29
KASUS EUTHANASIA Mesin eutanasia yang digunakan untuk menyuntikkan obat-obatan mematikan dalam dosis tinggi. Layar komputer jinjing memandu pengguna melalui beberapa tahapan dan pertanyaan guna memastikan bahwa si pengguna telah benar-benar siap untuk dalam keputusannya tersebut. Suntikan terakhir kemudian dilakukan dengan bantuan mesin yang diatur dari komputer. 1 1. Pengertian Euthanasia Euthanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, 1 "Nitschke suicide machine confiscated" . The Sydney Morning Herald . 2003-01-10.

KASUS EUTHANASIA

Embed Size (px)

Citation preview

KASUS EUTHANASIA

Mesin eutanasia yang digunakan untuk menyuntikkan

obat-obatan mematikan dalam dosis tinggi. Layar

komputer jinjing memandu pengguna melalui beberapa

tahapan dan pertanyaan guna memastikan bahwa si

pengguna telah benar-benar siap untuk dalam

keputusannya tersebut. Suntikan terakhir kemudian

dilakukan dengan bantuan mesin yang diatur dari

komputer.1

1. Pengertian Euthanasia

Euthanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang

artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti

kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia

atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan

rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal,

1 "Nitschke suicide machine confiscated". The Sydney

Morning Herald. 2003-01-10.

biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang

mematikan.

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani,

yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, dan thanatos

berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan

cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu

euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good

death, atau enjoy death (mati dengan tenang).2

Secara etimologis euthanasia berarti kematian

dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam

mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk

menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau

meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi

kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia

tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk

mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga

tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya

dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila

orang yang bersangkutan menghendakinya.3

2 Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari SegiKedokteran, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz  Anshary AZ, (ed.),  Problematika Hukum Islam Kontemporer, buku ke-4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 64.

3 J. Chr Purwa Widyana, "Euthanasia" beberapa soal moral

berhubungan dengan quintum, (Antropologi Teologis II,

2. Sejarah Euthanasia

Asal-usul kata Euthanasia

Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu

"eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang

apabila digabungkan berarti "kematian yang baik".

Hippokrates pertama kali menggunakan istilah

"euthanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis

pada masa 400-300 SM.4

Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan

menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan

kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak

tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu

pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.

Euthanasia dalam dunia modern

Sejak abad ke-19, euthanasia telah memicu

timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika

Utara dan di Eropa. Pada tahun 1828 undang-undang anti

1974), hlm.25

4 Djoko Prakoso,  Euthanasia, hlm. 79.

euthanasia mulai diberlakukan di negara bagian New

York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan

pula oleh beberapa negara bagian. Setelah masa Perang

Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung

dilakukannya euthanasia secara sukarela.

Kelompok-kelompok pendukung euthanasia mulanya

terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika

pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada

pelaksanaan euthanasia agresif, walaupun demikian

perjuangan untuk melegalkan euthanasia tidak berhasil

digolkan di Amerika maupun Inggris. Pada tahun 1937,

euthanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss

namun pasien yang bersangkutan tidak memperoleh

keuntungan darinya.

Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak

beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan

beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang

mengajukan permohonan euthanasia kepada dokter sebagai

bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".

Euthanasia pada masa setelah perang dunia

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam

melakukan kejahatan euthanasia, pada era tahun 1940 dan

1950 maka berkuranglah dukungan terhadap euthanasia,

terlebih-lebih lagi terhadap tindakan euthanasia yang

dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena

disebabkan oleh cacat genetika.

Praktik-praktik euthanasia di dunia

Praktik-praktik euthanasia pernah yang dilaporkan

dalam berbagai tindakan masyarakat5 :

Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan

untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam

sungai Gangga.

Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati

oleh anak laki-laki tertuanya.

Uruguay mencantumkan kebebasan praktik

euthanasia dalam undang-undang yang telah

berlaku sejak tahun 1933.

Di beberapa negara Eropa, praktik euthanasia

bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang

sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan

khusus.

