54
INFECTIOUS BEHAVIOR: PENGAMATAN DI PSBR YOGYAKARTA Ridwan Faqih A 1 Abstrak Tulisan ini merupakan hasil dari pengamatan perilaku anak remaja yang baru masuk dan yang sudah lebih dahulu berada di salah satu lembaga Dinas Sosial Yogyakarta yang bernama Panti Sosial Bina Remaja (PSBR). Sebuah lembaga berbadan hukum yang memiliki mandat untuk membina anak-anak usia remaja dan melakukan bimbingan mental kepada mereka. Tema perilaku yang saya angkat adalah perilaku menular atau infectious behavior dari individu satu kepada invidu lain di dalam lingkungan panti. Tema ini menjadi penting, karena perilaku merupakan suatu hal yang harus mengalami perubahan dari perilaku yang buruk menjadi perilaku yang baik selama proses bimbingan mental yang dilakukan di lingkungan PSBR. Tema ini juga menjadi menarik, karena ternyata terjadi penularan perilaku dari individu yang satu kepada invidu yang lain, dan perilaku menular ini tidak hanya perilaku yang baik saja, tetapi yang perilaku yang tidak baik juga bisa menular. Pembinaan kepada anak remaja sangat penting, mengingat mereka menginjak usia yang sangat mudah untuk berubah pikiran dan mudah untuk dipengaruhi. Melalui pengamatan selama tiga bulan ini, saya medapati beberapa pola penularan: meniru individu yang dianggap sebagai model, diajak oleh temannya, dan yang terakhir melalui paksaann (paksaan atau bulllying). Para pemuda adalah generasi penerus bangsa ini yang harus meneruskan cita-cita dan 1 Ridwan Faqih A merupakan mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 1

Infectious Behavior

Embed Size (px)

Citation preview

INFECTIOUS BEHAVIOR:

PENGAMATAN DI PSBR YOGYAKARTA

Ridwan Faqih A1

Abstrak

Tulisan ini merupakan hasil dari pengamatan perilaku anak remaja yang

baru masuk dan yang sudah lebih dahulu berada di salah satu lembaga

Dinas Sosial Yogyakarta yang bernama Panti Sosial Bina Remaja (PSBR).

Sebuah lembaga berbadan hukum yang memiliki mandat untuk membina

anak-anak usia remaja dan melakukan bimbingan mental kepada mereka.

Tema perilaku yang saya angkat adalah perilaku menular atau infectious

behavior dari individu satu kepada invidu lain di dalam lingkungan panti.

Tema ini menjadi penting, karena perilaku merupakan suatu hal yang

harus mengalami perubahan dari perilaku yang buruk menjadi perilaku

yang baik selama proses bimbingan mental yang dilakukan di lingkungan

PSBR. Tema ini juga menjadi menarik, karena ternyata terjadi penularan

perilaku dari individu yang satu kepada invidu yang lain, dan perilaku

menular ini tidak hanya perilaku yang baik saja, tetapi yang perilaku yang

tidak baik juga bisa menular. Pembinaan kepada anak remaja sangat

penting, mengingat mereka menginjak usia yang sangat mudah untuk

berubah pikiran dan mudah untuk dipengaruhi. Melalui pengamatan

selama tiga bulan ini, saya medapati beberapa pola penularan: meniru

individu yang dianggap sebagai model, diajak oleh temannya, dan yang

terakhir melalui paksaann (paksaan atau bulllying). Para pemuda adalah

generasi penerus bangsa ini yang harus meneruskan cita-cita dan

1 Ridwan Faqih A merupakan mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

1

semangat juang para pahlawan. Para pahlawan berjuang jauh ke depan

sebenarnya adalah untuk masa depan para pemudanya.

Kata kunci: sikap dan perilaku, perbuatan menular, remaja, dan kenakalan

remaja.

A. Pendahuluan

Sebagaimana kita ketahui, remaja merupakan aset yang

berharga bagi estafet penerus perkembangan agama maupun

sebuah bangsa, apalagai sebesar agama Islam dan sebesar

bangsa Indonesia ini tentunya membutuhkan kader-kader yang

handal dan berkualitas serta berkarakter. Bung Karno

sebagai sosok negarawan, pendiri dan proklamator negeri

ini tatkala memegang tampuk pimpinan negara pernah

menekankan betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa,

nation and character building2, agar bangsa ini tetap memiliki

harga diri, agar penerus agama ini tetap memiliki kualitas

yang tinggi, sebagai bangsa yang berdaulat; sehingga tidak

dipandang rendah oleh bangsa lain dalam percaturan politik

dunia; sehingga penerus agama ini tidak dipandang rendah

oleh agama lain yang pada akhirnya dapat mewujudkan misi

normatif agama sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Marilah kita sejenak melihat remaja dan pemuda di zaman

sekarang ini apakah sudah seperti yang dicita-citakan oleh

2 Lihat Prof. Dr Darmadjati Supadjar dalam Soegeng Koesman, Membangun Kaarakter Bangsa: Carut Marut dan Centang Perenang Kritis Multi Dimensi di Era Reformasi, Lokus: Yogyakarta, 2009.

2

Bung Karno sebagai pemuda yang memiliki karakter. Remaja

dan pemuda dihadapkan pada situasi dan kondisi yang

tidaklah mudah. Dihadapkan pada situasi dan kondisi yang

jauh lebih sulit daripada zaman generasi generasi

sebelumnya atau generasi tua. Generasi muda sekarang

dihadapkan pada era globalisasi era digitalisasi. Semua

arus informasi tidak dapat terbendung dan tersaring untuk

perkembangan yang baik bagi remaja dan anak muda. Hal ini

mempersulit pembentukan jiwa yang kokoh dan berkarakter

jika tidak dibarengi dengan pengasuhan yang pas dan cukup.

Jika diluar pengawasan, maka informasi apapun dapat merek

terima dengan mudah tanpa pikir panjang. Singkatnya,

remaja dan pemuda menghadapi hal yang sangat mengerikan

bagi karakter pribadinya tanpa dia sadari. Ini sangat

mengkhawatirkan bangsa, karena di tangan generasi mudalah

bangsa ini akan dibawa, baik buruknya bangsa ini sangat

tergantung dengan generasi muda3.

Remaja yang duduk di bangku SMA, SMK, sebesar 9 juta

jiwa. Sedangkan usia anak 16 sampai 18 tahun yang memilih

keluar dari sekolah dan memilih kerja serabutan atau

pengangguran sebesar 4 juta jiwa. Dan sisanya, 6 juta jiwa

terdiri mahasiswa yang berada di 3200 kampus swasta dan 93

kampus negeri.4 Remaja yang pengangguran dan tidak sekolah

banyak yang tergabung ke dalam kelompok geng untuk

mengekspresikan diri mereka, juga banyak yang turun ke

jalan-jalan dengan melakukan berbagai tindakan mereka.

3 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, Kencana: Jakarta, 2011, hal 230.4 http://health.liputan6.com/read/2027703/jumlah-penduduk-di-

indonesia-melesat-dalam-10-tahun, diakses pada 7 Feb 2015.

3

Kemensos RI pernah mengklaim akan mengurangi jumlah anak

jalanan hingga nol persen tahun 2014. Zero anak jalanan

adalah target yang dibuat agar semua lebih optimal lagi

dalam mencari solusi untuk anak jalanan dan anak

terlantar. Namun menurut Ketua Komnas PA target tersebut

mustahil terjadi, karena jumlah anak jalanan di Indonesia

mencapat 420.000 anak, belum lagi yang anak jalanan

musiman dan yang belum diketahui atau pengangguran.5

Banyak sekali kasus yang terjadi pada remaja, dari

kasus ini dapat dilihat ternyata remaja penerus bangsa ini

mengalami yang namanya dekadensi moral atau demoralisasi.

Yang diharapkan adalah akhlak terpuji tapi ternyata yang

muncul adalah kahlak tercela. Remaja dan anak muda sudah

banyak yang mengkonsumsi narkoba dan miras, sudah banyak

terlibat pembunuhan, melakukan kekerasan, tawuran,

vandalisme, dan berbagai macam kenakalan remaja lainnya.

Mereka melakukan hal-hal yang bersifat merusak diri (self-

destructif), tapi mereka punya keyakinan yang tidak realistis

bahwa mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang

membahayakan diri (self-invulnerability). Tapi kemudian para ahli

terkait membuktikan bahwa ternyata baik remaja maupun

orang dewasa memiliki kemungkinan yang sama untuk

melakukan atau tidak melakukan perilaku yang beresiko

merusak diri (self-destructif)6.

5 http://health.liputan6.com/read/2027546/komnas-pa-omong-kosong-indonesia-zero-anak-jalanan-di-2014, diakses pada 7 Feb 2015.

6 Lihat Papalia dan Olds, (2001) dan Beyth-Marrom dkk, (1993) dalam Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, Kencana: Jakarta, 2011, hal 233.

4

Ketika kaum remaja dan pemuda mengalami suatu masalah

diatas yang sering disebut dengan masalah sosial atau

penyakit sosial, maka perlu upaya untuk merehabilitasi

mental dan sikap mereka. Karena dengan rehabilitasi

mental, mereka dapat belajar dan menata kembali apa yang

menjadi kesalahan atau penyimpangan mereka di masa lalu.

Mereka belajar mengendalikan emosi dan perilakunya

sehingga terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Karena

bagaimanapun juga, mereka adalah penerus bangsa ini, kalau

bukan mereka siapa lagi, golongan tua perlu juga istirahat

dan digantikan oleh golongan muda. Jadi sudah menjadi

kewajiban bagi stakeholder aktif untuk meluruskan kembali

apa yang seharusnya dirubah, dipelajari, dan didapat oleh

remaja agar tidak terjadi bangsa yang gagal membangun

penerusnya.

Salah satu lembaga sosial yang berperan aktif dalam

melakukan proses rehabilitasi anak remaja penyandang

masalah sosial adalah Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta.

Panti ini berada di bawah naungan Dinas Sosial. Bertempat

di Beran, Tridadi, kompleks Pemda Kabupaten Sleman,

Yogyakarta. Lembaga ini aktif melakukan pembinaan terhadap

remaja, pembinaan biasanya berlangsung dalam kurun satu

tahun. Selain pembinaan mental, mereka juga diberi

pembinaan keterampilan. Yang melakukan pembinaan di

lingkungan lembaga ini adalah: para pekerja sosial,

pegawai negeri sipil, guru pembimbing, kepolisian,

tentara, dan juga mahasiswa dengan basic di bidang social

worker seperti Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam dan

5

Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Terlibatnya berbagai

elemen terkait dalam proses rehabilitasi ini diharapkan

remaja dengan penyandang masalah sosial dapat kembali

menjadi individu-individu yang lebih baik dan dapat

diterima masyarakat.

Lembaga sosial ini bekerja sama dengan UIN Sunan

Kalijaga sudah berlangsung hampir empat bulan. Rencananya,

mahasiswa yang terlibat dalam pengasuhan dan pembinaan di

lembaga ini akan melaksanakan tugasnya selama satu tahun.

Seorang mahasiswa diberi tugas untuk membina satu asrama

yang berisi mulai dari 4-10 anak asuh. Tetapi mahasiswa

lebih terkonsentrasi kepada pengasuhan di malam hari,

karena malam hari para pegawai sudah tidak ada di

lingkungan panti. Mahasiswa dituntut untuk mengaplikasikan

ilu yang didapat di kampus, jadi disamping belajar juga

mengabdi kepada masyarakat. Salain itu, mahasiswa juga

akan merasakan bagaimana perbedaan dunia kampus dan dunia

di luar kampus, dengan demikian maka mahasiswa akan dapat

banyak pelajaran berharga yang bermanfaat.

