Upload
stpbali
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Putu Diah Sastri Pitanatri | 1
AIR BERSIH DAN PARIWISATA: POTENSI PEMANFAATAN TEKNOLOGI SWRO (SALT WATER REVERSE OSMOSIS) BAGI PENGEMBANGAN
DESTINASI PARIWISATA DI BALI Oleh: Putu Diah Sastri Pitanatri
1. Pendahuluan
Pemanfaatan air bersih yang sangat besar untuk sarana akomodasi pariwisata
di Bali telah lama menjadi perhatian masyarakat Bali namun sampai saat ini masih
belum dapat dicarikan solusi permasalahannya yang terpadu. Ibarat pisau,
pariwisata memang telah terbukti memberikan peningkatan perekonomian Bali,
namun pada sisi lain dapat dapat ‘membunuh’ masyarakat lainnya yang
menggantungkan diri pada sektor non-‐pariwisata, khususnya dilihat dari konflik
pemanfaatan air bersih yang terus meningkat. Oleh sebab itu, harus segera
ditemukan cara yang jitu agar pemenuhan air bersih bagi pariwisata tidak lagi
memgakibatkan masyarakat lainnya menderita.
Pariwisata dan air sebenarnya tidak memiliki korelasi secara makna harfiah,
namun memiliki korelasi yang sangat erat saat menyinggung sisi peranan penyediaan
air bersih bagi pariwisata Bali. Setelah membaca artikel mengenai defisit air di
kawasan Nusa Dua dan Kuta melalui internet (Bali Pos, 15 Oktober 2009), perhatian
seharusnya harus dipusatkan pada faktor ketersediaan (supply) dan kebutuhan
(demand). Kedua faktor diatas masih sangat relevan dengan kondisi sekarang
maupun yang akan datang.
Dalam terminologi tentang air bersih secara umum, kedua faktor di atas
memegang peranan yang sangat penting bagi perkembangan pariwisata maupun
sektor lainnya di Bali. Tanda-‐tanda mengenai krisis air di Pulau Dewata sebenarnya
sudah bisa dilihat sejak beberapa waktu lalu dimana masyarakat yang bermukim di
sekitar mata air telah mengalami kesulitan dalam memperoleh air bersih. Krisis air
pun semakin diperparah jika terdapat suatu daerah yang jaraknya dari sumber mata
air cukup jauh dan memiliki tingkat pemakaian yang tinggi. Untuk itu perlu dipikirkan
bersama beberapa solusi tepat guna mengatasi permasalahan klasik ini.
Putu Diah Sastri Pitanatri | 2
2. Pulau Bali dan Krisis Air
Luas Pulau Bali adalah 5.636,66 km2 atau kira-‐kira seperempat dari luas
Pulau Jawa (138.793,6 km²), dan memiliki panjang garis pantai kurang lebih 450 km2.
Meskipun Pulau Bali tidak begitu luas namun dilihat dari kepadatan penduduknya
tergolong padat yakni rata-‐rata 576 jiwa per km2. Misalnya, sangat mencolok sekali
perbedaannya kepadatan penduduk Propinsi Bali dibandingkan dengan Propinsi
Kalimantan Tengah yang rata-‐rata hanya 12 jiwa per km2.
Dilihat dari administrasi pemerintahan Propinsi Bali yakni terdiri dari: 8
kabupaten dan 1 kotamadya, dan membawahi 53 Kecamatan atau 678 desa. Dari
678 desa tersebut sebanyak 158 desa letaknya berbatasan dengan laut (22%),
pinggir pantai atau disebut desa pesisir
Kebutuhan sehari-‐hari masyarakat Bali dalam memenuhi pangan, air, dan
energi disediakan dan dikelola oleh pemerintah dan pihak swasta, kecuali di desa
masih ada keluarga-‐keluarga yang menggunakan sumber energi untuk kebutuhan
masak dari alam langsung seperti kayu kering. Sementara bahan bakar minyak tanah
masih menjadi kebutuhan utama bagi warga desa maupun kaum miskin di
perkotaan. Rata-‐rata kebutuhan listrik rumah tangga menggunakan fasilitas yang
dikelola pemerintah dalam hal ini perusahaan listrik negara. Sedang kebutuhan air di
kota-‐kota di kelola pemerintah Perusahaan Air Minum (PAM), sedang di beberapa
desa masih mengakses langsung dari sungai dan mata air. Desa yang kesulitan akses
dari mata air atau sungai terpaksa membeli air mineral untuk kebutuhan minum
sedang mandi dan cuci berharap dari air tanah. Daerah-‐daerah yang sering kesulitan
air tawar terutama di wilayah pesisir dan daerah pegunungan kapur khususnya di
daerah Bukit Jembrana.
