Upload
uinsuka
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
INFECTIOUS BEHAVIOR:
PENGAMATAN DI PSBR YOGYAKARTA
Ridwan Faqih A1
Abstrak
Tulisan ini merupakan hasil dari pengamatan perilaku anak remaja yang
baru masuk dan yang sudah lebih dahulu berada di salah satu lembaga
Dinas Sosial Yogyakarta yang bernama Panti Sosial Bina Remaja (PSBR).
Sebuah lembaga berbadan hukum yang memiliki mandat untuk membina
anak-anak usia remaja dan melakukan bimbingan mental kepada mereka.
Tema perilaku yang saya angkat adalah perilaku menular atau infectious
behavior dari individu satu kepada invidu lain di dalam lingkungan panti.
Tema ini menjadi penting, karena perilaku merupakan suatu hal yang
harus mengalami perubahan dari perilaku yang buruk menjadi perilaku
yang baik selama proses bimbingan mental yang dilakukan di lingkungan
PSBR. Tema ini juga menjadi menarik, karena ternyata terjadi penularan
perilaku dari individu yang satu kepada invidu yang lain, dan perilaku
menular ini tidak hanya perilaku yang baik saja, tetapi yang perilaku yang
tidak baik juga bisa menular. Pembinaan kepada anak remaja sangat
penting, mengingat mereka menginjak usia yang sangat mudah untuk
berubah pikiran dan mudah untuk dipengaruhi. Melalui pengamatan
selama tiga bulan ini, saya medapati beberapa pola penularan: meniru
individu yang dianggap sebagai model, diajak oleh temannya, dan yang
terakhir melalui paksaann (paksaan atau bulllying). Para pemuda adalah
generasi penerus bangsa ini yang harus meneruskan cita-cita dan
1 Ridwan Faqih A merupakan mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
1
semangat juang para pahlawan. Para pahlawan berjuang jauh ke depan
sebenarnya adalah untuk masa depan para pemudanya.
Kata kunci: sikap dan perilaku, perbuatan menular, remaja, dan kenakalan
remaja.
A. Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui, remaja merupakan aset yang
berharga bagi estafet penerus perkembangan agama maupun
sebuah bangsa, apalagai sebesar agama Islam dan sebesar
bangsa Indonesia ini tentunya membutuhkan kader-kader yang
handal dan berkualitas serta berkarakter. Bung Karno
sebagai sosok negarawan, pendiri dan proklamator negeri
ini tatkala memegang tampuk pimpinan negara pernah
menekankan betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa,
nation and character building2, agar bangsa ini tetap memiliki
harga diri, agar penerus agama ini tetap memiliki kualitas
yang tinggi, sebagai bangsa yang berdaulat; sehingga tidak
dipandang rendah oleh bangsa lain dalam percaturan politik
dunia; sehingga penerus agama ini tidak dipandang rendah
oleh agama lain yang pada akhirnya dapat mewujudkan misi
normatif agama sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Marilah kita sejenak melihat remaja dan pemuda di zaman
sekarang ini apakah sudah seperti yang dicita-citakan oleh
2 Lihat Prof. Dr Darmadjati Supadjar dalam Soegeng Koesman, Membangun Kaarakter Bangsa: Carut Marut dan Centang Perenang Kritis Multi Dimensi di Era Reformasi, Lokus: Yogyakarta, 2009.
2
Bung Karno sebagai pemuda yang memiliki karakter. Remaja
dan pemuda dihadapkan pada situasi dan kondisi yang
tidaklah mudah. Dihadapkan pada situasi dan kondisi yang
jauh lebih sulit daripada zaman generasi generasi
sebelumnya atau generasi tua. Generasi muda sekarang
dihadapkan pada era globalisasi era digitalisasi. Semua
arus informasi tidak dapat terbendung dan tersaring untuk
perkembangan yang baik bagi remaja dan anak muda. Hal ini
mempersulit pembentukan jiwa yang kokoh dan berkarakter
jika tidak dibarengi dengan pengasuhan yang pas dan cukup.
Jika diluar pengawasan, maka informasi apapun dapat merek
terima dengan mudah tanpa pikir panjang. Singkatnya,
remaja dan pemuda menghadapi hal yang sangat mengerikan
bagi karakter pribadinya tanpa dia sadari. Ini sangat
mengkhawatirkan bangsa, karena di tangan generasi mudalah
bangsa ini akan dibawa, baik buruknya bangsa ini sangat
tergantung dengan generasi muda3.
Remaja yang duduk di bangku SMA, SMK, sebesar 9 juta
jiwa. Sedangkan usia anak 16 sampai 18 tahun yang memilih
keluar dari sekolah dan memilih kerja serabutan atau
pengangguran sebesar 4 juta jiwa. Dan sisanya, 6 juta jiwa
terdiri mahasiswa yang berada di 3200 kampus swasta dan 93
kampus negeri.4 Remaja yang pengangguran dan tidak sekolah
banyak yang tergabung ke dalam kelompok geng untuk
mengekspresikan diri mereka, juga banyak yang turun ke
jalan-jalan dengan melakukan berbagai tindakan mereka.
3 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, Kencana: Jakarta, 2011, hal 230.4 http://health.liputan6.com/read/2027703/jumlah-penduduk-di-
indonesia-melesat-dalam-10-tahun, diakses pada 7 Feb 2015.
3
Kemensos RI pernah mengklaim akan mengurangi jumlah anak
jalanan hingga nol persen tahun 2014. Zero anak jalanan
adalah target yang dibuat agar semua lebih optimal lagi
dalam mencari solusi untuk anak jalanan dan anak
terlantar. Namun menurut Ketua Komnas PA target tersebut
mustahil terjadi, karena jumlah anak jalanan di Indonesia
mencapat 420.000 anak, belum lagi yang anak jalanan
musiman dan yang belum diketahui atau pengangguran.5
Banyak sekali kasus yang terjadi pada remaja, dari
kasus ini dapat dilihat ternyata remaja penerus bangsa ini
mengalami yang namanya dekadensi moral atau demoralisasi.
Yang diharapkan adalah akhlak terpuji tapi ternyata yang
muncul adalah kahlak tercela. Remaja dan anak muda sudah
banyak yang mengkonsumsi narkoba dan miras, sudah banyak
terlibat pembunuhan, melakukan kekerasan, tawuran,
vandalisme, dan berbagai macam kenakalan remaja lainnya.
Mereka melakukan hal-hal yang bersifat merusak diri (self-
destructif), tapi mereka punya keyakinan yang tidak realistis
bahwa mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang
membahayakan diri (self-invulnerability). Tapi kemudian para ahli
terkait membuktikan bahwa ternyata baik remaja maupun
orang dewasa memiliki kemungkinan yang sama untuk
melakukan atau tidak melakukan perilaku yang beresiko
merusak diri (self-destructif)6.
5 http://health.liputan6.com/read/2027546/komnas-pa-omong-kosong-indonesia-zero-anak-jalanan-di-2014, diakses pada 7 Feb 2015.
6 Lihat Papalia dan Olds, (2001) dan Beyth-Marrom dkk, (1993) dalam Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, Kencana: Jakarta, 2011, hal 233.
4
Ketika kaum remaja dan pemuda mengalami suatu masalah
diatas yang sering disebut dengan masalah sosial atau
penyakit sosial, maka perlu upaya untuk merehabilitasi
mental dan sikap mereka. Karena dengan rehabilitasi
mental, mereka dapat belajar dan menata kembali apa yang
menjadi kesalahan atau penyimpangan mereka di masa lalu.
Mereka belajar mengendalikan emosi dan perilakunya
sehingga terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Karena
bagaimanapun juga, mereka adalah penerus bangsa ini, kalau
bukan mereka siapa lagi, golongan tua perlu juga istirahat
dan digantikan oleh golongan muda. Jadi sudah menjadi
kewajiban bagi stakeholder aktif untuk meluruskan kembali
apa yang seharusnya dirubah, dipelajari, dan didapat oleh
remaja agar tidak terjadi bangsa yang gagal membangun
penerusnya.
Salah satu lembaga sosial yang berperan aktif dalam
melakukan proses rehabilitasi anak remaja penyandang
masalah sosial adalah Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta.
Panti ini berada di bawah naungan Dinas Sosial. Bertempat
di Beran, Tridadi, kompleks Pemda Kabupaten Sleman,
Yogyakarta. Lembaga ini aktif melakukan pembinaan terhadap
remaja, pembinaan biasanya berlangsung dalam kurun satu
tahun. Selain pembinaan mental, mereka juga diberi
pembinaan keterampilan. Yang melakukan pembinaan di
lingkungan lembaga ini adalah: para pekerja sosial,
pegawai negeri sipil, guru pembimbing, kepolisian,
tentara, dan juga mahasiswa dengan basic di bidang social
worker seperti Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam dan
5
Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Terlibatnya berbagai
elemen terkait dalam proses rehabilitasi ini diharapkan
remaja dengan penyandang masalah sosial dapat kembali
menjadi individu-individu yang lebih baik dan dapat
diterima masyarakat.
Lembaga sosial ini bekerja sama dengan UIN Sunan
Kalijaga sudah berlangsung hampir empat bulan. Rencananya,
mahasiswa yang terlibat dalam pengasuhan dan pembinaan di
lembaga ini akan melaksanakan tugasnya selama satu tahun.
Seorang mahasiswa diberi tugas untuk membina satu asrama
yang berisi mulai dari 4-10 anak asuh. Tetapi mahasiswa
lebih terkonsentrasi kepada pengasuhan di malam hari,
karena malam hari para pegawai sudah tidak ada di
lingkungan panti. Mahasiswa dituntut untuk mengaplikasikan
ilu yang didapat di kampus, jadi disamping belajar juga
mengabdi kepada masyarakat. Salain itu, mahasiswa juga
akan merasakan bagaimana perbedaan dunia kampus dan dunia
di luar kampus, dengan demikian maka mahasiswa akan dapat
banyak pelajaran berharga yang bermanfaat.
Malam hari merupakan waktu yang sangat menarik untuk
melakukan pembinaan. Di malam hari, para pegawai sudah
pulang ke rumah, jadi hanya tersisa mahasiswa dan satpam.
Pada malam hari inilah sebagian besar anak-anak
menampakkan “wajah” asli mereka, sifat mereka yang asli
akan kelihatan di waktu ini. Maka malam hari menjadi
semakin menarik, karena bertepatan dengan menghadapi sifat
asli anak-anak. Sifat mereka pada siang hari berbeda
dengan sidat mereka di malam hari, dengan kata lain mereka6
menerapkan teori dramaturgi. Mereka bisa menyetting sifat
mereka ketika ada pegawai dan tidak ada pegawai.
Temuan lainnya adalah adanya kebiasaan yang menular di
antara anak-anak. Kebiasaan buruk anak yang sudah lama
berada di panti ditularkan kepada anak yang baru masuk –
panti menerapkan on-off untuk menerima murid baru, jadi ada
istilah anak baru dan anak lama. Sebaliknya kebiasaan anak
baru yang buruk juga bisa menular kepada anak yang lama.
