13
244 Vol.16 No 2 (Juli-Desember) 2018 JENDERAL A.H. NASUTION DALAM PERISTIWA 17 OKTOBER 1952 Endang Fathurahman, Ahmad Sugiri dan Yanwar Pribadi UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email- [email protected] Abstrak Tentara Nasional Indonesia terwujud karena keinginan rakyat, terutama para pemuda, yang merasa terpanggil untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia yang telah diproklamasikan. Pada tahun 1947, laskar-laskar dan TRI dalam tentara kebangsaan disatukan, dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada tahun 1950-1952 Jenderal A. H. Nasution diangkat menjadi KSAD, dalam kepemimpinannya terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952 ketika ia mengajukan usul kepada presiden untuk membubarkan parlemen. Tetapi peristiwa ini juga terjadi karena adanya upaya parlemen yang ikut campur dalam urusan militer, dan Angkatan Darat pada waktu itu menghadapi krisis yang dapat meningkat ke arah perpecahan. Kata Kunci: A.H. Nasution, Peristiwa 17 Oktober 1952, TNI. Abstract The Indonesian National Army was realized because of the desire of the people, especially the youth, who felt called to fight for the independence of the Indonesian state that had been proclaimed. In 1947, the paramilitary forces and the TRI in the national army were united, under the name of the Indonesian National Army (TNI). In 1950-1952 General A. H. Nasution was appointed as Army Chief of Staff, in his leadership the 17 October 1952 incident occurred when he submitted a proposal to the president to dissolve parliament. But this event also occurred because of parliamentary efforts to interfere in military affairs, and the Army at that time faced a crisis that could escalate towards division. Keywords: A. H. Nasution, 17Oct 1952, Indonesian National Army (TNI). Pendahuluan Lahirnya tentara kebangsaan Indonesia saat penjajah tidak mau menerima kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, karena ingin tetap menjajah Indonesia, atas keinginan rakyat dan pemuda berjuang mempertahankan kemerdekaan negara yang telah diproklamasikan, secara spontan memenuhi panggilan tanah air dengan mengangkat senjata. 1 Tentara Nasional Indonesia (TNI) awalnya bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), selanjutnya diubah kembali menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi, TNI berasal dari berbagai golongan masyarakat, elemen, dan organisasi antara lain PETA, KNIL, Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang condong ke kiri (sosialis/komunis), Barisan Banteng yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Hizbullah yang erat dengan Partai 1 Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, (Jakarta; LKIS, 2005), p. 42

jenderal ah nasution dalam peristiwa 17 oktober 1952

Embed Size (px)

Citation preview

244 Vol.16 No 2 (Juli-Desember) 2018

JENDERAL A.H. NASUTION DALAM PERISTIWA 17 OKTOBER 1952

Endang Fathurahman, Ahmad Sugiri dan Yanwar Pribadi

UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email- [email protected]

Abstrak

Tentara Nasional Indonesia terwujud karena keinginan rakyat, terutama para pemuda, yang merasa terpanggil untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia yang telah diproklamasikan. Pada tahun 1947, laskar-laskar dan TRI dalam tentara kebangsaan disatukan, dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada tahun 1950-1952 Jenderal A. H. Nasution diangkat menjadi KSAD, dalam kepemimpinannya terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952 ketika ia mengajukan usul kepada presiden untuk membubarkan parlemen. Tetapi peristiwa ini juga terjadi karena adanya upaya parlemen yang ikut campur dalam urusan militer, dan Angkatan Darat pada waktu itu menghadapi krisis yang dapat meningkat ke arah perpecahan.

Kata Kunci: A.H. Nasution, Peristiwa 17 Oktober 1952, TNI.

Abstract The Indonesian National Army was realized because of the desire of the people, especially the youth, who felt called to fight for the independence of the Indonesian state that had been proclaimed. In 1947, the paramilitary forces and the TRI in the national army were united, under the name of the Indonesian National Army (TNI). In 1950-1952 General A. H. Nasution was appointed as Army Chief of Staff, in his leadership the 17 October 1952 incident occurred when he submitted a proposal to the president to dissolve parliament. But this event also occurred because of parliamentary efforts to interfere in military affairs, and the Army at that time faced a crisis that could escalate towards division. Keywords: A. H. Nasution, 17Oct 1952, Indonesian National Army (TNI). Pendahuluan Lahirnya tentara kebangsaan Indonesia saat penjajah tidak mau menerima kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, karena ingin tetap menjajah Indonesia, atas keinginan rakyat dan pemuda berjuang mempertahankan kemerdekaan negara yang telah diproklamasikan, secara spontan memenuhi panggilan tanah air dengan mengangkat senjata.1 Tentara Nasional Indonesia (TNI) awalnya bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), selanjutnya diubah kembali menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi, TNI berasal dari berbagai golongan masyarakat, elemen, dan organisasi antara lain PETA, KNIL, Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang condong ke kiri (sosialis/komunis), Barisan Banteng yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Hizbullah yang erat dengan Partai

1Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, (Jakarta;

