis dan politik belum terjadi secara sempurna, bahkan di negara maju
seperti di Amerika Serikat, negara-negara Asia dan Timur-tengah. Walaupun pada
kenyataannya Eagly, et al (2003) & Yaseen (2010) mengungkapkan bahwa
perempuan memiliki gaya kepemimpinan dan kemampuan memimpin yang tidak
kalah dibandingkan laki-laki, bahkan cenderung lebih efektif.
Selain fenomena tersebut, terdapat pula celah dalam penelitian terdahulu
yang akan dilengkapi oleh penelitian ini. Mengingat masih jarangnya penelitian
mengenai kepemimpinan dan gender di Organisasi Pemerintahan, maka penelitian
ini akan melakukan investigasi terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia.
Penelitian kualitatif mengenai hal tersebut akan dilakukan menggunakan metode
penelitian kasus di studi kantor Kelurahan Mugassari dan kantor Kecamatan
Tembalang kota Semarang. Penggunaan metode tersebut dalam penelitian ini
diharapkan akan dapat mengeksplorasi, mambahas lebih dalam, serta dapat
menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang ditemui dalam penelitian ini.
10
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah, maka
rumusan masalah yang akan penelitian ini angkat adalah:
1. Apakah terdapat perbedaan gaya kepemimpinan antara Pemimpin Laki-laki
dan pemimpin perempuan?
2. Bagaimana persepsi efektivitas gaya kepemimpinan pemimpin laki-laki dan
pemimpin perempuan pada organisasi pemerintah?
3. Apakah tantangan yang dialami para pemimpin (perempuan dan laki-laki)
dalam kepemimpinannya di organisasi pemerintah?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah:
1. Mengidentifikasi gaya kepemimpinan yang digunakan pemimpin laki-
laki dan perempuan pada organisasi pemerintah di Indonesia.
2. Menganalisis persepsi efektivitas gaya kepemimpinan pemimpin laki-
laki dan perempuan pada organisasi pemerintah di Indonesia.
3. Mengurai tantangan yang dihadapi pemimpin laki-laki dan perempuan
pada organisasi pemerintah di Indonesia.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan manfaat pada pihak-
pihak dibawah ini sebagai berikut:
1. Bagi Akademik dan Penelitian Selanjutnya
11
Hasil dari penelitian ini diharapkan akan mampu memberi kontribusi pada
ilmu pengetahuan dan memberikan masukan bagi pembaca serta peneliti
lainnya. Penelitian ini diharapkan juga mampu menjadi referensi dasar bagi
pengembangan penelitian dan juga berkontribusi sebagai literatur.
2. Bagi Organisasi Pemerintahan
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan gambaran
bagi organisasi pemerintah bagaimana gaya kepemimpinan dan efektivitas
kepemimpinan pemimpin laki-laki dan perempuan, serta tantangan-tantangan
yang mereka hadapi. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan
masukan manajerial pada organisasi pemerintah di Indonesia.
1.4 Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun melalui sistematika yang terdiri dari beberapa Bab,
yaitu Bab I Pendahuluan, Bab II Tinjauan Pustaka, Bab II Metode Penelitian, Bab
IV Pembahasan, dan Bab V Kesimpulan.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab I akan diuraikan mengenai latar belakang penelitian,
rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
serta sistematikan penulisan penelitian ini. Bab I ini adalah
ringkasan dari keselutuhan penelitian ini.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab II dari penelitian ini akan menguraikan landasan teori mengenai
gaya kepemimpinan, efektivitas kepemimpinan dan juga tantangan
kepemimpinan. Selain ini, bab ini juga berisi penelitian terdahuli
dan pemikiran teoritis.
BAB III METODE PENELITIAN
Pada Bab III penelitian ini akan diuraikan bagaimana metode yang
digunakan pada penelitian ini. Bab III ini akan berisikan Metode
penelitian, pendektan penelitian, Informan penelitian, sumber data
penelitian, Teknik pengumpulan data, objek penelitian, serta metode
pengolahan data pada penelitian ini.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada Bab IV penelitian ini akan dipaparkan hasil dari wawancara
yang telah dilakukan, diskusi hasil penelitian, dan juga temuan
penelitian ini.
BAB V KESIMPULAN
Pada Bab V penelitian ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan
hasil penelitian ini, implikasi manajerial, keterbatasan penelitian dan
juga agenda penelitian yang akan datang.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
Pada bab kedua ini, akan dibahas mengenai landasan teori yang dipakai
dalam penelitian ini. Penelitian ini berfokus pada kepemimpinan dan gender, maka
teori-teori yang akan dipakai sebagai landasan teori penelitian ini tidak akan jauh
dari hal tersebut. Beberapa teori yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain:
Implicit Leadership Theory (ILT), teori kepemimpinan, evolusi gaya
kepemimpinan, definisi gender, stereotip gender, stereotip kepemimpinan
perempuan, efektivitas kepemimpinan, dan tantangan. Teori-teori tersebut akan
dibahas satu persatu pada sub-sub di bab 2 ini secara mendalam, sehingga penelitian
ini memiliki kerangka teori yang kuat.
2.1.1 Implicit Leadership Theory
Implicit Leadership Theory adalah sebuah teori kognitif tentang
kepemimpinan yang didasari oleh representasi individual mengenai dunia dan
menggunakan pemikiran tersebut untuk menginterpretasikan keadaan sekitar, serta
mengontrol perilaku mereka (Offermann, Kennedy, & Wirtz, 1994). Eden &
Leviathan (1975) mengemukakan bahwa setiap individu memiliki pemikiran
tersendiri tentang bagaimana seharusnya pemimpin dan kepemimpinan. Ternyata
persepsi untuk sebuah kepemimpinan tidaklah nyata, pada dasarnya orang-orang
terdahulu hanya menggunakan persepsi untuk menentukan seorang pemimpin itu
14
efektif ataupun tidak efektif (Lord & Maher, 1991). Dan sejauh ini Teori
Kepemimpinan Implisit (ILT’s) telah digunakan untuk menjelaskan atribusi dan
persepsi pada kepemimpinan. Pada penelitian lainnya mengatakan bahwa teori
implisit tentang kepemimpinan dapat dimengerti sebagai proses pengkatagorian
secara kognitif (Phillips & Lord, 1981). Proses kategorisasi dapat mengurangi
kompleksitas dengan mengorganisir informasi kedalam kelompok-kelompok
kategori yang lebih kecil. Hal tersebut merepresentasikan tanda-tanda khusus
secara simbolis terhadap kategori-kategori tersebut, sehingga memudahkan
pertukaran informasi mengenai kategori yang ada (Cantor & Mischel, 1979).
Lord dkk (1982; 1984) memberikan beberapa level hirarki dalam organisasi
tentang kategori pada kepemimpinan. Yang pertama adalah kategori pemimpin
utama yang memiliki atribut sesuai dengan yang diinginkan oleh atasan. Setelah
itu, terdapat kategori menengah yang lebih inklusif lagi dibandingkan dengan
kategori sebelumnya. Pada kategori ini memiliki informasi situasional atau
kontekstual, pada kategori ini pemimpin dapat dibedakan menjadi tipe pemimpin
tertentu, contohnya pemimpin agama, militer, politik, ataupun bisnis. Pada level
terendah, tipe pemimpin dibedakan berdasarkan konteksnya. Perbedaan yang
termasuk dalam konteks tersebut adalah hubungan antara pemimpin terendah
dengan pemimpin teratas. Contohnya adalah perbedaan pangkat pada pemimpin
militeratau posisi hirarki pada pemimpin bisnis.
Interpretasi lingkungan sosial mengenai sesuatu sangat dapat dipengaruhi
oleh kultur dasar yang ada pada seseorang. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa
atribut mengenai karakteristik atau prototip mengenai pemimpin juga dapat berbeda
15
pada kultur yang berbeda. Hunt, Boal, and Sorensen (1990) mengemukakan bahwa
kultur sosial memiliki dampak yang sangat kuat pada perkembangan prototip
kategori pemimpin and teori implisit kepemimpinan. Namun batasan pada katergori
pemimpin pada pemimpin dan bukan pemimpin terkadang sangat sulit dijelaskan.
Sebuah kategori dikatakan membingungkan ketika tidak ada hal spesifik yang
membedakan antara anggota atau bukan anggota dari kategori tersebut. Pada
konteks manajemen antar kultur, relevansi dari kategorikasi secara kognitif dapat
direpresentasikan sebagai perbedaan pengaruh kultur yang ada pada prototip
kepemimpinan (Shaw, 1990).
Penelitian mengenai kepemimpinan pada setengah abad kebelakang banyak
dilakukan di Amerika, Eropa Barat dan Kanada (Yukl, 1998). Terdapat beberapa
ide pada kepemimpinan di Amerika yang belum tentu sinkron dengan belahan
dunia lainnya. Beberapa dasar pemikiran pada kepemimpinan Amerika adalah:
penekanan pada proses pasar, penekanan pada individual, dan lebih berfokus pada
pemimpin bukan pekerja (Cantor & Mischel, 1979). Karena secara psikologi,
sosiologi dan antropologi pemikiran tersebut belum tentu sama, maka diperlukan
pemikiran-pemikiran baru yang memiliki dasar empiris tentang perilaku pemimpin
dan keefektivan pemimpin yang cocok untuk berbagai budaya.
Teori Implisit kepemimpinan memiliki tujuan utama untuk membentuk
prototip dari kepemimpinan. Teori tesebut sangat berguna untuk mengetahui
perilaku pemimpin di Amerika, dan tidak ditemukan alasan pasti kenapa teori
tersebut tidak dapat di Negara lain. Pada sebuah penelitian, Bryman (1987)
menemukan bahwa teori kepemimpinan implisit ini dapat digunakan di Britania
16
Raya. Namun penelitian lainnya mengemukakan bahwa budaya memiliki pengaruh
yang kuat dalam prototip kepemimpinan (Lord & Maher, 1991). Penelitian terakhir
yang meneliti mengenai kepemimpinan antar budaya adalah milik Gerstner & Day
(1994). Penelitian itu meneliti siswa di Amerika yang benar-benar berasal dan yang
berasal dari luar Amerika sebagai sampelnya, hasilnya mereka menemukan bahwa
sifat dari pemimpin sebuah perusahaan bervariasi bergantung pada darimana dan
bagaimana budaya responden berasal. Namun penelitian tersebut masih memiliki
batasan karena hanya menggunakan siswa yang ada di Amerika sebagai responde,
diperlukan penelitian yang bersifat lebih global untuk menemukan jawaban yang
lebih baik mengenai perbedaan prototip kepemimpinan di berbagai budaya.
2.1.2 Pengertian Kepemimpinan
Pemimpin adalah kata dasar dari kepemimpinan, pemimpin pada dasarnya
adalah orang memiliki kekuasaan yang lebih daripada bawahannya untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan melalui orang lain. Sehingga pemimpin memiliki
wewenang untuk memberikan intruksi kepada bawahannya untuk melaksanakan
suatu kegiatan tertentu untuk kepentingan tujuan organisasi. Secara luas
kepemimpinan adalah proses untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan
dengan cara mengajak orang lain bekerjasama, dalam hal ini kepemimpinan dapat
dilihat dari beberapa sisi, yaitu pola hubungan, kemampuan koordinasi, memotivasi
dan mempengaruhi orang lain (Kirkpatrick, Locke, Executive, & May, 1991).
Sedangkan menurut Hasibuan, kepemimpinan adalah bagaimana cara seorang
pemimpin untuk berusaha membujuk orang lain agar mau bekerjasama sehingga
17
tujuan organisasi dapat tercapai secara maksimal. Sehingga kepemimpinan yang
baik oleh seorang pemimpin sangatlah dibutuhkan agar terjadi hubungan yang baik
antar pekerja sehingga tugas yang dilaksanakan dapat diselesaikan.
Pada penelitiannya Implicit Leadership Theories mengemukakan bahwa
pemimpin dapat dibedakan dengan bagaimana mereka berperilaku di dalam
kelompoknya (Kenney, Blascovich, & Shaver, 1994). Secara luas, Kenney,
Blascovich, & Shver (1994) mengatakan bahwa pemimpin akan cenderung
berbicara lebih banyak didalam kelompoknya dibanding anggota lainnya, dan
secara nyata dapat mempengaruhi anggota kelompok lainnya secara pemikiran
maupun tindakan. Namun, kekuatan dari pemimpin juga dipengaruhi oleh anggota
kelompoknya atau bawahannya, apabila anggota kelompoknya cenderung responsif
terhadap apa yang dilakukan oleh pemimpinnya, maka semakin tinggi pengaruh
pemimpin tersebut terhadap anggota kelompoknya dan sebaliknya. Namun
keefektivan seorang pemimpin sangat bergantung pada bagaimana pemimpin
tersebut dapat mempengaruhi persepsi para bawahannya, sehingga Ia memiliki
power yang lebih terhadap para bawahannya.
French & Raven (1959) mengemukakan terdapat 5 dasar kekuasan atau
power, yaitu; yang pertama Reward Power yaitu menggunakan balas jasa untuk
kekuasan, lalu Coercive Power yaitu kekuasan yang menggunakan ancaman, lalu
Referent Power yaitu kekuasan atas dasar kekaguman, Legitimate Power kekuasan
yang berasal dari posisi resmi, Expert power yaitu kekuasaan yang berasal dari
kemampuan dan pengetahuan seseorang. Untuk dapat mempengaruhi seseorang
atau sekelompok orang untuk dapat bekerjasama dibawah arahan pemimpin
18
bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan
dibutuhkan kemampuan dari seorang pemimpin untuk mengerti para bawahannya
secara lebih detail. Dengan mengerti para bawahannya, pemimpin yang baik akan
mengetahui bagaimana Ia harus bertindak terhadap para bawahannya, dan
bagaiman untuk memancing para bawahannya untuk dapat bekerja semaksimal
mungkin untuk kepentingan organisasi atau perusahaan. Maka semakin baik
kemampuan seorang pemimpin, semakin baik pula Ia dalam mempengaruhi
seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan sesuatu yang bahkan secara
pribadi tidak disenangi oleh bawahannya (Siagian, 2002).
Untuk mencapai target perusahaan, diperlukan kinerja yang maksimal dan
disiplin dari setiap setiap sisi atau lini di organisasi ataupun perusahaan. Oleh
karena itu, pemimpin yang baik dalam kepemimpinan harus dapat menjadi inspirasi
dan contoh yang sebaik-baiknya bagi para bawahannya dalam hal kinerja,
komitmen, dan juga mampu memotivasi para bawahannya untuk mencapai tujuan
perusahaan (Armstrong, 2003). Dalam sumber lainnya mengatakan bahwa
kepemimpinan adalah salah satu proses untuk mencapai tujuan perusahaan yang
telah ditetapkan diawal dengan cara berusaha mempengaruhi aktivitas seseorang
atau sekelompok orang lainnya, sehingga dapat bekerja sesuai dengan keinginan
pemimpin (Bernard M. Bass & Avolio, 2013).
Menurut Siagian (2003) terdapat 5 fungsi kepemimpinan, yang pertama
adalah penentu arah yang akan ditempuh oleh organisasi dalam usaha mencapai
tujuan dan berbagai sasarannya. Kedua, sebagai wakil dan juru bicara organisasi
dalam hubungan dengan berbagai pihak luar organisasi, terutama dengan yang
19
tergolong stakeholder. Lalu yang ketiga, sebagai komunikator yang efektif bagi
organisasi. Yang keempat adalah sebagai mediator khususnya dalam konflik yang
muncul diantara individu yang dalam satu kelompok kerja atau dalam organisasi,
serta yang terakhir sebagai integrator yang rasional dan objektif.
Dari definisi yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat ditemukan beberapa
unsur-unsur yang harus dipenuhi seorang pemimpin dalam melaksanakan
kepemimpinannya. Tanpa memenuhi unsur-unsur tersebut, maka pekerjaan seorang
pemimpin tidak akan terlaksana dengan baik. Unsur-unsur tersebut diantaranya
adalah kemampuan untuk mempengaruhi, seorang pemimpin yang baik haruslah
memiliki kemampuan komunikasi yang baik, terutama dengan para bawahannya
agar mereka mau mengikuti apa yang diinstruksikan oleh pemimpinnya. Unsur
yang harus dipenuhi oleh para pemimpin adalah kemampuan untuk mengarahkan
tingkah laku, yaitu bagaimana pemimpin dalam memberikan pengertian kepada
bawahannya tentang bagaimana perilaku yang diinginkan oleh perusahaan terhadap
para pekerjanya. Kemampuan ini dianggap penting untuk menjaga kestabilan yang
ada di perusahaan agar para pekerja tidak berperilaku diluar kendali, dan tugas
pemimpinlah untuk menyebarkan atau menularkan perilaku-perilaku yang
diingikan oleh perusahaan kepada para bawahannya. Dan yang paling penting dari
semua unsur tersebut, semua hal diatas haruslah dilakukan oleh seorang pemimpin
untuk menunjang kinerja para bawahannya dengan tujuan untuk memenuhi tujuan
perusahaan.
20
2.1.3 Perkembangan Gaya Kepemimpinan
2.1.3.1 The Personality Leadership
Era personalitas atau personality Era ini adalah waktu pertama kali teori
tentang kepemimpinan dibahas secara formal. Era ini dibedakan menjadi dua, yaitu
the Great Man Period and the Trait Period. Pada masa ini, peneliti berfokus pada
orang-orang yang sangat berpengaruh pada masa itu (laki-laki maupun perempuan)
dan mempelajari perilaku mereka, yang dianggap sebagai kunci kepemimpinan
yang kuat (Borgatta, Bales, & Couch, 1954; Galton, 1869). Penelitian mengenai
kepemimpinan di masa ini mengalami kebingungan karena pemimpin yang efektif
pada masa itu memiliki sifat yang cenderung berbeda.
Di era yang sama kepemimpinan juga berkembang dengan penelitian pada
sifat dasar pemimpin atau disebut dengan Trait Period. Pada masa ini penelitian
mengenai kepemimpinan mencoba untuk mengembangkan beberapa sifat dasar
yang apabila diterapkan dapat berpengaruh pada potensi kepemimpinan dan kinerja
kepemimpinan. Namun hal tersebut gagal, karena tidak ditemukan suatu sifat dari
sekelompok karakteristik yang secara empiris berpengaruh pada kepemimpinan
yang baik (Jenkins, 1947). Hal lain yang membuat era ini gagal adalah fakta bahwa
sifat tidak dapat dipelajari, sehingga pada akhirnya sifat hanya sebagai variabel
penjelas pada penelitian selanjutnya.
2.1.3.2 The Infuence Leadership
Masa ini adalah perkembangan dari era sebelumnya yang berfokus pada
personality seorang pemimpin. Pada Infulence Era ini peneliti mulai menyadari
21
bahwa kepemimpinan membutuhkan hubungan antar personal, bukan hanya
tentang seorang pemimpin. Pada era ini muncullah aspek power dan pengaruh, yang
pada akhirnya berhubungan dengan Power Relations Period dan Persuasion
Period. Periode pertama berfokus pada keefektivan seorang pemimpin dalam
memanfaatkan sumber dan besar power yang mereka miliki. Pada masa sekarang,
pengaruh kekuatan masih umum digunakan oleh pemimpin (Pfeffer, 1981), namun
kepemimpinan yang bersifat diktator sudah dirasa tidak efektif dan tidak cocok
dengan dunia bisnis saat ini (French, 1956).
Pada Persuasion Period, kepemimpinan tidak lagi menggunakan paksaan,
namun pemimpin dianggap sebagai faktor dominan dalam hubungannya dengan
bawahannya (Schenk, 1928). Pendekatan kepemimpinan secara dominan masih
digunakan pada manajemen kontemporer, namun mulai ditinggal karena terdapat
batasan dari power yang dimiliki oleh bawahan (Mechanic, 1962).
2.1.3.3 The Behaviour Leadership
Sebagai lawan dari sifat dan sumber power, pada era ini lebih berfokus pada
apa yang seorang pemimpin lakukan. Kepemimpinan adalah bagian dari perilaku
manusia (Hunt & Larson, 1977). Pada masa ini teori kepemimpinan mengalami
kemajuan pesat karena penelitian didukung oleh bukti empiris dan juga dapat
diimplementasikan oleh manajer untuk meningkatkan keefektivan
kepemimpinannya (Fleishman & Harris, 1962). Pada periode perilaku awal, pada
dasarnya pengembangan dari sifat , tetapi bukan sifat personal, namun lebih pada
sifat perilaku. Menurut penelitian Ohio State dan Michigan terdapat dua perilaku
22
penting dari pemimpin, yaitu: penekanan pada penyelesaian tugas dan pemimpin
memperhatikan kepaduan antar individu serta kelompok.
Pada periode akhir, berkembang teori X yang mengatakan bahwa manusia
itu adalah makhluk yang pasif, harus diarahkan dan harus dimotivasi untuk
memenuhi kebutuhan organisasi. Dan di sisi lain juga ada teori Y yang mengatakan
bahwa manusia pada dasarnya telah termoativasi secara intrinsik dan hanya
membutuhkan kondisi kerja yang layak (McGregor, 1966). Pada akhir periode ini,
ditemukan bahwa perilaku pemimpin tidak mempengaruhi perilaku bawahan secara
langsung, namun dapat membangkitkan stimulus dan kondisi yang diharapkan
(Bernard M. Bass, 1981).
2.1.3.4 The situational Leadership
Era ini membuat suatu langkah besar dalam perkembangan teori
kepemimpinan, karena penelitian mulai memperhatikan pentingnya sesuatu antara
pemimpin dan bawahannya. Contohnya adalah tipe tugas, status sosial dari
pemimpin dan bawahan, dan bawaan lingkungan eksternal lainnya (Bernard M.
Bass, 1981). Aspek situasional tersebut kemudian dapat menggambarkan sifat,
kemampuan, pengaruh dan perilaku yang dapat megakomodasi kepemimpinan
yang efektif. Pada Environtment Period, peneliti berpikir pemimpin hanya akan
dapat timbul dan tumbuh pada waktu yang tepay, tempat yang tepat, dan pada
keadaan yang tepat. Ada banyak bukti empiris untuk pendekatan ini, dan banyak
peneliti lainnya yang memperkenalkan variabel lingkungan yang lebih banyak,
23
contohnya faktor ekonomi dalam konteks kepemimpinan (McCall & Lombardo,
1977).
Selanjutnya, pada Social Status Period memiliki ide dasar bahwa sebagai
anggota kelompok yang bekerja pada tugas tertentu, mereka memiliki ekspektasi
bahwa setiap individu akan bertindak sesuai dengan perilaku sebelumnya. Pada
dasarnya, pemimpin dan bawahannya memiliki suatu ekspektasi yang saling
mereka berikan untuk dapat berkontribusi dalam grup (Stogdill, 1959). Pada
periode selanjutnya terdapat perkembangan lagi, karena peneliti mulai menyadari
pengaruh grup.
2.1.3.5 The Contingency Leadership
Pada masa ini merepresentasikan kemajuan besar dalam evolusi dari teori
kepemimpinan. Hal tersebut dikarenakan peneliti telah menemukan bahwa
kepemimpinan yang efektif bergantung pada satu atau lebih dari faktor perilaku,
personality, pengaruh, dan situasi. Banyak peneliti meyakinkan bahwa sumber dari
kepemimpinan yang efektif telah ditemukan bersamaan dengan berkembangnya
dengan teori kemungkinan (contingency theories). Pada masa ini berkembang tiga
teori yang dianggap paling penting, yang pertama adalah Contingency Theory, yang
mengemukakan kebutuhan untuk menempatkan pemimpin pada situasi yang paling
cocok dengan mereka atau melatih pemimpin untuk merubah situasi sesuai dengan
gaya dari pemimpinnya (Fielder, Chemers, & Mahar, 1976). Yang kedua adalah
Path-Goal Theory yang tidak berfokus pada situasi ataupun perilaku pemimpin,
namun lebih pada menciptakan kondisi untuk kesuksesan bawahan (House, 1971).
24
Dan yang terakhir Normative Model yang lebih memberikan petunjuk bagi
pemimpin mengenai perilaku dalam pembuatan keputusan yang paling cocok
dengan situasi dan kebutuhan keputusan (Vroom and Yetton, 1973).
Pendekatan kontingensi dengan banyak kelebihannya ternyata juga banyak
memiliki kekurangan dan kontroversi. Teori yang berkembang pada era ini sangat
berbeda satu dengan lainnya sehingga sulit untuk membedakan periode di era
tersebut. Setiap teori memiliki bagian untuk menjawab permasalahan dalam
kepemimpinan, tetapi tidak ada yang memiliki semua jawaban atas suatu masalah.
Pemimpin sudah terlalu sibuk dalam membuat keputusan dan mengurusi masalah
organisasinya, sehingga tidak sempat untuk menganalisis situasi yang terjadi
dengan model yang kompleks (Bass, 1981).
2.1.3.6 The Transactional Leadership
Pembelajaran mengenai kepemimpinan bukan hanya bekutat pada orang
dan situasi, tetapi juga pada pebedaan peran dan interaksi sosial. Pemikiran tersebut
melahirnya era transaksional yang merupakan perkembangan dari era pengaruh
atau Influence era. Terdapat dua periode dalam era ini, yaitu Exchange period dan
Role Development Period. Pada Exchange Period, terdapat transaksi yang terjadi
antara pemimpin dan bawahannya yang mempengaruhi hubungan mereka. Setiap
pemimpin memiliki tipe transaksi yang berbeda dengan bawahan yang berbeda
pula. Dalam konteks ini, kepemimpinan hanya akan terjadi apabila telah diketahui
oleh anggota kelompok lainnya (Bass, 1981). Pemimpin bekerja untuk
meningkatkan partisipasi dari anggota yang kurang berpatisipasi, menerima
25
personality yang berbeda-beda, dan sangat toleran dengan penyimpangan (Bass,
1981). Teori kepemimpinan ini tetap bisa hidup dalam beberapa era kepemimpinan
dan memiliki tempat yang kuat dalam teori kepemimpinan saat ini.
Pada Role Development Period masih terdapat elemen pada perubahan
tetapi lebih spesifik pada peran relative dari pemimpin dan bawahnnya. Pada
periode ini muncul kondisi dimana grup memberikan penghargaan dan status lebih
pada pemimpin, dengan harapan kemampuan pemimpin untuk membimbing grup
mencapai tujuan. Dalam hal ini kepemimpinan menjadi hubungan pertukaran yang
adil, karena tidak ada dominasi dari satu pihak (Bass, 1981). Pemimpin bertindak
sebagai contoh dan pencipta ekspektasi yang positif, sehingga perilaku pemimpin
dapat menjadi reaksi pada kedewasaan, kemampuan interpersonal, kompetensi dari
bawahan (Crowe, Bochner and Clark, 1972; Lowin and Craig, 1968). Namun pada
perkembangannya, dengan teori ini kepemimpinan dapat terjadi di dalam bawahan,
bukan pada pemimpin. Hal tersebut membuat keraguan pada penelitian mengenai
teori kepemimpinan saat itu.
2.1.3.7 The Anti-Leadership Leadership
Dengan berjalannya waktu banyak penelitian yang telah meneliti mengenai
kepemimpinan, dan telah banyak variabel yang diangkat sebagai bagian dari
kepemimpinan. Tetapi dari sekian banyak penelitian tersebut belum ada yang dapat
memberikan kesimpulan dan konsep mengenai kepemimpinan mulai diragukan.
Pada Ambiguity Period, muncul pemikiran bahwa kepemimpinan adala “fenomena
perseptual dari pikiran peneliti” (Mitchell, 1979). Pemikiran tersebut juga didukung
26
oleh Meindl et al. (1985) yang mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu
bagian dari proses perubahan organisasional yang tidak dapat dimengerti. Bahkan
Miner (1985) menyatakan bahwa seharusnya penelitian mengenai kepemimpinan
ditinggalkan saja.
Pada periode selanjutnya, yaitu Substitute Period lebih merusak kemajuan
yang telah ditemukan pada era situasional. Tugas dan karakteristik dari bawahan
dan organisasi dapat menghambat kepemimpinan dalam mempengaruhi kinerja
bawahan (Kerr and Jermier, 1978). Pada periode ini, pemimpin hanya dianggap
sebagai wakil atau penertalisir didalam situasi kerja. Tetapi terdapat pemikiran
bahwa peran tersebut bukanlah sebuah kegagalan dalam kepemimpinan, hanya saja
situasi tersebut dibangun sendiri oleh pemimpin dan hal tersebutlah kepemimpinan
yang terjadi tingkatan awal.
2.1.3.8 The Culture Leadership
Pada ini sinisme mengenai kepemimpinan mulai hilang dan digantikan
dengan pemikiran baru bahwa sebenarnya kepemimpin bukanlah hanya fenomena
individual, hubungan antar atasan bawahan, ataupun kelompok kecil, namun lebih
pada budaya yang ada di keseluruhan organisasi. Pada era ini, fokus kepemimpinan
berubah dari jumlah pekerjaan yang dapat diselesaikan (produktivitas dan efisiensi)
menjadi peningkatan kualitas (melalui ekspektasi dan nilai-nilai). Secara luas hal
tersebut juga mencakup 7-S Framework (Pascale and Athos, 1981), atribut In
Reasearch of Excellence (Peters and Waterman, 1982) dan juga Teori Z (Ouchi,
1981; Ouchi and Jaeger, 1978).
27
Era ini adalah perkembangan dari era sebelumnya yang mengatakan apabila
dapat membentuk budaya yang kuat didalam organisasi, makan para karyawan akan
secara tidak langsung megikuti (Manz and Sims, 1987). Pemikiran tersebut juga
merupakan turunan dari era transaksional, yang mengatakan apabila budaya dapat
dibangun dari pemimpin terendah di organisasi dan diarahkan ke puncak
kepeminan organisasi. Tetapi, paradigm mengenai kepemimpinan yang
berkembang masih bersifat pasif, dan kepemimpinan hanya terjadi apabila diinisiasi
dan dalam proses perubahan. Dan masih dianggap ada hal yang hilang dari ekuasi
kepemimpinan.
2.1.3.9 The Transformational Leadership
Era ini adalah era yang paling menjajikan dalam perkembangan teori
kepemimpinan, karea pada masa ini kepemimpinan yang tadinya berdasarkan pada
hal intrinsic, diubah menjadi ekstrinsi, yaitu motivasi. Pada era ini pemimpin
dituntut untuk lebih proaktif dibandingkan reaktif dalam pemikiran, lebih radikal
dibandingkan konservatif, lebih inovatif dan kreatif, serta terbuka dengan
pemikiran baru (Bass, 1985). Tichy dan Ulrich (1984) mengatakan bahwa
kepemimpinan transformasional sangat penting dalam proses transisi, dengan
membangun visi dan membanguan komitmen bawahan untuk berubah. Pada era ini
terdapat dua periode, yaitu Charisma Period dan Self-Fulfilling Prophecy Period.
Pada dasarnya pada periode Karisma, pemimpin haruslah visioner dan
mampun menguatkan siapapun yang menerima visi tersebut, serta lebih peka
terhadap tujuan yang dimaksud. Kepemimpinan dianggap harus dapat lebih
28
menimbulkan kesadaran, bukan sekedar sifat dan kemampuan seseorang (Adams,
1984). Kepemimpinan transformasional membutuhkan kepemimpinan yang lebih
aktif berkontribusi terhadap organisasi, mampu membangun visi dan menguatkan
bawahan untuk mencapai visi tersebut. Dalam Charisma Period, terdapat teori
kepemimpinan karisma, yaitu teori komprehensif mengenai sifat pemimpin,
perilaku, pengaruh dan faktor situasional yang digabungkan untuk meningkatkan
kemampuan bawahan untuk menerima ideology baru (Conger and Kanungo, 1987;
House, 1977).
Pada periode Sefl-Fulfilling Prophecy berdasarkan teori fenomena
pemenuhan keinginan diri oleh Field (1989). Kepemimpinan SFP ini dapat
dibentuk dari pemimpin tingkat atas kebawah dan juga sebaliknya, bukan hanya
terjadi pada hubungan antar individu tetapi juga dalam konteks organisasi. Kunci
keberhasilan dari tipe kepemimpinan ini adalah dengan membangun ekspektasi
yang positif. Dalam teori ini, pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang dapat
menyelesaikan tugas, menjaga fokus strategi, dan memfasilitasi kepaduan
kelompok. Dengan situasi itu tujuan bawahan berubah dari mencari keaman dan
afiliasi, menjadi aktualisasi diri, pengakuan dan penghargaan.
2.1.3.10 Future Leadership Theory: The Tenth Leadership
Pada era-era sebelumnya, kepemimpinan berkembang dari satu dimensi,
yaitu internal dan proses individual, dan yang menjadi fokus adalah personality,
sifat ataupun perilaku pemimpin. Selanjutnya hubungan antara pemimpin dan
bawahannya menjadi fokus penelitian, hingga sampai hubungannya dalam proses
29
kelompok. Dalan Contingency Era, teori kepemimpinan berubah dari satu
dimensional menjadi multi-dimensional. Sehingga pada perkembangannya
hubungan pemimpin, bawahan, and semua situasi sangat penting dalam
menjelaskan kepemimpinan. Pada akhirnya, di era transformasional kepemimpinan
dilihat dari semua level organisasi, mempengaruhi keterlibatan orang, situasi
mereka, pengaruh mereka pada satu sama lainnya.
Setiap era berubah setelah menyadari bahwa era yang ada belum memadai
untuk mengerti dan menjelaskan fenomena kepemimpian secara jelas, dan
bagaimana dapat diadaptasikan untuk kegunaan dalam prakteknya. Untuk dapat
terus berkembang dan memberikan aplikasi praktek pada para manajer, peneliti
harus menyadari bahwa kepemimpinan itu adalah hal yang kompleks dalam
hubungannya dengan perilaku, hubuangan dan elemen situasional. Kepemimpinan
tidak hanya berdasarkan pada individu, tetapi hubungan antar individu, kelompok
dan juga level organisasi. Dapat diaplikasikan dari level terendah organisasi ke
puncak kepemimpinan dan juga sebaliknya, serta terjadi secara internal dan juga
eksternal. Kepemimpinan juga harus dapat memotivasi secara intrinsic dengan
mengembangkan ekspektasi dan bukan hanya ekstrinsik dengan system
penghargaan.
Dalam beberapa tahun kedepan akan diterjadi era integrative yang dapat
menjelaskan teori kepemimpinan dengan faktor structural organisasi, teknologi
yang lebih kompleks, perubahan yang sangat cepat, pemberian keputusan secara
bertahap, konteks multi budaya, dan juga aktivitas politik (Hunt, Hosking,
Schreisheim and Stewart, 1984). Dan juga harus disadari bahwa kepemimpinan
30
yang efektif tidak dapat dilihat dari satu pendekatan saja, tetapi lebih pada interaksi
beberapa tipe variabel. Bahkan Clark (1984) mengatakan bahwa kita membutuhkan
teori yang sangat tebal (kuat) untuk menjelaskan kepemimpinan sebagaimana
seharusnya, denga kognitif yang kompleks dan politik perusahaan.
31
Sesuai dengan berbagai Era mengenai teori tentang kepemimpinan diatas,
telah dijelaskan perkembangan teori kepemimpinan dari masa ke masa, dari
Gambar 2.1 Pohon Perkembangan Kepemimpinan
(sumber: Van Seters & Field, 1990)
Leadership
Leadership
Leadership
Leadership
Leadership
Leadership
Leadership
Leadership
Leadership
Leadership
32
Personality Era hingga harapan peneliti tentang masa depan perkembangan teori
kepemimpinan. Dari berbagai gaya kepemimpinan yang dijelaskan diatas,
penelitian ini mengambil dua gaya kepemimpinan atau era yang dianggap paling
sesuai dengan pembahasan mengenai kepemimpinan dimasa sekarang, yaitu gaya
kepemimpinan Transaksional dan Transformasional. Kedua gaya kepemimpinan
ini diambil karena pada penelitian mengenai kepemimpinan kedua gaya
kepemimpinan inilah yang menjadi bahasan utama. Selain itu kedua gaya
kepemimpinan ini lebih mudah untuk dibanding dalam konteks aplikasinya pada
kehidupan nyata. Kedua gaya kepemimpinan ini juga merupakan gaya
kepemimpinan yang dibahas dalam penelitian-penelitian yang dijadikan acuan oleh
penelitian ini.