Fenomena ini menarik perhatian, bagaimana anak-anak bisa
saling menularkan kebiasaan mereka, bagaimana pola
penularan kepada anak yang lain. Mereka bisa tertular
karena memiliki kepribadian yang belum kokoh dengan
diiringi beberapa penyebab yang menyertainnya. Pola
penularan yang terjadi yaitu dengan meniru, ajakan, dan
intimidasi.
B. TINJAUAN TENTANG REMAJA
Pergaulan remaja saat ini perlu mendapat sorotan utama,
karena pada masa sekarang pergaulan remaja sangat
mengkhawatirkan dikarenakan perkembangan arus modernisasi
yang mendunia dan menipisnya moral serta keimanan
seseorang khususnya remaja saat ini. Dengan berbagai
masalah yang mereka perbuat, ternyata sangat membuat para
orangtua kebingungan bagaimana mengatasinya. Secara umum,
masalah yang terjadi pada remaja dapat diatasi dengan baik
jika orang tuanya termasuk orang tua yang “cukup baik”.
Donald Winnscott, seorang psikoanalsis dari Inggris
memperkenalkan istilah good enough mothering, ini ia gunakan
7
untuk mengacu pada kemampuan seorang ibu dalam mengenali
dan memberi respon terhadap kebutuhan anaknya tanpa harus
menajdi seorang ibu yang smepurna.
Dikutip dari bukunya Yudrik Jahja (2011), kata remaja
berasal dari bahasa Latin yaitu adolescne yang berarti to
grow atau to grow maturity. Banyak tokoh yang memberikan
definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1960)
mendefinikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001),
tidak memberikan pengertian pengertian remaja (adolescent)
secra eksplisit melaikan secara implisit melalui
pengetian masa remaja (adolescene). Menurut Papalia dan Olds
(2001), masa remaja adlah masa transisi perkembangan
antara masa kanak-kanak dan dewasa yang umumnya dimulai
pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir
belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Menurut Adams dan Gullota (dalam Aaro, 1997), masa
remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Adapun
hurlock (1990), membagi masa remaja menjadi masa remaja
awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir
(16 atau 17 hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir
dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir
individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih
mendekati masa dewasa. Adapun Anna Freud (dalam Hurlock,
1990), berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses
perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan
dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi
perubahan dalam hubungan dengan orang tua dan cita-cita8
nmereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses
pembentukan orientasi masa depan.
Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian
perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian
kematangan masa dewasa sudah dicapai (hurlock, 1990).
Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses
pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus
bertambah. Adapun bagian dari masa dewasa antara lain
proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi
reproduksi dan kematangna kognitif yang ditandai dengan
mampu berpikir secara abstrak. (Hurlock, 1990; Papalia dan
Olds, 2001)
Yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang
terjadi pada rentang kehidupan (Papalia dan Olds, 2001).
Perubahan ini dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya
perubahan tinggi atau berat badan; dan kualitatif,
milsalnya perubahan cara berpikir dari konkret menjadi
abstrak (Papalia dan Olds, 2001). Menurut Papalia dan Olds
(2001) ada tiga aspek perkembangan, yaitu: (1)
perkembangan fisik; (2) kognitif; dan (3) kepribadian dan
sosial.7
Pemuda adalah terminal bagi setiap minat dan cita-cita
masa depan. Pemuda adalah permasalahan besar yang harus
diangkat dan didiskusikan dalam berbagai kesempatan.
Memmbangun pemuda lebih penting daripada sekedar membangun
jembatan, membangun jalan, banhkan lebih penting daripada
7 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, Kencana: Jakarta, hal 219-228
9
membangun gedung pencakar langit. Itu tidaklah ada
nilainya di tengah sirnanya pemuda.8 Oleh karena itu
tidaklah mengherankan jika para pejuang yang telah
mendahului kita rela mati-matian mempertahankan tanah air
tercinta ini. Mereka tidak berjuang hanya demi mengusir
penjajah, lebih jauh lagi mereka juga memikirkan para
pemuda penerus bangsa ini, dapat dikatakan bahwa mereka
berjuang demi para pemuda. Tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa apalah arti tanah air tanpa kehadiran
pemuda.
C. KENAKALAN REMAJA
Istilah kenakalan remaja juga dikenal dengan “juvenile
delinquency”. Juvenelie Delinquency (juvenilis: muda, bersifat
kemudaan; delinquency dari kata delinquere: jahat,
durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang
selalu melakukan kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan
perhatian, status sosial dan penghargaan dari
lingkungannya.9
Menurut Kartono, ilmuwan sosiologi, “Kenakalan
Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan
istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis
sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk
pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk
perilaku yang menyimpang”. Sedangkan menurut Santrock,
“kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai8 Muhammad Fathi, The Power of Youth: Risalah Para Pemuda Pewaris Peradaban,
Syamil Cipta Media: Bandung, 2006, hal 1-3.9 Dr Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajagrafindo Persada: Jakarta, hal
194.
10
perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial
hingga terjadi tindakan kriminal”.10
Mereka disebut pula sebagai pemuda-pemuda berandalan,
atau pemuda aspalan yang selalu berkeliaran di jalan-jalan
aspalan, atau anak-anak jahat nakal. Pada umumnya mereka
tidak memiliki kesadaran sosial dan kesadaran moral.
Tidak ada pembentukan ego dan super-ego, karena hidupnya
didasarkan pada basis instinktif yang primitif. Mental dan
kemauannnya jaid lemah, hingga impuls-impuls, dorongan-
dorongan dan emosinya tidak terkendali lagi. Tingkah
lakunya berlebih-lebihan. Fungsi-fungsi psikisnya tidak
bisa diintegrasikan, hingga kepribadiannya menjadi khaotis
dan menjurus kepada psikotis.11
Anak-anak muda delinquent dengan cacat jasmaniah sering
dihinggapi rasa “berbeda”, rasa inferior, frustasi dan
dendam. Maka untuk mengkompensasikan perasaan-perasaan
minder itu mereka melakukan perbuatan-perbuatan
“kebesaran/grandieus”, kekerasan dan kriminal, menteror
lingkungan, bersikap tiranik, agresif dan destruktif,
merusak apa saja. Semua itu dilakukan dengan maksud
mempertahankan harga dirinya dan untuk “membeli” status
sosial serta prestige sosial untuk mendapatkan oerhatian
lebih dan penghargaan dari lingkungannya. Masalah
kenakalan mulai mendapat perhatian masyarakat secara
khusus sejak terbentuknya peradilan untuk anak-anak nakal
10 http://belajarpsikologi.com/kenakalan-remaja/ diakses pada 24 Januari 2015, 20:38 wib.
11 Dr Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajagrafindo Persada: Jakarta, hal 195.
11
(juvenile court) pada tahun 1899 di Illinois, Amerika
Serikat. Sebab-sebab anak menjadi delinquent antara lain
ialah: (1) Instabilitas psikis, (2) defisiensi dari
kontrol super ego, dan (3) fungsi persepsi yang defektif.12
Kenakalan remaja tidak hanya mmerigikan dirinya
sendiri, tetapi juga merugikan orang lain. Contoh dari
kenakalan remaja diantaranya yang ditindak oleh aparat dan
diberitakan oleh media ialah: pada 15 Januari 2015 pelajar
SMA berjudi dan ditemukan kondom bekas di lokasi tersebut,
Jum’at 23 Januari satpol PP menggerebek siswa-siswi sedang
kumpul kebo, Rabu 14 Januari Polisi merazia kamar kos di
semarang dan menciduk 4 remaja usai pesta narkoba jenis
sabu, 13 Oktober 2014 belasan siswa STM dengan alasan
bercanda melempari KRL dengan batu di Jakarta, 1 Mei 2014
seorang siswa SMP dimarahi ibunya kaerna merokok kemudian
gantung diri dengan seutas tali di kusen jendela, 24
Januari ditemukan anak di Palembang usia SD putus sekolah
turun ke jalanan dan sudah ngelem habis 2 kaleng sehari.13
Tentunya masih banyak lagi kenakalan-kenakalan remaja
lainnya yang tidak semua dimuat di artikel ini.
Ketidakseimbangan antara perkembangan intelektual
dengan perkembangan emosional remaja membawa dampak yang
serius, dan itu sangat bermasalah bagi seorang remaja.
Banyak remaja kita, ketika memasuki setingkat SMP maupun
SMA timbul berbagai gejolak masalah, baik dirumah maupun
disekolah. Disekolah misalnya karena terbawa teman mungkin12 Ibid, hal 195-196.13 http://merdeka.com/contoh-kenakalan-remaja/ diakses pada 24 Januari
2015, 21:00 wib.
12
seorang remaja suka membolos, ataupun kadang mogok tidak
mau sekolah, ikut-ikutan minum-minuman keras dan merokok,
dan lain-lain. Ataupun masalah lain yang berdampak negatif
bagi perkembangan seorang remaja entah itu perkembangan
prestasi, masalah pergaulan, dan masalah lainnya.
Berkitan dengan masalah pergaulan remaja yang kadang
sulit untuk diarahkan, terutama jika remaja tersebut mulai
mengenal lawan jenis dan dunia luar yang lebih luas dan
beraneka ragam, mungkin akan banyak diantara orang tua
yang menjadi cemas ataupun was-was dengan perilaku anak
mereka saat menginjak usia remaja. Saat kondisi seperti
ini, remaja sering uring-uringan dan merasa dikekang oleh
orang tuanya. Mereka ingin bebas mengekspresikan diri
dengan teman-temannya di luar sana. Sehingga yang namanya
cekcok dan marah-marah dengan orang tua adalah kejadian
rutin yang seharusnya tidak terjadi.
Muhammad Fathi (2006) menjelaskan bahwa adanya
kemerosotan di kalangan pemuda dikarenakan: Pertama
kehilangan misi dan tujuan, kedua hidup dalam situasi
krisis kepercayaan terhadap lingkungan, ketiga kehilangan
qudwah (panutan), keempat kehilangan motivasi, kelima hidup
dalam krisis profesionalitas, keenam hidup dalam krisis
beragama, ketujuh reaksioner, emosional, jumud¸dan tidak
memiliki daya saing, kedelapan hidup sebagai pengecut,
kesembilan menjadi mangsa ghazwul fikri.14
14 Muhammad Fathi, The Power of Youth: Risalah Para Pemuda Pewaris Peradaban, Syamil Cipta Media: Bandung, 2006, hal 2-11.
13
Adapun potret ketidakberesan kehidupan pemuda adalah:
a) kacau dalam belajar, b) serampangan dalam kegiatan
belajar mengajar, c) kacau dalam majanemen waktu, d)
ketidakteraturan terjadi di mana-mana sampai dalam hal
beribadah, bagi orang yang multazim sekalipun, e)
serampangan dalam membuat program. Maka kemudian yang
terjadi adalah pikiran para pemuda menjadi bercabang
sehingga tidak mampu membuat keputusan yang tepat, gelisah
dan banyak murung, kemauan yang lemah kemudian menimbulkan
rasa malas, tidak mengadakan evaluasi atau introspeksi
terhadap dirinya, hilangnya empati dan cinta, malas dan
patah semangat, tidak mau menerima nasehat, apatis, selalu
berpikiran negatif dan kalah sebelum bertanding, hilangnya
kekuatan sabar, tujuan yang tidak jelas, tidak ada skala
prioritas, dan tidak ada pembagian tugas. Bukan itu saja,
bahkan sangat mungkin melebar menjadi merasakan kebosanan
dalam belajar; melawan arus dan banyak bercanda; melanggar
aturan; menjadi pecandu obat terlarang.
