View
8
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Osteoarthritis
Osteoarthritis merupakan kelainan pada sendi ditandai dengan
terdapat perubahan patologis yang terjadi pada bangunan-bangunan
sendi10-13. Perubahan patologis tersebut dapat terjadi pada kartilago
(tulang rawan), atau dengan bangunan lainnya, dan terdapat osteofit4.
Komponen sendi yang utama yang mengalami degenerasi adalah
bagian kartilago 5.
Osteoarthtritis dapat terjadi pada bagian-bagian seperti sendi
lutut, panggul (koksa), lumbal, dan servikal13. Pada penelitian yang
dilakukan didapatkan hasil bahwa osteoarthritis terbanyak terjadi pada
sendi lutut6,14. Peningkatan terjadi searah dengan pertambahan usia dan
wanita lebih banyak dari pada laki-laki4,12.
Osteoarthritis merupakan kelainan kronik dengan progresivitas
lambat, terjadi akibat ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi
pada komponen sendi yang terjadi pada usia tua4. Menurut CDC
(Centers for Disease Control and Prevention) pada tahun 2014
osteoarthritis digolongkan sebagai penyakit degeneratif pada sendi,
dimana didalamnya adanya keterlibatan antara kartilago, ligamen,
lapisan sendi serta tulang yang menyebabkan nyeri serta kekauan
sendi15.
Osteoarthritis dihubungkan dengan perubahan yang tidak dapat
dihindari karena penuaan16. Namun perlu diketahui bahwa terdapat
faktor risiko selain faktor usia penyebab osteoarthtiris4,6,16.
Osteoarthritis salah satu penyebab kecacatan pada lansia karena nyeri
dan kekakuan sendi yang timbul sebagai gejala osteoarthritis, dengan
hal itu akan mempengaruhi aktivitas pasien osteoarthritis7,17.
http://repository.unimus.ac.id
8
2. Etiopatogenesis Osteoarthritis
Pembagian Osteoarthritis berdasarkan patogenesisnya ada 2,
yaitu:
a. Osteoarthritis primer
Penyebab idiopatik, belum diketahui secara utuh apa
penyebabnya namun bukan karena faktor usia, bukan pula
akibat adanya suatu penyakit lain yang dapat menyebabkan
terjadinya osteoarthritis11,16,18.
b. Osteoarthritis sekunder
Terdapat kelainan dasar pada endokrin, metabolik, inflamasi,
pertumbuhan, herediter, jejas makro-mikro, dan riwayat
immobilisasi yang lama11,16,18.
Osteoarthritis primer lebih sering terjadi dibanding
osteoarthritis sekunder16. Proses terjadinya osteoarthritis ada 4 fase
patogenesis osteoarthritis, yaitu:
1) Fase inisiasi
Terjadi degradasi kartilago pada sendi, pada fase ini tubuh
masih mampu untuk memperbaikinya dengan bantuan faktor-
faktor yang merangsang kondrosit untuk menghasilkan
proteoglikan dan kolagen. Faktor tersebut adalah IGF-I
(Insuline-Like Growth Factor) memegang peran penting dalam
proses perbaikan pada rawan sendi, growth hormon, TGF-b
(Transforming Growth Factor B), dan coloni stimulating factor
(CSFs).
2) Fase inflamasi
Sel mengalami penurunan sensitivitas terhadapa IGF-I,
akibatnya pro-inflamasi mempengaruhi sendi, mengaktivasi
enzim degradasi yang menyebabkan kerusakan pada sendi
terutama kartilago sendi.
http://repository.unimus.ac.id
9
3) Fase nyeri
Fibrinogenik meningkat dan fibrinolitik yang menurun,
akibatnya trombus dan kompleks lipid menumpuk pada
pembuluh darah subkondral. Penumpukan tersebut
menyebabkan iskemia yang berujung nekrosis jaringan yang
menyebabkan prostaglandin dan interleukin terlepas.
Terlepasnya mediator kimia tersebut yang menimbulkan rasa
nyeri yang dikeluhkan oleh pasien osteoarthritis. Nyeri yang
timbul menyebabkan terlepasnya mediator kimia,
menyebabkan peregangan pada tendon, ligamen dan spasme
otot.
4) Fase degradasi
Cairan sendi menghasilkan enzim untuk mendagradasi
kartilago yang dipengaruhi oleh IL-1 (interleukin-1), pada fase
ini terjadi kerusakan pada kartilago tanpa tubuh mampu untuk
melakukan proses perbaikan pada sendi15,16.
Dari uraian diatas mengenai etiologi dan patogenis
osteoarthritis, sesungguhnya belum bisa dijelaskam sepenuhnya,
mengingat osteaorthritis primer dengan penyebab idiopatik. Namun
osteoarthritis terjadi akibat ketidakseimbangan antara pelindung
dengan perusak kartilago sendi. Kartilago dan cairan sinovium yang
berada pada sendi, mempunyai peran untuk membuat sendi berfungsi
dengan baik, jika terdapat gangguan pada kedua tentu akan terganggu
pula fungsi sendi yang berujung pada meningkatnya kemungkinan
untuk terjadi osteoarthritis5.
http://repository.unimus.ac.id
10
Gambar 1. A Kiri : Gambar Sendi Lutut Normal.B. Kanan :gambar sendi lutut yang mengalami
osteoartritis. (Sumber : HI – LAB 2008)
3. Gejala Osteoarthritis
a. Nyeri
Keluhan utama yang dirasakan pasien osteoarthritis terutama
apabila sendi digerakkan, dan menghilang saat kondisi
istirahat20. Namun jika kondisi osteoarthrtitis parah, dengan
gerakan minimal nyeri akan timbul dan biasanya menghilang
dengan istirahat6,18,19.