2.1.4 Full Ranged Leadership Theory
Full Ranged Leadership Theory (FRLT) ini adalah sebuah model teori
kepemimpinan yang didasarkan pada lebih dari 100 tahun penelitian tentang teori
kepemimpinan. FRLT ini mengidentifikasi perilaku dari gaya kepemimpinan
transaksional dan transformasional secara lebih mendalam. Pada perilaku
Transaksional, akan dibahas mengenai laissez-faire (hands-off leadership),
management-by-exception (putting out the fires) dan juga contingent rewards (let’s
make a deal). Sedangkan pada perilaku Transformasional akan dibahas lebih lanjut
tentang individualized consideration (compassionate leadership), intellectual
stimulation (thinking outside of “the box”), inspirational motivation (exciting the
masses/sharing the vision), dan juga idealized influence (walking the walk). Pada
33
sebuah penelitian di Nebraska menunjukkan bahwa pemimpin yang mampu
mempraktekan keempat perilaku diatas mendapatkan usaha lebih dari para
karyawannya, mengalami tingkat kepuasan karyawan yang lebih tinggi,
produktivitas yang lebih tinggi, dan juga keefektivan secara organisasi (Barbuto &
Cummins-Brown, 2007).
Apabila dijabarkan dalam bentuk tabel, maka perbedaan perilaku tersebut
dapat dibedakan menjadi:
Tabel 2.1 Perbandingan perilaku gaya kepemimpinan transaksional dan
transformasional
Transaksional Transformasional 1. Laissez-Faire (Hands-off
leadership) • Ketiadaan kepemimpinan • Menolak mengambil sikap
atas sebuah isu • Tidak menekankan pada hasil • Menahan diri dari campur
tangan ketika isu timbul • Tidak peduli terhadap kinerja
karyawan • “pemimpin itu tidak peduli
apakah kita melakukan pekerjaan ataupun tidak.”
1. Individualized Consideration (Compassionate leader) • Berempati pada kebutuhan
individual • Membuat hubungan
interpersonal dan karyawan • Secara tulus memberikan
perhatian dan menunjukkannya melalui tindakan
• Mendorong perkembangan dan pertumbuhan dari karyawan secara terus-menerus
• Mengirimkan pesan, “aku peduli tentang mu dan aku mencari apa yang kau inginkan.”
2. Management-By- Exception (Putting out the fires) • Mengambil tindakan
perbaikan • Memiliki standar, tetapi baru
bergerak ketika masalah muncul
• Menekankan pada apa yang salah dilakukan
2. Intellectual Stimulation (Thinking outside of the box) • Mendorong imajinasi dari
karyawan • Mencari cara terbaik untuk
melakukan sesuatu • Melawan cara lama dalam
menjalankan sesuatu • Mendorong bawahan untuk
tidak berpikir seperti dia
34
Transaksional Transformasional • Menegakkan aturan, tidak
menyukai perlawanan atas status quo
• Hanya mendengarkan dari pemimpin apabila terjadi kesalahan
• “oh tidak, dia datan!”
• Berani mengambil resiko untuk keuntungan potensial
• Mengirim pesan, “bila kita mengubah asumsi kita, maka…”
3. Contingent Rewards (let’s make a deal!) • Mengaplikasikan transaksi
yang membangun • Membuat ekspektasi yang
jelas mengenai hasil dan penghargaan
• Memberikan penghargaan dan pengakuan untuk keberhasilan
• Secara aktif memonitor kemajuan karyawan dan memberikan ‘umpan balik’ yang suportif.
• “apabila kamu melakukan sesuai perjanjian, kamu akan mendapat penghargaan.”
3. Inspirational Motivation (Exciting the masses/Sharing the vision) • Menginspirasi orang lain untuk
perform • Menjelaskan dengan baik
bagaimana organisasi dimasa depan
• Menciptakan tujuan yang kuat diantara para karywan
• Menyamakan kebutuhan organisasi dan individu
• Membantu karyawan untuk meraih lebih dari apa yang mereka pikirkan
• Mengirim pesan, “apabila kita berfokus pada apa tujuan organisasi, maka kita dapat memperoleh apapun yang kita inginkan!”
4. Idealized Influence (Action speak louder than words) • Mendemonstrasikan visi yang
inklusif • Menjalankan apa yang harus
dijalankan • Memperlihatkan komitmen
yang kuat dan kegigihan dalam mencapai tujuan
• Menunjukkan kepercayaan diri dalam visi organisasi
• Mengembangkan kepercayaan dan kepercayaan diri karyawan
• Menyimbolkan tujuan dan misi dari organisasi
• Mengirimkan pesan, “aku percaya bahwa ini lah hal yang benar-benar harus dilakukan.”
(Barbuto & Cummins-Brown, 2007)
35
Selain terdapat perbedaan perilaku antara gaya kepemimpinan transaksional
dan transformasional, ternyata perilaku-perilaku tersebut juga dapat dibandingkan
tingkat keefektivitasannya, seperti pada gambar berikut:
Grafik diatas menggambarkan tingkat efektivitas perilaku kepemimpinan
pada Full Range Leadership Theory (FRLT). Dapat dilihat bahwa Lassez-Faire
(LF) adalah perilaku pemimpin yang paling tidak efektif dan tidak aktif. Penelitian
menunjukkan pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan ini jarang sekali
dilihat sebagai yang efektif dalam pekerjaannya. Management-By-Exception
(MBE) memiliki tingkat efektivitas diatas LF, tetapi secara umum masih dianggap
Gambar 2.2 Perbandingan Efektivitas Perilaku Gaya Kepemimpinan
Transaksional dan Transformasional (Barbuto & Cummins-Brown, 2007)
36
bukan kepemimpinan yang efektif. Perilaku MBE sering dihubungkan dengan
tingkat turnover yang tinggi pada karyawan dan keabsenan, serta kepuasan kerja
yang rendah dan tingkat keefektivan organisasi yang rendah. Contingent Reward
(CR) merupakan gaya kepemimpinan yang cuku efektif, tetapi tidak banyak yang
dapat diperoleh dari pengaplikasian gaya kepemimpinan ini (Barbuto & Cummins-
Brown, 2007).
Dan dilain sisi, Individualized consideration (IC), Intellectual Stimulation
(IS), inspirational motivation (IM) dan Idealized Influence (II) dapat menghasilkan
usaha yang ekstra dari para bawahannya, tingkat produktivitas yang tinggi, moral
yang lebih tinggi, kepuasan kerja, tingkat efektivitas organisasi yang lebih tinggi,
tingkat turnover yang lebih rendah, dan meningkatkan kemampuan adaptif
organisasi pada lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian pemimpin akan paling
efektif apabila secara regular menggunakan setiap dari empat perilaku
transformasional untuk membangun Contingent Rewards (Barbuto & Cummins-
Brown, 2007).
2.1.5 Gender
2.1.5.1 Definisi Gender
Terdapat perbedaan mendasar yang membedakan manusia yang hidup di
dunia ini, salah satu perbedaan tersebut adalah perbedaan gender atau jenis kelamin.
Perbedaan gender ini sering dijadikan pertimbangan oleh manusia dalam
hubungannya dengan manusia lainnya, tak terkecuali dalam hal hubungan di tempat
kerja. Hal tersebut dikarenakan peran gender ini memiliki kekuatan atau peranan
37
yang cukup penting dalam hubungan sosial manusia. Pada dasarnya, gender
merupakan sifat dasar yang dibawa oleh manusia sesuai dengan jenis kelaminnya
dan memiliki hubungan dengan budaya yang ada. Hubungan antara laki-laki dan
perempuan sangat dapat dipengaruhi oleh budaya yang ada dan juga kesenjangan
sosial, dan hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan yang kental antar gender
yang ada. Pengaruh budaya dan kesenjangan dalam gender menimbulkan
perbedaan dalam sosial dalam bentuk perbedaan fungsi, tanggung jawab, peran, dan
juga memperngaruhi ruang aktivitas laki-laki dan perempuan di masyarakat.
Perspektif mengenai gender telah dikemukakan oleh salah satu dari bagian
dari PBB atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (dalam Bahasa Inggris disebut United
Nations atau UN) yang mendalami masalah Perempuan dan pengembangannya
dalam UNIFEM (The United Nations Development Fund for Women). UNIFEM
menguraikan bahwa gender adalah hal yang berbeda dengan seks. Pada dasarnya
seks adalah perbedaan yang terdapat pada manusia secara biologis dan secara
kodrat alam. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan seks ini
contohnya adalah perbedaan bagian-bagian yang terdapat pada tubuh laki-laki dan
perempuan, contohnya adalah adanya payudara pada perempuan dan penis pada
laki-laki, atau dalam pula berdasarkan contoh biologis lainnya seperti adanya haid
pada perempuan dan sperma pada laki-laki.
Dilain sisi, gender adalah perbedaan peran, perilaku, sikap dan atribut yang
dianggap pantas oleh masyarakat yang dimiliki atau yang dibawa oleh perempuan
dan laki-laki secara sosial. Contoh perbedaan menurut gender itu adalah anggapan
masyarakat bahwa laki-laki itu makhluk yang maskulin, kecocokannya untuk
38
memikul pekerjaan yang berat, dan lain-lain. Sedangkan perempuan dianggap
sebagai makhluk yang feminin dan lemah, yang tidak memiliki hak untuk dapat
bekerja diluar rumah atau untuk mencari nafkah. Selain itu terdapat pula perbedaan
status dan kedudukan laki-laki dan perempuan dimata masyarakat yang tentu saja
melemahkan peran perempuan di masyarakat secara sosial. Perbedaan gender ini
juga dapat mempengaruhi interaksi yang terjadi antara gender yang ada, dan juga
kategori sosial lainnya seperti kelas, suku, ras dan lainnya.
Selain penjabaran mengenai gender dan seks oleh UNIFEM diatas, terdapat
pula teori-teori dasar mengenai gender. Teori-teori dasar tersebut dibagi dalam
menjadi empat bagian atau empat teori dasar, yang pertama adalah teori gender
berdasarkan kodrat alam, teori gender berdasarkan kebudayaan, teori gender
berdasarkan fungsional structural, dan juga teori evolusi tentang gender. Teori-teori
tersebut di jabarkan oleh Suryadi & Idris pada penelitiannya ditahun 2004.
2.1.5.2 Stereotip Gender
kelompok-kelompok dan kategori yang terdapat pada manusia dapat
dibedakan dalam suatu tingkat kualitas tertentu oleh pikiran atau persepsi manusia,
dan hal tersebut dikatakan sebagai stereotip (Schneider, 2004). Terdapat banyak
kategori utama dalam kehidupan manusia seperti agama, kasta, hingga gender yang
telah dijadikan sebagai objek penggunaan stereotip oleh pikiran manusia. Karena
pada dasarnya stereotip adalah pemikiran manusia mengenai suatu kategori tertentu
dan anggapan mereka mengenai hal tersebut, yang pada akhirnya diyakini sebagai
suatu hal yang nyata. Penggunaan stereotip pada gender, agama dan kasta telah
39
terjadi pada manusia sejak abad ke-20, dengan kata lain stereotip bukanlah hal yang
baru bagi kehidupan manusia.
Menurut Robbins pada salah satu penelitiannya ditahun 2015, stereotip
digunakan oleh manusia untuk menggambarkan secara pikiran atau kognitif
mengenai tujuan seseorang, alasan seseorang, perilaku seseorang, atau bahkan
kemampuan seseorang secara umum. Pada kenyataannya, penggunaan stereotip ini
oleh sebagian besar orang karena dianggap lebih mudah dalam menggambar suatu
keadaan kelompok atau kategori tertentu dibandingkan dengan harus mencari
secara aktual. Mills (2012) mengungkapkan bahwa stereotip juga dipakai seseorang
dalam menggambarkan suatu gender berdasarkan atribut-atribut yang dibawanya
serta perannya dalam masyarakat, pekerjaan dan keluarga. sehingga mengakibatkan
masyarakat memiliki persepsi tersendiri mengenai peran suatu gender tertentu
dikehidupan sosialnya.
Selain dari teori, peran perempuan dan laki-laki dalam perannya di
masyarakat juga telah diatur oleh regulasi atau hokum yang jelas. Di Indonesia,
terdapat Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur hak-hak normatif tenaga
kerja dalam hal kesetaraan gender, yaitu Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor
13 tahun 2003. Sehingga, pada dasarnya di Indonesia laki-laki dan perempuan
memiliki derajat yang sama dalam pekerjaannya. Meskipun begitu, anggapan-
anggapan negatif mengenai kepemimpinan perempuan masih tersebar luas di
masyarakat Indonesia, khususnya yang masih berpegang teguh pada adat istiadat
dan kebiasaan yang ada. Hal-hal tersebut tentu saja menimbulkan ketidakadilan
40
karena diskriminasi yang diterima oleh kaum hawa dapat menghambat mereka
dalam karirnya.
Mengenai diskriminasi ini, ada penelitian yang mengemukakan bahwa
konflik peran adalah diskriminasi dalam dunia kerja yang lebih sering dialami oleh
seorang manajer perempuan dibanding rekan kerja laki-lakinya yang memiliki
tingkatan yang sama (Ashkanasy, Zerbe, & Härtel, 2014). Ditemukan anggapan
berbeda antara pemimpin laki-laki ataupun pemimpin perempuan dari segi
kepemimpinan serta peran gender, yaitu kemepimpinan itu dianggap bersifat
agentic, namun perempuan ternyata memiliki peranan yang bersifat communal, hal
ini disebut sebagai role congruity theory (Li Kusterer, Lindholm, & Montgomery,
2013). Menurut teori tersebut, laki-laki memiliki karakteristik agentic yang bersifat
lebih pandai dalam mengatur, percaya diri, dan juga lebih tegas, sedangkan
sebaliknya perempuan memiliki karakteristik communal yang bersifat dasar lebih
simpatik kepada orang lain, peka, dan rela berkorban demi orang lain. Sehingga,
anggapan bahwa manajer atau pemimpin laki-laki dianggap lebih cocok atau
sejalan dengan karakteristiknya, dan dilain sisi pemimpin perempuan yang
memiliki karakter agentic dianggap menyalahi peran dasar gendernya.
Karakteristik kepemimpinan agentic dan communal memiliki kerangka
kerja, dan hal tersebut telah dikemukakan oleh Eagly dan Carly pada penelitian
sebelumnya. Menurut mereka, laki-laki dianggap memiliki karakteristik agentic
dan perempuan memiliki karakter sebaliknya, yaitu communal. Dan kerangka kerja
tersebut dapat ditampilkan dalam table berikut:
41
Tabel 2.2
Kerangka Kerja Kepemimpinan Agentic dan Communal Eagly dan Carly
Agentic Communal Agresif Suportif
Penuh tekad Interpersonal Kompetitif Empatik Pendorong Bersahabat Ambisius Sensitif
Tegas Compassionate Mandiri Baik hati
Fokus pada pekerjaan Suka membantu Tegas Lembut
Suka mengatur Pengasih Bergantung pada diri sendiri Simpatik
(Patterson, 2012)
Dapat dilihat pada table tersebut sifat-sifat yang dimiliki oleh karakteristik
agentic lebih dapat diterima sebagai sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh
seorang pemimpin, dan secara tidak langsung anggapan tersebut mengerucut pada
kesimpulan bahwa pemimpin yang ideal adalah yang ber-gender laki-laki. Namun
ketika terdapat pemimpin perempuan yang memiliki karakteristik agentic, akan
dianggap sebagai penyimpangan dan akan dipandang negatif meskipun mereka
berhasil mencapai kesuksesan. Adanya norma deskriptif (keyakinan atas
perempuan) dan norma perspektif (perilaku perempuan seharusnya) membuat
penyimpangan tersebut lebih terasa, dan menyebabkan evaluasi ulang mengenai
posisi perempuan dalam kepemimpinan.
42
2.1.6 Stereotip Kepemimpinan Perempuan
2.1.6.1 Gaya Kepemimpinan Perempuan dan Laki-laki dari Sudut Pandang
Karyawan
Dalam usahanya untuk membantu perekonomian keluarga dan
mengaktualisasikan dirinya, perempuan lambat laun bergerak maju dalam hal
pekerjaan dan karir. Bukan hanya ingin mendapatkan materi dari hasil kerjanya,
tetapi perempuan juga mulai memikirkan mengenai perkembangan karirnya di
pekerjaan tersebut. Dalam banyak sektor seperti publik, privat, hingga non-profit,
banyak perempuan telah menyiapkan dirinya untuk mulai mengejar posisi-posisi
teratas yang memiliki gengsi yang tinggi (Burke, Koyuncu, Singh, Alayoglu, &
Koyuncu, 2012). Walaupun pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa
pemimpin haruslah memiliki karakteristik yang tegas, fokus, ambisius dan lain-lain,
pada kenyataannya pemimpin perempuan mampu memberikan dampak yang
berbeda dari para rekan kerja laki-lakinya. Dampak tersebut secara nyata
ditunjukkan dengan menampilkan gaya kepemimpinan yang berbeda dari
pemimpin laki-laki. Bahkan dalam penelitian pada tahun 2014 mengatakan bahwa
gaya kepemimpinan perempuan memiliki karakteristik yang membawa dirinya dan
para bawahannya pada kinerja yang jauh lebih efektif dibandingkan pemimpin laki-
laki (Baker, 2014).
Gaya kepemimpinan tradisional yang berfokus pada tugas dan perintah
bukanlah lagi menjadi gaya kepemimpinan yang diinginkan oleh sebuah
perusahaan ataupun organisasi pada jaman modern ini. Gaya kepemimpinan
tersebut juga diyakini tidak lebih efektif dibandingkan gaya kepemimpinan yang
43
pada umumnya dibawa oleh perempuan yang mengedepankan sifat simpati dan
empati (Rhee & Sigler, 2015). Pada penelitiannya lainnya disebutkan bahwa
perempuan yang memiliki sifat lembut, simpati, empati dan berperan sebagai
pendukung lebih banyak menggunakan gaya kepemimpinan demokratis, sedangkan
laki-laki dengan segala karakteristik agentic-nya memiliki gaya kepemimpinan
yang lebih transaksional (Yaseen, 2010). Jadi, pada dasarnya perempuan tidak perlu
memiliki atau menggunakan karakteristik yang bersifat agentic untuk menjadi
seorang pemimpin yang baik, tetapi dengan sifat asli dan alamiah mereka ternyata
dapat membentuk gaya kepemimpinan terbaru yang tidak kalah efektif, yaitu gaya
kepemimpinan transformasional.
Karakteristik dasar perempuan yang bersifat suportif, empatik, bersahabat,
sensitive, lembut, pengasih dan lain-lain ternyata dapat menjadikan mereka
pemimpin dengan karakteristik yang berbeda pula. Pada umumnya pemimpin
perempuan akan lebih bersikap sebagai sistem pendukung bagi para bawahannya.
Dengan gaya kepemimpinan transformasional yang dibawanya, pemimpin
perempuan akan memberikan keleluasaan dan kebebasan lebih bagi para
bawahannya dalam melaksanakan tugasnya dan juga dalam berpendapat. Pemimpin
perempuan akan bertindak sebagai mentor bagi para bawahannya apabila
diperlukan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Pemimpin perempuan akan lebih
membuka dirinya dan pikirannya bagi para bawahannya agar mereka dapat
termotivasi, sehingga para karyawannya secara sadar akan lebih peduli terhadap
tujuan dari organisasi ataupun perusahaan (Handoko, 2012).
44
Kouzes dan Pousner (2003) dalam penelitian sebelumnya telah memberikan
pemikiran mereka mengenai dimensi-dimensi yang dapat menunjukkan bahwa
seorang pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang transformasional atau tidak.
Terdapat lima dimensi yang diajukan oleh Kouzes dan Pousner, yaitu; Challenging,
dimensi pertama adalah dimana pemimpin akan lebih berani dalam mengambil
resiko dalam kepemimpinannya. Tujuan dari tersebut adalah untuk
mengembangkan perusahaan. Selanjutnya adalah visioning, dimensi selanjutnya
adalah ketika pemimpin memiliki pandangan jauh mengenai masa depan
perusahaan secara jelas kepada para bawahannya. Pemimpin harus mampu
memberikan nilai-nilai dasar yang kuat mengenai cara menjalankan perusahaan
dengan cara terbaik. Lalu enabling, yaitu pemimpin harus mampu meningkatkan
kepercayaan diri para karyawannya dengan cara memberikan ruang untuk
mengambil keputusan. Dengan begitu, bawahan akan merasa lebih dihargai dan
memiliki andil yang signifikan terhadap perusahaan. Modelling, pemimpin mampu
untuk memberikan kepercayaan lebih kepada karyawan dalam menjalankan nilai-
nilai perusahaan secara tepat. Selain itu, pemimpin diharapkan dapat membuat
perencanaan dan tujuan yang jelas, serta memiliki filosofi yang kuat dalam
kepemimpinannya. Dan yang terakhir adalah rewarding, pemimpin juga harus
memberikan penghargaan dan mengakui setiap hal-hal positif yang dilakukan oleh
bawahannya, sehingga bawahan akan lebih merasa usahanya dihargai.
Selain dimensi diatas, dalam penelitian terdahulu telah menemukan
beberapa perbedaan antara kepemimpinan perempuan dan laki-laki (Bernard M.
Bass & Avolio, 2013). Berdasarkan fenomena yang ada, perbedaan-perbedaan
45
tersebut adalah; Interpersonally Concern, Pemimpin perempuan yang pada
dasarnya memiliki simpati dan empati yang lebih daripada pemimpin perempuan
akan memiliki kesuksesan lebih dalam hal hubungannya dengan karyawan. Namun
pemimpin laki-laki akan lebih memfokuskan pemikiran mereka untuk dapat
menyelesaikan pekerjaan secara baik. Differences Idealized Leadership, pemimpin
laki-laki dalam hal ini lebih bersifat dewasa, memiliki kompeten yang baik, dan
berusaha mendorong karayawannya untuk bekerja. Sedangkan kebalikannya,
pemimpin perempuan akan lebih demokratis dalam kepemimpinannya dan bersifat
lebih terbuka secara personal maupun professional. Differences in Leadership
Behaviour, berdasarkan hasil tes menggunakan kuesioner Leader Behavior
Description Questionanaire for 12 atau LBDQ-XII, menurut karyawan laki-laki
maupun perempuan, seorang pemimpin perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi
daripada pemimpin laki-laki dalam hal representasi, persuasi dan juga empati.
Differences in Involvement, dalam sebuah tes laboratirium mengungkapkan bahwa
pemimpin perempuan lebih sering berhubungan langsung dengan tugas-tugas yang
diberikan kepada karyawannya dibandingkan dengan pemimpin laki-laki.
2.1.6.2 Efektivitas Kepemimpinan Perempuan dan Laki-laki dari Sudut
Pandang Karyawan
Pada dasarnya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
keefektivitasan kepemimpinan antara pemimpin perempuan dan laki-laki. Namun
hal yang membedakan adalah kepercayaan karyawan tentang gender dan perilaku
pemimpinnya dalam berbagai variasi budaya (Jonsen, Maznevski, & Schneider,
46
2010). Namun kepercayaan atau persepsi terhadap gender dan perilakunya ini
berpengaruh pada keputusan manajerial dalam peningkatan karir, promosi,
penempatan, dan juga pelatihan yang diterima oleh seorang pemimpin.
Berdasarkan hal diatas, posisi perempuan sebagai pemimpin selalu
dianggap negatif oleh banyak kalangan. Dalam suatu kondisi, apabila seorang
pemimpin perempuan mengalami sebuah kesuksesan, orang-orang lebih melihat
tersebut disebabkan oleh faktor eksternal dibandingkan dari keefektivitasan
kepemimpinan pemimpin tersebut. Pemimpin perempuan yang
mengimplementasikan karakterisktik agentic dalam kepemimpinannya
diperusahaan atau organisasi dan mendapatkan kesuksesan atas itu, akan tetap
dianggap sebagai pemimpin yang tidak berkompeten dan tidak sesuai dengan
karakter asli dari gendernya (Eilenn, 2014).
Dibalik hal-hal diatas, pada penelitian lainnya mengungkapkan bahwa
pemimpin perempuan memiliki efektivitas yang tidak kalah atau sama dengan
rekan kerja laki-lakinya. Namun dalam kepemimpinan, seorang pemimpin
perempuan akan lebih memperhatikan para bawahannya dalam hal pribadi maupun
pekerjaan. Hal tersebut membuat para karyawan yang bekerja dibawah
kepemimpinan seorang pemimpin perempuan akan memliki moral dan komitmen
organisasi yang lebih tinggi, karena pada dasarnya pemimpin perempuan akan
berusaha mempertahankan para pekerjanya untuk jangka panjang perusahaan.
Dengan bukti diatas, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan strategi yang
digunakan oleh pemimpin perempuan dan pemimpin laki-laki, tetapi secara umum
47
terdapat beberapa kesamaan dalam penggunaan startegi dalam memimpin (Alonso-
Almeida & Bremser, 2015).
Dalam penelitian sebelumnya, telah dikemukakan beberapa karakteristik
untuk mengetahui apakah seorang pemimpin itu efektif dalam menjalankan
kepemimpinannya dari sudut padang karyawan atau bawahan (Muchiri, Cooksey,
Milia, & Walumbwa, 2011). Karakteristik-karakteristik tersebut adalah sebagai
berikut; Pemimpin yang efektif akan senantiasa menjunjung tinggi keadilan,
kesetaraan dan kejujuran diantara para bawahannya, selalu memberikan timbal
balik yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para bawahannya, selalu
meranuh simpati dan empati kepada para bawahannya, serta yang terakhir,
pemimpin yang efektif akan selalu membuka diri bagi para bawahannya untuk
setiap pertimbangan dan juga konsultasi.
Namun dari sudut pandang yang berbeda, terdapat pula karakteristik-
karakteristik pemimpin yang dianggap efektif oleh para pemimpin. Para pemimpin
menganggap diri mereka sebagai pemimpin yang efektif apabila mereka dapat
membangun komunikasi yang baik dengan para bawahannya. Untuk menjadi
pemimpin yang efektif, mereka akan berusaha terlihat karismatik didepan para
bawahannya. Pemimpin yang efektif bagi para atasan, memiliki sikap rendah hati
untuk mendengarkan masukan dan menanggapinya dengan positif, selain itu
mereka juga berusaha mendorong bawahnnya untuk terus berkembang. Dari segi
kompetensi, pemimpin yang dianggap efektif oleh para pemimpin yaitu mereka
yang dapat memberikan pelatihan yang mumpuni, serta memberikan motivasi dan
inspirasi bagi mereka. Tentu saja untuk menjadi pemimpin yang efektif, para atasan
48
menganggap diri mereka harus memiliki kompetensi yang lebih baik dari
bawahannya, namun tidak terkesan sombong dan menggurui (Muchiri et al., 2011).
Tabel 2.3 Persepsi Kepemimpinan efektif
Persepsi kepemimpinan Efektif sudut pandang kepada karyawan
Persepsi kepemimpinan efektif sudut pandang kepada atasan
Fairness, equality & honesty communication contingent reward Leader assist & supports
emphaty leader listens to employees employee investment staff development
consultation & consideration (Muchiri et al., 2011)
2.1.7 Tantangan Kepemimpinan
Perubahan era yang terjadi pada dunia hingga saat ini membuat
kepemimpinan menjadi suatu hal yang menantang. Selain terdapat evolusi pada
gaya kepemimpinan dari satu zaman ke zaman lainnya, ternyata tantangan yang
dihadapi kepemimpinan juga berubah-ubah pada setiap zamannya. Pada era
globasasi seperti ini, maka tantangan yang dihadapi oleh pemimpin masa kini
berbeda dengan para pemimpin dimasa lalu (Kartasasmita, 1997). Dibutuhkan
sebuah kepemimpinan yang kuat dan tangguh untuk dapat mengatasi setiap
tantangan yang ada, khususnya yang ada di Indonesia
Dalam bukunya “Leadership Challenge”, Kouzes & Posner (2003)
mengemukan terdapat lima praktek dalam kepemimpinan yang dianggap sebagai
tantangan dalam memimpin. Yang pertama adalah bagaiman seorang dapat
mengetahui bagaimana seharusnya mereka memperlakukan orang-orang
disekitarnya dan bagaimana untuk mencapai tujuan. Yang kedua, seorang
49
pemimpin harus dapat menginspirasi para bawahannya dengan menyebarkan visi
yang jelas. Yang ketiga, pemimpin tentu saja tidak dapat terpaku pada satu cara saja
dalam mengejar tujuan organisasi, tetapi mereka harus lebih inovatif. Sedangkan
yang keempat, seorang pemimpin harus dapat mendorong para bawahannya untuk
bergerak menjalankan tugasnya masing-masing. Dan yang terakhir adalah
bagaimana seorang pemimpin untuk dapat meyakinkan para bawahannya untuk
melakukan yang terbaik (Posner & Kouzes, 2003). Maka dengan kelima praktek
tersebut, seorang pemimpin dapat melakukan hal yang luar biasa dalam memimpin
organisasinya.
Untuk membuat hal yang luar biasa, pemimpin harus memiliki prinsip yang
jelas dalam kepemimpinannya, sehingga setiap orang merasa diperlakukan dengan
baik dan setiap orang mengerti tujuan yang harus dicapai. Pemimpin yang baik
harus dapat membuat sebuah standar yang dapat diikuti oleh semua orang dan setiap
lapis di organisasi (Posner & Kouzes, 2003). Hal tersebut akan menjadi petunjuk
bagi semua orang didalam organisasi dalam kompleksitas perubahan yang ada,
sehingga ada hal-hal kecil yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan yang lebih
besar. Pemimpin diharapkan bisa menjadi petunjuk arah bagi para bawahannya dan
juga menciptakan kesempatan untuk berhasil. Dalam usahanya untuk menjadi
petunjuk bagi para bawahannya, maka pemimpin harus dapat membuat perbedaan
didalam kepemimpinannya. Mereka harus dapat memperlihatkan gambaran yang
unik dan ideal tentang masa depan organisasi. Pemimpin harus dapat mengajak para
bawahannya untuk masuk kedalam mimpinya tentang organisasi. Namun, bukan
hal yang mudah untuk dapat membuat orang-orang disekitarnya untuk tertarik
50
mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ada dimasa depan (Posner & Kouzes,
2003)
Agar para bawahannya dapat tertarik dengan apa yang diimpikan oleh
pemimpin mengenai masa depan organisasi, maka pemimpin harus dapat
melakukan hal-hal yang baru dalam kepemimpinannya. Pemimpin diharapkan
dapat berinovasi dalam proses kepemimpinannya untuk memberikan kemajuan
dalam organisasi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan eksperimen
dan mengambil lebih banyak resiko. Walaupun resiko dapat menimbulkan
kesalahan dan kekecewaan, tetapi pemimpin harus dapat meyakinkan bahwa ada
hal yang dapat dipelajari dari segala kegagalan. Dalam pencapaikan tujuan
organisasi, seorang pemimpin yang baik saja dianggap tidak akan cukup, tetapi
dibutuhkan sebuah tim yang bekerja bahu-membahu (Posner & Kouzes, 2003).
Maka pemimpin diharapkan dapat membentuk suatu tim yang dapat berkolaborasi
dengan baik satu sama lainnya. Pemimpin harus dapat menciptakan atmosfer yang
positif dan menanamkan kepercayaan yang kuat disetiap individu bawahannya,
sehingga mereka merasa lebih kuat dan mampu melakukan hal-hal dengan lebih
baik lagi.
Yang terakhir, tantangan terbesar dalam kepemimpinan adalah untuk
membuat hal-hal yang luar biasa didalam organisasi. Untuk dapat membuat hal
yang luar biasa, tentu diperlukan usaha yang luar biasa pula (Posner & Kouzes,
2003). Pemimpin harus dapat hadir disetiap proses dalam mencapai tujuan
organisasi. Mereka harus dapat menjaga harapan dan determinasi tetap hidup
dilingkungan organisasi yang dipimpinnya. Dalam setiap prosesnya, pemimpin
51
harus dapat mengapresiasi hal-hal yang dicapai oleh para bawahannya, sehingga
setiap orang merasa diri mereka sangat berguna dalam proses pencapaian tujuan
utama organisasi.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai kepemimpinan dan gender telah banyak
dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu, terutama yang dilakukan di Amerika,
Eropa dan negara-negara Asia lainnya. Penelitian mengenai topik tersebut juga
telah banyak dilakukan di negara-negara Timur-tengah seperti yang dilakukan
Shapira (2010) yang meneliti kepemimpinan pada kepala sekolah perempuan yang
ada di Israel. Fenomena tersebut bukanlah hal yang lumrah di Timur-tengah
terutama di Israel, namun seiring berjalannya waktu pendidikan perempuan yang
meningkat juga menimbulkan fenomena kepemimpinan wanita disana. Penelitian
tersebut mengambil subjek penelitian 4 (empat) orang kepala sekolah perempuan
bersuku Arab di Israel dan menggunakan metode interview atau wawancara secara
mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah perkembangan pada dunia
kepemimpinan perempuan di Israel, dan membuktikan bahwa kepemimpinan
perempuan Israel tidaklah kalah jika dibandingkan pemimpin perempuanya
(Shapira et al., 2010). Selain itu penelitian ini membuktikan mengubah norma-
norma yang selama ini membelenggu suku Arab di Israel sacara menyeluruh.
Penelitian mengenai kepemimpinan dan gender juga telah dilakukan oleh
Rhee (2015), penelitian tersebut bertujuan untuk mempelajari secara empiris
52
persepsi dari kepemimpinan yang efektif dan juga preferensinya dengan gender
serta gaya kepemimpinan. Sampel dari penelitian ini adalah 166 mahasiswa yang
diputarkan video mengenai kepemimpinan. Penelitian ini menghasilkan
kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan tradisional yang menggunakan paksaa
bukan lagi menjadi yang paling efektif untuk digunakan dalam memimpin
organisasi dimasa sekarang ini (Rhee & Sigler, 2015). Penelitian ini juga
mengemukakan bahwa perlu waktu bagi pemimpin perempuan untuk mendapatkan
pengakuan atas kemampuannya dalam memimpin dan juga keefektivan
kepemimpinannya.
Penelitian lainnya mengenai gaya kepemimpinan dari pemimpin perempuan
dan laki-laki, telah pula dilakukan oleh Yaseen (2010). Penelitian ini dilakukan
karena masih banyaknya perdebatan tentang gaya kepemimpinan yang dibawa oleh
pemimpin perempuan dan keefetivitasan pemimpin perempuan bila dibandingkan
dengan pemimpin laki-laki. Peneliti tersebut membuat hipotesis bahwa perbedaan
cara perempuan Arab dalam bekerja juga dapat membuat perbedaan dalam gaya
kepemimpinannya, apabila mereka menjadi pemimpin. Penelitian yang mengambil
sampel 100 orang yang terdiri dari 60 orang pria dan 40 orang perempuan ini
menghasilkan kesimpulan bahwa perempuan Arab memiliki gaya kepemimpinan
yang lebih demokratis. Walaupun dalam prakteknya pemimpin perempuan masih
mendapat diskriminasi dan pembatasannya dalam dunia pekerjaa, tetapi dibuktikan
bahwa kepemimpinan mereka lebih efektif dibandingkan dengan pemimpin laki-
laki di Arab (Yaseen, 2010).
