Upload
anu-au
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Proceeding Seminar Nasional"UU Pemda: Solusi atau Masalah Yang Baru?"
Bandar Lampung, 30 April 2015
Desentralisasi atauResentralisasi ?
Tinjauan Kritis Terhadap UU NO23/2014
Budi Kurniawan ( Ed.) Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
Proceeding Seminar Nasional"UU Pemda: Solusi atau Masalah Yang Baru?"
Bandar Lampung, 30 April 2015
Table of Contents Rekomendasi Hasil Seminar Nasional..................................1 UNDANG-UNDANG SEBAGAI SANDARAN NASIB DAERAH ?: Refleksi
Desentralisasi di Indonesia Oleh: Purwo Santoso.....................3 Arah Politik Pemerintahan UU NO 23/2014 Oleh: Ari Darmastuti.......10 PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF UU No. 23 TAHUN
2014 Oleh: Syarief Makhya........................................17 UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014: PEMERINTAHAN DAERAH YANG EFEKTIF-
EFISIEN DAN RESENTRALISASI Oleh: Hertanto..........................25 Menyoal Lahirnya UU No.23 Tahun 2014: KEBIJAKAN DESENTRALISASI :
DOMINASI NEGARA DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMERINTAHAN DI DAERAH Oleh: PAHADA HIDAYAT.....................................................34
Kritik dan Saran Untuk Perbaikan UU 23 tahun 2014 Oleh: Budi Kurniawan..........................................................44
NAWACITA DAN DESENTRALISASI ASIMETRIS: SEKEDAR JANJI ATAU SOLUSI SERIUS MENGATASI PROBLEMATIKA OTONOMI DAERAH DI INDONESIA OLEH: SYAFARUDIN.........................................................54
KEPEMIMPINAN POLITIK LOKAL (Telaah Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah) Oleh : Robi Cahyadi Kurniawan..........................62
UU NO.23/2014 dan Menggagas Model Pilgub (Catatan untuk RUU Pemilukada) Oleh: Arizka Warganegara...............................70
UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah : Simalakama Bandul Kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota Oleh : Feni Rosalia.........74
OTONOMI DAERAH VS SENTRALISASI BARU OLEH: Denden Kurnia Drajat, M.Si...................................................................78
DINAMIKA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH di INDONESIA Oleh : Himawan Indrajat...........................................................83
KEWENANGAN KEPALA DAERAH PASCA UU PEMERINTAHAN YANG BARU “DITAMBAH ATAU DIPERSEMPIT” Oleh: ANDRI MARTA................................87
“Transparansi Pemerintahan”, Dapatkah Terwujud? Oleh: Melyansyah...92 Menakar Peluang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah- Oleh : Darmawan Purba.........................99 KAJIAN INTERMESTIK: RUANG KERJASAMA DAERAH TANPA BATAS Oleh: Dwi
Wahyu Handayani...................................................105 Politik Hukum UU Pemeritahan Daerah: Desentralisasi suatu keharusan
Oleh: Suwondo.....................................................110 Biodata Para Penulis..............................................116
Budi Kurniawan ( Ed.) Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
1
Rekomendasi Hasil Seminar Nasional
Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Jurusan Ilmu
Pemerintahan Universitas Lampung dan Program Studi Magister
Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung memberi sumbangsih
pemikiran dalam rangka perbaikan Undang-Undang Pemerintahan
daerah dengan menyelenggarakan Seminar Nasional dengan Tema;
“UU Pemerintahan Daerah: Solusi atau Masalah yang Baru ?”,
pada tanggal 30 Oktober 2015 bertempat di Universitas Lampung.
Pembicara utama dalam seminar ini adalah para penggiat Ilmu
Pemerintahan di Indonesia yakni; Professor Purwo Santoso,
Ph.D, Dr. Syarif Makhya ( MIP UNILA), Hertanto Ph.D ( MIP
UNILA ), Dr. Suwondo ( MIP UNILA ) , dan Syafarudin, MA
( Labpolotda UNILA ). Pemmbicara dari praktisi adalah Dr.
Pahada Hidayat (perwakilan APKASI Lampung). Peserta yang
hadir beraneka ragam dari unsur akademisi, mahasiswa, wartawan
dan perwakilan pemerintah kabupaten dan kota se Provinsi
Lampung.
Adapun tujuh butir rekomendasi kami sebagai hasil seminar ini
adalah sebagai berikut:
1. Seminar ini memandang UU No.23/2014 menegasikan demokrasi
partisipatif atau cacat secara proses pembuatan kebijakan
karena tidak adanya uji publik dan keterlibatan policy networks
seperti Pemerintah Daerah, Kampus, masyarakat sipil dan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
2
sebagainya. Untuk itu kami menghimbau agar peraturan teknis
turunan UU ini jangan hanya menjadikan pemerintah daerah,
kampus, masyarakat sipil, dll sebagai objek sosialisasi
kebijakan saja setelah aturan dibuat, namun haruslah
melibatkan mereka secara aktif dan partisipatif dalam proses
kebijakannya.
2. Seminar ini memandang perlunya semangat nawacita Presiden
Jokowi yang merekomendasikan asymetric decentralization yakni
penguatan ciri khas masing-masing daerah ketimbang
penyeragaman oleh pusat segera terelalisasikan.
3. Seminar ini bersepakat bahwa UU No.23/ 2014 telah kehilangan
semangat otonomi daerah yang merupakan cita-cita reformasi
1998. UU ini jelas mempunyai semangat dan misi
resentralisasi ala orde baru ketimbang otonomi daerah.
4. Seminar ini menilai perlu adanya pemahaman yang benar
tentang otonomi sesuai dengan Undang-Undang Dasar yakni
dilakukan secara seluas-luasnya. Kami juga menolak autarkhi
yakni daerah berbuat semau-maunya.
5. Seminar ini mengingatkan kembali bahwa daerah jangan
diposisikan sebagai taklukan pusat, namun daerah adalah
mitra sejajar pemerintah pusat dalam menjalankan
pemerintahan demi mewujudkan cita-cita bangsa.
6. Seminar ini mengingatkan kembali tentang semangat membangun
Indonesia dari pinggiran, membangun Indonesia dari daerah
bukan dari Jakarta. Membangun Indonesia secara bottom-up
ketimbang top-down.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
3
7. Seminar ini menyadari akan adanya kelemahan UU 32 / 2004,
namun solusinya tidaklah dengan merampas kewenangan yang
merupakan modal dasar pembangunan daerah namun dengan
meningkatkan pengawasan. Untuk itu daerah perlu diawasi
secara demokratis dengan melibatkan partisipasi masyarakat
bukan dengan mencabut kewenangan.
Demikianlah rekomendasi seminar nasional “UU Pemerintahan
Daerah: Solusi atau masalah baru ?
Semoga Tuhan yang Maha Esa merestui setiap usaha kita
memperbaiki bangsa ini.
UNDANG-UNDANG SEBAGAI SANDARAN NASIB DAERAH ?:Refleksi Desentralisasi di Indonesia
Oleh: Purwo Santoso
Ketika suatu undang-undang ditetapkan berlakunya, hampir bisa
dipastikan akademis memperdebatkannya. Pasokan pemikiran
kritis yang telah diasah di kampus dari hari ke hari, segera
dicurahkan untuk itu. Kejadian selanjutnya mudah di tebak.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
4
Undang-undangyang oleh para penyusunnya dimaksudkan sebagai
konsensus terbaik untuk mengatasi masalah yang
didefinisikanbisa jadi mendaptkan apresiasi bertubi-tubi,
namun yang lebih sering adalah menjadi bulan-bulanan.
Pemerintah nasional, yang dalam hal ini berada dalam posisi
sebagai penentu isi undang-undang, menjadi sasaran tembak,
menjadi tempat menumpahkan sumpah serapah. Baik puja-puji
maupun kritik dan caci-maki diartikulasikan dengan begitu
bersemangat karena sebetulnya telah ada kesepakatan diam-diam
bahwa undang-undang adalah sandaran nasib. Baik-buruknya nasib
kita, seakan ditentukan oleh isi undang-undang tersebut.
Seakan-akan realita tercipta sekedar karena undang-undang itu
ada, dan undang-undang itu akan terimplemasi secara sempurna.
Tulisan pendek ini bermaksud untuk membahas hal yang sangat
spesifik, yakni pemerintahan daerah masa depan, pasca
diberlakukannya Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Hanya saja, penulisannya didasari oleh
kesadaran bahwa adanya undang-undang tidak dengan serta-merta
menciptakan realita baru. Tentu saja, undang-undang ditulis
dengan visi tertentu, namun kesepakatan diam-diam kita usung
bisa menjadi pembatal misi undang-undang tersebut. Adanya,
apalagi kuatnya, resistensi secara terselubung atau kepatuhan
palsu terhadap misi undang-undang menjadikan implementasi
undang-undang adalah penggalan misi. Jelasnya, tulisan inipun
berusaha untuk melakukan refleksi kritis atas penataan
pemerintahan daerah di Indonesia, hanya saja bidikannya tidak
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
5
hanya kepada pemerintah nasional, melainkan juga pada
pemerintah daerah, bahkan komunitas keilmuan yang begitu
leluasa melontarkan kritik. Bidikannya bukan hanya text yang
tertera pada naskah Undang-undang itu sendiri, melainkan text
yang tersirat dibalik perilaku kita dalam berpemerintahan.
Refleksi dilakukan dengan mencoba untuk keluar dari jebakan
legalisme dalam tradisi pemerintahan.
Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa Undang-undang N0. 23tahun
2015 (UU 23/2014) membawa misi resentraisasi. Karena makalah-
makalah lain yang disiapkan dalam prosiding ini telah
membeberkan hal itu, makalah ini sengaja tidak melakukan
repetisi. Pemerintah nasional, khususnya Kementerian Dalam
Negeri yang memimpin penyusunan undang-undang ini tentu saja
punya alasan kuat untuk mengusung resentralisi. Ada tiga hal
yang secara simultan hendak didielaborasi di sini: (1) urgensi
dan relevansi sentralisasi, (2) mengapa resentralisasi tak
terelakkan, dan (3) apa yang secara keilmuan bisa dan perlu
dilakukan untuk mengkerangkai penataan pemerintahan Indonesia.
Agar reaksi kita terhadap UU 23/2014 tidak bersifat emosional,
ada baiknya kita membaca text yang ada dengan kesadaran
sejarah. Undang-undang ini masih saja menuntaskan respon,
kalau bukan koreksi, terhadap perubahan mendasar dan dramatis
di era krisis, menyusul runtuhnya tatanan sentralistik yang
terbakukan di era Orde Baru. Perubahan mendasar dan mendadak
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
6
yang terjadi saat itu lebih digerakkan oleh kemarahan terhadap
sentralisme yang berselingkuh dengan
otoritarianisme, dari pada digerakkan oleh keperluan untuk
mengoptimalkan peran daerah dalam mencapai tujuan Indonesia.
Dalam kemarahan itu, undang-undang yang diberlakukan yakni
UU 22/1999 tidak dilengkapi dengan skenario dan managemen
transisi yang memadai. Bukan hanya lokus penyusunan undang-
undang pemerintahan daerah, yang biasanya berada di Departemen
Dalam Negeri, bergeser ke DPR RI. Meskipun dilafalkan sebagai
‘pelimpahan’ kewenangan, desentralisasi sebetulnya lebih
dirasakan sebagai ‘relokasi’ kewenangan ke daerah-daerah,
kalau bukan ‘penjarahan’ kewenangan daerah melalui jalur
hukum. Harap dicatat, setelah UU 22/1999 ditetapkan,
Undangundang Dasar kita, khususnya yang mengatur pemerintahan
daerah, juga diubah secara mendasar. Di sana ada frase yang
bersifat mengunci, bahwa otonomi daerah diberikan secara
‘seluas-luasnya’ dalam bingkai ‘Negara Kesatuan Republik
Indonesia’. Artinya semua ini ? Undang-undang, sebetulnya
adalah medium tarik ulur kepentingan. Pencantuman otonomi
‘seluas-luasnya’ dalam konstitusi, sedikit banyak mempersempit
ruang gerak pemerintah nasional, manakala suatu saat akan
melakukan resentralisasi.
Antisipasi tersebut memang benar adanya. Dalam kadar yang
relatif terbatas, resentralisasi terasa dalam UU 32/2004.
Sebagai contoh, upaya untuk menjamin luasnya otonomi daerah di
level Kabupaten/Kota dengan cara tidak mendudukkannya sebagai
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
7
bawahan gubernur, dicabut oleh undang-undang tersebut. Hal itu
berlangsung ketika Indonesia sudah mulai keluar dari situasi
krisis. Dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang telah membawa Indonesia bergeser lebih jauh
dari suasana krisis telah menjadi periode untuk mengembalikan
kendali pemerintahan ke Kementerian Dalam Negeri, dan draft RUU
yang mengusung semangat resentralisasi, tuntas dibahas dengan
DPR pada hari terakhir anggota DPR RI periode 2009-2014
bekerja.1
Dari refleksi perjalan sejarah ini penting juga untuk dicatat
bahwa tuntutan dan realisasi gagasan pemerintahan berotonomi
luas, sangat erat kaitannya dengan ideologi yang mengkerangkai
publik kala itu. Gagasan otonomi seluas-luasnya meluap tidak
lama setelah Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara
meredeka, dan bingkai ideologi saat itu adalah liberalisme.
Saat itu, pemerintahan dikerangkai sebagai aktualisasi gagasan
demokrasi liberal. Pergantian sistem pemerintahan di periode
berikutnya telah menggantikan liberalisme dengan faham lain,
dan setelah tidak lagi berjaya, kembalilah tatanan liberal
yang menjadi pembingkainya. Jelasnya, aktualisasi gagasas
otonomi seluas-luasnya yang berlangsung di era pasca Orde Baru
1 Ketika naskah RUU digodog di DPR RI, antara unsur Pemerintah dengan unsurDPR telah terjadi kesepakatan bahwa UU Pemerintahan Daerah, yang kemudian bernomor 23/2014, harus dapat diundangkan sebelum anggota DPR D periode 2014-2019 dilantik. Maknanya, yang menyiapkan resentralisasi adalah pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun yang menuai manfaat resentralisasi adalah pemerintahan presiden Joko Widodo.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
8
mengharuskan kita berfikir keras, apakah liberalisme memang
harus kita terima sebagai satu-satunya pilihan yang tersedia.
Refleksi historis tersebut di atas membantu kita berempati
terhadap proses bongkar-pasang mesin pemerintahan yang
berlangsung selama ini, tanpa harus memposisikan diri sebagai
pendukung resentralisasi yang berlangsung. Refleksi ideologis
yang menyusulinya memungkinkan kita untuk mempersoalkan apakah
daerah memang bersungguh-sungguh dalam mengadopsi liberalisme.
Dalam bingkai pemikiran liberal, otonomi sangatlah penting
perannya acuan untuk bertindak. Hanya saja, otonomi bukanlah
autarkhi (alasan untuk bermuat semau-maunya). Dalam banyak
kasus, otonomi daerah tidak bisa dipilah dari autarkhi, dan
pemerintah pusat pun tidak mampu mendisiplinkannya. Ketika
jaminan untuk berotonomi daerah diberikan, pada saat yang sama
diberlakukan pemilihan kepala daerah secara langsung. Dengan
skema ini, apa yang dijanjikan oleh kandidat kepala daerah
yang menang, harus diimplementasikan dalam bingkai RPJMD.
Dengan skema semacam ini, keberlanjutan antar periode
kepemimpinan tidak terjamin. Kegagalan untuk mencapai visi
jangka panjang tidak kunjung teridentifikasi, apalagi
terkoreksi. Mengapa ? Karena longgarnya kewajiban untuk
melakukan evaluasi diri, dan kemampuan untuk melakukan self-
restrain terhadap egoisme recehan.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
9
Kalau kerangka fikir liberal hendak diadopsi, otonomi bukanlah
‘status daerah’ melainkan ‘cara kerja untuk mencapai tujuan’
tertentu. Yang lebih esensial adalah berotonomi, bukan sekedar
memiliki kewenangan namun tidak memiliki kejelasan hendak
mencapai apa. Pemberlakuan otonomi seluas-luasnya hanya masuk
akal kalau eksponen-eksponen yang berotonomi memerankan diri
sebagai menyelenggara misi nasional. Disinilah Indonesia
berada dalam kegalauan, kakau bukan kebingungan. Baik
pemerintah nasional maupun pemerintah daerah, sama sama
terjebak dalam cara berfikir lama. Bahwa berotonomi adalah
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Diasumsikan, kalau
otonomi diberikan maka daerah akan mensejahterakan
dirinya.Sebagaimana biasanya, otonomi didefinisikan seperi
ini.
“Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dankewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurussendiriUrusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakasetempat dalam sistem Negara KesatuanRepublikIndonesia” [cetak tebal dari penulis]2
Dimensi evaluasi tidak dieksplisitkan dalam rumusan itu karena
diasumsikan bahwa penggunaan kewenangan akan bermuara pada
penyelesaikan kepentingan. Kepentingan yang ditegaskan di
situpun kepentingan masyarakat setempat. Daerah tidak
didudukkan arti pentingnya untuk mencapai tujuan-tujuan
nasional, seakan-akan tujuan nasional adalah domain eksklusif
2 Pasal 1 butir 6 Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang PemerintahanDaerah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
10
pemerintah nasional. Akibatnya, daerah menikmati kebiasaan dan
juga dibiasakan untuk egois, hanya peduli pada
urusannya sendiri. Lebih dari itu, wacana sentral dalam
penyelengaraan otonomi daerah adalah ‘kewenangan’ bukan
realisasi tujuan. Ketika pemerintah daerah membuat laporan
pertanggungjawaban, yang dilaporkan “sekedar” penggunaan
kewenangan itu, bukan seberapa berhasil kewenangan tertenut
telah pergunakan untuk mencapai tujuan. Pengaturan tentang
desentralisasi maupun otonomi daerah tidak pernah dikaitkan
secara spesifik dengan realisasi tujuan-tujuan
berpemerintahan. Sebagai contoh, spesifikasi kewenangan
pemerintah Kabupaten/Kota mengurus ‘pendidikan dasar’ tidak
dikaitkan dengan pemenuhan seluruh prasyarat agar setiap
sekolah mendapatkan setiap input penyelenggaraan
pendidikan agar setiap siswa terjangkai oleh skema wajib
belajar 12 tahun, dan mereka lulus dengan standar nasional.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi,
‘otonomi’ dan ‘evaluasi’ haruslah diaktualisasikan sebagai
suatu paket. Keduanya adalah dua sisi yang berbeda dari mata
uang yang sama: pemerintahan terdesentralisasi. Lebih dari
itu, pelembagaan pemerintahan daerah yang otonom, haruslah
disertai oleh, kalau tidak didahului dengan, pengembangan
sistem evaluasi yang melekat dalam
sistem pemerintahan daerah. Pengembangan sistem evaluasi ini,
sudahlah berlangsung sangat terlambat, tidak pernah menjadi
keseriusan pemerintah daerah. Belakangan, pemerintah nasional
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
11
memang mengembangkan sistem evaluasi, hanya saja sistem itu
lebih dimanfaatkan untuk mendemoralisasi daerah dari pada
untuk memetakan variasi dan rute pembinaan yang dilakukan
terhadap daerah.
Hal ini terjadi, sekali lagi karena otonomi daerah adalah
arena kontestasi pusat-daerah, bukan strategi nasional untuk
mempersiapkan diri merespon tantangan global. Otonomi daerah,
adalah urusan domestik,dan oleh karenanya, pengelolaannya
bukan hanya dipimpin oleh Kementerian Dalam Negeri melainkan
juga arah pengembangannya tetap saja inward looking.
Point-point yang dipaparkan di atas dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa tatanan pemerintahan berotonomi luas dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak kunjung settle
karena karena gagapnya Indonesia, khususnya gagapnya ilmu
pemerintahan, dalam mendudukkan persoalan.
1. Dimensi politik yang ada tidak pernah dinyatakan
secara terbuka; dan seolah-olah akan bisa berakhir dengan
sendirinya. Karena desentralisasi atau pengembangan
otonomi daerah mau tidak mau melibatkan perubahan relasi
kuasa, maka respon yang berlangsung niscaya kental juga
dengan persoalan relasi kuasa.
2. Ruang untuk menemukan solusi politis sangatlah sempit
karena kealphaan ilmuwan pemerintahan menawarkan bingkai
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
12
teoritik yang memadai. Terus berkutatnya pembicaraan
kewenangan tanpa mengkaitkanya dengan kinerja, terus
bercokolnya wawasan inward looking, serta minornya agenda
pengembangan kapasitas evaluasi adalah contoh-contoh dari
persoalan yang berakar dari kealphaan ilmu pemerintahan
menyediakan bingkai pemikiran.
3. Dalam tapak yang telah dirunut secara singkat ini,
desentralisasi berjalan secara zig-zag. Hal ini jelas
terkait dengan keaphaan teoritasi desentralisasi dan
pengembangan otonomi daerah. Yang lebih penting lagi
untuk dicatata adalah bahwa hal itu karena terjebaknya
pemikiran kita pada paradigma tata-kewenangan, dan abai
terhadap paradigma pembelajaran. Tapak zig-zag
desentralisasi di Indonesia, adalah pertanda bahwa kita
tidak pernah belajar dari sejarah. Lebih dari itu, sangat
urgen bagi ilmuwan pemerintahan mengembangan mengembangan
teori-teori desentralisasi sebagai akumulasi dari proses
belajar dari pengalaman, khususnya pengalaman gagal dan
berhasil dalam berotonomi.
4. Dari upaya kita mencoba untuk “menjaga jarak” terhadap
narasi dalam text perundang-undangan sebagaimana
dipaparkan di atas, cukup alasan untuk mengatakan bahwa
resentralisasi bukanlah solusi bagi penataan pemerintahan
di Indonesia. Sungguhpun demikian, perlu juga untuk
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
13
diketengahkan bahwa undang-undang yang berpotensi
mengembalikan Indonesia ke tatanan sentralistis-otoriter
a la Orde Baru ini sebetulnya telah menyerap sejumlah
pengalaman penting dalam berotonomi. Pengalaman penting
yang cukup menjiwai isi UU 23/2014 ini adalah bahwa
hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
tidak harus bersifat zero sum game. Baik pusat maupun
daerah sama-sama bisa berperan penting, hanya saja peran
yang dimainkan berbeda satu sama lain.
5. Telaah tersebut di atas juga menunjukkan bahwa,
undang-undang pemerintahan daerah adalah instrumen
penting dalam penataan pemerintahan di negeri ini. Hanya
saja, hidup-matinya daerah juga tergantung dalam praktek-
praktek baik dalam berpemerintahan. Resentralisasi memang
tak terhindarkan kalau daerah tidak sanggup untuk
memperbaiki Indonesia dari daerah. Resentralisasi harus
dilawan secara positif dengan gerakan membangun Indonesia
daerah daerah, memenangkan globalisasi karena bersatu
visi daerah-daerah untuk itu. Dengan menyatakan hal ini,
maka kita tidak perlu memperlakukan Indonesia sebagai
kondisi final, melainkan kondisi yang terus menjadi.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
14
Arah Politik Pemerintahan UU NO 23/2014
Oleh: Ari Darmastuti3
Pengantar
Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami
pasang surut sejarah yang panjang, dimulai sejak awal
kemerdekaan (Undang-Undang nomor 22/1948) sampai saat ini
(Undang-Undang nomor 23/2014), dengan berbagai sifat
pengaturan yang berbeda-beda. Perbedaan sifat pengaturan
pemerintahan daerah tersebut sangat tergantung pada arah
politik pemerintahan yang dibentuk, yaitu arah yang ingin
memberi keleluasaan gerak kepada unit pemerintahan di tingkat
bawah atau justru pengelolaan pemerintahan sentralistis dan
seragam pada tingkat bawah. Masalah arah politik pengaturan
pemerintahan daerah ini telah menjadi pokok pangkal
“keributan” yang tidak ada habisnya dalam sejarah otonomi
daerah di Indonesia.
Secara alamiah pemerintah daerah tentu menginginkan wewenang
dan sumberdaya yang cukup untuk dapat melaksanakan fungsi-
fungsi yang mesti diembannya, tetapi pemerintah pusat secara
alamiah memliki kecenderungan untuk memiliki kewenangan yang
agar dapat leluasa melaksanakan keinginan strategis untuk
kepentingan bangsa. Dalam beberapa diskusi dan debat akademik
yang penulis hadiri dan ikuti, keinginan pemerintah pusat
3 Ketua Program Studi dan dosen Magister Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Lampung
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
15
untuk memiliki kewenangan cukup tersebut khususnya dinilai
lebih didorong oleh apa yang oleh Nordholt dan Klinken
dinyatakan bahwa reformasi di Indonesia telah menyebabkan
runtuhnya otoritarianisme digantikan pemerintahan demokratis,
tetapi juga telah mengakibatkan hilangnya ketertiban
digantikan ketidaktertiban4. Dengan alasan bahwa otonomi
daerah telah menghasilkan “raja-raja kecil di daerah” serta
munculnya ketidakpatuhan kabupaten/kota terhadap pemerintah
pusat dan pemerintah provinsi, kelihatannya undang-undang
terbaru tentang pemerintahan daerah meletakkan kembali dasar-
dasar sentralisme dalam pengaturan tentang pemerintahan daerah
di Indonesia.
Paper pendek ini merupakan analisis singkat dan kritis tentang
arah politik pemerintahan di Indonesia versi Undang-Undang
nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara khusus
paper ini menyoroti beberapa aspek penting dalam pertimbangan
filosofis, dalam konsep serta beberapa pasal kritis dalam
batang tubuh UU terbaru. Paper diakhiri dengan simpulan
pendek serta solusi yang mungkin diambil guna perbaikan
substansi pengaturan pemerintahan di Indonesia di masa yang
akan datang.
Hilangnya Semangat Otonomi dalam UU 23/2014
4 Henk Schulte Nordhold dan Geryy van Klynken. Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post Suharto Indonesia. Leiden: KTILV Press. 2007: 1
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
16
Penulis mencatat bahwa semangat otonomi daerah telah hilang
dalam pertimbangan filosofis munculnya Undang-Undang nomor
23/4014. Dalam dasar pertimbangan Undang-Undang, prinsip
otonomi daerah (nyata dan bertanggung-jawab versi UU 5/1974
maupun otonomi luas versi UU 22/1999) tidak disebutkan atau
hilang dalam pertimbangan UU. Karena prinsip otonomi sama
sekali tidak disebut dalam pertimbangan UU, maka penyebutan
Daerah Otonom menjadi tidak memiliki dasar filosofis karena
otonomi daerah bukan prinsip yang menjadi dasar pengaturan
pemerintahan daerah. Pernyataan bahwa urusan konkurenlah yang
menjadi dasar hak otonomi daerah tidaklah kuat karena bukan
urusan yang menentukan otonomi, tetapi jenis otonomi daerahlah
yang menjadi dasar apakah daerah memiliki wewenang yang
sungguh otonom atau tidak. Apalagi urusan konkuren sendiri
sudah ditentukan dengan rinci dalam UU, hal ini semakin
memberi indikasi kuat tentang arah dihilangkannya otonomi
daerah dalam UU ini.