5 C. Satyo, Alfred, Dr,DSF,MHPE: "Dampak Teknologi

Kedokteran Modern terhadap Budaya Kematian dan

Kehidupan", Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara ,USU library, 5.

Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara

bagian, euthanasia dikategorikan sebagai

kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya

dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika

Serikat.

Satu-satunya negara yang dapat melakukan

tindakan euthanasia bagi para anggotanya

adalah Belanda. Anggota yang telah diterima

dengan persyaratan tertentu dapat meminta

tindakan euthanasia atas dirinya. Ada

beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi

anggotanya.

3. Macam-macam Euthanasia

Dari Sudut Cara/Bentuk

Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia

dapat dibedakan dalam tiga hal 6:

a.    Euthanasia aktif, artinya

mengambil keputusan untuk melaksanakan dengan

tujuan menghentikan kehidupan. Tindakan ini

6 Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994, 129.

secara sengaja dilakukan oleh dokter atau

tenaga kesehatan lainnya untuk memperpendek

atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya,

melakukan injeksi dengan obat tertentu agar

pasien terminal meninggal.

b.    Euthanasia pasif, artinya

memutuskan untuk tidak mengambil tindakan

atau tidak melakukan terapi. Dokter atau

tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak

(lagi) memberikan bantuan medis yang dapat

memperpanjang hidup kepada pasien. Misalnya,

terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan

karena tidak ada biaya, tidak ada alat

ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya

menghentikan terapi yang telah dimulai dan

sedang berlangsung.

c.     Auto-euthanasia, artinya seorang

pasien menolak secara tegas dengan sadar

untuk menerima perawatan medis dan ia

mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek

atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan

tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan

tertulis tangan). Auto-euthanasia pada

dasarnya adalah euthanasia pasif atas

permintaan.

Dari Sudut Maksud (Voluntarium)Dari sudut maksud, euthanasia dapat

dibedakan:a.    Euthanasia langsung (direct),

artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada kematian.

b.    Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak langsung untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya meringankan penderitaan.

 Dari Sudut Otonomi PenderitaDari sudut otonomi penderita euthanasia

dapat dilihat dalam tiga jenis:a.    Penderita sadar dan dapat

menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompetent).

b.    Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang lain (transmitted judgement).

c.     Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted judgement).

 Dari Sudut Motif dan PrakarsaDari sudut motif dan prakarsa,

euthanasia dibedakan menjadi dua:a.    Prakarsa dari penderita sendiri,

artinya penderita sendiri yang meminta agar hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena sebab lain.

b.    Prakarsa dari pihak luar; artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien dihentikan kehidupannya karena berbagai

sebab. Pihak lain itu misalnya keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban ataubelas kasih. Bisa juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi tertentu ataukepentingan yang lain.

4. Beberapa kasus menarik

Kasus Hasan Kusuma – Indonesia

Sebuah permohonan untuk melakukan

euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah

diajukan oleh seorang suami bernama Hassan

Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya

yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun,

tergolek koma selama 2 bulan dan di samping

itu ketidakmampuan untuk menanggung beban

biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.

Permohonan untuk melakukan euthanasia ini

diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk

euthanasia yang di luar keinginan pasien.

Permohonan ini akhirnya ditolak oleh

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah

menjalani perawatan intensif maka kondisi

terakhir pasien (7 Januari 2005) telah

mengalami kemajuan dalam pemulihan

kesehatannya.7

7 situs Kompas.

Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika

Serikat.

Seorang perempuan berusia 21 tahun dari

New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21

April 1975 dirawat di rumah sakit dengan

menggunakan alat bantu pernapasan karena

kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol

dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh

karena tidak tega melihat penderitaan sang

anak, maka orangtuanya meminta agar dokter

menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan

tersebut. Kasus permohonan ini kemudian

dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan

tingkat pertama permohonan orangtua pasien

ditolak, namun pada pengadilan banding

permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun

dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca

penghentian penggunaan alat bantu tersebut,

pasien dapat bernapas spontan walaupun masih

dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun

kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985,

pasien tersebut meninggal akibat infeksi

paru-paru (pneumonia).

