9
NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRES DENGAN PERILAKU MEROKOK DI SMA SANTUN UNTAN PONTIANAK SUTRI KURNELA NIM I31110036 PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2014

hubungan antara tingkat stres dengan perilaku merokok di

Embed Size (px)

Citation preview

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRES

DENGAN PERILAKU MEROKOK

DI SMA SANTUN UNTAN

PONTIANAK

SUTRI KURNELA

NIM I31110036

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2014

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRES DENGAN PERILAKU MEROKOK DI SMA SANTUN UNTAN PONTIANAK

Oleh: Sutri Kurnela*

Parjo** Wahyu Kirana**

Abstrak Latar Belakang. Stres yang dialami remaja disebabkan oleh stresor yang mereka hadapi seperti tugas sekolah dan permasalahan dengan teman kencan. Banyak cara yang dilakukan oleh remaja untuk menghindari stres salah satunya dengan cara merokok. Remaja yang merokok hanya ingin mendapatkan kesenangan sesaat tanpa memikirkan dampak yang disebabkan oleh rokok. Tujuan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi tingkat stres dengan perilaku merokok pada remaja. Metodologi. Jenis penelitian ini kuantitatif analitik dengan desain penelitian cross-sectional. Jumlah sampel 49 remaja dengan menggunakan total sampling. Analisa data penelitian menggunakan uji Spearman. Hasil. Dari analisa korelasi tingkat stres dengan perilaku merokok didapatkan hasil nilai r= 0,407 dan nilai p= 0,004 dimana nilai p< 0,05. Kesimpulan. Pada penelitian ini ada korelasi yang positif antara tingkat stres dengan perilaku merokok di SMA Santun Untan Pontianak, artinya semakin tinggi tingkat stres maka perilaku merokok juga akan meningkat.

Kata kunci: Stres, Perilaku Merokok, Pontianak

Correlation Between Stress Levels and Smoking Behaviour in Santun Untan High School Pontianak Abstract Background. Stress in adolescents in most cases is caused by problems they find in school, such as assignments and crash with their partners. In order to overcome these problems, they may use various unadaptive ways, one of them is smoking. Through this unhealthy behaviour, adolescents only see its temporary pleasant without concerning its later effect. Purpose. The purpose of this study is to identify the correlation between stress levels and smoking behaviour among adolescents. Methodology. This is a quantitative analitic study with cross-sectional design. Sample involved in this study is 49 adolescents. Spearman test is used for data analysis. Result. Data analysis of correlation between stress levels with smoking behaviour shows r value= 0.407 and p value= 0.004 (p< 0.05). Conclusion. There is positive correlation between stress levels with smoking behaviour in Santun Untan High School Pontianak, which means higher the stress levels, stonger the smoking behaviour.

Key words: Stress, Smoking behaviour, Pontianak

* Nursing Student Tanjungpura University ** Nursing Lecturer Tanjungpura University

PENDAHULUAN

Perilaku merokok masih merupakan masalah kesehatan dunia karena dapat menyebabkan berbagai penyakit dan bahkan kematian (BKKBN dalam Lizam et al, 2009). Menurut Kosen (2010) perilaku merokok sangat merugikan diri sendiri maupun orang disekelilingnya. Banyak dampak yang disebabkan oleh perilaku merokok antara lain mengenai masalah kesehatan dan ekonomi. Masalah kesehatan terbanyak yang disebabkan oleh rokok pada tahun 2005 adalah neoplasma, penyakit jantung dan pembuluh darah serta penyakit saluran pernafasan. Selain itu dampak perilaku merokok dapat meningkatkan kemiskinan, karena mengurangi penggunaaan sumber daya individu dan keluarga yang terbatas untuk kebutuhan lain yang sebenarnya lebih penting, seperti pendidikan, makanan dan perumahan.

