Upload
independent
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
amheru.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/.../BAB+III+Buku+(Baru).do
BAB III
PENELITIAN KUALITATIF DAN STUDI KASUS
Dalam Bab ini akan diuraikan pengertian dan ciri-ciri penelitian kualitatif, studi kasus
dari beberapa ahli.
1. PENELITIAN KUALITATIF
a. Pengertian Penelitian Kualitatif
Creswell, J.W. dalam bukunya yang berjudul: “Research Design: Qualitative and
Quantitative Approaches.” Sage Publications, 1994, mengemukakan: Research that is
guided by the qualitative paradigm is defined as: “an inquiry process of
understanding a social or human problem based on building a complex, holistic
picture, formed with words, reporting detailed views of informants, and conducted in
a natural setting.”
Kutipan tersebut mengandung makna penelitian yang dibimbing oleh paradigma
kualitatif didefinisikan sebagai: “Suatu proses penelitian untuk memahami masalah-
masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan
kompleks yang disajikan dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang
diperoleh dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar (setting) yang
alamiah.”
Denzin & Lincoln, dalam bukunya yang berjudul: “Handbook of Qualitative
Research,” Sage Publications, 1998, mengemukakan: “Qualitative research is many
things to many people. Its essence is twofold: a commitment to some version of the
naturalistic, interpretive approach to its subject matter, and an ongoing critique of
77
the politics and methods of positivism…Qualitative researchers stress the socially
constructed nature of reality, the intimate relationship between the researcher and
what is studied, and…value laden nature inquiry.”
Kutipan tersebut mempunyai arti, penelitian kualitatif esensinya bersifat ganda: suatu
komitmen terhadap pandangan naturalistik-pendekatan interpretatif terhadap pokok
persoalan studi dan suatu kritik yang berkelanjutan terhadap politik dan metode
positivisme. …….Peneliti kualitatif menekankan realitas yang dibentuk secara sosial,
hubungan yang erat antara peneliti dan yang diteliti dan ……, ciri penelitian yang
sarat nilai.
Selanjutnya, Denzin & Lincoln menjelaskan: “Qualitative research is aimed at
gaining a deep understanding of a specific organization or event, rather than a
surface description of a large sample of a population. It aims to provide an explicit
rendering of the structure order, and broad patterns found among a group of
participants. It is also called ethno-methodology or field research. It generates data
about human groups in social settings.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif lebih ditujukan untuk
mencapai pemahaman mendalam mengenai organisasi atau peristiwa khusus,
ketimbang mendeskripsikan bagian permukaan dari sampel besar dari sebuah
populasi. Penelitian ini juga bertujuan untuk menyediakan penjelasan tersurat
mengenai struktur, tatanan dan pola yang luas yang terdapat dalam suatu kelompok
partisipan. Penelitian kualitatif juga disebut etno-metodologi atau penelitian lapangan.
Penelitian ini juga menghasilkan data mengenai kelompok manusia dalam latar/setting
sosial.”
Lebih lanjut, Denzin & Lincoln menjelaskan: “Qualitative research does not
introduce treatments or manipulate variables, or impose the researcher’s operational
78
definitions of variables on the participants. Rather, it lets the meaning emerge from
the participants. It is more flexible in that it can adjust to the setting. Concepts, data
collection tools, and data collections methods can be adjusted as the research
progresses.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif tidak memperkenalkan
perlakuan (treatment), atau memanipulasi variabel atau memaksakan definisi
operasional peneliti mengenai variabel-variabel pada peserta penelitian. Sebaliknya,
penelitian kualitatif membiarkan sebuah makna muncul dari partisipan-partisipan itu
sendiri. Penelitian ini sifatnya lebih fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan latar
yang ada. Konsep-konsep, alat-alat pengumpul data, dan metoda pengumpulan data
dapat disesuaikan dengan perkembangan penelitian.”
Untuk memperjelas pandangan-pandangan tentang penelitian kualitatif, Denzin &
Lincoln menambahkan penjelasan sebagai berikut: “Qualitative research aims to get
a better understanding through first-hand experience, truthful reporting, and
quotations of actual conversations. It aims to understand how the participants derive
meaning from their surroundings, and how their meaning influences their behavior.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif ditujukan untuk mendapatkan
pemahaman yang mendasar melalui pengalaman tangan pertama, laporan yang
sebenar-benarnya, dan catatan-catatan percakapan yang aktual. Selain itu, penelitian
ini bertujuan untuk memahami bagaimana para partisipan mengambil makna dari
lingkungan sekitar dan bagaimana makna-makna tersebut mempengaruhi perilaku
mereka sendiri.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam
tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan bagian
79
permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif
dengan positivismenya. Peneliti menginterpretasikan bagaimana subjek
memperoleh makna dari lingkungan sekeliling, dan bagaimana makna tersebut
mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian dilakukan dalam latar (setting) yang
alamiah (naturalistic) bukan hasil perlakuan (treatment) atau manipulasi
variabel yang dilibatkan.
