Upload
walisanga
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. LatarBelakangIslam masuk di pulau Jawa, tidak bisa dilepaskan dalam
konteks masuknya Islam di Nusantara. Banyak orang menyebut
bahwa pulau Jawa adalah pulaunya walisongo, karena Islam
tersebar di pulau Jawa tidak lepas dari kegigihan perjuangan
walisongo. Metode yang digunakan adalah metode tasawuf
karena mudah diterima oleh massyarakat Jawa yang pada masa
itu masih teguh menganut Agama Hindu dan Budha, serta
kepercayaan animisme dan dinamisme.
Selain walisongo, terdapat juga tokoh yang bernama Syekh
Siti Jenar yang ajaran tasawufnya mengalami kontroversi.
Pada mulanya walisongo menentang ajaran tasawuf Syekh Siti
Jenar dan menganggapnya sesat, tetapi akhirnya mereka
mengetahui bahwa ajaran tersebut benar. Dibawah ini akan
kami uraikan sejarah walisongo, ajaran dan penerapan tasawuf
walisongo, peran tasawuf dan ajaran Syekh Siti Jenar serta
kontroversinya.
2. RumusanMasalah
A. Bagaimana sejarah Walisongo?
B. Bagaimana ajaran dan penerapan Tasawuf pada zaman
Walisongo?
C. Bagaimana peranan Tasawuf pada masa Walisongo?
2
D. Bagaimana ajaran Tasawuf Syekh Siti Jenar dan
kontroversinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. SejarahWalisongo
Keberhasilan penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari
peran Ulama-Ulama Sufi yang tergabung dalam Wali Songo.
Proses Islamisasi yang dilakukan Wali Songo berlangsung pada
abad ke-15 (masa kesultanan Demak) bukti?.
Kata “Wali” antara lain berarti pembeda, teman dekat, dan
pemimpin. Dalam pemakaiannya kata ini biasa diartikan
sebagai orang yang dekat dengan Allah Swt (waliyullah). Adapun
kata “Songo” (bahasa Jawa) berarti Sembilan. Maka Wali Songo
secara umum sering diartikan sebagai Sembilan Wali yang
dianggap telah dekat dengan Allah Swt, terus-menerus
beribadah kepada-Nya, serta memiliki kekeramatan dan
kemampuan-kemampuan lain di luar kebiasaan manusia. Wali-
wali itu dianggap sebagai orang yang bermula-mula menyiarkan
Agama Islam di Jawa dan biasa dinamakan Wali Sembilan atau
Wali Songo. Kebanyakan para Wali datangnya dari negeri
asing, dari sebelah Barat, dari Negeri Atas Angin, dari
Sumatera, bahkan lebih jauh lagi, acap kali juga asal-
3
usulnya tidak diketahui orang dengan jelas. 1 mengapa
masyarakat pada waktu itu mau mengikuti wali songo sedangkan
mereka belum mengetahui asal usul mereka?.
Dapat diduga bahwa Wali-wali itu dalam menyiarkan
Agamanya tidaklah berupa pidato atau ceramah di depan umum
seperti yang berlaku dengan penyiaran Agama sekarang ini,
tetapi dalam kumpulan-kumpulan yang terbatas, bahkan
kebanyakan secara rahasia, di bawah empat mata, yang
kemudian diteruskan dari mulut ke mulut. Ketika pengikutnya
mulai bertambah banyak, maka terjadilah tabligh-tabligh itu
di adakan di dalam rumah-rumah peguruan, yang biasa
dinamakan madrasah atau pondok. Pendidikan atau cara memberi
pengajaran semacam ini pada waktu itu sudah tidak asing
lagi, karena dalam masa itu di sana sini sudah terdapat juga
mandala-mandala Hindu-Jawa, dengan lanjutannya yang kemudian
dinamakan pesantren, yaitu tempat berkumpul santri-santri
yang belajar Agama Islam.2
Mereka yang disebut Wali Songo itu, antara lain adalah
sebagai berikut.
1) Syekh Maulana Malik Ibrahim (Wafat di Gresik tanggal 12
Rabi’ul awal 822 H/1419 M). lebih dikenal dengan sebutan
Syekh Magribi. Sebelum datang ke Jawa, Maulana Malik
Ibrahim pernah menetap di Kerajaan Pasai atau Perlak di
Aceh. Syekh Maulana Malik Ibrahim diperkirakan datang ke
1 M. Solihin, MelacakPemikiranTasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2005), hlm 120
2 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm 11
4
Gresik pada tahun 1404, beliau berdakwah di Gresik hingga
wafat. Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur
adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih
Agama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada
yang beragama Islam dan bahkan tidak beragama sama sekali.
Beliau harus bersabar terhadap mereka yang tidak beragama
maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga
meluruskan Iman dari orang-orang Islam yang tercampur
dengan kegiatan syirik. Caranya, beliau tidak langsung
menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan
mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan
keindahan dan ketinggian Akhlak Islami sebagaimana ajaran
Nabi Muhammad SAW.
