26
amheru.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/.../BAB+III+Buku+(Baru).do BAB III PENELITIAN KUALITATIF DAN STUDI KASUS Dalam Bab ini akan diuraikan pengertian dan ciri-ciri penelitian kualitatif, studi kasus dari beberapa ahli. 1. PENELITIAN KUALITATIF a. Pengertian Penelitian Kualitatif Creswell, J.W. dalam bukunya yang berjudul: “Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches.” Sage Publications, 1994, mengemukakan: Research that is guided by the qualitative paradigm is defined as: “an inquiry process of understanding a social or human problem based on building a complex, holistic picture, formed with words, reporting detailed views of informants, and conducted in a natural setting.” Kutipan tersebut mengandung makna penelitian yang dibimbing oleh paradigma kualitatif didefinisikan sebagai: “Suatu proses penelitian untuk memahami masalah- masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar ( setting) yang alamiah.” Denzin & Lincoln, dalam bukunya yang berjudul: “Handbook of Qualitative Research,” Sage Publications, 1998, mengemukakan: “Qualitative research is many things to many people. Its essence is twofold: a commitment to some version of the naturalistic, interpretive approach to its subject matter, and an ongoing critique of 77

BAB III Buku Baru

Embed Size (px)

Citation preview

amheru.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/.../BAB+III+Buku+(Baru).do

BAB III

PENELITIAN KUALITATIF DAN STUDI KASUS

Dalam Bab ini akan diuraikan pengertian dan ciri-ciri penelitian kualitatif, studi kasus

dari beberapa ahli.

1. PENELITIAN KUALITATIF

a. Pengertian Penelitian Kualitatif

Creswell, J.W. dalam bukunya yang berjudul: “Research Design: Qualitative and

Quantitative Approaches.” Sage Publications, 1994, mengemukakan: Research that is

guided by the qualitative paradigm is defined as: “an inquiry process of

understanding a social or human problem based on building a complex, holistic

picture, formed with words, reporting detailed views of informants, and conducted in

a natural setting.”

Kutipan tersebut mengandung makna penelitian yang dibimbing oleh paradigma

kualitatif didefinisikan sebagai: “Suatu proses penelitian untuk memahami masalah-

masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan

kompleks yang disajikan dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang

diperoleh dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar (setting) yang

alamiah.”

Denzin & Lincoln, dalam bukunya yang berjudul: “Handbook of Qualitative

Research,” Sage Publications, 1998, mengemukakan: “Qualitative research is many

things to many people. Its essence is twofold: a commitment to some version of the

naturalistic, interpretive approach to its subject matter, and an ongoing critique of

77

the politics and methods of positivism…Qualitative researchers stress the socially

constructed nature of reality, the intimate relationship between the researcher and

what is studied, and…value laden nature inquiry.”

Kutipan tersebut mempunyai arti, penelitian kualitatif esensinya bersifat ganda: suatu

komitmen terhadap pandangan naturalistik-pendekatan interpretatif terhadap pokok

persoalan studi dan suatu kritik yang berkelanjutan terhadap politik dan metode

positivisme. …….Peneliti kualitatif menekankan realitas yang dibentuk secara sosial,

hubungan yang erat antara peneliti dan yang diteliti dan ……, ciri penelitian yang

sarat nilai.

Selanjutnya, Denzin & Lincoln menjelaskan: “Qualitative research is aimed at

gaining a deep understanding of a specific organization or event, rather than a

surface description of a large sample of a population. It aims to provide an explicit

rendering of the structure order, and broad patterns found among a group of

participants. It is also called ethno-methodology or field research. It generates data

about human groups in social settings.”

Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif lebih ditujukan untuk

mencapai pemahaman mendalam mengenai organisasi atau peristiwa khusus,

ketimbang mendeskripsikan bagian permukaan dari sampel besar dari sebuah

populasi. Penelitian ini juga bertujuan untuk menyediakan penjelasan tersurat

mengenai struktur, tatanan dan pola yang luas yang terdapat dalam suatu kelompok

partisipan. Penelitian kualitatif juga disebut etno-metodologi atau penelitian lapangan.

Penelitian ini juga menghasilkan data mengenai kelompok manusia dalam latar/setting

sosial.”

Lebih lanjut, Denzin & Lincoln menjelaskan: “Qualitative research does not

introduce treatments or manipulate variables, or impose the researcher’s operational

78

definitions of variables on the participants. Rather, it lets the meaning emerge from

the participants. It is more flexible in that it can adjust to the setting. Concepts, data

collection tools, and data collections methods can be adjusted as the research

progresses.”

Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif tidak memperkenalkan

perlakuan (treatment), atau memanipulasi variabel atau memaksakan definisi

operasional peneliti mengenai variabel-variabel pada peserta penelitian. Sebaliknya,

penelitian kualitatif membiarkan sebuah makna muncul dari partisipan-partisipan itu

sendiri. Penelitian ini sifatnya lebih fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan latar

yang ada. Konsep-konsep, alat-alat pengumpul data, dan metoda pengumpulan data

dapat disesuaikan dengan perkembangan penelitian.”

Untuk memperjelas pandangan-pandangan tentang penelitian kualitatif, Denzin &

Lincoln menambahkan penjelasan sebagai berikut: “Qualitative research aims to get

a better understanding through first-hand experience, truthful reporting, and

quotations of actual conversations. It aims to understand how the participants derive

meaning from their surroundings, and how their meaning influences their behavior.”

Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif ditujukan untuk mendapatkan

pemahaman yang mendasar melalui pengalaman tangan pertama, laporan yang

sebenar-benarnya, dan catatan-catatan percakapan yang aktual. Selain itu, penelitian

ini bertujuan untuk memahami bagaimana para partisipan mengambil makna dari

lingkungan sekitar dan bagaimana makna-makna tersebut mempengaruhi perilaku

mereka sendiri.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah

penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam

tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan bagian

79

permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif

dengan positivismenya. Peneliti menginterpretasikan bagaimana subjek

memperoleh makna dari lingkungan sekeliling, dan bagaimana makna tersebut

mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian dilakukan dalam latar (setting) yang

alamiah (naturalistic) bukan hasil perlakuan (treatment) atau manipulasi

variabel yang dilibatkan.

Dari pandangan-pandangan yang telah dikemukakan oleh Creswell maupun Denzin &

Lincoln tersebut tidak saja dapat ditarik kesimpulan tentang definisi penelitian

kualitatif tetapi juga tentang ciri-cirinya. Untuk memperoleh gambaran yang lebih

lengkap tentang ciri-ciri penelitian kualitatif akan diuraikan lebih lanjut tentang

penelitian kualitatif menurut Denzin & Lincoln sebagai berikut: “Qualitative research

uses variety kinds of qualitative inquiry in collecting data (such as: observation,

interview, documenting, narrating, publishing text, etc.). Observation is the selection

and recording of behaviors of people in their environment. Observation is useful for

generating in-depth descriptions of organization or events, for obtaining information

that is otherwise inaccessible, and for conducting research when other methods are

inadequate.”

Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif menggunakan berbagai jenis

studi kualitatif dalam mengumpulkan data (seperti: observasi, wawancara,

dokumentasi, narasi, publikasi teks, dll.). Observasi adalah penyeleksian dan

pencatatan perilaku manusia dalam lingkungannya. Observasi digunakan untuk

menghasilkan penjelasan yang sangat mendalam mengenai organisasi dan peristiwa,

untuk mendapatkan informasi yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain, dan untuk

melakukan penelitian di saat metode-metode lain tidak memadai.”

80

Tentang observasi, Denzin & Lincoln menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

“Observation is used extensively in studies by psychologists, anthropologists,

sociologists, and program evaluator. Direct observation reduces distortion between

the observer and what is observed that can be produced by an instrument (e.g.

questionnaire). It occurs in a natural setting, not a laboratory or controlled

experiment. The context or background of behavior is included in observations of both

people and their environment. And it can be used with inarticulate subjects, such as

children or others unwilling to express themselves.”

Kutipan tersebut mempunyai arti: “Observasi digunakan secara luas dalam studi oleh

para psikolog, antropolog, sosiolog, dan penilai program. Observasi secara langsung

mengurangi distorsi antara pengamat dan apa yang diamati, yang dapat diperoleh

melalui sebuah instrumen (kuesioner). Observasi langsung terjadi di dalam latar yang

alami, bukan dalam laboratorium atau eksperimen yang terkontrol. Konteks atau latar

belakang perilaku juga tercakup dalam pengamatan terhadap orang-orang dan

lingkungannya. Observasi ini dapat digunakan terhadap subjek yang tidak pandai

berbicara, seperti anak-anak atau mereka yang segan mengekspresikan dirinya

sendiri.”

Sebelum diuraikan tentang ciri-ciri penelitian kualitatif, akan dikemukakan pandangan

Muluk (yang mengacu pada Guba & Lincoln, 1998) dalam disertasinya (2004) bahwa

dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora penelitian kualitatif lebih tepat dibandingkan

penelitian kuantitatif sebagai berikut: “…Memang selama beberapa ratus tahun

setelah revolusi ilmu pengetahuan, positivisme seperti tidak terbantahkan dengan

dasar objektivitas, kuantifikasi, dan rasionalitas. Namun positivisme menjadi

problematis ketika dihadapkan dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, mengingat

bahwa realitas dan fenomena dalam ilmu sosial kebanyakan tidak mempunyai batas

81

yang jelas antara subjek dan objek. Realitas tunggal yang objektif dalam ilmu sosial

dan humaniora dipandang sebagai kemungkinan yang sukar dicapai dalam suatu

dinamika sosial. Sebaliknya, dalam ilmu sosial dan humaniora, realitas dipandang

sebagai suatu yang plural dan tidak pernah bebas konteks, bebas nilai dan bebas

ideologi, suatu hal yang sangat diagung-agungkan oleh pendekatan positivisme. Kritik

yang paling mendasar terhadap pendekatan positivisme adalah pada

kecenderungannya untuk memperlakukan data – demi menjaga objektivitas – tanpa

mempertimbangkan konteks, pada kecenderungannya untuk menggeneralisasi data

yang umum kepada kasus-kasus yang spesifik. Kritik lainnya adalah pada pandangan

positivistik yang meyakini adanya realitas yang bebas nilai (value-free) serta

mengabaikan adanya dimensi interaksi dan hubungan timbal-balik (reciprocal) antara

pengamat (observer) dengan yang diamati (Guba & Lincoln, 1998 dalam Malik,

2004:140). Dengan demikian, paradigma teoretik setelah era positivisme menolak

anggapan bahwa sesuatu yang ilmiah hanyalah sesuatu yang dapat diukur secara

kuantitatif. Dalam perkembangan berikutnya, pandangan positivistik mendapat

tantangan dari paradigma lainnya. Dengan demikian, positivistik tidak lagi satu-

satunya cara untuk sampai pada kebenaran ilmiah. Makin disadari bahwa untuk

gejala-gejala sosial, budaya dan perilaku, pendekatan-pendekatan yang lebih

berorientasi pada pandangan naturalistik dan fenomenologis dianggap lebih mampu

untuk menjelaskan gejala secara keseluruhan”).

b. Ciri-ciri Penelitian Kualitatif

Dari pandangan Creswell, Denzin & Lincoln, serta pandangan Guba & Lincoln yang

dikemukakan Muluk, dapat dikemukakan ciri-ciri Penelitian Kualitatif sebagai

berikut:

82

1) Penelitian kualitatif merupakan penelitian dengan konteks dan setting apa

adanya atau alamiah (naturalistic), bukan melakukan eksperimen yang dikontrol

secara ketat atau memanipulasi variabel.

2) Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang

mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial dengan menginterpretasikan

bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling dan bagaimana

makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka, bukan mendeskripsikan bagian

permukaan dari suatu realitas seperti yang dilakukan peneliti kuantitatif dengan

positivismenya.

3) Agar peneliti bisa mendapatkan pemahaman mendalam bagaimana subjek

memaknai realitas dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku subjek,

peneliti perlu melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang diteliti. Untuk itu,

bila perlu peneliti melakukan observasi terlibat (participant observation).

4) Tidak seperti penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif tidak membuat

perlakuan (treatment), memanipulasi variabel, dan menyusun definisi operasional

variabel. Untuk mencapai tujuan penelitian kualitatif, peneliti menggunakan teknik

pengumpulan data tidak terbatas pada observasi dan wawancara saja, tetapi juga

dokumen, riwayat hidup subjek, karya-karya tulis subjek, publikasi teks, dan lain-lain.

5) Tidak seperti penelitian kuantitatif yang bebas nilai, penelitian kualitatif

justru menggali nilai yang terkandung dari suatu perilaku. Penelitian kualitatif

meyakini bahwa perilaku tidak mungkin bebas dari nilai yang dihayati individu yang

diteliti.

6) Penelitian kualitatif bersifat fleksibel, tidak terpaku pada konsep, fokus,

teknik pengumpulan data yang direncanakan pada awal penelitian, tetapi dapat

berubah di lapangan mengikuti situasi dan perkembangan penelitian.

83

7) Tidak seperti penelitian kuantitatif di mana untuk mencapai objektivitas

dengan melakukan pengukuran (measurement) secara kuantitatif, penelitian kualitatif

mendapatkan akurasi data dengan melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang

diteliti dalam konteks dan setting yang alamiah (naturalistic).

Sebagai bahan perbandingan dan sebagai upaya memperluas wawasan, berikut ini

pandangan Poerwandari (1998) yang mengacu pandangan Patton (1990) tentang ciri-

ciri penelitian kualitatif:

1) Studi dalam situasi alamiah (naturalistic inquiry)

Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah, dalam arti peneliti tidak berusaha untuk

memanipulasi latar penelitian, melainkan melakukan studi terhadap suatu fenomena

dalam situasi di mana fenomena tersebut ada. Fokus penelitian dapat berupa orang,

kelompok, program, pola hubungan ataupun interaksi, dan kesemuanya dilihat dalam

konteks alamiah (apa adanya).

2) Analisis induktif

Penelitian kuantitatif-eksperimental menggunakan pendekatan analisis deduktif,

dengan menerapkan pendekatan hipotesis-deduktif. Peneliti menetapkan variabel-

variabel utama beserta dengan pernyataan-pernyataan tentang variabel-variabel

tersebut (definisi operasional variabel catatan ini menurut penulis) sebelum

pengumpulan data dilakukan, berdasarkan kerangka teoretis yang secara eksplisit

dipilih. Berbeda dengan pendekatan kuantitatif, metode kualitatif secara khusus

berorientasi pada eksplorasi, penemuan, dan logika induktif. Dikatakan induktif

karena peneliti tidak memaksa diri untuk hanya membatasi penelitian pada upaya

menerima atau menolak dugaan-dugaannya, melainkan mencoba memahami situasi

(make sense of the situation) sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan

84

diri. Analisis induktif dimulai dengan observasi khusus, yang akan memunculkan

tema-tema, kategori-kategori, pola hubungan di antara kategori-kategori tersebut.

3) Kontak personal langsung peneliti di lapangan

Kegiatan lapangan merupakan aktivitas sentral dari sebagian besar penelitian

kualitatif. Mengunjungi lapangan berarti mengembangkan hubungan personal

langsung dengan orang-orang yang diteliti. Penelitian kualitatif memang menekankan

pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti

memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi nyata kehidupan sehari-

hari.

4) Perspektif holistik

Satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman menyeluruh

dan utuh tentang fenomena yang diteliti. Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa

keseluruhan fenomena perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks, dan

bahwa yang menyeluruh tersebut lebih besar dan lebih bermakna daripada

penjumlahan bagian-bagian. Penekanan pada pemahaman holistik ini kontras dengan

tradisi kuantitatif-eksperimental, yang menuntut operasionalisasi variabel independen

dan variabel dependen. Pendekatan kuantitatif demikian tidak disetujui oleh peneliti

kualitatif karena dianggap: a) terlalu menyederhanakan realitas hidup yang

sesungguhnya amat kompleks, b) tidak mampu, atau mengabaikan faktor-faktor

penting yang sering sulit sekali untuk dikuantifikasi, c) gagal memberikan gambaran

terintegrasi tentang fenomena yang diteliti.