Hilangnya semangat otonomi dalam Undang-Undang nomor 23/2014
sangat mengherankan karena setelah sentralisme model orde
baru dinilai gagal menyelesaikan isu ketidakadilan antara
Timur dan Barat, antara Jawa dan luar Jawa, maka otonomi luas
di tingkat kabupaten/kota dinilai lebih sesuai dengan tuntutan
keadilan pembangunan. Peletakan kewenangan besar di tingkat
Pusat dan provinsi justru membuat model pemerintahan daerah
semakin jauh dari idealisme memberikan pelayanan yang lebih
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
17
dekat kepada masyarakat. Bagaimana kabupaten/kota akan dapat
memberikan pelayanan jika sumberdaya dikuasai Pusat dan
Daerah? Hilangnya otonomi di tingkat kabupaten/kota juga akan
memberi potensi besar terhadap gagalnya pengelolaan
pemerintahan desa karena kabupaten/kota tidak akan memiliki
sumberdaya memadai untuk bisa mengkoordinir dan melaksanakan
fungsinya secara memadai untuk mengawasi pelaksanaan UU Desa.
Selain hilangnya semangat otonomi dalam pengaturan
pemerintahan daerah dalam UU ini, penulis mencatat aspek lain
yang cukup ganjil dari dasar penggantian UU 32/2004. Dalam
dasar pertimbangan disebutkan bahwa UU nomor 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah dinilai tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perlu dikemukakan bahwa
belum pernah ada debat akademis yang serus tentang kelemahan
UU 32/2004, khususnya menyangkut prinsip otonomi daerah di
Indonesia. Satu-satunya hal yang menjadi debat publik yang
cukup serius adalah diperlukannya secara tegas pemisahan
pengaturan pemerintahan daerah, pemerintahan desa dan Pilkada.
Terlihat UU 23/2014 justru menguatkan keinginan politik
kelompok tertentu di parlemen yang ingin menguasai proses
pilkada agar hasilnya seragam dengan kehendak koalisi di DPR.
Dengan keyakinan bahwa koalisi tertentu akan menguasai pilkada
maka kemudian kemudian terjadi rekayasa lebih lanjut untuk
mengatur agar sistim pemerintahan daerah kembali mengarah ke
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
18
sentralisasi dengan melemahkan azas otonomi daerah yang luas
menjadi azas otonomi terbatas.
Hilangnya semangat otonomi bukan hanya bahwa otonomi daerah
tidak disebutkan dalam dasar pertimbangan, tetapi juga dalam
ketentuan umum Pasal 1 (12) yang mengemukakakn konsepsi Daerah
Otononom sebagai “kesatuan masyarakat hukum
yang......berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistim NKRI.” Terdapat
perubahan cukup signifikan dari mengatur dan mengurus urusan
rumah-tangganya sendiri menjadi mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa daerah kehilangan
independensi “rumah tangga” dan aspek kekuasaan dalam rumah
tangga, menjadi sebatas “urusan pemerintahan”. Daerah otonom
bukan unit otonom lagi (baik provinsi maupun kabupaten/kota)
tetapi menjadi sekedar berwenang mengatur urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat.
Hilangnya semangat otonomi juga terlihat lebih lanjut dalam
pengaturan tentang azas. Azas otonomi tidak disebutkan sama
sekali; dan dalam ketentuan tentang azas, yang ada hanyalah
azas penyelenggaraan urusan pemerintahan (pasal 5 ayat (4)).
Dalam pasal ini disebutkan dengan jelas bahwa penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan dilaksanakan dengan azas Desentralisasi,
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Sebagaimana diketahui
bahwa Undang-Undang ini telah mengatur dengan rigid apa saja
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
19
Urusan Pemerintahan konkuren yang dilaksanakan bersama antara
Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota. Penyebutan 5 (lima) urusan strategis nasional
(agama, hukum, luarnegri, pertahanan keamanan dan keuangan)
sebagai urusan “absolut” justru menjadi dasar bagi
“kecurigaan” penulis bahwa kemudian istilah strategis
digunakan sebagai argumen bagi penguasaan sumberdaya yang
selama ini telah diserahkan kepada daerah untuk pembiayaan
pelaksanaan urusan otonomi.
Ketentuan lain yang cukup membingungkan dalam pengaturan
pemerintahan daerah dalam Undang-Undang ini adalah bahwa untuk
melaksanakan pemerintahan daerah, Pemerintah Pusat menetapkan
kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan. Dalam penjelasan pasal tentang hal ini,
kebijakan disebutkan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah
pedoman penyelenggaraan urusan konkuren baik yang untuk
kewenangan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Meski demikian,
tidak jelas apa yang dimaksud sebagai pedoman tersebut karena
tidak disebutkan lebih lanjut, apakah berupa Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan Menteri, atau yang
lainnya. Dalam Undang-Undang sebelumnya hal ini disebutkan
dengan jelas. Ketidakjelasan justru dapat menimbulkan
spekulasi yang merugikan untuk kepastian pengaturan hubungan
kewenangan dan keuangan antara Pusat dan daerah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
20
“Skenario” lebih lanjut bagi hilangnya semangat otonomi daerah
dalam Undang-Undang ini adalah ketentuan dalam Pembagian
urusan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Dalam
Undang-Undang disebutkan terdapat tiga jenis urusan, yaitu
absolut, konkuren dan pemerintahan umum. Dalam ketentuan
tentang apa yang menjadi urusan Pemerintahan Pusat, provinsi
dan kabupaten, maka jelas daerah akan kehilangan kontrol sama
sekali atas sumberdaya yang berada dalam posisi “lintas
daerah”. Semua sumberdaya atau masalah yang bersifat “lintas
daerah” menjadi kewenangan sepenuhnya tingkat pemerintahan di
atasnya. Sepintas pengaturan seperti ini terlihat ideal.
Tetapi pada periode sebelumnya dan saat ini, daerah justru
sering diminta pertanggung-jawaban dan dinilai tidak
bertanggung-jawab terhadap masalah yang sebenarnya bukan
kewenangannya, tetapi terjadi di daerahnya. Hal ini merupakan
konsekuensi dari kondisi yang menunjukkan bahwa tidak ada
urusan yang sama sekali tidak menyangkut kabupaten/kota atau
provinsi karena daerahlah yang menjadi lokasi dari setiap
urusan dan masalah. Menghilangkan sama sekali daerah di
tingkat bawah dalam urusan yang bersifat lintas daerah justru
akan menghiangkan semangat kebersamaan dalam penyelesaian
urusan yang membutuhkan koordinasi vertikal.
Hal yang paling kontroversial dalam pengaturan Undang-Undang
ini yang menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan sentralisme
adalah pengaturan urusan bidang kehutanan, kelautan dan energi
dan sumberdaya mineral. Ketiga urusan ini dibagi menjadi
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
21
urusan Pusat dan Provinsi (Pasal 14 UU 23/2014). Pengaturan
seperti ini bertentangan dengan prinsip pengaturan urusan
sebelumnya yang menyatakan bahwa sumberdaya dan masalah yang
diurus Pusat dan Provinsi adalah urusan yang bersifat lintas
provinsi atau lintas kabupaten. Prinsip urusan pemerintahan
itu dianulir sendiri oleh pembuat Undang-Undang dalam
ketentuan Pasal 14. Bagaimana dengan sumberdaya kelautan,
perikanan dan energi dan sumberdaya mineral yang hanya ada
dalam satu kabupaten? Bagaimana dengan hak masyarakat
kabupaten/kota bersangkutan?
“Penyeragaman urusan” pemerintahan daerah eperti formula yang
digariskan dalam Undang-Undang ini juga tidak sesuai dengan
kemampuan daerah yang secara nyata berbeda satu dengan
lainnya. Riset penulis menunjukkan bahwa kemampuan daerah
untuk melaksanakan fungsi lintas sektor dalam satu wilayah
provinsi sangat berbeda satu sama lain5. Untuk itu dibutuhkan
formula pengaturan urusan yang lebih mengakomodir perbedaan
kemampuan antar daerah, bukan formula yang seragam.
Penutup
Osborne dan Gaebler6 menyatakan bahwa pemerintah harus mampu
melaksanakan 10 prinsip entrepreneurial spirit. Sementara itu World
5 Ari Darmastuti. 2014. Local Autonomy and Inter-Sector Performance Based Government in Lampung Province. Journal of Government and Politics. Volume 5 Number 2 August 2014 6 David Osborne dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley Publishing Co
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
22
Bank7 dalam Laporan Pembangunan tahun 1997 menyatakan bahwa
pemerintah memiliki fungsi-fungsi: (1) meletakkan dasar-dasar
hukum; (2) melakukan investasi di bidang pelayanan sosial dan
infrastruktur; (3) mengadakan kebijakan yang kukuh; (4)
melindungi yang lemah; (5) melindungi lingkungan hidup.
Sedangkan J.E. Anderson8, 1989, menyatakan bahwa fungsi
pemerintah ada 7 (tujuh) yaitu: ( 1) menyediakan infrastruktur
sosial; (2) menyediakan barang dan jasa kolektif; (3)
menyelesaikan konflik antar anggota masyarakat; (4) menjaga
iklim persaingan; (5) melindungi lingkungan hidup; (6)
menyediakan akses minimum kepada individu terhadap barang dan
jasa; (7) menstabilkan ekonomi.
Bagaimana pemerintah akan dapat melaksanakan semua fungsi dan
kewajibannya? Jawabannya jelas, bahwa pemerintah harus
memiliki sumberdaya yang memadai untuk itu. Ketika suatu
daerah, dalam Undang-Undang lebih tepatnya kabupaten/kota,
kehilangan kewenangan atas sumberdaya, maka jelas bahwa daerah
tidak akan dapat melaksanakan semua fungsi dan kewajibannya.
Sungguh ironis bahwa pembuat Undang-Undang menghilangkan
semangat otonomi daerah dan keadilan pembangunan, suatu
langkah mundur dari semangat reformasi.
7 World Bank. Laporan Pembangunan 1997.8 Budi Setiyono. 2005. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi.Semarang: Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Fakultas IlmuSosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
23
Daftar Pustaka
Anderson. J. E. 1989.
Darmastuti, Ari. 2014. Local Autonomy and Inter-sector
Performance Based Governance in Lampung Province. Journal of
Government and Politics. Volume 5 Number 2, August 2014.
Nordhold, Henk Schulte, dan Geryy van Klynken. 2007.
Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post Suharto Indonesia. Leiden:
KTILV Press.
Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government.
Addison-Wesley Publishing Co
Setiyono, Budi. 2005. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi.
Semarang: Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro
Worldbank. Laporan Pembangunan 1997.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
24
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF UU No. 23 TAHUN 2014
Oleh : Syarief Makhya
UU No.23 Tahun 20149) tentang Pemerintahan Daerah secara resmi
diberlakukan sejak Bulan Oktober 2014, menggantikan UU 32
tahun 2004. Sejak disyahkan UU No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah nyaris UU ini tidak banyak dikritisi atau
dibicarakan oleh para praktisi dan akademisi pemerintahan
tentang hal-hal yang baru dalam praktek berpemerintahan,
seakan-akan tidak ada yang baru atau bahkan nyaris tidak ada
isu yang layak untuk diperbicangkan.
Jika ditilik dari latar belakang munculnya UU Pemda yang baru
ini, maka sebenaranya lahirnya UU tersebut bukan produk dari
problem penyelenggaraan pemerintahan yang mendasar, karena
tidak ada isu subtanstif di era UU No.32/ 2004 yang mencuat
untuk diperbincangkan, tetapi lebih disebabkan alasan
ketidaksesuaian UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan perkembangan
keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
UU No.5/1974 bisa bertahan selama 25 tahun, UU No.22/1999
efektifnya hanya berjalan 3 tahun, dan UU 32/2004 hanya9 ) UU No.23 Tahun 2014, ada perubahan yaitu dengan dikeluarkannya UU No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU. Dalam UU No.2 tahun 2015 hanya Pasal 101 dan pasal 154 yang dirubah terkait dengan Tugas dan Wewenang DPRD.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
25
berlangsung selama 10 tahun untuk kemudian diganti dengan UU
23/2014. Perubahan tersebut cenderung akibat dari dinamika
perubahan politik yang terjadi di pemerintah Pusat. Jadi,
secara hipotesis UU No.23/2014 juga bukan produk perubahan UU
pemda yang final, potensi untuk berubah juga terbuka lebar
tergantung pada dinamika dan tarik menarik kepentingan politik
di pemerintah pusat. Artinya, Indonesia sesunggunya belum
memiliki model ideal dalam mengatur proses penyelenggaraan
pemerintahan di Daerah untuk kepentingan jangka panjang.
Visi pemerintahan yang ingin dibangun dalam UU No.23 tahun
2014, yaitu dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat, melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan
peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah.
Sementara, prinsip yang dibangun dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah yaitu demokrasi, pemerataan, keadilan dan
kekhasan daerah dalam sistem NKRI (lihat konsideran UU
No.23/2014).
Namun, pertanyaan yang layak untuk diajukan, apakah visi
tersebut bisa diwujudkan? Sebagian jawaban atas pertanyaan ini
secara normatif akan bisa dilihat dari subtansi UU No.23/2014,
apakah bisa menjawab dan memberikan solusi terhadap problem
implementasi otonomi daerah sekarang ini, atau justru
menimbulkan persoalan baru?
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
26
Telaah UU No. 23 Tahun 2014
Secara umum UU No. 23 Tahun2014 yang terdiri atas 411 pasal,
jika dibandingan dengan tiga UU sebelumnya (UU No.5 Tahun
1974, UU No.22 tahun 1999 dan UU No.32 tahun 2004), UU ini
jauh lebih komprehensif, rinci dan ada terobosan baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam tulisan ini
sebagian dari potret penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan
ditelaah dari (a) Relasi Kekuasaan Kepala Daerah dengan DPRD,
(b) Distribusi Kewenangan, (c) Kebijakan Perencanaan
Pembangunan, (d) inovasi daerah (e) Akses Publik, (e)
Pemerintahan umum.
(a) Relasi Kekuasaan
Jika dipertanyakan lembaga mana yang memiliki kewenangan
untuk mengontrol proses penyelenggaraan pemerintahan
daerah? Jawabannya secara konstitutional adalah DPRD.
Namun, bagaimana meletakan fungsi pengawasan ini dalam
konstruksi penyelenggaraan pemerintahan. Dalam UU No. 23
Tahun 2014 tidak ada perubahan yang berarti atau hampir
sama dengan kontruksi yang diatur dalam UU No.32 Tahun
2004 yaitu Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terdiri atas
kepala daerah dan DPRD dibantu perangkat daerah. Implikasi
dari kontruski penyelenggaraan seperti tersebut yaitu
fenomena kekuasaan menjadi terintegratif. DPRD diletakan
sebagai mitranya pemerintah daerah, sehingga model yang
dikembangkan adalah hubungan kerjasama, mengurangi konflik
dan mengedepankan legitimasi formal. Akibatnya, fungsi
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
27
kontrol DPRD terhadap jalannya pemerintah tereduksi dan
tidak efektif.
(b) Distribusi Kewenangan
Dalam UU no 23 tahun 2014, urusan pemerintahan dibagi atas
urusan absolut yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat,
urusan pemerintahan umum, dan Urusan pemerintahan konkuren
yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Urusan
pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan
pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai
kepala pemerintahan.
Untuk urusan konkuren atau urusan pemerintahan yang dibagi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota dibagi menjadi urusan pemerintahan wajib dan
urusan pemerintahan pilihan. Urusan Pemerintahan
Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan
oleh semua Daerah. Sedangkan Urusan Pemerintahan
Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang
dimiliki Daerah. Urusan pemerintah wajib yang diselenggaraan
oleh pemerintah daerah terbagi menjadi Urusan Pemerintahan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
28
yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
Esensi dari penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
berdasarkan distribusi kewenangan tersebut adalah untuk
merealisasikan fungsi – fungsi pemerintahan di bidang
pelayanan publik, pembangunan dan pemberdayaan, dan
keamanan,. Pelaksanaan fungsi itu membutuhkan kejelasan
kewenangan yang memadai dan dukungan anggaran yang maksimal.
Oleh karena itu, pada tataran implementasinya distribusi
kewenangan membawa konsekuensi tidak hanya menyangkut sumber
pendanaannya tetapi juga terkait dengan sumber pemasukan
bagi pendapatan daerah. Penyerahan kewenangan yang tidak
menghasilkan sumber PAD, maka harus dibebankan pada
pemerintah daerah yang menjadi tanggunjawabnya melalui
pendanaan APBD, sebaliknya kewenangan yang mempunyai dampak
terhadap sumber pendapatan PAD akan memberi kontribusi bagi
peningkatan APBD.
Hasil penelitian yang dilakukan DPD RI (2011:36) urusan yang
berpotensi meningkatkan kesejahteraan rakyat yaitu sektor
pertambangan, perikanan, pertanian, perkebuhan, kehutanan
dan parawisata. Dalam UU No.23 Tahun 2014, beberapa urusan
tersebut yang selama ini dikelola oleh Kabupaten/Kota
seperti pertambangan, pendidikan menengah, dan kehutanan
sekarang menjadi urusan Pemerintah Provinsi. Pengambilalihan
kewenangan tersebut akan memberi dampak yang tidak
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
29
menguntungkan bagi pemerintah kabupaten/kota seperti
berkurangannya PAD.
Keberadaan pemerintah Provinsi, seharusnya lebih diarahkan
pada peran, koordinasi, fasilitatif, insentif dan
pemberdayaan bukan melakukan peran secara langsung khususnya
dalam pemberian pelayanan publik dan pembangunan, kecuali
yang sifatnya lintas Kabupaten/Kota; karena pelayanan
publik sebagian besar berada di kabupaten/kota, maka
kabupaten/kota dibutuhkan kewenangan strategis dan sumber
anggaraan yang memadai.
Distribusi kewenangan harus dipertimbangkan aspek kelayakan
implementasinya dan dampaknya serta memberi jaminan untuk
bisa berfungsinya penyelenggaraan pemerintahan secara
optimal; Isu pokoknya yang harus dikedepankan adalah
persoalan distribusi alokasi sumber daya. Persoalan ini lah
yang sebenarnya menjadi sumber konflik kepentingan.
Sebagai pendukung alasan tersebut yaitu anggaran sekarang
ini hampir 70 % ada di Pusat, dan 30 % di Daerah.10
Distribusi anggaran pusat ke daerah dilakukan melalaui DAU,
DBH dan DAK. Secara teknis pembagian distribusi itu tidak
dilakukan dalam sistem manajemen yang transparan dan adil,
akses untuk memperoleh dana tersebut, harus dilakukan
10 ) Data ini bersumber dari Surat Bupati Aceh Tengah Kepada Presiden tentang Masukan UU No.23 tahun 2014, Tanggal 7 Januari 2015
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
30
melalui loby atau memiliki akses dengan pejabat di
pemerintah pusat.
Dari aspek manajemen pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan bukan hanya sebatas pada tercapainya efisiensi
atau efektivitas pemerintahan, tetapi juga harus
mengedepankan aspek pemerataan pembangunan. Oleh karena itu
penumpukan anggaran di Pusat dan distribusi anggarannya
harus dievaluasi dan diarahkan pada pencapaian pemerataan
pembangunan.
(c) Kebijakan Perencanaan Pembangunan,
Dalam UU No. 23 Tahun 2014, kebijakan ini diatur dalam
Pembangunan Daerah (Bab X). Kebijakan perencanaan
pembangunan yang diatur dalam Bab X UU 23/2014 tersebut,
merupakan bentuk penyempurnaan dari kebijakan yang diatur
dalam UU 32/2004. Dalam bab ini, perencanaan disusun secara
sistematis, dalam RPJPD, RPJMD, RKPD. Dalam dokumen
perencanaan tersebut khususnya RPJMD harus merupakan
penjabaran visi, misi, dan program kepala daerah. Ini
menunjukkan bahwa isu kepentingan publik dipersepsikan oleh
kepentingan politik yang bersifat personal. Pengalaman
sejauh ini, pengaruh kepentingan kepala daerah sangat
dominan dalam mengimplementasikan kebijakan perencanaan
pembangunan dan seringkali kesinambungannya tidak terjaga
serta juga bertolak belakang dengan kepentungan publik yang
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
31
dipersepsikan oleh masyarakat luas (kepentingan publik yang
pluralistik).
(d) UU 23 Tahun 2014, memberi naunsa baru yaitu yaitu
adanya pasal khusus yang mengatur tentang inovasi daerah
(Bab XXI, Pasal 386 sd 390). Dengan adanya ketentuan ini,
maka setiap daerah bisa melakukan terobosan kebijakan sesuai
dengan inovasi yang dikembangkan di daerahnya; daerah bisa
melakukan inisiatif untuk membuat kebijakan yang inovatif,
tanpa harus menunggu persetujuan atau restu dari pemerintah
pusat. Ketentuan ini adalah wujud dari kebijakan
desentralisasi a simetris. Dengan adanya ketentuan pasal
ini, maka tidak ada alasan bagai pejabat di daerah untuk
melakukan inisiatif untuk menjalankan sebuah perubahan di
daerahnya serta tidak perlu khawatir terjerat dalam masalah
hukum.
(e) Akses Publik
Hampir sama dengan UU 32/2004, UU Pemerintahan Daerah yang
baru pun membuka akses publik dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan. Regulasi akses publik dalam UU 23 Tahun 2014,
diatur dalam Bab XIV tentang partisipasi masyarakat dan Bab
XXI tentang Informasi Pemerintahan Daerah. Adanya
Partisipasi publik dan Informasi Publik menegaskan bahwa
pemerintah harus memberi ruang bagi publik dalam proses
pembuatan kebijakan, mengontrol dan mengevaluasi kebijakan,
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
32
serta pemerintah dituntut untuk terbuka, sehingga informasi
harus bisa diakses oleh publik.
Namun, ketentuan peranserta publik dan keterbukaan informasi
publik cenderung hanya kebijakan simbolik yang tidak
memiliki kekuatan memaksa, sehingga praktis tidak
terimplementasikan secara optimal, karena masih kuatnya
dominasi peran pemerintah.
e. Pemerintahan Umum
UU ini juga sebagian mengembalikan warisan UU No.5/1974
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, seperti
pembentukan Forkominda, memperkuat peran gubernur dalam
kapasitas sebagai kepala wilayah (pasal 91-94), dan
memfungsionalisasikan kembali urusan pemerintahan umum oleh
Kecamatan (pasal 225)
Penguatan Gubernur sebagai Pusat harus diterjemahkan sebagai
bentuk intervensi positif yaitu memberi jaminan untuk
kepentingan (a) terlaksananya urusan pemerintahan umum (b)
memfasilitasi dan mendistribusi sumberdaya secara adil bagi
kepetingan kabupaten/kota; (c) berperan aktif dan terlibat
dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi kabupaten/kota.
Simpulan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
33
Efektif tidaknya penyelenggaraan pemerintahan prinsipnya
ditentukan oleh sistem dan kapasitas kepemimpinan kepala
daerah. UU 23/2014, adalah sebuah sistem untuk mengatur
penyelenggaraan pemerintahan. Dalam prakteknya implementasi UU
Pemda sebagaimana terjadi selama ini, ada problem implementasi
yaitu ada subtansi regulasi yang hanya sebatas` simbolik dan
tidak bisa terimplementasikan karena faktor lemahnya kekuatan
pemaksa dan terjadi perebutan kepentingan dikalangan elit
politik dan pemerintahan yang tidak bisa dikontrol serta
terbatasnya sumber anggaran.
UU No. 23 Tahun 2014, yang ingin membangun pemerintahan yang
demokratis, secara hipotesis sulit untuk diwujudkan karena
pengelolaan kekuasaan tidak diatur secara tepat yaitu
bagaimana agar penyelenggaraan pemerintahan itu bisa dikontrol
secara efektif. Sementara isu pokok yang terkait dengan
distribusi alokasi sumber daya, sebagai isu pokok untuk
penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan di daerah,
masih belum diatur untuk menjamin pemerataan dan keadilan
pembangunan di daerah-daerah terutama yang berada di luar
Jawa.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
34
DAFTAR PUSTAKA
DPD.RI. 2011. Desain Pola Hubungan Kewenangan Kabupaten/Kota dengan
Provinsi, Sekertariat Jendral DPD RI. Jakarta
Undang-Undang PEMDA, Sinar Grafika, Jakarta. 2015
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
35
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014: PEMERINTAHANDAERAH YANG EFEKTIF-EFISIEN DAN RESENTRALISASI
Oleh: Hertanto
PENDAHULUAN
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
yang telah dirubah oleh UU No. 9 tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, merupakan UU yang ketiga pada
pemerintahan periode reformasi. Sebelumnya ada UU No. 22 tahun
1999 dan UU No. 32 tahun 2004.
Selama kurun 1999-2014 itu, praktik desentralisasi dan otonomi
daerah di era Reformasi sudah berjalan selama satu dasawarsa
lebih. Setelah tiga dekade sebelumnya terbiasa diatur dan
diperintah dari pusat (Jakarta), kini, daerah memiliki
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
36
kewenangan jauh lebih besar. Banyak hal sudah terjadi.
Beberapa kepala daerah bekerja secara kreatif dan banyak
melakukan inovasi kebijakan. Mereka mampu menerbitkan
kemakmuran di daerah masing-masing. Namun, cukup banyak juga
kepala daerah yang kurang atau bahkan tidak berhasil
menyejahterakan rakyatnya. Mereka justru terperangkap dalam
pusaran kekuasaan. Pusat-pusat kekuasaan yang telah menyebar
memang menghadirkan sejumlah komplikasi. Di antaranya,
hubungan birokrasi dan pembagian wewenang pemerintah pusat dan
pemerintah daerah serta kompetensi sumber daya manusia yang
tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain. Kekuasaan
yang berhimpun di tangan elite yang dipilih secara langsung
juga memunculkan masalah tersendiri. Dinamika politik lokal
itu bagaikan pisau bermata dua: menguntungkan bila elite
politik berpihak sepenuhnya pada kepentingan publik dan
mencederai rakyat kalau mereka membangun "kartel" dengan lebih
mengutamakan kepentingan kelompok (Prisma, Juli 2010: 74).
Sehingga, tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk
meningkatkan layanan publik dan kesejahteraan rakyat,
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
37
merupakan dua persoalan yang hingga sekarang masih terlihat
sangat mahal kendati daerah sudah diberi kewenangan cukup
besar.
UU Nomor 23 tahun 2014 dilahirkan dari latar persoalan-
persoalan di atas. Untuk itu, menurut mantan Mendagri Gamawan
Fauzi diperlukan adanya paradigma kewenangan daerah yang
efektif dan efisien (Prisma, Juli 2010: 74). Ini yang antara
lain memunculkan Pasal 14 ayat (1), dimana “penyelenggaraan
urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi
dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan
daerah provinsi”.
Ada dua dua sudut pandang yang hampir sama dari segi praktek
pemerintahan yang berjalan dan seting kebijakan desentralisasi
dan otonomi yang diterapkan. Dua-duanya, beranggapan karena
berbagai pertimbangan, maka kebijakan sentralisasi kerap
menjadi pilihan utama dalam mengatasi masalah hubungan pusat
dan daerah di Indonesia.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
38
Pemerintahan yang Efektif dan Efisien
Menurut Gamawan Fauzi (2010: 75), desentralisasi dalam negara
kesatuan diberikan oleh pusat kepada daerah. Bila empunya
wewenang minta pertanggungjawaban, maka daerah yang diberi
mandat seharusnya bertanggung jawab. Tetapi terkadang seorang
bupati diundang oleh gubernur (sebagai wakil pemerintah pusat)
tidak mau datang. Bupati merasa itu sebagai haknya. Padahal,
dia hanya menerima kewenangan yang telah diberikan.