2) Raden Rahmat (Lahir di Campa, Aceh tahun 1401, dan wafat
di Ampel 1481). Terkenal dengan nama Sunan Ampel. Wali ini
berasal dari Kamboja, Indo-Cina. Ia dianggap sebagai
pencipta dan perencana Negara Islam yang pertama di Jawa.
Beliau ini adalah penerus cita-cita dan perjuangan Maulana
Malik Ibrahim. Sunan Ampel terkenal sebagai perancang
pertama kerajaan Islam di Jawa, dan beliaulah yang
mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Ia
memulai aktifitasnya dengan mendirikan pesantren pertama
di Jawa Timur, yaitu pesantren ampel denta, dekat
Surabaya. Di pesantren inilah Sunan Ampel mendidik para
pemuda Islam untuk menjadi da’i yang akan disebar ke
seluruh Jawa. Sunan Ampel menginginkan Islam harus
5
disiarkan dengan murni juga mengandung hikmah kebenaran
yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati
menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari
segala macam bid’ah.
3) Sunan Makdum Ibrahim (Lahir di Ampel, Surabaya, tahun
1465, dan wafat di Tuban tahun 1525). Lebih dikenal dengan
sebutan Sunan Bonang dan merupakan anak dari Sunan Ampel
(dr istri?). Beliau dianggap sebagai pencipta gending
pertama(ada namanya atau tidak?) dalam rangka
mengembangkan ajaran islam di pesisir utara Jawa Timur. Ia
berusaha mengganti nama-nama dari nahas menurut
kepercayaan Hindu dan nama-nama dewa Hindu konon
digantinya dengan nama-nama malaikat dan nabi-nabi secara
Agama Islam. Makamnya terdapat di Tuban, Jawa Timur.
Dalam dakwahnya Sunan Bonang sering menggunakan kesenian
rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa
seperangkat gamelan yang disebut bonang. Setelah rakyat
berhasil direbut simpatinya, sunan bonang mengisikan
ajaran Agama Islam kepada mereka. Tembang-tembang yang
diajarkan beliau adalah tembang yang berisikan ajaran
Agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah
mempelajari Agama Islam dengan senang hati, bukan paksaan.
4) Raden Paku( Lahir di Blambangan, pertengahan abad ke-15
dan wafat di Giri tahun 1506). Terkenal dengan sebutan
Sunan Giri. Beliau disebut juga Sultan Abdul Faqih. Beliau
adalah putra dari Maulana Ishaq. Salah seorang saudaranya
6
juga termasuk Wali Songo, yaitu Raden Abdul Qadir (Sunan
Gunung Djati). Beliau memerintah Kerajaan Kediri mulai
tahun 1487-1506. Beliau dianggap pencipta gending
Asmaradana dan Pucung. Daerah penyiaran Islamnya dikatakan
di Sulawesi dan Sunda kecil. Beliau berjiwa ahli
pendidikan dan kabarnya adalah yang mula-mula mengadakan
cara pendidikan untuk anak-anak dengan memakai permainan
yang bersifat Agama. Dalam perjalanan Ibadah haji ke
Mekkah, Sunan Giri dan Sunan Bonang mampir di Pasai untuk
memperdalam pengetahuan keislaman. Ketika itu Pasai
menjadi tempat berkembangnya Ilmu Tauhid, keimanan, dan
Ilmu Tasawuf. Di sini Beliau sampai menemukan ilmu laduni,
sehingga gurunya menganugerahkan gelar ‘ain al-yaqin. Beliau
banyak mengirim juru dakwah ke luar Jawa, seperti Madura,
Bawean, Kangean, Ternate, dan Tidore. Sunan Giri juga
terkenal sebagai lambang pemersatu bangsa Indonesia yang
dirintis di abad ke-15 Masehi(?). Makamnya terdapat di
Gunung Giri, dekat Gresik, Surabaya.
5) Syarif Hidayatullah (Lahir di Makkah 1448, wafat di Gunung
Djati, Cirebon Jawa Barat). Wali kelima dari Wali Songo
ini kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunung Djati.
Beliau banyak berjasa menyebarkan Islam di Pulau Jawa,
terutama daerah Jawa Barat. Dialah pendiri dinasti raja-
raja Cirebon dan Banten. Dari Cirebon, Sunan Gunung Djati
mengembangkan Agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa
Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda
7
Kelapa, dan Banten. Beliau meletakkan dasar pengembangan
Islam di Banten tahun 1525 atau 1526. Ketika Beliau
kembali ke Cirebon, Banten diserahkan pada anaknya, Sultan
Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-raja
Banten. Menurut Purwaka Caruban Nagari?, Sunan Gunung Djati
mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti
Demak, dan Pajang. Karena kedudukannya sebagai raja dan
ulama, beliau diberi gelar Raja Pandita. Sunan Gunung
Djati wafat tahun 1568 pada usia 120 tahun, bersama ibunya
dan Pangeran Cakrabuana dimakamkan di Gunung Sembung.
6) Ja’far Sodiq (Lahir di Kudus abad ke-15, dan wafat tahun
1550). Sunan ini yang menyiarkan agama islam di Jawa
Tengah di sebelah pesisir utara. Di antara Wali Songo,
beliaulah yang mendapat julukan sebagai wali al ‘ilmi (orang
yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya beliau
didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah
di Nusantara. Beliau pernah menjadi Panglima Perang
kesultanan Demak. Beliau juga pernah menciptakan berbagai
cerita keagamaan dan yang paling terkenal adalah Gending
Maskumambang dan Mijil. Ja’far Sodiq inilah pengikut jejak
Sunan Kalijaga dalam berdakwah menggunakan cara halus atau
Tut Wuri Handayani. Adat istiadat rakyat tidak ditentang
secara frontal, melainkan diarahkan sedikit demi sedikit
menuju ajaran Islami. Rakyat kota Kudus pada waktu itu
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali
mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas
8
berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang
terpilih bertugas di daerah itu. Karena masjid yang
dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Ja’far Sodiq pada
akhirnnya disebut Sunan Kudus. Sebagai senopati atau
(Panglima Perang Kerajaan Demak Bintoro), Sunan Kudus juga
dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai senopati Waliyullah,
beliau pernah memimpin peperangan melawan masyarakat yang
waktu itu dipimpin oleh Adipati Terung, sementara itu
sebagai senopati para Wali, beliau pernah ditugaskan oleh
Raden Patah menghadapi Ki Ageng Pengging yang tenggelam
dalam ajaran Syekh Siti Jenar.
7) Raden Prawoto (Lahir abad ke-15). Dikalangan rakyat lebih
dikenal dengan nama Sunan Muria. Beliau adalah putra Sunan
Kalijaga dan berjasa menyiarkan Islam pedesaan-pedesaan
Pulau Jawa. Nama aslinya Raden Umar Said. Dijuluki Sunan
Muria, karena pusat kegiatan dakwahnya dan sekaligus
makamnya di Gunung Muria. Beliau adalah putra Sunan
Kalijaga dengan Dewi Saroh. Seperti ayahnya, dalam
berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil
ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang
ditempuh untuk menyiarkan Agama Islam di sekitar Gunung
Muria. Dalam rangka dakwah melalui budaya, beliau
menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti. Sunan Muria
mencerminkan seorang sufi yang zuhud, yang memandang dunia
ini sangat kecil dan juga mencerminkan pribadi yang
menempatkan rasa cintanya kepada Allah (hubbullah) di atas
9
segala-galanya. Sunan Muria juga mengajarkan tata-krama
zikir. Beberapa kelebihan yang dimiliki Sunan Muria antara
lain beliau adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat
dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak di atas
gunung. Jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari
bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari
750 meter.
8) Raden Qosim (lahir di Ampel Denta, sekitar tahun 1470, dan
wafat di Sedayu Gresik pertengahan abad ke-16). Lebih
dikenal dengan nama Sunan Drajat. Beliau putra Sunan Ampel
dengan Dewi Candrawati dan merupakan adik dari Raden
Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Raden Qosim yang sudah
mewarisi Ilmu dari ayahnya kemudian diperintahkan untuk
berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari
ulama besar Tuban dan Gresik. Hal yang paling menonjol
dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat
serius pada masalah-masalah sosial, sehingga beliau
terkenal berjiwa sosial. Beliau juga terkenal sebagai
pencipta Tembang Jawa, yaitu Pangkur, yang sampai saat ini
masih digemari masyarakat. Sunan Drajat di berikan gelar
Raden Qosim karena beliau bertempat tinggal di sebuah
bukit yang tinggi. Seakan melambangkan tingkat Ilmunya
yang tinggi, yaitu tingkat atau derajat para ulama
muqarrabin, ulama yang dekat dengan Allah SWT. Beliau
wafat dan dimakamkan di desa Drajad, Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan Jawa Timur.
10
9) Raden Mas Syahid (lahir akhir abad ke-14 dan wafat
pertengahan abad ke-15). Lebih dikenal dengan nama Sunan
Kalijaga. Beliau adalah putra Tumenggung Wilaktika,
Adipati Tuban. Ibunya bernama Dewi Nawangrum. Raden Syahid
terkenal sebagai Wali yang berjiwa besar, berwawasan jauh,
berpikiran tajam, intelek, serta berasal dari suku Jawa
asli. Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas,
bahkan sebagai mubaligh beliau berkeliling dari satu
daerah ke daerah lain. Karena dakwahnya yang intelek, maka
para bangsawan dan cendekiawan sangat simpati kepadanya,
demikian juga lapisan masyarakat awam, bahkan penguasa.
Dalam melaksanakan pemerintahan demak, Raden Fatah sangat
menghargai nasihat-nasihat Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
juga sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau
wayang kulit yang bercorak Islami seperti sekarang ini.
Beliau juga berjasa dalam membuat corak batik yang
bermotif burung (kukula). Kata tersebut ditulis dalam
Bahasa Arab menjadi qu dah qila yang berarti “peliharalah
ucapanmu sebaik-baiknya”.
B. Ajaran dan Penerapan Tasawuf Pada Zaman Walisongo
Keberhasilan penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari
peran Ulama-ulama sufi yang tergabung dalam Walisongo. Para
Wali memang tidak meninggalkan karya tulis sepeti tokoh-
tokoh sufi lainnya. Jejak yang ditinggalkan para da’i itu
terlihat dalam kumpulan nasihat Agama yang termuat dalam
tulisan-tulisan para murid dalam bahasa Jawa. Tulisan itu
11
berisi catatan pengalaman orang-orang sholeh yang menegaskan
bahwa latihan-latihan spiritual perlu dalam rangka
membersihkan hati dan menjernihkan jiwa demi mendekatkan
diri kepada Allah Swt. yaitu kedekatan yang menghantarkan
seseorang kepada alam rohani ketika jiwa merindukan Allah
Swt. hingga memperoleh titian cahaya Ilahi. Hubungan intim
dengan Allah Swt. tidak dapat dicapai oleh jiwa yang
berwawasan materialistis yang menyibukkan diri dengn rasa
ketergantungan kepada dunia fana dan materi, jauh dari Agama
dan Allah Swt.
Dari pemikiran-pemikiran dan praktik-praktik tasawuf
yang ada, tasawuf sunni adalah yang di anut oleh para wali.
Ini bisa dilihat pada kecenderungan mereka terhadap tokoh
tasawuf sunni, misalnya Al-Ghazali. Para wali sering
menjadikan karya-karya Al-Ghazali sebagai referensi mereka.
Bukti nyata mengenai hal ini terdapat dalam manuskrip yang
ditemukan Drewes yang diperkirakan ditulis pada masa
transisi Hinduisme kepada Islam, yakni pada masa Walisongo
masih hidup. Dalam manuskrip yang menguraikan tasawuf itu
terdapat beberapa paragraf cuplikan dari kitab bidayah al-
hidayah karya Al-Ghazali. Ini menunjukkan bahwa tasawuf sunni
berpengaruh pada saat itu. Lebih dari itu, informasi-
informasi tertulis mengenai ajaan-ajaran Walisongo yang
sangat bertentangan dengan pemikiran phanteisme. Demikian pula
tulisan generasi berikutnya yang meriwayatkan ajaran-ajaran
Walisongo.
12
Dari ketidaksetujuan Al-Ghazali terhadap paham
phanteisme yang cenderung bisa melahirkan sikap nihilisme syari’at,
maka Al-Hujwiri, sebagaimana dikutip Abdul Qodir Mahmud
dalam bukunya al-falsafat al-shufiyyat fi al-Islam, mengakui Al-Ghazali
sebagai orang pertama yang telah berhasil mengkompromikan
antara ilmu zhahir dan ilmu bathin, antara yang tersembunyi dan
yang nyata. Beliau juga telah berhasil “menyinergiskan”
hakikat dengan syari’at, yang kemudian di mata Al-Hallaj
syari’at lebih rendah dari pada hakikat.
Bagi para sufi yang masih berpegang dan mempertahankan
konsep transendentalisme tuhan seperti yang diajarkan agama
islam semisal Al-Ghazali, mereka membatasi diri agar tidak
terjerumus pada paham union mistik berkeyakinan bahwa yang
bertahta di lubuk hatinya sendiri adalah Tuhan sendiri.
Menurut mereka, Tuhan memang berada dan imanen dalam diri
setiap orang atau meliputi serata alam. Atau setidak-
tidaknya mengatakan bahwa roh manusia itu pada hakikatnya
percikan dari hakikat zat tuhan, laksana setetes air dari
samudera yang tiada terbatas.3
Kalau kecaman Al-Ghazali lebih tertuju pada paham hulul-
nya Al-Hallaj dan sufi pantheisme lainnya, maka Walisongo
kecamannya tertuju khusus kepada syaikh lemah abang atau
syaikh Siti Jenar atau paham-paham pantheisme lainnya yang
berkembang di Nusantara pada saat itu. Dengan hadirnya
Syaikh Siti Jenar itu, harus diakui bahwa ketika itu terjadi3M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara,(Jakarta: PT Raja
GrafindoPersada, 2005).hlm.130-132
13
polemik antara orang tertentu yang berupaya menghalangi
bahkan merusak perjuangan Walisongo yang melandaskan
pemahaman-pemahamannya berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.
Pengadilan dan hukuman mati terhadap orang-orang yang
dianggap sesat merupakan bukti betapa Walisongo berupaya
melestarikan tasawuf sunni. Bukti lain bisa kita lihat pada
Sunan Bonang dan Sunan Giri, misalnya, dimana keduanya
mempererat hubungan antara Demak dengan Pasai dan kerajaan-
kerajaan Islam yang besar di Nusantara ketika itu
sesungguhnya tidak hanya menyangkut hubungan ekonomi dan
dakwah, tetapi lebih pada pengukuhan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dengan hubungan itu, maka madzhab Syafi’i yang menjadi dasar
syari’at dan aqidah yang berlaku di Pasai, dengan sendirinya
berlaku juga di Demak.
Para Wali ini juga berhasil memberikan kontribusi dalam
bentuk pesantren-pesantren yang hingga kini berjumlah kuang
lebih 52.000 pesantren dan madrasah yang tersebar di seluruh
pelosok Tanah Air. Sebagian besar menerapkan tasawuf Sunni
dengan mengajarkan Ihya’ ‘Ulumu Al-Din sebagai salah satu
dasarnya.4
C. Peranan Tasawuf pada zaman Walisongo
Sejarah Islamisasi di Nusantara, dalam kaitannya dengan
peranan Walisongo dapat diklasifikasi ke dalam dua tahap.
Tahap pertama, kehadiran Walisongo yang berhasil memantapkan
dan mempercepat proses Islamisasi pada abad-abad pertama
4Ibid.,hlm.133-135
14
Hijriyah di wilayah yang sebegitu jauh dari tempat turunnya
wahyu ini, meski keberhasilan tersebut terbatas pada
wilayah-wilayah tertentu. Hal ini disebabkan terutama oleh
keterbatasan fasilitas yang memungkinkan mereka mencapai
wilayah-wilayah lain di seluruh penjuru negeri.
Tahap kedua, yang berlangsung pada abad ke-14 M di
tandai dengan kedatangan tokoh-tokoh Asyraf, keturunan Ali
dan Fatimah binti Rosulullah Saw. yang lazim dikenal dengan
sebutan ‘alawiyyin. Pada periode ini Islam berkembang
sedemikian rupa sehingga dapat tersebar diseluruh penjuru
Nusantara bahkan di Asia Tenggara. Perkembangan tersebut
mencapai puncaknya pada abad ke-15 M hingga abad ke-17 M.5
Sebenarnya, diantara faktor penentu keberhasilan
gerakan Islamisasi di Nusantara adalah penggunaan seni, adat
istiadat, dan tradisi kebudayaan setempat. Semua ini
menunjukkan ke’arifan Walisongo dan kemampuan memahami
spirit Islam sehingga dapat berbicara dengan kapasitas
audiens-nya. Mereka melakukan modifikasi adat istiadat dan
tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentagan
dengan dasar-dasar islam.6
Orang-orang Indonesia sejak dulu kala mempunyai
kebiasaan “bergadang” semalam suntuk dalam acara-acara
tertentu yang tidak jarang di isi dengan upacara ritual
keagamaan. Fenomena ini oleh para da’i dipahami sebagai
kecenderungan religious yang tinggi. Oleh karena itu, dengan5AlwiShihab, akar tasawuf di Indonesia,.hlm.346Ibid.hlm.64
15
kearifan dan cara pengajaran yang baik, mereka berhasil
meyakinkan penduduk bahwa Islam menawarkan hubungan yang
lebih intensif dengan Allah Swt. dan bahwasanya upacara-
upacara ritual amat menentukan dalam mendekatkan diri kepada
sang pencipta. Dengan demikian, mereka berhasil mengalihkan
kebiasaan “bergadang” yang diisi dengan upacara ritual
tertentu menjadi halaqah zikir.
Demikian pula pada malam menjelang acara-acara
pernikahan dan khitanan, para da’i memperbolehkan pergelaran
musik mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Saw., di
samping musik tradisionl gamelan yang merupakan seni
kebanggaan kebudayaan klasik Indonesia dan paling di gemari
orang-orang Jawa. Para da’i menggunakan gamelan sebagai alat
dakwah untuk memperkenalkan ajaran-ajaran Islam yang
fleksibel.
Dari uraian di atas, tampak jelas pengaruh tasawuf
sunni pada acara yang di tempuh para da’i. dengan kata lain,
mereka menjadikan karya-karya Al-Ghazali sebagai referensi
dalam menentukan kebijakan dan strategi dalam dakwah. Dalam
tasawuf sunni, musik diperbolehkan sebagai cara yang lebih
cepat menggugah perasaan karena derajat sensitivitas tinggi
yang ditimbulkan oleh jiwa. Al-Risalah Al-Qusyairiyah mengutip
salah satu riwayat bahwa syair-syair dinyanyikan di hadapan
Rasulullah Saw. Dan beliau tidak melarang. Jika
diperbolehkan tanpa iringan musik, hukumnya tidak berubah
ketika diiringi musik yang baik.