Akhirnya, banyak kita dapati kebiasaan-kebiasaan yang
sudah lumrah seperti hidup untuk dirinya sendiri,
ccenderung apatis, meremahkan nilai dan aturan yang ada di
masyarakat, membatasi perhatiannya hanya dalam lingkunga
keluarga, melalaikan tugasnya tanpa rasa peduli, dalam
pandangannya kebahagiaan dan kenyamanan dirinya adalah
tujuan utamanya, tidak melibatkan dirinya dalam urusan
apapun sekalipun itu terjadi dihadapannya, peristiwa-
peristiwa nasional tidak membuatnya bergeming, orang lain
tidak mendapat bagian dalam hidupnya, tidak memikirkan
14
kerusakan yang terjadi pada fasilitas umum, dan ia
berprinsip selama bahaya tidak menimpa dirinya maka ia
tidak peduli.
Seakan-akan para pemuda ini berprinsip pada beberapa
pepatah, seperti:
1) Tenggelamlah kapal ini karena bebannya, toh aku bukan satu-satunya
penumpang kapal ini.
2) Merusaklah, engkau akan makmur. Tak ada urusan, yang penting
rumahku aman.
3) Mempelai wanita untuk mempelai pria, bagi yang tersungkur harus
berlari.
4) Dia lebih berhak mendapatkan daging kerbaunya, setiap orang
memikul tanggung jawabnya.
Dunia remaja adalah dunia yang serta membuat seorang
remaja ingin tahu, ingin mencoba-coba, dan pingin
bertindak serta asyik dengan dunia mereka saat usia
remaja. Begitupun dunia remaja adalah dunia yang sangat
mungkin akan membuat seorang remaja salah langkah dalam
memaknai usianya. Apalagi jika ditambah dengan keadaan
orang tua ynag kurang mengetahui dengan apa yang sedang
dirasakan anaknya pada saat remaja, sehingga orang tua
terkadang bisa saja salah dalam memperlakukan anaknya yang
masih remaja.
D. PEMBINAAN REMAJA DI PSBR
15
PSBR berfungsi sebagai unit pelaksana teknis dinas
dalam memberikan pelayanan kepada penyandang masalah
kesejahteraan sosial remaja terlantar, anak putus sekolah
dari keluarga tidak mampu, remaja dari keluarga tidak
mampu, anak dari keluarga Broken Home, korban bencana,
kerusuhan sosial dan pengungsi, anak rentan mengalami
keterlantaran, dan anak yang mendapat perlindungan khusus.
Pembinaan remaja di PSBR ini diberikan dengan maksud: (1)
Mempersiapkan dan membantu anak putus sekolah atau remaja
terlantar dengan memberikan kesempatan dan kemudahan agar
dapat mengembangkan potensi dirinya, baik jasmani, rohani
dan sosialnya, dan (2) Menumbuhkan dan meningkatkan
kemampuan serta keterampilan kerja sebagai bekal untuk
kehidupan dan penghidupan masa depannya secara wajar.15
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34
ayat (1) bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara”16, dan pasal 28B ayat (2) bahwa “Setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang seerta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”17. Maka lembaga sosial
PSBR lah salah satunya yang melaksanakan salah satu amanat
dari pasal UUD’45 tersebut yakni memberikan pembinaan dan
perlindungan kepada anak dan remaja. Pembinaan yang
dilakukan di Panti Sosial Bina Remaja ada dua macam:
pembinaan mental dan pembinaan keterampilan. Pembinaan
mental berguna untuk perbaikan mental dan memperkokoh jiwa
15 http://psbr-diy.blogspot.com/ diakses pada 24 Januari 2014, 21:15 wib.
16 Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekjen MPR RI: Jakarta, 2011, hal 161.
17 Ibid, hal 151.
16
remaja, sedangkan pembinaan keterampilan berguna sebagai
bekal untuk kehidupan dan penghidupan masa depannya secara
wajar. Seperti diketahui bahwa masa remaja adalah masa
yang sangat rawan, maka PSBR mengalokasikan waktu untuk
pembinaan mental sebesar 60 persen sedangkan untuk
pembinaan keterampilan sebesar 40 persen.
Pembinaan mental dan pembinaan keterampilan tidak hanya
dilakukan oleh pekerja sosial dari Dinas Sosial saja,
melainkan juga dari berbagai instansi terkait. Diantaranya
melakukan kerja sama dengan Departemen Agama, TNI dan
Polri, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Lembaga Swadaya
Masyarakat, organisasi Masyarakat, Lembaga Swasta, Dinas
Tenaga Kerja, Perguruan Tinggi, Pengusaha, perorangan.
Dengan adanya pembinaan mental, para remaja diharapkan
memiliki kesadaran dan mampu untuk memperbaiki kualitas
hidupnya menjadi lebih baik lagi. Dalam memperbaiki
kualitas hidup ini harus diusahakan oleh masing-masing
individu, orang lain hanya membantu mengarahkan. Karena
manusia tidak dapat dibebaskan oleh orang lain, maka
kesadaranlah yang akan menolong dan membangun perbaikan
hidup. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum apabila kaum itu sendiri tidak
mau mengubah nasibnya (QS. 13: 11), artinya dalam
memperbaiki kualitas hidup suatu individu harus muncul
suatu inisiatif dari dalam diri sendiri dan dilaksanakan
oleh mereka sendiri18.
18 Aziz Muslim, Metodologi Pengembangan Masyarakat, UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2008, hal 6.
17
Aziz Muslim (2008) mengatakan bahwa dalam ajaran Islam
tujuan pengembangan masyarakat tidak hanya sebatas untuk
mencapai kemajuan atau kesejahteraan saja, tetapi juga
untuk membangun kehidupan normatif yang baik. Artinya,
kemajuan material untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
harus tidak terpisahkan dengan kesadaran dan perilaku
berbuat baik agar kemajuan dan kesejahteraan itu dapat
memberi berkah bagi semua dan membawa keselamatan.19
Membangun kesejahteraan kelompok tanpa meningkatkan
pengabdian kepada Sang Pencipta atau tanpa ada kemauan
untuk berbuat baik kepada semuanya berarti hanya akan
membangun kemajuan material yang dapat menjerumuskan
kepada malapetaka sosial seperti ketidakadilan, penindasan
dan lainya. Sebaliknya hanya membangun pengabdian kepada
Tuhan semata tetapi melupakan tugas membangun
kesejahteraan hidup akan membuat kehidupan terasa hampa
dan sia-sia. Allah berfirman dalam salah satu ayat Al-
Qur’an: Carilah kebahagiaan akhirat dan jangan melupakan kenikmatan
dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain (QS 28: 77)20.
Mardikanto (2010) memerinci pengembangan masyarakat ke
dalam enam kategori, salah satunya adalah pengembangan
masyarakat sebagai proses perubahan sosial. Yang dimaksud
dengan perubahan sosial tidak hanya perubahan perilaku
yang berlangsung pada diri seseorang tetapi juga
perubahan-perubahan hubungan antar individu dalam
masyarakat, termasuk struktur, nilai-nilai dan pranata
19 Ibid.20 Al-Qur’an QS 28:77
18
sosialnya.21 Artinya pembinaan yang dilakukan juga
diharapkan agar anak-anak dan remaja dapat juga menjadi
pribadi yang baik dalam berhubungan dengan lingkungan
sosial dimana dia tinggal. Oleh karena itu, pembinaan
dalam model ini juga sering disebut sebagai rekayasa
sosial (Social Engineering) atau segala upaya yang dilakukan
untuk menyiapkan sumberdaya manusia agar mereka tahu, mau
dan mampu melaksanakan peran sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya dalam sistem sosialnya masing-masing22.
Para remaja di sini diajari untuk peka terhadap
lingkungan sosialnya, dengan demikian para remaja harus
mengenal dirinya dan orang lain. Dalam memulai suatu
pergaulan, tentu harus mengerti dengan siapa bergaul,
sehingga dapat memulai dengan langkah yang benar.
Pergaulan ini membutuhkan pengetahuan tentang kepribadian.
Sementara itu kunci kepribadian setiap orang dapat
dikenali dengan dua hal: pertama, mengetahui tabiat dan
akhlak yang membedakan seseorang dengan lainnya. Kedua,
mengetahui kecenderungan, hobi, dan bakatnya. Ada orang
yang sensitif sekali, sebaliknya ada yang rasional dan
berpikir tajam. Ada yang sibuk dengan teori, ada yang
bertipe pekerja lapangan. Ada yang bertipe bermasyarakat,
ada juga yang lebih senang menyendiri dan menghindar. Ada
yang bersemangat dan berambisi, sebaliknya ada pula yang
terlihat tenang dan kalem. Diantara mereka ada pula yang
21 Totok Mardikanto, Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat: Acuan bagi Aparat Birokrasi, Akademisi, Praktisi dan Peminat/Pemerha ti Pemberdayaan Masyarakat, UNS, Surakarta: 2010.
22 Aziz Muslim, Dasar-Dasar Pengembangan Masyarakat, Samudera Biru, Yogyakarta: 2012, hal 17.
19
lebih senang mengurusi fisiknya, kutu buku, dan lain-lain.
Berbekal pengetahuan tentang tabiat dan akhlak tersebut,
akan tampak cara yang tepat dalam berinteraksi dengan para
remaja lain melalui pendekatan yang sesuai dan tidak
kontra. Pengetahuan demikian juga memberikan kemudahan
para pendamping agar bisa menyentuh akal dan hati para
remaja.
Akhlak atau budi pekerti siap orang tentulah berbeda
dan unik, walaupun ada kesamaan dengan individu lain tapi
tidak ada yang benar-benar mirip, pasti ada perbedaan
walaupun sedikit. Untuk itu bagi para pendamping harus
mengenali akhlak dan budi pekerti masing-masing remaja
dampingannya. M Fathi (2006) menyebutkan bahwa budi
pekerti adalah sekumpulan kelakuan danekspresi diri luar
maupun dalam, yang dengannya seseorang mencoba beradaptasi
serta mengkombinasikan antara potensi dirinya dan tuntutan
lingkup sosial tempatnya berada23.
Budi pekerti manusia ini mempunyai beberapa kriteria,
yaitu: tercermin dalam tindakan, kelakuan, ucapan, isyarat
(tampak maupun tidak tampak), pandangan, dan pendapat yang
tidak diungkapkan; merupakan sarana mewujudkan cita-cita,
budi pekerti itu sendiri bukan merupakan tujuan atau cita-
cita; budi pekerti bersifat dinamis; bersifat sosial,
maksudnya lingkungan mempengaruhi pembentukan budi
pekerti; individual, sebab budi pekerti seseorang
23 Muhammad Fathi, The Power of Youth: Risalah Para Pemuda Pewaris Peradaban, Syamil Cipta Media, Jakarta: 2006, hal18.
20
terkadang berbeda dengan budi pekerti dalam maysarakat;
memiliki satu atau beberapa faktor dan bisa berakhir.