Malam hari merupakan waktu yang sangat menarik untuk

melakukan pembinaan. Di malam hari, para pegawai sudah

pulang ke rumah, jadi hanya tersisa mahasiswa dan satpam.

Pada malam hari inilah sebagian besar anak-anak

menampakkan “wajah” asli mereka, sifat mereka yang asli

akan kelihatan di waktu ini. Maka malam hari menjadi

semakin menarik, karena bertepatan dengan menghadapi sifat

asli anak-anak. Sifat mereka pada siang hari berbeda

dengan sidat mereka di malam hari, dengan kata lain mereka6

menerapkan teori dramaturgi. Mereka bisa menyetting sifat

mereka ketika ada pegawai dan tidak ada pegawai.

Temuan lainnya adalah adanya kebiasaan yang menular di

antara anak-anak. Kebiasaan buruk anak yang sudah lama

berada di panti ditularkan kepada anak yang baru masuk –

panti menerapkan on-off untuk menerima murid baru, jadi ada

istilah anak baru dan anak lama. Sebaliknya kebiasaan anak

baru yang buruk juga bisa menular kepada anak yang lama.

Fenomena ini menarik perhatian, bagaimana anak-anak bisa

saling menularkan kebiasaan mereka, bagaimana pola

penularan kepada anak yang lain. Mereka bisa tertular

karena memiliki kepribadian yang belum kokoh dengan

diiringi beberapa penyebab yang menyertainnya. Pola

penularan yang terjadi yaitu dengan meniru, ajakan, dan

intimidasi.

B. TINJAUAN TENTANG REMAJA

Pergaulan remaja saat ini perlu mendapat sorotan utama,

karena pada masa sekarang pergaulan remaja sangat

mengkhawatirkan dikarenakan perkembangan arus modernisasi

yang mendunia dan menipisnya moral serta keimanan

seseorang khususnya remaja saat ini. Dengan berbagai

masalah yang mereka perbuat, ternyata sangat membuat para

orangtua kebingungan bagaimana mengatasinya. Secara umum,

masalah yang terjadi pada remaja dapat diatasi dengan baik

jika orang tuanya termasuk orang tua yang “cukup baik”.

Donald Winnscott, seorang psikoanalsis dari Inggris

memperkenalkan istilah good enough mothering, ini ia gunakan

7

untuk mengacu pada kemampuan seorang ibu dalam mengenali

dan memberi respon terhadap kebutuhan anaknya tanpa harus

menajdi seorang ibu yang smepurna.

Dikutip dari bukunya Yudrik Jahja (2011), kata remaja

berasal dari bahasa Latin yaitu adolescne yang berarti to

grow atau to grow maturity. Banyak tokoh yang memberikan

definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1960)

mendefinikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara

masa kanak-kanak dan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001),

tidak memberikan pengertian pengertian remaja (adolescent)

secra eksplisit melaikan secara implisit melalui

pengetian masa remaja (adolescene). Menurut Papalia dan Olds

(2001), masa remaja adlah masa transisi perkembangan

antara masa kanak-kanak dan dewasa yang umumnya dimulai

pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir

belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Menurut Adams dan Gullota (dalam Aaro, 1997), masa

remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Adapun

hurlock (1990), membagi masa remaja menjadi masa remaja

awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir

(16 atau 17 hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir

dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir

individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih

mendekati masa dewasa. Adapun Anna Freud (dalam Hurlock,

1990), berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses

perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan

dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi

perubahan dalam hubungan dengan orang tua dan cita-cita8

nmereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses

pembentukan orientasi masa depan.

Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian

perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian

kematangan masa dewasa sudah dicapai (hurlock, 1990).

Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses

pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus

bertambah. Adapun bagian dari masa dewasa antara lain

proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi

reproduksi dan kematangna kognitif yang ditandai dengan

mampu berpikir secara abstrak. (Hurlock, 1990; Papalia dan

Olds, 2001)

Yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang

terjadi pada rentang kehidupan (Papalia dan Olds, 2001).

Perubahan ini dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya

perubahan tinggi atau berat badan; dan kualitatif,

milsalnya perubahan cara berpikir dari konkret menjadi

abstrak (Papalia dan Olds, 2001). Menurut Papalia dan Olds

(2001) ada tiga aspek perkembangan, yaitu: (1)

perkembangan fisik; (2) kognitif; dan (3) kepribadian dan

sosial.7

Pemuda adalah terminal bagi setiap minat dan cita-cita

masa depan. Pemuda adalah permasalahan besar yang harus

diangkat dan didiskusikan dalam berbagai kesempatan.

Memmbangun pemuda lebih penting daripada sekedar membangun

jembatan, membangun jalan, banhkan lebih penting daripada

7 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, Kencana: Jakarta, hal 219-228

9

membangun gedung pencakar langit. Itu tidaklah ada

nilainya di tengah sirnanya pemuda.8 Oleh karena itu

tidaklah mengherankan jika para pejuang yang telah

mendahului kita rela mati-matian mempertahankan tanah air

tercinta ini. Mereka tidak berjuang hanya demi mengusir

penjajah, lebih jauh lagi mereka juga memikirkan para

pemuda penerus bangsa ini, dapat dikatakan bahwa mereka

berjuang demi para pemuda. Tidaklah berlebihan jika

dikatakan bahwa apalah arti tanah air tanpa kehadiran

pemuda.

C. KENAKALAN REMAJA

Istilah kenakalan remaja juga dikenal dengan “juvenile

delinquency”. Juvenelie Delinquency (juvenilis: muda, bersifat

kemudaan; delinquency dari kata delinquere: jahat,

durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang

selalu melakukan kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan

perhatian, status sosial dan penghargaan dari

lingkungannya.9

Menurut Kartono, ilmuwan sosiologi, “Kenakalan

Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan

istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis

sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk

pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk

perilaku yang menyimpang”. Sedangkan menurut Santrock,

“kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai8 Muhammad Fathi, The Power of Youth: Risalah Para Pemuda Pewaris Peradaban,

Syamil Cipta Media: Bandung, 2006, hal 1-3.9 Dr Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajagrafindo Persada: Jakarta, hal

194.

10

perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial

hingga terjadi tindakan kriminal”.10

Mereka disebut pula sebagai pemuda-pemuda berandalan,

atau pemuda aspalan yang selalu berkeliaran di jalan-jalan

aspalan, atau anak-anak jahat nakal. Pada umumnya mereka

tidak memiliki kesadaran sosial dan kesadaran moral.

Tidak ada pembentukan ego dan super-ego, karena hidupnya

didasarkan pada basis instinktif yang primitif. Mental dan

kemauannnya jaid lemah, hingga impuls-impuls, dorongan-

dorongan dan emosinya tidak terkendali lagi. Tingkah

lakunya berlebih-lebihan. Fungsi-fungsi psikisnya tidak

bisa diintegrasikan, hingga kepribadiannya menjadi khaotis

dan menjurus kepada psikotis.11

Anak-anak muda delinquent dengan cacat jasmaniah sering

dihinggapi rasa “berbeda”, rasa inferior, frustasi dan

dendam. Maka untuk mengkompensasikan perasaan-perasaan

minder itu mereka melakukan perbuatan-perbuatan

“kebesaran/grandieus”, kekerasan dan kriminal, menteror

lingkungan, bersikap tiranik, agresif dan destruktif,

merusak apa saja. Semua itu dilakukan dengan maksud

mempertahankan harga dirinya dan untuk “membeli” status

sosial serta prestige sosial untuk mendapatkan oerhatian

lebih dan penghargaan dari lingkungannya. Masalah

kenakalan mulai mendapat perhatian masyarakat secara

khusus sejak terbentuknya peradilan untuk anak-anak nakal

10 http://belajarpsikologi.com/kenakalan-remaja/ diakses pada 24 Januari 2015, 20:38 wib.

11 Dr Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajagrafindo Persada: Jakarta, hal 195.

11

(juvenile court) pada tahun 1899 di Illinois, Amerika

Serikat. Sebab-sebab anak menjadi delinquent antara lain

ialah: (1) Instabilitas psikis, (2) defisiensi dari

kontrol super ego, dan (3) fungsi persepsi yang defektif.12

Kenakalan remaja tidak hanya mmerigikan dirinya

sendiri, tetapi juga merugikan orang lain. Contoh dari

kenakalan remaja diantaranya yang ditindak oleh aparat dan

diberitakan oleh media ialah: pada 15 Januari 2015 pelajar

SMA berjudi dan ditemukan kondom bekas di lokasi tersebut,

Jum’at 23 Januari satpol PP menggerebek siswa-siswi sedang

kumpul kebo, Rabu 14 Januari Polisi merazia kamar kos di

semarang dan menciduk 4 remaja usai pesta narkoba jenis

sabu, 13 Oktober 2014 belasan siswa STM dengan alasan

bercanda melempari KRL dengan batu di Jakarta, 1 Mei 2014

seorang siswa SMP dimarahi ibunya kaerna merokok kemudian

gantung diri dengan seutas tali di kusen jendela, 24

Januari ditemukan anak di Palembang usia SD putus sekolah

turun ke jalanan dan sudah ngelem habis 2 kaleng sehari.13

Tentunya masih banyak lagi kenakalan-kenakalan remaja

lainnya yang tidak semua dimuat di artikel ini.

Ketidakseimbangan antara perkembangan intelektual

dengan perkembangan emosional remaja membawa dampak yang

serius, dan itu sangat bermasalah bagi seorang remaja.

Banyak remaja kita, ketika memasuki setingkat SMP maupun

SMA timbul berbagai gejolak masalah, baik dirumah maupun

disekolah. Disekolah misalnya karena terbawa teman mungkin12 Ibid, hal 195-196.13 http://merdeka.com/contoh-kenakalan-remaja/ diakses pada 24 Januari

2015, 21:00 wib.

12

seorang remaja suka membolos, ataupun kadang mogok tidak

mau sekolah, ikut-ikutan minum-minuman keras dan merokok,

dan lain-lain. Ataupun masalah lain yang berdampak negatif

bagi perkembangan seorang remaja entah itu perkembangan

prestasi, masalah pergaulan, dan masalah lainnya.

Berkitan dengan masalah pergaulan remaja yang kadang

sulit untuk diarahkan, terutama jika remaja tersebut mulai

mengenal lawan jenis dan dunia luar yang lebih luas dan

beraneka ragam, mungkin akan banyak diantara orang tua

yang menjadi cemas ataupun was-was dengan perilaku anak

mereka saat menginjak usia remaja. Saat kondisi seperti

ini, remaja sering uring-uringan dan merasa dikekang oleh

orang tuanya. Mereka ingin bebas mengekspresikan diri

dengan teman-temannya di luar sana. Sehingga yang namanya

cekcok dan marah-marah dengan orang tua adalah kejadian

rutin yang seharusnya tidak terjadi.

