Upload
khangminh22
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016
2017
Jurnal
Industri Hasil Perkebunan Journal of Plantation Based Industry
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri
Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016
2017
p - ISSN 1979 – 0023
e - ISSN 2477 – 0051
Volume 12 No. 1 Juni 2017
p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051
JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN
Journal Of Plantation Based Industry
Vol. 12 No. 1 Juni 2017 Penanggung Jawab :
Drs. Abd Rachman Supu, MM
Kepala Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
Manajer Jurnal :
Muh. Mukhlis Afriyanto, ST, M.Si
Dewan Editor : Editor :
Medan Yumas, S.Pi
Editor Bagian :
Alfrida L.S. Barra, ST, M.Si Eky Yenita Ristanti, M.MG Melia Ariyanti, S.TP, M.Si
Copy Editor :
Wahyuni, ST Dyah Wuri Asriati, ST
Layout Editor :
Rahmad Wahyudi, ST Wiyanto P. Tangkin, ST
Proof Reader :
Eko Prio Purnomo, S.S., M.Med.Kom Andi Nur Amalia A, S.Tp
Reviewer :
Ir. Ruslan Yunus, M.S. (Teknik Industri, Ekonomi Proses) Drs. P. Natsir La Teng (Pemrosesan Pangan) Ir. Rosniati (Tek. Hasil Pertanian) Ir. Sitti Ramlah, M.Si (Tek. Hasil Pertanian, Agribisnis) Ir. Justus Elisa Loppies (Tek. Hasil Pertanian) Prof. Dr. Ir. T. Harlim (Jur. Kimia Fak. MIPA UNHAS) Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jur. Teknologi Pertanian Fak. Pertanian UNHAS) Prof. Dr. Ir. Mulyati M. Tahir, MS (Jur. Tek. Hasil Pertanian Fak. Pertanian UNHAS) Dr. Paulina Taba, M.Phil (Kimia UNHAS) Penerbit : Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian R.I. Alamat Redaksi : Jalan Prof. Dr. Abdurrahman Basalamah No. 28, Kotak Pos 1148
Telp. (0411) 441207, Faks. (0411) 441135 Makassar 90231
e-mail : [email protected] Akreditasi LIPI : Nomor : 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016, tanggal 24 Maret 2016
Jurnal Industri Hasil Perkebunan merupakan jurnal Ilmiah berkala yang memuat karya tulis hasil penelitian, pengembangan, dan pemikiran/ulasan ilmiah dibidang ilmu/bidang aplikasi rekayasa (teknik) dan teknologi industri
hasil perkebunan. Terbit pertama kali pada tahun 2006 dengan frekuensi terbit setiap semester atau pada bulan Juni dan Desember. Lingkup permasalahan mencakup bahan baku, proses, mesin, peralatan, produk termasuk produk turunan, limbah, dan hasil samping. Bahasa penulisan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Ha katas artikel dilindungi oleh Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta
i
p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051
JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN
Journal Of Plantation Based Industry
Vol. 12 No. 1 Juni 2017
PENGANTAR REDAKSI
Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Industri Hasil
Perkebunan Volume 12 No. 1 Juni 2017 dapat diterbitkan. Edisi pertama pada volume
ini menyajikan enam artikel hasil seleksi Tim Review.
Keenam artikel tersebut masing-masing adalah : (1). Pengaruh Cara Pengolahan
Terhadap Citarasa dan Karakteristik Produk Olahan Kakao dan Cokelat (2). Pembuatan
Arang Cangkang Kelapa Sawit Dengan Proses Torefaksi (3). Formulasi Minuman Instan
Cokelat Sebagai Minuman Imunomudulator (4). Karakteristik Mutu Biji Kakao
(Theobroma cacao L) Dengan Perlakuan Waktu Fermentasi Berdasarkan SNI 2323-
2008 (5). Grading Warna Daun Tembakau Bawah Naungan Menggunakan Jaringan
Saraf Tiruan (6). Pengaruh Formulasi dan Asal Biji Kakao Fermentasi Terhadap Mutu
dan Citarasa Dark Chocolate.
Artikel yang disajikan berasal dari beberapa institusi litbang maupun perguruan
tinggi dan merupakan hasil penelitian yang berkaitan dengan penanganan pasca panen,
penanganan limbah industri, pengolahan pangan dan pemanfaatan bahan alam.
Kepada para penulis yang telah mengirimkan artikelnya kami ucapkan terima
kasih. Semoga hasil-hasil penelitian tersebut dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan industri nasional, khususnya industri hasil perkebunan dan dapat
memperkaya khasanah iptek sebagai bagian dari wujud pengabdian kita kepada Tuhan,
bangsa dan negara.
Akhirnya kepada para sejawat peneliti, perekayasa, dan dosen baik dari dalam
lingkungan maupun dari luar lingkungan Kementerian Perindustrian kami undang untuk
mengirimkan artikel karya tulis ilmiahnya untuk dimuat pada Jurnal IHP.
Makassar, Juni 2017
Editor/Ketua Dewan Redaksi
p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051
JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN
Journal Of Plantation Based Industry
Vol. 12 No. 1 Juni 2017
UCAPAN TERIMA KASIH
Jurnal Industri Hasil Perkebunan p-ISSN 1979 – 0023 dan e-ISSN 2477-0051 menyampaikan terima kasih kepada para Reviewer yan telah menelaah (mereview) artikel-artikel pada penerbitan Vol. 12 No. 1 Juni 2017. Terimakasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. T. Harlim (Jurusan Kimia FMIPA UNHAS), Prof. Dr. Ir. Mulyati M. Tahir (Jurusan Teknologi Pertanian UNHAS), Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian UNHAS), Dr. Ir. Paulina Taba, M.Phil (Jurusan Kimia FMIPA UNHAS), Ir. Ruslan Yunus, M.Sc ( Teknik Industri, Ekonomi Proses), Ir. Justus E.Loppies (Teknologi Hasil Pertanian), Drs. P. Natsir Lateng, M.Si (Teknologi Pascapanen), Ir. Sitti Ramlah, M.Si (Teknologi Pasca Panen), dan Ir. Rosniati (Teknologi Pasca Panen).
ii
iii
p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051
JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN Journal of Plantation Based Industry Vol. 12 No. 1, Juni 2017
PENGANTAR REDAKSI
Hal
i
UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI LEMBAR ABSTRAK (ABSTRACT SHEET)
ii
iii iv
EFFECT OF PROCESSING TECHNIQUES ON FLAVOUR AND CHARACTERISTICS OF COCOA PROCESSED AND CHOCOLATE PRODUCTS Pengaruh Cara Pengolahan Terhadap Citarasa dan Karakteristik Produk Olahan Kakao dan Cokelat
Agus Sudibyo
1 – 13
PEMBUATAN ARANG CANGKANG KELAPA SAWIT DENGAN PROSES TOREFAKSI Preparation of Palm Kernel Shell Charcoal Using Torrefaction Method
Zainal Abidin Nasution dan Harry P. Limbong
14 – 20
FORMULASI MINUMAN INSTAN COKELAT SEBAGAI MINUMAN IMUNOMODULATOR Formulation of Instant Chocolate Drinks as Immunomodulator Drinks
Rosniati, Muh. Ruslan Yunus dan Kalsum
21 - 33
KARAKTERISTIK MUTU BIJI KAKAO (Theobroma cacao L) DENGAN PERLAKUAN WAKTU FERMENTASI BERDASAR SNI 2323-2008 Quality Characteristics Of Cocoa Beans (Theobroma cacao L) With Time Fermentation Treatment Based on ISO 2323-2008
Melia Ariyanti
34 – 42
GRADING WARNA DAUN TEMBAKAU BAWAH NAUNGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN Color Grading of Shaded Tobacco Leaves Using Artificial Neural Network
Aneke Rintiasti dan Ikhwan Krisnadi
43 – 57
PENGARUH FORMULASI DAN ASAL BIJI KAKAO FERMENTASI TERHADAP MUTU DAN CITARASA DARK CHOCOLATE Effect of Formulation and Fermented Cocoa Beans Origin to Dark chocolate’s Quality and Flavour
Sitti Ramlah dan Medan Yumas
58 – 75
p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051
JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN Journal of Plantation Based Industry Vol. 12 No. 1, Juni 2017
LEMBAR ABSTRAK (ABSTRACT SHEET)
EFFECT OF PROCESSING TECHNIQUES ON FLAVOUR AND
CHARACTERISTICS OF COCOA PROCESSED AND CHOCOLATE PRODUCTS
Agus Sudibyo Center for Agro-Based Industry (CABI);
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122 Indonesia Email: [email protected]
ABSTRACT Flavour is important factor and central to acceptability of cocoa products such as chocolate and contributes to determining the quality. The quality of chocolate flavour is influence by several variable factors since in the stage of post-harvest treatments and handling till in manufacturing process. The aim of this paper was review and discuss all relevant studies in relation to cocoa beans and chocolate production, and identify their influence of processing techniques on flavour and characteristics of the cocoa processed products. This information hopefully has potential benefits on the making process of a chocolate manufacture. Key words: cocoa, processing technique, flavour, characteristic, chocolate.
PREPARATION OF PALM KERNEL SHELL CHARCOAL USING TORREFACTION METHOD
Zainal Abidin Nasution dan Harry P. Limbong
Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan
Jln Sisingamangaraja no.24 Medan 20217
e – mail: [email protected]
ABSTRACT. Palm kernel shells are biomass resulted from photosynthesis of chlorophyls, working as
solar cells that absorb sunlight energy, then converting carbon dioxide with water into a material
containing carbon, hydrogen and oxygen. The material is in solid form and can be converted into
coconut shell charcoal. In the implementation of this research, coconut shell charcoal is made by coconut
shell torrefaction process. From the process of coconut shell torrefaction, the average auction yield
is 38.20% (the last temperature of the torrefaction process is 3480C, when the oil palm shells no
longer smoke and the residence time is 105 minutes). Observation on the temperature and the
residence time of coconut shell restriction on the smoke condition of the resulted palm oil charcoal
shaping that occurs, as an indicator, it is known that the palm oil charcoal shaping process follows the
typical graph of biomass stages with torrefaction process shown in Figure 1 as followed: heating stage,
drying stage, post-drying stage, torrefaction stage and cooling stage.
Key words: palm kernel shells, torrefaction, palm kernel shells charcoal
iv
FORMULATION OF INSTANT CHOCOLATE DRINKS AS IMMUNOMODULATOR
DRINKS
Rosniati, Muh. Ruslan Yunus dan Kalsum e-mail : [email protected]
Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No. 28, Makassar 90231
Abstract : Instant chocolate drinks, as immunomodulator drinks, were developed from the
instant chocolate - ginger drink of Rosniati, as a functional drink (2011). Drinks were
formulated from 55 % sucrose, 30 % cocoa powder (processed from non – fermented and
non roasted cocoa beans), and 15 % non – dairy creamer, in (w/w), as A formula, and the
other from 55 % sucrose, 30 % cocoa powder (processd from non – fermented and non –
roasted cocoa beans), and 15 % instant soy powder, in (w/w), as B formula. Preparation of
drinks also used co-crystallization technique. Of the two formulas, the B formula (combination
of cocoa powder and instant soy powder), in the in-vivo tests, showed better in
immunomodulation effects. Indeed, at a dose of 39 (mg/kg of mice weight), the B formula
had non specific immune response with phagocytic index of 2.042 (strong), primary antibody
titer of 1 : 384 and secondary antibody titer of 1 : 768, as humoral immune response, and
IFN- γ of 1,436,360.14 (pmol) and IL-2 of 941.30 (pmol), as cellular immune response, all
above the control drink values.
Key words: instant chocolate drink, immunomodulator, non-fermented, non-roasted cocoa beans, instant soy powder .
QUALITY CHARACTERISTICS OF COCOA BEANS (THEOBROMA CACAO L) WITH TIME FERMENTATION TREATMENT BASED ON ISO 2323-2008
Melia Ariyanti
Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Jl. Prof. Dr. H. Abdurahman Basalamah No.28 Makassar
e-mail: [email protected]
ABSTRACT The aim of this research was to determine the quality of 5 and 6 days fermented cocoa beans in Belopa, Luwu District, South Sulawesi by ISO 2323-2008. Raw materials used in the study was the cocoa beans from farmers in Batu Titik Village Batu Lappa subdistrict, Belopa, Luwu Districts. Cocoa beans fermented for 5 and 6 days dried in the sun, then analyzed in the laboratory testing BBIHP Makassar. Test parameters based on the quality requirements of ISO 2323-2008 cocoa beans include general conditions and special requirements. The results showed that the cocoa bean fermentation for 5 and 6 days measuring 94 and 95 seeds per 100 grams, including class A. Based on the general requirements ISO 2323-2008, fermented cocoa beans 5 and 6 days not yet meet the quality requirements for water content, while the special requirements seeds not meet the quality requirements for the levels of impurities. Based on the special requirements, fermented cocoa beans 5 and 6 days of research result from Luwu Districts including quality III. Key words: cacao beans, fermentation, quality, ISO 2323-2008.
v
COLOR GRADING OF SHADED TOBACCO LEAVES USING ARTIFICIAL NEURAL
NETWORK
Aneke Rintiasti#1, Ikhwan Krisnadi#2 #1 Baristand Industri Surabaya, Jl. Jagir Wonokromo 360 Surabaya, [email protected]
ABSTRACT Various cigars, which are present in the community among the elite and prestigious venues, the raw material is a Java Tabak cigars, tobacco from Java, especially Klaten and Jember. Recent years, the availability of labor more difficult with increasing costs skyrocketing, so it must start leading to mechanization. The purpose of this research was to Generate Design of Tobacco Leaf Analysis Applications, Getting Segmentation Model for pixel readout from tobacco leaves, Generate classification models that can be used for the separation of tobacco leaves which is expected to ease the process of evaluation and classification of color in the first sorting Tobacco leaves. Tobacco Leaf used is The Under Shade Tobacco leaf (TBN) consisted of five classes, namely the color Blue / Green (B), Yellow (K), Yellow Sprayed (KV), Red (M), Red Sprayed (MV). Before analyzed the leaves image photographed using a cabinet that unaffected the outside light. TBN leaf image is then analyzed using the RGB model and models HSV, RGB image of the model is analyzed using the characteristic leaf color values, The image of leaf TBN that meets the characteristics become an input of Bakcpropagation Neural Networks with the target are 5 color grade which converted into a binary form. The research resulted Segmentation Model for pixel readout TBN tobacco leaves using RGB models, classification model that can be used for the classification of TBN leaves use Neural Network Back Training RGB with an error value = 8.7%.” Key words : bisuki tobacco, shaded tobacco, image processing
Effect of Formulation and Fermented Cocoa Beans Origin to Dark chocolate’s Quality and Flavour
Sitti Ramlah, Medan Yumas
Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Jl.Prof.Dr. Abdurrahman Basalamah, No.28 Makassar
ABSTRACT Research on the effect of formulation and fermented cocoa beans origin to dark chocolate’s quality and flavour has been done. This research aims to know how is the effect of formulation and fermented coco beans origin to the quality and flavours of resulted dark chocolate. This research used 2 (two) treatment . First treatment was origin of coco beans used on the research (A), in which : South Sulawesi (A1), West Sulawesi (A2), Central Sulawesi (A3), second treatment was formula quality of dark chocolate to be produced (B), in which medium quality (B1) and high quality formula (B2). Testing parameter used were water moisture, fat content, sucrose content, FFA, fatty acid, amino acid, polyphenol, flavour, TPC and melting point. Research result can be concluded that formulation and origin of fermented cocoa beans affecting quality and flavourof resulted dark chocolate in tenns of melting point, amino acids content, fatty acids, polyphenol content, and flavour score. Dark chocolate produced Central Sulawesi both for medium quality and high quality had higher polyphenol content compare to those from both South and West Sulawesi. Key words : Cocoa beans, fermentation, dark chocolate, medium quality, high quality, flavour.
vi
PENGARUH CARA PENGOLAHAN TERHADAP CITARASA DAN KARAKTERISTIK PRODUK OLAHAN KAKAO DAN COKELAT
Agus Sudibyo Center for Agro-Based Industry (CABI);
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122 Indonesia Email: [email protected]
ABSTRAK Citarasa merupakan salah satu faktor penting dan sebagai salah satu pusat penerimaan produk olahan kakao seperti cokelat dan berkontribusi dalam penetapan mutu. Mutu citarasa produk cokelat dipengaruhi oleh beberapa variabel faktor, sejak pada tahap penanganan pasca-panen hingga tahap proses pengolahan di pabrik. Tulisan ini disajikan bertujuan untuk mengulas dan membahas serta mendiskusikan semua hasil studi yang pernah dilakukan, yang berhubungan dengan biji kakao dan produksi cokelat serta mengidentifikasi pengaruh cara pengolahannya terhadap citarasa dan karaketeristik produk olahan kakao. Informasi ini diharapkan mempunyai potensi yang bermanfaat pada proses pengolahan kakao di pabrik cokelat.
Kata kunci : kakao, cara pengolahan, citarasa, karakteristik, cokelat.
PEMBUATAN ARANG CANGKANG KELAPA SAWIT DENGAN PROSES
TOREFAKSI
Zainal Abidin Nasution dan Harry P. Limbong
Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan
Jln Sisingamangaraja no.24 Medan 20217, Provinsi Sumatera Utara E – mail: [email protected]
ABSTRAK. Cangkang kelapa sawit merupakan biomassa yang terbentuk dari hasil fotosintetis butir-
butir hijau daun, bekerja sebagai sel surya yang menyerap energi sinar matahari, kemudian
mengkonversi karbon dioksida dengan air menjadi suatu material yang mengandung karbon, hidrogen
dan oksigen. Material tersebut dalam bentuk padatan dan apabila dikonversi dapat menjadi arang
cangkang kelapa sawit. Pada pelaksanaan penelitian ini, arang cangkang kelapa sawit dibuat dengan
proses torefaksi cangkang kelapa sawit. Dari proses torefaksi cangkang kelapa sawit diperoleh
rendemen pengarangan rata-rata adalah 38,20% (suhu terakhir proses torefaksi adalah 3480C, pada
saat cangkang kelapa sawit tidak lagi mengeluarkan asap dan waktu tinggal pengarangan adalah
105 menit). Dari hasil pengamatan temperatur dan waktu tinggal pengarangan cangkang kelapa sawit
terhadap kondisi asap proses pengarangan cangkang sawit yang terjadi, sebagai indikator,
diketahui bahwa proses pembentukan arang cangkang kelapa sawit mengikuti Grafik Tipikal Tahapan
Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi yang tertera pada Gambar 1, yaitu tahapan heating,
tahapan drying, tahapan post drying, tahapan torrefaction dan tahapan cooling.
Kata kunci: cangkang kelapa sawit, torefaksi, arang cangkang kelapa sawit,
vii
FORMULASI MINUMAN INSTAN COKELAT SEBAGAI MINUMAN IMUNOMODULATOR
Rosniati, Muh. Ruslan Yunus dan Kalsum e-mail : [email protected]
Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No. 28, Makassar 90231
Abstrak. Minuman instan cokelat sebagai minuman imunomodulator, dikembangkan dari
minuman cokelat-jahe instan dari Rosniati, sebagai minuman fungsional (2011). Minuman
imunomodulator diformulasi dari bubuk kakao 30% (diolah dari biji kakao tanpa fermentasi
dan tanpa sangrai), gula sukrosa 55%, dan non-dairy creamer 15% (b/b), sebagai formula
A, dan dari bubuk kakao 30% (diolah dari biji kakao tanpa fermentasi dan tanpa sangrai,
gula sukrosa 55%, dan bubuk kedelai instan15% (b/b), sebagai formula B. Penyiapan
produk minuman ini juga menggunakan teknik ko- kristalisasi. Dari kedua formula minuman
imunomodukator, formula B (kombinasi bubuk kakao dengan bubuk instan kedelai)
memberikan efek imunomodulasi yang lebih tinggi. Bahkan pada pemberian dosis 39
(mg/kg berat mencit), secara in vivo, menghasilkan respon imun non spesifik dengan
indeks fagositik 2,042 (kuat), titer antibodi primer 1:384 dan titer antibodi sekunder 1:768,
sebagai respon imun humoral, dan IFN-γ sebesar.436.60,14 (pmol) dan IL-2 sebesar
941,30 (pmol), sebagai respon imun selular, yang semuanya berada diatas nilai kontrol.
Kata kunci: minuman cokelat instan, imunomodulator, biji kakao tanpa fermentasi dan
tanpa sangrai, bubuk kedelai instan.
KARAKTERISTIK MUTU BIJI KAKAO (Theobroma cacao L) DENGAN PERLAKUAN WAKTU FERMENTASI BERDASAR SNI 2323-2008
Melia Ariyanti
Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Jl. Prof. Dr. H. Abdurahman Basalamah No.28 Makassar
e-mail: [email protected]
ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu biji kakao yang difermentasi 5 dan 6 hari di Belopa, Kab. Luwu Sulawesi Selatan berdasarkan SNI 2323-2008. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah biji kakao dari petani di Dusun Batu Titik Desa Batu Lappa, Belopa Kab. Luwu. Biji kakao yang telah difermentasi selama 5 dan 6 hari kemudian dikeringkan dengan dijemur di bawah sinar matahari, selanjutnya dianalisa di Laboratorium Pengujian BBIHP Makassar. Parameter uji berdasarkan syarat mutu biji kakao SNI 2323-2008 meliputi syarat umum dan syarat khusus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari berukuran 94 dan 95 biji per 100 gram, termasuk golongan A. Berdasarkan syarat umum SNI 2323-2008, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari belum memenuhi syarat mutu untuk kadar air, sedangkan syarat khusus biji belum memenuhi syarat mutu untuk kadar kotoran. Berdasar syarat khusus, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari hasil penelitian dari Kab. Luwu termasuk mutu III. Kata kunci: biji kakao, fermentasi, mutu, SNI 2323-2008. ,
viii
GRADING WARNA DAUN TEMBAKAU BAWAH NAUNGAN MENGGUNAKAN JARINGAN
SARAF TIRUAN
Aneke Rintiasti#1, Ikhwan Krisnadi#2 #1 Baristand Industri Surabaya, Jl. Jagir Wonokromo 360 Surabaya,
[email protected] #2 [email protected]
ABSTRAK Aneka cerutu, yang hadir di kalangan komunitas elit dan tempat-tempat yang prestisius, bahan bakunya adalah Java Tabak Cerutu, tembakau asal Jawa, khususnya Klaten dan Jember. Beberapa tahun belakangan ini, ketersediaan tenaga kerja semakin sulit dengan biaya yang semakin meroket, sehingga harus mulai mengarah ke mekanisasi. Tujuan Penelitian ini adalah menghasilkan Rancang Bangun Aplikasi Analisa Daun Tembakau, mendapatkan Model Segmentasi untuk pembacaan piksel daun tembakau, menghasilkan Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk Pemisahan daun tembakau,sehingga diharapkan dapat mempermudah proses evaluasi dan klasifikasi warna pada Sortasi I daun Tembakau. Daun Tembakau yang digunakan adalah Daun Tembakau Bawah Naungan (TBN) jenis besuki terdiri dari 5 kelas warna yaitu Biru / Hijau (B), Kuning (K), Kuning Tidak Merata (KV), Merah (M), Merah Tidak Merata (MV). Sebelum dianalisa citra daun difoto menggunakan cabinet yang tidak terpengaruh cahaya luar. Citra daun TBN tersebut kemudian dianalisa menggunakan model RGB, dari model RGB citra daun dianalisa menggunakan karakteristik nilai warna, citra daun TBN yang memenuhi karakteristik menjadi masukan Jaringan Saraf Tiruan Bakcpropagation dengan target 5 kelas warna yang sudah diubah menjadi bentuk biner. Penelitian menghasilkan Model Segmentasi untuk pembacaan piksel daun tembakau TBN menggunakan model RGB, Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk klasifikasi daun TBN menggunakan Neural Network Back PropagationTraining RGB dengan nilai error = 8.7%. Kata Kunci : tembakau besuki, tembakau bawah naungan, pengolahan citra
PENGARUH FORMULASI DAN ASAL BIJI KAKAO FERMENTASI TERHADAP MUTU DAN CITARASA DARK CHOCOLATE
Sitti Ramlah, Medan Yumas
Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Jl.Prof.Dr. Abdurrahman Basalamah, No.28 Makassar
ABSTRAK Penelitian Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao Fermentasi Terhadap Mutu Dan Citarasa Dark Chocolate telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh formulasi da asal biji kakao fermentasi terhadap mutu dan citarasa dark chocolate yang dihasilkan. Pada penelitian pembuatan Dark Chocolate menggunakan 2 (dua) perlakuan . Perlakuan pertama yaitu Asal Daerah (provinsi) biji kakao yang digunakan (A) yaitu ; Sulawesi Selatan (A1), Sulawesi Barat (A2), Sulawesi Tengah (A3), dan perlakuan ke dua adalah formula/kualitas Dark Chocolate yang akan di buat (B), yaitu Formula Kualitas sedang (B1), dan Formula Kualitas Tinggi (B2). Parameter uji yang digunakan adalah kadar air, kadar lemak, kadar gula, FFA, asam lemak, asam amino, polifenol, citarasa, ALT dan titik leleh. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa formulasi dan asal biji kakao fermentasi mempengaruhi mutu dan citarasa dark chocolate yang dihasilkan terutama dari segi titik leleh, kadar asam amino, asam lemak, kadar polifenol dan nilai citarasa. Dark chocolate yang dihasilkan dari kakao asal Sulawesi tengah baik kualitas sedang maupun kualitas tinggi memiliki kandungan polifenol tertinggi dibanding dark chocolate dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Kata Kunci. Biji kakao, fermentasi, dark chocolate, kualitas sedang, kualitas tinggi, mutu, citarasa.
,
ix
EFFECT OF PROCESSING TECHNIQUES ON FLAVOUR AND
CHARACTERISTICS OF COCOA PROCESSED AND CHOCOLATE PRODUCTS
Pengaruh Cara Pengolahan Terhadap Citarasa dan Karakteristik Produk Olahan Kakao dan Cokelat
Agus Sudibyo Center for Agro-Based Industry (CABI);
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122 Indonesia Email: [email protected]
ABSTRACT Flavour is important factor and central to acceptability of cocoa products such as chocolate and contributes to determining the quality. The quality of chocolate flavour is influence by several variable factors since in the stage of post-harvest treatments and handling till in manufacturing process. The aim of this paper was review and discuss all relevant studies in relation to cocoa beans and chocolate production, and identify their influence of processing techniques on flavour and characteristics of the cocoa processed products. This information hopefully has potential benefits on the making process of a chocolate manufacture. Keywords: cocoa, processing technique, flavour, characteristic, chocolate.
ABSTRAK Citarasa merupakan salah satu faktor penting dan sebagai salah satu pusat penerimaan produk olahan kakao seperti cokelat dan berkontribusi dalam penetapan mutu. Mutu citarasa produk cokelat dipengaruhi oleh beberapa variabel faktor, sejak pada tahap penanganan pasca-panen hingga tahap proses pengolahan di pabrik. Tulisan ini disajikan bertujuan untuk mengulas dan membahas serta mendiskusikan semua hasil studi yang pernah dilakukan, yang berhubungan dengan biji kakao dan produksi cokelat serta mengidentifikasi pengaruh cara pengolahannya terhadap citarasa dan karaketeristik produk olahan kakao. Informasi ini diharapkan mempunyai potensi yang bermanfaat pada proses pengolahan kakao di pabrik cokelat. Kata kunci : kakao, cara pengolahan, citarasa, karakteristik, cokelat.
INTRODUCTION
Cocoa (Theobroma cacao, L.) is a crash crop of huge economic significance in the world and the key raw material for chocolate manufacturing (Krahmer et al., 2015; Ho et al., 2015). Chocolate is the generic name for the homogenous products that prepared from cocoa and cocoa materials with sugars, milk products, flavouring substances and other food ingredients (Codex Standard. 87. 1981, Rev. 1 : 2003).
Cocoa beans are obtained from the ripen Theobroma cacao pods which commonly planted in the West Africa, South America and some tropical regions around the world like in Indonesia (Ardhana and Fleet, 2003). Cocoa as a food ingredient is fast becoming very popular in the food and confection industry worldwide. It is available in wide variety of forms, colors and flavors and is used in numerous
applications (Ndife et al., 2013). For example, cocoaa powder is used in makin beverages with other ingredients such as milk and sugar, while cocoa butter is used for chocolate production..
Chocolate products are desired and eaten, due to their attractive flavours and appearances (Pimentel et al., 2010). The primary chocolate categories are dark, milk and white chocolate (Afoakwa et al., 2007). The widely enjoyed chocolate-flavour, make it a favorite ingredient in bakey, ice cream, beverage, syrup manufacture and as confection in itself (Lecumberri et al., 2007).
Several characteristics of chocolate strongly depend on the process done at the very beginning of the supply chain (Saltini et al., 2013). Another word, quality and flavour of cocoa products strongly depend on the various stages of cocoa processing (Giacometti et al., 2015). These processes begin very early with cocoa
Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)
1
farming, storage, fermentation, drying, and packing the cocoa beans and continue with the manufacturing of chocolate (Saltini et al., 2013).
Sustainable cocoa production also involves the production of high quality cocoa beans. Cocoa beans quality is made up of several components such as flavour volatiles, nutritional composition, polyphenolic content and fermentation quality (Kongor et al., 2016). The most important components are the flavour volatiles of the beans as the effect cocoa bean acceptability (Magi et al., 2012; Krahmer et al., 2015).
For those reasons, chocolate manufactures have only rough expectations of the qualitative parameters by country of origin as aim at having uniform and constant raw materials to produce chocolate (Saltini et al., 2013). As a consequence of the increased implementation of food quality and food safety in the food industry, so detailed information on how products were handled and treated during production processing could actually be transferred to the producer of the final product and could be used to optimize production operations (Akkerman et al., 2010).
With ever increasing product output, it is essentially important to have a good understanding of the influences of chocolate manufacturing process, as well as the processing conditions, on the quality of the final product (Keijbets et al., 2010). Therefore, this paper aims to review and discuss all relevant studies in relation to cocoa beans and chocolate production, analyzed the different variables investigated and identify their influence of processing techniques on flavour and characteristics of the cocoa processed products.
