86
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Journal of Plantation Based Industry Kementerian Perindustrian Republik Indonesia Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 2017 p - ISSN 1979 0023 e - ISSN 2477 0051 Volume 12 No. 1 Juni 2017

Jurnal Industri Hasil Perkebunan - Kementerian Perindustrian

Embed Size (px)

Citation preview

Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016

2017

Jurnal

Industri Hasil Perkebunan Journal of Plantation Based Industry

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia

Badan Penelitian dan Pengembangan Industri

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016

2017

p - ISSN 1979 – 0023

e - ISSN 2477 – 0051

Volume 12 No. 1 Juni 2017

p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN

Journal Of Plantation Based Industry

Vol. 12 No. 1 Juni 2017 Penanggung Jawab :

Drs. Abd Rachman Supu, MM

Kepala Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Manajer Jurnal :

Muh. Mukhlis Afriyanto, ST, M.Si

Dewan Editor : Editor :

Medan Yumas, S.Pi

Editor Bagian :

Alfrida L.S. Barra, ST, M.Si Eky Yenita Ristanti, M.MG Melia Ariyanti, S.TP, M.Si

Copy Editor :

Wahyuni, ST Dyah Wuri Asriati, ST

Layout Editor :

Rahmad Wahyudi, ST Wiyanto P. Tangkin, ST

Proof Reader :

Eko Prio Purnomo, S.S., M.Med.Kom Andi Nur Amalia A, S.Tp

Reviewer :

Ir. Ruslan Yunus, M.S. (Teknik Industri, Ekonomi Proses) Drs. P. Natsir La Teng (Pemrosesan Pangan) Ir. Rosniati (Tek. Hasil Pertanian) Ir. Sitti Ramlah, M.Si (Tek. Hasil Pertanian, Agribisnis) Ir. Justus Elisa Loppies (Tek. Hasil Pertanian) Prof. Dr. Ir. T. Harlim (Jur. Kimia Fak. MIPA UNHAS) Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jur. Teknologi Pertanian Fak. Pertanian UNHAS) Prof. Dr. Ir. Mulyati M. Tahir, MS (Jur. Tek. Hasil Pertanian Fak. Pertanian UNHAS) Dr. Paulina Taba, M.Phil (Kimia UNHAS) Penerbit : Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian R.I. Alamat Redaksi : Jalan Prof. Dr. Abdurrahman Basalamah No. 28, Kotak Pos 1148

Telp. (0411) 441207, Faks. (0411) 441135 Makassar 90231

e-mail : [email protected] Akreditasi LIPI : Nomor : 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016, tanggal 24 Maret 2016

Jurnal Industri Hasil Perkebunan merupakan jurnal Ilmiah berkala yang memuat karya tulis hasil penelitian, pengembangan, dan pemikiran/ulasan ilmiah dibidang ilmu/bidang aplikasi rekayasa (teknik) dan teknologi industri

hasil perkebunan. Terbit pertama kali pada tahun 2006 dengan frekuensi terbit setiap semester atau pada bulan Juni dan Desember. Lingkup permasalahan mencakup bahan baku, proses, mesin, peralatan, produk termasuk produk turunan, limbah, dan hasil samping. Bahasa penulisan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Ha katas artikel dilindungi oleh Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta

i

p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN

Journal Of Plantation Based Industry

Vol. 12 No. 1 Juni 2017

PENGANTAR REDAKSI

Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Industri Hasil

Perkebunan Volume 12 No. 1 Juni 2017 dapat diterbitkan. Edisi pertama pada volume

ini menyajikan enam artikel hasil seleksi Tim Review.

Keenam artikel tersebut masing-masing adalah : (1). Pengaruh Cara Pengolahan

Terhadap Citarasa dan Karakteristik Produk Olahan Kakao dan Cokelat (2). Pembuatan

Arang Cangkang Kelapa Sawit Dengan Proses Torefaksi (3). Formulasi Minuman Instan

Cokelat Sebagai Minuman Imunomudulator (4). Karakteristik Mutu Biji Kakao

(Theobroma cacao L) Dengan Perlakuan Waktu Fermentasi Berdasarkan SNI 2323-

2008 (5). Grading Warna Daun Tembakau Bawah Naungan Menggunakan Jaringan

Saraf Tiruan (6). Pengaruh Formulasi dan Asal Biji Kakao Fermentasi Terhadap Mutu

dan Citarasa Dark Chocolate.

Artikel yang disajikan berasal dari beberapa institusi litbang maupun perguruan

tinggi dan merupakan hasil penelitian yang berkaitan dengan penanganan pasca panen,

penanganan limbah industri, pengolahan pangan dan pemanfaatan bahan alam.

Kepada para penulis yang telah mengirimkan artikelnya kami ucapkan terima

kasih. Semoga hasil-hasil penelitian tersebut dapat memberikan kontribusi bagi

pengembangan industri nasional, khususnya industri hasil perkebunan dan dapat

memperkaya khasanah iptek sebagai bagian dari wujud pengabdian kita kepada Tuhan,

bangsa dan negara.

Akhirnya kepada para sejawat peneliti, perekayasa, dan dosen baik dari dalam

lingkungan maupun dari luar lingkungan Kementerian Perindustrian kami undang untuk

mengirimkan artikel karya tulis ilmiahnya untuk dimuat pada Jurnal IHP.

Makassar, Juni 2017

Editor/Ketua Dewan Redaksi

p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN

Journal Of Plantation Based Industry

Vol. 12 No. 1 Juni 2017

UCAPAN TERIMA KASIH

Jurnal Industri Hasil Perkebunan p-ISSN 1979 – 0023 dan e-ISSN 2477-0051 menyampaikan terima kasih kepada para Reviewer yan telah menelaah (mereview) artikel-artikel pada penerbitan Vol. 12 No. 1 Juni 2017. Terimakasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. T. Harlim (Jurusan Kimia FMIPA UNHAS), Prof. Dr. Ir. Mulyati M. Tahir (Jurusan Teknologi Pertanian UNHAS), Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian UNHAS), Dr. Ir. Paulina Taba, M.Phil (Jurusan Kimia FMIPA UNHAS), Ir. Ruslan Yunus, M.Sc ( Teknik Industri, Ekonomi Proses), Ir. Justus E.Loppies (Teknologi Hasil Pertanian), Drs. P. Natsir Lateng, M.Si (Teknologi Pascapanen), Ir. Sitti Ramlah, M.Si (Teknologi Pasca Panen), dan Ir. Rosniati (Teknologi Pasca Panen).

ii

iii

p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN Journal of Plantation Based Industry Vol. 12 No. 1, Juni 2017

PENGANTAR REDAKSI

Hal

i

UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI LEMBAR ABSTRAK (ABSTRACT SHEET)

ii

iii iv

EFFECT OF PROCESSING TECHNIQUES ON FLAVOUR AND CHARACTERISTICS OF COCOA PROCESSED AND CHOCOLATE PRODUCTS Pengaruh Cara Pengolahan Terhadap Citarasa dan Karakteristik Produk Olahan Kakao dan Cokelat

Agus Sudibyo

1 – 13

PEMBUATAN ARANG CANGKANG KELAPA SAWIT DENGAN PROSES TOREFAKSI Preparation of Palm Kernel Shell Charcoal Using Torrefaction Method

Zainal Abidin Nasution dan Harry P. Limbong

14 – 20

FORMULASI MINUMAN INSTAN COKELAT SEBAGAI MINUMAN IMUNOMODULATOR Formulation of Instant Chocolate Drinks as Immunomodulator Drinks

Rosniati, Muh. Ruslan Yunus dan Kalsum

21 - 33

KARAKTERISTIK MUTU BIJI KAKAO (Theobroma cacao L) DENGAN PERLAKUAN WAKTU FERMENTASI BERDASAR SNI 2323-2008 Quality Characteristics Of Cocoa Beans (Theobroma cacao L) With Time Fermentation Treatment Based on ISO 2323-2008

Melia Ariyanti

34 – 42

GRADING WARNA DAUN TEMBAKAU BAWAH NAUNGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN Color Grading of Shaded Tobacco Leaves Using Artificial Neural Network

Aneke Rintiasti dan Ikhwan Krisnadi

43 – 57

PENGARUH FORMULASI DAN ASAL BIJI KAKAO FERMENTASI TERHADAP MUTU DAN CITARASA DARK CHOCOLATE Effect of Formulation and Fermented Cocoa Beans Origin to Dark chocolate’s Quality and Flavour

Sitti Ramlah dan Medan Yumas

58 – 75

p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN Journal of Plantation Based Industry Vol. 12 No. 1, Juni 2017

LEMBAR ABSTRAK (ABSTRACT SHEET)

EFFECT OF PROCESSING TECHNIQUES ON FLAVOUR AND

CHARACTERISTICS OF COCOA PROCESSED AND CHOCOLATE PRODUCTS

Agus Sudibyo Center for Agro-Based Industry (CABI);

Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122 Indonesia Email: [email protected]

ABSTRACT Flavour is important factor and central to acceptability of cocoa products such as chocolate and contributes to determining the quality. The quality of chocolate flavour is influence by several variable factors since in the stage of post-harvest treatments and handling till in manufacturing process. The aim of this paper was review and discuss all relevant studies in relation to cocoa beans and chocolate production, and identify their influence of processing techniques on flavour and characteristics of the cocoa processed products. This information hopefully has potential benefits on the making process of a chocolate manufacture. Key words: cocoa, processing technique, flavour, characteristic, chocolate.

PREPARATION OF PALM KERNEL SHELL CHARCOAL USING TORREFACTION METHOD

Zainal Abidin Nasution dan Harry P. Limbong

Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan

Jln Sisingamangaraja no.24 Medan 20217

e – mail: [email protected]

ABSTRACT. Palm kernel shells are biomass resulted from photosynthesis of chlorophyls, working as

solar cells that absorb sunlight energy, then converting carbon dioxide with water into a material

containing carbon, hydrogen and oxygen. The material is in solid form and can be converted into

coconut shell charcoal. In the implementation of this research, coconut shell charcoal is made by coconut

shell torrefaction process. From the process of coconut shell torrefaction, the average auction yield

is 38.20% (the last temperature of the torrefaction process is 3480C, when the oil palm shells no

longer smoke and the residence time is 105 minutes). Observation on the temperature and the

residence time of coconut shell restriction on the smoke condition of the resulted palm oil charcoal

shaping that occurs, as an indicator, it is known that the palm oil charcoal shaping process follows the

typical graph of biomass stages with torrefaction process shown in Figure 1 as followed: heating stage,

drying stage, post-drying stage, torrefaction stage and cooling stage.

Key words: palm kernel shells, torrefaction, palm kernel shells charcoal

iv

FORMULATION OF INSTANT CHOCOLATE DRINKS AS IMMUNOMODULATOR

DRINKS

Rosniati, Muh. Ruslan Yunus dan Kalsum e-mail : [email protected]

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No. 28, Makassar 90231

Abstract : Instant chocolate drinks, as immunomodulator drinks, were developed from the

instant chocolate - ginger drink of Rosniati, as a functional drink (2011). Drinks were

formulated from 55 % sucrose, 30 % cocoa powder (processed from non – fermented and

non roasted cocoa beans), and 15 % non – dairy creamer, in (w/w), as A formula, and the

other from 55 % sucrose, 30 % cocoa powder (processd from non – fermented and non –

roasted cocoa beans), and 15 % instant soy powder, in (w/w), as B formula. Preparation of

drinks also used co-crystallization technique. Of the two formulas, the B formula (combination

of cocoa powder and instant soy powder), in the in-vivo tests, showed better in

immunomodulation effects. Indeed, at a dose of 39 (mg/kg of mice weight), the B formula

had non specific immune response with phagocytic index of 2.042 (strong), primary antibody

titer of 1 : 384 and secondary antibody titer of 1 : 768, as humoral immune response, and

IFN- γ of 1,436,360.14 (pmol) and IL-2 of 941.30 (pmol), as cellular immune response, all

above the control drink values.

Key words: instant chocolate drink, immunomodulator, non-fermented, non-roasted cocoa beans, instant soy powder .

QUALITY CHARACTERISTICS OF COCOA BEANS (THEOBROMA CACAO L) WITH TIME FERMENTATION TREATMENT BASED ON ISO 2323-2008

Melia Ariyanti

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Jl. Prof. Dr. H. Abdurahman Basalamah No.28 Makassar

e-mail: [email protected]

ABSTRACT The aim of this research was to determine the quality of 5 and 6 days fermented cocoa beans in Belopa, Luwu District, South Sulawesi by ISO 2323-2008. Raw materials used in the study was the cocoa beans from farmers in Batu Titik Village Batu Lappa subdistrict, Belopa, Luwu Districts. Cocoa beans fermented for 5 and 6 days dried in the sun, then analyzed in the laboratory testing BBIHP Makassar. Test parameters based on the quality requirements of ISO 2323-2008 cocoa beans include general conditions and special requirements. The results showed that the cocoa bean fermentation for 5 and 6 days measuring 94 and 95 seeds per 100 grams, including class A. Based on the general requirements ISO 2323-2008, fermented cocoa beans 5 and 6 days not yet meet the quality requirements for water content, while the special requirements seeds not meet the quality requirements for the levels of impurities. Based on the special requirements, fermented cocoa beans 5 and 6 days of research result from Luwu Districts including quality III. Key words: cacao beans, fermentation, quality, ISO 2323-2008.

v

COLOR GRADING OF SHADED TOBACCO LEAVES USING ARTIFICIAL NEURAL

NETWORK

Aneke Rintiasti#1, Ikhwan Krisnadi#2 #1 Baristand Industri Surabaya, Jl. Jagir Wonokromo 360 Surabaya, [email protected]

#2 [email protected]

ABSTRACT Various cigars, which are present in the community among the elite and prestigious venues, the raw material is a Java Tabak cigars, tobacco from Java, especially Klaten and Jember. Recent years, the availability of labor more difficult with increasing costs skyrocketing, so it must start leading to mechanization. The purpose of this research was to Generate Design of Tobacco Leaf Analysis Applications, Getting Segmentation Model for pixel readout from tobacco leaves, Generate classification models that can be used for the separation of tobacco leaves which is expected to ease the process of evaluation and classification of color in the first sorting Tobacco leaves. Tobacco Leaf used is The Under Shade Tobacco leaf (TBN) consisted of five classes, namely the color Blue / Green (B), Yellow (K), Yellow Sprayed (KV), Red (M), Red Sprayed (MV). Before analyzed the leaves image photographed using a cabinet that unaffected the outside light. TBN leaf image is then analyzed using the RGB model and models HSV, RGB image of the model is analyzed using the characteristic leaf color values, The image of leaf TBN that meets the characteristics become an input of Bakcpropagation Neural Networks with the target are 5 color grade which converted into a binary form. The research resulted Segmentation Model for pixel readout TBN tobacco leaves using RGB models, classification model that can be used for the classification of TBN leaves use Neural Network Back Training RGB with an error value = 8.7%.” Key words : bisuki tobacco, shaded tobacco, image processing

Effect of Formulation and Fermented Cocoa Beans Origin to Dark chocolate’s Quality and Flavour

Sitti Ramlah, Medan Yumas

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Jl.Prof.Dr. Abdurrahman Basalamah, No.28 Makassar

[email protected]

ABSTRACT Research on the effect of formulation and fermented cocoa beans origin to dark chocolate’s quality and flavour has been done. This research aims to know how is the effect of formulation and fermented coco beans origin to the quality and flavours of resulted dark chocolate. This research used 2 (two) treatment . First treatment was origin of coco beans used on the research (A), in which : South Sulawesi (A1), West Sulawesi (A2), Central Sulawesi (A3), second treatment was formula quality of dark chocolate to be produced (B), in which medium quality (B1) and high quality formula (B2). Testing parameter used were water moisture, fat content, sucrose content, FFA, fatty acid, amino acid, polyphenol, flavour, TPC and melting point. Research result can be concluded that formulation and origin of fermented cocoa beans affecting quality and flavourof resulted dark chocolate in tenns of melting point, amino acids content, fatty acids, polyphenol content, and flavour score. Dark chocolate produced Central Sulawesi both for medium quality and high quality had higher polyphenol content compare to those from both South and West Sulawesi. Key words : Cocoa beans, fermentation, dark chocolate, medium quality, high quality, flavour.

vi

PENGARUH CARA PENGOLAHAN TERHADAP CITARASA DAN KARAKTERISTIK PRODUK OLAHAN KAKAO DAN COKELAT

Agus Sudibyo Center for Agro-Based Industry (CABI);

Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122 Indonesia Email: [email protected]

ABSTRAK Citarasa merupakan salah satu faktor penting dan sebagai salah satu pusat penerimaan produk olahan kakao seperti cokelat dan berkontribusi dalam penetapan mutu. Mutu citarasa produk cokelat dipengaruhi oleh beberapa variabel faktor, sejak pada tahap penanganan pasca-panen hingga tahap proses pengolahan di pabrik. Tulisan ini disajikan bertujuan untuk mengulas dan membahas serta mendiskusikan semua hasil studi yang pernah dilakukan, yang berhubungan dengan biji kakao dan produksi cokelat serta mengidentifikasi pengaruh cara pengolahannya terhadap citarasa dan karaketeristik produk olahan kakao. Informasi ini diharapkan mempunyai potensi yang bermanfaat pada proses pengolahan kakao di pabrik cokelat.

Kata kunci : kakao, cara pengolahan, citarasa, karakteristik, cokelat.

PEMBUATAN ARANG CANGKANG KELAPA SAWIT DENGAN PROSES

TOREFAKSI

Zainal Abidin Nasution dan Harry P. Limbong

Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan

Jln Sisingamangaraja no.24 Medan 20217, Provinsi Sumatera Utara E – mail: [email protected]

ABSTRAK. Cangkang kelapa sawit merupakan biomassa yang terbentuk dari hasil fotosintetis butir-

butir hijau daun, bekerja sebagai sel surya yang menyerap energi sinar matahari, kemudian

mengkonversi karbon dioksida dengan air menjadi suatu material yang mengandung karbon, hidrogen

dan oksigen. Material tersebut dalam bentuk padatan dan apabila dikonversi dapat menjadi arang

cangkang kelapa sawit. Pada pelaksanaan penelitian ini, arang cangkang kelapa sawit dibuat dengan

proses torefaksi cangkang kelapa sawit. Dari proses torefaksi cangkang kelapa sawit diperoleh

rendemen pengarangan rata-rata adalah 38,20% (suhu terakhir proses torefaksi adalah 3480C, pada

saat cangkang kelapa sawit tidak lagi mengeluarkan asap dan waktu tinggal pengarangan adalah

105 menit). Dari hasil pengamatan temperatur dan waktu tinggal pengarangan cangkang kelapa sawit

terhadap kondisi asap proses pengarangan cangkang sawit yang terjadi, sebagai indikator,

diketahui bahwa proses pembentukan arang cangkang kelapa sawit mengikuti Grafik Tipikal Tahapan

Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi yang tertera pada Gambar 1, yaitu tahapan heating,

tahapan drying, tahapan post drying, tahapan torrefaction dan tahapan cooling.

Kata kunci: cangkang kelapa sawit, torefaksi, arang cangkang kelapa sawit,

vii

FORMULASI MINUMAN INSTAN COKELAT SEBAGAI MINUMAN IMUNOMODULATOR

Rosniati, Muh. Ruslan Yunus dan Kalsum e-mail : [email protected]

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No. 28, Makassar 90231

Abstrak. Minuman instan cokelat sebagai minuman imunomodulator, dikembangkan dari

minuman cokelat-jahe instan dari Rosniati, sebagai minuman fungsional (2011). Minuman

imunomodulator diformulasi dari bubuk kakao 30% (diolah dari biji kakao tanpa fermentasi

dan tanpa sangrai), gula sukrosa 55%, dan non-dairy creamer 15% (b/b), sebagai formula

A, dan dari bubuk kakao 30% (diolah dari biji kakao tanpa fermentasi dan tanpa sangrai,

gula sukrosa 55%, dan bubuk kedelai instan15% (b/b), sebagai formula B. Penyiapan

produk minuman ini juga menggunakan teknik ko- kristalisasi. Dari kedua formula minuman

imunomodukator, formula B (kombinasi bubuk kakao dengan bubuk instan kedelai)

memberikan efek imunomodulasi yang lebih tinggi. Bahkan pada pemberian dosis 39

(mg/kg berat mencit), secara in vivo, menghasilkan respon imun non spesifik dengan

indeks fagositik 2,042 (kuat), titer antibodi primer 1:384 dan titer antibodi sekunder 1:768,

sebagai respon imun humoral, dan IFN-γ sebesar.436.60,14 (pmol) dan IL-2 sebesar

941,30 (pmol), sebagai respon imun selular, yang semuanya berada diatas nilai kontrol.

Kata kunci: minuman cokelat instan, imunomodulator, biji kakao tanpa fermentasi dan

tanpa sangrai, bubuk kedelai instan.

KARAKTERISTIK MUTU BIJI KAKAO (Theobroma cacao L) DENGAN PERLAKUAN WAKTU FERMENTASI BERDASAR SNI 2323-2008

Melia Ariyanti

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Jl. Prof. Dr. H. Abdurahman Basalamah No.28 Makassar

e-mail: [email protected]

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu biji kakao yang difermentasi 5 dan 6 hari di Belopa, Kab. Luwu Sulawesi Selatan berdasarkan SNI 2323-2008. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah biji kakao dari petani di Dusun Batu Titik Desa Batu Lappa, Belopa Kab. Luwu. Biji kakao yang telah difermentasi selama 5 dan 6 hari kemudian dikeringkan dengan dijemur di bawah sinar matahari, selanjutnya dianalisa di Laboratorium Pengujian BBIHP Makassar. Parameter uji berdasarkan syarat mutu biji kakao SNI 2323-2008 meliputi syarat umum dan syarat khusus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari berukuran 94 dan 95 biji per 100 gram, termasuk golongan A. Berdasarkan syarat umum SNI 2323-2008, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari belum memenuhi syarat mutu untuk kadar air, sedangkan syarat khusus biji belum memenuhi syarat mutu untuk kadar kotoran. Berdasar syarat khusus, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari hasil penelitian dari Kab. Luwu termasuk mutu III. Kata kunci: biji kakao, fermentasi, mutu, SNI 2323-2008. ,

viii

GRADING WARNA DAUN TEMBAKAU BAWAH NAUNGAN MENGGUNAKAN JARINGAN

SARAF TIRUAN

Aneke Rintiasti#1, Ikhwan Krisnadi#2 #1 Baristand Industri Surabaya, Jl. Jagir Wonokromo 360 Surabaya,

[email protected] #2 [email protected]

ABSTRAK Aneka cerutu, yang hadir di kalangan komunitas elit dan tempat-tempat yang prestisius, bahan bakunya adalah Java Tabak Cerutu, tembakau asal Jawa, khususnya Klaten dan Jember. Beberapa tahun belakangan ini, ketersediaan tenaga kerja semakin sulit dengan biaya yang semakin meroket, sehingga harus mulai mengarah ke mekanisasi. Tujuan Penelitian ini adalah menghasilkan Rancang Bangun Aplikasi Analisa Daun Tembakau, mendapatkan Model Segmentasi untuk pembacaan piksel daun tembakau, menghasilkan Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk Pemisahan daun tembakau,sehingga diharapkan dapat mempermudah proses evaluasi dan klasifikasi warna pada Sortasi I daun Tembakau. Daun Tembakau yang digunakan adalah Daun Tembakau Bawah Naungan (TBN) jenis besuki terdiri dari 5 kelas warna yaitu Biru / Hijau (B), Kuning (K), Kuning Tidak Merata (KV), Merah (M), Merah Tidak Merata (MV). Sebelum dianalisa citra daun difoto menggunakan cabinet yang tidak terpengaruh cahaya luar. Citra daun TBN tersebut kemudian dianalisa menggunakan model RGB, dari model RGB citra daun dianalisa menggunakan karakteristik nilai warna, citra daun TBN yang memenuhi karakteristik menjadi masukan Jaringan Saraf Tiruan Bakcpropagation dengan target 5 kelas warna yang sudah diubah menjadi bentuk biner. Penelitian menghasilkan Model Segmentasi untuk pembacaan piksel daun tembakau TBN menggunakan model RGB, Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk klasifikasi daun TBN menggunakan Neural Network Back PropagationTraining RGB dengan nilai error = 8.7%. Kata Kunci : tembakau besuki, tembakau bawah naungan, pengolahan citra

PENGARUH FORMULASI DAN ASAL BIJI KAKAO FERMENTASI TERHADAP MUTU DAN CITARASA DARK CHOCOLATE

Sitti Ramlah, Medan Yumas

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Jl.Prof.Dr. Abdurrahman Basalamah, No.28 Makassar

[email protected]

ABSTRAK Penelitian Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao Fermentasi Terhadap Mutu Dan Citarasa Dark Chocolate telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh formulasi da asal biji kakao fermentasi terhadap mutu dan citarasa dark chocolate yang dihasilkan. Pada penelitian pembuatan Dark Chocolate menggunakan 2 (dua) perlakuan . Perlakuan pertama yaitu Asal Daerah (provinsi) biji kakao yang digunakan (A) yaitu ; Sulawesi Selatan (A1), Sulawesi Barat (A2), Sulawesi Tengah (A3), dan perlakuan ke dua adalah formula/kualitas Dark Chocolate yang akan di buat (B), yaitu Formula Kualitas sedang (B1), dan Formula Kualitas Tinggi (B2). Parameter uji yang digunakan adalah kadar air, kadar lemak, kadar gula, FFA, asam lemak, asam amino, polifenol, citarasa, ALT dan titik leleh. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa formulasi dan asal biji kakao fermentasi mempengaruhi mutu dan citarasa dark chocolate yang dihasilkan terutama dari segi titik leleh, kadar asam amino, asam lemak, kadar polifenol dan nilai citarasa. Dark chocolate yang dihasilkan dari kakao asal Sulawesi tengah baik kualitas sedang maupun kualitas tinggi memiliki kandungan polifenol tertinggi dibanding dark chocolate dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Kata Kunci. Biji kakao, fermentasi, dark chocolate, kualitas sedang, kualitas tinggi, mutu, citarasa.

,

ix

EFFECT OF PROCESSING TECHNIQUES ON FLAVOUR AND

CHARACTERISTICS OF COCOA PROCESSED AND CHOCOLATE PRODUCTS

Pengaruh Cara Pengolahan Terhadap Citarasa dan Karakteristik Produk Olahan Kakao dan Cokelat

Agus Sudibyo Center for Agro-Based Industry (CABI);

Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122 Indonesia Email: [email protected]

ABSTRACT Flavour is important factor and central to acceptability of cocoa products such as chocolate and contributes to determining the quality. The quality of chocolate flavour is influence by several variable factors since in the stage of post-harvest treatments and handling till in manufacturing process. The aim of this paper was review and discuss all relevant studies in relation to cocoa beans and chocolate production, and identify their influence of processing techniques on flavour and characteristics of the cocoa processed products. This information hopefully has potential benefits on the making process of a chocolate manufacture. Keywords: cocoa, processing technique, flavour, characteristic, chocolate.

ABSTRAK Citarasa merupakan salah satu faktor penting dan sebagai salah satu pusat penerimaan produk olahan kakao seperti cokelat dan berkontribusi dalam penetapan mutu. Mutu citarasa produk cokelat dipengaruhi oleh beberapa variabel faktor, sejak pada tahap penanganan pasca-panen hingga tahap proses pengolahan di pabrik. Tulisan ini disajikan bertujuan untuk mengulas dan membahas serta mendiskusikan semua hasil studi yang pernah dilakukan, yang berhubungan dengan biji kakao dan produksi cokelat serta mengidentifikasi pengaruh cara pengolahannya terhadap citarasa dan karaketeristik produk olahan kakao. Informasi ini diharapkan mempunyai potensi yang bermanfaat pada proses pengolahan kakao di pabrik cokelat. Kata kunci : kakao, cara pengolahan, citarasa, karakteristik, cokelat.

INTRODUCTION

Cocoa (Theobroma cacao, L.) is a crash crop of huge economic significance in the world and the key raw material for chocolate manufacturing (Krahmer et al., 2015; Ho et al., 2015). Chocolate is the generic name for the homogenous products that prepared from cocoa and cocoa materials with sugars, milk products, flavouring substances and other food ingredients (Codex Standard. 87. 1981, Rev. 1 : 2003).

Cocoa beans are obtained from the ripen Theobroma cacao pods which commonly planted in the West Africa, South America and some tropical regions around the world like in Indonesia (Ardhana and Fleet, 2003). Cocoa as a food ingredient is fast becoming very popular in the food and confection industry worldwide. It is available in wide variety of forms, colors and flavors and is used in numerous

applications (Ndife et al., 2013). For example, cocoaa powder is used in makin beverages with other ingredients such as milk and sugar, while cocoa butter is used for chocolate production..

Chocolate products are desired and eaten, due to their attractive flavours and appearances (Pimentel et al., 2010). The primary chocolate categories are dark, milk and white chocolate (Afoakwa et al., 2007). The widely enjoyed chocolate-flavour, make it a favorite ingredient in bakey, ice cream, beverage, syrup manufacture and as confection in itself (Lecumberri et al., 2007).

Several characteristics of chocolate strongly depend on the process done at the very beginning of the supply chain (Saltini et al., 2013). Another word, quality and flavour of cocoa products strongly depend on the various stages of cocoa processing (Giacometti et al., 2015). These processes begin very early with cocoa

Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)

1

farming, storage, fermentation, drying, and packing the cocoa beans and continue with the manufacturing of chocolate (Saltini et al., 2013).

Sustainable cocoa production also involves the production of high quality cocoa beans. Cocoa beans quality is made up of several components such as flavour volatiles, nutritional composition, polyphenolic content and fermentation quality (Kongor et al., 2016). The most important components are the flavour volatiles of the beans as the effect cocoa bean acceptability (Magi et al., 2012; Krahmer et al., 2015).

For those reasons, chocolate manufactures have only rough expectations of the qualitative parameters by country of origin as aim at having uniform and constant raw materials to produce chocolate (Saltini et al., 2013). As a consequence of the increased implementation of food quality and food safety in the food industry, so detailed information on how products were handled and treated during production processing could actually be transferred to the producer of the final product and could be used to optimize production operations (Akkerman et al., 2010).

With ever increasing product output, it is essentially important to have a good understanding of the influences of chocolate manufacturing process, as well as the processing conditions, on the quality of the final product (Keijbets et al., 2010). Therefore, this paper aims to review and discuss all relevant studies in relation to cocoa beans and chocolate production, analyzed the different variables investigated and identify their influence of processing techniques on flavour and characteristics of the cocoa processed products.