Muhammad Fathi (2006) menjelaskan bahwa adanya

kemerosotan di kalangan pemuda dikarenakan: Pertama

kehilangan misi dan tujuan, kedua hidup dalam situasi

krisis kepercayaan terhadap lingkungan, ketiga kehilangan

qudwah (panutan), keempat kehilangan motivasi, kelima hidup

dalam krisis profesionalitas, keenam hidup dalam krisis

beragama, ketujuh reaksioner, emosional, jumud¸dan tidak

memiliki daya saing, kedelapan hidup sebagai pengecut,

kesembilan menjadi mangsa ghazwul fikri.14

14 Muhammad Fathi, The Power of Youth: Risalah Para Pemuda Pewaris Peradaban, Syamil Cipta Media: Bandung, 2006, hal 2-11.

13

Adapun potret ketidakberesan kehidupan pemuda adalah:

a) kacau dalam belajar, b) serampangan dalam kegiatan

belajar mengajar, c) kacau dalam majanemen waktu, d)

ketidakteraturan terjadi di mana-mana sampai dalam hal

beribadah, bagi orang yang multazim sekalipun, e)

serampangan dalam membuat program. Maka kemudian yang

terjadi adalah pikiran para pemuda menjadi bercabang

sehingga tidak mampu membuat keputusan yang tepat, gelisah

dan banyak murung, kemauan yang lemah kemudian menimbulkan

rasa malas, tidak mengadakan evaluasi atau introspeksi

terhadap dirinya, hilangnya empati dan cinta, malas dan

patah semangat, tidak mau menerima nasehat, apatis, selalu

berpikiran negatif dan kalah sebelum bertanding, hilangnya

kekuatan sabar, tujuan yang tidak jelas, tidak ada skala

prioritas, dan tidak ada pembagian tugas. Bukan itu saja,

bahkan sangat mungkin melebar menjadi merasakan kebosanan

dalam belajar; melawan arus dan banyak bercanda; melanggar

aturan; menjadi pecandu obat terlarang.

Akhirnya, banyak kita dapati kebiasaan-kebiasaan yang

sudah lumrah seperti hidup untuk dirinya sendiri,

ccenderung apatis, meremahkan nilai dan aturan yang ada di

masyarakat, membatasi perhatiannya hanya dalam lingkunga

keluarga, melalaikan tugasnya tanpa rasa peduli, dalam

pandangannya kebahagiaan dan kenyamanan dirinya adalah

tujuan utamanya, tidak melibatkan dirinya dalam urusan

apapun sekalipun itu terjadi dihadapannya, peristiwa-

peristiwa nasional tidak membuatnya bergeming, orang lain

tidak mendapat bagian dalam hidupnya, tidak memikirkan

14

kerusakan yang terjadi pada fasilitas umum, dan ia

berprinsip selama bahaya tidak menimpa dirinya maka ia

tidak peduli.

Seakan-akan para pemuda ini berprinsip pada beberapa

pepatah, seperti:

1) Tenggelamlah kapal ini karena bebannya, toh aku bukan satu-satunya

penumpang kapal ini.

2) Merusaklah, engkau akan makmur. Tak ada urusan, yang penting

rumahku aman.

3) Mempelai wanita untuk mempelai pria, bagi yang tersungkur harus

berlari.

4) Dia lebih berhak mendapatkan daging kerbaunya, setiap orang

memikul tanggung jawabnya.

Dunia remaja adalah dunia yang serta membuat seorang

remaja ingin tahu, ingin mencoba-coba, dan pingin

bertindak serta asyik dengan dunia mereka saat usia

remaja. Begitupun dunia remaja adalah dunia yang sangat

mungkin akan membuat seorang remaja salah langkah dalam

memaknai usianya. Apalagi jika ditambah dengan keadaan

orang tua ynag kurang mengetahui dengan apa yang sedang

dirasakan anaknya pada saat remaja, sehingga orang tua

terkadang bisa saja salah dalam memperlakukan anaknya yang

masih remaja.

D. PEMBINAAN REMAJA DI PSBR

15

PSBR berfungsi sebagai unit pelaksana teknis dinas

dalam memberikan pelayanan kepada penyandang masalah

kesejahteraan sosial remaja terlantar, anak putus sekolah

dari keluarga tidak mampu, remaja dari keluarga tidak

mampu, anak dari keluarga Broken Home, korban bencana,

kerusuhan sosial dan pengungsi, anak rentan mengalami

keterlantaran, dan anak yang mendapat perlindungan khusus.

Pembinaan remaja di PSBR ini diberikan dengan maksud: (1)

Mempersiapkan dan membantu anak putus sekolah atau remaja

terlantar dengan memberikan kesempatan dan kemudahan agar

dapat mengembangkan potensi dirinya, baik jasmani, rohani

dan sosialnya, dan (2) Menumbuhkan dan meningkatkan

kemampuan serta keterampilan kerja sebagai bekal untuk

kehidupan dan penghidupan masa depannya secara wajar.15

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34

ayat (1) bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara

oleh negara”16, dan pasal 28B ayat (2) bahwa “Setiap anak berhak

atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang seerta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”17. Maka lembaga sosial

PSBR lah salah satunya yang melaksanakan salah satu amanat

dari pasal UUD’45 tersebut yakni memberikan pembinaan dan

perlindungan kepada anak dan remaja. Pembinaan yang

dilakukan di Panti Sosial Bina Remaja ada dua macam:

pembinaan mental dan pembinaan keterampilan. Pembinaan

mental berguna untuk perbaikan mental dan memperkokoh jiwa

15 http://psbr-diy.blogspot.com/ diakses pada 24 Januari 2014, 21:15 wib.

16 Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekjen MPR RI: Jakarta, 2011, hal 161.

17 Ibid, hal 151.

16

remaja, sedangkan pembinaan keterampilan berguna sebagai

bekal untuk kehidupan dan penghidupan masa depannya secara

wajar. Seperti diketahui bahwa masa remaja adalah masa

yang sangat rawan, maka PSBR mengalokasikan waktu untuk

pembinaan mental sebesar 60 persen sedangkan untuk

pembinaan keterampilan sebesar 40 persen.

Pembinaan mental dan pembinaan keterampilan tidak hanya

dilakukan oleh pekerja sosial dari Dinas Sosial saja,

melainkan juga dari berbagai instansi terkait. Diantaranya

melakukan kerja sama dengan Departemen Agama, TNI dan

Polri, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Lembaga Swadaya

Masyarakat, organisasi Masyarakat, Lembaga Swasta, Dinas

Tenaga Kerja, Perguruan Tinggi, Pengusaha, perorangan.

Dengan adanya pembinaan mental, para remaja diharapkan

memiliki kesadaran dan mampu untuk memperbaiki kualitas

hidupnya menjadi lebih baik lagi. Dalam memperbaiki

kualitas hidup ini harus diusahakan oleh masing-masing

individu, orang lain hanya membantu mengarahkan. Karena

manusia tidak dapat dibebaskan oleh orang lain, maka

kesadaranlah yang akan menolong dan membangun perbaikan

hidup. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah tidak akan

mengubah nasib suatu kaum apabila kaum itu sendiri tidak

mau mengubah nasibnya (QS. 13: 11), artinya dalam

memperbaiki kualitas hidup suatu individu harus muncul

suatu inisiatif dari dalam diri sendiri dan dilaksanakan

oleh mereka sendiri18.

18 Aziz Muslim, Metodologi Pengembangan Masyarakat, UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2008, hal 6.

17

Aziz Muslim (2008) mengatakan bahwa dalam ajaran Islam

tujuan pengembangan masyarakat tidak hanya sebatas untuk

mencapai kemajuan atau kesejahteraan saja, tetapi juga

untuk membangun kehidupan normatif yang baik. Artinya,

kemajuan material untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

harus tidak terpisahkan dengan kesadaran dan perilaku

berbuat baik agar kemajuan dan kesejahteraan itu dapat

memberi berkah bagi semua dan membawa keselamatan.19

Membangun kesejahteraan kelompok tanpa meningkatkan

pengabdian kepada Sang Pencipta atau tanpa ada kemauan

untuk berbuat baik kepada semuanya berarti hanya akan

membangun kemajuan material yang dapat menjerumuskan

kepada malapetaka sosial seperti ketidakadilan, penindasan

dan lainya. Sebaliknya hanya membangun pengabdian kepada

Tuhan semata tetapi melupakan tugas membangun

kesejahteraan hidup akan membuat kehidupan terasa hampa

dan sia-sia. Allah berfirman dalam salah satu ayat Al-

Qur’an: Carilah kebahagiaan akhirat dan jangan melupakan kenikmatan

dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain (QS 28: 77)20.

Mardikanto (2010) memerinci pengembangan masyarakat ke

dalam enam kategori, salah satunya adalah pengembangan

masyarakat sebagai proses perubahan sosial. Yang dimaksud

dengan perubahan sosial tidak hanya perubahan perilaku

yang berlangsung pada diri seseorang tetapi juga

perubahan-perubahan hubungan antar individu dalam

masyarakat, termasuk struktur, nilai-nilai dan pranata

19 Ibid.20 Al-Qur’an QS 28:77

18

sosialnya.21 Artinya pembinaan yang dilakukan juga

diharapkan agar anak-anak dan remaja dapat juga menjadi

pribadi yang baik dalam berhubungan dengan lingkungan

sosial dimana dia tinggal. Oleh karena itu, pembinaan

dalam model ini juga sering disebut sebagai rekayasa

sosial (Social Engineering) atau segala upaya yang dilakukan

untuk menyiapkan sumberdaya manusia agar mereka tahu, mau

dan mampu melaksanakan peran sesuai dengan tugas pokok dan

fungsinya dalam sistem sosialnya masing-masing22.

Para remaja di sini diajari untuk peka terhadap

lingkungan sosialnya, dengan demikian para remaja harus

mengenal dirinya dan orang lain. Dalam memulai suatu

pergaulan, tentu harus mengerti dengan siapa bergaul,

sehingga dapat memulai dengan langkah yang benar.

Pergaulan ini membutuhkan pengetahuan tentang kepribadian.

Sementara itu kunci kepribadian setiap orang dapat

dikenali dengan dua hal: pertama, mengetahui tabiat dan

akhlak yang membedakan seseorang dengan lainnya. Kedua,

mengetahui kecenderungan, hobi, dan bakatnya. Ada orang

yang sensitif sekali, sebaliknya ada yang rasional dan

berpikir tajam. Ada yang sibuk dengan teori, ada yang

bertipe pekerja lapangan. Ada yang bertipe bermasyarakat,

ada juga yang lebih senang menyendiri dan menghindar. Ada

yang bersemangat dan berambisi, sebaliknya ada pula yang

terlihat tenang dan kalem. Diantara mereka ada pula yang

21 Totok Mardikanto, Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat: Acuan bagi Aparat Birokrasi, Akademisi, Praktisi dan Peminat/Pemerha ti Pemberdayaan Masyarakat, UNS, Surakarta: 2010.

22 Aziz Muslim, Dasar-Dasar Pengembangan Masyarakat, Samudera Biru, Yogyakarta: 2012, hal 17.

19

lebih senang mengurusi fisiknya, kutu buku, dan lain-lain.

Berbekal pengetahuan tentang tabiat dan akhlak tersebut,

akan tampak cara yang tepat dalam berinteraksi dengan para

remaja lain melalui pendekatan yang sesuai dan tidak

kontra. Pengetahuan demikian juga memberikan kemudahan

para pendamping agar bisa menyentuh akal dan hati para

remaja.