Masalah krisis air terjadi merata di wilayah Bali, kecuali lokasi tertentu yang
masih dekat danau, rata-‐rata debit air di sejumlah sungai, waduk, dan danau
dilaporkan telah turun drastis setiap tahun khususnya bulan Agustus sampai
Oktober. Menurut laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
bahwa telah terlihat sejak tahun 1995 defisit air di Bali sebanyak 1,5 miliar m³per
tahun. Defisit terus meningkat hingga 7,5 miliar m³per tahun tahun 2000. Kemudian,
diperkirakan pada tahun 2015 defisit air di Bali akan kekurangan air sebanyak 27,6
Putu Diah Sastri Pitanatri | 3
miliar m³per tahun. Kemudian lebih jelas lagi yang dilaporkan LP3B (Lembaga
Pengkajian dan Pemberdayaan Pembangunan Bali) bahwa satu keluarga Bali
memerlukan air rata-‐rata 100 liter per hari, sedangkan kamar hotel membutuhkan,
200 liter per hari per kamar yang tercatat sebanyak 15.906 unit (1999)
membutuhkan air rata-‐rata 3.181.200 liter per hari. Belum lagi jumlah kebutuhan
rumah tangga mencapai 76.335.000 liter untuk 7763.550 Kepala Keluarga (KK).
Selanjutnya, sejumlah daerah tercatat mengalami krisis air, antara lain: Tirta
Mas Mampeh di Kintamani, Denpasar, Negara, Batu Agung, Singaraja, Besakih
(Karangasem), Semarapura (Klungkung), dan Nusa Penida. Perosalan krisis air di Bali
berdampak pada kehidupan sosial. Krisis air di Bali telah memicu konflik antar warga
dengan warga, petani dengan petani, petani dengan perusahaan air minum.
Beberapa kasus konflik masalah air yang muncul di media lokal antara lain;
ketegangan antara warga subak dengan pihak swasta di Jatiluweh, Kabupaten
Tabanan. Warga subak dengan perusahaan air minum daerah (PDAM) di Yeh
Gembrong, Kabupaten Tabanan. Dan, antara warga masyarakat dengan pemerintah
kabupaten.Telaga Tunjung, Kabupaten Tabanan.
3. Perkembangan Pariwisata dan Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih
Indikasi pesatnya perkembangan pariwisata di Bali terlihat dari meningkatnya
jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Bali selama 5 tahun terakhir
ditunjukan oleh data BPS berikut ini.