5) Perspektif dinamis, perspektif “perkembangan”

Penelitian kualitatif melihat gejala sosial sebagai sesuatu yang dinamis dan

berkembang, bukan sebagai sesuatu yang statis dan tidak berubah dalam

perkembangan kondisi dan waktu. Minat peneliti kualitatif adalah mendeskripsikan

85

dan memahami proses dinamis yang terjadi berkenaan dengan gejala yang diteliti.

Perubahan dilihat sebagai suatu hal yang wajar, sudah diduga sebelumnya, dan tidak

dapat dihindari. Karenanya, daripada mengendalikan atau membatasinya, peneliti

kualitatif-alamiah justru mengantisipasi kemungkinan perubahan itu, mengamati dan

melaporkan objek yang diteliti dalam konteks perubahan tersebut.

6) Orientasi pada kasus unik

Penelitian kualitatif yang baik akan menampilkan kedalaman dan rincian, karena

fokusnya memang penyelidikan yang mendalam pada sejumlah kecil kasus. Kasus

dipilih sesuai dengan minat dan tujuan khusus yang diuraikan dalam tujuan penelitian.

Studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus

spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, ataupun situasi

unik secara mendalam.

7) Netralitas empatik

Penelitian kualitatif sering dikritik menghasilkan data yang subjektif, dan karenanya

dianggap kurang ilmiah. Memang ilmu sering didefinisikan dalam kerangka

objektivitas, yang dalam perspektif positivistik-kuantitatif dicapai melalui distansi

(jarak catatan penulis) peneliti dari objek yang diteliti, karena peneliti kuantitatif-

positivistik yakin bahwa distansi akan mempertahankan sikap “bebas nilai.” Peneliti-

peneliti kualitatif, sebaliknya, menganggap bahwa objektivitas murni tidak pernah

ada, hanya merupakan ilusi peneliti kuantitatif. Pilihan untuk meneliti topik tertentu

pun sudah diwarnai subjektivitas, sementara rancangan dan instrumen penelitian

adalah produk manusia, dan karenanya, selalu mungkin mengandung bias.

8) Fleksibilitas rancangan

Penyelidikan yang bersifat kualitatif tidak dapat secara jelas, lengkap dan pasti

ditentukan di awal sebelum dilaksanakannya pekerjaan di lapangan. Tentu saja,

86

rancangan awal yang disusun sebaik mungkin, yang akan menentukan fokus pertama,

rencana-rencana pengamatan dan wawancara, pertanyaan-pertanyaan yang akan

diajukan. Meski demikian, sifat alamiah dan induktif dari penelitian tidak

memungkinkan peneliti menentukan secara tegas variabel-variabel operasional,

menetapkan hipotesis yang akan diuji maupun menyelesaikan skema pengambilan

sampel dan instrumen yang akan dipakai sebelum ia sungguh-sungguh memasuki

pekerjaan lapangan. Desain kualitatif memiliki sifat luwes, akan berkembang sejalan

berkembangnya pekerjaan lapangan.

9) Peneliti sebagai instrumen kunci

Bila peneliti kuantitatif dapat berpegang pada rumus-rumus dan teknik statistik,

peneliti kualitatif tidak memiliki formula baku untuk menjalankan penelitiannya.

Karenanya, kompetensi peneliti menjadi aspek paling penting: Peneliti adalah

Instrumen Kunci dalam penelitian kualitatif. Peneliti berperan besar dalam seluruh

proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendekati topik tersebut, mengumpulkan

data, hingga menganalisis dan menginterpretasikannya.

c. Perbedaan Asumsi-asumsi Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang Penelitian Kualitatif,

berikut akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi Penelitian Kuantitatif dengan

Penelitian Kualitatif menurut Creswell (1994:5).

1) Asumsi-asumsi Penelitian Kuantitatif

a) Reality is objective and singular, apart from the researcher.

Realitas bersifat objektif dan tunggal, terpisah dari peneliti.

b) Researcher is independent from that being researched.

Peneliti bebas dari apa yang diteliti.

87

c) Value-free and unbiased.

Bebas nilai dan tidak bias.

d) Formal language, based on set definitions, impersonal voice, use of

accepted quantitative words.

Bahasa formal, berdasarkan seperangkat definisi, kata-kata yang tidak personal

(impersonal), menggunakan kata-kata kuantitatif yang sudah diterima (disepakati).

e) Deductive process, seeking cause & effect static design-categories

isolated before study; context-free; generalization, and understanding; accurate and

reliable through validity and reliability.

Proses deduktif, mencari sebab dan akibat, desain yang statis dalam arti kategori-

kategori sudah dipisah-pisah sebelum studi diadakan; bebas konteks; generalisasi

membawa pada prediksi, penjelasan dan pemahaman; keakuratan dan kehandalan

melalui validitas dan reliabilitas.

2) Asumsi-asumsi Penelitian Kualitatif

a) Reality is subjective and multiple as seen by participants in a study.

Realitas bersifat subjektif dan ganda seperti dilihat partisipan (subjek yang diteliti)

dalam suatu studi.

b) Researcher interact with that being researched.

Peneliti berinteraksi dengan apa yang diteliti.

c) Value-laden and biased.

Tidak bebas nilai dan bias.

d) Informal, envolving decisions, personal voice, accepted qualitative

words.

Informal, keputusan-keputusan mengalami perkembangan, menggunakan kata-kata

yang personal, menggunakan kata-kata yang diterima kualitatif.

88

e) Inductive process; mutual simultaneous shaping of factors; emerging

design-categories identified during research process; context-bound; patterns,

theories developed for understanding; accurate and reliable through verification.