LKIS, 2005), p. 42

Tsaqofah; Jurnal Agama dan Budaya 245

Islam Masyumi, Tentara Pelajar (TP), Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), kumpulan orang-orang daerah, seperti Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan orang Batak Sumatera yang membentuk pasukan istimewa2, dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada periode tahun 1950-1952, perasaan antipati yang telah tertanam pada kaum militer terhadap kaum sipil semakin bertambah pada masa Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) adanya kerjasama antara pemerintah Natsir (sipil) dengan militer yang cukup harmonis. Namun pada Kabinet Wilopo terjadi konflik antara kaum politisi (sipil) dengan militer mulai timbul lagi, yaitu dengan terjadinya suatu peristiwa yang bisa disebut Peristiwa 17 Oktober 1952.3 Berbicara tentang peristiwa 17 Oktober 1952 tidak lepas dari kiprah Jenderal A. H. Nasution, lahir di Kotanopan Sumatera Utara pada 3 Desember 1918 dari ayah H. Abdul Halim Nasution dan ibu Hj. Zaharah Lubis. Nasution mengawali karirnya sebagai seorang guru di Bengkulu dan Batu Raja, Palembang dan masuk dalam dunia militer pada tahun 1940 sebagai siswa Corps Opleiding Reserve Officien (CORO) di Bandung kemudian diangkat sebagai Pembantu Letnan Calon Perwira (Cadet Vaandring) yang saat Jepang masuk ke Indonesia ditempatkan di Kebalen Surabaya.4 Itulah sedikit gambaran Peranan Jenderal A. H. Nasution dalam peristiwa 17 Oktober 1952. Oleh karena itu tulisan ini berupaya mengungkap tentang biografi Jendral A. H. Nasution, peristiwa 17 Oktober 1952 dan peran Jendral A. H. Nasution yang disuguhkan dalam bentuk jurnal skripsi yang berjudul “Peranan Jenderal A. H. Nasution Dalam Peristiwa 17 Oktober 1952”. Kerangka Teori Teori sejarah menurut R. Moh. Ali dalam bukunya “Pengantar Ilmu Sejarah” mengatakan bahwa gerak sejarah disebabkan oleh manusia yang berjiwa besar seperti peranan pahlawan, baik pahlawan kemerdekaan dan kemanusiaan, maupun pahlawan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejarah termasuk ilmu empiris, sejarah sangat tergantung dengan pengalaman manusia. Pengalaman itu direkam dalam dokumen, dan dokumen-dokumen itulah yang diteliti oleh sejarawan untuk menemukan fakta, dan sejarah mempunyai objek, yaitu waktu. Waktu dalam pandangan sejarah tidak pernah lepas dari manusia.5 Peranan merupakan suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat.6 Militer merupakan suatu kelompok orang yang diorganisasi dengan disiplin untuk melakukan pertempuran yang dibedakan dari orang-orang sipil menurut Finer. Tujuan pokoknya untuk bertempur dan memenangkan peperangan guna mempertahankan dan memelihara eksistensi negara7. Keterlibatan militer Indonesia dalam politik mempunyai akar dan latar belakang yang panjang, pada awal pembentukannya TNI dirancang sebagai alat pertahanan negara. Perang melawan Belanda mengakibatkan kekosongan pemerintah di daerah, yang

2Ibid…p.51-54 3Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966,

(Yogyakarta; Gajah Mada Uiversity Press 2005) p.71-73 4A. H. Nasution, Pokok-Pokok Grilya, (Yogyakarta; Penerbit Narasi 1953), p.1 5Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta; Tiara Wacana 2013), p.46 6Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), p.

735 7Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966,

(Yogyakarta; Gajah Mada Uiversity Press 2005), p.1

246 Vol.16 No 2 (Juli-Desember) 2018

menyebabkan militer mengisinya untuk menjalankan pemerintahan, hinaan anggota parlemen yang tidak wajar terhadap TNI telah menyebabkan campur tangan tentara dalam urusan politik dengan mengusulkan pembubaran parlemen, yang dikenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952.8 Riwayat Hidup Jenderal A. H. Nasution

1. Latar Belakang Keluarga Abdul Haris Nasution atau lebih dikenal Jenderal A. H. Nasution lahir pada tanggal 3 Desember 1918 di Desa Hutapungkut, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dari pasangan H. A Halim Nasution dan H. Zahra Lubis.9 A. H. Nasution adalah anak kedua, tambahan nama Nasution di belakang nama Abdul Haris merupakan tradisi Suku Batak yang mengikuti marga ayahnya. Sebagai anak laki-laki A. H. Nasution akan meneruskan marga Nasution tersebut dalam silsilah keluarga.10 Masa kecilnya A. H. Nasution gemar membaca buku-buku cerita kepahlawanan Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai ahli dalam strategi perang. Masyarakat Mandailing sangat memperhatikan pendidikan anak-anak mereka, mereka berhemat dan bekerja untuk menyekolahkan anak laki-laki mereka di berbagai tempat, terdapat perkataan di masyarakat Mandailing “biarlah makan ikan asin dan sayur saja agar dapat menyekolahkan anak-anaknya”.11 Masa depan A. H. Nasution sempat menjadi perdebatan di keluarganya. Ayahnya menginginkan agar A. H. Nasution melanjutkan ke sekolah agama, setelah menamatkan sekolah dasar. Sedangkan Ibunya menghendaki, agar A. H. Nasution melanjutkan ke sekolah umum yang waktu itu disebut sekolah Belanda.

2. Latar Belakang Pendidikan Pada tahun 1925 A. H. Nasution bersekolah di HIS (Hollandsche Inlandsche School) atau setara dengan Sekolah Dasar di Katanopan, kegiatan sehari-hari A. H. Nasution setelah tiba di rumah pukul 14.00 sampai 15.00 segera sembahyang dan melanjutkan pendidikan yang lain yaitu mengaji di madrasah dekat rumahnya hingga magrib tiba.12 Pada tahun 1932, A. H. Nasution menamatkan HIS kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah HIK “Hollandsche Indische Kweekschool” yaitu sekolah guru di Bukittinggi. Di Bukittinggi A. H. Nasution tinggal di asrama selama tiga tahun, terjadi perubahan besar dalam cara hidup A. H. Nasution yaitu hidup dalam disiplin asrama. Guru-guru di HIK adalah orang Belanda, kecuali guru seni rupa dan bahasa Melayu, dari sinilah A. H. Nasution dapat mengenal cara berfikir, watak dan sikap orang Belanda yang kelak akan dihadapinya dalam perang Kemerdekaan Indonesia.13 Pada tahun 1935, A. H. Nasution berangkat ke Bandung untuk menamatkan sekolah guru, di Bandung Nasution satu kelas dengan siswa-siswa sekolah guru di seluruh Hindia Belanda yang dibubarkan, dalam satu kelas yang

8Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,

(Jakarta; LKIS 2005), pp.1-2 9 Yayasan Kasih Adik, Mengawal Nurani Bangsa Jenderal Besar Dr. A. H. Nasution,

(Jakarta; CV. Ami Global Media 2008), p.244 10 A. H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid I Kenangan Masa Muda, (Jakarta:

Haji Masagung, 1982), p.8 11 A. H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid I…, p.9 12 A. H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid I…, p.9 13 Asvi Warman Adam, 1965: Orang-Orang Dibalik Tragedi, (Yogyakarta; Galang

Press, 2009), p.85

Tsaqofah; Jurnal Agama dan Budaya 247

berjumlah 25 siswa, ada yang berasal dari Blitar, Yogyakarta, dan lainnya, sedangkan Nasution sekamar dengan siswa asal Cirebon dan Madura.