Tabel 1 Kedatangan Wisatawan Mancanegara ke Bali 2009-‐2013
NO NATIONALITY 2009 2010 2011 2012 2013
I ASIA PACIFIC EXCLUDING ASEAN 1 Hongkong 9,370 15,172 21,968 27,426 37,412 2 Indian 30,813 40,777 50,435 46,632 64,578 3 Japanese 319,473 246,465 183,284 191,836 208,115 4 South Korean 123,879 124,964 126,709 121,846 134,452 5 Pakistani 1,544 1,300 1,806 1,246 1,038 6 Bangladeshi 1,032 1,431 1,977 1,716 2,109 7 Srilangkan 458 661 773 1,365 1,066 8 Taiwanese 119,413 122,682 129,233 96,128 126,914 9 Chinese 199,538 196,863 236,868 310,904 387,533 10 Australian 446,042 647,872 790,965 823,821 826,385 11 New Zealand 23,707 31,377 37,015 49,044 48,749
Putu Diah Sastri Pitanatri | 4
12 Others Asia Pacific 14,134 22,401 32,012 34,946 29,696
TOTAL 1,289,403 1,451,965 1,613,045 1,706,910 1,868,047 II ASEAN 1 Bruneian 505 614 864 1,781 994 2 Cambodian 458 1,145 764 1,056 2,268 3 Laotian 293 213 374 643 474 4 Malaysian 132,835 155,239 169,719 179,947 199,232 5 Burmese 427 973 1,596 3,326 2,883 6 Philipine 7,475 10,749 13,953 19,451 30,031 7 Singaporean 55,028 94,791 111,181 120,982 138,388 8 Thai 23,463 26,057 32,820 36,169 34,728 9 Vietnamese 4,457 4,640 5,890 8,276 9,495
TOTAL 224,941 294,421 337,161 371,631 418,493 III TOTAL AFRICA 11,324 12,973 14,865 18,964 14,389 IV AMERICA 1 American 74,010 72,145 90,154 94,610 105,863 2 Argentinian 1,416 1,658 2,586 2,744 2,911 3 Brazilian 6,203 6,429 8,365 8,942 9,379 4 Canadian 22,906 24,362 30,443 29,410 33,508 5 Mexican 1,976 2,435 2,828 2,944 3,543 6 Others America 3,217 6,065 5,075 6,945 7,683
TOTAL 109,728 113,094 139,451 145,595 162,887 V EUROPE 1 Austrian 11,228 10,608 10,962 16,427 14,207 2 Belgian 13,543 11,765 12,390 12,865 15,690 3 Dutch 74,409 75,312 69,673 62,085 72,341 4 Luxemburg 401 722 501 500 816 5 Danish 13,594 11,098 13,205 12,167 12,923 6 British 92,898 104,375 107,975 115,429 122,406 7 Italian 19,446 20,220 20,925 20,609 29,106 8 German 74,678 84,207 84,071 85,331 100,663 9 Norwegian 8,098 8,716 10,468 8,863 10,176 10 Swedish 13,954 16,002 17,246 16,404 16,997 11 Finnish 6,341 6,713 7,720 8,064 8,180 12 France 110,244 106,113 111,542 105,417 125,247 13 Spainish 18,101 20,466 19,274 16,405 20,200 14 Portuguese 8,782 8,804 10,654 9,643 12,390 15 Swiss 25,025 21,422 23,650 19,581 25,614 16 Russian 58,974 65,117 75,636 77,869 79,337 17 Others Europe 40,331 42,114 48,264 52,610 53,513 TOTAL 590,047 613,774 644,156 640,269 719,806 VI Middle East 4,502 6,600 7,534 8,079 18,245
VII Other Nationalities -‐ 231 367 571 76,731
TOTAL 2,229,945 2,493,058 2,756,579 2,892,019 3,278,598 (Sumber http://www.disparda.baliprov.go.id/id/Statistik2 )
Putu Diah Sastri Pitanatri | 5
Dari tabel diatas tampak bahwa selalu terdapat peningkatan jumlah
wisatawan mancanegara selama 5 tahun terakhir. Pada tahun 2009 kedatangan
wisatawan hanya sebanyak 2,229,945 wisatawan, meningkat pesat sehingga pada
tahun 2013 kedatangan wisatawan mencapai sebesar 3,278,598. Melihat data ini
tentu terdapat relasi dengan jumlah pemakaian air bersih yang dibutuhkan.