Akhlak atau budi pekerti siap orang tentulah berbeda

dan unik, walaupun ada kesamaan dengan individu lain tapi

tidak ada yang benar-benar mirip, pasti ada perbedaan

walaupun sedikit. Untuk itu bagi para pendamping harus

mengenali akhlak dan budi pekerti masing-masing remaja

dampingannya. M Fathi (2006) menyebutkan bahwa budi

pekerti adalah sekumpulan kelakuan danekspresi diri luar

maupun dalam, yang dengannya seseorang mencoba beradaptasi

serta mengkombinasikan antara potensi dirinya dan tuntutan

lingkup sosial tempatnya berada23.

Budi pekerti manusia ini mempunyai beberapa kriteria,

yaitu: tercermin dalam tindakan, kelakuan, ucapan, isyarat

(tampak maupun tidak tampak), pandangan, dan pendapat yang

tidak diungkapkan; merupakan sarana mewujudkan cita-cita,

budi pekerti itu sendiri bukan merupakan tujuan atau cita-

cita; budi pekerti bersifat dinamis; bersifat sosial,

maksudnya lingkungan mempengaruhi pembentukan budi

pekerti; individual, sebab budi pekerti seseorang

23 Muhammad Fathi, The Power of Youth: Risalah Para Pemuda Pewaris Peradaban, Syamil Cipta Media, Jakarta: 2006, hal18.

20

terkadang berbeda dengan budi pekerti dalam maysarakat;

memiliki satu atau beberapa faktor dan bisa berakhir.

Di atas ada skema sederhana pembentukan kepribadian.

Jika melihat skema, kita mendapatkan bahwa pembentukan

kepribadian seseorang merupakan titik temu antara

stimulus-stimulus luar di satu sisi dan bentuk budi

pekerti yang dihasilkan pada titik yang lain. Setiap orang

memiliki rekaman informasi-informasi hasil dari pengalaman

dan sikap masa lalunya. Informasi-informasi ini

berinteraksi dengan karakter dan watak kepribadian yang

kemudian membentuk tata nilai, lalu diteruskan ke akal.

Melalui akal terjadi pengolahan pengaruh-pengaruh yang

masuk, kemudian memformulasikannya dalam bventuk yang

sesuai dengan nilai-nilai dan orientasi personal.

Berdasarkan hal itu, terbentuklah budi pekerti atau

respons yang sesuai dengan stimulan-stimulan. Ini mengenai

budi pekerti personal.

21

ResponsStimulus

Informasi

pengalamanKarakter

Akal

Nilai danOrientasi

Karakter

Pengaruh Nilai danOrientasi

Pengaruh

Informasi

pengalaman

Informasi

pengalaman

Skema budi pekerti di atas menggambarkan hubungan

individu dengan individu lain dalam komunitas. Dalam

kehidupan kita, budi pekerti ini menyebar, dimana tabiat

setiap orang cenderung untuk loyal dan menbangun hubungan

sosial dengan individu lain. Akan tetapi, hasrat untuk

loyal ini melahirkan tekanan dari arah masyarakat kepada

individu, yang tergambarkan dalam proses perubahan budi

pekertinya dengan apa yang bisa menjamin keberadaannya

bersama komunitas ini. Besarnya dampak pengaruh sosial

terhadap budi pekerti personal tergantung beberapa faktor

seperti: karakter kepribadian seseorang, kekuatan sentral

individu dan peranannya dalam komunitas, karakter dan

watak kepribadian individu-individu dalam komunitas. Dari

pengertian budi pekerti di atas, dapat diketahui bahwa

budi pekerti atau tingkah laku seseorang di lingkungan

sosialnya sangat berpengaruh.

Dalam kaitannya dengan proses pembinaan di lembaga

sosial ini, di Indonesia dikenal adanya falsafah

pembelajaran yang biasa dijadikan dasar filosofi

pembelajaran yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yang

berbunyi:

1. Ing ngarsa sung tuladha, artinya para stakeholder aktif

di lembaga ini mampu memberikan contoh atau tauladan

bagi para anak asuh penghuni panti.

22

ResponsStimulus Akal

2. Ing madya mangun karsa, artinya para stakeholder aktif

di lembaga ini mampu menumbuhkan inisiatif dan

mendorong semangat untuk selalu menjadi pribadi yang

lebih baik dan mendorong untuk selalu belajar dan

mencoba tanpa pantang menyerah.

3. Tut wuri handayani, artinya para stakeholder aktif di

lembaga ini bisa menghargai dan mengikuti keinginan-

keinginan anak asuh, sepanjang tidak menyimpang

dengan acuan yang ada, demi tercapainya tujuan

perbaikan kesejahteraan hidupnya.

Pembinaan-pembinaan itu dilakukan demi masa depan anak

dan remaja. Anak-anak dan remaja adalah penerus estafet

kepemimpinan bangsa yang besar ini. Karena hakikat

pembangunan manusia Indonesia adalah pembangunan manusia

seutuhnya, maka selain pembangunan mental dan spiritual

juga dilakukan pembangunan material. Pembangunan seperti

ini sangat penting dalam rangka memanusiakan manusia,

proses humanisasi ini pada gilirannya mampu mampu

mendorong masing-masing individu untuk berpartisi aktif

dalam proses pengembangan diri maupun pengembangan

masyarakat24.

E. PENGAMATAN DI LAPANGAN

Waktu berlalu dengan begitu cepatnya. Tidak terasa

ternyata kami telah menjalankan tugas sebagai salah satu

pembina selama kurang lebih 3 bulan di lingkungan PSBR

Yogyakarta. Waktu tiga bulan ini adalah waktu yang24 Aziz Muslim, Metodologi Pengembangan Masyarakat, UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta: 2008, hal 24.

23

diberikan oleh pimpinan PSBR kepada kami untuk

melaksanakan masa orientasi sebagai pengasuh. Masa

orientasi diberikan kepada kami untuk mengenal lebih jauh

seluk-beluk PSBR serta seluk beluk anak asuh dari dalam

dengan pengalaman sendiri atau melihat dan menganalisa

dengan mata kepala sendiri. Dengan adanya waktu orientasi

ini, kami memang berhasil melihat jauh ke dalam bagaimana

kondisi anak asuh di PSBR. Ada banyak hal yang kami

dapatkan, yang kami lihat dan kami buktikan selama 3 bulan

orientasi.

Dalam penulisan artikel ini saya tidak membatasi hanya

kepada remaja-remaja yang berada di bawah pengawasan saya,

tetapi kepada semua anak. Anak yang dibawah pengawasan

saya berjumlah 10 orang anak, kebetulan mereka adalah anak

didik baru. Karena mereka adalah anak yang baru, jadi akan

memberikan kesempatan yang besar kepada saya untuk lebih

banyak menemukan dan menyaksikan perubahan-perubahan

penting pada mereka

Bermula dari pengamatan keseharian mereka inilah saya

menemukan kejadian saling menginfeksi. Kejadian ini terus

saya amati lebih sering, masalah ini menjadi menarik untuk

dikaji dan dibahas. Ini menjadi perhatian saya karena

mereka adalah anak asuh saya yang artinya saya bertanggung

jawab menjaga dan mengawasi mereka. Dalam mengamati

perubahan-perubahan sikap dan perilaku anak didik ini saya

menemukan beberapa hal yang menarik. Salah satu hal yang

menarik adalah adanya kegiatan saling menularkan, yang

24

ditularkan bukanlah penyakit tetapi sikap dan perbuatan

diantara para remaja.

Perubahan sikap dan tingkah laku mereka terjadi secara

bertahap. Untuk masa-masa pertama berada dalam lingkungan

panti, mereka mempraktikkan sikap dan tingkah laku yang

bisa dikatakan baik. Mereka bergaul dengan baik terhadap

anak didik di asrama yang lain maupun dengan pegawai.

Berlaku sopan dan menyapa dengan baik ketika bertemu

dengan anak didik lain maupun dengan yang lainnya. Mereka

dapat menjaga dan memelihara diri mereka dengan dengan

sebaik mungkin, menjaga kebersihan asrama, dan mengikuti

semua kegiatan sehari-hari dengan baik.

Minggu pertama dan ke dua dihabiskan untuk saling

mengenal kepribadian dengan anak didik yang sudah terlebih

dahulu berada di panti. Dalam waktu satu minggu mereka

sudah hampir kenal baik dengan semua penghuni panti.

Mengetahui nama, alamat dan lain-lain. Timbal balik

komunikasi terjadi secara sopan dan baik. Saling membantu

temannya yang membutuhkan bantuannya. Mereka masih

menjalin hubungan komunikasi yang baik dengan semua

penghuni hingga dalam jangka satu bulan.

Minggu ke tiga mereka sudah kenal dengan baik terhadap

semua penghuni. Sehingga pada minggu ke tiga digunakan

untuk mencari dan mendekati anak yang mereka rasa ‘klop’

atau ‘menyambung’ ketika diajak berkomunikasi maupun

melakukan sesuatu. Menjajaki pertemanan ke arah yang lebih

dalam lagi. Untuk kali pertama ini mereka mencari teman

25

yang mempunyai hobi sama atau kegiatan yang sama-sama

mereka senangi. Misal mempunyai kesamaan hobi bermain

bola, bermain gitar, dan karambol. Adanya kesamaan

kegiatan yang disenangi ini akan merekatkan mereka untuk

mengenal lebih jauh lagi. Biasanya mereka juga melakukan

kegiatan-kegiatan lainnya secara bersama-sama.

Tetapi pertemanan seperti di atas tidak selamanya akan

terus berlangsung, ada beberapa anak yang memisahkan diri

dari kelompok karena satu atau beberapa alasan. Mereka

masih melakukan meraba-raba teman yang tepat, tetapi tidak

seperti pada minggu ke satu dan ke dua, di minggu ke tiga

mereka sudah mengerucutkan beberapa anak didik untuk

menajdi temannya, di minggu ke tuga ini mereka sudah lebih

selektif lagi dalam memilih teman, karena ada beberapa hal

di tengah jalan yang tidak sesuai dengan harapan awal

mereka. untuk minggu selanjutnya mereka kembali melakukan

pendekatan kepada teman yang lain yang sekiranya dapat

memenuhi keinginan hatinya yang tidak dapat di penuhi di

kelompok sebelumnya. Bagi merka yang sudah cocok, tentu

akan terus melanjutkan hubungan mereka.

Pertemanan pada tingkat ini sudah lebih stabil atau

tidak lagi mencari-cari teman yanng lain, karena mereka

sudah merasa mendapatkan teman yang bisa dikatakan

mempunyai tujuan sama. Saling menguatkan solidaritas

kelompok diantara mereka. Tetapi tidak ada gesekan-gesekan

dengan kelompok yang lain. Jika ada, maka itu hanya

dianggap sebagai tindakan lelucon atau ‘gojek’. Artinya

mereka tetap menjaga perdamaian terhadap sesama penghuni26

panti, karena mereka juga teman senasib sepenanggungan

atau teman seperjuangan. Di luar kelompok mereka tetap

menjaga komunikasi dengan teman yang lain, mereka tidak

ingin dicap sebagai anak yang sombong atau tidak peduli

dengan teman sendiri.

Walaupun ada berbagai macam kelompok, ternyata ada

beberapa anak yang tidak ikut masuk ke dalam kelompok-

kelompok yang ada. Mereka sering dan suka berkumpul dengan

berbagai kelompok yang ada, seakan-akan tidak mengetahui

bahwa ia ikut berkumpul dengan bermacam-macam kelompok dan

tidak sadar harus ikut kepada kelompok yang mana. Tetapi

ada anak yang benar-benar tidak ingin masuk pada kelompok

yang ada, ia lebih suka dengan kondisi yagn dijalaninya.

