25
1 BAB I PENDAHULUAN 1. LatarBelakang Islam masuk di pulau Jawa, tidak bisa dilepaskan dalam konteks masuknya Islam di Nusantara. Banyak orang menyebut bahwa pulau Jawa adalah pulaunya walisongo, karena Islam tersebar di pulau Jawa tidak lepas dari kegigihan perjuangan walisongo. Metode yang digunakan adalah metode tasawuf karena mudah diterima oleh massyarakat Jawa yang pada masa itu masih teguh menganut Agama Hindu dan Budha, serta kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain walisongo, terdapat juga tokoh yang bernama Syekh Siti Jenar yang ajaran tasawufnya mengalami kontroversi. Pada mulanya walisongo menentang ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar dan menganggapnya sesat, tetapi akhirnya mereka mengetahui bahwa ajaran tersebut benar. Dibawah ini akan kami uraikan sejarah walisongo, ajaran dan penerapan tasawuf walisongo, peran tasawuf dan ajaran Syekh Siti Jenar serta kontroversinya. 2. RumusanMasalah A. Bagaimana sejarah Walisongo? B. Bagaimana ajaran dan penerapan Tasawuf pada zaman Walisongo? C. Bagaimana peranan Tasawuf pada masa Walisongo?

Akhlak Tasawuf

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. LatarBelakangIslam masuk di pulau Jawa, tidak bisa dilepaskan dalam

konteks masuknya Islam di Nusantara. Banyak orang menyebut

bahwa pulau Jawa adalah pulaunya walisongo, karena Islam

tersebar di pulau Jawa tidak lepas dari kegigihan perjuangan

walisongo. Metode yang digunakan adalah metode tasawuf

karena mudah diterima oleh massyarakat Jawa yang pada masa

itu masih teguh menganut Agama Hindu dan Budha, serta

kepercayaan animisme dan dinamisme.

Selain walisongo, terdapat juga tokoh yang bernama Syekh

Siti Jenar yang ajaran tasawufnya mengalami kontroversi.

Pada mulanya walisongo menentang ajaran tasawuf Syekh Siti

Jenar dan menganggapnya sesat, tetapi akhirnya mereka

mengetahui bahwa ajaran tersebut benar. Dibawah ini akan

kami uraikan sejarah walisongo, ajaran dan penerapan tasawuf

walisongo, peran tasawuf dan ajaran Syekh Siti Jenar serta

kontroversinya.

2. RumusanMasalah

A. Bagaimana sejarah Walisongo?

B. Bagaimana ajaran dan penerapan Tasawuf pada zaman

Walisongo?

C. Bagaimana peranan Tasawuf pada masa Walisongo?

2

D. Bagaimana ajaran Tasawuf Syekh Siti Jenar dan

kontroversinya?

BAB II

PEMBAHASAN

A. SejarahWalisongo

Keberhasilan penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari

peran Ulama-Ulama Sufi yang tergabung dalam Wali Songo.

Proses Islamisasi yang dilakukan Wali Songo berlangsung pada

abad ke-15 (masa kesultanan Demak) bukti?.

Kata “Wali” antara lain berarti pembeda, teman dekat, dan

pemimpin. Dalam pemakaiannya kata ini biasa diartikan

sebagai orang yang dekat dengan Allah Swt (waliyullah). Adapun

kata “Songo” (bahasa Jawa) berarti Sembilan. Maka Wali Songo

secara umum sering diartikan sebagai Sembilan Wali yang

dianggap telah dekat dengan Allah Swt, terus-menerus

beribadah kepada-Nya, serta memiliki kekeramatan dan

kemampuan-kemampuan lain di luar kebiasaan manusia. Wali-

wali itu dianggap sebagai orang yang bermula-mula menyiarkan

Agama Islam di Jawa dan biasa dinamakan Wali Sembilan atau

Wali Songo. Kebanyakan para Wali datangnya dari negeri

asing, dari sebelah Barat, dari Negeri Atas Angin, dari

Sumatera, bahkan lebih jauh lagi, acap kali juga asal-

3

usulnya tidak diketahui orang dengan jelas. 1 mengapa

masyarakat pada waktu itu mau mengikuti wali songo sedangkan

mereka belum mengetahui asal usul mereka?.

Dapat diduga bahwa Wali-wali itu dalam menyiarkan

Agamanya tidaklah berupa pidato atau ceramah di depan umum

seperti yang berlaku dengan penyiaran Agama sekarang ini,

tetapi dalam kumpulan-kumpulan yang terbatas, bahkan

kebanyakan secara rahasia, di bawah empat mata, yang

kemudian diteruskan dari mulut ke mulut. Ketika pengikutnya

mulai bertambah banyak, maka terjadilah tabligh-tabligh itu

di adakan di dalam rumah-rumah peguruan, yang biasa

dinamakan madrasah atau pondok. Pendidikan atau cara memberi

pengajaran semacam ini pada waktu itu sudah tidak asing

lagi, karena dalam masa itu di sana sini sudah terdapat juga

mandala-mandala Hindu-Jawa, dengan lanjutannya yang kemudian

dinamakan pesantren, yaitu tempat berkumpul santri-santri

yang belajar Agama Islam.2

Mereka yang disebut Wali Songo itu, antara lain adalah

sebagai berikut.