Di atas ada skema sederhana pembentukan kepribadian.
Jika melihat skema, kita mendapatkan bahwa pembentukan
kepribadian seseorang merupakan titik temu antara
stimulus-stimulus luar di satu sisi dan bentuk budi
pekerti yang dihasilkan pada titik yang lain. Setiap orang
memiliki rekaman informasi-informasi hasil dari pengalaman
dan sikap masa lalunya. Informasi-informasi ini
berinteraksi dengan karakter dan watak kepribadian yang
kemudian membentuk tata nilai, lalu diteruskan ke akal.
Melalui akal terjadi pengolahan pengaruh-pengaruh yang
masuk, kemudian memformulasikannya dalam bventuk yang
sesuai dengan nilai-nilai dan orientasi personal.
Berdasarkan hal itu, terbentuklah budi pekerti atau
respons yang sesuai dengan stimulan-stimulan. Ini mengenai
budi pekerti personal.
21
ResponsStimulus
Informasi
pengalamanKarakter
Akal
Nilai danOrientasi
Karakter
Pengaruh Nilai danOrientasi
Pengaruh
Informasi
pengalaman
Informasi
pengalaman
Skema budi pekerti di atas menggambarkan hubungan
individu dengan individu lain dalam komunitas. Dalam
kehidupan kita, budi pekerti ini menyebar, dimana tabiat
setiap orang cenderung untuk loyal dan menbangun hubungan
sosial dengan individu lain. Akan tetapi, hasrat untuk
loyal ini melahirkan tekanan dari arah masyarakat kepada
individu, yang tergambarkan dalam proses perubahan budi
pekertinya dengan apa yang bisa menjamin keberadaannya
bersama komunitas ini. Besarnya dampak pengaruh sosial
terhadap budi pekerti personal tergantung beberapa faktor
seperti: karakter kepribadian seseorang, kekuatan sentral
individu dan peranannya dalam komunitas, karakter dan
watak kepribadian individu-individu dalam komunitas. Dari
pengertian budi pekerti di atas, dapat diketahui bahwa
budi pekerti atau tingkah laku seseorang di lingkungan
sosialnya sangat berpengaruh.
Dalam kaitannya dengan proses pembinaan di lembaga
sosial ini, di Indonesia dikenal adanya falsafah
pembelajaran yang biasa dijadikan dasar filosofi
pembelajaran yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yang
berbunyi:
1. Ing ngarsa sung tuladha, artinya para stakeholder aktif
di lembaga ini mampu memberikan contoh atau tauladan
bagi para anak asuh penghuni panti.
22
ResponsStimulus Akal
2. Ing madya mangun karsa, artinya para stakeholder aktif
di lembaga ini mampu menumbuhkan inisiatif dan
mendorong semangat untuk selalu menjadi pribadi yang
lebih baik dan mendorong untuk selalu belajar dan
mencoba tanpa pantang menyerah.
3. Tut wuri handayani, artinya para stakeholder aktif di
lembaga ini bisa menghargai dan mengikuti keinginan-
keinginan anak asuh, sepanjang tidak menyimpang
dengan acuan yang ada, demi tercapainya tujuan
perbaikan kesejahteraan hidupnya.
Pembinaan-pembinaan itu dilakukan demi masa depan anak
dan remaja. Anak-anak dan remaja adalah penerus estafet
kepemimpinan bangsa yang besar ini. Karena hakikat
pembangunan manusia Indonesia adalah pembangunan manusia
seutuhnya, maka selain pembangunan mental dan spiritual
juga dilakukan pembangunan material. Pembangunan seperti
ini sangat penting dalam rangka memanusiakan manusia,
proses humanisasi ini pada gilirannya mampu mampu
mendorong masing-masing individu untuk berpartisi aktif
dalam proses pengembangan diri maupun pengembangan
masyarakat24.
E. PENGAMATAN DI LAPANGAN
Waktu berlalu dengan begitu cepatnya. Tidak terasa
ternyata kami telah menjalankan tugas sebagai salah satu
pembina selama kurang lebih 3 bulan di lingkungan PSBR
Yogyakarta. Waktu tiga bulan ini adalah waktu yang24 Aziz Muslim, Metodologi Pengembangan Masyarakat, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta: 2008, hal 24.
23
diberikan oleh pimpinan PSBR kepada kami untuk
melaksanakan masa orientasi sebagai pengasuh. Masa
orientasi diberikan kepada kami untuk mengenal lebih jauh
seluk-beluk PSBR serta seluk beluk anak asuh dari dalam
dengan pengalaman sendiri atau melihat dan menganalisa
dengan mata kepala sendiri. Dengan adanya waktu orientasi
ini, kami memang berhasil melihat jauh ke dalam bagaimana
kondisi anak asuh di PSBR. Ada banyak hal yang kami
dapatkan, yang kami lihat dan kami buktikan selama 3 bulan
orientasi.
Dalam penulisan artikel ini saya tidak membatasi hanya
kepada remaja-remaja yang berada di bawah pengawasan saya,
tetapi kepada semua anak. Anak yang dibawah pengawasan
saya berjumlah 10 orang anak, kebetulan mereka adalah anak
didik baru. Karena mereka adalah anak yang baru, jadi akan
memberikan kesempatan yang besar kepada saya untuk lebih
banyak menemukan dan menyaksikan perubahan-perubahan
penting pada mereka
Bermula dari pengamatan keseharian mereka inilah saya
menemukan kejadian saling menginfeksi. Kejadian ini terus
saya amati lebih sering, masalah ini menjadi menarik untuk
dikaji dan dibahas. Ini menjadi perhatian saya karena
mereka adalah anak asuh saya yang artinya saya bertanggung
jawab menjaga dan mengawasi mereka. Dalam mengamati
perubahan-perubahan sikap dan perilaku anak didik ini saya
menemukan beberapa hal yang menarik. Salah satu hal yang
menarik adalah adanya kegiatan saling menularkan, yang
24
ditularkan bukanlah penyakit tetapi sikap dan perbuatan
diantara para remaja.
Perubahan sikap dan tingkah laku mereka terjadi secara
bertahap. Untuk masa-masa pertama berada dalam lingkungan
panti, mereka mempraktikkan sikap dan tingkah laku yang
bisa dikatakan baik. Mereka bergaul dengan baik terhadap
anak didik di asrama yang lain maupun dengan pegawai.
Berlaku sopan dan menyapa dengan baik ketika bertemu
dengan anak didik lain maupun dengan yang lainnya. Mereka
dapat menjaga dan memelihara diri mereka dengan dengan
sebaik mungkin, menjaga kebersihan asrama, dan mengikuti
semua kegiatan sehari-hari dengan baik.
Minggu pertama dan ke dua dihabiskan untuk saling
mengenal kepribadian dengan anak didik yang sudah terlebih
dahulu berada di panti. Dalam waktu satu minggu mereka
sudah hampir kenal baik dengan semua penghuni panti.
Mengetahui nama, alamat dan lain-lain. Timbal balik
komunikasi terjadi secara sopan dan baik. Saling membantu
temannya yang membutuhkan bantuannya. Mereka masih
menjalin hubungan komunikasi yang baik dengan semua
penghuni hingga dalam jangka satu bulan.
Minggu ke tiga mereka sudah kenal dengan baik terhadap
semua penghuni. Sehingga pada minggu ke tiga digunakan
untuk mencari dan mendekati anak yang mereka rasa ‘klop’
atau ‘menyambung’ ketika diajak berkomunikasi maupun
melakukan sesuatu. Menjajaki pertemanan ke arah yang lebih
dalam lagi. Untuk kali pertama ini mereka mencari teman
25
yang mempunyai hobi sama atau kegiatan yang sama-sama
mereka senangi. Misal mempunyai kesamaan hobi bermain
bola, bermain gitar, dan karambol. Adanya kesamaan
kegiatan yang disenangi ini akan merekatkan mereka untuk
mengenal lebih jauh lagi. Biasanya mereka juga melakukan
kegiatan-kegiatan lainnya secara bersama-sama.
Tetapi pertemanan seperti di atas tidak selamanya akan
terus berlangsung, ada beberapa anak yang memisahkan diri
dari kelompok karena satu atau beberapa alasan. Mereka
masih melakukan meraba-raba teman yang tepat, tetapi tidak
seperti pada minggu ke satu dan ke dua, di minggu ke tiga
mereka sudah mengerucutkan beberapa anak didik untuk
menajdi temannya, di minggu ke tuga ini mereka sudah lebih
selektif lagi dalam memilih teman, karena ada beberapa hal
di tengah jalan yang tidak sesuai dengan harapan awal
mereka. untuk minggu selanjutnya mereka kembali melakukan
pendekatan kepada teman yang lain yang sekiranya dapat
memenuhi keinginan hatinya yang tidak dapat di penuhi di
kelompok sebelumnya. Bagi merka yang sudah cocok, tentu
akan terus melanjutkan hubungan mereka.
Pertemanan pada tingkat ini sudah lebih stabil atau
tidak lagi mencari-cari teman yanng lain, karena mereka
sudah merasa mendapatkan teman yang bisa dikatakan
mempunyai tujuan sama. Saling menguatkan solidaritas
kelompok diantara mereka. Tetapi tidak ada gesekan-gesekan
dengan kelompok yang lain. Jika ada, maka itu hanya
dianggap sebagai tindakan lelucon atau ‘gojek’. Artinya
mereka tetap menjaga perdamaian terhadap sesama penghuni26
panti, karena mereka juga teman senasib sepenanggungan
atau teman seperjuangan. Di luar kelompok mereka tetap
menjaga komunikasi dengan teman yang lain, mereka tidak
ingin dicap sebagai anak yang sombong atau tidak peduli
dengan teman sendiri.
Walaupun ada berbagai macam kelompok, ternyata ada
beberapa anak yang tidak ikut masuk ke dalam kelompok-
kelompok yang ada. Mereka sering dan suka berkumpul dengan
berbagai kelompok yang ada, seakan-akan tidak mengetahui
bahwa ia ikut berkumpul dengan bermacam-macam kelompok dan
tidak sadar harus ikut kepada kelompok yang mana. Tetapi
ada anak yang benar-benar tidak ingin masuk pada kelompok
yang ada, ia lebih suka dengan kondisi yagn dijalaninya.
Beberapa anak yang tidak terikat pada suatu kelompokpun
ini pada akhirnya secara tidak langsung akan terbentuk
kelompok sendiri. Mereka tidak ikut bergabugn aktif dalam
suatu kelompok karena tidak punya skill atau kemampuan
seperti di kelompok tertentu, masih meraba-raba atau
mencari kelompok yang cocok dengan dirinya dan dapat
memenuhi harapan-harapannya, atau tidak mampu dan takut
ditolak jika bergabung, jikalau bergabung ia tidak akan
tenang karena merasa tidak berguna dan tidak dianggap di
dalam kelompok. Sehingga ia lebih asyik dengan kondisi
tanpa kelompok, dan bebas kemanapun ia pergi.