Kasus Terri Schiavo

Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal

dunia di negara bagian Florida, 13 hari

setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin

mencabut pipa makanan (feeding tube) yang

selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini

masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun

1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan

ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo,

dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans

tim medis langsung dipanggil, Terri dapat

diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama

ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan

otak yang berat, akibat kekurangan oksigen.

Menurut kalangan medis, gagal jantung itu

disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur

potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu,

dokternya kemudian dituduh malapraktik dan

harus membayar ganti rugi cukup besar karena

dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi

yang membahayakan ini pada pasiennya.

Kasus "Doctor Death"

Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death",

seperti dilaporkan Lori A. Roscoe 8 Pada awal

April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale,

California diduga puluhan pasien telah

"ditolong" oleh Kevorkian untuk mengakhiri

hidup. Kevorkian berargumen apa yang

8 New England Journal of Medicine edisi Desember 2000.

dilakukannya semata demi "menolong" pasien-

pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut

apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.

5. Perspektif Euthanasia dalam Bidang Hukum

Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan

dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam

bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap

tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena

masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan

keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari

pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya

sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka

satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan

hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya

pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan

nterhadap nyawa manusia, yang dapat dijumpai dalam

Bab XIX, buku II, dari pasal 338 sampai pasal 350

KUHP.9

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

pasal yang menyinggung masalah euthanasia ini

secara pasti tidak ada, tetapi satu-satunya pasal

yang lebih mengena yaitu pasal 344, pada Bab XIX,

9 Imron Halimi, Euthanasia, hlm.149-150.

buku II, yaitu:10 “Barang siapa menghilangkan

jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,

yang disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-

sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas

tahun”.

Masalah euthanasia ini merupakan masalah yang

kompleks dari segi sifatnya, maka agar lebih mudah

untuk difahami perlu diterangkan dan dibagi secara

lebih terperinci.

Ditinjau dari segi yuridis, euthanasia dapat

diuraikan sebagai berikut:11

Euthanasia aktif

Euthanasia aktif terjadi apabila

dokter atau tenaga medis lainnya secara

sengaja melakukan suatu tindakan untuk

mengakhiri atau memeperpendek

(mengakhiri) hidup pasien. Euthanasia

aktif terbagi dalam tiga kelompok,

yaitu:

o Euthanasia aktif atas

permintaan pasien Pasal. 344

KUHP

10 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hlm.243)11 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.54-71

o Euthanasia aktif tanpa

permintaan pasien Pasal. 340

KUHP

o Euthanasia aktif tanpa sikap

dari pasien Pasal. 340, 338,

KUHP

o Euthanasia tidak langsung

o Euthanasia tidak langsung

atas permintaan pasien.

Pasal. 344, 359 KUHP.

o Euthanasia tidak langsung

tanpa permintaan pasien

Pasal. 340, 359 KUHP.

o Euthanasia tidak langsung

tanpa sikap pasien Pasal.

304, 359 KUHP

Euthanasia pasif

Euthanasia pasif terjadi terjadi

apabila dokter atau tenaga medis lainnya

secara sengaja tidak memberikan bantuan

medik terhadap pasien yang dapat

memperpanjang hidupnya. Untuk dapat

memudahkan euthanasia pasif ini juga

dibedakan menjadi tiga, yaitu:

o Euthanasia pasif atas

permintaan pasien. Tidak

dihukum

o Euthanasia pasif tanpa

permintaan pasien. Pasal. 304

jo 306 (2)

o Euthanasia pasif tanpa sikap

pasien. Pasal. 304 jo 306 (2)

Maka agar dapat mengetahui hukuman atas

tindakan tersebut perlu disebutkan pasal-pasalnya,

pasal-pasal tersebut adalah:12

Pasal. 304 KUHP:

“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau

membuarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia

wajib memberi kehidupan, perawatan atau

pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang

berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian,

dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan

bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.

4.500.000,-“.

Pasal. 306 KUHP:

"Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang

mati, sitersalah itu dihukum penjara selam-lamanya

sembilan tahun."