Dengan demikian, menurut Gamawan, ke depan pola seperti ini
akan dirubah. Jadi, penyerahan kewenangan tidak lagi
berprinsip "luas, nyata, dan bertanggung jawab", tetapi
efektif dan efisien. Kewenangan seperti apa yang akan lebih
efektif dan efisien bila diurus oleh pemerintah pusat atau
provinsi atau kabupaten-kota. Jadi, kriterianya tidak lagi
"luas, nyata, dan bertanggung jawab", tetapi efektif dan
efisien. Hal strategis apa yang harus tetap dipegang pusat dan
tidak diserahkan ke daerah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
39
Pandangan ini mewakili argumentasi pemerintah pusat yang
mendesain berlakunya undang-undang tentang pemerintahan daerah
saat ini.
Resentralisasi
Menurut beberapa pakar yang mewakili kalangan masyarakat, akar
persoalan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia
adalah, pertama, relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah di Indonesia lebih cenderung mengarah ke
kutub sentralisasi daripada desentralisasi (Hidayat 2010: 17).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada tingkat minimal mencoba
menggeser pendulum sentralisasi ke kutub desentralisasi, namun
UU No. 32/2004 justru cenderung mengembalikannya ke posisi
semula (sentralisasi). Salah satu penyebab gerak balik
pendulum desentralisasi tersebut adalah karena konsep
desentralisasi yang diterapkan sejak awal kemerdekaan relatif
tidak mengakomodasi perspektif desentralisasi politik
(kewenangan) tetapi lebih berkiblat pada perspektif desen-
tralisasi administrasi (urusan). Pada tingkat "pernyataan",
sering dikemukakan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
40
bertujuan untuk mempercepat proses demokratisasi di tingkat
lokal, namun pada tingkat "kenyataan" wewenang yang diserahkan
kepada daerah sangat dibatasi, dan kontrol pemerintah pusat
terhadap pemerintah daerah juga sangat ketat.
Kedua, realitas implementasi desentralisasi dan otonomi daerah
juga menggambarkan fokus perhatian agenda reformasi yang
berlangsung selama sepuluh tahun pertama (1999-2009) lebih
banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun
institusi negara (state institutional reform). Sementara upaya untuk
membangun dan memperkuat kapasitas negara relatif belum
mendapat perhatian yang memadai. Akibatnya, "kehadiran" negara
dalam praktik kehidupan sehari-hari menjadi samar-samar atau
bahkan "absen". Reformasi desentralisasi dan otonomi daerah
yang berlangsung sepuluh tahun terakhir juga sebagai bagian
dari state institutional reform minus state capacity. Karena itu, kehadiran
desentralisasi dan otonomi daerah terlihat "sangat nyata"
dalam bentuk institusi, tetapi "tidak kentara" dalam fungsi.
Desentralisasi dan otonomi daerah juga "sangat nyata" hadir
dengan kemasan demokrasi, namun "roh" yang terkandung di
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
41
dalamnya masih sangat bernuansa sentralisasi (Hidayat 2010:
18).
Ketiga, ada tiga problematik sehubungan dengan berlakunya UU
No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999,
yakni problem konstitusi, problem komitmen pemangku
kepentingan, dan problem inkonsistensi kebijakan (Haris 2014:
198). Problem konstitusi terkait dengan amanat Pasal 18
(baru), Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 yang menjadi dasar
penerbitan UU No. 32/2004 yang membuka peluang penafsiran yang
lebar bagi penyusun UU (DPR dan pemerintah) tentang ruang
lingkup agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Sehingga
prinsip desentralisasi, esensi otonomi daerah dan pemerintahan
daerah, struktur pemerintahan daerah (Pemda dan DPRD),
hubungan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, dan
hubungan antarpemerintahan daerah (propinsi-kabupaten/kota dan
sebaliknya) cenderung "mundur kembali" dibandingkan UU No.
22/1999.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
42
Adapun, problem komitmen pemangku kepentingan terkait dengan
sikap pemerintah pusat, DPR, dan parpol, yang tidak punya
komitmen terhadap agenda desentralisasi dan otonomi daerah.
Sedangkan problem inkonsistensi kebijakan terkait dengan
persoalan lembaga regulator, format regulasi, dan ruang
lingkup kebijakan otonomi daerah. Lembaga regulator berkaitan
dengan wacana urgensi keterlibatan DPD-sebagai wakil-wakil
Daerah—dalam penyusunan regulasi otonomi daerah. Otoritas
regulator berkenaan dengan batas-batas yang boleh dan tidak
boleh diubah dalam regulasi otonomi daerah apabila telah ada
grand design yang jelas mengenai arah agenda desentralisasi dan
otonomi daerah. Format regulasi berkaitan dengan wacana
perlunya penyatuan (kompilasi) antara UU tentang Pemerintahan
Daerah dan UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah,
serta di sisi lain pemisahan pengaturan kebijakan
otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Sementara itu, ruang lingkup regulasi berhubungan dengan
cakupan kewenangan pemerintah di satu pihak, dan kewenangan
pemerintahan daerah di pihak lain (Haris 2012: 204).
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
43
Keempat, desain otonomi lokal yang pada dasarnya bukan
merupakan isu teknis pemerintahan melainkan indikasi dari
persaingan sengit antara kepentingan-kepentingan yang bersaing
memperebutkan sumber daya material yang konkret (Hadiz 2005:
241). Jakarta jelas punya kepentingan tersendiri dalam
mempertahankan kendali atas potensi lokal - paling tidak
sebanyak mungkin - sambil berusaha menyeimbangkan hal ini
terhadap aspirasi untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas.
Di lain pihak, elite-elite lokal ingin mendapatkan kendali
langsung atas potensi yang sama untuk kepentingan mereka
sendiri, dengan secara tipikal menyebut-nyebut ketidakadilan
yang terjadi pada masa lalu yang memungkinkan Jakarta untuk
mengeksploitasi kekayaan dengan merugikan pihak lokal. Belum
lagi masalah ketidakmerataan kemakmuran di berbagai daerah di
Indonesia. Oleh karena itu persaingan utamanya adalah tentang
penguasaan sumber-sumber daya, meskipun hal ini diutarakan
atas nama harga-diri lokal, atau identitas etnik atau
kedaerahan versus persatuan nasional. Sumber daya yang
diperebutkan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Oleh
karena itu desentralisasi pada akhirnya bukan hanya masalah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
44
perhitungan teknis saja, tetapi lebih mendasar lagi yaitu
masalah persaingan kekuasaan. Suatu perjuangan konkret
memperebutkan kekuasaan dan sumber daya di antara kepentingan-
kepentingan yang berbeda di tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten. Termasuk di dalamnya kepentingan-kepentingan
predatoris yang dipupuk di bawah Orde Baru tetap muncul dalam
persaingan ini (Hadiz 2005: 206).
PENUTUP
Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan
kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat
dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman
daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
45
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara
(Konsideran UU No. 23 tahun 2014).
Berdasarkan pengalaman hubungan pusat dengan daerah, selalu
diwarnai trend naik-turun dan bergesernya pendulung kekuasaan
dari sentralisasi kepada desentralisasi, dan sebaliknya. Bila
terjadi masalah antara pusat dan daerah, kebijakan yang
diambil oleh pusat kerapkali melakukan resentralisasi. Karena
ada kekhawatiran daerah punya ‘kekuatan’ yang tidak bisa
dikendalikan oleh pusat atau mengarah kepada desintegrasi
NKRI. Sejarah desentralisasi di Indonesia senantiasa ditandai
oleh prasangka tersebut (Wignjosoebroto 2010: 61). Sebenarnya,
periode Reformasi merupakan pembalikan sentralisasi Orde Baru
ke arah desentralisasi yang membawa harapan besar bagi
tumbuhnya era otonomi daerah (Haris 2012; Hidayat 2010).
Oleh karena itu, apa pun perbedaan ancangan konseptual dan
asumsi paradigmatik di antara pihak-pihak yang berkompeten,
dalam persoalan desentralisasi, seharusnya sama-sama bertolak
dari sebuah kebijakan bahwa kekuasaan dalam tata pemerintahan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
46
yang terlalu terpusat tidaklah menguntungkan. Berdasarkan
pertimbangan itu, perlu diupayakan berkurangnya kekuasaan
pusat di satu sisi dan bertambahnya kewenangan daerah di sisi
lain. Semua pihak harus lebih mengedepankan kepentingan dan
peran sentral masyarakat yang memiliki kebebasan serta
menyadari hak-hak konstitusionalnya sebagai warga suatu negara
demokratis.
PUSTAKA PENDUKUNG
Fauzi, Gamawan. 2010. “Paradigma Kewenangan Daerah yangEfektif dan Efisien”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli.Hlm. 74-83.
Hadiz, Vedi R. 2005. “Desentralisasi dan Demokrasi diIndonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis”. Dalam Dinamika Kekuasaan Ekonomi PolitikIndonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES. Hlm. 272-304.
Haris, Syamsuddin. 2014. “Desentralisasi Asimetris, Problematau Solusi?”. Dalam Masalah-masalah Demokrasi & Kebangsaan EraReformasi. Jakarta: Pustaka Obor. Hlm. 191-218.
Hidayat, Syarif. 2010. “Mengurai Peristiwa-Merentas Karsa:Refleksi Satu Dasa Reformasi Desentralisasi dan OtonomiDaerah”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 3-22.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2010. “Satu Abad Desentralisasi diIndonesia”. Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 58-69.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
47
Dokumen
RI, Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang PemerintahanDaerah.
RI, Undang-undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Keduaatas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 TentangPemerintahan Daerah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
48
Menyoal Lahirnya UU No.23 Tahun 2014: KEBIJAKANDESENTRALISASI : DOMINASI NEGARA DAN IMPLIKASINYA
BAGI PEMERINTAHAN DI DAERAH
Oleh: PAHADA HIDAYAT
Dalam sejarah kebijakan desentralisasi di Indonesia dari waktu
ke waktu mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945 hingga sekarang,
posisi negara selalu “superior” dan posisi daerah/masyarakat
senantiasa diposisikan “inferior”. Relasi negara dan rakyat
ini diwujudkan dalam bentuk hegemoni struktur pemerintah pusat
terhadap pemerintah di daerah. Setiap kebijakan yang di buat
negara sepertinya tidak memperhatikan kondisi masyarakat
sampai pada tingkat yang terbawah. Akibatnya bisa ditebak,
bahwa setiap kebijakan pusat senantiasa terkendala dalam
implementasinya. Sehingga belum lagi kebijakan yang dibuat
berjalan dengan baik telah berganti lagi dengan kebijakan baru
lainnya. Ironisnya penggantinya pun juga membawa masalah,
bahkan terkadang “cacat” sebelum lahir.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
49
Paling tidak itulah yang tergambar dalam hal implementasi
kebijakan desentralisasi di Indonesia. Selama era orde baru,
UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang pemerintah daerah menjadi
sejarah panjang yang melandasi penyelenggaraan pemerintah di
daerah di era orde baru. Dengan membawa isu tuntutan
pertumbuhan ekonomi dan massifikasi konsumsi serta tingginya
angka pertumbuhan penduduk, maka penguasa menindaklanjutinya
dengan sentralistik kekuasaan. Dimana pemerintah pusat begitu
dominan dalam penyelenggara pemerintahan, dan daerah tidak
punya ruang sama sekali untuk ikut menyampaikan aspirasi
sesuai apa yang dibutuhkan masyarakat. Kebijakan pembangunan
terlalu terpusat yang justru menimbulkan dilema dalam tubuh
birokrasi, dimana konsep pembangunan negara tidak
berparalesasi dengan apa yang dibutuhkan dan diinginkan
masyarakat di bawah.
Kehadiran reformasi sebagai konsensus gerakan mahasiswa yang
berkolaborasi dengan rakyat pada tahun 1998, seolah memberi
“angin segar” bagi masyarakat karena terakomodasinya informasi
secara terbuka. Program pembangunan tidak lagi terpusat,
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
50
partisipasi rakyat tidak lagi terabaikan, otonomi menjadi
ruang publik bagi masyarakat.
Kelahiran otonomi daerah yang dimulai dengan keluarnya Undang-
undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah sangat
erat sekali kaitannya dengan perubahan kebijaksanaan
desentralisasi di Indonesia. Menurut UU ini kewenangan daerah
sangat luas mencakup kewenangan seluruh pemerintahan kecuali
kewenangan negara dalam bidang politik luar negeri, peradilan,
agama, moneter dan pertahanan keamanan. Undang-undang ini
membawa pergeseran paradigma terhadap penyelenggaraan
pemerintahan mulai dari pemerintah pusat sampai kepada
pemerintahan desa. Inilah konsekwensi dari sebuah tuntutan
kebijakan dan paradigma baru yang harus dipilih. Undang-undang
ini telah memberikan otonomi yang jauh lebih besar kepada
daerah otonom yaitu pemerintah daerah kabupaten dan kota.
Otonomi daerah dianggap sebagai opsi yang tepat untuk
meningkatkan derajat keadilan sosial serta distribusi
kewenangan secara proporsional antara pemerintah pusat,
pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten dan kota dalam
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
51
hal penentuan kebijakan publik, penguasaan aset ekonomi dan
politik serta pengaturan sumber daya lokal.
Belum sampai 5 tahun berjalan UU No.22 Tahun 1999 harus
diganti, ”yang katanya” karena UU ini membuat euphoria
masyarakat di daerah tak terkendali, seakan-akan ada kebebasan
tanpa norma yang mengancam NKRI. Hubungan pemerintah pusat
dan daerah semakin tidak jelas, bahkan pemerintah provinsi
yang merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah tidak
ada hubungan hierarkis dengan dengan pemerintah
kabupaten/kota. Desentralisasi yang terjadi terlalu dominan.
Dampak lain lahirnya otonomi daerah ini adalah dengan banyak
nya pemekaran kabupaten menjadi daerah otonomi baru. Pada satu
sisi hal ini mendatangkan keuntungan masyarakat daerah dengan
memperpendek rentang kendali pembangunan dan peningkatan
sumber daya masyarakat lokal. Namun tidak semua daerah yang
dimekarkan sukses membawa perubahan dalam masyarakatnya, hal
ini dikarenakan masih kentalnya ketergantungan terhadap
pemerintah pusat dalam hal sumber pembiayaan pembangunan.
“Kegelisahan negara” ini menimbulkan pertanyaan apakah dengan
landasan alasan tersebut di atas UU ini harus dirubah secara
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
52
keseluruhan, bukankah pasal-pasal yang tidak berkesesuaian
saja yang perlu dirubah. Desentralisasi terlalu dominan
kah ??? What’s wrong ?
Alhasil UU No.22 Tahun 1999 cuma “seumur jagung” belum sempat
“menghela nafas panjang” UU ini diganti dengan UU No. 32
Tahun 2004. Lahirnya UU ini untuk mengatasi kesenjangan
hubungan pemerintah pusat dan provinsi dengan pemerintah
daerah. Filosofinya UU ini membawa arah keseimbangan dalam
urusan pemerintahan. UU ini membawa isu urusan pemerintahan
bukan pembagian kewenangan. Urusan yang tidak menjadi urusan
provinsi dan pusat menjadi urusan pemerintah daerah. Bersamaan
dengan itu lahir pula UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan
kekuasaan pusat dan daerah. Hal yang menarik bagi pemerintah
di daerah dengan lahir nya UU ini; bahwa UU ini memberi amanah
kepada Pemda untuk melakukan kreatifitas dengan prakarsa dan
gagasan sendiri untuk melakukan tugas tugas pemerintahan dan
kemasyarakatan, yang sudah tentu muara akhirnya adalah
kesejahteraan masyarakat. Fakta yang terjadi, banyak tafsir
Pemda dalam rangka melakukan kreatifitas dan gagasan dengan
melakukan terobosan penggalian pendapatan asli daerah dengan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
53
membuat Peraturan Daerah (Perda). Sehingga banyak sekali
perda-perda yang lahir pada masa tersebut. Ironis nya
kekuasaan negara yang sedikit “arogan” dengan dalih Hight Cost
Economic mengevaluasi perda-perda tersebut dan membatalkannya
karena tuntutan/gugatan pasar/dunia usaha. Banyak perda-perda
kabupaten di seluruh Indonesia dibatalkan. Ironisnya
pembatalan perda tersebut dilakukan secara sepihak oleh negara
tanpa melibatkan daerah untuk menyampaikan keberatan. Ujug-
ujug lahir Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang
pembatalan perda-perda yang dibuat kabupaten. Yang menjadi
pertanyaannya adalah: bahwa berdasarkan UU No.12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perda berada
pada urutan ketujuh dalam hirakie Peraturan Perundang-
undangan. Apakah keputusan menteri dapat membatalkan perda
dengan dalih menimbulkan hight cost economic. Bukankah perda
adalah produk hukum tertinggi di daerah yang merupakan hasil
konsensus eksekutif dan legislatif daerah, yang bisa
dibatalkan apabila, ia bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi dan melanggar kepentingan umum. Pertanyaan
berikutnya adalah apakah hight cost economic merupakan kepentingan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
54
umum, bukankah ia merupakan kepentingan pengusaha???
wallahhuallam....perlu para pakar melakukan kajian.
Secara politis, lahirnya UU No.32 Tahun 2004, menjadi sesuatu
yang ironi. Uraian diatas memperlihatkan salah satu
problematika yang dihadapi pemda dalam penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan kemasyarakatan di era UU No.32 Tahun 2004.
Semangat otonominya “cenderung luntur” karena supremasi negara
begitu dominan. Menjadi sebuah ironi karena UU ini mengukuhkan
kontrol pemerintah pusat kepada daerah. Otonomi yang terjadi
adalah otonomi setengah hati dan pusat tidak rela untuk
melepas privelese yang selama ini dinikmati, seperti kembalinya
fungsi kontrol yang begitu dominan dan tersentral. Hal ini
merefleksikan masih kokohnya dominasi kekuasaan pusat terhadap
pembangunan di daerah yang justru mematikan kreativitas dan
inisiatif masyarakat lokal. Pada akhirnya UU No.32/2004,
melegalkan parktik wacana kekuasaan yang justru menyumbat
aspirasi dari bawah serta buntunya ruang dialog pemerintah-
masyarakat, struktur-kultur atau pemimpin-rakyat. Berbicara
tentang kekuasaan, ada baik nya melihat konsep kekuasaan
menurut Foucault. Menurutnya kekuasaan bukan milik siapapun,
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
55
kekuasan ada dimana-mana, kekuasaan merupakan startegi.
Kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan tindakan
refresif melainkan juga melalui normalisasi dan regulasi.
Belum lagi UU No.32 Tahun 2004 selesai “digugat” oleh
masyarakat di daerah, sekarang muncul UU No. 23 tahun 2014
tentang pemerintah daerah sebagai pengganti UU No.32 Tahun
2004 yang semangat otonomi daerahnya “Nol Besar” dan
“Omdo=Omong Doang”. Bahwa demi NKRI, UU ini telah mengikis
konsep otonomi daerah yang telah berjalan. Undang-undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menarik
kembali beberapa kewenangan yang ada pada Pemerintah
Kabupaten/Kota. Dimana khususnya kewenangan terhadap
pengelolaan sumber daya alam yaitu Urusan Kehutanan, Kelautan
dan Pertambangan menjadi kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah provinsi, yang sebelumnya menjadi kewenangan
Pemerintah Kabupaten/Kota.
Beberapa kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang tersisa
berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 diantaranya
adalah sebagai berikut:
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
56
1. Urusan pemerintahan bidang kelautan:
a. Pemberdayaan nelayan kecil.
b. Pengelolaan dan penyelenggaraan Tempat Pelelangan
Ikan (TPI).
c. Penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) terhadap
perikanan budidaya.
2. Urusan pemerintahan bidang kehutanan:
Pelaksanaan pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA).
Di Lampung hanya ada dua kabupaten yang mempunyai
Tahura yakni, Kota Bandar Lampung dan Pesawaran.
Kelak Provinsi akan membentuk UPTD sebagai
perpanjangan tangan Provinsi mengurus kehutanan.
Pertanyaannya mampukah nantinya petugas UPTD
melaksanakan tugasnya dengan baik, mengingat
persoalan kehutanan bukan hanya persoalan struktur,
tetapi yang lebih penting, memerlukan negosiasi
kultural dengan masyarakat lokal.
3. Urusan pemerintahan bidang ESDM:
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
57
Penerbitan izin pemanfaatan panas bumi. Hal-hal yang
kecil, “termasuk kelas teri”, seperti urusan izin
penambangan pasir dan galian C yang selama ini
kewenangan Kabupaten menjadi kewenangan Provinsi.
Sudah “ikan kakapnya” (Migas) diambil giliran “ikan
terinya” di ambil juga.
4. Urusan pemerintahan bidang Pendidikan:
Pemerintah Kabupaten/Kota hanya diberikan kewenangan
mengurusi urusan pendidikan dasar. Yang menjadi
pertanyaan mampukan Provinsi mengikuti kebijakan
yang selama ini telah digariskan oleh kabupaten/kota
dalam urusan pendidikan menengah, misalnya kebijakan
pendidikan wajib belajar 12 tahun yang sudah efektif
berjalan, pendidikan gratis, pemberian beasiswa,
pemberian seragam gratis bagi siswa baru dll.
Kebijakan tersebut selama ini sudah dijalankan di
bebarapa kabupaten, seperti: Kab. Tulang Bawang,
Kota Bandar Lampung, Kab. Way Kanan, dan kabupaten
lainnya di Provinsi Lampung. Kebijakan-kebijakan
tersebut adalah kebijakn pro rakyat yang cukup
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
58
berhasil dan langsung menyentuh hajat hidup
masyarakat lapisan bawah dan sangat membantu
kelompok masyarakat marginal. Sekali lagi
pertanyaannya adalah mampukah provinsi/pusat
nantinya melanjutkan kebijakan tersebut dengan meng-
cover seluruh kabupaten/kota ???
Sesungguhnya inilah makna otonomi daerah yakni terwujudnya
kesejahteraan dan demokratisasi. Perdebatan panjang mengenai
kewenangan dan urusan dalam penyelenggaraan pemerintahan
adalah penting, tetapi yang paling penting dan paling
essensiil adalah bagaimana negara bisa menciptakan
kesejahteraan dan kemandirian dalam masyarakat.
Jika boleh penulis mengutip pendapat Prof. Dr. Ryas Rasyid,
bahwa penarikan kewenangan dari pemerintah yang lebih rendah
ke pemerintah yang lebih tinggi dalam pemerintahan modern
adalah hal yang tidak lazim. Hal tersebut menunjukan simbol
ketidakpercayaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
kabupaten/kota. Jika alasannya karena selama ini banyak
terjadi kepala daerah yang “kebablasan” mengelola
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
59
pemerintahannya sehingga beberapa diantaranya tersangkut
masalah hukum, hemat penulis itu bukan jalan keluar terhadap
permasalahan tersebut, kemudian dengan membuat UU 23 tahun
2014 yang menghilangkan nilai-nilai luhur otonomi di
kabupaten/kota. Jika memang pusat ingin membesarkan peran
provinsi, seharusnya provinsi mendapat pelimpahan kewenangan
dari negara, dan bukan mengambil kewenangan kabupaten/kota.
Bukankah pusat/negara mengalami “obesitas” kewenangan
termasuk sumberdaya finansial yang dikelola kementerian begitu
“gemuk”.
Sudah seharusnya negara di era reformasi ini memposisikan
daerah dalam kedudukan yang setara. Saatnya sekarang
“arogansi” negara harus dihilangkan. Meminjam pendapat Jurgen
Habermas, bahwa negara dan masyarakat berada dalam ruang
publik yang mengedepankan komunikasi dua arah / dialogis,
kesetaraan, hubungan yang bebas dominasi dan keterbukaan.
Setiap kebijakan yang diambil negara seharusnya melibatkan
peran dan aspirasi masyarakat di daerah secara luas. Ruang
Publik sebagai forum negara-masyarakat, pusat-daerah,
struktur-kultur, atas-bawah perlu dibuka seluas-luasnya,
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
60
sehingga setiap kebijakan yang diambil merupakan kebijakan
hasil konsensus bersama negara-masyarakat.
Fenomena menjadi “anak nakal” dahulu baru aspirasinya akan
direspons, bukan merupakan preseden yang baik dan bukan
pembelajaran demokratisasi yang baik bagi warga masyarakat.
Lahirnya UU desa setelah 16 tahun reformasi bergulir merupakan
suatu contoh fenomena “menjadi anak nakal”, setelah Paguyuban
Kepala Desa se-Nusantara berulang kali “sowan” ke Jakarta,
otonomi khusus Papua dan masih banyak peristiwa lain setelah
“masyarakat bertindak” baru kebijakan dikeluarkan.
Satu hal yang lebih penting dari sekedar “berebut kue
kewenangan” adalah meningkatkan mekanisme pengawasan terhadap
“siapapun pengelola negara” mulai dari atas hingga pada
tingkat paling bawah dan setiap penyelenggara
negara/pemerintah bertanggungjawab baik secara hukum maupun
secara moral terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Penyelenggara negara adalah mereka-mereka yang mendapatkan
penghasilan dari negara untuk tugas-tugas pemerintahan dan
kemasyarakatan, bukan hanya unsur Pemda yang seolah-olah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
61
bertanggung jawab sendiri. Semoga evaluasi terhadap UU ini
dapat segara dilakukan baik melalui perubahan UU secara
menyeluruh maupun melalui pembuatan Peraturan Pelaksananya.
Semoga.....
Bandar Lampung, 30 April 2015
Daftar Pustaka:1.Chalid, Pheni. 2008. Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan dan Konflik. Universitas Michigan: Kemitraan2.Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.3.Habermas, Jurgen, 2007. Teori Tindakan Komunikatif I : Rasio danRasionalisasi Masyarakat,.Yogjakarta: Kreasi Wacana.4.--------------------- ,2008. Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang KategoriMasyarakat Bourjuis. Yogjakarta: Kreasi Wacana.5.Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto,ed. 2005. Teori-teori Kebudayaan Yogjakarta: Kanisius. 6. Susetiawan, 2009. Pembangunan dan Kesejahteraan yang Terpasung: Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme. Working Paper, Yogjakarta: Pusat Studi Kawasan, UGM.7. Hendarto,Heru. 1993. Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci dalam Diskursus Kemasrakatan dan Kemanusiaan. Jakarta: Gramedia8.Kausar. AS. 2009. Sistem Birokrasi Pemerintahan di Daerah dalam Bayang-bayang Budaya Patron-Klien. Bandung: PT.Alumni.9........................2015. Makalah”Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan tonomi Daerah”. Menggala.10. Indra Perwira. 2015. Makalah “ Konstitusionalitas UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta.11. Prof.Dr. Ryas Rasyid. 2015 Makalah ttg. otonomi daerah”.Disampaikan dalam Rakernas Apkasi di Jakarta.
Undang-Undang:
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
62
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang telah direvisi sebagian menjadi UU No.2 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kritik dan Saran Untuk Perbaikan UU 23 tahun 2014
Oleh: Budi Kurniawan
UU 23 tahun 2014 lahir dari adanya keresahan akan dampak
negatif yang ditimbulkan UU no 32 tahun 2004. Ada beberapa
masalah yang disorot sebagai kelamahan UU lama yang ditulis
oleh sang arsitek, yakni DIRJEN Otda Kemendagri, Djohermansyah
Djohan di Kompas (25 April 2015) beberapa waktu yang lalu.
