Upload
khangminh22
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
BAB IV
DAMPAK NASIONALISASI TERHADAP KEADAAN SOSIAL
EKONOMI PETANI GARAM DI MADURA
A. Keadaan Sosial Ekomoni Petani Garam setelah dilakukan
Nasionalisasi.
Struktur kepegawaian Perusahaan Garam mengalami perubahan ketika
dilakukan nasionalisasi pada tanggal 17 Agustus 1950. Segala bidang administrasi
yang dilakukan Perusahaan Garam dibekukan. Para pegawai Perusahaan Garam
banyak yang berpindah dan mendaftarkan diri menjadi pegawai RI.1 Sesuai
dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat. No 25 Tahun 1950.
Tentang hak pengangkatan dan pemberhentian pegawai-pegawai Republik
Indonesia Serikat, maka pegawai-pegawai yang masuk dalam Perusahaan Garam
harus mendaftarkan diri sebagai pegawai Republik Indonesia Serikat untuk
menjadi pegawai negeri atau menjadi pegawai tidak tetap.2
Para pegawai dan masyarakat petani garam digambarkan sebagai komunitas
yang menjunjung tinggi kebersamaan, memiliki ikatan sosial yang kuat dan
senantiasa menjaga harmoni. Para pegawai dan petani garam bermata pencaharian
sebagai petani garam. Petani garam terbagi kedalam lapisan sosial yang
berdasarkan penguasaan tanah. Pelapisan tersebut tidak hanya nyata dalam arti
fisik, tetapi juga sebagai pengetahuan umum masyarakat. Nyata secara fisik
1 Arsip kementrian Penerangan., Koleksi Bapersip Jawa Timur, No. 167. 2 Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat. No 25 Tahun 1950.,
Koleksi Bapersip Jawa Timur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
menunjuk pada besar kecilnya luas tanah yang dikuasai seseorang, sedangkan
sebagai pengetahuan menunjuk pada persepsi masyarakat tentang tanah dan
penguasa/pemiliknya yaitu Perusahaan Garam.
Masyarakat yang menjadi pegawai Perusahaan Garam mendapatkan upah
sesuai dengan jenis pekerjaanya, sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh
Perusahaan Garam pada tahun 1950-1952, pembagian gaji tersebut dibagi sesuai
dengan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki pegawai Perusahaan Garam.
Tabel.2 Gaji yang Diberikan Perusahaan Garam Tahun 1950-1952
No Golongan Gadji Perhari
Laki-Laki Perempuan
18 Keatas 18 Kebawah 18 Keatas 18 Kebawah
1 Opas, Djongos F 0,30 F 0,24 F 0,25 F 0,20
2 Kepala Pekerdja F 0,40 F 0,32 F 0,25 F 0,20
3 Djurnalis F 0,50 F 0,40 F 0,45 F 0,36
4 Sopir F 0,60 F 0,48 F 0,50 F 0,40
5 Djuru Ketik F 0,70 F 0,56 F 0,60 F 0,48
6 Pekerjaan Jang
Memerlukan Teknik
Khusus
F 0,80 F 0,64 F 0,70 F 0,56
7 Pekerja Jang
Mempunyai Idjasah
F 1 F 0,80 F 0,90 F 0,72
Sumber: Peraturan Gaji Perusahaan Garam Tahun 1950-1952, Koleksi Bapersip
Jawa Timur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Dari tabel data upah pegawai Perusahaan Garam tahun 1950-1942, dapat
diketahui setelah Nasionalisasi Perusahaan Garam di Madura, sudah terdapat
pembagian kerja yang sesuai dengan kemampuan dan teknik yang dimiliki oleh
pekerja. Selain itu pembayaran juga diberikan sesuai dengan kemampuan dan
golongan yang dimiliki. Pegawai rendahan, seperti jongos dan opas memiliki gaji
paling rendah, karena pekerjaan sebagai pembantu dan penjaga tidak
membutuhkan ijasah dan pengetahuan tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan
kepala pekerja yang mendapat gaji sebulan rata-rata sebesar f 24, karena jabatan
kepala pekerja tidak membutuhkan keterampilah khusus, juru tulis rata-rata dalam
sebulan mendapatkan f 36 sebulan, karena juru tulis mempunyai keterampilan
serta mempunyai kemampuan khusus. Jabatan sopir mempunyai penghasilan
sebesar f 39 dalam sebulan, karena sopir merupakan bagian terpenting dalam
menjalankan distribusi pemasaran garam yang dikirim lewat jalur darat. Juru
tulis/ketik mempunyai tugas untuk membuat laporan keuangan dan membuat
surat-surat, mendapat gaji sebesar f 48 sebulan. Pekerja-pekerja yang mempunyai
kemampuan teknik, adalah pekerja yang mengoperasikan alat-alat produksi sepeti
mesin pengering garam, mereka mendapat gaji sebesar f 60 sebulan, serta pekerja
yang mempunyai keterampilan dan ijasah mendapat gaji f 66 dalam sebulan.
Berdasarkan prinsip diferensiasi dalam pembagian pekerjaan, menurut
Smelser, kondisi pembagian pekerjaan akan memunculkan statifikasi baru di
golongan masyarakat.3
3 Sartono Kartodirjo., Sejarah Sosial Konseptualisasi, Model Dan
Tantangannya, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 10.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
1. Pengaruh Nasionalisasi Perusahaan Garam Terhadap Sruktur
Birokrasi Perusahaan Garam.
Setelah Nasionalisasi tahun 1950, penguasaan garam berada dalam monopoli
pemerintah, tetapi dalam praktiknya pemerintah telah kehilangan kontrol terhadap
produksi dan distribusi serta perdagangan garam yang semakin hari semakin
didominasi oleh pengusaha/pedagang Cina.4 Pengawasan yang kurang efektif dan
kedudukannya yang monopolistik mendorong para pedagang Cina
mempermainkan harga, sehingga pada tingkat petani harga garam sangat
fluktuatif. Sebagai contoh pada ahkir tahun 1950-an harga garam di Madura dan
sekitarnya mencapai 75 sampai 80sen/kg, tetapi pada waktu lain yang tidak
berselang lama dapat berubah menjadi 2 sampai 8 sen/kg.5 Sebagai salah satu
sektor ekonomi penting, kondisi penguasaan garam mempengaruhi industri lain
seperti industri pengawetan ikan, serta berpengaruh terhadap daya beli masyarakat
yang pada waktu itu masih menghadapi bahaya penyakit gondok. Kondisi ini
diperparah dengan adanya etnis Cina yang memonopoli distribusi garam di tingkat
petani.
Keturunan Cina mampu membeli dan menyewa tambak-tambak garam di
Madura karena mereka masih memiliki aset yang sudah mereka kumpulkan
4 Wawancara dengan Ganti tanggal 24 Agustus 2013. Setelah perang
berakir yang menguasai lahan-lahan garam ya para dauke dan petani yang dahulu
menguasai lahan itu atau keturunan dan kerabatnya, tapi ada juga dauke-dauke
baru yang memiliki koneksi dengan pemerintah. Untuk orang kecil pada
umumnya tidak berani, meskipun ada juga 1-2 orang yang berani nekat (biasanya
memilih hubungan dengan penguasa desa) 5 Yeti purwaningsih., “Petani Garam Dan Jeratan Kapitalisme, Studi
Kasus Pada Petani Garam Di Desa Bunder Madura”, dalam seri Jurnal Penelitian
Dan Kebudayaan Vol 4 edisi April 2012, hlm 5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
selama masa kolonial Belanda. Sistem yang dikembangkan oleh pemerintah
kolonial Belanda telah memungkinkan mereka untuk menabung dan akhirnya
dapat digunakan untuk meneruskan bisnis setelah Indonesia merdeka.6
Masyarakat pribumi yang sudah miskin sejak zaman kolonial Belanda, tidak
mampu berbuat banyak untuk membangun perekonomian dan memperbaiki nasib.