Berdasarkan data dari WHO (2008) Indonesia ternasuk kedalam urutan tiga besar pada sepuluh negara perokok terbesar dunia setelah China dan India. Jika dilihat berdasarkan data dari Riskesdas (2010) di Indonesia khususnya provinsi Kalimantan Barat menempati urutan ke- 25 dengan jumlah perokok terbanyak dari 33 provinsi yang ada di Indonesia.

Saat ini merokok seakan telah menjadi gaya hidup. Ironisnya, gaya hidup ini telah merambah usia muda, yakni usia remaja (Rohman, 2010). Merokok dikalangan remaja juga telah dilaporkan terkait dengan gaya hidup yang tidak sehat lainnya seperti konsumsi alkohol, penggunaan narkoba dan seks pra-nikah. Perokok remaja juga cenderung bolos dari sekolah, pengalaman yang lebih lanjut dapat membahayakan peluang dalam kehidupan masa depan mereka (Siziya et al, 2007).

Di Indonesia persentase remaja yang merokok menurut data Riskesdas (2010) yaitu sebanyak 26,7%. Pada umumnya seseorang mulai merokok pertama kali pada usia remaja yaitu usia 15-19 tahun sebanyak 43,3%, diikuti pada usia 10-14 tahun sebanyak 17,5% dan usia 20-24 tahun sebanyak 17,5%. Di Kalimantan Barat, remaja usia 15-19 tahun merupakan usia dengan persentase tertinggi untuk mulai merokok yaitu sebesar 44,6 %.

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti di SMA Santun Untan banyak siswa/ siswi yang merokok disaat jam istirahat. Saat dilakukan wawancara kebeberapa siswa mereka mengatakan bahwa mereka biasanya merokok dibelakang sekolah tetapi yang paling sering adalah diluar sekolah. Alasan merokok adalah karena pengaruh teman sebaya tetapi ada juga yang mengatakan mereka merokok jika sedang merasa stres

seperti stres percintaan dan stres menghadapi ujian, maka rokok yang dihisap juga semakin banyak.

Remaja yang merokok mempunyai beberapa alasan seperti agar mereka tampak bebas dan dewasa saat mereka menyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya yang merokok. Selain itu merokok juga dijadikan alasan untuk mendapatkan kesenangan dan menghindari stres yang dihadapi (Soetjiningsih, 2004). Hal ini didukung oleh hasil penelitian lainnya bahwa siswa yang merokok mengatakan merokok adalah sumber kesenangan. Mereka tidak bisa berhenti merokok dengan alasan merokok dapat mengisi waktu luang dan dapat mengurangi rasa stres (Martono, 2008; Phanucharas et al, 2009). Berdasarkan penelitian oleh Hashimah & Mohd (2007) bahwa sumber stres disebabkan oleh 8 kategori seperti hubungan dengan keluarga, sekolah, teman kencan, akademik, kurikulum, kesehatan, keuangan dan masalah lain. Hasil penelitiannya menunjukkan sumber stres terbanyak disebabkan oleh masalah lain selain dari ketujuh kategori yang telah disebutkan sebelumnya yaitu dengan persentase sebesar 85,7%.

Penelitian yang dilakukan oleh Booker et al (2010) menghasilkan temuan bahwa remaja yang mengalami stres akan mempengaruhi perilaku merokok yaitu semakin tinggi tingkat stres berakibat terhadap meningkatnya resiko untuk merokok. Sehingga dengan merokok mereka berharap dapat merasa lebih nyaman dari keadaan yang menyababkan stres. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif analitik dengan desain penelitian cross-sectional. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa/siswi kelas XI dan kelas XII SMA Santun Untan yang merokok yaitu sebanyak 49 orang. Teknik pengambilan sampel dipilih dengan cara total sampling karena menurut Zuldfrial (2012) jumlah populasi yang kurang dari 100 seluruh populasi dijadikan sampel penelitian. Kriteria sampel yang digunakan adalah siswa/siswi kelas XI/XII yang merokok dan yang bersedia menjadi responden. Sedangkan siswa/siswi yang merokok tetapi tidak ada keterangan hadir selama dilakukan penelitian tidak dimasukkan kedalam sampel penelitin ini.