53
Penelitian lain mengenai kepemimpinan dan gender ini juga pernah
dilakukan oleh Mendez (2015), yang meneliti representasi perempuan pada posisi
pemimpin. Penelitian tersebut masih menemukan ketidak setaraan bahkan ketika
seorang perempuan telah menjadi pemimpin. Penelitian tersebut mengacu pada
penlitian sebelumnya yang mengatakan bahwa dalam kepemimpinan bersama akan
mendistribusikan kepemimpinan secara lebih setara, dan dalam hal ini diperkirakan
bahwa dalam kepemimpinan bersama pemimpin perempuan akan memiliki peran
lebih. Namun pada kesimpulannya penelitian ini gagal dalam membuktikan dan
mendukung pernyataan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa dalam
kepemimpinan bersama dapat meningkatkan partisipasi dan meningkatkan
kontribusi pemimpin perempuan. kepemimpinan bersama tetap gagal mengurangi
gap yang ada antar pemimpin laki-laki dan pemimpin perempuan dalam pembuatan
keputusan (Mendez & Busenbark, 2015).
Kepemimpinan mengenai kepemimpinan dan gender juga telah pernah
dilakukan di bidang olahraga oleh Wells et al. (2014). Penelitian ini bertujuan untuk
mendalami pengaruh perbedaan gender pada kepemimpinan transformasional,
keefektivitasan pemimpin dan tingkat turnover yang ada di National Collegiate
Athletic Association (NCAA). Penelitian dilakukan pada 294 asisten pelatih, terdiri
dari 193 orang perempuan dan 101 orang laki-laki. Instrument yang dipakai dalam
penelitian ini adalah Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) dari Bass dan
Avolio. Penelitian tersebut menemukan bahwa pemimpin yang efektif adalah
pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan transformasional, dan tidak
berhubungan dengan gender pemimpin (Wells et al., 2014). Dan penemuan lainnya
54
penelitian ini adalah bahwa laki-laki lebih memiliki kemungkinan besar
meninggalkan pemimpin yang mereka anggap tidak efektif dibandingkan
perempuan.
Berhubungan dengan penelitian diatas, Brandt & Laiho (2013) juga telah
melakukan penelitian mengenai gaya kepemimpinan transformasional
dihubungkan dengan efektivitas kepemimpinan. Penelitian tersebut juga meneliti
tentang stereotip pada gender yang ada pada kepemimpinan dan gaya
kepemimpinan yang dibawa oleh faktor gender tersebut. Pemimpin laki-laki
dianggap lebih baik pada hal asertif, independensi, dan dalam pengambilan
keputusan, sedangkan pemimpin perempuan lebih unggul dalam hubungannya
dengan bawahan dan gaya kepemimpinan yang dibawa. Penelitian tersebut
memiliki pertanyaan utama mengenai hal-hal yang dinyatakan diatas, namun
dengan melibatkan personaliti dari pemimpin tersebut, bukan hanya faktor gender.
Dan pada kesimpulannya, penelitian tersebut menemukan bahwa gender dan
personaliti memiliki pengaruh kuat pada perilaku pemimpin, serta gaya
kepemimpinan yang dibawanya (Brandt & Laiho, 2013). Sampel dari penelitian
diatas adalah 459 pemimpin dan 378 bawahan.
Berbeda dengan penelitian diatas, Wang et al. (2013) menemukan hal
berbeda pada penelitiannya. Penelitian tersebut dilakukan untuk menjelaskan
secara komprehensif mengenai pengaruh pemimpin pada kinerja bawahannya, gaya
kepemimpinan yang dibawa oleh gender pemimpin dan juga pandangan bawahan
mengenai pemimpinnya. Penelitian ini dilakukan melalui dua studi dengan sampel
pabrik elektronik dan juga bank komersial di Taiwan. Penelitian ini menemukan
55
bahwa gender tidak terlalu berpengaruh pada gaya kepemimpinan seorang
pemimpin dan juga mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan otoritarian tidak
begitu efektitf pada pemimpin perempuan (Wang et al., 2013). Menurut Wang dan
rekan-rekannya, pemimpin perempuan memerlukan gaya kepemimpinan yang
lebuh eksklusif daripada gaya kepemimpinan yang telah ada.
Penelitian tentang kepemimpinan dan gender dalam bidang pendidikan
lainnya juga pernah dilakukan oleh de Lourdes, Machado-Taylor, White (2014).
Penelitian tersebut meneliti apakah dalam Institusi pendidikan tinggi perempuan
memiliki batasan dalam gaya kepemimpinan mereka dan peran mereka dalam
kultur organisasi akademik. Peneilitian tersebut dilakukan karena pada Institusi
Pendidikan Tinggi memiliki komplekstas tersendiri karena hubunganya dengan
pendidikan. Subjek dari penelitian ini adalah 44 orang manajer senior perempuan
dan laki-laki di Australia dan Portugal. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa
perempuan tidak mengalami hambatan atau batasan dalam mengembangkan gaya
kepemimpinan mereka. Perbedaan aturan tentang tenaga kerja di Australia dan
Portugal memberikan perbedaan yang signifikan dalam pengaruh peran
kepemimpinan di dua Negara tersebut (de Lourdes, Machado-Taylor, & White,
2014). Australia telah memiliki pergerakan kesetaraan perempuan dalam bekerja,
sehingga membuka peluang lebih besar bagi para pemimpin perempuan di Institusi
Pendidikan Tinggi di negara tersebut untuk menempati posisi manajemen senior.
Tabel 2.4 Matriks Penelitian Terdahulu
No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan 1. Arab Women
principals’ empowerment and leadership in Israel (Shapira, Arar, & Azaiza, 2010)
Meningkatkan peran wanita di Arab dan meningkatnya tingkat pendidikan wanita di Arab menyebabkan fenomena baru, yaitu timbulnya pemimpin wanita. Para pemimpin wanita ini memiliki tantangan tersendiri dan membawa gaya kepemimpinan tersendiri yang khas. Fenomena itu juga terjadi pada dunia pendidikan, timbulnya kepala sekolah wanita mulai menjadi perbincangan yang hangat.
4 orang kepala sekolah wanita di Israel
Interview secara mendalam (kualitatif)
Para kepala sekolah perempuan dari suku Arab memberikan peluang besar bagi para perempuan lainnya untuk mengembangkan diri bahkan dalam keadaan minoritas. Para kepala sekolah ini membuktikan bahwa perempuan memiliki potensi yang tidak kalah dari laki-laki, serta dapat mengubah norma yang membatasi kehidupan suku Arab di Israel secara menyeluruh.
2. Women, leadership, and education as change (Lyle & MacLeod, 2016)
Wanita telah tergabung dalam dunia dalam setengah abad, namun, hanya 26% dari mereka yang menempati posisi pemimpin dengan pendidikan lebih tinggi, 2,2% CEO di lebih dari 500 perusahaan, dan kurang dari 10% posisi pemimpin di seluruh Negara yang berdaulat di PBB. Para pemimpin wanita ini menghadapi beberapa batasan dalam kepemimpinannya. Para pemimpin wanita membawa gaya tersendiri dalam kepemimpinannya, tidak hanya berfokus pada objektif dari perusahaan tetapi juga membagi konsentrasi mereka secara personal kepada para karyawannya.
Golda Meir (pemimpin perempuan)
Evaluasi literature (literature review)
Dari contoh yang diambil dari Golda Meir, menunjukkan bahwa Ia membawa kemanusiaan, kemantapan, dan visi pada populasi yahudi dan pada dunia. Dia memberlakukan kepemimpinan dengan perhatian dan tanpa ketakutan pada orang-orang yang dipimpinnya untuk mengejar keadilan sosial. Dia tidak takut pada tantangan dan tidak hilang harapan dalam menghadapi kesulitan. Dari kisah kehidupannya, dia menyontohkan kepemimpinan yang berani dan tak tertandingi.
56
No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan 3. Untangling the
relationship between gender and leadership (Rhee & Sigler, 2015)
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari secara empirik persepsi dari kepemimpinan yang efektif dan preferensi pada gender dan gaya kepemimpinan
Sampel pilihan video dari pemimpin yang di dramatisir. Serta 166 mahasiswa.
Pemeriksaan interaksi antara otoritarian dan kepemimpinan partisipatif dan peran gender untuk keefektivan dan pilihan. (kuantitatif)
Dari penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan tradisional bukan lagi menjadi yang paling efektif dalam memimpin dan menanajemen oganisasi yang dinamik di masa sekarang ini. Perusahaan sekarang lebih mengganti dari berbagai jenis kepemimpinan. Dari empat dekade penelitian mengenaai kepemimpinan perempuan menunjukkan bahwa perlu waktu dalam persepsi orang-orang untuk kepemimpinan efektif untuk menyamai kinerja sebenarnya dari pemimpin wanita.
4. Leadership styles of men and women in the Arab world (Yaseen, 2010)
Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam cara dan keefektivan dalam kepemimpinan masih dalam argument yang belum terselesaikan. Dalam dunia Arab, perempuan telah berjuang selama beberapa dekade untuk posisi mereka di dunia kerja. Gaya dan cara yang berbeda dari perempuan perempuan Arab dalam bertindak akan memberikan input bagi penulis untuk menentukan apakah perempuan Arab dapat menjadi pemimpin yang efektif.
100 responden, 60 pria dan 40 perempuan.
Multifactor leadership questionnaire (MLQ) (Kuantitatif)
Perempuan Arab mengalami diskriminasi dan mengalami pembatasan atas hak dan kebebasannya. Gaya kepemimpinan perempuaan Arab lebih demokratik dari laki-laki Arab. Pemimpin perempuan Arab melebihi laki-laki Arab dalam hal efektivitas dilihat dalam hubungan dengan gaya kepemimpinan transformasional, transaksional dan ‘laissez-faire’.
5. Shared leadership and gender: all members are
representasi perempuan pada posisi pemimpin terus berkembang, namun dalam tingkat tanggung jawab yang lebih rendah. Ketidaksetaraan dalam
231 partisipan dari 28 komite
Kuesioner (kuantitatif)
Hasil dari tes ini gagal dalam mendukung bukti bahwa kepemimpinan bersama dapat meningkatkan kesempatan pemimpin wanita untuk berpartisipasi dan
57
No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan equal … but some more than others (Mendez & Busenbark, 2015)
gender selalu ditemukan dalam kepemimpinan. Pada penelitian sebelumnya, memprediksi kepemimpinan bersama akan mendistribusikan bentuk kepemimpinan secara lebih setara. Pada grup yang kepemimpinannya dilakukan bersama membuka peluang bagi perempuan untuk memiliki peran lebih.
meningkatkan kontribusi mereka. Kemimpinan bersama gagal untuk mengurangi gap antar pemimpin dalam perilaku intruksi pemimpin dan perilaku suportif pemimpin.
6. The Relationship Between Transformational Leadership, Leader Effectiveness, and Turnover Intentions: Do Subordinates Gender Differences Exist? (Wells, Peachey & Walker, 2014)
Penelitian ini bertujuan untuk mendalami pengaruh perbedaan gender pada kepemimpinan transformasional, keefektivan pemimpin dan tingkat turnover pada National Collegiate Athletic Association (NCAA).
294 asisten pelatih pada divisi I basket, softball dan volley pada NCAA. 193 perempuan dan 101 laki-laki.
Kuesioner (Kuantitatif)
Peneltian ini menemukan bahwa kepemimpinan trasformasional lebih berpengaruh pada efektivitas kepemimpinan dibandingkan dengan faktor lainnya, termasuk gender. Dengan kata lain, laki-laki maupun perempuan bisa menjadi pemimpin yang efektif apabila menggunakan kepemimpinan transformasional. Untuk tingkat turnover terhadap gender dan gaya kepemimpinan Transformasional, ternyata laki-laki lebih mudah untuk meninggalkan seorang pemimpin yang dianggap tidak efektif dibandingkan dengan perempuan.
7. Gender and personality in transformational leadership context (Brandt & Laiho, 2013)
Penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa pemimpin yang menggunakan kepemimpinan transformasional memiliki keunggulan bagi bisnis yang dipimpinnya. Namun pemimpin
Penelitian dilakukan pada 459 pemimpin yang MBTI nya telah
Interview (kualitatif)
Penelitian menemukan bahwa gender dan personaliti memiliki dampak pada perilaku pemimpin dan penelitian ini mendukung hasil bahwa gaya kepemimpinan dapat dibedakan melalui gender.
58
No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan terkadang dinilai dari stereotip yang dibawa oleh gender mereka. Pemimpin laki-laki dinyatakan lebih baik dalam hal asertif, independen, dan lebih baik dalam mengambil keputusan. Namun disis lain, pemimpin perempuan memiliki keunggulan dari segi hubungannya dengan para bawahannya dan lebih banyak menggunakan gaya kepemimpinan transformasional. Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah apakah semua penemuan di penelitian sebelumnya diatas dapat berlaku apabila personality dari pemimpin dipakai dalam penelitian?
diukur, dan 378 penilaian bawahan pada pemimpinnya.
8. Gender makes the difference: The moderating role of leader gender on the relationship between leadership styles and subordinate performance (Wang, Chiang, Tsai, et al., 2013)
Penelitian ini mencoba untuk melebarkan penelitian sebelumnya oleh Kelley, untuk menawarkan kerangka yang lebih komrehensif untuk menjelaskan bagaimana pemimpin dapat mempengaruhi kinerja bawahnnya, melengkapi bagaimana pemimpin laki-laki dan perempuan memperlihatkan gaya kepemimpinan mereka atau perbedaan bagaimana pemimpin laki-laki dan perempuan dari sisi bawahannya.
Untuk study 1, sampel yang digunakan adalah sekelompok teknisi R&D dan supervise langsungnya pada 15 pabrik elektronik. Untuk study 2, sampel
Kuesioner (Kuantitatif)
Penelitian ini menemukan bahwa gender pemimpin tidak terlalu berpengaruh pada gaya kepemimpinannya, otoritarian ataupun benevolent serta kinerja bawahannya. Namun kedua gaya kepemimpinan ini tidak terlalu efektif bila digunakan oleh pemimpin perempuan. Pemimpin perempuan memerluka gaya kepemimpinan yang lebih eksklusif dari yang telah ada.
59
No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan yang digunakan adalah bagian CS dan para supervisinya pada 72 cabang Bank Komersial dia Taiwan.
9. Gender and Leadership: Reflections of Women in Higher Education Administration (Dunn, Gerlach & Hyle, 2014)
Penelitian yang telah ada saat ini sangat berfokus pada kepemimpinan yang dilakukan oleh laki-laki, sehingga memberikan batasan pada perempuan untuk memiliki aspirasi mengenai kepemimpinan. Terlebih lagi kepemimpinan perempuan pada posisi senior administrative dalam bidang akademik. Penelitian refleksi ini bertujuan untuk mengidentifikasi informasi yang general untuk menjadikan pemimpin perempuan mentor yang lebih efektif di kampus.
Jurnal atau penelitian terdahulu
Reflection Research (literature review)
Penelitian refleksi ini merupakan perubahan metode bagi setiap penulis. Penulis menyadari refleksi diri yang dilakukan secara sistematik dan dianalisis dapat memberikan tambahan pengertian bagaimana karir seseorang, sehingga dapat membimbing serta menjadi mentor bagi yang lainnya. Hasilnya, gender merupakan pola variable yang lebih penting bagi karir seseorang dibandingkan dengan bagi organisasi. Kesimpulan dari penelitian ini membawa kesadaran diri dan kepercayaan diri dalam hal peran bahwa seorang perempuan dapat menjadi pemimpin dibidang admistrasi.
10. Women in Academic Leaderhip (de Lourdes, Machado-Taylor & Kate White, 2014)
Penelitian ini memeriksa apakah perempun di HEIs (Higher Education Institution) terbatasi oleh gaya kepemimpinan mereka dan apakah kultur organisasi membuat mereka kurang bernilai di tim manajemen senior. Kepemimpinan pada HEIs
44 senior manajer laki-laki dan perempuan di Australia dan Portugal.
Interview (kualitatif)
Penelitian ini hamper semua perempuan tidak membatasi diri mereka dalam pengembangan gaya kepemimpinan pada HEI. Dan hampir semua narasumber perempuan menyetujui bahwa pemimpin pada universitas akan mengadaptasi gaya kepemimpinan mereka dangan kultur dari
60
No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan memiliki kompleksitas yang berbeda karena menyangkut kontek pendidikan. Seorang pemimpin atau rector diangkat berdasarkan otoritas, disiplin ilmu, pengalaman, dan profesionalitas. Dan penelitian terdahulu mengatakan bahwa HEI selalu di dominasi oleh laki-laki dan perempuan kurang ditampilkan dalam kepemimpinan universitas.
institusi pendidikan. Hasil penelitian menemukan bahwa banyak kemungkinan untuk transformasi pada akademi apabila mereka lebih menghargai peran kepemimpinan perempuan. Setiap negara memiliki persepsi yang berbeda menganai efektivitas kepemimpinan perempuan pada HEI. Australia sudah memiliki pergerakan kesetaraan perempuan pada kepemimpinan, sehingga memiliki nilai lebih pada tim manajemen senior. Sedangkan Portugal yang belum memiliki program seperti diatas, masih menjadi penghalang bagi perempuan untuk memiliki peran kepemimpinan pada HEI.
11. Gender Differences in Leadership Role Occupancy: The Mediating Role of Power Motivation (Schuh, et al., 2014)
Peran wanita dalam dunia kerja telah meningkat secara pesat, di Amerika 47% pekernya dalah perempuan, namun hanya 14% yang berhasil mendapat posisi top manajer. Hal serupa juga dapat ditemukan di Inggris dan Jerman. Penelitian ini memiliki ambisi untuk mengetahui alasan mengapa perempuan kurang dapat bersaing dengan laki-laki untuk posisi pemimpin. Penelitian ini meletakkan variable motivasi sebagai perspektif dalam perbedaan gender untuk menempati posisi pemimpin. Pada intinya penelitian ini ingin melihat hubungan antara gender,
Studi 1: 240 mahasiswa bisnis di universitas jerman (125 perempuan dan 115 laki-laki). Studi 2: 61 mahasiswa jerman Studi 3: 382 pekerja
Kuesioner (kuantitatif)
Penelitan tersebut menemukan bahwa dari 4 studi yang dilakukan pada 4 sampel yang berbeda menunjukkan bahwa motivasi perempuan untuk ‘power’ lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal itu menunjukkan bahwa laki-laki memiliki keinginan yang lebih besar untuk menjadi pemimpin. Dari penelitian ini juga dapat dilihat bahwa kurangnya perempuan dalam penempati posisi pemimpin juga disebabkan motivasi mereka akan ‘power’ juga lebih rendah daripada laki-laki.
61
No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan motivasi untuk ‘power’, dan penempatan peran pemimpin.
(partisipasi via online) Studi 4: 861 pekerja (255 perempuan, 606 laki-laki dan partisipasi melalui email)
12. Female leadership, performance, and governance in microfinance institutions (Strom, D’Espallier & Mersland, 2014)
Institusi microfinance (MFI) merupakan sebuah bisnis yang memiliki tingkatan tinggi bagi bisnis perempuan. MFI juga adalah bisnis yang baik bagi perempuan, buktinya 27% CEO adalah perempuan, 23% pemimpinnya perempuan, dan 29% jajaran utamanya adalah perempuan. Pemimpin perempuan memiliki dampak yang positif bagi kinerja dari MFI, tetapi hasil ini tidak dipengaruhi oleh kepemerintahan yang baik.
329 Microfinance Institution pada 73 Negara.
(kuantitatif) Terdapat tiga konklusi dari penelitian ini. Yang pertama, Pemimpin perempuan meningkatkan misi MFI untuk menyuplai kredit pada perempuan dan bekerjasama dengan NGO. Yang kedua adalah hubungan antara pemimpin perempuan dan kepemerintahan korporasi. Pemimpin perempuan berhubungan dengan pemerintaha yang lemah karena pertemuan yang lebih sedikit. Dan yang ketiga, CEO perempuan memiliki kontribusi positif pada keuangan perusahaan.
13. Kepemimpinan dan Gender: Efektivitas & Tantangan
Keinginan perempuan untuk dapat di perlakukan setara dengan laki-laki dalam pekerjaan dan politik tidak mudah untuk diwujudkan. Banyak tantangan-tantangan dan fenomena-fenomena yang menghalangi mereka untuk mendapat pengakuan atas
2 orang pemimpin (laki-laki & perempuan), 2 orang bawahan langsung dari
Interview secara mendalam (kualitatif)
?
62
No. Artikel Latar Belakang Masalah Sampel Metodologi Kesimpulan kemampuan mereka, terutama dalam kepemimpinan. Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para perempuan itu datang dari berbagai sudut pandang, yaitu ekonomi, sosiologi, maupun budaya/kultur yang ada di berbagai tempat di dunia.
Dengan fakta tersebut, penelitian ini ingin menggali lebih dalam mengenai posisi perempuan dalam dunia kepemimpinan di Indonesia. Gaya kepemimpinan dan perbandingan efektivitas kepemimpinan laki-laki maupun perempuan akan menjadi bahasan utama dalam penelitian ini. Hal tersebut akan dilakukan dengan meneliti pada pemimpin perempuan, pemimpin laki-laki, dan juga bawahan langsung mereka sebagai pembanding.
masing-masing pemimpin (jumlah 4 orang), 2 orang rekan kerja dari masing-masing pemimpin (jumlah 4 orang). Penelitian studi kasus, masing-masing kasus 5 orang subjek penelitian.
63
64
Dari tabel yang telah disediakan sebelumnya, dapat diketahui bahwa seluruh
penelitian terdahulu yang penelitian ini jadikan dasar berasal dan dilakukan diluar
negeri. Beberapa penelitian terdahulu ini dilakukan di Eropa, Amerika, Timur-
tengah, dan juga di Negara-negara Asian selain Indonesia, atau bahkan ada yang
penelitian terdahulu yang dilakukan di lebih dari satu negara. Contonya saja,
terdapat penelitian yang dilakukan di Arab oleh Shapira, Arar dan Azaiza (2010)
dan Yaseen (2010). Selain Arab, terdapat juga penelitian yang dilakukan di Eropa,
contohnya Lyle & MacLeod (2016) dilakukan berdasarkan pemimpin perempuan
di Eropa, lalu Brandt & Laiho (2013) di Finlandia, dan yang terakhir adalah
penelitian Schuh, et al. (2014) di Inggris dan Jerman. Beberapa penelitian terdahulu
dari Amerika, contohnya penelitian yang dilakukan oleh Mendez & Busenbark
(2015), Wells, Peachey & Walker (2014), Gerlach, & Hyle (2014), serta Rhee &
Sigler (2015) yang dilakukan pada siswa di Amerika menggunakan video
pemimpin-pemimpin perempuan disana. Sedangkan untuk penelitian terdahulu di
Asia terdapat penelitian oleh Wang, Chiang, Tsai, et al. (2013) yang dilakukan di
Taiwan. Terdapat juga penelitian yang dilakukan di dua atau lebih negara sekaligus,
contohnya penelitian oleh De Lourdes, Machado-Taylor & White (2014) di
Australia dan Portugal dan Strom, D’Espallier & Mersland (2014) di 73 Negara.
Selain lokasi penelitian, dari tabel yang telah dilampirkan tersebut dapat
dilihat bahwa semua penelitian terdahulu memilih subjek penelitian dari berbagai
macam bidang. Berbagai bidang tersebut diantaranya adalah penelitian yang
mengambil subjek penelitian pada pemimpin perempuan di organisasi pendidikan
oleh Shapira, Arar & Azaiza (2010) pada kepala sekolah perempuan Arab di Israel,
65
Rhee & Sigler (2015) dan Schuh, et al. (2014) pada mahasiswa. Terdapat pula
penelitian yang dilakukan pada banyak perusahaan, seperti yang dikakukan oleh
Mendez & Busenbark (2015) dan Brandt & Laiho (2013) yang melakukan
penelitian komite pada banyak organisasi dan perusahaan. Penelitian dilakukan
pada organisasi olahraga oleh Wells, Peachey & Walker (2014). Dan yang terakhir
terdapat pula penelitian yang dilakukan pada organisasi profitable, seperti
penelitian oleh Wang, Chiang, Tsai, et al. (2013) yang melakukan penelitian di
perusahaan elektronik dan bank komersial.
Selain lokasi penelitian dan subjek penelitian, tabel tersebut juga
memberikan informasi mengenai motode penelitian yang pakai dalam berbagai
penelitian terdahulu tersebut. 10 dari 12 penelitian yang dijadikan dasar penelitian
ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan beberapa diantaranya berupa literature
review. Penelitian yang dilakukan oleh Rhee & Sigler (2015), Yaseen (2010),
Mendez & Busenbark (2015), Wells, Peachey, & Walker (2014), Wang, Chiang,
Tsai, et al. (2013), Schuh, et al. (2014), serta Strom, D’Espallier & Mersland (2014)
dilakukan dengan metode penelitian kuantitatif. Sedangkan penelitian yang berupa
literature review dilakukan oleh Lyle & MacLeod (2016) dan Dunn, Gerlach &
Hyle (2014).
Maka dari ketiga hal yang telah dijabarkan diatas, maka mengenai lokasi
penelitian, subjek penelitian, dan juga metode penelitian, telah didapatkan beberapa
gap atau kesenjangan penelitian yang akan ditutupi oleh penelitian ini. Dari sisi
lokasi penelitian, semua penelitian terdahulu yang jadikan dasar dalam penelitian
ini belum ada yang dilakukan di Indonesia, maka penelitian ini akan dilakukan di
66
Indonesia. Penelitian mengenai kepemimpinan dan gender ini penting untuk
dilakukan di Indonesia, karena Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi
dan luas wilayah paling besar di Asia Tenggara. Selain negara terbesar di Asia
Tenggara, dengan populasi lebih dari 265 juta orang, Indonesia juga merupakan
negara terbesar nomor 4 di dunia. sehingga tidak menutup kemungkinan hasil
penelitian ini dapat menggambarkan keadaan yang ada dalam lingkup regional Asia
Tenggara
Dari penelitian terdahulu, juga masih belum banyak penelitian yang
mengambil subjek penelitian pada organisasi pemerintah, maka penelitian ini akan
memilih pemimpin laki-laki dan perempuan pada organisasi pemerintah untuk
menjadi subjek penelitian. Hal tersebut dikarekan keunikan sistem pemilihan
pemimpin pada organisasi pemerintah, yaitu sistem pemilihan pemimpin yang
bukan hanya berdasarkan kompetensi, tetapi lebih didasari oleh tingkatan yang
berdasarkan lamanya bekerja. Penelitian ini mengambil organisasi pemerintah
sebagai objek penelitian, dikarenakan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
mencapai 4,5 juta orang. Jumlah PNS di Indonesia menyerap 1,7% dari populasi
warga negara, sehingga penelitian mengenai kepemimpinan dan gender di
Organisasi Pemerintah dirasa perlu dilakukan.
Dan yang terakhir, sebagian besar penelitian terdahulu mengenai
kepemimpinan dan gender dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif
ataupun hanya berbentuk literature review, maka penelitian ini akan dilakukan
dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan metode ini, diharapkan penelitian
ini akan menyuguhkan hasil penelitian yang faktual dan juga dilengkapi dengan
67
alasan-alasan dibalik hasil penelitian. penelitian ini dilakukan dengan metode
kualitatif, sehingga diharapkan penelitian ini dapat mengeksplorasi mengenai topik
yang diangkat dengan lebih baik, dapat mempermudah dalam penelitian ini apabila
ditemukan masalah yang kompleks, dapat mengambil data langsung dari objek
yang dituju, dapat menjelaskan secara lebih detail mengenai hal-hal yang diteliti,
dan juga dapat menjelaskan alasan-alasan dibalik hasil penelitian nantinya.
2.3 Kerangka Penelitian
Terdapat sebuah kerangka pemikiran dalam penelitian ini yang sudah dibuat
untuk menjadi dasar penelitian ini. Kerangka penelitian ini juga dibuat agar
penelitian ini tidak keluar dari pokok bahasan yang menjadi fokus dalam penelitian
ini. Selain itu, kerangka penelitian ini juga berguna untuk memandu penelitian ini
agar sesuai dengan tujuan utama penelitian.
68
Perbedaan gaya kepemimpinan dan efektivitas kepemimpinan perempuan dan laki-laki, serta
tantangan kepemimpinan
1. Apakah terdapat perbedaan gaya kepemimpinan antara Pemimpin
Laki-laki dan pemimpin perempuan?
2. Bagaimana persepsi keefektivan gaya kepemimpinan pemimpin laki-
laki dan pemimpin perempuan pada Lembaga Kepemerintahan?
3. Apakah tantangan yang dialami para pemimpin (perempuan dan laki-
laki) dalam kepemimpinannya di Lembaga Kepemerintahan?
Gaya kepemimpinan Transaksional
Gaya Kepemimpinan Transformasional
Gender Efektivitas kepemimpinan Tantangan kepemimpinan
Pemimpin laki-laki / perempuan
Atasan / rekan kerja Bawahan
Akan diketahui: 1. Perbedaan gaya kepemimpinan menurut
gender 2. Persepsi efektivitas kepemimpinan
pemimpin laki-laki / perempuan 3. Tantangan dalam kepemimpinan
Gambar 2.3 Kerangka Penelitian
69
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang berfokus pada
kepemimpinan dan hubungannya dengan perbedaan gender pada Organisasi non-
profit. Penelitian ini ingin mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana gaya
kepemimpinan yang dipakai pemimpin yang berbeda gender. Untuk itu, penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk dapat mengetahui lebih jelas
mengenai permasalahan tersebut.
Penelitian berawal dengan asumsi, sebuah pandangan, kemungkinan
penggunakan teori dan penggunaan permasalahan penelitian kedalam pengertian
individu atau kelompok yang dianggap sebagai masalah sosial atau masalah
manusia (Creswell, 2007).
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode studi kasus. Creswell (2007) mengemukakan bahwa studi kasus adalah
penelitian kualitatif yang berfokus pada sebuah “kasus” tertentu pada kehidupannya
nyata secara kontemporer. Dengan kata lain, penelitian ini ingin mengetahui lebih
dalam mengenai pengalaman sekelompok individu dan dijadikan subjek penelitian.
Penelitian studi kasus meliputi studi mengenai sebuah masalah yang di
eksplor melalui satu atau beberapa kasus didalam system yang terbatas (Creswell,
2007). Metode penelitian studi kasus memiliki kesamaan dengan penelitian naratif,
70
khususnya apabila yang dipilih adalah satu kasus tertentu, tetapi terdapat beberapa
perbedaan. Pada umumnya studi kasus memilih pada satu individu, multi-individu,
suatu program ataupun aktivitas sesuai dengan yang dibutuhkan oleh penelitian
(Creswell, Hanson, Clark Plano, & Morales, 2007). Pada studi kasus, pendekatan
analisisnya haruslah mencakup penjelasan detail mengenai kasus tersebut
berdasarkan konteks kondisi asli kasus tersebut (Yin, 2003).
Dalam metode studi kasus, sebuah isu ditelusuri melalui satu atau banyak
kasus namun tetap dalam batasan tertentu yang ditentukan oleh peneliti. Penelitian
Studi kasus adalah suatu metode pada penelitian kualitatif yang dimana peneliti
menelusuri suatu kasus atau beberapa kasus dalam jangka waktu tertentu dan
dijelaskan secara detail, pengumpulan data secara mendalam dari berbagai sumber
(contohnya observasi, wawancara, documenter, ataupun reportase) dan ditampilka
dalam bentuk deskripsi kasus (Creswell, 2007).
Terdapat beberapa tipe dalam penelitian dengan metode studi kasus, tipe
tersebut dibedakan berdasarkan ukuran dari kasusnya, apakah itu satu individu,
beberapa individu, sekelompok, seluruh program, atau sebuah aktivitas (Creswell
et al., 2007). Variasi dalam studi kasus juga dapat dibedakan dari maksud
penelitian: studi satu kasus instrumental, studi multi-kasus, dan studi kasus
instrinsik. Dalam studi kasus instrumental, peneliti fokus pada satu masalah dan
memilih satu kasus terbatas untuk mengilustrasikan masalah tersebut. Dalam studi
kasus kolektif, peneliti tetap memilih sebuah kasus yang ingin difokuskan dan
memilih beberapa kasus untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dan yang terakhir,
71
studi kasus intrinsik dimana peneliti berfokus pada sebuah kasus dimana terdapat
situasi yang tidak biasa dan unik didalam kasus tersebut (Creswell, 2007).
Dari semua penjelasan diatas, maka penelitian ini dianggap cocok untuk
menggunakan studi kasus dibandingkan metode lainnya dalam penelitian kualitatif.
Tipe yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus kolektif, hal
tersebut dikarenakan penelitian ini akan membahas sebuah isu atau masalah dengan
membandingkan dua kasus berbeda. Untuk dapat mendapatkan hasil yang
diharapkan penelitian ini, maka informan yang dijadikan objek tidak berjumlah
banyak, agar bisa mendapatkan info yang lebih detail dan mendalam.
3.2 Definisi Operasional
Berdasarkan pertanyaan penelitian, terdapat beberapa hal yang menjadi
fokus bahasan dalam penelitian ini:
1. Gaya Kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pemimpin untuk
mempengaruhi bawahan agar sasaran tercapai. Pentingnya gaya kepemimpinan
adalah untuk dapat memaksimalkan produktivitas, kepuasan kerja, dan
pertumbuhan. Indikator dalam gaya kepemimpinan adalah:
a. Membangun hubungan, bagaimana pemimpin membangun hubungannya
dengan setiap lapisan organisasi.
b. Dalam bekerjasama, bagaimana pemimpin dalam bekerjasama dengan
bawahan.
c. Menyelesaikan masalah, bagaimana sikap pemimpin apabila terjadi
masalah dalam organisasinya.
72
d. Menularkan pemikiran, bagaimana cara pemimpin agar bawahan mengerti
ekspektasinya.
e. Meningkatkan kemampuan, bagaimana usaha pemimpin dalam
meningkatkan kemampuan bawahan.
f. Penghargaan, bagaimana respon pemimpin apabila bawahan melakukan
pekerjaan dengan baik.
g. Sanksi, bagaiman respon pemimpin apabila bawahan melakukan kesalahan.
h. Membuat keputusan, bagaimana pemimpin melibatkan bawahan dalam
membuat keputusan.
2. Efektivitas kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin mengarahkan,
mengorganisasi, dan menggerakkan bawahannya untuk mencapai tujuan
organisasi. Indikator dalam efektivitas kepemimpinan adalah:
a. Pemberian tugas, bagaimana pemimpin dalam memberikan tugas kepada
bawahan
b. Extra effort, bagaimana pemimpin membuat bawahan bekerja dengan lebih
keras.
c. Fulfilment, bagaimana pemimpin dalam memenuhi kebutuhan bawahan dan
organisasi.
d. Satisfaction, bagaiman kepuasan kepemimpinan seorang pemimpin.
3. Tantangan Kepemimpinan adalah hal-hal yang dianggap sebagai penghambat
atau hal yang menjadi tantangan di dalam kepemimpinan seorang pemimpin.
73
3.3 Informan Penelitian
Untuk sebuah penelitian yang menggunakan metode kualitatif, orang-orang
atau sekelompok orang yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh
penelitian ini disebut sebagai informan. Agar informasi yang didapat oleh
penelitian ini bersifat lengkap dan detail, maka penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling. Teknik sampling menggunakan purposive sampling ini adalah
dengan menentukan sampel sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh penelitian,
sehingga sampel yang diambil tidak keluar dari tujuan penelitian dan juga
permasalahan utama penelitian. Dengan teknik penentuan sampel seperti diatas,
diharapkan sampel yang dipilih dapat memberikan jawaban sesuai dengan
kebutuhan penelitian. Dalam penelitian ini telah ditentukan beberapa informan
yang diharapkan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan penelitian ini:
1. Pimpinan dari dua bagian tertentu di organisasi kepemerintahan di Kota
Semarang.