1) Syekh Maulana Malik Ibrahim (Wafat di Gresik tanggal 12

Rabi’ul awal 822 H/1419 M). lebih dikenal dengan sebutan

Syekh Magribi. Sebelum datang ke Jawa, Maulana Malik

Ibrahim pernah menetap di Kerajaan Pasai atau Perlak di

Aceh. Syekh Maulana Malik Ibrahim diperkirakan datang ke

1 M. Solihin, MelacakPemikiranTasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2005), hlm 120

2 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm 11

4

Gresik pada tahun 1404, beliau berdakwah di Gresik hingga

wafat. Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur

adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih

Agama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada

yang beragama Islam dan bahkan tidak beragama sama sekali.

Beliau harus bersabar terhadap mereka yang tidak beragama

maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga

meluruskan Iman dari orang-orang Islam yang tercampur

dengan kegiatan syirik. Caranya, beliau tidak langsung

menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan

mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan

keindahan dan ketinggian Akhlak Islami sebagaimana ajaran

Nabi Muhammad SAW.

2) Raden Rahmat (Lahir di Campa, Aceh tahun 1401, dan wafat

di Ampel 1481). Terkenal dengan nama Sunan Ampel. Wali ini

berasal dari Kamboja, Indo-Cina. Ia dianggap sebagai

pencipta dan perencana Negara Islam yang pertama di Jawa.

Beliau ini adalah penerus cita-cita dan perjuangan Maulana

Malik Ibrahim. Sunan Ampel terkenal sebagai perancang

pertama kerajaan Islam di Jawa, dan beliaulah yang

mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Ia

memulai aktifitasnya dengan mendirikan pesantren pertama

di Jawa Timur, yaitu pesantren ampel denta, dekat

Surabaya. Di pesantren inilah Sunan Ampel mendidik para

pemuda Islam untuk menjadi da’i yang akan disebar ke

seluruh Jawa. Sunan Ampel menginginkan Islam harus

5

disiarkan dengan murni juga mengandung hikmah kebenaran

yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati

menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari

segala macam bid’ah.

3) Sunan Makdum Ibrahim (Lahir di Ampel, Surabaya, tahun

1465, dan wafat di Tuban tahun 1525). Lebih dikenal dengan

sebutan Sunan Bonang dan merupakan anak dari Sunan Ampel

(dr istri?). Beliau dianggap sebagai pencipta gending

pertama(ada namanya atau tidak?) dalam rangka

mengembangkan ajaran islam di pesisir utara Jawa Timur. Ia

berusaha mengganti nama-nama dari nahas menurut

kepercayaan Hindu dan nama-nama dewa Hindu konon

digantinya dengan nama-nama malaikat dan nabi-nabi secara

Agama Islam. Makamnya terdapat di Tuban, Jawa Timur.

Dalam dakwahnya Sunan Bonang sering menggunakan kesenian

rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa

seperangkat gamelan yang disebut bonang. Setelah rakyat

berhasil direbut simpatinya, sunan bonang mengisikan

ajaran Agama Islam kepada mereka. Tembang-tembang yang

diajarkan beliau adalah tembang yang berisikan ajaran

Agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah

mempelajari Agama Islam dengan senang hati, bukan paksaan.

4) Raden Paku( Lahir di Blambangan, pertengahan abad ke-15

dan wafat di Giri tahun 1506). Terkenal dengan sebutan

Sunan Giri. Beliau disebut juga Sultan Abdul Faqih. Beliau

adalah putra dari Maulana Ishaq. Salah seorang saudaranya

6

juga termasuk Wali Songo, yaitu Raden Abdul Qadir (Sunan

Gunung Djati). Beliau memerintah Kerajaan Kediri mulai

tahun 1487-1506. Beliau dianggap pencipta gending

Asmaradana dan Pucung. Daerah penyiaran Islamnya dikatakan

di Sulawesi dan Sunda kecil. Beliau berjiwa ahli

pendidikan dan kabarnya adalah yang mula-mula mengadakan

cara pendidikan untuk anak-anak dengan memakai permainan

yang bersifat Agama. Dalam perjalanan Ibadah haji ke

Mekkah, Sunan Giri dan Sunan Bonang mampir di Pasai untuk

memperdalam pengetahuan keislaman. Ketika itu Pasai

menjadi tempat berkembangnya Ilmu Tauhid, keimanan, dan

Ilmu Tasawuf. Di sini Beliau sampai menemukan ilmu laduni,

sehingga gurunya menganugerahkan gelar ‘ain al-yaqin. Beliau

banyak mengirim juru dakwah ke luar Jawa, seperti Madura,

Bawean, Kangean, Ternate, dan Tidore. Sunan Giri juga

terkenal sebagai lambang pemersatu bangsa Indonesia yang

dirintis di abad ke-15 Masehi(?). Makamnya terdapat di

Gunung Giri, dekat Gresik, Surabaya.