3. Pengalaman Karir A.H. Nasution mengawali karirnya sebagai seorang guru di Bengkulu dan Batu Raja di Palembang, masuk dalam dunia militer mulai pada tahun 1940 sebagai siswa Corps Opleiding Reserve Officien (CORO) di Bandung kemudian diangkat sebagai pembantu letnan calon perwira (Cadet Vaandrig) saat Jepang masuk ke Indonesia ditempatkan di Kebalen Surabaya. Pada zaman Jepang 1942-1945 A. H. Nasution sebagai pegawai Kota Praja Bandung, kemudian berhenti dan bergabung dengan Angkatan Muda Bandung serta diangkat sebagai wakil Komandan Batalion Pelopor.14 Pada saat Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 A. H. Nasution berada di Bandung. Untuk menampung aspirasi pemuda dalam bidang kemiliteran, pemerintah lantas membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). A. H. Nasution diangkat sebagai penasehat di BKR Bandung. Pemerintah telah mendekrit pembentukan tentara, Jenderal Urip Sumohardjo mantan perwira KNIL diangkat menjadi Kepala Staf Komandan TKR, di Jawa Barat penyusun TKR diserahkan kepada Didi Kartasasmita. A. H. Nasution diminta menjadi pembantu Didi dan diangkat menjadi Kepala Staf Komandemen TKR Jawa Barat yang bermarkas di Tasikmalaya.15 Pada tahun 1946 A. H. Nasution diangkat menjadi Panglima Divisi III menggantikan Arudji Kartawinata, dengan tugas pertama untuk mereorganisasi dan mengkonsolidasi front Bandung untuk menghadapi Divisi 23 Inggris/India yang menduduki Bandung Utara. Panitia besar organisasi TKR yang diketuai oleh Jenderal Urip Sumohardjo, menghasilkan dibentuknya Divisi I dari penggabungan Divisi Banten/Bogor, Divisi Jakarta/Cirebon dan Divisi Priangan. Komandan-komandan Resimen diundang ke Yogyakarta, kepada mereka diserahkan untuk memilih Panglima baru. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Mei 1946 yang akhirnya dikenal sebagai Hari Jadi Divisi Siliwangi. Kolonel A. H. Nasution terpilih dan bersama panglima-panglima baru dari seluruh Jawa dilantik dengan pangkat Mayor Jenderal oleh Presiden di Yogyakarta.16 Lewat Penpres Nomor 9 tertanggal 17 Februari 1948 di Yogyakarta, A. H. Nasution diangkat menjadi Wakil Panglima Besar dan Kolonel Hidayat sebagai Wakil I KSAP. Pada tahun 1949 setelah pengakuan kedaulatan RI, A. H. Nasution diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD ke 2) dijabat sampai 1952, tahun 1953-1955 A. H. Nasution non aktif sebagai akibat dari peristiwa 17 Oktober 1952, A. H. Nasution harus bertanggung jawab dan mengundurkan diri sebagai KSAD namun pada tahun 1955 Nasution diangkat kembali sebagai KSAD untuk yang kedua kalinya dijabat sampai tahun 1962. Pada periode kedua jabatan KSAD ini, A. H. Nasution disibukkan oleh gejolak dalam negeri berupa pemberontakan dari daerah di Sumatera dan Sulawesi, di samping itu juga sibuk untuk menghadapi persiapan Trikora merebut kembali Irian Barat dan diangkat kembali sebagai Wakil Panglima Besar Komando tertinggi pembebasan Irian Barat merangkap ketua Front Nasional Permibar.17

14 A. H. Nasution, Pokok-Pokok Grilya, (Yogyakarta; Penerbit Narasi 1953), 1 15 Pusat Data dan Analisa Tempo, Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai:

Perjalanan Hidup A. H. Nasution, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti 1998), p.40-41 16 Yayasan Kasih Adik, Mengawal Nurani Bangsa Jenderal Besar Dr. A. H. Nasution,

(Jakarta; CV. Ami Global Media 2008), p.420 17 A. H. Nasution, Pokok-Pokok Grilya, (Yogyakarta; Penerbit Narasi 1953), p.2

248 Vol.16 No 2 (Juli-Desember) 2018

Setahun kemudian 1963, menjadi anggota Musyawarah Pembantu Pemimpin Revolusi, Anggota Dewan Pengawas Kantor Berita “Antara”, Anggota Panitia Peninjau Kembali Depernas, dan Penasehat Agung Majelis Mahasiswa Indonesia, di tahun 1966, tepatnya bulan Februari setelah Tritura (aksi KAMI), A. H. Nasution berhenti sebagai Menko Hankam/KASAB (jabatan tersebut dihapuskan oleh presiden). Namun, setelah Supersemar dan diadakan pembaharuan kabinet, Nasution diangkat kembali sebagai Wakil Panglima Besar Komando Ganyang Malaysia (KAGOM), A. H. Nasution dipilih oleh sidang Umum ke-4 MPRS sebagai ketua MPRS. Bahkan A. H. Nasution pun diangkat sebagai Anggota Dewan Kehormatan RI.18 Pencopotan jabatan A. H. Nasution terjadi pada tahun 1972 saat usianya 53 tahun. Kapuspen ABRI Brigjen Augst Merpaung pada pertengahan April 1972, memberikan keterangan pers bahwa Jenderal A. H. Nasution telah diberitahu secara resmi tentang Masa Persiapan Pensiun (MPP).19 Latar Belakang Peristiwa 17 Oktober 1952 Pada awal 1950-an dipandang sebagai suatu masa yang serba darurat, merosot, dan tidak stabil, baik secara politik maupun ekonomi. Situasi tersebut jelas berpengaruh kepada institusi militer. Beratnya beban anggaran membuat A. H. Nasution selaku KSAD ingin melakukan beberapa tindakan penghematan atau kebijakan, termasuk perampingan organisasi agar terlihat lebih efisien, rasional, modern dan profesional. Rencana A. H. Nasution untuk melakukan reorganisasi dan rasionalisasi menimbulkan ke tidak setujuan beberapa perwira staf AD sendiri, seperti Kolonel Bambang Supeno.20 Pada tanggal 13 Juli 1952 Kolonel Bambang Supeno menulis surat kepada Menteri Pertahanan dengan tembusan kepada parlemen yang isinya tidak setuju atas beberapa kebijakan Pimpinan Angkatan Darat, atas surat tembusan tersebut, Parlemen membicarakan kebijakan KSAD. Pada tanggal 14 Juli 1952, terjadi pertemuan antara Presiden Soekarno dengan Menteri pertahanan (Menhan) Hamengkubuwono IX dan para pejabat militer. Dalam pertemuan tersebut Presiden mempertanyakan berbagai persoalan yang diajukan Bambang Supeno kepada Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, KSAP Simatupang dan segenap kepala staf, termasuk KSAD A. H. Nasution.21 Presiden Soekarno dengan jelas menunjukkan bahwa ia memihak Bambang Supeno. Peristiwa tersebut menyebabkan pimpinan Angkatan Darat Bersenjata tidak melakukan tugas mereka. A. H. Nasution lebih tegas lagi, Nasution menyatakan kesediaannya untuk mengundurkan diri jika Panglima tidak percaya lagi kepadanya, atau jika presiden mencurigainya. Tetapi Presiden Soekarno menolak tawaran A. H. Nasution untuk meletakkan jabatan.22 Di dalam parlemen terjadi perdebatan hangat mengenai masalah Angkatan Perang dan anggota parlemen terjadi saling tuduh menuduh bahwa ada partai atau golongan tertentu yang hendak menguasai Angkatan Perang dan Kementerian Pertahanan. Perdebatan parlemen menghasilkan adanya tiga buah usul mosi