Selanjutnya, dengan bertambahnya infrastruktur yang diperlukan juga
membutuhkan lahan dalam pemenuhannya, sehingga alih fungsi lahan pertanian
seakan-‐akan tak terkendalikan lagi. Ashrama (2005: 3) menyebutkan selama satu
dasawarsa terakhir rata-‐rata 1.000 hektar pertahun lahan sawah di Bali terkonvensi
menjadi beraneka macam sarana pariwisata: hotel, villa, mall dan sejenisnya. Lebih
dari pada itu, semakin banyaknya anak petani Bali yang tidak merasa keberatan
kehilangan lahan pertaniannya. Mereka lebih suka memilih bekerja di hotel,
arthshop atau menjadi pengemudi bus pariwisata dibanding menanam padi di
sawah.
Strategi pengembangan air baku secara komprehensif yang meliputi
penyediaan sumber air baku dari air permukaan, air tanah, dan mata air
memerlukan terobosan terbaru berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejak
tahun 1980-‐an, studi tentang penyiapan air baku di Bali telah banyak dilakukan,
namun hingga kini belum terlihat akan dilakukan implementasinya secara terpadu.
Permasalahan penyiapan air baku seolah berpacu dengan pertambahan penduduk
Bali, alih fungsi lahan, dan pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Pada
akhirnya, apabila tidak segera disiapkan sumber penyediaan air baku yang
representatif, maka industri pariwisata akan sangat mudah menjadi kambing hitam
yang paling empuk dijadikan sasaran kemarahan masyarakat.
Hal ini terjadi karena secara mudah dapat dilihat bahwa pemanfaatan air
untuk kepentingan pariwisata Bali terlihat sangat boros. Menurut laporan LP3B
(Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Pembangunan Bali), hotel memerlukan
2.000 liter hingga 3.000 liter per kamar per hari (tergantung kelas hotel/resort) dan
setiap lapangan golf 18 hole membutuhkan 3.000.000 liter per hari. Padahal
pemanfaatan air bersih bagi aktivitas pertanian,khususnya padi merupakan kegiatan
Putu Diah Sastri Pitanatri | 6
yang memerlukan air dalam jumlah yang besar. Belum lagi pemenuhan kebutuhan
industri minuman kemasan/botol yang menyedot air tanah dalam jumlah yang
sangat besar.
Sedangkan jika merujuk penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan
Hidup pada 1997 silam menyebutkan jika Bali akan mengalami krisis air pada 2013
sebanyak 27 miliar liter. Membandingkan kedua data tersebut memperlihatkan
bahwa saat ini saja Bali telah mengalami krisis air. Kebijakan pemerintah provinsi Bali
untuk menaikkan pajak air bawah tanah hingga 1000 persen juga tidak akan
membantu Bali dalam menghadapi krisis air bersih.
4. Pengolahan Air Laut menjadi Air Bersih
Melihat permasalahan diatas, salah satu alternatif pemecahan masalah
adalah melalui teknologi pengolahan air laut manjadi air bersih. Secara garis besar
terdapat 3 cara pengolahan air laut / air payau menjadi air tawar seperti
pengggunaan teknologi pengolahan air laut seperti desalinasi air laut ( menyuling air
laut ), filtrasi dan ionisasi (pertukaran ion). Sumber air asin/payau yang sifatnya
sangat melimpah telah membuat manusia berfikir untuk mengolahnya / mengubah
air laut menjadi air tawar. Sehingga dengan adanya pengolahan air laut menjadi air
bersih akan mudah untuk mendapatkan air minum meskipun tidak seperti air minum
yang telah ada di daratan.
Proses pengolahan air laut / air payau menjadi air bersih atau sering dikenal
dengan istilah desalinasi air laut dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam yaitu:
a) Pengolahan air laut Proses destilasi air laut (penyulingan)
Proses destilisasi air laut memanfaatkan energi panas untuk menguapkan air
asin. Uap air tersebut selanjutnya didinginkan menjadi titik-‐titik air dan hasil
ditampung sebagai air bersih yang tawar.
b) Pengolahan air laut Proses penukar ion
Pada tahun 1852, Way menemukan bahwa menghilangkan ammonia dalam
larutan air yang meresap melalui tanah sesungguhnya berupa pertukaran ion
dengan kalsium yang terkandung di dalam sejenis silica tertentu dalam tanah.