Perusahaan Garam yang memiliki wewenang untuk mengatur tata niaga
garam, justru tampak tidak mampu melakukan kontrol terhadap mekanisme
industri dan perdagangan garam pada waktu itu. Alasan pemerintah masih
mempertahankan politik monopoli adalah :
1. Masih dipegangnya monopoli garam oleh pemerintahan menjadikan
semua keuntungan perusahaan jatuh pada kas negara, untuk
kepentingan umum dan kondisi perekonomian Indonesia masih
terpuruk akibat perang revolusi.
2. Sehubungan hal ini, diperingatkan akan maksud pasal 38 UUDS
Republik Indonesia yang menghendaki supaya produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara.
3. Kualitas garam yang dibikin rakyat ternyata pada umumnya jauh
kurang dari kualitas garam pemerintah. Sehubungan hal itu, ada tiga
jenis garam dilihat dari segi kualitasnya yakni: (a) Putih sekali (PS),
garam ini pembuatannya menggunakan teknik Portugis, (b) Putih (P),
6 Badan Perpustakaan dan Kearsipan Profinsi Jawa Timur., Sejarah
Perum Garam, (Surabaya: Bapersip, 2012), hlm. 12.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
(c) Maduse (M). Jenis garam yang terakir ini warnanya agak
kecoklatan.
4. Menurut laporan Kementerian Kesehatan, penggaraman-penggaraman
partikelir di pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur membahayakan
karena menjadi sumber penyakit malaria.
5. Penggaraman-penggaraman yang diproduksi pemerintah, kenyataanya
dapat menghasilkan garam yang melebihi kebutuhan dalam negeri.
6. Untuk memberantas penyakit gondok di daerah tertentu di seluruh
Indonesia perlu disediakan garam briket yang mengandung yodium.
7. Pemerintah berhasil menyediakan garam bagi rakyat dengan harga
rendah di daerah-daerah pedalaman.7
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah berpendapat bahwa sistem
monopoli garam harus dipertahankan dan setidaknya dikembalikan seperti
keadaan semula yang sesuai dengan Zout Monopoli Ordonatie 1920. Pemikiran
semacam ini pada prinsipnya hendak mempertahankan sistem monopoli dan
mempertahankan prinsip kedaulatan yang sengaja dicipitakan untuk mengurangi
dominasi perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh asing, sebelum ditetapkannya
undang-undang no 25 tahun 1958 yang mengatur tentang nasionalisasi di
Indonesia, meskipun pada dasarnya tidak sejalan dengan suasana paska
kemerdekaan yang baru saja direbut dari pemerintahan Kolonial Belanda.
7 Dwi Ratna Nurhajarini., op.cit., hlm. 133.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Aset-aset yang dimiliki Perusahaan Garam setelah Nasionalisasi di
Madura adalah sebagai berikut:
1. “Di madura mempunjai dua buah pabrik garam jaitu garam briket di
Krompon dan Kalianget serta 5 lahan tanah penggaraman di Gresik
putih, Sampang, Pamekasan, Nembakor dan Sumenep seluruhnja ada
6000 Ha.
2. Mempunjai sebuah gedung pertemuan yang digunakan untuk
pertemuan para pegawai.
3. Sarana dan prasarana pendjualan garam terdiri dari 15 truk jang
digunakan untuk pengangkutan, serta mempunjai 8 gudang jang
digunakan untuk menampung produksi garam, serta 5 kantor daerah
pengawasan”.8
Selama terjadinya nasionalisasi kepemilikan beralih ke tangan pemerintah.
Semua aset-aset yang diambil alih digunakan untuk mendukung sarana produksi
garam dan mulai diadakannya modernisasi aset-aset yang telah diambil alih
dengan tujuan agar proses produksi berjalan lebih maksimal serta peremajaan alat-
alat yang sudah tua. Dalam melakukan modernisasi alat-alat produksi, pemerintah
Indonesia melakukan kerja sama dengan pemerintahan Belanda, dengan membeli
mesin uap yang digunakan untuk mengeringkan garam dan alat-alat distribusi
yang digunakan untuk transportasi garam. Bangunan-bangunan yang ada mulai
dimanfaatkan sebagai kantor-kantor cabang pengawasan dan sebagai tempat
pertemuan para pegawai Perusahaan Garam. Sesuai dengan program pemerintah
yang berdasarkan pada Laporan singkat Tahun 1950.9 Maka Modernisasi yang
dilakukan menyangkut masalah-masalah :
8 Laporan singkat Tahun 1950., Koleksi Bapersip Jawa timur, No. 98,
hlm. 2. 9 Ibid., hlm 4.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
1.Produksi.
Pada tahun 1950 menggunakan cairan yang disebarkan dibidang
pembuatan garam, ternyata percobaan itu membuktikan bahwa bidang-bidang
tanah menghasilkan 18% lebih banyak dari pada tanah yang tidak diobati. Cara
tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan produksi garam, serta garam yang
dihasilkan bebas dari Mg dan Fed, serta bebas dari lumpur. Termasuk sistem
pengairan dan juga penggunaan obat solivap green.
Hasil produksi Perusahaan Garam seluruhnya terserap. Sementara itu, di
lain pihak, hasil produksi garam rakyat nyaris selalu tersisa sepertiga persen dari
total produksi. Di Perusahaan Garam, pada hasil produksi pertama, garam tidak
langsung dipungut, melainkan tetap dibiarkan di atas lantai. Garam pertama ini
sengaja ‘di korbankan’ menjadi lantai dasar. Tingginya sampai 5 cm dari lantai
tambak. Jadi saat panen, garam yang dikeruk adalah garam yang ada di atas lantai
tambak atau empan. Berbeda dengan garam Rakyat, produksi pertama, garam
langsung dipungut, tak ada yang tersisa kecuali hanya lantai tanah. Proses
produksi yang berbeda memiliki istilah tersendiri: pembuatan garam ala
Perusahaan Garam disebut dengan model ‘Portugis’, sedangkan proses produksi
ala rakyat di sebut model ‘Maduris’.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Sebagai perbandingan ditunjukan hasil produksi garam selama 5 tahun
terakhir, sebagai berikut.
Tabel. 3. Produksi garam Perusahaan Garam tahun 1948-1952
Tahun Jumlah ( Ton)
1948 161000
1949 481000
1950 328000
1951 628000
1952 441000
Sumber : Laporan tahunan Perusahaaan garam tahun 1953, Koleksi
Bapersip Jawa timur
Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa pada tahun 1948 produksi garam di
Madura mencapai 161000 ini dikarenakan pada tahun 1948 di Madura menderita
kelaparan akibat adanya blokade ekonomi yang dilakukan oleh pemerintahan
Belanda, kemudian pada 1949 produksi garam Perusahaan Garam di Madura
mengalami kenaikan, karena mulai digiatkan kembali pengaraman di Madura,
dengan diadakannya peremajaan alat-alat serta area lahan yang dimiliki oleh
Perusahaan Garam bertambah. Pada tahun 1950 mengalami penurunan hasil,
karena pergantian dan nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia,
mengakibatkan masyarakat perlu melakukan penyesuaian dan adanya
permasalahan dalam pemindahan kekuasaan dari pemerintahan kolonial Belanda,
menuju pemerintahan Indonesia. Pada tahun 1951 mengalami kenaikan bahkan
kelebihan produksi, karena selama tahun 1950 pengembangan teknik-teknik baru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
dalam membut garam mampu menghasilkan garam dengan hasil yang melimpah.