Faktor-faktor dibentuk (diidentifikasi) bersamaan secara timbal balik; desain yang

dinamis (berkembang selama studi) dalam arti kategori-kategori diidentifikasi selama

proses penelitian), desain disusun kemudian; terkait konteks; pola-pola, teori-teori

dikembangkan untuk memahami; akurasi dan kehandalan melalui verifikasi.

d. Masalah-masalah yang cocok dengan penelitian kuantitatif dan yang cocok

dengan penelitian kualitatif

Menurut Poerwandari (1998:46), gambaran mengenai masalah-masalah yang cocok

untuk diteliti dengan pendekatan kuantitatif atau kualitatif adalah sebagai berikut:

1) Bila anda lebih tertarik pada yang disebut Allport sebagai “Psikologi

Diferensial,” yakni melihat elemen-elemen psikologi secara terpisah, mencari

gambaran tentang hal tersebut pada manusia pada umumnya sehingga dapat

membandingkan manusia satu dengan yang lain, tampaknya yang lebih sesuai

digunakan adalah pendekatan kuantitatif.

2) Bila anda tertarik untuk memahami manusia dalam segala

kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif, pendekatan kualitatif adalah yang sesuai

untuk digunakan. Seperti juga beberapa tokoh yang menganggap penting pendekatan

kualitatif dalam psikologi, saya berpandangan bahwa psikologi, khususnya psikologi

kepribadian dan psikologi klinis akan banyak menyumbangkan pengetahuan tentang

manusia bila banyak bertumpu pada pendekatan kualitatif.

3) Hal-hal yang membutuhkan pemahaman mendalam dan khusus sangat

sulit diteliti dengan pendekatan kuantitatif. Sulit untuk membayangkan bagaimana

89

kita dapat secara utuh meneliti “penghayatan individu yang mengalami perceraian,”

“trauma yang dialami korban kejahatan seksual,” “dinamika kekerasan terhadap

perempuan,” atau “penyesuaian diri terhadap situasi menganggur” dengan pendekatan

kuantitatif.

4) Kecenderungan yang positif dan perlu terus dikembangkan saat ini adalah

mulai digunakannya pendekatan kualitatif dan kuantitatif sebagai dua hal yang saling

menunjang dalam penelitian-penelitian psikologi. Yang banyak dilakukan psikologi

konvensional adalah menyusun skala atau kuesioner berdasarkan teori yang ada.

Karena teori yang ada sering juga tidak sesuai dengan konteks populasi penelitian,

tidak jarang terjadi bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berkembang adalah

pertanyaan yang merefleksikan cara berpikir peneliti, dan gagal mengungkap apa

yang sesungguhnya menjadi masalah responden atau subjek penelitian. Menyadari hal

tersebut, beberapa peneliti mulai menggabungkan metode-metode kualitatif dan

kuantitatif.

Akan dikemukakan pendapat Prof. Dr. Fuad Hasan tentang penelitian kualitatif

sebagai berikut:

“Pendekatan kualitatif sangat penting untuk dipahami oleh mereka yang bersibuk diri

dengan studi tentang manusia dan berbagai penjelmaan tingkah lakunya, baik

individual maupun kolektif. Banyak perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan,

apalagi penghayatannya terhadap berbagai pengalaman pribadi. Banyak sekali

penjelmaan kejiwaan yang mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam

satuan numerik. Kita mungkin berbicara tentang skala, peringkat, tolok ukur, dan

berbagai sarana pengukur lainnya, akan tetapi perlu tetap disadari bahwa apa yang

dapat ditangkap secara kuantitatif itu tidak sepenuhnya representatif bagi

pemahaman ikhwal manusia yang pada hakekatnya bersifat kualitatif. Bagaimana

90

mengukur keresahan, keriangan, kebosanan, kesepian, frustrasi, euforia, rasa

percaya diri, rasa malu, rasa cinta, rasa benci, rasa marah, rasa iri, dan sejumlah

penjelmaan kejiwaan lainnya, kecuali melalui kesanggupan berbagi rasa empathy?

Bukanlah segala penjelmaan manusiawi itu sesekali juga dapat menjadi penghayatan

diri kita sendiri?”

Gambar 19 : Fuad Hassan

2. STUDI KASUS

Setelah uraian mengenai apa itu penelitian kualitatif dan apa saja ciri-cirinya,

selanjutnya akan dibahas salah satu jenis penelitian kualitatif yaitu studi Kasus.

a. Pengertian Studi Kasus

Menurut Stake (dalam Denzin & Lincoln, 1994:236), studi kasus tidak selalu

menggunakan pendekatan kualitatif, ada beberapa studi kasus yang menggunakan

pendekatan kuantitatif. Stake, dalam membahas studi kasus, akan menekankan

pendekatan kualitatif, bersifat naturalistik, berbasis pada budaya dan minat

fenomenologi. Studi kasus bukan merupakan pilihan metodologi, tetapi pilihan

91

masalah yang bersifat khusus untuk dipelajari. Terdapat contoh masalah yang dapat

bersifat kuantitatif, misalnya; anak yang sakit, dokter mempelajari anak yang sakit

dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, walaupun catatan dokter lebih bersifat

kuantitatif ketimbang kualitatif. Contoh lain studi tentang anak yang diabaikan

(neglected child) dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, walaupun catatan

pekerja sosial lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif. Sebagai suatu bentuk

penelitian, pemilihan studi kasus lebih ditentukan oleh ketertarikan pada kasus-kasus

yang bersifat individual, bukan oleh pemilihan penggunaan metode penelitian. Hal ini

dapat dilihat dari penjelasan Stake sebagai berikut: “Some case studies are qualitative

studies, some are not. In this chapter I will concentrate on case studies where

qualitative inquiry dominates, with strong naturalistic, holistic, cultural,

phenomenological interests. Case study is not a methodological choice, but a choice

of object to be studied. We could study it in many ways. The physician studies the

child because the child is ill. The child’s symptoms are both qualitative and

quantitative. The physician’s record is more quantitative than qualitative. The social

worker studies the child because the child is neglected. The symptoms of neglect are

both qualitative and quantitative. The formal record the social worker keeps in more

qualitative than quantitative. In many professional and practical fields, cases are

studied and recorded. As a form of research, case study is defined by interest in

individual cases, not by methods of inquiry used.”