Dalam setiap kelompok terdapat seorang yang lebih
menonjol dibandingkan yang lainnya. secara tidak langsung
ia adalah ketua kelompok walaupun tidak ada pemilihan
secara demokratis. Yang diposisikan sebagai ketua adalah27
seorang yang mempunyai wibawa dan kemampuan lebih
dibandingkan yang lain. Ia mempunyai kemampuan untuk
menarik perhatian individu lain, mempunyai sesuatu yang
membuat individu lain merasa berada di level bawah. Ia
dominan dalam mengambil keputusan di dalam kelompok.
Faktor power yang dimilikinya ini mampu membuat anak lain
berada di bawah pengaruhnya dan tunduk di bawahnya. Semua
kata-katanya harus dilaksanakan oleh anak lain.
Tetapi ada juga kelompok yang tidak terlalu
mementingkan masalah ketua kelompok. Di dalam kelompok ini
terdapat beberapa orang yang punya power, sehingga mereka
saling memaklumi dan tidak terlalu menonjolkan power yang
dimilikinya. Mereka saling berdiskusi dan bergaul aktif
tanpa ada yang namanya ketua resmi. Walaupun sebenarnya
ada yang apling menonjol diantara mereka. Mereka saling
menjaga perasaan agar tidak ada yang merasa direndahkan.
Dalam kelompok ini, mereka menunjukkan powernya tidak
terang-terangan, tetapi secara samar atau halus, sekedar
menunjukkan bahwa ia juga punya kemampuan sehingga ia
diakui dan disejajarkan dengan yang lainnya serta tidak
dipandang rendah.
Power menjadi sangat penting ketika bergaul dengan yang
individu yang lebih banyak. Anak yang tidak mempunyai power
akan dipandang sebagai anak ‘pinggiran’ yang akan dengan
mudah mereka kuasai. Mereka yang tidak mempunyai power
biasanya akan merasa inferior di dalam situasi tertentu.
Ia terkadang juga menjadi kacung atau anak suruhan bagi
merka yang mempunyai power lebih. Dengan mudahnya ia28
disuruh untuk melakukan sesuatu. Walaupun ia melakukannya
dengan terpaksa disertai omelan kotor dari mulut mereka.
Dengan adanya omelan itu biasanya menyebabkan sedikit
perkelahian mulut dan terkadang juga fisik, tetappi tidak
sampai parah. Setelah perkelahian mulut tentu saja anak
itu dengan sigap sambil bersungut-sungut melaksanakan apa
yang diperintahkan, karena ia akan kalah jika
melanjutkannya.
Mereka berkumpul bersama di kelompoknya ketika ada
salah satu yang mempunyai power mengajak duduk bersama
untuk sekedar mengobrol sambil merokok dan bergurau atau
ketika ada masalah yang harus mereka bahas bersama. Di
luar itu mereka seolah tidka mempunyai kelompok, walaupun
ada yang selalu bersama dengan kelompoknya. Mereka yang
satu kelompok bertindak secara kompak satu dengan yang
lainnya. Apakah itu tindakan yang baik maupun tidak mereka
tetap kompak melakukannya bersama, karena mereka telah
melakukan kesepakatan sebelumnya.
Untuk anak yang tidak mempunyai kelompok atau tidak
bergabung salah satu kelompok manapun juga tetap memiliki
keinginan untuk bergabung dengan salah satu kelompok, ada
juga yang memilih untuk tidak berkelompok. Bagi anak yang
tidak berkelompok, mereka ingin mempunyai power seperti
salah satu kelompok. Walaupun ia tidak masuk kelompok, ia
tetap berusaha menunjukkan bahwa ia punya sesuatu yang
membuat ia bisa diterima kelompok yang ia inginkan.
29
Ada kelompok yang terkenal dengan tingkah laku mereka
yang buruk atau kompak dalam melakukan pelanggaran,
seperti: membolos dalam mengikuti keterampilan atau salah
satu kegiatan, ribut di dalam kelas, membuat keribuatan di
dalam asrama, mengotori asrama, tidak tertib dan lain-
lain. Terkadang mereka juga kompak untuk untuk melakukan
hal baik, seperti: sama-sama disiplin dalam melaksanakan
keterampilan dan pelajaran, disiplin bersama dalam
melaksanakn piket, ibadah bersama-sama, dan lain-lain.
Berkelompok bisa membuat mereka berada pada sisi positif
maupun berada dalam sisis negatif secara ‘berjamaah’.
Biasanya dengan meniru perbuatan mereka atau cara mereka
dalam melakukan sesuatu dan ikut kemana mereka berkumpul.
Oleh karena itu perbuatan-perbuatan yang sebenarnya
tidak mereka miliki jadi mereka miliki karena pengaruh
suatu kelompok. Kelompok sangat berperan dalam konversi
sikap dan perbuatan anak-anak yang lain. Di dalam kelompok
terjadi transfer perilaku dan pemikiran. Suatu perbuatan
sebenarnya juga tidak selalu mereka peroleh dari dalam
kelompok, mereka ada yang sudah mempunyai perbuatan itu
bawaan dari luar, kemudian ia menginfeksi teman-temannya.
Transformasi perilaku diantara anak-anak ada beberapa
macam: menerima masukan secara suka rela dari temannya,
meniru perbuatan seseorang yang dianggap keren dan bisa
membuat bangga jika mengikutinya, mengadakan perilaku baru
yang didapatkannya dari pengalaman atau melihatnya di
suatu tempat, dan adanya intimidasi atau paksaan dari
seseorang yang mempunyai power lebih. Mereka tidak hanya30
mendapatkan perilaku baru dari kelompok, tetapi juga dari
luar kelompok. Jadi di sini menjadi jelas bagaimana mereka
dapat bertransformasi dari satu sikap ke sikap yang lain,
dari satu perilaku ke perilaku yang lain.
F. PEMBAHASAN TEORI
G W Alport (1935) mengemukakan bahwa sikap adalah
keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur
melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau
terarah terhadap respon individu pada semua objek dan
situasi yan gberkaitan dengannya25. Allport melakukan
penelitian tentang sikap den tingkah laku pada tahu pada
tahun1930-an, pada masa itu psikolog sosial
mendefinisikan sikap sebagai sebuah kecnederungan untuk
bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial,
artinya sikap direfleksikan dalam tingkahlaku yang nampak.
Namun La Pierre tidak yakin dengan hal tersebut, kemudian
dia menyatakan bahwa tidak semua orang akan menampilkan
semua sikap dalam tingkahlaku yang nampak dan pernyataan
verbal mereka. setiap orang bisa saja menampilkan sisi
yang berbeda ketika berhadapan dengan individu lain.26 Oleh
karena itu, sikap anak di lembaga sosial ini tidak
semuanya dapat teramati dengan baik meskipun dengan cara
terntentu dapat diketahui. Stephen P Robbins berpendapat
bahwa sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek,
25 David O’Sears, Jonathan L Freedman, & L Anne Peplu, Psikologi Sosial Edisi kelima, Erlangga: Jakarta, tanpa tahun, hal 137.
26 Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi sosial Edisi kesepuluh, Erlangga: Jakarta, 2004, hal 130.
31
orang atau peristiwa27. Hal ini mencerminkan perasaan
seseorang terhadap sesuatu28.
Sikap mempunyai tiga komponen utama: kesadaran,
perasaan, dan perilaku. Keyakinan bahwa "Diskriminasi itu
salah" merupakan sebuah pernyataan evaluatif.
Opini semacam ini adalah komponen kognitif dari sikap yang
menentukan tingkatan untuk bagian yang lebih penting dari
sebuah sikap -komponen afektifnya. Perasaan adalah
segmen emosional atau perasaan dari sebuah sikap dan
tercermin dalam pernyataan seperti "Saya tidak menyukai
John karena ia mendiskriminasi orang-orang
minoritas." Akhirnya, perasaan bisa menimbulkan hasil
akhir dari perilaku. Komponen perilaku dari sebuah sikap
merujuk pada suatu maksud untuk berperilaku dalam cara
tertentu terhadap seseorang atau sesuatu.29
Pada akhir tahun 1960-an, hubungan yang diterima
tentang sikap dan perilaku ditentang oleh sebuah tinjauan
dari penelitian. Berdasarkan evaluasi sejumlah penelitian
yang menyelidiki hubungan sikap-perilaku, peninjau
menyimpulkan bahwa sikap tidak berhubungan dengan perilaku
atau paling banyak hanya berhubungan sedikit.30 Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa sikap memprediksi perilaku masa
depan secara signifikan dan memperkuat keyakinan semula27 Stephen P Robbins, Perilaku Organisasi, Salemba Empat: Jakarta, 2007,
hal 92-102.28 S J Breckler, "Empirical Validation of Affect, Behavior, and Cognition as Distinct
Component of Attitude," Journal of Personality and Social Psychology, Mei 1984, hal 1191-1205.
29 Ibid.30 A W Wicker, A Theory of Cognitive Dissonance, Stanford University Press:
Stanford, 1957.
32
dari Festinger bahwa hubungan tersebut bisa ditingkatkan
dengan memperhitungkan variabel-variabel pengait.31
Dengan melihat perilaku anak remaja, maka itu adalah
refleksi dari sikap mereka terhadap lingkungannya. Memang
tidak semua sikap mereka tampakkan dalam perilaku mereka.
mereka akan menyetting perilaku mereka ketika berhadapan
dengan orang lain. Setiap settingan perilaku yang
ditampakkan mempunyai tujuan dan maksud yang berbeda
sesuai dengan apa yang ingin mereka capai atau diinginkan.
Kemampuan menyetting ini merupakan sesuatu yang didapatkan
manusia dari belajar melalui situasi dan kondisi
lingkungan. Manusia sering dikatakan sebagai animal simbolism
atau manusia yang pandai menggunakan simbol-simbol.
Perilaku remaja merupakan simbol atau tanda dari apa yang
mereka inginkan, mereka ingin menunjukkan sesuatu kepada
orang lain.
Teori kognitif sosial (social cognitive theory) merupakan
penamaan baru dari teori belajar sosial (social leraning theory)
yang dikembangkan oleh Albert Bandura32. Penamaan baru
dengan nama Teori Kognitif Sosial ini dilakukan pada
tahun 1970-an dan 1980-an. Ide pokok dari
pemikiran Bandura (Bandura, 1962) juga merupakan
pengembangan dari ide Miller dan Dollard tentang belajar
meniru (imitative learning)33. Pada beberapa
31 S J Kras, "Attitudes and Prediction of Behavior," Personality and Social Psychology Bulletin, Januari 1995, hal 58-75.
32 A Bandura, Social Learning Theory, Prentise Hall: New Jersey, 1977.33 A Bandura, Social learning through imitation, Dalam M.R. Jones, Nebraska
symposium on motivation.Vol 10. University of Nebraska Press: Lincoln, 1962.
33
publikasinya, Bandura telah mengelaborasi proses belajar
sosial dengan faktor-faktor kognitif dan behavioral yang
mempengaruhi seseorang dalam proses belajar sosial.