Variabel bebas (variabel independen) dalam penelitian ini adalah tingkat stres, sedangkan variabel terikat (variabel dependen) dalam penelitian ini adalah perilaku merokok.

Alat ukur pada penelitian ini menggunakan kuesioner tingkat stres dan kuesioner perilaku merokok. Kuesioner tingkat

stres menggunakan kuesioner the minnesota adolescent heath survey dari Galbraith & jim (2006) dan kuesioner perilaku merokok menggunakan kuesioner dari azkiyati (2012).

Instrumen pada penelitian ini telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada 20 responden. Nilai r tabel untuk sampel 20 adalah 0,463. Untuk instrument tingkat stres, hasil uji validitas menunjukkan item pertanyaan nomor 1, 8, 9, 10, 15, 22, 26, 27 dan 28 dikatakan valid karena r hasil > dari r tabel sedangkan untuk item yang lainnya dikatakan tidak valid, tapi dari item yang tidak valid hanya 5 item saja yang dieliminasi yaitu item nomor 2, 6, 7, 17, dan 20. Item yang tidak valid lainnya tetap digunakan dengan alasan sangat mewakili untuk mengetahui stres pada remaja. Instrument perilaku merokok, hasil uji validitas menunjukkan hanya 3 item saja yang dikatakan tidak valid yaitu item nomor 11, 15, dan 16, akan tetapi 3 item tersebut tidak dieliminasi karena sangat mewakili untuk mengetahui perilaku merokok remaja. Sedangkan untuk uji reliabilitas tingkat stres dan perilaku merokok mendapatkan nilai cronbach’s alpha dari kedua instrument tersebut adalah 0,812 dan 0,963, oleh karena itu kedua instrument tersebut dikatakan reliabel. HASIL PENELITIAN

Dibawah ini akan dijelaskan tentang hasil penelitian yang dilakukan di SMA Santun Untan Pontianak. Tabel 1: Karakteristik responden berdasarkan

jenis kelamin Jenis Kelamin

Jumlah Persentase (%)

Laki-laki Perempuan

44 5

89,8% 10,2%

Total 49 100%

Hasil penelitian dari tabel 1 didapatkan bahwa responden laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan persentase laki-laki 89,8% yaitu 44 siswa. Tabel 2: Karakteristik respoden berdasarkan

umur

Umur Jumlah Persentase (%) 16 5 10,2% 17 23 46,9%

18 16 32,7%

19 5 10,2% Total 49 100%

Hasil penelitian dari tabel 2 menunjukkan rentang usia remaja yang

berumur 16-19 tahun. Umur 17 tahun mempunyai persentase tertinggi yaitu 46,9% dengan jumlah 23 siswa/siswi.

Tabel 3: Tingkat stres responden

Tingkat Stres Jumlah Persentase (%)

Ringan 37 75,5% Sedang 12 24,5% Berat - -

Total 49 100%

Hasil penelitian dari tabel 3 ditemukan

bahwa tingkatan stres ringan merupakan persentase tertinggi yaitu 75,5% sebanyak 37 siswa/siswi.

Tabel 4: Perilaku merokok responden

Perilaku Merokok Jumlah Persentase (%)

Ringan 21 42,9%

Sedang 27 55,1% Berat 1 2%

Total 49 100%

Hasil penelitian dari tabel 4

menunjukkan bahwa perilaku merokok yang mempunyai persentase tertinggi berada pada tingkatan sedang yaitu 55,1% sebanyak 27 siswa/siswi.