12 R. Soesilo, Kitab undang-undang. hlm.223-248

Pasal. 338 KUHP:

"Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa

orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan

hukumkan penjara selama-lamanya lima belas tahun."

Pasal. 344 KUHP:

"Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas

permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya

dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum

penjara selama-lamanya dua belas tahun."

Pasal. 359 KUHP:

"Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya

orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun

atau kurungan selama-lamanya satu tahun."

Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau

dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314, 1315,

dan 1319 KUH Perdata13.

6. Perspektif Euthanasia dalam Bidang Agama

a) Dalam ajaran gereja Katolik Roma

13 Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, 135-136.

Dalam menanggapi persoalan euthanasia, gereja

mendasarkan pandangan dan sikapnya pada

pandangannya sendiri tentang hidup manusia;

suatu pandangan yang berlandaskan iman

kristiani. Manusia adalah citra Allah, hidup

manusia adalah anugerah Allah, kehidupan

manusia adalah kudus, manusia adalah milik

Allah dan Allah menghendaki hidup manusia

dihormati bagaimanapun keadaannya. Jadi

dasarnya adalah berhubungan dengan Yang

Transenden bukan manusiawi belaka. Sejak

pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah

berjuang untuk memberikan pedoman sejelas

mungkin mengenai penanganan terhadap mereka

yang menderita sakit tak tersembuhkan,

sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai

euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus

Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan

mengutuk program-program genetika dan

euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi

atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang

hidup, adalah yang pertama menguraikan secara

jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman.

Pada tanggal 5 Mei tahun 1980, kongregasi untuk

ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi

tentang euthanasia ("Declaratio de euthanasia") yang

menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya

dengan semakin meningkatnya kompleksitas

sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya

promosi euthanasia sebagai sarana yang sah

untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II,

yang prihatin dengan semakin meningkatnya

praktek euthanasia, dalam ensiklik Injil

Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang

memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling

mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah

orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap

sebagai beban yang mengganggu.” Paus Yohanes Paulus

II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan

tindakan belas kasihan yang keliru, belas

kasihan yang semu: “Belas kasihan yang sejati mendorong

untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu

tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita

tanggung” (Evangelium Vitae, nomor 66).

Euthanasia dan bunuh diri merupakan penolakan

terhadap kedaulatan Allah yang mutlak atas

kehidupan dan kematian, seperti dinyatakan

dalam doa Israel kuno, “Engkau berdaulat atas hidup

dan mati; Engkau membawa kepada gerbang alam maut dan

ke atas kembali” (Keb 16:13; bdk. Ayub 13:2).

b) Dalam ajaran Islam

Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya

(Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak

seseorang untuk hidup dan mati, namun hak

tersebut merupakan anugerah Allah kepada

manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan

kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:

66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri

diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada

teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara

eksplisit melarang bunuh diri. Kendati

demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal

tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan

Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu

sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat

baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195),

dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah

engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29),

yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu

saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang

Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim

lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh

dirinya sendiri.14

Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-

rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu

suatu tindakan memudahkan kematian seseorang

dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena

kasih sayang, dengan tujuan meringankan

penderitaan si sakit, baik dengan cara positif

maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang

kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,

dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang

membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun

pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy

killing) dalam alasan apapun juga.15

c) Dalam ajaran agama Hindu

Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila

seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya

tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan

tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan

berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa

waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan 14 Harian Pikiran Rakyat15 Situs infoplease.com

(Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17

tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup

hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya

berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka

rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih

berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia

dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk

menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum

selesai dijalaninya kembali lagi dari awal16

d) Dalam ajaran Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai

denominasi yang mana memiliki pendekatan yang

berbeda-beda dalam pandangannya terhadap

euthanasia dan orang yang membantu pelaksanaan

euthanasia.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada

dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan

pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka

percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan

suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang

lebih baik.