EFFECT OF POST-HARVEST TECHNIQUES AND TREATMENTS ON COCOA BEAN QUALITY
Before resulting a final cocoa products with a variety of good cocoa processed and chocolate products, the
first step processing and production that must be passed through as the key indicators in the processing of cocoa is the post-harvest technique and treatment and handling. Post-harvest techniques and treatments of cocoa involeves all the primary process harvested cocoa pods goes through, before the final dried bean is obtained. These processes include pulp pre- conditioning, fermentation and drying (Kongor et al., 2016). These processes are usually carried out in the country of origin and they play a critical role in the flavour profile of the dried cocoa beans (Krahmer et al., 2015).
Pre-Conditioning
The pre-conditioning involves changing the properties of the pulp prior to the development of microorganisms in fermentation (Afoakwa et al., 2011 b). These changes may be in the form of altering the moisture content of the pulp, sugar content, and volume of pulp per seed as well as pH and acidity of the pulp (Kongor et al., 2016). Removing portions of cocoa bean pulp or reducing the fermentable sugar content has been shown to contribute to less acid production during fermentation, leading to less acid beans (Afoakwa et al., 2012).
Studies have shown that pre- fermentation treatments have significant effects in changing the acidity and polyphenol content of the cocoa beans, and thus, flavour of the beans (Nazarudin et al., 2006; Afoakwa et al., 2012). Pulp pre- conditioning can be done in three basic methods prior to fermentation and these are pod storage, depulping (mechanical or enzymatic) and bean spreading (Afoakwa et al., 2011 a).
Pos storage is basically storing harvested cocoa pods for a period of time before opening the pods and fermenting the beans. Pod storage prior to splitting of the beans has been recommended for cocoa beans which are difficult to fermentation or to give chocolate with strong acid flavour (Saltini et al., 2013). Pod storage as
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13
2
studied by Afoakwa et al., (2011 b) appears to have highly beneficial effect on the chemical composition of cocoa beans and subsequent development of chocolate flavour. Results of the studied by Afoakwa et al., (2011 a) also noted that increasing pod storage consistently decreased the non-volatile cidity with concomitant increase in pH during fermentation of Ghanaian cocoa beans.
It is clearly shown in the literature, that pod storage prior to splitting would reduce the sucrose, glucose, fructose, ethanol and acetic acid content, and increase the pH in fermented cocoa beans, improving the flavour of the final chocolate (Saltini et al., 2013). For this reason, pod storage might be beneficial for beans that tend to develop low pH and acidic flavour. On contrast, however, pod storage does not only have benefits. The existing of the amount mouldy beans significantly increases with pod storage, and as a consequence it increses the production waste (Ortiz de Bertorelli et al., 2009).
Fermentation
Fermentation is essential for the development of appropriate flavours from precursors. The approaches used in spontaneous cocoa bean fermentation differs among the producing countries as followed the local preferences; for instance the methods/techniques being used, duration of fermentation, pod or bean selection and post-harvest treatments which will have significant impact on the quality of end products (Camu et al., 2008; Kostinek et al., 2008; Ganeswari et al., 2015).
Fermentation of cocoa beans is very crucial as it promotes dramatic biochemical changes in the type and concentration of flavours precursors in cocoa beans (Kadow et al., 2013; Krahmer et al., 2015). Therefore, the correct fermentation and drying of cocoa beans, which carried out in the countries of origin are essential to the development of suitable flavour and/or
flavour precursor (Ho et al., 2014). As consequence, the fermentation method determines the final quality of products produced, especially their flavour.
Different fermentation methods are used for fermenting cocoa beans depending on farmers (Guehi et al., 2010 a), areas and countries (Camu et al., 2008). Platforms, heap, baskets, and boxes are the most used fermentation methods. The platforms method has a quite low fermentation rate, adequate for Criollo beans which require short fermentation, but in appropriate for Forastero which require longer fermentation. This longer fermentation often induces the growth of unwanted molds and consequently off-flavors (Guehi et al., 2010 a).
In general, cocoa beans fermente in boxes show relatively low concentrations of sugar, ethanol and acetic acid, and a high pH. In some cases, the boxes methods has been categorized as a method with low uniformity, which may cause incomplete usage sugars or high presence of defective beans (Guehi et al., 2010 a). Additionally, for this fermentation method, it has been found that the size, shape and construction material of the box also significantly influence pH, tannins, sugar content and presence of purple beans (Wallace and Giuste, 2011).
The fermentation processes is characterized by a well known systematic microbial succession (Saltini
et al., 2013). During fermentation, microbiaal succession occur as the micro-environment (temperature, pH, oxygen avaibility) changes (De Vuyst et al., 2010; Illeghems et al., 2015). The changes in pH values during fermentation are very important for microbil activity. Briefly, the initial low pH of the pulp (3.6), presence of citric acid, and low oxygen levels fever yeast colonization which to leads to ethanol production and secracation of pectolytic enzymes within the first 24 hours; after which the process slowly decreases (Saltini et al., 2013).
Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)
3
The remaining conditions favour to growth of lactic acid bacteria (LAB),
Drying Drying of cocoa beans is a
which reach their peak after 36 hours from the beginning of the fermentation. The main activity of LAB is degrading glucose to lactic acid. The overall pH increases due to to the metabolism of non-acid by product. After 48 hours of fermentation the LAB population decreases giving space to the growth of acetic acid bacteria (Satini et al., 2013).
The duration and method of fermentation are crucial also to the fermentation of flavour compounds and flavour precursors. Based on the study taht conducted by Aculey et al., (2010), it is noted that an increased level of organic acids such as propionic acid, 2- methyl-propanoic acid; 3- methylbutanoic acid and acetic acid after 72 hours of cocoa fermentaion. The increased levels of organic acids are a result of the breakdown of sugars from the pulp surrounding the cocoa beans (Bonvehi, 2005).
Fermentation generates flavour precursors, namely free amino acids and peptides from enzymatic degradation of cocoa proteins and reducing sugars from enzymatic degradation of sucrose (Misnawi, 2008; Afoakwa et al., 2013; Krahmer et al., 2015) from which the typical cocoa aroma is generated during the subsequent roasting process (Fraundoufer and Schieberle, 2008). The theory of fermentation tell us, taht pyrazines precursors (amino acids and reducing sugars) are transformed into pyrazines during roasting process due to the Maillard non-enzymatic browning reactions (Satini et al., 2013). Besides the formation of the flavour precursors, there is also a significant increase in volatile compounds, such as alcohols, organic acids, esters, and aldehyde after fermentation (Magi et al., 2012). The Maillard reaction takes place during roasting process and results in the typical aromatic compounds of chocolate.
process of heating which reduces the moisture content of the beans to less tahn 7.5% (w/w) (Zahouli et al., 2010) and to prevent mould infestation during storage and also allow some of the chemical changes which occured during fermentation to continue and flavour development (Kyi et al., 2005). Many investigations have been carried out to find the optimal drying methods. Therefore, the drying conditions, temperature and duration of drying, dryng rate, and grade were studied (Giacometti et al., 2015).
Eventhough artificial driers are increasingly popular, natural sun drying is still largely used. Many studies that compare natural and artificial drying methods conclude that natural sun drying give the best result (Zahouli et al., 2010). However, it is believe that artificial drying methods can improve the drying process, and it just requires more research (Saltini et al., 2013). Thus, by knowing the conditions of the drying it woud be possible to predict in real time the ideal duratiob of drying to reach a standardized moisture content.
The drying process of fermented cocoa beans initiates major polyphenol oxidizing reactions catalysed by polyphenol oxidase, giving rise to new flavour components and loss of membrane integrity, inducing brown colour formation. This helps to reduce bitterness and astringency and also the delopment of the chocolate brown colour of well fermented cocoa beans (Saltini et al., 2013). Indicators of well- dried, quality beans are a good brown colour, low astringency and bitterness and on absence of off-flavors such as smoky notes and excessive acidity. Sensory assessment of cocoa beans dried using different strategies; i.e. Sun drying, air blowing, shade drying and oven drying suggested that sun-dried beans were rated higher in chocolate development with fewer off-flavor notes (Kyi et al., 2005; Amoye, 2006).
It is well known that the drying rate during the drying process is of
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13
4
crucial importance for the cocoa beans “final quality”. In this case, if the drying rate is too fast or rapid, the beans would tend to retain an excessive amount of acids, including acetic acid, which is deleterious to the flavour. On the contrary, too slow drying rate would results in low acidity, poorer color and high presence of moulds (Zahouli et al., 2010; Rodriguez-Compos et al., 2012; Saltini et al., 2013).
EFFECT OF TECHNOLOGICAL PROCESSING IN COCOA MANUFACTURING ON CHOCOLATE FLAVOUR QUALITY
The flavour of chocolate
characteristics originates not only in flavour precursors present in cocoa beans, but also are generated during past-harvest treatments and transformed into desirable odor notes in the maucfacturing process as well (Giacometti et al., 2015). The steps of technological processing in cocoa manufacturing that would be possibly affected to the chocolate flavour quality are identified and known as following, i.e. roasting, alkalization, refining, conching and tempering process.
Complex biochemical modifications of cocoa bean constituents are altered by thermal reactions in roasting and conching as well as in alkalization (Afoakwa et al., 2008). Alkalization and roasting are two processes that contribute to the flavour and color of the semi finished products; while refining, conching and tempering are the three process step that contribute to the flavour and quality of the finished products.
Roasting
Roasting is one of the important steps which affects the quality characteristic of cocoa bean during industrial processing (Oracz and Nebesny, 2014). Roasting of fermented cocoa beans is carried out due to mainly two purposes : the removal of undesired compounds with low boiling points, such as acetic acid ;
and the formation of typical roasty, sweet odorants of cocoa (Oliviero et al., 2009).
According to Krysiak and Motyl- Patelska (2006) was mentioned that roasting determines the character of chemical and physical processes that occur inside the beans, as well as the quality of the final product. During the roasting process flavour precursors are transformed into flavour compounds. For example, the Maillard reaction (Non-enzymatic browning) and strecker degradation during roasting can produce the desirable flavour compounds such as pyrazines, alcohols, esters, aldehydes, ketones, furans, thiazoles, pyrones, acids, amines, imines, pyrroles and ethers (Arlorio et al., 2008; Misnawi and Wahyudi, 2010). The concentration of pyrazines increased rapidly during the roasting process untill reaching a maximum value, after which these constant values are maintained (Giacometti et al., 2015). The formation yield of pyrazines is known, and reaches the highest yield at high temperature (typically 150 or 170 oC) (Krysiak, 2006).
Prior to roasting, cocoa bean have bitter, acidic, astringent and nusty flavour. Roasting further diminishes activity reducing concentrations of volatile acids such acetic acid (Granvogl et al., 2006); but not non- volatiles suh as oxatic, citric, tartaric, succinic and lacytic acid (Afoakwa et al., 2008). Another words, during roasting, there is evaporation of volatile acids from the beans causing a reductiob in acidity, hence – reducing sourness and bitterness of the cocoa beans. For this reason, choice of roasting parameters should be determined in order to understand the character of the chemical and physical process that occur inside the bean.
When looking directly at the flavour acceptability, several studies investigate the best combination of time and temperature of roasting (Saltini et al., 2013). Several studies also revealed that temperature and duration
Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)
5
of roasting substantially affect the chemical and physical changes occuring in cocoa beans (Farah et al., 2012). It is needed to be attention and well known, that if cocoa beans are carried out an inproper roasting procedure generates undesirable flavour compounds; while , if the cocoa beans are not roasted enough, the resulting chocolate products would be very bitter; and alternatively, if the beans are over roasted , burned and off-flavour will be developed (Bonvehi and Coll, 2002; Saltini et al., 2013). In general, the literature agrees that the higher the roasting grade is, the better flavour profile will be, until an over roasting point is reached.
Usually, cocoa beans roasting conditions was carried out at range from 15 to 45 minutes with temperature
from 130 – 150oC (Krysiak et al., 2013). Time and temperature of roasting process depend on several factors, such as cocoa material (beans, nibs and liquor roasting), final cocoa product (dark or milk chocolates) and type of cocoa (Kothe et al., 2013). Based on this information, it is clear that the optimal roasting parameters strongly depend on the raw material processed and type of chocolate products.
Alkalization Alkalization is a treatment that
addressed to cocoa nibs or liquor of cocoa with solutions of alkali, and it is carried out primarily not only to change color but also influence the flavour of cocoa powder (Afoakwa et al., 2008). Originally, performed to make for cocoa products such as drink to enhance solubility or in baking or coating (Whitefiled, 2005), and also performed to make the powder not agglomerate or sink to the bottom, when it was added to milk or water-based drinks (Giacometti et al., 2015).
Cocoa beans are often alkalized with potassium carbonate or sodium hidroxide in order to improve the microbiological conditions (De Muijnck, 2005). Many studies report that
increasing the pH from 5.7 to 7.5 is deleterious to the flavour acceptability (Noor-Sofialina et al., 2009); so it is suggested that cocoa with high acidity and low chocolate flavour could be acchived a good flavour development by alkali teratments. The conclusion was that chocolates from alkalized had better flavors than non-alkalized nib roasted chocolate (Afoakwa et al., 2008).
It was established that alkalization caused a progressive reduction of polyphenols as well as their antioxidant activity (Miller et al., 2008). Reduction of the polyphenol antioxidant activity was mentioned to be triggered by heat and alkali synergistically (Sulistyowati and Misnawi, 2008). Recently, a sudy by Payne et al., (2010) found that compared to natural cocoa powders, alkalization caused a loss in both epicatechin (up to 98%) and catechin (up to 80%). Another study that has been conducted by Andres-Lucueva et al., (2008) was hshown a decrease in epicatechin and catechin of 67% and 35%, respectively, as a result of the alkalization of cocoa powders.
In general, changes occuring as the results of alkalization treatment could be attributed to the oxidation of phenolic compounds under basic pH conditions, leading to the brown pigments that are polymerized to different degrees. In particular, secondary reaactions involving ortho- quinones preveiously formedd during fermentation stage by polyphenol oxidase are probably involved in further reactions responsible for the browning developed during alkalization (Miller et al., 2008).
Refining
Refining is a step processing of cocoa or chocolate which produce a smooth texture by reducing the size of the particles of cocoa mass from about 80 – 90 microns to about 30 – 40 microns (Payne et al., 2010). At this point, the chocolate, which has the required ingredients mixed, still has
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13
6
rough texture, because it is a form of chocolate paste or chocolate liquor. The rough is not ideal since may hinder the conching process that will be explained later. Therefore, refining is necessary to turn the roughness into smoothness.
In addition, the cocoa liquor is mixed with cocoa butter and sugar and this is further refined by reducing the particle size of the added milk powder solids and sugar down to the desired fineness (Pugh, 2014). As described by Afoakwa et al. (2007), the addition of milk fat to milk chocolate results in a lower melting point, a slow setting or solidification and a soften texture. The smoother the chocolate desired, the more rolling milling required. Because of that, in order to ensure that its products qualities meet their expectations, it refines its chocolate paste to 19 micrometers while other major markets refine their chocolate to only 40 micrometers. The smaller micrometers they have are beneficial to the overall texture of the chocolate.
The refining process has a certain parameters that can be changed that might alter the flavour. Refining is also will determine the size reduction of a chocolate mass as it is being manufactured. Whether a product is fine, medium or coarse ground will determine the pallete’s flavour perception. The particles will be coated with fat, which the flavour carrier. When these particles enter the mouth, the melt, sweetness and mouthfeel, and all will influence how the product tastes (Stauffer, 2000).
Conching Conching is a step of cocoa
processing in the manufacture to produce chocolate with superior aroma and melting characteristics. This process strongly affects the final flavour and texture of chocolate (Pugh, 2014). The conche is a surface scraping mixer and agitator that evenly ditsribute cocoa butter within chocolate, and acts as a “polisher” of the particles. The conches have heavy rollers that can produce
different degrees of agitation and aeration, so that the conching process redistributes into the fat phase of substance from dry cocoa that creates the flavour (Pugh, 2014).
The function of the conche is to remove unwanted flavour but at the same time retain the more desirable one. A goal in conching is also to obtain the optimum viscosity (flow properties) at the lowest practical fat content (Stauffer, 2000). As consequence, residual volatile acids and moisture are removed, angulur sugar crystals and viscosity are modified, and their color changed due to emulsification and oxidation of tannins (Reineccius, 2006; Afoakwa et al., 2007). Based on the above information, key elements in this goal would be moisture reduction, input of energy, and control of superfines and amount of free fat available.
As described by Stauffer (2000) based on her research sudy, It was mentioned that the chocolate data from her study shows that physical characteristics are definitely different between conched and unconched chocolate. The results of the sensory panel also found that the conched sample to have more chocolate, more caramel and more diary notes with about the same levels of sweetness as the unconched sample. The unconched sample was found to have moderate nutty notes not present in the conched sample.
Based on the study, it was mentioned that temperature and time of conching or conching conditions are the main influence factors of conching process in order to produce a good flavour chocolate. The results of the study revealed that there were interactions between time and temperature (Afoakwa et al., 2008). Generally, higher temperature leads to a shorter required processing time. For example, conching conditions for crumb milk chocolate are 10 -16 hours at 49 -
52oC ; but 16 – 24 hours at 60oC for milk powder chocolate; however if the
temperature above 70oC lead to changes in cooked flavour (Awua,
Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)
7
2002; Beckett, 2003; Whitefield, 2005),
while, up to 82oC for dark chocolate (Awua, 2002).
Meanwhile, effect of the conching temperature was mentioned by Stauffer (2000), that high-
temperature sample (74oC for 12 hours) had a more pronounced caramel note with slightly less perceivable chocolate notes. In contrast, however, the flavour
perception of a low temperature (64oC for 12 hours) shows a well rounded sample, with milky, chocolate notes, very even.
appearance will not degrade over time (Leffer, 2014).
After the tempering stage, the liquid chocolate is deposited into polycarbonate moulds and cooled. Objective of this cooling phase is the solidification the fat phase of the tempered chocolate mass with the correct crystalliation, as this will lead to contraction of the chocolate and easy removal of the solidified chocolate from the mould during the subsequent demoulding process (Keijbets et al., 2010).
Tempering Tempering is a technique of
controlled precrystallization employed to induce the most stable solid form of cocoa butter, a polymorphic fat in finished chocolates (Afoakwa et al., 2008). Tempering process refers to a controlled melting and cooling of chocolate in order to achieve at the correct crystalline structure of the constituent cocoa butter among the six existing polymorphic forms, namely the form V (Schenk and Peschar, 2004). Tempering is also mentioned as the final critical step for the chocolate that it must be tempered to deter large crystalls from forming. Because chocolate would have a gritty texture and a dull appearance and/or the cocoa butter would separate from the mixture without tempering taking place (Pugh, 2014).
The primary purposed of tempering is to assure that only the best form is present or to develop the correct polymorphic form, and in order to do so the chocolate is cooled from
45oC to approximately 30oC (depending on the type of chocolate, e.g. milk or dark chocolate) (Keijbets et al., 2010). Consequently, for the best possible finished product, proper tempering is all about forming the most on type V
crystalls (34oC) with characteristics appearance glossy, firm, best snap,
melts near body temperature (37oC). This will provide the best appearance and mouth-feel and creates the most stable crystals; so the texture and
The process of tempering consist shearing chocolate mass at controlled temperature to promote crystallization of triacylglycerol (TAG) in cocoa butter to effect good setting characteristics, form stability, demoulding properties, product snap, contraction , gloss and self-life characteristics (Afoakwa et al., 2008). This is a delicate process that involves slowly heating and cooling the chocolate repeatedly to the
temperatures between 41oC and 29oC. This stabilizes the product and achieve the smooths, shinny texture, pleasant mouth-feel and sops the chocolate becoming crumby as it hardens (Pugh, 2014).
To produce the right number and size of stable form V crystals, agitation is one important variable. As a results, some means of mixing or agitation must be part of any tempering machine. Another factor related to agitation is shear, because to a carefully defined shear has been recently recognized as the key factor in the success of tempering process (Donshi and Stapley, 2006). In a tempering machine, shear take places where there is scraping against the cooling surface (Sofia, 2013).
Temperature is perhaps the most critical variable of tempering. As the different polymorphic forms have different melting ranges, the trick to tempering is to carefully control the temperature of the melted chocolate (Debaste et al., 2007). Therefore, by choosing the appropriate temperature
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13
8
throughout the tempering process, we can induce crystal formation, maintain a constant crystal population and melt away undesirable crystals (Sofia, 2013).
The control of tempering process is important for the quality of the product, as well-tempered chocolate is shiny, even-colored, snap, and smooth tasting; while badly- tempered chocolate is chewy (not knocking), chalky and grainy, within the form of an unattractive, dull brown mass because of fat blooming (Debaste et al., 2007). Based on the study by Debaste and his collegeaus (2007) was also mentioned that the quality of product obtained by their tempering process will depend on several operating parameters, such as the ratio between the mass of the particles and the mass of melted chocolate; the size of the particles, their initial temperature, the temperature of the melted chocolate at time 0, the temperature of ambient air; and the temperature of the walls during cooling.
CONCLUSION The technological and processing
techniques of cocoa to produce chocolate was influenced by some variable factors, since the beginning in the post-harvest treatments and handling of cocoa up till to the manufacturing process. Some variable factors that influence in the post- harvest and handling of cocoa were included pre-conditioning, fermentation and drying; while some variable factors that influence in the manufacturing process were included roasting, alkalization, refining, conching and tempering.
Fermentation and drying process were identified as a key role in flavour formation ana character in cocoa and chocolate. Fermentation generates flavour precursors and promote biochemical changes in the type and concentration of flavour in cocoa beans. Drying reduce bitterness and astringency and also the development of chocolate brown colour. Those
process were impact and affected to the quality of cocoa flavour in the final product of chocolate and its derived.
Roasting, conching and tempering were identified also as the key important roles in the chocolate manufacturing process and affected on the final flavour and characteristics of chocolate. Roasting is determines to the character of chemical and physical process that occur inside the beans like Maillard reaction and strecker degradation, and a reduction in acidity, sourness and bitterness. This process was influenced by roasting conditions such as time and temperature of roasting process.
Conching process was known as a marker to produce chocolate with superior aroma and melting characteristics. This process was functioned to remove unwanted flavour and was influenced by the variable factors of temperature and time of conching.
Tempering is the final critical process in manufactured of cocoa to assure that only the best form namely the form V crystals (the most stable crystals). This process should be controlled by choosing the appropriate temperature in order to obtain well- tempered chocolate.
REFERENCES
Aculey, PC.; Snithjaer, P.; Owusu, B.;
Bassompiere, M.; Takrama, JS; Nargaard, L. and Nielsen, DS (2010). “Ghanaian cocoa bean fermentation characterized by spectrocopic and chromatographic methods and chemometrics”. J. Food Sci. 75 (6) : p. 300 – 307.
Afoakwa, EO; Paterson, A., and Fowler, M. (2007). “Factors influencing rheological and textural qualities in chocolate – A review”. Trends in Food Sci. Technol., 18 : p. 290 – 298.
Afoakwa, EO.; Paterson, A.; Fowler, M. and Ryan, A. (2008). “Flavor formation and character in cocoa and chocolate : A critical Review”. Crit. Rev. Food Sci. & Nutr., 48 : p. 840
– 857.
Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)
9
Afoakwa, EO.; Quao, J.; Takrama, J.; Budu, AS and Saalia, FK. (2011 a). “Effect of pulp preconditioning on acidification, proteolysis, sugars and free fatty acids concentration during fermentation of cocoa (Theobroma cacao, L.) beans”. Int. J. Food Sci. & Nutr. 62 (7) : p. 755 – 764.
Afoakwa, EO; Quao, J.; Takrama, J., Budu, AS. and Saalia, FK. (2011 b). “Chemical composition and physical quality characteristics of Ghanaian cocoa beans as affected by pulp pre-conditioning and fermentation”. J. Food Sci. & Technol., 47 (1) : p. 3 – 11.
Afoakwa, EO.; Quao, J.; Budu AS and Saalia, FK. (2012). “Influence of pulp pre-conditioning and fermentation on the fermentative quality and apperance of Ghanaian cocoa (Theobroma cacao) beans”. Int. Food Res. J. 19 (1) : p. 127 – 133.
Afoakwa, EO; Kongor, JE; Takrama, J. and Budu, AS. (2013). “Changes in nib acidification and biochemical composition during fermentation of pulp preconditioned cocoa (Theobroma cacao, L.) beans”. Int. Food Res. J. , 20(4) : 1843 – 1853.
Akkerman, R.; Farahani, P. and Grunow, M. (2010). “Quality, safety and suitainability in food distribution : a review of quantitative operations management approaches and challenges”. OR Spectrum 32 (4) :
p. 863 -904. Amoye, S. (2006). “Cocoa sourcing, world
economics and supply”. Manufact. Confectioner. 86 (1) : p. 81 – 85.
Andres-Lacueva, C.; Monagas, M.; Khan, N.; Izquirdo-Palido, M.; Urpi-Sanda, M. and Pernanyer, J. (2008). “Flavanol and flavonol content of cocoa powder products : infleunce of the manufacturing process”. J. Agric. & Food Chem. , 50 (9) : p.
3111 – 3117. Ardhana, MM and Fleet, GH. (2003). “The
microbial ecology of cocoa bean fermentation in Indonesia”. Int. J. Food Microbiol., 86 : p. 87 – 99.
Arlorio, M.; Locatelli, M.; Travaglia, F.; Coisson, JD; Grosso, ED; Minassi, A. and Martelli, A. (2008). “Roasting impact on the contents of clovamide (N-caffecyl-DOPA) and
the antioxidant activity of cocoa beans (Theobroma cacao, L.)”. Food Chem., 106 : p. 967 – 975.
Awua, PK. (2002). Cocoa processing and chocolate manufacture in Ghana.
David Jmieson and Associate Press Inc. ; Essex – UK.
Beckett, ST. (2003). “Is the taste of British milk chocolate diffenet ?”. Int. J. Diary Technol., 56 (3) : p. 139 –
142. Bonvehi, SJ. (2005). “Investigation of
aromatic compounds in roasted cocoa powder”. Europ. Food. Res. & Technol., 221 (1-2) : p. 19 – 29.
Bonvehi, SJ and Coll, VF. (2002). “Fcators affecting on the formation of alkylpyrazines during roasting treatment in natural and alkalinized cocoa powder”. J. Agric. & Food Chem., 50 (13) : 3743 – 3750.
Camu, N.; Gozalez, A.; De Winter, T.; Van Schoor, A.; De Bruyne, K. and Vandamme, P. (2008). “Influence of farming and enviromental contamination on the dynamics of populations of lactic acid and acetic acid bacteria involved in spontaneous cocoa bean heap fermentaioon in Ghana”. Applied and Environ Microb. 74 (1) : p. 86 – 98.
CAC [Codex Alimentarius Commission]. (2003). Codex Standard. 87; 1981 about Chocolate Rev. 1 : 2003.
CAC, Rome –Italy. Debaste, F.; Kagelaers, Y.; Ben hamor, H.
And Halloin, V. (2007). “Contribution to the modelling of chocolate tempering process”. Proceeding of Eur. Conggress Chem. Eng. (ECCE-6), 16 -20 Sept. 2007 ; Copenhagen : p. 1 – 18.
De Muijnck, L. (2005). Cocoa, Encapsulated and Powder foods. CRC Press, New York : p. 451 – 473.
De Vuyst, L.; Lefeber, T.; Papalexandratou, Z. and Camu, N. (2010). “The functional role of lactic acid bacteria in cocoa bean fermentation”. In Biotechnology of lactic acid bacteria : Novel application, ed. by Mozzi, F.; Raya, RR and Vignolo, GM. Ames, Willey – Blackwell, New York : p. 301 – 326.
Dhonsi, D. and Stapley, AGF. (2006). “The effect of shear rate, temperature,
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13
10
sugar and emulsifier on tempering of cocoa butter”. J. Food Eng., 77 : p. 936 – 942.
Farah, DMH.; Zaibunnisa, AH and Misnawi, S. (2012). “optimization of cocoa beans roasting process using response surface methodology based on concentration of pyrazine and acrylamide”. Int. Food Res. J. 19 (4) : p. 1355 – 1359.
Frauendorfer, F. and Schieberbe, P. (2008). “Changes in key aroma compounds of Criollo cocoa beans during roasting”. J. Agric. & Food Chem., 56 : p. 10244 – 10251.
Ganeswari, I.; Khairul-Bariah, S.; Armizi, MA and Sim, KY. (2015). “Effects of different fermentation approaches on the microbiological and physico- chemical changes during cocoa bean fermentation”. Int. Food Res. J., 22 (1) : p. 70 – 76.
Giacometti, J.; Jolic, SM and Josic, D. (2015). “Cocoa processing and impact on composition”. In Processing and Impact on active composition in food, ed. by Preedy, VR. Academic Press, London : p 608 – 612.
Granvogl, M.; Bugan, S. and Schieberle, P. (2006). “Formation of amines and aldehydes from parent mino-acids during thermal processing of cocoa and model systems : New insights into pathways of strecker reaction”. J. Agric. & Food Chem.., 54 : p. 1730 - 1739.
Guehi, ST.; Dabonne, S.; Ban-Kotti, L.; Kedjebo, DK and Zahoulli, IB. (2010 a). “Effect of turning beans and fermentation method on the acidity and physical quality of raw cocoa beans”. J. Food Sci. & Technol., 2 (3) : p. 163 – 171.
Guehi, ST.; Zahoulli, IB.; Ban-Kotti, L.; Fae, MA and Namlin, GJ. (2010 b). “Performance of different drying methods and their effects on the chemical quality attributes of raw cocoa material”. Int. J. Food Sci. & Technol., 45 : p. 1564 – 1571.
Ho, VTT; Zhao, I. and Fleet, G. (2014). “Yeasts are essential for cocoa bean fermentation”. Int. J. Food Microbiol., 174 : 72 – 87.
Ho, VTT; Zhao, J. and Fleet, GH. (2015). “The effect of lactic acid bacteria on cocoa bean fermentation”. Int. J. Food Microbiol., 205 : p. 54 -67.
Illeghems, K.; Weckx, S. and De Vuyst, L. (2015). “Applying meta-pathway analysis through meta-genomics to identify the functionall properties of the major bacterial communities of a sigle spontaneous cocoa bean fermentation process sample”. Food Microbio. 50 : p. 54 – 63.
Kadow, B.; Bohlman, J.; Philips, W. And Lieberel, R. (2013). “Identification of main flavour compounds in two genotypes of the cocoa tree (Theobroma cacao, L.)”. J. Appl. Botany & Food Quality 86 : p. 90 – 98.
Keijbets, EL; Chen, J. and Vieira, J. (2010). “Chocolate demoulding and effect of processing conditions”. J. Food Eng., 98 : p. 133 – 140.