18 A. H. Nasution, Bisikan Nurani Seorang Jenderal, (Bandung; Mizan Pustaka 1997),

p.5 19 Pusat Data dan Analisa Tempo, Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai:

Perjalanan Hidup A. H. Nasution, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti 1998), p.240 20 Pusat Data dan Analisa Tempo, Jenderal…, p.84 21 Pusat Data dan Analisa Tempo, Jenderal…, p.84 22 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta; LP3ES 1986), p.114

Tsaqofah; Jurnal Agama dan Budaya 249

(pendapat) yaitu usul mosi Zainul Baharuddin dan kawan-kawan, usul mosi I. J. Kasimo dan kawan-kawan, usul mosi Manai Sophian dan kawan-kawan. 23 Zainul Baharuddin mengajukan mosi tidak percaya terhadap Menteri Pertahanan, atas inisiatif Ir. Sakiman dari PKI, mosi ini agak diperlunak untuk memungkinkan PNI memberikan suara menentang pemerintah. Mosi itu menghendaki diadakannya “reformasi dan reorganisasi dalam pimpinan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Bersenjata” dan pembentukan sebuah komisi parlemen untuk menyelidiki penyelewengan-penyelewengan administrasi dan keuangan di dalam Kementerian Pertahanan dan Angkatan Bersenjata. Setelah melalui pungutan suara, parlemen menerima usul mosi Manai Sophian yang isinya antara lain mendesak pemerintah agar membentuk suatu panitia yang terdiri dari anggota-anggota parlemen dan wakil-wakil pemerintahan untuk menghadapi masalah-masalah yang timbul dalam perdebatan-perdebatan di Parlemen mengenai Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang serta menyampaikan usul-usul kongkret mengenai penyelesaiannya kepada pemerintah. Dengan diterimanya mosi Manai Sophian, pimpinan Angkatan Darat merasa bahwa parlemen telah mencampuri urusan eksekutif (pemerintah) khususnya masalah intern Angkatan Darat, dan Angkatan darat sudah ditarik untuk ikut polemik masalah politik.24 A. H. Nasution sebagai KSAD merasa kecewa atas putusan tersebut. Untuk mempertahankan keutuhan dan integritas Angkatan Darat, maka pada tanggal 16 Oktober 1952, rapat staf umum Angkatan Darat dengan para Panglima Teritorium. Hasil rapat tersebut berupa petisi kepada Panglima tertinggi presiden Soekarno yang ditandatangani oleh KSAD beserta tujuh Panglima Daerah dan delapan pejabat teras Markas Besar Angkatan Darat. Petisi tersebut berisi beberapa hal. Pertama, masalah usia kabinet yang pendek, hingga tidak satu pun kabinet yang mampu melaksanakan program kerjanya. Kedua, kesulitan yang dihadapi kabinet adalah menghadapi parlemen, 2/3 anggotanya berasal dari bekas negara-negara federal buatan Belanda yang sebelumnya menentang Republik Indonesia. Ketiga, meminta presiden membubarkan parlemen dan membentuk parlemen baru dalam waktu singkat dengan memperhatikan kehendak rakyat melalui pemilihan umum. Keempat, mosi Manai Sophian menurut pendapat Angkatan Darat telah ikut campur dalam mengatur Angkatan Darat.25 Jalannya Peristiwa 17 Oktober 1952 Pada tanggal 17 Oktober 1952 di Markas Besar Tentara, pengambil inisiatif utamanya adalah Kolonel Soetoko dan Kolonel S. Parman. Tetapi demonstran di jalan diorganisasikan oleh Kolonel Dr. Mustopo, seorang yang eksentrik yang mengepalai Dinas Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden Soekarno, serta Mayor Kosasih, Komando Garnisun Jakarta. Seksi Intel Divisi Siliwangi mengarahkan demonstran dari luar Ibukota dengan menggunakan truk-truk tentara. Di samping itu, pasukan dengan tank serta meriam muncul di Lapangan Merdeka dan beberapa pucuk meriam diarahkan ke istana presiden. Pasukan itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Kemal Idris, seorang perwira Siliwangi yang cenderung ke PSI (Partai Serikat Indonesia). Kolonel Kemal Idris telah mendapat

23 A. H. Nasution, Peristiwa 17 Oktober 1952, (Yogyakarta; Penerbit Narasi 2010), p.73 24 A. H. Nasution, Peristiwa…, pp.73-74 25 Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,