Dari pandangan-pandangan yang telah dikemukakan oleh Creswell maupun Denzin &
Lincoln tersebut tidak saja dapat ditarik kesimpulan tentang definisi penelitian
kualitatif tetapi juga tentang ciri-cirinya. Untuk memperoleh gambaran yang lebih
lengkap tentang ciri-ciri penelitian kualitatif akan diuraikan lebih lanjut tentang
penelitian kualitatif menurut Denzin & Lincoln sebagai berikut: “Qualitative research
uses variety kinds of qualitative inquiry in collecting data (such as: observation,
interview, documenting, narrating, publishing text, etc.). Observation is the selection
and recording of behaviors of people in their environment. Observation is useful for
generating in-depth descriptions of organization or events, for obtaining information
that is otherwise inaccessible, and for conducting research when other methods are
inadequate.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif menggunakan berbagai jenis
studi kualitatif dalam mengumpulkan data (seperti: observasi, wawancara,
dokumentasi, narasi, publikasi teks, dll.). Observasi adalah penyeleksian dan
pencatatan perilaku manusia dalam lingkungannya. Observasi digunakan untuk
menghasilkan penjelasan yang sangat mendalam mengenai organisasi dan peristiwa,
untuk mendapatkan informasi yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain, dan untuk
melakukan penelitian di saat metode-metode lain tidak memadai.”
80
Tentang observasi, Denzin & Lincoln menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
“Observation is used extensively in studies by psychologists, anthropologists,
sociologists, and program evaluator. Direct observation reduces distortion between
the observer and what is observed that can be produced by an instrument (e.g.
questionnaire). It occurs in a natural setting, not a laboratory or controlled
experiment. The context or background of behavior is included in observations of both
people and their environment. And it can be used with inarticulate subjects, such as
children or others unwilling to express themselves.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Observasi digunakan secara luas dalam studi oleh
para psikolog, antropolog, sosiolog, dan penilai program. Observasi secara langsung
mengurangi distorsi antara pengamat dan apa yang diamati, yang dapat diperoleh
melalui sebuah instrumen (kuesioner). Observasi langsung terjadi di dalam latar yang
alami, bukan dalam laboratorium atau eksperimen yang terkontrol. Konteks atau latar
belakang perilaku juga tercakup dalam pengamatan terhadap orang-orang dan
lingkungannya. Observasi ini dapat digunakan terhadap subjek yang tidak pandai
berbicara, seperti anak-anak atau mereka yang segan mengekspresikan dirinya
sendiri.”
Sebelum diuraikan tentang ciri-ciri penelitian kualitatif, akan dikemukakan pandangan
Muluk (yang mengacu pada Guba & Lincoln, 1998) dalam disertasinya (2004) bahwa
dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora penelitian kualitatif lebih tepat dibandingkan
penelitian kuantitatif sebagai berikut: “…Memang selama beberapa ratus tahun
setelah revolusi ilmu pengetahuan, positivisme seperti tidak terbantahkan dengan
dasar objektivitas, kuantifikasi, dan rasionalitas. Namun positivisme menjadi
problematis ketika dihadapkan dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, mengingat
bahwa realitas dan fenomena dalam ilmu sosial kebanyakan tidak mempunyai batas
81
yang jelas antara subjek dan objek. Realitas tunggal yang objektif dalam ilmu sosial
dan humaniora dipandang sebagai kemungkinan yang sukar dicapai dalam suatu
dinamika sosial. Sebaliknya, dalam ilmu sosial dan humaniora, realitas dipandang
sebagai suatu yang plural dan tidak pernah bebas konteks, bebas nilai dan bebas
ideologi, suatu hal yang sangat diagung-agungkan oleh pendekatan positivisme. Kritik
yang paling mendasar terhadap pendekatan positivisme adalah pada
kecenderungannya untuk memperlakukan data – demi menjaga objektivitas – tanpa
mempertimbangkan konteks, pada kecenderungannya untuk menggeneralisasi data
yang umum kepada kasus-kasus yang spesifik. Kritik lainnya adalah pada pandangan
positivistik yang meyakini adanya realitas yang bebas nilai (value-free) serta
mengabaikan adanya dimensi interaksi dan hubungan timbal-balik (reciprocal) antara
pengamat (observer) dengan yang diamati (Guba & Lincoln, 1998 dalam Malik,
2004:140). Dengan demikian, paradigma teoretik setelah era positivisme menolak
anggapan bahwa sesuatu yang ilmiah hanyalah sesuatu yang dapat diukur secara
kuantitatif. Dalam perkembangan berikutnya, pandangan positivistik mendapat
tantangan dari paradigma lainnya. Dengan demikian, positivistik tidak lagi satu-
satunya cara untuk sampai pada kebenaran ilmiah. Makin disadari bahwa untuk
gejala-gejala sosial, budaya dan perilaku, pendekatan-pendekatan yang lebih
berorientasi pada pandangan naturalistik dan fenomenologis dianggap lebih mampu
untuk menjelaskan gejala secara keseluruhan”).
b. Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
Dari pandangan Creswell, Denzin & Lincoln, serta pandangan Guba & Lincoln yang
dikemukakan Muluk, dapat dikemukakan ciri-ciri Penelitian Kualitatif sebagai
berikut:
82
1) Penelitian kualitatif merupakan penelitian dengan konteks dan setting apa
adanya atau alamiah (naturalistic), bukan melakukan eksperimen yang dikontrol
secara ketat atau memanipulasi variabel.
2) Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang
mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial dengan menginterpretasikan
bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling dan bagaimana
makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka, bukan mendeskripsikan bagian
permukaan dari suatu realitas seperti yang dilakukan peneliti kuantitatif dengan
positivismenya.