Beberapa anak yang tidak terikat pada suatu kelompokpun

ini pada akhirnya secara tidak langsung akan terbentuk

kelompok sendiri. Mereka tidak ikut bergabugn aktif dalam

suatu kelompok karena tidak punya skill atau kemampuan

seperti di kelompok tertentu, masih meraba-raba atau

mencari kelompok yang cocok dengan dirinya dan dapat

memenuhi harapan-harapannya, atau tidak mampu dan takut

ditolak jika bergabung, jikalau bergabung ia tidak akan

tenang karena merasa tidak berguna dan tidak dianggap di

dalam kelompok. Sehingga ia lebih asyik dengan kondisi

tanpa kelompok, dan bebas kemanapun ia pergi.

Dalam setiap kelompok terdapat seorang yang lebih

menonjol dibandingkan yang lainnya. secara tidak langsung

ia adalah ketua kelompok walaupun tidak ada pemilihan

secara demokratis. Yang diposisikan sebagai ketua adalah27

seorang yang mempunyai wibawa dan kemampuan lebih

dibandingkan yang lain. Ia mempunyai kemampuan untuk

menarik perhatian individu lain, mempunyai sesuatu yang

membuat individu lain merasa berada di level bawah. Ia

dominan dalam mengambil keputusan di dalam kelompok.

Faktor power yang dimilikinya ini mampu membuat anak lain

berada di bawah pengaruhnya dan tunduk di bawahnya. Semua

kata-katanya harus dilaksanakan oleh anak lain.

Tetapi ada juga kelompok yang tidak terlalu

mementingkan masalah ketua kelompok. Di dalam kelompok ini

terdapat beberapa orang yang punya power, sehingga mereka

saling memaklumi dan tidak terlalu menonjolkan power yang

dimilikinya. Mereka saling berdiskusi dan bergaul aktif

tanpa ada yang namanya ketua resmi. Walaupun sebenarnya

ada yang apling menonjol diantara mereka. Mereka saling

menjaga perasaan agar tidak ada yang merasa direndahkan.

Dalam kelompok ini, mereka menunjukkan powernya tidak

terang-terangan, tetapi secara samar atau halus, sekedar

menunjukkan bahwa ia juga punya kemampuan sehingga ia

diakui dan disejajarkan dengan yang lainnya serta tidak

dipandang rendah.

Power menjadi sangat penting ketika bergaul dengan yang

individu yang lebih banyak. Anak yang tidak mempunyai power

akan dipandang sebagai anak ‘pinggiran’ yang akan dengan

mudah mereka kuasai. Mereka yang tidak mempunyai power

biasanya akan merasa inferior di dalam situasi tertentu.

Ia terkadang juga menjadi kacung atau anak suruhan bagi

merka yang mempunyai power lebih. Dengan mudahnya ia28

disuruh untuk melakukan sesuatu. Walaupun ia melakukannya

dengan terpaksa disertai omelan kotor dari mulut mereka.

Dengan adanya omelan itu biasanya menyebabkan sedikit

perkelahian mulut dan terkadang juga fisik, tetappi tidak

sampai parah. Setelah perkelahian mulut tentu saja anak

itu dengan sigap sambil bersungut-sungut melaksanakan apa

yang diperintahkan, karena ia akan kalah jika

melanjutkannya.

Mereka berkumpul bersama di kelompoknya ketika ada

salah satu yang mempunyai power mengajak duduk bersama

untuk sekedar mengobrol sambil merokok dan bergurau atau

ketika ada masalah yang harus mereka bahas bersama. Di

luar itu mereka seolah tidka mempunyai kelompok, walaupun

ada yang selalu bersama dengan kelompoknya. Mereka yang

satu kelompok bertindak secara kompak satu dengan yang

lainnya. Apakah itu tindakan yang baik maupun tidak mereka

tetap kompak melakukannya bersama, karena mereka telah

melakukan kesepakatan sebelumnya.

Untuk anak yang tidak mempunyai kelompok atau tidak

bergabung salah satu kelompok manapun juga tetap memiliki

keinginan untuk bergabung dengan salah satu kelompok, ada

juga yang memilih untuk tidak berkelompok. Bagi anak yang

tidak berkelompok, mereka ingin mempunyai power seperti

salah satu kelompok. Walaupun ia tidak masuk kelompok, ia

tetap berusaha menunjukkan bahwa ia punya sesuatu yang

membuat ia bisa diterima kelompok yang ia inginkan.

29

Ada kelompok yang terkenal dengan tingkah laku mereka

yang buruk atau kompak dalam melakukan pelanggaran,

seperti: membolos dalam mengikuti keterampilan atau salah

satu kegiatan, ribut di dalam kelas, membuat keribuatan di

dalam asrama, mengotori asrama, tidak tertib dan lain-

lain. Terkadang mereka juga kompak untuk untuk melakukan

hal baik, seperti: sama-sama disiplin dalam melaksanakan

keterampilan dan pelajaran, disiplin bersama dalam

melaksanakn piket, ibadah bersama-sama, dan lain-lain.

Berkelompok bisa membuat mereka berada pada sisi positif

maupun berada dalam sisis negatif secara ‘berjamaah’.

Biasanya dengan meniru perbuatan mereka atau cara mereka

dalam melakukan sesuatu dan ikut kemana mereka berkumpul.

Oleh karena itu perbuatan-perbuatan yang sebenarnya

tidak mereka miliki jadi mereka miliki karena pengaruh

suatu kelompok. Kelompok sangat berperan dalam konversi

sikap dan perbuatan anak-anak yang lain. Di dalam kelompok

terjadi transfer perilaku dan pemikiran. Suatu perbuatan

sebenarnya juga tidak selalu mereka peroleh dari dalam

kelompok, mereka ada yang sudah mempunyai perbuatan itu

bawaan dari luar, kemudian ia menginfeksi teman-temannya.

Transformasi perilaku diantara anak-anak ada beberapa

macam: menerima masukan secara suka rela dari temannya,

meniru perbuatan seseorang yang dianggap keren dan bisa

membuat bangga jika mengikutinya, mengadakan perilaku baru

yang didapatkannya dari pengalaman atau melihatnya di

suatu tempat, dan adanya intimidasi atau paksaan dari

seseorang yang mempunyai power lebih. Mereka tidak hanya30

mendapatkan perilaku baru dari kelompok, tetapi juga dari

luar kelompok. Jadi di sini menjadi jelas bagaimana mereka

dapat bertransformasi dari satu sikap ke sikap yang lain,

dari satu perilaku ke perilaku yang lain.

F. PEMBAHASAN TEORI

G W Alport (1935) mengemukakan bahwa sikap adalah

keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur

melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau

terarah terhadap respon individu pada semua objek dan

situasi yan gberkaitan dengannya25. Allport melakukan

penelitian tentang sikap den tingkah laku pada tahu pada

tahun1930-an, pada masa itu psikolog sosial

mendefinisikan sikap sebagai sebuah kecnederungan untuk

bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial,

artinya sikap direfleksikan dalam tingkahlaku yang nampak.

Namun La Pierre tidak yakin dengan hal tersebut, kemudian

dia menyatakan bahwa tidak semua orang akan menampilkan

semua sikap dalam tingkahlaku yang nampak dan pernyataan

verbal mereka. setiap orang bisa saja menampilkan sisi

yang berbeda ketika berhadapan dengan individu lain.26 Oleh

karena itu, sikap anak di lembaga sosial ini tidak

semuanya dapat teramati dengan baik meskipun dengan cara

terntentu dapat diketahui. Stephen P Robbins berpendapat

bahwa sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek,

25 David O’Sears, Jonathan L Freedman, & L Anne Peplu, Psikologi Sosial Edisi kelima, Erlangga: Jakarta, tanpa tahun, hal 137.

26 Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi sosial Edisi kesepuluh, Erlangga: Jakarta, 2004, hal 130.

31

orang atau peristiwa27. Hal ini mencerminkan perasaan

seseorang terhadap sesuatu28.

Sikap mempunyai tiga komponen utama: kesadaran,

perasaan, dan perilaku. Keyakinan bahwa "Diskriminasi itu

salah" merupakan sebuah pernyataan evaluatif.

Opini semacam ini adalah komponen kognitif dari sikap yang

menentukan tingkatan untuk bagian yang lebih penting dari

sebuah sikap -komponen afektifnya. Perasaan adalah

segmen emosional atau perasaan dari sebuah sikap dan

tercermin dalam pernyataan seperti "Saya tidak menyukai

John karena ia mendiskriminasi orang-orang

minoritas." Akhirnya, perasaan bisa menimbulkan hasil

akhir dari perilaku. Komponen perilaku dari sebuah sikap

merujuk pada suatu maksud untuk berperilaku dalam cara

tertentu terhadap seseorang atau sesuatu.29

Pada akhir tahun 1960-an, hubungan yang diterima

tentang sikap dan perilaku ditentang oleh sebuah tinjauan

dari penelitian. Berdasarkan evaluasi sejumlah penelitian

yang menyelidiki hubungan sikap-perilaku, peninjau

menyimpulkan bahwa sikap tidak berhubungan dengan perilaku

atau paling banyak hanya berhubungan sedikit.30 Penelitian

terbaru menunjukkan bahwa sikap memprediksi perilaku masa

depan secara signifikan dan memperkuat keyakinan semula27 Stephen P Robbins, Perilaku Organisasi, Salemba Empat: Jakarta, 2007,

hal 92-102.28 S J Breckler, "Empirical Validation of Affect, Behavior, and Cognition as Distinct

Component of Attitude," Journal of Personality and Social Psychology, Mei 1984, hal 1191-1205.

29 Ibid.30 A W Wicker, A Theory of Cognitive Dissonance, Stanford University Press:

Stanford, 1957.

32

dari Festinger bahwa hubungan tersebut bisa ditingkatkan

dengan memperhitungkan variabel-variabel pengait.31

Dengan melihat perilaku anak remaja, maka itu adalah

refleksi dari sikap mereka terhadap lingkungannya. Memang

tidak semua sikap mereka tampakkan dalam perilaku mereka.

mereka akan menyetting perilaku mereka ketika berhadapan

dengan orang lain. Setiap settingan perilaku yang

ditampakkan mempunyai tujuan dan maksud yang berbeda

sesuai dengan apa yang ingin mereka capai atau diinginkan.

Kemampuan menyetting ini merupakan sesuatu yang didapatkan

manusia dari belajar melalui situasi dan kondisi

lingkungan. Manusia sering dikatakan sebagai animal simbolism

atau manusia yang pandai menggunakan simbol-simbol.

Perilaku remaja merupakan simbol atau tanda dari apa yang

mereka inginkan, mereka ingin menunjukkan sesuatu kepada

orang lain.

Teori kognitif sosial (social cognitive theory) merupakan

penamaan baru dari teori belajar sosial (social leraning theory)

yang dikembangkan oleh Albert Bandura32. Penamaan baru

dengan nama Teori Kognitif Sosial ini dilakukan pada

tahun 1970-an dan 1980-an. Ide pokok dari

pemikiran Bandura (Bandura, 1962) juga merupakan

pengembangan dari ide Miller dan Dollard tentang belajar

meniru (imitative learning)33. Pada beberapa

31 S J Kras, "Attitudes and Prediction of Behavior," Personality and Social Psychology Bulletin, Januari 1995, hal 58-75.

32 A Bandura, Social Learning Theory, Prentise Hall: New Jersey, 1977.33 A Bandura, Social learning through imitation, Dalam M.R. Jones, Nebraska

symposium on motivation.Vol 10. University of Nebraska Press: Lincoln, 1962.

33

publikasinya, Bandura telah mengelaborasi proses belajar

sosial dengan faktor-faktor kognitif dan behavioral yang

mempengaruhi seseorang dalam proses belajar sosial.

Konsep utama dari teori kognitif sosial adalah

pengertian tentang obvervational learning atau proses belajar

dengan mengamati. Jika ada "model" di dalam lingkungan

seorang individu, misalnya saja teman atau anggota

kelompok di dalam lingkungan internal, atau di lingkungan

publik seperti para tokoh publik di bidang politik, berita

dan hiburan. Proses belajar dari individu ini akan terjadi

melalui cara memperhatikan model tersebut. Di dalam

kelompok, ada anak yang mempunyai power, anak ini menjadi

model bagi anak di dalam dan luar kelompoknya. Tentu saja

ada anak yang ingin meniru idolanya, mulai dari pakain

hingga perilaku bisa ditirunya. Perilaku seseorang bisa

timbul hanya karena proses modeling. Modeling atau peniruan

merupakan "the direct, mechanical reproduction of behavior, reproduksi

perilaku yang langsung dan mekanis (Baran & Davis, 2000:

184)34.

Baranowski, Perry, dan Parcel (1997: 161) menyatakan

bahwa "reinforcement is the primary construct in the operant form of

learning", proses penguatan merupakan bentuk utama dari cara

belajar seseorang.35 Proses penguatan juga merupakan konsep

sentral dari proses belajar sosial. Di dalam teori

34 S J Baran & D.K. Davis, Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future, Wadsworth: California, 2000, hal 184.

35 T Baranowsky, C L Perry, & G S Parecel, How Individuals, environments, and health behavior interact: Social Cognitive Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice, Jossey-Bass: San Francisco, 1997, hal 161.

34

kognitif sosial, penguatan bekerja melalui proses efek

menghalangi (inhibitory effects) dan efek membiarkan (disinhibitory

effects). Inhibitory effects terjadi ketika seseorang melihat

seorang model yang diberi hukuman karena perilaku

tertentu, misalnya ada anak didik yang dihukum dengan lari

memutari lapangan beberapa kali dan membersihkan kantor.

Dengan mengamati apa yang dialami model tadi, akan

mengurangi kemungkinan orang tersebut mengikuti apa yang

dilakukan oleh teman yang melanggar peraturan tersebut.

Sebaliknya, disinhibitory effects terjadi ketika seseorang

melihat seorang model yang diberi penghargaan atau imbalan

untuk suatu perilaku tertentu. Misalnya ada anak yang

telah membantu temannya dan rajin mengikuti kegiatan,

kemudian ia diberi penghargaan dengan tambahan poin plus

dari pekerja sosial. Menurut teori ini, teman-temannya

juga akan mencoba mengikuti jejak anak tadi.

Tetapi tidaklah selalu demikian dengan apa yang terjadi

di sini. Ketika ada seorang anak yang dijadikan model oleh

anak lain ketahuan melanggar dan terkena hukuman, maka

yang lain akan membelanya dan ikut membantah pekerja

sosial. Hukuman yang diberikan tidak memberi efek jera

bagi mereka, tetapi malah membuat mereka lebih pintar dan

lebih kompak dalam melakukan pelanggaran. Begitu juga

sebaliknya, ketika seorang anak diberi reward belum tentu

anak yang lain mengikutinya. Walaupun demikian, tidak

semua anak berperilaku seperti itu, biasanya hanya yang

berada dalam satu kelompok yang mengikutinya. Dengan

35

modeling ini maka kebiasaan baik maupun buruk bisa menular

dengan mudahnya, karena dia meniru ingin seperti idolanya.

Efek-efek yang dikemukakan di atas tidak tergantung

pada imbalan dan hukuman yang sebenarnya, tetapi dari

penguatan atas apa yang dialami orang lain tapi dirasakan

seseorang sebagai pengalamannya sendiri (vicarious

reinforcement). Menurut Bandura (1986), vicarious reinforcement

terjadi karena adanya konsep pengharapan hasil (outcome

expectations ) dan harapan hasil (outcome expectancies ). Outcome

expectations menunjukkan bahwa ketika kita melihat seorang

model diberi penghargaan dan dihukum, kita akan berharap

mendapatkan hasil yang sama jika kita melakukan perilaku

yang sama dengan model. Seperti dikatakan oleh Baranowski

dkk (1997), "People develop expectations about a situation and

expectations for outcomes of their behavior before they actually encounter the

situation"36. Selanjutnya, seseorang mengikat nilai dari

pengharapan tersebut dalam bentuk outcome expectancies.

Harapan-harapan ini memeprtimbangkan sejauh mana penguatan

tertentu yang diamati itu dipandang sebagai sebuah

imbalan/penghargaan atau hukuman.

Konsep-konsep yang telah dikemukakan merupakan proses

dasar dari pembelajaran dalam teori kognitif sosial.

Meskipun demikian, terdapat beberapa konsep lain yang

dikemukakan teori ini yang akan memengaruhi sejauh mana

belajar sosial berperan. Salah satu tambahan yang penting

36 T Baranowsky, C L Perry, & G S Parecel, How Individuals, environments, and health behavior interact: Social Cognitive Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice, Jossey-Bass: San Francisco, 1997, hal 161.

36

bagi teori ini adalah konsep identifikasi (indentification).

Secara khusus teori kognitif sosial menyatakan bahwa jika

seseorang merasakan hubungan psikologis yang kuat dengan

sang model, proses belajar sosial akan lebih mudah

terjadi. Identifikasi muncul mulai dari ingin menjadi

hingga berusaha menjadi seperti sang model dengan beberapa

kualitas yang lebih besar. Teori kognitif sosial juga

mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang "pengamat"

untuk menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan

yang dipunyainya untuk menampilkan perilaku trsebut.

Kepercayaan ini disebut dengan self-efficacy atau efikasi diri

(Bandura: 1977) dan hal ini dipandang sebagai sebuah

prasayarat kritis dari perubahan perilaku37.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asumsi

dari teori kognitif sosial adalah proses belajar akan

terjadi jika seseorang mengamati seorang model yang

menampilkan suatu perilaku dan mendapatkan imbalan atau

hukuman karena perilaku tersebut. Melalui pengamatan ini,

orang tersebut akan mengembangkan harapan-harapan tentang

apa yang akan terjadi jika ia melakukan perilaku yang sama

dengan sang model. Harapan-harapan ini akan memengaruhi

proses belajar perilaku dan jenis perilaku berikutnya yang

akan muncul. Namun, proses belajar ini akan dipandu oleh

sejauh mana orang tersebut mengidentifikasi dirinya dengan

sang model dan sejauh mana ia merasakan efikasi diri

tentang perilaku-perilaku yang dicontohkan sang model.

37 A Bandura, Self-Efficacy: Toward a unifying theory of behavior change. Psychological Review, 1977, hal. 191-215.

37

Para remaja mempunyai alasan tersendiri untuk

bertindak, mereka mempunyai motivasi dan kepentingan yang

berbeda. Alasan bisa didefinisikan sebagai prinsip dasar

atas tindakan, yang tetap dijaga hubungannya oleh agen,

sebagai elemen rutin dari pengawasan reflektif merekea

mengenai perilaku mereka. Giddens (1993) menggunakan

‘motivasi’ yang melahirkan tindakan. Hubungan motivasi

dengan elemen-elemen kecenderungan kepribadian merupakan

hubungan langsung, dan dikenali di dalam penggunaan

sehari-hari; motif sering memiliki nama –ketakutan,

kecemburuan, kesombongan, dan sebagainya- dan pada saat

bersamaan nama-nama itu bisa dianggap sebagai nama

perasaan. Kepentingan hubungannya erat dengan motif;

kepentingan secara sederhana dapat diartikan sebagai hasil

atau kejadian yang memudahkan pemenuhan keinginan-

keinginan agen. Tidak ada kepentingan tanpa keinginan;

tetapi karena orang tidak perlu sadar atas motif mereka

melakukan tindakan dengan cara tertentu, mereka tidak

perlu sadar atas, dalam situasi apapun, kepentingan

mereka. Tentu saja, tidak dapat dipastikan individu

bertindak sesuai dengan kepentingan-kepentingannya. Lebih

lanjut akan menjadi sebuah kesalahan untuk menduga bahwa

maksud selalu searah dengan keinginan, misal: seseorang

mungkin bermaksud melakukan dan melakukan hal-hal yang

tidak dia ingin lakukan; dan mungkin menginginkan hal-hal

yang tidak dimaksudkannya untuk mendorong tercapainya

tindakan.38

38 A Giddens, Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2010, hal 108-112.

38

Penularan melalui pemaksaan biasanya bermula dengan

komunikasi verbal, kemudian dengan adu mulut bila tidak

berhasil dengan cara lembut tersebut. Makna tuturan

sebagai tindakan komunikatif pada prinsipnya selalu

dipisahkan dari makna tindakan, atau identifikasi tindakan

sebagai tindakan tertentu. Tindakan komunikatif adalah

tempat tujuan-tujuan aktor atau salah satu tujuan aktor,

ditautkan pada pencapaian menyampaikan informasi kepada

orang lain. Informasi itu tentu saja tidak selalu semacam

proposisi, tetapi bisa dimasukkan ke dalam usaha untuk

membujuk atau mempengaruhi orang lain untuk menanggapi

dengan cara tertentu. Karena tuturan bisa berarti sebuah

tindakan dan sebuah tindakan komunikatif, sesuatu yang

dilakukan mungkin juga memiliki tindakan komunikatif.39

Penelitian terhadap anak-anak sejenis pernah dilakukan

oleh Paul Willis dalam bukunya Learning to Labour (1977).

Willis bermaksud mengkaji sekelompok anak kelas bekerja

yang sedang belajar di sebuah sekolah yang terletak di

kawasan miskin Birmingham. Penelitian ini selaras dengan

implikasi empiris utama teori strukturasi. Willis

memperlakukan anak-anak ‘bandel’ yang diteliti itu sebagai

aktor yang tahu banyak, baik secara diskursif maupun diam-

diam tentang lingkungan sekolah yang dirinya menajdi

bagian lingkungan itu dan bahwa dia memperlihatkan

bagaimana sikap memberontak yang diambil oleh anak-anak

itu terhadap sistem otoritas sekolahh yang ternyata

memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu yang benar-benar

39 Ibid, hal 113-114..

39

tak diharapkan tapi sangat mempengaruhi nasib mereka

kelak. Ketika lulus dari dari sekolah, anak-anak ‘bandel’

itu bersedia bekerja serabutan, sehingga hal ini

memudahkan pereproduksian beberapa ciri umum tenaga kerja

kapitalis-industri. Dengan kata lain, pengekangan ternyata

bekerja melalui keterlibatan aktif agen-agen bersangkutan,

bukan sebagai kekuatan yang diri mereka betindak sebagai

penerima pasif saja.40

Motif-motif yang dijadikan tuntunan bagi aktifitas-

aktifitas remaja dan mendasari alasan-alasan yang mereka

miliki atas apa yan gmereka lalkukan tidaklah bisa

dijelaskan dengan baik sebagai akibat dari kurangnya

pemahaman terhadap sistem sekolah di lembaga atau

hubungan-hubungannya dengan aspek lain lingkungan sosial

yang merupakan latar belakang kehidupan mereka. tapi

kondisi seperti ini timbul karena mereka banytak tahu

tentang lembaga sekolah dan konteks-konteks lain yan

gmenggiring mereka melakukan tindakan-tindakan seperti

yang mereka perlihatkan selama ini. Pengetahuan semacam

itu terutama dapat diperoleh dalam aktifitas-aktifitas

praktis atau dalam wacana kontekstual. Dalam laporan

Willis ‘anak-anak bandel’ muncul jauh lebih kentara

diibandingkan dengan jenis anak lain yan gmungkin diakui

sekolah tersebut. Namun, batas apa yan gmereka ketahui

tentang keadaan mereka dalam menjalani kehidupan itu

memang cukup sempit.