5) Syarif Hidayatullah (Lahir di Makkah 1448, wafat di Gunung

Djati, Cirebon Jawa Barat). Wali kelima dari Wali Songo

ini kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunung Djati.

Beliau banyak berjasa menyebarkan Islam di Pulau Jawa,

terutama daerah Jawa Barat. Dialah pendiri dinasti raja-

raja Cirebon dan Banten. Dari Cirebon, Sunan Gunung Djati

mengembangkan Agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa

Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda

7

Kelapa, dan Banten. Beliau meletakkan dasar pengembangan

Islam di Banten tahun 1525 atau 1526. Ketika Beliau

kembali ke Cirebon, Banten diserahkan pada anaknya, Sultan

Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-raja

Banten. Menurut Purwaka Caruban Nagari?, Sunan Gunung Djati

mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti

Demak, dan Pajang. Karena kedudukannya sebagai raja dan

ulama, beliau diberi gelar Raja Pandita. Sunan Gunung

Djati wafat tahun 1568 pada usia 120 tahun, bersama ibunya

dan Pangeran Cakrabuana dimakamkan di Gunung Sembung.

6) Ja’far Sodiq (Lahir di Kudus abad ke-15, dan wafat tahun

1550). Sunan ini yang menyiarkan agama islam di Jawa

Tengah di sebelah pesisir utara. Di antara Wali Songo,

beliaulah yang mendapat julukan sebagai wali al ‘ilmi (orang

yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya beliau

didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah

di Nusantara. Beliau pernah menjadi Panglima Perang

kesultanan Demak. Beliau juga pernah menciptakan berbagai

cerita keagamaan dan yang paling terkenal adalah Gending

Maskumambang dan Mijil. Ja’far Sodiq inilah pengikut jejak

Sunan Kalijaga dalam berdakwah menggunakan cara halus atau

Tut Wuri Handayani. Adat istiadat rakyat tidak ditentang

secara frontal, melainkan diarahkan sedikit demi sedikit

menuju ajaran Islami. Rakyat kota Kudus pada waktu itu

masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali

mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas

8

berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang

terpilih bertugas di daerah itu. Karena masjid yang

dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Ja’far Sodiq pada

akhirnnya disebut Sunan Kudus. Sebagai senopati atau

(Panglima Perang Kerajaan Demak Bintoro), Sunan Kudus juga

dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai senopati Waliyullah,

beliau pernah memimpin peperangan melawan masyarakat yang

waktu itu dipimpin oleh Adipati Terung, sementara itu

sebagai senopati para Wali, beliau pernah ditugaskan oleh

Raden Patah menghadapi Ki Ageng Pengging yang tenggelam

dalam ajaran Syekh Siti Jenar.

7) Raden Prawoto (Lahir abad ke-15). Dikalangan rakyat lebih

dikenal dengan nama Sunan Muria. Beliau adalah putra Sunan

Kalijaga dan berjasa menyiarkan Islam pedesaan-pedesaan

Pulau Jawa. Nama aslinya Raden Umar Said. Dijuluki Sunan

Muria, karena pusat kegiatan dakwahnya dan sekaligus

makamnya di Gunung Muria. Beliau adalah putra Sunan

Kalijaga dengan Dewi Saroh. Seperti ayahnya, dalam

berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil

ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang

ditempuh untuk menyiarkan Agama Islam di sekitar Gunung

Muria. Dalam rangka dakwah melalui budaya, beliau

menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti. Sunan Muria

mencerminkan seorang sufi yang zuhud, yang memandang dunia

ini sangat kecil dan juga mencerminkan pribadi yang

menempatkan rasa cintanya kepada Allah (hubbullah) di atas

9

segala-galanya. Sunan Muria juga mengajarkan tata-krama

zikir. Beberapa kelebihan yang dimiliki Sunan Muria antara

lain beliau adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat

dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak di atas

gunung. Jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari

bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari

750 meter.

8) Raden Qosim (lahir di Ampel Denta, sekitar tahun 1470, dan

wafat di Sedayu Gresik pertengahan abad ke-16). Lebih

dikenal dengan nama Sunan Drajat. Beliau putra Sunan Ampel

dengan Dewi Candrawati dan merupakan adik dari Raden

Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Raden Qosim yang sudah

mewarisi Ilmu dari ayahnya kemudian diperintahkan untuk

berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari

ulama besar Tuban dan Gresik. Hal yang paling menonjol

dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat

serius pada masalah-masalah sosial, sehingga beliau

terkenal berjiwa sosial. Beliau juga terkenal sebagai

pencipta Tembang Jawa, yaitu Pangkur, yang sampai saat ini

masih digemari masyarakat. Sunan Drajat di berikan gelar

Raden Qosim karena beliau bertempat tinggal di sebuah

bukit yang tinggi. Seakan melambangkan tingkat Ilmunya

yang tinggi, yaitu tingkat atau derajat para ulama

muqarrabin, ulama yang dekat dengan Allah SWT. Beliau

wafat dan dimakamkan di desa Drajad, Kecamatan Paciran

Kabupaten Lamongan Jawa Timur.

