Upload
independent
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
55
EFEK HEPATOPROTEKTOR “BEE GLUE” PADA KERUSAKAN HATI
MENCIT YANG DIINDUKSI DENGAN KLOROFORM
SEMINAR HASIL PENELITIAN
Oleh
ANNISA No. BP: 1211012031
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016
56
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hati memerankan fungsi penting dalam menjaga homeostatis tubuh
serta terlibat pada hampir semua jalur biokimia seperti pertumbuhan,
melawan penyakit, pasokan nutrisi, dan penyediaan energi (Sharma et
al.,1991). Hati memiliki fungsi utama dalam metabolisme karbohidrat,
protein, dan lemak, detoksifikasi, sekresi empedu dan penyimpanan vitamin.
Dengan demikian menjaga hati merupakan faktor penting untuk kesehatan
dan kesejahteraan (Subramonium and Pushpangadan, 1999).
Gangguan fungsi hati masih menjadi masalah kesehatan besar di
negara maju maupun di negara berkembang. Indonesia merupakan negara
dalam peringkat endemik tinggi mengenai penyakit hati (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2007). Prevalensi penyakit hepatitis di
beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 2013 adalah Sumatera Barat
sendiri 1,2%, Aceh 1,4%, Sulawesi tengah 2,3%, Sulawesi selatan 2,5 %,
Papua 2,9%, dan Nusa Tenggara Timur 4,3%. Dari data tersebut, Sumatera
Barat memiliki prevalensi hepatitis ke 14 tertinggi dari 32 provinsi di
Indonesia (Depkes RI, 2013). Menurut hasil riskesdas tahun 2007, penyakit
hati merupakan penyebab kematian nomor 8 di Indonesia (Depkes RI,
2008).
Menurut Setiabudy (1999) penyakit hati karena obat pada umumnya
tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi dapat berlangsung lama dan
57
fatal. Terdapat lebih dari 900 jenis obat atau senyawa kimia yang dapat
menyebabkan kerusakan hati, dan diantaranya sudah ditarik dari pasaran
(Pandit et al., 2011). Beberapa obat-obat yang dapat menyebabkan
kerusakan hati adalah obat antituberkulosis (rifampisin, isoniazid,
pirazinamid), obat-obat antiinflamasi non-steroid (NSAID), kloroform,
halotan, insofluran, enfluran dan lain-lain sebagainya (Sipes et al., 1976;
Njoku et al., 1997; Connor et al., 2003).
Senyawa yang dapat melindungi hati dari kerusakan akibat racun
obat maupun penyakit disebut dengan hepatoprotektor. Sampai saat ini
belum banyak ditemukan obat yang dapat digunakan sebagai pelindung hati,
sehingga banyak peneliti yang beralih ke produk alam atau herbal salah
satunya bee glue. Bee glue (lem lebah) adalah produk sarang resin yang
dikumpulkan oleh lebah madu dari berbagai sumber tanaman.
Pada pengujian yang telah dilakukan tentang efek protektif bee
glue terhadap kerusakan hati yang dilakukan pada tikus, diterapi dengan
dosis 25, 50, dan 10 mg/kgBB secara per oral, dapat melindungi hati dari
kerusakan yang diinduksi dengan 𝛼-Naphthylisothiocyanate (ANIT)
(Nakamura et al, 2013). Pada tikus yang di terapi dengan 10 dan 25 mg/kg
secara peroral selama 7 hari dapat menurunkan mortalitas dan keparahan
nekrosis hati yang diinduksi oleh paracetamol (400 mg/ kg secara intra
peritoneal) (Seo et al., 2003).
Selain sebagai hepatorotektor, bee glue juga mempunyai aktivitas
antioksidan yang paling kuat dalam melawan oksidan dan radikal bebas
dibandingkan dengan hasil produk lebah lainnya (Nakajima et al., 2009).
58
Kandungan flavonoid di dalamnya dapat meredam efek buruk radikal bebas
(Mot et al., 2009). Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa kandungan
Caffeic acid yang ada di dalam bee glue mempunyai aktivitas antioksidan 4-
6 kali lebih kuat terhadap H2O2 dan radikal bebas O2 , dibandingkan vitamin
C (Nakajima et al., 2009).
Bee glue juga digunakan secara luas untuk mencegah dan mengobati
pilek, luka, bisul, rematik, keseleo, penyakit jantung, dan diabetes (Li et al.,
2012; Zhu et al., 2011; Hu et al., 2005). Khasiat ini tentu tidak lepas dari
senyawa yang dikandungnya, dimana terdapat lebih dari 160 senyawa yang
terkandung dalam bee glue, diantaranya senyawa fenolik, termasuk
flavonoid yang merupakan komponen utama (Bankova et al., 1998).
Uji toksisitas yang telah dilakukan sebelumnya oleh para peneliti
membuktikan bahwa bee glue aman dikonsumsi secara berulang. Arvouet-
Grand et al (1993) melaporkan LD50 oral ekstrak bee glue pada tikus besar
dari 7340 mg/kg. Selain itu sumber lain menyebutkan bahwa dalam uji
praklinis, LD50 bee glue mencapai lebih dari 10.000 mg. Jika dikonversi,
dosis itu setara 7 ons sekali konsumsi untuk manusia dengan berat badan 70
kg. Faktanya, dosis konsumsi bee glue di masyarakat sangat rendah, hanya
1-2 tetes dalam segelas air minum. Efek konsumsi jangka panjang, tidak
menimbulkan kerusakan pada darah, organ hati, dan ginjal. Penentuan
toksisitas subkronik pada 21 ekor mencit menunjukkan pemberian propolis
dosis 5.000 mg/kg BB dan 10.000 mg/kg BB setiap hari selama 30 hari,
tidak menimbulkan kematian mencit, tidak mempengaruhi berat badan, tidak
mengganggu jumlah sel-sel darah dan kadar hemoglobin tidak mengganggu
59
fungsi hati dan ginjal (tidak mempengaruhi kadar SGOT, SGPT, kreatinin
dan asam urat), tidak mempengaruhi kualitas sel-sel hati, ginjal dan lambung
(Sarto dan Saragih, 2009).
Penelitian sebelumnya melakukan percobaan menggunakan bee glue
yang diekstrak dari sarang lebah, belum banyak ditemukan penelitian
mengenai bee glue siap pakai yang banyak beredar di pasaran. Salah satu
produk bee glue yang sudah dipasarkan adalah propolis. Masyarakat tentu
lebih memilih pemakaian yang tidak sulit, sehingga masyarakat akan lebih
cenderung memilih produk yang bisa langsung diminum.
Dengan tingginya angka kejadian penyakit hati yang terjadi
sedangkan hati merupakan salah satu organ yang sangat penting bagi
kesehatan tubuh, maka perlu dilakukan penelitian mengenai efek protektif
bee glue yang beredar di pasaran terhadap kerusakan hati yang diinduksi
oleh kloroform. Klormetana atau yang lebih dikenal dengan kloroform
(CHCl3) adalah salah satu senyawa yang paling terkenal dapat merusak hati
(Smith et al., 1983). Kerusakan hati yang disebabkan oleh kloroform
tergolong cepat, yaitu terjadi setelah 10 sampai 48 jam pemberian dosis 0,75
ml/kg BB (Lind et al., 2000).
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, ada beberapa
masalah yang dirumuskan :
1. Apakah bee glue dapat mencegah kerusakan sel hepatosit (hepatoprotektif)
mencit putih yang diinduksi oleh kloroform
60
2. Apakah bee glue dapat menurunkan kadar SGPT dan SGOT mencit yang
diinduksi oleh kloroform
3. Pada dosis berapakah bee glue efektif sebagai hepatoprotektif pada mencit
putih yang diinduksi oleh kloroform
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menguji efek hepatoprotektif bee glue pada mencit putih yang diinduksi
oleh kloroform
2. Mengukur derajat kerusakan hati mencit putih dengan indikator enzim hati
SGPT dan SGOT
3. Mengetahui dosis efektif bee glue sebagai hepatoprotektif pada mencit
putih yang diinduksi oleh kloroform
1.4. Hipotesis Penelitian
1. Bee glue memiliki efek hepatoprotektor terhadap kerusakan hati yang
dinduksi oleh kloroform
2. Pemberian bee glue memiliki pengaruh terhadap kadar SGPT dan SGOT
hepar mencit yang diinduksi oleh kloroform
3. Peningkatan dosis bee glue berpengaruh terhadap kadar SGPT, SGOT dan
gambaran histopatologi hepar mencit yang diinduksi oleh kloroform
61
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar penelitian
lebih lanjut pada manusia untuk dijadikan alternatif pengobatan dalam
mengatasi kerusakan pada hati.
62
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bee Glue
Bee glue merupakan zat yang dihasilkan oleh lebah untuk melindungi
sarangnya dari berbagai ancaman, baik ancaman lingkungan yang tidak
menguntungkan ataupun serangan organisme lain. Komponen utama bee glue
berasal dari resin atau getah tanaman yang dikumpulkan oleh lebah. Banyak
sekali tanaman yang dapat dijadikan sumber resin bagi lebah. Namun, tidak
semua jenis tanaman dapat dijadikan sumber resin untuk bahan baku bee glue
(Siregar dkk,2011).
Bee glue digunakan untuk menambal celah kecil dalam sarang lebah
(sekitar 6,35 mm), sementara ruang lebih besar biasanya diisi dengan cara
melapisinya menggunakan lilin. Warna, aroma dan kandungan bee glue
bervariasi. Kebanyakan bee glue bewarna coklat terang sampai gelap, tetapi
ada yang berwarna hijau, merah, hitam, kuning, maupun putih. Sifat fisik dan
kimia bee glue tersebut tergantung pada tanaman sumbernya. Bee glue dapat
berfungsi sebagai perekat yang tahan terhadap berbagai macam cuaca. Lebah
yang bersarang di dekat tiang listrik bertegangan tinggi akan melapisi
sarangnya dengan bee glue yang cukup tebal (Siregar dkk,2011).
2.1.1 Sumber Bee glue
Serangga penghasil bee glue adalah lebah yang juga dapat
menghasilkan madu. Bee glue yang dihasilkan tergantung jenis lebah dan
63
tanaman sumber pakannya. Salah satu genus spesialis penghasil bee glue
adalah Trigona spp. Berdasarkan klasifikasinya, serangga ini termasuk
ordo Hymenoptera. Di Indonesia sendiri memiliki 37 spesies Trigona yang
tersebar di berbagai pulau, Misalnya di Pulau Jawa sudah diketahui sekitar
sembilan spesies Trigona, Sumatera 18 spesies Trigona, Kalimantan 31
spesies Trigona, dan Sulawesi dua spesies Trigona (Siregar dkk,2011).
Selain Trigona spp, appis sp juga menghasilkan propolis. Jenis
appis yang mengumpulkan propolis adalah A. malifera dan A.cerana
dengan produksi propolisnya sekitar 2 gram pertahun (Siregar et al.,2011).
2.1.2 Karakteristik Bee glue
Bee glue dapat berbentuk cair sampai padat. Bentuk ini
dipengaruhi oleh temperatur penyimpanan. Semakin tinggi temperatur
penyimpanan, Bee glue akan semakin cair (Siregar dkk,2011).
Tabel 1. Bentuk Bee Glue pada temperature yang berbeda
Temperatur (0C) Bentuk Bee glue
<15 Keras dan brittle (rapuh).
25-45 Lunak, dan sangat lengket
>45 Semakin lengket dan gummy
60-70 Cair
100 Titik cair beberapa jenis bee glue
2.1.3 Kandungan kimia
Sampai sekarang lebih dari 300 senyawa diidentifikasi dari bee glue
terutama jenis polifenol (Castro,2001). Bee glue mentah terdiri dari 50%
resin (terdiri dari fenol dan asam fenolat atau polifenol), 30% lilin, 10%
64
minyak esensial, 5% pollen dan 5% berbagai senyawa organik lain
(Gomez et al, 2006). Diantara senyawa organik, dapat ditemukan senyawa
fenolik, ester, flavonoid (Flavonol, flavon, flavanon, dihidroflavanol, dan
chalcones), terpens, betasteroid, aldehid aromatik dan alkohol,
sesquiterpens, dan stilbene terpen (Aga et al., 1994; Russo et al,2002).
Komposisi bee glue bervariasi tergantung kepada beberapa faktor seperti
sumber eksudat, iklim, dan kondisi lingkungan.
Salah satu ikatan fenol yang ada dalam bee glue yaitu caffeic acid
Phenetyl Ester (CAPE) (Viuda et al.,2008). CAPE merupakan sisi aktif
flavonoid yang bekerja untuk memaksimalkan aktivitas Scavenger
terhadap radikal bebas, dengan cara menurunkan aktivitas radikal bebas
sehingga tidak terlalu reaktif lagi (Cadenas and Packer, 2002). Bee glue
mengandung 16 asam amino essensial yang dibutuhkan untuk regenerasi
sel. Dari semua asam amino yang terdapat dalam propolis, arginin dan
prolin tergolong yang terbanyak. Bee glue mengandung semua mineral,
kecuali sulfur. Zat besi (Fe) dan seng (Zn) adalah kandungan yang
terbanyak. Bee glue juga mengandung vitamin diantaranya vitamin A,
vitamin B ( B1, B2, B6), vitamin C, vitamin E dan vitamin D (Krell,1996).
Bee glue memiliki manfaat farmakologis diantaranya : antioksidan,
antimikroba, hepatoprotektor, antiinflamasi serta antiviral
(Marcucci,1995).
65
2.1.4 Kegunaan
1. Antioksidan
Kandungan polifenol yang tinggi di dalam bee glue diteliti
memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Mihai et al.,2011).
Kapasitas antioksidan bee glue berhubungan dengan beberapa efek
biologis, termasuk chemoprevention (pencegahan kimiawi).
Flavonoid dari bee glue merupakan antioksidan, mampu
membersihkan (memulung) radikal bebas dan dengan demikian
melindungi membran sel dari peroksidasi lipida (Kolankaya et
al.,2002).
Aktivitas antioksidan komponen fenolik dari bee glue Turki dapat
mengurangi kerusakan DNA yang disebabkan oleh H2O2, yang
mungkin terkait dengan aktivitas kemopreventif-nya. Bee glue merah
dari Kuba telah menunjukkan efek protektif dalam model kerusakan
hati yang diinduksi alkohol, kemungkinan besar karena sifat
antioksidannya (Remirez et al.,1997). Efek antioksidan dari bee glue
merah Brazil telah dikaitkan dengan chalcones dan isoflavonoid
(termasuk 7-Omethylvestitol, medicarpin, dan 3,4,2, 3-
tetrahydrochalcone) yang bertindak sebagai donor electron (Righi et
al.,2011). Total kandungan flavonoid dalam bee glue merah Brazil
berkorelasi dengan aktivitas antioksidan, menunjukkan bahwa semua
fenolik dan senyawa flavonoid berkontribusi dalam aktivitas
antioksidasi ini. Bee glue merah dari Cina memiliki aktivitas
antioksidan lebih tinggi dibandingkan bee glue dari sumber lain, yang
66
disebabkan terutama untuk CAPE (Izuta et al., 2009). Dengan
demikian, data yang tersedia menunjukkan bahwa bee glue dengan
asal-usul yang berbeda dan komposisi yang berbeda secara konsisten
menunjukkan tindakan antioksidan yang serupa.
2. Antimikroba
Preparat bee glue menunjukan secara in vitro sebagai obat
antimikroba terutama terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
Bastos et al (2008) telah melakukan penelitian mengenai studi in vitro
antimikroba bee glue Brazil terhadap Paenibacillus larvae yang
merupakan penyebab penyakit American foulbrood . Bee glue terbukti
mengandung senyawa aktif yang dapat bertindak sebagai antimikroba
pada penyakit American foulbrood. Penelitian lainnya juga
menyatakan bahwa ekstrak etanol bee glue memiliki daya hambat
terhadap bakteri A. brasiliensis, E. Coli dan K. Pneumonia. Yordan
bee glue dari Cina juga terbukti memiliki penghambatan terhadap
E.aerogenes dan C.albicans (Al-abbadi et al, 2015). Takasi et al.,
(1994) menyatakan bahwa bee glue mempunyai efek antimikroba
dengan cara mencegah pembelahan sel sehingga menghasilkan bahan
yang disebut sebagai Pseudo Multicellular Strepthococus. Bee glue
dapat mengacaukan sitoplasma, membran sitoplasma dan dinding sel
yang menyebabkan bakteriolisis parsial dan menghambat sintesa
protein.
67
3. Hepatoprotektor
Mekanisme hepatoprotektor dari bee glue adalah berkurangnya
aktivitas radikal bebas dengan adanya penurunan peroksidasi lipid
serta pengingkatan glutation. Pada penelitian hepatoprotektif bee
glue yang dilakukan terhadap tikus menunjukan peningkatan
enzimatik biokimia dan pengamatan histopatologi menunjukan
pemulihan serta peningkatan fungsi sel hepatorenal, dengan
demikian bee glue mempunyai potensi terapeutik terhadap kerusakan
hepatorenal (Bhadauria et al, 2007). Al-amoudy (2015) melaporkan
bahwa sifat antioksidan dari bee glue berkontribusi dalam
pencegahan kerusakan hati yang dinduksi oleh fenvalerate pada tikus
putih.
4. Antiinflamasi
Asam caffeic phenethyl ester (CAPE), yang berasal dari bee glue
sarang lebah madu, telah terbukti mempunyai sifat anti-inflamasi. T-
sel memainkan peran dalam timbulnya inflamasi. Marquez et al.,
(2004) telah mengevaluasi aktivitas imunosupresif CAPE pada T-sel
manusia, menemukan bahwa senyawa fenolik ini adalah inhibitor
dari patogenesis T-cell dimediasi reseptor sel T aktivasi. Selain itu,
mereka menemukan bahwa CAPE khusus menghambat kedua
interleukin (IL)-2 gen transkripsi dan IL-2 sintesis dalam
menstimulasi sel-T.
5. Antiviral
68
Bee glue memiiki kapasitas untuk menghambat propagasi virus.
Beberapa studi in vitro menunjukan efek bee glue pada DNA dan
RNA berbagai virus, di antaranya Herpes simpleks tipe 1 dan 2,
Adenovirus tipe 2, virus Ostomatitis Vesikular dan virus polio tipe 2.
Efek diamati berdasarkan reduksi multiaplikasi virus dan aksinya
(Amoros et al., 1992).
2.1.5 Jenis-Jenis Bee glue
Berikut adalah beberapa bentuk bee glue yang sudah diproduksi (Krell,
1996):
1. Bee glue mentah, yaitu bee glue tanpa melalui proses pematangan
(mentah), bisa langsung dikonsumsi. Umumnya berbentuk bongkahan
atau dibekukan. Bongkahan besar bee glue murni dapat dikunyah,
seperti permen karet. Namun sebaiknya dikonsumsi dalam jumlah
sedikit, jika berlebihan menyebabkan gangguan pada perut. Selain itu
ada bee glue mentah yang dihancurkan hingga menjadi butiran halus.
Butiran halus biasanya dimasukan dalam kapsul atau dicampur dengan
makanan dan minuman.
2. Bee glue cair, adalah bee glue bentuk cair, yang telah diekstrak dengan
jenis pelarut tertentu. Ada banyak jenis pelarut yang dapat digunakan,
diantaranya etanol, air, pelarut minyak sayur atau lemak hewan.
3. Bee glue bubuk (powder), sebelum diproses menjadi bentuk bubuk,
bee glue mentah terlebih dahulu diekstrak dengan alkohol, air, atau
69
ekstrak glikol. Bentuk bee glue bubuk di pasaran dapat ditemukan
dalam bentuk tablet atau kapsul.
4. Pasta dan minyak bee glue. Salah satunya adalah pasta gigi bee glue
yang bermanfaat untuk mencegah karies, radang gusi, dan sariawan.
Selain dalam bentuk pasta, bee glue juga dicampur dengan minyak
atau krim untuk dioleskan.
2.2 Hati
2.2.1 Anatomi dan Histologi Hati
Hati yang juga dikenal dengan liver atau hepar merupakan kelenjar
tubuh dengan berat sekitar 1/36 berat badan orang dewasa, yaitu berkisar
1.200-1.600 gram. Posisi organ hati terletak di perut bagian kanan atas
(Mccance et al, 2010).
Hati terbagi menjadi 2 lobus yaitu lobus kanan dan kiri. Lobus
kanan memiliki ukuran paling besar yang terbagi atas kaudatus dan
kuadratus. Lobus kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum falsiform
yang menempel pada dinding abdominal anterior. Sebuah pita fibrosa yang
disebut dengan ligamentum teres terdapat memanjang bebas pada
ligamentum falsiform. Hati ditutupi oleh kapsul fibroelastik yang disebut
dengan kapsul Glisson. Kapsul Glisson mengandung pembuluh darah,
limfatik, dan saraf (Mccance et al.,2010).
70
Gambar 1. Struktur Hati manusia (Mccance et al.,2010)
Unit fungsional dari hati adalah lobulus yang berbentuk silindrik
dengan garis tengah 0.8-2 mm. Dalam hati manusia terdapat 50.000-
100.000 lobulus tersebut. Lobulus hati tersusun disekeliling vena sentralis.
Vena sentralis pada masing-masing lobulus bermuara ke vena hepatika.
Dalam ruangan lobulus-lobulus terdapat kanalis hepatis yang berisi
cabang-cabang arteri hepatika, vena porta hepatis, dan sebuah cabang trias
hepatis. Darah arteri dan vena berjalan diantara sel-sel hepar melalui
sinusoid dan dialirkan ke vena sentralis. Diantara sel-sel hati yang
berdekatan serta diantara lembaran sel-sel hati tersebut terdapat saluran
empedu kecil (bile canaliculi) yang bermuara dalam saluran empedu
(Soemohardjo dkk,1985).
71
Gambar 2. Diagramatik representasi lobules hati (Mccance et
al.,2010)
2.2.2 Fungsi Hati
1. Fungsi Vaskuler
Setiap menit mengalir 1200 cc darah portal ke dalam hati melalui
sinusoid, seterusnya darah mengalir ke vena centralis dan dari sini menuju
vena hepatica untuk selanjutnya masuk ke dalam vena cava inferior. Selain
itu dari arteri hepatica mengalir kira-kira 350 cc darah. Darah arteri ini
akan masuk ke dalam sinusoid dan bercampur dengan darah portal. Pada
orang dewasa jumlah aliran darah ke hati diperkirakan mencapai 1500 cc
tiap menit (Soemohardjo dkk,1985).
2. Fungsi Metabolik
a. Metabolisme Karbohidrat
Dalam metabolisme karbohidrat hati berfungsi sebagai tempat
penyimpanan glikogen, tempat mengubah galaktosa menjadi glukosa,
tempat terjadinya glukoneogenesis dan tempat pembentukan zat-zat
kimia penting yang merupakan hasil metabolisme karbohidrat. Hati
memiliki fungsi buffer glukosa, bila glukosa dalam darah berlebihan
maka glukosa akan diambil oleh hati dan ditimbun sebagai glikogen,
sebaliknya bila glukosa dalam darah berkurang maka glikogen akan
dipecah menjadi glukosa kembali. Pada seorang penderita dengan
kelainan hati parah, setelah makan sejumlah besar karbohidrat maka
kadar glukosa dalam darahnya akan meningkat tiga kali lebih tinggi
72
dibandingkan dengan kenaikan kadar glukosa yang terjadi pada orang
dengan fungsi hati normal ( Soemohardjo dkk, 1985).
b. Metabolisme Lemak
Untuk memperoleh tenaga dari lemak netral maka lemak
tersebut harus dipecah dulu menjadi gliserol dan asam lemak.
Kemudian dengan cara oksidasi beta maka asam lemak tersebut
dipecah menjadi radikal acetyl yang kemudian membentuk acetyl co-
A. Acetyl co-A ini kemudian akan ikut siklus krebs dan menghasilkan
tenaga yang besar. Hati tidak bisa menggunakan keseluruhan dari
acetyl co-A yang dihasilkan ini, maka sebagian acetyl co-A akan
dirubah menjadi asam asetoasetat yang merupakan kondensasi dari dua
molekul acetyl co-A. Asam asetoasetat ini merupakan suatu asam yang
sangat larut dan akan keluar dari dalam sel hati menuju cairan
ekstraseluller dan akhirnya masuk ke peredaran darah. Jaringan yang
membutuhkan akan mengambil asam asetoasetat ini kemudian akan
diubah kembali menjadi acetyl co-A dan tenaga (Soemohardjo dkk,
1985).
c. Metabolisme protein
a) Deaminasi dari asam amino
b) Pembentukan urea untuk membersihkan cairan tubuh dari
ammonia
c) Sintesa protein plasma
73
d) Interkonversi di antara asam-asam amino yang berbeda dan
senyawa-senyawa lain yang penting dalam proses metabolik dari
tubuh
Untuk bisa dimanfaatkan dalam pembentukan tenaga atau untuk
dapat dirubah menjadi karbohidrat maupun lemak maka asam-asam
amino harus mengalami deaminasi terlebih dahulu. Pembentukan urea
di dalam hati sangat penting artinya untuk mengambil amoniak dari
dalam cairan tubuh. Seperti diketahui bahwa amoniak merupakan
senyawa toksik dan berasal dari banyak sumber yaitu dari hati sendiri
sebagai hasil samping katabolisme asam amino, dari usus dan dari
ginjal. Sintesa urea terjadi di dalam hati dengan mengikutsertakan
berbagai asam amino yaitu ornithine. Citrulline, arginine dan asam
aspartate (Soemohardjo dkk, 1985).
Pada dasarnya hampir seluruh protein plasma dibuat dalam hati
misalnya: albumin, fibrinogen, globulin alfa1, globulin alfa transferrin
dan seruloplasmin. Semuanya ini merupakan 85% dari seluruh protein
plasma. Sedangkan globulin gama dibuat oleh sel plasma dalam
jaringan limfoid tubuh ( Soemohardjo dkk, 1985).
3. Fungsi detoksifikasi
Hati memegang peranan kunci dalam detoksifikasi dari berbagai
macam bahan, baik yang berasal dari luar tubuh misalnya racun atau obat-
obatan, ataupun bahan yang berasal dari dalam tubuh sendiri misalnya
hormon-hormon, amoniak dll.
74
Fungsi detoksifikasi dilaksanakan dengan dua acara yaitu ( Soemohardjo
dkk, 1985) :
a) Dengan konjugasi yang mengubah senyawa-senyawa yang tidak larut
dalam air menjadi larut sehingga senyawa itu dapat diekskresikan ke
dalam empedu maupun air seni dan dikeluarkan dari tubuh.
b) Inaktivasi dari senyawa-senyawa yang toksik dengan cara reduksi,
oksidasi, hidroksilasi, metilasi dan asetilasi
4. Fungsi Perlindungan
Sel-sel kuffer yang terdapat pada dinding sinusoid hati mempunyai
kemampuan fagositosis yang sangat besar sehingga dapat membersihkan
sampai 99 % dari kuman-kuman yang ada dalam vena porta sebelum darah
menyebar melewati seluruh sinusoid. Selain itu sel kuffer juga mampu
mengadakan fagositosis terhadap benda-benda lain misalnya : pigmen-
pigmen sisa jaringan ( Soemohardjo dkk, 1985).
2.2.3 Jenis Kerusakan Hati
1. Perlemakan Hati
Perlemakan hati merupakan hati yang mengandung berat lipid lebih
dari 5%. Adanya kelebihan lemak dalam hati dapat dibuktikan secara
histokimia. Lesi dapat bersifat akut, seperti yang disebabkan oleh etionin,
fosfor, atau tetrasiklin. Etanol dan metotreksat dapat menyebabkan lesi
akut dan lesi kronik. Mekanisme yang mendasari yaitu rusaknya
pelepasan trigliserid hati ke plasma. Trigliserid hati hanya disekresi bila
75
dalam keadaan tergabung dengan lipoprotein (membentuk lipoprotein
berdensitas sangat rendah (VLDL) (Lu, 1995). Penimbunan lipid hati
dapat terjadi lewat beberapa mekanisme :
a) Penghambatan sintesis satuan protein dari lipoprotein
b) Penekanan konjugasi trigliserid dengan lipoporotein
c) Hilangnya kalium dari hepatosit, mengakibatkan gangguan transfer
VLDL melalui membran sel
d) Rusaknya oksidasi lipid oleh mitokondria
e) Penghambatan sintesis fosfolipid, bagian penting dari VLDL.
2. Nekrosis Hati
Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat lokal
atau masif. Biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut. Beberapa zat
kimia telah dibuktikan atau dilaporkan menyebabkan nekrosis hati.
Nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi
tidak selalu kritis karena hati memiliki kapasitas pertumbuhan kembali
yang luar biasa (Lu, 1995).
Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma.
Tidak ada perubahan ultrastruktual membran yang dapat dideteksi sebelum
pecah. Namun, ada beberapa perubahan yang mendahului kematian sel.
Perubahan morfologik awal antara lain berupa edema sitoplasma, dilatasi
reticulum endoplasma, dan agregasi polisom. Terjadi akumulasi trigliserid
sebagai butiran lemak dalam sel. Perubahan yang terdahulu merupakan
pembengkakan mitokondria progresif dengan kerusakan krista,
76
pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan inti dan pecahnya
membran plasma (Lu, 1995).
3. Kolestatis
Jenis kerusakan hati yang bersifat akut ini, lebih jarang ditemukan
dibandingkan dengan perlemakan hati dan nekrosis, jenis kerusakan hati
ini juga lebih sulit diinduksi pada hewan, kecuali mungkin dengan steroid.
Zat kolestatis bekerja melalui beberapa mekanisme. Sebagai contoh ANIT
dapat menyebabkan kolestatis, dan hyperbilirubinemia. Berkurangnya
aktifitas eksresi empedu pada membram kanalikulus merupakan
mekanisme utama kolestatis (Lu, 1995).
4. Sirosis
Sirosis ditandai dengan adanya septa kolagen yang tersebar di sebagian
besar hati. Kumpulan hepatosit muncul sebagai nodul yang dipisahkan
oleh lapisan berserat ini.
Patogenesis tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi dalam sebagian besar
kasus, sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya
mekanisme perbaikan. Keadaan ini menyebabkan aktifitas fibroblastik dan
pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam hati
menjadi faktor pendukung (Lu, 1995).
5. Karsinogenesis
Karsinoma hepatoselular dan kolangiokarsoma adalah jenis neoplasma
ganas yang paling umum terjadi pada hati. Jenis karsinoma lainnya yaitu
angiosarkoma, karsinoma kelenjar, dan karsinoma sel hati yang tidak
77
berdiferensiasi. Hiperplasia saluran empedu merupakan suatu reaksi
fisiologis terhadap pajanan toksikan ( Lu, 1995).
2.2.4 Kadar Transaminase dan Kelainan Hati
Transaminase adalah suatu kelompok enzim yang bekerja sebagai
katalisator pada proses pemindahan gugus amino antara suatu asam alfa
amino dengan suatu asam alfa keto dalam reaksi transaminase
(Depratement of medical Biochemestry, 2010).
1. Glutamat Piruvat Transaminase (GPT) merupakan enzim yang
banyak ditemukan pada organ hati terutama pada mitokondria. GPT
memiliki fungsi yang sangat penting dalam pengiriman karbon dan
nitrogen dari otot ke hati. Dalam otot rangka, piruvat ditransaminasi
menjadi alanin sehingga menghasilkan penambahan rute transport
nitrogen dari otot ke hati. Enzim ini lebih spesifik ditemukan pada
hepar terutama di sitoplasma sel-sel parenkim hepar (Huang et al,
2006).
Gambar 3. Aktivitas enzim GPT (Depratement of medical
Biochemestry, 2010)
2. Glutamat Oksaloasetat Transaminase (GOT) merupakan enzim yang
banyak ditemukan pada organ hepar terutama pada sitosol. GOT
diperlukan oleh tubuh untuk mengurangi kelebihan amonia. Enzim
78
GOT lebih spesifik ditemukan pada organ jantung, otot, pankreas,
paru-paru dan juga otot skelet (Huang et al,
2006).
Gambar 4. Aktivitas enzim GOT (Depratement of medical
Biochemestry, 2010)
Konsentrasi enzim GPT yang normal dalam darah adalah 5-40 U l-1
dan untuk enzim GOT adalah 5-35 U 1-1 (Huang et al.,2006) . Kedua Enzim
ini memiliki peranan penting terutama dalam organ hepar, sehingga kedua
enzim ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan laboratorium dalam
menentukan kelainan fungsi hati yang lebih dikenal dengan SGPT dan SGOT.
a. SGPT
Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) dalam keadaan
normal memiliki kadar yang tinggi dalam sel hati. Jika terjadi
peningkatan yang dominan dari kadar enzim ini, maka ada
kemungkinan terjadi suatu proses yang mengganggu sel hati. Bila hati
mengalami kerusakan, enzim GPT akan dilepas ke dalam darah
sehingga terjadi peningkatan kadar enzim GPT dalam darah (Huang et
al.,2006).
b. SGOT
79
Serum Glutamic Oksaloasetic Transaminase (SGOT), sama
halnya pada enzim GPT, jika terjadi peningkatan kadar enzim ini di
darah, maka dapat diduga bahwa telah terjadi kelainan pada hati.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa GOT yang
sekarang lebih dikenal dengan Aspartat Transaminase (AST)
maupun GPT atau Alanin Transaminase (ALT) merupakan enzim
yang banyak terdapat dalam organ hati. Karena itu peningkatan
kadar enzim ini pada serum dapat dijadikan indikasi terjadinya
kerusakan jaringan yang akut. Ketika terjadi kerusakan pada hati,
maka sel-sel hepatositnya akan lebih permeabel sehingga enzim ini
bocor ke dalam pembuluh darah sehingga menyebabkan kadarnya
meningkat pada serum (Huang et al.,2006).
2.3 Kloroform
Kloroform (CHCl3), juga disebut trikolorometan dan metilklorida
merupakan senyawa organik volatil yang tidak mudah terbakar, cairan tidak
berwarna, dengan rasa sedikit manis (Kang et al., 2014). Kloroform
merupakan zat anastetik yang kuat yang menghasilkan analgesia dan
pelemasan otot kerangka yang baik sekali. Namun pemakaian kloroform
sebagai zat anastetik sangat dibatasi karena batas amannya sempit, toksik
terhadap hati, ginjal dan efek terhadap peredaran darahnya tidak dikendaki,
yaitu jantung terhenti, aritmia, dan tekanan darah rendah (Foye, 1995).
Kloroform dapat diabsorbsi, metabolisme, dan dieliminasi secara cepat
melalui rute oral, inhalasi, atau secara dermal (Sweetman, 2009).
80
Reaksi hepatotoksik dari kloroform terajadi setelah 6 sampai 24 jam
pemberian dosis, gejala awal yang terjadi seperti sakit perut, muntah, dan pada
tahap berikutnya timbul penyakit kuning (Sweetman, 2009) . Diantara
senyawa beracun halogenasi, kloroform diketahui senyawa yang paling
merusak hati (Smith et al., 1983). Toksisitas akut yang disebabkan oleh
kloroform terjadi karena adanya bio-transformasi metabolit bi-fungsional
nukleofilik fosgen yang bereaksi dengan glutation membentuk ditiokarbonat
diglutionil atau langsung dimetabolisme menjadi karbondioksida dan radikal
bebas klorida (Constan et al., 1999).
81
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan di Laboratorium Farmakologi,
Fakultas Farmasi, dan Laboratorium Patologi dan Anatomi Fakultas
Kedokteran, Universitas Andalas, Padang.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan adalah kandang hewan coba, timbangan hewan,
timbangan analitik, pisau bedah, microtube, pipet mikro, sentrifus, vortex,
spektrofotometer uv-visible, tabung reaksi, stopwatch,sonde oral, obyek
gelas
3.2.2 Bahan
Mencit putih jantan sehat usia 2-3 bulan (berat badan 20-30 mg)
sebanyak 25 ekor, Propolis, CHCl3, reagen kit SGPT (Dsi ®), reagen kit
SGOT (Diasys ®), aquades, alkohol 50%, alkohol 90%, alkohol 96%,
alkohol 70%, alkohol 80%, alcohol absolut, xilol paraffin, parafin cair,
gliserin albumin, NaCl fisiologis, larutan fiksatif bouin, xilol murni, entelan,
zat warna hematosiklin erlich, dan eosin-alkohol.
Larutan pereaksi SGPT (Dsi®) yang terdiri dari:
82
Reagen 1
TRIS pH 7,15 140 mmol/L
L-alanin 700 mmol/L
LDH =2300 U/L
Reagen 2
2-oksoglutarat 85 mmol/L
NADH 1 mmol/L
Larutan pereaksi SGOT (Diasys®) yang terdiri dari :
Reagen 1 :
TRIS pH 7,65 110 mmol/L
L-aspartat 320 mmol/L
MDH (malat dehydrogenase) =800 U/L
LDH (laktat dehydrogenase) =1200 U/L
Reagen 2 :
2-oksoglutarat 65 mmol/L
NADH 1 mmol/L
3.3. Cara kerja
3.3.1. Penyiapan sampel
Bee glue yang digunakan adalah propolis dari PT.X. Sediaan ini
mengandung 900 mg bee glue murni setiap 1 mL.
83
3.3.2. Penyiapan hewan percobaan
Pada penelitian ini digunakan mencit putih jantan umur 2-3 bulan
(berat badan 20-30 gram) yang kemudian dibagi secara acak kepada 5
kelompok perlakuan berdasarkan dengan rumus Federer, yaitu (Federer,
1963):
(t-1) (n-1) ≥ 15
Keterangan : t = Jumlah kelompok perlakuan
n= Jumlah ulangan tikus
Jumlah kelompok perlakuan yag digunakan adalah 5 (t=5), maka :
(5-1) (n-1) ≥ 15
4n-4 ≥ 15
4n ≥ 19
n ≥4,75 atau
n ≥ 5
Hewan coba sebelum digunakan diaklitimasi terlebih dahulu selama
7 hari dan dipuasakan selama 18 jam (minum tetap diberikan) sebelum
percobaan. Hewan dinyatakan sehat dan dapat digunakan jika selisih berat
badan sebelum dan sesudah aklitimasi tidak lebih dari 10 % dan secara
visual menunjukan perilaku yang normal (Depkes RI, 1979).
3.3.3. Penentuan dosis Bee glue
Pada penelitian ini dosis Bee glue yang direncanakan adalah 25
mg/kg BB, 50 mg/kg BB, dan 100 mg/kg BB peroral sekali sehari.
84
Pemilihan dosis tersebut didasarkan pada penelitian yang dilakukan
sebelumnya (Nakamura et al., 2013).
3.3.4. Penentuan dosis kloroform
Dosis toksik CHCl3 yang digunakan adalah 0,75 mL/kg BB mencit
peroral dosis tunggal (Ghosh et al., 2006).
3.3.5. Perlakuan Terhadap Hewan Coba
Pada penelitian ini dilakukan 25 ekor mencit putih jantan sehat usia
2-3 bulan (berat badan 20-30 gram) yang terdiri dari 5 kelompok dengan
perlakuan sebagai berikut (Ghosh et al., 2006).:
Tabel 2. Perlakuan terhadap hewan coba
Kelompok Perlakuan
Grup I (Kontrol Negatif) Diberi aquades + oleum sesame pada hari ke
empat belas
Grup II ( Kontrol
Positif)
Diberi aquades + CHCl3 0.75 mL/kg BB pada
hari keempat belas
Grup III Bee glue (25 mg/kg BB) selama 14 hari +
CHCl3 0.75 mL/kg BB pada hari keempat belas
Grup IV Bee glue (50 mg/kg BB) selama 14 hari +
CHCl3 0,75 mL/kg BB pada hari keempat belas
Grup V Bee glue (100 mg/kg BB) selama 14 hari +
CHCl3 0,75 mL/kg BB pada hari keempat belas
Pada hari ke-15 dilakukan pengukuran SGOT dan SGPT serta uji
histopatologi terhadap mencit putih masing-masing kelompok uji.
85
3.3.6. Pengambilan Darah Hewan Coba
Hewan dikorbankan dengan cara memotong pembuluh darah bagian
leher. Darah ditampung sebanyak 2 mL ke dalam microtube. Darah
didiamkan selama 15 menit, dan kemudian disentrifuge dengan kecepatan
3000 rpm selama 20 menit untuk mendapatkan serum, serum terdapat pada
lapisan atas. Kemudian serum digunakan untuk menentukan aktivitas
SGOT dan SGPT.
3.3.7. Pengujian Aktivitas SGOT-SGPT (Bergmeyer,et al.,1983)
Pipet ke dalam microtube serum 100 mikroliter (0,1 mL) dan reagen
I sebanyak 1 mL, campur dengan baik dan diamkan selama 5 menit.
Kemudian ditambahkan 0,25 mL reagen II dan dicampur homogen,
kemudian setelah 1 menit, serapan diukur dengan spektrofotometer uv-
visible pada panjang gelombang 365 nm setiap menit selama 3 menit,
kemudian dihitung selisih rata-rata serapan tiap menit.
Kenaikan aktivitas SGOT-SGPT dapat dihitung dengan rumus :
Aktivitas SGOT atau SGPT (U/L) = A/menit x F
Keterangan :
A/menit = perubahan aktivitas enzim rata-rata permenit
A/menit = (Abs Test 2- Abs Test 1) + (Abs Test 3- Abs Test 2)
2
F = 3235
86
3.3.8 Studi Histopatologi
1. Hati dari hewan percobaan yang telah dikorbankan diambil (objek),
dibersihkan dan dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis selama 30
menit
2. Objek dipindahkan ke dalam larutan Formalin buffer selama maksimal 24
jam
3. Jaringan objek didehidrasi dengan larutan alkohol konsentrasi 50%, 70%,
80%, 90%, 96% dan alkohol absolut selama 1 jam
4. Penjernihan dilakukan dengan memindahkan objek ke dalam larutan
alkohol absolut : xylol (1:1) dan xylol, masing-masing selama 1 jam
5. Objek dimasukan ke dalam larutan infiltrasi yang dilakukan di dalam
inkubator pada suhu 56-60oC
6. Penanaman, objek dimasukkan ke dalam cetakan logam atau kotak kertas
yang sudah berisi parafin cair yang dipanaskan dalam inkubator,
selanjutnya dibiarkan dingin dan membeku
7. Penyayatan, dilakukan dengan memasang blok parafin dalam holder,
kemudian diiris tipis dengan pisau mikrotom setipis mungkin (5 µm)
8. Penempelan, kaca objek digosok dengan Mayer’s albumin. Diletakkan
sejumlah sayatan di atasnya, kemudian ditetesi dengan air dan
direntangkan di atas hot plate. Setelah kering, lalu dideparafinisasi dengan
xylol selama 30 menit
9. Pewarnaan dengan zat warna hematosiklin erlich dan eosin alkohol
dilakukan sebagai berikut: Alkohol : xylol (1:1), alkohol 100%, 96%,
90%, 80%, 70%, dan 50% masing-masing selama 3 menit, hematosiklin
87
erlich selama 1-5 menit, kemudian dicuci dengan air. Terlihat di bawah
mikroskop inti sel sudah terwarnai
10. Kemudian dilanjutkan dengan:
Alkohol 50%, 70%, 80%, dan 96% masing-masing 3 menit, eosin alkohol
selama 15 menit, alkohol 96% (1 menit), alkohol absolut (2 menit),
campuran alkohol : xylol (1:1) selama 2 menit dan xylol selama maksimal
30 menit
11. Penutupan, dijaga agar jaringan jangan sampai kering, ditetesi dengan
entelan kemudian ditutup dengan cover glass dan dikeringkan
12. Preparat diberi label, kemudian diperiksa secara mikroskopis
13. Preparat histopatologi hepar diamati di bawah mikroskop cahaya dihitung
100 sel hepatosit dalam lima lapangan pandang yang berbeda, dengan
perbesaran 400 kali. Setiap lapangan pandangan dihitung 20 sel hepatosit
dan dinilai skor tiap sel. Kemudian dihitung rerata bobot skor perubahan
histopatologi hepar dari lima lapangan pandang dari masing-masing
mencit berdasarkan skoring kriteria Manja Roenigk (Ramachandran and
Sanjai, 2009).
Tabel 3. Kriteria Penilaian Terhadap Jumlah Sel yang Degenerasi
Jenis degenerasi Nilai
Sel normal 1
Degenerasi parenkimtosa 2
Degnerasi Hidropik 3
Nekrosis 4
88
3.4. Analisis Data
Data hasil pengaruh pemberian bee glue terhadap aktifitas enzim
SGOT-SGPT dan derajat histopatologi hati dianalisis dengan uji one-way
anova, dengan melakukan uji normalitas dan homogenitas terlebih dahulu.
Apabila sebaran data normal (p>0,05) dan homogen (p>0,05), dilakukan uji
One Way ANOVA. Jika hasil analisis bermakna (p < 0.05) maka dilakukan
uji lanjutan (post-hoc) dengan metoda Duncan. Data akan diolah
menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17,0 for
windows.
89
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Pengujian Pengaruh Bee Glue terhadap Aktivitas SGPT Mencit yang
Diinduksi Kloroform
Kadar SGPT rata-rata kelompok mencit kontrol negatif, kontrol positif,
dan kelompok yang diberi bee glue dengan dosis 25 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, dan
100 mg/kgBB berturut-turut adalah 28.080 ±7.602, 85.740 ± 7.018, 67.730 ±
17.731, 40,102 ± 11,719, dan 38.173 ± 16.118 U/L (Lampiran 2, Tabel 4 ). Kadar
SGPT dipengaruhi oleh dosis secara bermakna (p<0,05). Terdapat perbedaan
kadar SGPT rata-rata yang bermakna antara kelompok kontrol negatif, kelompok
dosis 50 mg/kgBB dan 100 mg/kgBB dengan kelompok kontrol positif dan
kelompok dosis 25 mg/kgBB. Terdapat perbedaan kadar SGPT rata-rata yang
bermakna antara kelompok positif dengan kelompok perlakuan lainnya. Namun
tidak terdapat perbedaan kadar SGPT rata-rata yang bermakna antara kelompok
negatif dengan kelompok dosis 50 mg/kgBB dan 100 mg/kgBB (Lampiran 4,
Tabel 8).
4.1.2. Pengujian Pengaruh Bee Glue terhadap Aktivitas SGOT Mencit yang
diinduksi Kloroform
Kadar SGOT rata-rata kelompok mencit kontrol negatif, kontrol positif,
kelompok yang diberi “bee glue” dengan dosis 25 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, dan
100 mg/kgBB berturut-turut adalah 33.005 ± 12.926, 66.561 ± 6.657, 47,752 ±
90
15.322, 39,009 ± 7.071, dan 26,894 ± 8.894 U/L (Lampiran 2, Tabel 5 ). Kadar
rata-rata SGOT dipengaruhi oleh dosis secara bermakna (p<0,05). Terdapat
perbedaan bermakna antara kadar rata-rata SGOT kelompok kontrol positif
dengan kelompok kontrol negatif dan ketiga kelompok perlakuan lainnya. Namun,
tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar rata-rata SGOT kelompok
kontrol negatif dengan ketiga kelompok perlakuan lainnya (Lampiran 4, Tabel
10).
4.1.3. Pengujian Pengaruh Bee Glue terhadap Skor Degenerasi Sel Hepar Mencit
yang diinduksi Kloroform
Skor degenerasi sel hepar rata-rata kelompok mencit kontrol negatif,
kelompok kontrol positif, kelompok yang diberi bee glue dengan dosis 25
mg/kgBB, 50 mg/kgBB, dan 100 mg/kgBB berturut-turut adalah 1,048 ± 0,040,
2,854 ± 0,377, 2.810 ± 0,185, 2.674 ± 0,737, 2.2780 ± 0,651 ( Lampiran 2, Tabel
6). Skor degenerasi sel hepar rata-rata antar kelompok memiliki perbedaan secara
bermakna (p<0,05). Terdapat perbedaan bermakna rata-rata skor degenerasi sel
hepar antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol positif dan ketiga
kelompok perlakuan lainnya. Namun tidak terdapat perbedaan bermakna rata-rata
skor degenerasi sel hepar antara kelompok kontrol positif dengan ketiga kelompok
perlakuan lainnya (Lampiran 4, Tabel 12).
4.2. Pembahasan
Pada penelitian kali ini telah dilakukan pengujian mengenai efek
hepatoprotektor bee glue terhadap kerusakan hati yang diinduksi dengan
91
kloroform. Bee glue yang digunakan pada penelitian kali ini merupakan produk
siap pakai yang di beli dari PT. X. Kloroform digunakan sebagai penginduksi
karena dapat merusak hati secara signifikan (Kluwe et al., 1978; Smith et al.,
1983), serta tergolong cepat dalam merusak hati yaitu hanya 10-48 jam dengan
dosis 0,75 mL/kgBB (Lind et al., 2000).
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mencit putih jantan
sehat yang berumur antara 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 g. Mencit putih
dipilih karena mudah didapatkan, harga relatif murah, mudah ditangani, serta
memiliki struktur anatomi pencernaan yang mirip dengan manusia
(Mangkoewidjojo dan Smith, 1988). Mencit ini diaklimatisasi selama 7 hari
dengan tujuan untuk menyesuaikan mencit dengan lingkungan percobaan agar
tidak muncul stress. Mencit dengan kelamin jantan dipilih karena memiliki sistem
hormonal yang lebih stabil dibandingkan mencit betina sehingga dapat
meminimalkan variasi biologi karena pengaruh hormonal (Nugraha dkk, 2012).
Mencit dikelompokan menjadi lima kelompok yaitu kelompok kontrol
negatif, kontrol positif, kelompok perlakuan dengan dosis 25 mg/kgBB, 50
mg/kgBB, dan 100 mg/kgBB masing-masing kelompok terdiri dari 5 mencit.
Mencit pada kontrol negatif diberi aquadest dan oleum sesame yang merupakan
pelarut dari zat yang digunakan, tujuannya untuk memastikan bahwa pelarut
tersebut tidak mempunyai efek terhadap hati. Kelompok kontrol negatif
digunakan sebagai patokan kondisi normal mencit. Mencit pada kontrol positif
diberikan larutan kloroform yang merupakan zat toksik terhadap hati, digunakan
untuk melihat perbedaan kelompok yang diberi kloroform saja dengan kelompok
perlakuan dan kontrol negatif. Kelompok perlakuan diberi produk bee glue siap
92
pakai dengan dosis bertingkat, dimulai dari 25 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, dan 100
mg/kgBB. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah peningkatan dosis
berpengaruh terhadap penurunan kerusakan hati yang disebabkan kloroform.
Pada penelitian ini, digunakan tiga dosis bee glue, yaitu 25 mg/kgBB, 50
mg/kgBB, dan 100 mg/kgBB. Dosis bee glue ini diambil berdasarkan penelitian
sebelumnya (Nakamura et al, 2013). Bee glue dilarutkan dalam aquadest karena
bee glue bersifat polar yang mudah larut dalam air. Dosis kloroform yang
digunakan dalam penelitian yaitu 0,75 mL/kgBB (Ghosh et al., 2006). Kloroform
di larutkan dalam oleum sesame karena sukar larut dalam air atau bersifat non
polar (Sweetman, 2009).
Rute pemberian yang digunakan dalam penelitian ini adalah per oral. Rute
ini dipilih karena lebih aman, tidak menyakitkan, dan rute ini akan mengalamai
first pass effect yang langsung berinteraksi dengan hepatosit sehingga dapat
mengoptimalkan kerusakan hati (Price and Wilson, 1995) . Sediaan uji diberikan
selama 14 hari, pada hari ke 14 kloroform diberikan sekitar satu jam setelah
pemberian sediaan uji, karena berhubungan dengan pengosongan lambung. Pada
hari ke 15 mencit dikorbankan untuk diambil darah dan hatinya. Darah diambil
dengan cara memotong pembuluh darah leher agar mendapatkan darah dengan
volume yang lebih besar. Sedangkan hati diambil dengan cara memotong bagian
perut ke atas sehingga hati terlihat dan diambil menggunakan pinset dan gunting
bedah.
Parameter kerusakan hati yang digunakan pada penelitian ini ada tiga
yaitu, aktivitas SGPT, SGOT, dan histopatologi hati. Pada saat terjadi kerusakan
hati, Sel-sel hepatosit akan bersifat permeabel sehingga enzim SGPT-SGOT akan
93
bocor ke pembuluh darah dan mengakibatkan kadarnya tinggi dalam serum
(Huang et al., 2006). Histopatologi hati merupakan parameter yang spesifik
karena langsung melihat sel-sel hati yang mengalami degenerasi. Tingkat
kerusakan hati sebanding dengan kadar SGPT dan SGOT di dalam darah
(Ramadan et al, 2015)
Pada saat pemeriksaan enzim SGPT-SGOT, darah yang didapatkan di
sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit sehingga serum dan
plasma terpisah sempurna. Serum diambil karena serum tidak mengandung zat
koagulan yang dapat mengganggu pemeriksaan. Dalam pengambilan darah hewan
coba, harus dilakukan dengan hati-hati agar tidah terjadi lisis, karena di dalam
darah terdapat enzim GPT dan GOT. Jika terjadi lisis, maka enzim tersebut akan
keluar dari sel dan terlarut di dalam plasma sehingga terjadi peningkatan kadar
enzim GPT dan GOT yang dapat menyebabkan kekeliruan dalam hasil percobaan
(Bergmeyer et al.,1985).
Berdasarkan hasil pengukuruan rata-rata kadar enzim SGPT yang didapat
dari penelitian ini (Lampiran 2, Tabel 5), terdapat penurunan rata-rata kadar
SGPT dari kelompok mencit yang diberi bee glue dengan dosis 25 mg/kgBB, 50
mg/kgBB dan 100 mg/kgBB. Semakin tinggi dosisnya semakin rendah rata-rata
kadar SGPTnya. Sedangkan pada kelompok kontrol positif terjadi peningkatan
kadar enzim SGPT jika dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini
membuktikan bahwa kloroform dapat merusak hati yang dibuktikan dengan
kenaikan rata-rata kadar SGPT.
Test of Homogeneity of Variances rata-rata kadar SGPT menunjukan
varian yang sama (lampiran 4, Tabel 7), sehingga dapat dilanjutkan pada
94
pengujian one way anova dimana terdapat perbedaan rata-rata kadar SGPT yang
bermakna antar kelompok (p<0,05) (Lampiran 4, Tabel 7). Untuk melihat
perbedaan tersebut, dilanjutkan dengan uji post hoc Duncan (Lampiran 4, Tabel
8). Pada pengujian ini didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan rata-rata kadar
SGPT yang bermakna antara kelompok kontrol positif dengan kelompok kontrol
negatif dan tiga kelompok perlakuan lainnya. Namun tidak terdapat perbedaan
rata-rata kadar SGPT yang bermakna antara kelompok kontrol negatif dengan
kelompok dosis 50 mg/kgBB dan 100 mg/kgBB. Sedangkan rata-rata kadar SGPT
kelompok dosis 25 mg/kgBB memiliki perbedaan yang bermakna dengan kedua
kelompok perlakuan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa, pemberian bee glue
dapat menurunkan kadar SGPT dalam serum. Secara statistik, dosis 25 mg/kgBB
telah mampu menurunkan kadar SGPT serum yang ditunjukan dengan adanya
perbedaan rata-rata kadar SGPT yang bermakna antara kelompok dosis 25
mg/kgBB dengan kelompok kontrol positif.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bhadauria et al (2007), juga terdapat
penurunan kadar SGPT pada kelompok yang diberikan ekstrak bee glue, hal ini
dikarenakan adanya sifat penangkap radikal bebas yang dimiliki oleh bee glue.
Kandungan flavonoid dan fenolik yang terkandung di dalam bee glue dapat
memberikan efek protektif sebagai antioksidan yang bagus untuk melawan
senyawa-senyawa yang bersifat toksik terhadap hati (Molina et al, 2003). Selain
itu senyawa kuersetin yang ada di dalam bee glue diduga dapat bertindak sebagai
penangkap radikal bebas. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Nakamura et al
(2013), pemberian ekstrak bee glue dapat melindungi hati dari kerusakan yang
diinduksi oleh ANIT yang ditandai dengan penurunan kadar SGPT dan SGOT
95
secara peroral. Penurunan ini terjadi karena ektrak bee glue dapat menekan
peroksidasi lipid yang terjadi di jaringan hati melalui sifat antioksidannya.
Pada pengujian kadar SGOT, didapatkan hasil bahwa terjadi penurunan
rata-rata kadar enzim SGOT pada kelompok dosis 25mg/kgBB, 50 mg/kgBB, dan
100 mg/kgBB dibandingkan dengan kelompok kontrol positif (Lampiran 2, Tabel
5). Rata-rata kadar enzim SGOT pada kelompok dosis 100 mg/kgBB lebih kecil
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, hal ini dikarenakan faktor
aktivitas kelompok kontrol negatif yang lebih tinggi, sehingga metabolisme hati
tinggi dan terjadi hepatosit sel hati yang menyebabkan enzim GOT keluar dari sel
ke pembuluh darah. Sama halnya dengan SGPT, pada pemeriksaan SGOT dengan
meningkatnya dosis bee glue yang diberikan semakin rendah kadar SGOT yang
terdapat dalam serum.
Test of Homogeneity of Variances rata-rata kadar SGOT menunjukan
varian yang sama (Lampiran 4, Tabel 9), sehingga dapat dilanjutkan pada
pengujian one way anova dimana terdapat perbedaan rata-rata kadar SGOT yang
bermakna antar kelompok (p<0,05) (Lampiran 4, Tabel 9). Untuk melihat
perbedaan tersebut, dilanjutkan dengan uji post hoct Duncan (Lampiran 4, Tabel
10). Pada pengujian ini didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan rata-rata kadar
SGOT yang bermakna antara kelompok dosis 25 mg/kgBB dengan kelompok
dosis 100 mg/kgBB. Namun tidak terdapat perbedaan rata-rata kadar SGOT yang
bermakna antara kelompok dosis 25 mg/kgBB dengan kelompok dosis 50
mg/kgBB dan kontrol negatif. Hal ini menunjukan bahwa pemberian bee glue
dengan dosis 25 mg/kgBB sudah dapat menurunkan kadar SGOT mendekati nilai
normal. Hasil ini sesuai dengan penelitian mengenai bee glue yang telah
96
dilakukan sebelumnya (Ramadan, 2015) bahwa pemberian bee glue selama
sepuluh hari yang diinduksi oleh galaktosamin dapat menurunkan kada SGOT di
dalam darah, karena adanya kandungan flavonoid yang ada di dalam bee glue
dapat bertindak sebagai antioksidan.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh Bhadauria et al (2007) bahwa
kandungan flavonoid, fenolik dan mineral yang ada pada bee glue dapat bersifat
sebagai hepatoprotektor sehingga terjadi penurunan kadar SGOT di dalam darah.
Peroksidasi lipid yang terjadi akibat pemberian kloroform didefinisikan sebagai
ketidakseimbangan antara prooxidan dengan antioksidan dalam sistem biologi.
Setelah ketidakseimbangan ini muncul, maka makromolekul seluler akan rusak
oleh radikal bebas yang dominan (Bebe and Panemangalore, 2003). Untuk itu
diperlukan senyawa yang bersifat antioksidan seperti bee glue. Hal ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Jasprica et al (2007) bahwa bee glue dapat
mengurangi tingkat malondialdehid (MDA) dan meningkatkan aktivitas enzim
antioksidan. Penurunan kadar SGOT maupun SGPT mengindikasikan bahwa bee
glue dapat mencegah kerusakan dan mampu mencegah kebocoran enzim pada
mebran sel (Newairi dan Abdou, 2013). Jasprica et al (2007), juga melaporkan
bahwa adanyakandungan flavonoid dalam bee glue dapat bertindak sebagai
penangkap radikal bebas superoksida dan peroksidasi lipid.
Jika kadar SGPT dan SGOT rata-rata mencit yang diperoleh dibandingkan,
rata-rata kadar SGOT lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kadar SGPT
pada kelompok kontrol negatif. Hal ini terjadi karena pada keadaan normal,
nekrosis sel bisa terjadi diberbagai organ di dalam tubuh namun dengan derajat
yang ringan. Selain di hati enzim GOT juga terdapat di dalam sel jantung, otak,
97
dan ginjal. Enzim GOT bukan enzim spesifik yang ada di dalam sel hati, jumlah
enzim GOT di sel hati lebih sedikit dibandingkan dengan enzim GPT (Corwin,
2000).
Pada kelompok kontrol positif yang hanya diberi kloroform, rata-rata
kadar SGPT mencit lebih besar dibandingkan dengan rata-rata kadar SGOT. Hal
ini terjadi karena pemberian kloroform menyebabkan kerusakan hati akut. Pada
kerusakan hati akut terjadi peningkatan kadar enzim GPT yang lebih besar
dibandingkan dengan kadar enzim GOT, karena enzim GPT banyak terdapat di
dalam sitoplasma sel, sedangkan enzim GOT lebih banyak terdapat di dalam
mitokondria sehingga jika terjadi nekrosis akut maka yang lebih dominan
ditemukan di darah adalah enzim GPT ( Harper, 1973)
Respon sel hati yang terjadi setelah penginduksian kloroform berupa
degenerasi dan nekrosis (kematian sel). Pernyataan ini sesuai dengan Rusmiati
dan Lestari (2004) bahwa zat yang bersifat toksik pada hati ditandai dengan
adanya degenerasi parenkimatosa, hidopik dan nekrosis. Berdasarkan hasil foto
preparat hepar dengan perbesaran 400x terlihat adanya degenerasi parenkimatosa
(Lampiran 5, Gambar 12). Pada sel yang mengalami degenerasi parenkimatosa
terlihat bahwa terdapatnya celah di sekitar sitoplasma di dalam sel hepar, dan inti
terletak di tepi sel hepar. Inti yang terletak di tepi ini terjadi karena terjadi
gangguan metabolisme lemak yang menyebabkan sintesis lemak tidak seimbang
akibatnya lemak terakumulasi dan mendesak inti ke tepi sel hepar (Sudiono dkk.,
2003).
Selain degenerasi parenkimatosa, juga terdapat degenerasi hidropik yang
terlihat (Lampiran 5, Gambar 13). Degenerasi ini ditandai dengan warna sel yang
98
semakin memucat, celah yang terdapat pada sitoplasma sel semakin parah, dan
terjadi akumulasi cairan di dalam sitoplasma sehingga terjadi pembengkakan sel
dan vakuola membesar. Akumulasi cairan ini terjadi akibat adanya gangguan
transport aktif yang mengakibatkan sel tidak mampu memompa ion Na+
keluar
sehingga konsentrasi ion Na+
di dalam sel naik. Hal tersebut berpengaruh pada
proses osmosis yang menyebabkan influks air ke dalam sel sehingga
mengakibatkan pembengkakan sel (Robbins et al., 2007). Jika degenerasi hidropik
terus terjadi, maka sel hati akan mengalami nekrosis yang ditandai dengan inti sel
yang mengecil (piknotik), pecah (kariorekresis), dan inti selpun menghilang
(kariolisis) (Lampiran 5, Gambar 14). Hal ini disebabkan karena gangguan sel
menyebabkan pecahnya liposom sehingga mengeluarkan enzim hidrolitik ke
dalam sel dan melarutkan kromatin, sehingga menyebabkan inti sel menjadi pecah
dan menghilang (Sudiono dkk., 2003). Pada kelompok kontrol negatif (Lampiran
5, Gambar 11), tampak sebagian besar sel normal. Susunan sel teratur, dan inti sel
yang bagus serta warna sel yang masih cerah.
Sama halnya dengan SGPT dan SGOT, pada pengujian histopatologi
terjadi penurunan rata-rata skor kerusakan sel hepar antar kelompok
perlakuan,mulai dari kelompok dosis 25 mg/kgBB, 50 mg/kgBB dan 100
mg/kgBB (Lampiran 2, Tabel 6). Rata-rata skor kerusakan sel hepar ketiga
kelompok ini lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata skor kerusakan sel hepar
kelompok kontrol positif. Semakin tinggi dosisnya semakin kecil rata-rata skor
degenerasi sel hepar. Artinya pemberian bee glue dapat meminimalkan kerusakan
sel hepar yang diinduksi dengan kloroform.
99
Secara statistik, Test of Homogeneity of Variances rata-rata skor
degenerasi sel hepar menunjukan varian yang sama (Lampiran 4, Tabel 11)
sehingga dapat dilanjutkan dengan uji one way anova dimana terdapat perbedaan
rata-rata skor degenerasi sel hepar yang bermakna antar kelompok (Lampiran 4,
Tabel 11). Untuk melihat perbedaan tersebut, dilakukan uji post hoct Duncan
(Lampiran 4, Tabel 12). Pada pengujian ini, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat
perbedaan rata-rata skor degenerasi sel hepar yang bermakna antara kelompok
kontrol positif dengan ketiga kelompok perlakuan. Artinya secara statistik,
pemberian bee glue dengan dosis 25, 50, dan 100 mg/kgBB tidak dapat
meminimalkan kerusakan sel hepar secara signifikan atau bermakna.
Kemungkinan terjadinya perbedaan yang tidak signifikan antara skor rata-rata
degenerasi sel hepar kelompok kontrol positif dengan kelompok perlakuan adalah
karena belum optimalnya regenerasi sel hepar setelah diinduksikan dengan
kloroform. Waktu yang dibutuhkan oleh sel hepar untuk dapat beregenerasi
dengan baik adalah 8-10 hari, sedangkan penginduksian kloroform dilakukan pada
hari ke-14 dan 24 jam kemudian dilakukan pembedahan, sehingga tidak cukup
waktu untuk sel hati melakukan regenerasi (Tarla et al.,2006).
Rata-rata kadar SGPT, SGOT, dan skor degenerasi sel hepar lebih besar
pada kelompok kontrol positif dibandingkan kontrol negatif terjadi karena
diantara senyawa beracun halogenasi, kloroform diketahui senyawa yang paling
merusak hati (Smith et al., 1983). Toksisitas akut yang disebabkan oleh kloroform
terjadi karena adanya bio-transformasi metabolit bi-fungsional nukleofilik fosgen
yang bereaksi dengan glutation membentuk ditiokarbonat diglutionil atau
langsung dimetabolisme menjadi karbondioksida dan radikal bebas klorida yang
100
dikatalis oleh enzim sitokrom P-450 (Constan et al.,1999). Radikal bebas ini akan
mengikat makromolekul dan menginduksi peroksidasi lipid membran sel. Hal
tersebut menyebabkan pembentukan lipid peroksida yang menghasilkan senyawa
aldehid beracun yang dapat menyebabkan kerusakan sel hati (Flora, 2009).
Terjadinya peroksidasi lipid dapat menyebabkan sel hati menjadi jejas,
apabila sel hati mengalami jejas maka terjadi perubahan morofologi sel yaitu
degenerasi dan nekrosis (Kumar et al., 2009). Jika sel hati pecah, enzim GPT dan
GOT yang terdapat di dalam sitoplasma akan keluar dari dalam sel hati ke
sinusoid. Enzim-enzim ini dapat larut dalam sinusoid yang dialiri oleh darah.
Sehingga jika hati mengalami kerusakan maka terjadi peningkatan enzim GPT
dan GOT di dalam darah (Baron, 1990).
Senyawa Flavonoid dan fenolik yang terkandung di dalam bee glue dapat
bertindak sebagai antioksidan yang dapat membersihkan radikal bebas sehingga
dapat melindungi membran sel dari peroksidasi lipid (Kolankaya et al.,2002).
CAPE merupakan sisi aktif flavonoid yang bekerja untuk memaksimalkan
aktivitas Scavenger terhadap radikal bebas, dengan cara menurunkan aktivitas
radikal bebas sehingga tidak terlalu reaktif lagi (cadenas and Packer, 2002),
sehingga dengan pemberian bee glue dapat mengurangi kerusakan sel hati yang
diinduksi oleh kloroform dengan dosis optimal 100 mg/kgBB.
101
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Pemberian bee glue dengan dosis 25 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, dan 100
mg/kgBB dapat mencegah kerusakan sel hepatosit mencit putih yang
diinduksi dengan kloroform
2. Pemberian bee glue dengan dosis 25 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, dan 100
mg/kgBB dapat menurunkan kadar SGPT dan SGOT mencit putih yang
diinduksi dengan kloroform
3. Dosis efektif bee glue sebagai hepatoprotektor pada mencit putih yang
diinduksi kloroform adalah 100 mg/kgBB.
5.2. Saran
1. Disarankan untuk penelitian selanjutnya, dosis bee glue ditingkatkan agar
terlihat jelas perbedaan perbaikan sel hepar mencit putih jantan yang
signifikan antara kelompok kontrol positif dengan kelompok perlakuan
102
DAFTAR PUSTAKA
Aga, H., Shibuya, T., Sugimoto, T., Kurimoto, M., & Nakajima, S. 1994. Isolation
and identification of antimicrobial compounds in Brazilian propolis.
Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry, 58(5), 945-946.
Al-Abbadi, A. A., Ghabeish, I. H., Ateyyat, M. A., Hawari, A. D., & Araj, S. E.
A. 2015. A Comparison between the Anti-microbial Activity of Native
Propolis and the Anti-microbial Activity of Imported Ones against
Different Health Microbes. Jordan Journal of Biological Sciences, 8(1).
Al-Amoudi, W. 2015. Ameliorative Role and Antioxidant Effect of Propolis
against Hepatotoxicity of Fenvalerate in Albino Rats. Journal of
Cytology & Histology, 6(1), 1.
Al-Jumaily, E. F., & RSAJM, A. 2014. Hepatoprotective activity of flavonoids
purified and ethanolic extract from iraqi propolis against carbon
tetrachloride-induced liver damage in male mice. IOSR J Pharm, 4(3),
22-7.
Amoros, M., Sauvager, F., Girre, L., & Cormier, M. 1992. In vitro antiviral
activity of propolis. Apidologie, 23(3), 231-240.
Arvouet-Grand, A., Lejeune, B., Bastide, P., Pourrat, A., & Legret, P. 1993.
Propolis extract. Part 6. Subacute toxicity and cutaneous primary
irritation index. Journal de Pharmacie de Belgique, 48, 165-170.
Bebe, F. N., & Panemangalore, M. 2003. Exposure to low doses of endosulfan
and chlorpyrifos modifies endogenous antioxidants in tissues of rats.
Journal of Environmental Science and Health, Part B, 38(3), 349-363.
Bankova, V., Boudourova-Krasteva, G., Popov, S., Sforcin, J. M., & Cunha
Funari, S. R. 1998. Seasonal vatiations of the chemical composition of
Brazilian propolis. Apidologie, 361-367.
Baron, D. N. 1990. A Short Textbook Of Chemical Pathology (4th
Ed).
Diterjemahkan oleh Andrianto, P. & Gunawan,J,. Jakarta : EGC
Bastos, E. M. A., Simone, M., Jorge, D. M., Soares, A. E. E., & Spivak, M. 2008.
In vitro study of the antimicrobial activity of Brazilian propolis against
Paenibacillus larvae. Journal of invertebrate pathology, 97(3), 273-281.
Bergmeyer H. U. dan M. M. Grassl. 1983. Method of Enzymatic Analysis Ed ke-2.
Weinheim: Verlag Chemie.
Bhadauria, Monika., Satendra Kumar Nirala., Sangeeta Shukla. 2007.
Hepatoprotective Efficacy of Propolis Extract: A Biochemical and
103
Histopathological Approach. Iranian Journal Of Pharmacology &
Therapeutics,1735-2657/07/62-145-154.
Bhadauria, M., Nirala, S. K., & Shukla, S. 2007. Duration-dependent
hepatoprotective effects of propolis extract against carbon tetrachloride-
induced acute liver damage in rats. Advances in therapy, 24(5), 1136-
1145
Cadenas, E., Packer, L. 2002. Expanded Caffeic Acid and Related Antioxidant
Compound: Biochemical and Cellular Effects. Handbook of
Antioxidants. Second edition. California : Marcel Dekker, Inc. p. 279-
303.
Constan, A. A., Sprankle, C. S., Peters, J. M., Kedderis, G. L., Everitt, J. I., Wong,
B. A., & Butterworth, B. E. 1999. Metabolism of chloroform by
cytochrome P450 2E1 is required for induction of toxicity in the liver,
kidney, and nose of male mice. Toxicology and applied pharmacology,
160(2), 120-126.
Corwin, E. J. 2000. Handbook of pathophysiology. Diterjemahkan oleh Brahm, U.
P. ; Buku saku patofisiologi. Jakarta : EGC.
Danneman, Peggy J., Mark A. Suckow., Cory F. Brayton. 2013. The Laboratory
Mouse, Second Edition. London : CRC Press.
De Castro, S. L. 2001. Propolis: biological and pharmacological activities.
Therapeutic uses of this bee-product. Annual Review of Biomedical
Sciences, 3, 49-83.
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Edisi III. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
Department of Medical Biochemistry Practical manual. 2010. Transaminase
enzyme activities. Budapest : Department of Medical Biochemistry
Practical manual.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. 2007. Pharmaceutical Care
Untuk Penyakit Hati. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan
Klinik.
Federer, W. Y., 1963. Experimental Design, Theory and Application. New York:
Mac. Millan.
104
Flora, S. J. 2009. Structural, Chemical And Biological Aspects Of Antioxidants
For Strategies Against Metal And Metalloid Exposure. Oxidative
medicine and cellular longevity, 2(4), 191-206.
Foye, William,O.1995. Prinsip-prinsip kimia medisinal Jilid II. Diterjemahkan
oleh: Lea dan Febiger. Yogyakarta :Gajah Mada University Press.
Ghosh, A., Sarkar, K., & Sil, P. C. 2006. Protective effect of a 43 kD protein from
the leaves of the herb, Cajanus indicus L on chloroform induced
hepatic-disorder. Journal of biochemistry and molecular biology, 39(2),
197.
Gómez-Caravaca, A. M., Gómez-Romero, M., Arráez-Román, D., Segura-
Carretero, A., & Fernández-Gutiérrez, A. 2006. Advances in the
analysis of phenolic compounds in products derived from bees. Journal
of Pharmaceutical and Biomedical Analysis, 41(4), 1220-1234.
Harper, H.A. 1973. Reviewof physiological chemistry (15th
Ed). California : Lange
Medical Publication.
Hu, F., Hepburn, H. R., Li, Y., Chen, M., Radloff, S. E., & Daya, S. 2005. Effects
of ethanol and water extracts of propolis (bee glue) on acute
inflammatory animal models. Journal of Ethnopharmacology, 100(3),
276-283.
Huang, X. J., Choi, Y. K., Im, H. S., Yarimaga, O., Yoon, E., & Kim, H. S. 2006.
Aspartate aminotransferase (AST/GOT) and alanine aminotransferase
(ALT/GPT) detection techniques. Sensors, 6(7), 756-782.
Izuta, H., Shimazawa, M., Tsuruma, K., Araki, Y., Mishima, S., & Hara, H. 2009.
Bee products prevent VEGF-induced angiogenesis in human umbilical
vein endothelial cells. BMC complementary and alternative medicine,
9(1), 45.
Jasprica, I., Mornar, A., Debeljak, Ž., Smolčić-Bubalo, A., Medić-Šarić, M.,
Mayer, L., ... & Šverko, V. 2007. In vivo study of propolis
supplementation effects on antioxidative status and red blood cells.
Journal of Ethnopharmacology, 110(3), 548-554.
Kang, Y. J., Ahn, J., & Hwang, Y. I. 2014. Acute liver injury in two workers
exposed to chloroform in cleanrooms: a case report. Annals of
occupational and environmental medicine, 26(1), 1.
Kolankaya, D., Selmanoǧlu, G., Sorkun, K., & Salih, B. 2002. Protective effects
of Turkish propolis on alcohol-induced serum lipid changes and liver
injury in male rats. Food Chemistry, 78(2), 213-217.
105
Krell, R. 1996. Propolis, Value Added Products from Beekeeping. FAO
Agricultural Services Bulletin, 124.
Kumar, V., Abbas, A. K., Fausto, N., & Aster, J. C. 2014. Robbins and Cotran
pathologic basis of disease. Elsevier Health Sciences.
Li, Y., Chen, M., Xuan, H., & Hu, F. 2011. Effects of encapsulated propolis on
blood glycemic control, lipid metabolism, and insulin resistance in type
2 diabetes mellitus rats. Evidence-based complementary and alternative
medicine, 2012.
Lind, R. C., Begay, C. K., & Gandolfi, A. J. 2000. Hepatoprotection by dimethyl
sulfoxide: III. Role of inhibition of the bioactivation and covalent
binding of chloroform. Toxicology and applied pharmacology, 166(2),
145-150.
Lu, Frank C. 1995. Toksikologi Dasar : Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian
Risiko. Diterjemahkan oleh :Edi Nugroho. Jakarta : UI Press.
Mangkoewidjojo, &. S Smith, J. B., 1988. Pemeliharaan, Pembiakan Dan
Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis. Jakarta : UI press
Marcucci, M. C. 1995. Propolis: chemical composition, biological properties and
therapeutic activity. Apidologie, 26(2), 83-99.
Márquez, N., Sancho, R., Macho, A., Calzado, M. A., Fiebich, B. L., & Muñoz, E.
2004. Caffeic acid phenethyl ester inhibits T-cell activation by targeting
both nuclear factor of activated T-cells and NF-κB transcription factors.
Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics, 308(3), 993-
1001.
Mccance, Kathryn L., Sue E.Huether., Valentina L. Brashers., Neal S. Rote. 2010.
Pathophysiology The Biologic Basis For Disease in Adults and
Children Six Edition. USA: Mosby Elsevier.
Mihai, C. M., Mărghitaş, L. A., Dezmirean, D. S., & Bărnuţiu, L. 2011.
Correlation between polyphenolic profile and antioxidant activity of
propolis from Transylvania. Scientific Papers Animal Science and
Biotechnologies, 44(2), 100-103.
Molina, M. F., Sanchez-Reus, I., Iglesias, I., & Benedi, J. 2003. Quercetin, a
flavonoid antioxidant, prevents and protects against ethanol-induced
oxidative stress in mouse liver. Biological and Pharmaceutical Bulletin,
26(10), 1398-1402.
Mot, A. C., Damian, G., Sarbu, C., & Silaghi-Dumitrescu, R. 2009. Redox
reactivity in propolis: Direct detection of free radicals in basic medium
and interaction with hemoglobin. Redox Report, 14(6), 267-274.
106
Nakajima, Y., Tsuruma, K., Shimazawa, M., Mishima, S., & Hara, H. 2009.
Comparison of bee products based on assays of antioxidant capacities.
BMC Complementary and Alternative Medicine, 9(1), 1.
Nakamura, T., Ohta, Y., Ohashi, K., Ikeno, K., Watanabe, R., Tokunaga, K., &
Harada, N. 2013. Protective Effect of Brazilian Propolis against Liver
Damage with Cholestasis in Rats Treated with-Naphthylisothiocyanate.
Evidence-based complementary and alternative medicine, 2013.
Newairy, A. A., & Abdou, H. M. 2013. Effect of propolis consumption on
hepatotoxicity and brain damage in male rats exposed to chlorpyrifos.
African Journal of Biotechnology, 12(33), 5232.
Njoku, D., Laster, M. J., Gong, D. H., Eger, E. I., Reed, G. F., & Martin, J. L.
1997. Biotransformation of halothane, enflurane, isoflurane, and
desflurane to trifluoroacetylated liver proteins: association between
protein acylation and hepatic injury. Anesthesia & Analgesia, 84(1),
173-178.
Nugraha, A. S., Hadi, N. S., & Siwi, S. U. 2012. Efek hepatoprotektif ekstrak
buah merah (Pandanus conoideus Lam.) pada hati mencit jantan galur
swiss induksi dengan CCL4. Jurnal Natur Indonesia, 11(01).
O'connor, N., Dargan, P. I., & Jones, A. L. 2003. Hepatocellular damage from
non-steroidal anti-inflammatory drugs. Qjm, 96(11), 787-791.
Pandit, A., Sachdeva, T., & Bafna, P. 2012. Drug-induced hepatotoxicity: a
review. J Appl Pharm Sci, 2(5), 233-43.
Price, S.A. & Wilson, L. M.1995. Pathophysiology Clinical Concepts Of Disease
Processes. Jakarta : Penerbit Buku Kedoteran EGC
Ramachandran, R., & Kakar, S. 2009. Histological patterns in drug-induced liver
disease. Journal of Clinical Pathology, 62(6), 481-492.
Ramadan, A., Soliman, G., Mahmoud, S. S., Nofal, S. M., & Abdel-rahman, R. F.
2015. Hepatoprotective and hepatotheraputic effects of propolis against
d-galactosamine/lipopolysaccharide-induced liver damage in rats.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 7(2).
Remirez, D., González, R., Rodriguez, S., Ancheta, O., Bracho, J. C., Rosado, A.,
... & Ramos, M. E. 1997. Protective effects of Propolis extract on allyl
alcohol-induced liver injury in mice. Phytomedicine, 4(4), 309-314.
Righi, A. A., Alves, T. R., Negri, G., Marques, L. M., Breyer, H., & Salatino, A.
2011. Brazilian red propolis: unreported substances, antioxidant and
107
antimicrobial activities. Journal of the Science of Food and Agriculture,
91(13), 2363-2370.
Robbins, S. L., Cotran, R. S., dan Kumar, V. 2007. Jejas, Adaptasi, dan Kematian
Sel. Dalam: Buku Ajar Patologi I, vol 1. EGC. Jakarta. 9, 26-27 hal.
Rusmiati & Lestari. 2004. Struktur Histologis Organ Hepar Ren Mencit (Mus
musculus L) Jantan setelah Perlakuan dengan Ekstrak Kayu Secang
(Caesalpinia sappan L). Bioscientiae.(1): 23-30.
Russo, A., Longo, R., & Vanella, A. 2002. Antioxidant activity of propolis: role
of caffeic acid phenethyl ester and galangin. Fitoterapia, 73, S21-S29.
Sarto, M., Saragih, H. 2009. Penentuan Toksisitas Sub kronik Trombo Propolis
Pada Mencit (Mus Musculus L) Balb-C Jantan. Laboratorium
Penelitian dan Pengujian Terpadu. Yogyakarta: Fakultas Biologi
Universitas Gajah Mada.
Setiabudy, R. 1999. Hepatitis Karena Obat. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Sharma, A., Chakraborti, K. K., & Handa, S. S. 1991. Antihepatotoxic activity of
some Indian herbal formulations as compared to silymarin. Fitoterapia,
62, 229-235.
Sipes, I. G., & Brown Jr, B. R. 1976. An animal model of hepatotoxicity
associated with halothane anesthesia. Anesthesiology, 45(6), 622-628.
Siregar, Hotnida C.H., Asnath M. Fuah., Yuke Octavianty. 2011. Propolis : Madu
Multikhasiat. Bogor: Penebar Swadaya.
Smith, J. H., Maita, K., Sleight, S. D., & Hook, J. B. 1983. Mechanism of
chloroform nephrotoxicity: I. Time course of chloroform toxicity in
male and female mice. Toxicology and applied pharmacology, 70(3),
467-479.
Soemohardjo, Soewignjo. 1983. Tes Faal hati : Dasar-dasar teoritik dan
pemakaian dalam klinik. Bandung : Penerbit Alumni.
Subramoniam, A., & Pushpangadan, P. 1999. Development of phytomedicines for
liver disease. Indian journal of Pharmacology, 31(3), 166.
Sudiono. 2003. Ilmu Patologi. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
Sweetman, Sean C. 2009. Martindale : The Complete Drug Reference. London:
Pharmaceutical Press.
108
Tarlá, M. R., Ramalho, F. S., Ramalho, L. N. Z., Castro e Silva, T., Brandão, D.
F., Ferreira, J., & Zucoloto, S. 2006. A molecular view of liver
regeneration. Acta Cirurgica Brasileira, 21, 58-62.
Viuda‐Martos, M., Ruiz‐Navajas, Y., Fernández‐López, J., & Pérez‐Álvarez, J. A.
2008. Functional properties of honey, propolis, and royal jelly. Journal
of food science, 73(9), R117-R124.
Won Seo, K., Park, M., Jung Song, Y., Kim, S. J., & Ro Yoon, K. 2003. The
protective effects of Propolis on hepatic injury and its mechanism.
Phytotherapy Research, 17(3), 250-253.
Zhu, W., Chen, M., Shou, Q., Li, Y., & Hu, F. 2011. Biological activities of
Chinese propolis and Brazilian propolis on streptozotocin-induced type
1 diabetes mellitus in rats. Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine, 2011.
109
LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema kerja penelitian
Gambar 5. Skema kerja penelitian
Di aklimatisasi selama 7 hari
Grup I Grup II Grup III Grup IV Grup V
Aquades +
oleum
sesame pada
hari
keempat
belas
Aquades +
CHCl3 0.75
mL/kg BB
pada hari
keempat
belas
Bee glue
(25 mg/kg
BB) selama
14 hari +
CHCl3 0.75
mL/kg BB
pada hari
keempat
belas
Bee glue
(50 mg/kg
BB) selama
14 hari +
CHCl3 0,75
mL/kg BB
pada hari
keempat
belas
Bee glue
(100 mg/kg
BB) selama
14 hari +
CHCl3 0,75
mL/kg BB
pada hari
keempat
belas
Pada hari ke 15, seluruh mencit diukur kadar SGPT, SGOT
Mencit 25 ekor
Pemeriksaan Histopatologi
Analisis Data
110
Lampiran 1. (Lanjutan)
Gambar 6. Skema Pembuatan Preparat Jaringan Hati
Organ hati
Cuci dengan larutan NaCl Fisiologis selama 30 menit
Fiksasi dengan larutan Bouin maskimal 24 jam
Dehidrasi dengan alkohol 50%, 70%, 80%, 90%, 96%, 100% masing-masing
selama 1 jam
Jernihkan dengan larutan alkohol : xylol (1:1) selama 1 jam
Infiltrasi dalam inkubator dengan suhu 56-60oC
Penyayatan dalam holder dengan ketebalan 5 µm
Penanaman ke dalam cetakan logam yang berisi parafin
Penempelan pada kaca objek
Pewarnaan dengan larutan Hematoksilin erlich dan eosin alkohol
Penutupan dan ditetesi dengan entelan
Pemberian label pada kaca objek
111
Lampiran 1.(Lanjutan)
Gambar 7. Skema Pewarnaan Hematosiklin-Eosin
Deparafinasi dengan xylol selama 30 menit
Alkohol : xylol (1:1) selama 5 menit
Alkohol absolut, 96%, 80%, 70%, dan 50% masing-masing 3 menit
Zat warna Hematosiklin selama 1 -5 menit
Cuci dengan air mengalir
Dehidrasi dengan alkohol 50%, 70%, 80%, 90% masing-masing 3 menit
Eosin 1% dalam alkohol 96% selama 15 menit
Alkohol 96% selama1 menit
Alkohol absolut selama 2 menit
Campuran alkohol : xylol (1:1) selama 2 menit
xylol selama 30 menit
112
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Kadar SGPT, SGOT dan Skor degenerasi sel hepar
Tabel 4. Hasil pengukuran kadar SGPT serum
Mencit Kadar SGPT (U/L)
Kontrol (-) Kontrol (+) Dosis 25
mg/kg BB
Dosis
50mg/kg
BB
Dosis
100mg/kg
BB
1 30,585 76,023 64,700 56,613 46,908
2 35,820 85,728 67,935 27,496 45,290
3 33,968 84,553 58,820 30,733 35,585
4 19,705 95.760 50,143 45,580 51,760
5 20.323 86,635 97,050 40,088 11,323
Rata-
Rata ±
SD
28.080
±7.602
85.740
± 7.018
67.730
± 17.731
40.102
± 11.719
38.173
± 16.118
Tabel 5. Hasil pengukuran kadar SGOT serum
Mencit Kadar SGOT (U/L)
Kontrol (-) Kontrol (+) Dosis
25mg/kg
BB
Dosis
50mg/kg
BB
Dosis 100
mg/kg BB
1 30,733 66,318 69,553 38,820 38,820
2 42,055 59,848 56,613 35,585 33,968
3 40,438 60,525 42,055 40,848 19,410
4 40,478 70,675 30,733 30,323 20,175
5 11,323 75,438 39,805 49,470 22,098
Rata-rata ±
SD
33.005 ±
12.926
66.561 ±
6.657
47,752 ±
15.322
39,009 ±
7.071
26,894 ±
8.894
Tabel 6. Hasil perhitungan skor degenerasi sel hepar
Mencit Skor Degenerasi Sel Hepar
Kontrol (-) Kontrol (+) Dosis
25mg/kg
BB
Dosis 50
mg/kg BB
Dosis 100
mg/kg BB
1 1,03 2,89 2,59 2,91 2,14
2 1,09 3,36 2,71 3,23 3,13
3 1,09 3,05 3,04 2,86 2,50
4 1,00 2,50 2,75 2,99 1,33
5 1,03 2,47 2,96 1,38 2,29
Rata-Rata ±
SD
1,048 ±
0,040 2,854 ±
0,377
2.810 ±
0,185
2.674 ±
0,737
2.2780 ±
0,651
113
Lampiran 3. Diagram Batang Hasil Penelitian Efek Hepatoprotektor Bee Glue
terhadap kadar SGPT, SGOT dan skor degenerasi sel hepar Mencit
Putih Jantan
Gambar 8. Diagram batang antara kelompok perlakuan dengan rata-rata kadar
SGPT
114
Lampiran 3 (lanjutan)
Gambar 9. Diagram antara batang kelompok perlakuan dengan rata-rata kadar
SGOT
115
Lampiran 3 (lanjutan)
Gambar 10. Diagram batang antara kelompok perlakuan dengan rata-rata skor
degenerasi sel hepar mencit putih jantan
116
Lampiran 4. Perhitungan statistik
Tabel 7. Hasil perhitungan statistik kadar SGPT mencit putih jantan dengan
metoda ANOVA satu arah
Test of Homogeneity of Variances
Kadar SGPT
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.900 4 20 .483
ANOVA
Kadar SGPT
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 11453.440 4 2863.360 17.490 .000
Within Groups 3274.259 20 163.713
Total 14727.699 24
Tabel 8. Hasil uji Duncan kadar SGPT mencit putih jantan
Kadar SGPT
Kelompok N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Duncana Kontrol (-) 5 28.08020
Dosis 100mg/kg BB 5 38.17320
Dosis 50mg/kg BB 5 40.10200
Dosis 25mg/kg BB 5 67.72960
Kontrol (+) 5 85.73980
Sig. .175 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
117
Lampiran 4 (lanjutan)
Tabel 9. Hasil perhitungan statistik kadar SGOT mencit putih jantan dengan
metoda ANOVA satu arah
Test of Homogeneity of Variances
Kadar SGOT
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.750 4 20 .179
ANOVA
Kadar SGOT
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4761.368 4 1190.342 10.346 .000
Within Groups 2301.058 20 115.053
Total 7062.426 24
Tabel 10. Hasil uji Duncan kadar SGOT mencit putih jantan
Kadar SGOT
Kelompok N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Duncana Dosis 100mg/kg BB 5 26.89420
Kontrol (-) 5 33.00540 33.00540
Dosis 50mg/kg BB 5 39.00920 39.00920
Dosis 25mg/kg BB 5 47.75180
Kontrol (+) 5 66.56080
Sig. .105 .052 1.000
118
Lampiran 4 (lanjutan)
Tabel 11. Hasil perhitungan statistik skor degenerasi sel hepar mencit putih jantan
dengan metoda ANOVA satu arah
Test of Homogeneity of Variances
Skor kerusakan sel hepar
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2.263 4 20 .098
ANOVA
Skor kerusakan sel hepar
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 11.348 4 2.837 12.390 .000
Within Groups 4.579 20 .229
Total 15.927 24
Tabel 12. Hasil uji Duncan skor degenerasi sel hepar mencit putih jantan
Skor kerusakan sel hepar
Kelompok N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Duncana Kontrol (-) 5 1.0480
Dosis 100mg/kg BB 5 2.2780
Dosis 50mg/kg BB 5 2.6740
Dosis 25mg/kg BB 5 2.8100
Kontrol (+) 5 2.8540
Sig. 1.000 .095
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.