170
Proceeding Seminar Nasional "UU Pemda: Solusi atau Masalah Yang Baru?" Bandar Lampung, 30 April 2015 Desentralisasi atau Resentralisasi ? Tinjauan Kritis Terhadap UU NO 23/2014 Budi Kurniawan ( Ed.) Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Desentralisasi atau Resentralisasi ? : Tinjauan Kritis Terhadap UU No. 23 Tahun 2014

  • Upload
    anu-au

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Proceeding Seminar Nasional"UU Pemda: Solusi atau Masalah Yang Baru?"

Bandar Lampung, 30 April 2015

Desentralisasi atauResentralisasi ?

Tinjauan Kritis Terhadap UU NO23/2014

Budi Kurniawan ( Ed.) Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Proceeding Seminar Nasional"UU Pemda: Solusi atau Masalah Yang Baru?"

Bandar Lampung, 30 April 2015

Table of Contents Rekomendasi Hasil Seminar Nasional..................................1 UNDANG-UNDANG SEBAGAI SANDARAN NASIB DAERAH ?: Refleksi

Desentralisasi di Indonesia Oleh: Purwo Santoso.....................3 Arah Politik Pemerintahan UU NO 23/2014 Oleh: Ari Darmastuti.......10 PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF UU No. 23 TAHUN

2014 Oleh: Syarief Makhya........................................17 UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014: PEMERINTAHAN DAERAH YANG EFEKTIF-

EFISIEN DAN RESENTRALISASI Oleh: Hertanto..........................25 Menyoal Lahirnya UU No.23 Tahun 2014: KEBIJAKAN DESENTRALISASI :

DOMINASI NEGARA DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMERINTAHAN DI DAERAH Oleh: PAHADA HIDAYAT.....................................................34

Kritik dan Saran Untuk Perbaikan UU 23 tahun 2014 Oleh: Budi Kurniawan..........................................................44

NAWACITA DAN DESENTRALISASI ASIMETRIS: SEKEDAR JANJI ATAU SOLUSI SERIUS MENGATASI PROBLEMATIKA OTONOMI DAERAH DI INDONESIA OLEH: SYAFARUDIN.........................................................54

KEPEMIMPINAN POLITIK LOKAL (Telaah Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah) Oleh : Robi Cahyadi Kurniawan..........................62

UU NO.23/2014 dan Menggagas Model Pilgub (Catatan untuk RUU Pemilukada) Oleh: Arizka Warganegara...............................70

UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah : Simalakama Bandul Kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota Oleh : Feni Rosalia.........74

OTONOMI DAERAH VS SENTRALISASI BARU OLEH: Denden Kurnia Drajat, M.Si...................................................................78

DINAMIKA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH di INDONESIA Oleh : Himawan Indrajat...........................................................83

KEWENANGAN KEPALA DAERAH PASCA UU PEMERINTAHAN YANG BARU “DITAMBAH ATAU DIPERSEMPIT” Oleh: ANDRI MARTA................................87

“Transparansi Pemerintahan”, Dapatkah Terwujud? Oleh: Melyansyah...92 Menakar Peluang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah- Oleh : Darmawan Purba.........................99 KAJIAN INTERMESTIK: RUANG KERJASAMA DAERAH TANPA BATAS Oleh: Dwi

Wahyu Handayani...................................................105 Politik Hukum UU Pemeritahan Daerah: Desentralisasi suatu keharusan

Oleh: Suwondo.....................................................110 Biodata Para Penulis..............................................116

Budi Kurniawan ( Ed.) Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

2

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

1

Rekomendasi Hasil Seminar Nasional

Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Jurusan Ilmu

Pemerintahan Universitas Lampung dan Program Studi Magister

Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung memberi sumbangsih

pemikiran dalam rangka perbaikan Undang-Undang Pemerintahan

daerah dengan menyelenggarakan Seminar Nasional dengan Tema;

“UU Pemerintahan Daerah: Solusi atau Masalah yang Baru ?”,

pada tanggal 30 Oktober 2015 bertempat di Universitas Lampung.

Pembicara utama dalam seminar ini adalah para penggiat Ilmu

Pemerintahan di Indonesia yakni; Professor Purwo Santoso,

Ph.D, Dr. Syarif Makhya ( MIP UNILA), Hertanto Ph.D ( MIP

UNILA ), Dr. Suwondo ( MIP UNILA ) , dan Syafarudin, MA

( Labpolotda UNILA ). Pemmbicara dari praktisi adalah Dr.

Pahada Hidayat (perwakilan APKASI Lampung). Peserta yang

hadir beraneka ragam dari unsur akademisi, mahasiswa, wartawan

dan perwakilan pemerintah kabupaten dan kota se Provinsi

Lampung.

Adapun tujuh butir rekomendasi kami sebagai hasil seminar ini

adalah sebagai berikut:

1. Seminar ini memandang UU No.23/2014 menegasikan demokrasi

partisipatif atau cacat secara proses pembuatan kebijakan

karena tidak adanya uji publik dan keterlibatan policy networks

seperti Pemerintah Daerah, Kampus, masyarakat sipil dan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

2

sebagainya. Untuk itu kami menghimbau agar peraturan teknis

turunan UU ini jangan hanya menjadikan pemerintah daerah,

kampus, masyarakat sipil, dll sebagai objek sosialisasi

kebijakan saja setelah aturan dibuat, namun haruslah

melibatkan mereka secara aktif dan partisipatif dalam proses

kebijakannya.

2. Seminar ini memandang perlunya semangat nawacita Presiden

Jokowi yang merekomendasikan asymetric decentralization yakni

penguatan ciri khas masing-masing daerah ketimbang

penyeragaman oleh pusat segera terelalisasikan.

3. Seminar ini bersepakat bahwa UU No.23/ 2014 telah kehilangan

semangat otonomi daerah yang merupakan cita-cita reformasi

1998. UU ini jelas mempunyai semangat dan misi

resentralisasi ala orde baru ketimbang otonomi daerah.

4. Seminar ini menilai perlu adanya pemahaman yang benar

tentang otonomi sesuai dengan Undang-Undang Dasar yakni

dilakukan secara seluas-luasnya. Kami juga menolak autarkhi

yakni daerah berbuat semau-maunya.

5. Seminar ini mengingatkan kembali bahwa daerah jangan

diposisikan sebagai taklukan pusat, namun daerah adalah

mitra sejajar pemerintah pusat dalam menjalankan

pemerintahan demi mewujudkan cita-cita bangsa.

6. Seminar ini mengingatkan kembali tentang semangat membangun

Indonesia dari pinggiran, membangun Indonesia dari daerah

bukan dari Jakarta. Membangun Indonesia secara bottom-up

ketimbang top-down.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

3

7. Seminar ini menyadari akan adanya kelemahan UU 32 / 2004,

namun solusinya tidaklah dengan merampas kewenangan yang

merupakan modal dasar pembangunan daerah namun dengan

meningkatkan pengawasan. Untuk itu daerah perlu diawasi

secara demokratis dengan melibatkan partisipasi masyarakat

bukan dengan mencabut kewenangan.

Demikianlah rekomendasi seminar nasional “UU Pemerintahan

Daerah: Solusi atau masalah baru ?

Semoga Tuhan yang Maha Esa merestui setiap usaha kita

memperbaiki bangsa ini.

UNDANG-UNDANG SEBAGAI SANDARAN NASIB DAERAH ?:Refleksi Desentralisasi di Indonesia

Oleh: Purwo Santoso

Ketika suatu undang-undang ditetapkan berlakunya, hampir bisa

dipastikan akademis memperdebatkannya. Pasokan pemikiran

kritis yang telah diasah di kampus dari hari ke hari, segera

dicurahkan untuk itu. Kejadian selanjutnya mudah di tebak.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

4

Undang-undangyang oleh para penyusunnya dimaksudkan sebagai

konsensus terbaik untuk mengatasi masalah yang

didefinisikanbisa jadi mendaptkan apresiasi bertubi-tubi,

namun yang lebih sering adalah menjadi bulan-bulanan.

Pemerintah nasional, yang dalam hal ini berada dalam posisi

sebagai penentu isi undang-undang, menjadi sasaran tembak,

menjadi tempat menumpahkan sumpah serapah. Baik puja-puji

maupun kritik dan caci-maki diartikulasikan dengan begitu

bersemangat karena sebetulnya telah ada kesepakatan diam-diam

bahwa undang-undang adalah sandaran nasib. Baik-buruknya nasib

kita, seakan ditentukan oleh isi undang-undang tersebut.

Seakan-akan realita tercipta sekedar karena undang-undang itu

ada, dan undang-undang itu akan terimplemasi secara sempurna.

Tulisan pendek ini bermaksud untuk membahas hal yang sangat

spesifik, yakni pemerintahan daerah masa depan, pasca

diberlakukannya Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Hanya saja, penulisannya didasari oleh

kesadaran bahwa adanya undang-undang tidak dengan serta-merta

menciptakan realita baru. Tentu saja, undang-undang ditulis

dengan visi tertentu, namun kesepakatan diam-diam kita usung

bisa menjadi pembatal misi undang-undang tersebut. Adanya,

apalagi kuatnya, resistensi secara terselubung atau kepatuhan

palsu terhadap misi undang-undang menjadikan implementasi

undang-undang adalah penggalan misi. Jelasnya, tulisan inipun

berusaha untuk melakukan refleksi kritis atas penataan

pemerintahan daerah di Indonesia, hanya saja bidikannya tidak

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

5

hanya kepada pemerintah nasional, melainkan juga pada

pemerintah daerah, bahkan komunitas keilmuan yang begitu

leluasa melontarkan kritik. Bidikannya bukan hanya text yang

tertera pada naskah Undang-undang itu sendiri, melainkan text

yang tersirat dibalik perilaku kita dalam berpemerintahan.

Refleksi dilakukan dengan mencoba untuk keluar dari jebakan

legalisme dalam tradisi pemerintahan.

Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa Undang-undang N0. 23tahun

2015 (UU 23/2014) membawa misi resentraisasi. Karena makalah-

makalah lain yang disiapkan dalam prosiding ini telah

membeberkan hal itu, makalah ini sengaja tidak melakukan

repetisi. Pemerintah nasional, khususnya Kementerian Dalam

Negeri yang memimpin penyusunan undang-undang ini tentu saja

punya alasan kuat untuk mengusung resentralisi. Ada tiga hal

yang secara simultan hendak didielaborasi di sini: (1) urgensi

dan relevansi sentralisasi, (2) mengapa resentralisasi tak

terelakkan, dan (3) apa yang secara keilmuan bisa dan perlu

dilakukan untuk mengkerangkai penataan pemerintahan Indonesia.

Agar reaksi kita terhadap UU 23/2014 tidak bersifat emosional,

ada baiknya kita membaca text yang ada dengan kesadaran

sejarah. Undang-undang ini masih saja menuntaskan respon,

kalau bukan koreksi, terhadap perubahan mendasar dan dramatis

di era krisis, menyusul runtuhnya tatanan sentralistik yang

terbakukan di era Orde Baru. Perubahan mendasar dan mendadak

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

6

yang terjadi saat itu lebih digerakkan oleh kemarahan terhadap

sentralisme yang berselingkuh dengan

otoritarianisme, dari pada digerakkan oleh keperluan untuk

mengoptimalkan peran daerah dalam mencapai tujuan Indonesia.

Dalam kemarahan itu, undang-undang yang diberlakukan yakni

UU 22/1999 tidak dilengkapi dengan skenario dan managemen

transisi yang memadai. Bukan hanya lokus penyusunan undang-

undang pemerintahan daerah, yang biasanya berada di Departemen

Dalam Negeri, bergeser ke DPR RI. Meskipun dilafalkan sebagai

‘pelimpahan’ kewenangan, desentralisasi sebetulnya lebih

dirasakan sebagai ‘relokasi’ kewenangan ke daerah-daerah,

kalau bukan ‘penjarahan’ kewenangan daerah melalui jalur

hukum. Harap dicatat, setelah UU 22/1999 ditetapkan,

Undangundang Dasar kita, khususnya yang mengatur pemerintahan

daerah, juga diubah secara mendasar. Di sana ada frase yang

bersifat mengunci, bahwa otonomi daerah diberikan secara

‘seluas-luasnya’ dalam bingkai ‘Negara Kesatuan Republik

Indonesia’. Artinya semua ini ? Undang-undang, sebetulnya

adalah medium tarik ulur kepentingan. Pencantuman otonomi

‘seluas-luasnya’ dalam konstitusi, sedikit banyak mempersempit

ruang gerak pemerintah nasional, manakala suatu saat akan

melakukan resentralisasi.

Antisipasi tersebut memang benar adanya. Dalam kadar yang

relatif terbatas, resentralisasi terasa dalam UU 32/2004.

Sebagai contoh, upaya untuk menjamin luasnya otonomi daerah di

level Kabupaten/Kota dengan cara tidak mendudukkannya sebagai

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

7

bawahan gubernur, dicabut oleh undang-undang tersebut. Hal itu

berlangsung ketika Indonesia sudah mulai keluar dari situasi

krisis. Dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono yang telah membawa Indonesia bergeser lebih jauh

dari suasana krisis telah menjadi periode untuk mengembalikan

kendali pemerintahan ke Kementerian Dalam Negeri, dan draft RUU

yang mengusung semangat resentralisasi, tuntas dibahas dengan

DPR pada hari terakhir anggota DPR RI periode 2009-2014

bekerja.1

Dari refleksi perjalan sejarah ini penting juga untuk dicatat

bahwa tuntutan dan realisasi gagasan pemerintahan berotonomi

luas, sangat erat kaitannya dengan ideologi yang mengkerangkai

publik kala itu. Gagasan otonomi seluas-luasnya meluap tidak

lama setelah Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara

meredeka, dan bingkai ideologi saat itu adalah liberalisme.

Saat itu, pemerintahan dikerangkai sebagai aktualisasi gagasan

demokrasi liberal. Pergantian sistem pemerintahan di periode

berikutnya telah menggantikan liberalisme dengan faham lain,

dan setelah tidak lagi berjaya, kembalilah tatanan liberal

yang menjadi pembingkainya. Jelasnya, aktualisasi gagasas

otonomi seluas-luasnya yang berlangsung di era pasca Orde Baru

1 Ketika naskah RUU digodog di DPR RI, antara unsur Pemerintah dengan unsurDPR telah terjadi kesepakatan bahwa UU Pemerintahan Daerah, yang kemudian bernomor 23/2014, harus dapat diundangkan sebelum anggota DPR D periode 2014-2019 dilantik. Maknanya, yang menyiapkan resentralisasi adalah pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun yang menuai manfaat resentralisasi adalah pemerintahan presiden Joko Widodo.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

8

mengharuskan kita berfikir keras, apakah liberalisme memang

harus kita terima sebagai satu-satunya pilihan yang tersedia.

Refleksi historis tersebut di atas membantu kita berempati

terhadap proses bongkar-pasang mesin pemerintahan yang

berlangsung selama ini, tanpa harus memposisikan diri sebagai

pendukung resentralisasi yang berlangsung. Refleksi ideologis

yang menyusulinya memungkinkan kita untuk mempersoalkan apakah

daerah memang bersungguh-sungguh dalam mengadopsi liberalisme.

Dalam bingkai pemikiran liberal, otonomi sangatlah penting

perannya acuan untuk bertindak. Hanya saja, otonomi bukanlah

autarkhi (alasan untuk bermuat semau-maunya). Dalam banyak

kasus, otonomi daerah tidak bisa dipilah dari autarkhi, dan

pemerintah pusat pun tidak mampu mendisiplinkannya. Ketika

jaminan untuk berotonomi daerah diberikan, pada saat yang sama

diberlakukan pemilihan kepala daerah secara langsung. Dengan

skema ini, apa yang dijanjikan oleh kandidat kepala daerah

yang menang, harus diimplementasikan dalam bingkai RPJMD.

Dengan skema semacam ini, keberlanjutan antar periode

kepemimpinan tidak terjamin. Kegagalan untuk mencapai visi

jangka panjang tidak kunjung teridentifikasi, apalagi

terkoreksi. Mengapa ? Karena longgarnya kewajiban untuk

melakukan evaluasi diri, dan kemampuan untuk melakukan self-

restrain terhadap egoisme recehan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

9

Kalau kerangka fikir liberal hendak diadopsi, otonomi bukanlah

‘status daerah’ melainkan ‘cara kerja untuk mencapai tujuan’

tertentu. Yang lebih esensial adalah berotonomi, bukan sekedar

memiliki kewenangan namun tidak memiliki kejelasan hendak

mencapai apa. Pemberlakuan otonomi seluas-luasnya hanya masuk

akal kalau eksponen-eksponen yang berotonomi memerankan diri

sebagai menyelenggara misi nasional. Disinilah Indonesia

berada dalam kegalauan, kakau bukan kebingungan. Baik

pemerintah nasional maupun pemerintah daerah, sama sama

terjebak dalam cara berfikir lama. Bahwa berotonomi adalah

mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Diasumsikan, kalau

otonomi diberikan maka daerah akan mensejahterakan

dirinya.Sebagaimana biasanya, otonomi didefinisikan seperi

ini.

“Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dankewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurussendiriUrusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakasetempat dalam sistem Negara KesatuanRepublikIndonesia” [cetak tebal dari penulis]2

Dimensi evaluasi tidak dieksplisitkan dalam rumusan itu karena

diasumsikan bahwa penggunaan kewenangan akan bermuara pada

penyelesaikan kepentingan. Kepentingan yang ditegaskan di

situpun kepentingan masyarakat setempat. Daerah tidak

didudukkan arti pentingnya untuk mencapai tujuan-tujuan

nasional, seakan-akan tujuan nasional adalah domain eksklusif

2 Pasal 1 butir 6 Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang PemerintahanDaerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

10

pemerintah nasional. Akibatnya, daerah menikmati kebiasaan dan

juga dibiasakan untuk egois, hanya peduli pada

urusannya sendiri. Lebih dari itu, wacana sentral dalam

penyelengaraan otonomi daerah adalah ‘kewenangan’ bukan

realisasi tujuan. Ketika pemerintah daerah membuat laporan

pertanggungjawaban, yang dilaporkan “sekedar” penggunaan

kewenangan itu, bukan seberapa berhasil kewenangan tertenut

telah pergunakan untuk mencapai tujuan. Pengaturan tentang

desentralisasi maupun otonomi daerah tidak pernah dikaitkan

secara spesifik dengan realisasi tujuan-tujuan

berpemerintahan. Sebagai contoh, spesifikasi kewenangan

pemerintah Kabupaten/Kota mengurus ‘pendidikan dasar’ tidak

dikaitkan dengan pemenuhan seluruh prasyarat agar setiap

sekolah mendapatkan setiap input penyelenggaraan

pendidikan agar setiap siswa terjangkai oleh skema wajib

belajar 12 tahun, dan mereka lulus dengan standar nasional.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi,

‘otonomi’ dan ‘evaluasi’ haruslah diaktualisasikan sebagai

suatu paket. Keduanya adalah dua sisi yang berbeda dari mata

uang yang sama: pemerintahan terdesentralisasi. Lebih dari

itu, pelembagaan pemerintahan daerah yang otonom, haruslah

disertai oleh, kalau tidak didahului dengan, pengembangan

sistem evaluasi yang melekat dalam

sistem pemerintahan daerah. Pengembangan sistem evaluasi ini,

sudahlah berlangsung sangat terlambat, tidak pernah menjadi

keseriusan pemerintah daerah. Belakangan, pemerintah nasional

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

11

memang mengembangkan sistem evaluasi, hanya saja sistem itu

lebih dimanfaatkan untuk mendemoralisasi daerah dari pada

untuk memetakan variasi dan rute pembinaan yang dilakukan

terhadap daerah.

Hal ini terjadi, sekali lagi karena otonomi daerah adalah

arena kontestasi pusat-daerah, bukan strategi nasional untuk

mempersiapkan diri merespon tantangan global. Otonomi daerah,

adalah urusan domestik,dan oleh karenanya, pengelolaannya

bukan hanya dipimpin oleh Kementerian Dalam Negeri melainkan

juga arah pengembangannya tetap saja inward looking.

Point-point yang dipaparkan di atas dimaksudkan untuk

menunjukkan bahwa tatanan pemerintahan berotonomi luas dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak kunjung settle

karena karena gagapnya Indonesia, khususnya gagapnya ilmu

pemerintahan, dalam mendudukkan persoalan.

1. Dimensi politik yang ada tidak pernah dinyatakan

secara terbuka; dan seolah-olah akan bisa berakhir dengan

sendirinya. Karena desentralisasi atau pengembangan

otonomi daerah mau tidak mau melibatkan perubahan relasi

kuasa, maka respon yang berlangsung niscaya kental juga

dengan persoalan relasi kuasa.

2. Ruang untuk menemukan solusi politis sangatlah sempit

karena kealphaan ilmuwan pemerintahan menawarkan bingkai

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

12

teoritik yang memadai. Terus berkutatnya pembicaraan

kewenangan tanpa mengkaitkanya dengan kinerja, terus

bercokolnya wawasan inward looking, serta minornya agenda

pengembangan kapasitas evaluasi adalah contoh-contoh dari

persoalan yang berakar dari kealphaan ilmu pemerintahan

menyediakan bingkai pemikiran.

3. Dalam tapak yang telah dirunut secara singkat ini,

desentralisasi berjalan secara zig-zag. Hal ini jelas

terkait dengan keaphaan teoritasi desentralisasi dan

pengembangan otonomi daerah. Yang lebih penting lagi

untuk dicatata adalah bahwa hal itu karena terjebaknya

pemikiran kita pada paradigma tata-kewenangan, dan abai

terhadap paradigma pembelajaran. Tapak zig-zag

desentralisasi di Indonesia, adalah pertanda bahwa kita

tidak pernah belajar dari sejarah. Lebih dari itu, sangat

urgen bagi ilmuwan pemerintahan mengembangan mengembangan

teori-teori desentralisasi sebagai akumulasi dari proses

belajar dari pengalaman, khususnya pengalaman gagal dan

berhasil dalam berotonomi.

4. Dari upaya kita mencoba untuk “menjaga jarak” terhadap

narasi dalam text perundang-undangan sebagaimana

dipaparkan di atas, cukup alasan untuk mengatakan bahwa

resentralisasi bukanlah solusi bagi penataan pemerintahan

di Indonesia. Sungguhpun demikian, perlu juga untuk

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

13

diketengahkan bahwa undang-undang yang berpotensi

mengembalikan Indonesia ke tatanan sentralistis-otoriter

a la Orde Baru ini sebetulnya telah menyerap sejumlah

pengalaman penting dalam berotonomi. Pengalaman penting

yang cukup menjiwai isi UU 23/2014 ini adalah bahwa

hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah

tidak harus bersifat zero sum game. Baik pusat maupun

daerah sama-sama bisa berperan penting, hanya saja peran

yang dimainkan berbeda satu sama lain.

5. Telaah tersebut di atas juga menunjukkan bahwa,

undang-undang pemerintahan daerah adalah instrumen

penting dalam penataan pemerintahan di negeri ini. Hanya

saja, hidup-matinya daerah juga tergantung dalam praktek-

praktek baik dalam berpemerintahan. Resentralisasi memang

tak terhindarkan kalau daerah tidak sanggup untuk

memperbaiki Indonesia dari daerah. Resentralisasi harus

dilawan secara positif dengan gerakan membangun Indonesia

daerah daerah, memenangkan globalisasi karena bersatu

visi daerah-daerah untuk itu. Dengan menyatakan hal ini,

maka kita tidak perlu memperlakukan Indonesia sebagai

kondisi final, melainkan kondisi yang terus menjadi.

   

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

14

Arah Politik Pemerintahan UU NO 23/2014

Oleh: Ari Darmastuti3

Pengantar

Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami

pasang surut sejarah yang panjang, dimulai sejak awal

kemerdekaan (Undang-Undang nomor 22/1948) sampai saat ini

(Undang-Undang nomor 23/2014), dengan berbagai sifat

pengaturan yang berbeda-beda. Perbedaan sifat pengaturan

pemerintahan daerah tersebut sangat tergantung pada arah

politik pemerintahan yang dibentuk, yaitu arah yang ingin

memberi keleluasaan gerak kepada unit pemerintahan di tingkat

bawah atau justru pengelolaan pemerintahan sentralistis dan

seragam pada tingkat bawah. Masalah arah politik pengaturan

pemerintahan daerah ini telah menjadi pokok pangkal

“keributan” yang tidak ada habisnya dalam sejarah otonomi

daerah di Indonesia.

Secara alamiah pemerintah daerah tentu menginginkan wewenang

dan sumberdaya yang cukup untuk dapat melaksanakan fungsi-

fungsi yang mesti diembannya, tetapi pemerintah pusat secara

alamiah memliki kecenderungan untuk memiliki kewenangan yang

agar dapat leluasa melaksanakan keinginan strategis untuk

kepentingan bangsa. Dalam beberapa diskusi dan debat akademik

yang penulis hadiri dan ikuti, keinginan pemerintah pusat

3 Ketua Program Studi dan dosen Magister Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Lampung

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

15

untuk memiliki kewenangan cukup tersebut khususnya dinilai

lebih didorong oleh apa yang oleh Nordholt dan Klinken

dinyatakan bahwa reformasi di Indonesia telah menyebabkan

runtuhnya otoritarianisme digantikan pemerintahan demokratis,

tetapi juga telah mengakibatkan hilangnya ketertiban

digantikan ketidaktertiban4. Dengan alasan bahwa otonomi

daerah telah menghasilkan “raja-raja kecil di daerah” serta

munculnya ketidakpatuhan kabupaten/kota terhadap pemerintah

pusat dan pemerintah provinsi, kelihatannya undang-undang

terbaru tentang pemerintahan daerah meletakkan kembali dasar-

dasar sentralisme dalam pengaturan tentang pemerintahan daerah

di Indonesia.

Paper pendek ini merupakan analisis singkat dan kritis tentang

arah politik pemerintahan di Indonesia versi Undang-Undang

nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara khusus

paper ini menyoroti beberapa aspek penting dalam pertimbangan

filosofis, dalam konsep serta beberapa pasal kritis dalam

batang tubuh UU terbaru. Paper diakhiri dengan simpulan

pendek serta solusi yang mungkin diambil guna perbaikan

substansi pengaturan pemerintahan di Indonesia di masa yang

akan datang.

Hilangnya Semangat Otonomi dalam UU 23/2014

4 Henk Schulte Nordhold dan Geryy van Klynken. Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post Suharto Indonesia. Leiden: KTILV Press. 2007: 1

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

16

Penulis mencatat bahwa semangat otonomi daerah telah hilang

dalam pertimbangan filosofis munculnya Undang-Undang nomor

23/4014. Dalam dasar pertimbangan Undang-Undang, prinsip

otonomi daerah (nyata dan bertanggung-jawab versi UU 5/1974

maupun otonomi luas versi UU 22/1999) tidak disebutkan atau

hilang dalam pertimbangan UU. Karena prinsip otonomi sama

sekali tidak disebut dalam pertimbangan UU, maka penyebutan

Daerah Otonom menjadi tidak memiliki dasar filosofis karena

otonomi daerah bukan prinsip yang menjadi dasar pengaturan

pemerintahan daerah. Pernyataan bahwa urusan konkurenlah yang

menjadi dasar hak otonomi daerah tidaklah kuat karena bukan

urusan yang menentukan otonomi, tetapi jenis otonomi daerahlah

yang menjadi dasar apakah daerah memiliki wewenang yang

sungguh otonom atau tidak. Apalagi urusan konkuren sendiri

sudah ditentukan dengan rinci dalam UU, hal ini semakin

memberi indikasi kuat tentang arah dihilangkannya otonomi

daerah dalam UU ini.