Dewasa ini penukaran ion pada air sudah menjadi proses konversi kimia yang
Putu Diah Sastri Pitanatri | 7
sangat bermanfaat. Proses ini digunakan secara luas dan skala besar di
industri.
c) Pengolahan air laut Proses filtrasi (filter air laut)
Proses ketiga ini lebih dikenal dengan Sea Water Reverse Osmosis atau sistem
osmosis balik (Reverse Osmosis). Sea Water Reverse Osmosis (SWRO) adalah
salah satu teknologi pengolahan air laut menjadi air tawar yang paling sering
digunakan untuk memenuhi kebutuhan air minum. Keistimewaan dari proses
pengolahan air laut ini adalah mampu menyaring molekul yang lebih besar
dari molekul air.
5. Pengolahan air laut dengan Sea Water Reverse Osmosis (SWRO)
Diantara tiga alternatif pengolahan air laut yang telah disebutkan diatas,
maka salah satu alternatif yang direkomendasikan adalah melalui teknologi Sea
Water Reverse Osmosis (SWRO). Hal ini dikarenakan sumber air tidak hanya dapat
diperoleh dari air laut namun juga air tanah, mata air, air sungai, dan air danau
sehingga dapat mampu diterapkan di beberapa daerah kritis air di Bali. Selain itu
Kementerian Pekerjaan Umum melalui Ditjen Cipta Karya juga telah membangun
Instalasi Pengolahan Air Laut (IPAL) menjadi air minum di Pulau Mandangin,
Sampang, Jawa Timur pada tahun 2012 silam1.
Adanya teknologi pemurnian atau penyulingan air laut menjadi air minum,
masyarakat di pulau itu nantinya tidak akan lagi kesulitan untuk mendapatkan air
bersih dan air minum dan kebutuhan pokok lainnya. Bahkan dengan menggunakan
teknologi Sea Water Reverse Osmosis (SWRO) yang diterapkan harga air minum bisa
jauh lebih murah dibanding harga air minum yang selama ini berlaku di masyarakat,
yakni hanya Rp 9.000 per kubik. Sebelumnya, masyarakat Pulau Kambing tersebut
biaya mengkonsumsi air minum dengan harga Rp 75.000 per kubik. Saat ini, instalasi
pengolahan air dengan teknologi SWRO di Pulau Mandangin baru memproduksi air
dengan kapasitas lima liter per detik dan bisa ditingkatkan menjadi 10 liter per detik,
bergantung dari kebutuhan. Selain di Pulau Mandangin, Sampang, Menteri PU juga
akan meresmikan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Perumnas Kecamatan 1 Sumber www.jatimprov.go.id
Putu Diah Sastri Pitanatri | 8
Driyorejo, Gresik. Oleh sebab itu maka sangat mungkin bagi Bali di dalam
pengembangan destinasi pariwisata untuk menerapkan teknologi yang sama
sehingga pemenuhan kebutuhan air bersih dapat tercapai.
Teknologi pengolahan air laut / Sea Water Reverse Osmosis menggunakan
proses membrane. Pemisahan air dari kandungan mineral dan mikro organisme
yang tidak dikehendaki didasarkan pada proses penyaringan dengan skala molekul.