40 A Giddens, The Constituion of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Pedati:Yogyakarta, 2011, hal 359-360.

40

Remaja di sini tentu menyadari bahwa kesempatan mereka

mendapatkan pekerjaan selain pekerjaan yang dipelajari di

lembaga sangatlah rendah, dan kondisi ini mempengaruhi

sikap memberontak mereka terhadap sekolah. Willis

mengatakan “namun paling bagus mereka memiliki kesadaran

yang tidak tepat atas aspek-aspek masyaraka tyang elbih

luas yang mempengaruhi konteks aktifitas mereka sendiri”.

Giddens (1984) menyatakan bahwa mungkin masuk akal jika

menarik kesimpulan tentang pola motivasi dasar umum

tentang usaha menetapkan metode-metode perilaku yang dapat

memberikan semacam makna dan warna ke dalam sederet

prospek kehidupan yan gmenjemukan yang dilihat secara

akurat dari berbagai sudut. Kita tidak dapat sepenuhnya

memahami motivasi ‘anak-anak bandel’ itu, kecuali jika

kita meilhat bahwa mereka benar-benar berusaha memahami

ahkikat posisinya di dalam masyareakat kendati dengan

ccara parsial dan terbatas secaraa kontekstual41.

Anak didik dan para guru serta pekerja sosial di

lembaga merupakan spesialis teori dan praktek otoritas,

namun pandangan masing-masing terhadap kebutuhan dan

tujuan-tujuan formalnya sangat bertentangan. Guru

memerlukan anak-anak penurut dalam memberikan sanksi untuk

menjinakkan anak-anak nakal. Ada beberapa konsensus moral

yan gtidak dapat ditanamkan pada anak dengan cara

kekerasan. Sanksi hukuman hendaknya hanya digunakan

sebagai upaya terakhir karena sanksi seperti itu merupakan

tanda gagalnya kendali yang efektif bukannya harus

41 Ibid, hal 363.

41

dijadikan dasar kendali itu sendiri. Gurun dan anak didik

sadar kalau mereka mengetahuinya. Anak-anak bandel mampu

memanfaat kondisi tersebut demi kepentingannya sendiri.

Dalam menumbangkan disiplin kelas, mereka menggembar-

gemborkan kewenangannya untuk melakukan tindakan tertentu.

Kenyataan bahwa lembaga panti mengharuskan para anak didik

untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam

lembaga daripada diluar memang sangat penting dalam kontra

budaya yang telah mereka prakarsai, karena di luar lembaga

mereka bisa mencari kebebasan dengan leluasa, sedangkan di

dalam lembaga tentu ada peraturan yang tidak boleh

dilanggar sebagaimana di luar lembaga.

Para remaja ingin sebenarnya ingin menujukkan sesuatu

dari diri mereka kepada orang lain, mereka berinteraksi

dengan orang lain agar diakui bahwa mereka ada dan

berbeda. Mereka menggunakan simbol-simbol dalam

berinteraksi dengan orang lain atau dengan interaksionisme

simbolik. Pengaruh interaksionisme yan gpaling umum adalah

pandangan bahwa kita menggunakan interpretasi oran glain

sebagai bukti “kita pikir siapa kita”. Berarti, citra diri

(self image) adalah produk dari cara orang lain berpikir

tentang kita. Selama kita hidup, kita bertemu banyak

orang, semua menanggapi kelakuan kita sesuai dengan

simbolisasi yang kita bangun. Mereka menginterpretasikan

perilaku kita berdasarkan bukti yang tersedia bagi mereka.

Citra diri sangat dipengaruhi oleh reaksi-reaksi individu

yang berkontak.42

42 Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2010, hal 142-143.

42

Para remaja segera belajar bahwa orang lain akan

menginterpretasi perilakunya, kemampuan interpretatifnya

memungkinkan dia memanipulasi iinterpretasi itu sesuai

dengan pandangannya terhadap dirinya. Mereka menggunakan

kapasitas diri mereka dengan cara yang kreatif agar orang

lain merespon mereka menurut yang merkea kehendaki.

Akibatnya, mereka mengelola atau mengatur irama dan respon

orang lain dengan cara menghadirkan citra mereka

sedemikian sesuai dengan yang diinginkan mereka berpikir

tentang mereka. mereka menjadi aktor-aktor di atas

panggung kehidupan, menuliskan garis-garis kehidupan

mereka. Oleh karena itu para remaja di lembaga ini

terkadang bisa saja berlaku sopan di depan para pekerja

sosial dan para pegawai, kemudian di lai waktu meeka juga

bisa berubah ke sifat asli yang mereka punya.

Erving Goffman dalam bukunya, Presentation of Self in Everyday

Life (1969), menyajikan konsepsinya tentang kehidupan sosial

sebagai suatu panggung yang di atasnya manusia memerankan

diri mereka, dan menjelaskan dukungan sosial yang ditekan

menjadi kehadiran untuk melayani orang lain43. Menurut

Goffman, sangat sedikit atribut, kepemilikan atau

aktifitas manusia yang tidka digunakan dalam kehidupan

teatrikal ini. Pakaian yang remaja pakai, kamar yang

mereka tinggali, cara mereka melengkapi isi kamar, cara

mereka berjalan dan berbicara, keterampilan yang mereka

ikuti, dan cara menggunakan waktu senggang, semuanya

43 Ibid, hal 145.

43

digunakan untuk memberitahu orang lain tentang siapa

sebenarnya mereka.

Jadi perilaku remaja di lembaga ini merupakan hasil

dari interaksionisme simbolik, para remaja menjadi tahu

siapa dia di antara anak-anak yang, kemudian

mengkonstruksi diri mereka setelah ada berbagai masukan

dan refleksi diri. Juga merupakan hasil dari sandiwara

memberitahu orang lain tentang siapa mereka. Bisa juga

mereka berubah perilakunya karena adanya labeling, teori ini

lahir dari interaksionisme simbolik, dan agak berbeda

dengan teori sandiwara atau akting sosial. Teori labeling

terutama tertarik pada fakta bahwa manusia kadang-kadang

menjadi korban interpretasi atau label orang lain selama

identitas sosial mereka dapat dipengaruhi atau bahkan

menentang kehendak mereka44. Akibatnya, ada remaja yang

kadang-kadang mengalami shock culture ketika masuk ke

lembaga, kemudian mengalami keruntuhan pertahanan diri dan

mengikuti apa yang orang lain katakan tentang mereka.

Dengan begitu, bisa saja para remaja kemudian perilakunya

mengikuti anjuran teman atau para pekerja sosial, kemudian

berbagai kebiasaan teman-temannya bisa menjadi kebiasaan

mereka, maka sangat mudahlah mereka menularkan kebiasaan

atau perilaku baik maupun buruk kepada teman-temannya.

psikoanalisa Sigmund Freud melihat bahwa perilaku jahat

merupakan representasi dari “id” yang tidak terkendalikan

oleh ego dan super ego. Id merupakan impuls yang memiliki

prinsip kenikmatan (pleasure principle). Ketika prinsip44 Ibid, hal 146.

44

itu berkembang, super ego menjadi terlalu lemah untuk

mengontrol impuls yang hedonistik ini. Hasilnya, perilaku

untuk sekehendak hati asal menyenangkan muncul dalam diri

seseorang. Keadaan psikologis seperti ini menimbulkan

kesalahpahaman bagi pelaku kejahatan dalam menilai

tindakan yang dilakukannya. Ia akan cenderung menganggap

tindakannya merupakan alasan pembenar yang bersifat

subyektif untuk tiap persoalan.

Para remaja memiliki berbagai motivasi dan tujuan dalam

mengekspresikan perilakunya. David McClelland mengenalkan

tiga teori kebutuhan yang dikenal dengan “teori kebutuhan

McClelland” atau McClelland’s Theory of Needs, yaitu need for

achievement, need for power, dan need for affiliation. Tentunya setiap

remaja punya dorongan yang kuat untuk berhasil, dorongan

ini mengarahkan untuk berusaha lebih keras untuk mencapai

target, dengan begitu ia kemudian terdorong untuk

menguasai dan mengendalikan orang lain, sebelum ia dapat

berkuasa ia akan membangun sebuah organisasi kelompok

untuk menancapkan kekuatannya. Jika alasan remaja

menularkan kebiasaan dan tertulari ditinjau dengan teori

ini maka ada beberapa jawaban. Remaja ingin mendapatkan

pengakuan dan pengaruh di antara teman-temannya, untuk

menunjukkan kemampuan dan kualitas dirinya. Tujuannya

adalah ia mempunyai kekuasaan di antara anak yang lain.

Untuk mengaktualkan impiannya ia menggunakan need for affiliation

atau kebutuhan untuk membangun aliansi dengan temannya.

Sambil membangun aliansi juga sambil mendoktrin temannya

agar sepaham. Di situlah ia juga mulai belajar bagaimana

45

mengendalikan massa. Bagaimana ia mempengaruhi massa agar

tunduk dan patuh kepadanya. Teman-temannya yang tidak

mempunyai pertahanan pribadi yang baik akan dengan mudah

terpengaruh. Maka dengan mudah ia berada di bawah

perintahnya, dengan mudah pula ia mengikuti perilaku

atasan, baik itu secara terpaksa maupun secara sukarela.

Anak-anak yang menularkan perbuatan mereka adalah anak

yang berperilaku agresif, jadi perbuatan yang mereka

tularkan juga agresif. Eko Budi Purwanto, pimpinan umum

Grahita Indonesia, menyebutnya dengan istilah

“aggressivism infectious behavior” sebagai sebutan untuk

proses penularan perilaku agresif dan kejahatan individu

satu terhadap individu lain. Penyebab hampir semua kasus

aggressivism infectious behavior adalah pribadi yang tidak kokoh

dan biasanya ada beberapa penyebab yang memepengaruhinya:

Post traumatic history yang terjadi (walaupun bagi

individu dengan pribadi yang kuat tidak akan berdampak),

Ketergantungan yang besar akibat suasana keluarga yang

protektif (biasanya lebih berdampak pada mereka yang

ditulari), Rejection (penolakan) yang sering dialami oleh

individu dari lingkungan terdekat.45

Kebiasaan yang tidak baik ini hampir sama dengan

penyakit panu, flu, kusta, AIDS, dan penyakit menular

lainnya. Semakin banyak dan sering individu satu

berinteraksi dengan individu berpenyakit tersebut maka

semakin besar kemungkinan untuk tertular, apalagi jika

45 http://grahita.net/2014/03/08/perilaku-agresif-dan-tindak-kejahatan-memang-bisa-menular/ diakses pada 19 Januari 2014, 14:30 wib.