Hilangnya semangat otonomi dalam Undang-Undang nomor 23/2014

sangat mengherankan karena setelah sentralisme model orde

baru dinilai gagal menyelesaikan isu ketidakadilan antara

Timur dan Barat, antara Jawa dan luar Jawa, maka otonomi luas

di tingkat kabupaten/kota dinilai lebih sesuai dengan tuntutan

keadilan pembangunan. Peletakan kewenangan besar di tingkat

Pusat dan provinsi justru membuat model pemerintahan daerah

semakin jauh dari idealisme memberikan pelayanan yang lebih

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

17

dekat kepada masyarakat. Bagaimana kabupaten/kota akan dapat

memberikan pelayanan jika sumberdaya dikuasai Pusat dan

Daerah? Hilangnya otonomi di tingkat kabupaten/kota juga akan

memberi potensi besar terhadap gagalnya pengelolaan

pemerintahan desa karena kabupaten/kota tidak akan memiliki

sumberdaya memadai untuk bisa mengkoordinir dan melaksanakan

fungsinya secara memadai untuk mengawasi pelaksanaan UU Desa.

Selain hilangnya semangat otonomi dalam pengaturan

pemerintahan daerah dalam UU ini, penulis mencatat aspek lain

yang cukup ganjil dari dasar penggantian UU 32/2004. Dalam

dasar pertimbangan disebutkan bahwa UU nomor 32/2004 tentang

Pemerintahan Daerah dinilai tidak sesuai lagi dengan

perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perlu dikemukakan bahwa

belum pernah ada debat akademis yang serus tentang kelemahan

UU 32/2004, khususnya menyangkut prinsip otonomi daerah di

Indonesia. Satu-satunya hal yang menjadi debat publik yang

cukup serius adalah diperlukannya secara tegas pemisahan

pengaturan pemerintahan daerah, pemerintahan desa dan Pilkada.

Terlihat UU 23/2014 justru menguatkan keinginan politik

kelompok tertentu di parlemen yang ingin menguasai proses

pilkada agar hasilnya seragam dengan kehendak koalisi di DPR.

Dengan keyakinan bahwa koalisi tertentu akan menguasai pilkada

maka kemudian kemudian terjadi rekayasa lebih lanjut untuk

mengatur agar sistim pemerintahan daerah kembali mengarah ke

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

18

sentralisasi dengan melemahkan azas otonomi daerah yang luas

menjadi azas otonomi terbatas.

Hilangnya semangat otonomi bukan hanya bahwa otonomi daerah

tidak disebutkan dalam dasar pertimbangan, tetapi juga dalam

ketentuan umum Pasal 1 (12) yang mengemukakakn konsepsi Daerah

Otononom sebagai “kesatuan masyarakat hukum

yang......berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistim NKRI.” Terdapat

perubahan cukup signifikan dari mengatur dan mengurus urusan

rumah-tangganya sendiri menjadi mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa daerah kehilangan

independensi “rumah tangga” dan aspek kekuasaan dalam rumah

tangga, menjadi sebatas “urusan pemerintahan”. Daerah otonom

bukan unit otonom lagi (baik provinsi maupun kabupaten/kota)

tetapi menjadi sekedar berwenang mengatur urusan pemerintahan

dan kepentingan masyarakat.

Hilangnya semangat otonomi juga terlihat lebih lanjut dalam

pengaturan tentang azas. Azas otonomi tidak disebutkan sama

sekali; dan dalam ketentuan tentang azas, yang ada hanyalah

azas penyelenggaraan urusan pemerintahan (pasal 5 ayat (4)).

Dalam pasal ini disebutkan dengan jelas bahwa penyelenggaraan

Urusan Pemerintahan dilaksanakan dengan azas Desentralisasi,

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Sebagaimana diketahui

bahwa Undang-Undang ini telah mengatur dengan rigid apa saja

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

19

Urusan Pemerintahan konkuren yang dilaksanakan bersama antara

Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota. Penyebutan 5 (lima) urusan strategis nasional

(agama, hukum, luarnegri, pertahanan keamanan dan keuangan)

sebagai urusan “absolut” justru menjadi dasar bagi

“kecurigaan” penulis bahwa kemudian istilah strategis

digunakan sebagai argumen bagi penguasaan sumberdaya yang

selama ini telah diserahkan kepada daerah untuk pembiayaan

pelaksanaan urusan otonomi.

Ketentuan lain yang cukup membingungkan dalam pengaturan

pemerintahan daerah dalam Undang-Undang ini adalah bahwa untuk

melaksanakan pemerintahan daerah, Pemerintah Pusat menetapkan

kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan Urusan

Pemerintahan. Dalam penjelasan pasal tentang hal ini,

kebijakan disebutkan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah

pedoman penyelenggaraan urusan konkuren baik yang untuk

kewenangan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Meski demikian,

tidak jelas apa yang dimaksud sebagai pedoman tersebut karena

tidak disebutkan lebih lanjut, apakah berupa Peraturan

Pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan Menteri, atau yang

lainnya. Dalam Undang-Undang sebelumnya hal ini disebutkan

dengan jelas. Ketidakjelasan justru dapat menimbulkan

spekulasi yang merugikan untuk kepastian pengaturan hubungan

kewenangan dan keuangan antara Pusat dan daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

20

“Skenario” lebih lanjut bagi hilangnya semangat otonomi daerah

dalam Undang-Undang ini adalah ketentuan dalam Pembagian

urusan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Dalam

Undang-Undang disebutkan terdapat tiga jenis urusan, yaitu

absolut, konkuren dan pemerintahan umum. Dalam ketentuan

tentang apa yang menjadi urusan Pemerintahan Pusat, provinsi

dan kabupaten, maka jelas daerah akan kehilangan kontrol sama

sekali atas sumberdaya yang berada dalam posisi “lintas

daerah”. Semua sumberdaya atau masalah yang bersifat “lintas

daerah” menjadi kewenangan sepenuhnya tingkat pemerintahan di

atasnya. Sepintas pengaturan seperti ini terlihat ideal.

Tetapi pada periode sebelumnya dan saat ini, daerah justru

sering diminta pertanggung-jawaban dan dinilai tidak

bertanggung-jawab terhadap masalah yang sebenarnya bukan

kewenangannya, tetapi terjadi di daerahnya. Hal ini merupakan

konsekuensi dari kondisi yang menunjukkan bahwa tidak ada

urusan yang sama sekali tidak menyangkut kabupaten/kota atau

provinsi karena daerahlah yang menjadi lokasi dari setiap

urusan dan masalah. Menghilangkan sama sekali daerah di

tingkat bawah dalam urusan yang bersifat lintas daerah justru

akan menghiangkan semangat kebersamaan dalam penyelesaian

urusan yang membutuhkan koordinasi vertikal.

Hal yang paling kontroversial dalam pengaturan Undang-Undang

ini yang menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan sentralisme

adalah pengaturan urusan bidang kehutanan, kelautan dan energi

dan sumberdaya mineral. Ketiga urusan ini dibagi menjadi

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

21

urusan Pusat dan Provinsi (Pasal 14 UU 23/2014). Pengaturan

seperti ini bertentangan dengan prinsip pengaturan urusan

sebelumnya yang menyatakan bahwa sumberdaya dan masalah yang

diurus Pusat dan Provinsi adalah urusan yang bersifat lintas

provinsi atau lintas kabupaten. Prinsip urusan pemerintahan

itu dianulir sendiri oleh pembuat Undang-Undang dalam

ketentuan Pasal 14. Bagaimana dengan sumberdaya kelautan,

perikanan dan energi dan sumberdaya mineral yang hanya ada

dalam satu kabupaten? Bagaimana dengan hak masyarakat

kabupaten/kota bersangkutan?

“Penyeragaman urusan” pemerintahan daerah eperti formula yang

digariskan dalam Undang-Undang ini juga tidak sesuai dengan

kemampuan daerah yang secara nyata berbeda satu dengan

lainnya. Riset penulis menunjukkan bahwa kemampuan daerah

untuk melaksanakan fungsi lintas sektor dalam satu wilayah

provinsi sangat berbeda satu sama lain5. Untuk itu dibutuhkan

formula pengaturan urusan yang lebih mengakomodir perbedaan

kemampuan antar daerah, bukan formula yang seragam.

Penutup

Osborne dan Gaebler6 menyatakan bahwa pemerintah harus mampu

melaksanakan 10 prinsip entrepreneurial spirit. Sementara itu World

5 Ari Darmastuti. 2014. Local Autonomy and Inter-Sector Performance Based Government in Lampung Province. Journal of Government and Politics. Volume 5 Number 2 August 2014 6 David Osborne dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley Publishing Co

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

22

Bank7 dalam Laporan Pembangunan tahun 1997 menyatakan bahwa

pemerintah memiliki fungsi-fungsi: (1) meletakkan dasar-dasar

hukum; (2) melakukan investasi di bidang pelayanan sosial dan

infrastruktur; (3) mengadakan kebijakan yang kukuh; (4)

melindungi yang lemah; (5) melindungi lingkungan hidup.

Sedangkan J.E. Anderson8, 1989, menyatakan bahwa fungsi

pemerintah ada 7 (tujuh) yaitu: ( 1) menyediakan infrastruktur

sosial; (2) menyediakan barang dan jasa kolektif; (3)

menyelesaikan konflik antar anggota masyarakat; (4) menjaga

iklim persaingan; (5) melindungi lingkungan hidup; (6)

menyediakan akses minimum kepada individu terhadap barang dan

jasa; (7) menstabilkan ekonomi.

Bagaimana pemerintah akan dapat melaksanakan semua fungsi dan

kewajibannya? Jawabannya jelas, bahwa pemerintah harus

memiliki sumberdaya yang memadai untuk itu. Ketika suatu

daerah, dalam Undang-Undang lebih tepatnya kabupaten/kota,

kehilangan kewenangan atas sumberdaya, maka jelas bahwa daerah

tidak akan dapat melaksanakan semua fungsi dan kewajibannya.

Sungguh ironis bahwa pembuat Undang-Undang menghilangkan

semangat otonomi daerah dan keadilan pembangunan, suatu

langkah mundur dari semangat reformasi.

7 World Bank. Laporan Pembangunan 1997.8 Budi Setiyono. 2005. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi.Semarang: Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Fakultas IlmuSosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

23

Daftar Pustaka

Anderson. J. E. 1989.

Darmastuti, Ari. 2014. Local Autonomy and Inter-sector

Performance Based Governance in Lampung Province. Journal of

Government and Politics. Volume 5 Number 2, August 2014.

Nordhold, Henk Schulte, dan Geryy van Klynken. 2007.

Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post Suharto Indonesia. Leiden:

KTILV Press.

Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government.

Addison-Wesley Publishing Co

Setiyono, Budi. 2005. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi.

Semarang: Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Worldbank. Laporan Pembangunan 1997.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

24

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF UU No. 23 TAHUN 2014

Oleh : Syarief Makhya

UU No.23 Tahun 20149) tentang Pemerintahan Daerah secara resmi

diberlakukan sejak Bulan Oktober 2014, menggantikan UU 32

tahun 2004. Sejak disyahkan UU No.23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah nyaris UU ini tidak banyak dikritisi atau

dibicarakan oleh para praktisi dan akademisi pemerintahan

tentang hal-hal yang baru dalam praktek berpemerintahan,

seakan-akan tidak ada yang baru atau bahkan nyaris tidak ada

isu yang layak untuk diperbicangkan.

Jika ditilik dari latar belakang munculnya UU Pemda yang baru

ini, maka sebenaranya lahirnya UU tersebut bukan produk dari

problem penyelenggaraan pemerintahan yang mendasar, karena

tidak ada isu subtanstif di era UU No.32/ 2004 yang mencuat

untuk diperbincangkan, tetapi lebih disebabkan alasan

ketidaksesuaian UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan perkembangan

keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

UU No.5/1974 bisa bertahan selama 25 tahun, UU No.22/1999

efektifnya hanya berjalan 3 tahun, dan UU 32/2004 hanya9 ) UU No.23 Tahun 2014, ada perubahan yaitu dengan dikeluarkannya UU No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU. Dalam UU No.2 tahun 2015 hanya Pasal 101 dan pasal 154 yang dirubah terkait dengan Tugas dan Wewenang DPRD.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

25

berlangsung selama 10 tahun untuk kemudian diganti dengan UU

23/2014. Perubahan tersebut cenderung akibat dari dinamika

perubahan politik yang terjadi di pemerintah Pusat. Jadi,

secara hipotesis UU No.23/2014 juga bukan produk perubahan UU

pemda yang final, potensi untuk berubah juga terbuka lebar

tergantung pada dinamika dan tarik menarik kepentingan politik

di pemerintah pusat. Artinya, Indonesia sesunggunya belum

memiliki model ideal dalam mengatur proses penyelenggaraan

pemerintahan di Daerah untuk kepentingan jangka panjang.

Visi pemerintahan yang ingin dibangun dalam UU No.23 tahun

2014, yaitu dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat, melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan

peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah.

Sementara, prinsip yang dibangun dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah yaitu demokrasi, pemerataan, keadilan dan

kekhasan daerah dalam sistem NKRI (lihat konsideran UU

No.23/2014).

Namun, pertanyaan yang layak untuk diajukan, apakah visi

tersebut bisa diwujudkan? Sebagian jawaban atas pertanyaan ini

secara normatif akan bisa dilihat dari subtansi UU No.23/2014,

apakah bisa menjawab dan memberikan solusi terhadap problem

implementasi otonomi daerah sekarang ini, atau justru

menimbulkan persoalan baru?

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

26

Telaah UU No. 23 Tahun 2014

Secara umum UU No. 23 Tahun2014 yang terdiri atas 411 pasal,

jika dibandingan dengan tiga UU sebelumnya (UU No.5 Tahun

1974, UU No.22 tahun 1999 dan UU No.32 tahun 2004), UU ini

jauh lebih komprehensif, rinci dan ada terobosan baru dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam tulisan ini

sebagian dari potret penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan

ditelaah dari (a) Relasi Kekuasaan Kepala Daerah dengan DPRD,

(b) Distribusi Kewenangan, (c) Kebijakan Perencanaan

Pembangunan, (d) inovasi daerah (e) Akses Publik, (e)

Pemerintahan umum.

(a) Relasi Kekuasaan

Jika dipertanyakan lembaga mana yang memiliki kewenangan

untuk mengontrol proses penyelenggaraan pemerintahan

daerah? Jawabannya secara konstitutional adalah DPRD.

Namun, bagaimana meletakan fungsi pengawasan ini dalam

konstruksi penyelenggaraan pemerintahan. Dalam UU No. 23

Tahun 2014 tidak ada perubahan yang berarti atau hampir

sama dengan kontruksi yang diatur dalam UU No.32 Tahun

2004 yaitu Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terdiri atas

kepala daerah dan DPRD dibantu perangkat daerah. Implikasi

dari kontruski penyelenggaraan seperti tersebut yaitu

fenomena kekuasaan menjadi terintegratif. DPRD diletakan

sebagai mitranya pemerintah daerah, sehingga model yang

dikembangkan adalah hubungan kerjasama, mengurangi konflik

dan mengedepankan legitimasi formal. Akibatnya, fungsi

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

27

kontrol DPRD terhadap jalannya pemerintah tereduksi dan

tidak efektif.

(b) Distribusi Kewenangan

Dalam UU no 23 tahun 2014, urusan pemerintahan dibagi atas

urusan absolut yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat,

urusan pemerintahan umum, dan Urusan pemerintahan konkuren

yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah

Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Urusan

pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang

sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan

pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi

antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah

kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai

kepala pemerintahan.

Untuk urusan konkuren atau urusan pemerintahan yang dibagi

antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah

kabupaten/kota dibagi menjadi urusan pemerintahan wajib dan

urusan pemerintahan pilihan. Urusan Pemerintahan

Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan

oleh semua Daerah. Sedangkan Urusan Pemerintahan

Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib

diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang

dimiliki Daerah. Urusan pemerintah wajib yang diselenggaraan

oleh pemerintah daerah terbagi menjadi Urusan Pemerintahan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

28

yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan

Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

Esensi dari penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur

berdasarkan distribusi kewenangan tersebut adalah untuk

merealisasikan fungsi – fungsi pemerintahan di bidang

pelayanan publik, pembangunan dan pemberdayaan, dan

keamanan,. Pelaksanaan fungsi itu membutuhkan kejelasan

kewenangan yang memadai dan dukungan anggaran yang maksimal.

Oleh karena itu, pada tataran implementasinya distribusi

kewenangan membawa konsekuensi tidak hanya menyangkut sumber

pendanaannya tetapi juga terkait dengan sumber pemasukan

bagi pendapatan daerah. Penyerahan kewenangan yang tidak

menghasilkan sumber PAD, maka harus dibebankan pada

pemerintah daerah yang menjadi tanggunjawabnya melalui

pendanaan APBD, sebaliknya kewenangan yang mempunyai dampak

terhadap sumber pendapatan PAD akan memberi kontribusi bagi

peningkatan APBD.

Hasil penelitian yang dilakukan DPD RI (2011:36) urusan yang

berpotensi meningkatkan kesejahteraan rakyat yaitu sektor

pertambangan, perikanan, pertanian, perkebuhan, kehutanan

dan parawisata. Dalam UU No.23 Tahun 2014, beberapa urusan

tersebut yang selama ini dikelola oleh Kabupaten/Kota

seperti pertambangan, pendidikan menengah, dan kehutanan

sekarang menjadi urusan Pemerintah Provinsi. Pengambilalihan

kewenangan tersebut akan memberi dampak yang tidak

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

29

menguntungkan bagi pemerintah kabupaten/kota seperti

berkurangannya PAD.

Keberadaan pemerintah Provinsi, seharusnya lebih diarahkan

pada peran, koordinasi, fasilitatif, insentif dan

pemberdayaan bukan melakukan peran secara langsung khususnya

dalam pemberian pelayanan publik dan pembangunan, kecuali

yang sifatnya lintas Kabupaten/Kota; karena pelayanan

publik sebagian besar berada di kabupaten/kota, maka

kabupaten/kota dibutuhkan kewenangan strategis dan sumber

anggaraan yang memadai.

Distribusi kewenangan harus dipertimbangkan aspek kelayakan

implementasinya dan dampaknya serta memberi jaminan untuk

bisa berfungsinya penyelenggaraan pemerintahan secara

optimal; Isu pokoknya yang harus dikedepankan adalah

persoalan distribusi alokasi sumber daya. Persoalan ini lah

yang sebenarnya menjadi sumber konflik kepentingan.

Sebagai pendukung alasan tersebut yaitu anggaran sekarang

ini hampir 70 % ada di Pusat, dan 30 % di Daerah.10

Distribusi anggaran pusat ke daerah dilakukan melalaui DAU,

DBH dan DAK. Secara teknis pembagian distribusi itu tidak

dilakukan dalam sistem manajemen yang transparan dan adil,

akses untuk memperoleh dana tersebut, harus dilakukan

10 ) Data ini bersumber dari Surat Bupati Aceh Tengah Kepada Presiden tentang Masukan UU No.23 tahun 2014, Tanggal 7 Januari 2015

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

30

melalui loby atau memiliki akses dengan pejabat di

pemerintah pusat.

Dari aspek manajemen pemerintahan, penyelenggaraan

pemerintahan bukan hanya sebatas pada tercapainya efisiensi

atau efektivitas pemerintahan, tetapi juga harus

mengedepankan aspek pemerataan pembangunan. Oleh karena itu

penumpukan anggaran di Pusat dan distribusi anggarannya

harus dievaluasi dan diarahkan pada pencapaian pemerataan

pembangunan.

(c) Kebijakan Perencanaan Pembangunan,

Dalam UU No. 23 Tahun 2014, kebijakan ini diatur dalam

Pembangunan Daerah (Bab X). Kebijakan perencanaan

pembangunan yang diatur dalam Bab X UU 23/2014 tersebut,

merupakan bentuk penyempurnaan dari kebijakan yang diatur

dalam UU 32/2004. Dalam bab ini, perencanaan disusun secara

sistematis, dalam RPJPD, RPJMD, RKPD. Dalam dokumen

perencanaan tersebut khususnya RPJMD harus merupakan

penjabaran visi, misi, dan program kepala daerah. Ini

menunjukkan bahwa isu kepentingan publik dipersepsikan oleh

kepentingan politik yang bersifat personal. Pengalaman

sejauh ini, pengaruh kepentingan kepala daerah sangat

dominan dalam mengimplementasikan kebijakan perencanaan

pembangunan dan seringkali kesinambungannya tidak terjaga

serta juga bertolak belakang dengan kepentungan publik yang

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

31

dipersepsikan oleh masyarakat luas (kepentingan publik yang

pluralistik).

(d) UU 23 Tahun 2014, memberi naunsa baru yaitu yaitu

adanya pasal khusus yang mengatur tentang inovasi daerah

(Bab XXI, Pasal 386 sd 390). Dengan adanya ketentuan ini,

maka setiap daerah bisa melakukan terobosan kebijakan sesuai

dengan inovasi yang dikembangkan di daerahnya; daerah bisa

melakukan inisiatif untuk membuat kebijakan yang inovatif,

tanpa harus menunggu persetujuan atau restu dari pemerintah

pusat. Ketentuan ini adalah wujud dari kebijakan

desentralisasi a simetris. Dengan adanya ketentuan pasal

ini, maka tidak ada alasan bagai pejabat di daerah untuk

melakukan inisiatif untuk menjalankan sebuah perubahan di

daerahnya serta tidak perlu khawatir terjerat dalam masalah

hukum.

(e) Akses Publik

Hampir sama dengan UU 32/2004, UU Pemerintahan Daerah yang

baru pun membuka akses publik dalam proses penyelenggaraan

pemerintahan. Regulasi akses publik dalam UU 23 Tahun 2014,

diatur dalam Bab XIV tentang partisipasi masyarakat dan Bab

XXI tentang Informasi Pemerintahan Daerah. Adanya

Partisipasi publik dan Informasi Publik menegaskan bahwa

pemerintah harus memberi ruang bagi publik dalam proses

pembuatan kebijakan, mengontrol dan mengevaluasi kebijakan,

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

32

serta pemerintah dituntut untuk terbuka, sehingga informasi

harus bisa diakses oleh publik.

Namun, ketentuan peranserta publik dan keterbukaan informasi

publik cenderung hanya kebijakan simbolik yang tidak

memiliki kekuatan memaksa, sehingga praktis tidak

terimplementasikan secara optimal, karena masih kuatnya

dominasi peran pemerintah.

e. Pemerintahan Umum

UU ini juga sebagian mengembalikan warisan UU No.5/1974

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, seperti

pembentukan Forkominda, memperkuat peran gubernur dalam

kapasitas sebagai kepala wilayah (pasal 91-94), dan

memfungsionalisasikan kembali urusan pemerintahan umum oleh

Kecamatan (pasal 225)

Penguatan Gubernur sebagai Pusat harus diterjemahkan sebagai

bentuk intervensi positif yaitu memberi jaminan untuk

kepentingan (a) terlaksananya urusan pemerintahan umum (b)

memfasilitasi dan mendistribusi sumberdaya secara adil bagi

kepetingan kabupaten/kota; (c) berperan aktif dan terlibat

dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi kabupaten/kota.

Simpulan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

33

Efektif tidaknya penyelenggaraan pemerintahan prinsipnya

ditentukan oleh sistem dan kapasitas kepemimpinan kepala

daerah. UU 23/2014, adalah sebuah sistem untuk mengatur

penyelenggaraan pemerintahan. Dalam prakteknya implementasi UU

Pemda sebagaimana terjadi selama ini, ada problem implementasi

yaitu ada subtansi regulasi yang hanya sebatas` simbolik dan

tidak bisa terimplementasikan karena faktor lemahnya kekuatan

pemaksa dan terjadi perebutan kepentingan dikalangan elit

politik dan pemerintahan yang tidak bisa dikontrol serta

terbatasnya sumber anggaran.

UU No. 23 Tahun 2014, yang ingin membangun pemerintahan yang

demokratis, secara hipotesis sulit untuk diwujudkan karena

pengelolaan kekuasaan tidak diatur secara tepat yaitu

bagaimana agar penyelenggaraan pemerintahan itu bisa dikontrol

secara efektif. Sementara isu pokok yang terkait dengan

distribusi alokasi sumber daya, sebagai isu pokok untuk

penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan di daerah,

masih belum diatur untuk menjamin pemerataan dan keadilan

pembangunan di daerah-daerah terutama yang berada di luar

Jawa.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

34

DAFTAR PUSTAKA

DPD.RI. 2011. Desain Pola Hubungan Kewenangan Kabupaten/Kota dengan

Provinsi, Sekertariat Jendral DPD RI. Jakarta

Undang-Undang PEMDA, Sinar Grafika, Jakarta. 2015

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

35

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014: PEMERINTAHANDAERAH YANG EFEKTIF-EFISIEN DAN RESENTRALISASI

Oleh: Hertanto

PENDAHULUAN

Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,

yang telah dirubah oleh UU No. 9 tahun 2015 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah, merupakan UU yang ketiga pada

pemerintahan periode reformasi. Sebelumnya ada UU No. 22 tahun

1999 dan UU No. 32 tahun 2004.

Selama kurun 1999-2014 itu, praktik desentralisasi dan otonomi

daerah di era Reformasi sudah berjalan selama satu dasawarsa

lebih. Setelah tiga dekade sebelumnya terbiasa diatur dan

diperintah dari pusat (Jakarta), kini, daerah memiliki

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

36

kewenangan jauh lebih besar. Banyak hal sudah terjadi.

Beberapa kepala daerah bekerja secara kreatif dan banyak

melakukan inovasi kebijakan. Mereka mampu menerbitkan

kemakmuran di daerah masing-masing. Namun, cukup banyak juga

kepala daerah yang kurang atau bahkan tidak berhasil

menyejahterakan rakyatnya. Mereka justru terperangkap dalam

pusaran kekuasaan. Pusat-pusat kekuasaan yang telah menyebar

memang menghadirkan sejumlah komplikasi. Di antaranya,

hubungan birokrasi dan pembagian wewenang pemerintah pusat dan

pemerintah daerah serta kompetensi sumber daya manusia yang

tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain. Kekuasaan

yang berhimpun di tangan elite yang dipilih secara langsung

juga memunculkan masalah tersendiri. Dinamika politik lokal

itu bagaikan pisau bermata dua: menguntungkan bila elite

politik berpihak sepenuhnya pada kepentingan publik dan

mencederai rakyat kalau mereka membangun "kartel" dengan lebih

mengutamakan kepentingan kelompok (Prisma, Juli 2010: 74).

Sehingga, tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk

meningkatkan layanan publik dan kesejahteraan rakyat,

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

37

merupakan dua persoalan yang hingga sekarang masih terlihat

sangat mahal kendati daerah sudah diberi kewenangan cukup

besar.

UU Nomor 23 tahun 2014 dilahirkan dari latar persoalan-

persoalan di atas. Untuk itu, menurut mantan Mendagri Gamawan

Fauzi diperlukan adanya paradigma kewenangan daerah yang

efektif dan efisien (Prisma, Juli 2010: 74). Ini yang antara

lain memunculkan Pasal 14 ayat (1), dimana “penyelenggaraan

urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi

dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan

daerah provinsi”.

Ada dua dua sudut pandang yang hampir sama dari segi praktek

pemerintahan yang berjalan dan seting kebijakan desentralisasi

dan otonomi yang diterapkan. Dua-duanya, beranggapan karena

berbagai pertimbangan, maka kebijakan sentralisasi kerap

menjadi pilihan utama dalam mengatasi masalah hubungan pusat

dan daerah di Indonesia.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

38

Pemerintahan yang Efektif dan Efisien

Menurut Gamawan Fauzi (2010: 75), desentralisasi dalam negara

kesatuan diberikan oleh pusat kepada daerah. Bila empunya

wewenang minta pertanggungjawaban, maka daerah yang diberi

mandat seharusnya bertanggung jawab. Tetapi terkadang seorang

bupati diundang oleh gubernur (sebagai wakil pemerintah pusat)

tidak mau datang. Bupati merasa itu sebagai haknya. Padahal,

dia hanya menerima kewenangan yang telah diberikan.