2. Bawahan langsung dari pimpinan bagian yang telah dipilih.
3. Rekan kerja atau pimpinan bagian lain yang setara dengan pimpinan yang telah
dipilih.
4. Atasan atau pimpinan langsung dari kepala bagian yang telah dipilih.
74
Pada kasus 2, informan yang dibutuhkan adalah:
1. Dua orang Ketua Seksi (Kasi) berbeda gender dari Kecamatan yang ada di Kota
Semarang.
2. Dua orang bawahan dari masing-masing Ketua Seksi (Kasi) di Kecamatan yang
ada di Kota Semarang.
Gambar 3.1 Skema wawancara
Kasus 1
Atasan
Rekan kerja
Narasumber 1
Narasumber 2
Bawahan 1
Bawahan 2
Bawahan 3
Gambar 3.2 Skema wawancara
Kasus 2
Narasumber 1
Bawahan 1
Bawahan 2
Narasumber 2
Bawahan 3
Bawahan 4
75
3.4 Sumber Data
Didalam sebuah penelitian, sumber data dapat berasal dari dua bagian, yaitu
data primer dan data sekunder (Sanusi, 2014), yaitu:
1. Data Primer
Data yang penelitian ini peroleh secara langsung dari informan melalui
interview maupun indentifikasi disebut dengan data primer. Dalam penelitian
ini, interview atau wawancara akan dilakukan kepada informan guna
memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan oleh penelitian ini.
Informasi-informasi tersebut antara lain adalah gaya kepemimpinan yang
dipakai pemimpin perempuan maupun laki-laki, keefektivitasan
kepemimpinan pemimpin laki-laki maupun perempuan, serta tantangan yang
mereka hadapi dalam memimpin pada organisasi kepemerintahan.
2. Data Sekunder
Selain data primer diatas terdapat pula data sekunder yang digunakan untuk
melengkapi informasi yang dibutuhkan oleh penelitian ini. Data yang dapat
mendukung informasi bagi penelitian ini dapat berupa dokumen yang
diperoleh dari berbagai sumber, gambar arsip ataupun gambar yang diperoleh
sendiri dan juga data-data lainnya yang dapat melengkapi informasi yang
dibutuhkan.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Menurut Emzir (2011) teknik ataupun cara yang dilakukan seorang peneliti
untuk dapat melengkapi data atau informasi yang dibutuhkan oleh penelitiannya
76
disebut sebagai teknik pengumpulan data. Dalam penelitian dengan metode
kualitatif, data atau informasi yang diperoleh haruslah jelas, spesifik, dan
mendalam. Penelitian ini mengambil teknik pengumpulan data sebagai berikut:
3.5.1 Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah melalui wawancara. Dengan teknik wawancara secara mendalam melalui
tanya jawab secara langsung dengan informan, diharapkan dapat menghasilkan data
yang diinginkan. Selain wawancara secara mendalam, untuk mendapat informasi
yang bersifat terfokus pada topik penelitian maka teknik pengumpulan data lainnya
adalah dengan wawancara terstruktur. Deddy (2014) menjelaskan bahkan
wawancara terstruktur adalah wawancara yang utama atau baku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang sudah disusun terlebih dahulu oleh peneliti. Dalam
pelaksanaan wawancara juga dibutuhkan berbagai alat bantu yang bertujuan untuk
menunjang proses wawancara untuk mendapatkan informasi selengkap-
lengkapnya. Alat bantu tersebut antara lain adalam recorder atau perekam dan alat
tulis.
Agar narasumber mengerti apa maksud dan tujuan penelitian ini dan
jawaban seperti apa yang diharapkan dari penelitian ini, maka peneliti harus
menjelaskan terlebih dahulu inti atau tujuan dilakukannya penelitian. Setelah itu
agar proses wawancara dapar berjalan dengan lancar dan sesuai prosedur, maka
peneliti diharuskan untuk menjelaskan mekanisme wawancara sebelum wawancara
77
dimulai. Dan untuk mendapatkan data yang valid, maka peneliti akan mengulang
jawaban dari informan di akhir setiap pertanyaan.
3.6 Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah gaya dan keefektivitasan kepemimpinan
pemimpin perempuan maupun laki-laki di organisasi kepemerintahan di Kota
Semarang. Peneliti mengambil topik tersebut dikarenakan masih belum jelasnya
apakah gender pemimpin dapat mempengaruhi gaya dan efektivitas
kepemimpinanya, serta mendalami tantangan-tantangan yang dihadapi oleh
pemimpin laki-laki maupun perempuan.
3.7 Metode Pengolahan Data
Dalam penelitian dengan metode kualitatif, pengolahan data tidak perlu
menunggu hingga seluruh data yang dibutuhkan terkumpul seluruhnya. Data yang
telah terkumpul dapat langsung diolah dan dilakukan analisis data oleh peneliti.
Data tambahan dapat diambil kembali apabila informasi atau data yang telah
diperoleh dirasa kurang lengkap atau tidak valid. Pengolahan data dalam penelitian
kualitatif bisa dilakukan dengan kategorisasi dan pengklasifikasian data
berdasarkan sub tema sesuai dengan kebutuhan penelitian (Bagong, Suyanto, &
Sutinah, 2006). Agar data dapat digunakan dengan sebaik-baiknya, maka penelitian
ini menggunakan metode pengolahan data: reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan.
78
3.7.1 Reduksi Data
Proses pemilihan, pengabstrakan, pemusatan perhatian, merubah data
mentah dari proses penelitian disebut sebagai reduksi data (Miles & Huberman,
1992). Agar data dapat diproses dengan lebih baik, maka perlu dilakukan beberapa
langkah seperti mempertegas analisis, kategorisasi pada setiap permasalahan yang
ada, pengefektivan dan pengefisienan data dengan mengurangi yang tidak penting,
serta pengorganisasian data juga diperlukan agar data dengan mudah diverifikasi
dan diambil kesimpulan. Semua data yang berkaitan dengan inti atau topik dari
penelitian haruslah direduksi, karena dengan reduksi data peneliti akan lebih mudah
dalam memperoleh gambaran jelas mengenai permasalahan penelitian dan
memudahkan peneliti apabila diperlukan data tambahan. Proses reduksi data ini
akan mempermudah peneliti dalam menganalisis seluruh data yang diperoleh dari
lapangan
3.7.2 Teknik Analisis Data
Untuk dapat menganalisi penelitian kualitatif dengan metode studi kasus
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, namun dengan strategi analisis yang
umum hal tersebut dapat diatasi. Dalam penelitian studi kasus, terdapat empat
bentuk yang telah diajukan oleh Stake (1995) mengenai analisis data dan
interprestasinya, diantaranya adalah:
1. Pengumpulan kategori, peneliti harus mampu untuk mengumpulkan contoh-
contoh yang berkaitan dengan kasus tersebut dan menemukan makna yang
relevan dengan isu yang diangkat.
79
2. Interpretasi langsung, peneliti menarik makna dari satu kasus secara terpisah
dari contoh lainnya. Namun pada akhirnya contoh-contoh yang terpisah tersebut
disatukan untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam.
3. Membentuk pola, peneliti mencari hubungan antara satu atau lebih kategori
yang telah ditentukan. Hal tersebut dapat digambarkan melalui tabel yang
mengintegrasi antar kategori-kategori yang ada.
4. Generalisasi naturalistik, peneliti harus dapat mengembangkan suatu makna
mengenai kasus-kasus secara general.
Tipe analisis dari studi kasus berupa analisis holistik, atau analisis yang
bersifat kesuluruhan kasus. Terdapat tiga teknis analisis yang diajukan oleh Yin
(1989), yang pertama adalah dengan penjodohan pola yaitu dengan mengaitkan
bukti empiris yang ada dengan pola yang diprediksikan, sehingga dapat
memperkuat validitas internal penelitian. Yang kedua, yaitu dengan membuat
eksplanasi, hal ini bertujuan untuk menganalisis serta menjelaskan mengenai kasus
yang terjadi secara detail. Dan yang terakhir, dengan analisis deret waktu, yaitu
digunakan untuk penelitian yang menggunakan pendekatan eksperimental. Maka
cara yang dianggap palin cocok untuk penelitian ini adalah analisis data
menggunakan teknik eksplanasi untuk menjelaskan secara mendetail dan
mendalam bagaimana masalah penelitian yang terjadi pada masing-masing kasus
yang diteliti berdasarkan data empiris.
80
3.7.3 Penyajian Data
Penyajian data adalah tahap kedua dari proses analisis data, menurut
Sugiyono (2013) penyajian data adalah memaparkan informasi yang telah
disimpulkan berbentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart,
dan lain-lain. Proses penyajian data ini dapat membantu menjelaskan lebih
terstruktur dan detail mengenai informasi yang diperoleh dari lapangan.
3.7.4 Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan tahapan terakhir dari analisis data, tahap
ini dilakukan dengan menarik suatu kesimpulan yang didapat dari seluruh informasi
yang telah diperoleh sepanjang proses penelitian. Informasi-informasi yang
penelitian ini peroleh harus dapat diolah menjadi sebuah kesimpulan yang jelas.
Dalam penelitian kualitatif, kesimpulan penelitian adalah sebuah temuan baru yang
belum ditemukan sebelumnya. Menurut Sugiyono (2013), temuan tersebut bisa
berbentuk pencerahan atau deskripsi atas suatu objek yang sebelumnya tidak pernah
diketahui atau suatu hal baru yang ditemukan oleh penelitian ini, temuan tersebut
dapat berupa hubungan kausal maupun interaktif, berbentuk teori baru ataupun
hipotesis.
81
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Objek penelitian
4.1.1 Kasus 1
Objek penelitian pada Kasus 1 penelitian ini adalah salah satu kelurahan
yang terdapat di pusat kota Semarang, yaitu Kelurahan Mugassari. Kelurahan
Mugassari adalah salah satu Kelurahan didalam wilayah Kecamatan Semarang
Selatan. Kelurahan Mugassari membawahi daerah seluas wilayah (-/+) 148.298 Ha,
dengan jumlah penduduk mencapai 7.671 jiwa. Dengan data tersebut, secara umum
kepadatan pada Kelurahan Mugassari ini adalah 51,7 jiwa/Ha. Secara umum, tugas
dari kontor Kelurahan Mugassari ini adalah melayani masyarakat yang berkaitan
dengan kepemerintahan dan kependudukan. Kelurahan Mugassari dipimpin oleh
seorang Lurah yang membawahi seorang Sekertaris Lurah, tiga orang Kepala Seksi
(Kasi), dan tiga orang staf PNS (Pegawai Negeri Sipil) maupun staf ASN (Aparatur
Sipil Negara). Sehingga total pegawai yang ada di Kelurahan Mugassari adalah 8
orang, dengan pembagian 6 orang PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan 2 orang ASN
(Aparatur Sipil Negara). Secara umum, struktur organisasi pada Kelurahan
Mugassari adalah sebagai berikut:
82
Pada penelitian di kasus 1 ini, kantor Kelurahan Mugassari yang dipimpin
oleh Bu Lurahnya sangat terbuka mengenai penelitian ini, sehingga penelitian ini
dipersilahkan untuk melakukan wawancara dengan seluruh lapisan yang ada pada
kantor Kelurahan Mugassari ini. Oleh karena itu, tidak ditemui masalah dalam
penelitian di kasus 1 ini.
4.1.2 Kasus 2
Pada kasus 2 dalam penelitian ini, objek penelitian yang dipilih adalah
kantor Kecamatan Tembalang. Kecamatan Tembalang merupakan salah satu
Kecamatan di Kota Semarang yang menaungi 145.991 orang dan membawahi 12
Kelurahan. Kantor Kecamatan Tembalang ini memiliki tugas pokok untuk
melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah dan peningkatan koordinasi
penyelenggaraan pemerintahan, pelayan publik dan pemberdayaan masyarakat
Lurah
Kasi Trantib dan umum
Kasi Pembangunan
& Pemerintahan
Sekertaris Lurah
Kasi Kessos
Bendahara Kelurahan
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Kelurahan Mugassari
83
kelurahan. Secara keseluruhan terdapat 98 orang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang
bekerja di Kantor Kecamatan tembalang, dan dipimpin oleh seorang Camat.
Terdapat 2 subbagian dan 5 Seksi di Kantor Kecamatan Tembalang, dan asing-
masing subbagian dan Seksi dipimpin oleh seorang Kepala Subbagian dan Kepala
Seksi. Secara umum, struktur organisasi pada Kecamatan Tembalang adalah
sebagai berikut:
Dikarenakan jenjang jabatan yang lebih beragam, jumlah personel yang
lebih banyak, banyaknya kegiatan dan birokrasi yang lebih rumit, menyebabkan
kasus 2 penelitian ini menemui kesulitan ketika harus melakukan wawancara. Oleh
karena itu, pada kasus 2 ini penelitian ini hanya dapat mewawancara 2 (dua) orang
Kasi dan 2 (dua) orang staff dari masing-masing Kasi yang berhasil diwawancara.
Camat
Sekertaris Kecamatan
Kasubbag perencanaan evaluasi
dan keuangan
KASI Pemerintah
an
Kelompok jabatan fungsion
al Kasubbag UM dan
kepegawaian
KASI Pembanguna
n
KASI Kessos
KASI Pelayanan
Publik
KASI Trantib Umum
Gambar 4.2 Struktur Organisasi Kecamatan Tembalang
84
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Kasus 1 Tabel 4.1
Identitas Responden Kasus 1
4.2.1.1 Kepemimpinan
4.2.1.1.1 Paternalistik / Maternalistik
Dalam memimpin, gaya kepemimpinan yang dipakai seorang pemimpin
dapat mempengaruhi kinerja organasasi ataupun bagian yang dipimpin. Gaya
kepemimpinan yang diterapkan setiap pemimpin dapat berbeda-beda sesuai dengan
apa yang dibawa pemimpin tersebut kedalam organisasi atau bagian yang dipimpin.
Dari hasil wawancara yang dilakukan, gaya kepemimpinan yang dibawa oleh
pemimpin perempuan dan laki-laki dalam kasus 1 ini memiliki unsur Paternalistik
atau Maternalistik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gaya kepemimpinan
Paternalistik/maternalistik adalah gaya kepemimpinan yang dilihat dari hubungan
antara pemimpin dan yang dipimpin, yang seperti hubungan ayah/ibu dan anaknya.
narasumber Posisi Nama 1. Kepala Seksi Ketentraman dan
Ketertiban (Pemimpin laki-laki)
Parjo
2. Kepala Seksi Pembangunan & pemerintahan (Pemimpin perempuan)
Neni
3. Sekertaris Lurah (Rekan kerja) Sukarni
4. Lurah (Atasan) Tina
5. Staf (Bawahan 1) Junaidi
6. Staf Teknologi Informasi (Bawahan 2) Robi
7.
Bendahara (Bawahan 3) Sri
85
Dengan kata lain pemimpin tersebut menganggap bawahan mereka sebagai anak
sendiri yang perlu dilindungi, diberikan waktu untuk berkembang.
Pada Kasus 1 ini dalam kepemimpinannya, Neni lebih menganggap
bawahan sebagai mitra kerja. Hal tersebut didukung oleh Sukarni, rekan kerjanya
yang menganggap bahwa Neni lebih banyak mengajak bawahannya untuk bekerja
secara bersama. Hal itu memang ditunjukannya dengan selalu mendampingi
bawahannya dalam mengerjakan setiap tugas yang diberika kepada bawahannya.
Selain itu, Neni dianggap sebagai pemimpin yang tidak pernah membeda-bedakan
orang berdasarkan jabatan, hal ini membuat bawahannya tidak pernah merasa
diremehkan oleh Neni dan juga membuat harga diri dari bawahannya meningkat.
Tetapi Robi sebagai bawahan yang bekerja langsung dibawah
kepemimpinannya merasa unsur keibuan yang dibawa Neni sangat kuat. Hal
tersebut diperlihatkan melalui perhatian yang diberikan kepada para bawahannya,
bukan hanya sekedar perhatian tetapi diikuti dengan kepedulian terhadap apa yang
dihadapi bawahannya. Tina sebagai atasan mengatakan bahwa Neni tidak segan
untuk berkomunikasi dengan para bawahannya bahkan diluar jam kerja. Contohnya
adalah penyataan Robi yang mengaku kerap mendapat pesan singkat dari Neni
ketika malam hari untuk sekedar mengingatkan agar Robi beristirahat, sembari
mengingatkan tugas untuk keesokan harinya.
“Kalau Bu Neni itu unsur keibuannya dapet, jadi ya kayak anak sendiri.” (Robi, 25 tahun, Staff IT)
86
Senada dengan pernyataan Neni tadi, Parjo sebagai pemimpin laki-laki juga
berusaha membangun hubungan yang dekat dengan para bawahan dan rekan
kerjanya, bahkan menganggap mereka sebagai teman. Tina sebagai atasan
menganggap Parjo merupakan seseorang yang mudah untuk bekerjasama dengan
rekan kerja dan bawahannya. Hal serupa juga diungkap oleh Sri yang menganggap
bahwa Parjo adalah seorang pemimpin yang cenderung santai. Kepemimpinan yang
santai disini maksudnya adalah Parjo tidak mempermasalahkan antara jabatan,
umur, serta tidak menuntut banyak hal dari bawahannya.
Namun Junaidi, staf yang banyak bekerja di lapangan bersama Parjo,
menganggap bahwa Parjo adalah pemimpin yang asik, lucu dan bisa memberikan
energi positif secara informal, baginya pendekatan itu tidak jauh berbeda dari
pendekatan seorang ayah kepada anaknya. Hal itu sangat disetujui oleh Robi yang
mengatakan bahwa Parjo mudah membaur dengan para bawahannya dan memiliki
kemampuan untuk membangun hubungan informal yang baik, dan tidak segan
membahas hal-hal yang bersifat pribadi. Contoh yang diceritakan Robi adalah
seringkali Parjo mengajak keluar makan siang bersama dengan para staf laki-laki,
dan disela-sela itu sembari berbincang urusan diluar pekerjaan. Sukarni
mengatakan bahwa pendekatan informal tersebut dapat mencairkan suasana
didalam organisasi menjadi sangat dekat, bahkan seperti keluarga.
“Kalo Parjo sih dia lebih terbuka ya sama siapa aja, terutama yang cowo-cowo. Tapi Neni itu dia lebih perhatian sama bawahan.” (Sukarni, 50 tahun, Sekertaris Lurah)
87
Rekan kerja dari kedua pemimpin tersebut pun mengatakan bahwa
lingkungan yang dibangun dalam organisasi itu adalah lingkungan yang bernuansa
kekeluargaan, sehingga tidak terdapat celah antar personal yang ada didalam
organisasi. Tidak hanya kepada bawahannya saja, kedua pemimpin itu juga dapat
membangun hubungan kekeluargaan dengan para rekan kerjanya dan bahkan
atasannya. Sukarni mengatakan bahwa Parjo dapat membangun hubungan informal
yang baik, sehingga membuat komunikasi antar personal di dalam organisasi
menjadi lebih terbuka bahkan tidak terlalu formal. Sedangkan Sri berpendapat
bahwa sifat perhatian yang ada pada Neni membuat para bawahannya merasa lebih
diperhatikan dan juga merasa nyaman, sehingga dapat bekerja dengan lebih baik.
4.2.1.1.2 Supportif
Selain terdapat unsur paternalistik/maternalistik dalam kepemimpinannya,
sebagian besar narasumber mengatakan bahwa kedua pemimpin dalam Kasus 1 ini
sama-sama memiliki unsur supportif. Yang dimaksud dengan dengan supportif
adalah kedua pemimpin ini mampu untuk mendukung, dan bahkan membantu para
bawahannya dalam hal penyelesaian masalah ataupun tugas. Dengan unsur
tersebut, membuat kinerja dari para bawahan dapat terdorong menjadi lebih baik,
dan membuat bawahan bekerja lebih percaya diri karena tidak akan merasa
disalahkan ketika mereka melakukan kesalahan. Namun dibalik itu semua, terdapat
perbedaan bentuk dukungan yang diberikan kedua pemimpin ini kepada
bawahannya.
88
Sukarni menyatakan bahwa Neni merupakan pemimpin yang lebih banyak
mengajak bawahannya untuk bekerja bersama, hal tersebut menggambarkan bahwa
Neni tidak hanya pemimpin yang hanya memberikan tugas lalu mengkoreksi. Robi
juga mendukung pernyataan tersebut, Robi merasa bahwa Neni selalu
mendampinginya saat pengerjaan tugas atau bahkan saat harus mengikuti pelatihan.
Dengan hal tersebut, membuat bawahan merasa selalu diperhatikan dalam
tugasnya, dan juga dapat menghindarkan dari kesalahan, yang secara tidak langsung
akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja bawahan karena tidak adanya
pengerjaan ulang.
“Kalo Pak Parjo sih kalo salah ya beliau langsung bilang, gak basa basi, langsung disuruh benerin. Tapi kali Bu Neni lebih dampingin sih kalo minta tolong ngerjain tugas, jadi salahnya dikit.” (Junaidi, 23 Tahun, Staf)
Disisi lain, ketika bawahannya bekerja dengan baik, Neni juga tidak segan
untuk memuji mereka dan memberikan insentif tambahan kepada mereka. Robi
mengatakan bahwa Neni selalu memberikan apresiasi dalam bentuk dukungan
moral dengan kata-kata yang membangun, layaknya seperti ibu kepada anaknya.
Hal tersebut tentu saja meningkatkan kepercayaan diri bawahan dalam
melaksanakan tugas-tugas selanjutnya. Selain itu Junaidi mengungkapkan bahwa
Neni selalu memberikan insentif dalam bentuk uang bensin atau sekedar mengajak
makan diluar. Junaidi mengatakan bahwa Neni seringkali mendapat tugas diluar
kantor, dan biasanya meminta bantuan dirinya untuk sekedar mengantarkan, lalu
biasanya apabila sudah waktu makan siang, Neni akan membayarkan makan siang
89
dan tetap mengganti uang bensin kendaraan Junaidi. Hal tersebut memang
sederhana, tetapi secara tidak langsung dapat meningkatkan semangat kerja
bawahan. Selain memberikan insentif.
Sebagai kontrasnya, apabila terdapat kesalahan dalam pekerjaan
bawahannya, Parjo akan secara terang memberitahu dimana kesalahannya dan akan
membantu dengan mengkoreksi serta memberi saran kepada bawahannya. Tina
mengatakan beberapa kali Parjo memberitahu kesalahan kepada bawahannya
dengan nada yang sedikit tinggi, namun hal itu dimaksudkan agar bawahannya
tidak mengulang kesalahan tersebut. Sri mengatakan bahwa dengan memberitahu
kesalahan secara langsung dapat membuat bawahan mengerti dimana kesalahannya
dan dapat sesegera mungkin memperbaiki kesalahan tersebut.
“kalau ada masalah atau kesalahan dalam pekerjaan saya, biasanya kita langsung diskusi tentang kesalahannya, dan langsung dibuat yang benarnya.” (Sri, 52 tahun, bendahara)
Namun apabila bawahannya bekerja dengan baik, Parjo sebagai pemimpin
juga tidak segan memberikan insentif lebih kepada bawahannya. Sukarni
mengatakan bahwa Parjo kerap mengajak Junaidi makan bersama sembari
berbincang ketika selesai mengerjakan tugas dilapangan. Tidak hanya insentif,
Junaidi, Robi dan Sri mengaku lebih banyak diberikan dukungan atau support
dalam bentuk kata-kata atau candaan yang membangun dalam bentuk apresiasi
kepada bawahannya. Contohnya, Robi mengatakan bahwa Parjo seringkali
memberikan pujian kepada dirinya dengan candaan dan biasanya candaan itu juga
diungkapkan didepan Kasi (Kepala Seksi) lain sebagai bukti bahwa Parjo benar-
90
benar mengapresiasi pekerjaannya. Dengan hal tersebut akan memperkuat
hubungan Parjo dengan para bawahannya, sehingga bawahannya tidak merasa ada
jarak antara dirinya dan Parjo.
Dalam penjelasan diatas dapat dilihat terdapat perbedaan yang jelas antara
Neni dan Parjo dalam hal memberi dukungan kepada bawahannya. Apabila Neni
cenderung mendampingin bawahannya sehingga terhindar dari kesalahan, disisi
lain Parjo lebih terbuka kepada bawahannya mengenai kesalahan yang mereka
lakukan didalam pekerjaannya. Namun dalam hal apresisasi kepada bawahan,
kedua pemimpin ini menggunakan cara yang tidak berbeda jauh, yaitu dengen
memberi pujian untuk membangun kepercayaan diri bawahan dan juga memberika
insentif sebagai usaha meningkatkan semangat kerja bawahannya.
4.2.1.1.3 Empati
Sejalan dengan kedua unsur gaya kepemimpinan yang telah dibahas
sebelumnya, empati adalah unsur selanjutnya yang dibawa oleh kedua pemimpin
ini. Empati adalah sikap peduli yang ditunjukkan oleh seseorang, tidak hanya
kepedulian yang ditunjukkan tetapi diikuti dengan usaha untuk merespon apapun
yang terjadi pada orang-orang disekitarnya. Walaupun keduanya menunjukkan rasa
empati dalam hal yang berbeda, mereka tetap memperdulikan bawahan dan rekan
kerja diluar hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan.
Neni mengatakan, apabila bawahannya terlihat tidak semangat dalam
bekerja atau bekerja dengan tidak maksimal, dirinya akan mencoba menanyakan
dan membahas apa hal yang menyebabkan hal tersebut. Selain membahas, Neni
91
akan berusaha mendiskusikan solusi yang dapat membantu apapun masalah yang
dihadapi bawahannya. Tetapi apabila tidak dapat terselesaikan, Neni akan
memberikan waktu kepada bawahannya untuk beristirahat. Pernyataan tersebut
didukung oleh Junaidi dan Sri yang selalu merasa diperhatikan dan diberikan saran
yang positif oleh Neni apabila sedang mengalami masalah yang berkaitan dengan
pekerjaan ataupun diluar pekerjaan, dan kerap diberikan waktu untuk beristirahat
apabila mereka tidak dapat melanjutkan pekerjaan. Sedangkan Robi mengaku
belum pernah mengalami hal tersebut karena Neni selalu mendampinginya dalam
pengerjaan tugas, sehingga dapat mengurangi beban yang ada.
“Iya, kalo keliatan gak semangat biasanya Bu Neni nanyain gitu, disuruh cerita. Tapi kalo pada Pak Parjo dia lebih dibecandain biar kita lupa sama masalahnya.” (Junaidi, 23 Tahun, Staf)
Disisi lain, apabila melihat bawahannya tidak bersemangat dalam
melaksanakan tugas, Parjo akan berusaha menghibur bawahannya dengan candaan-
candaan yang dapat menyemangati mereka. Namun apabila cara tersebut tidak juga
membuat bawahannya maksimal dalam bekerja, Parjo akan memberikan waktu
untuk istirahat kepada bawahannya. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Tina
sebagai atasan, melihat bahwa Parjo merupakan pemimpin yang selalu menyadari
apabila bawahannya tidak bersemangat dalam bekerja. Tina juga menyatakan
bahwa Parjo selalu berusaha menghibur bawahannya dengan candaan yang
bertujuan menyemangati. Junaidi dan Robi mengatakan bahwa Parjo tidak pernah
keberatan untuk memberikan waktu istirahat apabila mereka mengalami masalah
92
dalam bekerja. Junaidi mengatakan pernah suatu waktu dirinya tidak dapat bekerja
maksimal karena alasan pribadi, lalu Parjo datang bertanya dengan nada yang
semangat, namun setelah Junaidi menceritakan masalahnya, Parjo langsung
memberikan saran dan pendapatnya kepada Junaidi, selain itu Parjo memberikan
ijin untuk beristirahat pada hari tersebut.
“Baik, memperhatikan dan perhatian terhadap para stafnya” (Sri, 52 tahun, bendahara)
Dari penjabaran diatas, dapat dilihat bahwa kedua pemimpin ini merupakan
pemimpin yang memperhatikan tingkah laku para bawahannya dalam bekerja, dan
dapat menyadari apabila bawahannya tidak dapat bekerja ataupun sedang
mengalami masalah. Kedua pemimpin juga tidak lantas membiarkan atau berdiam
diri apabila hal tersebut terjadi kepada para bawahannya, mereka bahkan berusaha
sebisa mungkin membantu bawahannya dalam mengatasi masalahnya atau sekedar
meringankan masalahnya dengan membahas hingga hal-hal yang diluar pekerja
atau hanya memberikan semangat. Kedua pemimpin ini juga tidak ragu untuk
memberikan waktu istirahat kepada bawahannya sebagai bentuk perhatian mereka
terhadap masalah yang dihadapi oleh bawahan.
4.2.1.1.4 Pengembangan kemampuan
Sebagai pemimpin yang baik, tidak hanya memberikan tugas, tetapi
pemimpin juga bertanggung jawab dalam pengembangan kemampuan para
bawahannya. Pengembangan kemampuan berguna bagi bawahan untuk
93
penyelesaian tugas-tugas dan memperluas kemampuan atau pengetahuan bawahan,
serta memperdalam pengertian bawahan mengenai tugasnya. Berdasarkan hasil
wawancara, kedua pemimpin dalam kasus 1 ini berusaha mengembangkan
kemampuan bawahan dalam kepemimpinannya. Masing-masing pemimpin
memiliki cara tersendiri dalam usahanya dalam mengembangkan kemampuan para
bawahannya.
Neni sebagai atasan mengakatan dalam usahanya untuk meningkatkan
kemampuan bawahannya dengan mengajarkan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan pekerjaan bawahan. Tetapi Robi sebagai bawahan langsung Neni,
mengatakan bahwa atasannya sering mengajak dan mempromosikan dirinya untuk
mengikuti pelatihan-pelatihan. Hal tersebut juga didukung oleh Tina sebagai atasan
yang mengaku beberapa kali mendapat permintaan dari Neni untuk mengikutkan
bawahannya untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang penting untuk
pengembangan kemampuan bawahannya. Misalnya saja dalam tugasnya dalam
bidang pemerintahan yang banyak berhubungan dengan input data dan juga
aplikasi-aplikasi baru yang dapat membantu tugasnya. Contohnya adalah ketika ada
pelatihan mengenai aplikasi baru dari Pemkot (Pemerintah Kota) mengenai data
warga, Neni langsung merekomendasikan Robi untuk mengikuti pelatihan yang
berkaitan dengan hal itu untuk menunjang tugasnya.
Selain mempromosikan bawahannya untuk mengikuti pelatihan, ternyata
bagi Sri berdikusi dengan Neni mengenai tugas tertentu juga dapat menambah dan
memperdalam kemampuannya mengenai hal-hal tertentu. Sri mengatakan bahwa
dirinya seringkali diminta untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu oleh Neni, dan
94
ketika mengalami kesulitan, mereka berdua akan berdiskusi untuk menyelesaikan
masalah yang ada.
“kalau ningkatin kemampuan itu, biasanya suka promosiin. Misalnya diluar ada pelatihan apa gitu, dia pasti kasih tau, terus biasanya dia ikut nemenin juga. Ya secara gak langsung ngajak juga.” (Robi, 25 tahun, Staf IT)
Sedangkan Parjo mengaku belum pernah mengikutkan bawahannya dalam
pelatihan tertentu untuk mengembangkan kemampuan bawahannya. Namun Parjo
mengatakan bahwa dirinya senang membangun hubungan formal maupun informal
dengan para bawahannya, dan bertukar pikiran dengan mereka melalui obrolan yang
formal maupun informal. Bagi Parjo, hal tersebut secara tidak langsung dapat
mengembangkan dan menambah pengetahuan para bawahannya bahkan untuk hal-
hal diluar pekerjaan. Hal tersebut juga didukung oleh Robi yang mengatakan kerap
kali memiliki obrolan yang mendalam dengan Parjo, bahkan untuk hal-hal pribadi.
Robi mengaku sering menghabiskan waktu istirahat dengan berbincang dengan
parjo mengenai hobi mereka dibidang otomotif, maupun sekedar mendengar cerita
parjo mengenai pengalamannya.
Bagi Junaidi, dengan memberikan tugas yang beragam kepada bawahannya
Parjo dapat menambah pengalaman dirinya mengenai tugas-tugas baru. Robi juga
sepaham dengan Junaidi mengenai pemberian tugas beragam dapat menambah
pengalaman bawahan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan tugas mereka.
Secara tidak langsung hal tersebut akan memperluas pengetahuan bawahan
mengenai tugas-tugas yang ada didalam organisasi tersebut. Memang dalam
95
memberikan tugas, Parjo akan menjelaskan secara detail dan mendalam mengenai
bagaimana tugas harus diselesaikan, sehingga bawahan akan mudah mengerti apa
yang atasan inginkan dan apa yang harus dilakukan dalam penyelesaian tugas.
Dari penjelasan diatas, dapat kita lihat bahwa kedua pemimpin dalam kasus
1 ini memiliki andil dalam pengembangan diri dan kemampuan para bawahannya.
Walaupun hal tersebut ditempuh melalui cara yang berbeda, Parjo dengan
pendekatan informal dan Neni dalam bentuk pelatihan. Neni memang secara jelas
lebih baik dalam meningkatkan kemampuan teknis bawahannya, tetapi Parjo dapat
mengembangkan diri bawahan dari segi yang lebih informal. Jadi, pada dasarnya
sebagai pemimpin mereka tidak hanya mempekerjakan bawahannya untuk
menyelesaikan tugas-tugas, tetapi juga memberikan ilmu mengenai tugas organisasi
maupun hal-hal yang bersifat pribadi.
4.2.1.2 Efektivitas Kepemimpinan
4.2.1.2.1 Keterlibatan / Involvement
Salah satu tujuan dari kepemimpinan adalah untuk dapat menyelesaikan
suatu pekerjaan melalui orang lain. Di dalam sebuah organisasi, untuk mencapai
tujuan organisasi terdapat tugas-tugas yang harus diselaikan oleh divisi atau bagian
tertentu, oleh karena itu pemimpin yang memimpin bagian tertentu harus dapat
menggerakan bawahannya untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Setiap
pemimpin memiliki caranya masing-masing untuk membuat bawahannya
mengerjakan dan menyelesaikan suatu tugas tertentu dengan sebaik-baiknya.
Dalam kasus 1 ini, kedua pemimpin memiliki perbedaan dalam pemberian tugas
96
kepada para bawahannya. Neni sebagai pemimpin perempuan lebih berusaha untuk
mendampingi bawahannya dalam pemberian tugas, sedangkan Parjo lebih memilih
dan membagikan tugas mana yang harus dikerjakan sendiri dan mana yang harus
dilimpahkan kepada bawahannya.
Menurut Neni, sebagai pemimpin dia selalu berusaha mengerjakan segala
sesuatu bersama dengan para bawahannya. Maka dengan begitu, setiap tugas yang
dikerjakan bawahan akan lebih terkontrol, sehingga setiap kesalahan juga dapat
diperbaiki secara cepat. Hal tersebut diakui oleh Sukarni sebagai rekan kerja dan
Tina sebagai atasan, kedua melihat bahwa Neni adalah pemimpin yang tidak ragu
untuk ikut langsung dalam pengerjaan tugas bersama dengan para bawahannya. Hal
tersebut dapat berdampak positif dan negatif bagi bawahan, karena disatu sisi
bawahan akan lebih fokus dalam mengerjakan tugas, dan setiap kesalahan dapat
diperbaiki secara langsung tanpa pengerjaan dua kali. Namun disisi lain, hal
tersebut dapat menghambat atau membatasi kreativitas bawahan dalam
melaksanakan tanggung jawabnya, dan tidak baik apabila hal tersebut berlangsung
dalam jangka waktu yang lama.