10

9) Raden Mas Syahid (lahir akhir abad ke-14 dan wafat

pertengahan abad ke-15). Lebih dikenal dengan nama Sunan

Kalijaga. Beliau adalah putra Tumenggung Wilaktika,

Adipati Tuban. Ibunya bernama Dewi Nawangrum. Raden Syahid

terkenal sebagai Wali yang berjiwa besar, berwawasan jauh,

berpikiran tajam, intelek, serta berasal dari suku Jawa

asli. Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas,

bahkan sebagai mubaligh beliau berkeliling dari satu

daerah ke daerah lain. Karena dakwahnya yang intelek, maka

para bangsawan dan cendekiawan sangat simpati kepadanya,

demikian juga lapisan masyarakat awam, bahkan penguasa.

Dalam melaksanakan pemerintahan demak, Raden Fatah sangat

menghargai nasihat-nasihat Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga

juga sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau

wayang kulit yang bercorak Islami seperti sekarang ini.

Beliau juga berjasa dalam membuat corak batik yang

bermotif burung (kukula). Kata tersebut ditulis dalam

Bahasa Arab menjadi qu dah qila yang berarti “peliharalah

ucapanmu sebaik-baiknya”.

B. Ajaran dan Penerapan Tasawuf Pada Zaman Walisongo

Keberhasilan penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari

peran Ulama-ulama sufi yang tergabung dalam Walisongo. Para

Wali memang tidak meninggalkan karya tulis sepeti tokoh-

tokoh sufi lainnya. Jejak yang ditinggalkan para da’i itu

terlihat dalam kumpulan nasihat Agama yang termuat dalam

tulisan-tulisan para murid dalam bahasa Jawa. Tulisan itu

11

berisi catatan pengalaman orang-orang sholeh yang menegaskan

bahwa latihan-latihan spiritual perlu dalam rangka

membersihkan hati dan menjernihkan jiwa demi mendekatkan

diri kepada Allah Swt. yaitu kedekatan yang menghantarkan

seseorang kepada alam rohani ketika jiwa merindukan Allah

Swt. hingga memperoleh titian cahaya Ilahi. Hubungan intim

dengan Allah Swt. tidak dapat dicapai oleh jiwa yang

berwawasan materialistis yang menyibukkan diri dengn rasa

ketergantungan kepada dunia fana dan materi, jauh dari Agama

dan Allah Swt.

Dari pemikiran-pemikiran dan praktik-praktik tasawuf

yang ada, tasawuf sunni adalah yang di anut oleh para wali.

Ini bisa dilihat pada kecenderungan mereka terhadap tokoh

tasawuf sunni, misalnya Al-Ghazali. Para wali sering

menjadikan karya-karya Al-Ghazali sebagai referensi mereka.

Bukti nyata mengenai hal ini terdapat dalam manuskrip yang

ditemukan Drewes yang diperkirakan ditulis pada masa

transisi Hinduisme kepada Islam, yakni pada masa Walisongo

masih hidup. Dalam manuskrip yang menguraikan tasawuf itu

terdapat beberapa paragraf cuplikan dari kitab bidayah al-

hidayah karya Al-Ghazali. Ini menunjukkan bahwa tasawuf sunni

berpengaruh pada saat itu. Lebih dari itu, informasi-

informasi tertulis mengenai ajaan-ajaran Walisongo yang

sangat bertentangan dengan pemikiran phanteisme. Demikian pula

tulisan generasi berikutnya yang meriwayatkan ajaran-ajaran

Walisongo.

12

Dari ketidaksetujuan Al-Ghazali terhadap paham

phanteisme yang cenderung bisa melahirkan sikap nihilisme syari’at,

maka Al-Hujwiri, sebagaimana dikutip Abdul Qodir Mahmud

dalam bukunya al-falsafat al-shufiyyat fi al-Islam, mengakui Al-Ghazali

sebagai orang pertama yang telah berhasil mengkompromikan

antara ilmu zhahir dan ilmu bathin, antara yang tersembunyi dan

yang nyata. Beliau juga telah berhasil “menyinergiskan”

hakikat dengan syari’at, yang kemudian di mata Al-Hallaj

syari’at lebih rendah dari pada hakikat.

Bagi para sufi yang masih berpegang dan mempertahankan

konsep transendentalisme tuhan seperti yang diajarkan agama

islam semisal Al-Ghazali, mereka membatasi diri agar tidak

terjerumus pada paham union mistik berkeyakinan bahwa yang

bertahta di lubuk hatinya sendiri adalah Tuhan sendiri.