Dengan demikian, menurut Gamawan, ke depan pola seperti ini

akan dirubah. Jadi, penyerahan kewenangan tidak lagi

berprinsip "luas, nyata, dan bertanggung jawab", tetapi

efektif dan efisien. Kewenangan seperti apa yang akan lebih

efektif dan efisien bila diurus oleh pemerintah pusat atau

provinsi atau kabupaten-kota. Jadi, kriterianya tidak lagi

"luas, nyata, dan bertanggung jawab", tetapi efektif dan

efisien. Hal strategis apa yang harus tetap dipegang pusat dan

tidak diserahkan ke daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

39

Pandangan ini mewakili argumentasi pemerintah pusat yang

mendesain berlakunya undang-undang tentang pemerintahan daerah

saat ini.

Resentralisasi

Menurut beberapa pakar yang mewakili kalangan masyarakat, akar

persoalan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia

adalah, pertama, relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah di Indonesia lebih cenderung mengarah ke

kutub sentralisasi daripada desentralisasi (Hidayat 2010: 17).

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada tingkat minimal mencoba

menggeser pendulum sentralisasi ke kutub desentralisasi, namun

UU No. 32/2004 justru cenderung mengembalikannya ke posisi

semula (sentralisasi). Salah satu penyebab gerak balik

pendulum desentralisasi tersebut adalah karena konsep

desentralisasi yang diterapkan sejak awal kemerdekaan relatif

tidak mengakomodasi perspektif desentralisasi politik

(kewenangan) tetapi lebih berkiblat pada perspektif desen-

tralisasi administrasi (urusan). Pada tingkat "pernyataan",

sering dikemukakan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

40

bertujuan untuk mempercepat proses demokratisasi di tingkat

lokal, namun pada tingkat "kenyataan" wewenang yang diserahkan

kepada daerah sangat dibatasi, dan kontrol pemerintah pusat

terhadap pemerintah daerah juga sangat ketat.

Kedua, realitas implementasi desentralisasi dan otonomi daerah

juga menggambarkan fokus perhatian agenda reformasi yang

berlangsung selama sepuluh tahun pertama (1999-2009) lebih

banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun

institusi negara (state institutional reform). Sementara upaya untuk

membangun dan memperkuat kapasitas negara relatif belum

mendapat perhatian yang memadai. Akibatnya, "kehadiran" negara

dalam praktik kehidupan sehari-hari menjadi samar-samar atau

bahkan "absen". Reformasi desentralisasi dan otonomi daerah

yang berlangsung sepuluh tahun terakhir juga sebagai bagian

dari state institutional reform minus state capacity. Karena itu, kehadiran

desentralisasi dan otonomi daerah terlihat "sangat nyata"

dalam bentuk institusi, tetapi "tidak kentara" dalam fungsi.

Desentralisasi dan otonomi daerah juga "sangat nyata" hadir

dengan kemasan demokrasi, namun "roh" yang terkandung di

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

41

dalamnya masih sangat bernuansa sentralisasi (Hidayat 2010:

18).

Ketiga, ada tiga problematik sehubungan dengan berlakunya UU

No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999,

yakni problem konstitusi, problem komitmen pemangku

kepentingan, dan problem inkonsistensi kebijakan (Haris 2014:

198). Problem konstitusi terkait dengan amanat Pasal 18

(baru), Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 yang menjadi dasar

penerbitan UU No. 32/2004 yang membuka peluang penafsiran yang

lebar bagi penyusun UU (DPR dan pemerintah) tentang ruang

lingkup agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Sehingga

prinsip desentralisasi, esensi otonomi daerah dan pemerintahan

daerah, struktur pemerintahan daerah (Pemda dan DPRD),

hubungan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, dan

hubungan antarpemerintahan daerah (propinsi-kabupaten/kota dan

sebaliknya) cenderung "mundur kembali" dibandingkan UU No.

22/1999.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

42

Adapun, problem komitmen pemangku kepentingan terkait dengan

sikap pemerintah pusat, DPR, dan parpol, yang tidak punya

komitmen terhadap agenda desentralisasi dan otonomi daerah.

Sedangkan problem inkonsistensi kebijakan terkait dengan

persoalan lembaga regulator, format regulasi, dan ruang

lingkup kebijakan otonomi daerah. Lembaga regulator berkaitan

dengan wacana urgensi keterlibatan DPD-sebagai wakil-wakil

Daerah—dalam penyusunan regulasi otonomi daerah. Otoritas

regulator berkenaan dengan batas-batas yang boleh dan tidak

boleh diubah dalam regulasi otonomi daerah apabila telah ada

grand design yang jelas mengenai arah agenda desentralisasi dan

otonomi daerah. Format regulasi berkaitan dengan wacana

perlunya penyatuan (kompilasi) antara UU tentang Pemerintahan

Daerah dan UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah,

serta di sisi lain pemisahan pengaturan kebijakan

otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Sementara itu, ruang lingkup regulasi berhubungan dengan

cakupan kewenangan pemerintah di satu pihak, dan kewenangan

pemerintahan daerah di pihak lain (Haris 2012: 204).

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

43

Keempat, desain otonomi lokal yang pada dasarnya bukan

merupakan isu teknis pemerintahan melainkan indikasi dari

persaingan sengit antara kepentingan-kepentingan yang bersaing

memperebutkan sumber daya material yang konkret (Hadiz 2005:

241). Jakarta jelas punya kepentingan tersendiri dalam

mempertahankan kendali atas potensi lokal - paling tidak

sebanyak mungkin - sambil berusaha menyeimbangkan hal ini

terhadap aspirasi untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas.

Di lain pihak, elite-elite lokal ingin mendapatkan kendali

langsung atas potensi yang sama untuk kepentingan mereka

sendiri, dengan secara tipikal menyebut-nyebut ketidakadilan

yang terjadi pada masa lalu yang memungkinkan Jakarta untuk

mengeksploitasi kekayaan dengan merugikan pihak lokal. Belum

lagi masalah ketidakmerataan kemakmuran di berbagai daerah di

Indonesia. Oleh karena itu persaingan utamanya adalah tentang

penguasaan sumber-sumber daya, meskipun hal ini diutarakan

atas nama harga-diri lokal, atau identitas etnik atau

kedaerahan versus persatuan nasional. Sumber daya yang

diperebutkan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Oleh

karena itu desentralisasi pada akhirnya bukan hanya masalah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

44

perhitungan teknis saja, tetapi lebih mendasar lagi yaitu

masalah persaingan kekuasaan. Suatu perjuangan konkret

memperebutkan kekuasaan dan sumber daya di antara kepentingan-

kepentingan yang berbeda di tingkat pusat, provinsi dan

kabupaten. Termasuk di dalamnya kepentingan-kepentingan

predatoris yang dipupuk di bawah Orde Baru tetap muncul dalam

persaingan ini (Hadiz 2005: 206).

PENUTUP

Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta

masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan

kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan

pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih

memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat

dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman

daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

45

kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara

(Konsideran UU No. 23 tahun 2014).

Berdasarkan pengalaman hubungan pusat dengan daerah, selalu

diwarnai trend naik-turun dan bergesernya pendulung kekuasaan

dari sentralisasi kepada desentralisasi, dan sebaliknya. Bila

terjadi masalah antara pusat dan daerah, kebijakan yang

diambil oleh pusat kerapkali melakukan resentralisasi. Karena

ada kekhawatiran daerah punya ‘kekuatan’ yang tidak bisa

dikendalikan oleh pusat atau mengarah kepada desintegrasi

NKRI. Sejarah desentralisasi di Indonesia senantiasa ditandai

oleh prasangka tersebut (Wignjosoebroto 2010: 61). Sebenarnya,

periode Reformasi merupakan pembalikan sentralisasi Orde Baru

ke arah desentralisasi yang membawa harapan besar bagi

tumbuhnya era otonomi daerah (Haris 2012; Hidayat 2010).

Oleh karena itu, apa pun perbedaan ancangan konseptual dan

asumsi paradigmatik di antara pihak-pihak yang berkompeten,

dalam persoalan desentralisasi, seharusnya sama-sama bertolak

dari sebuah kebijakan bahwa kekuasaan dalam tata pemerintahan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

46

yang terlalu terpusat tidaklah menguntungkan. Berdasarkan

pertimbangan itu, perlu diupayakan berkurangnya kekuasaan

pusat di satu sisi dan bertambahnya kewenangan daerah di sisi

lain. Semua pihak harus lebih mengedepankan kepentingan dan

peran sentral masyarakat yang memiliki kebebasan serta

menyadari hak-hak konstitusionalnya sebagai warga suatu negara

demokratis.

PUSTAKA PENDUKUNG

Fauzi, Gamawan. 2010. “Paradigma Kewenangan Daerah yangEfektif dan Efisien”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli.Hlm. 74-83.

Hadiz, Vedi R. 2005. “Desentralisasi dan Demokrasi diIndonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis”. Dalam Dinamika Kekuasaan Ekonomi PolitikIndonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES. Hlm. 272-304.

Haris, Syamsuddin. 2014. “Desentralisasi Asimetris, Problematau Solusi?”. Dalam Masalah-masalah Demokrasi & Kebangsaan EraReformasi. Jakarta: Pustaka Obor. Hlm. 191-218.

Hidayat, Syarif. 2010. “Mengurai Peristiwa-Merentas Karsa:Refleksi Satu Dasa Reformasi Desentralisasi dan OtonomiDaerah”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 3-22.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2010. “Satu Abad Desentralisasi diIndonesia”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 58-69.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

47

Dokumen

RI, Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang PemerintahanDaerah.

RI, Undang-undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Keduaatas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 TentangPemerintahan Daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

48

Menyoal Lahirnya UU No.23 Tahun 2014: KEBIJAKANDESENTRALISASI : DOMINASI NEGARA DAN IMPLIKASINYA

BAGI PEMERINTAHAN DI DAERAH

Oleh: PAHADA HIDAYAT

Dalam sejarah kebijakan desentralisasi di Indonesia dari waktu

ke waktu mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945 hingga sekarang,

posisi negara selalu “superior” dan posisi daerah/masyarakat

senantiasa diposisikan “inferior”. Relasi negara dan rakyat

ini diwujudkan dalam bentuk hegemoni struktur pemerintah pusat

terhadap pemerintah di daerah. Setiap kebijakan yang di buat

negara sepertinya tidak memperhatikan kondisi masyarakat

sampai pada tingkat yang terbawah. Akibatnya bisa ditebak,

bahwa setiap kebijakan pusat senantiasa terkendala dalam

implementasinya. Sehingga belum lagi kebijakan yang dibuat

berjalan dengan baik telah berganti lagi dengan kebijakan baru

lainnya. Ironisnya penggantinya pun juga membawa masalah,

bahkan terkadang “cacat” sebelum lahir.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

49

Paling tidak itulah yang tergambar dalam hal implementasi

kebijakan desentralisasi di Indonesia. Selama era orde baru,

UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang pemerintah daerah menjadi

sejarah panjang yang melandasi penyelenggaraan pemerintah di

daerah di era orde baru. Dengan membawa isu tuntutan

pertumbuhan ekonomi dan massifikasi konsumsi serta tingginya

angka pertumbuhan penduduk, maka penguasa menindaklanjutinya

dengan sentralistik kekuasaan. Dimana pemerintah pusat begitu

dominan dalam penyelenggara pemerintahan, dan daerah tidak

punya ruang sama sekali untuk ikut menyampaikan aspirasi

sesuai apa yang dibutuhkan masyarakat. Kebijakan pembangunan

terlalu terpusat yang justru menimbulkan dilema dalam tubuh

birokrasi, dimana konsep pembangunan negara tidak

berparalesasi dengan apa yang dibutuhkan dan diinginkan

masyarakat di bawah.

Kehadiran reformasi sebagai konsensus gerakan mahasiswa yang

berkolaborasi dengan rakyat pada tahun 1998, seolah memberi

“angin segar” bagi masyarakat karena terakomodasinya informasi

secara terbuka. Program pembangunan tidak lagi terpusat,

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

50

partisipasi rakyat tidak lagi terabaikan, otonomi menjadi

ruang publik bagi masyarakat.

Kelahiran otonomi daerah yang dimulai dengan keluarnya Undang-

undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah sangat

erat sekali kaitannya dengan perubahan kebijaksanaan

desentralisasi di Indonesia. Menurut UU ini kewenangan daerah

sangat luas mencakup kewenangan seluruh pemerintahan kecuali

kewenangan negara dalam bidang politik luar negeri, peradilan,

agama, moneter dan pertahanan keamanan. Undang-undang ini

membawa pergeseran paradigma terhadap penyelenggaraan

pemerintahan mulai dari pemerintah pusat sampai kepada

pemerintahan desa. Inilah konsekwensi dari sebuah tuntutan

kebijakan dan paradigma baru yang harus dipilih. Undang-undang

ini telah memberikan otonomi yang jauh lebih besar kepada

daerah otonom yaitu pemerintah daerah kabupaten dan kota.

Otonomi daerah dianggap sebagai opsi yang tepat untuk

meningkatkan derajat keadilan sosial serta distribusi

kewenangan secara proporsional antara pemerintah pusat,

pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten dan kota dalam

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

51

hal penentuan kebijakan publik, penguasaan aset ekonomi dan

politik serta pengaturan sumber daya lokal.

Belum sampai 5 tahun berjalan UU No.22 Tahun 1999 harus

diganti, ”yang katanya” karena UU ini membuat euphoria

masyarakat di daerah tak terkendali, seakan-akan ada kebebasan

tanpa norma yang mengancam NKRI. Hubungan pemerintah pusat

dan daerah semakin tidak jelas, bahkan pemerintah provinsi

yang merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah tidak

ada hubungan hierarkis dengan dengan pemerintah

kabupaten/kota. Desentralisasi yang terjadi terlalu dominan.

Dampak lain lahirnya otonomi daerah ini adalah dengan banyak

nya pemekaran kabupaten menjadi daerah otonomi baru. Pada satu

sisi hal ini mendatangkan keuntungan masyarakat daerah dengan

memperpendek rentang kendali pembangunan dan peningkatan

sumber daya masyarakat lokal. Namun tidak semua daerah yang

dimekarkan sukses membawa perubahan dalam masyarakatnya, hal

ini dikarenakan masih kentalnya ketergantungan terhadap

pemerintah pusat dalam hal sumber pembiayaan pembangunan.

“Kegelisahan negara” ini menimbulkan pertanyaan apakah dengan

landasan alasan tersebut di atas UU ini harus dirubah secara

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

52

keseluruhan, bukankah pasal-pasal yang tidak berkesesuaian

saja yang perlu dirubah. Desentralisasi terlalu dominan

kah ??? What’s wrong ?

Alhasil UU No.22 Tahun 1999 cuma “seumur jagung” belum sempat

“menghela nafas panjang” UU ini diganti dengan UU No. 32

Tahun 2004. Lahirnya UU ini untuk mengatasi kesenjangan

hubungan pemerintah pusat dan provinsi dengan pemerintah

daerah. Filosofinya UU ini membawa arah keseimbangan dalam

urusan pemerintahan. UU ini membawa isu urusan pemerintahan

bukan pembagian kewenangan. Urusan yang tidak menjadi urusan

provinsi dan pusat menjadi urusan pemerintah daerah. Bersamaan

dengan itu lahir pula UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan

kekuasaan pusat dan daerah. Hal yang menarik bagi pemerintah

di daerah dengan lahir nya UU ini; bahwa UU ini memberi amanah

kepada Pemda untuk melakukan kreatifitas dengan prakarsa dan

gagasan sendiri untuk melakukan tugas tugas pemerintahan dan

kemasyarakatan, yang sudah tentu muara akhirnya adalah

kesejahteraan masyarakat. Fakta yang terjadi, banyak tafsir

Pemda dalam rangka melakukan kreatifitas dan gagasan dengan

melakukan terobosan penggalian pendapatan asli daerah dengan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

53

membuat Peraturan Daerah (Perda). Sehingga banyak sekali

perda-perda yang lahir pada masa tersebut. Ironis nya

kekuasaan negara yang sedikit “arogan” dengan dalih Hight Cost

Economic mengevaluasi perda-perda tersebut dan membatalkannya

karena tuntutan/gugatan pasar/dunia usaha. Banyak perda-perda

kabupaten di seluruh Indonesia dibatalkan. Ironisnya

pembatalan perda tersebut dilakukan secara sepihak oleh negara

tanpa melibatkan daerah untuk menyampaikan keberatan. Ujug-

ujug lahir Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang

pembatalan perda-perda yang dibuat kabupaten. Yang menjadi

pertanyaannya adalah: bahwa berdasarkan UU No.12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perda berada

pada urutan ketujuh dalam hirakie Peraturan Perundang-

undangan. Apakah keputusan menteri dapat membatalkan perda

dengan dalih menimbulkan hight cost economic. Bukankah perda

adalah produk hukum tertinggi di daerah yang merupakan hasil

konsensus eksekutif dan legislatif daerah, yang bisa

dibatalkan apabila, ia bertentangan dengan peraturan yang

lebih tinggi dan melanggar kepentingan umum. Pertanyaan

berikutnya adalah apakah hight cost economic merupakan kepentingan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

54

umum, bukankah ia merupakan kepentingan pengusaha???

wallahhuallam....perlu para pakar melakukan kajian.

Secara politis, lahirnya UU No.32 Tahun 2004, menjadi sesuatu

yang ironi. Uraian diatas memperlihatkan salah satu

problematika yang dihadapi pemda dalam penyelenggaraan tugas

pemerintahan dan kemasyarakatan di era UU No.32 Tahun 2004.

Semangat otonominya “cenderung luntur” karena supremasi negara

begitu dominan. Menjadi sebuah ironi karena UU ini mengukuhkan

kontrol pemerintah pusat kepada daerah. Otonomi yang terjadi

adalah otonomi setengah hati dan pusat tidak rela untuk

melepas privelese yang selama ini dinikmati, seperti kembalinya

fungsi kontrol yang begitu dominan dan tersentral. Hal ini

merefleksikan masih kokohnya dominasi kekuasaan pusat terhadap

pembangunan di daerah yang justru mematikan kreativitas dan

inisiatif masyarakat lokal. Pada akhirnya UU No.32/2004,

melegalkan parktik wacana kekuasaan yang justru menyumbat

aspirasi dari bawah serta buntunya ruang dialog pemerintah-

masyarakat, struktur-kultur atau pemimpin-rakyat. Berbicara

tentang kekuasaan, ada baik nya melihat konsep kekuasaan

menurut Foucault. Menurutnya kekuasaan bukan milik siapapun,

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

55

kekuasan ada dimana-mana, kekuasaan merupakan startegi.

Kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan tindakan

refresif melainkan juga melalui normalisasi dan regulasi.

Belum lagi UU No.32 Tahun 2004 selesai “digugat” oleh

masyarakat di daerah, sekarang muncul UU No. 23 tahun 2014

tentang pemerintah daerah sebagai pengganti UU No.32 Tahun

2004 yang semangat otonomi daerahnya “Nol Besar” dan

“Omdo=Omong Doang”. Bahwa demi NKRI, UU ini telah mengikis

konsep otonomi daerah yang telah berjalan. Undang-undang Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menarik

kembali beberapa kewenangan yang ada pada Pemerintah

Kabupaten/Kota. Dimana khususnya kewenangan terhadap

pengelolaan sumber daya alam yaitu Urusan Kehutanan, Kelautan

dan Pertambangan menjadi kewenangan pemerintah pusat dan

pemerintah provinsi, yang sebelumnya menjadi kewenangan

Pemerintah Kabupaten/Kota.

Beberapa kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang tersisa

berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 diantaranya

adalah sebagai berikut:

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

56

1. Urusan pemerintahan bidang kelautan:

a. Pemberdayaan nelayan kecil.

b. Pengelolaan dan penyelenggaraan Tempat Pelelangan

Ikan (TPI).

c. Penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) terhadap

perikanan budidaya.

2. Urusan pemerintahan bidang kehutanan:

Pelaksanaan pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA).

Di Lampung hanya ada dua kabupaten yang mempunyai

Tahura yakni, Kota Bandar Lampung dan Pesawaran.

Kelak Provinsi akan membentuk UPTD sebagai

perpanjangan tangan Provinsi mengurus kehutanan.

Pertanyaannya mampukah nantinya petugas UPTD

melaksanakan tugasnya dengan baik, mengingat

persoalan kehutanan bukan hanya persoalan struktur,

tetapi yang lebih penting, memerlukan negosiasi

kultural dengan masyarakat lokal.

3. Urusan pemerintahan bidang ESDM:

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

57

Penerbitan izin pemanfaatan panas bumi. Hal-hal yang

kecil, “termasuk kelas teri”, seperti urusan izin

penambangan pasir dan galian C yang selama ini

kewenangan Kabupaten menjadi kewenangan Provinsi.

Sudah “ikan kakapnya” (Migas) diambil giliran “ikan

terinya” di ambil juga.

4. Urusan pemerintahan bidang Pendidikan:

Pemerintah Kabupaten/Kota hanya diberikan kewenangan

mengurusi urusan pendidikan dasar. Yang menjadi

pertanyaan mampukan Provinsi mengikuti kebijakan

yang selama ini telah digariskan oleh kabupaten/kota

dalam urusan pendidikan menengah, misalnya kebijakan

pendidikan wajib belajar 12 tahun yang sudah efektif

berjalan, pendidikan gratis, pemberian beasiswa,

pemberian seragam gratis bagi siswa baru dll.

Kebijakan tersebut selama ini sudah dijalankan di

bebarapa kabupaten, seperti: Kab. Tulang Bawang,

Kota Bandar Lampung, Kab. Way Kanan, dan kabupaten

lainnya di Provinsi Lampung. Kebijakan-kebijakan

tersebut adalah kebijakn pro rakyat yang cukup

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

58

berhasil dan langsung menyentuh hajat hidup

masyarakat lapisan bawah dan sangat membantu

kelompok masyarakat marginal. Sekali lagi

pertanyaannya adalah mampukah provinsi/pusat

nantinya melanjutkan kebijakan tersebut dengan meng-

cover seluruh kabupaten/kota ???

Sesungguhnya inilah makna otonomi daerah yakni terwujudnya

kesejahteraan dan demokratisasi. Perdebatan panjang mengenai

kewenangan dan urusan dalam penyelenggaraan pemerintahan

adalah penting, tetapi yang paling penting dan paling

essensiil adalah bagaimana negara bisa menciptakan

kesejahteraan dan kemandirian dalam masyarakat.

Jika boleh penulis mengutip pendapat Prof. Dr. Ryas Rasyid,

bahwa penarikan kewenangan dari pemerintah yang lebih rendah

ke pemerintah yang lebih tinggi dalam pemerintahan modern

adalah hal yang tidak lazim. Hal tersebut menunjukan simbol

ketidakpercayaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah

kabupaten/kota. Jika alasannya karena selama ini banyak

terjadi kepala daerah yang “kebablasan” mengelola

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

59

pemerintahannya sehingga beberapa diantaranya tersangkut

masalah hukum, hemat penulis itu bukan jalan keluar terhadap

permasalahan tersebut, kemudian dengan membuat UU 23 tahun

2014 yang menghilangkan nilai-nilai luhur otonomi di

kabupaten/kota. Jika memang pusat ingin membesarkan peran

provinsi, seharusnya provinsi mendapat pelimpahan kewenangan

dari negara, dan bukan mengambil kewenangan kabupaten/kota.

Bukankah pusat/negara mengalami “obesitas” kewenangan

termasuk sumberdaya finansial yang dikelola kementerian begitu

“gemuk”.

Sudah seharusnya negara di era reformasi ini memposisikan

daerah dalam kedudukan yang setara. Saatnya sekarang

“arogansi” negara harus dihilangkan. Meminjam pendapat Jurgen

Habermas, bahwa negara dan masyarakat berada dalam ruang

publik yang mengedepankan komunikasi dua arah / dialogis,

kesetaraan, hubungan yang bebas dominasi dan keterbukaan.

Setiap kebijakan yang diambil negara seharusnya melibatkan

peran dan aspirasi masyarakat di daerah secara luas. Ruang

Publik sebagai forum negara-masyarakat, pusat-daerah,

struktur-kultur, atas-bawah perlu dibuka seluas-luasnya,

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

60

sehingga setiap kebijakan yang diambil merupakan kebijakan

hasil konsensus bersama negara-masyarakat.

Fenomena menjadi “anak nakal” dahulu baru aspirasinya akan

direspons, bukan merupakan preseden yang baik dan bukan

pembelajaran demokratisasi yang baik bagi warga masyarakat.

Lahirnya UU desa setelah 16 tahun reformasi bergulir merupakan

suatu contoh fenomena “menjadi anak nakal”, setelah Paguyuban

Kepala Desa se-Nusantara berulang kali “sowan” ke Jakarta,

otonomi khusus Papua dan masih banyak peristiwa lain setelah

“masyarakat bertindak” baru kebijakan dikeluarkan.

Satu hal yang lebih penting dari sekedar “berebut kue

kewenangan” adalah meningkatkan mekanisme pengawasan terhadap

“siapapun pengelola negara” mulai dari atas hingga pada

tingkat paling bawah dan setiap penyelenggara

negara/pemerintah bertanggungjawab baik secara hukum maupun

secara moral terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Penyelenggara negara adalah mereka-mereka yang mendapatkan

penghasilan dari negara untuk tugas-tugas pemerintahan dan

kemasyarakatan, bukan hanya unsur Pemda yang seolah-olah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

61

bertanggung jawab sendiri. Semoga evaluasi terhadap UU ini

dapat segara dilakukan baik melalui perubahan UU secara

menyeluruh maupun melalui pembuatan Peraturan Pelaksananya.

Semoga.....

Bandar Lampung, 30 April 2015

Daftar Pustaka:1.Chalid, Pheni. 2008. Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan dan Konflik. Universitas Michigan: Kemitraan2.Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.3.Habermas, Jurgen, 2007. Teori Tindakan Komunikatif I : Rasio danRasionalisasi Masyarakat,.Yogjakarta: Kreasi Wacana.4.--------------------- ,2008. Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang KategoriMasyarakat Bourjuis. Yogjakarta: Kreasi Wacana.5.Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto,ed. 2005. Teori-teori Kebudayaan Yogjakarta: Kanisius. 6. Susetiawan, 2009. Pembangunan dan Kesejahteraan yang Terpasung: Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme. Working Paper, Yogjakarta: Pusat Studi Kawasan, UGM.7. Hendarto,Heru. 1993. Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci dalam Diskursus Kemasrakatan dan Kemanusiaan. Jakarta: Gramedia8.Kausar. AS. 2009. Sistem Birokrasi Pemerintahan di Daerah dalam Bayang-bayang Budaya Patron-Klien. Bandung: PT.Alumni.9........................2015. Makalah”Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan tonomi Daerah”. Menggala.10. Indra Perwira. 2015. Makalah “ Konstitusionalitas UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta.11. Prof.Dr. Ryas Rasyid. 2015 Makalah ttg. otonomi daerah”.Disampaikan dalam Rakernas Apkasi di Jakarta.

Undang-Undang:

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

62

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang telah direvisi sebagian menjadi UU No.2 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kritik dan Saran Untuk Perbaikan UU 23 tahun 2014

Oleh: Budi Kurniawan

UU 23 tahun 2014 lahir dari adanya keresahan akan dampak

negatif yang ditimbulkan UU no 32 tahun 2004. Ada beberapa

masalah yang disorot sebagai kelamahan UU lama yang ditulis

oleh sang arsitek, yakni DIRJEN Otda Kemendagri, Djohermansyah

Djohan di Kompas (25 April 2015) beberapa waktu yang lalu.