“sejauh ini sih dalam tugas aku selalu didampingi, jadi ya alhamdulillah sejauh ini belum ada masalah sih mas, bagus-bagus aja dan diterima sama kecamatan.” (Robi, 25 tahun, staf IT)
Namun, menurut Robi sebagai bawahan langsung Neni, menganggap
bahwa pimpinannya selalu melihat situasi dan kondisi bawahan dalam memberikan
tugas. Robi mengatakan bahwa Neni tidak pernah memberikan tugas ketika dirinya
97
masih memiliki tugas lainnya dengan deadline yang sama, dan akan dikerjakan
langsung oleh Neni. Dengan kata lain, Neni tidak mengerjakan setiap tugas-tugas
yang ada dengan bawahannya, tetapi lebih bergantung pada situasi yang dihadapi.
Bagi staf lainnya, Neni merupakan sosok pemimpin yang santai dan sopan dalam
memberikan tugas, bahkan seperti meminta tolong. Sri mengatakan biasanya Neni
akan datang ke meja kerjanya, dan meminta tolong mengenai sesuatu. Dengan kata
lain, Neni bukanlah atasan yang ‘bossy’ dan memaksa bawahan untuk melakukan
sesuatu, tetapi pemimpin yang selalu berusaha untuk memahami bawahannya.
Sebagai kontras, Parjo akan membagi tugas yang akan dikerjakan sendiri
dan tugas yang akan dilimpahkan kepada bawahannya. Parjo menganggap apabila
suatu pekerjaan masih dapat dikerjakan sendiri, maka akan diselesaikan sendiri,
tetapi apabila tugas yang harus diselesaikan banyak, maka sebagian akan
dilimpahkan pada bawahannya. Hal tersebut didukung oleh Tina yang melihat
bahwa Parjo merupakan pemimpin yang cukup adil kepada bawahannya, tidak
selalu melimpahkan seluruh tugas kepada bawahannya, tetapi berusaha membagi
tugas-tugas yang ada.
Sukarni melihat bahwa Parjo adalah pemimpin yang lebih mengajak para
bawahannya dalam mengerjakan tugas. Pendapat itu digugurkan oleh pernyata
Junaidi dan Robi yang menganggap bahwa Parjo lebih sering memberikan tugas
kepada bawahannya, dibandingkan mengerjakan bersama. Keduanya berpendapat
bahwa Parjo selalu menjelaskan tugas yang harus dikerjakan secara detail dan
bagaiman proses penyelesaian yang diinginkan olehnya untuk mengurangi
kemungkinan kesalahan. Namun Junaidi mengatakan untuk tugas-tugas yang
98
bersifat kegiatan dilapangan, Parjo selalu mendampingi dan turun langsung dalam
pelaksanaan tugas tersebut. Contohnya adalah ketika ada penugasan pengamanan
PKL (Pedagang Kaki Lima), Parjo selalu mengajak Junaidi untuk membantunya di
lapangan.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kedua pemimpin tersebut
memiliki perbedaan dalam keterlibatannya didalam tugas bawahan. Sebagai
pemimpin, Neni lebih berusaha untuk mengerjakan tugas bersama dengan
bawahannya, namun tetap disesuaikan dengan kondisi yang ada. Sebagai kontras,
Parjo lebih memilih untuk membagi tugas dengan para bawahannya. seperti yang
telah dijelaskan, cara yang dipakai Neni lebih baik dalam hal kontrol pada bawahan
dan dapat menghindari kesalahan, tetapi cara yang dipakai Parjo akan lebih efisien
dari segi waktu pengerjaan. Tapi dari sudut pandang lain, cara yang dipakai Neni
dapat secara tidak langsung membatasi kreativitas bawahan, karena lebih banyak
kontrol oleh atasan.
4.2.1.2.2 Motivation
Sebagai pemimpin yang efektif, seorang pemimpin harus dapat membuat
bawahannya bekerja dengan lebih keras, terlebih apabila kinerja bawahan kurang
memuaskan. Untuk membuat bawahan bekerja dengan lebih keras, maka
dibutuhkan treatment tersendiri yang dilakukan oleh atasan untuk mendorong hal
tersebut. Dalam kasus 1 ini, kedua pemimpin memiliki beberapa kesamaan dan
perbedaan dalam usahanya untuk membuat bawahannya bekerja dengan lebih
keras. Parjo sebgai pemimpin laki-laki lebih memilih untuk memberikan motivasi
99
secara informal dengan candaan kepada bawahan, namun Neni sebagai pemimpin
perempuan lebih memilih untuk terus mendampingi bawahannya.
Neni mengatakan bahwa dirinya lebih memilih untuk mendampingi
bawahannya dalam pengerjaan tugas, karena menurutnya hal tersebut dapat
meningkatkan kepercayaan diri bawahan karena merasa dihargai. Menurut
pendapatnya ketika bawahan telah merasa dihargai, mereka akan lebih merasa
nyaman dan senang dalam melakukan apapun, tak terkecuali mengerjakan tugas.
Selain itu, menurut Neni dengan pendampingan, bawahan akan bekerja lebih serius
dan dapat menghindarkan dari kesalahan. Robi sebagai bawahan langsung juga
sependapat bahwa Neni selalu mendampinginya dalam pengerjaan tugas, bahkan
ketika mengikuti pelatihan, hal tersebut diakuinya dapat mendorong dirinya untuk
bekerja lebih keras karena selalu ada dibawah pantauan atasan.
“Kalo Bu Neni dia selalu dampingin tugas, jadi ya secara gak langsung itu jadi motivasi juga buat aku. Terus kalo Pak Parjo itu sering nasehatin pake candaan kalo lagi makan siang atau lagi kosong.” (Junaidi, 23 Tahun, Staf)
Selain pendampingan, Robi juga merasa selalu merasa ingin bekerja lebih
keras karena atasannya dapat membangun hubungan yang baik dengannya dan
selalu memberikan support, bahkan diluar jam kerja. Sri juga berpendapat bahwa
Neni selalu memberikan dukungan bagi dirinya dalam bentuk selalu
memperhatikan pekerjaanya dan memberikan masukan terhadap apa yang
dikerjakannya. Hal tersebut tentu saja akan memberikan dampak penaikan
kemampuan bawahan dalam mengerjakan suatu tugas dan meningkatkan kualitas
100
hasil pekerjaannya. Junaidi juga mengatakan bahwa Neni selalu mengingatkannya
untuk terus memperbaiki cara kerjanya untuk terus lebih baik dan lebih baik lagi.
Dilain sisi, Parjo mengatakan bahwa dirinya selalu berusaha membangun
hubungan dalam bentuk informal kepada bawahannya untuk dapat lebih dekat.
Hubungan informal yang dimaksud adalah dengan membangun kedekatan secara
personal dengan para bawahan dan rekan kerjanya, sehingga lebih seperti teman
dibandingkan hubungan atasan-bawahan. Kedekatan dengan bawahan inilah yang
digunakan Parjo sebagai alat untuk membuat bawahan bekerja dengan lebih keras,
misalnya dengan candaan-candaan yang secara tidak langsung menyindir bawahan
untuk bekerja lebih keras lagi. Contoh lainnya adalah ketika bawahannya bekerja
dengan tidak memuaskan, dia akan mengajak bawahannya mengobrol dan
memberikan contoh-contoh secara verbal, bagaimana hasil yang diharapkan
olehnya. Hal tersebut diakui oleh Robi dan Junaidi yang selalu mendapatkan
dukungan dari Parjo melalui pembicaraan yang informal.
Selain melalui pendekatan informal, Junaidi juga mengatakan bahwa Parjo
juga seringkali memeriksa hasil pekerjaannya dan selalu memberikan saran untuk
perbaikan. Parjo selalu memperlihatkan dimana letak kesalahan bawahannya,
sehingga bawahannya tau bagian mana yang harus diperbaiki dan harus dihindari
bawahannya ketika melakukan tugas yang sama dikemudian hari. Sri juga
mengatakan bahwa dirinya selalu diberikan teguran dan contoh-contoh yang baik
dalam mengerjakan suatu tugas, dan hal ini membuatnya mengerti bagaimana untuk
dapat memenuhi ekspektasi atasannya.
101
“beliau biasanya mengucapkan terimakasih. “mas ini terimakasih ya, hasilnya bagus lho!” menyanjung, dan membuat semangat bawahannya. Sehingga suasana kekeluargaan itu kental disini” (Tina, 50 tahun, Lurah)
Dapat dilihat dari penjelasan diatas, bahwa pendekatan yang dilakukan Neni
dengan mendampingi bawahannya berhasil untuk meningkatkan kepercayaan diri
bawahannya dalam bekerja dan menghindarkan bawahan dari kesalahan. Namun
pendekatan informal yang dilakukan Parjo juga berhasil membuat bawahannya
merasa nyaman bekerja dibawah perintahnya, dan secara tidak langsung membuat
bawahannya mau untuk bekerja dengan lebih baik dan lebih baik lagi. Kedua cara
yang dipakai oleh pemimpin-pemimpin ini dalam usahanya membuat bawahan
bekerja dengan lebih maksimal berdampak positif dari sisi bawahan, rekan kerja,
dan bahkan atasannya.
4.2.1.2.3 Fulfillment
Sebagai pemimpin, untuk dapat bekerja lebih efektif tentu saja terdapat
beberapa ekspektasi yang harus dipenuhi seorang pemimpin. Ekspektasi tersebut
datang dari berbagai sisi organisasi, contohnya saja kebutuhan dari sisi bawahan
dan juga dari sisi organisasi secara keselurahan. Berdasarkan hasil wawancara,
secara garis besar kedua pemimpin ini telah berhasil memenuhi kebutuhan bawahan
dan organisasi. Namun tentu saja masih ada beberapa hal yang belum terpenuhi
oleh kedua pemimpin ini karena ekspektasi yang beragam.
Neni mengatakan bahwa dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
memenuhi seluruh kebutuhan bawahannya dan organisasi secara keseluruhan,
102
tetapi dirinya mengaku tidak bisa menilai dirinya sendiri sudah atau belum
memenuhi keseluruhan ekspektasi tersebut. Tetapi, seluruh bawahannya
menganggap bahwa Neni telah memenuhi kebutuhan mereka. Robi menilai Neni
mampu memenuhi kebutuhan bawahan melalui pendekatannya yang selalu
mendampingi bawahan ketika melaksanakan tugas. Sedangkan Junaidi dan Sri
menganggap sifat dan karakter yang selalu memperhatikan bawahanlah yang
membuat bawahan merasa terpenuhi kebutuhannya. Selain itu Neni juga secara
jelas membantu pengembangan diri bawahannya melalui berbagai pelatihan yang
direkomendasikannya.
Sedangkan untuk kebutuhan atau ekspektasi organisasi secara keseluruhan,
Neni juga tidak dapat menilai dirinya, tetapi dirinya selalu berusaha memenuhi
segala hal yang berkaitan dengan Tugas Pokok dan Fungsinya sebagai Kepala
Seksi. Tetapi Sukarni sebagai rekan kerja menganggap Neni sudah memenuhi
kebutuhan organisasi karena dalam penemuhan Tugas Pokok dan Fungsinya
(Tupoksi) selalu berdiskusi dengan atasan, rekan kerja dan bawahannya. Tina
sebagai atasan juga mengatakan hal yang senada dengan Sukarni bahwa Neni sudah
memenuhi kebutuhan organisasi karena Neni memliki keinginan belajar yang
sangat tinggi, sehingga dalam pemenuhan Tupoksinya selalu maksimal, walaupun
terkadang tetap ada beberapa hal yang tidak sempurna.
“Kalo Bu Neni memang beliau sangat baik dalam bekerja, selalu mau belajar kalau beliau. Pak Parjo juga baik dalam bekerja, tapi terkadang suka hilang di jam kerja, saya kadang suka bingung nyariin.” (Tina, 50 tahun, Lurah)
103
Sedangkan Parjo menilai dirinya telah dapat memenuhi kebutuhan
bawahannya karena dirinya mampu melakukan pendekatan secara formal dan
informal. Dirinya mampu mendekatkan dirinya dengan bawahan bahkan untuk
urusan yang tidak berkaitan dengan tugas organisasi. Junaidi, Robi dan Sri
sependapat dengan pernyataan Parjo diatas, bahwa Parjo telah dapat memenuhi
kebutuhan bawahan. Para bawahannya mengatakan Parjo dapat membangun
hubungan yang dekat dengan para bawahannya, Robi menggaris bawahi sifat Parjo
yang terbuka mengenai hal apapun membuat dirinya merasa kebutuhannya sebagai
bawahan terpenuhi. Selain membangun hubungan yang baik dengan bawahan,
Junaidi mengatakan bahwa Parjo dapat berkerja dengan cepat, sehingga dapat
memberikan contoh bagi dirinya bagaimana agar dapat bekerja dengan efektif dan
efisien.
Sedangkan dalam pemenuhan kebutuhan organisasi, Parjo telah berusaha
semaksimal mungkin untuk memenuhi Tugas Pokok dan Fungsinya (Tupoksi)
sebagai Kepala Seksi. Sukarni sebagai rekan kerja juga mengatakan memang Parjo
telah memenuhi Tupoksinya, tetapi dianggap belum maksimal. Hal tersebut juga
dikatakan Tina sebagai atasan mengatakan bahwa Parjo sudah bekerja sesuai
Tupoksi yang diberikan kepadanya. Namun ada beberapa hal yang dianggap Tina
belum memenuhi ekspektasinya sebagai atasan, misalnya adalah seringnya Parjo
meninggalkan kantor di jam kerja tanpa sepengetahuannya. Hal tersebut sangat
disayangkan oleh Tina, karena beberapa kali ketika dirinya membutuhkan Parjo,
namun Parjo sedang berada diluar kantor.
104
Dalam kesimpulan, kedua pemimpin ini telah berhasil memenuhi kebutuhan
para bawahannya melalui gaya kepemimpinan dan pendekatannya masing-masing.
Selain itu kedua pemimpin ini juga telah mampu memenuhi Tugas Pokok dan
Fungsinya (Tupoksi) sebagai Kepala Seksi di organisasi. Namun Parjo mendapat
sedikit ‘catatan merah’ dari atasannya karena terlalu sering meninggalkan kantor
dijam kerja. Namun secara keseluruhan, kedua pemimpin ini juga telah mampu
memenuhi kebutuhan organisasi.
4.2.1.3 Tantangan kepemimpinan
4.2.1.3.1 Tantangan Pekerjaan
Dalam kepemimpinan, tentu saja terdapat hal-hal yang menjadi tantangan
bagi pemimpin tersebut. Tantangan tersebut dapat berasal darimana saja, didalam
maupun diluar organisasi. Berdasarkan hasil wawancara, dalam kasus 1 ini secara
umum tantangan yang dialami kedua pemimpin ini lebih kepada tugas yang harus
mereka selesaikan. Namun keduanya memiliki tantangan yang berbeda dalam
pekerjaannya masing-masing.
Menurut Tina sebagai atasan, salah satu tantangan yang dihadapi oleh Neni
dalam pekerjaannya adalah tugas pokok yang sangat banyak dan beragam karena
memang posisinya menuntut hal seperti itu. Walaupun dihadapkan dengan tugas
yang sangat banyak dan beragam, tetapi Tina selalu dapat memenuhi seluruhnya
karena dirinya memiliki tingkat keinginan untuk selalu belajar yang tinggi. Sukarni
juga mengatakan bahwa Neni tidak segan untuk belajar dan berdiskusi dengan
105
Kepala Seksi dari kelurahan lain untuk dapat memenuhi dan menyelesaikan
tugasnya, terlebih lagi untuk tugas-tugas yang tergolong baru.
Selaras dengan tugas yang beragam, Neni juga memiliki tuntutan untuk
dapat bekerja didalam dan diluar ruangan. Posisinya menuntut dirinya untuk
terbiasa berhadapan dengan tugas-tugas administratif dan juga dapat berhadapan
dengan masyarakat secara langsung di lapangan. Tugas lapangan yang biasanya
harus dipenuhi oleh Neni adalah berdiskusi atau penyuluhan dengan warga
mengenai pembangunan yang ada di wilayah Kelurahan. Untuk menghadapi
masyarakat tentu saja diperlukan kemampuan komunikasi dan pembuatan
keputuasan yang baik serta cepat. Neni harus dapat menyelaraskan keinginan
masyarakat yang beragam dengan aturan yang ada, biasanya hal ini
ditanggulanginya dengan banyak berdiskusi dengan Tina sebagai atasannya.
“Sebagai Kasi, tugas saya ya di luar dan di dalam ruangan, jadi ya harus pinter-pinter bagi waktu. Kalau tidak ya bisa keteteran.” (Neni, 48 tahun, Kasi)
Tantangan yang sama juga dihadapi oleh Parjo, dimana tugasnya lebih
banyak berhubungan dengan masyarakat dan beragam kebutuhannya. Dalam
melaksanakan tugasnya, Parjo seringkali harus berhadapan dengan Pedagang Kaki
Lima (PKL) yang tidak mau mengikuti aturan yang sudah ada dengan berbagai
alasan. Dalam menjalankan tugasnya, sangat dibutuhkan kemampuan komunikasi
yang baik dan juga kesabaran ekstra. Bahkan seringkali Parjo harus berdiskusi
dengan Tina selaku atasan, atau terkadang Tina perlu ikut turun ke lapangan untuk
membantu Parjo menghadapi hal-hal yang dianggap rumit untuk diselesaikan.
106
Misalnya saja ketika PKL (Pekerja Kaki Lima) yang dimaksud tidak mau mengikuti
aturan, atau dalam menghadapi pedagang yang bergender perempuan, hal tersebut
dianggap lebih rumit oleh Parjo.
Dari penjabaran diatas, dapat dilihat bahwa tantangan yang dihadapi oleh
kedua pemimpin ini sangatlah kompleks. Namun keduanya juga memiliki caranya
masing-masing untuk menghadapi da menyelesaikan tantangan tersebut.
Kemampuan yang baik dalam komunikasi dan pembuatan keputusan sangat
dibutuhkan oleh kedua pemimpin ini. Selain itu, koordinasi dengan atasan, rekan
kerja dan bawahan juga sangat diperlukan dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan yang ada.
4.2.1.3.2 Tantangan Komunikasi
Dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Seksi (Kasi) di Kelurahan, tentu
saja kedua pemimpin ini tidak dapat terhindar dari kewajiban untuk dapat bekerja
dengan baik bersama seluruh lapisan yang dalam organisasi tersebut. Komunikasi
dan koordinasi yang baik antar lapisan dalam organisasi dapat menjadi salah satu
indikator baik atau tidaknya kinerja suatu organisasi secara keseluruhan. Untuk
membangun komunikasi yang baik dengan semua orang bukanlah hal yang mudah
untuk dilakukan, karena setiap orang memiliki karakter yang berbeda, sehingga
untuk menghadapinya perlu cara yang berbeda pula. Hal tersebut ternyata juga
menjadi salah satu tantangan kepemimpinan yang dihadapi kedua pemimpin ini.
Karena menurut mereka, tidak mudah untuk dapat beradaptasi dengan masing-
masing individu secara sempurna, tentu saja masih akan terdapat kekurangan.
107
Neni sebagai pemimpin perempuan mengakui terkadang memiliki masalah
dalam berkomunikasi dengan rekan kerjanya, tertutama rekan kerja yang bergender
sama. Walaupun secara umum komuniasi yang terjalin di organisasi tersebut cukup
baik, tetapi itu tidak menutup kemungkinan terjadinya gesekan antar individu
ketika terjadi sesuatu. Neni merasa lebih sulit dalam menghadapi rekan kerja yang
bergender sama dan lebih senior dibandingkan dirinya. Misalnya saja apabila
terdapat suatu pekerjaan yang merupakan Tupoksi dari Seksi yang dipimpin oleh
Neni dan terdapat kesalahan, maka dirinya akan mendapat kritikan yang ‘pedas’
dari rekan kerjanya. Neni merasa diperlakukan seperti itu karena dirinya adalah
satu-satunya Kepala Seksi yang lebih junior di organisasi tersebut.
Sedangkan Parjo, sebagai pemimpin laki-laki ternyata juga tidak terhindar
masalah dalam komunikasi didalam organisasi. Parjo mengakui dirinya adalah
orang yang lebih suka berkomunikasi secara informal, dibandingkan secara formal,
contohnya melalui candaan. Namun untuk menjaga kerukunan, dirinya mengaku
lebih menjaga perkataannya terhadap atasan, rekan kerja dan bawahan yang
bergender perempuan. hal tersebut dilakukannya karena menyadari bahwa
perempuan cenderung lebih mudah tersinggung, sehingga untuk menghindari hal-
hal yang tidak diinginkan, maka dirinya lebih memilih untuk berhati-hati dalam
berkomunikasi dengan perempuan.
“ya sejauh ini sih tidak ada, ya paling saya lebih berhati-hati kalau ngomong dengan perempuan sih.” (Parjo, 50 tahun, Kepala Seksi)
108
Dari penjabaran diatas, dapat dilihat bahwa membangun komunikasi yang
baik dengan atasan, rekan kerja, ataupun bawahan bukanlah suatu hal yang mudah.
Terdapat banyak tantangan yang dihadapi oleh kedua pemimpin ini dalam menjaga
keharmonisan di organisasi tersebut. Meskipun begitu, kedua pemimpin ini
memiliki cara masing-masing untuk menghadapi tantangan tersebut. Neni mencoba
menghadapi tantangan tersebut dengan tidak mengambil secara personal apapun
yang dikatakan oleh setiap orang yang di organisasi, sedangkan Parjo
menghadapinya dengan lebih berhati-hati ketika akan berkomunikasi dengan
individu yang berbeda gender.
4.2.1.4 Rangkuman
Dalam bagian rangkuman ini, akan ditarik kesimpulan berdasarkan data-
data yang telah ditemukan dalam proses wawancara. Rangkuman ini akan dibagi
dalam tiga bagian umum, yaitu; gaya kepemimpinan, efektivitas kepemimpinan,
dan tantangan yang dihadapi oleh pemimpin-pemimpin yang dijadikan objek utama
penelitian pada kasus 1 ini.
Dari yang telah diuraikan sebelumnya, dari segi kepemimpinannya kedua
pemimpin dalam kasus 1 ini memiliki poin patenalistik/maternalistik, empati,
supportif, dan pengembangan. Dimana apabila dikembangkan, poin-poin tersebut
mangacu pada salah satu gaya kepemimpinan yang dijelaskan dalam Full Ranged
Leadership Theory (FRLT), yaitu Individualied Consideration. Hal tersebut
dikarenakan kedua pemimpin dalam kasus 1 ini memiliki poin-poin kepemimpinan
yang lebih menekankan pada sikap empati yang memperhatikan bawahan dan
109
sekitarnya. Selain itu terdapat juga sisi paternalisti/maternalistik dengan
menunjukkan sikap yang mengayomi para bawahannya dan kebutuhannya. Serta
selalu berusaha untuk mendukung dan mendorong bawahan untuk terus
berkembang secara terus menerus.
Bagian kedua yang akan dirangkum adalah efektivitas kepemimpinan dalam
kasus 1 ini. Berdasarkan sub-tema yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat tiga
poin yang menjadi sorotan, yaitu; involvement atau keterlibatan, motivasi, dan
fulfillment atau pemenuhan. Kedua pemimpin dalam kasus 1 ini diakui oleh rekan
kerja dan bawahannya memiliki efektivitas kepemimpinan yang baik. Hal tersebut
dikarenakan kedua pemimpin ini mampu membangun komunikasi yang baik
dengan para bawahannya dari sisi formal maupun informal. Selain itu, kedua
pemimpin ini jugas selalu melibatkan bawahannya dalam pembuatan keputusan.
Dan yang paling penting, kedua pemimpin ini secara aktif melakukan usaha-usaha
untuk mengembangkan para bawahannya dari segi kemampuan dan pengembangan
secara pribadi.
Dan terakhir, kedua pemimpin didalam kasus 1 ini memiliki tantangan yang
tidak jauh berbeda dalam kepemimpinannya. Kedua pemimpin ini mengakui bahwa
tantangan yang mereka hadapi adalah dari segi pekerjaan dan dalam komunikasi.
Dari sisi pekerjaan, kedua pemimpin ini dituntut untuk dapat bekerja di dalam dan
diluar ruangan, dimana mereka harus dapat mengimbangi pekerjaan yang bersifat
teori maupun teknis. Ketika harus bekerja dilapangan, kedua pemimpin ini harus
menghadapi masyarakat secara langsung dengan berbagai karakter, sifat dan
kebutuhannya. Selain itu, kedua pemimpin ini juga dihadapkan dengan tantangan
110
komunikasi didalam internal organisasinya. Kedua pemimpin ini mengatakan
bahwa untuk dapat berkomunikasi dengan baik dengan rekan kerja yang bergender
perempuan merupakan suatu tantangan tersendiri. Mereka mengatakan bahwa perlu
kehati-hatian khusus dalam berkomunikasi dengan para rekan kerja maupun
bawahan yang bergender perempuan karena dianggap lebih sensitive.
4.2.2 Kasus 2
Tabel 4.2 Identitas Responden Kasus 2
Narasumber Jabatan Nama 1. Kepala Seksi Pelayanan Publik
(Pemimpin Perempuan) Lina
2. Kepala Seksi Keterntraman dan Keamanan (pemimpina laki-laki)
Yanto
3. Staf mahasiswa PKL (bawahan pemimpin perempuan) Bunga
4. Staf (bawahan pemimpin perempuan) Sarwanto
5. Staf (bawahan pemimpin laki-laki) Doni
6. Staf (bawahan pemimpin laki-laki) Kris
4.2.2.1 Kepemimpinan
4.2.2.1.1 Komunikasi
Dalam sebuah organisasi, untuk mencapai tujuan organisasi terdapat orang-
orang yang memimpin dan dipimpin. Menjadi seorang pemimpin bukanlah sebuah
tugas yang mudah untuk dilakukan. Banyak hal yang menjadi tanggung jawab
seorang pemimpin terhadap para bawahannya, salah satunya adalah menjalin
hubungan yang baik. Cara untuk menjalin hubungan yang baik, salah satunya
111
adalah dengan membangun komunikasi yang baik antar individu didalam
organisasi. Kualitas komunikasi didalam sebuah organisasi tentu saja dapat
berpengaruh pada kinerja dan secara tidak langsung pada tercapai atau tidaknya
tujuan organisasi. Dalam kasus 2 ini, kedua pemimpin laki-laki dan perempuan ini
menerapkan cara yang berbeda untuk membangun komunikasi dengan para
bawahannya. Lina sebagai pemimpin perempuan lebih mengedepankan hubungan
interpersonal dengan bawahannya, sedangkan Yanto sebagai pemimpin laki-laki
lebih memadupadankan hubungan formal dan informal didalam hubungannya
dengan bawahan.
Lina mengatakan bahwa dirinya selalu berusaha untuk membangun
hubungan yang interpersonal yang baik dengan setiap individu yang ada di
organisasi, terutama para bawahannya. Hubungan interpersonal yang dimaksud
adalah Lina berusaha untuk memiliki ikatan yang kuat dan saling membutuhkan
dengan para bawahan dan rekan kerja, sehingga akan diketahui sifat dan karakter
masing-masing individu. Ikatan itu dibangun Lina melalui komunikasi yang intens
dengan para bawahannya, untuk masalah pekerjaan maupun diluar itu. Dengan
mengetahui karakter dan sifat para bawahannya, tentu saja akan lebih mudah bagi
Lina untuk mengetahui bagaimana cara terbaik untuk berkomunikasi dengan
masing-masing bawahannya. Hal yang sama juga diungkapkan para staf yang
bekerja dibawah kepemimpinan Lina, yaitu Bunga dan Yanto. Kedua setuju bahwa
Lina mampu membuat hubungan yang baik dengan para bawahannya, tidak
membeda-bedakan, memberi perhatian, dan juga tidak hanya terpaku pada hal-hal
yang berkaitan dengan pekerjaan.
112
“kalau saya, lebih berkomunikasi secara interpersonal ya. Selain itu, saya akan berupaya untuk memberikan arahan dan bimbingan.” (Lina, 50 tahun, Kasi Pelayanan Publik)
Selain itu, Lina juga berusaha berperan sebagai pembimbing dan pengarah
bagi para bawahannya, bukan sebagai atasan. Hal senada juga dikatakan oleh
Bunga dan Sarwanto sebagai staf yang bekerja dibawah Lina, dimana mereka
menganggap bahwa Lina tidak membuat jarak yang jauh antara dirinya dan
bawahannya. Bunga mengatakan bahwa Lina lebih terasa sebagai mentor yang
selalu memberikan arahan dan saran dalam setiap pekerjaannya. Sedangkan
Sarwanto mengatakan bahwa Lina selalu memberikan contoh-contoh yang baik,
yang ditiru atau diikuti oleh para bawahannya. keduanya sepakat bahwa Lina
berhasil dalam perannya sebagai pembimbing bagi para bawahannya.
Sedangkan Yanto sebagai pemimpin laki-laki mengaku lebih berusaha
memadukan pendekatan formal dan informal dalam membangun hubungan dengan
para bawahannya. Yanto mengatakan bahwa dirinya memakai pendekatan formal
kepada bawahannya disesuaikan dengan posisinya sebagai Kepala Seksi yang harus
memberi contoh dan perintah kepada para bawahannya sesuai dengan Tupoksi
(Tugas Pokok dan Fungsi) yang diembannya. Sedangkan pendekatan informal
dipakai dalam posisinya sebagai seorang individu didalam organisasi yang harus
berinteraksi dengan individu lainnya secara baik dan dekat. Yanto mengatakan
dalam organisasi Pemerintah, tidak dapat hanya terpaku dengan pendekatan formal,
karena hal tersebut akan membuat dirinya jauh dan tidak disukai oleh individu lain
di organisasi tersebut.
113
Kedua bawahan yang bekerja langsung dibawah kepemimpina Yanto juga
mengungkapkan bawah atasannya selalu dapat menempatkan diri secara baik dan
dirasa pas. Doni merasa bahwa Yanto dapat bertindak tegas dalam pengerjaan suatu
tugas, tetapi juga dapat bersikap santai diluar pekerjaan. Contohnya adalah ketika
mereka bersama-bersama bekerja dilapangan untuk mengamankan PKL (Pedagang
Kaki Lima), maka Yanto akan fokus dan serius menyelesaikan tugas hingga tuntas,
tetapi setelah itu Yanto tidak segan untuk duduk disebuah warung sembari bersenda
gurau dengan para bawahannya untuk melepas penat. Sedangkan Kris merasa
bahwa Yanto selalu dapat bekerjasama dengan baik dengan para bawahannya.
Mereka menganggap pendekatan yang digunakan oleh Yanto bukanlah suatu cara
yang negatif karena dapat membuat mereka bekerja dengan lebih profesional, tetapi
juga tidak merasa terdapat jarak yang jauh dalam hal kedekatan dengan atasannya
tersebut.
“Pak Yanto itu orangnya serius kalau dalam bekerja, tapi kalo di luaran juga baik ke kita-kita. Suka bercanda juga kadang kalo lagi diwarung.” (Doni, 35 tahun, staf)
Secara garis besar, memang terdapat perbedaan cara yang dilakukan oleh
kedua pemimpin diatas dalam membangun hubungannya dengan para bawahan.
Namun dari kedua pendekatan tersebut, tak ada satupun bawahan yang
menganggap cara tersebut negatif. Mereka menganggap bahwa para atasannya
dapat membangun komunikasi yang baik dengan mereka mengenai pekerjaan
ataupun hal-hal diluar itu, melalui caranya masing-masing. Peran pembimbing yang
dipakai oleh Lina, dan pendekatan formal yang digunakan Yanto dianggap
114
memudahkan para bawahan dalam pelaksanaan segala tugas yang diberikan oleh
para atasannya. Sedangkan pendekatan interpersonal yang ditekankan oleh Lina
dan pendekatan informal yang dipakai oleh Yanto dianggap membuat para bawahan
merasa lebih nyaman bekerja dibawah kepemimpina kedua pemimpin diatas.
4.2.2.1.2 Direktif
Selain harus dapat membangun hubungan yang baik dengan bawahan
melalui komunikasi, dalam tujuannya untuk mencapai tujuan organisasi, seorang
pemimpin juga harus bersifat direktif. Sifat direktif ini adalah kemampuan yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin untuk dapat mengarahkan para bawahannya
agar melaksanakan seluruh tugas yang diberikan dengan baik. Dalam kasus 2 ini,
kedua pemimpin laki-laki dan perempuan yang dijadikan objek utama memiliki
cara yang tidak berbeda jauh dalam menyampaikan tugas dan pemikiran yang
mereka inginkan. Dalam hal ini, Lina dan Yanto menggunakan pengarahan
langsung kepada para bawahannya dalam menularkan pemikirannya kepada para
bawahan.
Lina mengatakan bahwa dirinya selalu berperan sebagai pembimbing dan
pengarah bagi para bawahannya, maka untuk menularkan pemikirannya kepada
bawahan lebih dilakukan dalam komunikasi sehari-hari. Dalam kasus tertentu, Lina
akan menjelaskan secara detail kepada para bawahnnya mengenai seperti apa suatu
tugas harus diselesaikan dan bagaimana ekspektasinya dalam bentuk standar diawal
waktu. Namun dengan berjalannya waktu, untuk mengetahui apakah hal tersebut
berjalan baik atau tidak, dirinya akan melakukan evaluasi secara berkala. Melalui
115
evaluasi tersebut, Lina akan melihat kinerja bawahannya dan dibandingkan dengan
apa yang dijadikan standar dalam bekerja, maka dari situlah akan dapat dilihat
kinerja dari para bawahannya.
Bunga selaku staf yang bekerja dibidang pelayanan publik juga mengatakan
bahwa Lina selalu memberikan penjelasan mengenai SOP (Standard Operating
Procedure) mengenai suatu tugas tertentu sebelum dirinya dilepas dan menjalankan
tugasnya. Misalnya adalah ketika Bunga akan ditugaskan di meja pelayanan, maka
Lina sudah terlebih dahulu melatih dan menjelaskan apa saja yang harus dikerjakan
oleh Bunga dari beberapa hari sebelumnya. Sarwanto juga mengatakan bahwa Lina
seringkali menjelaskan tugas-tugas secara terperinci sebelum dikerjakan, hal
tersebut bertujuan agar bawahannya mengerti mengenai tugas yang akan
dilaksanakan. Selain itu, Bunga juga mengatakan bahwa Lina selalu melakukan
evaluasi secara berkala terhadap kinerja bawahannya. evaluasi tersebut dilakukan
melalui rapat bulanan Kecamatan maupun rapat berkala Seksi Pelayanan Publik.
“biasanya saya setiap akan melaksanakan tugas akan mengumpulkan semua anggota untuk memberikan pengarahan mengenai apa yang harus mereka lakukan. Itu wajib untuk dilakukan.” (Yanto, 52 tahun, Kasi Ketentraman dan Ketertiban)
Tidak jauh dari apa yang dilakukan Lina, Yanto juga selalu memberikan
pengarahan kepada para bawahannya. pengarahan ini dilakukan setiap sebelum
melaksanakan tugas, khususnya untuk tugas-tugas lapangan yang tidak selalu dapat
didampingin oleh Yanto. Melalui pengarahan ini, Yanto berharap para bawahannya
116
dapat mengerti apa yang harus mereka lakukan, apa wewenang mereka, dan apa
yang harus mereka hindari dalam melaksanakan suatu tugas. Dalam pelaksanaan
tugas pun, Yanto lebih sering membiarkan bawahannya untuk dapat bekerja secara
mandiri, dengan harapan mereka dapat berkembang dengan sendirinya. Namun
dibalik itu, Yanto juga tetap melakukan tindakan kontrol apabila terjadi kesalahan
atau kesulitan yang dihadapi bawahannya. Tindakan yang diberikan pun sesuai
dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Misalnya untuk tingkat kesalahan yang
dikarenakan oleh situasi dan kondisi maka Yanto akan memberikan dispensasi,
namun apabila kesalahan itu murni dari bawahan maka teguran dan peringatan
secara pribadi akan diberikan. Namun apabila kesalahan tersebut terjadi berulang,
maka Yanto tidak segan memberikan surat peringatan secara organisasional kepada
bawahannya
Kris mengatakan bahwa dirinya telah dijelaskan apa saja tugas pokok,
wewenang, dan fungsi dari Seksi tersebut, dari awal dirinya bekerja dibawah
kepemimpinan Yanto. Dengan begitu, pada dasarnya setiap staf yang bekerja
dibawah kepemimpinan Yanto sejatinya telah mengetahui apa yang harus mereka
lakukan. Namun, Kris dan Doni juga mengatakan bahwa Yanto selalu memberikan
pengarahan mengenai suatu tugas-tugas tertentu secara spesifik, khususnya tugas-
tugas lapangan. Selain pengarahan, Doni juga mengatakan bahwa atasannya juga
beberapa kali memberikan contoh cara bekerja dengan baik, sehingga dirinya
mengetahui bagaimana standar yang digunakan Yanto dalam bekerja.