3) Agar peneliti bisa mendapatkan pemahaman mendalam bagaimana subjek
memaknai realitas dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku subjek,
peneliti perlu melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang diteliti. Untuk itu,
bila perlu peneliti melakukan observasi terlibat (participant observation).
4) Tidak seperti penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif tidak membuat
perlakuan (treatment), memanipulasi variabel, dan menyusun definisi operasional
variabel. Untuk mencapai tujuan penelitian kualitatif, peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data tidak terbatas pada observasi dan wawancara saja, tetapi juga
dokumen, riwayat hidup subjek, karya-karya tulis subjek, publikasi teks, dan lain-lain.
5) Tidak seperti penelitian kuantitatif yang bebas nilai, penelitian kualitatif
justru menggali nilai yang terkandung dari suatu perilaku. Penelitian kualitatif
meyakini bahwa perilaku tidak mungkin bebas dari nilai yang dihayati individu yang
diteliti.
6) Penelitian kualitatif bersifat fleksibel, tidak terpaku pada konsep, fokus,
teknik pengumpulan data yang direncanakan pada awal penelitian, tetapi dapat
berubah di lapangan mengikuti situasi dan perkembangan penelitian.
83
7) Tidak seperti penelitian kuantitatif di mana untuk mencapai objektivitas
dengan melakukan pengukuran (measurement) secara kuantitatif, penelitian kualitatif
mendapatkan akurasi data dengan melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang
diteliti dalam konteks dan setting yang alamiah (naturalistic).
Sebagai bahan perbandingan dan sebagai upaya memperluas wawasan, berikut ini
pandangan Poerwandari (1998) yang mengacu pandangan Patton (1990) tentang ciri-
ciri penelitian kualitatif:
1) Studi dalam situasi alamiah (naturalistic inquiry)
Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah, dalam arti peneliti tidak berusaha untuk
memanipulasi latar penelitian, melainkan melakukan studi terhadap suatu fenomena
dalam situasi di mana fenomena tersebut ada. Fokus penelitian dapat berupa orang,
kelompok, program, pola hubungan ataupun interaksi, dan kesemuanya dilihat dalam
konteks alamiah (apa adanya).
2) Analisis induktif
Penelitian kuantitatif-eksperimental menggunakan pendekatan analisis deduktif,
dengan menerapkan pendekatan hipotesis-deduktif. Peneliti menetapkan variabel-
variabel utama beserta dengan pernyataan-pernyataan tentang variabel-variabel
tersebut (definisi operasional variabel catatan ini menurut penulis) sebelum
pengumpulan data dilakukan, berdasarkan kerangka teoretis yang secara eksplisit
dipilih. Berbeda dengan pendekatan kuantitatif, metode kualitatif secara khusus
berorientasi pada eksplorasi, penemuan, dan logika induktif. Dikatakan induktif
karena peneliti tidak memaksa diri untuk hanya membatasi penelitian pada upaya
menerima atau menolak dugaan-dugaannya, melainkan mencoba memahami situasi
(make sense of the situation) sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan
84
diri. Analisis induktif dimulai dengan observasi khusus, yang akan memunculkan
tema-tema, kategori-kategori, pola hubungan di antara kategori-kategori tersebut.
3) Kontak personal langsung peneliti di lapangan
Kegiatan lapangan merupakan aktivitas sentral dari sebagian besar penelitian
kualitatif. Mengunjungi lapangan berarti mengembangkan hubungan personal
langsung dengan orang-orang yang diteliti. Penelitian kualitatif memang menekankan
pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti
memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi nyata kehidupan sehari-
hari.
4) Perspektif holistik
Satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman menyeluruh
dan utuh tentang fenomena yang diteliti. Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa
keseluruhan fenomena perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks, dan
bahwa yang menyeluruh tersebut lebih besar dan lebih bermakna daripada
penjumlahan bagian-bagian. Penekanan pada pemahaman holistik ini kontras dengan
tradisi kuantitatif-eksperimental, yang menuntut operasionalisasi variabel independen
dan variabel dependen. Pendekatan kuantitatif demikian tidak disetujui oleh peneliti
kualitatif karena dianggap: a) terlalu menyederhanakan realitas hidup yang
sesungguhnya amat kompleks, b) tidak mampu, atau mengabaikan faktor-faktor
penting yang sering sulit sekali untuk dikuantifikasi, c) gagal memberikan gambaran
terintegrasi tentang fenomena yang diteliti.
5) Perspektif dinamis, perspektif “perkembangan”
Penelitian kualitatif melihat gejala sosial sebagai sesuatu yang dinamis dan
berkembang, bukan sebagai sesuatu yang statis dan tidak berubah dalam
perkembangan kondisi dan waktu. Minat peneliti kualitatif adalah mendeskripsikan
85
dan memahami proses dinamis yang terjadi berkenaan dengan gejala yang diteliti.
Perubahan dilihat sebagai suatu hal yang wajar, sudah diduga sebelumnya, dan tidak
dapat dihindari. Karenanya, daripada mengendalikan atau membatasinya, peneliti
kualitatif-alamiah justru mengantisipasi kemungkinan perubahan itu, mengamati dan
melaporkan objek yang diteliti dalam konteks perubahan tersebut.
6) Orientasi pada kasus unik
Penelitian kualitatif yang baik akan menampilkan kedalaman dan rincian, karena
fokusnya memang penyelidikan yang mendalam pada sejumlah kecil kasus. Kasus
dipilih sesuai dengan minat dan tujuan khusus yang diuraikan dalam tujuan penelitian.
Studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus
spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, ataupun situasi
unik secara mendalam.
7) Netralitas empatik
Penelitian kualitatif sering dikritik menghasilkan data yang subjektif, dan karenanya
dianggap kurang ilmiah. Memang ilmu sering didefinisikan dalam kerangka
objektivitas, yang dalam perspektif positivistik-kuantitatif dicapai melalui distansi
(jarak catatan penulis) peneliti dari objek yang diteliti, karena peneliti kuantitatif-
positivistik yakin bahwa distansi akan mempertahankan sikap “bebas nilai.” Peneliti-
peneliti kualitatif, sebaliknya, menganggap bahwa objektivitas murni tidak pernah
ada, hanya merupakan ilusi peneliti kuantitatif. Pilihan untuk meneliti topik tertentu
pun sudah diwarnai subjektivitas, sementara rancangan dan instrumen penelitian
adalah produk manusia, dan karenanya, selalu mungkin mengandung bias.
8) Fleksibilitas rancangan
Penyelidikan yang bersifat kualitatif tidak dapat secara jelas, lengkap dan pasti
ditentukan di awal sebelum dilaksanakannya pekerjaan di lapangan. Tentu saja,
86
rancangan awal yang disusun sebaik mungkin, yang akan menentukan fokus pertama,
rencana-rencana pengamatan dan wawancara, pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan. Meski demikian, sifat alamiah dan induktif dari penelitian tidak
memungkinkan peneliti menentukan secara tegas variabel-variabel operasional,
menetapkan hipotesis yang akan diuji maupun menyelesaikan skema pengambilan
sampel dan instrumen yang akan dipakai sebelum ia sungguh-sungguh memasuki
pekerjaan lapangan. Desain kualitatif memiliki sifat luwes, akan berkembang sejalan
berkembangnya pekerjaan lapangan.
9) Peneliti sebagai instrumen kunci
Bila peneliti kuantitatif dapat berpegang pada rumus-rumus dan teknik statistik,
peneliti kualitatif tidak memiliki formula baku untuk menjalankan penelitiannya.
Karenanya, kompetensi peneliti menjadi aspek paling penting: Peneliti adalah
Instrumen Kunci dalam penelitian kualitatif. Peneliti berperan besar dalam seluruh
proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendekati topik tersebut, mengumpulkan
data, hingga menganalisis dan menginterpretasikannya.
c. Perbedaan Asumsi-asumsi Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang Penelitian Kualitatif,
berikut akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi Penelitian Kuantitatif dengan
Penelitian Kualitatif menurut Creswell (1994:5).
1) Asumsi-asumsi Penelitian Kuantitatif
a) Reality is objective and singular, apart from the researcher.
Realitas bersifat objektif dan tunggal, terpisah dari peneliti.
b) Researcher is independent from that being researched.
Peneliti bebas dari apa yang diteliti.
87
c) Value-free and unbiased.
Bebas nilai dan tidak bias.
d) Formal language, based on set definitions, impersonal voice, use of
accepted quantitative words.
Bahasa formal, berdasarkan seperangkat definisi, kata-kata yang tidak personal
(impersonal), menggunakan kata-kata kuantitatif yang sudah diterima (disepakati).
e) Deductive process, seeking cause & effect static design-categories
isolated before study; context-free; generalization, and understanding; accurate and
reliable through validity and reliability.
Proses deduktif, mencari sebab dan akibat, desain yang statis dalam arti kategori-
kategori sudah dipisah-pisah sebelum studi diadakan; bebas konteks; generalisasi
membawa pada prediksi, penjelasan dan pemahaman; keakuratan dan kehandalan
melalui validitas dan reliabilitas.
2) Asumsi-asumsi Penelitian Kualitatif
a) Reality is subjective and multiple as seen by participants in a study.
Realitas bersifat subjektif dan ganda seperti dilihat partisipan (subjek yang diteliti)
dalam suatu studi.
b) Researcher interact with that being researched.
Peneliti berinteraksi dengan apa yang diteliti.
c) Value-laden and biased.
Tidak bebas nilai dan bias.
d) Informal, envolving decisions, personal voice, accepted qualitative
words.
Informal, keputusan-keputusan mengalami perkembangan, menggunakan kata-kata
yang personal, menggunakan kata-kata yang diterima kualitatif.
88
e) Inductive process; mutual simultaneous shaping of factors; emerging
design-categories identified during research process; context-bound; patterns,
theories developed for understanding; accurate and reliable through verification.
Faktor-faktor dibentuk (diidentifikasi) bersamaan secara timbal balik; desain yang
dinamis (berkembang selama studi) dalam arti kategori-kategori diidentifikasi selama
proses penelitian), desain disusun kemudian; terkait konteks; pola-pola, teori-teori
dikembangkan untuk memahami; akurasi dan kehandalan melalui verifikasi.
d. Masalah-masalah yang cocok dengan penelitian kuantitatif dan yang cocok
dengan penelitian kualitatif
Menurut Poerwandari (1998:46), gambaran mengenai masalah-masalah yang cocok
untuk diteliti dengan pendekatan kuantitatif atau kualitatif adalah sebagai berikut:
1) Bila anda lebih tertarik pada yang disebut Allport sebagai “Psikologi
Diferensial,” yakni melihat elemen-elemen psikologi secara terpisah, mencari
gambaran tentang hal tersebut pada manusia pada umumnya sehingga dapat
membandingkan manusia satu dengan yang lain, tampaknya yang lebih sesuai
digunakan adalah pendekatan kuantitatif.
2) Bila anda tertarik untuk memahami manusia dalam segala
kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif, pendekatan kualitatif adalah yang sesuai
untuk digunakan. Seperti juga beberapa tokoh yang menganggap penting pendekatan
kualitatif dalam psikologi, saya berpandangan bahwa psikologi, khususnya psikologi
kepribadian dan psikologi klinis akan banyak menyumbangkan pengetahuan tentang
manusia bila banyak bertumpu pada pendekatan kualitatif.
3) Hal-hal yang membutuhkan pemahaman mendalam dan khusus sangat
sulit diteliti dengan pendekatan kuantitatif. Sulit untuk membayangkan bagaimana
89
kita dapat secara utuh meneliti “penghayatan individu yang mengalami perceraian,”
“trauma yang dialami korban kejahatan seksual,” “dinamika kekerasan terhadap
perempuan,” atau “penyesuaian diri terhadap situasi menganggur” dengan pendekatan
kuantitatif.
4) Kecenderungan yang positif dan perlu terus dikembangkan saat ini adalah
mulai digunakannya pendekatan kualitatif dan kuantitatif sebagai dua hal yang saling
menunjang dalam penelitian-penelitian psikologi. Yang banyak dilakukan psikologi
konvensional adalah menyusun skala atau kuesioner berdasarkan teori yang ada.
Karena teori yang ada sering juga tidak sesuai dengan konteks populasi penelitian,
tidak jarang terjadi bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berkembang adalah
pertanyaan yang merefleksikan cara berpikir peneliti, dan gagal mengungkap apa
yang sesungguhnya menjadi masalah responden atau subjek penelitian. Menyadari hal
tersebut, beberapa peneliti mulai menggabungkan metode-metode kualitatif dan
kuantitatif.
Akan dikemukakan pendapat Prof. Dr. Fuad Hasan tentang penelitian kualitatif
sebagai berikut:
“Pendekatan kualitatif sangat penting untuk dipahami oleh mereka yang bersibuk diri
dengan studi tentang manusia dan berbagai penjelmaan tingkah lakunya, baik
individual maupun kolektif. Banyak perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan,
apalagi penghayatannya terhadap berbagai pengalaman pribadi. Banyak sekali
penjelmaan kejiwaan yang mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam
satuan numerik. Kita mungkin berbicara tentang skala, peringkat, tolok ukur, dan
berbagai sarana pengukur lainnya, akan tetapi perlu tetap disadari bahwa apa yang
dapat ditangkap secara kuantitatif itu tidak sepenuhnya representatif bagi
pemahaman ikhwal manusia yang pada hakekatnya bersifat kualitatif. Bagaimana
90
mengukur keresahan, keriangan, kebosanan, kesepian, frustrasi, euforia, rasa
percaya diri, rasa malu, rasa cinta, rasa benci, rasa marah, rasa iri, dan sejumlah
penjelmaan kejiwaan lainnya, kecuali melalui kesanggupan berbagi rasa empathy?
Bukanlah segala penjelmaan manusiawi itu sesekali juga dapat menjadi penghayatan
diri kita sendiri?”
Gambar 19 : Fuad Hassan
2. STUDI KASUS
Setelah uraian mengenai apa itu penelitian kualitatif dan apa saja ciri-cirinya,
selanjutnya akan dibahas salah satu jenis penelitian kualitatif yaitu studi Kasus.
a. Pengertian Studi Kasus
Menurut Stake (dalam Denzin & Lincoln, 1994:236), studi kasus tidak selalu
menggunakan pendekatan kualitatif, ada beberapa studi kasus yang menggunakan
pendekatan kuantitatif. Stake, dalam membahas studi kasus, akan menekankan
pendekatan kualitatif, bersifat naturalistik, berbasis pada budaya dan minat
fenomenologi. Studi kasus bukan merupakan pilihan metodologi, tetapi pilihan
91
masalah yang bersifat khusus untuk dipelajari. Terdapat contoh masalah yang dapat
bersifat kuantitatif, misalnya; anak yang sakit, dokter mempelajari anak yang sakit
dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, walaupun catatan dokter lebih bersifat
kuantitatif ketimbang kualitatif. Contoh lain studi tentang anak yang diabaikan
(neglected child) dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, walaupun catatan
pekerja sosial lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif. Sebagai suatu bentuk
penelitian, pemilihan studi kasus lebih ditentukan oleh ketertarikan pada kasus-kasus
yang bersifat individual, bukan oleh pemilihan penggunaan metode penelitian. Hal ini
dapat dilihat dari penjelasan Stake sebagai berikut: “Some case studies are qualitative
studies, some are not. In this chapter I will concentrate on case studies where
qualitative inquiry dominates, with strong naturalistic, holistic, cultural,
phenomenological interests. Case study is not a methodological choice, but a choice
of object to be studied. We could study it in many ways. The physician studies the
child because the child is ill. The child’s symptoms are both qualitative and
quantitative. The physician’s record is more quantitative than qualitative. The social
worker studies the child because the child is neglected. The symptoms of neglect are
both qualitative and quantitative. The formal record the social worker keeps in more
qualitative than quantitative. In many professional and practical fields, cases are
studied and recorded. As a form of research, case study is defined by interest in
individual cases, not by methods of inquiry used.”
Selanjutnya, Stake menjelaskan bahwa nama studi kasus ditekankan oleh beberapa
peneliti karena memokuskan tentang apa yang dapat dipelajari secara khusus pada
kasus tunggal. Penekanan studi kasus adalah memaksimalkan pemahaman tentang
kasus yang dipelajari dan bukan untuk mendapatkan generalisasi. Hal ini dapat dilihat
dari penjelasan Stake sebagai berikut: “The name case study is emphasized by some of
92
us because it draws attention to the question of what specifically can be learned from
the single case. That epistemological question is the driving question of this chapter:
What can be learned from the single case? I will emphasize designing the study to
optimize understanding of the case rather than generalization beyond.”
Lebih lanjut, Stake menjelaskan tentang identifikasi kasus bahwa kasus dapat bersifat
sederhana tetapi dapat juga bersifat kompleks. Kasus dapat bersifat tunggal misalnya
hanya terkait dengan seorang anak, atau banyak misalnya satu kelas, atau bersifat
kompleks misalnya kaum profesional yang mempelajari anak dalam masa kanak-
kanak. Waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari dapat pendek atau panjang,
tergantung waktu untuk berkonsentrasi. Setelah menentukan mempelajari suatu kasus,
peneliti seyogyanya terlibat secara mendalam pada kasus tersebut. Hal ini dpat dibaca
penjelasan Stake sebagai berikut: “A case may be simple or complex. It may be a
child or a classroom of children or a mobilization of professionals to study a
childhood condition. It is one among others. In any given study, we will concentrating
our inquiry on the one may be long or short, but while we so consentrate, we are
engaged in case study.”
Selanjutnya, Stake menjelaskan bahwa apabila ingin mempelajari suatu kasus, tidak
mungkin memahami secara mendalam tanpa mengetahui tentang kasus-kasus lain.
Tetapi apabila sumber daya terbatas, maka lebih baik hanya berkonsentrasi
memahami kompleksitas satu kasus saja tanpa harus melakukan perbandingan antar
kasus-kasus tersebut. Apabila mempelajari lebih dari satu kasus, maka sebaiknya
penelitian berkonsentrasi pada kasus tunggal. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan
Stake sebagai berikut: “Ultimately we may be more interested in phenomenon or
population of cases than in the individual case. We cannot understand this case
without knowing about other cases. But while we are studying it, our meager
93
resources are concentrated on trying to understand its complexities. For the while, we
probably will not study comparison cases. We may simultaneously carry on more one
case study, but each case study is concentrated inquiry into a single case.”
Stake mengidentifikasikan adanya 3 (tiga) tipe studi kasus. Yang pertama disebut
studi kasus intrinsik, yaitu studi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari
kasus yang khusus, hal ini disebabkan karena seluruh kekhususan dan keluarbiasaan
kasus itu sendiri menarik perhatian. Tujuan studi kasus intrinsik bukan untuk
memahami suatu konstruksi abstrak atau konstruksi fenomena umum seperti
kemampuan membaca (literacy), penggunaan obat-obatan oleh remaja atau apa yang
harus dilakukan oleh kepala sekolah. Tujuannya bukan untuk membangun teori,
meskipun pada waktu lain peneliti mungkin mengerjakan hal tersebut. Studi dilakukan
karena ada minat intrinsik di dalamnya, sebagai contoh anak luar biasa, konferensi,
klinik, atau kurikulum. Apa yang dikemukakan ini dapat dilihat dari dengan
penjelasan Stake sebagai berikut: “Different researchers have different purposes for
studying cases. To keep such differences in mind, I find it useful to identify three types
of study. In what we may call intrinsic case study, study is undertaken because one
wants better understanding of its particular case. It is not undertaken primarily
because the case represents other cases or illustrates a particular trait or problem,
but because, in all its particularity and ordinariness, this case itself is of interest. The
researcher temporarily subordinates other curiosities so that case may reveal its
story. The purpose is not to come to understand some abstract constructs or generic
phenomenon, such as literacy or teenage drug use or what a school principal does.
The purpose is not theory building – though at other times the researcher may do just
that. Study is undertaken because of intrinsic interest in, for example, this particular
child, clinic conference or curriculum.”
94
Studi kasus yang kedua disebut studi kasus instrumental (instrumental case study),
adalah kasus khusus yang diuji untuk memberikan pemahaman yang mendalam
tentang suatu masalah (issue) atau untuk memperbaiki teori yang telah ada. Walaupun
studi kasus ini kurang diminati, ia memainkan peran yang mendukung, memasilitasi
pemahaman terhadap sesuatu yang lain (minat eksternal). Kasusnya dilihat secara
mendalam, dan konteksnya diteliti secara cermat, aktivitas-aktivitas untuk mendalami
kasus tersebut dilakukan secara rinci, karena kasus ini membantu pemahaman tentang
ketertarikan dari luar (minat eksternal). Dasar pemilihan mendalami kasus ini
dikarenakan kasus ini diharapkan dapat memperluas pemahaman peneliti tentang
minat lainnya. Hal ini disebabkan karena para peneliti bersama-sama mempunyai
beberapa minat yang selalu berubah-ubah yang tidak membedakan studi kasus
intrinsik dari studi kasus instrumental dan bertujuan memadukan keterpisahan di
antara keduanya. Hal ini dapat dibaca dalam penjelasan Stake sebagai berikut: “In
what we may call instrumental case study, a particular case is examined to provide
insight into an issue or refinement of theory. The case of secondary interest; it plays a
supportive role, facilitating our understanding of something else. The case is often
looked at in depth, its contexts scrutinized, its ordinary activities detailed, but because
this helps us pursue the external interest. The case may be seen as typical of other
cases or not. (I will discuss the small importance of typicality later.) The choice of
case is made because it is expected to advance our understanding of that other
interest. Because we simultaneously have several interests, often changing, there is no
line distinguishing intrinsic case study from instrumental; rather, a zone of combined
purpose separates them.”
Studi kasus ketiga adalah studi kasus kolektif (collective case study), yaitu penelitian
terhadap gabungan kasus-kasus dengan maksud meneliti fenomena, populasi, atau
95
kondisi umum. Ini bukan merupakan kumpulan studi instrumental yang diperluas
pada beberapa kasus. Studi kasus kolektif memerlukan kasus-kasus individual dalam
kumpulan kasus-kasus diketahui lebih dahulu untuk mendapatkan karakteristik umum.
Kasus-kasus individual dalam kumpulan kasus-kasus tersebut mempunyai ciri-ciri
yang sama atau berbeda, masing-masing mempunyai kelebihan dan bervariasi. Kasus-
kasus tersebut dipilih karena dipercaya bila memahami kasus-kasus tersebut akan
menghasilkan pemahaman yang lebih baik, penyusunan teori yang lebih baik tentang
kumpulan kasus-kasus yang lebih luas. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan Stake
sebagai berikut: “With even less interest in one particular case, researchers may
study a number of cases jointly in order to inquire into the phenomenon, population,
or general condition. We might call this collective case study. It is not the study of
collective but instrumental study extended to several cases. Individual cases in the
collection may or may not be known in advance to manifest the common
characteristic. They may be similar or dissimilar, redundancy and variety each
having voice. They are chosen because it is believed that understanding them will
lead to better understanding, perhaps better theoritizing, about a still larger
collection of cases.”
Selanjutnya mengenai studi kekhususan, Stake menjelaskan bahwa peneliti kasus
mencari tahu tentang apa yang bersifat umum dan apa yang bersifat khusus dari kasus
tersebut, tetapi hasil akhir dari kasus tersebut biasanya menampilkan sesuatu yang
unik. Keunikan tersebut mungkin meresap dan meluas kepada:
– Hakikat suatu kasus
– Latar belakang sejarah kasus tersebut
– Latar (setting) fisik
– Konteks-konteks lainnya, termasuk ekonomi, politik, hukum, dan estetika
96
– Kasus lainnya bilamana kasus tersebut berkaitan dengan kasus yang
dipelajari
– Informan-informan dipilih dari orang-orang yang mengetahui kasus ini
Untuk mempelajari kekhususan suatu kasus, keseluruhan data tersebut harus
dikumpulkan.
Keunikan, kekhususan dan perbedaan tidak disukai secara meluas. Studi kasus
dirugikan oleh orang-orang yang kurang menghargai kekhususan. Banyak ahli ilmu
pengetahuan sosial telah menulis tentang studi kasus, seolah-olah studi kasus khusus
tidak sepenting studi kasus lainnya yang diarahkan guna menghasilkan generalisasi.
Studi kasus dianggap merupakan tipifikasi dari kasus-kasus lainnya sebagai eksplorasi
yang mengawali studi-studi yang dapat menghasilkan generalisasi, atau hanya
merupakan suatu langkah awal dalam membangun teori. Jadi studi kasus kurang
dihargai sebagai studi intrinsik yang bernilai kekhususan seperti biografi, studi
mandiri kelembagaan, program evaluasi, praktek terapi dan banyak macam pekerjaan.
Hal ini dapat dibaca dalam penjelasan Stake sebagai berikut: “Case researchers seek
out both what is common and what is particular about the case, but the end result
regularly presents something unique (Stouffer, 1941). Uniqueness is likely to be
pervasive, extending to
– The nature of the case
– Its historical background
– The physical setting
– Other contexts, including economic, political, legal and aesthetic
– Other cases trough which this case is recognized
– Those informants through whom the case can be known
To study the case, many researchers will gather data on all the above.
97
Uniqueness, particulary, diversity is not universally loved. Case study methodology
has suffered somewhat because it has sometimes been presented by people who have a
lesser regard for study of the particular (Denzin, 1981; Glaser & Strauss, 1967;
Herriott & Firestone, 1983; Yin, 1984). Many social scientists have written about
case study as if intrinsic study of a particular case is not as important as studies to
obtain generalizations pertaining to a population of cases. They have emphasized
case study as typification of other cases, as exploration leading to generalization
producing studies, or as an occasional early step in theory building. Thus, by these
respected authorities, case study method has been little honored as in the intrinsic
study of a valued particular, as its generally in biography, institutional self study,
program evaluation, therapeutic practice, and many lines of work….”
Dari pandangan-pandangan Stake (dalam Denzin & Lincoln, 1994:236-238) tersebut
dapat disimpulkan tentang studi kasus dan ciri-cirinya sebagai berikut: Studi kasus
adalah suatu bentuk penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang
memiliki sifat kekhususan (particularity), dapat dilakukan baik dengan
pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan
(individual) maupun kelompok, bahkan masyarakat luas. Dalam buku yang
penulis susun ini lebih ditekankan pendekatan kualitatif.
b. Ciri-ciri studi kasus
Ciri-ciri studi kasus adalah sebagai berikut:
1) Studi kasus bukan suatu metodologi penelitian, tetapi suatu bentuk studi
(penelitian) tentang masalah yang khusus (particular).
98
2) Sasaran studi kasus dapat bersifat tunggal (ditujukan perorangan
/individual) atau suatu kelompok, misalnya suatu kelas, kelompok profesional, dan
lain-lain.
3) Masalah yang dipelajari atau diteliti dapat bersifat sederhana atau
kompleks. Masalah yang sederhana misalnya anak yang mengalami penyimpangan
perilaku. Masalah yang kompleks misalnya suatu periode (masa) kanak-kanak, masa
remaja, masa dewasa, hal-hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, hal-hal
yang menyebabkan skizofrenia, dll.
4) Tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman yang mendalam tentang
suatu kasus, atau dapat dikatakan untuk mendapatkan verstehen bukan sekedar
erklaren (deskripsi suatu fenomena).
5) Studi kasus tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi, walaupun studi
dapat dilakukan terhadap beberapa kasus. Studi yang dilakukan terhadap beberapa
kasus bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, sehingga
pemahaman yang dihasilkan terhadap satu kasus yang dipelajari lebih mendalam.
6) Terdapat 3 (tiga) macam tipe studi kasus, yaitu:
a) Studi kasus intrinsik (intrinsic case study), apabila kasus yang
dipelajari secara mendalam mengandung hal-hal yang menarik untuk dipelajari
berasal dari kasus itu sendiri, atau dapat dikatakan mengandung minat intrinsik
(intrinsic interest).
b) Studi kasus intrumental (intrumental case study), apabila kasus yang
dipelajari secara mendalam karena hasilnya akan dipergunakan untuk memperbaiki
atau menyempurnakan teori yang telah ada atau untuk menyusun teori baru. Hal ini
99
dapat dikatakan studi kasus instrumental, minat untuk mempelajarinya berada di luar
kasusnya atau minat eksternal (external interest).
c) Studi kasus kolektif (collective case study), apabila kasus yang
dipelajari secara mendalam merupakan beberapa (kelompok) kasus, walaupun
masing-masing kasus individual dalam kelompok itu dipelajari, dengan maksud untuk
mendapatkan karakteristik umum, karena setiap kasus mempunyai ciri tersendiri yang
bervariasi.
7) Hal-hal umum juga dipelajari dalam studi kasus, tetapi fokusnya terarah
pada hal yang khusus atau unik. Untuk mendapatkan hal-hal yang unik dari data-data
sebagaimana tersebut di bawah ini, harus dikumpulkan dan dianalisis, yaitu:
a) Hakikat (the nature) kasus
b) Latar belakang sejarah kasus
c) Latar (setting) fisik
d) Konteks dengan bidang lain; ekonomi, politik, hukum, dan estetika
e) Mempelajari kasus-kasus lain yang berkaitan dengan kasus yang
dipelajari
f) Informan-informan yang dipilih adalah orang-orang yang mengetahui
kasus ini
Untuk memperdalam wawasan pembaca, berikut ini akan dikemukakan tulisan
Baedhowi (2001:94) yang mengacu pada Yin (1981) tentang perbedaan studi kasus
intrinsik dengan studi kasus instrumental dan studi kasus kolektif sebagai berikut:
“Intrinsic case study dilakukan untuk memahami secara lebih baik tentang suatu kasus
tertentu. Jadi studi terhadap kasus ini karena peneliti ingin mengetahui secara intrinsik
mengenai fenomena, keteraturan, dan kekhususan dari suatu kasus, bukan alasan
100
eksternal lainnya. Sebaliknya, instrumental case study merupakan studi terhadap
kasus untuk alasan eksternal, bukan karena kita ingin mengetahui tentang hakekat
kasus tersebut. Kasus hanya dijadikan sebuah instrumen untuk memahami hal lain di
luar kasus, misalnya dalam membuktikan sebuah teori yang sebelumnya sudah ada.
Sedangkan collective case study dilakukan untuk menarik kesimpulan atau
generalisasi terhadap fenomena atau populasi dari kasus-kasus tersebut. Jadi, jenis
studi kasus ke-tiga ini ingin membentuk sebuah teori berdasarkan persamaan dan
keteraturan yang didapat dari setiap kasus yang diselidiki.”
c. Kelebihan dan Kelemahan Studi Kasus
1) Kelebihan Studi Kasus
a) Studi kasus mampu mengungkap hal-hal yang spesifik, unik dan hal-
hal yang amat mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi yang lain. Studi kasus
mampu mengungkap makna di balik fenomena dalam kondisi apa adanya atau natural.
b) Studi kasus tidak sekedar memberi laporan faktual, tetapi juga
memberi nuansa, suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam
kasus yang menjadi bahan studi yang tidak dapat ditangkap oleh penelitian kuantitatif
yang sangat ketat.
2) Kelemahan Studi Kasus
Dari kacamata penelitian kuantitatif, studi kasus dipersoalkan dari segi validitas,
reliabilitas dan generalisasi. Namun studi kasus yang sifatnya unik dan kualitatif tidak
dapat diukur dengan parameter yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang
bertujuan untuk mencari generalisasi.
101