Kongor, JE; Hinneh, M.; Van de Walle, D; Afoakwa, EO.; Boeckx, P. and Dawettinck, K. (2016). “Factors influencing quality variation in cocoa (Theobroma cacao, L.) bean flavour profile – A review”. Food Res. Int., 82 : p. 44 – 52.
Kostinek, M.; Ban-Kotti, L.; Ottah-Atikpo, M.; Teniola, D.; Schillinger, U.; Holzapfel, WH and Frank, CMA. (2008). “Diversity of predominant lactic acid bacteria associated with cocoa fermentaion in Nigeria”. Current Microb., 56 : p. 305 – 314.
Kothe, L.; Zimmerman, BF and Galensa, R. (2013). “Temperature influences epimerization and composition of flavanol monomers, dimers, and trimers during cocoa bean roasting”. Food Chem., 141 : p. 3656 – 3663.
Krahmer, A.; Engel, A.; Kadow, D.; Ali, N.; Umaharan, P.; Kroh, LW and Schultz, H. (2015). “Fast and neat – Determination of biochemical quality parameters in cocoa using near infrared spectroscopy”. Food Chem., 181 : p. 152 – 159.
Krysiak, W. And Motyl_Patelska, L. (2006). “Effect of parameters on changes in temperature inside roasted cocoa beans”. Acta Agrophysica 7 (1) : p. 113 – 127.
Krysiak, W. (2006). “Influenece of roasting conditions on coloration of roasted cocoa beans”. J. Food Eng., 77 : p. 449 – 453.
Krysiak, W.; Adamski, R. And Zyzelewicz, D. (2013). “Factors affecting the
Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)
11
colour of roasted cocoa bean”. J. Food Quality 36 : p. 21 – 31.
Kyi, TM; Daud, WRW; Muhammad, AB; Samsudin, MW; Kadhum, AA and Thalib, MZM. (2005). “The kinetics of polyphenol degradation during the drying of Malaysian cocoa beans”. Int. J. Food Sci. & Technol. 40 : p. 323 – 331.
Lecumbersi, E.; Mateos, R.; Izzuirdo- Pulido, M.; Ruperez, P.; Goya, L. and La Bravo, L. (2007). “Dietary fibre composition, antioxidant capacity and physico-chemical properties of fibre rich product from cocoa (Theobroma cacao, L). Food Chem., 104 : p. 948 – 954.
Leffer, S. (2014). “Chocolate 201 : About tempering chocolate, whta it is, and the alternative”. Chocoley bulletin 2014 : p. 78 -81.
Magi, E., Bono, L. and Di Carro, M. (2012). “Characterization of cocoa liquors by GC-MS and LC-MS/MS : Fokus on alkylpyrazines and flavanols”. J. Mass Spectro., 47 : p. 1191 – 1197.
Miller, KB; Hurst, WJ; Payne, MJ; Stuart, DA; Apgar, J. and Swetgart, DS. (2008). “Impcat of alkalization on the antioxidant and flavanol content of commercial cocoa powders”. J. Agric. & Food Chem., 56 (18) : p. 8527 – 8533.
Misnawi, S. (2008). “Physico-chemical changes during cocoa fermentation and key enzymes involved”. Review Penelitian Kopi & Kakao, 34 (1) : p. 54 -71.
Misnawi, S. and Wahyudi, T. (2010). Cocoa chemistry and Technology : Roles of poyphenols and enzymes reactivation in flavour development of under-fermented cocoa beans.
Academic Publishing, Lambert – USA : p. 66 – 69.
Nazaruddin, R.; Seng, L.; Hasan, O. and Said, M. (2006). “Effect of pulp pre-conditioning on the content of polyphenol in cocoa beans (Theobroma cacao, L.) during fermentation”. Industrial Crops and Products 24 : p. 87 – 94.
Ndife, J.; Bolaji, P.; Atoyebi, D. and Umezuruike, C. (2013). “Production and quality evalution of cocoa products (plain cocoa powder and chocolate)”. Amer. J. Food Nutr., 3 (1) : p. 31 – 38.
Noor-Safialina, SS; Jinap, S.; Nazamid, S. and Nazimah, SAH. (2009). “Effect of polyphenol and pH on cocoa Maillard-related flavor precursersor in a lipidic model system”. Int. J. Food Sci. Technol., 44 (1) : p. 168
– 180. Oliveiro, T.; Campuano, E.; Camnerer, B.
and Fogliano, V. (2009). “Influence of roasting on the antioxidant activity and HMF formation of cocoa bean model system”. J. Agric. Food Chem. 57 (1) : p. 147 – 152.
Oracz, J. and Nebesny, E. (2014). “Influence of roasting conditions on the biogenic amine content in cocoa beans of different Theobroma cacao cultivars”. Food Res. Int. 55 : p. 1 – 10.
Ortiz de Bertorelli, L.; Grazioni de Farines, L. and Gervaise, RL. (2009). “Influence de varios factores sobre characteriticas del grano de cacao fermentando y secado al sol”. Agronomia Tropical. 59 (2) : p. 119
– 127. Payne, MJ; Hurst, WJ; Miller, KB and
Stuart, DA. (2010). “Impact of fermentation, drying, roasting and Dutch processing on epicatechin and catechin content of cacao benas and cocoa ingredients”. J. Agric. & Food Chem., 58 (19) : p. 10518 – 10527.
Pimentel, F.; Nitzke, J.; Klipel, C. and Vogt de Jong, E. (2010). “Chocolate and red wine – A comparison between flavonoids content”. Food Chem., 120 : p. 109 – 112.
Pugh, D. (2014). “Saving to be made in the chocolate production process through close fineness monitoring”. In Microtac : Total Solutions in partcicle characterization, provided by Microtrac Inc., London.
Reineccius, G. (2006). Flavor Chemistry and Technology. Second Ed. CRC Press. Boca Raton – USA.
Rodriguez-Campos, J.; Escalona-Buendia, HB.; Orozco-Avila, I. and Contreas- Ramos, SM. (2012). “Effect of fermentaion time and drying temperature on volatile compounds in cocoa”. Food Chem., 132 (1) : p.
277 – 288. Saltini, R.; Akkerman, R. And Frosch, S.
(2013). “Optimizing chocolate production through traceability : A
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13
12
review of the influence of farming practices on cocoa bean quality”. Food Control 29 : p. 167 – 187.
Schenk, H. And Peschar, R. (2004). “Understanding the structure of chocolate”. Radiation Phys. Chem., 71 : p. 829 – 895.
Sofia, J. (2013). “Chocolate-Tempering equipment and Techniques”. The Manufacture Confectioner, December 2013 : p. 73 – 80.
Stauffer, M. (2000). “The flavor of milk chocolate changes caused by processing”. PMCA Production Conference, 2000 : p. 145 – 150.
Sulistyowati and Misnawi, S. (2008). “Effect of alkali concentration and conching temperature on antioxidant activity and physical properties of chocolate”. Int. Food Res. J. 15 (3) : p. 297 – 304.
Wallace, TC and Giusti, MM. (2011). “Selective removal of the violet color produced by anthocyanins in procyanidin-rich unfermented cocoa extracts”. J. Food Sci., 76 (7) : p. c.1010 – c.1017.
Whitefiled, R. (2005). Making chocolates in the factory. Kennedy’s Publications Ltd, London – UK.
Zahoulli, GIB.; Guehi, ST; Fae, AM and Namlin, JG. (2010). “Effect of drying methods on the chemical quality traits of cocoa raw material”. Adv. J. Food Sci., 2 (4) : p. 184 –
190.
Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)
13
PEMBUATAN ARANG CANGKANG KELAPA SAWIT DENGAN PROSES TOREFAKSI
Preparation of Palm Kernel Shell Charcoal Using Torrefaction Method
Zainal Abidin Nasution dan Harry P. Limbong
Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan
Jln Sisingamangaraja no.24 Medan 20217, Provinsi Sumatera Utara E – mail: [email protected]
ABSTRAK. Cangkang kelapa sawit merupakan biomassa yang terbentuk dari hasil
fotosintetis butir-butir hijau daun, bekerja sebagai sel surya yang menyerap energi sinar
matahari, kemudian mengkonversi karbon dioksida dengan air menjadi suatu material yang
mengandung karbon, hidrogen dan oksigen. Material tersebut dalam bentuk padatan dan
apabila dikonversi dapat menjadi arang cangkang kelapa sawit. Pada pelaksanaan
penelitian ini, arang cangkang kelapa sawit dibuat dengan proses torefaksi cangkang kelapa
sawit. Dari proses torefaksi cangkang kelapa sawit diperoleh rendemen pengarangan rata-
rata adalah 38,20% (suhu terakhir proses torefaksi adalah 3480C, pada saat cangkang
kelapa sawit tidak lagi mengeluarkan asap dan waktu tinggal pengarangan adalah 105
menit). Dari hasil pengamatan temperatur dan waktu tinggal pengarangan cangkang kelapa
sawit terhadap kondisi asap proses pengarangan cangkang sawit yang terjadi, sebagai
indikator, diketahui bahwa proses pembentukan arang cangkang kelapa sawit mengikuti
Grafik Tipikal Tahapan Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi yang tertera pada
Gambar 1, yaitu tahapan heating, tahapan drying, tahapan post drying, tahapan torrefaction
dan tahapan cooling.
Kata kunci: cangkang kelapa sawit, torefaksi, arang cangkang kelapa sawit,
ABSTRACT. Palm kernel shells are biomass resulted from photosynthesis of chlorophyls,
working as solar cells that absorb sunlight energy, then converting carbon dioxide with water
into a material containing carbon, hydrogen and oxygen. The material is in solid form and
can be converted into coconut shell charcoal. In the implementation of this research, coconut
shell charcoal is made by coconut shell torrefaction process. From the process of coconut
shell torrefaction, the average auction yield is 38.20% (the last temperature of the
torrefaction process is 3480C, when the oil palm shells no longer smoke and the residence
time is 105 minutes). Observation on the temperature and the residence time of coconut
shell restriction on the smoke condition of the resulted palm oil charcoal shaping that occurs, as
an indicator, it is known that the palm oil charcoal shaping process follows the typical graph
of biomass stages with torrefaction process shown in Figure 1 as followed: heating stage,
drying stage, post-drying stage, torrefaction stage and cooling stage.
Keywords: palm kernel shells, torrefaction, palm kernel shells charcoal
PENDAHULUAN
Pada tahun 2015, luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai 10.701.436 Ha, dengan rincian perkebunan kelapa sawit rakyat 4.810.271 Ha, perkebunan kelapa sawit milik BUMN 704.094 Ha dan perkebunan kelapa sawit swasta 5.207.071 Ha
(Statistik Perkebunan Indonesia, Kelapa Sawit 2013 – 2015, Ditjend Perkebunan, 2014).
Menurut Perdamaian (2008), basis satu ton tandan buah segar kelapa sawit akan menghasilkan 20% - 23 % Crude Palm Oil (CPO), dan 5 % - 7 % Palm Kernel Oil (PKO) dan sisanya berupa
Pembuatan arang…….. (Zainal Abidin)
14
Struktur Hemiselulose (%)
limbah padat yaitu 20 % - 23 % tandan kosong kelapa sawit, 10 % - 12 % serat buah kelapa sawit dan 7 % - 9 % cangkang kelapa sawit.
Menurut Naibaho (1996), setiap Pabrik Kelapa Sawit (PKS) harus
padatan dapat dikonversi menjadi arang cangkang kelapa sawit.
Tabel 1. Karakteristik Kimia Cangkang
Kelapa Sawit Sifat-sifat Parameter Nilai (%)
dilengkapi boiler sebagai pembangkit uap. Uap yang dihasilkan dari boiler tersebut digunakan untuk keperluan proses
C (%)
H (%)
49,79
5,58
produksi, juga digunakan untuk memutar turbin uap sebagai pembangkit energi tenaga listrik, juga untuk menggerakkan mesin-mesin pengolahan CPO,
Unsur Kimia O (%) 34,06 N (%) 0,72 S (%) < 0,08
Cl (ppm) 89
penerangan di lingkungan PKS dan lainnya.
Karbohidrat Selulose (%)
26,16 6,92
Bahan bakar yang digunakan untuk boiler tersebut adalah limbah padat buah kelapa sawit seperti yang tersebut diatas, yaitu serat buah kelapa sawit dan cangkang kelapa sawit. Konsumsi bahan bakar untuk boiler dari PKS dengan kapasitas olah adalah 30 ton tandan buah segar per jam, adalah 3,8 ton/jam serat buah kelapa sawit dan 1,5 ton/jam cangkang kelapa sawit. Dari hasil proses produksi PKS dengan kapasitas 30 ton tandan buah segar per jam akan diperoleh limbah padat 3,0 ton/jam - 3,6 ton/jam serat buah sawit dan 2,1ton/jam - 2,7 ton/jam cangkang kelapa sawit. Kalau dirata-ratakan sekitar 3,3 ton/jam serat buah kelapa sawit dan 2,4 ton/jam cangkang kelapa sawit. Pemakaian serat buah kelapa sawit sebagai bahan bakar boiler adalah maksimal, artinya semua serat buah kelapa sawit terpakai untuk bahan bakar boiler. Sedangkan konsumsi cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar boiler adalah 1,5 ton/jam, yang mana sewaktu diumpankan ke dapur pembakaran boiler dilakukan bersamaan dengan serat buah kelapa sawit. Artinya masih lagi tersisa sekitar 0,9 ton/jam cangkang kelapa sawit. Apabila PKS dioperasikan selama 24 jam, maka akan diperoleh sekitar 21,6 ton/jam cangkang kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Cangkang kelapa sawit adalah merupakan biomassa yang terbentuk dari hasil foto sintesis butir-butir hijau daun yang bekerja sebagai sel surya yang menyerap energi sinar matahari dan mengkonversi karbon dioksida dengan air menjadi suatu senyawa kimia yang terdiri atas karbon, hidrogen dan oksigen. Senyawa kimia tersebut dalam bentuk
Sumber: Ndoke in Okroigwe, 2014
Cangkang kelapa sawit baik digunakan sebagai bahan bakar ataupun arang karena memiliki bahan lignoselulosa yang tinggi. Kemudian mempunyai berat jenis yang lebih tinggi dari kayu, yaitu 1,4 gr/cm
3.
Menurut Nur (2014), proses torefaksi merupakan proses pemanggangan/ penyangraian bahan baku bioenergi (biomassa) dengan suhu yang
terkendali dan tetap dikisaran suhu 2200C
sampai dengan 3500C. Proses torefaksi
ini membawa perubahan karakteristik struktur biomassa tersebut, menjadi arang yang keras dan ulet. Menurut Hardianto (2011), pada proses pirolosis produk yang dihasilkan dapat berupa gas, cairan dan padatan (arang). Proses pirolisis pada temperatur relatif rendah yang menghasilkan produk utama berupa padatan, dikenal dengan nama proses torefaksi. Menurut (Felfi dalam Azhar, 2009), menjelaskan bahwa torefaksi (torrefaction) adalah pengolahan secara termal terhadap biomassa pada suhu
2300C sampai dengan 280
0C pada
keadaan tanpa udara dan dalam waktu yang singkat. Menurut Azhar (2009), biomassa yang telah mengalami proses torefaksi akan memberikan beberapa keuntungan antara lain adalah kandungan airnya rendah, sedikit mengeluarkan asap dan nilai panasnya meningkat.
Usaha untuk meningkatkan nilai kalor biomassa agar bisa setara dengan batu bara salah satunya adalah dengan proses karbonisasi temperatur rendah atau disebut proses torefaksi. Karbonisasi atau pengarangan sudah dikenal cukup luas untuk proses pembuatan arang . Sementara torefaksi adalah suatu proses
termokimia pada suhu 2000C sampai
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 14-20
15
Hemiselulosa Selulosa Lignin Sumber
1. 225-325 305-375 250-500 Shafizadeh (1985) 2. 250-350 300-430 250-550 Kaveendura et al (1998)
3. 200-400 275-400 250-400 Sorum et al (2001)
4. 220-315 315-400 160-500 Yay et al (2007)
5. 200-260 240-340 280-500 Yokoyama (2008)
6. 227-327 327-407 127-447 Giudicianni et al (2013)
Tabel 2. Kisaran Suhu Untuk Puncak Degradasi Termal Dari Hemiselulosa,
Selulosa dan Lignin
No. Kisaran Suhu Degradasi (oC)
Sumber: Luo (2011)
dengan 320 0C tanpa adanya oksigen dan
tekanan atmosfer dan laju pemanasan partikel yang rendah (lebih kecil dari 50 0C/menit) . Dengan metode torefaksi ini
maka diharapkan akan memperbaiki karakteristik bahan bakar padat seperti peningkatan nilai kalor, menurunkan kadar air, grind ability dan memperbaiki sifat higroskopik (Bergman dalam Syamsiro, 2016).
Torefaksi digunakan sebagai
langkah pengkondisian awal untuk metode konservasi biomassa seperti gasifikasi dan co-firing. Nama lain dari pada proses torefaksi adalah roasting, slow-mild pyrolysis, wood cooking dan high temperature drying. Perlakuan panas yang dilakukan tidak hanya mengubah struktur serat tetapi juga keuletan dari biomassa tersebut. Selama proses torefaksi, biomassa akan mengalami devolatisasi yang menyebabkan berat biomassa menjadi berkurang. Tetapi kandungan energi awal dari biomassa yang telah ditorefaksi tersebut tetap terjaga didalam produk padatannya, sehingga densitas energi dari biomassa menjadi lebih tinggi dibandingkan dari biomassa awal.
Proses torefaksi dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu : 1. Pemanasan awal, yaitu biomassa
dipanaskan sampai tahapan pengeringan tercapai, dimana air yang berada pada bagian luar biomassa mengalami penguapan.
2. Pengeringan, yaitu : a. Pada temperature biomassa
mendekati pengeringan awal (pre-
drying), yaitu 1000C, air yang
dikandung oleh biomassa akan mulai menguap.
b. Pada temperatur biomassa mendekati pengeringan akhir
(post-drying, yaitu 2000C,
kandungan air pada bagian dalam biomassa akan menguap akibat perpindahan kalor pada partikel biomassa tersebut.
3. Torefaksi, yaitu tahapan yang merupakan inti dari keseluruhan proses torefaksi. Proses torefaksi akan dimulai pada saat temperatur
mencapai suhu 2000C, dan
didefinisikan sebagai temperatur konstan maksimum. Disini material biomassa akan mengalami pengurangan berat.
4. Pendinginan, biomassa yang telah mencapai temperatur torefaksi, akan didinginkan menuju temperatur akhir, yaitu temperatur kamar.
Mekanisme dari torefaksi didasarkan
kepada reaksi dari 3 komponen utama biomassa, yaitu hemiselulosa, selulosa dan lignin. Jika temperatur biomassa
mencapai 200 0C, maka hemiselulosa
akan mengalami devolatisasi secara terbatas dan pengarbonan (biomassa mulai berwarna kecoklatan). Jika devolatisasi dilanjutkan pada temperatur 250
0C sampai dengan 260
0C , maka
lignin dan selulosa sedikit mengalami dekomposisi yang tidak menyebabkan kehilangan berat biomassa secara signifikan.
Perbedaan reaksi pada hemiselulosa, selulosa dan lignin yang menghasilkan 2 (dua) daerah torefaksi, yaitu :
Pembuatan arang…….. (Zainal Abidin)
16
Gambar 1. Grafik Tipikal Tahapan Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi
Sumber: Nhuchhen,(2014) dan Luo, (2011).
a. Torefaksi ringan dengan
temperatur dibawah 240 0C dan
ditandai oleh dekomposisi yang signifikan dari hemiselulosaa.
b. Torefaksi berat yang terjadi diatas
temperatur 2700C yang ditandai
dengan dekomposisi dari selulosa dan lignin.
(Sumber: Jupar, 2013)
Arang cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar padat didefinisikan sebagai bahan organik yang dapat digunakan untuk menghasilkan panas melalui proses pembakaran,maka tinggi – rendahnya temperatur hasil pembakarannya tergantung pada nilai kalori suatu tipe bahan bakar padat yang digunakan. Bahwa bahan bakar padat dengan nilai kalor lebih kecil dari nilai kalori kayu bakar (wood fuels) dapat dianggap sebagai bahan bakar padat berkalori rendah (low-calorific value solid fuel) dan sebaliknya untuk bahan bakar padat lebih besar dari nilai kalori kayu bakar dapat dianggap sebagai bahan bakar padat berkalori tinggi (high-calorific value solid fuel). Oleh karena itu untuk bahan bakar berkalori rendah perlu dilakukan suatu teknik pencampuran bahan bakar padat (solid fuel blending technique), yang dapat dilakukan untuk memperoleh bahan bakar padat
campuran dengan nilai kalori yang sesuai dengan spesisifikasi nilai kalori dari bahan bakar padat rancangan yang diinginkan. Sedangkan metode pembakaran dari bahan bakar padat terbagi atas 2 (dua) tipe bahan bakar padat yang berbeda (co-firing system), yaitu 1. Hasil campuran dari beberapa jenis bahan bakar padat, yang dibakar secara bersamaan melalui satu saluran (burner) pada suatu tungku pembakaran (furnace); 2. Bahan bakar padat yang dibakar, terpisah melalui masing-masing saluran (burner) pada suatu tungku pembakaran (furnace) (Munir, 2008).
METODOLOGI PENELITIAN
a. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah cangkang kelapa sawit yang diperoleh dari limbah PKS PTPN-2 Padang Brahrang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.
b. Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan untuk pembuatan arang cangkang kelapa sawit terdiri atas kuali besi, kompor, wadah-wadah penampung, sudip, thermometer dan timbangan,
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 14-20
17
1. 0 32 Normal 2. 5 44 Normal 3. 10 95 Mulai berasap 4. 15 95 Asap tipis 5. 16 95 Asap bertambah
6. 17 95 Asap bertamba banyak
7. 18 95 Mulai mengepul 8. 19 95 Asap Mengepul
9. 21 114 Asap Mengepul 10. 24 125 Asap Mengepul 11. 27 156 Asap Mengepul 12. 30 179 Asap Mengepul 13. 32 202 Asap Mengepul
c. Pembuatan Arang Cangkang Kelapa Sawit
Percobaan pembuatan arang cangkang kelapa sawit, dilakukan seperti yang tertera pada gambar dibawah ini, yaitu
Cangkang Kelapa Sawit
Dijemur dibawah Sinar
menjadi bara. Oleh karena itu harus dilakukan pembakaran tertutup agar tidak terjadi oksidasi dengan O2 dari udara, yang menyebabkan arang cangkang kelapa sawit dapat berubah menjadi abu.
Tabel 3. Temperatur dan Waktu Tinggal Arang Cangkang Kelapa Sawit Sawit
Pada Proses Torefaksi Cangkang Kelapa Sawit
Matahari Sampai Kering
Penimbangan
Torefaksi Diudara Terbuka
Sampai Asapnya Habis
Didinginkan
No.
Waktu Pengamatan (menit ke-)
Suhu (oC)
Keadaan Cangkang
Kelapa Sawit
h
Arang Cangkang Kelapa Sawit
Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan
Arang Cangkang Kelapa Sawit Dengan Proses Torefaksi
HASIL DAN PEMBAHASAN
14. 34 262 Asap
mulai menipis
15. 37 320 Asap menipis
16. 45 348 Asap habis Arang Cangkang
Dari percobaan pembersihan kotoran
yang melekat pada cangkang kelapa sawit (tanah, pasir) diperoleh rendemen
17 105 32 Kelapa Sawit Sudah Dingin
rata-rata adalah 95%. Dari torefaksi cangkang kelapa sawit diperoleh rendemen rata-rata adalah 38,20% (suhu
terakhir torefaksi adalah 3480C, pada saat
cangkang kelapa sawit, tidak lagi mengeluarkan asap).
Hasil pengamatan temperatur dan waktu pengamatan terhadap kondisi asap yang keluar sebagai indikator proses pengarangan cangkang kelapa sawit dengan proses torefaksi diberikan di Tabel 3.
Berbeda caranya pengarangan cangkang kelapa sawit antara proses torefaksi dan pembakaran tertutup. Pengarangan cangkang kelapa sawit dengan proses torefaksi dilaksanakan di udara terbuka dan selama proses torefaksi tidak terjadi/ muncul api ataupun bara, ini dapat saja terjadi karena
suhunya masih rendah (348OC).
Sedangkan pembakaran tertutup, cangkang kelapa sawit dibakar sehingga
Pada proses torefaksi cangkang kelapa sawit, sebagai biomassa yang mengandung lignoselulosa akan terdekomposisi berdasarkan senyawa penyusunnya. Menurut Jupar et.al (2013), proses torefaksi adalah proses termo
kimia pada suhu 2000C sampai dengan
3200C tanpa adanya oksigen dan laju
pemanasan partikel lebih kecil dari
500C/menit. Dari penelusuran literatur
dapat diketahui bahwa setiap biomassa, mempunyai kandungan lignoselulosa yang berbeda satu dengan lainnya.
Dari Tabel 2, diketahui kisaran temperatur puncak degradasi termal dari hemiselulosa, selulosa dan lignin, berbeda satu dengan lainnya. Proses torefaksi adalah roasting (penyangraian) ataupun slow-mild pyrolysis (pirolisis lambat-ringan), Kalau dipilih pengertian proses torefaksi adalah penyangraian, maka untuk memudahkan pengamatan proses torefaksi, maka digunakan asap
Pembuatan arang…….. (Zainal Abidin)
18
yang terjadi pada proses pengarangan sebagai indikator untuk mengamati keadaan cangkang kelapa sawit yang sedang disangrai dengan mengukur temperatur cangkang kelapa sawit yang sedang disangrai dan menetapkan waktu tinggal cangkang kelapa sawit yang sedang disangrai, seperti hasilnya yang terlihat pada Tabel 3.
Berdasarkan Grafik Tipikal Tahapan Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi (Gambar 1) dan dari data- data Tabel 3, dengan asap yang terjadi dari proses torefaksi sebagai indikator untuk menentukan tahapan pengarangan yang terjadi pada proses torefaksi adalah seperti berikut : a. Tahapan Heating dari menit ke 0
sampai menit ke 3 dengan temperatur 32
0C (temperatur kamar)
sampai dengan temperatur 950C,
b. Tahapan Drying dari menit ke 3 sampai menit ke 19 dengan
temperatur 950C sampai dengan
temperatur 950C,
c. Tahapan Post Drying dari menit ke
19 sampai menit ke 37 dengan temperatur 95
0C sampai dengan
temperatur 3200C,
d. Tahapan Torrefaction dari menit ke 37 sampai menit ke 45 dengan temperatur 320
0C sampai dengan
temperatur 3480C,
e. Tahapan Cooling dimulai dari menit ke 45 sampai menit ke 105 dengan
temperatur 3480C sampai dengan
temperatur 320C (temperatur kamar).
Dari hasil percobaan pembuatan arang cangkang kelapa sawit dan berdasarkan pengamatan temperatur dan waktu tinggal ternyata proses pengerjaannya mengikuti Grafik Tipikal Tahapan Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi
Pada proses torefaksi cangkang kelapa sawit, dimana arang cangkang kelapa sawit berhenti mengeluarkan asap
pada suhu 3480C dan waktu proses
pengarangan adalah 105 menit, dinyatakan pengarangan dengan proses torefaksi telah selesai dimana rendemen pengarangan rata-rata adalah 38,20 %. Menurut Nasution (2012), arang cangkang kelapa sawit hasil torefaksi (penyangraian), adalah merupakan bahan bakar padat berkalori rendah. Menurut Syamsuro et.al (2016), bahan bakar padat biomassa selalu mempunyai densitas
massa dan energi relatif rendah. Peningkatan kalori biomassa berkalori rendah dapat dilakukan dengan cara meningkatkan densitas dari biomassa tersebut dan melakukan proses torefaksi untuk meningkatkan nilai energi dari biomassa tersebut.
SIMPULAN
Dari hasil percobaan pembuatan arang cangkang kelapa sawit dengan proses torefaksi cangkang kelapa sawit, dapat disimpulkan seperti berikut : Dari hasil percobaan pembuatan arang cangkang kelapa sawit dengan melakukan pengamatan terhadap temperatur cangkang kelapa sawit dan waktu tinggal cangkang kelapa sawit, dimana asap yang terjadi pada proses penyangraian adalah sebagai indikator keadaan cangkang kelapa sawit, ternyata proses pengerjaannya mengikuti Grafik Tipikal Tahapan Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi, seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Pada proses pengarangan cangkang kelapa sawit, dimana arang cangkang kelapa sawit berhenti
mengeluarkan asap pada suhu 3480C dan
waktu pengarangan adalah 105 menit, dinyatakan proses pengarangan telah selesai dan mengikuti proses torefaksi, dimana rendemen pengarangan rata-rata adalah 38,20 %.
DAFTAR PUSTAKA 1. Apriyanti, S, Budiyanto dan Meizul
Zuki, 2009, Kajian Pemanfaatan Fraksi Berat Hasil Pirolisis Cangkang Sawit (Tar) Sebagai Bahan Perekat Dalam Proses Pembuatan Briket Arang Cangkang Sawit (Abstrak), diakses dari Internet tgl. 20 November 2016.
2. Azhar dan H Rustamaji, 2009, Bahan Bakar Padat Dari Biomassa Bambu Dengan Proses Torefaksi Dan Densifikasi, Jurnal Rekayasa Proses, Vol.3 No.2, hal. 26 – 29.
3. Baserol Hissam,M F Bin,2014,Torrefaction Process :The Effect of Temperature and Residence Time to the Production of Torrified Rubber Wood, Thesis, Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering, Universiti Malaysia,Pahang.
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 14-20
19
4. Diputra, IPA, 2010, Studi Karakteristik Pembakaran Cangkang Kelapa Sawit Menggunakan Fluidized Bed Combustion , Skripsi, Prodi Teknik Mesin, Fakultas Teknik,Universitas Indonesia
5. Erikson, A-M, 2012, Torrefaction and Gasification of Biomass,Thesis,Department of Chemical Engineering and Technology, Division of Chemical Tecnnology, KTH Royal Institute of Technology, Stockholm, Sweden.
6. Girard, JP, 1992, Smoking in Technology of Meat and Med Product, Ellis New York: Horword Limited.
7. Halim, MP, Darmadji, R Indrati, 2009, Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Volatil Asap Cair Cangkang Sawit, Agritech, Vol/23 No.3, hal. 117 – 123.