Tabel 5: Uji normalitas data tingkat stres dan perilaku merokok

Hasil uji normalitas data dari tabel 5

dapat disimpulkan bahwa distribusi data tidak normal karena nilai signifikan perilaku merokok menunjukkan hasil P< 0,05. Oleh karena itu analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan alternatif uji Spearman. Tabel 6: Hasil uji korelasi Spearman hubungan

tingkat stres dengan perilaku merokok

Perilaku merokok

Tingkat stres r 0,407 p 0,004 n 49

Hasil uji Spearman dari tabel 6

diperoleh nilai signifikan p= 0,004, yang menunjukkan P< 0,05 artinya terdapat korelasi

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic Df Sig. Tingkat Stres

.094 49 .200*

.936 49 .011

Perilaku Merokok

.160 49 .003 .916 49 .002

yang bermakna antara tingkat stres dengan perilaku merokok. Nilai korelasi r= 0,407 artinya kekuatan korelasi penelitian ini adalah sedang dan mempunyai arah korelasi positif yang dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat stres maka semakin tinggi perilaku merokok.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan jumlah remaja laki-laki yang merokok sebanyak 44 siswa dengan persentase 89,8%, sedangkan perempuan sebanyak 5 siswi dengan persentase 10,2%, jadi dapat disimpulkan bahwa jumlah remaja yang merokok lebih banyak laki-laki daripada perempuan.

Hasil penelitian sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Dariyo (2008) bahwa kebiasaan merokok atau minum-minuman alkohol sebagian besar dilakukan oleh laki-laki daripada perempuan. Sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan Siziya et al (2007) dan Booker et al (2010) menunjukkan hasil yang sama bahwa jumlah perokok terbanyak yaitu pada remaja laki-laki dibandingkan dengan remaja perempuan.

Jenis kelamin sangat mempengaruhi perilaku seseorang, laki-laki cenderung melakukan kegiatan yang beresiko tanpa memikirkan efek yang ditimbulkan, sedangkan perempuan cenderung lebih memikirkan efek kedepan sebelum bertindak. Jika dilihat dari perilaku merokok laki-laki mempunyai peran terbesar daripada perempuan. Laki-laki sering terlihat merokok ditempat umum daripada perempuan, sehingga yang sering terlihat hanya laki-laki.

Laki-laki juga cenderung berani untuk mengakui apa yang mereka lakukan sedangkan perempuan lebih menutupi apa yang mereka lakukan, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan akan merokok seperti yang dilakukan oleh laki-laki. Banyak perempuan yang malu untuk mengakui bahwa sebenarnya mereka juga merokok sehingga aktivitas merokok mereka lakukan ditempat yang tersembunyi.

Laki-laki erat kaitannya dengan kebebasan daripada perempuan, akan tetapi saat ini kebebasan tidak hanya dikalangan remaja tetapi juga perempuan seperti halnya merokok yang tidak memandang jenis kelamin. Padahal jika dilihat dari sudut pandang budaya, perempuan yang merokok akan diberi pelabelan negatif oleh masyarakat meskipun demikian tidak menghalangi mereka untuk terus merokok.

Rentang usia pada penelitian ini berkisar antara usia 16 tahun sampai 19 tahun. Hasil penelitian menunjukkan jumlah remaja yang berusia 16 tahun berjumlah 5 siswa/siswi

dengan persentase 10,2%, remaja yang berusia 17 tahun berjumlah 23 siswa/siswi dengan persentase 46,9%, remaja yang berusia 18 tahun berjumlah 16 siswa/siswi dengan persentase 32,7% dan remaja yang berumur 19 tahun berjumlah 5 siswa/siswi dengan persentase 10,2%. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa remaja yang berusia 17 tahun yang paling banyak merokok .