Selanjutnya, Stake menjelaskan bahwa nama studi kasus ditekankan oleh beberapa

peneliti karena memokuskan tentang apa yang dapat dipelajari secara khusus pada

kasus tunggal. Penekanan studi kasus adalah memaksimalkan pemahaman tentang

kasus yang dipelajari dan bukan untuk mendapatkan generalisasi. Hal ini dapat dilihat

dari penjelasan Stake sebagai berikut: “The name case study is emphasized by some of

92

us because it draws attention to the question of what specifically can be learned from

the single case. That epistemological question is the driving question of this chapter:

What can be learned from the single case? I will emphasize designing the study to

optimize understanding of the case rather than generalization beyond.”

Lebih lanjut, Stake menjelaskan tentang identifikasi kasus bahwa kasus dapat bersifat

sederhana tetapi dapat juga bersifat kompleks. Kasus dapat bersifat tunggal misalnya

hanya terkait dengan seorang anak, atau banyak misalnya satu kelas, atau bersifat

kompleks misalnya kaum profesional yang mempelajari anak dalam masa kanak-

kanak. Waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari dapat pendek atau panjang,

tergantung waktu untuk berkonsentrasi. Setelah menentukan mempelajari suatu kasus,

peneliti seyogyanya terlibat secara mendalam pada kasus tersebut. Hal ini dpat dibaca

penjelasan Stake sebagai berikut: “A case may be simple or complex. It may be a

child or a classroom of children or a mobilization of professionals to study a

childhood condition. It is one among others. In any given study, we will concentrating

our inquiry on the one may be long or short, but while we so consentrate, we are

engaged in case study.”

Selanjutnya, Stake menjelaskan bahwa apabila ingin mempelajari suatu kasus, tidak

mungkin memahami secara mendalam tanpa mengetahui tentang kasus-kasus lain.

Tetapi apabila sumber daya terbatas, maka lebih baik hanya berkonsentrasi

memahami kompleksitas satu kasus saja tanpa harus melakukan perbandingan antar

kasus-kasus tersebut. Apabila mempelajari lebih dari satu kasus, maka sebaiknya

penelitian berkonsentrasi pada kasus tunggal. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan

Stake sebagai berikut: “Ultimately we may be more interested in phenomenon or

population of cases than in the individual case. We cannot understand this case

without knowing about other cases. But while we are studying it, our meager

93

resources are concentrated on trying to understand its complexities. For the while, we

probably will not study comparison cases. We may simultaneously carry on more one

case study, but each case study is concentrated inquiry into a single case.”

Stake mengidentifikasikan adanya 3 (tiga) tipe studi kasus. Yang pertama disebut

studi kasus intrinsik, yaitu studi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari

kasus yang khusus, hal ini disebabkan karena seluruh kekhususan dan keluarbiasaan

kasus itu sendiri menarik perhatian. Tujuan studi kasus intrinsik bukan untuk

memahami suatu konstruksi abstrak atau konstruksi fenomena umum seperti

kemampuan membaca (literacy), penggunaan obat-obatan oleh remaja atau apa yang

harus dilakukan oleh kepala sekolah. Tujuannya bukan untuk membangun teori,

meskipun pada waktu lain peneliti mungkin mengerjakan hal tersebut. Studi dilakukan

karena ada minat intrinsik di dalamnya, sebagai contoh anak luar biasa, konferensi,

klinik, atau kurikulum. Apa yang dikemukakan ini dapat dilihat dari dengan

penjelasan Stake sebagai berikut: “Different researchers have different purposes for

studying cases. To keep such differences in mind, I find it useful to identify three types

of study. In what we may call intrinsic case study, study is undertaken because one

wants better understanding of its particular case. It is not undertaken primarily

because the case represents other cases or illustrates a particular trait or problem,

but because, in all its particularity and ordinariness, this case itself is of interest. The

researcher temporarily subordinates other curiosities so that case may reveal its

story. The purpose is not to come to understand some abstract constructs or generic

phenomenon, such as literacy or teenage drug use or what a school principal does.

The purpose is not theory building – though at other times the researcher may do just

that. Study is undertaken because of intrinsic interest in, for example, this particular

child, clinic conference or curriculum.”