8. Haerdiantio, T A Suwono, A P Pasek dan Amrin, 2011, Balance Energi Pada Proses Torefaksi Sampah Kota Menjadi Bahan Bakar Padat Ramah Lingkungan Setara Batubara Untuk Memperhitungkan Kelayakannya, Prosiding Seminar Nasional Teknik Mesin – X ISBN 978-602-19028-0-6,
Jurusan Teknik Mesin, Universitas Brawijaya, Malang.
9. Jupar P T, A, 2013, Analisa Pengaruh Metode Torefaksi Terhadap Kenaikan Nilai Kalor Biobriket Campuran 75 % Kulit Mete Dan Sekam Padi 25 % Dengan Persentase Berat, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Diponegoro, Semarang.
10. Luo, Xun, 2011, Torrefaction of Biomass (A Comparative and Kinetic Study of Thermal Decomposition of Norway Spruce Stump,Poplala and Fuel Tree Chips), SLU, Swedish University of Agricultural Science, Departement of Energy and Technology, Uppasala.
11. Munir, S, 2008, Peran Sistim Klasifikasi Bahan Bakar Padat Konvensional Hubungannya Dengan Diversifikasi Energi, Jurnal MIMBAR,
Vol.24 N9.1, hal. 69 - 78 12. Naibaho, PM, 1996, Teknologi
Pengolahan Kelapa Sawit, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.
13. Nasution, Z A, 2012, Karakteristik Kimia Arang Cangkang Kelapa Sawit Yang Dihasilkan Dengan
Metode Penyangraian Sebagai Bahan Pembuatan Biomasa, Jurnal Industri Hasil Perkebunan,Vol.7 No.1, hal, 1 – 7.
14. Nhuchhen, D R, P Peau and B Acharya, 2014, A Comprehensive Review on Biomass Torrefaction, International Journal of Renewable, International Journal of Renewable Energy and Biofuels,
15. Nur, M Syukri, 2014, Karakteristik Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Bioenergi, PT. Insan Fajar Mandiri Nusantara, Bogor.
16. Okroigwe, EC, CM Saffran and PD Kamdem, 2014, Characterization of Palm Kernel Shells For Materials Reinforcement and Water Treatment, Journal of Chemical Engineering and Material Science.
17. Pardamean, M, 2008, Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit, Cetakan Pertama, Pustaka Agromedia, Jakarta.
18. Schorr, C, M Muinnonen and F Nurnimen, 2012, Torrefaction of Biomass, OSKE, Centre of Exprtise Programme.
19. Syamsiro, M, 2016, Peningkatan Kualitas Bahan Bakar Padat Biomassa Dengan Proses Densifikasi Dan Proses Torefaksi, Jurnal Mekanik dan Sistem Termal, Vol.1 No.1, hal. 7 – 13.
20. Vincent, S S, 2013, Investigation of Torrefaction Process Parameters on Biomass Feed-Stock and CO2 Gasification of Torrefied and Pyrolysed Bio-Char, Thesis, Department of Chemical and Petroleum Engineering, University of Calgary, Alberta.
21. Yokoyama, S, 2008, The Asian Biomass Handbook : A Guide for Biomass Production and Uttilization, The Japan Institute Energy.
Pembuatan arang…….. (Zainal Abidin)
20
FORMULASI MINUMAN INSTAN COKELAT SEBAGAI MINUMAN IMUNOMODULATOR
Formulation of Instant Chocolate Drinks as Immunomodulator Drinks
Rosniati, Muh. Ruslan Yunus dan Kalsum e-mail : [email protected]
Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No. 28, Makassar 90231
Abstract : Instant chocolate drinks, as immunomodulator drinks, were developed
from the instant chocolate - ginger drink of Rosniati, as a functional drink (2011).
Drinks were formulated from 55 % sucrose, 30 % cocoa powder (processed from
non – fermented and non roasted cocoa beans), and 15 % non – dairy creamer, in
(w/w), as A formula, and the other from 55 % sucrose, 30 % cocoa powder
(processd from non – fermented and non – roasted cocoa beans), and 15 % instant
soy powder, in (w/w), as B formula. Preparation of drinks also used co-crystallization
technique. Of the two formulas, the B formula (combination of cocoa powder and instant
soy powder), in the in-vivo tests, showed better in immunomodulation effects. Indeed, at a
dose of 39 (mg/kg of mice weight), the B formula had non specific immune response
with phagocytic index of 2.042 (strong), primary antibody titer of 1 : 384 and secondary
antibody titer of 1 : 768, as humoral immune response, and IFN- γ of 1,436,360.14
(pmol) and IL-2 of 941.30 (pmol), as cellular immune response, all above the control
drink values.
Key words: instant chocolate drink, immunomodulator, non-fermented, non-roasted
cocoa beans, instant soy powder .
Abstrak. Minuman instan cokelat sebagai minuman imunomodulator, dikembangkan dari
minuman cokelat-jahe instan dari Rosniati, sebagai minuman fungsional (2011).
Minuman imunomodulator diformulasi dari bubuk kakao 30% (diolah dari biji kakao
tanpa fermentasi dan tanpa sangrai), gula sukrosa 55%, dan non-dairy creamer 15%
(b/b), sebagai formula A, dan dari bubuk kakao 30% (diolah dari biji kakao tanpa
fermentasi dan tanpa sangrai, gula sukrosa 55%, dan bubuk kedelai instan15% (b/b),
sebagai formula B. Penyiapan produk minuman ini juga menggunakan teknik ko-
kristalisasi. Dari kedua formula minuman imunomodukator, formula B (kombinasi bubuk
kakao dengan bubuk instan kedelai) memberikan efek imunomodulasi yang lebih tinggi.
Bahkan pada pemberian dosis 39 (mg/kg berat mencit), secara in vivo, menghasilkan
respon imun non spesifik dengan indeks fagositik 2,042 (kuat), titer antibodi primer
1:384 dan titer antibodi sekunder 1:768, sebagai respon imun humoral, dan IFN-γ
sebesar.436.60,14 (pmol) dan IL-2 sebesar 941,30 (pmol), sebagai respon imun selular,
yang semuanya berada diatas nilai kontrol.
Kata kunci: minuman cokelat instan, imunomodulator, biji kakao tanpa fermentasi dan
tanpa sangrai, bubuk kedelai instan.
Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)
21
PENDAHULUAN
Lingkungan di sekitar
manusia mengandung berbagai
jenis unsur patogen, seperti
bakteri, virus, fungi, protozoa
dan parasit yang dapat
menyebabkan infeksi pada
tubuh manusia. Infeksi yang
terjadi, umumnya singkat dan
jarang meninggalkan kerusakan
permanen, disebabkan karena
tubuh manusia memiliki sistem
imun yang melindungi tubuh
terhadap unsur-unsur patogen
tersebut (Roit et al, 1993).
Namun seiring dengan
bertambahnya usia, sistim imun
tersebut akan menurun. Salah
satu upaya untuk
mempertahankan sistim imun
dalam tubuh adalah dengan
mengonsumsi makanan atau
minuman yang mempunyai efek
imunomodulasi.
Imunomodulator adalah
sejenis senyawa tertentu yang
dapat meningkatkan pertahanan
tubuh baik secara non-spesifik
maupun secara spesifik, melalui
mekanisme imun atau
pertahanan seluler atau humoral.
Imunomodulator berfungsi untuk
memperbaiki sistim imun tubuh
dengan cara mengembalikan
fungsi sistim imun
(imunorestorasi), menstimulasi
(imunostimulan) imun yang
terganggu, atau menekan
(menormalkan) reaksi
(imunodepresan) imun yang
mengalami kondisi abnormal
(Subowo, 2009).
Mengingat manfaat positif
dari kakao (Theobroma cacao L)
yang kaya akan senyawa fenolik,
sebagai makanan atau minuman
cokelat terhadap kesehatan
tubuh telah banyak diketahui,
seperti dapat mencegah dan
mengurangi resiko penyakit
jantung dan kanker (Corti et al.,
2009, Wong dan Lua, 2012, dan
Khan et al., 2014), meningkatkan
sensitivitas insulin, menurunkan
resistensi insulin, dan
menurunkan tekanan darah
sistolik (Grassi et al., 2005),
namun efek imunomodulasinya
baik dalam bentuk ekstrak atau
dalam bentuk makanan atau
minuman cokelat, belum banyak
dilaporkan (Suardita et al., 2014).
Efek imunomodulasi suatu
sediaan atau produk jadi, secara
praklinis ditentukan melalui uji
respon imun non - spesifik dan
respon imun spesifik secara in
vivo dengan menggunakan
hewan coba. Respon imun non-
spesifik diantaranya dapat
ditentukan berdasarkan uji
bersihan karbon dan indeks
fagositik retikuloendotelium,
sedangkan respon imun spesifik
berdasarkan uji titer antibodi
(sebagai respon imun humoral)
dan sitokin (sebagai respon imun
selular) (Faradilla, dan Iwo,
2014).
Terkait dengan efek
imunomodulasi kakao ini,
penelitian yang dilakukan oleh
Suardita et al., (2014) adalah
sebatas pada efek ekstrak etanol
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33
22
pengukuran aktifitas dan Bahan yang digunakan
kapasitas fagositosis sel pada pembuatan minuman instan
makrofag
yang
peritoneum
diinfeksi
mencit
bakteri cokelat sebagai
imunomodulator, me
minuman
liputi biji
biji kakao (sebagai sediaan) pada
produksi sitokin, senyawa
ekstraseluler yang dapat
mempengaruhi aktifitas sistim
imun. Hal ini diperoleh dari hasil
bubuk kedelai instan maupun
dengan non dairy creamer.
METODOLOGI
Bahan dan Alat
Staphylococcus epidermidis.
Indeks fagositik ekstrak etanol
tidak dilaporkan.
Tanaman lain yang memiliki
respon imun yang cukup tinggi,
adalah kedelai (Glycinemax),
dalam hal ini biji kedelai yang
kaya akan isoflavon yang
merupakan subkelas dari
flavonoid. Pada penelitiannya,
Fihiruddin (2013) melaporkan
bahwa susu kedelai memiliki
aktifitas imunostimulan pada
respon imun humoral, dan tidak
pada respon imun seluler. Hasil
ini diperoleh melalui pengukuran
imonoglobulin (IgG) dan
proliferasi sel limfosit mencit
yang diinduksi hepatitis B.
Atas dasar tersebut diatas,
pada penelitian ini, dilakukan
formulasi minuman instan cokelat
dari biji kakao tanpa fermentasi
dan tanpa sangrai sebagai
minuman imunomodulator.
Formulasi dilakukan dengan dan
tanpa kombinasi dengan bubuk
kedelai instan.
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui efek
imunostimulasi minuman cokelat
baik yang diformulasi dengan
kakao dari Kabupaten Bantaeng,
biji kedelai, gula sukrosa, non-
dairy creamer dan kemasan
kantong aluminium foil dari
swalayan di Makassar.
Bahan untuk uji efek
imunomodulasi minuman instan
cokelat, meliputi koloid karbon,
aquades, larutan Alsever, sel
darah merah domba, ovalbumin
(Sigma grade), Zymosan A
(Sigma grade), natrium klorida
steril bebas pirogen, kit penentu
titer interferon gama mencit
(Mouse interferon gamma Elisa
Ready Set Go, eBioscience),
gelatin, dan asam asetat.
Alat proses yang digunakan
pada penelitian ini terdiri dari alat-
alat untuk penyiapan biji kakao
tanpa fermentasi (palu pemecah
buah, depulper dan para-para
penjemuran biji kakao), alat
penyiapan bubuk kakao (pemisah
kulit ari, universal conching
machine, alat pengempa lemak
kakao, mesin pembubuk kakao
dan pengayak bubuk kakao), dan
alat pembuatan minuman instan
cokelat (alat ko-kristalisasi,
timbangan digital, dan mixer).
Alat uji efek
imunomodulasi minuman instan
Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)
23
cokelat meliputi spektrofotometer,
inkubator, sentrifuga, mikropipet
berbagai ukuran volume,
mikroskop, multichannel pipet,
alat suntik oral mencit, plat untuk
menentukan HA titer, Elisa
reader, plate washer, dan alat–
alat gelas.
METODE PENELITIAN
Penyiapan kakao bubuk
Biji kakao kering tanpa
fermentasi dan tanpa sangrai,
dikeluarkan kulit arinya. Keping
biji kemudian digiling dengan
menggunakan universal
counching machine kapasitas 25
kg, sehingga diperoleh pasta
kakao. Selanjutnya pasta kakao
dikempa untuk memisahkan
lemak kakao dari bungkil kakao.
Bungkil kakao yang diperoleh
digiling dengan menggunakan
mesin pembubuk kakao
kemudian diayak menggunakan
ayakan ukuran mesh 200.
Penyiapan bubuk kedelai
instan
Biji kedelai utuh direndam
di dalam air dengan
perbandingan kedelai : air = 1:3
(b/v) selama satu malam untuk
melunakkan dan mengurangi
rasa langu biji dan memudahkan
pelepasan kulit ari. Biji kemudian
dicuci dan dilepaskan kulit arinya,
kemudian direbus selama 30
menit untuk melunakkan biji dan
menon- aktifkan kegiatan enzim
lipoksigenase. Biji kemudian
digiling dengan mesin penggiling
atau blender dengan
menambahkan air panas dengan
perbandingan biji kedelai : air =
1:3 ( b/v) untuk memperoleh
bubur kedelai. Bubur kedelai
kemudian disaring untuk
mendapatkan ekstrak, yang
selanjutnya diproses lagi menjadi
bubuk kedelai instan dengan
menggunakan mesin pengering
semprot (spray dryer), pada suhu
inlet 1200 C dan outlet 700 C
(Pramitasari, 2010).
Pembuatan minuman instan
cokelat
Minuman instan cokelat,
sebagai minuman
imunomodulator, dibuat dengan
teknik ko-kristslisasi dengan
menggunakan alat ko-kristalisasi.
Formulasi produk dibuat dalam 2
(dua) formula. Komposisi bahan
penyusun berdasarkan berat
masing-masing bahan adalah
Formula A: gula sukrosa 55 %,
bubuk kakao 30% (diolah dari biji
tanpa fermentasi dan tanpa
sangrai), gula sukrosa 55%, dan
non-dairy creamer 15%, dan
Formula B: bubuk kakao 30%
(diolah dari biji tanpa fermentasi
dan tanpa sangrai), gula sukrosa
55%, dan bubuk kedelai instan 15
%. Perbandingan komposisi gula
sukrosa 55% dan bubuk kakao
30% ini mengacu pada formula
pembuatan minuman instan
cokelat - jahe, sebagai minuman
fungsional, dari penelitian
Rosniati (2011). Hanya disini
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33
24
bubuk kakao diolah dari biji kakao
fermentasi dan sangrai.
Gula sukrosa ditambah
dengan air bersih sebanyak 0,5%
dari berat gula sukrosa
dimasukkan kedalam wadah ko-
kristalisasi, dan kemudian
dipanaskan pada suhu 100° C.
Sambil terus diaduk, larutan gula
dibiarkan mendidih sampai
larutan menjadi jenuh. Setelah
larutan gula menjadi jenuh, suhu
pemanasan diturunkan ke suhu
sekitar 60 o C, kemudian
ditambahkan kakao bubuk dan
non - dairy creamer (atau bubuk
kedelai instan) sampai adonan
berubah ke bentuk butiran kristal
dengan kadar air sekitar 2%.
Selanjutnya butiran - butiran
kristal diangin-anginkan
kemudian digiling menggunakan
mesin giling atau blender untuk
selanjutnya diayak dengan
menggunakan ayakan mesh 60.
Penyiapan suspensi koloid
karbon dan antigen
Suspensi koloid karbon
untuk uji imun non - spesifik
dengan metode bersihan karbon,
dibuat melalui suspensi koloid
karbon 1,6 ml tinta cina pelikan B-
17 ke dalam 8,4 ml gelatin 1%
b/v dalam larutan NaCl bebas
pirogen. Suspensi antigen untuk
uji imun spesifik adalah suspensi
sel darah merah segar domba
(SRBC) yang disentrifus selama
10 menit dengan kecepatan 3000
rpm. Pelet dipisahkan dan dicuci
dengan larutan dapar pospat
sebanyak tiga kali. Dengan
menambahkan NaCl fisiologis
steril bebas pirogen, diperoleh
suspensi SRBC 10 % v/v.
Uji efek imunomodulasi
Uji efek imunomodulasi rninuman
instan cokelat, sebagai minuman
imunomodulator dilakukan
dengan mengacu pada penelitian
Faradilla dan Iwo (2014), yang
meliputi uji respon imun non -
spesifik melalui uji bersihan
karbon oleh sistim
retikuloendotelium (aktifitas
fagositosis, indeks fagositik dan
indeks organ) dan uji respon
imun spesifik (melalui penentuan
titer antibodi sebagai respons
imun humoral dan kadar sitokin
sebagai respon selular). Hewan
coba adalah mencit betina galur
Swiss Webster usia delapan
minggu dengan bobot 24-28
gram, yang diperoleh dari
Laboratorium Perhewanan
Sekolah Farmasi ITB. Pakan
standar (zymosan A) sebagai
pembanding, dan aquades
(sebagai minuman kontrol)
diberikan berlebih.
Pada uji respon imun non-
spesifik, minuman instan cokelat
diberikan pada mencit secara oral
dengan volume pemberian 1
ml/20 gram, dalam dua dosis 39
mg/kg dan 19,5 mg/kg bb mencit
setiap hari selama 7 hari berturut-
turut. Pada hari ke-8, disuntikkan
partikel asing koloid karbon
secara intravena (0,1 ml/10 gr bb
mencit). Sampel darah mencit
Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)
25
setelah penyuntikan koloid
karbon.
Pada
uji respon
imun
diambil sebelum dan pada menit
ke-5 (T5), dan menit ke-15 (T15)
spesifik, minuman instan cokelat
diberikan pada mencit secara oral
setiap hari selama 10 hari
dengan dosis yang sama pada uji
imun non-spesifik. Suspensi
SRBC 1x 106 sel/ml, disuntikkan
pada mencit secara
intraperitoneal, dimulai pada hari
ke-3 pemberian minuman instan.
Untuk uji titer antibodi primer,
sampel darah mencit diambil
pada hari ke-7 imunisasi. Untuk
uji titer antibodi sekunder,
suspensi SRBC kembali
disuntikkan pada mencit, Sampel
darah mencit diambil pada hari
ke-7 setelah imunisasi yang
kedua (Faradilla dan Iwo, 2014).
Pada uji respons imun
selular, minuman cokelat
diberikan pada mencit seperti
pada uji terhadap respons imun
humoral. Pada end point
pengujian, mencit dikorbankan
dengan menggunakan gas CO2.
Selanjutnya segera darah mencit
diambil dengan cara punksi
jantung dan serumnya dipisahkan
dengan cara sentrifuga dengan
kecepatan 12.000 rpm. Kadar
interferon gama dan IL-2
ditentukan dengan menggunakan
kit Elisa untuk IFN γ dan IL-2
mencit (Faradilla dan Iwo, 2014).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecepatan eliminasi dan
indeks fagositik sistem
retikuloendotelial mencit setelah
pemberian sampel minuman
instan cokelat formula A dan B
dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 dapat dilihat
bahwa kecepatan eliminasi
partikel karbon oleh sistem
retikuloendotelium mencit pada
pemberian kelompok minuman
instan cokelat formula A dan B
(>0.024), lebih tinggi
dibandingkan dengan kecepatan
eliminasi karbon pada pemberian
minuman kontrol (0.024±0.019).
Hal ini lebih diperjelas pada
indeks fagositik partikel karbon
pada kelompok mencit yang
diberi minuman cokelat formula
A dan B lebih besar dari indeks
fagositik pada kontrol.
Menurut Wagner (1989)
dalam Faradilla dan Iwo (2014),
jika indeks fagositik sediaan uji
memiliki nilai kurang dari 1,
menunjukkan sediaan tersebut
tidak bersifat imunostimulasi,
indeks fagositik antara 1-1,5
menunjukkan efek imunostimulasi
sedang, dan indeks fagositik lebih
dari 1,5 menunjukkan efek
imunostimulasi kuat. Semakin
meningkatnya indeks fagositik
pada uji bersihan karbon
menunjukkan adanya
peningkatan aktivitas fagositosis
dari makrofag dan peningkatan
imun non-spesifik.
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33
26
Tabel 1.Kecepatan eliminasi dan indeks fagositik sistem retikuloendotelial mencit setelah
pemberian sampel minuman instan cokelat formula A dan B.
Kel
. Uji
Dosis
(mg/kg
bb)
OD
Ln OD
Kecepatan
eliminasi
Indeks
fago-
sitik T0 T5 T15 Ln T5 Ln T15
FA
19.5
0.055±0.006
0.144±0.066
0.103±0.029
2.003±0.443
2.301±0.293
0.030±0.019
1,250
39
0.057±0.003
0.144±0.026
0.103±0.023
1.949±0.181
2.292±0.247
0.034±0.012
1,417
FB
19.5
0.058±0.005
0.179±0.009
0.129±0.015
1.719±0.049
2.050±0.116
0.033±0.015
1,375
39
0.059±0.001
0.182±0.058
0.126±0.022
1.736±0.317
2.085±0.180
0.049±0.005
2,042
ZA
10
0.057±0.005
0.177±0.006
0.127±0.004
1.730±0.036
2.066±0.028
0.034±0.005
1,417
K 0 0.059±0.003 0.198±0.012 0.158±0.030 1.625±0.124 1.861±0.204 0.024±0.019 1,000
Dosis pemakaian pada manusia (1x dosis = 300 mg) ekivalen dengan dosis 39mg/kg bb mencit. Ket : FA: Formula A, FB : Formula B, ZA : Zymosan A, dan K : Kontrol.
Berdasarkan klasifikasi
efek imunostimulasi tersebut,
maka minuman instan cokelat
formula A pada dosis 19,5 dan
39 mg/kg bb, dan formula B pada
dosis 19,5 mg/kg bb,
menunjukkan efek imunostimulasi
sedang, sedangkan minuman
instan cokelat formula B,
(kombinasi bubuk kakao dan
bubuk kedelai instan) pada dosis
39 mg/kg bb, menunjukkan efek
imunostimulasi kuat dengan
indeks fagositik 2,042 (Tabel 1).
Namun demikian hasil uji
bersihan karbon dan indeks
fagositik masih menunjukkan
bahwa pada kedua dosis
minuman instan cokelat, baik
formula A maupun formula B,
dapat meningkatkan aktivitas
makrofag. Zymosan A digunakan
sebagai pembanding, dimana zat
ini bersifat imunostimulasi.
Kadar karbon dalam darah
mencit
Hasil uji respon imun non-
spesifik dengan metode
bersihan karbon (carbon
clearence), dalam hal ini sisa
karbon di dalam darah mencit
sebelum dan pada menit ke-5
dan ke-15 setelah induksi koloid
karbon untuk kelompok uji
formula A disajikan pada
Gambar 1a, sedangkan untuk
kelompok uji formula B disajikan
pada Gambar 1b.
Gambar. 1a. Kadar sisa karbon
dalam darah mencit sebelum dan setelah pemberian sampel minuman
instan cokelat (Formula A)
Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)
27
Gambar 1b. Kadar karbon dalam darah mencit sebelum dan setelah pemberian sampel minuman instan cokelat (Formula B).
Dari Gambar 1a dan 1b, pada
menit ke-15 (T15) terjadi
penurunan kadar sisa karbon di
dalam darah mencit setelah
induksi koloid karbon
dibandingkan dengan sebelum
induksi koloid karbon untuk
semua kelompok uji. Kadar
karbon akan berkurang
jumlahnya di dalam darah seiring
pertambahan waktu, karena
adanya peristiwa fagositosis oleh
sel-sel leukosit terutama neutrofil,
monosit, makrofag dan eosinofil
(Baratawidjaya, 2009).
dan B.
Tabel 2.Indeks organ mencit setelah pemberian minuman instan cokelat formula A
Kel. Uji
Dosis (mg/kg bb)
Indeks organ (%)
Hati
Limpa Kelenjar.
Thymus
F A 19.5 5.83±0.95 0.34±0.15 0.42±0.08
39 5.22±0.40 0.31±0.07 0.42±0.04
F B 19.5 5.39±0.31 0.32±0.02 0.45±0.05
39 5.42±0.61 0.33±0.03 0.41±0.01
Z A 10 5.82±0.34 0.43±0.03c 0.43±0.01
K 0 5.63±0.79 0.31±0.04 0.40±0.09
Indeks organ
Hasil penentuan indeks
organ mencit setelah pemberian
sampel minuman instan cokelat
formula A dan B dapat dilihat
pada Tabel 2. Pada Tabel 2,
terlihat bahwa Indeks organ hati
mencit setelah pemberian
minuman instan cokelat formula
A dan B lebih kecil
dibandingkan dengan kontrol
kecuali untuk formula A dosis
19.5 mg/kg bb, tetapi untuk
indeks organ limpa dan kelenjar
thymus secara umum
menunjukkan nilai lebih tinggi
dari nilai kontrol. Secara statistik,
hanya indeks limpa kelompok
minuman pembanding (Zymosan
A) yang bermakna (p<0,01)
dibandingkan terhadap kontrol.
Meskipun organ hati tidak
termasuk limfoid primer atau
sekunder, tetapi hati sangat
berperan dalam system imun
karena mengandung makrofag
terfiksasi yaitu sel-sel kuffer.
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33
28
Limpa merupakan organ
limfoid sekunder, selain
mengandung sel limfosit B dan
limfosit T yang berperan pada
proses respon imun spesifik, juga
mengandung sel dendritik dan
makrofag yang berperan sebagai
APC (Antigen Presenting Cell)
yang berfungsi menyajikan
antigen kepada sel limfoid. Limpa
juga merupakan bagian penting
dari sistim retikuloendotelial yang
mengandung limfosit, monosit
dan makrofag (Deng, et al. 2009).
Peningkatan sel-sel imun
tersebut berkorelasi dengan
bobot limpa. Kenaikan bobot
limpa relatif ini menunjukkan
adanya efek minuman cokelat
terhadap aktivitas imunostimulan
(Kresno, 1996). Makrofag organ
hati, limpa dan kelenjar thymus
bertanggung jawab terhadap
proses fagositosis benda asing
untuk pertahanan tubuh baik
dalam imunitas dapatan maupun
bawaan (Deng et al., 2009, dan
Kim et al., 2001).
Menurut Kim et al (2001)
makrofag memiliki peranan
penting pada semua tahap
pertahanan tubuh baik dalam
imunitas dapatan maupun
bawaan. Saat pathogen berhasil
melewati barier epitel, bakteri
pathogen akan difagositosis oleh
makrofag dan didigesti
menggunakan enzim lisosomal.
Efek Minuman instan cokelat
terhadap respon imun humoral
Efek minuman instan
cokelat terhadap respon imun
humoral melalui penentuan titer
antibodi primer dan sekunder
dapat dilihat pada Tabel 3. Titer
antibodi menunjukkan aktifitas
respon imun humoral yang
melibatkan interaksi antara
limfosit B dan antigen yang
mengakibatkan terjadinya
proliferasi dan diferensiasi limfosit
B menjadi sel plasma yang
mensekresikan antibodi
(Dashputre dan Nakwade, 2010).
Antibodi berfungsi sebagai
efektor respon humoral dengan
cara berikatan dengan antigen
dan menetralisir atau
memfasilitasi proses eliminasi
antigen yang lebih mudah
difagositis oleh makrofag
(Dashputre dan naikwade, 2010).
Dari Tabel 3, terlihat bahwa titer
antibodi primer kelompok formula
A dosis 39 mg/kg bb dan formula
B (kombinasi bubuk kakao dan
bubuk kedelai instan) pada dosis
19.5 mg/kg bb dan 39 mg/kg bb,
lebih tinggi dibanding kontrol.
Titer antibodi sekunder kelompok
formula B pada dosis 39 mg/kg
bb lebih tinggi dibanding
kelompok kontrol. Peningkatan
titer antibodi primer menunjukkan
bahwa adanya stimulasi terhadap
limfosit B, limfosit T dan
makrofag. Peningkatan titer
antibodi sekunder menunjukkan
adanya stimulasi terhadap
memori sel B pada proses
pembentukan antibodi (Faradilla
dan Iwo, 2014).
Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)
29
Tabel 3. Efek Minuman Instan Cokelat Terhadap Titer antibody primer dan sekunder.
Kel. Uji
Dosis
(mg/kg
bb)
Titer antibodi
Primer Sekunder
F A
19.5 1:128 1:384
39 1:256 1:512
F B 19.5 1:256 1:512
MP 10 1:32 1:32
K 0 1:192 1:512
Ket : MP :Metil Prednisolon
Tabel 4. Efek Minuman Cokelat Terhadap Kadar Sitokin (IFN –Ý dan IL-2)
Kel. Uji Dosis
(mg/kg bb)
Kadar sitokin (pmol)
IFN-γ IL-2
FA
19.5
49814.5
1241.10
39
714474.76
808.42
FB
19.5
115610.98
1493.97
39 1436360.14 941.30
K 10 516334.69 778.45
Efek Minuman cokelat
Terhadap Respon imun Seluler
Efek minuman cokelat
terhadapa respon imun seluler
melalui penentuan kadar sitokin
(IFN –Ý dan IL-2) dapat dilihat
pada Tabel 4. Kadar sitokin di
dalam darah mencit melalui
pengukuran interferon gamma
(IFN-Ý) dan IL-2, menunjukkan
nilai yang lebih tinggi pada
pemberian minuman instan
cokelat formula B dibandingkan
dengan pemberian formula A.
Formula B (kombinasi bubuk
kakao dan bubuk kedelai instan)
sendiri memberikan kadar sitokin
yang lebih tinggi dari formula A
(tanpa penambaha bubuk
kedelai instan). Fungsi utama
sistim imun seluler adalah untuk
pertahanan terhadap bakteri
intraseluler, virus, jamur, parasite
dan keganasan (Baratawidjaya,
2000).
Menurut Abbas et al
(1996) interferon gamma secara
simultan mempromosikan imunits
seluler melalui pembentukan sel-
sel Th 1. Sedangkan penelitian
yang dilakukan oleh Saifulhaq
(2009) menunjukkan bahwa
senyawa flavonoid dapat
meningkatkan produksi IL-2 dan
meningkatkan proliferasi limfosit.
Proliferasi limfosit T yang
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33
30
2. Baratawidjaja, K.G, 2000. Hollenberg, N.K; & Luscher,
Imunologi Dasar. Balai T.F. 2009. Cocoa and
dirangsang oleh antigen,
terutama diatur oleh pengaruh IL-
2 terhadap reseptor IL-2 yang
dimiliki pada permukaan selnya.