Nyeri yang dirasakan sebagai keluhan utama menyebabkan
keterbatasan aktivitas atau gerak. Hal ini timbul akibat pasien
takut untuk menggerakkan sendi, sehingga jika terjadi dalam
waktu yang lama akan menimbulkan keterbatasan dalam
bidang kinerja sendi dan mempengaruhi kualitas hidup pasien
osteoarthritis tentunya15.
b. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi terjadi apabila sendi tidak digerakkan dalam
waktu yang lama, namun biasanya kekakuan pada sendi
tersebut menghilang ketika sendi digerakkan. Setelah bangun
tidur, atau setelah duduk lama, kekakuan sendi dapat terjadi
http://repository.unimus.ac.id
11
pada kondisi tersebut. Kekakuan sendi yang terjadi hanya
sebentar, dalam hitungan menit tidak lama seperti hal nya
arthritis reumatoid18,21.
c. Spasme otot
Spasme otot adalah suatu kondisi terjadinya kontraksi
involunter otot yang dapat menjadi sumber nyeri18.
d. Keterbatasan dalam gerak
Keterbatasan dalam gerak yang terjadi terutama untuk gerakan
ekstensi penuh18.
e. Krepitasi
Adanya suara gemertak ketika sendi digerakkan22.
f. Deformitas sendi.
Hal ini dapat terjadi pada osteoarthritis yang memasuki tahap
lanjut, dimana tulang rawan sendi telah rusak sehingga
kelainan bentuk dapat berupa varus (mengarah ke dalam atau
medial) ataupun valgus (mengarah ke luar atau lateral).
g. Perubahan gaya berjalan
Perubahan gaya berjalan dapat terjadi akibat rasa nyeri pada
lutut yang dirasakan pasien. Pasien dengan osteoarthritis lutut
terkadang berjalan pincang, hal ini menghawatirkan karena
dapat mempengaruhi kemandirian pasien16.
4. Klasifikasi Osteoarthritis
Pemeriksaan radiologi dapat memberikan gambaran mengenai
osteoarthritis, klasifikasi berdasarkan kellgren dan lawrence
osteoarthritis yaitu 4,15 :
a. Grade 0: Normal, tanpa tanda-tanda osteoarthritis.
b. Grade 1: Ragu-ragu, tidak terlihat adanya Osteofit (dalam
jumlah sedikit).
c. Grade 2: Ringan, terdapat osteofit dengan celah atau ruang
antar sendi normal.
http://repository.unimus.ac.id
12
d. Grade 3: Sedang, terdapat osteofit sedang dan ruang antar sendi
terjadi penyempitan
e. Grade 4: Berat, osteofit besar, tidak terlihat celah sendi dengan
sklerosis tulang subkondral.
Gambar 2. Kriteria Penilaian OA menurut Kellgren-Lawrence (sumber: .
Cooper C et al)
5. Diagnosis Osteoarthritis
Diagnosis dilakukan dengan melakukan anamnesis seksama serta
dilakukannya pemeriksaan fisik di lokasi sendi yang mengalami nyeri
dan keluhan lainnya yang mengarah pada osteoarthritis, menurut ACR:
http://repository.unimus.ac.id
13
Tabel 2.1 Kriteria OA lutut menurut klasifikasi American College of Reumathology (ACR - ICD
2014).
Berdasarkan kriteria klinis: Berdasarkan kriteriaklinis danradiologis:
Berdasarkan kriteria klinisdan laboratoris:
Nyeri sendi lutut danpaling sedikit 3 dari 6 kriteria dibawahini:1. krepitus saat gerakan aktif2. kaku sendi < 30 menit3. umur > 50 tahun4. pembesaran tulang sendi lutut5. nyeri tekan tepi tulang6. tidak teraba hangat pada sinoviumsendi lutut.
Nyeri sendi lututAdanya osteofitDan paling sedikit 1dari 3 kriteria dibawah ini:1. kaku sendi <30menit2. umur > 50 tahun3. krepitus padagerakan sendi aktif
Nyeri sendi lututdanpaling sedikit 5 dari 9 kriteriaberikut ini:1. Usia >50 tahun2. kaku sendi <30 menit3. Krepitus pada gerakanaktif4. Nyeri tekan tepi tulang5. Pembesaran tulang6. Tidak teraba hangat padasinovium sendi terkena7. LED<40 mm/jam8. RF <1:409. Analisis cairan sinoviumsesuai OA
Sensitivitas 95% dan spesifisitas69%.
Sensitivitas 91% danspesifisitas 86%.
Sensitivitas 92% danspesifisitas 75%.
Anamnesis yang dimaksud adalah menanyakan mengenai gejala
yang timbul yang dikemukakan oleh tabel diatas dan penentuan lokasi
osteoarthritis. Faktor risiko merupakan komponen penting untuk
mengetahui sejauh mana pasien tersebut memungkinkan untuk mengalami
osteoarthritis dibanding dengan penyakit lainnya. Jenis osteoarthritis
berdasarkan etiopatogenisis dapat pula diketahui dari analisis faktor risiko
pada pasien4.
Riwayat penyakit dahulu harus dipertimbangkan karena dengan
begitu dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan penatalaksanaan
pasien osteoarthritis tersebut. Keluhan nyeri serta keluhan yang lainnya
dapat dikeluhkan pasien dan dapat dipengaruhi dengan derajat atau skala
nyeri, kemampuan dalam hal berjalan, nyeri yang dirasakan pada malam
hari sehingga terjadi kekakuan sendi ketika pagi hari4.
Diagnosis dengan pemeriksan fisik dilakukan mulai dari
pemeriksaan status gizi yaitu BMI (Body Mass Index). Pemeriksaan
http://repository.unimus.ac.id
14
tersebut dilakukan karena osteoarthritis mengalami peningkatan dengan
seiring kenaikan berat badan pada pasien dengan BMI yang Overweight
ataupun sudah obesitas. Overweight atapun obesitas adalah salah satu
faktor risiko terjadinya osteoarthritis4,6,13.
Pemeriksaan fisik secara lokalisata yaitu merujuk pada area sendi
yang dikeluhkan. Cara berjalan adalah hal yang dapat terlihat ketika pasien
datang, nyeri yang dirasakan ketika pergerakan apakah akhir pergerakan.
