Upload
universitasmhthamrin
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KASUS EUTHANASIA
Mesin eutanasia yang digunakan untuk menyuntikkan
obat-obatan mematikan dalam dosis tinggi. Layar
komputer jinjing memandu pengguna melalui beberapa
tahapan dan pertanyaan guna memastikan bahwa si
pengguna telah benar-benar siap untuk dalam
keputusannya tersebut. Suntikan terakhir kemudian
dilakukan dengan bantuan mesin yang diatur dari
komputer.1
1. Pengertian Euthanasia
Euthanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang
artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti
kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia
atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan
rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal,
1 "Nitschke suicide machine confiscated". The Sydney
Morning Herald. 2003-01-10.
biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang
mematikan.
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani,
yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, dan thanatos
berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan
cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu
euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good
death, atau enjoy death (mati dengan tenang).2
Secara etimologis euthanasia berarti kematian
dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam
mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk
menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau
meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi
kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia
tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk
mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga
tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya
dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila
orang yang bersangkutan menghendakinya.3
2 Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari SegiKedokteran, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, buku ke-4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 64.
3 J. Chr Purwa Widyana, "Euthanasia" beberapa soal moral
berhubungan dengan quintum, (Antropologi Teologis II,
2. Sejarah Euthanasia
Asal-usul kata Euthanasia
Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu
"eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang
apabila digabungkan berarti "kematian yang baik".
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah
"euthanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis
pada masa 400-300 SM.4
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan
menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan
kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak
tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu
pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Euthanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, euthanasia telah memicu
timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika
Utara dan di Eropa. Pada tahun 1828 undang-undang anti
1974), hlm.25
4 Djoko Prakoso, Euthanasia, hlm. 79.
euthanasia mulai diberlakukan di negara bagian New
York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan
pula oleh beberapa negara bagian. Setelah masa Perang
Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung
dilakukannya euthanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung euthanasia mulanya
terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika
pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada
pelaksanaan euthanasia agresif, walaupun demikian
perjuangan untuk melegalkan euthanasia tidak berhasil
digolkan di Amerika maupun Inggris. Pada tahun 1937,
euthanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss
namun pasien yang bersangkutan tidak memperoleh
keuntungan darinya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak
beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan
beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang
mengajukan permohonan euthanasia kepada dokter sebagai
bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Euthanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam
melakukan kejahatan euthanasia, pada era tahun 1940 dan
1950 maka berkuranglah dukungan terhadap euthanasia,
terlebih-lebih lagi terhadap tindakan euthanasia yang
dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena
disebabkan oleh cacat genetika.
Praktik-praktik euthanasia di dunia
Praktik-praktik euthanasia pernah yang dilaporkan
dalam berbagai tindakan masyarakat5 :
Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan
untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam
sungai Gangga.
Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati
oleh anak laki-laki tertuanya.
Uruguay mencantumkan kebebasan praktik
euthanasia dalam undang-undang yang telah
berlaku sejak tahun 1933.
Di beberapa negara Eropa, praktik euthanasia
bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang
sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan
khusus.
5 C. Satyo, Alfred, Dr,DSF,MHPE: "Dampak Teknologi
Kedokteran Modern terhadap Budaya Kematian dan
Kehidupan", Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara ,USU library, 5.
Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara
bagian, euthanasia dikategorikan sebagai
kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya
dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika
Serikat.
Satu-satunya negara yang dapat melakukan
tindakan euthanasia bagi para anggotanya
adalah Belanda. Anggota yang telah diterima
dengan persyaratan tertentu dapat meminta
tindakan euthanasia atas dirinya. Ada
beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi
anggotanya.
3. Macam-macam Euthanasia
Dari Sudut Cara/Bentuk
Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia
dapat dibedakan dalam tiga hal 6:
a. Euthanasia aktif, artinya
mengambil keputusan untuk melaksanakan dengan
tujuan menghentikan kehidupan. Tindakan ini
6 Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994, 129.
secara sengaja dilakukan oleh dokter atau
tenaga kesehatan lainnya untuk memperpendek
atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya,
melakukan injeksi dengan obat tertentu agar
pasien terminal meninggal.
b. Euthanasia pasif, artinya
memutuskan untuk tidak mengambil tindakan
atau tidak melakukan terapi. Dokter atau
tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak
(lagi) memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup kepada pasien. Misalnya,
terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan
karena tidak ada biaya, tidak ada alat
ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya
menghentikan terapi yang telah dimulai dan
sedang berlangsung.
c. Auto-euthanasia, artinya seorang
pasien menolak secara tegas dengan sadar
untuk menerima perawatan medis dan ia
mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan
tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan
tertulis tangan). Auto-euthanasia pada
dasarnya adalah euthanasia pasif atas
permintaan.