EFFECT OF POST-HARVEST TECHNIQUES AND TREATMENTS ON COCOA BEAN QUALITY

Before resulting a final cocoa products with a variety of good cocoa processed and chocolate products, the

first step processing and production that must be passed through as the key indicators in the processing of cocoa is the post-harvest technique and treatment and handling. Post-harvest techniques and treatments of cocoa involeves all the primary process harvested cocoa pods goes through, before the final dried bean is obtained. These processes include pulp pre- conditioning, fermentation and drying (Kongor et al., 2016). These processes are usually carried out in the country of origin and they play a critical role in the flavour profile of the dried cocoa beans (Krahmer et al., 2015).

Pre-Conditioning

The pre-conditioning involves changing the properties of the pulp prior to the development of microorganisms in fermentation (Afoakwa et al., 2011 b). These changes may be in the form of altering the moisture content of the pulp, sugar content, and volume of pulp per seed as well as pH and acidity of the pulp (Kongor et al., 2016). Removing portions of cocoa bean pulp or reducing the fermentable sugar content has been shown to contribute to less acid production during fermentation, leading to less acid beans (Afoakwa et al., 2012).

Studies have shown that pre- fermentation treatments have significant effects in changing the acidity and polyphenol content of the cocoa beans, and thus, flavour of the beans (Nazarudin et al., 2006; Afoakwa et al., 2012). Pulp pre- conditioning can be done in three basic methods prior to fermentation and these are pod storage, depulping (mechanical or enzymatic) and bean spreading (Afoakwa et al., 2011 a).

Pos storage is basically storing harvested cocoa pods for a period of time before opening the pods and fermenting the beans. Pod storage prior to splitting of the beans has been recommended for cocoa beans which are difficult to fermentation or to give chocolate with strong acid flavour (Saltini et al., 2013). Pod storage as

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13

2

studied by Afoakwa et al., (2011 b) appears to have highly beneficial effect on the chemical composition of cocoa beans and subsequent development of chocolate flavour. Results of the studied by Afoakwa et al., (2011 a) also noted that increasing pod storage consistently decreased the non-volatile cidity with concomitant increase in pH during fermentation of Ghanaian cocoa beans.

It is clearly shown in the literature, that pod storage prior to splitting would reduce the sucrose, glucose, fructose, ethanol and acetic acid content, and increase the pH in fermented cocoa beans, improving the flavour of the final chocolate (Saltini et al., 2013). For this reason, pod storage might be beneficial for beans that tend to develop low pH and acidic flavour. On contrast, however, pod storage does not only have benefits. The existing of the amount mouldy beans significantly increases with pod storage, and as a consequence it increses the production waste (Ortiz de Bertorelli et al., 2009).

Fermentation

Fermentation is essential for the development of appropriate flavours from precursors. The approaches used in spontaneous cocoa bean fermentation differs among the producing countries as followed the local preferences; for instance the methods/techniques being used, duration of fermentation, pod or bean selection and post-harvest treatments which will have significant impact on the quality of end products (Camu et al., 2008; Kostinek et al., 2008; Ganeswari et al., 2015).

Fermentation of cocoa beans is very crucial as it promotes dramatic biochemical changes in the type and concentration of flavours precursors in cocoa beans (Kadow et al., 2013; Krahmer et al., 2015). Therefore, the correct fermentation and drying of cocoa beans, which carried out in the countries of origin are essential to the development of suitable flavour and/or

flavour precursor (Ho et al., 2014). As consequence, the fermentation method determines the final quality of products produced, especially their flavour.

Different fermentation methods are used for fermenting cocoa beans depending on farmers (Guehi et al., 2010 a), areas and countries (Camu et al., 2008). Platforms, heap, baskets, and boxes are the most used fermentation methods. The platforms method has a quite low fermentation rate, adequate for Criollo beans which require short fermentation, but in appropriate for Forastero which require longer fermentation. This longer fermentation often induces the growth of unwanted molds and consequently off-flavors (Guehi et al., 2010 a).

In general, cocoa beans fermente in boxes show relatively low concentrations of sugar, ethanol and acetic acid, and a high pH. In some cases, the boxes methods has been categorized as a method with low uniformity, which may cause incomplete usage sugars or high presence of defective beans (Guehi et al., 2010 a). Additionally, for this fermentation method, it has been found that the size, shape and construction material of the box also significantly influence pH, tannins, sugar content and presence of purple beans (Wallace and Giuste, 2011).

The fermentation processes is characterized by a well known systematic microbial succession (Saltini

et al., 2013). During fermentation, microbiaal succession occur as the micro-environment (temperature, pH, oxygen avaibility) changes (De Vuyst et al., 2010; Illeghems et al., 2015). The changes in pH values during fermentation are very important for microbil activity. Briefly, the initial low pH of the pulp (3.6), presence of citric acid, and low oxygen levels fever yeast colonization which to leads to ethanol production and secracation of pectolytic enzymes within the first 24 hours; after which the process slowly decreases (Saltini et al., 2013).

Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)

3

The remaining conditions favour to growth of lactic acid bacteria (LAB),

Drying Drying of cocoa beans is a

which reach their peak after 36 hours from the beginning of the fermentation. The main activity of LAB is degrading glucose to lactic acid. The overall pH increases due to to the metabolism of non-acid by product. After 48 hours of fermentation the LAB population decreases giving space to the growth of acetic acid bacteria (Satini et al., 2013).

The duration and method of fermentation are crucial also to the fermentation of flavour compounds and flavour precursors. Based on the study taht conducted by Aculey et al., (2010), it is noted that an increased level of organic acids such as propionic acid, 2- methyl-propanoic acid; 3- methylbutanoic acid and acetic acid after 72 hours of cocoa fermentaion. The increased levels of organic acids are a result of the breakdown of sugars from the pulp surrounding the cocoa beans (Bonvehi, 2005).

Fermentation generates flavour precursors, namely free amino acids and peptides from enzymatic degradation of cocoa proteins and reducing sugars from enzymatic degradation of sucrose (Misnawi, 2008; Afoakwa et al., 2013; Krahmer et al., 2015) from which the typical cocoa aroma is generated during the subsequent roasting process (Fraundoufer and Schieberle, 2008). The theory of fermentation tell us, taht pyrazines precursors (amino acids and reducing sugars) are transformed into pyrazines during roasting process due to the Maillard non-enzymatic browning reactions (Satini et al., 2013). Besides the formation of the flavour precursors, there is also a significant increase in volatile compounds, such as alcohols, organic acids, esters, and aldehyde after fermentation (Magi et al., 2012). The Maillard reaction takes place during roasting process and results in the typical aromatic compounds of chocolate.

process of heating which reduces the moisture content of the beans to less tahn 7.5% (w/w) (Zahouli et al., 2010) and to prevent mould infestation during storage and also allow some of the chemical changes which occured during fermentation to continue and flavour development (Kyi et al., 2005). Many investigations have been carried out to find the optimal drying methods. Therefore, the drying conditions, temperature and duration of drying, dryng rate, and grade were studied (Giacometti et al., 2015).

Eventhough artificial driers are increasingly popular, natural sun drying is still largely used. Many studies that compare natural and artificial drying methods conclude that natural sun drying give the best result (Zahouli et al., 2010). However, it is believe that artificial drying methods can improve the drying process, and it just requires more research (Saltini et al., 2013). Thus, by knowing the conditions of the drying it woud be possible to predict in real time the ideal duratiob of drying to reach a standardized moisture content.

The drying process of fermented cocoa beans initiates major polyphenol oxidizing reactions catalysed by polyphenol oxidase, giving rise to new flavour components and loss of membrane integrity, inducing brown colour formation. This helps to reduce bitterness and astringency and also the delopment of the chocolate brown colour of well fermented cocoa beans (Saltini et al., 2013). Indicators of well- dried, quality beans are a good brown colour, low astringency and bitterness and on absence of off-flavors such as smoky notes and excessive acidity. Sensory assessment of cocoa beans dried using different strategies; i.e. Sun drying, air blowing, shade drying and oven drying suggested that sun-dried beans were rated higher in chocolate development with fewer off-flavor notes (Kyi et al., 2005; Amoye, 2006).

It is well known that the drying rate during the drying process is of

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13

4

crucial importance for the cocoa beans “final quality”. In this case, if the drying rate is too fast or rapid, the beans would tend to retain an excessive amount of acids, including acetic acid, which is deleterious to the flavour. On the contrary, too slow drying rate would results in low acidity, poorer color and high presence of moulds (Zahouli et al., 2010; Rodriguez-Compos et al., 2012; Saltini et al., 2013).

EFFECT OF TECHNOLOGICAL PROCESSING IN COCOA MANUFACTURING ON CHOCOLATE FLAVOUR QUALITY

The flavour of chocolate

characteristics originates not only in flavour precursors present in cocoa beans, but also are generated during past-harvest treatments and transformed into desirable odor notes in the maucfacturing process as well (Giacometti et al., 2015). The steps of technological processing in cocoa manufacturing that would be possibly affected to the chocolate flavour quality are identified and known as following, i.e. roasting, alkalization, refining, conching and tempering process.

Complex biochemical modifications of cocoa bean constituents are altered by thermal reactions in roasting and conching as well as in alkalization (Afoakwa et al., 2008). Alkalization and roasting are two processes that contribute to the flavour and color of the semi finished products; while refining, conching and tempering are the three process step that contribute to the flavour and quality of the finished products.

Roasting

Roasting is one of the important steps which affects the quality characteristic of cocoa bean during industrial processing (Oracz and Nebesny, 2014). Roasting of fermented cocoa beans is carried out due to mainly two purposes : the removal of undesired compounds with low boiling points, such as acetic acid ;

and the formation of typical roasty, sweet odorants of cocoa (Oliviero et al., 2009).

According to Krysiak and Motyl- Patelska (2006) was mentioned that roasting determines the character of chemical and physical processes that occur inside the beans, as well as the quality of the final product. During the roasting process flavour precursors are transformed into flavour compounds. For example, the Maillard reaction (Non-enzymatic browning) and strecker degradation during roasting can produce the desirable flavour compounds such as pyrazines, alcohols, esters, aldehydes, ketones, furans, thiazoles, pyrones, acids, amines, imines, pyrroles and ethers (Arlorio et al., 2008; Misnawi and Wahyudi, 2010). The concentration of pyrazines increased rapidly during the roasting process untill reaching a maximum value, after which these constant values are maintained (Giacometti et al., 2015). The formation yield of pyrazines is known, and reaches the highest yield at high temperature (typically 150 or 170 oC) (Krysiak, 2006).

Prior to roasting, cocoa bean have bitter, acidic, astringent and nusty flavour. Roasting further diminishes activity reducing concentrations of volatile acids such acetic acid (Granvogl et al., 2006); but not non- volatiles suh as oxatic, citric, tartaric, succinic and lacytic acid (Afoakwa et al., 2008). Another words, during roasting, there is evaporation of volatile acids from the beans causing a reductiob in acidity, hence – reducing sourness and bitterness of the cocoa beans. For this reason, choice of roasting parameters should be determined in order to understand the character of the chemical and physical process that occur inside the bean.

When looking directly at the flavour acceptability, several studies investigate the best combination of time and temperature of roasting (Saltini et al., 2013). Several studies also revealed that temperature and duration

Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)

5

of roasting substantially affect the chemical and physical changes occuring in cocoa beans (Farah et al., 2012). It is needed to be attention and well known, that if cocoa beans are carried out an inproper roasting procedure generates undesirable flavour compounds; while , if the cocoa beans are not roasted enough, the resulting chocolate products would be very bitter; and alternatively, if the beans are over roasted , burned and off-flavour will be developed (Bonvehi and Coll, 2002; Saltini et al., 2013). In general, the literature agrees that the higher the roasting grade is, the better flavour profile will be, until an over roasting point is reached.

Usually, cocoa beans roasting conditions was carried out at range from 15 to 45 minutes with temperature

from 130 – 150oC (Krysiak et al., 2013). Time and temperature of roasting process depend on several factors, such as cocoa material (beans, nibs and liquor roasting), final cocoa product (dark or milk chocolates) and type of cocoa (Kothe et al., 2013). Based on this information, it is clear that the optimal roasting parameters strongly depend on the raw material processed and type of chocolate products.

Alkalization Alkalization is a treatment that

addressed to cocoa nibs or liquor of cocoa with solutions of alkali, and it is carried out primarily not only to change color but also influence the flavour of cocoa powder (Afoakwa et al., 2008). Originally, performed to make for cocoa products such as drink to enhance solubility or in baking or coating (Whitefiled, 2005), and also performed to make the powder not agglomerate or sink to the bottom, when it was added to milk or water-based drinks (Giacometti et al., 2015).

Cocoa beans are often alkalized with potassium carbonate or sodium hidroxide in order to improve the microbiological conditions (De Muijnck, 2005). Many studies report that

increasing the pH from 5.7 to 7.5 is deleterious to the flavour acceptability (Noor-Sofialina et al., 2009); so it is suggested that cocoa with high acidity and low chocolate flavour could be acchived a good flavour development by alkali teratments. The conclusion was that chocolates from alkalized had better flavors than non-alkalized nib roasted chocolate (Afoakwa et al., 2008).

It was established that alkalization caused a progressive reduction of polyphenols as well as their antioxidant activity (Miller et al., 2008). Reduction of the polyphenol antioxidant activity was mentioned to be triggered by heat and alkali synergistically (Sulistyowati and Misnawi, 2008). Recently, a sudy by Payne et al., (2010) found that compared to natural cocoa powders, alkalization caused a loss in both epicatechin (up to 98%) and catechin (up to 80%). Another study that has been conducted by Andres-Lucueva et al., (2008) was hshown a decrease in epicatechin and catechin of 67% and 35%, respectively, as a result of the alkalization of cocoa powders.

In general, changes occuring as the results of alkalization treatment could be attributed to the oxidation of phenolic compounds under basic pH conditions, leading to the brown pigments that are polymerized to different degrees. In particular, secondary reaactions involving ortho- quinones preveiously formedd during fermentation stage by polyphenol oxidase are probably involved in further reactions responsible for the browning developed during alkalization (Miller et al., 2008).

Refining

Refining is a step processing of cocoa or chocolate which produce a smooth texture by reducing the size of the particles of cocoa mass from about 80 – 90 microns to about 30 – 40 microns (Payne et al., 2010). At this point, the chocolate, which has the required ingredients mixed, still has

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13

6

rough texture, because it is a form of chocolate paste or chocolate liquor. The rough is not ideal since may hinder the conching process that will be explained later. Therefore, refining is necessary to turn the roughness into smoothness.

In addition, the cocoa liquor is mixed with cocoa butter and sugar and this is further refined by reducing the particle size of the added milk powder solids and sugar down to the desired fineness (Pugh, 2014). As described by Afoakwa et al. (2007), the addition of milk fat to milk chocolate results in a lower melting point, a slow setting or solidification and a soften texture. The smoother the chocolate desired, the more rolling milling required. Because of that, in order to ensure that its products qualities meet their expectations, it refines its chocolate paste to 19 micrometers while other major markets refine their chocolate to only 40 micrometers. The smaller micrometers they have are beneficial to the overall texture of the chocolate.

The refining process has a certain parameters that can be changed that might alter the flavour. Refining is also will determine the size reduction of a chocolate mass as it is being manufactured. Whether a product is fine, medium or coarse ground will determine the pallete’s flavour perception. The particles will be coated with fat, which the flavour carrier. When these particles enter the mouth, the melt, sweetness and mouthfeel, and all will influence how the product tastes (Stauffer, 2000).

Conching Conching is a step of cocoa

processing in the manufacture to produce chocolate with superior aroma and melting characteristics. This process strongly affects the final flavour and texture of chocolate (Pugh, 2014). The conche is a surface scraping mixer and agitator that evenly ditsribute cocoa butter within chocolate, and acts as a “polisher” of the particles. The conches have heavy rollers that can produce

different degrees of agitation and aeration, so that the conching process redistributes into the fat phase of substance from dry cocoa that creates the flavour (Pugh, 2014).

The function of the conche is to remove unwanted flavour but at the same time retain the more desirable one. A goal in conching is also to obtain the optimum viscosity (flow properties) at the lowest practical fat content (Stauffer, 2000). As consequence, residual volatile acids and moisture are removed, angulur sugar crystals and viscosity are modified, and their color changed due to emulsification and oxidation of tannins (Reineccius, 2006; Afoakwa et al., 2007). Based on the above information, key elements in this goal would be moisture reduction, input of energy, and control of superfines and amount of free fat available.

As described by Stauffer (2000) based on her research sudy, It was mentioned that the chocolate data from her study shows that physical characteristics are definitely different between conched and unconched chocolate. The results of the sensory panel also found that the conched sample to have more chocolate, more caramel and more diary notes with about the same levels of sweetness as the unconched sample. The unconched sample was found to have moderate nutty notes not present in the conched sample.

Based on the study, it was mentioned that temperature and time of conching or conching conditions are the main influence factors of conching process in order to produce a good flavour chocolate. The results of the study revealed that there were interactions between time and temperature (Afoakwa et al., 2008). Generally, higher temperature leads to a shorter required processing time. For example, conching conditions for crumb milk chocolate are 10 -16 hours at 49 -

52oC ; but 16 – 24 hours at 60oC for milk powder chocolate; however if the

temperature above 70oC lead to changes in cooked flavour (Awua,

Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)

7

2002; Beckett, 2003; Whitefield, 2005),

while, up to 82oC for dark chocolate (Awua, 2002).

Meanwhile, effect of the conching temperature was mentioned by Stauffer (2000), that high-

temperature sample (74oC for 12 hours) had a more pronounced caramel note with slightly less perceivable chocolate notes. In contrast, however, the flavour

perception of a low temperature (64oC for 12 hours) shows a well rounded sample, with milky, chocolate notes, very even.

appearance will not degrade over time (Leffer, 2014).

After the tempering stage, the liquid chocolate is deposited into polycarbonate moulds and cooled. Objective of this cooling phase is the solidification the fat phase of the tempered chocolate mass with the correct crystalliation, as this will lead to contraction of the chocolate and easy removal of the solidified chocolate from the mould during the subsequent demoulding process (Keijbets et al., 2010).

Tempering Tempering is a technique of

controlled precrystallization employed to induce the most stable solid form of cocoa butter, a polymorphic fat in finished chocolates (Afoakwa et al., 2008). Tempering process refers to a controlled melting and cooling of chocolate in order to achieve at the correct crystalline structure of the constituent cocoa butter among the six existing polymorphic forms, namely the form V (Schenk and Peschar, 2004). Tempering is also mentioned as the final critical step for the chocolate that it must be tempered to deter large crystalls from forming. Because chocolate would have a gritty texture and a dull appearance and/or the cocoa butter would separate from the mixture without tempering taking place (Pugh, 2014).

The primary purposed of tempering is to assure that only the best form is present or to develop the correct polymorphic form, and in order to do so the chocolate is cooled from

45oC to approximately 30oC (depending on the type of chocolate, e.g. milk or dark chocolate) (Keijbets et al., 2010). Consequently, for the best possible finished product, proper tempering is all about forming the most on type V

crystalls (34oC) with characteristics appearance glossy, firm, best snap,

melts near body temperature (37oC). This will provide the best appearance and mouth-feel and creates the most stable crystals; so the texture and

The process of tempering consist shearing chocolate mass at controlled temperature to promote crystallization of triacylglycerol (TAG) in cocoa butter to effect good setting characteristics, form stability, demoulding properties, product snap, contraction , gloss and self-life characteristics (Afoakwa et al., 2008). This is a delicate process that involves slowly heating and cooling the chocolate repeatedly to the

temperatures between 41oC and 29oC. This stabilizes the product and achieve the smooths, shinny texture, pleasant mouth-feel and sops the chocolate becoming crumby as it hardens (Pugh, 2014).

To produce the right number and size of stable form V crystals, agitation is one important variable. As a results, some means of mixing or agitation must be part of any tempering machine. Another factor related to agitation is shear, because to a carefully defined shear has been recently recognized as the key factor in the success of tempering process (Donshi and Stapley, 2006). In a tempering machine, shear take places where there is scraping against the cooling surface (Sofia, 2013).

Temperature is perhaps the most critical variable of tempering. As the different polymorphic forms have different melting ranges, the trick to tempering is to carefully control the temperature of the melted chocolate (Debaste et al., 2007). Therefore, by choosing the appropriate temperature

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13

8

throughout the tempering process, we can induce crystal formation, maintain a constant crystal population and melt away undesirable crystals (Sofia, 2013).

The control of tempering process is important for the quality of the product, as well-tempered chocolate is shiny, even-colored, snap, and smooth tasting; while badly- tempered chocolate is chewy (not knocking), chalky and grainy, within the form of an unattractive, dull brown mass because of fat blooming (Debaste et al., 2007). Based on the study by Debaste and his collegeaus (2007) was also mentioned that the quality of product obtained by their tempering process will depend on several operating parameters, such as the ratio between the mass of the particles and the mass of melted chocolate; the size of the particles, their initial temperature, the temperature of the melted chocolate at time 0, the temperature of ambient air; and the temperature of the walls during cooling.

CONCLUSION The technological and processing

techniques of cocoa to produce chocolate was influenced by some variable factors, since the beginning in the post-harvest treatments and handling of cocoa up till to the manufacturing process. Some variable factors that influence in the post- harvest and handling of cocoa were included pre-conditioning, fermentation and drying; while some variable factors that influence in the manufacturing process were included roasting, alkalization, refining, conching and tempering.

Fermentation and drying process were identified as a key role in flavour formation ana character in cocoa and chocolate. Fermentation generates flavour precursors and promote biochemical changes in the type and concentration of flavour in cocoa beans. Drying reduce bitterness and astringency and also the development of chocolate brown colour. Those

process were impact and affected to the quality of cocoa flavour in the final product of chocolate and its derived.

Roasting, conching and tempering were identified also as the key important roles in the chocolate manufacturing process and affected on the final flavour and characteristics of chocolate. Roasting is determines to the character of chemical and physical process that occur inside the beans like Maillard reaction and strecker degradation, and a reduction in acidity, sourness and bitterness. This process was influenced by roasting conditions such as time and temperature of roasting process.

Conching process was known as a marker to produce chocolate with superior aroma and melting characteristics. This process was functioned to remove unwanted flavour and was influenced by the variable factors of temperature and time of conching.

Tempering is the final critical process in manufactured of cocoa to assure that only the best form namely the form V crystals (the most stable crystals). This process should be controlled by choosing the appropriate temperature in order to obtain well- tempered chocolate.

REFERENCES

Aculey, PC.; Snithjaer, P.; Owusu, B.;

Bassompiere, M.; Takrama, JS; Nargaard, L. and Nielsen, DS (2010). “Ghanaian cocoa bean fermentation characterized by spectrocopic and chromatographic methods and chemometrics”. J. Food Sci. 75 (6) : p. 300 – 307.

Afoakwa, EO; Paterson, A., and Fowler, M. (2007). “Factors influencing rheological and textural qualities in chocolate – A review”. Trends in Food Sci. Technol., 18 : p. 290 – 298.

Afoakwa, EO.; Paterson, A.; Fowler, M. and Ryan, A. (2008). “Flavor formation and character in cocoa and chocolate : A critical Review”. Crit. Rev. Food Sci. & Nutr., 48 : p. 840

– 857.

Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)

9

Afoakwa, EO.; Quao, J.; Takrama, J.; Budu, AS and Saalia, FK. (2011 a). “Effect of pulp preconditioning on acidification, proteolysis, sugars and free fatty acids concentration during fermentation of cocoa (Theobroma cacao, L.) beans”. Int. J. Food Sci. & Nutr. 62 (7) : p. 755 – 764.

Afoakwa, EO; Quao, J.; Takrama, J., Budu, AS. and Saalia, FK. (2011 b). “Chemical composition and physical quality characteristics of Ghanaian cocoa beans as affected by pulp pre-conditioning and fermentation”. J. Food Sci. & Technol., 47 (1) : p. 3 – 11.

Afoakwa, EO.; Quao, J.; Budu AS and Saalia, FK. (2012). “Influence of pulp pre-conditioning and fermentation on the fermentative quality and apperance of Ghanaian cocoa (Theobroma cacao) beans”. Int. Food Res. J. 19 (1) : p. 127 – 133.

Afoakwa, EO; Kongor, JE; Takrama, J. and Budu, AS. (2013). “Changes in nib acidification and biochemical composition during fermentation of pulp preconditioned cocoa (Theobroma cacao, L.) beans”. Int. Food Res. J. , 20(4) : 1843 – 1853.

Akkerman, R.; Farahani, P. and Grunow, M. (2010). “Quality, safety and suitainability in food distribution : a review of quantitative operations management approaches and challenges”. OR Spectrum 32 (4) :

p. 863 -904. Amoye, S. (2006). “Cocoa sourcing, world

economics and supply”. Manufact. Confectioner. 86 (1) : p. 81 – 85.

Andres-Lacueva, C.; Monagas, M.; Khan, N.; Izquirdo-Palido, M.; Urpi-Sanda, M. and Pernanyer, J. (2008). “Flavanol and flavonol content of cocoa powder products : infleunce of the manufacturing process”. J. Agric. & Food Chem. , 50 (9) : p.

3111 – 3117. Ardhana, MM and Fleet, GH. (2003). “The

microbial ecology of cocoa bean fermentation in Indonesia”. Int. J. Food Microbiol., 86 : p. 87 – 99.

Arlorio, M.; Locatelli, M.; Travaglia, F.; Coisson, JD; Grosso, ED; Minassi, A. and Martelli, A. (2008). “Roasting impact on the contents of clovamide (N-caffecyl-DOPA) and

the antioxidant activity of cocoa beans (Theobroma cacao, L.)”. Food Chem., 106 : p. 967 – 975.

Awua, PK. (2002). Cocoa processing and chocolate manufacture in Ghana.

David Jmieson and Associate Press Inc. ; Essex – UK.

Beckett, ST. (2003). “Is the taste of British milk chocolate diffenet ?”. Int. J. Diary Technol., 56 (3) : p. 139 –

142. Bonvehi, SJ. (2005). “Investigation of

aromatic compounds in roasted cocoa powder”. Europ. Food. Res. & Technol., 221 (1-2) : p. 19 – 29.

Bonvehi, SJ and Coll, VF. (2002). “Fcators affecting on the formation of alkylpyrazines during roasting treatment in natural and alkalinized cocoa powder”. J. Agric. & Food Chem., 50 (13) : 3743 – 3750.

Camu, N.; Gozalez, A.; De Winter, T.; Van Schoor, A.; De Bruyne, K. and Vandamme, P. (2008). “Influence of farming and enviromental contamination on the dynamics of populations of lactic acid and acetic acid bacteria involved in spontaneous cocoa bean heap fermentaioon in Ghana”. Applied and Environ Microb. 74 (1) : p. 86 – 98.

CAC [Codex Alimentarius Commission]. (2003). Codex Standard. 87; 1981 about Chocolate Rev. 1 : 2003.

CAC, Rome –Italy. Debaste, F.; Kagelaers, Y.; Ben hamor, H.

And Halloin, V. (2007). “Contribution to the modelling of chocolate tempering process”. Proceeding of Eur. Conggress Chem. Eng. (ECCE-6), 16 -20 Sept. 2007 ; Copenhagen : p. 1 – 18.

De Muijnck, L. (2005). Cocoa, Encapsulated and Powder foods. CRC Press, New York : p. 451 – 473.

De Vuyst, L.; Lefeber, T.; Papalexandratou, Z. and Camu, N. (2010). “The functional role of lactic acid bacteria in cocoa bean fermentation”. In Biotechnology of lactic acid bacteria : Novel application, ed. by Mozzi, F.; Raya, RR and Vignolo, GM. Ames, Willey – Blackwell, New York : p. 301 – 326.

Dhonsi, D. and Stapley, AGF. (2006). “The effect of shear rate, temperature,

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13

10

sugar and emulsifier on tempering of cocoa butter”. J. Food Eng., 77 : p. 936 – 942.

Farah, DMH.; Zaibunnisa, AH and Misnawi, S. (2012). “optimization of cocoa beans roasting process using response surface methodology based on concentration of pyrazine and acrylamide”. Int. Food Res. J. 19 (4) : p. 1355 – 1359.

Frauendorfer, F. and Schieberbe, P. (2008). “Changes in key aroma compounds of Criollo cocoa beans during roasting”. J. Agric. & Food Chem., 56 : p. 10244 – 10251.

Ganeswari, I.; Khairul-Bariah, S.; Armizi, MA and Sim, KY. (2015). “Effects of different fermentation approaches on the microbiological and physico- chemical changes during cocoa bean fermentation”. Int. Food Res. J., 22 (1) : p. 70 – 76.

Giacometti, J.; Jolic, SM and Josic, D. (2015). “Cocoa processing and impact on composition”. In Processing and Impact on active composition in food, ed. by Preedy, VR. Academic Press, London : p 608 – 612.

Granvogl, M.; Bugan, S. and Schieberle, P. (2006). “Formation of amines and aldehydes from parent mino-acids during thermal processing of cocoa and model systems : New insights into pathways of strecker reaction”. J. Agric. & Food Chem.., 54 : p. 1730 - 1739.

Guehi, ST.; Dabonne, S.; Ban-Kotti, L.; Kedjebo, DK and Zahoulli, IB. (2010 a). “Effect of turning beans and fermentation method on the acidity and physical quality of raw cocoa beans”. J. Food Sci. & Technol., 2 (3) : p. 163 – 171.

Guehi, ST.; Zahoulli, IB.; Ban-Kotti, L.; Fae, MA and Namlin, GJ. (2010 b). “Performance of different drying methods and their effects on the chemical quality attributes of raw cocoa material”. Int. J. Food Sci. & Technol., 45 : p. 1564 – 1571.

Ho, VTT; Zhao, I. and Fleet, G. (2014). “Yeasts are essential for cocoa bean fermentation”. Int. J. Food Microbiol., 174 : 72 – 87.

Ho, VTT; Zhao, J. and Fleet, GH. (2015). “The effect of lactic acid bacteria on cocoa bean fermentation”. Int. J. Food Microbiol., 205 : p. 54 -67.

Illeghems, K.; Weckx, S. and De Vuyst, L. (2015). “Applying meta-pathway analysis through meta-genomics to identify the functionall properties of the major bacterial communities of a sigle spontaneous cocoa bean fermentation process sample”. Food Microbio. 50 : p. 54 – 63.

Kadow, B.; Bohlman, J.; Philips, W. And Lieberel, R. (2013). “Identification of main flavour compounds in two genotypes of the cocoa tree (Theobroma cacao, L.)”. J. Appl. Botany & Food Quality 86 : p. 90 – 98.