Pada tahun 1952 mengalami penurunan produksi, sebab pada tahun 1952, terjadi
pemogkan pegawai akibat rasa tidak puas akan pemimpin yang baru, perusahan
garam dibubarkan dan diganti menjadi Perusahaan Garam Dan Soda Api.
2. Lahan produksi
Luas lahan Perusahaan Garam secara nasional 5340 ha. Tersebar di tiga
kabupaten di Jawa Timur dengan empat daerah penggaraman 1 di Sumenep (2620
ha), Daerah penggaraman 2 di Pamekesan (980 ha), Daerah penggaraman 3 di
kabupaten. Sampang (1100 ha), termasuk di Daerah pengaraman 4 di Gresik
putih, Sumenep (640 ha). Luas lahan Perusahaan Garam ini hanya berselisih
2000-an ha dengan lahan garam rakyat di Jawa Timur, seluas 7002 ha. Lahan
garam rakyat ini tersebar di empat kabupaten di Jawa Timur: Sampang (4200 ha),
Pemekasan,(888 ha), Sumenep (1414 ha), dan Gresik (500 ha).10
Luas lahan yang besar memungkinkan Perusahaan Garam untuk
menghasilkan garam berkualitas. Berbeda dengan luas lahan milik petani yang
rata-rata perorang hanya memiliki 1 sampai 5 hektar. Di Pamekasan, lahan
Perusahaan Garam lebih luas dibandingkan lahan milik rakyat. Status bisnis
Perusahaan Garam sebagai produsen dan memasarkan garam tidak hanya
memproduksi saja, namun mengelola dan memasarkan sendiri hasil produksi. Di
Pamekesan, setelah melalui proses penuaan air hingga pengerukan kristal garam,
Perusahaan Garam membawa hasil panen tersebut ke gudang milik sendiri.
10 Wawancara dengan Mustofa tanggal 1 September 2013.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
3. Sistem Transportasi
Modernisasi juga menyangkut masalah armada-armada garam. Pemerintah
mengadakan kerja sama dengan pemerintahan Belanda untuk mendatangkan
armada 10 kapal tarik (masing-masing bertenaga 80 sampai 1000PK), 6 cunia
(masing-masing memiliki kapasitas 100-1600 ton), dan 1 coaster (memiliki
kapasitas 50-1500 ton)
Modernisasi alat-alat produksi dan transportasi yang dilakukan Perusahaan
Garam ternyata membawa dampak yang negatif bagi petani garam di Madura,
petani garam di Madura semakin terpinggirkan akibat terbatasnya sarana
transportasi yang mereka miliki, untuk memanfaatkan sarana transportasi seperti
menyewa kapal biaya yang dikeluarkan sangat besar, sehingga dalam pemasaran
hasil produksi petani garam hanya memasarkan garam di wilayah Madura saja.11
Para tengkulak dalam menghadapi permasalahan tersebut, justru memanfaatkan
keadaan tersebut, mereka membeli garam rakyat dengan harga yang murah,
kemudian mereka keluar Madura dan menjual garam dengan harga yang tinggi.
Peremajaan alat-alat produksi berpengaruh pada hasil yang didapat petani garam,
kualitas garam yang dihasilkan petani garam sangat sedikit dan jauh dibawah
standart Perusahaan Garam.
Secara tidak langsung nasionalisasi dan revitalisasi yang dilakukan
pemerintah justru membuat petani garam di Madura semakin termaginalkan,
11 Wawancara dengan Jamin tanggal 24 Agustus 2013. Keadaan setelah
diambil alihnya perusahaan semakin kacau, masyarakat semakin sulit
mengantungkan hidup dan memilih pergi meninggalkan Madura.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
perubahan status Perusahaan Garam sebagai perusahaan I.B.W. dalam praktiknya
tidak mampu menampung garam rakyat.
2. Pengaruh Nasionalisasi Perusahaan Garam Terhadap Kehidupan
Sosial Ekonomi Petani Garam Rakyat.
Nasionalisasi Perusahaan Garam tidak hanya berpengaruh terhadap
struktur birokrasi Perusahaan garam, namun berpengaruh juga terhadap kehidupan
sosial ekomoni pegawai dan petani garam di Madura. Daerah Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep merupakan kawasan penghasil garam utama di pulau
Jawa di samping beberapa daerah lain di pantai utara Jawa seperti Rembang dan
Juwana. Setelah dilakukannya nasionalisasi di Madura terdapat beberapa
kelompok sosial petani garam yang masing-masing mempunyai kemampuan yang
tidak sama dalam mengakses sumber-sumber utama produksi garam. Kelompok-
kelompok sosial petani garam di Madura setelah dilakukan Nasionalisasi yaitu,
Grafik.1. Susunan Stratifikasi Petani Garam di Madura tahun 1950-1960
Sumber: Wawancara dengan Jamin tanggal 24 Agustus 2013
PN
Garam
Pemilik Tanah
Petani Buruh (Buruh pengolok, Buruh Perombong,Buruh Angkut),
Mandor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
1. Petani buruh, yaitu petani garam yang tidak memiliki lahan, tapi semata-
mata hanya menggarap atau menjual jasa tenaga kerja yang bekerja untuk
membuat garam krosok pada para petani pemilik lahan. Dari kelompok ini
dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu
a. Buruh perombong (membuat garam) yang bekerja membuat garam
dalam skala kecil 3-4 orang dengan sistem bagi hasil. Luas lahan
yang mereka kerjakan umumnya memiliki skala yang kecil.
b. Buruh pengolok (membenahi petak-petak lahan dan saluran).
Buruh ini mempunyai tugas untuk membenahi petak-petak dan
saluran air pada tambak garam, buruh ini mendapat bayaran setiap
hari.
c. Buruh angkut (mengangkut garam dari lahan ke gubuk/ gudang
garam) buruh ini mempunyai tugas sebagai buruh angkat yang
bertugas membawa garam dari ladang garam menuju gudang
penyimpanan garam, upah yang diberikan berdasarkan sistem
borongan.
d. Buruh mandor, adalah orang kepercayaan pemilik lahan/majikan
dengan sistem mingguan dan bulanan.
2. Petani pemilik, yaitu petani garam pemilik lahan mereka yang memiliki
hak dan penguasaan atas lahan yang digunakan untuk memproduksi garam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
krosok. Kelompok ini memilik hak penuh atas penjualan hasil panen-
menampung hasil dan menentukan harga.12
Dari keempat jenis buruh di atas, buruh perombong merupakan buruh yang
berdiri sendiri, mereka dikategorikan sebagai buruh karena memiliki lahan yang
kecil, kemudian hasil yang dicapai juga cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, atau sebagai petani subsisten. Kemudian buruh pengolok, buruh angkut,
buruh mandor, merupakan satu kesatuan yang bekerja pada pemilik ladang dan
tidak mempunyai lahan sendiri. Diantara kelompok-kelompok sosial petani garam
itu terjadi hubungan-hubungan yang saling terkait, hubungan itu bersifat dinamis
sepanjang waktu dan berkembang.