Pertama dan yang paling penting adalah lemahnya fungsi
gubernur dan pemerintah pusat dalam mengontrol pemerintah
kabupaten dan kota. Dalam banyak kasus, gubernur sebagai
kepanjangan pemerintah pusat di daerah gagal mencegah abuse of
power dari pemerintah kota dan kabupaten terutama dalam masalah
pertambangan, kelautan dan kehutanan. Dampak negatifnya adalah
kerusakan lingkungan yang parah akibat eksploitasi pemerintah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
63
kabupaten dan kota dalam rangka meningkatakan pendapatan
daerah. Muncul raja-raja kecil di daerah yang tanpa bisa
dikontrol gubernur dan pemerintah pusat ini, dalam banyak
kasus tidak bisa berkoordinasi dengan gubernur yang biasannya
dikarenakan perbedaan latar belakang politik. Dan di sisi
yang lain gubernur berada pada posisi menggantung tanpa bisa
berpijak. Kedua, maraknya daerah pemekaran yang kebablasan.
Ketiga, ada kewenangan yang tumpang tindih.
Selain itu dalam naskah akademiknya (2011: 13-16), Kementrian
dalam negeri merasa perlu melakukan revisi terhadap UU ini
dikarenakan adanya overhead cost akibat otonomi daerah yang
berimbas pada naiknya anggaran kepagawaian. Overhead cost ini
dianggap membebani anggaran daerah yang tidak sedikit
mengorbankan sektor vital lainnya yang lebih layak untuk
diprioritaskan seperti infrastruktur, pendidikan dan
kesehatan. Dampak –dampak negatif inilah menurut pemerintah
pusat yang menjadi latar belakang mengapa UU 32 tahun 2004
perlu direvisi. Tulisan ini akan membahas beberapa catatan
kritis penulis terhadap UU ini dan bagaimana solusi yang dapat
ditawarkan untuk menjawab permasalahan otonomi daerah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
64
Proses Pembuatan Kebijakan yang Tidak Demokratis
UU ini dalam proses policy making-nya pun tidak melibatkan
banyak aktor di luar negara. Penulis sendiri yang bekerja di
kampus tidak pernah diajak untuk membahas UU yang penting ini.
Daerah pun apalagi, kabupaten dan kota yang menjadi objek
kebijakan ini gelisah justru ketika UU ini telah disahkan dan
berdampak bagi mereka.
Ada asymmetric information diantara anak bangsa yang
berkepentingan akan UU ini. UU yang lebih menyorot perhatian
publik adalah UU pilkada langsung atau tidak langsung.
Televisi dan Koran yang basisnya di Jakarta dan umumnya
dimiliki tokoh politik nasional lebih mengcover UU ini
ketimbang UU pemda karena memang berkaitan dengan kepentingan
elite politik Jakarta. Sehingga perdebatan di ruang publik
lebih didominasi Jakarta ketimbang daerah di saat TV nasional
yang mendominasi rumah kita lebih bias Jakarta. Implikasinya
adalah perdebatan dan pembahasan UU ini kurang, dan akhirnya
UU ini lolos tanpa ada perdebatan yang berarti di ruang
publik.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
65
Kesalahan Paradigma
Kesalahan fatal dalam UU ini adalah masih terkungkungnya
paradigma hierarkis ketimbang network atau jaringan. Jakarta
masih beranggapan bahwa pengawasan itu harus hirarkis padahal
kenyataannya paradigma ini sudah usang dan ditinggalkan dalam
paradigma manajemen publik atau pemerintahan. Jika kita lihat
tulisan Dirjen Otda di Kompas, jelas bahwa di benak perancang
UU ini yang mengawasi pemerintahan daerah adalah kekuasaan
hirarkis diatasnya yakni Gubernur dan Pemerintah Pusat. Dalam
UU ini paradigma ini bisa dilihat dari pasal 91, UU 23/2014
tentang fungsi pengawasan Gubernur.
Padahal dalam paradigma network atau istilah lain democratic
governance, justru seharusnya pemerintahan itu harus
meninggalkan paradigma hierarkis dan beralih ke hubungan yang
harizontal. Bahkan dalam pidato guru besarnya, mensekneg, Prof
Pratikno menegaskan(2009) bahwa; “Struktur pemerintahan pun
mengalami perubahan yang cukup signifikan. Karakter struktur
kelembagaan pemerintahan yang sebelumnya bersifat hierarkis
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
66
bergeser menjadi lebih horisontal dengan aktor yang semakin
banyak”. Anehnya disaat paradigma pemerintahan saat ini di
dunia meninggalkan paradigma hierarkis dan lebih horizontal
(Owen Hughes,2011),(Guy B Peters, 2011:63), UU ini masih
mengusung paradigma yang usang ini.
Dalam struktur pemerintahan yang horizontal (atau dalam banyak
literatur diistilahkan governance ) justru pengawasan itu
seharusnya dilakukan oleh aktor di luar kelembagaan negara,
yang dalam istilah studi pemerintahan dikenal dengan istilah
networks. Ini artinya penguatan networks seperti masyarakat
sipil agar mereka lebih berdaya dalam mengawasi pemerintahan
justru yang harus lebih ditingkatkan dan difokuskan. Pakar
pemerintahan, Rhodes ( 2007: 1246) misalnya malah mengatakan
bahwa governance itu sebenarnya maknanya adalah model
pemerintahan melalui networks. Ini artinya paham bahwa
pemerintahan hanya proses hierarkis di dalam institusi negara
sebagaimana paradigma UU ini adalah sesuatu yang tidak tepat
dan tidak sejalan dengan dinamika pemerintahan saat ini yang
lebih demokratis dan melibatkan banyak aktor.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
67
Betulkah overhead Cost ?
Jika dikatakan bahwa otonomi daerah selama ini overhead cost,
maka fakta di lapangan justru otonomi daerah telah memajukan
ekonomi daerah ditengah fakta memang terjadi overhead cost.
Banyaknya jumlah uang yang beredar di daerah telah menciptakan
multiplier effect yang berdampak positif bagi daerah. Misalnya
Pembangunan perkantoran telah menciptakan tata ruang baru yang
memberi space bagi pedagang-pedagang kecil. Lapangan kerja baru
pun dibuka dan memberi dampak bagi naiknya income penduduk
lokal.
Memang harus diakui komponen terbanyak dari pengeluaran APBD
di banyak daerah adalah dalam sektor belanja pemerintah
khususnya belanja pegawai dan tentu saja pembangunan
perkantoran bagi daerah otonom baru. Namun itu biasanya
terjadi di tahap awal pembentukan daerah baru. Ini adalah
sebuah kewajaran jika beban belanja pemerintah DOB berlebih,
namun seiring waktu akan dikurangi. Solusinya bukanlah dengan
mengurangi kewenangan namun lebih fokus kepada bagaimana
daerah di dorong untuk membuat politik anggaran yang sehat.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
68
Namun, tidak semua daerah gagal dalam kebijakan anggarannya,
dan ini sangat tergantung dari kualitas kepala daerah
ketimbang sistem otonomi daerahnya. Data dari Indonesia Governance
Index 2014 misalnya mencatat ada daerah yang berhasil secara
efektif mengurangi belanja pegawai dan lebih berpihak kepada
sektor yang lainnya yang lebih penting seperti Kabupaten Siak
Riau. Siak membuktikan bahwa tidak selamanya desentalisasi
menciptakan overhead cost.
Hal ini sekali lagi ditegaskan bahwa bukan sistem
desentralisasinya yang bermasalah tetapi lebih ke kualitas
kepemimpinan daerah. Bicara tentang kualitas kepemimpinan
daerah akhirnya kembali ke masalah kepartaian. Artinya tetap
saja dapur masalah itu diproduksi oleh sistem kepartaian kita
yang belum mampu menghasilkan kepemimpinan daerah yang
berkualitas.
Solusi yang Tambal Sulam
Sayangnya solusi yang ditawarkan pemerintah pusat adalah fokus
pada pengambil-alihan wewenang ketimbang peningkatan
pengawasan. Pusat melihat masalahnya adalah pada daerah yakni
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
69
pemerintah kabupaten dan kota yang dianggap terlampau melimpah
kewenangannya. Sehingga pemikiran tambal sulam kembali
terjadi. Menurut pusat, "Jika daerah gagal dan melakukan
penyimpangan maka ambil alih wewenang dan kembalikan ke pusat
melalui perpanjangan tangan mereka di daerah yakni gubernur".
Namun, pada kenyataannya tidak semua daerah dikatakan gagal
dalam menyelaraskan antara eksploitasi alam dan kelestarian
lingkungan hidup. Masih ada daerah yang bisa dikatakan maju
dengan memanfaatkan kekayaan alamnya secara bijak sekaligus
melestarikan lingkungan hidup. Namun memang harus diakui jujur
bahwa eklorasi pertambangan dan kehutanan telah menyumbang
banyak kerusakan lingkungan dan menyumbang banyak kepala
daerah masuk penjara karena kasus suap.
UU otonomi daerah sebagai tuntutan dari reformasi politik 1998
telah sukses mengantarkan pembangunan di berbagai daerah. Jika
selama ini kekayaan alam daerah dikeruk dan dibawa Jakarta
sehingga ouputnya lebih banyak dirasakan Jakarta, dengan
otonomi daerah telah banyak daerah maju dan berkembang pesat
ekonominya sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonominya.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
70
Dengan lahirnya UU ini ditakutkan potensi daerah malah
dimatikan, kabupaten dan kota bisa kehilangan modal penting
bagi pembangunan mereka.
Jika ada kekurangan seharusnya pemerintah tidak mencabut
kewenangan tetapi meningkatkan pengawasan. Salah satunya
dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.
Adagium power tends to corrupt akan berlaku dimana saja ada
kewenangan itu berada. Oleh karena itulah perlu fokus ke
pengawasan dengan melibatkan masyarakat atau aktor-aktor di
luar negara. Dahulu ketika orde baru dengan sentralismenya,
penyimpangan terjadi di pusat. Dampak ketimpangan pusat dan
daearah, Jawa dan luar Jawa masih kita rasakan hingga saat
ini. Seiring dengan tuntutan demokrasi, otonomi daerahpun
diberlakukan dengan UU 22 tahun 1999 dan 32 tahun 2004. Titik
tekan otonomi daerah berada di pemerintah kabupaten dan kota.
Bisa kita katakan penyimpangan kekuasaan meluas hingga ke
daerah. Namun dengan mengambilalih kewenangan kota dan
kabupaten melalui UU yang baru ini, bisa saja terjadi
kemungkinan penyimpangan terhadap kekuasaan akan terjangkit ke
Provinsi. Sehingga kemudian hari tidak menutup peluang akan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
71
ada revisi kembali bahkan sentralisasi jika pola pikir tambal
sulam masih ada di benak pengambil kebijakan.
Solusi Bagi Perbaikan: Perlunya Desentalisasi Yang menjamin
terciptanya Inclusive institution
Perdebatan tentang apa sebaiknya model pemerintahan daerah
kita saat ini tidak akan selesai jika tidak ada kontrak sosial
baru diantara berbagai pemangku kepentingan terutama daerah
tentang bagaimana seharusnya sistem pemerintahan daerah ini.
Ini artinya NKRI bukanlah harga mati. Negara Kesatuan perlu
segera di bahas kembali diantara anak bangsa ini. Founding
fathers kita seperti Hatta dan Tan Malaka misalnya lebih
memilih federasi ketimbang kesatuan. Namun kerena intervensi
militer dan rezim orde baru perdebatan tentang apakah kesatuan
atau federasi menjadi taboo untuk dibahas.
Alternatif lain di luar federasi atau sentralisme kesatuan
adalah apa yang digagas teman-teman UGM dengan asymmetric
decentralization di dalam bingkai negara kesatuan. Model ini (
walau sebagian sudah diakomodir di UU 23/2014) bahkan telah
menjadi program di nawacita Presiden Jokowi. Kuatnya pengaruh
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
72
UGM terhadap Jokowi terlihat dari diadopisnya model ini dalam
nawacita. Artinya ada kemungkinan besar UU ini akan direvisi
jika merujuk ke nawacita. UU ini sendiri adalah produk
pemerintahan SBY yang didominasi intelektual IPDN sehingga
bisa dimaklumi jika model pemerintahannya dalam UU ini masih
kental dengan paradigma lama orde baru yang sentralistis.
Karena sudah kita maklumi IPDN cenderung serius dalam mencetak
pamong ketimbang pengembangan keilmuan yang tempatnya di
Universitas.
Namun yang paling penting apakah kita mengadopsi model
sentralisme orde baru, atau federasi ataupun asymmetric
decentralization adalah memastikan bahwa sistem pemerintahan
daerah kita bisa mampu melakukan perbaikan bagi institusi
politik dan ekonomi ke arah institusi yang inclusive.
Kegagalan banyak negara dalam pembangunan dan menciptakan
kesejahteraan disinyalir banyak disebabkan oleh faktor tidak
mampunya negara beralih dari sistem extractive institution ke
inclusive institution dari institusi politik dan ekonominya
seperti yang dikemukakan pengarang buku best seller “Why
Nation Fail”, Robinson dan Acemoglu, (2012:144-145). Berikut
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
73
penjelasan theory of Instituions yang diolah dari slide kuliah
umum Robinson dan Acemoglu di LSE tanggal 8 Juni 2012:
Dua pakar ekonomi-politik ini menawarkan sistem desentralisasi
karena menjamin sistem politik yang pluralistik sebagai ciri
inclusive institution. Namun dalam banyak kasus desentralisasi
di banyak negara justu menjadi pemicu lemahnya penegakan dan
keteraturan hukum dan sentralisasi justru lebih bisa
memastikan.
Oleh sebab itu perlu ada konsensus utama di bangsa ini tujuan
kita jelas kesejahteraan, namun cara nya mana yang efektif
sesuai dengan konteks Indonesia, desentarlisasi atau
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
74
sentralisasi. Yang jelas yang diutamakan adalah bagaimana
sistem pemerintahan daerah kita mampu meningkatkan partisipasi
politik masyarat secara adil tanpa diskriminasi dan tanpa
menguntungkan elite tertentu. Inilah yang disebut political
inclusive institution itu. Wallahu a’lam
Referensi
Acemoglu, D & Robinson, J.A 2012 “Why nation fail: the origin of power, prosperity and poverty”, Crown Publisher, NewYork
________________________, 2011 ‘ Why nation fail: the origin of power, prosperity and poverty, Slide in Morishma Lecture, LSE June 8, 2011, London
Djohermansyah, D 2015 “Kado Hari Otonomi” Kompas, 25 April 2015
Hughes, O 2003, ‘Public management in developing countries’ Public management And Administration, 3rd edn, Palgrave, Basingstoke, pp.218-27
Kemendagri, 2011, Naskah Akademik RUU tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta
Kemitraan, 2014 “Menata Indonesia dari Daerah” Kemitraan,Jakarta
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
75
Peters, G. B,2011, Governance as political theory, Critical Political Studies, Vol. 5 No. 1 pp. 63-72
Pratikno, 2009 “Rekonsolidasi Reformasi Indonesia: Kontribusi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif” Pidato guru besar UGM, Yogyakarta
Rhodes, R.A.W, 2007, Understanding governance: Ten years on, Organization Studies , Vol. 28, No. 8, pp. 1243-126
UU No 23 tahun 2014
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
76
NAWACITA DAN DESENTRALISASI ASIMETRIS: SEKEDAR JANJIATAU SOLUSI SERIUS MENGATASI PROBLEMATIKA OTONOMI
DAERAH DI INDONESIA
OLEH: SYAFARUDIN
Pergantian Presiden dan DPR, seperti biasa, diikuti episode
gonta-ganti Undang-undang. Celakanya dengan perubahan
kebijakan tidak serta merta problematika penataan otonomi
daerah di Indonesia mereda bahkan muncul persoalan atau
kerumitan baru. Sejatinya persoalan otonomi daerah sejak era
orde lama tidaklah mudah alias memang sangat kompleks11.
Begitu juga saat terbitnya UU Pemerintahan Daerah No. 23
Tahun 2014 di ujung Pemerintahan Presiden SBY sebagai revisi
terhadap UU 32 Tahun 2004. UU Pemerintahan Daerah yang belum
11 Tak heran rekan akademisi seperti Prof. Pratikno pernah mencatatnya dalam label “Desentralisasi, Pilihan yang TidakPernah Final”, Abdul Gaffar Karim melukiskan dalam tulisan“Bangunan Goyah di atas Fondasi bermasalah: Otonomi Daerah diIndonesia; dalam buku “Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia”, Abdul Gaffar Karim (editor), cetakan ke-2, 2006, JIP UGM dan Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
77
genap setahun itu kemudian pada era Presiden Jokowi
diamandemen menjadi UU No.2 Tahun 2015. Revisi UU tersebut
di tahun 2015 ini hanya memuat perubahan dalam fungsi DPRD
namun tidak menyentuh subtansi lain yang signifikan.
Kedua UU ini yakni UU 23/2014 dan revisinya UU No 2/ 2015
cenderung berpotensi (bahkan ada pihak yang mengabarkan
kepada penulis sudah menimbulkan masalah baru12) jika
dibandingkan dengan UU Pemerintahan daerah yang telah berlaku
dan dijalankan sebelumnya sejak tahun 1999 dan 2004, yakni UU
No. 22/1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.
Bila lebih jauh kita rentangkan sejarah maka terlihat bahwa
persoalan klasik yang terus berulang sejak diberlakukan UU No.
5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah pada era orde baru
sampai dengan UU 2/2015 tentang Pemerintahan Daerah salah
satunya adalah menata format ideal hubungan antara pemerintah
pusat, pemerintah provinsi dan dengan pemerintah
kabupaten/kota terkait pelaksanaan pembagian/perimbangan
wewenang dan keuangan atau/bagi hasil masing-masing dalam
bingkai negara kesatuan (Unitarian). Diikuti
persoalan/pertanyaan berulang yang lain, misalnya seputar
pertanyaan apa kontribusi finansial pemerintah pusat sekarang
12 Di daerah yang kaya hasil tambang ada kabar bupati ngambek dan ngancam mundur dari jabatan Bupati karena kewenangan perizinan tambang yang semula domain/kewenangan Bupati kini harus ditarik menjadi kewenangan Gubernur selaku kepala daerah yang sekaligus Pembantu Presiden di daerah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
78
dalam pemekaran daerah dan kerjasama antardaerah, termasuk
yang senantiasa berulang ditanyakan daerah adalah pola
perimbangan keuangan pusat dan daerah dan atau antar daerah;
yang seperti apa yang ingin didorong pemerintahan baru
sekarang ini.
Masih ingat dalam lintasan memori kita bahwa UU 22/1999 dan
UU 32/2004 yang lahir dalam era reformasi semangatnya sama
yakni mengutamakan desentralisasi berbasis di kabupaten/kota
sebagai lokus otonomi daerah. Pilihan desentralisasi ini
dimaklumi sebagai obat penawar atau koreksi terhadap praktek
keliru era pemerintahan orde baru yang mengedepankan asas
sentralisasi, penghisapan daerah , dan uniformitas yang sudah
berlangsung cukup lama 25 tahun (1974-1999).
Celakanya, praktek otonomi daerah era reformasi yang baru
berjalan belia atau berusia 10-11 tahun ini sudah dirubah
kembali dengan 4(empat) nuansa kontroversi dan paradoksal
sebagai berikut:
(1) keinginan Resentralisasi berbasis di Provinsi
dengan berbagai alasan dan hasil evaluasi dan ini masih bisa
diperdebatkan; Bila UU 32/2004 masih memberikan
kewenangan/perizinan cukup bagi pemerintah kabupaten/kota di
sektor kelautan, kehutanan, dan pertambangan; maka pada UU
Pemerintahan Daerah 23/2014 dan UU 2/2015 terlihat dominannya
kewenangan pemerintah provinsi ketimbang Pemerintah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
79
Kabupaten/kota dalam sektor kelautan, kehutanan, dan
pertambangan.
(2) menerapkan Desentralisasi Simetris yang berujung
uniformitas dan sudah lama format tersebut (bersama format
“desentralisasi asimetris terpaksa berlaku”) dikritik para
pakar13;
(3)Presiden, Mendagri, dan Staf Kemendagri cenderung
lamban merespon dan mencari solusi terhadap persoalan otonomi
daerah yang muncul belakangan ini14;
13 Lihat A.A.GN Ari Dwipayana, Menata DesentralisasiIndonesia, Makalah, Jurusan Ilmu Politik dan PemerintahanUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011, hlm. 1-2. Arimencatat banyak kerancuan, pelaksanaan politik hukumdesentralisasi dan otonomi daerah 13 tahun terakhir terkaithubungan pusat – daerah secara komprehensif, sertadipertanyakan komitmennya untuk peningkatan kesejahteraanrakyat di daerah. Lihat juga Laporan Penelitian Prof.Pratikno, dkk, Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi,Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010. Dalamlaporan bahkan disebutkan bahwa pemerintah pusat selama initidak memiliki desain desentralisasi asimetris untukditerapkan di daerah. Kalaupun desain itu ada, lebihdisebabkan oleh tuntutan dari daerah tertentu akibatmunculnya berbagai permasalahan dan ancamandisintegrasi.hal.138.
14 Misalnya, tatkala kewenangan Gubernur/pemerintah provinsidiperbesar dalam sektor kehutanan, pertambangan, dan kelautandi daerah; kenapa hal ini masih digantung pusat atau belumdikeluarkannya PP (peraturan pemerintah) sebagai petunjuk
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
80
(4) Dalam kebingungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten membuat pola hubungan kewenangan yang harmonis.
Saya mencatat dan sekaligus menggarisbawahi bahwa Pemerintah
pusat atau pembantu Presiden beserta Parpol pendukung
pemerintahan sekarang selain lamban juga bingung dan cenderung
lupa menerjamahkan janji Nawacita (sembilan agenda prioritas)
yang memuat Desentralisasi Asimetris yang sudah dijadikan
bahan kampanye politik presiden dan partai politik pengusung
sejak tahun lalu. Padahal bila janji Nawacita--yang memuat
desentralisai asimetris, membangun tata kelola pemerintahan
yang efektif, dan revolusi mental15—yang juga sebagai bentuk
kontrak sosial dan kontrak politik itu dipahami dan
dilaksanakan dalam regulasi dan aksi yang segera maka
pelaksanaannya. Begitu juga tatkala pemerintah kabupaten inginmelakukan pemekaran daerah dengan tahapan manajemen transisi 3tahun sebagai daerah kabupaten persiapan. kenapa masihdigantung atau belum dikeluarkannya PP (peraturan pemerintah)tentang tatacara pemekaran daerah atau pembentukan daerahpersiapan sebagai petunjuk pelaksanaannya.15 Lihat poin 2 Nawacita Jokowi-JK “ Kami akan membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih efektif, demokratis dan terpercaya’. Poin 3 Nawacita “Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negarakesatuan dengan sub poin prioritas (1) desentralisasi asimetris; (2) pemerataan pembangunan antar wilayah terutama desa, kawasan timur Indonesia dan kawasan perbatasan.(3) penataan daerah otonomi baru untuk kesejahteraan rakyat; poin 8 Nawacita “Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa”.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
81
persoalan otonomi daerah yang kompleks diyakini banyak pihak
bisa cepat diurai untuk mencapai visi Indonesia hebat.
Desentraliasi Asimetris: Alasan Penerapan, Urgensi,
Implikasi Diharapkan, dan Optimisme Pakar
Dalam negara kesatuan Indonesia, sebagaimana kita ketahui
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kombinasi
beberapa sistem dimana selain menggunakan sistem
sentralisasi, dikenal juga penerapan sistem desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan. Dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah pusat
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu. Tugas pembantuan
adalah penugasan dari Pemerintah pusat kepada daerah
dan/atau desa, bisa juga tugas dari pemerintah provinsi
kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
82
peraturan perundang-undangan. Sedangkan Daerah otonom adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sistem Desentralisasi ini secara teoritis terbagi 2 yakni
Desentralisasi Simetris (format penyelenggaraan pemda yang
sama untuk tiap wilayah, provinsi dan atau kabupen/kota) dan
Desentralisasi Asimetris (format penyelenggaraan pemda yang
tidak sama/berbeda untuk tiap wilayah, provinsi dan atau
kabupen/kota).
Desentralisasi Asimetris (assymmetric decentralization) bukan
konsep asing di Indonesia karena sudah diterapkan dengan
alasan politik, sejarah dan budaya (political, history and cultural
driven) misalnya dalam bentuk daerah otonomi khusus (Papua,
Aceh), daerah khusus (Jakarta) dan daerah Istimewa
(Yogyakarta).
Desentralisasi Asimetris dalam Nawacita yang saya pahami
adalah konsep menarik karena tawaran penerapan otonomi
daerah yang berbeda tiap wilayah/kawasan atau
provinsi/kabupaten/kota bukan karena alasan politis sejarah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
83
atau budaya semata; tapi lebih jauh karena melihat perbedaan
kapasitas pemerintahan local (local goverment capacity driven) dan
didorong pula setelah melihat kenyataan perbedaan karakter
wilayah, potensi sumber daya alam dan manusia di Indonesia.
Bila kita cermati substansi Nawacita jelas bahwa implikasi
penerapan Desentraliasi Asimetris secara praksis selain
bertujuan (1) mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
efektif; sekaligus (2) strategi pemerintah membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dan (3) strategi cerdas pemerataan pembangunan
antarwilayah terutama desa, kawasan timur Indonesia dan
kawasan perbatasan serta (4) sebagai bagian strategi penataan
daerah otonomi baru (DOB) untuk kesejahteraan rakyat.
Optimisme bahwa penerapan desentralisasi asimetris akan
menjadi obat baru dalam penataan daerah otonomi di Indonesia
muncul sejak lama dari kalangan peneliti dan akademisi
diantaranya:
“Inti desentralisasi asimetris adalah terbukanya ruang gerak
implementasi dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan
pemerintahan di luar ketentuan umum dan khusus. Mengapa
provinsi? Ini karena level kabupaten dan kota sudah cukup
terakomodasi dalam perundangan pemerintahan selama ini.
Dalam hal ini, desentralisasi asimetris dapat menjadi terobosan akan
kebuntuan mekanisme forma dimana pengaturan asimetris itu
diterapkan”. ( Prof. M. Mas’ud Said, Ph.D. Dewan Pakar
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
84
Mayarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia dalam artikel
“Perlu Desentralisasi Asimetris dalam .Negara
Kesatuan”. Jurnal Borneo Administrator Vol. 6 No. 2,
2010).
“Desentralisasi asimetris di Indonesia merupakan sebuah
keberlanjutan sejarah yang telah dimulai dari masa kolonial dan
ditegaskan dalam tiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia.
Dasar dari desentralisasi asimetris tersebut dapat dirujuk dalam
konstitusi sebagai kesatuan hukum tertinggi. Desentralisasi asimetris
menyangkut urusan yang fundamental terkait pola hubungan pusat
dan daerah menyangkut disain kewenangan,kelembagaan, finansial
dan kontrol yang berbeda”.
(Bayu Dardias Kurniadi, Staf pengajar di Jurusan
Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM. Ketua Tim
Kajian “Evaluasi Desentralisasi Asimetris yang Mensejahterakan:
Pengalaman Aceh dan Papua”, kerjasama Yayasan TIFA dan
JPP Fisipol UGM tahun 2012).
