View
226
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PROSES PEMBELAJARAN DALAM AL-QURAN (TELAAH KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDIR DALAM
QS AL-KAHFI [18];60-82)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (SPd.I)
oleh : Ahmad Syaikhu
NIM : 106011000062
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1432 H / 2010M
i
ABSTRAKSI
Ahmad Syaikhu 106011000062 PROSES PEMBEAJARAN DALAM AL-QURAN (TELAAH KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDIR DALAM QS AL-KAHFI [18]; 60-82).
Pendidikan adalah sebuah usaha untuk memosisikan manusia pada posisi kemanusiaannya, yaitu manusia yang tumbuh dan berkembang menuju kematangan, kedewasan, dan kemapananan yang beradab. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, bab 2 pasal 3 menyebutkan, bahwa tujuan pendidikan adalah, “…mengembangkan potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”1
Sementara itu, pendidikan Islam sebagaimana yang diungkap Athiyah al-Abrasyi adalah usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanah dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi.2
Namun demikian, arus zaman menuntut pendidikan untuk terus dipompa dan dikembangkan agar semakin menemukan ruhnya. Lantaran permasalahan-permasalahan pendidikan bukanlah masalah yang simple, melainkan memunculkan masalah-masalah yang promlematis bahkan kompleks. Hingga saat ini, definisi-definisi tentang pendidikan terus bertambah dan saling menyempurnakan. Dalam hal itu, penulis melihat permasalahan pendidikan yang paling mendasar masih berkisar pada area pembelajaran dan prosesnya atau proses pembelajaran. Kita masih belum dapat menemukan pandangan-pandangan yang utuh tentang pendidik, pengajar, peserta didik, dan pembelajar. Konsekuensinya semua berjalan mengalir begitu saja. Di sisi lain, pembahasan pendidikan yang direlasikan dengan al-Quran masih sangat minim. Padahal, al-Quran sejak awal mula telah menghembuskan spirit-spirit terkait pendidikan. Misalnya, ayat pertama yang menyerukan kita untuk mebaca secara umum dan luas ayat-ayat Allah baik yang bersifat tanziliyah maupun kauniyah (lihat QS al-‘Alaq [96]; 1).
Sebagai jawaban atas permasalahan-permasalahan tersebut, penulis berupaya untuk menemukan pandangan-pandangan pendidikan dalam al-Quran, dalam hal ini Proses Pembeajaran dalam al-Quran (Telaah Kisah Musa dan Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82). Semoga pembahasan ini dapat memberi angin segar dan membangkitkan kembali penelitian pendidikan berbasis al-Quran.
1 Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Tanpa Penerbit: 2003), hal 6.
2 Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000) cet 1 h 2.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillah, Alhamdulillah ‘Amma Ba’du.
Tiada kata yang dapat penulis katakan untuk menunjuk kebesaran dan
keagungan-Nya. Segala puja dan puji syukur kehadirat-Nya, Tuhan semesta alam
yang telah menebarkan rahmat-Nya ke seluruh alam.
Salawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada hibibina,
maulana, wa qurratu a’yunina, Nabi Muhammad Saw.
Tidak mudah menyususn sebuah karya ilmiah, Penulis menyadari itu
sepenuhnya. Karena dalam penulisan ini diperlukan kejernihan hati, ketajaman
pikiran, dan kedalaman pengetahuan. Namun berkat bantuan, dorongan, motivasi
dari berbagai pihak, syukur alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini, guna memenuhi persyaratan akademik yang harus ditempuh dalam mencapai
gelar sarjana program strata satu (S1), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
(FITK), jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
banyak membantu baik secara moril atau materil, khususnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ketua dan Sekretaris jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bpk. Abdul Ghafur MA, dosen pembimbing skripsi Penulis, yang telah
mencurahkan segenap perhatian sampai penulisan skripsi ini rampung.
4. Segenap bapak dan ibuk dosen jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI)
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri
iii
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah dengan sabar mencurahkan tenaga
dan pikiran demi keberhasilan kami di kampus peradaban ini.
5. Dosen-dosen penuh inspiratif, pemberi motivasi, yang tak pernah lelah
memberi wejangan terbaik.
6. Guru Besar tercinta, Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub MA, Orang tua
kami (para mahasantri Darus-Sunnah) di Ciputat.
7. Orang tua tercinta H. Mashuri dan Hj. Juriah, yang dengan kelembutan
dan kesabaran telah membuat penulis tegar dalam menghadapi tantangan
hidup (Allahummaghfirli wa li walidayya warhahum kama Rabbayanii
shagiraa).
8. Kakakku, Widia Nuraini S.Pd yang telah membantu secara moril dan
materil, yang selalu memberi nasehat terbaik kepada penulis.
9. Saudara-saudara Penulis yang terbaik Mita Ulfa Yanti Nur Islami, Abdul
Aziz Khlaifi, yang masih tafaqquh fi al-din. Maka kebersamaan kita
adalah saat-saat terindah. Keindahan yang dibalut dengan kasih sayang
dan cinta. Seperti kebersamaan yang kita rajut bersama, moga kelak kita
dimasukkan ke surganya bersama juga. Amien
10. My spesial guidence, Miratul Hayati S.Pd.I, semoga cepat lulus S2nya.
11. The Best Friend, teman-teman di pondok tercinta Darus-Sunnah High
Institute for Hadis Sciancies, khususnya ‘angkatan ta’aruf’ (Kang Sule,
Lutfi Tajir, dll) (teman-teman kamar, TB S.Pd.I, Didut, dll). Teman-teman
kelas B ‘06, yang penuh dengan riuh rendah canda-tawa, teman-teman
seperjuangan di FLP, wa bil khusus angkatan inti (K’ Dodo, teh Lina, Ali
R, Aji P, Gufran H, Desi A, Anah, Anna, dll), teman-teman di Buletin
Nabawi, teman-teman Majalah Mimbar al-Azhar, teman-teman di ITE,
Institute for Training and Educatioan.
Ciputat, 2 Desember 2010
Penulis
Ahmad Syaikhu
iv
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar belakang Masalah ................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah.......................................................................... 8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 8
D. Tujuan Penelitian ............................................................................. 8
E. Metodelogi Penelitian ...................................................................... 9
F. Review Studi Terdahulu.................................................................. 10
BAB II KONSEP PEMBELAJARAN IDEAL .............................................. 11
A. ..................................................................................................... D
efinisi Pembelajaran ....................................................................... 11
B. ..................................................................................................... T
ujuan Pembelajaran ........................................................................ 16
C. ..................................................................................................... P
rinsip-prinsip Pembelajaran dalam Islam ........................................ 18
D. ..................................................................................................... M
etode dan Tehnik Pembelajaran ...................................................... 21
E....................................................................................................... K
edudukan Guru dalam Pembelajaran .............................................. 22
F. ...................................................................................................... T
eori-teori Pembelajaran dalam Psikologi ...................................................24
G. ..................................................................................................... K
arakteristik Pengajar ...................................................................... 26
H. ..................................................................................................... P
eserta Didik dalam Pandangan Islam............................................... 29
BAB III SEPUTAR PENAFSIRAN KISAH MUSA DAN KHIDIR
QS AL-KAHFI 60-82 .......................................................................................... 35
A. QS al-Kahfi ayat 60-61 .................................................................. 35
B. QS Al-Kahfi ayat 62-64 ................................................................. 38
v
C. QS Al-Kahfi ayat 65 ...................................................................... 40
D. QS Al-Kahfi ayat 66-68 ................................................................. 42
E. QS Al-Kahfi ayat 69-70 ................................................................. 44
F. QS Al-Kahfi ayat 71-73 ................................................................. 45
G. QS Al-Kahfi ayat 74-75 ................................................................. 47
H. QS Al-Kahfi ayat 76-77 ................................................................. 48
I. QS Al-Kahfi ayat 78 ...................................................................... 50
J. QS Al-Kahfi ayat 79-82 ................................................................. 50
BAB IV PROSES PEMBELAJARAN MUSA DAN KHIDIR ....................... 55
A. Sumber Ilmu dan Motivasi Mencari Ilmu ....................................... 55
B. Mencari Guru yang Berkualitas ...................................................... 60
C. Strategi Pembelajaran Musa dan Khidir ......................................... 63
D. Proses Pembelajaran Musa dan Khidir ........................................... 65
E. Evaluasi Pembelajaran Khidir kepada Musa ....................................72
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 78
A. Kesimpulan .................................................................................... 78
B. Saran-saran .................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 81
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam sebagaimana diketahui adalah pendidikan yang dalam
pelaksanaannya berdasar pada ajaran Islam. Karena ajaran Islam berdasar al-
Quran, al-Sunnah, pendapat ulama serta warisan sejarah, maka pendidikan Islam
pun berdasarkan pada al-Quran, al-Sunnah, pendapat ulama serta warisan sejarah
tersebut1
Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang
menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakatnya, hal ini karena
pendidikan merupakan proses melestarikan, mengalihkan, serta
mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya
kepada generasi penerus.
Dimikian pula dengan pendidikan Islam. Keberadaannya merupakan salah
satu bentuk dari manifestasi cita-cita hidup Islam yang bisa melestarikan,
mengalihkan, menanamkan (internalisasi), dan mentransformasi nilai-nilai Islam
kepada generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural-religius yang dicita-
citakan dapat tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu-ke
waktu.2
1 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Pespektif al-Quran, (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet
1, 2005) h. 15. 2 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, cet 3, 2008), h. 8.
Pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu merupakan konsepsi pendidikan
yang mengandung berbagai teori yang dikembangkaan dari hipotesis-hipotesis
atau wawasan yang bersumber dari kitab suci al-Quran atau hadis, baik dilihat dari
segi sistem, proses dan produk yang diharapkan maupun dari segi tugas pokoknya
untuk membudayakan manusia agar bahagia dan sejahtera.3
Athiyah al-Abrasyi memberikan defenisi Pendidikan Islam adalah usaha
sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala
potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban
amanah dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi.4
Fadhil berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Arifin, Pendidikan Agama
Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih
baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan dasar kemampuan
(fitrah) dan kemampuan ajaran dari luar.5
Selanjutnya, pendidikan dari sudut pandang kultural manusia, merupakan
suatu alat pembudayaan (enkulturasi) masyarakat manusia itu sendiri. Dalam hal
itu, proses pembudayaan sangat bergantung pada pemegang alat tersebut, yaitu
para pendidik. Para pendidik memegang posisi kunci dalam menentukan
keberhasilan proses belajar sehingga mereka dituntut persyaratan tertentu, baik
toritis maupun praktis, dalam pelaksanaan tugasnya.6
Pendidikin Islam yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam harus bisa
menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam,
juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan dengan nilai-nilai
Islam yang melandasi, merupakan sebuah proses secara pedagogis mampu
3 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,……... h. 4. 4 Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (PT Gemawindu
Pancaperkasa, 2000) cet 1 h 2. 5 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, ……h. 17. 6 H. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,…… h 8.
mengembangkan hidup anak ke arah kedewasaan atau kematangan yang
menguntungkan dirinya. Oleh karena itu usaha tersebut tidak boleh dilakukan
secara coba-coba (trial and error) atau atas dasar keinginan dan kemauan pendidik
tanpa dilandasi dengan teori-teori kependidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks itu, proses belajar mengajar dapat diartikan bukan hanya
mentransformasikan ilmu pengetahuan, wawasan, pengalaman, dan keterampilan
kepada peserta didik, melainkan juga menggali, mengarahkan, dan membina
seluruh potensi yang ada dalam diri peserta didik, sesuai dengan tujuan yang
direncanakan.
Proses belajar mengajar tersebut harus berjalan dengan baik dan efektif.
Yaitu, proses belajar mengajar yang menyenangkan, menggembirakan, penuh
motivasi, tidak membosankan, serta menciptakan kesan yang baik pada diri
peserta didik. Untuk mewujudkan keadaan yang demikian, maka proses belajar
mengajar harus disertai dengan memelihara motivasi, kebutuhan-kebutuhan,
keinginan-keinginan, tujuan-tujuan, dan perbedaan-perbedaan perseorangan di
antara peserta didik, menjadi tauladan bagi mereka dalam segala hal yang
disampaikan.7
Namun demikian, dalam realitas, paradigma pembelajaran tradisional pada
umumnya masih terkesan mengenyampingkan peran pengembangan potensi
kemampuan nalar dan berkreasi. Hal ini dapat dilihat dari fenomena begitu
banyaknya orang yang menimba ilmu pengetahuan, namun mereka ibarat alat
perekam bagi ilmu-ilmu yang mereka pelajari, tidak lebih kurang. Kadang kala
mereka mempelajari sebuah kitab dari guru mereka dengan tekun dan konsentrasi,
mereka berusaha memahami bacaan bahkan menghafalnya dan mencatatnya. Pada
masa yang akan datang mereka menjadi para guru. Lalu mereka ajarkan dengan
menerapkan metode pengajaran persis apa yang mereka dahulu dapatkan.8
7 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Pespektif al-Quran, h. 225. 8 Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, (Depok: Iqra Kurnia Gemilang, cet 1
2005), h 20-21.
Keberhasilan pembelajaran dalam arti tercapainya standar kompetensi
sangat tergantung pada kemampuan guru mengolah pembelajaran yang dapat
menciptakan situasi yang memungkinkan siswa belajar sehingga merupakan titik
awal berhasilnya pembelajaran. Rendahnya mutu pendidikan pembelajaran dapat
diartikan kurang efektifnya proses pembelajaran. Penyebabnya dapat berasal dari
siswa, guru maupun sarana dan prasarana yang kurang memadai, minat dan
motivasi yang rendah, kinerja guru yang rendah akan menyebabkan pembelajaran
kurang efektif.
Selain itu, terjadinya ketimpangan di sekolah-sekolah salah satunya dapat
dilihat dari aspek peserta didik, bagi seorang guru, peserta didik di sebagian besar
sekolah dianggap sebagai seseorang yang masih kosong dan siap untuk dijadikan
sesuai kebutuhan pasar. Peserta didik yang dianggap demikian, berdampak pada
proses pendidikan di berbagai sekolah. 9
Sekolah tugasnya adalah menyiapkan peserta didik untuk mencapai nilai
terbaik dalam bidang tertentu untuk dijadikan sebagai manusia yang ahli sesuai
dengan jurusannya. Sementara latar belakang perilaku, akhlak, sikapnya terhadap
siswa.10
Akibatnya, kritik atau keluhan yang sering dilontarkan masyarakat dan
pihak orang tua murid selama ini, pendidikan agama di sekolah dan perguruan
tinggi, belum mampu mengantar peserta didik untuk dapat memahami dan
mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar.
Demikian pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang
diharapkan. Selain kelemahan dalam peguasaan materi (aspek kognitif ) juga
dalam hal pembentukan prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama
dari proses pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai
kurang nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan sehari-hari.11
9 Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Penerbit INSPEAL, 2006),
h.1. 10Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural,... h.1. 11Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural,... h. 2
Tingginya frekuensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar,
kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang
memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan
obat-obat terlarang seperti narkotika, adanya pergaulan bebas, sering diangkat
oleh sebagian anggota masyarakat dan orang tua sebagai indikasi
ketidakberhasilan pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi.
Setiap terjadi dekadensi (kerusakan) moral masyarakat, maka semua pihak
akan menoleh kepada lembaga pendidikan dan seakan menuduhnya tidak becus
mendidik anak bangsa. Tuduhan berikutnya terfokus pada pendidik yang dianggap
alpa dan tidak profesional dalam menjaga gawang moralitas anak bangsa. Para
pendidik tiba-tiba menjadi perhatian saat musibah kebobrokan moral,
ketertinggalan ilmu pengetahuan dan peradaban terjadi.12
Sekolah khususnya guru hanya bertugas menghasilkan lulusan yang
memiliki kemampuan kognitif intelektual belaka, sama sekali terlepas dari
kemampuan afeksi sosial, afeksi kelembutan, afeksi menghargai orang lain, afeksi
menjunjung harkat dan martabat semua manusia13 Sekolah hanya bertugas untuk
mempersiapkan peserta didik untuk mencapai nilai baik dalam bidang tertentu
untuk dijadikan sebagai manusia yang ahli sesuai dengan jurusannya. Sementara
latar belakang perilaku, akhlak, sikapnya terhadap sesama manusia bukan menjadi
pertimbangan utama dalam perekrutan peserta didik.14
Belum lagi keadaan guru di Indonesia yang memprihatinkan. Fakta
menyebutkan bahwa, kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang
memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU
No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan,
melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
12 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009), h. 35. 13 Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural,….h. 29-30 14 Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural,…h 30.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003
di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07%
(negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta),
untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak
mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).15
Dalam pada itu, tidak sedikit masalah-masalah dalam kelas muncul. Mulai
dari pembelajaran yang membosankan, pembelajaran yang hanya berkisar pada
ceramah dimana guru belum mampu berdialog dengan baik kepada peserta didik,
hingga guru yang keluar ruangan sebelum waktunya karena kehabisan materi
dalam mengajar.
Metode pembelajaran yang kurang efektif dan efisien, menyebabkan tidak
seimbangnya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik, misalnya
pembelajaran yang monoton dari waktu kewaktu, guru yang bersifat otoriter dan
kurang bersahabat dengan siswa sehingga siswa merasa bosan dan kurang minat
belajar.16
Di mana letak kesalahannya? Pada isi kurikulum yang kurang tepat, sistem
atau metodologi, alokasi waktu atau ketidakmampuan pihak guru agama untuk
menjawab hal-hal seperti itu. Dalam hal ini, penulis ingin melihat bagaimana al-
Quran menjelaskan tentang proses pembeajaran.
Sebagaimana mafhum al-Quran adalah kalamullah (firman Allah) yang
mutlak benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan di
akhirat nanti17
15http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/ciri-ciri-dan-masalah-pendidikan-di-indonesia. 1/11/10
16Risjayanti, Peningkatan Motivasi dan Minat Belajar Siswa, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta), h. 3.
17 Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarata: PT Raja Grafindo Persada,
2002) h. 1.
Al-Qur'an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman
hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di
dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prisip dasar) menyangkut segala aspek
kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar
masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional
memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak sepi dari
perbincangan umat adalah masalah pendidikan.18
Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah,
syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai
persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul Saw untuk
memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu, “Kami telah
turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia
apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.” (QS an-Nahl
[16]; 44).
Sebagai referensi utama umat Islam, al-Quran telah hadir untuk menjawab
berbagai persoalan manusia. Meski terbatas pada 114 surat dan 6666 ayat, namun
manusia kerap kali menemukan penemuan-penemuan baru. Dalam konteks
keilmuan, al-Quran telah melahirkan berbagai macam ilmu. Mulai dari fisika,
biologi, astronomi, kimia, geologi, psikologi dan seterusnya hingga ilmu
pendidikan.19
Kehadiran al-Quran senantiasa eksis untuk setiap zaman dan kondisi. Ia
hadir untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Hal ini
tersurat jelas dalam firman-Nya, “Kitab suci diturunkan untuk memberi putusan
(jalan keluar) terbaik bagi problem-problem kehidupan manusia” (QS al-Baqarah
[2]; 213).
Terkait dengan pendidikan, al-Quran sejak dari awal mula diturunkan telah
memberikan sinyalmen yang begitu terasa. Ditemukan langsung ayat pertama
yang diturunkan;
18 Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, ..........h. 1. 19Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, ............h. 2
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,” (QS al-
‘Alaq [96]; 1)
Ayat-ayat ini dan yang semacamnya memberikan ruh progresivitas kepada
manusia untuk senantiasa mengembangkan wawasannya. Dalam hal ini, manusia
dituntut untuk mengembangkan ayat-ayat Allah, baik yang bersifat tanziliyah
maupun yang bersifat kauniyah.
Berdasarkan wacana di atas, penulis berkesimpulan bahwa wawasan
tentang pendidikan, khususnya pengajaran benar-benar perlu diangkat dan
dipaparkan kembali. Semua itu, lantaran al-Quran dan Ilmu pengetahuan termasuk
pendidikan merupakan satu kesatuan yang begitu erat. Dimana al-Quran
mencakup pelbagai macam masalah terkait pendidikan. Bahkan, al-Quran sendiri
hadir ke tengah-tengah manusia sebagai kitab yang mendidik, membimbing, dan
mengajarkan.
Sementara itu, penulis sendiri memiliki beberapa asumsi sendiri yang
menjadi beberapa pertimbangan dalam penulisan skripsi ini, di antaranya:
Pertama, al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang berwawasan global
bersifat universal. Sebagaimana maklum bahwa Islam adalah agama universal,
agama yang membawa misi rahmatan lil alamin.20
Kedua, penulis menginginkan pandangan yang utuh yang diberikan oleh
al-Quran. Tujuannya, agar pandangan ini dapat menjadi pijakan yang otentik
terkait pembelajaran berdasakan prinsip-prinsip Islam oleh para guru, khususnya
guru-guru yang beragama Islam.
Ketiga, membangkitkan semangat cinta Islam. Karena tidak sedikit, kaum
terpelajar muslim lebih bangga manakala merujuk pada referensi tokoh-tokoh
barat. Alih-alih merujuk kepada tokoh-tokoh muslim dianggap ortodok, rigid, dan
tidak keren.
Pada dasarnya, al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa
20 QS Al-Baqarah [2]; 30.
permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam
maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pengajaran, dan nilai-nilai
pengajaran yang lebih manusiawi, yang selanjutnya bisa dijadikan inspirasi untuk
dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu.
Bersandar pada beberapa pernyataan di atas, penulis dengan ini memberi
judul untuk karya tulis ini dengan, Proses Pembelajaran dalam al-Quran
(Telaah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82).
Semoga karya ini dapat menjadi acuan sebagai model pembelajaran yang benar-
benar memiliki ruh.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Tentu pembahasan terkait pengajaran dalam al-Quran tidaklah sedikit.
Maka itu, penulis membatasi pembahasan hanya pada upaya menemukan Proses
Pembelajaran dalam al-Quran melalui pendekatan Kisah Nabi Musa dan Nabi
Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82 pada upaya meningkatkan kinerja dan
semangat guru dalam mengajar.
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya adalah
bagaimana proses pembelajaran Musa dan Khidir dalam al-Quran?
C. Tujuan Penelitian
Sementara itu, yang menjadi tujuan peneliti pada wacana Proses
Pembelajran dalam al-Quran adalah memberikan sebuah ide dan gagasan guna
mewujudkan pengajaran yang berkulitas dan bertanggung jawab. Hal ini
dikarenakan banyak guru yang mengajar tapi minim dalam hal teori meskipun
tidak memungkiri bahwa teori tidak selalu dapat menjawab praktik yang terjadi di
lapangan. Selanjutnya, diharapkan para guru tidak hanya asal berani mengajar,
melainkan pula memiliki bekal dan landasan yang kuat. Begitu hanya dengan
siswa agar mengerti dan memahami arti pembeajaran yang sebenarnya. Adapun
yang lebih ditekankan adalah penulis berusaha dengan sebijak mungkin untuk
memunculkan sebuah contoh proses pembeajaran dalam al-Quran sekaligus
menjadi respon atas banyaknya wacana seputar proses beajar-mengajar.
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak.
1. Bagi penulis, untuk menambah wawasan serta pengalaman penulis
mengenai penelitian ini, baik dalam merencanakan ataupun
melaksanakan penelitian.
2. Bagi universitas, menambah khazanah ilmiah di kalangan akademis
khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan diharapkan menjadi sumbangsih gagasan dan
sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisasi serta dapat
dipraktikkan dalam membangun guru-guru yang berkualitas, penuh
integritas, dan memiliki semangat pengabdian.
3. Bagi guru, untuk mengetahui bagaimana penerepan proses pembelajaran
yang lebih baik berdasarkan al-Qur’an.
D. Metodologi Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian ini, jenis penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan (Libarary Research), yaitu berusaha mengungkap dan menemukan
secara sistematis berbagai data mengenai proses pembelajaran dengan merujuk
kepada QS. Al-Kahfi {18}, 60-82. Secara rinci penelitian ini berusaha
menemukan jawaban. “Bagaimanakah nilai-nilai pengajaran yang terdapat dalam
ayat tersebut? Dilihat dari objek penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan tafsir kependidikan (tafsir tarbawy)
Penelitian ini bersifat kepustakaan karena sumber datanya adalah terdiri
dari buku-buku yang ada hubungannya dengan pokok pembahasan. Dimana
sumber pokoknya (primer) adalah:
1. Al-Qur'an dan terjemahannya.
2. Tiga buku tafsir al-Qur'an: Pertama, Tafsir al-Maragi, karya Ahmad
Mustafa al-Maraghi. Kedua, Tafsir fi Zilalil Quran karya Sayyid Qutb.
Ketiga, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran karya
M Quraish Shihab.
3. Hadits-hadits Nabi Saw.
4. Dan buku-buku pendukung (sekunder) baik yang ada hubungan langsung
maupun tidak langsung.
Sumber-sumber pendukung ini antara lain adalah:
1. Buku-buku Tafsir yang dianggap memadai dan mewakili,
2. Buku-buku yang berisikan pengetahuan tentang al-Qur’an, atau yang
dikenal dengan ‘Ulum al-Qur’an
3. Kamus-kamus yang memuat daftar kata-kata al-Qur’an, yang mana isinya
merupakan petunjuk praktis untuk menemukan ayat-ayat. Dan dipakai pula
kamus-kamus lain yang relevan dengan pembahasan,
4. Buku-buku tentang pendidikan, dikhususkan tentang nilai-nilai pengajaran
yang akan dibatasi pada buku-buku yang dianggap memadai,
5. Sumber-sumber lain yang relevan dengan pembahasan.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Pandangan Umum Tentang Pembeajaran, di dalam bab
ini akan dibahas mengenai konsep pembelajaran,
pengertian pembelajaran, tujuan pembelajaran, metode dan
teknik pembelajaran, kedudukan guru dalam pengajaran,
teori-teori pengajaran dengan menggunakan referensi
psikolog Barat, terakhir mengenai anak didik dalam
pandangan Islam.
BAB III : Seputar Penafsiran QS al-Kahfi [18]; 60-82, dengan
merujuk kepada penafsiran ahi tafsir dalam ayat ini.
BAB IV : Proses Pembelajaran Musa dan Khidir dalam QS al-Kahfi
[18]; 60-82
BAB V : Kesimpulan dan saran.
BAB II
KONSEP PEMBELAJARAN IDEAL
A. Definisi Pembelajaran
1. Mengajar
Di dalam dunia pendidikan, pihak-pihak yang melakukan kegiatan mendidik
dikenal dengan dua predikat yaitu: pendidik dan guru. Pendidik (murabby) adalah
orang yang berperan mendidik subjek didik atau melakukan tugas pendidikan
(tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melaksanakan tugas mengajar
(ta’lim).1 Meski demikian term guru juga dimaknai dengan pendidik.
Dalam bahasa Indonesia guru adalah orang yang digugu (diindahkan) oleh
peserta didik serta ditiru dalam arti perilaku guru akan selalu diikuti oleh peserta
didiknya, karena guru sebagaimana ulama adalah pewaris para nabi, yaitu sebagai
uswah hasanah (contoh teladan yang baik).2
Pendidik mengandung makna pembinaan kepribadian, memimpin dan
memelihara sedangkan pengajaran bermakna sekedar memberi informasi kepada
peserta didik yang dalam prosesnya dilakukan oleh pendidik atau guru.3
1 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009), h. 36.
2 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan ………h. 35. 3 Zakiah Dardjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama), h. 26.
Meskipun istilah mendidik dan mengajar dapat dibedakan, pada hakikatnya
kedua istilah tersebut tidak dapat dipisahkan secara dikotomis. Sebab pada
kenyatannya antara pendidikan dan pengajaran adala suatu proses yang tidak
dapat dipisahkan. Seorang pendidik dalam proses belajar mengajar selalu terlibat
dalam kegiatan pengajaran (mengajar), demikian juga pengajar pada saat
melakukan kegiatan mengajar ia juga harus menjaga moral dan keteladan terhadap
anak didiknya.4
Ada beberapa pengertian yang digunakan untuk mendefinisikan kegiatan
mengajar antara lain:
Definisi klasik menyatakan bahwa mengajar diartikan sebagai penyampaian
sejumlah pengetahuan karena pandangan yang seperti ini, maka guru dipandang
sebagai sumber pengetahuan dan siswa dianggap tidak mengerti apa-apa.
Pengertian ini sejalan dengan pandangan Jerome S. Brunner yang berpendapat
bahwa mengajar adalah menyajikan ide, problem atau pengetahuan dalam bentuk
yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh siswa. 5
Sebagian para ahli mengatakan bahwa mengajar adalah menanamkan
pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam diri anak didik. Dalam hal ini guru
memegang peranan utama, sedangkan siswa tinggal menerima, bersifat pasif.
Pengajaran yang berpusat kepada guru bersifat teacher centered. Ilmu
pengetahuan yang diberikan kepada siswa kebanyakan hanya diambil dari buku-
buku pelajaran, tanpa dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari siswa.
Pelajaran serupa ini disebut intelektualistis.6
Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi
atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk
4 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009), h. 37. 5 Dawna Markova, The Smart Parenting Revolution, Psikologi Pendidikan 6 http://raflengerungan.wordpress.com/korupsi-dan-pendidikan/pengertian-mengajar-
didaktik. diakses tanggal 20 November 2010.
berlangsungnya proses belajar mengajar.7
Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa didik atau
murid di sekolah. Implikasi dari pengertian ini adalah:
b. Pengajaran dipandang sebagai persiapan hidup,
c. Pengajaran adalah suatu proses penyampaian,
d. Penguasaan Pengetahuan adalah tujuan utama,
e. Guru dianggap yang paling berkuasa,
f. Murid selalu bertindak sebagai penerima.
Mengajar adalah mewariskan kebudayaan pada generasi muda melalui
lembaga pendidikan di sekolah. Perumusan ini bersifat lebih umum dan
berimplikasi sebagai berikut:8
a. Pendidikan bertujuan membentuk manusia berbudaya.
b. Pengajaran berarti suatu proses pewarisan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa aktivitas yang sangat
menonjol dalam pengajaran ada pada siswa. Namun, bukan berarti peran guru
tersisihkan, tetapi diubah, kalau guru dianggap sebagai sumber pengetahuan,
sehingga guru selalu aktif dan siswa selalu pasif dalam kegiatan belajar mengajar.
Guru adalah seorang pemandu dan pendorong agar siswa belajar secara aktif dan
kreatif.
Tiap usaha mengajar sebenarnya ingin menumbuhkan atau
menyempurnakan pola laku tertentu dalam diri peserta didik. Maksud pola laku
tersebut adalah kerangka dasar dari sejumlah kegiatan yang lazim dilaksanakan
manusia untuk bertahan hidup dan untuk memperbaiki mutu hidupnya dalam
situasi nyata. Kegiatan itu bisa berupa kegiatan rohani, misalnya mengamati,
menganalisis, dan menilai keadaan dengan daya nalar. Bisa juga berupa kegiatan
jasmani. yang dilakukan dengan tenaga dan keterampilan fisik. Umumnya
7 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cet
ke-9), h. 45 8 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar,... h. 45.
rnanusia bertindak secara manusiawi apabila kedua jenis kegiatan tersebut dibuat
secara terjalin dan terpadu.9
Di samping menumbuhkan dan menyempumakan pola laku, pengajaran
juga menumbuhkan kebiasaan. Kebiasaan dapat dirumuskan sebagai keterarahan,
kesiapsiagaan di dalam diri manusia untuk melakukan kegiatan yang sama atau
serupa atas cara yang lebih mudah, tanpa memeras atau memboroskan tenaga.
Kebiasaan akan timbul justru apabila kegiatan manusia, baik rohani maupun
jasmani dilakukan berulang kali dengan sadar dan penuh perhitungan.
Guru dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas belajar peserta didik
dalam bentuk kegiatan belajar mengajar yang sedemikian rupa, dapat
menghasilkan pribadi yang mandiri, dalam hubungan ini, guru memegang peran
penting dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang sebaik-baiknya. Tugas
guru tidak hanya sebagai pengajar dalam arti penyampaian pengetahuan, tetapi
lebih meningkat sebagai perancang pengajaran.10
2. Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologis belajar memiliki
arti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Belajar menurut Cronbach
adalah belajar melalui pengalaman, dengan pengalaman tersebut pelajar
menggunakan seluruh panca inderanya.11
Anthony Robbins mendefinisikan belajar sebagai proses menciptakan
hubungan antara sesuatu pengetahuan yang sudah dipahami dengan pengetahuan
yang baru. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Jerome Brunner bahwa
belajar adalah suatu proses aktif dimana siswa membangun (mengkonstuk)
9 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet-I),
h. 207. 10 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan
Kompetensi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, edisi revisi), h. 77 11 Baharudin dan Nurwahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Arruzz
Media, Cet III 2008) h. 13
pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman/pengertahuan yang sudah
dimilikinya.12
Belajar dapat diartikan suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh perubahan prilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari
pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. (Moh.
Surya: 1997).
Belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan
sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan,
pengetahuan, dan kecakapan. (Whitheringston: 1952).
Belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap
baru. (Crow and Crow: 1958). Belajar adalah proses dimana suatu prilaku muncul
prilaku atau berubah karena adanya respons terhadap suatu situasi (Hilgard:
1962).
Belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang
terjadi melalui pengalaman dan bukan karena perubahan atau pertumbuhan
tubuhnya atau karakteristik seorang sejak lahir. Dari beberpa definisi di atas,
sangat jelas, bahwa belajar merupakan sebuah proses perubahan menuju ke arah
yang lebih baik, positif, dan futuristik hal itu meliputi berbagai aspek seperti
keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan.