Dari Sudut Maksud (Voluntarium)Dari sudut maksud, euthanasia dapat
dibedakan:a. Euthanasia langsung (direct),
artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada kematian.
b. Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak langsung untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya meringankan penderitaan.
Dari Sudut Otonomi PenderitaDari sudut otonomi penderita euthanasia
dapat dilihat dalam tiga jenis:a. Penderita sadar dan dapat
menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompetent).
b. Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang lain (transmitted judgement).
c. Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted judgement).
Dari Sudut Motif dan PrakarsaDari sudut motif dan prakarsa,
euthanasia dibedakan menjadi dua:a. Prakarsa dari penderita sendiri,
artinya penderita sendiri yang meminta agar hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena sebab lain.
b. Prakarsa dari pihak luar; artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien dihentikan kehidupannya karena berbagai
sebab. Pihak lain itu misalnya keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban ataubelas kasih. Bisa juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi tertentu ataukepentingan yang lain.
4. Beberapa kasus menarik
Kasus Hasan Kusuma – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan
euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah
diajukan oleh seorang suami bernama Hassan
Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya
yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun,
tergolek koma selama 2 bulan dan di samping
itu ketidakmampuan untuk menanggung beban
biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini
diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk
euthanasia yang di luar keinginan pasien.
Permohonan ini akhirnya ditolak oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah
menjalani perawatan intensif maka kondisi
terakhir pasien (7 Januari 2005) telah
mengalami kemajuan dalam pemulihan
kesehatannya.7
7 situs Kompas.
Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika
Serikat.
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari
New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21
April 1975 dirawat di rumah sakit dengan
menggunakan alat bantu pernapasan karena
kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol
dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh
karena tidak tega melihat penderitaan sang
anak, maka orangtuanya meminta agar dokter
menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan
tersebut. Kasus permohonan ini kemudian
dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan
tingkat pertama permohonan orangtua pasien
ditolak, namun pada pengadilan banding
permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun
dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca
penghentian penggunaan alat bantu tersebut,
pasien dapat bernapas spontan walaupun masih
dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun
kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985,
pasien tersebut meninggal akibat infeksi
paru-paru (pneumonia).
Kasus Terri Schiavo
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal
dunia di negara bagian Florida, 13 hari
setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin
mencabut pipa makanan (feeding tube) yang
selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini
masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun
1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan
ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo,
dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans
tim medis langsung dipanggil, Terri dapat
diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama
ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan
otak yang berat, akibat kekurangan oksigen.
Menurut kalangan medis, gagal jantung itu
disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur
potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu,
dokternya kemudian dituduh malapraktik dan
harus membayar ganti rugi cukup besar karena
dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi
yang membahayakan ini pada pasiennya.
Kasus "Doctor Death"
Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death",
seperti dilaporkan Lori A. Roscoe 8 Pada awal
April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale,
California diduga puluhan pasien telah
"ditolong" oleh Kevorkian untuk mengakhiri
hidup. Kevorkian berargumen apa yang
8 New England Journal of Medicine edisi Desember 2000.
dilakukannya semata demi "menolong" pasien-
pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut
apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.
5. Perspektif Euthanasia dalam Bidang Hukum
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan
dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam
bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap
tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena
masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan
keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari
pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya
sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka
satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan
hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya
pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan
nterhadap nyawa manusia, yang dapat dijumpai dalam
Bab XIX, buku II, dari pasal 338 sampai pasal 350
KUHP.9
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
pasal yang menyinggung masalah euthanasia ini
secara pasti tidak ada, tetapi satu-satunya pasal
yang lebih mengena yaitu pasal 344, pada Bab XIX,
9 Imron Halimi, Euthanasia, hlm.149-150.
buku II, yaitu:10 “Barang siapa menghilangkan
jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-
sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas
tahun”.
Masalah euthanasia ini merupakan masalah yang
kompleks dari segi sifatnya, maka agar lebih mudah
untuk difahami perlu diterangkan dan dibagi secara
lebih terperinci.