Tanda inflamasi, deformitas, krepitus, ataupun atrofi otot yang disebakan
oleh sendi yang jarang digerakkan sehingga ototnya mengecil atau atrofi4.
Selain melakukan anamesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pula
pmeriksaan penunjang. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang karena
dapat dilihat secara langsung bagaimana kondisi sendi, tingkat
keparahannya.
6. Penatalaksanaan Osteoarthritis
Penanganan yang dapat menyembuhkan osteoarthritis masih belum
ada hingga saat ini. Penanganan selama ini yang dilakukan sebatas untuk
mengurangi keluhan yang dirasakan oleh pasien, mencegah terjadinya
risiko, dan usaha dalam peningkatan kualitas hidup4. Kualitas hidup
menjadi sangat penting karena osteoarthritis dapat menyebabkan
keterbatasan atau disabilitas, sehingga penting untuk menyediakan
penanganan yang berfungsi meningkatkan kualitas hidup.
Adapun penanganan untuk osteoarthritis dilakukan dengan
mengkombinasikan antara penanganan secara farmakologis dan non
farmakologis4. Penanganan kombinasi lebih efektif untuk peningkatan
kualitas hidup pasien. Penanganan tersebut direkomendasikan oleh IRA
(Indonesian Rheumatologi Association), di dalamnya dikatakan bahwa
Penatalaksanaan Osteoartritis dimodifikasi berdasarkan guideline ACR
dengan update tahun 2000, yaitu 4:
http://repository.unimus.ac.id
15
a. Penanganan secara Non-Farmakologis
1) Edukasi dan perubahan gaya hidup
Edukasi meliputi kodisi pasien, apa yang harus dilakukan
agar tak memperparah atau mencegah terjadinya
komplikasi, termasuk edukasi untuk perubahan gaya hidup.
Perubahan gaya hidup disini meliputi penurunan berat
badan pada pasien osteoarthritis yang mengalami
overweight ataupun obesitas. Penurunan berat badan
tersebut dapat mempengaruhi keluhan dan keberhasilan
penanganan yang diberikan15,23. Pasien osteaoarthritis
dengan BMI > 25 maka ditargetkan untuk penurunan BMI
sebanyak 5% dari berat badan (BMI 18,5-25)4.
Perubahan gaya hidup lain yang disarankan adalah makan
dengan makanan yang sehat serta seimbang komponennya,
istirahat atau mengurangi risiko-risiko yang membuat
terjadinya osteoarthritis. Pasien osteoarthrtitis yang
memiliki pekerjaan atau aktivitas yang berat tentu harus
mengurangi aktivitasnya. Kondisi sendi yang dipaksa untuk
melakukan fungsinya sedangkan kondisinya tidak seperti
waktu normal maka tentu akan semakin memperparah
kondisinya. Edukasi sangatlah penting untuk memotivasi
pasien bahwa ia bisa hidup mandiri, walaupun masih belum
ditemukan penanganan yang dapat menyembuhkan
osteoarthtritis.
2) Latihan aerobik dan Terapi fisik
Berfungsi untuk memperkuat otot, dan berguna untuk
perbaikan pergerakan sendi4,24. Keduanya dilakukan oleh
semua pasien osteoarthritis baik yang tidak melakukan
bedah ataupun yang telah melakukannya. Fungsi latihan
dan terapi fisik sama-sama untuk segera membuat sendi
dapat berfungsi lebih baik sehingga menuntun pasien untuk
http://repository.unimus.ac.id
16
menjadi mandiri, dan dapat menurunkan disabilitas yang
terjadi pada pasien osteoarthritis, salah satu latihan yang
bisa digunakan adalah dengan bersepeda atau berenang25.
3) Rehabilitasi Medik
Terapi ini dapat digunakan dengan mengkombinasikan
penanganan sebelumnya. Terapi pada rehabilitasi medik
yang digunakan salah satunya adalah terapi modalitas.
Tujuan dilakukannya terapi tersebut untuk mengurangi
gejala, memperbaiki fungsi sendi, dan pemeliharaan sendi.
Edukasi dan latihan tetap menjadi bagian penting yang
harus dilakukan. Adapun jenis terapi modalitas yaitu :
a) Elektroterapi
Elektroterapi adalah terapi dengan menggunakan arus
listrik yang dihubungkan melalui elektrode yang
selanjutnya ditempelkan di permukaan kulit.
Penggunaan elektroterapi menimbulkan kontraksi otot,
meningkatkan ROM (Range of movement),
memperlambat atropi otot, meningkatkan kekuatan otot,
meningkatkan sirkulasi dengan menurunkan nyeri,
spasme otot dengan beberapa mekanisme30. Salah satu
mekanisme dalam meredakan rasa nyeri adalah teori
gate control. Salah satu jenis elektroterapi adalah
TENS, luas digunakan untuk meredakan rasa nyeri atau
disabilitas pada pasien osteoarthritis31. Terapi dengan
menggunakan arus listrik yang sudah digunakan sejak
lama dan penggunaan TENS dikatakan aman31.
Indikasi penggunaan elektroterapi30:
i. Nyeri muskuloskeletal akut atau kronik
ii. Nyeri neurogenik kronik
iii.Nyeri sistemik
iv. Efusi persendian
http://repository.unimus.ac.id
17
v. Edema interstisial
Kontraindikasi penggunaan elektroterapi30:
i. Trombosis vena atau arteri
ii. Gangguan sirkulasi (insufisiensi vena, gangguan
neurovaskuler)
iii. Tromboplhebitis
iv. Hamil
v. Fraktur baru
vi. Perdarahan aktif
vii. Penurunan sensasi pada kulit
viii. Keganasan
b) Termoterapi
Termoterapi adalah salah suatu terapi modalitas yang
melibatkan penggunaan suhu panas ataupun dingin
untuk memberi beberapa efek30,43. Penggunaan panas
dan pengaplikasiannya pada area yang mengalami sakit
atau nyeri dikatakan dapat memberikan efek
meredakan nyeri, spasme otot, kekakuan sendi, dan
dapat meningkatkan ROM pada persendian30,44. Hal
tersebut dapat dicapai dengan beberapa mekanisme
yang terjadi akibat pengaplikasian terapi panas.
Penggunaan termoterapi dikatakan memeliki efek
samping yang minimal, kemungkinan yang terjadi dapat
menyebabkan sensasi terbakar, ataupun reaksi alergi30.
Efek samping tersebut dapat diminimalisir dengan
adanya pemeriksaan kondisi awal pasien dan
komunikasi antara pasien dan terapis. Jenis termoterapi
dapat berupa superficial termoterapi, dan deep
termoterapi. Superficial termoterapi dapat berupa
penggunaan hot moist pack, paraffin, infrared dan
superficial termoterapi lainnya , sedangkan deep
http://repository.unimus.ac.id
18
termoterapi dapat berupa ultrasound, SWD (short wave
diathermy), dan MWD (microwave diathermy)30.
Termoterapi bukanlah terapi tunggal, namun biasanya
dapat dikombinasikan dengan terapi modalitas lainnya,
dan tentunya edukasi serta latihan pada penatalaksaan
tahap awal pada pasien osteoarthritis telah
diberikan30,44. Terapi panas pada umumnya dapat
digunakan untuk 44,45:
i. Hyperemia
ii. Analgesia
iii.Hipertermia
iv. penuruna tonus otot
v. Meningkatkan elastisitas kolagen
vi. Gangguan pada muskuloskeletal, dan neuromuscular
vii.Masalah pada sendi
viii. Spasme otot
ix. Berbagai maslah pada nyeri otot.
Walaupun efek samping yang minimal, namun terdapat
kontraindikasi penggunaan termoterapi, yaitu 30:
i. Inflamasi akut
ii. Trauma, atau perdarahan (hemoragik, hemofilia)
iii. Koma, dementia (tidak dapat merespon terhadap
nyeri yang dirasakan)
iv. Edema
v. Keganasan
vi. Iskemia
vii. Luka yang terinfeksi
viii. Luka yang terbuka
ix. Neuroleptics
x. Spinal cord injury
xi. Atrophic skin
http://repository.unimus.ac.id
19
c) Hyrotherapy
b. Penanganan secara Farmakologis
Penanganan secara farmakologis yang secara luas dipakai
adalah obat pereda nyeri, karena mampu mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri yang dirasakan sangat mengganggu
kehidupan pasien osteoarthritis. Kombinasi penanganan
farmakologis dan non farmakologis akan lebih efektif4.
Pereda nyeri lini pertama yang digunakan adalah
acetaminophen, karena lebih aman untuk pencernaan dan
efektif untuk menurunkan nyeri4,26. Gejala nyeri yang ringan
atau sedang dapat menggunakan acetaminophen (<4
gram/hari), atau NSAID4. Penggunaan NSAID apabila
pengobatan lini pertama tidak memberikan efek pereda nyeri
atau adanya kontraindikasi untuk acetaminophen4. Apabila
terdapat kontraindikasi untuk penggunaan NSAID dapat diganti
dengan acetaminophen, NSAID topikal, atau NSAID oral
dengan obat protektor lambung4.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dalam penggunaan NSAID
dalam jangka panjang dapat menyebabkan permasalahan pada
saluran pencernaan terutama lambung, ginjal, bahkan pada
sitem kardiovaskuler4. Derajat nyeri sedang- berat dengan
kondisi sendi yang bengkak, dapat dilakukan tindakan injeksi
glukokortikoid. Pemberian injeksi tersebut untuk jangka
pendek (1-3 minggu) selain dari NSAID4. NSAID memang
sering digunakan untuk nyeri sedang-berat, namun
penggunaannya dimulai dengan dosis paling kecil4,16.
NSAID tidak terbatas pada obat oral sistemik, namun terdapat
NSAID topikal. NSAID topikal banyak baik dalam bentuk
krim, balsem, gel, dan bentuk lainnya, dapat mengurangi rasa
nyeri namun hanya terbatas pada beberapa sendi29. Derajat
nyeri yang ringan bisa diredakan dengan penggunaan NSAID
http://repository.unimus.ac.id
20
topikal, namun hal tersebut dapat menyebabkan kondisi kering
pada kulit. Diclofenac sodium dalam sediaan topikal sering
digunakan pada topikal untuk pereda nyeri, selain itu juga
terdapat kandungan capsaicin27,28.
Penangan farmakologis lainnya pun dapat dilakukan seperti
misalnya injeksi kortikosteroid dengan jangka 1-3 minggu
dalam pereda nyeri, injeksi hyaluronan dengan efek lambat
namun berfungsi dalam jangka lebih panjang dibanding dengan
injeksi kortikosteroid. Obat oral lainnya sebagai DMOADs
(Disease Modifying Drug For OA) yaitu glucosamin yang
fungsinya masih terus diteliti, dikatakan berfungsi untuk
menurunkan rasa nyeri dan harapan dapat memperbaiki sel-sel
pada persendian29.
c. Tahap Tindak Lanjut
Tahap penanganan lebih lanjut dengan progresifitas penyakit
sehingga dilakukan rujuk ke dokter bedah ortopedi untuk
dilakukan tindakan pembedahan4.
7. Faktor Risiko Osteoarthritis
a. Faktor predisposisi
Faktor yang mempermudah seseorang untuk mengalami
osteoarthritis, yaitu :
1) Usia
Seiring pertambahan usia semakin meningkat pula kejadian
osteoarthritis. Pemeriksaan radiografi yang dilakukan
menunjukkan bahwa jarang penderita osteoarthritis di bawah
usia 40 tahun, sering pada usia 60 tahun keatas dengan
kejadian hampir tak pernah pada anak-anak16. Usia
merupakan faktor terkuat.
2) Jenis Kelamin
Pasien osteoarthritis yang berusia di bawah 55 tahun memiliki
distribusi yang sama antara laki-laki dan perempuan9. Namun
http://repository.unimus.ac.id
21
wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibanding laki-laki untuk
osteoarthritis, hal ini diduga karena turunnya kadar estrogen
yang drastis ketika menopause17. Usia > 50 tahun wanita
berisiko lebih untuk mengalami osteoarthritis12. Secara
keseluruhan kejadian osteoarthritis < 45 tahun sama antara
kedua jenis kelamin, namun setelah menginjak usia 50 tahun
wanita lebih berisiko mengalami osteoarthritis16.
3) Ras
Pola osteoarthritis yang terjadi karena perbedaan cara hidup,
sehingga mempengaruhi kondisi sendi, setiap kejadian
osteoarthritis pada masing-masing sendi berbeda-beda.
Perbedaan-perbedaan tersebut tentu akan mempengaruhi
pertumbuhan, frekuensi kongenital, dan orang dengan kulit
berwarna lebih berisiko dibanding orang berkulit putih16.
4) Genetik
Ibu dengan osteoarthritis akan menurunkan riwayat penyakit
osteoarthritis pada anak perempuannya, 3 kali lipat berisiko
dibanding dengan anak perempuan yang lahir dengan ibu
tanpa osteoarthritis. Secara genetik dominan terhadap anak
perempuan dan resesif pada anak laki-laki, sehingga lebih
besar risiko osteoarthritis pada anak perempuan16.
5) Overweight atau Obesitas
Sendi yang berisiko mengalami osteoarthritis merupakan
sendi yang menopang beban tubuh lebih dari sendi yang lain.
Orang yang memiliki berat badan berlebih atau yang bertubuh
gemuk akan memberikan beban yang lebih pula pada
sendinya. Hal tersebut apabila berlangsung lama akan
mempebesar risiko terjadinya osteoarthritis pada orang
tersebut, namun selain karena faktor mekanis terdapat faktor
kimiawi (metabolik) yang diduga turut berperan dalam
terjadinya osteoarthritis pada penderita obesitas atau
http://repository.unimus.ac.id
22
kegemukan, namun perlu dilihat pula faktor risiko yang
lainnya10,33.
Setiap penambahan 1 kg akan meningkatkan risiko sebesar 10
% dan penurunan berat badan sebesar 5 kg bagi penderita
obesitas akan menurunkan risiko 50 % terjadinya
osteoarthritis. Dikatakan bahwa semua warga Negara USA
(United State of America) yang menderita osteoarthritis
meningkat seiring pertambahan usia dan obesitas yang
terjadi2.
6) Merokok
Seseorang yang merokok berisiko mengalami kerusakan pada
kartilago sebesar 2,3 kali dibanding yang tidak merokok.
Seseorang yang mengalami osteoarthritis dan seorang perokok
dikatakan bahwa dapat mengalami peningkatan kerusakan
kartilago dan nyeri yang lebih hebat dibandingkan dengan
tanpa rokok34. Osteoarthritis adalah suatu penyakit yang
multifaktoral sehingga harus menjadi suatu perhatiaan faktor
risiko lainnya, dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut2.
7) Diabetes Mellitus
Hubungan antara diabetes mellitus yang tidak terkontrol
dengan timbulnya gangguan muskuloskeletal sebagai
komplikasi kronik. Pada diabetes terdapat perubahan
metabolisme dan hormonal yang dapat mempengaruhi kondisi
pada persendian. Perubahan tersebut dapat menjadikan faktor
risiko terhadap osteoarthritis35. Dikatakan bahwa kondrosit
adalah salah satu unsur yang hidup dan peka terhadap suatu
perubahan. Adanya perubahan secara metabolisme dan
hormonal akan mengakibatkan terganggunya fungsi kondrosit,
susunan buokimia matriks serta kemampuan biomekanik
tulang rawan pada sendi46. Perhatiaan kondisi fisik pada
pasien diabetes mellitus seperti indeks massa tubuh, jenis
http://repository.unimus.ac.id
23
kelamin, usia juga akan sangat mempengaruhi terjadinya
osteoarthritis, terutama yang banyak ditemukan adalah lutut.
Menurut penelitian gangguan muskuloskeletal dapat muncul
dengan riwayat menderita diabetes mellitus > 5 tahun, namun
dapat pula bervariasi karena dapat dipengaruhi oleh kondisi
lainnya46.
b. Faktor Biomekanis
Faktor yang membuat seseorang lebih berisiko untuk mengalami
osteoarthritis, yaitu :
1) Trauma
Trauma pada sendi dapat mengakibatkan kerusakan mayor
pada daerah sendi sehingga berisiko mengalami osteoarthritis.
2) Pekerjaan
Penggunaan sendi secara berlebihan atau pekerjaan yang
membebani sendi dapat menjadi faktor risiko terjadinya
osteoarthritis. Pekerjaan dengan menggunakan sendi lutut
seperti atlet lari, kuli pelabuhan, petani, penambang akan
meningkatkan risiko osteoarthritis lutut dibandingkan dengan
pekerjaan yang tidak terlalu banyak menggunakan lutut2.
3) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang berat yang dapat membebani sendi secara
berlebihan dapat menjadi faktor risiko terjadinya osteoarthritis.
Naik turun tangga setiap hari bisa menjadi faktor risiko
terjadinya osteoarthritis lutut, berjalan atau berdiri lebih dari 2
jam dalam satu hari dapat meningkatkan risiko seseorang
terkena osteoarthritis lutut2.
4) Kebiasaan olah raga
Pemakaian sendi yang berlebihan, sehingga membebani sendi
secara berlebihan. Olah raga dengan benturan dan beban pada
sendi seperti misalnya lari maraton, sepak bola, kungfu.2.
http://repository.unimus.ac.id
24
8. Kualitas Hidup
a. Definisi
Menurut WHO kualitas hidup diartikan sebagai asumsi atau
pendapat seseorang mengenai bagaimana ia menjalani hidup,
merasakan kesenangan, kebebasan, dan harapan terkait kesehatan
secara fisik, psikologi, sosial, juga evaluasi diri terhadap hal positif
dan negatif dalam hidupnya10.
Pengertian kualitas hidup pada dasarnya memiliki
perbedaan pendapat yang telah dikemukakan. Kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan (Health Related quality of
life/HRQOL) dapat diketahui melalui penjelasan pasien mengenai
bagaimana pandangannya mengenai hidupnya meliputi bagiamana
perasaannya, harapan yang ia rasakan, aktivitas serta pekerjaan, hal
tersebut ditentukan bagaimana budaya dan nilai-nilai yang dianut.
Penyakit kronik, lingkungan, umur, jenis kelamin,
pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan dapat menjadi faktor risiko
yang mempengaruhi kualitas hidup pasien atau penderita5.
Pengukuran kualitas hidup sangatlah berfungsi untuk membantu
pasien dalam penanganan yang tepat untuk diri pasien tersebut.
Pengukuran kualitas hidup dapat pula menjadi tolak ukur
keberhasilan atau ketepatan suatu penanganan yang diberikan
kepada pasien10.
b. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kualitas hidup secara umum meliputi bidang 5
1) Kesehatan Fisik
Terdapat kesehatan secara umum, nyeri, energi, dan vitalitas,
aktivitas seksual, tidur dan istirahat.
2) Kesahatan Psikologi
Cara berfikir, belajar, memori, dan konsentrasi.tingkat
aktivitas
http://repository.unimus.ac.id
25
3) Tingkat Aktivitas
Mobilitas, aktivitas sehari-hari, komunikasi, kemampuan
bekerja.
4) Hubungan Sosial
Hubungan sosial dan dukungan sosial.
5) Lingkungan
Keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja.
c. Alat Ukur
Kualitas hidup diukur menggunakan kuesioner SF-36 (Short
form 36), merupakan kuesioner kualitas hidup yang luas di
gunakan. Terjemahan SF-36 telah dipublikasi dan terdapat peneliti
dari 22 negara yang dilibatkan. Penggunaan SF-36 untuk
pengukuran kualitas hidup telah didokumentasikan pada kurang
lebih 5000 publikasi36. Kuesioner SF-36 yang diterjemahkan,
divalidasi dan reliabilitas dalam bahasa indonesia dengan
dilakukan pengujian oleh Rahmawan. Nilai Cronbach’s alfa yang
diperoleh dalam semua item >0,5, menunjukkan memiliki internal
konsistensi yang baik37. Kuesioner tersebut yang menilai pada 8
aspek dengan total pertanyaan sebanyak 36 butir. Aspek tersebut
adalah38:
1) Fungsi Fisik
Terdiri dari 10 pertanyaan mengenai kemampuan fisik seperti
berjalan, naik tangga mengangkat benda, membungkuk.
Penialian dilakukan dengan melakukan penjumlah skor pada
10 butir pertanyaan tersebut lalu di rata-rata. Nilai 0-49
diartikan buruk, dan nilai 50-100 diartikan baik.
2) Keterbatasan Aktivitas Karena Kesehatan Fisik
Terdiri atas 4 butir pertanyaan mengenai keterbatasan fisik
seperti terbatas atau kesulitan dalam melakukan pekerjaan
tertentu, keterbatasan dalam melakukan aktifitas secara
http://repository.unimus.ac.id
26
sempurna. Nilai 0-49 diartikan buruk, dan nilai 50-100
diartikan baik.
3) Nyeri Badan
Terdiri 2 butir pertanyaan mengenai sejauh mana nyeri
berpengaruh terhadap aktivitas di dalam ataupun luar. Nilai 0-
49 diartikan buruk, dan nilai 50-100 diartikan baik.
4) Kesehatan Mental Secara Umum
Terdiri 5 butir pertanyaan mengenai kesehatan mental seperti
kecemasan , emosi, serta depresi yang mungkin dialami. Nilai
0-49 diartikan buruk, dan nilai 50-100 diartikan baik.
5) Vitalitas
Terdiri 4 butir pertanyaan mengenai energi yang dimiliki dan
dirasakan oleh pasien. Nilai 0-49 diartikan buruk, dan nilai 50-
100 diartikan baik.
6) Fungsi Sosial
Terdiri 2 butir pertanyaan mengenai kehidupan sosial pasien,
apakah penyakit yang diderita mempengaruhi hal tersebut.
Nilai 0-49 diartikan buruk, dan nilai 50-100 diartikan baik.
7) Keterbatasan Aktivitas Sosial Karena Masalah Emosional
Terdiri 3 butir pertanyaan mengenai apakah emosional
mempengaruhi pekerjaan dan aktivitas kesehariannya. Nilai 0-
49 diartikan buruk, dan nilai 50-100 diartikan baik
8) Persepsi Kesehatan Secara Umum
Terdiri 6 butir pertanyaan mengenai kesehatan pasien
sekarang, daya tahan terhadap suatu penyakit. Nilai 0-49
diartikan buruk, dan nilai 50-100 diartikan baik.
Uraian aspek penilaian menurut kuesioner SF-36, Penghitungan
hasil akhir diambil dari rata-rata setiap pertanyaan yang mewakili
dimensi masing-masing dan Dikelompokkan dengan skor 0-49
dianggap buruk dan skor 50-100 dianggap baik38. Kuvesioner
kemudian dibagi atas 2 domain yaitu kesehatan fisik (fungsi fisik,
http://repository.unimus.ac.id
27
persepsi kesehatan umum, sakit atau nyeri, keterbatasan akibat
masalah fisik), dan kesehatan mental (kesehatan mental, keterbatasan
akibat masalah mental, vitalitas, dan fungsi sosial). Syarat responden
untuk kuesioner ini adalah usia > 18 tahun, dapat membaca, dan tidak
mengalami gangguan jiwa38.
9. Terapi TENS (Trancutaneus electrical Nerve Stimulation)
a. Definisi
Merupakan salah satu penanganan non farmakologis
(rehabilitasi medik) dengan prinsip elektroterapi. TENS adalah
alat yang berfungsi menurunkan rasa nyeri yang dirasakan pasien
dengan teori gate control, Central Biasing Theory (descending
pain control theory; central control trigger), Endogenous Opiate
Pain-Control Theory31. TENS telah digunakan secara luas untuk
menangani nyeri yang dirasakan pada pasien osteoarthritis dan alat
tersebut aman digunakan. Penggunaan TENS dihubungkan
melalui elektrode yang langsung kontak dengan kulit area nyeri
yang dirasakan39.
Penggunaan TENS tidak terbatas pada osteoarthritis,
namun karena fungsinya sebagai penurun rasa nyeri maka TENS
dapat digunakan untuk menurunkan rasa nyeri baik nyeri akut
ataupun kronik40. TENS merupakan terapi modalitas dengan
penggunaan arus listrik namun tidak menyakitkan atau invasif bagi
pasien. Arus listrik tersebut merangsang saraf melalui permukaan
kulit, mempengaruhi sistem saraf pusat40.
Terapi TENS memiliki bermacam-macam frekuensi, namun
sampai sekarang belum bisa ditentukan berapa frekuensi yang
paling baik namun frekuensi yang digunakan disesuaikan dengan
kenyamanan pasien, selain konvensional TENS (HF) terdapat pula
akupuntur TENS (LF) yang menggunakan frekuensi 2 Hz.
Akupuntur TENS disebutkan bahwa mekanisme kerjanya dengan
menstimulasi A-delta untuk memproduksi endorpin yang
http://repository.unimus.ac.id
28
berfungsi menurunkan rasa nyeri41. Burst TENS, salah satu jenis
TENS dengan menstimulus A-beta dan A-delta dalam waktu yang
sama.
b. Cara Kerja
TENS bekerja dengan cara menstimulasi serabut saraf untuk
memberikan efek menurunkan rasa nyeri yang dirasakan. Teori
mengenai efek yang ditimbulkan oleh terapi TENS adalah :
1) Gate Control Theory
Melzack dan Wall pada tahun 1965 mengemukakan mengenai
teori “ Gate Control”, dengan hipotesis nyeri ditimbulkan oleh
aktivasi serabut-serabut yang berdiameter kecil yaitu serabut
A-delta yang mengirimkan rasa nyeri yang bersifat cepat dan
serabut C yang bersifat lambat31,41. Teori ini menyebutkan
bahwa nyeri dapat dipengaruhi oleh:
a) Substansia gelatinosa yang berada di dorsal horn pada
medulla spinalis.
b) Sistem pada batang otak yang bersifat sebagai penghambat
rasa atau sensasi nyeri.
Pada prinsip pintu gerbang yang digambarkan, bahwa serabut
saraf mana yang lebih dominan akan menentukan apakah
gerbang nyeri tersebut akan terbuka atau tertutup. Apabila
serabut-serabut kecil yang teraktifasi akibat adanya rangsangan
yang nantinya akan menimbulkan rasa nyeri lebih banyak
dibanding A-beta maka gerbang akan terbuka dan rangsangan
tersebut diteruskan ke otak dan pasien akan merasakan nyeri.
Apabila serabut berdiameter besar (A-beta) yang lebih banyak
maka gerbang akan tertutup, rangsang nyeri tidak diteruskan
ke otak atau hanya sebagian dan pasien tidak merasakan nyeri
atau penurunan sensasi nyeri. Pengaktifan serabut-serabut
sensorik yang berdiameter besar dapat menurunkan persepsi
nyeri yang dirasakan41. Cara kerja TENS melalui mekanisme
http://repository.unimus.ac.id
29
perifer, segmental, dan ekstrasegmental42. Mekanisme perifer,
terjadi apabila arus listrik yang salurkan oleh alat terapi TENS
menghasilkan impuls saraf yang berjalan 2 arah sepanjang
dari akson, dan rangkaian tersebut disebut dengan aktivasi
antidormik.
Prinsip teori gate control pada terapi TENS adalah arus listrik
yang dihantarkan melalui elektrode, dimana terjadi stimulisasi
serabut saraf sensorik yang berdiameter besar yaitu serabut A-
beta. Selama TENS digunakan persepsi pasien mengenai
nyerinya berkurang atau menurun akibat adanya mekanisme
gate control tersebut. Apabila rangsangan terhadap saraf
sensorik terus diberikan maka membuat gerbang nyeri pada
teori gate kontrol tertutup, namun setelah tidak ada rangsangan
maka gerbang akan terbuka dan pasien akan kembali
merasakan nyeri43,47.
Gambar 3. Teori gate control (sumber: Physical Medicine and Rehabilitation Board Review)
http://repository.unimus.ac.id
30
2) Central Biasing Theory (descending pain control theory;
central control trigger)
Teori ini merupakan modifikasi dari teori gate control,
dimana aktivasi serabut saraf berdiameter besar
menyebabkan akitivasi mekanisme inhibisi sentral. Teori ini
terutama pada nyeri yang kronik atau nyeri yang hebat.
Stimulasi diberikan pada bagian acupuncture point ataupun
trigger point. Mekanisme diatas menyebabkan penutupan
gerbang yang pada akhirnya mengurangi sensasi nyeri atau
menghilangkannya43.
3) Endogenous Opiate Pain-Control Theory
Neuron descenden teraktifasi salah satunya oleh adanya
serabut A-delta dan serabut C. Hal tersebut menyebabkan
dihasilkan (periaqueductal grey (PAG), nucleus raphe
magnus dan nucleus raphe gigantocelluraris). Enkephalin
menyebabkan inhibisi impuls serabut A-delta dan serabut C
di substansia gelatinosa. Penggunaan akupuntur TENS (LF-
TENS)mempunyai aksi untuk menekan pengeluaran
neurotransmiter seperti aspartat dan glutamat, sebaliknya
meningkatkan neurotransmiter seperti GABA (gamma-
aminobutyric acid) dan serotonin42,43.
10. Terapi Infrared
Terapi Infrared merupakan salah satu terapi modalitas yang
termasuk dalam jenis termoterapi yang memanfaatkan suhu panas30.
Penghantaran panas oleh alat Infrared dilakukan dengan prinsip
radiasi30,43,44. Energi atau panas dipancarkan langsung ke permukaan
kulit dibagian tubuh yang merasakan sakit atau nyeri dengan jarak
antara alat Infrared dengan area kulit setinggi 45-60 cm30,45. Setelah
panas yang dihantarkan mengalami penetrasi ke dalam bagian dermis
(kulit) hingga mencapai subdermis akan membuat jaringan-jaringan
superficial di daerah tersebut mengalami kenaikan suhu44. Penetrasi
http://repository.unimus.ac.id
31
ke dalam dermis hanya dapat mencapai 1 cm atau kurang dari itu44.
Penggunaan terapi Infrared ini dapat dilakukan selama 15-30
menit30,45. Berdasarkan penggunaan generator pada alat Infrared,
maka jenis Infrared dapat dibagi menjadi 2, yaitu 44:
a. Nonluminous Generator
Dimana alat Infrared hanya mengandung Infrared saja, sehingga
sering disebut “infrared Radiation”.
b. Luminous Generator
Dimana alat Infrared ini tidak hanya mengandung Infrared saja
namun ada sinar visible dan ultraviolet.
Efek yang ditumbulkan pertama dari penghantaran panas adalah
kenaikan suhu di jaringan superficial lokal dan meningkatnya
metabolisme lokal44. Peningkatan metabolisme terjadi, naik menjadi
13% dalam kenaikan 1 0C suhu44. Kedua keadaan tersebut
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah
sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah. Vasodilatasi pembuluh
darah menyebabkan aliran darah yang menuju kapiler menjadi lebih
banyak. Terjadi peningkatan kebutuhan suplai oksigen, leukosit,
enzim, nutrisi sehingga meningkatkan pembersihan hasil metabolisme
tersebut. Efek yang ditimbulkan selain pada pembuluh darah, namun
juga berpengaruh pada pengurangan spasme otot yang terjadi44.
Dikatakan pula bahwa terapi Infrared dapat mengurangi rasa nyeri,
hal ini menjadi menarik karena alasan terbanyak penggunaan terapi
yang menggunakan prinsip panas ini43-45. Mekanisme penurunan rasa
nyeri dengan terapi Infrared masih belum diketahui dengan jelas
namun diduga penggunaan terapi panas memberikan efek analgesia
(pengurangan rasa nyeri) layaknya teori gate control44.
Panas yang dihantarkan oleh alat Infrared menyebabkan
vasodilatasi (pelebaran) pembuluh darah yang akhirnya menyebabkan
kapiler yang tertutup menjadi terbuka sehingga sirkulasi darah di area
yang terpapar panas tersebut meningkat dan menjadi lebih lancar.
http://repository.unimus.ac.id
32
Suhu tubuh manusia normal terdapat “Sympathetic Vasoconstrictor
Fibers” yang memproduksi norephineprin dan berusaha menutup
anastomosis pembuluh darah44. Adanya peningktan suhu di jaringan-
jaringan superfisial menyebabkan “Sympathetic Vasoconstrictor
Fibers” menjadi menurun sehingga anastomosis menjadi terbuka dan
darah dapat mengalir ke vena plexus44. Dari uraian diatas terapi
Infrared dapat memberikan efek memperlancar aliran darah,
mengurangi rasa nyeri,dan mengurangi spasme otot30,43-45.
11. Hubungan Terapi TENS dan Terapi Infrared dengan Kualitas
Hidup Pasien Osteoarthritis Lutut
Penelitian yang sebelumnya dilakukan terfokus pada derajat nyeri
terhadap kualitas hidup, atau kualitas hidup pasien osteoartritis lutut.
Kualitas hidup pasien osteoarthritis yang telah dilakukan terapi TENS
dan dikombinasi dengan terapi Infrared masih jarang untuk dilakukan,
penelitian sebelumnya mengkombinasikan TENS dengan latihan dan
hotpack. Hasil penelitian tersebut terbukti dapat mengurangi nyeri dan
meningkatkan kualitas hidup.
Penelitian lainnya melakukan penelitian untuk membuktikan efek
TENS terhadap penurunan nyeri yang dirasakan oleh pasien
osteoarthritis. Penelitian yang akan dilakukan ini menghubungkan
TENS dan terapi Infrared, terutama memberikan efek menurunkan
rasa nyeri dan memperbaiki fungsi sendi akan serta merta
memperbaiki kualitas hidup, merujuk pada hasil penelitian
sebelumnya bahwa derajat nyeri berkorelasi dengan kualitas hidup
pasien osteoarthritis yang semakin memburuk pula15. Penelitian ini
dilakukan untuk membuktikan bahwa terapi TENS dan dikombinasi
dengan terapi Infrared mempunyai efek terutama untuk menurunkan
atau meredakan nyeri yang dirasakan pasien osteoarthritis sehingga
akan berhubungan dengan kualitas hidup pasien.
Efek terapi akan diukur dengan indeks WOMAC meliputi nyeri,
fungsi fisik, dan kekakuan sendi, indeks tersebut berfungsi untuk
http://repository.unimus.ac.id
33
monitoring pasien osteoarthritis lutut, serta mengevaluasi efek dari
terapeutik yang diberikan4.
http://repository.unimus.ac.id
34
B. Kerangka Teori
OSTEOARTHRITISLUTUT
Penangananfarmakologis
Penanganannon
farmakologis
Hidroterapi TermoterapiElektroterapi
Kualitas Hidup
TrancutaneusElectrical Nerve
Stimulation
NYERI SENDI
Edukasi Modalitas Latihan Alat Bantu
Terapi Infrared
http://repository.unimus.ac.id
35
C. Kerangka Konsep
D. Hipotesis
Ada Hubungan Terapi Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation Dan
Infrared Dengan Kualitas Hidup Pasien Osteoarthritis Lutut.
Terapi TrancutaneusElectrical Nerve
Stimulation (TENS)dan Infrared
KualitasHidup
http://repository.unimus.ac.id
Recommended