Untuk menghasilkan air tawar(air murni), pemompaan dilakukan dengan tekanan
tinggi ke modul membrane yang mempunyai dua outlet yaitu outlet yang
menhasilkan air tawar (air bersih) dan outlet yang menghasilkan air garam/mineral
yang telah dipekatkan. Dalam proses membrane, terjadi proses penyaringan air laut
berdasarkan ukuran molekul, yaitu partikel yang molekulnya lebih besar dari molekul
air, seperti:
1. Larutan garam/mineral
2. Zat organik tertentu
3. Bakteri, virus, patogen, dan sebagainya
Aplikasi utama pengolahan air laut dengan Sea Water Reverse Osmosis
adalah menghilangkan larutan garam/desalinasi dengan efek tambahan untuk
menghilangkan zat-‐zat serta organisme lainnya. Biasanya filter air Reverse Osmosis
terdiri dari 3 sistem, yaitu :
1. Pengolahan air tawar (tap water Osmosis)
2. Pengolahan air payau (brackish water treatment)
3. Pengolahan air laut (sea water treatment)
Dalam proses filtrasi atau teknologi membran dikenal elektrodialisis dan
reverse osmosis. Dari dua teknologi membran tersebut reverse osmosis yang paling
sering dipakai saat ini sebagai teknologi Sea Water Reverse Osmosis (SWRO)
Putu Diah Sastri Pitanatri | 9
Gambar 1 Proses SWRO
(Sumber http://nanosmartfilter.com )
Dari gambar diatas tampak bahwa terdapat 7 tahapan didalam pemurnian air
laut ini yaitu:
1. Air laut melalui pipa dengan kedalaman satu meter dari permukaan laut
disedot dengan pompa untuk disaring dan terlebih dahulu dipisahkan
dari benda pengotor seperti partikel padatan, plangton, pasir, dan lainya.
2. Dalam unit sand filtered water tank air asin /air payau disaring dari pasir
yang ikut terbawa dalam air setelah terbebas dari partikel pengotor air
ditampung dalam sebuah tangki, backwash water tank.
3. Agar air tersebut dapat benar-‐benar bersih maka perlu beberapa tahap
penyaringan air, pada elemen cartridge filter air laut kembali disaring. Ini
merupakan proses penyaringan akhir untuk partikel padatan dan mampu
menyaring partikel dengan ukuran terkecil sekalipun.
4. Komponen utama instalasi pemurnian air ini adalah mesin Reverse
osmosis. Ini terdiri dari dua mesin yaitu Reverse osmosis I dan Reverse
osmosis II.
5. Di dalam unit ini air tawar dan air asin dipisahkan dengan menggunakan
membran semi permiabel. Aliran air akan berbalik yakni dari air asin ke
air tawar melalui membran semi perniabel bila diberikan tekanan yang
lebih besar dari tekanan osmosisnya. Pada proses ini air laut dimurnikan.
Putu Diah Sastri Pitanatri | 10
Semula yang berasa asin dapat dinetralkan sehingga menjadi tawar.
Mesin pengolahan air ini dengan memanfaatkan membran yang dapat
mengikat ion-‐ion penyebab rasa asin sehingga diperoleh air tawar.
6. Pada Reverse osmosis I, air asin / air paytau dapat ditawarkan menjadi
air murni 90 persen dan diperoleh air yang benar-‐benar murni pada
Reverse osmosis II.
7. Ampas dari hasil sisa garam kembali dibuang ke laut.
Air yang dihasilkan instalasi pemurnian ini memiliki kandungan mineral
yang dibutuhkan tubuh. Kandungan mineral yang dihasilkan dari fasilitas pemurnian
ini memakai standar internasional jadi aman dikonsumsi untuk masyarakat. Proses
sterilisasi air untuk membasmi kuman dan mikroorganisme pemurnian air tersebut
menggunakan klorin dengan konsentrasi tertentu. Kandungan klorin diperiksa setiap
harinya. Kandungan klorin yang digunakan masih di bawah standar yaitu 0,2 ppm.
SWRO juga memiliki kelebihan yang sangat khusus sebagai model pengolah
air asin yaitu:
• Energi Yang Relatif Hemat yaitu dalam hal pemakaian energinya. Konsumsi
energi alat ini relatif rendah untuk instalasi kemasan kecil adalah antara 8-‐9
kWh/T (TDS 35.000) dan 9-‐11 kWh untuk TDS 42.000.
• Hemat Ruangan. Untuk memasang alat SWRO dibutuhkan ruangan yang
cukup hemat.
• Mudah dalam pengoperasian karena dikendalikan dengan sistem panel dan
instrumen dalam sistem pengontrol dan dapat dioperasikan pada suhu
kamar.