Selain dari dua kelompok di atas terdapat pemerintah, Perusahaan Garam yang
selama produksi garam lebih menekankan pada pelaksanaan misi bagi
terjaminnya pemerataan distribusi garam secara nasional dan kurang
menempatkan garam sebagai komoditas perdagangan yang terintergrasi dalam
sektor industri lainnya seperti perikanan.13 Sebagai salah satu dampaknya adalah
komoditas garam tidak memiliki organisasi dan birokrasi modern yang memberi
akses memadai pada petani garam sebagai produsen langsung untuk dapat
mendapatkan surplus pada produksinya. Perusahaan Garam sebagai pemegang
monopoli garam lebih cenderung berpihak pada pelaku ekonomi di luar petani
garam. Posisi petani garam mulai termajinalkan karena adanya penutupan akses
ke pasar oleh pelaku ekonomi di jalur pemasaran. Petani garam hanya diposisikan
12 Wawancara dengan Jamin tanggal 24 Agustus 2013. 13 Yeti purwaningsih., op.cit., hlm 7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
sebagai produsen. Kondisi ini diperkuat lagi dengan adanya eksploitasi yang
terwujud dalam bentuk relasi kerja antara petani/perombong/buruh dengan petani
pemilik dan antara petani kecil dengan pelaku usaha lain di jalur pemasaran dan
permodalan.
Masa emas petani garam mulai mengalami kemunduran, semula sebelum
nasionalisasi aset-aset oleh pemerintahan Indonesia para petani mampu membeli
kebutuhan yang bersifat hiburan dan setiap hari memberi rokok dengan kualitas
nomor satu dan serta mampu membeli barang-barang perabotan dan makanan
yang lebih dari pada penduduk yang berladang, namun setelah diadakannya
nasionalisasi kondisi petani garam di Madura mengalami kondisi yang
memprihatinkan, nasionalisasi yang di dianggap mampu menaikan sumber
pendapatan petani garam ternyata tidak sesuai harapan dan kenyataan yang ada.
Selama produksi garam dalam monopoli Perusahaan Garam lebih menekankan
pada pelaksanaan misi terjaminnya pemerataan distribusi garam secara
nasional dan kurang menempatkan garam sebagai komoditas perdagangan
yang terintegrasi dalam sektor industri lainnya.14 Sebagai salah satu dampaknya
adalah komoditas garam tidak memiliki organisasi dan birokrasi modern yang
memberi akses memadai pada petani garam sebagai produsen langsung untuk
dapat menikmati surplus dari produknya.
Respon yang umum dilakukan petani pada saat menghadapi masa-masa sulit
sebagai adaptasi dikemukakan oleh Scott, dalam menghadapi masa-masa sulit
14 Huub De Jonge., op.cit., hlm. 221-222.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
dapat diidentifikasi dalam tiga bentuk. Pertama, mengurangi konsumsi secara
kuantitas dan kualitas (mengetatkan ikat pinggang). Kedua, melakukan alternatif
subsistensi, yaitu swadaya yang mencakup berjualan kecil-kecilan, bekerja
sebagai buruh lepas dan aneka kerja sampingan lainnya. Ketiga, memanfaatkan
jaringan dan ikatan sosial yang dimilikinya (keluarga, tetangga).15 Temuan Scott
itu tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan petani garam di Madura ketika
menghadapi situasi krisis, mereka memiliki beberapa strategi sebagai mekanisme
survival.
Di Madura petani garam dalam menghadapi masa krisis, pada tahap awal
menempuh cara dengan mengandalkan kekuatan dalam diri keluarga yaitu
mencari pekerjaan sampingan dan memperketat konsumsi. Strategi mandiri tidak
berhasil, maka strategi berikutnya adalah ketergantungan pada kelompok yang
lebih besar misalnya, mengadakan hutang piutang dengan kerabat, majikan,
tetangga atau para renternir. Cara terakhir adalah menggadaikan barang atau
menjual barang-barang yang dimilikinya. Untuk kelompok pengepul/agen/
pedagang, masa krisis merupakan momentum yang tepat menebar bantuan pada
petani sebagai patron, meskipun sebenarnya merupakan jeratan agar garam yang
akan dihasilkan dijual kepada mereka dengan harga yang dapat dipermainkan.
Ketika komoditas garam dalam monopoli Perusahaan Garam tidak lagi
dapat mendatangkan keuntungan pada negara bahkan cenderung menjadi beban,
produksi garam dilepas tanpa monopoli dan proteksi yang ditandai dengan
15 James C. Scott., Senjata Orang-Orang Yang Kalah, ter. A. Rahman
Zainuddin dkk, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 2000), hlm. 40.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
dibubarkan Perusahaan Garam.16 Garam tidak lagi menjadi komoditi ekspor yang
pantas diperhitungkan oleh pemerintah Indonesia dan oleh karena itu garam impor
membanjir dan menggilas garam lokal produk petani garam.
3. Pengaruh Nasionalisasi terhadap perekonomian Madura.
Nasionalisasi terhadap Perusahaan Garam tidak hanya terjadi pada pegawai-
pegawainya, namun juga pada aset-aset milik Perusahaan Garam, sehingga
berpengaruh pada sistem keuangan Madura. Madura sebelum Nasionalisasi
Perusahaan Garam memiliki sistem ekonomi mandiri yang penghasilanya berasal
dari laba Garam yang berhasil dijual oleh Perusahaan garam.17 Setelah Perusahaan
Garam diambil alih oleh pemerintahan Republik Indonesia, roda perekonomian
Madura sepenuhnya bergantung pada subsidi pemerintahan. Subsidi yang
diberikan pemerintah pada dasarnya bersifat tunjangan yaitu untuk memenuhi
kebutuhan pegawai dan kebutuhan pelaksanaan produksi garam dengan rincian
sebagai berikut :
1. “Perusahaan garam mendapat subsidi dari pemerintah sebesar tiga djuta
rupiah sebulan.
2. Setengah dari djumlah tersebut digunakan untuk kebutuhan pegawai dan
pelaksanaan produksi garam
3. Sisanja digunakan untuk melaksanakan pembangunan sarana publik di
Madura”.18
16 Surat kepada Regi Garam, tanggal 20 Febuary 1952. Tentang
perubahan nama Regi Garam menjadi nama baru, Koleksi Bapersip Jawa timur,
No. 0618. 17 Dwi Ratna Nurhajarini., op.cit., hlm.154. 18 Surat dari perusahaan garam negeri kepada kepala pengaraman
Sumenep. Tentang peraturan pemberian dana subsidi pemerintah, Koleksi
Bapersip Jawa timur. No. 45.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Subsidi yang diterima oleh Perusahaan Garam pada mulanya melalui
Departemen Dalam Negeri kemudian turun ke pemerintah daerah tingkat Satu
Jawa Timur dan terakhir melalui Pemerintah Daerah tingkat dua Madura yaitu
Pimpinan Perusahaan Garam. Subsidi tersebut dikelola oleh sirkulasi keuangan
Perusahaan Garam yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi serta
untuk menggaji para buruh. Sisa dana kemudian digunakan untuk membuat
pembangunan sarana insfrastruktur di Madura yang mencangkup masalah
pengadaan air bersih, saranan kesehatan dan pembuatan sekolah serta jalan.19
Kondisi geografis di Madura yang tandus membuat daerah ini mengalami
kelangkaan air tawar yang bersih, sehingga dengan adanya dana tersebut
kebutuhan akan air dapat dipenuhi, selain itu untuk meningkatkan kecerdasaan,
dibuat madrasah di Sampang, Pamekasan, dan Kalianget. Sekolah didirikan berkat
kerja sama antara Perusahaan Garam dengan pemerintah. Pada masa peralihan
membuat situasi keuangan Perusahaan Garam mengalami kesulitan. Keadaan ini
selaras dengan situasi politik dan Ekonomi Indonesia, yang baru merdeka.