3. Pembelajaran
Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata
dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui
(diturut) ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an menjadi “pembelajaran”,
yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan sehingga anak
didik mau belajar. (KBBI)
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan
yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan
12 Trianto, Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Prenada Media Group, Cet II 2010) h. 15.
pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan
kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses
untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.13
Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat
berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang
mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam
konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan
menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek
kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta
keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi
kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan
pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik.
Instruction atau pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk
membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang,
disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses
belajar siswa yang bersifat internal. (Gagne dan Briggs: 1979: 3)
Pembelajaran adalah Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. (UU No. 20/2003, Bab I Pasal Ayat
20)
Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang komplek, yang tidak
sepenuhnya dapat dijelaskan. Secara sederhana pembelajaran adalah produk
interaksi berkelanjutan anatra pengembangan dan pengalaman hidup. Dalam
bahasa yang lebih kompleks, pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari
seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan sumber belajar siswa
dengan sumber lainnya) dalam rangka tujuan yang diharapkan.14
Istilah “pembelajaran” sama dengan “instruction atau “pengajaran”.
Pengajaran mempunyai arti cara mengajar atau mengajarkan. Dengan demikian
13 www.wikipedia.com
14 Trianto, Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif,... h. 17.
pengajaran diartikan sama dengan perbuatan belajar (oleh siswa) dan Mengajar
(oleh guru). Kegiatan belajar mengajar adalah satu kesatuan dari dua kegiatan
yang searah. Kegiatan belajar adalah kegiatan primer, sedangkan mengajar adalah
kegiatan sekunder yang dimaksudkan agar terjadi kegiatan secara optimal.
Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa Pembelajaran adalah usaha sadar dari
guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada
diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan
baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha.
B. Tujuan Pengajaran
Tujuan artinya suatu yang dituju, yaitu yang akan dicapai dengan suatu
kegiatan atau usaha. Sesuatu kegiatan akan berakhir, bila suatu tujuan telah
dicapai. Kalau tujuan itu bukan tujuan akhir, kegiatan berikutnya akan langsung
dimulai untuk mencapai tujuan tujuan selanjutnya dan terus begitu sampai tujuan
akhir.
Kegiatan pengajaran harus mempunyai tujuan, karena setiap kegiatan yang
tidak mempunyai tujuan akan berjalan meraba-raba, tak tahu arah tujuan. Tujuan
yang jelas dan berguna akan membuat orang lebih giat, terarah dan sungguh-
sungguh. Semua kegiatan harus berorientasi pada tujuannya. Segala daya dan
upaya pengajaran harus dipusatkan pada pencapaian tujuan itu. Karena itu tujuan
pengajaran harus berfungsi sebagai:15
1. Titik pusat perhatian dan pedoman dalam melaksanakan kegiatan pengajaran,
2. Penentu arah kegiatan pengajaran,
3. Titik pusat latihan dan pedoman dalam menyusun rencana kegiatan
pengajaran,
4. Bahan pokok yang akan dikembangkan dalam memperdalam dan memperluas
ruang lingkup pengajaran,
5. Pedoman untuk mencegah atau menghindari penyimpangan kegiatan.
15 W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 28.
Tujuan pendidikan Islam adalah kepribadian muslim, yaitu suatu
kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang
berkepribadian Islam dalam Al-Qur’an disebut juga “muttaqin”. Karena itu
Pendidikana Islam berarti juga pembentukan manusia yang bertaqwa. Ini sesuai
benar dengar pendidikan nasional kita yang dituangkan dalam tujuan pendidikan
nasional yang akan membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.16
Tujuan pengajaran agama Islam harus berisi hal-hal yang dapat
menumbuhkan dan memperkuat iman serta mendorong pada kesenangan
mengamalkan ajaran agama Islam. Proses pencapaian itu hendaknya sekaligus
membina keterampilan mengamalkan ajaran Islam itu. Untuk itu diperlukan usaha
pembentukan materi yang akan memperkaya murid dengan sejumlah
pengetahuan, membuat mereka dapat menghayati dan mengembangkan ilmu itu,
juga membuat ilmu yang mereka pelajari itu berguna bagi mereka. Tujuan ini
hendaknya mengandung sifat pemberian dan penanaman ilmu agama (kognitif)
dan keterampilan mengamalkan ajaran agama (psikomotor). Untuk itu tujuan
pengajaran agama Islam itu harus mengandung bahan pelajaran yang bersifat;17
1. Menumbuh dan memperkuat iman,
2. Membekali dan memperkaya ilmu agama,
3. Membina keterampilan beramal,
4. Menuntun dan mengembangkan potensi yang dibawa sejak lahir sebagai
manusia secara utuh (individual),
5. Menumbuhkan dan memupuk rasa sosial dan sifat-sifat terpuji,
6. Pemberian pengetahuan dan keterampilan yang dapat diamalkan dan
dikembangkan dalam berbagai lapangan pekerjaan untuk mencari nafkah
(tenaga profesional).
Secara umum dan ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan pengajaran agama
16 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul, Seni Mendidik Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, cet I, 2003), h. 124.
17 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan,... h. 27
Islam itu harus mengandung berbagai aspek pembinaan manusia seutuhnya,
sehingga nantinya ia dapat hidup dengan baik sebagai manusia Pancasilais yang
bertaqwa kepada Allah dalam ajaran Islam.
C. Prinsip-Prinsip Pembelajaran dalam Islam
Ide mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan dan pembelajaran banyak
tertuang dalam ayat-ayat Al-Quran dan Hadits. Dalam hal ini akan dikemukakan
ayat-ayat atau hadits-hadits yang dapat mewakili dan mengandung ide tentang
prinsip-prinsip dasar pendidikan tersebut, dengan asumsi dasar, bahwa pendidikan
sejati atau Maha Pendidik itu adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia
dengan segala potensi dan kelebihan serta menetapkan hukum-hukum
pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya, sekaligus jalan yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuannya. Prinsip prinsip tersebut adalah sebagai
berikut18
Pertama, Prinsip Integrasi. Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah
bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu,
mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar
masa kehidupan di dunia ini benar benar bermanfaat untuk bekal yang akan
dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat
dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan kelayakan itu
terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan.19 Allah Swt Berfirman,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kanu melupakan kebahagiaanmu dari
kenikmatan duniawi...” (QS. Al Qashash [28]: 77).
18 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite Press, 2004), h. 25-30.
19 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, ....h. 25
Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan segala
yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka
pengabdian kepada Tuhan.
Kedua, Prinsip Keseimbangan. Karena ada prinsip integrasi, prinsip
keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan
pembinaan manusia tidak ada kesenjangan. Keseimbangan antara material dan
spiritual, unsur jasmani dan rohani. Banyak ayat Al-Quran Allah menyebutkan
iman dan amal secara bersamaan.,20 secara implisit hal ini menggambarkan
kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS. Al ‘Ashr [103]: 1-3
“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang
beriman dan beramal shaleh.” (Al-‘Ashr [103]:1-3)
Ketiga, Prinsip Persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang
manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik
antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna
kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.21
Keempat, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup. Prinsip ini bersumber dari
pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan
manusia, di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai
20 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam... h. 26-27.
21 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, ...h.28.
tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang
kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk
mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, di samping
selalu memperbaiki kualitas dirinya.22 Sebagaimana firman Allah.
“Maka siapa yang bertaubat sesudah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya) maka
Allah menerima taubatnya, dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Maidah [5]: 39)
Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu
tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education). Islam
memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan
pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan
porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu
(pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang
ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan
duniawi juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak
tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini.23
Kelima, Prinsip Keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa
pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang
mempunyai ruh yang segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada
keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai nilai
22 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam,...h. 29
23http://hasanrizal.wordpress.com tafsir-tarbawi-pendidikan-dalam-perspektif-al-quran. diakses tanggal 20 November 2010.
moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang
paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik
bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih
dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang
ditunjukkan oleh pendidik tersebut.24
D. Metode dan Teknik Pembelajaran
Metode secara bahasa berarti suatu cara yang teratur untuk mencapai suatu
tujuan.25 Metode juga dapat diartikan dengan cara yang digunakan pendidik
dalam menyampaikan materi bahan ajar kepada anak didik, berdasarkan tujuan
yang ingin dicapai dalam sebuah pengajaran, seperti, ceramah, diskusi (halaqah),
tanya jawab.
Dalam tradisi Islam banyak teknik pengajaran. Namun yang paling awal
adalah teknik hafalan26 yang sudah ada sejak zaman nabi, karena saat itu belum
muncul tradisi menulis sehingga dibutuhkan teknik meghafal yang kuat untuk
menghafal ayat-ayat Al-Quran.27
Metode pembelajaran yang kurang efektif dan efisien, menyebabkan tidak
seimbangnya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik, misalnya
pembelajaran yang monoton dari waktu ke waktu, guru yang bersifat otoriter dan
kurang bersahabat dengan siswa sehingga siswa merasa bosan dan kurang minat
belajar. Untuk mengatasi hal tersebut maka guru sebagai tenaga pengajar dan
pendidik harus selalu meningkatkan kualitas profesionalismenya yaitu dengan
cara memberikan kesempatan belajar kepada siswa dengan melibatkan siswa
secara efektif dalam proses belajar mengajar
24 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam,....h.30.
25 WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1999), h. 649
26Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang), h. 121. 27Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan…………h. 124.
Metode pembelajaran bertujuan untuk menjadikan proses dan hasil belajar
mengajar ajaran Islam lebih berdaya guna dan berhasil guna dan menimbulkan
kesadaran anak didik untuk mengamalkan ketentuan ajaran Agama Islam melalui
teknik motivasi yang menimbulkan gairah belajar anak didik secara mantap di
samping bermanfaat untuk mengantarkan tercapainya tujuan pendidikan yang
dicita-citakan.28
Penggunaan metode mengandung implikasi bersifat konsisiten, sistematis,
dan makna menurut kondisi sasarannya, mengingat sasaran metodenya adalah
manusia, sehingga pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya. Ada
banyak metode yang dikemukakan oleh para ahli dengan berbagai sebutan,
diataranya: 1. Maw`izhah (ceramah) 2. Kitabah (tulisan) 3. Hiwar (dialog) 4. Al-
as`ilah wa al-ajwibah (Tanya jawab) 5. Al-niqashy (diskusi) 6. Al-mujadalah
(debat) 7. Brain strorming 8. Al-qishash (bercerita) 9. Al-amstal (metafora) 10.
Karya wisata 11. Al-qudwah (imitasi) 12. Uswatun hasanah 13. Al-tathbiq
(demontrasi dan dramatisasi) 14. Game and simulation (permainan dan simulasi)
15. Al-mumarasat al-amal (drill) 16. Inquiry 17. Discovery 18. Micro teaching 19.
Modul belajar 20. Independent study (belajar mandiri) 21. Eksprimen 22. Kerja
lapangan 23. Case study 24. Targhib wa tarhib (janji dan ancaman) 25. Al-tsawab
wa al-`iqab (anugrah dan hukuman) 26. Musabaqah (kompetisi).29
D. Kedudukan Guru dalam Pembelajaran
Islam memberikan perhatian terhadap guru, sebab keberadaan guru seperti
batu pertama dalam struktur perkembangan dan kesempurnaan sosial serta jalan
bimbingan dan perubahan tingkah laku dan mentalitas individu serta individu.30
Pendidik (pengajar) memiliki kedudukan yang sangat mulia karena
28 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam , Pengembangan Pendidikan,... h. 91. 29Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam , Pengembangan Pendidikan,...h. 92.
30 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul, Seni Mendidik Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, cet I, 2003), h. 136.
tanggung jawabnya yang berat. Guru merupakan spiritual father bagi siswanya.
Hal ini disebabkan guru memberikan bimbingan jiwa siswanya dengan ilmu,
mendidik dan meluruskan akhlaknya. Menghormati guru berarti penghormatan
terhadap anak-anak kita, menghargai guru berarti penghargaan terhadap anak-
anak kita. Dengan guru itulah mereka hidup dan berkembang. Bahkan Abu
Dardaa melukiskan hubungan guru dan murid itu sebagai pertemanan dalam
kebaikan dan tanpa keduanya maka tidak ada kebaikan.31
Guru adalah teladan para murid, Murid memperoleh sifat yang baik, serta
kecenderungan yang benar, juga perilaku yang utama adalah dari guru mereka
yang memperlihatkan keutaman dan perilaku yang benar tesebut. Karena itu para
guru harus mendisiplinkan diri.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapati prilaku anak-anak yang meniru
prilaku orang lain yang menjadi pujaannya, seperti meniru gaya pakaian, meniru
gaya rambut, meniru gaya bicara. Hal serupa juga terjadi di sekitar lembaga-
lembaga pendidikan, seorang siswa yang meniru guru yang ia senangi, seperti
meniru cara menulis, cara duduk, cara berjalan, cara membaca dan lain
sebagainya. Semua ini membuktikan bahwa pada hakekatnya sifat meniru prilaku
orang lain merupakan fitrah manusia, terutama anak-anak. Sifat ini akan sangat
berbahaya jika peniruan dilakukan juga terhadap prilaku yang tidak baik.32
Ada dua bentuk strategi keteladanan; pertama, yang disengaja dan
dipolakan sehingga sasaran dan perubahan prilaku dan pemikiran anak sudah
direncanakan dan ditargetkan, yaitu seorang guru sengaja memberikan contoh
yang baik kepada muridnya supaya dapat menirunya. Kedua, yang tidak
disengaja, dalam hal ini guru tampil sebagai seorang figur yang dapat memberikan
contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari.33
31 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan,…h. 51 32 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul,…h. 137 33 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul,…h. 137
Untuk dapat menjadikan “teladan” sebagai salah satu strategi, seorang
guru dituntut untuk mahir dibidangnya sekaligus harus mampu tampil sebagai
figur yang baik. Bagaimana mungkin seorang guru menggambar bisa
mengajarkan cara menggambar yang baik jika ia tidak mengusai tehnik-tehnik
menggambar, seorang guru ngaji tidak akan dapat menyuruh siswanya fasih
membaca al-Quran jika dirinya tidak menguasai ilmu membaca al-Qur’an dengan
baik, guru matematika akan dapat memberi contoh cara menghitung yang baik
jika iapun menguasai cara menghitung dengan baik, jangan harap seorang guru
bahasa Indonesia akan dapat mengajar membaca puisi dengan baik jika dirinya
saja tidak mahir dalam bidang ini, demikianlah seterusnya dengan disiplin ilmu
yang lain.
Dalam hal ini guru sebagai teladan, keteladanan memberikan pengaruh
yang lebih besar daripada cacian atau nasehat.Jika perilaku seorang guru bertolak
belakang dengan apa yang diajarkannya maka bias dikatakan bahwa proses belajar
dan mengajar gagal.34
E. Teori-teori Pembelajaran menurut Psikologi
Belajar dan Pembelajaran merupakan proses penting bagi perubahan
perilaku manusia dari segala sesuatu yang diperkirakan dan dikerjakan. Belajar
memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan,
tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi manusia. Oleh karena itu dengan
menguasai prinsip-prinsip dasar tentang pengajaran seseorang mampu memahami
bahwa aktivitas belajar itu memegang peranan penting dalam proses psikologis.
1. Teori Pembelajaran Behavioristik
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan
perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dinilai secara konkret. Perubahan
terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan
34 Jaudah Muhammad Awwad, Mendidik Anak Secara Islam (Terj), (Jakarta: Gema Insani Pers, 2003), h. 3.
perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans
tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun
eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat
atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti
penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan perilaku S-R
(Stimulus-Respon).35
Contohnya, dalam percobaan apabila di luar sangkar diletakkan
makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara
meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah
menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing
segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali,
dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat
dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan
makanan.36
Berdasarkan eksperimen di atas, semakin jelas bahwa belajar
adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus
dan respon
2. Teori Pembelajaran Sosial
Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar
perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini
dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian
besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberi lebih
banyak penekanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat pada perilaku, dan
pada proses-proses mental internal. Jadi, dalam teori pembelajaran sosial
35 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi
dan Kompetensi,...62. 36 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi
dan Kompetensi,… h. 63.
kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan
penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita
belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial “manusia” itu tidak
didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh
stimulus-stimulus lingkungan.37
Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan
yang dihadapkan pada seseorang tidak random, lingkungan-lingkungan itu
kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri.
Menurut Bandura, sebagaimana yang dikutip oleh Tohirin bahwa
“sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan
mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari teori pembelajaran sosial
adalah pemodelan (modelling), dan permodelan ini merupakan salah satu
langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.38
3. Teori Pembelajaran Kognitif
Teori kognitif tertuju kepada hal-hal yang terjadi di dalam kepala
kita ketika belajar. Teori kognitif juga mengambil perspektif bahwa siswa
secara aktif memproses informasi dan pembelajaran berlangsung melalui
usaha-usaha siswa ketika siswa mengaturnya, menyimpannya dan
kemudian menemukan hubungan-hubungan antara informasi, hubungan
baru dengan pengetahuan lama, skema, dan teks, pendekatan kognitif
menekankan bagaimana informasi di proses39
4. Teori Pembelajaran Konstruktif
37http://anwarholil.blogspot.com/2009/01/teori-pembelajaran-sosial.html . 9-11-10.
38 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 67
39 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi
dan Kompetensi,… h. 63.
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama Dahar,
menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak
melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi
baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali
struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut
mempunyai tempat.40
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang
meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru
atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan
rangsangan itu.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh
secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan,
perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif
memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan,
perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan
tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.
F. Karakteristik Pengajar
Al-Mawardi, sebagaimana yang dikutip Abuddin Nata,
memandang seorang guru yang baik adalah guru yang tawadhu (rendah hati),
menjauhi sikap ujub (besar kepala) dan memiliki rasa ikhlas. Selain itu, dalam
melaksanakan tugasnya seorang guru harus dilandasi dengan kecintaan terhadap
tugasnya sebagai guru, kecintaan ini akan benar-benar tumbuh dan berkembang
apabila keagungan, keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar
dapat dihayati.41
Selanjutnya Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas
40 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 65.
41 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 50.
dasar motif ekonomi. Dalam pandangannya bahwa mengajar dan mendidik
merupakan aktivitas keilmuan, sementara ilmu itu sendiri mempunyai nilai dan
kedudukan yang tinggi, yang tidak dapat disejajarakan dengan materi. Tugas
mendidik dan mengajar dalam pandangan Al-mawardi adalah tugas luhur dan
mulia, itulah sebabnya dalam mendidik dan mengajar seseorang harus semata-
mata mengharap keridhaan Allah SWT. Apabila dalam yang dituju dari tugas
mengajar nya itu adalah materi, maka ia akan mengalami kegoncangan ketika ia
merasa bahwa kerja yang dipikulnya tidak seimbang dengan hasil yang
diterimanya.42
Menurut Tohirin sebagaimana yang dikutip dari Surya, untuk mewujudkan
prilaku mengajar yang tepat, guru diharapkan memiliki karakteristik mengajar
antara lain:43
1. Memiliki minat yang besar terhadap pelajaran dan mata pelajaran yang
diajarkan,
2. Memiliki kecakapan untuk memerhatikan kepribadian dan suasana hati secara
tepat serta membuat konak secara tepat pula,
3. Memiliki kesabaran, keakraban, sensitivitas yang diperlukan untuk
menumbuhkan semangat belajar,
4. Memiliki pemikiran yang imajinatif dan praktis dalam usaha memberikan
penjelasan kepada peserta didik,
5. Memiliki kualifikasi yang memadai dalam bidangnya baik ini maupun
metode,
6. Memiliki sifat yang terbuka, luwes, dan eksperimental dalam metode dan
teknik.
Sementara itu, dalam pendidikan Islam, seorang pendidik pula hendaknya
42 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h.
51. 43 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan
Kompetensi,… h. 79.
memiliki karakteristik yang dapat membedakannya dari yang lain. Dengan hal itu,
maka diharapkan seorang pendidik mampu bersikap totalitas berpadu antara
karakter dan kepribadiaannya. An-Nahlawi membagi karakter pendidik Muslim
kepada beberapa bentuk, di antaranya:44
1. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dengan tujuan,
tingkah laku, dan pola fikirnya,
2. Bersifat ikhlas, melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata
mencari keridhaan Allah dan menegakkan kebenaran,
3. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta
didik,
4. Jujur dalam menyampaikan yang diketahuinya.
5. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus
mendalami dan mengkaji lebih lanjut.
6. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi.
7. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan
proporsional,
8. Mengetahui kehidupan psikis peserta didik.
9. Tanggap terhadap berbagai kondisidan perkembangan dunia yang dapat
memengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola berpikir peserta didik.
10. Berlaku adil terhadap peserta didik.
Dalam pandangan yang tidak jauh berbeda al-Abrasyi memberikan batasan
tentang karakteristik pendidik. Di antara kriteria dan karakteristik pendidik itu
adalah:45
1. Seorang pendidik hendaknya memiliki sifat zuhud. Yaitu, melaksanakan
tugasnya bukan semata-mata karena materi akan tetapi lebih dari itu mencari
keridhaan Allah.
2. Seorang pendidik hendaknya bersih fisiknya dari kotoran dan jiwanya dari
44 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat Press, 2005) , h. 45-46.
45 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 46
sifat tercela.
3. Seorang pendidik hendaknya ikhlas dan tidak ria dalam menjalankan
tugasnya.
4. Seorang pendidik hendaknya bersifat pemaaf dan memaafkan orang lain,
sabar dan sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga
kehormatannya.
5. Seorang pendidik hendaknya mampu mampu mencintai peserta didiknya
sebagaimana ia mencintai anaknya sendiri.
6. Seorang pendidik hendaknya mengetahui karakter peserta didiknya, seperti;
pembawaan, kebiasaan, perasaan, dan berbagai potensi yang dimilikinya,
7. Seorang pendidik hendaknya menguasai pelajaran dengan baik dan
professional.
Dari batasan kriteria karakteristik di atas, terlihat jelas bahwa menjadi
seorang pengajar atau pendidik tidaklah mudah. Seorang pengajar hendaknya
memiliki persyaratan tertentu sebelum profesi itu ditekuninya.
G. Anak Didik (Manusia) dalam Pandangan Islam
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat
pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu
yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan
bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari
struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang
individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari
segi fisik dan mental maupun fikiran.
ciri–ciri peserta didik :46
1. Kelemahan dan ketak berdayaannya
2. Berkemauan keras untuk berkembang
46 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta:PT Rineka Cipta, cet -II, 2006), h, 40.
3. Ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan)
Syamsul Nizar sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis,
mendeskripsikan enam kriteria peserta didik, yaitu :47
1. peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya
sendiri
2. peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan
3. peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu
baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
4. peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur
jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati
nurani dan nafsu
5. peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat
dikembangkan dan berkembang secara dinamis
Widodo Supriyono, secara garis besar membagi dimensi menjadi dua,
yaitu dimensi fisik dan rohani. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa secara
rohani manusia mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya.
Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu (Ulil Albab),
dapat berfikir atau merenung, memepergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa,
mengingat, atau mengambil pelajaran, mendengar firman tuhan, dapat berilmu,
berkesenian, dapat menguasai tekhnologi tepat guna dan terakhir manusia lahir
keduania dengan membawa fitrah.48
Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak
dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup di dunia. Manusia
mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan
47 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006). h. 77.
48 Widodo Supriono, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996, h. 171.
kepada akal menerangkan ada tujuh kata yang digunakan :49
1. Kata Nazara, dalam surat al-Ghasiyyah ayat 17 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan”
2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati
mereka terkunci?”
3. Kata Tafakkara, dalam surat an-Nahl ayat 68 :
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “buatlah sarang-sarang
dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempattempat yang dibuat manusia”.
4. Kata Faqiha, dalam surat at-Taubah 122 :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya
49 Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan Dalam Pandangan Al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2006), h. 72.
(kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
5. Kata Tadzakkara, dalam surat an-Nahl ayat 17 :
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak
dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.
6. Kata Fahima, dalam surat al-Anbiya ayat 78 :
“Dan ingatlah kisah Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing
kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan
oleh mereka itu”.
7. Kata ‘Aqala, dalam surat al-Anfaal ayat 22 :
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi
Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun.
Manusia memiliki potensi untuk mengetahui, memahami apa yang ada di
alam semesta ini. Serta mampu mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan
fenomena yang lainnya. Karena hanya manusia yang disamping diberi kelebihan
indera, manusia juga diberi kelebihan akal.50 Yang dengan inderanya dia mampu
memahami apa yang tampak dan dengan hatinya dia mampu memahami apa yang
tidak nampak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
50 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 436.
“Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya”.
Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan
hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.
Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta
ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum
Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukum-
hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk
memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan.51
Namun, di sisi lain manusia juga memiliki nafsu yang cenderung
mendorong manusia untuk menuruti keinginannya. Nafsu jika tidak terkontrol
maka yang terjadi adalah keinginan yang tiada akhirnya. Nafsu juga tidak jarang
menjerumuskan manusia dalam lembah kenistaan. Dalam al-Qur’an surat Yusuf
ayat 53 disebutkan:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku”.
Al-Qur’an menandaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang
mampu menciptakan lingkungan yang baik, kondusif, yang bermanfaat bagi
seluruh alam. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya.
Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara pancaindera, akal dan
wahyu. Dengan pancaindera dan akal (hati), manusia bisa menilai sebuah
51 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,………. h. 436.
kebenaran (etika) dan keindahan (estetika). Karena dua hal ini adalah piranti
utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, disamping
memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki kekurangan. Sehingga keduanya
masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan tentang hakikat suatu
kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat memahami posisinya
sebagai khalifah fil ardh.52
Etika peserta didik adalah seuatu yang harus dipenuhi dalam proses
pendidikan. Dalam etika peserta didik, peserta didik memiliki kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis,
menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban peserta didik, yaitu :53
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh kepada Allah SWT,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk
mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela.
2. Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan
pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
3. Menjaga pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai aliran
4. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk
duniawi.
5. Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah
menuju pelajaran yang sukar.
6. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang
lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara
mendalam.
7. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
8. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
9. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu
52 Lihat Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 117-121.
53 Abd. Mujid dalam Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 98
yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akherat.
10. Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.
Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam
menuntut ilmu, maka peserta didik harus mampu memahami etika yang harus
dimilkinya, yaitu :54
1. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum
menuntut ilmu.
2. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai
sifat keutamaan.
3. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di
berbagai tempat.
4. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
5. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.
Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat
akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu :55
1. Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa
sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus
dikerjakan dengan hati yang bersih.
2. Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka
menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah.
3. Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan
dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.
4. Harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau
pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan
mempergunakan beberapa cara yang baik.
54 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ………., ..h. 110
55 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,…………..h. 110.
Bab III
Seputar Penafsiran Kisah Khidir dan Musa QS al-Kahfi 60-82
QS al-Kahfi ayat 60-61
Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan
berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan
sampai bertahun-tahun" (60).
“Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan
ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.” (61).
Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang perjalanan Nabi Musa AS yang ingin menimba
Ilmu dari Nabi Khidir AS. Pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir memang tidak dijelaskan
secara detail kapan dan dimana tempatnya, akan tetapi kumpulan ayat-ayat yang membincangkan
kisah mereka banyak mengandung pelajaran.
Kisah tentang Musa dalam rangkaian ayat-ayat ini tidak disebutkan asal-muasalnya,
namun dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dijelaskan sabab-musababnya. Ibnu
Abbas mendengar Ubai bin Kaab berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, Musa
berdiri khutbah di hadapan Bani Israil, kemudian ia ditanya, “Siapa Manusia yang paling
pintar?” Musa menjawab, “Saya”. (Atas jawaban itu) Allah SWT mencela Musa yang tidak
mengembalikan ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa bahwasannya
seorang hamba-Ku berada di tempat bertemunya dua laut dia lebih pintar daripadamu. Kemudian
Musa bertanya, “Bagaimana aku dapat bertemu dengannya?” Allah berfirman, “Ambillah seekor
ikan lalu tempatkan ia di wadah. Maka, dimana engkau kehilangan ikan itu, di sanalah dia. (HR
Bukhori)1
Manakala Nabi Musa menyimak hal itu, dia bertekad ingin menemui hamba shalih
tersebut untuk menimba ilmu darinya. Quraish Shihab menyebutkan, kata huquban ( حقبأ ( yang
menunjukkan waktu yang lama ada yang berpendapat setahun, tujuh puluh tahun, atau delapan
puluh tahun, bahkan sepanjang masa. Al-Maraghi menjelaskan, Musa tertantang untuk menemui
hamba shalih itu, meski menguras tenaga, bersusah payah dan menempuh perjalanan yang
panjang.2 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, ”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan;
atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun." (QS al-Kahfi [18]; 60).
Berdasar hadis Bukhari di atas, Nabi Musa memohon kepada Allah agar ditunjukkan
tempat keberadaan hamba shalih. Allah tidak memberitahu kepada Musa secara langsung. Akan
tetapi, memberitahu dengan isyarat bahwa dia berada di tempat bertemunya dua laut. Allah
memerintahkan Musa supaya membawa serta ikan yang telah mati. Karena Musa akan
menemukan hamba shalih di tempat di mana Allah menghidupkan ikan itu.
Dalam pengembaraan mencari hamba shalih, Musa berjalan dengan seorang yang disebut
dalam al-Quran dengan istilah fata, pemuda (الفتي)—al-Maraghi menyebutkan pemuda itu
bernama Yusa’dalam riwayat hadis riwayat imam Bukhori disebutkan pemuda itu adalah Yusa’
bin Nun—menuju tempat bertemunya dua laut.3
Pakar tafsir Indonesia Quraish Shihab, menjelaskan makna fata tersebut, bahwa pada
1 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, Cet 3 1987) j. 4 h. 1757. Hadis no. 4450.
2 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih, 1946) J. 15 h. 175
3 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, j. 4 h. 1757.
mulanya fata digunakan untuk menyebutkan anak muda, lalu kata ini digunakan untuk menyebut
pembantu. Orang jahiliah menyebut pembantu dengan ’abd (عبد). Rasulullah melarang hal itu
dan mengganti dengan fata, menurut Quraish agaknya hal itu dilakukan karena seorang dalam
keadaan apa pun tak wajar diperbudak, sebaliknya tetap manusia tetap harus diperlakukan
dengan baik selayaknya manusia. Tau rasul menyebut hal itu lantaran ayat menyebutkan dengan
kata fata. Dengan demikian seorang yang menemani musa adalah orang yang selalu
membantunya dan barangkali dalam pandangan masyarakat ia adalah seorang hamba sahaya.4
Musa meminta kepada si pemuda agar memberitahu jika ikan itu hidup. Ketika keduanya
telah sampai di sebuah di tempat bertemunya dua laut. Nabi Musa berbaring di balik batu untuk
beristirahat karena perjalanan panjang yang membuatnya letih. Di tempat tersebut ikan itu
bergerak-gerak di dalam keranjang. Dengan kodrat Allah SWT ia hidup, melompat ke laut,
membuat jalan yang terlihat jelas. Maka airnya berbentuk seperti pusaran, dan Allah menahan
laju air dari ikan tersebut.
Al-Maragi menyebutkan, bagi Musa hidupnya ikan tersebut merupakan mukjizat. Ikan
mendapati jalannya. Sedangkan kisah yang menyebutkan bahwa air berbentuk jembatan tidaklah
wajib bagi kita untuk meyakininya kecuali ada nash qat’i yang menyebutkannya.5 Pendapat Ibnu
Asyur yang disebutkan dalam Tafsir al-Misbah juga menyebutkan bahwa ikan itu menghilang
menuju terowongan (saraban) dan Musa kemudian mengikuti jalan itu. Namun, pendapat ini
ditolak banyak ulama yang cenderung memahami pertemuan kedua tokoh itu di tempat
bertemunya dua pantai.6
QS Al-Kahfi ayat 62-64
4 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, cet II 2004) v. 8 h. 90.
5 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 175-176.
6 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 91.
Artinya, “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya:
"Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita
ini" (62).
“Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu
tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang
melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut
dengan cara yang aneh sekali" (63).
“Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak
mereka semula.” (64).
Pada hari setelah berjalan siang dan malam Musa merasa letih dan meminta makanannya
kepada pemuda. ”...Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena
perjalanan kita ini" (QS al-Kahfi [18]; 62)
Permintaan Musa untuk diambilkan makanannya, mengingatkan pemuda kepada ikan,
maka dia pun menyampaikan perkara ikan tersebut kepada Nabi Musa. Menurut al-Maraghi
makanan menjadi hikmah yang mengingatkan pemuda pada ikan.7 ”Muridnya berkata, "Tahukah
kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa
(menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya
kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." (QS al-
Kahfi [18]; 63)
Pada penuturan pemuda tentang perkara ikan, ia menyalahkan setan yang telah
melupakannya. Hal tersebut dikarenakan peristiwa yang dialaminya benar-benar ajaib.
Kata ‘ajaban (عجبا) sendiri ada yang memahaminya dengan keadaan tempat itu
mengherankan manakala ikan berjalan ke laut. Ada pula yang berpendapat keheranan pembantu
Musa, bagaimana ia bisa lupa untuk menyampaikan kisah ikan itu.8
Menimpali penjelasan pemuda itu, “Musa berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu
7 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 176.
8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 93.
keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (QS al-Kahfi : 64)
Al-Biqa’i sebagaimana dikutip oleh al-Maraghi, menyebutkan, bahwa jalan yang dilalui
oleh Musa adalah pasir, yang tidak bertanda. Jelasnya, Allah lebih mengatahui apakah tempat itu
pertemuan antara nail dan garam atau petunjuk dari kota misr (mesir). Dengan penegasan
tambahan, yaitu bertenggernya burung di perahunya.9
QS Al-Kahfi ayat 65
Artinya, “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Keduanya melewati tempat yang ditentukan, hingga kelelahan. Musa dan pemuda
berjalan berbalik menyusuri jejak semula yang telah mereka lalui, demi menuju ke batu tempat
mereka beristirahat. ”Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS al-Kahfi : 65)
Banyak ulama yang berpendapat bahwa kata ’abdan (عبدا), hamba dalam ayat ini adalah
Nabi Khidir. Quraish Shihab menjelaskan, penafsiran kata ’abdan beragam dan bersifat
irrasional. Khidir sendiri bermakna hijau. Nabi Saw bersabda, bahwa penamaan tersebut karena
suatu ketika ia duduk di bulu yang berwarna putih, tiba-tiba warnanya beerubah menjadi hijau
(HR. Bukhari melalui Abu Hurairah). Quraish menambahkan, agaknya penaman serta warna itu
sebagi simbol keberkatan yang menyertai hamba Allah yang istimewa itu.10
Tentang khidir al-Maragi telah menyebutkan dengan pendapat yang kuat. Khidir adalah
laqab untuk teman Musa yang bernama Balwan bin Mulkan. Sementara itu, kebanyakan ulama
berpendapat ia adalah seorang nabi. Pendapat itu didukung oleh beberapa dalil. Pertama, firman
Allah SWT, ” Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami” rahmat dalam potongan ayat ini
9 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 177.
10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 94.
adalah nubuwwah berdasarkan firman Allah yang berbunyi, “Apakah mereka membagikan
rahmat dari Tuhan-mu”
Kedua, firman Allah SWT, ” telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”
potongan ayat ini menunjukkan bahwa khidir telah diberi ilmu tanpa perantara dan petunjuk
tanpa seorang mursyil. Hal ini hanya didapati oleh para nabi.
Ketiga, Musa berbicara kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu” ayat ini menunjukkan bahwa Musa ingin belajar pada Khidir. Dan
nabi tidak belajar kecuali kepada nabi. Keempat, firman Allah, “dan bukanlah aku melakukannya
itu menurut kemauanku sendiri” maksudnya, aku mengerjakannya berdasarkan wahyu dari
Allah. Dan ini menunjukkan dalil nubuwwah.11
Dalam ayat ini pula, keterangan tentang Khidir bertambah. Yaitu, Khidir diberikan
rahmat dan ilmu. Terkait dua bekal yang diberikan kepada Khidir ini, para ulama kemudian
memberi tafsir tentang rahmat dan ilmu yang diberikan kepada Khidir.
Istilah 'indi dan ladun dinilai oleh Ibnu Asyur hanya sebagai penganekaragaman dan
tidak terulang dua kata yang sama dalam satu redaksi. Sementara itu, al-Biqai dan Thabathabai
tidak berpendapat demikian. Mengutip Abu Hasan al-Harrari pemakaian kata 'indi pada 'rahmat'
menunjukkan bahwa rahmat yang diberikan kepada Khidir adalah sesuatu yang jelas, nampak.
Dengan demikian, rahmat itu nampak dan jelas pada diri Khidir.
Sedangkan ilmu yang digandeng sebelumnya dengan kata ladun, menurut Abu Hasan
menunjukkan sesuatu yang tidak nampak. Yaitu, berupa ilmu bathin yang tersembunyi, yang
pasti hal tersebut adalah milik dan berada di sisi Allah semata-mata.
Thabathabai berpendapat serupa, namun tak sama. Thabathabai lebih jelas lagi, bahwa
nikmat Allah yang zahir dapat diperoleh dari beraneka ragam sebab. Sedang nikmat Allah yang
bathin tidak melalui satu sebab pun. hal ini seperti kenabian, kewalian. Dan dalam ayat ini
dengan kata 'indi, maka rahmat yang diberikan lebih khusus lagi, tanpa pihak lain dan bersifat
bathiniyyah dan pada hal ini kenabian. Namun tambahnya, penggunaan kata jamak 'indina,
menunjukkan ada kerja malaikat dalam penyampaian wahyu itu.
Sedangkan pemberian ilmu yang menggunakan kata ladun, menurut Thabathabai juga
bukan merupakan pemberian ilmu dengan cara biasa. Ini menunjukkan ilmu yang diberikan
11 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 172-173.
bukan ilmu kasby, namun ia adalah anugrah khusus bagi para auliya.12
QS Al-Kahfi ayat 66-68
Artinya, "Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
(66)
"Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama
aku." (67)
"Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (68).
Setelah pertemuan itu, komunikasi di antara Musa dan Khidir dilanjutkan. Diawali
dengan pertanyaan Nabi Musa dilontarkan kepada Nabi Khidir. Pertanyaan tersebut bukanlah
pertanyaan degan nada yang mewajibkan atau memaksa. Dan, contoh inilah yang menurut Ibnu
Katsir hendaknya pula diikuti oleh para pembelajar (murid) kepada pengajar (guru).13
Musa menanyakan kebolehan atau izin untuk mengikuti Khidir (atau menemaninya),
kemudian agar diperkenankan untuk diberikan suatu pelajaran yang telah Allah ajarkan. “Musa
berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu
yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (QS al-Kahfi : 67) Menurut
Ibnu Katsir, maksudnya, sudikah kiranya Engkau (khidir) menunjukiku dalam urusanku dari
ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.14
Quraish Shihab menambahkan, kata attabi’uka (أتبعك) yang di dalamnya terdapat
12 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 95-96.
13 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Riyad: Daaru Thaibah, Cet 2 1999), j. 5 h. 181.
14 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178.
penambahan huruf ta menunjukkan kesungguhan. Memang demikianlah seharusnya seorang
pelajar harus bertekad untuk bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian bahkan tenaganya,
terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Lanjut Quraish, bahwa permintaan Musa kepada Khidir untuk diajarkan dengan bahasa
yang sangat halus. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan Musa. “Bolehkah aku mengikutimu,”
selanjutnya beliau menamai pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan, yaitu beliau
menjadikan dirinya sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga menggarisbawahi kegunaan
pengajaran itu untuk dirinya pribadi yakni “untuk menjadi petunjuk” baginya. Pada sisi lain,
Nabi Musa juga menyebutkan bahwa Khidir adalah hamba saleh dengan keluasan ilmu. Dengan
begitu, Musa pula hanya meminta sebagian ilmu, “sebagian dari apa yang telah diajarkan
kepadanya”. Dan Nabi Musa juga tidak mengatakan, “apa yang engkau ketahui”. Karena, Nabi
Musa benar-benar menyadari bahwa segala ilmu bersumber dan pasti akan kembali kepada Allah
SWT.15
Pada sisi lain, Nabi Khidir juga memberi jawaban yang tidak kalah halusnya. Ia tidak
serta-merta menolak secara langsung permintaan Musa, melainkan memberinya jawaban dengan
penilaian bahwa Musa tidak akan sabar mengikutinya sambil menyertakan alasan yang logis dan
tidak menyinggung perasaan atas ketidaksabaranya itu.
Terkait jawaban Khidir, Ibnu Katsir menjelaskan, bahwasannya Maksud Khidir adalah,
engkau tidak akan tahan melihat apa yang akan aku perbuat, karena sangat kontra dengan syariat
yang engkau miliki. Dan lantaran aku berdasarkan ilmu yang Allah ajarkan kepadaku namun
tidak Allah ajakan kepadamu. Begitu sebaliknya, engkau telah Allah ajari ilmu yang tidak
dijarkan kepadaku. Oleh karena itu, kita memiliki perkara masing-masing. Maka sebab itu,
engkau tidak mampu untuk mengikutiku.16
Khidir pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia dalihkan. Dan
dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan kemaslahatan bathiniah yang Khidir
dapat telaah.17
Dalam konteks ini, Quraish menambahkan, bahwa ucapan hamba Allah, memberi isyarat
15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 98
16 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181.
17 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181.
bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberitahu kesulitan-
kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak
mempelajari sesuatu jika sang pendidik tahu bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan
bidang ilmu yang akan dipelajari.18
QS Al-Kahfi ayat 69-70
Artinya, “Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang
sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun". (69)
“Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". (70)
Musa menjawab Khidir dengan janji untuk bersabar dan tidak mengingkari dalam satu
urusan pun. Quraish Shihab menyebutkan, penyertaan janji dengan kata insya Allah (إنشاء اهللا),
memberikan kesan bahwa kesabaran Nabi Musa dikaitkan dengan kehendak Allah. Dengan
begitu, Nabi Musa tidak dapat dinilai berbohong dengan ketidaksabarannya itu, karena ia telah
berusaha. Namun itulah kehendak Allah yang bermaksud membuktikan adanya seorang yang
memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa AS.19
Lebih lanjut, Qurash menambahkan, apalagi dalam belajar, khususnya dalam
mempelajari hal-hal yang bersifat bathiniah/tasawuf. Ini lebih penting lagi bagi seorang yang
telah memiliki pengetahuan, karena boleh jadi pengetahuan dimilikinya tidak sejalan dengan
sikap atau apa yang diajarkan oleh sang guru.
Pada sisi lain, jawaban Khidir menurut al-Maraghi maksudnya adalah jangan engkau
meminta jawaban atas sesuatu yang engkau ingkari sampai aku menyebutkan kebenarannya.
18 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 99
19 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 100-101.
Karena sesungguhnya aku tidak melakukan sesuatu kecuali itu adalah hal yang benar dalam
urusanku meskipun secara jahir bertolak belakang. Sebagai adab pelajar kepada guru maka Musa
menerima syarat yang diberikan oleh Khidir.20
QS Al-Kahfi ayat 71-73
Artinya, “Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu
Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melubangi perahu itu akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang
besar.” (71)
“Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sabar bersama dengan aku". (72)
“Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".(73)
Maka keduanya berjalan di pantai menuju perahu, Khidir mengenalkan orang-orang yang
menaiki perahu kemudian membawa mereka tanpa imbalan. Sampai ketika keduanya—Musa
dan Khidir—telah menaiki perahu Khidir melubanginya ketika telah sampai di tengah-tengah
laut yang deras jelas al-Maraghi.21 Quraish meninjau dari sisi bahasa, bahwa kata idza (إذا) dalam
menunjukkan ketika dia naik perahu terjadi juga pelubangannya. Dan itu mengisyaratkan bahwa
sejak dini—sebelum menaiki perahu—mereka telah mengetahui apa yang terjadi jika tidak
20 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178.
21 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178.
melubanginya, serta pelubangan itu merupakan tekadnya sejak semula.22
Kata inthalaqa (إنطلق) dipahami dalam arti ‘berjalan dan berangkat dengan penuh
semangat’. Lalu, penggunaan bentuk dual dalam kata ini menunjukkan bahwa dalam perjalanan
hanya terdapat dua orang, yaitu hamba saleh dan Nabi Musa. Menurut Quraish Shihab ini
agaknya disebabkan karena maqam yakni derajat keilmuan dan ma’rifat pembantunya itu belum
sampai pada tingkat yang memungkinkannya ikut dalam pengembaraan ma’rifat itu.23
Atas pelubangan itu, Musa dengan kelengahannya menanyakan dan mengingkari apa
yang dilakukan oleh Khidir—Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang
besar.
Khidir kemudian mengulangi pernyataan sebelumnya, Bukankah aku telah berkata:
"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".
Lebih lanjut Musa meminta keringanan atas kelupaan dan kesulitannya dalam menjalani
perkaranya itu. Al-Maragi menjelaskan, bahwa Musa meminta agar Khidir tidak menyulitkannya
dalam perkara dan keikutsertaannya. Tetapi mudahkanlah dan menjauhkan perdebatan.24
Rupanya pemakaian kata imran (إمرا) dan ‘usra (عسرا) menurut Quraish Shihab mengindikasikan
betapa beratnya beban yang dipikul oleh Nabi Musa jika ternyata hamba Allah itu tidak
memaafkannya atau dengan kata lain tidak mengijinkannya untuk belajar dan mengikutinya.
QS Al-Kahfi ayat 74-75
Artinya, “Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan
seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa
22 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 102-103.
23 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 102.
24 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan
suatu yang mungkar". (74)
“Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu
tidak akan dapat sabar bersamaku?" (75).
Hamba saleh itu memberikan maaf dan keduanya meneruskan perjalanan. Kali ini,
setelah selamat dari tenggelam mereka turun dari perahu, berjalan di pantai kemudian Khidir
melihat seorang anak remaja belum dewasa yang bermain maka serta merta ia membunuhnya.
Al-Quran tidak menyebutkan bagaimana Khidir membunuh anak itu, jelas al-Maraghi.25
Melihat hal itu, Musa dengan penuh kesadaran, sebagaimana yang dikutip Quraish dari
Sayyid Qutub, musa tidak lupa lagi tapi dia benar-benar sadar lantaran besarnya peristiwa itu.26
Musa berkata kepada Khidir, Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia
membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar. al-Maraghi
menjelaskan, bantahan Musa karena remaja yang dimaksud adalah remaja yang bersih dari dosa
tanpa membunuh yang diharamkan? Dalam hal ini pembunuhan dikhususkan bukan karena
kekafiran setelah iman, zina setelah menikah karena itulah yang nampak pada peristiwa
tersebut.27
Penentangan Musa kepada Khidir pada hal ini ditunjukkan dengan lebih tegas. Kata yang
dipakai untuk menunjukkan hal itu adalah nukran (نكرا), kemungkaran yang besar. Jika dalam hal
menenggelamkan perahu masih mengindikasikan kemungkinan antara tenggelam dan tidak.
Namun pembunuhan seorang anak benar-benar jelas dan pasti. Pembunahan inilah yang menurut
Musa irasional dan telah mengahilangkan jiwa.
Di sisi lain, peneguran kedua kalinya hamba saleh juga disertai penekanan. Ini nampak
pada penggunaan kata laka(لك), kepadamu. Adapun jika kita perhatikan peneguran hamba saleh
yang pertama tidak disertai kata laka. Hal ini menegaskan banwa kata itu memiliki daya tekan
tersendiri. Demikian jelas para al-Maraghi dan Quraish Shihab.
25 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
26 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 104.
27 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
QS Al-Kahfi ayat 76-77
Artinya, “Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali)
ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup
memberikan uzur padaku". (76)
“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu
negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau
menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu". (77)
Pada ayat 76 Musa menyadari akan perbuatannya yang telah melakukan dua kesalahan.
Namun tekadnya yang kuat untuk meraih ma’rifat mendorongnya memohon untuk diberi
kesempatan terakhir. Musa AS berkata, jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
(kali) ini, maksudnya, jika aku menanyakan kepadamu tentang perbuatan-perbuatan asing yang
aku saksikan serta aku meminta penjelasan hikmahnya darimu, maka janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.
Pernyataan Musa kali ini benar-benar menunjukkan penyesalan yang amat karena terdesak oleh
keadaan.
Diriwayatkan dalam hadis yang shahih, Nabi Saw bersabda, Rahmat Allah menyertai kita
dan Musa, jika ia bersabar atas temannya untuk melihat kejadian yang aneh. Namun ia
memberikan celaan kepada temannya.
Permintaan Musa untuk kali masih dikabulkan oleh hamba saleh itu. Maka setelah peristiwa
pembunuhan itu, keduanya berjalan sampai bertemu dengan sebuah kampung, mereka meminta
makanan, namun penduduk kampung itu enggan untuk menjamu mereka.
Dalam sebuah hadis disebutkan, “mereka, penduduk negeri itu adalah orang-orang tercela
lagi pelit”. Adapun penjelasan, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, dengan
tidak menyebutkan ‘tidak mau memberi makan’ menambahkan kehinaan mereka dan mensifati
mereka dengan kerendahan serta kebahilan. Sebab, seorang yang mulia tentu hanya menolak
seorang yang meminta diberi makanan, bukan menghinanya. Sebaliknya orang yang mulia tidak
akan mengusir tamu asing. Tandas al-Maraghi.28
Diriwayatkan dari Qatadah, “seburuk-buruknya kampung adalah kampung yang tidak
disinggahi dan tidak memberikan ibnu sabil haknya.”
Pada posisi yang senada, Qurais Shihab menyebutkan, penyebutan penduduk negeri pada
ayat 77 menunjukkan betapa buruknya penduduk negeri itu lantaran pada ayat-ayat lain al-Quran
hanya menyebutkan negeri untuk menunjuk penduduknya. Lebih-lebih, permintaan Musa dan
Khidir bukanlah permintaan sekunder melainkan makanan untuk dimakan.29
Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh,
Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Dan hal inilah yang merupakan mukjizatnya.
Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. Sebenarnya,
perkataan Musa ini hanyalah masukan dan saran kepada Khidir karena dia mengetahui keperluan
yang mereka butuhkan seprti makan, minum, dan lainnya untuk hidup.
QS Al-Kahfi ayat 78
Artinya, “Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan
kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.” (78)
Pada bagian ini, Musa telah melakukan pelanggaran untuk yang ketiga kalinya. Khidir
berkata pada Musa inilah pengingkaran berturut yang ketiga kalinya darimu yang menjadi sebab
28 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 5.
29 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 106.
perpisahan antara aku denganmu sebagaimana yang telah aku syaratkan. Adapun dua
pengingkaranmu yang pertama terdapat udzur di dalamnya, namun tidak untuk hal ini. Kelak
akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. Maksudnya, Khidir nanti akan memberitahukan akibat dari perbuatan-
perbuatannya.
Takwil sendiri bermakna kembali yang berasal dari kata aala-yauulu-aulan ( اوال-یأول-ال ).
Al-Quran menggunakan istilah ini dalam arti makna dan penjelasan, atau substansi sesuatu yang
merupakan hakikatnya atau tiba masa sesuatu. Dalam konteks ini, makna yang kedua dapat
menjadi makna yang benar untuk kata tersebut di sini, jelas Quraish Shihab.30
QS Al-Kahfi ayat 79-82
Artinya, “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di
laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera.” (79)
“Dan Adapun anak muda itu, Maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin,
dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan
kekafiran. (80)
30 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 107.
“Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak
lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya).” (81)
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang
yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya
dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan
yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".(82)
Keempat ayat ini adalah penjelasan dari perbuatan-perbuatan Khidir yang aneh dalam
pandangan Musa. Ayat 79 menjelaskan tentang mengapa ia melubangi perahu. Khidir
menjelaskan, Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut,
mereka orang-orang miskin yang tak mampu untuk membela diri dari kezaliman. Padahal
mereka telah bekerja sekuat tenaga. dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di
hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Hal ini dilakukan oleh
Khidir karena merupakan kebiasaan raja itu, untuk merebut secara paksa setiap perahu yang
masih baik dan layak tegas al-Maraghi.31
Pada kejadian ini, Quraish menyimpulkan, seakan-akan Hamba Saleh itu berkata,
“dengan demikian apa yang kubocorkan itu bukanlah tujuan menenggelamkan penumpangnya,
tetapi justru menjadi sebab terpeliharanya hak-hak orang miskin.” Memang melakukan
kemudharatan yang kecil dibenarkan untuk menghilangkan kemudharatan yang lebih besar.32
Kemudian, ayat ke 80-81 menjelaskan tentang mengapa Khidir membunuh anak yang
menurut pandangan Musa adalah seorang anak yang suci dari dosa. Namun berbeda dengan apa
yang diketahui oleh Khidir dan penyikapannya, Khidir mengetahui bahwa anak itu adalah anak
yang kafir sedang kedua orang tuanya adalah orang mukmin. Kekhawatiran Khidir jika kelak
anak itu menjadi penyebab kekafiran kedua orang tuanya lantaran kecintaan mereka terhadap
anak itu, membuat Khidir membunuh anak itu.
31 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8.
32 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 107.
Kata khasyah (خشیة), pada mulanya bermakna takut. Tapi, kata kami yang menjadi pelaku
ayat ini menunjuk kepada hamba Allah bersama Allah SWT. Tentu tidak tepat, karena Allah
tidak mungkin takut. Oleh karenanya, Quraish menambahkan kami takut ‘bahkan tahu’ dalam
mengartikan kata ini. Sementara itu ada juga yang memaknainya secara majazi, yaitu ‘kami iba
dan penuh rahmat kepadanya’.
Di sisi ini, sang anak adalah anak yang kedurhakaannya luar biasa. Hal ini terlihat dari
penggunaan kata thugyanan (طغیانا). Banyak ulama yang memahami pelaku kedurhakaan dan
kekufuran yang dikhawatirkan adalah kedua orang tua anak ini. Dan ada juga yang memahami
pelakunya adalah anak itu, papar Quraish Shihab.33
Al-Maraghi mengutip pendapat Qatadah bahwa, “kala melahirkan anak itu kedua orang
tuanya bahagia dan bersedih ketika mendapati anaknya dibunuh, padahal jika anak itu tetap
hidup kelak akan mencelakakan keduanya. Maka itu, seorang hendaknya menerima ketentuan
Allah SWT. Ketentuan Allah yang tidak disukai sejatinya lebih baik daripada sesuatu yang
disukai.34 Dalam sebuah hadis disebutkan, “Allah jika mengehndaki suatu ketentuan kepada
seorang mukmin, kecuali itulah yang terbaik untuknya.” dalam al-Quran Allah berfirman,
“Sekali-kali engkau akan membenci sesuatu padahal itu lebih baik bagimu (QS al-Baqarah [2];
216).”
Sementara itu, maksud Khidir lainnya adalah supaya Tuhan mereka mengganti bagi
mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih
sayangnya.
Ayat ke 82 ini adalah ayat penutup prihal kisah Musa dan Khidir. Ayat ini menjelaskan
tentang perbuatan Khidir pada sebuah negeri yang dihuni oleh penduduk tercela lagi bakhil,
namun ia menegakkan dinding pada sebuah bangunan tanpa imbalan. Tujuan Khidir tak lain
adalah karena ia mengetahui bahwa dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya
adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.
Kata madinah pada keterangan ayat yang menjelaskan penegakan dinding agaknya
33 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 108.
34 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8.
disebabkan karena di celah kata qaryah (قریة) terdapat kecaman terhadap penduduknya yang
enggan menjamu itu, sementara pada ayat itu ada pujian terhadap orang tua kedua anak yatim
itu.
Pernyataan Khidir ini kemudian ditutup dengan penjelasan yang lugas dan tepat. Yaitu
bahwa apa yang dilakukannya mulai dari menenggelamkan perahu hingga menegakkan sebuah
dinding adalah bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah
tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
BAB IV
PROSES PEMBELAJARAN MUSA DAN KHIDIR
A. Sumber Ilmu dan Motivasi Mencari Ilmu
1. Sumber Ilmu
Perjalanan Nabi Musa AS. Mencari guru sebagaimana yang diriwayatkan
dalam sebuah hadis tentang kisah Musa “Ibnu Abbas mendengar Ubai bin Kaab
berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, Musa berdiri khutbah di
hadapan Bani Israil, kemudian ia ditanya, “Siapa Manusia yang paling pintar?”
Musa menjawab, “Saya”. (Atas jawaban itu) Allah SWT mencela Musa yang
tidak mengembalikan ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada
Musa bahwasannya seorang hamba-Ku berada di tempat bertemunya dua laut dia
lebih pintar daripadamu. Kemudian Musa bertanya, “Bagaimana aku dapat
bertemu dengannya?” Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan lalu tempatkan ia
di wadah. Maka, dimana engkau kehilangan ikan itu, di sanalah dia. (HR
Bukhori)1
Pada hadis di atas, terang bahwa Musa tidak mengembalikan ilmu kepada
Allah, merasa diri paling pintar. Hal ini yang menjadi sebab ia diperintahkan
untuk belajar kembai kepada hamba shaleh. Berdasar hal itu, seorang peserta didik
harus menyadari bahwa sumber ilmu adalah Allah SWT.
Syed Naquib al-Attas menyebutkan, bahwa semua tindakan dalam Islam
harus diniati dengan niat yang disadari. Ini sebagaimana hadis yang berbunyi, 1 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, Cet 3 1987) j. 4 h. 1757. Hadis no. 4450.
“perbuatan seorang itu berdasar niatnya” “dan Allah akan memberi pahala sesuai
niatnya. Di samping itu prinsip dasar perbuatan tersebut diiringi pula dengan sifat
keikhasan, kejujuran, dan kesabaran.
Abu Sa’id al-Kharaz, seorang sufi kenamaaan abad 9 M, sebagaimana
dinukil oleh Syed Nuquib memaparkan, bahwa salah satu prinsip etika adalah
keikhlasan di samping kebenaran dan kesabaran.
Pada hal ini, menurut Syed Naquib al-Attas, peserta didik harus mengenal
prinsip ini sejak dini dan harus mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari
sehingga kualitas keimanannya akan menjadi lebih kuat dan lebih kukuh, di
samping amal perbuatannya yang lurus dan ikhlas.2
Senada dengan itu, Nashir Al-Din Al-Thusi dalam tesisnya mengenai adab
peserta didik, sebagaimana dinukil pula oleh Syed Nuquib, bahwa penting bagi
peserta didik untuk mencari ridha Allah SWT.3
2. Motivasi Mencari Ilmu
Perintah menuntut ilmu dalam Islam diwajibkan. Perintah ini sebagaimana
termaktub dalam al-Quran dan hadis. Dalam al-Quran seperti ayat yang berbunyi,
“qul hal yastawilladzina ya’amuuna walladzina laa ya’lamuun” (katakanlah:
tidaklah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui).4
Dalam hadis disebutkan, “thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa
muslimatin” (menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat). Bahkan
dalam syiir yang populer “Uthubul ilma minal mahdi ila lahdi” (tuntutlah ilmu
sejak buaian hingga liang lahad). Atau “Uthlubul ilma wa lau bishshin” (tuntutah
ilmu sampai negeri Cina”. ‘
Spirit menuntut ilmu inilah yang juga diperlihatkan dalam proses
pembelajaran Musa dan Khidir. Dalam hal ini Musa setelah mendapat wahyu
untuk menemui hamba shaleh. Ia bertekad untuk menimba ilmu darinya. Quraish
2 M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, cet I 2003) h. 256.
3 M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-
Attas,...h. 258. 4 QS Az-Zumar [39]; 9.
Shihab menyebutkan, kata huquban ( حقبأ( yang menunjukkan waktu yang lama
ada yang berpendapat setahun, tujuh puluh tahun, atau delapan puluh tahun,
bahkan sepanjang masa.
Motivasi Musa begitu jelas, menurut al-Maraghi, Musa tertantang untuk
menemui hamba shalih itu, meski menguras tenaga, bersusah payah dan
menempuh perjalanan yang panjang.5 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT,
”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan
sampai bertahun-tahun." (QS al-Kahfi [18]; 60).
Pada usaha mencari sumber pembelajaran dan guru yang profesional,
seorang siswa dituntut untuk memiliki semangat dan motivasi yang kuat untuk
menuntut ilmu, karena motivasi berperan sebagai daya gerak seseorang untuk
melakukan kegiatan pembelajaran.
Dalam kegiatan pembelajaran maka motivasi dapat dikatakan sebagai
keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan
belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan
arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki subjek belajar dapat
tercapai.6 Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat
dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan,
menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan
tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab
seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan
aktivitas belajar.7
Dengan motivasi yang kuat dalam diri Nabi Musa AS, untuk mencari guru
5 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Maktabah Mustafa al-Babi al-
Halabi wa Awladih, 1946) J. 15 h. 175. 6 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cet-IX,
2001), h. 73. 7 Thursan Hakim, Balajar Secara Efektif, (Jakarta: Niaga Swadaya, 2009). h. 6
yang lebih ahli mendorongnya untuk melakukan perjalanan dalam mencari ilmu
dari sumbernya langsung. Yang dalam dunia pendidikan hal ini dikenal dengan
rihlah ilmiah, perjalanan intelektual. Imam Syafi’i menyebutkan dalam kitab
Diwan Imam Syafi’i, dalam bab qafiyah nuun (syi’ir yang berakhiran huruf nun)
enam syarat yang harus dipenuhi agar bisa mendapatkan ilmu, yaitu kecerdasan,
semangat, sabar dan harta (dalam hal ini biaya), petunjuk (bimbingan) guru dan
dalam tempo waktu yang lama. Motivasi yang tinggi telah mendorong Imam Ibn Mandah untuk mengelilingi
timur dan barat sebanyak dua kali. Beliau melakukan perjalanan menuntut ilmu dalam
jangka waktu yang lama. Imam Ibn Mandah pergi menuntut ilmu ketika berumur 20
tahun dan kembali ketika berumur 65 tahun. Lama perjalanan menuntut ilmu beliau
selama 45 tahun. Imam Ibn Mandah kembali ke negerinya setelah tua dan dia baru
menikah ketika berumur 65 tahun. Kecintaan para ulama pada ilmu syar’I meyebabkan
mereka rela untuk lelah berjalan, menahan lapar dan dahaga.8
Mempelajari perjuangan para ulama dalam menuntut ilmu akan
menyalakan semangat yang padam kembali membara. Perjuangan mereka yang
tak kenal lelah dan segala keterbatasan mereka baik moril maupun materil dalam
menuntut ilmu telah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mulia dari
kalangan kaum Muslimin hingga saat ini. Para ulama salaf telah memberikan
contoh yang baik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam
menuntut ilmu, meraihnya serta merindukannya. Mereka mengembara keluar dari
negerinya dengan membawa bekal seadanya dan meninggalkan kenikmatan
berkumpul bersama keluarga untuk berburu ilmu pada para ulama tanpa mengenal
batas dimensi ruang dan waktu.9
Selain itu, kata-kata nabi Musa As: “Aku tidak akan berhenti (berjalan)
sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun.” Memiliki pelajaran. Keteguhan Nabi Musa untuk menambah
8 Syaikh Muhammad Ibn Shaleh Al-Utsaimin, Panduan Lengkap menuntut ilmu (Pustaka
Ibn Katsir), h.102 . 9 Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih alu Abdillah, Kiat Agar Semangat Belajar
Membara (Terj), (Beirut: Daar An-Naba), 52.
ilmu demi keselamatan dunia akhirat. Oleh karena itu, beliau mencari orang yang
dapat mengobati kehausannya akan ilmu. Hal ini mengajarkan kepada kita, bahwa
orang yang ingin mendapatkan ilmu haruslah keluar dari tempatnya dan mencari
dimana sang guru berada dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, Nabi Musa rela
melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk menuntut ilmu dan merasakan
keletihan. Beliau lebih suka meninggalkan Bani Israil agar nantinya dapat
mengajar dan membimbing mereka, dan memilih berangkat mencari tambahan
ilmu.10
Sampai di sini motivasi yang dimiliki Musa masing amat tinggi, hingga ia
tak kenal menyerah untuk mencari sumber ilmu yang Allah wahyukan. Dalam
bahasan motivasi, maka Musa telah merasuk padanya motivasi intrinsik maupun
ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau
berfungsinya tidak perlu diransang dari luar, karena dalam diri individu telah ada
dorongan mencari sesuatu. Sedang motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang
aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.11 Dan semestinya
setiap siswa memiliki kedua macam motivasi ini.
B. Bertemu Guru yang Tepat
Dalam dunia pendidikan guru memiliki peranan yang sangat penting pada
kegiatan pembelajaran. Guru sebagai fasilitator, koordinator, transformator,
bahkan agent of change dan pengelola lalu lintas jalannya pembelajaran yang
aktif, kreatif, serta produktif, merupakan faktor penting yang tidak dapat di
pandang sebelah mata. Pembelajaran akan baik jika disampaikan oleh guru yang
baik, guru yang memiliki standar kompetensi. Adapun sebagaimana maklum
Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu kompetensi pedagogik,
kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian.
Pada proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai
pen-transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk
10 Soraya Haque, Jejak-Jejak Perjalanan Jiwa, (Bandung: Mizan Publika, 2009), h. 74 11 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar,... h. 87-88.
menanamkan nilai (value), serta berfungsi untuk menanamkan karakter (character
building) secara berkelanjutan.
Dalam terminologi Islam, guru diistilahkan dengan murabby, satu akar
dengan rabb yang berarti Tuhan. Jadi, fungsi dan peran guru dalam sistem
pendidikan merupakan salah satu manifestasi dari sifat ketuhanan.12 Jika
demikian, benarlah bahwa tugas guru merupakan tugas yang amat mulia, bukan
hanya mulia di sisi manusia lainnya namun juga mulia di sisi Allah Swt.
Pada konteks itu, pembelajaran Musa kepada Khidir merupakan
pembelajaran yang tepat. Pertama, karena Khidir adalah guru yang Allah pilih dan
rekomendasikan secara langsung sebagaimana yang disebutkan pada hadis di atas.
Menurut kebanyakan ulama berpendapat ia adalah seorang nabi.13 Kedua, lantaran
Khidir adalah nabi yang Allah berikan padanya rahmat yang tampak pada dirinya
dan ilmu yang istimewa. Yaitu ilmu yang diberikan bukan ilmu kasby, namun ia
adalah anugrah khusus bagi para auliya.14
Sepadan dengan hal tersebut, peserta didik disarankan untuk tidak tergesa-
gesa belajar pada sembarang guru. Sebaliknya peserta didik harus meluangkan
waktu untuk mencari siapakah guru terbaik, demikian papar Syed Nuquib. Al-
Gazali mengingatkan, meski demikian peserta didik untuk tidak bersikap
sombong. Tetapi harus memperhatikan mereka yang mampu membantunya dalam
mencapai kebijaksanaan, kesuksesan, dan kebahagiaan serta tidak hanya
berdasarkan mereka yang masyhur dan terkenal.15
Prof. Dr. Imam Suprayogo, rektor UIN Malang, dalam catatannya
menuliskan, tidak saja calon murid yang seharusnya dipilih, tetapi mestinya guru
juga perlu diseksi. Setiap tahun, lembaga pendidikan menyeleksi para calon
murid. Lembaga pendidikan memilih calon murid di antara sekian banyak yang 12 Asrarun Ni’am Shaleh, Membangun Profesionalitas Guru, (Jakarta: Elsas, 2006), hal 3.
13 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 172-173.
14 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 95-96.
15 M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas,...h. 260-261.
kemampuanannya lebih baik. Tentu hal ini dilakukan oleh lembaga pendidikan
yang peminatnya berlebih. Jika peminatnya kurang, tentu seleksi yang dilakukan
tidak serius, sebatas bersifat formal.
Sama dengan yang dilakukan oleh guru atau lembaga pendidikan,
mestinya calon murid juga melakukan pemilihan terhadap orang yang akan
dijadikan guru. Sebab kualitas guru ternyata juga bermacam-macam. Ada guru
yang hebat, artinya berkualitas tinggi, tetapi ada pula guru yang kemampuannya
terbatas. Calon murid mestinya juga memilih lembaga pendidikan yang memiliki
tenaga guru yang hebat-hebat.16
Adapun guru yang baik menurut Al-Mawardi, sebagaimana yang dikutip
Abuddin Nata, adalah guru yang tawadhu (rendah hati), menjauhi sikap ujub
(besar kepala) dan memiliki rasa ikhlas. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya
seorang guru harus dilandasi dengan kecintaan terhadap tugasnya sebagai guru,
kecintaan ini akan benar-benar tumbuh dan berkembang apabila keagungan,
keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat dihayati.17
Khidir sendiri telah menunjukkan sikap itu pada pengajarannya kepada
Musa. Salah satu gambaran itu dapat dilihat dari tutur katanya kepada Musa.
)68 (خبرا به تحط لم ما على تصبر وكيف) 67 (صبرا معي تستطيع لن إنك قال
"Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersama aku." (67)
"Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (68).
Menurut Quraish Shihab, jawaban Nabi Khidir ini adalah jawaban yang
tidak kalah halusnya dengan pertanyaan Musa. Ia tidak serta-merta menolak
secara langsung permintaan Musa, melainkan memberinya jawaban dengan
penilaian bahwa Musa tidak akan sabar mengikutinya sambil menyertakan alasan
16 http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel. memilih-guru-.html diakses tanggal 30
November 2010. 17 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h.
50.
yang logis dan tidak menyinggung perasaan atas ketidaksabaranya itu.18
Guru adalah orang yang mengajarkan kita dengan berbagai-bagai ilmu
pengetahuan dan mendidik kita menjadi orang yang berguna pada masa akan
datang. Walau bagaimana tingginya pangkat atau kedudukan seseorang itu mereka
adalah bekas seorang pelajar yang tetap terhutang budi kepada gurunya yang
pernah mendidiknya pada masa dahulu.19
Karena pendidik adalah orang yang telah berjasa, maka sebagai siswa,
seharusnya selalu mendoakan kebaikan sang pendidik. Nabi Saw. bersabda:
”Siapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah kebaikannya. Apabila
kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas budi kepadanya, maka doakanlah
(memohon kebaikan) untuknya sehingga kalian berpendapat telah membalas budinya”20
Oleh karena itu Islam mengajar kita supaya menghormati guru dan
memuliakannya sebagaimana kita memuliakan ibu bapa kita.kerana merekalah
menyampaikan ilmu kepada kita untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dalam kisah ini diterangkan kepada kita agar mempunyai adab sopan
santun dan bersikap lemah lembut terhadap guru atau pendidik sebagaimana
dicontohkan oleh Nabi Musa. Firman Allah:
لى أن تعلمن مما علمت رشداھل أتبعك ع
“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-
ilmu yg telah diajarkan kepadamu?”
Ayat itu disebutkan cara Nabi Musa mengeluarkan tutur kata yang sangat
santun dan seakan-akan sedang meminta pendapat. Seakan-akan beliau
menyebutkan: “Apakah engkau bersedia memberi ijin kepada saya atau tidak?” Di
18 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 98. 19 http://mgcmpi.wordpress.com/bahan-kerohanian/adab-menghormati-guru/ didownload,
Jumat, 3 Desember 2010. 20 HR.Ahmad 2/68,Abu Daud1672,Nasa`i 5/82,Bukhari dalam buku Al-Adab Al-Mufrad
216, Ibnu Hibban 3408, AlHakim 1/412 dan 2/13, At-Thayalisi 1895 dan selain mereka dari hadist Abdullahbin Umar bin Khattab radhiallohu `anhuma).
sini beliau tampakkan sangat butuh untuk berguru. Beliau belajar dari Khidir dan
mempunyai keinginan besar untuk mendapatkan ilmu yg ada pada gurunya.
C. Strategi Pembelajaran Musa dan Khidir
Guna menciptakan pembelajaran yang efektif, maka guru hendaknya
menentukan terlebih dahulu strategi pembelajaran yang akan di terapkan di
lapangan. Strategi pembelajaran sendiri adalah suatu garis-garis besar halauan
untuk bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Jika dihubungkan
dengan belajar mengajar adalah pola-pola umum kegiatan guru anak didik dalam
perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah
digariskan.21
Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal
berikut:22
1. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi perubahan tingkah laku dan
kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.
2. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan
pandangan hidup masyarakat.
3. Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan tehnik belajar mengajar
yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan
oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta
standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam
melakukan evaluasi.
Di sisi yang sama, strategi pembelajaran pada Musa dan Khidir dapat
dilihat pada dua sisi.
21 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar mengajar, (Jakarta: Rieneka
Cipta, Cet 3 2006. h. 5. 22 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar mengajar,... h. 5-6
Pertama, pengajuan Musa untuk menimba ilmu kepada Khidir. Pengajuan
ini merupakan bentuk etika seorang murid, yaitu sebelum belajar hendaknya
meminta izin kepada sang guru terlebih dahulu.
)66(قال لھ موسى ھل أتبعك على أن تعلمن مما علمت رشدا
"Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?" (66)
Ibnu Katsir menjelaskan, pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan degan
nada yang mewajibkan atau memaksa. Dan, contoh inilah yang menurut Ibnu
Katsir hendaknya pula diikuti oleh para pembelajar (murid) kepada pengajar
(guru).23
Selain itu, Quraish Shihab menambahkan, kata attabi’uka (أتبعك) yang di
dalamnya terdapat penambahan huruf ta menunjukkan kesungguhan. Memang
demikianlah seharusnya seorang pelajar harus bertekad untuk bersungguh-
sungguh mencurahkan perhatian bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan
dipelajarinya.
Kedua, Khidir memberikan syarat pembelajaran kepada Musa. Khidir
sebagai guru Musa menetapkan strategi pembelajaran. Sebagai guru yang
mengetahui maka terlebih dahulu memberikan penilaian kepada muridnya. Khidir
pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia dalihkan. Dan
dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan kemaslahatan
bathiniah yang Khidir dapat telaah.24
Sementara itu, pertimbangan yang dilakukan Khidir dalam memilih
strategi pembelajaran untuk mencapai pembelajaran yang efektif dan efisien
adalah pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai,
pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran, dan
pertimbangan dari sudut siswa.25
23 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Riyad: Daaru Thaibah, Cet 2 1999), j. 5 h. 181.
24 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181. 25 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Beroroentasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Prenada Media Group, Cet 6 2009). h. 130.
Guru harus menjelaskan kepada murid persyaratan atau tata-tertib sebelum
memulai proses pembelajarn. Ini ditunjukan oleh ayat ke 70 . Khidir memberikan
syarat kepada Musa, yaitu jangan bertanya hingga khidir sendiri yang
menjelaskannya.
Dalam konteks ini, sebagaimana yang diungkapkan Quraish Shihab,
bahwa ucapan hamba Allah, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya
menuntun anak didiknya dan memberitahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi
dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu
jika sang pendidik tahu bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang
ilmu yang akan dipelajari.26
Dalam berinteraksi dengan sesama manusia seorang guru tidak boleh
membebani mereka siswa dengan sesuatu yg mereka tidak mampu
melakukanuntuk dilakukan karena akan sangat memberatkan atau bahkan
menghancurkan mereka. Kalau ini terjadi tentu akan menjadi pemicu bagi mereka
untuk malas belajar. Bahkan hendaknya seorang guru mempunyai sikap suka
memudahkan.
D. Proses Pembelajaran Musa dan Khidir
Proses berasal dari bahasa latin, processus yang berarti berjalan ke depan.
Kata ini memiliki makna konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah
pada suatu sasaran atau tujuan. Dalam psikologi belajar, proses berarti cara-cara
atau langkah-langkah khusus yang dengannya beberapa perubahan ditimbulkan
hingga tercapainya hasil-hasil tertentu (Reber, 1988).
Dalam kisah ini diterangkan bahwa ilmu yang diajarkan kepada para
hamba-Nya ada dua jenis:
Pertama, Ilmu yg diusahakan yg dapat difahami oleh seseorang dgn
mempelajari dan bersungguh-sungguh mendapatkannya.
Kedua, Ilmu yg berupa ilham laduni sebagai hadiah yg dianugerahkan
Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan dalil:
26 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 99
وعلمناه من لدنا علما
“Dan telah Kami ajarkan kepada ilmu dari sisi Kami.”
Dijelaskan dalam kisah ini bahwa ilmu yg bermanfaat adalah ilmu yg
membimbing pemilik kepada kebaikan. Demikian pula hal ilmu-ilmu yg
mengandung bimbingan dan hidayah atau petunjuk menuju jalan kebaikan dan
mengingatkan agar menjauhi jalan yang buruk. Boleh jadi hanya akan
menimbulkan madharat atau tidak berguna sama sekali. Inilah yg diisyaratkan
dalam ayat
أن تعلمن مما علمت رشدا
Adapun proses belajar sendiri adalah tahapan perubahan prilaku kognitif, afektif,
dan psikomotorik yang terjadi dalam diri siswa. Tentunya, perubahan yang terjadi
adalah perubahan ke arah posistif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju
daripada keadaan sebelumnya.27
Menurut Jerome S. Burner, salah seorang penentang teori S-R Bond
(Barlow, 1985), dalam proses pembelajaran siswa menempuh tiga episode atau
fase:28
1. Fase informasi (tahap penerimaan materi)
2. Fase transformasi (tahap pengubahan materi)
3. Fase evaluasi (tahap penerimaan materi)
Peroses pembelajaran Musa dan Khidir dapat dilihat dari tiga bagian penting
perbuatan-perbuatan Khidir yang aneh dipandangan manusia biasa, bahkan
Musa sekalipun.
Pertama, pembelajaran khusus Musa dan Khidir—karena hanya mereka
berdua yang melakukan perjalanan ilmiah itu, Menurut Quraish Shihab ini
agaknya disebabkan karena maqam yakni derajat keilmuan dan ma’rifat
pembantunya itu belum sampai pada tingkat yang memungkinkannya ikut dalam
27 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Edisi Revisi, cet 14 2008) h. 113. 28 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h.113-114.
pengembaraan ma’rifat itu29--merupakan perjalanan yang dengan penuh
semangat.
Pembelajaran pertama Khidir adalah berbentuk demonstrasi. Metode
demonstrasi sendiri adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang,
kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung
maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok
bahasan atau materi yang sedang disajikan.30 Metode demonstrasi adalah salah
satu tehnik mengajar yang dilakukan oleh seorang guru atau orang lain yang
dengan sengaja diminta atau siswa sendiri ditunjuk untuk memperlihatkan kepada
kelas tentang suatu proses atau cara melakukan sesuatu.31 Dalam hal ini Khidir
melubangi perahu yang dinaikinya bersama Khidir, yang di dalamnya juga
terdapat banyak orang yang merupakan pekerja di laut.
Di sini manfaat psikologis pedagogis dari metode demonstrasi terlihat jelas
yang di antaranya adalah
a. Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan .
b. Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari.
c. Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam
diri siswa
Selain itu, kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut:
a. Membantu anak didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atu
kerja suatu benda.
b. Memudahkan berbagai jenis penjelasan.
c. Kesalahan-kesalahan yeng terjadi dari hasil ceramah dapat diperbaiki
melaui pengamatan dan contoh konkret, drngan menghadirkan obyek
sebenarnya
Di lain sisi, Kelemahan metode demonstrasi sebagai berikut:
29 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 102. 30 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h. 208. 31 M. Basyirudin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakata: Ciputat Pers,
2002) h. 45.
a. Anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan
dipertunjukkan.
b. Tidak semua benda dapat didemonstrasikan.
c. Sukar dimengerti bila didemonstrasikan oleh guru yang kurang
menguasai apa yang didemonstrasikan
Pada bagian ini, metode pembelajaran antara Musa dan Khidir
berkembang menjadi metode tanya jawab. Dalam hal ini Musa dengan
kelengahannya menanyakan dan mengingkari apa yang dilakukan oleh Khidir—
Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan
penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang
besar.
Khidir kemudian mengulangi pernyataan sebelumnya, Bukankah aku telah
berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".
Lebih lanjut Musa meminta keringanan atas kelupaan dan kesulitannya
dalam menjalani perkaranya itu. Al-Maragi menjelaskan, bahwa Musa meminta
agar Khidir tidak menyulitkannya dalam perkara dan keikutsertaannya. Tetapi
mudahkanlah dan menjauhkan perdebatan.32 Rupanya pemakaian kata imran
menurut Quraish Shihab mengindikasikan betapa beratnya (عسرا) dan ‘usra (إمرا)
beban yang dipikul oleh Nabi Musa jika ternyata hamba Allah itu tidak
memaafkannya atau dengan kata lain tidak mengijinkannya untuk belajar dan
mengikutinya.
Kedua, setelah Musa meminta keringanan kepada Khidir atas kelalaian
dengan syarat yang telah diberikan pada awal kontrak pembelajaran. Hamba saleh
itu masih memberi toleransi dengan memberikan maaf dan keduanya meneruskan
perjalanan.
Kali ini metode yang digunakan masih menggunakan metode demonstrasi.
Khidir melihat seorang anak remaja belum dewasa yang bermain maka serta merta
ia membunuhnya. Al-Quran tidak menyebutkan bagaimana Khidir membunuh
32 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
anak itu, jelas al-Maraghi.33
Melihat hal itu, Musa dengan penuh kesadaran, sebagaimana yang dikutip
Quraish dari Sayyid Qutub, musa tidak lupa lagi tapi dia benar-benar sadar
lantaran besarnya peristiwa itu.34 Musa berkata kepada Khidir, Mengapa kamu
membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.
Dalam psikologi pendidikan dikenal dengan istilah berfikir rasional dan
kritis, yang merupakan perwujudan prilaku belajar terutama yang bertalian dengan
pemecahan masalah. Pada umumnya siswa yang berfikir rasional akan
menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab
pertanyaan bagaimana (how) dan mengapa (why). Dalam berfikir rasional siswa
dituntut mengggunakan logika (akal-sehat) untuk menentukan sebab-akibat,
menganalisis, menarik kesimpulan-kesimpulan dan hukum-hukum (kaidah
teoritis) dan ramalan-ramalan.35
Sikap kritis Musa pada pembelajaran kedua ini, sebagaimana yang
dijelaskan al-Maraghi dikarenakan remaja yang dimaksud adalah remaja yang
bersih dari dosa tanpa membunuh yang diharamkan? Dalam hal ini pembunuhan
dikhususkan bukan karena kekafiran setelah iman, zina setelah menikah karena
itulah yang nampak pada peristiwa tersebut.36
Di sisi lain, jawaban Khidir atas Musa merupakan peneguran kedua
kalinya hamba saleh juga disertai penekanan. Ini nampak pada penggunaan kata
laka(لك), kepadamu. Adapun jika kita perhatikan peneguran hamba saleh yang
pertama tidak disertai kata laka. Hal ini menegaskan banwa kata itu memiliki daya
tekan tersendiri. Demikian jelas para al-Maraghi dan Quraish Shihab.
Jawaban guru kepada seorang siswa tentu harus memiliki nilai yang
33 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179. 34 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 104. 35 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h. 120. 36 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
berarti. Karena, posisi guru di hadapan siswa harus benar-benar berpengaruh.
Kpribadian guru mempunyai pengaruh langsung dan komulatif terhadap hidup
dan kebiasaan belajar para siswa. Di sini Khidir berpegang teguh pada
kesepakatan awal, yang menunjukkan sikapnya sebagai guru yang efektif.37
Ketiga, pada bagian ketiga pembelajaran Musa dan Khidir bertempat di
sebuah negeri yang “mereka, penduduk negeri itu adalah orang-orang tercela lagi
pelit”. Adapun penjelasan, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka,
dengan tidak menyebutkan ‘tidak mau memberi makan’ menambahkan kehinaan
dan mensifati mereka dengan kerendahan serta kebahilan. Sebab, seorang yang
mulia tentu hanya menolak seorang yang meminta diberi makanan, bukan
menghinanya. Sebaliknya orang yang mulia tidak akan mengusir tamu asing.
Tandas al-Maraghi.38
Qurais Shihab menyebutkan, penyebutan penduduk negeri pada ayat 77
menunjukkan betapa buruknya penduduk negeri itu lantaran pada ayat-ayat lain
al-Quran hanya menyebutkan negeri ssuntuk menunjuk penduduknya. Lebih-
lebih, permintaan Musa dan Khidir bukanlah permintaan sekunder melainkan
makanan untuk dimakan.39
Pembelajaran ini adalah kesempatan ketiga setelah dua kali Musa
melanggar kesepakatan belajar yang telah ditetapkan di awal. Tekad Musa yang
kuat untuk meraih ma’rifat mendorongnya memohon untuk diberi kesempatan
terakhir. Musa AS berkata, jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
(kali) ini, maksudnya, jika aku menanyakan kepadamu tentang perbuatan-
perbuatan asing yang aku saksikan serta aku meminta penjelasan hikmahnya
darimu, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya
kamu sudah cukup memberikan uzur padaku. Pernyataan Musa kali ini benar-
benar menunjukkan penyesalan yang amat karena terdesak oleh keadaan.
37 Oemar Hmalik, Psikologi Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet 6.
2009) h. 34-35. 38 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 5. 39 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 106.
Permintaan Musa untuk kali masih dikabulkan oleh hamba saleh itu. Maka
setelah peristiwa pembunuhan itu, keduanya berjalan sampai bertemu dengan
sebuah kampung, mereka meminta makanan, namun penduduk kampung itu
enggan untuk menjamu mereka.
Fase ketiga pembelajaran Khidir kepada Musa kali ini juga berjalan
dengan metode demonstrasi. Khidir dan Musa mendapati dinding rumah yang
hampir roboh. Khidir dengan inisiatifnya menegakkan dinding rumah tersebut.
Melihat hal itu, Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu. Sebenarnya, perkataan Musa ini hanyalah masukan
dan saran kepada Khidir karena dia mengetahui keperluan yang mereka butuhkan
seprti makan, minum, dan lainnya untuk hidup. Namun, pernyataan inilah batas
toleransi pembelajaran Musa dengan Khidir berakhir.
Pada bagian ini, Musa telah melakukan pelanggaran untuk yang ketiga
kalinya. Khidir berkata pada Musa inilah pengingkaran berturut yang ketiga
kalinya darimu yang menjadi sebab perpisahan antara aku denganmu sebagaimana
yang telah aku syaratkan. Adapun dua pengingkaranmu yang pertama terdapat
udzur di dalamnya, namun tidak untuk hal ini. Kelak akan kuberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. Maksudnya, Khidir nanti akan memberitahukan akibat dari
perbuatan-perbuatannya.
Selain itu, dalam pembelajaran Musa dan Khidir terkandung pesan bahwa
guru hendaknya membawa siswa belajar ke alam nyata di luar, untuk dapat
mengalami pristiwa yang langsung. Ini ditunjukan oleh ayat ke 71 , 74 dan 77
yang semuanya di awali dengan kata-kata Yang menunjukan bahwa Guru / Khidir
dan murid / Musa keduanya pergi ke luar. (Contextual Teaching Learning).
Dari ketiga fase pembelajaran dia atas, selain metode demontrasi, Khidir
juga menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Yaitu,
suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan
siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa
untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.40
Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya.
Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan
materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara
langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa
hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri
materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara
materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut
untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan
materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu
akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya akan
tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.41
E. Evaluasi Pembelajaran Khidir kepada Musa
Evaluasi adalah proses sederhana memberikan atau menetapkan nilai pada
sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, objek, dan lain-
lain. Atau dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan niai sesuatu
berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian.42
Dari pengertian evaluasi diketahui bahwa tujuan utamanya adalah untuk
mengetahui tingkat keberhasilan oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan
pembelajaran.
40 http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html, didownload, Jumat, 3 Desember 2010. 41 http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html,
didownload, Jumat, 3 Desember 2010. 42 Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet 3
2006), h. 160-161.
Hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar pada akhirnya dipungsikan untuk
keperluan sebagai berikut:43
a. Untuk diagnostik dan pengembangan. Maksudnya, bahwa penggunaan
hasil dari keatan evaluasi hasil belajar sebagai dasar pendiagnosisan
kelemahan dan keungunggulan siswa dengan berdasarkan diagnosis ini
guru mengadakan pengembangan kegiatan pembelajaran untuk
meningkatkan hasil belajar siswa.
b. Untuk seleksi. Hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar digunakan
sebagai dasar untuk menentukan siswa yang paling cocok untuk jenis
pendidikan tertentu.
c. Untuk kenaikan kelas. Menentukan apakah seorang siswa dapat
dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau tidak, memerlukan informasi
yang dapat mendukung keputusan yang dibuat guru.
d. Untuk penempatan. Agar siswa dapat berkembang sesuai dengan
tingkat kemampuan dan potensi yang mereka miliki, maka perlu
dipikirkan ketepatan penempatan siswa pada kelompok yang sesuai.
Seperti halnya setiap kegiatan dan tindakan pendidikan selalu diawali
dengan perencanaan, maka kegiatan evaluasi hasil belajar juga diawali dengan
persiapan. Pada tahapan persiapan ini terdapat beberapa persiapan yang harus
dilakukan evaluator.
Dalam konteks pembelajaran, antara Nabi Khidir AS dengan Nabi Musa
AS, Nabi Khidir bertindak sebagai evaluator dan Musa objek evaluasi. Adapun
proses evaluasi itu, Nabi Khidir menetapkan pertimbangan dan keputusan yang
akan dibuat, suatu keputusan yang akan dilakukan oleh seorang evaluator untuk
mendeskripsikan pertimbangan dan keputusan yang sekiranya akan dibuat dari
hasil evaluasi.
Dalam istilah pendidikan kegiatan seperti ini disebut dengan langkah
merumuskan tujuan. Tujuan dari sebuah kegiatan pembelajaran adalah setiap
usaha mengajar sebenarnya ingin menumbuhkan atau menyempurnakan pola laku
tertentu dalam diri peserta didik. Maksud pola laku tersebut adalah kerangka dasar
43 Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran,... h. 200
dari sejumlah kegiatan yang lazim dilaksanakan manusia untuk bertahan hidup
dan untuk memperbaiki mutu hidupnya dalam situasi nyata. Kegiatan itu bisa
berupa kegiatan rohani, misalnya mengamati, menganalisis, dan menilai keadaan
dengan daya nalar. Bisa juga berupa kegiatan jasmani. yang dilakukan dengan
tenaga dan keterampilan fisik.
Adapun yang menjadi tinjauan evaluasi daam konteks ayat ini adalah
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh sang guru. Proses menakwilkan apa
yang didemontrasikan oleh Khidir pada tiga tindakan Khidir dalam proses
pembelajaran.
Adapun dalam proses evaluasi Khidir kepada Musa. Khidir menjelaskan
ketiga fase pembelajaran yang dilakukannya.
Pertama, penjelasan tentang mengapa Khidir melubangi perahu. Khidir
menjelaskan, Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang
bekerja di laut, mereka orang-orang miskin yang tak mampu untuk membela diri
dari kezaliman. Padahal mereka telah bekerja sekuat tenaga. dan aku bertujuan
merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap-tiap bahtera. Hal ini dilakukan oleh Khidir karena merupakan
kebiasaan raja itu, untuk merebut secara paksa setiap perahu yang masih baik dan
layak tegas al-Maraghi.44
Pada kejadian ini, Quraish menyimpulkan, seakan-akan Hamba Saleh itu
berkata, “dengan demikian apa yang kubocorkan itu bukanlah tujuan
menenggelamkan penumpangnya, tetapi justru menjadi sebab terpeliharanya hak-
hak orang miskin.” Memang melakukan kemudharatan yang kecil dibenarkan
untuk menghilangkan kemudharatan yang lebih besar.45
Kedua, penjelasan tentang pembunuhan anak yang menurut pandangan
Musa adalah seorang anak yang suci dari dosa. Khidir mengetahui bahwa anak itu
adalah anak yang kafir sedang kedua orang tuanya adalah orang mukmin.
Kekhawatiran Khidir jika kelak anak itu menjadi penyebab kekafiran kedua orang
tuanya lantaran kecintaan mereka terhadap anak itu, membuat Khidir membunuh 44 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8. 45 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 107.
anak itu.
Ketiga, penjelasan tentang perbuatan Khidir pada sebuah negeri yang
dihuni oleh penduduk tercela lagi bakhil, namun ia menegakkan dinding pada
sebuah bangunan tanpa imbalan. Tujuan Khidir tak lain adalah karena ia
mengetahui bahwa dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu,
sebagai rahmat dari Tuhanmu.
Berdasarkan ketiga evalusi pembelajaran yang Khidir berikan kepada
Khidir ada point penting yang harus digarisbawahi. Hal ini sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menjelaskan QS al-Kahfi ayat 68,
“dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
Terkait ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan, bahwasannya Maksud Khidir
adalah, engkau tidak akan tahan melihat apa yang akan aku perbuat, karena sangat
kontra dengan syariat yang engkau miliki. Dan lantaran aku berdasarkan ilmu
yang Allah ajarkan kepadaku namun tidak Allah ajakan kepadamu. Begitu
sebaliknya, engkau telah Allah ajari ilmu yang tidak dijarkan kepadaku. Oleh
karena itu, kita memiliki perkara masing-masing. Maka sebab itu, engkau tidak
mampu untuk mengikutiku.46
Khidir pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia
dalihkan. Dan dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan
kemaslahatan bathiniah yang Khidir dapat telaah.47
Bertalian dengan itu, Al-Ghazali membagi kriteria ilmu menjadi dua
46 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181. 47 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181.
bagian. Pertama, ilmu-ilmu yang fardhu a’in yang wajib dipelajarisemua orang
Islam meliputi ilmu-ilmu agama, yakni ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Quran.
Kedua, ilmu-ilmu yang merupakan fardhu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang
dapat dimanfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi, seperti ilmu
hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.48
Pernyataan Khidir ini kemudian ditutup dengan penjelasan yang lugas dan
tepat. Yaitu bahwa apa yang dilakukannya mulai dari menenggelamkan perahu
hingga menegakkan sebuah dinding adalah bukanlah aku melakukannya itu
menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan
yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Pesan ini menunjukkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran harus
bersumber dan berdasar kebenaran. Ini ditunjukan oleh ayat ke 82, ini
menunjukan bahwa Khidir dalam melakukan pekerjaan yang dilihat oleh Musa as.
tidak atas kehendak dirinya tapi bersumber dari Allah. Guru harus menyampaikan
materi pelajaran yang baru buat murid sehingga ada nilai tambah bagi. murid Ini
ditunjukan oleh ayat ke 68 yang bermakna, bahwa Musa as. belum mempunyai
pengetahuan yang cukup terhadap apa yang akan diajarkan Khidir .
Terakhir, guru hendaknya memberi pesan akhir kepada murid yang akan
meninggalkan tempat belajar dan berpisah dengannya,.untuk bekal di masa kelak
nanti Ini ditunjukan oleh pesan akhir dari Khidir kepada Musa, saat Musa dan Khidir
akan berpisah., seperti telah disebutkan di atas.
48 Khoiron Rosady, Pendidikan Profetik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Cet 1 2004), h. 281
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang “Proses Pembelajaran dalam al-Quran
(Telaah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82)”, maka
penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses pembelajaran merupakan kegiatan yang meliputi di dalamnya
kegiatan mengajar, belajar, dan pembelajaran itu sendiri. Tujuannya adalah
menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik, positif, progresif, bahkan
futuristik. Di sini, elemen guru dan murid terlibat aktif mencapai tujuan
pembelajaran yang diinginkan.
2. Sumber Ilmu yang paling utama adalah Allah SWT. Dialah Maha
Pendidik, yang darinya semua ilmu bermuara. Dalam hal ini, Al-Quran
merupakan salah satu sumber ilmu yang tak akan pernah habis untuk
digali nilai-nilai pembelajaran dari dalamnya.
3. Motivasi dalam mencari ilmu merupakan hal esensial bagi peserta didik
untuk mendapatkan ilmu. Motivasi yang paling baik adalah motivasi
intrinsik yang memunculkan spirit untuk terus menggali ilmu. Sedangkan
motivasi ekstrinsik merupakan motivasi pendukung, tambahan untuk terus
memacu diri dalam menimba ilmu.
78
4. Guru yang baik adalah guru yang dapat memberikan pembelajaran yang
dibutuhkan oleh peserta didik. Guru yang baik dapat dilihat dari
kredibelitas yang diakui. Dalam dunia pendidikan disebut guru yang
memiliki standar kompetensi atau guru profesional. Khidir merupakan
guru yang kredibel karena telah mendapat rekomendasi langsung dari
Allah SWT untuk mengajarkan Musa.
5. Strategi pembelajaran merupakan langkah yang penting guna mendapatkan
pembelajaran yang efektif dan efisien. Dalam hal ini, guru
mengidentifikasi ke depan bentuk pembelajaran yang sesuai dengan
kondisi peserta didik.
6. Proses pembelajaran merupakan serangkain kegiatan yang mengantarkan
peserta didik menuju sasaran pembelajaran yang diinginkan. Proses
pembelajaran Musa menunjukkan betapa Musa adalah seorang peserta
didik yang masih awam tentang ilmu yang diberikan gurunya. Hal ini
mengisyaratkan kepada Musa untuk mengakui bahwa di atas bumi ini
masih ada yang lebih pintar darinya. Di ats langit masih ada langit.
7. Setelah mengalami serangkaian pembelajaran hendaknya guru melakukan
evaluasi kepada pesrta didik. Hal ini untuk menunjukkan kepada peserta
didik terkait pembelajaran yang telah dilakukan guna memberi wawasan
baru dan menyempurnakan pembelajaran selanjutnya.
B. Saran
Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan
khususnya bagi diri pribadi penulis sendiri dan umumnya para pembaca sebagai
masukan atau pengingat:
1. Bagi guru, teruslah berjuang dan berusaha untuk meningkatkan
keterampilan, pengetahuan, dan keahlian. Dengan hal itu, diharapkan
pemebelajaran dapat dilakukan degan efektif dan efisien. Lebih dari itu,
guru yang baik adalah guru yang memiliki kompetensi dan profesionalitas.
79
2. Bagi siswa, teruslah belajar dan meningkatkan motivasi dalam belajar.
Karena tiada kata berhenti dalam belajar. Seorang yang belajar akan terus
merasa kurang karena ia semakin mengetahui bahwa ilmu yang didapat
barulah sepercik dari ilmu Allah. Bagaikan padi semakin tumbuh semakin
merunduk, begitulah seharusnya seorang pembalajar. Karena setinggi apa
pun pengetahuan yang didapat, tetap di atas langit masih ada langit.
Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
A, Pius, Partanto, dan Dahlan al Barry, M,. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Asnawi, Sahlan, Teori Motivasi dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi, Jakarta: Studia Press, 2002.
80
B, Hamzah, Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT.Bumi Aksara, Cet. III, 2008.
Direktorat Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Mata Pelajaran al-Qur’an Hadis, Jakarta: t.p. 1997.
Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, Cet. II , 2000.
Fathurrohman, Pupuh dan Sutikno, Sobri, Strategi Belajar Mengajar-Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami, Bandung: PT. Refika Aditama, Cet. I, 2007.
Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. II, 2003.
_______, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. IV, 2005.
_______, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. IV, 2006.
Hamid, Dedi, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, Jakarta: t.p. 2008.
Ibn, Muhammad, Ismail, al-Bukhari, Terjemah Kitab Shahih Bukhari, Terj. dari Shahih Bukhari oleh Zainuddin Hamidy, dkk., Jakarta: PT. Bumirestu, Cet. XIII, 1992.
Khalil, Manna, al-Qathan, Buku Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Terj. dari Mabahis Fi Ulumil Qur’an oleh Mudzakir As, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. VIII,, 2004.
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cet. I, 2007.
Mulyasa, E, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2005.
Munadi, Yudhi, dan Hamid, Farida, Modul Pembelajaran, Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, Jakarta: t.p. 2009.
Nurdin, Syafrudin, dan Basyiruddin, M., Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta: Ciputat Pers, Cet. I, 2002.
79
81
Nurdin, Syafruddin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Ciputat: PT. Ciputat Press, Cet. III, 2005.