• Kemudahan dalam menambah kapasitas.
Salah satu kelemahan SWRO, sama seperti halnya pengolahan air dengan
metode lainnya yaitu sangat bergantung pada kualitas air baku yang akan diolah.
Kualitas air baku yang buruk akan membutuhkan sistem pengolahan yang lebih
rumit. Apabila kualitas air baku mempunyai kandungan parameter fisik yang buruk
Putu Diah Sastri Pitanatri | 11
(seperti warna dan kekeruhan), maka yang membutuhkan pengolahan secara lebih
khusus adalah penghilangan warna, sedangkan proses untuk kekeruhan cukup
dengan penjernihan melalui pengendapan dan penyaringan biasa. Tetapi apabila
kualitas air baku mempunyai kandungan parameter kimia yang buruk, maka
pengolahan yang dibutuhkan akan lebih kompleks lagi.
Untuk daerah pesisir pantai dan kepulauan kecil, air baku utama yang
digunakan pada umumnya adalah air tanah (dangkal atau dalam). Kualitas air tanah
ini sangat bergantung dari curah hujan. Jadi bila pada musim kemarau panjang, air
tawar yang berasal dari air hujan sudah tidak tersedia lagi, sehingga air tanah
tersebut dengan mudah akan terkontaminasi oleh air laut. Ciri adanya intrusi air laut
adalah air yang terasa payau atau mengandung kadar garam khlorida dan TDS yang
tinggi.
Air baku yang buruk, seperti adanya kandungan khlorida dan TDS yang tinggi,
membutuhkan pengolahan dengan sistem Reverse Osmosis (RO). Sistem RO
menggunakan penyaringan skala mikro (molekul), yaitu yang dilakukan melalui suatu
elemen yang disebut membrane. Dengan sistem RO ini, khlorida dan TDS yang tinggi
dapat diturunkan atau dihilangkan sama sekali. Syarat penting yang harus
diperhatikan adalah kualitas air yang masuk ke dalam elemen membrane harus
bebas dari besi, manganese dan zat organik (warna organik). Dengan demikian
sistem RO pada umumnya selalu dilengkapi dengan pretreatment yang memadai
untuk menghilangkan unsur-‐unsur pengotor, seperti besi, manganese dan zat warna
organik.
6. Kesimpulan dan Saran
Jika teknologi SWRO akan diterapkan di pulau Bali sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan sektor pariwisata dan sektor terkait lainnya, maka agar
pelaksanaannya dapat dilaksanakan secara optimal maka terdapat beberapa langkah
strategis yang dapat dilakukan.
Putu Diah Sastri Pitanatri | 12
Pertama, memetakan wilayah mana saja yang mengalami krisis air, sehingga
ada gambaran jumlah kebutuhan operasional yang diperlukan untuk dikerahkan ke
wilayah-‐wilayah tersebut.
Kedua, menerapkan prinsip manajemen Sistem Penyediaan Air Minum
(SPAM), yaitu dengan melibatkan masyarakat setempat dalam mengelola sumber
daya air melalui Teknologi Sea Water Reverse Osmosis ini. Sehingga muncul rasa
tanggung jawab dari masyarakat untuk senantiasa merawat dan memanfaatkan
teknologi ini dengan baik. Pelibatan masyarakat harus disertai pemberian
keterampilan dan pengetahuan tentang Teknologi Sea Water Reverse Osmosis
melalui kursus maupun pelatihan secara perorangan maupun kelompok dari
masyarakat setempat.
Ketiga, agar distribusi air merata ke seluruh wilayah maka perlu ada
penambahan jumlah kapal tangki pengangkut air sesuai dengan jumlah wilayah yang
mengalami krisis air bersih. Selain itu, setiap wilayah yang mengalami krisis air
minimal harus mempunyai tangki penampungan air sendiri sebagai wadah
penyimpanan cadangan air sebelum disalurkan kepada masyarakat.