16 Situs religionfacts.com tentang ajaran Hindu

7. Perspektif Euthanasia dalam Bidang Psikologis

 

Kekaburan Batas Antara Kematian – Kehidupanserta Kemajuan Iptek Kedokteran17

Permasalahan kekaburan kematian manusiatidak hanya berhenti pada cara penentuankematian seseorang melainkan juga semakindikaburkan dengan kemajuan teknologikedokteran. Beberapa fungsi vital organmanusia dapat didukung oleh teknologi baru,sehingga orang yang secara klinis mati dapat“dihidupkan kembali” dengan sarana-saranaartifisial. Kesepakatan mengenai kematianseseorang akan menentukan sikap dan tindakanyang sama.

Di satu sisi, kemajuan teknologikedokteran disambut dengan gembira, tapi disisi lain menimbulkan kekuatiran danketakutan baru. Kemajuan itu adalah berkatbagi manusia untuk memulihkan kesehatansekaligus kutuk karena usaha melanjutkankehidupan berarti juga memperpanjangpenderitaan dan ketidakpastian.

Kewajiban Memelihara hidup18

Permasalahan euthanasia berkait eratdengan kewajiban memelihara hidup. Misalnyasaja sumpah Hipokrates mengandung dua gagasan

17 Piet Go, Euthanasia, 9-10.18 Piet Go, Euthanasia, 10.

yaitu: kesediaan menolong penderita danmenolak membantu orang untuk bunuh diri. Duagagasan sumpah ini dimasukkan ke dalam anekakode etik kedokteran dewasa ini. Sumpah inimembantu para tenaga medis untuk menghadapisituasi dan masalah baru karena kemungkinan“penundaan” saat kematian yang bahkan menjadikabur dengan teknologi canggih.

Otonomi Penderita19

Euthanasia juga berhadapan dengangagasan tentang otonomi manusia (penderita).Keyakinan akan martabat pribadi manusiasebagai subjek pengemban hak asasi makinmeningkat, justru dalam berhadapan dengankemungkinan-kemungkinan baru yang disediakanilmu dan teknologi kedokteran canggih.Berkaitan dengan otonomi manusia setidaknyamenyangkut dua hal yaitu: hak atas privacy danhak untuk menolak penanganan serta hak untukmati. Di sini ada pergeseran arti. Semula hakuntuk mati berarti hak asasi untuk menolakpenanganan (basic right to refuse treatment). Namundewasa ini hak untuk mati berarti hak untukmenolak penanganan yang menyelamatkan hidup(the right to refuse life-saving treatment). Gagasan initimbul sehubungan dengan penolakan transfusidarah karena alasan keagamaan oleh penganutsekte Saksi Yehovah, meskipun transfusi darahtermasuk sarana biasa atau proporsional dalammoral tradisional. Hak untuk menolakpenanganan yang memperpanjang prosesmeninggal (the right to refuse death-prolongingtreatment) juga berarti hak agar penanganan

19 Piet Go, Euthanasia, 11-12.

demikian itu dihentikan atas permintaanpenderita atau keluarganya.

Hak untuk mati tumbuh dari gabunganantara hak untuk menolak penanganan yangmenyelamatkan hidup berdasarkan kebebasanagama dan hak untuk menolak penanganan yangmenunda kematian seseorang berdasarkan hakprivacy. Perkembangan menjadi hak untuk matidapat dipahami sejauh dalam konteks konkretmenolak life-saving treatment dan menolak death-prolonging treatment atau life-support system berartikematian.

Pro dan Kontra EuthanasiaMasalah euthanasia menimbulkan pro dan

kontra. Ada sebagian orang yang menyetujuieuthanasia ini. Sebagian pihak lainmenolaknya. Dalam hal ini tampak adanyabatasan karena adanya sesuatu yang mutlakberasal dari Tuhan dan batasan karena adanyahak asasi manusia. Pembicaraan mengenaieuthanasia tidak akan memperoleh suatukesatuan pendapat etis sepanjang masa. Secarasederhana, perdebatan euthanasia dapatdiringkas sebagai berikut: atas namaperhormatan terhadap otonomi manusia, manusiaharus mempunyai kontrol secara penuh atashidup dan matinya sehingga seharusnya iamempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnyajika ia menghendakinya demi pengakhiranpenderitaan yang tidak berguna. Apakahpengakhiran hidup macam itu bisa dibenarkan?