Pertama dan yang paling penting adalah lemahnya fungsi

gubernur dan pemerintah pusat dalam mengontrol pemerintah

kabupaten dan kota. Dalam banyak kasus, gubernur sebagai

kepanjangan pemerintah pusat di daerah gagal mencegah abuse of

power dari pemerintah kota dan kabupaten terutama dalam masalah

pertambangan, kelautan dan kehutanan. Dampak negatifnya adalah

kerusakan lingkungan yang parah akibat eksploitasi pemerintah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

63

kabupaten dan kota dalam rangka meningkatakan pendapatan

daerah. Muncul raja-raja kecil di daerah yang tanpa bisa

dikontrol gubernur dan pemerintah pusat ini, dalam banyak

kasus tidak bisa berkoordinasi dengan gubernur yang biasannya

dikarenakan perbedaan latar belakang politik. Dan di sisi

yang lain gubernur berada pada posisi menggantung tanpa bisa

berpijak. Kedua, maraknya daerah pemekaran yang kebablasan.

Ketiga, ada kewenangan yang tumpang tindih.

Selain itu dalam naskah akademiknya (2011: 13-16), Kementrian

dalam negeri merasa perlu melakukan revisi terhadap UU ini

dikarenakan adanya overhead cost akibat otonomi daerah yang

berimbas pada naiknya anggaran kepagawaian. Overhead cost ini

dianggap membebani anggaran daerah yang tidak sedikit

mengorbankan sektor vital lainnya yang lebih layak untuk

diprioritaskan seperti infrastruktur, pendidikan dan

kesehatan. Dampak –dampak negatif inilah menurut pemerintah

pusat yang menjadi latar belakang mengapa UU 32 tahun 2004

perlu direvisi. Tulisan ini akan membahas beberapa catatan

kritis penulis terhadap UU ini dan bagaimana solusi yang dapat

ditawarkan untuk menjawab permasalahan otonomi daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

64

Proses Pembuatan Kebijakan yang Tidak Demokratis

UU ini dalam proses policy making-nya pun tidak melibatkan

banyak aktor di luar negara. Penulis sendiri yang bekerja di

kampus tidak pernah diajak untuk membahas UU yang penting ini.

Daerah pun apalagi, kabupaten dan kota yang menjadi objek

kebijakan ini gelisah justru ketika UU ini telah disahkan dan

berdampak bagi mereka.

Ada asymmetric information diantara anak bangsa yang

berkepentingan akan UU ini. UU yang lebih menyorot perhatian

publik adalah UU pilkada langsung atau tidak langsung.

Televisi dan Koran yang basisnya di Jakarta dan umumnya

dimiliki tokoh politik nasional lebih mengcover UU ini

ketimbang UU pemda karena memang berkaitan dengan kepentingan

elite politik Jakarta. Sehingga perdebatan di ruang publik

lebih didominasi Jakarta ketimbang daerah di saat TV nasional

yang mendominasi rumah kita lebih bias Jakarta. Implikasinya

adalah perdebatan dan pembahasan UU ini kurang, dan akhirnya

UU ini lolos tanpa ada perdebatan yang berarti di ruang

publik.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

65

Kesalahan Paradigma

Kesalahan fatal dalam UU ini adalah masih terkungkungnya

paradigma hierarkis ketimbang network atau jaringan. Jakarta

masih beranggapan bahwa pengawasan itu harus hirarkis padahal

kenyataannya paradigma ini sudah usang dan ditinggalkan dalam

paradigma manajemen publik atau pemerintahan. Jika kita lihat

tulisan Dirjen Otda di Kompas, jelas bahwa di benak perancang

UU ini yang mengawasi pemerintahan daerah adalah kekuasaan

hirarkis diatasnya yakni Gubernur dan Pemerintah Pusat. Dalam

UU ini paradigma ini bisa dilihat dari pasal 91, UU 23/2014

tentang fungsi pengawasan Gubernur.

Padahal dalam paradigma network atau istilah lain democratic

governance, justru seharusnya pemerintahan itu harus

meninggalkan paradigma hierarkis dan beralih ke hubungan yang

harizontal. Bahkan dalam pidato guru besarnya, mensekneg, Prof

Pratikno menegaskan(2009) bahwa; “Struktur pemerintahan pun

mengalami perubahan yang cukup signifikan. Karakter struktur

kelembagaan pemerintahan yang sebelumnya bersifat hierarkis

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

66

bergeser menjadi lebih horisontal dengan aktor yang semakin

banyak”. Anehnya disaat paradigma pemerintahan saat ini di

dunia meninggalkan paradigma hierarkis dan lebih horizontal

(Owen Hughes,2011),(Guy B Peters, 2011:63), UU ini masih

mengusung paradigma yang usang ini.

Dalam struktur pemerintahan yang horizontal (atau dalam banyak

literatur diistilahkan governance ) justru pengawasan itu

seharusnya dilakukan oleh aktor di luar kelembagaan negara,

yang dalam istilah studi pemerintahan dikenal dengan istilah

networks. Ini artinya penguatan networks seperti masyarakat

sipil agar mereka lebih berdaya dalam mengawasi pemerintahan

justru yang harus lebih ditingkatkan dan difokuskan. Pakar

pemerintahan, Rhodes ( 2007: 1246) misalnya malah mengatakan

bahwa governance itu sebenarnya maknanya adalah model

pemerintahan melalui networks. Ini artinya paham bahwa

pemerintahan hanya proses hierarkis di dalam institusi negara

sebagaimana paradigma UU ini adalah sesuatu yang tidak tepat

dan tidak sejalan dengan dinamika pemerintahan saat ini yang

lebih demokratis dan melibatkan banyak aktor.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

67

Betulkah overhead Cost ?

Jika dikatakan bahwa otonomi daerah selama ini overhead cost,

maka fakta di lapangan justru otonomi daerah telah memajukan

ekonomi daerah ditengah fakta memang terjadi overhead cost.

Banyaknya jumlah uang yang beredar di daerah telah menciptakan

multiplier effect yang berdampak positif bagi daerah. Misalnya

Pembangunan perkantoran telah menciptakan tata ruang baru yang

memberi space bagi pedagang-pedagang kecil. Lapangan kerja baru

pun dibuka dan memberi dampak bagi naiknya income penduduk

lokal.

Memang harus diakui komponen terbanyak dari pengeluaran APBD

di banyak daerah adalah dalam sektor belanja pemerintah

khususnya belanja pegawai dan tentu saja pembangunan

perkantoran bagi daerah otonom baru. Namun itu biasanya

terjadi di tahap awal pembentukan daerah baru. Ini adalah

sebuah kewajaran jika beban belanja pemerintah DOB berlebih,

namun seiring waktu akan dikurangi. Solusinya bukanlah dengan

mengurangi kewenangan namun lebih fokus kepada bagaimana

daerah di dorong untuk membuat politik anggaran yang sehat.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

68

Namun, tidak semua daerah gagal dalam kebijakan anggarannya,

dan ini sangat tergantung dari kualitas kepala daerah

ketimbang sistem otonomi daerahnya. Data dari Indonesia Governance

Index 2014 misalnya mencatat ada daerah yang berhasil secara

efektif mengurangi belanja pegawai dan lebih berpihak kepada

sektor yang lainnya yang lebih penting seperti Kabupaten Siak

Riau. Siak membuktikan bahwa tidak selamanya desentalisasi

menciptakan overhead cost.

Hal ini sekali lagi ditegaskan bahwa bukan sistem

desentralisasinya yang bermasalah tetapi lebih ke kualitas

kepemimpinan daerah. Bicara tentang kualitas kepemimpinan

daerah akhirnya kembali ke masalah kepartaian. Artinya tetap

saja dapur masalah itu diproduksi oleh sistem kepartaian kita

yang belum mampu menghasilkan kepemimpinan daerah yang

berkualitas.

Solusi yang Tambal Sulam

Sayangnya solusi yang ditawarkan pemerintah pusat adalah fokus

pada pengambil-alihan wewenang ketimbang peningkatan

pengawasan. Pusat melihat masalahnya adalah pada daerah yakni

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

69

pemerintah kabupaten dan kota yang dianggap terlampau melimpah

kewenangannya. Sehingga pemikiran tambal sulam kembali

terjadi. Menurut pusat, "Jika daerah gagal dan melakukan

penyimpangan maka ambil alih wewenang dan kembalikan ke pusat

melalui perpanjangan tangan mereka di daerah yakni gubernur".

Namun, pada kenyataannya tidak semua daerah dikatakan gagal

dalam menyelaraskan antara eksploitasi alam dan kelestarian

lingkungan hidup. Masih ada daerah yang bisa dikatakan maju

dengan memanfaatkan kekayaan alamnya secara bijak sekaligus

melestarikan lingkungan hidup. Namun memang harus diakui jujur

bahwa eklorasi pertambangan dan kehutanan telah menyumbang

banyak kerusakan lingkungan dan menyumbang banyak kepala

daerah masuk penjara karena kasus suap.

UU otonomi daerah sebagai tuntutan dari reformasi politik 1998

telah sukses mengantarkan pembangunan di berbagai daerah. Jika

selama ini kekayaan alam daerah dikeruk dan dibawa Jakarta

sehingga ouputnya lebih banyak dirasakan Jakarta, dengan

otonomi daerah telah banyak daerah maju dan berkembang pesat

ekonominya sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonominya.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

70

Dengan lahirnya UU ini ditakutkan potensi daerah malah

dimatikan, kabupaten dan kota bisa kehilangan modal penting

bagi pembangunan mereka.

Jika ada kekurangan seharusnya pemerintah tidak mencabut

kewenangan tetapi meningkatkan pengawasan. Salah satunya

dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.

Adagium power tends to corrupt akan berlaku dimana saja ada

kewenangan itu berada. Oleh karena itulah perlu fokus ke

pengawasan dengan melibatkan masyarakat atau aktor-aktor di

luar negara. Dahulu ketika orde baru dengan sentralismenya,

penyimpangan terjadi di pusat. Dampak ketimpangan pusat dan

daearah, Jawa dan luar Jawa masih kita rasakan hingga saat

ini. Seiring dengan tuntutan demokrasi, otonomi daerahpun

diberlakukan dengan UU 22 tahun 1999 dan 32 tahun 2004. Titik

tekan otonomi daerah berada di pemerintah kabupaten dan kota.

Bisa kita katakan penyimpangan kekuasaan meluas hingga ke

daerah. Namun dengan mengambilalih kewenangan kota dan

kabupaten melalui UU yang baru ini, bisa saja terjadi

kemungkinan penyimpangan terhadap kekuasaan akan terjangkit ke

Provinsi. Sehingga kemudian hari tidak menutup peluang akan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

71

ada revisi kembali bahkan sentralisasi jika pola pikir tambal

sulam masih ada di benak pengambil kebijakan.

Solusi Bagi Perbaikan: Perlunya Desentalisasi Yang menjamin

terciptanya Inclusive institution

Perdebatan tentang apa sebaiknya model pemerintahan daerah

kita saat ini tidak akan selesai jika tidak ada kontrak sosial

baru diantara berbagai pemangku kepentingan terutama daerah

tentang bagaimana seharusnya sistem pemerintahan daerah ini.

Ini artinya NKRI bukanlah harga mati. Negara Kesatuan perlu

segera di bahas kembali diantara anak bangsa ini. Founding

fathers kita seperti Hatta dan Tan Malaka misalnya lebih

memilih federasi ketimbang kesatuan. Namun kerena intervensi

militer dan rezim orde baru perdebatan tentang apakah kesatuan

atau federasi menjadi taboo untuk dibahas.

Alternatif lain di luar federasi atau sentralisme kesatuan

adalah apa yang digagas teman-teman UGM dengan asymmetric

decentralization di dalam bingkai negara kesatuan. Model ini (

walau sebagian sudah diakomodir di UU 23/2014) bahkan telah

menjadi program di nawacita Presiden Jokowi. Kuatnya pengaruh

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

72

UGM terhadap Jokowi terlihat dari diadopisnya model ini dalam

nawacita. Artinya ada kemungkinan besar UU ini akan direvisi

jika merujuk ke nawacita. UU ini sendiri adalah produk

pemerintahan SBY yang didominasi intelektual IPDN sehingga

bisa dimaklumi jika model pemerintahannya dalam UU ini masih

kental dengan paradigma lama orde baru yang sentralistis.

Karena sudah kita maklumi IPDN cenderung serius dalam mencetak

pamong ketimbang pengembangan keilmuan yang tempatnya di

Universitas.

Namun yang paling penting apakah kita mengadopsi model

sentralisme orde baru, atau federasi ataupun asymmetric

decentralization adalah memastikan bahwa sistem pemerintahan

daerah kita bisa mampu melakukan perbaikan bagi institusi

politik dan ekonomi ke arah institusi yang inclusive.

Kegagalan banyak negara dalam pembangunan dan menciptakan

kesejahteraan disinyalir banyak disebabkan oleh faktor tidak

mampunya negara beralih dari sistem extractive institution ke

inclusive institution dari institusi politik dan ekonominya

seperti yang dikemukakan pengarang buku best seller “Why

Nation Fail”, Robinson dan Acemoglu, (2012:144-145). Berikut

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

73

penjelasan theory of Instituions yang diolah dari slide kuliah

umum Robinson dan Acemoglu di LSE tanggal 8 Juni 2012:

Dua pakar ekonomi-politik ini menawarkan sistem desentralisasi

karena menjamin sistem politik yang pluralistik sebagai ciri

inclusive institution. Namun dalam banyak kasus desentralisasi

di banyak negara justu menjadi pemicu lemahnya penegakan dan

keteraturan hukum dan sentralisasi justru lebih bisa

memastikan.

Oleh sebab itu perlu ada konsensus utama di bangsa ini tujuan

kita jelas kesejahteraan, namun cara nya mana yang efektif

sesuai dengan konteks Indonesia, desentarlisasi atau

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

74

sentralisasi. Yang jelas yang diutamakan adalah bagaimana

sistem pemerintahan daerah kita mampu meningkatkan partisipasi

politik masyarat secara adil tanpa diskriminasi dan tanpa

menguntungkan elite tertentu. Inilah yang disebut political

inclusive institution itu. Wallahu a’lam

Referensi

Acemoglu, D & Robinson, J.A 2012 “Why nation fail: the origin of power, prosperity and poverty”, Crown Publisher, NewYork

________________________, 2011 ‘ Why nation fail: the origin of power, prosperity and poverty, Slide in Morishma Lecture, LSE June 8, 2011, London

Djohermansyah, D 2015 “Kado Hari Otonomi” Kompas, 25 April 2015

Hughes, O 2003, ‘Public management in developing countries’ Public management And Administration, 3rd edn, Palgrave, Basingstoke, pp.218-27

Kemendagri, 2011, Naskah Akademik RUU tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta

Kemitraan, 2014 “Menata Indonesia dari Daerah” Kemitraan,Jakarta

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

75

Peters, G. B,2011, Governance as political theory, Critical Political Studies, Vol. 5 No. 1 pp. 63-72

Pratikno, 2009 “Rekonsolidasi Reformasi Indonesia: Kontribusi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif” Pidato guru besar UGM, Yogyakarta

Rhodes, R.A.W, 2007, Understanding governance: Ten years on, Organization Studies , Vol. 28, No. 8, pp. 1243-126

UU No 23 tahun 2014

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

76

NAWACITA DAN DESENTRALISASI ASIMETRIS: SEKEDAR JANJIATAU SOLUSI SERIUS MENGATASI PROBLEMATIKA OTONOMI

DAERAH DI INDONESIA

OLEH: SYAFARUDIN

Pergantian Presiden dan DPR, seperti biasa, diikuti episode

gonta-ganti Undang-undang. Celakanya dengan perubahan

kebijakan tidak serta merta problematika penataan otonomi

daerah di Indonesia mereda bahkan muncul persoalan atau

kerumitan baru. Sejatinya persoalan otonomi daerah sejak era

orde lama tidaklah mudah alias memang sangat kompleks11.

Begitu juga saat terbitnya UU Pemerintahan Daerah No. 23

Tahun 2014 di ujung Pemerintahan Presiden SBY sebagai revisi

terhadap UU 32 Tahun 2004. UU Pemerintahan Daerah yang belum

11 Tak heran rekan akademisi seperti Prof. Pratikno pernah mencatatnya dalam label “Desentralisasi, Pilihan yang TidakPernah Final”, Abdul Gaffar Karim melukiskan dalam tulisan“Bangunan Goyah di atas Fondasi bermasalah: Otonomi Daerah diIndonesia; dalam buku “Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia”, Abdul Gaffar Karim (editor), cetakan ke-2, 2006, JIP UGM dan Pustaka Pelajar Yogyakarta.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

77

genap setahun itu kemudian pada era Presiden Jokowi

diamandemen menjadi UU No.2 Tahun 2015. Revisi UU tersebut

di tahun 2015 ini hanya memuat perubahan dalam fungsi DPRD

namun tidak menyentuh subtansi lain yang signifikan.

Kedua UU ini yakni UU 23/2014 dan revisinya UU No 2/ 2015

cenderung berpotensi (bahkan ada pihak yang mengabarkan

kepada penulis sudah menimbulkan masalah baru12) jika

dibandingkan dengan UU Pemerintahan daerah yang telah berlaku

dan dijalankan sebelumnya sejak tahun 1999 dan 2004, yakni UU

No. 22/1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.

Bila lebih jauh kita rentangkan sejarah maka terlihat bahwa

persoalan klasik yang terus berulang sejak diberlakukan UU No.

5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah pada era orde baru

sampai dengan UU 2/2015 tentang Pemerintahan Daerah salah

satunya adalah menata format ideal hubungan antara pemerintah

pusat, pemerintah provinsi dan dengan pemerintah

kabupaten/kota terkait pelaksanaan pembagian/perimbangan

wewenang dan keuangan atau/bagi hasil masing-masing dalam

bingkai negara kesatuan (Unitarian). Diikuti

persoalan/pertanyaan berulang yang lain, misalnya seputar

pertanyaan apa kontribusi finansial pemerintah pusat sekarang

12 Di daerah yang kaya hasil tambang ada kabar bupati ngambek dan ngancam mundur dari jabatan Bupati karena kewenangan perizinan tambang yang semula domain/kewenangan Bupati kini harus ditarik menjadi kewenangan Gubernur selaku kepala daerah yang sekaligus Pembantu Presiden di daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

78

dalam pemekaran daerah dan kerjasama antardaerah, termasuk

yang senantiasa berulang ditanyakan daerah adalah pola

perimbangan keuangan pusat dan daerah dan atau antar daerah;

yang seperti apa yang ingin didorong pemerintahan baru

sekarang ini.

Masih ingat dalam lintasan memori kita bahwa UU 22/1999 dan

UU 32/2004 yang lahir dalam era reformasi semangatnya sama

yakni mengutamakan desentralisasi berbasis di kabupaten/kota

sebagai lokus otonomi daerah. Pilihan desentralisasi ini

dimaklumi sebagai obat penawar atau koreksi terhadap praktek

keliru era pemerintahan orde baru yang mengedepankan asas

sentralisasi, penghisapan daerah , dan uniformitas yang sudah

berlangsung cukup lama 25 tahun (1974-1999).

Celakanya, praktek otonomi daerah era reformasi yang baru

berjalan belia atau berusia 10-11 tahun ini sudah dirubah

kembali dengan 4(empat) nuansa kontroversi dan paradoksal

sebagai berikut:

(1) keinginan Resentralisasi berbasis di Provinsi

dengan berbagai alasan dan hasil evaluasi dan ini masih bisa

diperdebatkan; Bila UU 32/2004 masih memberikan

kewenangan/perizinan cukup bagi pemerintah kabupaten/kota di

sektor kelautan, kehutanan, dan pertambangan; maka pada UU

Pemerintahan Daerah 23/2014 dan UU 2/2015 terlihat dominannya

kewenangan pemerintah provinsi ketimbang Pemerintah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

79

Kabupaten/kota dalam sektor kelautan, kehutanan, dan

pertambangan.

(2) menerapkan Desentralisasi Simetris yang berujung

uniformitas dan sudah lama format tersebut (bersama format

“desentralisasi asimetris terpaksa berlaku”) dikritik para

pakar13;

(3)Presiden, Mendagri, dan Staf Kemendagri cenderung

lamban merespon dan mencari solusi terhadap persoalan otonomi

daerah yang muncul belakangan ini14;

13 Lihat A.A.GN Ari Dwipayana, Menata DesentralisasiIndonesia, Makalah, Jurusan Ilmu Politik dan PemerintahanUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011, hlm. 1-2. Arimencatat banyak kerancuan, pelaksanaan politik hukumdesentralisasi dan otonomi daerah 13 tahun terakhir terkaithubungan pusat – daerah secara komprehensif, sertadipertanyakan komitmennya untuk peningkatan kesejahteraanrakyat di daerah. Lihat juga Laporan Penelitian Prof.Pratikno, dkk, Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi,Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010. Dalamlaporan bahkan disebutkan bahwa pemerintah pusat selama initidak memiliki desain desentralisasi asimetris untukditerapkan di daerah. Kalaupun desain itu ada, lebihdisebabkan oleh tuntutan dari daerah tertentu akibatmunculnya berbagai permasalahan dan ancamandisintegrasi.hal.138.

14 Misalnya, tatkala kewenangan Gubernur/pemerintah provinsidiperbesar dalam sektor kehutanan, pertambangan, dan kelautandi daerah; kenapa hal ini masih digantung pusat atau belumdikeluarkannya PP (peraturan pemerintah) sebagai petunjuk

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

80

(4) Dalam kebingungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten membuat pola hubungan kewenangan yang harmonis.

Saya mencatat dan sekaligus menggarisbawahi bahwa Pemerintah

pusat atau pembantu Presiden beserta Parpol pendukung

pemerintahan sekarang selain lamban juga bingung dan cenderung

lupa menerjamahkan janji Nawacita (sembilan agenda prioritas)

yang memuat Desentralisasi Asimetris yang sudah dijadikan

bahan kampanye politik presiden dan partai politik pengusung

sejak tahun lalu. Padahal bila janji Nawacita--yang memuat

desentralisai asimetris, membangun tata kelola pemerintahan

yang efektif, dan revolusi mental15—yang juga sebagai bentuk

kontrak sosial dan kontrak politik itu dipahami dan

dilaksanakan dalam regulasi dan aksi yang segera maka

pelaksanaannya. Begitu juga tatkala pemerintah kabupaten inginmelakukan pemekaran daerah dengan tahapan manajemen transisi 3tahun sebagai daerah kabupaten persiapan. kenapa masihdigantung atau belum dikeluarkannya PP (peraturan pemerintah)tentang tatacara pemekaran daerah atau pembentukan daerahpersiapan sebagai petunjuk pelaksanaannya.15 Lihat poin 2 Nawacita Jokowi-JK “ Kami akan membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih efektif, demokratis dan terpercaya’. Poin 3 Nawacita “Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negarakesatuan dengan sub poin prioritas (1) desentralisasi asimetris; (2) pemerataan pembangunan antar wilayah terutama desa, kawasan timur Indonesia dan kawasan perbatasan.(3) penataan daerah otonomi baru untuk kesejahteraan rakyat; poin 8 Nawacita “Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa”.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

81

persoalan otonomi daerah yang kompleks diyakini banyak pihak

bisa cepat diurai untuk mencapai visi Indonesia hebat.

Desentraliasi Asimetris: Alasan Penerapan, Urgensi,

Implikasi Diharapkan, dan Optimisme Pakar

Dalam negara kesatuan Indonesia, sebagaimana kita ketahui

penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kombinasi

beberapa sistem dimana selain menggunakan sistem

sentralisasi, dikenal juga penerapan sistem desentralisasi,

dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan

oleh Pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan. Dekonsentrasi adalah

pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah pusat

kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu. Tugas pembantuan

adalah penugasan dari Pemerintah pusat kepada daerah

dan/atau desa, bisa juga tugas dari pemerintah provinsi

kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah

kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas

tertentu.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

82

peraturan perundang-undangan. Sedangkan Daerah otonom adalah

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah

yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Sistem Desentralisasi ini secara teoritis terbagi 2 yakni

Desentralisasi Simetris (format penyelenggaraan pemda yang

sama untuk tiap wilayah, provinsi dan atau kabupen/kota) dan

Desentralisasi Asimetris (format penyelenggaraan pemda yang

tidak sama/berbeda untuk tiap wilayah, provinsi dan atau

kabupen/kota).

Desentralisasi Asimetris (assymmetric decentralization) bukan

konsep asing di Indonesia karena sudah diterapkan dengan

alasan politik, sejarah dan budaya (political, history and cultural

driven) misalnya dalam bentuk daerah otonomi khusus (Papua,

Aceh), daerah khusus (Jakarta) dan daerah Istimewa

(Yogyakarta).

Desentralisasi Asimetris dalam Nawacita yang saya pahami

adalah konsep menarik karena tawaran penerapan otonomi

daerah yang berbeda tiap wilayah/kawasan atau

provinsi/kabupaten/kota bukan karena alasan politis sejarah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

83

atau budaya semata; tapi lebih jauh karena melihat perbedaan

kapasitas pemerintahan local (local goverment capacity driven) dan

didorong pula setelah melihat kenyataan perbedaan karakter

wilayah, potensi sumber daya alam dan manusia di Indonesia.

Bila kita cermati substansi Nawacita jelas bahwa implikasi

penerapan Desentraliasi Asimetris secara praksis selain

bertujuan (1) mewujudkan tata kelola pemerintahan yang

efektif; sekaligus (2) strategi pemerintah membangun

Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan

desa dan (3) strategi cerdas pemerataan pembangunan

antarwilayah terutama desa, kawasan timur Indonesia dan

kawasan perbatasan serta (4) sebagai bagian strategi penataan

daerah otonomi baru (DOB) untuk kesejahteraan rakyat.

Optimisme bahwa penerapan desentralisasi asimetris akan

menjadi obat baru dalam penataan daerah otonomi di Indonesia

muncul sejak lama dari kalangan peneliti dan akademisi

diantaranya:

“Inti desentralisasi asimetris adalah terbukanya ruang gerak

implementasi dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan

pemerintahan di luar ketentuan umum dan khusus. Mengapa

provinsi? Ini karena level kabupaten dan kota sudah cukup

terakomodasi dalam perundangan pemerintahan selama ini.

Dalam hal ini, desentralisasi asimetris dapat menjadi terobosan akan

kebuntuan mekanisme forma dimana pengaturan asimetris itu

diterapkan”. ( Prof. M. Mas’ud Said, Ph.D. Dewan Pakar

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

84

Mayarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia dalam artikel

“Perlu Desentralisasi Asimetris dalam .Negara

Kesatuan”. Jurnal Borneo Administrator Vol. 6 No. 2,

2010).

“Desentralisasi asimetris di Indonesia merupakan sebuah

keberlanjutan sejarah yang telah dimulai dari masa kolonial dan

ditegaskan dalam tiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia.

Dasar dari desentralisasi asimetris tersebut dapat dirujuk dalam

konstitusi sebagai kesatuan hukum tertinggi. Desentralisasi asimetris

menyangkut urusan yang fundamental terkait pola hubungan pusat

dan daerah menyangkut disain kewenangan,kelembagaan, finansial

dan kontrol yang berbeda”.

(Bayu Dardias Kurniadi, Staf pengajar di Jurusan

Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM. Ketua Tim

Kajian “Evaluasi Desentralisasi Asimetris yang Mensejahterakan:

Pengalaman Aceh dan Papua”, kerjasama Yayasan TIFA dan

JPP Fisipol UGM tahun 2012).