(Jakarta; LKIS 2005), p.96

250 Vol.16 No 2 (Juli-Desember) 2018

perintah untuk “memamerkan kekuatan”, tetapi ia tidak diberi wewenang untuk melibatkan pasukannya ke dalam sesuatu tindakan.26 Terjadinya demonstrasi rakyat mengejutkan di Jakarta, yang semula dilakukan oleh 5000 orang dan kemudian bertambah mencapai 30.000 orang.27 Pertama demonstran itu menuju ke tempat gedung parlemen, dan setelah itu berbondong-bondong menuju ke istana presiden untuk menyampaikan tuntutannya. Para demonstran pada pokoknya kepada presiden menuntut “supaya presiden membubarkan DPRS yang ada karena sudah tidak efektif yang telah ikut campur dalam urusan militer kemudian digantikan DPRS yang baru, dan diadakannya pemilihan umum. Presiden Soekarno berbicara kepada massa, Presiden Soekarno menjelaskan bahwa pemilihan umum memerlukan persiapan yang tidak sedikit.28 Namun demikian, Presiden Soekarno sependapat dengan mereka bahwa pemilihan umum itu harus diadakan secepat mungkin. Tetapi membubarkan DPRS dan menyerahkan semua kekuasaan kepada kekuasaan eksekutif saja dari pemerintahan akan berarti menjadikan dirinya diktator. Karena hal itu tidak sesuai dengan ideologi negara, maka ia harus menolak tuntutan demonstran itu, Soekarno lalu memerintahkan massa supaya bubar.29 Pada saat yang bersamaan Presiden Soekarno sedang menerima delegasi Angkatan Darat yang dipimpin oleh KSAD Jenderal A. H. Nasution didampingi Kolonel TB Simatupang beserta para Panglima TT dan pemimpin Angkatan Darat yaitu Kolonel M. Simbolon, Letkol Kosasih, Letkol M. Bahrun, Letkol Suwondo, Letkol Suprapto, Letkol A. Gani, Letkol Sutoko, Letkol Sukanda, Letkol Suryo Suyarso, Letkol S. Parman, Letkol Azis Saleh, Letkol Sumantri, dan Kolonel A.E. Kawilarang.30 Sore harinya pada 17 Oktober 1952 tentara memutuskan jaringan telepon di seluruh Indonesia dan keluar negeri serta melarang terbit beberapa surat kabar seperti Merdeka, Berita Indonesia, dan Mingguan Merdeka. Presiden meminta agar tuntutan tentara untuk membubarkan parlemen itu tidak diumumkan kepada wartawan. Tetapi ternyata ada pihak yang membocorkan kepada pers, pernyataan pimpinan AD itu dimuat dalam Surat Kabar Merdeka.31 Namun, peristiwa tersebut memojokkan A. H. Nasution selaku KSAD, kemudian terjadi “perpecahan” di tubuh AD, karena “bocornya” dokumen BISAP (Biro Informasi Staf Angkatan Perang) yang dikeluarkan oleh Kolonel Zulkifli Lubis, isi dokumen tersebut merupakan hasil dialog antara A. H. Nasution dengan Presiden Soekarno ketika mengajukan petisi di Istana yang mengesankan seolah-olah ia “menekankan” Presiden Soekarno dengan ancaman kudeta oleh pihak Angkatan Darat, laporan BISAP itu menuliskan bahwa Kolonel A. H. Nasution menyodorkan konsep dan minta agar presiden menanda tangani konsep tersebut. Konsep itu antara lain berisi pengumuman tentang adanya bahaya di seluruh Indonesia dan rencana penangkapan terhadap puluhan anggota parlemen serta sejumlah opsir TNI. Dokumen BISAP yang juga dikenal sebagai “Dokumen Lubis” atau Laporan Atrap No. 40 menyebar luas di kalangan partai-partai politik, pers, pemerintah dan bahkan seluruh teritoria militer. Tampaknya bagi sebagian panglima teritorium, laporan

26 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta; LP3ES 1986), p.123

27 M.C Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta; PT Serambi Ilmu

Semesta 2008), p.510 28 Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah 2, (Bandung; Salamadani 2010), p.341. 29 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta; LP3ES 1986), p.123 30 A. H. Nasution, Peristiwa 17 Oktober 1952, (Yogyakarta; Penerbit Narasi 2010), p.89 31 Asvi Warman, Seabad Kontroversi Sejarah, (Yogyakarta; Penerbit Ombak 2007),p.56-

57

Tsaqofah; Jurnal Agama dan Budaya 251

tersebut dianggap sebagai suatu dokumen resmi dan sah karena dikeluarkan Kementerian Pertahanan.32 Dampak Terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952 Muncullah pro-kontra tentang Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mengarah pada perpecahan di tubuh AD. Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) mengalami kontra ofensif dari dalam dan luar. Antara lain dari parlemen, partai, pers dan presiden sendiri. Partai Nasional Indonesia (PNI) salah satu partai terbesar, pada bulan Desember 1952 menyerukan agar rakyat menghujat Peristiwa 17 Oktober 1952 itu sebagai suatu wujud perkosaan demokrasi, mendesak pemerintah untuk mempercepat usaha penyelesaian, serta memutasi KSAP Simatupang maupun Sekjen Menteri Pertahanan Mr. Ali Budiardjo. Adanya perpecahan dalam tubuh Angkatan Darat dijelaskan oleh Kolonel Bambang Sugeng, terjadi peristiwa perdaulatan Panglima TKK Brawijaya sebagai akibat dari Peristiwa 17 Oktober 1952, datanglah 3 orang perwira menengah Angkatan Darat berpangkat Kolonel yaitu Kolonel Bambang Supeno, Kolonel Suhud dan Kolonel Sapari menghadap Kolonel Bambang Sugeng yang sedang sakit menjelaskan bahwa keterlibatan Letkol Dr. Suwondo Panglima TT V/Brawijaya yang ikut mengambil bagian dalam peristiwa 17 oktober 1952.33 Setelah itu, Kolonel Bambang Sugeng memanggil Letkol Dr. Suwondo yang berada di Malang belum lama datang dari Jakarta untuk pergi ke Surabaya, tetapi bukannya memenuhi panggilan Kolonel Bambang Sugeng justru Letkol Dr. Suwondo untuk membatalkan radio yang sudah disiapkan Kolonel Bambang Sugeng dan digantinya dengan perintah harian yang disiarkan melalui RRI Surabaya. Sikap Letkol Dr. Suwondo memicu timbulnya konflik antara Kolonel Sugeng dengan Letkol Dr. Suwondo yang melebar sehingga terjadi saling curiga mencurigai di antara kedua pimpinan teritorium Brawijaya di seputar kedudukan masing-masing terkait dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Rencana yang disiapkan Letkol Dr. Suwondo tersebut gagal di laksanankan karena kedatangan Letkol Abimanyu dan PMT Surabaya yang meminta agar rencana penangkapan itu tidak dilaksanakan dan pencabutan perintah harian tersebut maka keadaan dan situasi di Teriorium V/Brawijaya dapat dikendalikan.34 A. H. Nasution Memimpin Jalannya Demonstrasi Pada Tanggal 17 Oktober 1952 A. H. Nasution dan para perwira lainnya mengorganisasi demonstrasi di Jakarta menuntut pembubaran parlemen (DPRS) untuk digantikan dengan parlemen (DPRS) yang baru.35 Demonstrasi rakyat bergerak dari gedung DPRS di Jln. Wahidin I menuju ke Istana Merdeka untuk menyampaikan tuntutan tersebut kepada Presiden. Di hadapan para demonstran Presiden Soekarno menolak membubarkan parlemen dan menyatakan bahwa ia bukan diktator. Saat bersamaan para panglima Angkatan Darat hadir dalam rapat di SUAD (Staf Umum Angkatan Darat), dalam rapat tersebut juga membahas “Peristiwa 17 Oktober 1952”. Semua panglima Angkatan Darat sudah ada kecuali panglima TT-VI, Kolonel