Ditinjau dari segi yuridis, euthanasia dapat
diuraikan sebagai berikut:11
Euthanasia aktif
Euthanasia aktif terjadi apabila
dokter atau tenaga medis lainnya secara
sengaja melakukan suatu tindakan untuk
mengakhiri atau memeperpendek
(mengakhiri) hidup pasien. Euthanasia
aktif terbagi dalam tiga kelompok,
yaitu:
o Euthanasia aktif atas
permintaan pasien Pasal. 344
KUHP
10 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hlm.243)11 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.54-71
o Euthanasia aktif tanpa
permintaan pasien Pasal. 340
KUHP
o Euthanasia aktif tanpa sikap
dari pasien Pasal. 340, 338,
KUHP
o Euthanasia tidak langsung
o Euthanasia tidak langsung
atas permintaan pasien.
Pasal. 344, 359 KUHP.
o Euthanasia tidak langsung
tanpa permintaan pasien
Pasal. 340, 359 KUHP.
o Euthanasia tidak langsung
tanpa sikap pasien Pasal.
304, 359 KUHP
Euthanasia pasif
Euthanasia pasif terjadi terjadi
apabila dokter atau tenaga medis lainnya
secara sengaja tidak memberikan bantuan
medik terhadap pasien yang dapat
memperpanjang hidupnya. Untuk dapat
memudahkan euthanasia pasif ini juga
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
o Euthanasia pasif atas
permintaan pasien. Tidak
dihukum
o Euthanasia pasif tanpa
permintaan pasien. Pasal. 304
jo 306 (2)
o Euthanasia pasif tanpa sikap
pasien. Pasal. 304 jo 306 (2)
Maka agar dapat mengetahui hukuman atas
tindakan tersebut perlu disebutkan pasal-pasalnya,
pasal-pasal tersebut adalah:12
Pasal. 304 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau
membuarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia
wajib memberi kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang
berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian,
dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.500.000,-“.
Pasal. 306 KUHP:
"Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang
mati, sitersalah itu dihukum penjara selam-lamanya
sembilan tahun."
12 R. Soesilo, Kitab undang-undang. hlm.223-248
Pasal. 338 KUHP:
"Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan
hukumkan penjara selama-lamanya lima belas tahun."
Pasal. 344 KUHP:
"Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun."
Pasal. 359 KUHP:
"Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya
orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
atau kurungan selama-lamanya satu tahun."
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau
dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314, 1315,
dan 1319 KUH Perdata13.
6. Perspektif Euthanasia dalam Bidang Agama
a) Dalam ajaran gereja Katolik Roma
13 Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, 135-136.
Dalam menanggapi persoalan euthanasia, gereja
mendasarkan pandangan dan sikapnya pada
pandangannya sendiri tentang hidup manusia;
suatu pandangan yang berlandaskan iman
kristiani. Manusia adalah citra Allah, hidup
manusia adalah anugerah Allah, kehidupan
manusia adalah kudus, manusia adalah milik
Allah dan Allah menghendaki hidup manusia
dihormati bagaimanapun keadaannya. Jadi
dasarnya adalah berhubungan dengan Yang
Transenden bukan manusiawi belaka. Sejak
pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah
berjuang untuk memberikan pedoman sejelas
mungkin mengenai penanganan terhadap mereka
yang menderita sakit tak tersembuhkan,
sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai
euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus
Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan
mengutuk program-program genetika dan
euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi
atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang
hidup, adalah yang pertama menguraikan secara
jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman.
Pada tanggal 5 Mei tahun 1980, kongregasi untuk
ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi
tentang euthanasia ("Declaratio de euthanasia") yang
menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya
dengan semakin meningkatnya kompleksitas
sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya
promosi euthanasia sebagai sarana yang sah
untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II,
yang prihatin dengan semakin meningkatnya
praktek euthanasia, dalam ensiklik Injil
Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang
memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling
mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah
orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap
sebagai beban yang mengganggu.” Paus Yohanes Paulus
II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan
tindakan belas kasihan yang keliru, belas
kasihan yang semu: “Belas kasihan yang sejati mendorong
untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu
tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita
tanggung” (Evangelium Vitae, nomor 66).