Menurut mereka, Tuhan memang berada dan imanen dalam diri

setiap orang atau meliputi serata alam. Atau setidak-

tidaknya mengatakan bahwa roh manusia itu pada hakikatnya

percikan dari hakikat zat tuhan, laksana setetes air dari

samudera yang tiada terbatas.3

Kalau kecaman Al-Ghazali lebih tertuju pada paham hulul-

nya Al-Hallaj dan sufi pantheisme lainnya, maka Walisongo

kecamannya tertuju khusus kepada syaikh lemah abang atau

syaikh Siti Jenar atau paham-paham pantheisme lainnya yang

berkembang di Nusantara pada saat itu. Dengan hadirnya

Syaikh Siti Jenar itu, harus diakui bahwa ketika itu terjadi3M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara,(Jakarta: PT Raja

GrafindoPersada, 2005).hlm.130-132

13

polemik antara orang tertentu yang berupaya menghalangi

bahkan merusak perjuangan Walisongo yang melandaskan

pemahaman-pemahamannya berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.

Pengadilan dan hukuman mati terhadap orang-orang yang

dianggap sesat merupakan bukti betapa Walisongo berupaya

melestarikan tasawuf sunni. Bukti lain bisa kita lihat pada

Sunan Bonang dan Sunan Giri, misalnya, dimana keduanya

mempererat hubungan antara Demak dengan Pasai dan kerajaan-

kerajaan Islam yang besar di Nusantara ketika itu

sesungguhnya tidak hanya menyangkut hubungan ekonomi dan

dakwah, tetapi lebih pada pengukuhan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Dengan hubungan itu, maka madzhab Syafi’i yang menjadi dasar

syari’at dan aqidah yang berlaku di Pasai, dengan sendirinya

berlaku juga di Demak.

Para Wali ini juga berhasil memberikan kontribusi dalam

bentuk pesantren-pesantren yang hingga kini berjumlah kuang

lebih 52.000 pesantren dan madrasah yang tersebar di seluruh

pelosok Tanah Air. Sebagian besar menerapkan tasawuf Sunni

dengan mengajarkan Ihya’ ‘Ulumu Al-Din sebagai salah satu

dasarnya.4

C. Peranan Tasawuf pada zaman Walisongo

Sejarah Islamisasi di Nusantara, dalam kaitannya dengan

peranan Walisongo dapat diklasifikasi ke dalam dua tahap.

Tahap pertama, kehadiran Walisongo yang berhasil memantapkan

dan mempercepat proses Islamisasi pada abad-abad pertama

4Ibid.,hlm.133-135

14

Hijriyah di wilayah yang sebegitu jauh dari tempat turunnya

wahyu ini, meski keberhasilan tersebut terbatas pada

wilayah-wilayah tertentu. Hal ini disebabkan terutama oleh

keterbatasan fasilitas yang memungkinkan mereka mencapai

wilayah-wilayah lain di seluruh penjuru negeri.

Tahap kedua, yang berlangsung pada abad ke-14 M di

tandai dengan kedatangan tokoh-tokoh Asyraf, keturunan Ali

dan Fatimah binti Rosulullah Saw. yang lazim dikenal dengan

sebutan ‘alawiyyin. Pada periode ini Islam berkembang

sedemikian rupa sehingga dapat tersebar diseluruh penjuru

Nusantara bahkan di Asia Tenggara. Perkembangan tersebut

mencapai puncaknya pada abad ke-15 M hingga abad ke-17 M.5

Sebenarnya, diantara faktor penentu keberhasilan

gerakan Islamisasi di Nusantara adalah penggunaan seni, adat

istiadat, dan tradisi kebudayaan setempat. Semua ini

menunjukkan ke’arifan Walisongo dan kemampuan memahami

spirit Islam sehingga dapat berbicara dengan kapasitas

audiens-nya. Mereka melakukan modifikasi adat istiadat dan

tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentagan

dengan dasar-dasar islam.6

Orang-orang Indonesia sejak dulu kala mempunyai

kebiasaan “bergadang” semalam suntuk dalam acara-acara

tertentu yang tidak jarang di isi dengan upacara ritual

keagamaan. Fenomena ini oleh para da’i dipahami sebagai

kecenderungan religious yang tinggi. Oleh karena itu, dengan5AlwiShihab, akar tasawuf di Indonesia,.hlm.346Ibid.hlm.64

15

kearifan dan cara pengajaran yang baik, mereka berhasil

meyakinkan penduduk bahwa Islam menawarkan hubungan yang

lebih intensif dengan Allah Swt. dan bahwasanya upacara-

upacara ritual amat menentukan dalam mendekatkan diri kepada

sang pencipta. Dengan demikian, mereka berhasil mengalihkan

kebiasaan “bergadang” yang diisi dengan upacara ritual

tertentu menjadi halaqah zikir.

Demikian pula pada malam menjelang acara-acara

pernikahan dan khitanan, para da’i memperbolehkan pergelaran

musik mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Saw., di

samping musik tradisionl gamelan yang merupakan seni

kebanggaan kebudayaan klasik Indonesia dan paling di gemari

orang-orang Jawa. Para da’i menggunakan gamelan sebagai alat

dakwah untuk memperkenalkan ajaran-ajaran Islam yang

fleksibel.