Pada dasarnya, Yanto dan Lina memiliki sifat yang direktif dalam
kepemimpinannya, dimana mereka selalu memberikan petunjuk bagi para
117
bawahannya dalam bekerja atau melaksanakan tugas tertentu. Selain memberikan
petunjuk, keduanya juga secara tidak langsung memberikan standar bagaimana
mereka harus bekerja kepada bawahannya, serta mengambil tindakan kontrol atas
hal itu. Namun dalam teknisnya, mereka lebih membebaskan bawahannya dalam
melaksanakan tugasnya, hal ini dimaksudkan agar bawahannya dapat berkembang
secara mandiri.
4.2.2.1.3 Pengembangan
Sebagai seorang pemimpin, selain harus mampu berkomunikasi dengan
baik dan memberikan tugas secara jelas, mengembangkan kemampuan yang
dimiliki oleh bawahan juga sangat diperlukan. Pengembangan kemampuan
bawahan akan sangat berguna untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari
kinerja karyawan, yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya kinerja
organisasi secara keseluruhan. Pengembangan kemampuan juga sangat dibutuhkan
karyawan di era multimedia saat ini, dimana perkembangan teknologi berkembang
sangat pesat, tetntu saja secara tidak langsung akan berdampak pada pekerjaan
mereka. Maka apabila tidak dikembangkan akan menghambat kinerja dari
karyawan itu sendiri. Pada kasus 2 ini, kedua pemimpin memiliki peran vital dalam
pengembangan diri serta kemampuan bawahannya, dan cara yang dipakai kedua
pemimpin ini tidaklah jauh berbeda.
“Kalau untuk ngembangin kemampuan, menurut saya ya yang paling cocok itu ya ikutkan mereka ke pelatihan yang sesuai. Tapi biasanya emang udh ada jadwal dari Pemkot sih kalo untuk pelatihan gitu.” (Lina, 50 tahun, Kepala Seksi)
118
Lina mengatakan bahwa dalam usahanya untuk meningkatkan kemampuan
bawahannya, dia akan merekomendasikan bawahannya untuk mengikuti pelatihan-
pelatihan yang berkaitan dengan tugasnya masing-masing, atau bahkan diluar
tugasnya. Hal tersebut dilakukan agar setiap individu yang bekerja dibawahnya
memiliki kemampuan yang beragam. Namun untuk kasus tertentu, misalnya untuk
mahasiswa yang magang, Lina hanya menjelaskan secara mendalam mengenai SOP
(standard Operating Procedure) pelayanan publik dan memberikan tugas-tugas
yang beragam untuk menambah pengalaman mereka. Bunga juga mengungkapkan
hal yang sama, dimana dirinya kerap diberikan tugas-tugas yang beragam yang
berkaitan dengan pekerjaannya, maupun hal-hal diluar itu, contohnya adalah
mengurusi administrasi. Namun Sarwanto lebih menganggap bahwa contoh-contoh
yang diberikan Lina dalam bekerja pun sudah menjadi acuan tersendiri bagi
bawahannya untuk dapat mengembangkan diri. Menurut Sarwanto, dengan melihat
dan mengadaptasi contoh yang diperlihatkan Lina dalam melaksanakan tugasnya,
sudah menjadi ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan dirinya mengenai suatu hal
tertentu.
Yanto berpendapat bahwa banyak cara yang telah digunakan oleh dirinya
dalam usahanya untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan para
bawahannya. Hal yang paling sederhana untuk mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan bawahan adalah dengan memberi kesempatan kepada bawahan untuk
mengikuti kegiatan-kegiatan tertentu diluar kantor, misalnya rapat di Pemkot
(Pemerintah Kota) atau Kecamatan lain, namun sesuai dengan derajat
119
kemampuannya. Dari situ, bawahan akan memperoleh tambahan informasi terbaru
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tugasnya, sehingga dapat
diimplementasikan dalam pekerjaannya. Selain itu, menurut Yanto pelatihan-
pelatihan yang berkaitan peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia juga
perlu diberikan kepada para bawahannya agar kemampuan mereka dilatih dan
ditingkatkan secara berkala sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.
“saya beberapa kali pernah diminta oleh bapak untuk menghadiri rapat di Pemkot, padahal disitu yang dateng Kasi-kasi dari Kecamatan atau Kelurahan, sedangkan saya hanya staf.” (Doni, 35 tahun, Staf ketentraman dan ketertiban)
Doni juga menyatakan bahwa dirinya beberapa kali diminta untuk mewakili
atasannya untuk menghadiri rapat atau acara yang notabene untuk sekelas para Kasi
(Kepala Seksi). Menurut Doni itu adalah kesempatan yang menarik karena dalam
acara seperti itu terdapat banyak hal baru yang dapat dipelajari olehnya yang
berkaitan dengan tugas dan bagiannya. Sedangkan Kris mengatakan bahwa Yanto
selalu memberikan tugas-tugas yang beragam tidak monoton kepada setiap individu
dibawah kepemimpinannya. Kris menganggap hal tersebut membuat para bawahan
ini dapat merasakan setiap tugas yang ada dan secara tidak langsung memaksa
mereka harus dapat melaksanakan berbagai tugas dengan baik.
Dari penjelasan diatas, dapat kita lihat bahwa kedua pemimpin ini memiliki
peran yang sangat vital dalam pengembangan dan peningkatan kemampuan serta
pengetahuan para bawahannya. kedua pemimpin ini memilih ini memberlakukan
penyebaran tugas kepada setiap individu, sehingga masing-masing individu
120
memiliki pengetahuan yang lebih luas mengenai berbagai pekerjaan. Selain itu,
kedua pemimpin ini juga aktif dalam mengikutkan para bawahannya untuk
mengikuti pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan kemampuan SDM (Sumber
Daya Manusia) yang diadakan Pemkot maupun instansi lainnya yang terkait. Hal
tersebut tentu saja dapat berdampak positif dalam pengembangan diri dan
kemampuan para bawahannya.
4.2.2.2 Efektivitas Kepemimpinan
4.2.2.2.1 Encouragement
Dalam sebuah organisasi, seorang pemimpin harus dapat bekerja dan
memimpin secara efektif agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan maksimal.
Salah satu hal yang harus dapat dilakukan oleh seorang pemimpin yang efektif
adalah dapat mendorong bawahannya untuk bekerja dengan lebih keras atau lebih
maksimal. Dorongan ini dapat berbentuk banyak hal, misalnya saja insentif apabila
bawahan melakukan hal yang dianggap prestasi, memberikan tekanan dalam
bekerja agar bawahan dapat bekerja lebih keras, atau memberikan standar tertentu
yang harus dilampaui oleh bawahan dalam bekerja.
Dalam kasus 2 ini, kedua pemimpin memiliki cara yang berbeda dalam
usahanya untuk membuat para bawahannya bekerja dengan lebih keras. Lina
(pemimpin perempuan) lebih memilih untuk memberikan pendekatan yang lebih
‘halus’ kepada bawahannya untuk dapat mencapai titik tertentu dalam bekerja.
Sedangkan Yanto secara terbuka menyatakan kepada bawahannya bahwa dirinya
menginginkan mereka untuk bekerja lebih keras dengan berbagai cara.
121
“Kalau menurut saya sih, bawahan saya sudah bekerja sangat baik ya. Jadi gaperlu lagi ditekan atau disuruh-suruh. Sudah pada ngerti tugasnya masing-masing.” (Lina, 50 tahun, Kepala Seksi)
Lina menganggap sejauh ini bawahannya telah bekerja dengan maksimal
dan sesuai dengan apa yang diharapkan dirinya, sehingga tindakan-tindakan untuk
memacu bawahan untuk bekerja lebih keras tidak perlu dilakukan. Namun dalam
penjelasana sebelumnya, Lina mengungkapkan bahwa seorang PNS (Pegawai
Negeri Sipil) memiliki sistem insentif yang sudah terkontrol secara organisasi
secara keseluruhan, namun atasan memiliki hak untuk memberikan penilaian
melalui sistem tersebut. Secara tidak langsung, apabila bawahan ingin mendapat
insentif lebih, maka mereka harus dapat ‘mengambil hati’ atasannnya dengan
bekerja lebih keras. Misalnya saja dengan selalu datang lebih pagi dari atasan,
menyelesaikan tugas sebelum deadline, atau tindakan-tindakan lain yang dapat
menarik perhatian atasan. Namun tindakan tersebut bukanlah tindakan yang
dilakukan secara pribadi oleh Lina dalam usahanya untuk membuat bawahan
bekerja dengan lebih keras.
Namun disisi lain, yanto menggunakan berbagai cara agar bawahannya
dapat bekerja lebih keras. Yanto mengatakana bahwa dirinya sesekali memberi
contoh dengan mengajak bawahannya untuk bekerja bersama, agar bawahannya
dapat melihat bagaimana cara kerjanya, dan bagaimana ekspektasinya terhadap
bawahan. Selain itu, Yanto juga secara berkala melakukan kunjungan dengan
tujuan benchmarking atau pembandingan ke Kecamatan-kecamatan lain untuk
122
membuka wawasan para bawahannya tentang bagaimana seharusnya mereka
bekerja. Dan yang paling penting, Yanto tidak segan menegur dan mengingatkan
bawahannya secara pribadi atau kedinasan ketika bawahannya bekerja dengan tidak
memuaskan. Tetapi Yanto juga tidak lupa memberitahukan apa saja keuntungan-
keuntungan dan timbal-balik apabila bawahannya dapat bekerja sesuai
ekspektasinya atau bahkan diatas itu. Hal-hal tersebut tentu saja membuat bawahan
yanto akan selalu merasa terpacu untuk bekerja dengan lebih baik lagi dan lagi.
“kalau bapak itu orangnya tegas, kalau kerjanya gak bener biasanya langsung ditegur, dibilangin. Terus diingetin terus biar gak ngelakuin kesalahan yang sama.” (Kris, 30 tahun, staf Ketentraman dan ketertiban)
Pernyataan Yanto tersebut juga diakui oleh kedua orang bawahannya, Doni
mengatakan bahwa Yanto adalah orang yang sangat profesional dalam bekerja.
Doni mengatakan bahwa Yanto selalu memberi contoh yang baik, memberikan
standar serta ekspektasi tertentu yang harus dirinya penuhi dalam bekerja. Lalu,
ketika Doni tidak berhasil memenuhi ekspektasi tersebut, maka dirinya akan ditegur
oleh atasannya tersebut. Kris juga mengatakan hal yang demikian, Kris
menganggap bahwa atasannya adalah pemimpin yang mampu memberikan contoh
yang baik dalam bekerja. Disamping itu, Kris mengungkapkan bahwa Yanto selalu
terbuka apabila tidak puas terhadap pekerjaan Kris, dan akan diberikan teguran.
Contohnya adalah ketika Kris ditugaskan untuk menyebar surat ke kelurahan, tetapi
ternyata terdapat beberapa kelurahan yang tidak mendapat surat tersebut karena
Kris lupa untuk menyampaikannya, maka keesokan hariny Kris langsung
123
mendapatkan teguran keras dari Yanto. Keduanya menganggap cara-cara yang
digunakan Yanto dalam memimpin sangat efektif dalam mendorong mereka untuk
bekerja dengan lebih baik lagi.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kedua pemimpin ini memiliki
cara yang berbeda dalam usaha meningkatkan kinerja para bawahannya. Contoh-
contoh cara kerja yang dipertunjukkan Lina kepada bawahannya memang akan
memberi gambaran bagaimana ekspektasi yang diberikan kepada bawahannya,
tetapi hal tersebut tidak dapat menjamin bahwa bawahannya akan bekerja keras
untuk mencapai ekspektasi tersebut. Disisi lain, Yanto secara lengkap memberikan
contoh dari internal maupun eksternal organisasi untuk memacu bawahannya dalam
bekerja lebih keras. Selain itu Yanto juga memberikan sistem punishment and
reward kepada para bawahannya agar mereka tetap menjaga dan terus
meningkatkan kinerjanya.
4.2.2.2.2 Fulfillment
Sebagai pemimpin di sebuah organisasi tertentu, tentu banyak hal yang
harus dipenuhi oleh pemimpin tersebut. Tuntutan tersebut dapat datang dari
organisasi dalam bentuk tugas-tugas untuk mencapai tujuan organisasi, dan juga
dapat datang dari kebutuhan bawahan yang dipimpin. Dalam pemenuhan tuntutan
tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, berbagai cara perlu dilakukan
oleh seorang pemimpin untuk memastikan seluruh kebutuhan tersebut terpenuhi
dengan maksimal. Kerena dengan pemenuhan kebutuhan tersebutlah dapat
ditentukan apakakah visi dan misi organisasi dapat tercapai atau tidak.
124
Dari hasil wawancara yang dilakukan dalam kasus 2 ini, secara keseluruhan
kedua pemimpin ini dianggap telah dapat memenuhi kebutuhan organisasi maupun
kebutuhan bawahan. Secara garis besar, kedua pemimpin telah berhasil memenuhi
Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) yang diberikan organisasi kepadanya. Hal
tersebut ditunjukkan dengan sudah terlaksananya berbagai tugas dengan baik.
Disisi lain kedua pemimpin ini juga sudah mampu memenuhi kebutuhan bawahan
secara umum. Kedua pemimpin ini sudah berusaha mengakomodir segala hal yang
dibutuhkan oleh bawahan dari segi pribadi maupun kinerja.
Untuk memenuhi kebutuhan organisasi, Lina sebagai pemimpin perempuan
telah berusaha memenuhi semua hal yang ditugaskan organisasi dan atasannya
secara maksimal. Lina mengatakan sejauh ini dirinya sudah berusaha memenuhi
fungsi bagiannya di Kecamatan yang telah tersemat dalam Perda (Peraturan
Daerah), serta memenuhi segala Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) yang
dilimpahkan kepadanya. Diluar itu, Lina juga berusaha selalu memenuhi apapun
yang atasannya (Camat) perintahkan kepadanya. Hal tersebut juga diakui oleh
Sarwanto (staf) yang mengatakan bahwa tugas sebagai Kasi Pelayanan Publik itu
sangat banyak dan kompleks, namun sejauh ini Lina sudah bisa melaksanakannya
dengan baik. Bunga juga sependapat tentang hal itu, dimana dirinya mengatakan
bahwa atasannya selalu dapat menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan
dengan pelayanan publik dengan baik. Menurut Bunga, masalah seperti warga yang
emosional atau warga yang tidak puas dengan pelayanan Kecamatan adalah
masalah yang sering muncul dalam hal pelayanan publik, namun Lina selalu
125
berhasil mencari solusi atas hal tersebut dengan langsung menghadapi warga
tersebut secara pribadi.
“biasanya aku kalau gatau tentang sesuatu, langsung nanya sama Ibu. Beliau gak marah walau sering ditanya ini itu. Orangnya santai dan baik banget, gak membedakan siapaun.” (Bunga, 20 tahun, staf pelayanan publik)
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan bawahan, Lina juga sudah berusaha
membangun hubungan interpersonal yang baik dengan para bawahannya dan
memberikan seluruh hal yang dibutuh oleh bawahan dalam bekerja. Kebutuhan itu
diantaranya adalah penjelasan mengenai tugas, pemberian reward, hingga
pemenuhan kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan bawahan. Bunga
menguatkan hal itu dengan berpendapat bahwa Lina selalu memenuhi segala
kebutuhan informasi, kemampuan, dan penjelasan yang dibutuhkannya dalam
menjalankan tugasnya di Kecamatan. Selain itu, Sarwanto juga berpendapat bahwa
Lina adalah pemimpin yang mampu dekat dengan para bawahannya secara pribadi
dan profesional. Dekat secara pribadi dan profesional maksudnya adalah dimana
Lina mampu membangun ikatan dan ketergantungan dengan para bawahannya
dalam hal pekerjaan maupun hal-hal diluar itu. Misalnya, Kecamatan juga
mempunyai kelompok arisan yang berisikan anggota organisasi, dan dilingkup
tersebut Lina juga dapat membangun hubungan yang baik diluar urusan pekerjaan.
Tidak jauh berbeda dengan Lina, Yanto juga sudah berusaha memenuhi
kebutuhan organisasi dengan melaksanakan segala tugas dan fungsi yang diberikan
kepadanya dan bagiannya. Selain memuhi segala hal tersebut, dirinya juga telah
126
mendedikasikan dirinya agar organisasinya memiliki kualitas yang lebih baik dari
sebelumnnya dengan memberikan hal-hal yang baru. Yanto mengatakan bahwa
dirinya telah mencotohkan cara kerja baru kedalam organisasinya agar dapat
bekerja lebih efektif, namun tetap manusiawi. Doni dan Kris sebagai bawahannya
juga berpendapat bahwa Yanto sudah melaksanakan seluruh fungsinya dengan
baik, diruangan maupun dilapangan. Bahkan, bawahannya menganggap Yanto
terus mengembangkan kinerja bagiannya dengan mengkomunikasikan keadaan
dilapangan kepada Camat, agar dapat menjadi evaluasi bagi Kecamatan
kedepannya.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan bawahan, Yanto juga telah
melakukan semaksimal mungkin dengan membangun hubungan yang baik secara
formal maupun informal, mengembangkan bawahan secara skill maupun pribadi,
dan selalu memberikan contoh kinerja yang efektif namun tetap manusiawi. Sikap
profesionalitas dalam pekerjaan merupakan hal yang paling disukai Kris dari
kepemimpinan Yanto, karena dari sikap itulah Dirinya menganggap Yanto dapat
memenuhi kebutuhan dari para bawahannya. Kris menganggap contoh kerja yang
diperlihatkan Yanto membuat dirinya dapat terus berkembang karena standar kerja
tinggi yang diterapkan Yanto. Sedangkan Doni menganggap bahwa Yanto dapat
berlaku adil terhadap para bawahannya dalam hal pekerjaan, karena beliau
menerapkan sistem reward and punishment, serta memberikan jalan bagi para
bawahannya untuk terus bekembang secara pribadi maupun skill.
“Bapak orangnya profesional banget sih, aku suka banget cara kerja beliau. Tau caranya untuk memperlakukan bawahan
127
secara baik, tapi juga ngedorong untuk bekerja lebih keras.” (Kris, 30 tahun, Staf)
Dari paparan diatas, dapat dilihat bahwa kedua pemimpin ini telah berusaha
semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan kebutuhan para
bawahannya. segala hal telah mereka lakukan untuk memastikan bagiannya dapat
bekerja dengan maksimal, dari pemenuhan tugas pokok dan fungsi, hubungan
dengan bawahan, hingga pengembangan kemampuan bawahan. Semua hal tersebut
mereka lakukan dalam usahanya untuk membuat organisasi terus berkembang
kearah yang positif.
4.2.2.3 Tantangan
4.2.2.3.1 Tantangan Pekerjaan
Memimpin suatu organisasi atau suatu bagian dari sebuah organisasi
tertentu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Banyak hal yang harus
dipikirkan serta dipenuhi oleh seorang pemimpin untuk memastikan visi dan misi
organisasi dapat tercapai. Dalam usaha pencapaian visi dan misi organisasi juga
bukanlah hal yang mudah, karena akan terdapat banyak tantangan yang harus
dilewati oleh seorang pemimpin. Tantang tersebut dapat berasal dari berbagai sisi
dari kepemimpinan itu sendiri, misalnya pekerjaan, hubungan dengan bawahan atau
rekan kerja, atau bahkan dari keluarga. Namun sebagai seorang pemimpin yang
baik, segala tantangan tersebut harus dapat dilewati dan diatasi dengan baik.
Apabila dilihat dari hasil wawancara yang telah dilakukan dalam kasus 2
ini, kedua pemimpin ini juga memiliki beberapa tantangan dalam
128
kepemimpinannya. Dalam hal ini, tantangan yang pertama adalah tantangan
pekerjaan. Kedua pemimpin ini mendapat tantangan yang dianggap berarti dari
tugas dan fungsi mereka di organisasi, namun dalam hal yang berbeda. Bila Lina
berkutat dengan kuantitas pekerjaan, Yanto lebih menitik beratkan pada hal-hal
yang berada diluar wewenangnya.
Lina mengatakan setiap Seksi di Kecamatan memang memiliki tugas pokok
dan fungsi masing-masing yang harus dipenuhi, dan dengan kuantitas serta tingkat
kesulitan yang beragam. Namun dirinya menganggap bahwa sektor pelayanan
publik adalah bagian yang memiliki tugas dengan kuantitas lebih dibandingkan
dengan bagian lainnya. Hal ini dikarenakan salah satu fungsi Kecamatan adalah
untuk melayani masyarakat yang berkaitan dengan kependudukan dan segala seluk-
beluknya. Maka tidak heran apabila sektor pelayanan publik memiliki tugas pokok
dan fungsi yang lebih dibanding bagian lainnya.
Selain dalam hal kuantitas, dari segi kualitas pun, tugas-tugas dari sektor
tersebut tidak dapat dianggap mudah, karena setiap harinya akan ‘beresentuhan’
langsung dengan masyarakat dengan berbagai sifat dan karakternya serta
kebutuhannya. Ditambah lagi, diluar Tupoksi yang telah ditentukan oleh
Kecamatan, sektor ini kerap mendapat tugas tambahan langsung dari Pemerintah
Kota Semarang, yang tentu saja juga harus diselesaikan. Contohnya adalah ketika
terdapat aplikasi terbaru dalam bidang pelayanan publik, Lina dan bagiannya
diminta untuk melakukan penyuluhan ke kelurahan-kelurahan yang berada dalam
wilayah tugas Kecamatan. Maka bagi Lina, banyaknya dan sulitnya tugas-tugas
tersebut merupakan suatu tantangan tersendiri bagi dirinya.
129
“kita itu susahnya kalau harus mengamankan masyarakat atau PKL (Pedagang Kaki Lima). Kadang mereka itu keras kepala, bikin emosi. Kadang juga ada yang kasian banget, kadang gak tega juga. Tapi Namanya tugas, ya harus dilaksanakan.” (Yanto, 52 tahun, Kasi Ketentraman dan Ketertiban)
Sedangkan bagi disisi lain, Yanto sebagai Kepala Seksi Keamana dan
ketertiban bersama para bawahannya lebih banyak bekerja diluar lapangan yang
mana harus bersentuhan langsung dengan masyarakat. Karena tugasnya yang lebih
banyak berhubungan dengan masyarakat, Yanto mengatakan bahwa dirinya lebih
tahu apa yang terjadi lapangan dibandingkan dengan atasannya. Seringkali dirinya
mengkomunikasikan keadaan dilapangan kepada atasannya dan menyarankan
berbagai hal baru yang mungkin dapat menjadi solusi permasalahan di lapangan.
Namun, tidak semua saran tersebut diterima oleh atasannya, dan mengakibatkan
dirinya tidak dapat bergerak fleksibel untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Menurut Yanto, hal-hal diluar wewenangnya tersebutlah yang terkadang menjadi
tantangan tersendiri dalam kepemimpinannya.
Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa masing-masing pemimpin
memiliki masalah atau tantangan yang berbeda, bahkan dari sudut pandang yang
sama. Namun diluar tantangan tersebut, hal yang lebih penting adalah bagaimana
para pemimpin ini dapat mengatasi tantangan yang ada. Untuk kasus Lina, dirinya
berusaha mengatasi banyaknya tugas tersebut dengan memberikan tingkat prioritas
agar mengetahui mana tugas yang harus diselesaikan terlebih dahulu. sedangkan
untuk kasus Yanto, dirinya tidak dapat berbuat apapun mengenai masalah yang
130
dihadapinya, karena memang hal tersebut diluar wewenangnya untuk memutuskan
sesuatu.
4.2.2.3.2 Tantangan Kepemimpinan
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tantangan kepemimpinan dapat datang
dari pekerjaan, hubungan internal atau eksternal organisasi, dari keluarga, atau
bahkan datang dari kepemimpinan itu sendiri. Yang dimaksud tantangan yang
datang dari kepemimpinan itu sendiri adalah tantangan yang datangnya dari proses
memimpin orang dan sebagai seorang pemimpin. Tantangan ini bisa datang proses
memimpin seseorang atau organisasi, misalnya dalam membuat pandangan
kedepan organisasi, pengembangan kemampuan bawahan, dan lainnya. Setelah
melakukan wawancara, dalam kasus 2 ini kedua pemimpin ini mengalami
tantangan yang ternyata terjadi dari proses kepemimpinannya sendiri. Namun
apabila dilihat lebih dalam lagi, tantangan yang dialami oleh kedua pemimpin ini
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan tantangan keduanya adalah
berhubungan dengan masa depan organisasi.
“Soalnya saya kebanyakan staf yang kerja praktek ya, yang tetap cuma dikit. Jadi susah gitu kalo mau dipilih dan dilatih untuk masa depan. Pilihannya terbatas.” (Lina, 50 tahun, Kepala Seksi)
Dalam kasus yang dihadapi oleh Lina, dirinya mengatakan belum puas
dengan kepemimpinannya karena tidak dapat mendidik secara langsung orang-
orang yang dianggapnya memiliki kemampuan lebih. Orang-orang ini sebenarnya
131
akan Lina proyeksikan untuk dapat menggantikan posisinya atau siap untuk
ditempatkan diposisi yang setingkat dengan dirinya dimasa depan. Lina
mengatakan bahwa tantangannya adalah tantangan kaderisasi. Hal tersebut
dikarenakan saat ini dirinya hanya memiliki satu staf yang khusus bekerja dibawah
arahannya. Sedangkan dalam tugas sehari-hari Lina lebih banyak berinteraksi
dengan mahasiswa yang magang di Kecamatan, yang ditugaskan untuk sektor
pelayanan publik. Lina tidak bisa mengkader mereka, karena mahasiswa magang
ini sifatnya hanya temporer dan cenderung singkat, hanyak 2 sampai 3 bulan. Hal
tersebut sangan disesalkan oleh Lina, karena menurutnya dengan sistem kaderisasi
akan dapat menjaga atau bahkan mengembangkan kualitas sektor pelayan publik
khususnya.
“menurut saya, tantangan yang paling susah itu untuk menjadi pemimpin yang mampu berpikir kedepan, mampu membuat visi dan misi yang memenuhi kebutuhan masyarakat.” (Yanto, 52 tahun, Kasi Ketentraman dan Ketertiban)
Berbeda dengan Lina, Yanto mengatakan bahwa tantangan sesungguhnya
dari sebuah kepemimpinan itu adalah bagaimana untuk menjadi pemimpin yang
visioner, mampu mebuat visi dan misi organisasi untuk memenuhi kebutuhan
organisasi dan masyarakat, serta mengembangkan organisasi secara terus-menerus.
Dalam hal ini, menurutnya untuk menjadi pemimpin yang memilik pandangan
kedapan adalah bukan hal yang mudah, tetapi sangat diperlukan. Dengan pemikiran
yang visioner, maka akan terwujudlah visi dan misis organisasi yang mengacu pada
masa depan, bukan hanya dengan saat ini. Menurutnya, visi dan misi untuk
132
organisasi yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat, tentu saja harus dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan yang terakhir, dengan menjadi pemimpin
yang visioner, akan dapat membawa perkembangan yang positif bagi organisasi
secara keseluruhan.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa kedua pemimpin memiliki
sudut pandang yang tidak jauh berbeda, yaitu keduanya lebih memikirkan keadaan
organisasi dimasa yang akan datang. Namun perbedaannya, Lina hanya berfokus
pada sumber daya manusianya, sedangkan Yanto lebih befikir secara organisasi
secara keseluruhan.
4.2.2.4 Rangkuman
Dalam kasus ke-2 ini, juga terdapat tiga hal yang dapat dijadikan sebuah
kesimpula. Ketiga hal tersebut adalah dari sisi gaya kepemimpin, efektivitas
kepemimpinan, dan juga tantangan. Secara umum tidak banyak hal yang berbeda
dari rangkuman di kasus 2 ini dibanding dengan kasus 1, namun tetap terdapat
beberapa perbedaan.
Dari sisi gaya kepemimpinan, terdapat tiga poin inti yang didapat dari hasil
penelitian, yaitu; komunikatif, direktif dan juga pengembangan. Secara detail kedua
pemimpin dalam kasus 2 ini menggunakan pendekatan yang berbeda, tetapi
outcome yang mereka berikan dalam kepemimpinnya tidak jauh dari tiga poin
tersebut. Namun, bila dilihat dari Full Ranged Leadership Theory (FLTR) kedua
pemimpin ini memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Lina sebagai pemimpin
perempuan lebih memiliki gaya kepemimpinan yang cenderung kepada
133
transformasional Individualized Consideration. Hal tersebut karena Lina lebih baik
dalam membangun hubungan interpersonal dengan para bawahannya dan
memperhatikan bawahannya secara personal, serta memberikan empati lebih
terhadap apa yang dihadapi bawahannya. sedangkan Yanto memiliki gaya
kepemimpinan yang cenderung transaksional Contingent Reward. Hal tersebut
ditandai dengan kepemimpinannya yang lebih terbuka mengenai ekspektasi kerja,
memandu perkembangan bawahannya, serta tidak ragu dalam memberikan timbal-
balik terhadap apa yang dilakukan oleh bawahannya.
Dari sudut pandang efektivitas, kedua pemimpin ini mendapat pengakuan
bahwa mereka telah efektif dalam memimpin para bawahannya. walaupun secara
detail, banyak hal-hal berbeda secara teknis yang dilakukan oleh kedua pemimpin
ini. Namun, secara umum apa yang mereka lakukan berujung pada encouragement
atau dorongan dan fulfillment atau pemenuhan. Dalam kasus 2 ini, kedua pemimpin
selalu mendorong bawahannya untuk dapat bekerja secara mandiri, namun selalu
mendorong para bawahannya untuk terus berkembang secara kemampuan dan
pribadi melalui treatment yang mereka berikan. Selain itu, keefektivitasan
kepemimpinan kedua pemimpin ini juga didukung oleh usahanya dalam memenuhi
kebutuhan bawahan dan organisasi secara umum.
Lalu yang terakhir, dari sudat pandang tantangan kepemimpinan, secara
umum kedua pemimpin ini menghadapi tantangan yang datang dari hal yang sama.
Tantangan yang dihadapi kedua pemimpin ini datang dari sisi pekerjaan dan
kepemimpinannya itu sendiri. Bagi Lina kuantitas dan kualitas tugas yang harus
diselesaikan oleh bagiannya merupakan salah satu tantangan tersendiri bagi dirinya.
134
Sedangkan Yanto menghadapi masalah apabila terdapat pekerjaan yang dianggap
harus diselesaikan namun hal tersebut berada diluar wewenangnya. Namun
tantangan yang dialami oleh kedua pemimpin ini dari sisi kepemimpinan lebih
bermuara pada bagaimana cara untuk mempertahankan dan memberikan kualitas
terbaik bagi organisasi dimasa depan.
4.3 Diskusi
4.3.1 Apakah terdapat perbedaan gaya kepemimpinan antara Pemimpin
laki-laki dan pemimpin perempuan?
Secara umum, dalam penelitian ini menemukan beberapa dimensi dari gaya
kepemimpin yang dianggap paling penting oleh para narasumber. Terdapat
beberapa persamaan dan perbedaan yang didapati penelitian ini dari para
narasumber. Yang pertama adalah komunikatif, dimensi ini dianggap penting
karena merupakan dasar dari hubungan antara bawahan dan atasan. Pemimpin
perempuan dan laki-laki dalam penelitian ini memakai pendekatan formal dan
informal dengan para bawahannya. Penelitian ini menemukan bahwa pemimpin
perempuan lebih cenderung memakai pendekatan informal dibanding formal untuk
mendekatkan diri para bawahannya.
Komunikasi yang dikapai pemimpin perempuan lebih pada komunikasi
interpersonal, dengan memberikan perhatian lebih terhadap para bawahan, dengan
cara ini bawahan merasa memiliki kedekatan lebih dengan para atasannya.
Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan
bahwa pemimpin perempuan lebih simpatik, peka, dan rela berkorban (Li Kusterer
135
et al., 2013). Sedangkan pemimpin laki-laki lebih memilih memadukan antara
hubungan formal dan informal. Pemimpin laki-laki akan memakai pendekatan
informal untuk membangun kedekatan dengan para bawahan, sedangkan hubungan
formal untuk mendukung hubungan mereka dengan bawahan dalam menjalankan
tugas. Dengan memadukan antara kedua pendekatan ini akan membangun
kedekatan dengan para bawahan, tetapi tetap memiliki sisi tegas dalam
kepemimpinannya. Dengan memadukan hubungan ini, bawahan akan lebih dapat
menghormati para pemimpin laki-laki dalam penelitian ini.
Dimensi gaya kepemimpinan kedua yang ditemukan dalam penelitian ini
adalah suportif. Sifat suportif ini sangat diperlukan dalam kepemimpin, karena
dengan sikap ini pemimpin akan dapat menunjukkan rasa menghargai bawahan dan
sebaliknya, bawahan akan merasa sangat dihargai oleh atasannya. Dalam penelitian
ini mayoritas dari keempat pemimpin menggunakan cara yang tidak jauh berbeda,
yaitu menunjukknya sikap suportifnya secara langsung kepada bawahan. Suportif
atau sikap dukungan yang diberikan para pemimpin ini ditunjukan melalui verbal
maupun tindakan. Pemimpin-pemimpin ini tidak segan untuk memuji bawahnnya
secara langsung atau bahkan memberikan insentif lebih ketika bawahannya bekerja
dengan baik, namun juga tidak ragu untuk mengomentari secara positif apabila
bawahannya melakukan kesalahan. Pemimpin-pemimpin secara aktif menunjukkan
bahwa mereka menghargai apa yang dilakukan bawahannya, dan juga tidak
menolak untuk memberikan tindakan perbaikan, untuk kebaikan bawahannya
dimasa yang akan datang. Dalam dimensi ini tidak ditemukan perbedaan yang
berarti dari kepemimpinan pemimpin laki-laki maupun perempuan.
136
Selain suportif, ternyata penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat sisi
empati didalam kepemimpinan para pemimpin ini. Mayoritas dari pemimpin yang
dijadikan objek utama penelitian ini (tiga dari empat pemimpin) memiliki empati
yang tinggi terhadap para bawahannya. Mereka bersikap lebih peduli pada
bawahannya dalam hal formal maupun informal, dalam pekerjaan maupun diluar
pekerjaan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya pada Alonso-Almeida
& Bremser (2015). Penelitian ini menemukan bahwa pemimpin perempuan lebih
aktif dalam menunjukkan sifat empatinya kepada para bawahannya. Sikap empati
ini terbukti sangat berarti bagi bawahan karena mereka merasa lebih dihargai dan
diperhatikan oleh atasannya. Dibalik itu, pemimpin laki-laki juga memiliki sifat
empati, namun tidak secara jelas ditunjukkan kepada para bawahannya dalam
keseharian. Melalui sikap empati ini pula, pemimpin dapat menunjukkan bahwa
mereka tidak hanya memikirkan sisi formal dari bawahannya, tetapi juga sisi
kebutuhan pribadi dari bawahannya.