Selain itu, IL-2 juga merangsang
proliferasi dan diferensiasi sel B
dan NK. Flavonoid memiliki efek
imunostimula dengan memacu
produksi IL-2 yang meningkatkan
proliferasi (Middleton et al, 2000).
Lebih kuatnya efek
imunomodulasi pada minuman
instan cokelat formula B
(kombinasi bubuk kakao dan
bubuk kedelai instan)
dibandingkan dengan formula A
(tanpa penambahan bubuk
kedelai instan), menunjukkan
adanya sinergi yang baik antara
senyawa flavonoid pada kakao
dengan senyawa isoflavon pada
kedelai.
SIMPULAN
Formulasi minuman instan
cokelat dari bubuk kakao (diolah
dari biji kakao tanpa fermentasi
dan tanpa sangrai) yang
dikombinasikan dengan bubuk
kedelai instan, menghasilkan
produk minuman instan cokelat
dengan efek imunostimulasi
yang kuat, pada uji in-vivo, yang
ditunjukkan oleh nilai indeks
fagositiknya. Sedangkan yang
diformulasi tanpa penambahan
bubuk kedelai instan (tetapi
dengan non-dairy creamer)
hanya memiliki efek
imunostimulasi sedang, meski
masih dapat meningkatkan
aktivitas makrofag. Hasil uji
terhadap respon imun spesifik,
juga menunjukkan nilai respon
imun humoral dan respon imun
selular yang lebih tinggi pada
minuman instan cokelat yang
diformulasi dari kombinasi bubuk
kakao dan bubuk kedelai instan.
Dibandingkan dengan kontrol
(minuman aquades), minuman
instan cokelat yang diformulasi
tanpa penambahan bubuk
kedelai instan,masih memilik
nilai respon imun spesifik yang
lebih tinggi, khususnya pada
dosis 39 mg/kg bb mencit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas, S.K., K.M. Murphy,
dan S. Sher (996), Functional
Diversity of Helper T,
lymphocytes Nature 383: 787-
793.
3. Bratawidjaja, K.G dan
Rengganis, I , 2009.
Imunologi Dasar, Edisi VIII.
Jakar : Penerbit Universitas
Indonesia.
4. Corti, R; Flammer, A.J;
Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,
Jakarta.
cardiovascular health.
Contemporary Reviews in
Cardiovascular Medicine.
Circulation 119, 1433 – 1441.
Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)
31
DOI :
10.1161/CIRCILATIONAHA
108.827022.
5. Dashputre N.L dan Nakwade,
2010. Immunomodulatory
Activity of Abutilon Indicum
Linn on Albino Mice.
International Journal of
Pharma Science& Research.
1 (3) : 178 -184.
6. Deng X, Wu F, Liu Z, Luo M,
Li L, Ni Q. 2009. The toxicity
of water soluble multi-walled
carbon nanotubes in mice.
Carbon. 2009. 47: 1421-28.
7. Faradilla, M dan Immaculata
Iwo, M. 2014. Efek
Imunomodulator Polisakarida
Rimpang Temu Putih. Jurnal
Ilmu Kefarmasian Indonesia,
ISSN 1693 – 1831, hal. 273-
278.
8. Fihiruddin, 2013. Pengaruh
pemberian susu kedelai
terhadap respon antibody dan
poliferasi sel limposit pada
mencit BABL/C yang diinduski
dengan vaksi hepatitis B.
Media Bina Ilmiah 43. Vol 7
(5). ISSN.No. 1978 – 3787.
9. Grassi, D. C. Lippi, S.
Necozione, G. Desideri, and
C. Ferri. 2005. Short-term
administration of dark
chocolate is followed by a
significant increase ininsulin
sensitivity and a decrease in
blood pressure in healthy
persons American Journal of
Clinical Nutrition. ( 81 ) : 611-
614.
10. Khan , N; Khymenets, O; Urpi-
Sarda, M; Tulipani, T ; Gracia
– Aloy, M ; Monagas, M ;
Mora-Cubillos, X; Llorach, R &
Andres-Lacueva, C, 2014.
Cocoa polyphenols and
inflammatory markers of
cardiovascular 2072- 6643.
DOI : 10.3390/nu6020844.
11. Kim KI, Shin KS, Jun WJ,
Hong BS, Shin DH, Cho HY.
2001. Effects of
polysaccharides from
rhizomes of Curcuma
zedoaria on macrophage
functions. Biotechnol
Biochem. 2001. 65(11): 2369-
777.
12. Kresno, S. B. (1996).
Imunologidiagnosa dan
prosedur laboratorium (edisi
ke-4). Jakarta: Universitas
Indonesia.
13. Middleton, E., Kandaswami
C., dan Theoharides T.C.
2000. The Effect of Plant
Flavonoids on Mammalian
Cells: Implications for
Inflamation, Heart Disease
and Cancer. Pharmacological
Reviews, 52 (4):673-751
14. Roit IM, Brostoff J, Male J.
1993. Immunology. 3rd ed. St
Louis Mosby Co;
15. Rosniati, 2011. Pengaruh
Suhu Pemanasan Ekstrak
Jahe dan Sukrosa Terhadap
Karakteristik Instan Jahe –
Cokelat. JIHP vol 6 (2) : 51 –
58.
16. Suardita, I.W; D.C, Mufida
dan Misnawi, 2014. Efek
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33
32
Imunomodulasi Ekstrak Etanol
Biji Kakao (Theobroma cocoa
L) Terhadap Aktifitas dan
Kapasitas Fagositosis Sel
Makrofag Peritoneum Mencit
Yang Diinfeksi Bakteri
Staphylococcus epidermis.
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian
Mahasiswa.
http://repository.unej.ac.id/bits
tream/handle/123456789/593
69/I%20Waya.Diakses18
Pebruari 2015.
17. Subowo, 2009, Imunobiologi,
Edisi II, 12-13, 153, Sagung
Seto, Jakarta
18. Wagner, H., and K.
Jurcic,1991. Assay for
Immunomodulation and
Effects on Mediators of
Inflammation, in Methods in
Plant Biochemistry, K.
Hostettmann, (Ed.), Vol. VI,
Academic Press, Toronto.
19. Saifulhaq, M. 2009. Pengaruh
pemberianEkstrak Buah
Mahkota Dewa
DosisBertingkat Terhadap
Proliferasi Limfosit Lien pada
Mencit BALB/C. Biomedika
1.2.33
20. Wong, S.Y, dan PL Lua.
2012. Effects of dark
chocolate consumption on
anxiety, depressive symptoms
and health related quality of
life status among cancer
patients. Health and
Environment Journal (3): 27-
35.
Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)
33
KARAKTERISTIK MUTU BIJI KAKAO (Theobroma cacao L) DENGAN PERLAKUAN WAKTU FERMENTASI BERDASAR SNI 2323-2008
Quality Characteristics Of Cocoa Beans (Theobroma cacao L) With Time Fermentation
Treatment Based on ISO 2323-2008
Melia Ariyanti Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
Jl. Prof. Dr. H. Abdurahman Basalamah No.28 Makassar e-mail: [email protected]
ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu biji kakao yang difermentasi 5 dan 6 hari di Belopa, Kab. Luwu Sulawesi Selatan berdasarkan SNI 2323-2008. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah biji kakao dari petani di Dusun Batu Titik Desa Batu Lappa, Belopa Kab. Luwu. Biji kakao yang telah difermentasi selama 5 dan 6 hari kemudian dikeringkan dengan dijemur di bawah sinar matahari, selanjutnya dianalisa di Laboratorium Pengujian BBIHP Makassar. Parameter uji berdasarkan syarat mutu biji kakao SNI 2323-2008 meliputi syarat umum dan syarat khusus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari berukuran 94 dan 95 biji per 100 gram, termasuk golongan A. Berdasarkan syarat umum SNI 2323-2008, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari belum memenuhi syarat mutu untuk kadar air, sedangkan syarat khusus biji belum memenuhi syarat mutu untuk kadar kotoran. Berdasar syarat khusus, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari hasil penelitian dari Kab. Luwu termasuk mutu III. Kata kunci: biji kakao, fermentasi, mutu, SNI 2323-2008. ABSTRACT The aim of this research was to determine the quality of 5 and 6 days fermented cocoa beans in Belopa, Luwu District, South Sulawesi by ISO 2323-2008. Raw materials used in the study was the cocoa beans from farmers in Batu Titik Village Batu Lappa subdistrict, Belopa, Luwu Districts. Cocoa beans fermented for 5 and 6 days dried in the sun, then analyzed in the laboratory testing BBIHP Makassar. Test parameters based on the quality requirements of ISO 2323-2008 cocoa beans include general conditions and special requirements. The results showed that the cocoa bean fermentation for 5 and 6 days measuring 94 and 95 seeds per 100 grams, including class A. Based on the general requirements ISO 2323-2008, fermented cocoa beans 5 and 6 days not yet meet the quality requirements for water content, while the special requirements seeds not meet the quality requirements for the levels of impurities. Based on the special requirements, fermented cocoa beans 5 and 6 days of research result from Luwu Districts including quality III. Key words: cacao beans, fermentation, quality, ISO 2323-2008.
PENDAHULUAN
Biji kakao termasuk hasil
perkebunan yang diekspor dan sangat menguntungkan bagi Indonesia. Namun kualitas biji kakao yang diekspor oleh Indonesia dikenal rendah. Rendahnya mutu kakao Indonesia ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain biji kakao Indonesia jarang yang difermentasi terlebih dahulu, padahal mutu biji yang telah difermentasi lebih baik daripada yang belum difermentasi. Selain itu, kakao Indonesia juga mempunyai keunggulan yaitu mempunyai titik leleh tinggi, mengandung lemak kakao dan dapat menghasilkan bubuk kakao
dengan mutu yang baik. Mutu biji kakao juga menjadi bahan perhatian oleh konsumen, dikarenakan biji kakao digunakan sebagai bahan baku makanan atau minuman (Hatmi & Rustijarno, 2012).
Pada akhir tahun 2011, biji kakao yang diperdagangkan harus memenuhi SNI 01-2323-2008 tentang standar mutu biji kakao. SNI mengatur penggolongan mutu biji kakao kering maupun persyaratan umum dan khususnya guna menjaga konsistensi mutu biji kakao yang dihasilkan.
Perkebunan kakao di Propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari perkebunan rakyat dan perkebunan swasta dengan
Karakteristik Mutu Biji Kakao…..(Melia)
34
total luas areal 251.613 Ha yang menghasilkan produksi 116.691 ton biji kering (Dirjen Perkebunan, 2014). Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sulsel (2014), Kabupaten Luwu mempunyai jumlah luas areal 35.226 Ha dan produksi biji kakao terbesar sebanyak 27.159 ton biji kakao kering pada tahun 2014. Dengan jumlah petani sebanyak 30.935 KK, produktivitas mencapai 1.018 Kg/Ha. Sedangkan kakao termasuk komoditi ekspor andalan Propinsi Sulawesi Selatan dengan persentase 14,3% dari keseluruhan ekspor (BPS, 2015).
Biji kakao didefinisikan sebagai biji yang dihasilkan oleh tanaman kakao (Theobroma cacao Linn), yang dibersihkan dan dikeringkan. Mutu biji kakao merupakan salah satu hal terpenting dalam menentukan tingkat harga di pasar internasional. Industri makanan dan minuman sebagai pengguna terbesar biji kakao menetapkan berbagai syarat yang ketat dari aspek citarasa dan keamanan pangan. Persyaratan mutu biji kakao fermentasi disesuaikan dengan SNI 2323-2008.
Menurut International Cocoa Organization (ICCO), harga kakao dalam wujud biji kering di pasar dunia tahun 2005-2010 mengalami kenaikan, tetapi tahun 2011 dan 2012 cenderung turun. Pada pertengahan tahun 2012 harga kakao di pasar dunia mencapai US$ 1,8/kg (Dirjen Perkebunan, 2014) atau setara dengan Rp. 28.175,-/kg. Jika dibandingkan dengan harga kakao di pasar domestik, ternyata jauh lebih rendah daripada harga kakao di pasar dunia. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kualitas biji kakao yang dijual oleh petani. Petani kakao sebagian besar masih menjual biji kakao yang tidak melalui proses fermentasi. Permasalahan pengolahan kakao di tingkat petani adalah kurangnya pengetahuan terhadap teknologi pengolahan biji kakao dan belum adanya satu prosedur baku guna menghasilkan biji kakao kering yang berkualitas (Hatmi & Rustijarno, 2012).
Proses fermentasi kakao sebelum diekspor dinilai penting untuk meningkatkan daya saing kakao nasional. Juga untuk menjawab peluang tren kenaikan harga komoditas perkebunan andalan itu di pasar dunia. Kualitas kakao akan terpengaruh langsung, aroma dan warna biji kakao akan optimal. Selain itu, biji kakao fermentasi dapat dimanfaatkan mulai dari lemaknya, bungkil, dan pastanya.
Fermentasi merupakan proses produksi suatu produk dengan mikroba sebagai organisme pemroses. Fermentasi biji kakao merupakan fermentasi tradisional yang melibatkan mikroorganisme indigen dan aktivitas enzim endogen. Fermentasi biji kakao tidak memerlukan penambahan kultur starter (biang), karena pulp/ daging kakao yang mengandung banyak glukosa, fruktosa, sukrosa dan asam sitrat sudah dapat mengundang terbentuknya pertumbuhan mikroorganisme sehingga terjadi fermentasi. Proses fermentasi akan menghasilkan kakao dengan cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana. Selain itu, kakao Indonesia memiliki kelebihan tidak mudah meleleh sehingga cocok untuk blending (proses dimana beberapa jenis kakao yang berbeda bisa dicampur dan mendapatkan paduan rasa yang tepat).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses fermentasi biji kakao, antara lain lama fermentasi, keseragaman terhadap kecepatan pengadukan/ pembalikan, aerasi, iklim, kemasakan buah, wadah dan kuantitas fermentasi. Fermentasi untuk biji kakao jenis lindak membutuhkan waktu lebih lama, yaitu 5 hari, sedangkan biji kakao mulia lebih pendek berkisar 3 hari. Fermentasi yang terlalu lama meningkatkan kadar biji kakao berjamur dan berkecambah, sedangkan fermentasi yang singkat menghasilkan kadar biji slaty (biji tidak terfermentasi) tinggi. Selain lama fermentasi, wadah fermentasi juga ikut menentukan kualitas biji kakao yang dihasilkan. Wadah fermentasi yang baik terbuat dari kayu dengan kuantitas minimal 40 kg.
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 34-42
35
Kurangnya kuantitas biji kakao yang difermentasi menyebabkan suhu fermentasi tidak tercapai sehingga bukan fermentasi biji yang dihasilkan, tetapi biji yang berjamur (Hatmi & Rustijarno, 2012).
Fermentasi bertujuan untuk melepaskan pulp dari keping biji, sehingga mempermudah proses pengeringan, kulit biji tersebut mudah dilepaskan dari keping biji (Rohan, 1963). Selain itu fermentasi juga bertujuan untuk mematikan biji, dan memberikan kesempatan terjadinya proses menuju ke pembentukan warna, rasa dan aroma (Yusianto et al, 1997). Proses pembalikan pada saat fermentasi harus dilakukan setelah 48 jam. Hal ini untuk diperolehnya keseragaman fermentasi biji kakao. Biji kakao yang tidak dibalik saat difermentasi, maka biji kakao yang ditengah dihasilkan panas optimum sehingga fermentasi maksimal, sedangkan yang diatas, di bawah, dan samping akan berakibat sebaliknya.
Wahyudi et al (2013), menyatakan terdapat variasi yang sangat besar mengenai waktu fermentasi yang diterapkan oleh negara-negara penghasil kakao, yakni mulai 1,5 - 10 hari. Perbedaan utama terjadi karena varietas kakao, utamanya biji kakao mulia lama fermentasinya 2-3 hari, sedangkan kakao lindak 6-8 hari. Beberapa faktor yang mempengaruhi waktu proses fermentasi antara lain: tebal pulp biji, metode fermentasi, dan jumlah biji yang diolah.
Salah satu tahapan pasca panen biji kakao adalah pengeringan biji yang biasa dilakukan petani setempat dengan cara menjemur biji kakao di bawah terik matahari. Pengeringan biji kakao bertujuan untuk mengurangi kandungan air biji kakao dari lebih kurang 60% menjadi sekitar 7%, kadar air ini untuk menjaga biji agar dapat disimpan lama. Kadar air > 8% berbahaya karena jamur akan tumbuh dan bila kadar air < 5% biji sangat rapuh sehingga mudah pecah selama pengangkutan (Afoakwa et al, 2014). Standar kadar air biji kakao mutu ekspor maksimum 7,5% jika lebih tinggi dari nilai tersebut biji kakao tidak aman
untuk disimpan dalam waktu lama, tetapi jika kadar air terlalu rendah biji kakao cenderung rapuh (Ndukwu, 2009). Untuk kadar air biji kakao maksimum 7,5% memerlukan kelembaban relatif ruang simpan 75% (Dumadi, 2011).
Menurut Wahyudi et al (2013), ukuran berat dan kadar lemak biji kakao sangat dipengaruhi oleh faktor genetik (klon) tanaman, kondisi lingkungan (musim) selama perkembangan buah, perlakuan agronomis dan cara pengolahan, sedangkan karakter fisik biji kakao pasca pengolahan seperti kadar air, tingkat fermentasi dan kadar kulit berpengaruh pada rendemen lemak biji kakao.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik mutu biji kakao dari Belopa, Kabupaten Luwu dengan perlakuan waktu fermentasi selama 5 hari dan 6 hari berdasar standar mutu SNI biji kakao SNI 2323-2008. METODOLOGI
Penelitian fermentasi biji kakao
dilaksanakan di Belopa, Kabupaten Luwu dan pengujian dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar pada bulan Mei sampai Juli 2016. Bahan dan Alat
Bahan baku penelitian yaitu buah kakao yang dikumpulkan oleh petani dari kebun kakao di Dusun Batu Titik, Desa Batu Lappa, Kec. Larompong, Belopa Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Alat pendukung penelitian berupa: kotak fermentasi styrofoam kapasitas 150 kg biji basah masing-masing 1 buah untuk perlakuan fermentasi 5 dan 6 hari, karung, jaring penjemur. Alat-alat untuk pengujian antara lain: timbangan analitik, cawan petridis, gelas ukur, dan cutter. Metode Penelitian
Proses penanganan biji kakao fermentasi kering melalui beberapa tahap, yaitu sebagai berikut:
Karakteristik Mutu Biji Kakao…..(Melia)
36
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan
biji kakao fermentasi kering. Buah kakao dipetik dan
dikumpulkan dari kebun petani di Kabupaten Luwu, buah dipilih yang sudah matang berwarna merah kekuningan. Buah selanjutnya dipecah dengan balok kayu dan biji dikeluarkan. Setelah dipisahkan dari plasenta kemudian biji ditimbang dan dimasukkan ke dalam kotak fermentasi. Kotak fermentasi ditutup dengan daun pisang dan karung goni untuk menjaga agar suhu tetap stabil. Setiap kotak fermentasi mempunyai kapasitas kurang lebih 150 kg biji kakao basah. Pada proses fermentasi 5 hari (F.5) setelah biji difermentasi dalam kotak styrofoam selama 2 hari (48 jam), terus dibalik dan fermentasi 2 hari (48 jam) berikutnya kemudian biji dikeringkan pada hari ke 5. Sedangkan pada proses fermentasi 6 hari (F.6) biji difermentasi dalam kotak styrofoam selama 2 hari (48 jam), terus dibalik dan fermentasi 3 hari (72 jam) berikutnya kemudian biji dikeringkan pada hari ke 6. Pengeringan dengan cara dijemur langsung di bawah sinar matahari selama + 5 hari. Biji kakao kering dikemas menggunakan karung goni.
Sampel biji kakao kering diambil secara acak sebanyak kurang lebih 1 kg untuk masing-masing perlakuan kemudian diuji di laboratorium Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar sesuai parameter mutu SNI biji kakao 2323-2008.
Analisis Data Metode analisa data yang digunakan
adalah metode analisa deskriptif, yaitu analisa untuk menggambarkan keadaan data secara umum. Dalam penelitian ini data yang dianalisa adalah data hasil pengujian sampel biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari yang digunakan untuk mengetahui standar mutu biji kakao sesuai SNI 2323-2008. Analisis data menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial dengan 2 kali ulangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggolongan Mutu
Berdasarkan SNI 2323:2008 tentang standar mutu biji kakao, biji kakao digolongkan dalam dua jenis yaitu jenis mulia (fine cocoa/F) dan jenis lindak (bulk cocoa/B). Menurut jenis tanamannya, biji kakao dari Kab. Luwu Sulawesi Selatan sebagian besar termasuk ke dalam jenis lindak (bulk cocoa/B) yang berasal dari tanaman kakao jenis Forastero dan dikelola oleh petani kakao setempat.
Penggolongan biji kakao menurut ukuran berat bijinya, yang dinyatakan dengan jumlah biji per 100 g contoh, biji kakao digolongkan dalam 5 golongan ukuran dengan penandaan:
AA : maksimum 85 biji per seratus gram
A : 86-100 biji per seratus gram B : 101-110 biji perseratus gram C : 111-120 biji perseratus gram S : lebih besar dari 120 biji per
seratus gram Biji kakao kering menurut
persyaratan mutunya terbagi menjadi 3 kelas, yaitu mutu kelas I, II, dan III, dengan ketentuan telah memenuhi persyaratan umum dan khusus. Persyaratan-persyaratan tersebut sebenarnya telah tercakup dalam standar mutu biji kakao SNI 2323-2008. Standar tersebut belum di implementasikan secara baik dan massal, sehingga biji kakao Indonesia masih mempunyai citra yang kurang baik dengan ciri-ciri tidak difermentasi, kurang kering, ukuran biji tidak seragam
Panen buah kakao masak
Pemecahan buah kakao
Fermentasi biji kakao selama
5 dan 6 hari
Pengeringan biji kakao
dengan dijemur
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 34-42
37
dan banyak mengandung kotoran (Mulato, 2011).
Biji kakao dalam penelitian ini sebanyak 94 biji untuk fermentasi 5 hari dan 95 biji untuk fermentasi 6 hari. Jumlah biji kakao ini termasuk ke dalam golongan A dengan jumlah biji 86 – 100 biji per 100 gram contoh.
Menurut Widyotomo et al (2004), ukuran biji kakao yang memenuhi kriteria standar ekspor adalah AA, A dan B (101-110 biji per 100 g). Secara umum biji kakao fermentasi dari daerah Belopa, Kab. Luwu memenuhi standar untuk diekspor. Biji dan pulp kakao mengalami penurunan berat sampai 25% selama proses fermentasi sebagai akibat penguapan air (Nasution et al, 1985).
Ukuran biji kakao kering sangat dipengaruhi oleh jenis (klon) tanaman, kondisi lingkungan (curah hujan) selama perkembangan buah dan tindak agronomis pada tanaman. Menurut Mulato dkk (2004), makin besar ukuran biji maka semakin besar pula kadar airnya, begitupun dengan rendemen lemaknya. Syarat Umum Kadar Air
Hasil analisa biji kakao dari Belopa dengan fermentasi 5 dan 6 hari sudah memenuhi syarat umum standar mutu biji kakao sesuai SNI 2323-2008 dengan tidak adanya serangga hidup, biji berbau asap/ hammy dan benda asing yang ditemukan, hanya parameter kadar air yang masih belum sesuai standar. Hasil penelitian kadar air biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari dari Belopa, Kab. Luwu (Gambar 2) masih diatas syarat SNI 2323-2008 yaitu maksimum 7,5%, artinya komoditas biji kakao dari Luwu masih belum memenuhi standar persyaratan kadar air biji kakao dari SNI. Kemungkinan hal ini disebabkan pengeringan yang dilakukan petani kurang efektif menurunkan kadar air biji, serta faktor cuaca yang tidak mendukung. Kadar air biji kakao yang lebih dari 8% menyebabkan biji mudah diserang jamur dan serangga, sehingga meningkatkan risiko terhadap kerusakan
biji, akan tetapi bila kadar air biji kurang dari 5% akan menyebabkan biji mudah pecah (Basri, 2010).
Gambar 2. Grafik perbandingan kadar air biji
kakao fermentasi 5 dan 6 hari Semakin lama waktu fermentasi
maka kadar air biji kakao yang dihasilkan semakin rendah. Ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dari Marwati (2013). Penurunan kadar air ini terjadi karena semakin lama proses fermentasi menyebabkan aktifitas mikroba makin meningkat dan aktifitas enzim lebih aktif. Reaksi ini menghasilkan panas selama proses fermentasi sehingga pulp menjadi encer dan menyebabkan jaringan kompleks dalam biji kakao terdegradasi dalam bentuk senyawa organik yang lebih sederhana (Nasution et al, 1985).
Menurut Permana dkk (1997), hancurnya pulp dari biji menyebabkan pori-pori biji terbuka dan hal ini mempermudah pengeluaran air bebas sehingga mempermudah dalam proses pengeringan. Selain itu selama proses fermentasi akan terjadi kematian biji yang akan mengakibatkan sifat semipermeabilitas dinding sel menjadi rusak, sehingga juga dapat memudahkan keluarnya air selama proses pengeringan.
Pengeringan menggunakan sinar matahari memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, akan diperoleh warna biji kakao coklat kemerahan dan tampak lebih cemerlang. Namun demikian, pengeringan menggunakan sinar matahari memiliki kendala disebabkan kondisi cuaca terutama saat hujan.
8.3
8.35
8.4
8.45
8.5
8.55
8.6
8.65
8.7
F5 F6
Kadar Air
Karakteristik Mutu Biji Kakao…..(Melia)
38
Metode pengeringan ini memerlukan waktu 5 hingga 7 hari untuk mencapai kadar air dibawah 7,5% tergantung pada intensitas sinar matahari (Hatmi & Rustijarno, 2012).
Menurut Rahmadi (2008), kadar air biji kakao merupakan faktor yang sangat penting dalam mempertahankan mutu biji kakao selama penyimpanan. Penyimpangan fisik pada proses penyimpanan biji kakao merupakan faktor krusial karena biji kakao kering bersifat higroskopis sehingga kadar air permukaan dapat berubah sesuai dengan kelembaban udara sekelilingnya. Kadar air dari biji kakao yang disimpan harus dicek secara berkala dan dipertahankan dibawah 8 % (Codex, 2013).
Kadar air biji kakao tergantung pada metode pengeringan dan penyimpanan biji setelah proses fermentasi. Titik kritis pengeringan adalah pada suhu pengeringan yang tidak melebihi 60oC, lama waktu pengeringan tidak melebihi tiga hari jika dibawah terik sinar matahari atau 18-24 jam jika menggunakan mesin pengering, serta kadar air akhir produk sekitar 6-8% (Rahmadi, 2008). Semakin tinggi kadar air biji kakao maka kemungkinan terjadinya penurunan mutu biji karena munculnya jamur lebih besar, hal ini juga berpengaruh terhadap keamanan dan mutu produk pangan kakao yang dihasilkan (Ariyanti & Suprapti, 2016). Biji kakao bersifat sangat higroskopis (menyerap uap air) sehingga proses pengarungan dan penyimpanan yang tepat sangat penting.
Dalam pengeringan biji kakao, Codex Alimentarius Commission merekomendasikan lapisan biji kakao yang dikeringkan tidak boleh lebih tebal dari 6 cm untuk menghindari pengeringan yang tidak cukup/ terlalu lambat dan biji harus dikeringkan sampai kadar air 6-8%. Area pengeringan harus ditempatkan jauh dari sumber kontaminan dan memperoleh paparan sinar matahari maksimal dan ada
sirkulasi udara sepanjang hari. Ketika malam hari atau selama cuaca hujan, biji kakao harus ditumpuk dan ditutup untuk menghindari basah terkena air (Codex, 2013).
Pengeringan biji kakao yang terlalu cepat atau suhu pengeringan yang terlalu tinggi akan menghasilkan aroma asam dan berkadar asam lebih tinggi dari biji yang dijemur (Hayati dkk, 2012). Pada pengemasan serta penyimpanan biji kakao karung yang digunakan harus bersih, bukan bekas pestisida atau pupuk dan memiliki pori-pori untuk keluar masuk udara untuk mencegah kelembaban yang tinggi dan kontaminasi.
Menurut Zahouli et al (2010), metode pengeringan menentukan kualitas kimiawi pada biji kakao. Mutu biji kakao yang lebih baik dapat diperoleh dari proses pengeringan alamiah daripada dengan metode pengeringan buatan.
Syarat Khusus
Hasil analisa syarat khusus biji kakao fermentasi dari Belopa, Kab. Luwu sudah memenuhi standar kadar biji berjamur, kadar biji slaty, kadar biji berserangga serta kadar biji berkecambah yang termasuk dalam mutu III (Gambar 3). Hanya kadar kotoran yang masih diatas syarat SNI biji kakao. Hasil ini kemungkinan disebabkan pada saat pemecahan biji kakao basah banyak kotoran (kulit buah, daun, ranting) yang terikut masuk ke kotak fermentasi. Hal ini dapat berpengaruh pada harga jual biji kakao fermentasi dikarenakan kadar kotoran lebih banyak dan menurunkan kualitas biji kakao fermentasi tersebut. Apabila akan diproses lebih lanjut, biji kakao harus disortasi lebih dahulu untuk memisahkan kotoran (sisa kulit buah dan daun kakao, kerikil, dan biji rusak) dari biji kakao yang masih bagus.
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 34-42
39
Gambar 3. Grafik perbandingan hasil uji syarat khusus biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari. Semakin lama waktu fermentasi
kadar biji berjamur makin tinggi. Fermentasi biji selama 5 hari menghasilkan biji kakao mutu 1, sedangkan biji kakao hasil fermentasi 6 hari termasuk dalam mutu 2. Kadar biji berjamur merupakan syarat khusus SNI 2323-2008, yang mensyaratkan kadar biji berjamur maksimum 2% untuk mutu 1, kadar biji berjamur maksimum 4% untuk mutu 2 dan mutu 3. Adanya kadar biji berjamur kemungkinan disebabkan karena proses pengeringan yang tidak sempurna atau pada saat penjemuran terjadi hujan sehingga biji kakao tidak kering, yang memungkinkan terjadi pertumbuhan jamur. Tumbuhnya jamur juga dapat disebabkan karena biji yang belum kering disimpan pada ruang penyimpanan yang lembab. Untuk mengontrol pertumbuhan jamur dapat dilakukan dengan merusak spora melalui proses pemanasan. Sinar matahari mempunyai daya fungisidal karena memiliki spektrum ultraviolet, sehingga dapat membunuh jamur secara langsung (Semangun, 1990) terutama bila penjemuran biji kakao lebih lama waktunya. Ekologi jamur pada proses fermentasi berasal dari populasi yang tumbuh dipermukaan buah kakao. Proses kontaminasi jamur dari produk biji kakao kering dimungkinkan karena pengeringan tidak sempurna, titik kritis pada kadar air 8% dan direkomendasikan 6-7%.