Euthanasia dan bunuh diri merupakan penolakan
terhadap kedaulatan Allah yang mutlak atas
kehidupan dan kematian, seperti dinyatakan
dalam doa Israel kuno, “Engkau berdaulat atas hidup
dan mati; Engkau membawa kepada gerbang alam maut dan
ke atas kembali” (Keb 16:13; bdk. Ayub 13:2).
b) Dalam ajaran Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya
(Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak
tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan
kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:
66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri
diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada
teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara
eksplisit melarang bunuh diri. Kendati
demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal
tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195),
dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah
engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29),
yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu
saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang
Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim
lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh
dirinya sendiri.14
Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-
rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu
suatu tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif
maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang
kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang
membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy
killing) dalam alasan apapun juga.15
c) Dalam ajaran agama Hindu
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila
seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya
tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan
tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan
berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa
waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan 14 Harian Pikiran Rakyat15 Situs infoplease.com
(Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17
tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup
hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya
berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka
rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih
berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia
dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk
menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum
selesai dijalaninya kembali lagi dari awal16
d) Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai
denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap
euthanasia dan orang yang membantu pelaksanaan
euthanasia.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada
dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan
pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka
percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan
suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang
lebih baik.
16 Situs religionfacts.com tentang ajaran Hindu
7. Perspektif Euthanasia dalam Bidang Psikologis
Kekaburan Batas Antara Kematian – Kehidupanserta Kemajuan Iptek Kedokteran17
Permasalahan kekaburan kematian manusiatidak hanya berhenti pada cara penentuankematian seseorang melainkan juga semakindikaburkan dengan kemajuan teknologikedokteran. Beberapa fungsi vital organmanusia dapat didukung oleh teknologi baru,sehingga orang yang secara klinis mati dapat“dihidupkan kembali” dengan sarana-saranaartifisial. Kesepakatan mengenai kematianseseorang akan menentukan sikap dan tindakanyang sama.
Di satu sisi, kemajuan teknologikedokteran disambut dengan gembira, tapi disisi lain menimbulkan kekuatiran danketakutan baru. Kemajuan itu adalah berkatbagi manusia untuk memulihkan kesehatansekaligus kutuk karena usaha melanjutkankehidupan berarti juga memperpanjangpenderitaan dan ketidakpastian.
Kewajiban Memelihara hidup18
Permasalahan euthanasia berkait eratdengan kewajiban memelihara hidup. Misalnyasaja sumpah Hipokrates mengandung dua gagasan
17 Piet Go, Euthanasia, 9-10.18 Piet Go, Euthanasia, 10.
yaitu: kesediaan menolong penderita danmenolak membantu orang untuk bunuh diri. Duagagasan sumpah ini dimasukkan ke dalam anekakode etik kedokteran dewasa ini. Sumpah inimembantu para tenaga medis untuk menghadapisituasi dan masalah baru karena kemungkinan“penundaan” saat kematian yang bahkan menjadikabur dengan teknologi canggih.
Otonomi Penderita19
Euthanasia juga berhadapan dengangagasan tentang otonomi manusia (penderita).Keyakinan akan martabat pribadi manusiasebagai subjek pengemban hak asasi makinmeningkat, justru dalam berhadapan dengankemungkinan-kemungkinan baru yang disediakanilmu dan teknologi kedokteran canggih.Berkaitan dengan otonomi manusia setidaknyamenyangkut dua hal yaitu: hak atas privacy danhak untuk menolak penanganan serta hak untukmati. Di sini ada pergeseran arti. Semula hakuntuk mati berarti hak asasi untuk menolakpenanganan (basic right to refuse treatment). Namundewasa ini hak untuk mati berarti hak untukmenolak penanganan yang menyelamatkan hidup(the right to refuse life-saving treatment). Gagasan initimbul sehubungan dengan penolakan transfusidarah karena alasan keagamaan oleh penganutsekte Saksi Yehovah, meskipun transfusi darahtermasuk sarana biasa atau proporsional dalammoral tradisional. Hak untuk menolakpenanganan yang memperpanjang prosesmeninggal (the right to refuse death-prolongingtreatment) juga berarti hak agar penanganan
19 Piet Go, Euthanasia, 11-12.
demikian itu dihentikan atas permintaanpenderita atau keluarganya.
Hak untuk mati tumbuh dari gabunganantara hak untuk menolak penanganan yangmenyelamatkan hidup berdasarkan kebebasanagama dan hak untuk menolak penanganan yangmenunda kematian seseorang berdasarkan hakprivacy. Perkembangan menjadi hak untuk matidapat dipahami sejauh dalam konteks konkretmenolak life-saving treatment dan menolak death-prolonging treatment atau life-support system berartikematian.