94

Studi kasus yang kedua disebut studi kasus instrumental (instrumental case study),

adalah kasus khusus yang diuji untuk memberikan pemahaman yang mendalam

tentang suatu masalah (issue) atau untuk memperbaiki teori yang telah ada. Walaupun

studi kasus ini kurang diminati, ia memainkan peran yang mendukung, memasilitasi

pemahaman terhadap sesuatu yang lain (minat eksternal). Kasusnya dilihat secara

mendalam, dan konteksnya diteliti secara cermat, aktivitas-aktivitas untuk mendalami

kasus tersebut dilakukan secara rinci, karena kasus ini membantu pemahaman tentang

ketertarikan dari luar (minat eksternal). Dasar pemilihan mendalami kasus ini

dikarenakan kasus ini diharapkan dapat memperluas pemahaman peneliti tentang

minat lainnya. Hal ini disebabkan karena para peneliti bersama-sama mempunyai

beberapa minat yang selalu berubah-ubah yang tidak membedakan studi kasus

intrinsik dari studi kasus instrumental dan bertujuan memadukan keterpisahan di

antara keduanya. Hal ini dapat dibaca dalam penjelasan Stake sebagai berikut: “In

what we may call instrumental case study, a particular case is examined to provide

insight into an issue or refinement of theory. The case of secondary interest; it plays a

supportive role, facilitating our understanding of something else. The case is often

looked at in depth, its contexts scrutinized, its ordinary activities detailed, but because

this helps us pursue the external interest. The case may be seen as typical of other

cases or not. (I will discuss the small importance of typicality later.) The choice of

case is made because it is expected to advance our understanding of that other

interest. Because we simultaneously have several interests, often changing, there is no

line distinguishing intrinsic case study from instrumental; rather, a zone of combined

purpose separates them.”

Studi kasus ketiga adalah studi kasus kolektif (collective case study), yaitu penelitian

terhadap gabungan kasus-kasus dengan maksud meneliti fenomena, populasi, atau

95

kondisi umum. Ini bukan merupakan kumpulan studi instrumental yang diperluas

pada beberapa kasus. Studi kasus kolektif memerlukan kasus-kasus individual dalam

kumpulan kasus-kasus diketahui lebih dahulu untuk mendapatkan karakteristik umum.

Kasus-kasus individual dalam kumpulan kasus-kasus tersebut mempunyai ciri-ciri

yang sama atau berbeda, masing-masing mempunyai kelebihan dan bervariasi. Kasus-

kasus tersebut dipilih karena dipercaya bila memahami kasus-kasus tersebut akan

menghasilkan pemahaman yang lebih baik, penyusunan teori yang lebih baik tentang

kumpulan kasus-kasus yang lebih luas. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan Stake

sebagai berikut: “With even less interest in one particular case, researchers may

study a number of cases jointly in order to inquire into the phenomenon, population,

or general condition. We might call this collective case study. It is not the study of

collective but instrumental study extended to several cases. Individual cases in the

collection may or may not be known in advance to manifest the common

characteristic. They may be similar or dissimilar, redundancy and variety each

having voice. They are chosen because it is believed that understanding them will

lead to better understanding, perhaps better theoritizing, about a still larger

collection of cases.”

Selanjutnya mengenai studi kekhususan, Stake menjelaskan bahwa peneliti kasus

mencari tahu tentang apa yang bersifat umum dan apa yang bersifat khusus dari kasus

tersebut, tetapi hasil akhir dari kasus tersebut biasanya menampilkan sesuatu yang

unik. Keunikan tersebut mungkin meresap dan meluas kepada:

– Hakikat suatu kasus

– Latar belakang sejarah kasus tersebut

– Latar (setting) fisik

– Konteks-konteks lainnya, termasuk ekonomi, politik, hukum, dan estetika

96

– Kasus lainnya bilamana kasus tersebut berkaitan dengan kasus yang

dipelajari

– Informan-informan dipilih dari orang-orang yang mengetahui kasus ini

Untuk mempelajari kekhususan suatu kasus, keseluruhan data tersebut harus

dikumpulkan.

Keunikan, kekhususan dan perbedaan tidak disukai secara meluas. Studi kasus

dirugikan oleh orang-orang yang kurang menghargai kekhususan. Banyak ahli ilmu

pengetahuan sosial telah menulis tentang studi kasus, seolah-olah studi kasus khusus

tidak sepenting studi kasus lainnya yang diarahkan guna menghasilkan generalisasi.

Studi kasus dianggap merupakan tipifikasi dari kasus-kasus lainnya sebagai eksplorasi

yang mengawali studi-studi yang dapat menghasilkan generalisasi, atau hanya

merupakan suatu langkah awal dalam membangun teori. Jadi studi kasus kurang

dihargai sebagai studi intrinsik yang bernilai kekhususan seperti biografi, studi

mandiri kelembagaan, program evaluasi, praktek terapi dan banyak macam pekerjaan.

Hal ini dapat dibaca dalam penjelasan Stake sebagai berikut: “Case researchers seek

out both what is common and what is particular about the case, but the end result

regularly presents something unique (Stouffer, 1941). Uniqueness is likely to be

pervasive, extending to

– The nature of the case

– Its historical background

– The physical setting

– Other contexts, including economic, political, legal and aesthetic

– Other cases trough which this case is recognized

– Those informants through whom the case can be known

To study the case, many researchers will gather data on all the above.

97

Uniqueness, particulary, diversity is not universally loved. Case study methodology

has suffered somewhat because it has sometimes been presented by people who have a

lesser regard for study of the particular (Denzin, 1981; Glaser & Strauss, 1967;

Herriott & Firestone, 1983; Yin, 1984). Many social scientists have written about

case study as if intrinsic study of a particular case is not as important as studies to

obtain generalizations pertaining to a population of cases. They have emphasized

case study as typification of other cases, as exploration leading to generalization

producing studies, or as an occasional early step in theory building. Thus, by these

respected authorities, case study method has been little honored as in the intrinsic

study of a valued particular, as its generally in biography, institutional self study,

program evaluation, therapeutic practice, and many lines of work….”