“Argumentasi tentang pentingnya pengembangan desentralisasi asimetris

di Indonesia didasarkan pada argumentasi sebagai berikut, 1) Desain

asimetris dirancang untuk menjawab persoalan lokal/daerah dengan

menggunakan kapasitas governability sebagai tolok ukur utama; 2)

Desain asimetris dirancang untuk menjawab tantangan globalisasi; 3)

Desain asimetris harus diletakkan di atas prinsip kebineka-an sosio-

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

85

kultural Indonesia; 4) Asimetris tidak hanya menjangkau masalah2 lokal,

juga kebutuhan nasional”

(Kotan Y. Stefanus,, Staf Pengajar Pascasarjana FH Undana, 2012)

Catatan Penutup

(1) Meski tujuan dan implikasi yang diharapkan

baik dan muncul optimisme dari berbagai pihak ,

Saya kira kita perlu juga memperhatikan tiga saran

dari pakar politik lokal dan otonomi daerah yang

lebih seni or yakni16 “bahwa Pengaturan asimetris

desentralisasi karena faktor capacity driven ini harus

memperhatikan (a) memiliki jangka waktu dalam

pelaksanaannya, bisa temporer dan bisa permanen; (b)

bentuk pengaturan asimetris formatnya bisa finansial

atau fungsional; dan (c) skope pengaturan asimetris

bervariasi, tergantung di level pemerintah yang mana

pengaturan asimetris itu diterapkan”.

(2) Pelaksanaan revolusi mental atau perubahan

dari kerja lambat menjadi cepat, minta dilayani

menjadi melayani, tertutup menjadi terbuka,

mobilisasi menjadi partisipatif nampaknya perlu

mulai dilakukan oleh pemerintah pusat sendiri

terutama jajaran kemendagri. Sudah saatnya rancangan

kebijakan tindaklanjut dari UU Pemda dikonsultasikan

ke publik, diseminarkan bersama asosiasi pemda di16 Cornelis Lay dan Josep Riwu Kaho. Modul kuliah Politik Desentralisasi. JPP FISIP UGM. 2007. Tidak dipublikasikan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

86

kampus, hal ini tentu sesuai semangat Nawacita yang

mengutamakan partisipasi publik.Semoga Nawacita dan

Desentralisasi Asimetris bukan sekedar janji tapi

solusi nyata mengatasi problematika otonomi daerah

di Indonesia.***

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

87

KEPEMIMPINAN POLITIK LOKAL (Telaah Undang-Undang No 23tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah)

Oleh : Robi Cahyadi Kurniawan

A. PENDAHULUAN

Pengesahan Undang-undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah yang

baru yakni UU No 2 Tahun 2015 menimbulkan keresahan terutama

dikalangan pemerintah daerah Kabupaten dan Kota. UU ini

merupakan revisi dari UU yang baru saja dibuat tahun 2014,

yakni UU No 23 tahun 2014. Menariknya dalam beberapa bulan

saja, UU yang disetujui oleh DPR tidak lama setelah pergantian

pemerintahan direvisi kembali seiring dengan dikembalikannya

proses pemilihan kepala daerah dari DPRD ke rakyat secara

langsung, seperti yang diamanahkan oleh Undang-Undang tentang

Pemilukada

Perubahan dalam UU yang terbaru hanya pada fungsi DPRD yang

menyesuaikan konteks pemilihan kepala daerah yang kembali

langsung oleh rakyat. Substansi yang lain pada UU sebelumnya (

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

88

UU 23 tahun 2014) tidak banyak yang berubah. Namun jika

dibandingkan dengan UU yang telah berlaku dan dijalankan

sebelumnya yakni UU No 32 tahun 2004 ada beberapa hal

subsatansial yang berubah.

UU Pemerintahan daerah yang baru lahir dari adanya keresahan

yang ditimbulkan UU sebelumnya. Salah satu masalah dalam UU

No 32 tahun 2004 adalah lemahnya fungsi gubernur dalam

mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Dalam pandangan

pemerintah lokal, Gubernur bukanlah atasan mereka, karen

Walikota dan Bupati dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga

Gubernur seolah kehilangan kekuasaan mereka terhadap Bupati

dan Walikota. Masalah-masalah pertambangan, kelautan dan

kehutanan menjadi eksplotasi utama Bupati dan Walikota untuk

meningkatkan PAD dan menguntungkan diri sendiri tanpa melihat

dampak negatif dari kebijakan yang telah ia buat.

Raja-raja kecil didaerah banyak sekali bermunculan sejak rezim

pilkada (pemilukada) dimulai. Koordinasi kepada pemerintah

pusat , dalam hal ini Gubernur sebagai kepanjangan tangan

Presiden menjadi sangat kacau. Otonomi daerah yang diharapkan

menjadi pemicu majunya daerah karena bisa mengelola kekayaan

dan potensi alamnya secara mandiri, berubah menjadi ajang

korupsi dan memperkaya diri.

Dampak negatifnya adalah banyak kekayaan alam yang tidak

dipergunakan dengan semestinya, digadaikan kepada pihak ketiga

yang memiliki modal, serta menguntungkan elit lokal dan

pejabat daerah. Dilain pihak beban anggaran pemda

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

89

kabupaten/kota bertambah dengan alasan belanja pegawai , serta

pembangunan yang tidak tepat sasaran. Sehingga pemerintah

pusat mengambil alih kewenangan pemerintah daerah seperti yang

tertuang dalam UU No 23 tahun 2014. Tulisan ini mencoba

menganalisa tentang fenomena elit lokal dalam kaitannya

dengan implementasi UU No 23 tahun 2014, khususnya pada pasal

14.

B. TEORI TENTANG ELIT DALAM POLITIK LOKAL

Teori tentang elit dikembangkan oleh tiga ilmuan Italia, yaitu

; Robert Mitchels dengan konsepnya ’hukum besi oligarkhi17’, Gaetano

Mosca dengan dikotomi ’governing elite and non governing18’, Vilfredo

Pareto dengan konsep ’the ruling class dan the ruled class’ dan ide

tentang ’elite circulation19’. Mereka meletakkan fondasi yang kuat

tentang studi elit sejak tahun 1915. Basis pemikiran mereka

bersumber pada pendapat Aristoteles tentang peran yang

dimainkan sejumlah minoritas yang memegang kekuasaan dalam

sejarah manusia (oligarkhi/aristokrasi). Pengertian elit

mengalami transformasi menjadi ’a small and powerful group’ sejak

saat itu20.

17 Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi, terjemahan. Mien Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 198418 Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 193919 Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 193520 Scoot, 1990: ix

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

90

Dua perspektif utama dalam studi tentang elit yaitu pluralis

( democratic elite theory) dan marxis (class theory21). Teori elit

menyatakan bahwa ketidakseimbangan dalam masyarakat sebagai

hal yang alamiah dan faktor yang given. Dalam sebuah masyarakat

selalu ada orang-orang yang ditempatkan dalam posisi yang

lebih baik dibandingkan kelompok masyarakat lain. Teori kelas

yang dipelopori oleh Karl Marx, membagi masyarakat menjadi dua

katagori berdasar kepemilikan alat-alat produksi; yang

memiliki dan menguasai alat produksi disebut the rulling class.

Sedangkan kelas yang lain ; mereka yang tidak memiliki alat

produksi, mereka diatur, diekploitasi dan dimiliki oleh kelas

yang lebih berkuasa.

Dalam negara-negara dunia ketiga, terdapat beberapa elit lokal

yang terbentuk. Joel S. Migdal menyebutnya sebagai Local

Strongmen22 yang merupakan refleksi kekuatan masyarakat yang

plural serta kelemahan negara (strong societies and weak states).

Setiap kelompok dalam masyarakat memiliki pemimpinnya

sendiridan pemimpin ini relatif otonom terhadap negara. Sifat

otonom ini menyebabkan keberlangsungan ’lokal strongman’

tergantung pada ’social capacity’ negara. Kemampuan negara untuk

membuat warganya mematuhi aturan permainan dalam masyarakat

yang dibuat oleh negara disebut social capacity. Termasuk

kemampuan untuk menyediakan sumber daya untuk mencapai tujuan

pokoknya serta mengatur perilaku masyarakat sehari-hari. Di

21 Etzioni-Halevy, 1993, Scott, 199122 Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001 : 85

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

91

negara-negara dunia ketiga kemampuan negara tersebut lemah,

sehingga menyebabkan menjamurnya local strongman.

Lebih lanjut Migdal mengemukakan bahwa local strongmen dapat

bertahan asalkan ia berkolaborasi dengan negara dan partai

politik pemerintah. Berdasarkan itu maka terbentuklah ’triangle of

accomodation’. Yang terjadi kemudian, triangle ini mengijinkan

sumberdaya negara untuk memperkuat local strongmen dan

organisasinya, dan keberlangsungan local strongmen tergantung juga

pada kekuatan negara untuk mengatur kontrol mereka. Mereka

belajar mengakomodasi pemimpin yang populis untuk ’menangkap’

organisasi negara pada level yang lebih rendah23.

B. TELAAH UNDANG-UNDANG NO 23 Tahun 2014 DARI PERSPEKTIF ELIT

Akar permasalahan mengapa penulis merasa perlu untuk mengkaji

undang-undang ini berdasarkan perspektif elit adalah karena

tarik menarik kewenangan kemudian menjadi latar belakang

lahirnya UU No 23 tahun 2014 ini. Otonomi darah yang digadang-

gadang merupakan bentuk terbaik dari penyelenggaraan

pemerintahan, menurut pendapat penulis sudah berubah menjadi

sebuah arena memperkaya diri bagi para pemimpin dan elit

lokal, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.

23 Ibid. Midgal, 256

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

92

Didalam undang-undang No 23 tahun 2014 pasal 14 disebutkan;

ayat 1 : Penyelenggaraan Urusan pemerintahan bidang kehutanan,

kelautan, energi dan sumber daya mineral dibagi antara

Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi. Ayat 2 dituliskan ;

Urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana disebut pada

ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya

kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. Ayat

3, dituliskan ; Urusan pemerintahan bidang energi dan

sumberdaya mineral sebagaimana yang disebut pada ayat (1) yang

berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi

kewenangan pemerintah pusat. Ayat 4, dituliskan; Urusan

pemerintahan bidang energi dan sumberdaya mineral sebagaimana

yang disebut pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan

langsung panas bumi dalam daerah kabupatan/kota menjadi

kewenangan kabupaten /kota.

Sekilas dari pemaparan pasal 14 terdapat keadilan berbagi

kewenangan yakni diayat 3, pemerintah pusat memiliki hak dalam

pengelolaan minyak dan gas bumi, dilain pihak daerah

kabupaten/kota memiliki hak mengelola taman kota dan

pemanfaatan langsung panas bumi.

Dalam perspektif elit, dalam kacamata teori Marx, yang

dijelaskan mengenai produksi, maka keputusan pasal 14 dalam UU

N0 23 tahun 2014 ini adalah murni dikarenakan tentang kelas

menurut pendapat penulis. Pemerintah pusat mempunyai kelas

yang lebih tinggi dibandingkan pemerintah daerah. Pusat

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

93

memiliki hak yang lebih pantas untuk memproduksi dan

menghasilkan publik goods bagi masyarakat dengan menguasai

sumber daya alam yang paling dicari dan paling menguntungkan.

Dalam konteks teori kapitalisme, penulis berpendapat bahwa

pemerintah pusat yang terdiri dari bagian eksekutif dan

legislatif memiliki keinginan mengambil keuntungan lebih besar

dan lebih banyak dalam hal ekploitasi minyak dan gas bumi.

Dalam banyak kasus, bahwa penguasaan minyak dan gas telah

menjadi sumber penghasilan partai politik dengan menempatkan

wakil-wakilnya dijajaran pemerintahan umtuk menjadi menteri

dan direktur pertamina (contoh kasus Rudi Rubiantara dan

Sultan Bhatogana politisi Partai Demokrat dalam korupsi SKK

Migas).

Dalam konteks lokal, dalam perspektif local strongmen-nya Midgal,

bahwa kekuatan lokal diramu dengan kelemahan negara menjadikan

banyak kekuatan-kekuatan lokal baru. Serupa dengan Bossism di

Filiphina, penulis berpendapat bahwa kekuatan lokal di

kabupaten dan kota di Indonesia dalam hal ini konteks yang

lebih sempit adalah Provinsi Lampung lahir dari kolaborasi

penguasa (Bupati dan Walikota) dengan pengusaha.

Dengan pengambilalihan kewenangan minyak bumi dan gas ke

pemerintah pusat, yang paling dirugikan adalah penguasa dan

pengusaha lokal. Asumsi penulis, dalam konteks lokal

kabupaten-kabupaten di Provinsi Lampung yang memiliki cadangan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

94

minyak bumi dan gas bumi, perusahaan-perusahaan asing telah

mengeluarkan dana yang telah di alokasikan untuk melancarkan

eksploitasi mereka di daerah. Misalnya Chevron yag menggali

cadangan gas dan minyak bumi yang ada di Kabupaten Lampung

Barat dan Kabupaten Tanggamus.

Pembagian kewenangan yang dirasa tidak adil oleh daerah ini

juga cenderung dapat menciptakan peluang neo-feadalisme dengan

budaya paternalistik dan menciptakan pola patron klien yang baru.

Kembali ke masa orde barau dimana pemerintah usat sebagai

patron (raja) dan pemerintah daerah sebagai klien (hamba)

khususnya bagi pengelolaan migas.

UU No 23 tahun 2014 yang telah direvisi sebagian kecil

pasalnya dan dimuat dalam UU No 2 tahun 2015 telah menjadi

sebuah pekerjaan rmah yang berat bagi daerah-daerah kabupaten

kota, khususnya yang memiliki kandungan minyak dan gas bumi

yang banyak. Peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang

ini memang belum ada, untuk itu diperlukan peraturan yang

sistemtik dan mengatur seadil-adilnya tentang bagi hasil

daerah yang memiliki kandungan minyak dan gas.

Fenomena Aceh dan Papua, bisa menular ke daerah-daerah lain di

Indonesia adalah hal disintegrasi bangsa dan juga kecendrungan

keinginan kuat memisahkan diri dari NKRI jika masalah

pembagian kuota ini tidak diberlakukan dengan bijak dan adil.

Jika kecendrungan ini didukung kuat oleh lokal stongmen dan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

95

bossism kuat didaerah yang ditopang oleh dana dari pengusaha ,

maka kemungkinan disintegrasi daerah bisa mungkin terjadi.

Pasal 14 Undang-Undang No 23 tahun 2014 memang hanya terdiri

dari beberapa ayat, namun besar konsekuensinya dalam konteks

hubungan antara pusat dan daerah, karena juga menyangkut

pembagian jatah kue perekonomian yang berguna untuk

pembangunan daerah.

Kepemimpinan politik lokal , dalam hal ini konteks Bupati dan

Walikota menanggapi berlakunya UU No 23 tahun 2014 , selain

perlu pembagian kue yang lebih adil juga dibutuhkan pengawasan

yang melekat sehingga pemimpin lokal tidak menjadi raja kecil

yang cenderung menyelewengkan dana pemerintah pusat. Hendaknya

diaturan peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU No 2

tahun 2015 revisi dari UU No 23 tahun 2014 juga memberikan

sanksi yang tegas dan merujuk dalam pasal 72,73 dan 74

Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang pertanggungjawaban

kepala daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Agger, 2003, Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan& Implikasinya, Kreasi

Wacana Yogyakarta

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

96

Apter, David E. 1997, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta

Josep R. Kaho & Cornelis Lay dalam Modul Kuliah Politik

Desentralisasi, bab dinamika politik lokal, pascasarjana Ilmu Politik,

2005

Malik Djamaludin, Dedy dan Inantara, 1994. Komunikasi Persuasif.

Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi,

terjemahan. Mien Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 1984

Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001

Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 1939

Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London,

1935

Mulyana, Deddy.Dr, M.A.2005 Nuansa-Nuansa Komunikasi.Bandung: PT

Remaja Rosda Karya.

Nimmo, Dan. 2001 Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT

Remaja Rosda Karya

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

97

Suwarno, P.J.1994, Habengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemeritahan

Yogyakarta, 1942-1947, sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta;

Kanisius

Undang-Undang

Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang

telah direvisi sebagian menjadi UU No 2 tahun 2015 tentang

Pemerintah Daerah

Website

Nugroho , (2009) ‘Ulasan Politik”

http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/16/kha1.htm, ulasan Dr

Nugroho, Dosen Psikologi Politik di Unnes.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

98

UU NO.23/2014 dan Menggagas Model Pilgub (Catatanuntuk RUU Pemilukada)

Oleh: Arizka Warganegara

Membaca UU NO.23 tahun 2014, undang-undang tentang Pemerintah

Daerah yang baru seolah berada pada sebuah titik (di) antara.

Undang-undang baru ini bisa lebih mem-balance-kan

kontekstualitas dan eksistensi pemerintah daerah menjadi lebih

prudent atau sebaliknya membuat pemerintah daerah kembali dalam

skema shadow sentralisasi.

Undang-undang yeng terdiri dari 411 pasal itu telihat sangat

‘gemuk’ dan super-duper. Saya bisa memperkirakan undang-undang

ini ‘kemungkinan’ dan bisa jadi menjadi undang-udang mengenai

pemerintah daerah yang tertebal seantero dunia. Semua aspek

kepemerintahan menjadi bagian yang seolah ingin dibahas

walaupun pada bagian lain, undang-undang ini juga akan

dilengkapi dengan dua UU lain, yaitu UU Pemilukada dan UU

Pemerintahan Desa.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

99

Kita tentunya ingat bahwa salah satu point penting reformasi

adalah penyelenggaran atau implementasi penuh terhadap otonomi

daerah. Kabupaten dan Kota sebagai pusat kecenderungan dan

sentral pengembangan demokrasi lokal.

Pada bagian lain, pasal mengenai pemilihan kepala daerah,

yaitu pasal 62 berbunyi: “ketentuan pemilihan kepala daerah

diatur dengan undang-undang” menurut saya masih ambigu dan

saya tidak tahu sudah sampai manakah pembahasan detail

mengenai model pemilihan untuk gubernur tersebut. Dilain sisi

ketika membaca UU No. 23 tahun 2014 terlihat jelas bahwa peran

Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah begitu

besar.

Di sela UU Pemilukada yang masih di-godok, menarik untuk

mendiskusikan wacana Pemilihan Gubernur, tentunya ada kelompok

yang pro dan kelompok yang kontra. Bagi kelompok yang menyukai

rezim Pemilukada terutama Pemilukada di level provinsi

mengatakan ini adalah bagian dari skema pengulangan “kelakuan”

rezim orde baru yang sangat sentralistis dan manipulatif, akan

tetapi dipihak yang lain mengatakan bahwa ini adalah bagian

naluriah dari proses demokrasi yang menganut logika trial and error

(coba dan salah) sekaligus bagian dari upaya penataan ulang

rezim pilkada yang cenderung menyebabkan in-efisiensi demokrasi.

Opsi Pemilihan Gubernur

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

100

Jika penghapusan Pilkada di level provinsi maka terdapat

beberapa opsi bagi Pemilihan Gubernur kedepan, beberapa opsi

tersebut akan terurai dalam tulisan berikut ini:

Opsi pertama, Gubernur akan dipilih langsung oleh Presiden

argumentasinya adalah bahwa dalam konteks negara kesatuan

Gubernur bertindak sebagai wakil dari pemerintah pusat di

daerah maka secara politik Gubernur memegang kewenangan yang

diberikan Presiden kepadanya dan mempunyai inisiatif

kewenangan bagi daerahnya sebagai bagian dari pemberian mandat

Presiden kepada Gubernur tersebut.

Opsi kedua, Gubernur akan dipilih kembali oleh DPRD secara murni

melalui mekanisme pemilihan keterwakilan. Secara detail

penjabarannya, setiap anggota DPRD mempunyai satu suara untuk

memilih Gubernur hal ini merujuk kembali seperti pada UU

NO.22 Tahun 1999, diawal reformasi, Gubernur, Bupati dan

Walikota memang dipilih oleh anggota DPRD.

Opsi ketiga ini merupakan usulan penulis yang menurut saya

sebagai bagian dari kompromi politik, pada tahap awal para

Calon Gubernur akan di- fit and proper test oleh para anggota DPRD

kemudian hasil dari fit and proper test diajukan kepada Presiden.

Atau mekanisme sebaliknya Presiden yang menentukan satu atau

lebih Calon Gubernur kemudian DPRD yang melakukan fit and proper

test dan kemudian dilanjutkan untuk memilih satu diantara

beberapa nama yang diajukan Presiden tersebut, proses seperti

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

101

ini sudah sering dilakukan oleh Presiden sebagai contoh

misalkan pemilihan Gubernur Bank Indonesia.

Beberapa Kekurangan dan Kelebihan

Memang ketika kita menilik berbagai kemungkinan opsi tersebut

masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya.

Pada opsi pertama misalkan, ketika Gubernur sebagai kepala daerah

di sebuah provinsi murni dipilih oleh Presiden maka yang akan

terjadi adalah sebuah subjektifitas politik. Sebuah “tema”

besar yang sebenarnya sangat kita hindari di era reformasi,

masih ingat misalkan di era orde baru betapa politik patronase

menjadi sangat kental terutama untuk pengisian pos Bupati,

Walikota sampai Gubernur. Dengan konsep teritorial politik

maka setiap pejabat yang menduduki pos-pos tersebut mesti

ditunjuk dan mendapat “restu” secara politik oleh Presiden,

sehingga kepemimpinan politik daerah tidak bisa berkembang

dengan baik apalagi bicara soal penataan demokrasi di level

lokal.

Walaupun dalam mekanisme seperti ini ada kebaikannya terutama

dalam menjaga ranah integrasi bangsa, dengan konsep teritorial

politik melalui mekanisme Gubernur ditunjuk oleh presiden

seperti ini maka secara politik konsep Unitary State atau Negara

Kesatuan akan terjaga dengan baik.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

102

Pada opsi kedua, Gubernur dipilih oleh anggota DPRD, dengan model

yang kedua ini kita pernah melakukannya dan pada waktu itu

diatur dalam UU NO.22 Tahun 1999. Secara umum memang model

pemilihan murni melalui mekanisme DPRD ini sangat murah dan

mudah teknisnya, panitia pemilihan hanya menyiapkan kertas

pemilihan dan kotak pemilihan kemudian pemilihan pun dapat

dilaksanakan. Kelemahan dengan model seperti ini, akan terjadi

konfigurasi politik daerah yang Legislative Heavy dimana lembaga

legislatif akan lebih mendominasi perjalanan pemerintah

daerah, logikanya secara politik Gubernur dipilih oleh anggota

DPRD.

Menurut saya, opsi yang paling ideal adalah opsi yang ketiga

yaitu kewenangan DPRD hanya sampai pada tahap melakukan fit and

proper test saja terhadap para kandidat Gubernur tersebut.

Langkah selanjutnya DPRD melakukan perangkingan berdasarkan

pembobotan kuantitatif dari calon yang memiliki skor tertinggi

sampai terendah, mekanisme selanjutnya nama-nama calon

Gubernur tersebut diserahkan kepada Presiden untuk kemudian

dipilih nah dalam konteks ini hak prerogratif presiden untuk

menentukan gubernur terpilih.

Makanisme ini menurut saya sangat kompromis dibandingkan

dengan opsi pertama atau kedua, secara politik kepentingan

elit politik lokal terakomodasi, disisi lain kepentingan

presiden sebagai pemengang mandat kekuasaan tertinggi juga

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

103

terakomodasi. Walaupun mekanisme yang ketiga ini akan sangat

sulit untuk diakomodasi.

UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah :Simalakama Bandul Kewenangan Propinsi dan

Kabupaten/Kota

Oleh : Feni Rosalia

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

104

UU Pemerintahan Daerah pada dasarnya adalah undang-undang yang

mengatur terselenggaranya roda pemerintahan daerah dengan

mengutamakan pelaksanaan azas desentralisasi. UU Pemerintahan

Daerah beberapa kali mengalami pasang surut sehingga harus

beberapa kali mengalami perubahan karena dinilai tidak sesuai

dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Walaupun perubahan

regulasi beberapa kali mewarnai perjalanan kehidupan

pemerintah daerah, namun pada prinsipnya tetap mengacu pada

visi dasar penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu diarahkan

untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta

masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan

memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistemewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Visi dasar dari kebijakan

otonomi daerah tersebut dengan demikian sejalan dengan

semangat pendalaman demokrasi (deepening democracy) dan semangat

untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif (effective governance)

demi pelayanan publik yang lebih baik.

Esensi perubahan regulasi tentang pemerintahan daerah dengan

visi yang ideal tersebut tidak menjadi masalah jika dapat

diterapkan dengan baik, dalam arti memperhatikan tata cara

pembagian kewenangan tidak hanya pusat ke daerah tetapi yang

lebih penting adalah pembagian kewenangan antara propinsi

dengan kabupaten/kota sebagai penyelenggara pemerintahan di

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

105

daerah. Jangankan berbicara aplikasi UU tersebut, menyentuh

dasar proses pembentukannya saja apalagi bagaimana aturan

pelaksanaannya masih dipertanyakan. Bandul kewenangan bergerak

tidak mengikuti aturan (yang notabene belum jelas), bandul

kewenangan ditarik sana sini tergantung pemahaman para pihak

pemeroleh kewenangan. Dapat dikatakan bahwa aparat pemerintah

daerah baik di propinsi maupun kabupaten/kota masih belum ada

kesepahaman, wajar jika masyarakat mengalami kebingungan,

bingung dengan regulasinya dan bingung melihat aparat tarik

menarik kewenangan. Miris memang !...

Tidak dipungkiri jika isu aktual pasca UU No 23 tahun 2014

terkait kelembagaan adalah terjadinya benturan dan tarik

menarik kewenangan. Bandul kewenangan diperebutkan antara

kabupaten/kota dan propinsi. Pergerakan bandul kewenangan

seperti buah simalakama, bergerak ke kabupaten/kota salah

tetapi mau mengarah ke propinsipun tidak bisa berjalan. Inti

permasalahan adalah akibat regulasi yang belum jelas di

tingkat pusat. Pemerintah belum mengeluarkan petunjuk teknis

dan pelaksana dari UU No 23 Tahun 2014. Selain itu propinsi

sebagai pihak yang diberikan kewenangan versi UU Pemerintahan

Daerah yang baru juga belum menerbitkan aturan terkait

pelaksanaan kewenangan yang dimaksud.

Penyelesaian masalah yang tidak menyelesaikan masalah !....

Mengacu pada keluarnya UU Pemerintahan Daerah yang baru, jelas

dalam beberapa bidang mengharuskan bandul kewenangan bergerak

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

106

mengarah ke propinsi tetapi ternyata kabipaten/kota sebagai si

empunya awalnya tetap menarik bandul tersebut ke arahnya,

dapat dianalisis jika keluarnya UU Pemerintahan Daerah yang

dimaksudkan untuk mengatasi masalah pemerintahan daerah tetapi

ternyata tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas. Kesalahan

pengambilan kebijakan terulang, tetapi tidak menjadi

pembelajaran. Pemerintah dengan mudahnya mengambil keputusan

dengan jalan pintas, hanya memperhatikan aspek pragmatis

tetapi tidak diikuti dengan aspek konsepsi dan teoritis.

Pemerintah juga tidak cermat menganalisa keputusan yang

dipandang dapat mengatasi permasalahan konkrit. Kesalahan

pemerintah yang paling fatal adalah manakala pemerintah tidak

mempertimbangkan kemungkinanan-kemungkinan rasional lainnya.

Yang terjadi adalah dorongan untuk segera melakukan aksi tanpa

memperhatikan aspek lainnya.

Simalakama bandul kewenangan akan terus terjadi manakala

aturan pelaksana UU 23 tahun 2014 belum keluar baik dari

pemerintah pusat maupun propinsi. Walaupun tidak dibenarkan

dalam UU Pemerintahan Daerah, namun kabupaten/kota akan terus

menjalankan kewenangannya dengan pertimbangan untuk

keberlangsungan pelayanan. Begitu pula Propinsi akan tetap

bersikukuh akan kewenangan yang dimilikinya dengan dasar

kewenangan dan legalitas pelayanan.