“Argumentasi tentang pentingnya pengembangan desentralisasi asimetris
di Indonesia didasarkan pada argumentasi sebagai berikut, 1) Desain
asimetris dirancang untuk menjawab persoalan lokal/daerah dengan
menggunakan kapasitas governability sebagai tolok ukur utama; 2)
Desain asimetris dirancang untuk menjawab tantangan globalisasi; 3)
Desain asimetris harus diletakkan di atas prinsip kebineka-an sosio-
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
85
kultural Indonesia; 4) Asimetris tidak hanya menjangkau masalah2 lokal,
juga kebutuhan nasional”
(Kotan Y. Stefanus,, Staf Pengajar Pascasarjana FH Undana, 2012)
Catatan Penutup
(1) Meski tujuan dan implikasi yang diharapkan
baik dan muncul optimisme dari berbagai pihak ,
Saya kira kita perlu juga memperhatikan tiga saran
dari pakar politik lokal dan otonomi daerah yang
lebih seni or yakni16 “bahwa Pengaturan asimetris
desentralisasi karena faktor capacity driven ini harus
memperhatikan (a) memiliki jangka waktu dalam
pelaksanaannya, bisa temporer dan bisa permanen; (b)
bentuk pengaturan asimetris formatnya bisa finansial
atau fungsional; dan (c) skope pengaturan asimetris
bervariasi, tergantung di level pemerintah yang mana
pengaturan asimetris itu diterapkan”.
(2) Pelaksanaan revolusi mental atau perubahan
dari kerja lambat menjadi cepat, minta dilayani
menjadi melayani, tertutup menjadi terbuka,
mobilisasi menjadi partisipatif nampaknya perlu
mulai dilakukan oleh pemerintah pusat sendiri
terutama jajaran kemendagri. Sudah saatnya rancangan
kebijakan tindaklanjut dari UU Pemda dikonsultasikan
ke publik, diseminarkan bersama asosiasi pemda di16 Cornelis Lay dan Josep Riwu Kaho. Modul kuliah Politik Desentralisasi. JPP FISIP UGM. 2007. Tidak dipublikasikan.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
86
kampus, hal ini tentu sesuai semangat Nawacita yang
mengutamakan partisipasi publik.Semoga Nawacita dan
Desentralisasi Asimetris bukan sekedar janji tapi
solusi nyata mengatasi problematika otonomi daerah
di Indonesia.***
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
87
KEPEMIMPINAN POLITIK LOKAL (Telaah Undang-Undang No 23tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah)
Oleh : Robi Cahyadi Kurniawan
A. PENDAHULUAN
Pengesahan Undang-undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah yang
baru yakni UU No 2 Tahun 2015 menimbulkan keresahan terutama
dikalangan pemerintah daerah Kabupaten dan Kota. UU ini
merupakan revisi dari UU yang baru saja dibuat tahun 2014,
yakni UU No 23 tahun 2014. Menariknya dalam beberapa bulan
saja, UU yang disetujui oleh DPR tidak lama setelah pergantian
pemerintahan direvisi kembali seiring dengan dikembalikannya
proses pemilihan kepala daerah dari DPRD ke rakyat secara
langsung, seperti yang diamanahkan oleh Undang-Undang tentang
Pemilukada
Perubahan dalam UU yang terbaru hanya pada fungsi DPRD yang
menyesuaikan konteks pemilihan kepala daerah yang kembali
langsung oleh rakyat. Substansi yang lain pada UU sebelumnya (
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
88
UU 23 tahun 2014) tidak banyak yang berubah. Namun jika
dibandingkan dengan UU yang telah berlaku dan dijalankan
sebelumnya yakni UU No 32 tahun 2004 ada beberapa hal
subsatansial yang berubah.
UU Pemerintahan daerah yang baru lahir dari adanya keresahan
yang ditimbulkan UU sebelumnya. Salah satu masalah dalam UU
No 32 tahun 2004 adalah lemahnya fungsi gubernur dalam
mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Dalam pandangan
pemerintah lokal, Gubernur bukanlah atasan mereka, karen
Walikota dan Bupati dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga
Gubernur seolah kehilangan kekuasaan mereka terhadap Bupati
dan Walikota. Masalah-masalah pertambangan, kelautan dan
kehutanan menjadi eksplotasi utama Bupati dan Walikota untuk
meningkatkan PAD dan menguntungkan diri sendiri tanpa melihat
dampak negatif dari kebijakan yang telah ia buat.
Raja-raja kecil didaerah banyak sekali bermunculan sejak rezim
pilkada (pemilukada) dimulai. Koordinasi kepada pemerintah
pusat , dalam hal ini Gubernur sebagai kepanjangan tangan
Presiden menjadi sangat kacau. Otonomi daerah yang diharapkan
menjadi pemicu majunya daerah karena bisa mengelola kekayaan
dan potensi alamnya secara mandiri, berubah menjadi ajang
korupsi dan memperkaya diri.
Dampak negatifnya adalah banyak kekayaan alam yang tidak
dipergunakan dengan semestinya, digadaikan kepada pihak ketiga
yang memiliki modal, serta menguntungkan elit lokal dan
pejabat daerah. Dilain pihak beban anggaran pemda
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
89
kabupaten/kota bertambah dengan alasan belanja pegawai , serta
pembangunan yang tidak tepat sasaran. Sehingga pemerintah
pusat mengambil alih kewenangan pemerintah daerah seperti yang
tertuang dalam UU No 23 tahun 2014. Tulisan ini mencoba
menganalisa tentang fenomena elit lokal dalam kaitannya
dengan implementasi UU No 23 tahun 2014, khususnya pada pasal
14.
B. TEORI TENTANG ELIT DALAM POLITIK LOKAL
Teori tentang elit dikembangkan oleh tiga ilmuan Italia, yaitu
; Robert Mitchels dengan konsepnya ’hukum besi oligarkhi17’, Gaetano
Mosca dengan dikotomi ’governing elite and non governing18’, Vilfredo
Pareto dengan konsep ’the ruling class dan the ruled class’ dan ide
tentang ’elite circulation19’. Mereka meletakkan fondasi yang kuat
tentang studi elit sejak tahun 1915. Basis pemikiran mereka
bersumber pada pendapat Aristoteles tentang peran yang
dimainkan sejumlah minoritas yang memegang kekuasaan dalam
sejarah manusia (oligarkhi/aristokrasi). Pengertian elit
mengalami transformasi menjadi ’a small and powerful group’ sejak
saat itu20.
17 Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi, terjemahan. Mien Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 198418 Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 193919 Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 193520 Scoot, 1990: ix
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
90
Dua perspektif utama dalam studi tentang elit yaitu pluralis
( democratic elite theory) dan marxis (class theory21). Teori elit
menyatakan bahwa ketidakseimbangan dalam masyarakat sebagai
hal yang alamiah dan faktor yang given. Dalam sebuah masyarakat
selalu ada orang-orang yang ditempatkan dalam posisi yang
lebih baik dibandingkan kelompok masyarakat lain. Teori kelas
yang dipelopori oleh Karl Marx, membagi masyarakat menjadi dua
katagori berdasar kepemilikan alat-alat produksi; yang
memiliki dan menguasai alat produksi disebut the rulling class.
Sedangkan kelas yang lain ; mereka yang tidak memiliki alat
produksi, mereka diatur, diekploitasi dan dimiliki oleh kelas
yang lebih berkuasa.
Dalam negara-negara dunia ketiga, terdapat beberapa elit lokal
yang terbentuk. Joel S. Migdal menyebutnya sebagai Local
Strongmen22 yang merupakan refleksi kekuatan masyarakat yang
plural serta kelemahan negara (strong societies and weak states).
Setiap kelompok dalam masyarakat memiliki pemimpinnya
sendiridan pemimpin ini relatif otonom terhadap negara. Sifat
otonom ini menyebabkan keberlangsungan ’lokal strongman’
tergantung pada ’social capacity’ negara. Kemampuan negara untuk
membuat warganya mematuhi aturan permainan dalam masyarakat
yang dibuat oleh negara disebut social capacity. Termasuk
kemampuan untuk menyediakan sumber daya untuk mencapai tujuan
pokoknya serta mengatur perilaku masyarakat sehari-hari. Di
21 Etzioni-Halevy, 1993, Scott, 199122 Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001 : 85
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
91
negara-negara dunia ketiga kemampuan negara tersebut lemah,
sehingga menyebabkan menjamurnya local strongman.
Lebih lanjut Migdal mengemukakan bahwa local strongmen dapat
bertahan asalkan ia berkolaborasi dengan negara dan partai
politik pemerintah. Berdasarkan itu maka terbentuklah ’triangle of
accomodation’. Yang terjadi kemudian, triangle ini mengijinkan
sumberdaya negara untuk memperkuat local strongmen dan
organisasinya, dan keberlangsungan local strongmen tergantung juga
pada kekuatan negara untuk mengatur kontrol mereka. Mereka
belajar mengakomodasi pemimpin yang populis untuk ’menangkap’
organisasi negara pada level yang lebih rendah23.
B. TELAAH UNDANG-UNDANG NO 23 Tahun 2014 DARI PERSPEKTIF ELIT
Akar permasalahan mengapa penulis merasa perlu untuk mengkaji
undang-undang ini berdasarkan perspektif elit adalah karena
tarik menarik kewenangan kemudian menjadi latar belakang
lahirnya UU No 23 tahun 2014 ini. Otonomi darah yang digadang-
gadang merupakan bentuk terbaik dari penyelenggaraan
pemerintahan, menurut pendapat penulis sudah berubah menjadi
sebuah arena memperkaya diri bagi para pemimpin dan elit
lokal, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.
23 Ibid. Midgal, 256
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
92
Didalam undang-undang No 23 tahun 2014 pasal 14 disebutkan;
ayat 1 : Penyelenggaraan Urusan pemerintahan bidang kehutanan,
kelautan, energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi. Ayat 2 dituliskan ;
Urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana disebut pada
ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya
kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. Ayat
3, dituliskan ; Urusan pemerintahan bidang energi dan
sumberdaya mineral sebagaimana yang disebut pada ayat (1) yang
berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi
kewenangan pemerintah pusat. Ayat 4, dituliskan; Urusan
pemerintahan bidang energi dan sumberdaya mineral sebagaimana
yang disebut pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan
langsung panas bumi dalam daerah kabupatan/kota menjadi
kewenangan kabupaten /kota.
Sekilas dari pemaparan pasal 14 terdapat keadilan berbagi
kewenangan yakni diayat 3, pemerintah pusat memiliki hak dalam
pengelolaan minyak dan gas bumi, dilain pihak daerah
kabupaten/kota memiliki hak mengelola taman kota dan
pemanfaatan langsung panas bumi.
Dalam perspektif elit, dalam kacamata teori Marx, yang
dijelaskan mengenai produksi, maka keputusan pasal 14 dalam UU
N0 23 tahun 2014 ini adalah murni dikarenakan tentang kelas
menurut pendapat penulis. Pemerintah pusat mempunyai kelas
yang lebih tinggi dibandingkan pemerintah daerah. Pusat
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
93
memiliki hak yang lebih pantas untuk memproduksi dan
menghasilkan publik goods bagi masyarakat dengan menguasai
sumber daya alam yang paling dicari dan paling menguntungkan.
Dalam konteks teori kapitalisme, penulis berpendapat bahwa
pemerintah pusat yang terdiri dari bagian eksekutif dan
legislatif memiliki keinginan mengambil keuntungan lebih besar
dan lebih banyak dalam hal ekploitasi minyak dan gas bumi.
Dalam banyak kasus, bahwa penguasaan minyak dan gas telah
menjadi sumber penghasilan partai politik dengan menempatkan
wakil-wakilnya dijajaran pemerintahan umtuk menjadi menteri
dan direktur pertamina (contoh kasus Rudi Rubiantara dan
Sultan Bhatogana politisi Partai Demokrat dalam korupsi SKK
Migas).
Dalam konteks lokal, dalam perspektif local strongmen-nya Midgal,
bahwa kekuatan lokal diramu dengan kelemahan negara menjadikan
banyak kekuatan-kekuatan lokal baru. Serupa dengan Bossism di
Filiphina, penulis berpendapat bahwa kekuatan lokal di
kabupaten dan kota di Indonesia dalam hal ini konteks yang
lebih sempit adalah Provinsi Lampung lahir dari kolaborasi
penguasa (Bupati dan Walikota) dengan pengusaha.
Dengan pengambilalihan kewenangan minyak bumi dan gas ke
pemerintah pusat, yang paling dirugikan adalah penguasa dan
pengusaha lokal. Asumsi penulis, dalam konteks lokal
kabupaten-kabupaten di Provinsi Lampung yang memiliki cadangan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
94
minyak bumi dan gas bumi, perusahaan-perusahaan asing telah
mengeluarkan dana yang telah di alokasikan untuk melancarkan
eksploitasi mereka di daerah. Misalnya Chevron yag menggali
cadangan gas dan minyak bumi yang ada di Kabupaten Lampung
Barat dan Kabupaten Tanggamus.
Pembagian kewenangan yang dirasa tidak adil oleh daerah ini
juga cenderung dapat menciptakan peluang neo-feadalisme dengan
budaya paternalistik dan menciptakan pola patron klien yang baru.
Kembali ke masa orde barau dimana pemerintah usat sebagai
patron (raja) dan pemerintah daerah sebagai klien (hamba)
khususnya bagi pengelolaan migas.
UU No 23 tahun 2014 yang telah direvisi sebagian kecil
pasalnya dan dimuat dalam UU No 2 tahun 2015 telah menjadi
sebuah pekerjaan rmah yang berat bagi daerah-daerah kabupaten
kota, khususnya yang memiliki kandungan minyak dan gas bumi
yang banyak. Peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang
ini memang belum ada, untuk itu diperlukan peraturan yang
sistemtik dan mengatur seadil-adilnya tentang bagi hasil
daerah yang memiliki kandungan minyak dan gas.
Fenomena Aceh dan Papua, bisa menular ke daerah-daerah lain di
Indonesia adalah hal disintegrasi bangsa dan juga kecendrungan
keinginan kuat memisahkan diri dari NKRI jika masalah
pembagian kuota ini tidak diberlakukan dengan bijak dan adil.
Jika kecendrungan ini didukung kuat oleh lokal stongmen dan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
95
bossism kuat didaerah yang ditopang oleh dana dari pengusaha ,
maka kemungkinan disintegrasi daerah bisa mungkin terjadi.
Pasal 14 Undang-Undang No 23 tahun 2014 memang hanya terdiri
dari beberapa ayat, namun besar konsekuensinya dalam konteks
hubungan antara pusat dan daerah, karena juga menyangkut
pembagian jatah kue perekonomian yang berguna untuk
pembangunan daerah.
Kepemimpinan politik lokal , dalam hal ini konteks Bupati dan
Walikota menanggapi berlakunya UU No 23 tahun 2014 , selain
perlu pembagian kue yang lebih adil juga dibutuhkan pengawasan
yang melekat sehingga pemimpin lokal tidak menjadi raja kecil
yang cenderung menyelewengkan dana pemerintah pusat. Hendaknya
diaturan peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU No 2
tahun 2015 revisi dari UU No 23 tahun 2014 juga memberikan
sanksi yang tegas dan merujuk dalam pasal 72,73 dan 74
Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang pertanggungjawaban
kepala daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, 2003, Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan& Implikasinya, Kreasi
Wacana Yogyakarta
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
96
Apter, David E. 1997, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta
Josep R. Kaho & Cornelis Lay dalam Modul Kuliah Politik
Desentralisasi, bab dinamika politik lokal, pascasarjana Ilmu Politik,
2005
Malik Djamaludin, Dedy dan Inantara, 1994. Komunikasi Persuasif.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi,
terjemahan. Mien Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 1984
Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001
Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 1939
Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London,
1935
Mulyana, Deddy.Dr, M.A.2005 Nuansa-Nuansa Komunikasi.Bandung: PT
Remaja Rosda Karya.
Nimmo, Dan. 2001 Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
97
Suwarno, P.J.1994, Habengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemeritahan
Yogyakarta, 1942-1947, sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta;
Kanisius
Undang-Undang
Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang
telah direvisi sebagian menjadi UU No 2 tahun 2015 tentang
Pemerintah Daerah
Website
Nugroho , (2009) ‘Ulasan Politik”
http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/16/kha1.htm, ulasan Dr
Nugroho, Dosen Psikologi Politik di Unnes.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
98
UU NO.23/2014 dan Menggagas Model Pilgub (Catatanuntuk RUU Pemilukada)
Oleh: Arizka Warganegara
Membaca UU NO.23 tahun 2014, undang-undang tentang Pemerintah
Daerah yang baru seolah berada pada sebuah titik (di) antara.
Undang-undang baru ini bisa lebih mem-balance-kan
kontekstualitas dan eksistensi pemerintah daerah menjadi lebih
prudent atau sebaliknya membuat pemerintah daerah kembali dalam
skema shadow sentralisasi.
Undang-undang yeng terdiri dari 411 pasal itu telihat sangat
‘gemuk’ dan super-duper. Saya bisa memperkirakan undang-undang
ini ‘kemungkinan’ dan bisa jadi menjadi undang-udang mengenai
pemerintah daerah yang tertebal seantero dunia. Semua aspek
kepemerintahan menjadi bagian yang seolah ingin dibahas
walaupun pada bagian lain, undang-undang ini juga akan
dilengkapi dengan dua UU lain, yaitu UU Pemilukada dan UU
Pemerintahan Desa.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
99
Kita tentunya ingat bahwa salah satu point penting reformasi
adalah penyelenggaran atau implementasi penuh terhadap otonomi
daerah. Kabupaten dan Kota sebagai pusat kecenderungan dan
sentral pengembangan demokrasi lokal.
Pada bagian lain, pasal mengenai pemilihan kepala daerah,
yaitu pasal 62 berbunyi: “ketentuan pemilihan kepala daerah
diatur dengan undang-undang” menurut saya masih ambigu dan
saya tidak tahu sudah sampai manakah pembahasan detail
mengenai model pemilihan untuk gubernur tersebut. Dilain sisi
ketika membaca UU No. 23 tahun 2014 terlihat jelas bahwa peran
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah begitu
besar.
Di sela UU Pemilukada yang masih di-godok, menarik untuk
mendiskusikan wacana Pemilihan Gubernur, tentunya ada kelompok
yang pro dan kelompok yang kontra. Bagi kelompok yang menyukai
rezim Pemilukada terutama Pemilukada di level provinsi
mengatakan ini adalah bagian dari skema pengulangan “kelakuan”
rezim orde baru yang sangat sentralistis dan manipulatif, akan
tetapi dipihak yang lain mengatakan bahwa ini adalah bagian
naluriah dari proses demokrasi yang menganut logika trial and error
(coba dan salah) sekaligus bagian dari upaya penataan ulang
rezim pilkada yang cenderung menyebabkan in-efisiensi demokrasi.
Opsi Pemilihan Gubernur
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
100
Jika penghapusan Pilkada di level provinsi maka terdapat
beberapa opsi bagi Pemilihan Gubernur kedepan, beberapa opsi
tersebut akan terurai dalam tulisan berikut ini:
Opsi pertama, Gubernur akan dipilih langsung oleh Presiden
argumentasinya adalah bahwa dalam konteks negara kesatuan
Gubernur bertindak sebagai wakil dari pemerintah pusat di
daerah maka secara politik Gubernur memegang kewenangan yang
diberikan Presiden kepadanya dan mempunyai inisiatif
kewenangan bagi daerahnya sebagai bagian dari pemberian mandat
Presiden kepada Gubernur tersebut.
Opsi kedua, Gubernur akan dipilih kembali oleh DPRD secara murni
melalui mekanisme pemilihan keterwakilan. Secara detail
penjabarannya, setiap anggota DPRD mempunyai satu suara untuk
memilih Gubernur hal ini merujuk kembali seperti pada UU
NO.22 Tahun 1999, diawal reformasi, Gubernur, Bupati dan
Walikota memang dipilih oleh anggota DPRD.
Opsi ketiga ini merupakan usulan penulis yang menurut saya
sebagai bagian dari kompromi politik, pada tahap awal para
Calon Gubernur akan di- fit and proper test oleh para anggota DPRD
kemudian hasil dari fit and proper test diajukan kepada Presiden.
Atau mekanisme sebaliknya Presiden yang menentukan satu atau
lebih Calon Gubernur kemudian DPRD yang melakukan fit and proper
test dan kemudian dilanjutkan untuk memilih satu diantara
beberapa nama yang diajukan Presiden tersebut, proses seperti
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
101
ini sudah sering dilakukan oleh Presiden sebagai contoh
misalkan pemilihan Gubernur Bank Indonesia.
Beberapa Kekurangan dan Kelebihan
Memang ketika kita menilik berbagai kemungkinan opsi tersebut
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya.
Pada opsi pertama misalkan, ketika Gubernur sebagai kepala daerah
di sebuah provinsi murni dipilih oleh Presiden maka yang akan
terjadi adalah sebuah subjektifitas politik. Sebuah “tema”
besar yang sebenarnya sangat kita hindari di era reformasi,
masih ingat misalkan di era orde baru betapa politik patronase
menjadi sangat kental terutama untuk pengisian pos Bupati,
Walikota sampai Gubernur. Dengan konsep teritorial politik
maka setiap pejabat yang menduduki pos-pos tersebut mesti
ditunjuk dan mendapat “restu” secara politik oleh Presiden,
sehingga kepemimpinan politik daerah tidak bisa berkembang
dengan baik apalagi bicara soal penataan demokrasi di level
lokal.
Walaupun dalam mekanisme seperti ini ada kebaikannya terutama
dalam menjaga ranah integrasi bangsa, dengan konsep teritorial
politik melalui mekanisme Gubernur ditunjuk oleh presiden
seperti ini maka secara politik konsep Unitary State atau Negara
Kesatuan akan terjaga dengan baik.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
102
Pada opsi kedua, Gubernur dipilih oleh anggota DPRD, dengan model
yang kedua ini kita pernah melakukannya dan pada waktu itu
diatur dalam UU NO.22 Tahun 1999. Secara umum memang model
pemilihan murni melalui mekanisme DPRD ini sangat murah dan
mudah teknisnya, panitia pemilihan hanya menyiapkan kertas
pemilihan dan kotak pemilihan kemudian pemilihan pun dapat
dilaksanakan. Kelemahan dengan model seperti ini, akan terjadi
konfigurasi politik daerah yang Legislative Heavy dimana lembaga
legislatif akan lebih mendominasi perjalanan pemerintah
daerah, logikanya secara politik Gubernur dipilih oleh anggota
DPRD.
Menurut saya, opsi yang paling ideal adalah opsi yang ketiga
yaitu kewenangan DPRD hanya sampai pada tahap melakukan fit and
proper test saja terhadap para kandidat Gubernur tersebut.
Langkah selanjutnya DPRD melakukan perangkingan berdasarkan
pembobotan kuantitatif dari calon yang memiliki skor tertinggi
sampai terendah, mekanisme selanjutnya nama-nama calon
Gubernur tersebut diserahkan kepada Presiden untuk kemudian
dipilih nah dalam konteks ini hak prerogratif presiden untuk
menentukan gubernur terpilih.
Makanisme ini menurut saya sangat kompromis dibandingkan
dengan opsi pertama atau kedua, secara politik kepentingan
elit politik lokal terakomodasi, disisi lain kepentingan
presiden sebagai pemengang mandat kekuasaan tertinggi juga
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
103
terakomodasi. Walaupun mekanisme yang ketiga ini akan sangat
sulit untuk diakomodasi.
UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah :Simalakama Bandul Kewenangan Propinsi dan
Kabupaten/Kota
Oleh : Feni Rosalia
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
104
UU Pemerintahan Daerah pada dasarnya adalah undang-undang yang
mengatur terselenggaranya roda pemerintahan daerah dengan
mengutamakan pelaksanaan azas desentralisasi. UU Pemerintahan
Daerah beberapa kali mengalami pasang surut sehingga harus
beberapa kali mengalami perubahan karena dinilai tidak sesuai
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Walaupun perubahan
regulasi beberapa kali mewarnai perjalanan kehidupan
pemerintah daerah, namun pada prinsipnya tetap mengacu pada
visi dasar penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistemewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Visi dasar dari kebijakan
otonomi daerah tersebut dengan demikian sejalan dengan
semangat pendalaman demokrasi (deepening democracy) dan semangat
untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif (effective governance)
demi pelayanan publik yang lebih baik.
Esensi perubahan regulasi tentang pemerintahan daerah dengan
visi yang ideal tersebut tidak menjadi masalah jika dapat
diterapkan dengan baik, dalam arti memperhatikan tata cara
pembagian kewenangan tidak hanya pusat ke daerah tetapi yang
lebih penting adalah pembagian kewenangan antara propinsi
dengan kabupaten/kota sebagai penyelenggara pemerintahan di
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
105
daerah. Jangankan berbicara aplikasi UU tersebut, menyentuh
dasar proses pembentukannya saja apalagi bagaimana aturan
pelaksanaannya masih dipertanyakan. Bandul kewenangan bergerak
tidak mengikuti aturan (yang notabene belum jelas), bandul
kewenangan ditarik sana sini tergantung pemahaman para pihak
pemeroleh kewenangan. Dapat dikatakan bahwa aparat pemerintah
daerah baik di propinsi maupun kabupaten/kota masih belum ada
kesepahaman, wajar jika masyarakat mengalami kebingungan,
bingung dengan regulasinya dan bingung melihat aparat tarik
menarik kewenangan. Miris memang !...
Tidak dipungkiri jika isu aktual pasca UU No 23 tahun 2014
terkait kelembagaan adalah terjadinya benturan dan tarik
menarik kewenangan. Bandul kewenangan diperebutkan antara
kabupaten/kota dan propinsi. Pergerakan bandul kewenangan
seperti buah simalakama, bergerak ke kabupaten/kota salah
tetapi mau mengarah ke propinsipun tidak bisa berjalan. Inti
permasalahan adalah akibat regulasi yang belum jelas di
tingkat pusat. Pemerintah belum mengeluarkan petunjuk teknis
dan pelaksana dari UU No 23 Tahun 2014. Selain itu propinsi
sebagai pihak yang diberikan kewenangan versi UU Pemerintahan
Daerah yang baru juga belum menerbitkan aturan terkait
pelaksanaan kewenangan yang dimaksud.
Penyelesaian masalah yang tidak menyelesaikan masalah !....
Mengacu pada keluarnya UU Pemerintahan Daerah yang baru, jelas
dalam beberapa bidang mengharuskan bandul kewenangan bergerak
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
106
mengarah ke propinsi tetapi ternyata kabipaten/kota sebagai si
empunya awalnya tetap menarik bandul tersebut ke arahnya,
dapat dianalisis jika keluarnya UU Pemerintahan Daerah yang
dimaksudkan untuk mengatasi masalah pemerintahan daerah tetapi
ternyata tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas. Kesalahan
pengambilan kebijakan terulang, tetapi tidak menjadi
pembelajaran. Pemerintah dengan mudahnya mengambil keputusan
dengan jalan pintas, hanya memperhatikan aspek pragmatis
tetapi tidak diikuti dengan aspek konsepsi dan teoritis.
Pemerintah juga tidak cermat menganalisa keputusan yang
dipandang dapat mengatasi permasalahan konkrit. Kesalahan
pemerintah yang paling fatal adalah manakala pemerintah tidak
mempertimbangkan kemungkinanan-kemungkinan rasional lainnya.
Yang terjadi adalah dorongan untuk segera melakukan aksi tanpa
memperhatikan aspek lainnya.
Simalakama bandul kewenangan akan terus terjadi manakala
aturan pelaksana UU 23 tahun 2014 belum keluar baik dari
pemerintah pusat maupun propinsi. Walaupun tidak dibenarkan
dalam UU Pemerintahan Daerah, namun kabupaten/kota akan terus
menjalankan kewenangannya dengan pertimbangan untuk
keberlangsungan pelayanan. Begitu pula Propinsi akan tetap
bersikukuh akan kewenangan yang dimilikinya dengan dasar
kewenangan dan legalitas pelayanan.