Dari pandangan-pandangan Stake (dalam Denzin & Lincoln, 1994:236-238) tersebut

dapat disimpulkan tentang studi kasus dan ciri-cirinya sebagai berikut: Studi kasus

adalah suatu bentuk penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang

memiliki sifat kekhususan (particularity), dapat dilakukan baik dengan

pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan

(individual) maupun kelompok, bahkan masyarakat luas. Dalam buku yang

penulis susun ini lebih ditekankan pendekatan kualitatif.

b. Ciri-ciri studi kasus

Ciri-ciri studi kasus adalah sebagai berikut:

1) Studi kasus bukan suatu metodologi penelitian, tetapi suatu bentuk studi

(penelitian) tentang masalah yang khusus (particular).

98

2) Sasaran studi kasus dapat bersifat tunggal (ditujukan perorangan

/individual) atau suatu kelompok, misalnya suatu kelas, kelompok profesional, dan

lain-lain.

3) Masalah yang dipelajari atau diteliti dapat bersifat sederhana atau

kompleks. Masalah yang sederhana misalnya anak yang mengalami penyimpangan

perilaku. Masalah yang kompleks misalnya suatu periode (masa) kanak-kanak, masa

remaja, masa dewasa, hal-hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, hal-hal

yang menyebabkan skizofrenia, dll.

4) Tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman yang mendalam tentang

suatu kasus, atau dapat dikatakan untuk mendapatkan verstehen bukan sekedar

erklaren (deskripsi suatu fenomena).

5) Studi kasus tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi, walaupun studi

dapat dilakukan terhadap beberapa kasus. Studi yang dilakukan terhadap beberapa

kasus bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, sehingga

pemahaman yang dihasilkan terhadap satu kasus yang dipelajari lebih mendalam.

6) Terdapat 3 (tiga) macam tipe studi kasus, yaitu:

a) Studi kasus intrinsik (intrinsic case study), apabila kasus yang

dipelajari secara mendalam mengandung hal-hal yang menarik untuk dipelajari

berasal dari kasus itu sendiri, atau dapat dikatakan mengandung minat intrinsik

(intrinsic interest).

b) Studi kasus intrumental (intrumental case study), apabila kasus yang

dipelajari secara mendalam karena hasilnya akan dipergunakan untuk memperbaiki

atau menyempurnakan teori yang telah ada atau untuk menyusun teori baru. Hal ini

99

dapat dikatakan studi kasus instrumental, minat untuk mempelajarinya berada di luar

kasusnya atau minat eksternal (external interest).

c) Studi kasus kolektif (collective case study), apabila kasus yang

dipelajari secara mendalam merupakan beberapa (kelompok) kasus, walaupun

masing-masing kasus individual dalam kelompok itu dipelajari, dengan maksud untuk

mendapatkan karakteristik umum, karena setiap kasus mempunyai ciri tersendiri yang

bervariasi.

7) Hal-hal umum juga dipelajari dalam studi kasus, tetapi fokusnya terarah

pada hal yang khusus atau unik. Untuk mendapatkan hal-hal yang unik dari data-data

sebagaimana tersebut di bawah ini, harus dikumpulkan dan dianalisis, yaitu:

a) Hakikat (the nature) kasus

b) Latar belakang sejarah kasus

c) Latar (setting) fisik

d) Konteks dengan bidang lain; ekonomi, politik, hukum, dan estetika

e) Mempelajari kasus-kasus lain yang berkaitan dengan kasus yang

dipelajari

f) Informan-informan yang dipilih adalah orang-orang yang mengetahui

kasus ini

Untuk memperdalam wawasan pembaca, berikut ini akan dikemukakan tulisan

Baedhowi (2001:94) yang mengacu pada Yin (1981) tentang perbedaan studi kasus

intrinsik dengan studi kasus instrumental dan studi kasus kolektif sebagai berikut:

“Intrinsic case study dilakukan untuk memahami secara lebih baik tentang suatu kasus

tertentu. Jadi studi terhadap kasus ini karena peneliti ingin mengetahui secara intrinsik

mengenai fenomena, keteraturan, dan kekhususan dari suatu kasus, bukan alasan

100

eksternal lainnya. Sebaliknya, instrumental case study merupakan studi terhadap

kasus untuk alasan eksternal, bukan karena kita ingin mengetahui tentang hakekat

kasus tersebut. Kasus hanya dijadikan sebuah instrumen untuk memahami hal lain di

luar kasus, misalnya dalam membuktikan sebuah teori yang sebelumnya sudah ada.

Sedangkan collective case study dilakukan untuk menarik kesimpulan atau

generalisasi terhadap fenomena atau populasi dari kasus-kasus tersebut. Jadi, jenis

studi kasus ke-tiga ini ingin membentuk sebuah teori berdasarkan persamaan dan

keteraturan yang didapat dari setiap kasus yang diselidiki.”

c. Kelebihan dan Kelemahan Studi Kasus

1) Kelebihan Studi Kasus

a) Studi kasus mampu mengungkap hal-hal yang spesifik, unik dan hal-

hal yang amat mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi yang lain. Studi kasus

mampu mengungkap makna di balik fenomena dalam kondisi apa adanya atau natural.

b) Studi kasus tidak sekedar memberi laporan faktual, tetapi juga

memberi nuansa, suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam

kasus yang menjadi bahan studi yang tidak dapat ditangkap oleh penelitian kuantitatif

yang sangat ketat.

2) Kelemahan Studi Kasus

Dari kacamata penelitian kuantitatif, studi kasus dipersoalkan dari segi validitas,

reliabilitas dan generalisasi. Namun studi kasus yang sifatnya unik dan kualitatif tidak

dapat diukur dengan parameter yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang

bertujuan untuk mencari generalisasi.

101

102