Beberapa kewenangan yang beralih dari kabupaten/kota kepada

propinsi adalah kewenangan pertambangan dan pendidikan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

107

Kota/Kabupaten dilarang menerbitkan izin usaha pertambangan

(IUP) mineral logam, bukan logam, dan bebatuan sebagaimana

kewenangan yang biasa dimilikinya, namun berhubung aturan

pelaksanaannya belum ada baik dari pemerintah pusat maupun

propinsi sehingga saat ini masih banyak daerah kabupaten/kota

yang memaksakan untuk mengeluarkan IUP. Kewenangan yang juga

beralih dari kabupaten/kota ke propinsi adalah urusan

pendidikan menengah, urusan kehutanan (kecuali pelaksanaan

pengelolaan tahura kabupaten/kota), dan urusan ESDM (kecuali

penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi dalam

kabupaten/kota).

Tarik menarik kewenangan pada dasarnya bersumber dari benturan

kebijakan antara UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba. UU

Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan pertambangan kepada

propinsi, di lain pihak UU Minerba memberikan kewenangan

pertambangan kepada Kabupaten/Kota. Untuk kasus ini dalam ilmu

hukum dikenal istilah lex specialis derogat legi generalis, yaitu asas

penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat

khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum

(lex generalis)(International Principle of Law, trans leg.org). Perlu kajian

khusus untuk menentukan mana yang lex specialis dan mana yang lex

generalis.

Akhirnya sebagai rekomendasi tulisan ini, penulis menyarankan

agar pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

108

sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU no 23 tahun 2014.

Demikian pula propinsi sebagai daerah yang diberikan

kewenangan segera dapat mengeluarkan petunjuk teknis terkait

pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya.  Internalisasi dan

pendalaman bagi SKPD tentang kewenangan masing-masing daerah,

diikuti arti pentingnya urusan sangat diperlukan, mengingat

bahwa urusan merupakan entry point (pintu masuk) bagi program dan

kegiatan. Simalakama bandul kewenangan bukan mustahil terus

terjadi jika tidak ada kejelasan isi regulasi yang memuat di

manakah urusan itu berada.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

109

OTONOMI DAERAH VS SENTRALISASI BARU

OLEH: Denden Kurnia Drajat, M.Si

Era Reformasi yang dimulai dengan tumbangnya rezim Orde Baru

dengan ditandai dengan tumbangnya kekuasaan presiden Soeharto

menimbulkan konsep dan paradigma baru dalam penyelenggaraan

pemerintahan salah satu konsep yang lahir pada zaman tersebut

adalah kosep Otonomi Daerah. Konsep Otonomi daerah timbul

dengan adanya UU Pemerintahan daerah yaitu UU No 22 Tahun 1999

serta UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Konsep

penyelenggaraan pemerintahan sebelum adanya konsep otonomi

daerah adalah pemerintah sebagai agen tunggal dalam

penyelenggaraan pemerintahan baik itu urusan yang menyangkut

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

110

pemerintahan pusat maupun urusan pemerintahan di Daerah.

Pemerintah Daerah pada saat itu tidak diperkenankan mengurus

rumah tangganya sendiri karena urusan daerah menjadi wewenang

pemerintah pusat.

Pada saat UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

disahkan oleh Pemerintah bersama DPR maka konsep

penyelenggaraan pemrintahan yang ada di Indonesia mengalami

perubahan diberbagai macam aspek. Daerah diberikan kebebasan

untuk mengatur wilayahnya sendiri tanpa campur tangan dari

pemerintah pusat. Konsep penyelenggaraan pemerintahan inilah

yang dikenal dengan sebutan “Otonomi Daerah”. Paradigma

Otonomi daerah yang sudah berjalan hampir selama 1 (dekade)

ini banyak menimbulkan dampak positif dalam penyelenggaraan

pemerintahan di daerah yaitu, Perkembangan proses demokrasi

dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan akan meningkat.

Konsep Otonomi daerah ini telah menelurkan semangat untuk

memilih pemimpin daerah baik itu Bupati ataupun Walikota

melalui pemilihan kepala daerah langsung (PILKADA). Masyarakat

secara bebas memilih langsung pemimpin mereka tanpa campur

tangan dari pihak lain. Dampak Positif yang lainnya mengenai

konsep otonomi Daerah ini adalah Pemerintah daerah bebas

mengolah dan menggali potensi daerahnya masing-masing tanpa

adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah

semakin termotivasi untuk mengali potensi yang ada di daerah

dengan harapan pembangunan yang ada di daerah semakin maju

karena adanya konsep Otonomi Daerah ini.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

111

Setelah 10 (sepuluh) tahun berjalan konsep otonomi daerah ini

juga telah menimbulkan problematika-problematika yang ada di

daerah. Berdasarkan data Kemendagri pada tahun bulan Desember

2014 kepala daerah yang tersangkut korupsi berjumlah 343 (tiga

ratus empat puluh tiga) kepala daerah. Kepala daerah ini yang

berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut

masalah pengelolaan keuangan daerah. Data Kementerian Dalam

Negeri menyebutkan, hingga tahun 2010, ada 206 kepala daerah

yang tersangkut kasus hukum. Tahun selanjutnya, Kemendagri

mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah (tahun 2011), 41

kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013).

Sementara itu, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang

tersangkut di KPK hingga tahun 2014 yakni mencapai 56 kepala

daerah. Tjahjo menyebutkan, sebagian besar diketahui melakukan

korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah yang bersumber pada

penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah, pengadaan

barang dan jasa, belanja hibah dan bansos, dan belanja

perjalanan dinasi. Kemendagri mengungkapkan, penyebab

banyaknya kepala daerah yang terkena kasus korupsi adalah

komitmen antikorupsi yang belum memadai, tidak adanya

integritas, belum diterapkannya e-procurement, dan rentannya

birokrasi terhadap intervensi kepentingan.24

24http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/21114211/Mendagri.343.Kepala.Daerah.Tersangkut.Kasus.Hukum

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

112

Timbulnya korupsi di daerah seakan timbul karena konsep

otonomi daerah yang memberikan kebebasan setiap daerah untuk

mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan

pemerintah pusat. Proses pilkada yang menimbulkan berbagai

macam tindak korupsi di daerah seakan-akan memperburuk citra

paradigma otonomi daerah itu sendiri. Selain itu juga konsep

otonomi juga memperlemah peran dari pemerintah daerah provinsi

untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan yang ada di

daerah. Wewenang pemerintah provinsi hanya sebagai pengawas

dan tidak mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi kepada

pemerintah daerah kabupaten ataupun kotamadya jika daerah

tersebut tidak bias mengurus rumah tangganya sendiri.

Problematika yang cukup pelik tersebut akhirnya mendorong

Pemerintah bersama dengan DPR membuat terobosan untuk

menanggulangi permasalahan yang ada di daerah dengan

disyahkannya UU Pemerintahan yang Baru yaitu UU No 23 Tahun

2014. Pada Pasal 9 UU No 23 Tahun 2014 ini menyatakan bahwa

urusan pemerintahan dibagi menjadi 3 (tiga) urusan pokok yang

terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan

konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan Pemerintahan

yang ada pada UU ini lebih mengatur terperinci dimna urusan

yang harus dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah

provinsi, ataupun pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya.

Sebelum adanya UU Pemerintahan yang baru ini pemerintah daerah

diberi kekuasaan sebesar-besarnya untuk mengurus rumah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

113

tangganya sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat. Dengan

adanya UU Pemerintahan daerah yang baru ini membuat peran

pemerintah daerah kabupaten/kotamadya menjadi kecil dalam

mengurus rumah tangganya sendiri.

Persoalan kewenangan Kepala daerah kabupaten/walikota dalam

menjalankan pemerintahan juga sudah mulai diawasi secara ketat

oleh pemerintah daerah provinsi. Sebelum adanya UU No 23 Tahun

2014 tentang pemerintahan daerah. Gubernur hanya sebagai wakil

pemerintah pusat di daerah yang hanya bertugas untuk menjadi

koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah

provinsi

dan kabupaten/kota selain itu juga tugas gubernur pembinaan

dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah

kabupaten/Kota. Gubernur tidak memiliki wewenang untuk

menjatuhkan sanksi kepada daerah jika daerah tidak menjalankan

urusan pemerintahan dengan baik. Setelah UU Pemerintahan

daerah yang terbaru terbit kewenangan Gubernur sangat luas

untuk mengawasi jalannya pemerintahan kabupaten/Kotamadya.

Ketika seorang Bupati atau Walikota membuat kebijakan atau

membuat perda yang tidak sesuai dengan asas penyelenggaraan

pemerintahan maka di dalam pasal UU No 23 Tahun 2014 Gubernur

dapat membatalkan peraturan daerah yang sudah dibuat oleh

bupati ataupun walikota. Sedangkan ketika seorang Bupati

ataupun walikota tidak bias menjalankan urusan yang dibebankan

pemerintah pusat kepada daerah maka Gubernur memiliki

kewenangan yang cukup kuat untuk menjatuhkan sanksi kepada

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

114

bupati atau walikota karena tidak bias menjalankan apa yang

telah diperintahkan oleh pemerintah pusat.

Beberapa hal pokok yang ada pada UU 23 Tahun 2014 ini jika

kita runtut diatas sebenanrya timbul karena konsep dan

semangat otonomi daerah yang sudah berjalan selama hampir 1

dekade ini tidak berjalan dengan baik. Daerah diberi

kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur

tangan pemerintah pusat. Tetapi pada kenyataanya konsep

otonomi daerah ini disalah gunakan kewenangannya timbul raja-

raja kecil di daerah untuk menguasai potensi yang ada di

daerah. Timbul berbagai macam proses pemekaran di daerah baik

itu pemekaran provinsi, Kotamadya/Kabupaten dan bahkan

pemekaran kecamatan banyak terjadi. Masalah yang timbul akibat

otonomi daerah ini juga menimbulkan ketimpangan antar daerah

yang satu daerah yang lain karena sumber daya alam yang ada di

suatu daerah tidak sama dengan daerah lain. Dengan demikian

banyak ketimpangan pemerataan pembangunan di daerah-daerah.

Sebenarnya Bila kita lihat konsep penyelenggaraan pemerintahan

pada UU Pemerintahan yang baru UU No 23 Tahun 2014 secara

eksplisit menimbulkan kembali konsep sentralistik yang pada

zaman Orde Baru konsep ini diterapkan dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Konsep Sentralistik ditandai dengan adanya peran

yang cukup besar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

provinsi untuk mengawasi pemerintah daerah kabupaten atau

kotamadya dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Konsep

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

115

sentralistik inilah yang mulai dianggap oleh elit-elit di

daerah dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan mereka. Hal

inilah yang menjadi tantangan bagi semua aspek masyarakat yang

ada di lingkungan pemerintahan baik itu elit local ataupun

elit pusat dalam memandang UU pemerintahan terbaru ini. Apakah

konsep pemerintahan daerah yang berdasarkan UU No 23 Tahun

2014 yang sedikit banyak ada unsur sentralistik digabungkan

dengan konsep otonomi daerah yang sudah berjalan hampir 10

tahun berjalan ini dapat berjalan dengan baik, mudah-mudahan

konsep yang dikeluarkan oleh pemerintah dan DPR membawa

kebaikan bagi daerah dan juga bagi masyarakatnya. Aamiiin.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

116

DINAMIKA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH di INDONESIA

Oleh : Himawan Indrajat

Hubungan pusat dan daerah di Indonesia mengalami pasang surut,

ada masa ketika daerah tidak mempunyai kemandirian bahkan

hanya dieksploitasi oleh pemerintah pusat seperti ketika orde

baru berkuasa pola hubungan pusat dan daerah sangat

sentralistik melalui undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, daerah tidak memiliki

kewenangan atau otonomi untuk mengurus urusan pemerintahnya

sendiri semua pemerintah pusat yang menentukkan. Dan

kecenderungan pemerintah daerah saat itu adalah Excecutive Heavy,

karena Kepala Daerah adalah wakil langsung yang ditunjuk

pemerintah pusat walaupun dia dipilih melalui DPRD, dan fungsi

DPRD juga sangat lemah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

117

Kemudian setelah pemerintahan orde baru jatuh di gantikan

pemerintahan transisi Habibie pada masa awal reformasi

dilakukan perubahan besar pada pola hubungan pusat daerah yang

tidak lagi tersentralisasi tapi desentralisasi, dengan

disyahkan undang-undang nomor 22 tahun 1999. Dengan undang-

undang tersebut daerah mendapat otonomi yang sangat luas.

Daerah benar-benar menikmati otonominya, terutama

kabupaten/kota karena otonomi yang dilaksanakan saat itu titik

beratnya ada di kabupaten/kota, kekuatan provinsi dilucuti,

serta kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota

tidak lagi ditunjuk oleh pusat dan kemudian dipilih oleh DPRD,

tetapi DPRD langsung yang memilih para calon kepala daerah

tersebut. dalam pelaksanaannya ternyata undang-undang tersebut

dianggap terlalu memberikan kebebasan yang berlebihan, seperti

bupati/walikota dianggap sebagai raja-raja kecil, kemudian

konflik sumber daya alam antar daerah juga sangat tajam,

bahkan timbul konflik antara DPRD dan Bupati/Walikota ada

beberapa kepala daerah yang diberhentikan karena berkonflik

dengan DPRD seperti kasus Bupati Kampar Jefry Noer dan Bupati

Temanggung.

Karena banyak permasalahan tersebut kemudian dilakukan

perubahan dengan disyahkannya undang-undang nomor 32 tahun

2004 tentang pemerintahan daerah, kebebasan daerah sedikit

diperketat walaupun daerah masih diberikan kebebasan. DPRD

tidak bisa lagi sewenang-wenang untuk memberhentikan Kepala

Daerah, kemudian Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

118

rakyat bukan lagi melalui DPRD karena pemilihan tidak langsung

melalui DPRD potensi money politic sangatlah tinggi dengan

menyuap anggota DPRD, diharapkan dengan pilkada secara

langsung pemimpin yang terpilih benar-benar pilihan rakyar.

Persoalan utama dalam pelaksanaan undang-undang nomor 22 tahun

1999 dan kemudian undang-udnag nomor 32 tahun 2004 adalah

kordinasi kebijakan pemerintah pusat kadang tidak sejalan

dengan kebijakan pemerintah pusat. Kemudian muncullah undang-

undang nomor 23 tahun 2014 yang bermaksud untuk bisa

menselaraskan kebijakan pemerintah pusat atau program-program

nasional dengan kebijakan daerah. Nuansa dari undang-undang

pemerintah daerah baru ini lebih menekankan pada asas

dekosentrasi dibandingkan undang-undang pemerintah daerah

sebelumnya yang lebih menekankan pada asas desentralisasi

dengan titik berat otonomi daerah pada kabupaten/kota.

Provinsi yang sebelumnya lemah dan kewenangannya sangat

terbatas melalui undang-undang ini posisinya diperkuat dengan

penambahan fungsi dan kewenangan melalui Gubernur untuk

mengawasi pelaksanan pemerintah daerah di kabupaten/kota.

Seperti yang tercantum dalam pasal 91 yang mengatur tugas dan

fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam pasal 91

disebutkan tugas dari Gubernur dalam pembinaan dan pengawasan

terhadap penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang menjadi

kewenangan daerah kabupaten/kota adalah :

1. Mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraa

Tugas Pembantuan di Daerah kabupaten/kota.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

119

2. Melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang

ada di wilayahnya.

3. Memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di

wilayahnya.

4. Melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda

Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan

APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata

ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi

daerah.

5. Melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan

6. melaksanakan tugas lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara kewenangan dari Gubernur dalam melaksanakan fungsi

kewenangannya adalah :

1. Membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan

bupati/walikota.

2. Memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota

terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

3. Menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi

pemerintahan antar-Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu)

Daerah provinsi.

4. Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda

Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan

Perangkat Daerah kabupaten/kota; dan

5. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

120

Selain itu masih terkait dengan tugas dan kewenangan Gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat adalah “Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat dapat menjatuhkan sanksi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan kepada penyelenggaran

pemerintah daerah kabupaten/kota”.

Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat inilah yang

menjadi persoalan karena seolah otonomi pada daerah

kabupaten/kota dibatasi serta seperti set back kembali pada

kondisi orde baru yang sentralistik. Sebenarnya undang-undang

ini disyahkan pada akhir kepemimpinan pemerintahan presiden

Susilo Bambang Yudoyono, yang kemudian oleh pemerintahan

presiden yang baru terpilih Joko Widodo melakukan perubahan

kedua undang-undang nomor 23 tahun 2014 dengan undang-undang

nomor 9 tahun 2015, tetapi perubahan tersebut tidak membahas

tentang otonomi pada kabupaten/kota, perubahan yang dibahas

adalah soal tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta

tugas DPRD provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota.

Dari perubahan tersebut memang terlihat bahwa pemerintah pusat

ingin “menjaga” atau “mengawasi” daerah khusus kabupaten/kota

melalui provinsi agar program-program pemerintah dapat

terlaksana dengan baik. Seperti kita ketahui bahwa program

pemerintahan baru Joko Widodo untuk membangun infrastruktur

transpotasi nasional sangatlah ambisius dari jalan tol di

sumatera, pembangunan pelabuhan baru, membangun konektivitas

transpotasi laut melalui tol laut dan program-program yang

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

121

lain seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar.

Apabila hal ini tidak didukung oleh pemerintah daerah tentu

akan menjadi hambatan dalam penerapannya.

Tetapi bagi saya itu adalah ketakutan yang berlebihan dari

pemerintah pusat, dan pola pikir hubungan pusat daerah

pemerintah masih bersifat hierarkis vertikal, daerah

kabupaten/kota harus tunduk dan patuh pada kebijakan yang

seragam walaupun maksudnya itu baik. Tetapi dengan memberikan

power pada Gubernur ini untuk memberikan sanksi dan penghargaan

terhadap pemerintah kabupaten/kota tentu merupakan suatu

kemunduran, apalagi Gubernur memilili kewenangan untuk

membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota yang menyangkut

RPJPD, RPJMD, APBD, Perubahan APBD, Pertanggungjawaban APBD,

tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah apabila

menurut Gubernur ternyata bertentangan dengan peraturan lebih

tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum seperti yang

diatur pasal 249 dan 250 undang-undang nomor 23 tahun 2014.

Tentu menyimpan potensi konflik yang sangat besar antara

pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi.

Padahal yang digadang-gadang dari pemerintahan baru sekarang

adalah dukungan terhadap proses demokrasi, termasuk didalamnya

pola hubungan pusat dan daerah yang terdesentralisasi. Bukan

malah memperlemah posisi daerah kabupaten/kota, pemerintah

pusat dan DPR RI harus melalukan perubahan segera agar proses

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

122

demokrasi tetap berjalan sesuai dengan cita-cita Pancasila dan

UUD 1945.

KEWENANGAN KEPALA DAERAH PASCA UU PEMERINTAHAN YANGBARU “DITAMBAH ATAU DIPERSEMPIT”

Oleh: ANDRI MARTA

PENDAHULUAN

Sebelum masa penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono ada suatu kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh

pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Yaitu dengan telah disahkannya Undang-Undang Pilkada dan

Undang-Undang Pemerintahan daerah yang baru yaitu UU No 22

Tahun 2014 dan UU No 23 Tahun 2014 sebagai pengganti dari

Undang-Undang Pemerintahan daerah yang lama yaitu UU No 32

tahun 2004. Perhatian masyarakat pada saat itu cenderung

melihat dan memperhatikan substansi tentang UU No 22 tahun

2014 tentang Pilkada karena pada UU tersebut mengatur

pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang secara tak langsung

tidak mempergunakan suara rakyat dalam memilih pemimpin daerah

mereka. Pada dasarnya jika kita memperhatikan lebih rinci lagi

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

123

Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu UU Nomor 23

tahun 2014 memiliki beberapa aspek yang harus kita kaji lagi

dalam proses pemerintahan daerah yang ada di Indonesia

terutama tentang berkurangnya peran Pemerintah daerah dalam

urusan penyelenggaraan fungsi pemerintahan.

Masalah yang timbul terhadap kewenangan Kepala Daerah Kabupaten

atau Kotamadya

Sebelum disahkannya UU Pemerintahan yang baru ini, konsep

otonomi daerah sangat kuat sekali dalam pelaksanaan dan

penyelenggaraan pemerintahan yang ada di daerah. Hal ini

berdasarkan oleh UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Daerah diberi wewenang untuk mengurus dan melaksanakan

proses penyelenggaraan pemerintahannya tanpa campur tangan

dari pemerintah pusat ataupun pemerintah Provinsi. Menurut

Mariun (1979) mengungkapkan bahwa dengan kebebasan yang

dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat

inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya

daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu

dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi

daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat25.

Dengan semangat desentralisasi, daerah menggunakan otonomi

yang dimilikinya untuk berkreasi dan berinovasi dalam

mengelola sumber daya-sumber daya yang dipunyainya. Reformasi

25 Mariun. 1979. Azas-Azas Ilmu Pemerintahan. Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengaembangan. Fakultas Sospol UGM

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

124

telah menghantarkan ke gerbang demokrasitisasi yang akan

membawa perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yang semula

sentralistis menjadi desentralistis. Perubahan itu

berimplikasi pada terjadinya pergeseran lokus kekuasaan, dari

pusat ke daerah. Desentralisasi memberikan surga baru pada

daerah-daerah, karena selama 3 (tiga) dekade kekayaan alam

yang dimiliki daerah tidak pernah dinikmatinya. Akibatnya,

terjadi kesenjangan yang mencolok di daerah-daerah yang kaya

sumber daya alamnya, tetapi penduduknya tetap miskin Pada prosesnya selama 1 (satu) dekade terakhir ini konsep

otonomi daerah menimbulkan berbagai macam permasalahan yang

ada di daerah seperti timbul raja-raja kecil di daerah karena

kekuasaan mereka turun menurun dan juga timbulnya korupsi

kepala daerah yang memimpin daerah tersebut. Menurut

Kemendagri hamper 30% kepala daerah tersangkut korupsi di

daerah yang mereka pimpin. Melihat poblematika yang cukup

kompleks ini maka pemerintah bersama DPR mengesahkan UU

pemerintahan yang baru untuk menggantikan UU No 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah.

Proses pembentukan UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah ini dilandasi karena permasalahan-permasalahan yang

timbul akibat konsep otonomi daerah yang salah diterapkan di

masing-masing daerah di wilayah Indonesia. Undang-Undang No 23

Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah ini menitikberatkan

pada pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

125

yang lalu urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih di

fokuskan kepada aspek otonomi daerah yang ditandai dengai

konsep Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Ketika UU No 23 Tahun 2014 disahkan paradigma tentang

penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih difokuskan pada 3

(tiga) aspek urusan. Menurut UU no 23 Tahun 2014 Pasal 9 ayat

(10) tentang pembagian urusan yaitu urusan pemerintahan

absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan

umum.

Pada UU pemerintahan yang baru ini juga di jelaskan bahwa

Peran Gubernur sangat memiliki kewenangan dalam hal

penyelenggaraan pemerintaha di daerah. Menurut UU No 32 Tahun

2004 Pasal 38 ayat 1, Gubernur hanya sebagai kepanjangan dari

pemerintah pusat di daerah yang hanya koordinasi pengawasan

oleh pemerintah pusat kepada daerah dan juga pembinaan tugas

pembantuan yang diberikan pemerintah pusat di daerah. Pada UU

No 23 Tahun 2014 menjelaskan bahwasanya Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat, diatur lebih spesifik seperti yang diatur

dalam pasal 91-93.  Adapun tugas tersebut melakukan pembinaan

dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Tugas Pembantuan di

Kabupaten/Kota, melakukan monev dan supervisi, melakukan

evaluasi APBD dan lain-lain, dapat membatalkan Perda dan

memberikan persetujuan terhadap Raperda Kabupaten/Kota, serta

dapat memberikan sanksi kepada Bupati/Walikota.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

126

Pada proses penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang

berkaitan dengan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan

sumber daya mineral UU No 23 Tahun 2014 ini mengatur bahwa

urusan ini dibagi hanya untuk pemerintah pusat dan juga

pemerintah daerah provinsi. Hal ini dimaksudkan agar

pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya tidak memonopoli

kekayaan yang ada di daerah sehingga korupsi yang dilakukan

oleh kepala daerah Bupati atau Walikota dapat dikurangi.

Pada akhirnya UU No 23 Tahun 2014 ini menimbulkan berbagai

macam aspek permasalahan baru karena UU ini tidak sesuai

dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minyak dan Batu

Bar a (Minerba). Pada UU pemerintahan yang baru ini dijelaskan

bahwa pemberian ijin dan pemanfaatan hasil tambang, kehutanan

dan mineral hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan

pemerintah daerah provinsi. Tetapi dalam isi UU minerba

dijelaskan bahwa yang berhak untuk menerbitkan ijin dan

pemanfaatan tentang pertambangan Minyak dan Batu Bara

(Minerba) adalah pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya.

Hal inilah yang menjadi masalah yang timbul saat ini pada

pemerintahan di daerah.

Secara eksplisit dapat kita pahami berdasarkan pemaparan

diatas bahwa konsep UU pemerintahan yang baru yaitu UU No 23

Tahun 2014 sebanarnya membonsai kewenangan daerah Kabupaten

atau Kotamadya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Undang-

undang ini cenderung menghidupkan pola sentralisasi yang ada

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

127

pada zaman Orde Baru tersebut, bahwa kewenangan yang mutlak

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pada pemerintah

pusat dan juga pemerintah daerah provinsi. Undang-undang ini

juga sedikit demi sedikit menghilangkan konsep otonomi daerah

yang mulai diperkenalkan sejak awal masa reformasi. Karena

pada saat roses pelaksanaan konsep otonomi daerah yang hamper

10 (sepuluh tahun) ini berjalan timbul banyak permasalahan

yang ada di daerah seperti banyak kepala daerah yang terkena

kasus korupsi, timbul juga raja-raja kecil yang ada di daerah

yang posisi Gubernur saat itu hanya sebagai wakil pemerintah

pusat yang ada di daerah saja tanpa memiliki kewenangan yang

jelas dalam mengawasi jalannya pemerintahan daerah

Kabupaten/Kotamadya.

Proses pembentukan sampai disahkannya UU pemerintahan yang

baru Nomor 23 Tahun 2014 ini menimbulkan suara pro dan kontra

dikalangan pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah.

Pemerintah Pusat beralasan lahirnya UU ini bukan semata-mata

untuk menghidupkan kembali konsep sentralistis yaitu

kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi

lebih besar dalam mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan

yang ada di daerah Kabupaten/Kotamadya. Tetapi untuk

mengurangi dominasi atau peran yang terlampau jauh oleh

Bupati/Walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di

daerah. Reaksi berbeda dikemukakan oleh para Bupati/Walikota

yang ada di Indonesia. Menurut Bupati Tanjab Barat, Usman

Ermulan yang dikutip dari harian Info Jambi, beliau mengatakan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

128

bahwa UU No 23 Tahun 2014 ini berpotensi menimbulkan keresahan

di berbagai daerah. Sebab, pelaksanaan UU Pemda itu akan

kembali memunculkan praktek Orde Baru jilid II. Beberapa

kekuasan atau wewenang yang selama ini dimiliki oleh kepala

daerah di tingkat II secara bertahap akan dilimpahkan ke

Pemerintah provinsi.26

Solusi

Permasalahan-permasalahan diatas sebenarnya penulis lihat

dapat diselesaikan apabila seluruh elemen duduk bersama

membahas tentang persoalan dan isi dari UU pemerintahan yang

baru tersebut. Pemerintah Pusat harus menjelaskan secara rinci

maksud dan tujuan yang ada di UU pemeritahan yang baru ini

kepada pemerintahan yang ada di daerah sehingga tidak terjadi

kesalahpahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

dalam memahami UU No 23 Tahun 2014 ini.