Disamping memiliki empati, pemimpin yang dijadikan objek dalam
penelitian ini secara umum memiliki sifat direktif. Yang dimaksud dengan
kepemimpinan yang bersifat direktif dalam penelitian ini adalah para pemimpin ini
selalu memberikan instruksi yang jelas mengenai tugas-tugas yang harus dikerjakan
oleh para bawahannya. penelitian ini menemukan pemimpin laki-laki maupun
perempuan selalu memberikan tugas dan petunjuk secara jelas kepada bawahannya,
dan tidak hanya menunggu bawahan bertanya atau bahkan menganggap bawahan
mengetahui serta mengerti tugasnya masing-masing. Namun penelitian ini
menemukan bahwa para pemimpin laki-laki lebih banyak memberikan contoh agar
137
para bawahan dapat mengerti apa yang harus mereka lakukan. Dengan petunjuk
yang jelas dari atasan, bawahan pun merasa jelas mengenai apa yang harus mereka
lakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Hal tersebut juga telah
disebutkan dalam penelitian sebelumnya bahwa pemimpin laki-laki memiliki sifat
mengatur, percaya diri dan lebih tegas (Li Kusterer et al., 2013). Singkatnya,
dengan sikap direktif yang dimiliki oleh atasannya, membuat bawahan mengerti
seperti apa ekspektasi atasa terhadap pekerjaannya. Sehingga penelitian ini tidak
menemukan perbedaan yang siginifikan dalam dimensi ini didalam kepemimpinan
laki-laki dan perempuan.
Dimensi gaya kepemimpinan lainnya yang ditemukan oleh penelitian ini
adalah pengembangan. Pengembangan dalam penelitian ini maksudnya adalah
para pemimpin yang dijadikan objek penelitian memiliki keinginan untuk
mengembangkan bawahannya. pengembangan yang dilakukan oleh atasan ini
meliputi kemampuan dan juga secara pribadi. Tidak terdapat perbedaan yang
signifikan dari cara yang ditempuh oleh keempat pemimpin ini untuk
mengembangkan bawahannya secara kemampuan maupun pribadi. Secara umum,
para pemimpin ini akan merekomendasikan bawahannya untuk mengikuti suatu
pelatihan yang berkaitan dengan bidang kerjanya, serta memberikan pekerjaan yang
beragam kepada bawahannya agar memiliki pengetahuan yang luas mengenai
bidang kerjanya. Tetapi pendekatan secara personal juga dilakukan oleh mayoritas
pemimpin dalam penelitian ini untuk mengembangkan sisi pribadi dari
bawahannya. hal tersebut tentu saja berdampak sangat positif terhadap masa depan
bawahan.
138
Dari kelima sikap dalam kepemimpinan yang dijelaskan diatas, maka
penelitian ini dapat menarik sebuah kesimpulan yang lebih mendalam. Dari dua
pemimpin laki-laki dan dua pemimpin perempuan ini, secara umum
mempraktekkan dan memperlihatkan kecenderungan memeliki gaya
kepemimpinan yang lebih Transformasional. Hal ini sejalan dengan pendapat
penelitian terdahulu yang mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan gaya
kepemimpinan dengan gender pemimpin (Wells et al., 2014). Hal tersebut dapat
dilihat dari dimensi-dimensi yang para pemimpin bawa kepada masing-masing
bawahannya. Secara khusus, keempat pemimpin ini mempratekkan kepemimpinan
yang mengacu pada Individualized Consideration, dimana para pemimpin ini
memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan para bawahannya, berempati
pada kebutuhannya, serta secara aktif mendorong bawahan untuk berkembang
(Barbuto & Cummins-Brown, 2007).
Berkaitan dengan hal diatas, hanya satu pemimpin laki-laki yang
memadukan gaya kepemimpinan transformasional (Individualized
Consideration) dengan gaya kepemimpinan Transaksional, lebih spesifik lagi
Contingen Rewards, karena pemimpin tersebut secara jelas menggambarkan
ekspektasinya terhadap bawahan, memberikan penghargaan secara terbuka, serta
secara tidak langsung mengaplikasikan ‘transaksi’ antara bawahan dan atasan yang
bersifat membangun (Barbuto & Cummins-Brown, 2007). Maka apabila dilihat
secara umum, tidak terdapat perbedaan yang berarti dari gaya kepemimpinan yang
dipakai atau diterapkan oleh para pemimpin perempuan maupun laki-laki didalam
penelitian ini, hanya perbedaan dalam penerapannya saja. Hal tersebut sejalan
139
dengan pernyataan bahwa pemimpin perempuan dan laki-laki secara umum
memiliki persamaan dalam strategi kepemimpinannya (Alonso-Almeida &
Bremser, 2015).
4.3.2 Bagaimana persepsi efektivitas gaya kepemimpinan pemimpin laki-
laki dan pemimpin perempuan pada organisasi pemerintah?
Pada bab sebelumnya, telah diljelaskan beberapa hal yang menjadi bagian
dari efektivitas kepemimpinan dari perspektif, diantaranya ialah; communication,
leader assist & supports, leader listens to employees, dan staff development
(Muchiri et al., 2011). Berdasarkan hasil wawancara, penelitian ini menemukan
beberapa poin yang tekankan dari efektivitas kepemimpinan para pemimpin dari
kasus 1 dan kasus 2. Beberapa dari poin tersebut adalah Involvement, motivation &
encouragement, dan Fullfilment.
Pada poin involvement atau keterlibatan, dalam penelitian ini maksudnya
adalah keterlibatan pemimpin dalam kepemimpinan terhadap bawahan, serta
kesediaan pemimpin untuk melibatkan bawahannya. Dalam hal ini, mayoritas dari
keempat pemimpin dari 2 kasus dalam penelitian ini selalu berusaha melibatkan
diri dalam penugasan yang diberikan kepada bawahannya, meskipun terdapat
beberapa perbedaan dalam teknisnya. Para pemimpin dalam hal ini memberi contoh
kepada bawahan, mendampingi bawahan dalam penugasan, serta berkomunikasi
secara baik dengan para bawahan. Disamping itu, keempat pemimpin ini (laki-laki
maupun perempuan) dinilai tidak ragu dalam melibatkan bawahan dalam keputusan
yang mereka ambil. Keempat pemimpin ini tidak ragu meminta pertimbangan dari
140
bawahan atau memakai pendapat bawahan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Penemuan tersebut sejalan penelitian terdahulu yang mengatakan bahwa pemimpin
yang efektif adalah yang mampu membangun komunikasi yang baik dengan
bawahannya dan memiliki sikap rendah hati untuk menerima masukan (Muchiri et
al., 2011). Dalam poin ini, aspek communication dan leader listens to employees
telah dipebuhi oleh keempat pemimpin ini.
Poin selanjutnya yang ditemukan penelitian ini adalah motivation dan
encouragement. Dalam penelitian ini, maksudnya adalah keempat pemimpin yang
dijadikan objek utama penelitian telah selalu berusaha memberikan motivasi dan
mendorong bawahan untuk selalu bekerja dengan lebih baik dan lebih keras. Hal
tersebut juga sudah dikemukakan dalam penelitian sebelumnya, bahwa pemimpin
yang baik harus dapat memberikan motivasi dan inspirasi bagi para bawahannya
(Muchiri et al., 2011). Motivasi dan dorongan yang diberikan atasan ini dapat
berbentuk formal maupun informal. Dalam kasus 1 dorongan diberikan dengan
memberikan inspirasi secara informal dan pendampingan tugas, sedangkan dalam
kasus 2 berbentuk insentif dan tekanan dalam kerja.
Namun dalam hal tertentu, pemimpin laki-laki dinilai lebih baik dalam
mendorong bawahannya untuk bekerja lebih karena karena memiliki sifat yang
lebih tegas. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
mengatakan bahwa pemimpin laki-laki memiliki karakteristik agentic yang
memiliki sifat tegas (Li Kusterer et al., 2013). Hal ini tentu saja akan membuat
bawahannya lebih bersemangat dalam bekerja dan juga bekerja dengan keras untuk
141
memenuhi ekspektasi atasan. Dalam poin ini, aspek leader assist & support telah
dipenuhi oleh keempat pemimpin ini, namun dengan caranya masing-masing.
Dan poin terakhir yang didapatkan oleh penelitian ini adalah fulfillment
atau pemenuhan. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah usaha keempat pemimpin
ini untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan bawahan. Kebutuhan bawahan ini
mencakup hubungan, komunikasi, hingga pengembangan diri dan kemampuan.
Penelitian ini menemukan bahwa keempat pemimpin dalam penelitian ini dianggap
telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut oleh bawahannya, terutama dalam
pengembangan diri dan kemampuan. hal tersebut berbanding lurus dengan
penelitian terdahulu yang mengatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah
pemimpin yang mampu memberika pelatihan yang mumpuni dan mendorong
mereka untuk terus berkembang (Muchiri et al., 2011). Berbagai cara digunakan
oleh para pemimpin ini, dari pemberian tugas yang beragam hingga
merekomendasikan pelatihan untuk bawahan. Hal tersebut tentu saja berdampak
positif bagi bawahannya, dimasa kini maupun dimasa depan. Dari poin ini, dapat
disimpulkan bahwa aspek staff development telah dipenuhi oleh keempat pemimpin
ini.
Secara umum keempat pemimpin ini telah memenuhi semua aspek
perspektif efektivitas kepemimpinan dari para bawahannya. Maka apabila dikaitkan
dengan penelitian yang dilakukan Muchiri et al (2011), keempat pemimpin ini
memiliki kepemimpinan yang efektif. sehingga dapat disimpulkan bahwa
pemimpin perempuan maupun pemimpin laki-laki dalam organisasi pemerintah ini
sama-sama memiliki kepemimpinan yang efektif. Yang berbeda hanyalah cara
142
keempat pemimpin ini dalam mencapai kepemimpinan yang efektif tersebut. Apa
yang ditemukan oleh penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian
sebelumnya yang menyebutkan bahwa pemimpin perempuan tidak kalah dengan
pemimpin laki-laki dalam hal efektivitas kepemimpinan (Yaseen, 2010).
4.3.3 Apakah tantangan yang dialami para pemimpin (perempuan dan laki-
laki) dalam kepemimpinannya di organisasi pemerintah?
Pertanyaan penelitian terakhir dalam penelitian ini adalah mengenai
tantangan yang dihadapi oleh pemimpin-pemimpin di orgnisasi pemerintah.
Penelitian ini menemukan tiga hal yang dianggap menjadi tantangan tersendiri
dalam kepemimpinan mereka. Poin-poin tersebut adalah tantangan pekerjaan,
tantangan komunikasi dan tantangan dalam kepemimpinan itu sendiri. Namun dari
dua kasus yang dibahas dalam penelitian ini ternyata terdapat perbedaan pendapat
dari kasus 1 dan kasus 2. Pada kasus 1, tantangan yang dihadapi adalah tantangan
pekerjaan dan komunikasi. Sedangkan pada kasus 2, tantangan pekerjaan dan
tantangan kepemimpinan dianggap lebih menjadi tantangan bagi para pemimpin.
Tantangan pekerjaan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah dari segi
kuantitas dan juga kualitas pekerjaan. Dari segi kuantitas, mayoritas pemimpin
perempuan mengalami tantangan dalam jumlah tugas yang dianggap sangat
banyak. Sedangkan dari segi kualitas, keempat pemimpin ini mengalami tantangan
karena mereka dihadapkan dengan tuntutan kerja diruangan maupun dilapangan,
yang tentu saja bersentuhan langsung dengan masyarakat. Namun keempat
pemimpin ini memiliki cara mereka masing-masing dalam menghadapi tantangan
143
pekerjaan ini, dan secara umum penelitian ini menemukan bahwa mereka dianggap
dapat menghadapi tantangan dengan baik. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
sebelumnya yang mengatakan bahwa seorang pemimpin tidak boleh hanya terpaku
pada satu cara saja untuk mengejar tujuan organisasi (Posner & Kouzes, 2003).
Tantangan yang dihadapi oleh dua pemimpin dalam kasus 1 lebih pada
komunikasi mereka dengan bawahan dan rekan kerja, maupun atasan. Pemimpin
perempuan dan laki-laki dalam kasus 1 ini menganggap bahwa mereka harus
berhati-hati dalam berkomunikasi dengan bawahan, rekan kerja, maupun atasan
yang bergender perempuan. hal tersebut dikarenakan kedua pemimpin ini
menganggap gender tersebut lebih sensitif dalam menanggapi sesuatu dibanding
gender lawannya. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan pada
penelitian terdahulu bahwa salah satu tantangan seorang pemimpin adalah untuk
bagaimana memperlakukan orang-orang yang berada disekitarnya (Posner &
Kouzes, 2003).
Lalu yang terakhir, penelitian ini menemukan bahwa tantangan dalam
bidang kepemimpinan merupakan tantangan tersendiri bagi pemimpin laki-laki
maupun perempuan, khususnya pada kasus 2. Para pemimpin tersebut menganggap
bahwa kaderisasi merupakan suatu hal yang penting dalam kepemimpinan. Hal
tersebut merupakan suatu tantangan tersendiri bagi para pemimpin, karena akan
berpengaruh pada masa depan organisasi. Selain itu, pemimpin lainnya juga
mengatakan bahwa mewujudkan kepemimpinan yang visioner, visi & misi yang
berkelanjutan dan mencakup kebutuhan organisasi dan masyarakat, dan
mengembangkan organisasi secara berkelanjutan merupakan tantanga yang berat
144
bagi seorang pemimpin. Hal tersebut juga sudah disebutkan pada penelitian
sebelumnya, yang mengatakan bahwa tantangan seorang pemimpin adalah untuk
menjadi petunjuk arah bagi para bawahannya, melakukan inovasi dalam
kepemimpinannya dan membawa organisasi untuk mencapai tujuan yang lebih
besar (Posner & Kouzes, 2003).
Dapat disimpulkan bahwa masing-masing pemimpin dalam penelitian ini
memiliki tantangan tersendiri dalama kepemimpinannya. Tidak dapat di
generalisasikan tantangan yang dihadapi oleh pemimpin perempuan maupun
pemimpin laki-laki. Karena tantangan ini lebih bersifat pribadi dibandingkan
gender. Yang menarik adalah, kedua pemimpin perempuan dalam kepemimpinan
ini tidak menyebut bahwa keluarga atau glass ceiling sebagai tantangan bagi
mereka. Karena tidak sedikit literatur sebelumnya yang menyebut bahwa kedua hal
ini merupakan masalah utama atau tantangan utama dalam kepemimpinan seorang
perempuan. Hal tersebut tidak terjadi karena adanya sistem kenaikan pangkat bagi
PNS (Pegawai Negeri Sipil) setiap 4 tahun sekali, menyebabkan setiap PNS akan
terus mengalami kenaikan pangkat dan pasti menempati suatu jabatan tertentu
didalam masa baktinya.
Tabel 4.3 Temuan Penelitian
Temuan Penelitian keterangan Pemimpin Laki-laki Pemimpin Perempuan Menggabungkan hubungan formal dan informal, tetapi lebih mengutamakan hubungan formal
Menggabungkan hubungan formal dan informal, tetapi lebih cenderung hubungan informal
Sesuai dengan dengan penelitian Li Kusterer, et al (2013)
145
Temuan Penelitian keterangan Pemimpin Laki-laki Pemimpin Perempuan Pemimpin laki-laki memiliki sikap empati terhadap bawahan
Pemimpin perempuan memiliki sikap empati yang tinggi
Sesuai dengan penelitian Alonso-Almeida & Bremser (2015)
Pemimpin laki-laki memiliki ketegasan yang tinggi dalam kepemimpinan
Pemimpin perempuan memiliki ketegasan dalam kepemimpinan
Sesuai dengan dengan penelitian Li Kusterer, et al (2013)
Terdapat pemimpin laki-laki yang memadukan gaya kepemimpinan transformasional (Individual consideration) & transaksional (contingent rewards)
Pemimpin perempuan mempraktekkan gaya kepemimpinan transformasional
Sesuai dengan penelitian Bass (1990), Barbuto & Cummins-Brown (2007) dan Shapira, et al (2010)
Pemimpin laki-laki dan perempuan melibatkan bawahan dalam kepemimpinan
Sesuai dengan penelitian Muchiri, et al (2011)
Pemimpin laki-laki dan perempuan mampu mendorong perkembangan bawahan
Sesuai dengan penelitian Muchiri, et al (2011)
Pemimpin perempuan memiliki tingkat efektivitas kepemimpinan yang setara dengan pemimpin laki-laki
Sesuai dengan penelitian Yaseen (2010)
Pemimpin perempuan dan laki-laki memiliki tantangan yang kepemimpinan yang berbeda dan tidak dapat digeneralisasikan kapada gender
Penemuan baru
Pemimpin perempuan tidak menyebutkan adanya hambatan dari keluarga dan glass ceiling dalam tantangan kepemimpinannya
Penemuan baru
146
BAB V
KESIMPULAN
Secara keseluruhan, penelitian ini menemukan beberapa perbedaan dan persamaan
dari gaya kepemimpin, efektivitas dan tantangan yang dihadapi oleh pemimpin
bergender laki-laki maupun perempuan. penelitian ini menemukan bahwa gaya
kepemimpinan adalah cara masing-masing pemimpin dalam menggerakkan
bawahannya, dan hal tersebut berbeda antar satu dan yang lainnya berdasarkan sifat
dan karakter pemimpin itu sendiri. Apa yang penelitian ini temukan adalah sebagai
berikut.
5.1 Temuan Kunci
5.1.1 Apakah terdapat perbedaan gaya kepemimpinan antara Pemimpin
laki-laki dan pemimpin perempuan?
Penelitian ini menemukan beberapa poin penting yang terdapat pada
kepemimpin para pemimpin laki-laki dan pemimpin perempuan di kasus 1 maupun
kasus 2. Beberapa poin diantaranya adalah komunikatif, empati, direktif, dan
pengembangan. Secara umum, keempat sifat tersebutlah yang terdapat dalam
kepemimpinan para objek utama penelitian ini. Namun, hanya saja terdapat sedikit
perbedaan dalam praktek keempat sifat diatas dari masing-masing gender
pemimpin. Tetapi, dari sifat-sifat tersebut dapat disimpulkan bahwa keempat
pemimpin tersebut memiliki gaya kepemimpinan yang cenderung
transformasional, khususnya Individual consideration. Hanya satu pemimpin
147
laki-laki yang ditemukan mampu memadukan gaya kepemimpinan tersebut dengan
gaya kepemimpinan transaksional (contingent reward). Secara umum, tidak
terdapat perbedaan yang berarti dalam gaya kepemimpinan pemimpin laki-laki dan
perempuan dalam penelitian ini.
Tabel 5.1 Persamaan dan perbedaan kepemimpinan laki-laki dan perempuan
Sifat / gender Pemimpin laki-laki Pemimpin perempuan
Komunikatif
Pendeketakan interpersonal, keterikatan, kekeluargaan, cenderung informal
Memadukan antara hubungan formal dan informal, menganggap sebagai rekan kerja
Empati
Memiliki perhatian yang lebih pada bawahan didalam maupun diluar pekerjaan
Memperhatikan kebutuhan bawahan yang berkaitan dengan pekerjaan
Direktif Memberikan contoh yang jelas
Memberikan contoh, standar, serta bersikap lebih tegas
Pengembangan
Berusaha mengembangkan kemampuan bawahan dengan berbagai cara
Berusahan mengembangkan kemampuan dan pribadi bawahan dengan cara formal maupun informal, memberikan jalan untuk promosi
Gaya kepemimpinan
Transformasional (Individual
Consideration)
Transformasional (Individual
Consideration) Dipadukan
Transaksional (Contingent Reward)
148
5.1.2 Bagaimana persepsi efektivitas gaya kepemimpinan pemimpin laki-
laki dan pemimpin perempuan pada organisasi pemerintah?
Dalam kasus 1 kepemimpinan pemimpin laki-laki dan perempuan dinilai
dari 360 derata (atasan, rekan kerja, dan bawahan), tetapi pada kasus 2
kepemimpinan pemimpin laki-laki dan perempuan hanya dinilai dari sisi pribadi
dan bawahan, maka untuk persepsi efektivitas kepemimpinan laki-laki dan
perempuan yang penelitian ini ambil hanyalah dari sudut padang bawahan.
Penelitian ini menemukan bahwa keempat pemimpin telah memenuhi aspek-aspek
yang diharapkan bawahan dari atasannya yaitu; communication, leader assist &
supports, leader listens to employees, dan staff development. Penelitian ini
menemukan bahwa seluruh aspek tersebut telah diwujudkan oleh para atasan
melalui beberapa poin dalam kepemimpinannya, yaitu Involvement, motivation &
encouragement, dan Fullfilment. Maka dapat disimpulkan keempat pemimpin
(laki-laki dan perempuan) dalam penelitian ini dinyatakan memiliki kepemimpinan
yang sama-sama efektif, dan tidak ada perbedaan dalam segi efektivitas antara
pemimpinan laki-laki maupun perempuan.
Tabel 5.2 Persepsi efektivitas kepemimpinan laki-laki dan perempuan
kepemimpinan Pemimpin perempuan
Pemimpin laki-laki
Aspek yang dipenuhi
Involvement
Mendampingi bawahan dalam pekerjaan, melibatkan pendapat bawahan dalam
Melibatkan pendapat bawahan dalam pembuatan keputusan, melibatkan
leader listens to employees
149
pembuatan keputusan
bawahan dalam semua tugas
Motivation & Encouragement
Memberikan perhatian lebih pada pekerjaan bawahan, memberikan insentif secara pribadi maupun organisasi, pendampingan tugas
Memberikan inspirasi melalui contoh, memberikan insentif secara pribadi maupun organisasi, membuka peluang untuk promosi
Communication, leader assist & support
Fulfillment
Memiliki kedekatan interpersonal dengan bawahan, membantu pengembangan kemapuan dan pribadi bawahan
Menjalin hubungan yang baik dengan bawahan secara formal maupun informal, mengembangkan kemampuan bawahan melalui pelatihan, dan pemberian tugas beragam
staff development
5.1.3 Apakah tantangan yang dialami para pemimpin (perempuan dan laki-
laki) dalam kepemimpinannya di organisasi pemerintah?
Secara umum penelitian ini menemukan beberapa poin tantangan yang
ditemukan oleh para pemimpin (laki-laki dan perempuan) dalam kasus 1 dan kasus
2. Beberapa poin tersebut adalah tantangan pekerjaan, tantangan komunikasi,
dan tantangan kepemimpinan. Dalam hal ini dalam tantangan pekerjaan, yang
dianggap sebagai tantangan oleh para pemimpin ini adalah banyaknya kuantitas
tugas yang harus dihadapi oleh para pemimpin ini. Selain itu, keempat pemimpin
150
ini dituntut untuk bekerja dengan baik di ruangan maupun diluar lapangan, serta
harus mampu menghadapi keberagaman kebutuhan dan karakteristik masyarakat.
Maka dari itu, para pemimpin ini harus mampu berinovasi dalam pekerjaannya,
tidak dapat bertahan dengan cara yang sama terus menerus. Yang kedua, dalam
tantangan komunikasi yang dianggap sebagai tantangan adalah bagaimana untuk
dapat berkomunikasi dengan seluruh lapisan didalam organisasi (khususnya yang
bergender perempuan) dengan baik. Dan terakhir, yang dimaksud dengan tantangan
kepemimpinan oleh para pemimpin dalam penelitian ini adalah bagaimana untuk
terus dapat mengembangkan organisasi dimasa dengan melalui kaderisasi maupun
dengan cara menjadi pemimpin yang lebih visioner.
5.2 Implikasi Manajerial
Penelitian ini menemukan banyak hal detail yang berkaitan dengan
kepemimpinan pemimpin laki-laki dan perempuan di organisasi pemerintah. Dari
hasil yang telah didapat melalui wawancara dan dipaduka dengan teori, penelitian
ini memiliki beberapa hal yang dapat menjadi masukan kepada organisasi
pemerintah secara umum dan pemimpin (laki-laki dan perempuan) didalam
organisasi pemerintah secara khusus.
Penelitian ini menemukan bahwa para bawahan lebih menyukai pemimpin
yang mampu memiliki hubungan yang dekat dengan para bawahannya. hubungan
yang dekat dengan bawahab diakui dapat meningkatkan rasa percaya diri dan harga
diri bawahan didepan atasannya. Penelitian ini juga menemukan bahwa bawahan
memiliki respect yang lebih kepada pemimpin yang memiliki sifat empati yang
151
tinggi. Hal tersebut dikarenakan pemimpin yang memiliki empati tinggi dianggap
lebih pengertian terhadap apa yang dihadapi bawahan dan kebutuhan bawahan.
Namun penelitian ini juga menemukan fakta bahwa bawahan cenderung dapat
bekerja lebih keras dibawah pemimpin yang tegas, dapat menginspirasi dan mampu
memberikan timbal-balik yang ‘menarik’ atas kinerja bawahan. Maka, dengan
menggabungkan atau memadukan seluruh hal-hal diatas, secara tidak langsung
akan meningkatkan kinerja dari organisasi pemerintah secara umum.
Selain hal-hal diatas, sesuai dengan pertanyaan penelitian yang diajukan
didalam penelitian ini, ditemukan fakta tidak terdapat perbedaan yang signifikan
dari gaya kepemimpinan yang digunakan pemimpin laki-laki dan perempuan di
organisasi pemerintah. Tidak hanya gaya kepemimpinan, efektivitas kepemimpinan
yang ditunjukkan oleh para pemimpin laki-laki dan perempuan pada organisasi
pemerintah juga sama baiknya dari sudut pandang bawahan. Maka penelitian ini
menemukan bahwa kepemimpinan pemimpin laki-laki dan perempuan dalam
organisasi pemerintah secara umum memiliki kualitas yang sama baiknya.
Sehingga, diskriminasi gender dalam penempatan posisi pemimpin di organisasi
pemerintah tidak seharusnya terjadi.
5.3 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada penelitian-penelitian
terdahulu yang berhubungan dengan kepemimpin dan gender, namun pada
pelaksanaannya masih terdapat keterbatasan pada penelitian ini. Terdapat beberapa
152
batasan dalam penelitian ini, diantaranya adalah dari sisi instrumen penelitian dan
ruang lingkup penelitian.
Penelitian ini menggunakan instrumen MLQ (Multifactor Leadership
Questionaire) oleh Bass & Avolio (1995) dan instrument efektivitas kepemimpinan
yang terdapat pada penelitian oleh Muchiri et.al (2011) sebagai dasar pembuatan
daftar pertanyaan wawancara. Namun masih terdapat instrumen lainnya untuk
mengukur gaya kepemimpinan dan efektivitas kepemimpinan. Maka hasil dari
penelitian ini belum sempurna menggambarkan gaya kepemimpinan dan efektivitas
kepemimpinan dari pemimpin laki-laki dan perempuan di organisasi pemerintah.
Batasan penelitian selanjutnya adalah ruang lingkup dari penelitian ini.
Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana kepemimpinan dari
pemimpin laki-laki dan perempuan dilihat dari gaya kepemimpinan, efektivitas dan
tantanggannya. Namun, penelitian ini hanya dilakukan pada pemimpin-pemimpin
yang berada pada organisasi pemerintah yang berada di Kota Semarang, Jawa
Tengah. Sehingga hasil dari penelitian ini belum dapat menggambarkan
kepemimpinan laki-laki dan perempuan pada pada organisasi pemerintah secara
umum di Indonesia.
5.4 Agenda Penelitian yang Akan Datang
Berdasarkan dari keterbatasan penelitian diatas, penelitian selanjutnya
harus mampu melengkapi atau menyempurnakan hasil dari penelitian ini. Maka
untuk penelitian selanjutnya, dapat menggunakan instrumen lainnya seperti LBDQ
(Leader Behavior Description Questionnare). Atau menggunakan instrumen yang
153
sama, tetapi menggunakan metode campur atau mix method agar hasil penelitian
juga dapat dihitung secara statistik, tetapi juga dibahas secara mendalam melalui
pertanyaan terbuka.
Dan yang terakhir, pada penelitian selanjutnya, disarankan untuk
menggunakan Organisasi Pemerintah yang berada pada daerah yang berbeda dan
pada tingkatan organisasi yang berbeda untuk mendapat hasil penelitian yang lebih
luas. Dengan semua saran diatas, penelitian selanjutnya diharapkan dapat
menghasilkan hasil penelitian yang lebih kompleks dan dapat menggambarkan
kepemimpinan laki-laki dan perempuan dari segi gaya kepemimpinan, efektivitas
dan tantangan pada Organisasi Pemerintah di Indonesia secara lebih general.
154
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. N. (2014). The causes of gender diversity in Malaysian large firms. Journal of Management and Governance, 18(4), 1137–1159. https://doi.org/10.1007/s10997-013-9279-0
Alonso-Almeida, M. del M., & Bremser, K. (2015). Does gender specific decision making exist? EuroMed Journal of Business, 10(1), 47–65. https://doi.org/10.1108/EMJB-02-2014-0008
Ashkanasy, N. M., Zerbe, W. J., & Härtel, C. E. J. (2014). Emotions and the Organizational Fabric, 1–10. https://doi.org/10.1108/S1746-979120140000010010
Baker, C. (2014). Stereotyping and women’s roles in leadership positions. Industrial and Commercial Training, 46(6), 332–337. https://doi.org/10.1108/ICT-04-2014-0020
Barbuto, J. E., & Cummins-Brown, L. L. (2007). Full Range Leadership. October, 1406(October).
Bass, B. M. (1981). Stigdill’s Handbook of Leadership: A Survey of Theory and Research (revised and expanded version) (The Free P). New York.
Bass, B. M. (1990). From transactional to transformational leadership: Learning to share the vision. Organizational Dynamics, 18(3), 19–31. https://doi.org/10.1016/0090-2616(90)90061-S
Bass, B. M., & Avolio, B. J. (2013). Transformational Leadership and Organizational Culture, 17(1), 112–121.
Bass, B. M., Avolio, B. J., & Atwater, L. (1996). The transformational and transactional leadership of men and women. Applied Psychology: An International Review, 45(1), 5–34. https://doi.org/10.1111/j.1464-0597.1996.tb00847.x
Borgatta, E. F., Bales, R. F., & Couch, A. S. (1954). Some Findings Relevant to the Great Man Theory of Leadership. American Sociological Review, 19(6), 755–759.
Brandt, T., & Laiho, M. (2013). Gender and personality in transformational leadership context. Leadership & Organization Development Journal, 34(1), 44–66. https://doi.org/10.1108/01437731311289965
Burke, R. J., Koyuncu, M., Singh, P., Alayoglu, N., & Koyuncu, K. (2012). Gender differences in work experiences and work outcomes among Turkish managers and professionals. Gender in Management: An International Journal, 27(1), 23–35. https://doi.org/10.1108/17542411211199255
Cantor, N., & Mischel, W. (1979). Prototypes in Person Perception. Advances in Experimental Social Psychology, 12, 3–52.
155
Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches (2nd edition). California: SAGE Publications.
Creswell, J. W., Hanson, W. E., Clark Plano, V. L., & Morales, A. (2007). Qualitative Research Designs: Selection and Implementation. The Counseling Psychologist, 35(2), 236–264. https://doi.org/10.1177/0011000006287390
de Lourdes, M., Machado-Taylor, & White, K. (2014). Women in Academic Leadership. Gender Transformation in the Academy, 375–393.
Dunn, D., Gerlach, J., & Hyle, A. (2014). Gender and leadership: Reflections of women in higher education administration. International Journal of Leadership and Change, 2(1), 9–18. Retrieved from http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-84870386936&partnerID=40&md5=3a9ccd553c42adf848b2ddc67a9a4c12
Eagly, A. H., Johannesen-Schmidt, M. C., & van Engen, M. L. (2003). Transformational, transactional, and laissez-faire leadership styles: A meta-analysis comparing women and men. Psychological Bulletin, 129(4), 569–591. https://doi.org/10.1037/0033-2909.129.4.569
Fielder, F. E., Chemers, M. M., & Mahar, L. (1976). Improving Leadership Effectiveness: The Leader Match Concept. New York: Wiley.
Fleishman, E. A., & Harris, E. F. (1962). Patterns of leadership behavior related to employee grievance and turnover. Personnel Psychology, 15, 43–56.
French, J. R. P. (1956). A Formal Theory of Social Power. Psychological Review, 63(3), 181–194.
Galton, F. (1869). Hereditary genius: An inquiry into its laws and consequences (viii). London: Macmillan and Co.
Hunt, J., & Larson, L. (1977). Leadership: The Cutting Edge. Illinois: Southern Illinois University Press.
Jenkins, W. O. (1947). A review of leadership studies with particular relevance to military problems. Psychological Bulletin.
Jonsen, K., Maznevski, M. L., & Schneider, S. C. (2010). Gender differences in leadership – believing is seeing: implications for managing diversity. Equality, Diversity and Inclusion: An International Journal, 29(6), 549–572. https://doi.org/10.1108/02610151011067504
Kartasasmita, G. (1997). Tantangan Kepemimpinan Abad ke-21 (pp. 1–6). Jakarta.
Kenney, R. A., Blascovich, J., & Shaver, P. R. (1994). Implicit Leadership Theories: Prototypes for New Leaders. Basic and Applied Social Psychology, 15(4), 409–437. https://doi.org/10.1207/s15324834basp1504_2
Kirkpatrick, S. A., Locke, E. A., Executive, S. T., & May, N. (1991). Leadership : do traits matter ?, 5(2), 48–60.
156
Li Kusterer, H., Lindholm, T., & Montgomery, H. (2013). Gender typing in stereotypes and evaluations of actual managers. Journal of Managerial Psychology, 28(5), 561–579. https://doi.org/10.1108/JMP-01-2013-0012
Lord, R. G., & Maher, J. (1991). Leadership and Information Processing. Routledge.
Lublin, J. S. (2010). Most Big-Company Women CEOs Are Also Mothers, Book Finds; “You Plan Not to Have Guilt.” Retrieved September 16, 2017, from https://www.wsj.com/articles/SB10001424052748704763904575549842261018652
Lyle, E., & MacLeod, D. (2016). Women, Leadership, and Education as Change. Racially and Ethnically Diverse Women Leading Education: A Worldview, 25, 5–75. https://doi.org/doi:10.1108/S1479-366020160000025005
McCall, M., & Lombardo, M. M. (1977). Leadership, Where Else can We Go? North Carolina: Duke University Press.
McGregor, D. (1966). Leadership and Motivation. Massachusetts: MIT Press, Cambridge.
Mechanic, D. (1962). Sources of Power of Lower Participants in Complex Organizations. Administrative Science Quarterly, 7(3), 349–364.
Mendez, maria J., & Busenbark, john R. (2015). Shared leadership and gender: all members are equal... but some more than others. Leadership & Organization Development Journal, 36(1), 17–34. https://doi.org/10.1108/09574090910954864
Muchiri, michael K., Cooksey, R. W., Milia, L. V. Di, & Walumbwa, F. O. (2011). Gender and Managerial Level Differences in Perceptions of Effective Leadership. Leadership & Organization Development Journal, 32(5), 462–492. https://doi.org/10.1108/JFM-03-2013-0017
Offermann, L. R., Kennedy, J. K., & Wirtz, P. W. (1994). Implicit leadership theories: Content, structure, and generalizability. The Leadership Quarterly, 5(1), 43–58. https://doi.org/10.1016/1048-9843(94)90005-1
Phillips, james S., & Lord, R. G. (1981). Causal Attributions and Perceptions of Leadership. Organizational Behavior and Human Performance, 28(2), 143–163.
Posner, J. M., & Kouzes, B. Z. (2003). The Leadership Challenge Workbook (1st ed.). Hoboken: John Wiley & Sons.