Beberapa kewenangan yang beralih dari kabupaten/kota kepada
propinsi adalah kewenangan pertambangan dan pendidikan.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
107
Kota/Kabupaten dilarang menerbitkan izin usaha pertambangan
(IUP) mineral logam, bukan logam, dan bebatuan sebagaimana
kewenangan yang biasa dimilikinya, namun berhubung aturan
pelaksanaannya belum ada baik dari pemerintah pusat maupun
propinsi sehingga saat ini masih banyak daerah kabupaten/kota
yang memaksakan untuk mengeluarkan IUP. Kewenangan yang juga
beralih dari kabupaten/kota ke propinsi adalah urusan
pendidikan menengah, urusan kehutanan (kecuali pelaksanaan
pengelolaan tahura kabupaten/kota), dan urusan ESDM (kecuali
penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi dalam
kabupaten/kota).
Tarik menarik kewenangan pada dasarnya bersumber dari benturan
kebijakan antara UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba. UU
Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan pertambangan kepada
propinsi, di lain pihak UU Minerba memberikan kewenangan
pertambangan kepada Kabupaten/Kota. Untuk kasus ini dalam ilmu
hukum dikenal istilah lex specialis derogat legi generalis, yaitu asas
penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat
khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum
(lex generalis)(International Principle of Law, trans leg.org). Perlu kajian
khusus untuk menentukan mana yang lex specialis dan mana yang lex
generalis.
Akhirnya sebagai rekomendasi tulisan ini, penulis menyarankan
agar pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
108
sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU no 23 tahun 2014.
Demikian pula propinsi sebagai daerah yang diberikan
kewenangan segera dapat mengeluarkan petunjuk teknis terkait
pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya. Internalisasi dan
pendalaman bagi SKPD tentang kewenangan masing-masing daerah,
diikuti arti pentingnya urusan sangat diperlukan, mengingat
bahwa urusan merupakan entry point (pintu masuk) bagi program dan
kegiatan. Simalakama bandul kewenangan bukan mustahil terus
terjadi jika tidak ada kejelasan isi regulasi yang memuat di
manakah urusan itu berada.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
109
OTONOMI DAERAH VS SENTRALISASI BARU
OLEH: Denden Kurnia Drajat, M.Si
Era Reformasi yang dimulai dengan tumbangnya rezim Orde Baru
dengan ditandai dengan tumbangnya kekuasaan presiden Soeharto
menimbulkan konsep dan paradigma baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan salah satu konsep yang lahir pada zaman tersebut
adalah kosep Otonomi Daerah. Konsep Otonomi daerah timbul
dengan adanya UU Pemerintahan daerah yaitu UU No 22 Tahun 1999
serta UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Konsep
penyelenggaraan pemerintahan sebelum adanya konsep otonomi
daerah adalah pemerintah sebagai agen tunggal dalam
penyelenggaraan pemerintahan baik itu urusan yang menyangkut
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
110
pemerintahan pusat maupun urusan pemerintahan di Daerah.
Pemerintah Daerah pada saat itu tidak diperkenankan mengurus
rumah tangganya sendiri karena urusan daerah menjadi wewenang
pemerintah pusat.
Pada saat UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
disahkan oleh Pemerintah bersama DPR maka konsep
penyelenggaraan pemrintahan yang ada di Indonesia mengalami
perubahan diberbagai macam aspek. Daerah diberikan kebebasan
untuk mengatur wilayahnya sendiri tanpa campur tangan dari
pemerintah pusat. Konsep penyelenggaraan pemerintahan inilah
yang dikenal dengan sebutan “Otonomi Daerah”. Paradigma
Otonomi daerah yang sudah berjalan hampir selama 1 (dekade)
ini banyak menimbulkan dampak positif dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah yaitu, Perkembangan proses demokrasi
dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan akan meningkat.
Konsep Otonomi daerah ini telah menelurkan semangat untuk
memilih pemimpin daerah baik itu Bupati ataupun Walikota
melalui pemilihan kepala daerah langsung (PILKADA). Masyarakat
secara bebas memilih langsung pemimpin mereka tanpa campur
tangan dari pihak lain. Dampak Positif yang lainnya mengenai
konsep otonomi Daerah ini adalah Pemerintah daerah bebas
mengolah dan menggali potensi daerahnya masing-masing tanpa
adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah
semakin termotivasi untuk mengali potensi yang ada di daerah
dengan harapan pembangunan yang ada di daerah semakin maju
karena adanya konsep Otonomi Daerah ini.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
111
Setelah 10 (sepuluh) tahun berjalan konsep otonomi daerah ini
juga telah menimbulkan problematika-problematika yang ada di
daerah. Berdasarkan data Kemendagri pada tahun bulan Desember
2014 kepala daerah yang tersangkut korupsi berjumlah 343 (tiga
ratus empat puluh tiga) kepala daerah. Kepala daerah ini yang
berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut
masalah pengelolaan keuangan daerah. Data Kementerian Dalam
Negeri menyebutkan, hingga tahun 2010, ada 206 kepala daerah
yang tersangkut kasus hukum. Tahun selanjutnya, Kemendagri
mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah (tahun 2011), 41
kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013).
Sementara itu, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang
tersangkut di KPK hingga tahun 2014 yakni mencapai 56 kepala
daerah. Tjahjo menyebutkan, sebagian besar diketahui melakukan
korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah yang bersumber pada
penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah, pengadaan
barang dan jasa, belanja hibah dan bansos, dan belanja
perjalanan dinasi. Kemendagri mengungkapkan, penyebab
banyaknya kepala daerah yang terkena kasus korupsi adalah
komitmen antikorupsi yang belum memadai, tidak adanya
integritas, belum diterapkannya e-procurement, dan rentannya
birokrasi terhadap intervensi kepentingan.24
24http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/21114211/Mendagri.343.Kepala.Daerah.Tersangkut.Kasus.Hukum
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
112
Timbulnya korupsi di daerah seakan timbul karena konsep
otonomi daerah yang memberikan kebebasan setiap daerah untuk
mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan
pemerintah pusat. Proses pilkada yang menimbulkan berbagai
macam tindak korupsi di daerah seakan-akan memperburuk citra
paradigma otonomi daerah itu sendiri. Selain itu juga konsep
otonomi juga memperlemah peran dari pemerintah daerah provinsi
untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan yang ada di
daerah. Wewenang pemerintah provinsi hanya sebagai pengawas
dan tidak mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi kepada
pemerintah daerah kabupaten ataupun kotamadya jika daerah
tersebut tidak bias mengurus rumah tangganya sendiri.
Problematika yang cukup pelik tersebut akhirnya mendorong
Pemerintah bersama dengan DPR membuat terobosan untuk
menanggulangi permasalahan yang ada di daerah dengan
disyahkannya UU Pemerintahan yang Baru yaitu UU No 23 Tahun
2014. Pada Pasal 9 UU No 23 Tahun 2014 ini menyatakan bahwa
urusan pemerintahan dibagi menjadi 3 (tiga) urusan pokok yang
terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan Pemerintahan
yang ada pada UU ini lebih mengatur terperinci dimna urusan
yang harus dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah
provinsi, ataupun pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya.
Sebelum adanya UU Pemerintahan yang baru ini pemerintah daerah
diberi kekuasaan sebesar-besarnya untuk mengurus rumah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
113
tangganya sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat. Dengan
adanya UU Pemerintahan daerah yang baru ini membuat peran
pemerintah daerah kabupaten/kotamadya menjadi kecil dalam
mengurus rumah tangganya sendiri.
Persoalan kewenangan Kepala daerah kabupaten/walikota dalam
menjalankan pemerintahan juga sudah mulai diawasi secara ketat
oleh pemerintah daerah provinsi. Sebelum adanya UU No 23 Tahun
2014 tentang pemerintahan daerah. Gubernur hanya sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah yang hanya bertugas untuk menjadi
koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah
provinsi
dan kabupaten/kota selain itu juga tugas gubernur pembinaan
dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten/Kota. Gubernur tidak memiliki wewenang untuk
menjatuhkan sanksi kepada daerah jika daerah tidak menjalankan
urusan pemerintahan dengan baik. Setelah UU Pemerintahan
daerah yang terbaru terbit kewenangan Gubernur sangat luas
untuk mengawasi jalannya pemerintahan kabupaten/Kotamadya.
Ketika seorang Bupati atau Walikota membuat kebijakan atau
membuat perda yang tidak sesuai dengan asas penyelenggaraan
pemerintahan maka di dalam pasal UU No 23 Tahun 2014 Gubernur
dapat membatalkan peraturan daerah yang sudah dibuat oleh
bupati ataupun walikota. Sedangkan ketika seorang Bupati
ataupun walikota tidak bias menjalankan urusan yang dibebankan
pemerintah pusat kepada daerah maka Gubernur memiliki
kewenangan yang cukup kuat untuk menjatuhkan sanksi kepada
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
114
bupati atau walikota karena tidak bias menjalankan apa yang
telah diperintahkan oleh pemerintah pusat.
Beberapa hal pokok yang ada pada UU 23 Tahun 2014 ini jika
kita runtut diatas sebenanrya timbul karena konsep dan
semangat otonomi daerah yang sudah berjalan selama hampir 1
dekade ini tidak berjalan dengan baik. Daerah diberi
kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur
tangan pemerintah pusat. Tetapi pada kenyataanya konsep
otonomi daerah ini disalah gunakan kewenangannya timbul raja-
raja kecil di daerah untuk menguasai potensi yang ada di
daerah. Timbul berbagai macam proses pemekaran di daerah baik
itu pemekaran provinsi, Kotamadya/Kabupaten dan bahkan
pemekaran kecamatan banyak terjadi. Masalah yang timbul akibat
otonomi daerah ini juga menimbulkan ketimpangan antar daerah
yang satu daerah yang lain karena sumber daya alam yang ada di
suatu daerah tidak sama dengan daerah lain. Dengan demikian
banyak ketimpangan pemerataan pembangunan di daerah-daerah.
Sebenarnya Bila kita lihat konsep penyelenggaraan pemerintahan
pada UU Pemerintahan yang baru UU No 23 Tahun 2014 secara
eksplisit menimbulkan kembali konsep sentralistik yang pada
zaman Orde Baru konsep ini diterapkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Konsep Sentralistik ditandai dengan adanya peran
yang cukup besar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi untuk mengawasi pemerintah daerah kabupaten atau
kotamadya dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Konsep
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
115
sentralistik inilah yang mulai dianggap oleh elit-elit di
daerah dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan mereka. Hal
inilah yang menjadi tantangan bagi semua aspek masyarakat yang
ada di lingkungan pemerintahan baik itu elit local ataupun
elit pusat dalam memandang UU pemerintahan terbaru ini. Apakah
konsep pemerintahan daerah yang berdasarkan UU No 23 Tahun
2014 yang sedikit banyak ada unsur sentralistik digabungkan
dengan konsep otonomi daerah yang sudah berjalan hampir 10
tahun berjalan ini dapat berjalan dengan baik, mudah-mudahan
konsep yang dikeluarkan oleh pemerintah dan DPR membawa
kebaikan bagi daerah dan juga bagi masyarakatnya. Aamiiin.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
116
DINAMIKA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH di INDONESIA
Oleh : Himawan Indrajat
Hubungan pusat dan daerah di Indonesia mengalami pasang surut,
ada masa ketika daerah tidak mempunyai kemandirian bahkan
hanya dieksploitasi oleh pemerintah pusat seperti ketika orde
baru berkuasa pola hubungan pusat dan daerah sangat
sentralistik melalui undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, daerah tidak memiliki
kewenangan atau otonomi untuk mengurus urusan pemerintahnya
sendiri semua pemerintah pusat yang menentukkan. Dan
kecenderungan pemerintah daerah saat itu adalah Excecutive Heavy,
karena Kepala Daerah adalah wakil langsung yang ditunjuk
pemerintah pusat walaupun dia dipilih melalui DPRD, dan fungsi
DPRD juga sangat lemah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
117
Kemudian setelah pemerintahan orde baru jatuh di gantikan
pemerintahan transisi Habibie pada masa awal reformasi
dilakukan perubahan besar pada pola hubungan pusat daerah yang
tidak lagi tersentralisasi tapi desentralisasi, dengan
disyahkan undang-undang nomor 22 tahun 1999. Dengan undang-
undang tersebut daerah mendapat otonomi yang sangat luas.
Daerah benar-benar menikmati otonominya, terutama
kabupaten/kota karena otonomi yang dilaksanakan saat itu titik
beratnya ada di kabupaten/kota, kekuatan provinsi dilucuti,
serta kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota
tidak lagi ditunjuk oleh pusat dan kemudian dipilih oleh DPRD,
tetapi DPRD langsung yang memilih para calon kepala daerah
tersebut. dalam pelaksanaannya ternyata undang-undang tersebut
dianggap terlalu memberikan kebebasan yang berlebihan, seperti
bupati/walikota dianggap sebagai raja-raja kecil, kemudian
konflik sumber daya alam antar daerah juga sangat tajam,
bahkan timbul konflik antara DPRD dan Bupati/Walikota ada
beberapa kepala daerah yang diberhentikan karena berkonflik
dengan DPRD seperti kasus Bupati Kampar Jefry Noer dan Bupati
Temanggung.
Karena banyak permasalahan tersebut kemudian dilakukan
perubahan dengan disyahkannya undang-undang nomor 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah, kebebasan daerah sedikit
diperketat walaupun daerah masih diberikan kebebasan. DPRD
tidak bisa lagi sewenang-wenang untuk memberhentikan Kepala
Daerah, kemudian Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
118
rakyat bukan lagi melalui DPRD karena pemilihan tidak langsung
melalui DPRD potensi money politic sangatlah tinggi dengan
menyuap anggota DPRD, diharapkan dengan pilkada secara
langsung pemimpin yang terpilih benar-benar pilihan rakyar.
Persoalan utama dalam pelaksanaan undang-undang nomor 22 tahun
1999 dan kemudian undang-udnag nomor 32 tahun 2004 adalah
kordinasi kebijakan pemerintah pusat kadang tidak sejalan
dengan kebijakan pemerintah pusat. Kemudian muncullah undang-
undang nomor 23 tahun 2014 yang bermaksud untuk bisa
menselaraskan kebijakan pemerintah pusat atau program-program
nasional dengan kebijakan daerah. Nuansa dari undang-undang
pemerintah daerah baru ini lebih menekankan pada asas
dekosentrasi dibandingkan undang-undang pemerintah daerah
sebelumnya yang lebih menekankan pada asas desentralisasi
dengan titik berat otonomi daerah pada kabupaten/kota.
Provinsi yang sebelumnya lemah dan kewenangannya sangat
terbatas melalui undang-undang ini posisinya diperkuat dengan
penambahan fungsi dan kewenangan melalui Gubernur untuk
mengawasi pelaksanan pemerintah daerah di kabupaten/kota.
Seperti yang tercantum dalam pasal 91 yang mengatur tugas dan
fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam pasal 91
disebutkan tugas dari Gubernur dalam pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang menjadi
kewenangan daerah kabupaten/kota adalah :
1. Mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraa
Tugas Pembantuan di Daerah kabupaten/kota.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
119
2. Melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang
ada di wilayahnya.
3. Memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di
wilayahnya.
4. Melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan
APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata
ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi
daerah.
5. Melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan
6. melaksanakan tugas lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara kewenangan dari Gubernur dalam melaksanakan fungsi
kewenangannya adalah :
1. Membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan
bupati/walikota.
2. Memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota
terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
3. Menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi
pemerintahan antar-Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu)
Daerah provinsi.
4. Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan
Perangkat Daerah kabupaten/kota; dan
5. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
120
Selain itu masih terkait dengan tugas dan kewenangan Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat adalah “Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat dapat menjatuhkan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan kepada penyelenggaran
pemerintah daerah kabupaten/kota”.
Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat inilah yang
menjadi persoalan karena seolah otonomi pada daerah
kabupaten/kota dibatasi serta seperti set back kembali pada
kondisi orde baru yang sentralistik. Sebenarnya undang-undang
ini disyahkan pada akhir kepemimpinan pemerintahan presiden
Susilo Bambang Yudoyono, yang kemudian oleh pemerintahan
presiden yang baru terpilih Joko Widodo melakukan perubahan
kedua undang-undang nomor 23 tahun 2014 dengan undang-undang
nomor 9 tahun 2015, tetapi perubahan tersebut tidak membahas
tentang otonomi pada kabupaten/kota, perubahan yang dibahas
adalah soal tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta
tugas DPRD provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota.
Dari perubahan tersebut memang terlihat bahwa pemerintah pusat
ingin “menjaga” atau “mengawasi” daerah khusus kabupaten/kota
melalui provinsi agar program-program pemerintah dapat
terlaksana dengan baik. Seperti kita ketahui bahwa program
pemerintahan baru Joko Widodo untuk membangun infrastruktur
transpotasi nasional sangatlah ambisius dari jalan tol di
sumatera, pembangunan pelabuhan baru, membangun konektivitas
transpotasi laut melalui tol laut dan program-program yang
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
121
lain seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar.
Apabila hal ini tidak didukung oleh pemerintah daerah tentu
akan menjadi hambatan dalam penerapannya.
Tetapi bagi saya itu adalah ketakutan yang berlebihan dari
pemerintah pusat, dan pola pikir hubungan pusat daerah
pemerintah masih bersifat hierarkis vertikal, daerah
kabupaten/kota harus tunduk dan patuh pada kebijakan yang
seragam walaupun maksudnya itu baik. Tetapi dengan memberikan
power pada Gubernur ini untuk memberikan sanksi dan penghargaan
terhadap pemerintah kabupaten/kota tentu merupakan suatu
kemunduran, apalagi Gubernur memilili kewenangan untuk
membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota yang menyangkut
RPJPD, RPJMD, APBD, Perubahan APBD, Pertanggungjawaban APBD,
tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah apabila
menurut Gubernur ternyata bertentangan dengan peraturan lebih
tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum seperti yang
diatur pasal 249 dan 250 undang-undang nomor 23 tahun 2014.
Tentu menyimpan potensi konflik yang sangat besar antara
pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi.
Padahal yang digadang-gadang dari pemerintahan baru sekarang
adalah dukungan terhadap proses demokrasi, termasuk didalamnya
pola hubungan pusat dan daerah yang terdesentralisasi. Bukan
malah memperlemah posisi daerah kabupaten/kota, pemerintah
pusat dan DPR RI harus melalukan perubahan segera agar proses
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
122
demokrasi tetap berjalan sesuai dengan cita-cita Pancasila dan
UUD 1945.
KEWENANGAN KEPALA DAERAH PASCA UU PEMERINTAHAN YANGBARU “DITAMBAH ATAU DIPERSEMPIT”
Oleh: ANDRI MARTA
PENDAHULUAN
Sebelum masa penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono ada suatu kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh
pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Yaitu dengan telah disahkannya Undang-Undang Pilkada dan
Undang-Undang Pemerintahan daerah yang baru yaitu UU No 22
Tahun 2014 dan UU No 23 Tahun 2014 sebagai pengganti dari
Undang-Undang Pemerintahan daerah yang lama yaitu UU No 32
tahun 2004. Perhatian masyarakat pada saat itu cenderung
melihat dan memperhatikan substansi tentang UU No 22 tahun
2014 tentang Pilkada karena pada UU tersebut mengatur
pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang secara tak langsung
tidak mempergunakan suara rakyat dalam memilih pemimpin daerah
mereka. Pada dasarnya jika kita memperhatikan lebih rinci lagi
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
123
Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu UU Nomor 23
tahun 2014 memiliki beberapa aspek yang harus kita kaji lagi
dalam proses pemerintahan daerah yang ada di Indonesia
terutama tentang berkurangnya peran Pemerintah daerah dalam
urusan penyelenggaraan fungsi pemerintahan.
Masalah yang timbul terhadap kewenangan Kepala Daerah Kabupaten
atau Kotamadya
Sebelum disahkannya UU Pemerintahan yang baru ini, konsep
otonomi daerah sangat kuat sekali dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan pemerintahan yang ada di daerah. Hal ini
berdasarkan oleh UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Daerah diberi wewenang untuk mengurus dan melaksanakan
proses penyelenggaraan pemerintahannya tanpa campur tangan
dari pemerintah pusat ataupun pemerintah Provinsi. Menurut
Mariun (1979) mengungkapkan bahwa dengan kebebasan yang
dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat
inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya
daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu
dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi
daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat25.
Dengan semangat desentralisasi, daerah menggunakan otonomi
yang dimilikinya untuk berkreasi dan berinovasi dalam
mengelola sumber daya-sumber daya yang dipunyainya. Reformasi
25 Mariun. 1979. Azas-Azas Ilmu Pemerintahan. Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengaembangan. Fakultas Sospol UGM
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
124
telah menghantarkan ke gerbang demokrasitisasi yang akan
membawa perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yang semula
sentralistis menjadi desentralistis. Perubahan itu
berimplikasi pada terjadinya pergeseran lokus kekuasaan, dari
pusat ke daerah. Desentralisasi memberikan surga baru pada
daerah-daerah, karena selama 3 (tiga) dekade kekayaan alam
yang dimiliki daerah tidak pernah dinikmatinya. Akibatnya,
terjadi kesenjangan yang mencolok di daerah-daerah yang kaya
sumber daya alamnya, tetapi penduduknya tetap miskin Pada prosesnya selama 1 (satu) dekade terakhir ini konsep
otonomi daerah menimbulkan berbagai macam permasalahan yang
ada di daerah seperti timbul raja-raja kecil di daerah karena
kekuasaan mereka turun menurun dan juga timbulnya korupsi
kepala daerah yang memimpin daerah tersebut. Menurut
Kemendagri hamper 30% kepala daerah tersangkut korupsi di
daerah yang mereka pimpin. Melihat poblematika yang cukup
kompleks ini maka pemerintah bersama DPR mengesahkan UU
pemerintahan yang baru untuk menggantikan UU No 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Proses pembentukan UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah ini dilandasi karena permasalahan-permasalahan yang
timbul akibat konsep otonomi daerah yang salah diterapkan di
masing-masing daerah di wilayah Indonesia. Undang-Undang No 23
Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah ini menitikberatkan
pada pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
125
yang lalu urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih di
fokuskan kepada aspek otonomi daerah yang ditandai dengai
konsep Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Ketika UU No 23 Tahun 2014 disahkan paradigma tentang
penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih difokuskan pada 3
(tiga) aspek urusan. Menurut UU no 23 Tahun 2014 Pasal 9 ayat
(10) tentang pembagian urusan yaitu urusan pemerintahan
absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan
umum.
Pada UU pemerintahan yang baru ini juga di jelaskan bahwa
Peran Gubernur sangat memiliki kewenangan dalam hal
penyelenggaraan pemerintaha di daerah. Menurut UU No 32 Tahun
2004 Pasal 38 ayat 1, Gubernur hanya sebagai kepanjangan dari
pemerintah pusat di daerah yang hanya koordinasi pengawasan
oleh pemerintah pusat kepada daerah dan juga pembinaan tugas
pembantuan yang diberikan pemerintah pusat di daerah. Pada UU
No 23 Tahun 2014 menjelaskan bahwasanya Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat, diatur lebih spesifik seperti yang diatur
dalam pasal 91-93. Adapun tugas tersebut melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Tugas Pembantuan di
Kabupaten/Kota, melakukan monev dan supervisi, melakukan
evaluasi APBD dan lain-lain, dapat membatalkan Perda dan
memberikan persetujuan terhadap Raperda Kabupaten/Kota, serta
dapat memberikan sanksi kepada Bupati/Walikota.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
126
Pada proses penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang
berkaitan dengan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan
sumber daya mineral UU No 23 Tahun 2014 ini mengatur bahwa
urusan ini dibagi hanya untuk pemerintah pusat dan juga
pemerintah daerah provinsi. Hal ini dimaksudkan agar
pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya tidak memonopoli
kekayaan yang ada di daerah sehingga korupsi yang dilakukan
oleh kepala daerah Bupati atau Walikota dapat dikurangi.
Pada akhirnya UU No 23 Tahun 2014 ini menimbulkan berbagai
macam aspek permasalahan baru karena UU ini tidak sesuai
dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minyak dan Batu
Bar a (Minerba). Pada UU pemerintahan yang baru ini dijelaskan
bahwa pemberian ijin dan pemanfaatan hasil tambang, kehutanan
dan mineral hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan
pemerintah daerah provinsi. Tetapi dalam isi UU minerba
dijelaskan bahwa yang berhak untuk menerbitkan ijin dan
pemanfaatan tentang pertambangan Minyak dan Batu Bara
(Minerba) adalah pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya.
Hal inilah yang menjadi masalah yang timbul saat ini pada
pemerintahan di daerah.
Secara eksplisit dapat kita pahami berdasarkan pemaparan
diatas bahwa konsep UU pemerintahan yang baru yaitu UU No 23
Tahun 2014 sebanarnya membonsai kewenangan daerah Kabupaten
atau Kotamadya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Undang-
undang ini cenderung menghidupkan pola sentralisasi yang ada
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
127
pada zaman Orde Baru tersebut, bahwa kewenangan yang mutlak
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pada pemerintah
pusat dan juga pemerintah daerah provinsi. Undang-undang ini
juga sedikit demi sedikit menghilangkan konsep otonomi daerah
yang mulai diperkenalkan sejak awal masa reformasi. Karena
pada saat roses pelaksanaan konsep otonomi daerah yang hamper
10 (sepuluh tahun) ini berjalan timbul banyak permasalahan
yang ada di daerah seperti banyak kepala daerah yang terkena
kasus korupsi, timbul juga raja-raja kecil yang ada di daerah
yang posisi Gubernur saat itu hanya sebagai wakil pemerintah
pusat yang ada di daerah saja tanpa memiliki kewenangan yang
jelas dalam mengawasi jalannya pemerintahan daerah
Kabupaten/Kotamadya.
Proses pembentukan sampai disahkannya UU pemerintahan yang
baru Nomor 23 Tahun 2014 ini menimbulkan suara pro dan kontra
dikalangan pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah.
Pemerintah Pusat beralasan lahirnya UU ini bukan semata-mata
untuk menghidupkan kembali konsep sentralistis yaitu
kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi
lebih besar dalam mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang ada di daerah Kabupaten/Kotamadya. Tetapi untuk
mengurangi dominasi atau peran yang terlampau jauh oleh
Bupati/Walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di
daerah. Reaksi berbeda dikemukakan oleh para Bupati/Walikota
yang ada di Indonesia. Menurut Bupati Tanjab Barat, Usman
Ermulan yang dikutip dari harian Info Jambi, beliau mengatakan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
128
bahwa UU No 23 Tahun 2014 ini berpotensi menimbulkan keresahan
di berbagai daerah. Sebab, pelaksanaan UU Pemda itu akan
kembali memunculkan praktek Orde Baru jilid II. Beberapa
kekuasan atau wewenang yang selama ini dimiliki oleh kepala
daerah di tingkat II secara bertahap akan dilimpahkan ke
Pemerintah provinsi.26
Solusi
Permasalahan-permasalahan diatas sebenarnya penulis lihat
dapat diselesaikan apabila seluruh elemen duduk bersama
membahas tentang persoalan dan isi dari UU pemerintahan yang
baru tersebut. Pemerintah Pusat harus menjelaskan secara rinci
maksud dan tujuan yang ada di UU pemeritahan yang baru ini
kepada pemerintahan yang ada di daerah sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam memahami UU No 23 Tahun 2014 ini.
Selain itu pemerintah pusat juga harus menerbitkan peraturan
turunannya dari UU No 23 Tahun 2014 ini yaitu tentang
Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan pokok dan isis
dari Undang-Undang ini sehingga proses pelaksanaan UU
pemerintahan yang baru ini dapat berjalan optimal dan dapat
digunakan oleh semua pihak dalam hal penyelenggaraan urusan
pemerintahan daerah.