Akibat kekuasaan Perusahaan Garam yang telah bergeser ke tangan
pemerintah Republik Indonesia, banyak dari pegawai Perusahaan Garam memilih
untuk pindah menjadi pegawai Republik Indonesia. Meskipun dirasa sangat berat
oleh para petani garam untuk meninggalkan ladang garam namun kebutuhan
ekonomi lebih mendesak.20
19 Wawancara dengan Mustofa tanggal 1 September 2013. 20 Ibid.,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
B. Sengketa Lahan Garam Antara Perusahaan Garam Dengan Petani
Garam
Persoalan konflik agraria bisa jadi termasuk masalah laten di Indonesia. Sejak
zaman kolonial, persoalan tersebut telah muncul mewarnai perjalanan bangsa
Indonesia. Para era kemerdekaan, konflik yang didasari oleh sengketa tanah masih
belum terselesaikan, termasuk kasus ladang garam di Madura. Bagi petani, tanah
bukan saja penting dari segi ekonomi dan menjadi kriteria terhadap status sosial
pemiliknya. Di luar konteks ekonomis dan sosiologis itu, tanah juga bernilai
politis ketika bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan.21
Dunia penggaraman di Madura setelah dilakukannya Nasionalisasi sarat akan
konflik yang berkepanjangan sampai masa reformasi yang tidak tuntas. Potensi
konflik ladang garam ini sebenarnya bermula sejak zaman pemerintahan kolonial
Belanda, sekitar tahun 1930an, ketika pemerintah kolonial Belanda merampas
hak-hak ladang garam rakyat. Perjanjian antara pemerintah kolonial dengan rakyat
setempat melalui kepala desa pada tahun 1936, yang memuat penguasaan ladang
garam rakyat kepada pemerintahan kolonial berupa hak sewa dalam jangka waktu
50 tahun. Dengan perjanjian ini ladang garam dikuasai dan dijadikan ladang
garam pemerintah Hindia Belanda.22 Ketika negara Indonesia merdeka, dilakukan
Nasionalisasi, ladang-ladang garam tersebut diambil alih pemerintahan RI yang
kemudian diserahkan pada Perusahaan Garam, dan statusnya beralih menjadi
tanah negara tanpa sepengetahuan rakyat. Rakyat yang merasa hanya
21 Herawati., op.cit., hlm. 12. 22 Dennys Lombard., op.cit., hlm. 274.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
menyewakan ladang garam bermaksut meminta kembali lahan tersebut ketika
masa berlakunya kontrak sewa dipandang habis. Persoalan semakin rumit ketika
pemerintah dengan nasionalisasinya mencanangkan program renovasi atau
modernisasi dalam pengolaan garam.23
Tujuan diadakanya modernisasi Perusahaan Garam adalah untuk
meningkatkan kualitas produksi garam, baik garam untuk keperluan produksi
maupun konsumsi. Sebagai konsekuensi dari modernisasi, melibatkan daerah
penggaraman, maka tanah penggaraman rakyat harus dibebaskan. Sebagian tanah
penggaraman milik rakyat berada di lokasi sekitar pengaraman milik Perusahaan
Garam.
Sebuah insiden terjadi, ketika beberapa karyawan Perusahaan Garam
mengusir para petani garam yang sedang bekerja di ladang garam yang
dipersengketakan dan kemudian diganti dengan pekerja dari Perusahaan Garam.
Bagi Perusahaan Garam pengusiran itu dilakukan bahwa tanah tersebut telah
dibebaskan untuk keperluan modernisasi. Sementara itu, pihak petani berdalih
sekalipun tanah tersebut telah dibebaskan, mereka masih berhak untuk
menggarapnya karena menurut versi mereka, batas penggaraman adalah
pembendungan antara lahan Perusahaan garam dengan lahan petani garam.24
Hak adat yang dibebaskan secara paksa oleh pemerintahan Hindia Belanda
terus menghantui pikiran rakyat untuk tetap memperjuangkan tanah yang
merupakan hak waris dari leluhurnya, seharusnya tanah tersebut sudah
23 Dwi Ratna Nurhajarini., op.cit., hlm. 145. 24 Masruri., op,cit., hlm 78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
dikembalikan kepada rakyat seiring dengan berakirnya kekuasaan Pemerintah
Hindia Belanda di Indonesia. Adapun tuntutan yang mendasari tuntutan rakyat
adalah: 25
a. Tanah-tanah tersebut merupakan tanah yang secara turun-temurun
dimiliki oleh masyarakat sebagai warisan keluarga.
b. Hubungan masyarakat dengan tanah tidak semata-mata bermakna
ekonomi tetapi merupakan bagian dari sosial budaya masyarakat yang
ditandai dengan adanya nama-nama: tanah bilah pora, tanah koet,
tanah lentean, tanah ranggun, tanah ambeng-ambeng, tanah paser
pote, tanah lek-kolek, tanah sebenges, tanah padeng-padeng, tanah
bun-rabun, tanah ajir, tanah kajuh ojen, tanah terbis.
c. Tanah-tanah tersebut dibebaskan oleh Pemerintahan zaman
Penjajahan, bukan bangsa Indonnesia
d. Sejarah pembebasan tanah diakibatkan adanya kebijakan zout
monopoli (Monopoli garam, tahun 1904) yang berakibat pada
dilarangnya rakyat biasa memproduksi garam di tanah mereka sendiri.
Pengambilalihan dan penggusuran tanah yang dimiliki petani
menyebabkan konflik vertikal antara petani garam dengan penguasa yaitu
Perusahaan Garam, pengambilalihan dan penggusuran tersebut berakibat petani
harus terpisah dengan alat produksi dan kehilangan sumber penghidupannya.
Konflik tanah ini dapat diartikan sebagai pertentangan hak dan kepentingan
25 Laporan dari Tim Gerakan Rakyat Untuk Pembebasan Tanah di
Penggaraman Madura. 2003.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
penduduk lokal dengan kekuatan-kekuatan luar yang berusaha keras mencari
keuntungan komersial. Penguasaan ladang garam adalah kondisi eksternal yang
seringkali memunculkan gerakan-gerakan protes petani.
Munculnya gerakan-gerakan protes petani dapat dianalisa menggunakan
teori Perilaku Bersama (Collective Behavior) dari Neil J Smelser sehingga
diharapkan akan bisa memberi eksplanasi yang lebih jelas dan luas.26 Menurut
Smelser, determinan-determinan yang dapat menimbulkan tingkah laku kolektif
(collective behavior) yang memunculkan perubahan adalah :
1. Structural conduciveness, yaitu suatu kondisi struktural yang mendukung
atau mengakibatkan lahirnya gejolak sosial.
Sistem pembayaran upah yang berdasarkan keahlian menimbulkan
diferensiasi dan polarisasi dalam kehidupan masyarakat. Selain itu pula dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan di Pesisir Madura telah ada stratifikasi sosial
seperti petani kaya dan petani miskin.
2. Structural strain, yaitu ketegangan struktural yang muncul dan mendorong
munculnya suatu gerakan.
Ketegangan struktural merupakan hasil kristalisasi dari kondisi struktural.
Ketegangan struktural yang dimaksud adalah tekanan-tekanan yang dilakukan
negara terhadap rakyat dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. Gerakan-
gerakan protes petani garam di Madura memiliki beberapa hal yang menjadi
ketegangan struktural diantaranya kegagalan panen, keterbatasan lahan garapan
26 Neil J. Smelser., Theory of Colective Behavior, (New York: A Free
Press Paperback, 1971), hlm. 15-17.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
sebagai penopang hasil tambahan. Para petani kecil ini cukup dipusingkan dengan
biaya hidup sehari-hari seperti makanan, pakaian dan kebutuhan untuk anak.