Konsep utama dari teori kognitif sosial adalah
pengertian tentang obvervational learning atau proses belajar
dengan mengamati. Jika ada "model" di dalam lingkungan
seorang individu, misalnya saja teman atau anggota
kelompok di dalam lingkungan internal, atau di lingkungan
publik seperti para tokoh publik di bidang politik, berita
dan hiburan. Proses belajar dari individu ini akan terjadi
melalui cara memperhatikan model tersebut. Di dalam
kelompok, ada anak yang mempunyai power, anak ini menjadi
model bagi anak di dalam dan luar kelompoknya. Tentu saja
ada anak yang ingin meniru idolanya, mulai dari pakain
hingga perilaku bisa ditirunya. Perilaku seseorang bisa
timbul hanya karena proses modeling. Modeling atau peniruan
merupakan "the direct, mechanical reproduction of behavior, reproduksi
perilaku yang langsung dan mekanis (Baran & Davis, 2000:
184)34.
Baranowski, Perry, dan Parcel (1997: 161) menyatakan
bahwa "reinforcement is the primary construct in the operant form of
learning", proses penguatan merupakan bentuk utama dari cara
belajar seseorang.35 Proses penguatan juga merupakan konsep
sentral dari proses belajar sosial. Di dalam teori
34 S J Baran & D.K. Davis, Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future, Wadsworth: California, 2000, hal 184.
35 T Baranowsky, C L Perry, & G S Parecel, How Individuals, environments, and health behavior interact: Social Cognitive Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice, Jossey-Bass: San Francisco, 1997, hal 161.
34
kognitif sosial, penguatan bekerja melalui proses efek
menghalangi (inhibitory effects) dan efek membiarkan (disinhibitory
effects). Inhibitory effects terjadi ketika seseorang melihat
seorang model yang diberi hukuman karena perilaku
tertentu, misalnya ada anak didik yang dihukum dengan lari
memutari lapangan beberapa kali dan membersihkan kantor.
Dengan mengamati apa yang dialami model tadi, akan
mengurangi kemungkinan orang tersebut mengikuti apa yang
dilakukan oleh teman yang melanggar peraturan tersebut.
Sebaliknya, disinhibitory effects terjadi ketika seseorang
melihat seorang model yang diberi penghargaan atau imbalan
untuk suatu perilaku tertentu. Misalnya ada anak yang
telah membantu temannya dan rajin mengikuti kegiatan,
kemudian ia diberi penghargaan dengan tambahan poin plus
dari pekerja sosial. Menurut teori ini, teman-temannya
juga akan mencoba mengikuti jejak anak tadi.
Tetapi tidaklah selalu demikian dengan apa yang terjadi
di sini. Ketika ada seorang anak yang dijadikan model oleh
anak lain ketahuan melanggar dan terkena hukuman, maka
yang lain akan membelanya dan ikut membantah pekerja
sosial. Hukuman yang diberikan tidak memberi efek jera
bagi mereka, tetapi malah membuat mereka lebih pintar dan
lebih kompak dalam melakukan pelanggaran. Begitu juga
sebaliknya, ketika seorang anak diberi reward belum tentu
anak yang lain mengikutinya. Walaupun demikian, tidak
semua anak berperilaku seperti itu, biasanya hanya yang
berada dalam satu kelompok yang mengikutinya. Dengan
35
modeling ini maka kebiasaan baik maupun buruk bisa menular
dengan mudahnya, karena dia meniru ingin seperti idolanya.
Efek-efek yang dikemukakan di atas tidak tergantung
pada imbalan dan hukuman yang sebenarnya, tetapi dari
penguatan atas apa yang dialami orang lain tapi dirasakan
seseorang sebagai pengalamannya sendiri (vicarious
reinforcement). Menurut Bandura (1986), vicarious reinforcement
terjadi karena adanya konsep pengharapan hasil (outcome
expectations ) dan harapan hasil (outcome expectancies ). Outcome
expectations menunjukkan bahwa ketika kita melihat seorang
model diberi penghargaan dan dihukum, kita akan berharap
mendapatkan hasil yang sama jika kita melakukan perilaku
yang sama dengan model. Seperti dikatakan oleh Baranowski
dkk (1997), "People develop expectations about a situation and
expectations for outcomes of their behavior before they actually encounter the
situation"36. Selanjutnya, seseorang mengikat nilai dari
pengharapan tersebut dalam bentuk outcome expectancies.
Harapan-harapan ini memeprtimbangkan sejauh mana penguatan
tertentu yang diamati itu dipandang sebagai sebuah
imbalan/penghargaan atau hukuman.
Konsep-konsep yang telah dikemukakan merupakan proses
dasar dari pembelajaran dalam teori kognitif sosial.
Meskipun demikian, terdapat beberapa konsep lain yang
dikemukakan teori ini yang akan memengaruhi sejauh mana
belajar sosial berperan. Salah satu tambahan yang penting
36 T Baranowsky, C L Perry, & G S Parecel, How Individuals, environments, and health behavior interact: Social Cognitive Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice, Jossey-Bass: San Francisco, 1997, hal 161.
36
bagi teori ini adalah konsep identifikasi (indentification).
Secara khusus teori kognitif sosial menyatakan bahwa jika
seseorang merasakan hubungan psikologis yang kuat dengan
sang model, proses belajar sosial akan lebih mudah
terjadi. Identifikasi muncul mulai dari ingin menjadi
hingga berusaha menjadi seperti sang model dengan beberapa
kualitas yang lebih besar. Teori kognitif sosial juga
mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang "pengamat"
untuk menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan
yang dipunyainya untuk menampilkan perilaku trsebut.
Kepercayaan ini disebut dengan self-efficacy atau efikasi diri
(Bandura: 1977) dan hal ini dipandang sebagai sebuah
prasayarat kritis dari perubahan perilaku37.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asumsi
dari teori kognitif sosial adalah proses belajar akan
terjadi jika seseorang mengamati seorang model yang
menampilkan suatu perilaku dan mendapatkan imbalan atau
hukuman karena perilaku tersebut. Melalui pengamatan ini,
orang tersebut akan mengembangkan harapan-harapan tentang
apa yang akan terjadi jika ia melakukan perilaku yang sama
dengan sang model. Harapan-harapan ini akan memengaruhi
proses belajar perilaku dan jenis perilaku berikutnya yang
akan muncul. Namun, proses belajar ini akan dipandu oleh
sejauh mana orang tersebut mengidentifikasi dirinya dengan
sang model dan sejauh mana ia merasakan efikasi diri
tentang perilaku-perilaku yang dicontohkan sang model.
37 A Bandura, Self-Efficacy: Toward a unifying theory of behavior change. Psychological Review, 1977, hal. 191-215.
37
Para remaja mempunyai alasan tersendiri untuk
bertindak, mereka mempunyai motivasi dan kepentingan yang
berbeda. Alasan bisa didefinisikan sebagai prinsip dasar
atas tindakan, yang tetap dijaga hubungannya oleh agen,
sebagai elemen rutin dari pengawasan reflektif merekea
mengenai perilaku mereka. Giddens (1993) menggunakan
‘motivasi’ yang melahirkan tindakan. Hubungan motivasi
dengan elemen-elemen kecenderungan kepribadian merupakan
hubungan langsung, dan dikenali di dalam penggunaan
sehari-hari; motif sering memiliki nama –ketakutan,
kecemburuan, kesombongan, dan sebagainya- dan pada saat
bersamaan nama-nama itu bisa dianggap sebagai nama
perasaan. Kepentingan hubungannya erat dengan motif;
kepentingan secara sederhana dapat diartikan sebagai hasil
atau kejadian yang memudahkan pemenuhan keinginan-
keinginan agen. Tidak ada kepentingan tanpa keinginan;
tetapi karena orang tidak perlu sadar atas motif mereka
melakukan tindakan dengan cara tertentu, mereka tidak
perlu sadar atas, dalam situasi apapun, kepentingan
mereka. Tentu saja, tidak dapat dipastikan individu
bertindak sesuai dengan kepentingan-kepentingannya. Lebih
lanjut akan menjadi sebuah kesalahan untuk menduga bahwa
maksud selalu searah dengan keinginan, misal: seseorang
mungkin bermaksud melakukan dan melakukan hal-hal yang
tidak dia ingin lakukan; dan mungkin menginginkan hal-hal
yang tidak dimaksudkannya untuk mendorong tercapainya
tindakan.38
38 A Giddens, Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2010, hal 108-112.
38
Penularan melalui pemaksaan biasanya bermula dengan
komunikasi verbal, kemudian dengan adu mulut bila tidak
berhasil dengan cara lembut tersebut. Makna tuturan
sebagai tindakan komunikatif pada prinsipnya selalu
dipisahkan dari makna tindakan, atau identifikasi tindakan
sebagai tindakan tertentu. Tindakan komunikatif adalah
tempat tujuan-tujuan aktor atau salah satu tujuan aktor,
ditautkan pada pencapaian menyampaikan informasi kepada
orang lain. Informasi itu tentu saja tidak selalu semacam
proposisi, tetapi bisa dimasukkan ke dalam usaha untuk
membujuk atau mempengaruhi orang lain untuk menanggapi
dengan cara tertentu. Karena tuturan bisa berarti sebuah
tindakan dan sebuah tindakan komunikatif, sesuatu yang
dilakukan mungkin juga memiliki tindakan komunikatif.39
Penelitian terhadap anak-anak sejenis pernah dilakukan
oleh Paul Willis dalam bukunya Learning to Labour (1977).
Willis bermaksud mengkaji sekelompok anak kelas bekerja
yang sedang belajar di sebuah sekolah yang terletak di
kawasan miskin Birmingham. Penelitian ini selaras dengan
implikasi empiris utama teori strukturasi. Willis
memperlakukan anak-anak ‘bandel’ yang diteliti itu sebagai
aktor yang tahu banyak, baik secara diskursif maupun diam-
diam tentang lingkungan sekolah yang dirinya menajdi
bagian lingkungan itu dan bahwa dia memperlihatkan
bagaimana sikap memberontak yang diambil oleh anak-anak
itu terhadap sistem otoritas sekolahh yang ternyata
memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu yang benar-benar
39 Ibid, hal 113-114..
39
tak diharapkan tapi sangat mempengaruhi nasib mereka
kelak. Ketika lulus dari dari sekolah, anak-anak ‘bandel’
itu bersedia bekerja serabutan, sehingga hal ini
memudahkan pereproduksian beberapa ciri umum tenaga kerja
kapitalis-industri. Dengan kata lain, pengekangan ternyata
bekerja melalui keterlibatan aktif agen-agen bersangkutan,
bukan sebagai kekuatan yang diri mereka betindak sebagai
penerima pasif saja.40
Motif-motif yang dijadikan tuntunan bagi aktifitas-
aktifitas remaja dan mendasari alasan-alasan yang mereka
miliki atas apa yan gmereka lalkukan tidaklah bisa
dijelaskan dengan baik sebagai akibat dari kurangnya
pemahaman terhadap sistem sekolah di lembaga atau
hubungan-hubungannya dengan aspek lain lingkungan sosial
yang merupakan latar belakang kehidupan mereka. tapi
kondisi seperti ini timbul karena mereka banytak tahu
tentang lembaga sekolah dan konteks-konteks lain yan
gmenggiring mereka melakukan tindakan-tindakan seperti
yang mereka perlihatkan selama ini. Pengetahuan semacam
itu terutama dapat diperoleh dalam aktifitas-aktifitas
praktis atau dalam wacana kontekstual. Dalam laporan
Willis ‘anak-anak bandel’ muncul jauh lebih kentara
diibandingkan dengan jenis anak lain yan gmungkin diakui
sekolah tersebut. Namun, batas apa yan gmereka ketahui
tentang keadaan mereka dalam menjalani kehidupan itu
memang cukup sempit.