26 http://infojambi.com/pemerintahan/14917-usman-ermulan-minta-tinjau-ulang-pelaksanaan-uu-pemda.html
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
129
“Transparansi Pemerintahan”, Dapatkah Terwujud?
Oleh: Melyansyah
Pendahuluan
Pemerintahan yang transparan sampai hari ini masih
sekedar jargon. Keterbukaan informasi publik dalam setiap
level pemerintahan sangat sulit diwujudkan. Akses untuk
mendapatkan informasi publik pun sangat sulit atau bahkan
ditiadakan. Dalam research Indonesia Governance Index tahun 2014
memberikan nilai rata-rata nasional tata kelola pemerintahan
daerah hanya 5,7 (dengan 1 sebagai kriteria sangat buruk dan
10 sebagai kriteria sangat baik). Pencapaian ini masih jauh
dari hasil yang diharapkan, terlebih lagi banyak daerah yang
memperoleh nilai di bawah nilai rara-rata nasional. Buruknya
tata kelola pemerintahan tersebut juga berbanding lurus dengan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
130
rendahnya transparansi di dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Rata- rata kinerja pemerintah transparansi pemerintah masuk
dalam kategori cenderung buruk dengan nilai indeks 4,58 (1
untuk kriteria tidak transparan dan 10 untuk kriteria sangat
transparan).27 Hal ini menunjukkan bahwa masih sulitnya akses
terhadap informasi publik (dokumen- dokumen pemerintah yang
tidak tergolong rahasia, seperti dokumen keuangan, LKPJ,
penggunaan dana aspirasi DPRD) di sebagain besar daerah di
Indonesia. Lahirnya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah ini memberikan harapan sekali lagi untuk menguatkan
komitmen setiap pemerintah daerah untuk mewujudkan
transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Transparency for Good Governance
Transparansi dan good governance merupakan satu kesatuan utuh
yang saling ko-eksitensi. Good governance disebut sebagai
pemerintahan yang baik jika memenuhi prinsip transparan,
sebaliknya transparansi merupakan sebuah keharusan untuk
mencapai good governance.
Transparansi penyelenggaraan pemerintahan memiliki arti yang
sangat penting dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk
mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh
pemerintah. Bahkan dengan adanya transparansi penyelenggaraan27 Abdul Malik Gismar dkk, Menuju Masyarakat yang Cerdas dan Pemerintahan yangResponsif(Laporan Eksklusif Indonesia Governance Index 2012), Jakarta, Kemitraan BagiPembaruan Tata Pemerintahan(The Partnership For Governance Reform), 2013, hal.34.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
131
pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan feedback atau
outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.
Kajian terkait konsep transparansi kini semakin berkembang.
Beberapa konsep transparansi yang ditawarkan oleh beberapa
literatur adalah sebagai berikut :
1. As transparency is a core governance value. The regulatory activities ofgovernment constitute one of the main contexts within whichtransparency must be assured. There is a strong public demand forgreater transparency, which is substantially related to the rapid increasein number and influence of non governmental organisations (NGOs) orcivil society groups‟, as well as to increasingly well educated and diversepopulations. (OECD, 2004 : 66).
2. Transparansi yaitu dapat diketahui oleh banyak pihak(yang berkepentingan) mengenai perumusan kebijakan(politik) dari pemerintah, organisasi dan badan usaha.Good Governance tidak membolehkan manajemen pemerintahanyang tertutup. (Tjokromidjoyo, 2003 :123).28
3. Transparansi dapat dimaknai sebagai adanya pemberianinformasi yang selalu relevan untuk melakukan evaluasilembaga. (Bauhr & Nasiritousi forthcoming).
4. Transparansi merupakan keterbukaan, yaitu jalannyapemerintahan harusnya dapat diprediksi ( should bepredictabel) dan diselenggarakan dengan aturan hukum yangberlaku dan tidak sewenang-wenang. (Hood 2006, 14).29
Kemudian Smith (2004:66), mengemukan bahwa proses transparansi
meliputi :
28 Arifin Tahir, 2011, Kebijakan Publik dan Transparansi PenyelenggaraanPemerintahan Daerah, Jakarta : Pustaka Indonesia Press.29 Monika Baur & Marcia Grimes, 2012, What Is Government Transparency? ; NewMeasures and Relevance for Quality Government, Goteburg : University of Gothenburg.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
132
1. Standard procedural requirements (Persayaratan StandarProsedur), bahwa proses pembuatan peraturan harusmelibatkan partisipasi dan memperhatikan kebutuhanmasyarakat.
2. Consultation processes (Proses Konsultasi), Adanya dialogantara pemerintah dan masyarakat.
3. Appeal rights (Permohonan Izin), adalah pelindung utamadalam proses pengaturan. Standard dan tidak berbelit,transparan guna menghindari adanya korupsi. Tidakhanya proses pembuatan izin, transparansi jugadimaknai sebagai publikasi seluruh kegiatan pemerintahdi dalam website lembaga pemerintahan.
Seperti dikatakan Stephan G. Grimmelikhuijsen dalam jurnal The
Effects of Transparency on the Perceived Trustworthiness of a Government
Organization , “Governments all around the world are enhancing their transparency
by providing all sorts of information about government activities and performance
on public Web sites.”30
Dari berbagai pandangan tentang definisi Good Governance dan
Transparansi diatas, maka disimpulkan bahwa keduanya memiliki
korelasi yang signifikan dimana suatu pemerintahan dapat
dikatakan baik (Good governance) berarti pemerintahan tersebut
telah menerapkan prinsip-prinsip tranparansi.
Komitmen Transparansi dalam UU Pemda terbaru
30 Stephan G. Grimmelikhuijsen & Albert J. Meijer The Effects of Transparency onthem Perceived Trustworthiness of a Governmen Organization Evidence from an Online Experiment,Journal of Public Administration Research and Theory Advance Accesspublished November 5, 2012
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
133
Sejak zaman kolonial hingga sekarang kurang lebih ada 10
peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah
di Indonesia. Dimulai dari Desentralisatie WET 1903 yang
merupakan produk kolonial belanda kemudian pasca kemerdekaan
lahirlah UU No. 1 tahun 1995 yang cenderung dominan
sentralistis, kemudian pasca reformasi lahir UU No. 22 tahun
1999 yang cenderung desentralistis, selanjutnya pada masa
demokratisasi lahir UU No.32 tahun 2004 yang menggabungkan
sentralistis dan desentralistis dan yang terakhir adalah UU
No.23 tahun 2014 yang mengandung visi efektivitas
pemerintahan. UU pemerintahan daerah yang terbaru ini memang
memilki banyak sekali perubahan diantaranya penghapusan dan
perubahan beberapa pasal terkait pemilihan kepala daerah dan
anggota DPRD serta adanya penambahan bab dalam UU ini.
Penambahan bab yang menjadi perhatian adalah adanya penambahan
bab pelayanan publik yang dimuat dalam BAB XIII tentang
Pelayanan Publik. Secara eksplisit bab tersebut menjelaskan
tentang mekanisme pelayanan publik yang baik. Berikut
merupakan kutipan dari bab XIII terkait pelayanan publik :
BAB XIIIPELAYANAN PUBLIK
Bagian KesatuAsas Penyelenggaraan
Pasal 344
(1) Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggaranya pelayanan publik berdasarkan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
134
(2) Pelayanan publik diselenggarakan berdasarkan pada asas:
a. kepentingan umum;b. kepastian hukum;c. kesamaan hak;d. keseimbangan hak dan kewajiban;e. keprofesionalan;f. partisipatif;g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;h. keterbukaan;i. akuntabilitas;j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;k. ketepatan waktu; danl. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Berdasarkan kutipan dua pasal di atas membuktikan bahwa UU
pemerintahan daerah yang baru ini benar-benar berkomitmen
untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik di tingkat daerah
dengan berdasarkan pada asas-asas pelayanan publik di atas
salah satunya adalah asas keterbukaan (transparansi).
Keterbukaan di dalam UU ini didefinisikan sebagai asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. ini
membuktikan bahwa UU pemerintahan yang baru menaruh perhatian
besar pada asas transparansi. Kemudian asas keterbukaan juga
tertuang jelas dalam BAB XXII tentang Informasi Pemerintahan
Daerah dalam pasal 391 ayat 1 dan 2 yang berbunyi,
“Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi Pemerintahan
Daerah yang terdiri atas: a. informasi pembangunan Daerah; dan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
135
b. informasi keuangan Daerah” kemudian dalam ayat 2 disebutkan
bahwa, “Informasi Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikelola dalam suatu sistem informasi
Pemerintahan Daerah”. Tidak hanya sebatas kewajiban informasi
tetapi ditegaskan kembali di dalam pasal 393 ayat 2E yang
berbunyi bahwa Informasi keuangan daerah sebagaimana yang
dimaksud digunakan untuk mendukung keterbukaan informasi
kepada masyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa UU pemerintahan daerah yang terbaru memiliki
komitmen yang sangat kuat untuk mengutamakan transparansi atau
keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Collaborative Transparency
Konsep transparansi merupakan konsep yang booming bersamaan
dengan pelaksanaan good governance di berbagai negara. Konsep
transparansi ini merupakan konsep yang lahir dari landasan
filosofi bahwa pemerintahan yang demokratis adalah
pemerintahan yang memilki keterbukaan informasi publik.
Gagasan terkait urgensi transparansi juga sering di kutip
dalam kongres di Washington, yang menyebutkan bahwa
“pemerintahan yang populer tanpa ada informasi yang populer
adalah sebuah lelucon, pengetahuan akan mengatur kebodohan
seseorang oleh karena itu setiap orang harus mempersenjatai
diri dengan kekuasaan informasi.” Artinya setiap warga negara
harus memilki hasrat dan keinginan untuk mengetahui informasi
publik.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
136
Keterbukaan informasi sendiri terdiri dari beberapa generasi.
Generasi yang pertama yaitu hak untuk mengetahui kebijkan (righ
to know) dimana setiap warga negara memilki hak untuk
mengetahui apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh
pemerintah. Generasi yang kedua adalah targeted transparancy policy
yaitu merupakn perbaikan dari generasi pertama yaitu tidak
hanya memperhatikan hak publik untuk mendapatkan informasi
publik tapi lebih berorientasi pada capaian atau target dari
transparansi itu sendiri. Generasi yang ketiga adalah
collaborative transparency policies yaitu sebuah generasi transparansi
yang memadukan generasi pertama dan kedua dengan transformasi
komputer jaringan internet agar publik bisa mengetahui
informasi secara cepat sehingga pemerintahan menjadi lebih
efektif dan efisien.31
Generasi ketiga merupakan model transparansi yang tepat untuk
merealisasikan transparansi dalam UU pemerintahan yang
terbaru. UU ini megutamakan asas keterbukaan informasi melali
media tertentu. Alternatif media yang cukup efektif saat ini
adalah menggunakan jaringan internet. Oleh karena itu model
collaborative transparency merupakan model yamg dapat menunjang
terwujudnya transparansi di Indonesia. Konsep transparansi
yang dibangun dalam UU ini sejalan dengan konsep collaborative
31 Archon Fung, Mary Graham & David Weil, 2007, Full Disclosure : ThePolitics, Perils and Promise of Targeted Transparency, New York : CambridgeUniversity Press
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
137
transparency, namun masih harus mencari media yang tepat untuk
mewujudkan transparansi itu sendiri.
Sebagian besar pemda di Indoneisa sudah memilki website
sebagai sumber informasi namun website tersebut hanya dibuat
tanpa dimuat dengan informasi update. Fenomena tersebut terjadi
hampir di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia. Artinya hampir
sebagian besar Kabupaten/Kota di Indonesia hanya setengah hati
untuk menerapkan transparansi. Permasalahan tersebut harus
menjadi perhatian penting dalam pelaksanaan UU pemda terbaru
ini. Terutama pada pembuatan PP nanti sebagai turunan dari UU
ini, legislator harus memperhatikan kemungkinan terulang
kembali permasalahan klasik dari website pemerintah daerah
yang bisa dikatakan mati. Padahal melalui website tersebut
pemda dapat memberikan pelayanan publik kepada masyarakat
lebih efektif dan efisien.
Simpulan
Berbagai tantangan dan hambatan akan mengahampiri pelaksanaan
UU No. 23 tahun 2014. Berbagai masalah penghambat transparansi
harus mampu diselesaikan. Dimulai dari komitmen pemda yang
rendah, keterbatasan SDM dan sarana dan prasrana pendukung.
Isu pelayanan publik yang transparan yang dimuat dalam UU ini
sejalan dengan konsep transparansi collaborative transparency yaitu
menggunakan komputer dan jaringan internet untuk mewujudkan
transparansi. Berbagai masalah di atas harusnya dapat menjadi
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
138
motivasi bagi UU untuk menyelesaikan maslah tersebut. Kemudian
model transparansi yang ditawarkan juga dapat dijadikan
alternatif untuk mewujudkan transparansi. Pada akhirnya
kembali pada pertanyaan yang diajukan di atas, apakah UU No.
23 tahun 2014 dapat menjawab tantangan dan berbagai
permasalahan yang ada. Apabila UU ini tidak mampu menciptakan
keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya maka UU ini
bisa dikatakn gagal mewujudkan transparansi.
Referensi
Baur, Monika & Grimes, Marcia. 2012. What Is GovernmentTransparency? ; New Measures and Relevance for Quality Government.Goteburg : University of Gothenburg.
Fung, Archon dkk. 2007. Full Disclosure : The Politics, Perils and Promise ofTargeted Transparency. New York : Cambridge University Press.
G. Grimmelikhuijsen, Stephan & J. Meijer, Albert. The Effects ofTransparency on them Perceived Trustworthiness of a GovernmenOrganization Evidence from an Online Experiment. Journal of PublicAdministration Research and Theory Advance Accesspublished November 5, 2012.
Malik Gismar, Abdul dkk. 2013. Menuju Masyarakat yang Cerdas danPemerintahan yang Responsif(Laporan Eksklusif Indonesia Governance Index2012). Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan TataPemerintahan(The Partnership For Governance Reform).
Tahir, Arifin. 2011. Kebijakan Publik dan Transparansi PenyelenggaraanPemerintahan Daerah. Jakarta : Pustaka Indonesia Press.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
139
Menakar Peluang Partisipasi Masyarakat dalamPenyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Oleh : Darmawan Purba
Pendahuluan
Era reformasi sering digunakan untuk membatasi masa-masa kelam
demokrasi di Indonesia dan dijadikan momentum bersejarah
terhadap lahirnya orde reformasi. Pada saat itu salah satu
fenomena yang terjadi adalah gelombang demokratisasi yang
sangat kuat, setidaknya terdapat dua isu besar yang menjadi
tuntutan reformasi dibidang politik. Pertama, perubahan sistem
kepartaian dimana pada masa orde baru hanya ada tiga peserta
yang memiliki kesempatan untuk mengikuti pemilihan umum yaitu
Golkar, PDI dan PPP menjadi sistem partai banyak. Kedua,
diberlakukannya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan
reformasi melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Konsekuensi berlakunya undang undang tersebut adalah
semakin terbukanya keran demokrasi di tingkat lokal. Hal ini
penting mengingat penyelenggaraan pemerintahan daerah
membutuhkan legitimasi politik yang kuat, sesuai nilai dan
semangat demokrasi yang memposisikan kedaulatan berada di
tangan rakyat.
Kedua fenomena tersebut di atas, memposisikan masyarakat dalam
konteksnya, yaitu sebagai pihak yang memiliki otoritas yang
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
140
dimandatkan kepada wakilnya baik di DPRD maupun terhadap
kepala daerah. Semangat tersebut ternyata hanya menjadi
harapan semu bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang secara substansi
diharapkan dapat mendorong akselerasi pembangunan daerah
ternyata kerap kandas di tengah jalan. Pada prakteknya
penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan sendiri tanpa
menempatkan masyarakat sebagai faktor dominan dalam
pembangunan di daerah.
Sebagai sebuah organisasi, pemerintah daerah mendapatkan dan
memanfaatkan pendanaan yang bersumber dari “dana publik” yang
dianggarkan dalam APBN maupun APBD, serta memiliki fungsi
untuk memberikan layanan kepada masyarakat. Setelah reformasi
pemerintah daerah dituntut untuk merumuskan perencanaan yang
stratejik mengingat perubahan demi perubahan di masyarakat
sangat dinamis dan menuntut adanya tanggung jawab dan
penyelesaian secara konkrit oleh pemerintah daerah. Sebagai
konsekuensi adanya pembagian urusan antara pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota, baik urusan wajib maupun urusan
kongruen. Namun demikian fenomena pemerintahan daerah justru
tidak mencerminkan semangat demokrasi yang mengiringi
kebijakan dedentralisasi yang sedang berlangsung. Beberapa
indikasi, seperti: (1) kepala daerah terlibat korupsi, (2)
pembangunan tidak berjalan, (3) konflik antar pemerintahan
daerah, serta masih banyak problem pemerintahan daerah lainnya
yang kerap menimbulkan ketidakpercayaan publik.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
141
Pada saat pilkada langsung panorama yang terjadi adalah
koalisi antara elit (calon kepala daerah) dengan massa,
begitu juga pada saat pemilu legislatif terjadi koalisi antara
caleg dengan para pemilih. Namun setelah pilkada dan pemilu
yang mengemuka justru koalisi antara elit dengan elit.
Masyarakat sebagai faktor dominan dalam pembentukan
pemerintahan justru terpinggirkan. Kepala daerah dan DPRD
hanya menjadikan masyarakat sebagai objek suksesi politik
semata. Salah satu contoh kongkrit rendahnya keberpihakan
pemerintahan daerah terhadap masyarakat adalah postur APBD
yang tidak proporsional antara anggaran publik dengan anggaran
aparatur. Implikasinya, pembangunan didaerah tidak sesuai
dengan harapan dan janji-janji politik elit saat pemilu dan
pilkada. Banyak pembangunan yang mandek dan berjalan tidak
sesuai dengan harapan masyarakat. Pelembagaan politik di DPRD
pun tidak sesuai harapan masyarakat, oleh karenanya
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah menjadi suatu yang mutlak.
Makna Partisipasi Publik
Persoalan partisipasi masyarakat seharusnya menjadi titik
tekan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, hal ini
penting sebagai komitmen mendudukkan masyarakat
sebagai:pertama, tidak semua urusan dan persoalan di masyarakat
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
142
diketahui oleh pemerintah, kedua,masyarakat berhak ikut serta
dalam perumusan setiap kebijakan publik yang pasti akan
mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian kebijakan
desentralisasi mulai dari Undang-Undang No.99 Tahun 1999
hingga Undang-Undang No.23 Tahun 2014 sudah seharusnya
melibatkan partisipasi masyarakat. Sejalan dengan substansi
partisipasi tersebut, dalam prinsip-prinsip good governance
dikemukakan bahwa: (1) adanya partisipasi langsung maupun tak
langsung dari semua warga dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat; (2) terjaminnya penegakan hukum; (3)
tranparansi; (4) pemerintah yang tanggap; (5) orientasi pada
konsensus; (6) efisiensi dan efektivitas dalam aktivitas
bernegara; (7) akuntabilitas; (8) visi yang strategis.
Dengan demikian, melibatkan rakyat dalam segala kebijakan
pemerintahan memang tidak dapat dinafikan dan merupakan
sesuatu yang harus dilakukan untuk membangkitkan rasa memiliki
rakyat terhadap segala aspek kebijakan dari pemerintah. Oleh
karena itu dorongan harus diberikan oleh pemerintah untuk
melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan. Sejumlah kajian
mengemukakan bahwa pelibatan rakyat merupakan suatu proses
kesadaran untuk pembangunan dan dapat membantu penyelesaian
masalah-masalah pembangunan. Melalui partisipasi masyarakat
berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat dapat
disesuaikan dengan perencanaan pembangunan daerah. Lebih dari
itu, melalui partisipasi masyarakat secara tidak langsung
terjadi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
143
Norma Partisipasi Masyarakat
Pasca reformasi salah satu tuntutan yang dilembagakan adalah
penyelengaraan desentralisasi atau sering disebut otonomi
daerah. Selama ini secara normatif penyelenggaraan
desentralisasi diwujudkan dalam undang-undang pemerintahan
daerah. Tercatan sudah tiga undang-undang yang ditetapkan
dalam menopang penerapan desentralisasi. Terkait ruang
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah daerah
menunjukkan bahwa masih terbatasnya ruang partisipasi
masyarakat di dalam ketentuan perundangan tersebut.
Perbandingan Ruang Partisipasi Masyarakat
dalam UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014
Undang-Undang Pemda Uraian Isi Undang-Undang
Ruang Partisipasi
Masyarakat dalam
Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999
(1) Pasal 18, Ayat 1 huruf h
DPRD bertugas menampung dan menindaklanjuti
aspirasi Daerah dan masyarakat.
(2) Pasal 22 Poin e
DPRD mempunyai kewajiban mememperhatikan dan
menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan
pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak
lanjut penyelesaiannya.
(3) Pasal 92
Dalam penyelenggaraan pembangunan Kawasan
Perkotaan, Pemerintah Daerah perlu mengikutsertakan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
144
masyarakat dan pihak swasta. Pengikutsertaan
masyarakat, merupakan upaya pemberdayaan masyarakat
dalam pembangunanperkotaan.
Ruang Partisipasi
Masyarakat dalam
Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004
Pasal 139
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau
pembahasan rancangan Perda.
(2) Persiapan pembentukan, pembahasan, dan
pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan.Ruang Partisipasi
Masyarakat dalam
Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014
Pasal 354
(1) Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
Pemerintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat.
(2) Dalam mendorong partisipasi masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Daerah:
(a) menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kepada masyarakat; (b)
mendorong kelompok dan organisasi masyarakat untuk
berperan aktif dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah melaluidukungan pengembangan kapasitas
masyarakat; (c) mengembangkan pelembagaan dan
mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan
kelompok dan organisasikemasyarakatan dapat
terlibat secara efektif; dan/atau
(3) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup:
(a) penyusunan Perda dan kebijakan Daerah yang
mengatur dan membebani masyarakat; (b)
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan Daerah;
(c) pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
145
Daerah; dan (d) penyelenggaraan pelayanan publik.
(4) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan dalam bentuk: (a) konsultasi
publik; (b) musyawarah; (c) kemitraan; (d)
penyampaian aspirasi; (e) pengawasan; Sumber: UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014
Berdasarkan muatan UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014
menunjukkan bahwa ruang partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah masih belum tegas, secara
spesifik muatan masing undang-undang sebagai berikut: pertama,
pada UU 22/1999 masih bersifat pasif dan hanya terbatas pada
ruang tugas dan fungsi DPRD sebagai representasi masyarakat.
Kedua, dalam UU 32/2004, ruang partisipasi masyarakat juga
masih bersifat fasif dan terbatas pada tugas DPRD dalam
perumusan peraturan daerah semata. Ketiga, pada UU 23/2014 ruang
partisipasi masyarakat sudah memiliki pola dan cenderung
bersifat aktif, dimana pemerintah daerah disyaratkan mendorong
partisipasi masyarakat berupa aktifitas, cakupan, dan bentuk
partisipasi yang sudah terpola dan terarah.Perubahan UU
Pemerintahan Daerah tersebut menunjukkan adanya penyempurnaan
partisipasi masyarakat, namun demikian belum ada jaminan
pemerintahan daerah akan berkomitmen dalam penerapannya.
Penutup
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
146
Sebagai bentuk penyempurnaan penyelenggaraan pemerintahan
daerah, termuatnya ruang partisipasi masayarakat dalam UU
23/2014 secara khusus dalam Bab tersendiri menunjukkan adanya
peluang penguatan partisipasi masyarakat dimasa yang akan
datang. Namun demikian ketentuan tentang partisipasi
masyarakat masih bersifat fleksibel dan belum tegas, sehingga
dalam penerapannya merlukan dukungan beberapa aspek sebagai
berikut: (1) adanya proses pemilu dan pilkada daerah yang fair
sehingga menghasilkan kepala daerah dan anggota DPRD benar-
benar merakyat dan terbuka pada rakyat; (2) adanya political will
dari kepala daerah untuk menyiapkan perangkat peraturan yang
mendorong partisipasi masyarakat; (3) adanya kemauan kepala
daerah dan DPRD untuk memfasilitasi terbentuknya kelompok-
kelompok masyarakat sebagai social control; (4) adanya social
movement kelompok masyarakat sipil yang independen dan
terbuka; serta (5) adanya dukungan dari media, dalam
memberikan akses informasi bagi masyarakat secara luas.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
147
KAJIAN INTERMESTIK: RUANG KERJASAMA DAERAH TANPABATAS
Oleh: Dwi Wahyu Handayani
Era desentralisasi memberikan ruang kepada pemerintah daerah
untuk memiliki kewenangan, kemandirian dan keleluasaan dalam
mengelola potensi daerah. Kemampuan daerah dalam memanfaatkan
kebijakan desentralisasi, kreativitas dan inovasi menghasilkan
derajat kemajuan daerah yang berbeda. Pemerintah daerah harus
mampu membaca konteks domestik dengan segala kemampuan
biokrasi, lembaga politik, masyarakat, infrastruktur dan
sebagainya. Bahkan, tantangannya semakin nyata dalam
menghadapi fenomena geliat global, yang semakin menyertakan
siapa pun di dalamnya. Realita ini menghadirkan landasan dalam
UU Pemerintahan Daerah yang sejak awal menelaah mengenai
jalinan kerjasama daerah, melampaui batas negara.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
148
Globalisasi telah menegaskan telah tercipta dunia tanpa batas
(borderless world) yang seolah membentuk suatu global village bagi
masyarakat dunia. Referensi global tersebut memberikan
pengaruh dalam proses perumusan kebijakan, sehingga tidak
semata faktor domestik. Konteks internasional, misalnya
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) telah menuntut beberapa hal
diantaranya tercipta pasar bebas, sehingga produk dari negara
Asean bebas masuk ke negara anggota lainnya. Ketentuan
tersebut menciptakan persaingan yang kemudian mengukur daya
saing produk. Produk pertanian misalnya, ketika Indonesia akan
memprioritaskan pada jenis pangan tertentu untuk tujuan ekspor
maka akan terkait kebijakan pemerintah daerah mengenai
pertanian.
Hal yang telah disepakati pemerintah pusat dengan negara lain
mengenai kerjasama dengan negara lain, tentu saja dalam
implementasinya akan terkait pemerintah daerah. Demikian juga
kesepakatan MEA, kunci keberhasilan sesungguhnya adalah
kesiapan pemerintah daerah khususnya di level kota/kabupaten.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah memberikan ruang bagi
pemerintah daerah, untuk melakukan kerjasama dengan
pemerintah daerah, NGO, kelompok bisnis dari negara lain.
Landasan kerja sama daerah terdapat pada UU Pemerintah Daerah
No 23 tahun 2014 pasal 363 bahwa kerja sama dapat dilakukan
oleh daerah dengan lembaga atau pemerintah daerah di luar
negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
149
Kerjasama dengan pihak luar negeri ini tidak menjadi hal yang
wajib, sebagaimana kerjasama antardaerah dalam lingkup
internal.
Pasal 367 menjelaskan bahwa kerja sama daerah dengan lembaga
dan/atau pemerintah daerah di luar negeri meliputi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; pertukaran
budaya; peningkatan kemampuan teknis dan manajemen
pemerintahan; promosi potensi daerah; dan kerja sama lainnya
yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan
pemerintah pusat.