Rhee, kenneth S., & Sigler, T. H. (2015). Untangling the Relationship between Gender and Leadership. Gender in Management: An International Journal, 30(2), 109–134.
Schuh, S. C., Hernandez Bark, A. S., Van Quaquebeke, N., Hossiep, R., Frieg, P., & Van Dick, R. (2014). Gender Differences in Leadership Role Occupancy:
157
The Mediating Role of Power Motivation. Journal of Business Ethics, 120(3), 363–379. https://doi.org/10.1007/s10551-013-1663-9
Shapira, T., Arar, K., & Azaiza, F. (2010). Arab women principals’ empowerment and leadership in Israel. Journal of Educational Administration, 48(6), 704–715. https://doi.org/10.1108/09578231011079566
Shaw, J. B. (1990). A cognitive categorization model for the study of intercultural management. Academy of Management Review, 15(4), 626–645.
Stogdill, R. M. (1959). Individual Behavior and Group Achievment. New York: Oxford University Press.
Strøm, R. Ø., D’Espallier, B., & Mersland, R. (2014). Female leadership, performance, and governance in microfinance institutions. Journal of Banking and Finance, 42(1), 60–75. https://doi.org/10.1016/j.jbankfin.2014.01.014
Supriadi, A. (2016). Hillary Clinton Resmi jadi Calon Presiden AS Wanita Pertama. Retrieved February 14, 2018, from https://www.cnnindonesia.com/internasional/20160727003209-134-147267/hillary-clinton-resmi-jadi-calon-presiden-as-wanita-pertama
United Nations. (1948). Universal Declaration of Human Rights. General Assembly Resolution, 217 A(10), 1–6. https://doi.org/10.1111/1468-2451.00161
United Nations. (2018). World Population Prospects: The 2017 Revision. Retrieved March 11, 2018, from www.worldometers.info/world-population
Wang, A. C., Chiang, J. T. J., Tsai, C. Y., Lin, T. T., & Cheng, B. S. (2013). Gender makes the difference: The moderating role of leader gender on the relationship between leadership styles and subordinate performance. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 122(2), 101–113. https://doi.org/10.1016/j.obhdp.2013.06.001
Wells, J. E., Peachey, J. W., & Walker, N. (2014). The relationship between transformational leadership, leader effectiveness, and turnover intentions: Do subordinate gender differences exist? Journal of Intercollegiate Sport, 7, 64–79.
WHO. (2013). Pengertian gender. Retrieved January 30, 2018, from http://www.who.int/gender-equity-rights/understanding/gender-definition/en/
Yaseen, Z. (2010). Leadership styles of men and women in the Arab world. Education, Business and Society: Contemporary Middle East, 3(1), 63–70.
158
LAMPIRAN
List pertanyaan untuk objek utama
Pertanyaan general
1. Bisakah anda ceritakan pengalaman anda selama berkarir sebagai PNS?
- Jabatan atau posisi sebelumnya
- Jabatan atau posisi paling menarik atau menantang
Gaya kepemimpinan
2. Bisakah bapak/ibu ceritakan bagaimana kepemimpinan anda?
- Dalam membangun hubungan dengan bawahan
- Dalam bekerja sama
- Dalam menyelesaikan masalah
- Cara Menularkan pemikiran
- Usaha untuk meningkatkan kemampuan anda & bagaimana bentuknya
- Apabila menghadapi otoritas yang lebih tinggi
- Ketika bawahan bekerja dengan baik
- Bila bawahan kesulitan dalam pekerjaan
- Dalam membuat keputusan
Efektivitas kepemimpinan
3. Seperti apakah kepemimpinan yang efektif menurut anda? Apakah anda telah
memenuhi hal-hal itu?
- Pemberian tugas
- membuat bawahan ingin bekerja lebih keras
- Ketika kinerja bawahan tidak memuaskan
- Memenuhi kebutuhan karyawan
- Memenuhi kebutuhan organisasi
159
Tantangan kepemimpinan
4. Menurut anda apa tantangan terbesar dalam karir anda?
- Tantangan dalam mimpin lawan jenis atau orang yang berbeda usia
160
List Pertanyaan untuk atasan
Pertanyaan general
a. Sudah berapa lama menjadi atasan objek utama A & B?
b. Sudah kenal dengan objek utama A & B sebelumnya?
Gaya kepemimpinan
1. Bisakah bapak/ibu ceritakan bagaimana kepemimpinan bawahan anda?
- Dalam membangun hubungan dengan bawahan
- Dalam membangun hubungan dengan rekan kerja
- Dalam bekerja sama
- Dalam menyelesaikan masalah
- Cara Menularkan pemikiran
- Usaha untuk meningkatkan kemampuan anda & bagaimana bentuknya
- Apabila menghadapi otoritas yang lebih tinggi
- Ketika bawahan bekerja dengan baik
- Bila bawahan kesulitan dalam pekerjaan
- Dalam membuat keputusan
Efektivitas kepemimpinan
2. Seperti apakah kepemimpinan yang efektif menurut anda? Apakah objek utama
A & B telah memenuhi hal-hal itu?
- Pemberian tugas
- membuat bawahan ingin bekerja lebih keras
- Ketika kinerja bawahan tidak memuaskan
- Memenuhi kebutuhan karyawan
- Memenuhi kebutuhan organisasi
- Dibandingkan dengan objek utama A/B
Tantangan kepemimpinan
3. Menurut anda apa saja tantangan yang dihadapi oleh objek utama A&B?
162
List pertanyaan untuk rekan kerja
Pertanyaan general
a. Sudah berapa lama menjadi rekan kerja objek utama A?
b. Sudah kenal dengan objek utama A?
Gaya kepemimpinan
1. Bisakah bapak/ibu ceritakan bagaimana kepemimpinan rekan kerja anda?
- Dalam membangun hubungan dengan bawahan
- Dalam membangun hubungan dengan rekan kerja
- Dalam bekerja sama
- Dalam menyelesaikan masalah
- Cara Menularkan pemikiran
- Usaha untuk meningkatkan kemampuan anda & bagaimana bentuknya
- Apabila menghadapi otoritas yang lebih tinggi
- Ketika bawahan bekerja dengan baik
- Bila bawahan kesulitan dalam pekerjaan
- Dalam membuat keputusan
Efektivitas kepemimpinan
2. Seperti apakah kepemimpinan yang efektif menurut anda? Apakah objek utama
A telah memenuhi hal-hal itu?
- Pemberian tugas
- membuat bawahan ingin bekerja lebih keras
- Ketika kinerja bawahan tidak memuaskan
- Memenuhi kebutuhan karyawan
- Memenuhi kebutuhan organisasi
- Dibandingkan dengan objek utama B
Tantangan kepemimpinan
3. Menurut anda apa saja tantangan yang dihadapi oleh objek utama?
164
List pertanyaan untuk bawahan
Pertanyaan general
a. Sudah berapa lama berada dibawah kepemimpinan atasan?
b. Sebelumnya sudah kenal atau tidak dengan atasan sekarang?
c. Apakah sebelumnya pernah dipimpin oleh orang yang berbeda gender?
Gaya kepemimpinan
1. Bisakah bapak/ibu ceritakan bagaimana kepemimpinan atasan anda?
- Dalam membangun hubungan dengan bawahan
- Dalam bekerja sama
- Dalam menyelesaikan masalah
- Cara Menularkan pemikiran
- Usaha untuk meningkatkan kemampuan anda & bagaimana bentuknya
- Apabila menghadapi otoritas yang lebih tinggi
- Ketika bawahan bekerja dengan baik
- Bila bawahan kesulitan dalam pekerjaan
- Dalam membuat keputusan
- Ketika anda mengalami masalah / tidak dapat bekerja
Efektivitas kepemimpinan
2. Seperti apakah kepemimpinan yang efektif menurut anda? Apakah atasan anda
telah memenuhi hal-hal itu?
- Pemberian tugas
- membuat anda ingin bekerja lebih keras
- Ketika kinerja anda tidak memuaskan
- Memenuhi kebutuhan karyawan
- Memenuhi kebutuhan organisasi
- Perbandingan dengan atasan lainnya yang bergender sama/beda
- Kepuasan dalam kepemimpinan
165
Tantangan kepemimpinan
3. Kira-kira apa saja masalah yang dihadapi atasan anda dalam memimpin?
- Menghadapi otoritas yang lebih tinggi
- Menghadapi bawahan lawan jenis
- Menghadapi bawahan dengan usia berbeda
Peratanyaan Narasumber 1
Narasumber 2
Narasumber 3 (rekan kerja 1)
Narasumber 4 (atasan)
Narasumber 5
(bawahan 1)
Narasumber 6
(bawahan 2)
Narasumber 7
(bawahan 3) 1. Membangu
n hubungan dengan bawahan?
Pendekatan seperti teman biasa
Menganggap bawahan sebagai mitra kerja
N1: berhubungan dekat seperti keluarga N2: lebih banyak mengajak kerja secara bersama-sama
N1: selau bekerjasama dengan baik N2: banyak koordinasi dan hubungan diluar jam kerja baik
N1: asik, lucu, dan bisa memberikan semangat N2: asik dan tidak pernah membeda-bedakan
N1: mudah membaur dan pendekatan informal baik N2: punya unsur keibuan yang sangat kuat
N1: atasan yang santai N2:perhatian dan memperhatikan staffnya
2. Dalam bekerjasama dengan rekan kerja?
Saling kerjasama dengan rekan kerja
Saling bekerjasama dengan para rekan kerja
N1: menganggap seperti keluarga, hubungan informal juga terbangun dengan baik N2: banyak bekerjasama dan berdiskusi
N1: tidak formal dan terkesan santai N2: bekerjasama dengan baik dan saling mengisi dengan rekan kerjanya
N1: N2:
N1: N2:
N1: N2:
3. Dalam penyelesaian masalah?
Lebih banyak diskusi
Saling diskusi dengan
N1: banyak bertanya
N1: lebih menghadapi
N1: cenderung
N1: lebih banyak bercerita
N1: lebih menutupi
Tabel Matriks Wawancara Kasus 1
167
dengan atasan atau rekan kerja yang setara
rekan kerja atau atasan
dengan rekan kerja N2: bertanya pada bu lurah atau Seklur, atau dengan rekan kerja dari Kelurahan lainnya
masalah secara langsung N2: koordinasi dan konsultasi dengan atasan atau rekan kerja
diam dan tertutup N2: lebih banyak berdiskusi atau bercerita dengan rekan kerja
bahkan tentang masalah pribadi N2: biasanya diam, tetapi tetap akan cerita pada akhirnya. Dan cukup terlihat.
dan terkesan diam N2: lebih banyak bercerita
4. Usaha meningkatkan kemampuan bawahan
Lebih dengan membangun hubungan formal dan informal, bertukar pikiran dan ngobrol.
Mengajarkan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan bawahan
N1: tidak pernah memberi pelatihan, tetapi biasanya akan memberitahu hal yang salah dari bawahan N2: -
N1: tidak pernah N2: merekomendasikan untuk mengikuti pelatihan yang sesuai dengan tugasnya.
N1: dengan memberikan tugas-tugas yang berbeda untuk memberikan pengalaman. N2: belum pernah
N1: memberikan tugas-tugas yang beragam untuk memberikan pengalaman. N2: mengajak untuk mengikuti pelatihan tertentu
N1: memberitahu mengenai kesalahan dan memeritahu yang benar N2: saling berdiskusi tentang tugas-tugas yang ada
5. Dalam menghadapi otoritas
Menghadapi dengan sopan santun dan
Lebih mencoba melindungi kinerja
N1: menghadapi dengan halus dan lembut
N1: terkadang nadanya agak tinggi apabila
N1: apabila suka ya akan baik, namun apabila tidak
N1: santai, sopan dan terbuka. Atasan dan
N1: dengan santai N2: sopan
168
yang lebih tinggi
melihat kondisi atasan
bawahan dari atasan.
N2: sangat halus dan sopan
emosinya tidak terkontrol N2: lebih banyak diskusi dan koordinasi
suka akan menunjukkan N2: sangat tertutup
bawahan sudah seperti keluarga, jadi ya terbuka N2: santai, kalem dan lebih sopan
6. Ketika bawahan bekerja dengan baik
Memberikan pujian dan memberikan insentif dalam bentuk ajakan makan bersama
Memberikan pujian dan memberikan insentif (berupa ajakan makan dan uang)
N1: lebih sering mengajak makan atau jajan bersama N2: mengajak makan siang bersama
N1: berterimakasih dan memberikan insentif dalam bentuk makan bersama N2: berterimakasih, menyanjung, dan memberikan semangat pada bawahannya. Penuh dengan Suasana kekeluargaan.
N1: memberikan semangat lebih N2: memberikan insentif dalam bentuk makan atau uang bensin
N1: memberikan support N2: memberi apresiasi dalam bentuk dukungan secara moral dengan kata-kata yang membangun seperti ibu kepada anaknya
N1: memberikan pujian terhadap staffnya N2: memberikan dukungan
7. Ketika bawahan melakukan
Mengoreksi, memberikan saran,
Memberitahu dimana kesalahannya dan
N1: memberitahu secara terbuka kesalahannya
N1: memberitahu dengan nada yang agak tinggi
N1: memberitahu dan mengajari
N1: menanggapi dengan santai, membantu
N1: memberitahu dan
169
kesalahan dalam tugas
dan memberitahu bagaimana yang semestinya
membantu memperbaiki
dan memberitahukan yang benar N2: memberitahu kesalahan dan membantu bawahan untuk melakukan pekerjaan dengan benar
N2: memberikan solusi, bahkan akan konsultasi dengan atasan untuk membatu bawahan
N2: memberitahu dan mengingatkan
membenarkan yang salah N2: memberitahu secara langsung dan berusaha membantu membenarkan
membenarkan N2: berdiskusi mengenai kesalahan yang ada
8. Dalam membuat keputusan
Kalau butuh keputusan yang cepat, akan diputuskan sendiri. Tetapi apabila tidak, akan lebih berdiskusi dengan rekan kerja atau atasan
Lebih banyak berdiskusi karena perlu koordinasi dengan atasan juga untuk beberapa masalah, karena kaitannya dengan masyarakat
N1: biasanya langsung memutuskan sendiri, tetapi apabila kesulitan akan diskusi dengan rekan kerja yang berkaitan dengan masalah N2: lebih banyak
N1: berdiskusi dengan rekan kerja N2: banyak berkonsultasi dengan atasan
N1: banyak mengambil keputusan sendiri, tapi terkadang diskusi juga N2: terkadang terlihat bimbang, banyak berpikir sendiri
N1: mengambil keputusan sendiri tetapi akan diskusi apalabila dalam konteks kerjasama N2: banyak diskusi dengan atasan atau orang-orang yang berkaitan
N1: diskusi dengan staffnya N2: berdiskusi
170
diskusi dengan atasan atau yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi
dengan masalah, biasanya hasilnya menguntungkan semua pihak
9. Ketika bawahan mengalami masalah atau tidak dapat bekerja
Memberikan perhatian dalam bentuk kata-kata yang membuat semangat
Dibicarakan dan mencari solusi bersama atau memberikan waktu untuk beristirahat
N1: membantu sebisanya N2: bertanya dan mencoba memberikan solusi
N1: memberikan semangat dengan candaan dan memberi waktu isrirahat N2: sejauh ini belum terjadi dengan staffnya
N1: bertanya dan memberikan istirahat N2: memberikan saran untuk istirahat terlebih dahulu
N1: menaggapi dengan santai, memberikan keleluasaan untuk beristirahat N2: cenderung mendampingi, sehingga pekerjaan akan terasa lebih ringan
N1: memberikan saran N2: memperhatikan dan memberikan ruang untuk istirahat
10. Dalam pemberian tugas
Membagi tugas dengan bawahan, dan mengerjakan yang
Mengerjakan bersama dengan bawahan
N1: mengajak melakukan tugas bersama N2: mengajak bekerja bersama dan
N1: membagi pekerjaan dengan bawahan, tidak memberikan semua tugas kepada bawahan
N1: menyampaikan seperti apa tugas yang harus dikerjakan dan
N1: menjelaskan bagaiaman tugas yang harus saya kerjakan dengan detail
N1: meminta secara sopan dan membantu menyelesaikan
171
dapat dikerjakan sendiri
selalu mendampingi
N2: ikut melaksanakan bersama dengan bawahan
bagaimana penyelesaiannya N2: memberi tugas secara lebih santai
N2: memberikan tugas sesuai dengan keadaan bawahan
N2: meminta dengan sopan
11. Membuat bekerja lebih keras
Memberikan pengertian secara informal (candaan) kepada bawahan untuk bekerja lebih baik lagi
Mengerjakan bersama dengan bawahan. Membuat bawahan merasa senang dan merasa lebih dihargai.
N1: memberikan contoh secara informal agar bawahan bekerja lebih baik N2: banyak mencari ilmu dari rekan kerja di Kelurahan lain, untuk kepentingan bawahan
N1: belum pernah melihat N2: memberikan dorongan moral kepada bawahannya.
N1: memberikan semangat dalam bentuk informal (candaan). N2: belum pernah menghadapi hal seperti itu dari Bu Peny
N1: memberikan semangat dengan obrolan-obrolan yang informal. N2: mengingatkan dan memberikan support. Bahkan sampai berhubungan diluar jam kerja untuk mengingatkan kerjaan.
N1: memberikan semangat dengan candaan N2: memperhatikan pekerjaan dan memberikan support dalam bentuk masukan.
172
12. Ketika kinerja bawahan tidak memuaskan
Pendekatan secara informal dan memberikan contoh secara verbal agar bekerja lebih baik
Dalam tugas dengan bawahan selalu dikerjakan bersama, sehingga meminimalisir ketidak puasan atau kesalahan.
N1: ditegur, tetapi secara informal. Jadi kesannya seperti bercanda tetapi serius. N2: sejauh ini belum pernah melihat
N1: terkadang membiarkan, terkadang memberikan candaan untuk memberikan semangat N2: bawahannya belum pernah tidak memuaskan
N1: memberikan masukan dan memeriksa pekerjaan, serta memberitahukan kesalahan N2: memberitahu dan selalu mengingatkan untuk memperbaiki
N1: sejauh ini memberikan support dalam bentuk yang tidak formal, atau sekedar mengajak ngopi. N2: selalu mendampingi ketika pengerjaan tugas. Jadi sejauh ini masih memuaskan.
N1: memberikan contoh yang baik dan memberikan semangat. N2: banyak berdiskusi dengan bawahan mengenai pekerjaan.
13. Memenuhi kebutuhan bawahan
Memuaskan karena bisa dekat dengan bawahan secara formal maupun informal
Tidak dapat menilai diri sendiri, tetapi sudah memberikan usaha yang paling maksimal.
N1: dengan bawahan dia sangat dekat dan tidak ada jarak, karena pendekatan yang lebih informal. N2: sudah, karena beliau
N1: sudah memuaskan tetapi belum maksimal. N2: sudah, karena selalu mendampingi dalam setiap penyelesaian tugas
N1: sudah, karena diluar dapat menyelasaikan pekerjaan dengan cepat, beliau juga dekat dengan bawahannya.
N1: sudah, karena pendekatan yang informal, jadi bawahan merasa lebih dekat. Terbuka dalam hal apa saja, sehingga mudah dalam
N1: sudah, karena sifatnya yang tidak membedakan siapapun. N2: sudah, sifatnya yang perhatian membuat
173
selalu mendampingin bawahan ketika mengerjakan tugas, dengan kata lain beliau selalu ada ketika bawahan membutuhkan
N2: sudah, karena sifat dan karakternya membuat bawahan merasa nyaman.
mengkoreksi diri N2: sudah banget, semangatnya dapet, supportnya dapet, kekeluargaannya dapet dan sikap keibuan membuat nyaman bekerja.
pekerjaan lebih mudah.
14. Memenuhi kebutuhan organisasi
Sudah karena bekerja sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi)
Tidak dapat menilai diri sendiri, tetapi sudah berusaha memenuhi tupoksi dan ekspektasi atasan
N1: sudah memenuhi tupoksi (tugas pokok dan Fungsi), tetapi belum maksimal. N2: bekerja sesuai Tupoksi dan banyak diskusi
N1: sudah, tetapi belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi atasan. Karena masih sering keluar di jam kerja N2: sudah, dengan pekerjaan yang
N1: sudah karena segala tugas yang ada dapat dikerjakan dengan cepat (efektif) N2: -
N1: - N2: sudah, beliau berani turun ke lapangan walaupun perempuan, dan bagus dalam memberikan solusi ke masyarakat.
N1 dan N2: sejauh yang diketahui pekerjaan selalu selesai.
174
dengan rekan kerja dari Kelurahan lain,
banyak beliau sudah memenuhi dan sangat ingin belajar
15. Kepuasan dalam memimpin
Ada sisi memuaskan dan tidak. Memuaskan karena bisa dekat dangan bawahan dan rekan kerja, serta tidak ada masalah.
Secara keseluruhan sudah bekerja semaksimal mungkin, untuk memenuhi ekspektasi atasan dan memenuhi kebutuhan bawahan
16. Tantangan dalam kepemimpinan
Pekerjaan lapangan yang harus berinteraksi dengan masyarakat luas dan banyak ekspektasi.
Rekan kerja dari gender yang sama. Kemungkinan karena merupakan Kasi (Kepala Seksi) paling baru.
N1: terkadang mudah lupa, sehingga harus sering diingatkan N2: tidak masalah sejauh ini, semua
N1: lebih tantangan dalam pekerjaannya dalam menangani masyarakat khususnya PKL (Pekerja Kaki Lima). Selebihnya tidak.
N1: dalam memimpin selama ini tidak ada masalah yang berarti, baik dan lancer. N2: tidak mengalami masalah
N1: masalahnya sekitar pekerjaan yang berhubungan dengan masyarakat. Dalam kepemimpina
N1: sejauh ini tidak ada, baik-baik saja dengan semua elemen di Kelurahan. N2: tidak ada, pembawaan
175
hubungannya berjalan baik.
N2: lebih tantangan dengan tugas yang banyak, dalam kepemimpinan tidak ada masalah, sudah seperti ibu bagi bawahannya.
dalam menghadapi atasan, rekan kerja ataupun bawahan.
n baik-baik saja. N2: tidak ada, karena tidak ada masalah yang dibahas disini. Tapi untuk masalah pribadi tidak tahu.
yang penuh kekeluargaan membuat nyaman semua orang.
17. Perbandingan efektivitas kepemimpinan
Sama saja, keduanya sama-sama baik dalam pekerjaan maupun kepemimpinan.
Lebih efektif Bu Peny (N2), karena tugasnya lebih banyak tapi dapat terselesaikan dengan baik.
Lebih efektif Pak Pujo (N1), karena walaupun keras kepala beliau cepat dalam mengerjakan tugas.
Sama baik dan efektif-nya. Pendekatan dengan atasan, rekan kerja, dan bawahan seperti keluarga. tugas juga dapat terselesaikan dengan baik.
Sama saja, sama baiknya. Semua tindakan disesuaikan dengan kondisi yang ada.
176 Pertanyaan NARASUMBER 1
(pemimpin perempuan)
Narasumber 3 (staf N1)
Narasumber 4
(staf N1)
NARASUMBER 2
(pemimpin laki-laki)
Narasumber 5 (staf N2)
Narasumber 6 (staf N2)
1. Membangun hubungan dengan bawahan
Membangun hubungan interpersonal yang baik, membimbing dan mengarahkan
Pendekatan secara pribadi, tidak membedakan antar bawahan atau atasan, karyawan atau mahasiswa PKL. Lebih bersikap seperti mentor
Baik dengan bawahan, selalu memberi contoh yang baik. Perhatian terhadap bawahan. Tidak hanya terpaku pada pekerjaan, tetapi juga hal-hal diluar itu
Memadukan hubungan formal dan informal, bersifat komunikatif
Beliau baik, bisa menempatkan diri dengan baik sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Terbuka dengan bawahan mengenai tugas.
Dapat bekerjasama dengan bawahan. Selalu memberikan contoh yang baik bagi bawahan.
2. Bekerjasama dengan rekan kerja
Membangun koordinasi yang baik dengan rekan kerja. Saling membantu dalam penugasan
Tidak begitu tahu, tetapi berhubungan baik dengan Kasi lainnya
Sangat baik dengan karyawan dan Kasi yang lain. Saling membantu dan berdiskusi
Selalu berkoordinasi menganai tugas-tugas, saling membantu mengenai beberapa tugas terntu
Beliau selalu berkomunikasi dengan baik dengan Kasi lainnya. Selalu membantu Kasi lainnya yang berkaitan
Beliau selalu berkoordinasi dengan para Kasi, terutama yang berhubungan dengan tupoksi beliau. Dengan Kasi yang lain,
Tabel Matriks Wawancara Kasus 2
177
dengan Kasi lain mengenai tugas-tugas.
dengan tupoksi beliau.
juga memiliki hubungan yang baik.
3. Cara menularkan pemikiran
Melalui komunikasi dan evaluasi secara berkala
Memberitahu diawal kerja apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya, dan dievaluasi secara berkala
Setiap memberikan tugas selalu dijelaskan secara rinci seperti apa beliau ingin tugas tersebut diselesaikan.
Memberikan pengarahan secara formal apa yang harus dikerjakan
Setiap melakukan tugas, selalu mengumpulkan bawahan untuk diberi penjelasan mengenai keseluruhan tugas.
Beliau menjelaskan tugas dari Seksi yang dipimpin, apa saja tugas, apa saja wewenang kami, dikantor maupun dilapangan. Setiap pelaksanaan tugas, beliau selalu memberi petunjuk pengerjaan.
4. Usaha meningkatkan kemampuan
Mengikutkan bawahan dalam berbagai pelatihan dan menjelaskan SOP dengan baik (Standard Operating Procedur)
Lebih dengan memberitahu bagaimana mengerjakan berbagai pekerjaan yang berbeda
Tidak begitu paham, tetapi beliau selalu memberikan contoh bagi karyawan lainnya, sehingga itu
Mengikutkan pelatihan, memberikan kesempatan untuk mengikuti tugas luar sesuai derajatnya
Beliau selalu memberikan tugas yang beragam, tidak monoton. Bisanya saya juga diminta untuk
Selalu memberikan tugas sesuai dengan kamampuan bawahan, bahkan yang diluar
178
bisa dijadikan panutan untuk bekerja dan bisa dicontoh.
menghadiri acara yang seharusnya beliau hadiri, untuk mewakili beliau.
kemampuan bawahan. Dengan hal itu, kami dipaksa untuk terus berkembang.
5. Menghadapi otoritas yang lebih tinggi
Menghormati atasan, selalu berusaha untuk membantu melakukan tugas-tugas yang ada
Baik, banyak keluar untuk menggantikan pak camat menghadiri acara diluar
Sesuai dengan tugasnya sebagai Kasi. Biasanya banyak diskusi dengan pak Camat mengenai permasalahan yang dihadapi.
Sesuai tupoksi, koordinatif. Memberikan saran sesuai dengan keadaan dilapangan.
Beliau selalu berkoordinasi dan berkomunikasi dengan atasan. Hubungannya baik.
Selalu berkomunikasi dengan baik dengan atasan. Berusaha memenuhi ekspektasi atasan.
6. Ketika bawahan bekerja dengan baik
Memberikan pujian untuk hal-hal yang sesederhana mungkin.
Berterimakasih, terkadang sekedar membelikan jajanan untuk menambah semangat kerja
Beliau selalu berterimakasih apabila saya menyelesaikan tugas.
Memberikan ucapan terimakasih, pengakuan, makan bersama, mengusulkan untuk promosi
Beliau sangat friendly, kalau sedang bekerja dilapangan biasanya beliau menyempatkan waktu untuk makan bersama kami.
Beliau selalu menghargai setiap usaha yang kami lakukan, simpelnya memberikan ucapan terimakasih.
179
Diluar itu, terkadang makan bersama ketika jam istirahat.
7. Ketika bawahan melakukan kesalahan
Menyelesaikan permasalahan yang ada dengan bersama-sama
Ditegur tetapi membantu dalam menyelesaikan masalah
Biasanya dikasih tau bagian mana yang salah atau kurang. Lalu memberikan saran bagaimana yang seharusnya.
Melihat situasi dan kondisi. Memberikan peringatan dan contoh. Apabila masih terjadi lagi, punishment
Sangat tegas, biasanya ditegur. Tetapi setelah itu diberikan contoh atau diberitahu secara lisan bagaimana cara menyelesaikan sesuai yang beliau harapkan.
Beliau sangat sensitif dengan kesalahan, pasti akan ditegur dan diminta untuk memperbaiki sesegera mungkin. Beliau juga selalu berusaha memberikan contoh yang baik.
8. Dalam membuat keputusan
Berkomunikasi dengan yang berhubungan dengan keputusan yang akan dibuat. Meminta saran.
Kalau ada hubungannya, biasanya akan minta penjelasan mengenai permasalahannya. Tapi lebih sering
Kurang paham, tapi untuk hal-hal yang bersifat umum, belaiu selalu mendengarkan pendapat orang lain
Sesuai dengan kapasitas keputusan yang harus diambil. Konsultasi dengan atasan. Memakai semua sumber yang berhubungan
Kalau dilapangan, kebanyakan beliau mengambil tindakan sendiri. Kalau berhubungan dengan
Lebih sering mengambil tindakan sendiri, atau berdiskusi dengan atasan, terutama tugas-tugas yang berkaitan
180
berdiskusi dengan rekan kerja
dahulu baru memutuskan suatu hal.
dengan permasalahan sebagai dasar.
bawahan, biasanya diminta pendapat
dengan nama kecamatan di masyarakat. Dengan bawahan biasanya meminta informasi untuk memutuskan suatu hal.
9. Ketika bawahan mengalami masalah/tidak dapat bekerja
Menanyakan permasalahan, membantu menyelesaikan
Biasanya ditanyakan apa masalahnya, memberikan saran dan semangat agar tetap dapat bekerja
Sejauh ini, setiap beliau butuh bantuan, saya selalu bisa. Jadi belum pernah mengalami hal tersebut. Tapi ketika saya terlihat tidak seperti biasanya, beliau akan tanya kenapa atau ada apa.
sesuai tingkat urgensi permasalahan, memberikan waktu untuk masalah yang urgen. Lebih profesional.
Beliau sangat professional, memisahkan urusan lain dengan tugas, begitu pula dengan bawahannya. untuk beberapa masalah beliau memberi kelonggaran.
Beliau selalu bekerja dengan professional. Namun tetap diimbangi dengan pengertian terhadap bawahan. Ketika memang kami tudak dapat melakukan tugas, beliau akan memberi kelonggaran.
181
10. Dalam pemberian tugas
Secara langsung meminta tolong kepada bawahan
Kalau tugasnya diluar yang sudah ditugaskan kecamatan, biasanya beliau meminta tolong secara langsung
Meminta secara langsung dengan sopan. Tidak seperti menyuruh. Selalu dijelaskan terlebih dahulu tugasnya, atau saya tanya duluan tugasnya seperti apa.
Pemberian tugas, sesuai kemampuan dan karakter. Melakukan pertukaran tugas
Kami bekerja sesuatu tugas dari kecamatan dan dari pemkot. Untuk tugas yang dilapangan biasanya beliau mengajak. Tetapi untuk tugas diluar itu, biasanya beliau meminta tolong secara langsung.
Semua tugas yang kami lakukan sudah tercantum di tupoksi dan sudah ada jadwalnya. Kamu diminta untuk bekerja professional tanpa harus disuruh. Namun untuk tugas diluar itu, beliau selalu meminta tolong.
11. Membuat bekerja dengan lebih keras
Sejauh ini bawahan telah bekerja dengan baik dan sesuai yang diinginkan
Memberikan contoh dalam menyelesaikan tugas. Memberikan dukungan dalam bentuk semangat
Biasanya sih diberi contoh bagaimana seharusnya dalam bekerja.
Pendekatan personal dan memberikan contoh kerja. Benchmarking, membuka wawasan yang bersangkutan.
Belaiu orang yang sangat professional, dengan pemberian contoh beliau secara tidak langsung memberikan standard dan ekspektasi
Dengan melihat cara kerja beliau saja sudah membuat kami terpacu untuk bekerja dengan lebih. Biasanya ditambah dengan kunjungan ke
182
tertentu yang harus dipenuhi.
kecamatan lain untuk perbandingan dan memberikan contoh.
12. Ketika kinerja bawahan tidak memuaskan
Memberikan contoh bagaimana seharusnya suatu pekerjaan diselesaikan
Biasanya ditanya kesulitannya dimana. Diingatkan untuk tidak mengulangi
Sejauh ini belum pernah, tetapi apabila ada yang salah langsung diberitahu dan langsung minta dibenarkan
Mengingatkan secara personal, hingga batas terntentu. Lalu tindakan kedinasan.
Lebih banyak menegur secara langsung dan memberitahu letak kesalahan. Setelah itu mengingatkan utk tidak mengulang.
Apabila belia utidak puas dengan pekerjaan saya, maka beliau akan jujur memberitahu. Biasanya diikuti dengan contoh dan saran.
13. Memenuhi kebutuhan bawahan
Tidak dapat menilai diri sendiri, tetapi sudah berupaya semaksimal mungkin
Sejauh ini sudah, karena memang hanya PKL, beliau selalu memberi ilmu dan info yang saya butuhkan.
Bagi saya sih sudah, karena beliau baik, bisa dekat dengan semua karyawan bukan hanya yang bekerja dibawah beliau.
Sudah karena sejauh ini sudah berusaha untuk mengembangkan kemampuan bawahan, meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan
Sudah, dengan kinerja beliau membuat kami sebagai bawahan selalu berkembang secara skill maupun pribadi.
Sudah, beliau memberikan contoh yang baik bagi bawahan untuk dapat bekerja secara professional. Mengembangkan pengetahuan kami, memberi
183
contoh kinerja yang baik.
14. Memenuhi kebutuhan organisasi
Sudah, karena telah mengikuti peraturan daerah dan memenuhi tupoksi
Sudah, karena menurut saya beliau sangat serius dalam mengerjakan semua pekerjaan
Sudah sangat memenuhi, karena setau saya tugas beliau itu sangat banyak. Tetapi sejauh dapat terselesaikan, artinya tidak masalah.
Sudah, karena sudah mendedikasikan kualitas, memberikan sesuatu yang baru, efektif dan manusiawi. Membangun komunikasi yang baik
Sangat sudah, tugas beliau sangat banyak tetapi sejauh ini sudah dilaksanakan dengan sangat baik. Beliau selalu mengamati apa yang terjadi dilapangan untuk memberikansaran kepada atasan.
Sudah, karena beliau selalu berusaha melaksanakan tugas sesuai tupoksi dan arahan atasan.
15. Kepuasan dalam memimpin
Belum puas, karena tidak dapat membangun kader-kader untuk generasi selanjutnya
Belum puas, karena sejauh ini ada hal-hal diluar kewenangan yang masih mengganjal.
184
16. Tantangan dalam kepemimpinan
Banyaknya tugas-tugas yang dari Pemerintah Kota (Pemkot) yang harus diselesaikan dan disebar kekelurahan
Bagaimana cara membuat kepemimpinan yang visioner, mampu membuat visi yang mencakup keseluruhan tujuan organisasi, kebutuhan masyarakat dan mampu kinerja mengembangkan organisasi
185
Validasi Responden Kasus 1 Kelurahan Mugassari
Jabatan Narasumber TTD
Lurah N4
Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban N1
Kepala Seksi Pembangunan dan Pemerintahan N2
Sekertaris Lurah N3
Bendahara N7
Staf IT N6
Staf N5
186
Validasi Responden Kasus 2 Kecamatan Tembalang
Jabatan Narasumber TTD
Kepala Seksi Pelayanan Publik N1
Kepala Seksi Ketentraman dan Keamanan N2
Staf Mahasiswa PKL N3
Staf N4
Staf N5
Staf N6