Keadaan seperti ini menimbulkan dua implikasi yaitui:
a) Terjadi keresahan dikalangan petani kecil karena mereka harus
bertahan hidup ditengah kesulitan ekonomi pada saat itu.
b) Sebaliknya, dikalangan petani kaya tidak terlalu mengalami
keresahan yang berarti karena mereka memiliki cukup tanah untuk
digarap sendiri atau disewakan. Dalam keadaan sulit seperti ini,
para petani kaya tersebut dapat menerima gadai tanah dari petani
kecil, membeli tanah dan menyewa tanah. Para petani kecil ini
semakin turun posisinya menjadi tenaga upahan.
3. Growth and spread of generalized belief (penyebaran keyakinan umum),
yaitu sebelum suatu perilaku kolektif muncul, para pelaku perilaku
kolektif harus mempunyai pandangan dan keyakinan umum yang sama
mengenai sumber ancaman, jalan keluar, dan cara pencapaian jalan keluar
tersebut.
Kecemburuan sosial merupakan sumber yang menimbulkan dorongan
struktural menjadi ketegangan struktural. Kecemburuan sosial yang nampak
adalah seperti perasaan ikut memiliki namun tidak dapat kesempatan untuk
menikmati. Kelompok lain yang tidak ikut memiliki justru mendapatkan
kesempatan untuk menikmati apa yang di rasa miliknya. Dalam kasus gerakan
protes petani garam di Madura, adanya keyakinan umum yang berupa
kecemburuan sosial terhadap kelompok orang tertentu yang dianggap merugikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
ekonomi mereka. Kecemburuan-kecemburuan yang mendasari terjadinya gerakan
protes petani antara lain:
a) Adanya keyakinan masyarakat bahwa ladang garam di Madura
hanya dikelola dan digarap oleh golongan orang tertentu yang
dianggap tidak ikut memiliki.
b) Masyarakat pesisir Madura menganggap bahwa merekalah yang
paling berhak atas pengolah lahan garam didesanya karena faktor
kesetiaan terhadap desa. Mereka menanyakan kembali mengapa
justru masyarakat dari luar yang menggarap tanah mereka yang
notabene lebih rendah kesetiaannya.
4. The precipitating factor (faktor pencetus), yaitu suatu peristiwa dramatis
atau desas-desus yang mempercepat munculnya perilaku kolektif atau
gejolak sosial.
Faktor pencetus dari aksi gerakan protes petani garam di Madura adalah, tanah
yang sediannya dikembalikan pada rakyat setelah berakhirnya masa kolonialisme
justru menjadi milik Perusahaan Garam, dan adanya Monopoli yang dilakukan
etnis Cina.
5. Mobilization of participant for action, yaitu mobilisasi untuk bertindak.
Para pemimpin memulai, menyarankan, dan mengarahkan suatu kegiatan.
Dalam setiap tindakan-tindakan yang dilakukan, fungsi dan peran seorang
pemimpin sangat menentukan.
Aksi protes petani garam sebagai bagian dari tingkah laku kelompok tidak
akan berhasil atau berkembang apabila tidak ada yang mengorganisir. Aksi protes
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
petani garam ini tidak akan berkembang apabila Perusahaan Garam tidak
melakukan pengusiran terhadap warga yang melakukan produksi garam.
6. The operation of sosial control, yaitu pelaksanaan kontrol sosial yang
dilakukan oleh pemimpin gerakan, kekuatan aparat keamanan, perubahan
kebijakan pemerintah hingga kontrol sosial lainnya. Kontrol sosial
merupakan counter determinan, yaitu determinan yang bersifat mencegah,
meredakan dan menghentikan perilaku kelompok.
Permulaan gerakan petani garam tidak muncul dengan sendirinya
mewakili suatu perubahan, tetapi merupakan suatu konsekuensi dan perubahan
yang mendahuluinya seperti halnya setiap kejadian historis.27 Artinya sengketa
tanah yang muncul di Madura bukanlah berdiri sendiri, akan tetapi sebagai akibat
dari model modernisasi yang ditetapkan oleh Perusahaan Garam, khususnya
dalam bidang produksi.
C. Faktor-faktor Penyebab Sengketa Ladang Garam
a. Pandangan mengenai Tanah
Tanah mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Tetapi tanah juga
mempunyai nilai –nilai sosial yang tidak dapat diabaikan. Tanah merupakan
simbol status seseorang dan keluarga. Kekayaan seseorang terutama di desa,
sering diukur dengan luas tanah yang dimilikinya. Makin luas tanah yang
dimilikinya, maka makin tinggi status seseorang dimata orang lain. Memiliki
tanah (lahan usaha garam), seseorang itu sering mudah untuk memperluas tanah
27 Henry A Landberge dan Y.G Alexandrov., Pergolakan Petani dan
Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali Press, 1981), hlm. 32.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
miliknya dengan membeli tanah orang lain disekitarnya. Ia menjadi tuan tanah,
tanah tersebut disewakan kepada orang, atau dibiarkan terbengkalai untuk
kemudian dijual ataupun disewakan kepada yang butuh.28
Pandangan hidup masyarakat Madura, bahwa tanah adalah segala-galanya,
sumber dari segala penghidupan dan kehidupan masih tetap berakar. Penduduk
Madura sangat menghargai hak-hak milik atas tanah, karena tanah merupakan
sumber penghidupan di ladang garam, menentukan status dalam stratifikasi sosial
di lingkungan petani garam, dengan pola hubungan kawula gusti, atau lebih
tepatnya bapak dan anak buah.
Disisi lain, masyarakat Madura sebagai bagian dari masyarakat Jawa,
menjunjung arti tanah menurut pepatah sudhumuk bathuk senyari bumi masih
dipegang teguh oleh masyarakat Madura.29 Tanah merupakan warisan nenek
moyang yang didiami dan diangap secara turun temurun yang harus dijaga sampai
kapanpun. Akibat adanya pepatah ini mengobarkan semangat untuk
mempertahankan sejengkal tanah dan harus dibela kalau perlu sampai mati adalah
roh perjuangan masyarakat sekitar Penggaraman.
Konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi selama
tanah masih menjadi persoalan yang sering kali memunculkan perlawanan rakyat.
28 Bahrein T Sugihen., Sosiologi Pedesaan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996),
hlm. 127. 29 Wawancara dengan Sutikno, tanggal 13 September 2013. Masyarakat
Madura masih memegang tradisi adat bahwa tanah yang didiami secara turun
temurun merupakan warisan dari nenek moyang dan harus dijaga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Bentuk perlawanan bermacam-macam, baik bersifat individual maupun kolektif,
sekedar berunjuk rasa atau bahkan melakukan pemberontakan.
b. Mencari Keadilan
Sejak pergantian pengurusan dari tangan pemerintahan kolonial Hindia
Belanda menjadi pemerintahan Indonesia, tidak adanya pemberintahuan secara
resmi mengenai penyerahan tanah yang dilakukan oleh pemerintah kepada
Perusahaan Garam sebagai pelaksana. Keadaan tersebut membuat petani yang
merasa hanya menyewakan tanah ingin mengambil hak mereka, namun disisi lain
Perusahaan Garam mempunyai pemikiran lain, bahwa tanah yang berada di
sekitar pabrik digunakan untuk kepentingan umum. Pengambilan tanah
merupakan salah satu bentuk pengembalian fungsi dan merupakan salah satu cara
modernisasi yang dilakukan Perusahaan Garam untuk kepentingan bersama.
Situasi perbedaan pendapat tersebut membuat petani ingin mencari keadilan atas
keadaan yang menurut mereka bukan semestinya dilakukan. Mereka tetap pada
pengertian lahan/tanah secara tradisional yaitu tanah tersebut merupakan warisan
yang harus dijaga dan dipertahankan.