16
Pada perkembangan selanjutnya, para da’i mulai
menciptakan cerita-cerita baru yang berkaitan dengan hikmah
salat, puasa, zakat, dan haji dalam sebuah pertunjukan
wayang yang lebih memukau, sehingga membuat para penonton
menyadari keagungan Islam.
Karya-karya yang memuat syair pujian kepada Nabi Saw.
yang terpopuler di Indonesia adalah ciptaan Sayyid ‘Abdullah
ibn ‘Alawi Al-‘Aththas dan Sayyid Abdurrahman Al-Habsyi,
yang keduanya adalah keturunan Imam Ahmad ibn ‘Isa Al-
Muhajir, leluhur Walisongo.
Peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. Menurut para ulama
adalah tradisi baru. Tidak pernah dilakukan semasa
Rosulullah Saw. hidup, tidak pula oleh para sahabat dan
salaf sepanjang tiga generasi tiga abad pertama. Menurut
Rasyid Ridha, boleh jadi tradisi peringatan maulid
dilaksanakan untuk pertama kali pada masa akhir Dinasti Al-
Ayyubi.
Mengenai hukumnya apakah bid’ah atau tidak, para ulama
berbeda pendapat. Antara lain yang paling menonjol dalam
menilai peringatan maulid sebagai bid’ah adalah Tajuddin
‘Umar ibn ‘Ali Al-Lakhmi Al-Sakandari yang dikenal dengan
gelar Al-Fakihani. Alasannya, maulid merupakan tradisi baru
yang tidak pernah dilaksanakan di masa Rosulullah Saw., al-
Salaf as-Sholih, bahkan sampai tiga abad pertama.
Di pihak lain, kaum sufi dan sebagian Ulama berpendapat
bahwa perayaan maulid diperbolehkan (mubah), bahkan di
17
anjurkan mengingat kebajikan yang diperoleh dari
pelaksanaannya, antara lain, pemberian makan yang hukumnya
bid’ah baik (hasanah) dan dianjurkan (mandub), terutama bila
di sela-sela pelaksanaannya diisi zikir dan pembacaan
pujian-pujian kepada Nabi Saw.7
D. Ajaran Tasawuf Syekh Siti Jenar dan Kontroversinya
Nama Siti Jenar menjadi penting bukan hanya karena banyak
keterkaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di
Indonesia dan dinamika kekuasaan politik kerajaan Demak.
Syekh Siti Jenar sendiri juga menentang pemberian dukungan
Walisongo kepada Raden Fatah dengan mengembangkan ajaran di
luar mainstrem ajaran Walisongo tersebut. Sikap dan
ajarannya inilah yang antara lain menyebabkan mengapa
kewalian Syekh Siti Jenar tidak diakui oleh Demak dan
Walisongo. Berikut ini adalah ajaran tasawuf dan
kontroversinya :
1. Tuhan dalam pandangan Syekh Siti jenar
Terkutip dari buku Suluk Walisongo mengenai pandangan
Siti Jenar mengenai makna lambang-lambang ketuhanan. Dia
melambangkan dan menganggap Hyang Widi sebagai :
“wujud kang nora katon satmata, lintang abyor sasmitane, sipat-sipat
maujud, anglangut lamun kaeksi, warnanya langkung endah, ujwala
7Ibid.hlm.64-70
18
umancur, Syekh Siti Jenar waskita, tetela trang sasmita janma linuwih,
marwa ngaku Pangeran”
Dari kutipan di atas mengandung pengertian bahwa :
“Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat dilihat dengan
mata, tetapi dilambangkan seperti bintang yang bersinar
cemerlang. Sifat-sifat berwujudnya samar-samar bila
dilihat, warnanya indah sekali seperti sinar memancar.
Syekh Siti Jenar tahu segala-galanya sebelum terucapkan,
menandakan bahwa dirinya adalah jelas orang yang melebihi
makhluk-makhluk lain, karena itu dia mengaku sebagai
Tuhan”.8
Syekh Siti Jenar menganggap Hyang Widi (Tuhan) itu
merupakan suatu wujud yang tidak dapat dillihat oleh
mata. Ia memiliki dua puluh sifat, seperti sifat ada, tak
bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang-barang yang
baru, hidup sendiri dan tiada memerlukan bantuan sesuatu
yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu,
hidup dan berbicara. Sifat-sifat tersebut mutlak disebut
dengan “dzat”.9 Syekh Siti Jenar menganggap Tuhan serupa
dengan dirinya. Ia merasa dirinya adalah jelmaan dzat
Tuhan dengan dua puluh sifat sebagaimana sifat dua puluh
Tuhan. Karena itu Syekh Siti Jenar percaya bahwa dirinya
tidak akan dapat mengalami sakit dan sehat, akan8Abdul Munir Mulkan, Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2000), hlm 479M. Solihin, MelacakPemikiranTasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja
GrafindoPersada, 2005), hlm 175
19
menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan
dan keramah tamahan.
2. Pandangan Syekh Siti Jenar tentang jiwa
Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa
sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar
dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai
organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah
manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya
manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang
selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam
keabadian.10
Jiwa adalah suara hati nurani yang merupakan ungkapan
dari dzat Tuhan yang harus ditaati dan dituruti
perintahnya, karena jiwa merupakan ungkapan kehendak
Tuhan juga merupakan penjelmaan dari Hyang Widi itu di
dalam jiwa, sehingga badan raga dianggap sebagai wajah
Hyang Widi. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai
sifat kekal sesudah manusia mati yang melepaskannya dari
belenggu badan manusia.11
3. Alam semesta menurut Syekh Siti Jenar
Menurut Syekh Siti Jenar, alam semesta ini tidak
diciptakan, tetapi menemukan keadaan. Tuhan tidak
menciptakan barang baru. Dia Maha Tunggal sehingga apa
10M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), Hlm176
11Abdul Munir Mulkan, Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm 72
20
saja yang Dia ciptakan pada dasarnya adalah Dia juga,
karena bahannya berasal dari-Nya. Demikian pula dengan
alam semesta ini, sebagai gambaran penampakan-Nya. Alam
jasmani ini adalah gambaran Wajah Tuhan dan Alam Misal
atau alam jiwa ini adalah gambaran perbuatan, nama dan
sifat-Nya. Semua itu pada dasarnya adalah Tuhan juga.12
Syekh Siti jenar memandang alam semesta sebagai
makrokosmos dan mikrokosmos (manusia), sekurangnya kedua
hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-
sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak
abadi. Setelah manusia meninggal, ia bisa manunggal
dengan Tuhan, setelah itu semua bentuk badan jasmaniah
ditinggal karena barang baru yang dikenai kerusakan dan
semacam barang pinjaman yang harus dikembalikan pada yang
punya, yakni Tuhan sendiri.
4. Fungsi akal menurut Syekh Siti Jenar
Fungsi akal dalam ajaran Syekh Siti Jenar banyak
dikaitkan dengan intuisi. Syekh Siti Jenar sering
mempergunakan istilah yang sama, tetapi kata itu
dipergunakan untuk menunjuk arti yang saling
bertentangan. Misalnya, kata akal diartikan sebagai
pegangan hidup, selain itu kata akal juga dipakai untuk
maksud kehendak, angan-angan, dan ingatan. Berbeda dengan
arti akal yang pertama, akal dalam arti yang kedua ini
dipandang Siti jenar kebenarannya tidak dapat dipercaya.12Agus Wahyudi,Makrifat Jawa Makna Hidup Sejati Syekh Siti Jenar dan Walisongo,(Yogyakarta:Pustaka Mawar, 2007),hlm132
21
Hal ini karena dianggapnya akal selalu berubah dan dapat
mendorong menusia melakukan perbuatan jahat.
Untuk memperoleh pengetahuan, memerlukan tiga hal,
yakni : panca indera, akal dan intuisi. Dengan akal
manusia memikirkan sesuatu, dan dengan inderanya manusia
menerima rangsangan-rangsangan yang datang dari luar
dirinya. Sementara hanya dengan intuisi manusia
melaksanakan sembahyang, puji, dzikir, berdoa dan
bersemedi serta mawas diri. Kemampuan intuitif ini adanya
bersamaan dengan timbulnya kesadaran dalam diri
seseorang. Karena itu, proses timbulnya pengetahuan itu
datang bersamaan dengan proses timbulnya kesadaran subjek
terhadap objek.
5. Jalan kehidupan menurut Syekh Siti Jenar
Ajaran Syekh Siti Jenar merupakan ajaran kebatinan
dalam artinya yang luas. Ajaran kebatinan itu diartikan
sebagai ajaran yang lebih menekankan aspek kejiwaan
daripada aspek lahiriah yang inderawi dan kasat mata.
Konsepsi tujuan hidup beliau tidak lain sebagai
bersatunya manusia dengan Tuhan (“manunggaling kawula-
Gusti”).13Ajaran ini banyak disamaartikan dengan ajaran
zuhud. Zuhud di sini diartikan sebagai kehidupan
seseorang atau sekelompok orang yang menjauhkan diri dari
kemewahan dan kesenangan duniawi dengan tujuan menyucikan
roh.13Abdul Munir Mulkan, Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2000), hlm82
22
Kehidupan yang sejati baginya hanya sebuah kematian
karena membawa sifat ketidaklanggengan. Hidup di dunia
sama saja seperti bangkai yang berjalan. Sebaliknya,
kematian justru dipandangnya sebagai awal kehidupan yang
lebih abadi. Dalam kematian terdapat surga dan neraka,
menusia menemui kebahagiaan dan malapetaka, yakni di
dunia ini. Surga dapat ditafsirkan sebagai kesenangan dan
neraka ditafsirkan sebagai kesulitan serta rasa marah di
hati, yang semuanya itu hanya terdapat dalam hati saja,
dan tidak bersifat langgeng. Ajaran ini banyak
ditafsirkan secara salah. Hal ini membawa murid-murid
beliau berusaha menjalani “jalan menuju kepada kehidupan”
(“ngudi dalan gesang”). Jalan ini ialah hidup dengan cara
saling membunuh, membuat keonaran dan keributan yang pada
intinya agar mendapatkan jalan kelepasan dari kematian,
karena dalam ajaran beliau setelah roh manusia terlepas
dari raganya, ia akan hidup dengan langgeng. Hal inilah
yang menjadikan penjatuhan hukuman mati untuk Syekh Siti
Jenar.
6. Tindakan manusia sebagai kehendak Tuhan
Dalam pandangan Syekh Siti Jenar, Tuhan adalah dzat
yang mendasari adanya manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan
segala yang ada, yang keberadaannya tergantung pada dzat
itu. Ajaran Syekh Siiti Jenar digolongkan dalam ajaran
panteistik. Ajaran ini seperti paham Jabariyah yang
berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia sejak
23
semula memang telah ditetapkan oleh Tuhan. Manusia tidak
mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan
tidak mempunyai pilihan. Perbuatan manusia dilakukan
karena tidak ada pilihan lain dan dipaksa melakukan hal
itu. Seluruh perbuatan manusia diciptakan Tuhan dalam
diri manusia bagaikan wayang yang segala tingkah laku dan
perbuatannya tergantung pada kehendak dalang.
Dalam pemikiran kefilsafatan, dikenal pandangan
idealistik. Pandangan ini banyak mempengaruhi pendangan
yang dapat digolongkan dalam aliran subjektivisme. Satu
di antara pandangan ini kemudian memandang pentingnya
dimensi subjektif dalam diri manusia yaitu “hati nurani”.
Berbeda dengan objektivisme, subjektivitas berusaha
mencari ukuran kebenaran pengetahuan pada keadaan yang
terdapat di dalam subjek pengetahuan itu sendiri, yaitu
manusia. Proses mengetahui hanyalah rangsangan objek-
objek melalui pancaindera begitu manusia secara sadar
mengerahkan dirinya kepada objek-objek tersebut, dan
kesaaran manusia ini berasal dari Tuhan.
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat kesimpulan yang
dapat diperoleh, yaitu :
24
Walisongo merupakan sembilan wali yang dianggap telah
dekat dengan Allah Swt yang memiliki kekeramatan dan
kemampuan di luar kebiasaan manusia. Mereka adalah Sunan
Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel, Sunan
Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat (Raden Kosim), Sunan
Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati.
Para walisongo menganut tasawuf sunni yang melandaskan
pemahaman-pemahamannnya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Diantara ajaran Syekh Siti Jenar adalah :
1. Pandaangan Tuhan; ia menganggap bahwa Syekh Siti Jenar
adalah perwujudan dari Tuhan. Karena ia merasa memiliki
dua puluh sifat Tuhan.
2. Pandangan tentang jiwa; jiwa merupakan suara hati nurani
yang merupakan ugkapan dari dzat Tuhan yang harus
ditaati perintahnya.
3. Alam semesta; merupakan makrokosmos dan mikrokosmos yang
merupakan barang baru yang akan mengalami kerusakan dan
tidak abadi.
4. Fungsi akal; Siti Jenar menganggap pengetahuan mengenai
kebenaran ketuhanan akan diperoleh seseorang bersamaan
dengan penyadaran diri orang tersebut.
5. Jalan kehidupan; dengan konsepsi “manunggaling kawula Gusti”
yang disamaartikan dengan ajaran zuhud.
6. Tindakan manusia; seluruh perbuatan manusia diciptakan
Tuhan dan manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
25
II. Kritik dan Saran
Ada sebuah pepatah yang mengatakan “tidak ada gading yang
tak retak”. Karena itulah penulis senantiasa menyadari bahwa
begitu banyak kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan
yang terdapat dalam makalah ini. Maka dari pada itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sekalian agar kedepannya penulis bisa berusaha
menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Mulkhan, Abdul Munir.2000.Syekh Siti Jenar.Yogyakarta:Yayasan Bentang
Budaya.
Mulyati, Sri.2006.Tasawuf Nusantara.Jakarta:Kencana.
Shihab, Alwi.2009.Akar Tasawuf di Indonesia.Depok:Pustaka Iman.
Solihin, M.2005.Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara.Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada.
Wahyudi, Agus.MAKRIFAT JAWA Makna Hidup Sejati Syekh Siti Jenar dan
Walisongo.Yogjakarta:Pustaka Marwa.