Pro EuthanasiaKelompok ini menyatakan bahwa

tindakan euthanasia dilakukan

dengan persetujuan, dengan tujuanutama menghentikan penderitaanpasien. Salah satu prinsip yangmenjadi pedoman kelompk ini adalahpendapat bahwa manusia tidak bolehdipaksa untuk menderita. Jadi,tujuan utamanya adalah meringankanpenderitaan pasien. Argumen yangpaling sering digunakan adalahargumen atas dasar belas kasihanterhadap mereka yang menderitasakit berat dan secara medis tidakmempunyai harapan untuk pulih20.Argumen pokok mereka adalahpemahaman bahwa kematian menjadijalan yang dipilih demi menghindarirasa sakit yang luar biasa danpenderitaan tanpa harapan sipasien21. Argumen kedua adalahperasaan hormat atau agung terhadapmanusia yang ada hubungannya dengansuatu pilihan yang bebas sebagaihak asasi. Setiap orang memilikihak asasi. Di dalamnya termasuk hakuntuk hidup maupun hak untuk mati.

Kontra EuthanasiaSetiap orang menerima prinsip

nilai hidup manusia. Orang-orangtidak beragama pun, yang tidakmenerima argumen teologis mengenaikesucian hidup, setuju bahwa hidup

20 James Rachels, “Euthanasia”, 40-45.21 Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere: Pernerbit Ledalero, 2003, 141.

manusia itu sangat berharga danharus dilindungi. Mereka setujubahwa membunuh orang adalahtindakan yang salah. Bagi mereka,euthanasia adalah suatu pembunuhanyang terselubung 22 . Bagi orangberagama, euthanasia merupakantindakan immoral dan bertentangandengan kehendak Tuhan. Merekaberpendapat bahwa hidup adalahsemata-mata diberikan oleh Tuhansendiri sehingga tidak ada seorangpun atau institusi manapun yangberhak mencabutnya, bagaimanapunkeadaan penderita tersebut.Dikatakan bahwa manusia sebagaimakhluk ciptaan Tuhan tidakmemiliki hak untuk mati.

Penolakan euthanasia iniberkaitan erat dengan penolakanabortus atas dasar argumen“kesucian hidup”. Karena kehidupanitu sendiri berharga, maka hidupmanusia tidak pernah boleh diakhiridalam keadaan apa pun juga. Banyakorang menolak euthanasia langsungatau aktif karena takut akan“menginjak lereng licin” (the slipperyslope)23 Jika kita boleh membunuhorang yang sedang dalam prosesmeninggal dunia atau pasien koma

22 James Rachels, “Euthanasia”, 45-46.23 Thomas A. Shannon, Pengantar Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, 69-70.

yang irreversible maka bisa jadi kitaakan memperluas pengertian danmulai membunuh bayi yang barulahir, mereka yang sakit jiwa, anakcacat mental, orang yang tidakproduktif atau secara sosial tidakdiinginkan. Begitu batas-batasuntuk membunuh diperluas, tidak adalagi orang yang aman.

 

DAFTAR PUSTAKA

Go, Piet, Euthanasia: Beberapa Soal Etis Akhir Hidup menurut Gereja

Katolik, Malang: Dioma, 1989.

John Paul II, “Letter on Combating Abortion and

Euthanasia”, dalam Origins 8 (1991).

Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith,

“Declaration on Euthanasia”, 1980.

Peschke, Karl-Heinz, “The Pros and Cons of Euthanasia

Reexamnined”, dalam The Irish Theological Quarterly Volume 58,

Number 1, Kildare: St. Patrick’s College, 1992.

Samil, Ratna Suprapti, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994.

Shannon, Thomas A., Pengantar Bioetika, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1995.

Holderegger, A., Il Suicidio, Assisi: Citadella, 1979,

436, sebagaimana dikutip oleh Karl-Heinz Peschke, Etika

Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, 144.

James Rachels, “Euthanasia”, dalam Tom Regan (ed.),

Matters of Life and Death: New Introductory Essays in moral Philosophy,

New York: Random House, 1980.