Berbagai protes atau gerakan dilakukan oleh petani garam untuk merebut
kembali tanah yang telah di rampas oleh Perusahaan Garam paska dilakukannya
Nasionalisasi. Pada awal-awal nasionalisasi tersebut, Pemerintahan tanpa
sepengetahuan rakyat menyerahakan tanah kepada Perusahaan Garam untuk
kepentingan ekonomi Indonesia yang baru merdeka. Wargapun menolak
perampasan ini, mereka kemudian mengadakan demonstrasi dikantor pusat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Perusahaan Garam Kalianget untuk menuntut dikembalikannya tanah
penggaraman.30 Gerakan yang dilakukan oleh warga ini merupakan akumulasi
kekecewaan dari rasa memiliki tanah yang telah mereka gunakan selama
bertahun-tahun yang pada masa pemerintahan Belanda disewakan. Dalam
melakukan gerakan, petani garam di wilayah penggaraman Perusahaan Garam
tidak terlalu berpikir kemenangan akan berpihak kepada mereka. Mereka
melakukan “perlawanan nekat” dengan berbagai bentuk perlawanan yang tidak
mungkin merubah hasil dalam jangka panjang. Menurut Jan Breman, dalam
konflik agraria ada 6 jenis konflik, yaitu pertama, melakukan protes yang sesuai
dengan tradisi dan mencari perbaikan atas ketidak adilan, kedua, penolakan
penduduk untuk bekerja. Ketiga, menghindari kebijaksanaan yang ditetapkan
dengan cara sebagai penduduk meninggalkan desa mereka untuk sementara.
Keempat, melakukan perpindahan keluar (migrasi) oleh sebagian atau segenap
penduduk. Kelima, mendiamkan peraturan yang ditetapkan kepada mereka
(perlawanan pasif). Keenam, melakukan persewaan dengan pembayaran di
muka.31
Walaupun mereka melakukan perlawanan nekat, namun mereka tetap
menjalankannya, meski petani garam sendiri beranggapan tindakan yang mereka
lakukan bukan suatu tindakan melawan atau menentang pemerintah.32 Apa yang
mereka lakukan adalah kerangka untuk mendapatkan keadilan, meskipun tidak
30 Wawancara dengan Jamin 24 Agustus 2013 31 Jan Breman., Penguasaan Tanah Dan Tenaga Kerja Jawa Pada Masa
Kolonial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 28-29. 32 Wawancara dengan Jamin 24 Agustus 2013.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
diketahui hasilnya apakah akan mendapat kemenangan atau tidak, akan tetapi
dalam diri petani garam di wilayah pengaraman Perusahaan Garam terdapat
sebuah keyakinan dan kebenaran yang akan datang.
c. Struktur Kekuasaan
Struktur kekuasaan meliputi aparat, mekanisme birokrasi beserta
implementasi kebijakan dalam modernisasi adalah faktor sturktural dalam memicu
gerakan sosial merupakan sesuatu yang mendasar, mengingat keputusan politik
tersebut melahirkan bentuk keadilan ataupun ketidak adilan, baik dalam
interprestasi maupun manifestasinya. Realita di Madura menunjukan komunitas
rakyat (Petani garam) diposisikan sebagai obyek kekuasaan yang selalu mengatas
namakan modernisasi. Hal ini terlihat dari tidak adanya ganti rugi yang sepadan
dengan harga tanah yang digunakan untuk modernisasi produksi, bahkan selama
tanah tersebut dikuasai untuk kepentingan produksi garam, warga yang ada
disekitarnya tidak pernah menikmatinya.
D. Kepentingan-kepentingan pada sengketa tanah
a. Kepentingan politik
Untuk menjelaskan pemegang kekuasaan memerankan kepentingan dan
responnya dalam sengketa tanah di wilayah Penggaraman Madura, digunakan
teori kekuasaan khususnya analisis elit dan teori-teori pluralis. Walaupun kedua
teori ini pada awalnya dikembangkan untuk menganalisis komunitas-komunitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
modern, namun mampu mengukur ketegangan politik, termasuk yang
diasosiasikan sebagai elit-elit kekuasaan tingkat desa.33
Pada sertiap masyarakat, dari yang paling sederhana sampai pada yang
paling konpleks, terdapat dua kelas yaitu kelas yang berkuasa dan yang dikuasai.
Kelas pertama pemegang kekuasaan, merupakan minoritas kecil tetapi
memonopoli kekuasaan politik. Mereka menikmati keuntungan-keuntungan yang
lahir dari kekuasaan. Sementara kelas kedua adalah mayoritas yang selalu
dikontrol oleh kelompok elit minoritas.34
Pandangan teori kekuasaan menekankan bahwa kelas penguasa menguasai
semua fungi politik, yaitu monopoli kekuasaan sekaligus menguasai hasil-
hasilnya. Kelas kedua sebaliknya walaupun jumlah mereka besar tetapi tidak
mempunyai kekuasan atas fungsi politiknya. Mereka diarahkan dan dikendalikan
oleh kelas pertama dengan cara-cara tertentu. Cara-cara dilakukan dengan kurang
ilegal, aktifitas semaunya, dan kadang dengan cara kekerasan. Cara-cara tersebut
dilakukan untuk mencapai sasaran-sasaran politiknya dari pihak pertama.
Terdapat tiga asumsi yang mendasari pandangan tersebut. Asumsi pertama bahwa
dalam masyarakat tidak pernah terdapat distribusi sumber-sumber kekuasaan
secara merata. Asumsi kedua ialah jumlah orang yang memerintah suatu
masyarakat negara selalu sedikit, dan asumsi yang ketiga adalah bahwa diantara
33 Imam Tolkhah., Anatomi Konflik Politik Indoneia: Belajar dari
ketegangan politik varian madukoro, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),
hlm. 29. 34 Ibid., 30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
elit politik selalu terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-
nilai itu, yang berarti mempertahankan status elit politik.35
Pandangan politik ini secara tegas membagi masyarakat menjadi dua, yaitu
kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan dan sekelompok besar orang
masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan. Dalam model elit yang memerintah
itu, sekelompok kecil masyarakat itu berhak untuk melakukan pengalokasian
sumber-sumber kekuasaan atau nilai-nilai dalam masyarakat sekaligus membuat
dan melaksanakan keputusan-keputusan politik. Sementara itu, sebagian besar
masyarakat yang tidak mempunyai kekuasaan hanyalah tunduk terhadap apa-apa
yang diputuskan misalnya soal pajak, peraturan-peraturan yang mengikat warga
negara, hukum, undang-undang dan persoalan lainnya. Namun demikian,
keputusan-keputusan elit politik itu tidak dicerminkan keinginan aspirasi
masyarakat.
b. Kepentingan Ekonomi
Masyarakat Madura memandang tanah sangat penting, tanah merupakan
tulang punggung perekonomian yang dapat menghasilkan sesuatu, baik itu dalam
bentuk barang maupun uang. Sengketa tanah penggaraman yang berawal dari
kesadaran masyarakat atas status kepemilikan dari sudut sejarah merupakan
konflik yang merebutkan sebuah faktor produksi, antara sektor pertanianan garam
35 Charles F. Adrian., Political life and society change: an introduction to
political science. Belmont : walsmot comp. Dalam Ramlan surbakti, Dasar-Dasar
Ilmu Poliik. (Surabaya : Airlangga Universiti Press, 1984,) hlm 48.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
dan sektor industri sebagai akibat adanya transformasi industrial berupa
meningkatnya ekspansi dan dominasi sektor industri garam.
Didalam transformasi industrial yang demikian sektor tanah penggaraman
telah menjadi sektor ekonomi yang dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang berada
di luar sektor penggaraman, yang akan menjadikannya sebagai usaha ekonomi
yang semakin jauh berada di luar jangkauan kontrol masyarakat dan di dalam
skala yang semakin tidak mendukung nilai-nilai sosial yang luas. Rakyat
membutuhkan tanah untuk kelangsungan hidup mereka, sedangkan pihah
Perusahaan Garam pada umumnya memerlukan tanah untuk kegiatan ekonomi
mereka dalam skala besar. Persengketaan yang terjadi karena semakin terbatasnya
sumber daya tanah dan kebutuhan akan tanah yang terus meningkat
mengakibatkan perubahan sosial di masyakakat penggaraman.
Petani garam yang tinggal di areal ladang garam Perusahaan Garam
memandang tanah sangat penting, tidak hanya dilihat dari simbol status seseorang
dan benda pusaka, tetapi juga merupakan faktor produksi utama untuk membuat
garam, serta pada musim penghujan dijadikan sebagai tambak perikanan bandeng
sebagai usaha untuk mencukupi kehidupan pada musim penghujan.36 Banyaknya
petani garam yang tidak memiliki ladang garam menjadi motivasi lain mereka
bergerak menuntut tanah penggaraman dikembalikan pada warganya.
36 Surat keputusan Perusahaan Garam Negeri untuk menggunakan ladang
garam untuk budidaya bandeng, Koleksi Bapersip Jawa timur. No. 167.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
E. Perubahan Sosial
Masalah penguasaan tanah dipandang sebagai masalah yang menyangkut
hubungan sosial, ekonomi, politik antar manusia. Penguasaan atas tanah
melibatkan manusia dengan lingkungannya dan berhubungan erat dengan
pembagian kekayaan, pendapatan, kesempatan ekonomi dan penguasaan politik
diantara mereka, terutama daerah Madura, tanah merupakan faktor produksi yang
berharga, sehingga masalah tanah menjadi sangat peka.
Menurut Selo Soemardjan hasrat akan perubahan sosial bisa berubah menjadi
tindakan untuk mengubah jika terdapat rangsangan yang cukup kuat untuk
mengatasi hambatan-hambatan yang merintangi tahap permulaan proses
perubahan. Rakyat yang tertekan oleh kekuatan luar cenderung untuk bekerja
sama kalau mereka mengadakan kerja sama dengan kekuataan luar hanya untuk
mempertahankan ketentraman jiwa mereka sendiri.37
Menurut pandangan masyarakat penggaraman, modernisasi adalah kondisi
eksternal yang menekankan mereka yang seringkali menimbulkan
pemberontakan-pemberontakan atau memunculkan gerakan-gerakan petani
garam. Bentuk-bentuk penerimaan, perlawanan dan penolakan petani terhadap
modernisasi dibidang produksi garam, merupakan tanggapan yang muncul
sebagai ekspresi dari kepuasaan atau ketidakpuasan mereka atas kebijakan negara
yang membuat terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur penguasaan,
pemilikan dan penyewaan tanah. Bentuk tanggapan ini bertingkat-tingkat, dari
37 Selo Soemardjan., Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University press, 1986), hlm. 307.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
yang sifatnya individual hingga tanggapan yang bersifat kolektif sehingga
dinyatakan sebagai gerakan protes sosial.38
Segala tanggapan itu bisa ditempatkan sebagai bentuk tanggapan masyarakat
lokal terhadap perkembangan sosial masyarakat, yang lebih luas yang sudah
dipenuhi oleh unsur-unsur budaya, politik, dan ekonomi. Negara berperan sebagai
agen inovatif dari modernisasi yang berperan sebagai agen perantara dari
penetrasi unsur-unsur budaya, politik, dan ekonomi atau negara dengan
Perusahaan Garam yang memiliki kepentingan tersendiri atas perubahan yang
tidak harus sejalan dengan atau mencerminkan aspirasi rakyat, malah seringkali
bertentangan dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat.39
Kondisi awal yang mereka miliki dalam bentuk modal sosial belum
memungkinkan mereka mengadakan perubahan sendiri karena unsur-unsur
pengembangan masyarakat tidak mendukung. Unsur-unsur yang menjadi
penghalang perubahan adalah kelembagaan, sikap mental, dan relasi sosial, yang
semua unsur tadi bermuara dari tradisi dan kebudayaan lokal. Solusi yang
memungkinkan dilakukan adalah merubah tradisi dan kebudayaan lokal
tersebut.40
Nasionalisasi yang dilakukan menghendaki sebuah tatanan politik dan
ekonomi yang mandiri, dewasa dan memiliki visi kedepan, tidak ada jalan lain
38 Noer Fauzi., Tanah dan Pembangunan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1997),
hlm. 69-70. 39 Ibid., hlm. 78. 40 Selo Soemardjan., op.cit., hlm. 309.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
kecuali dengan membiasakan diri menciptakan apa yang tidak pernah terjadi pada
era setelah kemerdekaan, yaitu budaya tandingan.
Budaya tandingan menjadi prasyarat utama untuk bangkitnya sebuah
masyarakat yang memiliki kedewasaan berpikir dan bertindak karena budaya ini
berpijak pada adanya kebiasaan dalam masyarakat. Salah satu wujud budaya
tandingan adalah dengan melakukan gerakan protes melawan Perusahaan Garam.
walaupun terasa berat, masyarakat di sekitar penggaraman Perusahaan Garam
melakukan hal tersebut sebagai bentuk rasa ketidakpuasaan terhadap keadaan.
Menurut Selo Soemardjan orang-orang yang mengalami tekanan kuat dari luar
cenderung untuk mengalihkan agresi balasan mereka kalau memang mereka
melakukan agresi dari sumber tekanan yang sebenarnya ke sasaran materiil yang
ada sangkut pautnya dengan sumber itu.41
Salah satu bentuk agresi balasan yang dilakukan oleh petani garam di Madura
adalah melakukan gerakan yang bersifat tersembunyi dan diam-diam disebut
James scott sebagai bentuk perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistence).
Gerakan perlawanan rakyat sebagai model perlawanan “Gaya Asia”, suatu
gerakan rakyat miskin yang lemah dengan organisasi yang anonim, bersifat non-
formal melalui koordinasi asal sama tau saja, perlawanan kecil-kecilan dan
sembunyi-sembunyi.42 Perlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan
petani yang biasa-biasa saja, namun terjadi secara terus menerus antara petani
garam dengan Perusahaan Garam yang berusaha mengambil tanah yang mereka
41 Ibid., 310. 42 James C. Scott., op. cit., hlm 42.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
diami selama puluhan tahun. Perlawanan petani tidak selalu merupakan bentuk
aksi bersama, tetapi kadang-kadang resistensi individual yang dilakukan secara
diam-diam. Strategi ini lebih aman karena tidak perlu dilakukan melalui sebuah
organisasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi. Mereka
menentang secara langsung norma dan dominasi produktifitas Perusahaan Garam.
bentuk perlawanan ini seperti menipu, membuka bendungan pengaraman,
melakukan mencurian onderdil mesin, mengumpat bahkan melakukan carok
apabila pertentangan yang terjadi menyinggung harga diri. Gerakan petani di
Madura merupakan perjuangan panjang yang dilakukan secara terus-menerus
sejak dilakukan monopoli pemerintahan Belanda sampai sekarang. Petani tidak
puas dengan keputusan pemerintah yang tidak mengembalikan tanah mereka
ketika masa sewa tanah habis. Para petani garam menuntut agar tanah yang sudah
turun-temurun mereka garap bisa menjadi hak milik mereka.43
43 Wawancara dengan Mustofa tanggal 1 September 2013.