46

tidak mempunyai penangkal penyakit tersebut. Hal tersebut

juga sama dengan penyakit sosial yang diderita oleh

beberapa anak di PSBR. Semakin sering dan semakin banyak

individu yang bergaul dengan individu berpenyakit sosial

maka semakin besar peluang untuk tertular dengan penyakit

sosial, apalagi jika tidak mempunyai pribadi-pribadi yang

kokoh dalam pendirian.

Beberapa tahun lalu, KH Abdurrahman Wahid pernah

menyinggung bahwa anggota DPR RI seperti anak taman kanak-

kanak. Sindiran tersebut ternyata terus mengemuka

kenyataannya hingga hari ini. Masyarakat dengan kasat mata

dapat melihat kejadian tersebut, bagaimana para anggota

dewan yang terhormat itu tidak dewasa dalam bersikap dan

berperilaku. Mereka bertengkar di luar kepentingan rakyat,

jalan-jalan dengan dalih studi banding, suka meninggalkan

tanggungjawab, sering bolos rapat, dan lain-lain. Adanya

sikap tidak dewasa dan tidak bertanggungjawab ini,

terlihat menular pada anggota dewan periode berikutnya.

Bagaimana tidak, sikap tidak dewasa ini selalu terulang

kembali pada periode berikutnya. Bukan tanpa sebab para

anggota dewan masa kini berperilaku demikian. Epidemi

sikap dan perilaku negatif mereka, sebenarnya merupakan

warisan yang dicontohkan, kemudian mentradisi dari

generasi sebelumnya, jadi perilaku kejahatan ini menular.

Ternyata anggota dewan ini memberikan sumbangsih

terhadap perubahan mental anak muda. Jika boleh dikatakan,

maka mereka berpikiran: “anggota dewan yang terhormat saja

seperti itu, apalagi saya”. Boleh jadi anggota dewan juga47

mewakili sikap dan perilaku masyarakat di periodenya, jika

ingin mengetahui kondisi masyarakat maka lihatlah orang

yang mewakilinya. Meskipun tentunya tidak semua masyarakat

seperti itu, tapi kurang lebih hal itu dapat dijadikan

gambaran kasarnya.

G. KESIMPULAN

Dunia remaja adalah dunia yang serta membuat seorang

remaja ingin tahu, ingin mencoba-coba, dan ingin bertindak

serta asyik dengan dunia mereka saat usia remaja.

Begitupun dunia remaja adalah dunia yang sangat mungkin

akan membuat seorang remaja salah langkah dalam memaknai

usianya. Apalagi jika ditambah dengan keadaan orang tua

yang kurang mengetahui dengan apa yang sedang dirasakan

anaknya pada saat remaja, sehingga orang tua terkadang

bisa saja salah dalam memperlakukan anaknya yang masih

remaja.

Pemerintah dan LSM serta masyarakat tentunya tidak

tinggal diam melihat semakin parahnya kerusakan moral para

remaja penerus bangsa ini. Di salah satu lembaga sosial

milik pemerintah yang melakukan proses rehabilitasi ini

terjadi peristiwa yang unik, ada beberapa anak yang

berperan menyebarkan pemikiran dan perilakunya kepada anak

yang lain. Ada beberapa pola penularan yang dapat

teramati, yaitu: meniru, ajakan, dan intimidasi. Perilaku

anak-anak di lembaga yang awal mulanya berbeda-beda

kemudian terjadi kesamaan perilaku. Terjadinya hal

tersebut karena mereka sebenarnya ingin menunjukkan bahwa

48

mereka ingin diakui oleh orang lain keberadaan dan

kemampuannya. Kemudian dia mulai menyusun cara bagaimana

bisa mewujudkan harpannya, yaitu dengan mengorganisir

massa. Tentu ia menyadari bahwa ia harus punya power atau

kelebihan di dalam dirinya yang membuatnya harus

diperhitungkan. Kemampuan yang dimilikinya membuat orang

lain menjadi inferior dan tunduk di bawah kekuasaannya,

membuat orang lain ingin menirunya dan mengikuti jejak

langkahnya, tak segan-segan ia melakukan intimidasi jika

ada yang tidak mengikuti kehendaknya. Ia dapat membuat

anak-anak yang lain menjadi satu suara, solidaritas

kelompok tinggi.

Ketidakseimbangan antara perkembangan intelektual

dengan perkembangan emosional remaja membawa dampak yang

serius, dan itu sangat bermasalah bagi seorang remaja.

Banyak remaja kita, ketika memasuki setingkat SMP maupun

SMA timbul berbagai gejolak masalah, baik dirumah,

masyarakat, maupun disekolah. Disekolah misalnya karena

terbawa teman mungkin seorang remaja suka membolos,

ataupun kadang mogok tidak mau sekolah, ikut-ikutan minum-

minuman keras dan merokok, dan lain-lain. Ataupun masalah

lain yang berdampak negatif bagi perkembangan seorang

remaja entah itu perkembangan prestasi, masalah pergaulan,

dan masalah lainnya.

Apalah arti adanya negara besar ini tanpa keberadaan

para pemudanya. Apalah arti perjuangan yang para pahlawan

mengusir seluruh penjajah dari bumi pertiwi dengan gagah

berani jika bukan untuk memperjuangkan masa depan para49

pemuda. Apa arti pengorbanan orang tua jika bukan untuk

kebaikan sang anak. Sudah banyak yang dikorbankan oleh

jutaan nyawa jiwa pendahulu kita demi generasi pemuda.

Harta benda, waktu, dan bahkan nyawa mereka pun

dikorbankan demi pemuda penerus bangsa yang besar ini.

Sudah selayaknya para pemuda sadar akan hal ini. Para

pendahulu kita sudah sangat jauh berpikir ke depan demi

para pemuda pewaris peradaban agung ini. Mereka berjuang

bukan hanya demi keberadaan merka dan orang-orang

sezamannya saja. Mereka berjuang bukan hanya untuk

mencapai kemerdekaan dan kebebasan sesaat saja. Tetapi

mereka lebih jauh rela memperjuangkna itu semua untuk

generasi-generasi berikutnya. Sejarah mereka hendaknya

menjadi semangat juang dan pelecut bagi pemuda untuk

bangkit dari keterpurukan saat ini. Semangat juang yang

harus tetap terukir di dalam sanubari setiap insan muda

negara ini, semangat juang yang harus tak pernah padam

karena terpaan budaya yang merusak. Memperkuat pertahanan

diri agar tidak mengikuti perbuatan dan kebiasaan yang

merusak moral bangsa.

Perilaku individu dapat menular melalui berbagai jenis

interaksi sosial, interaksi sosial yang tidak bisa

dikendilakn dengan baik individu akan berakibat tidak

baik. Individu dapat tertular perilaku jelek karena adanya

dorongan dari dalam diri yang tidak seimbang. Apalagi jika

tidak mempunyai pendirian yang kokoh, minim pengetahuan,

hati yang tidak kuat, lemahnya mental, dan kurang

bimbingan moral dan agama, maka akan sangat mudah tertular50

hal-hal yang tidak seharusnya. Bukan hanya kemampuan

untuk membedakan mana yang baik dan tidak, tetapi perlu

kemampuan untuk tidak melaksanakan yang tidak seharusnya.

Itulah yang masih lemah dan perlu perbaikan lagi oleh para

remaja ini.

Perlu pengajaran yang tepat dan sesuai dengan keadaan

para remaja ini. Ki Hajar Dewantara dengan sangat baik

merumuskan tiga filosofi yang sangat terkenal, yaitu: “Ing

ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani”.

Kemudian ada kata-kata bijak yang berbunyi “anglaras ili ning

banyu, ananging ora keli”. Kurang lebih artinya adalah “daun

kering mengalir di air tetapi tidak hanyut”. Maknanya adalah seorang

pemuda boleh bergaul dan berinteraksi secara sosial dengan

siapa saja. Karena interaksi dengan makhluk Tuhan adalah

suatu yang sudah menjadi keharusan, tanpa manusia dan

makhluk lain apalah arti seorang diri. Akan tetapi yang

menjadi catatan adalah pertahanan diri atau self defense

terhadap hal-hal yang tidak tidak selayaknya. Semoga

generasi penerus bangsa ini dapat meneruskan cita-cita dan

semangat juang segenap para pahlawan.

51

DAFTAR PUSTAKA

A Bandura, Self-Efficacy: Toward a unifying theory of behaviorchange. Psychological Review, 1977.

A Bandura, Social Learning Theory, Prentise Hall: New Jersey,1977.

A Bandura, Social learning through imitation, Dalam M.R.Jones, Nebraska symposium on motivation.Vol 10. University ofNebraska Press: Lincoln, 1962.

A Giddens, Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru, Pustaka Pelajar:Yogyakarta, 2010.

A Giddens, The Constituion of Society: Teori Strukturasi untuk AnalisisSosial, Pedati: Yogyakarta, 2011.

A W Wicker, A Theory of Cognitive Dissonance, Stanford UniversityPress: Stanford, 1957.

Aziz Muslim, Dasar-Dasar Pengembangan Masyarakat, SamuderaBiru: Yogyakarta, 2012.

Aziz Muslim, Metodologi Pengembangan Masyarakat, UIN SunanKalijaga, Yogyakarta: 2008.

David O’Sears, Jonathan L Freedman, & L Anne Peplu, PsikologiSosial Edisi kelima, Erlangga: Jakarta, tanpa tahun.

Dr Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajagrafindo Persada:Jakarta, hal 194.

Muhammad Fathi, The Power of Youth: Risalah Para Pemuda PewarisPeradaban, Syamil Cipta Media, Jakarta: 2006.

Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hinggaPost-modernisme, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta,2010, hal 142-143.

52

Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi sosial Edisi kesepuluh,Erlangga: Jakarta, 2004.

S J Baran & D.K. Davis, Mass Communication Theory: Foundations,Ferment, and Future, Wadsworth: California, 2000.

S J Breckler, "Empirical Validation of Affect, Behavior, and Cognition asDistinct Component of Attitude," Journal of Personality and Social Psychology,1984.

S J Kras, "Attitudes and Prediction of Behavior," Personality and SocialPsychology Bulletin, Januari 1995.

Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, MPR RI: Jakarta, 2011.

Soegeng Koesman, Membangun Kaarakter Bangsa: Carut Marut danCentang Perenang Kritis Multi Dimensi di Era Reformasi, Lokus:Yogyakarta, 2009.

Stephen P Robbins, Perilaku Organisasi, Salemba Empat: Jakarta,2007.

T Baranowsky, C L Perry, & G S Parecel, How Individuals,environments, and health behavior interact: Social Cognitive Theory.Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health Behavior abdHealth Education: Theory, Research, and Practice, Jossey-Bass: SanFrancisco, 1997.

Totok Mardikanto, Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat: Acuanbagi Aparat Birokrasi, Akademisi, Praktisi dan Peminat/Pemerha tiPemberdayaan Masyarakat, UNS: Surakarta, 2010.

Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, Kencana: Jakarta, 2011

Sumber dari Internet:

http://belajarpsikologi.com/kenakalan-remaja/

http://grahita.net/2014/03/08/perilaku-agresif-dan-tindak-kejahatan-memang-bisa-menular/

53