32 Pusat Data dan Analisa Tempo, Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai:

Perjalanan Hidup A. H. Nasution, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti 1998), p.89-90 33 A. H. Nasution, Peristiwa 17 Oktober 1952, (Yogyakarta; Penerbit Narasi 2010), p.94 34 A. H. Nasution, Peristiwa 17 Oktober 1952, (Yogyakarta; Penerbit Narasi 2010), p.95-

98 35 Robert Cribb dan Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, (Jakarta; Komunitas

Bambu 2012), p.27

252 Vol.16 No 2 (Juli-Desember) 2018

Sadikin yang sakit (Letnan Kolonel Gani yang mewakilinya).36 Suasana rapat pada saat itu cukup ramai karena ada nada protes terhadap politisi di parlemen. Sementara itu hasil rapat SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) yang ditetapkan para panglima Angkatan Darat memutuskan akan pergi ke Istana, dengan maksud menghadap Presiden Soekarno untuk menyampaikan isi hati para Angkatan Darat seperti yang sudah dituangkan dalam pernyatannya yaitu agar Presiden Soekarno membubarkan parlemen (DPRS) untuk digantikan dengan parlemen (DPRS) yang baru. Datanglah KSAP Kolonel Simatupang. Ia memberikan nasihat agar tetap tenang dan dalam usaha ini hendaknya bertemu dulu dengan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX, meminta izin untuk bertemu dengan Presiden Soekarno.37 Setelah mendapatkan izin pada Menteri Pertahanan Hamengukubuwono IX, rombongan yang dipimpin KSAD A. H. Nasution langsung menemui Presiden Soekarno. 38 Para panglima menghadap dan diterima oleh presiden yang terdiri dari KSAD Jenderal A. H. Nasution selaku pemimpin di dampingi KSAP Kolonel TB Simatupang beserta para Panglima TT dan pemimpin Angkatan Darat yaitu Kolonel M. Simbolon, Letkol Kosasih, Letkol M. Bahrun, Letkol Suwondo, Letkol Suprapto, Letkol A. Gani, Letkol Sutoko, Letkol Sukanda, Letkol Suryo Suyarso, Letkol S. Parman, Letkol Azis Saleh, Letkol Sumantri, dan Kolonel A.E. Kawilarang. KSAD Kolonel A. H. Nasution menjelaskan maksud kedatangan para perwira ini, ialah untuk menyampaikan hasil rapat SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) yang ditetapkan para panglima Angkatan Darat. Lalu Nasution menyerahkan pembicaraan selanjutnya kepada Letnan Kolonel Sutoko yang sudah disepakati jadi juru bicara.39 Sutoko menyampaikan bahwa Angkatan Darat berpendapat, bahaya bagi negara yang masih muda seperti Republik Indonesia ini, apabila tidak ada stabilitas politik di dalam negeri.40 Kemudian Kolonel Sutoko menyampaikan “Pernyataan Pimpinan Angkatan Darat” yang tertulis, sebagai hasil rapat Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) dengan para panglima teritorium yang dilangsungkan pada tanggal 16 dan 17 Oktober 1952 dan ditandatangani oleh 16 orang perwira termasuk Kolonel Gatot Subroto yang tidak hadir dalam pertemuan dengan presiden di Jakarta memutuskan mengeluarkan pernyataan sebagai tertera di bawah ini:

1. Pimpinan Angkatan Darat memperhatikan perkembangan di sidang-sidang Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yang sekarang ini mengenai persoalan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang.

2. Cara beberapa anasir membicarakan soal-soal sekitar Angkatan Perang dengan membeberkan rahasia-rahasia Angkatan Perang untuk ditafsirkan dengan maksud-maksud yang destruktif, menunjukkan kecenderungan usaha pemecahan Angkatan Perang untuk memungkinkan pengangkatan-pengangkatan politik dalam Angkatan Perang. Cara-cara demikian itu akan membahayakan pula untuk dipakai pada lapangan-lapangan lain.

3. Melihat demikian itu yang dilakukan terhadap Angkatan Perang dan mungkin terhadap alat-alat negara lainnya adalah sangat berbahaya, karena akan

36 A. H. Nasution, Peristiwa 17 Oktober 1952, (Yogyakarta; Penerbit Narasi 2010),

p.101-102 37 A. H. Nasution, Bisikan Nurani Seorang Jenderal, (Bandung; Mizan Pustaka 1997),

p.386 38 Pusat Data dan Analisa Tempo, Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai:

Perjalanan Hidup A. H. Nasution, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti 1998), p.88 39 A. H. Nasution, Peristiwa 17 Oktober 1952, (Yogyakarta; Penerbit Narasi 2010), p.103 40 A. H. Nasution, Peristiwa 17…, p.104

Tsaqofah; Jurnal Agama dan Budaya 253

mengakibatkan bahwa faktor-faktor kesukaan atau kebencian partai belakalah yang diutamakan di atas unsur-unsur kejujuran dan kecakapan.