Keijbets, EL; Chen, J. and Vieira, J. (2010). “Chocolate demoulding and effect of processing conditions”. J. Food Eng., 98 : p. 133 – 140.

Kongor, JE; Hinneh, M.; Van de Walle, D; Afoakwa, EO.; Boeckx, P. and Dawettinck, K. (2016). “Factors influencing quality variation in cocoa (Theobroma cacao, L.) bean flavour profile – A review”. Food Res. Int., 82 : p. 44 – 52.

Kostinek, M.; Ban-Kotti, L.; Ottah-Atikpo, M.; Teniola, D.; Schillinger, U.; Holzapfel, WH and Frank, CMA. (2008). “Diversity of predominant lactic acid bacteria associated with cocoa fermentaion in Nigeria”. Current Microb., 56 : p. 305 – 314.

Kothe, L.; Zimmerman, BF and Galensa, R. (2013). “Temperature influences epimerization and composition of flavanol monomers, dimers, and trimers during cocoa bean roasting”. Food Chem., 141 : p. 3656 – 3663.

Krahmer, A.; Engel, A.; Kadow, D.; Ali, N.; Umaharan, P.; Kroh, LW and Schultz, H. (2015). “Fast and neat – Determination of biochemical quality parameters in cocoa using near infrared spectroscopy”. Food Chem., 181 : p. 152 – 159.

Krysiak, W. And Motyl_Patelska, L. (2006). “Effect of parameters on changes in temperature inside roasted cocoa beans”. Acta Agrophysica 7 (1) : p. 113 – 127.

Krysiak, W. (2006). “Influenece of roasting conditions on coloration of roasted cocoa beans”. J. Food Eng., 77 : p. 449 – 453.

Krysiak, W.; Adamski, R. And Zyzelewicz, D. (2013). “Factors affecting the

Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)

11

colour of roasted cocoa bean”. J. Food Quality 36 : p. 21 – 31.

Kyi, TM; Daud, WRW; Muhammad, AB; Samsudin, MW; Kadhum, AA and Thalib, MZM. (2005). “The kinetics of polyphenol degradation during the drying of Malaysian cocoa beans”. Int. J. Food Sci. & Technol. 40 : p. 323 – 331.

Lecumbersi, E.; Mateos, R.; Izzuirdo- Pulido, M.; Ruperez, P.; Goya, L. and La Bravo, L. (2007). “Dietary fibre composition, antioxidant capacity and physico-chemical properties of fibre rich product from cocoa (Theobroma cacao, L). Food Chem., 104 : p. 948 – 954.

Leffer, S. (2014). “Chocolate 201 : About tempering chocolate, whta it is, and the alternative”. Chocoley bulletin 2014 : p. 78 -81.

Magi, E., Bono, L. and Di Carro, M. (2012). “Characterization of cocoa liquors by GC-MS and LC-MS/MS : Fokus on alkylpyrazines and flavanols”. J. Mass Spectro., 47 : p. 1191 – 1197.

Miller, KB; Hurst, WJ; Payne, MJ; Stuart, DA; Apgar, J. and Swetgart, DS. (2008). “Impcat of alkalization on the antioxidant and flavanol content of commercial cocoa powders”. J. Agric. & Food Chem., 56 (18) : p. 8527 – 8533.

Misnawi, S. (2008). “Physico-chemical changes during cocoa fermentation and key enzymes involved”. Review Penelitian Kopi & Kakao, 34 (1) : p. 54 -71.

Misnawi, S. and Wahyudi, T. (2010). Cocoa chemistry and Technology : Roles of poyphenols and enzymes reactivation in flavour development of under-fermented cocoa beans.

Academic Publishing, Lambert – USA : p. 66 – 69.

Nazaruddin, R.; Seng, L.; Hasan, O. and Said, M. (2006). “Effect of pulp pre-conditioning on the content of polyphenol in cocoa beans (Theobroma cacao, L.) during fermentation”. Industrial Crops and Products 24 : p. 87 – 94.

Ndife, J.; Bolaji, P.; Atoyebi, D. and Umezuruike, C. (2013). “Production and quality evalution of cocoa products (plain cocoa powder and chocolate)”. Amer. J. Food Nutr., 3 (1) : p. 31 – 38.

Noor-Safialina, SS; Jinap, S.; Nazamid, S. and Nazimah, SAH. (2009). “Effect of polyphenol and pH on cocoa Maillard-related flavor precursersor in a lipidic model system”. Int. J. Food Sci. Technol., 44 (1) : p. 168

– 180. Oliveiro, T.; Campuano, E.; Camnerer, B.

and Fogliano, V. (2009). “Influence of roasting on the antioxidant activity and HMF formation of cocoa bean model system”. J. Agric. Food Chem. 57 (1) : p. 147 – 152.

Oracz, J. and Nebesny, E. (2014). “Influence of roasting conditions on the biogenic amine content in cocoa beans of different Theobroma cacao cultivars”. Food Res. Int. 55 : p. 1 – 10.

Ortiz de Bertorelli, L.; Grazioni de Farines, L. and Gervaise, RL. (2009). “Influence de varios factores sobre characteriticas del grano de cacao fermentando y secado al sol”. Agronomia Tropical. 59 (2) : p. 119

– 127. Payne, MJ; Hurst, WJ; Miller, KB and

Stuart, DA. (2010). “Impact of fermentation, drying, roasting and Dutch processing on epicatechin and catechin content of cacao benas and cocoa ingredients”. J. Agric. & Food Chem., 58 (19) : p. 10518 – 10527.

Pimentel, F.; Nitzke, J.; Klipel, C. and Vogt de Jong, E. (2010). “Chocolate and red wine – A comparison between flavonoids content”. Food Chem., 120 : p. 109 – 112.

Pugh, D. (2014). “Saving to be made in the chocolate production process through close fineness monitoring”. In Microtac : Total Solutions in partcicle characterization, provided by Microtrac Inc., London.

Reineccius, G. (2006). Flavor Chemistry and Technology. Second Ed. CRC Press. Boca Raton – USA.

Rodriguez-Campos, J.; Escalona-Buendia, HB.; Orozco-Avila, I. and Contreas- Ramos, SM. (2012). “Effect of fermentaion time and drying temperature on volatile compounds in cocoa”. Food Chem., 132 (1) : p.

277 – 288. Saltini, R.; Akkerman, R. And Frosch, S.

(2013). “Optimizing chocolate production through traceability : A

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 1-13

12

review of the influence of farming practices on cocoa bean quality”. Food Control 29 : p. 167 – 187.

Schenk, H. And Peschar, R. (2004). “Understanding the structure of chocolate”. Radiation Phys. Chem., 71 : p. 829 – 895.

Sofia, J. (2013). “Chocolate-Tempering equipment and Techniques”. The Manufacture Confectioner, December 2013 : p. 73 – 80.

Stauffer, M. (2000). “The flavor of milk chocolate changes caused by processing”. PMCA Production Conference, 2000 : p. 145 – 150.

Sulistyowati and Misnawi, S. (2008). “Effect of alkali concentration and conching temperature on antioxidant activity and physical properties of chocolate”. Int. Food Res. J. 15 (3) : p. 297 – 304.

Wallace, TC and Giusti, MM. (2011). “Selective removal of the violet color produced by anthocyanins in procyanidin-rich unfermented cocoa extracts”. J. Food Sci., 76 (7) : p. c.1010 – c.1017.

Whitefiled, R. (2005). Making chocolates in the factory. Kennedy’s Publications Ltd, London – UK.

Zahoulli, GIB.; Guehi, ST; Fae, AM and Namlin, JG. (2010). “Effect of drying methods on the chemical quality traits of cocoa raw material”. Adv. J. Food Sci., 2 (4) : p. 184 –

190.

Effect of Processing Techniques on Flavour………. (Sudibyo)

13

PEMBUATAN ARANG CANGKANG KELAPA SAWIT DENGAN PROSES TOREFAKSI

Preparation of Palm Kernel Shell Charcoal Using Torrefaction Method

Zainal Abidin Nasution dan Harry P. Limbong

Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan

Jln Sisingamangaraja no.24 Medan 20217, Provinsi Sumatera Utara E – mail: [email protected]

ABSTRAK. Cangkang kelapa sawit merupakan biomassa yang terbentuk dari hasil

fotosintetis butir-butir hijau daun, bekerja sebagai sel surya yang menyerap energi sinar

matahari, kemudian mengkonversi karbon dioksida dengan air menjadi suatu material yang

mengandung karbon, hidrogen dan oksigen. Material tersebut dalam bentuk padatan dan

apabila dikonversi dapat menjadi arang cangkang kelapa sawit. Pada pelaksanaan

penelitian ini, arang cangkang kelapa sawit dibuat dengan proses torefaksi cangkang kelapa

sawit. Dari proses torefaksi cangkang kelapa sawit diperoleh rendemen pengarangan rata-

rata adalah 38,20% (suhu terakhir proses torefaksi adalah 3480C, pada saat cangkang

kelapa sawit tidak lagi mengeluarkan asap dan waktu tinggal pengarangan adalah 105

menit). Dari hasil pengamatan temperatur dan waktu tinggal pengarangan cangkang kelapa

sawit terhadap kondisi asap proses pengarangan cangkang sawit yang terjadi, sebagai

indikator, diketahui bahwa proses pembentukan arang cangkang kelapa sawit mengikuti

Grafik Tipikal Tahapan Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi yang tertera pada

Gambar 1, yaitu tahapan heating, tahapan drying, tahapan post drying, tahapan torrefaction

dan tahapan cooling.

Kata kunci: cangkang kelapa sawit, torefaksi, arang cangkang kelapa sawit,

ABSTRACT. Palm kernel shells are biomass resulted from photosynthesis of chlorophyls,

working as solar cells that absorb sunlight energy, then converting carbon dioxide with water

into a material containing carbon, hydrogen and oxygen. The material is in solid form and

can be converted into coconut shell charcoal. In the implementation of this research, coconut

shell charcoal is made by coconut shell torrefaction process. From the process of coconut

shell torrefaction, the average auction yield is 38.20% (the last temperature of the

torrefaction process is 3480C, when the oil palm shells no longer smoke and the residence

time is 105 minutes). Observation on the temperature and the residence time of coconut

shell restriction on the smoke condition of the resulted palm oil charcoal shaping that occurs, as

an indicator, it is known that the palm oil charcoal shaping process follows the typical graph

of biomass stages with torrefaction process shown in Figure 1 as followed: heating stage,

drying stage, post-drying stage, torrefaction stage and cooling stage.

Keywords: palm kernel shells, torrefaction, palm kernel shells charcoal

PENDAHULUAN

Pada tahun 2015, luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai 10.701.436 Ha, dengan rincian perkebunan kelapa sawit rakyat 4.810.271 Ha, perkebunan kelapa sawit milik BUMN 704.094 Ha dan perkebunan kelapa sawit swasta 5.207.071 Ha

(Statistik Perkebunan Indonesia, Kelapa Sawit 2013 – 2015, Ditjend Perkebunan, 2014).

Menurut Perdamaian (2008), basis satu ton tandan buah segar kelapa sawit akan menghasilkan 20% - 23 % Crude Palm Oil (CPO), dan 5 % - 7 % Palm Kernel Oil (PKO) dan sisanya berupa

Pembuatan arang…….. (Zainal Abidin)

14

Struktur Hemiselulose (%)

limbah padat yaitu 20 % - 23 % tandan kosong kelapa sawit, 10 % - 12 % serat buah kelapa sawit dan 7 % - 9 % cangkang kelapa sawit.

Menurut Naibaho (1996), setiap Pabrik Kelapa Sawit (PKS) harus

padatan dapat dikonversi menjadi arang cangkang kelapa sawit.

Tabel 1. Karakteristik Kimia Cangkang

Kelapa Sawit Sifat-sifat Parameter Nilai (%)

dilengkapi boiler sebagai pembangkit uap. Uap yang dihasilkan dari boiler tersebut digunakan untuk keperluan proses

C (%)

H (%)

49,79

5,58

produksi, juga digunakan untuk memutar turbin uap sebagai pembangkit energi tenaga listrik, juga untuk menggerakkan mesin-mesin pengolahan CPO,

Unsur Kimia O (%) 34,06 N (%) 0,72 S (%) < 0,08

Cl (ppm) 89

penerangan di lingkungan PKS dan lainnya.

Karbohidrat Selulose (%)

26,16 6,92

Bahan bakar yang digunakan untuk boiler tersebut adalah limbah padat buah kelapa sawit seperti yang tersebut diatas, yaitu serat buah kelapa sawit dan cangkang kelapa sawit. Konsumsi bahan bakar untuk boiler dari PKS dengan kapasitas olah adalah 30 ton tandan buah segar per jam, adalah 3,8 ton/jam serat buah kelapa sawit dan 1,5 ton/jam cangkang kelapa sawit. Dari hasil proses produksi PKS dengan kapasitas 30 ton tandan buah segar per jam akan diperoleh limbah padat 3,0 ton/jam - 3,6 ton/jam serat buah sawit dan 2,1ton/jam - 2,7 ton/jam cangkang kelapa sawit. Kalau dirata-ratakan sekitar 3,3 ton/jam serat buah kelapa sawit dan 2,4 ton/jam cangkang kelapa sawit. Pemakaian serat buah kelapa sawit sebagai bahan bakar boiler adalah maksimal, artinya semua serat buah kelapa sawit terpakai untuk bahan bakar boiler. Sedangkan konsumsi cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar boiler adalah 1,5 ton/jam, yang mana sewaktu diumpankan ke dapur pembakaran boiler dilakukan bersamaan dengan serat buah kelapa sawit. Artinya masih lagi tersisa sekitar 0,9 ton/jam cangkang kelapa sawit. Apabila PKS dioperasikan selama 24 jam, maka akan diperoleh sekitar 21,6 ton/jam cangkang kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.

Cangkang kelapa sawit adalah merupakan biomassa yang terbentuk dari hasil foto sintesis butir-butir hijau daun yang bekerja sebagai sel surya yang menyerap energi sinar matahari dan mengkonversi karbon dioksida dengan air menjadi suatu senyawa kimia yang terdiri atas karbon, hidrogen dan oksigen. Senyawa kimia tersebut dalam bentuk

Sumber: Ndoke in Okroigwe, 2014

Cangkang kelapa sawit baik digunakan sebagai bahan bakar ataupun arang karena memiliki bahan lignoselulosa yang tinggi. Kemudian mempunyai berat jenis yang lebih tinggi dari kayu, yaitu 1,4 gr/cm

3.

Menurut Nur (2014), proses torefaksi merupakan proses pemanggangan/ penyangraian bahan baku bioenergi (biomassa) dengan suhu yang

terkendali dan tetap dikisaran suhu 2200C

sampai dengan 3500C. Proses torefaksi

ini membawa perubahan karakteristik struktur biomassa tersebut, menjadi arang yang keras dan ulet. Menurut Hardianto (2011), pada proses pirolosis produk yang dihasilkan dapat berupa gas, cairan dan padatan (arang). Proses pirolisis pada temperatur relatif rendah yang menghasilkan produk utama berupa padatan, dikenal dengan nama proses torefaksi. Menurut (Felfi dalam Azhar, 2009), menjelaskan bahwa torefaksi (torrefaction) adalah pengolahan secara termal terhadap biomassa pada suhu

2300C sampai dengan 280

0C pada

keadaan tanpa udara dan dalam waktu yang singkat. Menurut Azhar (2009), biomassa yang telah mengalami proses torefaksi akan memberikan beberapa keuntungan antara lain adalah kandungan airnya rendah, sedikit mengeluarkan asap dan nilai panasnya meningkat.

Usaha untuk meningkatkan nilai kalor biomassa agar bisa setara dengan batu bara salah satunya adalah dengan proses karbonisasi temperatur rendah atau disebut proses torefaksi. Karbonisasi atau pengarangan sudah dikenal cukup luas untuk proses pembuatan arang . Sementara torefaksi adalah suatu proses

termokimia pada suhu 2000C sampai

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 14-20

15

Hemiselulosa Selulosa Lignin Sumber

1. 225-325 305-375 250-500 Shafizadeh (1985) 2. 250-350 300-430 250-550 Kaveendura et al (1998)

3. 200-400 275-400 250-400 Sorum et al (2001)

4. 220-315 315-400 160-500 Yay et al (2007)

5. 200-260 240-340 280-500 Yokoyama (2008)

6. 227-327 327-407 127-447 Giudicianni et al (2013)

Tabel 2. Kisaran Suhu Untuk Puncak Degradasi Termal Dari Hemiselulosa,

Selulosa dan Lignin

No. Kisaran Suhu Degradasi (oC)

Sumber: Luo (2011)

dengan 320 0C tanpa adanya oksigen dan

tekanan atmosfer dan laju pemanasan partikel yang rendah (lebih kecil dari 50 0C/menit) . Dengan metode torefaksi ini

maka diharapkan akan memperbaiki karakteristik bahan bakar padat seperti peningkatan nilai kalor, menurunkan kadar air, grind ability dan memperbaiki sifat higroskopik (Bergman dalam Syamsiro, 2016).

Torefaksi digunakan sebagai

langkah pengkondisian awal untuk metode konservasi biomassa seperti gasifikasi dan co-firing. Nama lain dari pada proses torefaksi adalah roasting, slow-mild pyrolysis, wood cooking dan high temperature drying. Perlakuan panas yang dilakukan tidak hanya mengubah struktur serat tetapi juga keuletan dari biomassa tersebut. Selama proses torefaksi, biomassa akan mengalami devolatisasi yang menyebabkan berat biomassa menjadi berkurang. Tetapi kandungan energi awal dari biomassa yang telah ditorefaksi tersebut tetap terjaga didalam produk padatannya, sehingga densitas energi dari biomassa menjadi lebih tinggi dibandingkan dari biomassa awal.

Proses torefaksi dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu : 1. Pemanasan awal, yaitu biomassa

dipanaskan sampai tahapan pengeringan tercapai, dimana air yang berada pada bagian luar biomassa mengalami penguapan.

2. Pengeringan, yaitu : a. Pada temperature biomassa

mendekati pengeringan awal (pre-

drying), yaitu 1000C, air yang

dikandung oleh biomassa akan mulai menguap.

b. Pada temperatur biomassa mendekati pengeringan akhir

(post-drying, yaitu 2000C,

kandungan air pada bagian dalam biomassa akan menguap akibat perpindahan kalor pada partikel biomassa tersebut.

3. Torefaksi, yaitu tahapan yang merupakan inti dari keseluruhan proses torefaksi. Proses torefaksi akan dimulai pada saat temperatur

mencapai suhu 2000C, dan

didefinisikan sebagai temperatur konstan maksimum. Disini material biomassa akan mengalami pengurangan berat.

4. Pendinginan, biomassa yang telah mencapai temperatur torefaksi, akan didinginkan menuju temperatur akhir, yaitu temperatur kamar.

Mekanisme dari torefaksi didasarkan

kepada reaksi dari 3 komponen utama biomassa, yaitu hemiselulosa, selulosa dan lignin. Jika temperatur biomassa

mencapai 200 0C, maka hemiselulosa

akan mengalami devolatisasi secara terbatas dan pengarbonan (biomassa mulai berwarna kecoklatan). Jika devolatisasi dilanjutkan pada temperatur 250

0C sampai dengan 260

0C , maka

lignin dan selulosa sedikit mengalami dekomposisi yang tidak menyebabkan kehilangan berat biomassa secara signifikan.

Perbedaan reaksi pada hemiselulosa, selulosa dan lignin yang menghasilkan 2 (dua) daerah torefaksi, yaitu :

Pembuatan arang…….. (Zainal Abidin)

16

Gambar 1. Grafik Tipikal Tahapan Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi

Sumber: Nhuchhen,(2014) dan Luo, (2011).

a. Torefaksi ringan dengan

temperatur dibawah 240 0C dan

ditandai oleh dekomposisi yang signifikan dari hemiselulosaa.

b. Torefaksi berat yang terjadi diatas

temperatur 2700C yang ditandai

dengan dekomposisi dari selulosa dan lignin.

(Sumber: Jupar, 2013)

Arang cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar padat didefinisikan sebagai bahan organik yang dapat digunakan untuk menghasilkan panas melalui proses pembakaran,maka tinggi – rendahnya temperatur hasil pembakarannya tergantung pada nilai kalori suatu tipe bahan bakar padat yang digunakan. Bahwa bahan bakar padat dengan nilai kalor lebih kecil dari nilai kalori kayu bakar (wood fuels) dapat dianggap sebagai bahan bakar padat berkalori rendah (low-calorific value solid fuel) dan sebaliknya untuk bahan bakar padat lebih besar dari nilai kalori kayu bakar dapat dianggap sebagai bahan bakar padat berkalori tinggi (high-calorific value solid fuel). Oleh karena itu untuk bahan bakar berkalori rendah perlu dilakukan suatu teknik pencampuran bahan bakar padat (solid fuel blending technique), yang dapat dilakukan untuk memperoleh bahan bakar padat

campuran dengan nilai kalori yang sesuai dengan spesisifikasi nilai kalori dari bahan bakar padat rancangan yang diinginkan. Sedangkan metode pembakaran dari bahan bakar padat terbagi atas 2 (dua) tipe bahan bakar padat yang berbeda (co-firing system), yaitu 1. Hasil campuran dari beberapa jenis bahan bakar padat, yang dibakar secara bersamaan melalui satu saluran (burner) pada suatu tungku pembakaran (furnace); 2. Bahan bakar padat yang dibakar, terpisah melalui masing-masing saluran (burner) pada suatu tungku pembakaran (furnace) (Munir, 2008).

METODOLOGI PENELITIAN

a. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah cangkang kelapa sawit yang diperoleh dari limbah PKS PTPN-2 Padang Brahrang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

b. Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan untuk pembuatan arang cangkang kelapa sawit terdiri atas kuali besi, kompor, wadah-wadah penampung, sudip, thermometer dan timbangan,

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 14-20

17

1. 0 32 Normal 2. 5 44 Normal 3. 10 95 Mulai berasap 4. 15 95 Asap tipis 5. 16 95 Asap bertambah

6. 17 95 Asap bertamba banyak

7. 18 95 Mulai mengepul 8. 19 95 Asap Mengepul

9. 21 114 Asap Mengepul 10. 24 125 Asap Mengepul 11. 27 156 Asap Mengepul 12. 30 179 Asap Mengepul 13. 32 202 Asap Mengepul

c. Pembuatan Arang Cangkang Kelapa Sawit

Percobaan pembuatan arang cangkang kelapa sawit, dilakukan seperti yang tertera pada gambar dibawah ini, yaitu

Cangkang Kelapa Sawit

Dijemur dibawah Sinar

menjadi bara. Oleh karena itu harus dilakukan pembakaran tertutup agar tidak terjadi oksidasi dengan O2 dari udara, yang menyebabkan arang cangkang kelapa sawit dapat berubah menjadi abu.

Tabel 3. Temperatur dan Waktu Tinggal Arang Cangkang Kelapa Sawit Sawit

Pada Proses Torefaksi Cangkang Kelapa Sawit

Matahari Sampai Kering

Penimbangan

Torefaksi Diudara Terbuka

Sampai Asapnya Habis

Didinginkan

No.

Waktu Pengamatan (menit ke-)

Suhu (oC)

Keadaan Cangkang

Kelapa Sawit

h

Arang Cangkang Kelapa Sawit

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan

Arang Cangkang Kelapa Sawit Dengan Proses Torefaksi

HASIL DAN PEMBAHASAN

14. 34 262 Asap

mulai menipis

15. 37 320 Asap menipis

16. 45 348 Asap habis Arang Cangkang

Dari percobaan pembersihan kotoran

yang melekat pada cangkang kelapa sawit (tanah, pasir) diperoleh rendemen

17 105 32 Kelapa Sawit Sudah Dingin

rata-rata adalah 95%. Dari torefaksi cangkang kelapa sawit diperoleh rendemen rata-rata adalah 38,20% (suhu

terakhir torefaksi adalah 3480C, pada saat

cangkang kelapa sawit, tidak lagi mengeluarkan asap).

Hasil pengamatan temperatur dan waktu pengamatan terhadap kondisi asap yang keluar sebagai indikator proses pengarangan cangkang kelapa sawit dengan proses torefaksi diberikan di Tabel 3.

Berbeda caranya pengarangan cangkang kelapa sawit antara proses torefaksi dan pembakaran tertutup. Pengarangan cangkang kelapa sawit dengan proses torefaksi dilaksanakan di udara terbuka dan selama proses torefaksi tidak terjadi/ muncul api ataupun bara, ini dapat saja terjadi karena

suhunya masih rendah (348OC).

Sedangkan pembakaran tertutup, cangkang kelapa sawit dibakar sehingga

Pada proses torefaksi cangkang kelapa sawit, sebagai biomassa yang mengandung lignoselulosa akan terdekomposisi berdasarkan senyawa penyusunnya. Menurut Jupar et.al (2013), proses torefaksi adalah proses termo

kimia pada suhu 2000C sampai dengan

3200C tanpa adanya oksigen dan laju

pemanasan partikel lebih kecil dari

500C/menit. Dari penelusuran literatur

dapat diketahui bahwa setiap biomassa, mempunyai kandungan lignoselulosa yang berbeda satu dengan lainnya.

Dari Tabel 2, diketahui kisaran temperatur puncak degradasi termal dari hemiselulosa, selulosa dan lignin, berbeda satu dengan lainnya. Proses torefaksi adalah roasting (penyangraian) ataupun slow-mild pyrolysis (pirolisis lambat-ringan), Kalau dipilih pengertian proses torefaksi adalah penyangraian, maka untuk memudahkan pengamatan proses torefaksi, maka digunakan asap

Pembuatan arang…….. (Zainal Abidin)

18

yang terjadi pada proses pengarangan sebagai indikator untuk mengamati keadaan cangkang kelapa sawit yang sedang disangrai dengan mengukur temperatur cangkang kelapa sawit yang sedang disangrai dan menetapkan waktu tinggal cangkang kelapa sawit yang sedang disangrai, seperti hasilnya yang terlihat pada Tabel 3.

Berdasarkan Grafik Tipikal Tahapan Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi (Gambar 1) dan dari data- data Tabel 3, dengan asap yang terjadi dari proses torefaksi sebagai indikator untuk menentukan tahapan pengarangan yang terjadi pada proses torefaksi adalah seperti berikut : a. Tahapan Heating dari menit ke 0

sampai menit ke 3 dengan temperatur 32

0C (temperatur kamar)

sampai dengan temperatur 950C,

b. Tahapan Drying dari menit ke 3 sampai menit ke 19 dengan

temperatur 950C sampai dengan

temperatur 950C,

c. Tahapan Post Drying dari menit ke

19 sampai menit ke 37 dengan temperatur 95

0C sampai dengan

temperatur 3200C,

d. Tahapan Torrefaction dari menit ke 37 sampai menit ke 45 dengan temperatur 320

0C sampai dengan

temperatur 3480C,

e. Tahapan Cooling dimulai dari menit ke 45 sampai menit ke 105 dengan

temperatur 3480C sampai dengan

temperatur 320C (temperatur kamar).

Dari hasil percobaan pembuatan arang cangkang kelapa sawit dan berdasarkan pengamatan temperatur dan waktu tinggal ternyata proses pengerjaannya mengikuti Grafik Tipikal Tahapan Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi

Pada proses torefaksi cangkang kelapa sawit, dimana arang cangkang kelapa sawit berhenti mengeluarkan asap

pada suhu 3480C dan waktu proses

pengarangan adalah 105 menit, dinyatakan pengarangan dengan proses torefaksi telah selesai dimana rendemen pengarangan rata-rata adalah 38,20 %. Menurut Nasution (2012), arang cangkang kelapa sawit hasil torefaksi (penyangraian), adalah merupakan bahan bakar padat berkalori rendah. Menurut Syamsuro et.al (2016), bahan bakar padat biomassa selalu mempunyai densitas

massa dan energi relatif rendah. Peningkatan kalori biomassa berkalori rendah dapat dilakukan dengan cara meningkatkan densitas dari biomassa tersebut dan melakukan proses torefaksi untuk meningkatkan nilai energi dari biomassa tersebut.

SIMPULAN

Dari hasil percobaan pembuatan arang cangkang kelapa sawit dengan proses torefaksi cangkang kelapa sawit, dapat disimpulkan seperti berikut : Dari hasil percobaan pembuatan arang cangkang kelapa sawit dengan melakukan pengamatan terhadap temperatur cangkang kelapa sawit dan waktu tinggal cangkang kelapa sawit, dimana asap yang terjadi pada proses penyangraian adalah sebagai indikator keadaan cangkang kelapa sawit, ternyata proses pengerjaannya mengikuti Grafik Tipikal Tahapan Pengarangan Biomassa Dengan Proses Torefaksi, seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Pada proses pengarangan cangkang kelapa sawit, dimana arang cangkang kelapa sawit berhenti

mengeluarkan asap pada suhu 3480C dan

waktu pengarangan adalah 105 menit, dinyatakan proses pengarangan telah selesai dan mengikuti proses torefaksi, dimana rendemen pengarangan rata-rata adalah 38,20 %.

DAFTAR PUSTAKA 1. Apriyanti, S, Budiyanto dan Meizul

Zuki, 2009, Kajian Pemanfaatan Fraksi Berat Hasil Pirolisis Cangkang Sawit (Tar) Sebagai Bahan Perekat Dalam Proses Pembuatan Briket Arang Cangkang Sawit (Abstrak), diakses dari Internet tgl. 20 November 2016.

2. Azhar dan H Rustamaji, 2009, Bahan Bakar Padat Dari Biomassa Bambu Dengan Proses Torefaksi Dan Densifikasi, Jurnal Rekayasa Proses, Vol.3 No.2, hal. 26 – 29.

3. Baserol Hissam,M F Bin,2014,Torrefaction Process :The Effect of Temperature and Residence Time to the Production of Torrified Rubber Wood, Thesis, Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering, Universiti Malaysia,Pahang.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 14-20

19

4. Diputra, IPA, 2010, Studi Karakteristik Pembakaran Cangkang Kelapa Sawit Menggunakan Fluidized Bed Combustion , Skripsi, Prodi Teknik Mesin, Fakultas Teknik,Universitas Indonesia

5. Erikson, A-M, 2012, Torrefaction and Gasification of Biomass,Thesis,Department of Chemical Engineering and Technology, Division of Chemical Tecnnology, KTH Royal Institute of Technology, Stockholm, Sweden.

6. Girard, JP, 1992, Smoking in Technology of Meat and Med Product, Ellis New York: Horword Limited.

7. Halim, MP, Darmadji, R Indrati, 2009, Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Volatil Asap Cair Cangkang Sawit, Agritech, Vol/23 No.3, hal. 117 – 123.