Selain itu pemerintah pusat juga harus menerbitkan peraturan

turunannya dari UU No 23 Tahun 2014 ini yaitu tentang

Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan pokok dan isis

dari Undang-Undang ini sehingga proses pelaksanaan UU

pemerintahan yang baru ini dapat berjalan optimal dan dapat

digunakan oleh semua pihak dalam hal penyelenggaraan urusan

pemerintahan daerah.

26 http://infojambi.com/pemerintahan/14917-usman-ermulan-minta-tinjau-ulang-pelaksanaan-uu-pemda.html

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

129

“Transparansi Pemerintahan”, Dapatkah Terwujud?

Oleh: Melyansyah

Pendahuluan

Pemerintahan yang transparan sampai hari ini masih

sekedar jargon. Keterbukaan informasi publik dalam setiap

level pemerintahan sangat sulit diwujudkan. Akses untuk

mendapatkan informasi publik pun sangat sulit atau bahkan

ditiadakan. Dalam research Indonesia Governance Index tahun 2014

memberikan nilai rata-rata nasional tata kelola pemerintahan

daerah hanya 5,7 (dengan 1 sebagai kriteria sangat buruk dan

10 sebagai kriteria sangat baik). Pencapaian ini masih jauh

dari hasil yang diharapkan, terlebih lagi banyak daerah yang

memperoleh nilai di bawah nilai rara-rata nasional. Buruknya

tata kelola pemerintahan tersebut juga berbanding lurus dengan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

130

rendahnya transparansi di dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Rata- rata kinerja pemerintah transparansi pemerintah masuk

dalam kategori cenderung buruk dengan nilai indeks 4,58 (1

untuk kriteria tidak transparan dan 10 untuk kriteria sangat

transparan).27 Hal ini menunjukkan bahwa masih sulitnya akses

terhadap informasi publik (dokumen- dokumen pemerintah yang

tidak tergolong rahasia, seperti dokumen keuangan, LKPJ,

penggunaan dana aspirasi DPRD) di sebagain besar daerah di

Indonesia. Lahirnya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah ini memberikan harapan sekali lagi untuk menguatkan

komitmen setiap pemerintah daerah untuk mewujudkan

transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Transparency for Good Governance

Transparansi dan good governance merupakan satu kesatuan utuh

yang saling ko-eksitensi. Good governance disebut sebagai

pemerintahan yang baik jika memenuhi prinsip transparan,

sebaliknya transparansi merupakan sebuah keharusan untuk

mencapai good governance.

Transparansi penyelenggaraan pemerintahan memiliki arti yang

sangat penting dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk

mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh

pemerintah. Bahkan dengan adanya transparansi penyelenggaraan27 Abdul Malik Gismar dkk, Menuju Masyarakat yang Cerdas dan Pemerintahan yangResponsif(Laporan Eksklusif Indonesia Governance Index 2012), Jakarta, Kemitraan BagiPembaruan Tata Pemerintahan(The Partnership For Governance Reform), 2013, hal.34.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

131

pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan feedback atau

outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.

Kajian terkait konsep transparansi kini semakin berkembang.

Beberapa konsep transparansi yang ditawarkan oleh beberapa

literatur adalah sebagai berikut :

1. As transparency is a core governance value. The regulatory activities ofgovernment constitute one of the main contexts within whichtransparency must be assured. There is a strong public demand forgreater transparency, which is substantially related to the rapid increasein number and influence of non governmental organisations (NGOs) orcivil society groups‟, as well as to increasingly well educated and diversepopulations. (OECD, 2004 : 66).

2. Transparansi yaitu dapat diketahui oleh banyak pihak(yang berkepentingan) mengenai perumusan kebijakan(politik) dari pemerintah, organisasi dan badan usaha.Good Governance tidak membolehkan manajemen pemerintahanyang tertutup. (Tjokromidjoyo, 2003 :123).28

3. Transparansi dapat dimaknai sebagai adanya pemberianinformasi yang selalu relevan untuk melakukan evaluasilembaga. (Bauhr & Nasiritousi forthcoming).

4. Transparansi merupakan keterbukaan, yaitu jalannyapemerintahan harusnya dapat diprediksi ( should bepredictabel) dan diselenggarakan dengan aturan hukum yangberlaku dan tidak sewenang-wenang. (Hood 2006, 14).29

Kemudian Smith (2004:66), mengemukan bahwa proses transparansi

meliputi :

28 Arifin Tahir, 2011, Kebijakan Publik dan Transparansi PenyelenggaraanPemerintahan Daerah, Jakarta : Pustaka Indonesia Press.29 Monika Baur & Marcia Grimes, 2012, What Is Government Transparency? ; NewMeasures and Relevance for Quality Government, Goteburg : University of Gothenburg.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

132

1. Standard procedural requirements (Persayaratan StandarProsedur), bahwa proses pembuatan peraturan harusmelibatkan partisipasi dan memperhatikan kebutuhanmasyarakat.

2. Consultation processes (Proses Konsultasi), Adanya dialogantara pemerintah dan masyarakat.

3. Appeal rights (Permohonan Izin), adalah pelindung utamadalam proses pengaturan. Standard dan tidak berbelit,transparan guna menghindari adanya korupsi. Tidakhanya proses pembuatan izin, transparansi jugadimaknai sebagai publikasi seluruh kegiatan pemerintahdi dalam website lembaga pemerintahan.

Seperti dikatakan Stephan G. Grimmelikhuijsen dalam jurnal The

Effects of Transparency on the Perceived Trustworthiness of a Government

Organization , “Governments all around the world are enhancing their transparency

by providing all sorts of information about government activities and performance

on public Web sites.”30

Dari berbagai pandangan tentang definisi Good Governance dan

Transparansi diatas, maka disimpulkan bahwa keduanya memiliki

korelasi yang signifikan dimana suatu pemerintahan dapat

dikatakan baik (Good governance) berarti pemerintahan tersebut

telah menerapkan prinsip-prinsip tranparansi.

Komitmen Transparansi dalam UU Pemda terbaru

30 Stephan G. Grimmelikhuijsen & Albert J. Meijer The Effects of Transparency onthem Perceived Trustworthiness of a Governmen Organization Evidence from an Online Experiment,Journal of Public Administration Research and Theory Advance Accesspublished November 5, 2012

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

133

Sejak zaman kolonial hingga sekarang kurang lebih ada 10

peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah

di Indonesia. Dimulai dari Desentralisatie WET 1903 yang

merupakan produk kolonial belanda kemudian pasca kemerdekaan

lahirlah UU No. 1 tahun 1995 yang cenderung dominan

sentralistis, kemudian pasca reformasi lahir UU No. 22 tahun

1999 yang cenderung desentralistis, selanjutnya pada masa

demokratisasi lahir UU No.32 tahun 2004 yang menggabungkan

sentralistis dan desentralistis dan yang terakhir adalah UU

No.23 tahun 2014 yang mengandung visi efektivitas

pemerintahan. UU pemerintahan daerah yang terbaru ini memang

memilki banyak sekali perubahan diantaranya penghapusan dan

perubahan beberapa pasal terkait pemilihan kepala daerah dan

anggota DPRD serta adanya penambahan bab dalam UU ini.

Penambahan bab yang menjadi perhatian adalah adanya penambahan

bab pelayanan publik yang dimuat dalam BAB XIII tentang

Pelayanan Publik. Secara eksplisit bab tersebut menjelaskan

tentang mekanisme pelayanan publik yang baik. Berikut

merupakan kutipan dari bab XIII terkait pelayanan publik :

BAB XIIIPELAYANAN PUBLIK

Bagian KesatuAsas Penyelenggaraan

Pasal 344

(1) Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggaranya pelayanan publik berdasarkan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

134

(2) Pelayanan publik diselenggarakan berdasarkan pada asas:

a. kepentingan umum;b. kepastian hukum;c. kesamaan hak;d. keseimbangan hak dan kewajiban;e. keprofesionalan;f. partisipatif;g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;h. keterbukaan;i. akuntabilitas;j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;k. ketepatan waktu; danl. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Berdasarkan kutipan dua pasal di atas membuktikan bahwa UU

pemerintahan daerah yang baru ini benar-benar berkomitmen

untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik di tingkat daerah

dengan berdasarkan pada asas-asas pelayanan publik di atas

salah satunya adalah asas keterbukaan (transparansi).

Keterbukaan di dalam UU ini didefinisikan sebagai asas yang

membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh

informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang

penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan

atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. ini

membuktikan bahwa UU pemerintahan yang baru menaruh perhatian

besar pada asas transparansi. Kemudian asas keterbukaan juga

tertuang jelas dalam BAB XXII tentang Informasi Pemerintahan

Daerah dalam pasal 391 ayat 1 dan 2 yang berbunyi,

“Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi Pemerintahan

Daerah yang terdiri atas: a. informasi pembangunan Daerah; dan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

135

b. informasi keuangan Daerah” kemudian dalam ayat 2 disebutkan

bahwa, “Informasi Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dikelola dalam suatu sistem informasi

Pemerintahan Daerah”. Tidak hanya sebatas kewajiban informasi

tetapi ditegaskan kembali di dalam pasal 393 ayat 2E yang

berbunyi bahwa Informasi keuangan daerah sebagaimana yang

dimaksud digunakan untuk mendukung keterbukaan informasi

kepada masyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa UU pemerintahan daerah yang terbaru memiliki

komitmen yang sangat kuat untuk mengutamakan transparansi atau

keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Collaborative Transparency

Konsep transparansi merupakan konsep yang booming bersamaan

dengan pelaksanaan good governance di berbagai negara. Konsep

transparansi ini merupakan konsep yang lahir dari landasan

filosofi bahwa pemerintahan yang demokratis adalah

pemerintahan yang memilki keterbukaan informasi publik.

Gagasan terkait urgensi transparansi juga sering di kutip

dalam kongres di Washington, yang menyebutkan bahwa

“pemerintahan yang populer tanpa ada informasi yang populer

adalah sebuah lelucon, pengetahuan akan mengatur kebodohan

seseorang oleh karena itu setiap orang harus mempersenjatai

diri dengan kekuasaan informasi.” Artinya setiap warga negara

harus memilki hasrat dan keinginan untuk mengetahui informasi

publik.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

136

Keterbukaan informasi sendiri terdiri dari beberapa generasi.

Generasi yang pertama yaitu hak untuk mengetahui kebijkan (righ

to know) dimana setiap warga negara memilki hak untuk

mengetahui apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh

pemerintah. Generasi yang kedua adalah targeted transparancy policy

yaitu merupakn perbaikan dari generasi pertama yaitu tidak

hanya memperhatikan hak publik untuk mendapatkan informasi

publik tapi lebih berorientasi pada capaian atau target dari

transparansi itu sendiri. Generasi yang ketiga adalah

collaborative transparency policies yaitu sebuah generasi transparansi

yang memadukan generasi pertama dan kedua dengan transformasi

komputer jaringan internet agar publik bisa mengetahui

informasi secara cepat sehingga pemerintahan menjadi lebih

efektif dan efisien.31

Generasi ketiga merupakan model transparansi yang tepat untuk

merealisasikan transparansi dalam UU pemerintahan yang

terbaru. UU ini megutamakan asas keterbukaan informasi melali

media tertentu. Alternatif media yang cukup efektif saat ini

adalah menggunakan jaringan internet. Oleh karena itu model

collaborative transparency merupakan model yamg dapat menunjang

terwujudnya transparansi di Indonesia. Konsep transparansi

yang dibangun dalam UU ini sejalan dengan konsep collaborative

31 Archon Fung, Mary Graham & David Weil, 2007, Full Disclosure : ThePolitics, Perils and Promise of Targeted Transparency, New York : CambridgeUniversity Press

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

137

transparency, namun masih harus mencari media yang tepat untuk

mewujudkan transparansi itu sendiri.

Sebagian besar pemda di Indoneisa sudah memilki website

sebagai sumber informasi namun website tersebut hanya dibuat

tanpa dimuat dengan informasi update. Fenomena tersebut terjadi

hampir di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia. Artinya hampir

sebagian besar Kabupaten/Kota di Indonesia hanya setengah hati

untuk menerapkan transparansi. Permasalahan tersebut harus

menjadi perhatian penting dalam pelaksanaan UU pemda terbaru

ini. Terutama pada pembuatan PP nanti sebagai turunan dari UU

ini, legislator harus memperhatikan kemungkinan terulang

kembali permasalahan klasik dari website pemerintah daerah

yang bisa dikatakan mati. Padahal melalui website tersebut

pemda dapat memberikan pelayanan publik kepada masyarakat

lebih efektif dan efisien.

Simpulan

Berbagai tantangan dan hambatan akan mengahampiri pelaksanaan

UU No. 23 tahun 2014. Berbagai masalah penghambat transparansi

harus mampu diselesaikan. Dimulai dari komitmen pemda yang

rendah, keterbatasan SDM dan sarana dan prasrana pendukung.

Isu pelayanan publik yang transparan yang dimuat dalam UU ini

sejalan dengan konsep transparansi collaborative transparency yaitu

menggunakan komputer dan jaringan internet untuk mewujudkan

transparansi. Berbagai masalah di atas harusnya dapat menjadi

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

138

motivasi bagi UU untuk menyelesaikan maslah tersebut. Kemudian

model transparansi yang ditawarkan juga dapat dijadikan

alternatif untuk mewujudkan transparansi. Pada akhirnya

kembali pada pertanyaan yang diajukan di atas, apakah UU No.

23 tahun 2014 dapat menjawab tantangan dan berbagai

permasalahan yang ada. Apabila UU ini tidak mampu menciptakan

keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya maka UU ini

bisa dikatakn gagal mewujudkan transparansi.

Referensi

Baur, Monika & Grimes, Marcia. 2012. What Is GovernmentTransparency? ; New Measures and Relevance for Quality Government.Goteburg : University of Gothenburg.

Fung, Archon dkk. 2007. Full Disclosure : The Politics, Perils and Promise ofTargeted Transparency. New York : Cambridge University Press.

G. Grimmelikhuijsen, Stephan & J. Meijer, Albert. The Effects ofTransparency on them Perceived Trustworthiness of a GovernmenOrganization Evidence from an Online Experiment. Journal of PublicAdministration Research and Theory Advance Accesspublished November 5, 2012.

Malik Gismar, Abdul dkk. 2013. Menuju Masyarakat yang Cerdas danPemerintahan yang Responsif(Laporan Eksklusif Indonesia Governance Index2012). Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan TataPemerintahan(The Partnership For Governance Reform).

Tahir, Arifin. 2011. Kebijakan Publik dan Transparansi PenyelenggaraanPemerintahan Daerah. Jakarta : Pustaka Indonesia Press.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

139

Menakar Peluang Partisipasi Masyarakat dalamPenyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Oleh : Darmawan Purba

Pendahuluan

Era reformasi sering digunakan untuk membatasi masa-masa kelam

demokrasi di Indonesia dan dijadikan momentum bersejarah

terhadap lahirnya orde reformasi. Pada saat itu salah satu

fenomena yang terjadi adalah gelombang demokratisasi yang

sangat kuat, setidaknya terdapat dua isu besar yang menjadi

tuntutan reformasi dibidang politik. Pertama, perubahan sistem

kepartaian dimana pada masa orde baru hanya ada tiga peserta

yang memiliki kesempatan untuk mengikuti pemilihan umum yaitu

Golkar, PDI dan PPP menjadi sistem partai banyak. Kedua,

diberlakukannya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan

reformasi melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah. Konsekuensi berlakunya undang undang tersebut adalah

semakin terbukanya keran demokrasi di tingkat lokal. Hal ini

penting mengingat penyelenggaraan pemerintahan daerah

membutuhkan legitimasi politik yang kuat, sesuai nilai dan

semangat demokrasi yang memposisikan kedaulatan berada di

tangan rakyat.

Kedua fenomena tersebut di atas, memposisikan masyarakat dalam

konteksnya, yaitu sebagai pihak yang memiliki otoritas yang

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

140

dimandatkan kepada wakilnya baik di DPRD maupun terhadap

kepala daerah. Semangat tersebut ternyata hanya menjadi

harapan semu bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang secara substansi

diharapkan dapat mendorong akselerasi pembangunan daerah

ternyata kerap kandas di tengah jalan. Pada prakteknya

penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan sendiri tanpa

menempatkan masyarakat sebagai faktor dominan dalam

pembangunan di daerah.

Sebagai sebuah organisasi, pemerintah daerah mendapatkan dan

memanfaatkan pendanaan yang bersumber dari “dana publik” yang

dianggarkan dalam APBN maupun APBD, serta memiliki fungsi

untuk memberikan layanan kepada masyarakat. Setelah reformasi

pemerintah daerah dituntut untuk merumuskan perencanaan yang

stratejik mengingat perubahan demi perubahan di masyarakat

sangat dinamis dan menuntut adanya tanggung jawab dan

penyelesaian secara konkrit oleh pemerintah daerah. Sebagai

konsekuensi adanya pembagian urusan antara pemerintah pusat,

provinsi dan kabupaten/kota, baik urusan wajib maupun urusan

kongruen. Namun demikian fenomena pemerintahan daerah justru

tidak mencerminkan semangat demokrasi yang mengiringi

kebijakan dedentralisasi yang sedang berlangsung. Beberapa

indikasi, seperti: (1) kepala daerah terlibat korupsi, (2)

pembangunan tidak berjalan, (3) konflik antar pemerintahan

daerah, serta masih banyak problem pemerintahan daerah lainnya

yang kerap menimbulkan ketidakpercayaan publik.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

141

Pada saat pilkada langsung panorama yang terjadi adalah

koalisi antara elit (calon kepala daerah) dengan massa,

begitu juga pada saat pemilu legislatif terjadi koalisi antara

caleg dengan para pemilih. Namun setelah pilkada dan pemilu

yang mengemuka justru koalisi antara elit dengan elit.

Masyarakat sebagai faktor dominan dalam pembentukan

pemerintahan justru terpinggirkan. Kepala daerah dan DPRD

hanya menjadikan masyarakat sebagai objek suksesi politik

semata. Salah satu contoh kongkrit rendahnya keberpihakan

pemerintahan daerah terhadap masyarakat adalah postur APBD

yang tidak proporsional antara anggaran publik dengan anggaran

aparatur. Implikasinya, pembangunan didaerah tidak sesuai

dengan harapan dan janji-janji politik elit saat pemilu dan

pilkada. Banyak pembangunan yang mandek dan berjalan tidak

sesuai dengan harapan masyarakat. Pelembagaan politik di DPRD

pun tidak sesuai harapan masyarakat, oleh karenanya

partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah menjadi suatu yang mutlak.

Makna Partisipasi Publik

Persoalan partisipasi masyarakat seharusnya menjadi titik

tekan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, hal ini

penting sebagai komitmen mendudukkan masyarakat

sebagai:pertama, tidak semua urusan dan persoalan di masyarakat

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

142

diketahui oleh pemerintah, kedua,masyarakat berhak ikut serta

dalam perumusan setiap kebijakan publik yang pasti akan

mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian kebijakan

desentralisasi mulai dari Undang-Undang No.99 Tahun 1999

hingga Undang-Undang No.23 Tahun 2014 sudah seharusnya

melibatkan partisipasi masyarakat. Sejalan dengan substansi

partisipasi tersebut, dalam prinsip-prinsip good governance

dikemukakan bahwa: (1) adanya partisipasi langsung maupun tak

langsung dari semua warga dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat; (2) terjaminnya penegakan hukum; (3)

tranparansi; (4) pemerintah yang tanggap; (5) orientasi pada

konsensus; (6) efisiensi dan efektivitas dalam aktivitas

bernegara; (7) akuntabilitas; (8) visi yang strategis.

Dengan demikian, melibatkan rakyat dalam segala kebijakan

pemerintahan memang tidak dapat dinafikan dan merupakan

sesuatu yang harus dilakukan untuk membangkitkan rasa memiliki

rakyat terhadap segala aspek kebijakan dari pemerintah. Oleh

karena itu dorongan harus diberikan oleh pemerintah untuk

melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan. Sejumlah kajian

mengemukakan bahwa pelibatan rakyat merupakan suatu proses

kesadaran untuk pembangunan dan dapat membantu penyelesaian

masalah-masalah pembangunan. Melalui partisipasi masyarakat

berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat dapat

disesuaikan dengan perencanaan pembangunan daerah. Lebih dari

itu, melalui partisipasi masyarakat secara tidak langsung

terjadi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

143

Norma Partisipasi Masyarakat

Pasca reformasi salah satu tuntutan yang dilembagakan adalah

penyelengaraan desentralisasi atau sering disebut otonomi

daerah. Selama ini secara normatif penyelenggaraan

desentralisasi diwujudkan dalam undang-undang pemerintahan

daerah. Tercatan sudah tiga undang-undang yang ditetapkan

dalam menopang penerapan desentralisasi. Terkait ruang

partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah daerah

menunjukkan bahwa masih terbatasnya ruang partisipasi

masyarakat di dalam ketentuan perundangan tersebut.

Perbandingan Ruang Partisipasi Masyarakat

dalam UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014

Undang-Undang Pemda Uraian Isi Undang-Undang

Ruang Partisipasi

Masyarakat dalam

Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999

(1) Pasal 18, Ayat 1 huruf h

DPRD bertugas menampung dan menindaklanjuti

aspirasi Daerah dan masyarakat.

(2) Pasal 22 Poin e

DPRD mempunyai kewajiban mememperhatikan dan

menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan

pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak

lanjut penyelesaiannya.

(3) Pasal 92

Dalam penyelenggaraan pembangunan Kawasan

Perkotaan, Pemerintah Daerah perlu mengikutsertakan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

144

masyarakat dan pihak swasta. Pengikutsertaan

masyarakat, merupakan upaya pemberdayaan masyarakat

dalam pembangunanperkotaan.

Ruang Partisipasi

Masyarakat dalam

Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004

Pasal 139

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara

lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau

pembahasan rancangan Perda.

(2) Persiapan pembentukan, pembahasan, dan

pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada

peraturan perundang-undangan.Ruang Partisipasi

Masyarakat dalam

Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014

Pasal 354

(1) Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,

Pemerintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat.

(2) Dalam mendorong partisipasi masyarakat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah

Daerah:

(a) menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah kepada masyarakat; (b)

mendorong kelompok dan organisasi masyarakat untuk

berperan aktif dalam penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah melaluidukungan pengembangan kapasitas

masyarakat; (c) mengembangkan pelembagaan dan

mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan

kelompok dan organisasikemasyarakatan dapat

terlibat secara efektif; dan/atau

(3) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) mencakup:

(a) penyusunan Perda dan kebijakan Daerah yang

mengatur dan membebani masyarakat; (b)

perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,

pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan Daerah;

(c) pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

145

Daerah; dan (d) penyelenggaraan pelayanan publik.

(4) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) dilakukan dalam bentuk: (a) konsultasi

publik; (b) musyawarah; (c) kemitraan; (d)

penyampaian aspirasi; (e) pengawasan; Sumber: UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014

Berdasarkan muatan UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014

menunjukkan bahwa ruang partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah masih belum tegas, secara

spesifik muatan masing undang-undang sebagai berikut: pertama,

pada UU 22/1999 masih bersifat pasif dan hanya terbatas pada

ruang tugas dan fungsi DPRD sebagai representasi masyarakat.

Kedua, dalam UU 32/2004, ruang partisipasi masyarakat juga

masih bersifat fasif dan terbatas pada tugas DPRD dalam

perumusan peraturan daerah semata. Ketiga, pada UU 23/2014 ruang

partisipasi masyarakat sudah memiliki pola dan cenderung

bersifat aktif, dimana pemerintah daerah disyaratkan mendorong

partisipasi masyarakat berupa aktifitas, cakupan, dan bentuk

partisipasi yang sudah terpola dan terarah.Perubahan UU

Pemerintahan Daerah tersebut menunjukkan adanya penyempurnaan

partisipasi masyarakat, namun demikian belum ada jaminan

pemerintahan daerah akan berkomitmen dalam penerapannya.

Penutup

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

146

Sebagai bentuk penyempurnaan penyelenggaraan pemerintahan

daerah, termuatnya ruang partisipasi masayarakat dalam UU

23/2014 secara khusus dalam Bab tersendiri menunjukkan adanya

peluang penguatan partisipasi masyarakat dimasa yang akan

datang. Namun demikian ketentuan tentang partisipasi

masyarakat masih bersifat fleksibel dan belum tegas, sehingga

dalam penerapannya merlukan dukungan beberapa aspek sebagai

berikut: (1) adanya proses pemilu dan pilkada daerah yang fair

sehingga menghasilkan kepala daerah dan anggota DPRD benar-

benar merakyat dan terbuka pada rakyat; (2) adanya political will

dari kepala daerah untuk menyiapkan perangkat peraturan yang

mendorong partisipasi masyarakat; (3) adanya kemauan kepala

daerah dan DPRD untuk memfasilitasi terbentuknya kelompok-

kelompok masyarakat sebagai social control; (4) adanya social

movement kelompok masyarakat sipil yang independen dan

terbuka; serta (5) adanya dukungan dari media, dalam

memberikan akses informasi bagi masyarakat secara luas.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

147

KAJIAN INTERMESTIK: RUANG KERJASAMA DAERAH TANPABATAS

Oleh: Dwi Wahyu Handayani

Era desentralisasi memberikan ruang kepada pemerintah daerah

untuk memiliki kewenangan, kemandirian dan keleluasaan dalam

mengelola potensi daerah. Kemampuan daerah dalam memanfaatkan

kebijakan desentralisasi, kreativitas dan inovasi menghasilkan

derajat kemajuan daerah yang berbeda. Pemerintah daerah harus

mampu membaca konteks domestik dengan segala kemampuan

biokrasi, lembaga politik, masyarakat, infrastruktur dan

sebagainya. Bahkan, tantangannya semakin nyata dalam

menghadapi fenomena geliat global, yang semakin menyertakan

siapa pun di dalamnya. Realita ini menghadirkan landasan dalam

UU Pemerintahan Daerah yang sejak awal menelaah mengenai

jalinan kerjasama daerah, melampaui batas negara.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

148

Globalisasi telah menegaskan telah tercipta dunia tanpa batas

(borderless world) yang seolah membentuk suatu global village bagi

masyarakat dunia. Referensi global tersebut memberikan

pengaruh dalam proses perumusan kebijakan, sehingga tidak

semata faktor domestik. Konteks internasional, misalnya

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) telah menuntut beberapa hal

diantaranya tercipta pasar bebas, sehingga produk dari negara

Asean bebas masuk ke negara anggota lainnya. Ketentuan

tersebut menciptakan persaingan yang kemudian mengukur daya

saing produk. Produk pertanian misalnya, ketika Indonesia akan

memprioritaskan pada jenis pangan tertentu untuk tujuan ekspor

maka akan terkait kebijakan pemerintah daerah mengenai

pertanian.

Hal yang telah disepakati pemerintah pusat dengan negara lain

mengenai kerjasama dengan negara lain, tentu saja dalam

implementasinya akan terkait pemerintah daerah. Demikian juga

kesepakatan MEA, kunci keberhasilan sesungguhnya adalah

kesiapan pemerintah daerah khususnya di level kota/kabupaten.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah memberikan ruang bagi

pemerintah daerah, untuk melakukan kerjasama dengan

pemerintah daerah, NGO, kelompok bisnis dari negara lain.

Landasan kerja sama daerah terdapat pada UU Pemerintah Daerah

No 23 tahun 2014 pasal 363 bahwa kerja sama dapat dilakukan

oleh daerah dengan lembaga atau pemerintah daerah di luar

negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

149

Kerjasama dengan pihak luar negeri ini tidak menjadi hal yang

wajib, sebagaimana kerjasama antardaerah dalam lingkup

internal.

Pasal 367 menjelaskan bahwa kerja sama daerah dengan lembaga

dan/atau pemerintah daerah di luar negeri meliputi

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; pertukaran

budaya; peningkatan kemampuan teknis dan manajemen

pemerintahan; promosi potensi daerah; dan kerja sama lainnya

yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan dan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan

pemerintah pusat.