4. Pernyataan rakyat yang berwujud tulisan-tulisan, surat kabar, majalah dan secara individual maupun secara rombongan serta demonstrasi-demonstrasi, menguatkan kebenaran, bahwa cara bekerja Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) yang sekarang ini mengandung bahaya bagi negara.

5. Demi keselamatan negara dan keutuhan Angkatan Perang, Pimpinan Angkatan Darat memutuskan:

a) Mendesak kepada Kepala Negara untuk membubarkan DPRS yang sekarang dan membentuk DPRS baru dalam tempo yang singkat dengan memperhatikan kehendak rakyat. b) Mengistirahatkan anasir-anasir di DPRS yang sekarang dan mengambil tindakan terhadap pejabat-pejabat Angkatan Perang yang menyalahi kewajiban penyimpangan rahasia-rahasia Angkatan Perang. c) Melanjutkan pelaksanaan perbaikan Pimpinan Angkatan Perang dan penyempurnaan pertumbuhan Angkatan Perang. d) Menjaga ketertiban umum untuk menghindari kekacauan.

6. Tidak akan ada suatu pemerintahan yang bagaimanapun juga coraknya dapat melaksanakan tugas untuk kepentingan negara, selama cara bekerja DPRS yang sekarang tidak diakhiri.

7. Maka dengan tindakan-tindakan ini Pimpinan Angkatan Darat bermaksud memungkinkan bagi Pimpinan untuk melaksanakan tugasnya. 41

Presiden menjanjikan dalam tempo singkat akan membicarakan soal ini dengan pemerintah dan akan merundingkan segera mungkin diadakan Pemilu. Ia juga menyebutkan, bahwa suara-suara rakyat di luar Jakarta akan diperhatikan.42 Peranan Jenderal A. H. Nasution Dalam Peristiwa 17 Oktober 1952

1. H. Nasution Bertanggung Jawab Atas Terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952

Setelah peristiwa 17 Oktober 1952, pemimpin-pemimpin tentara melanjutkan musyawarah mengenai situasi dan mencabut kembali semua pembatasan yang mereka berlakukan pada tanggal 17 Oktober. Parlemen menyetujui usul untuk mengadakan reses. Tetapi Soekarno mengancam, bahwa akan ada aksi balasan terhadap para “pemburu dalam tentara”, dan akan menepati janjinya, A. H. Nasution tidak dapat berbuat apa-apa, terlebih lagi karena kabinet mengambil kebijaksanaan untuk berusaha melewati masalah yang ditimbulkan oleh peristiwa 17 Oktober dan bertahan terus dengan jalan mencegah terjadinya pergolakan yang besar dalam bidang pertahanan.43 Sikap kabinet dan A. H. Nasution tersebut mendorong mereka untuk bertindak lebih lanjut. Namun posisi lawan pimpinan tentara menjadi cukup kuat untuk menuntut kepada pemerintah agar mengambil tindakan terhadap para pimpinan tentara.44 A. H. Nasution telah mempersiapkan surat edaran yang berisi pernyataan kesediaan berhenti dari jabatannya. Tindakan itu dilakukannya sebagai bentuk tanggung jawabnya atas terjadinya Peristiwa 17 Oktober dan semua rentetan peristiwa 17

41 A. H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 3 Masa Pancaroba Pertama,

(Jakarta; Haji Masagung 1982), p.163 42 A. H. Nasution, Peristiwa 17 Oktober 1952 (Yogyakarta; Penerbit Narasi 2010), p.106 43 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta; LP3ES 1986), p.130 44 Ulf Sundhaussen, Politik …, p.131

254 Vol.16 No 2 (Juli-Desember) 2018

Oktober di berbagai daerah, misalnya di Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Dengan disiapkannya pengumunan surat edaran itu dimaksudkan, supaya para bawahan Angkatan Darat jangan ragu-ragu lagi tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap peristiwa 17 Oktober itu.45 Sikap A. H. Nasution yang bersedia untuk mengambil alih tanggung jawab atas peristiwa 17 Oktober 1952 itu memperoleh tanggapan positif dari para politisi sipil. Dr. Sukiman dari Masyumi menyatakan pujiannya atas sikap ksatria KSAD, dan demi rasa keadilan menuntut Menhan Hamengkubuwono IX untuk melakukan hal yang sama.46 Pemerintah telah mempersiapkan pengganti A. H. Nasution yaitu Kolonel Bambang Sugeng. Kolonel Bambang Sugeng merupakan seorang perwira dari bekas PETA. Upacara serah terima dari A. H. Nasution kepada Bambang Sugeng dilakukan di MBAD (Markas Besar Angkatan Darat). Pada tanggal 5 Desember 1952, Kolonel A. H. Nasution dibebaskan oleh pemerintah dan berhenti sebagai KSAD, dan beberapa perwira “pro-17 Oktober” lainnya .47 Setelah tuntutan hukum itu terhenti, Nasution diangkat kembali sebagai KSAD kemudian diberhentikan sebagai KSAD, Nasution menjalani serangkaian pemeriksaan oleh Jaksa Agung dan Kepala Reserse Pusat, Nasution mengungkapkan rekonstruksi kejadian dan dialog sebenarnya di dalam Istana dengan Presiden Soekarno. Hal ini dilakukan sekaligus sebagai bantahan atas Dokumen BISAP yang beredar luas di masyarakat. BISAP tersebut merupakan fitnah, laporan BISAP tersebar di semua teritorium dari partai-partai oleh orang-orang yang menerima dianggapnya sebagai “dokumen”, karena asalnya dari satu instansi resmi sedangkan dalam isinya justru bagian yang penting adalah tidak benar. Tidak ada dialog antara presiden dan KSAD dan tidak ada konsep yang disodorkan.48 “Yang benar ialah manuver dengan tekanan maksimal, baik dalam argumentasi maupun dengan mengajak kelompok-kelompok masyarakat yang pro untuk menyatakan dukungan”.