Keempat, melihat persediaan yang terbatas jumlahnya maka perlu adanya
penghematan air yaitu dengan membatasi penggunaan air di lingkungan masyarakat.
Kelima, hal yang terpenting dari semua sistem yang telah dibentuk adalah
perlu adanya komitmen dan konsistensi dari seluruh pihak baik itu Pemerintah,
masyarakat maupun stakeholder lainnya dalam menjaga, memelihara,
merencanakan, mengembangkan dengan baik dan memantau serta mengevaluasi
penerapan teknologi tersebut.
Dari setiap masalah niscaya akan ada jalan keluar selama kita mau berjuang
keluarnya untuk keluar dari masalah tersebut. Begitu pun dengan kondisi Bali saat ini
merupakan sebuah masalah yang tidak mungkin tidak ada jalan keluarnya. Kami
yakin jika teknologi ini dapat dikelola dan diterapkan dengan baik, maka krisis air
bersih di beberapa wilayah di Bali dapat diatasi, minimal dengan terpenuhinya
kebutuhan air minum dan air bersih untuk seluruh penduduk di wilayah tresebut.
Putu Diah Sastri Pitanatri | 13
DAFTAR PUSTAKA Arie, H. N., Nusa, I. D., dan Haryoto, I.1996. Studi Kelayakan Teknis dan Ekonomis
Unit Pengolahan Air Sistem Reverse Osmosis Kapasitas 500 m3/hari untuk Perusahaan Minyak Lepas Pantai. P.T Paramita Binasarana. Jakarta.
Brown, J.R. and C.S. Dew, 1999, ‘Looking Beyond RevPAR: Productivity Consequences of Hotels Strategies’, Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly, Vol.40, No.2, pp.23–33.
Dirjen Cipta Karya PU. 2012. Teknologi Reverse Osmosis Ubah Air Laut Jadi Air Minum. http://ciptakarya.pu.go.id/v3/?act=vin&nid=1159. Diakses pada tanggal 25 Februari 2012.
Disparda Provinsi Bali http://www.disparda.baliprov.go.id/id/Statistik2 Riyanti, D. dan Widiasa, I. N. 2011. Aplikasi Teknologi Reverse Osmosis untuk
Pemurnian Air Skala Rumah Tangga. TEKNIK-‐Vol. 32 No. Tahun 2011. ISSN 0852-‐1897.
Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor: KM.3/HK.001 /MKP.02 tentang Formulir Penilaian Penggolongan Kelas Hotel: Self Assesment. 27 Februari 2002
Said, N. I. 2010. Pengolahan Payau Menjadi Air Minum dengan Teknologi Reverse Osmosis. Jakarta.
Sweeting, J. E. N. & Sweeting, A.R. (2003). A Practical Guide to Good Practice, Managing Environmental and Social Issues in the Accommodation Sector. Tour Operators Initiative for Sustainable Tourism Development, Centre for Environmental Leadership in Business.
Undang-‐Undang Republik Indonesia. Nomor 10.Tahun 2009. Tentang Kepariwisataan. http://www.budpar.go.id/userfiles/file/4636_1364-‐UU Tentang Kepariwisataannet1.pdf . Diunduh tanggal 25/12/2014
UNWTO. 2009. From Davos to Copenhagen and Beyond: Advancing Tourism’s Response to Change. UNWTO Background Paper. http://sdt.unwto.org/sites/all/files/docpdf/fromdavostocopenhagenbeyondunwtopaperelectronicversion.pdf Diunduh tanggal 25/12/2014
Rybar, Stefan, Mariana Vodnar, Florin Laurentiu Vartolomei, Roberto León Méndez, Juan Blas Lozano Ruano Experience with Renewable Energy Source and SWRO Desalination in Gran Canaria. International Desalination Association World Congress: SP05-‐100
http://www.membranes.com/docs/papers/New%20Folder/Soslaires%20Canarias%20Desalination%20Plant.pdf
http://web.stanford.edu/group/ees/rows/presentations/Voutchkov.pdf http://www.jatimprov.go.id http://nanosmartfilter.com