40 A Giddens, The Constituion of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Pedati:Yogyakarta, 2011, hal 359-360.
40
Remaja di sini tentu menyadari bahwa kesempatan mereka
mendapatkan pekerjaan selain pekerjaan yang dipelajari di
lembaga sangatlah rendah, dan kondisi ini mempengaruhi
sikap memberontak mereka terhadap sekolah. Willis
mengatakan “namun paling bagus mereka memiliki kesadaran
yang tidak tepat atas aspek-aspek masyaraka tyang elbih
luas yang mempengaruhi konteks aktifitas mereka sendiri”.
Giddens (1984) menyatakan bahwa mungkin masuk akal jika
menarik kesimpulan tentang pola motivasi dasar umum
tentang usaha menetapkan metode-metode perilaku yang dapat
memberikan semacam makna dan warna ke dalam sederet
prospek kehidupan yan gmenjemukan yang dilihat secara
akurat dari berbagai sudut. Kita tidak dapat sepenuhnya
memahami motivasi ‘anak-anak bandel’ itu, kecuali jika
kita meilhat bahwa mereka benar-benar berusaha memahami
ahkikat posisinya di dalam masyareakat kendati dengan
ccara parsial dan terbatas secaraa kontekstual41.
Anak didik dan para guru serta pekerja sosial di
lembaga merupakan spesialis teori dan praktek otoritas,
namun pandangan masing-masing terhadap kebutuhan dan
tujuan-tujuan formalnya sangat bertentangan. Guru
memerlukan anak-anak penurut dalam memberikan sanksi untuk
menjinakkan anak-anak nakal. Ada beberapa konsensus moral
yan gtidak dapat ditanamkan pada anak dengan cara
kekerasan. Sanksi hukuman hendaknya hanya digunakan
sebagai upaya terakhir karena sanksi seperti itu merupakan
tanda gagalnya kendali yang efektif bukannya harus
41 Ibid, hal 363.
41
dijadikan dasar kendali itu sendiri. Gurun dan anak didik
sadar kalau mereka mengetahuinya. Anak-anak bandel mampu
memanfaat kondisi tersebut demi kepentingannya sendiri.
Dalam menumbangkan disiplin kelas, mereka menggembar-
gemborkan kewenangannya untuk melakukan tindakan tertentu.
Kenyataan bahwa lembaga panti mengharuskan para anak didik
untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam
lembaga daripada diluar memang sangat penting dalam kontra
budaya yang telah mereka prakarsai, karena di luar lembaga
mereka bisa mencari kebebasan dengan leluasa, sedangkan di
dalam lembaga tentu ada peraturan yang tidak boleh
dilanggar sebagaimana di luar lembaga.
Para remaja ingin sebenarnya ingin menujukkan sesuatu
dari diri mereka kepada orang lain, mereka berinteraksi
dengan orang lain agar diakui bahwa mereka ada dan
berbeda. Mereka menggunakan simbol-simbol dalam
berinteraksi dengan orang lain atau dengan interaksionisme
simbolik. Pengaruh interaksionisme yan gpaling umum adalah
pandangan bahwa kita menggunakan interpretasi oran glain
sebagai bukti “kita pikir siapa kita”. Berarti, citra diri
(self image) adalah produk dari cara orang lain berpikir
tentang kita. Selama kita hidup, kita bertemu banyak
orang, semua menanggapi kelakuan kita sesuai dengan
simbolisasi yang kita bangun. Mereka menginterpretasikan
perilaku kita berdasarkan bukti yang tersedia bagi mereka.
Citra diri sangat dipengaruhi oleh reaksi-reaksi individu
yang berkontak.42
42 Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2010, hal 142-143.
42
Para remaja segera belajar bahwa orang lain akan
menginterpretasi perilakunya, kemampuan interpretatifnya
memungkinkan dia memanipulasi iinterpretasi itu sesuai
dengan pandangannya terhadap dirinya. Mereka menggunakan
kapasitas diri mereka dengan cara yang kreatif agar orang
lain merespon mereka menurut yang merkea kehendaki.
Akibatnya, mereka mengelola atau mengatur irama dan respon
orang lain dengan cara menghadirkan citra mereka
sedemikian sesuai dengan yang diinginkan mereka berpikir
tentang mereka. mereka menjadi aktor-aktor di atas
panggung kehidupan, menuliskan garis-garis kehidupan
mereka. Oleh karena itu para remaja di lembaga ini
terkadang bisa saja berlaku sopan di depan para pekerja
sosial dan para pegawai, kemudian di lai waktu meeka juga
bisa berubah ke sifat asli yang mereka punya.
Erving Goffman dalam bukunya, Presentation of Self in Everyday
Life (1969), menyajikan konsepsinya tentang kehidupan sosial
sebagai suatu panggung yang di atasnya manusia memerankan
diri mereka, dan menjelaskan dukungan sosial yang ditekan
menjadi kehadiran untuk melayani orang lain43. Menurut
Goffman, sangat sedikit atribut, kepemilikan atau
aktifitas manusia yang tidka digunakan dalam kehidupan
teatrikal ini. Pakaian yang remaja pakai, kamar yang
mereka tinggali, cara mereka melengkapi isi kamar, cara
mereka berjalan dan berbicara, keterampilan yang mereka
ikuti, dan cara menggunakan waktu senggang, semuanya
43 Ibid, hal 145.
43
digunakan untuk memberitahu orang lain tentang siapa
sebenarnya mereka.
Jadi perilaku remaja di lembaga ini merupakan hasil
dari interaksionisme simbolik, para remaja menjadi tahu
siapa dia di antara anak-anak yang, kemudian
mengkonstruksi diri mereka setelah ada berbagai masukan
dan refleksi diri. Juga merupakan hasil dari sandiwara
memberitahu orang lain tentang siapa mereka. Bisa juga
mereka berubah perilakunya karena adanya labeling, teori ini
lahir dari interaksionisme simbolik, dan agak berbeda
dengan teori sandiwara atau akting sosial. Teori labeling
terutama tertarik pada fakta bahwa manusia kadang-kadang
menjadi korban interpretasi atau label orang lain selama
identitas sosial mereka dapat dipengaruhi atau bahkan
menentang kehendak mereka44. Akibatnya, ada remaja yang
kadang-kadang mengalami shock culture ketika masuk ke
lembaga, kemudian mengalami keruntuhan pertahanan diri dan
mengikuti apa yang orang lain katakan tentang mereka.
Dengan begitu, bisa saja para remaja kemudian perilakunya
mengikuti anjuran teman atau para pekerja sosial, kemudian
berbagai kebiasaan teman-temannya bisa menjadi kebiasaan
mereka, maka sangat mudahlah mereka menularkan kebiasaan
atau perilaku baik maupun buruk kepada teman-temannya.
psikoanalisa Sigmund Freud melihat bahwa perilaku jahat
merupakan representasi dari “id” yang tidak terkendalikan
oleh ego dan super ego. Id merupakan impuls yang memiliki
prinsip kenikmatan (pleasure principle). Ketika prinsip44 Ibid, hal 146.
44
itu berkembang, super ego menjadi terlalu lemah untuk
mengontrol impuls yang hedonistik ini. Hasilnya, perilaku
untuk sekehendak hati asal menyenangkan muncul dalam diri
seseorang. Keadaan psikologis seperti ini menimbulkan
kesalahpahaman bagi pelaku kejahatan dalam menilai
tindakan yang dilakukannya. Ia akan cenderung menganggap
tindakannya merupakan alasan pembenar yang bersifat
subyektif untuk tiap persoalan.
Para remaja memiliki berbagai motivasi dan tujuan dalam
mengekspresikan perilakunya. David McClelland mengenalkan
tiga teori kebutuhan yang dikenal dengan “teori kebutuhan
McClelland” atau McClelland’s Theory of Needs, yaitu need for
achievement, need for power, dan need for affiliation. Tentunya setiap
remaja punya dorongan yang kuat untuk berhasil, dorongan
ini mengarahkan untuk berusaha lebih keras untuk mencapai
target, dengan begitu ia kemudian terdorong untuk
menguasai dan mengendalikan orang lain, sebelum ia dapat
berkuasa ia akan membangun sebuah organisasi kelompok
untuk menancapkan kekuatannya. Jika alasan remaja
menularkan kebiasaan dan tertulari ditinjau dengan teori
ini maka ada beberapa jawaban. Remaja ingin mendapatkan
pengakuan dan pengaruh di antara teman-temannya, untuk
menunjukkan kemampuan dan kualitas dirinya. Tujuannya
adalah ia mempunyai kekuasaan di antara anak yang lain.
Untuk mengaktualkan impiannya ia menggunakan need for affiliation
atau kebutuhan untuk membangun aliansi dengan temannya.
Sambil membangun aliansi juga sambil mendoktrin temannya
agar sepaham. Di situlah ia juga mulai belajar bagaimana
45
mengendalikan massa. Bagaimana ia mempengaruhi massa agar
tunduk dan patuh kepadanya. Teman-temannya yang tidak
mempunyai pertahanan pribadi yang baik akan dengan mudah
terpengaruh. Maka dengan mudah ia berada di bawah
perintahnya, dengan mudah pula ia mengikuti perilaku
atasan, baik itu secara terpaksa maupun secara sukarela.
Anak-anak yang menularkan perbuatan mereka adalah anak
yang berperilaku agresif, jadi perbuatan yang mereka
tularkan juga agresif. Eko Budi Purwanto, pimpinan umum
Grahita Indonesia, menyebutnya dengan istilah
“aggressivism infectious behavior” sebagai sebutan untuk
proses penularan perilaku agresif dan kejahatan individu
satu terhadap individu lain. Penyebab hampir semua kasus
aggressivism infectious behavior adalah pribadi yang tidak kokoh
dan biasanya ada beberapa penyebab yang memepengaruhinya:
Post traumatic history yang terjadi (walaupun bagi
individu dengan pribadi yang kuat tidak akan berdampak),
Ketergantungan yang besar akibat suasana keluarga yang
protektif (biasanya lebih berdampak pada mereka yang
ditulari), Rejection (penolakan) yang sering dialami oleh
individu dari lingkungan terdekat.45
Kebiasaan yang tidak baik ini hampir sama dengan
penyakit panu, flu, kusta, AIDS, dan penyakit menular
lainnya. Semakin banyak dan sering individu satu
berinteraksi dengan individu berpenyakit tersebut maka
semakin besar kemungkinan untuk tertular, apalagi jika
45 http://grahita.net/2014/03/08/perilaku-agresif-dan-tindak-kejahatan-memang-bisa-menular/ diakses pada 19 Januari 2014, 14:30 wib.
46
tidak mempunyai penangkal penyakit tersebut. Hal tersebut
juga sama dengan penyakit sosial yang diderita oleh
beberapa anak di PSBR. Semakin sering dan semakin banyak
individu yang bergaul dengan individu berpenyakit sosial
maka semakin besar peluang untuk tertular dengan penyakit
sosial, apalagi jika tidak mempunyai pribadi-pribadi yang
kokoh dalam pendirian.