Pro dan Kontra EuthanasiaMasalah euthanasia menimbulkan pro dan
kontra. Ada sebagian orang yang menyetujuieuthanasia ini. Sebagian pihak lainmenolaknya. Dalam hal ini tampak adanyabatasan karena adanya sesuatu yang mutlakberasal dari Tuhan dan batasan karena adanyahak asasi manusia. Pembicaraan mengenaieuthanasia tidak akan memperoleh suatukesatuan pendapat etis sepanjang masa. Secarasederhana, perdebatan euthanasia dapatdiringkas sebagai berikut: atas namaperhormatan terhadap otonomi manusia, manusiaharus mempunyai kontrol secara penuh atashidup dan matinya sehingga seharusnya iamempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnyajika ia menghendakinya demi pengakhiranpenderitaan yang tidak berguna. Apakahpengakhiran hidup macam itu bisa dibenarkan?
Pro EuthanasiaKelompok ini menyatakan bahwa
tindakan euthanasia dilakukan
dengan persetujuan, dengan tujuanutama menghentikan penderitaanpasien. Salah satu prinsip yangmenjadi pedoman kelompk ini adalahpendapat bahwa manusia tidak bolehdipaksa untuk menderita. Jadi,tujuan utamanya adalah meringankanpenderitaan pasien. Argumen yangpaling sering digunakan adalahargumen atas dasar belas kasihanterhadap mereka yang menderitasakit berat dan secara medis tidakmempunyai harapan untuk pulih20.Argumen pokok mereka adalahpemahaman bahwa kematian menjadijalan yang dipilih demi menghindarirasa sakit yang luar biasa danpenderitaan tanpa harapan sipasien21. Argumen kedua adalahperasaan hormat atau agung terhadapmanusia yang ada hubungannya dengansuatu pilihan yang bebas sebagaihak asasi. Setiap orang memilikihak asasi. Di dalamnya termasuk hakuntuk hidup maupun hak untuk mati.
Kontra EuthanasiaSetiap orang menerima prinsip
nilai hidup manusia. Orang-orangtidak beragama pun, yang tidakmenerima argumen teologis mengenaikesucian hidup, setuju bahwa hidup
20 James Rachels, “Euthanasia”, 40-45.21 Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere: Pernerbit Ledalero, 2003, 141.
manusia itu sangat berharga danharus dilindungi. Mereka setujubahwa membunuh orang adalahtindakan yang salah. Bagi mereka,euthanasia adalah suatu pembunuhanyang terselubung 22 . Bagi orangberagama, euthanasia merupakantindakan immoral dan bertentangandengan kehendak Tuhan. Merekaberpendapat bahwa hidup adalahsemata-mata diberikan oleh Tuhansendiri sehingga tidak ada seorangpun atau institusi manapun yangberhak mencabutnya, bagaimanapunkeadaan penderita tersebut.Dikatakan bahwa manusia sebagaimakhluk ciptaan Tuhan tidakmemiliki hak untuk mati.
Penolakan euthanasia iniberkaitan erat dengan penolakanabortus atas dasar argumen“kesucian hidup”. Karena kehidupanitu sendiri berharga, maka hidupmanusia tidak pernah boleh diakhiridalam keadaan apa pun juga. Banyakorang menolak euthanasia langsungatau aktif karena takut akan“menginjak lereng licin” (the slipperyslope)23 Jika kita boleh membunuhorang yang sedang dalam prosesmeninggal dunia atau pasien koma
22 James Rachels, “Euthanasia”, 45-46.23 Thomas A. Shannon, Pengantar Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, 69-70.
yang irreversible maka bisa jadi kitaakan memperluas pengertian danmulai membunuh bayi yang barulahir, mereka yang sakit jiwa, anakcacat mental, orang yang tidakproduktif atau secara sosial tidakdiinginkan. Begitu batas-batasuntuk membunuh diperluas, tidak adalagi orang yang aman.
DAFTAR PUSTAKA
Go, Piet, Euthanasia: Beberapa Soal Etis Akhir Hidup menurut Gereja
Katolik, Malang: Dioma, 1989.
John Paul II, “Letter on Combating Abortion and
Euthanasia”, dalam Origins 8 (1991).
Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith,
“Declaration on Euthanasia”, 1980.
Peschke, Karl-Heinz, “The Pros and Cons of Euthanasia
Reexamnined”, dalam The Irish Theological Quarterly Volume 58,
Number 1, Kildare: St. Patrick’s College, 1992.
Samil, Ratna Suprapti, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994.
Shannon, Thomas A., Pengantar Bioetika, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1995.
Holderegger, A., Il Suicidio, Assisi: Citadella, 1979,
436, sebagaimana dikutip oleh Karl-Heinz Peschke, Etika
Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, 144.