Dari uraian di atas, tampak jelas pengaruh tasawuf

sunni pada acara yang di tempuh para da’i. dengan kata lain,

mereka menjadikan karya-karya Al-Ghazali sebagai referensi

dalam menentukan kebijakan dan strategi dalam dakwah. Dalam

tasawuf sunni, musik diperbolehkan sebagai cara yang lebih

cepat menggugah perasaan karena derajat sensitivitas tinggi

yang ditimbulkan oleh jiwa. Al-Risalah Al-Qusyairiyah mengutip

salah satu riwayat bahwa syair-syair dinyanyikan di hadapan

Rasulullah Saw. Dan beliau tidak melarang. Jika

diperbolehkan tanpa iringan musik, hukumnya tidak berubah

ketika diiringi musik yang baik.

16

Pada perkembangan selanjutnya, para da’i mulai

menciptakan cerita-cerita baru yang berkaitan dengan hikmah

salat, puasa, zakat, dan haji dalam sebuah pertunjukan

wayang yang lebih memukau, sehingga membuat para penonton

menyadari keagungan Islam.

Karya-karya yang memuat syair pujian kepada Nabi Saw.

yang terpopuler di Indonesia adalah ciptaan Sayyid ‘Abdullah

ibn ‘Alawi Al-‘Aththas dan Sayyid Abdurrahman Al-Habsyi,

yang keduanya adalah keturunan Imam Ahmad ibn ‘Isa Al-

Muhajir, leluhur Walisongo.

Peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. Menurut para ulama

adalah tradisi baru. Tidak pernah dilakukan semasa

Rosulullah Saw. hidup, tidak pula oleh para sahabat dan

salaf sepanjang tiga generasi tiga abad pertama. Menurut

Rasyid Ridha, boleh jadi tradisi peringatan maulid

dilaksanakan untuk pertama kali pada masa akhir Dinasti Al-

Ayyubi.

Mengenai hukumnya apakah bid’ah atau tidak, para ulama

berbeda pendapat. Antara lain yang paling menonjol dalam

menilai peringatan maulid sebagai bid’ah adalah Tajuddin

‘Umar ibn ‘Ali Al-Lakhmi Al-Sakandari yang dikenal dengan

gelar Al-Fakihani. Alasannya, maulid merupakan tradisi baru

yang tidak pernah dilaksanakan di masa Rosulullah Saw., al-

Salaf as-Sholih, bahkan sampai tiga abad pertama.

Di pihak lain, kaum sufi dan sebagian Ulama berpendapat

bahwa perayaan maulid diperbolehkan (mubah), bahkan di

17

anjurkan mengingat kebajikan yang diperoleh dari

pelaksanaannya, antara lain, pemberian makan yang hukumnya

bid’ah baik (hasanah) dan dianjurkan (mandub), terutama bila

di sela-sela pelaksanaannya diisi zikir dan pembacaan

pujian-pujian kepada Nabi Saw.7

D. Ajaran Tasawuf Syekh Siti Jenar dan Kontroversinya

Nama Siti Jenar menjadi penting bukan hanya karena banyak

keterkaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di

Indonesia dan dinamika kekuasaan politik kerajaan Demak.

Syekh Siti Jenar sendiri juga menentang pemberian dukungan

Walisongo kepada Raden Fatah dengan mengembangkan ajaran di

luar mainstrem ajaran Walisongo tersebut. Sikap dan

ajarannya inilah yang antara lain menyebabkan mengapa

kewalian Syekh Siti Jenar tidak diakui oleh Demak dan

Walisongo. Berikut ini adalah ajaran tasawuf dan

kontroversinya :

1. Tuhan dalam pandangan Syekh Siti jenar

Terkutip dari buku Suluk Walisongo mengenai pandangan

Siti Jenar mengenai makna lambang-lambang ketuhanan. Dia

melambangkan dan menganggap Hyang Widi sebagai :

“wujud kang nora katon satmata, lintang abyor sasmitane, sipat-sipat

maujud, anglangut lamun kaeksi, warnanya langkung endah, ujwala

7Ibid.hlm.64-70

18

umancur, Syekh Siti Jenar waskita, tetela trang sasmita janma linuwih,

marwa ngaku Pangeran”

Dari kutipan di atas mengandung pengertian bahwa :

“Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat dilihat dengan

mata, tetapi dilambangkan seperti bintang yang bersinar

cemerlang. Sifat-sifat berwujudnya samar-samar bila

dilihat, warnanya indah sekali seperti sinar memancar.

Syekh Siti Jenar tahu segala-galanya sebelum terucapkan,

menandakan bahwa dirinya adalah jelas orang yang melebihi

makhluk-makhluk lain, karena itu dia mengaku sebagai

Tuhan”.8

Syekh Siti Jenar menganggap Hyang Widi (Tuhan) itu

merupakan suatu wujud yang tidak dapat dillihat oleh

mata. Ia memiliki dua puluh sifat, seperti sifat ada, tak

bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang-barang yang

baru, hidup sendiri dan tiada memerlukan bantuan sesuatu

yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu,

hidup dan berbicara. Sifat-sifat tersebut mutlak disebut

dengan “dzat”.9 Syekh Siti Jenar menganggap Tuhan serupa

dengan dirinya. Ia merasa dirinya adalah jelmaan dzat

Tuhan dengan dua puluh sifat sebagaimana sifat dua puluh

Tuhan. Karena itu Syekh Siti Jenar percaya bahwa dirinya

tidak akan dapat mengalami sakit dan sehat, akan8Abdul Munir Mulkan, Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Yayasan Bentang

Budaya, 2000), hlm 479M. Solihin, MelacakPemikiranTasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja

GrafindoPersada, 2005), hlm 175

19

menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan

dan keramah tamahan.