Populasi jamur yang mendominasi mikroflora pada biji kakao kering asal Indonesia didominasi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus niger (Rahmadi & Fleet, 2008).
Kadar biji slaty biji kakao fermentasi 5 hari sebesar 4,67% jauh lebih sedikit dibandingkan kadar biji slaty hasil fermentasi 6 hari sebesar 11,33%. Kadar biji slaty menunjukkan bahwa biji kakao tidak dilakukan fermentasi dengan sempurna. Kemungkinan proses fermentasi terjadi tidak secara merata ke seluruh biji kakao sehingga menyebabkan biji slaty (warna ungu agak keabu-abuan) meningkat.
Kesalahan dalam proses fermentasi dapat menyebabkan biji-biji hasil fermentasi kurang beraroma dan memiliki keasaman yang tinggi. Pada fermentasi 1 hari, sebagian gula terbuang sehingga warna biji kering menjadi kuning merata tanpa bercak hitam ataupun cokelat. Fermentasi 2 hari menyebabkan biji berwarna kuning kecokelatan atau merah bata. Fermentasi 3 hari menyebabkan terbentuknya tanin yang komplek di dalam biji yang mengalir ke kulit sehingga biji berwarna cokelat. Fermentasi 5-6 hari, warna cokelat akan menjadi lebih gelap (Widyotomo et al, 2004). Pada proses fermentasi terjadi penguraian senyawa polifenol. Semakin tinggi kandungan polifenol dalam biji akan mendorong terjadinya
0
2
4
6
8
10
12
Kadar BijiBerjamur(biji/biji)
Kadar BijiSlaty (biji/biji)
Kadar BijiBerserangga
(biji/biji)
Kadar Kotoran(waste)(biji/biji)
Kadar BijiBerkecambah
(biji/biji)
F5
F6
Karakteristik Mutu Biji Kakao…..(Melia)
40
reaksi Maillard, dan dengan bantuan polifenol oksidase menghasilkan warna kakao (Puziah, 2005). Perubahan – perubahan komposisi polifenol selama fermentasi ditandai pengurangan warna ungu biji dan meningkatnya intensitas warna kakao. Pada saat yang bersamaan terjadi pengurangan konsentrasi polifenol dalam biji melalui oksidasi senyawa polifenol keluar dari biji (Benard, 1989). Menurut Towaha dkk (2012), keragaan fisik maupun kimia biji kakao terbaik diperoleh dari hasil fermentasi sempurna (5-6 hari). SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari dari Belopa, Kab. Luwu berukuran 94 dan 95 biji per 100 gram, termasuk golongan A. Berdasarkan syarat umum SNI 2323-2008, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari belum memenuhi syarat mutu untuk kadar air, sedangkan syarat khusus biji belum memenuhi syarat mutu untuk kadar kotoran. Berdasar syarat khusus, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari hasil penelitian dari Kab. Luwu termasuk mutu III. DAFTAR PUSTAKA 1. Afoakwa, E. ., Budu, A. S., Brown, H.
M., Takrama, J. F., & Akomanyl. (2014). Changes in Biochemical and Physico-Chemical Qualities during Drying of Pulp Pre-Conditioned and Fermented Cocoa (Theobroma cacao) Beans. Journal of Nutritional Health and Food Science, 2(3), 1–6.
2. Ariyanti, M., dan Suprapti. 2016. Cemaran Mikrobiologis Biji Kakao Asal Sulawesi Barat dan Tenggara dan Kaitannya dengan Keamanan Pangan. Jurnal Standarisasi Vol.18 No. 1, hal 53-61.
3. Basri, Z. 2010. Mutu Biji Kakao Hasil Sambung Samping. Media Litbang Sulteng, III, 112-118.
4. Benard, W.M., 1989. Chocolate Cocoa and Confectionery. Third Edition. California.
5. BPS Prov. SulSel. (2015). Statistik Daerah Prov. SulSel 2015. http://sulsel.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-Provinsi-
Sulawesi-Selatan-2015.pdf. Diakses tgl 25 Agustus 2016.
6. Codex. (2013). Proposed Draft Code of Practice for The Prevention and Reduction of Ochratoxin A Contamination in Cocoa CX/CF 13/7/9.
7. Dinas Perkebunan Prov. SulSel. (2014). Data Luas Areal, Produksi, Produktivitas dan Petani Perkebunan Rakyat Per Komoditi Per Kabupaten Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014 (Angka Tetap). http://disbun.sulselprov.go.id/files_download/Angka%20Tetap%202014.pdf. Diakses tgl 25 Agustus 2016.
8. Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. (2014). Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015 Kakao. Jakarta. http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2015/KAKAO%202013%20-2015.pdf. Diakses tgl 25 Agustus 2016.
9. Dumadi, S. . (2011). The Moisture Content Increase of Dried Cocoa Beans During Storage at Room Temperature. JITE, 1(12), 45–54.
10. Hatmi, R. U., & Rustijarno, S. (2012). Teknologi Pengolahan Biji Kakao Menuju SNI Biji Kakao 01-2323-2008. BPTP Yogyakarta.
11. Hayati, R., Yusmanizar, Mustafril, Fauzi, H. 2012. Kajian Fermentasi dan Suhu Pengeringan pada Mutu Kakao (Theobroma cacao L.) Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol. 26 No. 2. Hal. 129-135.
12. Marwati, 2013. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Mutu Biji Kakao (Theobroma cacao L) yang Dihasilkan Petani Kakao di Teluk Kedondong Bayur Samarinda. Prosiding Seminar Nasional Kimia. ISBN: 978-602-19421-0-9. Hal. 218-222.
13. Mulato, S. (2011). Pengembangan Teknologi Pascapanen Pendukung Upaya Peningkatan Mutu Kakao Nasional.
14. Mulato, S., Widyotomo, Misnawi, Sanali, dan E. Suharyanto. 2004. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kopi dan Kakao, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
15. Nasution, MZ, Tjiptadi W dan Laksmi BS. 1985. Pengolahan Cokelat. Bogor: Agroindustri Press.
16. Ndukwu, M. . (2009). Effect of Drying
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 34-42
41
and Drying Air Velocity on the Drying Rate and Drying Constant of Cocoa Bean. Agricultural Engineering International: The CIGR E. Journal Manuscript, XI.
17. Permana, M., Sudjatha, W., Martini, Yeni. 1997. Pengaruh Lama Penyimpanan Buah dan Lama Fermentasi terhadap Mutu Biji Kakao Kering. Jurnal Teknologi Hasil Pertanian Denpasar. Vol 3, No 1.
18. Puziah, H.S., 2005. Cocoa Fermentation. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.
19. Rahmadi, A. (2008). Safety of Cocoa Products. Retrieved from http://foodreview.co.id/preview.php?view2&id=55838#.VQfILo4jzQc.
20. Rahmadi, A., & Fleet, G. H. (2008). The Occurrence of Mycotoxigenic Moulds in Cocoa Beans from Indonesia and Queensland , Australia. In Proceeding of International Seminar on Food Science (pp. 1–18).
21. Rohan, TA. 1963. Processing of Raw Cocoa for Market. FAO Agric. Studies, Rome.
22. Semangun, H. (1990). Ekologi Patogen Tropika dan Pemanfaatannya Dalam
Pengendalian Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta.
23. Towaha, J; Anggraini, D.A; Rubiyo. 2012. Keragaan Mutu Biji Kakao dan Produk Turunannya Pada Berbagai Tingkat Fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali. Pelita Perkebunan Vol. 28 No. 3. 166-183
24. Wahyudi, T.T.R, Panggabean, Pujiyanto (editor). 2013. Kakao, Manajemen Agribisnis dari Hulu ke Hilir. Penebar Swadaya.
25. Widyotomo, S., Mulato, S., & Handaka. (2004). Mengenal Lebih Dalam Teknologi Pengolahan Biji Kakao. Warta Litbang Pertanian, 26, 5-6.
26. Yusianto, H. Winarno dan T. Wahyudi, 1997. Mutu dan Pola Cita Rasa Biji Beberapa Klon Kakao Lindak. Pelita Perkebunan, 13, 171-187.
27. Zahouli, G.I.B; Guehi, S.T; Fae, A.M; Koffi, L.B, and Nemlin,J.C. 2010. Effect of Drying Methods on The Chemical Quality Traits of Cocoa Raw Material. Advance Journal of Food Science and Technology 2 (4): 184-190.
Karakteristik Mutu Biji Kakao…..(Melia)
42
GRADING WARNA DAUN TEMBAKAU BAWAH NAUNGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN
Color Grading of Shaded Tobacco Leaves Using Artificial Neural Network
Aneke Rintiasti
#1, Ikhwan Krisnadi
#2
#1 Baristand Industri Surabaya, Jl. Jagir Wonokromo 360 Surabaya, [email protected] #2 [email protected]
ABSTRAK Aneka cerutu, yang hadir di kalangan komunitas elit dan tempat-tempat yang prestisius, bahan bakunya adalah Java Tabak Cerutu, tembakau asal Jawa, khususnya Klaten dan Jember. Beberapa tahun belakangan ini, ketersediaan tenaga kerja semakin sulit dengan biaya yang semakin meroket, sehingga harus mulai mengarah ke mekanisasi. Tujuan Penelitian ini adalah menghasilkan Rancang Bangun Aplikasi Analisa Daun Tembakau, mendapatkan Model Segmentasi untuk pembacaan piksel daun tembakau, menghasilkan Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk Pemisahan daun tembakau,sehingga diharapkan dapat mempermudah proses evaluasi dan klasifikasi warna pada Sortasi I daun Tembakau. Daun Tembakau yang digunakan adalah Daun Tembakau Bawah Naungan (TBN) jenis besuki terdiri dari 5 kelas warna yaitu Biru / Hijau (B), Kuning (K), Kuning Tidak Merata (KV), Merah (M), Merah Tidak Merata (MV). Sebelum dianalisa citra daun difoto menggunakan cabinet yang tidak terpengaruh cahaya luar. Citra daun TBN tersebut kemudian dianalisa menggunakan model RGB, dari model RGB citra daun dianalisa menggunakan karakteristik nilai warna, citra daun TBN yang memenuhi karakteristik menjadi masukan Jaringan Saraf Tiruan Bakcpropagation dengan target 5 kelas warna yang sudah diubah menjadi bentuk biner. Penelitian menghasilkan Model Segmentasi untuk pembacaan piksel daun tembakau TBN menggunakan model RGB, Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk klasifikasi daun TBN menggunakan Neural Network Back PropagationTraining RGB dengan nilai error = 8.7%. Kata Kunci : tembakau besuki, tembakau bawah naungan, pengolahan citra
ABSTRACT Various cigars, which are present in the community among the elite and prestigious venues, the raw material is a Java Tabak cigars, tobacco from Java, especially Klaten and Jember. Recent years, the availability of labor more difficult with increasing costs skyrocketing, so it must start leading to mechanization. The purpose of this research was to Generate Design of Tobacco Leaf Analysis Applications, Getting Segmentation Model for pixel readout from tobacco leaves, Generate classification models that can be used for the separation of tobacco leaves which is expected to ease the process of evaluation and classification of color in the first sorting Tobacco leaves. Tobacco Leaf used is The Under Shade Tobacco leaf (TBN) consisted of five classes, namely the color Blue / Green (B), Yellow (K), Yellow Sprayed (KV), Red (M), Red Sprayed (MV). Before analyzed the leaves image photographed using a cabinet that unaffected the outside light. TBN leaf image is then analyzed using the RGB model and models HSV, RGB image of the model is analyzed using the characteristic leaf color values, The image of leaf TBN that meets the characteristics become an input of Bakcpropagation Neural Networks with the target are 5 color grade which converted into a binary form. The research resulted Segmentation Model for pixel readout TBN tobacco leaves using RGB models, classification model that can be used for the classification of TBN leaves use Neural Network Back Training RGB with an error value = 8.7%.” keywords : besuki tobacco, shaded tobacco, image processing
PENDAHULUAN
Sekitar 57 % cerutu dunia menggunakan wrapper dan binder asal Jawa. Berapa pun jumlah yang dipasok, tembakau Jawa masih terus dicari pembeli. Ketergantungan dunia akan tembakau Jawa masih sangat besar. Ini juga seiring dengan makin
langka dan menurunnya kuantitas dan kualitas tembakau Deli.
Budidaya tembakau cerutu yang dilakukan sebagian besar masih menggunakan tenaga manusia, mulai dari pembibitan hingga pengolahan sehingga keberhasilan bisnis sangat
Grading Warna Daun ….. (Aneke)
43
tergantung dari sumber daya manusia. Beberapa tahun belakangan ini, ketersediaan tenaga kerja operator sortir, semakin sulit karena bersifat kontrak tiap masa panen dan dengan biaya yang semakin meroket, maka kita harus mulai mengarah ke mekanisasi. Mekanisasi merupakan penggunaan alat atau mesin pada proses produksi pertanian, baik on farm maupun off farm. Mekanisasi pertanian yang tepat berperan sangat signifikan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pertanian dan pengolahannya.
Permasalahan yang dihadapi industri yaitu sulitnya mendapat pegawai. Pegawai yang ada umumnya pegawai kontrak sehingga ketika tiba musim tembakau berikutnya banyak pegawai yang sudah bekerja ditempat lain. Selain itu pegawai baru membutuhkan pelatihan mengklasifikasikan mutu tembakau [6]. Penelitian ini diharapkan membantu industri tembakau sebagai solusi atas tenaga kerja yg semakin langka sehingga proses produksi tetap dapat berjalan.
Maksud penelitian ini adalah melakukan evaluasi dan klasifikasi kualitas pada proses sortasi daun tembakau bawah naungan. Mempermudah proses evaluasi dan klasifikasi warna pada Sortasi I daun tembakau bawah naungan. Tujuan penelitian ini adalah 1. Mendapatkan Model Segmentasi
untuk pembacaan piksel daun tembakau bawah naungan
2. Menghasilkan Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk Pemisahan daun tembakau bawah naungan.
Ruang lingkup penelitian ini : 1. Tembakau yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tembakau bawah naungan dan proses yang dimodelkan adalah sortasi I.
2. Daun tembakau yang dimodelkan adalah daun koseran atau daun pertengahan
3. Warna yang dimodelkan adalah biru / hijau (B), kuning (K), kuning
tidak merata (KV), merah (M), merah tidak merata (MV).
Gambar 1. Proses Klasifikasi Mutu
Tembakau Berdasarkan Warna Daun secara Manual
Sebelumnya telah dikembangkan
beberapa penelitian [1] Segmentasi warna citra dengan deteksi warna HSV untuk mendeteksi objek [2] Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Pemetaan Kepadatan Serangan Gulma pada Lahan Terbuka. [5] memperkenalkan pengolahan citra digital untuk mendeteksi obyek menggunakan pengolahan warna model normalisasi RGB. [5] Klasifikasi warna menggunakan pengolahan model warna HSV. [8] Analisis tingkat kandungan warna untuk penentuan tingkat kematangan pada citra buah Papaya callina, [10] mempelajari klasifikasi daun tembakau virginia yang hanya memiliki 3 kelas warna menggunakan segmentasi RGB. [3] Jaringan saraf tiruan segmentasi citra daun labu bernoda dengan warna sebagai gejala tekanan biotik dan abiotik. Namun penelitian-penelitian tersebut belum ada yang membahas tentang daun tembakau bawah naungan yang memiliki tangga warna dengan perbedaan warna yang sangat mirip, sehingga dibutuhkan ketelitian dengan metode yang berbeda.
Gambar 2. Formasi daun tembakau dalam
satu batang cerutu
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57
44
Gambar 2, [9] menjelaskan secara umum contoh satu batang cerutu dan kebutuhan bahan baku tembakau berdasarkan klasifikasi mutu tembakau, terdiri dari :
a) Dekblad/Wrapper untuk pembalut cerutu, bagian terluar dari cerutu, mempunyai harga jual yang paling tinggi, berdasarkan mutunya terbagi dalam beberapa klasifikasi, masing-masing adalah: NW (Natural Wrapper), LPW (Light Painting Wrapper), PW (Painting Wrapper) dan RFU (Ready for Use).
b) Omblad/Binde runtuk pembungkus cerutu, bagian pembungkus dalam,
harga jual tidak terlalu tinggi / mahal, hanya terdapat satu klasifikasi omblad yaitu bawah naungan dua.
c) Filler / Vusel, (untuk isi cerutu, bagian yang paling dalam dari cerutu, harga jual rendah / murah). Pola tanaman tembakau bawah
naungan, merupakan inovasi dari pengelolaan tanaman tembakau Bes NO. Pemasangan, naungan (waring) diatas lahan tanaman, bertujuan untuk mengendalikan lingkungan mikro, terutama kelembaban udara. [9]
Saring Rompos Bir-Biran Sortasi Tahap II Namitten
Analisa Rompos Sortasi I
Terimaan
Keseragaman
Warna
Pengepakan
Stapel A dan B Aging / Stapel C Nazien
Pembeli
Lapang Kebun
Gudang
Pengering
Turun Truk
GUDANG PENGOLAH
Gambar 3. Alur Pengolahan Tembakau
Gambar 3 memperlihatkan diagram
alur pengolahan daun tembakau pada industri tembakau. Pada proses sortasi I dilakukan pemisahan berdasarkan warna dasar saja yaitu K (kuning), M (merah), B (biru / hijau), KV (Kuning Tidak Rata), MV (Merah Tidak Rata).
Inspeksi kualitas daun tembakau memiliki dua aspek pemeriksaan internal dan eksternal. Inspeksi internal melibatkan sensor manusia, uji merokok atau analisa kimia. Inspeksi mutu eksternal diperoleh dari penglihatan manusia. Metode ini membutuhkan biaya dan waktu yang sangat tinggi. Sebagai alternatif pemeriksaan eksternal digunakan pemeriksaan warna dan lain-lain dengan citra.
Citra merupakan representasi
dua dimensi dari bentuk fisik nyata tiga dimensi, yang perwujudannya bisa bermacam-macam. Mulai dari gambar hitam putih pada sebuah foto yang tidak bergerak sampai pada gambar berwarna yang bergerak pada sebuah pesawat televisi. Proses pengolahan citra digital menggunakan komputer digital adalah terlebih dahulu mentransformasikan citra ke dalam bentuk besaran-besaran diskrit dari nilai tingkat keabuan pada titik-titik elemen citra. Bentuk citra ini disebut citra digital. Citra digital didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) dua dimensi, dimana x dan y adalah koordinat spasial dan f(x,y) adalah disebut dengan intensitas atau tingkat keabuan citra.
Grading Warna Daun ….. (Aneke)
45
Komputer merepresentasikan warna berdasarkan 3 (tiga) komponen warna dasar yaitu red (R), green (G) dan blue (B). RGB tersebut dapat menghasilkan 16.7 juta warna yang dapat dikenali oleh komputer. Ketika citra dalam komputer ingin dicetak maka diperlukan suatu metode yang mengkonversi dari RGB ke CMYK pada printer. Dalam penelitian ini citra yang ditangkap oleh kamera hanya diproses didalam komputer namun tidak dicetak sehingga cukup dengan menggunakan metode RGB.
Jaringan Syaraf Tiruan memiliki pendekatan yang berbeda untuk memecahkan masalah bila dibandingkan dengan sebuah komputer konvensional. Umumnya komputer konvensional menggunakan pendekatan algoritma (komputer konvensional menjalankan sekumpulan perintah untuk memecahkan masalah). Jaringan Syaraf Tiruan biasanya mempunyai 3 group atau lapisan yaitu unit-unit : lapisan input yang terhubung dengan lapisan tersembunyi yang selanjutnya terhubung dengan lapisan output. 1. Aktifitas unit-unit lapisan input
menunjukkan informasi dasar yang kemudian digunakan dalam Jaringan Syaraf Tiruan.
2. Aktifitas setiap unit-unit lapisan tersembunyi ditentukan oleh aktifitas dari unit-unit input dan bobot dari koneksi antara unit-unit input dan unit-unit lapisan tersembunyi .
3. Karakteristik dari unit-unit output tergantung dari aktifitas unit-unit lapisan tersembunyi dan bobot antara unit-unit lapisan tersembunyi dan unit-unit output. METODE
Mengembangkan dari penelitian [10], pada gambar diperlihatkan alat pengambilan citra daun tembakau. Alat tersebut dapat dihubungkan ke laptop atau personal computer untuk pemroses data.
Daun diletakkan pada papan yang ditutupi kain putih sebagai alas untuk mempermudah memisahkan citra daun tembakau dengan background. Papan tersebut kemudian didorong kedalam cabinet kedap cahaya luar. Citra daun tembakau ditangkap menggunakan web camera.
Gambar 4. Alat Pengolahan Citra
Cahaya di dalam cabinet menggunakan lampu LED 3 watt. Untuk mendapatkan gambar tembakau tersebut digunakan kamera beresolusi 15 MP. Lampu dan kamera diletakkan dengan ketinggian 75 cm dari alas. Pada Gambar 5 menggambarkan metode penelitian.
Gambar 5. Metode Penelitian
Model segmentasi yaitu Citra daun tembakau yang disimpan kedalam komputer citra yang disimpan berdimensi 640 x 480 bertipe citra JPEG. Citra tersebut dikanalisasi ke warna RGB. Kemudian masing-masing kanal dipisahkan dengan background kain warna putih menggunakan threshold nilai piksel 100. Dimana nilai piksel diatas 100
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57
46
diubah menjadi 0. Nilai ini didapatkan melalui beberapa kali percobaan dan nilai ini adalah nilai yang paling mendekati bentuk tepi daun tembakau sehingga bentuk citra daun tembakau dapat jelas dipisahkan. setelah itu dihitung nilai min, max dan rata-rata. Dikarenakan nilai threshold 100 sebagai pemisah background dengan tembakau, maka yang dijadikan acuan adalah nilai rata-rata yang menggambarkan sebaran piksel dari citra daun tembakau tersebut.
Model klasifikasi yaitu dari nilai yang didapatkan (nilai rata-rata) merupakan parameter yang akan menentukan daun tembakau tersebut masuk kedalam 5 kelas yaitu Merah, Kuning, Biru, Merah tidak merata, dan kuning tidak merata. Untuk pengklasifikasiannya menggunakan Neural Network Back Propagation sehingga dapat diketahui tingkat error pengklasifikasiannya. Dalam klasifikasi ini, dilakukan 2 tahap, yaitu training dan testing untuk Neural Network Backpropagation.
BAHAN
.
Gambar 6. Tembakau KOS Biru (Hijau)
(B)
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tembakau Bawah Naungan, daun koseran warna Merah (M), Kuning (K), Biru (B), Merah Tidak Merata (MV), Kuning
Tidak Merata (KV).jenis Besuki. Penentuan kualitas daun tembakau menggunakan parameter warna yaitu warna merah, kuning dan hijau. Setiap warna diwakili oleh 10 (Sepuluh) daun tembakau yang berbeda.
Gambar 7. Tembakau Warna Kuning (K)
Gambar 8. Tembakau Kos Kuning tidak
merata (KV)
Gambar 9. Tembakau Kos Merah (M)
Grading Warna Daun ….. (Aneke)
47
Gambar 10. Tembakau Kos Merah Tidak
Merata (MV)
Segmentasi Model RGB
1. Citra daun yang sudah dipisahkan dengan background dipisahkan kanal Red, Green dan Blue.
2. Piksel-piksel dimasing-masing kanal Red, Green dan Blue dihitung nilai minimal, nilai maksimal dan rata-rata
3. Nilai rata-rata di kanal Red, Green dan Blue di analisa berdasarkan karakteristik warnanya
4. Daun yang memiliki karakteristik warna yang sesuai dikumpulkan untuk menjadi masukan neural network.
Klasifikasi Neural Network 1. Daun yang memenuhi
karakteristik warna pada analisa RGB dipergunakan sebagai masukan neural network.
2. Warna daun yang digunakan sebagai target diubah dalam bentuk biner 3 digit.
3. Nilai rata-rata daun yang terpilih pada analisa RGB disusun menjadi matriks masukan Neural Netwrok dengan ukuran [Mean_RGBHSV x Jumlah_Daun].
4. Warna daun sebagai keluaran neural network disusun dalam matriks berukuran 3 x jumlah_daun.
5. Melakukan proses training neural network.
6. Melakukan Uji Coba terhadap data daun pada Neural Network.
7. Menentukan tingkat error Neural Network.
HASIL DAN PEMBAHASAN Segmentasi Model RGB
Fungsi yang digunakan untuk pengolahan citra yaitu :
Pengambilan Nilai Piksel RGB
Mencari nilai mean tiap kanal Red, Green, Blue pada proses pengenalan tingkat warna. Hasil filter tiap kanal RGB pada daun Biru dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Hasil Pengolahan Citra
RGB Daun Kos Biru (Hijau) (B)
Hasil perhitungan nilai minimal,
maksimal dan rata-rata nilai piksel citra Daun Tembakau Bawah Naungan Biru ditunjukkan pada Tabel 1. Pada Gambar 12 dapat dilakukan analisis grafik daun TBN biru yaitu : 1. Daun biru adalah daun berwarna
hijau.
function
[rgb_matriks_daun_konverted,
hsv_matriks_daun_konverted,
minMaxMeanRGB, minMaxMeanHSV] =
background_to_black( matriks_daun )
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57
48
0
10
20
30
40
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
mean B mean R mean G
2. Hijau dan biru dihasilkan dari warna hijau dan biru sehingga 2 (dua) kanal ini harus menjadi nilai dominan.
3. Kanal biru adalah kanal yang paling dominan. Nilai kanal biru kebanyakan lebih dari 100 sehingga nilai piksel pada kanal biru banyak yang diubah menjadi 0. Hal ini tergambar pada grafik. Pada grafik ada beberapa nilai
hijau yang berada di atas nilai (merah) kurang dominan, hal ini disebabkan daun yang digunakan sudah berubah warna karena daun berasal dari hasil panen 2013 dan diambil citranya tahun 2014.
4. Daun yang digunakan sebagai data training adalah daun ke : 2, 6, 8, 10.
Tabel 1. Nilai Rata-rata komponen RGB Daun warna Biru
min R
Max R
mean R
min G
max G
Mean G
Min B
Max B
mean B
biru_kos1 0 100 19 0 100 21 0 100 15
biru_kos2 0 100 22 0 100 21 0 100 17
biru_kos3 0 100 16 0 100 23 0 100 16
biru_kos4 0 100 17 0 100 22 0 100 15
biru_kos5 0 100 20 0 100 20 0 100 14
biru_kos6 0 100 21 0 100 17 0 100 12
biru_kos7 0 100 22 0 100 23 0 100 19
biru_kos8 0 100 23 0 100 20 0 100 15
biru_kos9 0 100 26 0 100 29 0 100 26
biru_kos10 0 100 19 0 100 15 0 100 9
Berikut dapat dilihat Hasil filter tiap kanal RGB pada
daun Kuning ditampilkan pada Gambar 13. Citra Daun Tembakau Bawah Naungan Kuning ditunjukkan pada tabel 2. Pada Gambar 14, dapat dilakukan analisa grafik Daun TBN Kuning, yaitu : 1. Kuning adalah warna yang
dihasilkan dari warna Merah dan Hijau.
bar 13. Hasil citra daun RGB Daun K
Gambar 12. Nilai Mean RGB Daun Kos Biru B
Gambar 13. Hasil citra daun RGB Daun Kuning Kos 1-10
Grading Warna Daun ….. (Aneke)
49
2. Pada grafik Nilai merah dan hijau yang sama persis atau mendekati hanya beberapa daun kemungkinan dikarenakan warna daun sudah berubah karena daun
adalah dari hasil panen 2013 dan diambil citranya tahun 2014.
3. Data yang digunakan untuk training adalah daun ke : 1, 3, 6.
Tabel 2. Nilai Rata-rata komponen RGB Daun warna Kuning
min R
max R
mean R
min G
max G
mean G
min B
max B
mean B
kuning_kos1 0 100 24 0 100 25 0 100 20
kuning_kos2 0 100 17 0 100 27 0 100 25
kuning_kos3 0 100 20 0 100 21 0 100 16
kuning_kos4 0 100 14 0 100 24 0 100 24
kuning_kos5 0 100 19 0 100 25 0 100 23
kuning_kos6 0 100 22 0 100 24 0 100 18
kuning_kos7 0 100 12 0 100 26 0 100 28
kuning_kos8 0 100 14 0 100 23 0 100 29
kuning_kos9 0 100 18 0 100 26 0 100 21
kuning_kos10 0 100 19 0 100 28 0 100 28
Gambar 14. Grafik Nilai Mean RGB Daun Kuning (K)
1-10
Hasil filter tiap kanal RGB pada daun Merah dapat dilihat pada gambar 15. Hasil perhitungan nilai minimal, maksimal dan rata-rata nilai piksel citra daun tembakau bawah naungan merah ditunjukkan pada Tabel 3. Pada Gambar 16, dapat dilakukan analisa grafik daun tembakau bawah naungan kos merah, yaitu : 1. Daun warna merah memiliki nilai
kanal merah yang dominan, hal ini tergambar pada grafik
2. Pada grafik nilai daun ke : 8 keluar dari karakteristik umum kemungkinan karena warna daun sudah berubah karena daun berasal dari panen tahun 2013 dan baru diambil citranya tahun 2014
0
10
20
30
40
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
mean B mean R mean G
Gambar 15. Hasil Pengolahan Citra RGB Daun Merah Kos 1-10
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57
50
3. Daun yang digunakan untuk training adalah semua daun
merah kecuali daun ke : 8.
Tabel 3. Nilai Rata-rata komponen RGB Daun Warna Merah
min R
max R
mean R
Min G
max G
mean G
min B
max B
mean B
merah_kos1 0 100 7 0 100 13 0 100 18
merah_kos2 0 100 8 0 100 18 0 100 29
merah_kos3 0 100 11 0 100 22 0 100 25
merah_kos4 0 100 11 0 100 18 0 100 22
merah_kos5 0 100 10 0 100 14 0 100 17
merah_kos6 0 100 24 0 100 30 0 100 30
merah_kos7 0 100 17 0 100 26 0 100 31
merah_kos8 0 100 16 0 100 16 0 100 10
merah_kos9 0 100 19 0 100 27 0 100 23
merah_kos10 0 100 18 0 100 29 0 100 30
Gambar 2. Grafik Nilai Mean RGB Daun Kos Merah (M)
Hasil filter tiap kanal RGB pada daun Kos Kuning Tidak Merata (KV) dapat dilihat pada Gambar 17.