Sebelumnya, pra tahapan penandatangan perjanjian

internasional, daerah harus mengikuti mekanisme internal

daerah yaitu adanya pendapat dan pertimbangan DPRD kepada

pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di

daerah serta adanya persetujuan DPRD terhadap rencana

kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Selain itu juga berkoordinasi dengan Departemen Luar Negeri

dan pemerintah pusat.32

Demikian proses globalisasi, para aktor internasional juga

meluas tidak hanya melingkupi negara (state actors) saja, meluas

32 Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh PemerintahDaerah Revisi Tahun 2006. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2006 (Belum ada panduan terbaru yang mengacu kepada UU Pemerintahan Daerah yang baru).

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

150

pada aktor-aktor selain negara (non-state actors) seperti

organisasi internasional, LSM, perusahaan multinasional

(MNCs), media, pemerintah daerah, kelompok-kelompok minoritas,

bahkan individu.

Beragam aktor dalam hubungan dan kerjasama luar negeri di

samping membuat proses pengambilan keputusan semakin kompleks

juga membuka peluang bagi pemantapan diplomasi Indonesia.

Kajian intermestik yang mempertemukan faktor internasional dan

domestik telah secara eksplisit terdapat dalam yang akan

menjadi landasan hukum desentralisasi. Selanjutnya, aturan

teknis dalam implementasinya perlu dijabarkan kembali dalam

aturan menteri, ataupun pedoman teknis, dan perda.

Telaah ini mengharapkan, ada sinergi peran ide dan kepentingan

dari para aktor domestik maupun internasional dalam kebijakan

model. Peran ide sangat berpengaruh dalam proses penyaringan

awal alternatif kebijakan yang didasari oleh transmisi

pengetahuan dari jaringan intelektual, perdebatan ide diantara

koalisi advokasi yang menghasilkan proses learning mengarah pada

konsensus. Sedangkan peran kepentingan aktor sangat

berpengaruh dalam proses politik, yaitu kompetisi diantara

para koalisi advokasi dengan tujuan untuk mengarahkan

keputusan agar sesuai dengan kepentingannya, yang didasari

oleh konsensus ide/keyakinan yang dimilikinya. Dengan demikian

dalam pendekatan intermestik faktor ide dan kepentingan aktor

menjadi sama-sama penting. Hal inilah yang membedakan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

151

pendekatan/model intermestik dengan model-model teori lainnya,

karena sebagian memahami perubahan kebijakan hanya sebagai

proses perjuangan kepentingan aktor domestik atau

internasional saja, dan sebagian yang lain memahami perubahan

kebijakan sebagai proses transmisi ide/pengetahuan sehingga

kalaulah terjadi perubahan kebijakan domestik pasti melibatkan

interaksi transnasional.33

Jaringan kerjasama pemerintah daerah dan pihak luar negeri

juga menegaskan adanya diplomasi pararel. Stephane Paquin

menjelaskan bahwa “paradiplomacy when a mandate has been granted to

official representatives of a sub-state government in order to negotiate with

international actors. Jose Luis Rhi Sausi menyatakan “parallel diplomacy

as “the participation of non-central government in iternational relations by

establishing ad hoc contacts with private and public entities abroad,with the

objective of promoting socioeconmic and cultural affairs as well as any other

external dimension of its constitutional competencies.”34

Diplomasi pararel memberikan arahan bagi pemerintah lokal

untuk melakukan negosiasi dengan aktor internasional “economic

and trade policy:the promotion and attraction of foreign investment and decision

making centers;the promotion of exports, science and technology,

33 Dyah Estu Kurniawati. Pendekatan Intermestik Dalam Proses Perubahan Kebijakan:Sebuah Review Metodologis. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jshi/article/view File/1519/1623. Diakses pada 20 April 2015.

34 Maria Eugenia Cruset (editor). 2011. Migration and New International Actors: An OldPhenomenon Seen With New Eyes. Penerbit Cambridge Scholars Publishing.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

152

energy,environment, education, immigration and persons mobility, multilateral

relations, international development and human rights, are all part of the main

issues of parallel diplomacy.”35

Kerjasama pemerintah daerah dengan pihak luar negeri masih

perlu dioptimalkan. Data Direktorat Penataan Perkotaan Ditjen

Bina Pembangunan Daerah, jumlah daerah yang telah menjalankan

kerjasama sister city sampai tahun 2013 adalah sebanyak 102 dalam

bentuk Memorandum of Understanding (MoU).36 Beberapa hal yang

menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan kerjasama

tersebut, antara lain: belum tersedianya pedoman pelaksanaan

yang detail sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi

dalam pelaksanaan kerjasama tersebut; kurang siapnya

pemerintah daerah/kota dan komunitas yang akan terlibat dalam

kerjasama sister city; belum ada sinkronisasinya informasi yang

dibutuhkan antardaerah/komunitas terhadap kota di luar negeri

yang akan diajak/mengajak kerjasama sister city; belum sesuainya

bidang-bidang yang akan dikerjasamakan dengan potensi dan

kebutuhan daerah/komunitas; dan belum tercantumnya

program/kegiatan kerjasama sister city dalam dokumen perencanaan

pembangunan daerah, sehingga kegiatan sister city belum mendapat

dukungan anggaran yang memadai.37

35 Ibid.36 Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah Jumat, 21 Oktober 2014.http://www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38. Diaksespada 20 April 2015.

37 Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah. Jumat, 21 Oktober 2014 15:38WIB. http://www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38.Diakses pada 20 April 2015.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

153

Kelemahan lainnya adalah perbedaan sistem hukum di negara

asing dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Pola

koordinasi yang hanya bersifat vertikal menimbulkan konflik

antardaerah otonom. Misal, konflik investasi Bandara

Adisucipto Yogyakarta, antara Kabupaten Kulon Progo dengan

Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Kabupaten Kulon Progo

membuat perjanjian kerjasama dengan Cekoslovakia untuk

mengembangkan bandara internasional. Sedangkan pihak

pemerintah Provinsi DIY menjalin kerjasama dengan investor

dari Eropa untuk membangun bandara di Kabupaten Bantul.38

Catatan penting bagi implementasi UU Perintahan Daerah

khususnya pada bab kerjasama daerah adalah bagaimana

pemerintah provinsi yang saat ini memiliki kewenangan

dominan, mampu memfasilitasi antar kota/kabupaten

bersinergi dalam pengembangan kerjasama antardaerah dan

dengan pihak luar negeri.

38 Takdir Ali Mukti. Tinjauan Yuridis dan Teoritis Terhadap Kerjasama Internasional DaerahOtonom. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.http://www.academia.edu/2307909/Tinjauan_Yuridis_Dan_Teoritis_Terhadap_Kerjasama_Internasional_Daerah_Otonom. Diakses pada 20 April 2015.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

154

Politik Hukum UU Pemeritahan Daerah: Desentralisasisuatu keharusan Oleh: Suwondo

Pendahuluan

Ada tiga konsep yang terkait satu dengan yang lain jika kita

membahas masalah Pemerintahan Daerah di Indoneia yakni

demokrasi, desentralisasi dan negara kesatuan Republik

Indoesia. Setelah tumbangnya pemerintshan Orde Baru, dan

muncul orde reformasi, harapan masyarakat akan bertumpu pada

pemerintahan yang didukung oleh rakyat, sehingga pemerintahan

yang didukung oleh rakyat diharapkan akan menjadi obat bagi

rakyat dalam menata kehidupan mereka baik bernegara berbangsa

dan bermasyarakat. Perubahan yang bersifat struktural dan juga

kultural, diharapan akan mnjadi pliar dalam berbagai aspek

ketataanegaraan, baik sistem aturan dan juga aktor yang

terlibat di dalam. Itu lahyang disistilah sebagai proses

demokratisasi dalam berbagai bidang, dengan nengedepnkan

kedaulatan di tangan rakyat.

Proses demokratisasi tersebut dalam tataran berikut jelas akan

berimplikasi pada sistem pemerintahan daerah yang tadi

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

155

bersifat otoriter dan cenderung sentralistik menjadi

desentralistis. Dalam tataran yuridis masalah pemerintahan

daerah tersebut muncul dengan dikeluarkannya UU No. 22 Thun

1999. Namun desentralisasi yang diatur UU tersebut menjadi

melambat setelah dikeluarkan UU No. 32 tahun 2004, walau dalam

undang-undang ini mulai diatur mengenai pilkada yang dipilih

secara langsung, mengiringi pemilihan presiden dan wakil

presiden yang juga dilaksanakan secara langsung. Dengan

berlakunya UU no. 32 tersebut, era sentralisasi kembali

menguat, karena walupun daerah diberi otonomi daerah, namun

kebebasan dan kemandirian daerah utnutk mengatur rumah

tangganya dibatasi oleh pemerintah atasnya. Sebagai contoh,

karena bersifat negara kesatuan, maka peraturan daerah (perda)

atau pejabat eselon tinggi harus mendapat persetujuan dari

pemerintah di atas. Dengan kata lain walaupun UU tersebut

menganut paham desentraliasi, tapi dsentraliasi yang dilakukan

masih kuat unsur sentralisasinya. Undang No. 32 tahun 2004

tersebut berlanjut dengan perubahan UU pemda yang baru yakni

UU no. 23 tahun 2014 dan revisinya UU no. 2 tahun 2015, tetap

unsur desentralisasi yang bertopeng sentralisasi masih cukup

menonjol.

Nampaknya desentralisasi di Indonesia, akan selalu rumit.

Kerumitan tersebut salah satunya dikaitkan dengan aspek lain

yakni bentuk negara Indonesia yang menganut negara kesatuan

(unitary state) yang lebih fokus pada penyeragaman daripada

perbedaan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

156

Desentralisasi dan Negara Kesatuan

Desentralisasi yang bermakna penyerahan wewenang dari

pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya

sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerah yang

bersangkutan. Karena pengaturan tersebut disesuaikan dengan

kebutuhan dan kemampuan daerah, maka desentralisasi jelas

ingin menghilangkan keseragaman yang diciptakan oleh pusat,

serta mengakui hak-hak tradisional masyarakat yang memiliki

karakteristik beranekaragam serta ciri khas sejarah, budaya,

teknologi, pranata dan nilai-nilai sosial, maupun kearifan

lokal lainnya. Oleh sebab itu jika pemerintah terutama

pemerintah pusat mengabaikan fakta obyektif berupa sumber daya

alam, kekayaan dan warisan budaya atau yang berpikir bahwa

masyarakat bergerak linier dalam satu arah dan cara yang sama,

bukanlah desentralisasi yang sesungguhnya.

Maka, ketika UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU Nomor 32/2004,

dan sekarang diganti dengan UU no. 23 Tahun 2014 yang dirivisi

lagi dengan UU N. 2 tahun 2015, munculah banyak kritik dan

keberatan dari berbagai kalangan, khususnya aktor-aktor di

tingkat lokal. Aturan yang baru ini dianggap membawa agenda

sentralisasi atau penyeragaman baru, dengan dibungkus pada

agenda kerangka negara kesatuan. Semangat keragaman menjadi

menipis, dan pengakuan terhadap karakteristik yang khas dari

suatu daerah semakin menghilang. Atas berbagai kritik ini,

berkembanglah wacana tentang bagaimana sebaiknya

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

157

desentralisasi yang ideal untuk kondisi Indonesia mendatang

desentralisasi yang seragam layaknya dalam negara kesatuan

atau desentraliasi yang tidak seragam disesuaikan dengan

kondisi daerah?

Dalam UU yang terbaru tersebut termuat 411 pasal termasuk

lampiran yang tidak terpisahkan. Ada hal yang manarik bahwa

dalam undang-undang diatur bahwa ada kewenangan obsulut,

konkuren dan juga pilihan yang diperjelas dalam lampiran. Di

samping itu dalam penjelasan dinyatakan bahwa Pemberian

otonomi seluas luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan

prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan

hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional

dan tidak ada kedaulatan pada daerah. Oleh karena itu, seluas

apapun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab

akhir penyelenggaraan pemerintahan tetap ada ditangan

Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintah Daerah pada Negara

Kesatuan Merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan.

Nasional. Kedua hal tersebut yang menarik untuk dikaji dalam

bagian berikut:.

Dari Penjelasan undang-undang pemerintahan tersebut jelas dan

tegas bahwa desentralisasi dalam negara kesatuan tetap terikat

kepada pemerintahan pusat dan ketentuan yang mengatur dalam

pembagian kekuasaan tersebut jelas menunjukkan bahwa

pemerintah pusat membagi kekuasaan secara kaku dengan mengatur

secara detail urusan-urusan yang boleh dilakukan dan tidak

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

158

boleh dilakukan Pemerintah Daerah. Dengan pembagian urusan

secara detail, berarti pemerintah pusat benar-benar masuk

terlalu dalam untuk mengatur dan terlibat langsung pada

pemerintahan daerah. Untuk ini, penulis melihat bahwa

desentralisasi masih menjadi pemanis saja, karena dibatasi

hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan

pemerintah daerah. Seharus pemerintah pusat tidak bersifat

demikian, tapi menyerahkan seluruh urusan kepada daerah,

kecuali kewenangan obsolut. Kalau mau desentralisasi berjalan

sesuai dengan kemapuan dan juga aspirasi yang berkembang di

masyarakat.

Di samping hal di atas, maka dalam lampiran dari undang-undang

pemerintahan yang baru jelas menggambarkan urusan-urusan yang

menjadi kewajiban pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan

juga pemeritah kabupaten/kota. Dengan pembagian urusan yang

demikian, memaksa kewenangan pemerintah sudah dibatasi mana

yang menjadi hak pemerintah pusat dan juga mana yang menjadi

hak pemerintah daerah.

Menghadapi ketentuan yuridis demikian, jika revisi kembali

tidak dapat dilakukan dengan segera, maka apa yang dapat

dilakukan oleh Daerah? Lalu, apakah desentralisasi dalam

konsep negara kesatuan menjadi hal yang tidak mungkin? Untuk

itu penulis melihat bahwa membicarakan desentralisasi yang

dalam negara kesatuan mestinya tidak dipersepsikan sebagai

bentuk penyimpangan dari ide dasar desentralisasi yang

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

159

mengedepankan “keseragaman”, namun justru dipandang sebagai

instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni

menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara,

sehingga keinginan masyarakat terpenuhi, sekaligus

memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal. Pembangunan

demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat

dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan

karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang sejarah

masing-masing daerah kedalam sistem kebijakan nasional. Dan

mengingat bahwa setiap daerah / wilayah dalam sebuah negara

memiliki anatomi politik, sosial, maupun kultural yang

beragam, maka desain desentralisasi yang berbeda (atau

asimetris) menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari

terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah nasional.

Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara

federal pada masa modern sekarang ini, desentralisasi

cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik

melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi ekonomi

melalui perimbangan keuangan dan fiskal, namun juga menjadi

strategi kultural untuk merealisasikan prinsip diversity in unity

atau unity in diversity. (Jurnal Borneo Adminitsrtor, Vol. 6 no.2

tahun 2010).

Dengan desentralisasi yang berbeda ini urusan pemerintah yang

pilihan dapat disikapi oleh Pemerintah Daerah dengan

mengidentifikasikan potensi dan karakteristik daerahnya

masing-masing, dan tidak perlu berkecenderungan bahwa seluruh

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

160

bidang urusan harus dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah

yang tidak memiliki wilayah laut, tentu tidak layak membentuk

Dinas Perikanan dan Kelautan. Demikian pula suatu daerah yang

bercirikan kota besar, bahkan metropolitan, pembentukan Dinas

Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang tidak perlu. Jika

setiap daerah tidak memiliki orientasi untuk membentuk

kelembagaan secara maksimal, maka desentralisasi asimetris

berdasarkan jenis-jenis urusan akan terbangun dengan

sendirinya.

Jika kita lihat pada fakta politik, maka desentralisasi yang

berbeda sesungguhnya juga sudah terjadi di Indonesia dalam

bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah. Saat ini,

terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas

untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk

provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( UU No. 21/1999) dan

Nangroe Aceh Darussalam (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006),

serta 4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (UU No.

29/2007). Ketika beberapa bentuk otonomi dijalankan secara

bersamaan seperti inilah, maka desentralisasi berbeda telah

terjadi.

Pemberian desentralisasi tidak akan mengancam keutuhan negara

kesatuan, negara-negara kesatuan di dunia juga banyak yang

menerapkan desentralisasi asimetris, seperti di Jepang, China,

atau Perancis. Faktanya, meskipun mereka menerapkan

desentralisasi asimetris, namun keutuhan atau integritas

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

161

negara kesatuan tidak tergoyahkan. Di Jepang, desentralisasi

asimetris bisa disaksikan dalam kebijakan Penetapan suatu

daerah sebagai kota inti (Chukaku-shi) atau kota dengan kasus

istimewa (Tokurei-shi). China juga memberikan perlakuan

berbeda kepada daerah melalui penerapan konsep market

decentralization. Berdasarkan konsep ini, pemerintah China

menciptakan kawasan ekonomi khusus, kota-kota pantai (open

coastal cities), dan zona pembangunan. Pada tahun 1978

ditetapkan empat kawasan ekonomi khusus, yakni Shenzhen,

Zhuhai, Shantou dan Xiamen. Kebijakan ini dibarengi juga

dengan pemberian otonomi yang sangat luas kepada provinsi

Guangdong and Fujian untuk membangun ekonomi di wilayahnya,

misalnya diberikannya kewenangan untuk menyetujui investasi

bernilai lebih dari US $ 30 juta. Untuk lebih memperkuat

market decentralization tadi, hingga 1984 telah ditetapkan 14

kota-kota pantai dan beberapa kota di pedalaman (sepanjang

daerah aliran sungai Yangtze dan perbatasan dengan Russia)

yang diberikan kewenangan luas serupa dengan kawasan ekonomi

khusus (Montinola, Qian and Weingast, dalam Basuki, 2006). Hal

serupa terjadi di Perancis dimana dari 22 Region yang ada,

wilayah Corse atau Corsica merupakan region yang diberi

otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh 21 Region lainnya.

Secara obyektif hal ini didorong oleh posisi geografis Corsica

yang agak terpisah dari wilayah daratan serta memiliki latar

belakang sejarah yang spesifik (Tri Widodo, dalam Jurnal

Borneo Administrator, 2010).

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

162

Terakhir bahwa demokratisasi, desentralisasi dan negara

kesatuan bukanlah sebagai tujuan, namun hanya alat atau cara

untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, yakni

pemerintahan yang bertanggung jawab dan menciptakan

kesejahteraan bagi masyarakat keseluruhan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

163

Biodata Para Penulis

Ari Darmastuti

Lahir di Gunung Kidul dan mengabdi sebagai dosen di JurusanIlmu Pemerintahan UNILA sejak tahun 1986. Meraih gelar s1 darijurusan Ilmu Pemerintahan UGM, S2 bidang ilmu Politik dariIowa State University Amerika Serikat dan menyelesaikan gelarDoktor dari Universitas Indonesia. Saat ini menjabat ketuaProgram Studi Magister Ilmu Pemerintahan, UNILA.

Arizka Warganegara

Mulai mengabdi di jurusan Ilmu Pemerintahan sejak tahun 2006.Pernah menjadi mahasiswa berprestasi Unila. Menyelesaikan S1dari Jurusan Ilmu Pemerintahahan tahun 2003. S2 bidang ilmupolitik diperoleh tahun 2005 dari Universiti KebangsaanMalaysia. Saat ini sedang menyelesaikan program s3 di bidangGeografi Politik di Leeds University, Inggris. Tulisannyatersebar di media nasional seperti Media Indonesia dan KoranSindo, Kolumnis tetap di Lampost ini adalah anggota dewanpakar lampung post.

Budi Kurniawan

Studi s1 di bidang Ilmu Pemerintahan diselesaikan di UGM.Mengabdi di Jurusan Ilmu Pemerintahan UNILA sejak tahun 2006.Memperoleh beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) untukmengambil gelar master dalam bidang kebijakan Publik di ANU,Canberra, Australia. Tulisannya tersebar di media nasionalseperti the Jakarta Post dan Republika. Saat ini diamanahiJabatan Kepala Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi DaerahFISIP UNILA dan konsultan dan penelti di Kemitraan Jakartauntuk Program Indonesia Governance Index ( IGI )

Darmawan Purba

Beliau adalah Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila,Terlahir di Aceh Tamiang 1 Juni 1981 menempuh studi S1 diJurusan Ilmu Pemerintahan Unila, dan melanjutkan ProgramMaster di Kampus yang sama. Selain mengajar beliu aktif

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

164

melakukan survey-suvei opini public dan berbagai risetnasional.

Denden Kurnia Drajat

Beliau ada ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan. Pria kelahiran 29Juli 1960 ini menyelesaikan studi S1 di Universitas Padjajarankemudian melanjutkan S2 medapatkan gelar magister diUniversitas yang sama. Menjadi dosen di Juruan PemerintahanUNILA sejak tahun 1990.

Dwi Wahyu Handayani

Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan dan mengajarjuga di Jurusan Hubungan Internasional Fisip Unila.Lulusan S1 Jurusan Hubungan Internasional UniversitasMuhammmadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 2001. Kemudianmelanjutkan S2 Ilmu Politik konsentrasi Politik Lokaldan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada, dan selesaitahun 2004.

Feni Rosalia

Meraih gelar Doktor bidang Ilmu Pemerintahan dari UniversitasPadjajaran Bandung tahun 2012. Gelar master bidang komunikasiPembangunan dari IPB. Ibu super sibuk kelahiran tahun 1969 iniadalah mahasiswa s1 terbaik di Jurusan Pemerintahan padaangkatannya. Mengajar di Jurusan Pemerintahan sejak tahun1990.

Hertanto

Menyelesaikan s1 dari jurusan Ilmu Pemerintahan Undip dan s2dari Universitas Gadjah Mada dalam bidang ilmu politik. Pernahmenjabat menjadi Dekan FISIP UNILA. Tahun 2013 beliaumenyelesaikan gelar Philosophy of Doctor (Ph. D) di bidangIlmu Politik dari Universiti Kebangsaan Malaysia, menjadidosen di Jurusan Pemerintahan FISIP UNILA sejak tahun 1986.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

165

Himawan Indrajat

Pria kelahiran kota Purwokerto tahun 1983 ini menyelesaikan s1dari jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal SoedirmanPurwokerto pada tahun 2006, dan kemudian melanjutkan S2jurusan Ilmu Politik di Universitas Indonesia sertamenyelesaikannya pada tahun 2008. Aktivitasnya sekarangmenjadi dosen jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UniversitasLampung, sementara dalam kegiatan kemasyrakatan aktif dalamorganisasi kepemudaan Pemuda Muhammadiyah provinsi Lampung.

Pahada Hidayaat

adalah Praktisi Pemerintahan. Bekerja pada pemkab TulangBawang Prov. Lampung. Telah mengalami beberapa kali penugasandi lapangan, sebagai Camat, yang bersentuhan langsung dengankehidupan masyarakat bawah. Pernah sebagai Kabag Hukum,Asisten 1, 2 dan 3, serta pernah menjadi Plt. Sekda TulangBawang Barat dan penugasan Plt. Kepala BKD dan lainnya. Meraihgelar Doktor pada prodi Kajian Budaya dan Media (KBM) UGM, S2Magister Hukum Unila, S1 FH Unila.

Purwo SantosoProfessor Politik dan Pemerintahan UGM ini adalah lulusan Ph.Ddari Department of Government, London School of Economics andPolitical Science (LSE), tahun 1999. Sebelumnya meraih gelarmaster dalam bidang development studies dari University ofSaint Marry, Hellifax, Canada. Gelar s1 diperoleh dari JurusanIlmu Pemerintahan UGM. Saat ini menjabat ketua Departement ofPoltics and Governement, UGM. Aktivitas Sosialnya antara lainadalah wakil ketua PW NU DIY. Banyak menulis buku dan jurnalinternasional tentang politik dan pemerintahan.

Robi Cahyadi Kurniawan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

166

Pria kelahiran April 1978 ini merupakan dosen jurusan IlmuPemerintahan yang concern pada kajian Ilmu Politik danPemerintahan. Menyelesaikan S1 dalam bidang Ilmu Pemerintahandi Universitas Padjadjaran Bandung sebagai lulusan tercepatdan terbaik tingkat Fakultas. Setelah dari Bandung beliauterbang ke Jogyakarta untuk mengambil gelar S2 bidang IlmuPolitik di UGM dengan tema research tentang Voting Behaviour. Saatini sedang menempuh pendidikan Doktor dalam bidang IlmuPolitik di UNPAD Bandung. Beliau adalah pengamat politik danpemerintahan yang pendapatnya banyak dikutip media lokal besarseperti Tribun Lampung, Radar Lampung dan Lampung Post.Kajian dan pendapatnya beberapa kali dimuat di harian Kompasuntuk menganalisa perpolitikan di Provinsi Lampung. Wajahnyaseringkali menghiasi televisi lokal Lampung seperti TVRILampung, Radar TV, Sindo (LTV) dan Siger TV sebagaipengamat. Menjadi dosen JIP UNILA sejak tahun 2005.

Suwondo

Lahir di Ketapang Sungkai pada tahun 1959. Memperoleh gelar S1Jurusan Ilmu Pemerintahan lulus tahun 1984. Meraih gelarmaster of art dari Universitas Indonesia tahun 1991. Bapakdari tiga orang anak dan kakek dari empat orang cucu adalahperaih Doktor Politik Pertama di Provinsi Lampung yangdiselesaikannya pada tahun 2002. Pernah menjabat ketua KPUProvinsi Lampung tahun 2003-2009. Ketua KKN UNILA 2008-2013.Ketua tenaga ahli Gubernur Lampung 2011-2014

Syafarudin

Meraih gelar s1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA.Meraih gelar MA dari Universitas Gadjah Mada. Tulisannyatersebar di media nasional dan lokal. Pernah menjabat KetuaHimpunan Mahasiswa Pasca UGM. Menjadi dosen di JurusanPemerintahan UNILA sejak tahun 2005. Menjadi ketua LabpolotdaJIP UNILA dari tahun 2011 hingga tahun 2015.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

167

Syarief Makhya

Meraih galar Doktor dalam bidang Ilmu Pemerintahan dariUniversitas Padjajaran Bandung 2013. S2 dibidang kebijakanPublik ditempuh di Universitas Brawijaya Malang. Priakelahiran Bandung tahun 1959 ini memperoleh gelar s1 IlmuPemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung. Pernahmenjabat menjadi wakil dekan bidang akademik di FISIP UNILA.Beliau juga merupakan aktivis sosial di PW MuhammadiahLampung. Tulisan beliau tersebar di media nasional dan lokal.

Penulis Tambahan:

Andri Marta

Pria kelahiran Bandar Lampung, 4 Maret 1990, merupakan putrapasangan bapak toni dan ibu Dra. Rosiaani Lakhan Meraih gelarS1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA. Meraih gelarMagister Ilmu Pemerintahan pada Tahun 2015. Pernah beberapakali mengikuti pelatihan dan juga seminar baik di tingkatlokal maupun nasional. Sejak awal April 2015 menjadi DosenKontrak di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA.

Melyansyah

Lahir di Bandar Dewa sebuah desa terpencil di Kabupaten TulangBawang Barat. Merupakan putra pertama dari pasangan BapakSobri Abdullah dan Ibu Fatimah. Dalam kegitan sehari-hariaktif dalam menganalisis kajian politik dan pemerintahan dankebetulan sekarang sedang belajar sebagai peneliti muda diLaboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah FISIP Unila.Pernah beberapa kali aktif dalam forum diskusi politik danpemerintahan, terakhir mengikuti diskusi dan debat dalam Politicand Governance Day 2015 (POLGOV Day) di Universitas Gajah Mada.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA