View
3.172
Download
4
Category
Preview:
DESCRIPTION
WALAUPUN LANGIT RUNRUH HUKUM HARUS TETAP DITEGAKKAN
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk mulia yang diciptakan oleh Allah SWT,
terdiri atas dua unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua unsur
itu, masing-masing menopang untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan
di akhirat. Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan,
menjadikan manusia laki-laki dan perempuan. Sudah kodrat manusia
antara satu sama lain selalu saling membutuhkan karena manusia
merupakan makhluk sosial. Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi
dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri
tersebut mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur, demikian
pula di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya manusia diciptakan
berpasang-pasangan supaya mereka cenderung dan merasa tenteram
kepadanya dan dijadikan-Nya di antara suami dan isteri itu kasih sayang.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Rumusan perkawinan tersebut merupakan rumusan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diterangkan
dalam Pasal 1 dengan penjelasan disebutkan :
” Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
1
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peran penting membentuk keluarga yang bahagia, rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan, menjadi hak dan kewajiban orang tua”.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum
antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai
suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya
nyata baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau
masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa
yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara
seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami
istri. Dalam taraf permulaan, ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan
adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan
perkawinan. Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan batin ini tercermin
dari adanya kerukunan suami isteri. Terjalinnya ikatan lahir dan batin
merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang
bahagia dan kekal.
Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan bahwa perkawinan itu adalah
salah satu sunnatullah, hidup berpasang-pasangan adalah naluri semua
makhluk Tuhan baik hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia (Djaman
Nur, 1993:5). Oleh karena itu, untuk menyatukan hati, maka terlebih
dahulu harus ada penyesuaian terhadap keadaan jiwa dan arah yang
akan dituju dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga.
Perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Al Qur’an dan Sunnah
2
Rasul merupakan salah satu manifestasi ibadah bagi umat Islam,
terjadinya perkawinan adalah cikal bakal adanya kehidupan
bermasyarakat yang teratur. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam
sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik
sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam
Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat
terwujud (Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2004:206).
Perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian yang suci kuat dan
kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, di mana antara
suami dan isteri harus saling menyantuni, kasih-mengasihi, terdapat
keadaan aman dan tenteram penuh kebahagiaan baik moral, spritual dan
materiil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang pada prinsip dalam
pokok-pokoknya perkawinan itu hendaklah:
1. Terdapat pergaulan yang makruf antara suami isteri itu dan saling
menjaga rahasia masing-masing, serta saling membantu.
2. Terdapat pergaulan yang aman dan tenteram (sakinah).
3. Pergaulan yang saling mencintai antara suami isteri (mawaddah).
4. Pergaulan yang disertai rasa santun menyantuni terutama setelah
tua mendatang (warahmah) (M. Idris Ramulyo, 1996:287).
Di dalam masyarakat hukum adat, perkawinan itu di samping harus
dilakukan menurut tata cara dan syarat-syarat yang berlaku dalam
masyarakat tersebut juga pengesahannya dilakukan menurut hukum
3
agama dan kepercayaan dari masyarakat yang bersangkutan. Demi
menciptakan keteraturan dalam masyarakat sehingga tidak terjadi pola
perkawinan yang menyimpang. Pemerintah Republik Indonesia mengatur
masalah perkawinan dalam sebuah undang-undang yaitu undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan. Diciptakannya
undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan
yang selanjutnya disebut UUP, dengan seperangkat peraturan
pelaksanaannya merupakan suatu upaya yuridis untuk mengadakan
perubahan dan pembaharuan terhadap pola-pola perkawinan dalam
masyarakat yang menimbulkan akibat negatif pertama terhadap
perkembangan mental dan psikologis anak dalam keluarga tersebut. Dari
perkawinan yang semula bebas dan seenaknya menjadi perkawinan yang
dilakukan dengan syarat-syarat formal yang pasti, serta dengan prosedur
yang baik dan teratur.
Seperti diketahui pelaksanaan perkawinan didahului kegiatan-
kegiatan, baik yang dilakukan oleh calon mempelai maupun oleh Pegawai
Pencatat Nikah (PPN). Calon mempelai atau orang tuanya atau walinya
memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan kepada pegawai
pencatat perkawinan, dalam proses ini kadang ada pemalsuan identitas
dan dibutuhkan ketelitian pegawai pencatat. Selanjutnya pegawai tersebut
meneliti
apakô¤˜ö(²áqP¸À5uÓšÒ®îÂ3™3š«$9<Š×ƒL{lž”k¸¶2R7FÊäSçYg‡kóøVŠÁ
ŽÕ:¼dV©Ës9¤ré’xª’éî«÷k¿òc+‚£òª—hùÂʪæv<êkfV Õfžk¬Ô4í…˜Á–
4
‘Eí¡
XÍeíŠf«N˜5AžhH‹‘mïK·ŠqÇJJ¥¸°â™°š”æ›Í'}„0d7ÒŸÔu¤+-
7¡ëÍN¶Ôèy¥Ý“Å5˜š
µ
ë¨î9‰éBœSFI¥$v§
%RsW!|tªÜŠµö¥dÍœ»d
5Ùis‡€sÍpP6®£H¸ÚʹàÖsC:Ä;…L:UXXqV ¬Ç¨¤ZPhÍ*<„-(¦çšZw)
5
Íæš)IÍæbµRBqFìô¥'q íE4š@rjo®€
6
qH
Ö›žiIw
7
£°*¬¯”8©¦8SUW•"»·D¤Êê¹4ò˜íR§8¦3-”‹)ÔÔ査š¤´cON”ª=iØÍ ëÍM—
Q§avdæœ@ 0íHy9¡i¸8Z‘iªE9M67¢'^µ0¨äÔÙæ„éJM!ëAµXC%n* RÊpµ
8
p(Ûa ïIFFh§Ðå8ïÅ@\zÔ³œ-QgÁ©ÓOq\œ0&ž¤åT„‡vjâ¨âH¥°"Ja8
4üw¨¤¬ÚC"njÌ*¶*Ü< YJûGrÂu©ÔñP'Z°¼ŠÃb·§œ”ð* MUÇb
´´F0(”ð)ÑŽ4i àdÐËŠxqM|
ÓJìЫ)4ÈгçµHÃq©áiêQfðY#+Šdc§#¸ØevÇz”5:FÁ¦#å©Y
XECšsGÅN©‘šF§^¤îS)Í=F)å8¡c4Ð5qH¨™I«k"”ÃÇJ«3;XĹ·2‘\
Þ¡bcÜqÅw2AíYwÖk*‘Š-aZçŸK\⫲zÖåý“BäcŠÉ‘0qU¡)M—µÎµ;/
jˆ¯<QnŒ‘„ž”¤zv=i¼ƒBV ¤üÜҜӱ–ö œ-”Û°ˆ[Ž´NnOµ&Ñš†9
9
('ïKS$Æ8;TÑœÔ\bœŽ:b¢ÝØì_À"¶t벎zW?
óÅhZ9Wžõ,G¡ÙÍæħµ^VÏzÀÒ®µ @sŠÚFïX7rîXÍ÷¦Í.jn€ñM݃Í&i3“EôRMÔì
Ô9=©KQ~ãd„ÓsŽ”ÜÑšNI;€1 RfŠ”îÆ-i)Hâ›JRæ¾Á¡ÇŠFY`sP
810×m¼ÉCqÍBÎ10©$ozªäæ›h¢E|œ“µWÔŠüóGX˜0éL<R '4…
À¡¤Àx8¥ßQo8¤$Œz-€°ÆiêÜñPîÀ©‚is\
mhXN•0T+REÑ‘&h¦ŒÒÑ{ŽnV¡íVdU~‡µ10ÓÅ Ži¹ÅR ².ኡ"zUíÆ
¢“§ª›CµÊ©'¥[NµQƒRƒÅ9;ê!Ù¨œÓûTmž¦²z
10
$‚*Ô\ T‰Ëã5~!À¬ç¬kÂTÊj$§2ŠÉ¦
Ž=*¼jr*:ÓJÚVS‚KÎ*´Ç÷‚¬DõãkÄ°htÈ¡MIÅZ²4lªWç«Ž•0
&¤ŠQž´(±ÜÐ…w•âÀªñMŽ•(œžµ²ŠJÀäWš<ÕB5iœ5T¸AÖ’Z…î>2
´æ5^,ŠsMˆp\Ôˆ˜¦¯5b5ÏZ§†Ç"—gµô^)Ì>ZÐÉ”¥J¡:V„¦©ÉÒ³“wÐ0oíU
ƹK»RŒx®æår ¬øg"ŽeÔN'"ñI¨Ã{VÌ;I¬ù3VÌZ+±É `ÒãšaëÅ ÙÜ–…
ÆM#11Må4„äŸZlB-œS
11
sR`-(*;ÔòˆiåGµÜS@t⥻
žqOi›vý~”üš›õ)´MÁ«P¿Î3TTžµ<m’*Z[¡hušEÆ%Pz-+©‰Á¸+ Ê:ó]-
œ‚HÍsϹIô4§©àZ€xæ³QKŠbÓÍ[wW@(â‚i:R‰;
¡ô”)x¤õ-i¹9¥úRTÊûŽ×
12
Ô‡ØÒ“è)1“ɤÕÇäFÕVv#V‰ÈéUf帮çØ̬ϚÆ{ÔÎ13íQ-µ7èvŒ
13
)à9¤µ¼U-µÄúP(Í8u↷ JM <R• ŠK \V14T±LÇJ–
1Tã¨äô,)ô©¯5Ôƒ‘JÚlbIGZJZÚˆCéPȽÅOHFh¾ V¦•©-2
14
E7¶¤µýWqÍA!«/íUäÆy§I]b%<ÔëÒ ,3Š™\15*¯a¤®j)dÀ
S‹“Ò¡‘N3Þ›h¤DƒçëÞµ"\ YQýúׄeEe5©H™EJœSµTƒŠÎÀÕyMNÇ©Ï*©¡'{
15
£tåH"¦·µ³®® ã"§µ“(1UÊÒ».,Ò2àu¨Þl
16
µ5V‘ñM]£TÉšBÝø§Fä?§X>jXÏ4j¶¤ŽHFÙ¬øߊ±œÖ±!ܸNÑÖ
¢s¿ŒR†Í=pjÚW¸&1# R`ƒV8ÅE ÏJ™$RJµªqœqW#<qì&ËH9¦Jq@|
†Y+KèA½êœ¢¬»dUYNEc-u,¥q÷Mc]÷yÏQX÷xæ³z
17
Ź'5•2eð+Rã$š¥°´˜§i˜ÊÅ)#ÂÕSZW‰µk1Øgêµz´!õ¤“šMÿ18
`¤½.nŒ„8š ÍÔö¤v¡½@p_zq8¤àô4äÒr Ù£9¦îÓQÖ…¨Ø
18
KsPäf¤B$›£lØ5×h÷âOOzâ¡b
19
+¡ÑçòÜk'a£¯Fõ©”óU"lV§¸Ås)%¢.Äâœ:TAð)àþT_¢£²M
Ú€h¢Ï¨ÀšJ¤=(íM·°µ
20
Ñ@éIPP§3’irGZC×'½Øj1ŽUóVãf_NQ”/ã]í4B%gâ£'š$,¹4»³K^£½ÇS°
0p9£p¸cšzŽsJ ÇZ:óUË Ô‡€)âŒñQ³ É¥µ=Iµóš•H-Š£çõÅ[¶;†M
21
ZŠL¶£Šej5>•(äQ©»R(¦ ïKšAIÆhZŒwQLd
¨¥Èµ3
22
u¤ƒs>uÛ’¤§JFlqW.Ÿ9§LÃ23S†®ÀF¥‰§n4Ȫìã"§ŠOZèk "p€/ ”
23
²ÚMW”df‹ ^5ýåkC÷EfF>qZqü¢²œJ¾„ý©-@£“Š…çã˜b’a×ZQ¦ÞáÌEsz
ƺ¼gïZ’Ø3
UIì§ç“Zûµ%3¤,y5©¦¾ä÷³fi«zl\)E¤i&Ír™§N|
©«ªxª×#5’ÔÞåd“=êÌmTlŠµeûÔÕúî^ŒäóVPã½RG©Ñýêâšè6‹¨Æ¦
Žµ@OŽ†Ÿö®95{¸—Œ€w¤ó ¬öº\u¦
O¥ f˜8æ¬FþõµÛ…XW÷©D²ø”t¨òj%!lÓ“@íU¤5+ÍMÇ©N~k"ðÕœžk-ìõ¬
Ý®WC"àŽjˆc“$Õ›¦Æy¬;‡!ëH-51œ®\½¹W^
d–ù¹4<¤ša# šiXÅ’RcœÑÉ抿A!¬xÀ¡rFsHÀï@àT\Lvãšpn)ƒ9§
24
25
û€üÒLÏ¥¹©RÐ.OŸZròj
26
óÖ¤G"ž‚.FÄ0§§g)IµûÖLgM\…Îk9GÝ°Ó±ÞÚJ
"¯©§Íè÷[Ô!í]g5Èà“±ièXTƒëQƒš=
QIß.iî-Ôgš7S{Ò•÷C¸íÔ„ãš1Þç§.#AœÐئšCÍ.WÔdNk-ù
‰qZÏÒ±oXùÛk½]#Ñ9
¥?ñ¨£l â¥27u¤Öã²
27
šzqH28æ‚pxª$“whÝÚ‘zsGÍ%¨ö¸Š‚áŽÜ—5µÃ8ÅUìÀŽ%9;eùiD»A"®*
Ò¥÷av(§ Ó@—'§QÕh!Û…³L9¦“š ìÀ
28
µsÚ˜['4·4XcòOzBÄ
29
´ÜÓ¸©ÕOȧÚ'|TRT–ÒcƒÅmM-
Á±×(:â«SÎû›30Óf·’%#qŠlŠ§Ç©–'æšöìT‰
30
î^ŽÞYp31 V•–’_ŠÛƒJTÁ"©S¹<Ç8º[319©Å™QŠéZÚ5-
wš®ö¡ÏJÕS#˜æe¶px¬ë¨\šêçµ)Û5—yo•<QÉÜjGv1œ
31
•R Är‚k_Pƒnê”`ÖS‰¬]µ:Hßz¤µ’ŒŠÎÓîr»I-
,äW3‰Ó]§Õpj€V™³uHª@§kÆVV`±
32
Õ0‡Ž)ŠJÔÊçU%bœˆŒ{{ÔM‘Ò¬ÍÚ…·'¶PpÇ¥:;g<æ´’ÙAäf¦
ÐRlÎRE8CFpM^²*æÈ©SŠŽ·%
Ò‚Hµ±McJêå ,qPHصöp
Z©$œžj_È.bÝÉך¿u. æ°o.:óRµê);#>ö\ƒÍbÊÄ’jÝÔûߧEÎ
33
+XÄæ“×B3šUë“A<Ò¯§JÄ
34
Ýž”½i£©â„„ÄÅ&Ðy§
35
¼Ð×-µ
¶9£ûÓÀµ˜§$w⌤Ɨiì(¡G¨1žiàa©˜É©36À¡ù
36
”Š³ ÷ª€TȤ^õ-µ¸ºtþ\ÊAÇ5Ø[H
§ÀÛc&º&ç#i=9®j«©Hè”ñR¦1Uã9©”Ö~ð\“Œ Eµí}@¤N);Rãš*^š
37
NÔÜäS³HG4h44Ži
9¤èj-}©RL€kéŸÞ¶$n
aÜß“ï]—{³2tÆÑ“Š~ìôéP§ f¥_¥ -é .{Ò`“šn
ïR)Çj.-Bà‘J£43€3H¬1V®„?§
38
B. ¸ÍIÍ0òàUŠö/§h«+Ò ‹€*e4€p4¦Œqš1E€1ÅDõ)¨ÜÑÊØ·Þ£5#ñQ1&‹>€
(4„úRš\m§ÊžåÉÒ›¶x§3&㊵i¤\ŠÞš²"FyS¿ž
\ŠÃ¥LÖÛ¦é[6:^@.8ùnG1mbò«m-b39·&µí§ ~§3@@c\™¨1Š²\ ÅA·
1. ¥MµDòk^Q60®ã“H¬2IåñVˆ*<@žEeßÛ®ÓŠØ“
ÖeövšRµ†Ž/Vˆ/äk”ºõ®ÃX‚Mrc×,žš›AèCo9‰ë~ · Á®\¾
ki×Â÷®Y«fâTÜsS¦
BvêtE39©U
2. µ¨£Š˜ ŒU;Ø-‚* Í8(Å;µcŠ.MÃhíKÐR HM&-Ʊ¦†¡Î*õ•Ò'ÝQ³ãBd¨¤›-
Bo©¢D®ã§Ÿq>3Í$·8Ï5yz9Á¦¬Ð7`¼ºÀ#5ÎÞ\
ï'utd'šÎwÎi¨˜NWØc19$Ó¤<ÒÓOëZÙ3+‘ãšvà)[“njP˜áê)àÔC9§ƒš.
€x4¸çH:Š‘NztªKÌL@œäÑ°u§Ó€ô¦â"!òõ§žH¥+Jµ¶39µi°
C. Ç=)BóR,l
39
1š”CƒšV
‘*ðjd✩´óOUâ¥ß¢HŽqZÖ”
40
1. â²£\UÛ~¢³qÑŽçoo uéV×Ö±t¹÷Æ9æ¶PääÑ=K^D¢Œ‘@éGj•u
¹ù¸§g"š:Ó…O"náp£<ÐGµ)´41A"™õ§æšMCÓV;\
ÊyI±älÍ“ëZXܧ²ÈÝ&Mu¥Õ41¨æ¤1Í2<ƒÍ>šåÙŒpµsÚ“œS‡½[d
‰ŒÓ€)¤ÒÉæ‡a
41
4ÀÃÍÅ8‚:S42Ý(5HLÓŽ0p*u‹
42
P)p1J—¢ÌñMz›SsM U×4͸欕Í3g=*ùBã43È¥ R„íŠzEš¾V d秧chÒ
43
$¥Ø44+£²³ á92µ®“–ܶ¡³U*HÓh©Ô“ÒºTLîFµGÆ(?
1©Z2ÜÒlÚsV•„Ù¤8©R*sRÇj¡<~Õ
)QWH§¨ÅÜF\§½fÞ©[€5‹u'QS/"‘Ìk44'§Æ]òNk²ÕÛ9®6÷‚q\òŽ—
5‹3¤Z±i6ÉÎj»ñQ jÁ,kuð˹ «Q·"¹Ûß”+5kÅ(ãšÁ®‡\%sY$©•Åg#ûÔ«6)^Å
´™ c4¥ò*¢ÊëNó‡sT¥ÜÍÄŸxµÓ ê³L
z¯%ÇÍÖ¥ÎÛ
)fYAïUžOz%Èõª²]€¤5/^…Yd¸Ú:Õ ï1žjŒ÷Ýpk2{Æoâ¡!
9¤\»¿ pk{²ÄóÖ™4ä皪NjšWÐÊR¸3wÍ@NM=ùÏ<T} ^‚›Ž3š
v4qŠ:“q
44
1ïMæ”ç<P
45
46ŸÎž£œÓ1“R'=(i½@co4õÇj`áªT^zqUX qNTù©ê¹5n
|‘¸U´&ì6;2ãÖ®C¦óÈKK!°ZqÙ
46
g§jŸb.ÎxXc?-Äã8®˜Y©íRgñž�
$¬ÄÙȵ“ œS~ÊGjë?³~œRI¥/Ôò\iœ°„úb§‰kj]!¿„øUgÓ¤ˆò¥C¦Êº¹.™'—
(æº8[p¹¨£1€EnÙK”47õ®J”µÔÑ4_ÇJpu¤JRyâ±jÛ§q¤N)@£¨¢
¥Ç¨y¤éKÛ4v¨º-œÓœO4óQ&÷et±”";
AöD^pjë
47
*2§§Õ±08¥48~4ò)¸µºØW
¢”(ÆM(RiÀgŠ´…pÚ1@Oj(Í;§¦‚")š’8;¨&§‰r8ªK¨‰PS-1W¥Zz0—
¨£µï¥U»48Ð(Ûš-9S'¥4™7 1ûP#ç¥hÅfò
48
X]*OJÕD\ÆRBIéZšy”ŒŒUø4ÜXV½µªŽÕ¬)¶C‘Z×MXñÅi$GJ™(§0\
×BŒÜ™49ˆSÄx©@§m«½„GŠB™©vÒcŠ.
òžj`A§©
4Õlv¾ ‰
2LŠp梓ŒÓCØ¡t85ÎÞ¶Ö5Ð\¾Ðk˜Ô$Ë
QòGJä¯Á
49
k®¹äæu%åŽ+)"à`ËȨ[¥O'µ@玕ÌÒ6@’ìéZVú‰Q†5‘ž)êÀ
50
ÖN+bã&¶:hu#ªÒÞ)î+óÊ÷©ñÇñÊPFê¡Ø}±@ëMkáë\Â^±1??ÏfäšÏ— ùÍ
ç¾Þª’ߌ-y¬¦ãFXž´ùl
51
m—¤»f\U$¸lry¨‹â
¢vç4숸¯1=MS•ËOw犬íŽsÍ4„ÝÀô¨·zPX“Ö›ÎhKRXb‘K»m&A4Ú¹,iÀÅF[q§µ3
éUkD¬F)pi)sŽ”—˜ ÍJ¤…â˜3ÆEH¦šÓD
52
zS 9¨@Á§nÙ7œqƒz²Y4QaŠÔ·Ë¯
ò¢ÚÝUAÆkoO„4«é]1…Ù
53
D¶vò.7)§¯µ-\Šç” ŠÑ«hg©Y ²jRŠ/'Š’(K·56è;"¸„³p*ì%°Xd{Õ¸-@#"´â
‰qŒU(¡9µÍ6ਦI§FË÷Em$zŠ{@¸À©”Rw8û½"=¤ªóYQFÐKµ†+»–
ÙH5ƒ¨i¤è+–p¹¤YR7ȧ(ª‘–FÁ§iXï\S‹FÈq¤ëGZ\T5Ôcâ“9§1¦’+>TÝÃPǽ4ƒž
´Å356¼·*ÅNÔÆ>ø§Žõµ‡°›w²Œ¯µÜU TØÅ
ql1X Í8
54
x¤)ž”
õRÕ‰’5555É43dqQŒ³c
a) §<hU‰lŒ)=ªÔ#µÌf¤N
i
DN£œ07µõ5¥€ZrŠh"¥QZ$MÅTÍ]··.ÊKks!� §¹ik´
55
+XCR%$:ÖÔ*Ž*ð„c¥>8À§.t¨$b婈zTè€v¥ OÎ*Ôl&õâ€y¦
±ÀsOȦšv56©apÍ&rij6=qB§±Žj¬€ƒ‘SqQHx<V‘AqN1M‘ÆEÍC4ÛAæ«”«”ï¥
sW'{“Z×Óoâ²d\dÔÜhʸç5.†º[£Ö¹ÝDuô¨w-hÎvN
ª¯×š·8Á5N^µÉ=Í‘ã½&p1M=i
b³c8¦«äÓ²i¼ƒR×Q¢Ú>Þ‚¬¤¼VpsS#óY»2ïغ=iÄŠª$ã?ÍéPÓ)
¤b1ŠÈÆ)]À9ªï&O©„vÆj»ÀÔ˜-Me
]™!¥¤ïFh§ÀŒŠŒ‚;ÓÉâ˜MB°ÂrsE/j0qFìBàâœ;Râ”gÍ-CC©ê;÷¤µõSÞŽ¢- ‚
3W±»5R4,jÜ'aÆ*ã¹,Ø·n€Vöšè§žµÎÛJ¹¸eŒFà×RšFR‰ÔÅ*ùc‘@
%›Ú°í¦`~÷§~;ÁÒžáêiϦJ75^
”/=j¶îE4ìMˆb1WâN:Ö,R²°«Ërvš›’AcGvÑÔSZlU=‰é�
Ä=ؚͲ‹^r“ɨ¤d~
W71
56
Äþ§]ÇÙMdÐÑJöÙw^*†JµjÉqõªrÆÊXÎ(Ñ2%`iÙâ¢xœr)§C\Ò‹Ü”ãÓ¥!
9i;ô¬ìP¬i™Å8µ ¬¬×Q™ç$õ¤ “׊b¾ê™F[L4{Ò¤òò=
4¦¤-õI&+ô§P NØéJ1@ë֪ˡ,
57
`
58
(\S¥À#î!¡A=)ê˜4 zTŠ3ZF(B§"ÅšzGíV¢¶f<kE[ HM_µ²g •â®ÛXp
ÒŠ£59WD ÌœÆ[Z,``UøÐ
H‹Ú¦º#-ÆMÜP1O_zfiÀZ$Hâõ4dš]¸§(¦ÐURj@¼R §f¡°¸€RþµPjD.=©¥E£
4
59
ãF* 60¥sš¯+qÖ´Š:VmÛmSW¸¬»×ÎEka£2L»“PL¸§iW¹ª—
nµTH³õ€'§‡u‚¬MiÞK–5rÿ60)¬™¢‰‡r@cÅgÊ{Ö…×SYÒ“ž•Ë7ÍQ
<ñQ»vÅ9Fõ”ŠN)sAäRcŠ–ô°É1‘šPا$K¹qQºìj°!
ÁóKæT9=¨'#Šž·*äŒùµÐ2ÀzÒ"qW£·
‚zÑÈîÃ!cÍT—©«ó7ËYÒõ«¾–D‘í
fô§nãµÃÉâ¥è&4àŠoSŠqçŽôÎô¼Àr“KÇAH1Þ‚}ª“60š~)½qR
60
œÒ¸
61
Lnæ¥x¦-•<J âœn&ô,[Å–Õß!zŠeºW@@:s])¢9®UX>
JÓXN·ÜqV°‰÷kD‘7ÔžÚ$rk^(PÖ±áŸmZ
62
{ÕGDEµ5ãuJ°· t¬ˆÝß sZZJø'4˜îXûA'Š‘$‘¸ç§bÞÅ
VŠ[!63SQ&åížNVã°
®jì0 Å[H‡¥5\¤štXåsJúd}À
iª
63
qHÑœf†¬;œüúR
64
‘šÏ’Å”ü¤ŠêdOQTf‡’qPâ‘Iœû¤ñû¥Vs“ó
65
è<°zÕiì‘%yõ®iÁ\ÑHÅf(pEIqhÈ
66
Þ•H1FÃ
67
+ž¥5ÐÒ2,iÎi
"Œñ\®Ü£1¬"“ÎhP¤j‘WŒŠi+ܧpT=éêœæ•W½IŒvª©.ì@)ÀRëOP
h‰cvœñOUÏZz¨Ï5*¦{V±NqVbƒ$S’z¿knsÈc$ì>ÚÌ §«²(™m«q
68
âº!µžÆ2d‚0=Wµ¢¤69Ý+¸ÑÁ§ƒž”˜Ô¨ U¤MÁWÖœN)Kb›Ö™7 4áH¤µL
:QM'"µM‚䛽i7 LÝLf¦¢Ð“}0ÉïQ—À¨ZNj”Bä¯
%Wvɦ4œÔrIǧ¬c`FÖeÉËU™dàÖ|òD¼‹‰µ®köã®*ÝÔÇ
šÆ™‹?=+–SfÑʇrMg\FÇ5²ãŠ¥:8§Ç*’¹×g9s
69
Ö\ÈA®–xI'"³å´
Æ+7+½Añƒ À¨ŽMjÉbzUy-z–Õ´Mµ1M70Š²Ð¿R¦›åsEî–üTó@ww¨"Èj¼
70
R®+MA™f<J±l´ñîÅ:Ý71ëBŠ¸1cQrzÒ³æ¥aš¬A
71
}*›§ˆåbj£‚~•bFÇAUŸ§ZÍï¨È[Ú˜N9
š“§j‰¹©vB°g#Þ‘A&œG½&
=!@ãš\|½
4(¦1áiè
72
i8ǵå^rh{‰\óV#l
73
•*ݲe¶šÒ7%“$ûqŠ°²“OŠÅXa_Ú¶Œ-ìÏ™ µíÀÍ[Œ;·M>Xò>Z׶·P
´Iåb¤nýxK]8œg5nÞÝCÓŠ0*ÔlŠÚÉc f´"@)ƒ¥=O4íaÀ«–
éÞ«B›ˆÍ_jÐ1ÀaºÕˆÏ§L¶¤5<RqO™l,Ž´áž†¡S' ©óB‚ ’Ù§OJ±PÝ÷(ËnTäT^Í
W\“ÔT
74
=+
$ÍŸqe$V<öàçŠèš<ÕIísXÉ]™Ì±h›‘OYŽ*õÍ¡«8ÆÈN+ÂÅÜL`ôâœ0)àf”'zˆÚ
ÅŽ8©75¡EH«šj$¶&=ªDPié=ªä…È㧴`MÈb‡yÀ´ì
û¬[Û*v«È=«xÂûÙY-‘75©ã
¥L#Üjd§¼`fÙÆI«H¸ .)Õ²FmŽÎ j(Q“Tˆ¹"ŸZx¨éëV!ݨ
šCIš75š\ñQæ”·µ¬$86i
Te±Þ˜^šˆµÆ<S
ñQ4žõJ!qìjjF“Š…¤ì
h¬+š…Û‘œæ¢v⟩iM''§pýjä§gOÐÖv4Š(ÎÙªL3V¤
±ªîÀà©3®œHYAâ ‘@§a@ä×+ó:
¢S’,öªÍn¤jÑ<šiAPåb’2ÞÐ1éQ5’Ž£5±°SÚ¡»¢œLCbýÞ*
Óµ-t ;S{RæhVV9æí<>Êãµt>Gµ1Ç¥TjÈ^Î'?övç+úTB"§¥t&¤ja´ä-
SªÓØ^ÌÁe UYQ”ƒ]µ–KÈÛúUY´ýÃVªßB].¦
75
f«0ÍmM`ʤª[2ç"“iêˆqÔ¡‚DFOJ¸Ñ*-˜Í&K Ø}i0w`š›a¦•Á§fM†ã¹Å8âÏj\
qƒU¨0‘
-Ô͸§4cµâžÀÉqƒVí—lƒ½WÍZƒ¨Èc£!›v56AlUh_ Öž–ë]*O®ÆV±-
j‹ÁëZ`V5»ô(å!x5ªd¸êkDÀ}jÚ>k&
,EiGŒԹk ‹@÷Í9檦P)†¡ËQØÛ…Ô`Õƒ8õ¬X¦õ5i&ÈÅ
°±m¥É⤊^9ªj 9©Ñx§fÇrИÔT‚qŠ«å‚jeŒv°®?ÎÏj_4-ÔE.ʵA±®
çÒ¢,[µXÛÅ'—Í.A¦SrqÒ¢'ŽkDÆ1Ò£hF:VnNæLÊt¬¹íŽrtm76=ª´–
™5œ©_r”¬s@S‡Z@;æ¤UÍqF :ã§j(³Ö™\Ž*ôp1£
’Û$†%§~%â«G;ÔÊMo™¶]ŒµŒf¨ÆäbÇ ¢IiT¡j$pjdæ´O¡›m r)â—
ŠÑØ͸£N&€)¢Xiz\bž*„!4›°)3šBqÅ1
76
ÏzBÔÂØµÓ ¦
77
$šc>
5¤ü*z´€™¤÷¨ËÔ,ÔÆ’š°3ÔE½é™Íšc§š£~E;
‚20*$Æ™REÎk>älSšÖ“j!-\ýõÎù+š¤Í¢®SsÉ5~´¥³L9® =NÈ+
78
cÅBüÔÄb£>˜¬m›&EÈ4žõ!^}¨(*=KLŽ’žWµÚ–¬]Ðb€ipiÁ*\` 5(JpOj°\€
ÇJO/"yt›)5¨^å6„a€zUí™æ“ËÍŽ÷2ä¶È?-S–ÅX¨ü«u£ÍFÐŒr)ëÐV9iô ~êÖ|ºs§!
sŠìZÜdÔZ†ÎmnK¦™Å=³÷¨#œ]Œ¶G+TeÒÔäâ´UÒä{'m
79
ooµÝœñÍlɦ:“´Ui-$NªkNeÜÊQ×R–)éÁ©ŒDuZE’E8;2$AÞ-
ļg5Msž:Uˆ‰
“[Ç{’ËjJŠ™ $sP©â¥BxÀîCìhÂØÇ5£
À¬˜Iȧ¥…uy´ÐƒZ
*ÚK‘ɬt”úÕ¸™˜uâ…ª‹æAÚœ¬ÍÐUt[Œm§"êMÁæ£
Òª+dÔªpsU`4#>µeb¨FÄÕ¨óTšDûÅH5\‘O†i¹Å“OÔÕ`ELŠjAa¸Å80Ô¹SMlf›–a
´”–ÂÄl:ÔDg¨©Î1LlRºê;œPBM[†qž•j>æ¤JµÄ mÌGµ80
80
•i#ì(P ÅN€VÑ3oPHýjQ
(©§â´D¶3ÈïJ§”Ôë‚jB€Ž•ªD‘#í«1ËïP4}ÅF SÍ;h«ûÓ÷Õš¦Y3LL¶)sP
‰)wÕ!X‘Ž*&n(,MDù5h|Ð)¦^ôÍ´‡T;ˆÒšaÒch.+Iêj&lž´ÒsH)Ü
f›É§Í=SÚ‹€ÅCRmÀ©Dx§Ê‘ƒ“Rä1„~§µ“¤j}jµÅ÷$)¬Ùîq’Mg&4»ŽÔo>S
ƒ\ô×›…è'¬ß?5ÍSc¢™¢¯šsU!U x®í¹Ö…+Q‘íOÜ;ši95¤]°©¸Í=˜ MÝÅD
´*⧦àt§)t
Æm§ G^”µ2
Žµài J~y«²°
81
â˜G<QœšuM›Ð¿•.ÐihÎ)´¸Â‚˜W<TÔÜSkjŠD1Lhò:U
¢¼Td82qRß6å^Å6ˆTo82ÇJ¼cdSLtÕf[Ûäô¨$³-+\
§lSL`ŒU=CÔçäÓÔöª’iÅs´fºc82ô¨ü…9â´Œš3”§Î_ìr/;h[vâºI-†082¦ýá-
#S]L#
82
8CVaŒç§¥ýž¤ð1V!ӆᎵ¼f›0”(¤µg¸®Š×BB›éN}t9‘]1³F
83
Æ3Æ*ÜV¬:HÎJÓ„,¼m?•5kX/`\™=* ¤v§¦AàTõó,§Z³ÎjšïÈ«¤‘Í/0.)P84õ“ê°CëOÚi¡
84
€¯Z|/ÅS$Ššõ¥k ¢R«U‘¸§:µ^¡b`ij-Ô¹£®
¢ò$Í&xæ£Ï=iÙ4¬0'Ÿja4ŠcPÝÖælrU„ óT•Xv©ã'½g§Ñƒ-¢x©‘PÆÄU…
lÕ¥m…ê85x§€
;Ò©- §2ÉÅDHµ›Å\P™lc 5ËŠ‘d
UbHH*}©D¸©UÜ`ÓÂÍÏ&¦qÖ³·b”OêhF™MgÍUŒu¥g½4ú¡XŸ<g4ÆlÔ{
ÀïH^¯p°òEDA$Ó·PTQÍÐ,4EšzÃHgUEW“PDþ*Nv)p*/
ZŽKˆÓÒ±nu… «çZ' 1üé9ܵN’ãTUȲgÔ
85
„äñ\ôº¡êZªKª689¬ÜŠI—ˆ9fÅdÞê€åTþ9¬Yõâ"³æ»$õ¡ÍZå$_šì9j'ÝÍdÉ)'9§G1æ°©RêÆ°‹Lè-¦É� -›å®~Œ`æ¥Ñ
¯§Æâ™Õe©æŽô†Z ³îêiþp¥ËfUËž`<S· TÄ™9¤Y=iJ(\Ú–
C{TAù§ÍG+Ž¬¡Á©Ù¨‹f“~;ÐÕÐ\²¤SéæÑæûÓi¥°Ñhã9¥
1. š¬$ç“N JÍF
‰Ïµ™É¨Ä™Òæ£E¸Ñ&{QœTyÅ9[=hNãµóÒôæ–”86{Ò×aÛQ¸ì)¤SØ
86
ÔŠíaìF4Òƒ569ö¤ëC
¶BSÒ™³ªÖÜÓvšÒàV1ç’)DYíVUsÖž<Õ’Ú HsÖ®AÜ0)§sW
_jÞž¬ç¨ÍÝ.bV§Ù•»Um)r�
k¢Wtbí©Å7©A¬”ŽEW}.&êƒò¯/"ƒW)79çÑã?
Ê®Ú6¤ÊsøWQågµ0Ä=)ò1Ü厗"ž•4zyÆÅt&§ô¨š
MŸP¹––`b¤6 Ž_òÀíR'µ=Âæ#Xœô¡lÊšÙhÇ¥0Ä(åž°§µà¬*ï—I²´
•0sÍ;
§;(µ˜µ[¸Êçpæše+Ö¬Å0Æ(°“èAç
87
2. Ðeµ<b¡d9À©vGÿÙ8
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888
888888888888888888888888888ì.ÃA'
88
ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
89
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
3. P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-
BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
90
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
91
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
4. HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ92fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤‰bîÍ2ñïl¤|
EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6 õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË�
Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–
@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
92
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ93¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ
¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-c¶93é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|
~‚qw`ÃÁC#93
;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï93ÿÄ%dï Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä�
÷S’½æ½•ö� #Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRì.ÃA'
93
ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
94
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
5. P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-
BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
95
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
96
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ97fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤‰bîÍ2ñïl¤|
EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6 õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË�
Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–
@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
97
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ98¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ
¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-c¶98é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\
[|~‚qw`ÃÁC#98
;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï98ÿÄ%dï Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä�
÷S’½æ½•ö� #Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRì.ÃA'
98
ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
99
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-
BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
100
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
101
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ102fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤
‰bîÍ2ñïl¤|EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6
õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË Š,e§è¤Ö}ú� ø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–
RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–
@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
102
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ103¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ
¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-
c¶103é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|~‚qw`ÃÁC#103
;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï103ÿÄ%dï Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä�
÷S’½æ½•ö� #Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRì.ÃA'
103
ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
104
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-
BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
105
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
106
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ107fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤
‰bîÍ2ñïl¤|EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6
õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–�
RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–
@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
107
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ108¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ
¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-
c¶108é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|~‚qw`ÃÁC#108
;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï108ÿÄ%dï Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä�
÷S’½æ½•ö� #Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRì.ÃA'
108
ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
109
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-
BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
110
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
111
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ112fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤‰bîÍ2ñïl¤|
EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6 õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË�
Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–
@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
112
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ113¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ
¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-
c¶113é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|~‚qw`ÃÁC#113
;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï113ÿÄ%dï Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä�
÷S’½æ½•ö� #Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRì.ÃA'
113
ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
114
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-
BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
115
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
116
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ117fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤‰bîÍ2ñïl¤|
EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6 õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË�
Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–
@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
117
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ118¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ
¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-
c¶118é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|~‚qw`ÃÁC#118
;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï118ÿÄ%dï Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä�
÷S’½æ½•ö� #Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRì.ÃA'
118
ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
119
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-
BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
120
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
121
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ122fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤‰bîÍ2ñïl¤|
EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6 õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË�
Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–
@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
122
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ123¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ
¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-
c¶123é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|~‚qw`ÃÁC#123
;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï123ÿÄ%dï Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä�
÷S’½æ½•ö� #Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRì.ÃA'
123
ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
124
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
- P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-
BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
125
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
126
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ127fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤‰bîÍ2ñïl¤|
EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6 õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË�
Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–
@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
127
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ128¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ
¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-c¶128é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|
~‚qw`ÃÁC#128
;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï128ÿÄ%dï Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä�
÷S’½æ½•ö� #Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRì.ÃA'
128
a. ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
129
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-
BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
130
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
131
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ132fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤‰bîÍ2ñïl¤|
EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6 õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË�
Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–
@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
132
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ133¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ
¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-
c¶133é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|~‚qw`ÃÁC#133
;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï133ÿÄ%dï Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä�
÷S’½æ½•ö� #Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRì.ÃA'
133
ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
134
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
1. P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-
BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
135
2. ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
136
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
3. HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ137fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤‰bîÍ2ñïl¤|
EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6 õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË�
Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
4. Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–
@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
137
5. :Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ138¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ
¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-c¶138é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|
~‚qw`ÃÁC#138
;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï138ÿÄ%dï
Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä� ÷S’½æ½•ö� -
#Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRì.Ã-
A'
138
ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
139
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ
²ÆæøÜHBЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
140
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
141
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ142fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤
‰bîÍ2ñïl¤|EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6
õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–�
RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \
V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
142
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ143¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-
c¶143é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|~‚qw`ÃÁC#143;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï143ÿÄ%dï Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä�
÷S’½æ½•ö� #Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú »wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ�
QRì.ÃA'
143
ªÎ„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
144
Rˆ£Ý+*ëØ>&<0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãpå0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
145
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
146
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚átHžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ147fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤‰bîÍ2ñïl¤|EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6 õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–�RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–@ÙPyˆÆùú†ºJú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
147
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ148¥Á–iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-
c¶148é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|~‚qw`ÃÁC#148;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï148ÿÄ%dï Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä�
÷S’½æ½•ö� #Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRì.ÃA'
148
ªÎ
„¡DüýP*®‘€&]šO˜šk@[‰Y4V"¤Éð¡7·Å…Ævû»Ã©¿ïi
%Æ[NɪêÓEC]“"+1C.Øþýé)§=îÛ]–¸&û›®Æßjoø-Úµ+¬‡VÌŸ‹k:}
‚=eoÎ/\`¦å’Q•
149
Rˆ£Ý+*ëØ>&<
0zâ•àÂÊ8FaŸ)ßum¢ß=ü /žìY=;‘„“óÔfô¤.
P'vŒEU2z[–[n¤ÅFãF cå¶Ww=WØæ´øE&yBŽzƒŸ ²ÆæøÜH-
BЄɸ0”r×{Y€„fÔbA¡`$<²3ÁNûÂHáfݤò*:'Iãp
å0;-…®Š7ÒáTj'iŽ§Õ3q ó:ö¶”µGååqÇ
150
ËæwÝuÔ¡d‘’üÛ¾PÉæÎÞÎxÏ™‘%:Ke¥†¬%âƒ+³…
151
>xÂAŒÕVUñ_kdƒH»-9ýtòos™I‚át
HžíëEå\r|¢¥w_¬ôôJg³PFçó§-
ÌÚÂÕ:“x`õÃÅöN.WÄ152fªñd±ÿ“¶Øôn¿r²_ˆ,ÜSl+}x! Ó‹¾p¤‰bîÍ2ñïl¤|
EXêgžå4Ž°Ë‡æ¢—¬_ÄÑhšf˜FL*[¶6 õE©x÷™7Äd˜ÿO‘÷ØË�
Š,e§è¤Ö}úø)oe…ëÉҀŧÅp¿>–RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³
Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`? Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!ñ, \V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–
@ÙPyˆÆùú†ºJ
ú2aìbç zµõ?ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤
152
:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ153¥Á–
iÙŒ^âÆÆ•³äAšº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q
5§ µÇ
¦Uü‡v¡ð'[97<qñ¼#;Ý žxïôþ¼§9[u1ú-
c¶153é«ÌRK†íÙòÍÇÖY"9ËvtºþÐ\[|~‚qw`ÃÁC#153
;Ž†É 3/Þ¹†YT¤ÚD¹´î*Ï153ÿÄ%dï
Ù2l4"Óîš¡ØðÛ<›3i‘ý'Ô8E’¢äçgä� ÷S’½æ½•ö� -
#Aû+ÀÎ4ë”+·0¢pQ®Ôɘ]ûÞçx¾ûU$§²ïæ$û"}¿±—ozôú
»wr†t·&Í™(ž–¶e'_Œ™rXzdùn0s&k˜ÉM"U‚µS±oÑÜ� QRng
itu hal ini juga bertujuan agar calon suami istri yang akan
melangsungkan perkawinan sudah matang jiwa raganya, sehingga
dapat membina rumah tangga sebaik-baiknya tanpa berakhir
dengan perceraian serta mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Penyimpangan terhadap ketentuan ini, hanya dimungkinkan
dengan meminta dispensasi kepada pengadilan, atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita. (Pasal 7 ayat (2) UUP).
Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,
maka permintaan dispensasi tersebut cukup diminta oleh orang tua
yang masih hidup atau mampu menyatakan kehendaknya, maka
dispensasi diminta oleh wali, orang yang memlihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
153
atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya (Pasal 7 ayat (3) UUP).
Undang-undang tidak menyebutkan apa saja yang dapat
dijadikan alasan untuk memberikan dispensasi. Oleh karena itu,
maka tiap-tiap keadaan dalam setiap kasus akan dipertimbangkan
oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk.
Ad.4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam
hubungan darah yang tidak boleh kawin.
Hubungan darah yang tidak boleh kawin menurut Pasal 8
UUP adalah :
a. Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
dank e atas ;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara seorang dengan saudara orang tua dan seorang
dengan saudara neneknya ;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
bapak / ibu tiri ;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan, dan bibi / paman susuan ;
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi
kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari
seorang ;
154
f. Mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin.
Dalam Pasal 8 huruf f di atas, disebutkan bahwa hubungan
yang dilarang kawin adalah hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang kawin, maka larangan kawin oleh
undang-undang perkawinan mungkin akan bertambah dengan larangan-
larangan kawin menurut hukum agama atau peraturan lain. Ketentuan
yang demikian membuktikan bahwa UUP telah menghormati sepenuhnya
agama dan kepercayaan masyarakat.
Ad.5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
Syarat untuk melangsungkan perkawinan, tercantum dalam
Pasal 9 UUP yang menyatakan :
“Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan (4) indang-undang ini”.
Pasal 3 menyatakan :
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Ad.6. Bagi suami istri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan
mereka tidak melarang, mereka boleh kawin kembali untuk ketiga
kalinya.
155
Syarat perkawinan yang keenam ini tercantum dalam UUP :
“Apabila suami istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”
Dalam penjelasan Pasal 10 UUP menyatakan :
“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain”.
Dalam Islam, suami istri yang telah bercerai dua kali, maka
diperbolehkan untuk kawin untuk ketiga kalinya. Akan tetapi bilamana
mereka bercerai untuk ketiga kalinya, maka mereka tidak boleh kawin lagi,
kecuali bekas istri yang telah bercerai kali tersebut kawin dengan lelaki
lain dan kemudian bercerai maka boleh melakukan perkawinan kembali
dengan bekas suaminya yang pernah bercerai tiga kali.
Ad.7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita
yang janda.
Dalam Pasal 11 UUP ditentukan bahwa wanita yang putus
perkawinannya, tidak boleh begitu saja kawin dengan lelaki lain
akan tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu (masa iddah) itu
habis.
Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, waktu tunggu tersebut diatur sebagai berikut :
156
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) undang-undang ditentukan sebagai berikut : a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 hari ;b. Apabila putus karena perceraian, waktu tunggu yang masih
berdatang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu dihitung sejak kematian suami.
Dari ketujuh syarat yang diuraikan di atas bersumber dari UUP dan
merupakan syarat baku bagi perkawinan secara umum.
B. Alasan Pembatalan Perkawinan dan Dasar Hukumnya
1. Alasan Pembatalan Perkawinan.
Suatu perkawinan dinyatakan batal harus dengan keputusan
pengadilan baik melalui Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri.
Alasan-alasan pembatalan perkawinan disebutkan dalam Pasal 24, Pasal
26, Pasal 27 UUP sebagai berikut :
a. Salah satu pihak (suami istri) melakukan lagi perkawinan dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 UUP.
b. Perkawinan dilangsungkan dihadapan pegawai pencatatan
perkawinan yang tidak berwenang.
c. Wali nikah tidak sah.
157
d. Tanpa dihadiri 2 orang saksi
e. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar
hukum
f. Salah sangka mengenai diri suami atau istri
Alasan poin a sampai poin d dapat gugur apabila mereka telah
hidup sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan
yang dibuat oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan yang tidak berwenang
tersebut dan perkawinan mereka harus diperbaharui supaya sah.
Sedangkan alasan e dan f, jika selama 6 bulan masih tetap hidup sebagai
suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka hak permohonan pembatalan perkawinan
dengan sendirinya menjadi gugur.
Sesuai dengan pasal 28 UUP no 1 tahun 1974 yaitu dengan
adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap
pembatalan perkawinan, akibat hukumnya tidak berlaku surut bagi:
1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap
harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya
perkawinan lain yang lebih dahulu.
3. Pihak ketiga yang beritikad baik
2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan.
Dasar hukum pembatalan perkawinan terdapat di beberapa pasal
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Peraturan Pemerintah
158
Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
Jo Surat Edaran Kepala BAKN Nomor 08/SE/1983 yaitu Pasal 22 UUP,
tetapi masih memberikan legalitas berlakunya hukum agama para pihak
yang perkawinannya terancam batal, sedangkan Pasal 66 UUP Jo Pasal
46 dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
memberikan legalisasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang
lain mengenai pembatalan perkawinan sejauh belum atau tidak diatur
dalam UUP menyatakan bahwa apabila yang bersangkutan anggota
ABRI, berlaku atas mereka ketentuan yang bersifat khusus yang diatur
oleh Menteri HANKAM / PANGAB.
C. Permohonan Pembatalan Perkawinan
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan
dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat
tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Bagi yang beragama islam,
permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan
Agama, sedangkan bagi mereka yang bukan beragama Islam
permohonan pembatalan diajukan kepada Pengadilan Negeri dalam
daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal
kedua suami istri, suami atau istri (Pasal 25 Jo Pasal 63 UUP).
Mengenai tata cara permohonan pembatalan perkawinan menurut
Pasal 37 dan Pasal 38 (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
159
adalah dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian,
seperti yang dijelaskan pada Pasal 14 sampai Pasal 36 UUP.
Adapun proses pemanggilan untuk mengadakan persidangan di
Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
1. Panggilan disampaikan secara patut kepada pribadi yang
bersangkutan secara langsung atau melalui lurah setempat atau
sesudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka
selambat – lambatnya 3 hari sebelum sidang dibuka.
2. Pemanggilan dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh ketua
Pengadilan Agama dan kepada tergugat dilampiri dengan surat
gugatan.
3. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas maka panggilan
dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan
pengumuman di pengadilan dan atau surat kabar.
4. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan
ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan. Jika tergugat tetap tidak hadir
maka gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat.
5. Pemeriksaan gugatan pembatalan perkawinan dilakukan oleh
hakim selambat-lambatnya 30 hari dari setelah diterimanya surat
gugatan pembatalan. Apabila tergugat bertempat kediaman di luar
negeri sekurang-kurangnya 6 bulan.
Sebagai perbandingan, dikemukakan tata cara permohonan
pembatalan perkawinan melalui Pengadilan Negeri sebagai berikut:
160
1. Permohonan pembatalan perkawinan mengajukan surat gugatan yang
memuat :
a. Nama, umur, tempat kediaman pemohon dan termohon.
b. Alasan-alasan yang menjadi dasar pembatalan perkawinan.
2. Pengadilan mempelajari isi permohonan dan selambat-lambatnya 30
hari memanggil suami istri untuk dimintai penjelasan.
3. Pengadilan berwenang memerintahkan suami istri untuk tidak
serumah.
4. Selama berlangsungnya permohonan pembatalan perkawinan,
pengadilan dapat menetapkan nafkah dan pembebanan pemeliharaan
harta benda suami istri.
5. Permohonan gugur apabila suami atau istri meninggal dunia sebelum
putusan pengadilan dijatuhkan.
6. Setiap pemeriksaan para pihak akan dipanggil untuk menghadiri
sidang.
7. Panggilan disampaikan dengan surat dan selambat-lambatnya diterima
3 hari sebelum hari sidang.
8. Pengadilan akan berusaha mendamaikan setiap kali persidangan.
9. Pemeriksaan permohonan dilakukan dengan sidang tertutup, kecuali
undang-undang menghendaki lain.
10.Putusan pengadilan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum.
161
11.Pembatalan perkawinan berlaku sesaat setelah putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
12.Putusan pengadilan dapat dimohonkan banding atau kasasi.
13.Biaya perkara dibebankan kepada pemohon.
Berdasarkan ketentuan yang telah diuraikan di atas, maka pada
prinsipnya tata cara permohonan pembatalan perkawinan melalui
Pengadilan Agama sama dengan tata cara permohonan pembatalan
perkawinan melalui Pengadilan Negeri.
D. Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan Pembatalan dan
Pihak yang Berwenang Membatalkan Perkawinan.
1. Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan Pembatalan
Pasal 23 UUP menentukan bahwa pihak-pihak yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a. Keluarga dalam garis keturunan lurus keatas suami atau
istri.
b. Suami atau istri.
c. Pejabat yang berwenang selama perkawinan itu belum
diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut Pasal 16 ayat (2) UUP.
e. Setiap yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.
162
Dalam kompilasi Hukum Islam Pasal lebih memperjelas dengan
menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan adalah:
a. Para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang mengawasi
pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
d. Para pihak yang berkepentingan yang
mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut
hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Salah satu pihak suami atau istri berhak tampil sebagai pihak
dipengadilan untuk memohon pembatalan perkawinan, apabila
perkawinan tersebut dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar
hukum atau karena suami atau istri salah sangka mengenai diri suami
atau istrinya, namun bila selama 6 bulan tidak menggunakan haknya dan
hidup sebagai suami istri, maka untuk mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan gugur dengan sendirinya, sebagaimana diatur
dalam Pasal 27 UUP.
Hak dan kewajiban suami istri dalam hal pembatalan perkawinan :
1. Berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.
2. Berhak memperbaharui perkawinan.
163
3. Berhak membantah permohonan pembatalan perkawinan dari pihak
lain.
4. Berkewajiban membuktikan keabsahan perkawinannya.
5. Berkewajiban melengkapi syarat-syarat perkawinan.
6. Berkewajiban memelihara harta benda selama pemeriksaan perkara
pembatalan perkawinan berlangsung.
Begitu juga halnya pejabat dapat mengajukan pembatalan
perkawinan, yang dimaksud dengan pejabat disini adalah pejabat yang
ditugaskan melaksanakan pengawasan perkawinan seperti Pengadilan,
Kejaksaan, Pimpinan Unit Kerja, bila yang akan kawin berstatus pegawai
negeri atau pejabat lain yang ditunjuk dalam peraturan perundang-
undangan.
Adapun hak dan kewajiban pejabat yang ditugaskan yaitu :
1. Berhak membatalkan suatu perkawinan.
2. Berhak memperbaharui perkawinan.
3. Berhak memerintahkan untuk tidak tinggal serumah antara suami
istri selama pemeriksaan permohonan pembatalan perkawinan
berlangsung.
4. Berhak membebankan kewajiban nafkah dan pemeliharaan harta
benda selama proses perkara berlangsung.
5. Berkewajiban menerima dan memeriksa permohonan pembatalan
perkawinan.
164
6. Berkewajiban mendamaikan terlebih dahulu para pihak yang
berperkara serta memeriksa nasihat dan petunjuk-petunjuk
sehubungan dengan pembatalan perkawinan.
Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkara juga dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Sedangkan hak dan kewajiban untuk pihak ketiga dalam perkara
tersebut, yaitu :
1. Berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.
2. Berhak memberikan dan mengusahakan pemenuhan persyaratan
perkawinan.
3. Berhak memohon penetapan nafkah (terhadap anak jika ada).
4. Berhak memohon agar suami istri tidak hidup serumah.
5. Berkewajiban melaporkan pelanggaran terhadap syarat-syarat
perkawinan.
6. Berkewajiban memberikan kesaksian.
7. Berkewajiban membuktikan dalil-dalil permohonannnya.
2. Pihak yang berwenang membatalkan perkawinan
Pasalk 25 UUP merumuskan bahwa “permohonan pembatalan
perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami
atau istri”. Pembatalan perkawinan dilakukan oleh Pengadilan Agama bagi
suami istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.
165
Sedangkan perkawinan yang dilangsungkan dengan hukum agama dan
kepercayaan bukan agama Islam, permohonan pembatalannya diajukan
ke Pengadilan Negeri.
Untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dapat
dilakukan di pengadilan :
1. Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri yang mewilayahi
tempat tinggal suami istri.
2. Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri yang mewilayahi
tempat tinggal suami atau istri.
3. Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri yang mewilayahi
tempat dilangsungkannya perkawinan.
Pembatalan perkawinan yang diajukan kepada salah satu
pengadilan yang berkompeten di atas akan memperoleh suatu kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Menurut Abdurrahman dan Ridwan Syahrani (1984:48-49) menyatakan
bahwa putusan pengadilan yang dianggap terjadi adalah :
“Bagi perkawinan yang diselenggarakan menurut agama Islam dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung saat jatuhnya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Sedangkan pada perkawinan yang diselenggarakan menurut agama dan kepercayaan bukan Islam, terhitung sejak saat keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan pasti itu didaftarkan pada Kantor Pencatatan Sipil oleh pegawai pencatat perkawinan.”
Selama perkawinan belum dibatalkan dengan suatu keputusan
pengadilan, selama itu pula hubungan suami istri ada dan masih halal
berhubungan intim. Sebaiknya, jika masih dalam proses penyelesaian
166
perkara ada kejadian yang menurut agama dan kepercayaannya
melenyapkan keabsahan perkawinan itu, maka dengan sendirinya
perkawinan dinyatakan tidak ada lagi.
167
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam
penyusunan skripsi ini, sehubungan dengan kasus yang diteliti maka
penelitian dilaksanakan di Pengadilan Agama Kelas I A Makassar.
Penulis memilih tempat tersebut sebagai lokasi penelitaian dengan
alasan bahwa Pengadilan Agama Keas I A Makassar adalah lembaga
yang mempunyai kompetensi dalam menyelesaikan dan yang telah
memutus perkara yang berkenaan dengan penulisan skripsi ini
B. Jenis dan Sumber Data
1. Data primer, yaitu data utama yang diperoleh dari hasil wawancara
langsung dengan para informan yaitu para hakim yang telah
memutus perkara tersebut.
2. Data sekunder, yaitu data penunjang yang diperoleh melalui
membaca buku-buku, jurnal serta referensi lainnya yang ada
relevansinya dengan masalah yang dibahas dalam skripsi.
C. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan penyusunan skripsi ini,
maka digunakan metode wawancara; yaitu metode yang dilakukan untuk
mengumpulkan data yang berhubungan langsung dengan masalah yang
diteliti. Wawancara dilakukan terhadap tiga orang hakim yang salah satu
168
diantaranya merupakan hakim yang telah memutus perkara tersebut serta
satu orang panitera di Pengadilan Agama Kelas I A Makassar. Untuk
memudahkan pelaksanaannya, wawancara dilakukan secara terstruktur
dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide).
D. Analisis Data
Data-data yang diperoleh selama melakukan penelitian, baik data
primer maupun data sekunder, yang akan dianalisis secara kualitatif untuk
kemuduian disajikan dalam bentuk deskriptif.
169
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Status Hukum Dari Perkawinan Yang Telah Dilaksanakan Oleh
Wali Nikah Yang Tidak Berhak
Perkawinan merupakan suatu ikatan suci antara seorang pria dan
wanita, yang bertujuan untuk membina keluarga yang bahagia, kekal,
abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Perkawinan. Namun tidak menutup kemungkinan dalam fase pergaulan
yang tujuannya untuk menuju ke suatu jenjang perkawinan tidak akan
berjalan lancar disebabkan karena apabila kemantapan atau kesiapan dari
kedua calon mempelai untuk melakukan suatu perkawinan belum tentu
mendapat respon yang positif dari keluarga masing-masing yang berhak
menjadi wali nikah dalam suatu perkawinan terutama pihak calon
mempelai wanita.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) wali nikah merupakan salah
satu rukun yang harus terpenuhi untuk dilangsungkannya perkawinan.
Calon mempelai wanita harus mempunyai wali nikah yang bertindak untuk
menikahkannya, pelanggaran terhadap hal ini merupakan salah satu
alasan bagi pihak keluarga untuk dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama.
170
Pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh adanya pihak wali
berupa wali nikah yang tidak berhak karena masih adanya pihak-pihak
yang lebih berhak menjadi wali. Kemudian sebelumnya wali yang berhak
tersebut tidak diminta persetujuannya terlebih dahulu atau tidak diberi
informasi sehingga pihak yang terakhir ini dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan.
Sehubungan dengan uraian di atas penulis menelaah kasus yang
diangkat dalam skripsi ini mengenai pembatalan perkawinan oleh
Pengadilan Agama Makassar Nomor 343/Pdt.G/2001/PA.Mks. adapun
kasus posisi dari putusan ini yakni :
1. Pemohon adalah ibu kandung dari Termohon I
2. Bahwa termohon I dengan termohon II telah melangsungkan
perkawinan di Pare-pare pada tanggal 8 Januari 2001 sesuai
Kutipan Akta Nikah No.36/36/I/2001 yang dikeluarkan oleh KUA
Bacukiki.
3. Bahwa adapun perkawinan termohon I dengan termohon II yang
menjadi wali adalah lelaki yang berinisial R dimana wali tersebut
tidak ada hubungan keluarga dengan termohon I hanya teman
akrab termohon II, sedangkan yang berhak menjadi wali adalah
kakak kandung termohon I.
4. Bahwa suatu perkawinan mau dilangsungkan kakak termohon I
tidak pernah dihubungi secara lisan maupun secara tertulis dan
171
alamat kakak termohon I jelas dan masih tinggal dalam satu rumah
dengan termohon I.
5. Bahwa termohon II tidak pernah berlaku jujur terhadap ibu
termohon I dimana termohon II mengaku dimuka pemohon bahwa
ia tidak mempnuyai isteri dan anak masih jejaka dan juga mengaku
bekerja sebagai pemborong di depan kakak kandung termohon I.
6. Pada tanggal 6 Januari 2006 sekitar kurang lebih pukul 21.00 wita,
hari sabtu termohon I keluar dari rumah pemohon secara diam-
diam yang kemudian dijemput oleh termohon II menyuruh termohon
I untuk ikut secara paksa oleh termohon II kemudian pergi
menggunakan mobil sewa menuju Kota Pare-Pare untuk
melangsungkan Pernikahan pada tanggal 8 Januari 2008 di KUA
Kecamatan Bacukiki yang terkesan tergesa-gesa dan beitikad
buruk.
7. Pada waktu termohon I hilang atau minggat dari rumah pemohon
telah menghubungi termohon II melalui handphone, pemohon
menanyakan apakah termohon II telah menyembunyikan anaknya
(termohon I) jawabnya “tidak” selanjutnya pemohon menganjurkan
agar mengembalikan anaknya kalau termohon II ingin baik.
Selanjutnya, adapun keterangan termohon I yang dikemukakan
secara lisan di persidangan, sebagai berikut :
1. Bahwa benar pemohon adalah ibu kandung termohon I
172
2. Termohon I dengan Termohon II dinikahkan di KUA Kecamatan
Bacukiki Pare-Pare pada tanggal 8 Januari 2001
3. Pada waktu menikah tidak ada persetujuan/restu, walaupun ayah
termohon I telah meninggal dunia tetapi masih mempunyai saudara
kandung
4. Yang menjadi wali nikah ialah R teman dari termohon II dimana
termohon I tidak mengenal R sama sekali
5. Termohon I dan Termohon II pernah hidup bersama selama kurang
lebih 5 bulan dan tinggal di Perumahan Antang dengan jalan
Termohon II menitip Termohon I di rumah temannya, karena
Terohon II selalu pergi meninggalkan Termohon I dan biasa subuh
baru kembali.
Selanjutnya, adapun keterangan termohon II secara tertulis, sebagai
berikut:
1. Bahwa benar pemohon adalah ibu kandung dari termohon I
2. Termohon I dengan termohon II telah melangsungkan pernikahan
di Pare-Pare pada tanggal 8 Januari 2001 di KUA Kecamatan
Bacukiki sesuai kutipan akta nikah no.36/36/I/2001.
3. Wali nikah pada waktu itu adalah Kepala KUA Kecamatan Bacukiki
Kota Pare-Pare sebagai wali hakim gaib, R hanyalah bertindak
sebagai wali atas persetujuan termohon I hanya sebatas wali
pengampuh bukan sebagai wali nasab dari termohon I. Adanya R
sebagai wali nasab dalam kutipan akta nikah adalah kecerobohan
173
penulis akta dan tidak sesuai dengan kenyataan, untuk
mengklarifikasi hal ini dapat termohon II menghadirkan Kepala KUA
Bacukiki sebagai saksi ahli dalam perkara ini.
4. Pada perkawinan termohon I dengan termohon II yang menjadi wali
nikah adalah Kepala KUA Bacukiki sebagai wali hakim bukan wali
adhal dikarenakan wali nasabnya berhalangan.
5. Termohon II tidak pernah ditanya mengenai status perkawinan,
memang benar termohon II pernah mempunyai istri tetapi telah
bercerai melalui Pengadilan Agama dan disidangkan oleh Majelis
Hakim yang sama pada perkara ini, sedagkan anak oleh termohon
II tiak pernah menyangkalinya.
6. Pada malam kepergian termohon I bersama termohon II, termohon
I terlebih dahulu menelpon termohon II dengan mendesak agar
segera berangkat, termohon II sebelumnya hanya mengatakan
kalau termohon I tidak mau ikut maka hubungan kita putus dan
termohon II akan meninggalkan termohon I untuk selama-lamanya.
Justru termohon I mendesak termohon II untuk segera pergi ke
Pare-Pare.
7. Termohon I tinggal bersama termohon II selama satu minggu di
Makassar dan dua minggu kemudian termohon I dengan termohon
II menuju ke Pare-Pare setelah satu minggu termohon I kembali ke
rumahnya. Setelah tahun baru termohon I datang menemui
termohon II dan meminta untuk ikut. Setelah menikah di Pare-Pare
174
termohon I dengan termohon II pernah tinggal bersama selama 6
Bulan lamanya.
Berdasarkan uraian kasus di atas maka berbagai macam faktor yang
menyebabkan adanya pengajuan permohonan pembatalan perkawinan,
Menurut Andi Syamsiah HAM yang juga merupakan Hakim yang memutus
perkara tersebut di Pengadilan Agama Makassar (wawancara di
Pengadilan Agama Makassar tanggal 1 Juli 2009) faktor-faktor yang
mendasari permohonan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama
Makassar yaitu disebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat perkawinan
dengan alasan-alasan yaitu :
1. Karena ada perkawinan sebelumnya.
2. Perkawinan dihadapan pejabat yang tidak berwenang.
3. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri
suami atau istri.
4. Adanya cacat hukum dari pihak wali.
5. Perkawinan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi.
Berdasarkan alasan tersebut di atas mengenai tidak terpenuhinya syarat-
syarat yang terdapat dalam UUP dikarenakan dari pihak wali, maka
peranan wali nikah begitu penting dalam melangsungkan suatu
perkawinan, namun dalam hal jika wali nikah / wali nasab enggan (adhal)
untuk menikahkan tidak semestinya perkawinan tetap dilangsungkan
dengan wali yang tidak berhak karena perkawinan tersebut dapat
dikatakan cacat hukum dari pihak wali, agar perkawinan tersebut dapat
175
berlangsung tanpa adanya tidak terpenuhinya syarat-syarat perkawinan
dari pihak wali maka calon mempelai dapat mengajukan permohonan wali
hakim di Pengadilan Agama setempat. Menurut Syahidal yang
merupakan Hakim Pengadilan Agama Makassar (wawancara di
Pengadilan Agama Makassar tanggal 7 Juli 2009) wali nikah dikatakan
adhal apabila perkawinan sudah akan dilangsungkan sedangkan walinya
tidak bersedia mengawinkan anaknya, dan para pihak yang
berkepentingan hadir dalam satu majelis. Beliau mengemukakan dalam
Pasal 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali
Hakim diatur bahwa bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di
Indonesia atau di luar negeri/ wilayah ekstrateritorial Indonesia ternyata
tidak mempunyai wali nasab yg berhak atau wali nasabnya tidak
memenuhi syarat atau mahfud atau berhalangan atau adhal maka
nikahnya dapat dilangsungkan oleh wali hakim.Ini berarti wali hakim dapat
menjadi wali nikah apabila benar terjadi penolakan oleh orang tua sebagai
wali nikah atau wali nasab berhalangan untuk hadir.
Berkaitan dengan kasus Penetapan Nomor 343/Pdt.G/2001/PA.Mks,
setelah penulis mempelajari dan mengkaji kasus posisi di atas maka akan
diuraikan komentar lebih lanjut di bawah ini, yakni :
a. Tampilnya pemohon untuk mengajukan termohon I dan termohon II
dalam perkara pembatalan perkawinan mereka, dimana permohonan
didasari atas perkawinan yang dilakukan tanpa seizin dari pihak wali
176
perempuan dan ketika perkawinan dilakukan termohon I masih
berumur 19 tahun.
b. Yang menjadi wali nikah adalah R teman akrab dari termohon II dimana
wali tersebut tidak dikenal oleh termohon I, padahal termohon I masih
mempunyai wali nasab yaitu kakak kandung termohon I.
Kedua hal di atas bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) UUP, sebagai berikut :
(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup di peroleh dari orang tua yang
masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
Dalam kasus ini penulis berpendapat bahwa sebenarnya memang
berhak pemohon selaku ibu kandung dari termohon I untuk mengajukan
pembatalan perkawinan sesuai dengan Pasal 73 UUP yang mengatur
177
tentang orang-orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan. Adapun mengenai status hukum dari perkawinan termohon I
dengan termohon II menjadi tidak sah disebabkan adanya cacat hukum
dari wali nikah yang sudah diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam dan
juga status mengenai Kutipan Akta Nikah tersebut dinyatakan tidak
berkekuatan hukum.
B. Akibat Hukum Dari Perkawinan Yang Telah Dilaksanakan Oleh
Mempelai Wanita Yang Belum Mencapai Umur 21 Tahun Tanpa
Izin Dari Wali Nikah (Wali Nasab)
Dalam UUP secara garis besar telah mengatur berbagai macam
aspek tentang perkawinan, namun sebagaimana telah dijelaskan pada
Pasal 2 ayat (1) bahwa :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu.”.
Dari pasal tersebut jelas bahwa UUP memberikan legitimasi berlakunya
aturan hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh
kedua calon mempelai.
Membahas mengenai pembatalan perkawinan secara tegas dalam
Pasal 22 UUP. Menjelaskan bahwa :
“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
178
Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa pengertian “dapat”
pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut
ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Lebih
lanjut dijelaskan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun
1975 ditentukan bahwa :
“Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat
larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-
undanagan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat
membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan”.
Sesuai penjelasan yang telah diatur dalam KHI mengenai batalnya
perkawinan, dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Perkawinan batal (Pasal 70) apabila:
a) Seorang suami melakukan poligami padahal dia sudah mempunyai 4
orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isteri tersebut sedang
dalam iddah talak raj’i.
b) Menikahi kembali bekas isteri yang telah di li‘an.
c) Menikahi bekas isterinya yang telah ditalak tiga kali kecuali bila bekas
istri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi
ba’da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
179
2. Perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 - 76 KHI), apabila:
a) Suami melakukan poligami tanpa ijin dari Pengadilan Agama.
b) Perempuan yang dinikahi ternyata masih menjadi isteri pria lain yang
mafqud.
c) Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari
suami lain.
d) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan.
e) Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh
wali yang tidak berhak.
f) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Dalam menangani suatu perkara pembatalan perkawinan dalam hal
ini mengenai tidak terpenuhinya salah satu dari syarat-syarat perkawinan
yaitu wali nikah, aturan yang menjadi landasan bagi hakim dalam
mempertimbangkan dan memutus perkara yaitu mengacu kepada
Kompilasi Hukum Islam mengenai rukun dan syarat perkawinan, hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan Syamsiah HAM yang merupakan salah
satu Hakim yang memutus perkara tersebut di Pengadilan Agama Kelas
IA Makassar (wawancara di Pengadilan Agama Makassar tanggal 7 Juli
2009), bahwa :
“Kompilasi Hukum Islam sebenarnya merupakan pikiran yang sudah sejalan dengan masyarakat di Indonesia, karena merupakan pemikiran dari ilmu Fiqih, kecuali tidak ada terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam maka mencoba lagi dengan menggunakan pendalaman pada ilmu Fiqih.”
180
Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) wali nikah dalam
perkawinan menjadi rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai
wanita, wali nikah terdiri dari :
a. Wali Nasab
Wali nasab yang terdiri dari empat kelompok dalam susunan
kekerabatan :
1. kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek,
dari pihak ayah dan seterusnya.
2. kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
3. kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
4. kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Dalam urutan kedudukan tersebut kelompok yang pertama harus
didahulukan dibanding dengan kelompok kedudukan yang lainnya,
sesuai dengan erat tidaknya kekerabatan dengan calon mempelai
wanita.
2. Wali Hakim
Wali hakim dapat menjadi wali nikah apabila benar terjadi penolakan
oleh orang tua sebagai wali nikah atau wali nasab berhalangan untuk
hadir, dimana calon mempelai wanita mengajukan permohonan wali
hakim di Pengadilan Agama setempat. Menurut Faisal yang
181
merupakan salah satu Hakim Pengadilan Agama Kelas IA Makassar
(wawancara di Pengadilan Agama Makassar tanggal 7 Juli 2009)
bahwa :
“Dalam hal perkara permohonan wali hakim di Pengadilan Agama yang disebabkan walinya adhal (enggan) maka Pengadilan Agama akan menghadirkan para pihak pemohon sekaligus memanggil wali nasabnya di persidangan dalam kapasitas bukan sebagai pihak lawan namun hanya untuk memberikan keterangan tentang alasannya yang membuat ia engan untuk menjadi wali nasab, dari keterangan tersebut Pengadilan Agama akan mencoba untuk memberikan saran kepada para pihak agar mempunyai persepsi yang sama (mediasi), namun jika pihak wali nasab tetap enggan maka Pengadilan Agama berhak mempertimbangkan untuk menunjuk wali hakim.”
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai akibat hukum yang
timbul dari perkawinan tanpa ada persetujuan dari wali nikah / wali nasab
dalam perkara ini, maka perlu diketahui syarat-syarat perkawinan ialah
segala yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk dilangsungkannya suatu perkawinan berdasarkan UUP, syarat-
syarat perkawinan meliputi syarat formil dan syarat materil. Untuk syarat
formil atau administratif meliputi :
a. Usia perkawinan harus minimal 16 tahun bagi perempuan dan usia
19 tahun bagi laki-laki.
b. Harus mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh perundang-
undangan.
Syarat formil ini meliputi rukun nikah karena rukun nikah merupakan
hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan.
Adapun rukun nikah terdiri atas :
a. Adanya calon mempelai laki-laki dan wanita.
182
b. Harus ada wali bagi calon mempelai perempuan.
c. Harus disaksikan oleh 2 orang saksi.
d. Akad nikah, yaitu ijab dari wali mempelai perempuan atau wakilnya
atau Kabul dari mempelai laki-laki atau wakilnya.
Untuk syarat-syarat materil atau subtantif meliputi antara lain :
a. Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak.
b. Tidak ada larangan-larangan perkawinan.
Adapun yang termasuk syarat materil meliputi :
a. Persetujuan kedua calon mempelai,
b. Umur mempelai pria minimal 19 tahun dan wanita 16 tahun,
c. Izin orang tua,
d. Tidak masih terkait dalam suatu perkawinan
e. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau istri yang
sama hendak kawin,
f. Sudah memberitahu kepada pegawai pencatat perkawinan sepuluh
hari sebelum perkawinan berlangsung, dan
g. Tidak ada yang mengajukan pencegahan.
Menurut Abdul Razak yang juga merupakan panitera di Pengadilan
Agama Makassar (wawancara di Pengadilan Agama Makassar tanggal 7
Juli 2009), bahwa laki-laki yang telah berusia 21 tahun ke atas tidaklah
mesti mendapat izin dari orang tua atau walinya untuk melakukan
perkawinan, lain halnya dari pihak perempuan yang harus mendapatkan
persetujuan dari wali nasabnya, dari izin wali nasab tersebut maka wali
183
nasab akan bertindak sebagai wali nikah yang akan mewakili mempelai
wanita untuk mengucapkan ijab dalam akad nikah, karena wali nikah
merupakan rukun nikah yang harus terpenuhi. Hal ini disebabkan karena
Islam memandang perkawinan merupakan suatu yang sakral dalam
penyatuan dua jiwa yang berbeda. Dilangsungkannya perkawinan tanpa
adanya wali nikah baik itu wali nasab ataupun wali hakim akibat
hukumnya batal atau tidak sah (fasid) perkawinan. Di dalam hukum Islam
perkawinan tidak sah jika tidak dilaksanakan oleh wali dan saksi (Hilman
Hadikusuma, 1990:95), sebagaimana hadis Nabi riwayat Ahmad
menyatakan :
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”.
Kemudian menurut hadis riwayat empat orang ahli hadis kecuali Nasai,
dikatakan bahwa nabi berkata :
“Barang siapa di antara wanita yang menikah tanpa izin walinya,
maka perkawinannya batal”.
Menurut Imam Syafi’I dan Imam Hambali :
“Perkawinan itu harus dilangsungkan oleh seorang wali pria beragama
Islam, sudah dewasa, berakal sehat dan adil.”
Menurut Imam Maliki :
“Perkawinan yang memakai wali hanya untuk wanita bangsawan
bukan untuk wanita kebanyakan.”
184
Menurut Imam Hanafi :
“Wali itu bukan syarat perkawinan, oleh karena wanita yang sudah
dewasa (baligh) dan berakal sehat dapat mengawinkan dirinya sendiri
tanpa wali asal saja dihadiri dua saksi.”
Pendapat Hanafi ini dikatakan berdasarkan hadis dhaif (lemah), maka
tidak disepakati oleh kebanyakan ulama. Di Indonesia yang dipakai adalah
dalil Imam Syafi’I dan Imam Hambali.
Sebelum memutus suatu perkara, terlebih dahulu seorang hakim
perlu mengetahui tujuan dari hukum itu sendiri. Adapun tujuan hukum
(Achmad Ali, 2002:84) adalah sebagai berikut:
1. Keadilan yaitu bahwa harus mewujudkan keadilan pada setiap
warga masyarakat.
2. Kemanfaatan yaitu bahwa hukum harus memberikan kemanfaatan
dan kebahagiaan bagi setiap warga masyarakat.
3. Kepastian hukum yaitu bahwa hukum itu harus menjamin
terwujudnya kepastian hukum pada setiap masyarakat.
Sejalan dengan tujuan hukum yang dikemukakan di atas, maka
menurut pendapat hakim yang memutus perkara tersebut di Pengadilan
Agama Makassar, Syamsiah HAM (wawancara di Pengadilan Agama
Makassar tanggal 7 Juli 2009) bahwa hakim dalam menjatuhkan setiap
putusan, disamping didasarkan pada alat bukti serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku, hakim juga perlu memperhatikan
tujuan hukum yang didalamnya terdapat unsur keadilan, kemanfaatan dan
185
kepastian hukum. Hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
hukum bagi masyarakat pencari keadilan. Untuk menjamin dan
terpeliharanya hak serta kewajiban anggota masyarakat, maka
dibentuklah lembaga peradilan yang bertujuan untuk mewujudkan
lembaga peradilan yang transparan, akuntabel, dan berkualitas dalam
bentuk putusan pengadilan yang memihak kepada kebenaran dan
keadilan. Agar pengadilan dapat memberikan putusan yang adil, maka
lembaga peradilan harus merdeka, mandiri, dan bebas dari tekanan
apapun dan pihak manapun. Keadilan hanya dapat dinikmati oleh setiap
anggota masyarakat jika proses perkara beracara dapat diselenggarakan
dengan biaya yang terjangkau oleh setiap anggota masyarakat.
Pada kenyataannya seorang hakim dalam memandang suatu
perkara pembatalan perkawinan tidak serta merta dapat megambil
keputusan hanya berdasarkan pada suatu aturan dan pandangan yang
normatif saja, melainkan dalam meninjau suatu perkara hakim haruslah
menciptakan pemikiran-pemikiran baru berdasar pada mudharat dan
manfaatnya, sehingga hakim haruslah benar-benar meninjau suatu
perkara dengan memperhatikan secara kasuistik perkara tersebut dan
menjadikan keterangan yang melatarbelakangi dari kedua belah pihak
(suami-istri) sebagai suatu pertimbangan yang penting dalam
menjatuhkan putusan dapat atau tidaknya suatu perkawinan dibatalkan.
Dalam kasus ini penulis berpendapat bahwa sebenarnya perkawinan
yang dilakukan tanpa adanya izin dari wali nikah yang berhak ataupun
186
wali nasab adalah tidak sah karena wali nikah merupakan hal yang harus
terpenuhi dalam suatu perkawinan, maka akibat hukum dari status hukum
perkawinan yang tidak sah tersebut dibatalkan dan batalnya perkawinan
tersebut dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan,
sehingga status dari suami-istri kembali dalam keadaan semula seperti
sebelum terjadinya perkawinan, namun keputusan ini tidak berlaku surut
terhadap (Pasal 28 ayat (2) UUP) :
1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
2. Suami atau Istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali
terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan
atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
3. Orang-orang ke tiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik
sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap.
187
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian pada pengadilan Agama Kelas I A
Makassar tentang pembatalan perkawinan yang disebabkan adanya cacat
hukum dari pihak wali nikah, maka penulis menarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Perkawinan telah diatur mengenai syarat-syarat perkawinan
demikan pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang telah mengatur
mengenai wali nikah yang sah, wali nikah merupakan salah satu
rukun dan syarat yang harus terpenuhi untuk dilangsungkannya
perkawinan terutama bagi pihak mempelai wanita yang hendak
melangsungkan perkawinan, karena di dalam Akta Perkawinan wali
nikah juga ikut menandatangani, sehingga perkawinan tersebut
terbukti lengkap catatan resminya dan berkekuatan hukum, maka
dari itu jika terjadi pelanggaran karena adanya cacat hukum dari
pihak wali nikah yang tidak sah, maka alasan tersebut dapat
dijadikan sebagai salah satu alasan dasar untuk dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan oleh pihak keluarga yang
merupakan salah satu pihak yang berhak mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama tempat dimana
188
perkawinan tersebut dilangsungkan atau tempat dimana pemohon
berdomisili, sehingga status hukum dari perkawinan tersebut
menjadi tidak sah.
2. Akibat hukum dari suatu perkawinan yang dilakukan oleh mempelai
wanita yang belum mencapai umur 21 tahun tanpa ada izin dari
wali nikah (wali nasab) perkawinan tersebut dibatalkan, adapun
akibat hukum dari adanya pembatalan perkawinan tersebut yaitu
suami-istri kembali dalam keadaan semula sebelum terjadinya
perkawinan, dikarenakan izin dari wali nikah (wali nasab) juga
diatur dalam salah satu syarat materil untuk melangsungkannya
suatu perkawinan.
B. Saran
Sehubungan dengan kesimpulan yang disebutkan di atas maka
penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut :
1. Pihak-pihak yang hendak menikah sebaiknya perlu memiliki
pengetahuan mengenai rukun dan syarat sahnya
perkawinan baik secara hukum positif maupun agama agar
perkawinan yang dilakukan memiliki status hukum yang sah.
2. Perlunya ditingkatkan pengawasan dalam pelaksanaan
perkawinan oleh pihak / pejabat yang berwenang khususnya
dalam meniliti apakah syarat-syarat perkawinan telah
terpenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan
189
menurut undang-undang, sehingga tidak ada peluang
terjadinya perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat
perkawinan.
190
Recommended