Purwanto, Ngalim, Psikologi Pendidikan, Bandung : Remaja Karya, Cet. XX, 2000.
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana, Cet. V, 2008.
_______, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, Cet. III, 2008.
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Pers, Cet. IX, 2001.
Saudagar, Fachruddin dan Idrus, Ali, Pengembangan Profesionalitas Guru, Jakarta: Gaung Persada Press, Cet. I, 2009.
Soetari, Endang, Ilmu Hadis, Bandung: Amal Bakti Press, Cet. II, 1997.
Sudjana, Nana, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Bandung: Sinar Baru, 1989.
Suparto, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Cet. III, 2002.
Tim Penyusun: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I, 2002.
Trianto dan Triwulan, Titik, Tutik, Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik Menurut UU Guru dan Dosen, Jakarta: Prestasi Pustaka, Cet. I, 2006.
Winkel, W.S, Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, Jakarta: Gramedia, 1986.
Yamin, Martinis, Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia, Ciputat: Gaung Persada Press Jakarta, Cet. I, 2006.
Yamin, Martinis, Profesionalisasi Guru dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Gaung Persada Press, Cet. I , 2006.
______, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, Ciputat: Gaung Persada Press, Cet. III,2005.
Zakaria, Al-Imam, Abu, Yahya, bin Syaraf An-Nawawi, Kitab Riyadhus Shalihin, Terj. dari Riyadhus Shalihin oleh Achmad Sunarto, jilid 2, Jakarta: Pustaka Amani, Cet. IV, 1999.
82
INTERNET
Bafadal, Ibrahim, “Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektit, dan menyenangkan (PAIKEM)” http://gora.edublogs.org. com, diakses 20 Januari 2010.
83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam sebagaimana diketahui adalah pendidikan yang dalam
pelaksanaannya berdasar pada ajaran Islam. Nabi SAW telah menyerukan bahwa
ada dua sumber utama ajaran Islam,
وسنة اهللا كتاب ما متسكتم ما تضلوا لن أمرين فيكم تركت :قال سلم و هعلي اهللا صلى اهللا رسول ان
1نبيه
Artinya, Rasulullah SAW bersabda, Aku telah meninggalkan kalian dua
perkara kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya
kitbullah (al-Quran) dan Sunnah Nabi-Nya (al-Hadis).
Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang
menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakatnya, hal ini karena
pendidikan merupakan proses melestarikan, mengalihkan, serta
mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya
kepada generasi penerus.
Dimikian pula dengan pendidikan Islam. Keberadaannya merupakan salah
satu bentuk dari manifestasi cita-cita hidup Islam yang bisa melestarikan,
mengalihkan, menanamkan (internalisasi), dan mentransformasi nilai-nilai Islam
1Malik bin Anas, Muwattha Malik, (Mesir: Darul Ihya at-Turast al-‘Araby, t th), j. 2 h.
899.
2
kepada generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural-religius yang dicita-
citakan dapat berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu.2
Pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu merupakan konsepsi pendidikan
yang mengandung berbagai teori yang dikembangkan dari hipotesis-hipotesis atau
wawasan yang bersumber dari kitab suci al-Quran atau hadis, baik dilihat dari segi
sistem, proses dan produk yang diharapkan maupun dari segi tugas pokoknya
untuk membudayakan manusia agar bahagia dan sejahtera.3
Athiyah al-Abrasyi memberikan defenisi Pendidikan Islam adalah usaha
sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala
potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban
amanah dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi.4
Fadhil berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Arifin, Pendidikan Agama
Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih
baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan dasar kemampuan
(fitrah) dan kemampuan ajaran dari luar.5
Selanjutnya, pendidikan dari sudut pandang kultural manusia, merupakan
suatu alat pembudayaan (enkulturasi) masyarakat manusia itu sendiri. Dalam hal
itu, proses pembudayaan sangat bergantung pada pemegang alat tersebut, yaitu
para pendidik. Para pendidik memegang posisi kunci dalam menentukan
keberhasilan proses belajar sehingga mereka dituntut persyaratan tertentu, baik
teoritis maupun praktis, dalam pelaksanaan tugasnya.6
Pendidikin Islam yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam harus bisa
menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam,
2 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, cet 3, 2008), h. 8.
3H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,……... h. 4. 4 Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (PT Gemawindu
Pancaperkasa, 2000) cet 1 h 2. 5 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, ……h. 17. 6 H. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,…… h 8.
3
juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan dengan nilai-nilai
Islam yang melandasi, merupakan sebuah proses secara pedagogis mampu
mengembangkan hidup anak ke arah kedewasaan atau kematangan yang
menguntungkan dirinya. Oleh karena itu usaha tersebut tidak boleh dilakukan
secara coba-coba (trial and error) atau atas dasar keinginan dan kemauan
pendidik tanpa dilandasi dengan teori-teori kependidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks itu, proses belajar mengajar dapat diartikan bukan hanya
mentransformasikan ilmu pengetahuan, wawasan, pengalaman, dan keterampilan
kepada peserta didik, melainkan juga menggali, mengarahkan, dan membina
seluruh potensi yang ada dalam diri peserta didik, sesuai dengan tujuan yang
direncanakan.
Proses belajar mengajar tersebut harus berjalan dengan baik dan efektif.
Yaitu, proses belajar mengajar yang menyenangkan, menggembirakan, penuh
motivasi, tidak membosankan, serta menciptakan kesan yang baik pada diri
peserta didik. Untuk mewujudkan keadaan yang demikian, maka proses belajar
mengajar harus disertai dengan memelihara motivasi, kebutuhan-kebutuhan,
keinginan-keinginan, tujuan-tujuan, dan perbedaan-perbedaan perseorangan di
antara peserta didik, menjadi teladan bagi mereka dalam segala hal yang
disampaikan.7
Namun demikian, dalam realitas, paradigma pembelajaran tradisional pada
umumnya masih terkesan mengenyampingkan peran pengembangan potensi
kemampuan nalar dan berkreasi. Hal ini dapat dilihat dari fenomena begitu
banyaknya orang yang menimba ilmu pengetahuan, namun mereka ibarat alat
perekam bagi ilmu-ilmu yang mereka pelajari, tidak lebih kurang. Kadang kala
mereka mempelajari sebuah kitab dari guru mereka dengan tekun dan konsentrasi,
mereka berusaha memahami bacaan bahkan menghafalnya dan mencatatnya. Pada
masa yang akan datang mereka menjadi para guru. Lalu mereka ajarkan dengan
7 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Pespektif al-Quran,... h. 225.
4
menerapkan metode pengajaran persis apa yang mereka dahulu dapatkan.8
Keberhasilan pembelajaran dalam arti tercapainya standar kompetensi
sangat tergantung pada kemampuan guru mengolah pembelajaran yang dapat
menciptakan situasi yang memungkinkan siswa belajar sehingga merupakan titik
awal berhasilnya pembelajaran. Rendahnya mutu pendidikan-pembelajaran dapat
diartikan kurang efektifnya proses pembelajaran. Penyebabnya dapat berasal dari
siswa, guru maupun sarana dan prasarana yang kurang memadai, minat dan
motivasi yang rendah, kinerja guru yang rendah akan menyebabkan pembelajaran
kurang efektif.
Selain itu, terjadinya ketimpangan di sekolah-sekolah salah satunya dapat
dilihat dari aspek peserta didik, bagi seorang guru, peserta didik di sebagian besar
sekolah dianggap sebagai seseorang yang masih kosong dan siap untuk dijadikan
sesuai kebutuhan pasar. Peserta didik yang dianggap demikian, berdampak pada
proses pendidikan di berbagai sekolah.9
Sekolah tugasnya adalah menyiapkan peserta didik untuk mencapai nilai
terbaik dalam bidang tertentu untuk dijadikan sebagai manusia yang ahli sesuai
dengan jurusannya.10
Akibatnya, kritik atau keluhan yang sering dilontarkan masyarakat dan
pihak orang tua murid selama ini, pendidikan agama di sekolah dan perguruan
tinggi, belum mampu mengantar peserta didik untuk dapat memahami dan
mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar.
Demikian pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang
diharapkan. Selain kelemahan dalam penguasaan materi (aspek kognitif) juga
dalam hal pembentukan prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama
dari proses pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai
8 Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, (Depok: Iqra Kurnia Gemilang, cet 1
2005), h 20-21. 9 Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Penerbit INSPEAL, 2006),
h.1. 10Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural,... h.1.
5
kurang nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan sehari-hari.11
Tingginya frekuensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar,
kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang
memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan
obat-obat terlarang seperti narkotika, adanya pergaulan bebas, sering diangkat
oleh sebagian anggota masyarakat dan orang tua sebagai indikasi
ketidakberhasilan pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi.
Setiap terjadi dekadensi (kerusakan) moral masyarakat, maka semua pihak
akan menoleh kepada lembaga pendidikan dan seakan menuduhnya tidak becus
mendidik anak bangsa. Tuduhan berikutnya terfokus pada pendidik yang dianggap
alpa dan tidak profesional dalam menjaga gawang moralitas anak bangsa. Para
pendidik tiba-tiba menjadi perhatian saat musibah kebobrokan moral,
ketertinggalan ilmu pengetahuan dan peradaban terjadi.12
Sekolah khususnya guru hanya bertugas menghasilkan lulusan yang
memiliki kemampuan kognitif intelektual belaka, sama sekali terlepas dari
kemampuan afeksi sosial, afeksi kelembutan, afeksi menghargai orang lain, afeksi
menjunjung harkat dan martabat semua manusia13 Sekolah hanya bertugas untuk
mempersiapkan peserta didik untuk mencapai nilai baik dalam bidang tertentu
untuk dijadikan sebagai manusia yang ahli sesuai dengan jurusannya. Sementara
latar belakang perilaku, akhlak, sikapnya terhadap sesama manusia bukan menjadi
pertimbangan utama dalam perekrutan peserta didik.14
Belum lagi keadaan guru di Indonesia yang memprihatinkan. Fakta
menyebutkan bahwa, kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang
memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU
11Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural,... h. 2 12 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009), h. 35. 13 Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural,….h. 29-30 14 Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural,…h 30.
6
No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan,
melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003
di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07%
(negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta),
untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak
mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).15
Dalam pada itu, tidak sedikit masalah-masalah dalam kelas muncul. Mulai
dari pembelajaran yang membosankan, pembelajaran yang hanya berkisar pada
ceramah dimana guru belum mampu berdialog dengan baik kepada peserta didik,
hingga guru yang keluar ruangan sebelum waktunya karena kehabisan materi
dalam mengajar.
Metode pembelajaran yang kurang efektif dan efisien, menyebabkan tidak
seimbangnya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik, misalnya
pembelajaran yang monoton dari waktu ke waktu, guru yang bersifat otoriter dan
kurang bersahabat dengan siswa sehingga siswa merasa bosan dan kurang minat
belajar.16
Di mana letak kesalahannya? Pada isi kurikulum yang kurang tepat, sistem
atau metodologi, alokasi waktu atau ketidakmampuan pihak guru agama untuk
menjawab hal-hal seperti itu. Dalam hal ini, penulis ingin melihat bagaimana al-
Quran menjelaskan tentang proses pembelajaran.
Sebagaimana mafhum al-Quran adalah kalamullah (firman Allah) yang
mutlak benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan di
15http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/ciri-ciri-dan-masalah-pendidikan-di-
indonesia. 1/11/10
16Risjayanti, Peningkatan Motivasi dan Minat Belajar Siswa, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta), h. 3.
7
akhirat nanti.17
Al-Qur'an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman
hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di
dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prisip dasar) menyangkut segala aspek
kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar
masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional
memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalahan yang tidak sepi dari
perbincangan umat adalah masalah pendidikan.18
Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah,
syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai
persoalan-persoalan tersebut dan Allah SWT menugaskan Rasul SAW untuk
memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu, “Kami telah
turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia
apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.” (QS an-Nahl
[16]; 44).
Sebagai referensi utama umat Islam, al-Quran telah hadir untuk menjawab
berbagai persoalan manusia. Meski terbatas pada 114 surat dan 6666 ayat, namun
manusia kerap kali menemukan penemuan-penemuan baru. Dalam konteks
keilmuan, al-Quran telah melahirkan berbagai macam ilmu. Mulai dari fisika,
biologi, astronomi, kimia, geologi, psikologi dan seterusnya hingga ilmu
pendidikan.19
Kehadiran al-Quran senantiasa eksis untuk setiap zaman dan kondisi. Ia
hadir untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Hal ini
tersurat jelas dalam firman-Nya, “Kitab suci diturunkan untuk memberi putusan
(jalan keluar) terbaik bagi problem-problem kehidupan manusia” (QS al-Baqarah
[2]; 213).
17 Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarata: PT Raja Grafindo Persada,
2002) h. 1. 18 Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,...h. 1. 19Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,...h. 2
8
Terkait dengan pendidikan, al-Quran sejak dari awal mula diturunkan telah
memberikan sinyalmen yang begitu terasa. Ditemukan langsung ayat pertama
yang diturunkan;
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,” (QS al-
‘Alaq [96]; 1)
Ayat-ayat ini dan yang semacamnya memberikan ruh progresivitas kepada
manusia untuk senantiasa mengembangkan wawasannya. Dalam hal ini, manusia
dituntut untuk mengembangkan ayat-ayat Allah, baik yang bersifat tanziliyah
maupun yang bersifat kauniyah.
Berdasarkan wacana di atas, penulis berkesimpulan bahwa wawasan
tentang pendidikan, khususnya pembelajaran benar-benar perlu diangkat dan
dipaparkan kembali. Semua itu, lantaran al-Quran dan ilmu pengetahuan termasuk
pendidikan merupakan satu kesatuan yang begitu erat. Dimana al-Quran
mencakup pelbagai macam masalah terkait pendidikan. Bahkan, al-Quran sendiri
hadir ke tengah-tengah manusia sebagai kitab yang mendidik, membimbing, dan
mengajarkan.
Sementara itu, penulis memiliki beberapa asumsi sendiri yang menjadi
beberapa pertimbangan dalam penulisan skripsi ini, di antaranya:
Pertama, al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang berwawasan global
bersifat universal. Sebagaimana maklum bahwa Islam adalah agama universal,
agama yang membawa misi rahmatan lil alamin.20
Kedua, penulis menginginkan pandangan yang utuh yang diberikan oleh
al-Quran. Tujuannya, agar pandangan ini dapat menjadi pijakan yang otentik
terkait pembelajaran berdasakan prinsip-prinsip Islam oleh para guru, khususnya
guru-guru yang beragama Islam.
Ketiga, membangkitkan semangat cinta Islam. Karena tidak sedikit, kaum
terpelajar muslim lebih bangga manakala merujuk pada referensi tokoh-tokoh
barat. Alih-alih merujuk kepada tokoh-tokoh muslim dianggap ortodok, rigid, dan
20 QS Al-Baqarah [2]; 30.
9
tidak keren.
Pada dasarnya, al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa
permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam
maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pembelajaran, dan nilai-nilai
pembelajaran yang lebih manusiawi, yang selanjutnya bisa dijadikan inspirasi
untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu.
Bersandar pada beberapa pernyataan di atas, penulis dengan ini memberi
judul untuk karya tulis ini dengan, Proses Pembelajaran dalam al-Quran
(Telaah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82).
Semoga karya ini dapat menjadi acuan sebagai model pembelajaran yang benar-
benar memiliki ruh.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat diungkapkan beberapa masalah
sebagai berikut:
a. Perlunya pedagogisitas guru al-Qur’an Hadis dalam meningkatkan
motivasi siswa untuk membaca al-Qur’an
b. Perlunya keterampilan mengajar guru al-Qur’an Hadis dalam
meningkatkan motivasi siswa untuk membaca al-Qur’an
c. Kesulitan yang dihadapi oleh guru al-Qur’an Hadis dalam
meningkatkan motivasi siswa untuk membaca al-Qur’an
d. Upaya yang dilakukan guru al-Qur’an Hadis dalam meningkatkan
motivasi siswa untuk membaca al-Qur’an
e. Perlunya motivasi siswa untuk membaca al-Qur’an
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Tentu pembahasan terkait pengajaran dalam al-Quran tidaklah sedikit.
Maka itu, penulis membatasi pembahasan hanya pada upaya menemukan Proses
Pembelajaran dalam al-Quran melalui pendekatan Kisah Nabi Musa dan Nabi
Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82 pada upaya meningkatkan kinerja dan
10
semangat guru dalam mengajar dan siswa dalam belajar.
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya adalah
bagaimana proses pembelajaran Musa dan Khidir dalam al-Quran?
D. Tujuan Penelitian
Sementara itu, yang menjadi tujuan peneliti pada wacana Proses
Pembelajran dalam al-Quran adalah memberikan sebuah ide dan gagasan guna
mewujudkan pembelajaran yang berkulitas dan bertanggung jawab. Hal ini
dikarenakan banyak guru yang mengajar tapi minim dalam hal teori meskipun
tidak memungkiri bahwa teori tidak selalu dapat menjawab praktik yang terjadi di
lapangan. Selanjutnya, diharapkan para guru tidak hanya asal berani mengajar,
melainkan pula memiliki bekal dan landasan yang kuat. Begitu halnya dengan
siswa agar mengerti dan memahami arti pembelajaran yang sebenarnya. Adapun
yang lebih ditekankan adalah penulis berusaha dengan sebijak mungkin untuk
memunculkan sebuah contoh proses pembeajaran dalam al-Quran sekaligus
menjadi respon atas banyaknya wacana seputar proses beajar-mengajar.
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak.
1. Bagi penulis, untuk menambah wawasan serta pengalaman penulis
mengenai penelitian ini, baik dalam merencanakan ataupun melaksanakan
penelitian.
2. Bagi universitas, menambah khazanah ilmiah di kalangan akademis
khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan diharapkan menjadi sumbangsih gagasan dan
sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisasi serta dapat
dipraktikkan dalam membangun guru-guru yang berkualitas, penuh
integritas, dan memiliki semangat pengabdian.
3. Bagi guru, untuk mengetahui bagaimana penerepan proses pembelajaran
yang lebih baik berdasarkan al-Qur’an.
E. Metodologi Penelitian
11
Berdasarkan tujuan penelitian ini, jenis penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan (Libarary Research), yaitu berusaha mengungkap dan menemukan
secara sistematis berbagai data mengenai proses pembelajaran dengan merujuk
kepada QS. Al-Kahfi {18}, 60-82. Secara rinci penelitian ini berusaha
menemukan jawaban. “Bagaimanakah proses pembelajaran yang terdapat dalam
ayat tersebut? Dilihat dari objek penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan tafsir metode tahlili. Yaitu, menjelaskan ayat-ayat al-Quran
dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya,
mencakup kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan sampai pada
riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in.21
Penelitian ini bersifat kepustakaan karena sumber datanya adalah terdiri
dari buku-buku yang ada hubungannya dengan pokok pembahasan. Dimana
sumber pokoknya (primer) adalah:
1. Al-Qur'an dan terjemahannya.
2. Tiga buku tafsir al-Qur'an: Pertama, Tafsir al-Maragi, karya Ahmad
Mustafa al-Maraghi. Kedua, Tafsir fi Zilalil Quran karya Sayyid Qutb.
Ketiga, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran karya
M Quraish Shihab.
3. Hadits-hadits Nabi Saw.
4. Dan buku-buku pendukung (sekunder) baik yang ada hubungan langsung
maupun tidak langsung.
Sumber-sumber pendukung ini antara lain adalah:
1. Buku-buku Tafsir yang dianggap memadai dan mewakili,
2. Buku-buku yang berisikan pengetahuan tentang al-Qur’an, atau yang
dikenal dengan ‘Ulum al-Qur’an,
3. Kamus-kamus yang memuat daftar kata-kata al-Qur’an, yang mana isinya
merupakan petunjuk praktis untuk menemukan ayat-ayat. Dan dipakai pula
kamus-kamus lain yang relevan dengan pembahasan,
4. Buku-buku tentang pendidikan, dikhususkan tentang nilai-nilai pengajaran
21 Abdul hayy al-farmawi, Metode Tafsir Maudhu’idan Cara Penerapannya, (Bandung:
Pustaka Setia, 2002) h. 23-24.
12
yang akan dibatasi pada buku-buku yang dianggap memadai,
5. Sumber-sumber lain yang relevan dengan pembahasan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II : Pandangan Umum Tentang Pembelajaran, di dalam bab ini
akan dibahas mengenai konsep pembelajaran, pengertian
pembelajaran, tujuan pembelajaran, metode dan teknik
pembelajaran, kedudukan guru dalam pengajaran, teori-teori
pembelajaran dengan menggunakan referensi psikologi Barat,
terakhir mengenai anak didik dalam pandangan Islam.
BAB III : Seputar Penafsiran QS al-Kahfi [18]; 60-82, dengan merujuk
kepada penafsiran ahi tafsir dalam ayat ini.
BAB IV : Proses Pembelajaran Musa dan Khidir dalam QS al-Kahfi
[18]; 60-82.
BAB V : Kesimpulan dan saran.
13
BAB II
KONSEP PEMBELAJARAN IDEAL
A. Definisi Pembelajaran
1. Mengajar
Di dalam dunia pendidikan, pihak-pihak yang melakukan kegiatan mendidik
dikenal dengan dua predikat yaitu: pendidik dan guru. Pendidik (murabby) adalah
14
orang yang berperan mendidik subjek didik atau melakukan tugas pendidikan
(tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melaksanakan tugas mengajar
(ta’lim).22 Meski demikian term guru juga dimaknai dengan pendidik.
Dalam bahasa Indonesia guru adalah orang yang digugu (diindahkan) oleh
peserta didik serta ditiru dalam arti perilaku guru akan selalu diikuti oleh peserta
didiknya, karena guru sebagaimana ulama adalah pewaris para nabi, yaitu sebagai
uswah hasanah (contoh teladan yang baik).23
Pendidik mengandung makna pembinaan kepribadian, memimpin dan
memelihara sedangkan pengajaran bermakna sekadar memberi informasi kepada
peserta didik yang dalam prosesnya dilakukan oleh pendidik atau guru.24
Meskipun istilah mendidik dan mengajar dapat dibedakan, pada hakikatnya
kedua istilah tersebut tidak dapat dipisahkan secara dikotomis. Sebab pada
kenyatannya antara pendidikan dan pengajaran adalah suatu proses yang tidak
dapat dipisahkan. Seorang pendidik dalam proses belajar mengajar selalu terlibat
dalam kegiatan pengajaran (mengajar), demikian juga pengajar pada saat
melakukan kegiatan mengajar ia juga harus menjaga moral dan keteladan terhadap
anak didiknya.25
Ada beberapa pengertian yang digunakan untuk mendefinisikan kegiatan
mengajar antara lain:
Definisi klasik menyatakan bahwa mengajar diartikan sebagai penyampaian
sejumlah pengetahuan karena pandangan yang seperti ini, maka guru dipandang
sebagai sumber pengetahuan dan siswa dianggap tidak mengerti apa-apa.
Pengertian ini sejalan dengan pandangan Jerome S. Brunner yang berpendapat
bahwa mengajar adalah menyajikan ide, problem atau pengetahuan dalam bentuk
22 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat,...h. 36. 23 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan,...h. 35. 24 Zakiah Dradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1993), h. 26. 25 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat,...h. 37.
15
yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh siswa. 26
Sebagian para ahli mengatakan bahwa mengajar adalah menanamkan
pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam diri anak didik. Dalam hal ini guru
memegang peranan utama, sedangkan siswa tinggal menerima, bersifat pasif.
Pengajaran yang berpusat kepada guru bersifat teacher centered. Ilmu
pengetahuan yang diberikan kepada siswa kebanyakan hanya diambil dari buku-
buku pelajaran, tanpa dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari siswa.
Pelajaran serupa ini disebut intelektualistis.27
Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi
atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk
berlangsungnya proses belajar mengajar.28
Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa didik atau
murid di sekolah. Implikasi dari pengertian ini adalah:
b. Pengajaran dipandang sebagai persiapan hidup,
c. Pengajaran adalah suatu proses penyampaian,
d. Penguasaan pengetahuan adalah tujuan utama,
e. Guru dianggap yang paling berkuasa,
f. Murid selalu bertindak sebagai penerima.29
Mengajar adalah mewariskan kebudayaan pada generasi muda melalui
lembaga pendidikan di sekolah. Perumusan ini bersifat lebih umum dan
berimplikasi sebagai berikut:
a. Pendidikan bertujuan membentuk manusia berbudaya.
b. Pengajaran berarti suatu proses pewarisan.30
26 Dawna Markova, The Smart Parenting Revolution, Psikologi Pendidikan 27 http://raflengerungan.wordpress.com/korupsi-dan-pendidikan/pengertian-mengajar-
didaktik. diakses tanggal 20 November 2010.
29 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cet
ke-9), h. 45 30 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar,... h. 45.
16
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa aktivitas yang sangat
menonjol dalam pengajaran ada pada siswa. Namun, bukan berarti peran guru
tersisihkan, tetapi diubah, kalau guru dianggap sebagai sumber pengetahuan,
sehingga guru selalu aktif dan siswa selalu pasif dalam kegiatan belajar mengajar.
Guru adalah seorang pemandu dan pendorong agar siswa belajar secara aktif dan
kreatif.
Tiap usaha mengajar sebenarnya ingin menumbuhkan atau
menyempurnakan pola laku tertentu dalam diri peserta didik. Maksud pola laku
tersebut adalah kerangka dasar dari sejumlah kegiatan yang lazim dilaksanakan
manusia untuk bertahan hidup dan untuk memperbaiki mutu hidupnya dalam
situasi nyata. Kegiatan itu bisa berupa kegiatan rohani, misalnya mengamati,
menganalisis, dan menilai keadaan dengan daya nalar. Bisa juga berupa kegiatan
jasmani yang dilakukan dengan tenaga dan keterampilan fisik. Umumnya manusia
bertindak secara manusiawi apabila kedua jenis kegiatan tersebut dibuat secara
terjalin dan terpadu.31
Di samping menumbuhkan dan menyempurnakan pola laku, pengajaran
juga menumbuhkan kebiasaan. Kebiasaan dapat dirumuskan sebagai keterarahan,
kesiapsiagaan di dalam diri manusia untuk melakukan kegiatan yang sama atau
serupa atas cara yang lebih mudah, tanpa memeras atau memboroskan tenaga.
Kebiasaan akan timbul justru apabila kegiatan manusia, baik rohani maupun
jasmani dilakukan berulang kali dengan sadar dan penuh perhitungan.
Guru dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas belajar peserta didik
dalam bentuk kegiatan belajar mengajar yang sedemikian rupa, dapat
menghasilkan pribadi yang mandiri, dalam hubungan ini, guru memegang peran
penting dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang sebaik-baiknya. Tugas
guru tidak hanya sebagai pengajar dalam arti penyampaian pengetahuan, tetapi
lebih meningkat sebagai perancang pengajaran.32
31 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet-I),
h. 207. 32 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan
Kompetensi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, edisi revisi), h. 77
17
2. Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologis belajar memiliki
arti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.33 Belajar menurut Cronbach
adalah belajar melalui pengalaman, dengan pengalaman tersebut pelajar
menggunakan seluruh panca inderanya.34
Anthony Robbins mendefinisikan belajar sebagai proses menciptakan
hubungan antara sesuatu pengetahuan yang sudah dipahami dengan pengetahuan
yang baru. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Jerome Brunner bahwa
belajar adalah suatu proses aktif dimana siswa membangun (mengkonstuk)
pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang sudah
dimilikinya.35
Belajar dapat diartikan suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh perubahan prilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari
pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. (Moh.
Surya: 1997).
Belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan
sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan,
pengetahuan, dan kecakapan. (Whitheringston: 1952).
Belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap
baru. (Crow and Crow: 1958). Belajar adalah proses dimana suatu prilaku
muncul prilaku atau berubah karena adanya respons terhadap suatu situasi
(Hilgard: 1962).
Belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang
terjadi melalui pengalaman dan bukan karena perubahan atau pertumbuhan
tubuhnya atau karakteristik seorang sejak lahir. Dari beberapa definisi di atas,
33 Tim Penyusun dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007). H 17 34 Baharudin dan Nurwahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Arruzz Media,
Cet III 2008) h. 13 35 Trianto, Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Prenada Media
Group, Cet II 2010) h. 15.
18
sangat jelas, bahwa belajar merupakan sebuah proses perubahan menuju ke arah
yang lebih baik, positif, dan futuristik hal itu meliputi berbagai aspek seperti
keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan.
3. Pembelajaran
Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata
dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui
(diturut) ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an menjadi “pembelajaran”,
yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan sehingga anak
didik mau belajar.
19
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan
yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan
pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan
kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses
untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.36
Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat
berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang
mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam
konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan
menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek
kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta
keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi
kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan
pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik.
Instruction atau pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk
membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang,
disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses
belajar siswa yang bersifat internal. (Gagne dan Briggs: 1979: 3)
Pembelajaran adalah Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. (UU No. 20/2003, Bab I Pasal Ayat
20)
Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang komplek, yang
tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Secara sederhana pembelajaran adalah produk
interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup. Dalam
bahasa yang lebih kompleks, pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari
seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan sumber belajar siswa
dengan sumber lainnya) dalam rangka tujuan yang diharapkan.37
36 www.wikipedia.com 37 Trianto, Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif,... h. 17.
20
Istilah “pembelajaran” sama dengan “instruction” atau “pengajaran”.
Pengajaran mempunyai arti cara mengajar atau mengajarkan. Sedang
pembelajaran adalah proses atau cara perbuatan menjadikan orang atau makhluk
hidup belajar.38 Dengan demikian pengajaran diartikan sama dengan perbuatan
belajar (oleh siswa) dan mengajar (oleh guru). Kegiatan belajar mengajar adalah
satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah. Kegiatan belajar adalah kegiatan
primer, sedangkan mengajar adalah kegiatan sekunder yang dimaksudkan agar
terjadi kegiatan secara optimal.
Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari
guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada
diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan
baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha.
B. Tujuan Pembelajaran
Tujuan artinya suatu yang dituju, yaitu yang akan dicapai dengan suatu
kegiatan atau usaha. Sesuatu kegiatan akan berakhir, bila suatu tujuan telah
dicapai. Kalau tujuan itu bukan tujuan akhir, kegiatan berikutnya akan langsung
dimulai untuk mencapai tujuan-tujuan selanjutnya dan terus begitu sampai tujuan
akhir.
Kegiatan pembelajaran harus mempunyai tujuan, karena setiap kegiatan
yang tidak mempunyai tujuan akan berjalan meraba-raba, tak tahu arah tujuan.
Tujuan yang jelas dan berguna akan membuat orang lebih giat, terarah dan
sungguh-sungguh. Semua kegiatan harus berorientasi pada tujuannya. Segala daya
dan upaya pembelajaran harus dipusatkan pada pencapaian tujuan itu. Karena itu
tujuan pembelajaran harus berfungsi sebagai:39
1. Titik pusat perhatian dan pedoman dalam melaksanakan kegiatan
pembelajaran,
2. Penentu arah kegiatan pembelajaran,
38 Tim Penyusun dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007). H 17 39 W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 28.
21
3. Titik pusat latihan dan pedoman dalam menyusun rencana kegiatan
pembelajaran,
4. Bahan pokok yang akan dikembangkan dalam memperdalam dan memperluas
ruang lingkup pembelajaran,
5. Pedoman untuk mencegah atau menghindari penyimpangan kegiatan.
Sementara itu, tujuan pendidikan Islam adalah kepribadian muslim, yaitu
suatu kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang
berkepribadian Islam dalam Al-Qur’an disebut juga “muttaqin”. Karena itu
Pendidikana Islam berarti juga pembentukan manusia yang bertaqwa. Ini sesuai
benar dengar pendidikan nasional kita yang dituangkan dalam tujuan pendidikan
nasional yang akan membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.40
Tujuan pembelajaran agama Islam harus berisi hal-hal yang dapat
menumbuhkan dan memperkuat iman serta mendorong pada kesenangan
mengamalkan ajaran agama Islam. Proses pencapaian itu hendaknya sekaligus
membina keterampilan mengamalkan ajaran Islam itu. Untuk itu diperlukan usaha
pembentukan materi yang akan memperkaya murid dengan sejumlah
pengetahuan, membuat mereka dapat menghayati dan mengembangkan ilmu itu,
juga membuat ilmu yang mereka pelajari itu berguna bagi mereka. Tujuan ini
hendaknya mengandung sifat pemberian dan penanaman ilmu agama (kognitif)
dan keterampilan mengamalkan ajaran agama (psikomotor). Untuk itu tujuan
pembelajaran agama Islam itu harus mengandung bahan pelajaran yang bersifat:41
1. Menumbuh dan memperkuat iman,
2. Membekali dan memperkaya ilmu agama,
3. Membina keterampilan beramal,
4. Menuntun dan mengembangkan potensi yang dibawa sejak lahir sebagai
manusia secara utuh (individual),
40 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul, Seni Mendidik
Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, cet I, 2003), h. 124. 41 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan,... h. 27
22
5. Menumbuhkan dan memupuk rasa sosial dan sifat-sifat terpuji,
6. Pemberian pengetahuan dan keterampilan yang dapat diamalkan dan
dikembangkan dalam berbagai lapangan pekerjaan untuk mencari nafkah
(tenaga profesional).
Secara umum dan ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran
agama Islam itu harus mengandung berbagai aspek pembinaan manusia
seutuhnya, sehingga nantinya ia dapat hidup dengan baik sebagai manusia
pancasilais yang bertaqwa kepada Allah dalam ajaran Islam.
C. Prinsip-Prinsip Pembelajaran dalam Islam
Ide mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan dan pembelajaran banyak
tertuang dalam ayat-ayat Al-Quran dan Hadits. Dalam hal ini akan dikemukakan
ayat-ayat atau hadits-hadits yang dapat mewakili dan mengandung ide tentang
prinsip-prinsip dasar pendidikan tersebut, dengan asumsi dasar, bahwa pendidikan
sejati atau Maha Pendidik itu adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia
dengan segala potensi dan kelebihan serta menetapkan hukum-hukum
pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya, sekaligus jalan yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuannya. Prinsip prinsip tersebut adalah sebagai
berikut:42
Pertama, Prinsip Integrasi. Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah
bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu,
mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar
masa kehidupan di dunia ini benar-benar bermanfaat untuk bekal yang akan
dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat
dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan-kelayakan itu
terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan.43 Allah Swt Berfirman,
42 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite Press,
2004), h. 25-30. 43 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, ....h. 25
23
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu
dari kenikmatan duniawi....” (QS. Al Qashash [28]: 77).
Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan segala
yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka
pengabdian kepada Tuhan.
Kedua, Prinsip Keseimbangan. Karena ada prinsip integrasi, prinsip
keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan
pembinaan manusia tidak ada kesenjangan. Keseimbangan antara material dan
spiritual, unsur jasmani dan rohani. Banyak ayat Al-Quran menyebutkan iman dan
amal secara bersamaan.,44 secara implisit hal ini menggambarkan kesatuan yang
tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS. Al ‘Ashr [103]: 1-3
“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang
beriman dan beramal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran
dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr [103]:1-3)
Ketiga, Prinsip Persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang
manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik
antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna
kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.45
Keempat, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup. Prinsip ini bersumber dari
pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan
manusia, di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai
tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang
kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk
44 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam... h. 26-27. 45 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, ...h.28.
24
mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, di samping
selalu memperbaiki kualitas dirinya.46 Sebagaimana firman Allah,
“Maka siapa yang bertaubat sesudah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya)
maka Allah menerima taubatnya, dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah [5]: 39)
Dalam Islam, pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu
tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education). Islam
memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan
pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan
porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu
(pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang
ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan
duniawi juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak
tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini.47
Kelima, Prinsip Keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa
pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang
mempunyai ruh yang segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada
keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai-nilai
moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang
paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik
bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih
dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang
46 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam,...h. 29 47http://hasanrizal.wordpress.com tafsir-tarbawi-pendidikan-dalam-perspektif-al-quran.
diakses tanggal 20 November 2010.
25
ditunjukkan oleh pendidik tersebut.48
D. Metode dan Teknik Pembelajaran
Metode secara bahasa berarti suatu cara yang teratur untuk mencapai suatu
tujuan.49 Metode juga dapat diartikan dengan cara yang digunakan pendidik
dalam menyampaikan materi bahan ajar kepada anak didik, berdasarkan tujuan
yang ingin dicapai dalam sebuah pengajaran, seperti, ceramah, diskusi (halaqah),
tanya jawab.
Dalam tradisi Islam banyak teknik pengajaran. Namun yang paling awal
adalah teknik hafalan50 yang sudah ada sejak zaman nabi, karena saat itu belum
muncul tradisi menulis sehingga dibutuhkan teknik meghafal yang kuat untuk
menghafal ayat-ayat Al-Quran.51
Metode pembelajaran yang kurang efektif dan efisien, menyebabkan tidak
seimbangnya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik, misalnya
pembelajaran yang monoton dari waktu ke waktu, guru yang bersifat otoriter dan
kurang bersahabat dengan siswa sehingga siswa merasa bosan dan kurang minat
belajar. Untuk mengatasi hal tersebut maka guru sebagai tenaga pengajar dan
pendidik harus selalu meningkatkan kualitas profesionalismenya yaitu dengan
cara memberikan kesempatan belajar kepada siswa dengan melibatkan siswa
secara efektif dalam proses belajar mengajar
Metode pembelajaran bertujuan untuk menjadikan proses dan hasil belajar
mengajar ajaran Islam lebih berdaya guna dan berhasil guna serta menimbulkan
kesadaran anak didik untuk mengamalkan ketentuan ajaran Agama Islam melalui
48 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam,....h.30.
49 WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1999), h.
649 50Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), h.
121.
51Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan…………h. 124.
26
teknik motivasi yang menimbulkan gairah belajar anak didik secara mantap di
samping bermanfaat untuk mengantarkan tercapainya tujuan pendidikan yang
dicita-citakan.52
Penggunaan metode mengandung implikasi bersifat konsisiten, sistematis,
dan makna menurut kondisi sasarannya, mengingat sasaran metodenya adalah
manusia, sehingga pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya. Ada
banyak metode yang dikemukakan oleh para ahli dengan berbagai sebutan,
diataranya: 1. Maw`izhah (ceramah) 2. Kitabah (tulisan) 3. Hiwar (dialog) 4. Al-
as`ilah wa al-ajwibah (tanya jawab) 5. Al-Niqashy (diskusi) 6. Al-mujadalah
(debat) 7. Brain strorming 8. Al-qishash (bercerita) 9. Al-amstal (metafora) 10.
Karya wisata 11. Al-qudwah (imitasi) 12. Uswatun hasanah 13. Al-tathbiq
(demontrasi dan dramatisasi) 14. Game and simulation (permainan dan simulasi)
15. Al-mumarasat al-amal (drill) 16. Inquiry 17. Discovery 18. Micro teaching 19.
Modul belajar 20. Independent study (belajar mandiri) 21. Eksprimen 22. Kerja
lapangan 23. Case study 24. Targhib wa tarhib (janji dan ancaman) 25. Al-tsawab
wa al-`iqab (anugrah dan hukuman) 26. Musabaqah (kompetisi).53
E. Kedudukan Guru dalam Pembelajaran
Islam memberikan perhatian terhadap guru, sebab keberadaan guru seperti
batu pertama dalam struktur perkembangan dan kesempurnaan sosial serta jalan
bimbingan dan perubahan tingkah laku dan mentalitas individu serta individu.54
Pendidik (pengajar) memiliki kedudukan yang sangat mulia karena
tanggung jawabnya yang berat. Guru merupakan spiritual father bagi siswanya.
Hal ini disebabkan guru memberikan bimbingan jiwa siswanya dengan ilmu,
mendidik dan meluruskan akhlaknya. Menghormati guru berarti penghormatan
terhadap anak-anak kita, menghargai guru berarti penghargaan terhadap anak-
52 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam , Pengembangan Pendidikan,... h. 91. 53Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam , Pengembangan Pendidikan,...h. 92.
54 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul, Seni Mendidik
Islami,...h. 136.
27
anak kita. Dengan guru itulah mereka hidup dan berkembang. Bahkan Abu
Dardaa melukiskan hubungan guru dan murid itu sebagai pertemanan dalam
kebaikan dan tanpa keduanya maka tidak ada kebaikan.55
Guru adalah teladan para murid, murid memperoleh sifat yang baik, serta
kecenderungan yang benar, juga perilaku yang utama adalah dari guru mereka
yang memperlihatkan keutaman dan perilaku yang benar tesebut. Karena itu para
guru harus mendisiplinkan diri.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapati prilaku anak-anak yang meniru
prilaku orang lain yang menjadi pujaannya, seperti meniru gaya pakaian, meniru
gaya rambut, meniru gaya bicara. Hal serupa juga terjadi di sekitar lembaga-
lembaga pendidikan, seorang siswa yang meniru guru yang ia senangi, seperti
meniru cara menulis, cara duduk, cara berjalan, cara membaca dan lain
sebagainya. Semua ini membuktikan bahwa pada hakekatnya sifat meniru prilaku
orang lain merupakan fitrah manusia, terutama anak-anak. Sifat ini akan sangat
berbahaya jika peniruan dilakukan juga terhadap prilaku yang tidak baik.56
Ada dua bentuk strategi keteladanan; pertama, yang disengaja dan
dipolakan sehingga sasaran dan perubahan prilaku dan pemikiran anak sudah
direncanakan dan ditargetkan, yaitu seorang guru sengaja memberikan contoh
yang baik kepada muridnya supaya dapat menirunya. Kedua, yang tidak
disengaja, dalam hal ini guru tampil sebagai seorang figur yang dapat memberikan
contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari.57
Untuk dapat menjadikan “teladan” sebagai salah satu strategi, seorang
guru dituntut untuk mahir dibidangnya sekaligus harus mampu tampil sebagai
figur yang baik. Bagaimana mungkin seorang guru menggambar bisa
mengajarkan cara menggambar yang baik jika ia tidak mengusai tehnik-tehnik
menggambar, seorang guru ngaji tidak akan dapat menyuruh siswanya fasih
55 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan,…h. 51 56 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul,…h. 137 57 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul,…h. 137
28
membaca al-Quran jika dirinya tidak menguasai ilmu membaca al-Qur’an dengan
baik, guru matematika akan dapat memberi contoh cara menghitung yang baik
jika iapun menguasai cara menghitung dengan baik, jangan harap seorang guru
bahasa Indonesia akan dapat mengajar membaca puisi dengan baik jika dirinya
saja tidak mahir dalam bidang ini, demikianlah seterusnya dengan disiplin ilmu
yang lain.
Dalam hal ini guru sebagai teladan, keteladanan memberikan pengaruh
yang lebih besar daripada cacian atau nasehat. Jika perilaku seorang guru bertolak
belakang dengan apa yang diajarkannya maka bisa dikatakan bahwa proses belajar
dan mengajar gagal.58
G. Teori-teori Pembelajaran dalam Psikologi
Belajar dan pembelajaran merupakan proses penting bagi perubahan
perilaku manusia dari segala sesuatu yang diperkirakan dan dikerjakan. Belajar
memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan,
tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi manusia. Oleh karena itu dengan
menguasai prinsip-prinsip dasar tentang pengajaran seseorang mampu memahami
bahwa aktivitas belajar itu memegang peranan penting dalam proses psikologis.
1. Teori Pembelajaran Behavioristik
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan
perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dinilai secara konkret. Perubahan
terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan
perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans
tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun
eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat
atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti
penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan perilaku S-R
58 Jaudah Muhammad Awwad, Mendidik Anak Secara Islam (Terj), (Jakarta: Gema Insani Pers, 2003), h. 3.
29
(Stimulus-Respon).59
Contohnya, dalam percobaan apabila di luar sangkar diletakkan
makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara
meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah
menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing
segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali,
dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat
dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan
makanan.60
Berdasarkan eksperimen di atas, semakin jelas bahwa belajar
adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus
dan respon.
2. Teori Pembelajaran Sosial
Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar
perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini
dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian
besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberi lebih
banyak penekanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat pada perilaku, dan
pada proses-proses mental internal. Jadi, dalam teori pembelajaran sosial
kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan
penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita
belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial “manusia” itu tidak
didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh
stimulus-stimulus lingkungan.61
Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan
59 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,...62.
60 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan
Kompetensi,… h. 63.
61http://anwarholil.blogspot.com/2009/01/teori-pembelajaran-sosial.html . 9-11-10.
30
yang dihadapkan pada seseorang tidak random, lingkungan-lingkungan itu
kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri.
Menurut Bandura, sebagaimana yang dikutip oleh Tohirin bahwa
“sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan
mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari teori pembelajaran sosial
adalah pemodelan (modelling), dan permodelan ini merupakan salah satu
langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.62
3. Teori Pembelajaran Kognitif
Teori kognitif tertuju kepada hal-hal yang terjadi di dalam kepala
kita ketika belajar. Teori kognitif juga mengambil perspektif bahwa siswa
secara aktif memproses informasi dan pembelajaran berlangsung melalui
usaha-usaha siswa ketika siswa mengaturnya, menyimpannya dan
kemudian menemukan hubungan-hubungan antara informasi, hubungan
baru dengan pengetahuan lama, skema, dan teks, pendekatan kognitif
menekankan bagaimana informasi di proses.63
4. Teori Pembelajaran Konstruktif
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan,
bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran.
Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena
adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.64
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang
meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru
62 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan
Kompetensi,… h. 67
63 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 63.
64 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 65.
31
atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan
rangsangan itu.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh
secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan,
perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif
memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan,
perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan
tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.
H. Karakteristik Pengajar
Al-Mawardi, sebagaimana yang dikutip Abuddin Nata,
memandang seorang guru yang baik adalah guru yang tawadhu (rendah hati),
menjauhi sikap ujub (besar kepala) dan memiliki rasa ikhlas. Selain itu, dalam
melaksanakan tugasnya seorang guru harus dilandasi dengan kecintaan terhadap
tugasnya sebagai guru, kecintaan ini akan benar-benar tumbuh dan berkembang
apabila keagungan, keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar
dapat dihayati.65
Selanjutnya Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas
dasar motif ekonomi. Dalam pandangannya bahwa mengajar dan mendidik
merupakan aktivitas keilmuan, sementara ilmu itu sendiri mempunyai nilai dan
kedudukan yang tinggi, yang tidak dapat disejajarakan dengan materi. Tugas
mendidik dan mengajar dalam pandangan Al-mawardi adalah tugas luhur dan
mulia, itulah sebabnya dalam mendidik dan mengajar seseorang harus semata-
mata mengharap keridhaan Allah SWT. Apabila yang dituju dari tugas mengajar
adalah materi, maka pengajar akan mengalami kegoncangan ketika ia merasa
bahwa kerja yang dipikulnya tidak seimbang dengan hasil yang diterimanya.66
Menurut Tohirin sebagaimana yang dikutip dari Surya, untuk mewujudkan
prilaku mengajar yang tepat, guru diharapkan memiliki karakteristik mengajar
65 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 50. 66 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 51.
32
antara lain:67
1. Memiliki minat yang besar terhadap pelajaran dan mata pelajaran yang
diajarkan,
2. Memiliki kecakapan untuk memerhatikan kepribadian dan suasana hati secara
tepat serta membuat konak secara tepat pula,
3. Memiliki kesabaran, keakraban, sensitivitas yang diperlukan untuk
menumbuhkan semangat belajar,
4. Memiliki pemikiran yang imajinatif dan praktis dalam usaha memberikan
penjelasan kepada peserta didik,
5. Memiliki kualifikasi yang memadai dalam bidangnya baik ini maupun
metode,
6. Memiliki sifat yang terbuka, luwes, dan eksperimental dalam metode dan
teknik.
Sementara itu, dalam pendidikan Islam, seorang pendidik pula hendaknya
memiliki karakteristik yang dapat membedakannya dari yang lain. Dengan hal itu,
maka diharapkan seorang pendidik mampu bersikap totalitas berpadu antara
karakter dan kepribadiaannya. An-Nahlawi membagi karakter pendidik Muslim
kepada beberapa bentuk, di antaranya:68
1. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dengan tujuan,
tingkah laku, dan pola fikirnya,
2. Bersifat ikhlas, melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata
mencari keridhaan Allah dan menegakkan kebenaran,
3. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta
didik,
4. Jujur dalam menyampaikan yang diketahuinya.
5. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus
mendalami dan mengkaji lebih lanjut.
67 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 79.
68 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat Press,
2005) , h. 45-46.
33
6. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi.
7. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan
proporsional,
8. Mengetahui kehidupan psikis peserta didik.
9. Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat
memengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola berpikir peserta didik.
10. Berlaku adil terhadap peserta didik.
Dalam pandangan yang tidak jauh berbeda al-Abrasyi memberikan batasan
tentang karakteristik pendidik. Di antara kriteria dan karakteristik pendidik itu
adalah:69
1. Seorang pendidik hendaknya memiliki sifat zuhud. Yaitu, melaksanakan
tugasnya bukan semata-mata karena materi akan tetapi lebih dari itu mencari
keridhaan Allah.
2. Seorang pendidik hendaknya bersih fisiknya dari kotoran dan jiwanya dari
sifat tercela.
3. Seorang pendidik hendaknya ikhlas dan tidak ria dalam menjalankan
tugasnya.
4. Seorang pendidik hendaknya bersifat pemaaf dan memaafkan orang lain,
sabar dan sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga
kehormatannya.
5. Seorang pendidik hendaknya mampu mampu mencintai peserta didiknya
sebagaimana ia mencintai anaknya sendiri.
6. Seorang pendidik hendaknya mengetahui karakter peserta didiknya, seperti;
pembawaan, kebiasaan, perasaan, dan berbagai potensi yang dimilikinya,
7. Seorang pendidik hendaknya menguasai pelajaran dengan baik dan
professional.
Dari batasan kriteria karakteristik di atas, terlihat jelas bahwa menjadi
seorang pengajar atau pendidik tidaklah mudah. Seorang pengajar hendaknya
memiliki persyaratan tertentu sebelum profesi itu ditekuninya.
69 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,... h. 46
34
I. Peserta Didik (Manusia) dalam Pandangan Islam
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat
pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu
yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan
bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari
struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang
individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari
segi fisik dan mental maupun fikiran.
Sementara itu ciri–ciri peserta didik adalah sebagai berikut :70
1. Kelemahan dan ketakberdayaannya
2. Berkemauan keras untuk berkembang
3. Ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan)
Syamsul Nizar sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis,
mendeskripsikan enam kriteria peserta didik, yaitu :71
1. Peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya
sendiri
2. Peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan
3. Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu
baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
4. Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur
jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati
nurani dan nafsu
5. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat
dikembangkan dan berkembang secara dinamis
70 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta:PT Rineka Cipta, cet -II,
2006), h, 40. 71 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006). h. 77.
35
Widodo Supriyono, secara garis besar membagi dimensi menjadi dua,
yaitu dimensi fisik dan rohani. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa secara
rohani manusia mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya.
Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu (Ulil Albab),
dapat berfikir atau merenung, memepergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa,
mengingat, atau mengambil pelajaran, mendengar firman tuhan, dapat berilmu,
berkesenian, dapat menguasai tekhnologi tepat guna dan terakhir manusia lahir
keduania dengan membawa fitrah.72
Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak
dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup di dunia. Manusia
mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan
kepada akal menerangkan ada tujuh kata yang digunakan :73
1. Kata Nazara, dalam surat al-Ghasiyyah ayat 17 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan”
2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati
mereka terkunci?”
3. Kata Tafakkara, dalam surat an-Nahl ayat 68 :
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “buatlah sarang-sarang
72 Widodo Supriono, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam,
Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996, h. 171. 73 Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan Dalam Pandangan Al-Quran, (Jakarta: Gema Insani
Pers, 2006), h. 72.
36
dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempattempat yang dibuat manusia”.
4. Kata Faqiha, dalam surat at-Taubah 122 :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya
(kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
5. Kata Tadzakkara, dalam surat an-Nahl ayat 17 :
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak
dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.
6. Kata Fahima, dalam surat al-Anbiya ayat 78 :
“Dan ingatlah kisah Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing
kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan
oleh mereka itu”.
7. Kata ‘Aqala, dalam surat al-Anfaal ayat 22 :
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi
Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun.
Manusia memiliki potensi untuk mengetahui, memahami apa yang ada di
alam semesta ini. Serta mampu mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan
fenomena yang lainnya. Karena hanya manusia yang disamping diberi kelebihan
37
indera, manusia juga diberi kelebihan akal.74 Yang dengan inderanya dia mampu
memahami apa yang tampak dan dengan hatinya dia mampu memahami apa yang
tidak nampak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
“Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya”.
Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan
hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.
Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta
ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum
Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukum-
hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk
memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan.75
Namun, di sisi lain manusia juga memiliki nafsu yang cenderung
mendorong manusia untuk menuruti keinginannya. Nafsu jika tidak terkontrol
maka yang terjadi adalah keinginan yang tiada akhirnya. Nafsu juga tidak jarang
menjerumuskan manusia dalam lembah kenistaan. Dalam al-Qur’an surat Yusuf
ayat 53 disebutkan:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku”.
Al-Qur’an menandaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang
mampu menciptakan lingkungan yang baik, kondusif, yang bermanfaat bagi
seluruh alam. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya.
Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara pancaindera, akal dan
wahyu. Dengan pancaindera dan akal (hati), manusia bisa menilai sebuah
74 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 436. 75 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,... h. 436.
38
kebenaran (etika) dan keindahan (estetika). Karena dua hal ini adalah piranti
utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, disamping
memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki kekurangan. Sehingga keduanya
masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan tentang hakikat suatu
kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat memahami posisinya
sebagai khalifah fil ardh.76
Etika peserta didik adalah seuatu yang harus dipenuhi dalam proses
pendidikan. Dalam etika peserta didik, peserta didik memiliki kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis,
menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban peserta didik, yaitu :77
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh kepada Allah SWT,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk
mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela.
2. Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan
pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
3. Menjaga pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai aliran
4. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk
duniawi.
5. Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah
menuju pelajaran yang sukar.
6. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang
lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara
mendalam.
7. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
8. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
9. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu
yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akherat.
10. Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.
76 Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 117-121.
77 Abd. Mujid dalam Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 98
39
Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam
menuntut ilmu, maka peserta didik harus mampu memahami etika yang harus
dimilkinya, yaitu :78
1. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum
menuntut ilmu.
2. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai
sifat keutamaan.
3. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di
berbagai tempat.
4. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
5. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.
Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat
akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu :79
1. Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa
sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus
dikerjakan dengan hati yang bersih.
2. Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka
menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah.
3. Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan
dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.
4. Harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau
pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan
mempergunakan beberapa cara yang baik.
78 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ………., ..h. 110
79 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,…………..h. 110.
40
BAB III
SEPUTAR PENAFSIRAN KISAH KHIDIR DAN MUSA
QS AL-KAHFI 60-82
A. QS al-Kahfi ayat 60-61
Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak
akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau
aku akan berjalan sampai bertahun-tahun" (60).
“Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai
akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.” (61).
Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang perjalanan Nabi Musa AS yang
ingin menimba Ilmu dari Nabi Khidir AS. Pertemuan Nabi Musa dengan Nabi
Khidir memang tidak dijelaskan secara detail kapan dan dimana tempatnya, akan
tetapi kumpulan ayat-ayat yang membincangkan kisah mereka banyak
mengandung pelajaran.
Kisah tentang Musa dalam rangkaian ayat-ayat ini tidak menyebutkan
asal-muasalnya. Adapun penjelasan itu dapat dilihat dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori. Ibnu Abbas mendengar Ubai bin Kaab
berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Musa berdiri khutbah di
hadapan Bani Israil, kemudian ia ditanya, “Siapa Manusia yang paling pintar?”
Musa menjawab, “Saya”. (Atas jawaban itu) Allah SWT mencela Musa yang
41
tidak mengembalikan ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada
Musa bahwasannya seorang hamba-Ku berada di tempat bertemunya dua laut dia
lebih pintar daripadamu. Kemudian Musa bertanya, “Bagaimana aku dapat
bertemu dengannya?” Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan lalu tempatkan ia
di wadah. Maka, dimana engkau kehilangan ikan itu, di sanalah dia. (HR
Bukhori).80
Manakala Nabi Musa menyimak hal itu, dia bertekad ingin menemui
hamba shalih tersebut untuk menimba ilmu darinya. Prof. Dr. Quraish Shihab
menyebutkan, kata huquban ( احقب ( yang menunjukkan waktu yang lama ada yang
berpendapat setahun, tujuh puluh tahun, atau delapan puluh tahun, bahkan
sepanjang masa. Al-Maraghi menjelaskan, Musa tertantang untuk menemui
hamba shalih itu, meski menguras tenaga, bersusah payah dan menempuh
perjalanan yang panjang.81 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, ”Dan
(ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan
sampai bertahun-tahun." (QS al-Kahfi [18]; 60).
Berdasar hadis al-Bukhari di atas, Nabi Musa memohon kepada Allah agar
ditunjukkan tempat keberadaan hamba shalih. Allah tidak memberitahu kepada
Musa secara langsung. Akan tetapi, memberitahu dengan isyarat bahwa dia berada
di tempat bertemunya dua laut. Terkait tempat bertemunya dua laut menurut
Sayyid Qutub adalah antara, Laut Rum dan Qalzum atau laut putih dan laut
merah.82 Allah memerintahkan Musa supaya membawa serta ikan yang telah
mati. Karena Musa akan menemukan hamba shalih di tempat di mana Allah
menghidupkan ikan itu.
Dalam pengembaraan mencari hamba shalih, Musa berjalan dengan
80 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min
Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, Cet 3 1987) j. 4 h. 1757. Hadis no. 4450.
81 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Maktabah Mustafa al-Babi al-
Halabi wa Awladih, 1946) J. 15 h. 175 82 Sayyid Qutub, Tafsir fi Zilalil Quran, (t.tp, Mauqiu Tafasir, t.th) j. 5 h. 71.
42
seorang yang disebut dalam al-Quran dengan istilah fata, pemuda (الفتي)—al-
Maraghi menyebutkan pemuda itu bernama Yusa’ dalam hadis riwayat imam al-
Bukhori disebutkan pemuda itu adalah Yusa’ bin Nun—menuju tempat
bertemunya dua laut.83
Pakar tafsir Indonesia Quraish Shihab, menjelaskan makna fata tersebut,
bahwa pada mulanya fata digunakan untuk menyebutkan anak muda, lalu kata ini
digunakan untuk menyebut pembantu. Orang jahiliah menyebut pembantu dengan
’abd ( بدع ). Rasulullah melarang hal itu dan mengganti dengan fata, menurut
Quraish agaknya hal itu dilakukan karena seorang dalam keadaan apa pun tak
wajar diperbudak, sebaliknya manusia tetap harus diperlakukan dengan baik
selayaknya manusia. Atau rasul menyebut hal itu lantaran al-Quran menyebutkan
dengan kata fata. Dengan demikian, seorang yang menemani Nabi Musa adalah
orang yang selalu membantunya dan barangkali dalam pandangan masyarakat ia
adalah seorang hamba sahaya.84
Musa meminta kepada si pemuda agar memberitahu jika ikan itu hidup.
Ketika keduanya telah sampai di sebuah tempat bertemunya dua laut. Nabi Musa
berbaring di balik batu untuk beristirahat karena perjalanan panjang yang
membuatnya letih. Di tempat tersebut ikan itu bergerak-gerak di dalam keranjang.
Dengan kodrat Allah SWT ia hidup, melompat ke laut, membuat jalan yang
terlihat jelas. Maka airnya berbentuk seperti pusaran, dan Allah menahan laju air
dari ikan tersebut.
Kata saraban (سربا) sendiri dalam penjelasan ma’na mufradat, al-Maraghi
mengartikan dengan terowongan, maka air itu berbentuk seperti
jembatan/pusaran.85
Al-Maragi menyebutkan, bagi Musa hidupnya ikan tersebut merupakan
mukjizat. Ikan mendapati jalannya. Sedangkan kisah yang menyebutkan bahwa air
83 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, j. 4 h. 1757.
84 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, cet II 2004) v. 8 h. 90.
85 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 174.
43
berbentuk jembatan/pusaran tidaklah wajib bagi kita untuk meyakininya kecuali
ada nash qat’i yang menyebutkannya.86 Pendapat Ibnu Asyur yang disebutkan
dalam Tafsir al-Misbah juga menyebutkan bahwa ikan itu menghilang menuju
terowongan (saraban) dan Musa kemudian mengikuti jalan itu. Namun, pendapat
ini ditolak banyak ulama yang cenderung memahami pertemuan kedua tokoh itu
di tempat bertemunya dua pantai.87
B. QS Al-Kahfi ayat 62-64
Artinya, “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada
muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih
karena perjalanan kita ini" (62).
“Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung
di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan
tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan
itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali" (63).
“Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula.” (64).
Pada hari setelah berjalan siang dan malam Musa merasa letih dan
meminta makanannya kepada pemuda. ”...Bawalah kemari makanan kita;
86 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 175-176.
87 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 91.
44
sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini" (QS al-Kahfi
[18]; 62)
Permintaan Musa untuk diambilkan makanannya, mengingatkan pemuda
kepada ikan, maka dia pun menyampaikan perkara ikan tersebut kepada Musa.
Menurut al-Maraghi makanan menjadi hikmah yang mengingatkan pemuda pada
ikan.88 ”Muridnya berkata, "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat
berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan
itu dan tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan
ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." (QS al-Kahfi
[18]; 63)
Pada penuturan pemuda tentang perkara ikan, ia menyalahkan setan yang
telah melupakannya. Hal tersebut dikarenakan peristiwa yang dialaminya benar-
benar ajaib.
Kata ‘ajaban (عجبا) sendiri ada yang memahaminya dengan keadaan
tempat itu mengherankan manakala ikan berjalan ke laut. Ada pula yang
berpendapat keheranan pembantu Musa, bagaimana ia bisa lupa untuk
menyampaikan kisah ikan itu.89
Menimpali penjelasan pemuda itu, “Musa berkata, "Itulah (tempat) yang
kita cari." Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (QS al-Kahfi
: 64)
Al-Biqa’i sebagaimana dikutip oleh al-Maraghi, menyebutkan, bahwa
jalan yang dilalui oleh Musa adalah pasir, yang tidak bertanda. Jelasnya, Allah
lebih mengatahui apakah tempat itu pertemuan antara nail dan garam atau
petunjuk dari kota Misr (mesir). Dengan penegasan tambahan, yaitu
bertenggernya burung di perahunya.90
88 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 176. 89 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 93. 90 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 177.
45
C. QS Al-Kahfi ayat 65
Artinya, “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-
hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Keduanya melewati tempat yang ditentukan, hingga kelelahan. Musa dan
pemuda berjalan berbalik menyusuri jejak semula yang telah mereka lalui, demi
menuju ke batu tempat mereka beristirahat. ”Lalu mereka bertemu dengan seorang
hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat
dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS
al-Kahfi : 65)
Banyak ulama yang berpendapat bahwa kata ’abdan (عبدا), hamba dalam
ayat ini adalah Nabi Khidir. Quraish Shihab menjelaskan, penafsiran kata ’abdan
beragam dan bersifat irrasional. Khidir sendiri bermakna hijau. Nabi Saw
bersabda, bahwa penamaan tersebut karena suatu ketika ia duduk di bulu yang
berwarna putih, tiba-tiba warnanya beerubah menjadi hijau (HR. Bukhari melalui
Abu Hurairah). Quraish menambahkan, agaknya penamaan serta warna itu
sebagai simbol keberkatan yang menyertai hamba Allah yang istimewa itu.91
Tentang Khidir, al-Maragi telah menyebutkan dengan pendapat yang kuat.
Khidir adalah laqab untuk teman Musa yang bernama Balwan bin Mulkan.
Sementara itu, kebanyakan ulama berpendapat ia adalah seorang nabi. Pendapat
itu didukung oleh beberapa dalil. Pertama, firman Allah SWT, ” Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami” rahmat dalam potongan ayat ini adalah
nubuwwah berdasarkan firman Allah yang berbunyi, “Apakah mereka
membagikan rahmat dari Tuhan-mu”
Kedua, firman Allah SWT, ” telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami,” potongan ayat ini menunjukkan bahwa Khidir telah diberi ilmu tanpa
91 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 94.
46
perantara dan petunjuk seorang mursyid. Hal ini hanya didapati oleh para nabi.
Ketiga, Musa berbicara kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu,” ayat ini menunjukkan bahwa Musa
ingin belajar pada Khidir. Dan nabi tidak belajar kecuali kepada nabi. Keempat,
firman Allah, “dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.”
maksudnya, aku mengerjakannya berdasarkan wahyu dari Allah. Dan ini
menunjukkan dalil nubuwwah.92
Dalam ayat ini pula, keterangan tentang Khidir bertambah. Yaitu, Khidir
diberikan rahmat dan ilmu. Terkait dua bekal yang diberikan kepada Khidir ini,
para ulama kemudian memberi tafsir tentang rahmat dan ilmu yang diberikan
kepada Khidir.
Istilah 'indi (عند) dan ladun (لدن) dinilai oleh Ibnu Asyur hanya sebagai
penganekaragaman agar tidak terulang dua kata yang sama dalam satu redaksi.
Sementara itu, al-Biqai dan Thabathabai tidak berpendapat demikian. Mengutip
Abu Hasan al-Harrari, pemakaian kata 'indi pada 'rahmat' menunjukkan bahwa
rahmat yang diberikan kepada Khidir adalah sesuatu yang jelas, nampak. Dengan
demikian, rahmat itu nampak dan jelas pada diri Khidir.
Sedangkan ilmu yang digandeng sebelumnya dengan kata ladun, menurut
Abu Hasan menunjukkan sesuatu yang tidak nampak. Yaitu, berupa ilmu bathin
yang tersembunyi, yang pasti hal tersebut adalah milik dan berada di sisi Allah
semata-mata.
Thabathabai berpendapat serupa, namun tak sama. Thabathabai lebih jelas
lagi, bahwa nikmat Allah yang zahir dapat diperoleh dari beraneka ragam sebab.
Sedang nikmat Allah yang bathin tidak melalui satu sebab pun. hal ini seperti
kenabian dan kewalian. Dan dalam ayat ini dengan kata 'indi, menunjukkan
rahmat yang diberikan lebih khusus lagi, tanpa pihak lain dan bersifat bathiniyyah
yang pada hal ini adalah kenabian. Namun tambahnya, penggunaan kata jamak
'indina, menunjukkan ada kerja malaikat dalam penyampaian wahyu itu.
Sedangkan pemberian ilmu yang menggunakan kata ladun, menurut
92 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 172-173.
47
Thabathabai juga bukan merupakan pemberian ilmu dengan cara biasa. Ini
menunjukkan ilmu yang diberikan bukan ilmu kasby, namun ia adalah anugrah
khusus bagi para auliya.93
D. QS Al-Kahfi ayat 66-68
Artinya, "Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang
telah diajarkan kepadamu?" (66)
"Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersama aku." (67)
"Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (68).
Setelah pertemuan itu, komunikasi di antara Nabi Musa dan Nabi Khidir
dilanjutkan. Diawali dengan pertanyaan Musa dilontarkan kepada Khidir.
Pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan dengan nada yang mewajibkan atau
memaksa. Dan, contoh inilah yang menurut Ibnu Katsir hendaknya pula diikuti
oleh para pembelajar (murid) kepada pengajar (guru).94
Musa menanyakan kebolehan atau izin untuk mengikuti Khidir (atau
menemaninya), kemudian agar diperkenankan untuk diberikan suatu pelajaran
yang telah Allah ajarkan. “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (QS al-Kahfi [18]; 67) Menurut Ibnu
93 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 95-96. 94 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Riyad: Daaru Thaibah, Cet 2 1999), j. 5 h.
181.
48
Katsir, maksudnya, sudikah kiranya Engkau (Khidir) menunjukiku dalam
urusanku dari ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.95
Quraish Shihab menambahkan, kata attabi’uka (أتبعك) yang di dalamnya
terdapat penambahan huruf ta menunjukkan kesungguhan. Memang demikianlah
seharusnya seorang pelajar harus bertekad untuk bersungguh-sungguh
mencurahkan perhatian bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Lanjut Quraish, bahwa permintaan Musa kepada Khidir untuk diajarkan
dengan bahasa yang sangat halus. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan Musa.
“Bolehkah aku mengikutimu,” selanjutnya beliau menamai pengajaran yang
diharapkannya itu sebagai ikutan, yaitu beliau menjadikan dirinya sebagai
pengikut dan pelajar. Beliau juga menggarisbawahi kegunaan pengajaran itu
untuk dirinya pribadi yakni “untuk menjadi petunjuk” baginya. Pada sisi lain, Nabi
Musa juga menyebutkan bahwa Khidir adalah hamba saleh dengan keluasan ilmu.
Dengan begitu, Musa hanya meminta sebagian ilmu, “sebagian dari apa yang
telah diajarkan kepadanya”. Dan Nabi Musa juga tidak mengatakan, “apa yang
engkau ketahui”. Karena, Nabi Musa benar-benar menyadari bahwa segala ilmu
bersumber dan pasti akan kembali kepada Allah SWT.96
Pada sisi lain, Nabi Khidir juga memberi jawaban yang tidak kalah
halusnya. Ia tidak serta-merta menolak secara langsung permintaan Musa,
melainkan memberinya jawaban dengan penilaian bahwa Musa tidak akan sabar
mengikutinya sambil menyertakan alasan yang logis dan tidak menyinggung
perasaan atas ketidaksabaranya itu.
Terkait jawaban Khidir, Ibnu Katsir menjelaskan, bahwasannya Maksud
Khidir adalah, engkau tidak akan tahan melihat apa yang akan aku perbuat, karena
sangat kontra dengan syariat yang engkau miliki. Dan lantaran aku berdasarkan
ilmu yang Allah ajarkan kepadaku namun tidak Allah ajakan kepadamu. Begitu
sebaliknya, engkau telah Allah ajari ilmu yang tidak dijarkan kepadaku. Oleh
95 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178. 96 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 98
49
karena itu, kita memiliki perkara masing-masing. Maka sebab itu, engkau tidak
mampu untuk mengikutiku.97
Khidir pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia
dalihkan. Dan dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan
kemaslahatan bathiniyyah yang Khidir dapat telaah.98
Dalam konteks ini, Quraish menambahkan, bahwa ucapan hamba Allah,
memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan
memberitahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu,
bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik tahu
bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan
dipelajari.99
E. QS Al-Kahfi ayat 69-70
Artinya, “Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai
orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun".
(69)
“Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu
menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu". (70)
Musa menjawab Khidir dengan janji untuk bersabar dan tidak mengingkari
dalam satu urusan pun. Quraish Shihab menyebutkan, penyertaan janji dengan
kata insya Allah ( اهللا إنشاء ), memberikan kesan bahwa kesabaran Nabi Musa
97 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181. 98 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181. 99 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 99
50
dikaitkan dengan kehendak Allah. Dengan begitu, Nabi Musa tidak dapat dinilai
berbohong dengan ketidaksabarannya itu, karena ia telah berusaha. Namun itulah
kehendak Allah yang bermaksud membuktikan adanya seorang yang memiliki
pengetahuan yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa AS.100
Lebih lanjut, Quraish menambahkan, apalagi dalam belajar, khususnya
dalam mempelajari hal-hal yang bersifat bathiniah/tasawuf. Ini lebih penting lagi
bagi seorang yang telah memiliki pengetahuan, karena boleh jadi pengetahuan
dimilikinya tidak sejalan dengan sikap atau apa yang diajarkan oleh sang guru.
Pada sisi lain, jawaban Khidir menurut al-Maraghi maksudnya adalah
jangan engkau meminta jawaban atas sesuatu yang engkau ingkari sampai aku
menyebutkan kebenarannya. Karena sesungguhnya aku tidak melakukan sesuatu
kecuali itu adalah hal yang benar dalam urusanku meskipun secara jahir bertolak
belakang. Sebagai adab pelajar kepada guru maka Musa menerima syarat yang
diberikan oleh Khidir.101
F. QS Al-Kahfi ayat 71-73
Artinya, “Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki
perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melubangi
perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya
kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” (71)
“Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". (72)
100 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 100-101. 101 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178.
51
“Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku
dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam
urusanku".(73)
Maka keduanya berjalan di pantai menuju perahu, Khidir mengenalkan
orang-orang yang menaiki perahu kemudian membawa mereka tanpa imbalan.
Sampai ketika keduanya—Musa dan Khidir—telah menaiki perahu Khidir
melubanginya ketika telah sampai di tengah-tengah laut yang deras jelas al-
Maraghi.102 Quraish meninjau dari sisi bahasa, bahwa kata idza (إذا) dalam ayat
71 menunjukkan ketika dia naik perahu terjadi juga pelubangannya. Dan itu
mengisyaratkan bahwa sejak dini—sebelum menaiki perahu—mereka telah
mengetahui apa yang terjadi jika tidak melubanginya, serta pelubangan itu
merupakan tekadnya sejak semula.103
Kata inthalaqa (إنطلق) dipahami dalam arti ‘berjalan dan berangkat
dengan penuh semangat’. Lalu, penggunaan bentuk dual dalam kata ini
menunjukkan bahwa dalam perjalanan hanya terdapat dua orang, yaitu hamba
saleh dan Nabi Musa. Menurut Quraish Shihab ini agaknya disebabkan karena
maqam yakni derajat keilmuan dan ma’rifat pembantunya itu belum sampai pada
tingkat yang memungkinkannya ikut dalam pengembaraan ma’rifat itu.104
Atas pelubangan itu, Musa dengan kelengahannya menanyakan dan
mengingkari apa yang dilakukan oleh Khidir—Mengapa kamu melobangi perahu
itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah
berbuat sesuatu kesalahan yang besar.
Khidir kemudian mengulangi pernyataan sebelumnya, Bukankah aku telah
berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".
102 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178.
103 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 102-103.
104 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 102.
52
Lebih lanjut Musa meminta keringanan atas kelupaan dan kesulitannya
dalam menjalani perkaranya itu. Al-Maragi menjelaskan, bahwa Musa meminta
agar Khidir tidak menyulitkannya dalam perkara dan keikutsertaannya. Tetapi
meminta untuk dimudahkan dan dijauhkan dari perdebatan.105 Rupanya
pemakaian kata imran (إمرا) dan ‘usra (عسرا) menurut Quraish Shihab
mengindikasikan betapa beratnya beban yang dipikul oleh Nabi Musa jika
ternyata hamba Allah itu tidak memaafkannya atau dengan kata lain tidak
mengijinkannya untuk belajar dan mengikutinya.
G. QS Al-Kahfi ayat 74-75
Artinya, “Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa
dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa
kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". (74)
“Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (75).
Hamba saleh itu memberikan maaf dan keduanya meneruskan perjalanan.
Kali ini, setelah selamat dari tenggelam mereka turun dari perahu, berjalan di
pantai kemudian Khidir melihat seorang anak remaja belum dewasa yang bermain
maka serta merta ia membunuhnya. Al-Quran tidak menyebutkan bagaimana
Khidir membunuh anak itu, jelas al-Maraghi.106
Melihat hal itu, Musa dengan penuh kesadaran, sebagaimana yang dikutip
Quraish dari Sayyid Qutub, dia tidak lupa lagi tapi dia benar-benar sadar lantaran
105 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
106 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
53
besarnya peristiwa itu.107 Musa berkata kepada Khidir, Mengapa kamu
membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar. al-Maraghi
menjelaskan, bantahan Musa karena remaja yang dimaksud adalah remaja yang
bersih dari dosa tanpa membunuh yang diharamkan? Dalam hal ini pembunuhan
dikhususkan bukan karena kekafiran setelah iman atau zina setelah menikah
karena itulah yang nampak pada peristiwa tersebut.108
Penentangan Musa kepada Khidir pada hal ini ditunjukkan dengan lebih
tegas. Kata yang dipakai untuk menunjukkan hal itu adalah nukran (نكرا),
kemungkaran yang besar. Jika dalam hal menenggelamkan perahu masih
mengindikasikan kemungkinan antara tenggelam dan tidak. Namun pembunuhan
seorang anak benar-benar jelas dan pasti. Pembunahan inilah yang menurut Musa
irasional dan telah mengahilangkan jiwa.
Di sisi lain, peneguran kedua kalinya hamba saleh juga disertai penekanan.
Ini nampak pada penggunaan kata laka(لك), kepadamu. Adapun jika kita
perhatikan peneguran hamba saleh yang pertama tidak disertai kata laka. Hal ini
menegaskan banwa kata itu memiliki daya tekan tersendiri. Demikian jelas al-
Maraghi dan Quraish Shihab.
H. QS Al-Kahfi ayat 76-77
Artinya, “Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu
sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu,
107 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 104.
108 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
54
sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". (76)
“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada
penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi
penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya
mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr
menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu". (77)
Pada ayat 76 Musa menyadari akan perbuatannya yang telah melakukan
dua kesalahan. Namun tekadnya yang kuat untuk meraih ma’rifat mendorongnya
memohon untuk diberi kesempatan terakhir. Musa AS berkata, jika aku bertanya
kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maksudnya, jika aku menanyakan
kepadamu tentang perbuatan-perbuatan asing yang aku saksikan serta aku
meminta penjelasan hikmahnya darimu, maka janganlah kamu memperbolehkan
aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.
Pernyataan Musa kali ini benar-benar menunjukkan penyesalan yang amat karena
terdesak oleh keadaan.
Diriwayatkan dalam hadis yang shahih, Nabi Saw bersabda, Rahmat Allah
menyertai kita dan Musa, jika ia bersabar atas temannya untuk melihat kejadian
yang aneh. Namun ia memberikan celaan kepada temannya.
Permintaan Musa untuk kali ini masih dikabulkan oleh hamba saleh itu.
Maka setelah peristiwa pembunuhan itu, keduanya berjalan sampai bertemu
dengan sebuah kampung, mereka meminta makanan, namun penduduk kampung
itu enggan untuk menjamu mereka.
Dalam sebuah hadis disebutkan, “mereka, penduduk negeri itu adalah
orang-orang tercela lagi pelit”. Adapun penjelasan, tetapi penduduk negeri itu
tidak mau menjamu mereka, dengan tidak menyebutkan ‘tidak mau memberi
makan’ menambahkan kehinaan mereka dan mensifati mereka dengan kerendahan
serta kebahilan. Sebab, seorang yang mulia tentu hanya menolak seorang yang
meminta diberi makanan, bukan menghinanya. Sebaliknya orang yang mulia tidak
55
akan mengusir tamu asing. Tandas al-Maraghi.109
Diriwayatkan dari Qatadah, “seburuk-buruknya kampung adalah kampung
yang tidak disinggahi dan tidak memberikan ibnu sabil haknya.”
Pada posisi yang senada, Quraish Shihab menyebutkan, penyebutan
penduduk negeri pada ayat 77 menunjukkan betapa buruknya penduduk negeri itu
lantaran pada ayat-ayat lain al-Quran hanya menyebutkan negeri untuk menunjuk
penduduknya. Lebih-lebih, permintaan Musa dan Khidir bukanlah permintaan
sekunder melainkan makanan untuk dimakan.110
Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Dan hal inilah yang
merupakan mukjizatnya.
Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk
itu. Sebenarnya, perkataan Musa ini hanyalah masukan dan saran kepada Khidir
karena dia mengetahui keperluan yang mereka butuhkan seprti makan, minum,
dan lainnya untuk hidup.
I. QS Al-Kahfi ayat 78
Artinya, “Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu;
kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya.” (78)
Pada bagian ini, Musa telah melakukan pelanggaran untuk yang ketiga
kalinya. Khidir berkata pada Musa inilah pengingkaran berturut yang ketiga
kalinya darimu yang menjadi sebab perpisahan antara aku denganmu sebagaimana
yang telah aku syaratkan. Adapun dua pengingkaranmu yang pertama terdapat
udzur di dalamnya, namun tidak untuk hal ini. Kelak akan kuberitahukan
109 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 5. 110 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 106.
56
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. Maksudnya, Khidir nanti akan memberitahukan akibat dari
perbuatan-perbuatannya.
Takwil sendiri bermakna kembali yang berasal dari kata aala-yauulu-
aulan ( اوال-یأول-ال ). Al-Quran menggunakan istilah ini dalam arti makna dan
penjelasan, atau substansi sesuatu yang merupakan hakikatnya atau tiba masa
sesuatu. Dalam konteks ini, makna yang kedua dapat menjadi makna yang benar
untuk kata tersebut di sini, jelas Quraish Shihab.111
J. QS Al-Kahfi ayat 79-82
Artinya, “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang
bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan
mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (79)
“Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-
orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang
tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. (80)
“Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka
dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam
kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (81)
111 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 107.
57
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota
itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu,
sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut
kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya".(82)
Keempat ayat ini adalah penjelasan dari perbuatan-perbuatan Khidir yang
aneh dalam pandangan Musa. Ayat 79 menjelaskan tentang mengapa ia melubangi
perahu. Khidir menjelaskan, Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang
miskin yang bekerja di laut, mereka orang-orang miskin yang tak mampu untuk
membela diri dari kezaliman. Padahal mereka telah bekerja sekuat tenaga, dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera. Hal ini dilakukan oleh Khidir karena
merupakan kebiasaan raja itu, untuk merebut secara paksa setiap perahu yang
masih baik dan layak. Tegas al-Maraghi.112
Pada kejadian ini, Quraish Shihab menyimpulkan, seakan-akan hamba
saleh itu berkata, “dengan demikian apa yang kubocorkan itu bukanlah tujuan
menenggelamkan penumpangnya, tetapi justru menjadi sebab terpeliharanya hak-
hak orang miskin.” Memang melakukan kemudharatan yang kecil dibenarkan
untuk menghilangkan kemudharatan yang lebih besar.113
Kemudian, ayat ke 80-81 menjelaskan tentang mengapa Khidir membunuh
anak yang menurut pandangan Musa adalah seorang anak yang suci dari dosa.
Namun berbeda dengan apa yang diketahui oleh Khidir dan penyikapannya,
Khidir mengetahui bahwa anak itu adalah anak yang kafir sedang kedua orang
tuanya adalah orang mukmin. Kekhawatiran Khidir jika kelak anak itu menjadi
penyebab kekafiran kedua orang tuanya lantaran kecintaan mereka terhadap anak
112 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8.
113 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 107.
58
itu, membuat Khidir membunuh anak itu.
Kata khasyah (خشیة), pada mulanya bermakna takut. Tapi, kata kami yang
menjadi pelaku ayat ini menunjuk kepada hamba Allah bersama Allah SWT.
Tentu tidak tepat, karena Allah tidak mungkin takut. Oleh karenanya, Quraish
menambahkan kami takut dengan ‘bahkan tahu’ dalam mengartikan kata ini.
Sementara itu ada juga yang memaknainya secara majazi, yaitu ‘kami iba dan
penuh rahmat kepadanya’.
Di sisi ini, sang anak adalah anak yang kedurhakaannya luar biasa. Hal ini
terlihat dari penggunaan kata thugyanan (طغیانا). Banyak ulama yang memahami
pelaku kedurhakaan dan kekufuran yang dikhawatirkan adalah kedua orang tua
anak ini. Dan ada juga yang memahami pelakunya adalah anak itu, papar Quraish
Shihab.114
Al-Maraghi mengutip pendapat Qatadah bahwa, “kala melahirkan anak itu
kedua orang tuanya bahagia dan bersedih ketika mendapati anaknya dibunuh,
padahal jika anak itu tetap hidup kelak akan mencelakakan keduanya. Maka itu,
setiap orang hendaknya menerima ketentuan Allah SWT. Ketentuan Allah yang
tidak disukai sejatinya lebih baik daripada sesuatu yang disukai.115 Dalam sebuah
hadis disebutkan, “Allah jika menghendaki suatu ketentuan kepada seorang
mukmin, kecuali itulah yang terbaik untuknya.” dalam al-Quran Allah berfirman,
“Sekali-kali engkau akan membenci sesuatu padahal itu lebih baik bagimu (QS al-
Baqarah [2]; 216).”
Sementara itu, maksud Khidir lainnya adalah supaya Tuhan mereka
mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari
anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya.
Kemudian, ayat ke 82 ini adalah ayat penutup prihal kisah Musa dan
Khidir. Ayat ini menjelaskan tentang perbuatan Khidir pada sebuah negeri yang
dihuni oleh penduduk tercela lagi bakhil, namun ia menegakkan dinding pada
114 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 108. 115 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8.
59
sebuah bangunan tanpa imbalan. Tujuan Khidir tak lain adalah karena ia
mengetahui bahwa dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu,
sebagai rahmat dari Tuhanmu.
Kata madinah pada keterangan ayat yang menjelaskan penegakan dinding
agaknya disebabkan karena di celah kata qaryah (قریة) terdapat kecaman terhadap
penduduknya yang enggan menjamu itu, sementara pada ayat itu ada pujian
terhadap orang tua kedua anak yatim itu.
Pernyataan Khidir ini kemudian ditutup dengan penjelasan yang lugas dan
tepat. Yaitu bahwa apa yang dilakukannya mulai dari menenggelamkan perahu
hingga menegakkan sebuah dinding adalah bukanlah aku melakukannya itu
menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan
yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Maksudnya, aku mengerjakannya
berdasarkan wahyu dari Allah. Dan ini menunjukkan dalil nubuwwah.
60
BAB IV
PROSES PEMBELAJARAN NABI MUSA DAN NABI KHIDIR
A. Sumber Ilmu dan Motivasi Mencari Ilmu
1. Sumber Ilmu
Perjalanan Nabi Musa AS Mencari guru sebagaimana yang diriwayatkan
dalam sebuah hadis. Ibnu Abbas mendengar Ubai bin Kaab berkata bahwa ia
mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Musa berdiri khutbah di hadapan Bani
Israil, kemudian ia ditanya, “Siapa Manusia yang paling pintar?” Musa menjawab,
“Saya”. (Atas jawaban itu) Allah SWT mencela Musa yang tidak mengembalikan
ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa bahwasannya
seorang hamba-Ku berada di tempat bertemunya dua laut dia lebih pintar
daripadamu. Kemudian Musa bertanya, “Bagaimana aku dapat bertemu
dengannya?” Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan lalu tempatkan ia di wadah.
Maka, dimana engkau kehilangan ikan itu, di sanalah dia. (HR Bukhori)116
Pada hadis di atas, terang bahwa Musa tidak mengembalikan ilmu kepada
Allah, merasa diri paling pintar. Hal ini yang menjadi sebab ia diperintahkan
untuk belajar kembali kepada hamba saleh. Berdasar hal itu, seorang peserta didik
harus menyadari bahwa sumber ilmu adalah Allah SWT.
Kenyataan bahwa seluruh ilmu bersal dan bersumber dari Allah SWT,
mengrahkan kita untuk menyandarkan niat sejak awal dalam belajar untuk
menggapai ridha Allah SWT. Syed Naquib al-Attas menyebutkan, bahwa semua
116 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min
Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, Cet 3 1987) j. 4 h. 1757. Hadis no. 4450.
61
tindakan dalam Islam harus diniati dengan niat yang disadari. Ini sebagaimana
hadis yang berbunyi, “perbuatan seorang itu berdasar niatnya” “dan Allah akan
memberi pahala sesuai niatnya. Di samping itu, prinsip dasar perbuatan tersebut
diiringi pula dengan sifat keikhlasan, kejujuran, dan kesabaran.
Abu Sa’id al-Kharaz, seorang sufi kenamaaan abad 9 M, sebagaimana
dinukil oleh Syed Nuquib memaparkan, bahwa salah satu prinsip etika adalah
keikhlasan di samping kebenaran dan kesabaran.
Pada hal ini, menurut Syed Naquib al-Attas, peserta didik harus mengenal
prinsip ini sejak dini dan harus mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari
sehingga kualitas keimanannya akan menjadi lebih kuat dan lebih kukuh, di
samping amal perbuatannya yang lurus dan ikhlas.117
Senada dengan itu, Nashir Al-Din Al-Thusi dalam tesisnya mengenai adab
peserta didik, sebagaimana dinukil pula oleh Syed Nuquib, bahwa penting bagi
peserta didik untuk mencari ridha Allah SWT.118
2. Motivasi Mencari Ilmu
Islam sejak awal mula telah menyerukan kewajiban menuntut ilmu.
Perintah ini sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan hadis. Dalam al-Quran
seperti ayat yang berbunyi, “qul hal yastawilladzina ya’amuuna walladzina laa
ya’lamuun” (katakanlah: tidaklah sama orang yang mengetahui dengan orang
yang tidak mengetahui).119
Dalam hadis disebutkan, “thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa
muslimatin” (menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat). Bahkan
dalam syiir yang populer “Uthubul ilma minal mahdi ila lahdi” (tuntutlah ilmu
sejak buaian hingga liang lahad). Atau “Uthlubul ilma wa lau bishshin” (tuntutlah
ilmu sampai ke negeri Cina”.
117 M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas,
(Bandung: Mizan, cet I 2003) h. 256. 118 M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas,...h.
258. 119 QS Az-Zumar [39]; 9.
62
Spirit menuntut ilmu inilah yang juga diperlihatkan dalam proses
pembelajaran Musa dan Khidir. Dalam hal ini Musa setelah mendapat wahyu
untuk menemui hamba saleh. Ia bertekad untuk menimba ilmu darinya. Quraish
Shihab menyebutkan, kata huquban ( احقب( yang menunjukkan waktu yang lama
ada yang berpendapat setahun, tujuh puluh tahun, atau delapan puluh tahun,
bahkan sepanjang masa.
Pada hal ini, teori pembelajaran behavioristik menyebutkan, bahwa
perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan
perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak
lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang
menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa
reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat,
dan kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon).120
Motivasi Musa yang telah mendapat rangsangan berupa wahyu menjadi
begitu kuat. Menurut al-Maraghi, Musa tertantang untuk menemui hamba shalih
itu, meski dengan menguras tenaga, bersusah payah dan menempuh perjalanan
yang panjang.121 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, ”Dan (ingatlah) ketika
Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum
sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-
tahun." (QS al-Kahfi [18]; 60).
Oleh karena itu, pada usaha mencari sumber pembelajaran dan guru yang
profesional, seorang siswa dituntut untuk memiliki semangat dan motivasi yang
kuat untuk menuntut ilmu, karena motivasi berperan sebagai daya gerak seseorang
untuk melakukan kegiatan pembelajaran.
Selanjutnya, dalam kegiatan pembelajaran, motivasi dapat dikatakan
sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang
120 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,...62.
121 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Maktabah Mustafa al-Babi al-
Halabi wa Awladih, 1946) J. 15 h. 175.
63
memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki subjek
belajar dapat tercapai.122
Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi
dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang
menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar,
sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Motivasi sangat diperlukan, sebab
seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin
melakukan aktivitas belajar.123
Dengan motivasi yang kuat dalam diri, Nabi Musa terdorong untuk
mencari guru yang lebih ahli selanjutnya mendorongnya pula untuk melakukan
perjalanan dalam mencari ilmu dari sumbernya langsung. Yang dalam dunia
pendidikan hal ini dikenal dengan rihlah ilmiah, perjalanan intelektual. Imam
Syafi’i menyebutkan dalam kitab Diwan Imam Syafi’i, dalam bab qafiyah nuun
(syi’ir yang berakhiran huruf nun) enam syarat yang harus dipenuhi agar bisa
mendapatkan ilmu, yaitu kecerdasan, semangat, sabar dan harta (dalam hal ini
biaya), petunjuk (bimbingan) guru dan dalam tempo waktu yang lama.
Melalui semangat serta motivasi yang tinggi pula Imam Ibn Mandah
terdorong untuk mengelilingi timur dan barat sebanyak dua kali. Beliau
melakukan perjalanan menuntut ilmu dalam jangka waktu yang lama. Imam Ibn
Mandah pergi menuntut ilmu ketika berumur 20 tahun dan kembali ketika
berumur 65 tahun. Lama perjalanan menuntut ilmu beliau selama 45 tahun. Imam
Ibn Mandah kembali ke negerinya setelah tua dan dia baru menikah ketika
berumur 65 tahun. Kecintaan para ulama pada ilmu syar’i meyebabkan mereka
rela untuk lelah berjalan, menahan lapar dan dahaga.124
122 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cet-
IX, 2001), h. 73.
123 Thursan Hakim, Balajar Secara Efektif, (Jakarta: Niaga Swadaya, 2009). h. 6 124 Syaikh Muhammad Ibn Shaleh Al-Utsaimin, Panduan Lengkap menuntut ilmu (Pustaka
Ibn Katsir), h.102 .
64
Sementara itu, mempelajari perjuangan para ulama dalam menuntut ilmu
akan menyalakan semangat yang padam kembali membara. Perjuangan mereka
yang tak kenal lelah dan segala keterbatasan mereka baik moril maupun materil
dalam menuntut ilmu telah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mulia
dari kalangan kaum Muslimin hingga saat ini. Para ulama salaf telah memberikan
contoh yang baik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam
menuntut ilmu, meraihnya serta merindukannya. Mereka mengembara keluar dari
negerinya dengan membawa bekal seadanya dan meninggalkan kenikmatan
berkumpul bersama keluarga untuk berburu ilmu pada para ulama tanpa mengenal
batas dimensi ruang dan waktu.125
Selain itu, kata-kata Nabi Musa, “Aku tidak akan berhenti (berjalan)
sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun.” Memiliki pelajaran tentang keteguhan Nabi Musa untuk
menambah ilmu demi keselamatan dunia akhirat. Oleh karena itu, beliau mencari
orang yang dapat mengobati kehausannya akan ilmu. Hal ini mengajarkan kepada
kita, bahwa orang yang ingin mendapatkan ilmu haruslah keluar dari tempatnya
dan mencari dimana sang guru berada dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu,
Nabi Musa rela melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk menuntut ilmu dan
merasakan keletihan. Beliau lebih suka meninggalkan Bani Israil agar nantinya
dapat mengajar dan membimbing mereka, dan memilih berangkat mencari
tambahan ilmu.126
Sampai di sini motivasi yang dimiliki Musa masing amat tinggi, hingga ia
tak kenal menyerah untuk mencari sumber ilmu yang Allah wahyukan. Dalam
bahasan motivasi, maka Musa telah merasuk padanya motivasi intrinsik
maupun ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau
berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri individu telah ada
dorongan mencari sesuatu. Sedang motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang
125 Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih alu Abdillah, Kiat Agar Semangat Belajar Membara
(Terj), (Beirut: Daar An-Naba), 52. 126 Soraya Haque, Jejak-Jejak Perjalanan Jiwa, (Bandung: Mizan Publika, 2009), h. 74
65
aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.127 Dan semestinya
setiap siswa memiliki kedua macam motivasi ini.
B. Mencari Guru yang Berkualitas
Dalam dunia pendidikan guru memiliki peranan yang sangat penting pada
kegiatan pembelajaran. Guru sebagai fasilitator, koordinator, transformator,
bahkan agent of change dan pengelola lalu lintas jalannya pembelajaran yang
aktif, kreatif, serta produktif, merupakan faktor penting yang tidak dapat di
pandang sebelah mata. Pembelajaran akan baik jika disampaikan oleh guru yang
baik, guru yang memiliki standar kompetensi. Adapun sebagaimana maklum
kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu kompetensi pedagogik,
kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian.
Pada proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai
pen-transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk
menanamkan nilai (value), serta berfungsi untuk menanamkan karakter (character
building) secara berkelanjutan.
Dalam terminologi Islam, guru diistilahkan dengan murabby, satu akar
dengan rabb yang berarti Tuhan. Jadi, fungsi dan peran guru dalam sistem
pendidikan merupakan salah satu manifestasi dari sifat ketuhanan.128 Jika
demikian, benarlah bahwa tugas guru merupakan tugas yang amat mulia, bukan
hanya mulia di sisi manusia lainnya namun juga mulia di sisi Allah SWT.
Pada konteks itu, pembelajaran Nabi Musa AS kepada Nabi Khidir AS
merupakan pembelajaran yang tepat. Pertama, karena Khidir adalah guru yang
Allah pilih dan rekomendasikan secara langsung sebagaimana yang disebutkan
pada hadis di atas. Menurut kebanyakan ulama berpendapat ia adalah seorang
nabi.129 Kedua, lantaran Khidir adalah nabi yang Allah berikan padanya rahmat
127 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar,... h. 87-88. 128 Asrarun Ni’am Shaleh, Membangun Profesionalitas Guru, (Jakarta: Elsas, 2006), hal 3. 129 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 172-173.
66
yang tampak pada dirinya dan ilmu yang istimewa. Yaitu ilmu yang diberikan
bukan ilmu kasby, namun ia adalah anugrah khusus bagi para auliya.130
Sepadan dengan hal tersebut, peserta didik disarankan untuk tidak tergesa-
gesa belajar pada sembarang guru. Sebaliknya peserta didik harus meluangkan
waktu untuk mencari siapakah guru terbaik, demikian papar Syed Nuquib al-
Attas. Al-Gazali mengingatkan, meski demikian peserta didik untuk tidak
bersikap sombong. Tetapi harus memperhatikan mereka yang mampu
membantunya dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan, dan kebahagiaan serta
tidak hanya berdasarkan mereka yang masyhur dan terkenal.131
”Prof. Dr. Imam Suprayogo, rektor UIN Malang, dalam catatannya menuliskan, tidak saja calon murid yang seharusnya dipilih, tetapi mestinya guru juga perlu diseleksi. Setiap tahun, lembaga pendidikan menyeleksi para calon murid. Lembaga pendidikan memilih calon murid di antara sekian banyak yang kemampuanannya lebih baik. Tentu hal ini dilakukan oleh lembaga pendidikan yang peminatnya berlebih. Jika peminatnya kurang, tentu seleksi yang dilakukan tidak serius, sebatas bersifat formal.
Sama dengan yang dilakukan oleh guru atau lembaga pendidikan, mestinya calon murid juga melakukan pemilihan terhadap orang yang akan dijadikan guru. Sebab kualitas guru ternyata juga bermacam-macam. Ada guru yang hebat, artinya berkualitas tinggi, tetapi ada pula guru yang kemampuannya terbatas. Calon murid mestinya juga memilih lembaga pendidikan yang memiliki tenaga guru yang hebat-hebat.”132
Adapun guru yang baik menurut Al-Mawardi, sebagaimana yang dikutip
Abuddin Nata, adalah guru yang tawadhu (rendah hati), menjauhi sikap ujub
(besar kepala) dan memiliki rasa ikhlas. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya
seorang guru harus dilandasi dengan kecintaan terhadap tugasnya sebagai guru,
130 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 95-96.
131 M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas,...h. 260-261.
132 http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel. memilih-guru-.html diakses tanggal 30
November 2010.
67
kecintaan ini akan benar-benar tumbuh dan berkembang apabila keagungan,
keindahan, dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat dihayati.133
Nabi Khidir sendiri telah menunjukkan sikap itu pada pengajarannya
kepada Nabi Musa. Salah satu gambaran itu dapat dilihat dari tutur katanya
kepada Nabi Musa,
"Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersama aku." (67)
"Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (68).
Menurut Quraish Shihab, jawaban Nabi Khidir ini adalah jawaban yang
tidak kalah halusnya dengan pertanyaan Nabi Musa. Ia tidak serta-merta menolak
secara langsung permintaan Musa, melainkan memberinya jawaban dengan
penilaian bahwa Musa tidak akan sabar mengikutinya sambil menyertakan alasan
yang logis dan tidak menyinggung perasaan atas ketidaksabaranya itu.134
Lebih lanjut, guru adalah orang yang mengajarkan kita dengan berbagai
ilmu pengetahuan dan mendidik kita menjadi orang yang berguna pada masa akan
datang. Walau bagaimana tingginya pangkat atau kedudukan seseorang itu mereka
adalah bekas seorang pelajar yang tetap terhutang budi kepada gurunya yang
pernah mendidiknya pada masa dahulu.135
Karena pendidik adalah orang yang telah berjasa, maka sebagai siswa,
seharusnya selalu mendoakan kebaikan sang pendidik. Nabi Muhammad Saw
bersabda, ”Siapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah
kebaikannya. Apabila kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas budi
kepadanya, maka doakanlah (memohon kebaikan) untuknya sehingga kalian
133 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 50. 134 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h.
98.
135http://mgcmpi.wordpress.com/bahan-kerohanian/adab-menghormati-guru/ didownload, Jumat, 3 Desember 2010.
68
berpendapat telah membalas budinya”136
Oleh karena itu, Islam mengajarkan kita supaya menghormati guru dan
memuliakannya sebagaimana kita memuliakan ibu bapak. Karana merekalah yang
menyampaikan ilmu kepada kita untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dalam hal ini, diterangkan pula kepada kita agar mempunyai adab sopan
santun dan bersikap lemah lembut terhadap guru atau pendidik sebagaimana
dicontohkan oleh Nabi Musa. Firman Allah:
“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-
ilmu yg telah diajarkan kepadamu?” (al-Kahfi [18]; 66).
Ayat ini menyebutkan cara Nabi Musa mengeluarkan tutur kata yang
sangat santun dan seakan-akan sedang meminta pendapat. Seakan-akan beliau
menyebutkan: “Apakah engkau bersedia memberi ijin kepada saya atau tidak?” Di
sini beliau tampaknya sangat butuh untuk berguru. Beliau belajar dari Nabi Khidir
dan mempunyai keinginan besar untuk mendapatkan ilmu yang ada pada gurunya.
C. Strategi Pembelajaran Musa dan Khidir
Guna menciptakan pembelajaran yang efektif, maka guru hendaknya
menentukan terlebih dahulu strategi pembelajaran yang akan diterapkan di
lapangan. Strategi pembelajaran sendiri adalah suatu garis-garis besar halauan
untuk bertindak guna mencapai sasaran yang telah ditentukan. Jika dihubungkan
dengan belajar mengajar adalah pola-pola umum kegiatan guru anak didik dalam
perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah
digariskan.137
Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal
136 HR.Ahmad 2/68, Abu Daud1672, al-Nasa`i 5/82, al-Bukhari dalam buku Al-Adab Al-
Mufrad 216, Ibnu Hibban 3408, al-Hakim 1/412 dan 2/13, at-Thayalisi 1895 dan selain mereka dari hadist Abdullahbin Umar bin Khattab radhiallohu `anhuma).
137 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar mengajar, (Jakarta: Rieneka
Cipta, Cet 3 2006. h. 5.
69
berikut:138
1. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi perubahan tingkah laku dan
kepribadian peserta didik sebagaimana yang diharapkan.
2. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan
pandangan hidup masyarakat.
3. Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan tehnik belajar mengajar
yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan
oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta
standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam
melakukan evaluasi.
Di sisi yang sama, strategi pembelajaran pada Musa dan Khidir dapat
dilihat pada dua sisi.
Pertama, pengajuan Musa untuk menimba ilmu kepada Khidir. Pengajuan
ini merupakan bentuk etika seorang murid, yaitu sebelum belajar hendaknya
meminta izin kepada sang guru terlebih dahulu.
"Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?" (al-Kahfi [18]; 66).
Ibnu Katsir menjelaskan, pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan degan
nada yang mewajibkan atau memaksa. Dan, contoh inilah yang menurut Ibnu
Katsir hendaknya pula diikuti oleh para pembelajar (murid) kepada pengajar
(guru).139
Selain itu, Quraish Shihab menambahkan, kata attabi’uka (أتبعك) yang di
dalamnya terdapat penambahan huruf ta menunjukkan kesungguhan. Memang
demikianlah seharusnya seorang pelajar harus bertekad untuk bersungguh-
138 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar mengajar,... h. 5-6
139 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Riyad: Daaru Thaibah, Cet 2 1999), j. 5 h. 181.
70
sungguh mencurahkan perhatian bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan
dipelajarinya.
Kedua, Khidir memberikan syarat pembelajaran kepada Musa. Khidir
sebagai guru Musa menetapkan strategi pembelajaran. Sebagai guru yang
mengetahui maka terlebih dahulu memberikan penilaian kepada muridnya. Khidir
pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia dalihkan. Dan
dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan kemaslahatan
bathiniah yang Khidir dapat telaah.140
Sementara itu, pertimbangan yang dilakukan Khidir dalam memilih
strategi pembelajaran untuk mencapai pembelajaran yang efektif dan efisien
adalah pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai,
pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran, dan
pertimbangan dari sudut siswa.141
Untuk itu guru harus menjelaskan kepada murid persyaratan atau tata-
tertib sebelum memulai proses pembelajaran. Ini ditunjukan oleh ayat ke 70 .
Khidir memberikan syarat kepada Musa, yaitu jangan bertanya hingga khidir
sendiri yang menjelaskannya.
Dalam konteks ini, sebagaimana yang diungkapkan Quraish Shihab,
bahwa ucapan hamba Allah, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya
menuntun anak didiknya dan memberitahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi
dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu
jika sang pendidik tahu bahwa potensi peserta didiknya tidak sesuai dengan
bidang ilmu yang akan dipelajari.142
Dalam berinteraksi dengan peserta didik seorang guru tidak boleh
membebani siswa dengan sesuatu yang mereka tidak mampu melakukan untuk
140 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181. 141 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Beroroentasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Prenada Media Group, Cet 6 2009). h. 130.
142 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 99
71
dilakukan. Karena akan sangat memberatkan atau bahkan menghancurkan
mereka. Kalau ini terjadi tentu akan menjadi pemicu bagi mereka untuk malas
belajar. Bahkan hendaknya seorang guru mempunyai sikap memudahkan.
D. Proses Pembelajaran Musa dan Khidir
Proses berasal dari bahasa latin, processus yang berarti berjalan ke depan.
Kata ini memiliki makna konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah
pada suatu sasaran atau tujuan. Dalam psikologi belajar, proses berarti cara-cara
atau langkah-langkah khusus yang dengannya beberapa perubahan ditimbulkan
hingga tercapainya hasil-hasil tertentu (Reber, 1988).
Dalam kisah ini diterangkan bahwa ilmu yang diajarkan kepada para
hamba Allah. ‘Khidir’ ada dua jenis:
Pertama, ilmu yang diusahakan yang dapat difahami oleh seseorang
dengan mempelajari dan bersungguh-sungguh mendapatkannya.
Kedua, ilmu yang berupa ilham laduni sebagai hadiah yang dianugerahkan
Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan dalil:
“Dan telah Kami ajarkan kepada ilmu dari sisi Kami.”
Dijelaskan dalam kisah ini bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang
membimbing pemilik kepada kebaikan. Demikian pula hal ilmu-ilmu yang
mengandung bimbingan dan hidayah atau petunjuk menuju jalan kebaikan dan
mengingatkan agar menjauhi jalan yang buruk. Boleh jadi hanya akan
menimbulkan madharat atau tidak berguna sama sekali. Inilah yang diisyaratkan
dalam ayat,
“Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-
ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Adapun proses belajar sendiri adalah tahapan perubahan prilaku kognitif,
afektif, dan psikomotorik yang terjadi dalam diri siswa. Tentunya, perubahan yang
72
terjadi adalah perubahan ke arah posistif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih
maju daripada keadaan sebelumnya.143
Menurut Jerome S. Burner, salah seorang penentang teori S-R Bond
(Barlow, 1985), dalam proses pembelajaran siswa menempuh tiga episode atau
fase:144
1. Fase informasi (tahap penerimaan materi)
2. Fase transformasi (tahap pengubahan materi)
3. Fase evaluasi (tahap penerimaan materi)
Sementara itu, peroses pembelajaran Musa dan Khidir dapat dilihat dari tiga
bagian penting perbuatan-perbuatan Khidir yang aneh dipandangan manusia biasa,
bahkan Musa sekalipun.
Pertama, pembelajaran khusus Musa dan Khidir—karena hanya mereka
berdua yang melakukan perjalanan ilmiah itu, Menurut Quraish Shihab ini
agaknya disebabkan karena maqam yakni derajat keilmuan dan ma’rifat
pembantunya itu belum sampai pada tingkat yang memungkinkannya ikut dalam
pengembaraan ma’rifat itu145
Pembelajaran pertama Khidir adalah berbentuk demonstrasi. Metode
demonstrasi sendiri adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang,
kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung
maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok
bahasan atau materi yang sedang disajikan.146 Metode demonstrasi adalah salah
satu tehnik mengajar yang dilakukan oleh seorang guru atau orang lain yang
dengan sengaja diminta atau siswa sendiri ditunjuk untuk memperlihatkan kepada
143 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, Edisi Revisi, cet 14 2008) h. 113.
144 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h.113-114.
145 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 102.
146 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h. 208.
73
kelas tentang suatu proses atau cara melakukan sesuatu.147 Dalam hal ini Khidir
melubangi perahu yang dinaikinya bersama Musa, yang di dalamnya juga terdapat
banyak orang yang merupakan pekerja di laut.
Di sini manfaat psikologis pedagogis dari metode demonstrasi terlihat jelas
yang di antaranya adalah
a. Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan .
b. Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari.
c. Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam
diri siswa
Selain itu, kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut:
a. Membantu anak didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atau
kerja suatu benda.
b. Memudahkan berbagai jenis penjelasan.
c. Kesalahan-kesalahan yeng terjadi dari hasil ceramah dapat diperbaiki
melaui pengamatan dan contoh konkret, dengan menghadirkan obyek
sebenarnya
Di lain sisi, kelemahan metode demonstrasi sebagai berikut:
a. Anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan
dipertunjukkan.
b. Tidak semua benda dapat didemonstrasikan.
c. Sukar dimengerti bila didemonstrasikan oleh guru yang kurang
menguasai apa yang didemonstrasikan.
Pada bagian ini, metode pembelajaran antara Musa dan Khidir
berkembang menjadi metode tanya jawab. Dalam hal ini Musa dengan
kelengahannya menanyakan dan mengingkari apa yang dilakukan oleh Khidir—
Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan
penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang
besar.
Khidir kemudian mengulangi pernyataan sebelumnya, Bukankah aku telah
147 M. Basyirudin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakata: Ciputat Pers,
2002) h. 45.
74
berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".
Lebih lanjut Musa meminta keringanan atas kelupaan dan kesulitannya
dalam menjalani perkaranya itu. Al-Maragi menjelaskan, bahwa Musa meminta
agar Khidir tidak menyulitkannya dalam perkara dan keikutsertaannya. Tetapi
mudahkanlah dan menjauhkan perdebatan.148 Rupanya pemakaian kata imran
menurut Quraish Shihab mengindikasikan betapa beratnya (عسرا) dan ‘usra (إمرا)
beban yang dipikul oleh Nabi Musa jika ternyata hamba Allah itu tidak
memaafkannya atau dengan kata lain tidak mengijinkannya untuk belajar dan
mengikutinya.
Kedua, setelah Musa meminta keringanan kepada Khidir atas kelalaian
dengan syarat yang telah diberikan pada awal kontrak pembelajaran. Hamba saleh
itu masih memberi toleransi dengan memberikan maaf dan keduanya meneruskan
perjalanan.
Kali ini metode yang digunakan masih menggunakan metode demonstrasi.
Khidir melihat seorang anak remaja belum dewasa yang bermain maka serta merta
ia membunuhnya. Al-Quran tidak menyebutkan bagaimana Khidir membunuh
anak itu, jelas al-Maraghi.149
Melihat hal itu, Musa dengan penuh kesadaran, sebagaimana yang dikutip
Quraish dari Sayyid Qutub, musa tidak lupa lagi tapi dia benar-benar sadar
lantaran besarnya peristiwa itu.150 Musa berkata kepada Khidir, Mengapa kamu
membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.
Dalam psikologi pendidikan, dikenal dengan istilah berfikir rasional dan
kritis, yang merupakan perwujudan prilaku belajar terutama yang bertalian dengan
pemecahan masalah. Pada umumnya siswa yang berfikir rasional akan
menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab
148 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
149 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
150 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 104.
75
pertanyaan bagaimana (how) dan mengapa (why). Dalam berfikir rasional siswa
dituntut mengggunakan logika (akal-sehat) untuk menentukan sebab-akibat,
menganalisis, menarik kesimpulan-kesimpulan dan hukum-hukum (kaidah
teoritis) dan ramalan-ramalan.151
Sikap kritis Musa pada pembelajaran kedua ini, sebagaimana yang
dijelaskan al-Maraghi dikarenakan remaja yang dimaksud adalah remaja yang
bersih dari dosa tanpa membunuh yang diharamkan? Dalam hal ini pembunuhan
dikhususkan bukan karena kekafiran setelah iman, zina setelah menikah karena
itulah yang nampak pada peristiwa tersebut.152
Lebih lanjut, teori konstruktif menegaskan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan
proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan.
Di sisi lain, jawaban Khidir atas Musa merupakan peneguran kedua
kalinya hamba saleh juga disertai penekanan. Ini nampak pada penggunaan kata
laka(لك), kepadamu. Adapun jika kita perhatikan peneguran hamba saleh yang
pertama tidak disertai kata laka. Hal ini menegaskan banwa kata itu memiliki daya
tekan tersendiri. Demikian jelas al-Maraghi dan Quraish Shihab.
Sikap Khidir tersebut mengindikasikan bahwa, jawaban guru kepada
seorang siswa tentu harus memiliki nilai yang berarti. Karena, posisi guru di
hadapan siswa harus benar-benar berpengaruh. Kepribadian guru mempunyai
pengaruh langsung dan komulatif terhadap hidup dan kebiasaan belajar para
siswa. Di sini Khidir berpegang teguh pada kesepakatan awal, yang menunjukkan
sikapnya sebagai guru yang efektif.153
Ketiga, pada bagian ini pembelajaran Musa dan Khidir bertempat di
151 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h. 120.
152 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
153 Oemar Hmalik, Psikologi Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet 6. 2009) h. 34-35.
76
sebuah negeri yang “mereka, penduduk negeri itu adalah orang-orang tercela lagi
pelit”. Adapun penjelasan, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka,
dengan tidak menyebutkan ‘tidak mau memberi makan’ menambahkan kehinaan
dan mensifati mereka dengan kerendahan serta kebahilan. Sebab, seorang yang
mulia tentu hanya menolak seorang yang meminta diberi makanan, bukan
menghinanya. Sebaliknya orang yang mulia tidak akan mengusir tamu asing.
Tandas al-Maraghi.154
Pembelajaran ini adalah kesempatan ketiga setelah dua kali Musa
melanggar kesepakatan belajar yang telah ditetapkan di awal. Tekad Musa yang
kuat untuk meraih ma’rifat mendorongnya memohon untuk diberi kesempatan
terakhir. Musa berkata, jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
(kali) ini, maksudnya, jika aku menanyakan kepadamu tentang perbuatan-
perbuatan asing yang aku saksikan serta aku meminta penjelasan hikmahnya
darimu, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya
kamu sudah cukup memberikan uzur padaku. Pernyataan Musa kali ini benar-
benar menunjukkan penyesalan yang amat karena terdesak oleh keadaan.
Permintaan Musa untuk kali ini masih dikabulkan oleh hamba saleh itu.
Maka setelah peristiwa pembunuhan itu, keduanya berjalan sampai bertemu
dengan sebuah kampung, mereka meminta makanan, namun penduduk kampung
itu enggan untuk menjamu mereka.
Fase ketiga pembelajaran Khidir kepada Musa kali ini juga berjalan
dengan metode demonstrasi. Khidir dan Musa mendapati dinding rumah yang
hampir roboh. Khidir dengan inisiatifnya menegakkan dinding rumah tersebut.
Melihat hal itu, Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu. Sebenarnya, perkataan Musa ini hanyalah masukan
dan saran kepada Khidir karena dia mengetahui keperluan yang mereka butuhkan
seprti makan, minum, dan lainnya untuk hidup. Namun, pernyataan inilah batas
toleransi pembelajaran Musa dengan Khidir berakhir.
Pada bagian ini, Musa telah melakukan pelanggaran untuk yang ketiga
154 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 5.
77
kalinya. Khidir berkata pada Musa inilah pengingkaran berturut yang ketiga
kalinya darimu yang menjadi sebab perpisahan antara aku denganmu sebagaimana
yang telah aku syaratkan. Adapun dua pengingkaranmu yang pertama terdapat
udzur di dalamnya, namun tidak untuk hal ini. Kelak akan kuberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. Maksudnya, Khidir nanti akan memberitahukan akibat dari
perbuatan-perbuatannya.
Dari ketiga fase pembelajaran Musa dan Khidir terkandung pesan bahwa
guru hendaknya membawa siswa belajar ke alam nyata di luar kelas, untuk dapat
mengalami pristiwa yang langsung. Ini ditunjukan oleh ayat ke 71 , 74 dan 77
yang semuanya di awali dengan kata-kata Yang menunjukan bahwa Guru, Khidir
dan murid, Musa keduanya pergi ke luar (Contextual Teaching Learning).
Selain metode demontrasi, Khidir juga menerapkan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL). Yaitu, suatu pendekatan pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka.155
Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya.
Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan
materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara
langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa
hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri
materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara
materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut
untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan
materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu
155http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html,
didownload, Jumat, 3 Desember 2010.
78
akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya akan
tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.156
E. Evaluasi Pembelajaran Khidir kepada Musa
Evaluasi adalah proses sederhana memberikan atau menetapkan nilai pada
sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, objek, dan lain-
lain. Atau dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan niai sesuatu
berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian.157
Dari pengertian evaluasi diketahui bahwa tujuan utamanya adalah untuk
mengetahui tingkat keberhasilan oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan
pembelajaran.Hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar pada akhirnya difungsikan
untuk keperluan sebagai berikut:158
a. Untuk diagnostik dan pengembangan. Maksudnya, bahwa penggunaan
hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar sebagai dasar pendiagnosisan
kelemahan dan keungunggulan siswa dengan berdasarkan diagnosis ini
guru mengadakan pengembangan kegiatan pembelajaran untuk
meningkatkan hasil belajar siswa.
b. Untuk seleksi. Hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar digunakan
sebagai dasar untuk menentukan siswa yang paling cocok untuk jenis
pendidikan tertentu.
c. Untuk kenaikan kelas. Menentukan apakah seorang siswa dapat
dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau tidak, memerlukan informasi
yang dapat mendukung keputusan yang dibuat guru.
156http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html, didownload, Jumat, 3 Desember 2010.
157 Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet 3
2006), h. 160-161. 158 Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran,... h. 200
79
d. Untuk penempatan. Agar siswa dapat berkembang sesuai dengan
tingkat kemampuan dan potensi yang mereka miliki, maka perlu
dipikirkan ketepatan penempatan siswa pada kelompok yang sesuai.
Seperti halnya setiap kegiatan dan tindakan pendidikan selalu diawali
dengan perencanaan, maka kegiatan evaluasi hasil belajar juga diawali dengan
persiapan. Pada tahapan persiapan ini terdapat beberapa persiapan yang harus
dilakukan evaluator.
Dalam konteks pembelajaran, antara Nabi Khidir AS dengan Nabi Musa
AS, Nabi Khidir bertindak sebagai evaluator dan Musa objek evaluasi. Adapun
proses evaluasi itu, Nabi Khidir menetapkan pertimbangan dan keputusan yang
akan dibuat, suatu keputusan yang akan dilakukan oleh seorang evaluator untuk
mendeskripsikan pertimbangan dan keputusan yang sekiranya akan dibuat dari
hasil evaluasi.
Dalam istilah pendidikan kegiatan seperti ini disebut dengan langkah
merumuskan tujuan. Tujuan dari sebuah kegiatan pembelajaran adalah setiap
usaha mengajar sebenarnya ingin menumbuhkan atau menyempurnakan pola laku
tertentu dalam diri peserta didik. Maksud pola laku tersebut adalah kerangka dasar
dari sejumlah kegiatan yang lazim dilaksanakan manusia untuk bertahan hidup
dan untuk memperbaiki mutu hidupnya dalam situasi nyata. Kegiatan itu bisa
berupa kegiatan rohani, misalnya mengamati, menganalisis, dan menilai keadaan
dengan daya nalar. Bisa juga berupa kegiatan jasmani yang dilakukan dengan
tenaga dan keterampilan fisik.
Adapun yang menjadi tinjauan evaluasi daam konteks ayat ini adalah
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh sang guru. Proses menakwilkan apa
yang didemontrasikan oleh Khidir pada tiga tindakan Khidir dalam proses
pembelajaran.
Pada proses evaluasi Khidir kepada Musa. Khidir menjelaskan ketiga fase
pembelajaran yang dilakukannya.
Pertama, penjelasan tentang mengapa Khidir melubangi perahu. Khidir
menjelaskan, Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang
bekerja di laut, mereka orang-orang miskin yang tak mampu untuk membela diri
80
dari kezaliman. Padahal mereka telah bekerja sekuat tenaga. dan aku bertujuan
merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap-tiap bahtera. Hal ini dilakukan oleh Khidir karena merupakan
kebiasaan raja itu, untuk merebut secara paksa setiap perahu yang masih baik dan
layak tegas al-Maraghi.159
Pada kejadian ini, Quraish menyimpulkan, seakan-akan Hamba Saleh itu
berkata, “dengan demikian apa yang kubocorkan itu bukanlah tujuan
menenggelamkan penumpangnya, tetapi justru menjadi sebab terpeliharanya hak-
hak orang miskin.” Memang melakukan kemudharatan yang kecil dibenarkan
untuk menghilangkan kemudharatan yang lebih besar.160
Kedua, penjelasan tentang pembunuhan anak yang menurut pandangan
Musa adalah seorang anak yang suci dari dosa. Khidir mengetahui bahwa anak itu
adalah anak yang kafir sedang kedua orang tuanya adalah orang mukmin.
Kekhawatiran Khidir jika kelak anak itu menjadi penyebab kekafiran kedua orang
tuanya lantaran kecintaan mereka terhadap anak itu, membuat Khidir membunuh
anak itu.
Ketiga, penjelasan tentang perbuatan Khidir pada sebuah negeri yang
dihuni oleh penduduk tercela lagi bakhil, namun ia menegakkan dinding pada
sebuah bangunan tanpa imbalan. Tujuan Khidir tak lain adalah karena ia
mengetahui bahwa dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu,
sebagai rahmat dari Tuhanmu.
Berdasarkan ketiga evalusi pembelajaran yang Khidir berikan kepada
Khidir ada point penting yang harus digarisbawahi. Hal ini sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menjelaskan QS al-Kahfi ayat 68,
159 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8. 160 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h.
107.
81
“dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
Terkait ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan, bahwasannya Maksud Khidir
adalah, engkau tidak akan tahan melihat apa yang akan aku perbuat, karena sangat
kontra dengan syariat yang engkau miliki. Dan lantaran aku berdasarkan ilmu
yang Allah ajarkan kepadaku namun tidak Allah ajakan kepadamu. Begitu
sebaliknya, engkau telah Allah ajari ilmu yang tidak dijarkan kepadaku. Oleh
karena itu, kita memiliki perkara masing-masing. Maka sebab itu, engkau tidak
mampu untuk mengikutiku.161
Khidir pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia
dalihkan. Dan dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan
kemaslahatan bathiniah yang Khidir dapat telaah.162
Bertalian dengan itu, Al-Ghazali membagi kriteria ilmu menjadi dua
bagian. Pertama, ilmu-ilmu yang fardhu a’in yang wajib dipelajari semua orang
Islam meliputi ilmu-ilmu agama, yakni ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Quran.
Kedua, ilmu-ilmu yang merupakan fardhu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang
dapat dimanfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi, seperti ilmu
hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.163
Al-Maraghi lebih lanjut menambahkan, bahwa Khidir telah Allah berikan
kemampuan menelaah sesuatu dari sisi batiniah atau hakikat sesuatu itu. Dan hal
tersebut tidak mampu dilakuakan oleh seorang kecuali kejernihan bathin, melatih
diri, dan melepaskan diri dari hal-hal fisik. Sedang ilmu yang dimiliki Musa
adalah ilmu syariah, yang dalam hal ini menegaskan bahwa kesempurnaan
pengetahuan adalah manakala berpindahnya pengetahuan syariah yang bersifat
zahir kepada ilmu bathin yang terbangun atas kemuliaan dan pengetahuan hakikat
161 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181.
162 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181.
163 Khoiron Rosady, Pendidikan Profetik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Cet 1 2004), h. 281
82
dari sebuah kejadian.164
Di atas itu semua, pernyataan Khidir ini kemudian ditutup dengan
penjelasan yang lugas dan tepat. Yaitu bahwa apa yang dilakukannya mulai dari
menenggelamkan perahu hingga menegakkan sebuah dinding adalah bukanlah
aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Maksudnya, aku
mengerjakannya berdasarkan wahyu dari Allah. Dan ini menunjukkan dalil
nubuwwah.
Pesan ini menunjukkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran harus
bersumber dan berdasar kebenaran. Ini ditunjukan oleh ayat ke 82, ini
menunjukan bahwa Khidir dalam melakukan pekerjaan yang dilihat oleh Musa
tidak atas kehendak dirinya tapi bersumber dari Allah SWT. Guru harus
menyampaikan materi pelajaran yang baru buat murid sehingga ada nilai tambah
bagi murid. Ini ditunjukan oleh ayat ke 68 yang bermakna, bahwa Musa belum
mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap apa yang akan diajarkan Khidir .
Terakhir, guru hendaknya memberi pesan akhir kepada murid yang akan
meninggalkan tempat belajar dan berpisah dengannya, untuk bekal di masa kelak
nanti. Ini ditunjukan oleh pesan akhir dari Khidir kepada Musa, saat Musa dan
Khidir akan berpisah, seperti telah disebutkan di atas.
164 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 7-8.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang “Proses Pembelajaran dalam al-Quran
(Telaah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82)”, maka
penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses pembelajaran merupakan kegiatan yang meliputi di dalamnya
kegiatan mengajar, belajar, dan pembelajaran itu sendiri. Tujuannya adalah
menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik, positif, progresif, bahkan
futuristik. Di sini, elemen guru dan murid terlibat aktif guna mencapai
tujuan pembelajaran yang diinginkan.
2. Sumber ilmu yang paling utama adalah Allah SWT. Dialah Maha
Pendidik, yang darinya semua ilmu berasal. Dalam hal ini, Al-Quran
merupakan salah satu sumber ilmu yang tak akan pernah habis untuk digali
nilai-nilai pembelajaran dari dalamnya.
3. Motivasi dalam mencari ilmu merupakan hal esensial bagi peserta didik
untuk mendapatkan ilmu. Motivasi yang paling baik adalah motivasi
intrinsik yang memunculkan spirit untuk terus menggali ilmu. Sedangkan
motivasi ekstrinsik merupakan motivasi pendukung, tambahan untuk terus
memacu diri dalam menimba ilmu.
4. Guru yang baik adalah guru yang dapat memberikan pembelajaran yang
dibutuhkan oleh peserta didik. Guru yang baik dapat dilihat dari
kredibelitas yang diakui. Dalam dunia pendidikan disebut guru yang
memiliki standar kompetensi atau guru profesional. Khidir merupakan
84
guru yang kredibel karena telah mendapat rekomendasi langsung dari
Allah SWT untuk mengajarkan Musa.
5. Strategi pembelajaran merupakan langkah yang penting guna mendapatkan
pembelajaran yang efektif dan efisien. Dalam hal ini, guru
mengidentifikasi ke depan bentuk pembelajaran yang sesuai dengan
kondisi peserta didik.
6. Proses pembelajaran merupakan serangkain kegiatan yang mengantarkan
peserta didik menuju sasaran pembelajaran yang diinginkan. Proses
pembelajaran Musa menunjukkan betapa Musa adalah seorang peserta
didik yang masih awam tentang ilmu yang diberikan gurunya. Hal ini
mengisyaratkan kepada Musa untuk mengakui bahwa di atas bumi ini
masih ada yang lebih pintar darinya. Selain itu, proses pembelajaran yang
baik adalah ketika guru dan murid sama-sama aktif dalam proses
pembelajaran itu.
7. Setelah mengalami serangkaian pembelajaran hendaknya guru melakukan
evaluasi kepada pesrta didik. Hal ini untuk menunjukkan kepada peserta
didik terkait pembelajaran yang telah dilakukan guna memberi wawasan
baru dan menyempurnakan pembelajaran selanjutnya.
B. Saran
Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan
khususnya bagi diri pribadi penulis sendiri dan umumnya para pembaca sebagai
masukan atau pengingat:
1. Bagi guru, teruslah berjuang dan berusaha untuk meningkatkan
keterampilan, pengetahuan, dan keahlian. Dengan hal itu, diharapkan
pemebelajaran dapat dilakukan degan efektif dan efisien. Lebih dari itu,
guru yang baik adalah guru yang memiliki kompetensi dan profesionalitas.
2. Bagi siswa, teruslah belajar dan meningkatkan motivasi dalam belajar.
Karena tiada kata berhenti dalam belajar. Seorang yang belajar akan terus
merasa kurang karena ia semakin mengetahui bahwa ilmu yang didapat
barulah sepercik dari ilmu Allah. Bagaikan padi semakin tumbuh semakin
85
merunduk, begitulah seharusnya seorang pembelajar. Karena setinggi apa
pun pengetahuan yang didapat, tetap semua itu adalah anugrah Allah
SWT. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
86
Al-Quran dan Terjemahnya
Abu, Abdillah Muhammad bin Shalih, Kiat Agar Semangat Belajar Membara
(Terj), (Beirut: Daar An-Naba)
Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan, (Jakarta:PT Rineka Cipta, cet
-II, 2006)
Al-Attas, M. Nuquib, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-
Attas, (Bandung: Mizan, cet I 2003)
Al-Bukhori Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Jami’ Shahih al-Mukhtashor
min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu
Katsir, Cet 3 1987)
Al-farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’idan Cara Penerapannya,
(Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Maktabah Mustafa al-
Babi al-Halabi wa Awladih, 1946)
Al-Qarashi, Baqir Sharif, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul, Seni Mendidik
Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, cet I, 2003)
Al-Qardawi, Yusuf, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad
Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001)
Al-Rasyidin dan Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat
Press, 2005)
Al-Utsaimin, Muhammad Ibn Shaleh, Panduan Lengkap menuntut ilmu (Pustaka
Ibn Katsir)
Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, cet 3, 2008)
Awwad, Jaudah Muhammad, Mendidik Anak Secara Islam (Terj), (Jakarta: Gema
Insani Pers, 2003)
Baharudin dan Nurwahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Arruzz
Media, Cet III 2008)
Dawam, Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Penerbit INSPEAL,
2006)
87
Dawna, Markova, The Smart Parenting Revolution, Psikologi Pendidikan
Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet
3 2006)
Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan, Strategi Belajar mengajar, (Jakarta:
Rieneka Cipta, Cet 3 2006)
Dradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama, t.th)
Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang)
Gulo, W., Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Gramedia, 2005)
Haitami, Munzir, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite
Press, 2004)
Hakim, Thursan, Balajar Secara Efektif, (Jakarta: Niaga Swadaya, 2009)
Hamalik, Oemar, Psikologi Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
Cet 6. 2009)
Haque, Soraya, Jejak-Jejak Perjalanan Jiwa, (Bandung: Mizan Publika, 2009)
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Riyad: Daaru Thaibah, Cet 2 1999)
Mujid, Abd. dan Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004)
Muthahhari, Murtadha, Konsep Pendidikan Islam, (Depok: Iqra Kurnia Gemilang,
cet 1 2005)
Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
cet-I)
-------, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001)
-------, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001)
-------, Pendidikan dalam Pespektif al-Quran, (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet 1,
2005)
-------, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Poerwadarminta, WJS, , Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,
1999)
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006)
Risjayanti, Peningkatan Motivasi dan Minat Belajar Siswa, (Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta)
88
Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di
Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009)
Samiun, Jazuli Ahzami, Kehidupan Dalam Pandangan Al-Quran, (Jakarta: Gema
Insani Pers, 2006)
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Beroroentasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Prenada Media Group, Cet 6 2009)
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo,
cet ke-9)
-------, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cet-
IX, 2001)
Shaleh, Abdul Rachman, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (PT Gemawindu
Pancaperkasa, 2000)
Shaleh, Asrarun Ni’am, Membangun Profesionalitas Guru, (Jakarta: Elsas, 2006)
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, cet II 2004)
-------, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001)
Supriono, Widodo, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan
Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, Edisi Revisi, cet 14 2008)
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan
Kompetensi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, edisi revisi)
Qutub, Sayyid, Tafsir fi Zilalil Quran, (t.tp, Mauqiu Tafasir, t.th)
Usman, M. Basyirudin, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakata: Ciputat
Pers, 2002)
http://mgcmpi.wordpress.com/bahan-kerohanian/adab-menghormati-guru/
didownload, Jumat, 3 Desember 2010.
http://raflengerungan.wordpress.com/korupsi-dan-pendidikan/pengertian-
mengajar-didaktik. diakses tanggal 20 November 2010.
http://hasanrizal.wordpress.com tafsir-tarbawi-pendidikan-dalam-perspektif-al-
89
quran. diakses tanggal 20 November 2010.
http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel. memilih-guru-.html diakses
tanggal 30 November 2010.
http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html,
didownload, Jumat, 3 Desember 2010
http://anwarholil.blogspot.com/2009/01/teori-pembelajaran-sosial.html . 9-11-10.
http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/ciri-ciri-dan-masalah-pendidikan-di-
indonesia 1/11/10
Recommended