2. Pandangan Syekh Siti Jenar tentang jiwa

Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa

sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar

dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai

organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah

manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya

manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang

selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam

keabadian.10

Jiwa adalah suara hati nurani yang merupakan ungkapan

dari dzat Tuhan yang harus ditaati dan dituruti

perintahnya, karena jiwa merupakan ungkapan kehendak

Tuhan juga merupakan penjelmaan dari Hyang Widi itu di

dalam jiwa, sehingga badan raga dianggap sebagai wajah

Hyang Widi. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai

sifat kekal sesudah manusia mati yang melepaskannya dari

belenggu badan manusia.11

3. Alam semesta menurut Syekh Siti Jenar

Menurut Syekh Siti Jenar, alam semesta ini tidak

diciptakan, tetapi menemukan keadaan. Tuhan tidak

menciptakan barang baru. Dia Maha Tunggal sehingga apa

10M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), Hlm176

11Abdul Munir Mulkan, Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm 72

20

saja yang Dia ciptakan pada dasarnya adalah Dia juga,

karena bahannya berasal dari-Nya. Demikian pula dengan

alam semesta ini, sebagai gambaran penampakan-Nya. Alam

jasmani ini adalah gambaran Wajah Tuhan dan Alam Misal

atau alam jiwa ini adalah gambaran perbuatan, nama dan

sifat-Nya. Semua itu pada dasarnya adalah Tuhan juga.12

Syekh Siti jenar memandang alam semesta sebagai

makrokosmos dan mikrokosmos (manusia), sekurangnya kedua

hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-

sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak

abadi. Setelah manusia meninggal, ia bisa manunggal

dengan Tuhan, setelah itu semua bentuk badan jasmaniah

ditinggal karena barang baru yang dikenai kerusakan dan

semacam barang pinjaman yang harus dikembalikan pada yang

punya, yakni Tuhan sendiri.

4. Fungsi akal menurut Syekh Siti Jenar

Fungsi akal dalam ajaran Syekh Siti Jenar banyak

dikaitkan dengan intuisi. Syekh Siti Jenar sering

mempergunakan istilah yang sama, tetapi kata itu

dipergunakan untuk menunjuk arti yang saling

bertentangan. Misalnya, kata akal diartikan sebagai

pegangan hidup, selain itu kata akal juga dipakai untuk

maksud kehendak, angan-angan, dan ingatan. Berbeda dengan

arti akal yang pertama, akal dalam arti yang kedua ini

dipandang Siti jenar kebenarannya tidak dapat dipercaya.12Agus Wahyudi,Makrifat Jawa Makna Hidup Sejati Syekh Siti Jenar dan Walisongo,(Yogyakarta:Pustaka Mawar, 2007),hlm132

21

Hal ini karena dianggapnya akal selalu berubah dan dapat

mendorong menusia melakukan perbuatan jahat.

Untuk memperoleh pengetahuan, memerlukan tiga hal,

yakni : panca indera, akal dan intuisi. Dengan akal

manusia memikirkan sesuatu, dan dengan inderanya manusia

menerima rangsangan-rangsangan yang datang dari luar

dirinya. Sementara hanya dengan intuisi manusia

melaksanakan sembahyang, puji, dzikir, berdoa dan

bersemedi serta mawas diri. Kemampuan intuitif ini adanya

bersamaan dengan timbulnya kesadaran dalam diri

seseorang. Karena itu, proses timbulnya pengetahuan itu

datang bersamaan dengan proses timbulnya kesadaran subjek

terhadap objek.

5. Jalan kehidupan menurut Syekh Siti Jenar

Ajaran Syekh Siti Jenar merupakan ajaran kebatinan

dalam artinya yang luas. Ajaran kebatinan itu diartikan

sebagai ajaran yang lebih menekankan aspek kejiwaan

daripada aspek lahiriah yang inderawi dan kasat mata.

Konsepsi tujuan hidup beliau tidak lain sebagai

bersatunya manusia dengan Tuhan (“manunggaling kawula-

Gusti”).13Ajaran ini banyak disamaartikan dengan ajaran

zuhud. Zuhud di sini diartikan sebagai kehidupan

seseorang atau sekelompok orang yang menjauhkan diri dari

kemewahan dan kesenangan duniawi dengan tujuan menyucikan

roh.13Abdul Munir Mulkan, Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Yayasan Bentang