Hasil perhitungan nilai minimal, maksimal dan rata-rata nilai piksel citra daun tembakau bawah naungan kuning tidak merata ditunjukkan pada tabel 4. Pada gambar 18, analisa grafik daun tembakau bawah naungan kuning tidak merata (KV) : 1. Daun kuning tidak merata adalah
daun kuning yang memiliki semburan oranye.
2. Oranye adalah warna yang berasal dari warna red dan green namun nilai green lebih kecil daripada kuning.
3. Nilai daun yang memiliki karakteristik kuning adalah daun dengan nilai green dan blue yang rendah.
4. Daun yang digunakan untuk training adalah daun ke : 2, 6, 7, 8.
0
10
20
30
40
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
mean B mean R mean G
Gambar 3. Hasil Pengolahan Citra RGB Daun
Kos Kuning Tidak Merata (KV)
Grading Warna Daun ….. (Aneke)
51
Tabel 4. Nilai Rata-rata komponen RGB Daun Kuning Tidak Merata
min R
max R
mean R
min G
max G
mean G
min B
max B
mean B
kv_kos1 0 100 18 0 100 23 0 100 17
kv_kos2 0 100 20 0 100 18 0 100 12
kv_kos3 0 100 18 0 100 14 0 100 9
kv_kos4 0 100 18 0 100 26 0 100 26
kv_kos5 0 100 21 0 100 24 0 100 20
kv_kos6 0 100 20 0 100 18 0 100 12
kv_kos7 0 100 22 0 100 21 0 100 15
kv_kos8 0 100 19 0 100 18 0 100 11
kv_kos9 0 100 15 0 100 12 0 100 7
kv_kos10 0 100 17 0 100 13 0 100 8
Gambar 4. Grafik Nilai Mean RGB Daun Kuning Tidak Merata (KV)
Gambar 19. Hasil Pengolahan Citra RGB Daun Merah Tidak Merata (MV) Kos
Hasil filter tiap kanal RGB pada
daun Merah Tidak Merata dapat dilihat pada Gambar 19.
Hasil perhitungan nilai minimal,
maksimal dan rata-rata nilai piksel citra Daun Tembakau Bawah Naungan Merah Tidak Merata ditunjukkan pada tabel 5. Pada Gambar 20 dapat dilakukan analisa Daun TBN Merah Tidak Merata, yaitu: 1. Daun Merah Tidak Merata adalah
daun merah yang memiliki semburan oranye
2. Sehingga nilai merah harus dominan (paling kecil) sedangkan warna semburan oranye didapatkan dari nilai blue dan green yang berdekatan
3. Daun yang digunakan untuk training adalah daun ke : 1, 2, 5.
0
10
20
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
mean B mean R mean G
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57
52
Tabel 5. Nilai Rata-rata komponen RGB Daun Warna Merah Tidak Merata
min R
max R
mean R
min G
max G
mean G
min B
max B
mean B
mv_kos1 0 100 8 0 100 24 0 100 27
mv_kos2 0 100 18 0 100 27 0 100 28
mv_kos3 0 100 8 0 100 24 0 100 20
mv_kos4 0 100 12 0 100 24 0 100 32
mv_kos5 0 100 14 0 100 25 0 100 27
mv_kos6 0 100 21 0 100 21 0 100 16
mv_kos7 0 100 21 0 100 20 0 100 16
mv_kos8 0 100 14 0 100 11 0 100 7
mv_kos9 0 100 15 0 100 22 0 100 17
mv_kos10 0 100 17 0 100 16 0 100 11
Gambar 20. Grafik Nilai Mean RGB Daun Merah Tidak Merata (MV)
Tabel 6. Target Output Jaringan Saraf Tiruan
Target Inputan Neural Network
mean R
mean G mean B
biru_kos2 22 21 17
biru_kos6 21 17 12
biru_kos8 23 20 15
biru_kos10 19 15 9
kuning_kos1 24 25 20
kuning_kos3 20 21 16
kuning_kos6 22 24 18
kv_kos2 20 18 12
kv_kos6 20 18 12
kv_kos7 22 21 15
kv_kos8 19 18 11
merah_kos1 7 13 18
merah_kos2 8 18 29
merah_kos3 11 22 25
merah_kos4 11 18 22
merah_kos5 10 14 17
merah_kos6 24 30 30
merah_kos7 17 26 31
merah_kos9 19 27 23
merah_kos10 18 29 30
mv_kos1 8 24 27
mv_kos2 18 27 28
mv_kos5 14 25 27
Jaringan Syaraf Tiruan Perambatan Balik
Masukan Jaringan Saraf Tiruan Sesuai dengan hasil analisa RGB daun-daun yang digunakan sebagai input training jaringan saraf tiruan sesuai dengan Tabel 6.
Keluaran Jaringan Saraf Tiruan Tabel 7. Mean Daun TBN yang memenuhi karakteristik input Jaringan Saraf Tiruan
No Warna Daun Biner
1 Biru 0 0 1
2 Kuning 0 1 0
3 Kuning Tidak
Merata 0 1 1
4 Merah 1 0 0
5 Merah Tidak Merata 1 0 1
Keluaran jaringan saraf tiruan
adalah klasifikasi apakah daun yang digunakan sebagai inputan adalah daun biru, kuning, Kuning Tidak Merata, merah atau Merah Tidak Merata. Oleh karena itu untuk mempermudah perhitungan maka nilai
0
10
20
30
40
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
mean B mean R mean G
Grading Warna Daun ….. (Aneke)
53
target dari string diubah dalam bentuk biner Tabel 7.
Fase Pembelajaran Jaringan Saraf Tiruan
Fase pembelajaran dilakukan 2 (dua) macam jenis pembelajaran yaitu pembelajaran dengan menggunakan matriks RGBHSV dan matriks RGB.Fungsi yang digunakan pada fase ini yaitu :
Pada fase pembelajaran RGB jaringan saraf tiruan diberikan masukan berupa matriks berukuran 3x23. Nilai-nilai dalam matriks tersebut adalah nilai mean RGB dari daun-daun yang memenuhi karakteristik warna. Sedangkan pada sisi keluaran diberikan target matriks berukuran 3x23, dapat dilihat pada Gambar 21.
Pada Gambar 22 diperlihatkan training jaringan saraf tiruan untuk training citra RGB. Sedangkan pada Gambar 23 diperlihatkan plot training.
Gambar 22. Proses Training Matriks
RGB Jaringan Saraf Tiruan
Pada Gambar 24 diperlihatkan
mean square error untuk proses training RGB Jaringan Saraf Tiruan. Pada Gambar 25 diperlihatkan plot state pada training.
4.2.4.Fase Uji Coba Jaringan Saraf Tiruan
Setelah mendapatkan weight atau bobot neural network maka dilakukan fase uji coba. Bobot yang sudah didapatkan sebelumnya diujicoba dengan memasukkan matriks masukan. Keluaran kemudian dicocokkan dengan target. Fungsi yang digunakan pada fase uji coba adalah sebagai berikut :
Dengan menggunakan 2 (dua) macam bobot yang didapatkan dari 2 (dua) macam jenis training didapatkan tingkat error sebagai berikut. Training RGB menghasilkan tingkat error sebesar 8.7%. Pada gambar 26 dapat dilihat hasil keluaran jaringan saraf tiruan yang dicocokkan dengan target.
function [ NN_BackPropagation ] =
initiate_NN_BackPropagation(
training_input, training_output )
function [ NN_BackPropagation ] =
execute_NN_BackPropagation(
NN_BackPropagation,
training_input, training_output )
Gambar 21. Matriks Masukan RGB dan
Keluaran Jaringan Saraf Tiruan
function [ Hasil_Testing ] =
simulate_NN_BackPropagation(
NN_BackPropagation, testing_input
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57
54
Gambar 23. Grafik Proses Training Matriks RGB Jaringan Saraf Tiruan
Gambar 24. Mean Square Error Proses Training Matriks RGB Jaringan Saraf Tiruan
Gambar 25. Training State pada Proses Training Matriks RGB Jaringan Saraf Tiruan
Grading Warna Daun ….. (Aneke)
55
[ ]
Target Output
[ ]
Hasil Testing
Gambar 26. Matriks Masukan dan Keluaran Bobot RGB Jaringan Saraf Tiruan
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Model Segmentasi untuk
pembacaan piksel daun tembakau bawah naungan menggunakan model red, green, blue (RGB)
2. Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk Pemisahan daun tembakau bawah naungan menggunakan Neural Network Back Propagation dengan Training RGB memiliki nilai error = 8.7%
Saran Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya penelitian dilakukan untuk Sortasi Tahap II dimana daun yang dipisahkan memiliki anak tangga warna yang lebih banyak ditambah dengan daun berkarakteristik khusus misalnya daun berminyak dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA 1. Budi Putranto, B.Y, Widi Hapsari,
Katon Wijana, 2010, Segmentasi Warna Citra dengan Deteksi Warna HSV untuk Mendeteksi Objek. Fakultas Teknik Prodi Teknik Informatika, Univ Kristen Duta Wacana Yogyakarta
2. Iqbal Saputra. 2011.Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Pemetaan Kepadatan Serangan Gulma pada Lahan Terbuka. Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB.
3. Jarosław Gocławski, Joanna Sekulska-Nalewajko, El Zbieta Ku, Zniak.2012. Neural Network Segmentation Of Images From Stained Cucurbits Leaves With Colour Symptoms Of Biotic And Abiotic Stresses. Institute of Applied Computer Science, Ł´od´z University of Technology, Stefanowskiego 18/22, 90-924 Ł´od´z, Poland.
4. Kusumanto,R.D, Alan Novi Tompunu dan Wahyu Setyo Pambudi. 2011. Klasifikasi Warna Menggunakan Pengolahan Model Warna HSV. Jurnal
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57
56
Ilmiah Elite Elektro, VoL. 2, No. 2, September 2011: 83-87
5. Kusumanto, R.D, Alan Novi Tompunu. 2011.Pengolahan Citra Digital Untuk MendeteksiI Obyek Menggunakan Pengolahan Warna Model Normalisasi RGB.Seminar Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi Terapan 2011. ISBN 979-26-0255-0. Jurusan Teknik Komputer, Politeknik Negeri Sriwijaya. Palembang
6. Litbangjember, 2013, Mekanisasi Angin Segar Bisnis Tembakau Cerutu, https://litbangjember.wordpress.com/2013/01/03/mekanisasi-angin-sebag-bisnis-tembakau-cerutu/, diakses tanggal 20 Maret 2013.
7. Litbangjember, 2012, Java Tabak Bagian 2, https://litbangjember.wordpress.com/2012/11/30/java-tabak-bagian_2/, diakses tanggal 20 Maret 2013.
8. Sila Abdullah Syakry, C, Mulyadi dan Syahroni.2013. Analisis Tingkat Kandungan Warna untuk Penentuan Tingkat Kematangan pada Citra Buah Papaya. Jurnal Ilmiah Elite Elektro, Vol. 4 No. 1, Maret 2013 : 31-37
9. Slamet Wirawan. 2006. Analisis Ekonomi Petik Daun Tengah Tembakau Bawah Naungan di Kebun Ajong Gayasan Jember. Program Pasca Sarjana UPN. Surabaya
10. Fan Zhang and Xinhong Zhang. 2011. Classification and Quality Evaluation of Tobacco Leaves Based, on Image Processing and Fuzzy Comprehensive Evaluation. Sensors 2011, 11, 2369-2384; Open Access sensors, ISSN 1424-8220,www.mdpi.com/journal/sensors
Grading Warna Daun ….. (Aneke)
57
PENGARUH FORMULASI DAN ASAL BIJI KAKAO FERMENTASI TERHADAP MUTU DAN CITARASA DARK CHOCOLATE
Effect of Formulation and Fermented Cocoa Beans Origin to Dark chocolate’s
Quality and Flavour
Sitti Ramlah, Medan Yumas Balai Besar Industri Hasil Perkebunan
Jl.Prof.Dr. Abdurrahman Basalamah, No.28 Makassar [email protected]
ABSTRAK Penelitian Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao Fermentasi Terhadap Mutu Dan Citarasa Dark Chocolate telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh formulasi da asal biji kakao fermentasi terhadap mutu dan citarasa dark chocolate yang dihasilkan. Pada penelitian pembuatan Dark Chocolate menggunakan 2 (dua) perlakuan . Perlakuan pertama yaitu Asal Daerah (provinsi) biji kakao yang digunakan (A) yaitu ; Sulawesi Selatan (A1), Sulawesi Barat (A2), Sulawesi Tengah (A3), dan perlakuan ke dua adalah formula/kualitas Dark Chocolate yang akan di buat (B), yaitu Formula Kualitas sedang (B1), dan Formula Kualitas Tinggi (B2). Parameter uji yang digunakan adalah kadar air, kadar lemak, kadar gula, FFA, asam lemak, asam amino, polifenol, citarasa, ALT dan titik leleh. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa formulasi dan asal biji kakao fermentasi mempengaruhi mutu dan citarasa dark chocolate yang dihasilkan terutama dari segi titik leleh, kadar asam amino, asam lemak, kadar polifenol dan nilai citarasa. Dark chocolate yang dihasilkan dari kakao asal Sulawesi tengah baik kualitas sedang maupun kualitas tinggi memiliki kandungan polifenol tertinggi dibanding dark chocolate dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Kata Kunci. Biji kakao, fermentasi, dark chocolate, kualitas sedang, kualitas tinggi, mutu, citarasa.
ABSTRACT Research on the effect of formulation and fermented cocoa beans origin to dark chocolate’s quality and flavour has been done. This research aims to know how is the effect of formulation and fermented coco beans origin to the quality and flavours of resulted dark chocolate. This research used 2 (two) treatment . First treatment was origin of coco beans used on the research (A), in which : South Sulawesi (A1), West Sulawesi (A2), Central Sulawesi (A3), second treatment was formula quality of dark chocolate to be produced (B), in which medium quality (B1) and high quality formula (B2). Testing parameter used were water moisture, fat content, sucrose content, FFA, fatty acid, amino acid, polyphenol, flavour, TPC and melting point. Research result can be concluded that formulation and origin of fermented cocoa beans affecting quality and flavourof resulted dark chocolate in tenns of melting point, amino acids content, fatty acids, polyphenol content, and flavour score. Dark chocolate produced Central Sulawesi both for medium quality and high quality had higher polyphenol content compare to those from both South and West Sulawesi. Keywords : Cocoa beans, fermentation, dark chocolate, medium quality, high quality, flavour.
PENDAHULUAN
Rasa asli biji kakao sebenarnya pahit akibat kandungan alkaloid, tetapi setelah melalui proses pengolahan dapat dihasilkan produk cokelat yang disukai oleh siapapun. Biji kakao mengandung lemak 31%, karbohidrat 14% dan protein 9%.
Cokelat adalah olahan yang dihasilkan dari bahan baku yaitu biji dan lemak kakao. Cokelat merupakan
kategori makanan yang mudah dicerna oleh tubuh dan mengandung banyak vitamin seperti vitamin A1, B1, B2, C, D, dan E serta beberapa mineral seperti fosfor, kelelahan sehingga bisa digunakan sebagai obat anti depresi (Spillane, 1995).
Konsumsi cokelat semakin meningkat sejalan dengan arus globalisasi informasi dan daya beli masyarakat, diperlukan diversifikasi
Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)
58
atau penganekaragaman produk cokelat untuk memperluas jangkauan dan daya beli masyarakat dan dapat meningkatkan kesehatan dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan semaksimal mungkin dan meminimalkan biaya produksi sehingga dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Riyani, 2011).
Produsen cokelat pada umumnya memproduksi tiga macam cokelat jadi, yaitu cokelat pekat (dark chocolate), cokelat susu (milk chocolate), dan cokelat putih (white chocolate). Ketiga macam cokelat ini dibedakan berdasarkan komposisinya, yaitu dari kandungan cokelat, gula, serta bahan tambahan lain (Brown, 2010). Dark Chocolate merupakan cokelat batangan yang dibuat dari pasta kakao dengan lemak kakao dan sedikit campuran gula dan vanili dan biasanya ditambahkan lesitin .
Kualitas cokelat salah satunya dinilai dari persentase kandungan cokelat padat yang tinggi dan kandungan gula yang rendah. Pemerintah Amerika Serikat menetapkan minimal 35% kandungan cokelat pasta untuk dark chocolate sedangkan standar di Eropa menetapkan minimal 43% (Atkinson et al., 2010). Namun untuk dapat dinyatakan berkualitas tinggi, cokelat harus memiliki kandungan cokelat pasta minimal 60%. Cokelat pekat yang berkualitas tinggi memiliki kandungan gula yang sangat rendah dibandingkan jenis cokelat lainnya dan oleh sebab itu rasanya lebih pahit (Atkinson et al., 2010). Dark chocolate yang beredar di pasar internasional umumnya mengandung kakao massa sekitar 45-80% pasta kakao. Sedangkan untuk standar kualitas medium mengandung kakao massa 55% pasta kakao dengan kandungan gula yang tinggi (Beckett, 2009).
Cokelat dengan kandungan pasta kakao lebih dari 70% juga memiliki manfaat untuk kesehatan, karena kaya akan kandungan antioksidan yaitu fenol dan flavonoid. Dengan adanya
antioksidan, akan mampu untuk menangkap radikal bebas dalam tubuh. Besarnya kandungan antioksidan ini bahkan 3 kali lebih banyak dari teh hijau, minuman yang selama ini sering dianggap sebagai sumber antioksidan. Dengan adanya antioksidan, membuat cokelat menjadi salah satu minuman atau makanan kesehatan. Fenol, sebagai antioksidan mampu mengurangi kolesterol pada darah sehingga dapat mengurangi risiko terkena serangan jantung juga berguna untuk mencegah timbulnya kanker dalam tubuh, mencegah terjadinya stroke dan darah tinggi.
Cokelat juga mengandung beberapa vitamin yang berguna bagi tubuh seperti vitamin A, vitamin B1, vitamin C, vitamin D, dan vitamin E. Selain itu, cokleat juga mengandung zat maupun nutrisi yang penting untuk tubuh seperti zat besi, kalium dan kalsium. Kakao sendiri merupakan sumber magnesium alami tertinggi. Jika seseorang kekurangan magnesium, dapat menyebabkan hipertensi, penyakit jantung, diabetes, sakit persendian dan masalah bulanan wanita yaitu pra menstruasi (PMS). Dengan makan cokelat akan menambah magnesium dalam asupan gizi harian yang menyebabkan meningkatnya kadar progesteron pada wanita. Hal ini mengurangi efek negatif dari PMS.
Sulawesi merupakan penghasil biji kakao tertinggi di Indonesia, terutama provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Selain itu, kakao dari Sulawesi mempunyai mempunyai titik leleh yang tinggi. Dari sifat ini diharapkan dapat meningkatkan dan memperbaiki kestabilan dari produk olahannya, salah satu diantaranya adalah Dark Chocolate. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian Pengaruh Formulasi dan Asal Biji Kakao Fermentasi Terhadap Mutu dan Citarasa Dark Chocolate dengan memanfaatkan biji kakao Sulawesi Selatan , Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75
59
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pengaruh formulasi dan asal biji kakao fermentasi terhadap mutu dan citarasa dark chocolate yang dihasilkan . METODOLOGI PENELITIAN
Bahan Dan Alat Bahan baku yang digunakan
pada penelitian adalah biji kakao fermentasi, lemak kakao, gula sukrosa, lechitin cair, vanili. Sedangkan peralatan yang dipergunakan adalah
alat pemasta kasar, alat winnowing, universal conching, alat tempering, alat cetakan, dan lain-lain alat penolong. Metode Penelitian Produk Dark Chocolate
Penelitian pembuatan Dark Chocolate menggunakan perlakuan sumber/asal Bahan Baku biji kakao fermentasi (A) dan Formula/ jumlah kakao massa (qualitas dark chocolate) (B). Formula Dark Chocolate yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada Beckett (2009).
Tabel 1. Formula Dark Chocolate yang digunakan pada penelitian
KOMPOSISI PERLAKUAN (%)
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Nib 55 80 55 80 55 80
Gula 44.5 19.5 44.5 19.5 44.5 19.5
Lesitin 0.35 0.35 0.35 0.35 0.35 0.35
Vanili 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Garam 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
Total 100 100 100 100 100 100
Perlakuan : A : Asal Biji Kakao (Bahan Baku) : A1 : Biji Kakao Fermentasi asal Sulawesi Selatan (Luwu Utara) A2 : Biji kakao fermentasi asal Sulawesi Barat (Mamuju ) A3 : Biji kakao fermentasi asal Sulawesi Tengah (Palu) B: Formula /jumlah kakao massa (Kualitas Dark Chocolate) : B1 : 55 % kakao massa (kualitas sedang) B2 : 80 % kakao massa (kualitas tinggi) Parameter dari dark chocolate yang diamati pada penelitian ini meliputi kadar air, kadar lemak, kadar FFA, kadar gula, titik leleh, uji mikrobiologi, polifenol, asam lemak, asam amino dan uji citarasa. Parameter Uji
Parameter uji untuk biji kakao yang digunakan mengacu pada SNI 2323:2008/Amd1:2010, sedangkan untuk dark chocolate yang dihasilkan pada penelitian ini adalah :Kadar lemak, Kadar Air, Kadar Gula, Uji Mikrobiologi, Titik Leleh, Uji Polifenol,
Asam Lemak, Asam Amino, Uji Citarasa.
Pengujian dilakukan pada Lab. BBIHP(Kadar air, kadar lemak, mikrobiologi (Angka Lempeng Total), Kadar gula, Lab. Politeknik UNHAS (melting point/titik leleh), Lab. Saraswanti Bogor (Asam Lemak dan Asam Amino), dan Lab. Puslitkoka Jember (Polyphenol, dan Citarasa)
Pengujian kadar air, karbohidrat mengacu pada SNI 2323-2008, kadar lemak mengacu pada SNI 3749-2009, Uji Citarasa dan uji kadar polifenol dengan Spektrofotometer diuji pada lab.Puslitkoka Jember. Uji Gula (SNI 01-2892-1992).Lemak Kakao (SNI 3748-2009). Badan Standartisasi Nasional, Jakarta. Biji Kakao (SNI 01-23-2002). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.Cara Uji Makanan dan Minuman (SNI 01-2891-1992). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Prosedur Penelitian Adapun prosedur penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 1.
Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)
60
Gambar 1. Prosedur Penelitian Pembuatan Dark Chocolate HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan Baku
Hasil analisa mutu bahan baku biji kakao fermentasi yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Mutu bahan baku yang digunakan untuk membuat dark chocolate ini, akan
mempengaruhi mutu dari produk yang dihasilkan. Hasil analisa bahan baku (Tabel 2), menunjukkan bahwa bahan baku yang digunakan pada penelitian memenuhi persyaratan SNI 2323:2008/Amd1:2010, jenis mutu II-B.
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75
61
Tabel 2. Hasil Analisa Mutu Bahan Baku (Biji Kakao Fermentasi) Berbagai Daerah
No. Parameter Satuan Daerah
Sulsel Sulbar Sulteng
1. Kadar Air % 6,34 6,50 7,30 2. Biji berbau asap
(hammy) dan atau berbau asing
- Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
3. Kadar Benda Asing - Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 4. Jumlah Biji per 100
Gram Contoh Biji 93 (B) 103 (B) 57 (AA)
5. Kadar Biji Berjamur (biji/biji)
% 0,67 0,33 2
6. Kadar Biji Slaty (biji/biji) % 0,67 8 8 7. Kadar Biji Berserangga
(biji/biji) % 0 0 0,33
8. Kadar Kotoran (waste) (biji/biji)
% 1,15 0,28 3,22
9. Kadar Biji Berkecambah (biji/biji)
% 2 0 1
10. Kadar Lemak Total % 55,01 55,28 54,62
Kadar Air Kadar air merupakan salah satu
karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena kandungan air dalam bahan pangan dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa pada bahan pangan tersebut . Makin rendah kadar air, makin lambat pertumbuhan mikroorganisme berkembang biak, sehingga proses pembusukan akan
berlangsung lebih lambat (Winarno, 2002). Selain itu, kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari bahan makanan karena mempengaruhi sifat fisik, kimia, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis (Buckle, et.al., 2009).
Hasil analisa kadar air dari berbagai formulasi dark chocolate pada penelitian ini dapat dilhat pada gambar 2.
Gambar 2. Histogram Kadar Air Berbagai Dark Chocolate
Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)
62
Pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa kadar air produk dark chocolate kualitas sedang adalah 1.31 % (A1B1), 1.38 % (A2B1) dan 1.44 % (A3B1), sedangkan untuk kualitas tinggi diperoleh kadar air 1.82 % (A1B2), 2.14 % (A2B2) dan 2.39 % (A3B2). Perbedaan kadar air ini disebabkan karena perbedaan kadar air dari bahan baku yang digunakan (Tabel 1). Selain itu kadar air juga dipengaruhi oleh proses yang dilakukan selama pembuatan produk, antara lain penyangraian dan proses conching. Proses penyangraian dilakukan selama ± 30 menit dengan suhu 120oC, dan pada proses conching dilakukan selama 7 jam dengan suhu 55oC. Kedua proses ini menyebabkan berkurangnya kadar air dari produk yang dihasilkan.
Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar air dark chocolate yang dihasilkan memenuhi persyaratan SNI 3749:2009, yaitu maksimal 2 % (BSN, 2009), kecuali perlakuan A2B2 dan A3B2 yang memiliki kadar air yang lebih tinggi dari 2 %.
Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)
Komposisi kimia yang juga merupakan senyawa penting yaitu kadar asam lemak bebas (FFA). Proses kerusakan lemak berlangsung sejak
pengolahan sampai siap dikonsumsi. Peristiwa ketengikan dapat terjadi pada jenis makanan berkadar lemak tinggi maupun rendah. Kerusakan lemak dapat terjadi pada makanan kadar lemaknya lebih dari 1% (Ketaren, 1986). Menurut Winarno (1997), bila suatu lemak mengalami proses pemanasan secara berlebihan akan mengalami pembakaran lemak atau minyak. Bila lemak yang telah terbakar tersebut menimbulkan kepulan asap, hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah asam lemak bebas. Penentuan asam lemak bebas ini sangatlah penting, bila dalam jumlah yang kecil, asam lemak bebas berfungsi sebagai flavor dalam makanan, bila terlalu banyak lebih dari 10%, berpengaruh terhadap mutu makanan yang banyak mengandung lemak.
Menurut Ketaren (1986), asam lemak bebas yang terbentuk dalam produk makanan terdapat dalam jumlah kecil dan sebagian besar terikat dalam bentuk ester trigliserida. Reaksi hidrolisis dan oksidasi lemak akan mengakibatkan ketengikan yang menghasilkan flavor dan bau tengik pada makanan yang mengandung lemak.
Hasil analisa kadar asam lemak bebas dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Gambar 3. Histogram FFA Berbagai Dark Chocolate
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75
63
Dari hasil analisa yang telah dilakukan (Gambar 3), pada dark chocolate kualitas sedang (A1B1, A2B1 dan A3B1) maupun kualitas tinggi (A1B2, A2B2 dan A3B2) menunjukkan kadar asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) berkisar antara 1.34 % - 1.51 %. Walaupun belum ada standar kandungan FFA untuk produk dark chocolate, namun apabila didasarkan pada standar toleransi kandungan asam lemak bebas di dalam lemak kakao sesuai dengan SNI 3748:2009, kadar asam lemak bebas maksimal 1.75 %. Dengan demikian produk dark chocolate yang dihasilkan masih memenuhi batas toleransi maksimal.
Dari hasil analisa FFA (gambar 3) menunjukkan dilihat bahwa dark chocolate dari biji kakao asal Sulawesi tengah mempunyai kadar FFA yang paling tinggi. Hal ini diduga disebabkan biji kakao yang digunakan mengandung kadar air dan kadar jamur yang lebih tinggi dibanding biji kakao dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Dark chocolate yang dihasilkan mengandung lemak tinggi namun relatif tidak mudah tengik karena juga mengandung polifenol 1,41 – 6,12 (gambar 7 ) yang berfungsi sebagai antioksidan pencegah ketengikan.
Gambar 4. Histogram Kadar Lemak Berbagai Dark Chocolate
Kadar Lemak
Hasil analisa kadar lemak terhadap dark chocolate yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4, hasil analisa kadar lemak produk dark chocolate kualitas sedang (A1B1, A2B1 dan A3B1 berkisar antara 35,32% hingga 36,85%. Hasil uji kadar lemak yang diperoleh tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Rendahnya kadar lemak produk dark chocolate kualitas sedang yang diperoleh karena jumlah pasta kakao yang digunakan hanya 55%. Sedangkan kadar lemak produk dark chocolate kualitas tinggi berkisar dari 44,32% sampai 44,86%. Kadar lemak
yang diperoleh pada produk dark chocolate kualitas tinggi cenderung lebih tinggi dari produk dark chocolate kualitas sedang, hal ini diakibatkan karena komposisi atau formula pasta kakao yang digunakan pada produk dark chocolate kualitas tinggi lebih tinggi yaitu 80%. Namun jika ditinjau dari pengaruh asal biji kakao terhadap kandungan lemak dari dark chocolate kualitas sedang maupun kualitas tinggi, maka tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan terhadap kadar lemak dark chocolate yang dihasilkan. Kadar Lemak biji kakao dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah cenderung sama (Tabel 2) Hal ini disebabkan daerah Sulawesi Selatan ,
Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)
64
Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah mempunyai topografi yang hampir sama.
Selain faktor tanah, komponen lingkungan lainnya yang juga harus dipertimbangkan adalah ketinggian tempat. Hasil penelitian Liyanda et al (2012), menunjukkan ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap
produksi dan kadar lemak kakao. Semakin tinggi tempat penanaman kakao suhu semakin rendah sehingga semakin tinggi pula kadar lemak kakao yang dihasilkan. Komponen pembentuk lemak dan komposisi asam lemak dipengaruhi oleh ketinggian tempat wilayah penanaman dari kakao (Lipp dan Enklam, 1998).