Remaja yang berusia 17 tahun secara psikologi belum siap untuk dikatakan dewasa karena remaja masih menginginkan kebebasan yang erat kaitannya dengan pencarian identitas (Tim Poltekkes Depkes 2010), remaja juga mencapai kebebasan emosional dari orang dewasa (Fatimah, 2010). Diperjelas lagi dengan teori Leventhal and Cleary dalam Komasari dan Avin (2000) pencarian identitas yang dilakukan oleh remaja dilakukan dengan cara merokok. Secara umum remaja yang merokok adalah berada pada tahap initiation dan become a smoker karena remaja yang merokok berawal dari coba-coba sampai akhirnya menjadi seorang perokok. Menurut Komasari dan Avin (2000) perilaku merokok adalah perilaku yang dipelajari, belajar dari masa anak-anak hingga akhirnya menjadi perokok pada saat remaja.

Hasil penelitian sejalan dangan penelitian yang dilakukan oleh Pavoola et al (2004) dan Booker et al (2010) bahwa jumlah remaja yang merokok adalah remaja yang menempati sekolah SMA yaitu remaja yang berusia 15 tahun ke atas.

Usia remaja merupakan usia yang mempunyai keinginan kuat untuk mencoba sesuatu yang baru yang sangat manantang, karena remaja ingin menemukan jati diri yang sebenarnya. Remaja mempunyai kegemaran untuk mencontoh orang dewasa, melakukan apa yang orang dewasa lakukan. Meskipun kebiasaan yang dilakukan oleh orang dewasa cenderung kearah yang negatif, mereka semakin tertarik untuk melakukannya seperti layaknya orang dewasa. Remaja ingin dikatakan seperti orang dewasa tetapi cara yang dilakukan mereka justru melebihi apa yang semestinya tidak dilakukan oleh orang dewasa. Perilaku orang dewasa menentukan perilaku remaja dan anak-anak, perilaku yang positif akan mempunyai generasi penerus yang berperilaku positif, begitu juga perilaku negatif yang dilakukan oleh orang dewasa akan mempunyai generasi penerus yang juga akan berperilaku negatif.

Saat ini remaja yang merokok sudah semakin meningkat karena merokok dikalangan remaja merupakan hasil belajar dari orang dewasa, remaja mempunyai keingintahuan yang kuat terahadap sesuatu hal yang baru hingga akhirnya mereka mencontoh perilaku merokok yang dilakukan oleh orang

dewasa. Berawal dari ingin mencoba hingga akhirnya mereka mengetahui kenikmatan yang dirasakan dari sebatang rokok sehingga akhirnya mereka tertarik untuk terus merokok dan menjadi seorang perokok aktif.

Hasil penelitian dari variabel independen menunjukkan bahwa stres dengan tingkat stres ringan sebanyak 37 siswa/siswi dengan persentase 75,5%. Siswa/siwi dengan tingkat stres sedang sebanyak 12 orang dengan persentase 24,5% sedangkan dengan tingkat stres berat tidak ada. Jadi dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkat stres siswa/siswi berada pada tingkat stres ringan.

Stres ringan dapat menghampiri siapa saja, akan tetapi stres yang dirasakan tidak merusak aspek fisiologis dan tidak menimbulkan penyakit (Rasmun, 2004). Stres yang dialami oleh remaja disebabkan karena mencoba melakukan terlalu banyak hal, tidak diterima teman sebaya dan lain-lain (Galbraith dan Jim, 2006). Hasil dan teori sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hashimah and Mohd (2007) bahwa stres yang dialami remaja bersumber dari keluarga, sekolah, teman kencan, akademik, kurikulum, kesehatan, keuangan dan masalah lain. Menurut Gunarsa (2008) stres yang dialami remaja erat kaitannya dengan ketidakseimbangan keadaan emosi pada remaja, remaja cenderung labil dalam bersikap sehingga menyulitkan orang lain untuk mengadakan pendekatan. Labilitas remaja menyebabkan kurang tercapainya pengertian orang lain akan pribadi remaja. Keadaan yang baru dialami remaja, juga menyebabkan remaja sering tidak mengerti dirinya sendiri.