Budaya, 2000), hlm82

22

Kehidupan yang sejati baginya hanya sebuah kematian

karena membawa sifat ketidaklanggengan. Hidup di dunia

sama saja seperti bangkai yang berjalan. Sebaliknya,

kematian justru dipandangnya sebagai awal kehidupan yang

lebih abadi. Dalam kematian terdapat surga dan neraka,

menusia menemui kebahagiaan dan malapetaka, yakni di

dunia ini. Surga dapat ditafsirkan sebagai kesenangan dan

neraka ditafsirkan sebagai kesulitan serta rasa marah di

hati, yang semuanya itu hanya terdapat dalam hati saja,

dan tidak bersifat langgeng. Ajaran ini banyak

ditafsirkan secara salah. Hal ini membawa murid-murid

beliau berusaha menjalani “jalan menuju kepada kehidupan”

(“ngudi dalan gesang”). Jalan ini ialah hidup dengan cara

saling membunuh, membuat keonaran dan keributan yang pada

intinya agar mendapatkan jalan kelepasan dari kematian,

karena dalam ajaran beliau setelah roh manusia terlepas

dari raganya, ia akan hidup dengan langgeng. Hal inilah

yang menjadikan penjatuhan hukuman mati untuk Syekh Siti

Jenar.

6. Tindakan manusia sebagai kehendak Tuhan

Dalam pandangan Syekh Siti Jenar, Tuhan adalah dzat

yang mendasari adanya manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan

segala yang ada, yang keberadaannya tergantung pada dzat

itu. Ajaran Syekh Siiti Jenar digolongkan dalam ajaran

panteistik. Ajaran ini seperti paham Jabariyah yang

berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia sejak

23

semula memang telah ditetapkan oleh Tuhan. Manusia tidak

mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan

tidak mempunyai pilihan. Perbuatan manusia dilakukan

karena tidak ada pilihan lain dan dipaksa melakukan hal

itu. Seluruh perbuatan manusia diciptakan Tuhan dalam

diri manusia bagaikan wayang yang segala tingkah laku dan

perbuatannya tergantung pada kehendak dalang.

Dalam pemikiran kefilsafatan, dikenal pandangan

idealistik. Pandangan ini banyak mempengaruhi pendangan

yang dapat digolongkan dalam aliran subjektivisme. Satu

di antara pandangan ini kemudian memandang pentingnya

dimensi subjektif dalam diri manusia yaitu “hati nurani”.

Berbeda dengan objektivisme, subjektivitas berusaha

mencari ukuran kebenaran pengetahuan pada keadaan yang

terdapat di dalam subjek pengetahuan itu sendiri, yaitu

manusia. Proses mengetahui hanyalah rangsangan objek-

objek melalui pancaindera begitu manusia secara sadar

mengerahkan dirinya kepada objek-objek tersebut, dan

kesaaran manusia ini berasal dari Tuhan.

BAB III

PENUTUP

I. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat kesimpulan yang

dapat diperoleh, yaitu :

24

Walisongo merupakan sembilan wali yang dianggap telah

dekat dengan Allah Swt yang memiliki kekeramatan dan

kemampuan di luar kebiasaan manusia. Mereka adalah Sunan

Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel, Sunan

Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat (Raden Kosim), Sunan

Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati.

Para walisongo menganut tasawuf sunni yang melandaskan

pemahaman-pemahamannnya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.

Diantara ajaran Syekh Siti Jenar adalah :

1. Pandaangan Tuhan; ia menganggap bahwa Syekh Siti Jenar

adalah perwujudan dari Tuhan. Karena ia merasa memiliki

dua puluh sifat Tuhan.

2. Pandangan tentang jiwa; jiwa merupakan suara hati nurani

yang merupakan ugkapan dari dzat Tuhan yang harus

ditaati perintahnya.

3. Alam semesta; merupakan makrokosmos dan mikrokosmos yang

merupakan barang baru yang akan mengalami kerusakan dan

tidak abadi.

4. Fungsi akal; Siti Jenar menganggap pengetahuan mengenai

kebenaran ketuhanan akan diperoleh seseorang bersamaan

dengan penyadaran diri orang tersebut.

5. Jalan kehidupan; dengan konsepsi “manunggaling kawula Gusti”

yang disamaartikan dengan ajaran zuhud.

6. Tindakan manusia; seluruh perbuatan manusia diciptakan

Tuhan dan manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai

kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.

25

II. Kritik dan Saran

Ada sebuah pepatah yang mengatakan “tidak ada gading yang

tak retak”. Karena itulah penulis senantiasa menyadari bahwa

begitu banyak kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan

yang terdapat dalam makalah ini. Maka dari pada itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para

pembaca sekalian agar kedepannya penulis bisa berusaha

menjadi lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Mulkhan, Abdul Munir.2000.Syekh Siti Jenar.Yogyakarta:Yayasan Bentang

Budaya.

Mulyati, Sri.2006.Tasawuf Nusantara.Jakarta:Kencana.

Shihab, Alwi.2009.Akar Tasawuf di Indonesia.Depok:Pustaka Iman.

Solihin, M.2005.Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara.Jakarta:PT Raja

Grafindo Persada.

Wahyudi, Agus.MAKRIFAT JAWA Makna Hidup Sejati Syekh Siti Jenar dan

Walisongo.Yogjakarta:Pustaka Marwa.