Gambar 5. Histogram Kadar Gula Berbagai Dark Chocolate
Kadar Gula
Penambahan gula pada pembuatan cokelat akan mempengaruhi sifat fisik dan organoleptik pada cokelat yang dihasilkan. Adanya penambahan gula pada pembuatan dark chocolate akan meningkatkan stabilitas produk dark chocolate. Penambahan gula akan memberikan rasa manis atau mengurangi rasa pahit pada produk dark chocolate. Apabila gula yang ditambahkan cukup tinggi maka akan memiliki kalori yang cukup tinggi pula (Adi, 2006). Hasil analisa kadar gula dari beberapa dark chocolate pada penelitian ini, dapat dilihat pada gambar 5.
Pada Gambar 5, menunjukkan hasil analisa kadar gula produk dark chocolate kualitas sedang A1B1, A2B1 dan A3B1, masing-masing adalah 40.64 %, 40.77 % dan 40.15 %. Hasil ini tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Hal ini disebabkan karena
penambahan gula pada formula dark chocolate kualitas sedang ini adalah sama yaitu sebesar 44,5%. Adapun hasil analisa kadar gula produk dark cokelat kualitas tinggi A1B2, A2B2 dan A3B2 berturut-turut 14.44 %, 14.03 % dan 16.62 %. Hasil analisa kadar gula yang diperoleh tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena penambahan gula pada formula produk dark chocolate kualitas tinggi adalah sama yaitu hanya sebesar 19,5%.
Dilihat dari asal bahan baku biji kakao yang digunakan, kadar gula dark chocolate yang dihasilkan tidak berbeda jauh antara dark chocolate yang satu dengan dark chocolate lainnya.Hal ini diduga disebabkan daerah tempat tumbuh asal biji kakao yang digunakan mempunyai topografi yang hampir sama antara Sulawesi Selatan , Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75
65
Titik Leleh
Gambar 6. Histogram Titik Leleh Berbagai Dark Chocolate
Sifat leleh atau tingkat kestabilan merupakan salah satu sifat fisik pada produk seperti dark chocolate. Produk seperti dark cokelat dikatakan baik jika tidak mudah meleleh pada suhu ruang. Uji stabilitas ini dilakukan dalam inkubator pada suhu 37oC. Pengujian ini ditandai dengan adanya perubahan bentuk pada dark chocolate, dari padat menjadi lunak. Hasil uji titik leleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Hasil uji titik leleh pada produk dark chocolate dapat dilihat pada Gambar 6, yang berkisar 40oC hingga
44oC. Hasil uji titik leleh yang diperoleh ini cukup baik, hal ini disebabkan karena tingkat kestabilan kristal lemak yang terbentuk pada proses tempering adalah sangat stabil sehingga tidak mudah untuk meleleh. Tingginya titik leleh pada produk dark chocolate ini juga diduga disebabkan oleh adanya penambahan gula, dimana partikel gula dan cokelat akan saling berikatan.
Titik leleh dark chocolate yang berasal dari biji kakao asal Sulawesi Barat cenderung lebih tinggi, baik dark cokelat kualitas sedang maupun kualitas tinggi.
Polifenol
Gambar 7. Histogram Polifenol Berbagai Dark Chocolate
Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)
66
Biji kakao mengandung senyawa polifenol 12- 18 % dari berat kering. Kira-kira 60 % senyawa polifenolnya adalah flavonoid prosianidin. Seiring dengan proses pengolahan, polifenol ini akan mengalami penurunan. Hasil analisa polifenol disajikan pada Gambar 7. Polifenol berkisar antara 1.21 % - 6.12 %. Polifenol tertinggi yaitu 6.12% diperoleh dari perlakuan A3B2 dan 3.61 % dari perlakuan A3B1. Dari hasil analisa polifenol (Gambar 7), dapat dilihat bahwa ditinjau dari asal bahan baku yang digunakan maka baik dark chocolate kualitas sedang maupun kualitas tinggi dengan kandungan
polifenol tertinggi adalah dark chocolate dengan bahan baku biji kakao dari Sulawesi Tengah, menyusul Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Dark cokelat A1B1, A1B2 dan A2B1, A2B2 mempunyai kandungan polifenol yang hampir sama, namun dengan dark chocolate A3B1, A2B2 terdapat perbedaan kandungan polifenol yang signifikan. Tingginya kandungan polifenol pada dark cokelat A3 (A3B1 dan A3B2) diduga disebabkan biji kakao yang digunakan pada kedua perlakuan tersebut, adalah biji kakao organik. Selain itu diduga disebabkan oleh tanah tempat tumbuh biji kakao yang digunakan.
Tabel 3. Hasil Pengujian Angka Lempeng Total Beberapa Dark Chocolate
Dark Chocolate Hasil (koloni/g)
A1B1 1.2 x 102
A1B2 1.6 x 102
A2B1 2.0 x 102
A2B2 2.4 x 102
A3B1 8.5 x 101
A3B2 8.0 x 101
Uji Mikrobiologi
Pengujian mikrobiologi yang dilakukan yaitu pengujian angka lempeng total. Hasil pengujian dari beberapa produk dark chocolate dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 diatas, diketahui bahwa angka lempeng total pada beberapa produk dark chocolate yang dihasilkan berkisar antara 8.0 x 101 – 2.4 x 102. Nilai ini masih memenuhi persyaratan SNI 3749:2009, tentang batas maksimal cemaran ALT untuk produk cokelat (kakao massa) yaitu maksimal 5 x 103. Cemaran mikroba, termasuk angka
lempeng total pada suatu produk dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah bahan baku dan peralatan yang digunakan serta proses pengolahannya.
Uji mikrobiologi menunjukkan bahwa dark chocolate baik kualitas sedang maupun kualitas tinggi yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Tengah mengandung angka Lempeng Total yang rendah dibanding dark chocolate lainnya. Hal ini diduga disebabkan biji kakao yang digunakan adalah biji kakao organik.
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75
67
Tabel 4. Hasil Uji Cita Rasa Berbagai Dark Chocolate
Karakteristik A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Chocolate aroma 7.33 5.83 7.00 6.83 5.67 5.50
Intensity of aroma 7.17 5.67 7.00 6.83 5.00 5.50
Chocolate Flavour 7.67 5.83 7.33 7.00 5.67 5.00
Intensity of flavour 7.33 5.67 6.83 7.00 5.00 5.00
Acidity 7.00 5.33 6.83 5.67 5.67 5.00
Intensity of acidity 5.67 5.00 5.33 5.33 4.67 4.67
Bitterness 7.50 5.00 7.17 5.50 5.33 4.67
Intensitas of bitterness 5.00 6.17 5.17 6.17 4.67 4.67
Astringent 7.50 4.67 6.83 6.00 5.33 4.67
Intensity of astringent 4.67 6.00 5.67 5.50 4.67 4.33
Caramelly 7.67 6.33 7.00 5.83 5.17 4.67
Intensitas of caramelly 7.33 5.67 6.83 5.50 5.17 4.33
Creamy 7.17 5.67 7.00 6.67 5.33 4.67
Intensity of creamy 6.83 5.33 6.83 6.17 5.00 4.33
Sweetness 7.67 5.00 7.00 6.67 6.50 5.00
Intensity of sweetness 7.17 4.67 7.17 6.17 6.33 5.00
Texture/Colour: 7.83/7.50
7.67/7.50
7.67/7.33
7.50/6.83 7.50/7.33 7.50/6.83
Intensity of texture/colour
7.33/700 6.67/6.33
7.00/6.67
7.00/6.33 6.33/6.50 7.33/6.67
Taints/Off-flavours Nil Nil Nil Nil Nil Nil
Preference
Kesimpulan
7.50
Good
7.17
Good
6.33
Neutral
5.50
Neutral
4.67
Neutral
4.33
Bad
Notation for Taste and Intensity : 0 = Nil ; 1 – 2 = Weak; 3-4 = Moderately weak (agak lemah); 5-6 = Moderately strong (agak kuat); 7-8 = Strong (kuat) , 9-10 Very strong (sangat kuat). Notation for Preference and Quality : 0 = Inconsumable; 1-2 = Very bad; 3-4 = Bad; 5-6 = Neutral; 7-8 = Good; 9-10 = Excellent .
Uji Cita Rasa
Pengujian cita rasa dilakukan terhadap beberapa karakteristik yang berhubungan dengan produk cokelat. Adapun hasil pengujian cita rasa ini dapat dilihat pada Tabel 4.
Citarasa Aroma dan Flavour
Hasil uji citarasa terhadap aroma dan flavor dark chocolate diperoleh bahwa dark chocolate
kualitas sedang dari biji kakao asal Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (A1B1, A2B1, ) mempunyai aroma yang lebih tinggi yaitu 7.00 - 7.33 yang berarti strong (kuat) dibanding dengan dark chocolate kualitas tinggi (A1B2, A2B2) yaitu dengan nilai 5.83 - 6.83 yang berarti Moderately strong (agak kuat) hingga Strong (kuat), sedangkan aroma dark chocolate dari biji asal Sulawesi Tengah baik kualitas sedang
Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)
68
maupun tinggi (A3B1, A3B2) 5.50 - 5.67 yang berarti Moderately strong (agak kuat). Hasil uji citarasa flavour dark chocolate kualitas sedang adalah 7.33 (A2B1) - 7.67 (A1B1) yang berarti 7-8 = Strong (kuat), dan dark chocolate kualitas tinggi mempunyai nilai flavour 5.00 - 7.00 yang berarti Moderately strong (agak kuat) hingga Strong (kuat).
Jika dibandingkan antara dark chocolate kualitas sedang dengan kualitas tinggi maka nilai citarasa aroma dan flavor dark chocolate kualitas sedang mempunyai nilai yang lebih tinggi disbanding dengan kualitas tinggi.Hal ini disebabkan citarasa asam, pahit dan sepat pada dark chocolate mempengaruhi penerimaan panelis terhadap nilai citarasa aroma dan flavor. Tingginya kadar polifenol dark chocolate akan mempengaruhi terhadap flavour dark chocolate yang dihasilkan. Menurut Jinap et al ( 1994) senyawa dalam biji kakao yang memberikan pengaruh yang besar terhadap aroma dan flavour adalah pirazin karena mempunyai sifat non volatile.
Citarasa Keasaman (Acidity) , Pahit (Bitterness) , Sepat (Astringent)
Adanya rasa asam, pahit, sepat pada bahan baku yang digunakan untuk membuat dark chocolate akan mempengaruhi citarasa dark chocolate yang dihasilkan .Dalam jumlah yang sidikit akan menyebabkan keseimbangan citarasa, namun pada jumlah yang besar akan menyebabkan cacat citarasa.
Timbulnya citarasa asam pada dark chocolate yang dihasilkan disebabkan kandungan asam pada biji kakao sebagai bahan baku pembuatan dark chocolate pada saat proses pengolahan dark chocolate tidak seluruhnya menguap, terutama pada saat penyangraian dan proses conching.
Asam-asam organik yang banyak terdapat dalam biji kakao adalah asam asetat (asam organic
yang mudah menguap) dan asam laktat, oksalat dan tartarat (asam organik yang tidak mudah menguap) (Jinap dan Zelinda, 1995).Selama penyangraian asam laktat hanya dapat diuapkan 10 % dari konsentrasi yang ada pada biji kakao (Jinap dan Dimick, 1991).
Citarasa keasaman (acidity) menurut Yusianto (1998) mempunyai korelasi positif nyata dengan komponen citarasa bitterness, brown fruit, citrus, hammy, matalic, smoky, dan scooty serta tidak mempunyai korelasi nyata dengan komponen citarasa lainnya.
Hasil penilaian panelis terhadap
citarasa pahit terhadap dark chocolate yang dihasilkan berkisar 4.67 (Moderately strong /agak kuat) hingga 7.50 (strong /kuat). Nilai citarasa bitternes paling rendah adalah dark chocolate yang kualitas tinggi yang berasal dari biji kakao Sulawesi Tengah (A3B2). Menurut Clifford (1985) dalam Misnawi dan Jinap (2008) rasa pahit pada cokelat berasal dari komponen-komponen alkaloid seperti theobromin dan caffeine, komponen fenolic, pirazin, beberapa peptide, dan asam amino bebas. Selanjutnya dikatakan bahwa polifenol dalam cokelat sebagai komponen yang banyak bertanggungjawab terhadap rasa sepat, juga menghasilkan rasa pahit. .Menurut Afriansyah ( 2005). Timbulnya rasa pahit pada cokelat disebabkan oleh adanya theobromin, polifenol, dan flavoid dalam biji kakao .
Hasil penilaian panelis terhadap citarasa sepat (astringency) terhadap dark chocolate yang dihasilakan adalah berkisar dari 4.67 hingga 7.50 . Nilai citarasa astringent paling rendah adalah dark chocolate kualitas tinggi yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Tengah (A3B2) dan nilai paling tinggi adalah dark chocolate kualitas sedang yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan (A1B1). Rendahmya penerimaan panelis terhadap nilai citarasa sepat (astringent) diduga disebabkab oleh tingginya kandungan polifenol dark
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75
69
chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Tengah (Gambar.7). Menurut Clifford (1985) dalam Misnawi dan Jinap (2008), rasa sepat cokelat meningkat seiring dengan peningkatan derajat polimerisasi polifenol yang dikandungnya.
Citarasa sepat yang timbul pada cokelat disebabkan oleh kandungan antosianin yang sebagian terurai selama proses fermentasi berlangsung karena masuknya asam pada keping biji.
Secara umum citarasa dark cokelat kualitas tinggi penerimaan panelis lebih rendah dibanding dengan citarasa dark chocolate kualitas sedang disebabkan dark chocolate kualitas tinggi mempunyai citarasa asam (Acidity), pahit (Bitterness) dan sepat (Astringen) yang lebih menonjol sehingga dapat menurunkan penerimaan panelis terhadap citarasa aroma dan flavor dark chocolate yang dihasilkan.
Citarasa Caramel (Caramelly), Manis (Sweetness), Cream (Creamy)
Hasil uji citarasa cokelat terhadap citarasa caramelly dark chocolate kualitas sedang adalah 5.17 - 7.67 yang berarti Neutral; hingga Good (baik) sedangkan untuk kualitas tinggi adalah 4.33 - 5.67 yang berarti “bad” hingga “Neutral”. Timbulnya rasa caramel pada produk cokelat disebabkan karena selama proses pemanasan terjadi reaksi antara gugus asam amino, peptide, atau protein dengan gugus hidroksil glikosid atau melanoidin. Reaksi ini dikenal dengan reaksi Maillard. Menurut Winarno (1992), reaksi Maillard adalah reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer.
Hasil penilaian terhadap citarasa manis (sweetness) dark chocolate kualitas sedang (B1) mempunyai citarasa manis yang lebih tajam dibanding dengan kulaitas tinggi (B2) disebabkan persentase gula yang ditambahkan lebih besar. Nilai citarasa manis (sweetness) dark chocolate
kualitas sedang berkisar 6.50 - 7.67 yang berarti kuat (strong). Rasa manis adalah sifat rasa yang mempengaruhi citarasa keseluruhan cokelat. Rasa manis ini terutama diperoleh dari penambahan padatan gula dalam proses formulasinya. Beberapa asam amino bebas seperti glisin dan alanine serta beberapa peptida juga memberikan rasa manis. Namun, bila dibandingkan rasa manis yang berasal dari padatan gula, konstribusi asam-asam amino tersebut sangat kecil. Arti penting asam-asam amino dan gula dalam biji kakao sangat besar dalam pembentukan komponen citarasa , terutama selama penyngraian.Konsentrasi asam amino dan gula akan menurun secara nyata selama proses tersebut, yakni sejalan dengan peningkatan jumlah komponen citarasa (Misnawi dan Jinap, 2008).
Hasil penilaian terhadap citarasa creamy dark chocolate yang dihasilkan adalah berkisar dari 4.67 hingga 7.17 (Tabel 4).Nilai terendah adalah pada perlakuan A3B2 dan tertinggi pada A1B1. Penerimaan panelis terhadap citarasa dark chocolate yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh citarasa pahit . Biji kakao asal Sulawesi Tengah mempunyai kadar polifenol yang tinggi dibanding biji kakao lainnya (Gambar 7) sehingga mempengaruhi citarasa dark chocolate secara keseluruhan. Citarasa creamy timbul dari perpaduan antara rasa cokelat yang tajam dengan tekstur yang lembut menghasilkan citarasa creamy yang lebih tinggi.
Kehalusan (Texture) dan Penampakan (Preference)
Hasil penilaian panelis terhadap kehalusan (texture) terhadap dark chocolate yang dihasilkan berkisar 7.50 hingga 7.83 yang berarti semua perlakuan menghasilkan dark chocolate dengan nilai kehaluasan yang relative sama . Hal ini disebabkan semua perlakuan atau semua formula diolah dengan waktu conching yang sama sehingga diperoleh tingkat kehalusan dark chocolate yang sama pula .
Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)
70
Penghalusan (refening) dan koncing (conching) merupakan proses yang sangat berpengaruh terhadap citarasa cokelat. Demikian juga proses tempering menentukan tekstur cokelat.Penghalusan sangat diperlukan untuk menghasilkan tekstur produk cokelat dan kelinciran (smoothness) cokelat saat dimakan. Melalui penghalusan yang baik, fraksi-fraksi padat dalam cokelat akan menyebar rata dalam fraksi cair (lemak) dan potensi aroma, serta citarasa dan warna khas cokelat tertampakkan (Misnawi dan Jinap, 2008).
Hasil penilaian panelis terhadap penampakan (preference) terhadap dark chocolate yang dihasilkan berkisar 4,33 hingga 7,50. Penilaian panelis tertinggi terhadap nilai penampakan adalah dark chocolate A1B1 yaitu 7,50 yang berarti berada pada nilai kuat (strong) dan terendah 4,33 pada dark chocolate A3B2 yang berarti pada nilai moderately weak (agak lemah).
Dari segi citarasa dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan mempunyai tingkat keterterimaan produk yang lebih tinggi dibanding dengan dark chocolate yang diolah dari biji kakao Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah ( Tabel 4).
Dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan mempunyai skor nilai yang lebih tinggi dengan kategori “Good” disebabkan biji kakao asal Sulawesi Selatan mempunyai kadar biji slaty yang paling rendah dibanding biji kakao asal Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Sedangkan rendahnya penerimaan dari dark chocolate A3B2 disebabkan disamping kadar biji slaty yang lebih tinggi juga rasa asam dan pahit yang lebih menonjol dibanding dengan dark
chocolate lainnya (Tabel 1 dan Tabel 4).
Sifat genetis, kondisi lingkungan, pemanenan, pengolahan biji, dan pabrikasi adalah beberapa di antara banyak factor yang berpengaruh besar terhadap citarasa, tekstur, dan warna cokelat. Biji kakao dari daerah asal berbeda umumnya mempunyai citarasa yang berbeda. Perbedaan tersebut sebenarnya lebih dikarenakan adanya perbedaan botani tanaman, kondisi dan lingkungan tempat tumbuh, serta penanganan pasca panen yang dilakukan Misnawi dan Jinap (2008).
Perbedaan skor citarasa produk dark chocolate dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti factor genetic, perbedaan teknik/metode/cara fermentasi, jenis biji kakao, iklim, dan kondisi tanah tumbuh biji kakao.
Mutu citarasa cokelat biasanya tergantung pada asal biji kakao dan biji kakao yang berasal dari tempat yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan karakteristik citarasa cokelat (chocolate) seperti keasaman (acidity), hammy atau burnt /smokey (Powell, 1983).
Citarasa cokelat sangat ditentukan oleh genetis bahan tanam, cara/metode pengolahan dan cara penyiapan makanan cokelat (Lopez dan Mc.Donald, 1981; Wardoyo, 1991).
Menurut Rohan (1963), sebagian besar komponen citarasa chocolate / cokelat merupakan hasil reaksi gula pereduksi dan asam amino.
Asam Lemak dan Asam Amino
Hasil analisa asam lemak dan asam amino pada berbagai dark chocolate, dapat dilihat pada Tabel berikut ini :
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75
71
Tabel 5. Hasil Analisa Asam Amino dan Asam Lemak Berbagai Dark Chocolate
Parameter Unit A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Asam Amino
Aspartat ppm 5119.51 7267.07 4921.95 9334.81 4423.79 9236.85
Glutamat ppm 9336.65 11662.83
7574.91 14955.54
6400.6 13869.34
Serin ppm 3081.04 5399.53 3085.58 3888.01 3363.28 3606.48
Glisin ppm 3019.24 4374.45 2887.75 3808.95 2619.84 3809.45
Histidin ppm 1100.34 1807.57 1077.02 1145.34 1075.71 1443.88
Arginin ppm 3112.77 3629.24 2946.11 4895.03 2613.32 4773.03
Threonin ppm 2391.15 2994.96 2511.66 3198.26 1859.19 3260.11
Alanin ppm 2646.99 3560.38 2580.57 3954.96 2137.04 3762.21
Prolin ppm 3540.52 4733.74 3370.31 5070.15 4228.66 4658.83
Falin ppm 3782.71 4362.12 3509.89 4652.16 2793.62 4338.46
Metionin ppm Not detection
431.19 Not detection
528.29
219.53 507.71
Isouleusin ppm 2585.68 2786.79 2399.14 2823.81 1924.91 2622.53
Leusin ppm 3247.16 4008.75 3457.03 4644.72 2640.34 4286.54
Phenilalanin ppm 2696.87 3359.17 3109.06 3634.28 2336.14 3872.46
Lisin (Lysine HCl)
ppm 2338.98 3058.62 2072.79
7210.32
1610.72 7608.86
Asam Lemak
Asam Palmitat mg/100g 9815.45 12960.25
10114.75
13251.5
10716.85
15053.95
Asam Stearat mg/100g 13298.55 17654.15
12608.05 16931.25
14042.5 19825.65
Asam Oleat mg/100g 7393.8 11406.1 7012.05 16931.25
7874.15 12038.4
Asam Linoleat mg/100g 63 144.95 92.75
105.3
134.3 133.2
Asam Arachidat
mg/100g 487.3 641.25 509.8 684.05 489.55 694.65
Dari Tabel 5. Dapat dilihat
bahwa kandungan jenis asam amino yang terbesar pada dark chocolate adalah asam glutamate, menyusul aspartate , serin, falin, prolin, leusin, arginine.
Untuk produk dark chocolate asal Sulawesi Selatan, mempunyai
kandungan asam amino serin, glisin dan histidin yang lebih tinggi dibanding dengan dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.
Untuk dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Barat mempunyai kandungan jenis asam
Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)
72
amino asam aspartate, glutamate, arginine, alanine, prolin, falin, metionin, isoleusine, leusin, yang lebih tinggi dibanding dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Untuk dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Tengah mempunyai kandungan jenis asam amino treonin, penilalanin dan lisin yang lebih tinggi dibanding dark chocolate dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Dari Tabel 5, diketahui bahwa asam amino dari produk yang dihasilkan terdiri dari dari beberapa jenis. Beberapa jenis asam amino tertinggi diantaranya glutamat, aspartat, falin, prolin, leusin, arginine.
Komponen precursor aroma diantaranya asam amino dan gula reduksi, terbentuk dari hasil hidrolisis protein dan sukrosa biji kakao. Asam amino terbentuk karena dekomposisi dari protein , dimana asam amino ini mempunyai korelasi yang nyata dengan pembentukan flavor pada kondisi fermentasi normal (Gu,et al, 2013). Aktivitas enzim dan oksidasi menyebabkan protein diubah menjadi asam amino (Jinap, et al, 2010).
Sedangkan komponen asam lemak utama adalah asam sterarat, asam palmitat, asam oleat, asam arachidat, dan asam linoleat. Dari hasil uji asam lemak, menunjukkan bahwa dark chocolate yang diolah dari biji kakao Sulawesi Tengah mempunyai kandungan asam stearat, asam palmitat, asam oleat dan asam arachidat yang lebih tinggi dibanding dengan dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat .
Perbedaan kandungan asam amino dan asam lemak dari dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah disebabkan oleh faktor tempat tumbuh dan letak geografis dari pohon kakao tersebut.
Kandungan asam lemak biji kakao sangat beragam dan ditentukan oleh jenis tanaman , lokasi/daerah, jenis tanah dan musim pembuahan ( Padilla, et al, 2000). Lemak kakao lebih banyak disusun asam lemak jenuh yaitu asam palmitat (C 16), 25 % dan asam stearate (C 18) 35 %. Selain itu asam lemak rantai ganda seperti asam oleat ( C 18:1) 35 % dan asam linoleat (C 18:2) 3 %. Komposisi yang berimbang ini menjadikan cokelat dianggap sebagai makanan yang menyehatkan sekaligus bersifat unik dalam industri pengolahan pangan.
Sebagian besar asam lemak bervariasi karena jenis/species, iklim, lingkungan tempat tumbuh, dan kemasakan buah. Selama proses kemasakan buah terjadi penurunan asam linoleat dan asam lemak jenuh sedangkan asam stearate menjadi meningkat (Chow, 2014). Komposisi asam lemak kakao sangat berpengaruh pada titik leleh dan tingkat kekerasannya.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa formulasi dan daerah asal (sumber) biji kakao fermentasi mempengaruhi mutu dan citarasa dark chocolate terutama titik leleh, kadar asam amino, asam lemak, kadar polifenol dan nilai rasa .
Dark chocolate dari biji kakao Sulawesi Selatan mempunyai nilai kategori “good” , Sulawesi Barat mempunyai nilai kategori “neutral” baik kualitas sedang maupun tinggi, sedangkan dari Sulawesi Tengah mempunyai nilai “neutral “ untuk kualitas sedang sedangkan untuk kualitas tinggi mempunyai nilai kategori “bad”.
Dark chocolate yang dihasilkan dari kakao asal Sulawesi tengah memiliki kandungan polifenol tertinggi dibanding dark chocolate dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75
73
DAFTAR PUSTAKA
Adi, D.A., Elisabeth., Suharyanto., Rubiyo., (2006). Pengaruh Fermentasi Biji Kakao Terhadap Mutu Produk Olahan Setengah Jadi Cokelat, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian, Bali.
Afriansyah,N. 2005.Cokelat Sarat Antioksidan Penyehat Jantung . Puslitbang Gizi dan Makanan , Departemen Kesehatan dalam Kompas, Rabu 3 Maret 2005.
Atkinson, Catherine, Mary B., Christine F., McFadden C., (2010). The Chocolate and Coffee Bible. Hermes House. ISBN 978-1-84477-385-5.
Badan Agribisnis, (1998). Standar Operating Procedure (SOP) for Cocoa Bean at Stream Activities, Departemen Pertanian, Jakarta.
Becket, S.T., (2009). Industrial Chocolate Manufacture and Use 4
th
Edition, Wiley-Blackwell Ltd.
Buckle, K.A., Edward, R.A., Fleet, G.H., Wootton, M., Penerjemah Purnomo H, Adiono, (1987). Ilmu Pangan, Penerjemah Hari Purnomo, Cetakan ke-1 Penerbit UI-Press, Jakarta.
BSN, 1992. SNI Cara Uji Makanan dan Minuman (SNI 01-2891-1992). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Chow, K.C, 2014. Fatty Acids in Food and Health, Implication third edition, bookgoogle.com.isbn. Diakses 16-1-2014.
Gu, Fenglin; L Tan; H,Wu; Y. Fang; Fei Xu; Z. Chu and Q.Wang, 2013. Comparison of Cocoa Beans from China, Indonesia, and Papua New Guienea, Foods 2013.
Jinap,S. dan P.S. Dimick (1991). Effect of roasting on acidic characteristics of coco beans. Journal of the Science of Food Agriculture, 54.
Jinap, S; H. Siti Mordingah dan M.G. Norsiati (1994). Formation of methylphyrazine duringcocoa beans fermentation. Pertanika, 17, 27, 32. Jinap,S. dan A. Zeslinda (1995). Influence of organic acids on flavor perception of Malaysian dan Ghanian cocoa beans. Journal of Food Science dan Teknology 32, 153 – 155.
Jinap S; Lioe HN; Yusep I; Nazamid S; Jamilah B, 2010. Role of Carboxypeptidases to the Free Amino Acid Composition Methylpyrazine Formation and Sensory Characteristic of Underfermented Cocoa Beans International Food research J 17 763-774 (2010).
Lipp, M., & Enklam, E.(1998). Review of cocoa butter and alternative fats for use in chocolate part A.Composition data. Food Chemistry , 62, 73 – 97.
Liyanda, M., Karim, A., dan Abubakar, Y. (2012). Analisis kriteria kesesuaian lahan terhadap produksi kakao pada tiga klaster pengembangan di Kabupaten Pidie.Jurnal Agrista .
Lopez, A.S., and Mc. DonaldCR. 1981. A Definition of descriptorsto be used for the qualification of chocolate flavors in organoleptic testing. Rev. Theobroma 11 (3) : 209 – 217.
Misnawi, 2005. “Peranan Pengolahan terhadap Pembentukan Citarasa Cokelat “, Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia .
Misnawi dan J.Selamat. (2008). Citarasa, Tekstur, dan Warna Cokelat, dalam T.Wahyudi, T.R. Panggabean, dan Pujianto (Editor). Panduan Lengkap Kakao, Jakarta.: Penebar Swadaya.
Powell, BD. 1983. “Changes in Cocoa beans avaibility” Manufac. Confct., 9: 63 – 66.
Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)
74
Riyani. S., (2011), Aplikasi Program Linier pada Optimasi Formulasi Coklat batang dengan menggunakan Cocoa Butter Subtitute dan Inulin, Tugas Akhir, UNPAS, Bandung.
Rohan, T.A. 1963. Processing of Row Cocoa for Market. FAO Agric. Studies, Rome.
Spillane, J., 1995, Komoditi KakaodanPeranan Dalam Perekonomian Indonesia,Kanisius, Yogyakarta.
Wahyudi, T.R., Panggabean, dan Pujianto (Editor ).(2008). Panduan Lengkap Kakao.Jakarta.: Penebar Swadaya.
Wardoyo, S. 1991. Beberapa Persyaratan Dasar untuk Meningkatkan Mutu Biji Kakao Indonesia. Proc. Konp. Nasional Kakao III. Pusat Penelitian Perkebunan Jember, Pusat Perkebunan Medan, ASKINDO, Medan.
Winarno,FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Winarno, FG. 2002. Pengantar Teknologi Pangan. Penerbit PT.Gramedia Pustaka,
Jakarta.
Yusianto, 1998. Analisis Hubungan Antar Komponen Citarasa Biji Kakao. Pelita Perkebunan Vol. 14 (2) : 124 – 140.
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75
75