Hasil penelitian dari variabel dependen menunjukkan bahwa siswa/siswi dengan tingkat perilaku merokok ringan sebanyak 21 siswa/siswi dengan persentase 42,9%, siswa/siswi dengan perilaku merokok sedang sebanyak 27 siswa/siswi dengan persentase 55,1% sedangkan siswa dengan perilaku merokok berat hanya 1 siswa dengan persentase 2%. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkat perilaku merokok siswa/siswi berada pada tingkat sedang.

Pendapat Kurt Lewin dalam Komasari dan Avin (2000) bahwa perilaku merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-faktor dari dalam diri juga disebabkan oleh faktor lingkungan. Menurut Erikson dalam Komasari dan Avin (2000) faktor dari dalam yang menyebabkan perilaku merokok adalah untuk mencari jati diri. Faktor dari dalam lainnya yang mempengaruhi perilaku merokok berkaitan dengan emosi, rokok dianggap dapat melupakan masalah dan menghindari stres (Komasari dan Avin, 2000).

Faktor dari lingkungan menurut Mu’tadin (2002) yang mempengaruhi perilaku merokok adalah pengaruh orangtua, teman dan iklan. Hasil penelitian terdahulu seperti yang dilakukan oleh Siziya et al (2007) mendapatkan temuan bahwa secara umum remaja merokok karena memiliki orangtua perokok, teman yang merokok, serta memiliki uang yang cukup untuk membeli rokok.

Hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara tingkat stres dengan perilaku merokok telah dibuktikan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif tingkat stres dengan perilaku merokok pada remaja, dengan nilai r= 0,407 dan p= 0,004 artinya semakin tinggi tingkat stres maka semakin tinggi perilaku merokok remaja. Nilai korelasi mempunyai kekuatan sedang artinya perilaku merokok tidak hanya disebabkan oleh satu faktor penyebab.

Hasil penelitian sejalan dengan pernyataan Adisti (2010) bahwa banyak cara yang dipilih oleh remaja saat mereka mengalami stres atau banyak pikiran, akan tetapi cara yang dilakukan cenderung kurang bijak karena akan membahayakan kesehatan mereka, cara yang dilakukan seperti narkoba, minuman keras dan merokok. Merokok identik dengan remaja yang sedang stres, karena rokok dianggap sebagai penyelamat (Badriah, 2005), merokok dapat menghilangkan pusing dan stres (Sugito, 2007).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasnida dan Indri (2005) dan Rohman (2010) yang mendapatkan hasil penelitian bahwa ada hubungan positif antara tingkat stres dengan perilaku merokok yang artinya tingkat stres yang tinggi juga akan mempunyai perilaku merokok yang tinggi. Penelitian lainnya oleh Booker et al (2004) yang mendapatkan temuan bahwa remaja yang melaporkan tingkat stres tinggi juga melaporkan perilaku merokok yang tinggi, niat yang lebih besar untuk merokok pada tahun depan, dan keinginan yang lebih kuat untuk merokok di SMU dibandingkan mereka yang melaporkan dengan tingkat stres yang rendah.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dianalisa bahwa remaja cenderung mengalami perasaan yang berubah-ubah, kadang senang berlebihan tetapi kadang sedih berlebihan. Remaja gemar bersaing untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan, jika itu tidak tercapai maka stres akan mudah menghampiri mereka. Stres tidak pernah hilang dari kehidupan siapapun karena stresor selalu ada dilingkungan sekitar. Begitu juga dengan remaja yang selalu dihampiri oleh rasa stres yang berhubungan dengan sekolahan seperti stres karena tugas, stres menghadapi ujian selain itu juga stres yang dihadapi remaja bisa

disebabkan karena stres percintaan dan stres karena persaingan dengan teman sebaya.

Stres yang dialami remaja akan mempengaruhi aktifitas lainnya karena sebagian dari mereka hanya akan terus larut dalam stres yang dihadapi sedangkan sebagian lainnya akan berusaha untuk keluar dari stres yang dihadapi. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghilngkan stres, seperti yang dikatakan oleh Rasmun (2004), seseorang yang ingin keluar dari stres ada dua cara yang dilakukan yaitu dengan mekanisme koping jangka panjang dan mekanisme koping jangka pendek. Mekanisme koping jangka panjang lebih kearah yang positif seperti bercerita kapada orang lain yang lebih dipercaya untuk mengungkapkan permasalahannya, melakukan latihan fisik, meningkatkan kegiatan ibadah dan lain-lain. Sedangkan mekanisme koping jangka pendek lebih kearah yang negatif dan kesenangan yang didapat hanya sesaat seperti menggunakan obat-obatan, alkohol dan merokok.

Remaja cenderung memilih cara yang salah untuk bebas dari stres. Merokok adalah cara terbaik yang dilakukan remaja, karena menurut mereka rokok merupakan cara yang ampuh untuk keluar dari rasa stres yang mereka hadapi. Mereka tidak menyadari bahwa banyak kerugian yang ditimbulkan dari sebatang rokok.

Stres yang menghampiri remaja menyebabkan remaja untuk semakin meningkatkan aktivitas merokok, karena rokok dianggap cara yang praktis, dan merupakan cara yang paling mudah dilakukan. Sebatang rokok yang dihisap dapat memberikan efek yang besar terhadap masalah yang dirasakan. Rokok dapat melupakan masalah karena pikiran hanya berfokus pada kenikmatan rokok sehingga mereka lupa akan adanya masalah. Jika sebatang rokok habis maka akan ada tambahan batang rokok selanjutnya yang dihisap untuk terus merokok sehingga sumber masalah tidak akan ada dipikiran. Apalagi jika stres semakin tinggi maka perilaku merokok juga terus ditingkatkan.

Perilaku merokok yang dilakukan oleh remaja tidak hanya disebabkan oleh satu faktor penyebab yaitu stres, akan tetapi masih ada faktor lain yang mempengaruhi perilaku merokok seperti pengaruh iklan, semakin banyaknya iklan rokok yang dihadirkan, maka remaja semakin tertarik untuk mencoba hingga akhirnya terus menerus merokok. Faktor lainnya adalah karena pengaruh teman, pergaulan remaja menyebabkan remaja sangat mudah terpengaruh oleh apa yang dilakukan oleh teman-teman disekitarnya. Selain itu perilaku merokok juga dipengaruhi oleh orangtua, orangtua dianggap sebagai contoh,

sehingga remaja akan mengikuti apa yang orangtua mereka lakukan.

KESIMPULAN

Stres yang menghampiri remaja menyebabkan remaja mengambil cara yang beresiko untuk keluar dari stres yang dihadapi. Cara yang dilakukan adalah dengan cara merokok. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan uji spearman mengenai hubungan antara tingkat stres dengan perilaku merokok di SMA Santun Untan Pontianak maka dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok bisa dilakukan oleh siapa saja, baik laki atau perempuan dan dalam hal ini perilaku merokok lebih banyak dilakukan pada remaja laki-laki (89,8%) daripada perempuan (10,2%). Jika dilihat berdasarkan umur, maka umur 17 tahun mempunyai persentase tertinggi yaitu 46,9%. Tingkat stres siswa/siswi berada pada tingkatan stres ringan dengan persentase 75,5%, dan perilaku merokok siswa/siswi dengan persentase tertinggi 55,1% yaitu perilaku merokok sedang. Terdapat korelasi yang positif antara tingkat stres dengan perilaku merokok yang dibuktikan dari nilai P= 0,004 dan nilai r= 0,407 yang artinya bahwa semakin tinggi stres maka perilaku merokok juga akan semakin meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan bagi institusi (sekolah) agar dapat mengaktifkan program bimbingan konseling secara lebih optimal dan memperkuat aturan bagi siswa-siswi yang merokok disekitar lingkungan sekolah. Bagi remaja agar dapat meningkatkan pengetahuan dan mengaplikasikan tentang mekanisme koping stres yang efektif, misalnya dengan bermain musik, berolahraga, kumpul bersama keluarga atau teman-teman. Serta mengurangi atau meninggalkan kebiasaan merokok yang dapat merugikan kesehatan. Bagi penelitian agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor penyebab stres remaja atau dampak merokok bagi masa depan remaja. DAFTAR PUSTAKA 1. Adisti, P. (2010). Personality plus for

teens. Yogykarta: Grihatama. 2. Azkiyati, A. M. (2012). Hubungan

perilaku merokok dengan harga diri remaja laki-laki yang merokok di SMK Putra Bangsa. Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Keperawatan. Depok. Skripsi.

3. Badriah, F. (2005). Boyz only: Petunjuk islami keksehatan reproduksi bagi remaja cowok. Jakarta: Gema Insani.

4. Booker, C, et al. (2004). Stressful life

events, smoking behavior, and intentions to smoke among a multiethnic sample of sixth graders. Ethnicity & health, 9, 369-397.

5. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010.

6. Dariyo, A. (2008). Psikologi

perkembangan dewasa muda. Jakarta: Grasindo.

7. Danim, S. (2003). Riset keperawatan:

Sejarah dan metodologi. Jakarta: EGC. 8. Fatimah, E. (2010). Psikologi

perkembangan: Perkembangan peserta didik. Bandung. Pustaka Setia.

9. Galbraith, J., & Jim, D. (2006). Buku

pintar remaja berbakat. Jakarta: Esensi. 10. Hashimah, I., & Mohd, H. (2007).

Stress, coping and social supports in the adolescent years. Kajian Malaysia, XXV.

11. Hasnida., & Indri, K. (2005), Hubungan

antara tingkat stres dengan perilaku merokok pada remaja laki-laki. Psikologia, 1, 105-111

12. Komasari, D., & Avin, H. (2000).

Faktor-faktor penyebab perilaku merokok pada remaja. Jurnal psikologi, 28, 37-47.

13. Kosen, S. (2010). Dampak kesehatan

dan ekonomi perilaku merokok di Indonesia. Buletin penelitian sistem kesehatan, 11, 207-211.

14. Martono. (2008). Peran orangtua dalam

mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba. Jakarta: Balai Pustaka.

15. Mu’tadin, Z. (2002). remaja dan rokok.

http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=1271.0 (13 november 2013).

16. Rasmun. (2004). Stress, koping dan

adaptasi: Teori dan pohon masalah keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

17. Rohman, A. (2010). Hubungan antara tingkat stres dan status sosial ekonomi orangtua dengan perilaku merokok pada remaja. http://Psikologi.or.id, (12 Februari 2014).

18. Siziya, S., Rudatsikira, E., & Muula, A.

S. (2007). Cigarette smoking among school-going adolescents in kafue zambia. Malawi medical journal, 19, 75-78.

19. Soetjiningsih. (2004). Tumbuh kembang

remaja dan permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto.

20. Sugito. (2007). Stop rokok: Mudah,

murah, cepat. Jakarta: Penebar Swadaya.

21. Tim Poltekkes Depkes. (2010).

Kesehatan remaja: Problem dan solusinya. Jakarta: Salemba Medika.

22. Paavola, M., Vartiainen, E., &

Haukkala, A. (2004). Smoking from adolescence to adulthood, the effects of parental and own socioeconomic status. European journal of public health, 14, 417-420.

23. Phanucharas, D., & Rapeepun, C.

(2009). Smoking behavior and smoking-related knowledge of student at silpakorn university thailand. Silpakorn u science & tech j, 343, 34-43.

24. World Health Organization. (2008).

WHO report on the global tobacco epidemic 2008. Switzerland: Geneva.

25. Zuldafrial. (2012). Penelitian

kuantitatif. Yogjakarta: Media Prakasa.