8. Haerdiantio, T A Suwono, A P Pasek dan Amrin, 2011, Balance Energi Pada Proses Torefaksi Sampah Kota Menjadi Bahan Bakar Padat Ramah Lingkungan Setara Batubara Untuk Memperhitungkan Kelayakannya, Prosiding Seminar Nasional Teknik Mesin – X ISBN 978-602-19028-0-6,

Jurusan Teknik Mesin, Universitas Brawijaya, Malang.

9. Jupar P T, A, 2013, Analisa Pengaruh Metode Torefaksi Terhadap Kenaikan Nilai Kalor Biobriket Campuran 75 % Kulit Mete Dan Sekam Padi 25 % Dengan Persentase Berat, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Diponegoro, Semarang.

10. Luo, Xun, 2011, Torrefaction of Biomass (A Comparative and Kinetic Study of Thermal Decomposition of Norway Spruce Stump,Poplala and Fuel Tree Chips), SLU, Swedish University of Agricultural Science, Departement of Energy and Technology, Uppasala.

11. Munir, S, 2008, Peran Sistim Klasifikasi Bahan Bakar Padat Konvensional Hubungannya Dengan Diversifikasi Energi, Jurnal MIMBAR,

Vol.24 N9.1, hal. 69 - 78 12. Naibaho, PM, 1996, Teknologi

Pengolahan Kelapa Sawit, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.

13. Nasution, Z A, 2012, Karakteristik Kimia Arang Cangkang Kelapa Sawit Yang Dihasilkan Dengan

Metode Penyangraian Sebagai Bahan Pembuatan Biomasa, Jurnal Industri Hasil Perkebunan,Vol.7 No.1, hal, 1 – 7.

14. Nhuchhen, D R, P Peau and B Acharya, 2014, A Comprehensive Review on Biomass Torrefaction, International Journal of Renewable, International Journal of Renewable Energy and Biofuels,

15. Nur, M Syukri, 2014, Karakteristik Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Bioenergi, PT. Insan Fajar Mandiri Nusantara, Bogor.

16. Okroigwe, EC, CM Saffran and PD Kamdem, 2014, Characterization of Palm Kernel Shells For Materials Reinforcement and Water Treatment, Journal of Chemical Engineering and Material Science.

17. Pardamean, M, 2008, Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit, Cetakan Pertama, Pustaka Agromedia, Jakarta.

18. Schorr, C, M Muinnonen and F Nurnimen, 2012, Torrefaction of Biomass, OSKE, Centre of Exprtise Programme.

19. Syamsiro, M, 2016, Peningkatan Kualitas Bahan Bakar Padat Biomassa Dengan Proses Densifikasi Dan Proses Torefaksi, Jurnal Mekanik dan Sistem Termal, Vol.1 No.1, hal. 7 – 13.

20. Vincent, S S, 2013, Investigation of Torrefaction Process Parameters on Biomass Feed-Stock and CO2 Gasification of Torrefied and Pyrolysed Bio-Char, Thesis, Department of Chemical and Petroleum Engineering, University of Calgary, Alberta.

21. Yokoyama, S, 2008, The Asian Biomass Handbook : A Guide for Biomass Production and Uttilization, The Japan Institute Energy.

Pembuatan arang…….. (Zainal Abidin)

20

FORMULASI MINUMAN INSTAN COKELAT SEBAGAI MINUMAN IMUNOMODULATOR

Formulation of Instant Chocolate Drinks as Immunomodulator Drinks

Rosniati, Muh. Ruslan Yunus dan Kalsum e-mail : [email protected]

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No. 28, Makassar 90231

Abstract : Instant chocolate drinks, as immunomodulator drinks, were developed

from the instant chocolate - ginger drink of Rosniati, as a functional drink (2011).

Drinks were formulated from 55 % sucrose, 30 % cocoa powder (processed from

non – fermented and non roasted cocoa beans), and 15 % non – dairy creamer, in

(w/w), as A formula, and the other from 55 % sucrose, 30 % cocoa powder

(processd from non – fermented and non – roasted cocoa beans), and 15 % instant

soy powder, in (w/w), as B formula. Preparation of drinks also used co-crystallization

technique. Of the two formulas, the B formula (combination of cocoa powder and instant

soy powder), in the in-vivo tests, showed better in immunomodulation effects. Indeed, at a

dose of 39 (mg/kg of mice weight), the B formula had non specific immune response

with phagocytic index of 2.042 (strong), primary antibody titer of 1 : 384 and secondary

antibody titer of 1 : 768, as humoral immune response, and IFN- γ of 1,436,360.14

(pmol) and IL-2 of 941.30 (pmol), as cellular immune response, all above the control

drink values.

Key words: instant chocolate drink, immunomodulator, non-fermented, non-roasted

cocoa beans, instant soy powder .

Abstrak. Minuman instan cokelat sebagai minuman imunomodulator, dikembangkan dari

minuman cokelat-jahe instan dari Rosniati, sebagai minuman fungsional (2011).

Minuman imunomodulator diformulasi dari bubuk kakao 30% (diolah dari biji kakao

tanpa fermentasi dan tanpa sangrai), gula sukrosa 55%, dan non-dairy creamer 15%

(b/b), sebagai formula A, dan dari bubuk kakao 30% (diolah dari biji kakao tanpa

fermentasi dan tanpa sangrai, gula sukrosa 55%, dan bubuk kedelai instan15% (b/b),

sebagai formula B. Penyiapan produk minuman ini juga menggunakan teknik ko-

kristalisasi. Dari kedua formula minuman imunomodukator, formula B (kombinasi bubuk

kakao dengan bubuk instan kedelai) memberikan efek imunomodulasi yang lebih tinggi.

Bahkan pada pemberian dosis 39 (mg/kg berat mencit), secara in vivo, menghasilkan

respon imun non spesifik dengan indeks fagositik 2,042 (kuat), titer antibodi primer

1:384 dan titer antibodi sekunder 1:768, sebagai respon imun humoral, dan IFN-γ

sebesar.436.60,14 (pmol) dan IL-2 sebesar 941,30 (pmol), sebagai respon imun selular,

yang semuanya berada diatas nilai kontrol.

Kata kunci: minuman cokelat instan, imunomodulator, biji kakao tanpa fermentasi dan

tanpa sangrai, bubuk kedelai instan.

Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)

21

PENDAHULUAN

Lingkungan di sekitar

manusia mengandung berbagai

jenis unsur patogen, seperti

bakteri, virus, fungi, protozoa

dan parasit yang dapat

menyebabkan infeksi pada

tubuh manusia. Infeksi yang

terjadi, umumnya singkat dan

jarang meninggalkan kerusakan

permanen, disebabkan karena

tubuh manusia memiliki sistem

imun yang melindungi tubuh

terhadap unsur-unsur patogen

tersebut (Roit et al, 1993).

Namun seiring dengan

bertambahnya usia, sistim imun

tersebut akan menurun. Salah

satu upaya untuk

mempertahankan sistim imun

dalam tubuh adalah dengan

mengonsumsi makanan atau

minuman yang mempunyai efek

imunomodulasi.

Imunomodulator adalah

sejenis senyawa tertentu yang

dapat meningkatkan pertahanan

tubuh baik secara non-spesifik

maupun secara spesifik, melalui

mekanisme imun atau

pertahanan seluler atau humoral.

Imunomodulator berfungsi untuk

memperbaiki sistim imun tubuh

dengan cara mengembalikan

fungsi sistim imun

(imunorestorasi), menstimulasi

(imunostimulan) imun yang

terganggu, atau menekan

(menormalkan) reaksi

(imunodepresan) imun yang

mengalami kondisi abnormal

(Subowo, 2009).

Mengingat manfaat positif

dari kakao (Theobroma cacao L)

yang kaya akan senyawa fenolik,

sebagai makanan atau minuman

cokelat terhadap kesehatan

tubuh telah banyak diketahui,

seperti dapat mencegah dan

mengurangi resiko penyakit

jantung dan kanker (Corti et al.,

2009, Wong dan Lua, 2012, dan

Khan et al., 2014), meningkatkan

sensitivitas insulin, menurunkan

resistensi insulin, dan

menurunkan tekanan darah

sistolik (Grassi et al., 2005),

namun efek imunomodulasinya

baik dalam bentuk ekstrak atau

dalam bentuk makanan atau

minuman cokelat, belum banyak

dilaporkan (Suardita et al., 2014).

Efek imunomodulasi suatu

sediaan atau produk jadi, secara

praklinis ditentukan melalui uji

respon imun non - spesifik dan

respon imun spesifik secara in

vivo dengan menggunakan

hewan coba. Respon imun non-

spesifik diantaranya dapat

ditentukan berdasarkan uji

bersihan karbon dan indeks

fagositik retikuloendotelium,

sedangkan respon imun spesifik

berdasarkan uji titer antibodi

(sebagai respon imun humoral)

dan sitokin (sebagai respon imun

selular) (Faradilla, dan Iwo,

2014).

Terkait dengan efek

imunomodulasi kakao ini,

penelitian yang dilakukan oleh

Suardita et al., (2014) adalah

sebatas pada efek ekstrak etanol

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33

22

pengukuran aktifitas dan Bahan yang digunakan

kapasitas fagositosis sel pada pembuatan minuman instan

makrofag

yang

peritoneum

diinfeksi

mencit

bakteri cokelat sebagai

imunomodulator, me

minuman

liputi biji

biji kakao (sebagai sediaan) pada

produksi sitokin, senyawa

ekstraseluler yang dapat

mempengaruhi aktifitas sistim

imun. Hal ini diperoleh dari hasil

bubuk kedelai instan maupun

dengan non dairy creamer.

METODOLOGI

Bahan dan Alat

Staphylococcus epidermidis.

Indeks fagositik ekstrak etanol

tidak dilaporkan.

Tanaman lain yang memiliki

respon imun yang cukup tinggi,

adalah kedelai (Glycinemax),

dalam hal ini biji kedelai yang

kaya akan isoflavon yang

merupakan subkelas dari

flavonoid. Pada penelitiannya,

Fihiruddin (2013) melaporkan

bahwa susu kedelai memiliki

aktifitas imunostimulan pada

respon imun humoral, dan tidak

pada respon imun seluler. Hasil

ini diperoleh melalui pengukuran

imonoglobulin (IgG) dan

proliferasi sel limfosit mencit

yang diinduksi hepatitis B.

Atas dasar tersebut diatas,

pada penelitian ini, dilakukan

formulasi minuman instan cokelat

dari biji kakao tanpa fermentasi

dan tanpa sangrai sebagai

minuman imunomodulator.

Formulasi dilakukan dengan dan

tanpa kombinasi dengan bubuk

kedelai instan.

Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui efek

imunostimulasi minuman cokelat

baik yang diformulasi dengan

kakao dari Kabupaten Bantaeng,

biji kedelai, gula sukrosa, non-

dairy creamer dan kemasan

kantong aluminium foil dari

swalayan di Makassar.

Bahan untuk uji efek

imunomodulasi minuman instan

cokelat, meliputi koloid karbon,

aquades, larutan Alsever, sel

darah merah domba, ovalbumin

(Sigma grade), Zymosan A

(Sigma grade), natrium klorida

steril bebas pirogen, kit penentu

titer interferon gama mencit

(Mouse interferon gamma Elisa

Ready Set Go, eBioscience),

gelatin, dan asam asetat.

Alat proses yang digunakan

pada penelitian ini terdiri dari alat-

alat untuk penyiapan biji kakao

tanpa fermentasi (palu pemecah

buah, depulper dan para-para

penjemuran biji kakao), alat

penyiapan bubuk kakao (pemisah

kulit ari, universal conching

machine, alat pengempa lemak

kakao, mesin pembubuk kakao

dan pengayak bubuk kakao), dan

alat pembuatan minuman instan

cokelat (alat ko-kristalisasi,

timbangan digital, dan mixer).

Alat uji efek

imunomodulasi minuman instan

Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)

23

cokelat meliputi spektrofotometer,

inkubator, sentrifuga, mikropipet

berbagai ukuran volume,

mikroskop, multichannel pipet,

alat suntik oral mencit, plat untuk

menentukan HA titer, Elisa

reader, plate washer, dan alat–

alat gelas.

METODE PENELITIAN

Penyiapan kakao bubuk

Biji kakao kering tanpa

fermentasi dan tanpa sangrai,

dikeluarkan kulit arinya. Keping

biji kemudian digiling dengan

menggunakan universal

counching machine kapasitas 25

kg, sehingga diperoleh pasta

kakao. Selanjutnya pasta kakao

dikempa untuk memisahkan

lemak kakao dari bungkil kakao.

Bungkil kakao yang diperoleh

digiling dengan menggunakan

mesin pembubuk kakao

kemudian diayak menggunakan

ayakan ukuran mesh 200.

Penyiapan bubuk kedelai

instan

Biji kedelai utuh direndam

di dalam air dengan

perbandingan kedelai : air = 1:3

(b/v) selama satu malam untuk

melunakkan dan mengurangi

rasa langu biji dan memudahkan

pelepasan kulit ari. Biji kemudian

dicuci dan dilepaskan kulit arinya,

kemudian direbus selama 30

menit untuk melunakkan biji dan

menon- aktifkan kegiatan enzim

lipoksigenase. Biji kemudian

digiling dengan mesin penggiling

atau blender dengan

menambahkan air panas dengan

perbandingan biji kedelai : air =

1:3 ( b/v) untuk memperoleh

bubur kedelai. Bubur kedelai

kemudian disaring untuk

mendapatkan ekstrak, yang

selanjutnya diproses lagi menjadi

bubuk kedelai instan dengan

menggunakan mesin pengering

semprot (spray dryer), pada suhu

inlet 1200 C dan outlet 700 C

(Pramitasari, 2010).

Pembuatan minuman instan

cokelat

Minuman instan cokelat,

sebagai minuman

imunomodulator, dibuat dengan

teknik ko-kristslisasi dengan

menggunakan alat ko-kristalisasi.

Formulasi produk dibuat dalam 2

(dua) formula. Komposisi bahan

penyusun berdasarkan berat

masing-masing bahan adalah

Formula A: gula sukrosa 55 %,

bubuk kakao 30% (diolah dari biji

tanpa fermentasi dan tanpa

sangrai), gula sukrosa 55%, dan

non-dairy creamer 15%, dan

Formula B: bubuk kakao 30%

(diolah dari biji tanpa fermentasi

dan tanpa sangrai), gula sukrosa

55%, dan bubuk kedelai instan 15

%. Perbandingan komposisi gula

sukrosa 55% dan bubuk kakao

30% ini mengacu pada formula

pembuatan minuman instan

cokelat - jahe, sebagai minuman

fungsional, dari penelitian

Rosniati (2011). Hanya disini

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33

24

bubuk kakao diolah dari biji kakao

fermentasi dan sangrai.

Gula sukrosa ditambah

dengan air bersih sebanyak 0,5%

dari berat gula sukrosa

dimasukkan kedalam wadah ko-

kristalisasi, dan kemudian

dipanaskan pada suhu 100° C.

Sambil terus diaduk, larutan gula

dibiarkan mendidih sampai

larutan menjadi jenuh. Setelah

larutan gula menjadi jenuh, suhu

pemanasan diturunkan ke suhu

sekitar 60 o C, kemudian

ditambahkan kakao bubuk dan

non - dairy creamer (atau bubuk

kedelai instan) sampai adonan

berubah ke bentuk butiran kristal

dengan kadar air sekitar 2%.

Selanjutnya butiran - butiran

kristal diangin-anginkan

kemudian digiling menggunakan

mesin giling atau blender untuk

selanjutnya diayak dengan

menggunakan ayakan mesh 60.

Penyiapan suspensi koloid

karbon dan antigen

Suspensi koloid karbon

untuk uji imun non - spesifik

dengan metode bersihan karbon,

dibuat melalui suspensi koloid

karbon 1,6 ml tinta cina pelikan B-

17 ke dalam 8,4 ml gelatin 1%

b/v dalam larutan NaCl bebas

pirogen. Suspensi antigen untuk

uji imun spesifik adalah suspensi

sel darah merah segar domba

(SRBC) yang disentrifus selama

10 menit dengan kecepatan 3000

rpm. Pelet dipisahkan dan dicuci

dengan larutan dapar pospat

sebanyak tiga kali. Dengan

menambahkan NaCl fisiologis

steril bebas pirogen, diperoleh

suspensi SRBC 10 % v/v.

Uji efek imunomodulasi

Uji efek imunomodulasi rninuman

instan cokelat, sebagai minuman

imunomodulator dilakukan

dengan mengacu pada penelitian

Faradilla dan Iwo (2014), yang

meliputi uji respon imun non -

spesifik melalui uji bersihan

karbon oleh sistim

retikuloendotelium (aktifitas

fagositosis, indeks fagositik dan

indeks organ) dan uji respon

imun spesifik (melalui penentuan

titer antibodi sebagai respons

imun humoral dan kadar sitokin

sebagai respon selular). Hewan

coba adalah mencit betina galur

Swiss Webster usia delapan

minggu dengan bobot 24-28

gram, yang diperoleh dari

Laboratorium Perhewanan

Sekolah Farmasi ITB. Pakan

standar (zymosan A) sebagai

pembanding, dan aquades

(sebagai minuman kontrol)

diberikan berlebih.

Pada uji respon imun non-

spesifik, minuman instan cokelat

diberikan pada mencit secara oral

dengan volume pemberian 1

ml/20 gram, dalam dua dosis 39

mg/kg dan 19,5 mg/kg bb mencit

setiap hari selama 7 hari berturut-

turut. Pada hari ke-8, disuntikkan

partikel asing koloid karbon

secara intravena (0,1 ml/10 gr bb

mencit). Sampel darah mencit

Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)

25

setelah penyuntikan koloid

karbon.

Pada

uji respon

imun

diambil sebelum dan pada menit

ke-5 (T5), dan menit ke-15 (T15)

spesifik, minuman instan cokelat

diberikan pada mencit secara oral

setiap hari selama 10 hari

dengan dosis yang sama pada uji

imun non-spesifik. Suspensi

SRBC 1x 106 sel/ml, disuntikkan

pada mencit secara

intraperitoneal, dimulai pada hari

ke-3 pemberian minuman instan.

Untuk uji titer antibodi primer,

sampel darah mencit diambil

pada hari ke-7 imunisasi. Untuk

uji titer antibodi sekunder,

suspensi SRBC kembali

disuntikkan pada mencit, Sampel

darah mencit diambil pada hari

ke-7 setelah imunisasi yang

kedua (Faradilla dan Iwo, 2014).

Pada uji respons imun

selular, minuman cokelat

diberikan pada mencit seperti

pada uji terhadap respons imun

humoral. Pada end point

pengujian, mencit dikorbankan

dengan menggunakan gas CO2.

Selanjutnya segera darah mencit

diambil dengan cara punksi

jantung dan serumnya dipisahkan

dengan cara sentrifuga dengan

kecepatan 12.000 rpm. Kadar

interferon gama dan IL-2

ditentukan dengan menggunakan

kit Elisa untuk IFN γ dan IL-2

mencit (Faradilla dan Iwo, 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecepatan eliminasi dan

indeks fagositik sistem

retikuloendotelial mencit setelah

pemberian sampel minuman

instan cokelat formula A dan B

dapat dilihat pada Tabel 1.

Dari Tabel 1 dapat dilihat

bahwa kecepatan eliminasi

partikel karbon oleh sistem

retikuloendotelium mencit pada

pemberian kelompok minuman

instan cokelat formula A dan B

(>0.024), lebih tinggi

dibandingkan dengan kecepatan

eliminasi karbon pada pemberian

minuman kontrol (0.024±0.019).

Hal ini lebih diperjelas pada

indeks fagositik partikel karbon

pada kelompok mencit yang

diberi minuman cokelat formula

A dan B lebih besar dari indeks

fagositik pada kontrol.

Menurut Wagner (1989)

dalam Faradilla dan Iwo (2014),

jika indeks fagositik sediaan uji

memiliki nilai kurang dari 1,

menunjukkan sediaan tersebut

tidak bersifat imunostimulasi,

indeks fagositik antara 1-1,5

menunjukkan efek imunostimulasi

sedang, dan indeks fagositik lebih

dari 1,5 menunjukkan efek

imunostimulasi kuat. Semakin

meningkatnya indeks fagositik

pada uji bersihan karbon

menunjukkan adanya

peningkatan aktivitas fagositosis

dari makrofag dan peningkatan

imun non-spesifik.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33

26

Tabel 1.Kecepatan eliminasi dan indeks fagositik sistem retikuloendotelial mencit setelah

pemberian sampel minuman instan cokelat formula A dan B.

Kel

. Uji

Dosis

(mg/kg

bb)

OD

Ln OD

Kecepatan

eliminasi

Indeks

fago-

sitik T0 T5 T15 Ln T5 Ln T15

FA

19.5

0.055±0.006

0.144±0.066

0.103±0.029

2.003±0.443

2.301±0.293

0.030±0.019

1,250

39

0.057±0.003

0.144±0.026

0.103±0.023

1.949±0.181

2.292±0.247

0.034±0.012

1,417

FB

19.5

0.058±0.005

0.179±0.009

0.129±0.015

1.719±0.049

2.050±0.116

0.033±0.015

1,375

39

0.059±0.001

0.182±0.058

0.126±0.022

1.736±0.317

2.085±0.180

0.049±0.005

2,042

ZA

10

0.057±0.005

0.177±0.006

0.127±0.004

1.730±0.036

2.066±0.028

0.034±0.005

1,417

K 0 0.059±0.003 0.198±0.012 0.158±0.030 1.625±0.124 1.861±0.204 0.024±0.019 1,000

Dosis pemakaian pada manusia (1x dosis = 300 mg) ekivalen dengan dosis 39mg/kg bb mencit. Ket : FA: Formula A, FB : Formula B, ZA : Zymosan A, dan K : Kontrol.

Berdasarkan klasifikasi

efek imunostimulasi tersebut,

maka minuman instan cokelat

formula A pada dosis 19,5 dan

39 mg/kg bb, dan formula B pada

dosis 19,5 mg/kg bb,

menunjukkan efek imunostimulasi

sedang, sedangkan minuman

instan cokelat formula B,

(kombinasi bubuk kakao dan

bubuk kedelai instan) pada dosis

39 mg/kg bb, menunjukkan efek

imunostimulasi kuat dengan

indeks fagositik 2,042 (Tabel 1).

Namun demikian hasil uji

bersihan karbon dan indeks

fagositik masih menunjukkan

bahwa pada kedua dosis

minuman instan cokelat, baik

formula A maupun formula B,

dapat meningkatkan aktivitas

makrofag. Zymosan A digunakan

sebagai pembanding, dimana zat

ini bersifat imunostimulasi.

Kadar karbon dalam darah

mencit

Hasil uji respon imun non-

spesifik dengan metode

bersihan karbon (carbon

clearence), dalam hal ini sisa

karbon di dalam darah mencit

sebelum dan pada menit ke-5

dan ke-15 setelah induksi koloid

karbon untuk kelompok uji

formula A disajikan pada

Gambar 1a, sedangkan untuk

kelompok uji formula B disajikan

pada Gambar 1b.

Gambar. 1a. Kadar sisa karbon

dalam darah mencit sebelum dan setelah pemberian sampel minuman

instan cokelat (Formula A)

Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)

27

Gambar 1b. Kadar karbon dalam darah mencit sebelum dan setelah pemberian sampel minuman instan cokelat (Formula B).

Dari Gambar 1a dan 1b, pada

menit ke-15 (T15) terjadi

penurunan kadar sisa karbon di

dalam darah mencit setelah

induksi koloid karbon

dibandingkan dengan sebelum

induksi koloid karbon untuk

semua kelompok uji. Kadar

karbon akan berkurang

jumlahnya di dalam darah seiring

pertambahan waktu, karena

adanya peristiwa fagositosis oleh

sel-sel leukosit terutama neutrofil,

monosit, makrofag dan eosinofil

(Baratawidjaya, 2009).

dan B.

Tabel 2.Indeks organ mencit setelah pemberian minuman instan cokelat formula A

Kel. Uji

Dosis (mg/kg bb)

Indeks organ (%)

Hati

Limpa Kelenjar.

Thymus

F A 19.5 5.83±0.95 0.34±0.15 0.42±0.08

39 5.22±0.40 0.31±0.07 0.42±0.04

F B 19.5 5.39±0.31 0.32±0.02 0.45±0.05

39 5.42±0.61 0.33±0.03 0.41±0.01

Z A 10 5.82±0.34 0.43±0.03c 0.43±0.01

K 0 5.63±0.79 0.31±0.04 0.40±0.09

Indeks organ

Hasil penentuan indeks

organ mencit setelah pemberian

sampel minuman instan cokelat

formula A dan B dapat dilihat

pada Tabel 2. Pada Tabel 2,

terlihat bahwa Indeks organ hati

mencit setelah pemberian

minuman instan cokelat formula

A dan B lebih kecil

dibandingkan dengan kontrol

kecuali untuk formula A dosis

19.5 mg/kg bb, tetapi untuk

indeks organ limpa dan kelenjar

thymus secara umum

menunjukkan nilai lebih tinggi

dari nilai kontrol. Secara statistik,

hanya indeks limpa kelompok

minuman pembanding (Zymosan

A) yang bermakna (p<0,01)

dibandingkan terhadap kontrol.

Meskipun organ hati tidak

termasuk limfoid primer atau

sekunder, tetapi hati sangat

berperan dalam system imun

karena mengandung makrofag

terfiksasi yaitu sel-sel kuffer.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33

28

Limpa merupakan organ

limfoid sekunder, selain

mengandung sel limfosit B dan

limfosit T yang berperan pada

proses respon imun spesifik, juga

mengandung sel dendritik dan

makrofag yang berperan sebagai

APC (Antigen Presenting Cell)

yang berfungsi menyajikan

antigen kepada sel limfoid. Limpa

juga merupakan bagian penting

dari sistim retikuloendotelial yang

mengandung limfosit, monosit

dan makrofag (Deng, et al. 2009).

Peningkatan sel-sel imun

tersebut berkorelasi dengan

bobot limpa. Kenaikan bobot

limpa relatif ini menunjukkan

adanya efek minuman cokelat

terhadap aktivitas imunostimulan

(Kresno, 1996). Makrofag organ

hati, limpa dan kelenjar thymus

bertanggung jawab terhadap

proses fagositosis benda asing

untuk pertahanan tubuh baik

dalam imunitas dapatan maupun

bawaan (Deng et al., 2009, dan

Kim et al., 2001).

Menurut Kim et al (2001)

makrofag memiliki peranan

penting pada semua tahap

pertahanan tubuh baik dalam

imunitas dapatan maupun

bawaan. Saat pathogen berhasil

melewati barier epitel, bakteri

pathogen akan difagositosis oleh

makrofag dan didigesti

menggunakan enzim lisosomal.

Efek Minuman instan cokelat

terhadap respon imun humoral

Efek minuman instan

cokelat terhadap respon imun

humoral melalui penentuan titer

antibodi primer dan sekunder

dapat dilihat pada Tabel 3. Titer

antibodi menunjukkan aktifitas

respon imun humoral yang

melibatkan interaksi antara

limfosit B dan antigen yang

mengakibatkan terjadinya

proliferasi dan diferensiasi limfosit

B menjadi sel plasma yang

mensekresikan antibodi

(Dashputre dan Nakwade, 2010).

Antibodi berfungsi sebagai

efektor respon humoral dengan

cara berikatan dengan antigen

dan menetralisir atau

memfasilitasi proses eliminasi

antigen yang lebih mudah

difagositis oleh makrofag

(Dashputre dan naikwade, 2010).

Dari Tabel 3, terlihat bahwa titer

antibodi primer kelompok formula

A dosis 39 mg/kg bb dan formula

B (kombinasi bubuk kakao dan

bubuk kedelai instan) pada dosis

19.5 mg/kg bb dan 39 mg/kg bb,

lebih tinggi dibanding kontrol.

Titer antibodi sekunder kelompok

formula B pada dosis 39 mg/kg

bb lebih tinggi dibanding

kelompok kontrol. Peningkatan

titer antibodi primer menunjukkan

bahwa adanya stimulasi terhadap

limfosit B, limfosit T dan

makrofag. Peningkatan titer

antibodi sekunder menunjukkan

adanya stimulasi terhadap

memori sel B pada proses

pembentukan antibodi (Faradilla

dan Iwo, 2014).

Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)

29

Tabel 3. Efek Minuman Instan Cokelat Terhadap Titer antibody primer dan sekunder.

Kel. Uji

Dosis

(mg/kg

bb)

Titer antibodi

Primer Sekunder

F A

19.5 1:128 1:384

39 1:256 1:512

F B 19.5 1:256 1:512

MP 10 1:32 1:32

K 0 1:192 1:512

Ket : MP :Metil Prednisolon

Tabel 4. Efek Minuman Cokelat Terhadap Kadar Sitokin (IFN –Ý dan IL-2)

Kel. Uji Dosis

(mg/kg bb)

Kadar sitokin (pmol)

IFN-γ IL-2

FA

19.5

49814.5

1241.10

39

714474.76

808.42

FB

19.5

115610.98

1493.97

39 1436360.14 941.30

K 10 516334.69 778.45

Efek Minuman cokelat

Terhadap Respon imun Seluler

Efek minuman cokelat

terhadapa respon imun seluler

melalui penentuan kadar sitokin

(IFN –Ý dan IL-2) dapat dilihat

pada Tabel 4. Kadar sitokin di

dalam darah mencit melalui

pengukuran interferon gamma

(IFN-Ý) dan IL-2, menunjukkan

nilai yang lebih tinggi pada

pemberian minuman instan

cokelat formula B dibandingkan

dengan pemberian formula A.

Formula B (kombinasi bubuk

kakao dan bubuk kedelai instan)

sendiri memberikan kadar sitokin

yang lebih tinggi dari formula A

(tanpa penambaha bubuk

kedelai instan). Fungsi utama

sistim imun seluler adalah untuk

pertahanan terhadap bakteri

intraseluler, virus, jamur, parasite

dan keganasan (Baratawidjaya,

2000).

Menurut Abbas et al

(1996) interferon gamma secara

simultan mempromosikan imunits

seluler melalui pembentukan sel-

sel Th 1. Sedangkan penelitian

yang dilakukan oleh Saifulhaq

(2009) menunjukkan bahwa

senyawa flavonoid dapat

meningkatkan produksi IL-2 dan

meningkatkan proliferasi limfosit.

Proliferasi limfosit T yang

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33

30

2. Baratawidjaja, K.G, 2000. Hollenberg, N.K; & Luscher,

Imunologi Dasar. Balai T.F. 2009. Cocoa and

dirangsang oleh antigen,

terutama diatur oleh pengaruh IL-

2 terhadap reseptor IL-2 yang

dimiliki pada permukaan selnya.

Selain itu, IL-2 juga merangsang

proliferasi dan diferensiasi sel B

dan NK. Flavonoid memiliki efek

imunostimula dengan memacu

produksi IL-2 yang meningkatkan

proliferasi (Middleton et al, 2000).

Lebih kuatnya efek

imunomodulasi pada minuman

instan cokelat formula B

(kombinasi bubuk kakao dan

bubuk kedelai instan)

dibandingkan dengan formula A

(tanpa penambahan bubuk

kedelai instan), menunjukkan

adanya sinergi yang baik antara

senyawa flavonoid pada kakao

dengan senyawa isoflavon pada

kedelai.

SIMPULAN

Formulasi minuman instan

cokelat dari bubuk kakao (diolah

dari biji kakao tanpa fermentasi

dan tanpa sangrai) yang

dikombinasikan dengan bubuk

kedelai instan, menghasilkan

produk minuman instan cokelat

dengan efek imunostimulasi

yang kuat, pada uji in-vivo, yang

ditunjukkan oleh nilai indeks

fagositiknya. Sedangkan yang

diformulasi tanpa penambahan

bubuk kedelai instan (tetapi

dengan non-dairy creamer)

hanya memiliki efek

imunostimulasi sedang, meski

masih dapat meningkatkan

aktivitas makrofag. Hasil uji

terhadap respon imun spesifik,

juga menunjukkan nilai respon

imun humoral dan respon imun

selular yang lebih tinggi pada

minuman instan cokelat yang

diformulasi dari kombinasi bubuk

kakao dan bubuk kedelai instan.

Dibandingkan dengan kontrol

(minuman aquades), minuman

instan cokelat yang diformulasi

tanpa penambahan bubuk

kedelai instan,masih memilik

nilai respon imun spesifik yang

lebih tinggi, khususnya pada

dosis 39 mg/kg bb mencit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas, S.K., K.M. Murphy,

dan S. Sher (996), Functional

Diversity of Helper T,

lymphocytes Nature 383: 787-

793.

3. Bratawidjaja, K.G dan

Rengganis, I , 2009.

Imunologi Dasar, Edisi VIII.

Jakar : Penerbit Universitas

Indonesia.

4. Corti, R; Flammer, A.J;

Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia,

Jakarta.

cardiovascular health.

Contemporary Reviews in

Cardiovascular Medicine.

Circulation 119, 1433 – 1441.

Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)

31

DOI :

10.1161/CIRCILATIONAHA

108.827022.

5. Dashputre N.L dan Nakwade,

2010. Immunomodulatory

Activity of Abutilon Indicum

Linn on Albino Mice.

International Journal of

Pharma Science& Research.

1 (3) : 178 -184.

6. Deng X, Wu F, Liu Z, Luo M,

Li L, Ni Q. 2009. The toxicity

of water soluble multi-walled

carbon nanotubes in mice.

Carbon. 2009. 47: 1421-28.

7. Faradilla, M dan Immaculata

Iwo, M. 2014. Efek

Imunomodulator Polisakarida

Rimpang Temu Putih. Jurnal

Ilmu Kefarmasian Indonesia,

ISSN 1693 – 1831, hal. 273-

278.

8. Fihiruddin, 2013. Pengaruh

pemberian susu kedelai

terhadap respon antibody dan

poliferasi sel limposit pada

mencit BABL/C yang diinduski

dengan vaksi hepatitis B.

Media Bina Ilmiah 43. Vol 7

(5). ISSN.No. 1978 – 3787.

9. Grassi, D. C. Lippi, S.

Necozione, G. Desideri, and

C. Ferri. 2005. Short-term

administration of dark

chocolate is followed by a

significant increase ininsulin

sensitivity and a decrease in

blood pressure in healthy

persons American Journal of

Clinical Nutrition. ( 81 ) : 611-

614.

10. Khan , N; Khymenets, O; Urpi-

Sarda, M; Tulipani, T ; Gracia

– Aloy, M ; Monagas, M ;

Mora-Cubillos, X; Llorach, R &

Andres-Lacueva, C, 2014.

Cocoa polyphenols and

inflammatory markers of

cardiovascular 2072- 6643.

DOI : 10.3390/nu6020844.

11. Kim KI, Shin KS, Jun WJ,

Hong BS, Shin DH, Cho HY.

2001. Effects of

polysaccharides from

rhizomes of Curcuma

zedoaria on macrophage

functions. Biotechnol

Biochem. 2001. 65(11): 2369-

777.

12. Kresno, S. B. (1996).

Imunologidiagnosa dan

prosedur laboratorium (edisi

ke-4). Jakarta: Universitas

Indonesia.

13. Middleton, E., Kandaswami

C., dan Theoharides T.C.

2000. The Effect of Plant

Flavonoids on Mammalian

Cells: Implications for

Inflamation, Heart Disease

and Cancer. Pharmacological

Reviews, 52 (4):673-751

14. Roit IM, Brostoff J, Male J.

1993. Immunology. 3rd ed. St

Louis Mosby Co;

15. Rosniati, 2011. Pengaruh

Suhu Pemanasan Ekstrak

Jahe dan Sukrosa Terhadap

Karakteristik Instan Jahe –

Cokelat. JIHP vol 6 (2) : 51 –

58.

16. Suardita, I.W; D.C, Mufida

dan Misnawi, 2014. Efek

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 21-33

32

Imunomodulasi Ekstrak Etanol

Biji Kakao (Theobroma cocoa

L) Terhadap Aktifitas dan

Kapasitas Fagositosis Sel

Makrofag Peritoneum Mencit

Yang Diinfeksi Bakteri

Staphylococcus epidermis.

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian

Mahasiswa.

http://repository.unej.ac.id/bits

tream/handle/123456789/593

69/I%20Waya.Diakses18

Pebruari 2015.

17. Subowo, 2009, Imunobiologi,

Edisi II, 12-13, 153, Sagung

Seto, Jakarta

18. Wagner, H., and K.

Jurcic,1991. Assay for

Immunomodulation and

Effects on Mediators of

Inflammation, in Methods in

Plant Biochemistry, K.

Hostettmann, (Ed.), Vol. VI,

Academic Press, Toronto.

19. Saifulhaq, M. 2009. Pengaruh

pemberianEkstrak Buah

Mahkota Dewa

DosisBertingkat Terhadap

Proliferasi Limfosit Lien pada

Mencit BALB/C. Biomedika

1.2.33

20. Wong, S.Y, dan PL Lua.

2012. Effects of dark

chocolate consumption on

anxiety, depressive symptoms

and health related quality of

life status among cancer

patients. Health and

Environment Journal (3): 27-

35.

Formulasi Minuman Instan …. (Rosniati)

33

KARAKTERISTIK MUTU BIJI KAKAO (Theobroma cacao L) DENGAN PERLAKUAN WAKTU FERMENTASI BERDASAR SNI 2323-2008

Quality Characteristics Of Cocoa Beans (Theobroma cacao L) With Time Fermentation

Treatment Based on ISO 2323-2008

Melia Ariyanti Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Dr. H. Abdurahman Basalamah No.28 Makassar e-mail: [email protected]

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu biji kakao yang difermentasi 5 dan 6 hari di Belopa, Kab. Luwu Sulawesi Selatan berdasarkan SNI 2323-2008. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah biji kakao dari petani di Dusun Batu Titik Desa Batu Lappa, Belopa Kab. Luwu. Biji kakao yang telah difermentasi selama 5 dan 6 hari kemudian dikeringkan dengan dijemur di bawah sinar matahari, selanjutnya dianalisa di Laboratorium Pengujian BBIHP Makassar. Parameter uji berdasarkan syarat mutu biji kakao SNI 2323-2008 meliputi syarat umum dan syarat khusus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari berukuran 94 dan 95 biji per 100 gram, termasuk golongan A. Berdasarkan syarat umum SNI 2323-2008, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari belum memenuhi syarat mutu untuk kadar air, sedangkan syarat khusus biji belum memenuhi syarat mutu untuk kadar kotoran. Berdasar syarat khusus, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari hasil penelitian dari Kab. Luwu termasuk mutu III. Kata kunci: biji kakao, fermentasi, mutu, SNI 2323-2008. ABSTRACT The aim of this research was to determine the quality of 5 and 6 days fermented cocoa beans in Belopa, Luwu District, South Sulawesi by ISO 2323-2008. Raw materials used in the study was the cocoa beans from farmers in Batu Titik Village Batu Lappa subdistrict, Belopa, Luwu Districts. Cocoa beans fermented for 5 and 6 days dried in the sun, then analyzed in the laboratory testing BBIHP Makassar. Test parameters based on the quality requirements of ISO 2323-2008 cocoa beans include general conditions and special requirements. The results showed that the cocoa bean fermentation for 5 and 6 days measuring 94 and 95 seeds per 100 grams, including class A. Based on the general requirements ISO 2323-2008, fermented cocoa beans 5 and 6 days not yet meet the quality requirements for water content, while the special requirements seeds not meet the quality requirements for the levels of impurities. Based on the special requirements, fermented cocoa beans 5 and 6 days of research result from Luwu Districts including quality III. Key words: cacao beans, fermentation, quality, ISO 2323-2008.

PENDAHULUAN

Biji kakao termasuk hasil

perkebunan yang diekspor dan sangat menguntungkan bagi Indonesia. Namun kualitas biji kakao yang diekspor oleh Indonesia dikenal rendah. Rendahnya mutu kakao Indonesia ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain biji kakao Indonesia jarang yang difermentasi terlebih dahulu, padahal mutu biji yang telah difermentasi lebih baik daripada yang belum difermentasi. Selain itu, kakao Indonesia juga mempunyai keunggulan yaitu mempunyai titik leleh tinggi, mengandung lemak kakao dan dapat menghasilkan bubuk kakao

dengan mutu yang baik. Mutu biji kakao juga menjadi bahan perhatian oleh konsumen, dikarenakan biji kakao digunakan sebagai bahan baku makanan atau minuman (Hatmi & Rustijarno, 2012).

Pada akhir tahun 2011, biji kakao yang diperdagangkan harus memenuhi SNI 01-2323-2008 tentang standar mutu biji kakao. SNI mengatur penggolongan mutu biji kakao kering maupun persyaratan umum dan khususnya guna menjaga konsistensi mutu biji kakao yang dihasilkan.

Perkebunan kakao di Propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari perkebunan rakyat dan perkebunan swasta dengan

Karakteristik Mutu Biji Kakao…..(Melia)

34

total luas areal 251.613 Ha yang menghasilkan produksi 116.691 ton biji kering (Dirjen Perkebunan, 2014). Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sulsel (2014), Kabupaten Luwu mempunyai jumlah luas areal 35.226 Ha dan produksi biji kakao terbesar sebanyak 27.159 ton biji kakao kering pada tahun 2014. Dengan jumlah petani sebanyak 30.935 KK, produktivitas mencapai 1.018 Kg/Ha. Sedangkan kakao termasuk komoditi ekspor andalan Propinsi Sulawesi Selatan dengan persentase 14,3% dari keseluruhan ekspor (BPS, 2015).

Biji kakao didefinisikan sebagai biji yang dihasilkan oleh tanaman kakao (Theobroma cacao Linn), yang dibersihkan dan dikeringkan. Mutu biji kakao merupakan salah satu hal terpenting dalam menentukan tingkat harga di pasar internasional. Industri makanan dan minuman sebagai pengguna terbesar biji kakao menetapkan berbagai syarat yang ketat dari aspek citarasa dan keamanan pangan. Persyaratan mutu biji kakao fermentasi disesuaikan dengan SNI 2323-2008.

Menurut International Cocoa Organization (ICCO), harga kakao dalam wujud biji kering di pasar dunia tahun 2005-2010 mengalami kenaikan, tetapi tahun 2011 dan 2012 cenderung turun. Pada pertengahan tahun 2012 harga kakao di pasar dunia mencapai US$ 1,8/kg (Dirjen Perkebunan, 2014) atau setara dengan Rp. 28.175,-/kg. Jika dibandingkan dengan harga kakao di pasar domestik, ternyata jauh lebih rendah daripada harga kakao di pasar dunia. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kualitas biji kakao yang dijual oleh petani. Petani kakao sebagian besar masih menjual biji kakao yang tidak melalui proses fermentasi. Permasalahan pengolahan kakao di tingkat petani adalah kurangnya pengetahuan terhadap teknologi pengolahan biji kakao dan belum adanya satu prosedur baku guna menghasilkan biji kakao kering yang berkualitas (Hatmi & Rustijarno, 2012).

Proses fermentasi kakao sebelum diekspor dinilai penting untuk meningkatkan daya saing kakao nasional. Juga untuk menjawab peluang tren kenaikan harga komoditas perkebunan andalan itu di pasar dunia. Kualitas kakao akan terpengaruh langsung, aroma dan warna biji kakao akan optimal. Selain itu, biji kakao fermentasi dapat dimanfaatkan mulai dari lemaknya, bungkil, dan pastanya.

Fermentasi merupakan proses produksi suatu produk dengan mikroba sebagai organisme pemroses. Fermentasi biji kakao merupakan fermentasi tradisional yang melibatkan mikroorganisme indigen dan aktivitas enzim endogen. Fermentasi biji kakao tidak memerlukan penambahan kultur starter (biang), karena pulp/ daging kakao yang mengandung banyak glukosa, fruktosa, sukrosa dan asam sitrat sudah dapat mengundang terbentuknya pertumbuhan mikroorganisme sehingga terjadi fermentasi. Proses fermentasi akan menghasilkan kakao dengan cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana. Selain itu, kakao Indonesia memiliki kelebihan tidak mudah meleleh sehingga cocok untuk blending (proses dimana beberapa jenis kakao yang berbeda bisa dicampur dan mendapatkan paduan rasa yang tepat).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses fermentasi biji kakao, antara lain lama fermentasi, keseragaman terhadap kecepatan pengadukan/ pembalikan, aerasi, iklim, kemasakan buah, wadah dan kuantitas fermentasi. Fermentasi untuk biji kakao jenis lindak membutuhkan waktu lebih lama, yaitu 5 hari, sedangkan biji kakao mulia lebih pendek berkisar 3 hari. Fermentasi yang terlalu lama meningkatkan kadar biji kakao berjamur dan berkecambah, sedangkan fermentasi yang singkat menghasilkan kadar biji slaty (biji tidak terfermentasi) tinggi. Selain lama fermentasi, wadah fermentasi juga ikut menentukan kualitas biji kakao yang dihasilkan. Wadah fermentasi yang baik terbuat dari kayu dengan kuantitas minimal 40 kg.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 34-42

35

Kurangnya kuantitas biji kakao yang difermentasi menyebabkan suhu fermentasi tidak tercapai sehingga bukan fermentasi biji yang dihasilkan, tetapi biji yang berjamur (Hatmi & Rustijarno, 2012).

Fermentasi bertujuan untuk melepaskan pulp dari keping biji, sehingga mempermudah proses pengeringan, kulit biji tersebut mudah dilepaskan dari keping biji (Rohan, 1963). Selain itu fermentasi juga bertujuan untuk mematikan biji, dan memberikan kesempatan terjadinya proses menuju ke pembentukan warna, rasa dan aroma (Yusianto et al, 1997). Proses pembalikan pada saat fermentasi harus dilakukan setelah 48 jam. Hal ini untuk diperolehnya keseragaman fermentasi biji kakao. Biji kakao yang tidak dibalik saat difermentasi, maka biji kakao yang ditengah dihasilkan panas optimum sehingga fermentasi maksimal, sedangkan yang diatas, di bawah, dan samping akan berakibat sebaliknya.

Wahyudi et al (2013), menyatakan terdapat variasi yang sangat besar mengenai waktu fermentasi yang diterapkan oleh negara-negara penghasil kakao, yakni mulai 1,5 - 10 hari. Perbedaan utama terjadi karena varietas kakao, utamanya biji kakao mulia lama fermentasinya 2-3 hari, sedangkan kakao lindak 6-8 hari. Beberapa faktor yang mempengaruhi waktu proses fermentasi antara lain: tebal pulp biji, metode fermentasi, dan jumlah biji yang diolah.

Salah satu tahapan pasca panen biji kakao adalah pengeringan biji yang biasa dilakukan petani setempat dengan cara menjemur biji kakao di bawah terik matahari. Pengeringan biji kakao bertujuan untuk mengurangi kandungan air biji kakao dari lebih kurang 60% menjadi sekitar 7%, kadar air ini untuk menjaga biji agar dapat disimpan lama. Kadar air > 8% berbahaya karena jamur akan tumbuh dan bila kadar air < 5% biji sangat rapuh sehingga mudah pecah selama pengangkutan (Afoakwa et al, 2014). Standar kadar air biji kakao mutu ekspor maksimum 7,5% jika lebih tinggi dari nilai tersebut biji kakao tidak aman

untuk disimpan dalam waktu lama, tetapi jika kadar air terlalu rendah biji kakao cenderung rapuh (Ndukwu, 2009). Untuk kadar air biji kakao maksimum 7,5% memerlukan kelembaban relatif ruang simpan 75% (Dumadi, 2011).

Menurut Wahyudi et al (2013), ukuran berat dan kadar lemak biji kakao sangat dipengaruhi oleh faktor genetik (klon) tanaman, kondisi lingkungan (musim) selama perkembangan buah, perlakuan agronomis dan cara pengolahan, sedangkan karakter fisik biji kakao pasca pengolahan seperti kadar air, tingkat fermentasi dan kadar kulit berpengaruh pada rendemen lemak biji kakao.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik mutu biji kakao dari Belopa, Kabupaten Luwu dengan perlakuan waktu fermentasi selama 5 hari dan 6 hari berdasar standar mutu SNI biji kakao SNI 2323-2008. METODOLOGI

Penelitian fermentasi biji kakao

dilaksanakan di Belopa, Kabupaten Luwu dan pengujian dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar pada bulan Mei sampai Juli 2016. Bahan dan Alat

Bahan baku penelitian yaitu buah kakao yang dikumpulkan oleh petani dari kebun kakao di Dusun Batu Titik, Desa Batu Lappa, Kec. Larompong, Belopa Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.

Alat pendukung penelitian berupa: kotak fermentasi styrofoam kapasitas 150 kg biji basah masing-masing 1 buah untuk perlakuan fermentasi 5 dan 6 hari, karung, jaring penjemur. Alat-alat untuk pengujian antara lain: timbangan analitik, cawan petridis, gelas ukur, dan cutter. Metode Penelitian

Proses penanganan biji kakao fermentasi kering melalui beberapa tahap, yaitu sebagai berikut:

Karakteristik Mutu Biji Kakao…..(Melia)

36

Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan

biji kakao fermentasi kering. Buah kakao dipetik dan

dikumpulkan dari kebun petani di Kabupaten Luwu, buah dipilih yang sudah matang berwarna merah kekuningan. Buah selanjutnya dipecah dengan balok kayu dan biji dikeluarkan. Setelah dipisahkan dari plasenta kemudian biji ditimbang dan dimasukkan ke dalam kotak fermentasi. Kotak fermentasi ditutup dengan daun pisang dan karung goni untuk menjaga agar suhu tetap stabil. Setiap kotak fermentasi mempunyai kapasitas kurang lebih 150 kg biji kakao basah. Pada proses fermentasi 5 hari (F.5) setelah biji difermentasi dalam kotak styrofoam selama 2 hari (48 jam), terus dibalik dan fermentasi 2 hari (48 jam) berikutnya kemudian biji dikeringkan pada hari ke 5. Sedangkan pada proses fermentasi 6 hari (F.6) biji difermentasi dalam kotak styrofoam selama 2 hari (48 jam), terus dibalik dan fermentasi 3 hari (72 jam) berikutnya kemudian biji dikeringkan pada hari ke 6. Pengeringan dengan cara dijemur langsung di bawah sinar matahari selama + 5 hari. Biji kakao kering dikemas menggunakan karung goni.

Sampel biji kakao kering diambil secara acak sebanyak kurang lebih 1 kg untuk masing-masing perlakuan kemudian diuji di laboratorium Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar sesuai parameter mutu SNI biji kakao 2323-2008.

Analisis Data Metode analisa data yang digunakan

adalah metode analisa deskriptif, yaitu analisa untuk menggambarkan keadaan data secara umum. Dalam penelitian ini data yang dianalisa adalah data hasil pengujian sampel biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari yang digunakan untuk mengetahui standar mutu biji kakao sesuai SNI 2323-2008. Analisis data menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial dengan 2 kali ulangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggolongan Mutu

Berdasarkan SNI 2323:2008 tentang standar mutu biji kakao, biji kakao digolongkan dalam dua jenis yaitu jenis mulia (fine cocoa/F) dan jenis lindak (bulk cocoa/B). Menurut jenis tanamannya, biji kakao dari Kab. Luwu Sulawesi Selatan sebagian besar termasuk ke dalam jenis lindak (bulk cocoa/B) yang berasal dari tanaman kakao jenis Forastero dan dikelola oleh petani kakao setempat.

Penggolongan biji kakao menurut ukuran berat bijinya, yang dinyatakan dengan jumlah biji per 100 g contoh, biji kakao digolongkan dalam 5 golongan ukuran dengan penandaan:

AA : maksimum 85 biji per seratus gram

A : 86-100 biji per seratus gram B : 101-110 biji perseratus gram C : 111-120 biji perseratus gram S : lebih besar dari 120 biji per

seratus gram Biji kakao kering menurut

persyaratan mutunya terbagi menjadi 3 kelas, yaitu mutu kelas I, II, dan III, dengan ketentuan telah memenuhi persyaratan umum dan khusus. Persyaratan-persyaratan tersebut sebenarnya telah tercakup dalam standar mutu biji kakao SNI 2323-2008. Standar tersebut belum di implementasikan secara baik dan massal, sehingga biji kakao Indonesia masih mempunyai citra yang kurang baik dengan ciri-ciri tidak difermentasi, kurang kering, ukuran biji tidak seragam

Panen buah kakao masak

Pemecahan buah kakao

Fermentasi biji kakao selama

5 dan 6 hari

Pengeringan biji kakao

dengan dijemur

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 34-42

37

dan banyak mengandung kotoran (Mulato, 2011).

Biji kakao dalam penelitian ini sebanyak 94 biji untuk fermentasi 5 hari dan 95 biji untuk fermentasi 6 hari. Jumlah biji kakao ini termasuk ke dalam golongan A dengan jumlah biji 86 – 100 biji per 100 gram contoh.

Menurut Widyotomo et al (2004), ukuran biji kakao yang memenuhi kriteria standar ekspor adalah AA, A dan B (101-110 biji per 100 g). Secara umum biji kakao fermentasi dari daerah Belopa, Kab. Luwu memenuhi standar untuk diekspor. Biji dan pulp kakao mengalami penurunan berat sampai 25% selama proses fermentasi sebagai akibat penguapan air (Nasution et al, 1985).

Ukuran biji kakao kering sangat dipengaruhi oleh jenis (klon) tanaman, kondisi lingkungan (curah hujan) selama perkembangan buah dan tindak agronomis pada tanaman. Menurut Mulato dkk (2004), makin besar ukuran biji maka semakin besar pula kadar airnya, begitupun dengan rendemen lemaknya. Syarat Umum Kadar Air

Hasil analisa biji kakao dari Belopa dengan fermentasi 5 dan 6 hari sudah memenuhi syarat umum standar mutu biji kakao sesuai SNI 2323-2008 dengan tidak adanya serangga hidup, biji berbau asap/ hammy dan benda asing yang ditemukan, hanya parameter kadar air yang masih belum sesuai standar. Hasil penelitian kadar air biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari dari Belopa, Kab. Luwu (Gambar 2) masih diatas syarat SNI 2323-2008 yaitu maksimum 7,5%, artinya komoditas biji kakao dari Luwu masih belum memenuhi standar persyaratan kadar air biji kakao dari SNI. Kemungkinan hal ini disebabkan pengeringan yang dilakukan petani kurang efektif menurunkan kadar air biji, serta faktor cuaca yang tidak mendukung. Kadar air biji kakao yang lebih dari 8% menyebabkan biji mudah diserang jamur dan serangga, sehingga meningkatkan risiko terhadap kerusakan

biji, akan tetapi bila kadar air biji kurang dari 5% akan menyebabkan biji mudah pecah (Basri, 2010).

Gambar 2. Grafik perbandingan kadar air biji

kakao fermentasi 5 dan 6 hari Semakin lama waktu fermentasi

maka kadar air biji kakao yang dihasilkan semakin rendah. Ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dari Marwati (2013). Penurunan kadar air ini terjadi karena semakin lama proses fermentasi menyebabkan aktifitas mikroba makin meningkat dan aktifitas enzim lebih aktif. Reaksi ini menghasilkan panas selama proses fermentasi sehingga pulp menjadi encer dan menyebabkan jaringan kompleks dalam biji kakao terdegradasi dalam bentuk senyawa organik yang lebih sederhana (Nasution et al, 1985).

Menurut Permana dkk (1997), hancurnya pulp dari biji menyebabkan pori-pori biji terbuka dan hal ini mempermudah pengeluaran air bebas sehingga mempermudah dalam proses pengeringan. Selain itu selama proses fermentasi akan terjadi kematian biji yang akan mengakibatkan sifat semipermeabilitas dinding sel menjadi rusak, sehingga juga dapat memudahkan keluarnya air selama proses pengeringan.

Pengeringan menggunakan sinar matahari memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, akan diperoleh warna biji kakao coklat kemerahan dan tampak lebih cemerlang. Namun demikian, pengeringan menggunakan sinar matahari memiliki kendala disebabkan kondisi cuaca terutama saat hujan.

8.3

8.35

8.4

8.45

8.5

8.55

8.6

8.65

8.7

F5 F6

Kadar Air

Karakteristik Mutu Biji Kakao…..(Melia)

38

Metode pengeringan ini memerlukan waktu 5 hingga 7 hari untuk mencapai kadar air dibawah 7,5% tergantung pada intensitas sinar matahari (Hatmi & Rustijarno, 2012).

Menurut Rahmadi (2008), kadar air biji kakao merupakan faktor yang sangat penting dalam mempertahankan mutu biji kakao selama penyimpanan. Penyimpangan fisik pada proses penyimpanan biji kakao merupakan faktor krusial karena biji kakao kering bersifat higroskopis sehingga kadar air permukaan dapat berubah sesuai dengan kelembaban udara sekelilingnya. Kadar air dari biji kakao yang disimpan harus dicek secara berkala dan dipertahankan dibawah 8 % (Codex, 2013).

Kadar air biji kakao tergantung pada metode pengeringan dan penyimpanan biji setelah proses fermentasi. Titik kritis pengeringan adalah pada suhu pengeringan yang tidak melebihi 60oC, lama waktu pengeringan tidak melebihi tiga hari jika dibawah terik sinar matahari atau 18-24 jam jika menggunakan mesin pengering, serta kadar air akhir produk sekitar 6-8% (Rahmadi, 2008). Semakin tinggi kadar air biji kakao maka kemungkinan terjadinya penurunan mutu biji karena munculnya jamur lebih besar, hal ini juga berpengaruh terhadap keamanan dan mutu produk pangan kakao yang dihasilkan (Ariyanti & Suprapti, 2016). Biji kakao bersifat sangat higroskopis (menyerap uap air) sehingga proses pengarungan dan penyimpanan yang tepat sangat penting.

Dalam pengeringan biji kakao, Codex Alimentarius Commission merekomendasikan lapisan biji kakao yang dikeringkan tidak boleh lebih tebal dari 6 cm untuk menghindari pengeringan yang tidak cukup/ terlalu lambat dan biji harus dikeringkan sampai kadar air 6-8%. Area pengeringan harus ditempatkan jauh dari sumber kontaminan dan memperoleh paparan sinar matahari maksimal dan ada

sirkulasi udara sepanjang hari. Ketika malam hari atau selama cuaca hujan, biji kakao harus ditumpuk dan ditutup untuk menghindari basah terkena air (Codex, 2013).

Pengeringan biji kakao yang terlalu cepat atau suhu pengeringan yang terlalu tinggi akan menghasilkan aroma asam dan berkadar asam lebih tinggi dari biji yang dijemur (Hayati dkk, 2012). Pada pengemasan serta penyimpanan biji kakao karung yang digunakan harus bersih, bukan bekas pestisida atau pupuk dan memiliki pori-pori untuk keluar masuk udara untuk mencegah kelembaban yang tinggi dan kontaminasi.

Menurut Zahouli et al (2010), metode pengeringan menentukan kualitas kimiawi pada biji kakao. Mutu biji kakao yang lebih baik dapat diperoleh dari proses pengeringan alamiah daripada dengan metode pengeringan buatan.

Syarat Khusus

Hasil analisa syarat khusus biji kakao fermentasi dari Belopa, Kab. Luwu sudah memenuhi standar kadar biji berjamur, kadar biji slaty, kadar biji berserangga serta kadar biji berkecambah yang termasuk dalam mutu III (Gambar 3). Hanya kadar kotoran yang masih diatas syarat SNI biji kakao. Hasil ini kemungkinan disebabkan pada saat pemecahan biji kakao basah banyak kotoran (kulit buah, daun, ranting) yang terikut masuk ke kotak fermentasi. Hal ini dapat berpengaruh pada harga jual biji kakao fermentasi dikarenakan kadar kotoran lebih banyak dan menurunkan kualitas biji kakao fermentasi tersebut. Apabila akan diproses lebih lanjut, biji kakao harus disortasi lebih dahulu untuk memisahkan kotoran (sisa kulit buah dan daun kakao, kerikil, dan biji rusak) dari biji kakao yang masih bagus.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 34-42

39

Gambar 3. Grafik perbandingan hasil uji syarat khusus biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari. Semakin lama waktu fermentasi

kadar biji berjamur makin tinggi. Fermentasi biji selama 5 hari menghasilkan biji kakao mutu 1, sedangkan biji kakao hasil fermentasi 6 hari termasuk dalam mutu 2. Kadar biji berjamur merupakan syarat khusus SNI 2323-2008, yang mensyaratkan kadar biji berjamur maksimum 2% untuk mutu 1, kadar biji berjamur maksimum 4% untuk mutu 2 dan mutu 3. Adanya kadar biji berjamur kemungkinan disebabkan karena proses pengeringan yang tidak sempurna atau pada saat penjemuran terjadi hujan sehingga biji kakao tidak kering, yang memungkinkan terjadi pertumbuhan jamur. Tumbuhnya jamur juga dapat disebabkan karena biji yang belum kering disimpan pada ruang penyimpanan yang lembab. Untuk mengontrol pertumbuhan jamur dapat dilakukan dengan merusak spora melalui proses pemanasan. Sinar matahari mempunyai daya fungisidal karena memiliki spektrum ultraviolet, sehingga dapat membunuh jamur secara langsung (Semangun, 1990) terutama bila penjemuran biji kakao lebih lama waktunya. Ekologi jamur pada proses fermentasi berasal dari populasi yang tumbuh dipermukaan buah kakao. Proses kontaminasi jamur dari produk biji kakao kering dimungkinkan karena pengeringan tidak sempurna, titik kritis pada kadar air 8% dan direkomendasikan 6-7%.