Beberapa tahun lalu, KH Abdurrahman Wahid pernah
menyinggung bahwa anggota DPR RI seperti anak taman kanak-
kanak. Sindiran tersebut ternyata terus mengemuka
kenyataannya hingga hari ini. Masyarakat dengan kasat mata
dapat melihat kejadian tersebut, bagaimana para anggota
dewan yang terhormat itu tidak dewasa dalam bersikap dan
berperilaku. Mereka bertengkar di luar kepentingan rakyat,
jalan-jalan dengan dalih studi banding, suka meninggalkan
tanggungjawab, sering bolos rapat, dan lain-lain. Adanya
sikap tidak dewasa dan tidak bertanggungjawab ini,
terlihat menular pada anggota dewan periode berikutnya.
Bagaimana tidak, sikap tidak dewasa ini selalu terulang
kembali pada periode berikutnya. Bukan tanpa sebab para
anggota dewan masa kini berperilaku demikian. Epidemi
sikap dan perilaku negatif mereka, sebenarnya merupakan
warisan yang dicontohkan, kemudian mentradisi dari
generasi sebelumnya, jadi perilaku kejahatan ini menular.
Ternyata anggota dewan ini memberikan sumbangsih
terhadap perubahan mental anak muda. Jika boleh dikatakan,
maka mereka berpikiran: “anggota dewan yang terhormat saja
seperti itu, apalagi saya”. Boleh jadi anggota dewan juga47
mewakili sikap dan perilaku masyarakat di periodenya, jika
ingin mengetahui kondisi masyarakat maka lihatlah orang
yang mewakilinya. Meskipun tentunya tidak semua masyarakat
seperti itu, tapi kurang lebih hal itu dapat dijadikan
gambaran kasarnya.
G. KESIMPULAN
Dunia remaja adalah dunia yang serta membuat seorang
remaja ingin tahu, ingin mencoba-coba, dan ingin bertindak
serta asyik dengan dunia mereka saat usia remaja.
Begitupun dunia remaja adalah dunia yang sangat mungkin
akan membuat seorang remaja salah langkah dalam memaknai
usianya. Apalagi jika ditambah dengan keadaan orang tua
yang kurang mengetahui dengan apa yang sedang dirasakan
anaknya pada saat remaja, sehingga orang tua terkadang
bisa saja salah dalam memperlakukan anaknya yang masih
remaja.
Pemerintah dan LSM serta masyarakat tentunya tidak
tinggal diam melihat semakin parahnya kerusakan moral para
remaja penerus bangsa ini. Di salah satu lembaga sosial
milik pemerintah yang melakukan proses rehabilitasi ini
terjadi peristiwa yang unik, ada beberapa anak yang
berperan menyebarkan pemikiran dan perilakunya kepada anak
yang lain. Ada beberapa pola penularan yang dapat
teramati, yaitu: meniru, ajakan, dan intimidasi. Perilaku
anak-anak di lembaga yang awal mulanya berbeda-beda
kemudian terjadi kesamaan perilaku. Terjadinya hal
tersebut karena mereka sebenarnya ingin menunjukkan bahwa
48
mereka ingin diakui oleh orang lain keberadaan dan
kemampuannya. Kemudian dia mulai menyusun cara bagaimana
bisa mewujudkan harpannya, yaitu dengan mengorganisir
massa. Tentu ia menyadari bahwa ia harus punya power atau
kelebihan di dalam dirinya yang membuatnya harus
diperhitungkan. Kemampuan yang dimilikinya membuat orang
lain menjadi inferior dan tunduk di bawah kekuasaannya,
membuat orang lain ingin menirunya dan mengikuti jejak
langkahnya, tak segan-segan ia melakukan intimidasi jika
ada yang tidak mengikuti kehendaknya. Ia dapat membuat
anak-anak yang lain menjadi satu suara, solidaritas
kelompok tinggi.
Ketidakseimbangan antara perkembangan intelektual
dengan perkembangan emosional remaja membawa dampak yang
serius, dan itu sangat bermasalah bagi seorang remaja.
Banyak remaja kita, ketika memasuki setingkat SMP maupun
SMA timbul berbagai gejolak masalah, baik dirumah,
masyarakat, maupun disekolah. Disekolah misalnya karena
terbawa teman mungkin seorang remaja suka membolos,
ataupun kadang mogok tidak mau sekolah, ikut-ikutan minum-
minuman keras dan merokok, dan lain-lain. Ataupun masalah
lain yang berdampak negatif bagi perkembangan seorang
remaja entah itu perkembangan prestasi, masalah pergaulan,
dan masalah lainnya.
Apalah arti adanya negara besar ini tanpa keberadaan
para pemudanya. Apalah arti perjuangan yang para pahlawan
mengusir seluruh penjajah dari bumi pertiwi dengan gagah
berani jika bukan untuk memperjuangkan masa depan para49
pemuda. Apa arti pengorbanan orang tua jika bukan untuk
kebaikan sang anak. Sudah banyak yang dikorbankan oleh
jutaan nyawa jiwa pendahulu kita demi generasi pemuda.
Harta benda, waktu, dan bahkan nyawa mereka pun
dikorbankan demi pemuda penerus bangsa yang besar ini.
Sudah selayaknya para pemuda sadar akan hal ini. Para
pendahulu kita sudah sangat jauh berpikir ke depan demi
para pemuda pewaris peradaban agung ini. Mereka berjuang
bukan hanya demi keberadaan merka dan orang-orang
sezamannya saja. Mereka berjuang bukan hanya untuk
mencapai kemerdekaan dan kebebasan sesaat saja. Tetapi
mereka lebih jauh rela memperjuangkna itu semua untuk
generasi-generasi berikutnya. Sejarah mereka hendaknya
menjadi semangat juang dan pelecut bagi pemuda untuk
bangkit dari keterpurukan saat ini. Semangat juang yang
harus tetap terukir di dalam sanubari setiap insan muda
negara ini, semangat juang yang harus tak pernah padam
karena terpaan budaya yang merusak. Memperkuat pertahanan
diri agar tidak mengikuti perbuatan dan kebiasaan yang
merusak moral bangsa.
Perilaku individu dapat menular melalui berbagai jenis
interaksi sosial, interaksi sosial yang tidak bisa
dikendilakn dengan baik individu akan berakibat tidak
baik. Individu dapat tertular perilaku jelek karena adanya
dorongan dari dalam diri yang tidak seimbang. Apalagi jika
tidak mempunyai pendirian yang kokoh, minim pengetahuan,
hati yang tidak kuat, lemahnya mental, dan kurang
bimbingan moral dan agama, maka akan sangat mudah tertular50
hal-hal yang tidak seharusnya. Bukan hanya kemampuan
untuk membedakan mana yang baik dan tidak, tetapi perlu
kemampuan untuk tidak melaksanakan yang tidak seharusnya.
Itulah yang masih lemah dan perlu perbaikan lagi oleh para
remaja ini.
Perlu pengajaran yang tepat dan sesuai dengan keadaan
para remaja ini. Ki Hajar Dewantara dengan sangat baik
merumuskan tiga filosofi yang sangat terkenal, yaitu: “Ing
ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani”.
Kemudian ada kata-kata bijak yang berbunyi “anglaras ili ning
banyu, ananging ora keli”. Kurang lebih artinya adalah “daun
kering mengalir di air tetapi tidak hanyut”. Maknanya adalah seorang
pemuda boleh bergaul dan berinteraksi secara sosial dengan
siapa saja. Karena interaksi dengan makhluk Tuhan adalah
suatu yang sudah menjadi keharusan, tanpa manusia dan
makhluk lain apalah arti seorang diri. Akan tetapi yang
menjadi catatan adalah pertahanan diri atau self defense
terhadap hal-hal yang tidak tidak selayaknya. Semoga
generasi penerus bangsa ini dapat meneruskan cita-cita dan
semangat juang segenap para pahlawan.
51
DAFTAR PUSTAKA
A Bandura, Self-Efficacy: Toward a unifying theory of behaviorchange. Psychological Review, 1977.
A Bandura, Social Learning Theory, Prentise Hall: New Jersey,1977.
A Bandura, Social learning through imitation, Dalam M.R.Jones, Nebraska symposium on motivation.Vol 10. University ofNebraska Press: Lincoln, 1962.
A Giddens, Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru, Pustaka Pelajar:Yogyakarta, 2010.
A Giddens, The Constituion of Society: Teori Strukturasi untuk AnalisisSosial, Pedati: Yogyakarta, 2011.
A W Wicker, A Theory of Cognitive Dissonance, Stanford UniversityPress: Stanford, 1957.
Aziz Muslim, Dasar-Dasar Pengembangan Masyarakat, SamuderaBiru: Yogyakarta, 2012.
Aziz Muslim, Metodologi Pengembangan Masyarakat, UIN SunanKalijaga, Yogyakarta: 2008.
David O’Sears, Jonathan L Freedman, & L Anne Peplu, PsikologiSosial Edisi kelima, Erlangga: Jakarta, tanpa tahun.
Dr Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajagrafindo Persada:Jakarta, hal 194.
Muhammad Fathi, The Power of Youth: Risalah Para Pemuda PewarisPeradaban, Syamil Cipta Media, Jakarta: 2006.
Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hinggaPost-modernisme, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta,2010, hal 142-143.
52
Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi sosial Edisi kesepuluh,Erlangga: Jakarta, 2004.
S J Baran & D.K. Davis, Mass Communication Theory: Foundations,Ferment, and Future, Wadsworth: California, 2000.
S J Breckler, "Empirical Validation of Affect, Behavior, and Cognition asDistinct Component of Attitude," Journal of Personality and Social Psychology,1984.
S J Kras, "Attitudes and Prediction of Behavior," Personality and SocialPsychology Bulletin, Januari 1995.
Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, MPR RI: Jakarta, 2011.
Soegeng Koesman, Membangun Kaarakter Bangsa: Carut Marut danCentang Perenang Kritis Multi Dimensi di Era Reformasi, Lokus:Yogyakarta, 2009.
Stephen P Robbins, Perilaku Organisasi, Salemba Empat: Jakarta,2007.
T Baranowsky, C L Perry, & G S Parecel, How Individuals,environments, and health behavior interact: Social Cognitive Theory.Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health Behavior abdHealth Education: Theory, Research, and Practice, Jossey-Bass: SanFrancisco, 1997.
Totok Mardikanto, Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat: Acuanbagi Aparat Birokrasi, Akademisi, Praktisi dan Peminat/Pemerha tiPemberdayaan Masyarakat, UNS: Surakarta, 2010.
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, Kencana: Jakarta, 2011
Sumber dari Internet:
http://belajarpsikologi.com/kenakalan-remaja/
http://grahita.net/2014/03/08/perilaku-agresif-dan-tindak-kejahatan-memang-bisa-menular/
53
http://health.liputan6.com/read/2027546/komnas-pa-omong-kosong-indonesia-zero-anak-jalanan-di-2014/
http://health.liputan6.com/read/2027703/jumlah-penduduk-di-indonesia-melesat-dalam-10-tahun/
http://merdeka.com/contoh-kenakalan-remaja/
http://psbr-diy.blogspot.com/
54