2. Membentuk Partai Baru Bernama IPKI Ketika RUU Pemilu akhirnya disahkan menjadi UU oleh DPR pada tahun1953, A. H. Nasution berusaha mendirikan suatu partai yang beranggotakan “bekas perjuangan bersenjata yang berasal dari regular TNI. A. H. Nasution mencoba menghubungi dan mengumpulkan para perwira TNI dan pengusaha seperti, Mayor Suhardi, Maladi, Hidayat, Dr. Azis Saleh, Kolonel Gatot Subroto, Hasyim Ning, Uyeng Suwargana dan Komodor Suryono. Akhirnya A. H. Nasution mengadakan pertemuan di Tugu, Jawa Barat pada tanggal 20 Mei 1953 bersepakat mendirikan sebuah partai. Partai tersebut dinamakan IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Program utama IPKI adalah “kembali ke jiwa dan semangat UUD 45”. Dalam pemungutan suara untuk DPRS, IPKI mendapatkan tiga kursi di daerah pemilihan Jawa Barat yang diisi oleh Letkol Daeng, Mayor Lucas Kustaryo dan Mayor Katamsi. Di Jawa Tengah IPKI mendapatkan satu kursi yang diisi oleh

45 A. H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 3 Masa Pancaroba Pertama,

(Jakarta; Haji Masagung 1982), p.191 46 Pusat Data dan Analisa Tempo, Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai:

Perjalanan Hidup A. H. Nasution, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti 1998), p.92 47 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966,

(Yogyakarta; Gajah Mada Uiversity Press 2005), p.80 48 A. H. Nasution, Peristiwa 17 Oktober 1952, (Yogyakarta; Penerbit Narasi 2010), p.28

Tsaqofah; Jurnal Agama dan Budaya 255

Kolonel Gatot Subroto, sedangkan A. H. Nasution terpilih untuk Dewan Konstituante dari daerah Jawa tengah.49 Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas mengenai Peranan Jenderal Abdul Haris Nasution dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Jenderal A. H Nasution lahir di Kota Nopan Tapanuli, Sumatera Utara pada tanggal 13 Desember 1918, pendidikannya di HIS kota Nopan, dan selama belajar di HIS Nasution mulai dihinggapi rasa cinta tanah air dan mulai suka dengan pendidikan umum dan sejarah, pada tahun 1932 Nasution melanjutkan belajar ke Sekolah HIK “Sekolah Raja” atau Sekolah Guru, pada tahun 1935, Nasution pergi ke Bandung untuk menamatkan sekolah guru. Nasution mulai mengawali karirnya menjadi guru di Bengkulu dan pindah ke Sumatera selatan. Pada tahun 1940-1942 Nasution mengawai karir dalam militer yaitu sebagai Calon Perwira (KNIL), pada tahun 1950-1952 ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

b. Pada tanggal 17 Oktober 1952 A. H. Nasution dan para perwira lainnya mengorganisasi demonstrasi di Jakarta, mendapatkan izin dari Menhan Hamengkubuwono IX, rombongan dipimpin KSAD langsung menemui Presiden Soekarno. A. H. Nasution mengajukan 3 petisi berupa usia kabinet yang pendek, sebagian anggota kabinet bekas negara federal buatan Belanda, membubarkan parlemen dan membentuk parlemen baru, namun presiden menolak usulan tersebut. Setelah peristiwa 17 Oktober, A. H. Nasution bertanggung jawab dan mengundurkan diri dari jabatan KSAD, digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng pada tanggal 16 Desember 1952. Peristiwa ini terjadi karena adanya upaya parlemen yang ikut campur dalam urusan militer.

DAFTAR PUSTAKA

49 Pusat Data dan Analisa Tempo, Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai:

Perjalanan Hidup A. H. Nasution, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti 1998), pp.96-97

256 Vol.16 No 2 (Juli-Desember) 2018

Herlina Lubis, Nina. Sejarah Tatar Sunda Jilid 2, Satya Historika, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Suhandhaussen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967. Jakarta: LP3ES, Pusat Data dan Analisa Tempo. 1998. Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A. H. Nasution. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Nasution, A.H. 1982. Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid: I Kenangan Masa Muda. Jakarta: Haji Masagung. Nasution, A.H. 1982. Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid III: Masa Pancaroba Pertama. Jakarta: Haji Masagung. Nasution, A.H. 1997. Bisikan Nurani Seorang Jenderal. Bandung: Mizan Pustaka. Nasution, A. H. 1953. Pokok-Pokok Gerilya. Yogyakarta: Penerbit Narasi. Nasution, A.H. 2010. Peristiwa 17 Oktober 1952. Yogyakarta: Penerbit Narasi. Kartodirjo Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. M. C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Muhaimin, Yahya. 2005. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Anshory Nasruddin. 2008. Seri Satu Abad Kebangkitan Nasional, Bangsa Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan. Yogyakarta: LKiS Pelangi. Pambudi, A. 2006. Super Semar Palsu. Yogyakarta: Penerbit Media Presindo. Abu Nain, Nazwir. 2011. Angkatan 66 Dalam Lintasan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Cipro Media. Darminta, Poerwa. 1985. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Fattah, Abdoel. 2005. Demiliterasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. Jakarta: LKIS. Mansyur, Suryanegara Ahmad. 2010. Api Sejarah 2 Bandung: Salamadani. Yayasan Kasih Adik. 2008. Mengawal Nurani Bangsa Jenderal Besar Dr. A. H. Nasution. Jilid I: Kenangan Masa Purnawirawan. Jakarta: CV. Ami Global Media. Yayasan Kasih Adik. 2008. Mengawal Nurani Bangsa Jenderal Besar Dr. A. H. Nasution. Jilid II: Kepemimpinan Nasional dan Pemimpin Bangsa. Jakarta: CV. Ami Global Media. Sumiyati, Lilis. 2012. Rekam Jejak Jenderal Abdul Haris Nasution dalam Bidang Militer dan Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1940-1965. Serang: IAIN BANTEN. Warman, Asvi. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Warman, Asvi. 2009. 1965: Orang-Orang Dibalik Tragedi. Yogyakarta: Galang Press.