Populasi jamur yang mendominasi mikroflora pada biji kakao kering asal Indonesia didominasi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus niger (Rahmadi & Fleet, 2008).

Kadar biji slaty biji kakao fermentasi 5 hari sebesar 4,67% jauh lebih sedikit dibandingkan kadar biji slaty hasil fermentasi 6 hari sebesar 11,33%. Kadar biji slaty menunjukkan bahwa biji kakao tidak dilakukan fermentasi dengan sempurna. Kemungkinan proses fermentasi terjadi tidak secara merata ke seluruh biji kakao sehingga menyebabkan biji slaty (warna ungu agak keabu-abuan) meningkat.

Kesalahan dalam proses fermentasi dapat menyebabkan biji-biji hasil fermentasi kurang beraroma dan memiliki keasaman yang tinggi. Pada fermentasi 1 hari, sebagian gula terbuang sehingga warna biji kering menjadi kuning merata tanpa bercak hitam ataupun cokelat. Fermentasi 2 hari menyebabkan biji berwarna kuning kecokelatan atau merah bata. Fermentasi 3 hari menyebabkan terbentuknya tanin yang komplek di dalam biji yang mengalir ke kulit sehingga biji berwarna cokelat. Fermentasi 5-6 hari, warna cokelat akan menjadi lebih gelap (Widyotomo et al, 2004). Pada proses fermentasi terjadi penguraian senyawa polifenol. Semakin tinggi kandungan polifenol dalam biji akan mendorong terjadinya

0

2

4

6

8

10

12

Kadar BijiBerjamur(biji/biji)

Kadar BijiSlaty (biji/biji)

Kadar BijiBerserangga

(biji/biji)

Kadar Kotoran(waste)(biji/biji)

Kadar BijiBerkecambah

(biji/biji)

F5

F6

Karakteristik Mutu Biji Kakao…..(Melia)

40

reaksi Maillard, dan dengan bantuan polifenol oksidase menghasilkan warna kakao (Puziah, 2005). Perubahan – perubahan komposisi polifenol selama fermentasi ditandai pengurangan warna ungu biji dan meningkatnya intensitas warna kakao. Pada saat yang bersamaan terjadi pengurangan konsentrasi polifenol dalam biji melalui oksidasi senyawa polifenol keluar dari biji (Benard, 1989). Menurut Towaha dkk (2012), keragaan fisik maupun kimia biji kakao terbaik diperoleh dari hasil fermentasi sempurna (5-6 hari). SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari dari Belopa, Kab. Luwu berukuran 94 dan 95 biji per 100 gram, termasuk golongan A. Berdasarkan syarat umum SNI 2323-2008, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari belum memenuhi syarat mutu untuk kadar air, sedangkan syarat khusus biji belum memenuhi syarat mutu untuk kadar kotoran. Berdasar syarat khusus, biji kakao fermentasi 5 dan 6 hari hasil penelitian dari Kab. Luwu termasuk mutu III. DAFTAR PUSTAKA 1. Afoakwa, E. ., Budu, A. S., Brown, H.

M., Takrama, J. F., & Akomanyl. (2014). Changes in Biochemical and Physico-Chemical Qualities during Drying of Pulp Pre-Conditioned and Fermented Cocoa (Theobroma cacao) Beans. Journal of Nutritional Health and Food Science, 2(3), 1–6.

2. Ariyanti, M., dan Suprapti. 2016. Cemaran Mikrobiologis Biji Kakao Asal Sulawesi Barat dan Tenggara dan Kaitannya dengan Keamanan Pangan. Jurnal Standarisasi Vol.18 No. 1, hal 53-61.

3. Basri, Z. 2010. Mutu Biji Kakao Hasil Sambung Samping. Media Litbang Sulteng, III, 112-118.

4. Benard, W.M., 1989. Chocolate Cocoa and Confectionery. Third Edition. California.

5. BPS Prov. SulSel. (2015). Statistik Daerah Prov. SulSel 2015. http://sulsel.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-Provinsi-

Sulawesi-Selatan-2015.pdf. Diakses tgl 25 Agustus 2016.

6. Codex. (2013). Proposed Draft Code of Practice for The Prevention and Reduction of Ochratoxin A Contamination in Cocoa CX/CF 13/7/9.

7. Dinas Perkebunan Prov. SulSel. (2014). Data Luas Areal, Produksi, Produktivitas dan Petani Perkebunan Rakyat Per Komoditi Per Kabupaten Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014 (Angka Tetap). http://disbun.sulselprov.go.id/files_download/Angka%20Tetap%202014.pdf. Diakses tgl 25 Agustus 2016.

8. Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. (2014). Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015 Kakao. Jakarta. http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2015/KAKAO%202013%20-2015.pdf. Diakses tgl 25 Agustus 2016.

9. Dumadi, S. . (2011). The Moisture Content Increase of Dried Cocoa Beans During Storage at Room Temperature. JITE, 1(12), 45–54.

10. Hatmi, R. U., & Rustijarno, S. (2012). Teknologi Pengolahan Biji Kakao Menuju SNI Biji Kakao 01-2323-2008. BPTP Yogyakarta.

11. Hayati, R., Yusmanizar, Mustafril, Fauzi, H. 2012. Kajian Fermentasi dan Suhu Pengeringan pada Mutu Kakao (Theobroma cacao L.) Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol. 26 No. 2. Hal. 129-135.

12. Marwati, 2013. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Mutu Biji Kakao (Theobroma cacao L) yang Dihasilkan Petani Kakao di Teluk Kedondong Bayur Samarinda. Prosiding Seminar Nasional Kimia. ISBN: 978-602-19421-0-9. Hal. 218-222.

13. Mulato, S. (2011). Pengembangan Teknologi Pascapanen Pendukung Upaya Peningkatan Mutu Kakao Nasional.

14. Mulato, S., Widyotomo, Misnawi, Sanali, dan E. Suharyanto. 2004. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kopi dan Kakao, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

15. Nasution, MZ, Tjiptadi W dan Laksmi BS. 1985. Pengolahan Cokelat. Bogor: Agroindustri Press.

16. Ndukwu, M. . (2009). Effect of Drying

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 34-42

41

and Drying Air Velocity on the Drying Rate and Drying Constant of Cocoa Bean. Agricultural Engineering International: The CIGR E. Journal Manuscript, XI.

17. Permana, M., Sudjatha, W., Martini, Yeni. 1997. Pengaruh Lama Penyimpanan Buah dan Lama Fermentasi terhadap Mutu Biji Kakao Kering. Jurnal Teknologi Hasil Pertanian Denpasar. Vol 3, No 1.

18. Puziah, H.S., 2005. Cocoa Fermentation. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.

19. Rahmadi, A. (2008). Safety of Cocoa Products. Retrieved from http://foodreview.co.id/preview.php?view2&id=55838#.VQfILo4jzQc.

20. Rahmadi, A., & Fleet, G. H. (2008). The Occurrence of Mycotoxigenic Moulds in Cocoa Beans from Indonesia and Queensland , Australia. In Proceeding of International Seminar on Food Science (pp. 1–18).

21. Rohan, TA. 1963. Processing of Raw Cocoa for Market. FAO Agric. Studies, Rome.

22. Semangun, H. (1990). Ekologi Patogen Tropika dan Pemanfaatannya Dalam

Pengendalian Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta.

23. Towaha, J; Anggraini, D.A; Rubiyo. 2012. Keragaan Mutu Biji Kakao dan Produk Turunannya Pada Berbagai Tingkat Fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali. Pelita Perkebunan Vol. 28 No. 3. 166-183

24. Wahyudi, T.T.R, Panggabean, Pujiyanto (editor). 2013. Kakao, Manajemen Agribisnis dari Hulu ke Hilir. Penebar Swadaya.

25. Widyotomo, S., Mulato, S., & Handaka. (2004). Mengenal Lebih Dalam Teknologi Pengolahan Biji Kakao. Warta Litbang Pertanian, 26, 5-6.

26. Yusianto, H. Winarno dan T. Wahyudi, 1997. Mutu dan Pola Cita Rasa Biji Beberapa Klon Kakao Lindak. Pelita Perkebunan, 13, 171-187.

27. Zahouli, G.I.B; Guehi, S.T; Fae, A.M; Koffi, L.B, and Nemlin,J.C. 2010. Effect of Drying Methods on The Chemical Quality Traits of Cocoa Raw Material. Advance Journal of Food Science and Technology 2 (4): 184-190.

Karakteristik Mutu Biji Kakao…..(Melia)

42

GRADING WARNA DAUN TEMBAKAU BAWAH NAUNGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN

Color Grading of Shaded Tobacco Leaves Using Artificial Neural Network

Aneke Rintiasti

#1, Ikhwan Krisnadi

#2

#1 Baristand Industri Surabaya, Jl. Jagir Wonokromo 360 Surabaya, [email protected] #2 [email protected]

ABSTRAK Aneka cerutu, yang hadir di kalangan komunitas elit dan tempat-tempat yang prestisius, bahan bakunya adalah Java Tabak Cerutu, tembakau asal Jawa, khususnya Klaten dan Jember. Beberapa tahun belakangan ini, ketersediaan tenaga kerja semakin sulit dengan biaya yang semakin meroket, sehingga harus mulai mengarah ke mekanisasi. Tujuan Penelitian ini adalah menghasilkan Rancang Bangun Aplikasi Analisa Daun Tembakau, mendapatkan Model Segmentasi untuk pembacaan piksel daun tembakau, menghasilkan Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk Pemisahan daun tembakau,sehingga diharapkan dapat mempermudah proses evaluasi dan klasifikasi warna pada Sortasi I daun Tembakau. Daun Tembakau yang digunakan adalah Daun Tembakau Bawah Naungan (TBN) jenis besuki terdiri dari 5 kelas warna yaitu Biru / Hijau (B), Kuning (K), Kuning Tidak Merata (KV), Merah (M), Merah Tidak Merata (MV). Sebelum dianalisa citra daun difoto menggunakan cabinet yang tidak terpengaruh cahaya luar. Citra daun TBN tersebut kemudian dianalisa menggunakan model RGB, dari model RGB citra daun dianalisa menggunakan karakteristik nilai warna, citra daun TBN yang memenuhi karakteristik menjadi masukan Jaringan Saraf Tiruan Bakcpropagation dengan target 5 kelas warna yang sudah diubah menjadi bentuk biner. Penelitian menghasilkan Model Segmentasi untuk pembacaan piksel daun tembakau TBN menggunakan model RGB, Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk klasifikasi daun TBN menggunakan Neural Network Back PropagationTraining RGB dengan nilai error = 8.7%. Kata Kunci : tembakau besuki, tembakau bawah naungan, pengolahan citra

ABSTRACT Various cigars, which are present in the community among the elite and prestigious venues, the raw material is a Java Tabak cigars, tobacco from Java, especially Klaten and Jember. Recent years, the availability of labor more difficult with increasing costs skyrocketing, so it must start leading to mechanization. The purpose of this research was to Generate Design of Tobacco Leaf Analysis Applications, Getting Segmentation Model for pixel readout from tobacco leaves, Generate classification models that can be used for the separation of tobacco leaves which is expected to ease the process of evaluation and classification of color in the first sorting Tobacco leaves. Tobacco Leaf used is The Under Shade Tobacco leaf (TBN) consisted of five classes, namely the color Blue / Green (B), Yellow (K), Yellow Sprayed (KV), Red (M), Red Sprayed (MV). Before analyzed the leaves image photographed using a cabinet that unaffected the outside light. TBN leaf image is then analyzed using the RGB model and models HSV, RGB image of the model is analyzed using the characteristic leaf color values, The image of leaf TBN that meets the characteristics become an input of Bakcpropagation Neural Networks with the target are 5 color grade which converted into a binary form. The research resulted Segmentation Model for pixel readout TBN tobacco leaves using RGB models, classification model that can be used for the classification of TBN leaves use Neural Network Back Training RGB with an error value = 8.7%.” keywords : besuki tobacco, shaded tobacco, image processing

PENDAHULUAN

Sekitar 57 % cerutu dunia menggunakan wrapper dan binder asal Jawa. Berapa pun jumlah yang dipasok, tembakau Jawa masih terus dicari pembeli. Ketergantungan dunia akan tembakau Jawa masih sangat besar. Ini juga seiring dengan makin

langka dan menurunnya kuantitas dan kualitas tembakau Deli.

Budidaya tembakau cerutu yang dilakukan sebagian besar masih menggunakan tenaga manusia, mulai dari pembibitan hingga pengolahan sehingga keberhasilan bisnis sangat

Grading Warna Daun ….. (Aneke)

43

tergantung dari sumber daya manusia. Beberapa tahun belakangan ini, ketersediaan tenaga kerja operator sortir, semakin sulit karena bersifat kontrak tiap masa panen dan dengan biaya yang semakin meroket, maka kita harus mulai mengarah ke mekanisasi. Mekanisasi merupakan penggunaan alat atau mesin pada proses produksi pertanian, baik on farm maupun off farm. Mekanisasi pertanian yang tepat berperan sangat signifikan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pertanian dan pengolahannya.

Permasalahan yang dihadapi industri yaitu sulitnya mendapat pegawai. Pegawai yang ada umumnya pegawai kontrak sehingga ketika tiba musim tembakau berikutnya banyak pegawai yang sudah bekerja ditempat lain. Selain itu pegawai baru membutuhkan pelatihan mengklasifikasikan mutu tembakau [6]. Penelitian ini diharapkan membantu industri tembakau sebagai solusi atas tenaga kerja yg semakin langka sehingga proses produksi tetap dapat berjalan.

Maksud penelitian ini adalah melakukan evaluasi dan klasifikasi kualitas pada proses sortasi daun tembakau bawah naungan. Mempermudah proses evaluasi dan klasifikasi warna pada Sortasi I daun tembakau bawah naungan. Tujuan penelitian ini adalah 1. Mendapatkan Model Segmentasi

untuk pembacaan piksel daun tembakau bawah naungan

2. Menghasilkan Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk Pemisahan daun tembakau bawah naungan.

Ruang lingkup penelitian ini : 1. Tembakau yang digunakan dalam

penelitian ini adalah tembakau bawah naungan dan proses yang dimodelkan adalah sortasi I.

2. Daun tembakau yang dimodelkan adalah daun koseran atau daun pertengahan

3. Warna yang dimodelkan adalah biru / hijau (B), kuning (K), kuning

tidak merata (KV), merah (M), merah tidak merata (MV).

Gambar 1. Proses Klasifikasi Mutu

Tembakau Berdasarkan Warna Daun secara Manual

Sebelumnya telah dikembangkan

beberapa penelitian [1] Segmentasi warna citra dengan deteksi warna HSV untuk mendeteksi objek [2] Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Pemetaan Kepadatan Serangan Gulma pada Lahan Terbuka. [5] memperkenalkan pengolahan citra digital untuk mendeteksi obyek menggunakan pengolahan warna model normalisasi RGB. [5] Klasifikasi warna menggunakan pengolahan model warna HSV. [8] Analisis tingkat kandungan warna untuk penentuan tingkat kematangan pada citra buah Papaya callina, [10] mempelajari klasifikasi daun tembakau virginia yang hanya memiliki 3 kelas warna menggunakan segmentasi RGB. [3] Jaringan saraf tiruan segmentasi citra daun labu bernoda dengan warna sebagai gejala tekanan biotik dan abiotik. Namun penelitian-penelitian tersebut belum ada yang membahas tentang daun tembakau bawah naungan yang memiliki tangga warna dengan perbedaan warna yang sangat mirip, sehingga dibutuhkan ketelitian dengan metode yang berbeda.

Gambar 2. Formasi daun tembakau dalam

satu batang cerutu

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57

44

Gambar 2, [9] menjelaskan secara umum contoh satu batang cerutu dan kebutuhan bahan baku tembakau berdasarkan klasifikasi mutu tembakau, terdiri dari :

a) Dekblad/Wrapper untuk pembalut cerutu, bagian terluar dari cerutu, mempunyai harga jual yang paling tinggi, berdasarkan mutunya terbagi dalam beberapa klasifikasi, masing-masing adalah: NW (Natural Wrapper), LPW (Light Painting Wrapper), PW (Painting Wrapper) dan RFU (Ready for Use).

b) Omblad/Binde runtuk pembungkus cerutu, bagian pembungkus dalam,

harga jual tidak terlalu tinggi / mahal, hanya terdapat satu klasifikasi omblad yaitu bawah naungan dua.

c) Filler / Vusel, (untuk isi cerutu, bagian yang paling dalam dari cerutu, harga jual rendah / murah). Pola tanaman tembakau bawah

naungan, merupakan inovasi dari pengelolaan tanaman tembakau Bes NO. Pemasangan, naungan (waring) diatas lahan tanaman, bertujuan untuk mengendalikan lingkungan mikro, terutama kelembaban udara. [9]

Saring Rompos Bir-Biran Sortasi Tahap II Namitten

Analisa Rompos Sortasi I

Terimaan

Keseragaman

Warna

Pengepakan

Stapel A dan B Aging / Stapel C Nazien

Pembeli

Lapang Kebun

Gudang

Pengering

Turun Truk

GUDANG PENGOLAH

Gambar 3. Alur Pengolahan Tembakau

Gambar 3 memperlihatkan diagram

alur pengolahan daun tembakau pada industri tembakau. Pada proses sortasi I dilakukan pemisahan berdasarkan warna dasar saja yaitu K (kuning), M (merah), B (biru / hijau), KV (Kuning Tidak Rata), MV (Merah Tidak Rata).

Inspeksi kualitas daun tembakau memiliki dua aspek pemeriksaan internal dan eksternal. Inspeksi internal melibatkan sensor manusia, uji merokok atau analisa kimia. Inspeksi mutu eksternal diperoleh dari penglihatan manusia. Metode ini membutuhkan biaya dan waktu yang sangat tinggi. Sebagai alternatif pemeriksaan eksternal digunakan pemeriksaan warna dan lain-lain dengan citra.

Citra merupakan representasi

dua dimensi dari bentuk fisik nyata tiga dimensi, yang perwujudannya bisa bermacam-macam. Mulai dari gambar hitam putih pada sebuah foto yang tidak bergerak sampai pada gambar berwarna yang bergerak pada sebuah pesawat televisi. Proses pengolahan citra digital menggunakan komputer digital adalah terlebih dahulu mentransformasikan citra ke dalam bentuk besaran-besaran diskrit dari nilai tingkat keabuan pada titik-titik elemen citra. Bentuk citra ini disebut citra digital. Citra digital didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) dua dimensi, dimana x dan y adalah koordinat spasial dan f(x,y) adalah disebut dengan intensitas atau tingkat keabuan citra.

Grading Warna Daun ….. (Aneke)

45

Komputer merepresentasikan warna berdasarkan 3 (tiga) komponen warna dasar yaitu red (R), green (G) dan blue (B). RGB tersebut dapat menghasilkan 16.7 juta warna yang dapat dikenali oleh komputer. Ketika citra dalam komputer ingin dicetak maka diperlukan suatu metode yang mengkonversi dari RGB ke CMYK pada printer. Dalam penelitian ini citra yang ditangkap oleh kamera hanya diproses didalam komputer namun tidak dicetak sehingga cukup dengan menggunakan metode RGB.

Jaringan Syaraf Tiruan memiliki pendekatan yang berbeda untuk memecahkan masalah bila dibandingkan dengan sebuah komputer konvensional. Umumnya komputer konvensional menggunakan pendekatan algoritma (komputer konvensional menjalankan sekumpulan perintah untuk memecahkan masalah). Jaringan Syaraf Tiruan biasanya mempunyai 3 group atau lapisan yaitu unit-unit : lapisan input yang terhubung dengan lapisan tersembunyi yang selanjutnya terhubung dengan lapisan output. 1. Aktifitas unit-unit lapisan input

menunjukkan informasi dasar yang kemudian digunakan dalam Jaringan Syaraf Tiruan.

2. Aktifitas setiap unit-unit lapisan tersembunyi ditentukan oleh aktifitas dari unit-unit input dan bobot dari koneksi antara unit-unit input dan unit-unit lapisan tersembunyi .

3. Karakteristik dari unit-unit output tergantung dari aktifitas unit-unit lapisan tersembunyi dan bobot antara unit-unit lapisan tersembunyi dan unit-unit output. METODE

Mengembangkan dari penelitian [10], pada gambar diperlihatkan alat pengambilan citra daun tembakau. Alat tersebut dapat dihubungkan ke laptop atau personal computer untuk pemroses data.

Daun diletakkan pada papan yang ditutupi kain putih sebagai alas untuk mempermudah memisahkan citra daun tembakau dengan background. Papan tersebut kemudian didorong kedalam cabinet kedap cahaya luar. Citra daun tembakau ditangkap menggunakan web camera.

Gambar 4. Alat Pengolahan Citra

Cahaya di dalam cabinet menggunakan lampu LED 3 watt. Untuk mendapatkan gambar tembakau tersebut digunakan kamera beresolusi 15 MP. Lampu dan kamera diletakkan dengan ketinggian 75 cm dari alas. Pada Gambar 5 menggambarkan metode penelitian.

Gambar 5. Metode Penelitian

Model segmentasi yaitu Citra daun tembakau yang disimpan kedalam komputer citra yang disimpan berdimensi 640 x 480 bertipe citra JPEG. Citra tersebut dikanalisasi ke warna RGB. Kemudian masing-masing kanal dipisahkan dengan background kain warna putih menggunakan threshold nilai piksel 100. Dimana nilai piksel diatas 100

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57

46

diubah menjadi 0. Nilai ini didapatkan melalui beberapa kali percobaan dan nilai ini adalah nilai yang paling mendekati bentuk tepi daun tembakau sehingga bentuk citra daun tembakau dapat jelas dipisahkan. setelah itu dihitung nilai min, max dan rata-rata. Dikarenakan nilai threshold 100 sebagai pemisah background dengan tembakau, maka yang dijadikan acuan adalah nilai rata-rata yang menggambarkan sebaran piksel dari citra daun tembakau tersebut.

Model klasifikasi yaitu dari nilai yang didapatkan (nilai rata-rata) merupakan parameter yang akan menentukan daun tembakau tersebut masuk kedalam 5 kelas yaitu Merah, Kuning, Biru, Merah tidak merata, dan kuning tidak merata. Untuk pengklasifikasiannya menggunakan Neural Network Back Propagation sehingga dapat diketahui tingkat error pengklasifikasiannya. Dalam klasifikasi ini, dilakukan 2 tahap, yaitu training dan testing untuk Neural Network Backpropagation.

BAHAN

.

Gambar 6. Tembakau KOS Biru (Hijau)

(B)

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tembakau Bawah Naungan, daun koseran warna Merah (M), Kuning (K), Biru (B), Merah Tidak Merata (MV), Kuning

Tidak Merata (KV).jenis Besuki. Penentuan kualitas daun tembakau menggunakan parameter warna yaitu warna merah, kuning dan hijau. Setiap warna diwakili oleh 10 (Sepuluh) daun tembakau yang berbeda.

Gambar 7. Tembakau Warna Kuning (K)

Gambar 8. Tembakau Kos Kuning tidak

merata (KV)

Gambar 9. Tembakau Kos Merah (M)

Grading Warna Daun ….. (Aneke)

47

Gambar 10. Tembakau Kos Merah Tidak

Merata (MV)

Segmentasi Model RGB

1. Citra daun yang sudah dipisahkan dengan background dipisahkan kanal Red, Green dan Blue.

2. Piksel-piksel dimasing-masing kanal Red, Green dan Blue dihitung nilai minimal, nilai maksimal dan rata-rata

3. Nilai rata-rata di kanal Red, Green dan Blue di analisa berdasarkan karakteristik warnanya

4. Daun yang memiliki karakteristik warna yang sesuai dikumpulkan untuk menjadi masukan neural network.

Klasifikasi Neural Network 1. Daun yang memenuhi

karakteristik warna pada analisa RGB dipergunakan sebagai masukan neural network.

2. Warna daun yang digunakan sebagai target diubah dalam bentuk biner 3 digit.

3. Nilai rata-rata daun yang terpilih pada analisa RGB disusun menjadi matriks masukan Neural Netwrok dengan ukuran [Mean_RGBHSV x Jumlah_Daun].

4. Warna daun sebagai keluaran neural network disusun dalam matriks berukuran 3 x jumlah_daun.

5. Melakukan proses training neural network.

6. Melakukan Uji Coba terhadap data daun pada Neural Network.

7. Menentukan tingkat error Neural Network.

HASIL DAN PEMBAHASAN Segmentasi Model RGB

Fungsi yang digunakan untuk pengolahan citra yaitu :

Pengambilan Nilai Piksel RGB

Mencari nilai mean tiap kanal Red, Green, Blue pada proses pengenalan tingkat warna. Hasil filter tiap kanal RGB pada daun Biru dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Hasil Pengolahan Citra

RGB Daun Kos Biru (Hijau) (B)

Hasil perhitungan nilai minimal,

maksimal dan rata-rata nilai piksel citra Daun Tembakau Bawah Naungan Biru ditunjukkan pada Tabel 1. Pada Gambar 12 dapat dilakukan analisis grafik daun TBN biru yaitu : 1. Daun biru adalah daun berwarna

hijau.

function

[rgb_matriks_daun_konverted,

hsv_matriks_daun_konverted,

minMaxMeanRGB, minMaxMeanHSV] =

background_to_black( matriks_daun )

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57

48

0

10

20

30

40

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

mean B mean R mean G

2. Hijau dan biru dihasilkan dari warna hijau dan biru sehingga 2 (dua) kanal ini harus menjadi nilai dominan.

3. Kanal biru adalah kanal yang paling dominan. Nilai kanal biru kebanyakan lebih dari 100 sehingga nilai piksel pada kanal biru banyak yang diubah menjadi 0. Hal ini tergambar pada grafik. Pada grafik ada beberapa nilai

hijau yang berada di atas nilai (merah) kurang dominan, hal ini disebabkan daun yang digunakan sudah berubah warna karena daun berasal dari hasil panen 2013 dan diambil citranya tahun 2014.

4. Daun yang digunakan sebagai data training adalah daun ke : 2, 6, 8, 10.

Tabel 1. Nilai Rata-rata komponen RGB Daun warna Biru

min R

Max R

mean R

min G

max G

Mean G

Min B

Max B

mean B

biru_kos1 0 100 19 0 100 21 0 100 15

biru_kos2 0 100 22 0 100 21 0 100 17

biru_kos3 0 100 16 0 100 23 0 100 16

biru_kos4 0 100 17 0 100 22 0 100 15

biru_kos5 0 100 20 0 100 20 0 100 14

biru_kos6 0 100 21 0 100 17 0 100 12

biru_kos7 0 100 22 0 100 23 0 100 19

biru_kos8 0 100 23 0 100 20 0 100 15

biru_kos9 0 100 26 0 100 29 0 100 26

biru_kos10 0 100 19 0 100 15 0 100 9

Berikut dapat dilihat Hasil filter tiap kanal RGB pada

daun Kuning ditampilkan pada Gambar 13. Citra Daun Tembakau Bawah Naungan Kuning ditunjukkan pada tabel 2. Pada Gambar 14, dapat dilakukan analisa grafik Daun TBN Kuning, yaitu : 1. Kuning adalah warna yang

dihasilkan dari warna Merah dan Hijau.

bar 13. Hasil citra daun RGB Daun K

Gambar 12. Nilai Mean RGB Daun Kos Biru B

Gambar 13. Hasil citra daun RGB Daun Kuning Kos 1-10

Grading Warna Daun ….. (Aneke)

49

2. Pada grafik Nilai merah dan hijau yang sama persis atau mendekati hanya beberapa daun kemungkinan dikarenakan warna daun sudah berubah karena daun

adalah dari hasil panen 2013 dan diambil citranya tahun 2014.

3. Data yang digunakan untuk training adalah daun ke : 1, 3, 6.

Tabel 2. Nilai Rata-rata komponen RGB Daun warna Kuning

min R

max R

mean R

min G

max G

mean G

min B

max B

mean B

kuning_kos1 0 100 24 0 100 25 0 100 20

kuning_kos2 0 100 17 0 100 27 0 100 25

kuning_kos3 0 100 20 0 100 21 0 100 16

kuning_kos4 0 100 14 0 100 24 0 100 24

kuning_kos5 0 100 19 0 100 25 0 100 23

kuning_kos6 0 100 22 0 100 24 0 100 18

kuning_kos7 0 100 12 0 100 26 0 100 28

kuning_kos8 0 100 14 0 100 23 0 100 29

kuning_kos9 0 100 18 0 100 26 0 100 21

kuning_kos10 0 100 19 0 100 28 0 100 28

Gambar 14. Grafik Nilai Mean RGB Daun Kuning (K)

1-10

Hasil filter tiap kanal RGB pada daun Merah dapat dilihat pada gambar 15. Hasil perhitungan nilai minimal, maksimal dan rata-rata nilai piksel citra daun tembakau bawah naungan merah ditunjukkan pada Tabel 3. Pada Gambar 16, dapat dilakukan analisa grafik daun tembakau bawah naungan kos merah, yaitu : 1. Daun warna merah memiliki nilai

kanal merah yang dominan, hal ini tergambar pada grafik

2. Pada grafik nilai daun ke : 8 keluar dari karakteristik umum kemungkinan karena warna daun sudah berubah karena daun berasal dari panen tahun 2013 dan baru diambil citranya tahun 2014

0

10

20

30

40

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

mean B mean R mean G

Gambar 15. Hasil Pengolahan Citra RGB Daun Merah Kos 1-10

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57

50

3. Daun yang digunakan untuk training adalah semua daun

merah kecuali daun ke : 8.

Tabel 3. Nilai Rata-rata komponen RGB Daun Warna Merah

min R

max R

mean R

Min G

max G

mean G

min B

max B

mean B

merah_kos1 0 100 7 0 100 13 0 100 18

merah_kos2 0 100 8 0 100 18 0 100 29

merah_kos3 0 100 11 0 100 22 0 100 25

merah_kos4 0 100 11 0 100 18 0 100 22

merah_kos5 0 100 10 0 100 14 0 100 17

merah_kos6 0 100 24 0 100 30 0 100 30

merah_kos7 0 100 17 0 100 26 0 100 31

merah_kos8 0 100 16 0 100 16 0 100 10

merah_kos9 0 100 19 0 100 27 0 100 23

merah_kos10 0 100 18 0 100 29 0 100 30

Gambar 2. Grafik Nilai Mean RGB Daun Kos Merah (M)

Hasil filter tiap kanal RGB pada daun Kos Kuning Tidak Merata (KV) dapat dilihat pada Gambar 17.

Hasil perhitungan nilai minimal, maksimal dan rata-rata nilai piksel citra daun tembakau bawah naungan kuning tidak merata ditunjukkan pada tabel 4. Pada gambar 18, analisa grafik daun tembakau bawah naungan kuning tidak merata (KV) : 1. Daun kuning tidak merata adalah

daun kuning yang memiliki semburan oranye.

2. Oranye adalah warna yang berasal dari warna red dan green namun nilai green lebih kecil daripada kuning.

3. Nilai daun yang memiliki karakteristik kuning adalah daun dengan nilai green dan blue yang rendah.

4. Daun yang digunakan untuk training adalah daun ke : 2, 6, 7, 8.

0

10

20

30

40

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

mean B mean R mean G

Gambar 3. Hasil Pengolahan Citra RGB Daun

Kos Kuning Tidak Merata (KV)

Grading Warna Daun ….. (Aneke)

51

Tabel 4. Nilai Rata-rata komponen RGB Daun Kuning Tidak Merata

min R

max R

mean R

min G

max G

mean G

min B

max B

mean B

kv_kos1 0 100 18 0 100 23 0 100 17

kv_kos2 0 100 20 0 100 18 0 100 12

kv_kos3 0 100 18 0 100 14 0 100 9

kv_kos4 0 100 18 0 100 26 0 100 26

kv_kos5 0 100 21 0 100 24 0 100 20

kv_kos6 0 100 20 0 100 18 0 100 12

kv_kos7 0 100 22 0 100 21 0 100 15

kv_kos8 0 100 19 0 100 18 0 100 11

kv_kos9 0 100 15 0 100 12 0 100 7

kv_kos10 0 100 17 0 100 13 0 100 8

Gambar 4. Grafik Nilai Mean RGB Daun Kuning Tidak Merata (KV)

Gambar 19. Hasil Pengolahan Citra RGB Daun Merah Tidak Merata (MV) Kos

Hasil filter tiap kanal RGB pada

daun Merah Tidak Merata dapat dilihat pada Gambar 19.

Hasil perhitungan nilai minimal,

maksimal dan rata-rata nilai piksel citra Daun Tembakau Bawah Naungan Merah Tidak Merata ditunjukkan pada tabel 5. Pada Gambar 20 dapat dilakukan analisa Daun TBN Merah Tidak Merata, yaitu: 1. Daun Merah Tidak Merata adalah

daun merah yang memiliki semburan oranye

2. Sehingga nilai merah harus dominan (paling kecil) sedangkan warna semburan oranye didapatkan dari nilai blue dan green yang berdekatan

3. Daun yang digunakan untuk training adalah daun ke : 1, 2, 5.

0

10

20

30

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

mean B mean R mean G

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57

52

Tabel 5. Nilai Rata-rata komponen RGB Daun Warna Merah Tidak Merata

min R

max R

mean R

min G

max G

mean G

min B

max B

mean B

mv_kos1 0 100 8 0 100 24 0 100 27

mv_kos2 0 100 18 0 100 27 0 100 28

mv_kos3 0 100 8 0 100 24 0 100 20

mv_kos4 0 100 12 0 100 24 0 100 32

mv_kos5 0 100 14 0 100 25 0 100 27

mv_kos6 0 100 21 0 100 21 0 100 16

mv_kos7 0 100 21 0 100 20 0 100 16

mv_kos8 0 100 14 0 100 11 0 100 7

mv_kos9 0 100 15 0 100 22 0 100 17

mv_kos10 0 100 17 0 100 16 0 100 11

Gambar 20. Grafik Nilai Mean RGB Daun Merah Tidak Merata (MV)

Tabel 6. Target Output Jaringan Saraf Tiruan

Target Inputan Neural Network

mean R

mean G mean B

biru_kos2 22 21 17

biru_kos6 21 17 12

biru_kos8 23 20 15

biru_kos10 19 15 9

kuning_kos1 24 25 20

kuning_kos3 20 21 16

kuning_kos6 22 24 18

kv_kos2 20 18 12

kv_kos6 20 18 12

kv_kos7 22 21 15

kv_kos8 19 18 11

merah_kos1 7 13 18

merah_kos2 8 18 29

merah_kos3 11 22 25

merah_kos4 11 18 22

merah_kos5 10 14 17

merah_kos6 24 30 30

merah_kos7 17 26 31

merah_kos9 19 27 23

merah_kos10 18 29 30

mv_kos1 8 24 27

mv_kos2 18 27 28

mv_kos5 14 25 27

Jaringan Syaraf Tiruan Perambatan Balik

Masukan Jaringan Saraf Tiruan Sesuai dengan hasil analisa RGB daun-daun yang digunakan sebagai input training jaringan saraf tiruan sesuai dengan Tabel 6.

Keluaran Jaringan Saraf Tiruan Tabel 7. Mean Daun TBN yang memenuhi karakteristik input Jaringan Saraf Tiruan

No Warna Daun Biner

1 Biru 0 0 1

2 Kuning 0 1 0

3 Kuning Tidak

Merata 0 1 1

4 Merah 1 0 0

5 Merah Tidak Merata 1 0 1

Keluaran jaringan saraf tiruan

adalah klasifikasi apakah daun yang digunakan sebagai inputan adalah daun biru, kuning, Kuning Tidak Merata, merah atau Merah Tidak Merata. Oleh karena itu untuk mempermudah perhitungan maka nilai

0

10

20

30

40

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

mean B mean R mean G

Grading Warna Daun ….. (Aneke)

53

target dari string diubah dalam bentuk biner Tabel 7.

Fase Pembelajaran Jaringan Saraf Tiruan

Fase pembelajaran dilakukan 2 (dua) macam jenis pembelajaran yaitu pembelajaran dengan menggunakan matriks RGBHSV dan matriks RGB.Fungsi yang digunakan pada fase ini yaitu :

Pada fase pembelajaran RGB jaringan saraf tiruan diberikan masukan berupa matriks berukuran 3x23. Nilai-nilai dalam matriks tersebut adalah nilai mean RGB dari daun-daun yang memenuhi karakteristik warna. Sedangkan pada sisi keluaran diberikan target matriks berukuran 3x23, dapat dilihat pada Gambar 21.

Pada Gambar 22 diperlihatkan training jaringan saraf tiruan untuk training citra RGB. Sedangkan pada Gambar 23 diperlihatkan plot training.

Gambar 22. Proses Training Matriks

RGB Jaringan Saraf Tiruan

Pada Gambar 24 diperlihatkan

mean square error untuk proses training RGB Jaringan Saraf Tiruan. Pada Gambar 25 diperlihatkan plot state pada training.

4.2.4.Fase Uji Coba Jaringan Saraf Tiruan

Setelah mendapatkan weight atau bobot neural network maka dilakukan fase uji coba. Bobot yang sudah didapatkan sebelumnya diujicoba dengan memasukkan matriks masukan. Keluaran kemudian dicocokkan dengan target. Fungsi yang digunakan pada fase uji coba adalah sebagai berikut :

Dengan menggunakan 2 (dua) macam bobot yang didapatkan dari 2 (dua) macam jenis training didapatkan tingkat error sebagai berikut. Training RGB menghasilkan tingkat error sebesar 8.7%. Pada gambar 26 dapat dilihat hasil keluaran jaringan saraf tiruan yang dicocokkan dengan target.

function [ NN_BackPropagation ] =

initiate_NN_BackPropagation(

training_input, training_output )

function [ NN_BackPropagation ] =

execute_NN_BackPropagation(

NN_BackPropagation,

training_input, training_output )

Gambar 21. Matriks Masukan RGB dan

Keluaran Jaringan Saraf Tiruan

function [ Hasil_Testing ] =

simulate_NN_BackPropagation(

NN_BackPropagation, testing_input

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57

54

Gambar 23. Grafik Proses Training Matriks RGB Jaringan Saraf Tiruan

Gambar 24. Mean Square Error Proses Training Matriks RGB Jaringan Saraf Tiruan

Gambar 25. Training State pada Proses Training Matriks RGB Jaringan Saraf Tiruan

Grading Warna Daun ….. (Aneke)

55

[ ]

Target Output

[ ]

Hasil Testing

Gambar 26. Matriks Masukan dan Keluaran Bobot RGB Jaringan Saraf Tiruan

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Model Segmentasi untuk

pembacaan piksel daun tembakau bawah naungan menggunakan model red, green, blue (RGB)

2. Model Klasifikasi yang dapat digunakan untuk Pemisahan daun tembakau bawah naungan menggunakan Neural Network Back Propagation dengan Training RGB memiliki nilai error = 8.7%

Saran Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya penelitian dilakukan untuk Sortasi Tahap II dimana daun yang dipisahkan memiliki anak tangga warna yang lebih banyak ditambah dengan daun berkarakteristik khusus misalnya daun berminyak dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA 1. Budi Putranto, B.Y, Widi Hapsari,

Katon Wijana, 2010, Segmentasi Warna Citra dengan Deteksi Warna HSV untuk Mendeteksi Objek. Fakultas Teknik Prodi Teknik Informatika, Univ Kristen Duta Wacana Yogyakarta

2. Iqbal Saputra. 2011.Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Pemetaan Kepadatan Serangan Gulma pada Lahan Terbuka. Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB.

3. Jarosław Gocławski, Joanna Sekulska-Nalewajko, El Zbieta Ku, Zniak.2012. Neural Network Segmentation Of Images From Stained Cucurbits Leaves With Colour Symptoms Of Biotic And Abiotic Stresses. Institute of Applied Computer Science, Ł´od´z University of Technology, Stefanowskiego 18/22, 90-924 Ł´od´z, Poland.

4. Kusumanto,R.D, Alan Novi Tompunu dan Wahyu Setyo Pambudi. 2011. Klasifikasi Warna Menggunakan Pengolahan Model Warna HSV. Jurnal

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 43-57

56

Ilmiah Elite Elektro, VoL. 2, No. 2, September 2011: 83-87

5. Kusumanto, R.D, Alan Novi Tompunu. 2011.Pengolahan Citra Digital Untuk MendeteksiI Obyek Menggunakan Pengolahan Warna Model Normalisasi RGB.Seminar Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi Terapan 2011. ISBN 979-26-0255-0. Jurusan Teknik Komputer, Politeknik Negeri Sriwijaya. Palembang

6. Litbangjember, 2013, Mekanisasi Angin Segar Bisnis Tembakau Cerutu, https://litbangjember.wordpress.com/2013/01/03/mekanisasi-angin-sebag-bisnis-tembakau-cerutu/, diakses tanggal 20 Maret 2013.

7. Litbangjember, 2012, Java Tabak Bagian 2, https://litbangjember.wordpress.com/2012/11/30/java-tabak-bagian_2/, diakses tanggal 20 Maret 2013.

8. Sila Abdullah Syakry, C, Mulyadi dan Syahroni.2013. Analisis Tingkat Kandungan Warna untuk Penentuan Tingkat Kematangan pada Citra Buah Papaya. Jurnal Ilmiah Elite Elektro, Vol. 4 No. 1, Maret 2013 : 31-37

9. Slamet Wirawan. 2006. Analisis Ekonomi Petik Daun Tengah Tembakau Bawah Naungan di Kebun Ajong Gayasan Jember. Program Pasca Sarjana UPN. Surabaya

10. Fan Zhang and Xinhong Zhang. 2011. Classification and Quality Evaluation of Tobacco Leaves Based, on Image Processing and Fuzzy Comprehensive Evaluation. Sensors 2011, 11, 2369-2384; Open Access sensors, ISSN 1424-8220,www.mdpi.com/journal/sensors

Grading Warna Daun ….. (Aneke)

57

PENGARUH FORMULASI DAN ASAL BIJI KAKAO FERMENTASI TERHADAP MUTU DAN CITARASA DARK CHOCOLATE

Effect of Formulation and Fermented Cocoa Beans Origin to Dark chocolate’s

Quality and Flavour

Sitti Ramlah, Medan Yumas Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl.Prof.Dr. Abdurrahman Basalamah, No.28 Makassar [email protected]

ABSTRAK Penelitian Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao Fermentasi Terhadap Mutu Dan Citarasa Dark Chocolate telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh formulasi da asal biji kakao fermentasi terhadap mutu dan citarasa dark chocolate yang dihasilkan. Pada penelitian pembuatan Dark Chocolate menggunakan 2 (dua) perlakuan . Perlakuan pertama yaitu Asal Daerah (provinsi) biji kakao yang digunakan (A) yaitu ; Sulawesi Selatan (A1), Sulawesi Barat (A2), Sulawesi Tengah (A3), dan perlakuan ke dua adalah formula/kualitas Dark Chocolate yang akan di buat (B), yaitu Formula Kualitas sedang (B1), dan Formula Kualitas Tinggi (B2). Parameter uji yang digunakan adalah kadar air, kadar lemak, kadar gula, FFA, asam lemak, asam amino, polifenol, citarasa, ALT dan titik leleh. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa formulasi dan asal biji kakao fermentasi mempengaruhi mutu dan citarasa dark chocolate yang dihasilkan terutama dari segi titik leleh, kadar asam amino, asam lemak, kadar polifenol dan nilai citarasa. Dark chocolate yang dihasilkan dari kakao asal Sulawesi tengah baik kualitas sedang maupun kualitas tinggi memiliki kandungan polifenol tertinggi dibanding dark chocolate dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Kata Kunci. Biji kakao, fermentasi, dark chocolate, kualitas sedang, kualitas tinggi, mutu, citarasa.

ABSTRACT Research on the effect of formulation and fermented cocoa beans origin to dark chocolate’s quality and flavour has been done. This research aims to know how is the effect of formulation and fermented coco beans origin to the quality and flavours of resulted dark chocolate. This research used 2 (two) treatment . First treatment was origin of coco beans used on the research (A), in which : South Sulawesi (A1), West Sulawesi (A2), Central Sulawesi (A3), second treatment was formula quality of dark chocolate to be produced (B), in which medium quality (B1) and high quality formula (B2). Testing parameter used were water moisture, fat content, sucrose content, FFA, fatty acid, amino acid, polyphenol, flavour, TPC and melting point. Research result can be concluded that formulation and origin of fermented cocoa beans affecting quality and flavourof resulted dark chocolate in tenns of melting point, amino acids content, fatty acids, polyphenol content, and flavour score. Dark chocolate produced Central Sulawesi both for medium quality and high quality had higher polyphenol content compare to those from both South and West Sulawesi. Keywords : Cocoa beans, fermentation, dark chocolate, medium quality, high quality, flavour.

PENDAHULUAN

Rasa asli biji kakao sebenarnya pahit akibat kandungan alkaloid, tetapi setelah melalui proses pengolahan dapat dihasilkan produk cokelat yang disukai oleh siapapun. Biji kakao mengandung lemak 31%, karbohidrat 14% dan protein 9%.

Cokelat adalah olahan yang dihasilkan dari bahan baku yaitu biji dan lemak kakao. Cokelat merupakan

kategori makanan yang mudah dicerna oleh tubuh dan mengandung banyak vitamin seperti vitamin A1, B1, B2, C, D, dan E serta beberapa mineral seperti fosfor, kelelahan sehingga bisa digunakan sebagai obat anti depresi (Spillane, 1995).

Konsumsi cokelat semakin meningkat sejalan dengan arus globalisasi informasi dan daya beli masyarakat, diperlukan diversifikasi

Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)

58

atau penganekaragaman produk cokelat untuk memperluas jangkauan dan daya beli masyarakat dan dapat meningkatkan kesehatan dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan semaksimal mungkin dan meminimalkan biaya produksi sehingga dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Riyani, 2011).

Produsen cokelat pada umumnya memproduksi tiga macam cokelat jadi, yaitu cokelat pekat (dark chocolate), cokelat susu (milk chocolate), dan cokelat putih (white chocolate). Ketiga macam cokelat ini dibedakan berdasarkan komposisinya, yaitu dari kandungan cokelat, gula, serta bahan tambahan lain (Brown, 2010). Dark Chocolate merupakan cokelat batangan yang dibuat dari pasta kakao dengan lemak kakao dan sedikit campuran gula dan vanili dan biasanya ditambahkan lesitin .

Kualitas cokelat salah satunya dinilai dari persentase kandungan cokelat padat yang tinggi dan kandungan gula yang rendah. Pemerintah Amerika Serikat menetapkan minimal 35% kandungan cokelat pasta untuk dark chocolate sedangkan standar di Eropa menetapkan minimal 43% (Atkinson et al., 2010). Namun untuk dapat dinyatakan berkualitas tinggi, cokelat harus memiliki kandungan cokelat pasta minimal 60%. Cokelat pekat yang berkualitas tinggi memiliki kandungan gula yang sangat rendah dibandingkan jenis cokelat lainnya dan oleh sebab itu rasanya lebih pahit (Atkinson et al., 2010). Dark chocolate yang beredar di pasar internasional umumnya mengandung kakao massa sekitar 45-80% pasta kakao. Sedangkan untuk standar kualitas medium mengandung kakao massa 55% pasta kakao dengan kandungan gula yang tinggi (Beckett, 2009).

Cokelat dengan kandungan pasta kakao lebih dari 70% juga memiliki manfaat untuk kesehatan, karena kaya akan kandungan antioksidan yaitu fenol dan flavonoid. Dengan adanya

antioksidan, akan mampu untuk menangkap radikal bebas dalam tubuh. Besarnya kandungan antioksidan ini bahkan 3 kali lebih banyak dari teh hijau, minuman yang selama ini sering dianggap sebagai sumber antioksidan. Dengan adanya antioksidan, membuat cokelat menjadi salah satu minuman atau makanan kesehatan. Fenol, sebagai antioksidan mampu mengurangi kolesterol pada darah sehingga dapat mengurangi risiko terkena serangan jantung juga berguna untuk mencegah timbulnya kanker dalam tubuh, mencegah terjadinya stroke dan darah tinggi.

Cokelat juga mengandung beberapa vitamin yang berguna bagi tubuh seperti vitamin A, vitamin B1, vitamin C, vitamin D, dan vitamin E. Selain itu, cokleat juga mengandung zat maupun nutrisi yang penting untuk tubuh seperti zat besi, kalium dan kalsium. Kakao sendiri merupakan sumber magnesium alami tertinggi. Jika seseorang kekurangan magnesium, dapat menyebabkan hipertensi, penyakit jantung, diabetes, sakit persendian dan masalah bulanan wanita yaitu pra menstruasi (PMS). Dengan makan cokelat akan menambah magnesium dalam asupan gizi harian yang menyebabkan meningkatnya kadar progesteron pada wanita. Hal ini mengurangi efek negatif dari PMS.

Sulawesi merupakan penghasil biji kakao tertinggi di Indonesia, terutama provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Selain itu, kakao dari Sulawesi mempunyai mempunyai titik leleh yang tinggi. Dari sifat ini diharapkan dapat meningkatkan dan memperbaiki kestabilan dari produk olahannya, salah satu diantaranya adalah Dark Chocolate. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian Pengaruh Formulasi dan Asal Biji Kakao Fermentasi Terhadap Mutu dan Citarasa Dark Chocolate dengan memanfaatkan biji kakao Sulawesi Selatan , Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75

59

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pengaruh formulasi dan asal biji kakao fermentasi terhadap mutu dan citarasa dark chocolate yang dihasilkan . METODOLOGI PENELITIAN

Bahan Dan Alat Bahan baku yang digunakan

pada penelitian adalah biji kakao fermentasi, lemak kakao, gula sukrosa, lechitin cair, vanili. Sedangkan peralatan yang dipergunakan adalah

alat pemasta kasar, alat winnowing, universal conching, alat tempering, alat cetakan, dan lain-lain alat penolong. Metode Penelitian Produk Dark Chocolate

Penelitian pembuatan Dark Chocolate menggunakan perlakuan sumber/asal Bahan Baku biji kakao fermentasi (A) dan Formula/ jumlah kakao massa (qualitas dark chocolate) (B). Formula Dark Chocolate yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada Beckett (2009).

Tabel 1. Formula Dark Chocolate yang digunakan pada penelitian

KOMPOSISI PERLAKUAN (%)

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Nib 55 80 55 80 55 80

Gula 44.5 19.5 44.5 19.5 44.5 19.5

Lesitin 0.35 0.35 0.35 0.35 0.35 0.35

Vanili 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1

Garam 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05

Total 100 100 100 100 100 100

Perlakuan : A : Asal Biji Kakao (Bahan Baku) : A1 : Biji Kakao Fermentasi asal Sulawesi Selatan (Luwu Utara) A2 : Biji kakao fermentasi asal Sulawesi Barat (Mamuju ) A3 : Biji kakao fermentasi asal Sulawesi Tengah (Palu) B: Formula /jumlah kakao massa (Kualitas Dark Chocolate) : B1 : 55 % kakao massa (kualitas sedang) B2 : 80 % kakao massa (kualitas tinggi) Parameter dari dark chocolate yang diamati pada penelitian ini meliputi kadar air, kadar lemak, kadar FFA, kadar gula, titik leleh, uji mikrobiologi, polifenol, asam lemak, asam amino dan uji citarasa. Parameter Uji

Parameter uji untuk biji kakao yang digunakan mengacu pada SNI 2323:2008/Amd1:2010, sedangkan untuk dark chocolate yang dihasilkan pada penelitian ini adalah :Kadar lemak, Kadar Air, Kadar Gula, Uji Mikrobiologi, Titik Leleh, Uji Polifenol,

Asam Lemak, Asam Amino, Uji Citarasa.

Pengujian dilakukan pada Lab. BBIHP(Kadar air, kadar lemak, mikrobiologi (Angka Lempeng Total), Kadar gula, Lab. Politeknik UNHAS (melting point/titik leleh), Lab. Saraswanti Bogor (Asam Lemak dan Asam Amino), dan Lab. Puslitkoka Jember (Polyphenol, dan Citarasa)

Pengujian kadar air, karbohidrat mengacu pada SNI 2323-2008, kadar lemak mengacu pada SNI 3749-2009, Uji Citarasa dan uji kadar polifenol dengan Spektrofotometer diuji pada lab.Puslitkoka Jember. Uji Gula (SNI 01-2892-1992).Lemak Kakao (SNI 3748-2009). Badan Standartisasi Nasional, Jakarta. Biji Kakao (SNI 01-23-2002). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.Cara Uji Makanan dan Minuman (SNI 01-2891-1992). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Prosedur Penelitian Adapun prosedur penelitian ini

dapat dilihat pada Gambar 1.

Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)

60

Gambar 1. Prosedur Penelitian Pembuatan Dark Chocolate HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahan Baku

Hasil analisa mutu bahan baku biji kakao fermentasi yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Mutu bahan baku yang digunakan untuk membuat dark chocolate ini, akan

mempengaruhi mutu dari produk yang dihasilkan. Hasil analisa bahan baku (Tabel 2), menunjukkan bahwa bahan baku yang digunakan pada penelitian memenuhi persyaratan SNI 2323:2008/Amd1:2010, jenis mutu II-B.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75

61

Tabel 2. Hasil Analisa Mutu Bahan Baku (Biji Kakao Fermentasi) Berbagai Daerah

No. Parameter Satuan Daerah

Sulsel Sulbar Sulteng

1. Kadar Air % 6,34 6,50 7,30 2. Biji berbau asap

(hammy) dan atau berbau asing

- Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada

3. Kadar Benda Asing - Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 4. Jumlah Biji per 100

Gram Contoh Biji 93 (B) 103 (B) 57 (AA)

5. Kadar Biji Berjamur (biji/biji)

% 0,67 0,33 2

6. Kadar Biji Slaty (biji/biji) % 0,67 8 8 7. Kadar Biji Berserangga

(biji/biji) % 0 0 0,33

8. Kadar Kotoran (waste) (biji/biji)

% 1,15 0,28 3,22

9. Kadar Biji Berkecambah (biji/biji)

% 2 0 1

10. Kadar Lemak Total % 55,01 55,28 54,62

Kadar Air Kadar air merupakan salah satu

karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena kandungan air dalam bahan pangan dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa pada bahan pangan tersebut . Makin rendah kadar air, makin lambat pertumbuhan mikroorganisme berkembang biak, sehingga proses pembusukan akan

berlangsung lebih lambat (Winarno, 2002). Selain itu, kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari bahan makanan karena mempengaruhi sifat fisik, kimia, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis (Buckle, et.al., 2009).

Hasil analisa kadar air dari berbagai formulasi dark chocolate pada penelitian ini dapat dilhat pada gambar 2.

Gambar 2. Histogram Kadar Air Berbagai Dark Chocolate

Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)

62

Pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa kadar air produk dark chocolate kualitas sedang adalah 1.31 % (A1B1), 1.38 % (A2B1) dan 1.44 % (A3B1), sedangkan untuk kualitas tinggi diperoleh kadar air 1.82 % (A1B2), 2.14 % (A2B2) dan 2.39 % (A3B2). Perbedaan kadar air ini disebabkan karena perbedaan kadar air dari bahan baku yang digunakan (Tabel 1). Selain itu kadar air juga dipengaruhi oleh proses yang dilakukan selama pembuatan produk, antara lain penyangraian dan proses conching. Proses penyangraian dilakukan selama ± 30 menit dengan suhu 120oC, dan pada proses conching dilakukan selama 7 jam dengan suhu 55oC. Kedua proses ini menyebabkan berkurangnya kadar air dari produk yang dihasilkan.

Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar air dark chocolate yang dihasilkan memenuhi persyaratan SNI 3749:2009, yaitu maksimal 2 % (BSN, 2009), kecuali perlakuan A2B2 dan A3B2 yang memiliki kadar air yang lebih tinggi dari 2 %.

Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

Komposisi kimia yang juga merupakan senyawa penting yaitu kadar asam lemak bebas (FFA). Proses kerusakan lemak berlangsung sejak

pengolahan sampai siap dikonsumsi. Peristiwa ketengikan dapat terjadi pada jenis makanan berkadar lemak tinggi maupun rendah. Kerusakan lemak dapat terjadi pada makanan kadar lemaknya lebih dari 1% (Ketaren, 1986). Menurut Winarno (1997), bila suatu lemak mengalami proses pemanasan secara berlebihan akan mengalami pembakaran lemak atau minyak. Bila lemak yang telah terbakar tersebut menimbulkan kepulan asap, hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah asam lemak bebas. Penentuan asam lemak bebas ini sangatlah penting, bila dalam jumlah yang kecil, asam lemak bebas berfungsi sebagai flavor dalam makanan, bila terlalu banyak lebih dari 10%, berpengaruh terhadap mutu makanan yang banyak mengandung lemak.

Menurut Ketaren (1986), asam lemak bebas yang terbentuk dalam produk makanan terdapat dalam jumlah kecil dan sebagian besar terikat dalam bentuk ester trigliserida. Reaksi hidrolisis dan oksidasi lemak akan mengakibatkan ketengikan yang menghasilkan flavor dan bau tengik pada makanan yang mengandung lemak.

Hasil analisa kadar asam lemak bebas dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Gambar 3. Histogram FFA Berbagai Dark Chocolate

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75

63

Dari hasil analisa yang telah dilakukan (Gambar 3), pada dark chocolate kualitas sedang (A1B1, A2B1 dan A3B1) maupun kualitas tinggi (A1B2, A2B2 dan A3B2) menunjukkan kadar asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) berkisar antara 1.34 % - 1.51 %. Walaupun belum ada standar kandungan FFA untuk produk dark chocolate, namun apabila didasarkan pada standar toleransi kandungan asam lemak bebas di dalam lemak kakao sesuai dengan SNI 3748:2009, kadar asam lemak bebas maksimal 1.75 %. Dengan demikian produk dark chocolate yang dihasilkan masih memenuhi batas toleransi maksimal.

Dari hasil analisa FFA (gambar 3) menunjukkan dilihat bahwa dark chocolate dari biji kakao asal Sulawesi tengah mempunyai kadar FFA yang paling tinggi. Hal ini diduga disebabkan biji kakao yang digunakan mengandung kadar air dan kadar jamur yang lebih tinggi dibanding biji kakao dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Dark chocolate yang dihasilkan mengandung lemak tinggi namun relatif tidak mudah tengik karena juga mengandung polifenol 1,41 – 6,12 (gambar 7 ) yang berfungsi sebagai antioksidan pencegah ketengikan.

Gambar 4. Histogram Kadar Lemak Berbagai Dark Chocolate

Kadar Lemak

Hasil analisa kadar lemak terhadap dark chocolate yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4, hasil analisa kadar lemak produk dark chocolate kualitas sedang (A1B1, A2B1 dan A3B1 berkisar antara 35,32% hingga 36,85%. Hasil uji kadar lemak yang diperoleh tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Rendahnya kadar lemak produk dark chocolate kualitas sedang yang diperoleh karena jumlah pasta kakao yang digunakan hanya 55%. Sedangkan kadar lemak produk dark chocolate kualitas tinggi berkisar dari 44,32% sampai 44,86%. Kadar lemak

yang diperoleh pada produk dark chocolate kualitas tinggi cenderung lebih tinggi dari produk dark chocolate kualitas sedang, hal ini diakibatkan karena komposisi atau formula pasta kakao yang digunakan pada produk dark chocolate kualitas tinggi lebih tinggi yaitu 80%. Namun jika ditinjau dari pengaruh asal biji kakao terhadap kandungan lemak dari dark chocolate kualitas sedang maupun kualitas tinggi, maka tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan terhadap kadar lemak dark chocolate yang dihasilkan. Kadar Lemak biji kakao dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah cenderung sama (Tabel 2) Hal ini disebabkan daerah Sulawesi Selatan ,

Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)

64

Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah mempunyai topografi yang hampir sama.

Selain faktor tanah, komponen lingkungan lainnya yang juga harus dipertimbangkan adalah ketinggian tempat. Hasil penelitian Liyanda et al (2012), menunjukkan ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap

produksi dan kadar lemak kakao. Semakin tinggi tempat penanaman kakao suhu semakin rendah sehingga semakin tinggi pula kadar lemak kakao yang dihasilkan. Komponen pembentuk lemak dan komposisi asam lemak dipengaruhi oleh ketinggian tempat wilayah penanaman dari kakao (Lipp dan Enklam, 1998).

Gambar 5. Histogram Kadar Gula Berbagai Dark Chocolate

Kadar Gula

Penambahan gula pada pembuatan cokelat akan mempengaruhi sifat fisik dan organoleptik pada cokelat yang dihasilkan. Adanya penambahan gula pada pembuatan dark chocolate akan meningkatkan stabilitas produk dark chocolate. Penambahan gula akan memberikan rasa manis atau mengurangi rasa pahit pada produk dark chocolate. Apabila gula yang ditambahkan cukup tinggi maka akan memiliki kalori yang cukup tinggi pula (Adi, 2006). Hasil analisa kadar gula dari beberapa dark chocolate pada penelitian ini, dapat dilihat pada gambar 5.

Pada Gambar 5, menunjukkan hasil analisa kadar gula produk dark chocolate kualitas sedang A1B1, A2B1 dan A3B1, masing-masing adalah 40.64 %, 40.77 % dan 40.15 %. Hasil ini tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Hal ini disebabkan karena

penambahan gula pada formula dark chocolate kualitas sedang ini adalah sama yaitu sebesar 44,5%. Adapun hasil analisa kadar gula produk dark cokelat kualitas tinggi A1B2, A2B2 dan A3B2 berturut-turut 14.44 %, 14.03 % dan 16.62 %. Hasil analisa kadar gula yang diperoleh tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena penambahan gula pada formula produk dark chocolate kualitas tinggi adalah sama yaitu hanya sebesar 19,5%.

Dilihat dari asal bahan baku biji kakao yang digunakan, kadar gula dark chocolate yang dihasilkan tidak berbeda jauh antara dark chocolate yang satu dengan dark chocolate lainnya.Hal ini diduga disebabkan daerah tempat tumbuh asal biji kakao yang digunakan mempunyai topografi yang hampir sama antara Sulawesi Selatan , Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75

65

Titik Leleh

Gambar 6. Histogram Titik Leleh Berbagai Dark Chocolate

Sifat leleh atau tingkat kestabilan merupakan salah satu sifat fisik pada produk seperti dark chocolate. Produk seperti dark cokelat dikatakan baik jika tidak mudah meleleh pada suhu ruang. Uji stabilitas ini dilakukan dalam inkubator pada suhu 37oC. Pengujian ini ditandai dengan adanya perubahan bentuk pada dark chocolate, dari padat menjadi lunak. Hasil uji titik leleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Hasil uji titik leleh pada produk dark chocolate dapat dilihat pada Gambar 6, yang berkisar 40oC hingga

44oC. Hasil uji titik leleh yang diperoleh ini cukup baik, hal ini disebabkan karena tingkat kestabilan kristal lemak yang terbentuk pada proses tempering adalah sangat stabil sehingga tidak mudah untuk meleleh. Tingginya titik leleh pada produk dark chocolate ini juga diduga disebabkan oleh adanya penambahan gula, dimana partikel gula dan cokelat akan saling berikatan.

Titik leleh dark chocolate yang berasal dari biji kakao asal Sulawesi Barat cenderung lebih tinggi, baik dark cokelat kualitas sedang maupun kualitas tinggi.

Polifenol

Gambar 7. Histogram Polifenol Berbagai Dark Chocolate

Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)

66

Biji kakao mengandung senyawa polifenol 12- 18 % dari berat kering. Kira-kira 60 % senyawa polifenolnya adalah flavonoid prosianidin. Seiring dengan proses pengolahan, polifenol ini akan mengalami penurunan. Hasil analisa polifenol disajikan pada Gambar 7. Polifenol berkisar antara 1.21 % - 6.12 %. Polifenol tertinggi yaitu 6.12% diperoleh dari perlakuan A3B2 dan 3.61 % dari perlakuan A3B1. Dari hasil analisa polifenol (Gambar 7), dapat dilihat bahwa ditinjau dari asal bahan baku yang digunakan maka baik dark chocolate kualitas sedang maupun kualitas tinggi dengan kandungan

polifenol tertinggi adalah dark chocolate dengan bahan baku biji kakao dari Sulawesi Tengah, menyusul Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Dark cokelat A1B1, A1B2 dan A2B1, A2B2 mempunyai kandungan polifenol yang hampir sama, namun dengan dark chocolate A3B1, A2B2 terdapat perbedaan kandungan polifenol yang signifikan. Tingginya kandungan polifenol pada dark cokelat A3 (A3B1 dan A3B2) diduga disebabkan biji kakao yang digunakan pada kedua perlakuan tersebut, adalah biji kakao organik. Selain itu diduga disebabkan oleh tanah tempat tumbuh biji kakao yang digunakan.

Tabel 3. Hasil Pengujian Angka Lempeng Total Beberapa Dark Chocolate

Dark Chocolate Hasil (koloni/g)

A1B1 1.2 x 102

A1B2 1.6 x 102

A2B1 2.0 x 102

A2B2 2.4 x 102

A3B1 8.5 x 101

A3B2 8.0 x 101

Uji Mikrobiologi

Pengujian mikrobiologi yang dilakukan yaitu pengujian angka lempeng total. Hasil pengujian dari beberapa produk dark chocolate dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 diatas, diketahui bahwa angka lempeng total pada beberapa produk dark chocolate yang dihasilkan berkisar antara 8.0 x 101 – 2.4 x 102. Nilai ini masih memenuhi persyaratan SNI 3749:2009, tentang batas maksimal cemaran ALT untuk produk cokelat (kakao massa) yaitu maksimal 5 x 103. Cemaran mikroba, termasuk angka

lempeng total pada suatu produk dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah bahan baku dan peralatan yang digunakan serta proses pengolahannya.

Uji mikrobiologi menunjukkan bahwa dark chocolate baik kualitas sedang maupun kualitas tinggi yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Tengah mengandung angka Lempeng Total yang rendah dibanding dark chocolate lainnya. Hal ini diduga disebabkan biji kakao yang digunakan adalah biji kakao organik.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75

67

Tabel 4. Hasil Uji Cita Rasa Berbagai Dark Chocolate

Karakteristik A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Chocolate aroma 7.33 5.83 7.00 6.83 5.67 5.50

Intensity of aroma 7.17 5.67 7.00 6.83 5.00 5.50

Chocolate Flavour 7.67 5.83 7.33 7.00 5.67 5.00

Intensity of flavour 7.33 5.67 6.83 7.00 5.00 5.00

Acidity 7.00 5.33 6.83 5.67 5.67 5.00

Intensity of acidity 5.67 5.00 5.33 5.33 4.67 4.67

Bitterness 7.50 5.00 7.17 5.50 5.33 4.67

Intensitas of bitterness 5.00 6.17 5.17 6.17 4.67 4.67

Astringent 7.50 4.67 6.83 6.00 5.33 4.67

Intensity of astringent 4.67 6.00 5.67 5.50 4.67 4.33

Caramelly 7.67 6.33 7.00 5.83 5.17 4.67

Intensitas of caramelly 7.33 5.67 6.83 5.50 5.17 4.33

Creamy 7.17 5.67 7.00 6.67 5.33 4.67

Intensity of creamy 6.83 5.33 6.83 6.17 5.00 4.33

Sweetness 7.67 5.00 7.00 6.67 6.50 5.00

Intensity of sweetness 7.17 4.67 7.17 6.17 6.33 5.00

Texture/Colour: 7.83/7.50

7.67/7.50

7.67/7.33

7.50/6.83 7.50/7.33 7.50/6.83

Intensity of texture/colour

7.33/700 6.67/6.33

7.00/6.67

7.00/6.33 6.33/6.50 7.33/6.67

Taints/Off-flavours Nil Nil Nil Nil Nil Nil

Preference

Kesimpulan

7.50

Good

7.17

Good

6.33

Neutral

5.50

Neutral

4.67

Neutral

4.33

Bad

Notation for Taste and Intensity : 0 = Nil ; 1 – 2 = Weak; 3-4 = Moderately weak (agak lemah); 5-6 = Moderately strong (agak kuat); 7-8 = Strong (kuat) , 9-10 Very strong (sangat kuat). Notation for Preference and Quality : 0 = Inconsumable; 1-2 = Very bad; 3-4 = Bad; 5-6 = Neutral; 7-8 = Good; 9-10 = Excellent .

Uji Cita Rasa

Pengujian cita rasa dilakukan terhadap beberapa karakteristik yang berhubungan dengan produk cokelat. Adapun hasil pengujian cita rasa ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Citarasa Aroma dan Flavour

Hasil uji citarasa terhadap aroma dan flavor dark chocolate diperoleh bahwa dark chocolate

kualitas sedang dari biji kakao asal Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (A1B1, A2B1, ) mempunyai aroma yang lebih tinggi yaitu 7.00 - 7.33 yang berarti strong (kuat) dibanding dengan dark chocolate kualitas tinggi (A1B2, A2B2) yaitu dengan nilai 5.83 - 6.83 yang berarti Moderately strong (agak kuat) hingga Strong (kuat), sedangkan aroma dark chocolate dari biji asal Sulawesi Tengah baik kualitas sedang

Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)

68

maupun tinggi (A3B1, A3B2) 5.50 - 5.67 yang berarti Moderately strong (agak kuat). Hasil uji citarasa flavour dark chocolate kualitas sedang adalah 7.33 (A2B1) - 7.67 (A1B1) yang berarti 7-8 = Strong (kuat), dan dark chocolate kualitas tinggi mempunyai nilai flavour 5.00 - 7.00 yang berarti Moderately strong (agak kuat) hingga Strong (kuat).

Jika dibandingkan antara dark chocolate kualitas sedang dengan kualitas tinggi maka nilai citarasa aroma dan flavor dark chocolate kualitas sedang mempunyai nilai yang lebih tinggi disbanding dengan kualitas tinggi.Hal ini disebabkan citarasa asam, pahit dan sepat pada dark chocolate mempengaruhi penerimaan panelis terhadap nilai citarasa aroma dan flavor. Tingginya kadar polifenol dark chocolate akan mempengaruhi terhadap flavour dark chocolate yang dihasilkan. Menurut Jinap et al ( 1994) senyawa dalam biji kakao yang memberikan pengaruh yang besar terhadap aroma dan flavour adalah pirazin karena mempunyai sifat non volatile.

Citarasa Keasaman (Acidity) , Pahit (Bitterness) , Sepat (Astringent)

Adanya rasa asam, pahit, sepat pada bahan baku yang digunakan untuk membuat dark chocolate akan mempengaruhi citarasa dark chocolate yang dihasilkan .Dalam jumlah yang sidikit akan menyebabkan keseimbangan citarasa, namun pada jumlah yang besar akan menyebabkan cacat citarasa.

Timbulnya citarasa asam pada dark chocolate yang dihasilkan disebabkan kandungan asam pada biji kakao sebagai bahan baku pembuatan dark chocolate pada saat proses pengolahan dark chocolate tidak seluruhnya menguap, terutama pada saat penyangraian dan proses conching.

Asam-asam organik yang banyak terdapat dalam biji kakao adalah asam asetat (asam organic

yang mudah menguap) dan asam laktat, oksalat dan tartarat (asam organik yang tidak mudah menguap) (Jinap dan Zelinda, 1995).Selama penyangraian asam laktat hanya dapat diuapkan 10 % dari konsentrasi yang ada pada biji kakao (Jinap dan Dimick, 1991).

Citarasa keasaman (acidity) menurut Yusianto (1998) mempunyai korelasi positif nyata dengan komponen citarasa bitterness, brown fruit, citrus, hammy, matalic, smoky, dan scooty serta tidak mempunyai korelasi nyata dengan komponen citarasa lainnya.

Hasil penilaian panelis terhadap

citarasa pahit terhadap dark chocolate yang dihasilkan berkisar 4.67 (Moderately strong /agak kuat) hingga 7.50 (strong /kuat). Nilai citarasa bitternes paling rendah adalah dark chocolate yang kualitas tinggi yang berasal dari biji kakao Sulawesi Tengah (A3B2). Menurut Clifford (1985) dalam Misnawi dan Jinap (2008) rasa pahit pada cokelat berasal dari komponen-komponen alkaloid seperti theobromin dan caffeine, komponen fenolic, pirazin, beberapa peptide, dan asam amino bebas. Selanjutnya dikatakan bahwa polifenol dalam cokelat sebagai komponen yang banyak bertanggungjawab terhadap rasa sepat, juga menghasilkan rasa pahit. .Menurut Afriansyah ( 2005). Timbulnya rasa pahit pada cokelat disebabkan oleh adanya theobromin, polifenol, dan flavoid dalam biji kakao .

Hasil penilaian panelis terhadap citarasa sepat (astringency) terhadap dark chocolate yang dihasilakan adalah berkisar dari 4.67 hingga 7.50 . Nilai citarasa astringent paling rendah adalah dark chocolate kualitas tinggi yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Tengah (A3B2) dan nilai paling tinggi adalah dark chocolate kualitas sedang yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan (A1B1). Rendahmya penerimaan panelis terhadap nilai citarasa sepat (astringent) diduga disebabkab oleh tingginya kandungan polifenol dark

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75

69

chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Tengah (Gambar.7). Menurut Clifford (1985) dalam Misnawi dan Jinap (2008), rasa sepat cokelat meningkat seiring dengan peningkatan derajat polimerisasi polifenol yang dikandungnya.

Citarasa sepat yang timbul pada cokelat disebabkan oleh kandungan antosianin yang sebagian terurai selama proses fermentasi berlangsung karena masuknya asam pada keping biji.

Secara umum citarasa dark cokelat kualitas tinggi penerimaan panelis lebih rendah dibanding dengan citarasa dark chocolate kualitas sedang disebabkan dark chocolate kualitas tinggi mempunyai citarasa asam (Acidity), pahit (Bitterness) dan sepat (Astringen) yang lebih menonjol sehingga dapat menurunkan penerimaan panelis terhadap citarasa aroma dan flavor dark chocolate yang dihasilkan.

Citarasa Caramel (Caramelly), Manis (Sweetness), Cream (Creamy)

Hasil uji citarasa cokelat terhadap citarasa caramelly dark chocolate kualitas sedang adalah 5.17 - 7.67 yang berarti Neutral; hingga Good (baik) sedangkan untuk kualitas tinggi adalah 4.33 - 5.67 yang berarti “bad” hingga “Neutral”. Timbulnya rasa caramel pada produk cokelat disebabkan karena selama proses pemanasan terjadi reaksi antara gugus asam amino, peptide, atau protein dengan gugus hidroksil glikosid atau melanoidin. Reaksi ini dikenal dengan reaksi Maillard. Menurut Winarno (1992), reaksi Maillard adalah reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer.

Hasil penilaian terhadap citarasa manis (sweetness) dark chocolate kualitas sedang (B1) mempunyai citarasa manis yang lebih tajam dibanding dengan kulaitas tinggi (B2) disebabkan persentase gula yang ditambahkan lebih besar. Nilai citarasa manis (sweetness) dark chocolate

kualitas sedang berkisar 6.50 - 7.67 yang berarti kuat (strong). Rasa manis adalah sifat rasa yang mempengaruhi citarasa keseluruhan cokelat. Rasa manis ini terutama diperoleh dari penambahan padatan gula dalam proses formulasinya. Beberapa asam amino bebas seperti glisin dan alanine serta beberapa peptida juga memberikan rasa manis. Namun, bila dibandingkan rasa manis yang berasal dari padatan gula, konstribusi asam-asam amino tersebut sangat kecil. Arti penting asam-asam amino dan gula dalam biji kakao sangat besar dalam pembentukan komponen citarasa , terutama selama penyngraian.Konsentrasi asam amino dan gula akan menurun secara nyata selama proses tersebut, yakni sejalan dengan peningkatan jumlah komponen citarasa (Misnawi dan Jinap, 2008).

Hasil penilaian terhadap citarasa creamy dark chocolate yang dihasilkan adalah berkisar dari 4.67 hingga 7.17 (Tabel 4).Nilai terendah adalah pada perlakuan A3B2 dan tertinggi pada A1B1. Penerimaan panelis terhadap citarasa dark chocolate yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh citarasa pahit . Biji kakao asal Sulawesi Tengah mempunyai kadar polifenol yang tinggi dibanding biji kakao lainnya (Gambar 7) sehingga mempengaruhi citarasa dark chocolate secara keseluruhan. Citarasa creamy timbul dari perpaduan antara rasa cokelat yang tajam dengan tekstur yang lembut menghasilkan citarasa creamy yang lebih tinggi.

Kehalusan (Texture) dan Penampakan (Preference)

Hasil penilaian panelis terhadap kehalusan (texture) terhadap dark chocolate yang dihasilkan berkisar 7.50 hingga 7.83 yang berarti semua perlakuan menghasilkan dark chocolate dengan nilai kehaluasan yang relative sama . Hal ini disebabkan semua perlakuan atau semua formula diolah dengan waktu conching yang sama sehingga diperoleh tingkat kehalusan dark chocolate yang sama pula .

Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)

70

Penghalusan (refening) dan koncing (conching) merupakan proses yang sangat berpengaruh terhadap citarasa cokelat. Demikian juga proses tempering menentukan tekstur cokelat.Penghalusan sangat diperlukan untuk menghasilkan tekstur produk cokelat dan kelinciran (smoothness) cokelat saat dimakan. Melalui penghalusan yang baik, fraksi-fraksi padat dalam cokelat akan menyebar rata dalam fraksi cair (lemak) dan potensi aroma, serta citarasa dan warna khas cokelat tertampakkan (Misnawi dan Jinap, 2008).

Hasil penilaian panelis terhadap penampakan (preference) terhadap dark chocolate yang dihasilkan berkisar 4,33 hingga 7,50. Penilaian panelis tertinggi terhadap nilai penampakan adalah dark chocolate A1B1 yaitu 7,50 yang berarti berada pada nilai kuat (strong) dan terendah 4,33 pada dark chocolate A3B2 yang berarti pada nilai moderately weak (agak lemah).

Dari segi citarasa dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan mempunyai tingkat keterterimaan produk yang lebih tinggi dibanding dengan dark chocolate yang diolah dari biji kakao Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah ( Tabel 4).

Dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan mempunyai skor nilai yang lebih tinggi dengan kategori “Good” disebabkan biji kakao asal Sulawesi Selatan mempunyai kadar biji slaty yang paling rendah dibanding biji kakao asal Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Sedangkan rendahnya penerimaan dari dark chocolate A3B2 disebabkan disamping kadar biji slaty yang lebih tinggi juga rasa asam dan pahit yang lebih menonjol dibanding dengan dark

chocolate lainnya (Tabel 1 dan Tabel 4).

Sifat genetis, kondisi lingkungan, pemanenan, pengolahan biji, dan pabrikasi adalah beberapa di antara banyak factor yang berpengaruh besar terhadap citarasa, tekstur, dan warna cokelat. Biji kakao dari daerah asal berbeda umumnya mempunyai citarasa yang berbeda. Perbedaan tersebut sebenarnya lebih dikarenakan adanya perbedaan botani tanaman, kondisi dan lingkungan tempat tumbuh, serta penanganan pasca panen yang dilakukan Misnawi dan Jinap (2008).

Perbedaan skor citarasa produk dark chocolate dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti factor genetic, perbedaan teknik/metode/cara fermentasi, jenis biji kakao, iklim, dan kondisi tanah tumbuh biji kakao.

Mutu citarasa cokelat biasanya tergantung pada asal biji kakao dan biji kakao yang berasal dari tempat yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan karakteristik citarasa cokelat (chocolate) seperti keasaman (acidity), hammy atau burnt /smokey (Powell, 1983).

Citarasa cokelat sangat ditentukan oleh genetis bahan tanam, cara/metode pengolahan dan cara penyiapan makanan cokelat (Lopez dan Mc.Donald, 1981; Wardoyo, 1991).

Menurut Rohan (1963), sebagian besar komponen citarasa chocolate / cokelat merupakan hasil reaksi gula pereduksi dan asam amino.

Asam Lemak dan Asam Amino

Hasil analisa asam lemak dan asam amino pada berbagai dark chocolate, dapat dilihat pada Tabel berikut ini :

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75

71

Tabel 5. Hasil Analisa Asam Amino dan Asam Lemak Berbagai Dark Chocolate

Parameter Unit A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Asam Amino

Aspartat ppm 5119.51 7267.07 4921.95 9334.81 4423.79 9236.85

Glutamat ppm 9336.65 11662.83

7574.91 14955.54

6400.6 13869.34

Serin ppm 3081.04 5399.53 3085.58 3888.01 3363.28 3606.48

Glisin ppm 3019.24 4374.45 2887.75 3808.95 2619.84 3809.45

Histidin ppm 1100.34 1807.57 1077.02 1145.34 1075.71 1443.88

Arginin ppm 3112.77 3629.24 2946.11 4895.03 2613.32 4773.03

Threonin ppm 2391.15 2994.96 2511.66 3198.26 1859.19 3260.11

Alanin ppm 2646.99 3560.38 2580.57 3954.96 2137.04 3762.21

Prolin ppm 3540.52 4733.74 3370.31 5070.15 4228.66 4658.83

Falin ppm 3782.71 4362.12 3509.89 4652.16 2793.62 4338.46

Metionin ppm Not detection

431.19 Not detection

528.29

219.53 507.71

Isouleusin ppm 2585.68 2786.79 2399.14 2823.81 1924.91 2622.53

Leusin ppm 3247.16 4008.75 3457.03 4644.72 2640.34 4286.54

Phenilalanin ppm 2696.87 3359.17 3109.06 3634.28 2336.14 3872.46

Lisin (Lysine HCl)

ppm 2338.98 3058.62 2072.79

7210.32

1610.72 7608.86

Asam Lemak

Asam Palmitat mg/100g 9815.45 12960.25

10114.75

13251.5

10716.85

15053.95

Asam Stearat mg/100g 13298.55 17654.15

12608.05 16931.25

14042.5 19825.65

Asam Oleat mg/100g 7393.8 11406.1 7012.05 16931.25

7874.15 12038.4

Asam Linoleat mg/100g 63 144.95 92.75

105.3

134.3 133.2

Asam Arachidat

mg/100g 487.3 641.25 509.8 684.05 489.55 694.65

Dari Tabel 5. Dapat dilihat

bahwa kandungan jenis asam amino yang terbesar pada dark chocolate adalah asam glutamate, menyusul aspartate , serin, falin, prolin, leusin, arginine.

Untuk produk dark chocolate asal Sulawesi Selatan, mempunyai

kandungan asam amino serin, glisin dan histidin yang lebih tinggi dibanding dengan dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.

Untuk dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Barat mempunyai kandungan jenis asam

Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)

72

amino asam aspartate, glutamate, arginine, alanine, prolin, falin, metionin, isoleusine, leusin, yang lebih tinggi dibanding dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.

Untuk dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Tengah mempunyai kandungan jenis asam amino treonin, penilalanin dan lisin yang lebih tinggi dibanding dark chocolate dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Dari Tabel 5, diketahui bahwa asam amino dari produk yang dihasilkan terdiri dari dari beberapa jenis. Beberapa jenis asam amino tertinggi diantaranya glutamat, aspartat, falin, prolin, leusin, arginine.

Komponen precursor aroma diantaranya asam amino dan gula reduksi, terbentuk dari hasil hidrolisis protein dan sukrosa biji kakao. Asam amino terbentuk karena dekomposisi dari protein , dimana asam amino ini mempunyai korelasi yang nyata dengan pembentukan flavor pada kondisi fermentasi normal (Gu,et al, 2013). Aktivitas enzim dan oksidasi menyebabkan protein diubah menjadi asam amino (Jinap, et al, 2010).

Sedangkan komponen asam lemak utama adalah asam sterarat, asam palmitat, asam oleat, asam arachidat, dan asam linoleat. Dari hasil uji asam lemak, menunjukkan bahwa dark chocolate yang diolah dari biji kakao Sulawesi Tengah mempunyai kandungan asam stearat, asam palmitat, asam oleat dan asam arachidat yang lebih tinggi dibanding dengan dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat .

Perbedaan kandungan asam amino dan asam lemak dari dark chocolate yang diolah dari biji kakao asal Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah disebabkan oleh faktor tempat tumbuh dan letak geografis dari pohon kakao tersebut.

Kandungan asam lemak biji kakao sangat beragam dan ditentukan oleh jenis tanaman , lokasi/daerah, jenis tanah dan musim pembuahan ( Padilla, et al, 2000). Lemak kakao lebih banyak disusun asam lemak jenuh yaitu asam palmitat (C 16), 25 % dan asam stearate (C 18) 35 %. Selain itu asam lemak rantai ganda seperti asam oleat ( C 18:1) 35 % dan asam linoleat (C 18:2) 3 %. Komposisi yang berimbang ini menjadikan cokelat dianggap sebagai makanan yang menyehatkan sekaligus bersifat unik dalam industri pengolahan pangan.

Sebagian besar asam lemak bervariasi karena jenis/species, iklim, lingkungan tempat tumbuh, dan kemasakan buah. Selama proses kemasakan buah terjadi penurunan asam linoleat dan asam lemak jenuh sedangkan asam stearate menjadi meningkat (Chow, 2014). Komposisi asam lemak kakao sangat berpengaruh pada titik leleh dan tingkat kekerasannya.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa formulasi dan daerah asal (sumber) biji kakao fermentasi mempengaruhi mutu dan citarasa dark chocolate terutama titik leleh, kadar asam amino, asam lemak, kadar polifenol dan nilai rasa .

Dark chocolate dari biji kakao Sulawesi Selatan mempunyai nilai kategori “good” , Sulawesi Barat mempunyai nilai kategori “neutral” baik kualitas sedang maupun tinggi, sedangkan dari Sulawesi Tengah mempunyai nilai “neutral “ untuk kualitas sedang sedangkan untuk kualitas tinggi mempunyai nilai kategori “bad”.

Dark chocolate yang dihasilkan dari kakao asal Sulawesi tengah memiliki kandungan polifenol tertinggi dibanding dark chocolate dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75

73

DAFTAR PUSTAKA

Adi, D.A., Elisabeth., Suharyanto., Rubiyo., (2006). Pengaruh Fermentasi Biji Kakao Terhadap Mutu Produk Olahan Setengah Jadi Cokelat, Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian, Bali.

Afriansyah,N. 2005.Cokelat Sarat Antioksidan Penyehat Jantung . Puslitbang Gizi dan Makanan , Departemen Kesehatan dalam Kompas, Rabu 3 Maret 2005.

Atkinson, Catherine, Mary B., Christine F., McFadden C., (2010). The Chocolate and Coffee Bible. Hermes House. ISBN 978-1-84477-385-5.

Badan Agribisnis, (1998). Standar Operating Procedure (SOP) for Cocoa Bean at Stream Activities, Departemen Pertanian, Jakarta.

Becket, S.T., (2009). Industrial Chocolate Manufacture and Use 4

th

Edition, Wiley-Blackwell Ltd.

Buckle, K.A., Edward, R.A., Fleet, G.H., Wootton, M., Penerjemah Purnomo H, Adiono, (1987). Ilmu Pangan, Penerjemah Hari Purnomo, Cetakan ke-1 Penerbit UI-Press, Jakarta.

BSN, 1992. SNI Cara Uji Makanan dan Minuman (SNI 01-2891-1992). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Chow, K.C, 2014. Fatty Acids in Food and Health, Implication third edition, bookgoogle.com.isbn. Diakses 16-1-2014.

Gu, Fenglin; L Tan; H,Wu; Y. Fang; Fei Xu; Z. Chu and Q.Wang, 2013. Comparison of Cocoa Beans from China, Indonesia, and Papua New Guienea, Foods 2013.

Jinap,S. dan P.S. Dimick (1991). Effect of roasting on acidic characteristics of coco beans. Journal of the Science of Food Agriculture, 54.

Jinap, S; H. Siti Mordingah dan M.G. Norsiati (1994). Formation of methylphyrazine duringcocoa beans fermentation. Pertanika, 17, 27, 32. Jinap,S. dan A. Zeslinda (1995). Influence of organic acids on flavor perception of Malaysian dan Ghanian cocoa beans. Journal of Food Science dan Teknology 32, 153 – 155.

Jinap S; Lioe HN; Yusep I; Nazamid S; Jamilah B, 2010. Role of Carboxypeptidases to the Free Amino Acid Composition Methylpyrazine Formation and Sensory Characteristic of Underfermented Cocoa Beans International Food research J 17 763-774 (2010).

Lipp, M., & Enklam, E.(1998). Review of cocoa butter and alternative fats for use in chocolate part A.Composition data. Food Chemistry , 62, 73 – 97.

Liyanda, M., Karim, A., dan Abubakar, Y. (2012). Analisis kriteria kesesuaian lahan terhadap produksi kakao pada tiga klaster pengembangan di Kabupaten Pidie.Jurnal Agrista .

Lopez, A.S., and Mc. DonaldCR. 1981. A Definition of descriptorsto be used for the qualification of chocolate flavors in organoleptic testing. Rev. Theobroma 11 (3) : 209 – 217.

Misnawi, 2005. “Peranan Pengolahan terhadap Pembentukan Citarasa Cokelat “, Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia .

Misnawi dan J.Selamat. (2008). Citarasa, Tekstur, dan Warna Cokelat, dalam T.Wahyudi, T.R. Panggabean, dan Pujianto (Editor). Panduan Lengkap Kakao, Jakarta.: Penebar Swadaya.

Powell, BD. 1983. “Changes in Cocoa beans avaibility” Manufac. Confct., 9: 63 – 66.

Pengaruh Formulasi Dan Asal Biji Kakao…..(Sitti Ramlah)

74

Riyani. S., (2011), Aplikasi Program Linier pada Optimasi Formulasi Coklat batang dengan menggunakan Cocoa Butter Subtitute dan Inulin, Tugas Akhir, UNPAS, Bandung.

Rohan, T.A. 1963. Processing of Row Cocoa for Market. FAO Agric. Studies, Rome.

Spillane, J., 1995, Komoditi KakaodanPeranan Dalam Perekonomian Indonesia,Kanisius, Yogyakarta.

Wahyudi, T.R., Panggabean, dan Pujianto (Editor ).(2008). Panduan Lengkap Kakao.Jakarta.: Penebar Swadaya.

Wardoyo, S. 1991. Beberapa Persyaratan Dasar untuk Meningkatkan Mutu Biji Kakao Indonesia. Proc. Konp. Nasional Kakao III. Pusat Penelitian Perkebunan Jember, Pusat Perkebunan Medan, ASKINDO, Medan.

Winarno,FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Winarno, FG. 2002. Pengantar Teknologi Pangan. Penerbit PT.Gramedia Pustaka,

Jakarta.

Yusianto, 1998. Analisis Hubungan Antar Komponen Citarasa Biji Kakao. Pelita Perkebunan Vol. 14 (2) : 124 – 140.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 58-75

75