Sebelumnya, pra tahapan penandatangan perjanjian
internasional, daerah harus mengikuti mekanisme internal
daerah yaitu adanya pendapat dan pertimbangan DPRD kepada
pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di
daerah serta adanya persetujuan DPRD terhadap rencana
kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Selain itu juga berkoordinasi dengan Departemen Luar Negeri
dan pemerintah pusat.32
Demikian proses globalisasi, para aktor internasional juga
meluas tidak hanya melingkupi negara (state actors) saja, meluas
32 Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh PemerintahDaerah Revisi Tahun 2006. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2006 (Belum ada panduan terbaru yang mengacu kepada UU Pemerintahan Daerah yang baru).
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
150
pada aktor-aktor selain negara (non-state actors) seperti
organisasi internasional, LSM, perusahaan multinasional
(MNCs), media, pemerintah daerah, kelompok-kelompok minoritas,
bahkan individu.
Beragam aktor dalam hubungan dan kerjasama luar negeri di
samping membuat proses pengambilan keputusan semakin kompleks
juga membuka peluang bagi pemantapan diplomasi Indonesia.
Kajian intermestik yang mempertemukan faktor internasional dan
domestik telah secara eksplisit terdapat dalam yang akan
menjadi landasan hukum desentralisasi. Selanjutnya, aturan
teknis dalam implementasinya perlu dijabarkan kembali dalam
aturan menteri, ataupun pedoman teknis, dan perda.
Telaah ini mengharapkan, ada sinergi peran ide dan kepentingan
dari para aktor domestik maupun internasional dalam kebijakan
model. Peran ide sangat berpengaruh dalam proses penyaringan
awal alternatif kebijakan yang didasari oleh transmisi
pengetahuan dari jaringan intelektual, perdebatan ide diantara
koalisi advokasi yang menghasilkan proses learning mengarah pada
konsensus. Sedangkan peran kepentingan aktor sangat
berpengaruh dalam proses politik, yaitu kompetisi diantara
para koalisi advokasi dengan tujuan untuk mengarahkan
keputusan agar sesuai dengan kepentingannya, yang didasari
oleh konsensus ide/keyakinan yang dimilikinya. Dengan demikian
dalam pendekatan intermestik faktor ide dan kepentingan aktor
menjadi sama-sama penting. Hal inilah yang membedakan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
151
pendekatan/model intermestik dengan model-model teori lainnya,
karena sebagian memahami perubahan kebijakan hanya sebagai
proses perjuangan kepentingan aktor domestik atau
internasional saja, dan sebagian yang lain memahami perubahan
kebijakan sebagai proses transmisi ide/pengetahuan sehingga
kalaulah terjadi perubahan kebijakan domestik pasti melibatkan
interaksi transnasional.33
Jaringan kerjasama pemerintah daerah dan pihak luar negeri
juga menegaskan adanya diplomasi pararel. Stephane Paquin
menjelaskan bahwa “paradiplomacy when a mandate has been granted to
official representatives of a sub-state government in order to negotiate with
international actors. Jose Luis Rhi Sausi menyatakan “parallel diplomacy
as “the participation of non-central government in iternational relations by
establishing ad hoc contacts with private and public entities abroad,with the
objective of promoting socioeconmic and cultural affairs as well as any other
external dimension of its constitutional competencies.”34
Diplomasi pararel memberikan arahan bagi pemerintah lokal
untuk melakukan negosiasi dengan aktor internasional “economic
and trade policy:the promotion and attraction of foreign investment and decision
making centers;the promotion of exports, science and technology,
33 Dyah Estu Kurniawati. Pendekatan Intermestik Dalam Proses Perubahan Kebijakan:Sebuah Review Metodologis. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jshi/article/view File/1519/1623. Diakses pada 20 April 2015.
34 Maria Eugenia Cruset (editor). 2011. Migration and New International Actors: An OldPhenomenon Seen With New Eyes. Penerbit Cambridge Scholars Publishing.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
152
energy,environment, education, immigration and persons mobility, multilateral
relations, international development and human rights, are all part of the main
issues of parallel diplomacy.”35
Kerjasama pemerintah daerah dengan pihak luar negeri masih
perlu dioptimalkan. Data Direktorat Penataan Perkotaan Ditjen
Bina Pembangunan Daerah, jumlah daerah yang telah menjalankan
kerjasama sister city sampai tahun 2013 adalah sebanyak 102 dalam
bentuk Memorandum of Understanding (MoU).36 Beberapa hal yang
menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan kerjasama
tersebut, antara lain: belum tersedianya pedoman pelaksanaan
yang detail sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
dalam pelaksanaan kerjasama tersebut; kurang siapnya
pemerintah daerah/kota dan komunitas yang akan terlibat dalam
kerjasama sister city; belum ada sinkronisasinya informasi yang
dibutuhkan antardaerah/komunitas terhadap kota di luar negeri
yang akan diajak/mengajak kerjasama sister city; belum sesuainya
bidang-bidang yang akan dikerjasamakan dengan potensi dan
kebutuhan daerah/komunitas; dan belum tercantumnya
program/kegiatan kerjasama sister city dalam dokumen perencanaan
pembangunan daerah, sehingga kegiatan sister city belum mendapat
dukungan anggaran yang memadai.37
35 Ibid.36 Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah Jumat, 21 Oktober 2014.http://www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38. Diaksespada 20 April 2015.
37 Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah. Jumat, 21 Oktober 2014 15:38WIB. http://www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38.Diakses pada 20 April 2015.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
153
Kelemahan lainnya adalah perbedaan sistem hukum di negara
asing dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Pola
koordinasi yang hanya bersifat vertikal menimbulkan konflik
antardaerah otonom. Misal, konflik investasi Bandara
Adisucipto Yogyakarta, antara Kabupaten Kulon Progo dengan
Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Kabupaten Kulon Progo
membuat perjanjian kerjasama dengan Cekoslovakia untuk
mengembangkan bandara internasional. Sedangkan pihak
pemerintah Provinsi DIY menjalin kerjasama dengan investor
dari Eropa untuk membangun bandara di Kabupaten Bantul.38
Catatan penting bagi implementasi UU Perintahan Daerah
khususnya pada bab kerjasama daerah adalah bagaimana
pemerintah provinsi yang saat ini memiliki kewenangan
dominan, mampu memfasilitasi antar kota/kabupaten
bersinergi dalam pengembangan kerjasama antardaerah dan
dengan pihak luar negeri.
38 Takdir Ali Mukti. Tinjauan Yuridis dan Teoritis Terhadap Kerjasama Internasional DaerahOtonom. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.http://www.academia.edu/2307909/Tinjauan_Yuridis_Dan_Teoritis_Terhadap_Kerjasama_Internasional_Daerah_Otonom. Diakses pada 20 April 2015.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
154
Politik Hukum UU Pemeritahan Daerah: Desentralisasisuatu keharusan Oleh: Suwondo
Pendahuluan
Ada tiga konsep yang terkait satu dengan yang lain jika kita
membahas masalah Pemerintahan Daerah di Indoneia yakni
demokrasi, desentralisasi dan negara kesatuan Republik
Indoesia. Setelah tumbangnya pemerintshan Orde Baru, dan
muncul orde reformasi, harapan masyarakat akan bertumpu pada
pemerintahan yang didukung oleh rakyat, sehingga pemerintahan
yang didukung oleh rakyat diharapkan akan menjadi obat bagi
rakyat dalam menata kehidupan mereka baik bernegara berbangsa
dan bermasyarakat. Perubahan yang bersifat struktural dan juga
kultural, diharapan akan mnjadi pliar dalam berbagai aspek
ketataanegaraan, baik sistem aturan dan juga aktor yang
terlibat di dalam. Itu lahyang disistilah sebagai proses
demokratisasi dalam berbagai bidang, dengan nengedepnkan
kedaulatan di tangan rakyat.
Proses demokratisasi tersebut dalam tataran berikut jelas akan
berimplikasi pada sistem pemerintahan daerah yang tadi
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
155
bersifat otoriter dan cenderung sentralistik menjadi
desentralistis. Dalam tataran yuridis masalah pemerintahan
daerah tersebut muncul dengan dikeluarkannya UU No. 22 Thun
1999. Namun desentralisasi yang diatur UU tersebut menjadi
melambat setelah dikeluarkan UU No. 32 tahun 2004, walau dalam
undang-undang ini mulai diatur mengenai pilkada yang dipilih
secara langsung, mengiringi pemilihan presiden dan wakil
presiden yang juga dilaksanakan secara langsung. Dengan
berlakunya UU no. 32 tersebut, era sentralisasi kembali
menguat, karena walupun daerah diberi otonomi daerah, namun
kebebasan dan kemandirian daerah utnutk mengatur rumah
tangganya dibatasi oleh pemerintah atasnya. Sebagai contoh,
karena bersifat negara kesatuan, maka peraturan daerah (perda)
atau pejabat eselon tinggi harus mendapat persetujuan dari
pemerintah di atas. Dengan kata lain walaupun UU tersebut
menganut paham desentraliasi, tapi dsentraliasi yang dilakukan
masih kuat unsur sentralisasinya. Undang No. 32 tahun 2004
tersebut berlanjut dengan perubahan UU pemda yang baru yakni
UU no. 23 tahun 2014 dan revisinya UU no. 2 tahun 2015, tetap
unsur desentralisasi yang bertopeng sentralisasi masih cukup
menonjol.
Nampaknya desentralisasi di Indonesia, akan selalu rumit.
Kerumitan tersebut salah satunya dikaitkan dengan aspek lain
yakni bentuk negara Indonesia yang menganut negara kesatuan
(unitary state) yang lebih fokus pada penyeragaman daripada
perbedaan.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
156
Desentralisasi dan Negara Kesatuan
Desentralisasi yang bermakna penyerahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerah yang
bersangkutan. Karena pengaturan tersebut disesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan daerah, maka desentralisasi jelas
ingin menghilangkan keseragaman yang diciptakan oleh pusat,
serta mengakui hak-hak tradisional masyarakat yang memiliki
karakteristik beranekaragam serta ciri khas sejarah, budaya,
teknologi, pranata dan nilai-nilai sosial, maupun kearifan
lokal lainnya. Oleh sebab itu jika pemerintah terutama
pemerintah pusat mengabaikan fakta obyektif berupa sumber daya
alam, kekayaan dan warisan budaya atau yang berpikir bahwa
masyarakat bergerak linier dalam satu arah dan cara yang sama,
bukanlah desentralisasi yang sesungguhnya.
Maka, ketika UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU Nomor 32/2004,
dan sekarang diganti dengan UU no. 23 Tahun 2014 yang dirivisi
lagi dengan UU N. 2 tahun 2015, munculah banyak kritik dan
keberatan dari berbagai kalangan, khususnya aktor-aktor di
tingkat lokal. Aturan yang baru ini dianggap membawa agenda
sentralisasi atau penyeragaman baru, dengan dibungkus pada
agenda kerangka negara kesatuan. Semangat keragaman menjadi
menipis, dan pengakuan terhadap karakteristik yang khas dari
suatu daerah semakin menghilang. Atas berbagai kritik ini,
berkembanglah wacana tentang bagaimana sebaiknya
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
157
desentralisasi yang ideal untuk kondisi Indonesia mendatang
desentralisasi yang seragam layaknya dalam negara kesatuan
atau desentraliasi yang tidak seragam disesuaikan dengan
kondisi daerah?
Dalam UU yang terbaru tersebut termuat 411 pasal termasuk
lampiran yang tidak terpisahkan. Ada hal yang manarik bahwa
dalam undang-undang diatur bahwa ada kewenangan obsulut,
konkuren dan juga pilihan yang diperjelas dalam lampiran. Di
samping itu dalam penjelasan dinyatakan bahwa Pemberian
otonomi seluas luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan
prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan
hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional
dan tidak ada kedaulatan pada daerah. Oleh karena itu, seluas
apapun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab
akhir penyelenggaraan pemerintahan tetap ada ditangan
Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintah Daerah pada Negara
Kesatuan Merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan.
Nasional. Kedua hal tersebut yang menarik untuk dikaji dalam
bagian berikut:.
Dari Penjelasan undang-undang pemerintahan tersebut jelas dan
tegas bahwa desentralisasi dalam negara kesatuan tetap terikat
kepada pemerintahan pusat dan ketentuan yang mengatur dalam
pembagian kekuasaan tersebut jelas menunjukkan bahwa
pemerintah pusat membagi kekuasaan secara kaku dengan mengatur
secara detail urusan-urusan yang boleh dilakukan dan tidak
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
158
boleh dilakukan Pemerintah Daerah. Dengan pembagian urusan
secara detail, berarti pemerintah pusat benar-benar masuk
terlalu dalam untuk mengatur dan terlibat langsung pada
pemerintahan daerah. Untuk ini, penulis melihat bahwa
desentralisasi masih menjadi pemanis saja, karena dibatasi
hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan
pemerintah daerah. Seharus pemerintah pusat tidak bersifat
demikian, tapi menyerahkan seluruh urusan kepada daerah,
kecuali kewenangan obsolut. Kalau mau desentralisasi berjalan
sesuai dengan kemapuan dan juga aspirasi yang berkembang di
masyarakat.
Di samping hal di atas, maka dalam lampiran dari undang-undang
pemerintahan yang baru jelas menggambarkan urusan-urusan yang
menjadi kewajiban pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
juga pemeritah kabupaten/kota. Dengan pembagian urusan yang
demikian, memaksa kewenangan pemerintah sudah dibatasi mana
yang menjadi hak pemerintah pusat dan juga mana yang menjadi
hak pemerintah daerah.
Menghadapi ketentuan yuridis demikian, jika revisi kembali
tidak dapat dilakukan dengan segera, maka apa yang dapat
dilakukan oleh Daerah? Lalu, apakah desentralisasi dalam
konsep negara kesatuan menjadi hal yang tidak mungkin? Untuk
itu penulis melihat bahwa membicarakan desentralisasi yang
dalam negara kesatuan mestinya tidak dipersepsikan sebagai
bentuk penyimpangan dari ide dasar desentralisasi yang
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
159
mengedepankan “keseragaman”, namun justru dipandang sebagai
instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni
menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara,
sehingga keinginan masyarakat terpenuhi, sekaligus
memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal. Pembangunan
demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat
dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan
karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang sejarah
masing-masing daerah kedalam sistem kebijakan nasional. Dan
mengingat bahwa setiap daerah / wilayah dalam sebuah negara
memiliki anatomi politik, sosial, maupun kultural yang
beragam, maka desain desentralisasi yang berbeda (atau
asimetris) menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari
terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah nasional.
Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara
federal pada masa modern sekarang ini, desentralisasi
cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik
melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi ekonomi
melalui perimbangan keuangan dan fiskal, namun juga menjadi
strategi kultural untuk merealisasikan prinsip diversity in unity
atau unity in diversity. (Jurnal Borneo Adminitsrtor, Vol. 6 no.2
tahun 2010).
Dengan desentralisasi yang berbeda ini urusan pemerintah yang
pilihan dapat disikapi oleh Pemerintah Daerah dengan
mengidentifikasikan potensi dan karakteristik daerahnya
masing-masing, dan tidak perlu berkecenderungan bahwa seluruh
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
160
bidang urusan harus dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah
yang tidak memiliki wilayah laut, tentu tidak layak membentuk
Dinas Perikanan dan Kelautan. Demikian pula suatu daerah yang
bercirikan kota besar, bahkan metropolitan, pembentukan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang tidak perlu. Jika
setiap daerah tidak memiliki orientasi untuk membentuk
kelembagaan secara maksimal, maka desentralisasi asimetris
berdasarkan jenis-jenis urusan akan terbangun dengan
sendirinya.
Jika kita lihat pada fakta politik, maka desentralisasi yang
berbeda sesungguhnya juga sudah terjadi di Indonesia dalam
bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah. Saat ini,
terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas
untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk
provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( UU No. 21/1999) dan
Nangroe Aceh Darussalam (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006),
serta 4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (UU No.
29/2007). Ketika beberapa bentuk otonomi dijalankan secara
bersamaan seperti inilah, maka desentralisasi berbeda telah
terjadi.
Pemberian desentralisasi tidak akan mengancam keutuhan negara
kesatuan, negara-negara kesatuan di dunia juga banyak yang
menerapkan desentralisasi asimetris, seperti di Jepang, China,
atau Perancis. Faktanya, meskipun mereka menerapkan
desentralisasi asimetris, namun keutuhan atau integritas
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
161
negara kesatuan tidak tergoyahkan. Di Jepang, desentralisasi
asimetris bisa disaksikan dalam kebijakan Penetapan suatu
daerah sebagai kota inti (Chukaku-shi) atau kota dengan kasus
istimewa (Tokurei-shi). China juga memberikan perlakuan
berbeda kepada daerah melalui penerapan konsep market
decentralization. Berdasarkan konsep ini, pemerintah China
menciptakan kawasan ekonomi khusus, kota-kota pantai (open
coastal cities), dan zona pembangunan. Pada tahun 1978
ditetapkan empat kawasan ekonomi khusus, yakni Shenzhen,
Zhuhai, Shantou dan Xiamen. Kebijakan ini dibarengi juga
dengan pemberian otonomi yang sangat luas kepada provinsi
Guangdong and Fujian untuk membangun ekonomi di wilayahnya,
misalnya diberikannya kewenangan untuk menyetujui investasi
bernilai lebih dari US $ 30 juta. Untuk lebih memperkuat
market decentralization tadi, hingga 1984 telah ditetapkan 14
kota-kota pantai dan beberapa kota di pedalaman (sepanjang
daerah aliran sungai Yangtze dan perbatasan dengan Russia)
yang diberikan kewenangan luas serupa dengan kawasan ekonomi
khusus (Montinola, Qian and Weingast, dalam Basuki, 2006). Hal
serupa terjadi di Perancis dimana dari 22 Region yang ada,
wilayah Corse atau Corsica merupakan region yang diberi
otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh 21 Region lainnya.
Secara obyektif hal ini didorong oleh posisi geografis Corsica
yang agak terpisah dari wilayah daratan serta memiliki latar
belakang sejarah yang spesifik (Tri Widodo, dalam Jurnal
Borneo Administrator, 2010).
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
162
Terakhir bahwa demokratisasi, desentralisasi dan negara
kesatuan bukanlah sebagai tujuan, namun hanya alat atau cara
untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, yakni
pemerintahan yang bertanggung jawab dan menciptakan
kesejahteraan bagi masyarakat keseluruhan.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
163
Biodata Para Penulis
Ari Darmastuti
Lahir di Gunung Kidul dan mengabdi sebagai dosen di JurusanIlmu Pemerintahan UNILA sejak tahun 1986. Meraih gelar s1 darijurusan Ilmu Pemerintahan UGM, S2 bidang ilmu Politik dariIowa State University Amerika Serikat dan menyelesaikan gelarDoktor dari Universitas Indonesia. Saat ini menjabat ketuaProgram Studi Magister Ilmu Pemerintahan, UNILA.
Arizka Warganegara
Mulai mengabdi di jurusan Ilmu Pemerintahan sejak tahun 2006.Pernah menjadi mahasiswa berprestasi Unila. Menyelesaikan S1dari Jurusan Ilmu Pemerintahahan tahun 2003. S2 bidang ilmupolitik diperoleh tahun 2005 dari Universiti KebangsaanMalaysia. Saat ini sedang menyelesaikan program s3 di bidangGeografi Politik di Leeds University, Inggris. Tulisannyatersebar di media nasional seperti Media Indonesia dan KoranSindo, Kolumnis tetap di Lampost ini adalah anggota dewanpakar lampung post.
Budi Kurniawan
Studi s1 di bidang Ilmu Pemerintahan diselesaikan di UGM.Mengabdi di Jurusan Ilmu Pemerintahan UNILA sejak tahun 2006.Memperoleh beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) untukmengambil gelar master dalam bidang kebijakan Publik di ANU,Canberra, Australia. Tulisannya tersebar di media nasionalseperti the Jakarta Post dan Republika. Saat ini diamanahiJabatan Kepala Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi DaerahFISIP UNILA dan konsultan dan penelti di Kemitraan Jakartauntuk Program Indonesia Governance Index ( IGI )
Darmawan Purba
Beliau adalah Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila,Terlahir di Aceh Tamiang 1 Juni 1981 menempuh studi S1 diJurusan Ilmu Pemerintahan Unila, dan melanjutkan ProgramMaster di Kampus yang sama. Selain mengajar beliu aktif
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
164
melakukan survey-suvei opini public dan berbagai risetnasional.
Denden Kurnia Drajat
Beliau ada ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan. Pria kelahiran 29Juli 1960 ini menyelesaikan studi S1 di Universitas Padjajarankemudian melanjutkan S2 medapatkan gelar magister diUniversitas yang sama. Menjadi dosen di Juruan PemerintahanUNILA sejak tahun 1990.
Dwi Wahyu Handayani
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan dan mengajarjuga di Jurusan Hubungan Internasional Fisip Unila.Lulusan S1 Jurusan Hubungan Internasional UniversitasMuhammmadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 2001. Kemudianmelanjutkan S2 Ilmu Politik konsentrasi Politik Lokaldan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada, dan selesaitahun 2004.
Feni Rosalia
Meraih gelar Doktor bidang Ilmu Pemerintahan dari UniversitasPadjajaran Bandung tahun 2012. Gelar master bidang komunikasiPembangunan dari IPB. Ibu super sibuk kelahiran tahun 1969 iniadalah mahasiswa s1 terbaik di Jurusan Pemerintahan padaangkatannya. Mengajar di Jurusan Pemerintahan sejak tahun1990.
Hertanto
Menyelesaikan s1 dari jurusan Ilmu Pemerintahan Undip dan s2dari Universitas Gadjah Mada dalam bidang ilmu politik. Pernahmenjabat menjadi Dekan FISIP UNILA. Tahun 2013 beliaumenyelesaikan gelar Philosophy of Doctor (Ph. D) di bidangIlmu Politik dari Universiti Kebangsaan Malaysia, menjadidosen di Jurusan Pemerintahan FISIP UNILA sejak tahun 1986.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
165
Himawan Indrajat
Pria kelahiran kota Purwokerto tahun 1983 ini menyelesaikan s1dari jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal SoedirmanPurwokerto pada tahun 2006, dan kemudian melanjutkan S2jurusan Ilmu Politik di Universitas Indonesia sertamenyelesaikannya pada tahun 2008. Aktivitasnya sekarangmenjadi dosen jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UniversitasLampung, sementara dalam kegiatan kemasyrakatan aktif dalamorganisasi kepemudaan Pemuda Muhammadiyah provinsi Lampung.
Pahada Hidayaat
adalah Praktisi Pemerintahan. Bekerja pada pemkab TulangBawang Prov. Lampung. Telah mengalami beberapa kali penugasandi lapangan, sebagai Camat, yang bersentuhan langsung dengankehidupan masyarakat bawah. Pernah sebagai Kabag Hukum,Asisten 1, 2 dan 3, serta pernah menjadi Plt. Sekda TulangBawang Barat dan penugasan Plt. Kepala BKD dan lainnya. Meraihgelar Doktor pada prodi Kajian Budaya dan Media (KBM) UGM, S2Magister Hukum Unila, S1 FH Unila.
Purwo SantosoProfessor Politik dan Pemerintahan UGM ini adalah lulusan Ph.Ddari Department of Government, London School of Economics andPolitical Science (LSE), tahun 1999. Sebelumnya meraih gelarmaster dalam bidang development studies dari University ofSaint Marry, Hellifax, Canada. Gelar s1 diperoleh dari JurusanIlmu Pemerintahan UGM. Saat ini menjabat ketua Departement ofPoltics and Governement, UGM. Aktivitas Sosialnya antara lainadalah wakil ketua PW NU DIY. Banyak menulis buku dan jurnalinternasional tentang politik dan pemerintahan.
Robi Cahyadi Kurniawan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
166
Pria kelahiran April 1978 ini merupakan dosen jurusan IlmuPemerintahan yang concern pada kajian Ilmu Politik danPemerintahan. Menyelesaikan S1 dalam bidang Ilmu Pemerintahandi Universitas Padjadjaran Bandung sebagai lulusan tercepatdan terbaik tingkat Fakultas. Setelah dari Bandung beliauterbang ke Jogyakarta untuk mengambil gelar S2 bidang IlmuPolitik di UGM dengan tema research tentang Voting Behaviour. Saatini sedang menempuh pendidikan Doktor dalam bidang IlmuPolitik di UNPAD Bandung. Beliau adalah pengamat politik danpemerintahan yang pendapatnya banyak dikutip media lokal besarseperti Tribun Lampung, Radar Lampung dan Lampung Post.Kajian dan pendapatnya beberapa kali dimuat di harian Kompasuntuk menganalisa perpolitikan di Provinsi Lampung. Wajahnyaseringkali menghiasi televisi lokal Lampung seperti TVRILampung, Radar TV, Sindo (LTV) dan Siger TV sebagaipengamat. Menjadi dosen JIP UNILA sejak tahun 2005.
Suwondo
Lahir di Ketapang Sungkai pada tahun 1959. Memperoleh gelar S1Jurusan Ilmu Pemerintahan lulus tahun 1984. Meraih gelarmaster of art dari Universitas Indonesia tahun 1991. Bapakdari tiga orang anak dan kakek dari empat orang cucu adalahperaih Doktor Politik Pertama di Provinsi Lampung yangdiselesaikannya pada tahun 2002. Pernah menjabat ketua KPUProvinsi Lampung tahun 2003-2009. Ketua KKN UNILA 2008-2013.Ketua tenaga ahli Gubernur Lampung 2011-2014
Syafarudin
Meraih gelar s1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA.Meraih gelar MA dari Universitas Gadjah Mada. Tulisannyatersebar di media nasional dan lokal. Pernah menjabat KetuaHimpunan Mahasiswa Pasca UGM. Menjadi dosen di JurusanPemerintahan UNILA sejak tahun 2005. Menjadi ketua LabpolotdaJIP UNILA dari tahun 2011 hingga tahun 2015.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
167
Syarief Makhya
Meraih galar Doktor dalam bidang Ilmu Pemerintahan dariUniversitas Padjajaran Bandung 2013. S2 dibidang kebijakanPublik ditempuh di Universitas Brawijaya Malang. Priakelahiran Bandung tahun 1959 ini memperoleh gelar s1 IlmuPemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung. Pernahmenjabat menjadi wakil dekan bidang akademik di FISIP UNILA.Beliau juga merupakan aktivis sosial di PW MuhammadiahLampung. Tulisan beliau tersebar di media nasional dan lokal.
Penulis Tambahan:
Andri Marta
Pria kelahiran Bandar Lampung, 4 Maret 1990, merupakan putrapasangan bapak toni dan ibu Dra. Rosiaani Lakhan Meraih gelarS1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA. Meraih gelarMagister Ilmu Pemerintahan pada Tahun 2015. Pernah beberapakali mengikuti pelatihan dan juga seminar baik di tingkatlokal maupun nasional. Sejak awal April 2015 menjadi DosenKontrak di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA.
Melyansyah
Lahir di Bandar Dewa sebuah desa terpencil di Kabupaten TulangBawang Barat. Merupakan putra pertama dari pasangan BapakSobri Abdullah dan Ibu Fatimah. Dalam kegitan sehari-hariaktif dalam menganalisis kajian politik dan pemerintahan dankebetulan sekarang sedang belajar sebagai peneliti muda diLaboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah FISIP Unila.Pernah beberapa kali aktif dalam forum diskusi politik danpemerintahan, terakhir mengikuti diskusi dan debat dalam Politicand Governance Day 2015 (POLGOV Day) di Universitas Gajah Mada.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA